lapsus dr dewi fix
DESCRIPTION
nnnnnnnnnTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
MENINGOENSEFALITIS DENGAN HEMIPARESIS SINISTRA
TIPE SPASTIK + SUSPECT TB PARU + MARASMUS
OLEH :
LANIRA ZARIMA N.
(H1A 008 038)
PEMBIMBING :
dr. Ni Luh Kade Dewi Sangawati, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSU PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat.
Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan kelompok
yang rawan terhadap kekurangan gizi (Kemenkes RI, 2011).
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan
sampai saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah
gizi buruk dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk
umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa
(Hasaroh Y, 2010).
Indonesia mempunyai masalah gizi yang besar ditandai dengan tingginya prevalensi
gizi kurang pada anak balita, kurang vitamin A (KVA), anemia defisiensi zat besi dan kurang
yodium. Prevalensi gizi kurang pada periode 1989-1999 menurun dari 29,5% menjadi 27,5%
atau rata-rata terjadi penurunan 0,40% per tahun. Namun pada periode 2000-2005 terjadi
peningkatan prevalensi gizi kurang dari 24,6% menjadi 28,0%. Kemudian pada tahun 2007
terjadi penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% menjadi 4,9% pada tahun
2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut, antara lain tingkat kemampuan
keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga,
pengetahuan dan perilaku keluarga dalam memilih, mengolah, dan membagi makanan di
tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan
dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.
(Depkes RI, 2008).
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs)
yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target, dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap
negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua
dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi
gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah penduduk dengan
defisit energi (indikator kelima) (Depkes RI, 2008).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Meningoencephalitis adalah peradangan yang terjadi pada encephalon dan meningens. Nama
lain dari meningoencephalitis adalah cerebromeningitis, encephalomeningitis, dan
meningocerebritis.
KRITERIA ANAK GIZI BURUK
1. Gizi Buruk t anpa Komplikasi
a) BB/TB: < -3 SD dan atau;
b) Terlihat sangat kurus dan atau;
c) Adanya Edema dan atau;
d) LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
2. Gizi Buruk dengan Komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih dari tanda
komplikasi medis berikut ini :
a) Anoreksia
b) Pneumonia berat
c) Anemia berat
d) Dehidrasi berat
e) Demam sangat tinggi
f) Penurunan kesadaran
3
Gambar 1. Alur Pemeriksaan Anak Gizi Buruk (Depkes RI, 2011)
KLASIFIKASI GIZI BURUK
4
Terdapat 3 tipe gizi buruk, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe
yang berbeda-beda.
1. Marasmus
Berikut ini adalah gejala pada marasmus :
a) Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit.
b) Wajah seperti orang tua dan kulit keriput
c) Jaringan lemak subkutan minimal/tidak ada
d) Iga gambang dan perut cekung
e) Otot paha mengendor (baggy pants)
f) Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih merasa lapar
g) Sering disertai dengan penyakit infeksi dan diare (Almatsier S, 2009).
Gambar 2. Marasmus
2. Kwashiorkor
Manifestasi klinis dan penampilan tipe kwashiorkor, yaitu :
a) Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis.
b) Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut dan
rontok, pada penyakit yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c) Otot mengecil (hipotrofi)
d) Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh
e) Wajah membulat dan sembab dengan pandangan mata anak sayu
5
f) Pembesaran hepar, hepar yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada perabaan permukaan licin dan pinggir/tepi yang tajam.
g) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis).
h) Sering disertai penyakit infeksi, diare, dan anemia (Almatsier S, 2009).
Gambar 3. Kwashiorkor
3. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian di samping menurunnya
berat badan < 60% dari normal, juga memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor,
seperti edema, kelainan rambut, dan kelainan kulit (Almatsier S, 2009).
Gambar 4. Gambaran Klinis Marasmus-Kwashiorkor
6
Marasmus Kwashiorkor
Tampak sangat kurus Bilateral pitting oedema, berawal dari telapak kaki
dan tungkai bawah, dapat meluas hingga tangan dan
lengan serta wajah (moon -face).
Lemak dan jaringan otot minimal, tampak seperti
tulang terbungkus kulit, hingga turgor kulit berkurang.
Penurunan massa jaringan otot dan lemak mungkin
tertutupi oleh edema.
Kurus, kulit kering, mengendor, keriput, tulang pipi
dan dagu kelihatan menonjol, mata tampak besar dan
dalam, tampakan wajah seperti orang tua (old man’s
appearance).
Lesi kulit, atrofi, kulit tampak pecah-pecah dan
mudah terkelupas, rapuh, mudah terkena infeksi
(dermatosis).
Rambut normal Perubahan warna rambut (kuning/kemerahan), tipis,
kering dan rapuh, serta mudah dicabut/rontok.
Sering terkena infeksi, namun dengan gejala klinis
minimal (tidak selalu timbul demam).
Sering terkena infeksi akibat lesi kulit
Sering berhubungan dengan dehidrasi Sering berhubungan dengan dehidrasi yang mungkin
tertutupi oleh edema.
Perubahan status mental, waspada, dan rewel. Perubahan status mental, hingga apatis atau letargis.
Rewel bila disentuh.
EPIDEMIOLOGI GIZI BURUK
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia
telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita
yang BB/U < -3SD (menurut Z-score WHO-NCHS) sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3%
menjadi 7,2% tahun 1992, dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Upaya
pemerintah, seperti pemberian makanan tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan
peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada
tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada tahun 1998,
8,1% tahun 1999 dan 6,3% tahun 2001. Namun, pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali
menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-
kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi saluran
7
pernafasan akut (ISPA), Tuberkulosis (TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO
menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19%
diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32% penyebab lainnya
(Depkes RI, 2011).
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan
laporan provinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data
Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun
2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa provinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi gizi buruk dan kurang di
provinsi NTB adalah 24,8%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi
gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Depkes RI, 2008).
PENYEBAB GIZI BURUK
Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk, yaitu :
1. Penyebab Langsung
Gizi buruk dapat disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak
sering sakit dan terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak
mendapatkan makanan bergizi seimbang, atau pola makan anak yang salah. Kaitan
infeksi dan malnutrisi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan karena
keduanya saling terkait dan saling memperberat. Infeksi kronik akan menyebabkan
kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada
sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi
esensial yang bisa disebabkan penyerapan makanan yang buruk dari saluran
pencernaan (malabsorbsi) atau kehilangan zat-zat gizi dan cairan-elektrolit yang
berlebihan oleh karena diare, muntah, dan perdarahan (Hasaroh Y, 2010).
2. Penyebab Tidak Langsung
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga, perilaku dan pola hidup, serta peran serta
dari pelayanan kesehatan. Faktor-faktor lain diantaranya adalah kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah, dan kesempatan kerja. Oleh karena itu untuk mengatasi gizi
buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan
8
keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik ketersediaannya maupun gizinya (Hasaroh Y, 2010).
Sedangkan menurut Nelson (2007), secara garis besar penyebab marasmus adalah :
a) Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang
sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari
ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang
terlalu encer.
b) Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis
kongenital.
c) Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia,
hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.
d) Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI
kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat.
e) Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup.
f) Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
g) Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab
maramus yang lain disingkirkan.
h) Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang
kurang akan menimbulkan marasmus.
i) Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat
dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama
gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
DAMPAK GIZI BURUK
Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem organ karena
umumnya gizi buruk ini juga disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro
nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan merusak sistem pertahanan
tubuh terhadap mikroorganisme sehingga tubuh mudah sekali terkena infeksi.
9
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena
berberbagai disfungsi yang dialami. Ancaman yang timbul, antara lain hipotermia (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang di
bawah kadar normal), dan kekurangan elektrolit serta cairan tubuh. Jika fase akut tertangani,
namun tidak di follow-up dengan baik maka akan menyebabkan anak tidak dapat mengejar
ketinggalannya dan berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,
penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensoris, gangguan pemusatan
perhatian, penurunan rasa percaya diri, dan juga menurunnya prestasi anak (Hasaroh Y,
2010).
PENEGAKKAN DIAGNOSIS GIZI BURUK
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
terdiri dari anamnesis awal dan lanjutan.
1. Anamnesis Awal (Kedaruratan)
Bila didapatkan hal-hal di bawah ini, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, yang harus diatasi segera.
a) Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
b) Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lender)
c) Kapan terakhir berkemih
d) Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
2. Anamnesis Lanjutan
Untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah
kedaruratan tertangani.
a) Diet (pola makan) dan kebiasaan makan sebelum sakit
b) Riwayat pemberian ASI
c) Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
d) Hilangnya nafsu makan
e) Kontak dengan campak atau tuberkulosis paru
f) Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
10
g) Batuk kronik
h) Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
i) Berat badan lahir
j) Riwayat tumbuh kembang
k) Riwayat imunisasi
l) Apakah ditimbang setiap bulan ?
m) Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
n) Diketahui atau tersangka infeksi HIV
3. Pemeriksaan Fisik
a) Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
b) Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk.
c) Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun
d) Demam (suhu aksilar ≥ 37,5oC) atau hipotermi (suhu aksilar < 35,5oC)
e) Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
f) Sangat pucat
g) Pembesaran hati dan ikterus
h) Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites.
i) Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
j) Ulkus pada mulut
k) Fokus infeksi : THT, paru, kulit
l) Lesi kulit pada kwashiorkor
m) Tampilan tinja
n) Tanda dan gejala infeksi HIV (Tim Adaptasi WHO-Indonesia, 2009).
TATA LAKSANA GIZI BURUK
Salah satu cara untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk adalah
dengan menjadikan tatalaksana gizi buruk sebagai upaya menangani setiap kasus yang
ditemukan. Pada saat ini seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
tatalaksana gizi buruk menunjukkan bahwa kasus ini dapat ditangani dengan 2 pendekatan.
Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat, dehidrasi berat,
demam tinggi dan penurunan kesadaran) harus dirawat di rumah sakit, Puskesmas perawatan,
11
Pusat Pemulihan Gizi (PPG) atau Therapeutic Feeding Center (TFC). Sedangkan gizi buruk
tanpa komplikasi dapat dilakukan secara rawat jalan (Depkes RI, 2011).
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 4 fase, yaitu fase
stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi, dan fase tindak lanjut.
1. Mencegah dan Mengatasi Hipoglikemi
Semua anak dengan gizi buruk berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula darah <
3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberikan makan
gula pasir atau larutan glukosa 10% segera setelah masuk rumah sakit. Jika fasilitas
setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak
gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai
panduan.
Tatalaksana :
♣ Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya memungkinkan.
♣ Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan
glukosa 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml air) secara oral atau melalui NGT.
♣ Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2-3 jam, siang dan malam, selama minimal 2
hari.
♣ Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-75.
12
♣ Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kgBB, atau larutan gula pasir 50 ml dengan NGT.
♣ Berikan antibiotik
Pemantauan :
♣ Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30
menit.
♣ Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan
glukosa atau gula 10%.
♣ Jika suhu rektal < 35,5°C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia
disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani
sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).
Pencegahan :
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu,
lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam, siang dan
malam.
2. Mencegah dan Mengatasi Hipotermia
Diagnosis : Suhu aksilar < 35,5°C
Tatalaksana :
♣ Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
♣ Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut
hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung pada anak) atau lampu di
dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke
kulit dengan metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu
pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak.
♣ Berikan antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan :
♣ Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,5°C atau
lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan
bila suhu mencapai 36,5oC.
♣ Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam
hari.
13
♣ Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia.
Pencegahan :
♣ Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin,
dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut.
♣ Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap kering.
♣ Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya sewaktu dan setelah mandi atau
selama pemeriksaan medis).
♣ Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di
malam hari.
♣ Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin,
sepanjang hari, siang dan malam.
3. Mencegah dan Mengatasi Dehidrasi
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang berlebihan
mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini disebabkan oleh
sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak dengan gizi buruk, hanya
dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala
dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.
Tatalaksana :
♣ Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan
syok.
♣ Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika
melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama. Setelah 2 jam, berikan
ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang
sama, setiap jam selama 10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak
anak mau minum, volume tinja yang keluar dan apakah anak muntah.
♣ Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
♣ Jika masih diare, berikan ReSoMal setiap kali diare. Untuk anak usia < 1 tahun :
50-100 ml tiap BAB, usia ≥ 1 tahun : 100-200 ml tiap BAB.
4. Memperbaiki Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pemantauan :
14
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam
selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada
terhadap gejala kelebihan cairan yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal
jantung dan kematian. Periksalah frekuensi napas, frekuensi nadi, frekuensi miksi dan
jumlah produksi urin, serta frekuensi buang air besar dan muntah.
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada
diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah, cekungan mata dan fontanela berkurang
serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi. Tetapi anak gizi
buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah
terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan. Jika ditemukan tanda
kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit),
hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1
jam.
Pencegahan :
Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak
gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit
standar.
♣ Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
♣ Pemberian F-75 sesegera mungkin
♣ Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair
Tatalaksana :
♣ Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium, yang
sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam F-
75, F-100, atau ReSoMal.
♣ Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
♣ Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl)
5. Mengobati Infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali tidak
ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena itu,
anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke
rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia
merupakan tanda infeksi berat.
15
Tatalaksana :
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk :
♣ Antibiotik spektrum luas
♣ Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah mendapatkannya,
atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi vaksin sebelum
berumur 9 bulan.
♣ Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas :
♣ Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, berikan Kotrimoksazol per
oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP per kgBB) setiap 12 jam selama 5 hari.
♣ Jika ada komplikasi, seperti hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis
dan tampak sakit berat, atau jelas ada infeksi, berikan :
Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan
dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) ATAU jika
tidak tersedia amoksisilin, berikan Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6
jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH DENGAN :
Gentamisin (7,5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
♣ Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati
dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
♣ Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis, malaria,
disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), berikan antibiotik yang sesuai.
♣ Berikan obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit malaria.
♣ Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat pada gizi buruk,
obat antituberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat diduga
menderita tuberkulosis.
Pemantauan :
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan pengobatan
sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik, lakukan
penilaian ulang menyeluruh pada anak.
6. Memperbaiki Kekurangan Zat Gizi Mikro
16
Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun sering
ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai anak
mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya
pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah
infeksi.
Tatalaksana :
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu :
♣ Multivitamin
♣ Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
♣ Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
♣ Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
♣ Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)
♣ Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :
Umur Dosis
< 6 bulan 50 000 (1/2 kapsul biru)
6 – 12 bulan 100 000 (1 kapsul biru)
1– 5 tahun 200 000 (1 kapsul merah)
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, berikan vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
7. Memberikan Makanan Untuk Stabilisasi dan Transisi
Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati sebab
keadaan fisiologis anak masih rapuh.
Tatalaksana :
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makanan awal adalah :
♣ Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering, dan rendah osmolaritas maupun
rendah laktosa.
♣ Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral.
♣ Energi 100 kkal/kgBB/hari
♣ Protein 1-1,5 g/kgBB/hari
17
♣ Cairan 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
♣ Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75
yang ditentukan harus dipenuhi seperti di bawah ini :
Hari Frekuensi Volume/kgBB/pemberian Volume/kgBB/hari
1 – 2 Setiap 2 jam 11 ml 130 ml
3 – 5 Setiap 3 jam 16 ml 130 ml
6 dst Setiap 4 jam 22 ml 130 ml
Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat
dipercepat menjadi 2-3 hari. Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk
pemberian makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling
berat, dan bila terpaksa upayakan paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan.
Libatkan dan ajari orang tua atau penunggu pasien. Pemberian makanan sepanjang
malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu lama tanpa pemberian makanan
(puasa dapat meningkatkan risiko kematian). Apabila pemberian makanan per oral
pada fase awal tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan
sisanya melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak, maka anak perlu
mendapatkan ekstra air/cairan.
Terdapat 5 rencana pemberian cairan dan makanan untuk fase stabilisasi, yang
disesuaikan dengan 5 kondisi yang didapatkan pada penderita.
1. Rencana I untuk kondisi I (jika ditemukan syok/renjatan, letargis, dan muntah dan
atau diare atau dehidrasi).
2. Rencana II untuk kondisi II (jika letargis dan muntah dan atau diare atau
dehidrasi).
3. Rencana III untuk kondisi III (jika muntah dan atau diare atau dehidrasi).
4. Rencana IV untuk kondisi IV (jika ditemukan letargis).
5. Rencana V untuk kondisi V (jika tidak ditemukan syok/renjatan, letargis, muntah
dan atau diare atau dehidrasi).
Bagan 1. Rencana I (Ditemukan renjatan/syok, letargis, dan muntah/diare atau dehidrasi)
18
Bagan 2. Rencana II (Ditemukan letargis dan muntah/diare atau dehidrasi)
19
Bagan 3. Rencana III (Ditemukan muntah/diare atau dehidrasi)
Bagan 4. Rencana IV (Jika penderita gizi buruk ditemukan letargis)
20
Bagan V. Rencana V (Tidak menunjukkan tanda bahaya atau kondisi penting tertentu)
Pemantauan :
21
Pantau dan catat setiap hari jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan, muntah,
frekuensi defekasi dan konsistensi feses, dan berat badan.
8. Memberikan Makanan Untuk Tumbuh Kejar
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah kembalinya
nafsu makan dan edema minimal atau hilang.
Tatalaksana :
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-kejar
(F-100) disebut fase transisi :
♣ Ganti F-75 dengan F-100, berikan F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama
2 hari berturut-turut.
♣ Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian sampai
anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi
ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari.
♣ Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi
sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.
♣ Setelah transisi bertahap, berikan anak :
Pemberian makanan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai dengan
kemampuan anak).
Energi 150-220 kkal/kgBB/hari
Protein 4-6 g/kgBB/hari
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak sudah
mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup energi untuk
menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to used therapeutic
food : RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet dapat digunakan
pada fase rehabilitasi.
Pemantauan :
Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan
napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit
dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan
dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari
penyebabnya). Lakukan segera :
♣ Kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam.
22
♣ Kemudian tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut :
115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya
selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
♣ Atasi penyebab
Bagan 6. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Tumbuh Kejar
Penilaian Kemajuan :
23
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi dan
mendapatkan F-100 :
♣ Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
♣ Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari
♣ Jika kenaikan berat badan :
Kurang (< 5 gram/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap.
Sedang (5-10 gram/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi atau
mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
Baik (> 10 gram/kgBB/hari)
9. Memberikan Stimulasi Untuk Tumbuh Kembang
♣ Ungkapan kasih sayang
♣ Lingkungan yang ceria
♣ Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit per hari
♣ Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
♣ Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan,
memandikan, dan bermain).
10. Mempersiapkan Untuk Tindak Lanjut di Rumah
Bila telah tercapai BB/TB > -2SD (setara dengan > 80%) dapat dianggap anak telah
sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan
pendek.
Anak dapat dipulangkan bila memenuhi kriteria pulang sebagai berikut :
♣ Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif.
♣ BB/PB atau BB/TB > -3SD
♣ Komplikasi sudah teratasi
♣ Ibu telah mendapat konseling gizi
♣ Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
♣ Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.
Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah.
Berikan contoh kepada orang tua :
♣ Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi
pemberian makan yang sering.
24
♣ Terapi bermain yang terstruktur
♣ Sarankan :
Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan
Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)
Pemulangan Sebelum Sembuh Total
Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu
untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor sosial
juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui rawat
jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan.
Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil :
♣ Anak seharusnya :
Telah menyelesaikan pengobatan antibiotik
Mempunyai nafsu makan baik
Menunjukkan kenaikan berat badan yang baik
Edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang
♣ Ibu atau pengasuh seharusnya :
Mempunyai waktu utuk mengasuh anak
Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah
dan frekuensi).
Mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin,
nasihati tentang dukungan yang tersedia.
Tindak Lanjut Bagi Anak yang Pulang Sebelum Sembuh
Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai anak
sembuh :
♣ Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan lokal
untuk melakukan supervisi dan pendampingan.
♣ Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan kenaikan
berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi penurunan berat
badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.
25
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk RSUP NTB : 10 Juni 2015
No. RM : 561827
Diagnosis Masuk : Meningitis TB
Diagnosis Akhir : Meningoensefalitis
IDENTITAS
a. Identitas Pasien
Nama Lengkap : Hasbullah
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 10 tahun
Agama : Islam
Alamat : Bima
b. Identitas Keluarga
Identitas Ibu Ayah
Nama Ny. F Tn. A
Umur 35 tahun 40 tahun
Pendidikan SD SD
Pekerjaan IRT Wiraswasta
HETEROANAMNESIS (11 Juni 2015)
c. Keluhan Utama : Kejang
d. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan pasien rujukan RSUD Bima dengan diagnosis meningitis TB.
Menurut orang tua pasien, pasien mengalami kejang sekitar 12 hari sebelum masuk RSUP
Nusa Tenggara Barat. Kejang dialami sebanyak 3 kali dalam sehari, yang berlangsung
sekitar 30 menit – 1 jam. Saat kejang pasien terlihat kaku, kedua tangan menghentak-
hentak dan keluar busa dari mulut. Diantara kejang, pasien sempat sadarkan diri. Saat
26
kejang, pasien dalam keadaan demam. Awalnya, pasien mengalami batuk dan pilek sejak
21 hari yang lalu. Batuk berlangsung secara terus-menerus, batuk berdahak dengan dahak
berwarna kuning, tidak ditemukan adanya darah pada dahak dan pasien juga tidak
mengeluhkan adanya sesak. BAK (+) lancar dengan frekuensi 4x sehari berwarna kuning
jernih. BAB (+) berwarna kuning dengan konsistensi padat tanpa disertai lendir maupun
darah. Sejak sakit, pasien mengalami penurunan nafsu makan. Setelah itu pasien
mengalami demam yang dirasakan sejak 18 hari yang lalu, 4 hari kemudian pasien sempat
dibawa ke bidan dan demam sempat menurun, namun muncul bintik-bintik merah
kehitaman di seluruh tubuh dan pasien mengeluhkan tidak bisa buka mulut hingga
akhirnya pasien dibawa ke RSUD Bima. Setelah itu pasien tidak bisa bicara dan
menggerakan tangan dan kakinya.
♣ Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa (kejang). Pasien juga tidak pernah
mengalami batuk yang lama. Riwayat sakit gigi atau tertusuk paku tidak diketahui oleh
keluarganya.
♣ Riwayat Penyakit Keluarga / Lingkungan :
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. Tidak terdapat riwayat epilepsi pada
keluarga pasien. Tidak terdapat riwayat TB pada keluarga dan orang disekitar pasien.
♣ Riwayat Pengobatan :
Saat pasien mengalami demam, pasien dibawa ke Puskesmas dan diberikan Paracetamol
namun suhu tubuhnya tidak juga turun. Kemudian ketika pasien mengalami kejang dan
menjadi tidak sadar, orang tua pasien segera melarikan anaknya ke RSUP3 Gerung.
Pasien dirawat selama 4 hari, telah dilakukan perawatan, pemberian antibiotika,
antipiretik, dan antikonvulsan serta dilakukan tindakan transfusi PRC + 80 cc. Hb awal
7,2 gr% dan post-transfusi 10,3 gr%. 1 hari SMRS pasien mengalami kejang lagi di RSP3
Gerung, kemudian diberikan antikonvulsan dan setelah dilakukan stabilisasi, pasien
akhirnya dirujuk ke RSUP NTB. Saat MRS di RSUP NTB, pasien dirawat oleh Dokter
Spesialis Anak Bagian Neurologi selama 12 hari. Kemudian dinilai status gizinya dan
disimpulkan pasien termasuk gizi buruk sehingga dilakukan rawat bersama dengan
Dokter Spesialis Anak Bagian Gizi.
♣ Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien merupakan anak ketiga dari kehamilan yang ketiga. Selama hamil, ibu pasien
kadang-kadang memeriksakan kehamilannya di bidan desa. Ibu pasien mengaku selama
27
hamil dirinya tidak pernah mengalami sakit yang serius seperti tekanan darah tinggi,
kejang, perdarahan, demam yang lama, ataupun trauma.
Pasien lahir di rumah melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan desa. Pasien
lahir pada usia kehamilan cukup bulan dengan berat badan lahir 3000 gram dan langsung
menangis. Riwayat kejang, biru, atau kuning setelah lahir disangkal.
♣ Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari usia 0-3 bulan, sedangkan sejak usia 3-6 bulan
pasien mendapatkan ASI dan susu formula, karena ibu mengaku ASI-nya sedikit. Sejak
usia 6 bulan, pasien juga mendapat makanan tambahan berupa bubur beras. Setelah itu
pasien mendapatkan makanan sesuai dengan makanan kelurga.
♣ Riwayat Imunisasi (Vaksinasi) :
Imunisasi Dasar Ulangan
BCG (+) 1x Usia 1 bulan (-)
Hepatitis B (+) 4x Usia 0 bulan (baru lahir) Usia 1, 4, 6 bulan
Polio (+) 4x Usia 1 bulan Usia 2, 4, 6 bulan
DPT (+) 3x Usia 2 bulan Usia 4, 6 bulan
Campak Belum dilakukan
♣ Riwayat Perkembangan dan Kepandaian
Motorik Kasar Motorik Halus Bicara Sosial
Os belum dapat berjalan,
namun sudah bisa duduk
sendiri dan mulai belajar
berdiri.
Os dapat tidur miring-
miring dan tengkurap
sendiri.
Os belum dapat
mencoret-coret.
Os sudah mampu
memegang dengan
jari dan ibu jari.
Os belum mampu
mengucapkan kata inaq
atau amaq secara jelas.
Os mampu menoleh ke
arah suara.
Os belum mampu
membuka pakaian
sendiri, menggunakan
sendok/garpu, minum
dengan gelas sendiri
dan makan sendiri.
Os mampu “daag-
daag” dengan tangan,
bertepuk tangan, dan
berusaha menggapai
mainan.
28
PEMERIKSAAN FISIK (11 Juni 2015)
♣ Status Generalis
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran / GCS : stupor / E4VxM2
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 112 x/menit
Frekuensi napas : 40 x/menit
Suhu : 38oC
CRT : < 2 detik
♣ Status Gizi
BB : 6200 gram
PB : 72 cm
Z-score (Grafik WHO)
BB/PB = < -3 SD = gizi buruk
BB/U = < -3 SD = kurus sekali
TB/U = +2 SD ~ -2 SD = normal
♣ Status Neurologis
Nervus Cranialis
N. I : sde
N. II : refleks pupil (+/+) isokor, ukuran + 3 mm.
N. III, IV, VI : retraksi palpebra superior (-/-), ptosis (-/-), gerakan bola mata kesan
normal (+/+).
N. V : pemeriksaan refleks trigeminal/kornea (+/+), refleks mengisap lemah,
N. VII : kontraksi otot wajah/fasial pada saat menangis simetris, hiposekresi
kelenjar saliva (-), hiperlakrimasi (-).
N. VIII : sde
N. IX, X : refleks muntah (+), tangis bayi (+) lemah.
N. XI, XII : sde
29
PemeriksaanEkstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Ukuran Otot eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Tonus Otot normal spastik normal spastik
Kekuatan Otot 4 1 4 1
Refleks Fisiologis : Refleks Patella (++/+++)
Refleks Tendon Achilles (++/+++)
Refleks Patologis : Refleks Babinsky (+/+)
Refleks Chadock (+/+)
Refleks Schaefer (-/-)
Refleks Gordon (-/-)
Refleks Oppenheime (+/+)
Refleks Hoffman-Trommer (-/-)
Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (+)
Brudzinsky I (+)
Brudzinsky II sde
Kernig’s Sign (+)
♣ Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala/Leher
Bentuk : normochepali, tidak terdapat kelainan
UUB : tertutup, datar
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor
Mulut : pucat (-), mukosa bibir kering (+), sianosis (-), kaku (+)
Telinga : otorhea (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : rinorhea (-), napas cuping hidung (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Tenggorokan : tidak dapat dievaluasi
Gigi : tidak dapat dievaluasi
30
Thoraks
Inspeksi : bentuk dan ukuran normal, retraksi (-), ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pengembangan dinding dada simetris, ictus cordis teraba pada ICS
IV midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung paru :
Atas : ICS II
Kanan : ICS V parasternal line dextra
Kiri : ICS V axillaris anterior sinistra
Bawah : ICS V
Auskultasi : Cor → S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).
Pulmo → vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tak teraba, blast terasa penuh
Ekstremitas
PemeriksaanEkstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Akral hangat + + + +
Edema - - - -
Pucat - - - -
Spastik + + + +
Kekuatan
Vertebra
Inspeksi : Kelainan (-), tanda-tanda fraktur (-), gibus (-)
Kulit
Inspeksi : Ruam (+)
31
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (28/05/2015)
RSUD Bima
Darah Lengkap (04/06/2015)
RSUD Bima
Darah Lengkap (10/06/2015)
RSUP NTB
HGB : 10,9 g/dl
HCT : 38,2 %
RBC : 4,84 x 106/µL
MCV : 78,9 fl
MCH : 22,5 pg
MCHC : 28,5 g/dl
WBC : 5,4 x 103/µL
PLT : 386 x 103/µL
HGB : 11,6 g/dl
HCT : 34,9 %
RBC : 4,29 x 106/µL
MCV : 81,3 fl
MCH : 27,0 pg
MCHC : 33,2 g/dl
WBC : 10,0 x 103/µL
PLT : 242 x 103/µL
HGB : 11,0 g/dl
HCT : 32,7 %
RBC : 4,04 x 106/µL
MCV : 80,9 fl
MCH : 27,2 pg
MCHC : 33,6 g/dl
WBC : 8,36 x 103/µL
PLT : 387 x 103/µL
Pemeriksaan Lainnya
(28/05/2015) RSUD Bima
Pemeriksaan Lainnya
(04/06/2015) RSUD Bima
Pemeriksaan Lainnya
(10/06/2015) RSUP NTB
GDS : 87,0 mg/dl
Ureum : 25,8 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl
SGOT : 26,2 U/l
SGPT : 19,2 U/l
Malaria : Negatif
HBSAg : Negatif
Widal slide :
S. Thypi O (-)
S. Thypi H (-)
S. P. Thypi A 1/80
S. P. Thypi B (-)
Malaria : Negatif GDS : 124 mg/dl
Ureum : 40 mg/dl
Kreatinin : 0,4 mg/dl
SGOT : 68 mg/dl
SGPT : 199 mg/dl
Elektrolit :
Na : 128 mmol/l
Ka : 4,1 mmol/l
Cl : 98 mmol/l
32
RESUME
Seorang bayi laki-laki, usia 9 bulan, rujukan RSP3 Gerung dengan Kejang Demam
Kompleks, DD Meningoensefalitis, dan Anemia. Pasien mengalami kejang sebanyak 2 kali, 1
kali di rumah dan 1 kali di RSP3 Gerung. Sebelum mengalami kejang, pasien sempat muntah.
Saat kejang, pasien dalam keadaan demam dan suhu tubuh pasien tidak turun walaupun telah
diberikan Paracetamol. Setelah mengalami kejang, pasien tiba-tiba lemas dan terlihat
mengantuk kemudian menjadi tidak sadar. Pasien juga mengalami batuk kering dan pilek.
Sesak napas (-), diare (-), BAK (+) lancar.
Sejak sakit, pasien tidak mau minum susu ataupun makan bubur. Sebelumnya, nafsu
makannya cukup kuat dan biasanya makan 3x sehari berupa bubur beras ditambah dengan
susu formula. Saat ini, orang tua pasien mengaku setiap melakukan penimbangan berat badan
di Posyandu, berat badan anaknya selalu berada di bawah garis merah. Riwayat minum OAT
(+), namun belum tuntas. Terdapat riwayat TB pada nenek pasien dan telah diobati.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah. Nadi 132
x/menit, regular, kuat angkat cukup, RR 28 x/menit, regular, suhu 37oC. Didapatkan juga
mukosa bibir kering, pembesaran KGB leher noduler, turgor kulit sedikit menurun, muscle
wasting (+) dan baggy pants (+). Pada pemeriksaan neurologis didapatkan tanda rangsang
meningeal (+), refleks fisiologis (+), refleks patologis (+), tonus otot dextra normal
sedangkan tonus otot sinistra spastik, kekuatan otot dextra bernilai 4 sedangkan kekuatan otot
sinistra bernilai 1.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,6 g/dl; MCV 78,1 fl; MCH 23,7 pg;
MCHC 30,4 g/dl; PLT 256 x103/uL; dan WBC 5,69 x103/uL.
DIAGNOSIS
♣ Meningoensefalitis dengan Hemiparesis Sinistra Tipe Spastik
♣ Suspect TB Paru
♣ Marasmus
RENCANA TERAPI
♣ Pasien tirah baring dengan posisi kepala ditinggikan (head-up position)
♣ Pemberian oksigen 2 liter/menit
♣ IVFD D5 ¼ NS = 6,2 kg x 100 cc = 620 cc/hari = 25 tetes mikro per menit
♣ Injeksi Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
33
Dosis Seftriakson = 6,2 kg x 100 mg = 620 mg/hari ~ 300 mg/kali injeksi
Sediaan Seftriakson 1 gram/vial
Antibiotik Seftriakson diberikan selama + 14 hari
♣ Injeksi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV tiap kali kejang
Dosis Diazepam = 6,2 kg x 0,3 mg – 6,2 kg x 0,5 mg
= 1,86 mg – 3,10 mg
= ~ 2,5 mg tiap kali kejang
Sediaan Diazepam 10 mg / 2 ml (1 ampul)
♣ Injeksi Fenitoin 5 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Dosis Fenitoin = 6,2 kg x 5 mg = 31 mg/hari ~ 15 mg/kali injeksi
Sediaan Fenitoin 50 mg/ml dalam vial 5 ml
♣ Pemberian D10% 50 ml per oral untuk mencegah hipoglikemia
♣ Pemberian F-75 sebanyak 8 x 100 cc tiap hari melalui NGT
♣ Pemberian multivitamin jika memungkinkan :
Vitamin A 100.000 IU
Vitamin C 3 x ½ tablet
Asam Folat (5 mg pada hari I, selanjutnya 1 mg pada hari II dan III)
♣ Fisioterapi
♣ Timbang BB tiap hari
♣ Observasi kesadaran dan tanda vital, terutama suhu (jangan sampai pasien mengalami
demam ataupun hipotermia).
♣ Tes Mantoux, Rontgen Thoraks AP-Lateral, pemeriksaan sputum/bilas lambung untuk
pengecatan gram dan BTA.
♣ Rencana pengobatan TB
34
35
FOLLOW-UP PASIEN
Tanggal/Jam Subjective Objective Assessment Planning
10/06/2015
13.00
Pasien tidak sadar (+), tubuh sebelah kiri
lemas dan tidak bisa digerakkan.
Kejang (-), demam (-), muntah (-), batuk
pilek (-), BAK (+) lancar, BAB (+).
KU : sedang
Kesadaran : somnolen
Nadi : 132 x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu : 37oC
CRT : > 2 detik
BB : 6200 gram
PB : 72 cm
Pembesaran KGB (+) noduler
Abdomen tampak cekung
Turgor kulit menurun
Baggy pants, muscle wasting (+)
Kaku kuduk (+)
Tonus otot : S spastik, D normal
- Meningoensefalitis dengan
hemiparesis sinistra tipe
spastik.
- Suspect TB Paru
- Marasmus
- Head-up position
- IVFD D5 ¼ NS
- O2 2 lpm
- Injeksi Seftriakson 2x300 mg
- Injeksi Diazepam 2,5 mg kkj
- Injeksi Fenitoin 2x15 mg
- Pemberian F-75 8x100 cc
01/10/2012
07.00
Pasien tidak sadar (+), tubuh sebelah kiri
lemas dan tidak bisa digerakkan.
Kejang (-), demam (-), muntah (-), batuk
(+), BAK (+) lancar, BAB (+).
KU : sedang
Kesadaran : somnolen
Nadi : 128 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,8oC
- Meningoensefalitis dengan
hemiparesis sinistra tipe
spastik.
- Suspect TB Paru
- Marasmus
- IVFD D5 ¼ NS
- O2 2 lpm
- Injeksi Seftriakson 2x300 mg
- Injeksi Diazepam 2,5 mg kkj
- Injeksi Fenitoin 2x15 mg
CRT : < 2 detik
BB : 6400 gram
Pembesaran KGB (+) noduler
Abdomen tampak cekung
Turgor kulit normal
Baggy pants, muscle wasting (+)
Kaku kuduk (+)
Tonus otot : S spastik, D normal
- Pemberian F-75 8x100 cc
02/10/2012
07.00
Pasien tidak sadar (+), tubuh sebelah kiri
lemas dan tidak bisa digerakkan.
Kejang (-), demam (-), muntah (-), batuk
(+), BAK (+) lancar, BAB (+).
KU : sedang
Kesadaran : somnolen
Nadi : 124 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37oC
BB : 6400 gram
Pembesaran KGB (+) noduler
Abdomen tampak cekung
Baggy pants, muscle wasting (+)
Kaku kuduk (+)
Tonus otot : S spastik, D normal
- Meningoensefalitis dengan
hemiparesis sinistra tipe
spastik.
- Suspect TB Paru
- Marasmus
- IVFD D5 ¼ NS
- Aff oksigen
- Injeksi Seftriakson 2x300 mg
- Injeksi Diazepam 2,5 mg kkj
- Injeksi Fenitoin 2x15 mg
- Pemberian F-75 8x100 cc
03/10/2012
07.00
Pasien mulai sadar, menangis (+), tubuh
sebelah kiri masih lemas dan tidak bisa
digerakkan.
KU : sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 140 x/menit
- Meningoensefalitis dengan
hemiparesis sinistra tipe
spastik.
- IVFD D5 ¼ NS
- Injeksi Seftriakson 2x300 mg
- Injeksi Diazepam 2,5 mg kkj
Kejang (-), demam (-), muntah (-), batuk
(-), BAK (+) lancar, BAB (+).
RR : 36 x/menit
Suhu : 36,6oC
BB : 6800 gram
Pembesaran KGB (+) noduler
Abdomen tampak cekung
Baggy pants, muscle wasting (+)
Kaku kuduk (-)
Tonus otot : S spastik, D normal
- Suspect TB Paru
- Marasmus
- Injeksi Fenitoin 2x15 mg
- Depaken 2x1 cc
- Pemberian F-100 8x100 cc
- Fisioterapi
04/10/2012
07.00
Pasien sadar, menangis (+), tubuh sebelah
kiri masih lemas dan tidak bisa
digerakkan.
Kejang (-), demam (-), muntah (-), batuk
(-), BAK (+) lancar, BAB (+).
KU : baik
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 130 x/menit
RR : 36 x/menit
Suhu : 37oC
BB : 6900 gram
Pembesaran KGB (+) noduler
Abdomen tampak cekung
Baggy pants, muscle wasting (+)
Kaku kuduk (-)
Tonus otot : S spastik, D normal
- Meningoensefalitis dengan
hemiparesis sinistra tipe
spastik.
- Suspect TB Paru
- Marasmus
- IVFD D5 ¼ NS
- Injeksi Seftriakson 2x300 mg
- Injeksi Diazepam 2,5 mg kkj
- Injeksi Fenitoin 2x15 mg
- Depaken 2x1 cc
- Pemberian F-100 8x100 cc
- Fisioterapi
BAB IV
PEMBAHASAN
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) berada di bawah standar. Status gizi buruk dibagi menjadi 3 jenis, yakni gizi buruk
karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori
(disebut marasmus), dan kekurangan keduanya (kwashiorkor-marasmus). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Seorang anak
didiagnosis gizi buruk apabila BB/TB < -3 SD atau 70 % dari median (marasmus) dan atau
terdapat edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor BB/TB > - 3
SD atau marasmus-kwashiorkor BB/TB < -3 SD). Jika BB/TB tidak dapat diukur, gunakan
tanda klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat, paha, tulang iga
terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.
Pasien pada laporan kasus ini didiagnosis menderita gizi buruk tipe marasmus.
Diagnosis ini didukung oleh didapatkannya keluhan berupa setiap melakukan penimbangan
berat badan di Posyandu, berat badan pasien selalu berada di bawah garis merah, meskipun
nafsu makan pasien cukup kuat. Selain itu, secara klinis pasien tampak sangat kurus, pasien
tidak memiliki jaringan lemak bawah kulit terutama pada bahu, lengan, paha, dan pantat
(baggy pants), tanpa disertai edema, serta dari pemeriksaan status gizi BB/PB didapatkan
status gizi pasien berada di bawah -3 standar deviasi. Pada pasien ini juga didapatkan hasil
pemeriksaan neurologis berupa tanda rangsang meningeal (+), refleks fisiologis (+), refleks
patologis (+), tonus otot dextra normal sedangkan tonus otot sinistra spastik, kekuatan otot
dextra bernilai 4 sedangkan kekuatan otot sinistra bernilai 1. Hasil pemeriksaan ini
mengindikasikan adanya infeksi di selaput dan jaringan otak (meningoensefalitis) yang
disertai dengan hemiparesis sinistra tipe spastik. Namun, perlu diingat bahwa pada anak kecil
di bawah usia 6 tahun belum memiliki susunan saraf piramidal yang bermyelin penuh,
sehingga susunan saraf piramidalnya belum sempurna. Oleh karena itu, gerakan reflektorik
yang dinilai sebagai hal yang patologis pada orang dewasa, tidak selamanya patologis pada
anak-anak.
Pada pasien ini juga didapatkan hasil penilaian terhadap BB/U berada di bawah -3
standar deviasi jika diplot pada grafik BB menurut umur, sehingga pasien juga tergolong
dalam kondisi gagal tumbuh (failure to thrive). Gagal tumbuh merupakan keadaan yang
ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan seharusnya, tidak naik, atau
bahkan turun dibandingkan pengukuran sebelumnya. Gagal tumbuh bukanlah suatu diagnosis
melainkan gejala yang harus dicari penyebabnya. Kemungkinan penyebab gagal tumbuh pada
pasien ini, antara lain asupan kalori yang tidak mencukupi dan adanya penyakit infeksi
kronik.
Pasien dengan gizi buruk rentan terjadi infeksi, hal ini dikarenakan sering terjadi
gangguan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien tersebut. Salah satu infeksi yang sering
dialami oleh pasien dengan gizi buruk adalah infeksi oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Pada pasien ini terdapat kecurigaan infeksi oleh kuman TB, hal ini didasarkan
pada anamnesis berupa adanya riwayat konsumsi OAT, namun belum tuntas (putus
pengobatan), berat badan sukar naik meskipun nafsu makan anak cukup kuat, serta riwayat
kontak TB positif. Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah
bening pada leher.
Terapi gizi yang diberikan pada pasien ini sesuai dengan terapi anak dengan gizi
buruk pada kondisi V, yaitu kondisi anak dengan gizi buruk tanpa disertai syok/renjatan,
letargis, maupun muntah/diare/dehidrasi. Terapi pada rencana V berupa pemberian F-75 atau
modifikasinya yang disesuaikan dengan berat badan pasien. Pasien dengan berat badan 6,2 kg
mendapatkan 100 cc F-75 tiap kali pemberian, dengan selang waktu pemberian 3 jam.
Sebaiknya pada pasien juga diberikan vitamin dan mikronutrien berupa vitamin A
yang disesuaikan dengan usia pasien (100.000 IU), vitamin C, serta asam folat. Hal ini
dilakukan karena anak dengan gizi buruk juga disertai dengan kekurangan vitamin dan
mikronutrien lainnya. Namun, pada pasien ini belum dilakukan pemberian vitamin dan
mikronutrien karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan dimana pasien dalam keadaan
tidak sadar. Sedangkan untuk pemberian preparat besi belum dilakukan pada fase awal, tetapi
menunggu anak memiliki nafsu makan yang baik dan berat badannya mulai bertambah,
biasanya pemberian preparat besi dimulai pada minggu kedua pada fase rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Depkes RI, 2011. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak : Jakarta.
Depkes RI, 2011. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak : Jakarta.
Depkes RI, 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB Gizi Buruk. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak : Jakarta.
Harsono, 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Hasaroh Y. 2010. Perubahan Berat Badan Anak Balita Gizi Buruk yang Dirawat di RSUP
Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara Institutional Repository. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20564/3/Chapter%20II.pdf (Accessed on
05 October 2012)
Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak : Jakarta.
Pudjiadi AH, et al, editor. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Anak. Jilid 1, Cetakan I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia : Jakarta.
Tim Adaptasi WHO-Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. WHO, Depkes RI, IDAI : Jakarta.