lapsus stemi fix

36
LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. B Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 55 tahun Pekerjaan : POLRI Alamat : Malimbong MRS : 11/01/2016 MR : 740809 B. ANAMNESIS Keluhan utama : Nyeri dada Anamnesis terpimpin : Dialami sejak ±9 jam sebelum masuk rumah sakit. Dialami secara tiba-tiba saat sedang beristirahat. Nyeri dada terasa seperti tertekan dan tembus ke belakang. Durasi nyeri ±30 menit. Disertai keringat dingin, mual dan muntah tidak ada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Sesak napas saat berbaring tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada. Riwayat penyakit terdahulu : Riwayat hipertensi disangkal Riwayat DM ada Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal Riwayat merokok 1 bungkus/hari C. PEMERIKSAAN FISIS Status generalis Keadaan umum: Sakit sedang / Gizi baik /Compos mentis (GCS 15 E4M6V5) BB: 69 kg, Tb: 173 cm, IMT: 23,05 kg/m 2 Tanda vital Tekanan darah : 110/70 MmHg

Upload: krisna-ponggalunggu

Post on 14-Jul-2016

94 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

xxx

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Stemi Fix

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 55 tahun

Pekerjaan : POLRI

Alamat : Malimbong

MRS : 11/01/2016

MR : 740809

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri dada

Anamnesis terpimpin : Dialami sejak ±9 jam sebelum masuk rumah sakit.

Dialami secara tiba-tiba saat sedang beristirahat. Nyeri dada terasa seperti

tertekan dan tembus ke belakang. Durasi nyeri ±30 menit. Disertai keringat

dingin, mual dan muntah tidak ada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada.

Sesak napas saat berbaring tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri

ulu hati tidak ada.

Riwayat penyakit terdahulu :

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat DM ada

Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal

Riwayat merokok 1 bungkus/hari

C. PEMERIKSAAN FISIS

Status generalis

Keadaan umum: Sakit sedang / Gizi baik /Compos mentis (GCS 15 E4M6V5)

BB: 69 kg, Tb: 173 cm, IMT: 23,05 kg/m2

Tanda vital

Tekanan darah : 110/70 MmHg

Page 2: Lapsus Stemi Fix

Nadi : 86 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,6 0C

Pemeriksaan Kepala dan Leher

Mata : Anemis (-), ikterus (-)

Bibir : Sianosis (-)

Leher : JVP R+2 cm H2O

Pemeriksaan Thoraks

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris

kesan normal

Perkusi :

Paru kiri : Sonor

Paru kanan : Sonor

Batas paru-hepar : ICS IV dekstra

Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra

Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra

Auskultasi : Bunyi pernapasan: vesikuler

Bunyi tambahan: ronki -/-, wheezing -/-

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak

Palpasi : Apeks jantung tidak teraba, thrill (-)

Perkusi :

Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra

Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V Linea aksilaris anterior sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II reguler, murmur (-).

Pemeriksaan Abdomen

Page 3: Lapsus Stemi Fix

Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak

teraba

Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)

PemeriksaanEkstremitas

Extremitas hangat

Edema pretibial -/-

Edema dorsum pedis -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG (11-01-2016)

Page 4: Lapsus Stemi Fix

Interpretasi :

Ritme : sinus rhythm

Heart rate : 75 bpm

Axis : normo axis

Gelombang P : 0,08s

PR Interval : 0,24 s

QRS kompleks :

ST Segmen : ST elevasi di II,III, aVF, v7, v8; ST depresi di V2-

V6

Gelombang T : T inverted di

Kesimpulan : ST elevasi myocardial infarction inferoposterior + AV

blok derajat 1

Laboratorium (

Page 5: Lapsus Stemi Fix

TEST RESULT NORMAL

VALUE TEST RESULT

NORMAL

VALUE

WBC 15,1 x 103

4.0 – 10.0 x

103

Ureum 39 10-50

RBC 4,09 x 106 4.0 – 6.0 x 10

6 Kreatinin 0,89 0,5-1,2

HGB 13,1 14 – 18 Troponin I >10,0 <0,01

HCT 38 37 – 48 CK 1720 <190

PLT 205 x 103

150 – 400 x

103

CKMB 69,5 <25

PT 11 10 – 14 Natrium 137 136 – 145

APTT 26,3 22,0 - 30,0 Kalium 3,6 3,5 - 5,1

INR 1,06 1,00 Klorida 107 97 – 111

GDP 262 <110 Asam Urat 4,3 3,4-7,0

HbA1c 9,5 4-6 Kolesterol

total 234 200

GD2PP 289 <200 Kolesterol

HDL 54 >55

SGOT 178 <38 Kolesterol

LDL 158 <130

SGPT 75 <41 Trigliserida 110 200

Ureum 39 10-50

Kreatinin 0,89 0,5-1,2

Troponin

I >10,0 <0,01

Foto thoraks

Hasil Pemeriksaan :

Kesan : Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru

E. DIAGNOSIS

ST Elevasi Inferoposterior Myocardial Infarction Onset <12 jam

Page 6: Lapsus Stemi Fix

F. TERAPI

Diet jantung I

Oksigen 3 lpm via nasal

Infus NaCl 0,9% 500cc / 24jam/ intravena

Streptokinase 1.500.000 unit dalam Dextrose 5% 100cc habis dalam 60

menit

Aspilet 80mg/24jam/oral

Clopidogrel 75 mg/24jam/oral

Simvastatin 40mg/24jam/oral

Enoxaparin 60mg/12jam/subcutan

Laxadyn syrup 10cc/24jam/oral

Alprazolam 0,5 mg/24jam/oral

Page 7: Lapsus Stemi Fix

DISKUSI

INFARK MIOKARD AKUT

1. DEFINISI

Infark miokard akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard

akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba.1 IMA merupakan

bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA). SKA merupakan

keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak nyaman

di dada atau gejala lain sebagai akibat kurangnya oksigen ke otot

jantung (miokardium). SKA terdiri dari angina pectoris tak stabil,

IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.2-4

Konsensus

internasional saat ini menyatakan bahwa istilah IMA dapat digunakan

bila terdapat bukti adanya nekrosis miokard pada kondisi klinis yang

konsisten dengan iskemia miokard. Definisi universal IMA menurut

European Society of Cardiology dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel Definisi Universal IMA 5

1. Deteksi adanya kenaikan dan/atau penurunan nilai biomarker

kardiak (terutama troponin) dengan minimal satu nilai di atas

persentil 99 dari batas atas nilai referensi ditambah minimal salah

satu dari criteria di bawah ini:

- Gejala-gejala iskemia

- Perubahan segmen ST-T yang baru/diperkirakan baru atau

LBBB baru

- Perubahan gelombang Q patologis pada EKG

- Bukti pada pemeriksaan pencitraan bahwa terdapat hilangnya

area miokard viable yang baru, atau abnormalitas regional

pada dinding miokard yang baru

- Identifikasi thrombus intrakoroner menggunakan pemeriksaan

angiografi atau otopsi

2. Kematian kardiak dengan gejala yang mengarah kepada iskemia

Page 8: Lapsus Stemi Fix

miokard dan terdapat perubahan EKG yang diduga baru atau

LBBB baru, namun kematian terjadi sebelum terdapat nilai

biomarker jantung dalam darah atau sebelum nilai biomarker

jantung mengalami peningkatan.

3. Thrombosis pada stent yang berhubungan dengan infark miokard

yang terdeteksi menggunakan angiografi koroner atau otopsi pada

kondisi iskemia miokard disertai peningkatan dan/atau penurunan

nilai biomarker jantung dengan minimal satu nilai diatas persentil

99 dari batas atas nilai referensi.

2. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko IMA dibedakan atas faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga

penyakit keluarga, dan faktor yang dapat dimodifikasi seperti DM,

hipertensi, hiperkolesterolemia atau dislipidemia, merokok dan

kegemukan, hiperurisemia, aktivitas fisik yang kurang, stress, dan

gaya hidup.3, 4

Kejadian IMA makin sering didapatkan bertambahnya

umur. IMA umumnya sering ditemukan pada umur 40-70 tahun.

Telah dibuktikan bahwa merokok berhubungan dengan rusaknya endotel. 5,6

Efek rokok adalah menambah beban miokard karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb

sehingga meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut.5

Peran rokok dalam

patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya : a. Timbulnya aterosklerosis. b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner) c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. d. Provokasi aritmia jantung. e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard. f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti. Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung kencing (47,48) dan

penurunan kesegaran jasmani

Page 9: Lapsus Stemi Fix

Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui

meningkatkan beban jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel

kiri dan mempercepat timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah

yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap

dinding pembuluh darah arteri koronaria sehingga memudahkan

terjadinya aterosklerosis koroner.

Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat menyebabkan

penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari

pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut

aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan

aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran

darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi oksigen

ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan

otot jantung menjadi lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan

kematian mendadak.3

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah.(52). Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.(53)

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik.(54) Disamping pemberian daftar komposisi makanan , pasien juga diharapkan

untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.(55

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang sesuai. Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati,

fibrosis

Page 10: Lapsus Stemi Fix

otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung.

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.(58) Penyakit jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang

berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. (36)

Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi vaskuler

terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.

Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan kejadiannya lebih awal dari pada wanita.(66) Morbiditas penyakit PJK pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki darpada perempuan. (31) Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopouse insiden PJK meningkat dengan pesat, tetapi tidak sebesar insiden PJK pada laki-laki (66). Perokok pada wanita mengalami menopouse lebih dini daripada bukan perokok. Gejala PJK pada perempuan dapat atipikal, hal ini bersama bias gender, kesulitan dalam interpretasi pemeriksaan standart (misalnya : tes latihan treadmill) menyebabkan perempuan lebih jarang diperiksa

dibandingkan laki-laki. Selain itu manfaat prosedur revaskularisasi lebih menguntungkan pada laki-laki dan berhubungan dengan tingkat komplikasi perioperatif yang lebih tinggi pada perempuan. Faktor risiko kardiovaskuler mayor serupa pada kedua jenis kelamin, tetapi pria biasanya menderita PJK 10 sampai 15 tahun lebih awal daripadawanita. Hingga berusia 60 tahun, di Amerika Serikat, hanya 1 dari 17 wanita yang sudah mengalami kelainan koroner, sedangkan pria 1 dari 5. Sesudah usia 60 tahun, PJK menjadi

penyebab utama kematian wanita, sama dengan pria

Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian akibat PJK, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering

Page 11: Lapsus Stemi Fix

ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua. Onset PJK pada wanita kulit

putih umumnya 10 tahun lebih lambat disbanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7 (tujuh) tahun. (67)

Insidensi kematian dini akibat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang rendah pada ras

Afro-Karibia. (

Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk PJK. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stress dan terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stress dan abnormalitas metabolisme lipid.(31)

Disamping itu juga stres merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung dan menimbulkan

vaso

konstriksi.

Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. (74) Aktivitas aerobik secara teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11 % laki-laki dan 4 % perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolah raga.(31) Disimpulkan juga bahwa olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan percaya diri. (75)

Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph pada gradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. (31) Dengan berolah raga secara teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin serta

menurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol.(

3. PATOFISIOLOGI.

IMA terjadi oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen di miokard akibat atherosclerosis atau plak.1 Infark

miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran

darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada

plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Pada sebagian besar

Page 12: Lapsus Stemi Fix

kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura, rupture

atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu

trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture

yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Selanjutnya, pada lokasi

rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)

memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan

melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain

itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konfirmasi reseptor

glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor

mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein

adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat

mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan

silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan

tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,

mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang

kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner

yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang

terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.2 Trombus ini menyumbat

lumen pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau

menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh darah koroner yang

lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang

menyebabkan vasokontriksi sehingga memperberat gangguan aliran

darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan

iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selam kurang-

lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark

miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total

pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai

vasokontriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan

nekrosis jaringan otot jantung (miokard).1, 6

Bila terbentuk thrombus

Page 13: Lapsus Stemi Fix

yang bersifat oklusif akan terjadi STEMI, sedangkan bila thrombus

yang terbentuk tidak bersifat oklusif akan terjadi NSTEMI atau UAP.6

4. GEJALA

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

- Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial

- Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda

berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir

- Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang

bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke

lengan kanan

- Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat

- Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan

sesudah makan

- Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat

dingin, cemas dan lemas 2, 6

Nyeri dada pada STEMI biasanya berlangsung >20 menit, tidak

berespon terhadap nitroglycerin, dan biasanya menjalar ke leher,

rahang bawah atau lengan kiri. Nyeri yang dirasakan bisa tidak terlalu

berat.5 Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa

nyeri dada sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus dan usia

lanjut.2 Beberapa pasien kadang mengalami gejala yang tidak khas

seperti mual dan muntah, sesak, lemas, palpitasi atau sinkop.5

5. DIAGNOSIS

Tiga kriteria untuk menegakkan diagnosis IMA adalah adanya nyeri

dada khas infark, perubahan gambar EKG, dan kenaikan biomarker

jantung seperti enzim creatine kinase (CK), creatine kinase myocardial

band (CKMB), mioglobin dan troponin.1

A. ANAMNESIS

Page 14: Lapsus Stemi Fix

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan

anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung

atau luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari

jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau

bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard

sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi,

diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit

jantung koroner dalam keluarga.2

B. PEMERIKSAAN FISIS

Pada pemeriksaan fisis, biasanya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan fisik

dilakukan untuk mengidentifikasi

faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan

menyingkirkan diagnosis banding.Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal

jantung, maka dapat ditemukan irama gallop (S3) atau ronki basah. Bila terjadi

aritmia dan hipotensi, maka penderita mungkin tampak pucat dan berkeringat

dingin. Kadang-kadang pasien IMA datang dengan keluhan nyeri ulu hati, dada

rasa terbakar, atau rasa tidak nyaman di dada yang sulit digambarkan penderita.1

Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi

katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema

paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena

perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat

diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak

seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis

banding SKA.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

- EKG

Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada

semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai

STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai

landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika

Page 15: Lapsus Stemi Fix

pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi

pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,

EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12

sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi

potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan

(sadapan V3R dan V4R), serta v7-v9 sebaiknya direkam pada

semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada

iskemia dinding inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark

ventrikel kanan atau iskemia dinding posterior. Sementara itu,

sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang

mempunyai EKG awal nondiagnostik.2, 7

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan

pada 2 sadapan yang berhubungan. Kriteria elevasi segmen ST ≥

0,25 mV untuk pria <40 tahun, ≥0,2 mV pada pria >40 tahun dan ≥

0,15 mV pada wanita pada sadapan V2-V3 dan/atau ≥ 0,1 mV pada

sadapan yang lain (jika tidak ada LVH atau LBBB).6, 8

Bagi pria

dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan

V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang

≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9

adalah ≥0,5 mV).5, 7

Sebaliknya, depresi segmen ST di lead V1-V3

menunjukkan adanya iskemik miokard.5 Di lain pihak, pasien

dengan gejala iskemik dan peningkatan biomarker namun tanpa

adanya elevasi segmen ST digolongkan sebagai penderita

NSTEMI. Adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T

dapat menunjukkan suatu NSTEMI atau UAP. Klasifikasi tersebut

berguna secara klinis, karena pasien dengan STEMI biasanya akan

langsung dirujuk ke laboratorium kateterisasi atau diberikan terapi

fibrinolitik untuk tujuan revaskularisasi segera sedangkan

perujukan pasien dengan NSTEMI ke laboratorium kateterisasi

biasanya tidak terlalu mendesak dan tergantung dari skor

stratifikasi risiko yang berhubungan.6

Page 16: Lapsus Stemi Fix

Tabel Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG7

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi iskemia atau infark

V1-V4 Anterior

V5-V6 Lateral

II,III,aVF Inferior

V7-V9 Posterior

V3R, V4R Ventrikel kanan

- Pemeriksaan Marker Jantung

Biomarker jantung merupakan salah satu komponen yang

penting pada evaluasi awal pasien-pasien yang diduga menderita

IMA. Biomarker jantung merupakan makromolekul intraseluler

yang dikeluarkan menuju sirkulasi akibat jejas pada miokardial,

sehingga dapat terdeteksi di darah tepi. Marker tersebut akan

dikeluarkan dengan cepat menuju darah setelah episode IMA,

sehingga konsentrasi biomarker pada plasma biasanya

berhubungan dengan luasnya area infark. Biomarker jantung yang

sering digunakan untuk evaluasi pasien-pasien dengan kecurigaan

IMA adalah CK-MB dan Troponin (I dan T). CK-MB merupakan

salah satu dari tiga isoenzim Creatine Kinase (CK). CK terdiri dari

dua subunit, yaitu B yang paling banyak terdapat pada jaringan

otak dan M yang paling banyak terdapat di jaringan otot.

Kombinasi dari kedua subunit tersebut akan menghasilkan tiga

isoenzim CK, yaitu CK-BB, CK-MB, dan CK-MM.6

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T

merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka

untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka

nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih

tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya

Page 17: Lapsus Stemi Fix

menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai

untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab

koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh

sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma

kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,

miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat

meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal

napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,

kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan

troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap

terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.

Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih

tinggi dari troponin T. Kadar CK-MB yang meningkat dapat

dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal

(menyebabkan spesifisitas lebih rendah).7

Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas

normal menunjukkan adanya nekrosis jantung:

1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4

hari. Pada kondisi IMA, kadar CK-MB biasanya meningkat 10-20

kali lipat dari nilai normal.

2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat

setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam

10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari

sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pada kasus IMA, troponin

biasanya meningkat 20-50 kali nilai normal.2, 6

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin,

creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH)

Page 18: Lapsus Stemi Fix

Gambar waktu peningkatan biomarker setelah onset IMA6

- Pemeriksaan Laboratorium Lainnya

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus

diperiksa adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status

elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.7 Pada

pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis. Reaksi non

spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis

polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah

onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai

12.000-15.000/ul.2

6. TATALAKSANA

A. Tata Laksana Pra Rumah Sakit

Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI

disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian

besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari

separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utam

Page 19: Lapsus Stemi Fix

tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara

lain:

o Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari

pertolongan medis

o Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat

melakukan tindakan resusitasi

o Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai

fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat

yang terlatih

o Melakukan terapi reperfusi. Perfusi pada pasien STEMI

dapat dilakukan dengan farmakologis atau pendekatan

kateter (PCI primer)

B. Tata Laksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri

dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi

segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan

menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.2, 9

Sebelum ada hasil

pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung, pasien dengan diagnosis kerja

curiga SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang emergensi, harus

diberikan terapi awal berupa Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat

MONA). Adapun penanganan yang bisa dilakukan adalah :

1. Tirah baring

2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan

saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi

dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama, tanpa

mempertimbangkan saturasi oksigen arteri.

3. Nitrogliserin (NTG) sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang

masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Dapat diberikan

dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3

dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG

Page 20: Lapsus Stemi Fix

juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan

menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard

dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau

pembuluh kolateral. NTG intravena diberikan pada pasien yang tidak

responsive dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Dalam keadaan

tidak tersedia NTG, Isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai

pengganti. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan

darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark

ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru

bersih dan hipotensi).

Tabel : Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA

Nitrat

Dosis

Isosorbid dinitrate

(ISDN)

Sublingual 2,5–15 mg

(onset 5 menit)

Oral 15-80 mg/hari

dibagi 2-3 dosis

Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari

Oral (slow release) 120-

240 mg/hari

Nitroglicerin

(trinitrin, TNT, glyceryl

trinitrate)

Sublingual tablet 0,3-0,6

mg–1,5 mg

Intravena 5-200

mcg/menit

4. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan

analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan

dengan dosis 1-5 mg intravena dan dapat diulang dengan interval 5-

Page 21: Lapsus Stemi Fix

15 menit sampai dosis total 20 mg bagi pasien yang tidak responsive

dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.

5. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai

STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi

cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar

tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis

160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral

dengan dosis 75-162 mg.

6. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,

pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang

biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3

dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan

darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak

lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV

terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap

6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.2,7

7. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan

dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien

STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen

fibrinolitik

Atau

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk

terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor

ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)

6.1.4 Tatalaksana di rumah sakit

ICCU

1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama

Page 22: Lapsus Stemi Fix

2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-

12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.

3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk

mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg,

oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari

4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek

menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering

mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi

komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan

pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200

mg/hari).2,7

1.2. Terapi pada pasien STEMI

1.2.1. Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera, baik dengan PCI atau farmakologis, diindikasikan

untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi

segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang

(terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa PCI primer)

diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang

sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu

atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan

terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit

sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung pilih terapi

fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian baik rumah

sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2

jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah

fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien

dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI.7 Pemilihan terapi reperfusi dapat

melibatkan risiko perdarahan pada pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama

(tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi

fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak

Page 23: Lapsus Stemi Fix

tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan

manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu

utama apakah PCI dapat dikerjakan.2

Percutaneous Coronary Interventions (PCI)

Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului

fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). Stenting lebih disarankan

dibandingkan angioplasti balon untuk PCI primer. PCI efektif dalam

mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama

infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka

arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka

pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika

terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko

perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam

jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat

fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan

aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah

sakit.2, 7

Page 24: Lapsus Stemi Fix

Fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempat-tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam

waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan

dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra

apabila PCI primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman

dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang

datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan

risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu

antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.

Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. 7

Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to

needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya

adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa

macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),

streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan

memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus

fibrin. Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase)

lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin

(streptokinase)7

A. Obat Fibrinolitik

1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang

pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya

karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.

Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan

intrakranial yang rendah.8

2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies

to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan

mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA

Page 25: Lapsus Stemi Fix

dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan

risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.9

3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan

sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis

bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.10

4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki

spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator

inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan

tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan

yang sama dibandingkan dengan tPA.11

Indikasi terapi fibrinolitik :

Kelas I

1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukakn pada

pasien STEMI dengan onset gejala <12jam dan elevasi segmen ST

>0,1mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial atau sekurang-

kurangnya 2 sadapan ekstremitas

2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada

pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga

baru

Kelas IIa

Page 26: Lapsus Stemi Fix

1. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi

fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12jam dan EKG

12 sadapan konsisten dengan infark miokard posterior

2. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi

fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam

sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemia terus berlanjut dan

elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial

yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.

Kontraindikasi terapi fibrinolitik :2

B. Kontraindikasi absolut

1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral

2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)

3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial

4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam

5) Dicurigai diseksi aorta

6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)

7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

C. Kontraindikasi relatif

1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali

2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau

TDS>110 mmHg)

3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui

patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi

4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi

besar (<3 minggu)

5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu

6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi

7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya

atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini

8. Kehamilan

Page 27: Lapsus Stemi Fix

9. Ulkus peptikum aktif

10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko

perdarahan.

Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang

manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti

perdarahan. Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan

penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.

Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien

paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah

PCI.

Koterapi antikogulan

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan

terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik

selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non

UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced

thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)

2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi

antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8

hari pemberian (Kelas IIa-B)

3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau

fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien

yang mendapat terapi fibrinolisis.

4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan

berikut ini merupakan rekomendasi dosis:

• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk

mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP

IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).

• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan

dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir

antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg

(Kelas II-B)

Page 28: Lapsus Stemi Fix

• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan

dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/

IIIa (Kelas II-C)

5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan

digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya

ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)

6.2.2. Terapi lainnya

ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua

pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet

(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated

Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat

beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.7,8,12

1) Anti platelet

Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan

dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait

infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian

ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark

non fatal sebesar 49%.13

Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda

indikasi kontra

dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100

mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi

pengobatan yang diberikan (Kelas I-A). Penghambat reseptor ADP perlu

diberikan bersama aspirin sesegera

mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra

seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).

3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan

bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat

reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan

saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien

dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun,

serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).

Page 29: Lapsus Stemi Fix

4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12

bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis

(Kelas I-C).

5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian

iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan

dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian

dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian

ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel

(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B). Clopidogrel

direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan

ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg

setiap hari (Kelas I-A).

7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300

mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk

pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa

mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).

8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)

perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP

tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).

9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor

ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk

CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari

setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara

klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang

tinggi (Kelas IIa-C).

10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau

dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas

IIa-B).

11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-

2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).

Tabel 10. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

Page 30: Lapsus Stemi Fix

Antiplatelet Dosis

Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg

Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari

Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

2) anti koagulan

Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi

antiplatelet secepat mungkin.

1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang

mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).

2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan

iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas

I-C).

3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding

risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari

secara subkutan (Kelas I-A).

4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan

bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang

mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP

(Kelas I-B).

5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan

risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).

6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau

heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang

direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin

tidak tersedia (Kelas I-C).

7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi

perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas

I-A).

8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Antikoagulan Dosis

Fondaparinuks 2,5 mg subkutan

Page 31: Lapsus Stemi Fix

Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin tidak Bolus i.v. 60 U/g, dosis

terfraksi maksimal 4000 U.

Infus i.v. 12 U/kg selama

24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam

target aPTT 11/2-2x kontrol

3) Penyekat Beta

Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang

terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka

panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.

Keuntungan utama terapi penyekat

beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan

turunnya konsumsi oksigen miokardium.Penyekat beta intravena

memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi

nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia

ventrikel yang serius.2

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien

termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan

kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri

sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).2

Tabel

Penyekat beta

Selektivitas Aktivitas agonis

parsial

Dosis untuk

angina

Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,

titrasi sampai

maksimum 2x25

Page 32: Lapsus Stemi Fix

mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

Inhibitor ACE

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi

remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard

yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal

jantung klinis. Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan

memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan

aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan

manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut

atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri

menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang

mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.

Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti

klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan

penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan

dinding global, atau pasien hipertensif.2

Inhibitor ACE diindikasikan

penggunaannya untuk jangka panjang,

kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel

kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit

ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).

2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain

seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah

direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).

3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark

mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi

Page 33: Lapsus Stemi Fix

ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung

(Kelas I-B). Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA

Inhibitor ACE dosis

Captopril 2-3 x 6,25-50 mg

Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis

Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

TERAPI JANGKA PANJANG

Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,

dengan ketat (Kelas I-B)

2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan

tanpa henti (Kelas I-A)

3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12

bulan setelah STEMI (Kelas I-C)

4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien

dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)

5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera

mungkin sejak datang (Kelas I-C)

6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien

masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,

tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)

7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal

ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A).

Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).

8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat

gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia

(Kelas I-B).

7. KOMPLIKASI

1) Disfungsi Ventrikular

Page 34: Lapsus Stemi Fix

Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan

ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini

disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya

gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.

Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan

dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada

apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang

nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.2

2) Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di

rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi

dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari

infark) dan sesudahnya.2

3) Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%

terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok

kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.2

4) Infark ventrikel kanan

Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang

berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau

tanpa hipotensi.2

5) Aritmia paska STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem

saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di

zona iskemi miokard.2

6) Ekstrasistol ventrikel

Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien

STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam

mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2

7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel

Page 35: Lapsus Stemi Fix

Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia

sebelumnya dalam 24 jam pertama. 2

8) Fibrilasi atrium

9) Aritmia supraventrikular

10) Asistol ventrikel

11) Bradiaritmia dan Blok

12) Komplikasi Mekanik

Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding

ventrikel.2

8. PROGNOSIS

Mortalitas STEMI dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :

usia, kelas Killip, kecepatan mendapatkan pengobatan, jenis terapi

yang diterima, riwayat infark miokard sebelumnya, diabetes mellitus,

kegagalan ginjal, fraksi ejeksi, dsb.5

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA11 :

1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3

gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Kelas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal

jantung 6

II +S3 dan atau ronki basah 17

III Edema Paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks

jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

Page 36: Lapsus Stemi Fix

Tabel 2. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut

Kelas Indeks Kardiak

(L/min/m2)

PCWP (mmHg) Mortalitas (%)

I >2,2 <18 3

II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51

1. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

3. Setiawan I, Wardhani V, Sargowo D. Akurasi Fibrinogen dan Hs-CRP sebagai Biomarker pada Sindroma Koroner Akut. Jurnal Kedokteran Brawijaya 2011;26(4):233-239.

4. Torry SRV, Panda AL, Ongkowijaya J. Gambaran Faktor Risiko Penderita Sindrom Koroner Akut. In. Manado: Fakultas Kedokteran Unsrat; 2014.

5. Steg G, James SK, Atar D. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal 2012;2012(33):2569-2619.

6. Yasmin AADA. Nilai Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) yang Rendah Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien Infark Miokard Akut (IMA). Denpasar: Universitas Udayana; 2015.

7. Indonesia PDSK. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 3 ed; 2015. 8. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD. 2013 ACCF/AHA Guideline for the

Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. American Heart Association Journals 2013:364-425.

9. Fauci, Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 ed. New South Wales: McGraw Hill; 2010.

9.