tugas multikultur
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT , karena
dengan petunjuk dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Ilmu Sosial Budaya Dasar tentang Etnosentrisme. Tak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Amri P. Sihotang SS., S.H., M.Hum selaku dosen mata kuliah
Ilmu Sosial Budaya Dasar yang turut membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
2. Teman – teman mahasiswa , yang turut memberi dukungan pada
kami dalam penyelesaian makalah ini.
Kami mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun guna
memperbaiki makalah kami yang berikutnya.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................
..................................... i
DAFTAR
ISI..............................................................
............................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN......................................................
................................ 1
A. Latar
Belakang ........................................................
............................... 1
B. Perumusan
Masalah..........................................................
....................... 1
C.
Tujuan...........................................................
........................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN.......................................................
................................. 2
BAB III
PENUTUP..........................................................
.................................... 18
A.
Simpulan.........................................................
...................................... 18
B.
Saran............................................................
.......................................... 18
BAB IPendahuluan
1. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat komunikasi sangatlah
menentukan baik tidaknya kita behubungan dengan orang lain. Dalam
kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan
berinteraksi sosial kalau ada dia tidak berkomunikasi.Demikian
pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif
sangat tergantung dari komunikasi antar budaya.lahirnya semngat
kesekawanan, pershabatan dari satu budaya kebudaya lain. Hingga
pada hasilnya mengurangi konflik yang akan dibahas pada makalah
ini yaitu tentang etnosentrisme. Sikap etnosentrisme sebaiknya
tidak di nomor satukan ketika menyampaikan pesan – pesan
komunikasi.ornag yang berbeda bangsa, suku, ras, agama, tingkat
pendidikan, status sosial/ bahkan jenis kelamin disebut
komunikasi antar budaya, tidak lagi memandang kelompoknya yang
lebih baik. Dalam makalah singkat ini penulis memaparkan
pengertian etnosentrisme
2. Rumusan masalah
Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa
Etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah masalah
sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah persatuan
dan kesatuan bangsa kita.Etnosentrisme terjadi jika masing-masing
budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan
kebudayaan lain.Etnosentrisme akan terus marak terjadi apabila
pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang
untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang
selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis
yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok
lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru
akan makin meninggalkan etnosentrisme
Dengan demikan, perumusan masalah dalammakalah ini adalah:
1. Alasan apa yang melatarbelakangi terjadinya etnosentrisme.
2. Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi di negara kita
ini.
3. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menguraikan fenomena etnosentrisme di Indonesia.
2. Menemukan faktor-faktor yang menyebabkan merebaknya
fenomena etnosentrisme.
3. Mencari dan menemukan bagaimana langkah-langkah yang tepat
untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah tanpa jatuh dalam problem etnosentrisme.
BAB IIPEMBAHASAN
1. Pengertian / Definisi Etnosentrisme
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan
dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk
menilai kelompok lain. Apabila tidak dikelola dengan baik,
perbedaan budaya dan adat istiadat antarkelompok masyarakat
tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap
etnosentrisme. Sikap tersebut timbul karena adanya anggapan suatu
kelompok masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan
sistem nilai yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Atau kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma
kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, yang terbaik,
mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya
dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala
sosial yang bersifat universal dan secara tidak sadar telah kita
lakukan.Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecenderungan tak
sadar untuk menilai atau membandingkan budaya yang satu dan yang
lainnya. Etnosentrisme merupakan bisa dibilang dasar ideologi
dari chauvinisme pada saat era seorang Hittler karena menganggap
bangsanya ( Jerman ) merupakan bangsa yang paling kuat, tangguh
dan berkuasa.
Etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah
masalah sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah
persatuan dan kesatuan bangsa kita.Etnosentrisme terjadi jika
masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak
bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar
mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama
perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu
kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan
menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri
sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita
dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita; makin besar
ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita.Kita cenderung melihat
kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang
paling baik, sebagai yang paling bermoral”.
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk
mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan :
“orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan
sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada
orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu
masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang
pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok
sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris
untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri.Kadang-
kadang dipercaya bahwa ilmu sosial
telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentr
isme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan
belajar dan berprestasi.Dalam buku The Authoritarian Personality,
Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung
kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang
fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan
terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada
kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap
kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang
etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam
prosesbelajar-mengajar.Etnosentrisme akan terus marak apabila
pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang
untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang
selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis
yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok
lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru
akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok
semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah
.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut
mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil
memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang
gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari
masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis
konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum
muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang
berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al,
1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang
signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis
kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
2. Contoh Etnosentrisme di Indonesia
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan
dan cara hidup dari
sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain.
Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku
carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok
adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas,
konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak
masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan
pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan
bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap
tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat
Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu
dijunjung tinggi dalam masyarakat.Oleh karena itu, terjadi
perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat
Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya
pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok
tersebut dalam masyarakat Madura.Contoh etnosentrisme dalam
menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya perilaku
carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang
oleh para ahli ilmu sosial. Contoh yang lain adalah kebiasaan
memakai koteka bagi masyarakat papua pedalaman. Jika dipandang
dari sudut masyarakat yang bukan warga papua pedalaman, memakai
koteka mungkin adalah hal yang sangat memalukan.Tapi oleh warga
pedalaman papua, memakai koteka dianggap sebagai suatu kewajaran,
bahkan dianggap sebagai suatu kebanggaan.
2.1 Contoh kasus Etnosentrisme yang terjadi antara Lampung Vs
Bali
Sudah tidak heran lagi bila menyaksikan jumlah suku asli
lampung lebih sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya.
Bahasa yang digunakan sehari – hari pun adalah bahasa Indonesia,
berbeda dengan provinsi yang bertetangga dengan lampung seperti
bengkulu dan sumatera selatan yang masih menggunakan bahasa
daerah masing – masing sebagai alat komunikasi. Bahkan di
beberapa kota / daerah di lampung bahasa jawa digunakan sebagai
bahasa komunikasi.Tentunya dengan berbaurnya berbagai macam suku
tersebut maka tingkat kecenderungan untuk terjadinya konflik pun
semakin tinggi. Sebenarnya konflik – konflik antar suku sudah
sering terjadi di provinsi lampung baik itu antara suku asli
lampung dengan bali seperti yang terjadi saat ini, maupun jawa
dengan bali atau lampung dengan jawa. Kenapa hanya ketiga suku
tersebut yang sering terlibat konflik ?ya memang karena ketiga
suku tersebutlah populasinya yang paling banyak.
Di beberapa daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah
desa yang seluruh penduduknya berisi orang bali. Di tempat
tersebut juga biasanya terdapat sebuah pura besar tempat mereka
melakukan kegiatan agama, sama persis seperti keadaan di
bali.Pada sisi lain masyarakat asli Lampung yang memiliki
falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya
adalah”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang
lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk
pendatang.Tetapi dengan seiring waktu falsafah hidup tersebut
mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal.
Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik
terhadap para pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para
pendatang tersebut tetapi memang terkadang para pendatang lah
yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan
rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika
mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut
berkaitan dengan masalah “harga diri”.
Konflik antar suku dilampung memang bukan merupakan sebuah
hal baru, konflik tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dan
pemicunya hanyalah berawal dari masalah sepele. Bahkan di tempat
yang sama dengan saat ini terjadi perang suku saat ini yaitu di
Sidorejo kecamatan Sidomulyo juga pernah terjadi pada bulan
januari 2012 kemarin, pemicunya adalah perebutan lahan parkir.
Berikut ini beberapa perang antar suku yang pernah terjadi di
Lampung :
Pembakaran pasa Probolinggo Lampung Timur oleh suku bali.
29 Desember 2010 : Perang suku Jawa / Bali vs Lampung berawal
dari pencurian ayam.
September 2011 : Jawa vs Lampung
Januari 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Lampung
Oktober 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan.
Konflik diatas adalah beberapa konflik yang terhitung besar,
selain konflik besar yang pernah terjadi diatas di lampung juga
sering terjadi konflik – konflik kecil antar suku namun biasanya
hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak membesar.
Dari konflik – konflik kecil tersebut timbullah dendam
diantara para suku – suku tersebut sehingga jika terjadi insiden
kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik
besar.Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah terjadi
sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka
remaja. Di beberapa sekolah didaerah lampung anak – anak suku
bali tidak mau bermain / bersosialisasi dengan anak – anak suku
lainnya begitu juga dengan anak – anak dari suku jawa maupun
lampung. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka
sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan
tentunya akan melibatkan suku mereka.
Berikut kronologis lengkap bentrok yang merenggut 3 nyawa
tersebut :
Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di desa
Sidorejo kecamatan Sidomulyo kabupaten Lampung Selatan, telah
terjadi bentrokan antara warga suku Lampung dan warga suku
Bali.Kronologis kejadian : Pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober
2012 pukul 17.30 WIB telah terjadi kecelakaan lalu-lintas di
jalan Lintas Way Arong Desa Sidorejo (Patok) Lampung Selatan
antara sepeda ontel yang dikendarai oleh suku Bali di tabrak oleh
sepeda motor yang dikendarai An. Nurdiana Dewi, 17 tahun, (warga
Desa Agom Kec. Kalianda Kab. Lampung Selatan berboncengan dengan
Eni, 16 Th, (warga desa Negri Pandan Kec. Kalianda Kab. Lampung
Selatan).
Dalam peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan
terhadap Nurdiana Dewi dan Eni, namun warga suku Lampung lainnya
memprovokasi bahwa warga suku Bali telah memegang dada Nurdiana
Dewi dan Eni sehingga pada pukul 22.00 WIB warga suku Lampung
berkumpul sebanyak + 500 orang di pasar patok melakukan
penyerangan ke pemukiman warga suku Bali di desa Bali Nuraga Kec.
Way Pani. Akibat penyerangan tersebut 1 (satu) kios obat-obatan
pertanian dan kelontongan terbakar milik Sdr Made Sunarya, 40
tahun, Swasta.
Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB, masa
dari warga suku Lampung berjumlah + 200 orang melakukan
pengrusakan dan pembakaran rumah milik Sdr Wayan Diase. Pada
pukul 09.30 WIB terjadi bentrok masa suku Lampung dan masa suku
Bali di Desa Sidorejo Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung
Selatan.
Akibat kejadian tersebut 3 (tiga) orang meninggal dunia masing-
masing bernama: Yahya Bin Abdul Lalung, 40 tahun, Tani, (warga
Lampung) dengan luka robek pada bagian kepala terkena senjata
tajam, Marhadan Bin Syamsi Nur, 30 tahun, Tani, (warga Lampung)
dengan luka sobek pada leher dan paha kiri kanan dan Alwi Bin
Solihin, 35 tahun, Tani, (warga Lampung), sedangkan 5 (lima)
orang warga yang mengalami luka-luka terkena senjata tajam dan
senapan angin masing-masing : An. Ramli Bin Yahya, 51 tahun,
Tani, (warga Lampung) luka bacok pada punggung, tusuk perut
bagian bawah pusar, Syamsudin, 22 tahun, Tani, (warga Lampung)
Luka Tembak Senapan Angin pada bagian Kaki. Ipul, 33 tahun,
Swasta, (warga Lampung) Luka Tembak Senapan Angin pada bagian
paha sebelah kanan dan Mukmin Sidik, 25 tahun, Swasta, (warga
Lampung) luka Tembak Senapan Angin di bagian betis sebelah kiri.
Kasus ditangani Polres Lampung Selatan Polda Lampung.Mungkin
dengan kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi para penduduk
lampung untuk melakukan instropeksi diri masing – masing.Banyak
warga asli lampung mengatakan para pendatang didaerah mereka
tidak tahu diri, tidak sopan atau menghargai mereka sebagai
penduduk asli. Begitu juga dengan warga pendatang jangan karena
merasa mereka memiliki kelompok yang banyak dan memiliki
solidaritas yang besar terus bersikap semena – mena terhadap suku
lainnya karena walau bagaimanapun mereka adalah pendatang / tamu
dan layaknya seorang tamu tentu harus menghormati tuan rumah.
Segala macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meredam
konflik di Lampung, sering diadakannya pertemuan antar ketua adat
di lampung ternyata belum mampu meredam konflik – konflik yang
sering terjadi, hal tersebut terjadi karena diantara mereka
sebenarnya saling menyimpan dendam.
Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia
Untuk menghindari atau mengatasi permasalahan etnosentrisme
di Indonesia dalam era desentralisasi, pertama-tama kita mesti
mengetahui sebab-sebab munculnya masalah-masalah tersebut.
-Budaya Politik
Salah satu faktor yang mendasar yang menjadi penyebab
munculnya etnosentrisme di Bangsa ini adalah budaya politik
masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak
rasionalis. Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya
politik subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan
primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita. Masyarakat
kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan
mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain.
Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.
-Pluralitas Masyarakat Indonesia
Salah satu faktor penyebab munculnya masalah etnosentrisme
adalah pluralitas Bangsa Indonesia.Bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan
golongan.Pluralitas masyarakat Indonesia ini tentu melahirkan
berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha
untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain. Pertarungan
kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di
daerah.
-Efek Kebijakan Yang Gegabah
Munculnya fenomena etnosentrisme, arogansi daerah, kemaruk
kekuasaan di daerah, egoisme daerah, primordialisme serta
lunturnya nilai-nilai keindonesiaan sebenarnya tidak lebih
merupakan produk dari kebijakan otonomi daerah yang kental dengan
masalah-masalah dasar.Masalah-masalah dasar ini muncul karena
undang-undang Pemerintahan Daerah dibuat dalam suasana politik
yang serba tergesa-gesa, banyak muatan politisnya, gegagah karena
tidak disiapkan metode dan alat implementasinya secara benar dan
komprehensif.
Masalah-masalah dasar yang dihadapi dalam implementasi otonomi
daerah sekarang ini, setidak-tidaknya dapat dilihat dari poin-
poin berikut ini:
-UU tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu
kebijakan yang bersifat gegabah dan tidak hati-hati karena UU
tersebut bukan merupakan kesepakatan antara pemerintah pusat dan
daerah. Namun lebih karena desakan dan kepentingan politik
tertentu khususnya oleh pemerintah Pusat pada waktu itu.
-Perangkat implementasi tidak disiapkan secara matang
sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekurangterbukaan
tentang bagaimana implementasi yang baik mesti dimulai. Faktor-
faktor pendukung implementasi tidak disiapkan secara matang dan
terencana seperti misalnya berbagai peraturan kewenangan daerah
dalam berbagai bidang.Kebingungan ini sangat jelas khususnya
dalam perumusan kewenangan propinsi.
-Ketidakjelasan dalam kewenangan dan perimbangan keuangan
juga nampak sekali khususnya munculnya ktidakpuasan daerah
tentang bagaimana sesungguhnya pengaturan masalah ini. Bahkan
muncul banyak pesimisme bahwa manajemen keuangan daerah khususnya
bagaimana menyediakan anggaran pembangunan menjadi kekhawatiran
yang terbukti karena anggaran pembangunan daerah menjadi sangat
kecil. Artinya otonomi daerah selama ini hanya habis energinya
untuk mengurusi manajemen internal pemda, dan tidak sempat
membangun daerah (lihat minimnya anggaran pembangunan APBD di
daerah-daerah).
-Adanya kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa secara
manajerial sesungguhnya daerah tidak siap untuk melaksanakan
implementasi, sebagaimana kewenangan yang besar yang dimiliki
daerah. Kemampuan manajerial dari perencanaan hingga evaluasi
dalam bidang-bidang pelayanan yang pokok seperti kesehatan,
pendidikan, SDM tidak mampu dijalankan daerah karena persiapan
yang seadanya tanpa diikuti dasar infrasturktur yang kokoh untuk
melaksanakan implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah yang
diharapkan meningkatkan kemampuan daerah, ternyata tidak jauh
berbeda dengan praktek-praktek sebelumnya. Penyusunan Propeda,
Renstrada, Repetada dan dokumen-dokumen lain yang dikerjakan
pihak ketiga merupakan bukti tidak adanya perubahan yang lebih
baik dalam bidang kemampuan daerah yang bersangkutan. Sehingga
tidak mengherankan kalau banyak di media massa diekspos bahwa
dokumen-dokumen di atas tidak mencerminkan potensi yang ada di
daerah yang bersangkutan.
-Penyerapan pegawai ke pusat maupun pusat ke daerah
merupakan persoalan sendiri karena ternyata tidak tertangani
dengan baik. Justru muncul kecenderungan semangat keindonesiaan
yang mulai luntur karena justru adanya gerakan “kembali daerah
asal” masing-masing tidak bisa dicegah lagi.Masalahnya semakin
kompleks oleh karena banyak pegawai pusat yang mempunyai
senioritas dan kepangkatan yang tinggi, sementara di daerah
strukturnya terbatas.
-Akuntabilitas daerah juga dipertanyakan sejalan kualitas
SDM bidang lembaga perwakilan. Bagaimana akuntabilitas ini
dijalankan?Hingga saat ini yang muncul hanyalah ketidakpercayaan
terhadap lembaga-lembaga publik di daerah.
-Kepemimpinan pemerintah pusat untuk melaksanakan otonomi
ini sangat terbatas karena lebih banyak memberikan perintah
ketimbang turun ke bawah memberikan supervisi, teladan dan
koordinasi. Contoh ketika daerah diminta membuat Renstrada yang
baik, tetapi pusat tidak pernah memberikan contoh beginilah
Renstrada yang baik.
Semua penjelasan di atas membuat kita bertanya apakah
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah kebijakan yang
tepat? Ataukah kita perlu mencari format baru yang tepat untuk
negara ini menggantikan kebijakan Desentralisasi dan otonomi
daerah? Jawaban atas persoalan ini akan penulis uraikan dalam
bagian berikut ini.
-Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Sebuah Pilihan Yang
Tepat
Sebagai sebuah sistem, desentralisasi dan otonomi daerah
merupakan sebuah alternatif yang tepat di tengah krisis bangsa
ini dalam mencari format demokrasi. Sistem sentralisasi yang
diterapkan oleh rezim orde baru ternyata tidak mampu membawa
bangsa ini menuju sebuah negara demokrasi. Dalam sistem ini,
daerah-daerah termarginalkan.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penduduknya
plural dalam suku bangsa, agama, ras dan golongan serta terdiri
atas pulau-pulau yang terpisah-pisah, sistem desentralisasi dan
otonomi daerah kiranya merupakan pilihan yang tepat. Negara
Indonesia seperti tanah lapang di mana kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat berjuang untuk merebut sumber-sumber politis. Negara
yang pluralis ini tentu tidak dapat dibingkai dalam sistem yang
sentralistik(19). Sebaliknya jalan desentralisasi dan otonomi
daerah adalah pilihan yang tepat.
Maka dapat dikatakan bahwa, sistem desentralisasi dan
otonomi daerah dalam dirinya sendiri (an sich) tidak menciptakan
masalah etnosentrisme. Yang menimbulkan persoalan adalah dalam
tataran implementasi. Euforia demokratisasi seolah lepas kendali.
Semangat yang berlebihan tanpa disertai kematangan struktur dan
infrastruktur serta semua aktor yang bermain di dalamnya akan
menyebabkan desentralisasi dan otonomi daerah hanyalah sebuah
sistem yang kompleks masalahnya.
Yang mesti diperhatikan oleh semua pihak adalah bagaimana
mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
tanpa jatuh dalam masalah etnosentrisme. Seluruh pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah mesti kita bingkai di bawah
panji Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian kita tidak lagi berbicara tentang bagaimana
mengubah desentralisasi dan otonomi dengan sistem yang baru
melainkan bagaimana kita membenahi sistem desentralisasi dan
otonomi daerah agar berjalan sesuai dengan tujuannya. Pembenahan
ini akan membantu kita untuk menegakkan demokrasi di negara ini.
Karena itu, dalam hubungan dengan masalah etnosentrisme, kita
perlu menemukan jalan keluar atau langkah-langkah yang mesti kita
buat untuk mengatasinya.
2.4 Langkah-Langkah Mengatasi Masalah Etnosentrisme
Untuk mengatasi masalah etnosentrisme dalam era
desentralisasi dan otonomi daerah, langkah pertama yang mesti
dibuat adalah pendidikan politik.Pendidikan politik masyarakat
ini menjadi tanggung jawab semua pihak di daerah terutama partai
politik dan para politisi serta organisasi kemasyarakatan
lainnya.Pendidikan politik atau sosialisasi politik mesti
diarahkan pada perubahan budaya politik masyarakat dari subyektif
dan parokhial menuju ke partisipatif.
Untuk mengantar masyarakat pada budaya politik partisipatif,
dituntut suatu sistem pemerintahan yang memiliki kejelasan
prosedural, terbuka, kompeten, dan menghargai kebebasan
individu(20). Hal ini tentu menuntut dari pemerintahan daerah dan
para politisi lokal untuk membangun suatu suasana demokrasi lokal
yang mantap. Hal ini akan membantu masyarakat berkembang dalam
kesadaran berpolitik. Sebab cara kerja pemerintah daerah dan
politisi lokal yang berpolitik oppurtunis dan tidak fair sama
dengan pembodohan masyarakat.
Di tengah masyarakat yang masih cenderung untuk terikat pada
ikatan-ikatan primordial, peran partai politik sangat dibutuhkan.
Seperti dalam kasus pemilihan kepala daerah, di mana rakyat
memilih bukan karena kompetensi melainkan ikatan-ikatan
emosional, partai politik hendaknya mempersiapkan calon yang
kompeten. Parpol hendaknya proaktif dan konstruktif memahami dan
membantu rakyat dalam kesadaran berpolitik. Rakyat seringkali
bingung menentukan pilihan parpol dan calon pemimpin yang tidak
jelas identitas dan karakternya. Ibaratnya memilih kucing dalam
karung(21). Untuk itu Parpol tentu diharapkan memiliki calon yang
kompeten dan dikenal masyarakat dan bukan malah menjebak rakyat
terpuruk dalam ketakbrdayaan politik lewat money politcs dan lain
sebagainya.
Desentralisasi dan otonomi daerah semestinya menjadi
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif
dalam pemerintahan. Ruang yang lebih terbuka bagi masyarakat
mesti disediakan oleh pemerintah lokal. Desentralisasi dan
otonomi daerah tidak berarti memindahkan pusat ke daerah,
menciptakan raja-raja kecil di daerah melainkan membangun suatu
pemerintahan yang lebih demokratis. Kerjasama yang baik antar
semua pihak tidak akan membiarkan ‘mutiara’ ini terbuang begitu
saja.
Dalam hal ini pemberdayaan masyarakat dan pemerintah adalah
hal yang mesti dibuat demi terciptanya masyarakat yang adil dan
sejahtera. Keduanya mesti belajar bersama untuk membangun
kesadaran politik yang matang. Masyarakat dan pemerintah akan
memainkan perannya secara proporsional demi terciptanya demokrasi
lokal. Kesadaran politik ini akan menepis seluruh masalah
etnosentrisme.
Konflik antar etnis merupakan sesuatu yang mesti diterima
tetapi yang terpenting adalah bagaimana konflik itu bisa
diselesaikan. Pemerintah perlu memberikan pedoman yang tepat
dalam memandu otonomi daerah untuk meredam euphoria yang begitu
deras. Pemerintah selalu mengamati segala aspirasi dan kebijakan
yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntutan yang
destruktif dan mengoyakkan konsepsi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Prinsip integrasi bangsa dalam UUD 1945 harus menjadi
acuan dalam setiap pengambilan kebijakan di daerah-daerah(22).
Hal ini tentu akan juga menepis semangat kedaerahan yang terus
berkembang.
Selain seperti yang telah saya uraikan di atas, berikut ini
penulis akan mengutip beberapa langkah yang mesti dibuat dalam
rangka memperbaiki implementasi desentralisasi dan otonomi daerah
yang berbau etnosentrisme yang diusulkan oleh H. Abdulkahar
Badjuri(23).
1.Perlunya pembantuan kepada daerah (pendampingan atau
capacity building programs) agar mereka melaksanakan otonomi
daerah atas dasar kerangka dasar intelektual, kepraktisan dan
kemampuan teknis yang mendasar. Supervisi pemerintah Pusat jelas
merupakan conditio sine qua non. Sehingga pada masa depan daerah
mampu membuat sendiri (having a capacity to make it) dokumen-
dokumen perencanaannya, dan tidak dibuatkan oleh pihak ketiga.
Konsultasi dengan para ahli tentunya bukan hal yang tabu. Yang
tabu adalah kalau para ahli itu yang membuatkan dengan judul
“proyek”. Kalau minta dibuatkan terus maka sampai kapan pun
daerah tidak akan pernah mampu dan mandiri dalam manajemen
publiknya (artinya program capacity building kemudian
dipertanyakan efektivitasnya).
2.Penelitian yang mendalam tentang implementation plan,
sehingga daerah memiliki kejelasan arah dan tujuan dari otonomi
daerah. Harus jelas perencanaan dan kesepakatan Pusat Daerah
mengenai keseimbangan pendapatan dan pengeluaran, hubungan
keuangan Pusat Daerah, kejelasan dalam sistem evaluasi
kuantitatif keuangan menuju akuntabilitas daerah.
3. Harus mempertimbangkan bottom up management khususnya
dalam rangka pendemokrasian lembaga-lembaga di daerah, baik
legislatif maupun eksekutif. Bagaimana teknisnya, tentunya bisa
disusun berbagai metode yang realistis dilakukan di daerah.
4.Menuntaskan PP dan aturan lainnya yang tidak controversial
sehingga kejelasan implementasi menjadi nyata dan tidak
berbenturan satu sama lain. Ini bukan pekerjaan yang gampang
karena harus dikaji dan dipersiapkan secara serius dan
komprehensif.Aturan-aturan ini harus komprehensif sehingga
fenomena-fenomena negatif seperti etno-sentrisme, egoisme daerah
dan sebagainya bisa dinetralisir atau terantisipasi sebelumnya.
5.Harus mengembangkan “transition plan”. Perencanaan
transisi seperti ini hampir semua daerah di Indonesia belum
melakukannya karena kekurangan supervisi dari pusat (salah satu
sebabnya); di samping memang inovasi dan keterbatasan SDM di
daerah.
6.Harus ada kejelasan mengenai kewenangan pengelolaan yang
lebih jelas dan transparan kepada daerah. Untuk jelas,
pemerintahan pusat dan daerah harus saling berkomunikasi dan
jalan sendiri-sendiri menggunakan pendekatan formalitas dan
pendekatan kekuasaan semata.
7.Harus dilakukan comprehensive field research mengenai
implementasi otonomi daerah sebagai bagian dari complete
evaluation terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penelitian
akademik ini menjadi dasar terhadap kebijakan baru yang akan
disusun untuk mengatasi berbagai persoalan.
8.Khusus mengenai kepegawaian; mempertimbangkan fenomena
etnosentrisme serta kesempatan yang lebih luas untuk mutasi,
promosi dan pengembangan pegawai lintas propinsi, lintas
kabupaten/kota mungkin bisa dipertimbangkan lagi agar kewenangan
kepegawaian ditarik kembali ke pusat.
Beberapa langkah di atas kiranya dapat menjadi penuntun bagi
kita untuk mengimplementasikan desentralisasi dan otonomi daerah
secara pas.Dalam arti kita berusaha untuk mengimplementasikan
desentralisasi dan otonomi daerah tanpa jatuh dalam masalah
etnosentrisme.Maka cara mengatasi Etnosentrisme adalah :
“Belajarlah untuk saling menghargai budaya atau
kelompok lain.”
BAB IIIPENUTUP
KESIMPULAN
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan
cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai
kelompok lain.
Dalam kasus Bali vs Lampung bisa dipahami bahwa sikap
Etnosentrisme membuat suku tersebut saling bertentangan, karena
penduduk asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap
para pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para pendatang
tersebut tetapi memang terkadang para pendatang lah yang sering
menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan rumah, suku
asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa
dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan
masalah “harga diri”.
Sikap Etnosentrisme tidak hanya dalam kasus Bali vs Lampung tapi
juga Etnosentrisme dalam Pilkada Langsung,Etnosentrisme dalam
perekrutan PNS atau Birokrasi, Etnosentrisme dalam Pengisian
Badan Legislatif Daerahdan Pembuatan Kebijakan Lokal,
Etnosentrisme dalam Pemekaran Daerah.
Dalam Etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah
masalah sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah
persatuan dan kesatuan bangsa kita.Dengan menghindari sikap
Etnosentrisme yang berlebih diharapkan mampu menjadikan suasana
budaya dan adat istiadat tidak saling mengagung-agungkan nilai
budaya masing-masing atau saling menjatuhkan budaya lainya.
Dan carauntuk mengatasi Etnosentrisme adalah “Belajarlah untuk
saling menghargai budaya atau kelompok lain”.
SARAN
Harapan kami ,masyarakatdapat mempunyai sikap toleransi ketika
melakukan komunikasi antarbudaya, sehingga tidak menilai segala
sesuatunya dari kebudayaan kita masing-masing.
Maka denganbegitu akan mengurangi pengaruh dari etnosentrisme.
Dengan berkurangnya
pengaruh etnosentrisme, maka salah paham akan jarang terjadi.
Daftar Pustaka
Mulyadi Agus, 2012.”Pengertian Etnosentrisme”.(online),
(http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian- etnosentrisme-
dan.html diakses, 28 Mei).
Mulyadi Agus, 2012.”Contoh Etnosentrisme di Indonesia”.(online),
(http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/contoh-etnosentrisme-di-
indonesia.html diakses, 27 Mei).
Harwantiyoko, Katuuk Neltje, 2012.”Diskriminasi dan Etnosentrisme”.
(online),(http://info-83.blogspot.com/2011/11/diskriminasi-dan-
etnosentrisme.html diakses, 27 Mei).
2009.”Pengertian Etnosentrisme dan Xenosentrisme”.(online),
(http://communicationista.wordpress.com/2009/08/22/pengertian-
etnosentrisme-dan-xenosentrisme/ diakses, 25 Mei).
Corry Andy, 2012.”Contoh Etnosentrisme di Indonesia”.(online),
(http://fikomuntarkapitad2.wordpress.com/2012/11/21/pertemuan-9-
etnosentrisme-14-november-2012/ diakses, 28Mei).
Mansyah, 2012.”Masalah Etnosentrisme Dalam Era Desentralisasi dan
Otonomi Daerah”.(online),
(http://mansyah24.blogspot.com/2012/07/masalah-etnosentrisme-
dalam-era.html diakses, 28 Mei).