tugas multikultur

35
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT , karena dengan petunjuk dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar tentang Etnosentrisme . Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Amri P. Sihotang SS., S.H., M.Hum selaku dosen mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. 2. Teman – teman mahasiswa , yang turut memberi dukungan pada kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki makalah kami yang berikutnya.

Upload: independent

Post on 08-Feb-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT , karena

dengan petunjuk dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah

Ilmu Sosial  Budaya Dasar tentang Etnosentrisme. Tak lupa kami

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Amri P. Sihotang SS., S.H., M.Hum selaku dosen mata kuliah

Ilmu Sosial  Budaya Dasar yang turut membantu dalam penyelesaian

makalah ini.

2. Teman – teman mahasiswa , yang turut memberi dukungan pada

kami dalam penyelesaian makalah ini.

Kami mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

sebab itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun guna

memperbaiki makalah kami yang berikutnya.

DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR........................................................

..................................... i

DAFTAR

ISI..............................................................

............................................. ii

BAB I

PENDAHULUAN......................................................

................................ 1           

A.  Latar

Belakang ........................................................

............................... 1

B.  Perumusan

Masalah..........................................................

....................... 1

C. 

Tujuan...........................................................

........................................... 1           

BAB II

PEMBAHASAN.......................................................

................................. 2

BAB III

PENUTUP..........................................................

.................................... 18

A.   

Simpulan.........................................................

...................................... 18

B. 

Saran............................................................

.......................................... 18

BAB IPendahuluan

1. Latar Belakang

                Dalam kehidupan masyarakat komunikasi sangatlah

menentukan baik tidaknya kita behubungan dengan orang lain. Dalam

kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan

berinteraksi sosial kalau ada dia tidak berkomunikasi.Demikian

pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif

sangat tergantung dari komunikasi antar budaya.lahirnya semngat

kesekawanan, pershabatan dari satu budaya kebudaya lain. Hingga

pada hasilnya mengurangi konflik yang akan dibahas pada makalah

ini yaitu tentang etnosentrisme. Sikap etnosentrisme sebaiknya

tidak di nomor satukan ketika menyampaikan pesan – pesan

komunikasi.ornag yang berbeda bangsa, suku, ras, agama, tingkat

pendidikan, status sosial/ bahkan jenis kelamin disebut

komunikasi antar budaya, tidak lagi memandang kelompoknya yang

lebih baik. Dalam makalah singkat ini penulis memaparkan

pengertian etnosentrisme

2. Rumusan masalah

Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa

Etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah masalah

sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah persatuan

dan kesatuan bangsa kita.Etnosentrisme terjadi jika masing-masing

budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan

kebudayaan lain.Etnosentrisme akan terus marak terjadi apabila

pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang

untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang

selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis

yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok

lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru

akan makin meninggalkan etnosentrisme

Dengan demikan, perumusan masalah dalammakalah ini adalah:

1.      Alasan apa yang melatarbelakangi terjadinya etnosentrisme.

2.      Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi  di negara kita

ini.

3. Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:

1.    Menguraikan fenomena etnosentrisme di Indonesia.

2.    Menemukan faktor-faktor yang menyebabkan merebaknya

fenomena etnosentrisme.

3.    Mencari dan menemukan bagaimana langkah-langkah yang tepat

untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah tanpa jatuh dalam problem etnosentrisme.

BAB IIPEMBAHASAN

1. Pengertian / Definisi Etnosentrisme

Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan

dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk

menilai kelompok lain. Apabila tidak dikelola dengan baik,

perbedaan budaya dan adat istiadat antarkelompok masyarakat

tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap

etnosentrisme. Sikap tersebut timbul karena adanya anggapan suatu

kelompok masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan

sistem nilai yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.

Atau kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma

kebudayaannya sendiri  sebagai suatu yang prima, yang terbaik,

mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk membedakannya

dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala

sosial yang bersifat universal dan secara tidak sadar telah kita

lakukan.Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecenderungan tak

sadar untuk menilai atau membandingkan budaya yang satu dan yang

lainnya. Etnosentrisme merupakan bisa dibilang dasar ideologi

dari chauvinisme pada saat era seorang Hittler karena menganggap

bangsanya ( Jerman ) merupakan bangsa yang paling kuat, tangguh

dan berkuasa.

Etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah

masalah sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah

persatuan dan kesatuan bangsa kita.Etnosentrisme terjadi jika

masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak

bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar

mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama

perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu

kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan

menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri

sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita

dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita; makin besar

ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita.Kita cenderung melihat

kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang

paling baik, sebagai yang paling bermoral”.

Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk

mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi

kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan :

“orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan

sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada

orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.

Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu

masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang

pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok

sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris

untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri.Kadang-

kadang dipercaya bahwa ilmu sosial

telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentr

isme.

Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan

belajar dan berprestasi.Dalam buku The Authoritarian Personality,

Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung

kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang

fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan

terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada

kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap

kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang

etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam

prosesbelajar-mengajar.Etnosentrisme akan terus marak apabila

pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang

untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang

selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis

yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok

lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru

akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok

semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah

.

Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut

mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil

memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang

gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari

masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis

konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum

muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang

berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al,

1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang

signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis

kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.

2. Contoh Etnosentrisme di Indonesia

Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan

dan cara hidup dari

sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain.

Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku

carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok

adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang

laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas,

konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak

masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan

pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan

bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap

tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat

Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu

dijunjung tinggi dalam masyarakat.Oleh karena itu, terjadi

perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat

Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya

pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok

tersebut dalam masyarakat Madura.Contoh etnosentrisme dalam

menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya perilaku

carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang

oleh para ahli ilmu sosial.  Contoh yang lain adalah kebiasaan

memakai koteka bagi masyarakat papua pedalaman. Jika dipandang

dari sudut masyarakat yang bukan warga papua pedalaman, memakai

koteka mungkin adalah hal yang sangat memalukan.Tapi oleh warga

pedalaman papua, memakai koteka dianggap sebagai suatu kewajaran,

bahkan dianggap sebagai suatu kebanggaan.

2.1 Contoh kasus Etnosentrisme yang terjadi antara Lampung Vs

Bali

Sudah tidak  heran lagi bila menyaksikan jumlah suku asli

lampung lebih sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya.

Bahasa yang digunakan sehari – hari pun adalah bahasa Indonesia,

berbeda dengan provinsi yang bertetangga dengan lampung seperti

bengkulu dan sumatera selatan yang masih menggunakan bahasa

daerah masing – masing sebagai alat komunikasi. Bahkan di

beberapa kota / daerah di lampung bahasa jawa digunakan sebagai

bahasa komunikasi.Tentunya dengan berbaurnya berbagai macam suku

tersebut maka tingkat kecenderungan untuk terjadinya konflik pun

semakin tinggi. Sebenarnya konflik – konflik antar suku sudah

sering terjadi di provinsi lampung baik itu antara suku asli

lampung dengan bali seperti yang terjadi saat ini, maupun jawa

dengan bali atau lampung dengan jawa. Kenapa hanya ketiga suku

tersebut yang sering terlibat konflik ?ya memang karena ketiga

suku tersebutlah populasinya yang paling banyak.

Di beberapa daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah

desa yang seluruh penduduknya berisi orang bali. Di tempat

tersebut juga biasanya terdapat sebuah pura besar tempat mereka

melakukan kegiatan agama, sama persis seperti keadaan di

bali.Pada sisi lain masyarakat asli Lampung yang memiliki

falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya

adalah”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang

lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk

pendatang.Tetapi dengan seiring waktu falsafah hidup tersebut

mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal.

Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik

terhadap para pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para

pendatang tersebut tetapi memang terkadang para pendatang lah

yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan

rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika

mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut

berkaitan dengan masalah “harga diri”.

Konflik antar suku dilampung memang bukan merupakan sebuah

hal baru, konflik tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dan

pemicunya hanyalah berawal dari masalah sepele. Bahkan di tempat

yang sama dengan saat ini terjadi perang suku saat ini yaitu di

Sidorejo kecamatan Sidomulyo juga pernah terjadi pada bulan

januari 2012 kemarin, pemicunya adalah perebutan lahan parkir.

Berikut ini beberapa perang antar suku yang pernah terjadi di

Lampung :

         Pembakaran pasa Probolinggo Lampung Timur oleh suku bali.

         29 Desember 2010 : Perang suku Jawa / Bali vs Lampung berawal

dari pencurian ayam.

         September 2011 : Jawa vs Lampung

         Januari 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Lampung

         Oktober 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan.

Konflik diatas adalah beberapa konflik yang terhitung besar,

selain konflik besar yang pernah terjadi diatas di lampung juga

sering terjadi konflik – konflik kecil antar suku namun biasanya

hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak membesar.

Dari konflik – konflik kecil tersebut timbullah dendam

diantara para suku – suku tersebut sehingga jika terjadi insiden

kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik

besar.Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah terjadi

sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka

remaja. Di beberapa sekolah didaerah lampung anak – anak suku

bali tidak mau bermain / bersosialisasi dengan anak – anak suku

lainnya begitu juga dengan anak – anak dari suku jawa maupun

lampung. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka

sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan

tentunya akan melibatkan suku mereka.

Berikut kronologis lengkap bentrok yang merenggut 3 nyawa

tersebut :

Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di desa

Sidorejo kecamatan Sidomulyo kabupaten Lampung Selatan, telah

terjadi bentrokan antara warga suku Lampung dan warga suku

Bali.Kronologis kejadian : Pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober

2012 pukul 17.30 WIB telah terjadi kecelakaan lalu-lintas di

jalan Lintas Way Arong Desa Sidorejo (Patok) Lampung Selatan

antara sepeda ontel yang dikendarai oleh suku Bali di tabrak oleh

sepeda motor yang dikendarai An. Nurdiana Dewi, 17 tahun, (warga

Desa Agom Kec. Kalianda Kab. Lampung Selatan berboncengan dengan

Eni, 16 Th, (warga desa Negri Pandan Kec. Kalianda Kab. Lampung

Selatan).

Dalam peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan

terhadap Nurdiana Dewi dan Eni, namun warga suku Lampung lainnya

memprovokasi bahwa warga suku Bali telah memegang dada Nurdiana

Dewi dan Eni sehingga pada pukul 22.00 WIB warga suku Lampung

berkumpul sebanyak + 500 orang di pasar patok melakukan

penyerangan ke pemukiman warga suku Bali di desa Bali Nuraga Kec.

Way Pani. Akibat penyerangan tersebut 1 (satu) kios obat-obatan

pertanian dan  kelontongan terbakar milik Sdr Made Sunarya, 40

tahun, Swasta.

Pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB, masa

dari warga suku Lampung berjumlah + 200 orang melakukan 

pengrusakan dan pembakaran rumah milik Sdr Wayan Diase. Pada

pukul 09.30 WIB terjadi bentrok masa suku Lampung dan masa suku

Bali di Desa Sidorejo Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung

Selatan.

Akibat kejadian tersebut 3 (tiga) orang meninggal dunia masing-

masing bernama: Yahya Bin Abdul Lalung, 40 tahun, Tani, (warga

Lampung) dengan luka robek pada bagian kepala terkena senjata

tajam, Marhadan Bin Syamsi Nur, 30 tahun, Tani, (warga Lampung)

dengan luka sobek pada leher dan paha kiri kanan dan Alwi Bin

Solihin, 35 tahun, Tani, (warga Lampung), sedangkan 5 (lima)

orang warga yang mengalami luka-luka terkena senjata tajam dan

senapan angin masing-masing :  An. Ramli Bin Yahya,  51 tahun,

Tani, (warga Lampung) luka bacok pada punggung, tusuk perut

bagian bawah pusar, Syamsudin, 22 tahun, Tani, (warga Lampung)

Luka Tembak Senapan Angin pada bagian Kaki. Ipul, 33 tahun,

Swasta, (warga Lampung) Luka Tembak Senapan Angin pada bagian

paha sebelah kanan dan Mukmin Sidik, 25 tahun, Swasta, (warga

Lampung) luka Tembak Senapan Angin di bagian betis sebelah kiri.

Kasus ditangani Polres Lampung Selatan Polda Lampung.Mungkin

dengan kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi para penduduk

lampung untuk melakukan instropeksi diri masing – masing.Banyak

warga asli lampung mengatakan para pendatang didaerah mereka

tidak tahu diri, tidak sopan atau menghargai mereka sebagai

penduduk asli. Begitu juga dengan warga pendatang jangan karena

merasa mereka memiliki kelompok yang banyak dan memiliki

solidaritas yang besar terus bersikap semena – mena terhadap suku

lainnya karena walau bagaimanapun mereka adalah pendatang / tamu

dan layaknya seorang tamu tentu harus menghormati tuan rumah.

Segala macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meredam

konflik di Lampung, sering diadakannya pertemuan antar ketua adat

di lampung ternyata belum mampu meredam konflik – konflik yang

sering terjadi, hal tersebut terjadi karena diantara mereka

sebenarnya saling menyimpan dendam.

Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia

Untuk menghindari atau mengatasi permasalahan etnosentrisme

di Indonesia dalam era desentralisasi, pertama-tama kita mesti

mengetahui sebab-sebab munculnya masalah-masalah tersebut.

-Budaya Politik

Salah satu faktor yang mendasar yang menjadi penyebab

munculnya etnosentrisme di Bangsa ini adalah budaya politik

masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak

rasionalis. Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya

politik subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan

primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita. Masyarakat

kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan

mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain.

Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.

           

-Pluralitas Masyarakat Indonesia

Salah satu faktor penyebab munculnya masalah etnosentrisme

adalah pluralitas Bangsa Indonesia.Bangsa Indonesia merupakan

bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan

golongan.Pluralitas masyarakat Indonesia ini tentu melahirkan

berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha

untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain. Pertarungan

kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di

daerah.

-Efek Kebijakan Yang Gegabah

Munculnya fenomena etnosentrisme, arogansi daerah, kemaruk

kekuasaan di daerah, egoisme daerah, primordialisme serta

lunturnya nilai-nilai keindonesiaan sebenarnya tidak lebih

merupakan produk dari kebijakan otonomi daerah yang kental dengan

masalah-masalah dasar.Masalah-masalah dasar ini muncul karena

undang-undang Pemerintahan Daerah dibuat dalam suasana politik

yang serba tergesa-gesa, banyak muatan politisnya, gegagah karena

tidak disiapkan metode dan alat implementasinya secara benar dan

komprehensif.

Masalah-masalah dasar yang dihadapi dalam implementasi otonomi

daerah sekarang ini, setidak-tidaknya dapat dilihat dari poin-

poin berikut ini:

-UU tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu

kebijakan yang bersifat gegabah dan tidak hati-hati karena UU

tersebut bukan merupakan kesepakatan antara pemerintah pusat dan

daerah. Namun lebih karena desakan dan kepentingan politik

tertentu khususnya oleh pemerintah Pusat pada waktu itu.

-Perangkat implementasi tidak disiapkan secara matang

sehingga menimbulkan  ketidakjelasan dan kekurangterbukaan

tentang bagaimana implementasi yang baik mesti dimulai. Faktor-

faktor pendukung implementasi tidak disiapkan secara matang dan

terencana seperti misalnya berbagai peraturan kewenangan daerah

dalam berbagai bidang.Kebingungan ini sangat jelas khususnya

dalam perumusan kewenangan propinsi.

-Ketidakjelasan dalam kewenangan dan perimbangan keuangan

juga nampak sekali khususnya munculnya ktidakpuasan daerah

tentang bagaimana sesungguhnya pengaturan masalah ini. Bahkan

muncul banyak pesimisme bahwa manajemen keuangan daerah khususnya

bagaimana menyediakan anggaran pembangunan menjadi kekhawatiran

yang terbukti karena anggaran pembangunan daerah menjadi  sangat

kecil. Artinya otonomi daerah selama ini hanya habis energinya

untuk mengurusi manajemen internal pemda, dan tidak sempat

membangun daerah (lihat minimnya anggaran pembangunan APBD di

daerah-daerah).

-Adanya kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa secara

manajerial sesungguhnya daerah tidak siap untuk melaksanakan

implementasi, sebagaimana kewenangan yang besar yang dimiliki

daerah. Kemampuan manajerial dari perencanaan hingga evaluasi

dalam bidang-bidang pelayanan yang pokok seperti kesehatan,

pendidikan, SDM tidak mampu dijalankan daerah karena persiapan

yang seadanya tanpa diikuti dasar infrasturktur yang kokoh untuk

melaksanakan implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah yang

diharapkan meningkatkan kemampuan daerah, ternyata tidak jauh

berbeda dengan praktek-praktek sebelumnya. Penyusunan Propeda,

Renstrada, Repetada dan dokumen-dokumen lain yang dikerjakan

pihak ketiga merupakan bukti tidak adanya perubahan yang lebih

baik dalam bidang kemampuan daerah yang bersangkutan. Sehingga

tidak mengherankan kalau banyak di media massa diekspos bahwa

dokumen-dokumen di atas tidak mencerminkan potensi yang ada di

daerah yang bersangkutan.

-Penyerapan pegawai ke pusat maupun pusat ke daerah

merupakan persoalan sendiri karena ternyata tidak tertangani

dengan baik. Justru muncul kecenderungan semangat keindonesiaan

yang mulai luntur karena justru adanya gerakan “kembali daerah

asal” masing-masing tidak bisa dicegah lagi.Masalahnya semakin

kompleks oleh karena banyak pegawai pusat yang mempunyai

senioritas dan kepangkatan yang tinggi, sementara di daerah

strukturnya terbatas.

-Akuntabilitas daerah juga dipertanyakan sejalan kualitas

SDM bidang lembaga perwakilan. Bagaimana akuntabilitas ini

dijalankan?Hingga saat ini yang muncul hanyalah ketidakpercayaan

terhadap lembaga-lembaga publik di daerah.

-Kepemimpinan pemerintah pusat untuk melaksanakan otonomi

ini sangat terbatas karena lebih banyak memberikan perintah

ketimbang turun ke bawah memberikan supervisi, teladan dan

koordinasi. Contoh ketika daerah diminta membuat Renstrada yang

baik, tetapi pusat tidak pernah memberikan contoh beginilah

Renstrada yang baik.

Semua penjelasan di atas membuat kita bertanya apakah

kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah kebijakan yang

tepat? Ataukah kita perlu mencari format baru yang tepat untuk

negara ini menggantikan kebijakan Desentralisasi dan otonomi

daerah? Jawaban atas persoalan ini akan penulis uraikan dalam

bagian berikut ini.

-Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Sebuah Pilihan Yang

Tepat

Sebagai sebuah sistem, desentralisasi dan otonomi daerah

merupakan sebuah alternatif yang tepat di tengah krisis bangsa

ini dalam mencari format demokrasi. Sistem sentralisasi yang

diterapkan oleh rezim orde baru ternyata tidak mampu membawa

bangsa ini menuju sebuah negara demokrasi. Dalam sistem ini,

daerah-daerah termarginalkan.

Dalam Negara Kesatuan  Republik Indonesia yang penduduknya

plural dalam suku bangsa, agama, ras dan golongan serta terdiri

atas pulau-pulau yang terpisah-pisah, sistem desentralisasi dan

otonomi daerah kiranya merupakan pilihan yang tepat. Negara

Indonesia seperti tanah lapang di mana kekuatan-kekuatan dalam

masyarakat berjuang untuk merebut sumber-sumber politis. Negara

yang pluralis ini tentu tidak dapat dibingkai dalam sistem yang

sentralistik(19). Sebaliknya jalan desentralisasi dan otonomi

daerah adalah pilihan yang tepat.

Maka dapat dikatakan bahwa, sistem desentralisasi dan

otonomi daerah dalam dirinya sendiri (an sich)  tidak menciptakan

masalah etnosentrisme. Yang menimbulkan  persoalan adalah dalam

tataran implementasi. Euforia demokratisasi seolah lepas kendali.

Semangat yang berlebihan tanpa disertai kematangan struktur dan

infrastruktur serta semua aktor yang bermain di dalamnya akan

menyebabkan desentralisasi dan otonomi daerah hanyalah sebuah

sistem yang kompleks masalahnya.

Yang mesti diperhatikan oleh semua pihak adalah bagaimana

mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

tanpa jatuh dalam masalah etnosentrisme. Seluruh pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah mesti kita bingkai di bawah

panji Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian kita tidak lagi berbicara tentang bagaimana

mengubah desentralisasi dan otonomi dengan sistem yang baru

melainkan bagaimana kita membenahi sistem desentralisasi dan

otonomi daerah agar berjalan sesuai dengan tujuannya. Pembenahan

ini akan membantu kita untuk menegakkan demokrasi di negara ini.

Karena itu, dalam hubungan dengan masalah etnosentrisme, kita

perlu menemukan jalan keluar atau langkah-langkah yang mesti kita

buat untuk mengatasinya.

2.4 Langkah-Langkah Mengatasi Masalah Etnosentrisme

Untuk mengatasi masalah etnosentrisme dalam era

desentralisasi dan otonomi daerah, langkah pertama yang mesti

dibuat adalah pendidikan politik.Pendidikan politik masyarakat

ini menjadi tanggung jawab semua pihak di daerah terutama partai

politik dan para politisi serta organisasi kemasyarakatan

lainnya.Pendidikan politik atau sosialisasi politik mesti

diarahkan pada perubahan budaya politik masyarakat dari subyektif

dan parokhial menuju ke partisipatif.

Untuk mengantar masyarakat pada budaya politik partisipatif,

dituntut suatu sistem pemerintahan yang memiliki kejelasan

prosedural, terbuka, kompeten, dan menghargai kebebasan

individu(20). Hal ini tentu menuntut dari pemerintahan daerah dan

para politisi lokal untuk membangun suatu suasana demokrasi lokal

yang mantap. Hal ini akan membantu masyarakat berkembang dalam

kesadaran berpolitik. Sebab cara kerja pemerintah daerah dan

politisi lokal yang berpolitik oppurtunis dan tidak fair sama

dengan pembodohan masyarakat.

Di tengah masyarakat yang masih cenderung untuk terikat pada

ikatan-ikatan primordial, peran partai politik sangat dibutuhkan.

Seperti dalam kasus pemilihan kepala daerah, di mana rakyat

memilih bukan karena kompetensi melainkan ikatan-ikatan

emosional, partai politik hendaknya mempersiapkan calon yang

kompeten. Parpol hendaknya proaktif dan konstruktif memahami dan

membantu rakyat dalam kesadaran berpolitik. Rakyat seringkali

bingung menentukan pilihan parpol dan calon pemimpin yang tidak

jelas identitas dan karakternya. Ibaratnya memilih kucing dalam

karung(21). Untuk itu Parpol tentu diharapkan memiliki calon yang

kompeten dan dikenal masyarakat dan bukan malah menjebak rakyat

terpuruk dalam ketakbrdayaan politik lewat money politcs dan lain

sebagainya.

Desentralisasi dan otonomi daerah semestinya menjadi

kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif

dalam pemerintahan. Ruang yang lebih terbuka bagi masyarakat

mesti disediakan oleh pemerintah lokal. Desentralisasi dan

otonomi daerah tidak berarti memindahkan pusat ke daerah,

menciptakan raja-raja kecil di daerah melainkan membangun suatu

pemerintahan yang lebih demokratis. Kerjasama yang baik antar

semua pihak tidak akan membiarkan ‘mutiara’ ini terbuang begitu

saja.

Dalam hal ini pemberdayaan masyarakat dan pemerintah adalah

hal yang mesti dibuat demi terciptanya masyarakat yang adil dan

sejahtera. Keduanya mesti belajar bersama untuk membangun

kesadaran politik yang matang. Masyarakat dan pemerintah akan

memainkan perannya secara proporsional demi terciptanya demokrasi

lokal. Kesadaran politik ini akan menepis seluruh masalah

etnosentrisme.

Konflik antar etnis merupakan sesuatu yang mesti diterima

tetapi yang terpenting adalah bagaimana konflik itu bisa

diselesaikan. Pemerintah perlu memberikan pedoman yang tepat

dalam memandu otonomi daerah untuk meredam euphoria yang begitu

deras. Pemerintah selalu mengamati segala aspirasi dan kebijakan

yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntutan yang

destruktif dan mengoyakkan konsepsi Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Prinsip integrasi bangsa dalam UUD 1945 harus menjadi

acuan dalam setiap pengambilan kebijakan di daerah-daerah(22).

Hal ini tentu akan juga menepis semangat kedaerahan yang terus

berkembang.

Selain seperti yang telah saya uraikan di atas, berikut ini

penulis akan mengutip beberapa langkah yang mesti dibuat dalam

rangka memperbaiki implementasi desentralisasi dan otonomi daerah

yang berbau etnosentrisme yang diusulkan oleh H. Abdulkahar

Badjuri(23).

1.Perlunya pembantuan kepada daerah (pendampingan atau

capacity building programs) agar mereka melaksanakan otonomi

daerah atas dasar kerangka dasar intelektual, kepraktisan dan

kemampuan teknis yang mendasar. Supervisi pemerintah Pusat jelas

merupakan conditio sine qua non. Sehingga pada masa depan daerah

mampu membuat sendiri (having a capacity to make it) dokumen-

dokumen perencanaannya, dan tidak dibuatkan oleh pihak ketiga.

Konsultasi dengan para ahli tentunya bukan hal yang tabu. Yang

tabu adalah kalau para ahli itu yang membuatkan dengan judul

“proyek”. Kalau minta dibuatkan terus maka sampai kapan pun

daerah tidak akan pernah mampu dan mandiri dalam manajemen

publiknya (artinya program capacity building kemudian

dipertanyakan efektivitasnya).

2.Penelitian yang mendalam tentang implementation plan,

sehingga daerah memiliki kejelasan arah dan tujuan dari otonomi

daerah. Harus jelas perencanaan dan kesepakatan Pusat Daerah

mengenai keseimbangan pendapatan dan pengeluaran, hubungan

keuangan Pusat Daerah, kejelasan dalam sistem evaluasi

kuantitatif keuangan menuju akuntabilitas daerah.

3. Harus mempertimbangkan bottom up management khususnya

dalam rangka pendemokrasian lembaga-lembaga di daerah, baik

legislatif maupun eksekutif. Bagaimana teknisnya, tentunya bisa

disusun berbagai metode yang realistis dilakukan di daerah.

4.Menuntaskan PP dan aturan lainnya yang tidak controversial

sehingga kejelasan implementasi menjadi nyata dan tidak

berbenturan  satu sama lain. Ini bukan pekerjaan yang gampang

karena harus dikaji dan dipersiapkan secara serius dan

komprehensif.Aturan-aturan ini harus komprehensif sehingga

fenomena-fenomena negatif seperti etno-sentrisme, egoisme daerah

dan sebagainya bisa dinetralisir atau terantisipasi sebelumnya.

5.Harus mengembangkan “transition plan”. Perencanaan

transisi seperti ini hampir semua daerah di Indonesia belum

melakukannya karena kekurangan supervisi dari pusat (salah satu

sebabnya); di samping memang inovasi dan keterbatasan SDM di

daerah.

6.Harus ada kejelasan mengenai kewenangan pengelolaan yang

lebih jelas dan transparan kepada daerah. Untuk jelas,

pemerintahan pusat dan daerah harus saling berkomunikasi dan

jalan sendiri-sendiri menggunakan pendekatan formalitas dan

pendekatan kekuasaan semata.

7.Harus dilakukan comprehensive field research mengenai

implementasi otonomi daerah sebagai bagian dari complete

evaluation terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penelitian

akademik ini menjadi dasar terhadap kebijakan baru yang akan

disusun untuk mengatasi berbagai persoalan.

8.Khusus mengenai kepegawaian; mempertimbangkan fenomena

etnosentrisme serta kesempatan yang lebih luas untuk mutasi,

promosi dan pengembangan pegawai lintas propinsi, lintas

kabupaten/kota mungkin bisa dipertimbangkan lagi agar kewenangan

kepegawaian ditarik kembali ke pusat.

Beberapa langkah di atas kiranya dapat menjadi penuntun bagi

kita untuk mengimplementasikan desentralisasi dan otonomi daerah

secara pas.Dalam arti kita berusaha untuk mengimplementasikan

desentralisasi dan otonomi daerah tanpa jatuh dalam masalah

etnosentrisme.Maka cara mengatasi Etnosentrisme adalah :

“Belajarlah untuk saling menghargai budaya atau

kelompok lain.”

BAB IIIPENUTUP

KESIMPULAN

Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan

cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai

kelompok lain.

Dalam kasus Bali vs Lampung bisa dipahami bahwa sikap

Etnosentrisme membuat suku tersebut saling bertentangan, karena

penduduk asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap

para pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para pendatang

tersebut tetapi memang terkadang para pendatang lah yang sering

menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan rumah, suku

asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa

dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan

masalah “harga diri”.

Sikap Etnosentrisme tidak hanya dalam kasus Bali vs Lampung tapi

juga Etnosentrisme dalam Pilkada Langsung,Etnosentrisme dalam

perekrutan PNS atau Birokrasi, Etnosentrisme dalam Pengisian

Badan Legislatif Daerahdan Pembuatan Kebijakan Lokal,

Etnosentrisme dalam Pemekaran Daerah.

Dalam Etnosentrisme bisa dibilang merupakan bagian dari masalah

masalah sosial yang sebaiknya kita hindari karena dapat memecah

persatuan dan kesatuan bangsa kita.Dengan menghindari sikap

Etnosentrisme yang berlebih diharapkan mampu menjadikan suasana

budaya dan adat istiadat tidak saling mengagung-agungkan nilai

budaya masing-masing atau saling menjatuhkan budaya lainya.

Dan carauntuk mengatasi Etnosentrisme adalah “Belajarlah untuk

saling menghargai budaya atau kelompok lain”.

SARAN

Harapan kami ,masyarakatdapat mempunyai sikap toleransi ketika

melakukan komunikasi antarbudaya, sehingga tidak menilai segala

sesuatunya dari kebudayaan kita masing-masing.

Maka denganbegitu akan mengurangi pengaruh dari etnosentrisme.

Dengan berkurangnya

pengaruh etnosentrisme, maka salah paham akan jarang terjadi.

Daftar Pustaka

Mulyadi Agus, 2012.”Pengertian Etnosentrisme”.(online),

(http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian- etnosentrisme-

dan.html diakses, 28 Mei).

Mulyadi Agus, 2012.”Contoh Etnosentrisme di Indonesia”.(online),

(http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/contoh-etnosentrisme-di-

indonesia.html diakses, 27 Mei).

Harwantiyoko, Katuuk Neltje, 2012.”Diskriminasi dan Etnosentrisme”.

(online),(http://info-83.blogspot.com/2011/11/diskriminasi-dan-

etnosentrisme.html diakses, 27 Mei).

2009.”Pengertian Etnosentrisme dan Xenosentrisme”.(online),

(http://communicationista.wordpress.com/2009/08/22/pengertian-

etnosentrisme-dan-xenosentrisme/ diakses, 25 Mei).

Corry Andy, 2012.”Contoh Etnosentrisme di Indonesia”.(online),

(http://fikomuntarkapitad2.wordpress.com/2012/11/21/pertemuan-9-

etnosentrisme-14-november-2012/ diakses, 28Mei).

Mansyah, 2012.”Masalah Etnosentrisme Dalam Era Desentralisasi dan

Otonomi Daerah”.(online),

(http://mansyah24.blogspot.com/2012/07/masalah-etnosentrisme-

dalam-era.html  diakses, 28 Mei).