bismillah print
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bismillaaahTRANSCRIPT

1
KAJIAN ISLAM DENGAN PENDEKATAN PSIKOLOGIS
Oleh: Nur Mufida Ramadhanisnaini
A. Pendahuluan
Psikologi berasal dari perkataan Yunani psyche yang artinya jiwa,
dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi, psikologi
artinya ilmu yang mempelajari tentang ilmu jiwa, baik mengenai macam-
macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat
disebut ilmu jiwa.1
Baik agama maupun ilmu pengetahuan, keduanya merupakan
kunci pembuka kebenaran. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan berusaha
mencari kebenaran dengan metode ilmiah, namun kebenaran yang dicapai
bersifat relatif, tidak pernah mencapai kebenaran mutlak. Sedangkan
agama berdasarkan pada iman melalui wahyu, menunjukkan kebenaran
“Nan-Ilahi” atau kebenaran bersifat mutlak/absolut.
Usaha mempelajari agama melalui pendekatan psikologis bukanlah
merupakan usaha yang dapat diterima begitu saja. Selama masa
pengembangan psikologi ilmiah, agama tidak mendapatkan perhatian yang
berarti. Karena agama kerap dipandang sebagai bidang suci yang tabu
untuk pengetahuan ilmiah. Apalagi para ahli agama dan para ahli psikologi
sendiri menilai studi agama secara psikologis merupakan tindakan masuk
ke bidang lain, yang bukan bidangnya dan dengan metode yang bukan
metodenya. Penjelasan tentang agama sebaiknya dicari dari sumber-
sumber adikodrati.
Terlepas dari pro dan kontra, sikap dan tingkah laku yang
berhubungan dengan keyakinan beragama nyatanya dapat diamati secara
empiris. Pada sekitar akhir abad ke-19 psikologi semakin berkembang
sebagai alat untuk kajian agama, dan kajian semacam itu dapat membantu
pemahaman terhadap cara-cara bertingkah laku, berpikir dan
mengemukakan perasaan keagamaan.
1 Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-2,
h.9

2
Para ahli psikologi yang serius, dalam hati nuraninya tidak dapat
menghindari agama, karena agama menduduki tempat berarti dan berperan
besar dalam perilaku manusia. Sedangkan para ahli agama yang serius
tidak mungkin mengabaikan psikologi, bila mereka berkehendak
mengembangkan psikologi manusia seutuhnya.
Pada makalah ini bukan membahas “apakah agama itu?” atau
“bagaimana agama itu seharusnya?” tetapi “apa yang disebut orang
sebagai agama mereka?” atau “apa fungsi agama sebagai agama bagi
manusia?” dll. Dengan kata lain pembahasan disini tidak akan
mencampuri dasar-dasar keyakinan agama, dan benar salah agama, tetapi
hanya bagaimana perasaan dan pengalaman secara individuil terhadap
Tuhan.
Dalam makalah ini akan membahas pendekatan agama dengan
pengalaman mistik. Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan
oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam
istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai
dalam agama-agama lain. Tujuannya adalah untuk memperoleh hubungan
langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada kehadirat Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme,
termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi
dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri
dan berkontemplasi.
Dalam kaitan dengan pengalaman mistik itu, tak sedikit karya-
karya mistik kemudian lahir dari sejumlah pemikir ataupun mistikus. Hal
tersebut menunjukkan jika pengalaman mistik sedemikian kuat
berpengaruh dalam sejarah manusia. Ini juga menjadi bukti sangat
telanjang untuk menolak asumsi bahwa pengalaman mistik yang sudah
dialami manusia berabad-abad, tak lebih sekedar ilusi manusia sebagai
ungkapan “ketidakberdayaannya” itu. Pandangan terakhir ini antara lain
terwakili secara amat baik oleh psikoanalisis Sigmund Freud.

3
Terlepas dari kontroversi tersebut, beberapa pertanyaan muncul
seputar problem bahasa mistik. Dapatkah seseorang mengungkapkan
pengalaman mistiknya secara persis melalui bahasa? Jika jawabannya
positif, lalu bagaimana cara pengungkapannya? Sejauh mana tingkat
keabsahan pengungkapan pengalaman mistik dalam sebuah struktur
bahasa, padahal ia lebih bersifat self-consciousness dan karena itu
subjektif? Bagaimana sebenarnya status pengetahuan subjektif dalam
struktur keilmuan manusia?.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, dalam makalah ini
akan mencoba menelusuri system of thought dari dua filsuf kontemporer:
Ludwig Wittgenstein (1889-1951) dan Mehdi Ha‟iri Yazdi (1923-1999)
dalam kaitannya kebermaknaan bahasa mistik.
B. Agama dan Psikologi
Psikologi secara harfiah berasal dari kata psyche berarti jiwa dan
logos berarti ilmu.2
istilah psikologi dalam Bahasa Arab sampai sekarang
masih disebut ilmu nafs yang berarti ilmu jiwa. Sedangkan Agama
menurut Harun Nasution berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi
(relegere) dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum.
Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Sedangkan dari kata
religi (Latin) atau relegere berarti mengikat. Adapun kata agama
sebenarnya dari bahasa Sanskerta, terdiri dari a berarti tidak dan gam
2 Dalam mitologi Yunani, Psyche adalah seorang gadis cantik bersayap seperti
sayap kupu-kupu. Jiwa digambarkan berupa gadis, dan kupu-kupu simbol keabadian.
Psikologi dapat diterjemahkan ilmu jiwa, tetapi karena “jiwa” di Indonesia sering
dihubungkan dengan masalah mistik, kebatinan dan kerohanian, maka para sarjana lebih
menggunakan istilah Psikologi. Selain itu objek utama Psikologi bukanlah jiwa, karena
jiwa tidak dapat dipelajari secara ilmiah. Objek psikologi adalah tingkah laku manusia
atau gejala kejiwaan. Walaupun banyak definisi mengenai Psikologi tetapi belum ada
definisi yang sempurna, dan para ahli secara garis besarnya menyetujui bahwa Psikologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan lingkungannya. Lihat: Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama,Kepribadian Muslim
Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001), h.23

4
artinya pergi. Jadi, karakteristik tersebut bermakna tidak pergi yang berarti
tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun.3
Kajian agama dengan pendekatan psikologis di Barat umumnya
merujuk pada karya Edwin Diller Starbuck dan William James. Buku The
Psychology of Religion: An Empirical Study of Growth of Religion
Counsciousness karya E.D. Starbuck diterbitkan tahun 1899, setahun
kemudian (1990), William James menerbitkan buku The Varieties of
Religious Experience. Buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai
tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari
kelahiran kajian agama dengan pendekatan psikologi.
Sebaliknya, di dunia Timur, khususnya di wilayah-wilayah
kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa
belum sempat di masukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq Ibn Yasar
di abad ke-7 Masehi berjudul al-Siyar wa al-Maghazi memuat berbagai
fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW, ataupun Risalah Hayy Ibn
Yazqan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat yang ditulis oleh Abu Bakr
Muhammad ibn Abd Al-Malin Ibn Tufail (1106-1185 M.)4
Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali
(1059-1111 M.) berjudul Ihya‟ „Ulum al-Din, dan juga bukunya Al-
Munqidz min al-Dhalah (Penyelamat dari Kesesatan) sebenarnya kaya
akan muatan permasalahan agama dengan kajian ilmu jiwa.
Tingkah laku manusia atau gejala kejiwaan sebagai pendekatan
kajian agama mengilustrasikan kepada kita bahwa seluruh kejadian alam
ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan tanda-tanda yang
diberikan Tuhan kepada manusia, secara langsung merujuk pada firman
Allah surat Al-Baqarah ayat 164:
3 M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), h.2
4 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.
Ke-8, h.32

5
5
Artinya: Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian
malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat
bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit yang berupa air, lalu dengan
itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya
bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang-orang yang mengerti
Dengan demikian, mengenal dan beriman kepada Allah dapat
dilakukan melalui tanda-tanda yang diberikan-Nya, melalui diri kita
sendiri, jagad raya, wahyu, ataupun benda-benda lainnya. Semuanya dapat
dijadikan media untuk beriman kepada Allah.
Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda Tuhan dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu jagad raya, manusia, dan wahyu. Dari ketiga objek ini,
kita dapat melihat ilmu yang berbeda-beda tetapi tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana dapat dilihat
hubungannya dalam tabel berikut.
5
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 2002 ), h.31

6
Paradigma Ilmu-ilmu Islami6
Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-
Nya berupa jagad raya, menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisika
seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi, dan falak. Manusia
yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa manusia,
akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik, pendalaman terhadap
struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran.
Sedangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila
dikaji secara kolektif atau kelompok, kajian terhadap manusia melahirkan
sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, ekonomi, dan sejarah.
Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya
berupa wahyu, muncul ilmu-ilmu keagamaan, seperti „ulum al-Quran.
„ulum al-Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf.7
Dari uraian diatas kita melihat bahwa jalur mana pun yang
digunakan manusia dalam rangka menyingkap tabir kekuasaan-Nya, akan
melahirkan manusia yang semakin dekat dengan Tuhan.
6
Atang Abd.Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-8, h.21 7 Ibid., h.21
Allah SWT
Tanda-tanda Allah
Manusia
Manusia Jagat Raya Wahyu

7
C. Mistisisme sebagai Pendekatan Religi dengan Tuhan
Pengertian mistisme merupakan terminologi dari kaum orientalis
Barat yang dapat disamakan dengan pengertian Tasawuf dalam Islam.
Tujuannya adalah untuk memperoleh hubungan langsung secara sadar
dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada kehadirat
Tuhan.8
Umumnya, mistisisme dapat dimengerti sebagai suatu pendekatan
spirituil dan nondiskursif kepada persekutuan jiwa dengan Tuhan, atau apa
saja yang dipandang sebagai sentral relitas alam raya. Jika realitas ini
dipandang sebagai Tuhan yang transeden, satu cara khas ialah kebatinan,
jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang transeden.
Pengalaman mistik (mystical experience) sebagai salah satu bentuk
pengalaman keagamaan (religious experience) dalam tradisi filsafat selalu
diungkapkan dengan terma-terma metafisis. Padahal, tak sedikit kalangan
memandang bahwa pendekatan metafisika dalam mengungkapkan
pengalaman mistik bukannya tanpa kelemahan, terutama dari sudut
penggunaan “bahasa” dan kategorisasi yang sulit diverifikasi.9
Pengalaman mistik sebenarnya pengalaman yang bersifat esoteris,
karena itu terjadi pada “ruang sebelah dalam” (inner space) manusia.
Mysticism itu sendiri berasal dari bahasa Yunani: mysterion, dari mystes,
yang berarti “sebuah inisiasi dalam sejumlah misteri atau rahasia tentang
suatu realitas kebenaran”. Dalam kehidupannya manusia senantiasa
mengembangkan inner space itu sebagai pusat kekuatan, sehingga
kebebasannya berkembang secara sejati, dan berhubungan secara langsung
dan segera dengan pusat kekuatan kosmik, yang dalam terma teologis
dikenal sebagai Tuhan (God).
Rudolf Otto (1869-1937) seorang teolog dan filsuf ternama
misalnya, dalam karya monumentalnya The Idea of the Holy menyatakan
8 Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia,
1993) h.115 9
Muhammad Sabri, Lonceng Kematian Mistisisme Agama, (Yogyakarta: Resist
Book, 2010), p.1

8
bahwa di dalam “ruang sebelah dalam” manusia memang terdapat struktur
a priori terhadap sesuatu yang nonrasional. Struktur tersebut menurut Otto
terletak dalam “perasaan hati” (feeling). Keinsafan akan “Yang Kudus”
(the Holy), yang disebutnya pula dengan keinsafan beragama (sensus
religious) adalah salah satu struktur a priori non rasional manusia itu.
Keinsafan beragama, karena itu, adalah kepekaan rasa terhadap “Yang
Kudus”. Dan atas dasar keinsafan beragama inilah manusia mengalami
hal-hal yang besifat mistik dan “Ilahi”.10
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi agama adalah
“yang kudus”(the Holy). Agama selalu ditandai oleh “yang Kudus” ini,
yang tidak bisa diasalkan kepada sesuatu yang berada di luar agama.
Karena itu, dia disebut pula sui generis dari agama. Dalam konteks inilah
pengalaman mistik, sebagai salah satu bentuk pengalaman manusia tentang
“Yang Kudus” merupakan suatu self-consciousness. Terhadap “Yang
Kudus”, manusia merasakan suatu perasaan apa yang oleh Otto disebut
sebagai misterium-tremendum dan misterium fascinosum.
Dalam kaitan dengan pengalaman mistik itu, tak sedikit karya-
karya mistik kemudian lahir dari sejumlah pemikir ataupun mistikus. Hal
tersebut menunjukkan jika pengalaman mistik sedemikian kuat
berpengaruh dalam sejarah manusia. Ini juga menjadi bukti sangat
telanjang untuk menolak asumsi bahwa pengalaman mistik yang sudah
dialami manusia berabad-abad, tak lebih sekedar ilusi manusia sebagai
ungkapan “ketidakberdayaannya” itu.
Terlepas dari kontroversi tersebut, beberapa pertanyaan muncul
seputar problem bahasa mistik. Dapatkah seseorang mengungkapkan
pengalaman mistiknya secara persis melalui bahasa? Jika jawabannya
positif, lalu bagaimana cara pengungkapannya? Sejauh mana tingkat
keabsahan pengungkapan pengalaman mistik dalam sebuah struktur
bahasa, padahal ia lebih bersifat self-consciousness dan karena itu
subjektif? Bagaimana sebenarnya status pengetahuan subjektif dalam
struktur keilmuan manusia?.
10 Ibid., p.2

9
Beramgkat dari problem tersebut, hendaknya mengetahui system of
thought dua filsuf kontemporer., yakni Ludwig wittgenstein (1889-1951)
dan Mehdi Hai‟ri Yazdi (1923-1999) dalam kaitannya problem
kebermaknaan bahasa mistik.
D. System of Thought Ludwig Wittgenstein dan Mehdi Ha’iri Yazdi
Wittgenstein dan Yazdi masing-masing mewakili tradisi yang
berbeda: Barat dan Islam, khususnya menyangkut problem kebermaknaan
bahasa mistik. System of thought kedua pemikir ini yakni:11
1. System of Thought Ludwig Wittgenstein12
Gagasan vital atau fundamental ideas Wittgenstein dapat
dijumpai dalam dua magnum opusnya: Tractatus Logico-
Philosophicus selanjutnya disebut Tractatus dan Philosophical
Investigations. Kedua buku ini tidak saja memiliki kontradiksi antara
satu dengan lainnya tetapi juga dapat dipandang mewakili dua corak
dari tahap perkembangan filsafat analitik (analytic philosophiy) yaitu
“atomisme logik” (logical atomism) dan “filsafat analitik biasa”
(ordinary languae philosophy). Kedua corak pemikiran in memiliki
11 Ibid., p.48-70 12
Ludwig Wittgenstein adalah salah seorang filsuf terpenting di abad 20. Ia
dilahirkan di Wina pada 26 April 1889 dari satu keluarga religius. Ayahnya adalah
keluarga Yahudi yang telah memeluk agama kristen Protestan, sementara ibunya
penganut Kristen Katolik-Roma yang taat. Wittgenstein sendiri dibaptis di gereja
katolik. Ayahnya yang berprofesi sebagai insinyur teknik, hanya dalam jangka
waktutak kurang dari sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja
yang besar. Ayah maupun ibunya punya bakat musik. Karena itu tidak
mengherankan jika rumah menjadi semacam pusat musik di Wina. Pada masa kecil
Wittgenstein hingga usia 14 tahun, pendidikan Wittgenstein dihabiskan di rumahnya.
Ia punya perhatian cukup besar pada matematika dan fisika, serta belajar teknik
mesin pada sebuah Sekolah Tinggi Teknik di Berlin selama dua tahun. Pada 1908 ia
pindah ke Manchester di Inggris untu sebuah riset aeronautics selama tiga tahun,
khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk teknik baling-baling
membutuhkan ilmu dasar tentang matematika, perhatiannya, lalu mengarah kepada
matematika.
Pada tahun 1911 ia banyak berkonsultasi dengan G. Frege, seorang ahli matematika
Jerman yang sangat terkenal. Belakangan Frege memberi advis agar Wittgenstein
belajar matematika pada Bertrand Russel di Cambridge di Inggris. Tanpa membuang
waktu, Wittgenstein lalu ke Cambridge pada tahun 1912 dan belajar filsafat di
Universitas Cambridge di bawah bimbingan Russell. Ia sangat tertarik pada buku
Principles of Mathematics karya Betrand Russell. Di sini ia mendapat kemajuan
pesat dalam studi tentang logika dan filsafat matematika.

10
kesamaan topik bahasan: bahasa (language) dan makna (meaning),
meski berbeda dalam cara penyampaian dan pokok permasalahannya.
Jika pada Tractatus (Wittgenstein I) fokus kajiannya bertumpu
pada bahasa secara umum, maka pada Philosophical Investigations
(Wittgenstein II) berbicara tentang bahasa secara khusus. Pada periode
I, sebagaimana terlihat sangat kental dalam tradisi filsafat analitik
lainnya seperti Russel. Wittgenstein mengenalkan bahasa ideal yang
disebut juga bahasa logika, sementara pada periode II dikenal dengan
istilah bahasa biasa atau ordinary language.
Bahasa logika disebut juga bahasa teoritis disusun berdasarkan
rumus-rumus atau prinsip-prinsip matematika yang merupakan hasil
penalaran logis dan tidak merujuk pada realitas tertentu. Bahasa
logika-teoritis menampik makna acuan (denotasi)nya dan hanya
menerima makna konotasinya yang ditentukan secara logis oleh
sistem logika. Istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa ini
memperoleh maknanya hanya dalam relasi-relasi logisnya, tidak
berdasar pada deskripsi benda-benda yang ditunjuknya. Bahasa
logika-teoritis merupakan permainan bahasa dengan aturan-aturan
atau simbol-simbol yang abstrak yang tidak mengacu pada realitas
tertentu.
Sementara itu, Bahasa Biasa (ordinary language) juga disebut
bahasa praktis, tidak disusun dari atas tapi dari bawah. Bahasa praktis
tidak disusun dengan menggunakan akal budi, tetapi berdasarkan
realitas empirik. Bahasa biasa merupakan deskripsi dari suatu realitas
atau kejadian empirik. Ada tiga ciri dari bahasa biasa. Pertama, aturan
yang mengaturnya bukan suatu sistem yang tertutup, tetapi bersifat
terbuka, terus menerus berubah dan berfungsi dengan aneka macam
cara sesuai dengan tujuan dan situasi khusus. Kedua, bahasa itu
biasanya berfungsi sebagai penilaian bahkan semacam pengumuman
(informasi). Ketiga, bahasa itu bersifat praktis, dalam arti
mengungkapkan orientasi praktis dari si penuturnya.

11
Sementara itu bahasa biasa mempunyai dua bentuk: konstatif
(kalam insya‟) dan performatif (kalam khabar). Bentuk pertama
menyatakan fakta atau kejadian aktual berupa pernyataan, pertanyaan,
perintah atau larangan. Bahasa konstatif ini tidak bisa disifati benar
atau salah, karena terdiri dari fakta atau kejadian itu sendiri, bukan
laporan tentang fakta atau kejadian yang mungkin benar atau salah.
Sementara yang kedua melaporkan suatu fakta atau kejadian yang
mungkin benar atau salah berdasarkan fakta atau kejadian yang
sebenarnya.
Sangat penting memahami bentuk bahasa biasa mengingat dari
sana kita dapat menelusuri lebih jauh diaspora pemikiran filsafat
analitik Wittgenstein dari periode I maupun II. Seperti diketahui
bahwa Wittgenstein adalah salah satu tokoh terpenting yang memiliki
kontribusi besar dalam tradisifilsafat analitik, baik melalui atomisme
logiknya seperti yang dideskripsikan dalam karya Tractatus maupun
ordinary language sebagaimana terlihat jelas dalam karya
philosiphical Investigations.
Jika dicermati lebih mendalam tampak jelas bahwa
Wittgenstein I lebih merupakan rumusan-rumusan jawaban, sementara
untuk Wittgenstein II lebih merupakan rumusan-rumusan pertanyaan.
Dengan kata lain, ciri periode I adalah meaning is picture sedang
periode II lebih mencirikan meaning in use.
Seperti diketahui jika Wittgenstein mengalami perkembangan
pemikiran dalam tradisi filsafatnya sehingga merupakan kelaziman di
kalangan peminat studi filsafat menyebut Wittgenstein I dan
Wittgenstein II untuk menggambarkan pergeseran paradigma (shift-
ing paradigm) filsafatnya itu. Pada periode I filsafatnya, pemikira
Wittgenstein terwakili secara amat baik terutama lewat magnum
opusnya Tractatus Logico-Philosophicus,sementara pada periode II
tergambar pada karya “anumerta”nya Philosiphical Investigation.
Dalam Tractatus, Wittgenstein menegaskan bahwa terhadap hal ihwal
yang terkait dengan metafisika, atau yang mistis, ataupun yang

12
transenden, yaitu segala sesuatu yang tidak dapat dikatakan dan
beyond the limits of the world, orang sebaiknya “diam” (be silent).
Konsekwensinya, Wittgenstein merasa tidak perlu membicarakan hal
ihwal yang berbau metafisik seperti Tuhan, hakikat hidup, makna
hidup, apalagi pengalaman mistis dan seterusnya karena dipandang
tidak bermakna. Wittgenstein I menyimpulkan bahwa ungkapan-
ungkapan yang tidak memiliki gambaran realitas dan keadaan faktual,
seperti hanya „bahasa mistik‟, bila dipaksakan akan melahirkan suara
gagap dan “omong kosong” atau non-sense. Dengan kata lain, fungsi
bahasa di sini hanya satu (uniformity) yakni menggambarkan fakta.
Sementara itu,sejak terbit Philosophical Investigations, tampak jelas
jika Wittgenstein tidak saja menolak pandangan-pandangannya sendiri
dalam Tractatus, tetapi juga menegaskan bahwa bahasa tidak hanya
memiliki satu fungsi saja, yaitu menyebut fakta, tetapi sekaligus
mengenalkan satu teori yang disebutnya “language games”
(permainan bahasa) yang secara fundamental menyebut bahwa bahasa
mempunyai banyak fungsi (pluriformity), sebagai representasi dari
beragamnya bentuk-bentuk kehidupan (form of life), dengan “tata
aturan” bahasa masing-masing yang khas dan tipikal. Dalam
Investigation, Wittgenstein juga menyadari betapa bahasa ilmiah yang
berparadigma “logis-empiris-faktual” tersebut sangat terbatas untuk
dapat mengungkapkan kompleksitas kehidupan dunia.13
13 Ibid., p.409-410

13
2. System of Thought Mehdi Ha‟iri Yazdi14
Sebelum mengurai lebih jauh system of thought Mehdi Ha‟iri
Yazdi, agaknya menarik menelusuri tradisi intelektual, khususnya
kajian filsafat yang membangun pemikirannya. Mehdi Ha‟iri Yazdi
adalah intelektual-filsuf Muslim kontemporer yang cukup unik.
Sebab, dalam dirinya mengalir dua tradisi filsafat dari latar belakang
yang sama sekali berbeda: filsafat Islam dan filsafat Barat. Ada hal
menarik dalam diri Mehdi Ha‟iri Yazdi ketika mencoba melihat
bagaimana respons dia terhadap “penghadapan” tradisi filsafat Islam
dan filsafat Barat, ia berkomentar “seseorang tidak akan pernah
mencapai sarjana Muslim sejati tanpa penguasaan yang luas tentang
filsafat Barat. Seorang sarjana sejati, karena itu, niscaya lebih dahulu
memahami hubungan antara dua pandangan-dunia (world view)
tersebut berikut pengaruhnya satu sama lainnya”. Bahkan secara tegas
Yazdi menyatakan, “kita tidak perlu segan untuk sementara waktu
menyimpan metodologi kita, jika kita sungguh-sungguh ingin
mengenal filsafat barat”.
Dari sini tampak jelas, sikap Yazdi terhadap Barat bukannya
dalam prespektif dikotomis vis a vis filsafat Islam, tetapi lebih
14
Mehdi Ha‟iri Yazdi dilahirkan pada 1923 dalam suatu keluarga ulama‟ terkemuka
di Qum. Ayahnya, Ayatullah Syaikh „Abd al-Karim Ha‟iri Yazdi adalah ulama‟
madzhab Syi‟ah yang paling masyhur dan berpengaruh di masanya dan merupakan
marja‟-i taqlid mayoritas kaum Syi‟ah. Dialah yang membangun Qum, kota suci
yang terletak 100 mil di bagian selatan Teheran, sebagai pusat utama kajian Syi‟ah
di Persia selama masa kekuasaan Reza Syah dan menjadikan pusat ini sebagai
saingan serius Najaf di Irak. Ayahnya juga seorang pendiri Sekolah tinggi Qum,
diman ahampir semua alim ulama terkemuka Iran pernah belajar disana. Dengan latar
belakang seperti itu , tak heran kalau Yazdi mengenal dan sangat dekat dengan
sejumlah ayatullah yang punya pengaruh sanagat kuat di Iran, seperti Sayyed
Hossein Burujirdi, Seyyed Aboghassem Kashani, Seyyed Mohammad-Kazem
Shariat-Madari dan Rohullah Khomeini.
Yazdi muda, karena itu, dibesarkan dalam keluarga ulama-ulama saleh yang dikenal
karena kebajikan dan semangat spiritualitas mereka. Dia memperoleh pendidikan
awal di tangan ayahnya sendiri kemudian melanjutkan studi tradisional formalnya di
Qum, tempat di mana ia kelak menguasai secara amat baik tentang ilmu-ilmu naqli
maupun ilmu-ilmu intelektual, dan mencapai tingkat otoritas tertinggi dalam hukum
Islam di samping teologi dan filsafat. Karena guru memiliki peran sangat signifikan
dalam tradisi intelektual Islam, maka sangat penting kiranya disebutkan sejumlah
nama guru. Yazdi belajar fiqih kepada Sayyid Muhammad Hujjat Kuh Kamari‟i dan
Ayatullah Burujirdi yang ternama itu, yang kelak menggantikan ayahnya Ayatullah
Syaikh „Abd al-Karim Ha‟iri Yazdi sebagai pemimpin tertinggi madzhab syi‟ah.

14
merupakan upaya “pendamaian” dengan pendekatan dialektis-kritis,
dalam rangka menemukan prespekif baru bagi dinamika pemikiran
filsafat.
Dalam sebuah studi cermat, akan tampak bahwa system of
thought Mehdi Ha‟iri Yazdi sekaitan dengan problem bahasa mistik
dapat dilihat misalnya dalam karya monumentalnya, The principe of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by presence,
selanjutnya disebut The principle, yang merupakan karya filfasat
dengan metodologi Barat, tetapi membahas tema-tema yang sangat
khas dan tipikal filsafat Islam.
Tujuan buku the principle sangat jelas, seperti dikatakan
Yazdi dalam pendahuluan bukunya: memperkenalkan pengetahuan-
dengan-kehadiran sebagai kesadaran manusia non-fenomenal, yang
disamakan dengan wujud fitrah manusia, secara epistemologis.
Pengetahuan-dengan-kehadiran (knowledge by presence),
adalah pengetahuan yang nyata bagi subyek yang mengetahui, secara
performatif, langsung dan tanpa perantara representasi mental atau
simbolisme kebahasaan apapun. Subyek yang terlibat dalam
pengetahuan ini oleh Yazdi disebut sebagai “aku performatif”, yang
pada tingkat tertinggi akan membawa kepada pengalaman mistik, dan
mempercepat proses pencapaian titik puncak kesadaran kesatuan diri:
kesatuan eksistensial mutlak dengan Tuhan.
Puncak perjalanan ”pengetahuan-dengan-kehadiran” muncul
dimulai dari tokoh-tokoh „irfan, seperti Ibn‟ Arabi yang masyhur
dengan doktrinnya mengenai kesatuan wujud (wahdat al-wujud),
selanjutnya Syihab al-Din al-Suhrawardi al-Matqul, untuk pertama
kalinya memberi penjelasan filosofis mengenai “pengetahuan-dengan-
kehadiran”(al-Ilm al-Hudhuri) ini, juga Nashiruddin al-Thusi yang
menjelaskan mengenai pengetahuan Tuhan mengenai Diri-Nya, dan
pengetahuan-Nya mengenai alam. Semua tokoh ini merintis
penjelasan mengenai “pengetahuan-dengn-kehadiran” sebagai
pengetahuan yang sepenuhnya “swa-obyektif”. Rintisan inilah yang

15
kelak pada tokoh seperti Badr al-Din al-Syirazi, yang populer dengan
Mulla Shadra, dikembangkan lagi dengan corak filsafat yang disebut
dengan asalat al-wujud (filsafat eksistensial), lewat cara al-Hikmah
al-Muta‟aliyah (metafilsafat). Usaha Shadra adalah memberikan
sebuah makna yang bersifat univok, segera dan primordial pada
eksistensi
Kesimpulan yang dapat ditarik oleh Yazdi dari latar historis
epistemologi (Islam) mengenai “pengetahuan dengan kesadaran” ini
adalah, munculnya sebuah kesadaran bahwa kebenaran eksistensial
subjek yang mengetahui dan “kesadaran kesatuannya” serta obyek
yang diketahui, menjadi satu. Inilah yang menurut Yazdi dasar dari
watak filsafat Islam tentang diri, jadi bukan hanya filsafat mistisisme,
yang dasar epistemologinya tidak bisa tidak, seperti dikatakan
Suhrawardi, yang juga menjadi pijakan teoritis dalam buku The
principle, harus: (1) bersifat pengetahuan-pengetahuan kehadiran; (2)
kesadaran swa-obyektif; (3) mempunyai teori swa-obyektif; (4)
mempunyai teori pengetahuan-dengan-kehadiran; (5) mempunyai
pengetahuan swa-obyektif; (6) bersifat pengetahuan non-intensional;
(7) bersifat pengetahuan non-fenomental; (8) bersifat pengetahuan
non-representasional; dan (9) ada keidentikan antara “menjadi” dan
mengetahui”.
Tema-tema inilah yang selanjutnya dicarikan pendasaran
epistemologinya oleh Yazdi, setelah sebelumnya ia membedakan
antara obyek imanen dan obyek transitif, dengan menyimpulkan
bahwa ada dua obyek yaitu “obyek yang subjektif-esensial” dan
“obyek yang obyektif-aksidental”. Ini juga yang mendasari adanya
dua jenis pengetahuan: pengetahuan-dengan-kehadiran dan
pengetahuan-dengan-korespondensi.
Pembedaan dua pengetahuan ini demikian pentingnya, karena
sering para filsuf mengekstrimkan yang satu dengan yang lain,
terutama pada zaman modern bahkan postmodern ini. Bandingkanlah
dengan Wittgeinstein, misalnya, yang dalam tractatus menekankan

16
kebenaran bertumpu pada pengetahuan-dengan-korespondensi saja,
sementara yang lainnya, seperti pengetahuan-dengan-kehadiran yang
menjadi dasar the misticalnya Wittgeinstein dianggapnya non-sense,
jika hal itu dipaksakan untuk dikatakan.
Dalam pengetahuan-dengan-kehadiran seperti antara lain
ditunjukkan secara mengagumkan oleh Mulla Shadra, kesatuan
eksistensial antara yang mengetahui, yang diketahui dan tindak
mengetahui terwujud sepenuhnya. Pengetahuan-dengan-kehadiran
adalah pengetahuan yang self-evident dan memiliki objek yang swa-
objektif. Dalam pengetahuan ini terbebaskan dualisme kebenaran dan
kesalahan yang menjadi tema pengetahuan-dengan-korespondensi,
yang secara subtansial tergantung pada objek subyektif-essential dan
obyek obyektif-aksidental. Pengetahuan-dengan-kehadiraan pun
terbebaskan dari pembedaan yang justru amat kuat terlihat dalam
pengetahuan-dengan-korespondensi, yakni antara pengetahuan-
dengan-„konsepsi” dan pengetahuan-dengan-„kepercayaan‟.
Jika ditelusuri lebih jauh tampak jelas jika system of thought Yazdi
memiliki pendasarannya yang sangat jauh berakar pada tradisi
mistisisme Iran pra-Islam, bahkan Hermetisisme yang memiliki
hubungan geneologi dengan tradisi perennial (perrennial phylosophy).
Melalui pinti Isyraq-nya Suhrawardi, Yazdi kemudian menyelami akar
geneologi epistimologi kehadiran tersebut, yang secara ilustratif dapat
dilihat pada gambar berikut.

17
Ilustrasi di atas ingin menggambarakan bahwa tradisi
intelektual Islam, baik dalam gnostiknya (ma‟rifah atau “irfan)
dan aspek-aspek filosofis maupun teosofis (falasafah hikmah),
melihat sumber kebenaran yang unik ini sebagai “agama
kebenaran” (Din al-haqq) dalam ajaran nabi-nabi kuno dimana
Adam sebagi tempat kembalinya dan memandang nabi Idris yang
diindentifikasikan dengan Hermes sebagai “bapak para filsuf” (Abu
al-hukama‟).
E. Refleksi atas Pemikiran Mistisisme Yazdi dan Wittgenstein
Dalam buku The Principle of Epistimologhy in Islamic Phylosophy
Knowledge by Presence, karya monumental Yazdi, betul-betul disajikan
sebuah karya epistimologis yang sesungguhnya. Karya filsafat ini,
Hermes
Aghathodemon (Seth)
Asclepiua
Pythagoras
Empedocles
Plato
Neo-Platonist
Dhu al-Nun al-Mijri
Abu Sahl Tustari
Persian Priest-Kings
Kiumarth
Faridun
Kai khusrau
Abu Yazid Bistami
Mansyur Hallaj
Abu Hasan Kharraqani
Suhrawardi
Mulla Shadra
M.H Yazdi

18
meskipun membicarakan aktualitas Surawardi, tetapi sama sekali bukanlah
karya teosofi, yang berisi ajaran-ajaran mistis “Isyraqi” dari Suhrawardi.
Namun, usaha filosofis Yazdi yang memberikan kejernihan epistemologis
dan meyakinkan pembacanya bahwa pengalaman keberagamaan: mulai
dari bentuk pengalaman mistik, penerimaan sistem emanasi sampai kepada
pengalaman wahdat al-wujud yang kontroversial itu, adalah hal yang
absah saja dari sudut pandang epitemologis.
Menariknya lagi, tema al-„ilm al-hudhuri yang disajikan Yazdi ini,
sekilas telah sanggup memberi jawaban atas „kegelisahan‟ Wittgenstein
yang ditulisnya sendiri dalam catatan hariannya, tanggal 11 Juni 1916:
“Apakah yang kuketahui tentang Tuhan dan tujuan hidup?
Aku tahu bahwa dunia ini ada.
Bahwa aku ditempatkan di dalamnya,
Bagaikan mata pada lapangan penglihatannya .
Bahwa ada sesuatu yang problematis tentang dunia,
Yang kita sebut makna dunia.
Dalam usaha mengetahui lebih jauh tentang tuhan, tujuan hidup dan
makna hidup.”
akhirnya Wittgenstein dalam tractatus logico-phylosophycus
“hanya berdiam diri” (be silent). Dalam phylosophycal investigations Ia
tidak memberikan suatu ajaran. Ia hanya memberikan pesan kesadaran
bahwa ada “jalan”, atau ada language game dari suatu bentuk-bentuk
kehidupan (form of life) yang bisa menjelaskan kepada kita tentang Tuhan,
tujuan hidup dan makna dunia. Tetapi, Ia tidak memberi tahu apa isinya.
Barangkali, karena ia juga menganggap ini sebagai the Mystical. Karena
itu, Wittgenstein menyatakan bahwa filsasat bukan merupakan persoalan
empiris melainkan persoalan yang mesti dipikirkan, dipahami, dan
dipecahkan dengan bahasa. Filsafat adalah pertaruhan melawan daya
pesona kecerdasan seseorang dengan menggunakan bahasa.
Seperti diketahui, pada bagian akhir Tractatus Wittgenstein
mengemukakan wacana yang berkait erat dengan „trasendental‟, „sesuatu
yang tidak terjangkau‟, dan „mistis‟. Dalam Tractatus proposisi 7,

19
Wittgenstein mengumandangkan kalimat yang sangat terkenal “where of
pne cannot speak, there of one must be silent”. Untuk memyelami makna
ungkapan tersebut agaknya diperlukan prespektif logika dala kerangka
teori gambar dalam bahasa, sebagai yang termaktub dalam Tractatus.
Dalam karya ini Wittgenstein meyakini bahwa bahasa pada dasarnya bisa
direduksi ke dalam pernyataan elementer yang mengombinasikan nama-
nama sedemikian rupa sehingga mencerminkan cara berbagai obyek di
dunia dikombinasikan menjadi fakta-fakta atomik. Dengan begitu,
kompleksitas dunia pun dipahami lewat kombinasi-kombinasi yang
mungkin dari obyek-obyek itu. Pandangan ini menggambarkan bagaimana
bahasa mampu memaparkan tentang dunia melalui fungsi deskriptif-
representatifnya. Bagi Wittgenstein, setiap pernyataan merepresentasikan
atau melukiskan fakta, artinya dunia adalah kumpulan-kumpulan fakta,
dan fakta-fakta tersebut berada dalam dunia. Melalui proposisi-proposisi
dunia dapat tergambarkan. Dengan demikian, tidaklah mungkin membuat
pernyataan tentang “keberkaitan” antara pernyataan itu sendiri dengan
dunia, sebab hal itu bukan fakta dalam dunia. Dengan lain perkataan,
bahasa tidak bisa digunakan untuk menjelaskan syarat kemungkinan
bahasa itu sendiri atau bagaimana bahasa pada dasarnya memiliki
“keberkaitan” dengan dunia, toh bahasa hanya mampu merepresentasikan
apa yang ada di dunia, sementara “keberkaitan” antara bahasa dengan
dunia tidak mungkin termasuk disana. Dengan ungkapan lain, bahwa
seseorang bisa saja menyuting dunia tetapi sang handycamp sendiri tidak
mungkin termasuk berada dalam alat syuting tersebut sebab dia berada di
luar obyek yang disyuting.15
“Batas-batas bahasa sebagai batas pikiran dan batas dunia” yang
kuat sekali disuarakan oleh Wittgenstein dalam tractatus, Yazdi dengan
istilahnya sendiri pengetahuan-dengan-korespendensi (knowledge by
correspondence) menerima bahwa, dalam pengetahuan-dengan-
korespondensi itu, memang ada, yang disebut Wittgenstein sebagai “batas-
batas bahasa”, tetapi ia tidak berhenti disini, karena ia melihat bahwa
15 Ibid., p.370-371

20
batas-batas bahasa itu terjadi, karena kita hanya membatasi pengetahuan,
dengan pengetahuan-dengan-korespondensi, atau “teori gambar‟-nya
Russel yang dikembangkan oleh Wittgenstein. Yazdi menunjukkan bahwa
ada pengetahuan yang tidak bisa dijelaskan dengan “teori gambar”. Inilah
yang disebutnya dengan “pengetahuan-dengan-kehadiran” (al-„ilm al-
hudhuri). Tentang adanya pengetahuan jenis ini, pada akhirnya juga
disadari Wittgenstein. Karena, pengetahuan-dengan-kehadiran adalah jenis
pengetahuan yang mempunyai language games yang khas dan typical
yang berbeda dengan pengetahuan-dengan-korespondensi. Karena itu,
absah belaka membangun epistemologi mengenai kehadiran atau yang
dalam istilah Yazdi “epistemologi al-hudhuri”.
Epistemologi jenis inilah dijelaskan struktur fundamentalnya oleh
Yazdi, karena itu, boleh dikatakan: Yazdi adalah seorang ahli filsafat
(Islam) yang “meneruskan” dan “mereformulasi” usaha-usaha yang sudah
dilakukan Wittgenstein, untuk memberikan penjelasan tentang adanya
banyak language games dalam struktur pengetahuan manusia. Usaha yang
dilakukan Yazdi adalah menjelaskan struktur epistemologis language
gemas dari pengalaman mistik.
Yazdi, tentu saja, tidak termasuk orang yang berpandangan bahwa
pengalaman mistik adalah sesuatu yang tidak bisa dikomunikasikan, atau
dituliskan filsafatnya. Ia justru ingin menegaskan bahwa kesulitan-
kesulitan soal ini, dapat diatasi dengan pembedaan kategoris, yakni:
Pertama, “mistisisme yang tidak bisa diceritakan” yaitu
pengalaman mistis murni yang tidak dikonseptualisasikan dalam terma-
terma pemahaman masyarakat umum, dan karena itu , sama sekali tidak
memiliki bahasa yang lazim dipahami masyarakat.
Kedua, “mistisisme yang introspektif dan rekonstruktif sebagai
bahasa (obyek) murni mistisisme”. Yazdi menyebut pemikiran ini sebagai
bahasa “dari” mistisisme .
Ketiga, “metamistisisme filosofis atau ilmiah” yang berbicara
”tentang” mistisme. Yang terakhir inialah yang menjadi dasar al-„ilm al-
hudhuri atau knowledge by presence.

21
F. Penutup
Pendekatan psikologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat gejala jiwa atau
tingkah laku manusia
Mistisisme sebagai pendekatan agama, tujuannya adalah untuk
memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada kehadirat Tuhan.
Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para
orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah
orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam
agama-agama lain.
Disini yang menjadi problem mistisisme yakni “bahasa” yang
digunakan untuk mengungkapkan pengalaman mistik seseorang, karena ia
bersifat self-consciousness. Maka Ludwig Wittgenstein pada Tractatus
Logico Philosophicus mengungkapkan bahwa pengetahuan mistis
merupakan sesuatu yang non-sense, sesuatu yang tidak terjangkau.
Mistisisme adalah sesuatu yang tidak terkatakan. Maka dari itu dia
memilih untuk “berdiam diri”. Akan tetapi dia mengalami perkembangan
pemikiran dalam tradisi filsafatnya, tampak jelas pada Philosophical
Investigation, ia menolak pandangannya tadi. Ia menegaskan bahwa
bahasa tidak hanya memiliki satu fungsi saja, yaitu menyebut fakta, akan
tetapi sekaligus mengenalkan teori yang disebut “language games” yang
secara fundamental menyebutkan bahwa bahasa mempunyai banyak
fungsi.
Mehdi Ha‟iri Yazdi merupakan seorang ahli filsafat (Islam) yang
“meneruskan” dan “mereformulasi” usaha-usaha yang sudah dilakukan
Wittgenstein, untuk memberikan penjelasan tentang adanya banyak
language games dalam struktur pengetahuan manusia. Usaha yang
dilakukan Yazdi adalah menjelaskan struktur epistemologis language
gemas dari pengalaman mistik.

22
Daftar Pustaka
Abdullah, M.Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.
Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001.
An-Najjar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf, Studi Komparatif dengan
Ilmu Jiwa Kontemporer, (Penerjemah: Hasan Abrori), Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001, Cet. Ke-2.
Crapps, Robert W., Dialog Psikologi dan Agama, Yogyakarta: Penerbit
Kansius, 1993.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1997, Cet. Ke-
2.
Hakim, Atang Abd., dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, Cet. Ke-8.
Jalaluddin, dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam
Mulia, 1993, Cet. Ke-2.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004,
Cet. Ke-8.
Muhammad Sabri, Lonceng Kematian Mistisisme Agama, (Yogyakarta:
Resist Book, 2010)
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003, Cet. Ke-8.