hipotiroid kongenital
Post on 21-Jul-2016
114 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipotiroid kongenital (HK) adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya produksi
hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hormon tiroid mempengaruhi metabolisme sel di
seluruh tubuh sehingga berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak. Kekurangan hormon tiroid dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak. Hal ini dapat terjadi karena
adanya kelainan pada anatomi kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau
kekurangan iodium.1
Prevalensi HK sangat bervariasi antar negara. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
etnis dan ras. Prevalensi hipotiroid kongenital di Amerika Serikat sekitar 1 : 3500
kelahiran hidup, sedangkan pada populasi kulit hitam sangat jarang. Berdasarkan
jenis kelamin, angka kejadian HK dua kali lebih tinggi pada anak perempuan
dibandingkan dengan anak laki-laki. Di seluruh dunia, prevalensi HK diperkirakan
mendekati 1: 3000 dengan kejadian sangat tinggi di daerah kekurangan iodium, yaitu
1 : 900. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi lagi yaitu
sebesar 1 : 1500 kelahiran hidup.2
Hipotiroid kongenital masih merupakan salah satu penyebab tersering
retardasi mental yang dapat dicegah.2 Deteksi dini kelainan bawaan melalui skrining
pada bayi baru lahir (BBL) merupakan salah satu upaya pencegahan untuk
mendapatkan generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Skrining atau uji
saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) adalah tes yang dilakukan pada saat
bayi berumur beberapa hari untuk memilah bayi yang menderita kelainan kongenital
dari bayi yang sehat. Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi adanya gangguan
kongenital sedini mungkin, sehingga bila ditemukan dapat segera dilakukan
intervensi secepatnya.3
Skrining hipotiroid kongenital pertama kali dilakukan oleh Fisher DA dkk
pada tahun 1972 di Amerika Utara. Skrining yang dilakukan pada 1.046.362 bayi, 1
dapat menyelamatkan 277 bayi dengan HK, kelainan primer 246 bayi (1: 4.254
kelahiran) dan 31 bayi dengan hipotiroid sentral (1: 68.200 kelahiran). Pemantauan
yang dilakukan memperlihatkan bahwa dengan pengobatan memadai sebelum umur
1 bulan, anak-anak tersebut dapat tumbuh normal. Di Indonesia skrining neonatal
masih belum merupakan suatu kebijakan nasional. Skrining HK pernah dilakukan di
dua laboratorium yaitu di RS Dr Hasan Sadikin (RSHS) dan RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM).Pada tahun 2000-2005 pada 55.647 bayi di RSHS dan
25.499 bayi di RSCM, dengan angka kejadian HK 1 : 3528 kelahiran. Selain itu,
skrining HK juga pernah dilakukan di tujuh propinsi, yaitu Sumbar, DKI Jakarta,
Jabar, Jateng, Jatim, Bali dan Sulsel. Tahun 2006-2009 telah diskrining 171.825
bayi dengan kasus HK 1 : 3850 kelahiran hidup.3
Hasil penelitian rekam medis di klinik endokrin anak RSCM dan RSHS
menunjukkan bahwa lebih dari 70% penderita HK didiagnosis setelah berumur 1
tahun. Hanya 2,3% yang bisa didiagnosis sebelum umur 3 bulan.3 Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa anak dengan kelainan hipotiroid kongenital yang diobati
sebelum berusia tiga bulan mempunyai kemungkinan mencapai tingkat intelegensi IQ
> 90 (normal) yaitu berkisar antara 75- 85%. Sedangkan yang diobati setelah berusia
lebih dari tiga bulan, 75% akan menderita keterbelakangan mental, gagal tumbuh,
gangguan neurologis, gangguan pendengaran, dan gangguan bicara.2,4
Oleh karena begitu besarnya efek yang ditimbulkan dari keterlambatan terapi
pada pasien HK terhadap kehidupan masa depan anak maka mutlak diperlukan
skrining untuk menemukan kasus hipotiroid secara dini. Tanpa upaya deteksi dan
terapi dini keadaan ini akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di
kemudian hari dan akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar pada
masa mendatang. Dengan demikian, deteksi dini melalui skrining pada BBL sangat
penting dilakukan dan pengobatan dapat segera diberikan untuk mencegah efek yang
ditimbulkan akibat keterlambatan terapi.2
1.2. Batasan Masalah
2
Referat ini membahas mengenai anatomi dan fisiologi tiroid, definisi, epidemiologi,
etiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, tata laksana, skrining, dan prognosis
hipotiroid kongenital
.
1.3. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai anatomi dan fisiologi
tiroid, definisi, epidemiologi, etiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, tata
laksana, skrining, dan prognosis hipotiroid kongenital.
1.4 Metode penulisan
Metode penulisan referat ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai
literatur.
BAB II3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelenjat Tiroid
2.1.1 Anatomi
Tiroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah
kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar tiroid terdiri dari dua buah lobus
yang simetris. Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal
yang besar serta dihubungkan oleh isthmus. Pada tepi superiornya terdapat lobus
piramidalis yang bertumbuh ke kranial.5
Setiap lobus kelenjar tiroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia
propria yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia
pretrachealis yang membentuk false capsule. Lobus-lobus ini dibagi atas septa-septa
jaringan ikat fibrous menjadi lobulus-lobulus, yang masing-masing terdiri dari 30-40
folikel. Kelenjar tiroid ini mengandung banyak pembuluh darah dan mempunyai
kecepatan arus darah yang tinggi.6
Gambar 2.1 Kelenjar tiroid1
2.1.2 Embriologi dan Fisiologi
4
Kelenjar tiroid janin berasal dari endoderm foregut yang kemudian bermigrasi ke
inferior sampai ke daerah kartilago tiroid. Semua yang terjadi selama proses migrasi
ini dapat menyebabkan terjadinya tiroid ektopik. Pada usia janin 7 minggu, kelenjar
tiroid sudah terdiri dari 2 lobus.2
Thyrotropin Releasing Hormon (TRH) sebagai pengatur sekresi kelenjar tiroid
mulai terdapat dalam neuron neonatus saat usia 4 minggu sedangkan Tiroid
Stimulating Hormon (TSH) mulai dihasilkan oleh hipofisis pada usia 9 minggu, dan
dapat dideteksi dalam sirkulasi pada usia 11 sampai 12 minggu. Kadar TSH dalam
darah mulai meningkat pada usia 12 minggu sampai aterm. Pada usia 4 minggu, janin
mulai mensintesis tiroglobulin. Aktivitas tiroid mulai tampak pada usia 8 minggu
kehamilan. Pada usia kehamilan 8 sampai 10 minggu, janin dapat melakukan ambilan
(trapping) iodium dan pada usia 12 minggu dapat memproduksi T4 yang secara
bertahap kadarnya terus meningkat sampai mencapai usia 36 minggu. Produksi TRH
oleh hipotalamus dan TSH oleh hipofisis terjadi dalam waktu yang bersamaan, tetapi
integrasi dan fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid dengan mekanisme umpan
baliknya belum terjadi sampai trimester kedua kehamilan.2
Sebelum memasuki trimester kedua kehamilan, perkembangan normal janin
sangat bergantung pada hormon tiroid ibu. Kira-kira sepertiga kadar T4 ibu dapat
melewati plasenta dan masuk ke janin. Apabila ibu hamil mengalami kelainan tiroid
atau mendapatkan pengobatan anti tiroid, misalnya penyakit Grave’s maka, obat anti
tiroid juga melewati plasenta sehingga janin beresiko mengalami hipotiroid. Setelah
bayi lahir terjadi kenaikan TSH mendadak yang menyebabkan peningkatan kadar T3
dan T4 yang kemudian secara perlahan-lahan menurun dalam 4 minggu pertama
kehidupan bayi. Pada bayi prematur kadar T4 saat lahir rendah kemudian meningkat
mencapai kadar bayi aterm dalam usia 6 minggu. Semua tahap yang melibatkan
sintesis hormon tiroid termasuk trapping, oksidasi, organifikasi, coupling, dan
sekresinya berada di bawah pengaruh TSH.2
Pada tahap trapping terjadi pengambilan iodide dari darah kedalam sel-sel dan
folikel kelenjer tiroid. Hal ini terjadi karena kemampuan dari membrane basal sel
tiroid untuk memompakan iodide secara aktif ke bagian dalam selnya. Selanjutnya 5
iodide akan dirubah menjadi bentuk iodium yang teroksidasi. Iodium teroksidasi
mampu langsung berikatan dengan asam amino tirosin yang ada di dalam molekul
tiroglobulin yang disebut dengan proses organifikasi.7
Gambar 2.2 Proses kimia pembentukan T3 dan T47
Tirosin mulanya di iodisasi menjadi monoioditirosin dan selanjutnya menjadi
diiodotirosin. Selama beberapa menit hingga beberapa hari molekul diiodotirosin
akan saling bergandengan (coupling) dan membentuk molekul tetraiodotironin (T4
atau tiroksin). Dapat juga terjadi gandengan molekul monoioditirosin dengan
diiodotirosin membentuk triiodotironin (T3) seperti pada gambar 2.2. Kedua hormon
yang terbentuk tetap menjadi bagian dari molekul tiroglobulin.7
Setelah hormon tiroid disintesis molekul tiroglobulin akan disimpan di dalam
folikel untuk menyuplai kebutuhan hormon tiroid dua sampai tiga bulan. Oleh karena
6
itu, bila sintesis hormon tiroid terhenti maka efek akibat defisiensinya akan tampak
setelah beberapa bulan.7
Sebagian besar T3 dan T4 dalam sirkulasi terikat dengan thyroid-binding
globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine,
TBPA). Thyroid stimulating hormone (TSH) memegang peranan terpenting untuk
mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses
pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat
mengadakan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar
tubuh. Selain itu terdapat sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang
berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium
serum terhadap tulang.7,8
Secara umum, hormon tiroid berfungsi mengaktifkan transkripsi inti sejumlah
gen. Pada proses tersebut reseptor hormon tiroid melekat pada untaian genetik DNA
dan biasanya membentuk heterodimer dengan reseptor retinoid X (RXR) pada elemen
respons hormon tiroid yang sepsifik pada DNA. Saat berikatan dengan hormon tiroid
reseptor menjadi aktif dan mengawali proses transkripsi. Kemudian terbentuk
sejumlah besar tipe RNA messenger yang berbeda, yang dalam beberapa menit atau
beberapa jam diikuti oleh translasi RNA pada ribososm sitoplasma untuk membentuk
ratusan tipe protein baru.7
Hormon tiroid dapat meningkatkan ukuran maupun aktifitas mitokondria yang
berperan dalam pembentukan Adenosin Trifosfat (ATP) untuk meningkatkan fungsi
sel. Efek hormon tiroid pada pertumbuhan lebih nyata terutama pada masa
pertumbuhan anak-anak. Pada keadaam hipotiroidisme kecepatan pertumbuhan
menjadi sangat tertinggal sedangkan pada hipertiroidisme sering kali terjadi
pertumbuhan tulang yang sangat berlebihan sehingga anak menjadi lebih tinggi
dibandingkan anak sebaya lainnya.8 Hormon tiroid juga memiliki efek yang kuat pada
pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun
pertama kehidupan. Bagian yang paling dipengaruhi adalah korteks serebri dan
ganglia basalis, sehingga defisiensi hormon tiroid yang terjadi selama masa 7
perkembangan akan menyebabkan otak lebih kecil dari normal, retardasi mental,
kekakuan motorik dan ketulian. Hormon tiroid juga menimbulkan efek pada refleks.
Waktu reaksi refleks regang menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan
memanjang pada hipotiroidisme.7,8
Kerja jantung juga dipengaruhi oleh hormon ini akibat kerja langsung T3 pada
miosit, dan sebagian melalui interaksi dengan katekolamin dan sistem saraf simpatis.
Hormon tiroid meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor β-adrenergik pada jantung,
sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap efek inotropik dan kronotropik
katekolamin. Hormon-hormon ini juga mempengaruhi jenis miosin yang ditemukan
pada otot jantung. Pada pengobatan dengan hormon tiroid, terjadi peningkatan kadar
myosin heavy chain-α (MHC-α), sehingga meningkatkan kecepatan kontraksi otot
jantung.8
Pada sebagian besar penderita hipotiroidisme terjadi kelemahan otot (miopati
tirotoksisitas). Kelemahan otot mungkin disebabkan oleh peningkatan katabolisme
protein. Hormon tiroid mempengaruhi ekspresi gen-gen Myosin Heavy Chain (MHC)
baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun, efek yang ditimbulkan bersifat
kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum jelas.8
T4 dan T3 meningkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang
metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus,
kelenjar limfe, limpa, dan hipofisis anterior. Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid
disebabkan oleh metabolisme asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon ini. Di
samping itu hormon tiroid meningkatkan aktivitas Na+K+ATPase yang terikat pada
membran di banyak jaringan. Bila pada orang dewasa taraf metabolisme ditingkatkan
oleh T4 dan T3, maka akan terjadi peningkatan ekskresi nitrogen. Bila masukan
makanan tidak ditingkatkan pada kondisi tersebut, maka protein endogen dan
simpanan lemak akan diuraikan yang berakibat pada penurunan berat badan.7,8
Hormon tiroid memberikan efek pada mekanisme tubuh yang spesifik pada
metabolisme karbohidrat dimana hormon tiroid merangsang hampir semua aspek
metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid mengakibatkan penggunaan glukosa yang
cepat oleh sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan glukogenesis, meningkatkan 8
kecepatan absorbsi saluran cerna, dan sekresi hormon insulin. Hal ini disebabkan oleh
naiknya seluruh enzim oleh hormon tiroid. Oleh karena hormon tiroid meningkatkan
metabolisme sebagian besar sel tubuh, maka kekurangan hormon ini kadang akan
menurunkan laju metabolisme basal tubuh.7
2.2. Hipotiroid Kongenital
2.2.1 Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak adekuat pada
bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh yang dapat
disebabkan oleh kelainan anatomi kelenjar tiroid, kelainan genetik, kesalahan
biosintesis tiroksin serta pengaruh lingkungan.1,9
Hipotiroid kongenital diklasifikasikan menjadi hipotiroid kongenital
permanen dan transien. Hipotiroid kongenital permanen merupakan defisiensi
persisten dari hormon tiroid yang membutuhkan pengobatan seumur hidup.
Sedangkan hipotiroid kongenital transien adalah kekurangan dari hormon tiroid
sementara yang ditemukan pada saat lahir dan produksinya kembali normal pada
bulan-bulan pertama atau tahun pertama kehidupan.9
2.2.2 Epidemiologi
Hipotiroid kongenital telah di temukan di berbagai daerah dan ras, dengan prevalensi
terbanyak di Asia dibandingkan daerah lain. Insiden pada kelahiran hidup bervariasi
dari 1:3000 sampai 1:4000 di berbagai belahan dunia. Hal ini dipengaruhi oleh
lingkungan, genetik, dan faktor autoimun. Penyebab tersering adalah disgenesis tiroid
yang mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan daripada
laki-laki dengan perbandingan 2:1. Anak dengan sindrom down memiliki resiko 35
kali lebih tinggi untuk menderita hipotiroid kongenital dibanding anak normal.2,9
Di Amerika serikat dilaporkan terjadi kenaikan insiden hipotiroid kongenital
dari 1:4094 pada 1987 menjadi 1:2372 pada 2002. Alasan peningkatan tersebut
belum diketahui, tapi diduga karena adanya peningkatan sensitivitas dan akurasi dari
test yang dilakukan terhadap TSH sehingga anak dengan hipotiroid ringan dapat
9
dideteksi. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar
1:1500 kelahiran hidup.2
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2007-2010 di Bali, dilakukan skrining
terhadap 6.347 bayi baru lahir, 28 bayi dinyatakan positif hipotiroid congenital, dari
28 bayi tersebut terdapat 17 bayi yang berasal dari kabupaten Karangasem, dimana
kabupaten tersebut berdasarkan peta prevalensi GAKY merupakan daerah endemis
sedang, sedangkan daerah lainnya merupakan endemis ringanA.
Hipotiroid Kongenital dengan Sindrom Down: Hipotiroid congenital sudah
dikenal sering terjadi pada anak-anak Sindrom Down. Rubello dkk melaporkan
bahwa 35% dari 344 penderita Sindrom Down di Italia menderita Hipotiroid
Kongenital dan 15,7% penderita Sindrom Down menunjukkan kadar TSH yang
normal. Pada penelitian yang dilakukan pada 137 anak-anak dengan sindrom Down
didapatkan 4 anak menderita hipotiroid congenital, 8 anak menderita hipotiroid
didapat. Tonachera dkk melaporkan bahwa tidak ada mutasi pada reseptor TSH.
Konning dkk melaporkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kadar
TSH pada penderita Sindrom Down tidak ada gangguan kadar TSH di serum
dibandingkan anak normalc.
2.2.3 Patogenesis
Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut:2
a. Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan penurunan sintesis
dan sekresi hormon tiroid sehingga terjadi hipotiroid primer. Pada keadaaan ini
terjadi peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma. 2
b. Jalur 2
Defisiensi yodium yang berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid
menurun sehingga hipofisis meningkatkan sekresi TSH untuk memacu kelenjar
tiroid mensekresi hormon tiroid. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya stadium
kompensasi dimana terjadi peningkatan kadar TSH dan pembesaran kelenjar
tiroid, namun kadar hormon tiroid masih normal. Bila stadium kompensasi
10
tersebut gagal, akan terjadi stadium dekompensasi dimana terjadi peningkatan
kadar TSH, struma difusa, dan kadar hormon tiroid rendah. 2
c. Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjar tiroid dapat mengganggu sintesis hormon
tiroid, seperti obat goitrogenik, tiroiditis, pasca tiroidektomi, pasca terapi yodium
radioaktif, dan kelainan enzim pada jalur sintesis hormon tiroid disebut
dishormonogenesis. Keadaan ini mengakibatkan penurunan sekresi hormon tiroid
sehingga terjadi hipotiroid dengan peningkatan kadar TSH, dengan atau tanpa
struma. 2
11
d. Jalur 4a
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan
hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid dengan kadar TSH sangat rendah atau
tidak terukur tanpa struma. 2
e. Jalur 4b
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan penurunan sekresi TSH akan
mengakibatkan hipotiroid penurunan kadar TSH tanpa struma. 2
Gambar 2.3. Patogenesis Hipotiroid2
Jalur 1, 2, dan 3 merupakan patogenesis terjadinya hipotiroid primer dengan
peningkatan kadar TSH. Pada jalur 1 tidak ditemukan struma, jalur 2 dengan struma,
dan jalur 3 dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4a dan 4b merupakan patogenesis
hipotiroid sekunder dengan kadar TSH yang rendah atau tidak terukur dan tanpa
struma.2
2.2.4 Etiologi
Etiologi hipotiroid kongenital bervariasi. Berdasarkan penyebabnya hipotiroid
kongenital dapat dikelompokkan menjadi:
12
1. Hipotiroid kongenital primer permanen, yaitu disebabkan oleh defek pada
perkembangan kelenjar tiroid (disgenesis tiroid), defek ikatan atau transduksi
sinyal TSH (dishormogenesis) dan defisiensi produksi hormon tiroid. 2,9
Disgenesis kelenjar tiroid merupakan penyebab tersering hipotiroid
kongenital yaitu (80%). Hal ini dapat terjadi akibat aplasia, hipoplasia, dan
kelenjar tiroid ektopik. Hipoplasia tiroid dapat disebabkan oleh beberapa defek
genetik, termasuk mutasi pada TSH subunit beta, reseptor TSH, dan faktor
transkripsi PAX8. Mutasi genetik pada faktor transkripsi tersebut dapat
mengakibatkan kelainan organ lainnya. Pada tiroid ektopik, kelenjar tiroid
mungkin terdapat di superior dan inferior tulang hyoid atau di atas kartilago
tiroid.2,9
Dihormogenesis meliputi kelainan proses sintesis, sekresi, dan utilisasi
hormon tiroid sejak lahir. Dishormonogenesis juga dapat diakibatkan defisiensi
enzim yang diperlukan dalam sintesis tiroid. Kelainan ini diturunkan secara
autosomal resesif. Kelainan ini mencakup 10% kasus hipotiroid kongenital.
Kelainan ini dapat terjadi karena:2
a. Kelainan reseptor TSH. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan fungsi
reseptor TSH pada membran sel tiroid atau kegagalan sistem adenilat siklase
untuk mengaktifkan reseptor TSH yang sebetulnya normal.
b. Kegagalan menangkap yodium. Keadaan ini disebabkan kegagalan fungsi
pompa yodium untuk memompa yodida konsentrat menembus membran sel
tiroid.
c. Kelainan organifikasi. Keadaan ini yang paling sering dijumpai. Defisiensi
enzim tiroid peroksidase menyebabkan yodida tidak dapat dioksidasi
(disorganifikasi) sehingga tidak dapat mengikat diri pada tirosin di dalam
tiroglobulin.
d. Defek coupling. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan enzimatik untuk
menggabungkan MIT dan DIT menjadi T3 maupun DIT dan DIT menjadi T4.
e. Kelainan deiodinasi. Kegagalan ini menyebabkan MIT dan DIT tidak dapat
melepaskan yodotirosin sehingga recycling yodium terhambat.13
f. Produksi tiroglobulin abnormal. Kegagalan ini menyebabkan tiroglobulin
tidak dapat melepaskan T3 dan T4 ke dalam sirkulasi darah.
g. Kegagalan sekresi hormon tiroid. Pada keadaan ini terjadi kegagalan enzim
proteolitik untuk memecah ikatan tiroglobulin-T4 sebelum dilepaskan ke
dalam sirkulasi.
h. Kelainan reseptor hormon tiroid perifer. Keadaan ini diturunkan secara
autosomal dominan. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya ikatan hormon tiroid
dengan reseptor di inti sel jaringan target sehingga hormon tiroid tidak dapat
berfungsi.2
Ibu yang mendapatkan pengobatan yodium radioaktif juga dapat
mengakibatkan hipotiroid primer permanen. Preparat yodium radioaktif dapat
melewati plasenta setelah usia gestasi 10 minggu, selanjutnya ditangkap oleh tiroid
janin sehingga mengakibatkan ablasio tiroid, stenosis trakea, dan hipoparatiroid.2,9
2. Hipotiroid kongenital primer transien2
Ibu dengan penyakit Graves atau mengkonsumsi bahan goitrogenik
Pada ibu yang mengonsumsi PTU propiltiourasil 200-400 mg/hari) dapat
mengakibatkan penurunan sintesis hormon tiroid hingga dua minggu setelah
lahir.
Defisiensi yodium pada ibu atau paparan yodium pada janin atau bayi baru
lahir
Transfer antibodi antitiroid dari ibu
Transfer antibodi antitiroid dari ibu menembus sawar plasenta dan
menghalangi reseptor TSH pada neonatus hingga usia 3-6 bulan kemudian
kadar antibodi tersebut akan menurun.
Bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah yang sakit
Idiopatik
3. Hipotiroid kongenital sekunder menetap
Kelainan ini merupakan 5 % seluruh kasus hipotiroid kongenital, dapat
disebabkan oleh: 2,9
Kelainan kongenital perkembangan otak tengah. 14
Ini merupakan penyebab defisiensi TSH kongenital. Kelainan ini meliputi
hipoplasia nervus optikus, displasia septooptik, atau dapat juga disertai
labiopalatoskizis.
Aplasia hipofisis kongenital
Idiopatik, yaitu riwayat trauma lahir, hipoksia, dan hipotensi sehingga
mengakibatkan infark hipofisis.2
4. Hipotiroid kongenital sekunder transien, dapat terjadi pada bayi dengan kadar T4
total, T4 bebas, dan TSH normal rendah. Keadaan ini sering terjadi pada bayi
prematur karena imaturitas aksis hipotalamus-hipofisis.2
2.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis hipotiroid kongenital berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala
klinis, dan pemeriksaan penunjang.
2.2.5.1. Anamnesis
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu menegakkan diagnosis
dengan menanyakan apakah ibu berasal dari daerah gondok endemik, riwayat struma
pada ibu, riwayat pengobatan anti tiroid waktu hamil, riwayat struma pada keluarga
dan riwayat perkembangan anak.3
2.2.5.2 Tanda dan Gejala Klinis
Pada periode bayi, biasanya manifestasi klinis hipotiroidisme sangat sulit ditemukan,
Dilaporkan 95% bayi yang lahir dengan hipotiroidisme kongenital secara klinis tidak
menunjukkan gejala1. Hal ini dapat disebabkan karena T4 dari ibu dapat melalui
plasenta, sehingga walaupun bayi tidak dapat memproduksi T4 sama sekali, kadar
dalam darahnya masih 25 – 50% kadar normal. Keadaan ini memberikan efek
perlindungan terhadap otak janin.9
Gambaran klinis klasik, yaitu lidah besar, suara tangis serak, wajah sembab,
pangkal hidung rata dengan “pseudohipertelorisme”, hernia umbilikalis, hipotonia,
kulit belang-belang “mottling”, tangan dan kaki dingin, serta letargi akan tampak
semakin jelas dengan berjalannya waktu.9,11,12 Gejala non spesifik yang menyokong
15
hipotiroidisme kongenital adalah umur kehamilan lebih dari 42 minggu (postterm),
ikterus neonatorum yang lama (lebih dari 3 minggu), ini disebabkan oleh immatur
hepatic glucuronyl transferase, kesulitan minum, konstipasi, hipotermi, atau distress
respirasi pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram.9 Sering didapatkan
fontanela anterior melebar, fontanela posterior melebar lebih dari 0,5 cm, namun hal
ini tidak spesifik. 11,12
Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan merupakan manifestasi klinis
yang paling mencolok pada kasus hipotiroid kongenital. Umumnya keterlambatan
perkembangan dan pertumbuhan akan tampak pada usia 36 bulan. Retardasi mental
yang terjadi akibat terlambat pengobatan sering disertai dengan gangguan neurologis
lainnya, seperti gangguan koordinasi, ataksia, diplegia spastik, hipotonia dan
strabismus. 11
Table 2.1 Prevelensi Individual Gejala Tiroidisme Sewaktu Didiagnosis9
16
Gambar 2.4 Bayi 3 bulan dengan HK yang tidak diterapi; gambar menunjukkan
postur hipotonik, myxedematous facies, mikroglosia dan hernia umbilikal9
2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
2.2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis pada
hipotiroid kongenital adalah penilaian kadar serum T4 bebas ( FT4 ), T4 total, T3 , dan
TSH. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien hipotiroid kongenital:2,9
Jika kadar T4 bebas rendah dan kadar TSH tinggi, hal itu mengarahkan
diagnosis pada hipotiroid primer, sedangkan jika kadar T4 bebas rendah dan
kadar TSH juga rendah, hal itu mengarahkan diagnosis pada hipotiroid
sekunder atau tersier.
Pada hipotiroid kompensata, kadar TSH meningkat tetapi kadar T4 normal,
kompesasinya terdapat struma difusa.
Pada hipotiroid dekompensata, terdapat struma difusa, kadar TSH meningkat
tetapi kadar T4 rendah.
Pada hipotiroid transien, awalnya kadar T4 rendah dan TSH tinggi tetapi pada
pemeriksaan selanjutnya kadar T4 dan TSH normal.
Pada defisiensi TBG, kadar T4 bebas normal dan kadar TBG rendah.
17
Interpretasi hasil pemeriksaan pada bayi prematur atau bayi sakit non tiroid
agak sulit ditentukan. Pada bayi tersebut sering dijumpai kadar T4 dan T3 rendah
sedangkan kadar TSH normal. Pada bayi prematur kadar T3 dan T4 akan mencapai
kadar sesuai bayi aterm setelah berusia 12 bulan, atau bila penyakit non tiroidnya
teratasi maka fungsi tiroid akan kembali normal. Karena keadaan ini merupakan
adaptasi fisiologis pada bayi prematur maupun bayi aterm yang mendapat stress
tertentu, maka keadaan ini tidak boleh dianggap sebagai hipotiroid. Pada bayi baru
lahir harus dingat bahwa pada minggu pertama kadar T4 serum masih tinggi sehingga
untuk menentukan angka normal harus disesuaikan dengan kadar T4 sesuai usia. 2,9
18
Tabel 2.2 Nilai Rujukan untuk kadar T4 total, T3, FT4, dan TSH2
Hormon Usia Nilai normalT4 (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke
3-4) Bayi atermUsia 1-3 hari1 minggu1-12 bulan1-3 tahun3-10 tahun
Anak pubertas (11-18 tahun)
2,6 – 14
8,2 – 19,96,0 – 15,96,1 – 14,96,8 – 13,55,5 – 12,84,9 – 13,0
FT4 (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) Bayi aterm
Usia 1-3 hari1-12 bulan
PrepubertasAnak pubertas (11-18 tahun)
0,4 – 2,8
2,0 – 4,00,9 – 2,60,8 – 2,20,8 – 2,3
T3 (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) Bayi aterm
Usia 1-3 hari1 minggu1-12 bulan
prepubertasAnak pubertas (11-18 tahun)
24 – 132
89 – 40591 – 30085 – 250119 – 21880 – 185
TSH (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) bayi aterm
Usia 4 hari1-12 bulan
prepubertasAnak pubertas (11-18 tahun)
0,8 – 6,9
1,3 – 160,9 – 7,70,6 – 5,50,5 – 4,8
2.2.5.3.2 Pemeriksaan Tiroglobulin Serum
Kadar tiroglobulin serum menggambarkan jumlah fungsional jaringan tiroid dan
umumnya meningkat seiring dengan peningkatan kerja tiroid. Saat inflamasi terjadi
banyak tiroglobulin yang masuk ke dalam sirkulasi. Suatu penelitian menunjukkan
bahwa pada neonatus dengan aplasia tiroid memiliki kadar globulin sangat rendah
(nilai tengah 12 ng/mL dengan rentang 2 – 54 ng/mL), sedang pada tiroid ektopik
(nilai tengah 92 ng/mL dengan rentang 11 – 231 ng/mL), dan sangat tinggi pada
struma (nilai tengah 226 ng/mL dengan rentang 3 – 425 ng/mL). Oleh karena itu,
19
pemeriksaan kadar tiroglobulin serum secara tidak langsung dapat membantu
menegakkan diagnosis etiologi hipotiroid kongenital.2,9
2.2.5.3.3 Pemeriksaan Iodin Urine
Pemeriksaan iodin urine dilakukan jika bayi baru lahir tinggal di daerah yang
endemik goiter atau terdapat riwayat paparan yodium yang berlebihan baik saat pra-
natal maupun pasca-natal. Pemeriksaan iodin urine dilakukan dengan menilai kadar
iodin urine 24 jam dengan nilai normal iodin pada neonatus berkisar antara 50–100
mcg. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menegakkan diagnosis etiologi hipotiroid
kongenital transien.2,9
2.2.5.3.4 Pemeriksaan Antibodi Antitiroid
Penyakit tiroid autoimun pada ibu yang berhubungan dengan produksi thyrotropin
receptor blocking antibody (TRB-Ab). Antibodi tersebut akan masuk ke janin dan
menghambat pengikatan TSH, menghambat fungsi dan perkembangan kelenjar tiroid.
Penyakit ini sering terjadi pada ibu usia reproduktif dengan angka kejadian sekitar 5
% dan mengakibatkan HK transien pada 1 : 100000 neonatus. Pemeriksaan ini hanya
direkomendasikan pada kasus ibu yang telah dikenal menderita penyakit tiroid
autoimun dan memiliki anak dengan HK transien sebelumnya dan sekarang hamil
lagi. 2,9
2.2.5.3.5 Pemeriksaan Radiologis
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan rontgen saat
lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital menunjukkan kekurangan hormon
tiroid selama kehidupan intrauterine. Contohnya, distal femoral epiphysis, yang
biasanya ada saat lahir, sering tidak ada. Epiphyses sering memiliki beberapa fokus
penulangan (epifisis disgenesis), deformitas (retak) dari vertebra thorakalis 12 atau
ruas lumbal 1 atau 2 sering ditemukan. Penilaian umur tulang (bone age) dapat
digunakan untuk mengetahui berapa lama pasien sudah menderita hipotiroid.13
20
(B)
Gambar 2.5 A: Foto cranium posisi lateral, tampak adanya gambaran pelebaran fontanel anterior permanen. B: Pada posisi AP, tampak ketiadaan distal femoris dan
proksimal tibia epifisis. C,D: Foto pelvis, pada anak usia 2 tahun (C) dan usia 5 tahun
21
(D) menunjukkan disgenesis epifisis pada proksimal femur epifisis. E,F: Foto torakolumbal, tampak adanya deformitas pada corpus vertebrae pada VL I-II14
2.2.5.3.6 USG Tiroid
Pemeriksaan USG tiroid dapat secara akurat menentukan adanya aplasia tiroid pada
pasien HK. Selain itu, USG tiroid juga dapat mendiagnosis tiroid ektopik pada pasien
HK, tetapi tidak seakurat dengan pemeriksaan skintigrafi.2,9
2.2.5.3.7 Elektrokardiografi ( EKG)
Elektrokardiogram mungkin menunjukkan gelombang P dan T voltase rendah dengan
amplitudo kompleks QRS yang berkurang dan menunjukkan fungsi ventrikel kiri
yang buruk dan efusi perikardial.2
2.2.5.3.8 Skintigrafi Kelanjar Tiroid
Pemeriksaan skintigrafi kelenjar tiroid masih merupakan cara terbaik untuk
menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Pada pemeriksaan neonatus digunakan
sodium pertechnetate (Tc99m) atau I123. Radioaktifitas I131 terlalu tinggi dan kurang
baik bagi jaringan tubuh sehingga jarang digunakan untuk neonatus. Pada aplasia
kelenjar tiroid, kelainan reseptor TSH, atau defek ambilan (trapping) tidak terlihat
ambilan zat radioaktif sehingga tidak terlihat bayangan kelenjar pada hasil skintigrafi.
Bila terlihat kelenjar tiroid besar dengan ambilan zat radioaktif tinggi, maka in
mungkin merupakan “ thiouracilinduced goiter” atau keleaina bawaan lainnya.2,9
Gambar 2.6 Skintigrafi Tiroid9
22
2.2.5.3.9 Pemeriksaan genetik
Pemeriksaan spesifik mutasi genetik hanya dilakukan atas dasar indikasi yang
jelas, seperti: mutasi genetik tiroid peroksidase pada neonatus dengan goiter,
peningkatan ambilan zat radioaktif, dan hasil positif pada tes perchlorate. Catatan
terakhir mutasi pada TTF-1, NKX2.1 atau gen PAX-8 ditemukan pada disgenesis
tiroid dengan angka kejadian sekitar 2 %.2,9
Tabel 2.3 Temuan diagnostik dari pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi etiologi pada hipotiroid kongenital9
DefekPencitraan
Radionuklida (Uptake)
Ultrasonografi Tiroid
Tiroglobulin Serum
TRB-Ab ibu
AplasiaHipoplasiaEktopikMutasi TSH-βMutasi reseptor inaktivasi TSHTrapping errorBeyond trapping errorTRB-Ab ibu
tidak ada ↓
↓, ektopiktidak ada
↓↓ atau tidak ada
↑↓ atau tidak ada
tidak ada tiroidkecil, eutopik
ektopik, hipoplasiaeutopik, hipoplasia
eutopikeutopik
eutopik, membesareutopik
rendahnormalnormalnormal
normal-tinggirendah-normal mutasi gen Tgrendah-normal
negatifnegatifnegatifnegatifnegatifnegatifnegatifpositif
23
Gambar 2.7 Algoritma dalam Menegakkan Diagnosis Hipotiroid Kongenital9
2.2.6. Penatalaksanaan
Tujuan umum pengobatan HK adalah menjamin agar anak mampu mencapai
pertumbuhan dan perkembangan mental mendekati potensi genetiknya. Keadaan ini
bisa dicapai dengan mengembalikan FT4 dan TSH dalam rentang normal dan
mempertahankan status klinis dan biokimiawi dalam keadaan eutiroid (tiroid normal).
Apapun penyebabnya, terapi sulih hormon dengan (pil tiroksin) L-thyroxine harus
secepatnya diberikan begitu diagnosis ditegakkan.3
Tujuan pengobatan hipotiroid kongenital adalah:2
a. Mengembalikan fungsi metabolisme yang esensial agar menjadi normal dalam
waktu singkat. Termasuk fungsi termoregulasi, respirasi, metabolism otot dan otot
jantung yang sangat diperlukan pada masa awal kehidupan seperti proses
enzimatik di otak, perkembangan akson, dendrite, sel glia dan proses mielinisasi
neuron.
24
b. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak.
c. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya otak.2
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Denpasar, terapi hipotiroid kongenital
sejak dini memberikan luaran pertumbuhan dan perkembangan intelektual yang lebih
baik. Namun, ada beberapa kondisi yang juga berperan terhadap luaran tumbuh
kembang pada balita dengan hipotiroid kongenital yaitu derajat beratnya penyakit,
ada atau tidaknya komorbid, dan keadekuatan terapi L-T4 (Levothyroxine) yang
diberikan, meliputi dosis awal yang tinggi, dan keteraturan minum obat, serta
ketaatan kunjungan. Indeks perkembangan psikomotor lebih baik pada hipotiroid
kongenital berat yang menggunakan dosis awal tinggi dibandingkan dosis standar.15
Dalam penatalaksanaan hipotiroid kongenital diberikan terapi hormon
pengganti. Levothyroxine (L-thyroxin) merupakan pilihan utama1. IDAI
menganjurkan pemberian dosis permulaan 10-15µg/kg pada bayi cukup bulan
diberikan rata-rata 37,5 µg-50 µg per hari.2
Tiroksin sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan makanan yang
mengandung goitrogen seperti protein kedele, zat besi, kalsium atau makanan tinggi
serat karena makanan ini akan mengikat T4 dan atau menghambat penyerapannya.1.2
Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan disesuaikan
dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4.3
Tabel 2.4 Dosis Umum Hormon Tiroid yang Diberikan2
Usia Na L-T4 (microgram/kgBB)0 - 3 bulan3 - 6 bulan6 - 12 bulan1 - 5 tahun6 - 12 tahun>12 tahun
10 -158 -106 - 85 - 64 - 52 – 3
Untuk neonatus yang terdeteksi pada minggu awal kehidupan
direkomendasikan untuk diberikan dosis inisial sebesar 10-15 μg/kg/hari karena lebih
cepat dalam normalisasi kadar T4 dan TSH. Pada bayi cukup bulan diberikan rata-
rata 37,5 – 50 µg per hari. Bayi-bayi dengan hipotiroidisme berat (kadar T4 sangat
25
rendah, TSH sangat tinggi, dan hilangnya epifise femoral distal dan tibia proksimal
pada gambaran radiologi lutut) harus dimulai dengan dosis 15 μg/kgBB/hari.2,3
Besarnya dosis hormon tergantung berat ringannya kelainan. Bayi dengan
hipotiroid kongenital berat, yaitu dengan kadar T4 kurang dari 5 µg, sebaiknya
diberikan 50 µg. Pemberian 50 µg lebih cepat menormalkan kadar T4 dan TSH.3
Secara umum pengobatan langsung dengan dosis penuh aman bagi neonatus.
Bila ada tanda-tanda kelainan jantung atau tanda-tanda dekompensasi jantung, maka
pengobatan dianjurkan dimulai dengan dosis rendah, yaitu 1/3 dosis, dan setelah
selang beberapa hari dinaikkan 1/3 dosis lagi sampai dosis penuh yang dianjurkan
tercapai.2
Dosis diberikan harus selalu disesuaikan dengan keadaan klinis penderita dan
hasil pemeriksaan biokimiawi serum tiroksin dan TSH menurut umur (age reference
range). Dalam pengonsumsian pil tiroksin dapat dengan digerus atau dihancurkan,
kemudian bisa dicampur dengan ASI atau air putih. Dalam pemberian obat jangan
bersamaan dengan produk kacang kedelai, zat besi, kalsium, alumunium hidroksida,
suplemen tinggi serat, dan sukralfat karena dapat menganggu penyerapan dari
hormon tiroksin.2
Target terapi berdasarkan American Academy of Pediatris (AAP) untuk
skrining BBL dan terapi hipotiroid kongenital sama dengan yang dipublikasikan oleh
European Society for Pediatric Endocrinology (ESPE) yaitu:9
Serum T4 bebas atau total T4 harus berada di garis normal pada tahun pertama
kehidupan.
Nilai target pada tahun pertama kehidupan adalah 130-206 nmol/L (10-16 µg/dl)
untuk serum T4 dan 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dl) untuk T4 bebas.
Serum TSH harus berada di atas 5 mU/L. 9
Selain pengobatan dalam menatalaksana hipotiroid kongenital diperlukan
pemantauan fungsi tiroid secara teratur. 2
1. Pematauan TSH dan T4/FT4
26
Dalam rangka penyesuaian dosis, perlu dilakukan pemeriksaan ulang kadar
TSF dan T4/FT4 dengan jadwal sebagai berikut:
• Setelah 2 minggu dan 4 minggu sejak pengobatan Tiroksin.
• Pada 6 bulan pertama, tiap 1 atau 2 bulan.
• Umur 6 bulan - 3 tahun, tiap 3 atau 4 bulan.
• Umur 3 tahun - 18 tahun, pemeriksaan dilakukan tiap 6 sampai 12 bulan.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan Iebih sering bila adanya keraguan terhadap
kepatuhan atau adanya perubahan dosis.
• FT4 dan TSH harus diulangi 4 minggu setelah perubahan dosis tiroksin. 2
2. Target Nilai TSH, T4 dan FT4
Target nilai TSH, T4 dan FT4 selama pengobatan tahun pertama:
• Nilai T4 serum,130-206 nmol/L(10-16 µg/dI).
• FT4 18-30 pmol/L (1,4-2,3 µg/dl) kadar FT4 ini dipertahankan pada nilai di
atas 1,7 µg/dl (75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini merupakan kadar
optimal.
• Kadar TSH serum sebaiknya dipertahankan di bawah 5 mU/L. 2
3. Pemantauan Lainnya
Selain itu pemantauan TSH dan T4/FT4, dilakukan pemantauan:
• Pertumbuhan/antropometri, sesuai dengan petunjuk SDIDTK (Stimulasi
Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang).
• Perkembangan, sesuai dengan petunjuk SDIDTK.
• Fungsi mental dan kognitif, sesuai dengan petunjuk SDIDTK.
• Tes pendengaran, sesuai dengan petunjuk SDIDTK.
• Umur tulang (tiap tahun). 2
Apabila diagnosis etiologi belum ditegakkan, maka pada umur 3 tahun dilakukan
evaluasi ulang untuk menentukan apakah pengobatan harus seumur hidup (pada
kelainan disgenesis tiroid) atau dihentikan (kelainan tiroid karena antibodi antitiroid).
Jika perlu evaluasi ulang dan konsul dokter spesialis anak konsultan endokrin. 2
Tindak lanjut jangka pendek dimulai dari hasil laboratorium (hasil positif) dan
berakhir dengan pemberian terapi hormon tiroid (tiroksin). Tindak lanjut jangka 27
panjang diawali sejak pemberian obat dan berlangsung seumur hidup pada kelainan
yang permanen. 2
Gambar 2.8 A dan B bayi dengan gejala hipotiroid kongenital: makroglosia, wajah
sembab, hernia umbilikalis, dan udem skrotum. C dan D setelah mendapat
pengobatan 1-3 bulan16
2.2.7. Efek Keterlambatan Terapi
Dari hasil penelitian di Iran melaporkan bahwa terdapat 5 kasus hipotiroid kongenital
yang terlambat didiagnosis. Efek samping terbanyak dari kasus tersebut adalah ikterik
yang memanjang, nafsu makan yang menurun, letargi, keterbelakangan mental,
penurun tingkat intelegensi B.28
Kretin sporadik disebabkan oleh kegagalan kelenjar tiroid janin dalam memproduksi
hormon tiroid secara cukup karena berbagai sebab. Setelah bayi berusia 3 bulan,
mulai tampak gambaran klasik yaitu suara tangis berat dan parau, hipoplasia
hidung/nasoorbita, lidah membesar, kulit kasar dan kering, hernia umbilikalis, reflek
tendon menurun dan terlambat mencapai perkembangan sesuai umur.16
Setelah usia 6 bulan, anak tampak bodoh karena retardasi mental. gangguan
intelektual, berdasarkan hasil penelitian dibelanda sebelum adanya skrining hipotiroid
kongenital penderita hipotiroid congenital mempunyai IQ dibawah 70 setelah
diberlakukan skrining hipotiroid Kongenital dan dilakukan terapi yang adekuat
didapatkan anak-anak dengan hipotiroid mempunyai IQ rata-rata 95-105. Penelitian
lainnya mengatakan bahwa jika di terapi pada saat lahir sampai usia 3 bulan
didapatkan rata-rata IQ 89 (64-107), jika diterapi mulai usia 3 sampai 6 bulan rata-
rata IQ 71 (35-96) dan jika pada usia 6 bulan belum dimulai terapi maka IQ rata-rata
54 (24-80).1,17
Pada kurun usia berikutnya, adanya pertumbuhan tinggi badan yang sangat
terganggu (cebol). Sebelum adanya skrining hipotiroid Kongenital persentasi anak
dengan tinggi dibawah persentil 10 sebesar 19% sampai 31%, setelah adanya skring
dan dengan terapi yang adekuat dilaporkan bahwa pertumbuhan linear yang normal
pada masa bayi dan anak-anak.2,16
Terdapat juga gangguan neurologi khususnya tanda-tanda disfungsi cerebelar,
misalnya gangguan keseimbangan, tremor, disartri, dan lainnya. Apabila tidak
diobati, maka akan timbul komplikasi yaitu gangguan tumbuh (short stature),
gangguan perkembangan intelek (retardasi mental), gangguan pendengaran, dan
dekompensasi kordis. Keterlambatan pemberian terapi setiap 1 bulan akan
menurunkan IQ sebesar 1 poin.4
2.2.8 Skrining
Mengingat gejala hipotiroid tidak jelas dan akibat yang ditimbulkannya sangat
mempengaruhi kehidupan masa depan anak, maka mutlak diperlukan skrining untuk
menemukan kasus hipotiroid secara dini. Tujuan Skrining Hipotiroid Kongenital 29
(SHK) adalah menghilangkan atau menurunkan mortalitas, morbiditas, dan kecacatan
akibat penyakit hipotiroid kongenital. Dengan demikian upaya ini harus bisa
menjamin bahwa bayi yang menderita hipotiroid kongenital secepatnya didiagnosis
dan mendapatkan pengobatan yang optimal.3
Program skrining hipotiroid kongenital pada neonatus sudah dilakukan di negara
maju, sedangkan untuk negara berkembang seperti halnya Indonesia, skrining
hipotiroid masih belum menjadi kebijakan nasional. Skrining dilakukan pada bayi
baru lahir yang menunjukkan gejala-gejala hipotiroid.2
Metode skrining hipotiroid kongenital dilakukan dengan mengambil tetesan
darah pada medial atau lateral tumit yang diletakkan pada kertas saring yang diambil
pada usia 3-4 hari. Ada 4 metode skrining yang bisa digunakan untuk medeteksi
hipotiroid kongenital:18
1. Pemeriksaan awal T4, diikuti pemeriksaan TSH bila kadar T4 rendah
Negara-negara di Amerika Utara menggunakan pemeriksaan awal kadar
T4 sebagai metode skrining utama dilanjutkan dengan pengukuran kadar TSH
bila kadar T4 rendah. Semua bayi dengan kadar T4 rendah dan kadar TSH lebih
dari 40 µU/L harus dipertimbangkan sebagai hipotiroid kongenital dan harus
segera dilakukan tes konfirmasi. Pemberian pengobatan bisa segera diberikan
tidak perlu menunggu keluar hasil tes konfirmasi. Apabila kadar TSH meningkat
tetapi kurang dari 40 µU/L maka dilakukan pemeriksaan ulang dengan sampel
baru.18
2. Pemeriksaan awal TSH, diikuti pemeriksaan kadar T4 bila kadar TSH tinggi
Jepang dan sebagian besar negara eropa menggunakan kadar TSH sebagai
metode skrining utama dengan pengukuran kadar T4 untuk pemeriksaan lanjutan.
Bayi yang memiliki kadar TSH awal > 50 µU/mL memiliki kemungkinan sangat
besar untuk menderita hipotiroid kongenital permanen, sedangkan kadar TSH 20-
49 µU/mL dapat menunjukkan hipotiroid transien atau positif palsu.2
3. Kombinasi pemeriksaan TSH dan T4
Dalam beberapa tahun ke depan, media pemeriksaan T4 dan TSH secara
simultan dapat dilakukan. Metode ini merupakan programskrining yang paling 30
ideal. Dengan metode ini diagnosis dapat cepat dibuat dalam waktu 48 jam
sehingga mencegah keterlambatan pengobatan. 18
4. Kombinasi T4- TSH- TBG
Kampers Dkk 2006 dalam penelitiannya antara 1 april 2012 – 31 mei 2012
yang melibatkan 430.764 bayi dilakukan skrining menggunakan metode T4 –
TSH – TBG, menyimpulkan bahwa dengan metode ini sangat efisien untuk
medeteksi hipotiroid kongenital dengan berbagai etiologi baik primer maupun
sentral dan berbagai derajat beratnya penyakit.18
Metode skrining yang digunakan memiliki kelebihan-kelebihan dan
kekurangan-kekurangan masing-masing. Metode T4/backup TSH dapat mendeteksi
hipotiroid primer, sekunder, tersier, defisiensi TBG, dan hipotiroidisme hipotalamus
hipofisis akan tetapi tidak mampu mendeteksi bayi dengan hipotiroid kompensata,
sedangkan metode TSH mampu mendeteksi dengan jelas bayi dengan hipotiroid
kompensata tetapi tidak mampu mendeteksi bayi dengan hipotiroid primer, sekunder,
tersier, defisiensi TBG, dan hipotiroid hipotalamus hipofisis.18
31
Gambar 2.9 Algoritma Skrining pada Hipotiroid Kongenital dan Pengelolaan
pada Bayi16
2.2.9 Prognosis
Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang
lebih baik. Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiroid
kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya.
Diagnosis awal dan pengobatan yang cukup sejak umur minggu pertama kehidupan
32
memungkinkan pertumbuhan linier yang normal dan intelegensinya setingkat dengan
saudara kandung yang tidak terkena.10
Pada awal program, digunakan L-T4 (Levo-Tiroksin) dengan dosis 5-8
ug/kgBB, diberikan sampai usia 4-5 minggu. Data-data dari penelitian lain
menunjukkan bahwa bila pada pengobatan awal dengan dosis tinggi, menggunakan
dosis 10-15 ug/kgBB, dan pemberiannya awal (sebelum 2 minggu) maka
development gap tidak ada, dengan mengabaikan beratnya hipotiroidisme kongenital
pada saat lahir. Kempers MJE dkk meneliti bayi dengan hipotiroidisme kongenital
yang ditemukan dengan program skrining, didapatkan 136 pasien, ternyata pada
pasien usia 21 tahun enam bulan yang pada masa bayi mengalami hipotiroidisme
berat didapatkan kelainan motorik, verbal, dan skor IQ berbeda secara bermakna
dengan kontrol, dan waktu permulaan pemberian terapi tidak berpengaruh. Pemberian
hormon tiroid jangka lama perlu pemantauan pada jantungnya, penelitian mengenai
pemberian hormon tiroid jangka panjang pada 32 pasien hipotiroidisme kongenital
(21 perempuan dan 11 laki-laki) usia 18,1 ± 0,2 tahun, mendapatkan disfungsi
diastolik, kapasitas kerja jantung kurang, dan penebalan pada intima media yang
berbeda secara bermakna dengan kontrol. Veer LvdS dkk dalam penelitiannya pada
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan saat dewasa yang pada masa bayi
didiagnosis hipotiroidisme kongenital ditemukan saat skrining dan diberikan
pengobatan dini, masih berpengaruh negatif terhadap kualitas hidupnya (fungsi
kognitif, tidur, rasa sakit, aktivitas, vitalitas, agresivitas, perasaan depresi) berbeda
secara bermakna dengan anak yang normal, demikian juga perkembangan sosial dan
rasa percaya diri, walaupun keluaran akhir tingkat pendidikannya tidak berbeda
dengan populasi normal.16
Tanpa pengobatan bayi yang terkena menjadi cebol dan defisiensi mental.
Bila pengobatan dimulai pada usia 46 minggu IQ pasien tidak berbeda dengan IQ
populasi kontrol. Program skrinng di Quebec (AS) mendapatkan bahwa IQ pasien
pada usia 1 tahun sebesar 115, usia 18 bulan sebesar 104, dan usia 36 bulan sebesar
103. Pada pemeriksaan di usia 36 bulan didapatkan hearing speech dan practical
reasoning lebih rendah dari populasi kontrol. Pada sebagian kecil kasus dengan IQ 33
normal dapat dijumpai kelainan neurologis, antara lain gangguan koordinasi motorik
kasar dan halus, ataksia, tonus otot meningggi atau menurun, gangguan pemusatan
perhatian dan gangguan bicara. Tuli sensorineural ditemukan pada 20% kasus
hipotiroid kongenital.1,2 Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa walaupun
diterapi sedinii mungkin dikatakan tetap ada kelainan intelektual meski sedikit.11
34
BAB III
KESIMPULAN
Hipotiroid kongeital adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya produksi
hormon tiroid sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak. Secara epidemiologi kejadian
HK bervariasi di seluruh dunia, perbedaan ini dipengaruhi oleh berbagai ras dan etnis
dengan insiden seluruh dunia diperkirakan sekitar 1 : 3000 kelahiran hidup. Insiden
hipotiroid di Indonesia sendiri diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500
kelahiran hidup.
Disgenesis kelenjar tiroid merupakan penyebab tersering hipotiroid kongenital
sekitar 80 %. Hal ini dapat terjadi akibat aplasia, hipoplasia, dan kelenjar tiroid
ektopik. HK dibedakan menjadi HK primer dan HK sekunder (sentral). HK primer
disebabkan oleh kelainan pada kelenjar tiroid. HK sekuder terjadi akibat kelainan
pada hipofisis atau hipotalamus.
Penegakan diagnosis secara dini merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk mencegah keterlambatan terapi pada pasien hipotiroid kongenital. Skrining
BBL merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk pencegahan keadaan tersebut.
Skrining dilakukan pada saat bayi berumur beberapa hari untuk mendeteksi adanya
gangguan kongenital sedini mungkin, sehingga dapat segera dilakukan intervensi.
Skrining dilakukan pada terutama pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
berisiko tinggi, seperti barasal dari daerah endemik gondok, mempunyai riwayat
struma, mendapatkan pengobatan anti tiroid selama kehamilan, riwayat struma pada
keluarga, dan pada bayi dengan gejala dan tanda klinis hipotiroid. Namun sebagian
besar bayi baru lahir dengan hipotiroidisme kongenital secara klinis tidak
menunjukkan gejala spesifik sehingga sangat sulit ditemukan. Pemeriksaan
penunjang juga dapat digunakan untuk mendeteksi dini hipotiroid kongenital pada
bayi baru lahir. Apabila dicurigai menderita hipotiroid kongenital, maka dilakukan
pemeriksaan darah untuk pemeriksaan kadar T4 dan TSH.
35
Pengobatan segera dilakukan pada bayi yang menunjukkan hasil skrining
positif menderita hipotiroid kongenital. Tujuan pengobatan yaitu menjamin agar anak
mampu mencapai pertumbuhan dan perkembangan mental mendekati potensi
genetiknya. Keadaan ini bisa dicapai dengan mengembalikan FT4 dan TSH dalam
rentang normal dan mempertahankan status klinis dan biokimiawi dalam keadaan
eutiroid. Pada bayi yang terlambat didiagnosis menderita hipotiroid kongenital,
Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan merupakan manifestasi klinis yang
paling mencolok. Umumnya keterlambatan perkembangan dan pertumbuhan akan
tampak pada usia 36 bulan. Retardasi mental yang terjadi akibat terlambat
pengobatan sering disertai dengan gangguan neurologis, gangguan koordinasi, dan
gangguan pendengaran.
Deteksi dini yang dilakukan pada bayi baru lahir berisiko menderita hipotiroid
kongenital dapat mencegah terjadinya keterlambatan terapi yang dapat menimbulkan
efek yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat di masa mendatang. Oleh
karena begitu besarnya manfaat yang didapat dengan dilakukannya program skrining
terhadap bayi baru lahir yang berisiko menderita hipotiroid kongenital, maka
sepatutnyalah program skrining tersebut menjadi suatu program nasional dalam upaya
menurunkan insiden penyakit hipotiroid kongenital di Indonesia.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Stephen La Franchi, Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia: Saunders;
2007:2319-25
2. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku Ajar
Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; i10: 205-212
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Skrining Hipotiroid
Kongenital. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012
4. Suryati Kumorowulan dan Sri Supadmi. Kretin Endemik dan Kretin Sporadik
(Hipotiroid Kongenital). MGMI Volume 1 No 3; 2010: 78-119
5. David C. Sabiston. Glandula Thyroidea. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid 1.
Jakarta: EGC; 1995
6. Keith L. Moore and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea. Dalam: Anatomi
Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002
7. Guyton AC dan Hall JE. Hormon Metabolik Tiroid. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC; 2007: 978-91
8. Lauralee Sherwood. Organ Endokrin Perifer. Dalam: Fisiologi Manusia Dari Sel
ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001: 644-51
9. Maynika V Rastogi dan Stephen H LaFranchi. Congenital Hypothyroidism.
Orphanet Journal of Rare Diseases: 2010; 5: 17: 1-22
10. Counts D and Varma SK. Hypothyroidism in Children. Pediatr Rev 30; 2009:
251-8
11. Peter F and Muzsnai A. Congenital Disorders of The Thyroid: Hypo/hyper.
Endocrinol Metab Clin N Am: 38; 2009: 491-507
12. Chabre O and Rodien P. Disease of the Thyroid in Childhood and Adolescence. N
Engl Jurnal Medicine: 357; 2007: 202-3
13. G. Van Vliet and M Polak. Thyroid Disorders in Infancy. In: Pediatric
Endocrinology Fifth Edition Volume 2. New York: Informa Healthcare USA Inc;
2007: 392-837
14. Soliman AT, Vicenzo DS, Elsaid MA. Congenital Hypothyroidism: Effects on
Linear Growth, Catch-Up Growth, GH-IGF-I Axis and Bones. J Clin endocrinol;
2013: 91-118
15. Adi Wirawan, Sunartini, Bikin Suryawan, Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak
Hipotiroid Kongenital yang Diterapi Dini dengan Levo-tiroksin dan Dosis Awal
Tinggi. Sari Pediatri Vol.15 No.2; 2013
16. Bongers-Schokking JJ. Kelainan Tiroid Masa Bayi. Dalam: Susanto Rudi.
Thyrodoilogy Update. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Undip; 2009:
1-34
17. Kubicky, RA, Weiner E, Carlson B. Effect Prolonged Discontinuation of L-
Thyroxine Replacement in a Child Congenital Hypothyroidism. J clin endocrinol;
2012
18. Postelon DC, Borgious MJ, Varma S. Kelainan Tiroid Masa Bayi. Dalam:
Susanto Rudi. Thyrodoilogy Update. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Undip; 2009: 1-34
A. Adi Wirawan, Sunartini, Bikin Suryawan, Soetjiningsih. Tumbuh Kembang
Anak Hipotiroid Kongenital yang Diterapi Dini dengan Levo-tiroksin dan
Dosis Awal Tinggi. Sari Pediatri Vol.15 No.2; 2013
B. Hasan MA, Rawabdeh N, El-Majali AJ, Mohaisen M. Delayed Diagnosis of
Hypothyroidism in Children Result in Avoidable Severe Complication: A
Report of Five Cases. JRMS. Jordan: King Hussein Medical Center; 2003:
10(2): 48-53
38
top related