hipotiroid kongenital

57
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipotiroid kongenital (HK) adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya produksi hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hormon tiroid mempengaruhi metabolisme sel di seluruh tubuh sehingga berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekurangan hormon tiroid dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak. Hal ini dapat terjadi karena adanya kelainan pada anatomi kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau kekurangan iodium. 1 Prevalensi HK sangat bervariasi antar negara. Perbedaan ini dipengaruhi oleh etnis dan ras. Prevalensi hipotiroid kongenital di Amerika Serikat sekitar 1 : 3500 kelahiran hidup, sedangkan pada populasi kulit hitam sangat jarang. Berdasarkan jenis kelamin, angka kejadian HK dua kali lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Di seluruh dunia, prevalensi HK diperkirakan mendekati 1: 3000 dengan kejadian sangat tinggi di daerah kekurangan iodium, yaitu 1 : 900. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 1 : 1500 kelahiran hidup. 2 1

Upload: sara-fadila-pramadani

Post on 21-Jul-2016

114 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

efek keterlambatan skrining

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hipotiroid kongenital (HK) adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya produksi

hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hormon tiroid mempengaruhi metabolisme sel di

seluruh tubuh sehingga berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan

anak. Kekurangan hormon tiroid dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan

perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak. Hal ini dapat terjadi karena

adanya kelainan pada anatomi kelenjar tiroid, gangguan metabolisme tiroid, atau

kekurangan iodium.1

Prevalensi HK sangat bervariasi antar negara. Perbedaan ini dipengaruhi oleh

etnis dan ras. Prevalensi hipotiroid kongenital di Amerika Serikat sekitar 1 : 3500

kelahiran hidup, sedangkan pada populasi kulit hitam sangat jarang. Berdasarkan

jenis kelamin, angka kejadian HK dua kali lebih tinggi pada anak perempuan

dibandingkan dengan anak laki-laki. Di seluruh dunia, prevalensi HK diperkirakan

mendekati 1: 3000 dengan kejadian sangat tinggi di daerah kekurangan iodium, yaitu

1 : 900. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi lagi yaitu

sebesar 1 : 1500 kelahiran hidup.2

Hipotiroid kongenital masih merupakan salah satu penyebab tersering

retardasi mental yang dapat dicegah.2 Deteksi dini kelainan bawaan melalui skrining

pada bayi baru lahir (BBL) merupakan salah satu upaya pencegahan untuk

mendapatkan generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Skrining atau uji

saring pada bayi baru lahir (Neonatal Screening) adalah tes yang dilakukan pada saat

bayi berumur beberapa hari untuk memilah bayi yang menderita kelainan kongenital

dari bayi yang sehat. Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi adanya gangguan

kongenital sedini mungkin, sehingga bila ditemukan dapat segera dilakukan

intervensi secepatnya.3

Skrining hipotiroid kongenital pertama kali dilakukan oleh Fisher DA dkk

pada tahun 1972 di Amerika Utara. Skrining yang dilakukan pada 1.046.362 bayi, 1

dapat menyelamatkan 277 bayi dengan HK, kelainan primer 246 bayi (1: 4.254

kelahiran) dan 31 bayi dengan hipotiroid sentral (1: 68.200 kelahiran). Pemantauan

yang dilakukan memperlihatkan bahwa dengan pengobatan memadai sebelum umur

1 bulan, anak-anak tersebut dapat tumbuh normal. Di Indonesia skrining neonatal

masih belum merupakan suatu kebijakan nasional. Skrining HK pernah dilakukan di

dua laboratorium yaitu di RS Dr Hasan Sadikin (RSHS) dan RS Cipto

Mangunkusumo (RSCM).Pada tahun 2000-2005 pada 55.647 bayi di RSHS dan

25.499 bayi di RSCM, dengan angka kejadian HK 1 : 3528 kelahiran. Selain itu,

skrining HK juga pernah dilakukan di tujuh propinsi, yaitu Sumbar, DKI Jakarta,

Jabar, Jateng, Jatim, Bali dan Sulsel. Tahun 2006-2009 telah diskrining 171.825

bayi dengan kasus HK 1 : 3850 kelahiran hidup.3

Hasil penelitian rekam medis di klinik endokrin anak RSCM dan RSHS

menunjukkan bahwa lebih dari 70% penderita HK didiagnosis setelah berumur 1

tahun. Hanya 2,3% yang bisa didiagnosis sebelum umur 3 bulan.3 Berdasarkan hasil

penelitian diketahui bahwa anak dengan kelainan hipotiroid kongenital yang diobati

sebelum berusia tiga bulan mempunyai kemungkinan mencapai tingkat intelegensi IQ

> 90 (normal) yaitu berkisar antara 75- 85%. Sedangkan yang diobati setelah berusia

lebih dari tiga bulan, 75% akan menderita keterbelakangan mental, gagal tumbuh,

gangguan neurologis, gangguan pendengaran, dan gangguan bicara.2,4

Oleh karena begitu besarnya efek yang ditimbulkan dari keterlambatan terapi

pada pasien HK terhadap kehidupan masa depan anak maka mutlak diperlukan

skrining untuk menemukan kasus hipotiroid secara dini. Tanpa upaya deteksi dan

terapi dini keadaan ini akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di

kemudian hari dan akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar pada

masa mendatang. Dengan demikian, deteksi dini melalui skrining pada BBL sangat

penting dilakukan dan pengobatan dapat segera diberikan untuk mencegah efek yang

ditimbulkan akibat keterlambatan terapi.2

1.2. Batasan Masalah

2

Referat ini membahas mengenai anatomi dan fisiologi tiroid, definisi, epidemiologi,

etiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, tata laksana, skrining, dan prognosis

hipotiroid kongenital

.

1.3. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai anatomi dan fisiologi

tiroid, definisi, epidemiologi, etiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, tata

laksana, skrining, dan prognosis hipotiroid kongenital.

1.4 Metode penulisan

Metode penulisan referat ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai

literatur.

BAB II3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelenjat Tiroid

2.1.1 Anatomi

Tiroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah

kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar tiroid terdiri dari dua buah lobus

yang simetris. Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal

yang besar serta dihubungkan oleh isthmus. Pada tepi superiornya terdapat lobus

piramidalis yang bertumbuh ke kranial.5

Setiap lobus kelenjar tiroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia

propria yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia

pretrachealis yang membentuk false capsule. Lobus-lobus ini dibagi atas septa-septa

jaringan ikat fibrous menjadi lobulus-lobulus, yang masing-masing terdiri dari 30-40

folikel. Kelenjar tiroid ini mengandung banyak pembuluh darah dan mempunyai

kecepatan arus darah yang tinggi.6

Gambar 2.1 Kelenjar tiroid1

2.1.2 Embriologi dan Fisiologi

4

Kelenjar tiroid janin berasal dari endoderm foregut yang kemudian bermigrasi ke

inferior sampai ke daerah kartilago tiroid. Semua yang terjadi selama proses migrasi

ini dapat menyebabkan terjadinya tiroid ektopik. Pada usia janin 7 minggu, kelenjar

tiroid sudah terdiri dari 2 lobus.2

Thyrotropin Releasing Hormon (TRH) sebagai pengatur sekresi kelenjar tiroid

mulai terdapat dalam neuron neonatus saat usia 4 minggu sedangkan Tiroid

Stimulating Hormon (TSH) mulai dihasilkan oleh hipofisis pada usia 9 minggu, dan

dapat dideteksi dalam sirkulasi pada usia 11 sampai 12 minggu. Kadar TSH dalam

darah mulai meningkat pada usia 12 minggu sampai aterm. Pada usia 4 minggu, janin

mulai mensintesis tiroglobulin. Aktivitas tiroid mulai tampak pada usia 8 minggu

kehamilan. Pada usia kehamilan 8 sampai 10 minggu, janin dapat melakukan ambilan

(trapping) iodium dan pada usia 12 minggu dapat memproduksi T4 yang secara

bertahap kadarnya terus meningkat sampai mencapai usia 36 minggu. Produksi TRH

oleh hipotalamus dan TSH oleh hipofisis terjadi dalam waktu yang bersamaan, tetapi

integrasi dan fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid dengan mekanisme umpan

baliknya belum terjadi sampai trimester kedua kehamilan.2

Sebelum memasuki trimester kedua kehamilan, perkembangan normal janin

sangat bergantung pada hormon tiroid ibu. Kira-kira sepertiga kadar T4 ibu dapat

melewati plasenta dan masuk ke janin. Apabila ibu hamil mengalami kelainan tiroid

atau mendapatkan pengobatan anti tiroid, misalnya penyakit Grave’s maka, obat anti

tiroid juga melewati plasenta sehingga janin beresiko mengalami hipotiroid. Setelah

bayi lahir terjadi kenaikan TSH mendadak yang menyebabkan peningkatan kadar T3

dan T4 yang kemudian secara perlahan-lahan menurun dalam 4 minggu pertama

kehidupan bayi. Pada bayi prematur kadar T4 saat lahir rendah kemudian meningkat

mencapai kadar bayi aterm dalam usia 6 minggu. Semua tahap yang melibatkan

sintesis hormon tiroid termasuk trapping, oksidasi, organifikasi, coupling, dan

sekresinya berada di bawah pengaruh TSH.2

Pada tahap trapping terjadi pengambilan iodide dari darah kedalam sel-sel dan

folikel kelenjer tiroid. Hal ini terjadi karena kemampuan dari membrane basal sel

tiroid untuk memompakan iodide secara aktif ke bagian dalam selnya. Selanjutnya 5

iodide akan dirubah menjadi bentuk iodium yang teroksidasi. Iodium teroksidasi

mampu langsung berikatan dengan asam amino tirosin yang ada di dalam molekul

tiroglobulin yang disebut dengan proses organifikasi.7

Gambar 2.2 Proses kimia pembentukan T3 dan T47

Tirosin mulanya di iodisasi menjadi monoioditirosin dan selanjutnya menjadi

diiodotirosin. Selama beberapa menit hingga beberapa hari molekul diiodotirosin

akan saling bergandengan (coupling) dan membentuk molekul tetraiodotironin (T4

atau tiroksin). Dapat juga terjadi gandengan molekul monoioditirosin dengan

diiodotirosin membentuk triiodotironin (T3) seperti pada gambar 2.2. Kedua hormon

yang terbentuk tetap menjadi bagian dari molekul tiroglobulin.7

Setelah hormon tiroid disintesis molekul tiroglobulin akan disimpan di dalam

folikel untuk menyuplai kebutuhan hormon tiroid dua sampai tiga bulan. Oleh karena

6

itu, bila sintesis hormon tiroid terhenti maka efek akibat defisiensinya akan tampak

setelah beberapa bulan.7

Sebagian besar T3 dan T4 dalam sirkulasi terikat dengan thyroid-binding

globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine,

TBPA). Thyroid stimulating hormone (TSH) memegang peranan terpenting untuk

mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar

hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses

pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat

mengadakan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar

tubuh. Selain itu terdapat sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang

berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium

serum terhadap tulang.7,8

Secara umum, hormon tiroid berfungsi mengaktifkan transkripsi inti sejumlah

gen. Pada proses tersebut reseptor hormon tiroid melekat pada untaian genetik DNA

dan biasanya membentuk heterodimer dengan reseptor retinoid X (RXR) pada elemen

respons hormon tiroid yang sepsifik pada DNA. Saat berikatan dengan hormon tiroid

reseptor menjadi aktif dan mengawali proses transkripsi. Kemudian terbentuk

sejumlah besar tipe RNA messenger yang berbeda, yang dalam beberapa menit atau

beberapa jam diikuti oleh translasi RNA pada ribososm sitoplasma untuk membentuk

ratusan tipe protein baru.7

Hormon tiroid dapat meningkatkan ukuran maupun aktifitas mitokondria yang

berperan dalam pembentukan Adenosin Trifosfat (ATP) untuk meningkatkan fungsi

sel. Efek hormon tiroid pada pertumbuhan lebih nyata terutama pada masa

pertumbuhan anak-anak. Pada keadaam hipotiroidisme kecepatan pertumbuhan

menjadi sangat tertinggal sedangkan pada hipertiroidisme sering kali terjadi

pertumbuhan tulang yang sangat berlebihan sehingga anak menjadi lebih tinggi

dibandingkan anak sebaya lainnya.8 Hormon tiroid juga memiliki efek yang kuat pada

pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun

pertama kehidupan. Bagian yang paling dipengaruhi adalah korteks serebri dan

ganglia basalis, sehingga defisiensi hormon tiroid yang terjadi selama masa 7

perkembangan akan menyebabkan otak lebih kecil dari normal, retardasi mental,

kekakuan motorik dan ketulian. Hormon tiroid juga menimbulkan efek pada refleks.

Waktu reaksi refleks regang menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan

memanjang pada hipotiroidisme.7,8

Kerja jantung juga dipengaruhi oleh hormon ini akibat kerja langsung T3 pada

miosit, dan sebagian melalui interaksi dengan katekolamin dan sistem saraf simpatis.

Hormon tiroid meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor β-adrenergik pada jantung,

sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap efek inotropik dan kronotropik

katekolamin. Hormon-hormon ini juga mempengaruhi jenis miosin yang ditemukan

pada otot jantung. Pada pengobatan dengan hormon tiroid, terjadi peningkatan kadar

myosin heavy chain-α (MHC-α), sehingga meningkatkan kecepatan kontraksi otot

jantung.8

Pada sebagian besar penderita hipotiroidisme terjadi kelemahan otot (miopati

tirotoksisitas). Kelemahan otot mungkin disebabkan oleh peningkatan katabolisme

protein. Hormon tiroid mempengaruhi ekspresi gen-gen Myosin Heavy Chain (MHC)

baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun, efek yang ditimbulkan bersifat

kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum jelas.8

T4 dan T3 meningkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang

metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus,

kelenjar limfe, limpa, dan hipofisis anterior. Beberapa efek kalorigenik hormon tiroid

disebabkan oleh metabolisme asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon ini. Di

samping itu hormon tiroid meningkatkan aktivitas Na+K+ATPase yang terikat pada

membran di banyak jaringan. Bila pada orang dewasa taraf metabolisme ditingkatkan

oleh T4 dan T3, maka akan terjadi peningkatan ekskresi nitrogen. Bila masukan

makanan tidak ditingkatkan pada kondisi tersebut, maka protein endogen dan

simpanan lemak akan diuraikan yang berakibat pada penurunan berat badan.7,8

Hormon tiroid memberikan efek pada mekanisme tubuh yang spesifik pada

metabolisme karbohidrat dimana hormon tiroid merangsang hampir semua aspek

metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid mengakibatkan penggunaan glukosa yang

cepat oleh sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan glukogenesis, meningkatkan 8

kecepatan absorbsi saluran cerna, dan sekresi hormon insulin. Hal ini disebabkan oleh

naiknya seluruh enzim oleh hormon tiroid. Oleh karena hormon tiroid meningkatkan

metabolisme sebagian besar sel tubuh, maka kekurangan hormon ini kadang akan

menurunkan laju metabolisme basal tubuh.7

2.2. Hipotiroid Kongenital

2.2.1 Definisi

Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak adekuat pada

bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh yang dapat

disebabkan oleh kelainan anatomi kelenjar tiroid, kelainan genetik, kesalahan

biosintesis tiroksin serta pengaruh lingkungan.1,9

Hipotiroid kongenital diklasifikasikan menjadi hipotiroid kongenital

permanen dan transien. Hipotiroid kongenital permanen merupakan defisiensi

persisten dari hormon tiroid yang membutuhkan pengobatan seumur hidup.

Sedangkan hipotiroid kongenital transien adalah kekurangan dari hormon tiroid

sementara yang ditemukan pada saat lahir dan produksinya kembali normal pada

bulan-bulan pertama atau tahun pertama kehidupan.9

2.2.2 Epidemiologi

Hipotiroid kongenital telah di temukan di berbagai daerah dan ras, dengan prevalensi

terbanyak di Asia dibandingkan daerah lain. Insiden pada kelahiran hidup bervariasi

dari 1:3000 sampai 1:4000 di berbagai belahan dunia. Hal ini dipengaruhi oleh

lingkungan, genetik, dan faktor autoimun. Penyebab tersering adalah disgenesis tiroid

yang mencakup 80% kasus. Lebih sering ditemukan pada anak perempuan daripada

laki-laki dengan perbandingan 2:1. Anak dengan sindrom down memiliki resiko 35

kali lebih tinggi untuk menderita hipotiroid kongenital dibanding anak normal.2,9

Di Amerika serikat dilaporkan terjadi kenaikan insiden hipotiroid kongenital

dari 1:4094 pada 1987 menjadi 1:2372 pada 2002. Alasan peningkatan tersebut

belum diketahui, tapi diduga karena adanya peningkatan sensitivitas dan akurasi dari

test yang dilakukan terhadap TSH sehingga anak dengan hipotiroid ringan dapat

9

dideteksi. Insiden hipotiroid di Indonesia diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar

1:1500 kelahiran hidup.2

Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2007-2010 di Bali, dilakukan skrining

terhadap 6.347 bayi baru lahir, 28 bayi dinyatakan positif hipotiroid congenital, dari

28 bayi tersebut terdapat 17 bayi yang berasal dari kabupaten Karangasem, dimana

kabupaten tersebut berdasarkan peta prevalensi GAKY merupakan daerah endemis

sedang, sedangkan daerah lainnya merupakan endemis ringanA.

Hipotiroid Kongenital dengan Sindrom Down: Hipotiroid congenital sudah

dikenal sering terjadi pada anak-anak Sindrom Down. Rubello dkk melaporkan

bahwa 35% dari 344 penderita Sindrom Down di Italia menderita Hipotiroid

Kongenital dan 15,7% penderita Sindrom Down menunjukkan kadar TSH yang

normal. Pada penelitian yang dilakukan pada 137 anak-anak dengan sindrom Down

didapatkan 4 anak menderita hipotiroid congenital, 8 anak menderita hipotiroid

didapat. Tonachera dkk melaporkan bahwa tidak ada mutasi pada reseptor TSH.

Konning dkk melaporkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kadar

TSH pada penderita Sindrom Down tidak ada gangguan kadar TSH di serum

dibandingkan anak normalc.

2.2.3 Patogenesis

Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut:2

a. Jalur 1

Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan penurunan sintesis

dan sekresi hormon tiroid sehingga terjadi hipotiroid primer. Pada keadaaan ini

terjadi peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma. 2

b. Jalur 2

Defisiensi yodium yang berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid

menurun sehingga hipofisis meningkatkan sekresi TSH untuk memacu kelenjar

tiroid mensekresi hormon tiroid. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya stadium

kompensasi dimana terjadi peningkatan kadar TSH dan pembesaran kelenjar

tiroid, namun kadar hormon tiroid masih normal. Bila stadium kompensasi

10

tersebut gagal, akan terjadi stadium dekompensasi dimana terjadi peningkatan

kadar TSH, struma difusa, dan kadar hormon tiroid rendah. 2

c. Jalur 3

Semua hal yang terjadi pada kelenjar tiroid dapat mengganggu sintesis hormon

tiroid, seperti obat goitrogenik, tiroiditis, pasca tiroidektomi, pasca terapi yodium

radioaktif, dan kelainan enzim pada jalur sintesis hormon tiroid disebut

dishormonogenesis. Keadaan ini mengakibatkan penurunan sekresi hormon tiroid

sehingga terjadi hipotiroid dengan peningkatan kadar TSH, dengan atau tanpa

struma. 2

11

d. Jalur 4a

Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan

hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid dengan kadar TSH sangat rendah atau

tidak terukur tanpa struma. 2

e. Jalur 4b

Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan penurunan sekresi TSH akan

mengakibatkan hipotiroid penurunan kadar TSH tanpa struma. 2

Gambar 2.3. Patogenesis Hipotiroid2

Jalur 1, 2, dan 3 merupakan patogenesis terjadinya hipotiroid primer dengan

peningkatan kadar TSH. Pada jalur 1 tidak ditemukan struma, jalur 2 dengan struma,

dan jalur 3 dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4a dan 4b merupakan patogenesis

hipotiroid sekunder dengan kadar TSH yang rendah atau tidak terukur dan tanpa

struma.2

2.2.4 Etiologi

Etiologi hipotiroid kongenital bervariasi. Berdasarkan penyebabnya hipotiroid

kongenital dapat dikelompokkan menjadi:

12

1. Hipotiroid kongenital primer permanen, yaitu disebabkan oleh defek pada

perkembangan kelenjar tiroid (disgenesis tiroid), defek ikatan atau transduksi

sinyal TSH (dishormogenesis) dan defisiensi produksi hormon tiroid. 2,9

Disgenesis kelenjar tiroid merupakan penyebab tersering hipotiroid

kongenital yaitu (80%). Hal ini dapat terjadi akibat aplasia, hipoplasia, dan

kelenjar tiroid ektopik. Hipoplasia tiroid dapat disebabkan oleh beberapa defek

genetik, termasuk mutasi pada TSH subunit beta, reseptor TSH, dan faktor

transkripsi PAX8. Mutasi genetik pada faktor transkripsi tersebut dapat

mengakibatkan kelainan organ lainnya. Pada tiroid ektopik, kelenjar tiroid

mungkin terdapat di superior dan inferior tulang hyoid atau di atas kartilago

tiroid.2,9

Dihormogenesis meliputi kelainan proses sintesis, sekresi, dan utilisasi

hormon tiroid sejak lahir. Dishormonogenesis juga dapat diakibatkan defisiensi

enzim yang diperlukan dalam sintesis tiroid. Kelainan ini diturunkan secara

autosomal resesif. Kelainan ini mencakup 10% kasus hipotiroid kongenital.

Kelainan ini dapat terjadi karena:2

a. Kelainan reseptor TSH. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan fungsi

reseptor TSH pada membran sel tiroid atau kegagalan sistem adenilat siklase

untuk mengaktifkan reseptor TSH yang sebetulnya normal.

b. Kegagalan menangkap yodium. Keadaan ini disebabkan kegagalan fungsi

pompa yodium untuk memompa yodida konsentrat menembus membran sel

tiroid.

c. Kelainan organifikasi. Keadaan ini yang paling sering dijumpai. Defisiensi

enzim tiroid peroksidase menyebabkan yodida tidak dapat dioksidasi

(disorganifikasi) sehingga tidak dapat mengikat diri pada tirosin di dalam

tiroglobulin.

d. Defek coupling. Keadaan ini disebabkan oleh kegagalan enzimatik untuk

menggabungkan MIT dan DIT menjadi T3 maupun DIT dan DIT menjadi T4.

e. Kelainan deiodinasi. Kegagalan ini menyebabkan MIT dan DIT tidak dapat

melepaskan yodotirosin sehingga recycling yodium terhambat.13

f. Produksi tiroglobulin abnormal. Kegagalan ini menyebabkan tiroglobulin

tidak dapat melepaskan T3 dan T4 ke dalam sirkulasi darah.

g. Kegagalan sekresi hormon tiroid. Pada keadaan ini terjadi kegagalan enzim

proteolitik untuk memecah ikatan tiroglobulin-T4 sebelum dilepaskan ke

dalam sirkulasi.

h. Kelainan reseptor hormon tiroid perifer. Keadaan ini diturunkan secara

autosomal dominan. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya ikatan hormon tiroid

dengan reseptor di inti sel jaringan target sehingga hormon tiroid tidak dapat

berfungsi.2

Ibu yang mendapatkan pengobatan yodium radioaktif juga dapat

mengakibatkan hipotiroid primer permanen. Preparat yodium radioaktif dapat

melewati plasenta setelah usia gestasi 10 minggu, selanjutnya ditangkap oleh tiroid

janin sehingga mengakibatkan ablasio tiroid, stenosis trakea, dan hipoparatiroid.2,9

2. Hipotiroid kongenital primer transien2

Ibu dengan penyakit Graves atau mengkonsumsi bahan goitrogenik

Pada ibu yang mengonsumsi PTU propiltiourasil 200-400 mg/hari) dapat

mengakibatkan penurunan sintesis hormon tiroid hingga dua minggu setelah

lahir.

Defisiensi yodium pada ibu atau paparan yodium pada janin atau bayi baru

lahir

Transfer antibodi antitiroid dari ibu

Transfer antibodi antitiroid dari ibu menembus sawar plasenta dan

menghalangi reseptor TSH pada neonatus hingga usia 3-6 bulan kemudian

kadar antibodi tersebut akan menurun.

Bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah yang sakit

Idiopatik

3. Hipotiroid kongenital sekunder menetap

Kelainan ini merupakan 5 % seluruh kasus hipotiroid kongenital, dapat

disebabkan oleh: 2,9

Kelainan kongenital perkembangan otak tengah. 14

Ini merupakan penyebab defisiensi TSH kongenital. Kelainan ini meliputi

hipoplasia nervus optikus, displasia septooptik, atau dapat juga disertai

labiopalatoskizis.

Aplasia hipofisis kongenital

Idiopatik, yaitu riwayat trauma lahir, hipoksia, dan hipotensi sehingga

mengakibatkan infark hipofisis.2

4. Hipotiroid kongenital sekunder transien, dapat terjadi pada bayi dengan kadar T4

total, T4 bebas, dan TSH normal rendah. Keadaan ini sering terjadi pada bayi

prematur karena imaturitas aksis hipotalamus-hipofisis.2

2.2.5 Diagnosis

Penegakan diagnosis hipotiroid kongenital berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala

klinis, dan pemeriksaan penunjang.

2.2.5.1. Anamnesis

Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu menegakkan diagnosis

dengan menanyakan apakah ibu berasal dari daerah gondok endemik, riwayat struma

pada ibu, riwayat pengobatan anti tiroid waktu hamil, riwayat struma pada keluarga

dan riwayat perkembangan anak.3

2.2.5.2 Tanda dan Gejala Klinis

Pada periode bayi, biasanya manifestasi klinis hipotiroidisme sangat sulit ditemukan,

Dilaporkan 95% bayi yang lahir dengan hipotiroidisme kongenital secara klinis tidak

menunjukkan gejala1. Hal ini dapat disebabkan karena T4 dari ibu dapat melalui

plasenta, sehingga walaupun bayi tidak dapat memproduksi T4 sama sekali, kadar

dalam darahnya masih 25 – 50% kadar normal. Keadaan ini memberikan efek

perlindungan terhadap otak janin.9

Gambaran klinis klasik, yaitu lidah besar, suara tangis serak, wajah sembab,

pangkal hidung rata dengan “pseudohipertelorisme”, hernia umbilikalis, hipotonia,

kulit belang-belang “mottling”, tangan dan kaki dingin, serta letargi akan tampak

semakin jelas dengan berjalannya waktu.9,11,12 Gejala non spesifik yang menyokong

15

hipotiroidisme kongenital adalah umur kehamilan lebih dari 42 minggu (postterm),

ikterus neonatorum yang lama (lebih dari 3 minggu), ini disebabkan oleh immatur

hepatic glucuronyl transferase, kesulitan minum, konstipasi, hipotermi, atau distress

respirasi pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram.9 Sering didapatkan

fontanela anterior melebar, fontanela posterior melebar lebih dari 0,5 cm, namun hal

ini tidak spesifik. 11,12

Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan merupakan manifestasi klinis

yang paling mencolok pada kasus hipotiroid kongenital. Umumnya keterlambatan

perkembangan dan pertumbuhan akan tampak pada usia 36 bulan. Retardasi mental

yang terjadi akibat terlambat pengobatan sering disertai dengan gangguan neurologis

lainnya, seperti gangguan koordinasi, ataksia, diplegia spastik, hipotonia dan

strabismus. 11

Table 2.1 Prevelensi Individual Gejala Tiroidisme Sewaktu Didiagnosis9

16

Gambar 2.4 Bayi 3 bulan dengan HK yang tidak diterapi; gambar menunjukkan

postur hipotonik, myxedematous facies, mikroglosia dan hernia umbilikal9

2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis pada

hipotiroid kongenital adalah penilaian kadar serum T4 bebas ( FT4 ), T4 total, T3 , dan

TSH. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien hipotiroid kongenital:2,9

Jika kadar T4 bebas rendah dan kadar TSH tinggi, hal itu mengarahkan

diagnosis pada hipotiroid primer, sedangkan jika kadar T4 bebas rendah dan

kadar TSH juga rendah, hal itu mengarahkan diagnosis pada hipotiroid

sekunder atau tersier.

Pada hipotiroid kompensata, kadar TSH meningkat tetapi kadar T4 normal,

kompesasinya terdapat struma difusa.

Pada hipotiroid dekompensata, terdapat struma difusa, kadar TSH meningkat

tetapi kadar T4 rendah.

Pada hipotiroid transien, awalnya kadar T4 rendah dan TSH tinggi tetapi pada

pemeriksaan selanjutnya kadar T4 dan TSH normal.

Pada defisiensi TBG, kadar T4 bebas normal dan kadar TBG rendah.

17

Interpretasi hasil pemeriksaan pada bayi prematur atau bayi sakit non tiroid

agak sulit ditentukan. Pada bayi tersebut sering dijumpai kadar T4 dan T3 rendah

sedangkan kadar TSH normal. Pada bayi prematur kadar T3 dan T4 akan mencapai

kadar sesuai bayi aterm setelah berusia 12 bulan, atau bila penyakit non tiroidnya

teratasi maka fungsi tiroid akan kembali normal. Karena keadaan ini merupakan

adaptasi fisiologis pada bayi prematur maupun bayi aterm yang mendapat stress

tertentu, maka keadaan ini tidak boleh dianggap sebagai hipotiroid. Pada bayi baru

lahir harus dingat bahwa pada minggu pertama kadar T4 serum masih tinggi sehingga

untuk menentukan angka normal harus disesuaikan dengan kadar T4 sesuai usia. 2,9

18

Tabel 2.2 Nilai Rujukan untuk kadar T4 total, T3, FT4, dan TSH2

Hormon Usia Nilai normalT4 (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke

3-4) Bayi atermUsia 1-3 hari1 minggu1-12 bulan1-3 tahun3-10 tahun

Anak pubertas (11-18 tahun)

2,6 – 14

8,2 – 19,96,0 – 15,96,1 – 14,96,8 – 13,55,5 – 12,84,9 – 13,0

FT4 (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) Bayi aterm

Usia 1-3 hari1-12 bulan

PrepubertasAnak pubertas (11-18 tahun)

0,4 – 2,8

2,0 – 4,00,9 – 2,60,8 – 2,20,8 – 2,3

T3 (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) Bayi aterm

Usia 1-3 hari1 minggu1-12 bulan

prepubertasAnak pubertas (11-18 tahun)

24 – 132

89 – 40591 – 30085 – 250119 – 21880 – 185

TSH (µg/dl) Bayi prematur (26-30 minggu, hari ke 3-4) bayi aterm

Usia 4 hari1-12 bulan

prepubertasAnak pubertas (11-18 tahun)

0,8 – 6,9

1,3 – 160,9 – 7,70,6 – 5,50,5 – 4,8

2.2.5.3.2 Pemeriksaan Tiroglobulin Serum

Kadar tiroglobulin serum menggambarkan jumlah fungsional jaringan tiroid dan

umumnya meningkat seiring dengan peningkatan kerja tiroid. Saat inflamasi terjadi

banyak tiroglobulin yang masuk ke dalam sirkulasi. Suatu penelitian menunjukkan

bahwa pada neonatus dengan aplasia tiroid memiliki kadar globulin sangat rendah

(nilai tengah 12 ng/mL dengan rentang 2 – 54 ng/mL), sedang pada tiroid ektopik

(nilai tengah 92 ng/mL dengan rentang 11 – 231 ng/mL), dan sangat tinggi pada

struma (nilai tengah 226 ng/mL dengan rentang 3 – 425 ng/mL). Oleh karena itu,

19

pemeriksaan kadar tiroglobulin serum secara tidak langsung dapat membantu

menegakkan diagnosis etiologi hipotiroid kongenital.2,9

2.2.5.3.3 Pemeriksaan Iodin Urine

Pemeriksaan iodin urine dilakukan jika bayi baru lahir tinggal di daerah yang

endemik goiter atau terdapat riwayat paparan yodium yang berlebihan baik saat pra-

natal maupun pasca-natal. Pemeriksaan iodin urine dilakukan dengan menilai kadar

iodin urine 24 jam dengan nilai normal iodin pada neonatus berkisar antara 50–100

mcg. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menegakkan diagnosis etiologi hipotiroid

kongenital transien.2,9

2.2.5.3.4 Pemeriksaan Antibodi Antitiroid

Penyakit tiroid autoimun pada ibu yang berhubungan dengan produksi thyrotropin

receptor blocking antibody (TRB-Ab). Antibodi tersebut akan masuk ke janin dan

menghambat pengikatan TSH, menghambat fungsi dan perkembangan kelenjar tiroid.

Penyakit ini sering terjadi pada ibu usia reproduktif dengan angka kejadian sekitar 5

% dan mengakibatkan HK transien pada 1 : 100000 neonatus. Pemeriksaan ini hanya

direkomendasikan pada kasus ibu yang telah dikenal menderita penyakit tiroid

autoimun dan memiliki anak dengan HK transien sebelumnya dan sekarang hamil

lagi. 2,9

2.2.5.3.5 Pemeriksaan Radiologis

Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan rontgen saat

lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital menunjukkan kekurangan hormon

tiroid selama kehidupan intrauterine. Contohnya, distal femoral epiphysis, yang

biasanya ada saat lahir, sering tidak ada. Epiphyses sering memiliki beberapa fokus

penulangan (epifisis disgenesis), deformitas (retak) dari vertebra thorakalis 12 atau

ruas lumbal 1 atau 2 sering ditemukan. Penilaian umur tulang (bone age) dapat

digunakan untuk mengetahui berapa lama pasien sudah menderita hipotiroid.13

20

(B)

Gambar 2.5 A: Foto cranium posisi lateral, tampak adanya gambaran pelebaran fontanel anterior permanen. B: Pada posisi AP, tampak ketiadaan distal femoris dan

proksimal tibia epifisis. C,D: Foto pelvis, pada anak usia 2 tahun (C) dan usia 5 tahun

21

(D) menunjukkan disgenesis epifisis pada proksimal femur epifisis. E,F: Foto torakolumbal, tampak adanya deformitas pada corpus vertebrae pada VL I-II14

2.2.5.3.6 USG Tiroid

Pemeriksaan USG tiroid dapat secara akurat menentukan adanya aplasia tiroid pada

pasien HK. Selain itu, USG tiroid juga dapat mendiagnosis tiroid ektopik pada pasien

HK, tetapi tidak seakurat dengan pemeriksaan skintigrafi.2,9

2.2.5.3.7 Elektrokardiografi ( EKG)

Elektrokardiogram mungkin menunjukkan gelombang P dan T voltase rendah dengan

amplitudo kompleks QRS yang berkurang dan menunjukkan fungsi ventrikel kiri

yang buruk dan efusi perikardial.2

2.2.5.3.8 Skintigrafi Kelanjar Tiroid

Pemeriksaan skintigrafi kelenjar tiroid masih merupakan cara terbaik untuk

menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Pada pemeriksaan neonatus digunakan

sodium pertechnetate (Tc99m) atau I123. Radioaktifitas I131 terlalu tinggi dan kurang

baik bagi jaringan tubuh sehingga jarang digunakan untuk neonatus. Pada aplasia

kelenjar tiroid, kelainan reseptor TSH, atau defek ambilan (trapping) tidak terlihat

ambilan zat radioaktif sehingga tidak terlihat bayangan kelenjar pada hasil skintigrafi.

Bila terlihat kelenjar tiroid besar dengan ambilan zat radioaktif tinggi, maka in

mungkin merupakan “ thiouracilinduced goiter” atau keleaina bawaan lainnya.2,9

Gambar 2.6 Skintigrafi Tiroid9

22

2.2.5.3.9 Pemeriksaan genetik

Pemeriksaan spesifik mutasi genetik hanya dilakukan atas dasar indikasi yang

jelas, seperti: mutasi genetik tiroid peroksidase pada neonatus dengan goiter,

peningkatan ambilan zat radioaktif, dan hasil positif pada tes perchlorate. Catatan

terakhir mutasi pada TTF-1, NKX2.1 atau gen PAX-8 ditemukan pada disgenesis

tiroid dengan angka kejadian sekitar 2 %.2,9

Tabel 2.3 Temuan diagnostik dari pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi etiologi pada hipotiroid kongenital9

DefekPencitraan

Radionuklida (Uptake)

Ultrasonografi Tiroid

Tiroglobulin Serum

TRB-Ab ibu

AplasiaHipoplasiaEktopikMutasi TSH-βMutasi reseptor inaktivasi TSHTrapping errorBeyond trapping errorTRB-Ab ibu

tidak ada ↓

↓, ektopiktidak ada

↓↓ atau tidak ada

↑↓ atau tidak ada

tidak ada tiroidkecil, eutopik

ektopik, hipoplasiaeutopik, hipoplasia

eutopikeutopik

eutopik, membesareutopik

rendahnormalnormalnormal

normal-tinggirendah-normal mutasi gen Tgrendah-normal

negatifnegatifnegatifnegatifnegatifnegatifnegatifpositif

23

Gambar 2.7 Algoritma dalam Menegakkan Diagnosis Hipotiroid Kongenital9

2.2.6. Penatalaksanaan

Tujuan umum pengobatan HK adalah menjamin agar anak mampu mencapai

pertumbuhan dan perkembangan mental mendekati potensi genetiknya. Keadaan ini

bisa dicapai dengan mengembalikan FT4 dan TSH dalam rentang normal dan

mempertahankan status klinis dan biokimiawi dalam keadaan eutiroid (tiroid normal).

Apapun penyebabnya, terapi sulih hormon dengan (pil tiroksin) L-thyroxine harus

secepatnya diberikan begitu diagnosis ditegakkan.3

Tujuan pengobatan hipotiroid kongenital adalah:2

a. Mengembalikan fungsi metabolisme yang esensial agar menjadi normal dalam

waktu singkat. Termasuk fungsi termoregulasi, respirasi, metabolism otot dan otot

jantung yang sangat diperlukan pada masa awal kehidupan seperti proses

enzimatik di otak, perkembangan akson, dendrite, sel glia dan proses mielinisasi

neuron.

24

b. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak.

c. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya otak.2

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Denpasar, terapi hipotiroid kongenital

sejak dini memberikan luaran pertumbuhan dan perkembangan intelektual yang lebih

baik. Namun, ada beberapa kondisi yang juga berperan terhadap luaran tumbuh

kembang pada balita dengan hipotiroid kongenital yaitu derajat beratnya penyakit,

ada atau tidaknya komorbid, dan keadekuatan terapi L-T4 (Levothyroxine) yang

diberikan, meliputi dosis awal yang tinggi, dan keteraturan minum obat, serta

ketaatan kunjungan. Indeks perkembangan psikomotor lebih baik pada hipotiroid

kongenital berat yang menggunakan dosis awal tinggi dibandingkan dosis standar.15

Dalam penatalaksanaan hipotiroid kongenital diberikan terapi hormon

pengganti. Levothyroxine (L-thyroxin) merupakan pilihan utama1. IDAI

menganjurkan pemberian dosis permulaan 10-15µg/kg pada bayi cukup bulan

diberikan rata-rata 37,5 µg-50 µg per hari.2

Tiroksin sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan makanan yang

mengandung goitrogen seperti protein kedele, zat besi, kalsium atau makanan tinggi

serat karena makanan ini akan mengikat T4 dan atau menghambat penyerapannya.1.2

Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan disesuaikan

dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4.3

Tabel 2.4 Dosis Umum Hormon Tiroid yang Diberikan2

Usia Na L-T4 (microgram/kgBB)0 - 3 bulan3 - 6 bulan6 - 12 bulan1 - 5 tahun6 - 12 tahun>12 tahun

10 -158 -106 - 85 - 64 - 52 – 3

Untuk neonatus yang terdeteksi pada minggu awal kehidupan

direkomendasikan untuk diberikan dosis inisial sebesar 10-15 μg/kg/hari karena lebih

cepat dalam normalisasi kadar T4 dan TSH. Pada bayi cukup bulan diberikan rata-

rata 37,5 – 50 µg per hari. Bayi-bayi dengan hipotiroidisme berat (kadar T4 sangat

25

rendah, TSH sangat tinggi, dan hilangnya epifise femoral distal dan tibia proksimal

pada gambaran radiologi lutut) harus dimulai dengan dosis 15 μg/kgBB/hari.2,3

Besarnya dosis hormon tergantung berat ringannya kelainan. Bayi dengan

hipotiroid kongenital berat, yaitu dengan kadar T4 kurang dari 5 µg, sebaiknya

diberikan 50 µg. Pemberian 50 µg lebih cepat menormalkan kadar T4 dan TSH.3

Secara umum pengobatan langsung dengan dosis penuh aman bagi neonatus.

Bila ada tanda-tanda kelainan jantung atau tanda-tanda dekompensasi jantung, maka

pengobatan dianjurkan dimulai dengan dosis rendah, yaitu 1/3 dosis, dan setelah

selang beberapa hari dinaikkan 1/3 dosis lagi sampai dosis penuh yang dianjurkan

tercapai.2

Dosis diberikan harus selalu disesuaikan dengan keadaan klinis penderita dan

hasil pemeriksaan biokimiawi serum tiroksin dan TSH menurut umur (age reference

range). Dalam pengonsumsian pil tiroksin dapat dengan digerus atau dihancurkan,

kemudian bisa dicampur dengan ASI atau air putih. Dalam pemberian obat jangan

bersamaan dengan produk kacang kedelai, zat besi, kalsium, alumunium hidroksida,

suplemen tinggi serat, dan sukralfat karena dapat menganggu penyerapan dari

hormon tiroksin.2

Target terapi berdasarkan American Academy of Pediatris (AAP) untuk

skrining BBL dan terapi hipotiroid kongenital sama dengan yang dipublikasikan oleh

European Society for Pediatric Endocrinology (ESPE) yaitu:9

Serum T4 bebas atau total T4 harus berada di garis normal pada tahun pertama

kehidupan.

Nilai target pada tahun pertama kehidupan adalah 130-206 nmol/L (10-16 µg/dl)

untuk serum T4 dan 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dl) untuk T4 bebas.

Serum TSH harus berada di atas 5 mU/L. 9

Selain pengobatan dalam menatalaksana hipotiroid kongenital diperlukan

pemantauan fungsi tiroid secara teratur. 2

1. Pematauan TSH dan T4/FT4

26

Dalam rangka penyesuaian dosis, perlu dilakukan pemeriksaan ulang kadar

TSF dan T4/FT4 dengan jadwal sebagai berikut:

• Setelah 2 minggu dan 4 minggu sejak pengobatan Tiroksin.

• Pada 6 bulan pertama, tiap 1 atau 2 bulan.

• Umur 6 bulan - 3 tahun, tiap 3 atau 4 bulan.

• Umur 3 tahun - 18 tahun, pemeriksaan dilakukan tiap 6 sampai 12 bulan.

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan Iebih sering bila adanya keraguan terhadap

kepatuhan atau adanya perubahan dosis.

• FT4 dan TSH harus diulangi 4 minggu setelah perubahan dosis tiroksin. 2

2. Target Nilai TSH, T4 dan FT4

Target nilai TSH, T4 dan FT4 selama pengobatan tahun pertama:

• Nilai T4 serum,130-206 nmol/L(10-16 µg/dI).

• FT4 18-30 pmol/L (1,4-2,3 µg/dl) kadar FT4 ini dipertahankan pada nilai di

atas 1,7 µg/dl (75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini merupakan kadar

optimal.

• Kadar TSH serum sebaiknya dipertahankan di bawah 5 mU/L. 2

3. Pemantauan Lainnya

Selain itu pemantauan TSH dan T4/FT4, dilakukan pemantauan:

• Pertumbuhan/antropometri, sesuai dengan petunjuk SDIDTK (Stimulasi

Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang).

• Perkembangan, sesuai dengan petunjuk SDIDTK.

• Fungsi mental dan kognitif, sesuai dengan petunjuk SDIDTK.

• Tes pendengaran, sesuai dengan petunjuk SDIDTK.

• Umur tulang (tiap tahun). 2

Apabila diagnosis etiologi belum ditegakkan, maka pada umur 3 tahun dilakukan

evaluasi ulang untuk menentukan apakah pengobatan harus seumur hidup (pada

kelainan disgenesis tiroid) atau dihentikan (kelainan tiroid karena antibodi antitiroid).

Jika perlu evaluasi ulang dan konsul dokter spesialis anak konsultan endokrin. 2

Tindak lanjut jangka pendek dimulai dari hasil laboratorium (hasil positif) dan

berakhir dengan pemberian terapi hormon tiroid (tiroksin). Tindak lanjut jangka 27

panjang diawali sejak pemberian obat dan berlangsung seumur hidup pada kelainan

yang permanen. 2

Gambar 2.8 A dan B bayi dengan gejala hipotiroid kongenital: makroglosia, wajah

sembab, hernia umbilikalis, dan udem skrotum. C dan D setelah mendapat

pengobatan 1-3 bulan16

2.2.7. Efek Keterlambatan Terapi

Dari hasil penelitian di Iran melaporkan bahwa terdapat 5 kasus hipotiroid kongenital

yang terlambat didiagnosis. Efek samping terbanyak dari kasus tersebut adalah ikterik

yang memanjang, nafsu makan yang menurun, letargi, keterbelakangan mental,

penurun tingkat intelegensi B.28

Kretin sporadik disebabkan oleh kegagalan kelenjar tiroid janin dalam memproduksi

hormon tiroid secara cukup karena berbagai sebab. Setelah bayi berusia 3 bulan,

mulai tampak gambaran klasik yaitu suara tangis berat dan parau, hipoplasia

hidung/nasoorbita, lidah membesar, kulit kasar dan kering, hernia umbilikalis, reflek

tendon menurun dan terlambat mencapai perkembangan sesuai umur.16

Setelah usia 6 bulan, anak tampak bodoh karena retardasi mental. gangguan

intelektual, berdasarkan hasil penelitian dibelanda sebelum adanya skrining hipotiroid

kongenital penderita hipotiroid congenital mempunyai IQ dibawah 70 setelah

diberlakukan skrining hipotiroid Kongenital dan dilakukan terapi yang adekuat

didapatkan anak-anak dengan hipotiroid mempunyai IQ rata-rata 95-105. Penelitian

lainnya mengatakan bahwa jika di terapi pada saat lahir sampai usia 3 bulan

didapatkan rata-rata IQ 89 (64-107), jika diterapi mulai usia 3 sampai 6 bulan rata-

rata IQ 71 (35-96) dan jika pada usia 6 bulan belum dimulai terapi maka IQ rata-rata

54 (24-80).1,17

Pada kurun usia berikutnya, adanya pertumbuhan tinggi badan yang sangat

terganggu (cebol). Sebelum adanya skrining hipotiroid Kongenital persentasi anak

dengan tinggi dibawah persentil 10 sebesar 19% sampai 31%, setelah adanya skring

dan dengan terapi yang adekuat dilaporkan bahwa pertumbuhan linear yang normal

pada masa bayi dan anak-anak.2,16

Terdapat juga gangguan neurologi khususnya tanda-tanda disfungsi cerebelar,

misalnya gangguan keseimbangan, tremor, disartri, dan lainnya. Apabila tidak

diobati, maka akan timbul komplikasi yaitu gangguan tumbuh (short stature),

gangguan perkembangan intelek (retardasi mental), gangguan pendengaran, dan

dekompensasi kordis. Keterlambatan pemberian terapi setiap 1 bulan akan

menurunkan IQ sebesar 1 poin.4

2.2.8 Skrining

Mengingat gejala hipotiroid tidak jelas dan akibat yang ditimbulkannya sangat

mempengaruhi kehidupan masa depan anak, maka mutlak diperlukan skrining untuk

menemukan kasus hipotiroid secara dini. Tujuan Skrining Hipotiroid Kongenital 29

(SHK) adalah menghilangkan atau menurunkan mortalitas, morbiditas, dan kecacatan

akibat penyakit hipotiroid kongenital. Dengan demikian upaya ini harus bisa

menjamin bahwa bayi yang menderita hipotiroid kongenital secepatnya didiagnosis

dan mendapatkan pengobatan yang optimal.3

Program skrining hipotiroid kongenital pada neonatus sudah dilakukan di negara

maju, sedangkan untuk negara berkembang seperti halnya Indonesia, skrining

hipotiroid masih belum menjadi kebijakan nasional. Skrining dilakukan pada bayi

baru lahir yang menunjukkan gejala-gejala hipotiroid.2

Metode skrining hipotiroid kongenital dilakukan dengan mengambil tetesan

darah pada medial atau lateral tumit yang diletakkan pada kertas saring yang diambil

pada usia 3-4 hari. Ada 4 metode skrining yang bisa digunakan untuk medeteksi

hipotiroid kongenital:18

1. Pemeriksaan awal T4, diikuti pemeriksaan TSH bila kadar T4 rendah

Negara-negara di Amerika Utara menggunakan pemeriksaan awal kadar

T4 sebagai metode skrining utama dilanjutkan dengan pengukuran kadar TSH

bila kadar T4 rendah. Semua bayi dengan kadar T4 rendah dan kadar TSH lebih

dari 40 µU/L harus dipertimbangkan sebagai hipotiroid kongenital dan harus

segera dilakukan tes konfirmasi. Pemberian pengobatan bisa segera diberikan

tidak perlu menunggu keluar hasil tes konfirmasi. Apabila kadar TSH meningkat

tetapi kurang dari 40 µU/L maka dilakukan pemeriksaan ulang dengan sampel

baru.18

2. Pemeriksaan awal TSH, diikuti pemeriksaan kadar T4 bila kadar TSH tinggi

Jepang dan sebagian besar negara eropa menggunakan kadar TSH sebagai

metode skrining utama dengan pengukuran kadar T4 untuk pemeriksaan lanjutan.

Bayi yang memiliki kadar TSH awal > 50 µU/mL memiliki kemungkinan sangat

besar untuk menderita hipotiroid kongenital permanen, sedangkan kadar TSH 20-

49 µU/mL dapat menunjukkan hipotiroid transien atau positif palsu.2

3. Kombinasi pemeriksaan TSH dan T4

Dalam beberapa tahun ke depan, media pemeriksaan T4 dan TSH secara

simultan dapat dilakukan. Metode ini merupakan programskrining yang paling 30

ideal. Dengan metode ini diagnosis dapat cepat dibuat dalam waktu 48 jam

sehingga mencegah keterlambatan pengobatan. 18

4. Kombinasi T4- TSH- TBG

Kampers Dkk 2006 dalam penelitiannya antara 1 april 2012 – 31 mei 2012

yang melibatkan 430.764 bayi dilakukan skrining menggunakan metode T4 –

TSH – TBG, menyimpulkan bahwa dengan metode ini sangat efisien untuk

medeteksi hipotiroid kongenital dengan berbagai etiologi baik primer maupun

sentral dan berbagai derajat beratnya penyakit.18

Metode skrining yang digunakan memiliki kelebihan-kelebihan dan

kekurangan-kekurangan masing-masing. Metode T4/backup TSH dapat mendeteksi

hipotiroid primer, sekunder, tersier, defisiensi TBG, dan hipotiroidisme hipotalamus

hipofisis akan tetapi tidak mampu mendeteksi bayi dengan hipotiroid kompensata,

sedangkan metode TSH mampu mendeteksi dengan jelas bayi dengan hipotiroid

kompensata tetapi tidak mampu mendeteksi bayi dengan hipotiroid primer, sekunder,

tersier, defisiensi TBG, dan hipotiroid hipotalamus hipofisis.18

31

Gambar 2.9 Algoritma Skrining pada Hipotiroid Kongenital dan Pengelolaan

pada Bayi16

2.2.9 Prognosis

Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang

lebih baik. Dengan adanya program skrining neonatus untuk mendeteksi hipotiroid

kongenital, prognosis bayi hipotiroid kongenital lebih baik dari sebelumnya.

Diagnosis awal dan pengobatan yang cukup sejak umur minggu pertama kehidupan

32

memungkinkan pertumbuhan linier yang normal dan intelegensinya setingkat dengan

saudara kandung yang tidak terkena.10

Pada awal program, digunakan L-T4 (Levo-Tiroksin) dengan dosis 5-8

ug/kgBB, diberikan sampai usia 4-5 minggu. Data-data dari penelitian lain

menunjukkan bahwa bila pada pengobatan awal dengan dosis tinggi, menggunakan

dosis 10-15 ug/kgBB, dan pemberiannya awal (sebelum 2 minggu) maka

development gap tidak ada, dengan mengabaikan beratnya hipotiroidisme kongenital

pada saat lahir. Kempers MJE dkk meneliti bayi dengan hipotiroidisme kongenital

yang ditemukan dengan program skrining, didapatkan 136 pasien, ternyata pada

pasien usia 21 tahun enam bulan yang pada masa bayi mengalami hipotiroidisme

berat didapatkan kelainan motorik, verbal, dan skor IQ berbeda secara bermakna

dengan kontrol, dan waktu permulaan pemberian terapi tidak berpengaruh. Pemberian

hormon tiroid jangka lama perlu pemantauan pada jantungnya, penelitian mengenai

pemberian hormon tiroid jangka panjang pada 32 pasien hipotiroidisme kongenital

(21 perempuan dan 11 laki-laki) usia 18,1 ± 0,2 tahun, mendapatkan disfungsi

diastolik, kapasitas kerja jantung kurang, dan penebalan pada intima media yang

berbeda secara bermakna dengan kontrol. Veer LvdS dkk dalam penelitiannya pada

kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan saat dewasa yang pada masa bayi

didiagnosis hipotiroidisme kongenital ditemukan saat skrining dan diberikan

pengobatan dini, masih berpengaruh negatif terhadap kualitas hidupnya (fungsi

kognitif, tidur, rasa sakit, aktivitas, vitalitas, agresivitas, perasaan depresi) berbeda

secara bermakna dengan anak yang normal, demikian juga perkembangan sosial dan

rasa percaya diri, walaupun keluaran akhir tingkat pendidikannya tidak berbeda

dengan populasi normal.16

Tanpa pengobatan bayi yang terkena menjadi cebol dan defisiensi mental.

Bila pengobatan dimulai pada usia 46 minggu IQ pasien tidak berbeda dengan IQ

populasi kontrol. Program skrinng di Quebec (AS) mendapatkan bahwa IQ pasien

pada usia 1 tahun sebesar 115, usia 18 bulan sebesar 104, dan usia 36 bulan sebesar

103. Pada pemeriksaan di usia 36 bulan didapatkan hearing speech dan practical

reasoning lebih rendah dari populasi kontrol. Pada sebagian kecil kasus dengan IQ 33

normal dapat dijumpai kelainan neurologis, antara lain gangguan koordinasi motorik

kasar dan halus, ataksia, tonus otot meningggi atau menurun, gangguan pemusatan

perhatian dan gangguan bicara. Tuli sensorineural ditemukan pada 20% kasus

hipotiroid kongenital.1,2 Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa walaupun

diterapi sedinii mungkin dikatakan tetap ada kelainan intelektual meski sedikit.11

34

BAB III

KESIMPULAN

Hipotiroid kongeital adalah suatu keadaan kurang atau tidak adanya produksi

hormon tiroid sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan

perkembangan, baik fisik maupun mental pada anak. Secara epidemiologi kejadian

HK bervariasi di seluruh dunia, perbedaan ini dipengaruhi oleh berbagai ras dan etnis

dengan insiden seluruh dunia diperkirakan sekitar 1 : 3000 kelahiran hidup. Insiden

hipotiroid di Indonesia sendiri diperkirakan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 1:1500

kelahiran hidup.

Disgenesis kelenjar tiroid merupakan penyebab tersering hipotiroid kongenital

sekitar 80 %. Hal ini dapat terjadi akibat aplasia, hipoplasia, dan kelenjar tiroid

ektopik. HK dibedakan menjadi HK primer dan HK sekunder (sentral). HK primer

disebabkan oleh kelainan pada kelenjar tiroid. HK sekuder terjadi akibat kelainan

pada hipofisis atau hipotalamus.

Penegakan diagnosis secara dini merupakan suatu hal yang sangat penting

untuk mencegah keterlambatan terapi pada pasien hipotiroid kongenital. Skrining

BBL merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk pencegahan keadaan tersebut.

Skrining dilakukan pada saat bayi berumur beberapa hari untuk mendeteksi adanya

gangguan kongenital sedini mungkin, sehingga dapat segera dilakukan intervensi.

Skrining dilakukan pada terutama pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang

berisiko tinggi, seperti barasal dari daerah endemik gondok, mempunyai riwayat

struma, mendapatkan pengobatan anti tiroid selama kehamilan, riwayat struma pada

keluarga, dan pada bayi dengan gejala dan tanda klinis hipotiroid. Namun sebagian

besar bayi baru lahir dengan hipotiroidisme kongenital secara klinis tidak

menunjukkan gejala spesifik sehingga sangat sulit ditemukan. Pemeriksaan

penunjang juga dapat digunakan untuk mendeteksi dini hipotiroid kongenital pada

bayi baru lahir. Apabila dicurigai menderita hipotiroid kongenital, maka dilakukan

pemeriksaan darah untuk pemeriksaan kadar T4 dan TSH.

35

Pengobatan segera dilakukan pada bayi yang menunjukkan hasil skrining

positif menderita hipotiroid kongenital. Tujuan pengobatan yaitu menjamin agar anak

mampu mencapai pertumbuhan dan perkembangan mental mendekati potensi

genetiknya. Keadaan ini bisa dicapai dengan mengembalikan FT4 dan TSH dalam

rentang normal dan mempertahankan status klinis dan biokimiawi dalam keadaan

eutiroid. Pada bayi yang terlambat didiagnosis menderita hipotiroid kongenital,

Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan merupakan manifestasi klinis yang

paling mencolok. Umumnya keterlambatan perkembangan dan pertumbuhan akan

tampak pada usia 36 bulan. Retardasi mental yang terjadi akibat terlambat

pengobatan sering disertai dengan gangguan neurologis, gangguan koordinasi, dan

gangguan pendengaran.

Deteksi dini yang dilakukan pada bayi baru lahir berisiko menderita hipotiroid

kongenital dapat mencegah terjadinya keterlambatan terapi yang dapat menimbulkan

efek yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat di masa mendatang. Oleh

karena begitu besarnya manfaat yang didapat dengan dilakukannya program skrining

terhadap bayi baru lahir yang berisiko menderita hipotiroid kongenital, maka

sepatutnyalah program skrining tersebut menjadi suatu program nasional dalam upaya

menurunkan insiden penyakit hipotiroid kongenital di Indonesia.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen La Franchi, Hypothyroidism. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia: Saunders;

2007:2319-25

2. Batubara, Jose RL, dkk. Ganggguan Kelenjar Tiroid. Dalam : Buku Ajar

Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; i10: 205-212

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Skrining Hipotiroid

Kongenital. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012

4. Suryati Kumorowulan dan Sri Supadmi. Kretin Endemik dan Kretin Sporadik

(Hipotiroid Kongenital). MGMI Volume 1 No 3; 2010: 78-119

5. David C. Sabiston. Glandula Thyroidea. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid 1.

Jakarta: EGC; 1995

6. Keith L. Moore and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea. Dalam: Anatomi

Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002

7. Guyton AC dan Hall JE. Hormon Metabolik Tiroid. Dalam: Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC; 2007: 978-91

8. Lauralee Sherwood. Organ Endokrin Perifer. Dalam: Fisiologi Manusia Dari Sel

ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001: 644-51

9. Maynika V Rastogi dan Stephen H LaFranchi. Congenital Hypothyroidism.

Orphanet Journal of Rare Diseases: 2010; 5: 17: 1-22

10. Counts D and Varma SK. Hypothyroidism in Children. Pediatr Rev 30; 2009:

251-8

11. Peter F and Muzsnai A. Congenital Disorders of The Thyroid: Hypo/hyper.

Endocrinol Metab Clin N Am: 38; 2009: 491-507

12. Chabre O and Rodien P. Disease of the Thyroid in Childhood and Adolescence. N

Engl Jurnal Medicine: 357; 2007: 202-3

13. G. Van Vliet and M Polak. Thyroid Disorders in Infancy. In: Pediatric

Endocrinology Fifth Edition Volume 2. New York: Informa Healthcare USA Inc;

2007: 392-837

14. Soliman AT, Vicenzo DS, Elsaid MA. Congenital Hypothyroidism: Effects on

Linear Growth, Catch-Up Growth, GH-IGF-I Axis and Bones. J Clin endocrinol;

2013: 91-118

15. Adi Wirawan, Sunartini, Bikin Suryawan, Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak

Hipotiroid Kongenital yang Diterapi Dini dengan Levo-tiroksin dan Dosis Awal

Tinggi. Sari Pediatri Vol.15 No.2; 2013

16. Bongers-Schokking JJ. Kelainan Tiroid Masa Bayi. Dalam: Susanto Rudi.

Thyrodoilogy Update. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Undip; 2009:

1-34

17. Kubicky, RA, Weiner E, Carlson B. Effect Prolonged Discontinuation of L-

Thyroxine Replacement in a Child Congenital Hypothyroidism. J clin endocrinol;

2012

18. Postelon DC, Borgious MJ, Varma S. Kelainan Tiroid Masa Bayi. Dalam:

Susanto Rudi. Thyrodoilogy Update. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK

Undip; 2009: 1-34

A. Adi Wirawan, Sunartini, Bikin Suryawan, Soetjiningsih. Tumbuh Kembang

Anak Hipotiroid Kongenital yang Diterapi Dini dengan Levo-tiroksin dan

Dosis Awal Tinggi. Sari Pediatri Vol.15 No.2; 2013

B. Hasan MA, Rawabdeh N, El-Majali AJ, Mohaisen M. Delayed Diagnosis of

Hypothyroidism in Children Result in Avoidable Severe Complication: A

Report of Five Cases. JRMS. Jordan: King Hussein Medical Center; 2003:

10(2): 48-53

38