tugas abses paru
Embed Size (px)
DESCRIPTION
e5ettfdtdtdtdTRANSCRIPT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abses paru merupakan suatu infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada
parenkim paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas berisi nanah (pus)
pada satu lobus atau lebih. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan
kejadian abses paru menurun (jarang ditemukan) karena adanya perbaikan risiko
terjadinya abses paru seperti teknik operasi dan anestesi lebih baik dan
penggunaan antibiotik lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan
untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan immunocompromised.1 Pada
tahun 1920, diperkirakan sepertiga penderita abses paru meninggal; Dr. David
Smith meneliti bahwa aspirasi bakteri merupakan patomekanisme terjadinya
infeksi. Dalam suatu otopsi, Smith mengamati bakteri yang ditemukan pada
dinding abses paru menyerupai bakteri yang dijumpai pada celah gusi.11
Sebelum antibiotik ditemukan, abses paru merupakan penyakit yang
sangat mematikan, dimana 1/3 dari pasien meninggal, 1/3 lainnya sembuh, dan
sisanya menyebabkan morbiditas berupa abses berulang, empiema kronik,
bronkiektasis, dan konsekuensi lainnya dari infeksi piogenik kronik. Walaupun di
masa lampau bedah reseksi sering dianggap sebagai penanganan abses paru, peran
bedah telah banyak berkurang karena kebanyakan pasien dengan abses paru tanpa
komplikasi dapat memberi respon yang baik dengan terapi antibiotik jangka
panjang.16
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih.16
Defenisi lain menyebutkan bahwa abses paru adalah infeksi paru dengan
karakteristik akumulasi pus yang terlokalisasi disertai dekstruksi jaringan
sekeliling.2
B. Epidemiologi
Berdasarkan jenis kelamin, abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan. Abses paru lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut
karena peningkatan kejadian penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi
disfagia dan aspirasi. Namun, serangkaian kasus abses paru di pusat perkotaan
dengan prevalensi tinggi alkoholisme melaporkan rata-rata penderita abses baru
berusia 41 tahun.11,16
Insidensi abses paru tidak diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya
tidak fluktuatif dan insidensinya juga terlihat menurun sejak diperkenalkannya
antibiotik (khususnya penisilin). Sejak 1943-1956, Massachusetts General
Hospital melaporkan sebanyak 10-11 kasus abses paru per 10.000 penderita yang
2

masuk rumah sakit pada masa pre-antibiotik dibandingkan dengan 1-2 kasus per
penderita yang masuk rumah sakit pada masa post-antibiotik. Pada tahun 1984-
1986 kasus yang ditangani The Beth Israel Deacones Medical Center’s
menunjukkan bahwa abses paru mewakili kira-kira 0,2 % dari seluruh kasus
penumonia membutuhkan perawatan rumah sakit. Penurunan kasus abses paru
berhubungan dengan penggunaan dini dan luas antimikroba yang efektif,
peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak sadar, dan peningkatan
manajemen perawatan pasien yang dianestesi.12
C. ETIOLOGI
Berbagai infeksi dapat menyebabkan terjadinya abses paru. Bakteri
anaerob merupakan penyebab terbanyak yang ditemukan. Studi yang dilakukan
Barlett et al. mendapatkan 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob,
sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob. Bakteri anaerob ini
ditemukan terutama pada saluran napas atas dan paling banyak terdapat pada
penyakit oral dan ginggiva.6,16
Pada pasien immunocompromised spektrum kuman patogen penyebab
abses paru sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah
bakteri aerob, P. Carinii, jamur, Cryptococcus neoformans, dan Mycobacterium
tuberculosis.16
Berikut merupakan infeksi yang dapat menyebabkan lesi kavitas pada
paru.6
3

Penyebab Contoh (Kelainan)Organisme Aerob Burkholderia pseudomallei*
Klebsiella pneumonia*Nocardia sp†Pseudomonas aeruginosa*Staphylococcus aureus‡Streptococcus milleri‡Other streptococci‡
Organisme Anaerob Actinomyces sp†Bacteroides sp*Clostridium sp†Fusobacterium sp*Peptostreptococcus sp‡Prevotella sp*
Fungi Aspergillus sp (aspergillosis)Blastomyces dermatitidis (blastomycosis)Coccidioides immitis (coccidioidomycosis)Cryptococcus neoformans (cryptococcosis)Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)Pneumocystis jiroveci Rhizomucor (mucormycosis)Rhizopus sp (mucormycosis)Sporothrix schenckii (sporotrichosis)
Mycobacteria Mycobacterium avium-cellulare Mycobacterium kansasii Mycobacterium tuberculosis
Parasit Entamoeba histolytica (amebiasis)Echinococcus granulosus (echinococcosis)Echinococcus multilocularis (echinococcosis)Paragonimus westermani (paragonimiasis)
*Basil Gram negative†Basil Gram positif‡Kokkus Gram positif
Faktor predisposisi terjadinya abses paru:16
1. Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:
Gangguan kesadaran: alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan
serebrovaskuler, anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena, koma,
trauma, sepsis.
Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya: gangguan motilitas
4

Fistula trakeoesofageal
2. Sebab-sebab iatrogenik
3. Penyakit-penyakit periodontal
4. Kebersihan mulut yang buruk
5. Pencabutan gigi
6. Pneumonia akut
7. Immunosupresi
8. Bronkiektasis
9. Kanker paru
10. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV
yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status
immunocompromised yang sangat jelek (kadar CD4 <50/mm3), dan
kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.
D. ANATOMI
Rongga thoraks atau cavitas thoracis terbagi menjadi tiga ruangan yaitu
dua rongga pleura dan sebuah rongga mediastinum. Paru-paru dan pleura mengisi
sebagian besar rongga thoraks dengan jantung diantaranya.17
Saluran napas bagian atas mempunyai fungsi utama sebagai penghantar
udara dari dan ke alveolus sebagai tempat pertukaran udara yang sebenarnya.
Trachea, (dari bahasa latin trachia, “pipa udara”) dimulai dari laring dan
memanjang hingga +/- 12 cm hingga percabangan trachea. Selanjutnya trachea
bercabang menjadi main bronchus. Main bronchus dari masing-masing paru-paru
5

bercabang lagi menjadi lobar dan segmental bronchi. Paru kanan mempunyai 3
lobus yaitu lobus atas, tengah, dan bawah. Paru kiri mempunyai 2 lobus yaitu
lobus atas (termasuk lingula) dan lobus bawah.17
Gambar 1. Anatomi Paru
Paru kanan dibagi oleh dua buah incisura interlobaris. Fissura oblik
memisahkan lobus inferior dengan lobus medius dan lobus superior. Fissura
minor memisahkan lobus superior dengan lobus medius, terletak horisontal, ujung
dorsal bertemu dengan fissura oblik, ujung ventral terletak setinggi pars
cartilaginis costa IV. Pada facies mediastinalis fissura horisontalis (fissura minor)
melampaui bagian dorsal hilus paru. Lobus medius adalah lobus yang terkecil dari
lobus lainnya, dan berada di bagian ventrocaudal, bentuk paru kanan bentuknya
lebih kecil tetapi lebih berat dan total kapasitasnya lebih besar.17
Paru kiri terdiri atas dua lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior yang
dipisahkan oleh fissura oblik (incisura interlobaris) yang meluas dari facies
costalis sampai pada facies mediastinalis, baik di sebelah kranial atau di sebelah
6

kaudal hilus paru. Fissura oblik dapat diikuti mulai dari hilus, berjalan ke
dorsokranial, menyilang margo posterior kira-kira 6 cm dari apeks pulmonis, lalu
berjalan ke arah caudoventral, pada facies costalis menyilang margo inferior, dan
kembali menuju hilus pulmonis. Dengan demikian lobus superior meliputi apeks
pulmonis, margo inferior, sebagian dari facies costalis dan sebagian besar dari
facies mediastinalis. Lobus inferior lebih besar dari lobus superior, dan meliputi
sebagian besar dari facies costalis, hampir seluruh facies diphragmatica dan
sebagian dari facies mediastinalis (bagian dorsal).17
Lobus paru dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi
menjadi 8 segmen. Proses patologis seperti pneumonia seringkali terbatas pada
satu lobus dan segmen.9
Gambar 2. Segmentasi Paru
7

Sirkulasi darah ada hubungannya dengan fungsi respirasi. Sirkulasi
pulmonal adalah aliran darah dari ventrikulus dekstra, melalui arteri pulmonalis,
berakhir pada atrium dekstra. Pada sirkulasi pulmonal terjadi pergantian
karbondioksida dengan oksigen, yang berlangsung melalui dinding alveolus,
disebut respirasi eksterna. Respirasi interna adalah penggunaan oksigen di
jaringan, yang menghasilkan karbondioksida. Peredaran darah yang berkaitan
dengan nutrisi parenkim paru dilakukan oleh arteri dan vena bronkialis.8
Ramus dekstra dan ramus sinistra arteri pulmonalis adalah percabangan
dari arteri pulmonalis yang membawa darah dari paru kanan dan paru kiri,
selanjutnya bercabang-cabang mengikuti percabangan bronkus dan kapiler-
kapilernya mencapai alveolus. Paru kanan menerima sebuah cabang dari arteri
bronkialis, dan paru kiri menerima dua buah cabang dari arteri bronkialis. Arteri
ini dipercabangkan dari dinding ventral aorta thoracalis proksimal.8
Gambar 3. Vaskularisasi Paru
Persarafan paru berasal dari serabut saraf simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) yang membentuk pleksus pulmonalis anterior dan pleksus
pulmonalis posterior.8,12
8

Paru dibungkus oleh lapisan pleura dan terletak di dalam cavum thorax.
Lapisan pleura terdiri dari pleura visceralis dan parietalis yang tidak berhubungan
dan mengandung cairan pleura sebagai pelumas friksi antar kedua pleura. Namun,
pada hilus paru kedua lapisan pleura berhubungan dan bergantung longgar di atas
hilus (ligamentum pulmonal), sehingga memungkinkan peregangan struktur-
struktur yang melewati hilus selama respirasi. Adapun struktur-struktur yang
melewati hilus adalah arteri pulmonalis, bronkus, vena pulmonalis, dan kelenjar
getah bening. Saat memasuki paru, bronkus utama kanan terletak lebih pendek,
lebih lebar, dan lebih vertikal dibandingkan dengan bronkus utama kiri.8
Gambar 4. Struktur Sekitar Paru
Tiap paru masing-masing mempunyai membran serosa berlapis dua yang
disebut pleura (dari bahasa latin, berarti rusuk). Pleura terdiri dari 2 lapisan
penyusun, lapisan viscera (dari bahsa latin, viscus, “bagian dalam tubuh”) dan
lapisan parietal (dari bahasa latin, yang berarti dinding). Pleura parietalis
merupakan selaput tipis dari membrana serosa yang melapisi rongga pleura.
Pleura parietalis dibagi menjadi pars costalis yang melapisi permukaan dalam
dinding thorax, pars mediastinalis yang membungkus mediastinum dan sisi
9

rongga pericardium, pars diaphragmatica yang melapisi permukaan atas dari
diaphragma. Sedangkan pleura visceralis membungkus paru-paru dan melekat erat
pada permukaannya. Permukaan pleura ini tipis dan halus sehingga mudah
bergeser dengan pleura parietalis.17
Lobus dari paru-paru dipisahkan oleh invaginasi dari pleura visceral, yang
disebut fissura. Paru-paru kanan mempunyai dua fissura, fisurra mayor yang
memisahkan lobus superior dan lobus medial, dan fissura minor yang
memisahkan lobus medial dan lobus inferior. Sedangkan paru-paru kiri hanya
mempunyai satu fissura, yaitu fissura mayor yang memisahkan lobus superior dan
lobus inferior. Lobus kemudian dibagi lagi menjadi segmen, dimana setiap
segmen terdapat bronchi segmentalis dan arteri serta vena segmentalis.9
Pembuluh darah dalam paru– paru, arteri pulmonalis membawa darah yang sudah
tidak mengandung oksigen dari partikel kanan jantung ke paru – paru ; cabang–
cabangnya menyentuh saluran bronkial, bercabang dan bercabang lagi sampai
menjadi arteriola halus ; arteriola itu membelah – belah dan membentuk jaringan
kapiler dan kapiler –kapiler itu menyentuh dinding alveoli atau gelembung udara.
Kapiler itu hanya dapat memuat sedikit maka praktis dapat dikatakan sel – sel
darah merah membuat garis tunggal. Alirannya bergerak lambat dan dipisahkan
dari udara dalam alveoli hanya oleh dua membran yang sangat tipis, maka
pertukaran gas berlangsung dengan difusi, yang merupakan fungsi pernafasan.
Kapiler paru – paru bersatu sampai menjadi pembuluh darah lebih besar dan
akhirnya dua vena pulmonalis meninggalkan setiap paru–paru membawa darah
berisi oksigen ke atrium kiri jantung untuk didistribusikan keseluruh tubuh
10

melalui aorta. Pembuluh darah yang dilukiskan sebagai arteri bronkialis
membawa darah berisi oksigen langsung dari aorta torasika ke paru–paru guna
memberi makan dan mengantarkan oksigen kedalam jaringan paru–paru sendiri.
Cabang akhir arteri–arteri ini membentuk plexus kapiler yang tampak jelas dan
terpisah, terbentuk oleh cabang akhir arteri pulmonalis, tetapi beberapa dari
kapiler ini akhirnya bersatu kedalam vena pulmonalis. Sisa darah itu diantarkan
dari setiap paru–paru oleh vena bronkialis dan ada yang dapat mencapai vena cava
superior. Maka dengan demikian paru–paru mempunyai persediaan darah ganda.9
E. PATOFISIOLOGI
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru
seperti daya tahan tubuh dan jenis dari mikroorganisme patogen yang menjadi
penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru
bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan
striktur bronkial.1 Pada kelompok abses paru bronkogenik terjadi obstruksi
bronkus dan terbawanya organisme virulen dapat menyebabkan terjadinya infeksi
pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak terjadi pada pasien
bronkitis kronik karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang
merupakan kultur media yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Pada
perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk
terjadinya abses paru.16
11

Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari
celah gusi sampai di saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada
seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena
pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat
pula terjadi pada penderita penyakit sistem saraf.6,7,16,18 Jika bakteri tersebut tidak
dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh, maka akan terjadi
pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian berkembang menjadi
nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.6,11
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini
umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh
stafilokokus. Penanganan abses multipel dan kecil lebih sulit dari abses singel
walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari
beberapa milimeter sampai dengan 5 cm atau lebih.16
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia
yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi
pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi,
bronkiektasis, dan gangguan imunitas.16
12

Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme yang penyebabnya paling sering ialah
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses
yang terjadi biasanya multipel dan berukuran kecil (<2cm).16
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.
Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media
kultur untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi
oleh mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah abses paru.16
Abses hepar bakterial atau amebik bisa mengalami ruptur dan menembus
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan
rongga pleura.16
Abses paru biasanya satu (singel), tapi bisa multipel yang biasanya
unilateral pada satu paru, yang terjadi pada pasien dan keadaan umum yang jelek
atau pasien yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati,
gangguan imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau
penggunaan sitostatika.
Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus
atas dan segmen apikal lobus bawah dan sering terjadi pada paru dekstra, karena
bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses bisa mengalami ruptur ke
dalam bronkus dengan isinya diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan
kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura
13

sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya fistula
bronkopleura.16
F. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada pemeriksaan fisik pasien dengan abses paru
bervariasi. Temuan fisik mungkin menjadi sekunder dengan kondisi yang terkait
seperti radang paru yang mendasari atau efusi pleura. Temuan pemeriksaan fisik
juga dapat bervariasi tergantung pada organisme yang terlibat, tingkat keparahan
dan luasnya penyakit, dan status kesehatan pasien dan komorbiditas.11
Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu
dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan
berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai
menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4oC atau lebih. Namun, tidak adanya
demam tidak menyingkirkan adanya abses paru.11,16
Kadang abses paru belum dicurigai hingga abses tersebut menembus
bronkus dan mengeluarkan banyak sputum yang bisa mengandung jaringan paru
yang mengalami gangren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy
(disebut dengan putrid abscesses) merupakan tanda yang patognomonik untuk
infeksi bakteri anaerob dan, tetapi tidak didapatkannya sputum demikian tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Pada kasus ini pun, dapat dijumpai
batuk darah pada sekitar 25% dari pasien serta pada 60% pasien pun ada yang
mengeluhkan sakit dada yang berhubungan dengan pleura.4,10,11
14

Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piothorax
(empiema) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada
tertinggal pada tempat lesi, vokal fremitus menghilang, perkusi redup/pekak,
bunyi napas menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum
terutama jantung ke arah kontralateral. Selain itu, pada abses paru pun bisa
ditemukan clubbing finger (jari tabuh).4,16
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis berkisar 10.000-
30.000/mm3 dengan laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam.
Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran ke kiri dan sel
polimorfonuklear yang banyak terutama neutrofil yang immatur. Bila abses
berlangsung lama sering ditemukan adanya anemia.11,16
Pemeriksaan sputum dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme
penyebab abses. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pewarnaan gram, kultur
mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nocardia, basil Mycobacterium
tuberculosis, dan mikroorganisme lainnya.
b. Pemeriksaan Bronkoskopi
Bronkoskopi dengan biopsy sikatan yang terlindung dan bilasan bronkus
merupakan cara diagnosis yang paling baik dengan akurasi diagnostik
bakteriologi melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien AIDS
sebelum dimulai pengobatan karena banyaknya kuman yang terlibat dan sulit
diprediksi secara klinis.16
15

Selain itu 10%-25% dari penyebab abses paru pada orang dewasa adalah
karsinoma bronkogenik, dan 60% diantaranya dapat didiagnosa dengan
menggunakan bronkoskopi.
c. Aspirasi Jarum Perkutan
Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakteriologia, dengan
spesifitas melebihi aspirasi transtrakeal.16
3. Gambaran Radiologik
a. Foto Thorax
Pada gambaran radiologik tampak satu atau lebih kavitas, disertai dengan
air-fluid level. Bentuk abses kecil ( < 2 cm) multipel seringkali dihubungkan
dengan necrotizing pneumonia dan gangren paru. Baik abses paru maupun
necrotizing pneumonia merupakan manifestasi dari proses patologis yang serupa.
Kegagalan dalam mengenali dan mengobati abses paru berhubungan dengan
keadaan umum yang jelek.5,11
Pada foto thorax PA dan lateral biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi
dapat juga multikavitas berdinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi di
sekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan tebal dinding kavitas
bisa mencapai 5 mm.14
Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya
ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik,
nosokomial, atau hematogen) lesinya biasanya multipel.1
16

Gambaran kavitas ini lebih sering dijumpai pada paru kanan dari paru kiri.
Bila terdapat hubungan dengan bronkus maka di dalam kavitas terdapat air-fluid
level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda
konsolidasi (opasitas). Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita
melakukan foto thorax PA dengan posisi berdiri.15
Gambar 5. Foto Thorax Posisi Lateral, tampak adanya cavitas dengan air-fluid level yang merupakan karakteristik dari abses paru.
Abses paru akibat aspirasi paling sering menyerang segmen posterior paru
lobus atas atau segmen superior paru lobus bawah. Ketebalan dinding abses paru
bervariasi, bisa tipis ataupun tebal, batasnya bisa jelas maupun samar-samar.
Dindingnya mungkin licin atau kasar.3,7
Gambar 6. (A) Abses paru yang besar dengan air-fluid level di bagian distal pada suatu karsinoma hilus. Lobus kanan atas kolaps disertai dengan emfisema sebagai kompensasi. (B) Tampak penebalan pada fissura obliq yang bersebelahan dengan
abses (panah).
17

Gambar 7. Abses setelah pneumonia.Penderita ini dengan pneumonia akut pada segmen posterior lobus kanan atas, terbentuk area translusen di bagian sentral (terlihat jelas pada foto lateral). Tampak gambaran abses dengan dinding tebal
yang irreguler dan air-fluid level.
b. CT-Scan
Gambaran khas CT-Scan abses paru ialah lesi hiperdens bundar dengan
kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru yang
rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah berakhir secara mendadak pada
dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Selain itu lesi tampak
membentuk sudut pada permukaan pleura dinding dada.
Gambar 8. Abses paru pada segmen posterior dari lobus kanan atas. CT scan memperlihatkan kavitas dengan dinding tipis dan dikelilingi dengan konsolidasi).
18

Gambar 9. Potongan aksial dari CT-Scan Thorax, menggambarkan multilokular abses dengan double air-fluid level
4. Gambaran Histopatologik
Abses paru bermula sebagai nekrosis dari bagian kecil yang terus
berkembang di dalam segmen yang terkonsolidasi pada pneumonia. Area ini dapat
bergabung membentuk area supuratif yang singel maupun multipel yang mewakili
abses paru. Ketika inflamasi berlanjut mencapai bronkus, isi dari abses
dikeluarkan sebagai sputum yang berbau, kemudian, terbentuklah fibrosis, yang
menyebabkan bekas luka yang padat dan memisahkan abses. Abses dapat tetap
terjadi, dan mengalirnya pus ke dalam bronkus dapat menyebarkan infeksi.11,13
Gambar 10. Gambaran histopatologis dari abses paru menunjukkan reaksi inflamasi.
19

G. Diagnosa Banding
1. Karsinoma Bronkogenik
Pemeriksaaan radiologik untuk membantu diagnosis karsinoma paru
bermacam-macam, antara lain bronkografi invasif, CT-Scan, serta pemeriksaan
radiologik konvensional (thorax PA, lateral, fluoroskopi). Beberapa kelainan
seperti emfisema setempat, atelektasis, pembesaran hilus unilateral, serta kavitas
dapat dicurigai sebagai suatu keganasan.18
Berdasarkan histologinya, karsinoma bronkogen terdiri atas 4 jenis sel,
yakni: adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, undifferentiated large cell
carcinoma, dan small cell carcinoma. Squamous cell carcinoma merupakan jenis
sel yang paling sering memberikan gambaran radiologik berupa kavitas, yakni
pada sekitar 10% dari kasus. Sedangkan karsinoma bronkioloalveolar
(adenocarcinoma) adalah jenis karsinoma bronkogen kedua terbanyak setelah
squamous cell carcinoma yang pada gambaran radiologiknya menunjukkan
kavitasi.18
Gambar 11. Bronchioloalveolar carcinoma pada pria 39 tahun dengan sputum darah dan nyeri dada pleuritik. (a) Foto Thorax PA yang menggambarkan
konsolidasi dan kavitas pada paru kiri atas segmen lingular. (b) CT-Scan Thorax
20

(window paru) menunjukkan gambaran kavitas dengan konsolidasi pada parenkim paru.
2. Tuberculosis Paru dengan Kavitas
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat pula mengenai lobus
bawah atau di daerah hilus (misalnya pada tuberkulosis endobrakial). Pada awal
penyakit, lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, dengan gambaran
radiologik berupa bercak berawan dengan batas yang tidak tegas. Bila sudah
diliputi jaringan ikat maka terlihat bayangan berupa bulatan dengan batas tegas.
Lesi ini lebih dikenal dengan tuberkuloma. Selain itu, nampak pula kavitas, yakni
bayangan berupa cincin. Dinding kavitas dapat tipis dan halus hingga tebal dan
noduler, air-fluid level dilaporkan terjadi pada 9-21% dari kavitas pada TB. Pada
proses lanjut dapat terlihat bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat,
garis fibrosis, kalsifikasi, kavitas, maupun atelektasis dan emfisema.2
Gambar 12. Distribusi atipic postprimer TB (a) Foto thorax menunjukkan massa kavitas dengan dinding tebal tidak teratur (panah besar) dan dikelilingi oleh noduler opacity yang saling berdekatan pada lobus kiri atas. Suatu nodul dengan
21

densitas (panah kecil) terdapat di kontralateral, lobus kanan atas. (b) CT-Scan yang didapatkan dengan collimation menunjukkan lokasi kavitas (panah) di
segmen anterior lobus kiri atas. H. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya
dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat
dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.16
Penisilin selalu menjadi antibiotik pilihan, namun percobaan terbaru
menunjukkan klindamisin lebih unggul. Meskipun khasiat keseluruhan penisilin
tampaknya berkurang, saat ini tetap menjadi obat praktis untuk kebanyakan
pasien, terutama jika klindamisin merupakan kontraindikasi. Tetrasiklin dianggap
terapi tidak memadai karena sebagian besar anaerob tahan untuk itu. Demikian
pula, metronidazol tidak efektif pada sekitar 50% pasien, mungkin karena
kontribusi bakteri aerobik. Karena itu, jika agen ini harus digunakan, sebaiknya
dikombinasikan dengan turunan penisilin atau sefalosporin. Setelah terapi
antibiotik awal, dan radiografi respon klinis secara bertahap, demam biasanya
mereda dalam 4-7 hari, namun normalisasi foto thorax mungkin memerlukan 2
bulan.5
Drainase merupakan bagian penting dari penatalaksanaan abses paru. Air-
fluid level menyiratkan adanya hubungan dari rongga abses ke trakeobronkial.
Drainase postural dan fisioterapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit
diperlukan untuk mempercepat proses resolusi abses paru. Namun pada penderita
abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan
drainase melalui bronkoskopi.4,5,16
22

Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses
paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi,
pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur. Disamping itu, dengan
bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak
mengalami drainase yang adekuat, serta dapat memasukkan larutan antibiotik
melewati bronkus langsung ke lokasi abses.
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi operasi
adalah:16
- Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
- Komplikasi: empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura
- Pengobatan penyakit yang mendasari: karsinoma obstruktif primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesofageal,
malformasi atau kelainan kongenital.
Lobektomi merupakan prosedur paling sering dilakukan, sedangkan
reseksi segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi
diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap
penanganan dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi
mencapai 5%-10%.16
Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat
dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah
kebocoran isi abses ke rongga pleura.16
I. Komplikasi
23

Komplikasi dari abses paru meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi
lewat bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru
yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan
kecenderungan penyebaran infeksi Staphylococcus, dan apabila ruptur ke rongga
pleura akan menjadi piothorax (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa
abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura visceralis sehingga terjadi
piopneumothorax dan fistula bronkopleura.16
Gambar 13. Komplikasi utama dari abses paru meliputi (a) fistula broncho-pleural, menyebabkan nanah dapat masuk ke dalam cavum pleura, (b)
intrabronchial hemorrhage yang masif bahkan dapat membanjiri paru pasien, (c) isi abses dapat memasuki bronkus, (d) penyebaran menyeluruh dari bakteri ke
otak dan bagian tubuh lainnya.
Abses paru yang kronik akan menyebabkan kerusakan paru yang
permanen dan mungkin menyisakan suatu bronkiektasis, cor pulmonal, dan
amiloidosis. Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kaheksia,
gangguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.16
J. Prognosis
24

Faktor-faktor yang membuat prognosis jelek adalah kavitas yang besar
(lebih dari 6 cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromissed, umur
yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif, abses
yang disebabkan bakteri aerobik, dan abses paru yang belum mendapat
pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien
ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh maka angka kekambuhannya tinggi.16
25

DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru.
Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid III. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009. hal.2235
3. Bartlett J.G. Lung abscess. [online] 2008 [cited 2013 November 08].
Available from:
URL: http://www.merck.com/mmpe/sec05/ch053/ch053a.html
4. Baum, Crapo GL, James D. Lung abscess. In: Baum’s textbook of
pulmonary disease 7th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004.
5. Bhimji S. Lung abscess, surgical perspective. [online] 2010 Oct 22 [cited
2013 November 07]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview
6. Datir A. Lung abscess. [online] 2008 May 2 [cited 2013 November 06].
Available from: URL: http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
7. Djojodibroto RD. Abses paru. Dalam: Respirologi (Respiratory medicine).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hal.143.
8. Faiz O, Moffat D. The Lungs. In: Anatomy at a glance. UK: Blackwell
Science Ltd; 2002. p.15
9. Gunderman, Richard B. Anatomy and physiology in:Essential radiology.
New York: Thieme. 2006. Hal 69-73
10. Jardins TD. The cardiopulmonary system. In: Cardiopulmonary Anatomy
and physiology, essentials in respiratory care. Fourth edition. USA:
26

Delmar; 2002. p.45, 47.
11. Kamangar N, Sather CC, Sharma S. Lung abscess. [online] 2009 Aug
19 [cited 2013 November 06]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview
12. Koziel H. Lung abscess. [online] 2006 [cited 2013 November 07].
Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/28978474/Lung-
Abscess
13. Kumar, Vinay. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8th edition.
Philadelphia: Saunders. 2007. Hal 515
14. Mettler FA. Lung abscess. In: Essentials of radiology, Second Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p.84-6
15. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of
Pulmonolgy Infection, 1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2007. Chapter 1
16. Rasyid A . Abses Paru. Dalam Sudoyo, Aru W, dkk. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid 2 edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI,2009. Hal. 2323-2327
17. Wibowo, Daniel S. Paryana, Widjaja. Anatomi tubuh manusia. Bandung:
Graha Ilmu. 2007. Hal 210-211
18. Wilson, Loraine M & Sylvia A. Price. Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit edisi 6, volume 1. Jakarta: EGC, 2006. Hal 594
27