referat paru

57
BAB 1 PENDAHULUAN Asma dan chronic pulmonary obstructive disease (COPD), atau umumnya di Indonesia disebut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), merupakan dua penyakit pernapasan yang berbeda. Kelompok kerja internasional Global Initiative for Asthma (GINA) menekankan definisi asma sebagai bentuk reaksi radang kronik (sudah terjadi bertahun-tahun) pada saluran napas akibat hiperresponsivitas jalan napas yang bersifat reversible (dapat kembali atau mendekati keadaan seperti semula) dengan atau tanpa pengobatan dan gejala yang timbul bersifat episodik (hilang timbul).[1] Kelompok kerja internasional Global Initiative for COPD (GOLD) menekankan definisi PPOK sebagai reaksi radang kronik saluran napas akibat terpajan zat kimia, biasanya berupa gas, hingga terjadi gangguan pernapasan yang bersifat tidak sepenuhnya reversible.[2] Latar belakang demografis asma terutama diderita usia muda sementara PPOK terutama diderita usia tua. [1,2] Diagnosis asma tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi pada kelompok usia tua.[3] Kedua penyakit pernapasan ini menyebabkan keluhan yang hampir sama yaitu sesak dan kadang disertai dengan suara mengi (wheezing) pada saat bernapas atau awamnya disebut bengek. Sifat sesak ini, serta gejala-gejala lain, bila 1

Upload: faizawidi

Post on 26-Dec-2015

65 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat paru

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Paru

BAB 1

PENDAHULUAN

Asma dan chronic pulmonary obstructive disease (COPD), atau umumnya

di Indonesia disebut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), merupakan dua

penyakit pernapasan yang berbeda. Kelompok kerja internasional Global Initiative

for Asthma (GINA) menekankan definisi asma sebagai bentuk reaksi radang

kronik (sudah terjadi bertahun-tahun) pada saluran napas akibat hiperresponsivitas

jalan napas yang bersifat reversible (dapat kembali atau mendekati keadaan

seperti semula) dengan atau tanpa pengobatan dan gejala yang timbul bersifat

episodik (hilang timbul).[1] Kelompok kerja internasional Global Initiative for

COPD (GOLD) menekankan definisi PPOK sebagai reaksi radang kronik saluran

napas akibat terpajan zat kimia, biasanya berupa gas, hingga terjadi gangguan

pernapasan yang bersifat tidak sepenuhnya reversible.[2]

Latar belakang demografis asma terutama diderita usia muda sementara

PPOK terutama diderita usia tua.[1,2] Diagnosis asma tidak tertutup kemungkinan

bisa terjadi pada kelompok usia tua.[3] Kedua penyakit pernapasan ini

menyebabkan keluhan yang hampir sama yaitu sesak dan kadang disertai dengan

suara mengi (wheezing) pada saat bernapas atau awamnya disebut bengek. Sifat

sesak ini, serta gejala-gejala lain, bila ditelusuri dengan teliti pada penyakit asma

berbeda dengan PPOK. Seseorang usia tua dengan keluhan sesak dapat

didiagnosis sebagai asma atau PPOK dan untuk menentukan kepastian antara

kedua diagnosis ini merupakan tantangan tersendiri. Tulisan kali ini berusaha

untuk membuka wawasan dan kewaspadaan mengenai bagaimana membedakan

diagnosis asma atau PPOK pada pasien usia tua.

1

Page 2: Referat Paru

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Definisi Asma

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-

ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari

yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering

ditemukanadalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi

saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi.

Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang

kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. (Bernstein, 2003)

Penderita asma memiliki tipe khusus peradangan pada saluran nafas yang

membuat mereka lebih responsif dari penderita nonasthmatics ke berbagai

pemicu, menyebabkan penyempitan berlebihan pada saluran nafas, mengi, dan

dyspnea. Penyempitan saluran napas biasanya reversibel, tetapi pada beberapa

pasien dengan asma kronis mungkin ada unsur obstruksi aliran udara ireversibel.

(Longo, 2012)

2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Gambar 2.1Faktor Resiko Asma (Longo, 2012)

2

Page 3: Referat Paru

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor

lingkungan.

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun

belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan

penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga

alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor

pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan

alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia

14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali

dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa

perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa

menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI),

merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin

dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan

kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum

jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat

memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

3

Page 4: Referat Paru

a. Alergen makanan. Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut,

kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan

pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu. Contoh: penisilin, sefalosporin,

golongan beta lactam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik,

antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi. Contoh: parfum, household spray, dan

lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

2.1.3 Klasifikasi asma

Gambar 2.2Klasifikasi Derajat Keparahan Asma (Rengganis, 2008)

2.1.4 Patofisiologi

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma

dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur

imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I

(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada

orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal

dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE

terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang

berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup

4

Page 5: Referat Paru

alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen

kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan

menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor

kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal

pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen

bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi

saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera

yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi

merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja

langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam

pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai

beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen

Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,

makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi

yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas

lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang

dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel

mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.

Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen

vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema

bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,3-6

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas

bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter

objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk

mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban

5

Page 6: Referat Paru

kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.

(Bernstein, 2003)

2.1.5 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara

rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada

pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan

terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas

cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan

dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang

merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak

umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi

maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala

berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi

paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas

yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu

identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi

paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma

diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan

waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut

ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi

klinis serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat

hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair

(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)

disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,

adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),

sering terbangun

6

Page 7: Referat Paru

Pemeriksaan Penunjang (Gotzsche; Bernstein, 2003)

a. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan

diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

b. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal

paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara

yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,

dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif

(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding

PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. Untuk

diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas

besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE

dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat

melakukan pemeriksaan FEV1.

c. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak

disebabkan asma.

d. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan

adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong

anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak

selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan

dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit

tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

e. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik

sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran

napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal

inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat

dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,

dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis

sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil

dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat

asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan

gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

7

Page 8: Referat Paru

f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan

FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi.

Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen

spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang

sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada

subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam

yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai

ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes

provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding

dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat

dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,

histamin, dan metakolin.

2.1.6 Tatalaksana

Keberhasilan penatalaksanaan asma memerlukan pemahaman dua prinsip

dasar yaitu:

1. Pada asma ditemukan heterogenitas dalam hal etiologi penampilan

klinis,keparahan, mortalitas dan respons terhadap pengobatan. Karena

heterogenitas ini tidak mungkin satu pendekatan penatalaksanaan dapat

digunakan untuk semua pasien. Jadi pengobatan harus disesuaikan dengan

pasien secara individu.

2. Keparahan penyakit bisa bervariasi dalam kaitan dengan waktu. Walaupun

penyakit relatif stabil dalam waktu lama, kambuh akibat alergi atau infeksi

adalah umum pada asma. Oleh sebab itu pasien harus diminta kontrol

reguler dan pengobatan dimodifikasi berdasar kebutuhan yang dihadapi

(9).

2.1.6.1 Obat asma

Obat untuk asma dapat digolongkan menjadi pengendali (controller) dan

pelega (reliever). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk

membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi.

Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar efek cepat untuk

menghilangkan bronkokontriksi dan menghilangkan gejalanya (Gotzsche)

8

Page 9: Referat Paru

Obat-obat asma dapat diberikan lewat beberapa cara seperti: oral, inhalasi

atau injeksi. Keuntungan utama obat perinhalasi adalah langsung ke saluran nafas,

menghasilkan konsentrasi lokal tinggi dengan risiko efek sistemik kurang

(Gotzsche)

2.1.6.2 Aplikasi

Ada banyak pedoman penatalaksanaan asma internasional maupun nasional. Salah

satunya dari GINA (Global Initative for Asthma). Tujuan penatalaksanaan asma

(Gotzsche)

a. Mencapai dan mempertahankan kontrol asma

b. Mempertahankan level aktivitas norrnal termasuk exercise

c. Mernpertahankan fungsi paru mendekati normal bila mungkin

d. Mencegah eksaserbasi

e. Menghindari efek merugikan (adverse effect) obat asma

f. Mencegah kematian akibat asma

Komponen penatalaksanaan asma (Gotzsche)

a. Membangun kerjasama pasien-dokter

b. Identifikasi dan reduksi paparan faktor risiko

c. Assess, treat dan monitor asthma

d. Pengobatan waktu eksaserbasi

e. Kondisi khusus

a. Membangun kerja sama pasien-dokter

Pengelolaan asma yang efektif memerlukan pembentukan

hubungan kerja sama antara penderita asma, keluarga dengan tenaga

kesehatan. Tujuan kerja sama untuk membuat pasien asma bisa

memperoleh pengetahuan, kepercayaan dan ketrampilan untuk mengambil

peran utama dari penatalaksaan asmanya. Kerja sama terbentuk clan

diperkuat ketika pasien dan tenaga kesehatan mendiskusikan dan

menyetujui tujuan pengobatan, rnembangun rencana pengobatan tertulis

yang bersifat pribadi termasuk monitor sendiri oleh pasien dan evaluasi

periodik pengobatan pasien dan level asma kontrol .

9

Page 10: Referat Paru

Edukasi harus menjadi bagian integral dari semua interaksi antara

tenaga kesehatan dengan pasien . Dari edukasi dan kerja sama pasien-

dokter akan mengalir informasi spesifilk,Iatihan dan nasihat tentang:

Diagnosis

Perbedaan antara reliever dan controller

Kemungkinan efek samping obat

Penggunaan alat inhalasi

Pencegahan gejala dan serangan asma

Tanda asma yang memburuk dan tindakan yang diambil

Monitoring asma control

Bagairnana dan kapan mencari pertolongan medik

b. Identifikasi dan reduksi paparan faktor risiko

Walaupun terapi farrnakologi sangat efektif dalam mengendalikan

gejala dan memperbaiki kualitas hidup, tindakan untuk mencegah

terbentuknya asma, gejala asma dan asma dengan menghindari atau

mengurangi paparan faktor risiko harus diimplementasikan bilamana

mungkin.Saat ini hanya sedikit upaya yang dapat direkomendasikan untuk

mencegah asma karena terbentuknya penyakit asma bersifat kornplek

belum semua diketahui.

Pencegahan asma

Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan

sensitisasi alergi (terbentuknya atopi,nampaknya paling relevan waktu

prenatal dan perinatal) atau mencegah terbentuknya asma pada

individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan tembakau/rokok

waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada intervensi

yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.

Sensitisasi alergi dapat terjadi perinatal. Untuk saat ini masih

kurang informasi tentang dosis dan waktu kritis dari paparan alergi

untuk mengijinkan intervensi proses tersebut dan tidak ada strategi

yang dapat direkomendasi untuk rnencegah sensitisasi alergi prenatal.

10

Page 11: Referat Paru

Peranan diet terutama menyusui.Dari data yang ada diketahui bayi

yang rnendapat susu sapi atau protein soy mempunyai insiden penyakit

mengi lebih banyak dari bayi yang dapat ASI.

Hygiene hypothesis asma.Walaupun kontroversi namun telah

membawa penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus fokus

pada mengarahkan kembali respons imun dari bayi ke Th1 atau

modulasi T regulator cell.Tetapi strategi tersebut saat ini masih

merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.

Mencegah gejala asma dan eksaserbasi

Eksaserbasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor (disebut sebagai

triger) termasuk alergen,virus,polutan dan obat. Jika rnungkin harus

dihindari. Banyak pasien asma bereaksi dengan berbagai faktor yang

banyak dijumpai dilingkungan sehingga menghindari faktor-faktor

tersebut secara total biasanya tidak praktis dan sangat membatasi

pasien. Medikasi yang dapat membuat pasien asma terkontrol ternyata

banyak bermanfaat sebab pasien-pasien asma yang terkontrol baik

kurang sensitive terhadap faktor risiko tersebut.

o Alergen indoor : tungau domestik, alergen hewan (hewan

berbulu), alergen kecoak dan jamur

o Alergen outdoor : pollen dan mold.Tidak mungkin dihindari

total, untuk mengurangi paparan dengan menutup pintu,

jendela dan tetap tinggal dalam rurnah saat polen dan mold

kadarnya tinggi dan gunakan AC bila mungkin.

o Menghindari makanan

Alergi makanan sebagai faktot pencetus eksaserbasi asma tidak

sering dan terjadi terutama pada anak kecil. Melarang makan

tertentu sebaiknya tidak direkomendasikan dulu sebelum

challence tindakan tersamar ganda dibuat. jika challence positf

melarang makan dapat menghilangkan eksaserbasi. Sulfit suatu

bahan pengawet sering rnenyebabkan eksaserbasi berat dan

kadang-kadang sampai kematian dan harus dihindari oleh

penderita yang sensistif. Membuktikan peranan bahan-bahan

11

Page 12: Referat Paru

makan lain seperti yellow dye tartazine, benzoat, MSG sulit

memastikan dan peranan bahan tersebut nampaknya kecil.

2.1.6.3 Assess,Treat dan Monitor asma

Tiap pasien harus di assess untuk rnenetapkan regimen pengobatan saat

sekarang, kepatuhan pada regimen yang ada sekarang dan level asma kontrol.

Mengacu pada tujuan pengobatan asma maka penderita dapat dikelompokkan

menjadi: terkontrol, terkontrol parsial dan tidak terkontrol.

Level asma kontrol saat sekarang dan pengobatan yang digunakan

sekarang menentukan pemilihan obat farmakologi. Contoh:a)Pasien tak terkontrol

dengan regimen yang digunakan sekarang, maka pengobatan hrus ditingkatkan

sampai tercapai kondisi terkontrol. Jika kondisi terkontrol telah tercapai minimal

3 bulan, pengobatan diturunkan untuk menentukan step dan dosis terendah dari

pengobatan untuk mempertahankan keadaan terkontrol.b)]ika pasien terkontrol

parsial, peningkatan pengobatan harus dipertimbangkan. Dipikirkan opsi yang

lebih efektif (dosis ditingkatkan atau menambah pengobatan), kemampuan dan

biaya untuk opsi pengobatan yang mungkin ada dan kepuasan pasien dengan level

kontrol yang dicapai. (lihat skc-ma )

Gambar 2.3Asma managemen

12

Page 13: Referat Paru

Dari skema di atas ada 5 step yang memberi opsi untuk meningkatkan

efikasi. Step 2 adalah pengobatan awal untuk pasien asma dengan keluhan

persisten yang belum pernah diobati. Jika pada waktu konsultasi awal

menunjukkan asma sangat tidak

Terkontrol, pengobatan dianjurkan dimulai dari step 3.

Bila asma telah terkontrol, monitoring terus berjalan untuk memantau

keadaan terkontrol tersebut dan untuk menentukan step dan dosis obat terendah

yang diperlukan dengan biaya minimal dan kearnanan rnaksimal. Karakteristik

asma adalah suatu penyakit yang berubah-ubah maka pengobatan harus

disesuaikan secara periodik apakah kondisi terkontrol sudah tidak tercapai yang

ditandai dengan gejala meningkat atau terjadi eksaserbasi (5)

2.1.6.4 Pengobatan eksaserbasi

Asma eksaserbasi (asma akut atau asthma attack) adalah kejadian

peningkatan progresif keluhan sesak nafas, batuk, mengi atau chest tightness atau

beberapa kombinasinya (Gotzsche)

Penyebab ekaserbasi (Bernstein, 2003)

Infeksi virus respirasi (paling sering)

Micoplasma pneumonia

Chlamydia pneumonia

Alergen

Iritan (SO2, Particulate pollutans)

Obat (aspirin)

Krisis emosi

Tidak patuh pada pengobatan

Asma eksaserbasi merupakan satu alasan paling sering dari pasien untuk

mencari pertolongan emergensi ke dokter umum atau instalasi gawat darurat.

Evaluasi data dari instalasi gawat darurat menyatakan pasien asma yang datang ke

IGD sebagian besar termasuk asma berat hanya sebagian kecil dengan asma

ringan dan sedang (4). Eksaserbasi asma bisa ringan,berat sampai mengacam

nyawa.Perburukan biasanya terjadi dalam hitungan jam atau hari kadang bisa

terjadi dalam beberapa menit. Eksaserbasi biasanyacmenujukkan ada kontak

dengan trigger. Yang paling sering adalah

13

Page 14: Referat Paru

infeksi virus atau alergen tetapi eksaserbasi yang berjalan gradual bisa terjadi

karena kegagalan penatalaksanaan jangka panjang (6).

Mortaliti dan morbiditi sering dikaitkan dengan kegagalan dalam

mengenal berat eksaserbasi, upaya yang tidak adekuat pada saat onset dan

undertreatment eksaserbasi. Terapi eksaserbasi tergantung dari kondisi

pasiempengalarnan terapi tenaga kesehatan, terapi yang paling efektif untuk

pasien tertentu,obat-obat yang tersedia dan fasilitas gawat darurat.

Terapi utama untuk eksaserbasi adalah pernberian inhalasi b 2 agonist

berulang, glukokortikoid lebih awal dan oksigen (5). Sebelum memberi

pengobatan diperlukan evaluasi awal (assessment). Walaupun evaluasi awal

tersebut penting namun pada eksaserbasi berat pernberian oksigen dan beta 2

agonist harus didahulukan. Evaluasi keparahan penyakit diselesaikan dengan

menilai kemampuan pasien mengucapkan kalimat,tanda-tanda vital, PEFR dan

pulse oxymetri (4). Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas

dan hipoksemi secepat mungkin dan

mencegah kekambuhan. Yang paling penting dalam rnenentukan keberhasilan

terapi adalah monitoring kondisi pasien dan respons terapi dengan mengukur faal

paru.Pemulihan sempurna dari eksaserbasi biasanya gradual. Fungsi paru perlu

beberapa hari untuk kembali normal dan beberapa minggu untuk menurunkan

AHR (6).

2.1.6.4.1 Penatalaksanaan eksaserbasi di rumah sakit

Asma eksaserbasi berat rnerupakan gawat darurat medik yang mengancam

jiwa, oleh sebab itu pengobatan sering lebih aman dlkerjakan di Instalasi Gawat

Darurat (IGD). Langkah pertama:penilaian awal atas dasar riwayat penyakit

singkat dan pemeriksaan (pemeriksaan fisik,SaO2, PEFR/FEV1, BGA bila perlu)

yang terkait dengan eksaserbasi dibarengi dengan terapi awal. Pemeriksaan

laboratorium jangan sampai menunda terapi

Awal.

Pengobatan awal:

a. Oksigen untuk mencapai SaO2 e” 90%

b. Inhalasi SABA kontinyu selama 1 jam

14

Page 15: Referat Paru

c. Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respons segera atau jika pasien

sudah minum steroid oral atau episode berat. Evaluasi setelah 1 jam.

Selanjutnya pengobatan disesuaikan dengan respons pengobatan.

a. Respons baik: pulang

Kriteria: respons bertahan sampai 60 menit setelah pengobatan

terakhir. pemeriksaan fisik normal tidak ada distress

PEFR > 70% prediksi

SaO2 > 90%

b. Respons tidak lengkap: dilanjutkan ke perawatan di ruang

perawatan intermediet Kriteria: ada faktor risiko near fatal asma.

Pemeriksaan fisik: tanda ringan-sedang

PEFR < 60% prediksi

SaO2 tidak ada perbaikan

c. Respons jelek ke ICU

Kriteria: ada faktor risiko near fatal asthma. Pemeriksaan fisik

gejala yang berat,ngantuk,bingung

PEFR < 30% prediksi

PaCO2 >45 mmHg, PaO2 < 60 mmHg

2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

2.2.1 Definisi

PPOK adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara

yang tidak reversible total. Hambatan aliran udara biasanya progresif

dan dihubungkan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap

partikel berbahaya atau gas-gas (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2005).

2.2.2 Faktor Risiko

a. Faktor Host:

Genetik: defisiensi alfa 1 antitripsin, merupakan suatu kelainan

herediter.

Hipereaktivitas bronkus/asma.

Gender: pria lebih berisiko daripada wanita.

Penyakit anak-anak: infeksi saluran napas dan asma anak

(Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2005).

15

Page 16: Referat Paru

Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang (PDPI, 2003).

Pertumbuhan dan perkembangan paru (GOLD, 2014).

Bronkitis kronik (GOLD, 2014).

b. Faktor Eksternal:

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun

60-70 %). Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya

penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor

penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu

diperhatikan :

1. Riwayat merokok: perokok aktif, perokok pasif, atau bekas

perokok

2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu

perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari

dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600 (PDPI, 2003).

Occupational dust and chemicals.

Polusi udara (indoor dan outdoor). Polusi udara terutama di kota

besar, di lokasi industri, dan di pertambangan (Pedoman

Diagnosis dan Terapi, 2005).

2.2.3 Patogenesis

Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran

napas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai

bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD

8) dan netrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi menghasilkan berbagai

mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF alfa, dll yang mampu merusak

struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Di

samping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu ketidak

seimbangan protease dan antiprotease di paru dan stress oksidatif

(Pedoman Diganosis dan Terapi, 2005).

16

Page 17: Referat Paru

Gambar 2.4 Konsep Patogenesis PPOK

PPOK berkaitan dengan airflow limitation. Airflow limitation ini

bisa disebabkan karena banyak hal (GOLD, 2014).

Gambar 2.5 Mekanisme yang Mendasari Airflow Limitation pada PPOK

Berikut adalah perbedaan patogenesis asma dengan PPOK.

17

Page 18: Referat Paru

Gambar 2.6 Perbedaan Patogenesis Asma dan PPOK

2.2.4 Patologi

Perubahan patologi yang khas pada PPOK dijumpai di saluran

napas besar (central airway), saluran napas kecil (peripheral airway),

parenkim paru, dan vaskuler pulmonal.

a. Saluran napas besar.

Infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-

kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel Goblet

meningkat

b. Saluran napas kecil.

Inflamasi kronis menyebabkan siklus injury dan repair

dinding saluran napas berulang. Proses repair akan menghasilkan

structural remodeling dari dinding saluran napas dengan

peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang

menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran napas

permanen.

c. Parenkim paru.

Destruksi parenkim paru secara khas berupa emfisema

sentrilobuler. Kelainan tersebut lebih sering dibagian atas pada kasus

ringan, namun bila lanjut bisa terjadi di seluruh bagian paru dan juga

terjadi destruksi pada pulmonary capillary bed.

d. Perubahan Vaskuler Pulmonal.

18

Page 19: Referat Paru

Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan

intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh

darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot

polos, proteoglikans, dan kolagen bertambah sehingga dinding

pembuluh darah bertambah tebal (Pedoman Diganosis dan Terapi,

2005).

2.2.5 Klasifikasi PPOK

Berikut ini adalah klasifikasi PPOK berdasarkan hasil FEV1

setelah pemberian bronkodilator (GOLD, 2014).

Gambar 2.7 Klasifikasi PPOK

2.2.6 Gejala Klinis

Dua keluhan utama adalah sesak dan batuk.

a. Sesak napas. Sesak timbul progresif secara gradual dalam beberapa

tahun. Mula-mula ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas

sehari-hari.

b. Suara mengi (wheezing)

c. Batuk kronis. Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan

memberat waktu pagi. Dahak biasanya mukoid tetapi berubah

purulen bila eksaserbasi

d. Batuk darah. Dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah

diduga dari saluran napas yang mengalami inflamasi dan

karakteristik: blood-streaked purulen sputum

e. Nyeri dada. Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK.

f. Anoreksia dan berat badan menurun (Pedoman Diganosis dan

Terapi, 2005).

19

Page 20: Referat Paru

Karakteristik PPOK adalah ada eksaserbasi. Bila penyakit

progresif, interval diantara eksaserbasi akut makin dekat

Pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat

hambatan aliran udara, berat ringan hiperinflasi paru, dan bentuk

tubuh. Awalnya hanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada

ekspirasi paksa. Bila obstruksi berlanjut tampak hiperinflasi dan

barrel chest. Suara napas menurun, ekspirasi memanjang, suara

jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot napas

tambahan atau pursed-lips breathing menunjukkan hambatan

aliran udara berat. Edema tungkai, juguler venous pressure (JVP)

meningkat, hepar teraba, dan hipertensi pulmonal adalah tanda

kor pulmonale kronikum dekompensata (Pedoman Diganosis dan

Terapi, 2005).

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis dibuat atas dasar:

a. Gambaran klinis: riwayat penyakit dan faktor risiko serta

pemeriksaan fisik.

Anamnesis

1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa

gejala pernapasan.

2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.

3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

4.Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya

berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas

berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (PDPI, 2003).

Berikut adalah gejala klinis kunci untuk

mendiagnosis PPOK (GOLD, 2014):

20

Page 21: Referat Paru

Gambar 2.8 Gejala Klinis untuk Mendiagnosis PPOK

Pemeriksaan fisik PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.

1. Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup

mencucu). Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan

mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini

terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan

retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas

kronik.

21

Page 22: Referat Paru

Gambar 2.9 Pursed - lips breathing

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal

sebanding).

Gambar 2.10 Barrel chest

- Penggunaan otot bantu napas.

- Hipertropi otot bantu napas.

- Pelebaran sela iga.

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena

jugularis di leher dan edema tungkai.

- Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer

adalah gambaran yang khas pada emfisema: penderita

kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips

22

Page 23: Referat Paru

breathing. Blue bloater adalah gambaran khas pada

bronkitis kronik: penderita gemuk sianosis, terdapat

edema tungkai, dan ronki basah di basal paru, sianosis

sentral dan perifer.

2. Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.

3. Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,

letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

4. Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah.

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau

pada ekspirasi paksa.

- ekspirasi memanjang.

- bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003).

b. Pemeriksaan penunjang:

1. Pemeriksaan rutin

A. Faal paru

o Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % )

dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : %

VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP)

< 75 % .

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau

perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat

dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti

harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

23

Page 24: Referat Paru

Gambar 2.11 Perbandingan Hasil Spirometri Normal dan Obstruksi (GOLD,

2014)

o Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak

ada gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8

hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan

nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <

20% nilai awal dan < 200 ml.

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

o Oksimetri dan BGA. Pulse oksimetri digunakan untuk

evaluasi saturasi oksigen dan dibutuhkan untuk

pemberian terapi oksigen. Pulse oksimeteri seharusnya

dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang stabil dengan

FEV1 prediksi <35% atau pasien dengan gejala klinis

yang mengarah pada gagal napas atau gagal jantung

kanan. Jika saturasi oksigen <92%, maka pemeriksaan

BGA harus dilakukan.

o Skrining defisiensi Antitripsin Alpha -1. WHO

merekomendasikan untuk skrining defisiensi Antitripsin

Alpha -1 pada pasien yang mengalami kelainan genetik.

24

Page 25: Referat Paru

Konsentrasi serum Antitripsin Alpha -1yang di bawah

15-20% dari nilai normal mengarah pada defisiensi

Antitripsin Alpha -1homozigot.

B. Darah rutin: Hb, Hct, leukosit.

C. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk

menyingkirkan penyakit paru lain dan untuk menentukan

signifikansi komorbitas dari penyakit pernapasan yang lain

yang terjadi bersamaan ( fibrosis paru, bronkiektasis, efusi

pleura), skeletal (kiphoskoliosis), penyakit jantung

(kardiomegali). Perubahan yang tampak pada foto radiologi

PPOK adalah tampak hiperinflasi paru (diafragma yang

mendatar dan peningkatan volume dari retrosternal air

space), paru yang hiperlusens, dan terdapat rapid tapering

dari marker vaskular.

Gambar 2.12 Gambaran Radiologi pada PPOK2.2.8 Diagnosis Banding

25

Page 26: Referat Paru

1. Asma bronkial

2. Gagal jantung kongestif

3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain seperti:

bronkiektasis dan destroyed lung.

4. Tuberkulosis (Pedoman Diganosis dan Terapi, 2005)

5. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) adalah penyakit

obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita

pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal (PDPI, 2003).

Perbedaan asma bronkial, PPOK dan SOPT disajikan pada tabel

2.2.

Tabel 2.1 Perbedaan Asma, PPOK dan SOPT

Asma PPOK SOPT

Timbul pada usia muda ++ - +

Sakit mendadak ++ - -

Riwayat merokok +/- +++ -

Riwayat atopi ++ + -

Sesak dan mengi berulang +++ + +

Batuk kronik berdahak + ++ +

Hiperreaktiviti bronkus ++ - -

Reversibiliti Obstruksi ++ - -

Variabiliti harian ++ + -

Eosinofil Sputum + - ?

Neutrofil Sputum - + ?

Makrofag sputum + - ?

(PDPI, 2003)

26

Page 27: Referat Paru

(GOLD, 2014)

Gambar 2.13 Diagnosis Banding PPOK

2.2.9 Penatalaksanaan

Modalitas terapi terdiri dari:

- Edukasi

- Obat-obat

- Oksigen

27

Page 28: Referat Paru

- Ventilator mekanik

- Nutrisi

- Rehabilitasi

A. Penatalaksanaan PPOK stabil

Kriteria PPOK stabil adalah:

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik.

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas

darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg.

- Dahak jernih tidak berwarna.

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK

(hasil spirometri).

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :

- Mempertahankan fungsi paru.

- Meningkatkan kualiti hidup.

- Mencegah eksaserbasi.

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik

sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK

yang stabil dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan di rumah

meliputi :

1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.

Obat-obatan sesuai klasifikasi (tabel 2). Pemilihan obat

dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita

PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan

otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang

efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus.

Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi,

penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.

2. Terapi oksigen

Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada

PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak

28

Page 29: Referat Paru

yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat

yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus

menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen

tidak lebih dari 2 liter.

3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa

penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah.

4. Rehabilitasi

- Penyesuaian aktivitas.

- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough).

- "Pursed-lips breathing".

- Latihan ekstremitas atas dan otot bantu napas.

5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :

- Tanda eksaserbasi.

- Efek samping obat.

- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen (PDPI, 2003).

Karakteristik pengobatan PPOK stabil adalah intensitas

terapi ditingkatkan berdasar berat penyakit.

1. Edukasi. Tidak memperbaiki excercise performance atau faal paru

tetapi dapat:

o Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi

penyakit atau status kesehatan.

o Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti

merokok.

2. Obat-obat. Terdiri dari:

oBronkodilator

Agonis beta 2: salbutamol, terbutalin, fenoterol, salmoterol,

formoterol.

Antikolinergik: ipatropium bromide, tiotropium bromide

Derivat xantin: aminophyllin, teofilin.

- Terapi inhalasi lebih dianjurkan.

- Diberikan kalau perlu atau kontinyu untuk mencegah atau

mengurangi gejala.

29

Page 30: Referat Paru

- Obat kombinasi dapat meningkatkan efikasi dan

menurunkan resiko efek samping obat dibanding

peningkatan dosis tunggal.

oKortikosteroid. Terapi kortikosteroid inhalasi hanya

diberikan:

- Bila terbukti ada respon, yang diukur dengan faal paru, atau

- PPOK dengan FEV1<50% prediksi atau

- Eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotik dan

kortikosteroid oral.

- Dose-response relationship dan keamanan jangka panjang

kortikosteroid untuk PPOK tidak diketahui.

- Kortikosteroid oral jangka panjang tidak dianjurkan.

o Mukolitik. Sampai saat ini penggunaan secara luas tidak

dianjurkan

o Antioksidan: N acetyl sistein. Menurunkan frekuensi dan

derajat keparahan eksaserbasi serta mempunyai peran dalam

terapi para penderita dengan eksaserbaj berulang. perlu

penilaian lebih lanjut sebelum direkomendasikan untuk

digunakan secara rutin.

o Oksigen. Indikasi: PaO2 <55 mmHg (7,3 kPA) atau SaO2

<88% dengan atau tanpa hiperkapni atau PaO2 antara 55

mmHg (7,3 kPA) dan 60 mmHg (8,0 kPA) atau SaO2 89%

tetapi ada hipertensi pulmonal, edema perifer yang dicurigai

karena congestive heart failure atau polisitemia (Hct> 55 %).

o Ventilator mekanik.

o Rehabilitasi medik. Rehabilitasi para komprehensif terdiri

dari: exercise training, konsultasi nutrisi, edukasi.

o Operasi

Bertujuan untuk :

- Memperbaiki fungsi paru

- Memperbaiki mekanik paru

- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi

30

Page 31: Referat Paru

- Memperbaiki kualiti hidup

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :

1. Bulektomi

2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume

reduction surgery (LVRS)

3. Transplantasi paru (Pedoman Diagnosis dan Terapi,

2005)

(PDPI, 2003)Gambar 2.14

Algoritma Penatalaksanaan PPOK Stabil Ringan

31

Page 32: Referat Paru

(PDPI, 2003)Gambar 2.15

Algoritma Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang-Berat

B. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut berarti perburukan gejala dibanding sebelumnya.

Penyebab terbanyak disebabkan infeksi saluran napas. PPOK Eksaserbasi

Akut memiliki gejala:

1. Sesak napas bertambah.

2. Produksi sputum meningkat.

3. Perubahan warna sputum (sputum berubah purulen).

32

Page 33: Referat Paru

Derajat eksaserbasi ada tiga, yaitu: I Berat: memiliki 3 gejala.

II Sedang: memiliki 2 gejala.

III Ringan: memiliki 1gejala dan 1 dari berikut:

- Infeksi saluran napas atas 5 hari.

- Demam tanpa sebab yang lain.

- Wheezing meningkat.

- Batuk meningkat.

- RR/nadi meningkat 20% baseline.

Terapi

1. Oksigen terkontrol

cara: Nasal 1-2 L/menit

Venturi mask FIO2 24-28% (fraction inspiration oxygen)

Sasaran: PaO2 60-65 mmHg atau SaO2>90%

2. Bronkodilator

Agonis beta 2 dan antikolinergik diberikan sehari 3-4 kali dengan

nebuliser atau MDI (metered dose Inhaler) dengan spacer. Jika tidak ada

fasilitas, agonis beta 2 dapat diberikan subkutan. Dosis disajikan pada

tabel 2.1.

Tabel 2.2 Dosis Agonis Beta 2 dan AntikolinergikObat MDI(mcg) Nebuliser (mg)

Agonis Beta 2

- Fenoterol

- Terbutalin

150-200

250-500

0,5-2,0

5-10

Antikolinergik

- Ipatropium

bromide

40-80 0,25-0,5

(PDT, 2005)

Jika terapi inhalasi belum adekuat dapat ditambahkan: teofilin, loading

dose: 2,5 mg/kgBB dan maintenance: 0,5-1,0 mg/kgBB/jam

3. Antibiotik

Indikasi: eksaserbasi karena infeksi bakteri. Pilih antibiotik yang masih

sensitif terhadap S. pneumonia, H. influenza, M. catarrhalis. Pilihan

33

Page 34: Referat Paru

antibiotik: Amoksisiklin 500 mg sehari 3 kali, Kotrimoksazol sehari 2 kali

2 tablet, Eritromisin 500 mg sehari 3 kali, Doksisiklin 100 mg 2 kali hari

pertama selanjutnya diberikan sehari sekali

Alternatif: kombinasi Amoksiklav 625 mg sehari 3 kali, Cephaclor 500-

750 mg sehari 2 kali, Azitromisin 500 mg sehari sekali.

4. Mukolitik

Saat eksaserbasi mukolitik seperti N-acetyl cystein tidak menunjukkan

manfaat.

5. Kortikosteroid

Indikasi untuk eksaserbasi berat. Dosis pasti belum diketahui. Prednisolon

30-40 mg/hari selama 10-14 hari optimal bila ditinjau dari sudut efikasi

dan keamanan. Kortikosteroid dapat diberikan IV atau oral.

6. Cairan dan Elektrolit. Perlu dimonitor.

7. Nutrisi.

Tatalaksana: Tinggi protein rendah karbohidrat

Protein >1,5 mg/kgBB/hari (PDT, 2005).

(PDPI, 2003)Gambar 2.16

Algoritma Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

34

Page 35: Referat Paru

2.2.10 Komplikasi

1. Gagal Napas

Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan

Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:

o Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

o Bronkodilator adekuat

o Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu

tidur

o Antioksidan

o Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :

o Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

o Sputum bertambah dan purulen

o Demam

o Kesadaran menurun

2. Infeksi Berulang

Pada pasien PPOK, produksi sputum yang berlebihan

menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi

infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih

rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

3. Kor pulmonale

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat

disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003 & Pedoman Diagnosis dan

Terapi, 2005).

2.2.11 Pencegahan

- Mencegah terjadinya PPOK

o Hindari asap rokok

o Hindari polusi udara

o Hindari infeksi saluran napas berulang

- Mencegah perburukan PPOK

35

Page 36: Referat Paru

o Berhenti merokok

o Gunakan obat-obat adekuat

o Mencegah eksaserbasi berulang (Pedoman Diagnosis dan

Terapi, 2005)

2.2.12 Prognosis

Faktor-faktor yang terkait dengan penurunan survival adalah:

- Umur lanjut.

- Terus merokok.

- FEV1 awal < 50% prediksi.

- Penurunan FEV1 meningkat.

- Hipoksemi berat yang tidak diterapi.

- Kor pulmonale dan kapasitas fungsional jelek (Pedoman

Diagnosis dan Terapi, 2005).

36

Page 37: Referat Paru

BAB 3

KESIMPULAN

Asma dan PPOK merupakan dua jenis penyakit pernapasan yang serupa

dengan sifat dan perjalanan penyakit yang berbeda. Gejala yang timbul akibat

penyakit ini adalah sesak dan kadang disertai gejala lain. Kelompok usia tua

terutama dapat mengalami asma walaupun yang tersering adalah PPOK. Asma

terutama disebabkan dan dipicu oleh alergi sementara PPOK terutama disebabkan

oleh pajanan gas berbahaya seperti asap rokok yang berlangsung menahun/kronik.

Wawancara medis (anamnesis), pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang

(spirometri, DLCO, analisis gas darah dan uji tusuk kulit) secara mendalam akan

membantu untuk membedakan asma dan PPOK pada usia tua walaupun sulit.

Prinsip pengobatan hampir sama yaitu menghindari faktor risiko, mencegah

eksaserbasi, pemberian bronkodilator dan pemberian kortikosteroid. Khusus pada

PPOK, karena penyakit ini berlangsung menahun dan semakin lama semakin

memberat maka perlu ditambahkan fisioterapi paru dan bila perlu suplementasi

oksigen. Bronkodilator dan kortikosteroid dapat diberikan dan memiliki respons

yang berbeda antara kasus asma dengan PPOK pada usia tua. Efek samping dari

masing-masing obat juga perlu menjadi perhatian dalam pemberian obat pada

kasus asma dan PPOK pada usia tua.

37

Page 38: Referat Paru

DAFTAR PUSTAKA

Bernstein, J. (2003). Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.

Busse PJ. Asthma in the Elderly. New England Society of Allergy [serial on the Internet]. 2011 [cited 2012 Feb]: Available from: http://www.newenglandsocietyofallergy.org/2011%20Fall%20Docs/Asthma%20in%20the%20Elderly%20handout.doc.

GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma; 2011 [updated 2011 Dec; cited 2012 Feb 14]; Available from: http://www.ginasthma.org/.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2014, Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2014.

Gotzsche, C. (n.d.). House dust mite control measures for asthma: systematic. Systematic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria, 63,646.

http://radiopaedia.org/articles/chronic-obstructive-pulmonary-disease-1

Longo, D. L. (2012). Harrison's Principles of Internal Medicine. USA: The McGraw-Hill Companies.

PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit UI: Jakarta

Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT), 2005. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Paru. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo: Surabaya.

38

Page 39: Referat Paru

Rengganis, I. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana. Majalah Kedokteran Indonesia.

Sin BA, Akkoca Ö, Saryal S, Öner F, Mısırlıgil Z. Differences between asthma and COPD in the elderly. J Investig Allergol Clin Immunol. 2006;16(1):44-50.

Tzortzaki EG, Proklou A, Siafakas NM. Asthma in the elderly: can we distinguish it from COPD? Journal of Allergy. 2011;2011:843543 – 9.

39

Page 40: Referat Paru

40