print abses leher dalam

24
BAB I PENDAHULUAN Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa: 1,2 1. abses peritonsil 2. abses retrofaring 3. abses parafaring 4. abses submandibula 5. angina Ludovici (Ludwig’s Angina) 1

Upload: liana-herdita

Post on 05-Jan-2016

268 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.Abses leher dalam dapat berupa: 1,21. abses peritonsil2. abses retrofaring3. abses parafaring4. abses submandibula5. angina Ludovici (Ludwig’s Angina)

TRANSCRIPT

Page 1: Print Abses Leher Dalam

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut

dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.

Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai

akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,

telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di

ruang leher dalam yang terlibat.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman

anaerob Bacteroides atau kuman campuran.

Abses leher dalam dapat berupa: 1,2

1. abses peritonsil

2. abses retrofaring

3. abses parafaring

4. abses submandibula

5. angina Ludovici (Ludwig’s Angina)

1

Page 2: Print Abses Leher Dalam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI LEHER

Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.3,4

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring

2

Page 3: Print Abses Leher Dalam

Gambar 2. Potongan oblik leher

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem muskuloapenouretik,

yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian dari

daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan,

yaitu:3

- lapisan superfisial

- lapisan tengah

- lapisan dalam.

Ruang potensial leher dalam

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang

leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.

Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

ruang retrofaring

ruang bahaya (danger space)

3

Page 4: Print Abses Leher Dalam

ruang prevertebra.

Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula

ruang parafaring

ruang parotis

ruang mastikor

ruang peritonsil

ruang temporalis.

Ruang infrahioid:

ruang pretrakeal.

Gambar 3. Potongan Sagital Leher

4

Page 5: Print Abses Leher Dalam

2.2. DEFINISI

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah

kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena

adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan

reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain

dari tubuh.

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara

fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,

tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus

infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus

terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis

(7%) dan retrofaring (5,9%).

Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober

2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari

satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil

9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir

(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses

peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus,

abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

5

Page 6: Print Abses Leher Dalam

2.4. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh.

Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung

maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian

tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya.

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob,

anaerob, maupun fakultatif anaerob.

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan

kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari

daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob

yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri

aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.

Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi.

Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui

foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid

menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan

molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah

submaksila.

Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat

diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh puluh enam

persen Ludwig’s angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula 61% disebabkan oleh

infeksi gigi.

Yang dkk melaporkan dari 100 orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat

diidentifikasi sumber infeksi sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi

orofaring 35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma,

tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

6

Page 7: Print Abses Leher Dalam

Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam.

Penyebab Jumlah %

Gigi

Penyalahgunaan obat suntik

Faringotonsilitis

Fraktur mandibula

Infeksi kulit

Tuberculosis

Benda asing

Peritonsil abses

Trauma

Sialolitiasis

Parotis

Lain-lain

Tidak diketahui

77

21

12

10

9

9

7

6

6

5

3

10

35

43

12

6,7

5,6

5,1

5,1

3,9

3,4

3,4

2,8

1,7

5,6

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya.

Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran nafas

atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan

kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,.

Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen,

dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan

tubuh dan lokasi anatomi.

Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.

Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya

infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

7

Page 8: Print Abses Leher Dalam

2.5. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada umumnya

yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Abshirini H, dkk melaporkan gejala

klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%,

disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala

spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5,6,7

2.5.1 Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk di luar

kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.8

Etiologi

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya

merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di

kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan

kuman aerob dan anaerob.7,8

Patologi

Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah ini,

sehingga tampak palatum mole membengkak.7

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak

permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih

lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila

proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.

Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi

aspirasi ke paru.7

8

Page 9: Print Abses Leher Dalam

Diagnosis

Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan

(odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot potato voice). Rasa

nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N. Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin

terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka

mulut (trismus). Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan

menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah

peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin

banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh

faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis

dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang paling fluktuatif.6,7,9

Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga

perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.7

Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik

aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah yang paling

menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan

geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa

overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses

menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.7,10

Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn kokain

4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.10

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi

dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-

6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi

dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses

peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil

9

Page 10: Print Abses Leher Dalam

mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan

tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8

minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian

lagi menganjurkan tonsilektomi segera.

Komplikasi

Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.

Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Pada

penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi

penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan

abses otak.

2.5.2 Abses retrofaring

Etiologi dan Patologi

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi atau anak

di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada anak. Kelenjar getah

bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun. Pada anak biasanya abses terjadi

mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat

pada daerah retrofaring. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma

tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.

Diagnosis

Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di samping

juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas

timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring. Bila

peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor. Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika

pada bayi atau anak kecil terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan

bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan

kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.

10

Page 11: Print Abses Leher Dalam

Terapi

Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman aerob dan

anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung

dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap agar tidak terjadi aspirasi.

Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler

visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat

menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.

2.5.3 Abses Parafaring

Etiologi dan patologi

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau

kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher

dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun

mastikator.

Gejala dan tanda

Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan

disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan

dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang

mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.6,9

Terapi

Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera dilakukan bila

tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.

Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada 2 ½ jari di bawah dan sejajar

mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus

11

Page 12: Print Abses Leher Dalam

ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai

mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam

selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan

M. Sternocleidomastoideus (cara Mosher).

Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per

kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan

intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat

menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,

dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis,

dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.

2.5.4 Abses Submandibula

Etiologi dan patologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang leher dalam lain.

Gejala dan tanda

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher, air liur banyak. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif. Trismus sering

ditemukan. Pada aspirasi didapatkan pus.

Terapi

Antibiotic dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara

parenteral.

Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan

terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas.

12

Page 13: Print Abses Leher Dalam

Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak

dan luas abses.

Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda

2.5.5 Angina Ludovici (Ludwig’s Angina)

Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior

ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang potensial ini

berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan ototmilohioideus.

Etiologi

Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi,

tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang submaksilaris.

Diagnosis

Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri,

disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Kekerasan

yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong lidah ke atas dan ke belakang dan dengan

demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak

napas.7,8

Terapi

Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan

diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan insisi melalui

garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi) yang terbentuk pada

dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh. Sebelum

insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi

karena ketidakmampuan melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi

pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop.

13

Page 14: Print Abses Leher Dalam

Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang

leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.6.1. Rontgen servikal lateral

Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah

prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels, erosi dari korpus

vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan

setinggi servikal VI yang lebih 14mm pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai

suatu abses retrofaring.

Tabel 5. Tebal jaringan lunak posterior faring berdasarkan umur pada Rontgen servikal lateral

Umur Setinggi C4 Setinggi C6

0-1

1-2

2-3

3-6

6-14

Dewasa

1,5.C

0,5.C

0,5.C

0,4.C

0,3.C

Lk pr

0,3C 0,3C

2,0.C

1,5.C

1,2.C

1,2.C

1,2.C

Lk pr

0,7C 0,6C

C= corpus servikal

2.6.2. Rontgen Panoramiks

Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.

2.6.3. Rontgen toraks

14

Page 15: Print Abses Leher Dalam

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran

nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.

2.6.4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)

Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses

leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti dikutip Murray AD dkk, bahwa dengan

hanya pemeriksaan klinis tanpa tomografi komputer mengakibatkan estimasi terhadap luasnya

abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. TK memberikan gambaran abses berupa lesi dengan

hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse dan

Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses dengan adanya pus

pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses

ke mediastinum.

2.6.5. Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus meliputi biakan

metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum

aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora

normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah

yang sehat dan dilakukan lebih dalam.

15

Page 16: Print Abses Leher Dalam

BAB III

PENUTUP

3. RANGKUMAN

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-

komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis,

dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat

menjadi ancaman yang sangat serius. Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam

meliputi operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian

antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat

perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga

Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari: repository.usu.ac.id

pada tanggal 14 November 2013.

2. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a transnasal

approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317, 2009. Diunduh dari:

www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 14 November 2013.

3. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001, Volume 2,

Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html pada tanggal 14

November 2013

4. Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of the Head

and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari: www.otohns.net pada

tanggal 14 November 2013

16

Page 17: Print Abses Leher Dalam

5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ, Jhonson

JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott

Company 2006.p.666-81

6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu

penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8

7. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli 2009]

Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com

pada tanggal 16 Juli 2011

8. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:

Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC

Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.

9. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A Challenging

Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh dari:

www.entjournal.com pada tanggal 16 Juli 2011

10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, hal : 19-21.

17