laporan penelitian karaksteristik penderita abses...

25
1 Laporan Penelitian KARAKSTERISTIK PENDERITA ABSES LEHER DALAM DI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE 1 JANUARI-31 DESEMBER 2014 Oleh Luh Witari Indrayani, I Dewa Arta Eka Putra, Komang Andi Dwi Saputra, Wayan Suardana Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk dalam ruang potensial diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. 1,2,3 Insiden dari abses leher dalam lebih tinggi pada era pre antibiotika namun tetap menjadi masalah yang penting di negara dunia ketiga yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Pada era pre antibiotika, 70% berasal dari penyebaran infeksi dari faring dan tonsil sedangkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh infeksi gigi. 4 Abses leher dalam dapat menimbulkan komplikasi serius yang berakibat fatal seperti obstruksi jalan nafas, pneumonia, abses paru, mediastinitis, perikarditis dan trombosis vena jugularis interna. 5,6 Disamping drainase abses, pemberian antibiotika juga diperlukan untuk penanganan yang lebih adekuat. Untuk mendapatkan antibiotika yang efektif terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotika terhadap kuman. Namun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama sehingga diperlukan pemberian antibiotika secara empiris. 3,7 Pengetahuan yang baik tentang anatomi fascia dan ruang-ruang potensial leher serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk memperkirakan penyebaran dan penatalaksanaan yang adekuat.

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Laporan Penelitian

    KARAKSTERISTIK PENDERITA ABSES LEHER DALAM DI RSUP

    SANGLAH DENPASAR PERIODE 1 JANUARI-31 DESEMBER 2014

    Oleh

    Luh Witari Indrayani, I Dewa Arta Eka Putra, Komang Andi Dwi Saputra,

    Wayan Suardana

    Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

    Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk dalam ruang potensial

    diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber

    seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.1,2,3

    Insiden dari abses leher dalam lebih tinggi pada era pre antibiotika namun

    tetap menjadi masalah yang penting di negara dunia ketiga yang menimbulkan

    morbiditas dan mortalitas. Pada era pre antibiotika, 70% berasal dari penyebaran

    infeksi dari faring dan tonsil sedangkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh

    infeksi gigi.4

    Abses leher dalam dapat menimbulkan komplikasi serius yang berakibat

    fatal seperti obstruksi jalan nafas, pneumonia, abses paru, mediastinitis,

    perikarditis dan trombosis vena jugularis interna.5,6

    Disamping drainase abses, pemberian antibiotika juga diperlukan untuk

    penanganan yang lebih adekuat. Untuk mendapatkan antibiotika yang efektif

    terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan

    antibiotika terhadap kuman. Namun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama

    sehingga diperlukan pemberian antibiotika secara empiris.3,7

    Pengetahuan yang baik tentang anatomi fascia dan ruang-ruang potensial

    leher serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk memperkirakan

    penyebaran dan penatalaksanaan yang adekuat.

  • 2

    1.2. Rumusan Masalah

    “Bagaimana karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat di

    RSUP Sanglah Denpasar?”

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan umum

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita abses

    leher dalam yang berobat di RSUP Sanglah Denpasar.

    1.3.2 Tujuan khusus

    1. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan jenis kelamin, umur.

    2. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan keluhan utama.

    3. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan diagnosis

    4. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan faktor penyulit

    5. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan kultur kuman

    6. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan sensitifitas antibiotika

    7. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan lama perawatan

    8. Mengetahui karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat

    di RSUP Sanglah berdasarkan komplikasi

    1.4. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar bagi penelitian

    selanjutnya dan menjadi acuan bagi penatalaksanaan abses leher dalam secara

    lebih baik.

  • 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Anatomi Leher

    Pada daerah leher, terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh

    fascia servikal. Fascia servikal dibagi menjadi dua yaitu fascia servikalis

    superfisial dan profunda. Fascia servikalis superfisial terletak di bawah dermis

    dan terdiri dari jaringan fibroadiposa. Fascia ini membungkus saraf sensoris,

    pembuluh darah superfisialis, kelenjar limfe, muskulus platisma dan otot

    mimik.3,8

    Fascia servikalis profunda terdiri dari jaringan ikat fibrus dan dibagi

    menjadi tiga lapisan yaitu lapisan superfisial, media dan profunda. Lapisan

    superfisial fascia profunda disebut juga investing layer. Rule of two dari lapisan

    superfisial ini adalah membungkus dua otot yang terletak diatas tulang hyoid

    yaitu muskulus masseter dan venter anterior muskulus digastrikus; dua otot leher

    yaitu muskulus trapezius dan muskulus sternokleidomastoideus; dua kelenjar

    ludah yaitu kelenjar parotis dan submandibula; dua ruang yaitu ruang parotis dan

    mastikator.3,8

    Lapisan media fascia profunda yang disebut juga fascia servikal terdiri dari

    divisi muskular dan viscera. Divisi muskular membungkus muskulus

    sternohyoid, muskulus sternotiroid, muskulus tirohyoid dan muskulus omohyoid.

    Divisi viscera mengelilingi kelenjar paratiroid, kelenjar tiroid, esofagus, laring,

    muskulus konstriktor faring dan muskulus buccinator.8

    Lapisan profunda fascia profunda disebut juga fascia prevertebra, terdiri

    dari divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak diantara fasia bukofaringeal di

    anterior dan divisi prevertebra di posterior. Divisi alar merupakan dinding

    anterior dari ruang bahaya atau danger space. Fascia ini meluas dari basis kranii

    sampai vertebra torakal kedua. Divisi prevertebra terletak di depan kolumna

    vertebrae dan meluas ke lateral melewati otot prevertebra dan kemudian berfusi

    dengan prosesus transversus dan ligamen penyertanya. Fascia ini merupakan

    dinding anterior dari ruang prevertebra dan dinding posterior dari danger space.8

  • 4

    Gambar 1. Potongan midsagital leher8

    Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang meliputi

    keseluruhan panjang leher, ruang suprahioid dan infrahioid. Ruang yang

    melibatkan sepanjang leher terdiri dari ruang retrofaring, danger space, ruang

    prevertebra dan ruang karotis. Ruang retrofaring meluas dari basis kranii hingga

    bifurkasio trakea pada mediastinum superior. Ruang retrofaring berbatasan

    dengan selubung karotis di sisi lateral, fascia bukofaringeal di anterior dan divisi

    alar fascia prevertebra di posterior. Danger space berbatasan dengan ruang

    retrofaring di anterior dan ruang prevertebra di posterior, meluas dari basis kranii

    hingga diafragma. Ruang prevertebra meluas dari basis kranii hingga os

    coccygeus, berbatasan dengan danger space di anterior, tulang vertebra di

    posterior dan prosesus transversus di lateral. Ruang karotis atau disebut juga

    ruang visceral vaskular merupakan ruang potensial di dalam selubung karotis. Di

    dalam ruang ini terdapat arteri karotis, vena jugularis interna, nervus vagus dan

    pleksus simpatikus.8,9

    Ruang suprahioid terdiri dari ruang submandibula, parafaring, parotis,

    mastikator, peritonsil dan temporal. Ruang submandibula terletak diantara

  • 5

    mukosa dasar mulut dan fascia profunda lapisan superfisial pada bagian bawah.

    Ruang ini dibatasi oleh os hyoid di posteroinferior, mandibula di anterior dan

    lateral serta dasar lidah di posterior. Ruang ini dibagi secara tidak komplit oleh

    muskulus milohyoid menjadi ruang sublingual pada bagian atas dan ruang

    submandibula dan submental di bagian bawah. Area submandibula dan

    submental dipisahkan oleh venter anterior muskulus digastrikus namun kedua

    area ini saling berhubungan secara bebas satu sama lainnya. Ruang submental

    dibatasi oleh os hyoid pada bagian inferior, mandibula pada bagian superior dan

    venter anterior muskulus digastrikus pada kedua sisi lateral. Ruang submental

    berisi vena jugularis anterior, nodus limfatikus submental, muskulus dan nervus

    milohyoideus, arteri fasialis cabang submental dan vena fasialis.8,9

    Di dalam ruang parotis terdapat kelenjar parotis, pembuluh limfe, arteri

    karotis eksterna, arteri temporalis superfisialis, vena fasialis posterior, nervus

    fasialis dan nervus aurikulotemporalis. Lapisan superfisial fascia profunda

    berpisah di sekitar mandibula untuk membentuk ruang mastikator. Di ruang ini

    terdapat muskulus masseter, muskulus pterigoideus medial dan lateral, ramus dan

    korpus mandibula, tendon temporalis. Ruang mastikator terdiri dari ruang

    masseter dan ruang pterigoid. Ruang masseter terletak diantara ramus mandibula

    dan muskulus masseter sedangkan ruang pterigoid terletak diantara ramus

    mandibula dan muskulus pterigoideus. Ruang ini terletak di anterior dan lateral

    ruang parafaring dan inferior ruang temporal.8,9

    Ruang peritonsil terletak lateral dari kapsul tonsil dan medial dari muskulus

    konstriktor superior. Arkus palatoglosus dan palatofaring membentuk batas

    anterior dan posterior ruang ini. Pada bagian inferior dibatasi oleh 1/3 bagian

    posterior lidah.3,8

    Ruang temporal terletak diantara fascia temporalis pada bagian lateral dan

    periosteum bagian skuamosa os temporal pada bagian medial. Muskulus

    temporalis memisahkan ruang ini menjadi ruang superfisial dan profunda.3,8

    Ruang infrahioid terdiri dari ruang viseral anterior dan suprasternal. Ruang

    viseral anterior atau disebut juga ruang pretrakeal terletak pada leher anterior dari

    kartilago tiroid kearah bawah sampai mediastinum superior setinggi vertebrae

  • 6

    torakal keempat. Ruang suprasternal terletak di superior sternal notch, dibungkus

    oleh lapisan superfisial fascia profunda.8

    Gambar 2. Potongan melintang leher setinggi tiroid8

    2.2. Abses Leher Dalam

    2.2.1. Definisi

    Abses leher dalam adalah terkumpulnya pus di dalam ruang potensial

    diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi

    seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher dsb.1,2,3

    2.2.2. Epidemiologi

    Shih dkk pada tahun 2008 melaporkan bahwa rasio laki-laki dan perempuan

    yang terkena abses leher dalam adalah 3:2 dengan umur rata-rata 49,2 tahun dan

    abses submandibula sebagai kejadian terbanyak. Penyebab terbanyak adalah

    infeksi orofaring diikuti dengan infeksi gigi.7

    Coelho dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa rasio laki-laki dan

    perempuan adalah 4:3 dengan umur rata-rata 31,86 tahun, penyebab terbanyak

    adalah infeksi gigi.6

    Sedangkan Abshirini dkk pada tahun 2009 menemukan

    53,74% laki-laki dan 44,21% perempuan. Abses submandibula adalah kejadian

    terbanyak dan penyebab terbanyak adalah infeksi gigi.5

  • 7

    2.2.3 Etiologi dan Patogenesis

    Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal

    dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh

    baik karena perluasan langsung maupun laserasi atau perforasi.

    Penyebab abses leher dalam diantaranya adalah infeksi orofaring, infeksi

    gigi, sialolit, sialadenitis, benda asing, tuberkulosis. Infeksi gigi dapat mengenai

    pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal

    gigi ke daerah sekitarnya. Apeks gigi molar satu yang berada diatas perlekatan

    muskulus milohyoideus menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih

    dahulu ke daerah sublingual sedangkan apeks molar kedua dan ketiga berada

    dibawah perlekatan muskulus milohyoideus sehingga infeksi akan lebih cepat ke

    daerah submandibula.7,8

    Abses leher dalam secara umum disebabkan oleh polimikroba, yaitu

    campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Organisme aerob

    seperti Streptokokus viridan, Streptokokus beta hemolitikus, Stafilokokus aureus

    dan epidermidis. Bakteri anaerob seperti Bacteroides melaninogenicus,

    Peptostreptokokus, Fusobakterium. Bakteri gram negatif seperti Hemofilus,

    Escherichia, Pseudomonas, Neisseria dan Klebsiella.6,8

    Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber

    infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan oleh

    kuman flora normal di saluran nafas atas seperti Streptokokus dan Stafilokokus.

    Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti

    Prevotela dan Fusobakterium.1,8

    Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu

    hematogen, limfogen dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi

    tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.1,8

    2.2.5. Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

    pemeriksaan penunjang. Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama

  • 8

    dengan gejala infeksi pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan.

    Abshirini dkk melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus

    yang diteliti adalah bengkak pada leher 87,1%, trismus 53,7%, disfagia 30,6%

    dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala

    spesifik yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat.5

    Abses peritonsil merupakan terkumpulnya materi purulen yang terbentuk

    diluar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil. Pada abses peritonsil didapatkan

    gejala demam, nyeri tenggorok, odinofagia, hipersalivasi, otalgia, suara

    bergumam atau disebut juga hot potato voice, sukar membuka mulut atau disebut

    juga trismus. Pada pemeriksaan fisik tampak palatum molle membengkak dan

    menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris. Uvula

    membengkak dan terdorong ke sisi kontralateral dan trismus. Tonsil

    membengkak, hiperemi dan terdorong ke sisi kontralateral.1,3,8

    Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi,

    terutama terjadi pada bayi atau anak dibawah dua tahun. Gejala biasanya

    odinofagia dan disfagia. Selain itu, juga dapat muncul gejala demam, pergerakan

    leher terbatas dan sesak nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan

    sumbatan jalan nafas terutama di hipofaring. Pada pemeriksaan tampak benjolan

    unilateral pada dinding belakang faring, mukosa terlihat bengkak dan

    hiperemis.3,10,11

    Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,

    parotis atau kelenjar limfatik. Abses ini juga dapat terjadi akibat penjalaran abses

    leher dalam yang berdekatan seperti abses peritonsil, abses submandibula, abses

    retrofaring maupun mastikator. Gejalanya berupa demam, trismus, nyeri

    tenggorok, odinofagia dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

    pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral faring kearah

    medial, pembengkakan di sekitar angulus mandibula.1,3,10

    Abses submandibula dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring,

    kelenjar liur, kelenjar limfe submandibula maupun kelanjutan infeksi ruang leher

    dalam yang lain. Terdapat demam, pembengkakan di daerah submandibula,

    fluktuatif, lidah terangkat keatas dan terdorong ke belakang.1,3

  • 9

    Angina Ludovici atau Ludwig’s angina adalah infeksi ruang submandibula

    berupa peradangan atau selulitis dengan tanda berupa pembengkakan seluruh

    ruang submandibula, tidak membentuk abses sehingga keras pada perabaan.

    Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut. Terdapat nyeri

    tenggorok, disfagia, ruang submandibula tampak membengkak, keras pada

    perabaan dan hiperemi. Dasar mulut membengkak, lidah terdorong keatas dan

    belakang.3,10

    Abses parotis merupakan suatu proses lanjutan dari parotitis supuratif akut

    dan didefinisikan sebagai pengumpulan pus dalam ruang parotis karena proses

    radang sebagai respon terhadap infeksi. Faktor predisposisi dari abses parotis

    adalah pasien dengan oral hygiene yang buruk, pada keadaan dehidrasi,

    sialolithiasis, usia tua, immunocompromised, malnutrisi dan diabetes melitus.

    Gejala klinisnya adalah nyeri dan pembengkakan di daerah parotis dan dapat

    disertai trismus. Nyeri dapat menyebar ke telinga dan daerah temporalis. Pada

    pemeriksaa didapatkan pembengkakan, indurasi dan hiperemi di daerah parotis.

    Terkadang didapatkan fluktuasi di daerah tersebut dan pada aspirasi didapatkan

    adanya pus. Sekret purulen dapat ditemukan di orifisium duktus Stensen.1,3

    Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah

    pemeriksaan darah lengkap, mikrobiologi dan resistensi, foto polos, USG dan CT

    Scan. Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya didapatkan leukositosis. Pada

    pemeriksaan mikrobiologi dan resistensi, pus diambil dengan aspirasi memakai

    jarum aspirasi atau dilakukan insisi.1,8

    Pemeriksaan foto polos yang dapat dilakukan diantaranya foto servikal

    lateral, panoramik dan toraks. Foto servikal lateral dapat memberikan gambaran

    adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah prevertebra, adanya benda

    asing, gambaran udara di subkutan maupun air fluid level. Pada abses retrofaring

    tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta

    pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan 22 mm pada orang

    dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.

    Foto panoramik dilakukan pada abses leher dalam yang dicurigai berasal dari

    gigi. Foto toraks dilakukan untuk mengevaluasi adanya mediastinitis. Adanya

  • 10

    emfisema subkutis, pneumomediastinum, pelebaran mediastinum pada foto

    toraks merupakan tanda adanya mediastinitis.1,8

    Pada pemeriksaan CT Scan dengan kontras tampak adanya gambaran abses

    berupa lesi hipodens dengan ring enhancement pada dindingnya. USG

    merupakan pemeriksaan yang lebih murah dan kurang invasif. Selain untuk

    fungsi diagnostik, USG juga dapat digunakan untuk tuntunan drainase abses.8,12

    2.2.6. Terapi

    Prinsip penatalaksanaan abses leher dalam adalah menjaga patensi jalan

    nafas, pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, hidrasi dan nutrisi adekuat

    dan evakuasi abses baik dengan anestesi lokal maupun umum. Sebelum ada hasil

    pemeriksaan kultur dan sensitivitas, antibiotika diberikan secara empiris yang

    efektif terhadap kuman aerob maupun anaerob.3,8,13

    Untuk kasus dengan sumber

    infeksi dari oral atau odontogenik dapat diberikan Klindamisin 600 mg intravena

    setiap 6-8 jam atau Ampisilin-sulbaktam 3 gr intravena setiap 6 jam atau

    kombinasi Penisilin G 2-4 MU intravena setiap 4-6 jam dan Metronidazole 500

    mg intravena setiap 6-8 jam. Jika sumber infeksi berasal dari rhinogenik atau

    otogenik dapat diberikan Ampisilin-sulbaktam 3 gr intravena setiap 6-8 jam atau

    kombinasi Seftriakson 1 gr intravena setiap 24 jam dan Metronidazole 500 mg

    intravena setiap 6-8 jam atau kombinasi Siprofloksasin 400 mg intravena setiap

    12 jam dan Klindamisin 600 mg intravena setiap 6-8 jam. Pada pasien dengan

    Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA dapat diberikan

    Vankomisin 1000 mg (15 mg/kg) intravena setiap 12 jam atau Linezolide 600 mg

    intravena setiap 12 jam. Pada pasien-pasien dengan immunocompromised ada

    beberapa pilihan terapi diantaranya adalah kombinasi Sefepim 2 gr intravena

    setiap 12 jam dan Metronidazole 500 mg intravena setiap 6-8 jam, Imipenem 500

    mg intravena setiap 6 jam, Meropenem 1 gr intravena setiap 8 jam atau

    Piperasilin-tazobaktam 4,5 gr intravena setiap 6 jam. Terapi parenteral diberikan

    sampai pasien bebas panas dan terdapat perbaikan klinis dalam 48 jam. Setelah

    itu dapat dilanjutkan dengan pemberian antibiotika oral selama 2-3 minggu.

    Pemberian antibiotika dapat diperpanjang apabila terdapat komplikasi.17

  • 11

    Setelah ada hasil uji kepekaan antibiotika terhadap kuman penyebab maka

    diberikan antibiotika yang sesuai. Jika terdapat perbaikan pada pemberian

    kombinasi antibiotika secara empiris maka antibiotika dapat diteruskan. Jika

    tidak, maka antibiotika diganti sesuai uji kepekaan.1,3

    2.2.7. Komplikasi

    Komplikasi dari abses leher dalam yang dapat terjadi diantaranya adalah

    sumbatan jalan nafas, mediastinitis, abses paru, pneumonia, perikarditis,

    trombosis vena jugularis dan ruptur arteri karotis.7,8

    III. KERANGKA KONSEP

    Gambar 3. Kerangka konsep penelitian.

    IV. METODE PENELITIAN

    4.1. Rancangan Penelitian

    Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif retrospektif

    dengan mengambil data sekunder dari catatan medis penderita infeksi leher

    dalam yang berobat ke RSUP Sanglah Denpasar.

    Infeksi gigi, infeksi

    orofaring, benda asing,

    sialolit,sialadenetis,trauma,

    tuberkulosis

    Karakteristik:

    Jenis kelamin

    Usia

    Keluhan utama

    Kultur kuman

    Sensitifitas antibiotika

    Lama perawatan

    Faktor penyulit

    Komplikasi

    Inflamasi

    Pembentukan pus

    Abses leher dalam

  • 12

    4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di poliklinik THT-KL, ruang rawat inap dan IRD

    RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari sampai Desember 2014.

    4.3. Penentuan Sumber Data

    4.3.1. Populasi penelitian

    Populasi penelitian adalah semua penderita infeksi leher dalam yang

    berobat ke RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari sampai Desember 2014.

    4.3.2. Sampel penelitian

    Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu setiap

    penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan sebagai sampel

    penelitian.

    Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah penderita yang terdiagnosis abses

    leher dalam dan berobat ke RSUP Sanglah Denpasar mulai periode Januari 2014

    sampai Desember 2014. Kriteria eksklusi adalah penderita dengan catatan medis

    yang tidak lengkap.

    4.4. Definisi Operasional Variabel

    a) Abses leher dalam adalah terkumpulnya pus di dalam ruang potensial

    diantara fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

    infeksi seperti gigi, mulut, tenggorok, telinga dan leher.

    b) Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan.

    c) Usia adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran berdasarkan

    kalender masehi.

    d) Gejala adalah keluhan subyektif yang dirasakan oleh penderita.

    e) Lokasi adalah ruang leher dalam yang mengalami infeksi.

    f) Kultur kuman adalah pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan jenis

    kuman.

  • 13

    g) Sensitifitas antibiotika adalah antibiotika yang sensitif terhadap pertumbuhan

    kuman.

    h) Faktor penyulit adalah kondisi atau keadaan yang mempengaruhi penyakit

    dasar.

    i) Komplikasi adalah penyakit yang timbul kemudian sebagai tambahan dari

    abses leher dalam.

    4.5. Cara Pengumpulan Data

    Data diambil dari catatan medis penderita yang terdiagnosis infeksi leher

    dalam dan berobat ke RSUP Sanglah Denpasar. Hasil pemeriksaan dicatat dalam

    lembar pengumpulan data untuk selanjutnya dilakukan analisis.

    4.6. Pengolahan Data

    Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan narasi.

    III. HASIL PENELITIAN

    Karakteristik penderita abses leher dalam yang berobat ke RSUP Sanglah

    Denpasar periode adalah sebagai berikut

    Berdasarkan tabel 1. didapatkan penderita abses leher dalam sejumlah 29

    orang dengan perbandingan laki-laki sejumlah 22 orang atau sebesar 75,86% dan

    perempuan sejumlah 7 orang atau sebesar 21,14%.

    Tabel 1. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan jenis kelamin

    Jenis kelamin N Persentase (%)

    Laki-laki 22 75,86

    Perempuan 7 24,14

    Jumlah 29 100

    Berdasarkan tabel 2. didapatkan karakteristik penderita abses leher dalam

    berdasarkan usia terbanyak pada kelompok usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun

    masing-masing sejumlah 9 orang atau 31,03%. Sedangkan karakteristik paling

    sedikit didapatkan pada kelompok usia 11-20 tahun, 61-70 tahun dan 71-80 tahun

  • 14

    masing-masing sejumlah 1 orang atau 3,45%. Rata-rata usia penderita abses leher

    dalam pada penelitian ini adalah 50,33 tahun.

    Tabel 2. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan usia

    Usia (tahun) N Persentase (%)

    0-10 0 0

    11-20 1 3,45

    21-30 3 10,35

    31-40 5 17,24

    41-50 9 31,03

    51-60 9 31,03

    61-70 1 3,45

    71-80 1 3,45

    >80 0 0

    Jumlah 29 100

    Berdasarkan tabel 3. sebanyak 29 orang penderita abses leher dalam

    dengan gejala klinis nyeri, 15 orang atau pasien dengan demam, 11 orang

    dengan sulit menelan, 8 orang atau dengan trismus dan 2 orang atau dengan

    gejala sesak.

    Tabel 3. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan gejala klinis

    Gejala klinis N

    Nyeri 29

    Demam 15

    Sulit menelan 11

    Trismus 8

    Sesak 2

    Berdasarkan tabel 4. karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan

    lokasi yang terbanyak adalah abses peritonsiler sejumlah 9 orang atau 31,04%

  • 15

    dan yang paling sedikit adalah abses peritonsiler dengan pseudoangina Ludovici,

    abses peritonsiler dengan pseudoangina Ludovici dan mediastinitis, abses

    submandibula dengan perluasan ke regio bukal, abses submandibula dengan

    mediastinitis, pseudoangina Ludovici dengan abses parafaring dan pseudoangina

    Ludovici dengan pleuropneumonia masing-masing sejumlah 1 orang atau

    sebanyak 3,45%.

    Tabel 4. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan lokasi

    Lokasi N Persentase (%)

    Abses peritonsiler 9 31,04

    Abses submandibula 5 17,24

    Pseudoangina Ludovici 5 17,24

    Abses parafaring 2 6,89

    Abses parotis 2 6,89

    Abses peritonsiler+pseudoangina

    Ludovici

    1 3,45

    Abses peritonsiler+pseudoangina

    Ludovici+mediastinitis

    1 3,45

    Abses submandibula dengan

    perluasan ke regio bukal

    1 3,45

    Abses submandibula+mediastinitis 1 3,45

    Pseudoangina Ludovici+abses

    parafaring

    1 3,45

    Pseudoangina

    Ludovici+pleuropneumonia

    1 3,45

    Jumlah 29 100

    Berdasarkan tabel 5. didapatkan karakteristik penderita abses leher dalam

    berdasarkan hasil kultur kuman didapatkan terbanyak adalah jenis kuman

    Streptococcus viridans sejumlah 12 orang atau 41,37%. Sedangkan jenis kuman

    Streptococcus pyogens merupakan jenis kuman yang paling sedikit didapatkan

  • 16

    sejumlah 1 orang atau 3,44%. Sebanyak 5 orang atau 17,24 % tidak didapatkan

    adanya pertumbuhan kuman pada kultur.

    Tabel 5. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan kultur kuman.

    Kultur kuman N %

    Streptococcus viridans 12 41,37

    Streptococcus pyogens 1 3,44

    Streptococcus β 3 10,34

    Streptococcus α 3 10,34

    Klebsiella Pneumonia 3 10,34

    Enterococcus sp 2 6,88

    Tidak ada pertumbuhan kuman 5 17,24

    Jumlah 29 100

    Berdasarkan tabel 6. didapatkan karakteristik penderita abses leher dalam

    berdasarkan sensitifitas terhadap antibiotika dimana dari 29 kasus hanya 24 kasus

    yang didapatkan hasil tes sensitifitas antibiotika yang sensitif terhadap kuman.

    Karakteristik terbanyak didapatkan sensitifitas antibiotika pada golongan

    sefalosporin dan karbapenem dimana sensitif terhadap sefepim dan meropenem

    masing-masing sebesar 100%. Sedangkan karakteristik paling sedikit didapatkan

    sensitifitas antibiotika pada golongan tetrasiklin sebesar 20,83%.

    Tabel 6. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan sensitifitas

    antibiotika terhadap kuman.

    Golongan

    antibiotika

    Nama antibiotika N=24 %

    Ampisilin Ampisilin 9 37,5 Amoksisilin/asam klavulanat 12 50

    Sefalosporin Sefalotin 20 83,33 Sefuroksim 20 83,33 Sefotaksim 18 75 Sefepim 24 100

    Karbapenem Imipenem 18 75 Meropenem 24 100

    Glikopeptida Vankomisin 12 50 Makrolid Eritromisin 8 25

    Tetrasiklin Tetrasiklin 5 20,83

    Linkosamid Klindamisin 10 41,66

    Oksalolidinones Linezolid 20 83,33

  • 17

    Kloramfenikol Kloramfenikol 7 29,16

    Aminoglikosida Amikasin 10 41,66 Gentamisin 10 41,66

    Fluorokuinolon Siprofloksasin 12 50 Levofloksasin 18 75

    Berdasarkan tabel 7. didapatkan sejumlah 26 orang atau 89,65% pasien

    tanpa faktor penyulit dan sejumlah 3 orang atau 10,35% pasien dengan faktor

    penyulit yaitu diabetes mellitus, CKD (chronic kidney disease) dan ACKD

    (Acute on chronic kidney disease).

    Tabel 7. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan adanya penyulit

    atau tidak.

    Faktor penyulit N Persentase (%)

    Diabetes mellitus 1 3,45

    CKD(C 1 3,45

    ACKD 1 3,45

    Tidak ada 26 89,65

    Jumlah 29 100

    Berdasarkan tabel 8. Karakteristik penderita abses leher dalam dengan

    lama rawat inap terbanyak adalah selama 4 dan 6 hari sejumlah masing-masing 5

    orang atau 17,24%. Karakteristik lama rawat inap yang paling sedikit adalah

    selama 9,11,15,20,21,33 hari sejumlah masing-masing 1 orang atau 3,45%. Rata-

    rata lama perawatan penderita abses leher dalam pada penelitian ini adalah 8,8

    hari.

  • 18

    Tabel 8. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan lama perawatan.

    Lama perawatan (hari) N Persentase (%)

    3 3 10,35

    4 5 17,24

    5 2 6,89

    6 5 17,24

    7 2 6,89

    8 3 10,35

    9 1 3,45

    11 1 3,45

    15 1 3,45

    20 1 3,45

    21 1 3,45

    33 1 3,45

    Jumlah 100

    Berdasarkan tabel 7. didapatkan sejumlah 25 orang atau 86,22% pasien

    tanpa komplikasi dan 4 orang atau 13,78% pasien dengan komplikasi.

    Tabel 9. Karakteristik penderita abses leher dalam berdasarkan komplikasi

    Komplikasi N Persentase (%)

    Tanpa komplikasi 25 86,22

    Dengan komplikasi 4 13,78

    Jumlah 29 100

  • 19

    VI. PEMBAHASAN

    Pada penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk14

    dari 185 kasus abses leher

    dalam didapatkan 58,9% pasien adalah laki-laki dan 41,1% pasien adalah

    perempuan. Suebara dkk15

    melaporkan bahwa dari total 80 kasus abses leher

    dalam ditemukan 69% penderita adalah laki-laki dan 31% penderita adalah

    perempuan. Pada penelitian ini ditemukan 75,86% pasien adalah laki-laki dan

    24,14% pasien adalah perempuan.

    Menurut Gorjon dkk16

    usia rata-rata penderita abses leher dalam adalah

    37,2 tahun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk14

    didapatkan usia

    rata-rata penderita abses leher dalam adalah 49,5 tahun. Suebara dkk15

    pada

    penelitiannya melaporkan usia rata-rata penderita abses leher dalam adalah 37,1

    tahun. Yang dkk7

    pada penelitiannya melaporkan bahwa usia rata-rata penderita

    abses leher dalam adalah 49,2 tahun. Sedangkan pada penelitian ini usia rata-rata

    penderita abses leher dalam adalah 50,33 tahun.

    Pada penelitian yang dilakukan oleh Gorjon dkk16

    didapatkan 50,6% pasien

    dengan abses peritonsiler, 58% dengan abses submandibula, 23% dengan abses

    parotis, 17% pasien dengan abses parafaring, 16% pasien dengan abses

    retrofaring, 11% pasien dengan abses maseter, 9% pasien dengan abses

    pterigomaksilari dan 7% pasien dengan pseudoangina Ludovici. Suebara dkk15

    pada penelitiannya melaporkan 45% pasien dengan abses submandibula, 16,25%

    pasien dengan abses submandibula dan abses parfaring, 18,75% pasien dengan

    abses parafaring, 6,25% pasien dengan abses di bagian posterior leher, 6,25%

    pasien abses parafaring dengan mediastinitis dan efusi pleura, 2,5% pasien

    dengan abses parotis, 1,25% pasien dengan abses retrofaring, 1,25% pasien

    dengan abses retrofaring dan mediastinitis, 1,25% pasien dengan abses

    parafaring dan mediastinitis dan 1,25% pasien dengan abses submandibula

    dengan perluasan ke mastoid. Pada penelitian ini sebanyak 31,04% pasien

    dengan abses peritonsiler,17,24% pasien dengan abses submandibula,17,24%

  • 20

    pasien dengan pseudoangina Ludovici, 6,89% pasien dengan abses parafaring,

    6,89% pasien dengan abses parotis, 3,45% pasien dengan abses peritonsiler dan

    pseudoangina Ludovici, 3,45% pasien abses peritonsiler dengan pseudoangina

    Ludovici dan mediastinitis, 3,45% pasien abses submandibula dengan perluasan

    ke regio bukal, 3,45% pasien abses submandibula dengan mediastinitis, 3,45%

    pasien pseudoangina Ludovici dengan abses parafaring dan 3,45% pasien

    pseudoangina Ludovici dengan pleuropneumonia.

    Pada penelitian yang dilakukan Kamath dkk4

    ditemukan sebanyak 66%

    pasien dengan gejala klinis sulit menelan, sebanyak 59% dengan nyeri pada

    leher, 48% dengan demam, 21% dengan trismus dan sesak sebanyak 17%.

    Suebara dkk15

    pada penelitiannya melaporkan pasien abses leher dalam dengan

    gejala klinis nyeri sebanyak 98,75%, demam sebanyak 85%, nyeri menelan

    sebanyak 23,75%, sulit menelan sebanyak 11,25%, sesak sebanyak 10% dan

    nyeri pada gigi sebanyak 3,75%. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 100%

    penderita abses leher dalam dengan gejala klinis nyeri, 51,72% pasien dengan

    demam, 37,93% dengan sulit menelan, 27,58% dengan trismus dan 6,89%

    dengan gejala sesak.

    Pada penelitian yang dilakukan oleh Yang dkk7

    dilaporkan bahwa kuman

    terbanyak yang ditemukan pada penderita abses leher dalam adalah

    Streptococcus viridans sebanyak 48,31% kemudian Klebsiella pneumoniae

    sebanyak 29,21% dan Staphylococcus aureus sebanyak 14,60%. Pada penelitian

    yang dilakukan oleh Huang dkk14

    kuman terbanyak yang ditemukan adalah

    Streptococcus viridans dan Klebsiella pneumoniae dalam jumlah yang sama

    banyak yaitu 33,9%. Pada penelitian ini hasil kultur kuman didapatkan

    terbanyak adalah jenis kuman Streptococcus viridans sejumlah 12 orang atau

    41,37%. Sedangkan jenis kuman Streptococcus pyogens merupakan jenis kuman

    yang paling sedikit didapatkan sejumlah 1 orang atau 3,44%. Sebesar 17,24%

    tidak didapatkan adanya pertumbuhan kuman pada kultur.

    Menurut penelitian yang dilakukan Yang dkk7

    dilaporkan bahwa sensitifitas

    terhadap antibiotika Ceftriaxone dan Clindamycin sebanyak 76,40% terhadap

    Ceftriaxone dan Metronidazole sebanyak 70,79% terhadap Penicillin,

  • 21

    Gentamicin dan Clindamycin sebanyak 67,42% dan sebanyak 61,80% terhadap

    Cefuroxime dan Clindammycin. Pada penelitian ini karakteristik penderita abses

    leher dalam berdasarkan sensitifitas terhadap antibiotika dimana dari 29 kasus

    hanya 24 kasus yang didapatkan hasil tes sensitifitas antibiotika yang sensitif

    terhadap kuman. Karakteristik terbanyak didapatkan sensitifitas antibiotika pada

    golongan sefalosporin dan karbapenem dimana sensitif terhadap sefepim dan

    meropenem masing-masing sebesar 100%. Sedangkan karakteristik paling

    sedikit didapatkan sensitifitas antibiotika pada golongan tetrasiklin sebesar

    20,83%.

    Suebara dkk15

    melaporkan bahwa sebanyak 23,75% pasien abses leher

    dalam dengan faktor penyulit yaitu diabetes mellitus, 17,5% pasien dengan

    hipertensi, 11,25% dengan penyakit jantung, 8,75% dengan penyakit kanker, 5%

    dengan penyakit paru, 3,75% dengan infeksi HIV dan sebanyak 3,75%

    merupakan pengguna narkoba. Huang dkk14

    pada penelitiannya menemukan

    bahwa sebanyak 34,1% pasien abses leher dalam dengan penyakit sistemik

    diantaranya 88,8% dengan diabetes mellitus, 9,5% dengan uremia atau gagal

    ginjal kronis, 4,8% pasien dengan sirosis hati, 2,4% pasien dengan sindrom

    mielodisplastik dan sebanyak 1,2% pasien dengan keganasan pada lambung

    yang sedang menjalani kemoterapi. Pada penelitian ini 89,65% pasien tanpa

    faktor penyulit dan sebanyak 3 orang atau 10,35% pasien dengan faktor penyulit

    yaitu diabetes mellitus, CKD dan ACKD.

    Huang dkk14

    melaporkan pada penelitiannya lama perawatan pasien abses

    leher dalam rata-rata adalah 13 hari. Pasien dengan diabetes mellitus rata-rata

    selama 19,7 hari, pasien dengan komplikasi rata-rata 27,3 hari. Pada penelitian

    ini didapatkan rata-rata lama perawatan pasien abses leher dalam adalah 8,8 hari.

    Huang dkk14

    juga melaporkan bahwa sebanyak 16,2% pasien dengan

    komplikasi sedangkan pada penelitian ini sebanyak 13,78% pasien dengan

    komplikasi.

  • 22

    IV. KESIMPULAN

    Dua puluh sembilan penderita dengan abses leher dalam diinklusi pada

    penelitian ini dengan menilai karakteristik yang berhubungan dengan jenis

    kelamin, usia, keluhan, diagnosis, kultur kuman, sensitifitas terhadap

    antibiotika, lama perawatan, faktor penyulit serta komplikasi. Penderita dengan

    abses leher dalam yang datang ke RSUP Sanglah periode Januari sampai

    Desember 2014 dengan distribusi jenis kelamin yaitu laki-laki yaitu 75,86% dan

    perempuan 24,14% dengan rata-rata usia 50,33 tahun. Penderita abses leher

    dalam dengan diagnosis terbanyak adalah abses peritonsiler sebanyak 31,04%.

    Sebesar 100% penderita abses leher dalam dengan gejala klinis nyeri. Pada

    kultur kuman yang terbanyak ditemukan adalah Streptococcus viridans

    sebanyak 41,37% dan sensitifitas antibiotika pada golongan sefalosporin dan

    karbapenem dimana sensitif terhadap sefepim dan meropenem masing-masing

    sebesar 100%. Penderita abses leher dalam sebanyak 89,65% tanpa faktor

    penyulit. Rata-rata lama perawatan pasien abses leher dalam pada penelitian ini

    adalah 8,8 hari. Penderita abses leher dalam sebanyak 86,22% tanpa komplikasi.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Novialdi, Pulungan MR. Pola kuman abses leher dalam. Bagian THT-KL

    Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2010. Diunduh dari url:

    http://repository.unand.ac.id/18384. Diakses tanggal 24 Agustus 2015.

    2. Novialdi, Triana W. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan intubasi

    dan komplikasi fistula faringokutan. Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran

    Universitas Andalas. 2011. Diunduh dari url:

    http://repository.unand.ac.id/18174. Diakses tanggal 14 Agustus 2015.

    3. Rahardjo SP. Infeksi leher dalam. Graha Ilmu: Jakarta; 2006

    4. Kamath MP, Shetty AB, Hegde MC, Sreedharan S, Bhojwani K,

    Padmanabhan K, dkk. Presentation and management of deep neck space

    abscess. Indian Journal of otolaryngology and Head and Neck Surgery (serial

    online) 2003 Okt-Des; 1 (1). Diunduh dari url:

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23119999. Diakses tanggal 5 Agustus

    2015.

    5. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H, Hosseinnejad F, Ghazipour A, Yavari M,

    dkk. Predisposing factors for the complications of deep neck infection.

    Iranian Journal of Otolaryngology (serial online) 2010 April. Diunduh dari

    url: http://ijorl.mums.ac.id. Diakses tanggal 4 Agustus 2015.

    6. Coelho MS, Ramos G, Prestes LC, Andrea S, de Oliviera MSB, Lobo P. Deep

    neck infections-classification in levels of severity. Intl Arch Otorhinolaryngol

    [serial online] 2009 Jun. Diunduh dari url: http://www.arquivosdeorl.org.br.

    Diakses tanggal 4 Agustus 2015.

    7. Yang SW, Lee MH, See LC, Huang SH, Chen TM, Chen TA. Deep neck

    abscess-an analysis of microbial etiology and the effectiveness of antibiotics

    (serial online) 2008. Diunduh dari url:

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108716. Diakses tanggal 6

    Oktober 2015.

    http://repository.unand.ac.id/18384http://repository.unand.ac.id/18174http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23119999http://ijorl.mums.ac.id/http://www.arquivosdeorl.org.br/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108716

  • 24

    8. Aynehchi BB, Har-El G. Deep neck infections. Dalam: Johnson JT, Rosen

    CA, penyunting. Bailey’s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-

    5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h. 794-814.

    9. Hegde A, Mohan S, Lim WEH. Infections of the deep neck spaces. Singapore

    Med J (serial online) 2011; 53 (50). Diunduh dari url:

    http://apamedcentral.orgi. Diakses tanggal 6 Oktober 2015.

    10. Conrad DE, Parikh SR. Deep neck infections. Infectious Disorders-Drug

    Targets (serial online) 2011; 12 (4). Diunduh dari url:

    http://www.ingentaconnect.com. Diakses tanggal 28 September 2015.

    11. Reilly BK, Reilly JS. Retropharyngeal abscess: diagnosis and treatment

    update. Infectious Disorders-Drug Targets (serial online) 2012; 12 [4].

    Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22338591. Diakses

    tanggal 28 September 2015.

    12. Biron VL, Kurien G, Dziegielewski P, Barber B, Seikaly H. Surgical vs

    ultrasound-guided drainage of deep neck space abscesses: a randomized

    controlled trial;surgical vs ultrasound drainage. Journal of Otolaryngology-

    Head & Neck Surgery (serial online) 2013; 42 (18). Diunduh dari url:

    http://www.journalotohns.com/content/42/1/18. Diakses tanggal 17 Oktober

    2015.

    13. Garca MF, Budak A, Demir N, Cankaya H, Kiroglu AF. Characteristics of

    deep neck infection in children according to weight percentile. Clinical and

    Experimental Otorhinolaryngology (serial online) 2014 Jun; 7 (2). Diunduh

    dari url: http://dx.doi.org/10.3342/ceo.2014.7.2.133. Diakses tanggal 25

    September 2015.

    14. Huang TT, Liu TC, Chen PR, Tseng FY, Yeh TH, Chen YS. Deep neck

    infection: analysis of 185 cases. Wiley InterScience. 2004 Oktober:h.855-60.

    15. Suebara AB,Goncalves AJ, Alcadipani FAMC, Kavabata NK, Menezes MB.

    Deep neck infection: analysis of 80 cases. Brazillian Journal of

    Otorhinolaringology 74(2).2008 Mar-Apr;h.253-9.

    16. Gorjon PS, Perez PB, Martin ACM, Dios JCP, Alonso SE, Cabanillas MIC.

    Deep neck infection: review of 286 cases. Elsevier Espana 2011 Jun:h.32-41.

    http://apamedcentral.orgi/http://www.ingentaconnect.com/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22338591http://www.journalotohns.com/content/42/1/18http://dx.doi.org/10.3342/ceo.2014.7.2.133

  • 25

    17. Shah UK, Hall MB. Deep neck space infections empiric therapy. Diunduh

    dari url:http;//www.emedicine.medscape.com/article/2014986-overview.

    Diakses tanggal 20 Februari 2016.