isi abses leher dalam
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di antara
fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, sinus
paranasal, telinga tengah, leher, dan lainnya1
Manifestasi gejala klinis berupa nyeri tenggorokan dan demam yang disertai
dengan terbatasanya gerakan membuka mulut dan leher serta adanya pembengkakan
diruang leher dalam. Kuman penyebab tersering adalah golongan bakteri Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteriodes atau kuman campuran.1
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwig’s angina).1
Secara epidemiologi penyebab tersering pada abses leher dalam adalah penjalaran
infeksi gigi (43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%) dan faringotonsilitis
(6%).2 Kuman dari hasil pemeriksaan kultur penyebab tersering dari abses leher dalam
adalah kultur Streptococcus viridans (39%), kultur Staphylococcus epidermidis (22%)
dan kultur Staphylococcus aureus (22%).2 Abses leher dalam memiliki angka mortalitas
sebesar (8%) akibat komplikasi ke arah mediastinitis.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Leher
Leher adalah daerah tubuh yang terletak diantara pinggir bawah mandibula
disebelah atas dari incisura supra sternalis serta pinggir atas clavikula disebelah bawah.4
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda.
Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot
platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas
ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.5
Fasia superfisial merupakan jaringan konektif yang terletak dibawah dermis.
Fasia ini berisikan platysma dan vena-vena superfisialis. Fasia profunda mengelilingi
daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:5
- Lapisan superfisial
Lapisan ini juga dikenal dengan sebutan lapisan selimut (investing layer).
Lapisan ini mengelilingi leher, membungkus muskulus sternokleidomastoideus, dan
muskulus trapezius Selain otot, lapisan ini juga membungkus kelenjar submandibular dan
parotis. Ruangan yang terbentuk adalah trigonum coli posterior di kedua sisi lateral leher
dan ruang suprasternal Burns.5
- Lapisan tengah
Lapisan ini juga dikenal dengan nama lapisan viseral yang mencakup fasia
pretiroid dan pretrakea. Lapisan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian muskular
yang membungkus muskulus infrahyoid dan bagian viseral yang membungkus faring,
laring, esofagus, kelenjar tiroid, dan trakea.5
- Lapisan dalam.
Lapisan dalam ini berasal dari prosesus spinosus dari tulang vertebra servikal dan
ligamentum nuchae. Pada prosesus transversus dari tulang vertebra servikal, lapisan ini
terbagi menjadi lapisan alar anterior dan lapisan alar prevertebra posterior. Fasia alar
memanjang dari dasar tengkorak ke tulang vertebra torak ke-2, dan bersatu dengan fasia
viseral. Fasia ini terletak diantara lapisan viseral dan lapisan prevertebra. Fasia
prevertebra terletak di sebelah anterior dari corpus vertebra dan memanjang sepanjang
kolumna vertebralis.5
2
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.5
1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:5
a. ruang retrofaring
b. ruang prevertebra
c. ruang bahaya
d. ruang pembuluh darah viseral
2. Ruang suprahioid terdiri dari:
a. ruang submandibula
b. ruang parafaring
c. ruang parotis
d. ruang mastikor
e. ruang peritonsil
f. ruang temporalis.
3. Ruang infrahioid
a. ruang pretrakeal
Ruang Faring
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring,fasia faring basilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat
jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini dimulai dari dasar tengkorak di bagian atas
sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra. Disebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa
faringomaksilaris.6
Ruang Parafaring
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak
dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi
dibagian dalam oleh muskulus kostriktor faring superior.Batas luarnya adalah ramus
ascenden mandibula yang melekat dengan muskulus pterigoid interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.6
3
2.2. ABSES PERITONSIL (QUINSY)
a. Definisi
Abses peritonsil (PTA) adalah suatu infeksi pada leher dalam akibat
perjalanan infeksi superficial dan progresif dari infeksi selulitis tonsilar.7.8
Gambar 1. Abses Peritonsil 7,8
b. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.1
Abses peritonsiler disebabkan oleh bakteri yang bersifat aerob dan bakteri
yang bersifat anaerob. Bakteri aerob yang menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus beta hemollitikus Group A, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan bakteri anaerob yang menyebabkan abses peritonsilar adalah
Fusobacterium, pigmented Prevotella, Peptostreptococcus.1,7,8
c. Manifestasi Klinis
Penderita biasanya mengalami keluhan demam, malaise, odinofagia (nyeri
menelan, nyeri telinga (otalgia ipsilateral). Pada pemeriksaan fisik didapatkan mulut
berbau (foetor ex ore), suara gumam (hot potato voice), sukar membuka mulut
(trismus), limfadenitis servikal, pembengkakan tonsil, pembengkakan palatum mole
dan uvula berdeviasi kesisi kontralateral.1,7,8
4
Pembesaran palatum mole
Tonsil
d. Diagnosis
Anamnesis dari gejala klinis dan pada pemeriksaan fisik pada abses peritonsil
yaitu penderita biasanya mengalami keluhan demam, malaise, odinofagia (nyeri
menelan, nyeri telinga (otalgia ipsilateral). Pada pemeriksaan fisik didapatkan mulut
berbau (foetor ex ore), suara gumam (hot potato voice), sukar membuka mulut
(trismus), limfadenitis servikal, pembengkakan tonsil, pembengkakan palatum mole
dan uvula berdeviasi kesisi kontralateral.1,7,8
Pada pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosa abses peritonsilar adalah
dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum dan lakukan
pemeriksaan kultur.7,8
Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens
yang menandakan adanya cairan pada tonsil dan pembesaran yang asimetris pada
tonsil.7,8
Gambar 2. Aspirasi Pus untuk gold diagnosis abses peritonsil 7,8
5
Area abses
Tonsil kanan
Uvula
Gambar 2. Abses peritonsilar kanan 7,8
e. Diagnosa Banding 7,8
1. Abses tonsilar 5. Selulitis peritonsilar
2. Adenitis servical 6. Infeksi kelenjar salvias
3. Limfoma 7. Aneurisma arteri carotis interna
4. Infeksi gigi
f. Penatalaksanaan
Antibiotika oral Amoxicilin 825 mg 2 x 1, Penisilin 500 mg 4 x 1,
Metronidazole 500 mg 4 x 1, Clindamisin 600 mg 2 x 1 dan antibiotika intravena
Penisilin G 10 Juta Unit / 6 jam, Ampisilin 3 gram / 6 jam, untuk yang alergi Penisilin
dapat diberikan Clindamisin 900 mg / 8 jam.7,8
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula
dengan geraham atas terakhir.1,7,8
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede,
dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a”
froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses.1
g. Komplikasi 1,7,8
Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
h. Prognosis
Abses peritonsiler dapat berulang bila tidak dilakukan tonsilektomi, maka
ditunda sampai 3 - 6 minggu berikutnya.7,8
6
2.3. ABSES RETROFARING
a. Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring.1
b. Etiologi 1
Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara
bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah.
1. Kuman aerob : Streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus nonhemolyticus, Staphylococcus
aureus, Haemophilus sp.
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria.
c. Gejala dan Tanda Klinis
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda
klinis yang sering dijumpai pada anak :
1. Demam
2. Sukar dan nyeri menelan
3. Suara sengau
4. Dinding posterior faring membengkak (bulging) dan hiperemis pada satu sisi.
5. Pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
6. Pembesaran kelenjar limfe leher (biasanya unilateral).
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai
adanya :
1. Kekakuan otot leher (neck stiffness) disertai nyeri pada pergerakan
2. Air liur menetes (drooling)
3. Obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea
Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila
dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda
asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat
batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :
1. Demam
2. Sukar dan nyeri menelan
3. Rasa sakit di leher (neck pain)
4. Keterbatasan gerak leher
5. Dispnea
d. Penatalaksanaan
7
1. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
Posisi pasien supine dengan leher ekstensi
Pemberian O2
Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik
Trakeostomi / krikotirotomi
2. Medikamentosa
a. Antibiotik ( parenteral )
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya
tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu
diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai terapi utama,
tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan β laktamase
kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah
clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi kedua (seperti cefuroxime) atau β lactamase resistant
penicillin seperti ticarcillin/ clavulanate, piperacillin/ tazobactam, ampicillin/
sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10
hari.
b. Simtomatis.
c. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan
cairan elektrolit.
d. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
3. Operatif
a. Aspirasi pus (needle aspiration)
b. Insisi dan drainase :
Pendekatan intraoral (transoral) untuk abses yang kecil dan terlokalisir.
Pasien diletakkan pada posisi Trendelenburg, dimana leher dalam keadaan
hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan
pada daerah yang paling berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar
harus segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus.
Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan
evakuasi pus.
Pendekatan eksterna (external approach) baik secara anterior atau
posterior untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring.
8
Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara
horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara
tulang hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas
pandangan sampai terlihat m.sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi
pada batas anterior m.sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem
erteri bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan
ke arah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka
dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya
dipasang drain (Penrose drain).
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas
posterior m.sternokleidomastoideus. Kepala diputar kearah yang
berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.
sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul
pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.
e. Komplikasi
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :
a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema, abses mediastinum
b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring
c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.
f. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase
awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang
tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna. Apabila telah terjadi
mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40 - 50% walaupun dengan pemberian
antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20 – 40% sedangkan
trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.
2.4. ABSES PARAFARING
9
a. Definisi
Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring.1
b. Etiologi
Kuman penyebab biasanya campuran aerob dan anaerob. 1
c. Patofisiologi
Infeksi terjadi secara langsung; proses supurasi yang menjadi sumber infeksi;
atau penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula. 1
d. Faktor Predisposisi
Diabetes melitus, lupus eritematosus, dll.
e. Gambaran Klinis
Demam, leukositosis, nyeri tenggorok, nyeri menelan, trismus, indurasi atau
pembengkakan di daerah sekitar angulus mandibula, dan pembengkakan dinding
lateral faring hingga menonjol ke arah medial.
f. Pemeriksaan Penunjang
Foto jaringan lunak AP menunjukkan penebalan jaringan lunak parafaring dan
pendorongan trakea ke samping depan. Dengan tomografi komputer terlihat jelas
abses dan penjalarannya. 1
g. Diagnosis Banding
Parotitis, abses submandibula, dan tumor. 1
h. Penatalaksanaan
Pasien dirawat inap di rumah sakit sampai gejala dan tanda infeksi reda.
Diberikan antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob secara parenteral.
Sebelum ada hasil kultur, diberikan penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin 3-
4 x 1-2 gram atau gentamisin 2 x 40-80 mg, kloramfenikol 3 x 250-500 mg,
metronidazol 3 x 250-500 mg.
Abses segera dievakuasi secara eksplorasi dalam anestesi umum. Caranya
melalui insisi dari luar dan intraoral. Dari luar, insisi dilakukan 2 jari di bawah dan
sejajar mandibula. Secara tumpul dilanjutkan dari batas anterior otot
sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula
dan m. pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid.
Bila nanah terdapat dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari
pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan otot sternokleidomastoideus (cara
Mosher).
10
Insisi intraoral dilakukan bila perlu sebagai tambahan terhadap insisi luar,
pada dinding lateral faring. Ekplorasi dilakukan dengan klem arteri menembus otot
konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.
i. Komplikasi
Peradangan intrakranial, mediastinum; kerusakan dinding pembuluh darah
sehingga terjadi perdarahan hebat akibat ruptur pembuluh karotis; komplikasi pada
nervus vagus; edema laring; pendorongan trakea; periflebitis, endoflebitis,
tromboflebitis; dan septikemia. 1
2.5. ABSES SUBMANDIBULA
a. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. 1
b. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan
adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus
Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang
sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif,
seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium. 1
c. Gejala dan Tanda Klinis
Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus
akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan
jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula (gambar
5), fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah atau
purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat
ke atas dan terdorong ke belakang.7,8,11
11
Gambar 9. Abses submandibula 8
d. Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
b) Radiologis
a. Rontgen jaringan lunak kepala AP
b. Rontgen panoramik
Dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal dari gigi.
c. Rontgen thoraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. Tomografi komputer (CT-scan)
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher
dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang
terlalu rendah pada 70% pasien (dikutip dari Pulungan). Gambaran abses
12
yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang
lebih jelas, dan kadang ada air fluid level (gambar 6 dan gambar 7). 4,10
Gambar 10. CT-scan pasien dengan keluhan trismus, pembengkakan submandibula yang nyeri dan berwarna kemerahan selama 12 hari. CT-scan axial menunjukkan pembesaran
musculus pterygoid medial (tanda panah), peningkatan intensitas ruang submandibular dan batas yang jelas dari musculus platysmal (ujung panah).13
Gambar 11. Axial CT-scan menunjukan infeksi pada ruang submandibula. Tampak abses multifokal.13
e. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
13
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan
gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah
campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. 2-4,11
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,
ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka
sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.
Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 2-4,11
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses (gambar 4) dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam
dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os
hioid, tergantung letak dan luas abses.11 Bila abses belum terbentuk, dilakukan
panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk
(biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan.
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan.
Gambar 12. Insisi abses submandibula8
4. Pasien dirawat inap 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksi reda.11
f. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering
meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.12
Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus
14
pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke
daerah potensial lainnya.4
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis
mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat, bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.12
g. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase
awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang
tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna.Apabila telah terjadi
mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian
antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan
trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.
2.6. ANGINA LUDOVICI
a. Definisi
Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis atau
flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati.1
b. Etiologi
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci. Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium
nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria,
dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies
Neisseria, Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan
spesies Klebsiella. 1
c. Gambaran Klinis
Gejala klinis umum angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi,
dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas.
15
Gejala klinis ekstraoral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti
papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang
submandibula-sublingual yang terinfeksi, disfonia (hot potato voice) akibat edema
pada organ vokal. Gejala klinis intraoral meliputi pembengkakkan, nyeri dan
peninggian lidah, sulit menelan (disfagia), hipersalivasi (drooling), kesulitan dalam
artikulasi bicara (disarthria).15
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular
yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien
tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat
penanganan segera.16
Gambar 13. Pembengkakkan berat dari submandibula bilateral dan regio cervikal anterior pada anak usia 4 bulan dengan angina Ludwig.
Gambar 14. Edema dan indurasi dari dasar mulut mengakibatkan peninggian lidah pada anak usia 5 tahun dengan angina Ludwig.
d. Diagnosis
16
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu
terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan
mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang
mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita
juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Dapat dijumpai demam
dan rasa menggigil.17
b. Pemeriksaan fisik
Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi menyebar
ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah
terdorong ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut
membengkak, saat bernapas akan terdengar suara tinggi (stridor). Biasanya
penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang diminum
maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang
menindikasikan adanya infeksi sistemik. 17
c. Pemeriksaan penunjang
Meskipun diagnosis angina Ludwig dapat diketahui berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan diagnosis.16
Laboratorium:
Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi
akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi
drainase. 16
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik
dalam terapi. 16
Pencitraan:
RÖ: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat
17
menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto
panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses,
serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. 16
USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif
dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk
menentukan letak abses. 16
CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat
mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan
napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan
dibutuhkannya pernapasan buatan. 16
MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya
waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi
pasien yang mengalami kesulitan bernapas. 16
e. Penatalaksanaan
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu: 16
1) Menjaga patensi jalan napas.
2) Terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi
penyebaran infeksi.
3) Dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan
adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih
baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung
dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam
posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau
trakheotomi dengan anestesi lokal. 16
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan
operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang
lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta
mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti
dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam. 16
18
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-
clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan
regimen terapi. 16
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat
pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam
tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi
dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam
sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas
os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi
dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.18
Gambar 15. Kondisi pasien post-trakeostomi namun masih membutuhkan drainase abses. Tampak depan dan samping menunjukkan pembengkakkan submandibular dan
sublingual.
19
Gambar 16. Kondisi pasien 3 hari post-operasi, memperlihatkan drainase submandibula bilateral dan occluded tracheostomy tube.
f. Komplikasi
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang
terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis,
kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta
kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh
m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung
antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig
dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang
pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta
menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.16
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara
mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum
dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba,
komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari
sekret yang terinfeksi, dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut
yang telah dilaporkan meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura,
empiema, infeksi dari carotid sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan
thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis interna.16
g. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas
untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang
20
terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan
yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan
trakeostomi.17
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa.4 Kematian
pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini,
perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang
adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa
mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga
kurang dari 5%.18
BAB III
KESIMPULAN
1. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
2. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terlibat.
3. Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama periode Oktober
2009 sampai September 2010 didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang.
Abses submandibula (26%) merupakan kasus kedua terbanyak setelah abses
peritonsil (32%), diikuti abses parafaring (18%), abses retrofaring (12%), abses
mastikator (9%), dan abses pretrakeal (3%).
4. Pada umumnya prognosis abses leher dalam baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi dapat dihindari.
5. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang
sempurna.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad, E. Iskandar, N. Bashiruddin, J. Dwi, R. 2007.Abses Leher Dalam. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, Pp. 226 – 230.
2. Parhiscar,A. Deep neck abscess. [citied 2012 June 5]. Available From :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11713917.
3. Experanza, M. Francisco, J. Alfonso, J. Mortality deep neck abscess. [citied 2012
June 5]. Available From :
http://www.medigraphic.com/pdfs/cirgen/cg-2004/cg044k.pdf .
4. Snell, R. 2006. Anatomi Klinik. Jakarta : EGC, Pp. 685.
5. Elizabeth, J. Anatomy of deep neck space. [citied 2012 June 5]. Available From :
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Deep-Neck-Spaces-2002-04/Deep-neck-
spaces-2002-04.pdf .
6. Arsyad, E. Iskandar, N. Bashiruddin, J. Dwi, R. 2007.Abses Leher Dalam. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, Pp. 215.
7. Steyer, T. Diagnosis and treatment peritonsilar abscess. [citied 2012 June 5].
Available From : http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html .
8. Gallioto, N. Peritonsilar abscess. [citied 2012 June 5]. Available From :
http://intranet.emergency.med.ufl.edu/med_students/peds_rotation/reading_assign
ment/peritonsillar%20abscess.pdf .
9. Calhoun KH, Head and neck surgery-otolaryngology Volume two. 3nd Edition.
USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2001. 705,712-3
10. Ballenger JJ. Penyakit telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Jilid 1. Edisi ke-
13. Jakarta: Bina Rupa Aksara,1994.295-304
11. Deep Neck Space Infections (updated 08/06). Diunduh dari
http://www.entnyc.com/coclia_deep.pdf. [Diakses tanggal 1 Januari 2011]
12. Pictures of submandibular neck. Otolaryngology Houston. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/837048-overview. [Diakses tanggal 1
Januari 2011]
13. Micheau A, Hoa D. ENT anatomy: MRI of the face and neck - interactive atlas of
human anatomy using cross-sectional imaging (updated 24/08/2008 10:51 pm).
22
Diunduh dari http://www.imaios.com/en/e-Anatomy/Head-and-Neck/Face-and-
neck-MRI. [Diakses tanggal 1 Januari 2011].
14. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Fakultas kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatra Utara. Diunduh dari USU
digital library 2003. [Diakses tanggal 1 Januari 2011]
15. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 145-48
16. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all.
Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging assessment.
Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9
17. Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
18. Bechara Y. Ghorayeb. Otolaryngology - Head & Neck Surgery
http://www.ghorayeb.com/PeritonsillarAbscess.html
19. Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara.
20. Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal of the
American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol. 15(Issue 12).
21. Anonymous. Ludwig's Angina. available at:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina
22. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21
23