tugas ridho uts

44
ANALISIS PELAYANAN PUBLIK YANG DILAKUKAN OLEH BIROKRASI PEMERINTAHAN A.    PENDAHULUAN I.            Latar Belakang Masalah Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan. Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan oleh penyelenggara negara yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Pencapaian tujuan nasional di atas dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur.  Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Keberhasilan pembangunan nasional tidak lepas dari peran dan fungsi organisasi pemerintah yang mengemban tugas-tugas pemerintah karena keberhasilan organisasi pemerintah dalam mencapai tujuan sangat mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam Undang-

Upload: independent

Post on 14-Nov-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS PELAYANAN PUBLIK YANG DILAKUKAN OLEH BIROKRASI PEMERINTAHAN

A.    PENDAHULUAN

I.            Latar Belakang Masalah

Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan. Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan oleh penyelenggara negara yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Pencapaian tujuan nasional di atas dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur.  Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.

Keberhasilan pembangunan nasional tidak lepas dari peran dan fungsi organisasi pemerintah yang mengemban tugas-tugas pemerintah karena keberhasilan organisasi pemerintah dalam mencapai tujuan sangat mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Bab I, Pasal 1 ayat 1 ditegaskan bahwa :

Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

Dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan tujuan pembangunan nasional tersebut diperlukan peran serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang tugasnya adalah untuk melaksanakan pemerintahan dan tugas pembangunan. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pada Bab II, Pasal 3 ayat 1 ditegaskan bahwa :

Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.

Dengan demikian output dari pelaksanaan tugas adalah berupa jasa pelayanan kepada masyarakat sehingga pelayanan dikatakan efektif apabila aparat berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain keberhasilan tugas pemerintah dalam pembangunan nasional banyak tergantung pada kerja dan kemampuan pegawai negeri. Dari penjelasan tersebut kita dapat melihat bahwa kedudukan dan peranan pegawai negeri sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional.

Tugas pemerintah tidak hanya mengatur saja, akan tetapi juga memberikan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi pelayanan selama ini belum mendapat perhatian dari para aparat birokrasi kita sebab fungsi mengaturnya lebih dominan dibandingkan porsi pelayanannya. Birokrasi pemerintah menempati posisi yang penting dalam pelaksanaan pembangunan karena merupakan salah satu instrumen penting yang akan menopang dan memperlancar usaha-usaha pembangunan. Berhasilnya pembangunan ini memerlukan sistem dan aparatur pelaksana yang mampu tanggap dan kreatif serta pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern dalam sikap perilaku dan kemampuan teknisnya termasuk di dalamnya adalah memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat. Karena pelayanan yang efektif akan memperlancar jalannya proses pembangunan.

Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan,

kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan kenyamanan.

Keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.

Pelayanan publik dikembangkan berdasarkan client yaitu mendudukan diri bahwa warga negaralah yang membutuhkan pelayanan, membutuhkan bantuan birokrasi. Sehingga pelayanan yang dikembangkan adalah pelayanan yang independen dan menciptakan dependensi bagi warga negara dalam urusannya sebagai warga negara. Warga negara atau masyarakat dianggap sebagaio follower dalam setiap kebijakan, program atau pelayanan publik. Masyarakat dianggap sebagai makhluk yang “ manut “, selalu menerima setiap aktivitas birokrasi, padahal terkadang pemerintah melakukan aktivitas yang “ tidak selalu menguntungkan bagi masyarakat “ ( Dwiyanto, 2006:59 ).

II.            Identifikasi Masalah

Beranjak dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang muncul adalah bagaimana pelayanan publik yang dilakukan pada birokrasi pemerintahan?

III.            Tujuan Penulisan

        Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pelaksanaanpelayanan publik yang dilakukan pada birokrasi pemerintahan.

IV.            Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah tinjauan pustaka. Sumber yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah beberapa literatur terkait, baik dalam bentuk buku maupun artikel internet, sehingga diharapkan dalam pembuatan makalah ini sumber-sumber yang dipergunakan dapat menjadi bahan rujukan yang akurat agar nantinya informasi yang disampaikan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

 B.     PERMASALAHAN

Birokrat yang tidak “becus”, itulah anggapan kita apabila mengalami kejadian di lempar dari satu pejabat ke pejabat berikutnya tanpa memperoleh informasi yang kita inginkan, apabila formulir yang sangat panjang harus diisi berkali-kali dan dikembalikan begitu saja kepada kita hanya karena lupa menambahkan suatu informasi yang sangat sepele. Menurut bahasa sehari-hari, istilah Birokrasi adalah sebagai pelayanan umum yang semestinya mencerminkan kepentingan-kepentingan umum, lebih banyak tidak mengindahkan muatan moralitas kemanusiaan, daripada mengaplikasikan kedalam realitas pelayanan yang sesungguhnya.

Sekarang ini masih banyak masalah yang menimpa masyarakat mengenai pelayanan umum, seperti masalah perijinan, pembuatan, perpanjangan surat-surat yang dibutuhkan masyarakat, misalnya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat pengantar untuk diajukan ke instansi yang lebih tinggi. Masalah timbul dari masyarakat sebagai konsumer tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan, dan beberapa faktor internal pada kinerja pelayan publik pada kecamatan sebagai instansi tingkat pemerintahan yang berwenang baik dalam masalah pelayanannya seperti berapa lama pembuatan, kinerja pelayannya ataupun mengenai biaya.

Penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah yang cenderung menganggap bahwa sebaik apapun dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, toh tidak akan merubah gaji dan pendapatan mereka. Profesionalisme bukan menjadi tujuan utama mereka. Mereka mau melayani hanya karena tugas dari pimpinan instansi  atau karena sebagai pegawai pemerintah, bukan karena tuntutan profesionalisme kerja. Ini yang membuat keberpihakannya kepada masyarakat menjadi sangat rendah. Pelayan publik akan bersikap ramah kepada mesyarakat pengguna layanan kalau ada “sesuatu” yang memberikan keuntungan atau melatar belakanginya, seperti hubungan pertemanan, status sosial ekonomi warga dan lain-lain. Bagi masyarakat pengguna layanan yang kebetulan mempunyai kenalan, sebagai kerabat, saudara, orang kaya yang dapat memberikan “ucapan terima kasih”, serta mereka yang mempunyai status sosial terpandang di masyarakat, biasanya akan memperoleh “perlakuan khusus” dari para pelayan publik. Dalam situasi demikian, maka budaya antri menjadi hilang, sebaliknya budaya pelayanan “jalan tol”menjadi pilihan stategis dan menjadi hal yang biasa dilakukan. Ini hanya mungkin dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kelebihan uang, status, dan sejenisnya yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa.

Birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat.Terdapat beberpa faktor yang mempengaruhi birokrasi dalam pengambilan keputusan :

a.       Faktor budaya;

b.      Faktor individu;

c.       Faktor organisasi dan manajemen;

d.      Faktor politik.

Kendala infrastruktur organisasi pemerintahan yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini terbukti dengan belum terbangunnya  kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.

Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas pendidikan, sekolah-sekolah. Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Tradisi pejabat dan pegawai birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat yang datang keistansinyauntuk memerlukan selember surat keterangan ataupun yang berhubungan dengan pelayanan publik .

C.    KAJIAN PUSTAKA

Untuk meningkatkan kualitas  dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai   dengan asas-asas umum pemerintahan dan  korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, maka pada tanggal 18 Juli 2009 Indonesia mensahkan Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Menurut UU tersebut, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan  pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan  bagi setiap warga negara dan penduduk  atas barang, jasa, dan/atau pelayanan  administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Ruang lingkup pelayanan publik menurut Undang-Undang Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam ruang lingkup tersebut, termasuk pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,  lingkungan hidup, kesehatan, jaminan

sosial,  energi, perbankan, perhubungan, sumber daya  alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. (Pasal 5 UU No 25 Tahun 2009)

Dalam melaksanakan pelayanan publik pemerintah membentuk Organisasi Penyelenggara. Penyelenggara adalah setiap institusi  penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung  jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.

Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dalam bentuk penyerahan sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak lain, dengan syarat kerja sama tsb tidak menambah beban bagi masyarakat. Ketentuan-ketentuan dalam kerjasama tersebut adalah:

a.       perjanjian kerja sama penyelenggaraan   pelayanan publik dituangkan sesuai dengan  peraturan perundang-undangan dan dalam  pelaksanaannya didasarkan pada standard pelayanan;

b.      penyelenggara berkewajiban menginformasikan  perjanjian kerja sama kepada masyarakat;

c.       tanggung jawab pelaksanaan kerja sama berada  pada penerima kerja sama, sedangkan tanggung  jawab penyelenggaraan secara menyeluruh  berada pada penyelenggara;

d.      informasi tentang identitas pihak lain dan   identitas penyelenggara sebagai penanggung  jawab kegiatan harus dicantumkan oleh  penyelenggara pada tempat yang jelas dan mudah diketahui masyarakat; dan

e.       penyelenggara dan pihak lain wajib mencantumkan alamat tempat mengadu dan sarana untuk menampung keluhan masyarakat  yang mudah diakses, antara lain telepon, pesan  layanan singkat (short message service  (sms)),  laman (website), pos-el (e-mail), dan kotak pengaduan.

Selain kerjasama diatas, penyelenggara juga dapat melakukan kerja sama tertentu dengan pihak lain untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Kerja sama tertentu merupakan kerja sama yang tidak melalui prosedur seperti yang dijelaskan diatas, dan penyelenggaraannya tidak bersifat darurat serta harus diselesaikan dalam waktu tertentu, misalnya pengamanan  pada saat penerimaan tamu negara, transportasi pada masa  liburan lebaran, dan pengamanan pada saat pemilihan umum. (Pasal 13 UU No 25 Tahun 2009)

Dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara berkewajiban :

a.       menyusun dan menetapkan standar pelayanan;

b.       menyusun, menetapkan, dan memublikasikan  maklumat pelayanan;

c.        menempatkan pelaksana yang kompeten;

d.       menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;

e.        memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik;

f.        melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan;

g.       berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;

h.       memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan;

i.         membantu masyarakat dalam memahami hak dan  tanggung jawabnya;

j.         bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan publik

k.      memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan  hukum yang berlaku apabila mengundurkan diri  atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau  jabatan; dan

l.        memenuhi panggilan atau mewakili organisasi  untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah  sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 15 UU No 29 Tahun 2009)

Komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:

a.       dasar hukum, yaitu Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan.

b.      persyaratan, yaitu Syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis  pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif.

c.       sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu Tata cara pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk pengaduan.

d.      jangka waktu penyelesaian, yaitu Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh  proses  pelayanan dari setiap jenis pelayanan.

e.       biaya/tarif, yaitu Ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam  mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari   penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.

f.       produk pelayanan, yaitu Hasil  pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan   ketentuan yang telah ditetapkan.

g.      sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, yaitu Peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk peralatan dan fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.

h.      kompetensi pelaksana, yaitu Kemampuan yang  harus dimiliki oleh pelaksana meliputi  pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman.

i.        pengawasan internal, yaitu Pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja  atau atasan langsung pelaksana.

j.        penanganan pengaduan, saran, dan masukan, yaitu Tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut.

k.      jumlah pelaksana, yaitu Tersedianya pelaksana sesuai dengan beban kerja.

l.        jaminan pelayanan yang memberikan kepastian   pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standard pelayanan.

m.    jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan  dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan, yaitu Kepastian memberikan rasa aman dan bebas dari bahaya, risiko, dan keragu-raguan.

n.      evaluasi kinerja pelaksana yaitu Penilaian untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan   kegiatan sesuai dengan standar pelayanan. (Pasal 21 UU No 25 Tahun 2009)

Untuk kebutuhan biaya/tarif pelayanan publik, pada dasarnya  merupakan tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Apabila dibebankan kepada masyarakat atau penerima pelayanan, maka penentuan biaya/tarif pelayanan publik tersebut ditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota  dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (Pasal 31 UU No 25 Tahun 2009)

Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal  dan pengawas eksternal. Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan  publik dilakukan melalui pengawasan oleh atasan langsung sesuai  dengan peraturan perundang-undangan; dan pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai  dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:

a.       pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

b.       pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

c.       pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 35 UU No 25 Tahun 2009)

Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana  pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan serta berkewajiban mengumumkan nama  dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan  yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,  dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan tsb. (Pasal 36 UU No 25 Tahun 2009)

Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik, apabila;

a.       penyelenggara yang tidak melaksanakan  kewajiban dan/atau melanggar larangan; dan

b.      pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.

Pengaduan tsb ditujukan kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan  Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 40 UU No 25 Tahun 2009)

Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya. Pengaduan tsb dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Dalam pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti rugi. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat dirahasiakan.

Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan tertulis oleh masyarakat paling lambat  14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, yang sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak lengkapnya materi aduan tertulis tsb. Dalam hal materi aduan tidak lengkap, pengadu  melengkapi materi aduannya selambat- lambatnya  30 (tiga puluh) hari terhitung sejak menerima  tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman   sebagaimana  diinformasikan oleh pihak penyelenggara dan/atau ombudsman.  Dalam hal berkas pengaduan tidak dilengkapi  dalam waktu tsb, maka pengadu dianggap mencabut pengaduannya. (Pasal 44 UU No 25 Tahun 2009)

Dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan  melawan hukum dalam penyelenggaraan pelayanan  publik sebagaimana diatur dalam undang-undang  pelayanan publik, masyarakat dapat mengajukan gugatan  terhadap penyelenggara ke pengadilan. Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara, tidak  menghapus kewajiban penyelenggara untuk  melaksanakan keputusan ombudsman dan/atau penyelenggara. Pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum tsb, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 52 UU No 25 Tahun 2009)

Dalam hal penyelenggara diduga melakukan tindak  pidana dalam penyelenggaraan pelayanan  publik  sebagaimana diatur dalam undang-undang ini,  masyarakat dapat melaporkan penyelenggara kepada pihak berwenang. (Pasal 53 UU No 25 Tahun 2009).

Sayangnya pelaksanaan pelayanan publik menurut UU No 25 Tahun 2009 masih memiliki beberapa kendala. Kendala tsb disebabkan oleh belum dikeluarkan Peraturan pemerintah mengenai ruang lingkup, mengenai sistem pelayanan  terpadu, mengenai pedoman  penyusunan standar pelayanan, mengenai proporsi akses dan  kategori kelompok masyarakat, mengenai tata cara  pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan Peraturan presiden mengenai mekanisme dan  ketentuan pemberian ganti rugi.

D.    ANALISIS ATAU PEMBAHASAAN

Pemerintah selaku penyedian pelayanaan birokrasi pemerintahan kepada masyarakat secaramenyeluruh, baik pada level kebijakan, organizational, serta operasional harus sesuai dengan poin-poin mendasar dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pada level kebijakan, dalam bentuk peraturan atau kebijakan yang mengatur seluruh aspeksehingga menciptakan berbagai peraturan atau kebijakan yang mendorong birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hal-hak sipil warga negara dalam mendapatkan pelayanan prima yang yang di dalamnya menyangkut aspek kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, dan gugatan. Contohnya adalah penyusunan Standar Prosedur Operasi (SOP) pada seluruh instansi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi yang pro publik, penyempurnaan diarahkan untuk menghasilkan proses yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. Untuk itu, penyusun SOP yang rinci dan dapat menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara menyeluruh, melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran rinci mengenai tugas yang dilakukan oleh setiap jabatan, serta melakukan analisis beban kerja untuk dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah pejabat yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan adanya standar prosedur operasi tersebut instasi pemerintah dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan.

Pada level organizational, dapat dilakukan dalam bentuk perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah. Memulai proses organization reinventing dalam bentuk penataan organisasi. Penataan organisasi tersebut meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi, serta

modernisasi. Penajaman tugas dan fungsi dilakukan di segala level pemerintahan baik dari pusat sampai ke level pemerintahan pada level terbawah. Disamping itu, dilakukan pemisahan dan penajaman fungsi organisasi yang diharapkan mampu menciptakan struktur organisasi yang menghasilkan kebijakan berkualitas dan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Terakhir, pada level operasional, dilakukan melalui perbaikan serta peningkatan kualitas pelayanan yang meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.Perbaikan pelayanan kepada masyarakat tersebut salah satunya tercermin dalam adanya perubahan waktu yang diperlukan masyarakat untuk mendapatkan layanan.

Selanjutnya, pelayanan publik yang dilakukan pemerintah juga dilihat dari segi faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi harus lah dilakukan perubahan, diantaranya adalah faktor budaya, faktor individu, faktor organisasi dan manajemen, serta faktor politik. Sehingga institusi pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan amanat UU No. 25 Tahun 2009.

Akan tetapi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik dilapangan walaupun telah berjalannya UU No. 25 Tahun 2009 masih banyak saja pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat dalam pelayanan publik. Oleh karenanya, seharusnya pemerintah memiliki komitmen untuk melakukan penguatan lembaga KPK dan Ombudsman yang merupakan salah satu indikator komitmen bangsa dalam penciptaan pemerintahan yang melakukan penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan bersih dan bebas dari KKN. Karena ternyata, dalam kenyataannya system birokrasi kita masih memiliki banyak kelemahan. beberapa kelemahan yang menonjol yaitu:

1.      Lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will

2.      Belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan rencana tindak tidak jelas;

3.      Belum ada kesepakatan menerapkan SIN (single identification/identity number) tentang data kepegawaian, asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, dan yang terkait lainnya

4.      Masih banyak duplikasi, pertentangan, dan ketidakwajaran peraturan perundang-undangan

5.      Kelemahan dalam criminal justice system (sistem penanggulangan kejahatan); penanggulangan kejahatan (criminal policy) belum efektif menggunakan media masa dan media elektronika, kurangnya partisipasi masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, dan criminal policy belum dituangkan secara jelas dalam bentuk represif (criminal justice system), preventif (prevention without punishment), dan pencegahan dini (detektif);

Berbagai upaya parsial telah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik baik pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian karena sifatnya yang parsial, perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik masih terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. Sehingga masih dapat kita temukan over-regulasi, rendahnya kualitas pelayanan publik, pertanggung jawaban dan akuntabilitas, profesionalisme dan responsiveness yang disebabkan oleh buruknya mind set, culture set dan budaya kerja para birokrat. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu segera dilakukan penataan kelembagaan, kepegawaian berbasis kinerja dengan reward and punishment, penyederhanaan ketatalaksanaan, akuntabilitas kinerja pemerintah, peningkatan pelayanan publik, sistem pengawasan nasional dan pengembangan budaya kerja aparatur negara baik di pusat maupun di daerah yang dilakukan secara sistemik.

Adapun demikian, sangat disayangkan bahwa ternyata pelaksanaanya tidaklah merata bahkan cenderung sendiri sendiri. Sebenarnya, penyelenggaraan pelayanan publik pleh pemerintah dapat dilihat keefektivitasannya bila prinsip prinsip good government telah tercapai termasuk public services pemerintah terhadap masyarakatnya. Untuk itu, demi berlangsungnya penyelenggaraan pelayanan publik seharusnya mulai diterapkan system perubahan bersama dalam birokrasi jaringan jaringan pemerintah.

E.     KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I.            Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dan dengan memperhatikan kerangka teorinya, maka dapatlah disimpulkan bahwa :

a.       Pelayanan publik ditingkatkan menjadi “prima”, birokrasi ber-adaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan memahami kebutuhan masyarakat yang dilayani.

b.      Capacity building yang tidak konsisten dan tidak taat azas dari institusi birokrasi telah menjadi faktor dominan bagi melemahnya kinerja birokrasi sehingga menjadi kehilangan gairah merespon kepentingan masyarakat

c.       Faktor-faktor eksternal birokrasi seperti : hukum, adat-budaya, politik, sosial, dan ekonomi dan internal birokrasi seperti : doktrin, kepemimpinan, lembaga, sumberdaya, dan struktur organisasi, secara bersama-sama menjadi hambatan bagi upaya peningkatan derajat responsitas birokrasi.

d.      Model birokrasi yang modern sesuai dengan dinamika perkembangan belum tersusun sebagai pilihan paradigma berbasis metapora budaya lokal.

e.       Derajat responsivitas elit birokrasi pemerintahan belum optimal dalam implementasi, walaupun sudah dirumuskan dengan indahnya dalam kebijakan dan strategi pembangunan.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena  itu, penyelenggaraan pelayanan publik di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat.

II.            Rekomendasi

Untuk memayungi penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang dan melakukan revisi atau perubahan UU agar terjadinya keselaraan dan Standard Operating Procedure (SOP) yangsesuai dengan perkembangan jaman dan keterbutuhan masyarakat sebagi pengguna pelayan publik. Dengan demikian, proses penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.

Untuk membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi disegala bidang pemerintahan baik pusat maupun daerah.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipwdia.org/PelayananPublik/OmbudsmanRepublikIndonesia/WikipediabahasaIndonesia, ensiklopediabebas.html

http://id.wikipwdia.org/PelayananPublik/PelayananpublikWikipediabahasaIndonesia,ensiklopediabebas.html

http://id.wikipwdia.org/PelayananPublik/UndangUndangPelayananPublikWikipediabahasaIndonesia,ensiklopediabebas.html

http://www.freewebs.com/PelayananPublik/EFEKTIVITASPELAYANANPUBLIK.html

http://www.kompasiana.com/channel/peristiwa/PelayananPublik/PelayananPublikMenurutUUNo25Tahun2009.html

Indihono, Dwiyanto. (2006). Reformasi “ Birokrasi Amplop” Mungkinkah ?. Yogyakarta. Penerbit Gaya Media

Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Manajemen Pelayanan Publik

13 June 2012 - dalam Politik Oleh azia-fisip11

ABSTRAK

Pelayanan publik dalam paradigma manajemen publik baru adalah mengutamakan kepentingan pelanggan di atas kepentingan pribadi. Pelayanan publik yang baik, diukur dari pencapaian kepuasan yang dirasakan oleh semua pihak baik yang dilayani maupun yang melayani. Guna mewujudkan sebuah pelayanan yang baik, mau tidak mau, suka tidak suka pemerintah harus mereformasi manajemen pelayanannya. Karena hal tersebut di atas terkait dengan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, kritis, dan kreatif sehingga muncullah tuntutan-tuntutan baru yang harus dan wajib direspons secara positif oleh pemerintah. Memperhatikan kenyataan sebagaimana hal tersebut di atas, maka upaya-upaya perbaikan dalam pelayanan publik harus secara terus-menerus dilakukan oleh pemerintah. Bidang-bidang yang harus dan wajib direformasi antara lain adalah organisasi, manajemen, sistem, prosedur dan metode keria, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, penerapan teknologi informasi dan lain-lain.

Kata trend: manajemen publik dan pelayanan publik

PENDAHULUAN

Reformasi administrasi publik sudah merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang mendunia terutama untuk menghadapi problem-problem berat di negara-negara berkembang. Sebagian besar negara-negara ini diwarisi pemerintahan kolonial dengan sangat bergantung pada kekuasaan kolonial barat dan sistem administrasinya menderita kurang vitamin. Reformasi dan reorganisasi merupakan kebutuhan esensial untuk keberhasilan implementasi kebijakan dan program pembangunan di negara-negara berkembang. Proses pembangunan memerlukan sistem administrasi yang fkeksibel, kreatif, dan inovatif

Reformasi administrasi publik sudah terjadi sejak lama, namun Caiden (1991) berpendapat bahwa reformasi administrasi publik baru lahir sekitar tahun 1980 yang ditandai adanya perbaikan kinerja operasional sektor publik secara sistematis. Di dunia ketiga, sudah memimpikan pembangunan nasional yang cepat. Namun, program ini dibebani dengan hukum dan administrasi pesanan yang kurang berpengalaman, sumberdaya dan personil yang terlatih untuk menggantikan arahan secara mendadak. Untuk memecahkan kesulitan-kesulitan  tidak dengan menggulingkan apa yang mereka miliki tetapi dengan mengejar dan pada umumnya merevisi apa yang sudah berjalan lama.

Reformasi administrasi berkenaan dengan sisi administrasi pemerintahan, sektor publik, administrasi publik, organisasi dan manajemen. Disisi lain, reformasi politik, ekonomi, dan institusi jarang berhasil tanpa reformasi administrasi.

Sehubungan dengan reformasi organisasi dan manajemen, Pollitt dan Geert (2000) mengemukakan bahwa reformasi manajemen publik terdiri atas perubahan struktur dan proses dari organisasi sektor publik dengan sasaran agar berjalan lebih baik. Perubahan proses meliputi rancangan ulang dari sistem maupun sub sistem.

 

Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan aparatur pemerintah perlu mendapatkan perhatian serius dari instansi-instansi pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam konsep Administrasi Publik Modern, pemberian pelayanan kepada masyarakat tidak harus dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi pemerintah bekerja sama dan mengembangkan kemitraan, baik dengan kelompok swasta maupun perorangan.

Pada prinsipnya kriteria pelayanan publik yang baik bertalian dengan pihak-pihak penerima pelayanan publik, pemberi pelayanan publik, dan pihak ketiga yang masih memiliki kepentingan terhadap pelayanan publik yang baik. Hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan keseyogiaan dari penerima pelayan, pemberi pelayan, dan pihak ketiga dipertimbang,kan berdasarkan nilai-nilai profesional dan nilai-nilai sosial yang mengendalikan kehidupan mereka. Nilai-nilai profesional berkenaan dengan mekanisme dan rata cara pelaksanaan profesi pelayanan publik.

Terkait dengan hal tersebut di atas wacana untuk nilai-nilai profesional telah banyak dikedepankan dalam literatur-literatur tentang good governance, public, dan service management. Nilai-nilai sosial berkenaan dengan sistem nilai masyarakat atau publik yang berlaku di dalam masyarakat dan pemberi pelayanan publik itu berinteraksi. Mengingat pelayanan publik tidak dapat berlangsung dalam suatu ruang hampa yang terlepas dari aspek kehidupan sosial secara keseluruhan.

Salah satu ukuran kualitas pelayanan publik adalah apakah ia memberikan kepuasan tertentu pada diri konsumen. Jadi dapat dipahami bahwa fokus utama pelayanan publik yang baik ada pada sebuah kalimat sederhana, "Pelayanan publik yang baik diukur dari pencapaian kepuasan yang dirasakan oleh publik yang dilayani. Yang menjadi masalah besar adalah bahwa proses menuju ke arah tadi memerlukan energi, kesungguhan, dan keahlian aparatur, material, prosedur, serta partisipasi publik yang amat besar. Sehingga pelayanan publik yang baik tidak sesederhana seperti ketika membuat rumusannya. Namun demikian, karena sudah menjadi tuntutan publik sebagai pihak yang paling utama dalam proses dialektika pelayanan publik menuju kehidupan publik yang berkualitas, maka untuk menghindari ketidakpuasan tersebut, berbagai upaya harus dilakukan oleh aparatur pemerintah untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, seiring dengan tuntutan masyarakat yang, cenderung meningkat.

Perkembangan dan Tujuan Manajemen 

Manajemen adalah ilmu (knowledge) sekaligus kemahiran (knowhow) yang dikembangkan melalui kajian ilmu dan praktik. Menurut Charles M. Savage (1990) seperti yang dikutip oleh Wasistiono, Perkembangan manajemen sebagai ilmu sampai saat ini sudah melewati lima generasi sebagai berikut.

1 Manajemen generasi pertama atau disebut juga Jungle Management, yang lahir bersamaan dengan munculnya peradaban manusia. Ciri utama manajemen ini ialah belum adanya pembagian tugas yang tegas dan terinci. Pekerjaan dilaksanakan secara naluriah, mengalir bersama-sama orang yang saling bekerja sama.

Manajemen generasi kedua atau disebut juga Management by Direction, merupakan penyempurnaan dari manajemen generasi pertama. Ciri utama manajemen generasi ini adalah lebih pada unsur kepemimpinan dalam kerjasama. Anggota organisasi lebih banyak diposisikan sebagai pengikut dengan inisiatif yang terbatas.

Manajemen generasi ketiga dengan sebutan Management by Targetting atau Management by Objectives. Manajemen generasi ini lebih menekankan pada pencapaian target-target yang bersifat kuantitatif, sehingga kadangkala mengabaikan aspek yang bersifat kualitatif seperti kepuasan pelanggan, loyalitas konsumen dan lain sebagainya. Padahal aspek-aspek kualitatif tersebut secara implisit justru menentukan keberhasilan kerja sama untuk mencapai tujuan.

Generasi keempat muncul karena melihat kelemahan manajemen generasi ketiga, para ahli yang dipelopori oleh Brian L. Joiner (1994) adalah yang mengembangkan manajemen generasi keempat dengan ciri utama perpaduan antara pendekatan ilmiah dan kerja tim untuk mencapai sasaran yang berkualitas. Manajemen generasi keempat ini disebut pula sebagai Total Quality Management (TQM) yang berfokus pada kepuasan pelanggan(customer satisfaction). Manajemen generasi keempat belum terlalu lama, tetapi kemudian ada gagasan baru untuk membangun manajemen generasi kelima.

Manajemen generasi kelima ini tidak terlepas dari penggunaan teknologi komputer di dalam mekanisme kerjasama orang-orang. Oleh karena itu, manajemen generasi kelima disebut pula sebagai Human Networking Management, dengan tokoh utamanya Charles M. Savage (1990). Ciri utama manajemen generasi kelima adalah mamadukan organisasi melalui jejaring manusia dengan mendayagunakan teknologi komputer. Melalui cepatnya perkembangan ilmu dan kemahiran manajemen, tidak tertutup kemungkinan akan segera lahir manajemen generasi keenam.

Bila dilihat dari segi tujuan, maka reformasi manajemen publik bukan merupakan tujuan melainkan alat untuk mencapai multi tujuan: adanya saving (ekonomi) dalam pengeluaran publik, peningkatan mutu layanan publik, membuat operasional pemerintahan lebih efisien, dan meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan yang dipilih.

Disamping itu, reformasi manajemen publik juga melayani pencapaian tujuan antara ( intermediate ):  penguatan kontrol dari politisi terhadap birokrasi, membebaskan para pejabat publik dari kendala-kendala birokratis yang menghalangi kesempatan mereka untuk mengelola dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah kepada legeslatif dan warga negara atas kebijakan dan program-programnya. Namun, sayang, masalah tersebut tidaklah begitu sederhana. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa reformasi manajemen dapat salah penerapannya. Mereka gagal menghasilkan keuntungan-keuntungan yang ditawarkan.

       Penggunaan manajemen sektor publik (Pemerintah) di Indonesia yang merupakan warisan pemerintahan kolonial pada umumnya tertinggal jauh dengan dibandingkan sektor swasta. Rata-rata sektor pemerintah (baik di Pusat dan terutama di di Daerah) masih berkutat pada manajemen generasi ketiga, yang lebih menekankan pada arahan dari atas. Karena berorientasi ke atas menyebabkan daya inisiatif anggota organisasi menjadi relatif terbatas yang ditetapkan oleh atasan dan lebih bersifat kuantitatif. Organisasi sektor pemerintah yang menggunakan manajemen generasi keempat yang mengutamakan kepuasan pelanggan dapat dikatakan masih jarang.

Tugas dan Fungsi Birokrasi

Birokrasi mempunyai nilai yang strategis dan menduduki posisi esensial sesuai dengan pernyataan Almond dan Powel mengenai governmental bureaucracy, yakni: "The Governmental Bureucracy is a group of formally organized offices and duties, linked in a complex grading subordinates to the formal rule maker" (Birokrasi pemerintah adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat aturan formal).

Adanya PP No. 41/2007 yang harus dilaksanakan paling lambat 27 Juli 2008 lalu membatasi jumlah besaran organisasi termasuk banyaknya dinas yang sekaligus juga akan berpengaruh pada batasan birokrasi yang cenderung banyak dan membutuhkan waktu yang lama dalam pelayanan.

Berdasarkan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi sekurang-kurangnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu sebagai berikut:

a. Birokrasi Pemerintah Umum, yaitu unit organisasi yang menjalankan tugas-tugas pemerintah umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah, ialah provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Tugas-tugas tersebut lebih bersifat "mengatur" atauregulatif function.

b. Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintah yang menjalankan salah satu bidang sektor khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, industri dan lain-lain. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function.

c. Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintah yang pada hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat, fungsi utamanya adalah service (pelayanan) langsung kepada masyarakat.

Pollit dan Hood menyatakan adanya perbedaan karakter antara swasta dan pemerintah. Perbedaan tersebut antara lain berkaitan dengan masalah pilihan publik, kepentingan publik, kepemilikan publik (Pollit, 1990; Hood, 1991)

Menurut Azhar Kasim, (1993) seperti yang dikutip oleh Soenarto Organisasi publik memang berbeda dengan organisasi bisnis karena organisasi publik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Organisasi publik tidak sepenuhnya otonomi tetapi dikuasai faktor-faktor eksternal.

2. Organisasi publik secara resmi diadakan untuk pelayanan masyarakat.

3. Organisasi publik tidak dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar sehingga merugikan organisasi publik lain.

4. Kesehatan organisasi publik diukur melalui:

a. Kontribusinya terhadap tujuan politik.

b. Kemampuan mencapai hasil maksimum dengan sumber daya yang tersedia.

5. Kualitas pelayanan masyarakat yang buruk akan memberi pengaruh politik yang        negatif/merugikan.

Meskipun organisasi publik merniliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis akan tetapi paradigma berupa Administrasi Publik yang dipelopori oleh Ted Gabler dan David Osborne dengan karyanya "Reinventing Government" telah memberikan inspirasi bahwa administrasi publik harus dapat beroperasi layaknya organisasi bisnis,yakni efisien, efektif dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

Menurut Denhardt dan Denhardt seperti yang dikutip oleh Islamy, "Public Servants do not deliver customer service: they deliver democracy" (Pegawai pemerintah tidak bekerja untuk melayani pelanggan, tetapi untuk mewujudkan demokrasi). Oleh karena itu, mereka menyatakan dengan tegas pula bahwa: "Government shouldn't be run like a business; it should be run like a democracy"(Pemerintahan seyogyanya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis: adil. merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel).

Menurut Denhardt dan Denhardt (2003) seperti yang dikutip oleh Islamy lahirnya New Public Service adalah merupakan jawaban atas kekurangan yang ada baik pada Old Public Administration(OPA) maupun New Public Management (NPM). Di mana karakteristik-karakteristik utama masing-masing paradigma tersebut adalah:

a. Karakteristik utama Old Public Administration (Denhardt dan Denhardt, 2003) antara lain adalah:

1. Administrasi publik punya peran yang terbatas dalam proses perumusan kebijakan publik, peran utamanya adalah rnengimplementasikan kebijakan publik;

2. Pemberian pelayanan dilaksanakan oleh para administrator yang harus bertanggung jawab kepada pejabat terpilih (pejabat politik) dan diberi diskresi yang sangat terbatas;

3. Program-program publik dikelola oleh organisasi yang hierarkhis di mana para pemimpinnya (manager) mengontrol dari atas ke bawah;

4. Tujuan utama yang hendak dicapai oleh organisasi pemerintahan adalah efisiensi dan rasionalitas;

5. Organisasi publik bila ingin efisien harus dikelola dengan sistem tertutup di mana keterlibatan warga masyarakat sangat terbatas;

6. Tugas utama administrasi publik adalah melaksanakan POSDCORB (planning, organinizing, staffing, directing, coordinating, reporting, and budgeting).

b. Karakteristik New Public Management (Hood, 1991) antara lain adalah:

1. Pelaksanaan tugas manajemen pemerintah diserahkan kepada para manajer profesional;

2. Kinerja diukur dengan standar dan ukuran kinerja yang jelas;

3. Lebih ditekankan pada pengawasan dan penilaian hasil/keluaran:

4. Pembagian tugas ke dalam unit-unit yang ada di bawah/desentralisasi;

5. Dikembangkannya semangat persaingan di tubuh sektor pemerintah;

6. Lebih menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor privat;

7. Lebih menekankan pada kedisiplinan yang tinggi dan tidak boros dalam menggunakan         pelbagai sumber.

c. Di dalam The New Public Service (NPS) terdapat tujuh prinsip (inti paradigma):

1. Melayanai warga, bukan pelanggan individu. Organisasi pemerintah memang dibuat untuk mewujudkan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan warga dan bukan kepentingan orang perorangan pelanggan apalagi kepentingan birokrasi. Pegawai pemerintah punya kewajiban untuk menghayati keadaan ini sebagai sebuah obligasi sehingga responsif terhadap kepentingan orang banyak, dan harus mampu memposisikan diri sebagai salah seorang warga yang juga punya kebutuhan dan kepentingan yang harus dipenuhi oleh pegawai pemerintah.

2.  Pentingnya nilai kepentingan publik. Kepentingan publik telah menjadi sebuah 'icon' yang paling menonjol dalam proses pelayanan publik. Aparat pelayanan harus mampu memahami dengan benar apa yang dimaksudkan dengan kepentingan publik itu, sebagai kondisi untuk menomor duakan kepentingan diri sendiri. Ia harus menampakkan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam memperjuangkan tercapainya kepentingan publik itu dalam proses pelayanannya. la harus melayani warga, bukan melayani dirinya sendiri.

3.  Menilai kewarganegaraan, bukan kewirausahaan. Memberikan pelayanan yang baik kepada warga adalah  segalanya bagi aparat pelayanan. Organisasi publik haruslah dinilai sebagai sarana bagi aparat pelayanan untuk memberikan yang terbaik bagi warganya. la bukanlah sebuah perusahaan yang bisa dipakai sebagai tempat mendapatkan keuntungan pribadi. Dedikasi adalah bentuk perilaku yang didambakan bagi setiap aparat pelayanan agar menjadi insentif bagi dirinya untuk mengabdikan dirinya kepada warga yang memang harus dilayani.

4.  Berpikir strategis dan bertindak demokratis.  Aparat pelayanan tidak harus semata-mata berpikir normatif dan instrumetal dalam memberikan pelayanan kepada warga. Ia harus mampu membuka diri dan mengundang pihak lain ikut ambil bagian dalam proses kebijakan baik perumusan, implementasi maupun evaluasi dampak secara bersama. Dengan demikian hasilnya diharapkan bisa lebih maksimal.

5. Pelaksanaan akuntabilitas tidak sederhana. Aparat pelayanan harus menyadari bahwa akuntabilitas kinerjanya bukan hanya dilihat dari bentuknya yang bersifat administratif raja, tetapi juga politis, legal, profesional, dan moral. Akuntabilitas kinerja pelayanan bersifat sangat kompleks, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur, berdimensi jamak, luas dan harus disajikan kepada banyak pihak. Ini adalah tanggung jawab yang berat tetapi tetap harus ditunaikan oleh aparat pelayanan yang baik.

6.  Melayani daripada mengarahkan. Aktivitas pelayanan yang baik tidak boleh semata-mata dijalankan lewat dominasi mekanisme perintah dan pengendalian. Yang lebih harus diutamakan adalah proses kepemimpinan yang didasarkan kepada nilai bersama sehingga kepentingan bersama bisa diwujudkan.

7.   Menilai orang bukan sekadar produktivitas. Tujuan perlu dicapai, tetapi proses mencapainya harus memperhatikan dan mengandalkan kolaborasi dan kepemimpinan yang mampu memberikan respek kepada semua orang. Tidak ada artinya produktivitas yang dicapai dengan merendahkan kontribusi dan kinerja orang

 

Pelayanan Publik

Pelayan publik disebut juga pelayanan umum. menurut Moenir5 setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain, bertujuan guna memenuhi kepentingan orang banyak disebut pelayanan umum.

Pelayan publik (public service) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dan fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dan kesejahteraan suatu negara (wealfare state).

Selanjutnya, yang dimaksud pelayanan umum menurut Keputusan Menpan Nomor 81 tahun 1993, adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa pelayanan umum (publik) adalah aktivitas pelayanan yang diberikan oleh alat Negara (birokrasi) dalam rangka pemenuhan kebutuhan rakyat sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang.

Pada hakikatnya pelayanan umum adalah merupakan usaha untuk meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah mendorong untuk mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayan, dan mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan.

Konsep-konsep dan prinsip-prinsip pelayanan yang berkualitas terus dikembangkan dengan harapan dapat di pahami dan bahkan dapat diterapakan dalam memberikan pelayanan yang memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, seperti adanya istilah Pelayanan Prima ini merupakan terjemahan dari istilah “Excellent Service", yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik. Hal-hal yang, perlu diperhatikan berkaitan dengan Pelayanan Prima:

1.  Pelayanan Prima baru ada, apabila ada standar pelayanan.

2.  Pelayanan Prima adalah pelayanan yang memuaskan pelanggan.

3.  Untuk instansi yang sudah mempunyai standar pelayanan, maka pelayanan prima adalah pelayanan yang sesuai dengan standarnya.

4.  Untuk instansi yang belum mempunyai standar pelayanan. maka pelayanan prima adalah pelayanan yang dianggap terbaik oleh instansi yang bersangkutan. tetapi harus dilanjutkan dengan menyususn standar pelayanan.

Dengan demikian, maka pelayanan prima adalah pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan dan memuaskan pelanggan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004, tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peran pemerintah dalam sektor publik lebih dominan daripada sektor swasta.7 Menonjolnya peran pemerintah itu bukan saja dapat kita ukur dari ragam birokrasi dan besamya jumlah pegawai negeri yang dipekerjakan, tapi dapat diukur dari besarnya dana/investasi yang ditanamkan dalam sektor-sektor produksi dan pengaruh politik, pemerintah pun sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Mengingat fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pemerintah itu sebagian besar di antaranya secara, langsung atau tidak menyangkut pelayanan publik. maka dengan sendirinya distribusi atas paket-paket pelayanan yang disediakan oleh pemerintah itu pada umumnya akan dilakukan melalui struktur dan mesin birokrasi pemerintah (Schaffer, 1986). Dalam keadaan demikian maka penyediaan atau alokasi pelayanan publik itu mau tidak mau sepenuhnya akan dikontrol oleh instansi pemerintah. Atas dasar itu maka secara tak terelakkan birokrasi pemerintah biasanya akan merupakan a single agency yang memainkan peran kunci dalam memberikan pelayanan sekaligus mengevaluasi efektivitas kinerja sendiri.

Menurut Osborne dan Plastrik, 8 Citizen's Charter mengartikulasikan enam prinsip, yang menjadi harapan anggota masyarakat":

 Standar: Menetapkan, memantau dan mempublikasikan standar eksplisit jasa yang bisa diharapkan oleh pengguna. Mempublikasikan kinerja aktual dibandingkan dengan standar tersebut.

2. Informasi dan keterbukaan: Informasi yang akurat dan lengkap mengenai bagaimana pelayanan publik dilakukan. berapa biaya, seberapa baik mereka akan melakukannya , dan siapa yang bertanggung jawab, tersedia bahasa yang sederhana.

3. Pilihan dan kosultasi: Sektor Pemerintah harus menyediakan pilihan apabila memang praktis. Harus ada konsultasi yang teratur dan sistematis dengan pengguna jasa. Pandangan pengguna mengenai jasa, dan prioritas untuk perbaikannya, harus dipertimbangkan dalam keputusan final mengenai standar.

4. Ketulusan dan keramahan: Pelayanan yang tulus dan ramah dari pegawai negeri yang biasanya menggunakan tanda nama. Pelayanan yang ramah dan tulus harus tersedia bagi siapa saja yang datang kepadanya.

5. Meletakkan secara tepat: Jika ada sesuatu yang salah, perlu ada permintaan maaf,  penjelasan yang lengkap dan ketangkasan serta pemulihan yang efektif. Prosedur keluhan yang dipublikasikan dengan jelas serta mudah diikuti dengan kajian dari orang yang independen, apabila mungkin.

     6. Nilai untuk uang: Penyampaian pelayanan publik yang efektif dan ekonomis dalam batas-batas sumber daya yang bisa disediakan oleh negara. Perlu ada validasi kinerja terhadap standar.

Sudah menjadi fenomena umum bahwa untuk mendapatkan layanan yang memuaskan biasanya kita harus mengeluarkan uang ekstra untuk itu. Padahal aparat birokrasi telah dibayar untuk tugas-tugas tersebut. Menurut Islamy, 4 masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya tetapi sering kali hak-haknya terpasung oleh aparat pelayanan. Hal seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan keluhan dari masyarakat. Dan yang ironis sering kali ketika dalam suasana ketidakberdayaan semacam ini, publik tidak memiliki alternatif pilihan lain.

Monopoli birokrasi terhadap layanan publik menyebabkan mereka sulit dikontrol dan sering kali bersikap arogan. Mereka menganggap bahwa pihak masyarakat yang membutuhkan pelayanan bukan sebaliknya. Dan akibat pandangan seperti itu posisi tawar publik menjadi semakin lemah. Menurut Widodo,9 birokrat cenderung sulit untuk dikontrol karena memiliki sumber daya lebih menjadikan mereka berada pada posisi 'favourable", ketimbang pihak yang melakukan kontrol.

Menurut Parasuraman et al., (1988) seperti yang dikutip oleh Nogi S,10 lima modifikasi dimensi pokok yang berkaitan dengan kualitas suatu jasa atau pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan adalah:

I. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, penampilan personel, dan sarana komunikasi:

Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan;

Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan untuk memberikan pelayanan dengan tanggap;

Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh staf;

5. Empati (Emphaty), meliputi kemudahan dalam hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Moenir,5 menegaskan agar pelayanan dapat memuaskan orang atau kelompok orang lain yang dilayani, maka pelaku yang bertugas melayani harus memenuhi empat kriteria pokok yaitu:

1. Tingkah laku yang sopan;

2. Cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan;

3. Waktu yang menyampaikan yang tepat;

4. Keramahtamahan.

Menurut Goetsch dan Davis (1994) seperti yang dikutip oleh Nogi S.1° kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa. manusia, dan lingkungan yang memenuhi atau yang melebihi harapan.

Indikator pelayanan publik yang baik menurut SuksmaningsihI I ialah sebagai berikut:

Keterbukaan, artinya informasi pelayanan yang meliputi petunjuk, sosialisasi, saran dan kritik dapat dilihat dan diakses oleh publik;

Kesederhanaan artinya adanya persedur dan persyaratan pelayanan yang jelas dan sederhana;

Kepastian, artinya adanya kepastian mengenai waktu biaya dan petugas pelayanan:

Keadilan. artinya adanya persamaan perlakuan pelayanan;

Keamanan dan Kenyamanan, artinya adanya hasil produk pelayanan yang memenuhi kualitas teknis (aman) dan penataan ruangan dan lingkungan kantor terasa fungsional, rapi, bersih, dan nyaman;

Perilaku Petugas Pelayanan, artinya seorang petugas harus tanggap, peduli serta memiliki disiplin dan kemampuan dalam memberikan pelayanan. Selain itu petugas pelayan harus ramah dan sopan;

Untuk bisa memberikan pelayanan yang bermutu (service quality), sesuai dengan paradigma the New Public Service, menurut Denhardt dan Denhardt seperti yang dikutip oleh Islamy,4 pemerintah perlu memperhatikan 8 prinsip pelayanan yang bermutu, yakni:

a.   Convenience: ukuran yang menunjukkan tingkat sejauhmana pelayanan yang diberikan pemerintah dapat diakses dan tersedia mudah oleh warga;

b.   Security: ukuran yang menunjukkan tingkat sejauhmana pelayanan-pelayanan yang diberikan menjadi warga merasa aman dan yakin bila menggunakannya;

c.   Reliability: menilai tingkat sejauhmana pelayanan pemerintah dapat disediakan secara benar dan tepat waktu;

d.   Personal attention: mengukur sejauhmana pelayanan pemerintah dapat diinformasikan oleh aparat dengan tepat kepada, warga dan aparat bisa bekerja sama dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhannya;

e.  Problem solving approach: mengukur tingkat sejauhmana aparat pelayanan mampu menyediakan informasi bagi warga untuk mengetahui masalahnya;

f.   Fairness: ukuran untuk menilai sejauhmana warga percaya bahwa pemerintah telah menyediakan pelayanan dengan cara yang adil bagi semua orang;

 

g.  Fiscal responsibility: ukuran untuk menilai sejauhmana warga percaya bahwa pemerintah telah menyediakan pelayanan dengan cara menggunakan uang publik dengan penuh tanggung jawab; dan

h.  Citizen influence: mengukur sejauh mana warga merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi mutu pelayanan yang mereka terima dari pemerintah.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Tiap-tiap pelayanan publik harus mengedepankan prinsip-prinsip sebagai berikut.

I . Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan.

Persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik.

Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyesuaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik.

Perincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

3. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.

4. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum

5. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggara pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

6. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomonikasi dan informatika (telematika).

7. Kemudahan Akses, tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomonikasi dan informatika.

8. Kedisiplinan, kesopanan dan Keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan iklas.

9. Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2,/2004, tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Men.PAN Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, yang kemudian dikembangkan menjadi 14 unsur yang"relevan, valid” dan. "reliabel”, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut.

1.     Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan;

2.     Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dari administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya;

3.     Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama. jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya):

4.     Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;

5.     Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan;

6.     Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat;

7.     Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan;

8.     Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status d

masyarakat yang dilayani;

9.     Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta Baling menghargai dan menghormati;

10.    Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;

11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan;

12.      Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;

13.    Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan;

14.      Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan atau pun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap risiko-risiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

SIMPULAN

Untuk merekonstruksi hasil temuan dan menyusun konsepsi yang baik maka sebaiknya pengambil kebijakan harus melakukan analisis secara simultan. Selanjutnya dilakukan analisis lintas situs. Analisis tersebut dimaksudkan untuk menyususn konsepsi sistematis berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi teoritis yang bersifat naratif berupa simpulan sebagai temuan akhir. 

Pelayanan publik sejak dahulu mempunvai konotasi yang buruk, masalahnya adalah karena pelayan publik selalu berhadapan dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis atau selalu berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Semakin kompleksitas kehidupan dan kebutuhan masyarakat maka semakin besar pula peran negara dalam menangani perkembangan tersebut. Monopoli dalam hal ini menempatkan Negara sebagai pengelola tunggal atas urusan-urusan publik. Dari peristiwa ini kemudian lahirlah monopoli Negara terhadap urusan-urusan publik. Ironisnya monopoli tersebut juga telah melahirkan berbagai macam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, KKN serta berakibat pada tidak berpihaknya orientasi pelayanan kepada publik melainkan keberpihakan pada kepentingan birokrasi itu sendiri.

Perkembangan masyarakat yang semakin dinamis, kritis. dan kreatif melahirkan tuntutan-tuntutan baru yang harus direspons secara positif. Dengan selalu memperhatikan kenyataan ini, maka perbaikan dalam pelayanan publik harus terus dilakukan yang, meliputi organisasi, manajemen, sistem, prosedur dan metode kerja, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, dan penerapan teknologi informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. Reformasi Pelayanan Publik. Kajian dari Perspektif Teori Governance (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar) Danar Wijaya. Universitas Brawijaya Press. Malang. 2000.

Caiden Gerald E. 1991. Administrative Reform Comes of Age. New York: Walter de Gruiter & Co.

Denhardt JV dan Denhardt RB, The New Public Service: Serving, not Steering. Armonk: M.E.Sharpe. 2003.

Depdagri. 2007. Pedoman Grand Strategy Otonomi Daerah. Jakarta: Depdagri

Frederickson HG. New Public Administration, diterjernahkan oleh Al Ghozali: Administrasi Negara Baru, Jakarta: I-P3ES. 1988.

Hood, C. 1991. A Public Management for All Seasons. Public Administration, Vol. 69 No.1, p. 3-19

Islamy, M. Irfan, Manajemen Perubahan di Sektor Publik, Universitas Brawijaya Malang. 2006.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Menpan Nomor: 81 tahun 1993.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/ KEP/M PAN17/2003. tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004, tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Lukinan. Sampara, dan Sutopo.2003. Pelayanan Prima, Lembaga Administrasi Negara, RI, Jakarta.

Moenir HAS. 1998.  Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Nogi S, Tangkilison Hessel. 2005. Manajemen Pelayanan Publik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Osborne, David, dan Plastrik Peter. 2004. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta: PPM. 2004.

Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Massaachussetts: A. William Patrick. Book-Anderson-Wesley Publishing Company Inc.

Pollitt, C. 1990. Managerialism and Public Services: The Anglo-American Experiences. Oxford: Basil Blackwell.

Pollitt Christopher and Bouckaert Geert. 2000. Public Management Reform: A Comparative Analysis. New York: Oxford University Press.

Soenarto, Otonomi Daerah dan Pelayanan Publik. Buletin Pengawasan No. 30 & 31 Th. 2001. http//www.pu.go.id/itjcn/buteiin/303Iotoda.     turn

Soeprapto HR. Riyadi, Hand Out PAT. 2005. Pengantar Ilmu Administrasi Publik, Prograin Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang,.

Suksmaningsih, Indah. 2001. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Umum, Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Kepegawaian Negara.

Wasistiono. Sadu. 2002. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pernerintahan Daerah, Bandung: FOKUSMEDIA

Widodo, Joke. 2001.  Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cedekia.

 

Pelayanan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah dinamika dan problematika

1. 1 PELAYANAN PUBLIK DI ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH : DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA Indra Mudrawan Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia E-mail: nda_me@yahoo,com PENDAHULUAN Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan Hoessein, (2001): Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.

2. Dengan otonomi daerah diharapkan, pemberian pelayanan kepada masyarakat akan dapat terwujud secara efektif dan efisien. Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus- menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan

3. 3 unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Banyak contoh yang dapat diidentifikasi; seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990)

mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing. Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Padahal pemerintah seharusnya melayani bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003). Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut.

4. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia, menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. KONSEPSI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Isu Desentralisasi dan otonomi daerah adalah isu yang paling aktual setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Daya tarik tersebut tidak hanya karena desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi, tetapi lebih dititik beratkan pada kebijakan pemerintah Orde Baru yang sangat sentralistik. Konsep desentralisasi memiliki dua pengertian yaitu desentralisasi politik dan desentralisasi administratif. Desentralisasi politik diartikan sebagai penyerahan kewenangan yang melahirkan daerah-daerah otonom, sedangkan desentralisasi administratif merupakan penyerahan kewenangan pelaksanaan implementasi program yang melahirkan wilayah-wilayah administratif, atau dengan kata lain pendelegasian sebagian dari wewenang untuk melaksanakan program terhadap tingkat yang lebih bawah. (Ichlasul Amal; 1990, 8). Kebutuhan terhadap desentralisasi menurut Cheema and Rondinelli (1983) didorong oleh beberapa faktor, yaitu:

5. 5 (1) Kegagalan atau kurang efektifnya perencanaan yang terpusat dan pengawasan sentral dalam pembangunan (2) Lahirnya teori-teori pembangunan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan manusia. (3) Semakin kompleksnya permasalahan masyarakat yang tidak mungkin lagi dikelola secara terpusat. Lebih lanjut Ryass Rasyid mengatakan tentang desentralisasi bahwa “negara yang sentralistik cenderung tidak mampu menjawab secara cepat dan tepat semua kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dan daerah” Paradigma pemerintahan dewasa ini berubah dengan pesat dan ada 5 (lima) pokok perubahan itu, yaitu : (1) Sentralisasi ke desentralisasi perencanaan pembangunan. (2) Pemerintahan besar ke pemerintahan kecil (Big Goverment ke Small Government) (3) Peningkatan Tax ke penuntunan Tax (4) Privatisasi pelayanan (service), dan (5) Social capital ke individual Capital (Rasyid; 1997, 8) Pandangan

tersebut adalah langkah antisipasi menyikapi perubahan (globalisasi dan demokratisasi) yang melanda kawasan dunia. Maka terhadap kekuatan tersebut bagi negara yang berbentuk kesatuan maupun federal jawabannya adalah “Desentralisasi”. Setiap makhluk hidup memerlukan otonomi, demikian juga kelompok termasuk negara dan daerah memerlukan otonomi. Jadi otonomi adalah: Suatu kesatuan sosial di namakan otonomi manakala terdapat suatu kesatuan tertentu, yang bebas bertindak atau memilih

6. untuk bertindak, atau tidak melakukan jika menyukai untuk melakukannya (Susilo; 2000, 8). Selanjutnya Tri Ratnawati mengklasifikasikan 4 (empat) tujuan utama desentralisasi, yaitu; (1) Bidang Ekonomi; dalam rangka mengurangi: cost dan menjamin pelayanan publik lebih tepat sasaran; (2) Bidang Politik; dalam upaya mengembangkan grassroots democracy dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan oleh pusat serta diharapkan mencegah disintegrasi nasional; (3) Bidang administrasi; dalam rangka red tape birokrasi dan pengambilan keputusan menjadi lebih efektif; (4) Bidang Sosial Budaya; mengembangkan kebhinekaan dan budaya lokal (Jurnal Otonomi Daerah; 2002, 2). Sementara itu menyangkut otonomi, secara filosofis ideologis dipandang sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan tumbangnya partisipasi yang luas bagi masyarakat dan mendorong agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa harus tergantung kepada pemerintah pusat (Siti Zuhro; 1990, 18). Arti pentingnya otonomi juga dikemukakan oleh Kenichi Ohmae bahwa otonomi adalah kata kunci untuk memajukan perekonomian negara untuk masa-masa kedepan. Dan batas negara akan ditembus oleh 4 (empat) faktor yaitu investment, individual consumers, Industri and information. (Jurnal Otonomi Daerah; 1999, 18).

7. 7 KONSEPSI PELAYANAN PUBLIK Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Menyimak pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian “umum” atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan dalam pengertian “negara” salah satunya adalah public authorities (otoritas negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan negara) dan public sector (sektor negara) . Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang

8. mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service sebagai “a service such as transport or health care that a government or an official organization provides for people in general in a particular society”. Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu: a. keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan kepercayaannya; b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi. Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya dari pelayanan swasta adalah:

9. 9 a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi dan lain sebagainya. b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional. Contohnya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta. c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal. d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan. e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki

10. pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing. Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible), barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai. Walaupun demikian

dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan. Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya. Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.

11. 11 Tabel. 1 Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa Barang Jasa Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud Satu jenis barang dapat berlaku untuk banyak orang (homogen) Satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sesuai /sama dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen) Proses produksi dan distribusinya terpisah dengan proses konsumsi Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung ber-samaan pada saat dikonsumsi Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli. Pembeli pada umumnya tidak terlibat dalam proses produksi Pembeli terlibat dalam proses produksi Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan Sumber: Gronroos (1990) Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan

12. dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada pengurangan kualitas maupun kuantitasnya. Tabel. 2 Pengelompokan Barang dan Jasa berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption Exclusion Consumption Konsumsi Individual Konsumsi Kolektif Mudah mencegah orang lain untuk ikut menikmati Barang privat Barang semi publik Sulit mencegah orang lain untuk ikut menikmati Barang semi privat Barang publik Sumber : Savas, (1987) Barang Privat. Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dipeoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi pembelian. Contoh : makanan, pakaian. Barang semi privat. Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa

13. 13 disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah orang lain untuk tidak ikut mendengarkan. Barang semi publik. Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut. Semakin

sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dangan ciri barang publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik. Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang. Barang publik. Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna) pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah. Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: a. Pendidikan.

14. b. Kesehatan. c. Keagamaan. d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan. e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme. f. Sosial. g. Perumahan. h. Pemakaman/krematorium. i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian. j. Air minum. k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll. Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan administratif 2. Pelayanan barang 3. Pelayanan jasa Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16) sebagai berikut: 1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. 2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian

15. 15 tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas. 3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. 4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai- nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana yang murni dikerjakan oleh pemerintah PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH : DINAMIKA DAN PROBLEMATIKANYA Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya

16. sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: 1. lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat; 2. lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama; 3. menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas; 4. terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan; 5. lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat; 6. memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya; 7. lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; 8. lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan dan ;

17. 17 9. menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: a. memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya; b. memiliki wide stakeholders; c. memiliki tujuan sosial; d. dituntut untuk akuntabel kepada publik; e. memiliki complex and debated performance indicators, serta ; f. seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003) Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang isinya akan memuat standar pelayanan minimum. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya.

18. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani. Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003): 1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan

tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. 2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat. 3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

19. 19 4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. 5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. 6. Kurang mau mendengar keluhan/saran /aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. 7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

20. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003). Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi, 2004). Beberapa kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Sementara karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar bersifat monopoli sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan pasar menjadikan lemahnya perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih

21. 21 buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini. Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan. Selain itu, terdapat lima gap yang perlu diperhatikan dalam setiap pelayanan publik, (Parasuraman, 1985) yaitu: (1) kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen, (2) persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dengan apa yang ditangkap oleh bawahan/ karyawannya, (3) konsep pelayanan yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen, (4) tindakan dari pemberi layanan dengan jasa yang dipersepsikan oleh konsumen, dan (5) Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service). Bagaimana kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat pada model berikut ini.

22. KESENJANGAN PELAYANAN

23. 23 Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi manajemen (Management Perception of Customer Marketing Research Orientation Upward Communication Levels of Management Management Commitment to Service Quality Goal Setting Task Standardization Perception of Feasibility Teamwork Employee-Job Fit Technology-Job Fit Perceived Control Role Ambiguity Horizontal Communication Propensity to Overpromise GAP 1 GAP 2 GAP 3 GAP 5 (Service Quality) Tangibles Reliability Responsiveness Assurance Empathy GAP 4 Supervisory Control System Role Conflict Sumber: Delivering Quality Service, Parasuraman, et. al., (1985)

24. Expectation). Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor munculnya kesenjangan ini. 2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan. 3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas

pelayanan (Service Quality Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery). Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan.

25. 25 Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta kurang kerjasama internal. 4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service Delivery). Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam organisasi. 5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service). Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat kepuasan masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan kesenjangan sebelum-nya, kesenjangan kelima ini menitikberatkan pada sisi pelanggan Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara kita ini, kiranya harus dicarikan jalan keluar yang terbaik antara lain dengan memperhatikan gap-gap/kesenjangan- kesenjangan tersebut di atas sehingga permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir; sehingga ke depan, kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima. Dalam hal untuk menggali pandangan masyarakat terhadap mutu pelayanan yang diberikan oleh aparatur yang didasarkan pada beberapa kategori, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meiliputi beberapa unsur, di antaranya: Pertama, tangibility, yaitu

26. berupa kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik yang kasat mata, dengan indikator-indikatornya yang meliputi sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan. Kedua adalah reliability, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menyediakan layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses waktu pelayanan keluhan. Ketiga, bertitik tolak dari kemampuan dan kehandalan yang dipunyai, untuk selanjutnya indikator kualitas pelayananpun harus ditunjang dari sisi responsiveness-nya, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen. Keempat adalah assurance, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah dengan adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan. Kelima adalah empathy, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat (konsumen). Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung. Namun demikian, berbagai cara yang diusulkan di atas, tidak dapat terlaksana dengan sempurna apabila prasyarat utama

27. 27 diabaikan. Prasyarat tersebut meliputi 5 (lima) aspek seperti di bawah ini yaitu (Parasurarman, 1985): a. Proses dan prosedur. Proses dan prosedur pelayanan dapat meliputi

prosedur pelayanan langsung kepada pelanggan, dan proses pengolahan pelayanan yang merupakan proses internal dalam menghasilkan pelayanan. Dalam proses dan prosedur ini meliputi seluruh aktifitas kegiatan pelayanan secara berurutan dimulai dengan aktifitas yang dilakukan ketika pertama kali pelanggan datang, dan bahkan setelah pelayanan itu selesai (after service.) b. Persyaratan pelayanan. Persyaratan pelayanan merupakan hal- hal yang harus dipenuhi oleh pelanggan untuk mendapatkan pelayanan. Persyaratan pelayanan dapat berupa dokumen atau surat-surat. Persyaratan pelayanan perlu diidentifikasi dari tiap aktifitas pelayanan sehingga untuk keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelanggan termasuk biaya total yang harus dibayar oleh pelanggan. c. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sarana pelayanan merupakan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam rangka memberikan pelayanan. Sarana yang digunakan dapat merupakan sarana yang utama dan sarana pendukung. Sarana utama merupakan sarana yang disediakan dalam rangka proses pelayanan yang meliputi antara lain berbagi fomulir, fasilitas pengolahan data. Sedangkan sarana pendukung adalah fasilitas yang pada umumnya disediakan dalam rangka memberikan

28. pelayanan pendukung antara lain seperti penyediaan fasilitas ruang tunggu yang nyaman, pemyediaan layanan antaran dan lain-lain. Sedangkan prasarana merupakan berbagai fasilitas yang mendukung sarana pelayanan anatara lain berupa jalan menuju kantor pelayanan. d. Waktu dan Biaya Pelayanan. Dengan ditentukannya waktu dan biaya yang terpakai untuk setiap aktifitas yang dilakukan pada proses pengolahan, maka akan dapat ditentukan waktu dan biaya yang akan digunakan untuk melayani satu jenis pelayanan sejak awal pelanggan menemui petugas pelayanan sampai pelayanan selesai dilakukan. e. Pengaduan Keluhan. Pengaduan keluhan merupakan mekanisme yang dapat ditempuh oleh pelanggan untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diterima.Pengaduan keluhan merupakan hal yang sangat penting mengingkat perbaikan kualitas pelayanan terus menerus tidak lepas dari masukan pelanggan yang biasanya dalam bentuk keluhan. PENUTUP Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit",

29. 29 "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya. Kuatnya komitmen kepemimpinan khususnya para kepala daerah dengan didukung oleh staf atau tim internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra dialog kepala daerah, secara signifikan akan mampu mengoptimalisasi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik di daerahnya. Tim internal pemerintah daerah yang bersangkutan berposisi sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya. Tim tersebut dapat terdiri dari para kepala dinas atau pejabat-pejabat yang memiliki visi dan misi

serta strategis yang sama dengan Kepala Daerah yang bersangkutan. Selain tim internal pemerintah daerah, seyogyanya keterlibatan stakeholder lainnya (tim eksternal) perlu dilibatkan guna memberikan masukan, evaluasi dan saran-saran yang berguna bagi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik. Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu. Guna menjalankan organisasi memerlukan

30. daya dukung keuangan dan teknologi maju terutama di bidang ICT dan tampilan fisik seperti gedung yang feasible dapat mempengaruhi citra kuatnya komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakatnya. Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi, dan memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara warga dengan pemberi pelayanan terbina secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih terbuka, jujur, transparan, serta tidak diskriminatif. DAFTAR PUSTAKA Atep, Adya Barata, 2003, Dasar-Dasar Pelayanan Prima, Gramedia, Jakarta. Berry, Leonard, L., A, Parasuraman., 1991, Marketing Services : Competing Through Quality, 1th ed. New York; The Free Press. Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta. Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Flyn, N, 1990, Public Sector Management, Harvester Wheatsheaf, London. Hanif, Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta. Hoessein, Benyamin, 2001, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara : Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah

31. 31 Dalam Kerangka Good Governance, Lembaga Administrasi Negara. Leach S., Stewart, J., Walsh,K. 1994, The Changing Organization and Management of Local Government, McMillan Press Ltd, London. Lovelock., Christopher., 1994, Product Plust, Mc Graw-Hill, New York Mohammad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima dalam Kapasitas PNS sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, 23 Oktober 2003, Jakarta. Mustopadidjaja, AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana pada Program Magister Manajemen Pembanggunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Universitas Mulawarman, 15 Januari 2002, Samarinda. Osborne, David & Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector Reading, Massachussetss : A William Patrick Book. Parasuraman, A., Valerie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A conceptual Model of Service Quality and It’s Implication for Future Research, Journal Marketing. Suprijadi, Anwar, 2004, Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur dalam Pelayanan Publik, disampaikan pada Peserta DiklatpimTingkatII Angkatan XIII Kelas A dan B,Jakarta. Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur NegaraNo. 63/KeP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.