tesis jadi

102
MODIFIKASI ZEOLIT ALAM SEBAGAI MATERIAL MOLECULAR SIEVE DAN APLIKASINYA PADA PROSES DEHIDRASI BIOETANOL KHAIDIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: independent

Post on 05-Feb-2023

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

MODIFIKASI ZEOLIT ALAM SEBAGAI MATERIAL

MOLECULAR SIEVE DAN APLIKASINYA PADA

PROSES DEHIDRASI BIOETANOL

KHAIDIR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modifikasi Zeolit Alam sebagai

Material Molecular Sieve dan Aplikasinya pada Proses Dehidrasi Bioetanol

adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Khaidir

NIM. F351070031

iv

v

ABSTRACT

KHAIDIR. Modification of Natural Zeolite into Molecular Sieve Material and Its

Application in Bioethanol Dehydration. Under the Supervision of DWI

SETYANINGSIH and HERY HAERUDIN.

Bioethanol dehydration process carried out using modified zeolites. Modifications

made to improve the physical properties of natural zeolites, including pore size,

chemical composition, and the ratio of Si/Al, so that the hydrophilic and become

more effective in water adsorption. The objective of this study was to examine the

methods in the modification of natural zeolite structure to obtain suitable

characteristics for bioethanol dehydration, to get the best conditions of bioethanol

dehydration, and to know the grades increase of bioethanol and adsorption

capacity for each sample of modified zeolites. The natural zeolites were modified

through hydrothermal synthesis at the temperature of 95 - 100o C, while the

bioethanol dehydration process was carried out using a distillation system and

batch adsorption. The modified zeolites mostly turned into zeolite type A in the

form of sodium aluminosilicate. Zeolite samples leading to the structure of zeolite

NaA were ZAM2, ZAM3, ZAM5 and ZAM6. The content of ethanol in

bioethanol increased after the adsorption process of each zeolite sample. The

ability of modified natural zeolites (ZAM2 and ZAM5) to increase the grade of

bioethanol was better compared with that of purely natural zeolites (without

modification), and this was also the case with their capacity of water adsorption in

the bioethanol sample. The increased percentages of bioethanol grades in the

immersion method using ZAM2 and ZAM5 with bioethanol of 90% were

respectively 1.22% and 1.38%, while with bioethanol of 95% the percentages

were 1.27% and 1.08%. Meanwhile, the resulted levels of bioethanol using purely

natural zeolites with bioethanol of 90% and 95% were respectively 0.62% and

0.72%. The maximum capacity of adsorption was 17.67% for ZAM5 in the

immersion with bioethanol of 90% for 24 hours. In general, the grade of ethanol

increased after the adsorption process that uses all the modified zeolite samples.

Keywords: bioethanol, dehydration, modified zeolite, zeolite A

vi

vii

RINGKASAN

KHAIDIR. Modifikasi Zeolit Alam sebagai Material Molecular Sieve dan

Aplikasinya pada Proses Dehidrasi Bioetanol. Dibimbing oleh DWI

SETYANINGSIH dan HERY HAERUDIN.

Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula).

Bioetanol yang dihasilkan sangat tidak murni, sehingga memerlukan pengolahan

lebih lanjut (Clark 2007). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar

(biofuel) perlu dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade

ethanol (FGE). Bioetanol sebagai campuran bahan bakar harus betul-betul kering

(anhidrat) supaya tidak korosif. Jika bioetanol masih mengandung air sebesar 4 –

5% akan mempengaruhi kinerja mesin dan dapat menyebabkan terjadinya korosi.

Proses dehidrasi dilakukan untuk memperoleh etanol dengan kadar lebih besar

dari 99%.

Penggunaan zeolit alam dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi masih terbatas

karena distribusi pori yang tidak seragam dan bukan merupakan jenis zeolit

tunggal. Zeolit alam Indonesia merupakan campuran dari beberapa senyawa kimia

pembentuk batuan. Zeolit 3A (Z3A) memiliki ukuran pori 3Å dengan rasio Si/Al

adalah 1,0. Zeolit dengan kandungan alumina yang tinggi akan bersifat hidrofilik,

sebaliknya zeolit dengan kandungan silika tinggi bersifat hidrofobik (Flanigen

1980). Rasio Si/Al dalam zeolit alam adalah 5,62, sehingga menyebabkan zeolit

alam kurang hidrofilik dibandingkan dengan Z3A.

Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi struktur zeolit alam untuk

mendapatkan zeolit dengan rasio Si/Al mendekati 1,0 dengan distribusi ukuran

pori yang seragam dan hampir sama dengan Z3A. Zeolit hasil modifikasi

diharapkan dapat digunakan pada proses adsorpsi dan dehidrasi terutama dalam

proses pemurnian bioetanol kualitas bahan bakar.

Modifikasi zeolit dilakukan melalui sintesis hidrotermal pada temperatur 95 –

100oC. Proses modifikasi dilakukan melalui aluminasi zeolit menggunakan

beberapa sumber alumina. Sumber alumina yang digunakan adalah aluminium

oksida, aluminium nitrat, tawas, dan kaolin. Zeolit hasil modifikasi diberi kode

ZAM1, ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan ZAM6. Karakterisasi yang dilakukan

meliputi analisis komposisi kimia menggunakan X-Ray Fluorescence (XRF) dan

Energy Dispersive X-Ray (EDX), struktur zeolit menggunakan XRD, sedangkan

luas permukaan, volume dan diameter pori menggunakan Pore Size Distribution

Analysis (PSDA).

Proses dehidrasi bioetanol dilakukan menggunakan metode destilasi dan

perendaman (batch adsorption) dengan kadar bioetanol umpan adalah 90 dan

95%. Metode destilasi dilakukan menggunakan ZAM1, sedangkan metode

perendaman dilakukan menggunakan ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan ZAM6.

Analisis statistik dilakukan terhadap data peningkatan kadar bioetanol dan

kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air pada percobaan proses dehidrasi

menggunakan metode perendaman.

Hasil karakterisasi terhadap sampel zeolit menunjukkan bahwa terjadi

penurunan rasio Si/Al dalam sampel zeolit hasil modifikasi. Luas permukaan

viii

sampel zeolit yang dihasilkan berdasarkan pendekatan isoterm adsorpsi BET

(Bunauer, Emmett, & Teller) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan sampel

zeolit alam murni, begitu juga dengan volume porinya kecuali ZAM1. Diameter

pori sebelum dan setelah modifikasi tidak terjadi perubahan yang signifikan,

artinya ukuran pori zeolit hasil modifikasi masih mendekati ukuran pori sampel

zeolit alam. Berdasarkan pada pola difraksi sinar-X yang diperoleh, zeolit yang

dimodifikasi sudah mengarah pada pembentukan zeolit A dalam bentuk sodium,

antara lain ZAM2, ZAM3, ZAM5 dan ZAM6. Namun, hasil yang diperoleh masih

belum murni dan diduga masih merupakan campuran dari beberapa jenis zeolit

seperti klinoptilolit, filipsit, natrolit, dan mordenit.

Aplikasi zeolit hasil modifikasi pada proses dehidrasi bioetanol menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan kadar bioetanol setelah proses adsorpsi. Kemampuan

zeolit alam modifikasi (ZAM2 dan ZAM5) dalam menaikkan kadar bioetanol

lebih baik jika dibandingkan dengan zeolit alam murni (tanpa modifikasi). Begitu

juga dengan kapasitas adsorpsinya terhadap air dalam sampel bioetanol.

Persentase kenaikan kadar bioetanol menggunakan ZAM2 dan ZAM5 pada

metode perendaman dengan bioetanol 90% berturut-turut adalah 1,22 % dan

1,38%, sedangkan pada bioetanol 95% adalah 1,27% dan 1,08%. Sementara itu,

kemampuan peningkatan kadar bioetanol menggunakan zeolit alam murni pada

bioetanol kadar 90% dan 95% berturut-turut adalah 0,62% dan 0,72%. Kapasitas

adsorpsi air maksimum adalah 17,67% yang dimiliki oleh ZAM5 pada perlakuan

perendaman dalam bioetanol 90% selama 24 jam, namun masih kurang selektif

jika dibandingkan dengan zeolit sintetis (Z3A).

Kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air dalam bioetanol dari semua jenis

zeolit yang digunakan tidak mengalami penurunan yang siginifikan pada saat

digunakan kembali pada proses dehidrasi. Kemampuan zeolit setelah regenerasi

hampir sama dengan pada saat penggunaan pertama, dengan kata lain zeolit

tersebut masih layak untuk digunakan kembali pada proses dehidrasi bioetanol

selanjutnya. Kapasitas adsorpsi sampel zeolit hasil modifikasi terhadap air dalam

bioetanol sudah menunjukkan hasil yang cukup bagus jika dibandingkan dengan

sampel zeolit alam. Bahkan kapasitas adsorpsi zeolit alam modifikasi melebihi

kapasitas adsorpsi zeolit 3A, namun kelemahan dari zeolit alam modifikasi adalah

masih mengadsorpsi bioetanol dalam jumlah yang besar pula. Hal ini terlihat dari

berkurangnya jumlah bioetanol setelah proses adsorpsi menggunakan ZAM3,

ZAM4, dan ZAM5. Jika dibandingkan dengan proses dehidrasi menggunakan

metode destilasi, maka metode perendaman (batch adsorption) masih kurang

bagus karena menyebabkan terjadinya pengurangan volume bioetanol yang cukup

besar.

Kata kunci: bioetanol, dehidrasi, zeolit termodifikasi, zeolit A

ix

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah.

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

x

xi

MODIFIKASI ZEOLIT ALAM SEBAGAI MATERIAL

MOLECULAR SIEVE DAN APLIKASINYA PADA

PROSES DEHIDRASI BIOETANOL

KHAIDIR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

xii

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ono Suparno, STP, MT.

xiii

Judul Tesis : Modifikasi Zeolit Alam sebagai Material Molecular

: Sieve dan Aplikasinya pada Proses Dehidrasi Bioetanol

Nama Mahasiswa : Khaidir

NIM : F351070031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Dr. rer.nat. Hery Haerudin

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 8 Juli 2011 Tanggal Lulus :

xiv

xv

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan

judul “Modifikasi Zeolit Alam sebagai Material Molecular Sieve dan Aplikasinya

pada Proses Dehidrasi Bioetanol”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si

dan Bapak Dr.rer.nat Hery Haerudin selaku komisi pembimbing yang telah

dengan sabar memberikan bimbingan, bantuan, serta motivasi baik berupa moril

maupun materil selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tesis,

kepada Bapak Dr. Ono Suparno, STP, MT, terima kasih atas kesediaannya

sebagai penguji luar komisi dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat

terhadap hasil penelitian, terima kasih juga kepada Ibu Dr. Ir. Titi Chandra

Sunarti, M.Si., atas saran dan masukan yang sangat berarti terhadap

kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini.

Rektor Universitas Malikussaleh dan Dekan Fakultas Pertanian - Unimal

selaku atasan, terima kasih atas izinnya untuk melanjutkan studi pada Program

Studi Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam atas bantuan

yang telah diberikan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melalui Program

BPPS tahun 2007, Kementerian Riset dan Teknologi atas bantuan melalui

Program Hibah Riset Peningkatan Kapasitas IPTEK. Ibu Ir. Rd. Selvy Handayani,

M.Si dan Bapak Ismadi, S.P, M.Si, terima kasih atas masukan dan bantuannya

dalam pengolahan data statistik. Bapak Ir. Alixie Heryandie Bronto Adi, MT,

terima kasih atas bantuan, masukan dan sarannya. Ibu Prof. Dr. Erliza Hambali

selaku pimpinan Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC), terima kasih

atas izin melakukan penelitian di Laboratorium SBRC LPPM IPB.

Bapak Toni Toha dan CV. Transindo Utama, terima kasih atas sampel zeolit

yang telah diberikan, Bapak Dr. Gustan Pari, M.Si, Pak Dadang Setiawan, SE,

Pak Didik A Sudika, Pak Ahmad Junaedi, Pak Slamet Chaerudin beserta staf

Laboratorium Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan

Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan lainnya, terima kasih atas kerjasamanya

xvi

selama proses analisis sampel di laboratorium. Ibu Titik Hari Ujianti beserta staf

Laboratorium dan Technical Service Pertamina, Bapak Jajat Sudradat selaku

Kepala Laboratorium FT Kimia–UI, terima kasih atas kerjasamanya selama

proses analisis sampel zeolit.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Zaenal Abidin

atas sharing informasi tentang zeolit alam dan analisis sampel zeolit di Jepang,

Bapak Dr. Ir. Irzaman, M.Si, terima kasih atas masukan dan sarannya, Prof. Dr.

Ani Suryani, DEA dan seluruh staf pengajar TIP, staf laboratorium, Ibu

Nurjannah beserta staf administrasi Fateta IPB lainnya, Saiful Firmansyah terima

kasih atas bantuannya pada analisis sampel bioetanol, Guntoro, Obi, Taufik,

Jaelani, Wiwin, Anas, Otto, Feri, Pak Ratno, Pak Heri serta seluruh staf SBRC,

Ayi Fisika’ 44 terima kasih atas software JCPDS-nya, Tim Penelitian dan teman-

teman TIP 2007, Zulkifli AK, Muliari Ayi, Masda Azmi, Mukhlis Hidayat, Agus

Nauval, rekan-rekan IKAMAPA dan IMTR, serta semua pihak yang telah

membantu kelancaran studi dan terselesaikannya penelitian serta penyusunan tesis

ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda M. Sufi Yunus

dan Ibunda Manawiyah, atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya yang tak

ternilai dengan harta benda. Istri tercinta adinda Mailidar, atas dukungan, doa, dan

kesabarannya dalam menemani dan membantu penulis selama penelitian, adik-

adikku Dahniar dan Akmal, Zulfikar, Faisal, Vira dan Raja, Pakwa Anwar Fuadi,

Nek Idah, Om Bawi, Tante Boby, Om Lan, Tante Ida, Cek Han, Cek Susi, Cek

Mun dan Cek Feri, serta seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, terima kasih atas dukungan moril dan materilnya selama penulis

menyelesaikan studi S2 (Magister Sains).

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

Khaidir

NIM. F351070031

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kandang pada tanggal 17 April 1977 dari ayah

Muhammad Sufi Yunus dan ibu Manawiyah. Penulis merupakan putra pertama

dari enam bersaudara.

Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lhokseumawe dan pada tahun

yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk Universitas (USMU). Penulis memilih jurusan Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada tahun 2007, penulis diterima di

Program Mayor Teknologi Industri Pertanian pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Beasiswa pendidikan diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi Republik

Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi

Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

sejak tahun 2005.

Bogor, Juli 2011

Khaidir

NIM. F351070031

xviii

xix

DAFTAR ISI

ABSTRACT ........................................................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxv

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xxvii

1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3

1.3 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5

2.1 Bioetanol ................................................................................................. 5

2.2 Dehidrasi ................................................................................................. 6

2.3 Molecular Sieve (Penyaring Molekular)................................................. 8

2.4 Zeolit Molecular Sieve (ZMS) .............................................................. 10

2.5 Karakterisasi ZMS ................................................................................ 15

2.5.1 Fluoresensi Sinar-X dan Energy Dispersive X-Ray ................. 15

2.5.2 Difraksi Sinar-X ........................................................................ 16

2.5.3 Scanning Electron Microscopy (SEM) ..................................... 17

2.5.4 Analisis Distribusi Pori Zeolit .................................................. 18

2.6 Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit Alam dan Zeolit A Sintetis 19

3 METODE PENELITIAN ............................................................................ 23

3.1 Waktu dan Tempat................................................................................ 23

3.2 Bahan dan Alat ..................................................................................... 23

3.3 Metodologi ........................................................................................... 23

3.3.1 Modifikasi zeolit alam ............................................................... 23

3.3.2 Karakterisasi zeolit termodifikasi ............................................. 26

3.3.3 Aplikasi zeolit termodifikasi dalam dehidrasi bioetanol .......... 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 31

4.1 Modifikasi Zeolit .................................................................................. 31

4.1.1 Karakteristik zeolit alam (ZA) .................................................. 31

4.1.2 Modifikasi zeolit alam dan karakterisasi zeolit termodifikasi .. 32

4.2 Aplikasi Zeolit Termodifikasi Pada Proses Dehidrasi Bioetanol ......... 43

4.2.1 Metode Destilasi ....................................................................... 43

4.2.2 Metode Perendaman (Batch Adsorption) ................................. 46

5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 53

Halaman

xx

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 53

5.2 Saran ..................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55

LAMPIRAN ......................................................................................................... 61

xxi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan karakteristik fisika dan kimia bioetanol, diesel, dan

gasolin ....................................................................................................... 6

Tabel 2 Beberapa metode pemisahan untuk memperoleh alkohol absolut ........... 8

Tabel 3 Contoh jenis mineral zeolit dan komposisi kimianya ............................ 15

Tabel 4 Metode sintesis zeolit A sebagai molecular sieve .................................. 20

Tabel 5 Proses dehidrasi etanol menggunakan zeolit molecular sieve ............... 21

Tabel 6 Perbandingan komposisi kimia zeolit bayah terhadap zeolit sintetis

mordenit dan klinoptilolit ....................................................................... 32

Tabel 7 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode XRF .................. 34

Tabel 8 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode EDX ................. 35

Tabel 9 Hasil analisis karakteristik pori zeolit .................................................... 37

Tabel 10 Klasifikasi distribusi ukuran pori (IUPAC 1985) .................................. 38

Tabel 11 Intensitas relatif sampel zeolit pada masing-masing 2θ derajat ............. 40

Tabel 12 Pengaruh jenis zeolit dan pemakaian ulang zeolit terhadap persentase

kenaikan kadar bioetanol 90% ................................................................ 49

Halaman

xxii

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Susunan heksagonal satuan (unit) SiO4. ............................................. 11

Gambar 2 Struktur zeolit tipe A dan X. .............................................................. 14

Gambar 3 Reaksi pertukaran ion Na dengan K pada molecular sieve 4A. ......... 14

Gambar 4 Diagram alat difraksi sinar-X. ............................................................ 17

Gambar 5 Berkas elektron yang dideteksi SEM. ................................................ 18

Gambar 6 Diagram alir proses sintesis ZAM1. ................................................... 24

Gambar 7 Diagram alir proses sintesis ZAM2 sampai ZAM6. .......................... 25

Gambar 8 Rangkaian peralatan proses dehidrasi bioetanol sederhana. .............. 27

Gambar 9 Diagram alir proses dehidrasi menggunakan metode destilasi. ......... 28

Gambar 10 Diagram alir proses dehidrasi melalui metode perendaman. ............ 28

Gambar 11 Zeolit hasil modifikasi sebelum dan sesudah pengeringan

menggunakan metode asidifikasi-realuminasi. .................................. 34

Gambar 12 Zeolit alam modifikasi dalam bentuk granula ukuran 3 – 5 mm. ...... 35

Gambar 13 Pola difraksi sinar-X sampel zeolit. ................................................... 39

Gambar 14 Foto mikro sampel zeolit alam dan zeolit 3A. ................................... 41

Gambar 15 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 2 dan 3. ........................... 42

Gambar 16 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 4, 5, dan 6. ...................... 42

Gambar 17 Diagram kesetimbangan fase uap dan cair campuran etanol-air. ....... 44

Gambar 18 Kadar etanol sebelum dan sesudah proses dehidrasi menggunakan

metode destilasi. ................................................................................. 45

Gambar 19 Persentase kenaikan kadar bioetanol 90%. ........................................ 46

Gambar 20 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 90%. ...................... 47

Gambar 21 Pendekatan adsorpsi isotermis Brunauer, Emmett, & Teller. ............ 48

Gambar 22 Persentase kenaikan kadar bioetanol 95%. ........................................ 49

Gambar 23 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 95%. ...................... 50

Gambar 24 Diagram Interaksi air dengan kation natrium (Na). ........................... 52

Halaman

xxiv

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambar beberapa alat yang digunakan dalam penelitian .................. 63

Lampiran 2 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan EDX.......................... 65

Lampiran 3 Data Hasil Analisis Luas Permukaan BET sampel zeolit.................. 67

Lampiran 4 Rataan kadar dan massa bioetanol pada proses dehidrasi ................. 69

Lampiran 5 Data analisis sidik ragam, uji Duncan PKB dan KAZ ...................... 71

Halaman

xxvi

xxvii

DAFTAR SINGKATAN

BET = Brunauer, Emmett, & Teller

BPE = Biosinergi Prima Engineering

DMRT = Duncan’s Multiple Range Test

EDX = Energy Dispersive X-ray

ETBE = Ethyl Tertiary Butyl Ether

EtOH = Etanol

FGE = Fuel Grade Ethanol

IUPAC = International of Pure and Applied Chemistry

JCPDS = Joint Committee on Powder Diffraction Standards

KAZ = kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air

KTK = kapasitas tukar kation

MON = motor octane number

PDMS = polydimethylsiloxane

PKB = persentase kenaikan kadar bioetanol

PSA = Pressure Swing Adsorption

PSDA = Pore Size Distribution Analysis

RAL = rancangan acak lengkap

SEM = Scanning Electron Microscopy

XRD = X-ray Diffractometer

XRF = X-ray Fluorescense

Z3A = zeolit sintetis 3A

ZA = zeolit alam

ZAA = zeolit alam hasil perlakuan asam

ZAM = zeolit alam modifikasi

ZMS = zeolit molecular sieve

xxviii

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang

dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi hanya mampu menghasilkan

etanol dengan persentase 95% atau secara teoritis < 97,20% (Onuki 2006). Proses

produksi bioetanol berbeda dengan proses produksi etanol yang umum digunakan

dalam industri etanol. Etanol skala industri dihasilkan melalui hidrasi senyawa

alkena dengan uap air menggunakan katalis SiO2 padat yang dilapisi dengan asam

fosfat (Clark 2007). Proses pembuatan dilakukan dengan mengalirkan pereaksi di

atas sebuah katalis secara terus-menerus. Proses ini sangat cepat dan

menghasilkan etanol dengan kemurnian tinggi, namun terbatas pada ketersediaan

sumber bahan baku.

Sementara itu, pada proses produksi bioetanol tidak mengalami kendala

terhadap ketersediaan sumber bahan baku. Sumber bahan baku untuk produksi

bioetanol berasal dari material tanaman yang renewable. Hampir semua tanaman

yang mengandung karbohidrat dapat digunakan sebagai sumber bahan baku pada

proses produksi bioetanol. Proses pembuatan bioetanol dilakukan dengan

mencampurkan semua bahan ke dalam sebuah wadah dan kemudian dibiarkan

sampai fermentasi selesai. Kumpulan bahan ini kemudian dikeluarkan dan sebuah

reaksi baru dilangsungkan. Bioetanol yang dihasilkan memiliki kadar 10% dengan

kandungan air yang cukup banyak, sehingga memerlukan pengolahan lebih lanjut

(Clark 2007). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu

dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade ethanol (FGE).

Bioetanol sebagai campuran bahan bakar harus betul-betul kering dan anhidrat

supaya tidak korosif. Jika bioetanol masih mengandung air sebesar 4 – 5% akan

mempengaruhi kinerja mesin dan dapat menyebabkan terjadinya korosi.

Proses dehidrasi dilakukan untuk memperoleh etanol dengan kadar lebih

besar dari 99%. Pada penelitian ini, proses dehidrasi bioetanol dilakukan melalui

metode adsorpsi menggunakan zeolit molecular sieve. Pemilihan zeolit sebagai

bahan penyerap pada proses dehidrasi bioetanol didasarkan pada beberapa

pertimbangan antara lain : (1) ketersediaan zeolit alam Indonesia yang melimpah,

2

(2) harga zeolit alam yang murah, (3) tidak memerlukan input energi yang tinggi,

(4) dan tidak akan menyebabkan kontaminasi terhadap etanol yang dihasilkan

setelah proses dehidrasi. Zeolit merupakan senyawa alumino silikat yang

mengandung unsur alkali dan alkali tanah, berstruktur tiga dimensi, memiliki

pori/saluran kosong yang berhubungan satu sama lainnya ke segala arah. Zeolit

memiliki kemampuan menyerap dan menyaring molekul, bersifat sebagai penukar

ion, dapat digunakan sebagai katalis, memiliki sifat hidratasi dan dehidratasi.

Pori-pori yang terbuka adalah sangat kecil (pori terbuka tersebut diukur

dalam Angstrom atau nanometer) tetapi mendorong ke arah struktur internal yang

lebih besar (serupa pintu keluar masuk yang banyak di dalam ruang yang lebih

besar). Zeolit yang umum digunakan dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi

merupakan zeolit sintetis tipe A (Pfeninger 1999) dengan ukuran pori yang

seragam (Kohl 2004). Zeolit A yang umum digunakan pada proses dehidrasi atau

pengeringan etanol adalah zeolit 3A, 4A dan 5A. Zeolit 3A lebih disukai karena

memiliki ukuran pori yang paling sesuai untuk pemisahan campuran etanol-air

(Al-Asheh et al. 2004). Molekul etanol dengan ukuran diameter pori 4,4 Å akan

sulit masuk ke dalam pori dengan ukuran 3 Å. Molekul air dengan ukuran

diameter 2,8 Å dapat masuk dengan baik ke dalam pori-pori penyaring molekular.

Sebagai tambahan terhadap penyaringan alami dari penyaring molekular, adsorpsi

pada permukaan juga berperan penting terhadap efisiensi dari pemisahan (Kohl

2004).

Di Indonesia, zeolit di alam tersedia melimpah terutama untuk kawasan

yang dilalui gugusan gunung berapi. Sedikitnya 50 lokasi telah diketahui

mengandung mineral zeolit yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa

Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Produksi zeolit di Indonesia saat ini

diperkirakan sebanyak 100.000 ton pertahun dihasilkan oleh sekitar 20 perusahaan

(Suwardi 2000).

Penggunaan zeolit alam dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi masih terbatas

karena distribusi pori yang tidak seragam dan bukan merupakan jenis zeolit

tunggal. Sebagian besar zeolit alam Indonesia merupakan campuran dari beberapa

senyawa kimia pembentuk batuan. Akibatnya ukuran pori tidak seragam, sehingga

perlu dilakukan modifikasi. Zeolit 3A memiliki ukuran pori 3Å dengan

3

kandungan ion Na+ dan K

+ yang sesuai dan rasio Si/Al adalah 1,0. Zeolit dengan

kandungan alumina yang tinggi akan bersifat hidrofilik, sebaliknya zeolit dengan

kandungan silika tinggi bersifat hidrofobik (Flanigen 1980). Rasio Si/Al dalam

zeolit alam adalah 5,62, sehingga menyebabkan zeolit alam kurang hidrofilik

dibandingkan dengan Z3A.

Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi struktur zeolit alam untuk

mendapatkan zeolit dengan rasio Si/Al mendekati 1,0 dengan distribusi ukuran

pori yang seragam dan hampir sama dengan Z3A. Zeolit hasil modifikasi

diharapkan dapat digunakan pada proses adsorpsi dan dehidrasi terutama dalam

proses pemurnian bioetanol kualitas bahan bakar.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mempelajari metode modifikasi struktur zeolit alam sehingga memiliki

karakteristik yang sesuai untuk digunakan pada proses dehidrasi bioetanol.

2. Mendapatkan kondisi proses dehidrasi bioetanol terbaik.

3. Mengetahui kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi zeolit.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup :

1. Zeolit alam yang digunakan berasal dari daerah Bayah, Provinsi Banten, yang

diperoleh dari CV. Transindo Utama-Bandung dengan ukuran 3 mm dan

bubuk ukuran 150 mesh.

2. Bioetanol yang digunakan sebagai bahan baku berasal dari PT. Nature and

Environment Energy (NNE) dengan kadar 90 – 95%.

3. Modifikasi zeolit alam sebagai material molecular sieve dilakukan melalui

metode sintesis hidrotermal pada suhu 95 – 100oC dengan sumber alumina

Al2O3, Al(NO3)3, dan tawas.

4. Proses dehidrasi bioetanol dilakukan melalui metode destilasi dan metode

perendaman (batch adsorption). Parameter yang diamati adalah kenaikan

kadar bioetanol dan kapasitas adsopsi zeolit.

4

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioetanol

Etanol merupakan senyawa kimia dengan rumus C2H5–OH. Strukturnya

serupa dengan air, tetapi satu atom hidrogennya diganti satu gugus etil (Hart

2004). Bioetanol merupakan etanol yang diproduksi dari bahan baku tanaman

yang mengandung gula dan pati. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan

sumber pati yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,

sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk

dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioetanol. Namun dari

semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya

sangat tinggi dalam memproduksi pati sebagai bahan baku untuk pembuatan

bioetanol. Selain itu, pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku

proses produksi bioetanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi.

Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi

harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya

pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan

baku untuk memproduksi setiap liter bioetanol (Nurdyastuti 2005).

Secara umum bioetanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri

turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan

campuran bahan bakar kendaraan. Mengingat pemanfaatan bioetanol beraneka

ragam, maka terdapat penggolongan kualitas (grade) bioetanol. Bioetanol yang

mempunyai kadar 90-96,5% volume dapat digunakan pada industri, sedangkan

bioetanol yang mempunyai kadar 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai

campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Bioetanol yang

dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus betul-betul

kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai

kadar sebesar 99,5-100% volume (Nurdyastuti 2005).

Etanol memiliki angka oktan lebih tinggi daripada bensin (gasolin), yang

dapat mendorong peningkatan bilangan oktan pada saat dicampur, sehingga dapat

mengurangi kebutuhan akan bahan aditif beracun seperti benzena. Lebih jauh lagi,

etanol menyediakan oksigen, sehingga pembakaran lebih sempurna dan dapat

6

mengurangi emisi CO dan hidrokarbon yang tidak terbakar, yang dapat

mencemari udara. Karakteristik fisika dan kimia utama dari bioetanol

dibandingkan terhadap bahan bakar diesel dan gasolin disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan karakteristik fisika dan kimia bioetanol, diesel, dan gasolin

Diesel Etanol Gasolin

Low heating value-LHV (MJ/kg) 42,7 26,9 43,7

Low heating value-LHV (MJ/l) 36,4 21,0 32,0

Viskositas (cSt) 2,5 - -

Densitas (kg/m3) @ 15

oC 830 – 880 790 700 – 780

Bilangan oktan (MON) - 96 – 106 79 – 98

Tekanan uap @ 38oC (psi) 0,04 2,5 7 – 9

Flash point (oC) 55 – 65 13 (-40)

Temperatur didih (oC) 17 – 340 78 33 – 213

Panas penguapan (kJ/kg) - 842 300

Suhu Auto-ignition (oC) 230 – 315 366 300 – 371

Flammability limits (oC) 64 – 150 13 – 42 (-40) – (-18)

Flammability limits (% vol) 0,6 – 5,6 3,3 – 19,0 1,4 – 7,6

Sumber : Chiaramonti (2007)

Etanol dapat direaksikan dengan isobutilen untuk membentuk “ethyl tertiary

butyl ether” (ETBE) yang memberikan sifat-sifat yang menguntungkan dibanding

penambahan langsung etanol karena menghasilkan tekanan uap campuran yang

lebih rendah. Di samping itu, ETBE lebih mudah diintegrasikan ke dalam sistem

distribusi gasolin karena memiliki sifat yang sangat mirip dengan gasolin (Wyman

1996). Beberapa keuntungan dari penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar

antara lain, (1) Mengurangi pengikisan lapisan ozon melalui penurunan emisi

oksida karbon di udara, (2) Sepenuhnya dapat diperbaharui, (3) Menekan laju

peningkatan CO2 di udara melalui fotosintesis oleh tumbuhan; sementara jika

menggunakan bahan bakar fosil akan terjadi penambahan jumlah karbon di udara

akibat pengeluaran sumber karbon yang selama ini ada di dalam perut bumi.

2.2 Dehidrasi

Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang

dilanjutkan dengan proses destilasi. Pemurnian bioetanol menjadi berkadar 95%

harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan

memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut. Peralatan destilasi

konvensional untuk fraksinasi kontinyu dari cairan terdiri dari tiga (3) bagian

utama :

7

Evaporator yang memerlukan panas untuk menguapkan cairan

Kolom destilator yang secara aktual berhubungan dengan sampel cairan

selama pemisahan dengan cara destilasi

Kondensor untuk pendingin dari produk akhir yang terletak pada bagian atas

(Earle & Earle 1983).

Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya

air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan

biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Bioetanol yang mengandung etanol

95% volume lebih dikenal dengan campuran azeotropik etanol-air. Campuran

azeotropik tersebut dapat dipisahkan melalui beberapa metode yang telah umum

dikenal, diantaranya destilasi azeotropik, dehidrasi melalui adsorpsi dan penyaring

molekular (molecular sieve).

Destilasi azeotropik melibatkan penambahan bahan kimia ketiga yang

disebut entrainer ke dalam sistem selama proses destilasi. Metode ini memiliki

beberapa kelemahan diantaranya : (1) Memerlukan input energi yang tinggi; (2)

Memerlukan sistem yang kompleks dari kolom untuk regenerasi bahan pengisi

(entrainer); (3) Ada kecenderungan etanol terkontaminasi dengan bahan entrainer

pada saat sistem mengalami gangguan (Kohl 2004). Metode lain yang dapat

digunakan dan lebih baik daripada metode destilasi azeotropik adalah dengan

menggunakan molecular sieve (penyaring molekular).

Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat

kemurnian lebih tinggi (99% etanol anhidrat), yang biasanya digunakan sebagai

campuran “unleaded gasoline” menjadi gasohol (Kurniawan et al. 2005). Proses

pemurnian bioetanol menjadi bioetanol dengan kadar 99 – 100 % dinamakan

dehidrasi. Hal terpenting pada dehidrasi bioetanol adalah mengeluarkan air yang

masih bercampur dengan bioetanol yang dihasilkan dari proses destilasi. Proses

destilasi hanya mampu menghasilkan etanol dengan persentase 95% atau secara

teoritis < 97,2% (Onuki 2006). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan

bakar (biofuel) perlu dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel

grade ethanol (FGE). Beberapa metode pemisahan telah dilakukan dan

dikembangkan untuk mendapatkan alkohol anhidrat, sehingga nantinya dapat

digunakan sebagai bahan bakar.

8

Pada awalnya, Alkohol anhidrat dibuat dengan penyerapan dari 4 – 5% air

yang ada di dalam alkohol 95 – 96% menggunakan batuan kapur. Walaupun dapat

menghasilkan alkohol anhidrat berkualitas tinggi, tetapi proses ini mahal dan

sudah diganti dengan proses yang lain. Etil alkohol (etanol) dan air membentuk

suatu azeotrop yang mengandung 95% volume alkohol. Berbagai metode telah

digunakan dan/atau disarankan untuk menghilangkan 5% air sehingga

menghasilkan alkohol 100%. Tabel 2 menunjukkan sejumlah daftar dari rute

pemisahan dan kebutuhan energi dalam penyempurnaan proses penghilangan air

di dalam alkohol (Austin 1984).

Tabel 2 Beberapa metode pemisahan untuk memperoleh alkohol absolut

Tipe Etanol (%) Proses

Kebutuhan

pemisahan Awal Akhir energi (kJ/l)

Sempurna 10 100 Conventional ”dual” distillation 7600 Sempurna 10 100 Ekstraksi dengan CO2 2200 – 2800 Sempurna 10 100 Ekstraksi pelarut 1000

a Sempurna 10 100 Destilasi vakum 9800

b 10 – azeotrop 10 95 Destilasi konvensional 5000 10 – azeotrop 10 95 Vapor recompression 1800

a 10 – azeotrop 10 95 “multieffect” vacuum 2000

c Azeotrop 95 100 Destilasi azeotrop konvensional 2600 Azeotrop 95 100 Dehidrasi melalui adsorpsi 335

d Azeotrop 95 100 Penyaring molekular 1300 – 1750 yang lain 3 10 Reverse Osmosis 140

a Gambaran energi termal yang dibutuhkan untuk penyediaan energi mekanik selama

proses berlangsung b Destilasi kolom tunggal

c Destilasi tiga kolom

d Pengeringan dengan CaO

Sumber : Battelle Pasific Northwest Laboratories dalam Austin (1984)

2.3 Molecular Sieve (Penyaring Molekular)

Molecular sieve adalah material sintetis yang memiliki pori-pori dengan

ukuran yang sama persis dan seragam yang digunakan sebagai adsorben gas dan

cairan. Molekul-molekul yang cukup kecil akan diadsorpsi melewati pori-pori,

sedangkan molekul-molekul yang lebih besar akan ditolak. Penyaring molekular

berbeda dengan penyaring secara umum yang digunakan untuk menyaring

molekul pada tingkatan tertentu. Sebagai contoh, adalah molekul air yang

mungkin cukup kecil sehingga dapat melewatinya. Oleh karena itu, penyaring

molekular sering berfungsi sebagai pengering (dessicant). Penyaring molekular

9

dapat mengadsorpsi air sampai 22% dari berat yang dimilikinya (Gubta &

Demirbas 2010). Penyaring molekular biasanya terdiri dari mineral-mineral

aluminosilikat, tanah liat, kaca berpori, arang mikroporous, zeolit, karbon aktif,

atau senyawa-senyawa sintetis yang memiliki struktur terbuka yang dapat dilalui

oleh molekul-molekul kecil, seperti nitrogen dan air.

Penyaring molekular sering digunakan dalam industri petroleum, terutama

untuk purifikasi aliran gas. Di laboratorium kimia, digunakan untuk pemisahan

senyawa-senyawa dan pengeringan bahan-bahan dasar reaksi. Metode untuk

regenerasi penyaring molekular meliputi perubahan tekanan (seperti pemekat

oksigen), pemanasan dan pembersihan dengan menggunakan gas pembawa

(seperti ketika digunakan dalam dehidrasi etanol), atau pemanasan dengan vakum

tinggi.

Kemampuan adsorpsi penyaring molekular adalah sebagai berikut :

3A (ukuran pori 3Å) : mengadsorpsi NH3, H2O, (tidak C2H6). Baik untuk

pengeringan cairan polar.

4A (ukuran pori 4Å) : mengadsorpsi H2O, CO2, SO2, H2S, C2H4, C2H6, C3H6,

Etanol. Tidak akan mengadsorpsi C3H8 dan hidrokarbon yang lebih tinggi.

5A (ukuran pori 5Å) : mengadsorpsi hidrokarbon normal (linier) sampai n-

C4H10, alkohol sampai C4H9OH, merkaptan sampai C4H9SH. Tidak akan

menyerap senyawa-senyawa iso dan bercincin yang lebih besar dari C4.

10X (ukuran pori 8Å) : mengadsorpsi hidrokarbon bercabang dan senyawa

aromatik. Berguna untuk pengeringan gas.

13X (ukuran pori 10Å) : mengadsorpsi di-n-butilamin (tetapi tidak tri-n-

butilamin). Berguna untuk pengeringan hexamethylphosphoramide (HMPA)

(Anonim 2006).

Beberapa keuntungan menggunakan penyaring molekular pada proses

dehidrasi etanol antara lain : (1) Proses yang sangat sederhana, sehingga mudah

diotomatisasi, sehingga dapat mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja, (2)

Proses inert, karena tidak menggunakan bahan kimia tambahan yang memerlukan

penanganan tertentu yang mungkin dapat membahayakan para pekerja, (3)

Penyaring molekular dapat dengan mudah memproses etanol yang mengandung

kontaminan. Hal ini merupakan gangguan pada proses destilasi azeotropik, (4)

Penyaring molekular yang didesain untuk etanol dapat juga digunakan untuk

10

dehidrasi bahan-bahan kimia lainnya, (5) Memiliki umur simpan yang lama (lebih

dari 5 tahun), kerusakan hanya terjadi karena media yang kotor atau karena

destruksi mekanis, dan (6) Dapat diatur sebagai sistem yang berdiri sendiri atau

terintegrasi dengan sistem destilasi. Jika sepenuhnya terintegrasi dengan sistem

destilasi, akan diperoleh laju penggunaan tenaga yang sangat minimum pada

proses pemisahan (Anonim 2002).

2.4 Zeolit Molecular Sieve (ZMS)

Zeolit merupakan senyawa kristal alumina silikat dari unsur-unsur golongan

IA dan IIA seperti natrium, kalium, magnesium, dan kalsium. Zeolit dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis

(Mortimer & Taylor 2002). Zeolit alam adalah zeolit yang diperoleh dari endapan

di alam, sedangkan zeolit sintetis adalah zeolit yang direkayasa dari bahan

berkemurnian tinggi, mempunyai jenis kation tunggal, mempunyai ukuran pori,

saluran dan rongga tertentu (Mortimer & Taylor 2002). Zeolit secara umum

memiliki ukuran pori yang bervariasi tergantung pada jenis zeolit tersebut. Zeolit

sintetis (lebih dikenal dengan molecular sieve) memiliki pori yang seragam

tergantung pada spesifikasi dari zeolit tersebut.

Zeolit telah digunakan secara luas dalam bidang industri maupun pertanian.

Penggunaan zeolit dalam bidang pertanian diantaranya sebagai suplemen pakan

ternak dan perbaikan (improvers) tanah, sedangkan dalam bidang industri dan

lingkungan digunakan sebagai agen penukar ion, adsorpsi katalis, penjernih air

dalam kolam renang dan air tercemar lainnya (Mortimer & Taylor 2002).

Banyak kristal zeolit baru telah disintesis dan memenuhi beberapa fungsi

penting dalam industri kimia dan minyak bumi dan juga digunakan sebagai

produk seperti deterjen (Flanigen 1991). Telah diketahui lebih dari 150 tipe zeolit

sintetis dan 40 mineral zeolit. Beberapa jenis zeolit berdasarkan rasio Si/Al antara

lain, zeolit silika rendah dengan perbandingan Si/Al 1 – 1,5, memiliki konsentrasi

kation paling tinggi, dan mempunyai sifat adsorpsi yang optimum, contoh zeolit

silika rendah adalah zeolit A dan X; zeolit silika sedang, yang mempunyai

perbandingan Si/Al adalah 2-5, contoh zeolit jenis ini adalah Mordernit, Erionit,

11

Klinoptilolit, zeolit Y; zeolit silika tinggi, dengan perbandingan kadar Si/Al antara

10 – 100, bahkan lebih, contohnya adalah ZSM-5 (Flanigen 1980).

Pendekatan Barrer’s menyajikan bahan-bahan mikroporous kristalin

memiliki ukuran pori dan rongga (channel) yang berada pada kisaran 3 - 10Å

dengan presisi kristalografik 0,1 Å (Ozin & Arsenault 2005). Di dalam surat

keputusan IUPAC yang ditetapkan pada suatu konvensi bahwa klasifikasi

padatan-padatan yang diistilahkan dengan dimensi ukuran pori dan ruang

berongga terdiri dari : mikroporous 2 nm, mesoporous 2-50 nm, dan makroporous

>50 nm) (Ozin & Arsenault 2005). Jika zeolit didasarkan pada satu unit sel kristal,

maka secara kimia zeolit dapat ditulis dengan rumus empiris sebagai berikut :

Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].wH2O, dimana :

n = valensi dari kation M

w = jumlah molekul air per unit sel

x, y = jumlah total tetrahedral per unit sel

Biasanya y/x bernilai 1 - 5, tetapi zeolit dengan silika tinggi harga y/x dibuat

hingga 10 – 100 atau bahkan lebih tinggi. Struktur zeolit adalah kompleks yaitu

merupakan polimer kristal anorganik didasarkan kerangka tetrahedral yang

diperluas tak terhingga dari AlO4 dan SiO4 dan dihubungkan satu dengan lainnya

melalui pembagian bersama ion oksigen (Ulfah et al. 2006). Struktur satuan

kerangka SiO4 ditunjukkan pada Gambar 1(Cotton & Wilkonson 1989).

Gambar 1 Susunan heksagonal satuan (unit) SiO4.

Struktur kerangka ini mengandung saluran yang diisi oleh kation dan

molekul air. Kation aktif bergerak dan umumnya bertindak sebagai penukar ion.

Air dapat dihilangkan secara reversibel yang secara umum dengan pemberian

panas. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis

12

besar strukturnya terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang

kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihendral

dan akhirnya unit struktur zeolit (Cotton & Wilkonson 1989).

Adanya kation golongan alkali dan alkali tanah yang terdapat pada zeolit

disebabkan atom Si dan O dalam strukturnya tidak memiliki muatan, sedangkan

atom Al mempunyai kelebihan muatan negatif, maka struktur alumina silika

tersebut harus dinetralkan oleh kation (seperti : Na+, Ca

2+, K

+, H

+ dan NH4

+)

(Oudejans 1984).

Zeolit memiliki tiga sifat sehingga membuatnya unik dan digolongkan

terpisah dengan tanah liat ataupun SiO2-Al2O3 sintetis. Pertama, zeolit bersifat

sangat kristalin dengan struktur yang tertata dengan baik. Kerangka aluminosilikat

membungkus rongga yang ditempati oleh ion-ion besar dan molekul-molekul air.

Jalan menuju rongga dari berbagai ukuran molekul adalah melalui jaringan

terbuka dengan diameter berkisar 0,3 – 1,0 nm yang terdapat dalam dimensi

molekular. Bentuk dan ukuran pori menentukan molekul-molekul mana yang

masuk ke dalam rongga dan mana yang tidak, sehingga zeolit disebut sebagai

molecular sieve. Kedua, ion-ion di dalam rongga mudah dipertukarkan dengan

sejumlah besar ion elektrovalen. Ion-ion ini memberikan gaya elektrostatik atau

polarisasi yang berlawanan dengan dimensi rongga yang kecil. Ketiga, ion-ion

yang masuk ke dalam rongga melalui mekanisme pertukaran ion memiliki

aktivitas yang terpisah dengan aktivitas zeolit itu sendiri (Richardson 1989). Berat

jenis zeolit berkisar antara 1,9 - 2,2 g/ml dan dapat menjadi lebih tinggi apabila

mengandung ion Ba dan Sr, yaitu berkisar antara 2,5 - 2,8 g/ml. Bobot jenis dan

warna zeolit sangat dipengaruhi oleh kandungan material yang terdapat pada

zeolit itu sendiri (Hurlburt & Klein 1977 di dalam Sastiono 1993).

Zeolit mempunyai sifat-sifat meliputi dehidrasi, adsorben, penyaring

molekul, katalisator dan penukar ion. Zeolit mempunyai sifat dehidrasi

(melepaskan molekul H2O) apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka

zeolit akan menyusut, akan tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan

secara nyata. Di sini molekul H2O seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik

dan dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan

penyaring molekul, dimungkinkan karena struktur zeolit yang berongga, sehingga

13

zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau

sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu, kristal zeolit yang telah terdehidrasi

merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang

tinggi.

Zeolit sangat baik sebagai suatu tempat penyimpanan air, memperpanjang

penyediaan kelembaban (kadar air) selama masa-masa kering. Zeolit juga dapat

mempercepat proses pembasahan kembali (re-wetting) dan memperbaiki

penyebaran lateral air ke dalam sumber irigasi. Hasilnya dapat menyimpan air

dalam jumlah yang diperlukan pada irigasi. Lebih lanjut, kapasitas absorpsi yang

tinggi membuat zeolit digunakan sebagai pembawa (carrier) dari pestisida-

pestisida pertanian (Polat et al. 2004).

Sifat kimia zeolit yang sering dimanfaatkan di bidang pertanian adalah sifat

adsorbsi dan sifat pertukaran kation. Adsorbsi yang terjadi pada permukaan

padatan atau cairan dapat melibatkan satu atau banyak molekul, tergantung pada

permukaan dan jenis gaya yang terlibat. Pertukaran kation zeolit pada dasarnya

adalah fungsi dari derajat substitusi silika oleh aluminium dalam struktur kristal

zeolit. Semakin banyak jumlah aluminium menggantikan posisi silika, maka

semakin banyak muatan negatif yang dihasilkan, sehingga makin tinggi

kemampuan tukar kation zeolit tersebut (Mumpton 1999). Zeolit merupakan salah

satu dari banyak bahan penukar kation yang mempunyai kapasitas tukar kation

yang tinggi (200 - 300 meq/100 g). Kapasitas tukar kation dari zeolit ini terutama

merupakan fungsi dari tingkat penggantian atom aluminium (Al) terhadap silikon

(Si) dalam struktur kerangka zeolit (Mumpton 1999).

Zeolit molecular sieve bersifat kristalin, material dengan porositas tinggi,

termasuk dalam kelas aluminosilikat. Kristal ini ditandai dengan sistem pori tiga

dimensi dengan diameter pori-pori yang tergambar dengan tepat. Struktur

kristalografik yang sesuai dibentuk melalui struktur tetrahedral (AlO4) dan (SiO4).

Struktur tetrahedral tersebut merupakan kerangka dasar untuk berbagai struktur

zeolit. Zeolit seperti zeolit A dan X paling umum digunakan sebagai adsorben

komersial. Gambar 2 menunjukkan struktur kristal zeolit tipe A dan X (Broach

2010).

14

Gambar 2 Struktur zeolit tipe A dan X.

Kehadiran alumina di dalam kerangka zeolit menyebabkan zeolit

memperlihatkan muatan negatif yang diseimbangkan oleh kation-kation positif

yang menghasilkan medan elektrostatik yang kuat pada permukaan internal zeolit.

Kation-kation tersebut dapat dipertukarkan untuk memperoleh ukuran pori yang

diharapkan atau karakteristik adsorpsi dari zeolit. Sebagai contoh, bentuk natrium

dari zeolit A memiliki pori terbuka yang berukuran kira-kira 4 Å yang disebut

sebagai penyaring molekular (molecular sieve) 4A. Jika ion natrium dipertukarkan

dengan ion kalium yang lebih besar, pori terbuka dari zeolit berkurang sampai

sekitar 3 Å (molecular sieve 3A). Pada pertukaran ion dengan kalsium, satu ion

kalsium mengganti dua ion natrium yang menyebabkan pori terbuka zeolit

menjadi lebih luas sampai kira-kira 5 Ångstrom (molecular sieve 5A). Pertukaran

ion dengan kation-kation lain kadang-kadang digunakan untuk tujuan pemisahan

zat tertentu. Gambar 3 menunjukkan proses pertukaran ion natrium dengan ion

kalium pada molecular sieve 4A.

Gambar 3 Reaksi pertukaran ion Na dengan K pada molecular sieve 4A.

Jadi secara umum zeolit molecular sieve memiliki sifat penyerapan yang

selektif, karena ukuran pori yang seragam dari struktur zeolit dan kapasitas

serapan yang tinggi untuk unsur-unsur polar pada konsentrasi rendah. Berikut

adalah beberapa contoh jenis mineral zeolit penting beserta rumus kimianya

(Tabel 3).

Zeolit A Zeolit X

15

Tabel 3 Contoh jenis mineral zeolit dan komposisi kimianya Mineral

zeolit Komposisi

V pori

(cm3/g)

Diameter

pori (Å) KTK

(meq/100g)

Analsim Na16(Al16Si32O96). 16H2O 0,18 2,6 4,54 Kabasit (Na2Ca)6 (Al12Si24O72). 40H2O 0,47 3,7 – 4,2 3,84 Klinoptilotit (Na3K3)(Al6Si30O72). 24H2O 0,34 3,9 – 5,4 2,16 Erionit (NaCa0,5K) (Al9Si27O72). 27H2O 0,35 3,6 – 5,2 3,12 Ferrierit (Na2Mg2)(Al6Si30O72). 18H2O 0,28 3,4 – 5.5 2,33 Heulandit (Ca4)(Al8Si28O72). 24H2O 0,39 4,0 – 7,2 2,91 Laumontit (Ca4)(Al8Si16O48). 16H2O 0,34 4,6 – 6,3 4,25 Mordenit Na8(Al8Si40O96). 24H2O 0,28 2,9 – 7,0 2,29 Filipsit (NaK)5(Al5Si11O32). 20H2O 0,31 2,8 – 4,8 3,31 Na-A Na12(Al12Si12O48). 27H2O 0,29 3,0 – 5,0 7,00 Na-X Na86(Al86Si106O384). 260H2O 0,36 10,0 6,40

Sumber : Mumpton 1999; Rouquerol et al. 1999; Suhala & Arifin 1997; Robson &

Lillerud 2001; Treacy & Higgins 2007

Peningkatan kualitas zeolit alam dapat dilakukan dengan mengaktivasi

zeolit alam menjadi zeolit aktif. Agar dapat dimanfaatkan zeolit harus mempunyai

spesifikasi tertentu berkaitan dengan hal tersebut kualifikasi zeolit ditentukan oleh

daya serap, kapasitas tukar kation (KTK) maupun daya katalis. Oleh sebab itu,

untuk memperoleh zeolit dengan kemampuan tinggi diperlukan beberapa

pengolahan antara lain preparasi dan aktivasi (Suhala & Arifin 1997).

Preparasi bertujuan untuk memperoleh ukuran produk yang sesuai dengan

tujuan penggunaan meliputi tahap peremukan (crushing), sampai penggerusan

(grinding). Aktivasi zeolit bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat khusus zeolit

dengan cara menghilangkan unsur-unsur pengotor dan menguapkan air yang

terperangkap dalam pori kristal zeolit. Ada dua cara yang umum digunakan dalam

proses aktivasi zeolit, yaitu pemanasan dalam tungku putar (rotary kiln)

menggunakan hembusan udara panas yang bersuhu 200-400ºC selama 2-3 jam,

dan kimia dengan menggunakan larutan NaOH atau larutan H2SO4 dan/atau HCl

(Suhala & Arifin 1997).

2.5 Karakterisasi ZMS

2.5.1 Fluoresensi Sinar-X dan Energy Dispersive X-Ray

Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang

sekitar 100 pm yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron tinggi

(Atkins 1999). Fluoresensi sinar-X merupakan proses berpendarnya suatu benda

bila dikenai sinar-X; bahan benda itu dapat digunakan sebagai detektor sinar-X,

16

misalnya zink sulfida atau kadmium sulfida (EM 2008). Metode ini dapat

mengukur komposisi dan ketebalan untuk tiap-tiap lapisan individu dari film

dengan lapisan yang banyak (multiple-layer). Batas pengukuran sampel secara

normal sampai konsentrasi 0,1% (Brundle et al. 1992).

EDX (Energy Dispersive X-ray), merupakan karakterisasi material

menggunakan sinar-X yang diemisikan ketika material mengalami tumbukan dengan

elektron. Sinar-X di emisikan dari transisi elektron dari lapisan kulit atom, karena itu

tingkat energinya tergantung dari tingkatan energi kulit atom. Setiap elemen di dalam

tabel periodik unsur memiliki susunan elektron yang unik, sehingga akan

memancarkan sinar-X yang unik pula. Dengan mendeteksi tingkat energi yang

dipancarkan dari sinar-X dan intensitasnya, maka dapat diketahui atom-atom

penyusun material dan persentase massanya (Rakhmatullah et al. 2007).

Penggambaran dan pemetaan sampel yang akan diukur dihubungkan dengan

peralatan Scanning Electron Microscopy (SEM), Electron Probe X-Ray

Microanalysis (EPMA), dan Scanning Transmission Electron Microscopy (STEM)

Batas pengukuran sampel secara normal sampai konsentrasi 100 – 200 ppm untuk

atom dengan Z >11, 1-2% untuk atom dengan Z rendah dan terbatas pada lapisan

tunggal (monolayer) (Brundle et al. 1992).

2.5.2 Difraksi Sinar-X

Prinsip dari X-ray Diffractometer (XRD) adalah difraksi gelombang sinar X

yang mengalami penghamburan (scattering) setelah bertumbukan dengan atom

kristal. Pola difraksi yang dihasilkan merepresentasikan struktur kristal. Dari

analisis pola difraksi dapat ditentukan parameter kisi, ukuran kristal, dan

identifikasi fasa kristalin. Jenis material dapat ditentukan dengan membandingkan

hasil XRD dengan katalog hasil difraksi berbagai macam material.

Metode yang biasa dipakai adalah memplot intensitas difraksi XRD

terhadap sudut difraksi 2θ. Intensitas akan meninggi pada nilai 2θ yang terjadi

difraksi, intensitas yang tinggi tersebut dalam grafik terlihat membentuk puncak-

puncak pada nilai 2θ tertentu. Pelebaran puncak bisa diartikan material yang

benar-benar amorf, butiran yang sangat kecil dan bagus, atau material yang

memiliki ukuran kristal sangat kecil melekat dengan struktur matrix yang amorf.

Dari lebar puncak pada grafik XRD, ukuran kristal yang terbentuk dapat dihitung

menggunakan persamaan Scherrer :

17

Lave =kλ

Bo cos θ

Lave merupakan ukuran kristal, k merupakan konstanta, Bo merupakan lebar

puncak pada setengah maksimum (Full Width Half Maximum, FWHM) dan θ

merupakan sudut difraksi. Persamaan Scherrer diperoleh dengan asumsi puncak

kristal memiliki profil Gauss dan merupakan kristal kubus yang ukurannya kecil.

Gambar 4 menunjukkan alat difraksi sinar-X (Rakhmatullah et al. 2007).

Gambar 4 Diagram alat difraksi sinar-X.

Pelebaran yang terjadi pada XRD disebabkan tiga hal, yaitu efek dari

instrumen, ukuran kristal yang kecil, dan regangan kisi (latttice strain). Pelebaran

puncak karena efek instrumen, biasanya dapat diketahui pada saat karakterisasi

yang dicampur dengan bubuk standar yang proses annealing-nya dilakukan

dengan baik, sehingga ukuran butirnya sangat besar. Dengan demikian, pelebaran

puncak pada bubuk standar ini dipastikan terjadi akibat efek dari instrumen.

Contohnya adalah bubuk silikon dengan ukuran sekitar 10 μm.

2.5.3 Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM merupakan pencitraan material dengan menggunakan prinsip mikroskopi.

Mirip dengan mikroskop optik, namun SEM menggunakan elektron sebagai sumber

pencitraan dan medan elektromagnetik sebagai lensanya. Elektron diemisikan dari

katoda (elektron gun) melalui efek foto listrik dan dipercepat menuju anoda. Filamen

yang digunakan biasanya adalah tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6).

Scanning coil, akan mendefleksikan berkas elektron menjadi sekumpulan array

(berkas yang lebih kecil), disebut scanning beam dan lensa obyektif (magnetik) akan

memfokuskannya pada permukaan sampel. Elektron kehilangan energi pada saat

tumbukan dengan atom material, akibat scattering dan absorpsi pada daerah interaksi

dengan kedalaman 100 nm sampai 2 μm. Ini membuat material akan meradiasikan

emisi meliputi sinar-X, elektron Auger, back-scattered electron dan secondary

18

electron. Pada SEM, sinyal yang diolah merupakan hasil deteksi dari secondary

electron yang merupakan elektron yang berpindah dari permukaan sampel.

Gambar 5 Berkas elektron yang dideteksi SEM.

SEM dipakai untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi tekstur,

morfologi, komposisi dan informasi kristalografi permukaan partikel. Morfologi yang

diamati oleh SEM berupa bentuk, ukuran dan susunan partikel (Rakhmatullah et al.

2007).

2.5.4 Analisis Distribusi Pori Zeolit

Penentuan luas permukaan dan ukuran pori dari zeolit berhubungan dengan

sifat adsorpsi maupun desorpsi dari material zeolit yang akan digunakan pada

proses penghilangan bahan-bahan tertentu yang tidak diinginkan di dalam suatu

proses purifikasi. Adsorpsi adalah akumulasi dari atom-atom atau molekul-

molekul pada permukaan suatu material padat. Proses adsorpsi terjadi pada

permukaan zat padat yang disebut adsorben yang berfungsi sebagai penghilangan

partikel-partikel tertentu yang terikat pada permukaan partikel adsorben, baik

yang berinteraksi secara fisik maupun interaksi kimia. Istilah adsorpsi berbeda

dengan absorpsi. Absorpsi merupakan proses pengumpulan dan penghilangan

substansi tertentu dengan melewati pori suatu bahan padatan. Physisorption lebih

dikenal dengan adsorpsi secara fisik yang meliputi interaksi antar molekul (gaya

van der Waals) antara adsorben dengan bahan-bahan tertentu. Chemisorption atau

adsorpsi secara kimiawi adalah adsorpsi yang dihasilkan dari pembentukan ikatan

kimia (interaksi yang kuat) antara adsorben dan adsorbat di dalam suatu

monolayer pada permukaan (IUPAC 1997).

19

2.6 Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit Alam dan Zeolit A Sintetis

Penggunaan zeolit meningkat tiap tahunnya sebesar 1,6 juta ton/tahun.

Jumlah sebesar 1,1 ton merupakan zeolit A yang merupakan hasil sintesis di

laboratorium (Pfeninger 1999). Zeolit sintetis (Zeolit A) digunakan sebagai

deterjen “builders” dalam industri deterjen yang mencapai 40% berat deterjen

(Mortimer & Taylor 2002; Pfeninger 1999), untuk melembutkan air sadah (hard

water) terutama dalam menghilangkan ion kalsium yang ada di dalam air

(Mortimer & Taylor 2002). Sementara itu, zeolit A juga berperan besar dalam

bidang adsorpsi dan dehidrasi terutama menghilangkan kelembaban dan substansi

asing dari campuran gas atau cairan (Pfeninger 1999). Penggunaan zeolit A secara

lebih luas dalam bidang adsorpsi, diantaranya adalah pada proses pembuatan

etanol anhidrat dengan memisahkan campuran azeotrop etanol-air (95,57 % berat

etanol) (Taherzadeh & Karimi 2008) menggunakan zeolit sebagai adsorben. Zeolit

A yang dapat digunakan pada proses dehidrasi atau pengeringan etanol adalah

zeolit 3A, 4A dan 5A (Al-Asheh et al. 2004).

Proses sintesis zeolit A di laboratorium masih mengacu pada metode yang

digunakan oleh Richard Barrer melalui metode hidrotermal pada kisaran

temperatur antara 100 – 250oC dengan nilai pH yang tinggi (Mortimer & Taylor

2002). Sebagian besar peneliti melakukan sintesis zeolit A pada temperatur di

bawah 100oC seperti yang dilakukan oleh Leonard (1981), Sun (1983), Vaughan

(1985), Kuznicki et al. (2002), dan Diaz et al. (2010).

Zeolit tipe A diperoleh melalui sintesis menggunakan sumber silika dan

alumina maupun menggunakan zeolit alam jenis klinoptilolit (Leonard 1981; Sun

1983) dengan penambahan sumber alumina dan larutan NaOH sebagai promotor

dengan kadar 10 – 20 %. Sumber silika yang digunakan antara lain silika gel,

asam silikat (silicic acid), aqueous colloidal silika sols, dan Na/K-silikat,

sedangkan sumber aluminanya berupa Al2O3.3H2O, kaolin, halloisit, metakaolin,

aluminium sulfat, dan yang sejenis. Natrium atau kalium aluminat yang dibuat

dengan melarutkan Al2O3.3H2O dalam larutan KOH atau NaOH pada 60 – 100oC

menjadi pilihan utama (Vaughan 1985). Proses sintesis zeolit 3A dapat dilakukan

melalui pertukaran ion terhadap zeolit A (zeolit 4A) ataupun sintesis langsung

tanpa tahap pertukaran ion dengan perbandingan kompisisi Na dan K yang sesuai

20

(Vaughan 1985). Proses dilakukan secara hidrotermal dengan kondisi proses

diatur pada rentang temperatur 80 – 100oC dan lamanya proses berkisar antara 4

jam sampai dengan 6 hari (Diaz et al. 2010; Kuznicki et al. 2002; Vaughan 1985).

Zeolit A yang dihasilkan dari proses di atas memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk

digunakan pada proses separasi (pemisahan) campuran etanol-air (Diaz et al.

2010). Beberapa metode yang digunakan dalam mensintesis zeolit A dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4 Metode sintesis zeolit A sebagai molecular sieve

Bahan baku Kondisi proses Hasil Klinoptilolit alam,

sodium aluminat (1)

Hidrotermal 1 (satu) tahap,

kondisi optimum (95oC, 4 jam;

15% berat NaOH)

Zeolit A dengan formula :

Na12(AlO2)12(SiO2)12.27H2O

Klinoptilolit alam,

sodium aluminat (2)

Hidrotermal 2 (dua) tahap,

kondisi optimum (95oC, 1 jam;

20% berat NaOH)

Zeolit A dengan formula :

Na12(AlO2)12(SiO2)12.27H2O

Na-silikat dan K-

silikat (3)

Hidrotermal, suhu awal 10 –

40oC, proses pemanasan pada

80 – 100oC, sintesis Z3A secara

langsung tanpa pertukaran ion

Zeolit 3A yang dapat

digunakan langsung sebagai

bahan pengering

Zeolit (Y, L, ferrierit,

mordenit) (4)

Perlakuan asam dan kalsinasi,

Hidrotermal 80oC, 16 jam (pH

slurry 10,5 – 12).

Terjadi peningkatan

kandungan Al dalam

kerangka zeolit

Gismondin Al tinggi,

gel aluminosilikat

kering atau bubuk

gibbsit, kaolin,

larutan silika pekat (5)

Hidrotermal dengan kondisi

lingkungan mengandung silika

tinggi, pH di atas 12, range suhu

90 – 100oC, pemanasan awal

dengan basa pada 50-85oC

minimal 30 menit

Zeolit dengan kadar

alumina tinggi

sodium aluminat dan

sodium silikat (6)

Hidrotermal, 100oC dengan

interval waktu 1 – 6 jam, waktu

pengeringan 12 jam pada 70oC.

Aktivasi pada 300oC.

Zeolit A yang sesuai untuk

proses separasi campuran

etanol-air

Keterangan : (1)

Leonard (1981); (2)

Sun (1983); (3)

Vaughan (1985); (4)

Narayana & Murray (1992); (5)

Kuznicki et al. (2002); (6)

Diaz et al. (2010)

Proses dehidrasi bioetanol dapat dilakukan menggunakan zeolit molecular

sieve melalui metode adsorpsi (Tabel 5). Sistem adsorpsi yang digunakan meliputi

batch adsorption (Carmo & Gubulin 1997; Ivanova et al. 2009), kolom perkolasi

(Igbokwe et al. 2008), membran pervaporasi (Ling et al. 2008; Zhan et al. 2009),

Pressure Swing Adsorption (Pruksathorn & Vitidsant 2009), maupun Vacuum

Swing Adsorption (Wahyudi 2010). Waktu berlangsungnya proses atau waktu

kontak antara zeolit dengan bioetanol berkisar antara 30 menit sampai 7 hari.

Terdapat beberapa tipe zeolit yang digunakan pada proses adsorpsi, diantaranya

21

zeolit alam jenis klinoptilolit (Ivanova et al. 2009), ZSM-5 (Zhan et al. 2009),

zeolit sintetis 3A (Carmo & Gubulin 1997) maupun zeolit alam hasil modifikasi

(misal sampel zeolit dari PT. BPE) (Wahyudi 2010). Bentuk zeolit yang

digunakan dapat berupa bubuk (powder), pelet (silinder), atau pun butiran (bulat).

Secara rinci, kondisi proses dehidrasi dari beberapa literatur yang telah disebutkan

di atas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Proses dehidrasi etanol menggunakan zeolit molecular sieve

Jenis zeolit Kondisi proses Hasil Zeolit sintetis

3A (bentuk

bulat dan

silinder)(1)

Uji kinetis, sistem batch, rasio

massa zeolit : EtOH = 1 : 3, Proses

adsorpsi 4 taraf (25, 40, 50, dan

60oC), pengadukan selama ± 7 hari,

aktivasi zeolit pada 300oC, 24 jam,

penyimpanan dalam desikator vakum

Kapasitas adsorpsi air sama

(bulat dan silider), T >>>,

maka kapasitas adsorpsi air

<<<, laju difusivitas >>>,

diameter partikel zeolit >>,

kapasitas adsorpsi air <<<,

tetapi laju difusi tetap

(konstan)

Zeolit sintetis

3A, 4A, dan

5A(2)

Persentase air dalam larutan 5%-12%

berat, fixed bed adsorber

Zeolit 3A memiliki

kemampuan tertinggi dalam

mengadsorpsi air

Zeolit pelet

(dari kaolin)

dan kaolin(3)

Kolom perkolasi, aktivasi zeolit

sebelum digunakan pada 500oC

Kapasitas adsorpsi air dari

kaolin lebih efektif jika

dibandingkan dengan kaolin

kasar

zeolite-clay

powder(4)

PVA Membran Pervaporasi,

konsentrasi etanol (10, 30, 50, 70,

90% berat), temperatur proses (30,

40, 50, 60, dan 70oC)

Membran relatif hidrofil dan

sesuai untuk separasi

campuran etanol-air, Kadar

dan T pengumpanan >>>,

selektivitas >>> tetapi

kapasitas adsorpsi air <<<

ZSM-5,

PDMS(5)

Membran Pervaporasi, proses

pervaporasi pada 40oC – 80

oC

dengan tekanan 100 Pa, kadar etanol

5 – 90%.

Performa pervaporasi yang

sangat bagus pada konsentrasi

etanol rendah. Faktor

pemisahan turun drastis dengan

meningkatnya kadar etanol.

Klinoptilolit

alam(6)

Adsorpsi skala lab, waktu kontak 24

jam, rasio zeolit/EtOH = (± 1 : 3),

aktivasi termal 2 jam pada 200oC

Memungkinkan untuk

pengeringan etanol dari

campuran larutan dengan air

Zeolit 3A dan

ZAM PT.

BPE(7)

Vacuum Swing Adsorption, tekanan

minimal 20 cmHg, rasio

zeolit/bioetanol = 5 kg/ 5l

(mendekati 1 : 1), suhu kolom 80oC

Kadar EtOH >>>, kapasitas

adsorpsi air Z3A sintetis relatif

tinggi, tetapi tingkat selektifitas

terhadap senyawa pengotor

lebih rendah

Zeolit A

(Z4A)(8)

Proses dehidrasi pada suhu 30oC

Etanol yang digunakan 80, 85, dan

90% berat

Terjadi peningkatan kadar

etanol

(1)Carmo & Gubulin (1997);

(2)Al-Asheh et al. (2004);

(3)Igbokwe et al (2008);

(4)Ling et al.

(2008); (5)

Zhan et al. (2009); (6)

Ivanova et al. (2009); (7)

Wahyudi (2010); (8)

Diaz et al. (2010)

22

23

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2010 – April 2011 di

Laboratorium SBRC-LPPM IPB Bogor, Laboratorium & Technical Service

Pertamina, Puslabfor Mabes Polri, Laboratorium Teknik Kimia UI, Laboratorium

Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan

Pengolahan Hasil Hutan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah NaOH, KOH,

kaolin, tawas, HCl, Aluminium nitrat, Aluminium oksida, zeolit alam ukuran 3

mm dan bubuk ukuran 150 mesh (CV. Transindo Utama-Bandung), zeolit sintetis

3A, bioetanol, etanol absolut, aqua DM, dan bahan kimia lainnya.

Peralatan yang digunakan adalah satu set alat destilasi, kolom dehidrasi,

timbangan, hot plate, oven, tanur, termometer, magnetic stirrer, batang pengaduk,

Stirrer-heater, pompa vakum, corong buchner, erlenmeyer, GC (Gas

Chromatography) Agilen 6890N Detektor FID 250oC, Quantacrom Autosorb-6

Surface Area and Pore Size Analyzer, X-Ray Diffractometer (XRD-7000

MAXima.X Shimadzu), XRF PAN-analytical AXIOS, Density meter DMA

4500M Anton Paar, Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray

(SEM-EDX) tipe EVO 50 (Lampiran 1), peralatan gelas dan pendukung lainnya.

3.3 Metodologi

3.3.1 Modifikasi zeolit alam

Zeolit yang digunakan diperoleh dari daerah Bayah, Provinsi Banten.

Bentuk dan ukuran zeolit yang digunakan adalah pasir (3 mm) dan bubuk (150

mesh). Proses modifikasi dilakukan melalui 2 cara. Cara pertama dilakukan dua

tahap : (1) Asidifikasi, dan (2) Realuminasi, sedangkan cara kedua melalui

aluminasi langsung.

24

3.3.1.1 Metode asidifikasi-realuminasi

3.3.1.1.1 Asidifikasi

Proses ini dilakukan dengan memanaskan zeolit alam ukuran 150 mesh pada

suhu 50oC menggunakan larutan HCl 1,5 M dengan perbandingan 150 g

zeolit/1500 mL HCl (1 : 10) selama 5 jam sambil diaduk. Hasil yang diperoleh

kemudian disaring, dicuci dengan aqua DM, lalu dikeringkan semalam pada suhu

120oC (Narayana & Murray 1992).

3.3.1.1.2 Realuminasi

Zeolit yang diperoleh pada tahap I dikalsinasi pada 500oC selama 2 jam.

Zeolit yang telah dikalsinasi tersebut ditimbang sebanyak 100 gram, di-slurry

dalam 2L aqua DM. Kemudian ditambahkan 60 g NaOH (dalam 100 mL Aqua

DM) dan dipanaskan pada suhu 50oC selama 40 menit (Kuznicki et al. 2002).

Selanjutnya ditambahkan Al2O3 34 g (dalam 50 mL Aqua DM) dan Al(NO3)3 250

g (dalam 100 mL Aqua DM). Lalu dipanaskan lagi pada suhu 95oC (± 4 jam).

Hasil yang diperoleh disaring menggunakan penyaring vakum, dicuci dengan

aqua DM (sebanyak 2000 mL), dikeringkan semalam pada suhu 110oC, dan

terakhir dikalsinasi kembali selama 3 jam pada 500oC. Diagram alir proses

sintesis ZAM1 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir proses sintesis ZAM1.

25

3.3.1.2 Metode aluminasi langsung

Metode aluminasi langsung dilakukan tanpa proses asidifikasi terlebih

dahulu. Disini sumber alumina yang digunakan langsung ditambahkan ke dalam

campuran reaksi. Sumber alumina yang digunakan adalah aluminium oksida,

aluminium nitrat, tawas, dan kaolin. Perbandingan komposisi kimia dari bahan-

bahan yang digunakan disesuaikan dengan perbandingan dari komposisi kimia

yang ada dalam zeolit sintetis 3A dan modifikasi dari metode Vaughan (1985) dan

Kuznicki et al. (2002). Diagram alir proses sintesis ZAM2 sampai ZAM6 dapat

dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir proses sintesis ZAM2 sampai ZAM6.

Proses sintesis ZAM2 merupakan perpaduan metode dari Plee (1992)

dengan metode yang dikembangkan oleh Kuznicki et al. (2002), Tissler et al.

(1992), Vaughan (1985), dan Leonard (1981). Sementara itu, ZAM2 – ZAM5

menggunakan metode yang dilakukan Vaughan (1985) yang dipadukan dengan

metode yang dikembangkan Kuznicki et al. (2002), sedangkan ZAM6 terdapat

penambahan tahapan proses yang tidak terdapat dalam metode Kuznicki et al.

(2002), Pfeninger (1999), Tissler (1992), Vaughan (1985), maupun Leonard

(1981).

26

3.3.2 Karakterisasi zeolit termodifikasi

3.3.2.1 Zeolit alam modifikasi 1 (ZAM1)

Analisis komposisi kimia terhadap ZAM1 dilakukan menggunakan metode

XRF (X-Ray Fluorescence) menggunakan peralatan XRF PAN-analytical AXIOS.

Analisis distribusi pori yang meliputi luas permukaan, volume pori, dan diameter

pori dilakukan menggunakan alat Autosorb-6 Surface Area and Pore Size

Analyzer Quantacrom. Prinsip pengukuran distribusi pori berdasarkan adsorpsi

gas pada sampel zat padat (misal : zeolit). Metode pengukuran dilakukan melalui

proses penghilangan gas-gas yang terserap (degassing) pada suhu 200-300oC.

Pendinginan pada suhu 77,4 K menggunakan nitrogen cair dalam jumlah yang

telah diketahui, sedangkan tekanan diukur pada keadaan setimbang.

3.3.2.2 Zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ZAM2 – ZAM6)

Analisis komposisi kimia terhadap ZAM2 sampai ZAM6 dilakukan

menggunakan metode EDX (Energy Dispersive X-Ray) menggunakan peralatan

EDX Bruker 133 eV Quantax 200, sedangkan bentuk permukaan dan ukuran unit

partikel sampel zeolit difoto menggunakan SEM EVO 50 ZEISS. Identifikasi

unsur-unsur dalam sampel didasarkan pada energi elektron yang dihasilkan

sampel setelah ditembakkan dengan sinar-X. Image data yang diperoleh dengan

SEM digunakan sebagai data dasar untuk pengukuran komposisi kimia sampel

menggunakan metode EDX.

Sementara itu, struktur dan kemurnian kristal sampel zeolit ditentukan

menggunakan XRD (X-Ray Diffraction). Metode yang dilakukan dengan

mengukur intensitas difraksi sinar-X yang dipantulkan setelah bertumbukan

dengan sampel zeolit pada sudut 2θ dengan range 3 – 65 derajat menggunakan

panjang gelombang Cu. Pola difraksi sinar-X sampel, diperoleh dengan

memplotkan sudut 2θo terhadap intensitas relatif sampel zeolit yang diperoleh.

Analisis distribusi pori yang meliputi luas permukaan, volume pori, dan

diameter pori dilakukan menggunakan alat Autosorb-6 Surface Area and Pore

Size Analyzer Quantacrom (lihat metode ZAM1).

3.3.3 Aplikasi zeolit termodifikasi dalam dehidrasi bioetanol

Bioetanol yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. NNE, dari

daerah Subang, Jawa Barat yang memiliki kisaran konsentrasi 90 - 95%.

27

Dehidrasi dilakukan menggunakan metode destilasi dan metode perendaman

(batch adsorption).

3.3.3.1 Metode Destilasi

Percobaan dilakukan menggunakan zeolit alam modifikasi 1 (ZAM1), zeolit

alam (ZA), dan zeolit komersil 3A (Z3A). Dehidrasi menggunakan metode

destilasi dilakukan dengan memanaskan etanol sampai membentuk fase uap.

Selanjutnya dilewatkan melalui kolom yang berisi ZAM1, ZA, dan Z3A. Pada

percobaan ini diharapkan molekul-molekul air yang berukuran lebih kecil akan

masuk ke dalam pori-pori zeolit tersebut, sedangkan molekul etanol yang lebih

besar akan ditolak oleh molekul zeolit. Molekul etanol yang ditolak oleh zeolit

dialirkan ke dalam kondensor untuk dikondensasi menjadi etanol dalam bentuk

cair dengan bantuan pompa vakum. Suhu dan tekanan yang digunakan berturut-

turut adalah 65oC dan 254 mmHg. Rancangan peralatan dehidrasi dengan cara

destilasi yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Keterangan : 1 = pemanas listrik, 2 = labu leher tiga, 3 = termometer, 4 = kolom, 5 = sampel

zeolit, 6 = adapter, 7 = kondensor, 8 = sambungan ke pompa vakum, 9 = adapter vakum, 10 =

botol penampung, 11 = penyangga hidrolik.

Gambar 8 Rangkaian peralatan proses dehidrasi bioetanol sederhana.

Diagram alir proses dehidrasi menggunakan metode destilasi dapat dilihat

pada Gambar 9. Analisis terhadap kadar bioetanol hasil proses dehidrasi dilakukan

menggunakan alat GC (Gas Chromatography) Agilen 6890N Detektor FID

250oC.

28

Gambar 9 Diagram alir proses dehidrasi menggunakan metode destilasi.

3.3.3.2 Metode Perendaman (Batch Adsorption)

Dehidrasi menggunakan metode adsorpsi dilakukan menggunakan ZAM2,

ZAM3, ZAM4, ZAM5, ZAM6, dan ZA serta Z3A sebagai pembanding.

Perbandingan massa zeolit terhadap bioetanol yang digunakan pada proses

dehidrasi adalah ± (1 : 2) (satuan g).

Percobaan pertama (A) menggunakan bioetanol berkadar 90%. Proses

adsorpsi dilakukan melalui perendaman zeolit dalam bioetanol selama 24 jam.

Percobaan kedua (B) menggunakan bioetanol berkadar 95%. Proses adsorpsi

dilakukan dengan pengadukan selama 1 jam pada suhu 55oC, selanjutnya

didestilasi pada 75oC selama ± 30 menit. Zeolit bekas pada proses pertama dan

kedua diregenerasi (diaktivasi kembali) untuk digunakan pada proses dehidrasi

selanjutnya. Diagram alir proses dehidrasi melalui metode perendaman dapat

dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Diagram alir proses dehidrasi melalui metode perendaman.

29

Pengamatan dilakukan terhadap persentase kenaikan kadar bioetanol (PKB)

dan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air dalam bioetanol (KAZ). Persentase

kenaikan kadar bioetanol (PKB) dapat dihitung menggunakan persamaan 1,

sedangkan perhitungan persentase kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air dalam

bioetanol (KAZ) dilakukan menurut prinsip kesetimbangan massa (persamaan 2).

Persentase Kenaikan Kadar Bioetanol (PKB) (%)

PKB = (% akhir - % awal)

% awal x 100% ………………………………........... (1)

Kapasitas Adsorpsi Air dari Zeolit (KAZ) (%)

KAZ = Ka awal −Ka akhir

m Zeolit x 100% ........................................................ (2)

Kadar air awal dan akhir dalam sampel bioetanol dapat dihitung

menggunakan persamaan 3 dan 4.

Ka awal = 100−%B awal

100 x mB awal .......................................... (3)

Ka akhir = 100−%B akhir

100 x mB akhir ......................................... (4)

dimana :

Ka = kadar air (g)

%B = persentase bioetanol (%)

mB = massa bioetanol (g)

Kadar bioetanol setelah proses adsorpsi diukur menggunakan density meter

DMA 4500M Anton Paar dengan metode % v/v 01ML-ITS-90 dan suhu 20oC.

Prinsip pengukuran berdasarkan perbandingan densitas terhadap sampel standar

yang telah tersimpan pada alat setelah dikalibrasi. Pengukuran densitas didasarkan

pada pengukuran elektronik frekuensi osilasi dari densitas yang dihitung. Sampel

dimasukkan ke dalam tabung osilator berbentuk U. Volume sampel yang telah

diukur dengan tepat mempunyai peran dalam osilasi, sehingga nilai pengukuran

massa sampel dapat digunakan untuk menghitung densitas.

3.3.3.3 Analisis statistik data proses dehidrasi

Analisis statistik dilakukan terhadap proses dehidrasi pada metode

perendaman, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial, sedangkan

percobaan dehidrasi menggunakan metode destilasi menggunakan ZAM1 tidak

diuji secara statistik. Percobaan terdiri dari dua faktor yaitu jenis zeolit (Z), dan

30

pemakaian zeolit (P) dengan dua taraf (baru/awal dan reuse/regenerasi) dengan 3

kali ulangan. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan

parameter terhadap peningkatan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi zeolit

terhadap air dalam sampel bioetanol.

Data proses dehidrasi menggunakan ZAM2 sampai ZAM6 dianalisis

menggunakan bantuan software SAS versi 9.2. Model untuk RAL yang digunakan

adalah sebagai berikut (Sastrosupadi 1995) :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk

i = (zeolit alam, zeolit alam modifikasi : ZAM2, ZAM3, ZAM4,

ZAM5, ZAM6, zeolit 3A sintetis)

j = pemakaian zeolit (baru/awal dan reuse/regenerasi)

dimana :

Yijk = nilai pengamatan akibat faktor A (jenis zeolit) taraf ke i, faktor B

(pemakaian zeolit) taraf ke j, dan ulangan ke k.

µ = rata-rata nilai pengamatan yang sesungguhnya

Ai = pengaruh aditif jenis zeolit ke-i

Bj = pengaruh aditif pemakaian zeolit ke-j

(AB)ij = pengaruh interaksi antara jenis zeolit ke-i dan pemakaian zeolit

ke-j

εijk = pengaruh acak dari jenis zeolit ke-i, pemakaian zeolit ke-j, dan

ulangan ke-k yang menyebar normal

31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Modifikasi Zeolit

4.1.1 Karakteristik zeolit alam (ZA)

Zeolit alam Bayah yang merupakan mordenit tuff, hasil proses diagenesis

dari gelas, terdiri dari mordenit (Na,Ca)4Al8Si40O96.28H2O, erionit

(K2Na2CaMg)4Al8Si28O73.28H2O, klinoptilolit (K2Na2Ca)3Al6Si30O72.21H2O,

kwarsa (SiO2), kalium feldspar (KAlSi3O8) dan komponen gelas vulkanik

(Purawiardi 1999). Diagenesis adalah proses perubahan endapan menjadi satuan

sedimen melalui tekanan dan suhu yang sangat kecil sekali (Depdiknas 2005).

Zeolit yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam (ZA) yang diperoleh

dari daerah Bayah, Provinsi Banten. Komposisi utamanya diduga meliputi

campuran klinoptilolit dan mordenit. Bentuk dan ukuran zeolit yang digunakan

dalam penelitian adalah bentuk pasir (± 3 mm) dan bubuk (± 150 mesh).

Karakteristik awal zeolit alam yang digunakan mengandung beberapa

senyawa oksida anorganik. Komposisi kimia zeolit alam Bayah ukuran 150 mesh

yang dianalisis dengan metode XRF dibandingkan dengan zeolit sintesis mordenit

dan klinoptilolit dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan data hasil analisis

komposisi kimia yang tersaji dalam Tabel 6, diduga bahwa jenis zeolit bayah ini

merupakan campuran dari mordenit dan klinoptilolit. Berdasarkan pada

kandungan silika dan alumina dari zeolit Bayah, maka zeolit tersebut dapat

digolongkan ke dalam zeolit dengan kandungan silika menengah (intermediate

silica zeolite) dengan perbandingan Si/Al = 5,62 (Tabel 6).

Stabilitas termal atau dekomposisi zeolit kristalin dengan kandungan silika

rendah (zeolit dengan kadar aluminium tinggi) mendekati 700oC, sedangkan

temperatur dekomposisi zeolit dengan kandungan silika tinggi berada di atas

1300oC. Sementara itu, selektivitas permukaan berubah dari sangat polar atau

hidrofilik menjadi hidrofobik. Sifat hidrofilik dimiliki oleh zeolit dengan kadar

aluminium tinggi, sedangkan sifat hidrofobik dimiliki oleh zeolit dengan kadar

silika tinggi. Timbulnya sifat hidrofobik tampak terjadi pada zeolit dengan Si/Al

mendekati 10 (Flanigen 1980).

32

Tabel 6 Perbandingan komposisi kimia zeolit bayah terhadap zeolit sintetis

mordenit dan klinoptilolit

Komposisi Kimia (%) Zeolit Bayah Mor1 Kli-K

2 Kli-Na

3

SiO2 67,178 67,36 62,37 64,87

Al2O3 10,572 12,83 11,74 12,46

Na2O 1,091 3,90 0,93 4,33

K2O 2,312 0,54 7,85 2,28

MgO 0,771 - 0,27 -

CaO 3,267 3,21 0,08 1,27

BaO 0,027 - - 0,51

Fe2O3 1,183 - - 0,47

FeO - - 0,08 0,08

TiO2 0,142 - - -

P2O5 0,038 - - -

SrO 0,061 - 1,35 -

MnO2 0.033 - 0,03 0,03

SO3 0,065 - - -

ZnO 0,004 - - -

Rb2O 0,003 - - -

Y2O3 0,004 - - -

ZrO2 0,010 - - -

H2O - 12,16 15,28 13,59

Total Oksida (%) 86,76 100,00 99,98 99,89

Si/Al 5,62

Sumber : 1Anonim 1864;

2Anonim 1923;

3Anonim 1969

4.1.2 Modifikasi zeolit alam dan karakterisasi zeolit termodifikasi

Modifikasi zeolit alam didasarkan pada beberapa jurnal dan paten dalam

pengembangan zeolit sebagai adsorben (molecular sieve). Bedard (2010)

menjelaskan bahwa sangat sulit untuk mengindentifikasi teknik-teknik khusus

yang benar-benar digunakan oleh perusahaan tertentu dalam pembuatan zeolit

sebagai molecular sieve. Hal ini karena tidak adanya metode untuk menentukan

proses mana dari paten tersebut yang praktis untuk digunakan pada proses

produksi molecular sieve. Selain itu, sebagian dari tahapan proses produksi masih

merupakan rahasia perusahaan yang mengajukan paten.

Pada penelitian ini dicoba dengan memadukan beberapa tahapan proses

yang ada dalam paten-paten tersebut. Namun secara umum, proses modifikasi

dilakukan menggunakan metode sintesis hidrotermal dengan pelarut utama air

(Bedard 2010).

Alasan digunakan air sebagai pelarut, diantaranya karena air dapat

melarutkan komponen-komponen campuran pereaksi pada berbagai taraf,

33

mempengaruhi konsentrasi dan pH dari tiap-tiap kerangka komponen penyusun

zeolit, dan membantu dalam stabilisasi akhir dari mikroporositas kristalin melalui

koordinasi dengan kation-kation yang bermuatan seimbang dalam produk akhir

dan mengisi kekosongan bagian dari mikroporositas yang dihasilkan. Selain itu,

pelarut air tersedia dengan mudah dan murah, mudah untuk didaur ulang, dan

tidak bermasalah jika dibuang ke lingkungan sebagai zat non-kontaminasi. Oleh

karena itu, hampir semua proses pembuatan zeolit dan oksida molecular sieve

lainnya dilakukan dalam air, bahkan muncul dalam kasus pembuatan bahan

mikroporositas seperti kerangka logam organik, air digunakan sebagai pelarut

reaksi karena ekonomis dan paling ramah terhadap lingkungan (Bedard 2010).

Modifikasi dilakukan melalui metode penambahan ion aluminium ke dalam

kerangka zeolit alam sehingga nantinya diharapkan memiliki sifat-sifat yang

serupa dengan zeolit sintetis 3A. Proses penambahan ion aluminium ke dalam

kerangka zeolit dilakukan melalui 2 metode, yaitu : Metode Asidifikasi–

Realuminasi dan Aluminasi-Langsung.

4.1.2.1 Metode asidifikasi-realuminasi

Perlakuan pendahuluan terhadap zeolit alam adalah menggunakan HCl 1,5

M. Tujuan dari perlakuan tersebut adalah untuk menghilangkan logam-logam

yang tidak diinginkan yang masih terkandung di dalam zeolit alam. Zeolit hasil

proses asidifikasi dikalsinasi pada suhu 500oC selama 2 jam. Kalsinasi adalah

proses pemanasan zat padat sampai suhu dibawah titik leleh, yang mengakibatkan

penguraian oleh panas atau fase transisi selain dari pelelehan. Proses yang

termasuk jenis reaksi ini antara lain : disosiasi panas, transisi fase polimorfik, dan

rekristalisasi termal (EM 2008). Kalsinasi pada penelitian ini bertujuan untuk

rekristalisasi sampel zeolit setelah proses modifikasi.

Selanjutnya, zeolit hasil proses kalsinasi diberi perlakuan dengan

penambahan sumber ion Al3+

ke dalam kerangka zeolit yang bertujuan untuk

memperkecil perbandingan kandungan Si/Al terhadap zeolit yang dimodifikasi.

Sementara itu, zeolit sintetis 3A digunakan pada penelitian ini sebagai

pembanding dalam penentuan karakteristik dari zeolit yang diberi perlakuan asam

dan pengkayaan ion Al3+

(realuminasi).

Modifikasi yang dilakukan terhadap zeolit yang telah beri perlakuan asam

menghasilkan zeolit alam modifikasi 1 (dikodekan ZAM1) seperti yang terlihat

34

pada Gambar 11. Zeolit yang diberi perlakuan asam (ZAA) menampakkan luas

permukaan dan volume pori yang lebih besar jika dibandingkan dengan zeolit

alam. Hal ini dapat dilihat pada data distribusi pori sampel zeolit yang terdapat

dalam Tabel 9.

Gambar 11 Zeolit hasil modifikasi sebelum dan sesudah pengeringan

menggunakan metode asidifikasi-realuminasi.

Proses asidifikasi bertujuan untuk menghilangkan logam-logam pengotor

yang tidak diinginkan dalam sampel zeolit sehingga zeolit yang diperoleh

diharapkan lebih murni. Hasil analisis komposisi kimia terhadap sampel zeolit

hasil asidifikasi dan realuminasi menggunakan metode XRF dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode XRF

Komposisi unsur (%) ZA ZAA ZAM1 Z3A

Si 31,41 31,02 27,49 19,36

Al 5,59 4,01 11,37 11,12

Na 0,81 0,27 0,76 7,71

K 1,92 1,59 0,94 0,15

Mg 0,46 0,23 0,17 1,18

Ca 2,34 0,50 0,35 0,12

Ba 0,03 0,02 0,02 0,02

Fe 0,83 0,50 0,36 0,76

S 0,03 0,01 0,01 0,01

Cl - 0,04 - 0,11

Si/Al 5,62 7,74 2,42 1,74

Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAA = zeolit alam asidifikasi, ZAM1 = zeolit alam modifikasi 1,

dan Z3A = zeolit sintetis 3A.

Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar logam-logam seperti Fe

dan Ca mengalami penurunan setelah diberi perlakuan asam, begitu juga dengan

logam Aluminium. Penurunan kandungan Al tidak diharapkan karena akan

memperbesar rasio Si/Al dalam sampel zeolit. Jika hal ini terjadi, maka zeolit

akan bersifat lebih hidrofobik dan pori-pori zeolit akan menjadi lebih terbuka. Jika

35

diperhatikan, komposisi kimia dari sampel zeolit sintetis 3A juga masih

mengandung logam-logam pengotor. Oleh karena itu, proses modifikasi

selanjutnya dilakukan secara langsung tanpa proses asidifikasi terlebih dahulu.

4.1.2.2 Metode aluminasi langsung

Modifikasi dilakukan menggunakan metode yang berbeda dengan beberapa

sumber alumina yang berbeda pada proses aluminasi zeolit. Sumber alumina yang

digunakan antara lain aluminium oksida, aluminium nitrat, tawas, dan kaolin yang

juga dapat berfungsi sebagai binder. Proses aluminasi dilakukan secara langsung

dan produk yang dihasilkan adalah ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan ZAM6.

Gambar 12 menunjukkan zeolit granul (ZAM6) yang dibuat secara manual dalam

bentuk bulatan-bulatan kecil berukuran 3 – 5 mm.

Gambar 12 Zeolit alam modifikasi dalam bentuk granula ukuran 3 – 5 mm.

Hasil analisis komposisi kimia sampel zeolit yang dialuminasi secara

langsung (ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, ZAM6) dan zeolit sintetis 3A dapat

dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa rasio Si/Al dalam

sampel zeolit mengalami penurunan setelah proses modifikasi kecuali pada

sampel ZAM2.

Tabel 8 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode EDX Unsur (%) ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A

Si 26,89 19,66 19,44 15,61 18,14 11,43 18,18

Al 7,80 4,13 5,98 7,19 6,13 5,19 13,52

Na 0,67 3,60 2,17 5,12 2,19 2,53 11,30

K 3,68 - 1,23 - 0,36 - 0,33

Mg 0,44 - 0,03 - - - 1,79

Ca 1,71 - - - 0,01 - 0,25

Ba 0,30 - 0,03 - - - 0,39

Fe 1,51 - 0,51 - - - 1,03

S 0,02 - - - 0,16 2,57 0,01

Cl 0,06 - 0,29 0,16 0,10 - 0,06

Si/Al 3,45 4,76 3,25 2,17 2,96 2,20 1,34

Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAM2 = zeolit alam Modifikasi 2, ZAM3 = zeolit alam Modifikasi

3, ZAM4 = zeolit alam Modifikasi 4, ZAM5 = zeolit alam Modifikasi 5, ZAM6 = zeolit alam

Modifikasi 6, dan Z3A = zeolit sintetis 3A (Lampiran 2).

36

Penyebab tidak terjadinya penurunan rasio Si/Al dalam sampel ZAM2

kemungkinan disebabkan oleh sebagian sumber Al yang ditambahkan masih

belum bereaksi, sehingga rasio Si/Al belum dapat diturunkan. Namun, secara

keseluruhan komposisi yang diharapkan dari zeolit alam hasil modifikasi masih

belum dapat menyamai komposisi kimia zeolit sintetis (Z3A). Luas permukaan,

volume, dan diameter pori sampel zeolit diukur menggunakan peralatan Pore Size

Distribution Analyzer.

4.1.2.3 Pengukuran distribusi pori zeolit

Pore Size Distribution Analysis (PSDA) merupakan metode pengukuran

distribusi ukuran pori zeolit yang berhubungan dengan luas permukaan, volume

pori, dan diameter pori. Distribusi ukuran pori adalah kelimpahan relatif dari

masing-masing ukuran pori yang mewakili (merepresentasikan) volume dari

adsorben (Nimmo 2004). Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kapasitas

adsorpsi dan absorbsi dari zeolit berbanding lurus dengan luas permukaan,

volume pori, dan diameter pori. Luas permukaan dari sampel zeolit yang

digunakan ditentukan berdasarkan adsorpsi isotermis menggunakan metode

Brunauer, Emmett, & Teller (BET) (Condon 2006). Kurva standar hasil

pengukuran luas permukaan menggunakan metode BET dapat dilihat pada

Lampiran 3. Luas permukaan zeolit sangat berpengaruh terhadap kemampuan

zeolit sebagai adsorben dan dessicant maupun sebagai katalis. Jika luas

permukaan zeolit semakin besar, maka kemampuan zeolit untuk menyerap

senyawa-senyawa lain akan semakin baik. Hal ini disebabkan oleh permukaan

interaksi yang lebih luas. Jika digunakan sebagai katalis, maka reaksi yang terjadi

akan semakin cepat.

Begitu juga dengan volume pori, semakin besar volume pori, maka akan

semakin besar daya tampung dari senyawa-senyawa yang akan terjerap dalam

pori-pori zeolit. Diameter pori zeolit akan mempengaruhi selektifitas zeolit

terhadap molekul-molekul mana yang akan masuk ke dalam rongga zeolit dan

mana yang akan ditolak. Semakin kecil diameter pori, maka proses pemisahan

menggunakan sifat zeolit akan semakin selektif. Berkaitan dengan diamater pori,

apabila diameter pori semakin besar, maka akan semakin banyak senyawa-

senyawa yang dapat masuk dan melewati pori-pori zeolit. Sebaliknya, semakin

37

kecil diameter pori dari suatu zeolit, maka zeolit tersebut akan semakin selektif

dalam menyerap ataupun meloloskan zat-zat yang akan masuk ke dalam pori-pori

zeolit. Selain itu, diameter pori zeolit juga dapat digunakan untuk menentukan

golongan ataupun klasifikasi dari sampel zeolit sebagai material berpori.

Physisorption (adsorpsi secara fisik) digunakan untuk menentukan

kemampuan adsorpsi dari zeolit, baik zeolit alam, yang dimodifikasi, maupun

zeolit sintetis 3A. Proses sorpsi yang terjadi pada zeolit merupakan adsorpsi

secara fisik (physisorption) dimana struktur elektron dari molekul zeolit tidak

terganggu pada saat proses adsorpsi. Hasil analisis distribusi ukuran pori dan luas

permukaan terhadap zeolit yang diberi perlakuan asam (ZAA), zeolit hasil

realuminasi (ZAM1), zeolit hasil aluminasi langsung (ZAM2, ZAM3, ZAM4,

ZAM5, ZAM6) dan zeolit sintetis 3A dapat dilihat pada Tabel 9. Peralatan yang

digunakan dalam proses pengukuran distribusi ukuran pori adalah Autosorb-6.

Tabel 9 Hasil analisis karakteristik pori zeolit

Sampel Jenis analisis

zeolit Luas permukaan (m2/g)

a Volume pori (cm

3/g)

b Diameter pori (Å)

c

Z3A 333 1,73 x 10-1

13,4

ZA 32 1,44 x 10-2

17,4

ZAA 54 2,22 x 10-2

17,4

ZAM1 65 2,55 x 10-2

17,6

ZAM2 6 2,56 x 10-3

18,0

ZAM3 9 3,29 x 10-3

18,2

ZAM4 8 3,25 x 10-3

17,8

ZAM5 17 7,17 x 10-3

17,8

ZAM6 10 4,52 x 10-3

17,6 Keterangan : a = Metode BET (Brunauer, Emmett & Teller), b = Metode Horvath-Kawazoe, c =

Metode Dubinin-Astakhov

Berdasarkan data distribusi pori yang terdapat pada Tabel 9, luas permukaan

zeolit sintetis masih lebih tinggi dibandingkan dengan zeolit alam (ZA) dan zeolit

alam hasil modifikasi (ZAM). Proses modifikasi menyebabkan terjadinya

penurunan volume pori dan luas permukaan zeolit. Berdasarkan data tersebut,

maka dapat dijelaskan bahwa luas permukaan dan volume pori zeolit setelah

proses modifikasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan zeolit asal (zeolit

alam tanpa modifikasi). Diameter pori sebelum dan setelah modifikasi tidak

terjadi perubahan yang signifikan, artinya ukuran pori zeolit hasil modifikasi

masih mendekati ukuran pori sampel zeolit alam.

38

Jika dibandingkan antara diameter pori dari sampel zeolit terhadap kategori

distribusi ukuran pori menurut IUPAC, maka keseluruhan sampel zeolit yang

digunakan baik zeolit alam, zeolit alam modifikasi, dan zeolit sintetis 3A dapat

digolongkan ke dalam kelompok mikroporos.

Klasifikasi distribusi ukuran pori berdasarkan konsep fisisorpsi dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10 Klasifikasi distribusi ukuran pori (IUPAC 1985)

Klasifikasi Rentang diameter

pori (nm)

Rentang diameter

pori (µm)

Rentang diameter

pori (Å)

Mikroporos d < 2.0 d < 0.002 d < 20

Mesoporos 2 < d < 50 0.002 < d < 0.05 20 < d < 500

Makroporos d > 50 d > 0.05 d > 500

Pada kasus dehidrasi bioetanol, luas permukaan dan volume pori

berpengaruh terhadap kemampuan adsorpsi zeolit terhadap molekul-molekul air

yang terkandung dalam campuran etanol-air. Semakin besar luas permukaan,

maka akan semakin besar kemampuannya untuk berinteraksi dan berikatan

dengan molekul-molekul air dalam bioetanol. Begitu juga dengan volume pori

yang besar akan mampu menampung lebih banyak molekul-molekul air yang

terjerap dalam pori-pori zeolit. Pada proses dehidrasi bioetanol, diharapkan bahwa

pori-pori zeolit yang terbaik adalah yang memiliki ukuran pori yang paling kecil

yang tentunya disesuaikan dengan ukuran molekul air dan bioetanol yang akan

dipisahkan.

4.1.3.2 Difraksi sinar-X (XRD)

Pola difraksi sinar X merupakan tipikal “fingerprint” yang digunakan untuk

menentukan kemurnian sampel, derajat kristalinitas, atau ukuran dari unit sel dari

suatu zeolit. Penentuan derajat kristalinitas hanya mungkin dilakukan melalui

perbandingan sampel dengan bahan standar. Melalui metode ini dapat juga

dideteksi kerusakan struktur zeolit akibat proses modifikasi seperti pertukaran ion,

steaming, ataupun akibat kalsinasi (Pfeninger 1999).

Berdasarkan hasil analisis menggunakan XRD, maka diperoleh pola difraksi

sinar X sampel zeolit alam dan zeolit hasil modifikasi seperti yang terlihat pada

Gambar 13. Dari pola difraksi sinar X yang ada dan dibandingkan dengan pola

difraksi sinar-X standar beberapa sampel zeolit, maka diduga bahwa sampel zeolit

alam yang digunakan pada penelitian ini merupakan campuran jenis klinoptilolit,

39

mordenit, gismondin, dan filipsit. Berdasarkan Gambar 13, sampel zeolit yang

telah dimodifikasi menggunakan sumber aluminium (Al2O3, Al(NO3)3, dan tawas)

sudah mengarah kepada pembentukan struktur zeolit A.

Keterangan : Z3A = Zeolit 3A Sintetis, ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam

modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), = Faujasit, = Heulandit, = Natrolit, = Epistilbit,

= Linde L, = Mordenit, = Filipsit, = Linde A, = Gismondin, = Stilbit, = Laumontit .

Gambar 13 Pola difraksi sinar-X sampel zeolit.

Sampel zeolit yang mengarah pada pembentukan zeolit A, didasarkan pada

pola difraksi sinar-X yang ditampilkan di Gambar 13 yang dicocokkan dengan

SiO2

SiO2 SiO2

SiO2

Z3A

ZA

ZAM2

ZAM3

ZAM4

ZAM5

ZAM6

SiO2

40

sumber data pola difraksi sinar-X dari software JCPDS (Joint Committee on

Powder Diffraction Standards), serta koleksi pola difraksi sinar-X dari Treacy &

Higgins (2007). Data selengkapnya mengenai intensitas relatif dalam bentuk

persentase pada masing-masing 2θ derajat dapat dilihat pada pada Tabel 11.

Tabel 11 Intensitas relatif sampel zeolit pada masing-masing 2θ derajat Z3A ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6

FAU

10,00(22,6);

11,69(16,0); 15,43(56,8);

18,42(22,6);

23,31(97,5);

23,58(23,6);

29,21(29,2)

- - - - -

23,31(54,2);

23,86(54,2); 31,98(83,1);

32,50(45,8)

PHI - 22,40(79,4); 27,78(65,6);

28,12(100)

12,58(25,5); 17,66(36,3);

27,84(68,6);

28,12(100); 28,54(34,3);

30,86(27,5)

12,40(51,5);

16,48(20,1);

17,52(25,1); 27,78(65,6)

-

17,52(43,1);

27,78(93,8);

29,00(43,5); 30,52(84,6)

21,96(100);

27,84(89,8);

30,96(50,9); 32,62(45,8)

GIS -

17,00(14,0);

19,68(27,7); 21,03(28,3);

22,02(62,9);

26,35(42,4); 26,72(64,0);

28,50(20,9)

- - -

19,78(46,1);

21,03(49,7); 26,72(85,0);

28,02(69,3)

-

HEU

22,49(22,1);

32,01(44,7);

26,68(100); 33,64(45,2)

9,88(55,6);

22,34(73,0);

22,82(39,9);

25,72(76,2);

29,08(17,2); 29,52(56,2);

29,90(28,2);

32,01(19,5)

- - -

17,36(34,3); 22,34(62,4);

22,72(48,0);

24,04(76,8); 25,72(71,9);

25,96(51,3);

26,68(91,5); 29,51(52,3);

29,90(64,7)

22,49(76,3);

23,96(42,4);

34,00(59,3); 35,54(37,3)

LTA - -

21,72(33,3);

27,18(30,4); 30,90(24,5)

21,72(27,4); 27,18(43,5);

30,90(24,3);

46,02(17,6)

-

7,20(31,1);

20,46(53,3); 24,04(76,8);

24,04(47,5); 32,62(45,8);

34,26(28,8);

46,02(28,8)

MOR -

13,45(23,7); 15,30(14,4);

27,87(59,1);

30,89(21,9)

17,59(29,4);

25,66(25,5); 28,28(66,7)

24,54(19,2);

27,87(93,7); 28,28(47,9)

-

13,83(63,7);

23,64(53,6); 27,67(87,3)

19,88(57,6);

23,64(76,3); 31,08(47,5)

NAT

20,14(35,7);

30,26(33,7);

30,35(45,7); 30,98(94,5);

34,22(22,1);

40,82(19,6)

-

12,50(34,3);

26,98(31,4); 28,88(26,5);

29,80(28,4)

-

21,48(22,7);

24,40(100); 30,00(31,0);

30,50(29,3)

24,40(47,4);

30,26(71,6);

30,48(100)

20,16(50,9); 27,44(54,2);

27,70(89,8);

31,22(42,4); 36,64(33,9)

Keterangan : Angka di dalam kurung merupakan intensitas relatif (%), sedangkan angka di luar

kurung merupakan sudut 2θ (derajat), Z3A = zeolit sintetis, ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai

ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), FAU = faujasit, PHI = filipsit, GIS =

gismondin, HEU = heulandit, LTA = linde type A, MOR = mordenit, dan NAT = natrolit.

Jika memperhatikan pola difraksi sinar-X (Gambar 13) dan data pada Tabel

11, serta mencocokkan dengan data difraksi standar, terlihat bahwa struktur yang

mengarah pada pembentukan zeolit A (Linde Type A) dimiliki oleh ZAM2,

ZAM3, ZAM5, dan ZAM6. Zeolit A yang terbentuk masih bercampur dengan

41

zeolit-zeolit lain seperti klinoptilolit (HEU), natrolit (NAT), gismondin (GIS),

filipsit (PHI), maupun mordenit (MOR). ZAM2 merupakan campuran jenis zeolit

filipsit (PHI), natrolit (NAT), Linde type A (LTA), dan mordenit (MOR). ZAM3

merupakan campuran antara filipsit (PHI), Linde type A (LTA), dan mordenit

(MOR). Struktur ZAM4 merupakan natrolit (NAT). ZAM5 merupakan campuran

zeolit filipsit (PHI), gismondin (GIS), heulandit (HEU), Linde type A (LTA),

mordenit (MOR), dan natrolit (NAT). Sementara itu, jenis zeolit yang terdapat

dalam sampel ZAM6 merupakan campuran antara Na-X (FAU), filipsit (PHI),

klinoptilolit (HEU), Linde type A (LTA), mordenit (MOR), dan natrolit (NAT),

sedangkan zeolit sintetis yang digunakan diduga merupakan campuran antara Na-

X (FAU), klinoptilolit (HEU) dan natrolit (NAT).

Kisi kristal merupakan pola geometri dari susunan atom-atom di dalam

suatu kristal. Kisi kristal mencirikan sel satuan pembentuk suatu kristal. Zeolit

jenis mordenit (MOR) dan natrolit (NAT) memiliki bentuk geometri ortorombik,

filipsit (PHI), klinoptilolit (HEU), dan gismondin (GIS) berbentuk monoklinik,

sedangkan jenis zeolit faujasit Na-X (FAU) dan Linde type A (LTA) memiliki

pola geometri kubik (Treacy & Higgins 2007; He 2009).

4.1.3.3 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Pengamatan terhadap tekstur, ukuran, susunan partikel dan bentuk

permukaan kristal sampel zeolit dapat dilakukan menggunakan scanning electron

microscopy (SEM). Gambar 14 menunjukkan foto mikro sampel zeolit alam dan

zeolit sintetis 3A.

Gambar 14 Foto mikro sampel zeolit alam dan zeolit 3A.

Berdasarkan hasil scanning menggunakan SEM, maka diperoleh gambaran

mengenai morfologi dari zeolit alam (ZA), dan Zeolit sintetis 3A. Hasil

42

pengukuran partikel, ukuran unit terkecil sampel ZA dan Z3A berturut-turut

adalah 2,795 μm (p,l) dan 2,236 μm (p,l). Hasil foto dengan pembesaran 1000x,

terlihat bahwa bentuk permukaan zeolit alam berbeda dengan zeolit sintetis 3A

yang menjadi target dari proses modifikasi sampel zeolit alam. Zeolit 3A terlihat

berbentuk bulatan-bulatan dengan ukuran yang dapat dikatakan seragam,

sedangkan zeolit alam masih kelihatan berbentuk gumpalan yang tidak teratur.

Ukuran partikel terkecil dari sampel zeolit yang dimodifikasi (ZAM2, dan ZAM3)

berturut-turut adalah 2,865 μm {panjang (p), lebar(l)}; 2,292 μm (p,l). Gambar 15

menunjukkan bentuk permukaan sampel zeolit alam modifikasi 2 dan 3.

Gambar 15 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 2 dan 3.

Zeolit alam modifikasi 2 dan 3 disintesis dari bahan dengan sumber alumina

yang sama yaitu Al2O3, namun berbeda pada tahapan proses modifikasi.

Percobaan yang dilakukan menggunakan sumber alumina Al(NO3)3, bentuk

permukaan sampel zeolit terlihat lebih teratur jika dibandingkan dengan zeolit

alam modifikasi lainnya. Gambar mikro ketiga sampel zeolit dapat dilihat pada

Gambar 16.

Gambar 16 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 4, 5, dan 6.

Bentuk permukaan zeolit alam modifikasi 5 dan 6 tidak berbeda satu sama

lainnya. Berdasarkan foto mikro ZAM, bentuk permukaan sampel ZAM5 dan

ZAM6 tidak begitu berbeda. Hal in disebabkan karena sumber alumina yang

43

digunakan sama yaitu tawas, walaupun tahapan proses berbeda. Lain halnya

dengan zeolit alam modifikasi 4 (ZAM4), bentuk permukaannya terlihat lebih

teratur jika dibandingkan dengan sampel zeolit alam hasil modifikasi lainnya.

Ukuran butiran terkecil zeolit alam modifikasi 4, 5, dan 6 (ZAM4, ZAM5, dan

ZAM6) berturut-turut adalah 2,865 μm (panjang (p), lebar(l)); 2,292 μm (p,l);

2,865 μm(p), 2,292 μm (l); 3,437 μm (p,l); 2,865 μm (p,l).

Secara umum, karakteristik fisik dari zeolit hasil modifikasi berbeda dengan

sampel zeolit alam murni (ZA). Zeolit yang diperoleh dari hasil modifikasi diuji

coba pada proses dehidrasi bioetanol untuk melihat tingkat selektifitas zeolit dan

kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air yang terkandung di dalam sampel

bioetanol.

4.2 Aplikasi Zeolit Termodifikasi pada Proses Dehidrasi Bioetanol

Percobaan proses dehidrasi bioetanol dilakukan dengan menggunakan zeolit

alam dan zeolit hasil modifikasi (ZAM1 sampai ZAM6), serta zeolit sintetis 3A

digunakan sebagai pembanding.

Metode yang digunakan pada proses dehidrasi terhadap bioetanol dilakukan

menggunakan dua metode, yaitu metode destilasi dan metode perendaman (batch

adsorption). Untuk zeolit hasil asidifikasi-realuminasi (ZAM1), proses dehidrasi

dilakukan dengan menggunakan metode destilasi. Sementara zeolit aluminasi-

langsung dilakukan dengan metode adsorpsi (ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan

ZAM6).

4.2.1 Metode Destilasi

Proses dehidrasi terhadap bioetanol diuji dengan menggunakan zeolit

sintetis 3A, zeolit alam (ZA), dan zeolit yang diperoleh dari hasil modifikasi

(ZAM1) sebagai kolom yang akan dilalui oleh uap air dan etanol. Metode yang

digunakan adalah cara destilasi, dimana campuran azeotropik air-etanol

dipanaskan didalam labu destilasi yang diatasnya diletakkan kolom yang telah

diisi dengan zeolit sebagai material molecular sieve. Proses dehidrasi dilakukan

dalam keadaan vakum pada suhu 65oC dan tekanan 254 mmHg. Hal ini bertujuan

untuk mempercepat proses penguapan dari campuran sampel azeotropik air-etanol

dengan konsentrasi yang digunakan adalah 95% volume etanol. Campuran

azeotropik etanol-air tergolong ke dalam azeotropik positif atau azeotropik dengan

44

titik didih minimum. Etanol mendidih pada suhu 78,4oC, air mendidih pada suhu

100oC, akan tetapi campuran azeotropik etanol-air mendidih pada 78,2

oC yang

lebih rendah dari titik didih masing-masing senyawa (Clark 2005).

Gambar 17 Diagram kesetimbangan fase uap dan cair campuran etanol-air.

Jika melihat pada Gambar 17, maka dapat diambil suatu pendekatan bahwa

campuran azeotrop etanol-air tidak mengikuti Hukum Raoult’s. Pada campuran

etanol-air terjadi penyimpangan (deviasi) positif dengan titik didih campuran

berada dibawah titik didih masing-masing bahan yaitu di bawah titik didih etanol

dan air (Clark 2005). Walaupun dimurnikan dengan destilasi secara terus-

menerus, kadar etanol yang diperoleh tidak akan melebihi 95,6% berat. Oleh

karena itu, untuk memurnikan etanol, maka perlu dilakukan adsorpsi

menggunakan adsorben yang dalam hal ini adalah zeolit molecular sieve.

Setelah proses pemisahan (pemurnian) menggunakan zeolit, kadar etanol

yang diperoleh dari hasil kondensasi diukur menggunakan GC (Gas

chromatography). Gambar 18 menunjukkan konsentrasi etanol awal (dalam hal

ini kontrol) dan etanol setelah proses dehidrasi menggunakan zeolit. Berdasarkan

Gambar 18, dapat dijelaskan bahwa konsentrasi awal etanol yang digunakan

adalah 92,34 % volume etanol.

Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi bioetanol yang

dihasilkan pada proses dehidrasi menggunakan zeolit 3A terjadi penurunan dari

kondisi awal 92,34% menjadi 90,17% dan turun sampai 77,66% pada tampungan

10 ml yang terakhir. Sementara konsentrasi bioetanol pada proses dehidrasi

menggunakan ZAM1, untuk 10 ml pertama terjadi peningkatan konsentrasi dari

45

92,34% menjadi 95,75% volume etanol. Namun untuk tampungan 10 ml kedua

dan ketiga secara berurut turun menjadi 91,02% dan 69,22%. Proses dehidrasi

menggunakan zeolit alam yang telah diaktivasi selama 3 jam pada suhu 220oC

juga mengalami penurunan dari 92,34% menjadi 91,22%, 78,68% dan 71,91%

volume etanol.

Keterangan : ZA = zeolit alam, Z3A = zeolit sintetis, ZAM1 = zeolit alam modifikasi 1, kata awal

= kadar bioetanol awal, Angka romawi I, II, dan III = tampungan pertama, kedua, dan ketiga.

Gambar 18 Kadar etanol sebelum dan sesudah proses dehidrasi menggunakan

metode destilasi.

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan adanya kecenderungan

bahwa dari ketiga macam zeolit yang digunakan pada proses dehidrasi etanol,

zeolit yang dimodifikasi (ZAM1) memberikan hasil yang relatif lebih baik pada I

dan II jika dibandingkan dengan zeolit sintetis 3A dan zeolit alam walaupun

belum mencapai konsentrasi bioetanol maksimum yang diharapkan yaitu

mencapai 99,5% (sesuai SNI). Merujuk kepada fungsi zeolit sebagai molecular

sieve, zeolit dapat mengadsorpsi air sampai dengan 22% berat yang dimilikinya

(Gubta & Demirbas 2010).

Secara teoritis jika 60 g zeolit yang digunakan, maka kemungkinan air yang

dapat diadsorpsi oleh zeolit adalah sebesar 13,2 g. Apabila diasumsikan densitas

air adalah 1 g/ml, maka jumlah air yang dapat diadsorpsi oleh zeolit adalah 13,2

ml. Itu pun jika kondisinya normal, tetapi jika air yang diadsorpsi merupakan

campuran azeotropik air-etanol, tidak menutup kemungkinan etanol juga ikut

teradsorpsi oleh zeolit akibat ketidakseragaman ukuran pori zeolit. Hal ini dapat

dilihat dari terjadinya pengurangan volume sampel etanol setelah akhir proses

dehidrasi. Lebih jelasnya massa 13,2 g dari kapasitas adsorpsi zeolit merupakan

65

70

75

80

85

90

95

100

awal I II III

Kad

ar B

ioet

ano

l (%

)

ZA Z3A ZAM1

46

campuran antara air dan etanol. Sisa volume etanol setelah proses adsorpsi untuk

masing-masing zeolit adalah 240 ml (Z3A), 240 ml (ZAM1), dan 205 ml (ZA).

Peningkatan kadar etanol yang terjadi menggunakan ZAM1 adalah sebesar 3,69%

dan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air sebesar 16,81% berat. Secara

keseluruhan, kadar etanol menurun setelah akhir proses sehingga proses

selanjutnya dilakukan menggunakan sistem perendaman (batch adsorption).

4.2.2 Metode Perendaman (Batch Adsorption)

Proses adsorpsi dilakukan melalui perendaman zeolit dalam bioetanol

selama 24 jam (A1 dan A2) dan pengadukan selama 1 jam yang dilanjutkan

dengan destilasi selama ± 30 menit (B1 dan B2). Hasil pengukuran nilai rataan

kadar bioetanol menggunakan density meter terhadap zeolit alam, zeolit hasil

modifikasi langsung (ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, ZAM6), serta zeolit sintetis

3A (Z3A) dapat dilihat pada Lampiran 4.

Parameter yang diamati pada proses dehidrasi bioetanol meliputi persentase

kenaikan kadar bioetanol (PKB) dan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air (KAZ)

dalam bioetanol. Persentase kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi air

dari zeolit yang dilakukan melalui perendaman sampel zeolit dalam bioetanol

90% selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20.

Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai PKB tidak berbeda menurut uji Duncan.

ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A

= zeolit sintetis.

Gambar 19 Persentase kenaikan kadar bioetanol 90%.

Kadar bioetanol 90% mengalami peningkatan setelah proses adsorpsi.

Persentase kenaikan kadar bioetanol menggunakan zeolit alam modifikasi berada

pada kisaran 0,27 – 1,38%, sedangkan kapasitas adsorpsi air berada pada kisaran

0,62 d

1,22 bc

0,69 cd0,27 d

1,38 b

0,75 cd

4,86 a

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A

Pers

enta

se k

enaik

an k

adar

bio

eta

nol (%

)

47

7,57 f

9,37 e

13,46 c

15,44 b

17,67 a

4,93 g

10,51 d

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

20.0

ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A

Kapasitas a

dsorp

si air z

eolit

(%

)

4,93 – 17,67%. Persentase kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi air

menggunakan zeolit alam berturut-turut adalah 0,62% dan 7,57%.

Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai KAZ tidak berbeda menurut uji Duncan.

ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A

= zeolit sintetis.

Gambar 20 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 90%.

Secara teoritis, persentase kenaikan kadar bioetanol berbanding lurus

dengan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air. Semakin besar kemampuan zeolit

dalam mengadsorpsi air, maka semakin tinggi kadar bioetanol yang diperoleh.

Namun, pada percobaan proses adsorpsi terjadi sedikit penyimpangan. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh tingkat selektivitas dari sampel zeolit masih belum

cukup bagus dan ukuran diameter pori yang tidak seragam. Artinya, selain

molekul air, molekul bioetanol juga ikut terjerap dalam sampel zeolit yang

digunakan. Kemungkinan lain, diduga terjadinya pembentukan multilapisan

(multilayer) dari bioetanol yang terjerap pada permukaan zeolit sebagai bahan

adsorben, sehingga menyebabkan pengurangan volume bioetanol setelah proses

adsorpsi. Secara tidak langsung, kadar bioetanol setelah proses adsorpsi juga tidak

akan meningkat. Proses adsorpsi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut :

Penempelan molekul air/bioetanol sebagai adsorbat pada permukaan zeolit

sebagai adsorben membentuk lapisan monolayer

Penempelan molekul air/bioetanol lain pada lapisan monolayer sehingga

membentuk lapisan multilayer

Pembentukan lapisan multilayer terjadi apabila proses adsorpsi terjadi

secara fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekul lebih besar daripada

gaya intramolekul. Gaya intermolekul adalah gaya tarik menarik antar molekul-

molekul zat cair itu sendiri, sedangkan gaya intramolekul adalah gaya tarik

48

menarik antara molekul zat cair dengan molekul permukaan padatan. Keadaan

setimbang dari proses adsorpsi fisika adalah reversibel dan berlangsung sangat

cepat karena kebutuhan energinya kecil.

Gaya yang dilibatkan pada adsorpsi fisika adalah gaya Van Der Waals, yaitu

gaya tarik menarik yang relatif lemah antara permukaan adsorben dengan

adsorbat. Dengan demikian, adsorbat tidak terikat denga kuat pada permukaan

adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke

bagian permukaan lainnya. Pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat yang

satu dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Oleh karena adsorpsi fisika

merupakan suatu keadaan yang reversibel, bila kondisi kesetimbangan diubah

(misalnya tekanan diturunkan atau temperatur dinaikkan), maka sebagian adsorbat

akan terlepas dan membentuk suatu keadaan kesetimbangan baru. Proses adsorpsi

fisika terjadai tanpa memerlukan energi aktivasi sehingga pada proses tersebut

akan membentuk lapisan multilayer pada permukaan adsorben. Ikatan yang

terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputuskan dengan mudah (Saragih 2008).

Gambar 21 Pendekatan adsorpsi isotermis Brunauer, Emmett, & Teller.

(QICD 2004, dimodifikasi)

Hubungan interaksi antara jenis zeolit dengan pemakaian ulang zeolit pada

proses dehidrasi menggunakan bioetanol 90% dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan hasil uji Duncan yang terdapat pada Tabel 12, maka dapat dijelaskan

bahwa zeolit yang sudah digunakan pada proses dehidrasi pertama dapat

digunakan kembali untuk proses dehidrasi selanjutnya setelah lebih dulu

diregenerasi. Kemampuan zeolit dalam menaikkan kadar bioetanol tidak

menunjukkan penurunan yang signifikan menurut uji Duncan, begitu juga dengan

kapasitas adsorpsi dari masing-masing sampel zeolit. Perbedaan hanya terjadi

pada sampel zeolit sintetis (Z3A) yang mengalami penurunan ketika digunakan

kembali pada proses dehidrasi selanjutnya.

49

0,72 d

1,27 b

0,23 e0,30 e

1,08 c

0,37 e

1.63 a

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A

Pers

enta

se k

enaik

an k

adar

bio

eta

nol (%

)

Tabel 12 Pengaruh jenis zeolit dan pemakaian ulang zeolit terhadap persentase

kenaikan kadar bioetanol 90%

Sampel zeolit Persentase kenaikan kadar bioetanol

A1 A2

ZA 0,8837 cde 0,2175 de

ZAM2 1,3393 c 1,1003 cd

ZAM3 0,9675 cde 0,4130 de

ZAM4 0,2120 e 0,3185 de

ZAM5 1,4583 c 1,2710 c

ZAM6 0,6837 cde 0,8253 cde

Z3A 5,5043 a 4,2217 b Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda menurut uji Duncan, ZA =

zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A =

zeolit sintetis, A = adsorpsi menggunakan bioetanol 90%, 1 = pemakaian awal zeolit, 2 =

pemakaian ulang zeolit (setelah regenerasi).

Sementara itu, persentase kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi

air dari zeolit yang dilakukan melalui pengadukan secara perlahan sampel zeolit

dalam bioetanol 95% selama 1 jam dan selanjutnya didestilasi memberikan hasil

seperti yang terlihat pada Gambar 22 dan Gambar 23

Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai PKB tidak berbeda menurut uji Duncan.

ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode),

Z3A = zeolit sintetis.

Gambar 22 Persentase kenaikan kadar bioetanol 95%.

Kadar bioetanol 95% meningkat setelah proses adsorpsi. Peningkatan kadar

bioetanol menggunakan zeolit alam modifikasi berada pada kisaran 0,23 – 1,27%,

sedangkan kapasitas adsorpsi air berada pada kisaran 4,89 – 7,16%. Persentase

kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi air menggunakan zeolit alam

berturut-turut adalah 0,72% dan 4,64%. Kemampuan zeolit dalam memisahkan

campuran etanol-air pada kadar bioetanol 95% belum menunjukkan hasil

50

memuaskan. Seluruh sampel zeolit yang digunakan pada percobaan, belum

mampu untuk meningkatkan kadar bioetanol sampai 99,9%.

Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai KAZ tidak berbeda menurut uji Duncan.

ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A

= zeolit sintetis.

Gambar 23 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 95%.

Kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air bervariasi antara ketujuh sampel

zeolit yang digunakan. Zeolit alam modifikasi 5 (ZAM5) memiliki kapasitas

adsorpsi air tertinggi dibandingkan sampel zeolit yang lain. Akan tetapi, kapasitas

adsorpsi ZAM5 terhadap bioetanol juga tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat

selektifitas dari ZAM5 masih kurang bagus. Kapasitas adsorpsi air ZAM5 adalah

17,67% pada bioetanol 90% yang direndam selama 24 jam, sedangkan kapasitas

adsorpsi zeolit alam dan zeolit sintetis (Z3A) berturut-turut adalah 7,57% dan

10,51%. Kapasitas adsorpsi air dari zeolit hasil modifikasi lebih baik

dibandingkan dengan zeolit alam murni (tanpa modifikasi).

ZAM5 pada kadar bioetanol 90% menunjukkan kapasitas adsorpsi tertinggi

yang diikuti oleh ZAM4 dan ZAM3 (Gambar 20). Kapasitas adsorpsi ketiga jenis

zeolit hasil modifikasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan zeolit sintetis

3A, namun kemampuannya dalam menaikkan kadar bioetanol sampel masih

kurang baik jika dibandingkan dengan zeolit sintetis.

Sementara itu, percobaan adsorpsi yang dilakukan menggunakan zeolit hasil

regenerasi dimaksudkan untuk melihat kemampuan penggunaan ulang (reuse)

zeolit pada proses dehidrasi. Zeolit hasil regenerasi tidak menunjukkan penurunan

kemampuan terhadap peningkatan persentase kadar bioetanol dan kapasitas

adsorpsi air. Pemakaian pertama dan kedua (regenerasi) sampel zeolit, tidak

4,64 c

5,23 c

6,83 ab 7,01 a 7,16 a

4,89 c

5,74 bc

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

7.0

8.0

ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A

Kapasitas a

dsorp

si air z

eolit

(%

)

51

mempengaruhi terhadap peningkatan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi zeolit

terhadap air (menurut uji Duncan).

Hasil uji Duncan menjelaskan bahwa kemampuan peningkatan kadar

bioetanol pada masing-masing sampel zeolit setelah regenerasi tidak mengalami

penurunan yang signifikan. Kemampuan zeolit setelah regenerasi hampir sama

dengan pada saat penggunaan pertama, dengan kata lain zeolit tersebut masih

layak untuk digunakan kembali pada proses dehidrasi bioetanol selanjutnya.

Secara umum, kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air dalam bioetanol dari

semua jenis zeolit yang digunakan tidak mengalami penurunan yang signifikan

pada saat digunakan kembali pada proses dehidrasi bioetanol. Berdasarkan hasil

analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Duncan, menjelaskan bahwa

kapasitas adsorpsi sampel zeolit hasil modifikasi (ZAM) terhadap air dalam

bioetanol sudah menunjukkan hasil yang cukup bagus jika dibandingkan dengan

sampel zeolit alam. Bahkan kapasitas adsorpsi ZAM melebihi kapasitas adsorpsi

zeolit 3A, namun kelemahan dari ZAM adalah masih mengadsorpsi bioetanol

dalam jumlah yang besar pula. Hal ini terlihat dari berkurangnya jumlah bioetanol

setelah proses adsorpsi menggunakan ZAM3, ZAM4, dan ZAM5 (Lampiran 4).

Tingkat selektifitas dari ketiga sampel zeolit tersebut masih kurang bagus

untuk diaplikasikan pada proses dehidrasi bioetanol. Karakteristik fisik dari

sampel zeolit tersebut masih belum mendukung untuk proses pemisahan

campuran bioetanol-air. Hal ini terlihat dari ukuran pori sampel zeolit yang masih

besar, volume pori yang semakin mengecil akibat proses modifikasi, serta luas

permukaan yang semakin sempit.

Distribusi pori, dan komposisi kimia zeolit sangat mempengaruhi

kemampuan zeolit dalam mengadsorpsi air dalam bioetanol. Ukuran pori yang

lebih besar akan menyebabkan berkurangnya tingkat selektifitas zeolit terhadap

sampel yang akan dipisahkan. Artinya bukan hanya air yang terperangkap dalam

pori-pori zeolit, tetapi etanol juga ikut masuk ke dalam pori-pori zeolit.

Rasio Si/Al dalam sampel zeolit berperan penting dalam proses adsorpsi air,

dimana zeolit dengan rasio Si/Al paling kecil akan mampu mengikat air lebih

banyak. Secara teoritis, zeolit dengan rasio Si/Al lebih rendah akan bersifat lebih

hidrofilik. Selain rasio Si/Al, proses adsorpsi juga dipengaruhi oleh ion-ion logam

52

yang melingkupi permukaan zeolit, sebagai contoh ion Na+. Zeolit dengan

kandungan logam natrium lebih tinggi akan lebih mudah mengikat air

dibandingkan yang lainnya. Jadi, molekul-molekul air tidak hanya terperangkap

dalam pori-pori zeolit, tetapi berinteraksi juga dengan ion natrium yang

mengelilingi permukaan zeolit. Molekul air terkumpul pada kation Na (Byrappa

& Yoshimura 2001).

Gambar 24 Diagram Interaksi air dengan kation natrium (Na).

Persentase kenaikan kadar bioetanol setelah proses adsorpsi tidaklah begitu

besar. Hal tersebut disebabkan oleh bahan yang terjerap dalam pori-pori zeolit

masih bercampur antara bioetanol dengan air dalam fase cair. Pada prinsipnya

proses adsorpsi melalui cara perendaman adalah pengikatan air secara fisika.

Metode pemisahan yang lebih baik terhadap campuran etanol-air dapat dilakukan

dalam fase uap dengan kondisi yang terkontrol dengan baik, sehingga fungsi

zeolit sebagai material molecular sieve akan lebih optimal. Selain itu, perlu

dilakukan perbaikan terhadap karakteristik fisik zeolit yang meliputi luas

permukaan yang tinggi, ukuran diameter pori yang kecil (3 Å), penurunan rasio

Si/Al mendekati zeolit 3A, penggunaan zeolit yang memiliki kemurnian tinggi,

sehingga kemampuan adsorpsinya akan menjadi lebih baik (Saragih 2008) dan

lebih selektif. Jika semua karakteristik fisik dapat dikondisikan dengan baik, maka

diharapkan proses dehidrasi bioetanol menggunakan zeolit molecular sieve akan

menjadi lebih baik dan dapat menghasilkan bioetanol dengan kualitas bahan bakar

(fuel grade ethanol).

53

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Proses modifikasi dapat menurunkan rasio Si/Al dalam sampel zeolit.

2. Zeolit hasil modifikasi mengarah pada pembentukan struktur zeolit A

(ZAM2, ZAM3, ZAM5, dan ZAM6).

3. Diameter pori zeolit setelah modifikasi tidak mengalami perubahan yang

berarti. Luas permukaan dan volume pori zeolit hasil modifikasi (ZAM)

mengalami penurunan jika dibandingkan dengan sampel zeolit alam (ZA).

4. Kemampuan zeolit alam modifikasi (ZAM2 dan ZAM5) dalam menaikkan

kadar bioetanol lebih baik jika dibandingkan dengan zeolit alam murni (tanpa

modifikasi). Begitu juga dengan kapasitas adsorpsinya terhadap air dalam

sampel bioetanol.

5. Persentase kenaikan kadar bioetanol menggunakan ZAM2 dan ZAM5 pada

metode perendaman dengan bioetanol 90% berturut-turut adalah 1,22 % dan

1,38%, sedangkan pada bioetanol 95% adalah 1,27% dan 1,08%. Sementara

itu, kemampuan peningkatan kadar bioetanol menggunakan zeolit alam murni

pada bioetanol kadar 90% dan 95% berturut-turut adalah 0,62% dan 0,72%.

6. Kapasitas adsorpsi air maksimum adalah 17,67% yang dimiliki oleh ZAM5

pada perlakuan perendaman dalam bioetanol 90% selama 24 jam.

7. Secara umum terjadi peningkatan kadar bioetanol setelah proses adsorpsi

untuk semua sampel zeolit yang digunakan. Jika dibandingkan dengan proses

dehidrasi menggunakan metode destilasi, maka metode perendaman (batch

adsorption) masih kurang bagus karena menyebabkan terjadinya

pengurangan volume bioetanol yang cukup besar.

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat digunakan untuk kelanjutan proses dari

penelitian ini antara lain :

1. Kondisi proses dehidrasi bioetanol skala laboratorium perlu diatur dengan

baik sehingga dapat digunakan secara optimal.

54

2. Perlu dicari metode modifikasi zeolit alam yang lebih baik, sehingga produk

yang dihasilkan lebih mendekati bahkan sama seperti molecular sieve 3A.

Zeolit alam hasil modifikasi (ZAM) diharapkan dapat diaplikasikan dengan

baik pada proses dehidrasi bioetanol dan dalam bidang-bidang lain tanpa

harus mengimpor dari luar.

3. Zeolit yang dihasilkan mungkin tidak cocok untuk pemisahan campuran

bioetanol-air, sehingga perlu diuji untuk memisahkan molekul-molekul lain

yang ukurannya lebih besar dari etanol maupun air.

55

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asheh S, Banat F, Al-Lagtah N. 2004. Separation of Ethanol-Water Mixtures

Using Molecular Sieves and Biobased Adsorbents. Chem Eng Res Des 82 :

855-864.

[Anonim]. 1864. Mordenite Mineral Data. http://webmineral.com/data/

Mordenite.shtml. [11 Juli 2011].

[Anonim]. 1923. Clinoptilolite-K Mineral Data. http://webmineral.com/data/

Clinoptilolite-K.shtml. [11 Juli 2011].

[Anonim]. 1969. Clinoptilolite-Na Mineral Data. http://webmineral.com/data/

Clinoptilolite-Na.shtml. [11 Juli 2011].

[Anonim]. 2002. Ethanol : Useful information and resources.

http://www.ethanolindia.net/molecular_sieves.html. [30 Maret 2009].

[Anonim]. 2006. Molecular Sieve. http://www.molecularsieve.org. [30 Maret

2009].

Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. Ed ke-4. Kartohadiprodjo II, penerjemah; Indarto

PW, editor. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Physical Chemistry.

Austin GT. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. Ed ke-5. New York:

McGraw-Hill.

Bedard RL. 2010. Synthesis of Zeolites and Manufacture of Zeolitic Catalysts and

Adsorbents. Di dalam : Kulprathipanja S, editor. Zeolites in Industrial

Separation and Catalysis. Weinheim : J Wiley. hlm 61-84.

Broach RW. 2010. Zeolite Types and Structures. Di dalam : Kulprathipanja S,

editor. Zeolites in Industrial Separation and Catalysis. Weinheim : J Wiley.

hlm 27-60.

Brundle CR, Evans CA, Wilson S, editor. 1992. Encyclopedia of Materials

Characterization. USA : Butterworth-Heinemann.

Byrappa K, Yoshimura M. 2001. Handbook of Hydrothermal Technology : A

technology for crystal growth and materials processing. New York :

William Andrew.

Carmo MJ, Gubulin JC. 1997. Ethanol-Water Adsorption on Commercial 3A

Zeolite : kinetic and thermodynamic data. Braz J Chem Eng 14(3).

[terhubung berkala]. [ 28 Maret 2009].

56

Chiaramonti D. 2007. Bioethanol: role and production technologies. Di dalam :

Ranalli P, editor. Improvement of Crop Plants for Industrial End Uses.

Netherlands : Springer. hlm 209-251.

Clark J. 2005. Non-ideal Mixtures of Liquids.

http://www.chemguide.co.uk/physical/phaseeqia/nonideal.html. [25 Juli

2011].

Clark J. 2007. Pembuatan Alkohol dalam Skala Produksi. http://www.chem-is-

try.org. [07 Juli 2011].

Condon JB. 2006. Surface Area and Porosity Determinations by Physisorption :

measurements and theory. Amsterdam : Elsevier.

Cotton FA, Wilkinson G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Suharto S, penerjemah.

Jakarta : UI-Pr. Terjemahan dari : Basic Inorganic Chemistry.

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Ed ke-3. Jakarta : Balai Pustaka.

Díaz JC, Gil-Chávez ID, Giraldo L, Moreno-Piraján JC. 2010. Separation of

Ethanol-Water Mixture Using Type-A Zeolite Molecular Sieve. E J Chem 7 :

483-495.

Earle RL, Earle MD. 1983. Unit Operation in Food Processing. The Web Ed.

Published by NZIFST. http://www.nzifst.org.nz/unitoperations/.

[EM] Era Media. 2008. Kamus Pintar Kimia. Bandung : Era Media.

Flanigen EM. 1980. Molecular Sieve Zeolite Technology-The First Twenty-Five

Years. Plenary Paper-Technology. Pure Appl Chem 52 : 2191-2211. Great

Britain : Pergamon Pr.

Flanigen EM. 1991. Zeolite and Molecular Sieves an Historical Perspective. New

York : Elsevier Science.

Gubta RB, Demirbas A. 2010. Gasolin, Diesel, and Ethanol Biofuels from

Grasses and Plants. Cambridge : Cambridge Univ Pr.

Hart H. 2004. Kimia Organik : Suatu kuliah singkat. Ed ke-6. Achmadi SS,

penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari Organic Chemistry : A

short course.

He BB. 2009. Two-Dimensional X-Ray Diffraction. New Jersey : J Wiley.

Igbokwe PK, Okolomike RO, Nwokolo SO. 2008. Zeolite for Drying of Ethanol-

Water and Methanol-Water Systems from Nigerian Clay Resource. J Univ

Chem Technol Met 43 : 109-112.

57

[IUPAC] International of Pure and Applied Chemistry. 1985. Reporting

Physisorption Data for Gas/Solid Systems with Special Reference to The

Determination of Surface Area and Porosity. Pure Appl. Chem. 57 : 603-

619. www.iupac.org/publications/pac/57/4/0603/pdf/. [ 22 September

2009].

[IUPAC] International of Pure and Applied Chemistry. 1997. IUPAC

Compendium of Chemical Terminology. Ed ke-2.

http://www.iupac.org/goldbook.pdf. [ 15 Juni 2009].

Ivanova E, Damgaliev D, Kostova M. 2009. Adsorption Separation of Ethanol-

Water Liquid Mixtures by Natural Clinoptilolite. J Univ Chem Technol Met

44 : 267-274.

Kohl S. 2004. Ethanol 101-7 : Dehidration. Ethanol Today. Maret 2004.

http://www.ovsclub.com.vn/datapic/File/Ethanol_Dehydration.pdf. [13

Februari 2009].

Kurniawan Y, Susmiadi A, Toharisman A. 2005. Potensi Pengembangan Industri

Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia.

http://p3gi.net/images/opini/Bioenergi.pdf.

Kuznicki SM, Langner TW, Curran JS, Bell VA, penemu; Engelhard Corporation.

2 Jul 2002. Method of forming high aluminum aluminosilicate zeolites. US

Patent 6 413 492 B1.

Leonard JJ, penemu; Atlantic Richfield Company. 27 Jan 1981. Preparation of

zeolite A by hydrothermal treatment of clinoptilolite. US Patent 4 247 524.

Ling LK, Ghazali M, Sadikin AN. 2008. Pervaporation of Ethanol-Water Mixture

Using PVA Zeolite-Clay Membranes. J Technol 49 : 167-177.

Mortimer M, Taylor P. 2002. Chemical kinetics and mechanism. Cambridge :

RSC.

Mumpton FA. 1999. La roca magica : Uses of natural zeolite in agriculture and

industry. Proc Natl Acad Sci 96 : 3463-3470.

Narayana M, Murray BD, penemu; Shell Oil Company. 2 Jun 1992. Process for

realuminating zeolites. US Patent 5 118 484.

Nimmo JR. 2004. Porosity and Pore Size Distribution. Di dalam : Hillel D,

editor. Encyclopedia of Soils in The Environment. New York : Academic Pr.

hlm 295-303.

Nurdyastuti I. 2005. Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol. Prospek

pengembangan biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak.

58

www.geocities.com/markal_bppt/publish/biofbbm/biindy.pdf. [13 Agustus

2008].

Onuki S. 2006. Bioethanol : Industrial production process and recent studies.

www.public.iastate.edu/~tge/courses/ce521/sonuki.pdf. [ 13 Februari 2009].

Oudejans JC. 1984. Zeolite Catalyst in Some Organic Reaction. Chem. Res.

Holland.

Ozin GA, Arsenault AC. 2005. Nanochemistry : A chemical approach to

nanomaterials. Cambridge : RSC.

Pfenninger A. 1999. Manufacture and use of zeolites for adsorption processes. Di

dalam : Karge HG, Weitkamp J, editor. Molecular Sieve - Science and

Technology. Volume ke-2, Structures and Structure Determination. Berlin

Heidelberg : Springer. hlm 163-198. Plee D, penemu; Ceca Company. 21 Jul 1992. Zeolite granules with zeolitic

binder. US Patent 5 132 260.

Polat E, Karaca M, Demir H, Onus AN. 2004. Use of Natural Zeolite

(Clinoptilolite) in Agriculture. J Fruit Ornmtl Plant Res 12 : Ed khusus.

Pruksathorn P, Vitidsant T. 2009. Production of Pure Ethanol from Azeotropic

Solution by Pressure Swing Adsorption. Am J Eng Appl Sci 2 : 1-7.

Purawiardi R. 1999. Karakteristik Zeolit Alam Asal Bayah, Sukabumi Jawa Barat.

Bul IPT 5 : 6-12.

[QICD] Quantachrome Instruments Corporate Drive. 2004. An Introduction to

Calculation Methods for Surface Area and Pore Size From Gas Sorption

Data. Boynton Beach, Florida 33426 USA. [28 Mei 2011].

Rakhmatullah DKA, Wiradini G, Ariyanto NP. 2007. Pembuatan Adsorben dari

Zeolit Alam dengan Karakteristik Adsorben Properties untuk Kemurnian

Bioetanol. http://pub.bhaktiganesha.or.id. [12 Agustus 2008].

Richardson JT. 1989. Principles of Catalyst Development. USA : Kluwer

Academic.

Robson H, Lillerud KP, editor. 2001. Verified Synthesis of Zeolitic Materials. Ed

rev ke-2. Amsterdam : Elsevier.

Rouquerol F, Rouquerol J, Sing K. 1999. Adsorption by Powders and Porous

Solids. London : Academic Pr. Saragih SA. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Batubara

Riau Sebagai Adsorben. [tesis]. Jakarta : Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

59

Sastiono A. 1993. Perilaku Mineral Zeolit dan Pengaruhnya Terhadap

Perkembangan Tanah [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor. Sastrosupadi A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian.

Yogyakarta : Kanisius. Suhala S, Arifin M. 1997. Bahan Galian Industri. Bandung : Pusat Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Mineral. hlm 320-338. Sun HN, penemu; Atlantic Richfield Company. 30 Aug 1983. Two step process

for preparation of zeolite A by hydrothermal treatment of clinoptilolite. US

Patent 4 401 634. Suwardi. 2000. Pemanfaatan mineral zeolit di bidang pertanian dan lingkungan

[abstrak]. Di dalam : Seminar Staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB,

22 Maret 2000. http://suwardi-abstrak.blogspot.com. [26 Mei 2009]. Taherzadeh MJ, Karimi K. 2008. Bioethanol : Market and production processes.

Di dalam : Nag A, editor. Biofuels Refining and Performance. New York :

McGraw-Hill. hlm 69-106. Tissler A, Unger KK, Schmidt H, penemu; Vereinigte Aluminium-Werke

Aktiengesellschaft. 28 Jul 1992. Method for modifying A zeolite. US Patent

5 133 952. Treacy MMJ, Higgins JB. 2007. Collection of Simulated XRD Powder Patterns

for Zeolites. Amsterdam : Elsevier. Ulfah EM, Yasnur FA, Istadi. 2006. Optimasi Pembuatan Katalis Zeolit X dari

Tawas, NaOH dan Water Glass Dengan Response Surface Methodology.

Bul Chem React Eng Catal 1 : 26-32. Vaughan DEW, penemu; Exxon Research and Engineering Co. 13 Aug 1985.

Process for direct synthesis of sodium-and potassium-containing zeolite A.

US Patent 4 534 947. Wahyudi D. 2010. Desain Proses Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit

Molecular sieve dengan Teknik Vacuum Swing Adsorption [tesis]. Bogor :

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wittcoff HA, Reuben BG, Plotkin JS. 2004. Industrial Organic Chemicals. Ed ke-

2. New Jersey : J Wiley. Wyman CE. 1996. Handbook on Bioethanol : Production and utilization. USA :

Taylor and Francis.

Zhan X, Li JD, Chen J, Huang JQ. 2009. Pervaporation of Ethanol/Water

Mixtures With High Flux by Zeolite-Filled PDMS/PVDF Composite

Membranes. Chin J Polym Sci 27 : 771-780.

60

61

LAMPIRAN

62

63

Lampiran 1 Gambar beberapa alat yang digunakan dalam penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

Keterangan : 1 = Density meter DMA 4500M Anton Paar, 2 = XRF Panalytical

AXIOS, 3 = EDX Bruker Quantax, 4 = XRD MaximaX Shimadzu, 5 = SEM EVO

50 ZEISS, 6 = AUTOSORB-6 Quantacrom.

64

65

Lampiran 2 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan EDX

Hasil analisis komposisi kimia zeolit 3A dan ZA

Hasil analisis komposisi kimia sampel ZAM2 dan ZAM3

66

Hasil analisis komposisi kimia sampel ZAM4, ZAM5, dan ZAM6

67

Lampiran 3 Data Hasil Analisis Luas Permukaan BET sampel zeolit

Plot BET sampel zeolit 3A, ZAA, dan ZAM1

Z3A

ZAM1

ZAA

68

Plot BET sampel zeolit alam (ZA), ZAM2 sampai ZAM6

ZAM2

ZAM3 ZAM4

ZAM5 ZAM6

ZA

69

Lampiran 4 Rataan kadar dan massa bioetanol pada proses dehidrasi

Nilai rataan kadar bioetanol pada masing-masing percobaan

Jenis Zeolit Percobaan Kadar bioetanol (%)

A1 A2 B1 B2

ZA Awal 89,91 89,93 95,53 95,53

Akhir 90,71 90,64 96,22 96,22

ZAM2 Awal 91,23 91,25 95,43 96,41

Akhir 92,45 92,25 95,41 96,20

ZAM3 Awal 89,53 89,55 95,43 95,43

Akhir 90,88 90,43 95,69 95,48

ZAM4 Awal 89,53 89,42 95,42 95,74

Akhir 90,34 90,15 95,43 95,57

ZAM5 Awal 89,53 89,42 95,43 96,55

Akhir 90,84 90,20 95,43 96,35

ZAM6 Awal 90,40 89,90 95,53 95,53

Akhir 91,01 90,64 95,74 95,93

Z3A Awal 89,91 89,93 95,53 95,53

Akhir 94,86 93,73 97,15 97,02 Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6, A =

adsorpsi menggunakan bioetanol kadar 90%, B = adsorpsi mengunakan bioetanol kadar 95%, 1 =

percobaan adsorpsi awal, 2 = percobaan adsorpsi menggunakan zeolit regenerasi pada percobaan

1.

Nilai rataan massa bioetanol pada masing-masing percobaan

A1 A2 B1 B2

Sampel Bioetanol (g) Bioetanol (g) Bioetanol (g) Bioetanol (g)

Zeolit Awal Akhir Selisih Awal Akhir Selisih Awal Akhir Selisih Awal Akhir Selisih

ZA 40,01 25,37 14,64 39,95 26,06 13,89 40,01 20,29 19,72 40,02 25,08 14,94

ZAM2 40,01 19,99 20,02 39,95 22,58 17,37 40,01 20,22 19,79 36,35 23,14 13,21

ZAM3 40,01 14,72 25,29 39,77 17,02 22,75 39,68 9,23 30,45 39,54 11,24 28,30

ZAM4 40,00 10,24 29,77 39,46 12,79 26,67 39,35 9,33 30,02 39,69 9,52 30,18

ZAM5 40,01 5,90 34,10 39,34 7,76 31,59 40,01 10,58 29,43 39,15 11,50 27,65

ZAM6 40,00 31,76 8,24 39,02 31,79 7,23 40,00 18,06 21,95 39,99 20,72 19,28

Z3A 40,01 27,62 12,38 40,00 30,62 9,39 40,02 20,46 19,56 40,00 22,01 17,99

Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6, A =

adsorpsi menggunakan bioetanol kadar 90%, B = adsorpsi mengunakan bioetanol kadar 95%, 1 =

percobaan adsorpsi awal, 2 = percobaan adsorpsi menggunakan zeolit regenerasi pada percobaan

1.

70

71

Lampiran 5 Data analisis sidik ragam, uji Duncan PKB dan KAZ

RAL Faktorial, 2 (dua) Faktor

Percobaan Perendaman 24 jam Menggunakan Kadar Bioetanol 90%

Hasil Analisis sidik ragam persentase kenaikan kadar bioetanol (PKB)

SK Derajat Jumlah Kuadrat

F hitung Pr > F Tanda Bebas Kuadrat Tengah

F1 6 84,330041 14,055007 90,92 <,0001 **

F2 1 1,015786 1,015786 6,57 0,0177 *

F1*F2 6 2,461309 0,410218 2,65 0,0432 *

Galat 22 3,400969 0,154589

Total 35 91,208105

R-Square Coeff Var Root MSE PKB Mean

0,962712 25,80618 0,393179 1,523583

Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan

regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata.

Hasil Analisis sidik ragam kapasitas adsorpsi air dari zeolit (KAZ)

SK Derajat Jumlah Kuadrat F

hitung Pr > F Tanda

Bebas Kuadrat Tengah

F1 6 727,707948 121,284658 138,67 <,0001 **

F2 1 14,886905 14,886905 17,02 0,0003 **

F1*F2 6 7,727862 1,287977 1,47 0,2236 tn

Galat 28 24,489733 0,874633

Total 41 774,812449

R-Square Coeff Var Root MSE KAZ Mean

0,968393 8,292781 0,935218 11,27750

Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan

regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata.

72

Hasil Uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test bioetanol 90%

Jenis Zeolit (F1) PKB KAZ

Z1 (ZA) 0,6172 d 7,5657 f

Z2 (ZAM2) 1,2198 bc 9,3725 e

Z3 (ZAM3) 0,6903 cd 13,4593 c

Z4 (ZAM4) 0,2653 d 15,4408 b

Z5 (ZAM5) 1,3834 b 17,6705 a

Z6 (ZAM6) 0,7545 cd 4,9278 g

Z7 (Z3A) 4,8630 a 10,5058 d Pemakaian Zeolit (F2)

Baru (P1) 1,6825 a 11,8729 a

Regenerasi (P2) 1,3460 b 10,6821 b F1*F2

Z1P1 0,8837 cde 7,8460 hi

Z1P2 0,2175 de 7,2853 i

Z2P1 1,3393 c 9,9393 f

Z2P2 1,1003 cd 8,8057 ghi

Z3P1 0,9675 cde 14,2167 de

Z3P2 0,4130 de 12,7020 ef

Z4P1 0,2120 e 15,9977 bc

Z4P2 0,3185 de 14,8840 cd

Z5P1 1,4583 c 18,2280 a

Z5P2 1,2710 c 17,1130 ab

Z6P1 0,6837 cde 4,9020 j

Z6P2 0,8253 cde 4,9537 j

Z7P1 5,5043 a 11,9803 f

Z7P2 4,2217 b 9,0313 gh Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda menurut DMRT,

F1 = jenis zeolit, F2 = pemakaian zeolit, Z1 = Zeolit alam, Z 2 sampai 6 = Zeolit alam modifikasi

2 sampai 6, Z7 = zeolit sintetis, P1 = pemakaian awal zeolit (baru), P2 = pemakaian ulang zeolit

(regenerasi).

73

Percobaan pengadukan 1 jam plus destilasi 30 menit pada bioetanol 95%

Hasil Analisis sidik ragam persentase kenaikan kadar bioetanol (PKB)

SK Derajat Jumlah Kuadrat

F hitung Pr > F Tanda Bebas Kuadrat Tengah

F1 6 9,23701753 1,53950292 90,46 <,0001 **

F2 1 0,04128674 0,04128674 2,43 0,1330 tn

F1*F2 6 0,19729031 0,03288172 1,93 0,1183 tn

Galat 23 0,39144467 0,01701933

Total 36 9,86703924

R-Square Coeff Var Root MSE PKB Mean

0,960328 16,01723 0,130458 0,814486

Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan

regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata.

Hasil Analisis sidik ragam kapasitas adsorpsi air dari zeolit (KAZ)

SK Derajat Jumlah Kuadrat F

hitung Pr > F Tanda

Bebas Kuadrat Tengah

F1 6 40,53224157 6,75537360 7,36 <,0001 **

F2 1 3,77760038 3,77760038 4,12 0,0521 tn

F1*F2 6 2,32864329 0,38810721 0,42 0,8575 tn

Galat 28 25,70107933 0,91789569

Total 41 72,33956457

R-Square Coeff Var Root MSE KAZ Mean

0,644716 16,16253 0,958069 5,927714

Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan

regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata.

74

Hasil Uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test Bioetanol 95%

Jenis Zeolit (F1) PKB KAZ

Z1 (ZA) 0,7187 d 4,6395 c

Z2 (ZAM2) 1,2723 b 5,2327 c

Z3 (ZAM3) 0,2334 e 6,8275 ab

Z4 (ZAM4) 0,3018 e 7,0080 a

Z5 (ZAM5) 1,0750 c 7,1597 a

Z6 (ZAM6) 0,3708 e 4,8870 c

Z7 (Z3A) 1,6258 a 5,7397 bc Pemakaian Zeolit (F2)

Baru (P1) 0,8470 a 6,2276 a

Regenerasi (P2) 0,7802 a 5,6278 a F1*F2

Z1P1 0,7223 d 5,1057 cde

Z1P2 0,7150 d 4,1733 e

Z2P1 1,4335 b 6,0133 a_d

Z2P2 1,1110 c 4,4520 de

Z3P1 0,2773 e 7,0730 ab

Z3P2 0,1675 e 6,5820 abc

Z4P1 0,3353 e 7,0137 ab

Z4P2 0,2515 e 7,0023 ab

Z5P1 1,1790 c 7,3137 a

Z5P2 0,9710 c 7,0057 ab

Z6P1 0,2985 e 5,0520 cde

Z6P2 0,4190 e 4,7220 de

Z7P1 1,6957 a 6,0220 a_d

Z7P2 1,5560 ab 5,4573 b_e Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda menurut DMRT,

F1 = jenis zeolit, F2 = pemakaian zeolit, Z1 = Zeolit alam, Z 2 sampai 6 = Zeolit alam modifikasi

2 sampai 6, Z7 = zeolit sintetis, P1 = pemakaian awal zeolit (baru), P2 = pemakaian ulang zeolit

(regenerasi).