tesis jadi
TRANSCRIPT
i
MODIFIKASI ZEOLIT ALAM SEBAGAI MATERIAL
MOLECULAR SIEVE DAN APLIKASINYA PADA
PROSES DEHIDRASI BIOETANOL
KHAIDIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modifikasi Zeolit Alam sebagai
Material Molecular Sieve dan Aplikasinya pada Proses Dehidrasi Bioetanol
adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Khaidir
NIM. F351070031
v
ABSTRACT
KHAIDIR. Modification of Natural Zeolite into Molecular Sieve Material and Its
Application in Bioethanol Dehydration. Under the Supervision of DWI
SETYANINGSIH and HERY HAERUDIN.
Bioethanol dehydration process carried out using modified zeolites. Modifications
made to improve the physical properties of natural zeolites, including pore size,
chemical composition, and the ratio of Si/Al, so that the hydrophilic and become
more effective in water adsorption. The objective of this study was to examine the
methods in the modification of natural zeolite structure to obtain suitable
characteristics for bioethanol dehydration, to get the best conditions of bioethanol
dehydration, and to know the grades increase of bioethanol and adsorption
capacity for each sample of modified zeolites. The natural zeolites were modified
through hydrothermal synthesis at the temperature of 95 - 100o C, while the
bioethanol dehydration process was carried out using a distillation system and
batch adsorption. The modified zeolites mostly turned into zeolite type A in the
form of sodium aluminosilicate. Zeolite samples leading to the structure of zeolite
NaA were ZAM2, ZAM3, ZAM5 and ZAM6. The content of ethanol in
bioethanol increased after the adsorption process of each zeolite sample. The
ability of modified natural zeolites (ZAM2 and ZAM5) to increase the grade of
bioethanol was better compared with that of purely natural zeolites (without
modification), and this was also the case with their capacity of water adsorption in
the bioethanol sample. The increased percentages of bioethanol grades in the
immersion method using ZAM2 and ZAM5 with bioethanol of 90% were
respectively 1.22% and 1.38%, while with bioethanol of 95% the percentages
were 1.27% and 1.08%. Meanwhile, the resulted levels of bioethanol using purely
natural zeolites with bioethanol of 90% and 95% were respectively 0.62% and
0.72%. The maximum capacity of adsorption was 17.67% for ZAM5 in the
immersion with bioethanol of 90% for 24 hours. In general, the grade of ethanol
increased after the adsorption process that uses all the modified zeolite samples.
Keywords: bioethanol, dehydration, modified zeolite, zeolite A
vii
RINGKASAN
KHAIDIR. Modifikasi Zeolit Alam sebagai Material Molecular Sieve dan
Aplikasinya pada Proses Dehidrasi Bioetanol. Dibimbing oleh DWI
SETYANINGSIH dan HERY HAERUDIN.
Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula).
Bioetanol yang dihasilkan sangat tidak murni, sehingga memerlukan pengolahan
lebih lanjut (Clark 2007). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar
(biofuel) perlu dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade
ethanol (FGE). Bioetanol sebagai campuran bahan bakar harus betul-betul kering
(anhidrat) supaya tidak korosif. Jika bioetanol masih mengandung air sebesar 4 –
5% akan mempengaruhi kinerja mesin dan dapat menyebabkan terjadinya korosi.
Proses dehidrasi dilakukan untuk memperoleh etanol dengan kadar lebih besar
dari 99%.
Penggunaan zeolit alam dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi masih terbatas
karena distribusi pori yang tidak seragam dan bukan merupakan jenis zeolit
tunggal. Zeolit alam Indonesia merupakan campuran dari beberapa senyawa kimia
pembentuk batuan. Zeolit 3A (Z3A) memiliki ukuran pori 3Å dengan rasio Si/Al
adalah 1,0. Zeolit dengan kandungan alumina yang tinggi akan bersifat hidrofilik,
sebaliknya zeolit dengan kandungan silika tinggi bersifat hidrofobik (Flanigen
1980). Rasio Si/Al dalam zeolit alam adalah 5,62, sehingga menyebabkan zeolit
alam kurang hidrofilik dibandingkan dengan Z3A.
Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi struktur zeolit alam untuk
mendapatkan zeolit dengan rasio Si/Al mendekati 1,0 dengan distribusi ukuran
pori yang seragam dan hampir sama dengan Z3A. Zeolit hasil modifikasi
diharapkan dapat digunakan pada proses adsorpsi dan dehidrasi terutama dalam
proses pemurnian bioetanol kualitas bahan bakar.
Modifikasi zeolit dilakukan melalui sintesis hidrotermal pada temperatur 95 –
100oC. Proses modifikasi dilakukan melalui aluminasi zeolit menggunakan
beberapa sumber alumina. Sumber alumina yang digunakan adalah aluminium
oksida, aluminium nitrat, tawas, dan kaolin. Zeolit hasil modifikasi diberi kode
ZAM1, ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan ZAM6. Karakterisasi yang dilakukan
meliputi analisis komposisi kimia menggunakan X-Ray Fluorescence (XRF) dan
Energy Dispersive X-Ray (EDX), struktur zeolit menggunakan XRD, sedangkan
luas permukaan, volume dan diameter pori menggunakan Pore Size Distribution
Analysis (PSDA).
Proses dehidrasi bioetanol dilakukan menggunakan metode destilasi dan
perendaman (batch adsorption) dengan kadar bioetanol umpan adalah 90 dan
95%. Metode destilasi dilakukan menggunakan ZAM1, sedangkan metode
perendaman dilakukan menggunakan ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan ZAM6.
Analisis statistik dilakukan terhadap data peningkatan kadar bioetanol dan
kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air pada percobaan proses dehidrasi
menggunakan metode perendaman.
Hasil karakterisasi terhadap sampel zeolit menunjukkan bahwa terjadi
penurunan rasio Si/Al dalam sampel zeolit hasil modifikasi. Luas permukaan
viii
sampel zeolit yang dihasilkan berdasarkan pendekatan isoterm adsorpsi BET
(Bunauer, Emmett, & Teller) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan sampel
zeolit alam murni, begitu juga dengan volume porinya kecuali ZAM1. Diameter
pori sebelum dan setelah modifikasi tidak terjadi perubahan yang signifikan,
artinya ukuran pori zeolit hasil modifikasi masih mendekati ukuran pori sampel
zeolit alam. Berdasarkan pada pola difraksi sinar-X yang diperoleh, zeolit yang
dimodifikasi sudah mengarah pada pembentukan zeolit A dalam bentuk sodium,
antara lain ZAM2, ZAM3, ZAM5 dan ZAM6. Namun, hasil yang diperoleh masih
belum murni dan diduga masih merupakan campuran dari beberapa jenis zeolit
seperti klinoptilolit, filipsit, natrolit, dan mordenit.
Aplikasi zeolit hasil modifikasi pada proses dehidrasi bioetanol menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan kadar bioetanol setelah proses adsorpsi. Kemampuan
zeolit alam modifikasi (ZAM2 dan ZAM5) dalam menaikkan kadar bioetanol
lebih baik jika dibandingkan dengan zeolit alam murni (tanpa modifikasi). Begitu
juga dengan kapasitas adsorpsinya terhadap air dalam sampel bioetanol.
Persentase kenaikan kadar bioetanol menggunakan ZAM2 dan ZAM5 pada
metode perendaman dengan bioetanol 90% berturut-turut adalah 1,22 % dan
1,38%, sedangkan pada bioetanol 95% adalah 1,27% dan 1,08%. Sementara itu,
kemampuan peningkatan kadar bioetanol menggunakan zeolit alam murni pada
bioetanol kadar 90% dan 95% berturut-turut adalah 0,62% dan 0,72%. Kapasitas
adsorpsi air maksimum adalah 17,67% yang dimiliki oleh ZAM5 pada perlakuan
perendaman dalam bioetanol 90% selama 24 jam, namun masih kurang selektif
jika dibandingkan dengan zeolit sintetis (Z3A).
Kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air dalam bioetanol dari semua jenis
zeolit yang digunakan tidak mengalami penurunan yang siginifikan pada saat
digunakan kembali pada proses dehidrasi. Kemampuan zeolit setelah regenerasi
hampir sama dengan pada saat penggunaan pertama, dengan kata lain zeolit
tersebut masih layak untuk digunakan kembali pada proses dehidrasi bioetanol
selanjutnya. Kapasitas adsorpsi sampel zeolit hasil modifikasi terhadap air dalam
bioetanol sudah menunjukkan hasil yang cukup bagus jika dibandingkan dengan
sampel zeolit alam. Bahkan kapasitas adsorpsi zeolit alam modifikasi melebihi
kapasitas adsorpsi zeolit 3A, namun kelemahan dari zeolit alam modifikasi adalah
masih mengadsorpsi bioetanol dalam jumlah yang besar pula. Hal ini terlihat dari
berkurangnya jumlah bioetanol setelah proses adsorpsi menggunakan ZAM3,
ZAM4, dan ZAM5. Jika dibandingkan dengan proses dehidrasi menggunakan
metode destilasi, maka metode perendaman (batch adsorption) masih kurang
bagus karena menyebabkan terjadinya pengurangan volume bioetanol yang cukup
besar.
Kata kunci: bioetanol, dehidrasi, zeolit termodifikasi, zeolit A
ix
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
xi
MODIFIKASI ZEOLIT ALAM SEBAGAI MATERIAL
MOLECULAR SIEVE DAN APLIKASINYA PADA
PROSES DEHIDRASI BIOETANOL
KHAIDIR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
xiii
Judul Tesis : Modifikasi Zeolit Alam sebagai Material Molecular
: Sieve dan Aplikasinya pada Proses Dehidrasi Bioetanol
Nama Mahasiswa : Khaidir
NIM : F351070031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Dr. rer.nat. Hery Haerudin
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian Sekretaris Program Magister
Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 8 Juli 2011 Tanggal Lulus :
xv
PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan
judul “Modifikasi Zeolit Alam sebagai Material Molecular Sieve dan Aplikasinya
pada Proses Dehidrasi Bioetanol”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si
dan Bapak Dr.rer.nat Hery Haerudin selaku komisi pembimbing yang telah
dengan sabar memberikan bimbingan, bantuan, serta motivasi baik berupa moril
maupun materil selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tesis,
kepada Bapak Dr. Ono Suparno, STP, MT, terima kasih atas kesediaannya
sebagai penguji luar komisi dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat
terhadap hasil penelitian, terima kasih juga kepada Ibu Dr. Ir. Titi Chandra
Sunarti, M.Si., atas saran dan masukan yang sangat berarti terhadap
kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini.
Rektor Universitas Malikussaleh dan Dekan Fakultas Pertanian - Unimal
selaku atasan, terima kasih atas izinnya untuk melanjutkan studi pada Program
Studi Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam atas bantuan
yang telah diberikan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melalui Program
BPPS tahun 2007, Kementerian Riset dan Teknologi atas bantuan melalui
Program Hibah Riset Peningkatan Kapasitas IPTEK. Ibu Ir. Rd. Selvy Handayani,
M.Si dan Bapak Ismadi, S.P, M.Si, terima kasih atas masukan dan bantuannya
dalam pengolahan data statistik. Bapak Ir. Alixie Heryandie Bronto Adi, MT,
terima kasih atas bantuan, masukan dan sarannya. Ibu Prof. Dr. Erliza Hambali
selaku pimpinan Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC), terima kasih
atas izin melakukan penelitian di Laboratorium SBRC LPPM IPB.
Bapak Toni Toha dan CV. Transindo Utama, terima kasih atas sampel zeolit
yang telah diberikan, Bapak Dr. Gustan Pari, M.Si, Pak Dadang Setiawan, SE,
Pak Didik A Sudika, Pak Ahmad Junaedi, Pak Slamet Chaerudin beserta staf
Laboratorium Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan lainnya, terima kasih atas kerjasamanya
xvi
selama proses analisis sampel di laboratorium. Ibu Titik Hari Ujianti beserta staf
Laboratorium dan Technical Service Pertamina, Bapak Jajat Sudradat selaku
Kepala Laboratorium FT Kimia–UI, terima kasih atas kerjasamanya selama
proses analisis sampel zeolit.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Zaenal Abidin
atas sharing informasi tentang zeolit alam dan analisis sampel zeolit di Jepang,
Bapak Dr. Ir. Irzaman, M.Si, terima kasih atas masukan dan sarannya, Prof. Dr.
Ani Suryani, DEA dan seluruh staf pengajar TIP, staf laboratorium, Ibu
Nurjannah beserta staf administrasi Fateta IPB lainnya, Saiful Firmansyah terima
kasih atas bantuannya pada analisis sampel bioetanol, Guntoro, Obi, Taufik,
Jaelani, Wiwin, Anas, Otto, Feri, Pak Ratno, Pak Heri serta seluruh staf SBRC,
Ayi Fisika’ 44 terima kasih atas software JCPDS-nya, Tim Penelitian dan teman-
teman TIP 2007, Zulkifli AK, Muliari Ayi, Masda Azmi, Mukhlis Hidayat, Agus
Nauval, rekan-rekan IKAMAPA dan IMTR, serta semua pihak yang telah
membantu kelancaran studi dan terselesaikannya penelitian serta penyusunan tesis
ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda M. Sufi Yunus
dan Ibunda Manawiyah, atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya yang tak
ternilai dengan harta benda. Istri tercinta adinda Mailidar, atas dukungan, doa, dan
kesabarannya dalam menemani dan membantu penulis selama penelitian, adik-
adikku Dahniar dan Akmal, Zulfikar, Faisal, Vira dan Raja, Pakwa Anwar Fuadi,
Nek Idah, Om Bawi, Tante Boby, Om Lan, Tante Ida, Cek Han, Cek Susi, Cek
Mun dan Cek Feri, serta seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, terima kasih atas dukungan moril dan materilnya selama penulis
menyelesaikan studi S2 (Magister Sains).
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Khaidir
NIM. F351070031
xvii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kandang pada tanggal 17 April 1977 dari ayah
Muhammad Sufi Yunus dan ibu Manawiyah. Penulis merupakan putra pertama
dari enam bersaudara.
Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lhokseumawe dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk Universitas (USMU). Penulis memilih jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada tahun 2007, penulis diterima di
Program Mayor Teknologi Industri Pertanian pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Beasiswa pendidikan diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi
Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
sejak tahun 2005.
Bogor, Juli 2011
Khaidir
NIM. F351070031
xix
DAFTAR ISI
ABSTRACT ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xxvii
1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.3 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5
2.1 Bioetanol ................................................................................................. 5
2.2 Dehidrasi ................................................................................................. 6
2.3 Molecular Sieve (Penyaring Molekular)................................................. 8
2.4 Zeolit Molecular Sieve (ZMS) .............................................................. 10
2.5 Karakterisasi ZMS ................................................................................ 15
2.5.1 Fluoresensi Sinar-X dan Energy Dispersive X-Ray ................. 15
2.5.2 Difraksi Sinar-X ........................................................................ 16
2.5.3 Scanning Electron Microscopy (SEM) ..................................... 17
2.5.4 Analisis Distribusi Pori Zeolit .................................................. 18
2.6 Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit Alam dan Zeolit A Sintetis 19
3 METODE PENELITIAN ............................................................................ 23
3.1 Waktu dan Tempat................................................................................ 23
3.2 Bahan dan Alat ..................................................................................... 23
3.3 Metodologi ........................................................................................... 23
3.3.1 Modifikasi zeolit alam ............................................................... 23
3.3.2 Karakterisasi zeolit termodifikasi ............................................. 26
3.3.3 Aplikasi zeolit termodifikasi dalam dehidrasi bioetanol .......... 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 31
4.1 Modifikasi Zeolit .................................................................................. 31
4.1.1 Karakteristik zeolit alam (ZA) .................................................. 31
4.1.2 Modifikasi zeolit alam dan karakterisasi zeolit termodifikasi .. 32
4.2 Aplikasi Zeolit Termodifikasi Pada Proses Dehidrasi Bioetanol ......... 43
4.2.1 Metode Destilasi ....................................................................... 43
4.2.2 Metode Perendaman (Batch Adsorption) ................................. 46
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 53
Halaman
xx
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 53
5.2 Saran ..................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55
LAMPIRAN ......................................................................................................... 61
xxi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbandingan karakteristik fisika dan kimia bioetanol, diesel, dan
gasolin ....................................................................................................... 6
Tabel 2 Beberapa metode pemisahan untuk memperoleh alkohol absolut ........... 8
Tabel 3 Contoh jenis mineral zeolit dan komposisi kimianya ............................ 15
Tabel 4 Metode sintesis zeolit A sebagai molecular sieve .................................. 20
Tabel 5 Proses dehidrasi etanol menggunakan zeolit molecular sieve ............... 21
Tabel 6 Perbandingan komposisi kimia zeolit bayah terhadap zeolit sintetis
mordenit dan klinoptilolit ....................................................................... 32
Tabel 7 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode XRF .................. 34
Tabel 8 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode EDX ................. 35
Tabel 9 Hasil analisis karakteristik pori zeolit .................................................... 37
Tabel 10 Klasifikasi distribusi ukuran pori (IUPAC 1985) .................................. 38
Tabel 11 Intensitas relatif sampel zeolit pada masing-masing 2θ derajat ............. 40
Tabel 12 Pengaruh jenis zeolit dan pemakaian ulang zeolit terhadap persentase
kenaikan kadar bioetanol 90% ................................................................ 49
Halaman
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Susunan heksagonal satuan (unit) SiO4. ............................................. 11
Gambar 2 Struktur zeolit tipe A dan X. .............................................................. 14
Gambar 3 Reaksi pertukaran ion Na dengan K pada molecular sieve 4A. ......... 14
Gambar 4 Diagram alat difraksi sinar-X. ............................................................ 17
Gambar 5 Berkas elektron yang dideteksi SEM. ................................................ 18
Gambar 6 Diagram alir proses sintesis ZAM1. ................................................... 24
Gambar 7 Diagram alir proses sintesis ZAM2 sampai ZAM6. .......................... 25
Gambar 8 Rangkaian peralatan proses dehidrasi bioetanol sederhana. .............. 27
Gambar 9 Diagram alir proses dehidrasi menggunakan metode destilasi. ......... 28
Gambar 10 Diagram alir proses dehidrasi melalui metode perendaman. ............ 28
Gambar 11 Zeolit hasil modifikasi sebelum dan sesudah pengeringan
menggunakan metode asidifikasi-realuminasi. .................................. 34
Gambar 12 Zeolit alam modifikasi dalam bentuk granula ukuran 3 – 5 mm. ...... 35
Gambar 13 Pola difraksi sinar-X sampel zeolit. ................................................... 39
Gambar 14 Foto mikro sampel zeolit alam dan zeolit 3A. ................................... 41
Gambar 15 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 2 dan 3. ........................... 42
Gambar 16 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 4, 5, dan 6. ...................... 42
Gambar 17 Diagram kesetimbangan fase uap dan cair campuran etanol-air. ....... 44
Gambar 18 Kadar etanol sebelum dan sesudah proses dehidrasi menggunakan
metode destilasi. ................................................................................. 45
Gambar 19 Persentase kenaikan kadar bioetanol 90%. ........................................ 46
Gambar 20 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 90%. ...................... 47
Gambar 21 Pendekatan adsorpsi isotermis Brunauer, Emmett, & Teller. ............ 48
Gambar 22 Persentase kenaikan kadar bioetanol 95%. ........................................ 49
Gambar 23 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 95%. ...................... 50
Gambar 24 Diagram Interaksi air dengan kation natrium (Na). ........................... 52
Halaman
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Gambar beberapa alat yang digunakan dalam penelitian .................. 63
Lampiran 2 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan EDX.......................... 65
Lampiran 3 Data Hasil Analisis Luas Permukaan BET sampel zeolit.................. 67
Lampiran 4 Rataan kadar dan massa bioetanol pada proses dehidrasi ................. 69
Lampiran 5 Data analisis sidik ragam, uji Duncan PKB dan KAZ ...................... 71
Halaman
xxvii
DAFTAR SINGKATAN
BET = Brunauer, Emmett, & Teller
BPE = Biosinergi Prima Engineering
DMRT = Duncan’s Multiple Range Test
EDX = Energy Dispersive X-ray
ETBE = Ethyl Tertiary Butyl Ether
EtOH = Etanol
FGE = Fuel Grade Ethanol
IUPAC = International of Pure and Applied Chemistry
JCPDS = Joint Committee on Powder Diffraction Standards
KAZ = kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air
KTK = kapasitas tukar kation
MON = motor octane number
PDMS = polydimethylsiloxane
PKB = persentase kenaikan kadar bioetanol
PSA = Pressure Swing Adsorption
PSDA = Pore Size Distribution Analysis
RAL = rancangan acak lengkap
SEM = Scanning Electron Microscopy
XRD = X-ray Diffractometer
XRF = X-ray Fluorescense
Z3A = zeolit sintetis 3A
ZA = zeolit alam
ZAA = zeolit alam hasil perlakuan asam
ZAM = zeolit alam modifikasi
ZMS = zeolit molecular sieve
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang
dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi hanya mampu menghasilkan
etanol dengan persentase 95% atau secara teoritis < 97,20% (Onuki 2006). Proses
produksi bioetanol berbeda dengan proses produksi etanol yang umum digunakan
dalam industri etanol. Etanol skala industri dihasilkan melalui hidrasi senyawa
alkena dengan uap air menggunakan katalis SiO2 padat yang dilapisi dengan asam
fosfat (Clark 2007). Proses pembuatan dilakukan dengan mengalirkan pereaksi di
atas sebuah katalis secara terus-menerus. Proses ini sangat cepat dan
menghasilkan etanol dengan kemurnian tinggi, namun terbatas pada ketersediaan
sumber bahan baku.
Sementara itu, pada proses produksi bioetanol tidak mengalami kendala
terhadap ketersediaan sumber bahan baku. Sumber bahan baku untuk produksi
bioetanol berasal dari material tanaman yang renewable. Hampir semua tanaman
yang mengandung karbohidrat dapat digunakan sebagai sumber bahan baku pada
proses produksi bioetanol. Proses pembuatan bioetanol dilakukan dengan
mencampurkan semua bahan ke dalam sebuah wadah dan kemudian dibiarkan
sampai fermentasi selesai. Kumpulan bahan ini kemudian dikeluarkan dan sebuah
reaksi baru dilangsungkan. Bioetanol yang dihasilkan memiliki kadar 10% dengan
kandungan air yang cukup banyak, sehingga memerlukan pengolahan lebih lanjut
(Clark 2007). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu
dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade ethanol (FGE).
Bioetanol sebagai campuran bahan bakar harus betul-betul kering dan anhidrat
supaya tidak korosif. Jika bioetanol masih mengandung air sebesar 4 – 5% akan
mempengaruhi kinerja mesin dan dapat menyebabkan terjadinya korosi.
Proses dehidrasi dilakukan untuk memperoleh etanol dengan kadar lebih
besar dari 99%. Pada penelitian ini, proses dehidrasi bioetanol dilakukan melalui
metode adsorpsi menggunakan zeolit molecular sieve. Pemilihan zeolit sebagai
bahan penyerap pada proses dehidrasi bioetanol didasarkan pada beberapa
pertimbangan antara lain : (1) ketersediaan zeolit alam Indonesia yang melimpah,
2
(2) harga zeolit alam yang murah, (3) tidak memerlukan input energi yang tinggi,
(4) dan tidak akan menyebabkan kontaminasi terhadap etanol yang dihasilkan
setelah proses dehidrasi. Zeolit merupakan senyawa alumino silikat yang
mengandung unsur alkali dan alkali tanah, berstruktur tiga dimensi, memiliki
pori/saluran kosong yang berhubungan satu sama lainnya ke segala arah. Zeolit
memiliki kemampuan menyerap dan menyaring molekul, bersifat sebagai penukar
ion, dapat digunakan sebagai katalis, memiliki sifat hidratasi dan dehidratasi.
Pori-pori yang terbuka adalah sangat kecil (pori terbuka tersebut diukur
dalam Angstrom atau nanometer) tetapi mendorong ke arah struktur internal yang
lebih besar (serupa pintu keluar masuk yang banyak di dalam ruang yang lebih
besar). Zeolit yang umum digunakan dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi
merupakan zeolit sintetis tipe A (Pfeninger 1999) dengan ukuran pori yang
seragam (Kohl 2004). Zeolit A yang umum digunakan pada proses dehidrasi atau
pengeringan etanol adalah zeolit 3A, 4A dan 5A. Zeolit 3A lebih disukai karena
memiliki ukuran pori yang paling sesuai untuk pemisahan campuran etanol-air
(Al-Asheh et al. 2004). Molekul etanol dengan ukuran diameter pori 4,4 Å akan
sulit masuk ke dalam pori dengan ukuran 3 Å. Molekul air dengan ukuran
diameter 2,8 Å dapat masuk dengan baik ke dalam pori-pori penyaring molekular.
Sebagai tambahan terhadap penyaringan alami dari penyaring molekular, adsorpsi
pada permukaan juga berperan penting terhadap efisiensi dari pemisahan (Kohl
2004).
Di Indonesia, zeolit di alam tersedia melimpah terutama untuk kawasan
yang dilalui gugusan gunung berapi. Sedikitnya 50 lokasi telah diketahui
mengandung mineral zeolit yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Produksi zeolit di Indonesia saat ini
diperkirakan sebanyak 100.000 ton pertahun dihasilkan oleh sekitar 20 perusahaan
(Suwardi 2000).
Penggunaan zeolit alam dalam bidang adsorpsi dan dehidrasi masih terbatas
karena distribusi pori yang tidak seragam dan bukan merupakan jenis zeolit
tunggal. Sebagian besar zeolit alam Indonesia merupakan campuran dari beberapa
senyawa kimia pembentuk batuan. Akibatnya ukuran pori tidak seragam, sehingga
perlu dilakukan modifikasi. Zeolit 3A memiliki ukuran pori 3Å dengan
3
kandungan ion Na+ dan K
+ yang sesuai dan rasio Si/Al adalah 1,0. Zeolit dengan
kandungan alumina yang tinggi akan bersifat hidrofilik, sebaliknya zeolit dengan
kandungan silika tinggi bersifat hidrofobik (Flanigen 1980). Rasio Si/Al dalam
zeolit alam adalah 5,62, sehingga menyebabkan zeolit alam kurang hidrofilik
dibandingkan dengan Z3A.
Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi struktur zeolit alam untuk
mendapatkan zeolit dengan rasio Si/Al mendekati 1,0 dengan distribusi ukuran
pori yang seragam dan hampir sama dengan Z3A. Zeolit hasil modifikasi
diharapkan dapat digunakan pada proses adsorpsi dan dehidrasi terutama dalam
proses pemurnian bioetanol kualitas bahan bakar.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mempelajari metode modifikasi struktur zeolit alam sehingga memiliki
karakteristik yang sesuai untuk digunakan pada proses dehidrasi bioetanol.
2. Mendapatkan kondisi proses dehidrasi bioetanol terbaik.
3. Mengetahui kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi zeolit.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup :
1. Zeolit alam yang digunakan berasal dari daerah Bayah, Provinsi Banten, yang
diperoleh dari CV. Transindo Utama-Bandung dengan ukuran 3 mm dan
bubuk ukuran 150 mesh.
2. Bioetanol yang digunakan sebagai bahan baku berasal dari PT. Nature and
Environment Energy (NNE) dengan kadar 90 – 95%.
3. Modifikasi zeolit alam sebagai material molecular sieve dilakukan melalui
metode sintesis hidrotermal pada suhu 95 – 100oC dengan sumber alumina
Al2O3, Al(NO3)3, dan tawas.
4. Proses dehidrasi bioetanol dilakukan melalui metode destilasi dan metode
perendaman (batch adsorption). Parameter yang diamati adalah kenaikan
kadar bioetanol dan kapasitas adsopsi zeolit.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioetanol
Etanol merupakan senyawa kimia dengan rumus C2H5–OH. Strukturnya
serupa dengan air, tetapi satu atom hidrogennya diganti satu gugus etil (Hart
2004). Bioetanol merupakan etanol yang diproduksi dari bahan baku tanaman
yang mengandung gula dan pati. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan
sumber pati yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,
sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk
dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioetanol. Namun dari
semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya
sangat tinggi dalam memproduksi pati sebagai bahan baku untuk pembuatan
bioetanol. Selain itu, pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku
proses produksi bioetanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi.
Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi
harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya
pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan
baku untuk memproduksi setiap liter bioetanol (Nurdyastuti 2005).
Secara umum bioetanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan
campuran bahan bakar kendaraan. Mengingat pemanfaatan bioetanol beraneka
ragam, maka terdapat penggolongan kualitas (grade) bioetanol. Bioetanol yang
mempunyai kadar 90-96,5% volume dapat digunakan pada industri, sedangkan
bioetanol yang mempunyai kadar 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai
campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Bioetanol yang
dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus betul-betul
kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai
kadar sebesar 99,5-100% volume (Nurdyastuti 2005).
Etanol memiliki angka oktan lebih tinggi daripada bensin (gasolin), yang
dapat mendorong peningkatan bilangan oktan pada saat dicampur, sehingga dapat
mengurangi kebutuhan akan bahan aditif beracun seperti benzena. Lebih jauh lagi,
etanol menyediakan oksigen, sehingga pembakaran lebih sempurna dan dapat
6
mengurangi emisi CO dan hidrokarbon yang tidak terbakar, yang dapat
mencemari udara. Karakteristik fisika dan kimia utama dari bioetanol
dibandingkan terhadap bahan bakar diesel dan gasolin disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan karakteristik fisika dan kimia bioetanol, diesel, dan gasolin
Diesel Etanol Gasolin
Low heating value-LHV (MJ/kg) 42,7 26,9 43,7
Low heating value-LHV (MJ/l) 36,4 21,0 32,0
Viskositas (cSt) 2,5 - -
Densitas (kg/m3) @ 15
oC 830 – 880 790 700 – 780
Bilangan oktan (MON) - 96 – 106 79 – 98
Tekanan uap @ 38oC (psi) 0,04 2,5 7 – 9
Flash point (oC) 55 – 65 13 (-40)
Temperatur didih (oC) 17 – 340 78 33 – 213
Panas penguapan (kJ/kg) - 842 300
Suhu Auto-ignition (oC) 230 – 315 366 300 – 371
Flammability limits (oC) 64 – 150 13 – 42 (-40) – (-18)
Flammability limits (% vol) 0,6 – 5,6 3,3 – 19,0 1,4 – 7,6
Sumber : Chiaramonti (2007)
Etanol dapat direaksikan dengan isobutilen untuk membentuk “ethyl tertiary
butyl ether” (ETBE) yang memberikan sifat-sifat yang menguntungkan dibanding
penambahan langsung etanol karena menghasilkan tekanan uap campuran yang
lebih rendah. Di samping itu, ETBE lebih mudah diintegrasikan ke dalam sistem
distribusi gasolin karena memiliki sifat yang sangat mirip dengan gasolin (Wyman
1996). Beberapa keuntungan dari penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar
antara lain, (1) Mengurangi pengikisan lapisan ozon melalui penurunan emisi
oksida karbon di udara, (2) Sepenuhnya dapat diperbaharui, (3) Menekan laju
peningkatan CO2 di udara melalui fotosintesis oleh tumbuhan; sementara jika
menggunakan bahan bakar fosil akan terjadi penambahan jumlah karbon di udara
akibat pengeluaran sumber karbon yang selama ini ada di dalam perut bumi.
2.2 Dehidrasi
Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang
dilanjutkan dengan proses destilasi. Pemurnian bioetanol menjadi berkadar 95%
harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan
memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut. Peralatan destilasi
konvensional untuk fraksinasi kontinyu dari cairan terdiri dari tiga (3) bagian
utama :
7
Evaporator yang memerlukan panas untuk menguapkan cairan
Kolom destilator yang secara aktual berhubungan dengan sampel cairan
selama pemisahan dengan cara destilasi
Kondensor untuk pendingin dari produk akhir yang terletak pada bagian atas
(Earle & Earle 1983).
Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya
air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan
biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Bioetanol yang mengandung etanol
95% volume lebih dikenal dengan campuran azeotropik etanol-air. Campuran
azeotropik tersebut dapat dipisahkan melalui beberapa metode yang telah umum
dikenal, diantaranya destilasi azeotropik, dehidrasi melalui adsorpsi dan penyaring
molekular (molecular sieve).
Destilasi azeotropik melibatkan penambahan bahan kimia ketiga yang
disebut entrainer ke dalam sistem selama proses destilasi. Metode ini memiliki
beberapa kelemahan diantaranya : (1) Memerlukan input energi yang tinggi; (2)
Memerlukan sistem yang kompleks dari kolom untuk regenerasi bahan pengisi
(entrainer); (3) Ada kecenderungan etanol terkontaminasi dengan bahan entrainer
pada saat sistem mengalami gangguan (Kohl 2004). Metode lain yang dapat
digunakan dan lebih baik daripada metode destilasi azeotropik adalah dengan
menggunakan molecular sieve (penyaring molekular).
Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat
kemurnian lebih tinggi (99% etanol anhidrat), yang biasanya digunakan sebagai
campuran “unleaded gasoline” menjadi gasohol (Kurniawan et al. 2005). Proses
pemurnian bioetanol menjadi bioetanol dengan kadar 99 – 100 % dinamakan
dehidrasi. Hal terpenting pada dehidrasi bioetanol adalah mengeluarkan air yang
masih bercampur dengan bioetanol yang dihasilkan dari proses destilasi. Proses
destilasi hanya mampu menghasilkan etanol dengan persentase 95% atau secara
teoritis < 97,2% (Onuki 2006). Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan
bakar (biofuel) perlu dimurnikan hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel
grade ethanol (FGE). Beberapa metode pemisahan telah dilakukan dan
dikembangkan untuk mendapatkan alkohol anhidrat, sehingga nantinya dapat
digunakan sebagai bahan bakar.
8
Pada awalnya, Alkohol anhidrat dibuat dengan penyerapan dari 4 – 5% air
yang ada di dalam alkohol 95 – 96% menggunakan batuan kapur. Walaupun dapat
menghasilkan alkohol anhidrat berkualitas tinggi, tetapi proses ini mahal dan
sudah diganti dengan proses yang lain. Etil alkohol (etanol) dan air membentuk
suatu azeotrop yang mengandung 95% volume alkohol. Berbagai metode telah
digunakan dan/atau disarankan untuk menghilangkan 5% air sehingga
menghasilkan alkohol 100%. Tabel 2 menunjukkan sejumlah daftar dari rute
pemisahan dan kebutuhan energi dalam penyempurnaan proses penghilangan air
di dalam alkohol (Austin 1984).
Tabel 2 Beberapa metode pemisahan untuk memperoleh alkohol absolut
Tipe Etanol (%) Proses
Kebutuhan
pemisahan Awal Akhir energi (kJ/l)
Sempurna 10 100 Conventional ”dual” distillation 7600 Sempurna 10 100 Ekstraksi dengan CO2 2200 – 2800 Sempurna 10 100 Ekstraksi pelarut 1000
a Sempurna 10 100 Destilasi vakum 9800
b 10 – azeotrop 10 95 Destilasi konvensional 5000 10 – azeotrop 10 95 Vapor recompression 1800
a 10 – azeotrop 10 95 “multieffect” vacuum 2000
c Azeotrop 95 100 Destilasi azeotrop konvensional 2600 Azeotrop 95 100 Dehidrasi melalui adsorpsi 335
d Azeotrop 95 100 Penyaring molekular 1300 – 1750 yang lain 3 10 Reverse Osmosis 140
a Gambaran energi termal yang dibutuhkan untuk penyediaan energi mekanik selama
proses berlangsung b Destilasi kolom tunggal
c Destilasi tiga kolom
d Pengeringan dengan CaO
Sumber : Battelle Pasific Northwest Laboratories dalam Austin (1984)
2.3 Molecular Sieve (Penyaring Molekular)
Molecular sieve adalah material sintetis yang memiliki pori-pori dengan
ukuran yang sama persis dan seragam yang digunakan sebagai adsorben gas dan
cairan. Molekul-molekul yang cukup kecil akan diadsorpsi melewati pori-pori,
sedangkan molekul-molekul yang lebih besar akan ditolak. Penyaring molekular
berbeda dengan penyaring secara umum yang digunakan untuk menyaring
molekul pada tingkatan tertentu. Sebagai contoh, adalah molekul air yang
mungkin cukup kecil sehingga dapat melewatinya. Oleh karena itu, penyaring
molekular sering berfungsi sebagai pengering (dessicant). Penyaring molekular
9
dapat mengadsorpsi air sampai 22% dari berat yang dimilikinya (Gubta &
Demirbas 2010). Penyaring molekular biasanya terdiri dari mineral-mineral
aluminosilikat, tanah liat, kaca berpori, arang mikroporous, zeolit, karbon aktif,
atau senyawa-senyawa sintetis yang memiliki struktur terbuka yang dapat dilalui
oleh molekul-molekul kecil, seperti nitrogen dan air.
Penyaring molekular sering digunakan dalam industri petroleum, terutama
untuk purifikasi aliran gas. Di laboratorium kimia, digunakan untuk pemisahan
senyawa-senyawa dan pengeringan bahan-bahan dasar reaksi. Metode untuk
regenerasi penyaring molekular meliputi perubahan tekanan (seperti pemekat
oksigen), pemanasan dan pembersihan dengan menggunakan gas pembawa
(seperti ketika digunakan dalam dehidrasi etanol), atau pemanasan dengan vakum
tinggi.
Kemampuan adsorpsi penyaring molekular adalah sebagai berikut :
3A (ukuran pori 3Å) : mengadsorpsi NH3, H2O, (tidak C2H6). Baik untuk
pengeringan cairan polar.
4A (ukuran pori 4Å) : mengadsorpsi H2O, CO2, SO2, H2S, C2H4, C2H6, C3H6,
Etanol. Tidak akan mengadsorpsi C3H8 dan hidrokarbon yang lebih tinggi.
5A (ukuran pori 5Å) : mengadsorpsi hidrokarbon normal (linier) sampai n-
C4H10, alkohol sampai C4H9OH, merkaptan sampai C4H9SH. Tidak akan
menyerap senyawa-senyawa iso dan bercincin yang lebih besar dari C4.
10X (ukuran pori 8Å) : mengadsorpsi hidrokarbon bercabang dan senyawa
aromatik. Berguna untuk pengeringan gas.
13X (ukuran pori 10Å) : mengadsorpsi di-n-butilamin (tetapi tidak tri-n-
butilamin). Berguna untuk pengeringan hexamethylphosphoramide (HMPA)
(Anonim 2006).
Beberapa keuntungan menggunakan penyaring molekular pada proses
dehidrasi etanol antara lain : (1) Proses yang sangat sederhana, sehingga mudah
diotomatisasi, sehingga dapat mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja, (2)
Proses inert, karena tidak menggunakan bahan kimia tambahan yang memerlukan
penanganan tertentu yang mungkin dapat membahayakan para pekerja, (3)
Penyaring molekular dapat dengan mudah memproses etanol yang mengandung
kontaminan. Hal ini merupakan gangguan pada proses destilasi azeotropik, (4)
Penyaring molekular yang didesain untuk etanol dapat juga digunakan untuk
10
dehidrasi bahan-bahan kimia lainnya, (5) Memiliki umur simpan yang lama (lebih
dari 5 tahun), kerusakan hanya terjadi karena media yang kotor atau karena
destruksi mekanis, dan (6) Dapat diatur sebagai sistem yang berdiri sendiri atau
terintegrasi dengan sistem destilasi. Jika sepenuhnya terintegrasi dengan sistem
destilasi, akan diperoleh laju penggunaan tenaga yang sangat minimum pada
proses pemisahan (Anonim 2002).
2.4 Zeolit Molecular Sieve (ZMS)
Zeolit merupakan senyawa kristal alumina silikat dari unsur-unsur golongan
IA dan IIA seperti natrium, kalium, magnesium, dan kalsium. Zeolit dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis
(Mortimer & Taylor 2002). Zeolit alam adalah zeolit yang diperoleh dari endapan
di alam, sedangkan zeolit sintetis adalah zeolit yang direkayasa dari bahan
berkemurnian tinggi, mempunyai jenis kation tunggal, mempunyai ukuran pori,
saluran dan rongga tertentu (Mortimer & Taylor 2002). Zeolit secara umum
memiliki ukuran pori yang bervariasi tergantung pada jenis zeolit tersebut. Zeolit
sintetis (lebih dikenal dengan molecular sieve) memiliki pori yang seragam
tergantung pada spesifikasi dari zeolit tersebut.
Zeolit telah digunakan secara luas dalam bidang industri maupun pertanian.
Penggunaan zeolit dalam bidang pertanian diantaranya sebagai suplemen pakan
ternak dan perbaikan (improvers) tanah, sedangkan dalam bidang industri dan
lingkungan digunakan sebagai agen penukar ion, adsorpsi katalis, penjernih air
dalam kolam renang dan air tercemar lainnya (Mortimer & Taylor 2002).
Banyak kristal zeolit baru telah disintesis dan memenuhi beberapa fungsi
penting dalam industri kimia dan minyak bumi dan juga digunakan sebagai
produk seperti deterjen (Flanigen 1991). Telah diketahui lebih dari 150 tipe zeolit
sintetis dan 40 mineral zeolit. Beberapa jenis zeolit berdasarkan rasio Si/Al antara
lain, zeolit silika rendah dengan perbandingan Si/Al 1 – 1,5, memiliki konsentrasi
kation paling tinggi, dan mempunyai sifat adsorpsi yang optimum, contoh zeolit
silika rendah adalah zeolit A dan X; zeolit silika sedang, yang mempunyai
perbandingan Si/Al adalah 2-5, contoh zeolit jenis ini adalah Mordernit, Erionit,
11
Klinoptilolit, zeolit Y; zeolit silika tinggi, dengan perbandingan kadar Si/Al antara
10 – 100, bahkan lebih, contohnya adalah ZSM-5 (Flanigen 1980).
Pendekatan Barrer’s menyajikan bahan-bahan mikroporous kristalin
memiliki ukuran pori dan rongga (channel) yang berada pada kisaran 3 - 10Å
dengan presisi kristalografik 0,1 Å (Ozin & Arsenault 2005). Di dalam surat
keputusan IUPAC yang ditetapkan pada suatu konvensi bahwa klasifikasi
padatan-padatan yang diistilahkan dengan dimensi ukuran pori dan ruang
berongga terdiri dari : mikroporous 2 nm, mesoporous 2-50 nm, dan makroporous
>50 nm) (Ozin & Arsenault 2005). Jika zeolit didasarkan pada satu unit sel kristal,
maka secara kimia zeolit dapat ditulis dengan rumus empiris sebagai berikut :
Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y].wH2O, dimana :
n = valensi dari kation M
w = jumlah molekul air per unit sel
x, y = jumlah total tetrahedral per unit sel
Biasanya y/x bernilai 1 - 5, tetapi zeolit dengan silika tinggi harga y/x dibuat
hingga 10 – 100 atau bahkan lebih tinggi. Struktur zeolit adalah kompleks yaitu
merupakan polimer kristal anorganik didasarkan kerangka tetrahedral yang
diperluas tak terhingga dari AlO4 dan SiO4 dan dihubungkan satu dengan lainnya
melalui pembagian bersama ion oksigen (Ulfah et al. 2006). Struktur satuan
kerangka SiO4 ditunjukkan pada Gambar 1(Cotton & Wilkonson 1989).
Gambar 1 Susunan heksagonal satuan (unit) SiO4.
Struktur kerangka ini mengandung saluran yang diisi oleh kation dan
molekul air. Kation aktif bergerak dan umumnya bertindak sebagai penukar ion.
Air dapat dihilangkan secara reversibel yang secara umum dengan pemberian
panas. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis
12
besar strukturnya terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang
kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihendral
dan akhirnya unit struktur zeolit (Cotton & Wilkonson 1989).
Adanya kation golongan alkali dan alkali tanah yang terdapat pada zeolit
disebabkan atom Si dan O dalam strukturnya tidak memiliki muatan, sedangkan
atom Al mempunyai kelebihan muatan negatif, maka struktur alumina silika
tersebut harus dinetralkan oleh kation (seperti : Na+, Ca
2+, K
+, H
+ dan NH4
+)
(Oudejans 1984).
Zeolit memiliki tiga sifat sehingga membuatnya unik dan digolongkan
terpisah dengan tanah liat ataupun SiO2-Al2O3 sintetis. Pertama, zeolit bersifat
sangat kristalin dengan struktur yang tertata dengan baik. Kerangka aluminosilikat
membungkus rongga yang ditempati oleh ion-ion besar dan molekul-molekul air.
Jalan menuju rongga dari berbagai ukuran molekul adalah melalui jaringan
terbuka dengan diameter berkisar 0,3 – 1,0 nm yang terdapat dalam dimensi
molekular. Bentuk dan ukuran pori menentukan molekul-molekul mana yang
masuk ke dalam rongga dan mana yang tidak, sehingga zeolit disebut sebagai
molecular sieve. Kedua, ion-ion di dalam rongga mudah dipertukarkan dengan
sejumlah besar ion elektrovalen. Ion-ion ini memberikan gaya elektrostatik atau
polarisasi yang berlawanan dengan dimensi rongga yang kecil. Ketiga, ion-ion
yang masuk ke dalam rongga melalui mekanisme pertukaran ion memiliki
aktivitas yang terpisah dengan aktivitas zeolit itu sendiri (Richardson 1989). Berat
jenis zeolit berkisar antara 1,9 - 2,2 g/ml dan dapat menjadi lebih tinggi apabila
mengandung ion Ba dan Sr, yaitu berkisar antara 2,5 - 2,8 g/ml. Bobot jenis dan
warna zeolit sangat dipengaruhi oleh kandungan material yang terdapat pada
zeolit itu sendiri (Hurlburt & Klein 1977 di dalam Sastiono 1993).
Zeolit mempunyai sifat-sifat meliputi dehidrasi, adsorben, penyaring
molekul, katalisator dan penukar ion. Zeolit mempunyai sifat dehidrasi
(melepaskan molekul H2O) apabila dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka
zeolit akan menyusut, akan tetapi kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan
secara nyata. Di sini molekul H2O seolah-olah mempunyai posisi yang spesifik
dan dapat dikeluarkan secara reversibel. Sifat zeolit sebagai adsorben dan
penyaring molekul, dimungkinkan karena struktur zeolit yang berongga, sehingga
13
zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau
sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu, kristal zeolit yang telah terdehidrasi
merupakan adsorben yang selektif dan mempunyai efektivitas adsorpsi yang
tinggi.
Zeolit sangat baik sebagai suatu tempat penyimpanan air, memperpanjang
penyediaan kelembaban (kadar air) selama masa-masa kering. Zeolit juga dapat
mempercepat proses pembasahan kembali (re-wetting) dan memperbaiki
penyebaran lateral air ke dalam sumber irigasi. Hasilnya dapat menyimpan air
dalam jumlah yang diperlukan pada irigasi. Lebih lanjut, kapasitas absorpsi yang
tinggi membuat zeolit digunakan sebagai pembawa (carrier) dari pestisida-
pestisida pertanian (Polat et al. 2004).
Sifat kimia zeolit yang sering dimanfaatkan di bidang pertanian adalah sifat
adsorbsi dan sifat pertukaran kation. Adsorbsi yang terjadi pada permukaan
padatan atau cairan dapat melibatkan satu atau banyak molekul, tergantung pada
permukaan dan jenis gaya yang terlibat. Pertukaran kation zeolit pada dasarnya
adalah fungsi dari derajat substitusi silika oleh aluminium dalam struktur kristal
zeolit. Semakin banyak jumlah aluminium menggantikan posisi silika, maka
semakin banyak muatan negatif yang dihasilkan, sehingga makin tinggi
kemampuan tukar kation zeolit tersebut (Mumpton 1999). Zeolit merupakan salah
satu dari banyak bahan penukar kation yang mempunyai kapasitas tukar kation
yang tinggi (200 - 300 meq/100 g). Kapasitas tukar kation dari zeolit ini terutama
merupakan fungsi dari tingkat penggantian atom aluminium (Al) terhadap silikon
(Si) dalam struktur kerangka zeolit (Mumpton 1999).
Zeolit molecular sieve bersifat kristalin, material dengan porositas tinggi,
termasuk dalam kelas aluminosilikat. Kristal ini ditandai dengan sistem pori tiga
dimensi dengan diameter pori-pori yang tergambar dengan tepat. Struktur
kristalografik yang sesuai dibentuk melalui struktur tetrahedral (AlO4) dan (SiO4).
Struktur tetrahedral tersebut merupakan kerangka dasar untuk berbagai struktur
zeolit. Zeolit seperti zeolit A dan X paling umum digunakan sebagai adsorben
komersial. Gambar 2 menunjukkan struktur kristal zeolit tipe A dan X (Broach
2010).
14
Gambar 2 Struktur zeolit tipe A dan X.
Kehadiran alumina di dalam kerangka zeolit menyebabkan zeolit
memperlihatkan muatan negatif yang diseimbangkan oleh kation-kation positif
yang menghasilkan medan elektrostatik yang kuat pada permukaan internal zeolit.
Kation-kation tersebut dapat dipertukarkan untuk memperoleh ukuran pori yang
diharapkan atau karakteristik adsorpsi dari zeolit. Sebagai contoh, bentuk natrium
dari zeolit A memiliki pori terbuka yang berukuran kira-kira 4 Å yang disebut
sebagai penyaring molekular (molecular sieve) 4A. Jika ion natrium dipertukarkan
dengan ion kalium yang lebih besar, pori terbuka dari zeolit berkurang sampai
sekitar 3 Å (molecular sieve 3A). Pada pertukaran ion dengan kalsium, satu ion
kalsium mengganti dua ion natrium yang menyebabkan pori terbuka zeolit
menjadi lebih luas sampai kira-kira 5 Ångstrom (molecular sieve 5A). Pertukaran
ion dengan kation-kation lain kadang-kadang digunakan untuk tujuan pemisahan
zat tertentu. Gambar 3 menunjukkan proses pertukaran ion natrium dengan ion
kalium pada molecular sieve 4A.
Gambar 3 Reaksi pertukaran ion Na dengan K pada molecular sieve 4A.
Jadi secara umum zeolit molecular sieve memiliki sifat penyerapan yang
selektif, karena ukuran pori yang seragam dari struktur zeolit dan kapasitas
serapan yang tinggi untuk unsur-unsur polar pada konsentrasi rendah. Berikut
adalah beberapa contoh jenis mineral zeolit penting beserta rumus kimianya
(Tabel 3).
Zeolit A Zeolit X
15
Tabel 3 Contoh jenis mineral zeolit dan komposisi kimianya Mineral
zeolit Komposisi
V pori
(cm3/g)
Diameter
pori (Å) KTK
(meq/100g)
Analsim Na16(Al16Si32O96). 16H2O 0,18 2,6 4,54 Kabasit (Na2Ca)6 (Al12Si24O72). 40H2O 0,47 3,7 – 4,2 3,84 Klinoptilotit (Na3K3)(Al6Si30O72). 24H2O 0,34 3,9 – 5,4 2,16 Erionit (NaCa0,5K) (Al9Si27O72). 27H2O 0,35 3,6 – 5,2 3,12 Ferrierit (Na2Mg2)(Al6Si30O72). 18H2O 0,28 3,4 – 5.5 2,33 Heulandit (Ca4)(Al8Si28O72). 24H2O 0,39 4,0 – 7,2 2,91 Laumontit (Ca4)(Al8Si16O48). 16H2O 0,34 4,6 – 6,3 4,25 Mordenit Na8(Al8Si40O96). 24H2O 0,28 2,9 – 7,0 2,29 Filipsit (NaK)5(Al5Si11O32). 20H2O 0,31 2,8 – 4,8 3,31 Na-A Na12(Al12Si12O48). 27H2O 0,29 3,0 – 5,0 7,00 Na-X Na86(Al86Si106O384). 260H2O 0,36 10,0 6,40
Sumber : Mumpton 1999; Rouquerol et al. 1999; Suhala & Arifin 1997; Robson &
Lillerud 2001; Treacy & Higgins 2007
Peningkatan kualitas zeolit alam dapat dilakukan dengan mengaktivasi
zeolit alam menjadi zeolit aktif. Agar dapat dimanfaatkan zeolit harus mempunyai
spesifikasi tertentu berkaitan dengan hal tersebut kualifikasi zeolit ditentukan oleh
daya serap, kapasitas tukar kation (KTK) maupun daya katalis. Oleh sebab itu,
untuk memperoleh zeolit dengan kemampuan tinggi diperlukan beberapa
pengolahan antara lain preparasi dan aktivasi (Suhala & Arifin 1997).
Preparasi bertujuan untuk memperoleh ukuran produk yang sesuai dengan
tujuan penggunaan meliputi tahap peremukan (crushing), sampai penggerusan
(grinding). Aktivasi zeolit bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat khusus zeolit
dengan cara menghilangkan unsur-unsur pengotor dan menguapkan air yang
terperangkap dalam pori kristal zeolit. Ada dua cara yang umum digunakan dalam
proses aktivasi zeolit, yaitu pemanasan dalam tungku putar (rotary kiln)
menggunakan hembusan udara panas yang bersuhu 200-400ºC selama 2-3 jam,
dan kimia dengan menggunakan larutan NaOH atau larutan H2SO4 dan/atau HCl
(Suhala & Arifin 1997).
2.5 Karakterisasi ZMS
2.5.1 Fluoresensi Sinar-X dan Energy Dispersive X-Ray
Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang
sekitar 100 pm yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron tinggi
(Atkins 1999). Fluoresensi sinar-X merupakan proses berpendarnya suatu benda
bila dikenai sinar-X; bahan benda itu dapat digunakan sebagai detektor sinar-X,
16
misalnya zink sulfida atau kadmium sulfida (EM 2008). Metode ini dapat
mengukur komposisi dan ketebalan untuk tiap-tiap lapisan individu dari film
dengan lapisan yang banyak (multiple-layer). Batas pengukuran sampel secara
normal sampai konsentrasi 0,1% (Brundle et al. 1992).
EDX (Energy Dispersive X-ray), merupakan karakterisasi material
menggunakan sinar-X yang diemisikan ketika material mengalami tumbukan dengan
elektron. Sinar-X di emisikan dari transisi elektron dari lapisan kulit atom, karena itu
tingkat energinya tergantung dari tingkatan energi kulit atom. Setiap elemen di dalam
tabel periodik unsur memiliki susunan elektron yang unik, sehingga akan
memancarkan sinar-X yang unik pula. Dengan mendeteksi tingkat energi yang
dipancarkan dari sinar-X dan intensitasnya, maka dapat diketahui atom-atom
penyusun material dan persentase massanya (Rakhmatullah et al. 2007).
Penggambaran dan pemetaan sampel yang akan diukur dihubungkan dengan
peralatan Scanning Electron Microscopy (SEM), Electron Probe X-Ray
Microanalysis (EPMA), dan Scanning Transmission Electron Microscopy (STEM)
Batas pengukuran sampel secara normal sampai konsentrasi 100 – 200 ppm untuk
atom dengan Z >11, 1-2% untuk atom dengan Z rendah dan terbatas pada lapisan
tunggal (monolayer) (Brundle et al. 1992).
2.5.2 Difraksi Sinar-X
Prinsip dari X-ray Diffractometer (XRD) adalah difraksi gelombang sinar X
yang mengalami penghamburan (scattering) setelah bertumbukan dengan atom
kristal. Pola difraksi yang dihasilkan merepresentasikan struktur kristal. Dari
analisis pola difraksi dapat ditentukan parameter kisi, ukuran kristal, dan
identifikasi fasa kristalin. Jenis material dapat ditentukan dengan membandingkan
hasil XRD dengan katalog hasil difraksi berbagai macam material.
Metode yang biasa dipakai adalah memplot intensitas difraksi XRD
terhadap sudut difraksi 2θ. Intensitas akan meninggi pada nilai 2θ yang terjadi
difraksi, intensitas yang tinggi tersebut dalam grafik terlihat membentuk puncak-
puncak pada nilai 2θ tertentu. Pelebaran puncak bisa diartikan material yang
benar-benar amorf, butiran yang sangat kecil dan bagus, atau material yang
memiliki ukuran kristal sangat kecil melekat dengan struktur matrix yang amorf.
Dari lebar puncak pada grafik XRD, ukuran kristal yang terbentuk dapat dihitung
menggunakan persamaan Scherrer :
17
Lave =kλ
Bo cos θ
Lave merupakan ukuran kristal, k merupakan konstanta, Bo merupakan lebar
puncak pada setengah maksimum (Full Width Half Maximum, FWHM) dan θ
merupakan sudut difraksi. Persamaan Scherrer diperoleh dengan asumsi puncak
kristal memiliki profil Gauss dan merupakan kristal kubus yang ukurannya kecil.
Gambar 4 menunjukkan alat difraksi sinar-X (Rakhmatullah et al. 2007).
Gambar 4 Diagram alat difraksi sinar-X.
Pelebaran yang terjadi pada XRD disebabkan tiga hal, yaitu efek dari
instrumen, ukuran kristal yang kecil, dan regangan kisi (latttice strain). Pelebaran
puncak karena efek instrumen, biasanya dapat diketahui pada saat karakterisasi
yang dicampur dengan bubuk standar yang proses annealing-nya dilakukan
dengan baik, sehingga ukuran butirnya sangat besar. Dengan demikian, pelebaran
puncak pada bubuk standar ini dipastikan terjadi akibat efek dari instrumen.
Contohnya adalah bubuk silikon dengan ukuran sekitar 10 μm.
2.5.3 Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM merupakan pencitraan material dengan menggunakan prinsip mikroskopi.
Mirip dengan mikroskop optik, namun SEM menggunakan elektron sebagai sumber
pencitraan dan medan elektromagnetik sebagai lensanya. Elektron diemisikan dari
katoda (elektron gun) melalui efek foto listrik dan dipercepat menuju anoda. Filamen
yang digunakan biasanya adalah tungsten atau lanthanum hexaboride (LaB6).
Scanning coil, akan mendefleksikan berkas elektron menjadi sekumpulan array
(berkas yang lebih kecil), disebut scanning beam dan lensa obyektif (magnetik) akan
memfokuskannya pada permukaan sampel. Elektron kehilangan energi pada saat
tumbukan dengan atom material, akibat scattering dan absorpsi pada daerah interaksi
dengan kedalaman 100 nm sampai 2 μm. Ini membuat material akan meradiasikan
emisi meliputi sinar-X, elektron Auger, back-scattered electron dan secondary
18
electron. Pada SEM, sinyal yang diolah merupakan hasil deteksi dari secondary
electron yang merupakan elektron yang berpindah dari permukaan sampel.
Gambar 5 Berkas elektron yang dideteksi SEM.
SEM dipakai untuk mengetahui struktur mikro suatu material meliputi tekstur,
morfologi, komposisi dan informasi kristalografi permukaan partikel. Morfologi yang
diamati oleh SEM berupa bentuk, ukuran dan susunan partikel (Rakhmatullah et al.
2007).
2.5.4 Analisis Distribusi Pori Zeolit
Penentuan luas permukaan dan ukuran pori dari zeolit berhubungan dengan
sifat adsorpsi maupun desorpsi dari material zeolit yang akan digunakan pada
proses penghilangan bahan-bahan tertentu yang tidak diinginkan di dalam suatu
proses purifikasi. Adsorpsi adalah akumulasi dari atom-atom atau molekul-
molekul pada permukaan suatu material padat. Proses adsorpsi terjadi pada
permukaan zat padat yang disebut adsorben yang berfungsi sebagai penghilangan
partikel-partikel tertentu yang terikat pada permukaan partikel adsorben, baik
yang berinteraksi secara fisik maupun interaksi kimia. Istilah adsorpsi berbeda
dengan absorpsi. Absorpsi merupakan proses pengumpulan dan penghilangan
substansi tertentu dengan melewati pori suatu bahan padatan. Physisorption lebih
dikenal dengan adsorpsi secara fisik yang meliputi interaksi antar molekul (gaya
van der Waals) antara adsorben dengan bahan-bahan tertentu. Chemisorption atau
adsorpsi secara kimiawi adalah adsorpsi yang dihasilkan dari pembentukan ikatan
kimia (interaksi yang kuat) antara adsorben dan adsorbat di dalam suatu
monolayer pada permukaan (IUPAC 1997).
19
2.6 Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit Alam dan Zeolit A Sintetis
Penggunaan zeolit meningkat tiap tahunnya sebesar 1,6 juta ton/tahun.
Jumlah sebesar 1,1 ton merupakan zeolit A yang merupakan hasil sintesis di
laboratorium (Pfeninger 1999). Zeolit sintetis (Zeolit A) digunakan sebagai
deterjen “builders” dalam industri deterjen yang mencapai 40% berat deterjen
(Mortimer & Taylor 2002; Pfeninger 1999), untuk melembutkan air sadah (hard
water) terutama dalam menghilangkan ion kalsium yang ada di dalam air
(Mortimer & Taylor 2002). Sementara itu, zeolit A juga berperan besar dalam
bidang adsorpsi dan dehidrasi terutama menghilangkan kelembaban dan substansi
asing dari campuran gas atau cairan (Pfeninger 1999). Penggunaan zeolit A secara
lebih luas dalam bidang adsorpsi, diantaranya adalah pada proses pembuatan
etanol anhidrat dengan memisahkan campuran azeotrop etanol-air (95,57 % berat
etanol) (Taherzadeh & Karimi 2008) menggunakan zeolit sebagai adsorben. Zeolit
A yang dapat digunakan pada proses dehidrasi atau pengeringan etanol adalah
zeolit 3A, 4A dan 5A (Al-Asheh et al. 2004).
Proses sintesis zeolit A di laboratorium masih mengacu pada metode yang
digunakan oleh Richard Barrer melalui metode hidrotermal pada kisaran
temperatur antara 100 – 250oC dengan nilai pH yang tinggi (Mortimer & Taylor
2002). Sebagian besar peneliti melakukan sintesis zeolit A pada temperatur di
bawah 100oC seperti yang dilakukan oleh Leonard (1981), Sun (1983), Vaughan
(1985), Kuznicki et al. (2002), dan Diaz et al. (2010).
Zeolit tipe A diperoleh melalui sintesis menggunakan sumber silika dan
alumina maupun menggunakan zeolit alam jenis klinoptilolit (Leonard 1981; Sun
1983) dengan penambahan sumber alumina dan larutan NaOH sebagai promotor
dengan kadar 10 – 20 %. Sumber silika yang digunakan antara lain silika gel,
asam silikat (silicic acid), aqueous colloidal silika sols, dan Na/K-silikat,
sedangkan sumber aluminanya berupa Al2O3.3H2O, kaolin, halloisit, metakaolin,
aluminium sulfat, dan yang sejenis. Natrium atau kalium aluminat yang dibuat
dengan melarutkan Al2O3.3H2O dalam larutan KOH atau NaOH pada 60 – 100oC
menjadi pilihan utama (Vaughan 1985). Proses sintesis zeolit 3A dapat dilakukan
melalui pertukaran ion terhadap zeolit A (zeolit 4A) ataupun sintesis langsung
tanpa tahap pertukaran ion dengan perbandingan kompisisi Na dan K yang sesuai
20
(Vaughan 1985). Proses dilakukan secara hidrotermal dengan kondisi proses
diatur pada rentang temperatur 80 – 100oC dan lamanya proses berkisar antara 4
jam sampai dengan 6 hari (Diaz et al. 2010; Kuznicki et al. 2002; Vaughan 1985).
Zeolit A yang dihasilkan dari proses di atas memiliki sifat-sifat yang sesuai untuk
digunakan pada proses separasi (pemisahan) campuran etanol-air (Diaz et al.
2010). Beberapa metode yang digunakan dalam mensintesis zeolit A dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Metode sintesis zeolit A sebagai molecular sieve
Bahan baku Kondisi proses Hasil Klinoptilolit alam,
sodium aluminat (1)
Hidrotermal 1 (satu) tahap,
kondisi optimum (95oC, 4 jam;
15% berat NaOH)
Zeolit A dengan formula :
Na12(AlO2)12(SiO2)12.27H2O
Klinoptilolit alam,
sodium aluminat (2)
Hidrotermal 2 (dua) tahap,
kondisi optimum (95oC, 1 jam;
20% berat NaOH)
Zeolit A dengan formula :
Na12(AlO2)12(SiO2)12.27H2O
Na-silikat dan K-
silikat (3)
Hidrotermal, suhu awal 10 –
40oC, proses pemanasan pada
80 – 100oC, sintesis Z3A secara
langsung tanpa pertukaran ion
Zeolit 3A yang dapat
digunakan langsung sebagai
bahan pengering
Zeolit (Y, L, ferrierit,
mordenit) (4)
Perlakuan asam dan kalsinasi,
Hidrotermal 80oC, 16 jam (pH
slurry 10,5 – 12).
Terjadi peningkatan
kandungan Al dalam
kerangka zeolit
Gismondin Al tinggi,
gel aluminosilikat
kering atau bubuk
gibbsit, kaolin,
larutan silika pekat (5)
Hidrotermal dengan kondisi
lingkungan mengandung silika
tinggi, pH di atas 12, range suhu
90 – 100oC, pemanasan awal
dengan basa pada 50-85oC
minimal 30 menit
Zeolit dengan kadar
alumina tinggi
sodium aluminat dan
sodium silikat (6)
Hidrotermal, 100oC dengan
interval waktu 1 – 6 jam, waktu
pengeringan 12 jam pada 70oC.
Aktivasi pada 300oC.
Zeolit A yang sesuai untuk
proses separasi campuran
etanol-air
Keterangan : (1)
Leonard (1981); (2)
Sun (1983); (3)
Vaughan (1985); (4)
Narayana & Murray (1992); (5)
Kuznicki et al. (2002); (6)
Diaz et al. (2010)
Proses dehidrasi bioetanol dapat dilakukan menggunakan zeolit molecular
sieve melalui metode adsorpsi (Tabel 5). Sistem adsorpsi yang digunakan meliputi
batch adsorption (Carmo & Gubulin 1997; Ivanova et al. 2009), kolom perkolasi
(Igbokwe et al. 2008), membran pervaporasi (Ling et al. 2008; Zhan et al. 2009),
Pressure Swing Adsorption (Pruksathorn & Vitidsant 2009), maupun Vacuum
Swing Adsorption (Wahyudi 2010). Waktu berlangsungnya proses atau waktu
kontak antara zeolit dengan bioetanol berkisar antara 30 menit sampai 7 hari.
Terdapat beberapa tipe zeolit yang digunakan pada proses adsorpsi, diantaranya
21
zeolit alam jenis klinoptilolit (Ivanova et al. 2009), ZSM-5 (Zhan et al. 2009),
zeolit sintetis 3A (Carmo & Gubulin 1997) maupun zeolit alam hasil modifikasi
(misal sampel zeolit dari PT. BPE) (Wahyudi 2010). Bentuk zeolit yang
digunakan dapat berupa bubuk (powder), pelet (silinder), atau pun butiran (bulat).
Secara rinci, kondisi proses dehidrasi dari beberapa literatur yang telah disebutkan
di atas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Proses dehidrasi etanol menggunakan zeolit molecular sieve
Jenis zeolit Kondisi proses Hasil Zeolit sintetis
3A (bentuk
bulat dan
silinder)(1)
Uji kinetis, sistem batch, rasio
massa zeolit : EtOH = 1 : 3, Proses
adsorpsi 4 taraf (25, 40, 50, dan
60oC), pengadukan selama ± 7 hari,
aktivasi zeolit pada 300oC, 24 jam,
penyimpanan dalam desikator vakum
Kapasitas adsorpsi air sama
(bulat dan silider), T >>>,
maka kapasitas adsorpsi air
<<<, laju difusivitas >>>,
diameter partikel zeolit >>,
kapasitas adsorpsi air <<<,
tetapi laju difusi tetap
(konstan)
Zeolit sintetis
3A, 4A, dan
5A(2)
Persentase air dalam larutan 5%-12%
berat, fixed bed adsorber
Zeolit 3A memiliki
kemampuan tertinggi dalam
mengadsorpsi air
Zeolit pelet
(dari kaolin)
dan kaolin(3)
Kolom perkolasi, aktivasi zeolit
sebelum digunakan pada 500oC
Kapasitas adsorpsi air dari
kaolin lebih efektif jika
dibandingkan dengan kaolin
kasar
zeolite-clay
powder(4)
PVA Membran Pervaporasi,
konsentrasi etanol (10, 30, 50, 70,
90% berat), temperatur proses (30,
40, 50, 60, dan 70oC)
Membran relatif hidrofil dan
sesuai untuk separasi
campuran etanol-air, Kadar
dan T pengumpanan >>>,
selektivitas >>> tetapi
kapasitas adsorpsi air <<<
ZSM-5,
PDMS(5)
Membran Pervaporasi, proses
pervaporasi pada 40oC – 80
oC
dengan tekanan 100 Pa, kadar etanol
5 – 90%.
Performa pervaporasi yang
sangat bagus pada konsentrasi
etanol rendah. Faktor
pemisahan turun drastis dengan
meningkatnya kadar etanol.
Klinoptilolit
alam(6)
Adsorpsi skala lab, waktu kontak 24
jam, rasio zeolit/EtOH = (± 1 : 3),
aktivasi termal 2 jam pada 200oC
Memungkinkan untuk
pengeringan etanol dari
campuran larutan dengan air
Zeolit 3A dan
ZAM PT.
BPE(7)
Vacuum Swing Adsorption, tekanan
minimal 20 cmHg, rasio
zeolit/bioetanol = 5 kg/ 5l
(mendekati 1 : 1), suhu kolom 80oC
Kadar EtOH >>>, kapasitas
adsorpsi air Z3A sintetis relatif
tinggi, tetapi tingkat selektifitas
terhadap senyawa pengotor
lebih rendah
Zeolit A
(Z4A)(8)
Proses dehidrasi pada suhu 30oC
Etanol yang digunakan 80, 85, dan
90% berat
Terjadi peningkatan kadar
etanol
(1)Carmo & Gubulin (1997);
(2)Al-Asheh et al. (2004);
(3)Igbokwe et al (2008);
(4)Ling et al.
(2008); (5)
Zhan et al. (2009); (6)
Ivanova et al. (2009); (7)
Wahyudi (2010); (8)
Diaz et al. (2010)
23
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2010 – April 2011 di
Laboratorium SBRC-LPPM IPB Bogor, Laboratorium & Technical Service
Pertamina, Puslabfor Mabes Polri, Laboratorium Teknik Kimia UI, Laboratorium
Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah NaOH, KOH,
kaolin, tawas, HCl, Aluminium nitrat, Aluminium oksida, zeolit alam ukuran 3
mm dan bubuk ukuran 150 mesh (CV. Transindo Utama-Bandung), zeolit sintetis
3A, bioetanol, etanol absolut, aqua DM, dan bahan kimia lainnya.
Peralatan yang digunakan adalah satu set alat destilasi, kolom dehidrasi,
timbangan, hot plate, oven, tanur, termometer, magnetic stirrer, batang pengaduk,
Stirrer-heater, pompa vakum, corong buchner, erlenmeyer, GC (Gas
Chromatography) Agilen 6890N Detektor FID 250oC, Quantacrom Autosorb-6
Surface Area and Pore Size Analyzer, X-Ray Diffractometer (XRD-7000
MAXima.X Shimadzu), XRF PAN-analytical AXIOS, Density meter DMA
4500M Anton Paar, Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray
(SEM-EDX) tipe EVO 50 (Lampiran 1), peralatan gelas dan pendukung lainnya.
3.3 Metodologi
3.3.1 Modifikasi zeolit alam
Zeolit yang digunakan diperoleh dari daerah Bayah, Provinsi Banten.
Bentuk dan ukuran zeolit yang digunakan adalah pasir (3 mm) dan bubuk (150
mesh). Proses modifikasi dilakukan melalui 2 cara. Cara pertama dilakukan dua
tahap : (1) Asidifikasi, dan (2) Realuminasi, sedangkan cara kedua melalui
aluminasi langsung.
24
3.3.1.1 Metode asidifikasi-realuminasi
3.3.1.1.1 Asidifikasi
Proses ini dilakukan dengan memanaskan zeolit alam ukuran 150 mesh pada
suhu 50oC menggunakan larutan HCl 1,5 M dengan perbandingan 150 g
zeolit/1500 mL HCl (1 : 10) selama 5 jam sambil diaduk. Hasil yang diperoleh
kemudian disaring, dicuci dengan aqua DM, lalu dikeringkan semalam pada suhu
120oC (Narayana & Murray 1992).
3.3.1.1.2 Realuminasi
Zeolit yang diperoleh pada tahap I dikalsinasi pada 500oC selama 2 jam.
Zeolit yang telah dikalsinasi tersebut ditimbang sebanyak 100 gram, di-slurry
dalam 2L aqua DM. Kemudian ditambahkan 60 g NaOH (dalam 100 mL Aqua
DM) dan dipanaskan pada suhu 50oC selama 40 menit (Kuznicki et al. 2002).
Selanjutnya ditambahkan Al2O3 34 g (dalam 50 mL Aqua DM) dan Al(NO3)3 250
g (dalam 100 mL Aqua DM). Lalu dipanaskan lagi pada suhu 95oC (± 4 jam).
Hasil yang diperoleh disaring menggunakan penyaring vakum, dicuci dengan
aqua DM (sebanyak 2000 mL), dikeringkan semalam pada suhu 110oC, dan
terakhir dikalsinasi kembali selama 3 jam pada 500oC. Diagram alir proses
sintesis ZAM1 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir proses sintesis ZAM1.
25
3.3.1.2 Metode aluminasi langsung
Metode aluminasi langsung dilakukan tanpa proses asidifikasi terlebih
dahulu. Disini sumber alumina yang digunakan langsung ditambahkan ke dalam
campuran reaksi. Sumber alumina yang digunakan adalah aluminium oksida,
aluminium nitrat, tawas, dan kaolin. Perbandingan komposisi kimia dari bahan-
bahan yang digunakan disesuaikan dengan perbandingan dari komposisi kimia
yang ada dalam zeolit sintetis 3A dan modifikasi dari metode Vaughan (1985) dan
Kuznicki et al. (2002). Diagram alir proses sintesis ZAM2 sampai ZAM6 dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Diagram alir proses sintesis ZAM2 sampai ZAM6.
Proses sintesis ZAM2 merupakan perpaduan metode dari Plee (1992)
dengan metode yang dikembangkan oleh Kuznicki et al. (2002), Tissler et al.
(1992), Vaughan (1985), dan Leonard (1981). Sementara itu, ZAM2 – ZAM5
menggunakan metode yang dilakukan Vaughan (1985) yang dipadukan dengan
metode yang dikembangkan Kuznicki et al. (2002), sedangkan ZAM6 terdapat
penambahan tahapan proses yang tidak terdapat dalam metode Kuznicki et al.
(2002), Pfeninger (1999), Tissler (1992), Vaughan (1985), maupun Leonard
(1981).
26
3.3.2 Karakterisasi zeolit termodifikasi
3.3.2.1 Zeolit alam modifikasi 1 (ZAM1)
Analisis komposisi kimia terhadap ZAM1 dilakukan menggunakan metode
XRF (X-Ray Fluorescence) menggunakan peralatan XRF PAN-analytical AXIOS.
Analisis distribusi pori yang meliputi luas permukaan, volume pori, dan diameter
pori dilakukan menggunakan alat Autosorb-6 Surface Area and Pore Size
Analyzer Quantacrom. Prinsip pengukuran distribusi pori berdasarkan adsorpsi
gas pada sampel zat padat (misal : zeolit). Metode pengukuran dilakukan melalui
proses penghilangan gas-gas yang terserap (degassing) pada suhu 200-300oC.
Pendinginan pada suhu 77,4 K menggunakan nitrogen cair dalam jumlah yang
telah diketahui, sedangkan tekanan diukur pada keadaan setimbang.
3.3.2.2 Zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ZAM2 – ZAM6)
Analisis komposisi kimia terhadap ZAM2 sampai ZAM6 dilakukan
menggunakan metode EDX (Energy Dispersive X-Ray) menggunakan peralatan
EDX Bruker 133 eV Quantax 200, sedangkan bentuk permukaan dan ukuran unit
partikel sampel zeolit difoto menggunakan SEM EVO 50 ZEISS. Identifikasi
unsur-unsur dalam sampel didasarkan pada energi elektron yang dihasilkan
sampel setelah ditembakkan dengan sinar-X. Image data yang diperoleh dengan
SEM digunakan sebagai data dasar untuk pengukuran komposisi kimia sampel
menggunakan metode EDX.
Sementara itu, struktur dan kemurnian kristal sampel zeolit ditentukan
menggunakan XRD (X-Ray Diffraction). Metode yang dilakukan dengan
mengukur intensitas difraksi sinar-X yang dipantulkan setelah bertumbukan
dengan sampel zeolit pada sudut 2θ dengan range 3 – 65 derajat menggunakan
panjang gelombang Cu. Pola difraksi sinar-X sampel, diperoleh dengan
memplotkan sudut 2θo terhadap intensitas relatif sampel zeolit yang diperoleh.
Analisis distribusi pori yang meliputi luas permukaan, volume pori, dan
diameter pori dilakukan menggunakan alat Autosorb-6 Surface Area and Pore
Size Analyzer Quantacrom (lihat metode ZAM1).
3.3.3 Aplikasi zeolit termodifikasi dalam dehidrasi bioetanol
Bioetanol yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. NNE, dari
daerah Subang, Jawa Barat yang memiliki kisaran konsentrasi 90 - 95%.
27
Dehidrasi dilakukan menggunakan metode destilasi dan metode perendaman
(batch adsorption).
3.3.3.1 Metode Destilasi
Percobaan dilakukan menggunakan zeolit alam modifikasi 1 (ZAM1), zeolit
alam (ZA), dan zeolit komersil 3A (Z3A). Dehidrasi menggunakan metode
destilasi dilakukan dengan memanaskan etanol sampai membentuk fase uap.
Selanjutnya dilewatkan melalui kolom yang berisi ZAM1, ZA, dan Z3A. Pada
percobaan ini diharapkan molekul-molekul air yang berukuran lebih kecil akan
masuk ke dalam pori-pori zeolit tersebut, sedangkan molekul etanol yang lebih
besar akan ditolak oleh molekul zeolit. Molekul etanol yang ditolak oleh zeolit
dialirkan ke dalam kondensor untuk dikondensasi menjadi etanol dalam bentuk
cair dengan bantuan pompa vakum. Suhu dan tekanan yang digunakan berturut-
turut adalah 65oC dan 254 mmHg. Rancangan peralatan dehidrasi dengan cara
destilasi yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Keterangan : 1 = pemanas listrik, 2 = labu leher tiga, 3 = termometer, 4 = kolom, 5 = sampel
zeolit, 6 = adapter, 7 = kondensor, 8 = sambungan ke pompa vakum, 9 = adapter vakum, 10 =
botol penampung, 11 = penyangga hidrolik.
Gambar 8 Rangkaian peralatan proses dehidrasi bioetanol sederhana.
Diagram alir proses dehidrasi menggunakan metode destilasi dapat dilihat
pada Gambar 9. Analisis terhadap kadar bioetanol hasil proses dehidrasi dilakukan
menggunakan alat GC (Gas Chromatography) Agilen 6890N Detektor FID
250oC.
28
Gambar 9 Diagram alir proses dehidrasi menggunakan metode destilasi.
3.3.3.2 Metode Perendaman (Batch Adsorption)
Dehidrasi menggunakan metode adsorpsi dilakukan menggunakan ZAM2,
ZAM3, ZAM4, ZAM5, ZAM6, dan ZA serta Z3A sebagai pembanding.
Perbandingan massa zeolit terhadap bioetanol yang digunakan pada proses
dehidrasi adalah ± (1 : 2) (satuan g).
Percobaan pertama (A) menggunakan bioetanol berkadar 90%. Proses
adsorpsi dilakukan melalui perendaman zeolit dalam bioetanol selama 24 jam.
Percobaan kedua (B) menggunakan bioetanol berkadar 95%. Proses adsorpsi
dilakukan dengan pengadukan selama 1 jam pada suhu 55oC, selanjutnya
didestilasi pada 75oC selama ± 30 menit. Zeolit bekas pada proses pertama dan
kedua diregenerasi (diaktivasi kembali) untuk digunakan pada proses dehidrasi
selanjutnya. Diagram alir proses dehidrasi melalui metode perendaman dapat
dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Diagram alir proses dehidrasi melalui metode perendaman.
29
Pengamatan dilakukan terhadap persentase kenaikan kadar bioetanol (PKB)
dan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air dalam bioetanol (KAZ). Persentase
kenaikan kadar bioetanol (PKB) dapat dihitung menggunakan persamaan 1,
sedangkan perhitungan persentase kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air dalam
bioetanol (KAZ) dilakukan menurut prinsip kesetimbangan massa (persamaan 2).
Persentase Kenaikan Kadar Bioetanol (PKB) (%)
PKB = (% akhir - % awal)
% awal x 100% ………………………………........... (1)
Kapasitas Adsorpsi Air dari Zeolit (KAZ) (%)
KAZ = Ka awal −Ka akhir
m Zeolit x 100% ........................................................ (2)
Kadar air awal dan akhir dalam sampel bioetanol dapat dihitung
menggunakan persamaan 3 dan 4.
Ka awal = 100−%B awal
100 x mB awal .......................................... (3)
Ka akhir = 100−%B akhir
100 x mB akhir ......................................... (4)
dimana :
Ka = kadar air (g)
%B = persentase bioetanol (%)
mB = massa bioetanol (g)
Kadar bioetanol setelah proses adsorpsi diukur menggunakan density meter
DMA 4500M Anton Paar dengan metode % v/v 01ML-ITS-90 dan suhu 20oC.
Prinsip pengukuran berdasarkan perbandingan densitas terhadap sampel standar
yang telah tersimpan pada alat setelah dikalibrasi. Pengukuran densitas didasarkan
pada pengukuran elektronik frekuensi osilasi dari densitas yang dihitung. Sampel
dimasukkan ke dalam tabung osilator berbentuk U. Volume sampel yang telah
diukur dengan tepat mempunyai peran dalam osilasi, sehingga nilai pengukuran
massa sampel dapat digunakan untuk menghitung densitas.
3.3.3.3 Analisis statistik data proses dehidrasi
Analisis statistik dilakukan terhadap proses dehidrasi pada metode
perendaman, menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial, sedangkan
percobaan dehidrasi menggunakan metode destilasi menggunakan ZAM1 tidak
diuji secara statistik. Percobaan terdiri dari dua faktor yaitu jenis zeolit (Z), dan
30
pemakaian zeolit (P) dengan dua taraf (baru/awal dan reuse/regenerasi) dengan 3
kali ulangan. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan
parameter terhadap peningkatan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi zeolit
terhadap air dalam sampel bioetanol.
Data proses dehidrasi menggunakan ZAM2 sampai ZAM6 dianalisis
menggunakan bantuan software SAS versi 9.2. Model untuk RAL yang digunakan
adalah sebagai berikut (Sastrosupadi 1995) :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk
i = (zeolit alam, zeolit alam modifikasi : ZAM2, ZAM3, ZAM4,
ZAM5, ZAM6, zeolit 3A sintetis)
j = pemakaian zeolit (baru/awal dan reuse/regenerasi)
dimana :
Yijk = nilai pengamatan akibat faktor A (jenis zeolit) taraf ke i, faktor B
(pemakaian zeolit) taraf ke j, dan ulangan ke k.
µ = rata-rata nilai pengamatan yang sesungguhnya
Ai = pengaruh aditif jenis zeolit ke-i
Bj = pengaruh aditif pemakaian zeolit ke-j
(AB)ij = pengaruh interaksi antara jenis zeolit ke-i dan pemakaian zeolit
ke-j
εijk = pengaruh acak dari jenis zeolit ke-i, pemakaian zeolit ke-j, dan
ulangan ke-k yang menyebar normal
31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Modifikasi Zeolit
4.1.1 Karakteristik zeolit alam (ZA)
Zeolit alam Bayah yang merupakan mordenit tuff, hasil proses diagenesis
dari gelas, terdiri dari mordenit (Na,Ca)4Al8Si40O96.28H2O, erionit
(K2Na2CaMg)4Al8Si28O73.28H2O, klinoptilolit (K2Na2Ca)3Al6Si30O72.21H2O,
kwarsa (SiO2), kalium feldspar (KAlSi3O8) dan komponen gelas vulkanik
(Purawiardi 1999). Diagenesis adalah proses perubahan endapan menjadi satuan
sedimen melalui tekanan dan suhu yang sangat kecil sekali (Depdiknas 2005).
Zeolit yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit alam (ZA) yang diperoleh
dari daerah Bayah, Provinsi Banten. Komposisi utamanya diduga meliputi
campuran klinoptilolit dan mordenit. Bentuk dan ukuran zeolit yang digunakan
dalam penelitian adalah bentuk pasir (± 3 mm) dan bubuk (± 150 mesh).
Karakteristik awal zeolit alam yang digunakan mengandung beberapa
senyawa oksida anorganik. Komposisi kimia zeolit alam Bayah ukuran 150 mesh
yang dianalisis dengan metode XRF dibandingkan dengan zeolit sintesis mordenit
dan klinoptilolit dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan data hasil analisis
komposisi kimia yang tersaji dalam Tabel 6, diduga bahwa jenis zeolit bayah ini
merupakan campuran dari mordenit dan klinoptilolit. Berdasarkan pada
kandungan silika dan alumina dari zeolit Bayah, maka zeolit tersebut dapat
digolongkan ke dalam zeolit dengan kandungan silika menengah (intermediate
silica zeolite) dengan perbandingan Si/Al = 5,62 (Tabel 6).
Stabilitas termal atau dekomposisi zeolit kristalin dengan kandungan silika
rendah (zeolit dengan kadar aluminium tinggi) mendekati 700oC, sedangkan
temperatur dekomposisi zeolit dengan kandungan silika tinggi berada di atas
1300oC. Sementara itu, selektivitas permukaan berubah dari sangat polar atau
hidrofilik menjadi hidrofobik. Sifat hidrofilik dimiliki oleh zeolit dengan kadar
aluminium tinggi, sedangkan sifat hidrofobik dimiliki oleh zeolit dengan kadar
silika tinggi. Timbulnya sifat hidrofobik tampak terjadi pada zeolit dengan Si/Al
mendekati 10 (Flanigen 1980).
32
Tabel 6 Perbandingan komposisi kimia zeolit bayah terhadap zeolit sintetis
mordenit dan klinoptilolit
Komposisi Kimia (%) Zeolit Bayah Mor1 Kli-K
2 Kli-Na
3
SiO2 67,178 67,36 62,37 64,87
Al2O3 10,572 12,83 11,74 12,46
Na2O 1,091 3,90 0,93 4,33
K2O 2,312 0,54 7,85 2,28
MgO 0,771 - 0,27 -
CaO 3,267 3,21 0,08 1,27
BaO 0,027 - - 0,51
Fe2O3 1,183 - - 0,47
FeO - - 0,08 0,08
TiO2 0,142 - - -
P2O5 0,038 - - -
SrO 0,061 - 1,35 -
MnO2 0.033 - 0,03 0,03
SO3 0,065 - - -
ZnO 0,004 - - -
Rb2O 0,003 - - -
Y2O3 0,004 - - -
ZrO2 0,010 - - -
H2O - 12,16 15,28 13,59
Total Oksida (%) 86,76 100,00 99,98 99,89
Si/Al 5,62
Sumber : 1Anonim 1864;
2Anonim 1923;
3Anonim 1969
4.1.2 Modifikasi zeolit alam dan karakterisasi zeolit termodifikasi
Modifikasi zeolit alam didasarkan pada beberapa jurnal dan paten dalam
pengembangan zeolit sebagai adsorben (molecular sieve). Bedard (2010)
menjelaskan bahwa sangat sulit untuk mengindentifikasi teknik-teknik khusus
yang benar-benar digunakan oleh perusahaan tertentu dalam pembuatan zeolit
sebagai molecular sieve. Hal ini karena tidak adanya metode untuk menentukan
proses mana dari paten tersebut yang praktis untuk digunakan pada proses
produksi molecular sieve. Selain itu, sebagian dari tahapan proses produksi masih
merupakan rahasia perusahaan yang mengajukan paten.
Pada penelitian ini dicoba dengan memadukan beberapa tahapan proses
yang ada dalam paten-paten tersebut. Namun secara umum, proses modifikasi
dilakukan menggunakan metode sintesis hidrotermal dengan pelarut utama air
(Bedard 2010).
Alasan digunakan air sebagai pelarut, diantaranya karena air dapat
melarutkan komponen-komponen campuran pereaksi pada berbagai taraf,
33
mempengaruhi konsentrasi dan pH dari tiap-tiap kerangka komponen penyusun
zeolit, dan membantu dalam stabilisasi akhir dari mikroporositas kristalin melalui
koordinasi dengan kation-kation yang bermuatan seimbang dalam produk akhir
dan mengisi kekosongan bagian dari mikroporositas yang dihasilkan. Selain itu,
pelarut air tersedia dengan mudah dan murah, mudah untuk didaur ulang, dan
tidak bermasalah jika dibuang ke lingkungan sebagai zat non-kontaminasi. Oleh
karena itu, hampir semua proses pembuatan zeolit dan oksida molecular sieve
lainnya dilakukan dalam air, bahkan muncul dalam kasus pembuatan bahan
mikroporositas seperti kerangka logam organik, air digunakan sebagai pelarut
reaksi karena ekonomis dan paling ramah terhadap lingkungan (Bedard 2010).
Modifikasi dilakukan melalui metode penambahan ion aluminium ke dalam
kerangka zeolit alam sehingga nantinya diharapkan memiliki sifat-sifat yang
serupa dengan zeolit sintetis 3A. Proses penambahan ion aluminium ke dalam
kerangka zeolit dilakukan melalui 2 metode, yaitu : Metode Asidifikasi–
Realuminasi dan Aluminasi-Langsung.
4.1.2.1 Metode asidifikasi-realuminasi
Perlakuan pendahuluan terhadap zeolit alam adalah menggunakan HCl 1,5
M. Tujuan dari perlakuan tersebut adalah untuk menghilangkan logam-logam
yang tidak diinginkan yang masih terkandung di dalam zeolit alam. Zeolit hasil
proses asidifikasi dikalsinasi pada suhu 500oC selama 2 jam. Kalsinasi adalah
proses pemanasan zat padat sampai suhu dibawah titik leleh, yang mengakibatkan
penguraian oleh panas atau fase transisi selain dari pelelehan. Proses yang
termasuk jenis reaksi ini antara lain : disosiasi panas, transisi fase polimorfik, dan
rekristalisasi termal (EM 2008). Kalsinasi pada penelitian ini bertujuan untuk
rekristalisasi sampel zeolit setelah proses modifikasi.
Selanjutnya, zeolit hasil proses kalsinasi diberi perlakuan dengan
penambahan sumber ion Al3+
ke dalam kerangka zeolit yang bertujuan untuk
memperkecil perbandingan kandungan Si/Al terhadap zeolit yang dimodifikasi.
Sementara itu, zeolit sintetis 3A digunakan pada penelitian ini sebagai
pembanding dalam penentuan karakteristik dari zeolit yang diberi perlakuan asam
dan pengkayaan ion Al3+
(realuminasi).
Modifikasi yang dilakukan terhadap zeolit yang telah beri perlakuan asam
menghasilkan zeolit alam modifikasi 1 (dikodekan ZAM1) seperti yang terlihat
34
pada Gambar 11. Zeolit yang diberi perlakuan asam (ZAA) menampakkan luas
permukaan dan volume pori yang lebih besar jika dibandingkan dengan zeolit
alam. Hal ini dapat dilihat pada data distribusi pori sampel zeolit yang terdapat
dalam Tabel 9.
Gambar 11 Zeolit hasil modifikasi sebelum dan sesudah pengeringan
menggunakan metode asidifikasi-realuminasi.
Proses asidifikasi bertujuan untuk menghilangkan logam-logam pengotor
yang tidak diinginkan dalam sampel zeolit sehingga zeolit yang diperoleh
diharapkan lebih murni. Hasil analisis komposisi kimia terhadap sampel zeolit
hasil asidifikasi dan realuminasi menggunakan metode XRF dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode XRF
Komposisi unsur (%) ZA ZAA ZAM1 Z3A
Si 31,41 31,02 27,49 19,36
Al 5,59 4,01 11,37 11,12
Na 0,81 0,27 0,76 7,71
K 1,92 1,59 0,94 0,15
Mg 0,46 0,23 0,17 1,18
Ca 2,34 0,50 0,35 0,12
Ba 0,03 0,02 0,02 0,02
Fe 0,83 0,50 0,36 0,76
S 0,03 0,01 0,01 0,01
Cl - 0,04 - 0,11
Si/Al 5,62 7,74 2,42 1,74
Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAA = zeolit alam asidifikasi, ZAM1 = zeolit alam modifikasi 1,
dan Z3A = zeolit sintetis 3A.
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar logam-logam seperti Fe
dan Ca mengalami penurunan setelah diberi perlakuan asam, begitu juga dengan
logam Aluminium. Penurunan kandungan Al tidak diharapkan karena akan
memperbesar rasio Si/Al dalam sampel zeolit. Jika hal ini terjadi, maka zeolit
akan bersifat lebih hidrofobik dan pori-pori zeolit akan menjadi lebih terbuka. Jika
35
diperhatikan, komposisi kimia dari sampel zeolit sintetis 3A juga masih
mengandung logam-logam pengotor. Oleh karena itu, proses modifikasi
selanjutnya dilakukan secara langsung tanpa proses asidifikasi terlebih dahulu.
4.1.2.2 Metode aluminasi langsung
Modifikasi dilakukan menggunakan metode yang berbeda dengan beberapa
sumber alumina yang berbeda pada proses aluminasi zeolit. Sumber alumina yang
digunakan antara lain aluminium oksida, aluminium nitrat, tawas, dan kaolin yang
juga dapat berfungsi sebagai binder. Proses aluminasi dilakukan secara langsung
dan produk yang dihasilkan adalah ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan ZAM6.
Gambar 12 menunjukkan zeolit granul (ZAM6) yang dibuat secara manual dalam
bentuk bulatan-bulatan kecil berukuran 3 – 5 mm.
Gambar 12 Zeolit alam modifikasi dalam bentuk granula ukuran 3 – 5 mm.
Hasil analisis komposisi kimia sampel zeolit yang dialuminasi secara
langsung (ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, ZAM6) dan zeolit sintetis 3A dapat
dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa rasio Si/Al dalam
sampel zeolit mengalami penurunan setelah proses modifikasi kecuali pada
sampel ZAM2.
Tabel 8 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan metode EDX Unsur (%) ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A
Si 26,89 19,66 19,44 15,61 18,14 11,43 18,18
Al 7,80 4,13 5,98 7,19 6,13 5,19 13,52
Na 0,67 3,60 2,17 5,12 2,19 2,53 11,30
K 3,68 - 1,23 - 0,36 - 0,33
Mg 0,44 - 0,03 - - - 1,79
Ca 1,71 - - - 0,01 - 0,25
Ba 0,30 - 0,03 - - - 0,39
Fe 1,51 - 0,51 - - - 1,03
S 0,02 - - - 0,16 2,57 0,01
Cl 0,06 - 0,29 0,16 0,10 - 0,06
Si/Al 3,45 4,76 3,25 2,17 2,96 2,20 1,34
Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAM2 = zeolit alam Modifikasi 2, ZAM3 = zeolit alam Modifikasi
3, ZAM4 = zeolit alam Modifikasi 4, ZAM5 = zeolit alam Modifikasi 5, ZAM6 = zeolit alam
Modifikasi 6, dan Z3A = zeolit sintetis 3A (Lampiran 2).
36
Penyebab tidak terjadinya penurunan rasio Si/Al dalam sampel ZAM2
kemungkinan disebabkan oleh sebagian sumber Al yang ditambahkan masih
belum bereaksi, sehingga rasio Si/Al belum dapat diturunkan. Namun, secara
keseluruhan komposisi yang diharapkan dari zeolit alam hasil modifikasi masih
belum dapat menyamai komposisi kimia zeolit sintetis (Z3A). Luas permukaan,
volume, dan diameter pori sampel zeolit diukur menggunakan peralatan Pore Size
Distribution Analyzer.
4.1.2.3 Pengukuran distribusi pori zeolit
Pore Size Distribution Analysis (PSDA) merupakan metode pengukuran
distribusi ukuran pori zeolit yang berhubungan dengan luas permukaan, volume
pori, dan diameter pori. Distribusi ukuran pori adalah kelimpahan relatif dari
masing-masing ukuran pori yang mewakili (merepresentasikan) volume dari
adsorben (Nimmo 2004). Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kapasitas
adsorpsi dan absorbsi dari zeolit berbanding lurus dengan luas permukaan,
volume pori, dan diameter pori. Luas permukaan dari sampel zeolit yang
digunakan ditentukan berdasarkan adsorpsi isotermis menggunakan metode
Brunauer, Emmett, & Teller (BET) (Condon 2006). Kurva standar hasil
pengukuran luas permukaan menggunakan metode BET dapat dilihat pada
Lampiran 3. Luas permukaan zeolit sangat berpengaruh terhadap kemampuan
zeolit sebagai adsorben dan dessicant maupun sebagai katalis. Jika luas
permukaan zeolit semakin besar, maka kemampuan zeolit untuk menyerap
senyawa-senyawa lain akan semakin baik. Hal ini disebabkan oleh permukaan
interaksi yang lebih luas. Jika digunakan sebagai katalis, maka reaksi yang terjadi
akan semakin cepat.
Begitu juga dengan volume pori, semakin besar volume pori, maka akan
semakin besar daya tampung dari senyawa-senyawa yang akan terjerap dalam
pori-pori zeolit. Diameter pori zeolit akan mempengaruhi selektifitas zeolit
terhadap molekul-molekul mana yang akan masuk ke dalam rongga zeolit dan
mana yang akan ditolak. Semakin kecil diameter pori, maka proses pemisahan
menggunakan sifat zeolit akan semakin selektif. Berkaitan dengan diamater pori,
apabila diameter pori semakin besar, maka akan semakin banyak senyawa-
senyawa yang dapat masuk dan melewati pori-pori zeolit. Sebaliknya, semakin
37
kecil diameter pori dari suatu zeolit, maka zeolit tersebut akan semakin selektif
dalam menyerap ataupun meloloskan zat-zat yang akan masuk ke dalam pori-pori
zeolit. Selain itu, diameter pori zeolit juga dapat digunakan untuk menentukan
golongan ataupun klasifikasi dari sampel zeolit sebagai material berpori.
Physisorption (adsorpsi secara fisik) digunakan untuk menentukan
kemampuan adsorpsi dari zeolit, baik zeolit alam, yang dimodifikasi, maupun
zeolit sintetis 3A. Proses sorpsi yang terjadi pada zeolit merupakan adsorpsi
secara fisik (physisorption) dimana struktur elektron dari molekul zeolit tidak
terganggu pada saat proses adsorpsi. Hasil analisis distribusi ukuran pori dan luas
permukaan terhadap zeolit yang diberi perlakuan asam (ZAA), zeolit hasil
realuminasi (ZAM1), zeolit hasil aluminasi langsung (ZAM2, ZAM3, ZAM4,
ZAM5, ZAM6) dan zeolit sintetis 3A dapat dilihat pada Tabel 9. Peralatan yang
digunakan dalam proses pengukuran distribusi ukuran pori adalah Autosorb-6.
Tabel 9 Hasil analisis karakteristik pori zeolit
Sampel Jenis analisis
zeolit Luas permukaan (m2/g)
a Volume pori (cm
3/g)
b Diameter pori (Å)
c
Z3A 333 1,73 x 10-1
13,4
ZA 32 1,44 x 10-2
17,4
ZAA 54 2,22 x 10-2
17,4
ZAM1 65 2,55 x 10-2
17,6
ZAM2 6 2,56 x 10-3
18,0
ZAM3 9 3,29 x 10-3
18,2
ZAM4 8 3,25 x 10-3
17,8
ZAM5 17 7,17 x 10-3
17,8
ZAM6 10 4,52 x 10-3
17,6 Keterangan : a = Metode BET (Brunauer, Emmett & Teller), b = Metode Horvath-Kawazoe, c =
Metode Dubinin-Astakhov
Berdasarkan data distribusi pori yang terdapat pada Tabel 9, luas permukaan
zeolit sintetis masih lebih tinggi dibandingkan dengan zeolit alam (ZA) dan zeolit
alam hasil modifikasi (ZAM). Proses modifikasi menyebabkan terjadinya
penurunan volume pori dan luas permukaan zeolit. Berdasarkan data tersebut,
maka dapat dijelaskan bahwa luas permukaan dan volume pori zeolit setelah
proses modifikasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan zeolit asal (zeolit
alam tanpa modifikasi). Diameter pori sebelum dan setelah modifikasi tidak
terjadi perubahan yang signifikan, artinya ukuran pori zeolit hasil modifikasi
masih mendekati ukuran pori sampel zeolit alam.
38
Jika dibandingkan antara diameter pori dari sampel zeolit terhadap kategori
distribusi ukuran pori menurut IUPAC, maka keseluruhan sampel zeolit yang
digunakan baik zeolit alam, zeolit alam modifikasi, dan zeolit sintetis 3A dapat
digolongkan ke dalam kelompok mikroporos.
Klasifikasi distribusi ukuran pori berdasarkan konsep fisisorpsi dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10 Klasifikasi distribusi ukuran pori (IUPAC 1985)
Klasifikasi Rentang diameter
pori (nm)
Rentang diameter
pori (µm)
Rentang diameter
pori (Å)
Mikroporos d < 2.0 d < 0.002 d < 20
Mesoporos 2 < d < 50 0.002 < d < 0.05 20 < d < 500
Makroporos d > 50 d > 0.05 d > 500
Pada kasus dehidrasi bioetanol, luas permukaan dan volume pori
berpengaruh terhadap kemampuan adsorpsi zeolit terhadap molekul-molekul air
yang terkandung dalam campuran etanol-air. Semakin besar luas permukaan,
maka akan semakin besar kemampuannya untuk berinteraksi dan berikatan
dengan molekul-molekul air dalam bioetanol. Begitu juga dengan volume pori
yang besar akan mampu menampung lebih banyak molekul-molekul air yang
terjerap dalam pori-pori zeolit. Pada proses dehidrasi bioetanol, diharapkan bahwa
pori-pori zeolit yang terbaik adalah yang memiliki ukuran pori yang paling kecil
yang tentunya disesuaikan dengan ukuran molekul air dan bioetanol yang akan
dipisahkan.
4.1.3.2 Difraksi sinar-X (XRD)
Pola difraksi sinar X merupakan tipikal “fingerprint” yang digunakan untuk
menentukan kemurnian sampel, derajat kristalinitas, atau ukuran dari unit sel dari
suatu zeolit. Penentuan derajat kristalinitas hanya mungkin dilakukan melalui
perbandingan sampel dengan bahan standar. Melalui metode ini dapat juga
dideteksi kerusakan struktur zeolit akibat proses modifikasi seperti pertukaran ion,
steaming, ataupun akibat kalsinasi (Pfeninger 1999).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan XRD, maka diperoleh pola difraksi
sinar X sampel zeolit alam dan zeolit hasil modifikasi seperti yang terlihat pada
Gambar 13. Dari pola difraksi sinar X yang ada dan dibandingkan dengan pola
difraksi sinar-X standar beberapa sampel zeolit, maka diduga bahwa sampel zeolit
alam yang digunakan pada penelitian ini merupakan campuran jenis klinoptilolit,
39
mordenit, gismondin, dan filipsit. Berdasarkan Gambar 13, sampel zeolit yang
telah dimodifikasi menggunakan sumber aluminium (Al2O3, Al(NO3)3, dan tawas)
sudah mengarah kepada pembentukan struktur zeolit A.
Keterangan : Z3A = Zeolit 3A Sintetis, ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam
modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), = Faujasit, = Heulandit, = Natrolit, = Epistilbit,
= Linde L, = Mordenit, = Filipsit, = Linde A, = Gismondin, = Stilbit, = Laumontit .
Gambar 13 Pola difraksi sinar-X sampel zeolit.
Sampel zeolit yang mengarah pada pembentukan zeolit A, didasarkan pada
pola difraksi sinar-X yang ditampilkan di Gambar 13 yang dicocokkan dengan
SiO2
SiO2 SiO2
SiO2
Z3A
ZA
ZAM2
ZAM3
ZAM4
ZAM5
ZAM6
SiO2
40
sumber data pola difraksi sinar-X dari software JCPDS (Joint Committee on
Powder Diffraction Standards), serta koleksi pola difraksi sinar-X dari Treacy &
Higgins (2007). Data selengkapnya mengenai intensitas relatif dalam bentuk
persentase pada masing-masing 2θ derajat dapat dilihat pada pada Tabel 11.
Tabel 11 Intensitas relatif sampel zeolit pada masing-masing 2θ derajat Z3A ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6
FAU
10,00(22,6);
11,69(16,0); 15,43(56,8);
18,42(22,6);
23,31(97,5);
23,58(23,6);
29,21(29,2)
- - - - -
23,31(54,2);
23,86(54,2); 31,98(83,1);
32,50(45,8)
PHI - 22,40(79,4); 27,78(65,6);
28,12(100)
12,58(25,5); 17,66(36,3);
27,84(68,6);
28,12(100); 28,54(34,3);
30,86(27,5)
12,40(51,5);
16,48(20,1);
17,52(25,1); 27,78(65,6)
-
17,52(43,1);
27,78(93,8);
29,00(43,5); 30,52(84,6)
21,96(100);
27,84(89,8);
30,96(50,9); 32,62(45,8)
GIS -
17,00(14,0);
19,68(27,7); 21,03(28,3);
22,02(62,9);
26,35(42,4); 26,72(64,0);
28,50(20,9)
- - -
19,78(46,1);
21,03(49,7); 26,72(85,0);
28,02(69,3)
-
HEU
22,49(22,1);
32,01(44,7);
26,68(100); 33,64(45,2)
9,88(55,6);
22,34(73,0);
22,82(39,9);
25,72(76,2);
29,08(17,2); 29,52(56,2);
29,90(28,2);
32,01(19,5)
- - -
17,36(34,3); 22,34(62,4);
22,72(48,0);
24,04(76,8); 25,72(71,9);
25,96(51,3);
26,68(91,5); 29,51(52,3);
29,90(64,7)
22,49(76,3);
23,96(42,4);
34,00(59,3); 35,54(37,3)
LTA - -
21,72(33,3);
27,18(30,4); 30,90(24,5)
21,72(27,4); 27,18(43,5);
30,90(24,3);
46,02(17,6)
-
7,20(31,1);
20,46(53,3); 24,04(76,8);
24,04(47,5); 32,62(45,8);
34,26(28,8);
46,02(28,8)
MOR -
13,45(23,7); 15,30(14,4);
27,87(59,1);
30,89(21,9)
17,59(29,4);
25,66(25,5); 28,28(66,7)
24,54(19,2);
27,87(93,7); 28,28(47,9)
-
13,83(63,7);
23,64(53,6); 27,67(87,3)
19,88(57,6);
23,64(76,3); 31,08(47,5)
NAT
20,14(35,7);
30,26(33,7);
30,35(45,7); 30,98(94,5);
34,22(22,1);
40,82(19,6)
-
12,50(34,3);
26,98(31,4); 28,88(26,5);
29,80(28,4)
-
21,48(22,7);
24,40(100); 30,00(31,0);
30,50(29,3)
24,40(47,4);
30,26(71,6);
30,48(100)
20,16(50,9); 27,44(54,2);
27,70(89,8);
31,22(42,4); 36,64(33,9)
Keterangan : Angka di dalam kurung merupakan intensitas relatif (%), sedangkan angka di luar
kurung merupakan sudut 2θ (derajat), Z3A = zeolit sintetis, ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai
ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), FAU = faujasit, PHI = filipsit, GIS =
gismondin, HEU = heulandit, LTA = linde type A, MOR = mordenit, dan NAT = natrolit.
Jika memperhatikan pola difraksi sinar-X (Gambar 13) dan data pada Tabel
11, serta mencocokkan dengan data difraksi standar, terlihat bahwa struktur yang
mengarah pada pembentukan zeolit A (Linde Type A) dimiliki oleh ZAM2,
ZAM3, ZAM5, dan ZAM6. Zeolit A yang terbentuk masih bercampur dengan
41
zeolit-zeolit lain seperti klinoptilolit (HEU), natrolit (NAT), gismondin (GIS),
filipsit (PHI), maupun mordenit (MOR). ZAM2 merupakan campuran jenis zeolit
filipsit (PHI), natrolit (NAT), Linde type A (LTA), dan mordenit (MOR). ZAM3
merupakan campuran antara filipsit (PHI), Linde type A (LTA), dan mordenit
(MOR). Struktur ZAM4 merupakan natrolit (NAT). ZAM5 merupakan campuran
zeolit filipsit (PHI), gismondin (GIS), heulandit (HEU), Linde type A (LTA),
mordenit (MOR), dan natrolit (NAT). Sementara itu, jenis zeolit yang terdapat
dalam sampel ZAM6 merupakan campuran antara Na-X (FAU), filipsit (PHI),
klinoptilolit (HEU), Linde type A (LTA), mordenit (MOR), dan natrolit (NAT),
sedangkan zeolit sintetis yang digunakan diduga merupakan campuran antara Na-
X (FAU), klinoptilolit (HEU) dan natrolit (NAT).
Kisi kristal merupakan pola geometri dari susunan atom-atom di dalam
suatu kristal. Kisi kristal mencirikan sel satuan pembentuk suatu kristal. Zeolit
jenis mordenit (MOR) dan natrolit (NAT) memiliki bentuk geometri ortorombik,
filipsit (PHI), klinoptilolit (HEU), dan gismondin (GIS) berbentuk monoklinik,
sedangkan jenis zeolit faujasit Na-X (FAU) dan Linde type A (LTA) memiliki
pola geometri kubik (Treacy & Higgins 2007; He 2009).
4.1.3.3 Scanning Electron Microscopy (SEM)
Pengamatan terhadap tekstur, ukuran, susunan partikel dan bentuk
permukaan kristal sampel zeolit dapat dilakukan menggunakan scanning electron
microscopy (SEM). Gambar 14 menunjukkan foto mikro sampel zeolit alam dan
zeolit sintetis 3A.
Gambar 14 Foto mikro sampel zeolit alam dan zeolit 3A.
Berdasarkan hasil scanning menggunakan SEM, maka diperoleh gambaran
mengenai morfologi dari zeolit alam (ZA), dan Zeolit sintetis 3A. Hasil
42
pengukuran partikel, ukuran unit terkecil sampel ZA dan Z3A berturut-turut
adalah 2,795 μm (p,l) dan 2,236 μm (p,l). Hasil foto dengan pembesaran 1000x,
terlihat bahwa bentuk permukaan zeolit alam berbeda dengan zeolit sintetis 3A
yang menjadi target dari proses modifikasi sampel zeolit alam. Zeolit 3A terlihat
berbentuk bulatan-bulatan dengan ukuran yang dapat dikatakan seragam,
sedangkan zeolit alam masih kelihatan berbentuk gumpalan yang tidak teratur.
Ukuran partikel terkecil dari sampel zeolit yang dimodifikasi (ZAM2, dan ZAM3)
berturut-turut adalah 2,865 μm {panjang (p), lebar(l)}; 2,292 μm (p,l). Gambar 15
menunjukkan bentuk permukaan sampel zeolit alam modifikasi 2 dan 3.
Gambar 15 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 2 dan 3.
Zeolit alam modifikasi 2 dan 3 disintesis dari bahan dengan sumber alumina
yang sama yaitu Al2O3, namun berbeda pada tahapan proses modifikasi.
Percobaan yang dilakukan menggunakan sumber alumina Al(NO3)3, bentuk
permukaan sampel zeolit terlihat lebih teratur jika dibandingkan dengan zeolit
alam modifikasi lainnya. Gambar mikro ketiga sampel zeolit dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16 Foto mikro sampel zeolit alam modifikasi 4, 5, dan 6.
Bentuk permukaan zeolit alam modifikasi 5 dan 6 tidak berbeda satu sama
lainnya. Berdasarkan foto mikro ZAM, bentuk permukaan sampel ZAM5 dan
ZAM6 tidak begitu berbeda. Hal in disebabkan karena sumber alumina yang
43
digunakan sama yaitu tawas, walaupun tahapan proses berbeda. Lain halnya
dengan zeolit alam modifikasi 4 (ZAM4), bentuk permukaannya terlihat lebih
teratur jika dibandingkan dengan sampel zeolit alam hasil modifikasi lainnya.
Ukuran butiran terkecil zeolit alam modifikasi 4, 5, dan 6 (ZAM4, ZAM5, dan
ZAM6) berturut-turut adalah 2,865 μm (panjang (p), lebar(l)); 2,292 μm (p,l);
2,865 μm(p), 2,292 μm (l); 3,437 μm (p,l); 2,865 μm (p,l).
Secara umum, karakteristik fisik dari zeolit hasil modifikasi berbeda dengan
sampel zeolit alam murni (ZA). Zeolit yang diperoleh dari hasil modifikasi diuji
coba pada proses dehidrasi bioetanol untuk melihat tingkat selektifitas zeolit dan
kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air yang terkandung di dalam sampel
bioetanol.
4.2 Aplikasi Zeolit Termodifikasi pada Proses Dehidrasi Bioetanol
Percobaan proses dehidrasi bioetanol dilakukan dengan menggunakan zeolit
alam dan zeolit hasil modifikasi (ZAM1 sampai ZAM6), serta zeolit sintetis 3A
digunakan sebagai pembanding.
Metode yang digunakan pada proses dehidrasi terhadap bioetanol dilakukan
menggunakan dua metode, yaitu metode destilasi dan metode perendaman (batch
adsorption). Untuk zeolit hasil asidifikasi-realuminasi (ZAM1), proses dehidrasi
dilakukan dengan menggunakan metode destilasi. Sementara zeolit aluminasi-
langsung dilakukan dengan metode adsorpsi (ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, dan
ZAM6).
4.2.1 Metode Destilasi
Proses dehidrasi terhadap bioetanol diuji dengan menggunakan zeolit
sintetis 3A, zeolit alam (ZA), dan zeolit yang diperoleh dari hasil modifikasi
(ZAM1) sebagai kolom yang akan dilalui oleh uap air dan etanol. Metode yang
digunakan adalah cara destilasi, dimana campuran azeotropik air-etanol
dipanaskan didalam labu destilasi yang diatasnya diletakkan kolom yang telah
diisi dengan zeolit sebagai material molecular sieve. Proses dehidrasi dilakukan
dalam keadaan vakum pada suhu 65oC dan tekanan 254 mmHg. Hal ini bertujuan
untuk mempercepat proses penguapan dari campuran sampel azeotropik air-etanol
dengan konsentrasi yang digunakan adalah 95% volume etanol. Campuran
azeotropik etanol-air tergolong ke dalam azeotropik positif atau azeotropik dengan
44
titik didih minimum. Etanol mendidih pada suhu 78,4oC, air mendidih pada suhu
100oC, akan tetapi campuran azeotropik etanol-air mendidih pada 78,2
oC yang
lebih rendah dari titik didih masing-masing senyawa (Clark 2005).
Gambar 17 Diagram kesetimbangan fase uap dan cair campuran etanol-air.
Jika melihat pada Gambar 17, maka dapat diambil suatu pendekatan bahwa
campuran azeotrop etanol-air tidak mengikuti Hukum Raoult’s. Pada campuran
etanol-air terjadi penyimpangan (deviasi) positif dengan titik didih campuran
berada dibawah titik didih masing-masing bahan yaitu di bawah titik didih etanol
dan air (Clark 2005). Walaupun dimurnikan dengan destilasi secara terus-
menerus, kadar etanol yang diperoleh tidak akan melebihi 95,6% berat. Oleh
karena itu, untuk memurnikan etanol, maka perlu dilakukan adsorpsi
menggunakan adsorben yang dalam hal ini adalah zeolit molecular sieve.
Setelah proses pemisahan (pemurnian) menggunakan zeolit, kadar etanol
yang diperoleh dari hasil kondensasi diukur menggunakan GC (Gas
chromatography). Gambar 18 menunjukkan konsentrasi etanol awal (dalam hal
ini kontrol) dan etanol setelah proses dehidrasi menggunakan zeolit. Berdasarkan
Gambar 18, dapat dijelaskan bahwa konsentrasi awal etanol yang digunakan
adalah 92,34 % volume etanol.
Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi bioetanol yang
dihasilkan pada proses dehidrasi menggunakan zeolit 3A terjadi penurunan dari
kondisi awal 92,34% menjadi 90,17% dan turun sampai 77,66% pada tampungan
10 ml yang terakhir. Sementara konsentrasi bioetanol pada proses dehidrasi
menggunakan ZAM1, untuk 10 ml pertama terjadi peningkatan konsentrasi dari
45
92,34% menjadi 95,75% volume etanol. Namun untuk tampungan 10 ml kedua
dan ketiga secara berurut turun menjadi 91,02% dan 69,22%. Proses dehidrasi
menggunakan zeolit alam yang telah diaktivasi selama 3 jam pada suhu 220oC
juga mengalami penurunan dari 92,34% menjadi 91,22%, 78,68% dan 71,91%
volume etanol.
Keterangan : ZA = zeolit alam, Z3A = zeolit sintetis, ZAM1 = zeolit alam modifikasi 1, kata awal
= kadar bioetanol awal, Angka romawi I, II, dan III = tampungan pertama, kedua, dan ketiga.
Gambar 18 Kadar etanol sebelum dan sesudah proses dehidrasi menggunakan
metode destilasi.
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa dari ketiga macam zeolit yang digunakan pada proses dehidrasi etanol,
zeolit yang dimodifikasi (ZAM1) memberikan hasil yang relatif lebih baik pada I
dan II jika dibandingkan dengan zeolit sintetis 3A dan zeolit alam walaupun
belum mencapai konsentrasi bioetanol maksimum yang diharapkan yaitu
mencapai 99,5% (sesuai SNI). Merujuk kepada fungsi zeolit sebagai molecular
sieve, zeolit dapat mengadsorpsi air sampai dengan 22% berat yang dimilikinya
(Gubta & Demirbas 2010).
Secara teoritis jika 60 g zeolit yang digunakan, maka kemungkinan air yang
dapat diadsorpsi oleh zeolit adalah sebesar 13,2 g. Apabila diasumsikan densitas
air adalah 1 g/ml, maka jumlah air yang dapat diadsorpsi oleh zeolit adalah 13,2
ml. Itu pun jika kondisinya normal, tetapi jika air yang diadsorpsi merupakan
campuran azeotropik air-etanol, tidak menutup kemungkinan etanol juga ikut
teradsorpsi oleh zeolit akibat ketidakseragaman ukuran pori zeolit. Hal ini dapat
dilihat dari terjadinya pengurangan volume sampel etanol setelah akhir proses
dehidrasi. Lebih jelasnya massa 13,2 g dari kapasitas adsorpsi zeolit merupakan
65
70
75
80
85
90
95
100
awal I II III
Kad
ar B
ioet
ano
l (%
)
ZA Z3A ZAM1
46
campuran antara air dan etanol. Sisa volume etanol setelah proses adsorpsi untuk
masing-masing zeolit adalah 240 ml (Z3A), 240 ml (ZAM1), dan 205 ml (ZA).
Peningkatan kadar etanol yang terjadi menggunakan ZAM1 adalah sebesar 3,69%
dan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air sebesar 16,81% berat. Secara
keseluruhan, kadar etanol menurun setelah akhir proses sehingga proses
selanjutnya dilakukan menggunakan sistem perendaman (batch adsorption).
4.2.2 Metode Perendaman (Batch Adsorption)
Proses adsorpsi dilakukan melalui perendaman zeolit dalam bioetanol
selama 24 jam (A1 dan A2) dan pengadukan selama 1 jam yang dilanjutkan
dengan destilasi selama ± 30 menit (B1 dan B2). Hasil pengukuran nilai rataan
kadar bioetanol menggunakan density meter terhadap zeolit alam, zeolit hasil
modifikasi langsung (ZAM2, ZAM3, ZAM4, ZAM5, ZAM6), serta zeolit sintetis
3A (Z3A) dapat dilihat pada Lampiran 4.
Parameter yang diamati pada proses dehidrasi bioetanol meliputi persentase
kenaikan kadar bioetanol (PKB) dan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air (KAZ)
dalam bioetanol. Persentase kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi air
dari zeolit yang dilakukan melalui perendaman sampel zeolit dalam bioetanol
90% selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20.
Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai PKB tidak berbeda menurut uji Duncan.
ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A
= zeolit sintetis.
Gambar 19 Persentase kenaikan kadar bioetanol 90%.
Kadar bioetanol 90% mengalami peningkatan setelah proses adsorpsi.
Persentase kenaikan kadar bioetanol menggunakan zeolit alam modifikasi berada
pada kisaran 0,27 – 1,38%, sedangkan kapasitas adsorpsi air berada pada kisaran
0,62 d
1,22 bc
0,69 cd0,27 d
1,38 b
0,75 cd
4,86 a
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A
Pers
enta
se k
enaik
an k
adar
bio
eta
nol (%
)
47
7,57 f
9,37 e
13,46 c
15,44 b
17,67 a
4,93 g
10,51 d
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
20.0
ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A
Kapasitas a
dsorp
si air z
eolit
(%
)
4,93 – 17,67%. Persentase kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi air
menggunakan zeolit alam berturut-turut adalah 0,62% dan 7,57%.
Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai KAZ tidak berbeda menurut uji Duncan.
ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A
= zeolit sintetis.
Gambar 20 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 90%.
Secara teoritis, persentase kenaikan kadar bioetanol berbanding lurus
dengan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap air. Semakin besar kemampuan zeolit
dalam mengadsorpsi air, maka semakin tinggi kadar bioetanol yang diperoleh.
Namun, pada percobaan proses adsorpsi terjadi sedikit penyimpangan. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh tingkat selektivitas dari sampel zeolit masih belum
cukup bagus dan ukuran diameter pori yang tidak seragam. Artinya, selain
molekul air, molekul bioetanol juga ikut terjerap dalam sampel zeolit yang
digunakan. Kemungkinan lain, diduga terjadinya pembentukan multilapisan
(multilayer) dari bioetanol yang terjerap pada permukaan zeolit sebagai bahan
adsorben, sehingga menyebabkan pengurangan volume bioetanol setelah proses
adsorpsi. Secara tidak langsung, kadar bioetanol setelah proses adsorpsi juga tidak
akan meningkat. Proses adsorpsi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut :
Penempelan molekul air/bioetanol sebagai adsorbat pada permukaan zeolit
sebagai adsorben membentuk lapisan monolayer
Penempelan molekul air/bioetanol lain pada lapisan monolayer sehingga
membentuk lapisan multilayer
Pembentukan lapisan multilayer terjadi apabila proses adsorpsi terjadi
secara fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekul lebih besar daripada
gaya intramolekul. Gaya intermolekul adalah gaya tarik menarik antar molekul-
molekul zat cair itu sendiri, sedangkan gaya intramolekul adalah gaya tarik
48
menarik antara molekul zat cair dengan molekul permukaan padatan. Keadaan
setimbang dari proses adsorpsi fisika adalah reversibel dan berlangsung sangat
cepat karena kebutuhan energinya kecil.
Gaya yang dilibatkan pada adsorpsi fisika adalah gaya Van Der Waals, yaitu
gaya tarik menarik yang relatif lemah antara permukaan adsorben dengan
adsorbat. Dengan demikian, adsorbat tidak terikat denga kuat pada permukaan
adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke
bagian permukaan lainnya. Pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat yang
satu dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Oleh karena adsorpsi fisika
merupakan suatu keadaan yang reversibel, bila kondisi kesetimbangan diubah
(misalnya tekanan diturunkan atau temperatur dinaikkan), maka sebagian adsorbat
akan terlepas dan membentuk suatu keadaan kesetimbangan baru. Proses adsorpsi
fisika terjadai tanpa memerlukan energi aktivasi sehingga pada proses tersebut
akan membentuk lapisan multilayer pada permukaan adsorben. Ikatan yang
terbentuk dalam adsorpsi fisika dapat diputuskan dengan mudah (Saragih 2008).
Gambar 21 Pendekatan adsorpsi isotermis Brunauer, Emmett, & Teller.
(QICD 2004, dimodifikasi)
Hubungan interaksi antara jenis zeolit dengan pemakaian ulang zeolit pada
proses dehidrasi menggunakan bioetanol 90% dapat dilihat pada Tabel 12.
Berdasarkan hasil uji Duncan yang terdapat pada Tabel 12, maka dapat dijelaskan
bahwa zeolit yang sudah digunakan pada proses dehidrasi pertama dapat
digunakan kembali untuk proses dehidrasi selanjutnya setelah lebih dulu
diregenerasi. Kemampuan zeolit dalam menaikkan kadar bioetanol tidak
menunjukkan penurunan yang signifikan menurut uji Duncan, begitu juga dengan
kapasitas adsorpsi dari masing-masing sampel zeolit. Perbedaan hanya terjadi
pada sampel zeolit sintetis (Z3A) yang mengalami penurunan ketika digunakan
kembali pada proses dehidrasi selanjutnya.
49
0,72 d
1,27 b
0,23 e0,30 e
1,08 c
0,37 e
1.63 a
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A
Pers
enta
se k
enaik
an k
adar
bio
eta
nol (%
)
Tabel 12 Pengaruh jenis zeolit dan pemakaian ulang zeolit terhadap persentase
kenaikan kadar bioetanol 90%
Sampel zeolit Persentase kenaikan kadar bioetanol
A1 A2
ZA 0,8837 cde 0,2175 de
ZAM2 1,3393 c 1,1003 cd
ZAM3 0,9675 cde 0,4130 de
ZAM4 0,2120 e 0,3185 de
ZAM5 1,4583 c 1,2710 c
ZAM6 0,6837 cde 0,8253 cde
Z3A 5,5043 a 4,2217 b Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda menurut uji Duncan, ZA =
zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A =
zeolit sintetis, A = adsorpsi menggunakan bioetanol 90%, 1 = pemakaian awal zeolit, 2 =
pemakaian ulang zeolit (setelah regenerasi).
Sementara itu, persentase kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi
air dari zeolit yang dilakukan melalui pengadukan secara perlahan sampel zeolit
dalam bioetanol 95% selama 1 jam dan selanjutnya didestilasi memberikan hasil
seperti yang terlihat pada Gambar 22 dan Gambar 23
Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai PKB tidak berbeda menurut uji Duncan.
ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode),
Z3A = zeolit sintetis.
Gambar 22 Persentase kenaikan kadar bioetanol 95%.
Kadar bioetanol 95% meningkat setelah proses adsorpsi. Peningkatan kadar
bioetanol menggunakan zeolit alam modifikasi berada pada kisaran 0,23 – 1,27%,
sedangkan kapasitas adsorpsi air berada pada kisaran 4,89 – 7,16%. Persentase
kenaikan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi air menggunakan zeolit alam
berturut-turut adalah 0,72% dan 4,64%. Kemampuan zeolit dalam memisahkan
campuran etanol-air pada kadar bioetanol 95% belum menunjukkan hasil
50
memuaskan. Seluruh sampel zeolit yang digunakan pada percobaan, belum
mampu untuk meningkatkan kadar bioetanol sampai 99,9%.
Keterangan : Huruf yang sama pada masing-masing nilai KAZ tidak berbeda menurut uji Duncan.
ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6 (ada di metode), Z3A
= zeolit sintetis.
Gambar 23 Kapasitas adsorpsi air dari zeolit pada bioetanol 95%.
Kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air bervariasi antara ketujuh sampel
zeolit yang digunakan. Zeolit alam modifikasi 5 (ZAM5) memiliki kapasitas
adsorpsi air tertinggi dibandingkan sampel zeolit yang lain. Akan tetapi, kapasitas
adsorpsi ZAM5 terhadap bioetanol juga tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat
selektifitas dari ZAM5 masih kurang bagus. Kapasitas adsorpsi air ZAM5 adalah
17,67% pada bioetanol 90% yang direndam selama 24 jam, sedangkan kapasitas
adsorpsi zeolit alam dan zeolit sintetis (Z3A) berturut-turut adalah 7,57% dan
10,51%. Kapasitas adsorpsi air dari zeolit hasil modifikasi lebih baik
dibandingkan dengan zeolit alam murni (tanpa modifikasi).
ZAM5 pada kadar bioetanol 90% menunjukkan kapasitas adsorpsi tertinggi
yang diikuti oleh ZAM4 dan ZAM3 (Gambar 20). Kapasitas adsorpsi ketiga jenis
zeolit hasil modifikasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan zeolit sintetis
3A, namun kemampuannya dalam menaikkan kadar bioetanol sampel masih
kurang baik jika dibandingkan dengan zeolit sintetis.
Sementara itu, percobaan adsorpsi yang dilakukan menggunakan zeolit hasil
regenerasi dimaksudkan untuk melihat kemampuan penggunaan ulang (reuse)
zeolit pada proses dehidrasi. Zeolit hasil regenerasi tidak menunjukkan penurunan
kemampuan terhadap peningkatan persentase kadar bioetanol dan kapasitas
adsorpsi air. Pemakaian pertama dan kedua (regenerasi) sampel zeolit, tidak
4,64 c
5,23 c
6,83 ab 7,01 a 7,16 a
4,89 c
5,74 bc
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
ZA ZAM2 ZAM3 ZAM4 ZAM5 ZAM6 Z3A
Kapasitas a
dsorp
si air z
eolit
(%
)
51
mempengaruhi terhadap peningkatan kadar bioetanol dan kapasitas adsorpsi zeolit
terhadap air (menurut uji Duncan).
Hasil uji Duncan menjelaskan bahwa kemampuan peningkatan kadar
bioetanol pada masing-masing sampel zeolit setelah regenerasi tidak mengalami
penurunan yang signifikan. Kemampuan zeolit setelah regenerasi hampir sama
dengan pada saat penggunaan pertama, dengan kata lain zeolit tersebut masih
layak untuk digunakan kembali pada proses dehidrasi bioetanol selanjutnya.
Secara umum, kemampuan adsorpsi zeolit terhadap air dalam bioetanol dari
semua jenis zeolit yang digunakan tidak mengalami penurunan yang signifikan
pada saat digunakan kembali pada proses dehidrasi bioetanol. Berdasarkan hasil
analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji Duncan, menjelaskan bahwa
kapasitas adsorpsi sampel zeolit hasil modifikasi (ZAM) terhadap air dalam
bioetanol sudah menunjukkan hasil yang cukup bagus jika dibandingkan dengan
sampel zeolit alam. Bahkan kapasitas adsorpsi ZAM melebihi kapasitas adsorpsi
zeolit 3A, namun kelemahan dari ZAM adalah masih mengadsorpsi bioetanol
dalam jumlah yang besar pula. Hal ini terlihat dari berkurangnya jumlah bioetanol
setelah proses adsorpsi menggunakan ZAM3, ZAM4, dan ZAM5 (Lampiran 4).
Tingkat selektifitas dari ketiga sampel zeolit tersebut masih kurang bagus
untuk diaplikasikan pada proses dehidrasi bioetanol. Karakteristik fisik dari
sampel zeolit tersebut masih belum mendukung untuk proses pemisahan
campuran bioetanol-air. Hal ini terlihat dari ukuran pori sampel zeolit yang masih
besar, volume pori yang semakin mengecil akibat proses modifikasi, serta luas
permukaan yang semakin sempit.
Distribusi pori, dan komposisi kimia zeolit sangat mempengaruhi
kemampuan zeolit dalam mengadsorpsi air dalam bioetanol. Ukuran pori yang
lebih besar akan menyebabkan berkurangnya tingkat selektifitas zeolit terhadap
sampel yang akan dipisahkan. Artinya bukan hanya air yang terperangkap dalam
pori-pori zeolit, tetapi etanol juga ikut masuk ke dalam pori-pori zeolit.
Rasio Si/Al dalam sampel zeolit berperan penting dalam proses adsorpsi air,
dimana zeolit dengan rasio Si/Al paling kecil akan mampu mengikat air lebih
banyak. Secara teoritis, zeolit dengan rasio Si/Al lebih rendah akan bersifat lebih
hidrofilik. Selain rasio Si/Al, proses adsorpsi juga dipengaruhi oleh ion-ion logam
52
yang melingkupi permukaan zeolit, sebagai contoh ion Na+. Zeolit dengan
kandungan logam natrium lebih tinggi akan lebih mudah mengikat air
dibandingkan yang lainnya. Jadi, molekul-molekul air tidak hanya terperangkap
dalam pori-pori zeolit, tetapi berinteraksi juga dengan ion natrium yang
mengelilingi permukaan zeolit. Molekul air terkumpul pada kation Na (Byrappa
& Yoshimura 2001).
Gambar 24 Diagram Interaksi air dengan kation natrium (Na).
Persentase kenaikan kadar bioetanol setelah proses adsorpsi tidaklah begitu
besar. Hal tersebut disebabkan oleh bahan yang terjerap dalam pori-pori zeolit
masih bercampur antara bioetanol dengan air dalam fase cair. Pada prinsipnya
proses adsorpsi melalui cara perendaman adalah pengikatan air secara fisika.
Metode pemisahan yang lebih baik terhadap campuran etanol-air dapat dilakukan
dalam fase uap dengan kondisi yang terkontrol dengan baik, sehingga fungsi
zeolit sebagai material molecular sieve akan lebih optimal. Selain itu, perlu
dilakukan perbaikan terhadap karakteristik fisik zeolit yang meliputi luas
permukaan yang tinggi, ukuran diameter pori yang kecil (3 Å), penurunan rasio
Si/Al mendekati zeolit 3A, penggunaan zeolit yang memiliki kemurnian tinggi,
sehingga kemampuan adsorpsinya akan menjadi lebih baik (Saragih 2008) dan
lebih selektif. Jika semua karakteristik fisik dapat dikondisikan dengan baik, maka
diharapkan proses dehidrasi bioetanol menggunakan zeolit molecular sieve akan
menjadi lebih baik dan dapat menghasilkan bioetanol dengan kualitas bahan bakar
(fuel grade ethanol).
53
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Proses modifikasi dapat menurunkan rasio Si/Al dalam sampel zeolit.
2. Zeolit hasil modifikasi mengarah pada pembentukan struktur zeolit A
(ZAM2, ZAM3, ZAM5, dan ZAM6).
3. Diameter pori zeolit setelah modifikasi tidak mengalami perubahan yang
berarti. Luas permukaan dan volume pori zeolit hasil modifikasi (ZAM)
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan sampel zeolit alam (ZA).
4. Kemampuan zeolit alam modifikasi (ZAM2 dan ZAM5) dalam menaikkan
kadar bioetanol lebih baik jika dibandingkan dengan zeolit alam murni (tanpa
modifikasi). Begitu juga dengan kapasitas adsorpsinya terhadap air dalam
sampel bioetanol.
5. Persentase kenaikan kadar bioetanol menggunakan ZAM2 dan ZAM5 pada
metode perendaman dengan bioetanol 90% berturut-turut adalah 1,22 % dan
1,38%, sedangkan pada bioetanol 95% adalah 1,27% dan 1,08%. Sementara
itu, kemampuan peningkatan kadar bioetanol menggunakan zeolit alam murni
pada bioetanol kadar 90% dan 95% berturut-turut adalah 0,62% dan 0,72%.
6. Kapasitas adsorpsi air maksimum adalah 17,67% yang dimiliki oleh ZAM5
pada perlakuan perendaman dalam bioetanol 90% selama 24 jam.
7. Secara umum terjadi peningkatan kadar bioetanol setelah proses adsorpsi
untuk semua sampel zeolit yang digunakan. Jika dibandingkan dengan proses
dehidrasi menggunakan metode destilasi, maka metode perendaman (batch
adsorption) masih kurang bagus karena menyebabkan terjadinya
pengurangan volume bioetanol yang cukup besar.
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat digunakan untuk kelanjutan proses dari
penelitian ini antara lain :
1. Kondisi proses dehidrasi bioetanol skala laboratorium perlu diatur dengan
baik sehingga dapat digunakan secara optimal.
54
2. Perlu dicari metode modifikasi zeolit alam yang lebih baik, sehingga produk
yang dihasilkan lebih mendekati bahkan sama seperti molecular sieve 3A.
Zeolit alam hasil modifikasi (ZAM) diharapkan dapat diaplikasikan dengan
baik pada proses dehidrasi bioetanol dan dalam bidang-bidang lain tanpa
harus mengimpor dari luar.
3. Zeolit yang dihasilkan mungkin tidak cocok untuk pemisahan campuran
bioetanol-air, sehingga perlu diuji untuk memisahkan molekul-molekul lain
yang ukurannya lebih besar dari etanol maupun air.
55
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asheh S, Banat F, Al-Lagtah N. 2004. Separation of Ethanol-Water Mixtures
Using Molecular Sieves and Biobased Adsorbents. Chem Eng Res Des 82 :
855-864.
[Anonim]. 1864. Mordenite Mineral Data. http://webmineral.com/data/
Mordenite.shtml. [11 Juli 2011].
[Anonim]. 1923. Clinoptilolite-K Mineral Data. http://webmineral.com/data/
Clinoptilolite-K.shtml. [11 Juli 2011].
[Anonim]. 1969. Clinoptilolite-Na Mineral Data. http://webmineral.com/data/
Clinoptilolite-Na.shtml. [11 Juli 2011].
[Anonim]. 2002. Ethanol : Useful information and resources.
http://www.ethanolindia.net/molecular_sieves.html. [30 Maret 2009].
[Anonim]. 2006. Molecular Sieve. http://www.molecularsieve.org. [30 Maret
2009].
Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. Ed ke-4. Kartohadiprodjo II, penerjemah; Indarto
PW, editor. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Physical Chemistry.
Austin GT. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. Ed ke-5. New York:
McGraw-Hill.
Bedard RL. 2010. Synthesis of Zeolites and Manufacture of Zeolitic Catalysts and
Adsorbents. Di dalam : Kulprathipanja S, editor. Zeolites in Industrial
Separation and Catalysis. Weinheim : J Wiley. hlm 61-84.
Broach RW. 2010. Zeolite Types and Structures. Di dalam : Kulprathipanja S,
editor. Zeolites in Industrial Separation and Catalysis. Weinheim : J Wiley.
hlm 27-60.
Brundle CR, Evans CA, Wilson S, editor. 1992. Encyclopedia of Materials
Characterization. USA : Butterworth-Heinemann.
Byrappa K, Yoshimura M. 2001. Handbook of Hydrothermal Technology : A
technology for crystal growth and materials processing. New York :
William Andrew.
Carmo MJ, Gubulin JC. 1997. Ethanol-Water Adsorption on Commercial 3A
Zeolite : kinetic and thermodynamic data. Braz J Chem Eng 14(3).
[terhubung berkala]. [ 28 Maret 2009].
56
Chiaramonti D. 2007. Bioethanol: role and production technologies. Di dalam :
Ranalli P, editor. Improvement of Crop Plants for Industrial End Uses.
Netherlands : Springer. hlm 209-251.
Clark J. 2005. Non-ideal Mixtures of Liquids.
http://www.chemguide.co.uk/physical/phaseeqia/nonideal.html. [25 Juli
2011].
Clark J. 2007. Pembuatan Alkohol dalam Skala Produksi. http://www.chem-is-
try.org. [07 Juli 2011].
Condon JB. 2006. Surface Area and Porosity Determinations by Physisorption :
measurements and theory. Amsterdam : Elsevier.
Cotton FA, Wilkinson G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Suharto S, penerjemah.
Jakarta : UI-Pr. Terjemahan dari : Basic Inorganic Chemistry.
[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Ed ke-3. Jakarta : Balai Pustaka.
Díaz JC, Gil-Chávez ID, Giraldo L, Moreno-Piraján JC. 2010. Separation of
Ethanol-Water Mixture Using Type-A Zeolite Molecular Sieve. E J Chem 7 :
483-495.
Earle RL, Earle MD. 1983. Unit Operation in Food Processing. The Web Ed.
Published by NZIFST. http://www.nzifst.org.nz/unitoperations/.
[EM] Era Media. 2008. Kamus Pintar Kimia. Bandung : Era Media.
Flanigen EM. 1980. Molecular Sieve Zeolite Technology-The First Twenty-Five
Years. Plenary Paper-Technology. Pure Appl Chem 52 : 2191-2211. Great
Britain : Pergamon Pr.
Flanigen EM. 1991. Zeolite and Molecular Sieves an Historical Perspective. New
York : Elsevier Science.
Gubta RB, Demirbas A. 2010. Gasolin, Diesel, and Ethanol Biofuels from
Grasses and Plants. Cambridge : Cambridge Univ Pr.
Hart H. 2004. Kimia Organik : Suatu kuliah singkat. Ed ke-6. Achmadi SS,
penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari Organic Chemistry : A
short course.
He BB. 2009. Two-Dimensional X-Ray Diffraction. New Jersey : J Wiley.
Igbokwe PK, Okolomike RO, Nwokolo SO. 2008. Zeolite for Drying of Ethanol-
Water and Methanol-Water Systems from Nigerian Clay Resource. J Univ
Chem Technol Met 43 : 109-112.
57
[IUPAC] International of Pure and Applied Chemistry. 1985. Reporting
Physisorption Data for Gas/Solid Systems with Special Reference to The
Determination of Surface Area and Porosity. Pure Appl. Chem. 57 : 603-
619. www.iupac.org/publications/pac/57/4/0603/pdf/. [ 22 September
2009].
[IUPAC] International of Pure and Applied Chemistry. 1997. IUPAC
Compendium of Chemical Terminology. Ed ke-2.
http://www.iupac.org/goldbook.pdf. [ 15 Juni 2009].
Ivanova E, Damgaliev D, Kostova M. 2009. Adsorption Separation of Ethanol-
Water Liquid Mixtures by Natural Clinoptilolite. J Univ Chem Technol Met
44 : 267-274.
Kohl S. 2004. Ethanol 101-7 : Dehidration. Ethanol Today. Maret 2004.
http://www.ovsclub.com.vn/datapic/File/Ethanol_Dehydration.pdf. [13
Februari 2009].
Kurniawan Y, Susmiadi A, Toharisman A. 2005. Potensi Pengembangan Industri
Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia.
http://p3gi.net/images/opini/Bioenergi.pdf.
Kuznicki SM, Langner TW, Curran JS, Bell VA, penemu; Engelhard Corporation.
2 Jul 2002. Method of forming high aluminum aluminosilicate zeolites. US
Patent 6 413 492 B1.
Leonard JJ, penemu; Atlantic Richfield Company. 27 Jan 1981. Preparation of
zeolite A by hydrothermal treatment of clinoptilolite. US Patent 4 247 524.
Ling LK, Ghazali M, Sadikin AN. 2008. Pervaporation of Ethanol-Water Mixture
Using PVA Zeolite-Clay Membranes. J Technol 49 : 167-177.
Mortimer M, Taylor P. 2002. Chemical kinetics and mechanism. Cambridge :
RSC.
Mumpton FA. 1999. La roca magica : Uses of natural zeolite in agriculture and
industry. Proc Natl Acad Sci 96 : 3463-3470.
Narayana M, Murray BD, penemu; Shell Oil Company. 2 Jun 1992. Process for
realuminating zeolites. US Patent 5 118 484.
Nimmo JR. 2004. Porosity and Pore Size Distribution. Di dalam : Hillel D,
editor. Encyclopedia of Soils in The Environment. New York : Academic Pr.
hlm 295-303.
Nurdyastuti I. 2005. Teknologi Proses Produksi Bio-Ethanol. Prospek
pengembangan biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak.
58
www.geocities.com/markal_bppt/publish/biofbbm/biindy.pdf. [13 Agustus
2008].
Onuki S. 2006. Bioethanol : Industrial production process and recent studies.
www.public.iastate.edu/~tge/courses/ce521/sonuki.pdf. [ 13 Februari 2009].
Oudejans JC. 1984. Zeolite Catalyst in Some Organic Reaction. Chem. Res.
Holland.
Ozin GA, Arsenault AC. 2005. Nanochemistry : A chemical approach to
nanomaterials. Cambridge : RSC.
Pfenninger A. 1999. Manufacture and use of zeolites for adsorption processes. Di
dalam : Karge HG, Weitkamp J, editor. Molecular Sieve - Science and
Technology. Volume ke-2, Structures and Structure Determination. Berlin
Heidelberg : Springer. hlm 163-198. Plee D, penemu; Ceca Company. 21 Jul 1992. Zeolite granules with zeolitic
binder. US Patent 5 132 260.
Polat E, Karaca M, Demir H, Onus AN. 2004. Use of Natural Zeolite
(Clinoptilolite) in Agriculture. J Fruit Ornmtl Plant Res 12 : Ed khusus.
Pruksathorn P, Vitidsant T. 2009. Production of Pure Ethanol from Azeotropic
Solution by Pressure Swing Adsorption. Am J Eng Appl Sci 2 : 1-7.
Purawiardi R. 1999. Karakteristik Zeolit Alam Asal Bayah, Sukabumi Jawa Barat.
Bul IPT 5 : 6-12.
[QICD] Quantachrome Instruments Corporate Drive. 2004. An Introduction to
Calculation Methods for Surface Area and Pore Size From Gas Sorption
Data. Boynton Beach, Florida 33426 USA. [28 Mei 2011].
Rakhmatullah DKA, Wiradini G, Ariyanto NP. 2007. Pembuatan Adsorben dari
Zeolit Alam dengan Karakteristik Adsorben Properties untuk Kemurnian
Bioetanol. http://pub.bhaktiganesha.or.id. [12 Agustus 2008].
Richardson JT. 1989. Principles of Catalyst Development. USA : Kluwer
Academic.
Robson H, Lillerud KP, editor. 2001. Verified Synthesis of Zeolitic Materials. Ed
rev ke-2. Amsterdam : Elsevier.
Rouquerol F, Rouquerol J, Sing K. 1999. Adsorption by Powders and Porous
Solids. London : Academic Pr. Saragih SA. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Batubara
Riau Sebagai Adsorben. [tesis]. Jakarta : Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
59
Sastiono A. 1993. Perilaku Mineral Zeolit dan Pengaruhnya Terhadap
Perkembangan Tanah [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Sastrosupadi A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian.
Yogyakarta : Kanisius. Suhala S, Arifin M. 1997. Bahan Galian Industri. Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral. hlm 320-338. Sun HN, penemu; Atlantic Richfield Company. 30 Aug 1983. Two step process
for preparation of zeolite A by hydrothermal treatment of clinoptilolite. US
Patent 4 401 634. Suwardi. 2000. Pemanfaatan mineral zeolit di bidang pertanian dan lingkungan
[abstrak]. Di dalam : Seminar Staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB,
22 Maret 2000. http://suwardi-abstrak.blogspot.com. [26 Mei 2009]. Taherzadeh MJ, Karimi K. 2008. Bioethanol : Market and production processes.
Di dalam : Nag A, editor. Biofuels Refining and Performance. New York :
McGraw-Hill. hlm 69-106. Tissler A, Unger KK, Schmidt H, penemu; Vereinigte Aluminium-Werke
Aktiengesellschaft. 28 Jul 1992. Method for modifying A zeolite. US Patent
5 133 952. Treacy MMJ, Higgins JB. 2007. Collection of Simulated XRD Powder Patterns
for Zeolites. Amsterdam : Elsevier. Ulfah EM, Yasnur FA, Istadi. 2006. Optimasi Pembuatan Katalis Zeolit X dari
Tawas, NaOH dan Water Glass Dengan Response Surface Methodology.
Bul Chem React Eng Catal 1 : 26-32. Vaughan DEW, penemu; Exxon Research and Engineering Co. 13 Aug 1985.
Process for direct synthesis of sodium-and potassium-containing zeolite A.
US Patent 4 534 947. Wahyudi D. 2010. Desain Proses Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit
Molecular sieve dengan Teknik Vacuum Swing Adsorption [tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wittcoff HA, Reuben BG, Plotkin JS. 2004. Industrial Organic Chemicals. Ed ke-
2. New Jersey : J Wiley. Wyman CE. 1996. Handbook on Bioethanol : Production and utilization. USA :
Taylor and Francis.
Zhan X, Li JD, Chen J, Huang JQ. 2009. Pervaporation of Ethanol/Water
Mixtures With High Flux by Zeolite-Filled PDMS/PVDF Composite
Membranes. Chin J Polym Sci 27 : 771-780.
63
Lampiran 1 Gambar beberapa alat yang digunakan dalam penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Keterangan : 1 = Density meter DMA 4500M Anton Paar, 2 = XRF Panalytical
AXIOS, 3 = EDX Bruker Quantax, 4 = XRD MaximaX Shimadzu, 5 = SEM EVO
50 ZEISS, 6 = AUTOSORB-6 Quantacrom.
65
Lampiran 2 Hasil analisis komposisi kimia menggunakan EDX
Hasil analisis komposisi kimia zeolit 3A dan ZA
Hasil analisis komposisi kimia sampel ZAM2 dan ZAM3
67
Lampiran 3 Data Hasil Analisis Luas Permukaan BET sampel zeolit
Plot BET sampel zeolit 3A, ZAA, dan ZAM1
Z3A
ZAM1
ZAA
69
Lampiran 4 Rataan kadar dan massa bioetanol pada proses dehidrasi
Nilai rataan kadar bioetanol pada masing-masing percobaan
Jenis Zeolit Percobaan Kadar bioetanol (%)
A1 A2 B1 B2
ZA Awal 89,91 89,93 95,53 95,53
Akhir 90,71 90,64 96,22 96,22
ZAM2 Awal 91,23 91,25 95,43 96,41
Akhir 92,45 92,25 95,41 96,20
ZAM3 Awal 89,53 89,55 95,43 95,43
Akhir 90,88 90,43 95,69 95,48
ZAM4 Awal 89,53 89,42 95,42 95,74
Akhir 90,34 90,15 95,43 95,57
ZAM5 Awal 89,53 89,42 95,43 96,55
Akhir 90,84 90,20 95,43 96,35
ZAM6 Awal 90,40 89,90 95,53 95,53
Akhir 91,01 90,64 95,74 95,93
Z3A Awal 89,91 89,93 95,53 95,53
Akhir 94,86 93,73 97,15 97,02 Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6, A =
adsorpsi menggunakan bioetanol kadar 90%, B = adsorpsi mengunakan bioetanol kadar 95%, 1 =
percobaan adsorpsi awal, 2 = percobaan adsorpsi menggunakan zeolit regenerasi pada percobaan
1.
Nilai rataan massa bioetanol pada masing-masing percobaan
A1 A2 B1 B2
Sampel Bioetanol (g) Bioetanol (g) Bioetanol (g) Bioetanol (g)
Zeolit Awal Akhir Selisih Awal Akhir Selisih Awal Akhir Selisih Awal Akhir Selisih
ZA 40,01 25,37 14,64 39,95 26,06 13,89 40,01 20,29 19,72 40,02 25,08 14,94
ZAM2 40,01 19,99 20,02 39,95 22,58 17,37 40,01 20,22 19,79 36,35 23,14 13,21
ZAM3 40,01 14,72 25,29 39,77 17,02 22,75 39,68 9,23 30,45 39,54 11,24 28,30
ZAM4 40,00 10,24 29,77 39,46 12,79 26,67 39,35 9,33 30,02 39,69 9,52 30,18
ZAM5 40,01 5,90 34,10 39,34 7,76 31,59 40,01 10,58 29,43 39,15 11,50 27,65
ZAM6 40,00 31,76 8,24 39,02 31,79 7,23 40,00 18,06 21,95 39,99 20,72 19,28
Z3A 40,01 27,62 12,38 40,00 30,62 9,39 40,02 20,46 19,56 40,00 22,01 17,99
Keterangan : ZA = zeolit alam, ZAM2 sampai ZAM6 = zeolit alam modifikasi 2 sampai 6, A =
adsorpsi menggunakan bioetanol kadar 90%, B = adsorpsi mengunakan bioetanol kadar 95%, 1 =
percobaan adsorpsi awal, 2 = percobaan adsorpsi menggunakan zeolit regenerasi pada percobaan
1.
71
Lampiran 5 Data analisis sidik ragam, uji Duncan PKB dan KAZ
RAL Faktorial, 2 (dua) Faktor
Percobaan Perendaman 24 jam Menggunakan Kadar Bioetanol 90%
Hasil Analisis sidik ragam persentase kenaikan kadar bioetanol (PKB)
SK Derajat Jumlah Kuadrat
F hitung Pr > F Tanda Bebas Kuadrat Tengah
F1 6 84,330041 14,055007 90,92 <,0001 **
F2 1 1,015786 1,015786 6,57 0,0177 *
F1*F2 6 2,461309 0,410218 2,65 0,0432 *
Galat 22 3,400969 0,154589
Total 35 91,208105
R-Square Coeff Var Root MSE PKB Mean
0,962712 25,80618 0,393179 1,523583
Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan
regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata.
Hasil Analisis sidik ragam kapasitas adsorpsi air dari zeolit (KAZ)
SK Derajat Jumlah Kuadrat F
hitung Pr > F Tanda
Bebas Kuadrat Tengah
F1 6 727,707948 121,284658 138,67 <,0001 **
F2 1 14,886905 14,886905 17,02 0,0003 **
F1*F2 6 7,727862 1,287977 1,47 0,2236 tn
Galat 28 24,489733 0,874633
Total 41 774,812449
R-Square Coeff Var Root MSE KAZ Mean
0,968393 8,292781 0,935218 11,27750
Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan
regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata.
72
Hasil Uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test bioetanol 90%
Jenis Zeolit (F1) PKB KAZ
Z1 (ZA) 0,6172 d 7,5657 f
Z2 (ZAM2) 1,2198 bc 9,3725 e
Z3 (ZAM3) 0,6903 cd 13,4593 c
Z4 (ZAM4) 0,2653 d 15,4408 b
Z5 (ZAM5) 1,3834 b 17,6705 a
Z6 (ZAM6) 0,7545 cd 4,9278 g
Z7 (Z3A) 4,8630 a 10,5058 d Pemakaian Zeolit (F2)
Baru (P1) 1,6825 a 11,8729 a
Regenerasi (P2) 1,3460 b 10,6821 b F1*F2
Z1P1 0,8837 cde 7,8460 hi
Z1P2 0,2175 de 7,2853 i
Z2P1 1,3393 c 9,9393 f
Z2P2 1,1003 cd 8,8057 ghi
Z3P1 0,9675 cde 14,2167 de
Z3P2 0,4130 de 12,7020 ef
Z4P1 0,2120 e 15,9977 bc
Z4P2 0,3185 de 14,8840 cd
Z5P1 1,4583 c 18,2280 a
Z5P2 1,2710 c 17,1130 ab
Z6P1 0,6837 cde 4,9020 j
Z6P2 0,8253 cde 4,9537 j
Z7P1 5,5043 a 11,9803 f
Z7P2 4,2217 b 9,0313 gh Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda menurut DMRT,
F1 = jenis zeolit, F2 = pemakaian zeolit, Z1 = Zeolit alam, Z 2 sampai 6 = Zeolit alam modifikasi
2 sampai 6, Z7 = zeolit sintetis, P1 = pemakaian awal zeolit (baru), P2 = pemakaian ulang zeolit
(regenerasi).
73
Percobaan pengadukan 1 jam plus destilasi 30 menit pada bioetanol 95%
Hasil Analisis sidik ragam persentase kenaikan kadar bioetanol (PKB)
SK Derajat Jumlah Kuadrat
F hitung Pr > F Tanda Bebas Kuadrat Tengah
F1 6 9,23701753 1,53950292 90,46 <,0001 **
F2 1 0,04128674 0,04128674 2,43 0,1330 tn
F1*F2 6 0,19729031 0,03288172 1,93 0,1183 tn
Galat 23 0,39144467 0,01701933
Total 36 9,86703924
R-Square Coeff Var Root MSE PKB Mean
0,960328 16,01723 0,130458 0,814486
Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan
regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata.
Hasil Analisis sidik ragam kapasitas adsorpsi air dari zeolit (KAZ)
SK Derajat Jumlah Kuadrat F
hitung Pr > F Tanda
Bebas Kuadrat Tengah
F1 6 40,53224157 6,75537360 7,36 <,0001 **
F2 1 3,77760038 3,77760038 4,12 0,0521 tn
F1*F2 6 2,32864329 0,38810721 0,42 0,8575 tn
Galat 28 25,70107933 0,91789569
Total 41 72,33956457
R-Square Coeff Var Root MSE KAZ Mean
0,644716 16,16253 0,958069 5,927714
Keterangan : F1 = Jenis zeolit (ZA, ZAM2 sampai ZAM6, Z3A), F2 = Pemakaian zeolit (baru dan
regenerasi), * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, tn = tidak berbeda nyata.
74
Hasil Uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test Bioetanol 95%
Jenis Zeolit (F1) PKB KAZ
Z1 (ZA) 0,7187 d 4,6395 c
Z2 (ZAM2) 1,2723 b 5,2327 c
Z3 (ZAM3) 0,2334 e 6,8275 ab
Z4 (ZAM4) 0,3018 e 7,0080 a
Z5 (ZAM5) 1,0750 c 7,1597 a
Z6 (ZAM6) 0,3708 e 4,8870 c
Z7 (Z3A) 1,6258 a 5,7397 bc Pemakaian Zeolit (F2)
Baru (P1) 0,8470 a 6,2276 a
Regenerasi (P2) 0,7802 a 5,6278 a F1*F2
Z1P1 0,7223 d 5,1057 cde
Z1P2 0,7150 d 4,1733 e
Z2P1 1,4335 b 6,0133 a_d
Z2P2 1,1110 c 4,4520 de
Z3P1 0,2773 e 7,0730 ab
Z3P2 0,1675 e 6,5820 abc
Z4P1 0,3353 e 7,0137 ab
Z4P2 0,2515 e 7,0023 ab
Z5P1 1,1790 c 7,3137 a
Z5P2 0,9710 c 7,0057 ab
Z6P1 0,2985 e 5,0520 cde
Z6P2 0,4190 e 4,7220 de
Z7P1 1,6957 a 6,0220 a_d
Z7P2 1,5560 ab 5,4573 b_e Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda menurut DMRT,
F1 = jenis zeolit, F2 = pemakaian zeolit, Z1 = Zeolit alam, Z 2 sampai 6 = Zeolit alam modifikasi
2 sampai 6, Z7 = zeolit sintetis, P1 = pemakaian awal zeolit (baru), P2 = pemakaian ulang zeolit
(regenerasi).