“opini tentang dampak dari peradaban modernisasi terhadap pergeseran nilai-nilai di indonesia”

33
OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MODERNISASI TERHADAP PERGESERAN NILAI-NILAI DI INDONESIADi ajukan guna melengkapi tugas mandiri serta Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Oleh : Tantik Dahlia 130810201048 Kelas SBD.02 JURUSAN MANAJEMEN S1 1

Upload: independent

Post on 21-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

“OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MODERNISASI TERHADAP

PERGESERAN NILAI-NILAI DI INDONESIA”

Di ajukan guna melengkapi tugas mandiri serta Ujian Tengah

Semester Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya

Oleh :

Tantik Dahlia 130810201048

Kelas SBD.02

JURUSAN MANAJEMEN S1

1

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS JEMBER

2014

KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, penyusunan makalah

yang berjudul “Budaya Korupsi Sebagai Problematika Soaial

Budaya Di Indonesia dan Peran Pemerintah dalam Menanganinya”

dapat diselesaikan tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk

maupun isinya yang sangat sederhana.

Harapan saya  semoga makalah ini dapat dipergunakan

sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman, juga

membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para

pembaca, sehingga  untuk kedepannya saya dapat memperbaiki

bentuk maupun isi dari makalah ini dengan lebih baik.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata

sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang

bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini, dari

siapapun datangnya, penulis akan menerima dan menyambutnya

dengan segala kerendahan hati.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua

pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini

dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Kuasa

senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.2

Jember, 04 April 2014

Penulis

IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Tantik Dahlia

2. Nim : 130810201048

3. Jurusan/Program Studi : Manajemen

4. Fakultas : Ekonomi

5. Semester : II (dua)

6. Alamat email : [email protected]

7. Agama : Islam

8. Jenis Kelamin : Perempuan

9. Tempat, Tanggal lahir : Probolinggo, 06 Juni 1995

10. Golongan Darah : AB

11. Alamat Asal : Dsn. Karang Anyar RT/RW:11?04

Ds.Bucor Wetan

Pakuniran-Probolinggo

12. Alamat Di Jember : Jl. Jawa Gang.7 No.1243

13. Nama Ayah : Hosen

14. Nama Ibu : Parma

15. Anak ke : 2 (dua) dari 2 bersaudara

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………..…………………….i

KATA PENGANTAR…………………………………………………..…………………......ii

IDENTITAS DIRI……………………………………………………..……………………...iii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………......................iv

BAB I

PENDAHULUAN…………………………………………………………..…........................1

1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………………………………...……1

4

1.2. Pemecahan Masalah………...……………………………………………………………..2

1.3. Manfaat Penulisan………………...…………………………………………………….....2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA………………………..……………………………………………...3

2.1. Pengertian Korupsi……………... ……………………………………………..………....3

2.2. Jenis-Jenis korupsi…… …………………………………………………………………..4

BAB III

PEMBAHASAN……………………………………………………………………….............8

3.3. Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di

Indonesia ……………....8

3.2. Budaya Korupsi di Indonesia……………………………………..……………………….9

3.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia

………………………………10

3.4. Akibat Atau Dampak Dari Korupsi……………………………………………………...13

3.5. Peran Pemerintah Dalam Memberantas

Korupsi.......................................................

........14

BAB IV

PENUTUP………………………………………………………………………………...…..16

Kesimpulan dan Saran………………………………………………………………………..16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...................17

BAB I

PENDAHULUAN

5

1.1 Latar Belakang

Kata Korupsi mungkin sudah tidak menjadi hal yang asing

lagi di telinga masyarakat Indonesia, pasalnya hampir setiap

hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi, baik di

media surat kabar maupun media elektronik di negeri ini.

Sehingga Korupsi jelas menjadi fenomena memprihatinkan bagi

bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran

kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi.

Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai

penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau

kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat

diartikan sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien

di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur

negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985).

Beberapa tahun terakhir ini masyrakat Indonesia tanpa

henti disuguhi dengan sederetan sandiwara di panggung dunia

hukum. Semuanya bermuara pada tidak adanya perpaduan antara

penerapan hukum formal dengan nilai moral. Alasan logis dan

legal bahwa “belum ada cukup bukti” mengakibatkan dilupakannya

banyak kasus di negeri ini. Sehingga masih banyak pejabat dan

tokoh publik yang terjerat kasus korupsi tanpa malu masih

nyaman tampil tanpa beban.

Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku

menyimpang individu ataupun orang per orang. Melainkan sudah

menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif,

dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan

kelompoknya. Nampaknya korupsi telah menancap kuat pada sendi-

sendi kehidupan Negara dan memungkinkan akan menjadi budaya6

baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut di perhatikan

dan diwaspadai secara serius karena dampak dari tindakan

korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara namun

lebih dari itu, menciptakan kemiskinan, menciptakan

pengangguran dan memicu tindakan kriminalitas, bahkan mengubur

masa depan bangsa.

Hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam

level manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-

nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga dapat

menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara

bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai

sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya

yang kemudian membentuk budaya korupsi.

Mengakhiri budaya korupsi hanya bisa diwujudkan dengan

menegakan budaya etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum

sebagai panglima. Korupsi tidak boleh di lindungi. Sebab,

semakin dilindungi, semakin menjadi budaya permanen yang abadi

kekuatanya. Selama budaya etika dan integritas tidak kuat

dalam berbangsa dan bernegara maka semua upaya pemberantasan

korupsi akan sia-sia. Setiap warga Negara wajib berkontribusi

untuk menghentikan budaya korupsi. Selain itu sangatlah di

perlukan integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua

lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem,

tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya.

Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun

mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari

integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan

keuntungan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi.

Bila tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menghapus

7

budaya korupsi, maka setiap orang berpotensi di jadikan hamba

korupsi oleh sistem kehidupan dalam budaya korupsi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran umum dan persepsi masyarakat tentang

korupsi di Indonesia?

2. Apakah Korupsi sudah menjadi budaya Indonesia?

3. Apa saja penyebab terjadinya korupsi di Indonesia?

4. Apa akibat atau dampak dari korupsi?

5. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas Korupsi?

1.3 Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu

pemenuhan tugas mandiri dari mata kuliah Ilmu Sosial dan

Budaya Dasar (SBD). Selain itu makalah ini bisa menjadi

sumber acuan bagi penulis untuk lebih mengetahui dan

memahami tentang korupsi dan akibat-akibat yang

ditimbulkan dari tindakan korupsi.

2. Bagi pihak lain

Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka

yang berhubungan dengan permasalahan dan upaya

penyelesaian Korupsi di Indonesia. Selain itu makalah ini

diharapakan dapat menjadi sebuah sumber wawasan bagi

semua pihak yang membaca makalah ini untuk membuka

pikiran masyarakat luas tentang bahaya korupsi terhadap

kepribadian Bangsa.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Korupsi

Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan

suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia

termasuk Indonesia. Terminologi korupsi dari bahasa latin

yaitu coruptio atau corruptus, berasal dari kata corrumpere adalah

suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua. Selanjutnya

istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti

bahasa Inggris yaitu corrupti, dan bahasa Belanda menggunakan

kata corruptive yang selanjutnya menjadi “Korupsi” dalam bahasa

Indonesia.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa indonesia) menyebutkan

bahwa korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang

Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang

lain. Korupsi menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain

secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk

mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang

lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak

lain.

Menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang

menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi

kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi

yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan

kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan,

9

penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang

diderita oleh masyarakat.

Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik

politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak

wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka

yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik

yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”

Korupsi menurut corruption is the abuse of trust in the

interest of private gain penyelahgunaan amanah untuk

kepentingan pribadi. Sedangkan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-

Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Korupsi menurut wikipedia Dalam arti yang luas, korupsi

atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk

keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan

rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-

beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh

dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai

dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.

2.2 Jenis-Jenis Korupsi

10

Terdapat beberapa jenis-jenis korupsi. Instrumen hukum

untuk menyaring tindakan yang mengarah pada korupsi termasuk

tindak pidana korupsi itu sendiri telah cukup lengkap.

Instrumen tersebut berupa peraturan dan perundang-undangan

yang dimaksud untuk difungsikan dan dioptimalkan untuk

mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang dilakukan

para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, dan sarana serta prasarana yang ada

karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung dan

tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara.

Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi

beberapa jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain

Alatas, jenis-jenis korupsi tersebut antara lain:

1. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya

kesepakatan timbak balik antara pihak pemberi dan pihak

penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan. 

2. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut

penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk berbagai

keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kroni-

kroninya. 

3. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan

kepada suatu pihak yang disertai dengan ancaman, teror,

penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal

demikiannya. 

4. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara

memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak

lain demi keuntungan masa depan. 

11

5. Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut

terlibat didalammya atau membuat pihak tertentu terjebak

atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. 

6. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak

ada orang lain ataupun pihak lain terlibat didalammya. 

7. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara

memberikan dukungan.

Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal

2-Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah:

1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan

karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan. 

2. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk

mengacaukan bahasa atau maksud hukum. 

3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk

kepentingan pribadi. 

4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar

tujuan kelompok.

Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat

diidentifikasikan yaitu:

1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas

masalah, antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah

pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah

kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial

ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah

sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan

lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem

pengawasan) dibidang keuangan dan pelayananan publik.

12

Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk

timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu

bisa dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya,

dan birokrasi/administrasi. 

2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka

korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek

ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian negara

dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga

mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi

jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai

demokrasi. 

3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan

bahwa korupsi termasuk atau terkait juga dengan economic

crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money

laundering, white collar crime, political crime, top hat

crime, dan bahkan transnational crime. 

4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan

(termasuk top hat crime), maka di dalamnya mengandung

kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum yaitu

adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan

pidana.

Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat ditarik

beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat

membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya,

asas-asas tersebut diantaranya adalah:

1. Pelakunya adalah setiap orang. 

2. Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif. 

13

3. Adanya pidana minimum dan maksimum. 

4. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan

pemufakatan jahat melakukan Tindak Pidana Korupsi sama

hukumannya dengan delik yang sudah selesai. 

5. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana

dan keterangan sehingga dapat terjadi tindak pidana

korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana

korupsi. 

6. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP,

misalnya seperti: (1) Perampasan barang bergerak dan

barang yang tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang

tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang

jumlahnya maksimal dengan harga yang diperoleh dari

tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh atau sebagian

hak-hak tertentu 

7. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama

1 bulan setelah putusan maka harta bendanya dapat disita

oleh jaksa dan dilelang. 

8. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa

Agung 

9. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

cukup untuk membayar pengganti, maka dipidana penjara

yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana

pokoknya sesuai ketentuan undang-undang. 

10. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang

tidak benar mengenai tindak pidana korupsi maka dapat

dipidana. 

14

11. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang

pengadilan didahulukan dari perkara lain guna

penyelesaian secepatnya. 

12. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang

seluruh harta bendanya. 

13. Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta

keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan

Tersangka. 

14. Identitas pelapor dilindungi. 

15. Dapat dilakukan gugatan perdata. 

16. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak

menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap

keuangan negara. 

17. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi

dapat digugat untuk menuntut kerugian negara. 

18. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan

pembuktian terbalik. 

19. Dapat diadili in absentia. 

20. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan

perampasan barang-barang yang telah disita. 

21. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat

menngajukan keberatan ke pengadilan. 

22. Adanya peran serta dari masyarakat dalam pencegahan

dan pemberantasan korupsi.

15

BAB III

PEMBAHASAN

16

3.1 Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di

Indonesia

KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sudah terjadi, bahkan

sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak Indonesia masih

berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan karena

tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak

mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak,

seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja

yang bekuasa.

Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa

dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang

kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para

aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami

tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut pajak,

namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar

upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga

aparaturnya yang termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini

merupakan tindak korupsi.

Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa

Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa

Indonesia tetap belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa

pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa

yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan

pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling

Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi

yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 11 miliar,

harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise presiden

yang mengetuai badan tersebut.

17

Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru

nyatanya tidak mampu membuat korupsi menghilang, tapi semakin

merajalela karena tertutupnya sitem pemerintahan saat itu.

Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina serta

Departemen Kehutanan menjadi sorotan tajam masyarakat karena

dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim Pemberantasan

Korupsi (TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu

mencegah ataupun menindaklanjuti perkara korupsi kala itu.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah

sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di

Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara

mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan

kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.

Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut

antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan

Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya

dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih & Bebas dari KKN.

Ironinya Korupsi di Indonesia semakin merajarela hingga

kini, ditambah kasus kasus Korupsi yang terjadi beberapa tahun

terakhir ini yang telah menjadi suguhan dari media kepada

rakyat Indonesia. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat

pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada

umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan

adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya

praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal,

maupun nasional.

18

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi

dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat

adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka

memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas

kepada para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat

gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap

perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena

itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi

terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara 

menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan

kesejahteraan yang merata.

3.2 Budaya Korupsi di Indonesia

Mungkin kita sering kali mendengar ataupun sering membaca

tentang adanya sebuah kata Budaya Korupsi. Tentu kita akan

bertanya-tanya apakah benar adanya bahwa korupsi sudah menjadi

budaya di negeri ini. Namun apabila kita di tanya apakah

korupsi sudah menjadi budaya? jawabannya pasti akan bervariasi

tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan

ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial

masyarakat. Namun Melihat kasus kasus Korupsi di Indonesia

yang semakin hari semakin memprihatinkan, dan juga adanya

kenyataan bahwa korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi

kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua

lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil,

korupsi seakan – akan sudah menjadi kebudayaan yang legal dan

tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum.

19

Kita bisa temui disekeliling kita, mulai dari hal yang

terkecil seperti membeli buah dipasar yang menggunakan

timbangan yang terkadang juga tidak tepat timbanganya, naluri

penipu dan mental korupsi sudah membudaya sampai kelapisan

masyarakat kecil. Mental korupsi ternyata tanpa kita sadari

sudah mulai ditanamkan pada masyarakat. Semua aktivitas di

indonesia ternyata tidak pernah lepas dari yang namanya

praktek korupsi.

Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia

telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi,

namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita

mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam

masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit

oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati

atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik

dengan selalu  memperhatikan continuity and change. Dan

bukankah kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu

buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal

manusia. Jika demikian, korupsi bukan budaya karena budaya

bersifat positif sedangkan korupsi bersifat negatif.

Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada korupsi

tidaklah tepat karena jika korupsi adalah budaya, korupsi

harus dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi

diberikan lebel budaya, maka para koruptorlah yang benar

karena telah melestarikan budaya. Namun kita semua tahu bahwa

tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya.

Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas dari

korupsi sehingga janganlah kita berpikir korupsi adalah budaya

bangsa. Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena20

sebenarnya korupsi adalah perilaku menyimpang yang menjangkiti

seseorang. Tapi, galakkan lah budaya antikorupsi karena yang

sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan korupsi.

3.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia

Berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

korupsi di Indonesia :

Tidak Menerapkan ajaran Agama. Indonesia dikenal sebagai

bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam

bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi

masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok

ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam

kehidupan.

Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan

pejabat pemerintahan, Kelemahan pengkaderan partai dan

pencalonan pemimpin partai atau  yang akan menjadi pejabat

publik, legislatif atau  pengawas pejabat publik yang tidak

transparan dan berbiaya tinggi memicu terjadi korupsi sebagai

tindakan untuk mencapai balik modal saat biaya mahal yang

telah dikeluarkan saat menjadi pejabat partai dan pejabat

publik

Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan Posisi pemimpin dalam

suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh

penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi

keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat

korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil

kesempatan yang sama dengan atasannya.

21

Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar Kultur organisasi

biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila

kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan

menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai

kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,

seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang

Kurang Memadai Pada institusi pemerintahan umumnya belum

merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan

juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus

dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.

Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan

penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai

sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya

perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang

dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang

kondusif untuk praktik korupsi.

Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pengendalian

manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran

korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah

pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka

perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi Pada

umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang

dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat

sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan

dengan berbagai bentuk.

Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada Nilai-nilai di

masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa

22

ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat

menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap

ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi,

misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul

karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan

yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang

hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang

kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan,

sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak

konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi

dan revisi peraturan perundang-undangan.

1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat,

kehendak, dan sebagainya)

2. Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya

kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).

3. Gaji pegawai negeri yangh tidak sebanding dengan

kebutuhan yang semakin tinggi

4. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang

merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi

5. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang

efektif dan efesien, yang memberikan peluan untuk

korupsi;

6. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.

Aspek Individu Pelaku Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang

melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau

penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup

kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri.

23

Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari

dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

Moral yang Kurang Kuat Seorang yang moralnya tidak kuat

cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu

bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau

pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

Tingkat Upah dan Gaji Pekerja di Sektor Publik Penghasilan

seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi

kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka

seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara.

Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan,

keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk

melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,

pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan

di luar pekerjaan yang seharusnya.

Kebutuhan Hidup yang Mendesak Dalam rentang kehidupan ada

kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal

ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk

mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

Gaya Hidup yang Konsumtif Kehidupan di kota-kota besar

acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku

konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan

yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan

berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu

kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

Malas atau Tidak Mau Bekerja Sebagian orang ingin mendapatkan

hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas

bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan

24

apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya

melakukan korupsi.

3.4 Akibat Atau Dampak Dari Korupsi

Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan

dengan berbagai akibat, antara lain merugikan keuangan dan

perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional.

Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan

berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun

luar negeri, karena pelaku bisnis bekerja berurusan dalam

lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berakibat pada

banyaknya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang

yang harus dikeluarkan dalam proses investasi, khusunya saat

berhubungan dengan aparatur pemerintah yang berwenag dalam hal

tersebut.

Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef,

dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan

penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif

dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak

dipandang sebagai perilaku yang berakibat pada keruksakan

tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan

masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan

bahwa akibat-akibat korupsi adalah :

1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan

terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan

yang lenyap.

25

2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih

kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial

budaya.

3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan

kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan

administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi

adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak

mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,

tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan

asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan

pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli

di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas

adalah sebagai berikut :

1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri,

gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.

2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan

sosial.

3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan,

hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan

pemerintah, ketidakstabilan politik.

4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya

kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya

sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan

pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.

(Revida, 2003)

26

Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan

negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat

tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

3.5 Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi

Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya

sudah cukup banyak dan sistematis dalam memberantas korupsi,

berikut merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh

pemerintah :

1. Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005,

lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas

pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya

tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak

catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru

merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah.

Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala

korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin

besar, tambahnya.

2. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang

anti korupsi. Berbagai produk peraturan perundang-

undangan mengenai pemberantasan korupsi telah diterapkan

di Indonesia, antara lain

a. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah

terbukti lamban

b. Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah

Angkatan Darat, No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16

April 1958; dan

27

c. Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang RI

Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan

dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (perpu No. 24

Tahun 1960); yang diganti dengan

d. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; yang diganti

dengan

e. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; sebagaimana

diubah dengan

f. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tanggal 16 Agustus 1999.

g. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang MA.

Komitmen pemerintah dalam hal ini patut

dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang

perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh

pemerintah.

Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan korupsi menegaskan perlunya dibentuk

komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen

dengan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diatur dalam Undang-Undang

RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

3. Ketiga, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi.

Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni

kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra

28

vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden

terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya

dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.

4. Keempat , Pemerintah pernah membentuk beberapa komisi

Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut:

a. Komisi IV yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1970

berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 1970. Komisi Empat yang terdiri dari

Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johanes, dan

Anwar Tjokroaminoto dengan tugas pokok meneliti dan

menilai kebijaksanaan dalam pemberantasan korupsi

serta memberikan pertimbangan kepada pemerintah yang

telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden RI

Nomor 50 Tahun 1970 tentang membubarkan Komisi IV

yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 12

Tahun 1970.

b. Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggaraan Negara

(KPKPN) yang dibentuk melalui Kepres RI No. 127

tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan

Kekayaan penyelenggara Negara;

c. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(TGTPK) yang dibentuk tanggal 5 April 2000

berdasarkan PP RI Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim

Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. TGTPK

yang diketuai oleh Andi Andoyo, SH bertugas

melakukan penyidikan perkara Korupsi yang sulit

pembuktiannya.

Di samping Kejaksaan dan kepolisian, Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) juga memiliki peran yang sangat penting.

29

Merupakan suatu hal yang memprihatin, karena sedemikian

banyaknya para koruptor yang dituntut di pengadilan belum

menyusutkan tingkat tindak pidana Korupsi. Indikasi korupsi

yang terjadi di Indonesia tetap tinggi bahkan mnempati

kelompok tertinggi di Asia.

Penangan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan

dilema sosial akibat manajemen korupsi dalam birokrasi

pemerintahan dan swasta yang menyebabkan korupsi membudaya.

Pada sisi lain, proses penegakan hukum dalam pemberantasan

korupsi yang dilakukan oleh pemerintah amat lamban. Kalaupun

bisa sampai ke pengadilan, lebih banyak mengecewakan

masyarakat. Sehingga, pemecahan yang dapat dijadikan bahan

pertimbangan guna mengatasi dilema yang menimpa masyarakat

dalam memberantas korupsi menjadi tanggung jawab bersama.

30

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Masalah korupsi di Indonesia bermula dari memudarnya

budaya etika dan integritas. Dimana Korupsi disini yang

terjadi dalam level manapun dan jenis apapun merupakan hal

yang dapat mengahancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial

dan nilai agama, sehingga hal ini bisa menjadi perilaku yang

mengkorupsi budaya. Krisis moral yang dimiliki oleh para

koruptor sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu

menjadi hambatan utama pada pembangunan.

Ironinya Korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi

kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua

lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil,

korupsi seakan – akan sudah menjadi hal yang legal dan tidak

dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum. Dan ketika

secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat

sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi

budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan demikian

jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi

karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol

sosial/pengabaian terhadap upaya mementingkan pribadi diatas

31

kepentingan publik pada saat mereka mempunyai

kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak

langsung. Telah berbagai Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam

memberantas Korupsi namun semua upaya itu seakan tidak

membuahkan hasil yang memuaskan.

4.2 Saran

Dalam menghadapi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya

dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah saja, karena

terbukti dengan hanya menunggu upaya yang dilakukan oleh

pemerintah, Korupsi di Indonesia tidak kunjung tertuntaskan.

Namun perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua elemen

masyarakat di Indonesia. dan di perlukan integritas dan

konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan

tertinggi Negara untuk membangun sistem, tata kelola dan

kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. Pendidikan moral

khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta

tegaknya hukum adalah obat yang paling mujarab untuk

menghilangkan korupsi. menegakan budaya etika dan integritas.

Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Menghapus budaya

korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan

adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai

alat untuk mendapatkan keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

Jahja, Juni Sjafrien. Say No to Korupsi!. Jakarta: Visimedia,

2012

32

Poernomo, Soen’an Hadi. Berani Korupsi itu Memalukan. Jakarta:

Imania, 2013

Alatas, Syeid Hussain. Korupsi, Sifat, Sebab, dan fungsi.

Jakarta: LP3ES, 1987

Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di

Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2003

Suratman. dan Munir. Salamah, Umi. Ilmu Sosial dan Budaya

Dasar. Malang: Intimedia, 2010

Politik.kompasiana.com/2013/11/03/benarkah-budaya-Korupsi-

Sudah-menjadi-kebudayaan—60622.html (Di akses pada tanggal 03

April 2014)

Achamadhidir.blogspot.com/2010/09/budaya-korupsi-sebuah-

bentuk-masalah.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

Scram-monster.blogspot.com/2011/08/krisis-moral-indonesia.html

(Di akses pada tanggal 03 April 2014)

www.harianhaluan.com/index.php/opini/29925-menandingi-budaya-

korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

id.wikipedia.org/wiki/Korupsi (Di akses pada tanggal 03 April

2014)

33