“opini tentang dampak dari peradaban modernisasi terhadap pergeseran nilai-nilai di indonesia”
TRANSCRIPT
“OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MODERNISASI TERHADAP
PERGESERAN NILAI-NILAI DI INDONESIA”
Di ajukan guna melengkapi tugas mandiri serta Ujian Tengah
Semester Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya
Oleh :
Tantik Dahlia 130810201048
Kelas SBD.02
JURUSAN MANAJEMEN S1
1
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, penyusunan makalah
yang berjudul “Budaya Korupsi Sebagai Problematika Soaial
Budaya Di Indonesia dan Peran Pemerintah dalam Menanganinya”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana.
Harapan saya semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman, juga
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga untuk kedepannya saya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi dari makalah ini dengan lebih baik.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini, dari
siapapun datangnya, penulis akan menerima dan menyambutnya
dengan segala kerendahan hati.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Kuasa
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.2
Jember, 04 April 2014
Penulis
IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Tantik Dahlia
2. Nim : 130810201048
3. Jurusan/Program Studi : Manajemen
4. Fakultas : Ekonomi
5. Semester : II (dua)
6. Alamat email : [email protected]
7. Agama : Islam
8. Jenis Kelamin : Perempuan
9. Tempat, Tanggal lahir : Probolinggo, 06 Juni 1995
10. Golongan Darah : AB
11. Alamat Asal : Dsn. Karang Anyar RT/RW:11?04
Ds.Bucor Wetan
Pakuniran-Probolinggo
12. Alamat Di Jember : Jl. Jawa Gang.7 No.1243
13. Nama Ayah : Hosen
14. Nama Ibu : Parma
15. Anak ke : 2 (dua) dari 2 bersaudara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………..…………………….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………..…………………......ii
IDENTITAS DIRI……………………………………………………..……………………...iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………......................iv
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………..…........................1
1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………………………………...……1
4
1.2. Pemecahan Masalah………...……………………………………………………………..2
1.3. Manfaat Penulisan………………...…………………………………………………….....2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA………………………..……………………………………………...3
2.1. Pengertian Korupsi……………... ……………………………………………..………....3
2.2. Jenis-Jenis korupsi…… …………………………………………………………………..4
BAB III
PEMBAHASAN……………………………………………………………………….............8
3.3. Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di
Indonesia ……………....8
3.2. Budaya Korupsi di Indonesia……………………………………..……………………….9
3.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia
………………………………10
3.4. Akibat Atau Dampak Dari Korupsi……………………………………………………...13
3.5. Peran Pemerintah Dalam Memberantas
Korupsi.......................................................
........14
BAB IV
PENUTUP………………………………………………………………………………...…..16
Kesimpulan dan Saran………………………………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...................17
BAB I
PENDAHULUAN
5
1.1 Latar Belakang
Kata Korupsi mungkin sudah tidak menjadi hal yang asing
lagi di telinga masyarakat Indonesia, pasalnya hampir setiap
hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi, baik di
media surat kabar maupun media elektronik di negeri ini.
Sehingga Korupsi jelas menjadi fenomena memprihatinkan bagi
bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran
kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi.
Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai
penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau
kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat
diartikan sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien
di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur
negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985).
Beberapa tahun terakhir ini masyrakat Indonesia tanpa
henti disuguhi dengan sederetan sandiwara di panggung dunia
hukum. Semuanya bermuara pada tidak adanya perpaduan antara
penerapan hukum formal dengan nilai moral. Alasan logis dan
legal bahwa “belum ada cukup bukti” mengakibatkan dilupakannya
banyak kasus di negeri ini. Sehingga masih banyak pejabat dan
tokoh publik yang terjerat kasus korupsi tanpa malu masih
nyaman tampil tanpa beban.
Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku
menyimpang individu ataupun orang per orang. Melainkan sudah
menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif,
dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan
kelompoknya. Nampaknya korupsi telah menancap kuat pada sendi-
sendi kehidupan Negara dan memungkinkan akan menjadi budaya6
baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut di perhatikan
dan diwaspadai secara serius karena dampak dari tindakan
korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara namun
lebih dari itu, menciptakan kemiskinan, menciptakan
pengangguran dan memicu tindakan kriminalitas, bahkan mengubur
masa depan bangsa.
Hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam
level manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-
nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga dapat
menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara
bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai
sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya
yang kemudian membentuk budaya korupsi.
Mengakhiri budaya korupsi hanya bisa diwujudkan dengan
menegakan budaya etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum
sebagai panglima. Korupsi tidak boleh di lindungi. Sebab,
semakin dilindungi, semakin menjadi budaya permanen yang abadi
kekuatanya. Selama budaya etika dan integritas tidak kuat
dalam berbangsa dan bernegara maka semua upaya pemberantasan
korupsi akan sia-sia. Setiap warga Negara wajib berkontribusi
untuk menghentikan budaya korupsi. Selain itu sangatlah di
perlukan integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua
lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem,
tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya.
Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun
mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari
integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan
keuntungan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi.
Bila tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menghapus
7
budaya korupsi, maka setiap orang berpotensi di jadikan hamba
korupsi oleh sistem kehidupan dalam budaya korupsi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum dan persepsi masyarakat tentang
korupsi di Indonesia?
2. Apakah Korupsi sudah menjadi budaya Indonesia?
3. Apa saja penyebab terjadinya korupsi di Indonesia?
4. Apa akibat atau dampak dari korupsi?
5. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas Korupsi?
1.3 Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu
pemenuhan tugas mandiri dari mata kuliah Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar (SBD). Selain itu makalah ini bisa menjadi
sumber acuan bagi penulis untuk lebih mengetahui dan
memahami tentang korupsi dan akibat-akibat yang
ditimbulkan dari tindakan korupsi.
2. Bagi pihak lain
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka
yang berhubungan dengan permasalahan dan upaya
penyelesaian Korupsi di Indonesia. Selain itu makalah ini
diharapakan dapat menjadi sebuah sumber wawasan bagi
semua pihak yang membaca makalah ini untuk membuka
pikiran masyarakat luas tentang bahaya korupsi terhadap
kepribadian Bangsa.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan
suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Terminologi korupsi dari bahasa latin
yaitu coruptio atau corruptus, berasal dari kata corrumpere adalah
suatu kata dari bahasa latin yang lebih tua. Selanjutnya
istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti
bahasa Inggris yaitu corrupti, dan bahasa Belanda menggunakan
kata corruptive yang selanjutnya menjadi “Korupsi” dalam bahasa
Indonesia.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa indonesia) menyebutkan
bahwa korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang
Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang
lain. Korupsi menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang
lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak
lain.
Menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang
menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi
kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi
yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan,
9
penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang
diderita oleh masyarakat.
Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”
Korupsi menurut corruption is the abuse of trust in the
interest of private gain penyelahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi. Sedangkan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-
Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi menurut wikipedia Dalam arti yang luas, korupsi
atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-
beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
2.2 Jenis-Jenis Korupsi
10
Terdapat beberapa jenis-jenis korupsi. Instrumen hukum
untuk menyaring tindakan yang mengarah pada korupsi termasuk
tindak pidana korupsi itu sendiri telah cukup lengkap.
Instrumen tersebut berupa peraturan dan perundang-undangan
yang dimaksud untuk difungsikan dan dioptimalkan untuk
mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang dilakukan
para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, dan sarana serta prasarana yang ada
karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung dan
tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara.
Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi
beberapa jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain
Alatas, jenis-jenis korupsi tersebut antara lain:
1. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya
kesepakatan timbak balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan.
2. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk berbagai
keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kroni-
kroninya.
3. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan
kepada suatu pihak yang disertai dengan ancaman, teror,
penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal
demikiannya.
4. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara
memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak
lain demi keuntungan masa depan.
11
5. Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut
terlibat didalammya atau membuat pihak tertentu terjebak
atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.
6. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak
ada orang lain ataupun pihak lain terlibat didalammya.
7. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara
memberikan dukungan.
Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal
2-Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah:
1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan
karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan.
2. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk
mengacaukan bahasa atau maksud hukum.
3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk
kepentingan pribadi.
4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar
tujuan kelompok.
Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat
diidentifikasikan yaitu:
1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas
masalah, antara lain, masalah moral/sikap mental, masalah
pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah
kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial
ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah
sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan
lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem
pengawasan) dibidang keuangan dan pelayananan publik.
12
Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk
timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu
bisa dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya,
dan birokrasi/administrasi.
2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka
korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek
ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian negara
dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga
mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi
jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai
demokrasi.
3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan
bahwa korupsi termasuk atau terkait juga dengan economic
crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money
laundering, white collar crime, political crime, top hat
crime, dan bahkan transnational crime.
4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan
(termasuk top hat crime), maka di dalamnya mengandung
kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum yaitu
adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan
pidana.
Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat ditarik
beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat
membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya,
asas-asas tersebut diantaranya adalah:
1. Pelakunya adalah setiap orang.
2. Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif.
13
3. Adanya pidana minimum dan maksimum.
4. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan
pemufakatan jahat melakukan Tindak Pidana Korupsi sama
hukumannya dengan delik yang sudah selesai.
5. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana
dan keterangan sehingga dapat terjadi tindak pidana
korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana
korupsi.
6. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP,
misalnya seperti: (1) Perampasan barang bergerak dan
barang yang tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang
jumlahnya maksimal dengan harga yang diperoleh dari
tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu
7. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama
1 bulan setelah putusan maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang.
8. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa
Agung
9. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
cukup untuk membayar pengganti, maka dipidana penjara
yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai ketentuan undang-undang.
10. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang
tidak benar mengenai tindak pidana korupsi maka dapat
dipidana.
14
11. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang
pengadilan didahulukan dari perkara lain guna
penyelesaian secepatnya.
12. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya.
13. Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta
keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan
Tersangka.
14. Identitas pelapor dilindungi.
15. Dapat dilakukan gugatan perdata.
16. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak
menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara.
17. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi
dapat digugat untuk menuntut kerugian negara.
18. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan
pembuktian terbalik.
19. Dapat diadili in absentia.
20. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita.
21. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat
menngajukan keberatan ke pengadilan.
22. Adanya peran serta dari masyarakat dalam pencegahan
dan pemberantasan korupsi.
15
3.1 Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di
Indonesia
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sudah terjadi, bahkan
sebelum Indonesia merdeka. Berawal sejak Indonesia masih
berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan karena
tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak
mungkin, pada masa itu korupsi dan kolusi pun mulai merebak,
seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat kepada raja
yang bekuasa.
Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa
dilakukan, ada enam peraturan tentang tanam paksa yang
kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para
aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami
tanaman wajib yaitu 1/5 tanah penduduk tidak dipungut pajak,
namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar
upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga
aparaturnya yang termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini
merupakan tindak korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa
Indonesia tetap belum merdeka dari korupsi. Bahkan pada masa
pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa
yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi bernama PARAN (Panitia Retooling
Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi
yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 11 miliar,
harus dibubarkan karena dianggap mengganggu prestise presiden
yang mengetuai badan tersebut.
17
Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru
nyatanya tidak mampu membuat korupsi menghilang, tapi semakin
merajalela karena tertutupnya sitem pemerintahan saat itu.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina serta
Departemen Kehutanan menjadi sorotan tajam masyarakat karena
dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu
mencegah ataupun menindaklanjuti perkara korupsi kala itu.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah
sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di
Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara
mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan
kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut
antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan
Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya
dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih & Bebas dari KKN.
Ironinya Korupsi di Indonesia semakin merajarela hingga
kini, ditambah kasus kasus Korupsi yang terjadi beberapa tahun
terakhir ini yang telah menjadi suguhan dari media kepada
rakyat Indonesia. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat
pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada
umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan
adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya
praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal,
maupun nasional.
18
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi
dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat
adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka
memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas
kepada para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat
gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap
perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena
itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi
terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara
menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.
3.2 Budaya Korupsi di Indonesia
Mungkin kita sering kali mendengar ataupun sering membaca
tentang adanya sebuah kata Budaya Korupsi. Tentu kita akan
bertanya-tanya apakah benar adanya bahwa korupsi sudah menjadi
budaya di negeri ini. Namun apabila kita di tanya apakah
korupsi sudah menjadi budaya? jawabannya pasti akan bervariasi
tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan
ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial
masyarakat. Namun Melihat kasus kasus Korupsi di Indonesia
yang semakin hari semakin memprihatinkan, dan juga adanya
kenyataan bahwa korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi
kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua
lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil,
korupsi seakan – akan sudah menjadi kebudayaan yang legal dan
tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum.
19
Kita bisa temui disekeliling kita, mulai dari hal yang
terkecil seperti membeli buah dipasar yang menggunakan
timbangan yang terkadang juga tidak tepat timbanganya, naluri
penipu dan mental korupsi sudah membudaya sampai kelapisan
masyarakat kecil. Mental korupsi ternyata tanpa kita sadari
sudah mulai ditanamkan pada masyarakat. Semua aktivitas di
indonesia ternyata tidak pernah lepas dari yang namanya
praktek korupsi.
Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia
telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi,
namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita
mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam
masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit
oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati
atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik
dengan selalu memperhatikan continuity and change. Dan
bukankah kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu
buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Jika demikian, korupsi bukan budaya karena budaya
bersifat positif sedangkan korupsi bersifat negatif.
Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada korupsi
tidaklah tepat karena jika korupsi adalah budaya, korupsi
harus dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi
diberikan lebel budaya, maka para koruptorlah yang benar
karena telah melestarikan budaya. Namun kita semua tahu bahwa
tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya.
Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas dari
korupsi sehingga janganlah kita berpikir korupsi adalah budaya
bangsa. Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena20
sebenarnya korupsi adalah perilaku menyimpang yang menjangkiti
seseorang. Tapi, galakkan lah budaya antikorupsi karena yang
sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan korupsi.
3.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia
Berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi di Indonesia :
Tidak Menerapkan ajaran Agama. Indonesia dikenal sebagai
bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam
bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok
ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam
kehidupan.
Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan
pejabat pemerintahan, Kelemahan pengkaderan partai dan
pencalonan pemimpin partai atau yang akan menjadi pejabat
publik, legislatif atau pengawas pejabat publik yang tidak
transparan dan berbiaya tinggi memicu terjadi korupsi sebagai
tindakan untuk mencapai balik modal saat biaya mahal yang
telah dikeluarkan saat menjadi pejabat partai dan pejabat
publik
Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan Posisi pemimpin dalam
suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh
penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat
korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil
kesempatan yang sama dengan atasannya.
21
Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar Kultur organisasi
biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan
menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai
kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,
seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang
Kurang Memadai Pada institusi pemerintahan umumnya belum
merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan
juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus
dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan
penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai
sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya
perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang
dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang
kondusif untuk praktik korupsi.
Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pengendalian
manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran
korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi Pada
umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat
sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan
dengan berbagai bentuk.
Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada Nilai-nilai di
masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa
22
ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat
menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap
ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi,
misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul
karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang
hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang
kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan,
sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak
konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi
dan revisi peraturan perundang-undangan.
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat,
kehendak, dan sebagainya)
2. Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya
kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
3. Gaji pegawai negeri yangh tidak sebanding dengan
kebutuhan yang semakin tinggi
4. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi
5. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang
efektif dan efesien, yang memberikan peluan untuk
korupsi;
6. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Aspek Individu Pelaku Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang
melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau
penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup
kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri.
23
Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari
dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
Moral yang Kurang Kuat Seorang yang moralnya tidak kuat
cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu
bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Tingkat Upah dan Gaji Pekerja di Sektor Publik Penghasilan
seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi
kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka
seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara.
Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan,
keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk
melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,
pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan
di luar pekerjaan yang seharusnya.
Kebutuhan Hidup yang Mendesak Dalam rentang kehidupan ada
kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
Gaya Hidup yang Konsumtif Kehidupan di kota-kota besar
acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan
yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Malas atau Tidak Mau Bekerja Sebagian orang ingin mendapatkan
hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas
bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan
24
apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya
melakukan korupsi.
3.4 Akibat Atau Dampak Dari Korupsi
Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan
dengan berbagai akibat, antara lain merugikan keuangan dan
perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional.
Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan
berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun
luar negeri, karena pelaku bisnis bekerja berurusan dalam
lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berakibat pada
banyaknya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang
yang harus dikeluarkan dalam proses investasi, khusunya saat
berhubungan dengan aparatur pemerintah yang berwenag dalam hal
tersebut.
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef,
dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan
penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif
dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak
dipandang sebagai perilaku yang berakibat pada keruksakan
tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan
masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan
bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan
terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan
yang lenyap.
25
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih
kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial
budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan
kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan
administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi
adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak
mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan
asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan
pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli
di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas
adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri,
gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan
sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan,
hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan
pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya
kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya
sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan
pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
(Revida, 2003)
26
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan
negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat
tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
3.5 Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya
sudah cukup banyak dan sistematis dalam memberantas korupsi,
berikut merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah :
1. Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005,
lanjutnya, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas
pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya
tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak
catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru
merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala
korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin
besar, tambahnya.
2. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang
anti korupsi. Berbagai produk peraturan perundang-
undangan mengenai pemberantasan korupsi telah diterapkan
di Indonesia, antara lain
a. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah
terbukti lamban
b. Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah
Angkatan Darat, No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16
April 1958; dan
27
c. Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang RI
Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (perpu No. 24
Tahun 1960); yang diganti dengan
d. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; yang diganti
dengan
e. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; sebagaimana
diubah dengan
f. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tanggal 16 Agustus 1999.
g. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang MA.
Komitmen pemerintah dalam hal ini patut
dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang
perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh
pemerintah.
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan korupsi menegaskan perlunya dibentuk
komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen
dengan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diatur dalam Undang-Undang
RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
3. Ketiga, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi.
Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang disoroti, yakni
kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra
28
vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden
terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya
dapat dijalankan sesuai dengan prosedur.
4. Keempat , Pemerintah pernah membentuk beberapa komisi
Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut:
a. Komisi IV yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1970
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1970. Komisi Empat yang terdiri dari
Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johanes, dan
Anwar Tjokroaminoto dengan tugas pokok meneliti dan
menilai kebijaksanaan dalam pemberantasan korupsi
serta memberikan pertimbangan kepada pemerintah yang
telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden RI
Nomor 50 Tahun 1970 tentang membubarkan Komisi IV
yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun 1970.
b. Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggaraan Negara
(KPKPN) yang dibentuk melalui Kepres RI No. 127
tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan
Kekayaan penyelenggara Negara;
c. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGTPK) yang dibentuk tanggal 5 April 2000
berdasarkan PP RI Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. TGTPK
yang diketuai oleh Andi Andoyo, SH bertugas
melakukan penyidikan perkara Korupsi yang sulit
pembuktiannya.
Di samping Kejaksaan dan kepolisian, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) juga memiliki peran yang sangat penting.
29
Merupakan suatu hal yang memprihatin, karena sedemikian
banyaknya para koruptor yang dituntut di pengadilan belum
menyusutkan tingkat tindak pidana Korupsi. Indikasi korupsi
yang terjadi di Indonesia tetap tinggi bahkan mnempati
kelompok tertinggi di Asia.
Penangan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan
dilema sosial akibat manajemen korupsi dalam birokrasi
pemerintahan dan swasta yang menyebabkan korupsi membudaya.
Pada sisi lain, proses penegakan hukum dalam pemberantasan
korupsi yang dilakukan oleh pemerintah amat lamban. Kalaupun
bisa sampai ke pengadilan, lebih banyak mengecewakan
masyarakat. Sehingga, pemecahan yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan guna mengatasi dilema yang menimpa masyarakat
dalam memberantas korupsi menjadi tanggung jawab bersama.
30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masalah korupsi di Indonesia bermula dari memudarnya
budaya etika dan integritas. Dimana Korupsi disini yang
terjadi dalam level manapun dan jenis apapun merupakan hal
yang dapat mengahancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial
dan nilai agama, sehingga hal ini bisa menjadi perilaku yang
mengkorupsi budaya. Krisis moral yang dimiliki oleh para
koruptor sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu
menjadi hambatan utama pada pembangunan.
Ironinya Korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi
kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua
lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil,
korupsi seakan – akan sudah menjadi hal yang legal dan tidak
dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum. Dan ketika
secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat
sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi
budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan demikian
jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi
karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol
sosial/pengabaian terhadap upaya mementingkan pribadi diatas
31
kepentingan publik pada saat mereka mempunyai
kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak
langsung. Telah berbagai Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam
memberantas Korupsi namun semua upaya itu seakan tidak
membuahkan hasil yang memuaskan.
4.2 Saran
Dalam menghadapi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya
dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah saja, karena
terbukti dengan hanya menunggu upaya yang dilakukan oleh
pemerintah, Korupsi di Indonesia tidak kunjung tertuntaskan.
Namun perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua elemen
masyarakat di Indonesia. dan di perlukan integritas dan
konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan
tertinggi Negara untuk membangun sistem, tata kelola dan
kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya. Pendidikan moral
khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta
tegaknya hukum adalah obat yang paling mujarab untuk
menghilangkan korupsi. menegakan budaya etika dan integritas.
Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Menghapus budaya
korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan
adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai
alat untuk mendapatkan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Jahja, Juni Sjafrien. Say No to Korupsi!. Jakarta: Visimedia,
2012
32
Poernomo, Soen’an Hadi. Berani Korupsi itu Memalukan. Jakarta:
Imania, 2013
Alatas, Syeid Hussain. Korupsi, Sifat, Sebab, dan fungsi.
Jakarta: LP3ES, 1987
Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2003
Suratman. dan Munir. Salamah, Umi. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Malang: Intimedia, 2010
Politik.kompasiana.com/2013/11/03/benarkah-budaya-Korupsi-
Sudah-menjadi-kebudayaan—60622.html (Di akses pada tanggal 03
April 2014)
Achamadhidir.blogspot.com/2010/09/budaya-korupsi-sebuah-
bentuk-masalah.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014)
Scram-monster.blogspot.com/2011/08/krisis-moral-indonesia.html
(Di akses pada tanggal 03 April 2014)
www.harianhaluan.com/index.php/opini/29925-menandingi-budaya-
korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014)
id.wikipedia.org/wiki/Korupsi (Di akses pada tanggal 03 April
2014)
33