etika keutamaan nilai-nilai pancasila

21
ETIKA KEUTAMAAN DALAM NILAI-NILAI PANCASILA * [email protected] Pengantar Pembahasan mengenai nilai-nilai Pancasila memang tidak ada habisnya. Sebagai dasar negara dan dasar falsafah hidup berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila merupakan sesuatu hal yang sudah baku, tidak dapat diubah-ubah. Namun demikian, sebagai sebuah nilai, interpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah hal yang mutlak selalu dibutuhkan, seiring dengan perkembangan jaman. Menurut Soekarno, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, merupakan nilai-nilai yang digali dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah mempunyai nilai-nilai Ketuhana, Kemanusia, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sejak ribuan ratusan tahun yang lampau, ketika negara Indonesia belum berdiri. Nemun demikian setelah 62 tahun merdeka keraguan terhadap Pancasila mulai bermunculan. Keraguan ini terkait dengan kenyataan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila dianggap terlalu ideal sehingga sangat sulit untuk dapat dipraktekkan pada kehidupan sehari-hari. Pada masa Orde * Hastanti Widy Nugroho, Dosen Fakultas Filsafat UGM

Upload: ugm

Post on 15-May-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ETIKA KEUTAMAAN DALAM NILAI-NILAI PANCASILA*

[email protected]

Pengantar

Pembahasan mengenai nilai-nilai Pancasila memang tidak ada

habisnya. Sebagai dasar negara dan dasar falsafah hidup

berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila merupakan sesuatu

hal yang sudah baku, tidak dapat diubah-ubah. Namun demikian,

sebagai sebuah nilai, interpretasi terhadap nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila adalah hal yang mutlak selalu

dibutuhkan, seiring dengan perkembangan jaman.

Menurut Soekarno, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila,

merupakan nilai-nilai yang digali dari kekayaan budaya bangsa

Indonesia. Bangsa Indonesia telah mempunyai nilai-nilai

Ketuhana, Kemanusia, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sejak

ribuan ratusan tahun yang lampau, ketika negara Indonesia belum

berdiri. Nemun demikian setelah 62 tahun merdeka keraguan

terhadap Pancasila mulai bermunculan. Keraguan ini terkait

dengan kenyataan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa

Indonesia semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila tersebut.

Banyak kalangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai dalam

Pancasila dianggap terlalu ideal sehingga sangat sulit untuk

dapat dipraktekkan pada kehidupan sehari-hari. Pada masa Orde* Hastanti Widy Nugroho, Dosen Fakultas Filsafat UGM

Baru nilai-nilai Pancasila sudah pernah untuk dicoba

diterjemahkan menjadi norma yang lebih operasional seperti

termaktub dalam Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4).

Namun demikian pemberlakuan standart operasional dan teknis

seperti yang tercantum dalam P4, tidak juga dapat menjadikan

manusia Indonesia lebih berPancasila. Korupsi, kolusi dan

nepotisme justru merajalela bahkan mendarah daging dalam benak

manusia Indonesia. Hal ini tentu saja memberikan dampak pada

rusaknya moralitas sebagian manusia Indonesia.

Dengan latar belakang pemikiran tersebut, maka pembahasan

Pancasila berdasar perspektif filsafat moral merupakan satu hal

yang dapat dilakukan, untuk mengkaji kembali kembali pentingnya

nilai-nilai moral yang ada dalam Pancasila. Apakah pembicaraan

ini masih menarik, mengingat banyak ahli sudah pernah melakukan

pengkajian tersebut. Tentu saja, mengingat, tulisan ini akan

membahas nilai-nilai Pancasila dari sudut tinjauan yang

mengkhususkan diri pada Etika Keutamaan.

Mengenal Fenomena Moral

Sebelum membahas lebih jauh mengenai etika keutamaan serta

hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila, terlebih dahulu akan

diuraikan mengenai fenomena moral. Hal ini penting untuk

memberikan gambaran, bagaimanakah sesungguhnya landasan

pertimbangan moral yang harus dilakukan bagi seseorang sebelum

melakukan suatu tindakan moral.

Fenomena moral merupakan sebuah gambaran yang berhubungan

dengan pertimbangan dan putusan moral yang dilakukan seseorang.

Maksudnya, ketika seseorang melakukan pertimbangan dan putusan

moral, dapat dilihat berdasar fenomena moral tersebut yang

antara lain terdiri atas, esensi, forma dan ekspresi. Ketiga

lembaga ini saling berhubungan satu sama lain, sehingga tidak

dapat dipisahkan. Pertama adalah esensi yaitu menyangkut nilai-

nilai yang menjadi motivasi tindakan setiap orang. Ditinjau

secara esensial nilai-nilai moral ini ada dalam hati nurani

setiap manusia sebagai sesuatu yang inheren. Nilai-nilai moral

tersebut pada akhirnya mengambil bentuk (manifestasi) pada

lembaga yang kedua, yaitu forma. Forma diartikan sebagai bentuk,

yaitu bentuk yang diambil oleh nilai-nilai tersebut, sehingga

nilai-nilai tersebut lebih mudah untuk dikenali untuk dimengerti

dan kemudian dipraktekkan. Bentuk (form) dari nilai-nilai moral

tersebut antara lain berupa ukuran-ukuran norma moral, sistem

norma moral yang kesemuanya mengejawantah dalam norma

masyarakat, agama, adat dan norma hukum. Lembaga ketiga yaitu

ekspresi. Ekspresi ini menyangkut keputusan tindakan dan hasil

tindakan nyata yang dilakukan seseorang dengan didasarkan pada

pertimbangan hati nurani (esensi) serta kaidah, hukum serta

norma dalam masyarakat (form).

Berdasarkan keberadaan tiga lembaga yang menjadi faktor

penting dalam fenomena moral tersebut, maka untuk melakukan

penilaian terhadap suatu tindakan moral tertentu, harus

didasarkan pada pertimbangan ketiga instansi fenomena moral

tersebut di atas. Suatu tindakan moral dapat dikatakan baik atau

penilaian moral dinyatakan baik, jika ketiga aspek tersebut ada

dan tidak terpisah-pisah. Jika suatu tindakan moral hanya

mempertimbangkan salah satu aspek tanpa memperhatikan aspek yang

lain, maka tindakan moral tersebut tidak dapat dikatakan benar.

Sebagai contoh ketika seseorang melakukan perbuatan menyantuni

anak yatim piatu. Berdasar fenomena moral tindakan tersebut

dapat diterjemahkan sebagai berikut : berdasar ekspresi tindakan

yang dilakukan yaitu menyantuni anak yatim, maka tindakan ini

dapat dikatakan baik. Tindakan ini sesuai dengan norma yang ada

dalam masyarakat (forma). Namun demikian perlu pengkajian lebih

lanjut, motivasi tindakan yang dilakukan, apakah sesuai dengan

nilai-nilai yang baik, misalnya didasarkan pada nilai

kemanusiaan, ataukah didasarkan pada motivasi adanya keinginan

untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari manusia lain?.

Demikianlah ekspresi tindakan seseorang dapat saja dilakukan

sesuai dengan esensi (nilai-nilai kebaikan) dan dapat pula tanpa

mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam hati

nurani, karena sekedar memenuhi kewajiban norma agama (forma).

Berdasar fenomena moral tersebut penilaian terhadap sebuah

tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berdasar apa

yang nampak saja, tetapi lebih komprehensif yaitu mencakup aspek

lahiriah (ekspresi), aspek kesesuaian dengan norma masyarakat

(forma) serta aspek batiniah yaitu motivasi terdalam (esensi).

Aliran dalam Filsafat Moral

Dalam filafat moral terdapat beberapa aliran yang

memberikan kriteria dan ukuran, sebuah tindakan dapat dikatakan

baik atau buruk. Berikut ini merupakan pemaparan beberapa aliran

tersebut.

Aliran yang pertama adalah hedonisme. Aliran ini merupakan

aliran yang paling populer, mengingat konsep mendasar yang

ditawarkan paling mudah oleh orang awam sehingga mudah untuk

dianut. Hedonisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani, hedone

yang berarti kenikmatan atau kesenangan. Dalam pengertian ini ,

maka hedonisme dapat diartikan pertama, berhubungan dengan

konsep moral yang menyamakan kebaikan dengan kesenangan atau

kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia (Lorens

Bagus, 1996:282). Etika hedonisme sudah dikemukakan oleh filsuf

Yunani kuno, Aristipos yang berpandangan bahwa kesenangan adalah

satu hal yang diinginkan setiap orang. Kesenangan dalam

pandangan Aristipos ini menyangkut beberapa hal, pertama bahwa

kesenangan bukan berarti badaniah tetapi juga menyangkut

spiritualitas, kedua bahwa kesenangan yang dicapai adalah

kesenangan aktual, saat ini dan disini (Bertens, 1993:236).

Aliran kedua, yaitu Eudemonisme. Aliran ini mempunyai

tesis mendasar bahwa setiap perbuatan manusia pada dasarnya

ditujukan untuk mencapai sesuatu. Suatu tujuan tertentu

kadangkala hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain

yang mempunyai nilai lebih tinggi. Tujuan terakhir yang berusaha

dicapai manusia, dan bukan demi tujuan yang lain adalah

kebahagiaan (eudemonia), demikian menurut pandangan beberapa

filsuf penganut eudemonisme. Eudemonia berasal dari istilah

Yunani yang berarti kebahagiaan. Pandangan eudomonisme pertama

kali dikemukakan secara tertulis oleh Aristoteles dalam bukunya

Ethika Nikomakheia (Magnis Suseno,1997: 30). Plato (guru

Aristoteles) sebenarnya sudah mengemukakan pandangan tentang

kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia, namun pemakaian

istilah eudemonia baru dipopulerkan oleh Aristoteles dikemudian

hari. Dalam pandangan etika Plato kebaikan diukur dari tujuan

akhir yang hendak dicapai manusia. Tujuan tersebut adalah

kebahagiaan (eudemonia). Bagi Plato adanya kebaikan tertinggi

merupakan puncak kebahagiaan manusia yang disebutnya sebagai

Idea Tertinggi. Prinsip Eros (cinta) sangat ditekankan oleh

Plato dalam rangka proses pencapaian manusia kebahagiaan.

Menurut Plato, cintalah yang mendorong manusia untuk meraih Ide

Tertinggi, mencarikan jalan kepada Sang Baik. Sang Baik adalah

sumber sekligus tujuan hidup manusia, sebagai tujuan menarik

manusia untuk mencapaiNya dan sebagai sumber mendorong manusia

dengan cintaNya (Magnis Suseno,1997:19).

Aliran yang ketiga adalah Utilitarianisme. Utilitarianisme

berasal dari kata Latin utilis yang artinya berguna. Pandangan

mendasar aliran etika ini adalah bahwa kaidah atau aturan

tingkah laku secara moral disebut baik jika mempunyai

konsekuensi lebih menguntungkan dan berguna bagi sebagian besar

orang, oleh karena itu disebut juga The Greates Happiness Theory.

Cikal bakal pandangan utilitarian sesungguhnya ada pada

pandangan hedonisme, yang secara khusus menekankan pada

pemahaman adanya keuntungan terbesar yaitu adanya kenikmatan

atau kesenangan. Menurut Betham suatu kewajiban moral adalah apa

yang dapat yang menimbulkan kebahagiaan terbesar bagi sejumlah

besar orang, kebahagiaan tersebut ditentukan oleh adanya

kebahagiaan dan tidak adanya rasa sakit atau kesedihan (Magnis

Suseno,1997:180).

Aliran keempat yaitu Deontologi. Aliran Deontologi ini

juga dikenal dengan nama etika kewajiban. Peletak dasar teori

kewajiban moral yaitu Samuel Pufendorf (1632-1694) yang dalam

bukunya Law of Nature and of Nation (1672), mengemukakan tiga komponen

dari teori kewajiban. Pertama, adanya hubungan/korelasi antara

hak dan kewajiban, sebagai contoh jika aku mempunyai hak atas

mobilku maka kamu mempunyai kewajiban untuk tidak mencuri

mobilku. Kedua, adanya perbedaan antara kewajiban sempurna dan

kewajiban tidak sempurna. Kewajiban sempurna adalah kewajiban

yang secara tepat memerintahkan tindakan kita yang pantas dan

layak dimanapun dan kapanpun, sedangkan kewajiban tidak sempurna

sebagai contoh adalah kewajiban melakukan pengorbanan. Ketiga,

Pufendorf membagi atas tiga bentuk kewajiban : kewajiban

terhadap tuhan, kewajiban kepada diri sendiri dan kewajiban

terhadap orang lain.

Pemikiran terbesar tentang etika kewajiban dikemukakan

oleh Immanuel Kant (1724-1804). Mula-mula Kant menulis teori

tentang kewajiban pada Lectures of Ethics (1780) dan juga pada

karyanya yang lebih kemudian dan lebih sistematis antara lain :

The Foundations of Metaphysics of Moral (1785), The Critique of practical Reason

(1788), dan The Methaphysics of Moral (1798). Gagasan Kant tentang

etika kewajiban tidak lepas dari pandangannya tentang akal budi

praktis yang sifatnya murni a priori. Bahwa satu tindakan moral

dilakukan berdasarkan kewajiban yang diperintahkan oleh hukum

atau prinsip alam yang sudah ada. Kant menjelaskan bahwa

perbuatanmoral pada akhirnya didasarkan pada sebuah "Supreme

principle of morality" yang sifatnya objektif, rasional dan dapat

dipilih bebas, yang disebut imperatif kategoris (Taylor,1975:

84-87). Imperatif kategoris adalah prinsip yang mengharuskan

seseorang untuk melakukan suatu kewajiban secara mutlak tanpa

syarat apapun. Seseorang tidak akan diberi hadiah jika

menjalankan perintah serta tidak pula diberi hukuman jika

melanggar perintah.

Masih berkaitan dengan pemikirannya tentang pengetahuan a

priori, maka kewajiban dalam pandangan Kant, merupakan fungsi yang

sudah ada dalam diri manusia secara a priori. Dalam diri manusia

imperatif kategoris itu ada dan mengharuskan manusia untuk

bertindak secara moral. Perintah tersebut sifatnya mengharuskan

dan memaksa manusia untuk melakukan sesuatu perbuatan moral.

Jadi suatu perbuatan baik merupakan hasil dari pelaksanaan

kewajiban yang tidak bersyarat, bukan paksaan tetapi

pertimbangan yang mengharuskan kita berbuat sesuai kewajiban

dalam diri. Bagi Kant suatu kebaikan moral adalah baik dalam

dirinya sendiri, bukan disebabkan oleh suatu hal lain. Kebaikan

moral adalah kebaikan yang sifatnya mutlak, baik begitu saja

tanpa catatan apapun. Kenaikan moral mengandaikan adanya

kehendak yang baik juga tidak tergantung dengan apapun diluar

kehendak itu sendiri.

Aliran terakhir adalah etika keutamaan, yang akan menjadi

sudut pandang dalam membahas nilai-nilai Pancasila pada tulisan

ini.

Etika Keutamaan

Apakah yang dimaksud etika keutamaan ? Jika kedapatan

seorang ibu mencuri susu di sebuah supermarket, maka penilaian

pertama yang muncul adalah bahwa ibu tersebut berbuat buruk.

Tidak peduli untuk tujuan apakah ibu tersebut mencuri, apakah ia

mempunyai anak balita yang sedang kelaparan dan memerlukan susu

ataukah susu itu hendak dijual untuk membeli mainan untuk

anaknya? Yang jelas dan pasti, ibu tersebut bersalah dan berbuat

kejahatan. Kesemua alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan,

yang terpenting adalah bahwa orang tersebut berbuat salah karena

telah melangar norma moral yang berlaku, dan harus dihukum.

Penilaian tersebut sifatnya sangat formalistik, karena memandang

suatu perbuatan sebatas penampakan yang nyata-nyata melanggar

suatu norma moral tertentu. Penilaian tersebut di atas tentu

akan berbeda jika terdapat seorang ibu yang mencuri karena pada

dasarnya memang mempunyai watak buruk yaitu suka mencuri,

penilaian yang dilakukan terhadap perbuatan ini lebih mendalam

yaitu menyangkut sifat, niat, motivasi serta i'tikad yang

dimiliki orang perorang.

Perbedaan penilaian terhadap kasus tersebut diatas sangat

terkait dengan perbedaan mendasar pada teori yang

melatarbelakangi tindakan tersebut. Penilaian pertama lebih

didasarkan pada teori etika kewajiban yang lebih menekankan

mengharuskan seseorang untuk melakukan suatu kewajiban secara

mutlak tanpa syarat apapun. Sedangkan penilai kedua terkait

dengan etika keutamaan, bahwa penilaian suatu tindakan harus

mempertimbangankan karakter, motivasi yang dimiliki oleh

seseorang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika keutamaan

mempunyai pandangan mendasar bahwa landasan moralitas manusia

terletak pada perkembangan sifat, karakter baik yang disebut

keutamaan (virtue) yang dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang

melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu, selalu

dilatarbelakangi oleh watak, karakter yang dimiliki manusia

tersebut. Jika seseorang tertangkap melakukan pembunuhan,

penilaian yang dilakukan akan mempertimbangkan aspek lebih

mendalam yaitu menyangkut motivasi, sifat dasar yang dimiliki si

pembunuh. Apakah dia membunuh untuk mempertahankan diri ataukah

memang si pembunuh mempunyai sifat buruk, tega dan suka

menyakiti orang lain. Virtue is a trait of character, manifested in habitual

actions, that is good for person to have (James Rachel,1978:14). Keutamaan

moral bukanlah sekedar pilihan antara kebaikan dan keburukan

tetapi menyangkut kemampuan untuk mengarahkan diri di antara

sifat-sifat buruk dan menghidupkan keutamaan-keutamaan yang

sesungguhnya ada dalam diri setiap manusia. Etika keutamaan

mengarahkan pada being manusia, what should I be?. Hal ini berbeda

dengan etika kewajiban yang menekankan doing manusia, what should I

do?.

Keutamaan yang dimaksud dalam moralitas antara lain

keteguhan hati, kemampuan untuk menahan amarah , kesetiakawanan,

kerendahan hati dan kemarahan pada tempatnya. Adalah satu hal

yang sulit untuk menghidupkan keutamaan-keutamaan tersebut

karena tidak mudah menemukan jalan tengah antara dua

kecenderungan, kebaikan dan keburukan. Terdapat beberapa catatan

penting berkaitan dengan keutamaan :

Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya suatu

kecenderungan tetap. Bukan berarti keutamaan tidak bisa

hilang, tetapi hal ini tidak mudah terjadi. Keutamaan

adalah sifat yang ditandai oleh stabilitas, yang mendarah

daging pada diri seseorang.

Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah

disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung pada arah

tertentu, oleh karena itu motivasi sangatlah penting

karena motivasilah yang mengarahkan kehendak.

Keutamaan diperoleh dengan jalan membiasakan diri dan

merupakan hasil latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia

sejak lahir, tetapi melalui proses latihan diiringi usaha

korektif (Bertens, 1993:213)

Etika keutamaan sesungguhnya merupakan pemikiran tentang

etika tertua pada filsafat barat, yang mencapai puncaknya pada

masa Yunani Kuno. Beberapa epos, puisi, karya drama seperti

Homerus dan Sophocles, banyak berisi pandangan moral tentang

kebajikan serta kejahatan. Sokrates sendiri menyebut keutamaan

atau kebajikan sebagai arete, walaupun pandangannya tentang

keutamaan ini belum mengarah pada teori moral tertentu, tetapi

lebih kepada pandangan tentang sifat yang melekat pada manusia

secara umum. Misalnya arete yang dimiliki seorang tukang sepatu

yang menjadikan dia sebagai tukang sepatu yang baik. Sementara

itu Plato berpendapat bahwa bagian integral dari pencarian

kebenaran adalah mengetahui sifat-sifat ideal kebajikan seperti

keadilan, kesalehan, dan keberanian. Teori keutamaan yang

kemudian banyak dibicarakan dan berpengaruh tampak pada

pemikiran Aristoteles yang ditulis pada buku Nichomchean Ethics,

khususnya pada bagian dua. Menurut Aristoteles keutamaan moral

adalah kemauan yang dimiliki manusia untuk mengatur sifat-sifat

yang ekstrim seperti kejahatan. Sebagai contoh munculnya respon

terhadap sifat takut yaitu timbulnya sifat keberanian.

Menurut James Rachel relativitas sifat keutamaan sangat

dimungkinkan, karena manusia berbeda satu dengan yang lain, baik

dalam hal kepribadian, lingkungan tempat tingal serta aturan

sosial yang akan menyebabkan sifat dan karakter yang dimiliki

menjadi berbeda. Namun demikian terdapat beberapa keutamaan yang

dibutuhkan dan diinginkan semua orang di semua tempat dan waktu.

Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa kita semua

mempunyai gagasan besar secara umum, tentang apa yang disebut

baik. Secara umum semua manusia akan menemui masalah-masalah

mendasar dan mempunyai keinginan-keinginan mendasar yang sama.

Setiap orang akan menginginkan keberanian, karena tidak ada

seorangpun yang aman tanpa bahaya sedikitpun, sehingga semua

orang butuh keberanian untuk mengatasi setiap bahaya yang

muncul. Kejujuran dalam perkataan juga satu hal yang dibutuhkan

oleh semua manusia, karena tidak ada sosialitas yang eksis tanpa

adanya komunikasi yang jujur antar anggotanya. (James

Rachels,1978:159-179).

Empat keutamaan pokok yang penting bagi manusia yaitu

kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan.

Pandangan ini sudah mengakar kuat sejak masa Plato dan

Aristoteles dan akhirnya dikembangkan lebih lanjut pada abad

Pertengahan, antara lain oleh Thomas Aquinas, yang menambahkan

keutamaan tersebut dengan iman kepercayaan, pengharapan dan

cinta kasih (Bertens,1993: 222).

Etika Keutamaan dalam Nilai-Nilai Pancasila

Berdasarkan uraian mengenai fenomena moralitas serta etika

keutamaan tersebut di atas, dapatlah dilakukan analisis terkait

dengan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila.

Sebagai sebuah rumusan nilai-nilai moral, nilai-nilai yang

tercantum dalam Pancasila bukan hanya dapat diinterpretasikan

berdasar etika kewajiban seperti yang sudah dilakukan selama

ini. Misalnya pada masa Orde Baru, jika seseorang tidak

mempunyai sertifikat lulus penataran P-4, maka akan mendapatkan

predikat sebagai orang yang tidak Pancasilais, vonis terberat

tidak akan diterima sebagai PNS. Namun demikian pemberlakukan

hukum formal seperti tersebut, toh tidak menjadikan manusia

menjadi lebih ber-Pancasila, yang ada hanyalah kepura-puraan,

dan kepalsuan di sana sini. Interpretasi lain terkait dengan

pengamalan nilai-nilai moral Pancasila dapat dilakukan juga

berdasar etika keutamaan. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat

Ir. Soekarno telah menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah

memiliki nilai-nilai Pancasila sejak ratusan tahun yang lalu.

Ini berarti bahwa karakter, watak bangsa Indonesia, sesungguhnya

telah ber-Ketuhanan, ber-Kemanusiaan, ber-Persatuan, ber-

Kerakyatan dan ber-Keadilan.

Notonagoro telah mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada

dalam Pancasila memuat hakikat kodrat yang dimiliki manusia.

Dengan demikian, berdasar hakikat kodrat tersebut, dapatlah

diturunkan karakter dan watak yang dimiliki manusia.

Susuanan Kodrat Raga/ jasmani An organik

Vegetatif

Animal

Jiwa/rohani Akal

Rasa

Kehendak

Sifat kodrat Individual

Sosial

Kedudukan Kodrat Pribadi Mandiri

Makhluk Tuhan

( Notonagoro,

1995:96)

Berdasarkan kedudukan kodrat manusia, dapatlah dijelaskan

bahwa di satu sisi, manusia merupakan pribadi mandiri yang

mempunyai otonomi. Berdasar hal tersebut manusia mempunyai

kebebasan untuk menentukan diri, melakukan apapun sesuai dengan

keinginan yang dimiliki. Namun demikian di sisi lain, manusia

mempunyai ketergantungan, baik kepada benda lain, maupun pada

manusia lain. Ketergantungan manusia pada akhirnya mempunyai

arah paling puncak yaitu pengakuan adanya Tuhan. Sejauh mana

dependensi manusia akan sampai pada nilai Ketuhanan, semua

tergantung pada manusianya. Berdasar hal tersebut, maka karakter

dan sifat manusia untuk percaya adanya Tuhan merupakan sesuatu

yang sifatnya kodrati, namun pada akhirnya semua dikembalikan

kepada manusia, apakah karakter tersebut masih ada, berkembang

atau tidak, semua berpulang kepada manusia.

Manusia berada di dunia bersama-sama dengan manusia lain,

untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan baik jasmani maupun

rohani. Eksistensi manusia baru dapat diakui ketika bersama

dengan manusia lain. Inilah yang disebut dengan ungkapan sifat

individual manusia barulah dapat eksis ketika manusia

bersosialisasi dengan manusia yang lain. Oleh karena itu sifat

hormat dan cinta kasih terhadap sesama merupakan sesuatu yang

secara kodrati ada dalam diri manusia.

Tarik menarik antara kebutuhan akan sifat individualitas

dan sosialitas memerlukan kemampuan manusia untuk dapat

mendamaikan keduanya. Secara ideal dapat dikemukakan bahwa

sosialitas manusia yang seharusnya membimbing individualitas

manusia. Manusia baru akan menemukan dirinya ketika bersama-sama

dengan manusia lain. Kemampuan untuk mendamaikan antara

individualitas dan sosialitas inilah yang akan melahirkan

karakter, sifat keadilan. Adil artinya mampu menempatkan secara

seimbang, harmonis, berbagai kepentingan individual, ditengah-

tengah kepentingan sosial.

Bagaimanakah dengan bangsa Indonesia saat ini? Berbagai

keluhan yang seringkali muncul berkaitan dengan Pancasila,

misalnya adanya keluhan bahwa nilai-nilai Pancasila telah

dimiliki bangsa Indonesia ratusan tahun yang lampau, tetapi

mengapa sulit untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai Pancasila

dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Keluhan tersebut kiranya sangat masuk akal mengingat pelaksanaan

nilai-nilai Pancasila selama Orde Baru, sangat formalistik,

sehingga orang justru merasa asing dan tidak familiar dengan

nilai-nilai yang selama telah menjadi karakter dan dimiliki

sejak lama.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sebuah penilaian

moral terkait dengan nilai-nilai moral Pancasila, harus dilihat

dari tiga lembaga yaitu esensi, forma dan ekspresi. Artinya,

ketika seorang melakukan ibadah sesuai dengan agama yang

dianutnya, hal tersebut jelas sesuai dengan sila Ketuhanan Yang

Maha Esa. Namun penilaian tidak akan berhenti sampai di situ,

perlu dilakukan pertimbangan lain, yaitu menyangkut esensi yaitu

motivasi yang melatarbelakangi ibadah tersebut, apakah memang

karena didasarkan pada nilai penghormatan, cinta kasih terhadap

Sang Pencipta, ataukah karena pamrih, imbalan akan mendapatkan

sorga kelak di kemudian hari dan ketakutan akan adanya siksa api

neraka. Hal inilah yang selama ini diabaikan oleh banyak

kalangan.

Keutamaan moral yang ada dalam nilai-nilai Pancasila,

seperti cinta kasih terhadap Pencipta dan sesama, pengendalian

diri, penghargaan terhadap orang lain serta keadilan merupakan

sifat, karakter manusia yang harus dikembangkan. Berdasar sifat

keutamaan inilah sebuah tindakan dilakukan, bukan hanya karena

formalitas untuk menggugurkan kewajiban atau mengharapkan adanya

imbalan.

Tindakan baik bukan didasarkan atas apa yang ada di sana

(norma hukum, agama, masyarakat) tetapi didasarkan pada apa yang

ada di sini (sifat, karakter keutamaan dalam diri).

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, 1998, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta

Bertens, 1993, Etika, Kanisius, Yogyakarta.

James Rachel, 1978, The Elements of Moral Philosophy, McGraw-Hill

Companies, New York.

Notonagoro, 1995, Pancasila Secara Ilmiah, Populer, Bumi Aksara,

Jakarta.

Magnis-Suseno, F., 1997, 13 Tokoh Etika , Kanisius, Yogyakarta.