akuntansi pemerintah ( opini bpk atas lkpd daerah aceh)

11
MAKALAH AKUNTANSI PEMERINTAHAN OPINI BPK ATAS LKPD DAERAH ACEH Dosen Pengampu : H. Sutrisno, SE, M.Si. Disusun Oleh : 1. Qomariyah (12030086) 2. Arum widiharti (12030090) SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ‘YPPI’ REMBANG Tahun 2014

Upload: stie-yppi

Post on 13-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH AKUNTANSI PEMERINTAHAN

OPINI BPK ATAS LKPD DAERAH ACEH

Dosen Pengampu : H. Sutrisno, SE, M.Si.

Disusun Oleh :

1. Qomariyah (12030086)

2. Arum widiharti (12030090)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ‘YPPI’ REMBANG

Tahun 2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa karena berkat

rahmat Beliaulah kami dapat menyelesaikan Tugas Akuntansi Pemerintahan

dengan judul “Opini BPK atas LKPD Daerah Aceh” ini tepat pada waktunya.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan

tentang Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Makalah ini dibuat untuk

memenuhi tugas mata kuliah ”Akuntansi Pemerintahan”, yang diampu oleh Bapak

H. Sutrisno, SE, M.Si.

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka

dengan segala kerendahan hati kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan Terimakasih kepada semua pihak dan

semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kehidupan serta perkembangan ilmu

pengetahuan serta mampu menjadi acuan dalam mata kuliah bersangkutan.

Penyusun

A. Pengertian Opini BPK

Opini BPK merupakan pernyataan atau pendapat profesional BPK yang

merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang

disajikan dalam laporan keuangan.

Paradigma baru di era reformasi sekarang ini, dimana bagi setiap satuan

kerja atau organisasi diwajibkan mempertanggungjawabkan setiap kegiatan yang

dilakukan secara transparan, baik pada lingkup internal maupun eksternal, tidak

terkecuali untuk semua pelaksanaan kegiatan pemerintahan daerah-pun yang

menggunakan keuangan daerah pada setiap tahun anggaran, Pemerintah Daerah

diharuskan mempertanggungjawabkan keuangan daerah kepada pemangku

kepentingan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara. Keuangan daerah tersebut wajib dikelola secara tertib,

taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan,

dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan kepatutan dan

manfaat untuk masyarakat.

Pemerintah Daerah selaku entitas pelaporan keuangan daerah diwajibkan

menyampaikan laporan pertanggungjawab berupa Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah (LKPD). LKPD terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan

Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. LKPD disusun oleh Kepala

SKPKD selaku PPKD pada setiap tahun untuk disampaikan kepada Kepala

Daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berdasarkan

Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan laporan

pertanggungjawaban pengelolaan perbendaraan daerah. selanjutnya sebelum

Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD paling lambat 6 (enam)

bulan setelah tahun anggaran berakhir, LKPD disampaikan oleh Kepala Daerah

kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambat-lambatnya 3 bulan setelah

tahun anggaran berakhir dan BPK melakukan pemeriksaan terhadap LKPD sesuai

dengan mandat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Daerah oleh BPK untuk memberikan

keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan daerah telah disajikan secara

wajar dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang

berlaku. Hasil akhir dari proses audit BPK memberikan pendapat/opini kewajaran

informasi keuangan yang disajikan dalam Laporan Keuangan Daerah. Opini

merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai

tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang

didasarkan pada kriteria:

1. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP);

2. Kecukupan pengungkapan;

3. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan

4. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI).

Pemeriksaan Laporan Keuangan yang dilaksanakan oleh BPK berpedoman

pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan dalam

Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas

laporan keuangan mengungkapkan bahwa pemeriksaan telah melakukan

pengujian atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan.

Sedangkan laporan atas pengendalian intern mengungkapkan kelemahan dalam

pengendalian atas pelaporan keuangan yang dianggap sebagai “kondisi yang dapat

dilaporkan”. BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan memberikan

pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan

keuangan, disertai dengan LHP atas SPI, dan LHP atas kepatuhan terhadap

ketentuan perundang-undangan.

Ada empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK, yaitu:

1. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), memuat suatu pernyataan bahwa

laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material

sesuai dengan SAP.

2. Wajar Dengan Pengecualian (WDP), memuat suatu pernyataan bahwa

laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material

sesuai dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan

yang dikecualikan.

3. Tidak Wajar (TW), memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan tidak

menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP.

4. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan

Pendapat (TMP) atau Disclaimer menyatakan bahwa pemeriksa tidak

menyatakan opini atas laporan keuangan.

Diantara empat opini tersebut, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)

sangat diharapkan oleh Pemerintah Daerah, namun sampai saat ini yang

memperoleh opini tersebut masih relatif kecil. Suatu daerah yang mendapat

predikat WTP berarti daerah tersebut dinilai telah mencerminkan sebuah daerah

dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, maka daerah dengan

predikat WTP akan mendapat banyak keuntungan, diantaranya; penyelenggaraan

pemerintahan daerah tersebut akan mendapat kepecayaan dan dukungan

masyarakat serta para pelaku usaha/investor; mendapat dana insentif (reward) dari

Pemerintah Pusat; dan mendapat kepecayaan dari Pemerintah Pusat memberikan

sejumlah anggaran pembangunan.

B. Opini BPK atas LKPD

Berdasarkan Siaran Pers BPK tanggal 12/10/2012 via situs www.bpk.go.id,

Hasil pemeriksaan atas LKPD Tahun 2011 secara umum menunjukkan perbaikan

kualitas penyajian laporan keuangan dibanding LKPD Tahun 2010 yang diperiksa

pada semester I Tahun 2011. Pemeriksaan keuangan atas LKPD Tahun 2011

selama semester I Tahun 2012 dilakukan atas 426 LKPD tahun 2011 dari 524

pemerintah daerah dan 4 LKPD tahun 2010, jumlah LKPD yang memperoleh

opini WTP meningkat dari 34 menjadi 67. Meskipun terjadi peningkatan, jumlah

LKPD yang memperoleh opini WTP tersebut masih relatif kecil, yaitu baru 16%

dari total LKPD. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan jumlah LKKL yang

memperoleh opini WTP yaitu 77% dari total LKKL. Perbandingan opini antar

pemerintah daerah menunjukkan bahwa pemerintah provinsi relatif lebih banyak

memperoleh opini WTP kemudian diikuti secara berurutan oleh pemerintah kota

dan kabupaten.

Lebih lanjut dalam siaran pers tersebut disampaikan, terdapat beberapa

permasalahan yang menyebabkan LKPD tidak memperoleh opini WTP pada

tahun 2011, yakni permasalahan pada pengelolaan kas, persediaan, investasi

permanen dan nonpermanen, serta aset tetap. Untuk mengatasi permasalahan

tersebut, BPK RI merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah daerah,

yaitu antara lain berkoordinasi dengan bank dalam mengelola rekening bendahara

pengeluaran; meningkatkan pengelolaan, penatausahaan, pengendalian, dan

pengawasan persediaan; menetapkan kebijakan akuntansi yang diperlukan untuk

menyajikan investasi non permanen dana bergulir berdasarkan nilai bersih yang

dapat direalisasikan (net realizable value); serta menyusun kebijakan kapitalisasi

aset tetap dan pengamanan aset melalui bukti kepemilikan.

C. Opini BPK atas LKPD DAERAH Aceh

BPK memberi opini atas LKPD Pemerintah Aceh untuk Tahun Anggaran

2012 “Wajar Dengan Pengecualian” atau “Qualified Opinion”, yaitu dengan

pengecualian antara lain sebagai berikut:

1. Nilai kas di kas daerah per 31 Desember 2012 sebesar Rp1,93 triliun

diantaranya merupakan kasbon tahun 2007 sebesar Rp429,40 juta yang tidak

dipertanggungjawabkan atau belum dilakukan proses penyelesaian tuntutan

ganti rugi sehingga terjadi lebih saji kas sebesar kas bon tersebut.

2. Saldo SILPA per 31 Desember 2012 sebesar Rp1,93 triliun tidak termasuk

Kas di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) dr. Zainoel Abidin sebesar Rp17,80 miliar, Kas di BLUD Rumah

Sakit Jiwa sebesar Rp13,80 miliar dan Kas di BLUD RSUD Ibu dan Anak

sebesar Rp7,22 miliar.

3. Saldo piutang dana bergulir per 31 Desember 2012 sebesar Rp30,39 miliar

tidak dapat diyakini kewajarannya karena tidak menggunakan metode nilai

bersih yang dapat direalisasikan kembali atau Net Realizable Value.

4. Saldo investasi permanen per 31 Desember 2012 sebesar Rp1,13 triliun

diantaranya investasi kepada lima perusahaan senilai Rp21,85 miliar disajikan

dengan menggunakan metode harga perolehan (cost method) yang tidak sesuai

dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

5. Saldo aset tetap per 31 Desember 2012 sebesar Rp13,786 triliun tidak dapat

diyakini kewajarannya karena lemahnya pengendalian intern pengelolaan aset

tetap dan belum tuntas ditindaklanjuti dengan inventarisasi aset tetap dan

perbaikan sistem pengelolaan aset tetap.

6. Saldo utang jangka pendek lainnya per 31 Desember 2012 sebesar Rp4,13

miliar tidak termasuk utang pajak tahun 2009 dan 2010.

7. Saldo lain-lain pendapatan asli Aceh yang sah Tahun 2012 sebesar Rp101,33

miliar tidak termasuk hasil yang diperoleh Pemerintah Aceh dari pengelolaan

Dana Cadangan Pemerintah Aceh pada TA 2012, baik jasa giro maupun

bunga/bagi hasil sebesar Rp19,88 miliar dan Pendapatan Jasa Layanan pada

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin (ZA) sebesar

Rp102,01 miliar, Rumah Sakit (RS) Jiwa sebesar Rp33,34 miliar dan RS Ibu

dan Anak sebesar Rp21,34 miliar.

8. Saldo belanja tidak terduga Tahun 2012 sebesar Rp96,48 miliar. Dari nilai

tersebut, sebesar Rp5,83 miliar diantaranya merupakan realisasi atas pencairan

SP2D-LS untuk penanganan darurat bencana alam banjir bandang Kecamatan

Leuser Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2012 yang pelaksanaannya dikelola

oleh Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) namun sebesar Rp3,4

miliar dilarikan oleh Bendahara Pengeluaran BPBA, sebesar Rp2 miliar tidak

dapat diyakini kewajarannya dan 426 juta diblokir sebagai bahan bukti oleh

Polresta Banda Aceh.

Selanjutnya, disampaikan bahwa dalam pemeriksaan laporan keuangan Tahun

2012 ini, BPK masih menemukan 17 kelemahan Sistem Pengendalian Intern dan

17 temuan ketidakpatuhan atas peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. Kelemahan dalam sistem pengendalian intern atas Laporan Keuangan

Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2012.

2. Penatausahaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pemerintah Aceh

Belum Diselenggarakan dengan Memadai;

3. Penganggaran, Pelaksanaan dan Pelaporan Pendapatan Jasa Layanan dan

Biaya Operasional BLUD Tidak Sesuai Ketentuan dan Tidak

Dikonsolidasikan Sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan;

4. Penyajian Pendapatan, Belanja, Kas dan Piutang BLUD pada Pemerintah

Aceh Tidak Dapat Diyakini Kewajarannya;

5. Saldo Piutang LUEP pada Neraca per 31 Desember 2012

Rp13.273.856.350,00 Tidak Disajikan Sesuai SAP;

6. Penyajian Piutang Dana Bergulir Sebesar Rp30.395.931.010,00 Belum

Menggunakan Metode Net Realizable Value (NRV) Tidak Sesuai Standar

Akuntansi Pemerintahan;

7. Penatausahaan Persediaan pada SKPA di Lingkungan Pemerintah Aceh

Belum Memadai;

8. Penyajian dan Pengungkapan Investasi Permanen dalam Neraca Pemerintah

Aceh per 31 Desember 2012 Sebesar Rp21.850.000.000,00 Tidak Sesuai

Standar Akuntansi Pemerintahan;

9. Pemerintah Aceh Belum Memadai dalam Melaksanakan Pengelolaan Barang

Milik Daerah;

10. Saldo Aset Tetap pada Neraca Pemerintah Aceh Per 31 Desember 2012

sebesar Rp13.786.421.225.492,00 Tidak Dapat Diyakini Kewajarannya;

11. Penyajian Akuisisi PT Aviasi Upata Raksa Indonesia Sebesar

Rp6.969.167.700,00 Sebagai Aset Lain-lain dalam Neraca Pemerintah Aceh

Tidak Sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan;

12. Penyajian Dana Pemberdayaan Ekonomi Rakyat sebagai Aset Lain-lain dalam

Neraca Pemerintah Aceh Tidak Dapat Diyakini Kewajarannya;

13. Penganggaran Belanja Hibah dan Bantuan Sosial TA 2012 pada Pemerintah

Aceh Tidak Sesuai Ketentuan.

Pokok pokok temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan

antara lain:

1. Bendahara Pengeluaran Badan Penanggulangan Bencana Aceh Melarikan

Uang Dana Tak Terduga Untuk Kegiatan Tanggap Darurat Di Aceh Tenggara

Sebesar Rp3,4 miliar Sehingga Merugikan Keuangan Negara dan Terdapat

Pengeluaran Untuk Pembayaran Kegiatan Tanggap Darurat Sebesar Rp2

miliar yang Diragukan Kewajarannya;

2. Dua Unit Generator Set Senilai Rp575 juta milik Pemerintah Aceh pada Dinas

Bina Marga dan Cipta Karya yang Dipinjam oleh Pemerintah Kabupaten Aceh

Jaya Tidak Diketahui Keberadaannya;

3. Alat – Alat Berat milik Pemerintah Aceh pada Dinas Bina Marga dan Cipta

Karya Belum Dikembalikan oleh Pihak Ketiga sebanyak 13 unit Senilai

Rp10,69 miliar dan Terdapat Sewa Alat Alat Berat yang Belum Dilunasi oleh

Pihak Ketiga minimal Sebesar Rp4,95 miliar;

4. Penjualan Kendaraan melalui Proses Pelelangan Terbatas dengan Nilai

Penetapan Penjualan Sebesar Rp477,8 juta Tidak Dapat Diyakini Dasar

Perhitungannya;

5. Pembayaran Tunjangan Prestasi Kerja kepada Pejabat Daerah dan Non PNSD

Pemerintah Aceh Sebesar Rp1.601.871.967,44,00 Tidak Sesuai Ketentuan;

6. Penyaluran Hibah Sebesar Rp5,500 miliar dan Bantuan Sosial Sebesar Rp500

juta Tidak Sesuai Ketentuan;

7. Pengelolaan Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2012 Tidak

sesuai Ketentuan;

8. Belanja Hibah dan Bantuan Sosial Belum Dipertanggungjawabkan oleh

Penerimanya Minimal Sebesar Rp71,37 miliar dan Terdapat Kelebihan

Pembayaran Sebesar Rp65,26 juta;

9. Belanja Bantuan Sosial Sebesar Rp240 juta Melalui Biro Umum dan Protokol

Sekretariat Daerah Aceh yang Direalisasikan sebagai Bantuan dalam Bentuk

Barang Tidak Sesuai dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011;

10. Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Gudang BMCK dan Pembangunan

Gudang Mobil Poll sebesar Rp35,51 miliar Tidak Sesuai Ketentuan dan

diragukan kewajarannya;

11. Pelaksanaan Pekerjaan Paket Lanjutan dan Penanggulangan Bencana Alam di

Dinas Pengairan Provinsi Aceh Tidak Sesuai Ketentuan dan Penyusunan

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Tidak Berpedoman pada Standar Harga

Daerah;

12. Pemilihan Penyedia Jasa untuk Pekerjaan Bendung Krueng Pase (Tahap II)

TA 2012 Tidak Sesuai Ketentuan dan Penentuan Harga Satuan Pekerjaan

Pembesian Tidak Berdasarkan SNI;

13. Pekerjaan Pembangunan Lahan Parkir PPP Lampulo Kota Banda Aceh Lebih

Bayar SebesarRp37,49 juta;

14. Barang Milik Daerah Pemerintah Aceh yang Dipinjam Pakai oleh Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Sebesar Rp1,86 miliar Tidak Sesuai

Ketentuan;

Belum diperolehnya opini WTP dari BPK menunjukkan bahwa pelaporan

keuangan Pemerintah daerah masih belum sepenuhnya dapat diyakini

kewajarannya oleh BPK yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

a. Adanya kelemahan sistem pengendalian intern;

b. Belum tertatanya barang milik negara/daerah dengan tertib;

c. Tidak sesuainya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan ketentuan

yang berlaku;

d. Penyajian laporan keuangan yang belum sesuai dengan Standar Akuntansi

Pemerintahan (SAP);

e. Kelemahan dalam sistem penyusunan laporan keuangan;

f. Kurang memadainya kompetensi SDM pengelola keuangan pada pemerintah

daerah.

Upaya yang telah dilakukan oleh BPKP dalam rangka peningkatan kualitas

akuntabilitas pelaporan keuangan adalah melakukan asistensi atau pendampingan

penyusunan laporan keuangan dan menempatkan 21 orang pegawai BPKP yang

dipekerjakan pada 9 instansi pemerintah daerah di Sumatera Selatan.\

Dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan pemda telah

disarankan kepada masing-masing kepala daerah mengingatmasih terdapat 50%

LKPD yang memperoleh opini WDP, perlu dilakukan langkah-langkah

identifikasi penyebab, menempatkan personal yang kompeten, dan menyusun

action plan untuk langkah perbaikan kualitas laporan keuangan.

DAFTAR PUSTAKA

www.bpk.go.id

http://dka.acehprov.go.id/laporan-keuangan-pemerintah-daerah-dan-opini-bpk/