opini tentang hutan
TRANSCRIPT
KEBAKARAN HUTAN DAN
KESADARAN MASYARAKAT
OLEH YAKOBUS SILA
Dalam beberapa tahun terakhir kawasan hutan di
Indonesia mengalami nasib tidak beruntung. Ketidak-
beruntungan yang sering berpihak pada ratusan hektar
hutan di negeri ini, sekurang-kurangnya menjadi indikasi
kegagalan kita melindungi hutan dari bahaya kebakaran.
Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera dan kepekatan
kabut asapnya yang terjadi hampir setiap tahun menjadi
bukti paling jelas ketidaksanggupan dan ketidakseriusan
pemerintah RI menyikapi masalah ini. Namun apakah masalah
kebakaran hutan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah?
Pertanyaan ini mestinya menjadi titik balik kesadaran
kita untuk melihat lebih jauh masalah kebakaran hutan
yang sudah menjadi “menu tahunan”ini.
Lemahnya Kesadaran Masyarakat
Peristiwa tahunan yang sering menimpah wilayah
Kalimantan dan sekitarnya, kini gemanya terasa di
sejumlah tempat di NTT. Di kabupaten Timor Tengah
Selatan, hutan di kawasan gunung Mutis, sejak Kamis
(9/11) dilahap si jago merah (PK 15/11). Sementara di
Manggarai, kawasan hutan lindung Nte’er juga mengalami
“peristiwa naas” yang sama; dibakar oleh tangan-tangan
jahil yang tidak bertanggung jawab. Kedua wilayah ini
mewakili tempat-tempat lain yang peristiwa kebakarannya
belum menyentuh perhatian media.
Kebakaran hutan yang terjadi di kedua tempat
tersebut adalah akibat budaya tebas bakar dalam membuka
kebun baru. Demikian pernyataan Paskais Nai, Dewan
Pengawas Nusa Tenggara community development (PK 17/11).
Pernyataan ini setidaknya mempertegas pengakuan seorang
warga TTS dalam pemberitaan Metro TV beberapa waktu yang
lalu. Dalam wawancara dengan Metro TV di sekitar kawasan
hutan yang terbakar, warga TTS itu mengaku dengan polos
bahwa membakar hutan sudah menjadi kebiasaan yang
diwariskan turun-temurun. Alasannya sederhana saja,
dengan membakar hutan, tanah yang akan dijadikan lahan pertanian itu
akan menjadi lebih subur. Kalau tidak dibakar tanah tidak subur. Kita
tidaka dapat dengan serta merta menyalahkan pengakuan
warga yang luguh ini. Namun Pengakuan ini dapat menjadi
gambaran untuk sebuah realitas yang lebih jauh bahwa
masyarakat kita memang belum memiliki kesadaran dan tidak
tahu bagaimana harus mencintai alam lingkungan (hutan).
Mereka(masyarakat sederhana) memiliki pemikiran yang
sempit dan hanya memilih jalan menebas dan membakar untuk
mempermudah pembukaan lahan baru tanpa memikirkan akibat
yang terjadi. Mereka bukannya berpura-pura tidak tahu,
tetapi memang benar-benar tidak sadar dan tidak tahu akan
perbuatan mereka. Hal nampak jelas dalam “keluguhan”
mereka menebas dan membakar hutan setiap kali akan
membuka lahan baru. Dan kesadaran serta keterbukaan
wawasan mereka untuk mencintai dan melindungi hutan
menjadi mungkin ketika mereka diberitahu oleh “mereka-
mereka” yang lebih tahu.
Kurangnya Sosialisasi
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan dan badan
Konservasi Sumber Daya Alam adalah pihak yang paling
berperan dalam usaha pelestarian hutan. Mereka mestinya
lebih proaktif dalam memberikan sosialisasi kepada
masyarakat tentang apa artinya melindungi dan mencintai
hutan, dan apa akibatnya kalau hutan ditebas dan dibakar?
Melindungi dan mencintai hutan tidak hanya tampak ketika
hutan itu sudah terbakar, dan orang berbondong-bondong
memadamkan amukkan si jago merah. Yang terpenting dan
mendahului semuanya itu adalah sebuah langkah
antisipatif. Tindakan ini penting mengingat lemahnya
kesadaran masyarakat kita. Masyarakat seharusnya
disadarkan terlebih dahulu dan dibekali dengan sejumlah
pengetahuan dari pemerintah (Dinas Kehutanan) bahwa aksi
membakar hutan sebenarnya “tindakan konyol” yang justru
mendatangkan kerugian lebih besar untuk diri mereka
sendiri. Masyarakat perlu tahu bahwa dengan membakar
hutan, mereka sesungguhnya telah “memusnahkan” hak hidup
bagi anak dan cucu mereka pada generasi berikut.
Generasi-generasi yang masih harus menghuni bumi ini
beberapa ribu tahu lagi akan menghuni bumi yang tandus
oleh ulah para pendahulunya. Yang terjadi selama ini,
pemerintah nampaknya kurang melakukan tindakan penyadaran
seperti, sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat.
Hal itu terbukti dengan terulangnya peristiwa kebakaran
hutan yang terjadi setiap tahun. Pemerintah kelihatannya
hanya berusaha memadamkan api pada setiap kali ada
kebakaran tanpa mesti berpikir langkah antisipatif.
Mungkin kebakaran itu hanya terjadi pada musim kemarau
dan ketika musim hujan datang, api dengan sendirinya
dipadamkan oleh hujan, sehingga pemerintah tidak perlu
“pusing” dengan masalah ini. Pikiran seperti ini sangat
konyol mengingat semakin parah dan rusaknya alam kita ini
setiap tahun. Hutan yang menjadi pasokan sumber air bisa
“murka” kalau setiap tahun ada saja aksi brutal manusia
yang berusaha mengeringkan sumbernya. Kesadaran manusia
mesti dibuka, agar dapat melihat lebih jauh akibat yang
diterima, dari pada hanya sekedar untuk membuka kebun
baru, hutan ditebas dan dibakar sesukanya. Dulu ada
kegiatan penghijauan yang disebut reboisasi. Namun
sekarang term reboisasi seakan kehilangan kekuatan dan
gemanya sudah tak terasa lagi. Yang dilakukan justru aksi
penggundulan hutan oleh masyarakat. Memang ada waktu kita
menanam dan ada waktu kita memetik hasil. Tetapi bila
kita memetik hasil (baca:menebang) hutan tanpa menanamnya
kembali, hal itu sama dengan “bohong”. Bukan hasil yang
kita petik tetapi petaka. Perbuatan kita hanya akan
mendatangkan petaka bagi kita dan orang-orang lain.
Perlu Bertindak Tegas
Perlu disadari pula bahwa masyarakat kita tidak
hanya dapat disadarkan dengan pemberian sosialisasi. Ada
masyarakat yang tidak peduli terhadap tindakan penyadaran
oleh pemerintah. Dengan alasan mereka yang sepihak,
mereka berusaha membuka lahan baru dengan menebang dan
membakar hutan. Aksi seperti ini perlu ditindak secara
tegas oleh pemerintah agar, kebakaran hutan tidak
terulang setiap tahun. Mereka perlu disadarkan dengan
tindakan tegas untuk menimbulkan “efek jera” bagi setiap
pelaku pembakaran. Dengan tindakan tegas seperti itu
masyarakat mungkin menjadi lebih sadar bahwa aksi
menebang dan membakar hutan dilarang oleh hukum di negeri
ini. Masyarakat tahu bahwa ada hukum yang mengatur alam
lingkungan yang sedang didiaminya. Sebab ada pelaku
dengan kepentingannya dapat saja mengabaikan segala
bentuk upaya penyadaran yang sudah dilaksanakan
pemerintah dan beraksi sesuai dengan kehendaknya sendiri
yang sempit dan ego. Terhadap para pelaku yang angkuh,
pemerintah mesti bertindak tegas dengan memproses para
pelaku sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun
harus menjadi pengalaman yang terus menjadi guru terbaik.
Pengalaman kebakaran hutan terus menjadi master of life
karena peristiwa ini terjadi setiap tahun. Kita perlu
belajar terus-menerus dari pengalaman yang sama, karena
kita mungkin tidak mampu belajar atau lupa dengan
pengalaman yang sudah terjadi. Kita adalah orang-orang
yang melupakan sebuah kejadian, bila kejadian itu sudah
pernah kita selesaikan. Padahal uasaha penyesaian kita
tidak pernah tuntas. Hutan sudah pernah terbakar dan kita
sudah melupakannya, karena kebakaran hutan toh bisa
diatasi dengan datangnya musim hujan. Di sana kita
sebenarnya telah “menyerah” dan menyerahkan tanggung
jawab kita kepada alam. Dengan usaha tradisional, kita
sebenarnya tidak sanggup memadamkan api dan hanya mampu
menyerahkan itu kepada alam.
Pemerintah sebagai pihak yang paling berperan
terhadap usaha pemeliharaan dan perlindungan hutan, mesti
berusaha mengusut tuntas para pelaku yang bernaluri
menghancurkan hutan. Para pelaku yang arogan mesti
diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Namun
proses hukum itu menjadi mungkin, kalau pemerintah,
sebagai pihak yang hendak bertindak tegas tidak menjadi
bagian dari problem itu. Kita mesti menjadi bagian dari
solusi untuk problem itu, bukan menjadi bagian dari
problem itu. Itu berarti pemerintah harus benar-benar
pihak yang bersebengan dengan para pelaku, sehingga kasus
dapat diselesaikan secara tuntas dan kebakaran hutan
dapat diminimalisir setiap tahun. Semoga “menu tahunan”
ini mendapat perhatian istimewa dari bapak-bapak dinas
kehutanan, agar ke depan penderitaan yang diderita alam
kita dapat diatasi. Kiranya masyarakat kita semakin sadar
bahwa membakar hutan merupakan tindakan “pelenyapan dan
pemusnaan” akan benih-benih kehidupan di bumi ini.
Penulis, mahasiswa STFK Ledalero,
Tinggal di Wisma Rafael-Nita
MENGAPA LPBAJ?
LPBAJ adalah singkatan dari Lembaga PembentukanBerlanjut Arnoldus Yanssen. Mengapa disebut pembentukanberlanjut? Disebut demikian, karena lembaga ini merupakanformasi lanjutan (Ongoing Formation) dari formasi dasar.Seorang anggota SVD, lazimnya menjalankan formasi dasarsejak Novisiat (tahun rohani) hingga tahbisan imam atauberkaul kekal (bagi para Bruder). Dikatakan formasidasar, karena melaluinya seorang calon SVD mulai prelahanmengenal visi dan misi Serikat ini. SVD adalah SerikatSabda Allah yang berkiprah dalam berbagai bidang
kehidupan, mulai dari tugas pastoral, bermisi lintasbatas (lintas budaya dan agama), bergumul dalam duniapendidikan, dan menjalankan Misi Kemanusiaan (JPIC).Selain itu, Serikat ini adalah satu dari sekian banyakserikat religius yang mengutamakan kehidupanberkomunitas. Hal tampak jelas di tempat mereka bertugas.Mereka selalu berusaha membentuk komunitas dengan anggotaminimal dua orang. Dengan itu, nuansa komunitas tidakdiabaikan. Setelah berkenalan dengan SVD, dengan visi danmisinya, dan setelah memasuki tahap akhir masa formasidasar, seorang calon SVD yang layak, ditahbiskan menjadiImam atau berkaul kekal (untuk Bruder).
Masa formasi dasar berakhir, ketika seorang calonSVD sejati sudah ditahbiskan atau berkaul kekal.Selanjutnya, mereka (Imam dan Bruder) menjadi anggotatetap Serikat ini. Namun, keanggotaannya yang tetap itu,tidak membebaskan ia dari masa formasi. Ada formasilanjutan yang berlangsung seumur hidup (bagi yang tetapberkanjang). Dalam SVD, masa ini disebut LPBAJ.
LPBAJ adalah sebuah lembaga yang bertugas “mengurus”setiap anggota serikat yang menemukan situasi krisis.Krisis dapat menimbulkan kegoncangan dan ketidatenangan.Ketidaktenangan ini mendorong orang untuk mencari hiburandan ketenangan, seperti mendekatkan diri pada Sosok yangMemanggil, atau bisa juga orang mencari ketenanganduniawi. Dengan mencari yang duniawi itu, orang laluterperangkap dalam “praktek-praktek” yang bertentangandengan kaul-kaul yang dinazarkan. Kejatuhan yangbertentangan dengan Trikaul itulah yang menjadi tugaspokok Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen(LPBAJ).
Sejak berdirinya sampai dengan tahun 1999, LPBAJmemiliki struktur kepemimpinan sebagai berikut: Ketua, P.George Kirchberger, SVD, Sekretaris, P. Paul Tera, SVDdan anggota P. Alfons Hayon, SVD. Selanjutnya, sejak juli1999, staf kepengurusan LPBAJ mengalami sedikitperubahan; Ketua, P. Andreas Mua, SVD, wakil, P. GeorgeKichberger, SVD, Sekretaris, P. Paul Tera, SVD, dananggota P. Alfons Hayon, SVD. Dari perubahan kepengurusanini, tampak jelas bahwa LPBAJ sejak berdirinya hanyamempercayakan tugas kepemimpinan kepada keempat Pateryang telah disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadikarena profesionalisme para pastor yang bergelut dalambidang ini terbatas. Keterbatasan tenaga pendampingan ini
dapat mempengaruhi LPBAJ dalam melaksanakan program-programnya.
Selain keterbatasan tenaga, para pendamping LPBAJjuga mengalami problem lain yang menghambat program,antara lain:
1. TempatSebagai lembaga LPBAJ tentu membutuhkan tempat bagipelaksanaan tugas pendampingan itu. Namun, hinggasaat ini LPBAJ belum menemukan tempat yang cocok.Mulanya Ledalero (Unit Nitapleat) dipandang sebagaitempat yang mendukung untuk lembaga ini. Tetapisemenjak Nitapleat dipergunakan sebagai Unit frater,fungsi rumah ini bagi LPBAJ hilang. Tentang hal inipernah dibicarakan dalam Kapitel Provinsi tahun2003. Sidang Kapitel menanggapi kesulitan yangdialami LPBAJ dan sempat menyepakati kembalinyarumah Nitapleat sebagai sentrum LPBAJ denganmengambil citra khas sebagai “Komunitas Doa”. Dalamperjalanan waktu ide sentrum LPBAJ belum bisadisepakati.
Ide dasar dari “Komunitas Doa” sebagai sentrumLPBAJ adalah fungsi simbolik dari “Sebuah Rumah”.Sebagai komunitas doa, ia menjadi tempat tinggaldari sejumlah sama saudara dengan iklim hidup yangrutin sesuai dengan spiritualitas dan karisma SVDsebagai basis penemuan keutuhan diri secara terusmenerus, malah sebagai kesempatan pemulihan kembalikeutuhan diri yang terganggu oleh masalah krisispanggilan. Namun, karena ide itu belum terwujudLPBAJ terus berada dalam suasana “manunggu sebuahrumah” sebagai suatu basis. Sampai dengan KapitelProvinsi tahun 2006 ide itu belum menemukankesepakatan. Walaupun demikian, ide tersebut telahmenjadi bahan diskusi dan sharing dari Tim LPBAJIndonesia dalam bulan Mei dan November 2006 denganmengalihkan perwujudan ide itu pada komunitas-komunitas pendidikan sebagai Alma Mater ataukomunitas-komunitas lain sejauh mendukung iklimhidup bersama dan karya yang rutin.
2. Masalah fungsi Koordinasi:LPBAJ adalah lembaga yang mengkoordinasi kegiatanseperti PRH, Probanis gabungan, Retret, Pekan-pekanbagi Balita dan Medior. Materi dan proses PRH terasamenolong dan menarik, tetapi biaya yang tinggi dantanggapan kritis terhadap PRH itu sebagai satu
bentuk pendekatan psikologis yang bersifat tipologisdan partial menurun minat dan gairah banyak orang.Dalam hal ini, staf LPBAJ tidak mampu menyatukanminat dari berbagai pihak, khususnya berbagaikongregasi religius untuk menjadikan program inisebagai suatu model pengolahan diri yang handal.Pada tahun 2000 program ini ditawarkan, tetapitanggapan untuk mengikuti kegiatan ini di Matalokohanya diberikan kepada sejumlah orang yang sengajadijaring, di kalangan imam Projo, SVD, kongregasi-kongregasi religius dan sejumlah awam. Sementaraitu, Probanis gabungan yang dibuat tahun 2000dihadiri oleh peserta dari SSpS, PRR, Karmel Bajawadan Bruder SVD. CIJ dan PRR tidak ikut serta dalamkegiatan ini dengan alasan keuangan yang terlalumembebankan.Selain tugas-tugas di atas LPBAJ juga bekerja
sebagai fasilitator pendampingan. Sejak tahun 1998, LPBAJmenangani kegiatan-kegiatan pendampingan untuk BimbinganRohani baik perorangan maupun kelompok dalam Retret,pengolahan diri (perorangan maupun kelompok), pengolahankrisis dan pendampingan tamu religius luar negeri.Kelompok yang lebih mendalami proses-proses disermen danretret adalah para frater pasca-Top sambil memasukiprogram Novisiat kekal, kelompok frater untuk kaul kekaldan untuk tahbisan diakon dan imam. Sambil berjalandengan pengalama-pengalaman yang ada, fungsi pendampingandi formasi dasar untuk Bimbingan Rohani dan disermenterus dibenahi, baik dalam proses maupun dalam isi, agarperlahan-lahan memenuhi bentuk pendampingan yang handal.Formasi berlanjut untuk bimbingan rohani dan disermenmengidentifikasi tiga arah utama kebutuhan yang dirasakandi kalangan kaum religius dan para imam yang sedang aktifyaitu penataan diri secara integral menyangkut hidup doa,komunitas karya dan pertumbuhan kepribadian, pengolahanpengalaman krisis dan pembekalan demi orientasi hidup dankarya.
Selama terdapat masalah-masalah yang menghambatpelaksanaan program LPBAJ, fungsi Tim LPBAJ hanya efektifdari tahun 1999 sampai 2000. Program yang ditawarkansejak tahun 1999, 2000, 2001 kelihatan tidak “ menangkap”kebutuhan. Karena itu sampai dengan tahun 2006, LPBAJpraktis tidak berfungsi, dan fungsi Direktur LPBAJ Cumaefektif dalam dua tahun. Dalam situasi seperti ini, LPBAJsebagai lembaga Ongoing Formation menjadi keprihatinan
bersama dan menjadi bahan diskusi dari kapitel ke kapiteltanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Jadi, dalamperjalanan waktu, fungsi Tim LPBAJ belum efektif, meskiperhatian dan keprihatinan terhadap terhadap formasiberlanjut tetap kuat.
Sebagai lembaga pembentukan berlanjut, LPBAJmemiliki idealisme tertentu terhadap proses pendampingan.Namun melihat realitas di atas, lembaga ini perlumembenahi diri terutama terhadap program-program yangmandek. Pembenahan itu menjadi mungkin kalau adaperhatian serius dari para pemimpin serikat ini (SVD)untuk menghidupkan lembaga ini. Perhatian itu terutamadiberikan pada tempat bagi keberlangsungan prosespendampingan. Tanpa tempat tinggal yang tetap dan amanmustahilah lembaga ini dapat memainkan perannya denganbaik dan efektif. (Jack Sila)
Profil Para Diakon Unit Rafael
DIAKON LUIS SAKERA
Diakon Luis Sakera terlahir sebagai anak pertamadari tiga (3) bersaudara. Ia dilahirkan di Kota Karang,Kupang pada tangggal 13 Mei 1979. Jenjang pendidikan yangdijalani:
TKK Sta. Maria Goretti Kupang (1984 – 1985)SDK Don Bosco II Kupang (1985 – 1991)SMPK Frater Kupang (1991 – 1994)SMAK Giovanni Kupang (1994 – 1997)
Setamat SMA, Diakon Luis menjalani masa Postulat selamasetahun di BBK Ende (1997 – 1998) sebagai pintu masukmenjadi calon SVD. Novisiat Sang Sabda Kuwu menjadipilihannya untuk menjalani masa Kanonik dan Misinisselama dua tahun (1998 – 2000). Setelah berkaul pertamapada Serikat SVD pada tahun 2000, beliau menjalani masaStudinya di STFK Ledalero – Maumere (2000 – 2004).Setelah menyelesaikan studi filsafatnya, Diakon Luismenjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di SeminariSinar Buana – Sumba Barat, selama setahun (2004 – 2005).Studi teologi dijalankan di STFK Ledalero, selama duatahun (2005 – 2007). Tempat benumbing adalah NegeriGinseng, Korea Selatan. Motto yang diambil: “ TuhanSetia”.
Dia dijuluki “ensiklopedi” bola kaki karenapengetahuan yang luas tentang olahraga yang satu ini. Diapernah mengatakan bahwa sejak kecil dia sudah mengenalklub-klub elite Eropa dengan segudang pemain hebat. Kalaumau tahu klub mana yang menjadi jawara setiap turnamen,tanyakan kepadanya. Dia akan memberi jawaban yang lengkapmulai dari kejuaraan tempo doeloe hingga saat ini. Diaadalah Juvenisti yang sangat fanatik sekalipun Juventusterdegradasi ke Seri B. Kini dia berharap klub Italia itusegera nongol di Seri A liga Italia. Tenang ka’e Juventustetap menjadi sang juara sejati walaupun pernah terlibatkasus suap wasit dan pengaturan skor pertandingan.
DIAKON DANIEL MANEK
Diakon Daniel Manek, dilahirkan di Ponu pada tanggal10 September 1978. Dia terlahir sebagai anak pertama darienam(6) bersaudara. Menjalani masa pendidikan pada:
SDN Kotafoun (1985 – 1991)SMPK St. Yosef Kupang (1991 – 1994)SMU Seminari St. Rafael Oepoi Kupang (1994 – 1998)Novisiat Sang Sabda Kuwu Ruteng (1998 – 2000)Studi Filsafat di STFK Ledalero (2000 – 2004) Setelah menyelesaikan S1 Filsafat, beliau memilih
tempat praktek (TOP) di Paroki St. Paulus Leng BentuqBusag – Kaltim. Sebuah tempat dengan tantangan baru,dengan budaya dan bahasa yang baru, juga tantangansungai-sungai besar seperti Kapuas, Mahakam ,dll. MasaTOP dijalaninya setahun (2004 – 2005). Sehabis masapraktek, dia melanjutkan studi Teologi pada STFK Ledaleroselama dua tahun (2005 – 2007). Diakon Dan mendapattempat benumbing di Provinsi SVD Ruteng. Sedangkan mottoyang dipilih: Tuhan “Tolonglah Aku”!
Kalau mau kenal diakon Dan, perhatikan gerak-geriknya saat menonton acar tinju dan film kung fu darinegerinya Bruce Lee. Ia sangat antusias dan terpukaudengan setiap acara tinju dan kung fu. Gerik-geriknyamengundang tawa ria para konfrater. Setelah diselidilebih jauh ternyata dia sudah malang–melintang di duniabela diri. Dia tidak sampai menjadi prof, karena jalanyang dipilihnya saat ini, mengajarkan kepadanya cintayang tak berkesudahan. Kini dia hanya bisa mengagumi parapesilat dan petinju dengan membayangkan cita-citanya yangtak kesampaian. Tidak apa-apa ka’e bisa jadi pelatih ditanah misi!!!!…
DIAKON HILLA KERAF
Bernama lengkap Diakon Hilarius Rafael Ola Keraf.Dilahirkan di Ritaebang 26 Oktober 1976. Menjalani masapendidikan sebagai berikut:
SD Inpres Ritaebang (1983 – 1991)SMPK Ritaebang (1991 – 1994)
Setamat SMP beliau melanjutkan masa pendidikannya diSeminari San Dominggo Hokeng (1994 – 1998). PendidikanSMU dijalaninya selama empat tahun. Setelah menyelesaikanpendidikan pada Seminari menengah, diakon Hilla memilihSerikat Sabda Allah dan menjalani tahun Rohani (Novisiat)di Novisiat Sang sabda Kuwu- Ruteng. Masa Novisiatberlangsung dua tahun (1998 – 2000). Setelah berkaulpertama, beliau menjalani masa studi di STFK Ledalero,selama empat tahun (2000 – 2004). Ia kemudian memilihberpraktek (TOP) di Pulau Timor, Paroki Sta. SesiliaKotafoun – Atambua. Masa praktek dijalaninya selamasetahun (2004 – 2005). Ia melanjutkan studi teologi di
STFK Ledalero, jenjang terakhir menuju Imamat, selama duatahun (2005 – 2007). Tempat benumbing di ProvinsiBotswana. Motto: Engkau Tahu (Yoh 21:15).
Diakon Hilla bakatnya hampir tidak kentara, tapiawas, dia seorang yang bijak dan rendah hati. Dai maubergaul dengan siapa saja. Kehadirannya membawa kesejukandan ketenangan, apalagi ketika orang sedang berada dalamketidakpastian mengambil keputusan. Suara-suaranya saatdiskusi banyak kali membawa solusi yang menggembirakan.Ada konfater yang menyebutnya sang bijak dari “pulauseberang”.
DIAKON CHARLES BERAF
Diakon Charles Beraf, dilahirkan di Lembata, padatanggal 21 Agustus 1976. ia terlahir sebagai anak sulungdari empat bersaudara. Masa pendidikan yang dijalani:
SDK Lamalera (1984 – 1990)SMPK Appis Lamalera (1990 – 1993)SMA Seminari San Dominggo Hokeng (1993 – 1996).
Karena berada pada masa peralihan kurikulum, beliau mesti
menjalani masa postulat SVD di Seminari Hokeng pada tahun1997. Setamat postulat, diakon Charles menjalani TahunRohani di Novisiat Sang Sabda Kuwu Ruteng (1997 – 1999).Setelah berkaul pertama pada Serikat Sabda Allah, iamenjalani masa studi di STFK Ledalero (1999 – 2003). Iakemudian mendapat tempat praktek (TOP) di Unika WidyaMandira Kupang. Selama masa TOP yang berlangsung duatahun (2003 – 2005), ia menjadi pengajar (dosen diUnika), bekerja di Media Centre dan aktif dalam kegiatantulis-menulis. Setelah masa praktek selesai, iamelanjutkan studi Teologi di STFK Ledalero, selama duatahun (205 – 2007). Mendapat tempat benumbing di ProvinsiSVD Ende. Motto yang dipilih: “Terima Kasih”.
Diakon Charles merupakan tipe pemikir sejati, yangselalu melewatkan waktu-waktunya dengan berpikir danmerenung. Setiap ide yang muncul diramu dalam tulisanyang kemudian disimak pembaca sebagai bahan bacaan yangmenarik. Namanya sudah dikenal para pembaca HU PosKupang, karena ide-idenya yang gemilang. Lewat opininya,ia mau berbagi pengetahuan dengan para pembaca dan ide-ide “nakalnya” memberi pencerahan bagi para pemegangtampuk pemerintahan. Kini selain aktif menulis, diakonCharles juga mendampingi para penulis muda yang tergabungdalam Kelompok Menulis di Koran Ledalero yang dibentuknyasatu tahun lalu. Kelompok ini gemanya mulai terasaserentak dengan opini yang dihasilkan oleh para penulisdalam media-media lokal. Bagaimana kiprah ka’ Charlesselanjutnya, kita nantikan setelah tahbisan diakon!!!….
DIAKON KRISTI SADA
Diakon Kristianus Sada, dilahirkan di Pomakoetanggal 6 November 1978. Masa pendidikan dijalaninyasebagai berikut:
SDK Ngedu – Maukeli (1984 – 1991)SMP Seminari St.Yoh. Berhmans Todabelu – Mataloko
(1991 – 1994)SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu – Mataloko
(1994 – 1997)Setelah tamat Seminari menengah, diakon Kristi memilihSerikat Sabda Allah, dan menjalani tahun rohani diNovisiat St. Yosef Nenuk – Atambua. Masa ini dijalaninyaselama dua tahun (1997 – 1999). Setelah berkaul pertama
dalam SVD, beliau melanjutkan studinya di STFK Ledalero.Studi filsafat ini berlangsung selama lima tahun (1999 –2004). Beliau kemudian menjalankan masa praktek (TOP), diSeminari San Dominggo Hokeng (2004 – 2005). Sesudah masapraktek selesai, ia melanjutkan studi teologi pada STFK –Ledalero. Studi teologi berlangsung dua tahun (2005 –2007). Berkaul kekal dalam SVD pada tanggal 15 Agustus2006. Ia mendapat tempat benumbing di Privinsi PhilipinaUtara. Motto: “ Segala Perkara dapat kutanggung di dalamDia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13).
Diakon Kristi lebih dikenal sebagai seorangpenyanyi. Setiap orang yang pernah mendengarnya, pastimerasakan getaran suara emasnya yang memukau. Tak heranpula bila diakon Kristi, Cs pernah menjuara lomba paduansuara di Kupang beberapa waktu lalu.
BENCANA ALAM DALAM KONSEP TEODICE LEIBNIZ(Sebuah Tinjauan Kritis-Rasional)
Oleh Yakobus Sila
NPM: 05.75.4108
A. PERSOALAN
Seringnya bencana yang melanda negeri ini melahirkan
sejumlah pertanyaan. Manusia mulai mempertanyakan
perilakunya terhadap alam dan relasi personalnya dengan
Tuhan. Tentang perilakunya terhadap alam, manusia dapat
menemukan jawaban yang sedikit memadai, karena kerusakkan
ekosistem dapat menimbulkan bencana seperti tanah
longsor, banjir, dll. Namun tentang relasinya dengan
Allah manusia sering sulit menemukan jawaban yang
memadai. Terhadap pertanyaan ini, para filosof sejak
zaman klasik sudah berusaha untuk mencari jawaban yang
rasional. Tetapi jawaban-jawaban rasional itu tetap tidak
memuaskan karena keterbatasan akal budi manusia untuk
menyelami misteri Allah. Misteri Allah hanya dapat
diselami lewat kepasrahan yang penuh kepada-Nya. Sebagai
orang beriman, mempertanyakan relasi dengan Tuhan adalah
hal yang lumrah, karena mereka(orang beriman), memiliki
konsep tentang Allah Yang Mahabaik.
Namun, kini konsep itu diperhadapkan dengan realitas
lain yang bertentangan dengannya. Adanya bencana adalah
hal yang bertentangan dengan kebaikan yang ada dalam diri
Allah. Persoalannya, apakah Allah yang Mahabaik
menghendaki bencana terjadi? Apa sebabnya Allah
mengijinkan adanya penderitaan dalam dunia? Masalah ini
untuk pertama kalinya disebut masalah teodisea (dari
“theos”, Allah, dan “dike”, keadilan) oleh filosof Jerman
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti
pembenaran Allah.1 Yang dimaksud adalah bahwa adanya
penderitaan kelihatan sedemikian bertentangan dengan
eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik,
sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan. Karena itu,
pembenaran memang dituntut. Kalau pun Allah tidak
membutuhkan pembenaran kita, namun orang yang percaya
kepada Allah tidak dapat menghindar dari pertanyaan
tentang bagaimana keadilan dan kebaikan Allah dapat
disesuaikan dengan segala macam malapetaka di alam
ciptaan-Nya.2
B. KONSEP TEODICE LEIBNIZ
Untuk menjawabi pertanyaan tentang adanya
penderitaan, Gottfried W. Leibniz, adalah seorang filosof
yang memberikan jawaban sangat rasional dan memuaskan.
1 ? Frans magnis – suseno. Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 216.2 ? Ibid., p. 217.
Berangkat dari pemikirannya tetang monade3, Leibniz
memberikan penjelasan tetang keberadaan dunia sebagai
yang terbaik dari yang mungkin. Leibniz berpendapat bahwa
sejak awal mula Allah telah memilih untuk menciptakan
dunia yang terbaik dari segala kemungkinan. Hakikat Allah
adalah kebaikan, sebab itu Dia menciptakan yang terbaik
(optimal). Seandainya dunia yang tercipta bukanlah dunia
yang terbaik, berarti masih ada kemungkinan lain yang
lebih baik.4 Konsekuensi dari pengandaian ini adalah:
atau Allah tidak mengenal kemungkinan terbaik itu – namun
ini bertentangan dengan kemahatahuan-Nya; atau Dia tidak
sanggup menciptakan yang terbaik itu – tetapi itu
bertentangan dengan kemahakuasaan-Nya; atau Dia tidak mau
menciptakan yang terbaik itu – ini bertentangan dengan
kemahabaikan-Nya.5 Tetapi, kalau yang dicipta adalah yang
terbaik, mengapa ada sekian banyak penderitaan?
Pertanyaan di atas mendorong manusia untuk mencari
jawaban yang memuaskan. Perlu diketahui bahwa masalah
teodise hanya dapat muncul apabila Tuhan dipahami secara
personal-dialogal dan apabila masing-masing orang secara
personal dianggap mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Penderitaan menjadi masalah justeru karena Yang Ilahi
dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli
pada manusia, yang berbelaskasih, yang suka mengampuni
kesalahan manusia (daripada secara keras selalu
menghukumnya), yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan3 ? Monade adalah satuan terkecil yang otonom, yang ada sebagaisubstansi. Sebagai substansi, setiap monade lengkap dalam dan mencukupi dirinya sendiri. Sebab itu monade disebut sebagai “tanpa jendela”. Dikutip dari Paul Budi Kleden, SVD. MEMBONGKAR DERITA, TEODICE: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Maumere: Ledalero, 2006), p. 100.4 ? Ibid., p. 101.5 ? Ibid.
Allah sebagai kekuatan yang peduli, menyelamatkan dan
menyembuhkan kenyataan penderitaan semakin tidak dapat
dimengerti.6 Manusia tidak dapat memahami mengapa Dia
yang Mahabaik dan suka mengampuni itu mendatangkan
malapetaka dan penderitaan bagi yang dicintainya?
Leibniz dalam bukunya Theodicy, Essays of the Goodness of
God, the Freedom of Man and the origin of evil7 membedakan tiga
macam keburukan, yakni keburukan metafisis, keburukan
fisis dan keburukan moral. Di sini saya lebih
menitikberatkan pada keburukan metafisis untuk
menjelaskan konsep Leibniz tentang bencana. Keburukan
metafisis (seperti bencan alam), merupakan
ketidaksempurnaan belaka, dan ketidaksempurnaan ini
mencakup semua ada yang terbatas. Keberadaan ciptaan
selalu terbatas. Dan terbatas selalu berarti tidak
sempurna. Ketidaksempurnaan adalah akar dari kemungkinan
adanya kekeliruan dan kejahatan. Kita, yang memperoleh
segala keberadaan dari Allah dimanakah kita akan
menemukan sumber keburukan? Jawaban atas pertanyaan ini
dapat dijumpai dalam idea alam ciptaan, yang sangat jauh
sebagaimana alam ini termuat dalam kebenaran-kebenaran
abadi yang ada dalam pemahaman Allah secara bebas akan
kehendak-Nya.8 Karena itu, kita perlu mempertimbangkan
bahwa ada “ketidaksempurnaan alamiah dalam ciptaan”.
Setiap ciptaan terbatas dalam essensinya, manusia harus
mengakui bahwa dia tidak dapat mengetahui semua, dan
6 ? F. magni – suseno. Op. Cit. p. 222.7 ? Theodicy, 21, p. 136 (page reference to the Theodicy are tothe translation by E. M. Huggard, listed in the Appendix);G., 6, 115. Seperti dikutip oleh Frederick Copleston, S.J. A HISTORY OF PHILOSOPHY. VOL.IV DESCARTES TO LEIBNIZ (London: BURNS & OATES LTD, 1965),p. 326.8 ?Ibid.
bahwa dia tidak dapat menipu dirinya sendiri serta komit
terhadap kekeliruan-kekeliruan yang lain.9 Sumber
terakhir dari keburukan demikian metafisis, dan
pertanyaan muncul, bagaimana Allah tidak dapat merespons
keburukan, dalam kenyataan bahwa Dia menciptakan dunia,
hingga memberi eksistensi yang terbatas dan tidak
sempurna pada ciptaan. Menurut Leibniz, adalah lebih baik
ada dari pada tidak ada sama sekali. Sejauh itu,
sebagaimana kita berhak untuk membedakan momen-momen
perbedaan dalam kehendak Ilahi, kita dapat mengatakan
bahwa Tuhan selalu menghendaki kebaikan bagi ciptaan-Nya.
Ketidaksempurnaan dalam ciptaan tidak bergantung pada
pilihan Ilahi, tetapi pada ideal essensi ciptaan. Allah
tidak dapat memilih untuk menciptakan tanpa pilihan untuk
menciptakan adanya ciptaan yang tidak sempurna. Dia tetap
memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik yang
mungkin. Dalam menciptakan, Allah selalu menghendaki
kebaikan tetapi konsekuensinya bahwa sekali memberikan
keputusan Ilahi untuk menciptakan, itu akan menjadi yang
terbaik dari yang mungkin. Itu berarti dalam menciptakan
Allah menghendaki yang terbaik bagi ciptaan, namun tak
dapat disangkal bahwa ada keterbatasan dalam ciptaan
sesuai essensinya. Allah tidak dapat menghendaki “yang
terbaik” tanpa menginginkan eksistensi barang-barang yang
tidak sempurna. Yang terbaik dari segala ciptaan yang
mungkin harus ada yang tidak sempurna.10
C. Catatan Kritis
9 ?Theodicy, 20, pp. 135-6; G., 6, 115. Seperti dikutip oleh Copleston. Ibid., p. 327. 10 ? F. COPLESTON. Ibid., p. 327.
Konsep Teodise Leibniz, seakan menghadirkan hiburan
baru bagi manusia untuk menerima penderitaan sebagai hal
yang harus ada karena ketidaksempurnaan ciptaan. Itu
berarti konsekuensi dari keberadaan manusia di dunia
adalah bahwa dia harus menderita karena ketidaksempurnaan
dunia itu. Namun konsep seperti ini dapat juga melemahkan
usaha manusia untuk meminimalisir adanya bencana. Manusia
menerima bencana sebagai kejadian yang harus ada.
Bencana tidak selalu menjadi konsekuensi keberadaan
manusia di dunia yang tidak sempurna ini, tetapi bencana
dapat terjadi oleh tingkah laku manusia. Bencana alam
seperti banjir dan tanah longsor dan keadaan musim yang
tidak menentu adalah akibat dari relasi ketidakharmonisan
manusia dengan alam ini. Penebangan hutan secara liar,
membakar hutan untuk membuka kebun baru adalah bukti
tindakan manusia yang serakah terhadap alam. Karena itu,
penderitaan seperti bencana alam yang terjadi tidak harus
dilihat sebagai “murka’ Allah tetapi merupakan reaksi
alam dalam dirinya sendiri, karena alam mengalami
ketidakharmonisan. Alam menjadi Chaos bukan kosmos
(teratur). Dengan demikian, selalu ada usaha manusia
untuk meminimalisir penderitaan (bencana) yang sering
terjadi akhir-akhir ini.
Dalam gerakan ekofeminisme, alam dilihat sebagai ibu
yang mengandung dan melahirkan segala kehidupan yang ada.
Karena itu, terhadap ibu yang melahirkan itu, manusia
mesti memberi penghormatan lebih. Alam harus dilihat,
lebih dari sekedar kumpulan benda-benda yang memberi
hidup kepada manusia dan ciptaan lain. Alam mesti menjadi
partner dalam relasi subjek-subjek, di mana yang satu
tidak dapat menguras dan menghabiskan yang lain. Yang
satu mesti memandang yang lain sebagai subjek yang patut
dihargai dan dipelihara. Penghargaan dan pemeliharaan
terhadap alam merupakan bukti penghargaan manusia akan
kehidupanya dan kehidupan orang lain. Manusia dengan itu
turut bertanggungjawab atas alam agar bencana yang sering
menambah penderitaan hidupnya dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Kleden, P. MEMBONGKAR DERITA: TEODICE: Sebuah
Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Maumere: Ledalero, 2006.
Copleston, F. A HISTORY OF PHILOSOPHY. VOL.IV DESCARTES TO
LEIBNIZ London: BURNS & OATES LTD, 1965.
Suseno, F. M. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang mengalami
ambiguitas moral. Di satu pihak manusia mengalami
banyak momen yang menyenangkan, membahagiakan dan
menggembirakan, namun di pihak lain ia mengalami
ketidakbahagiaan, ketidaksenangan dan penderitaan.
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Metode penulisan
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II
GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ:
RIWAYAT HIDUP DAN KARYA
2.1. Riwayat Hidup
2.2. Karya – karya
BAB III
KONSEP TEODICE LEIBNIZ
3.1. Tuhan dan adanya Kejahatan dan Penderitaan
3.1.1. Problem Kejahatan.
3.1.2 Problem penderitaan /Keburukan
3.1.2.1. Keburukan Metafisis
3.1.2.2. Keburukan Fisis
3.1.2.3. Keburukan Moral
3.2. Dunia Terbaik Dari Segala Yang Mungkin
3.2.1. Apakah Allah Memilih Kemungkinan Terbaik?
3.2.3. Penderitaan Dalam Dunia Sebagai Yang Terbaik
Dari Yang Mungkin
BAB IV
RELEVANSI TEODICE LEIBNIZ
BAGI PENDEWASAAN IMAN
4.1. Penderitaan sebagai Cobaan Allah Atas Kualitas
Iman Manusia
4.2. Penderitaan sebagai Pemurnian Hati