opini tentang hutan

26
KEBAKARAN HUTAN DAN KESADARAN MASYARAKAT OLEH YAKOBUS SILA Dalam beberapa tahun terakhir kawasan hutan di Indonesia mengalami nasib tidak beruntung. Ketidak- beruntungan yang sering berpihak pada ratusan hektar hutan di negeri ini, sekurang-kurangnya menjadi indikasi kegagalan kita melindungi hutan dari bahaya kebakaran. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera dan kepekatan kabut asapnya yang terjadi hampir setiap tahun menjadi bukti paling jelas ketidaksanggupan dan ketidakseriusan pemerintah RI menyikapi masalah ini. Namun apakah masalah kebakaran hutan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah? Pertanyaan ini mestinya menjadi titik balik kesadaran kita untuk melihat lebih jauh masalah kebakaran hutan yang sudah menjadi “menu tahunan”ini. Lemahnya Kesadaran Masyarakat Peristiwa tahunan yang sering menimpah wilayah Kalimantan dan sekitarnya, kini gemanya terasa di sejumlah tempat di NTT. Di kabupaten Timor Tengah Selatan, hutan di kawasan gunung Mutis, sejak Kamis (9/11) dilahap si jago merah (PK 15/11). Sementara di Manggarai, kawasan hutan lindung Nte’er juga mengalami “peristiwa naas” yang sama; dibakar oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Kedua wilayah ini mewakili tempat-tempat lain yang peristiwa kebakarannya belum menyentuh perhatian media.

Upload: independent

Post on 18-Jan-2023

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEBAKARAN HUTAN DAN

KESADARAN MASYARAKAT

OLEH YAKOBUS SILA

Dalam beberapa tahun terakhir kawasan hutan di

Indonesia mengalami nasib tidak beruntung. Ketidak-

beruntungan yang sering berpihak pada ratusan hektar

hutan di negeri ini, sekurang-kurangnya menjadi indikasi

kegagalan kita melindungi hutan dari bahaya kebakaran.

Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera dan kepekatan

kabut asapnya yang terjadi hampir setiap tahun menjadi

bukti paling jelas ketidaksanggupan dan ketidakseriusan

pemerintah RI menyikapi masalah ini. Namun apakah masalah

kebakaran hutan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah?

Pertanyaan ini mestinya menjadi titik balik kesadaran

kita untuk melihat lebih jauh masalah kebakaran hutan

yang sudah menjadi “menu tahunan”ini.

Lemahnya Kesadaran Masyarakat

Peristiwa tahunan yang sering menimpah wilayah

Kalimantan dan sekitarnya, kini gemanya terasa di

sejumlah tempat di NTT. Di kabupaten Timor Tengah

Selatan, hutan di kawasan gunung Mutis, sejak Kamis

(9/11) dilahap si jago merah (PK 15/11). Sementara di

Manggarai, kawasan hutan lindung Nte’er juga mengalami

“peristiwa naas” yang sama; dibakar oleh tangan-tangan

jahil yang tidak bertanggung jawab. Kedua wilayah ini

mewakili tempat-tempat lain yang peristiwa kebakarannya

belum menyentuh perhatian media.

Kebakaran hutan yang terjadi di kedua tempat

tersebut adalah akibat budaya tebas bakar dalam membuka

kebun baru. Demikian pernyataan Paskais Nai, Dewan

Pengawas Nusa Tenggara community development (PK 17/11).

Pernyataan ini setidaknya mempertegas pengakuan seorang

warga TTS dalam pemberitaan Metro TV beberapa waktu yang

lalu. Dalam wawancara dengan Metro TV di sekitar kawasan

hutan yang terbakar, warga TTS itu mengaku dengan polos

bahwa membakar hutan sudah menjadi kebiasaan yang

diwariskan turun-temurun. Alasannya sederhana saja,

dengan membakar hutan, tanah yang akan dijadikan lahan pertanian itu

akan menjadi lebih subur. Kalau tidak dibakar tanah tidak subur. Kita

tidaka dapat dengan serta merta menyalahkan pengakuan

warga yang luguh ini. Namun Pengakuan ini dapat menjadi

gambaran untuk sebuah realitas yang lebih jauh bahwa

masyarakat kita memang belum memiliki kesadaran dan tidak

tahu bagaimana harus mencintai alam lingkungan (hutan).

Mereka(masyarakat sederhana) memiliki pemikiran yang

sempit dan hanya memilih jalan menebas dan membakar untuk

mempermudah pembukaan lahan baru tanpa memikirkan akibat

yang terjadi. Mereka bukannya berpura-pura tidak tahu,

tetapi memang benar-benar tidak sadar dan tidak tahu akan

perbuatan mereka. Hal nampak jelas dalam “keluguhan”

mereka menebas dan membakar hutan setiap kali akan

membuka lahan baru. Dan kesadaran serta keterbukaan

wawasan mereka untuk mencintai dan melindungi hutan

menjadi mungkin ketika mereka diberitahu oleh “mereka-

mereka” yang lebih tahu.

Kurangnya Sosialisasi

Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan dan badan

Konservasi Sumber Daya Alam adalah pihak yang paling

berperan dalam usaha pelestarian hutan. Mereka mestinya

lebih proaktif dalam memberikan sosialisasi kepada

masyarakat tentang apa artinya melindungi dan mencintai

hutan, dan apa akibatnya kalau hutan ditebas dan dibakar?

Melindungi dan mencintai hutan tidak hanya tampak ketika

hutan itu sudah terbakar, dan orang berbondong-bondong

memadamkan amukkan si jago merah. Yang terpenting dan

mendahului semuanya itu adalah sebuah langkah

antisipatif. Tindakan ini penting mengingat lemahnya

kesadaran masyarakat kita. Masyarakat seharusnya

disadarkan terlebih dahulu dan dibekali dengan sejumlah

pengetahuan dari pemerintah (Dinas Kehutanan) bahwa aksi

membakar hutan sebenarnya “tindakan konyol” yang justru

mendatangkan kerugian lebih besar untuk diri mereka

sendiri. Masyarakat perlu tahu bahwa dengan membakar

hutan, mereka sesungguhnya telah “memusnahkan” hak hidup

bagi anak dan cucu mereka pada generasi berikut.

Generasi-generasi yang masih harus menghuni bumi ini

beberapa ribu tahu lagi akan menghuni bumi yang tandus

oleh ulah para pendahulunya. Yang terjadi selama ini,

pemerintah nampaknya kurang melakukan tindakan penyadaran

seperti, sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat.

Hal itu terbukti dengan terulangnya peristiwa kebakaran

hutan yang terjadi setiap tahun. Pemerintah kelihatannya

hanya berusaha memadamkan api pada setiap kali ada

kebakaran tanpa mesti berpikir langkah antisipatif.

Mungkin kebakaran itu hanya terjadi pada musim kemarau

dan ketika musim hujan datang, api dengan sendirinya

dipadamkan oleh hujan, sehingga pemerintah tidak perlu

“pusing” dengan masalah ini. Pikiran seperti ini sangat

konyol mengingat semakin parah dan rusaknya alam kita ini

setiap tahun. Hutan yang menjadi pasokan sumber air bisa

“murka” kalau setiap tahun ada saja aksi brutal manusia

yang berusaha mengeringkan sumbernya. Kesadaran manusia

mesti dibuka, agar dapat melihat lebih jauh akibat yang

diterima, dari pada hanya sekedar untuk membuka kebun

baru, hutan ditebas dan dibakar sesukanya. Dulu ada

kegiatan penghijauan yang disebut reboisasi. Namun

sekarang term reboisasi seakan kehilangan kekuatan dan

gemanya sudah tak terasa lagi. Yang dilakukan justru aksi

penggundulan hutan oleh masyarakat. Memang ada waktu kita

menanam dan ada waktu kita memetik hasil. Tetapi bila

kita memetik hasil (baca:menebang) hutan tanpa menanamnya

kembali, hal itu sama dengan “bohong”. Bukan hasil yang

kita petik tetapi petaka. Perbuatan kita hanya akan

mendatangkan petaka bagi kita dan orang-orang lain.

Perlu Bertindak Tegas

Perlu disadari pula bahwa masyarakat kita tidak

hanya dapat disadarkan dengan pemberian sosialisasi. Ada

masyarakat yang tidak peduli terhadap tindakan penyadaran

oleh pemerintah. Dengan alasan mereka yang sepihak,

mereka berusaha membuka lahan baru dengan menebang dan

membakar hutan. Aksi seperti ini perlu ditindak secara

tegas oleh pemerintah agar, kebakaran hutan tidak

terulang setiap tahun. Mereka perlu disadarkan dengan

tindakan tegas untuk menimbulkan “efek jera” bagi setiap

pelaku pembakaran. Dengan tindakan tegas seperti itu

masyarakat mungkin menjadi lebih sadar bahwa aksi

menebang dan membakar hutan dilarang oleh hukum di negeri

ini. Masyarakat tahu bahwa ada hukum yang mengatur alam

lingkungan yang sedang didiaminya. Sebab ada pelaku

dengan kepentingannya dapat saja mengabaikan segala

bentuk upaya penyadaran yang sudah dilaksanakan

pemerintah dan beraksi sesuai dengan kehendaknya sendiri

yang sempit dan ego. Terhadap para pelaku yang angkuh,

pemerintah mesti bertindak tegas dengan memproses para

pelaku sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun

harus menjadi pengalaman yang terus menjadi guru terbaik.

Pengalaman kebakaran hutan terus menjadi master of life

karena peristiwa ini terjadi setiap tahun. Kita perlu

belajar terus-menerus dari pengalaman yang sama, karena

kita mungkin tidak mampu belajar atau lupa dengan

pengalaman yang sudah terjadi. Kita adalah orang-orang

yang melupakan sebuah kejadian, bila kejadian itu sudah

pernah kita selesaikan. Padahal uasaha penyesaian kita

tidak pernah tuntas. Hutan sudah pernah terbakar dan kita

sudah melupakannya, karena kebakaran hutan toh bisa

diatasi dengan datangnya musim hujan. Di sana kita

sebenarnya telah “menyerah” dan menyerahkan tanggung

jawab kita kepada alam. Dengan usaha tradisional, kita

sebenarnya tidak sanggup memadamkan api dan hanya mampu

menyerahkan itu kepada alam.

Pemerintah sebagai pihak yang paling berperan

terhadap usaha pemeliharaan dan perlindungan hutan, mesti

berusaha mengusut tuntas para pelaku yang bernaluri

menghancurkan hutan. Para pelaku yang arogan mesti

diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Namun

proses hukum itu menjadi mungkin, kalau pemerintah,

sebagai pihak yang hendak bertindak tegas tidak menjadi

bagian dari problem itu. Kita mesti menjadi bagian dari

solusi untuk problem itu, bukan menjadi bagian dari

problem itu. Itu berarti pemerintah harus benar-benar

pihak yang bersebengan dengan para pelaku, sehingga kasus

dapat diselesaikan secara tuntas dan kebakaran hutan

dapat diminimalisir setiap tahun. Semoga “menu tahunan”

ini mendapat perhatian istimewa dari bapak-bapak dinas

kehutanan, agar ke depan penderitaan yang diderita alam

kita dapat diatasi. Kiranya masyarakat kita semakin sadar

bahwa membakar hutan merupakan tindakan “pelenyapan dan

pemusnaan” akan benih-benih kehidupan di bumi ini.

Penulis, mahasiswa STFK Ledalero,

Tinggal di Wisma Rafael-Nita

MENGAPA LPBAJ?

LPBAJ adalah singkatan dari Lembaga PembentukanBerlanjut Arnoldus Yanssen. Mengapa disebut pembentukanberlanjut? Disebut demikian, karena lembaga ini merupakanformasi lanjutan (Ongoing Formation) dari formasi dasar.Seorang anggota SVD, lazimnya menjalankan formasi dasarsejak Novisiat (tahun rohani) hingga tahbisan imam atauberkaul kekal (bagi para Bruder). Dikatakan formasidasar, karena melaluinya seorang calon SVD mulai prelahanmengenal visi dan misi Serikat ini. SVD adalah SerikatSabda Allah yang berkiprah dalam berbagai bidang

kehidupan, mulai dari tugas pastoral, bermisi lintasbatas (lintas budaya dan agama), bergumul dalam duniapendidikan, dan menjalankan Misi Kemanusiaan (JPIC).Selain itu, Serikat ini adalah satu dari sekian banyakserikat religius yang mengutamakan kehidupanberkomunitas. Hal tampak jelas di tempat mereka bertugas.Mereka selalu berusaha membentuk komunitas dengan anggotaminimal dua orang. Dengan itu, nuansa komunitas tidakdiabaikan. Setelah berkenalan dengan SVD, dengan visi danmisinya, dan setelah memasuki tahap akhir masa formasidasar, seorang calon SVD yang layak, ditahbiskan menjadiImam atau berkaul kekal (untuk Bruder).

Masa formasi dasar berakhir, ketika seorang calonSVD sejati sudah ditahbiskan atau berkaul kekal.Selanjutnya, mereka (Imam dan Bruder) menjadi anggotatetap Serikat ini. Namun, keanggotaannya yang tetap itu,tidak membebaskan ia dari masa formasi. Ada formasilanjutan yang berlangsung seumur hidup (bagi yang tetapberkanjang). Dalam SVD, masa ini disebut LPBAJ.

LPBAJ adalah sebuah lembaga yang bertugas “mengurus”setiap anggota serikat yang menemukan situasi krisis.Krisis dapat menimbulkan kegoncangan dan ketidatenangan.Ketidaktenangan ini mendorong orang untuk mencari hiburandan ketenangan, seperti mendekatkan diri pada Sosok yangMemanggil, atau bisa juga orang mencari ketenanganduniawi. Dengan mencari yang duniawi itu, orang laluterperangkap dalam “praktek-praktek” yang bertentangandengan kaul-kaul yang dinazarkan. Kejatuhan yangbertentangan dengan Trikaul itulah yang menjadi tugaspokok Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen(LPBAJ).

Sejak berdirinya sampai dengan tahun 1999, LPBAJmemiliki struktur kepemimpinan sebagai berikut: Ketua, P.George Kirchberger, SVD, Sekretaris, P. Paul Tera, SVDdan anggota P. Alfons Hayon, SVD. Selanjutnya, sejak juli1999, staf kepengurusan LPBAJ mengalami sedikitperubahan; Ketua, P. Andreas Mua, SVD, wakil, P. GeorgeKichberger, SVD, Sekretaris, P. Paul Tera, SVD, dananggota P. Alfons Hayon, SVD. Dari perubahan kepengurusanini, tampak jelas bahwa LPBAJ sejak berdirinya hanyamempercayakan tugas kepemimpinan kepada keempat Pateryang telah disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadikarena profesionalisme para pastor yang bergelut dalambidang ini terbatas. Keterbatasan tenaga pendampingan ini

dapat mempengaruhi LPBAJ dalam melaksanakan program-programnya.

Selain keterbatasan tenaga, para pendamping LPBAJjuga mengalami problem lain yang menghambat program,antara lain:

1. TempatSebagai lembaga LPBAJ tentu membutuhkan tempat bagipelaksanaan tugas pendampingan itu. Namun, hinggasaat ini LPBAJ belum menemukan tempat yang cocok.Mulanya Ledalero (Unit Nitapleat) dipandang sebagaitempat yang mendukung untuk lembaga ini. Tetapisemenjak Nitapleat dipergunakan sebagai Unit frater,fungsi rumah ini bagi LPBAJ hilang. Tentang hal inipernah dibicarakan dalam Kapitel Provinsi tahun2003. Sidang Kapitel menanggapi kesulitan yangdialami LPBAJ dan sempat menyepakati kembalinyarumah Nitapleat sebagai sentrum LPBAJ denganmengambil citra khas sebagai “Komunitas Doa”. Dalamperjalanan waktu ide sentrum LPBAJ belum bisadisepakati.

Ide dasar dari “Komunitas Doa” sebagai sentrumLPBAJ adalah fungsi simbolik dari “Sebuah Rumah”.Sebagai komunitas doa, ia menjadi tempat tinggaldari sejumlah sama saudara dengan iklim hidup yangrutin sesuai dengan spiritualitas dan karisma SVDsebagai basis penemuan keutuhan diri secara terusmenerus, malah sebagai kesempatan pemulihan kembalikeutuhan diri yang terganggu oleh masalah krisispanggilan. Namun, karena ide itu belum terwujudLPBAJ terus berada dalam suasana “manunggu sebuahrumah” sebagai suatu basis. Sampai dengan KapitelProvinsi tahun 2006 ide itu belum menemukankesepakatan. Walaupun demikian, ide tersebut telahmenjadi bahan diskusi dan sharing dari Tim LPBAJIndonesia dalam bulan Mei dan November 2006 denganmengalihkan perwujudan ide itu pada komunitas-komunitas pendidikan sebagai Alma Mater ataukomunitas-komunitas lain sejauh mendukung iklimhidup bersama dan karya yang rutin.

2. Masalah fungsi Koordinasi:LPBAJ adalah lembaga yang mengkoordinasi kegiatanseperti PRH, Probanis gabungan, Retret, Pekan-pekanbagi Balita dan Medior. Materi dan proses PRH terasamenolong dan menarik, tetapi biaya yang tinggi dantanggapan kritis terhadap PRH itu sebagai satu

bentuk pendekatan psikologis yang bersifat tipologisdan partial menurun minat dan gairah banyak orang.Dalam hal ini, staf LPBAJ tidak mampu menyatukanminat dari berbagai pihak, khususnya berbagaikongregasi religius untuk menjadikan program inisebagai suatu model pengolahan diri yang handal.Pada tahun 2000 program ini ditawarkan, tetapitanggapan untuk mengikuti kegiatan ini di Matalokohanya diberikan kepada sejumlah orang yang sengajadijaring, di kalangan imam Projo, SVD, kongregasi-kongregasi religius dan sejumlah awam. Sementaraitu, Probanis gabungan yang dibuat tahun 2000dihadiri oleh peserta dari SSpS, PRR, Karmel Bajawadan Bruder SVD. CIJ dan PRR tidak ikut serta dalamkegiatan ini dengan alasan keuangan yang terlalumembebankan.Selain tugas-tugas di atas LPBAJ juga bekerja

sebagai fasilitator pendampingan. Sejak tahun 1998, LPBAJmenangani kegiatan-kegiatan pendampingan untuk BimbinganRohani baik perorangan maupun kelompok dalam Retret,pengolahan diri (perorangan maupun kelompok), pengolahankrisis dan pendampingan tamu religius luar negeri.Kelompok yang lebih mendalami proses-proses disermen danretret adalah para frater pasca-Top sambil memasukiprogram Novisiat kekal, kelompok frater untuk kaul kekaldan untuk tahbisan diakon dan imam. Sambil berjalandengan pengalama-pengalaman yang ada, fungsi pendampingandi formasi dasar untuk Bimbingan Rohani dan disermenterus dibenahi, baik dalam proses maupun dalam isi, agarperlahan-lahan memenuhi bentuk pendampingan yang handal.Formasi berlanjut untuk bimbingan rohani dan disermenmengidentifikasi tiga arah utama kebutuhan yang dirasakandi kalangan kaum religius dan para imam yang sedang aktifyaitu penataan diri secara integral menyangkut hidup doa,komunitas karya dan pertumbuhan kepribadian, pengolahanpengalaman krisis dan pembekalan demi orientasi hidup dankarya.

Selama terdapat masalah-masalah yang menghambatpelaksanaan program LPBAJ, fungsi Tim LPBAJ hanya efektifdari tahun 1999 sampai 2000. Program yang ditawarkansejak tahun 1999, 2000, 2001 kelihatan tidak “ menangkap”kebutuhan. Karena itu sampai dengan tahun 2006, LPBAJpraktis tidak berfungsi, dan fungsi Direktur LPBAJ Cumaefektif dalam dua tahun. Dalam situasi seperti ini, LPBAJsebagai lembaga Ongoing Formation menjadi keprihatinan

bersama dan menjadi bahan diskusi dari kapitel ke kapiteltanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Jadi, dalamperjalanan waktu, fungsi Tim LPBAJ belum efektif, meskiperhatian dan keprihatinan terhadap terhadap formasiberlanjut tetap kuat.

Sebagai lembaga pembentukan berlanjut, LPBAJmemiliki idealisme tertentu terhadap proses pendampingan.Namun melihat realitas di atas, lembaga ini perlumembenahi diri terutama terhadap program-program yangmandek. Pembenahan itu menjadi mungkin kalau adaperhatian serius dari para pemimpin serikat ini (SVD)untuk menghidupkan lembaga ini. Perhatian itu terutamadiberikan pada tempat bagi keberlangsungan prosespendampingan. Tanpa tempat tinggal yang tetap dan amanmustahilah lembaga ini dapat memainkan perannya denganbaik dan efektif. (Jack Sila)

Profil Para Diakon Unit Rafael

DIAKON LUIS SAKERA

Diakon Luis Sakera terlahir sebagai anak pertamadari tiga (3) bersaudara. Ia dilahirkan di Kota Karang,Kupang pada tangggal 13 Mei 1979. Jenjang pendidikan yangdijalani:

TKK Sta. Maria Goretti Kupang (1984 – 1985)SDK Don Bosco II Kupang (1985 – 1991)SMPK Frater Kupang (1991 – 1994)SMAK Giovanni Kupang (1994 – 1997)

Setamat SMA, Diakon Luis menjalani masa Postulat selamasetahun di BBK Ende (1997 – 1998) sebagai pintu masukmenjadi calon SVD. Novisiat Sang Sabda Kuwu menjadipilihannya untuk menjalani masa Kanonik dan Misinisselama dua tahun (1998 – 2000). Setelah berkaul pertamapada Serikat SVD pada tahun 2000, beliau menjalani masaStudinya di STFK Ledalero – Maumere (2000 – 2004).Setelah menyelesaikan studi filsafatnya, Diakon Luismenjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di SeminariSinar Buana – Sumba Barat, selama setahun (2004 – 2005).Studi teologi dijalankan di STFK Ledalero, selama duatahun (2005 – 2007). Tempat benumbing adalah NegeriGinseng, Korea Selatan. Motto yang diambil: “ TuhanSetia”.

Dia dijuluki “ensiklopedi” bola kaki karenapengetahuan yang luas tentang olahraga yang satu ini. Diapernah mengatakan bahwa sejak kecil dia sudah mengenalklub-klub elite Eropa dengan segudang pemain hebat. Kalaumau tahu klub mana yang menjadi jawara setiap turnamen,tanyakan kepadanya. Dia akan memberi jawaban yang lengkapmulai dari kejuaraan tempo doeloe hingga saat ini. Diaadalah Juvenisti yang sangat fanatik sekalipun Juventusterdegradasi ke Seri B. Kini dia berharap klub Italia itusegera nongol di Seri A liga Italia. Tenang ka’e Juventustetap menjadi sang juara sejati walaupun pernah terlibatkasus suap wasit dan pengaturan skor pertandingan.

DIAKON DANIEL MANEK

Diakon Daniel Manek, dilahirkan di Ponu pada tanggal10 September 1978. Dia terlahir sebagai anak pertama darienam(6) bersaudara. Menjalani masa pendidikan pada:

SDN Kotafoun (1985 – 1991)SMPK St. Yosef Kupang (1991 – 1994)SMU Seminari St. Rafael Oepoi Kupang (1994 – 1998)Novisiat Sang Sabda Kuwu Ruteng (1998 – 2000)Studi Filsafat di STFK Ledalero (2000 – 2004) Setelah menyelesaikan S1 Filsafat, beliau memilih

tempat praktek (TOP) di Paroki St. Paulus Leng BentuqBusag – Kaltim. Sebuah tempat dengan tantangan baru,dengan budaya dan bahasa yang baru, juga tantangansungai-sungai besar seperti Kapuas, Mahakam ,dll. MasaTOP dijalaninya setahun (2004 – 2005). Sehabis masapraktek, dia melanjutkan studi Teologi pada STFK Ledaleroselama dua tahun (2005 – 2007). Diakon Dan mendapattempat benumbing di Provinsi SVD Ruteng. Sedangkan mottoyang dipilih: Tuhan “Tolonglah Aku”!

Kalau mau kenal diakon Dan, perhatikan gerak-geriknya saat menonton acar tinju dan film kung fu darinegerinya Bruce Lee. Ia sangat antusias dan terpukaudengan setiap acara tinju dan kung fu. Gerik-geriknyamengundang tawa ria para konfrater. Setelah diselidilebih jauh ternyata dia sudah malang–melintang di duniabela diri. Dia tidak sampai menjadi prof, karena jalanyang dipilihnya saat ini, mengajarkan kepadanya cintayang tak berkesudahan. Kini dia hanya bisa mengagumi parapesilat dan petinju dengan membayangkan cita-citanya yangtak kesampaian. Tidak apa-apa ka’e bisa jadi pelatih ditanah misi!!!!…

DIAKON HILLA KERAF

Bernama lengkap Diakon Hilarius Rafael Ola Keraf.Dilahirkan di Ritaebang 26 Oktober 1976. Menjalani masapendidikan sebagai berikut:

SD Inpres Ritaebang (1983 – 1991)SMPK Ritaebang (1991 – 1994)

Setamat SMP beliau melanjutkan masa pendidikannya diSeminari San Dominggo Hokeng (1994 – 1998). PendidikanSMU dijalaninya selama empat tahun. Setelah menyelesaikanpendidikan pada Seminari menengah, diakon Hilla memilihSerikat Sabda Allah dan menjalani tahun Rohani (Novisiat)di Novisiat Sang sabda Kuwu- Ruteng. Masa Novisiatberlangsung dua tahun (1998 – 2000). Setelah berkaulpertama, beliau menjalani masa studi di STFK Ledalero,selama empat tahun (2000 – 2004). Ia kemudian memilihberpraktek (TOP) di Pulau Timor, Paroki Sta. SesiliaKotafoun – Atambua. Masa praktek dijalaninya selamasetahun (2004 – 2005). Ia melanjutkan studi teologi di

STFK Ledalero, jenjang terakhir menuju Imamat, selama duatahun (2005 – 2007). Tempat benumbing di ProvinsiBotswana. Motto: Engkau Tahu (Yoh 21:15).

Diakon Hilla bakatnya hampir tidak kentara, tapiawas, dia seorang yang bijak dan rendah hati. Dai maubergaul dengan siapa saja. Kehadirannya membawa kesejukandan ketenangan, apalagi ketika orang sedang berada dalamketidakpastian mengambil keputusan. Suara-suaranya saatdiskusi banyak kali membawa solusi yang menggembirakan.Ada konfater yang menyebutnya sang bijak dari “pulauseberang”.

DIAKON CHARLES BERAF

Diakon Charles Beraf, dilahirkan di Lembata, padatanggal 21 Agustus 1976. ia terlahir sebagai anak sulungdari empat bersaudara. Masa pendidikan yang dijalani:

SDK Lamalera (1984 – 1990)SMPK Appis Lamalera (1990 – 1993)SMA Seminari San Dominggo Hokeng (1993 – 1996).

Karena berada pada masa peralihan kurikulum, beliau mesti

menjalani masa postulat SVD di Seminari Hokeng pada tahun1997. Setamat postulat, diakon Charles menjalani TahunRohani di Novisiat Sang Sabda Kuwu Ruteng (1997 – 1999).Setelah berkaul pertama pada Serikat Sabda Allah, iamenjalani masa studi di STFK Ledalero (1999 – 2003). Iakemudian mendapat tempat praktek (TOP) di Unika WidyaMandira Kupang. Selama masa TOP yang berlangsung duatahun (2003 – 2005), ia menjadi pengajar (dosen diUnika), bekerja di Media Centre dan aktif dalam kegiatantulis-menulis. Setelah masa praktek selesai, iamelanjutkan studi Teologi di STFK Ledalero, selama duatahun (205 – 2007). Mendapat tempat benumbing di ProvinsiSVD Ende. Motto yang dipilih: “Terima Kasih”.

Diakon Charles merupakan tipe pemikir sejati, yangselalu melewatkan waktu-waktunya dengan berpikir danmerenung. Setiap ide yang muncul diramu dalam tulisanyang kemudian disimak pembaca sebagai bahan bacaan yangmenarik. Namanya sudah dikenal para pembaca HU PosKupang, karena ide-idenya yang gemilang. Lewat opininya,ia mau berbagi pengetahuan dengan para pembaca dan ide-ide “nakalnya” memberi pencerahan bagi para pemegangtampuk pemerintahan. Kini selain aktif menulis, diakonCharles juga mendampingi para penulis muda yang tergabungdalam Kelompok Menulis di Koran Ledalero yang dibentuknyasatu tahun lalu. Kelompok ini gemanya mulai terasaserentak dengan opini yang dihasilkan oleh para penulisdalam media-media lokal. Bagaimana kiprah ka’ Charlesselanjutnya, kita nantikan setelah tahbisan diakon!!!….

DIAKON KRISTI SADA

Diakon Kristianus Sada, dilahirkan di Pomakoetanggal 6 November 1978. Masa pendidikan dijalaninyasebagai berikut:

SDK Ngedu – Maukeli (1984 – 1991)SMP Seminari St.Yoh. Berhmans Todabelu – Mataloko

(1991 – 1994)SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu – Mataloko

(1994 – 1997)Setelah tamat Seminari menengah, diakon Kristi memilihSerikat Sabda Allah, dan menjalani tahun rohani diNovisiat St. Yosef Nenuk – Atambua. Masa ini dijalaninyaselama dua tahun (1997 – 1999). Setelah berkaul pertama

dalam SVD, beliau melanjutkan studinya di STFK Ledalero.Studi filsafat ini berlangsung selama lima tahun (1999 –2004). Beliau kemudian menjalankan masa praktek (TOP), diSeminari San Dominggo Hokeng (2004 – 2005). Sesudah masapraktek selesai, ia melanjutkan studi teologi pada STFK –Ledalero. Studi teologi berlangsung dua tahun (2005 –2007). Berkaul kekal dalam SVD pada tanggal 15 Agustus2006. Ia mendapat tempat benumbing di Privinsi PhilipinaUtara. Motto: “ Segala Perkara dapat kutanggung di dalamDia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13).

Diakon Kristi lebih dikenal sebagai seorangpenyanyi. Setiap orang yang pernah mendengarnya, pastimerasakan getaran suara emasnya yang memukau. Tak heranpula bila diakon Kristi, Cs pernah menjuara lomba paduansuara di Kupang beberapa waktu lalu.

BENCANA ALAM DALAM KONSEP TEODICE LEIBNIZ(Sebuah Tinjauan Kritis-Rasional)

Oleh Yakobus Sila

NPM: 05.75.4108

A. PERSOALAN

Seringnya bencana yang melanda negeri ini melahirkan

sejumlah pertanyaan. Manusia mulai mempertanyakan

perilakunya terhadap alam dan relasi personalnya dengan

Tuhan. Tentang perilakunya terhadap alam, manusia dapat

menemukan jawaban yang sedikit memadai, karena kerusakkan

ekosistem dapat menimbulkan bencana seperti tanah

longsor, banjir, dll. Namun tentang relasinya dengan

Allah manusia sering sulit menemukan jawaban yang

memadai. Terhadap pertanyaan ini, para filosof sejak

zaman klasik sudah berusaha untuk mencari jawaban yang

rasional. Tetapi jawaban-jawaban rasional itu tetap tidak

memuaskan karena keterbatasan akal budi manusia untuk

menyelami misteri Allah. Misteri Allah hanya dapat

diselami lewat kepasrahan yang penuh kepada-Nya. Sebagai

orang beriman, mempertanyakan relasi dengan Tuhan adalah

hal yang lumrah, karena mereka(orang beriman), memiliki

konsep tentang Allah Yang Mahabaik.

Namun, kini konsep itu diperhadapkan dengan realitas

lain yang bertentangan dengannya. Adanya bencana adalah

hal yang bertentangan dengan kebaikan yang ada dalam diri

Allah. Persoalannya, apakah Allah yang Mahabaik

menghendaki bencana terjadi? Apa sebabnya Allah

mengijinkan adanya penderitaan dalam dunia? Masalah ini

untuk pertama kalinya disebut masalah teodisea (dari

“theos”, Allah, dan “dike”, keadilan) oleh filosof Jerman

Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Teodisea berarti

pembenaran Allah.1 Yang dimaksud adalah bahwa adanya

penderitaan kelihatan sedemikian bertentangan dengan

eksistensi Allah yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik,

sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan. Karena itu,

pembenaran memang dituntut. Kalau pun Allah tidak

membutuhkan pembenaran kita, namun orang yang percaya

kepada Allah tidak dapat menghindar dari pertanyaan

tentang bagaimana keadilan dan kebaikan Allah dapat

disesuaikan dengan segala macam malapetaka di alam

ciptaan-Nya.2

B. KONSEP TEODICE LEIBNIZ

Untuk menjawabi pertanyaan tentang adanya

penderitaan, Gottfried W. Leibniz, adalah seorang filosof

yang memberikan jawaban sangat rasional dan memuaskan.

1 ? Frans magnis – suseno. Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 216.2 ? Ibid., p. 217.

Berangkat dari pemikirannya tetang monade3, Leibniz

memberikan penjelasan tetang keberadaan dunia sebagai

yang terbaik dari yang mungkin. Leibniz berpendapat bahwa

sejak awal mula Allah telah memilih untuk menciptakan

dunia yang terbaik dari segala kemungkinan. Hakikat Allah

adalah kebaikan, sebab itu Dia menciptakan yang terbaik

(optimal). Seandainya dunia yang tercipta bukanlah dunia

yang terbaik, berarti masih ada kemungkinan lain yang

lebih baik.4 Konsekuensi dari pengandaian ini adalah:

atau Allah tidak mengenal kemungkinan terbaik itu – namun

ini bertentangan dengan kemahatahuan-Nya; atau Dia tidak

sanggup menciptakan yang terbaik itu – tetapi itu

bertentangan dengan kemahakuasaan-Nya; atau Dia tidak mau

menciptakan yang terbaik itu – ini bertentangan dengan

kemahabaikan-Nya.5 Tetapi, kalau yang dicipta adalah yang

terbaik, mengapa ada sekian banyak penderitaan?

Pertanyaan di atas mendorong manusia untuk mencari

jawaban yang memuaskan. Perlu diketahui bahwa masalah

teodise hanya dapat muncul apabila Tuhan dipahami secara

personal-dialogal dan apabila masing-masing orang secara

personal dianggap mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

Penderitaan menjadi masalah justeru karena Yang Ilahi

dipahami, bahkan dialami, sebagai kekuatan yang peduli

pada manusia, yang berbelaskasih, yang suka mengampuni

kesalahan manusia (daripada secara keras selalu

menghukumnya), yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan3 ? Monade adalah satuan terkecil yang otonom, yang ada sebagaisubstansi. Sebagai substansi, setiap monade lengkap dalam dan mencukupi dirinya sendiri. Sebab itu monade disebut sebagai “tanpa jendela”. Dikutip dari Paul Budi Kleden, SVD. MEMBONGKAR DERITA, TEODICE: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Maumere: Ledalero, 2006), p. 100.4 ? Ibid., p. 101.5 ? Ibid.

Allah sebagai kekuatan yang peduli, menyelamatkan dan

menyembuhkan kenyataan penderitaan semakin tidak dapat

dimengerti.6 Manusia tidak dapat memahami mengapa Dia

yang Mahabaik dan suka mengampuni itu mendatangkan

malapetaka dan penderitaan bagi yang dicintainya?

Leibniz dalam bukunya Theodicy, Essays of the Goodness of

God, the Freedom of Man and the origin of evil7 membedakan tiga

macam keburukan, yakni keburukan metafisis, keburukan

fisis dan keburukan moral. Di sini saya lebih

menitikberatkan pada keburukan metafisis untuk

menjelaskan konsep Leibniz tentang bencana. Keburukan

metafisis (seperti bencan alam), merupakan

ketidaksempurnaan belaka, dan ketidaksempurnaan ini

mencakup semua ada yang terbatas. Keberadaan ciptaan

selalu terbatas. Dan terbatas selalu berarti tidak

sempurna. Ketidaksempurnaan adalah akar dari kemungkinan

adanya kekeliruan dan kejahatan. Kita, yang memperoleh

segala keberadaan dari Allah dimanakah kita akan

menemukan sumber keburukan? Jawaban atas pertanyaan ini

dapat dijumpai dalam idea alam ciptaan, yang sangat jauh

sebagaimana alam ini termuat dalam kebenaran-kebenaran

abadi yang ada dalam pemahaman Allah secara bebas akan

kehendak-Nya.8 Karena itu, kita perlu mempertimbangkan

bahwa ada “ketidaksempurnaan alamiah dalam ciptaan”.

Setiap ciptaan terbatas dalam essensinya, manusia harus

mengakui bahwa dia tidak dapat mengetahui semua, dan

6 ? F. magni – suseno. Op. Cit. p. 222.7 ? Theodicy, 21, p. 136 (page reference to the Theodicy are tothe translation by E. M. Huggard, listed in the Appendix);G., 6, 115. Seperti dikutip oleh Frederick Copleston, S.J. A HISTORY OF PHILOSOPHY. VOL.IV DESCARTES TO LEIBNIZ (London: BURNS & OATES LTD, 1965),p. 326.8 ?Ibid.

bahwa dia tidak dapat menipu dirinya sendiri serta komit

terhadap kekeliruan-kekeliruan yang lain.9 Sumber

terakhir dari keburukan demikian metafisis, dan

pertanyaan muncul, bagaimana Allah tidak dapat merespons

keburukan, dalam kenyataan bahwa Dia menciptakan dunia,

hingga memberi eksistensi yang terbatas dan tidak

sempurna pada ciptaan. Menurut Leibniz, adalah lebih baik

ada dari pada tidak ada sama sekali. Sejauh itu,

sebagaimana kita berhak untuk membedakan momen-momen

perbedaan dalam kehendak Ilahi, kita dapat mengatakan

bahwa Tuhan selalu menghendaki kebaikan bagi ciptaan-Nya.

Ketidaksempurnaan dalam ciptaan tidak bergantung pada

pilihan Ilahi, tetapi pada ideal essensi ciptaan. Allah

tidak dapat memilih untuk menciptakan tanpa pilihan untuk

menciptakan adanya ciptaan yang tidak sempurna. Dia tetap

memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik yang

mungkin. Dalam menciptakan, Allah selalu menghendaki

kebaikan tetapi konsekuensinya bahwa sekali memberikan

keputusan Ilahi untuk menciptakan, itu akan menjadi yang

terbaik dari yang mungkin. Itu berarti dalam menciptakan

Allah menghendaki yang terbaik bagi ciptaan, namun tak

dapat disangkal bahwa ada keterbatasan dalam ciptaan

sesuai essensinya. Allah tidak dapat menghendaki “yang

terbaik” tanpa menginginkan eksistensi barang-barang yang

tidak sempurna. Yang terbaik dari segala ciptaan yang

mungkin harus ada yang tidak sempurna.10

C. Catatan Kritis

9 ?Theodicy, 20, pp. 135-6; G., 6, 115. Seperti dikutip oleh Copleston. Ibid., p. 327. 10 ? F. COPLESTON. Ibid., p. 327.

Konsep Teodise Leibniz, seakan menghadirkan hiburan

baru bagi manusia untuk menerima penderitaan sebagai hal

yang harus ada karena ketidaksempurnaan ciptaan. Itu

berarti konsekuensi dari keberadaan manusia di dunia

adalah bahwa dia harus menderita karena ketidaksempurnaan

dunia itu. Namun konsep seperti ini dapat juga melemahkan

usaha manusia untuk meminimalisir adanya bencana. Manusia

menerima bencana sebagai kejadian yang harus ada.

Bencana tidak selalu menjadi konsekuensi keberadaan

manusia di dunia yang tidak sempurna ini, tetapi bencana

dapat terjadi oleh tingkah laku manusia. Bencana alam

seperti banjir dan tanah longsor dan keadaan musim yang

tidak menentu adalah akibat dari relasi ketidakharmonisan

manusia dengan alam ini. Penebangan hutan secara liar,

membakar hutan untuk membuka kebun baru adalah bukti

tindakan manusia yang serakah terhadap alam. Karena itu,

penderitaan seperti bencana alam yang terjadi tidak harus

dilihat sebagai “murka’ Allah tetapi merupakan reaksi

alam dalam dirinya sendiri, karena alam mengalami

ketidakharmonisan. Alam menjadi Chaos bukan kosmos

(teratur). Dengan demikian, selalu ada usaha manusia

untuk meminimalisir penderitaan (bencana) yang sering

terjadi akhir-akhir ini.

Dalam gerakan ekofeminisme, alam dilihat sebagai ibu

yang mengandung dan melahirkan segala kehidupan yang ada.

Karena itu, terhadap ibu yang melahirkan itu, manusia

mesti memberi penghormatan lebih. Alam harus dilihat,

lebih dari sekedar kumpulan benda-benda yang memberi

hidup kepada manusia dan ciptaan lain. Alam mesti menjadi

partner dalam relasi subjek-subjek, di mana yang satu

tidak dapat menguras dan menghabiskan yang lain. Yang

satu mesti memandang yang lain sebagai subjek yang patut

dihargai dan dipelihara. Penghargaan dan pemeliharaan

terhadap alam merupakan bukti penghargaan manusia akan

kehidupanya dan kehidupan orang lain. Manusia dengan itu

turut bertanggungjawab atas alam agar bencana yang sering

menambah penderitaan hidupnya dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Kleden, P. MEMBONGKAR DERITA: TEODICE: Sebuah

Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Maumere: Ledalero, 2006.

Copleston, F. A HISTORY OF PHILOSOPHY. VOL.IV DESCARTES TO

LEIBNIZ London: BURNS & OATES LTD, 1965.

Suseno, F. M. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

KONSEP TEODICE LEIBNIZ DAN

RELEVANSINYA BAGI PENDEWASAAN IMAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang mengalami

ambiguitas moral. Di satu pihak manusia mengalami

banyak momen yang menyenangkan, membahagiakan dan

menggembirakan, namun di pihak lain ia mengalami

ketidakbahagiaan, ketidaksenangan dan penderitaan.

1.2 Tujuan Penulisan

1.3 Metode penulisan

1.4 Sistematika Penulisan

BAB II

GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ:

RIWAYAT HIDUP DAN KARYA

2.1. Riwayat Hidup

2.2. Karya – karya

BAB III

KONSEP TEODICE LEIBNIZ

3.1. Tuhan dan adanya Kejahatan dan Penderitaan

3.1.1. Problem Kejahatan.

3.1.2 Problem penderitaan /Keburukan

3.1.2.1. Keburukan Metafisis

3.1.2.2. Keburukan Fisis

3.1.2.3. Keburukan Moral

3.2. Dunia Terbaik Dari Segala Yang Mungkin

3.2.1. Apakah Allah Memilih Kemungkinan Terbaik?

3.2.3. Penderitaan Dalam Dunia Sebagai Yang Terbaik

Dari Yang Mungkin

BAB IV

RELEVANSI TEODICE LEIBNIZ

BAGI PENDEWASAAN IMAN

4.1. Penderitaan sebagai Cobaan Allah Atas Kualitas

Iman Manusia

4.2. Penderitaan sebagai Pemurnian Hati

4.3. Dunia Yang ada Penderitaannya Akan Lebih Baik

Daripada Dunia Tanpa Penderitaan.

4.4. Manusia sebagai Makhluk Terbatas

BAB V

PENUTUP