jurnal pemuliaan tanaman hutan

106
ISSN (P): 1693-7147 Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2, Desember 2018 J urnal J urnal No Akreditasi: 21/E/KPT/2018 Berlaku Vol.10 No.1, 2016 s.d Vol.14 No.2, 2020 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN ISSN (E): 2527-8665

Upload: khangminh22

Post on 27-Apr-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ISSN (P): 1693-7147

PemuliaanTanaman Hutan

Volume 12 No. 2, Desember 2018

JurnalJurnal

No Akreditasi: 21/E/KPT/2018Berlaku Vol.10 No.1, 2016 s.d Vol.14 No.2, 2020

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI

BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

ISSN (E): 2527-8665

ISSN (P): 1693-7147 ISSN (E): 2527-8665

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Volume 12 No. 2, Desember 2018

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan adalah media resmi publikasi ilmiah Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jurnal ini menerima dan memublikasikan tulisan

hasil penelitian yang berhubungan dengan bioscience seperti silvikultur/budidaya, perbenihan, pemuliaan,

genetika, bioteknologi, hama/penyakit, fisiologi dan konservasi genetik dengan frekuensi terbit dua kali setahun,

Juni dan Desember.

Susunan Dewan Penyunting (Editorial Board)

Penanggung jawab (Insured Editor):

Ir. Tandya Tjahjana, M. Si.

Ketua Dewan Penyunting (Editor in Chief):

Dr. Ir. Anto Rimbawanto, M. Agr.

Redaktur (Managing Editors):

Retisa Mutiaradevi, S.Kom., M.CA

Nunuk Tri Retnaningsih, S. Hut., M. Eng.

Penyunting/Editor Bagian (Section Editors):

Dr. Istiana Prihartini, S.Si, M.Si

Fithry Ardhany, S. Hut., M. Sc.

Sumardi, S. Hut, M.Sc

Nunuk Tri Retnaningsih, S. Hut., M. Eng.

Endang Dwi Lestariningsih, S. IP.

Uki Maharani Pramukti, S. Kom

Maya Retnasari, A. Md.

Penyunting/Editor Draft Naskah Final

(Proofreaders):

Dr. Ir. Anto Rimbawanto, M. Agr.

Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Sc.

Fithry Ardhany, S. Hut., M. Sc.

Retisa Mutiaradevi, S.Kom., M.CA

Nunuk Tri Retnaningsih, S. Hut., M. Eng.

Penyunting/Editor Tata Letak (Layout

Editors):

Edy Wibowo, S. Hut., M. Eng.

Administrasi laman e-journal (Web Admin)

Edy Wibowo, S. Hut., M. Eng.

Uki Maharani Pramukti, S. Kom, M.Eng

Endang Dwi Lestariningsih, S. IP.

Maya Retnasari, A. Md.

Sekretariat Redaksi (Secretariat)

Fithry Ardhany, S. Hut., M. Sc.

Endang Dwi Lestariningsih, S. IP.

Uki Maharani Pramukti, S. Kom

Maya Retnasari, A. Md.

Diterbitkan oleh:

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Alamat:

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15,

Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta,

Indonesia - 55582

Telp. +62-274 895954, 896080;

Fax. +62-274 896080

email: [email protected]

Cover : Buah nyawai

Oleh : Liliek Haryjanto

ISSN (P): 1693-7147 ISSN (E): 2527-8665

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Volume 12 No. 2, Desember 2018

Penyunting (Editors):

Dr. Ir. Anto Rimbawanto, M. Agr. Genetika Molekuler

BBPPBPTH, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Suryo Hardiwinoto, M. Agr. Sc.

Silvikultur Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Muh. Restu, M. P. Genetika dan Pemuliaan Hutan

Universitas Hassanudin, Indonesia

Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Sc. Pemuliaan Tanaman Hutan

BBPPBPTH, Indonesia

Dr. Ir. Budi Tjahjono Proteksi Tanaman/Phytopatology,

Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Indonesia

Dr. Ir. Eko Bhakti Hardiyanto Pemuliaan Tanaman Hutan

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Dr. Sapto Indrioko, S. Hut., M. P. Bioteknologi Hutan, Pemuliaan Pohon, Genetika Hutan

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Ir. Arif Wibowo, M.Agr Mikologi

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

ILG. Nurtjahjaningsih, S.Si, M.Sc, Ph.D Genetika Molekuler

BBPPBPTH, Indonesia

Dr. Noor Khomsah Kartikawati, S.Hut., M.P. Pemuliaan Tanaman Hutan

BBPPBPTH, Indonesia

Mitra Bestari (Reviewers):

Prof. Dr. Mohammad Na'iem, M. Agr. Sc.

Pemuliaan Tanaman Hutan

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Prof. Dr. Ir. H. Djoko Marsono Konservasi Sumber Daya Hutan

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Susamto, M. Sc. Proteksi Tanaman

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Sumardi, M. For. Sc. Perlindungan Hutan dan Kesehatan Hutan

Institut Pertanian Yogyakarta, Indonesia

Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Sc. Pemuliaan Tanaman Hutan

BBPPBPTH, Indonesia

Dr. Ir. Eny Faridah, M. Sc. Fisiologi Pohon dan Biologi Molekuler

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Prof. Ris. Dr. Ir. Budi Leksono, M.P. Pemuliaan Tanaman Hutan

BBPPBPTH, Indonesia

Dr. Anto Rimbawanto Genetika Molekuler

BBPPBPTH, Indonesia

Dr. Ir. Taryono, M. Sc. Bioteknologi Tanaman

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Dr. Ir. Supriyanto, DEA Pemuliaan Tanaman

Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Ir. Sumarwoto P. S., M. P. Teknologi Benih dan Produksi Tanaman

Universitas Pembangunan Nasional, Indonesia

ISSN (P) : 1693-7147

ISSN (E) : 2527-8665

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Volume 12 No. 2, Desember 2018

1. HUBUNGAN KEKERABATAN Shorea gysbertsiana DENGAN TIGA JENIS

Shorea PENGHASIL TENGKAWANG LAINNYA BERDASARKAN PENANDA

RAPD

Genetic relationship of Shorea gysbertsiana with other three Shorea species producing

tengkawang based on RAPD marker

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko ......................................................... 85 – 94

2. SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN NYAWAI

(Ficus variegata Blume) DI BANTUL

Selection and genetic gain in progeny trial of nyawai (Ficus variegata Blume) at Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan ........................................................... 95 - 104

3. INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT PADA

Acacia auriculiformis DI YOGYAKARTA

Pathogen inventory and identification for Acacia auriculiformis planted in Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati .................................................................. 105 - 113

4. PARAMETER GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN DAN KERAPATAN KAYU

KLON Eucalyptus pellita F. Muell. DI DUA TAPAK YANG BERBEDA DI

KALIMANTAN TIMUR

Genetic parameters for growth and basic density of Eucalyptus pellita F. Muell. clones

at two different sites in East Kalimantan

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto .............................. 115 – 125

5. PENGUJIAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA

UNTUK MENGETAHUI KESTABILAN GENETIK KLON JATI (Tectona

grandis)

Random amplified polymorphism DNA marker test to assess genetic stability of teak

(Tectona grandis) clones

I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza Permatasari Rachma, dan Anto

Rimbawanto .............................................................................................................. 127 – 134

6. IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT LODOH PADA SEMAI KALIANDRA

Identification of pathogen causes of damping-off diseases on kaliandra seedlings

Nur Hidayati .............................................................................................................. 135 - 142

7. REGENERASI PERAKARAN PLANTLET IN VITRO DAN EX VITRO PADA

KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

Rooting regeneration of in vitro and ex vitro plantlets of cendana (Santalum album

Linn.) tissue culture

Asri Insiana Putri dan Toni Herawan ........................................................................ 143 – 150

8. PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULA DAN INANG Portulaca sp. TERHADAP

AKLIMATISASI PLANTLET CENDANA (Santalum album Linn.)

Influence of arbuscular mycorrhiza and Portulaca sp. host to acclimatization of

cendana (Santalum album Linn.) plantlets

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri ........................................................................ 151 - 161

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

ISSN (P): 1693-7147 | ISSN (E): 2527-8665 Volume 12 No. 2, Desember 2018

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*165.3 Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko

HUBUNGAN KEKERABATAN Shorea

gysbertsiana DENGAN TIGA JENIS Shorea

PENGHASIL TENGKAWANG LAINNYA

BERDASARKAN PENANDA RAPD

Genetic relationship of Shorea gysbertsiana with

other three Shorea species producing tengkawang

based on RAPD marker

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 85 – 94

The Shorea tengkawang species; Shorea

gysbertsiana, S. macrophylla, S. stenoptera, and S.

pinanga known for their high-value wood and non-

wood products. Shorea tengkawang produces

tengkawang oil which usually used as a raw material

and supporting material for the manufacture of food,

pharmaceuticals and cosmetics. This study

determines the genetic relationship of S. gysbertsiana

to other three Shorea species uses RAPD (Random

Amplified Polymorphism DNA) specific loci. There

were 13 specific alleles obtained from 6 RAPD

primers. Among these specific alleles, there were 8

loci shared between S. gysbertsiana and

S. macrophylla, and 2 loci shared with S. stenoptera.

There were no specific loci shared between

S. gysbertsiana and S. pinanga. This study found one

specific locus for S. gysbertsiana and one specific

locus between S. stenoptera and S. pinanga. These

results revealed a very close genetic relationship of

S. gysbertsiana to S. macrophylla and S. stenoptera.

The specific loci found in this study can be used to

support the morphological identification, also for

supporting conservation program of these four

Shorea species.

Keywords: loci, genetic relationship, specific alleles

UDC/ODC 630*165.3 Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan

SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA

UJI KETURUNAN NYAWAI (Ficus variegata

Blume) DI BANTUL

Selection and genetic gain in progeny trial of nyawai

(Ficus variegata Blume) at Bantul

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 95 - 104

Nyawai (Ficus variegata Blume) is a fast growing

species which is promising for forest industrial

plantation. Tree improvement of nyawai was then

initiated through some progeny trials involving wide

range of genetic base in Bantul. Study on initial

growth reported that nyawai originated from Cilacap-

Pangandaran showed higher genetic variation than

those from other locations. However, further growth

performance including the effect of selection in the

progeny trial was not reported. This study was aimed

to observe the growth and genetic parameter of

nyawai in the progeny trial at advanced age. The

genetic gain resulted from series of within plot

selection was also estimated. The design of progeny

trial was a randomized complete block with 19

families from Cilacap-Pangandaran, 4 non-

contiguous tree-plot, 7 blocks at spacing of 5 m × 5

m. The observed traits were height, diameter at breast

height and volume at four years of age. The results of

study showed that survival rate was high at 89%. The

mean annual increment for height, diameter and

volume were 1.52 m/yr; 2.35 cm/yr and 8.65(×10-3

)

m3/yr, respectively. The proportion of variance to the

total variance for family, plot and within plot ranged

from 0.06% to 2.10%, 25.54% to 27.50% and 70.57%

to 73.91%, respectively. In general, narrow-sense

heritability for individual, family and within family

were low. Genetic gain from within family selection

that was practiced as within plot selection using

selection ratio 25% were also low ranging from

0.19% to1.91% for all traits.

Keywords: genetic parameter, within plot selection,

tree improvement, fast growing species

UDC/ODC 630*48 Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI

PENYEBAB PENYAKIT PADA

Acacia auriculiformis DI YOGYAKARTA

Pathogen inventory and identification for Acacia

auriculiformis planted in Yogyakarta

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 105 – 113

Acacia auriculiformis is a fast growing species

mostly planted in marginal lands with less intensive

in cultivation. Problems found on A. auriculiformis

cultivation include disease attacks which then caused

a significant economic reduction on the plantation.

The aim of this study is to determine causes, intensity

and severity of the diseases attacking

A. auriculiformis plants. The research was conducted

on two observation plots, in the nursery and in clonal

bank area established in Yogyakarta. Genetic

materials planted in the plots were collected from

clonally propagated of trees selected in second

generation progeny trial of A. auriculiformis

established in Wonogiri, Central Java. Observations

of disease signs and symptoms in the two plots were

undertaken with 100% plants inventories in rainy and

dry seasons. Postulate Koch was then performed on

this study to identify the pathogens. The result

showed that the powdery mildew caused by Oidium

sp. is a dominant disease attacking 100%

A. auriculiformis both in the nursery and on clonal

bank areas, occurring not only during the rainy

season but also during the dry season. There were

also other diseases attacking A. auriculiformis

namely black mildew caused by Meliola sp, leaf spot

disease caused by Phomopsis sp. and root rot disease

caused by Ganoderma steyaertanum.

Keywords: Acacia auriculiformis, pathogen, disease

incidence, disease severity

UDC/ODC 630*165.3 Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti

Hardiyanto

PARAMETER GENETIK SIFAT

PERTUMBUHAN DAN KERAPATAN KAYU

KLON Eucalyptus pellita F. Muell. DI DUA

TAPAK YANG BERBEDA DI KALIMANTAN

TIMUR

Genetic parameters for growth and basic density of

Eucalyptus pellita F. Muell. clones at two different

sites in East Kalimantan

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 115 – 125

Industrial forest plantations have an important role in

fulfilling the wood demand. Based on global industrial

development, the forest plantations industry will

increase in the following years. Eucalyptus pellita has

become main species in Indonesia forest plantations

because it has a short cycle and wood products are

suitable to forest industry. The average productivity of

E. pellita plantations in Indonesia is still low and high

variation. In an effort to increase the productivity, the

first step is a better understanding of genetic control

on growth and basic density. This study aims to

determine the genetic parameters for growth and

basic density of E. pellita clones on two different sites

of clonal trial. The trials are designed using RCBD.

The number of clones tested in both trial was 30, 5

blocks and 25 tree/plot. The result of the study showed

that the effects of clones vary greatly according the

enviromental conditions. The clones-environemntal

interaction of growth trait is higher than the basic

density. This is in line with genetic parameters of

growth trait that are less stable than the basic density.

The expected genetic gain of growth trait is higher

than the basic density and at the same time there was

a weak genetic correlation (there is even a negative)

between growth trait and basic density. Therefore

carefulness is needed in selecting clones when the two

traits are used as selection parameters.

Keywords: broadsense heritability, genetic gain,

genetic correlation, type B correlation

UDC/ODC 630*165.3 I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza

Permatasari Rachma, dan Anto Rimbawanto

PENGUJIAN PENANDA RANDOM

AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA UNTUK

MENGETAHUI KESTABILAN GENETIK

KLON JATI (Tectona grandis)

Random amplified polymorphism DNA marker test to

assess genetic stability of teak

(Tectona grandis) clones

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 127 – 134

This study aimed to test RAPD markers to assess

genetic stability of teak clones. Two experimental

steps were carried out. First, nine RAPD markers

were screened to verify the level of polymorphic loci

using non clone samples; second, the polymorphic

loci were applied to test genetic stability of clones

from tissue culture. To test polymorphism levels of

the primers, DNA was isolated from eight leaf

samples that were collected from a seed orchard

located at Watusipat, Gunung Kidul. To verify

genetic stability of clones, DNA was isolated from

leaf samples of 24 ramets of 3 clones after second

sub-culturing. Results showed that amplification of 5

out of 9 RAPD primers were consistent and produced

12 polymorphic loci. The number of polymorphic

alleles per locus ranged between 1 and 3; the allele

sizes were between 400 and 1050 base pairs (bps).

The percentage of polymorphic loci was 100%; it

meant that overall loci have high polymorphism

level. Based on these loci showed that the 24 ramets

are clones; there was no somaclonal variation or

high genetic stability. However, these loci need to be

validated using more stable DNA markers..

Keywords: tissue culture, primers screening,

polymorphic loci, somaclonal variation

UDC/ODC 630*443.2 Nur Hidayati

IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT

LODOH PADA SEMAI KALIANDRA

Identification of pathogen causes of damping-off

diseases on kaliandra seedlings

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 135 – 142

Seedling quality is one of factors determining the

success of forest management. Pathogen attack that

causes disease in the nursery is one reason hindering

the target of seedling provision. Therefore, disease

outbreak in the nursery need to be properly studied to

set precautionary or control measures. The aim of this

study is to isolate and identify causes of damping off

which cause the death of kaliandra (Calliandra

callothyrsus) seedlings. A number of kaliandra

seedlings from 30 gram seed of kaliandra, died due to

damping off disease. Dead seedling samples were

isolated then observed macroscopically and

microscopically (examined under the microscope).

Koch Postulate test was conducted to identify the

disease causing the death of kaliandra seedlings.

Identification results indicate that the causes of

damping-off disease are Fusarium sp. and Rizoctonia

solani.

Keywords: pathogen, nursery, Rizoctonia solani,

Fusarium sp.

UDC/ODC 630*168 Asri Insiana Putri dan Toni Herawan

REGENERASI PERAKARAN PLANTLET IN

VITRO DAN EX VITRO PADA KULTUR

JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

Rooting regeneration of in vitro and ex vitro plantlets

of cendana (Santalum album Linn.) tissue culture

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 143 - 150

Cendana (Santalum album Linn.) is one of the

important hemiparasite species due to its high value

essential oil for pharmaceutical industries. However,

since1998 this species has been categorized as

vulnerable by the IUCN Red List. The propagation of

cendana has been hampered by inadequacy in

regeneration, either through sexual or vegetative

propagation. Regeneration of cendana through in

vitro technique is still limited due to the difficulty in

rooting and acclimatization. The purpose of this

study is to observe the effect of clones, in vitro and ex

vitro techniques on the primary and secondary root

development. Two clones of cendana: Clone

A.III.4.14 and WS28 were tested in Gresshoff & Doy

culture media enriched by IBA 20 mg/l; IAA 0.15

mg/l and kinetin 0.15 mg/l. Root development was

observed for six months of culture for in vitro and

three months after acclimatization in a greenhouse

for ex vitro. The results of this study showed that

Clone A.III.4.14 formed primary root in lower

percentage rate (41.85%) than Clones WS28

(60,44%), on the contrary it grew secondary root in

higher percentage rate (58.15%) than Clone WS28

(39,56%). The ex vitro following the acclimatization

showed that the root hairs grew only in the plantlets

which formed secondary root during in vitro. This

result indicates an important of clone’s selection for

secondary root development during in vitro to obtain

a better root system in the success of acclimatization

of cendana.

Keywords: primary root, secondary root, tissue

culture, clones, acclimatization

UDC/ODC 630*181.351 Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULA DAN

INANG Portulaca sp. TERHADAP

AKLIMATISASI PLANTLET CENDANA

(Santalum album Linn.)

Influence of arbuscular mycorrhiza and Portulaca sp.

host to acclimatization of cendana (Santalum album

Linn.) plantlets

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 151 – 161

Cendana (Santalum album Linn.) produces high-value

aromatic timbers that are needed in various

industries. Cendana is proclaimed by IUCN including

critically endangered tree species. Tissue culture for

conservation and propagation of cendana is a

promising technique to lessen endangered level and

increase industrial raw material supply. The main

problems of cendana tissue culture are stunted growth

and high mortality of plantlet at acclimatization stage.

The purpose of this research is to identify the effect of

arbuscular mycorrhizal application in acclimatization

of cendana tissue cultured plantlets with and without

hostplant. A.III.4.14 clones from Genetic

Conservation Plot in Gunung Kidul, Yogyakarta were

used as rooting plantlet material; Acaulospora sp.

and Gigaspora sp. were used as MA isolates, and

Portulaca sp. was used as hostplant. Sand and

compost were used as media acclimatization in

nurseries. Fungicide solution was used for sterilizing

plantlets. Cendana plantlets were planted together

with the host and MA added according to the

treatment. Incubation was carried out in a greenhouse

for 16 weeks. Observation of seedlings height was

carried out 4 weeks after the polybag cover opened.

The results of this study showed that 5 grams and 7

grams of mycorrhizal treatment on a cendana plantlet

planted without Portulaca sp. produced the lower

mortality (8%) after 12 weeks incubation. The best

average seedling height growth was in 5 grams MA

with hostplant (5,17 cm ±1,21) after 16 weeks

incubation in green house. The results of this study

prove the importance of exogenous mycorrhizal

enrichment and hostplant in the acclimatization of

cendana tissue culture.

Keywords: tissue culture, clone, bio-fertilizer, biotic

factor

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

ISSN (P): 1693-7147 | ISSN (E): 2527-8665 Volume 12 No. 2, Desember 2018

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*165.3 Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko

HUBUNGAN KEKERABATAN Shorea

gysbertsiana DENGAN TIGA JENIS Shorea

PENGHASIL TENGKAWANG LAINNYA

BERDASARKAN PENANDA RAPD

Genetic relationship of Shorea gysbertsiana with

other three Shorea species producing tengkawang

based on RAPD marker

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p.85 – 94

Shorea gysbertsiana, S. macrophylla, S. stenoptera,

dan S. pinanga merupakan empat jenis Shorea

penghasil tengkawang, karena minyak yang diperoleh

dari buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku

dan bahan pelengkap pembuatan makanan, obat-

obatan dan kosmetik. Penelitian ini memaparkan

hubungan kekerabatan antara S. gysbertsiana dengan

tiga jenis Shorea penghasil tengkawang lainnya

menggunakan alel khusus yang diperoleh dari

penanda RAPD (Random Amplified Polymorphism

DNA). Hasil penelitian mengidentifikasi 13 alel

khusus yang diperoleh dari 6 primer RAPD. Di antara

alel tersebut, terdapat 8 alel bersama antara

S. gysbertsiana dan S. macrophylla, dan 2 alel

bersama antara S. gysbertsiana dengan S. stenoptera.

Tidak ditemukan adanya alel bersama antara

S. gysbertsiana dan S. pinanga. Penelitian ini

menemukan satu alel khusus pada S. gysbertsiana

dan satu alel bersama antara S. stenoptera dan

S. pinanga. Hasil ini mengungkapkan adanya

hubungan genetik yang dekat antara S. gysbertsiana

dengan S. macrophylla dan S. stenoptera. Lokus

tertentu yang ditemukan dalam penelitian ini dapat

digunakan untuk mendukung identifikasi jenis

berdasarkan ciri morfologi, juga untuk mendukung

program konservasi dari keempat spesies Shorea

tersebut.

Kata kunci: lokus, hubungan genetik, alel khusus

UDC/ODC 630*165.3 Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan

SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA

UJI KETURUNAN NYAWAI (Ficus variegata

Blume) DI BANTUL

Selection and genetic gain in progeny trial of nyawai

(Ficus variegata Blume) at Bantul

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 95 - 104

Nyawai (Ficus variegata Blume) merupakan jenis

cepat tumbuh potensial untuk pembangunan hutan

tanaman industri. Pemuliaan pohon nyawai diawali

dengan membangun beberapa uji keturunan dengan

basis genetik yang luas di Bantul. Studi pada awal

pertumbuhan dilaporkan bahwa nyawai yang berasal

dari Cilacap – Pangandaran menunjukkan variasi

genetik yang tinggi dibandingkan dengan lokasi

lainnya. Namun demikian, penampilan pertumbuhan

lebih lanjut pada umur dewasa dan efek seleksi pada

uji keturunan tersebut belum dilaporkan. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan

dan parameter genetik pada uji keturunan nyawai

pada umur dewasa. Disamping itu juga dilakukan

estimasi perolehan genetik hasil dari berbagai seri

seleksi dalam plot. Rancangan percobaan plot uji

keturunan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok

dengan 19 famili dari Cilacap - Pangandaran, 4 non-

contiguous tree-plot, 7 ulangan dengan jarak tanam

5 m × 5 m. Sifat yang diamati yaitu tinggi, diameter

setinggi dada dan volume pada umur 4 tahun. Hasil

penelitian menunjukkan daya adaptasi pada plot uji

keturunan sebesar 89%. Riap rata-rata tahunan untuk

tinggi, diameter dan volume masing-masing sebesar

1,52 m/th; 2,35 cm/th dan 8,65 (× 10-3

) m3/th.

Proporsi varians terhadap varians total untuk famili,

plot dan dalam plot secara berurutan berkisar 0,06% -

2,10%; 25,54% - 27,50% dan 70,57% - 73,91%.

Secara umum, heritabilitas individu dan famili serta

heritabilitas di dalam famili rendah. Perolehan

genetik hasil seleksi dalam famili yang merupakan

seleksi dalam plot pada rasio seleksi 25% juga

menunjukkan nilai yang rendah berkisar antara

0,19% - 1,91% pada ketiga sifat yang diamati.

Kata kunci: parameter genetik, seleksi dalam

plot, pemuliaan pohon, jenis cepat

tumbuh

UDC/ODC 630*48 Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI

PENYEBAB PENYAKIT PADA

Acacia auriculiformis DI YOGYAKARTA

Pathogen inventory and identification for Acacia

auriculiformis planted in Yogyakarta

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 105 – 113

Acacia auriculiformis adalah salah satu jenis tanaman

cepat tumbuh dengan pola budidaya yang relatif

mudah dan mampu tumbuh dengan baik pada lahan-

lahan marginal kering. Namun demikian masih

terdapat permasalahan berkaitan dengan ancaman

serangan penyakit yang dapat mengurangi potensi

nilai ekonomi tanaman A. auriculiformis di hutan

tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui penyebab penyakit, intensitas dan luas

serangan penyakit pada tanaman A. auriculiformis.

Penelitian dilaksanakan di dua plot pengamatan, yaitu

persemaian dan bank klon yang dibangun di

Yogyakarta. Materi genetik di dalam plot

pengamatan merupakan hasil perbanyakan klon yang

dikoleksi dari plot uji keturunan generasi kedua (F2)

A. auriculiformis di Wonogiri, Jawa Tengah.

Pengamatan tanda dan gejala serangan penyakit

dilakukan dengan cara inventarisasi 100% pada saat

musim kemarau dan musim penghujan. Selanjutnya

dilakukan uji Postulat Koch untuk mengidentifikasi

penyebab penyakitnya. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa embun tepung yang disebabkan

oleh jamur Oidium sp. adalah penyakit dominan yang

menyerang klon A. auriculiformis baik di persemaian

maupun di bank klon. Serangan terjadi pada musim

kemarau maupun musim penghujan dengan luas

serangan sebesar 100%. Terdapat penyakit lain yang

menyerang A. auriculiformis di bank klon yaitu

penyakit embun jelaga yang disebabkan jamur

Meliola sp, penyakit bercak daun yang disebabkan

jamur Phomopsis sp. dan penyakit busuk akar yang

disebabkan jamur Ganoderma steyaertanum.

Kata kunci: Acacia auriculiformis, penyebab

penyakit, intensitas dan luas

serangan penyakit

UDC/ODC 630*165.3 Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti

Hardiyanto

PARAMETER GENETIK SIFAT

PERTUMBUHAN DAN KERAPATAN KAYU

KLON Eucalyptus pellita F. Muell. DI DUA

TAPAK YANG BERBEDA DI KALIMANTAN

TIMUR

Genetic parameters for growth and basic density of

Eucalyptus pellita F. Muell. clones at two different

sites in East Kalimantan

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 115 – 125

Hutan tanaman industri memiliki peran yang penting

dalam memenuhi kebutuhan kayu. Berdasarkan

perkembangan industri secara global, industri hutan

tanaman akan meningkat pada tahun-tahun

selanjutnya. Eucalyptus pellita menjadi pilihan utama

dalam hutan tanaman di Indonesia karena berdaur

singkat dan produk kayu sesuai dengan kebutuhan

industri. Rerata produktivitas hutan tanaman

E. pellita di Indonesia masih rendah dan memiliki

variasi pertumbuhan yang tinggi. Dalam upaya

meningkatkan rerata produktivitas tegakan langkah

pertama yang perlu dilakukan adalah pemahaman

yang lebih baik mengenai kontrol genetik terhadap

sifat pertumbuhan dan kerapatan kayu. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui parameter genetik untuk

pertumbuhan dan kerapatan kayu pada uji klon

E. pellita di dua tapak yang berbeda. Percobaan

dirancang menggunakan rancangan acak kelompok

lengkap. Jumlah klon yang diuji di kedua tapak

adalah 30, diulang 5 kali dan jumlah pohon/plot

adalah 25. Hasil penelitian memperlihatkan efek klon

sangat bervariasi menyesuaikan terhadap kondisi

lingkungannya. Interaksi klon dengan lingkungan

pada sifat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan

dengan sifat kerapatan kayu. Hal tersebut sejalan

dengan nilai parameter genetik sifat pertumbuhan

yang kurang stabil dan kontrol genetik yang lebih

rendah dibandingkan dengan sifat kerapatan kayu.

Nilai perolehan genetik sifat pertumbuhan lebih

tinggi dibandingkan dengan sifat kerapatan kayu dan

disaat yang bersamaan terdapat korelasi genetik yang

lemah antara sifat pertumbuhan dan sifat kerapatan

kayu. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam

melakukan seleksi klon ketika kedua sifat tersebut

dijadikan parameter seleksi.

Kata kunci: heritabilitas, perolehan genetik,

korelasi genetik, korelasi tipe B

UDC/ODC 630*165.3 I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza

Permatasari Rachma, dan Anto Rimbawanto

PENGUJIAN PENANDA RANDOM

AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA UNTUK

MENGETAHUI KESTABILAN GENETIK

KLON JATI (Tectona grandis)

Random amplified polymorphism DNA marker test to

assess genetic stability of teak

(Tectona grandis) clones

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 127 – 134

Penelitian ini bertujuan untuk menguji penanda

RAPD pada kestabilan genetik klon jati. Pengujian

ini melalui dua tahap penelitian yaitu memilih

penanda RAPD yang mengamplifikasikan lokus

polimorfik pada sampel bukan klon, kemudian target

lokus polimorfik tersebut diujikan pada sampel klon

hasil kultur jaringan. Sampel DNA bukan klon

berasal dari kebun benih jati di Watusipat, Gunung

Kidul. Sampel DNA klon berasal dari 24 ramet, dari

3 klon setelah 2 kali sub kultur. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 5 dari 9 penanda RAPD pada

sampel bukan klon, bersifat konsisten dan

menghasilkan 12 lokus polimorfik. Jumlah alel

polimorfik per lokus berkisar antara 1 sampai dengan

3; ukuran alel berkisar antara 400 sampai 1050

pasangan basa (bp). Persentase lokus polimorfik

bernilai 100% menunjukkan bahwa seluruh lokus

mempunyai nilai polymorphism tinggi. Berdasarkan

12 lokus tersebut, 24 ramet menunjukkan genotipe

yang sama pada masing-masing klonnya. Namun

demikian, target lokus tersebut masih harus divalidasi

menggunakan penanda DNA yang sifatnya lebih

stabil.

Kata kunci: kultur jaringan, pemilihan primer,

lokus polimorfik, variasi somaklonal

UDC/ODC 630*443.2 Nur Hidayati

IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT

LODOH PADA SEMAI KALIANDRA

Identification of pathogen causes of damping-off

diseases on kaliandra seedlings

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 135 – 142

Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya

pengelolaan hutan adalah tersedianya bibit tanaman

kehutanan yang berkualitas. Serangan patogen yang

menyebabkan penyakit di persemaian merupakan

salah satu penyebab tidak terpenuhinya target

penyediaan bibit tanaman kehutanan yang

dibutuhkan. Oleh karena itu, berkembangnya

penyakit di persemaian perlu dipelajari agar dapat

dilakukan tindakan pencegahan atau pengendalian

secara tepat. Penelitian ini bertujuan untuk isolasi dan

identifikasi penyebab penyakit lodoh yang

menyebabkan kematian pada kecambah benih

kaliandra (Calliandra calothyrsus). Sebanyak 30

gram benih kaliandra disemaikan dan kecambah

benih kaliandra yang menunjukkan kematian karena

penyakit lodoh di persemaian diisolasi kemudian

isolat diamati secara makroskopis dan mikroskopis,

dilakukan uji Postulat Koch untuk mengidentifikasi

penyebab penyakit yang menyebabkan kematian pada

semai kaliandra. Hasil identifikasi menunjukkan

bahwa penyebab penyakit lodoh adalah jamur

Fusarium sp. dan Rizoctonia solani.

Kata kunci: penyebab penyakit, persemaian,

Rizoctonia solani, Fusarium sp.

UDC/ODC 630*168 Asri Insiana Putri dan Toni Herawan

REGENERASI PERAKARAN PLANTLET IN

VITRO DAN EX VITRO PADA KULTUR

JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

Rooting regeneration of in vitro and ex vitro plantlets

of cendana (Santalum album Linn.) tissue culture

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 143 – 150

Cendana (Santalum album Linn.) merupakan

tumbuhan hemiparasit bernilai tinggi, digunakan

secara luas dalam industri farmasi. Sejak 1998,

spesies ini dinyatakan termasuk kategori rentan oleh

IUCN Red List. Perbanyakan cendana sampai saat ini

mengalami hambatan karena tidak mampu

berkembang-biak secara seksual, sementara

perbanyakan vegetatif makro cendana belum tersedia.

Regenerasi perakaran cendana melalui pendekatan in

vitro masih terbatas karena sulitnya pengembangan

tahap perakaran dan aklimatisasi. Tujuan penelitian

ini adalah mempelajari pengaruh klon, teknik

perbanyakan melalui fase in vitro dan ex vitro

terhadap pertumbuhan akar primer maupun sekunder.

Dua klon cendana: A.III.4.14 dan WS28 diuji pada

media media Gresshoff & Doy yang ditambahkan

IBA 20 mg/l; IAA 0,15 mg/l dan kinetin 0,15 mg/l.

Regenerasi perakaran diamati selama enam bulan

pada fase in vitro, dan selama tiga bulan setelah

aklimatisasi di rumah kaca pada fase ex vitro. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa Klon A.III.4.14

mempunyai presentase akar primer lebih rendah

(41,85%) dibandingkan Klon WS28 (60,44%).

Namun sebaliknya Klon A.III.4.14 mempunyai

presentase akar sekunder lebih tinggi (58,15%)

dibandingkan Klon WS28 (39,56%). Pengamatan

pada fase ex vitro setelah aklimatisasi menunjukkan

bahwa rambut akar hanya tumbuh pada plantlet yang

telah membentuk akar sekunder pada fase in vitro.

Hasil penelitian ini mengindikasikan pentingnya

seleksi klon berdasarkan pertumbuhan akar sekunder

selama fase in vitro untuk mendapatkan sistem

perakaran yang lebih baik pada tahap aklimatisasi

dan perbanyakan cendana.

Kata kunci: akar primer, akar sekunder, kultur

jaringan, klon, aklimatisasi

UDC/ODC 630*181.351 Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULA DAN

INANG Portulaca sp. TERHADAP

AKLIMATISASI PLANTLET CENDANA

(Santalum album Linn.)

Influence of arbuscular mycorrhiza and Portulaca sp.

host to acclimatization of cendana (Santalum album

Linn.) plantlets

J. Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2,

Desember 2018, p. 151 – 161

Cendana (Santalum album Linn.) menghasilkan kayu

aromatik bernilai tinggi yang dibutuhkan di berbagai

industri. Cendana ditetapkan oleh IUCN termasuk

spesies pohon yang terancam punah. Kultur jaringan

untuk konservasi dan perbanyakan cendana adalah

teknik yang menjanjikan untuk mengurangi tingkat

kepunahan dan meningkatkan pasokan bahan baku

industri. Masalah utama dari kultur jaringan cendana

adalah terhambatnya pertumbuhan dan mortalitas

yang tinggi plantlet pada tahap aklimatisasi. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

pengaruh aplikasi mikoriza arbuskula pada

aklimatisasi plantlet kultur jaringan cendana dengan

dan tanpa inang. Klon A.III.4.14 dari Plot Konservasi

Genetik di Gunung Kidul, Yogyakarta digunakan

sebagai bahan plantlet, Acaulospora sp. dan

Gigaspora sp. digunakan sebagai isolat MA dan

Portulaca sp. digunakan sebagai tanaman inang.

Pasir dan kompos digunakan sebagai media

aklimatisasi di pembibitan. Larutan fungisida

digunakan untuk mensterilkan plantlet. Plantlet

cendana ditanam bersama dengan inang dan

penambahan MA sesuai dengan perlakuan. Inkubasi

dilakukan di rumah kaca selama 4 bulan. Pengamatan

tinggi benih dilakukan 4 minggu setelah sungkup

polybag dibuka. Penambahan mikoriza pada plantlet

cendana yang ditanam tanpa Portulaca sp. dalam

jumlah yang sesuai menghasilkan tingkat mortalitas

yang lebih rendah (8%) setelah inkubasi 12 minggu.

Rata-rata pertumbuhan tinggi semai terbaik adalah

pada penambahan 5 g MA dan dengan inang (5,17

cm ± 1,21) setelah inkubasi 16 minggu di rumah

kaca. Hasil penelitian ini membuktikan pentingnya

pengayaan dengan mikoriza eksogen dalam jumlah

yang sesuai dan tanaman inang dalam aklimatisasi

kultur jaringan cendana.

Kata kunci: kultur jaringan, klon, pupuk hayati,

faktor biotik

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan menyampaikan rasa terima kasih dan

penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Mohammad Na'iem, M. Agr. Sc. (Pemuliaan Tanaman Hutan, UGM)

2. Dr. Ir. Taryono, M. Sc. (Bioteknologi Tanaman, UGM)

3. Prof. Dr. Ir. Susamto, M. Sc. (Proteksi Tanaman, UGM)

Selaku mitra bebestari (Peer Reviewers) atas telaah dan saran terhadap isi naskah yang

dimuat pada Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Volume 12 No. 2, Desember 2018.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 85 - 94

85

HUBUNGAN KEKERABATAN Shorea gysbertsiana DENGAN TIGA JENIS Shorea

PENGHASIL TENGKAWANG LAINNYA BERDASARKAN PENANDA RAPD

Genetic relationship of Shorea gysbertsiana with other three Shorea species producing

tengkawang based on RAPD marker

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email: [email protected]

Tanggal diterima: 20 September 2017, Tanggal direvisi: 26 September 2017, Disetujui terbit: 3 Juli 2018

ABSTRACT

The Shorea tengkawang species; Shorea gysbertsiana, S. macrophylla, S. stenoptera, and S. pinanga known for

their high-value wood and non-wood products. Shorea tengkawang produces tengkawang oil which usually

used as a raw material and supporting material for the manufacture of food, pharmaceuticals and cosmetics.

This study determines the genetic relationship of S. gysbertsiana to other three Shorea species uses RAPD

(Random Amplified Polymorphism DNA) specific loci. There were 13 specific alleles obtained from 6 RAPD

primers. Among these specific alleles, there were 8 loci shared between S. gysbertsiana and S. macrophylla, and

2 loci shared with S. stenoptera. There were no specific loci shared between S. gysbertsiana and S. pinanga.

This study found one specific locus for S. gysbertsiana and one specific locus between S. stenoptera and

S. pinanga. These results revealed a very close genetic relationship of S. gysbertsiana to S. macrophylla and

S. stenoptera.The specific loci found in this study can be used to support the morphological identification, also

for supporting conservation program of these four Shorea species.

Keywords: loci, genetic relationship, specific alleles

ABSTRAK

Shorea gysbertsiana, S. macrophylla, S. stenoptera, dan S. pinanga merupakan empat jenis Shorea penghasil

tengkawang, karena minyak yang diperoleh dari buahnya dapat digunakan sebagai bahan baku dan bahan

pelengkap pembuatan makanan, obat-obatan dan kosmetik. Penelitian ini memaparkan hubungan kekerabatan

antara S. gysbertsiana dengan tiga jenis Shorea penghasil tengkawang lainnya menggunakan alel khusus yang

diperoleh dari penanda RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA). Hasil penelitian mengidentifikasi 13

alel khusus yang diperoleh dari 6 primer RAPD. Di antara alel tersebut, terdapat 8 alel bersama antara

S. gysbertsiana dan S. macrophylla, dan 2 alel bersama antara S. gysbertsiana dengan S. stenoptera. Tidak

ditemukan adanya alel bersama antara S. gysbertsiana dan S. pinanga. Penelitian ini menemukan satu alel

khusus pada S. gysbertsiana dan satu alel bersama antara S. stenoptera dan S. pinanga. Hasil ini

mengungkapkan adanya hubungan genetik yang dekat antara S. gysbertsiana dengan S. macrophylla dan

S. stenoptera. Lokus tertentu yang ditemukan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung

identifikasi jenis berdasarkan ciri morfologi, juga untuk mendukung program konservasi dari keempat spesies

Shorea tersebut.

Kata kunci: lokus, hubungan genetik, alel khusus

I. PENDAHULUAN

Jenis Shorea termasuk dalam famili

Dipterocarpaceae yang dikenal mempunyai

kayu dengan mutu yang baik untuk digunakan

sebagai veneer, kayu lapis, bahan bangunan dan

kapal. Selain itu beberapa jenis Shorea juga

menghasilkan produk non kayu seperti

tengkawang, yang biasanya digunakan sebagai

bahan baku dan bahan pendukung pembuatan

makanan, obat – obatan dan kosmetik

(Adriyanti et al., 2015; Alamendah, 2004; Fajri,

2008; Martawijaya, Kartasujana, Kadir, &

Prawira, 1981; Roedjai, Arsyad, & Harijanto,

1980; Sidabutar & Lumangkun, 2013;

Sumadiwangsa, 2001; Sumarhani, 2007).

Setidaknya terdapat 13 jenis Shorea penghasil

tengkawang di Indonesia; 10 spesies di

Kalimantan, dan 3 spesies di Sumatera (Hakim,

Leksono, & Setiati, 2010; Hardjana & Rayan,

2011; Istomo & Hidayati, 2010; Purwaningsih,

2004; Wahyudi, Saridan, & Rombe, 2010). Pada

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 85 - 94

86

tahun 2011, Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

Samarinda melaporkan bahwa dari 13 jenis

Shorea penghasil tengkawang yang dilindungi,

7 spesies di antaranya sudah sangat sulit

ditemukan di habitat aslinya dan diperkirakan

akan segera punah. Shorea gysbertsiana Burck

dikenal sebagai syntype atau nama lain dari

S. macrophylla (Newman, Burgess, &

Whitmore, 1996; Soerianegara & Lemmens,

1994). Shorea macrophylla sendiri dikenal

sebagai jenis pohon yang selain menghasilkan

buah tengkawang yang dapat diambil

minyaknya juga menghasilkan kayu berukuran

medium sampai dengan ukuran besar yang

sering digunakan sebagai salah satu pohon

untuk program rehabilitasi hutan (Perumal,

Wasli, Ho, Lat, & Sani, 2015, 2017). Sebagai

tambahan, untuk dua jenis penghasil

tengkawang lainnya yaitu S. gysbertsiana dan

S. stenoptera, mempunyai perbedaan morfologi

yang seringkali tidak jelas (sangat sulit

dibedakan) terlihat sehingga sering terjadi

kesalahan identifikasi. Oleh karena

S. stenoptera menjadi salah satu komoditas

prioritas, khususnya sebagai penghasil minyak

tengkawang dengan mutu yang baik, maka

penelitian tentang identifikasi spesies ini

penting untuk dilakukan guna menghindari

kesalahan identifikasi.

Pemahaman tentang ekologi dan struktur

genetik populasi alami suatu jenis pohon tropis

sangat penting untuk menentukan strategi

terhadap konservasi, pembibitan, dan

pengelolaan berkelanjutan (Konzen, 2014).

Studi genetika bahkan lebih diperlukan untuk

jenis-jenis yang menghadapi resiko kepunahan,

jenis dengan distribusi terbatas, dan frekuensi

langka di hutan alam, karena genetika

membantu memetakan daerah dengan

variabilitas genetik yang lebih tinggi, alat untuk

pelaksanaan program konservasi spesies dan

identifikasi jenis.

Penelitian identifikasi jenis dapat

dilakukan dengan menggunakan metode

taksonomi konvensional dan teknik molekuler.

Namun, karena seringkali penampilan morfologi

terlihat mirip sehingga sulit untuk membedakan

antar jenis, maka teknik molekuler menjadi

salah satu metode yang akurat untuk

mengidentifikasi spesies. Metode penanda

molekuler tersebut telah menjadi dasar untuk

analisis genetik, termasuk sidik jari, penemuan

keragaman di dalam dan di antara populasi,

struktur genetik dan deteksi tetua, dan pemetaan

gen (Konzen, 2014).

Penelitian ini menggunakan RAPD

(Random Amplified Polymorphism DNA) untuk

mengidentifikasi alel dari empat spesies Shorea

penghasil tengkawang (S. gysbertsiana,

S. macrophylla, S. stenoptera dan S. pinanga).

RAPD adalah penanda molekuler yang

memungkinkan pengambilan sampel yang

cukup dari genom individu dan mampu

mendeteksi variasi dengan biaya yang relatif

rendah di daerah non-coding dan pengkodean.

Marka RAPD mewakili fragmen DNA

berukuran berbeda yang diperoleh dengan

amplifikasi menggunakan primer yang dibentuk

oleh nukleotida arbitrary (umumnya 10 bp)

(Williams, Kubelik, Livak, Rafalski, & Tingey,

1990). Penanda RAPD adalah alat molekuler

untuk memperoleh informasi tentang struktur

dan nilai keragaman genetik (Khasa & Dancik,

1996). Penanda ini berdasarkan pada teknik

PCR (Polymerase Chain Reaction) yang

menggunakan DNA dalam jumlah yang kecil

sehingga metode ini sesuai jika diterapkan pada

materi genetik sedikit atau spesies yang

terancam punah dengan materi genetik terbatas.

Beberapa jenis tanaman hutan yang baru-baru

ini dikarakterisasi menggunakan penanda

RAPD diantaranya adalah Caesalpinia

pulcherrima (L.) Sw. (Rodrigues, Mazzini,

Pivetta, Alves, & Desidério, 2012), Poincianella

pyramidalis (Mendes, Araujo Neto,

Nascimento, & Lima, 2014), Calophyllum

brasiliense (Schühli, Oliveira, Oliveira, &

Fowler, 2013), Hancornia speciosa Gomes (Da

Silva, Rabbani, De Sena-Filho, Almeida, &

Feitosa, 2012), dan Nectandra megapotamica

(Costa, Reiniger, Heinzmann, Amaral, &

Serrote, 2015).

Hubungan Kekerabatan Shorea gysbertsiana dengan Tiga Jenis Shorea Penghasil Tengkawang Lainnya

Berdasarkan Penanda RAPD

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko

87

Tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui hubungan genetik antara

S. gysbertsiana dengan tiga spesies Shorea

penghasil tengkawang lainnya dari 11 populasi

di Kalimantan dan Jawa menggunakan alel

spesifik yang dihasilkan penanda RAPD. Hasil

penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk

mendukung strategi konservasi dan pemuliaan

tanaman spesies tersebut.

II. BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat A.

Penelitian ini dilakukan selama kurang

lebih 6 bulan di Laboratorium Genetika

Molekuler Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta.

Bahan dan alat penelitian B.

Bahan penelitian ini adalah daun yang

dikumpulkan dari pembibitan persemaian

tengkawang di Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan Yogyakarta. Alat-alat

penelitian yang digunakan dalam penelitian

adalah peralatan baku untuk persiapan ekstraksi,

ekstraksi DNA, purifikasi, kuantifikasi,

amplifikasi dan elektroforesis gel. Perlakuan

terdiri dari 4 spesies Shorea penghasil

tengkawang yaitu S. pinanga, S. macrophylla,

S. stenopthera dan S. gysbertsiana, yang berasal

dari 11 lokasi di Kalimantan dan Jawa. Untuk

setiap lokasi, 6 daun diambil secara acak dari

pohon yang berbeda-beda. Jumlah materi

genetik daun keseluruhan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah diambil dari 66

pohon (Tabel 1 dan Gambar 1).

Tabel 1. Jenis, lokasi dan jumlah sampel dari 11 populasi Shorea penghasil tengkawang di Kalimantan dan

Jawa

No. Jenis Lokasi Singkatan Jumlah

pohon

1. S. pinanga Haurbentes, Java SpH 6

2. S. pinanga Bukit Baka Central Kalimantan SpBB 6

3. S. stenopthera Haurbentes, Java SsH 6

4. S. stenopthera Gunung Bunga Bekinci, West Kalimantan SsGBB 6

5. S. macrophylla Haurbentes, Bogor Java SmH 6

6. S. macrophylla Bukit Baka, Central Kalimantan SmBB 6

7. S. macrophylla Gunung Bunga Bekinci West Kalimantan SmGBB 6

8. S. macrophylla Sungai Runtin, West Kalimantan SmSR 6

9. S. gysbertsiana Bukit Baka, Central Kalimantan SgBB 6

10. S. gysbertsiana Gunung Bunga Bekinci, West Kalimantan SgGBB 6

11. S. gysbertsiana Sungai Runtin, West Kalimantan SgSR 6

Metode C.

DNA daun diisolasi menggunakan

metode CTAB yang telah dimodifikasi

berdasarkan metode Shiraishi dan Watanabe

(Shiraishi & Watanabe, 1995). Total DNA

kemudian dimurnikan menggunakan Gene

Clean III kit (MP Bio) dan diukur kuantitas dan

rasionya (NanoVue) diikuti oleh pengenceran

menjadi 2,5 ng/μl. Total volume PCR adalah 10

μl, terdiri dari larutan penyangga 10X Stoffel,

25 mM MgCl2, 2,5 mM dNTP, 10 mM RAPD

primer, 5 U AmpliTaq Stoffel polymerase dan

10 ng/μl DNA.

Proses PCR dilakukan dengan

menggunakan GeneAmp 9700 thermocycler

(Applied Biosystems). Tahapan PCR dimulai

dengan pemanasan suhu 94°C selama 2 menit,

diikuti oleh 45 siklus dengan 3 tahap suhu yaitu

95°C selama 30 detik, 55°C selama 30 detik dan

72°C selama 1,5 menit. Siklus PCR diakhiri

pada suhu 72oC selama 7 menit.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 85 - 94

88

Gambar 1. Sebaran geografis empat spesies Shorea penghasil tengkawang. Huruf menunjukkan lokasi, angka

menunjukkan spesies. A. Gunung Bunga Bekinci; B. Sungai Runtin; C. Bukit Baka; D.

Haurbentes 1. S. pinanga; 2. S. stenoptera; 3. S. macrophylla; 4. S. gysbertsiana

Elektroforesis dilakukan menggunakan

gel agarose 1,2% dicampur dengan Ethidium

bromide dan dialiri listrik 120 volt selama 2,5

jam. Citra fragmen DNA diambil menggunakan

GelDoc Image Analyzer.

Pemilihan penanda RAPD dilakukan

menggunakan 49 penanda RAPD (Operon

Technologies) dari 13 set penanda yaitu set

penanda A, B, C, D, E, G, N, O, Q, R, X, Y, dan

Z (Sulistyawati, data tidak dipublikasikan).

Proses seleksi penanda didasarkan pada

pemilihan penanda yang mempunyai jumlah

pola pita DNA polimorfik paling banyak, variasi

fragmen, tingkat reprodusibilitas dan kejelasan

pita DNA yang teramplifikasi. Seleksi penanda

menghasilkan 7 penanda RAPD yang digunakan

dalam penelitian ini (Tabel 2). Fragmen DNA

diidentifikasi berdasarkan kehadiran hasil

fragmen amplifikasi dengan klasifikasi "1" jika

ada amplifikasi dan "0" jika tidak ada

amplifikasi. Identifikasi lokus tertentu dilakukan

berdasarkan hasil amplifikasi.

Analisis data D.

Analisis data dilakukan menggunakan

program GenAlex 6.5 (Peakall & Smouse,

2012). Analisa klaster dilakukan menggunakan

metode UPGMA dengan program POPGENE

1.32 (Yeh & Boyle, 1997). Data yang dianalisis

adalah data hasil skoring berupa binary diploid.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman genetik A.

Sembilan belas (19) primer RAPD

diseleksi dan dipilih 7 (tujuh) primer digunakan

untuk menganalisis keragaman genetik dan

hubungan kekerabatan antara keempat jenis

Shorea penghasil tengkawang. Jumlah total

fragmen polimorfik dari ketujuh primer tersebut

adalah 33 lokus yang bervariasi antara 3 sampai

dengan 8 fragmen, dengan 33 – 83% fragmen

polimorfik (Tabel 2).

Pada Tabel 3 diperlihatkan bahwa

S. gysbertsiana dari Sungai Runtin memiliki

persentase fragmen polimorfik tertinggi

(75,76%), sedangkan S. macrophylla dari

Haurbentes (39,39%) memiliki fragmen

polimorfik terendah. Keragaman genetik

S. gysbertsiana dari Sungai Runtin (0,2518)

tertinggi sedangkan yang terendah adalah

S. macrophylla dari Haurbentes (0,1552).

Dengan demikian, persentase dari fragmen

polimorfik sangat menentukan keragaman

genetik populasi.

Hubungan Kekerabatan Shorea gysbertsiana dengan Tiga Jenis Shorea Penghasil Tengkawang Lainnya

Berdasarkan Penanda RAPD

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko

89

Tabel 2. Daftar primer RAPD, sekuens, dan jumlah fragmen polimorfik

Primer Sequence

(5’ to 3’) % GC

Jumlah

fragmen

Fragmen

Monomorfik

Fragmen

polimorfik

% fragmen

polimorfik

OPB-07 GGTGACGCAG 70 10 4 6 60

OPC-02 GTGAGGCGTC 70 8 3 5 63

OPC-05 GATGACCGCC 70 10 2 8 80

OPD-02 GGACCCAACC 70 9 6 3 33

OPD-13 GGGGTGACGA 70 6 3 3 50

OPG-17 ACGACCGACA 60 6 3 3 50

OPR-15 GGACAACGAG 60 6 1 5 83

Jumlah 55 22 33 60

Tabel 3. Keragaman genetik (h), Shannon Index (I) dan persentase fragmen polimorfik

Spesies Lokasi Keragaman

genetik (h)

Shannon

Index (I)

Jumlah

sampel

% fragmen

polimorfik

S. pinanga Haurbentes, Java 0,2277 0,3379 6 60,61

S. pinanga Bukit Baka Central Kalimantan 0,2239 0,3348 6 63,64

S. stenopthera Haurbentes, Java 0,2042 0,3161 6 66,67

S. stenopthera Gunung Bunga Bekinci, West

Kalimantan

0,1922 0,2867 6 54,55

S. macrophylla Haurbentes, Bogor Java 0,1552 0,2273 6 39,39

S. macrophylla Bukit Baka, Central Kalimantan 0,2267 0,3350 6 60,61

S. macrophylla Gunung Bunga Bekinci West

Kalimantan

0,2143 0,3293 6 66,67

S. macrophylla Sungai Runtin, West Kalimantan 0,2394 0,3601 6 69,70

S. gysbertsiana Bukit Baka, Central Kalimantan 0,1560 0,2371 6 45,45

S. gysbertsiana Gunung Bunga Bekinci, West

Kalimantan

0,1906 0,2991 6 66,67

S. gysbertsiana Sungai Runtin, West Kalimantan 0,2518 0,3838 6 75,76

Tabel 4. Analisa sidik ragam molekuler untuk 11 populasi Shorea penghasil tengkawang

Sumber

Variasi

Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Rerata

Kuadrat

Persentase

Varian P - value

Antar Region 1 7,980 7,980 0 0,77

Antar Populasi 9 83,201 9,245 12 0,001

Dalam Populasi 55 275,333 5,006 88 0,001

Total 65 366,515 100

Keragaman genetik dari 11 populasi dari

4 jenis Shorea penghasil tengkawang berkisar

antara 0,1552 – 0,2518. Hasil keragaman

genetik ini termasuk kategori rendah apabila

dibandingkan dengan hasil keragaman genetik

jenis Shorea lainnya yaitu S. smithiana (0,4762

– 0,5481; Widyatmoko, 2015). Hasil analisis

keragaman genetik beberapa jenis Shorea

berdasarkan penanda SSR juga menampilkan

angka yang lebih tinggi dari penelitian ini

(Sulistyawati, Widyatmoko, &

Nurtjahjaningsih, 2014; Widyatmoko, 2015).

Widyatmoko (2015) menyampaikan

bahwa keragaman genetik S. stenoptera,

S. pinanga, dan S. macrophylla dari 6 populasi

mempunyai keragaman genetik rata-rata 0,726,

sedangkan Sulistyawati, et al. (2014)

melaporkan keragaman genetik 6 populasi

S. leprosula sebesar 0,733. Jenis-jenis Shorea

penghasil tengkawang sudah termasuk dalam

jenis yang terancam punah, sehingga kondisi ini

tercermin pada keragaman genetiknya yang

tidak tinggi.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 85 - 94

90

Hasil dari analisis sidik ragam molekuler

(Tabel 4) memperlihatkan bahwa perbedaan

P-value antar region atau wilayah tidak berbeda

nyata, sedangkan perbedaan antar populasi dan

dalam populasi berbeda nyata. Hal ini berarti

bahwa perbedaan wilayah/region tidak

mempengaruhi perbedaan genetik. Sebagai

tambahan hal ini juga mencerminkan bahwa

keragaman genetik berada di dalam populasi

dan antar populasi. Keragaman genetik antar

region yang tidak berbeda nyata berarti bahwa

terdapat aliran gen yang cukup besar terjadi

diantara populasi-populasi dalam satu region

tersebut. Selain itu, pada penelitian ini dalam

satu region atau wilayah terdapat lebih dari satu

jenis tanaman yang dianalisa sehingga tidak

memperlihatkan perbedaan keragaman genetik

yang signifikan. Hasil yang sama juga diperoleh

pada penelitian tentang keragaman genetik

tanaman nyamplung (Callophyllum

inophyllum), dimana perbedaan genetik antar

wilayah juga sangat kecil (Nurtjahjaningsih,

Haryanti, Widyatmoko, Indrioko, &

Rimbawanto, 2015). Berbeda dengan hasil

penelitian Widyatmoko dan Aprianto (2013)

pada tanaman Ramin (Gonystylus bancanus),

dimana terdapat jarak genetik antara

wilayah/region yang signifikan yaitu sebesar

8%.

Hubungan kekerabatan B.

Penelitian hubungan kekerabatan

S. gysbertsiana dengan 3 jenis Shorea penghasil

tengkawang lainnya yang berasal dari 11

populasi menggunakan 7 primer RAPD yang

telah diseleksi, ditujukan juga untuk mengetahui

kedekatan genetik dari keempat jenis tersebut.

Pada penelitian ini juga mencoba menemukan

alel spesifik untuk membedakan satu spesies

dengan spesies lainnya.

Analisis klaster pada 4 spesies Shorea

penghasil tengkawang menghasilkan

dendrogram yang memperlihatkan hubungan

kekerabatan antara keempat jenis Shorea

(Gambar 2). Dari dendrogram yang dihasilkan,

terlihat bahwa keempat jenis Shorea

dikelompokkan menjadi 2 kelompok,

S. gysbertsiana dan S. macrophylla pada

kelompok pertama, sedangkan S. pinanga dan

S. stenoptera membentuk kelompok kedua.

Penelitian tentang empat jenis Shorea penghasil

tengkawang menggunakan penanda mikrosatelit

juga dilaporkan oleh Nurtjahjaningsih,

Widyatmoko, Sulistyawati, dan Rimbawanto

(2012). Kedua hasil tersebut menunjukkan

kedekatan secara genetik antara keempat jenis

Shorea tersebut.

Gambar 2. Dendogram analisis kluster empat spesies Shorea tengkawang

Dengan tujuan untuk membedakan

keempat jenis Shorea tersebut, ditemukan 13

losi khusus (Gambar 3 dan Tabel 5). Dari ketiga

belas alel tersebut, 7 alel merupakan alel

bersama antara S. gybertsiana dan

S. macrophylla, 2 alel bersama antara

S. gybertsiana - S. macrophylla dengan

S. stenoptera, serta 1 alel bersama antara

0.6

0.6

0.73

1.21

0.13

0.13

Shorea pinanga

Shorea stenoptera

Shorea gysbertsiana

Shorea macrophylla

Hubungan Kekerabatan Shorea gysbertsiana dengan Tiga Jenis Shorea Penghasil Tengkawang Lainnya

Berdasarkan Penanda RAPD

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko

91

S. pinanga dan S. stenoptera. Terdapatnya 7 alel

bersama antara S. gybertsiana dan

S. macrophylla mengungkapkan hubungan

genetik yang sangat dekat antara kedua jenis itu.

Nurtjahjaningsih et al. (2012) juga melaporkan

adanya alel bersama di antara 2 atau 3 jenis

Shorea tersebut menggunakan penanda

mikrosatelit. Ditemukan juga beberapa alel

bersama antara S. gybertsiana dengan

S. pinanga dan S. stenoptera. Seperti diketahui

sebelumnya bahwa S. gysbertsiana merupakan

syntype atau nama lain dari S. macrophylla

(Soerianegara & Lemmens, 1994). Berbeda

dengan yang dilaporkan oleh Nurtjahjaningsih

et al. (2012), pada penelitian ini tidak ditemukan

lokus bersama antara S. gysbertsiana dan

S. pinanga. Hal ini menunjukkan bahwa

hubungan kekerabatan antara S. gysbertsiana

dan S. pinanga lebih jauh dibandingkan dengan

2 jenis Shorea lainnya (S. macrophylla dan

S. stenoptera). Penelitian ini menemukan satu

lokus khusus untuk S. gysbertsiana dan satu

lokus khusus untuk S. macrophylla (Tabel 5).

Gambar 3. Pola frekuensi lokus antar populasi

Tabel 5. Lokus bersama antara 4 jenis Shorea penghasil tengkawang berdasarkan 6 penanda RAPD

Spesies Jumlah alel

bersama Nama alel

S. stenoptera- S. gysbertsiana- S. macrophylla 2 OPD-02-300; OPD-02-900

S. macrophylla-S. gysbertsiana 7 OPB-07-250; OPC-05-800; OPC-05-

1000; OPC-05-1400; OPD-02-800;

OPD-02-1000; OPD-13-600

S. gysbertsiana 1 OPC-05-290

S. macrophylla 1 OPC-02-900

S. pinanga, S. stenoptera 1 OPR-15-270

S. pinanga 1 OPR-15-350

Alel khusus merupakan salah satu alat

untuk mengenali spesies. Rimbawanto dan

Widyatmoko (2011) menyampaikan bahwa

untuk ditetapkan sebagai alel khusus, maka alel

tersebut harus muncul di setiap contoh dari

suatu jenis tetapi tidak muncul pada semua

contoh dari jenis lainnya. Disampaikan juga

bahwa sangat sulit untuk menemukan alel

khusus, terlebih untuk membedakan jenis-jenis

yang mempunyai hubungan kekerabatan yang

dekat atau sangat dekat, seperti antara Aquilaria

macrophylla dan A. microcarpa. Sedangkan

untuk S. gysbertsiana kemungkinan mempunyai

alel khusus untuk membedakannya dengan

Jumlah Lokus

Jumlah Lokus

Frek >=5 %

Jumlah Lokus

Khusus/Spesifik

Jumlah Lokus <=

25 %

Jumlah Lokus <=

50 %

Pola frekuensi lokus antar populasi

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 85 - 94

92

S. pinanga atau S. stenoptera. Tetapi bila

dengan S. macrophylla yang disebut sebagai

syntype atau nama lain dari S. gysbertsiana,

tentunya akan sangat susah untuk menemukan

alel yang membedakan antara dua jenis Shorea

tersebut. Pada penelitian ini hanya ditemukan 1

alel khusus pada S. gysbertsiana yang tidak

terdapat pada 3 jenis Shorea lainnya (OPC05-

290). Hal serupa ditemui pada penggunaan

penanda RAPD untuk mengidentifikasi jenis

bambu yang dilakukan oleh Das, Bhattacharya,

dan Pal (2005) yang menemukan 2 lokus khusus

dari B. balcoa dan B. tulda yang tidak

ditemukan pada 14 jenis bambu yang lainnya.

Satu alel khusus dapat digunakan untuk

mengenali jenis, tetapi harus memenuhi syarat

yang ditentukan seperti disebutkan di atas.

Semakin banyak jumlah alel khusus, tentunya

akan lebih baik. Cholastova, Soldanova, dan

Pokorny (2011) menggunakan penanda RAPD

untuk membedakan 30 jenis hibrid tanaman

jagung menjadi 8 buah kelompok berdasarkan

16 lokus polimorfik. Alel khusus pada

S. gysbertsiana belum dapat dikatakan sebagai

alel khusus pembeda jenis karena tidak semua

individu pada S. gysbertsiana mempunyai alel

tersebut.

Penelitian ini dapat memberikan

pernyataan bahwa S. gysbertsiana bukanlah

nama lain atau syntype dari S. macrophylla.

Walaupun keduanya mempunyai hubungan

kekerabatan yang dekat dan jumlah alel bersama

yang cukup banyak, tetapi S. gysbertsiana

mempunyai struktur genetik yang berbeda

dengan S. macrophylla. Hal ini dijelaskan

dengan adanya pemisahan berdasarkan jarak

genetik pada analisa kluster. Hal yang sama

juga disampaikan oleh Nurtjahjaningsih et al.

(2012) menggunakan penanda mikrosatelit

(SSR). Untuk mendapatkan alel khusus yang

dapat digunakan untuk mengenali jenis,

diperlukan penelitian lanjutan dengan

menambahkan jumlah penanda, baik itu

penanda RAPD atau penanda DNA lainnya.

Informasi mengenai keragaman genetik,

hubungan kekerabatan antar jenis dan alel

spesifik dari keempat jenis Shorea penghasil

tengkawang yang diperoleh pada penelitian ini

dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan

seperti penyusunan strategi konservasi genetik,

hibridisasi, maupun pemuliaan. Untuk tujuan

konservasi tanaman, maka jenis S. gysbertsiana

dan S. macrophylla tidak bisa dianggap sebagai

jenis syntype karena berdasarkan penanda

RAPD, diketahui bahwa masing-masing jenis

tersebut mempunyai lokus khusus yang bisa

dapat digunakan sebagai pembeda jenis. Selain

itu, berdasarkan analisa kluster, diketahui bahwa

dua jenis terpisah meskipun jarak genetiknya

masih berdekatan.

IV. KESIMPULAN

Rendahnya keragaman genetik dari empat

jenis Shorea penghasil tengkawang

menggambarkan semakin menurunnya potensi

genetik seiring dengan semakin menurunnya

potensi sebaran alamnya. Hasil penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa S. gysbertsiana

mempunyai kedekatan genetik dengan tiga

spesies Shorea penghasil tengkawang lainnya

dari 11 populasi di Kalimantan dan Jawa.

Kedekatan hubungan yang diperlihatkan dalam

penelitian ini serta diperolehnya alel bersama

dan alel khusus dapat menjadi informasi yang

cukup bermanfaat untuk kegiatan konservasi

maupun pemuliaan dari keempat jenis tersebut

di masa mendatang.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada

tim peneliti dan teknisi kelompok peneliti

Bioteknologi Hutan yang telah membantu

penulis untuk melakukan pengambilan sampel

daun di persemaian dan kegiatan penelitian

DNA di Laboratorium Genetika Molekuler

BBPPBPTH Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Adriyanti, O. T., Hardiwinoto, S., Gresen, W., Van

Der Meer, P., Coolen, Q., & Karyanto, O.

(2015). Illipe nut plantation on undrained

peatland. Food and Agriculture Organization

of the United Nations. 14415E/1/02/15.

Hubungan Kekerabatan Shorea gysbertsiana dengan Tiga Jenis Shorea Penghasil Tengkawang Lainnya

Berdasarkan Penanda RAPD

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko

93

Alamendah. (2004). Taksonomi Ilmiah. diakses dari

http://dephut.go.id.

Cholastova, T., Soldanova, M., & Pokorny, R.

(2011). Random amplified polymorphic DNA

(RAPD) and simple sequence repeat (SSR)

marker efficacy for maize hybrid

identification. African Journal of

Biotechnology, 10(24), 4794–4801.

Costa, L. ., Reiniger, L. R., Heinzmann, B. M.,

Amaral, L. P., & Serrote, C. M. (2015). Study

of the genetic diversity and structure of a

natural population of Nectandra megapotamica

(Spreng.) Mez. using RAPD markers. Genet

Mol Res, 14(4), 18407–13.

Da Silva, A. V. C., Rabbani, A. R. C., De Sena-

Filho, J. G., Almeida, C. S., & Feitosa, R. B.

(2012). Genetic diversity analysis of Mangaba

(Hancornia speciosa Gomes), an exotic

Brazilian tropical species. Tropical and

Subtropical Agroecosystems, 15(2), 217–225.

Das, M., Bhattacharya, S., & Pal, A. (2005).

Generation and Characterization of SCARs by

Cloning and Sequencing of RAPD Products: A

Strategy for Species-specific Marker

Development in Bamboo. Annals of Botany,

95, 835–841.

Fajri, M. (2008). Pengenalan Umum

Dipterocarpaceae, Kelompok Jenis Bernilai

Ekonomi Tinggi. Info Teknis Dipterokarpa,

2(2), 9–21.

Hakim, L., Leksono, B., & Setiati, D. (2010).

Eksplorasi Tengkawang (Shorea spp.) di

Sebaran Alam Kalimantan Untuk Konservasi

Sumber Daya Genetik dan Populasi Pemuliaan.

In Seminar National “MAPEKI XIII”

Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kayu

Untuk Mendukung Implementasi Program

Perubahan Iklim (pp. 813–822).

Hardjana, A. K., & Rayan. (2011). Pertumbuhan

Bibit tengkawang (Shorea spp.) Asal Biji Dari

Populasi Hutan Alam Kalimantan di

Persemaian B2PD Samarinda. Jurnal

Penelitian Dipterokarpa, 5(2), 61–72.

Istomo, & Hidayati, T. (2010). Studi Potensi dan

Penyebaran Tengkawang (Shorea spp.) di

Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood

Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur.

Silvikultur Tropika, 1(1), 11–17.

Khasa, P. D., & Dancik, B. P. (1996). Rapid

Identification of White-Engelmann Spruce

Species by RAPD Markers. Theor. Appl.

Genet, 92, 46–52.

Konzen, E. R. (2014). Towards conservation

strategies for forest tree endangered species:

the meaning of population genetic statistics.

Adv. For. Sci, 1, 45–51.

Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K., &

Prawira, S. A. (1981). Atlas Kayu Indonesia

(I). Bogor: Balitbang.

Mendes, R. F. M., Araujo Neto, R. B., Nascimento,

M. P. S. B. C., & Lima, P. S. . (2014). RAPD

analysis of the genetic diversity among

accessions of Fabaceous forages (Poincianella

spp) from the Caatinga. Genet. Mol. Res., (13),

5832–5839.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.4238/2014.

August.1.1

Newman, M. F., Burgess, P. F., & Whitmore, T. C.

(1996). Manual of dipterocarps for foresters.

Borneo Island light hardwoods: Anisoptera,

Parashorea, Shorea (red, white and yellow

meranti). United Kingdom: Royal Botanic

Garden Edinburgh.

Nurtjahjaningsih, I., Haryanti, T., Widyatmoko, A.

Y. P. B. C., Indrioko, S., & Rimbawanto, A.

(2015). Keragaman genetik populasi

Calophyllum inophyllum Menggunakan

penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman

Hutan, 9(2), 91–102.

Nurtjahjaningsih, I., Widyatmoko, A. Y. P. B. C.,

Sulistyawati, P., & Rimbawanto, A. (2012).

Screening Penanda Mikrosatelit Shorea curtisii

terhadap Jenis-jenis Shorea Penghasil

Tengkawang. Jurnal Pemuliaan Tanaman

Hutan, 6(1), 49–56.

Peakall, R., & Smouse, P. E. (2012). GenAlEx 6.5:

genetic analysis in Excel. Population genetic

software for teaching and research an update.

Bioinformatics, 28(19), 2537–2539.

Perumal, M., Wasli, M. E., Ho, S. Y., Lat, J., & Sani,

H. (2015). Soil morphological and

physicochemical properties at reforestation

sites after enrichment planting of Shorea

macrophylla in Sampadi Forest Reserve,

Sarawak Malaysia, Borneo. Journal Reserve

Science Technology, 5, 28–43.

Perumal, M., Wasli, M. E., Ho, S. Y., Lat, J., & Sani,

H. (2017). Survivorship and Growth

Performance of Shorea macrophylla (de

Vierre) after enrichment planting for

reforestation purposes at Sarawak, Malaysia.

Online Journal of Biological Sciences, 7–17.

Purwaningsih. (2004). Sebaran ekologi jenis-Jenis

Dipterocarpaceae di Indonesia. Biodiversitas,

5(2), 89–95.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 85 - 94

94

Rimbawanto, A., & Widyatmoko, A. Y. P. B. C.

(2011). Identifikasi Aquilaria malaccensis dan

A. microcarpa menggunakan Penanda RAPD.

Jurmal Pemuliaan Tanaman Hutan, 5(1), 23–

30.

Rodrigues, M. G. F. R., Mazzini, R. B., Pivetta, K. F.

L., Alves, M. C., & Desidério, J. A. (2012).

Characterization of the genetic variability

among Caesalpinia pulcherrima (L.) Sw.

(Fabaceae) plants using RAPD molecular

markers. Acta Scientiarum, 34, 259–263.

Roedjai, D., Arsyad, M. A., & Harijanto. (1980).

Pemanfaatan Biji Tengkawang. Majalah

Kehutanan Indonesia.

Schühli, G. S., Oliveira, T. W. G., Oliveira, M. S. P.,

& Fowler, J. A. P. (2013). Genetic selection of

Calophyllum brasiliense for seed Orchards. J.

Biotec. Biodivers, 4, 371–377.

Shiraishi, S., & Watanabe, A. (1995). Identification

of chloroplast genome between Pinus

densiflora Sieb et Zucc and P. thumbergii Parl

based on the polymorphism in rbcL gene.

Journal of Japanese Forestry Society, 77, 429–

436.

Sidabutar, H. P., & Lumangkun, A. (2013).

Technical report on the Implementation of

activity 3.3. Study on the economics of

tengkawang seed processing. Samarinda.

Soerianegara, I., & Lemmens, R. H. M. (1994).

Timber trees: Major commercial timbers. Plant

Resources of South-East Asia, 5(1).

Sulistyawati, P., Widyatmoko, A. Y. P. B. C., &

Nurtjahjaningsih, I. (2014). Keragaman

Genetik Anakan Shorea leprosula berdasarkan

Penanda Mikrosatelit. Jurnal Pemuliaan

Tanaman Hutan, 8(3), 171–183.

Sumadiwangsa, S. (2001). Nilai dan Daya Guna

Penanaman Pohon Tengkawang (Shorea spp.)

di Kalimantan. Buletin Kehutanan, 2(1).

Sumarhani. (2007). Pemanfaatan dan Konservasi

Jenis Meranti Merah Penghasil Biji

Tengkawang Shorea stenoptera Burck dan

Shorea pinanga Scheff. Info Hutan, 4(2), 177–

185.

Wahyudi, A., Saridan, A., & Rombe, R. (2010).

Sebaran dan Asosiasi Jenis Pohon Penghasil

Tengkawang (Shorea spp.) di Kalimantan

Barat. Samarinda.

Widyatmoko, A., & Aprianto. (2013). Keragaman

Genetik Gonystylus bancanus (mig.) Kurz.

Berdasarkan Penanda RAPD (Random

Amplified Polymorphic DNA). Jurnal

Pemuliaan Tanaman Hutan, 7(1), 53–71.

Widyatmoko, A. Y. P. B. C. (2015). Genetic

Diversity of Three Shorea Species in Ex-situ

Conservation Plot in KRUS, East Kalimantan

Based on SSR Markers. In Proceedings of

International Conference of Indonesia

Forestry Research (pp. 479–485).

Williams, J. G. K., Kubelik, A. R., Livak, K. J.,

Rafalski, J. A., & Tingey, S. V. (1990). DNA

polymorphisms amplified by arbitrary primers

are useful as genetic markers. Nucleic Acids

Res, 18, 6531–6535.

https://doi.org/10.1093/nar/18.22.6531

Yeh, F. C., & Boyle, T. J. B. (1997). Population

genetic analysis of co-dominant and dominant

markers and quantitative traits. Belgian

Journal of Botany, (129), 157.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 95 - 104

95

SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN NYAWAI

(Ficus variegata Blume) DI BANTUL

Selection and genetic gain in progeny trial of nyawai (Ficus variegata Blume) at Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected]

Tanggal diterima: 3 Maret 2018, Tanggal direvisi: 17 April 2018, Disetujui terbit: 9 September 2018

ABSTRACT

Nyawai (Ficus variegata Blume) is a fast growing species which is promising for forest industrial plantation.

Tree improvement of nyawai was then initiated through some progeny trials involving wide range of genetic

base in Bantul. Study on initial growth reported that nyawai originated from Cilacap-Pangandaran showed

higher genetic variation than those from other locations. However, further growth performance including the

effect of selection in the progeny trial was not reported. This study was aimed to observe the growth and genetic

parameter of nyawai in the progeny trial at advanced age. The genetic gain resulted from series of within plot

selection was also estimated. The design of progeny trial was a randomized complete block with 19 families

from Cilacap-Pangandaran, 4 non-contiguous tree-plot, 7 blocks at spacing of 5 m × 5 m. The observed traits

were height, diameter at breast height and volume at four years of age. The results of study showed that survival

rate was high at 89%. The mean annual increment for height, diameter and volume were 1.52 m/yr; 2.35 cm/yr

and 8.65(×10-3

) m3/yr, respectively. The proportion of variance to the total variance for family, plot and within

plot ranged from 0.06% to 2.10%, 25.54% to 27.50% and 70.57% to 73.91%, respectively. In general, narrow-

sense heritability for individual, family and within family were low. Genetic gain from within family selection

that was practiced as within plot selection using selection ratio 25% were also low ranging from 0.19%

to1.91% for all traits.

Keywords: genetic parameter, within plot selection, tree improvement, fast growing species

ABSTRAK

Nyawai (Ficus variegata Blume) merupakan jenis cepat tumbuh potensial untuk pembangunan hutan tanaman

industri. Pemuliaan pohon nyawai diawali dengan membangun beberapa uji keturunan dengan basis genetik

yang luas di Bantul. Studi pada awal pertumbuhan dilaporkan bahwa nyawai yang berasal dari Cilacap –

Pangandaran menunjukkan variasi genetik yang tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Namun demikian,

penampilan pertumbuhan lebih lanjut pada umur dewasa dan efek seleksi pada uji keturunan tersebut belum

dilaporkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan parameter genetik pada uji

keturunan nyawai pada umur dewasa. Disamping itu juga dilakukan estimasi perolehan genetik hasil dari

berbagai seri seleksi dalam plot. Rancangan percobaan plot uji keturunan adalah Rancangan Acak Lengkap

Berblok dengan 19 famili dari Cilacap - Pangandaran, 4 non-contiguous tree-plot, 7 ulangan dengan jarak tanam

5 m × 5 m. Sifat yang diamati yaitu tinggi, diameter setinggi dada dan volume pada umur 4 tahun. Hasil

penelitian menunjukkan daya adaptasi pada plot uji keturunan sebesar 89%. Riap rata-rata tahunan untuk tinggi,

diameter dan volume masing-masing sebesar 1,52 m/th; 2,35 cm/th dan 8,65 (× 10-3

) m3/th. Proporsi varians

terhadap varians total untuk famili, plot dan dalam plot secara berurutan berkisar 0,06% - 2,10%; 25,54% -

27,50% dan 70,57% - 73,91%. Secara umum, heritabilitas individu dan famili serta heritabilitas di dalam famili

rendah. Perolehan genetik hasil seleksi dalam famili yang merupakan seleksi dalam plot pada rasio seleksi 25%

juga menunjukkan nilai yang rendah berkisar antara 0,19% - 1,91% pada ketiga sifat yang diamati.

Kata kunci: parameter genetik, seleksi dalam plot, pemuliaan pohon, jenis cepat tumbuh

I. PENDAHULUAN

Nyawai (Ficus variegata Blume)

termasuk famili Moraceae memiliki sinonim:

F. cordifolia Blume, F. subracemosa Blume,

F. racemifera Roxb. dan Covellia racemifera

(Roxb.) Miq (Chaudhary et al., 2012). Nyawai

termasuk jenis cepat tumbuh (Effendi, 2009,

2012; Effendi & Mindawati, 2015). Pada umur

2 tahun, rata-rata riap tinggi sebesar 3,45 m per

tahun dan riap diameter 3,61 cm per tahun

(Effendi, 2012). Kayunya berwarna cerah,

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 95 - 104

96

kuning keputihan dengan corak baik, sehingga

dapat digunakan sebagai bahan baku kayu lapis

bagian luar, kayu pertukangan dan pulp

(Siagian, Lestari, & Yoswita, 2004). Jenis ini

memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai

jenis untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) baik

dengan pola monokultur maupun pola campuran

(Effendi & Mindawati, 2015). Hingga saat ini

penanaman nyawai dalam skala besar masih

terbatas. Di areal PT. ITCIKU, Kalimantan

Timur, sampai 2008 telah ditanam nyawai lebih

dari 500 ha baik monokultur maupun campuran

dengan jenis lain (Effendi, 2009).

Dalam pembangunan hutan tanaman,

penggunaan materi genetik unggul menjadi

suatu kebutuhan. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan telah mengawali program

pemuliaan nyawai melalui pembangunan plot

uji keturunan nyawai di Mangunan, Bantul pada

tahun 2012. Program pemuliaan ini difokuskan

pada upaya peningkatkan produksi sebagai

bahan baku kayu pertukangan dengan prioritas

sifat yang dimuliakan meliputi sifat tinggi,

diameter dan volume. Sifat-sifat ini diketahui

dipengaruhi oleh banyak gen, sehingga metode

genetika kuantitatif bisa digunakan untuk

menghitung besaran variasi genetik yang akan

mempengaruhi fenotipenya (White, Adam, &

Neale, 2007).

Sebanyak tiga plot uji keturunan nyawai

yang telah dibangun meliputi tiga sub galur,

yaitu sub galur Nusa Tenggara Barat, sub galur

Banyuwangi dan sub galur Cilacap-

Pangandaran dengan jumlah famili yang diuji

secara berturut-turut masing-masing sebanyak

17, 15 dan 19 famili. Hasil studi awal

pertumbuhan menunjukkan bahwa sub galur

Cilacap – Pangandaran memiliki variasi genetik

yang sangat nyata di antara famili dan memiliki

estimasi heritabilitas individu maupun

heritabilitas famili tertinggi dibandingkan 2 sub

galur lainnya (Haryjanto, Prastyono, &

Yuskianti, 2014). Hal ini memberikan indikasi

bahwa sub galur Cilacap – Pangandaran

merupakan sub galur yang potential dalam

pemuliaan nyawai. Namun demikian

pengamatan lebih lanjut pada umur tanaman

dewasa dan pengaruh penerapan strategi

pemuliaan melalui seleksi belum dilaporkan.

Sebagaimana diketahui bahwa variasi genetik

dan proses seleksi merupakan bagian penting

dalam strategi pemuliaan tanaman untuk

mendapatkan tanaman yang unggul secara

genetik. Berkaitan dengan hal tersebut di atas,

penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui

pertumbuhan dan paramater genetik pada

tanaman dewasa serta pengaruh seleksi dalam

plot (within plot selection) terhadap perolehan

genetik pada plot uji keturunan nyawai yang

dibangun di Bantul.

II. BAHAN DAN METODE

Bahan A.

Bahan penelitian adalah tegakan pada

plot uji keturunan nyawai yang dibangun di

Blok Kediwung, RPH Mangunan, Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta yang secara administrasi

pemerintahan termasuk Desa Mangunan,

Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Secara

geografis plot uji berada pada 07°57ʹ30’’-

07°57ʹ54’’LS dan 110°26ʹ07’’-110°26ʹ29” BT,

dan 75 m di atas permukaan laut (dpl).

Sedangkan kondisi klimatologis adalah curah

hujan rata-rata 1.502 mm/th, iklim termasuk

tropis basah (humid tropical climate) tipe Af

sampai Am dari klasifikasi iklim Koppen (atau

tipe iklim C menurut klasifikasi Schmidt dan

Ferguson), dengan jenis tanah Latosol merah

kekuningan (Oxisol) (Bappeda Kabupaten

Bantul, 2011). Plot uji keturunan nyawai

dibangun menggunakan Rancangan Acak

Lengkap Berblok (Randomized Complete Block

Design – RCBD) dengan 19 famili, 4 non-

contiguous tree-plot, 7 ulangan, dan ditanam

pada jarak tanam 5 × 5 m. Semua famili yang

diuji pada plot ini berasal dari sebaran alam

nyawai di Cilacap – Pangandaran (Haryjanto et

al., 2014).

Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Nyawai (Ficus variegata Blume) di Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan

97

Metode B.

1. Pengumpulan data

Sifat yang diamati yaitu tinggi total (m),

diameter setinggi dada (cm) dan volume pohon

(m3). Pengukuran dilakukan pada saat tanaman

berumur 4 tahun setelah penanaman. Volume

pohon dihitung dengan rumus (Qirom &

Supriyadi, 2013):

ln V = a + b ln (D) +c ln (H)……….....….……….(1)

dimana:

V = volume pohon (m3)

D = diameter setinggi dada (cm)

H = tinggi pohon (m)

a = - 9,22846; b = 1,7456; c=0,9759

2. Analisis statistik

Data hasil pengukuran sebanyak 474

individu dan setelah dihilangkan dari pencilan

menjadi 387 individu dari 19 famili.

Analisis varians dilakukan menggunakan

data individual dengan model linear sebagai

berikut:

Yijk = µ + Bi+Fj+FBij + εijk....................................(2)

Keterangan:

Yijk, µ, Bi, Fj, FBij dan εijk berturut-turut adalah

pengamatan individu pohon ke-k pada blok ke-i

dan famili ke-j, rerata umum, efek tetap blok ke-

i, efek random famili ke-j, efek random interaksi

famili ke-i dan blok ke-j, serta random eror pada

pengamatan ke-ijk.

3. Parameter genetik dan seleksi

Efek famili diasumsikan sebagai efek

random, dan rerata efek genetik dari famili

dengan penyerbukan terbuka adalah σ2A = 4σ

2f,

dimana σ2A adalah varian genetik aditif dan σ

2f

adalah komponen varians famili (White et al.,

2007; Wright, 1976; Zobel & Talbert, 1984).

Heritabilitas individu (h2i), heriabilitas

famili (h2f) dan heritabilitas di dalam famili (h

2w)

dihitung dengan rumus sebagai berikut

(Sebbenn, Pontinha, Giannotti, & Kageyama,

2003):

……………………(3)

……..……………..(4)

……………………….…….…….(5)

dimana:

σ2f = komponen varians famili;

σ2fb = komponen varians plot;

σ2

w = komponen varians dalam plot;

B = jumlah blok;

T = jumlah pohon per plot

Korelasi genetik antara dua sifat (rGxy)

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Zobel & Talbert, 1984):

……………….…..(6)

dimana:

σf(xy) : komponen kovarians antara sifat x dan y,

σ2f(x) : komponen varians famili untuk sifat x,

σ2f(y) : komponen varians famili untuk sifat y.

Pada penelitian ini seleksi dilakukan

dalam famili (within family selection) dengan

rasio seleksi 75%, 50% dan 25%, yaitu

meninggalkan berturut-turut 3, 2 dan 1 tree-plot

dari 4 tree-plot. Seleksi dilakukan dalam plot

(within plot selection) dikarenakan jumlah

famili yang terbatas. Perolehan genetik sebagai

respon seleksi dihitung menurut (Zobel &

Talbert, 1984; Falconer & Mackay, 1996):

…….……………………….…(7)

………………….….(8)

dimana:

R = perolehan genetik absolut;

R (%) = perolehan genetik relatif;

I = intensitas seleksi dalam plot (tabel

intensitas seleksi menurut Becker, 1992);

σw = simpangan baku fenotipe dalam plot;

= rerata awal fenotipe sebelum dilakukan

seleksi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman A.

Persen hidup tanaman nyawai pada plot

uji keturunan di Bantul sampai umur 4 tahun

cukup baik, yaitu sebesar 89%. Rata-rata persen

hidup tanaman antarfamili berkisar 82,1% -

96,4% dan dalam setiap plot berkisar 25% -

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 95 - 104

98

100% atau rata-rata tanaman yang hidup dalam

setiap plot sebanyak 3,6 tanaman. Kematian

tanaman pada plot ini banyak terjadi pada saat

umur tanaman kurang dari 1 tahun, yaitu ±10%,

tetapi setelah umur 2 tahun kematian tanaman

hampir tidak ditemukan (Haryjanto et al., 2014;

Haryjanto & Prastyono, 2015; Haryjanto, 2017).

Tanah pada tapak penelitian tergolong marginal

dengan jenis tanah yaitu Oxisol. Jenis tanah ini

mempunyai horison penciri oksik yang telah

mengalami pelapukan kimia-fisika sangat lanjut,

Kapasitas Tukar Kation (KTK) liat sangat

rendah dan mineral mudah lapuk tinggal sedikit

hingga habis sama sekali (Hardjowigeno, 1993;

Rachim, Arifin, & Nadeak, 2011).

Pada umur empat tahun, rerata tinggi

tanaman sebesar 6,10 m, diameter sebesar 9,41

cm dan volume pohon sebesar 34,60 (×10-3

) m3

atau rata-rata riap untuk tinggi, diameter dan

volume pohon berturut-turut sebesar 1,52 m/th;

2,35 cm/th dan 8,65 (×10-3

) m3/th. Riap ini lebih

rendah dibandingkan nyawai yang ditanam di

Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Cikampek dimana sampai umur 2

tahun, rata-rata riap tinggi 3,45 m/th dan rata-

rata riap diameter 3,61 cm/th (Effendi, 2012).

Rendahnya riap tinggi dan diameter nyawai di

Bantul kemungkinan karena perbedaan

perlakuan pemupukan mengingat jenis tanahnya

sama yaitu Latosol merah kekuningan (Oxisol).

Di KHDTK Cikampek tanahnya diberi pupuk

organik sebanyak 4 ton per 0,25 ha dan

pemberian pupuk anorganik pada tanaman

tumpangsari (Effendi, 2012). Perbedaan

perlakuan pemupukan ini menjadikan riap

tinggi, diameter dan volume pohon nyawai di

Bantul tidak secepat dengan riap tinggi,

diameter dan volume pohon jenis-jenis cepat

tumbuh lainnya. Riap jabon (Anthocephalus

cadamba) untuk tinggi, diameter dan volume

berturut-turut sebesar 3,9 m/th; 5,97 cm/th dan

81,79 (×10-3

) m3/th (Indrajaya & Siarudin,

2013) dan Acacia mangium sebesar 3,8m/th;

3,8cm/th dan 47,93 (×10-3

) m3/th

(Ruby,

Supriyo, & Sutanto, 1997).

Hasil analisis varians untuk tinggi,

diameter dan volume pohon disajikan pada

Tabel 1. Keragaman sifat tinggi, diameter dan

volume pohon secara nyata dipengaruhi oleh

blok, famili maupun interaksi blok dengan

famili.

Tabel 1. Analisis varians untuk tinggi, diameter dan volume pohon pada plot uji keturunan nyawai umur

empat tahun di Bantul

Sumber variasi Derajat bebas Kuadrat Tengah

Tinggi Diameter Volume pohon

Blok

Famili

Blok x famili

Galat

6

18

108

248

5,50**

4,13**

3,39**

53,46**

16,55**

15,60**

2,28 **

1,18 **

0,98 **

Keterangan: ** = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%

Keragaman karena pengaruh blok

kemungkinan karena kemiringan plot uji lebih

dari 30, sehingga tingkat kesuburan tapak

bervariasi antara blok di bagian atas dengan

bagian bawah. Keragaman karena pengaruh

famili diduga karena pengaruh jarak antara

pohon induk di populasi asal cukup jauh.

Eksplorasi materi genetik di populasi Cilacap

dilakukan minimal jarak antar pohon induk

sekitar 100 m untuk mencegah terkoleksinya

individu pohon yang masih berkerabat dekat

dan meminimalkan kemungkinan terjadinya

inbreeding (Yuskianti & Setiawan, 2012).

Pengaruh famili sangat nyata pada sifat tinggi

dan diameter telah teramati saat tanaman

berumur 6 bulan, 12 bulan, 2 tahun dan 3 tahun

(Haryjanto, 2017; Haryjanto, Prastyono, &

Charomaini, 2015; Haryjanto et al., 2014).

Pengaruh famili terhadap keragaman sifat tinggi

dan diameter juga dijumpai pada jenis-jenis

Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Nyawai (Ficus variegata Blume) di Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan

99

tanaman tropis seperti Eucalyptus urophylla

(Dlamini, Pipatwattanakul, & Maelim, 2017),

A. mangium (Nirsatmanto, 2012), Falcataria

moluccana (Hadiyan, 2010), Araucaria

cunninghamii (Setiadi, 2010, 2011). Keragaman

sifat tinggi dan diameter juga disebabkan karena

adanya pengaruh interaksi faktor genetik

(famili) dengan faktor lingkungan (blok). Hal

ini sebagaimana ditunjukkan dengan adanya

peringkat penampilan famili yang tidak stabil

antarblok. Sebagai contoh, penampilan sifat

tinggi famili 11 pada blok 1, blok 2, blok 5 dan

blok 6 berturut-turut menduduki peringkat

pertama, kedua belas, kedua dan keempat dari

19 famili di masing-masing blok (data tidak

ditampilkan).

Parameter genetik B.

Estimasi komponen varians sifat tinggi,

diameter dan volume pohon disajikan pada

Tabel 2. Proporsi masing-masing komponen

varians terhadap komponen varians total untuk

ketiga sifat tersebut pada kisaran 0,06% - 2,10%

(famili), 25,54% - 27,50% (plot) dan 70,57% -

73,91% (dalam plot). Proporsi terbesar

ditemukan pada komponen varians dalam plot

dan diikuti secara berturut-turut lebih rendah

pada komponen varians plot dan famili.

Tingginya komponen varians dalam plot

kemungkinan dikarenakan pola konfigurasi

tree-plot yang digunakan yaitu non-contiguous

plot. Pada tree-plot tipe ini, pohon plot dalam

satu blok letaknya tidak beraturan, yang

memungkinkan jarak antar tree-plot ada yang

dekat maupun jauh sehingga variasi lingkungan

dalam tree-plot menjadi besar. Hal ini didukung

dengan jarak tanam yang cukup lebar (5 × 5 m)

sehingga variabilitas tapak dalam plot menjadi

besar. Proporsi komponen varians famili sifat

tinggi lebih besar daripada sifat diameter yang

artinya nilai heritabilitas sifat tinggi berpotensi

memberikan nilai lebih besar daripada sifat

diameter. Besarnya proporsi komponen varians

akan memberikan pengaruh terhadap nilai

heritabilitas. Semakin kecilnya proporsi

komponen varians famili akan berdampak pada

kecilnya nilai heritabilitas karena taksiran nilai

heritabilitas merupakan perbandingan antara

varians famili terhadap varians total fenotipe

(Williams, Matheson, & Harwood, 2002).

Tabel 2. Estimasi komponen varians untuk tinggi, diameter dan volume pohon pada plot uji keturunan

nyawai umur 4 tahun di Bantul

Sifat σ2f σ

2fb σ

2w σ

2T

Tinggi

Diameter

Volume

0,0482 (2,10%)

0,0587 (0,55%)

0,4119 (0,06%)

0,6285 (27,33%)

2,7272 (25,54%)

180,9031 (27,50%)

1,6231 (70,57%)

7,8928 (73,91%)

476,4440 (72,43%)

2,2999 (100%)

10,6788 (100%)

657,7590 (100%)

Keterangan: σ2

f = komponen varians famili; σ2fb = komponen varians antar plot; σ

2w = komponen varians dalam

plot; σ2

T = komponen varians total; angka dalam kurung = proporsi (%) masing-masing komponen

varians terhadap varians total

Besarnya proporsi komponen varians

dalam plot dalam penelitian ini

mengindikasikan besarnya variasi tanaman di

dalam plot sehingga seleksi dalam plot (within

plot selection) berpotensi memberikan

tambahan perolehan genetik pada uji keturunan

nyawai. Hal yang sama dijumpai pada uji

provenans-keturunan Araucaria angustifolia

(Bert.) O. Ktze. (Sebbenn et al., 2003), kebun

benih komposit A. mangium (Nirsatmanto,

2012), uji provenans-keturunan Cedrela odorata

(Hernández-Máximo1 et al., 2016). Di samping

itu, seleksi dalam plot dalam penelitian ini juga

memiliki kelebihan karena dapat menjaga

keragaman genetik. Hal ini mengingat jumlah

famili yang diuji jumlahnya terbatas (19 famili),

sehingga strategi pemuliaan yang ditempuh

untuk meningkatkan produktivitas tanaman

adalah melalui penjarangan seleksi dalam plot

dan tanpa melakukan penjarangan seleksi antar

famili. Strategi seleksi lain yang bisa ditempuh

adalah dengan meningkatkan intensitas seleksi

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 95 - 104

100

(IS) pada level individu sebagai induk vegetatif

yang diikuti dengan perbanyakan klonal.

Estimasi heritabilitas individu untuk sifat

tinggi, diameter dan volume pohon pada umur 4

tahun secara berurutan masing-masing sebesar

0,084; 0,022 dan 0,003 (Tabel 3) dan termasuk

kategori rendah menurut (Cotterill & Dean,

1990). Nilai heritabilitas individu sifat tinggi ini

berbeda dengan nilai heritabilitas pada umur

yang lebih muda (1-3 tahun) yang tergolong

sedang, yaitu secara berturut-turut sebesar

0,153; 0,22 dan 0,13 (Haryjanto, 2017;

Haryjanto et al., 2015, 2014). Sementara itu

estimasi heritabilitas individu untuk sifat

diameter juga termasuk kategori rendah pada

semua pengamatan sampai umur 4 tahun (Tabel

3). Secara umum estimasi heritabilitas individu

pada sifat tinggi lebih besar daripada diameter.

Hasil yang sama juga dijumpai pada beberapa

jenis tanaman tropis (Hodge, Dvorak, Uruena,

& Rosales, 2002; Pinyopusarerk, Doran,

Williams, & Wasuwanich, 1996).

Estimasi heritabilitas famili untuk tinggi,

diameter dan volume pohon pada umur 4 tahun

secara berurutan masing-masing sebesar 0,221;

0,070 dan 0,009, sedangkan heritabilitas dalam

famili sebesar 0,089; 0,022 dan 0,003 (Tabel 3).

Kedua nilai heritabilitas ini termasuk kategori

rendah. Pada pengamatan umur 1 tahun sampai

3 tahun, heritabilitas famili sifat tinggi dan

diameter sebagian besar juga tergolong kategori

rendah (Haryjanto, 2017; Haryjanto et al., 2015,

2014).

Estimasi heritabilitas baik individu

maupun famili pada sifat tinggi, diameter dan

volume ini tidak ada yang termasuk kategori

tinggi. Hal ini menunjukkan komponen varians

famili cukup kecil proporsinya dalam

menyumbang varians total fenotipe. Rerata

komponen varians famili sifat tinggi, diameter

dan volume ±0,90%, sedangkan sisanya

merupakan varians yang disebabkan karena

lingkungan. Nilai ini lebih kecil bilamana

dibandingkan dengan jenis lain seperti Alstonia

sholaris umur 2 tahun di Playen (±10%)

(Mashudi & Baskorowati, 2015). Rendahnya

komponen varians famili kemungkinan

disebabkan karena besarnya error pada plot uji

keturunan baik karena plot error maupun within

plot error. Kedua error tersebut disebabkan

karena adanya variasi blok yang besar dan

variasi karena konfigurasi tree-plot yang

digunakan.

Tabel 3. Estimasi heritabilitas pada berbagai umur dan sifat pada plot uji keturunan nyawai di Bantul

Umur (tahun) Sifat hi2 hf

2 hw

2 Sumber

1 Tinggi 0,153 0,310 -

(Haryjanto et al., 2014) Diameter 0,096 0,276 -

2 Tinggi 0,22 0,49 -

(Haryjanto et al., 2015) Diameter 0,09 0,29 -

3 Tinggi 0,13 0,32 -

(Haryjanto, 2017) Diameter 0,03 0,32 -

4

Tinggi 0,084 0,221 0,089

Penelitian ini Diameter 0,022 0,070 0,022

Volume 0,003 0,008 0,003

Keterangan: hi2 = heritabilitas individu; h

2f = heritabilitas famili; h

2w = heritabilitas dalam famili

Dari ketiga sifat yang diamati, secara

umum sifat tinggi memiliki heritabilitas yang

paling tinggi dengan heritabilitas individu

sebesar 0,08, heritabilitas famili sebesar 0,22

dan heritabilitas dalam famili sebesar 0,09

diikuti sifat diameter dan volume pohon (Tabel

3). Urutan besaran estimasi heritabilitas ini

sesuai dengan urutan besar efek varians famili

ketiga sifat tersebut yaitu sebesar 2,10%; 0,55%

dan 0,06% secara berurutan untuk sifat tinggi,

diameter dan volume pohon (Tabel 2). Hal ini

menunjukkan potensi perolehan genetik

tertinggi akan didapatkan pada sifat tinggi, baik

seleksi individu, dalam famili maupun antar

Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Nyawai (Ficus variegata Blume) di Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan

101

famili. Namun demikian secara umum estimasi

semua nilai heritabilitas dalam famili pada

penelitian ini termasuk rendah. Rendahnya nilai

heritabilitas ini memberikan indikasi bahwa

peran faktor genetik pada uji keturunan nyawai

dalam penelitian ini adalah lemah pada sifat

tinggi, diameter dan volume pohon. Kondisi ini

memberikan implikasi bahwa perolehan genetik

melalui seleksi akan terbatas. Hal yang sama

juga dijumpai pada uji keturunan A. angustifolia

(Bert.) O. Ktze. (Sebbenn et al., 2003).

Korelasi genetik di antara ketiga sifat

tersebut lebih dari 1. Nilai korelasi genetik ini

berada di luar nilai yang seharusnya yaitu

kurang dari 1 baik positif maupun negatif

(Davidson, 1995). Rendahnya komponen

varians famili ketiga sifat tersebut menyebabkan

komponen pembagi pada penghitungan korelasi

genetik rendah (Persamaan 6). Sedikitnya

jumlah famili yang diuji pada plot uji keturunan

ini (19 famili) juga cenderung menyebabkan

bias penghitungan korelasi genetik

dibandingkan nilai heritabilitas (White et al.,

2007). Penelitian lain yang menunjukkan

korelasi genetik lebih dari 1 juga dijumpai pada

Pinus caribea var. hondurensis (Harding,

Kanowski, & Woolaston, 1991), Pinus caribea

(Ledig & Whitmore, 1981) dan Tectona grandis

L. F (Muslimin, Sofyan, & Islam, 2013).

Seleksi dan perolehan genetik C.

Estimasi heritabilitas famili menunjukkan

nilai yang lebih besar dibandingkan estimasi

heritabilitas dalam famili maupun heritabilitas

individu (Tabel 3), yang berarti bahwa potensi

perolehan genetik paling tinggi akan didapatkan

pada seleksi famili. Namun demikian mengingat

jumlah famili yang diuji jumlahnya terbatas (19

famili), maka untuk mengurangi terjadinya

kawin kerabat/inbreeding, dalam penelitian ini

seleksi dilakukan hanya di dalam famili yang

merupakan seleksi dalam plot (within plot

selection). Metode seleksi ini memberikan

kemungkinan inbreeding paling rendah di antara

metode seleksi lainnya (Zobel & Talbert, 1984)

dan mampu menjaga basis keragaman genetik

maupun memaksimalkan perolehan genetik

(Isik & Isik, 1999). Hasil perolehan genetik

hasil seleksi dalam plot dengan rasio seleksi

sebesar 75% (i=0,1763), 50% (i=0,5207) dan

25% (i=1,0558) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata sifat pertumbuhan dan perolehan genetik (%) hasil seleksi dalam plot menggunakan tiga

skenario rasio seleksi pada uji keturunan nyawai di Bantul

Intensitas seleksi

100% 75% 50% 25%

Tinggi

Rerata (m) 6,10 6,26 6,58 7,17

Perolehan genetik absolut (m) 0,04 0,08 0,12

Perolehan genetik relatif (%) 0,64 1,23 1,91

Diameter

Rerata (cm) 9,41 9,78 10,51 11,80

Perolehan genetik absolut (cm) 0,02 0,04 0,06

Perolehan genetik relatif (%) 0,23 0,44 0,68

Volume

Rerata (x 10-3

) m3 34,60 37,08 42,62 53,67

Perolehan genetik absolut (x 10-3

) m3 0,022 0,043 0,067

Perolehan genetik relatif (%) 0,06 0,13 0,19

Jumlah individu 381 349 260 133

Perolehan genetik relatif tertinggi

ditemukan pada sifat tinggi, diikuti diameter dan

volume pohon. Hasil ini sesuai dengan urutan

nilai heritabilitas dalam famili pada masing-

masing sifat yang diamati (Tabel 3). Perolehan

genetik relatif yang didapatkan sebesar tiga kali

jika seleksi dilakukan dari intensitas seleksi

75% ke 50% dan dua kali dari intensitas seleksi

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 95 - 104

102

50% ke 25%. Hal ini berbeda dengan hasil

penelitian pada kebun benih komposit

A. mangium yang meningkat dua kali pada

setiap skenario rasio seleksi tersebut

(Nirsatmanto, 2012).

Terdapat dua implikasi hasil perolehan

genetik pada seleksi ini dikaitkan dengan

strategi pemuliaan nyawai. Pertama, konfigurasi

tree-plot menggunakan non-contiguous tree-plot

memberikan dampak error dalam plot yang

besar, sehingga perlu digunakan konfigurasi lain

dalam membangun uji keturunan nyawai untuk

mengurangi error dalam plot misalnya tipe line-

tree-plot. Dalam tipe ini, pohon dalam plot

letaknya tidak terlalu berjauhan sehingga

kondisi lingkungan mikronya relatif lebih

seragam. Di samping itu, penggunaan rancangan

lain seperti Incomplete Block Design (IBD)

kemungkinan akan dapat mengurangi plot error.

Hal ini disebabkan karena efek blok akan

berkurang dengan adanya pembagian blok ke

dalam blok yang lebih kecil sehingga

lingkungan lebih seragam (White et al., 2007).

Implikasi kedua, jumlah famili yang terbatas

menyebabkan seleksi antar famili tidak dapat

dilakukan. Meskipun uji keturunan dibangun

dengan sistem sub line, sebaiknya jumlah famili

yang dilibatkan cukup banyak, yaitu 20-40

famili (White et al., 2007). Untuk mendapatkan

peningkatan genetik yang lebih tinggi, dapat

dilakukan menggunakan intensitas seleksi yang

lebih tinggi namun tetap mempertahankan

jumlah famili, misalnya seleksi dua individu

terbaik dari famili terbaik sebagai pohon plus

untuk diperbanyak secara vegetatif. Klon-klon

tersebut dapat digunakan untuk pengembangan

hutan tanaman nyawai secara klonal (clonal

forestry).

IV. KESIMPULAN

Pertumbuhan nyawai pada plot uji

keturunan menunjukkan adaptabilitas

pertumbuhan yang baik pada lahan marginal.

Secara umum nilai heritabilitas plot uji

keturunan nyawai pada umur 4 tahun rendah

untuk sifat tinggi, diameter dan volume pohon.

Berdasarkan rancangan percobaan yang

digunakan dan jumlah famili yang diuji pada

plot uji keturunan nyawai di Bantul, maka

seleksi hanya bisa dilakukan melalui seleksi

dalam famili dengan perolehan genetik tertinggi

sebesar 1,91% (tinggi), 0,68% (diameter) dan

0,067% (volume).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Arif Setiawan, S.Hut (teknisi) dan

Sunaryanto (staf KHDTK) Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan yang telah

membantu pelaksanaan pengukuran tanaman,

staf RPH Mangunan, Dinas Kehutanan dan

Perkebunan DIY yang telah mengamankan plot

penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kabupaten Bantul. (2011). RPJMD

Kabupaten Bantul 2011-2015.

Becker, W. A. (1992). Manual Quantitative Genetics

(Fifth). Pullman, USA: Academic

Enterprises.

Chaudhary, L. B., Sudhakar, J. V., Kumar, A.,

Bajpai, O., Tiwari, R., & Murthy, G. V. S.

(2012). Synopsis of the genus Ficus L.

(Moraceae) in India. Taiwania, 57(2), 193–

216.

Cotterill, P. P., & Dean, C. A. (1990). Succesful Tree

Breeding with Index Selection. CSIRO-

Division of Forestry and Forest Product.

Australia.

Davidson, J. (1995). Training Manual Tree Breeding

and Propagation. Los Banos, Philippines:

UNDP/FAO Regional Project on Improved

Productivity of Man-Made Forest throgh

Application of Technological Advances in

Tree Breeding and Propagation (FORTIP).

Dlamini, L. N., Pipatwattanakul, D., & Maelim, S.

(2017). Growth variation and heritability in a

second-generation Eucalyptus urophylla

progeny test at Lad Krating Plantation,

Chachoengsao province, Thailand.

Agriculture and Natural Resources, 51(3),

158–162.

http://doi.org/10.1016/j.anres.2016.12.005

Seleksi dan Perolehan Genetik pada Uji Keturunan Nyawai (Ficus variegata Blume) di Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan

103

Effendi, R. (2009). Nyawai: a Propising Pioneer Tree

Species. Centre for Plantation Forest

Research and Develpment Newsletter, pp. 1–

3.

Effendi, R. (2012). Kajian keberhasilan pertumbuhan

tanaman nyawai (Ficus variegata Blume) di

KHDTK Cikampek, Jawa Barat. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 9(2), 95–104.

Effendi, R., & Mindawati, N. (2015). Budidaya jenis

pohon nyawai (Ficus variegata Blume).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan.

Falconer, D. S., & Mackay, T. F. C. (1996).

Introduction to Quantitative Genetics.

Longman Group Ltd. UK.

Hadiyan, Y. (2010). Evaluasi pertumbuhan awal

Kebun Benih Semai Uji Keturunan Sengon

(Falcataria moluccana sinonim:

Paraseriantes falcataria) umur 4 bulan di

Cikampek Jawa Barat. Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 7(2), 85–91.

Harding, K. J., Kanowski, P. J., & Woolaston, R. R.

(1991). Preliminary genetic parameter

estimates for some wood quality characteres

of Pinus caribea var. hondurensis in

Queensland, Australia. Silvae Genetica, 40,

152–156.

Hardjowigeno, S. (1993). Klasifikasi Tanah dan

Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.

Haryjanto, L. (2017). Variasi genetik pertumbuhan

uji keturunan nyawai (Ficus variegata

Blume) pada umur 3 tahun. In A. Septiasari,

A. Astuti, I. N. Berlian, K. Kharismamurti, N.

C. Merdekawati, & Y. R. Alkarim (Eds.),

Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas

“Pengelolaan Keanekaragaman Hayati

Melalui Penerapan Bioteknologi” (Vol. 6,

pp. 93–96). Surakarta: Kelompok Studi

Biodiversitas Program Studi Biologi FMIPA

UNS.

Haryjanto, L., Prastyono, & Charomaini, Z. (2015).

Variasi pertumbuhan nyawai (Ficus

variegata Blume) pada umur 2 tahun.

Wasian, 2(1), 47–54.

Haryjanto, L., Prastyono, & Yuskianti, V. (2014).

Variasi pertumbuhan dan parameter genetik

pada tiga plot uji keturunan nyawai (Ficus

variegata Blume) di Bantul. Jurnal

Pemuliaan Tanaman Hutan, 8(3), 137–151.

Hernández-Máximo1, E., López-Upton, J., Sánchez-

Monsalvo1, V., Vargas-Hernández, J., JG, &

Salazar-García. (2016). Early performance

and genetic gain of Cedrela odorata families

from wide-ranging sites in Mexico. Journal

of Tropical Forest Science, 28(4), 446–456.

Hodge, G. R., Dvorak, W. S., Uruena, H., & Rosales,

L. (2002). Growth, provenance effects and

genetic variation of Bombacopsis quinata in

field tests in Venezuela and Colombia. Forest

Ecology and Management, 158, 273–289.

Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2013). Daur finansial

hutan rakyat jabon di Kecamatan Pakenjeng,

Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(4), 201–211.

Isik, K., & Isik, F. (1999). Genetic variation in Pinus

brutia Ten. in Turkey: II. Branching and

crown traits. Silvae Genetica, 48(6), 293–

302.

http://doi.org/10.1016/j.neurobiolaging.2011.

05.023

Ledig, F. T., & Whitmore, J. L. (1981). Heritability

and genetic correlations for volume, foxtails,

and other characteristics of Caribbean pine in

Puerto Rico. Silvae Genetica, 30, 88–92.

Mashudi, & Baskorowati, L. (2015). Estimasi

parameter genetik pada uji keturunan

Alstonia scholaris umur dua tahun di

Gunungkidul, Yogyakarta. Jurnal Pemuliaan

Tanaman Hutan, 9(1), 1–12.

Muslimin, I., Sofyan, A., & Islam, S. (2013).

Parameter genetik pada uji klon jati (Tectona

grandis L. F) umur 5,5 tahun di Sumatera

Selatan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan,

7(2), 97–106.

http://doi.org/10.20886/jpth.2013.7.2.97-106

Nirsatmanto, A. (2012). Genetic variation observed

in composite seedling seed orchard of Acacia

mangium Willd. at Central Java , Indonesia :

implications for increasing genetic gain and

seed production. Journal of Forestry

Research, 9(2), 91–99.

Pinyopusarerk, K., Doran, J. C., Williams, E. R., &

Wasuwanich, P. (1996). Variation in growth

of Eucalyptus camaldulensis provenances in

Thailand. Forest Ecology and Management,

87, 63–73.

Qirom, M. A., & Supriyadi. (2013). Model

pendugaan volume pohon nyawai (Ficus

variegata Blume) di Kalimantan Timur.

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(4),

173–184.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 95 - 104

104

Rachim, D. A., Arifin, M., & Nadeak, W. (2011).

Klasifikasi Tanah di Indonesia. Penerbit

Pustaka Reka Cipta (PRC). Bandung.

Ruby, K., Supriyo, H., & Sutanto, R. (1997).

Evaluasi indeks loka pada tegakan Acacia

mangium Willd di HTI PT Arara Abadi

Propinsi Riau. BPPS-UGM, 10(1B), 1–11.

Sebbenn, A. M., Pontinha, A. A. S., Giannotti, E., &

Kageyama, P. Y. (2003). Genetic Variation in

Provenance-Progeny Test of Araucaria

angustifolia (Bert.) O. Ktze. in São Paulo,

Brazil. Silvae Genetica, 52, 5–6.

Setiadi, D. (2010). Keragaman genetik uji provenans

dan uji keturunan Araucaria cunninghamii

pada umur 18 bulan di Bondowoso, Jawa

Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan,

4(1), 1–8.

Setiadi, D. (2011). Evaluasi awal kombinasi uji

provenans dan uji keturunan Araucaria

cunninghamii umur 12 bulan di Bondowoso,

Jawa Timur. Jurnal Ilmu Kehutanan, 5(1), 1–

8.

Siagian, R. ., Lestari, S. ., & Yoswita. (2004). Sifat

pulp sulfat kayu kurang dikenal asal Jawa

Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 22(2),

75–86.

White, T. L., Adam, W. T., & Neale, D. B. (2007).

Forest Genetics. CABI Publishing.

Wallingford.

Williams, E. R., Matheson, A. C., & Harwood, C. E.

(2002). Experimental Design and Analysis

For Tree Improvement (second). CSIRO

Publishing. Victoria.

Wright, J. W. (1976). Introduction to Forest

Genetics. Academic press. New York.

Yuskianti, V., & Setiawan, A. (2012). Sebaran alami

nyawai (Ficus variegata) di Gunung Selok

Cilacap Jawa Tengah. Wana Benih, 13(1), 1–

10.

Zobel, B. J., & Talbert, J. (1984). Applied Tree

Improvement. John Willey & Sons. New

York.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 105 - 113

105

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT PADA

Acacia auriculiformis DI YOGYAKARTA

Pathogen inventory and identification for Acacia auriculiformis planted in Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected]

Tanggal diterima: 3 Maret 2017, Tanggal direvisi: 17 April 2017, Disetujui terbit: 25 September 2018

ABSTRACT

Acacia auriculiformis is a fast growing species mostly planted in marginal lands with less intensive in

cultivation. Problems found on A. auriculiformis cultivation include disease attacks which then caused a

significant economic reduction on the plantation. The aim of this study is to determine causes, intensity and

severity of the diseases attacking A. auriculiformis plants. The research was conducted on two observation

plots, in the nursery and in clonal bank area established in Yogyakarta. Genetic materials planted in the plots

were collected from clonally propagated of trees selected in second generation progeny trial of

A. auriculiformis established in Wonogiri, Central Java. Observations of disease signs and symptoms in the two

plots were undertaken with 100% plants inventories in rainy and dry seasons. Postulate Koch was then

performed on this study to identify the pathogens. The result showed that the powdery mildew caused by Oidium

sp. is a dominant disease attacking 100% A. auriculiformis both in the nursery and on clonal bank areas,

occurring not only during the rainy season but also during the dry season. There were also other diseases

attacking A. auriculiformis namely black mildew caused by Meliola sp, leaf spot disease caused by Phomopsis

sp. and root rot disease caused by Ganoderma steyaertanum.

Keywords: Acacia auriculiformis, pathogen, disease incidence, disease severity

ABSTRAK

Acacia auriculiformis adalah salah satu jenis tanaman cepat tumbuh dengan pola budidaya yang relatif mudah

dan mampu tumbuh dengan baik pada lahan-lahan marginal kering. Namun demikian masih terdapat

permasalahan berkaitan dengan ancaman serangan penyakit yang dapat mengurangi potensi nilai ekonomi

tanaman A. auriculiformis di hutan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penyebab penyakit,

intensitas dan luas serangan penyakit pada tanaman A. auriculiformis. Penelitian dilaksanakan di dua plot

pengamatan, yaitu persemaian dan bank klon yang dibangun di Yogyakarta. Materi genetik di dalam plot

pengamatan merupakan hasil perbanyakan klon yang dikoleksi dari plot uji keturunan generasi kedua (F2)

A. auriculiformis di Wonogiri, Jawa Tengah. Pengamatan tanda dan gejala serangan penyakit dilakukan dengan

cara inventarisasi 100% pada saat musim kemarau dan musim penghujan. Selanjutnya dilakukan uji Postulat

Koch untuk mengidentifikasi penyebab penyakitnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa embun tepung

yang disebabkan oleh jamur Oidium sp. adalah penyakit dominan yang menyerang klon A. auriculiformis baik

di persemaian maupun di bank klon. Serangan terjadi pada musim kemarau maupun musim penghujan dengan

luas serangan sebesar 100%. Terdapat penyakit lain yang menyerang A. auriculiformis di bank klon yaitu

penyakit embun jelaga yang disebabkan jamur Meliola sp, penyakit bercak daun yang disebabkan jamur

Phomopsis sp. dan penyakit busuk akar yang disebabkan jamur Ganoderma steyaertanum.

Kata kunci: Acacia auriculiformis, penyebab penyakit, intensitas dan luas serangan penyakit

I. PENDAHULUAN

Acacia auriculiformis Cunn. ex Benth

merupakan tanaman alternatif untuk suplai

bahan baku industri hasil hutan yang cepat

tumbuh, mudah dibudidayakan, selalu hijau di

musim kemarau, memiliki kemampuan trubusan

yang tinggi serta dapat tumbuh di lahan

marginal kering (Joker, 2000). Tanaman ini

termasuk jenis leguminosae yang mempunyai

kemampuan untuk memfiksasi nitrogen

sehingga dapat membantu dalam merehabilitasi

lahan marginal. Penelitian yang dilakukan

terhadap 21 spesies di Indonesia pada lahan

dengan kondisi kering baik di lapangan maupun

pada uji terkontrol, menunjukkan bahwa

A. auriculiformis tampil terbaik, sehingga

sangat ideal untuk mengantisipasi kondisi

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 105 - 113

106

ekstrim kering yang mungkin ditimbulkan

akibat perubahan iklim (Hendrati, Nurrohmah,

Susilawati, & Budi, 2014).

Salah satu permasalahan dalam budidaya

A. auriculiformis adalah adanya serangan

penyakit, sejak di persemaian sampai tingkat

dewasa (Anggraeni & Wibowo, 2006). Adanya

serangan penyakit ini dapat menimbulkan

permasalahan karena dapat menyebabkan

kerugian secara ekonomi. Menurut

Rimbawanto, Tjahjono, dan Gafur (2014),

penyakit yang sering ditemui pada budidaya

akasia antara lain penyakit bercak daun

Passalora (Pseudocercospora), bercak daun

Pestalotiopsis dan Phaeotrichoconis, busuk akar

yang disebabkan oleh jamur Phellinus noxius,

busuk akar yang disebabkan oleh jamur

Ganoderma, layu Ceratocystis, embun jelaga,

embun tepung, hawar daun yang disebabkan

Xanthomonas campestris, karat filodia, layu

fusarium, antraknosa. Lebih lanjut disebutkan

penyakit lain yang bisa menyerang adalah rebah

semai yang disebabkan oleh beberapa jenis

jamur seperti Phytium spp., Phytophthora spp.,

Fusarium spp., dan Rhizoctonia solani. Di

Sarawak, rebah semai A. auriculiformis

disebabkan oleh infeksi dari Pythium spp. dan

Fusarium spp. (Chin, 1995 dalam Old, Lee,

Sharma, & Yuan 2000).

Sebagai antisipasi pencegahan dan

penyelamatan dari ancaman serangan dan

gangguan penyakit pada tanaman

A. auriculiformis, maka diperlukan suatu usaha

untuk mendiagnosis penyakit, khususnya

patogen yang menyebabkan gangguan pada

tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui penyebab penyakit, intensitas dan

luas serangan penyakit pada tanaman

A. auriculiformis di dua plot pengamatan, yaitu

persemaian dan bank klon di Yogyakarta.

II. BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi A.

Penelitian dilaksanakan di dua plot

pengamatan, yaitu 1) persemaian dan 2) bank

klon yang dibangun di Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan di Yogyakarta. Lokasi

penelitian berada pada 7°40.211’S dan

110°23.512’E di ketinggian 367 m dpl.

Kondisi iklim di sebagian besar wilayah

Kabupaten Sleman termasuk tropis basah, hari

hujan terbanyak dalam satu bulan 24 hari dan

curah hujan sekitar 32 mm – 699 mm.

Kecepatan angin maksimum 6,00 knots dan

minimum 3,00 knots, rata-rata kelembaban nisbi

udara tertinggi 100% dan terendah 19,9%.

Temperatur udara tertinggi 32°C dan terendah

24°C (www.slemankab.go.id, 2018).

Waktu penelitian dilaksanakan bulan

Januari sampai dengan Februari 2016 pada

waktu musim hujan dan bulan Oktober sampai

dengan November 2016 pada waktu musim

kemarau.

Bahan dan alat B.

Materi tanaman yang digunakan dalam

penelitian ini adalah klon hasil perbanyakan

vegetatif beberapa tanaman terpilih di plot uji

keturunan generasi kedua (F2) A. auriculiformis

di Wonogiri, Jawa Tengah. Pada plot

pengamatan di bank klon terdapat 70 tanaman

dari 51 klon yang ditanam secara acak.

Sedangkan pada plot pengamatan di persemaian

terdapat 24 tanaman dari 19 klon yang ditata

secara acak. Pengamatan mulai di lakukan pada

saat tanaman berumur 5 bulan setelah tanam

dengan rata-rata tinggi antara 1 – 1,5 meter dan

rata-rata diameter antara 2,5 – 3 cm.

Bahan dan peralatan yang digunakan di

laboratorium adalah media PDA (Potato

Dekstrose Agar), air steril, alkohol 70%, alkohol

95%, laminar air flow, mikroskop, petridish,

beaker glass, pinset, dan bunsen.

Prosedur kerja C.

Kegiatan yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah:

a. melakukan inventarisasi 100% penyakit

yang menyerang tanaman di dalam plot

pengamatan di persemaian dan di bank klon

Inventarisasi dan Identifikasi Penyebab Penyakit pada Acacia auriculiformis di Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati

107

dengan cara mengamati gejala dan tanda

penyakit tanaman. Pengamatan dilakukan

pada bagian daun, batang dan cabang,

b. melakukan pengamatan luas dan intensitas

serangan penyakit di dalam plot pengamatan

di persemaian dan di bank klon.

Penghitungan luas dan intensitas serangan

penyakit menggunakan kriteria dan rumus

berikut:

- intensitas serangan penyakit setiap sampel

diberi nilai (skor) berdasarkan

kenampakan keseluruhan setiap individu

tanaman mengunakan modifikasi

pedoman dari Alexander dan Barnard

(1995) dalam Widyastuti dan Susanti

(2014) dengan nilai skor:

0 = Sehat (tidak ada gejala dan tanda

penyakit).

1 = >0–25% bagian tanaman

menunjukkan gejala dan atau

tanda penyakit

2 = >25–50% bagian tanaman

menunjukkan gejala dan atau

tanda penyakit

3 = >50–75% bagian tanaman

menunjukkan gejala dan atau

tanda penyakit

4 = >75–100% bagian tanaman

menunjukkan gejala dan atau

tanda penyakit

- luas serangan =

× 100%

- intensitas serangan =

× 100%

dimana :

n = jumlah tanaman terserang pada

kategori tertentu

v = kategori serangan tertentu (skor)

N = jumlah tanaman diamati

V = kategori serangan tertinggi yang

digunakan

c. mengisolasi bagian tanaman yang

menunjukkan adanya gejala dan tanda

terserang penyakit,

d. melakukan pengujian Postulat Koch untuk

identifikasi patogen dan memastikan bahwa

patogen yang diperoleh merupakan penyebab

penyakit yang menyerang akor.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Serangan patogen di persemaian A.

Luas serangan penyakit merupakan

persentase tanaman yang sakit dalam suatu

populasi tanaman. Sedangkan intensitas

serangan penyakit adalah persentase jaringan

inang atau organ yang ditutupi oleh gejala atau

kerusakan oleh penyakit (Spolti, Shah,

Fernandes, Bergstrom, & Del Ponte, 2015).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hanya

penyakit embun tepung yang ditemukan pada

A. auriculiformis di persemaian. Pada musim

kemarau luas serangan penyakit sebesar 100%

dan intensitas serangan sebesar 38,64%.

Sedangkan pada waktu musim hujan luas

serangan penyakit sebesar 100% dan intensitas

serangan meningkat sebesar 78,75%.

Penyakit ini menyerang tanaman baik

pada musim kemarau maupun pada musim

penghujan. Hasil pengamatan pada musim

kemarau menunjukkan tanaman yang terserang

penyakit embun tepung ditandai dengan

permukaan atas daun tertutup dengan bercak

putih yang menyerupai tepung dan akan meluas

menutupi seluruh permukaan daun (Gambar 1a

dan 1b). Bercak-bercak putih yang seperti

tepung tersebut adalah konidiofor dan konidia

jamur penyebab penyakit embun tepung

(Sumartini & Rahayu, 2017). Menurut Halfeld-

Vieira dan Nechet (2009), embun tepung yang

menyerang tanaman A. mangium hanya terdapat

pada persemaian dengan lingkungan yang

ternaungi. Hal yang sama terjadi pada penelitian

ini, tanaman A. auriculiformis yang berada di

persemaian berada dalam kondisi yang

ternaungi sarlon/paranet, sehingga

memungkinkan menjadi penyebab penyakit

embun tepung menginfeksi tanaman. Faktor

yang mempengaruhi penyakit embun tepung

adalah suhu, kelembaban dan sinar matahari

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 105 - 113

108

(Sumartini & Rahayu, 2017). Menurut

Rimbawanto, Tjahjono, dan Gafur (2014),

penyakit embun tepung cenderung meningkat

pada cuaca hangat dan kering. Namun demikian

perlu dicatat di sini bahwa tanaman di

persemaian telah dilakukan pemeliharaan rutin

melalui penyemprotan fungisida pada musim

kemarau sebelum pengamatan dilaksanakan,

dan hal ini diduga juga menjadi penyebab lebih

rendahnya intensitas serangan penyakit pada

musim kemarau dibandingkan pada musim

hujan.

Gambar 1. Daun Acacia auriculiformis yang terdapat tanda penyakit embun tepung berupa lapisan putih (a),

Pengamatan lapisan putih pada daun di bawah mikroskop perbesaran 40× (b). Konidia jamur

oidium sp. (tanda panah) yang berada pada daun A. auriculiformis yang diambil dari persemaian

perbesaran 40× (c)

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa

jamur penyebab penyakit embun tepung ini

adalah jamur Oidium sp. Jamur ini bersifat

parasit obligat yang tidak bisa dibiakkan dalam

media buatan. Spora jamur bertunas di

permukaan daun dan menyerang tanaman.

Jamur kemudian mengkolonisasi epidermis

daun dengan memperoleh nutrisi dari sel

tumbuhan tanpa membunuhnya (Cunfer, 2004).

Hasil pengamatan mikroskopis ditemukan

konidia jamur hialin, tidak bersekat, yang

tersusun seperti rantai melekat pada

konidiofornya (Gambar 1c). Sel kaki tampak

berbentuk silinder dan lobus appressorium.

Konidia terbentuk secara tunggal adalah hialin

dan ellipsoid. Badan fibrosin tidak ditemukan

(Halfeld-Vieira & Nechet, 2009). Menurut

Barnet dan Hunter (1998) konidia jamur dengan

ciri-ciri tersebut adalah konidia Oidium sp.

Serangan patogen di bank klon B.

Pada plot pengamatan di bank klon

ditemukan empat jenis penyakit yang

menyerang tanaman A. auriculiformis, yaitu

embun tepung, embun jelaga, bercak daun dan

busuk akar. Intensitas dan luas serangan

beberapa penyakit yang menyerang tanaman

A. auriculiformis pada plot pengamatan di bank

klon disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas dan intensitas serangan penyakit

yang menyerang tanaman

A. auriculiformis di bank klon

No. Nama

penyakit

Intensitas

serangan

penyakit (%)

Luas serangan

penyakit (%)

kemarau hujan kemarau hujan

1. Embun

Tepung

62,69 63,45 100 100

2. Embun

Jelaga

2,9 3,8 6,46 7,7

3. Bercak

Daun

2,76 3,5 9,2 9,2

4. Busuk

Akar

- 0,7 - 1,53

1. Embun tepung (powdery mildew)

Penyakit embun tepung merupakan

penyakit pada tanaman A. auriculiformis baik

di plot pengamatan di bank klon maupun di

persemaian. Luas serangan penyakit embun

tepung di bank klon sebesar 100% baik pada

b a c

Inventarisasi dan Identifikasi Penyebab Penyakit pada Acacia auriculiformis di Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati

109

musim kemarau maupun pada musim hujan.

Adapun intensitas serangan penyakit embun

tepung adalah sebesar 62,69% pada musim

hujan dan 63,45 pada musim kemarau. Kondisi

daun setelah terserang penyakit embun tepung

pada waktu musim hujan sebagaimana disajikan

pada Gambar 2a. Namun demikian karena sudah

terguyur air hujan, kumpulan konidiofor dan

konidia yang meyerupai tepung di permukaan

daun tidak teramati.

Gambar 2. Daun Acacia auriculiformis di bank klon yang menunjukkan gejala penyakit embun tepung

berupa bercak-bercak kuning akibat infeksi dari Oidium spp. (a). Konidia jamur Oidium spp.

(tanda panah) pada perbesaran 40 × (b)

Intensitas dan luas serangan penyakit

embun tepung di bank klon lebih tinggi pada

waktu musim kemarau. Hal ini dikarenakan

tanaman berada pada lingkungan terbuka

sehingga kondisinya relatif lebih banyak

mendapat terpaan sinar matahari. Sinar matahari

akan sangat berpengaruh terhadap munculnya

penyakit embun tepung. Giertych dan Suszka

(2010) dalam Sumartini dan Rahayu (2017)

menyatakan bahwa pada daerah yang terkena

banyak terpaan sinar matahari akan lebih

banyak terjadi penyakit embun tepung daripada

daerah yang teduh. Keberadaan penyakit ini

berpotensi menyebabkan kerugian secara

ekonomi apabila berada pada kondisi yang

kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan

patogen.

2. Embun jelaga (black mildew)

Luas serangan penyakit embun jelaga

pada tanaman di bank klon pada musim hujan

sebesar 7,7%, dengan intensitas serangan

sebesar 3,8%. Sedangkan pada musim kemarau

luas serangan lebih rendah sebesar 6,46%

dengan intensitas waktu serangan 2,9%. Tanda

dari tanaman yang terserang patogen ini berupa

beledu berwarna hitam merata pada permukaan

atas daun yang merupakan koloni dari jamur

tersebut (Gambar 3). Menurut Rimbawanto et

al., (2014) patogen dari penyakit ini dapat

tersebar melalui cipratan air dan serangga serta

infeksi lebih sering terjadi pada kondisi lembab.

Jamur menutupi permukaan daun secara merata

yang akan merugikan karena menghambat

metabolisme daun terutama fotosintesis.

Menurut Semangun (2000) efeknya akan

merambat ke pembentukan bunga/buah yang

tidak normal sehingga tanaman tidak

berproduksi maksimal.

a b

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 105 - 113

110

Gambar 3. Daun Acacia auriculiformis yang terdapat tanda penyakit embun jelaga berupa beledu hitam (a).

Spora jamur Meliola sp.penyebab penyakit embun jelaga pada perbesaran 40 × (b)

3. Bercak daun (phomopsis leaf spot)

Penyakit bercak daun juga ditemukan

menyerang pada tanaman A. auriculiformis pada

plot pengamatan di bank klon. Luas serangan

penyakit ini adalah sebesar 9,2% dengan

intensitas serangan sebesar 3,5% pada waktu

musim hujan. Sedangkan pada musim kemarau

luas serangan penyakit sebesar 9,2% dengan

intensitas serangan 2,76%. Gejala tersebut

berupa luka berwarna coklat pada ujung daun

tanaman A. auriculiformis (Gambar 4a). Hasil

identifikasi patogen setelah dilakukan uji

Postulat Koch menunjukkan bahwa penyebab

penyakit bercak daun ini adalah jamur

Phomopsis sp. Menurut Thu et al. (2010),

Phomopsis sp. menyebabkan bercak pada daun

muda. Penyakit dimulai dari pembentukan luka

nekrotik kecil berwarna coklat kemerahan yang

kemudian menyatu membentuk luka nekrotik

pucat yang lebih luas dan kadang-kadang

menambah panjang daun.

Dalam suatu kultur murni (PDA, 25° C,

12 jam cahaya / 12 h kegelapan), jamur

membentuk miselium putih yang lebih sedikit,

yang mengisi cawan petri (9 cm) dalam 8 hari

(Gambar 4b). Sisi belakang berwarna keputihan

hingga krem warna dan pada awalnya memiliki

bintik-bintik bercak coklat muda, yang

kemudian berubah menjadi coklat gelap

(Draženka, Karolina, Jasenka, Riccioni, &

Duvnjak, 2007). Lebih lanjut, Draženka et al.

(2007) menyebutkan bahawa konidia adalah

filiform, lurus atau sedikit melengkung pada

satu ujung (Gambar 4c).

4. Busuk akar (root rot disease)

Pada plot pengamatan di bank klon

ditemukan beberapa tubuh buah jamur

Ganoderma sp., yang tumbuh pada tonggak

tanaman sebelumnya (Gambar 5). Permukaan

atas Ganoderma ini berwarna coklat dan bagian

bawahnya berwarna putih. Berdasarkan ciri-ciri

morfologisnya, ganoderma yang ditemukan ini

merupakan jamur Ganoderma steyaertanum

(Hidayati, Glen, Nurrohmah, Rimbawanto, &

Mohammed, 2014). Tubuh buah jamur

Ganoderma yang ditemukan ini berada pada

kondisi tingkat lanjut. Lapisan pori mempunyai

warna yang sama dengan jaringan tubuh buah,

pada waktu masih baru warnanya lebih tua dan

gelap (Hidayati & Nurrohmah, 2015).

a b

Inventarisasi dan Identifikasi Penyebab Penyakit pada Acacia auriculiformis di Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati

111

Gambar 4. Daun Acacia auriculiformis yang terinfeksi Phomopsis sp. (a). Isolat jamur Phomopsis sp. Yang

diisolasi dari daun A. auriculiformis yang menunjukkan gejala serangan patogen. (b). Konidia

jamur Phomopsis sp pada perbesaran 40 × (c)

Gambar 5. Beberapa tubuh buah jamur Ganoderma steyaertanum yang ditemukan pada tonggak bekas

penebangan tanaman sebelumnya di bank klon A. auriculiformis

Gambar 6. (a). Daun Acacia auriculiformis yang layu karena penyakit busuk akar (b). Akar A. auriculiformis

yang terserang penyakit busuk akar dan (c) Isolat jamur G. steyaertanum penyebab penyakit

busuk akar

Walaupun tubuh buah tidak ditemukan

pada pangkal batang tanaman A. auriculiformis,

beberapa tanaman menunjukkan gejala adanya

serangan penyakit busuk akar, seperti daun layu

(Gambar 6a) serta ditandai pada akar tanaman

terdapat miselia jamur penyebab penyakit

(Gambar 6b). Isolat jamur hasil isolasi

menunjukkan bagian tengah isolat berwarna

kuning (Gambar 6c). Hidayati dan Husna (2015)

menyatakan bahwa isolat G. steyaertanum pada

awal pertumbuhannya, miselium berwarna putih

kemudian akan berubah menjadi kuning

kecoklatan di bagian tengah yang

pertumbuhannya konsentris mengelilingi pusat.

Meskipun terdapat pada sisa tunggul

pohon akasia yang telah ditebang, keberadaan

b c a

a b c

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 105 - 113

112

tubuh buah Ganoderma sp. ini perlu diwaspadai

karena jamur ini mempunyai kisaran inang yang

luas. Inokulum tumbuh dan menyebar di bawah

permukaan tanah, sehingga inokulumnya akan

bertahan pada akar dan stump (tunggul) pohon

yang sudah mati. Inokulum inilah yang banyak

menyerang tanaman dikemudian hari (Old et al.,

2000). Penyakit busuk akar dapat menyebar

dengan melalui kontak akar tanaman yang sakit

dengan akar tanaman yang sehat. Selain itu

busuk akar memungkinkan tersebar melalui

spora yang penyebarannya dibantu angin atau

air. Spora tidak dapat menginfeksi tanaman

sehat, tetapi dapat menginfeksi tonggak dari

tanaman yang rentan, sehingga dapat menjadi

sumber infeksi baru (Semangun, 2000). Hasil

pengamatan pada penelitian menunjukkan

bahwa pada musim hujan intensitas serangan

penyakit sebesar 0,7% dengan luas serangan

sebesar 1,53%. Sedangkan saat musim kemarau

tidak ditemukan gejala penyakit busuk akar

pada tanaman A. auriculiformis ini.

IV. KESIMPULAN

Jenis penyakit paling dominan

menyerang tanaman A. auriculiformis pada dua

plot pengamatan di persemaian dan bank klon di

Yogyakarta adalah penyakit embun tepung

dengan patogen jamur Oidium sp. Beberapa

penyakit lain yang ditemukan pada plot

pengamatan di bank klon adalah embun jelaga

dengan patogen jamur Meliola sp, bercak daun

dengan pathogen jamur Phomopsis sp. dan

penyakit busuk akar dengan pathogen jamur

G. steyaertanum.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Tim penelitian kayu energi Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman Hutan dan semua pihak

yang telah membantu dalam pelaksanaan

penelitian dan penyediaan referensi dalam

penulisan naskah.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, I., & Wibowo, A. (2006). Serangan

Penyakit Embun Tepung dan Karat Daun

pada Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex

Benth di Kediri Jawa Timur. Jurnal

Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 3(1),

45–53. Retrieved from http://ejournal.forda-

mof.org/ejournal-

litbang/index.php/JPHKA/article/view/2898/

2105

Barnet, H. L., & Hunter, B. B. (1998). No Title

Ilustrated Genera of Imperfect Fungi (4th

ed.). Minnesota, Australia: The American

Phytopathological Society St. Paul,

Minnesota.

Chin, F. (1995). Damping-off in some forest

nurseries in Sarawak. Forest Pathology

Information, 7p.

Cunfer, B. M. (2004). Powdery Mildew. FAO

Corporate Document Repository.

Draženka, J., Karolina, V., Jasenka, Ć., Riccioni, L.,

& Duvnjak, T. (2007). Morphological

Identification of Diaporthe/Phomopsis sp.

Isolated from Xanthium italicum. Original

Scientific Paper Izvorni Znanstveni Članak,

632.4’51(4.

Giertych, M. J., & Suszka, J. (2010). Influence of

cutting off distal ends of quercus robur acorns

on seedling growth and their infection by the

fungus erysiphe alphitoides in different light

conditions. Dendrobiology, 64(February),

73–77.

Halfeld-Vieira, B. A., & Nechet, K. L. (2009). First

report of powdery mildew of Acacia

mangium in Brazil. Summa

Phytopathologica, 35(3), 237.

Hendrati, R. L., Nurrohmah, S. H., Susilawati, S., &

Budi, S. (2014). Budidaya Acacia

auriculiformis untuk Kayu Energi. (M.

Na’iem, Mahfudz, & S. B. Prabawa, Eds.),

Agroforestry Database 4.0 (1st ed.). Bogor:

IPB Press Printing.

https://doi.org/10.1071/BT9930065

Hidayati, N., Glen, M., Nurrohmah, S. H.,

Rimbawanto, A., & Mohammed, C. L.

(2014). Ganoderma steyaertanum as a root-

rot pathogen of forest trees. Forest

Pathology. https://doi.org/10.1111/efp.12142

Hidayati, N., & Nurrohmah, S. H. (2015).

Karakteristik Morfologi Ganoderma

steyaertanum yang Menyerang kebun Benih

Acacia mangium dan Acacia auriculiformis

di Wonogiri, Jawa Tengah, 9(2), 117–130.

https://doi.org/doi.org/10.20886/jpth.2015.9.2

.117-130

Inventarisasi dan Identifikasi Penyebab Penyakit pada Acacia auriculiformis di Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati

113

Joker, D. (2000). Acacia auriculiformis Cunn.ex

Benth. Danida Forest Seed Centre, Australia.

Old, K. M., Lee, S. S., Sharma, J. K., & Yuan, Z. Q.

(2000). A Manual of Diseases of Tropical

Acacias in Australia, South-East Asia and

India.

Rimbawanto, A., Tjahjono, B., & Gafur, A. (2014).

Panduan Hama dan Penyakit Akasia &

Ekaliptus. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Semangun, H. (2000). Penyakit-penyakit tanaman

perkebunan di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Spolti, P., Shah, D. A., Fernandes, J. M. C.,

Bergstrom, G. C., & Del Ponte, E. M. (2015).

Disease Risk, Spatial Patterns, and Incidence-

Severity Relationships of Fusarium Head

Blight in No-till Spring Wheat Following

Maize or Soybean. Plant Disease.

https://doi.org/10.1094/PDIS-09-14-0944-RE

Sumartini, S., & Rahayu, M. (2017). Penyakit embun

tepung dan cara pengendaliannya pada

tanaman kedelai dan kacang hijau. Jurnal

Penelitian Dan Pengembangan Pertanian,

36(2), 59.

https://doi.org/10.21082/jp3.v36n2.2017.p59-

66.

Thu, P. Q., Griffiths, M. W., Pegg, G. S., McDonald,

J. M., Wylie, F. R., King, J., & Lawson, S. A.

(2010). Healthy plantations: A Field Guide to

Pests and Pathogens of Acacia, Eucalyptus

and Pinus in Vietnam. Queensland, Australia:

The State of Queensland, Department of

Employment, Economic Development and

Innovation.

Widyastuti, S. M., & Susanti, Z. A. (2014). Pengaruh

Musim terhadap Perkembangan Atelocauda

digitata, Penyebab Penyakit Karat Pada

Acacia auriculiformis di Yogyakarta. Hpt,

14(1), 8–15.

www.slemankab.go.id. (2018).

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 105 - 113

114

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

115

PARAMETER GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN DAN KERAPATAN KAYU

KLON Eucalyptus pellita F. Muell. DI DUA TAPAK YANG BERBEDA DI

KALIMANTAN TIMUR

Genetic parameters for growth and basic density of Eucalyptus pellita F. Muell. clones at two

different sites in East Kalimantan

Achmad Ramadan1, Sapto Indrioko

2 dan Eko Bhakti Hardiyanto

2

1Mahasiswa pasca sarjana, Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Jl. Agro Bulaksumur No. 1, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 2Staf pengajar, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Jl. Agro Bulaksumur No. 1, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email: [email protected]

Tanggal diterima: 23 Oktober 2018, Tanggal direvisi: 24 Oktober 2018, Disetujui terbit: 17 November 2018

ABSTRACT

Industrial forest plantations have an important role in fulfilling the wood demand. Based on global industrial

development, the forest plantations industry will increase in the following years. Eucalyptus pellita has become

main species in Indonesia forest plantations because it has a short cycle and wood products are suitable to

forest industry. The average productivity of E. pellita plantations in Indonesia is still low and high variation. In

an effort to increase the productivity, the first step is a better understanding of genetic control on growth and

basic density. This study aims to determine the genetic parameters for growth and basic density of E. pellita

clones on two different sites of clonal trial. The trials are designed using RCBD. The number of clones tested in

both trial was 30, 5 blocks and 25 tree/plot. The result of the study showed that the effects of clones vary greatly

according the enviromental conditions. The clones-environemntal interaction of growth trait is higher than the

basic density. This is in line with genetic parameters of growth trait that are less stable than the basic density.

The expected genetic gain of growth trait is higher than the basic density and at the same time there was a weak

genetic correlation (there is even a negative) between growth trait and basic density. Therefore carefulness is

needed in selecting clones when the two traits are used as selection parameters.

Keywords: broadsense heritability, genetic gain, genetic correlation, type B correlation

ABSTRAK

Hutan tanaman industri memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan kayu. Berdasarkan

perkembangan industri secara global, industri hutan tanaman akan meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.

Eucalyptus pellita menjadi pilihan utama dalam hutan tanaman di Indonesia karena berdaur singkat dan produk

kayu sesuai dengan kebutuhan industri. Rerata produktivitas hutan tanaman E. pellita di Indonesia masih rendah

dan memiliki variasi pertumbuhan yang tinggi. Dalam upaya meningkatkan rerata produktivitas tegakan langkah

pertama yang perlu dilakukan adalah pemahaman yang lebih baik mengenai kontrol genetik terhadap sifat

pertumbuhan dan kerapatan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter genetik untuk

pertumbuhan dan kerapatan kayu pada uji klon E. pellita di dua tapak yang berbeda. Percobaan dirancang

menggunakan rancangan acak kelompok lengkap. Jumlah klon yang diuji di kedua tapak adalah 30, diulang 5

kali dan jumlah pohon/plot adalah 25. Hasil penelitian memperlihatkan efek klon sangat bervariasi

menyesuaikan terhadap kondisi lingkungannya. Interaksi klon dengan lingkungan pada sifat pertumbuhan lebih

tinggi dibandingkan dengan sifat kerapatan kayu. Hal tersebut sejalan dengan nilai parameter genetik sifat

pertumbuhan yang kurang stabil dan kontrol genetik yang lebih rendah dibandingkan dengan sifat kerapatan

kayu. Nilai perolehan genetik sifat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan sifat kerapatan kayu dan

disaat yang bersamaan terdapat korelasi genetik yang lemah antara sifat pertumbuhan dan sifat kerapatan kayu.

Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam melakukan seleksi klon ketika kedua sifat tersebut dijadikan

parameter seleksi.

Kata kunci: heritabilitas, perolehan genetik, korelasi genetik, korelasi tipe B

I. PENDAHULUAN

Hutan tanaman industri memiliki peran

yang penting dalam memenuhi kebutuhan kayu

bagi industri kehutanan dan menyediakan

sekitar sepertiga permintaan kayu berdasarkan

data dari Indufor Plantation Databank (Barua,

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

116

Lehtonen, & Pahkasalo, 2014). Berdasarkan

perkembangan industri secara global, industri

berbasis hutan tanaman akan meningkat pada

tahun-tahun selanjutnya. Hutan tanaman Pinus

spp. dan Eucalyptus spp. mendominasi

penanaman di daerah tropis dan sub-tropis

dengan persentase 42% dan 26% (Binkley et al.,

2017).

Eucalyptus pellita menjadi salah satu

pilihan utama dalam hutan tanaman di Indonesia

karena berdaur pendek (6-8 tahun), produk kayu

sesuai dengan industri pulp dan kertas, cepat

tumbuh serta mudah diperbanyak. E. pellita

adalah spesies yang mudah beradaptasi dengan

lingkungan, berbatang lurus, lebih resisten

terhadap hama dan penyakit, serta mudah untuk

diperbanyak (Harwood, Alloysius, Pomroy,

Robson, & Haines, 1997).

Perkembangan strategi pemuliaan

E. pellita saat ini didominasi melalui perhutanan

klon. Klon memiliki kelebihan diantaranya

adalah produktivitas yang tinggi dan yang

terpenting menjadi pembuka untuk

dilakukannya hibrid (Griffin, 2014). Selain itu

kelebihan lainnya dari klon adalah dapat

memaksimalkan perolehan genetik (White,

Adam, & Neale, 2007).

Perhutanan klon mengacu pada seluruh

proses pembuatan hutan tanaman berbasis klon

mulai dari seleksi, perbanyakan, evaluasi dan

pengelolaan dalam hutan tanaman (Wendling,

Trueman, & Xavier, 2014). Perusahaan hutan

tanaman harus menyediakan klon dengan basis

genetik yang luas yang dapat beradapatasi

terhadap lingkungan yang berbeda. Dalam

pengembangan klon perlu diperhatikan stabilitas

kinerja klon di lapangan. Klon yang stabil pada

kondisi lingkungan yang beragam sangat baik

dalam penerapan perhutanan klon (Wahid et al.,

2012). Pendekatan yang lain adalah melalui

pemilihan klon yang paling sesuai dengan suatu

tipe lingkungan tertentu (Li, Suontama, Burdon,

& Dungey, 2017).

Rerata produktivitas hutan tanaman

E. pellita di Indonesia adalah 15,6 – 17,6 m3ha

-1

tahun-1

dengan koefisien variasi antara 54 –

72% (Harwood & Nambiar, 2014).

Pertumbuhan E. pellita di lapangan sangat

dipengaruhi oleh potensi genetik dan interaksi

dengan lingkungannya. Pemilihan material

genetik terbaik yang sesuai dengan tapaknya

memiliki peran yang penting dalam

meningkatkan produktivitas tegakan. Apabila

hal tersebut tidak diperhatikan, maka akan

menyebabkan kerugian. Kesalahan memilih

spesies pada tapak terpilih atau sebaliknya

merupakan faktor utama yang menyebabkan

rendahnya pertumbuhan Eucalyptus sp. di

Sumatera Utara (Latifah, Villanueva,

Carandang, Bantayan, & Florece, 2014).

Dalam upaya meningkatkan produktivitas

tegakan E. pellita di Indonesia, diperlukan

pemahaman yang lebih baik mengenai kontrol

genetik terhadap sifat pertumbuhan dan

kerapatan kayu untuk mendukung upaya

perbaikan genetik (Hung et al., 2014). Untuk

mengetahui kinerja genetik diperlukan

perhitungan estimasi parameter genetik.

Beberapa parameter genetik yang umum

digunakan adalah heritabilitas, perolehan

genetik, korelasi genetik dan korelasi tipe B

(Hodge & Dvorak, 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

parameter genetik untuk pertumbuhan dan

kerapatan kayu pada uji klon E. pellita di dua

tapak yang berbeda. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi dalam

penyusunan dasar strategi pengembangan

material genetik bagi perusahaan-perusahaan

hutan tanaman industri.

II. BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi A.

Uji klon dipapankan pada dua lokasi,

keduanya di PT. Surya Hutani Jaya yang

berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara

Provinsi Kalimantan Timur. Lokasi uji klon

pertama adalah tapak 4 berada di koordinat

117°2’53.637” E dan 0

°2’41.233” N dengan luas

3,0 ha dan penanaman dilakukan pada bulan

Maret 2014. Lokasi uji klon kedua adalah tapak

2 berada di koordinat 116°59’47.965” E dan

Parameter Genetik Sifat Pertumbuhan dan Kerapatan Kayu Klon Eucalyptus pellita F. Muell.

di Dua Tapak yang Berbeda di Kalimantan Timur

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto

117

0°4’0.672” N dengan luas 4,4 ha dan penanaman

dilakukan pada bulan Agustus 2014. Tipe iklim

lokasi uji klon adalah tipe A berdasarkan

klasifikasi oleh Schmidt–Ferguson. Curah hujan

selama tahun 2014 – 2017 adalah 1.400 – 2.500

mm tahun-1

, curah hujan yang tinggi umumnya

jatuh pada bulan Nopember sampai bulan Juli.

Pengamatan yang digunakan pada

penelitian ini adalah pengukuran 4 tahun pada

bulan Maret 2018 (tapak 4) dan bulan Agustus

2018 (tapak 2). Pengamatan yang dilakukan

adalah tinggi pohon dan diameter batang, serta

pengambilan sampel kayu dengan bentuk

sampel inti kayu (core sample).

Rancangan percobaan B.

Kedua uji klon dirancang menggunakan

rancangan acak kelompok lengkap (RCBD =

randomized completely block design). Jumlah

klon yang diuji di masing-masing tapak adalah

30, diulang 5 kali dan jumlah pohon/plot adalah

25.

Pengukuran dan analisis data C.

Pengukuran untuk pertumbuhan (tinggi

pohon dan diameter batang) dilakukan pada

umur 4 tahun. Pengukuran dilakukan pada plot

inti (core plot) sebanyak 9 pohon. Tinggi pohon

diukur menggunakan haga meter, sedangkan

diameter batang (1,30 m dari permukaan tanah)

diukur dengan pita diameter (phi band). Untuk

pengukuran kerapatan kayu, sampel diambil

dari 15 pohon per klon menggunakan bor riap

(Haglof increment borer Φ 12 mm), dalam

setiap ulangan terdapat 3 pohon sampel.

Volume pohon dihitung dengan

menggunakan rumus yang digunakan oleh West

(2009), yaitu :

V = 0,3 × T × D2 ……………………………(1)

dimana

V : volume pohon (m3)

T : tinggi pohon (m)

D : diameter batang (m)

Kerapatan kayu (basic density)

didapatkan melalui perbandingan berat kering

tanur dengan volume basah seperti pada

persamaan yang digunakan oleh Wu et al.

(2011), yaitu :

KK = Bkt / Vb…………………………….. (2)

dimana

KK : kerapatan kayu (kg m-3

)

Bkt : berat kering tanur (kg)

Vb : volume basah atau green volume (m3)

Penanganan sampel dan pengukuran

volume basah (green volume) dilakukan dengan

metode water displacement dan pengukuran

berat kering tanur (oven dried weight) dilakukan

pada temperatur 105oC selama 24 jam

(Stackpole, Vaillancourt, Aguigar, & Potts,

2010).

Model statistik yang digunakan

mengunakan rerata plot untuk melakukan

analisis terhadap tinggi pohon, diameter batang,

volume pohon dan kerapatan kayu. Model yang

digunakan mengikuti pendekatan yang

dilakukan oleh Baltunis & Brawner, (2010),

yaitu :

Masing-masing tapak:

Yij = μ + Ui + Kj + eij

dimana Yij adalah observasi fenotip ke-ij, μ

adalah rerata, U adalah efek ulangan ke-i, K

adalah efek klon ke-j dan e adalah efek eror ke-

ij

Analisa kombinasi tapak:

Yijk = μ + Ti + U(T)ij + Kk + KTik + eijk

dimana Yijk adalah observasi fenotip ke-ijk, μ

adalah rerata, T adalah efek tapak ke-i, K adalah

efek klon ke-k, KT adalah efek interaksi klon

dengan site ke-ik, U(T) adalah efek ulangan

yang bersarang pada tapak ke-ij dan e adalah

efek eror ke-ijk.

Berdasarkan data pengukuran yang

dilakukan maka dilakukan analisis data dengan

menggunakan analisis varians (ANOVA).

ANOVA didapatkan melalui prosedur GLM

(general linear model) dengan menggunakan

data rerata plot sedangkan varians dan kovarians

genetik diestimasi menggunakan prosedur proc

varcomp dalam perangkat lunak SAS.

Perhitungan taksiran parameter genetik

yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan beberapa metode perhitungan.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

118

Estimasi heritabilitas menggunakan rerata plot.

Persamaan untuk masing-masing tapak

mengikuti yang dilakukan oleh Torres-Dini et

al. (2016), yaitu:

.............................. (3)

sedangkan estimasi heritabilitas untuk

kombinasi tapak adalah sebagai berikut :

............ (4)

dimana H2 adalah nilai estimasi heritabilitas

klon, adalah komponen varians klon,

adalah komponen varians interaksi klon dengan

tapak dan adalah komponen varians eror, t

adalah rerata harmonk tapak, u adalah rerata

harmonik ulangan dan ut adalah rerata harmonik

replikasi. Komponen varians diestimasi

menggunakan perangkat lunak SAS.

Perolehan genetik (PG) dihitung dengan

menggunakan rumus yang digunakan oleh

Luechanimitchit, Luangviriyasaeng, Laosakul,

Pinyopusarerk, & Bush (2017), yaitu :

............................................. (5)

......................................... (6)

dimana i adalah intensitas seleksi, adalah

standar deviasi fenotip, H2

adalah heritabilitas

dan adalah rerata fenotip masing-masing sifat

yang dianalisis.

Korelasi genetik (rG) dihasilkan dari

perhitungan antara kovarians dengan standar

deviasi pada dua sifat yang berbeda.

Perhitungan korelasi genetik dan korelasi tipe B

menggunakan rumus yang digunakan oleh

Hodge & Dvorak, (2015), yaitu:

....................................... (7)

................ (8)

dimana adalah nilai kovarians genetik

dari sifat X dan sifat Y, adalah nilai

varians genetik sifat X dan sifat Y serta

adalah nilai komponen varians genetik sifat (X

+ Y).

Korelasi tipe B digunakan untuk

mengetahui korelasi genetik antara sifat yang

sama yang diekspresikan pada dua atau lebih

lokasi yang berbeda (Hodge & Dvorak, 2015).

Korelasi tipe B dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

..................................... (9)

dimana adalah komponen varians genetik

klon, dan adalah komponen varians genetik

interaksi klon dengan tapak. Seluruh nilai

komponen varians didapatkan pada analisis

kombinasi tapak.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil A.

1. Pertumbuhan

Hasil analisis varians secara umum

terdapat perbedaan yang nyata (P < 0,05) untuk

hampir seluruh sifat pertumbuhan dan kerapatan

kayu (Tabel 1), kecuali diameter batang di tapak

2 (Pr > F = 0,0553).

Hasil pengukuran memperlihatkan tinggi

pohon pada umur 4 tahun di tapak 4 berkisar

15,8 – 20,5 m, di tapak 2 berkisar 15,0 – 20,7 m

dan 16,2 – 20,4 m berdasarkan analisis

kombinasi tapak. Koefisien variasi sifat tinggi

pohon pada tapak 4 (15,8%) lebih rendah

dibandingkan tapak 2 (17,0%), kondisi tersebut

memperlihatan tinggi pohon di tapak 4 lebih

seragam dibandingkan tapak 2 (Tabel 1).

Tabel 1 memperlihatkan diameter batang

umur 4 tahun di tapak 4 berkisar 10,3 – 13,7 cm,

tapak 2 berkisar 10,5 – 14,9 cm dan berdasarkan

kombinasi tapak berkisar 10,4 – 14,5 cm. Rerata

diameter batang di tapak 2 (12,5 cm) lebih

tinggi dibandingkan di tapak 4 (11,7 cm).

Berdasarkan hasil pengukuran tinggi

pohon dan diameter batang, selanjutnya

dilakukan perhitungan volume pohon. Volume

pohon umur 4 tahun di tapak 4 berkisar 0,055 –

0,124 m3, tapak 2 berkisar 0,060 – 0,156 m

3 dan

berdasarkan kombinasi tapak berkisar 0,057 –

0,146 m3 (Tabel 1).

Parameter Genetik Sifat Pertumbuhan dan Kerapatan Kayu Klon Eucalyptus pellita F. Muell.

di Dua Tapak yang Berbeda di Kalimantan Timur

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto

119

Tabel 1. Ringkasan hasil analisis sifat

pertumbuhan dan kerapatan kayu

Sifat Tapak 4 Tapak 2 Kombinasi

tapak

Tinggi pohon (m)

Rerata 18,6 18,8 18,6

Min 15,8 15,0 16,2

Maks 20,5 20,7 20,4

CV (%) 15,8 17,0 16,4

Pr>F < 0,0001 0,0065 0,0161

Diameter batang (cm)

Rerata 11,7 12,5 12,1

Min 10,3 10,5 10,4

Maks 13,7 14,9 14,5

CV (%) 19,2 23,1 21,5

Pr>F 0,0030 0,0553 0,0051

Volume pohon (m3)

Rerata 0,082 0,098 0,089

Min 0,055 0,060 0,057

Maks 0,124 0,156 0,146

CV (%) 48,8 55,1 52,8

Pr>F 0,0001 0,0347 0,0089

Kerapatan kayu (kg m-3

)

Rerata 465,2 450,0 457,7

Min 428,4 404,5 426,8

Maks 558,7 495,3 527,0

CV (%) 5,4 5,6 5,7

Pr>F < 0,0001 < 0,0001 < 0,0001

Keterangan: CV = koefisien variasi

Kerapatan kayu di tapak 4 berkisar 428,4

– 558,7 kg m-3

, tapak 2 berkisar 404,5 – 495,3

kg m-3

dan kombinasi tapak berkisar 426,8 –

527,0 kg m-3

. Rerata dan koefisien variasi

kerapatan kayu di tapak 4 adalah 465,2 kg m-3

dan 5,4%. Rerata dan koefisien variasi di tapak

2 adalah 450,0 kg m-3

dan 5,6%, sedangkan

rerata dan koefisien variasi berdasarkan

kombinasi tapak adalah 457,7 kg m-3

dan 5,7%

(Tabel 1).

2. Parameter genetik

Taksiran heritabilitas untuk tinggi pohon

adalah 0,50 – 0,66, diameter batang adalah 0,38

– 0,57 dan volume pohon adalah 0,43 – 0,63.

Taksiran heritabilitas kerapatan kayu pada

masing-masing tapak adalah 0,89 di tapak 4,

tapak 2 adalah 0,82 dan 0,86 berdasarkan

analisis kombinasi tapak (Tabel 2).

Tabel 2. Taksiran heritabilitas (H2) masing-

masing sifat

Sifat Tapak 4 Tapak 2 Kombinasi

tapak

Tinggi pohon 0,66 0,50 0,57

Diameter

batang 0,53 0,38 0,57

Volume

pohon 0,63 0,43 0,58

Kerapatan

kayu 0,89 0,82 0,86

Berdasarkan nilai taksiran heritabilitas

dapat dikalkulasikan nilai perolehan genetik

harapan yang merupakan respons dari seleksi.

Perolehan genetik harapan volume pohon

sebesar 16,1 – 27,0% di tapak 4; 10,2 – 17,0%

di tapak 2 dan 12,1 – 20,4% pada kombinasi

tapak dengan memilih 1 – 7 klon terbaik

(Gambar 1). Perolehan genetik harapan

kerapatan kayu di tapak 4 sebesar 4,4 – 7,4%

dengan memilih 1 – 7 klon terbaik. Sedangkan

perolehan genetik harapan kerapatan kayu yang

dapat diraih di tapak 2 dan kombinasi tapak

adalah 4,0 – 6,7% dan 4,0 – 6,8% (Gambar 2).

Perolehan genetik harapan volume pohon dan

kerapatan kayu di tapak 4 lebih tinggi

dibandingkan di tapak 2.

Parameter genetik selanjutnya yang perlu

diketahui adalah korelasi genetik antar sifat.

Korelasi genetik antar sifat dilakukan untuk

mengetahui hubungan satu sifat dengan sifat

lainnya. Nilai korelasi genetik (rG) antara sifat

tinggi pohon dengan diameter batang

memperlihatkan hubungan yang erat dan positif

yaitu rentang 0,71 – 0,79 (Tabel 3). Korelasi

genetik antara sifat tinggi pohon dengan

kerapatan kayu adalah sebesar 0,04 – 0,23;

sedangkan korelasi genetik antara sifat diameter

batang dengan kerapatan kayu adalah -0,21

sampai dengan -0,06 (Tabel 3). Dengan

demikian hubungan antara sifat-sifat

pertumbuhan (tinggi pohon dan diameter

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

120

batang) dengan kerapatan terlihat lemah bahkan

negatif (diameter batang).

Gambar 1. Persentase perolehan genetik harapan

volume pohon

Gambar 2. Persentase perolehan genetik harapan

kerapatan kayu

Untuk mengetahui hubungan antara sifat

yang sama pada dua tapak yang berbeda

dilakukan perhitungan korelasi tipe B.

Pengamatan korelasi tipe B dilakukan untuk

sifat tinggi pohon, diameter batang, volume

pohon dan kerapatan kayu. Tabel 4 menunjukan

nilai korelasi tipe B sifat diameter batang adalah

0,81; sedangkan nilai korelasi tipe B sifat tinggi

pohon dan volume pohon adalah 0,67 dan 0,79.

Nilai korelasi tipe B kerapatan kayu sebesar

0,87 yang menunjukan kestabilan kerapatan

kayu pada dua kelas tapak yang diuji.

Pembahasan B.

1. Pertumbuhan

Hasil analisis varians pada Tabel 1

memperlihatkan perbedaan yang nyata hampir

diseluruh sifat yang diamati (P < 0,05).

Perbedaan yang nyata seperti pada penelitian ini

ditemukan juga pada penelitian E. urophylla ×

E. tereticornis umur 8 tahun di Cina, efek klon

sangat signifikan pada semua sifat (P ≤ 0,01)

pada masing-masing lokasi dan kombinasi

lokasi (Yang et al., 2018). Hasil serupa

diungkapkan oleh Wu et al., (2013) yang

menyebutkan perbedaan yang nyata pada sifat

pertumbuhan dan kerapatan kayu umur 96 bulan

pada klon E. urophylla. Berdasarkan hasil

penelitian-penelitian di atas, efek klon sangat

bervariasi menyesuaikan terhadap kondisi

lingkungannya. Melalui variasi yang terjadi,

didapatkan peluang mendapatkan klon terbaik di

masing-masing tapak atau terbaik di kedua

tapak.

Tabel 3. Korelasi genetik antarsifat

Sifat Tapak

4

Tapak

2

Kombinasi

tapak

Tinggi pohon ×

diameter batang 0,75 0,79 0,71

Tinggi pohon ×

Kerapatan kayu 0,19 0,04 0,23

diameter batang ×

kerapatan kayu -0,06 -0,05 -0,21

Tabel 4. Korelasi tipe B masing-masing sifat

Sifat Korelasi tipe B

Tinggi pohon 0,67

Diameter batang 0,81

Volume pohon 0,79

Kerapatan kayu 0,87

Tinggi pohon E. pellita pada umur 4

tahun berkisar 18,6 – 18,8 m dan diameter

batang pada umur 4 tahun berkisar 11,8 – 12,5

cm (Tabel 1). Hasil tersebut hampir sama yang

diperoleh di China pada klon Eucalyptus hibrid

umur 51 bulan dengan tinggi pohon dan

diameter batang adalah 17,9 – 18,8 m dan 11,9

– 12,6 cm (Wu et al., 2011). Hasil berbeda

ditunjukan klon Eucalyptus hibrid umur 44

bulan di China, dengan rerata tinggi dan

diameter batang adalah 14,4 m dan 11,0 cm

(Wu et al., 2015) dan di Vietnam dengan tinggi

pohon dan diameter batang klon

Parameter Genetik Sifat Pertumbuhan dan Kerapatan Kayu Klon Eucalyptus pellita F. Muell.

di Dua Tapak yang Berbeda di Kalimantan Timur

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto

121

E. camaldulensis umur 5 tahun adalah 10,5 –

14,1 m dan 8,8 – 13,4 cm (Kien, Jansson,

Harwood, & Almqvist, 2010).

Koefisien variasi klon Eucalyptus hibrid

umur 44 bulan di China adalah 9,84% untuk

tinggi pohon dan 9,91% untuk diameter batang

(Wu et al., 2015). Koefisien variasi klon

Eucalyptus hibrid umur 51 bulan di China

adalah 8,4 – 12,0% untuk tinggi pohon dan 8,4

– 10,7% untuk diameter batang (Wu et al.,

2011). Koefisien variasi klon Eucalyptus hibrid

di China lebih rendah dibandingkan pada

penelitian ini yaitu 15,8 – 17,0% untuk tinggi

pohon dan 19,2 – 23,1% untuk diameter batang

(Tabel 1). Koefisien variasi yang lebih tinggi

menunjukkan kuatnya interaksi klon dengan

lingkungan yang berarti peluang seleksi klon

akan menjadi lebih terbuka (Wu et al., 2015).

Peluang seleksi mendapatkan klon terbaik lebih

terbuka pada uji klon E. pellita umur 4 tahun

ini.

Hasil pengukuran kerapatan kayu klon

E. pellita pada penelitian ini berkisar pada

rentang 404,5 – 558,7 kg m-3

(Tabel 1). Hasil

tersebut searah dengan hasil Penelitian Prasetyo

et al. (2017) yang menyebutkan kerapatan kayu

E. pellita adalah 460 (400 – 550) kg m-3

pada

umur 9 tahun di Sumatera utara. Rentang yang

hampir sama ditemui pada Kerapatan kayu

klon-klon Eucalyptus hibrid di Cina umur 5,5

tahun yaitu 468 – 483 kg m-3

sesuai hasil

penelitian Luo et al. (2012) dan 404 – 427 kg

m-3

pada umur 51 bulan (Wu et al., 2015).

Kerapatan kayu E. pellita yang lebih tinggi

terdapat di Vietnam pada umur 10 tahun yaitu

657 - 665 kg m-3

sesuai dengan kebutuhan

industri pulp dan kertas (Hung et al., 2014).

Kerapatan kayu memperlihatkan variasi

yang lebih rendah dengan rerata CV < 6%

dibandingkan dengan sifat tinggi pohon dengan

CV sebesar 15,8 – 17,0% dan diameter batang

dengan rerata CV adalah 19,2 – 23,1% (Tabel

1). Hasil penelitian yang serupa terjadi di

Vietnam pada klon E. camaldulensis

menunjukkan variasi yang rendah pada sifat

kayu dibandingkan sifat pertumbuhan (Kien et

al., 2010). Secara umum sifat kayu

menampilkan variasi yang lebih kecil

dibandingkan dengan sifat-sifat pertumbuhan

(Yang et al., 2018).

2. Parameter genetik

Taksiran heritabilitas umur 4 tahun pada

penelitian ini untuk tinggi pohon sebesar 0,50 –

0,66, diameter batang sebesar 0,38 – 0,57;

volume pohon sebesar 0,43 – 0,63 dan

kerapatan kayu sebesar 0,82 – 0,89 (Tabel 2).

Taksiran heritabilitas sifat-sifat pertumbuhan

termasuk kategori moderat, sedangkan taksiran

heritabilitas kerapatan kayu (> 0,75) termasuk

kategori tinggi (White et al., 2007). Taksiran

heritabilitas pertumbuhan yang lebih tinggi

dibandingkan penelitian ini dilaporkan oleh

Kien et al. (2010) yang menyebutkan taksiran

heritabilitas di Vietnam pada klon

E. amaldulensis umur 5 tahun di Vietnam yaitu

sebesar 0,69 – 0,85 (tinggi pohon) dan 0,74 –

0,86 (diameter batang). Taksiran heritabilitas

sifat pertumbuhan yang tinggi ditemukan juga

pada klon Eucalyptus hibrid di Cina yaitu 0,73 –

0,96 pada umur 51 bulan sesuai yang dilaporkan

Wu et al. (2011) dan 0,80 – 0,86 pada umur 44

bulan (Wu et al., 2015). Taksiran heritabilitas

diameter batang klon E. grandis × E. globulus

umur 4 tahun sebesar 0,72 di Uruguay (Torres-

Dini et al., 2016). Taksiran heritabilitas tinggi

pohon sebesar 0,70 – 0,80 pada umur 5 tahun

klon E. urophylla × E. grandis ditemukan di

Kongo (Makouanzi, Chaix, Nourissier, &

Vigneron, 2017). Taksiran heritabilitas yang

lebih rendah ditemui di Afrika Selatan pada

tinggi pohon dan diameter batang klon

E. grandis umur 5 tahun yaitu 0,30 – 0,38 dan

0,32 – 0,33 (Snedden, Roux, & Verryn, 2007).

Taksiran heritabilitas kerapatan kayu klon

E. pellita umur 4 tahun pada penelitian ini

adalah berkisar antara 0,82 – 0,89 (Tabel 2).

Heritabilitas kerapatan kayu di Cina lebih

rendah dibandingkan dengan penelitian ini,

yaitu 0,62 – 0,74 pada klon Eucalypus hibrid

umur 51 bulan seperti yang dilaporkan oleh Wu

et al., (2011). Taksiran heritabilitas kerapatan

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

122

kayu yang lebih rendah juga diungkapkan oleh

Wu et al. (2013) pada klon E. urophylla dan

Yang et al. (2018) pada klon E. urophylla ×

E. tereticornis yaitu sebesar 0,5 pada umur 8

tahun di Cina. Taksiran heritabilitas kerapatan

kayu yang lebih tinggi ditemukan di Vietnam

yaitu 0,93 – 0,95 pada klon E. camaldulensis

umur 5 tahun (Kien et al., 2010).

Taksiran heritabilitas kerapatan kayu pada

penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan

heritabilitas sifat-sifat pertumbuhan. Hasil

tersebut selaras dengan hasil penelitian Pliura,

Zhang, Mackay, & Bousquet (2007) yang

menyebutkan nilai heritabilitas kerapatan kayu

lebih tinggi dibandingkan dengan sifat

pertumbuhan.. Dengan demikian, sifat kerapatan

kayu memiliki kontrol genetik yang kuat

dibandingkan dengan faktor lingkungan.

Berdasarkan taksiran heritabilitas,

dilakukan perhitungan perolehan genetik

harapan. Hasil penelitian memperlihatkan

potensi perolehan genetik sebesar 10,2 – 27,0%

dengan memilih 1 – 7 klon teratas berdasarkan

sifat volume pohon (Gambar 1). Hasil yang

hampir sama diungkapkan oleh Kien et al.

(2010) dengan menggunakan intensitas seleksi

5%, didapatkan perolehan genetik harapan sifat

pertumbuhan sebesar 21,6 – 31,8% pada klon

E. camaldulensis umur 5 tahun. Perolehan

genetik harapan yang lebih besar yaitu 65%

ditemukan pada klon E. urophylla × E. grandis

umur 5 tahun di Kongo melalui intensitas

seleksi 2% (Makouanzi et al., 2017).

Penggunaan klon yang tepat akan meningkatan

20 – 25% perolehen genetik harapan

dibandingkan dengan penggunaan asal benih

walaupun dilakukan pada populasi pemuliaan

yang sama, lokasi dan teknik silvikultur yang

sama (Rezende, Resende, & Assis, 2014).

Terdapat potensi perolehan genetik

harapan 4,0 – 7,4% berdasarkan sifat kerapatan

kayu dengan memilih 1 – 7 klon terbaik

berdasarkan kerapatan kayu (Gambar 2). Hasil

yang hampir sama dengan perolehan genetik

harapan sebesar 7,9% pada E. globulus umur 11

tahun di Tasmania (Apiolaza, Raymond, & Yeo,

2005). Potensi perolehan genetik kerapatan

kayu dalam penelitian ini lebih rendah

dibandingkan perolehan genetik volume pohon.

Hasil serupa terdapat pada klon

E. camaldulensis umur 5 tahun dengan

perolehan genetik harapan sifat pertumbuhan

mampu meningkatkan 22 – 32% dengan efek

kecil terhadap kerapatan kayu (Kien et al.,

2010).

Sifat genetik selanjutnya yang perlu

diperhatikan adalah korelasi genetik dan

korelasi tipe B. Korelasi genetik antara sifat

tinggi pohon dan diameter batang pada

penelitian ini pada rentang 0,71 – 0,79 (Tabel

3). Korelasi tersebut memperlihatkan hubungan

yang erat dan positif diantara kedua sifat

tersebut. Hasil yang selaras juga diperlihatkan

pada klon E. camaldulensis umur 5 tahun di

Vietnam dengan nilai 0,85 – 0,90 seperti

dilaporkan oleh Kien et al. (2010) serta klon E.

urophylla umur 9 tahun dengan nilai korelasi

genetik sebesar 0,87 (Kien et al., 2009).

Korelasi genetik yang tinggi antara tinggi pohon

dan diameter batang ditemukan juga di

Tasmania pada klon E. globulus umur 4 tahun

yaitu 0,94 seperti yang dilaporkan oleh Silva,

Potts, & Tilyard (2013) dan 0,68 pada klon

E. urophylla × E. grandis umur 5 tahun di

Kongo (Makouanzi et al., 2017). Di Cina,

korelasi genetik antara tinggi pohon dengan

diameter batang pada umur 51 bulan klon

Eucalyptus hibrid sebesar 0,91 – 0,90

dilaporkan oleh Wu et al. (2011), sedangkan

hasil yang berbeda ditunjukan pada klon

Eucalyptus hibrid umur 44 bulan dengan

korelasi sebesar 0,38 (Wu et al., 2015).

Hal yang berbeda terjadi antara korelasi

genetik sifat pertumbuhan (tinggi pohon dan

diameter batang) dengan kerapatan kayu.

Korelasi genetik antara tinggi pohon dengan

kerapatan adalah 0,04 – 0,23 dan korelasi

genetik antara diameter batang dengan

kerapatan kayu adalah -0,21 sampai dengan

-0,06 (Tabel 3). Korelasi genetik antara sifat

tinggi pohon dengan kerapatan kayu bersifat

sangat lemah. Hal yang sama terjadi pada

korelasi genetik antara diameter batang dengan

kerapatan kayu, selain lemah korelasi juga

bersifat negatif. Korelasi yang lemah antara

diameter batang dan kerapatan kayu dilaporkan

Parameter Genetik Sifat Pertumbuhan dan Kerapatan Kayu Klon Eucalyptus pellita F. Muell.

di Dua Tapak yang Berbeda di Kalimantan Timur

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto

123

juga oleh Yang et al. (2018) pada klon

E. urophylla × E. tereticornis yaitu -0,03 umur 8

tahun di Cina. Tidak ada korelasi yang

signifikan antara diameter batang dengan sifat

kayu pada E. globulus (Apiolaza et al., 2005).

Korelasi genetik antara sifat pertumbuhan dan

kerapatan kayu berkisar dari -0,12 hingga 0,28

pada klon E. urophylla umur 71 bulan (Wu et

al., 2013). Tidak ada korelasi genetik antara

kerapatan kayu dengan diameter pada E. pellita

di Vietnam pada umur 10 tahun (Hung et al.,

2014). Korelasi genetik antara tinggi dengan

kerapatan kayu serta diameter batang dengan

kerapatan kayu umur 5 tahun klon E.

camaldulensis adalah 0,01 - 0,21 dan - 0,24

sampai dengan 0,21 di Vietnam (Kien et al.,

2010). Lemahnya korelasi genetik antara sifat

pertumbuhan dengan kerapatan kayu,

memberikan gambaran untuk lebih berhati-hati

dalam seleksi klon ketika kedua sifat tersebut

dijadikan parameter seleksi.

Sifat genetik yang memberikan gambaran

kinerja klon di dua kelas tapak yang berbeda

adalah korelasi tipe B (rGB). Nilai korelasi tipe B

berkisar antara 0 dan 1, Nilai korelasi tipe B ≈ 1

menunjukan kinerja genotipe yang sempurna di

beberapa lokasi atau dengan kata lain tidak ada

interaksi genetik dengan lingkungan (Hodge &

Dvorak, 2015). Nilai korelasi tipe B pada

penelitian ini berkisar antara 0,67 – 0,87 dengan

rincian 0,67 untuk tinggi pohon, 0,81 untuk

Diameter batang, 0,79 untuk volume pohon dan

0,87 untuk kerapatan kayu (Tabel 4). Nilai

korelasi tipe B untuk diameter batang dan

kerapatan kayu memperlihatkan stabilitas

kinerja klon yang tinggi. Kolerasi tipe B klon

P. radiata umur 5 tahun di Selandia Baru adalah

0,82 untuk tinggi dan 0,76 untuk diameter

batang (Baltunis & Brawner, 2010). Di Cina,

korelasi tipe B yang rendah terjadi pada klon

E. urophylla × E. tereticornis umur 8 tahun,

yaitu 0,39 untuk sifat tinggi pohon, 0,34 untuk

sifat diameter dan 0,39 untuk kerapatan kayu

(Yang et al., 2018). Secara umum, sifat-sifat

pertumbuhan dan kerapatan kayu pada

penelitian ini menunjukkan kinerja yang stabil

(> 0,7) kecuali sifat tinggi pohon (0,67).

IV. KESIMPULAN

Efek klon sangat bervariasi

menyesuaikan terhadap kondisi lingkungannya.

Interaksi klon dengan lingkungan pada sifat

pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan

sifat kerapatan kayu. Hal tersebut sejalan

dengan nilai parameter genetik sifat

pertumbuhan yang kurang stabil dan kontrol

genetik yang lebih rendah dibandingkan dengan

sifat kerapatan kayu.

Nilai perolehan genetik harapan sifat

pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan

sifat kerapatan kayu dan disaat yang bersamaan

terdapat korelasi genetik yang lemah (bahkan

ada yang negatif) antara sifat pertumbuhan dan

sifat kerapatan kayu. Oleh karena itu diperlukan

kehati-hatian dalam melakukan seleksi klon

ketika kedua sifat tersebut dijadikan parameter

seleksi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini merupakan bagian dari tesis

dan ucapan terima kasih disampaikan kepada

Maurits S. Sipayung, Denri A. Nugroho, Agus

Hendrawan, dan Masran serta pihak lainnya atas

bantuannya dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Apiolaza, L. A., Raymond, C. A., & Yeo, B. J.

(2005). Genetic Variation of Physical and

Chemical Wood Properties of Eucalyptus

globulus. Silvae Genetica, 54–4/5, 160–166.

Baltunis, B. S., & Brawner, J. T. (2010). Clonal

stability in Pinus radiata across New Zealand

and Australia . I . Growth and form traits. New

Forests, 40, 305–322.

Barua, S. K., Lehtonen, P., & Pahkasalo, T. (2014).

Plantation vision : potentials, challenges and

policy options for global industrial forest

plantation development. International Forestry

Review, 16(2), 117–127.

Binkley, D., Campoe, O. C., Alvares, C., Carneiro,

R. L., Cegatta, Í., & Stape, J. L. (2017). The

interactions of climate , spacing and genetics

on clonal Eucalyptus plantations across Brazil

and Uruguay. Forest Ecology and

Management, 405, 271–283.

Griffin, A. R. (2014). Clones or improved seedlings

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

124

of Eucalyptus ? Not a simple choice.

International Forestry Review, 16(2), 216–224.

Harwood, C. E., Alloysius, D., Pomroy, P., Robson,

K. W., & Haines, M. W. (1997). Early growth

and survival of Eucalyptus pellita provenances

in a range of tropical environments, compared

with E. grandis, E. urophylla and Acacia

mangium. New Forests, 14, 203–219.

Harwood, C. E., & Nambiar, E. K. S. (2014).

Sustainable plantation forestry in South-East

Asia. Canberra.

Hodge, G. R., & Dvorak, W. S. (2012). Growth

potential and genetic parameters of four

Mesoamerican pines planted in the Southern

Hemisphere Growth potential and genetic

parameters of four Mesoamerican pines

planted in the Southern Hemisphere. Southern

Forests, 74(1), 37–41.

Hodge, G. R., & Dvorak, W. S. (2015). Provenance

variation and within-provenance genetic

parameters in Eucalyptus urophylla across 125

test sites in Brazil , Colombia , Mexico , South

Africa and Venezuela. Tree Genetics &

Genomes, 11(57), 1–18.

Hung, T. D., Brawner, J. T., Meder, R., Lee, D. J.,

Southerton, S., Thinh, H., & Dieters, M.

(2014). Estimates of genetic parameters for

growth and wood properties in Eucalyptus

pellita F. Muell. to support tree breeding in

Vietnam. Annals of Forest Science (Vol. 72).

https://doi.org/10.1007/s13595-014-0426-9

Kien, N. D., Jansson, G., Harwood, C. E., &

Almqvist, C. (2010). Clonal Variation and

Genotype by Environment Interactions in

Growth and Wood Density in Eucalyptus

camaldulensis at Three Contrasting Sites in

Vietnam. Silvae Genetica, 59(1), 17–28.

Kien, N. D., Quang, T. H., Jansson, G., Harwood, C.

E., Clapham, D., & Arnold, S. von. (2009).

Original article Cellulose content as a selection

trait in breeding for kraft pulp yield in

Eucalyptus urophylla Keywords : Annals of

Forest Science, 66(711).

Latifah, S., Villanueva, T. R., Carandang, M. G.,

Bantayan, N. C., & Florece, L. M. (2014).

Predicting growth and yield models for

Eucalyptus species in Aek Nauli, North

Sumatera, Indonesia. Agriculture, Forestry and

Fisheries, 3(4), 209–216.

Li, Y., Suontama, M., Burdon, R. D., & Dungey, H.

S. (2017). Genotype by environment

interactions in forest tree breeding : review of

methodology and perspectives on research and

application. Tree Genetics & Genomes, 13(60),

1–18.

Luechanimitchit, P., Luangviriyasaeng, V., Laosakul,

S., Pinyopusarerk, K., & Bush, D. (2017).

Genetic parameter estimates for growth , stem-

form and branching traits of Casuarina

junghuhniana clones grown in Thailand.

Forest Ecology and Management, 404, 251–

257.

Luo, J. Z., Arnold, R. J., Cao, J. G., Lu, W. H., Ren,

S. Q., Xie, Y. J., & Xu, L. A. (2012). Variation

in pulp wood traits between eucalypt clones

across sites and implications for deployment

strategies. Journal of Tropical Forest Science,

24(1), 70–82.

Makouanzi, G., Chaix, G., Nourissier, S., &

Vigneron, P. (2017). Genetic variability of

growth and wood chemical properties in a

clonal population of Eucalyptus urophylla ×

Eucalyptus grandis in the Congo. Southern

Forests, 1–8.

Pliura, A., Zhang, S. Y., Mackay, J., & Bousquet, J.

(2007). Genotypic variation in wood density

and growth traits of poplar hybrids at four

clonal trials. Forest Ecology and Management,

238, 92–106.

Prasetyo, A., Aiso, H., Ishiguri, F., Wahyudi, I.,

Wijaya, I. P. G., Ohshima, J., & Yokota, S.

(2017). Variations on growth characteristics

and wood properties of three Eucalyptus

species planted for pulpwood in Indonesia.

TROPICS, 26(2), 59–69.

Rezende, G. D. S. P., Resende, M. D. V. de, & Assis,

T. F. de. (2014). Eucalyptus Breeding for

Clonal Forestry. In T. Fenning (Ed.),

Challenges and Opportunities for the World’s

Forests in the 21st Century (pp. 393–424).

Springer Dordrecht Heidelberg New York

London.

Silva, J. C. e, Potts, B. M., & Tilyard, P. (2013).

Stability of genetic effects across clonal and

seedling populations of Eucalyptus globulus

with common parentage. Forest Ecology and

Management, 291, 427–435.

Snedden, C. L., Roux, C. Z., & Verryn, S. D. (2007).

Broad- and narrow-sense heritabilities in a

South African cloned open-pollinated

Eucalyptus grandis breeding population.

Southern Hemisphere Forestry Journal, 69(2),

81–90.

Stackpole, D. J., Vaillancourt, R. E., Aguigar, M. De,

& Potts, B. M. (2010). Age trends in genetic

parameters for growth and wood density in

Eucalyptus globulus. Tree Genetics &

Genomes, 6, 179–193.

Torres-Dini, D., Nunes, A. C. P., Aguiar, A.,

Nikichuk, N., Centurión, C., Cabrera, M., …

Parameter Genetik Sifat Pertumbuhan dan Kerapatan Kayu Klon Eucalyptus pellita F. Muell.

di Dua Tapak yang Berbeda di Kalimantan Timur

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto

125

Sebbenn, A. M. (2016). Clonal selection of

Eucalyptus grandis x Eucalyptus globulus for

productivity , adaptability , and stability , using

SNP markers. Silvae Genetica, 65(2), 30–38.

Wahid, N., Rainville, A., Lamhamedi, M. S.,

Margolis, H. A., Beaulieu, J., & Deblois, J.

(2012). Genetic parameters and performance

stability of white spruce somatic seedlings in

clonal tests. Forest Ecology and Management,

270, 45–53.

Wendling, I., Trueman, S. J., & Xavier, A. (2014).

II : reinvigoration , rejuvenation and juvenility

maintenance. New Forests, 45, 473–486.

West, P. W. (2009). Tree and Forest Measurement

(2nd Editio). Springer Dordrecht Heidelberg

London New York.

White, T. L., Adam, W. T., & Neale, D. B. (2007).

Forest Genetics. CABI Publishing.

Wallingford.

Wu, S., Lu, Z., Xu, J., Chen, G., Zhu, Y., & Li, G.

(2015). Genetic variation in growth traits and

stem – branch characteristics and their

relationships to Eucalyptus clones. Journal of

Forestry Research, 26(4), 957–962.

Wu, S., Xu, J., Li, G., Risto, V., Du, Z., Lu, Z., …

Wang, W. (2011). Genotypic variation in wood

properties and growth traits of Eucalyptus

hybrid clones in southern China. New Forests,

42, 35–50.

Wu, S., Xu, Jianm., Li, G., LU, Z., Han, C., Hu, Y.,

& Hu, X. (2013). Genetic variation and genetic

gain in growth traits, stem-branch

characteristics and wood properties and their

relationships to Eucalyptus urophylla clones.

Silvae Genetica, 62(4–5), 218–231.

Yang, H., Weng, Q., Li, F., Zhou, C., Li, M., Chen,

S., … Gan, S. (2018). Genotypic Variation and

Genotype-by-Environment Interactions in

Growth and Wood Properties in a Cloned

Eucalyptus urophylla × E. tereticornis Family

in Southern China. Forest Science, 1–8.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 115 - 125

126

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 127 - 134

127

PENGUJIAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA UNTUK

MENGETAHUI KESTABILAN GENETIK KLON JATI (Tectona grandis)

Random amplified polymorphism DNA marker test to assess genetic stability of teak

(Tectona grandis) clones

I.L.G. Nurtjahjaningsih1, Toni Herawan

1, Reza Permatasari Rachma

2, dan Anto Rimbawanto

1

1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar, Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected]

2Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknobiologi, Universitas Atmajaya

Jalan Marsda Adisucipto, Yogyakarta, Indonesia

Tanggal diterima: 2 Agustus 2018, Tanggal direvisi: 9 Agustus 2018, Disetujui terbit: 4 Desember 2018

ABSTRACT

This study aimed to test RAPD markers to assess genetic stability of teak clones. Two experimental steps were

carried out. First, nine RAPD markers were screened to verify the level of polymorphic loci using non clone

samples; second, the polymorphic loci were applied to test genetic stability of clones from tissue culture. To test

polymorphism levels of the primers, DNA was isolated from eight leaf samples that were collected from a seed

orchard located at Watusipat, Gunung Kidul. To verify genetic stability of clones, DNA was isolated from leaf

samples of 24 ramets of 3 clones after second sub-culturing. Results showed that amplification of 5 out of 9

RAPD primers were consistent and produced 12 polymorphic loci. The number of polymorphic alleles per locus

ranged between 1 and 3; the allele sizes were between 400 and 1050 base pairs (bps). The percentage of

polymorphic loci was 100%; it meant that overall loci have high polymorphism level. Based on these loci

showed that the 24 ramets are clones; there was no somaclonal variation or high genetic stability. However,

these loci need to be validated using more stable DNA markers.

Keywords: tissue culture, primers screening, polymorphic loci, somaclonal variation

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji penanda RAPD pada kestabilan genetik klon jati. Pengujian ini melalui

dua tahap penelitian yaitu memilih penanda RAPD yang mengamplifikasikan lokus polimorfik pada sampel

bukan klon, kemudian target lokus polimorfik tersebut diujikan pada sampel klon hasil kultur jaringan. Sampel

DNA bukan klon berasal dari kebun benih jati di Watusipat, Gunung Kidul. Sampel DNA klon berasal dari 24

ramet, dari 3 klon setelah 2 kali sub kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 dari 9 penanda RAPD pada

sampel bukan klon, bersifat konsisten dan menghasilkan 12 lokus polimorfik. Jumlah alel polimorfik per lokus

berkisar antara 1 sampai dengan 3; ukuran alel berkisar antara 400 sampai 1050 pasangan basa (bp). Persentase

lokus polimorfik bernilai 100% menunjukkan bahwa seluruh lokus mempunyai nilai polymorphism tinggi.

Berdasarkan 12 lokus tersebut, 24 ramet menunjukkan genotipe yang sama pada masing-masing klonnya.

Namun demikian, target lokus tersebut masih harus divalidasi menggunakan penanda DNA yang sifatnya lebih

stabil.

Kata kunci: kultur jaringan, pemilihan primer, lokus polimorfik, variasi somaklonal

I. PENDAHULUAN

Teknik kultur jaringan merupakan salah

satu teknik perbanyakan vegetatif dan

menghasilkan bibit dalam jumlah banyak

(massal). Namun demikian, bibit yang

dihasilkan dengan teknik ini sering mengalami

ketidak-stabilan genetik atau munculnya variasi

somaklonal (Cao, Sui, Cai, Yang, & Deng,

2016). Variasi somaklonal dapat terjadi di

tingkat kromosom sehingga bersifat genetis dan

diturunkan (Cao et al., 2016; Sarmah, Sutradhar,

& Singh, 2017). Variasi somaklonal berdampak

pada sifat fenotipik yang tidak diinginkan,

penurunan perolehan genetik tanaman hasil

pemuliaan (Bairu, Aremu, & Staden, 2011),

ketidak-cocokan fenologi bunga jantan dan

betina, tidak menghasilkan biji, penggandaan

jumlah kromosom atau mengalami siklus

reproduksi yang panjang (Bairu et al., 2011).

Selain itu, variasi somaklonal dapat terjadi

setiap saat pada tahapan kultur jaringan,

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 127 - 134

128

sehingga pengecekan variasi harus selalu

dilakukan untuk menghindari hasil yang tidak

diinginkan (Akdemir, Suzerer, Tilkat, Onay, &

Ciftci, 2016).

Penanda RAPD merupakan salah satu

penanda DNA yang cukup efektif, mudah dan

ekonomis untuk tujuan melihat variasi

somaklonal (Pathak, Dwivedi, Laddha, Begun,

& Joshi, 2013). Berdasarkan penanda ini deteksi

variasi somaklonal dilakukan baik pada tanaman

horticultural maupun tanaman berkayu; seperti

jenis mahoni Afrika (Khaya senegalensis)

(Darwesh et al., 2017), Pisum sativum,

Saccharum L. (Ghose et al., 2016), Solanum

tuberosum (Ali et al., 2017), Picea abies,

Populus deltoids, Prunus persica, Pyrus

pyraster (Bairu et al., 2011), Chrysanthemum

(Lema-Ruminska & Anna Mellem, 2017).

Penggunaan penanda RAPD mampu

membedakan klon, kultivar, keberadaan mutasi

gen dan jumlah kromosom pada Allium sativum

(Al-Zahim, Ford-Lloyd, & Newbury, 1999) dan

varietas tebu tahan garam (Ghose et al., 2016),

varietas tebu tahan garam dan kekeringan

(Gadakh, Patel, & Singh, 2017).

Indikasi variasi somaklonal pada jati

secara fenotipik diamati terhadap diameter,

ukuran daun dan tinggi calon bibit hasil kultur

jaringan (plantlet) (Toni Herawan, data tidak

dipublikasikan). Berdasarkan pengamatan

tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk

menguji kestabilan genetik klon jati hasil kultur

jaringan menggunakan penanda RAPD.

Ketersediaan penanda DNA tersebut diharapkan

dapat digunakan untuk tujuan praktis di

lapangan seperti mengidentifikasi klon secara

cepat.

II. BAHAN DAN METODE

Bahan A.

Untuk menyeleksi penanda RAPD yang

bersifat konsisten dan polimorfik sehingga bisa

menjadi acuan ukuran alel (bp), template DNA

diekstraksi dari contoh daun 8 individu pohon

asal kebun benih jati yang terletak di Watusipat,

Gunung Kidul. Untuk menguji stabilitas genetik

klon jati, DNA diekstraksi dari contoh daun 24

ramets yang berasal dari 3 klon dan sudah

mengalami sub kultur masing-masing sebanyak

2, 3 dan 4 kali. Klon tersebut ditumbuhkan

menggunakan media MS (Murashige and

Skoog, 1962) dengan penambahan hormon

pertumbuhan pada konsentrasi 0,50 mgL-1

BA

dan Kinetin 0,15 mgL-1

. Materi genetik yang

digunakan sebagai eksplan pada saat ditanam di

media kultur adalah tunas aksiler dari grafting.

Perbanyakan klon secara kultur jaringan

tersebut dilakukan di laboratorium kultur

jaringan, Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan, Yogyakarta.

Metode penelitian B.

1. Ekstraksi DNA dan analisis RAPD

Sampel daun kering dari kebun benih dan

sampel basah dari kultur jaringan, masing-

masing ditimbang seberat 50 dan 100 mg.

Metode ekstraksi DNA, baik sampel dari kebun

benih maupun kultur jaringan, menggunakan

metode CTAB (Shiraishi & Watanabe, 1995).

Untuk mendapatkan penanda RAPD yang

bersifat polimorfik, seleksi penanda RAPD

dilakukan terhadap 9 penanda RAPD yaitu

OPB-10, OPC-06, OPC-08, OPC-11, OPC-15,

dan OPH-08, OPI-03, OPI-06, OPI-09 (Operon

Technologies, USA, Tabel 1; Widyatmoko,

Rimbawanto, & Chasani, 2013). Penanda

RAPD polimorfik yang diperoleh digunakan

untuk menguji kestabilan genetik klon hasil

kultur jaringan.

Larutan PCR terdiri dari 5 ng/L DNA,

10 pmol primer RAPD, 5x KAPATaq Extra

Buffer (tanpa Mg2+

), 0,3mM dNTP, 1,75mM

MgCl2, 1,25 U/50L KAPATaq Extra Hot-start

DNA Polymerase (KAPABIOSYSTEMS).

Sesuai protokol KAPABIOSYSTEMS, kondisi

mesin (Widyatmoko et al., 2013) thermal cycler

(Applied Biosystem) diatur dalam 3 tahap; tahap

pertama yaitu tahap denaturasi pada suhu 95oC

selama 5 menit; tahap kedua yaitu tahap

annealing dilakukan dalam 45 siklus pada suhu

Pengujian Penanda Random Amplified Polymorphism DNA untuk Mengetahui Kestabilan Genetik Klon Jati (Tectona grandis)

I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza Permatasari Rachma, dan Anto Rimbawanto

129

denaturasi 94oC 30 detik, suhu annealing 37

oC

30 detik, dan pemanjangan 72oC 1,5 menit;

tahap ketiga yaitu tahap pemanjangan terakhir

pada suhu 72oC 7 menit. Hasil PCR dijalankan

menggunakan alat elektroforesis (OWL) yang

dialiri listrik 120 voltage pada 1,2% gel agarose

khusus elektroforesis. Hasil elektroforesis

dilihat menggunakan alat visualisasi yang

dilengkapi dengan kamera dan lampu UV

(Biorad). Pengamatan terhadap fragment DNA

jati menggunakan penanda RAPD dilakukan

menggunakan software geldoc (Biorad).

2. Interpretasi data

Pengumpulan data dilakukan terhadap

penanda RAPD yang mempunyai lokus

polimorfik yang diujikan pada sampel DNA dari

kebun benih. Parameter keragaman genetik per

lokus yaitu keragaman genetik (HE), jumlah alel

efektif (Ne) dan persentase lokus polymorfik

dihitung menggunakan program komputer

GenAlex version 6.4 (Peakall & Smouse, 2006).

Setelah mengetahui lokus-lokus

polimorfik, lokus tersebut digunakan untuk

menguji sampel DNA klon hasil kultur jaringan.

Lokus polimorfik tersebut akan bersifat

monomorfik apabila diujikan pada sampel DNA

klon kultur jaringan. Kestabilan klon diamati

dengan cara membandingkan lokus-lokus

polimorfik yang diamati pada sampel dari kebun

benihdan sampel klon kultur jaringan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil A.

Pemilihan penanda RAPD jati yang

digunakan pada penelitian ini, sudah pernah

diujikan oleh Widyatmoko, et al. (2013). Hasil

verifikasi yang dilakukan pada penelitian ini

menunjukkan bahwa amplifikasi 5 dari 9

penanda RAPD bersifat konsisten dan

polimorfik (Tabel 1). Jumlah lokus polimorfik

per primer berkisar antara 1 sampai dengan 3.

Ukuran lokus polimorfik berkisar antara 400 bp

sampai dengan 1050 bp. Total lokus polimorfik

sebanyak 12. Tabel 2 menunjukkan bahwa

keragaman genetik (He) per lokus berkisar

antara 0,248 (lokus; OPC6/500 bp) sampai

dengan 0,506 (lokus; OPC6/1000 bp;

OPC11/850 bp; OPC15/500 bp). Jumlah alel

efektif bervariasi dari rendah (Ne=1,159) sampai

dengan tinggi (Ne=1,904). Persentase lokus

polymorfik sebesar 100%. Berdasarkan karakter

masing-masing lokus tersebut di atas,

selanjutnya lokus tersebut dijadikan acuan

ukuran lokus untuk menguji 24 ramet hasil

kultur jaringan.

Tabel 1. Urutan nukleotida dan karakteristik amplifikasi primer RAPD yang digunakan dalam proses

pemilihan penanda polimorfik pada jati

Nama

primer

Urutan nukleotida

5’-3’ Karakter lokus

Jumlah lokus

polimorfik

Ukuran lokus

polimorfik (bp)

OPB10 CTGCTGGGAC Amplifikasi tidak konsisten - -

OPC06 GAACGGACTC Amplifikasi konsisten dan polimorfik 3 500, 700, 1000

OPC08 TGGACCGGTG Amplifikasi konsisten dan polimorfik 2 700, 800

OPC11 AAAGCTGCGG Amplifikasi konsisten dan polimorfik 3 400, 850, 1050

OPC15 GACGGATCAG Amplifikasi konsisten dan polimorfik 3 500, 650, 1050

OPH08 GAAACACCCC Amplifikasi konsisten dan polimorfik 1 800

OPI03 CAGAAGCCCA Amplifikasi tidak konsisten - -

OPI06 AAGGCGGCAG Amplifikasi tidak konsisten - -

OPI09 TGGAGAGCAG Amplifikasi tidak konsisten - -

Jumlah primer/ lokus

polimorfik 5 12

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 127 - 134

130

Tabel 2. Parameter keragaman genetik berdasarkan 12 lokus polimorfik RAPD menggunakan 8 individu jati

asal kebun benih

Penanda RAPD Ukuran lokus

(base pair) N Ne He

OPC06 500 8 1,302 0,248

700 8 1,302 0,248

1000 8 1,904 0,506

OPC08 700 8 1,495 0,353

800 8 1,842 0,488

OPC11 400 8 1,842 0,488

850 8 1,904 0,506

1050 8 1,842 0,488

OPC15 500 8 1,888 0,506

650 8 1,159 0,148

1050 8 1,585 0,397

OPH08 800 8 1,842 0,488

Keterangan: N: jumlah sampel, Ne: jumlah alel efektif, He: nilai keragaman genetik harapan

Keterangan: OPC06, OPC08, OPC11, OPC15, OPH08: nama penanda RAPD, M: penanda ukuran DNA,

bp: satuan ukuran lokus, panah: posisi lokus polimorfik

Gambar 1. Profil 12 lokus polimorfik dari lima penanda RAPD menggunakan 8 individu jati asal kebun benih

Ramet hasil kultur jaringan menunjukkan

kesamaan genetik pada lokus polimorfik.

Gambar 1 menunjukkan lokus polimorfik pada

sampel dari kebun benih dengan materi genetik

bukan klon, sedangkan Gambar 2 menunjukkan

lokus polimorfik tersebut menjadi bersifat

monomorfik pada sampel klon hasil kultur

jaringan. Semua ramet menunjukkan pita-pita

amplifikasi yang sama pada setiap klonnya. Hal

ini menunjukkan bahwa tanaman hasil kultur

jaringan tersebut mempunyai kesamaan genetik

atau tidak menunjukkan variasi genetik.

Pembahasan B.

Variasi somaklonal tidak terjadi pada

sample klon jati hasil kultur jaringan yang

diujikan. Banyak faktor yang menyebabkan

tidak ditemukannya variasi somaklonal pada

tanaman hasil kultur jaringan, seperti sumber

eksplan, perlakuan zat pengatur tumbuh,

lamanya kultur dan sensitivitas penanda DNA

yang digunakan (Sarmento, Martins, & Oliveira,

2005; Agbidinoukoun et al., 2017; Sarmah,

Sutradhar, & Singh, 2017). Sumber eksplan dari

jaringan yang masih aktif membelah seperti

kambium kemungkinan dapat mengurangi

terjadinya variasi. Sebaliknya jaringan yang

sudah mengalami diferensiasi seperti akar dan

daun, jaringan chimera dan kalus dapat memicu

terjadinya variasi (Leva, Petruccelli, & Rinaldi,

2012). Kultur tunas aksiler tanpa perlakuan

OPC06 OPC08 OPC11M M

500 bp

1,000 bp

700 bp

1,050 bp

850 bp800 bp

400 bp

OPC15 OPH08M M

Pengujian Penanda Random Amplified Polymorphism DNA untuk Mengetahui Kestabilan Genetik Klon Jati (Tectona grandis)

I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza Permatasari Rachma, dan Anto Rimbawanto

131

cryopreservation pada umumnya tidak memicu

terjadinya variasi somaklonal (Krishna et al.,

2016). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian sebelumnya bahwa kultur tunas

aksiler tidak menyebabkan terjadinya variasi

somaklonal. Penambahan hormon sitokinin

seperti BA dapat merangsang terjadinya

morfogenesis melalui perusakan siklus sel.

Perlakuan BA pada konsentrasi tinggi (15-30

mgL-1

) menyebabkan variasi somaklonal pada

pisang dan padi dengan cara meningkatkan

jumlah kromosom (Bairu et al., 2011). Namun

demikian, studi lain juga melaporkan bahwa

penggunaan BA tidak menyebabkan munculnya

variasi somaklonal, atau menyebabkan variasi

somaklonal dalam nilai yang kecil (< 6%;

Bhalang et al., 2018). Hingga saat ini, pengaruh

hormon BA terhadap variasi somaklonal masih

diperdebatkan. Pada penelitian ini menggunakan

hormon kombinasi antara BA pada konsentrasi

0,5 mgL-1

dan Kinetin pada konsentrasi 0,15

mgL-1

tidak mengakibatkan munculnya variasi

somaklonal. Konsentrasi BA yang digunakan

pada penelitian sangat kecil (0,5 mgL-1

) apabila

dibandingkan dengan konsentrasi pada pisang

dan padi (15-30 mgL-1

) sehingga tidak

berpengaruh pada terbentuknya variasi

somaklonal pada jati.

Keterangan :

: posisi lokus monomorfik pada sampel klon

Gambar 2. Target lokus polimorfik pada Gambar 1 menampakkan lokus monomorfik pada 24 ramet hasil

kultur jaringan

Frekuensi sub kultur dianggap sebagai

salah satu penyebab munculnya variasi

somaklonal. Variasi somklonal meningkat

dengan semakin banyaknya frekuensi sub kultur

(Akdemir et al., 2016); Roostika, Khumaida, &

Ardie, 2015; Agbidinoukoun et al., 2017).

Variasi terjadi setelah sub kultur ke-4 (Bairu et

al., 2011) atau setelah sub-kultur ke-8 pada

500 bp650 bp

1,050 bp

800 bp

500 bp

700 bp

1,000 bp

700 bp800 bp

400 bp

850 bp

1,050 bp

OPC06

OPC08

OPC11

OPC15

OPH08

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 127 - 134

132

kultur pisang (Krishna et al., 2016). Kultur jati

yang digunakan pada penelitian ini merupakan

hasil sub kultur ke-2, ke-3 dan ke-4, apabila

dibandingkan dengan laporan sebelumnya,

frekuensi sub kultur jati tersebut masih kecil.

Selain itu, kecepatan multiplikasi juga

menyebabkan variasi somaklonal; semakin

mudah dimultiplikasi maka semakin mudah

mengalami variasi somaklonal (Bairu et al.,

2011). Karakter multiplikasi jati pada penelitian

ini menunjukkan laju multiplikasi yang rendah,

satu tunas aksiler hanya menghasilkan 2-5 tunas

baru (Toni Herawan, data tidak dipublikasikan).

Frekuensi multiplikasi yang rendah pada jati

dapat menjadi salah satu penyebab tidak

munculnya variasi somaklonal.

Jumlah primer RAPD yang digunakan

untuk menguji variasi somaklonal klon hasil

kultur jaringan berkisar antara 2 (Chinmayee,

Aadeshkumar, & Monica, 2012; Hattab, El-

Kaaby, & Saadon Abdulhadi Al-Ajeel, 2017 ),

puluhan (Roostika et al., 2015) hingga ratusan

primer (Sarmento et al., 2005). Selain itu,

jumlah sampel yang digunakan tidak terlalu

banyak, berkisar antara 1 sampai 4 sampel klon

(Darwesh et al., 2017; Roostika et al., 2015;

Khoddamzadeh et al., 2010; Agbidinoukoun,

Missihoun, Akonde, Sagbadja, Agbangla, &

Ahanhanzo, 2017). Penelitian sebelumnya

melaporkan bahwa pada region tertentu dalam

untai DNA mempunyai titik (hot spot)

instabilitas sehingga akan dengan mudah

mendeteksi variasi somaklonal meskipun

menggunakan primer dan sampel dengan jumlah

terbatas (Linacero, Alves, & Vazquez, 2000;

Hattab et al., 2017). Sebaliknya, beberapa

penelitian melaporkan bahwa variasi

somaklonal tidak ditemukan meskipun

menggunakan ratusan primer RAPD. Variasi

somaklonal tidak ditemukan karena terjadi

kestabilan genetik pada target fragment DNA

(Agbidinoukoun et al., 2017). Usaha untuk

menambah jumlah primer RAPD dilakukan

untuk memvalidasi terjadinya kestabilan genetik

(Sarmento et al., 2005).

Penanda RAPD sering diaplikasikan

untuk mengidentifikasi variasi somaklonal

(Roostika et al., 2015; Gadakh et al., 2017),

meskipun ampilifikasi penanda RAPD sering

tidak konsisten karena sekuen primer berukuran

pendek (10 bp) dan menempel secara acak pada

untai DNA. (Sarmento et al., 2005;

Agbidinoukoun, Missihoun, Akonde, Sagbadja,

Agbangla, & Ahanhanzo, 2017). Untuk

meminimalis kelemahan ini, hal yang perlu

dilakukan adalah harus mengacu pada protokol

yang baku dan metode pemilihan lokus yang

tepat (Bairu et al., 2011). Metode yang sering

digunakan untuk mendeteksi variasi somaklonal

menggunakan penanda RAPD adalah

membandingkan pohon induk di lapangan

sebagai tanaman kontrol dengan klonnya

(Roostika et al., 2015, Ghose et al., 2016) atau

membandingkan antar ramet dalam klon yang

sama (Govinden-Soulange, Somanah, Ranghoo-

Sanmukhiya, Boodia, & Rajkomar, 2010). Pada

penelitian ini, untuk menentukan lokus RAPD

yang dapat membedakan klon dan bukan klon

ditempuh melalui dua kali proses screening

primer yaitu screening lokus polimorfik dengan

amplifikasi konsisten pada sampel bukan klon,

kemudian lokus polimorfik tersebut

diaplikasikan pada sampel klon hasil kultur

jaringan. Lokus polimorfik tersebut

teramplifikasi monomorfik pada sampel klon

hasil kultur jaringan. Meskipun amplifikasi

penanda RAPD bersifat tidak konsisten, namun

setidaknya, proses screening ini dapat memberi

acuan ukuran lokus. Namun demikian, oleh

karena amplifikasi penanda RAPD bersifat tidak

konsisten maka ada baiknya kestabilan genetik

pada klon jati hasil kultur jaringan divalidasi

menggunakan penanda DNA lainnya.

Penanda RAPD mampu mendeteksi

perubahan urutan basa pada untai DNA. Oleh

karena itu, pencarian penanda RAPD

bermanfaat untuk mengidentifikasi individu

klon secara cepat pada produksi bibit dalam

jumlah banyak / massal apabila terjadi

perubahan urutan basa karena proses mutasi

atau kesalahan pada pelabelan.

Pengujian Penanda Random Amplified Polymorphism DNA untuk Mengetahui Kestabilan Genetik Klon Jati (Tectona grandis)

I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza Permatasari Rachma, dan Anto Rimbawanto

133

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penanda RAPD yang

digunakan, variasi somaklonal tidak ditemukan

pada klon jati hasil kultur jaringan. Untuk

memvalidasi kestabilan genetik pada klon jati

ini masih perlu menambahkan jumlah penanda

RAPD atau menggunakan penanda DNA

lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Saudari Wahyunisari yang telah

membantu kegiatan penelitian analisis RAPD di

laboratorium Genetika Molekuler. Penulis juga

berterimakasih kepada Saudara Endin Izudin

yang telah membantu penyiapan materi genetik

berupa klon jati yang digunakan pada penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agbidinoukoun, A., Missihoun, A. A., Akonde, P.,

Sagbadja, A. H., Agbangla, C., &

Ahanhanzo, C. (2017). Assessment for the

incidence of number of subcultures on

genotype stability for in Vitro plantlets of

yam (Dioscorea spp.) using RAPD markers.

International Journal of Current Research in

Biosciences and Plant Biology, 4(4), 32–38.

Akdemir, H., Suzerer, V., Tilkat, E., Onay, A., &

Ciftci, Y. O. (2016). Detection of variation in

long-term micropropagation mature pistachio

via DNA-based molecular markers. Appl

Biocem Biotechmol.

https://doi.org/10.1007/s12010-016-2168-7

Al-Zahim, M. A., Ford-Lloyd, B. V., & Newbury, H.

J. (1999). Detection of somaclonal variation

in garlic (Allium sativum L.) using RAPD and

cytological analysis. Plant Cell Reports, 18,

473–477.

Ali, A. A., El-Denary, M. E., El-Gendy, A., Galal, O.

A., Ahmad, M. E., & Tahany R. El-Sayed.

(2017). Detection of somaclonal variations in

tomato using RAPD markers. Egypt. J.

Genet. Cytol, 46, 89–99.

Bairu, M. W., Aremu, A. O., & Staden, J. Van.

(2011). Somaclonal variation in plants:

causes and detection mehods. Plant Growth

Regul, 63, 147–173.

Bhalang, D., Prabhuling, G., Hipparagi, K.,

Raghavendra, S., Prakash, D. P., & A.G.

Babu. (2018). Analysis of the genetic

stability of banana tissue culture propagated

plantlets cv. Ney Poovan (AB) using

morphological and molecular markers. Int. J.

Curr. Microbiolgy and Applied Sciences,

7(1), 1007–1018.

Cao, Z., Sui, S., Cai, X., Yang, Q., & Deng, Z.

(2016). Somaclonal variation in Red Flash

caladium: morphological, cytological and

molecular characterization. Plant Cell Tissue

Organ Culture, 126, 269–279.

Chinmayee, S. P., Aadeshkumar, S. S., & Monica, R.

S. (2012). Random amplified polymorphic

DNA (RAPD) detection of somaclonal

variants in comercially micropropagated

banana (Musa spp. cultivar grand naine).

American Journal of Biochemistry and

Molecular Biology, 2(4), 235–240.

Darwesh, M. A., Naser, A. A., Habba, E. E. A.,

Taha, L. S., Garb, A. M. ., & El-Assaly, R.

M. B. (2017). In vitro propagation protocol

for improving African mahogany (Khaya

senegalensis) endangered tree. Journal of

Biological Sciences, 17(5).

Gadakh, S. S., Patel, D. U., & Singh, D. (2017). Use

of RAPD markers to chracterize salt and

drought line of sugarcane. Int. J. Adv. Res.

Biol. Sci., 4(5), 50–57.

Ghose, A. K., Hasan, M. K., Mahmud, K., Islam, N.,

Rahman, M. A., Shadid, S. B., & Hossain, M.

A. (2016). Assessment of somaclonal

variation among sugarcane varieties for salt

tolerance through RAPD markers.

Fundamental and Applied Agriculture, 1(3),

136–140.

Govinden-Soulange, J., Somanah, D., Ranghoo-

Sanmukhiya, M., Boodia, N., & Rajkomar, B.

(2010). Detection of somaclonal variation in

micropropagated Hibiscus sabdariffa L. using

RAPD markres. University of Maurittus

Research Journal, 16, 435–447.

Hattab, Z. N. Al, El-Kaaby, E. A., & Saadon

Abdulhadi Al-Ajeel. (2017). Molecular

analysis of somaclonal variations in chili

pepper (Capsicum annuum L). Bioscience

Research, 14(4), 831–838.

Khoddamzadeh, A. A., Sinniah, U. ., Kadir, M. A.,

Kadzimin, S. ., Mahmood, M., & S, S.

(2010). Detection of somaclonal variation by

random amplified polymorphic DNA analysis

during micropropagation of Phalaenopsis

bellina (Rchb.f.) Christenson. African

Journal of Biotechnology, 9(40), 6632–6639.

Krishna, H., Alizadeh, M., Singh, D., Singh, U.,

Chauhan, N., Eftekhari, M., & Sadh, R. K.

(2016). Somaclonal variation and their

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 127 - 134

134

applications in horticultural crops

improvement. 3 Biotech, 6, 6–54.

Lema-Ruminska, J., & Anna Mellem. (2017).

Genetic diversity of Chrysanthemum plants

derived via somatic embryogenesisi using

RAPD markers. Aca Sci. Pol. Hortorum

Cultus, 16(6), 149–156.

Leva, A. R., Petruccelli, R., & Rinaldi, L. M. R.

(2012). Somaclonal variation in tissue

culture: a case study with olive. In Recent

advances in plant in vitro culture (pp. 123–

150).

Linacero, R., Alves, E. F., & Vazquez, A. M. (2000).

Hot spots of DNA instability revealed

through the study of somaclonal variation in

rye. Theor Appl Genet, 100, 506–511.

Pathak, A., Dwivedi, M., Laddha, N. C., Begun, R.,

& Joshi, A. (2013). Detection of somaclonal

variants using RAPD marker in Bacopa

monnieri and Tylophora indica. Journal of

Agricultural Technology, 9(5), 1253–1260.

Peakall, R., & Smouse, P. E. (2006). GenAlex 6:

Genetic analysis in excel, Population genetic

software for teachng and research. Molecular

Ecology Notes, 6, 288–295.

Roostika, I., Khumaida, N., & Ardie, S. W. (2015).

RAPD analysis to detect somaclonal variation

of pineapple in Vitro cultures during

micropropagation. Biotropia, 22(2), 109–119.

Sarmah, D., Sutradhar, M., & Singh, B. K. (2017).

Somaclonal variation and its aplication in

ornamentals plants. Int.J.Pure App.Biosci,

5(2), 396–406.

Sarmento, D., Martins, M., & Oliveira, M. M.

(2005). Evaluation of somaclonal variation in

almond using RAPD and ISSR markers. In

M. M. Oliveira & V. Cordeiro (Eds.), XIII

GREMPA Meeting on Almond and Pistachios

(pp. 391–395).

Shiraishi, S., & Watanabe, A. (1995). Identification

of chloroplast genome between Pinus

densiflora Sieb et Zucc and P. thumbergii

Parl based on the polymorphism in rbcL

gene. Journal of Japanese Forestry Society,

77, 429–436.

Widyatmoko, A., Rimbawanto, A., & Chasani, A. R.

(2013). Hubungan kekerabatan antar populasi

jati (Tectona grandis, Linn.F.) berdasarkan

penanda RAPD (Random amplified

polymorphic DNA). Jurnal Pemuliaan

Tanaman Hutan, 7(3), 151–166.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 135 - 142

135

IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT LODOH PADA SEMAI KALIANDRA

Identification of pathogen causes of damping off diseases on kaliandra seedlings

Nur Hidayati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta email: [email protected]

Hidayati Tanggal diterima: 3 Juli 2018, Tanggal direvisi: 2 Agustus 2018, Disetujui terbit: 11 Desember 2018802237) Fax ; 0274

ABSTRACT

Seedling quality is one of factors determining the success of forest management. Pathogen attack that causes

disease in the nursery is one reason hindering the target of seedling provision. Therefore, disease outbreak in the

nursery need to be properly studied to set precautionary or control measures. The aim of this study is to isolate and

identify causes of damping off which cause the death of kaliandra (Calliandra callothyrsus) seedlings. A number of

kaliandra seedlings from 30 gram seed of kaliandra, died due to damping off disease. Dead seedling samples were

isolated then observed macroscopically and microscopically (examined under the microscope). Koch Postulate test

was conducted to identify the disease causing the death of kaliandra seedlings. Identification results indicate that

the causes of damping-off disease are Fusarium sp. and Rizoctonia solani.

Keywords: pathogen, nursery, Rizoctonia solani, Fusarium sp.

ABSTRAK

Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya pengelolaan hutan adalah tersedianya bibit tanaman kehutanan yang

berkualitas. Serangan patogen yang menyebabkan penyakit di persemaian merupakan salah satu penyebab tidak

terpenuhinya target penyediaan bibit tanaman kehutanan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, berkembangnya

penyakit di persemaian perlu dipelajari agar dapat dilakukan tindakan pencegahan atau pengendalian secara tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk isolasi dan identifikasi penyebab penyakit lodoh yang menyebabkan kematian pada

kecambah benih kaliandra (Calliandra calothyrsus). Sebanyak 30 gram benih kaliandra disemaikan dan kecambah

benih kaliandra yang menunjukkan kematian karena penyakit lodoh di persemaian diisolasi kemudian isolat diamati

secara makroskopis dan mikroskopis, dilakukan uji Postulat Koch untuk mengidentifikasi penyebab penyakit yang

menyebabkan kematian pada semai kaliandra. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyebab penyakit lodoh

adalah jamur Fusarium sp. dan Rizoctonia solani.

Kata kunci: penyebab penyakit, persemaian, Rizoctonia solani, Fusarium sp.

I. PENDAHULUAN

Kaliandra (Calliandra calothyrsus) adalah

salah satu spesies kaliandra yang sangat populer

di Indonesia, terutama di masyarakat yang berada

pada areal kawasan hutan di pulau Jawa, sebagai

tanaman serbaguna untuk konservasi lahan,

reklamasi lahan marginal, hijauan pakan ternak,

lebah, penyedia pupuk hijau dan bubur kayu

(pulp) untuk membuat kertas (Tangendjaya,

Ibrahim, & Palmer, 1992). Kaliandra merupakan

pohon kecil bercabang yang tumbuh mencapai

tinggi maksimum 12 m dan diameter batang

maksimum 20 cm (Stewart et al., 2014). Tanaman

ini disebut sebagai tanaman pionir karena

kemampuannya untuk hidup pada berbagai jenis

tanah dan juga sering dikenal sebagai tanaman

perintis karena memiliki viabilitas hidup yang

tinggi (Hendrati & Hidayati, 2014).

Tanaman dapat terserang penyakit karena

adanya inokulum oleh berbagai macam patogen,

dapat menginfeksi di dalam tanah, air, dan udara,

bahkan menginfeksi sel inang (Pawar & Nasreen

2016). Salah satu jenis penyakit yang sering di

temukan pada benih dan pembibitan yaitu

penyakit lodoh (damping off) yang merupakan

suatu penyakit yang disebabkan oleh jamur.

Jamur merupakan mikrorganisme yang

mempunyai dinding sel, umumnya tidak bergerak,

tidak mempunyai klorofil serta tidak mampu

melakukan proses fotosintesis atau menghasilkan

bahan organik dari karbondioksida dan air

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 135 - 142

136

(organisme heterotrof) (Robinson, 2001). Pre-

emergency damping off terjadi ketika benih

terinfeksi dan mati sebelum muncul di permukaan

tanah. Sedangkan post emergency damping off,

serangan penyakit muncul ketika benih sudah

berkecambah di permukaan tanah yang

menyebabkan bibit rebah dan mengalami

kematian (Omokhua, God-Egein, & Okereke,

2009).

Pengadaan bibit tanaman kehutanan yang

berkualitas dengan jumlah yang cukup dan waktu

yang tepat, merupakan salah satu faktor yang

menentukan keberhasilan pengelolaan hutan.

Salah satu kendala yang menyebabkan tidak

terpenuhinya target penyediaan bibit adalah

adanya serangan patogen yang menyebabkan

penyakit pada semai. Oleh karena itu,

berkembangnya penyakit di persemaian perlu

dipelajari agar dapat dilakukan tindakan

pencegahan atau pengendalian secara tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan

mengidentifikasi penyebab penyakit lodoh

(damping off) pada semai kaliandra.

II. BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat A.

Penelitian dilaksanakan di persemaian dan

laboratorium hama dan penyakit tanaman Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi

dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH)

Yogyakarta. Kegiatan ini dilaksanakan pada

Januari sampai dengan Maret 2017.

Bahan dan alat penelitian B.

Penelitian ini menggunakan materi benih

kaliandra (C. callothyrsus) sebanyak 30 g. Bahan

yang digunakan untuk menumbuhkan jamur

patogen di laboratorium adalah media Potato

Dekstrose Agar (Oxoid), sedangkan untuk

mengamati morfologi jamur menggunakan

mikroskop (merek Zeiss Axioplan 2 dengan

perbesaran 40×).

Metode Pengamatan C.

1. Persiapan benih kaliandra

Benih kaliandra direndam di dalam air

panas <100oC selama 24 jam sebelum

disemaikan, dibagi ke dalam 5 bak tabur, masing-

masing bak tabur sebanyak 6 g benih. Media

tanam yang digunakan berupa pasir yang sudah

diberi fungisida cair. Benih yang berkecambah

dan yang mati dihitung. Benih yang mati di ambil

menggunakan pinset steril dan dimasukan pada

cawan petri untuk diisolasi.

2. Isolasi penyebab penyakit lodoh pada

semai kaliandra

Media PDA sebanyak 39 g, dimasukkan ke

dalam beaker glass, ditambah 1000 ml aquades

steril. Setelah dilarutkan, media tersebut

disterilisasi dengan autoklaf selama 20 menit pada

suhu 121oC dan tekanan 1 atm. Cawan petri dan

media yang telah disterilisasi, dipersiapkan di

LAF (Laminar Air Flow). Sebanyak 10 ml media

ditempatkan di dalam masing-masing cawan petri.

Pada penelitian ini, isolasi dilakukan

dengan cara semai yang diambil dari bak tabur

dan menunjukkan kematian dibersihkan

menggunakan aquades steril selama 3 menit

sehingga benih tersebut terpisah dari pasir. Enam

wadah dipersiapkan dengan pembagian wadah 1

(alkohol 96%), wadah 2 (aquades steril), wadah 3

(bleaching), wadah 4 (aquades steril), wadah 5

(aquades steril) dan terakhir kertas saring/tissue

steril. Benih tersebut direndam dan digoyangkan

agar merata di masing–masing wadah (1-5) yang

telah disiapkan selama 3 menit secara bergantian,

selanjutnya benih ditanam di dalam media PDA di

dalam cawan petri. Subkultur dilakukan untuk

memindahkan miselium jamur yang tumbuh dari

kecambah benih yang ditanam pada media PDA

sehingga diperoleh biakan murni. Hasil isolasi

yang tumbuh pada setiap media dalam cawan

petri di subkultur sebanyak 6 ulangan. Dalam

setiap cawan terdapat 4 materi tanam yang

disubkultur, dipilih bagian yang tidak

terkontaminasi, dipotong ukuran 1×1 mm,

kemudian letakkan pada media PDA baru.

Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melihat

kontaminasi dan koloni miselium jamur yang

tumbuh.

Identifikasi Penyebab Penyakit Lodoh pada Semai Kaliandra

Nur Hidayati

137

3. Uji Patogenitas isolat jamur hasil isolasi

Patogenitas isolat hasil isolasi yang

diperoleh diuji dengan uji Postulat Koch. Uji ini

dilakukan dengan menginokulasi kecambah benih

kaliandra yang ditumbuhkan pada media tabur

pasir, dengan inokulum dari biakan murni jamur

hasil isolasi yang diinkubasikan dalam cawan

petri selama 8 hari. Biakan murni jamur dipanen

dengan menambahkan aquades steril sebanyak 10

ml kemudian dilakukan pengenceran sampai 10-2.

Inokulasi dilakukan pada kecambah kaliandra

berumur 7 hari setelah benih ditabur, dengan cara

menyemprotkan suspensi spora jamur hasil isolasi

yang diperoleh secara merata ke seluruh

permukaan kecambah.

4. Pengamatan morfologi isolat dan

identifikasi jamur penyebab penyakit

lodoh

Identifikasi dilakukan secara mikroskopis

yaitu pengamatan pada spora, hifa, septa jamur

penyebab penyakit hasil isolasi dan pengamatan

secara makroskopis melalui morfologi dan

pertumbuhan isolat jamur pada media.

Pengamatan gejala dan tanda penyakit lodoh juga

dilakukan pada kecambah benih kaliandra yang

terserang penyakit lodoh. Hasil isolasi biakan

murni penyebab penyakit subkultur yang telah

tumbuh dibuat preparat untuk identifikasi. Bagian

yang telah ditumbuhi jamur diambil 1x1 mm,

diletakan pada gelas obyek, lactopenol diteteskan

menggunakan mikro pipet sebanyak 5 µl, ditutup

dengan cover glass lalu ditekan dan di beri label.

Diamati di bawah mikroskop. Hasil pengamatan

mikroskopis kemudian dideskripsikan dengan

menggunakan acuan pustaka (Barnet & Hunter,

2006).

Analisa data D.

Data dianalisa dengan menghitung persen

perkecambahan benih kaliandra serta pengamatan

secara mikroskopis dan makroskopis isolat

penyebab penyakit lodoh pada kecambah

benih/semai kaliandra.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas serangan penyakit lodoh pada A.

kecambah benih kaliandra

Luas serangan penyakit pada kecambah

benih kaliandra sebesar 59,03%, merupakan

persentase jumlah kecambah benih kaliandra yang

terserang penyakit lodoh dibandingkan dengan

jumlah semua kecambah benih kaliandra yang

diamati. Benih kaliandra yang digunakan dalam

penelitian ini dieksplorasi pada tahun 2011 dan

selama ini disimpan di DCS pada suhu 00C

(komunikasi pribadi, Hendrati, 2018). Kualitas

benih akan mengalami penurunan secara linear

dengan waktu (Siahaan, 2017). Howell (2007)

mengatakan dalam penelitiannya bahwa benih

dengan kualitas yang baik sering terhindar dari

serangan pre emergence damping off yang

disebabkan oleh jamur Pythium spp. dan Rhizopus

oryzae, dan benih ini juga tahan terhadap

serangan post emergence damping off yang

disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani.

Sedangkan benih berkualitas buruk sangat rentan

terhadap kedua penyakit lodoh dan membutuhkan

perawatan benih untuk bertahan hidup. Hasil

pengamatan menunjukkan adanya kematian

kecambah dengan gejala pembusukan pada

pangkal batang sehingga menyebabkan kecambah

bibit rebah dan mati (Gambar 1). Gejala seperti

ini dikenal dengan penyakit lodoh. Penyakit lodoh

adalah pembusukan pada benih/kecambah benih

di bak tabur atau semai pasca penyapihan di

polibag yang merupakan gangguan yang

disebabkan oleh munculnya jamur (Sturrock et al.,

2015). Penyakit lodoh dapat disebabkan oleh

berbagai macam penghuni tanah (soil inhibitant)

bersifat parasit fakultatif yang bertahan hidup baik

sebagai spora yang berada dalam kondisi dorman

atau sebagai saprofit yang aktif dalam

pembusukan bahan organik di dalam tanah (Hill

& Waller, 1988). Insiden penyakit lodoh yang

terjadi pada semai kaliandra dalam penelitian ini

termasuk dalam post emergence damping off yaitu

mulai nampak adanya serangan penyakit pada

kecambah kaliandra umur 10 hari. Serangan

terjadi pada benih yang telah berkecambah dan

telah muncul di atas tanah, fase ini terjadi pada

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 135 - 142

138

kecambah yang berumur antara 1-4 minggu

(Semangun, 2006).

Isolasi dan identifikasi penyebab B.

penyakit lodoh

Sebagian penyakit dapat didiagnosis

melalui pengamatan dengan mata langsung

maupun dengan bantuan mikroskop. Sebelum

melakukan pengamatan terhadap patogen, terlebih

dahulu kita harus menumbuhkan atau membiakan

penyebab penyakit tersebut. Mikroorganisme

dapat berkembang biak dengan alami atau dengan

bantuan manusia (Agrios, 2005). Mikroorganisme

dapat ditumbuhkan dan dikembangkan pada suatu

substrat yang disebut media. Media yang

digunakan untuk menumbuhkan dan

mengembangbiakan mikroorganisme harus sesuai

susunannya dengan kebutuhan jenis-jenis

mikroorganisme yang bersangkutan (Soni, 2010).

Pengamatan hasil isolasi dilakukan setiap hari

dengan melihat koloni miselium jamur yang

tumbuh. Setelah miselium jamur tumbuh

dilakukan peremajaan atau subkultur yang

bertujuan tetap memberikan nutrisi yang cukup

pada miselium jamur, untuk mendapatkan biakan

murni, serta mempertahankan galur murni tanpa

perubahan fisiologi, morfologi dan genetika.

Setelah dilakukan isolasi dan diperoleh

biakan murni jamur yang diduga sebagai

penyebab penyakit lodoh, kemudian dilakukan uji

patogenitas dengan uji Postulat Koch pada

kecambah benih kaliandra sehat. Suspensi spora

hasil isolasi dengan pengenceran 10-2

disemprotkan secara merata pada kecambah

kaliandra. Setelah itu dilakukan isolasi kembali

kecambah benih kaliandra yang mati setelah

diinokulasi. Hasil isolasi dan reisolasi jamur

diidentifikasi dengan cara melihat struktur

morfologi secara makroskopis dan mikroskopis

isolat jamur pada media. Isolasi dan identifikasi

dilakukan untuk mengetahui jenis patogen yang

menyerang tanaman yang diamati (Agrios, 2005).

Hasil identifikasi dengan melihat morfologi isolat

jamur (Gambar 2 dan Gambar 3) diperoleh ada 2

jenis jamur yang menyebabkan penyakit lodoh,

yaitu jamur Fusarium sp. dan Rhizoctonia solani.

Johnson et al. (2014) menyebutkan bahwa

penyakit lodoh disebabkan oleh jamur yang

berada di dalam tanah (soil borne fungi). Jamur

tersebut diantaranya adalah Pytium sp., Fusarium

sp., Rhizoctonia sp., Phytoptora sp., dan jamur

lainya (Abbasi, Conn, & Lazarovits, 2004).

Gambar 1. Semai kaliandra (a) yang sehat dan (b)

yang terserang penyakit lodoh

Hasil pengamatan makroskopis isolat yang

teridentifikasi sebagai jamur R. solani,

menunjukkan terdapat sklerotia melingkar pada

isolat berwarna coklat, miselium hialin berwarna

putih pada awal pertumbuhannya selanjutnya

akan berubah menjadi berwarna gelap dengan

pola penyebaran yang konsentris, struktur

permukaan halus dan rata, tepi koloni rata, dan

warna bagian bawah koloni berwarna putih

kecoklatan, sedangkan pada pengamatan

mikroskopis percabangan hifa tampak tegak lurus,

memiliki sekat, badan buah aseksual tidak

ditemukan konidia, serta tidak ditemukan adanya

hubungan jepit/ clamp connection (Barnet &

Hunter, 2006). Hal ini sesuai dengan pernyataan

Agrios (2005) bahwa jamur Rizochtonia solani

dapat diidentifikasi dari karakter hifa yang khas,

yaitu sudut percabangan yang tegak lurus yang

membedakan dengan jamur lainnya. Jamur ini

bertahan di tanah dengan memproduksi sklerotia

berwarna cokelat kemerahan hingga hitam

sebagai struktur bertahan. Sklerotia merupakan

sekumpulan hifa yang memadat, berwarna gelap

dan mampu bertahan dalam kondisi lingkungan

yang tidak menguntungkan (Agrios, 2005). Jamur

R. solani dapat berkembang baik pada

kelembaban yang tinggi (> 80%) dan suhu 15-

a b

Identifikasi Penyebab Penyakit Lodoh pada Semai Kaliandra

Nur Hidayati

139

35°C. Jamur ini mulai menginfeksi tanaman sejak

biji baru ditanam dengan mengeluarkan stimulan

kimia yang dilepaskan oleh sel-sel yang terinfeksi

ke tanaman selanjutnya dan menyebabkan gejala

khas pada batang, pelepah, daun, dan bulir. Jamur

dapat bertahan hidup pada musim dingin sebagai

sklerotia pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi

dan di dalam tanah (Soenartiningsih, Akil, &

Andayani, 2015).

Gambar 2. (a) Isolat jamur Rhizoctonia solani (b) Jamur Rhizoctonia solani

Klasifikasi jamur R. solani (Alexopoulos,

Mims, & Meredith, 1996) adalah sebagai berikut:

Domain : Eukaryota

Kingdom : Fungi

Phylum : Deuteromycota

Kelas : Deuteromycetes

Ordo : Agonomycetales

Genus : Rhizoctonia

Species : Rhizoctonia solani

Jamur ini tumbuh dari spora dengan

struktur yang menyerupai benang, ada yang

mempunyai dinding pemisah dan ada yang tidak.

Benang secara individu disebut hifa, dan massa

benang yang luas disebut miselium. Miselium

adalah struktur yang berpengaruh dalam absorbsi

nutrisi secara terus-menerus sehingga jamur dapat

tumbuh dan pada akhirnya menghasilkan hifa

yang khusus menghasilkan spora reproduktif

( S a r a g i h , 2 0 0 9 ) . Miselium terutama

terdapat di dalam sel khususnya di dalam

pembuluh, juga membentuk miselium yang

terdapat di antara sel-sel, yaitu di dalam kulit dan

di jaringan parenkim di dekat terjadinya infeksi.

Pada pengamatan mikroskopis isolat yang

lain, menunjukan adanya makrokonidia

(berbentuk bulan sabit) dan mikrokonidia, hifa

bersepta yang di dalamnya juga terdapat nukleus.

Sedangkan morfologi isolat jamur tersebut

menunjukan koloni berwarna putih pada awal

pertumbuhan dan akan berubah warna menjadi

merah muda, ungu atau kuning di miselium pada

media (Barnet & Hunter, 2006), hifa bersepta

dengan pola penyebaran yang konsentris, struktur

permukaan halus dan convex, tepi koloni entire

atau rata. Agrios (2005) menyatakan bahwa jamur

fusarium mempunyai 3 alat reproduksi, yaitu

mikrokonidia, makrokonidia, dan klamidospora.

Makrokonidia berbentuk melengkung, panjang

dengan ujung yang mengecil dan mempunyai satu

atau tiga buah sekat. Mikrokonidia merupakan

konidia bersel 1 atau 2, dan paling banyak

dihasilkan disetiap lingkungan bahkan pada saat

patogen berada dalam pembuluh inangnya.

Makrokonidia mempunyai bentuk yang khas,

melengkung seperti bulan sabit, terdiri dari 3-5

septa. Klamidospora memiliki dinding tebal,

dihasilkan pada ujung miselium yang sudah tua

atau di dalam makrokonidia, terdiri dari 1-2 septa

a b

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 135 - 142

140

dan merupakan fase atau spora bertahan pada

lingkungan yang kurang baik. Menurut Agrios

(2005), miselium yang dihasilkan oleh jamur

patogen penyebab penyakit lodoh ini mulanya

berwarna putih keruh, kemudian menjadi kuning

pucat, merah muda pucat sampai keunguan. Jamur

Fusarium merupakan patogen yang memiliki

struktur bertahan berupa klamidospora sehingga

dapat bertahan selama 40 tahun di dalam tanah

sebagai saprofit (Sastrahidayat, 2011).

Gambar 3. (a) isolat jamur Fusarium sp. (b) spora jamur Fusarium sp.

Menurut Alexopoulos, Mims, dan Meredith

(1996) bahwa jamur fusarium ini termasuk dalam

Ordo Moniliales dan famili Tuberculariaceae.

Klasifikasinya sebagai berikut:

Kingdom : Mycetaceae

Divisi : Amastigomycota

Kelas : Deuteromycetes

Famili : Moniales

Genus : Fusarium

Spesies : Fusarium sp.

Jamur Fusarium sp. dapat tumbuh sebagai

saprofit pada sisa-sisa tanaman dan dapat

disebarkan melalui angin dan hujan. Jamur ini

dapat menyebar melalui bagian tubuh jamur yang

melekat pada batang bagian luar atau dalam

batang dan melalui tanah yang terkontaminasi

oleh jamur tersebut (Arsensi & Mardji, 2018).

Patogen penyebab layu fusarium ini cepat

berkembang pada tanah yang terlalu basah atau

becek, kelembaban udara yang tinggi, dan pH

tanah yang rendah (Tjahjadi, 1989). Secara

ekonomi Fusarium sp. adalah patogen penting

dalam pertanian hortikultura di dunia (Singleton

et al., 1993). Jamur Fusarium bersifat soil

inhibitant sehingga dapat bertahan sangat lama

sampai beberapa tahun di dalam tanah tanpa

adanya inang dari jamur Fusarium tersebut

(Semangun, 2006). Fusarium hidup sebagai

parasit dan saprofit pada berbagai tanaman

terutama pada bagian pembuluhnya, sehingga

tanaman menjadi mati karena toksin

(Sastrahidayat, 1986). Pada tanaman Eucalyptus

pellita, jamur Fusarium spp. menyerang benih,

baik sewaktu masih di pohon induk, di

penyimpanan maupun pada benih yang sedang

berkecambah (Brown et al., 2000).

IV. KESIMPULAN

Hasil isolasi dan identifikasi secara

makroskopis dan mikroskopis menunjukkan

bahwa penyebab penyakit lodoh adalah jamur

Rhizoctonia solani dan Fusarium sp. Hal ini

dibuktikan dengan uji patogenesitas isolat jamur

yang diperoleh dengan uji Postulat Koch.

Serangan penyakit lodoh pada semai kaliandra

termasuk dalam post emergency damping off

dimana serangan terjadi pada benih yang telah

a b

Identifikasi Penyebab Penyakit Lodoh pada Semai Kaliandra

Nur Hidayati

141

berkecambah dan tumbuh di atas tanah. Gejala

yang ditunjukkan akibat penyakit ini adalah

adanya pembusukan pada pangkal batang atau

hypokotil akar sehingga semai menjadi layu dan

mati.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian dilakukan dengan dana DIPA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

(BBPPBPTH). Terima kasih penulis sampaikan

kepada Dr. Ir Rina Laksmi Hendrati, MP. yang

telah membimbing penulis dalam penulisan

naskah, kepada Tim penelitian Kayu Energi

BBPPBPTH, Fatahalani mahasiswi PKL dari

Universitas Jendral Soedirman dan semua pihak

yang telah membantu dalam pelaksanaan

penelitian dan penyediaan referensi dalam

penulisan naskah.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. (2005). Plant Pathology (5th ed). San

Diego, USA: Elseviere Academic Press.

https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-

08-047378-9.50004-X

Alexopoulos, C. J., Mims, C. W., & Meredith, M. B.

(1996). Introductory Mycology (4th ed.). New

York: John Wiley & Sons. Inc.

Arsensi, I., & Mardji, D. (2018). Identifikasi Patogen

Penyebab Busuk Batang, 2(1), 21–25.

Barnet, H. L., & Hunter, B. B. (1998). No Title

Ilustrated Genera of Imperfect Fungi (4th ed.).

Minnesota, Australia: The American

Phytopathological Society St. Paul, Minnesota.

Brown, B. N., Keane, P. J., Kile, G. A., & Podger, F.

D. (2000). Diseases and fungi of the

reproductive structures of eucalypts. In

Diseases and pathogens of eucalypts (pp. 103–

118).

Hendrati, R. L., & Hidayati, N. (2014). Budi daya

Kaliandra untuk Bahan Baku Sumber Energi.

Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan.

Hill, D. J., & Waller, J. M. (1988). Pest and Disease of

Tropical Crops. Netherlands.

Howell, C. R. (2007). Effect of Seed Quality and

Combination Fungicide- Trichoderma spp.

Seed Treatments on Pre- and Postemergence

Damping-Off in Cotton. Phytopathology, 97(1),

66–71. https://doi.org/10.1094/PHYTO-97-

0066

Omokhua, G. E., God-Egein, M. I., & Okereke, V. C.

(2009). Damping-off Disease of two Pulp and

Paper Forest Species (Pinus caribaea Morelet

and Pinus oocarpa Schiede ) in the Nursery,

3(4), 275–282.

Pawar, D. S., & Nasreen, S. (2016). Isolation and

Identification of Some Pathogenic Fungi from

Different Infected Vegetables, 2921–2924.

https://doi.org/10.15680/IJIRSET.2016.050303

2

Robinson, R. (2001). Biology Macmillan Science

Library. USA: Macmillan.

Saragih, S. D. (2009). Jenis-Jenis Fungi Pada Beberapa

Tingkat Kematangan Gambut.

Sastrahidayat, I. R. (1986). Ilmu Penyakit Tumbuhan.

Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Sastrahidayat, I. R. (2011). Epidemiologi Teoritis

Penyakit Tumbuhan. Malang: UB Press

Universitas Brawijaya.

Semangun, H. (2006). Pengantar Ilmu Penyakit

Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Siahaan, F. A. (2017). Pengaruh kondisi dan periode

simpan terhadap perkecambahan benih kesambi

(Schleichera oleosa (Lour .) Merr). Jurnal

Perbenihan Tanaman Hutan, 5(1), 1–11.

Retrieved from

http://lipi.go.id/publikasi/pengaruh-kondisi-

dan-periode-simpan-terhadap-perkecambahan-

benih-kesambi-schleichera-oleosa-lour-

merr/17922

Singleton, J. W., Hanauer, S. B., Gitnick, G. L.,

Peppercorn, M. A., Robinson, M. G., Wruble,

L. D., & Krawitt, E. L. (1993). Mesalamine

Capsules for The Treatment of Active Crohn’s

Disease: Results of a 16-Week Trial.

Gastroenterology, 104(5), 1293–1301.

Soenartiningsih, Akil, M., & Andayani, N. N. (2015).

Cendawan Tular Tanah (Rhizoctonia solani)

Penyebab Penyakit Busuk Pelepah pada

Tanaman Jagung dan Sorgum dengan

Komponen Pengendaliannya. Iptek Tanaman

Pangan, 10(2), 85–92. Retrieved from

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/

ippan/article/view/3507/2969

Soni, A. (2010). Isolasi Dan Pemurnian Mikroba,

Teknik Pemeliharaan Kultur Murni Dan

Perhitungan Angka Lempeng Total (Total Plate

= pc). Universitas Brawijaya.

Stewart, J., Mulawarman, Roshetko, J. M., & Powell,

M. H. (2014). Produksi dan Pemanfaatan

Kaliandra (Calliandra calothyrsus): Pedoman

Lapang. Igarss 2014.

https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 135 - 142

142

Sturrock, C. J., Woodhall, J., Brown, M., Walker, C.,

Mooney, S. J., & Ray, R. V. (2015). Effects of

damping-off caused by Rhizoctonia solani

anastomosis group 2-1 on roots of wheat and

oil seed rape quantified using X-ray Computed

Tomography and real-time PCR. Frontiers in

Plant Science, 6.

https://doi.org/10.3389/fpls.2015.00461

Tangendjaya, B. E. W., Ibrahim, T. M., & Palmer, B.

(1992). Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan

Manfaatnya. Balai penelitian Ternak dan The

Australian Centre For Institute Agriculture

Research.

Tjahjadi, N. (1989). Hama dan penyakit Tanaman.

Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 143 - 150

143

REGENERASI PERAKARAN PLANTLET IN VITRO DAN EX VITRO PADA

KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

Rooting regeneration of in vitro and ex vitro plantlets of cendana (Santalum album Linn.)

tissue culture

Asri Insiana Putri dan Toni Herawan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia email: [email protected]

Tanggal diterima: 2 April 2018, Tanggal direvisi: 5 April 2018, Disetujui terbit: 24 September 2018

ABSTRACT

Cendana (Santalum album Linn.) is one of the important hemiparasite species due to its high value essential oil

for pharmaceutical industries. However, since1998 this species has been categorized as vulnerable by the IUCN

Red List. The propagation of cendana has been hampered by inadequacy in regeneration, either through sexual

or vegetative propagation. Regeneration of cendana through in vitro technique is still limited due to the

difficulty in rooting and acclimatization. The purpose of this study is to observe the effect of clones, in vitro and

ex vitro techniques on the primary and secondary root development. Two clones of cendana: Clone A.III.4.14

and WS28 were tested in Gresshoff & Doy culture media enriched by IBA 20 mg/l; IAA 0.15 mg/l and kinetin

0.15 mg/l. Root development was observed for six months of culture for in vitro and three months after

acclimatization in a greenhouse for ex vitro. The results of this study showed that Clone A.III.4.14 formed

primary root in lower percentage rate (41.85%) than Clones WS28 (60,44%), on the contrary it grew secondary

root in higher percentage rate (58.15%) than Clone WS28 (39,56%). The ex vitro following the acclimatization

showed that the root hairs grew only in the plantlets which formed secondary root during in vitro. This result

indicates an important of clone’s selection for secondary root development during in vitro to obtain a better

root system in the success of acclimatization of cendana.

Keywords: primary root, secondary root, tissue culture, clones, acclimatization

ABSTRAK

Cendana (Santalum album Linn.) merupakan tumbuhan hemiparasit bernilai tinggi, digunakan secara luas dalam

industri farmasi. Sejak1998, spesies ini dinyatakan termasuk kategori rentan oleh IUCN Red List. Perbanyakan

cendana sampai saat ini mengalami hambatan karena tidak mampu berkembang-biak secara seksual, sementara

perbanyakan vegetatif makro cendana belum tersedia. Regenerasi perakaran cendana melalui pendekatan in

vitro masih terbatas karena sulitnya pengembangan tahap perakaran dan aklimatisasi. Tujuan penelitian ini

adalah mempelajari pengaruh klon, teknik perbanyakan melalui fase in vitro dan ex vitro terhadap pertumbuhan

akar primer maupun sekunder. Dua klon cendana: A.III.4.14 dan WS28 diuji pada media media Gresshoff &

Doy yang ditambahkan IBA 20 mg/l; IAA 0,15 mg/l dan kinetin 0,15 mg/l. Regenerasi perakaran diamati

selama enam bulan pada fase in vitro, dan selama tiga bulan setelah aklimatisasi di rumah kaca pada fase ex

vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Klon A.III.4.14 mempunyai presentase akar primer lebih rendah

(41,85%) dibandingkan Klon WS28 (60,44%). Namun sebaliknya Klon A.III.4.14 mempunyai presentase akar

sekunder lebih tinggi (58,15%) dibandingkan Klon WS28 (39,56%). Pengamatan pada fase ex vitro setelah

aklimatisasi menunjukkan bahwa rambut akar hanya tumbuh pada plantlet yang telah membentuk akar sekunder

pada fase in vitro. Hasil penelitian ini mengindikasikan pentingnya seleksi klon berdasarkan pertumbuhan akar

sekunder selama fase in vitro untuk mendapatkan sistem perakaran yang lebih baik pada tahap aklimatisasi dan

perbanyakan cendana.

Kata kunci: akar primer, akar sekunder, kultur jaringan, klon, aklimatisasi

I. PENDAHULUAN

Cendana (Santalum album Linn.)

merupakan salah satu tumbuhan hemiparasit

bernilai tinggi dari famili Antalaceae.

Kandungan minyak atsiri di pohon kayu ini

digunakan secara luas dalam industri farmasi

dan wewangian (Teixeira, Kher, Soner, &

Nataraj, 2016). Eksploitasi illegal, serangan

penyakit dan kebakaran (cendana sangat sensitif

terhadap api) menyebabkan penurunan populasi

cendana di alam. Tingkat regenerasi yang lebih

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 143 - 150

144

rendah dari tingkat panen menyebabkan

hilangnya keragaman genetik dan karakter

agronomi (Sanjaya, Muthan, Rathore, & Rai,

2006). Sebagai tanaman hemiparasit, cendana

mempunyai kapasitas melakukan fotosintesis,

namun sumber air, hara mineral dan zat organik

diperoleh melalui tanaman inang (Radomiljac,

Pate, & Mccomb, 1999). Hal ini menyebabkan

regenerasi yang terjadi secara alami atau

pembentukan buatan bergantung pada

keberadaan tanaman inang serta kondisi

lingkungan yang sesuai. Selain itu, cendana

rentan terhadap berbagai faktor abiotik dan

biotik termasuk penebangan liar, perburuan liar,

perubahan penggunaan lahan dan regenerasi

alaminya yang rendah (Durairaj & Kamaraj,

2013). Penyerbukan silang dan heterozigositas

yang tinggi pada cendana menyebabkan

keseragaman genetik secara alami sulit

dipertahankan, dengan demikian pengembangan

teknik perbanyakan alternatif untuk

meningkatkan reproduksi cendana yang

bermutu tinggi penting dilakukan (Arunkumar,

Joshi, Warrier, & Breeding, 2016). Pada tahun

1998, spesies ini dinyatakan termasuk kategori

"rentan" oleh International Union for the

Conservation of Nature’s (IUCN) Red List

(Barpanda, Beura, Rout, & Jagadev, 2017).

Perbanyakan pohon cendana secara

konvensional mengalami hambatan karena

ketidak-mampuan berkembang-biak secara

seksual, sementara perbanyakan vegetatif kayu

cendana masih terbatas belum tersedia (Singh et

al., 2016). Sebagian besar teknik perbanyakan

cendana diberikan melalui mikrografting

(Muthan, Rathore, & Rai, 2006), organogenesis

dan embriogenesis somatik (Herawan, Na’iem,

Indrioko, & Indrianto, 2017; Tripathi, Bele,

Tiwari, Patel, & Ahuja, 2017). Regenerasi

cendana melalui pendekatan in vitro masih

terbatas karena sulitnya pengembangan tahap

perakaran dan aklimatisasi (Muthan et al., 2006;

Herawan et al., 2017). Sebagaimana umumnya

tumbuhan dikotil, cendana memiliki sistem

perakaran berupa akar pancang (akar tunggang)

dan ditunjang oleh akar-akar samping yang

diperlengkapi dengan serabut dan bulu-bulu

akar. Akar pancangnya relatif tebal, namun jika

dilihat dari proporsi panjang batang bebas-

cabang maka akar pancang tersebut tidak cukup

dalam masuk menembus ke dalam tanah. Secara

ekofisiologis perubahan sistem perakaran

cendana dapat terjadi sebagai bentuk adaptasi

terhadap kondisi lingkungan yang kurang

sesuai. Perubahan tersebut berlangsung

sepanjang proses pertumbuhan dengan

terbentuknya haustorium yang berfungsi sebagai

jembatan yang menghubungkan secara parsial

dan langsung antara cendana dengan tanaman

inangnya (Sunaryo & Saifudin, 2001). Di alam,

penyerapan mineral oleh akar cendana sampai

ke daun terjadi melalui dua cara dari dua

sumber yang berbeda dan dengan dua metode

ekstraksi yang berbeda secara seimbang antara

akar dan haustoria. Berkaitan dengan fisiologi

parasitisme akar cendana, hara utama yang

mampu secara langsung diserap akar cendana

dari risosfer adalah kapur dan kalium sedangkan

unsur utama yang harus didapatkan secara

parasitik dari inang adalah nitrogen dan fosfor

(Gomes & Adnyana, 2017). Perubahan ini sulit

terjadi pada regenerasi perakaran in vitro

cendana, yang dapat disebabkan karena kondisi

lingkungan yang terkendali dan ketersediaan

hara yang tinggi pada perbanyakan kultur

jaringan, sehingga seluruh hara yang diperlukan

dapat terpenuhi tanpa diperlukan perubahan

haustorium (Arunkumar et al., 2016). Perbedaan

regenerasi perakaran di alam dan in vitro ini

menyebabkan keterbatasan pengembangan

aklimatisasi cendana sampai saat ini, sehingga

diperlukan pengamatan yang lebih mendalam

mengenai hal tersebut. Untuk itu, penelitian ini

dilakukan dengan tujuan mempelajari: (1)

perbedaan klon dalam menumbuhkan akar

primer maupun sekunder dan (2) perbedaan

perkembangan rambut akar dari akar primer dan

sekunder saat in vitro dan ex vitro dalam rangka

meningkatkan keberhasilan tahap aklimatisasi

kultur jaringan cendana.

Regenerasi Perakaran Plantlet In Vitro dan Ex Vitro pada Kultur Jaringan Cendana (Santalum album Linn.)

Asri Insiana Putri dan Toni Herawan

145

II. BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat A.

Kegiatan in vitro dilakukan di

laboratorium sedangkan kegiatan ex vitro

dilakukan di persemaian Kultur Jaringan, Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,

Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan

plantlet (tanaman yang sudah terbentuk tunas

daun dan akar in vitro) sebagai sumber eksplan

(bagian jaringan tanaman in vitro) untuk

perbanyakan dan perakaran. Persiapan plantlet

dilakukan pada bulan Januari 2017, pengamatan

in vitro dilakukan mulai bulan Februari sampai

dengan bulan Agustus 2017, sedangkan

aklimatisasi dilakukan pada bulan September

2017 dan pengamatan ex vitro dilakukan pada

bulan Nopember 2017. Analisis dan pengolahan

data serta penulisan hasil penelitian dilakukan

pada bulan Februari 2018.

Bahan dan alat penelitian B.

1. Bahan

Bahan plantlet penelitian ini adalah hasil

perbanyakan tunas aksiler kultur jaringan dari

dua klon tanaman cendana, yaitu KlonA.III.4.14

dari Pulau Rote, NTT dan Klon WS28 dari Plot

Konservasi Genetik di Gunungkidul,

Yogyakarta. Materi eksplan cendana yang

digunakan pada penelitian ini merupakan hasil

rejuvinasi dari rendaman cabang dan telah

dilakukan subkultur untuk perbanyakan sampai

dengan tahap perakaran sejak tahun 2016.

Media in vitro untuk inisiasi, pelipat gandaan

dan perakaran menggunakan media MS

(Murashige & Skoog, 1962) dan media ½ GD

(Gresshoff & Doy, 1972) dengan penambahan

hormon IAA (Indole-3-acetic acid) IBA

(Indole-3-butyric acid) dan kinetin (Herawan et

al., 2017). Media ex vitro dalam polybag di

persemaian menggunakan tanah, pasir dan

kompos dengan perbandingan 2:1:1. Larutan

fungisida digunakan untuk sterilisasi plantlet

pada waktu aklimatisasi dengan tanaman inang

jenis Portulaca.

2. Alat

Peralatan utama pada fase in vitro adalah

alat standar untuk kultur jaringan, sedangkan

alat pada fase ex vitro di rumah kaca adalah

saringan tanah, pengaduk tanah, pinset, kuas

kecil, bak plastik, sprayer, label dan spidol.

3. Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam

penelitian in vitro adalah RCBD (Randomized

Complete Block Design) faktorial pada 2 klon

cendana, 1 unit eksperimen terdiri dari 20

eksplan, dan 5 kali ulangan penanaman, masing-

masing klon A.III.4.14 dan klon WS28 terdiri

100 eksplan, sehingga total sejumlah 200

eksplan. Ulangan penanaman di lamina air flow

tersebut digunakan sebagai blok. Pengamatan in

vitro dilakukan 6 bulan setelah transfer eksplan

meliputi persentase terbentuknya akar serta

persentase akar primer maupun sekunder.

Pada penelitian ex vitro di rumah kaca

menggunakan rancangan CRD (Completely

Random Design), 1 unit eksperimen terdiri 40

plantlet (dari 100 eksplan) akar primer dan 40

plantlet (dari 100 eksplan) akar sekunder yang

dipilih secara acak dari 2 kultur aksenik klon

A.III.4.14 dan klon WS28, sehingga total terdiri

160 plantlet, aklimatisasi plantlet dilakukan satu

tahap transfer pada media polybag bersama

tanaman inang. Polybag disungkup dengan

kantung plastik secara individual, setelah bulan

pertama sungkup dilubangi dan setelah inkubasi

selama 3 bulan seluruh sungkup dibuka dan

dilakukan pengamatan. Pengamatan ex vitro

meliputi panjang akar primer dan panjang akar

sekunder yang dilakukan 3 bulan setelah setelah

transfer plantlet ke media tanah. Akar primer

adalah tunas akar yang tumbuh langsung dari

batang plantlet, sedangkan akar sekumder

adalah akar yang tumbuh pada akar primer dan

akar yang tumbuh pada akar sekunder adalah

rambut akar.

Analisis data C.

Analisis data dilakukan dengan

menggunakan program Excel, Microsoft Office.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 143 - 150

146

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan perakaran fase in vitro A.

Hasil pemindahan eksplan cendana klon

A.III.4.14 maupun WS28 dari media

pelipatgandaan ke media perakaran, mulai dari 1

bulan pertama menunjukkan tanggapan

pertumbuhan calon tunas akar baru di seluruh

eksplan yang diamati (Gambar 1). Hal ini

menunjukkan kesesuaian media dengan

setengah standar dari komposisi dan persentase

hara yang dikemukakan oleh Gresshoff & Doy

(1972). Demikian pula penelitian ini

membuktikan kesesuaian imbangan hormon

auksin (IBA dan IAA) dan sitokinin (kinetin)

pada media perakaran hasil penelitian Herawan

et al. (2017).

Gambar 1. Eksplan cendana klon A.III.4.14 (A) dan klon WS28 (B) pada media pelipatgandaan setelah 3

bulan subkultur, sebelum tahap perakaran

Gambar 2. Plantlet cendana pada media perakaran in vitro dengan beberapa bentuk perakaran setelah 6 bulan

inkubasi. Akar primer tunggal (A), akar primer jamak (B) dan akar sekunder yang tumbuh pada

akar primer (C). Akar sekunder (a), akar primer (b)

Berbagai bentuk akar plantlet in vitro

setelah 6 bulan pada media perakaran

ditunjukkan pada Gambar 2. Secara

ekofisiologis perubahan sistem perakaran

cendana in vitro dan di alam mengalami

adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang

berbeda. Ketersediaan hara yang tinggi dan

lingkungan yang terkontrol pada kultur in vitro

merupakan lingkungan sangat kondusif untuk

plantlet sehingga dengan mudah menjangkau

A B

Regenerasi Perakaran Plantlet In Vitro dan Ex Vitro pada Kultur Jaringan Cendana (Santalum album Linn.)

Asri Insiana Putri dan Toni Herawan

147

sumber hara tanpa membentuk organel akar

seperti rambut akar sehingga sistem perakaran

menjadi kurang berkembang. Hal ini sesuai

dengan pendapat Sunaryo & Saifudin, (2001)

yang mengemukakan bahwa pada lingkungan

kurang kondusif, cendana mempunyai sistem

perakaran yang lebih lengkap berupa akar

pancang (akar tunggang) dan ditunjang oleh

akar-akar samping yang diperlengkapi dengan

serabut dan bulu-bulu akar.

Pembentukan akar primer dan sekunder

in vitro (Gambar 3) menunjukkan bahwa klon

A.III.4.14 cenderung membentuk akar primer

dengan persentase yang lebih rendah (41,85%)

dibandingkan klon WS28 (60,44%), sebaliknya

klon A.III.4.14 cenderung membentuk akar

sekunder lebih banyak (58,15%) dibandingkan

klon WS28 (39,56%). Bentuk akar yang

berbeda pada regenerasi cendana dengan media

maupun lingkungan in vitro ditengarai

dipengaruhi oleh sifat genetik klon. Kondisi ini

merupakan salah satu keunggulan teknik kultur

jaringan, yaitu dapat melakukan seleksi in vitro

untuk memperoleh klon dengan kemampuan

membentuk akar. Sampai saat ini seleksi klonal

secara konvensional memerlukan waktu dan

capaian yang lebih lambat untuk memperoleh

pemuliaan tanaman berkualitas pada tingkat

yang sama dibandingkan dengan pendekatan

bioteknologi (Ayer, 2017).

Pada penelitian yang dilakukan, Tripathi

et al. (2017) melaporkan bahwa dari 29

kombinasi media MS yang dipergunakan

dengan 5 kombinasi hormon pada inisiasi

cendana sampai bulan keempat, hanya 10,34%

eksplan yang menunjukkan berakar, demikian

pula pada penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh (Bele, Tripathi, Tiwari, Baghel, & Tiwari,

2012) belum diperoleh hasil sampai tahap

perakaran. Tingginya tanggapan perakaran in

vitro cendana yang mencapai 100% pada

penelitian ini dimungkinkan karena beberapa

hal yang tidak dilakukan pada penelitian-

penelitian tersebut yaitu: (1) pengaruh rejuvinasi

rendaman cabang untuk memperoleh sumber

eksplan, (2) dilakukannya lebih banyak

subkultur pada media yang berbeda antara tahap

inisiasi, tahap pelipatgandaan dan tahap

perakaran, dan (3) perbedaan jenis dan

imbangan hormon auksin maupun sitokinin

yang dipergunakan dan (4) perbedaan genetik

materi eksplan yang digunakan.

Gambar 3. Persentase perakaran primer dan sekunder cendana pada klon A.III.4.14 dan klon WS28 in vitro

selama 6 bulan inkubasi

Perkembangan perakaran fase ex vitro B.

Pada perkembangan perakaran fase ex

vitro menunjukkan terbentuknya akar primer

maupun sekunder pada plantlet dari kedua klon

cendana yang diperoleh. Berdasarkan

perbandingan perubahan bentuk akar in vitro

dan ex vitro dijumpai fenomena menarik, yaitu

67 % akar primer yang terbentuk secara in vitro

tidak terbentuk rambut akar secara ex vitro

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 143 - 150

148

(Gambar 4A dan Gambar 4b), sementara 74 %

akar sekunder yang terbentuk secara in vitro

membentuk rambur-rambut akar secara ex vitro

(Gambar 4C dan Gambar 4D). Sampai 30 hari

pengamatan aklimatisasi, pembentukan rambut

akar pada penelitian ini tidak seluruhnya dapat

membentuk bibit siap tanam, yaitu sekitar 30 %

bibit yang membentuk rambut akar dari kedua

klon mati. Secara ekofisiologis perubahan

sistem perakaran cendana yang terjadi dapat

dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi

lingkungan (Tennakoon, Pate, & Arthur, 1997).

Walaupun demikian terbentuknya akar sekunder

dapat digunakan sebagai salah satu seleksi awal

in vitro untuk mendapatkan sistem perakaran ex

vitro yang lebih lengkap dan memerlukan

penelitian lebih lanjut untuk untuk proses

aklimatisasi selanjutnya sampai dengan bibit

siap tanam.

Gambar 4. Akar plantlet ex vitro cendana setelah 3 bulan aklimatisasi di rumah kaca: akar primer jamak

dengan 2 cabang akar, tanpa rambut akar (A), akar jamak primer dengan 3 cabang akar tanpa

rambut akar (B), 1 akar sekuder dari 1 akar primer yang ditumbuhi rambut akar (C) dan 2 akar

sekunder dari 1 akar primer yang ditumbuhi rambut akar (D)

Sebagaimana umumnya tumbuhan

dikotil, cendana memiliki sistem perakaran

berupa akar pancang (akar tunggang) dan

ditunjang oleh akar-akar samping yang

diperlengkapi dengan serabut dan bulu-bulu

akar dengan dominansi pertumbuhan horisontal

(Sunaryo & Saifudin, 2001). Perkembangan

akar pada kondisi in vitro lebih terbatas untuk

mengalami perubahan karena ketersediaan hara

yang tinggi dan tidak disertai tumbuhan inang.

Hal ini berbeda dengan pertumbuhan akar ex

vitro hasil aklimatisasi yang terpacu untuk

A B

C D

Regenerasi Perakaran Plantlet In Vitro dan Ex Vitro pada Kultur Jaringan Cendana (Santalum album Linn.)

Asri Insiana Putri dan Toni Herawan

149

membentuk sistem dan bahan organik dipenuhi

melalui tanaman inang (Radomiljac et al.,

1999). Pendapat tersebut ini mendukung

penelitian yang dilakukan bahwa regenerasi

cendana secara alami atau buatan bergantung

pada kesesuaian kondisi lingkungan, seperti

pada lingkungan in vitro yang dapat memenuhi

nutrisi dalam bentuk yang siap digunakan oleh

akar cendana tanpa melalui tanaman inang.

Terjadinya pemanjangan akar maupun tunas dan

terbentuknya daun plantlet cendana in vitro dan

ex vitro setelah aklimatisasi menunjukkan

proses fisiologis yang tetap berjalan tanpa

adanya inang. Namun demikian pertumbuhan

cendana pada media tanah yang dipengaruhi

faktor biotik maupun abiotik di rumah kaca

memerlukan pengamatan lebih lanjut setelah

disertai dengan tanaman inang yang sesuai.

Tabel 1. Rata-rata panjang akar cendana klon

A.III4.14 dan WS28 in vitro dan ex vitro

setelah 30 hari pengamatan

Klon Karakter

PAP (cm) PAS (cm) In Vitro A.III4.14 5,25 0,46 6,01 1,33 WS28 5,53 0,44 5,25 0,46 Ex Vitro A.III4.14 5,14 0,811 5,11 0,814 WS28 5,15 0,814 5,14 0,815

Keterangan: PAP (rata-rata panjang akar primer),

PAS (rata-rata panjang akar sekunder),

nilai pada tabel berdasarkan rata-rata

ulangan ± SE

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa selama

pengakaran cendana in vitro diperoleh rata-rata

panjang akar primer maupun sekunder yang

lebih baik dibandingkan pengakaran ex vitro.

Ketersediaan nutrisi in vitro memacu

pertumbuhan akar lebih baik, semakin banyak

dilakukan subkultur (ketersediaan nutrisi pada

periode waktu yang lebih lama in vitro)

menghasilkan perakaran ex vitro yang lebih baik

(Singh & Agarwal, 2016). Tidak adanya

perbedaan waktu dan jumlah subkultur antar

klon in vitro pada penelitian ini dan tidak

terdapatnya perbedaan rata-rata panjang akar

secara ex vitro menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan kemampuan perakaran pada

kedua klon yang diamati.

IV. KESIMPULAN

Perbedaan sumber genetik materi eksplan

berpengaruh pada tanggapan bentuk perakaran

primer dan sekunder in vitro cendana. Stimulasi

perkembangan akar sekunder pada fase in vitro

meningkatkan keberhasilan aklimatisasi pada

kultur jaringan cendana.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Suprihati atas bantuannya dalam

mempersiapkan eksplan, sterilisasi, pembuatan

media, pengamatan kultur dan aklimatisasi

plantlet selama penelitian ini berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Arunkumar, A. N., Joshi, G., Warrier, R., &

Breeding, T. (2016). Allozyme Variations to

Measure Genetic Diversity in Clonal

Accessions of Indian Sandalwood (Santalum

album). International Journal of Forestry

and Horticulture, 4(January), 2454–9487.

Retrieved from

https://www.arcjournals.org/pdfs/ijfh/v4-

i1/1.pdf

Ayer, D. K. (2017). Breeding for quality

improvement in turmeric (Curcuma longa

L.): a review, 6(6), 201–204.

https://doi.org/10.15406/apar.2017.06.00238

Barpanda, S., Beura, S., Rout, S., & Jagadev, P. N.

(2017). Studies on in vitro regeneration of

Sandalwood (Santalum album Linn.) from

Leaf disc explant. Journal of Pharmacognosy

and Phytochemistry, 6(6), 982–986.

Bele, D., Tripathi, M. . K., Tiwari, G., Baghel, B. S.,

& Tiwari, S. (2012). Microcloning of

sandalwood (Santalum album Linn.) from

cultured leaf discs. Journal of Agricultural

Technology, 8(2), 571–583.

Durairaj, P., & Kamaraj, M. (2013). Assessment and

Conservation Strategies for Santalum album

in Manmalai Rf of Thuraiyur Range At

Tiruchirappalli District. BEST: International

Journal of Humanities, Arts, Medicine and

Sciences (BEST: IJHAMS), 1(1), 1–12.

Gomes, D., & Adnyana. (2017). The Effect of

Legume and Non Legume to the Sandalwood

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 143 - 150

150

(Santalum album Linn.) Growth in Timor

Leste. International Journal of Sciences:

Basic and Applied Research, 4531, 207–237.

Gresshoff, P. M., & Doy, C. H. (1972). Development

and differentiation of haploid Lycopersicon

esculentum (tomato). Planta., 107(2), 161–

170. https://doi.org/10.1007/BF00387721

Herawan, T., Na’iem, M., Indrioko, S., & Indrianto,

A. (2017). Pengaruh Jenis dan Konsentrasi

Zat Pengatur Tumbuh pada Induksi Kalus

Embriogenik Klon Cendana (Santalum album

Linn.) Effects of type and concentration of

plant growth regulator on embryogenic callus

induction of sandalwood (Santalum album

Linn.) clon, 11(2), 151–158.

Micropropagation of an endangered Indian

sandalwood (Santalum album L.). (2006).

Journal of Forest Research, 11(3), 203–209.

https://doi.org/10.1007/s10310-006-0207-x

Murashige, T., & Skoog, F. (1962). A Revised for

Rapid Growth and Bio Assay with Tobacco

Tissue Culture. Physiologya Plantarum, 15,

26.

Muthan, B., Rathore, T. S., & Rai, V. R. (2006).

Micropropagation of an endangered Indian

sandalwood (Santalum album L.). Journal of

Forest Research, 11(3), 203–209.

Radomiljac, A. M., McComb, J. A., & Pate, J. S.

(1999). Heterotrophic carbon gain and

mineral nutrition of the root hemi-parasite

Santalum album L. in pot culture with

different hosts. Australian Forestry, 62(2),

128–138.

https://doi.org/10.1080/00049158.1999.1067

4774

Singh, A., & Agarwal, P. K. (2016). Enhanced

micropropagation protocol of ex vitro rooting

of a commercially important crop plant

Simmondsia chinensis (Link) Schneider.

OURNAL OF FOREST SCIENCE, 62 , 2016

(3): 107–115, 62(3), 107–115. Retrieved

from

https://www.agriculturejournals.cz/publicFile

s/179116.pdf

Singh, C. K., Raj, S. R., Jaiswal, P. S., Patil, V. R.,

Punwar, B. S., Chavda, J. C., & Subhash, N.

(2016). Effect of plant growth regulators on

in vitro plant regeneration of sandalwood

(Santalum album L.) via organogenesis.

Agroforestry Systems, 90(2), 281–288.

https://doi.org/10.1007/s10457-015-9853-3

Sunaryo, & Saifudin. (2001). KAJIAN

PARASITISME TUMBUHAN CENDANA

(Santalum album L .). Berita Biologi, Volume

5, Nomor 5, 5, 575–579.

Teixeira, J. A., Kher, M. M., Soner, D., & Nataraj,

M. (2016). Sandalwood spike disease : a brief

synthesis. Environmental and Experimental

Biology, 14, 199–204.

https://doi.org/10.22364/eeb.14.26

Tennakoon, K. U., Pate, J. S., & Arthur, D. (1997).

Ecophysiological aspects of the woody root

hemiparasite Santalum acuminatum (R. Br.)

A. DC and its common hosts in South

Western Australia. Annals of Botany, 80(3),

245–256.

https://doi.org/10.1006/anbo.1997.0432

Tripathi, M. K., Bele, D., Tiwari, G., Patel, R. P., &

Ahuja, A. (2017). High frequency in vitro

regeneration of sandalwood (Santalum album

Linn.). Medicinal Plants, 9(3), 154–166.

https://doi.org/10.5958/0975-

6892.2017.00024.7

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p . 151 - 161

151

PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULA DAN INANG Portulaca sp. TERHADAP

AKLIMATISASI PLANTLET CENDANA (Santalum album Linn.)

Influence of arbuscular mycorrhiza and Portulaca sp. host to acclimatization of

cendana (Santalum album Linn.) plantlets

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email: [email protected]

Tanggal diterima: 2 Agustus 2018, Tanggal direvisi: 9 Agustus 2018, Disetujui terbit: 4 Desember 2018

ABSTRACT

Cendana (Santalum album Linn.) produces high-value aromatic timbers that are needed in various industries.

Cendana is proclaimed by IUCN including critically endangered tree species. Tissue culture for conservation

and propagation of cendana is a promising technique to lessen endangered level and increase industrial raw

material supply. The main problems of cendana tissue culture are stunted growth and high mortality of plantlet

at acclimatization stage. The purpose of this research is to identify the effect of arbuscular mycorrhizal

application in acclimatization of cendana tissue cultured plantlets with and without hostplant. A.III.4.14 clones

from Genetic Conservation Plot in Gunung Kidul, Yogyakarta were used as rooting plantlet material;

Acaulospora sp. and Gigaspora sp. were used as MA isolates, and Portulaca sp. was used as hostplant. Sand

and compost were used as media acclimatization in nurseries. Fungicide solution was used for sterilizing

plantlets. Cendana plantlets were planted together with the host and MA added according to the treatment.

Incubation was carried out in a greenhouse for 16 weeks. Observation of seedlings height was carried out 4

weeks after the polybag cover opened. The results of this study showed that 5 grams and 7 grams of mycorrhizal

treatment on a cendana plantlet planted without Portulaca sp. produced the lower mortality (8%) after 12

weeks incubation. The best average seedling height growth was in 5 grams MA with hostplant (5,17 cm ±1,21)

after 16 weeks incubation in green house. The results of this study prove the importance of exogenous

mycorrhizal enrichment and hostplant in the acclimatization of cendana tissue culture.

Keywords: tissue culture, clone, bio-fertilizer, biotic factor

ABSTRAK

Cendana (Santalum album Linn.) menghasilkan kayu aromatik bernilai tinggi yang dibutuhkan di berbagai

industri. Cendana ditetapkan oleh IUCN termasuk spesies pohon yang terancam punah. Kultur jaringan untuk

konservasi dan perbanyakan cendana adalah teknik yang menjanjikan untuk mengurangi tingkat kepunahan dan

meningkatkan pasokan bahan baku industri. Masalah utama dari kultur jaringan cendana adalah terhambatnya

pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi plantlet pada tahap aklimatisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengidentifikasi pengaruh aplikasi mikoriza arbuskula pada aklimatisasi plantlet kultur jaringan cendana

dengan dan tanpa inang. Klon A.III.4.14 dari Plot Konservasi Genetik di Gunung Kidul, Yogyakarta digunakan

sebagai bahan plantlet, Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. digunakan sebagai isolat MA dan Portulaca sp.

digunakan sebagai tanaman inang. Pasir dan kompos digunakan sebagai media aklimatisasi di pembibitan.

Larutan fungisida digunakan untuk mensterilkan plantlet. Plantlet cendana ditanam bersama dengan inang dan

penambahan MA sesuai dengan perlakuan. Inkubasi dilakukan di rumah kaca selama 4 bulan. Pengamatan

tinggi benih dilakukan 4 minggu setelah sungkup polybag dibuka. Penambahan mikoriza pada plantlet cendana

yang ditanam tanpa Portulaca sp. dalam jumlah yang sesuai menghasilkan tingkat mortalitas yang lebih rendah

(8%) setelah inkubasi 12 minggu. Rata-rata pertumbuhan tinggi semai terbaik adalah pada penambahan 5 g MA

dan dengan inang (5,17 cm ± 1,21) setelah inkubasi 16 minggu di rumah kaca. Hasil penelitian ini membuktikan

pentingnya pengayaan dengan mikoriza eksogen dalam jumlah yang sesuai dan tanaman inang dalam

aklimatisasi kultur jaringan cendana.

Kata kunci: kultur jaringan, klon, pupuk hayati, faktor biotik

I. PENDAHULUAN

Kultur jaringan cendana telah mempunyai

sejarah lebih dari 50 tahun (sejak tahun 1963)

(Cheng, Zhang, Niu, Yan, Zhang, Teixeira da

Silva & Ma, 2017) dengan lebih dari 50

publikasi penelitian (Webster, Seymour,

Mitchell, & Achmad, 2003) Kemajuan kultur

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 151 - 161

152

jaringan cendana telah diperoleh secara

signifikan diantaranya respon eksplan untuk

embrio zygot/endosperm hipokotil (Crovadore,

Schalk, & Lefort, 2012), nodul/inter-nodul (Da

Silva, Winarto, Dobránszki, Cardoso, & Zeng,

2016), organogenesis tunas pucuk,

embriogenesis somatik, kultur sel (Sita, Ram, &

Vaidyanathan, 1979), kultur protoplas (Bapat,

Gill, & Rao, 1985) dan synthetic seeds (Bapat &

Rao, 1984). Namun demikian masih banyak

masalah yang menghambat penerapan kultur

jaringan cendana, diantaranya yaitu adanya

penyimpangan pada embrio somatik (Aslam,

Ilah, Mujib, Zainul & Abdin, 2013),

kemampuan berakar yang rendah dari

pemotongan tunas serta tingginya persentase

mortalitas aklimatisasi plantlet (Bele, Tripathi,

Tiwari, Baghel, & Tiwari, 2012).

Plantlet in vitro merupakan kultur

aksenik, tanpa terkontaminasi oleh mikrobia

termasuk mikoriza arbuskular (MA) sebelum

ditransfer ke kondisi ex vitro pada saat

aklimatisasi. MA dikenal sebagai jamur yang

bersimbiosis dengan tanaman melalui perakaran

yang dapat meningkatkan kemampuan

penyerapan air dan nutrisi mineral, terutama

fosfor (P). MA dapat melindungi tanaman dari

patogen akar dan mengurangi pengaruh variasi

ekstrim suhu, pH dan tekanan air (Siqueira,

Safir, & Nair, 1991) pada saat aklimatisasi.

Inokulasi MA pada awal periode aklimatisasi

telah berhasil dilakukan oleh Geneviève,

Chêneverta, Moutoglis, Gagnéb, Pichéc,

Vierheilig, (2002) dan selama penanaman in

vitro (Mathur & Vyas,, 1999). Inokulasi

tanaman hasil kultur jaringan dengan MA

selama pertumbuhan awal ex vitro dapat

berkontribusi pada tingkat kolonisasi yang

tinggi (Adriana, Yano-Melo, Melo, Lima-Filho

& Maia, 1999). Hipotesis ini didukung oleh

hasil penelitian yang dilakukan oleh Fusconi,

Hooker, Morini, Tisserant, Atkinson, Trotta,

Gianinazzi-Pearson, Munro, Fortuna,

Giovannetti, Berta, Gianinazzi (2012), yang

menunjukkan bahwa asosiasi MA mengubah

pola percabangan akar Prunus cerasifera. Jenis

inokulum MA yang digunakan dalam

aklimatisasi merupakan faktor penting. Spesies

MA yang efektif dan efisien pada suatu tanaman

menunjukkan perbedaan kecepatan peningkatan

pertumbuhan tanaman. Lima-Filho, Maia,

Saggin, Yano-Melo, & Melo (2003)

merekomendasikan bahwa penggunaan spesies

MA yang efektif dan efisien mampu

meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Penelitian hemiparasit Pedicularis

tricolor yang dilakukan oleh Li & Guan (2008)

menunjukkan tingginya kolonisasi MA dan

struktur MA yang dapat berkembang dengan

baik pada risosfer sehingga ditengarai jamur

MA berperan signifikan pada akuisisi nutrisi.

Hasil penelitian (Li, Guan, Stonor, Smith, &

Smith, 2013) menambahkan bahwa dengan atau

tanpa kehadiran tanaman inang, tetap terlihat

adanya interaksi langsung antara jamur MA dan

akar hemiparasit. Sebagai komponen mikroflora

terbanyak di wilayah terestrial, spesies jamur

mikoriza arbuskula (MA) mempunyai peran

ekologis yang signifikan untuk penyerapan hara

(Smith & Read, 2008). Penelitian ekstensif telah

banyak dilakukan mengenai asosiasi MA

dengan banyak spesies tanaman, namun karena

sebagian besar tanaman parasit tidak

membentuk asosiasi dengan mikoriza

(Brundrett, 2002) maka penelitian mengenai hal

tersebut tidak banyak dilakukan (Li et al.,

2013).

Pada beberapa periode terakhir, interaksi

tanaman hemiparasit dengan tanaman inang dan

organisme tanah menjadi fokus utama penelitian

cendana (Press & Phoenix, 2005), hal ini

berkaitan dengan tingkat mortalitas bibit

cendana yang menjadi keterbatasan penyediaan

materi budidaya di lapangan. Perbanyakan

cendana secara kultur jaringan menjadi penting

karena secara konvensional mengalami

hambatan ketidakmampuan secara seksual,

waktu yang lama, sifat heterozigot dan

perbanyakan vegetatif makro yang belum

tersedia (Sukmadjaja, 2005). Investigasi

interaksi multi spesies terhadap cendana belum

banyak dilaporkan di habitat alam maupun pada

Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Inang Portulaca Sp. terhadap Aklimatisasi Plantlet Cendana (Santalum album Linn.)

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

153

plantlet hasil kultur jaringan Spesies tanaman

(inang dan bukan inang) maupun spesies bukan

tanaman (mikrobia tanah) pada lingkungan di

atas maupun di bawah tanah saling berinteraksi

mempengaruhi parasitisme antara cendana dan

inang (Van Hoveln, Evans, & Borowicz, 2011).

Cendana merupakan angiospermae

parasit yang membentuk parasitisasi dengan

akar tanaman inang (Cameron & Tennakoon,

2011). Cendana adalah hemiparasit karena

memiliki kloroplas fungsional untuk melakukan

fotosintesis sementara sebagian bergantung

pada tanaman inangnya untuk mengambil air

dan nutrisi melalui haustorium, struktur

penyerap khusus tanaman parasit, terutama

untuk senyawa nitrogen (Lu, Xu, Kang & He,

2015). Oleh karena itu, preferensi inang adalah

aspek penting tanaman parasit untuk

memperoleh manfaat tersebut (Bell & Adams,

2011). Di sisi lain, tanaman parasit memiliki

efek langsung dan tidak langsung yang merusak

pada inangnya dalam hal pertumbuhan,

fotosintesis dan karakteristik fisiologis lainnya.

Efek ini secara substansial dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman

inang dan / atau parasit (Lu et al., 2015). Selama

hidupnya cendana memerlukan inang untuk

membantu menyerap sebagian unsur hara

melalui haustoria (Barrett & Fox, 1997).

Cendana hanya menyerap beberapa unsur hara

pada inang yaitu Ca, Fe, N, P, K, Mg, Cu dan

Zn (Barrett & Fox, 1997).

Inang primer (inang jangka pendek) yang

baik harus mempunyai beberapa ketentuan

antara lain dapat membantu pertumbuhan

cendana, tidak menimbulkan kompetisi,

tajuknya kecil, sistem perakaran sukulen, mudah

tumbuh kembali setelah dipangkas, berumur

panjang, mudah didapat dan sesuai dengan

kondisi tempat tumbuhnya. Beberapa penelitian

inang primer telah dilakukan, di antaranya di

Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa

Tenggara Timur, telah dilakukan pemilihan jenis

inang primer untuk cendana. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan inang primer yang terbaik

adalah menggunakan tanaman krokot

(Portulaca sp.) (Surata & Idris, 2001).

Penggunaan tanaman inang Portulaca sp. dan

pengaruh aplikasi jamur MA terhadap tanaman

hemiparasit cendana perlu dikaji dalam upaya

meningkatkan pertumbuhan perakaran dan

menurunkan tingkat mortalitas plantlet pada

aklimatisasi kultur jaringan cendana. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

pengaruh aplikasi mikoriza arbuskular dengan

berbagai konsentrasi pada aklimatisasi plantlet

kultur jaringan cendana dengan dan tanpa inang.

Klon A.III.4.14 dari Plot Konservasi Genetik di

Gunung Kidul, Yogyakarta (Herawan, Na’iem,

Indrioko, & Indrianto, 2017) digunakan sebagai

bahan plantlet, sedangkan Acaulospora sp. dan

Gigaspora sp. digunakan sebagai isolat MA dan

Portulaca sp. digunakan sebagai tanaman inang.

II. BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat A.

Kegiatan dilakukan di persemaian Kultur

Jaringan, Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan, Yogyakarta. Persiapan plantlet

dilakukan pada bulan Juli 2017, perlakuan

dimulai pada bulan Agustus sampai dengan

bulan Nopember dilanjutkan observasi hasil

perlakuan. Analisis dan pengolahan data serta

penulisan hasil penelitian dilakukan pada bulan

Desember 2017.

Bahan dan alat penelitian B.

1. Bahan

Bahan plantlet penelitian ini adalah hasil

perbanyakan tunas aksiler kultur jaringan klon

A.III.4.14 dari rejuvinasi rendaman cabang

pohon plus cendana di Plot Konservasi Genetik

di Gunung Kidul, Yogyakarta (Herawan et al.,

2017). Klon yang digunakan pada penelitian ini

termasuk 11 klon penghasil senyawa santalon

tinggi. Inisiasi, multiplikasi dan perakaran

plantlet menggunakan media MS (Murashige &

Skoog, 1962) dan media GD (Gresshoff & Doy,

1972) dengan penambahan hormon 6-BAP

(Benzylaminopurine), NAA (Naphthaleneacetic

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 151 - 161

154

acid), IBA (Indole-3-butyric acid) dan kinetin.

Media dalam polybag di persemaian

menggunakan tanah, pasir dan kompos dengan

perbandingan 1:1:1. Larutan fungisida untuk

sterilisasi plantlet. Spora mikoriza arbuskula

menggunakan isolat Acaulospora sp. dan

Gigaspora sp. sebanyak 10 spora/g pada media

tanah lempung sebagai pembawa (carier).

Tanaman inang mengunakan krokot merah

(Portulaca sp.).

2. Alat

Peralatan utama aklimatisasi di rumah

kaca adalah saringan tanah, pengaduk tanah,

pinset, kuas kecil, bak plastik, sprayer, label dan

spidol.

Rancangan penelitian C.

Pengaruh mikoriza dirancang berdasarkan

perlakuan inokulum yang diaplikasikan di

sekitar risosfer plantlet pada lubang tanam saat

aklimatisasi bersamaan dengan perlakuan

penanaman satu bibit inang setiap polybag.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)

faktorial dengan 8 kombinasi (4 tingkat dosis

inokulum mikoriza dan 2 tingkat inang), 1 unit

eksperimen terdiri dari 10 ulangan untuk 4 dosis

inokulum (0 g, 5 g, 7,5 g dan 10 g) dengan

inang dan tanpa inang dalam 1 kali waktu

penanaman di rumah kaca, sehingga total

diperlukan 80 plantlet cendana dan 40 bibit

inang. Plantlet cendana yang digunakan

merupakan hasil pengakaran in vitro pada media

½ GD dengan penambahan IBA 20 mg/l; IAA

0,15 mg/l dan kinetin 0,15 mg/l. Aklimatisasi

cendana dilakukan dengan transfer plantlet dari

ruang inkubasi ke rumah kaca. Plantlet

dipindahkan dari tabung dalam bak yang berisi

larutan fungisida menggunakan pinset. Akar

plantlet dibersihkan dari agar yang menempel

secara hati-hati dengan kuas kecil agar akar

tidak terputus atau membusuk. Setelah bersih

plantlet ditanam pada media tanam dalam

polybag. Polybag disungkup dengan kantung

plastik secara individual, setelah bulan pertama

sungkup dilubangi dan setelah inkubasi selama

12 minggu seluruh sungkup dibuka kemudian

dilakukan pemeliharaan dengan penyiraman.

Pada tahap ini dilakukan penghitungan

mortalitas plantlet. Pengamatan tinggi bibit

dilakukan 4 minggu setelah pembukaan

sungkup. Variabel pengamatan yang diukur

adalah persentase kematian dan tinggi bibit pada

media dengan inang maupun tanpa inang.

Analisis data dilakukan dengan uji ANOVA

menggunakan SPSS versi 16 untuk variabel

pertambahan tinggi bibit.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh mikoriza dan inang A.

terhadap mortalitas plantlet cendana

Kultur jaringan cendana tahap

multiplikasi dan tahap perakaran sebelum

dilakukan aklimatisasi ditunjukkan pada

Gambar 1. Kemampuan berakar yang tinggi

(80 %) pada cendana in vitro di penelitian

sebelumnya (Herawan, Na’iem, Indrioko, &

Indrianto, 2017) digunakan sebagai materi

plantlet dalam penelitian ini untuk menunjukkan

pengaruh penting MA dalam upaya menurunkan

persentase mortalitas aklimatisasi plantlet

seperti dilaporkan oleh Chandra,

Bandopadhyay, Kumar & Chandra (2010).

Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Inang Portulaca Sp. terhadap Aklimatisasi Plantlet Cendana (Santalum album Linn.)

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

155

Gambar 1. Plantlet cendana pada tahap multiplikasi (A) dan plantlet cendana pada tahap perakaran (B)

sebelum aklimatisasi ke rumah kaca

Perlakuan mikoriza menghasilkan respon

mortalitas plantlet yang beragam pada media

dengan inang maupun tanpa inang Portulaca sp.

Semakin tinggi dosis mikoriza yang

diaplikasikan, semakin tinggi pula persentase

mortalitas plantlet pada perlakuan dengan inang

(Gambar 2) maupun tanpa inang (Gambar 3).

Secara keseluruhan terdapat fenomena menarik

yaitu bahwa planlet cendana yang ditanam

bersama inang mempunyai persentase mortalitas

yang lebih tinggi dibandingkan tanpa inang

sampai dengan 12 minggu waktu pengamatan di

rumah kaca. Tanaman hemiparasit cendana

mampu memfiksasi karbondioksida dari udara

melalui fotosintesis untuk memproduksi

karbohidrat walaupun dalam fase

pertumbuhannya memerlukan interaksi

parasitisme dengan tanaman sebagai inang

(Sunaryo & Saifudin, 2001). Plantlet cendana in

vitro tidak berinteraksi dengan inang dan

mempunyai ketersediaan nutrisi maupun

hormon yang tinggi secara aksenik (tanpa

persaingan dengan makro maupun mikro

organisme). Periode 12 minggu inkubasi

ditengarai belum cukup lama untuk penyesuaian

terhadap lingkungan, kemampuan berinteraksi

dengan inang dan kemampuan mempertahankan

regenerasi jaringan menggunakan senyawa

nutrien in vivo. Perakaran, daun maupun tunas

plantlet yang lemah, kemampuan fotosintesis

yang rendah, stomata yang belum berfungsi

dengan baik dan lapisan lilin kutikula yang tidak

berkembang baik menyebabkan proses

transpirasi menjadi tinggi dan menjadi

keterbatasan pada proses aklimatisasi (Chirinéa,

Pasqual, Araujo, Pereira, & Castro, 2012).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan

bahwa perlakuan dengan inang mempunyai

waktu mortalitas lebih cepat yaitu pada minggu

pertama inkubasi, sedangkan pada perlakuan

tanpa inang mempunyai waktu mortalitas lebih

lama yaitu pada minggu ke-8 inkubasi. Kurun

waktu terjadinya awal mortalitas cendana tanpa

inang yang lebih lama dibandingkan cendana

dengan inang pada semua perlakuan termasuk

kontrol, berkaitan dengan interaksi cendana,

inang dan kompetisi nutrisi. Kecilnya kompetisi

nutrisi dan penyesuaian interaksi parasitisme

kemungkinan terjadi dengan lebih baik pada

perlakuan tanpa inang, sehingga dapat

A

B

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 151 - 161

156

memperkecil mortalitas dan waktu awal

mortalitas lebih panjang. Kecenderungan tingkat

mortalitas pada semai kontrol yang lebih rendah

dengan dan tanpa inang selama 12 minggu dapat

dikarenakan efisiensi energi plantlet yang lebih

tinggi pada kontrol untuk pertumbuhan

dibandingkan untuk interaksi dengan mikoriza.

Di samping itu aktivasi yang kuat respon

pertahanan tanaman dapat mengakibatkan

hilangnya kebugaran tanaman (Read & Francis,

1995). Hal ini dapat untuk menjelaskan bahwa

sebagai tanaman hemiparasitis, cendana

memerlukan kondisi aklimatisasi tanpa inang

paling tidak selama 8 minggu setelah transfer

plantlet, atau aklimatisasi plantlet cendana dan

inang Portulaca tidak dalam waktu yang

bersamaan untuk penyesuaian respon

pertahanan cendana. Perkembangan mikoriza

pada awal waktu aklimatisasi tersebut dapat

pula mempengaruhi mortalitas plantlet. Seperti

halnya pada percobaan yang dilakukan oleh

Veiga et al. (2013) yaitu adanya interaksi

negatif dengan penambahan mikoriza

Rhizophagus irregularis walaupun MA dapat

menginfeksi lebih dari 43 % jaringan akar

tanaman Arabidopsis thaliana. Penelitian

mengenai hal ini belum banyak dilaporkan,

diantaranya telah dibuktikan bahwa pelepasan

senyawa alelopatik oleh miselium MA dapat

menghambat pertumbuhan tanaman (Francis &

Read, 1995; Veiga et al. 2012).

Rendahnya mortalitas plantlet pada

aklimatisasi cendana tanpa inang dapat

disebabkan oleh lebih rendahnya tekanan

kompetisi penyerapan nutrisi terhadap inang.

Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang

telah dilakukan oleh (Press & Phoenix, 2005)

untuk hemiparasit Pedicularis. Mortalitas atau

tekanan pertumbuhan akar hemiparasit dapat

pula disebabkan oleh aplikasi pupuk kimia

(Mudrák & Lepš, 2010; Borowicz &

Armstrong, 2012). Respon pertumbuhan

terhadap nutrisi sangat bervariasi antara akar

spesies (Davies & Graves, 2000) maupun

dengan inang. Penambahan mikoriza menjadi

penting untuk upaya stimulasi agar perakaran

dapat berfungsi baik. Infeksi mikoriza pada

perakaran plantlet membantu memperluas

risosfer untuk meningkatkan serapan nutrisi dan

diharapkan meningkatkan kemampuan akar

cendana membentuk haustoria (Cameron &

Tennakoon, 2011).

Tingkat mortalitas yang paling rendah

cendana dengan inang adalah pada penambahan

5 g mikoriza (24 %) dibandingkan kontrol

(28%), 7,5 g mikoriza (36%) dan 10 g mikoriza

(68%). Hal ini menunjukkan bahwa plantlet

cendana yang bertahan hidup dapat tumbuh

lebih baik pada kondisi kompetitif dengan inang

pada dosis tersebut (Gambar 2). Cendana tanpa

inang menunjukkan mortalitas yang lebih

rendah (Gambar 3), dengan penambahan 5 g

dan 7.5 g tidak memberikan perbedaan

mortalitas (8%), lebih rendah dibandingkan

penambahan 10 g MA (20%) namun lebih tinggi

dibandingkan kontrol (4%). Jiang, Gou, dan

Ding (2013) membuktikan bahwa transfer

nutrisi dari inang ke xylem tanaman parasit

sebagian besar tidak selektif, semua nutrisi

dapat mengalami reduksi setelah inokulasi

jamur mikoriza. Penelitian yang dilakukan oleh

Veiga et al. (2013) untuk MA R. irregularis

pada tanaman A. thaliana dengan inang

Trifolium pretense dan Lolium multiflorum

menunjukkan bahwa pertumbuhan A. thaliana

menurun dengan inokulasi MA tanpa inang

namun dapat terbentuk kolonisasi pada akar

walaupun tak terbentuk arbuskules (penetrasi sel

kortikal akar), sedangkan pada perlakuan

dengan inang dan MA, pertumbuhan A. thaliana

lebih baik dibandingkan kontrol. Beragamnya

variasi mortalitas memerlukan penelitian lebih

lanjut berkaitan dengan kemungkinan cendana

termasuk dalam tanaman non-mikoriza.

Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Inang Portulaca Sp. terhadap Aklimatisasi Plantlet Cendana (Santalum album Linn.)

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

157

Gambar 2. Mortalitas bibit cendana yang ditanam bersama inang dengan perlakuan mikoriza (0, 5 g; 7,5 g;

dan 10 g) dibandingkan kontrol selama 12 minggu inkubasi

Gambar 3. Mortalitas bibit cendana yang ditanam tanpa inang dengan perlakuan mikoriza (0 g, 5 g; 7,5 g; dan

10 g) dibandingkan kontrol selama 12 minggu inkubasi

Pengaruh mikoriza dan inang B.

terhadap tinggi bibit cendana

Observasi pengaruh MA dan inang

terhadap tinggi bibit tahap aklimatisasi plantlet

cendana menunjukkan perbedaan pada beberapa

perlakuan setelah 16 minggu inkubasi di rumah

kaca (Gambar 4 dan Gambar 5). Rata-rata

pertambahan tinggi bibit cendana yang ditanam

bersama inang lebih baik dibandingkan tanpa

inang. Untuk perlakuan tanpa inang, tingkat

pertumbuhan tinggi antara perlakuan dosis MA

tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan,

meskipun dari kecenderungan yanga ada, dosis

5 g memberikan tingkat pertumbuhan yang

terbaik sedangkan dosis 10 g memberikan

tingkat pertumbuhan terendah. Sementara itu,

untuk perlakuan dengan inang, nilai tertinggi

diperoleh pada perlakuan 5 g MA (5,17 cm ±

1,21), diikuti perlakuan dosis 7,5 g (3,37 cm ±

1,64) yang tidak berbeda secara nyata dengan

kontrol (4,00 cm ± 1,39). Dosis 10 g (1,82 cm ±

1,28) menunjukkan pertambahan tinggi yang

paling rendah secara signifikan baik dengan

inang maupun tanpa inang. Hal ini

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Mo

rta

lita

s B

ibit

Cen

da

na

(%

)

Waktu Inkubasi (minggu)

0 g

5 g

7,5 g

10 g

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Mo

rta

lita

s B

ibit

Cen

da

na

(%

)

Waktu Inkubasi (minggu)

0 g

5 g

7,5 g

10 g

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 151 - 161

158

menunjukkan bahwa kondisi tersebut lebih

dikarenakan faktor kemampuan plantlet

cendana dalam berinteraksi dengan MA, bukan

dari faktor inang. Plantlet hasil mikropropagasi

mempunyai karakter spesifik abnormalitas

secara morfologi maupun anatomi yang disebut

sebagai vitrified atau hyper-hydrich yang

menjadi salah satu faktor pembatas kondisi

plantlet pada aklimatisasi (Heydová, M.,

Hronková H., Zahradníčková M., Šimková P.,

2003). Berbeda dengan aplikasi MA pada bibit

bukan dari hasil propagasi kultur jaringan,

plantlet cendana saat awal waktu aklimatisasi

belum dapat menyediakan sepenuhnya

fotosintat, bagi kelimpahan aplikasi MA di

daerah risosfer, sehingga infeksi miselia ke

jaringan akar dan proses absorpsi air serta

nutrien bagi pertambahan tinggi plantlet tidak

dapat berjalan optimal.

Beragam anggota biota tanah yang terkait

dengan tanaman, berinteraksi di antara

mikrobia, antara mikrobia dengan tanaman

maupun dengan tanaman inang, sehingga dapat

mempengaruhi kebugaran tanaman itu sendiri.

Interaksi antara MA, tanaman dan biota tanah

sangat kompleks dan sifat serta efek interaksi ini

tergantung pada spesies (Hol & Cook, 2005)

dan kondisi lingkungan yang terlibat (Calvet,

Pinochet, Hernández, Dorrego, Estaún,

Camprubí, 2001). Aplikasi MA sampai dosis

tertentu dapat menjadi salah satu faktor pemicu

tekanan lingkungan ex vitro biotik bagi

pertumbuhan plantlet saat aklimatisasi sehingga

meningkatkan keterbatasan simbiosis MA

dengan inang maupun tanpa inang. Paparan

mendadak aklimatisasi oleh komunitas biotik

dan abiotik pada sistem akar dalam tanah dan

penyesuaian abnormalitas pada saat transfer

eksplan ex vitro menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan karena plantlet belum memiliki

daya tahan yang cukup (Kumar & Rao, 2012),

dengan demikian observasi mengenai periode

waktu transfer eksplan ex vitro dan aplikasi MA

penting dilakukan untuk penelitian lebih lanjut

dalam upaya mengurangi tekanan paparan

tersebut.

Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α 0,05) pada uji LSD

Gambar 4. Tinggi bibit cendana dengan inang dan tanpa inang pada perlakuan mikoriza (5 g; 7,5 g dan 10 g)

setelah 16 minggu inkubasi di rumah kaca

0

1

2

3

4

5

6

7

0 5 7,5 10

Per

tam

ba

ha

n T

ing

gi

Bib

it C

end

an

a

(cm

)

Dosis Mikoriza (gram)

Dengan Inang

Tanpa Inang

b

a

d

a

a a

b

Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Inang Portulaca Sp. terhadap Aklimatisasi Plantlet Cendana (Santalum album Linn.)

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

159

Gambar 5. Aklimatisasai planlet cendana terbaik setelah 4 bulan inkubasi di rumah kaca yaitu dengan

perlakuan 5 gram mikoriza dengan inang (B) dibandingkan dengan kontrol dengan inang (A)

maupun dengan perlakuan 5 gram mikoriza tanpa inang (C) dan kontrol tanpa inang (D).

(Dokumentasi foto: Putri, 2017)

Diperkirakan 18% dari semua spesies

vascular (mempunyai jaringan pembuluh angkut

untuk translokasi nutrisi dan air ke seluruh

jaringan tanaman) tidak berhubungan dengan

mikoriza (Brundrett 2009). Tumbuhan ini,

berdenominasi sebagai tanaman non-mikoriza

yang dapat hidup secara dominan dalam

berbagai lingkungan terestrial. Meskipun jumlah

tanaman non-mikoriza di alam tidak berbeda

dengan tanaman yang berasosiasi dengan

mikoriza, namun interaksi tanaman non-

mikoriza dengan mikoriza belum banyak

dipahami. Beragamnya variasi mortalitas

plantlet dan pertumbuhan tinggi bibit

memerlukan penelitian lebih lanjut berkaitan

dengan waktu aplikasi mikoriza, penggunaan

tanaman inang dan kemungkinan cendana

termasuk dalam tanaman non-mikoriza.

IV. KESIMPULAN

Plantlet cendana yang ditanam bersama

inang Portulaca sp mempunyai persentase

mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan tanpa

inang. Rata-rata pertambahan tinggi bibit

cendana yang ditanam bersama inang Portulaca

sp. lebih baik dibandingkan tanpa inang. Rata-

rata pertumbuhan tinggi bibit cendana terbaik

secara signifikan adalah pada penambahan 5

gram mikoriza arbuskula. Plantlet cendana

memerlukan penambahan mikoriza di awal

aklimatisasi tanpa menggunakan inang, setelah

12 minggu inkubasi memerlukan inang untuk

meningkatkan pertumbuhan bibit. Pengkayaan

mikoriza arbuscula dan penggunaan inang

merupakan interaksi penting dalam upaya

menurunkan tingkat mortalitas plantlet dan

meningkatkan pertumbuhan bibit pada

aklimatisasi kultur jaringan cendana.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih

kepada Suprihati, Endin Izudin dan Rudi

Hartono yang telah mendukung secara teknis

kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana M., Yano-Melo, O. J., Melo S., Lima-Filho

J. M., N. F., & Maia, L. C. (1999). Effect of

arbuscular mycorrhizal fungi on the

acclimatization of micropropagated banana

plantlets. Mycorhiza, 9(2), 119–123.

Retrieved from

https://link.springer.com/article/10.1007/s005

720050009

Aslam, J., Ilah, A. Mujib, A., Zainul, M., A. (2013).

Proteomics during Somatic Embryogenesis.

In J. Aslam, P. S. Srivastava, & M. P. Sharma

A B C D

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 151 - 161

160

(Eds.), Somatic Embryogenesis and Gene

Expression (pp. 246–258). Narosa Publishing

House, New Delhi. Retrieved from

https://www.researchgate.net/publication/263

930193_Book_chapter_Ilah_2013

Bapat, V. A., & Rao, P. S. (1984). Regulatory factors

forin vitro multiplication of sandalwood tree

(Santalum album Linn.) I. Shoot bud

regeneration and somatic embryogenesis in

hypocotyl cultures. Proceedings: Plant

Sciences, 93(1), 19–27. Retrieved from

https://link.springer.com/article/10.1007/BF0

3053003

Bapat, V. A., Gill, R., & Rao, P. S. (1985).

Regeneration of Somatic Embryos and

Plantlets from Stem Callus Protoplasts of

Sandalwood Tree (Santalum album L).

Current Science, 54(19), 978–982. Retrieved

from

http://www.jstor.org/stable/24087466?seq=1#

page_scan_tab_contents

Barrett D. R.; & Fox, J. E. D. (1997). Santalum

album : Kernel Composition, Morphological

and Nutrient Characteristics of Pre-parasitic

Seedlings under Various Nutrient Regimes,

59–66.

Bele, D., Tripathi, M. . K., Tiwari, G., Baghel, B. S.,

& Tiwari, S. (2012). Microcloning of

sandalwood ( Santalum album Linn .) from

cultured leaf discs. Journal of Agricultural

Technology, 8(2), 571–583.

Bell, T. L., & Adams, M. A. (2011). Invited review

Attack on all fronts : functional relationships

between aerial and root parasitic plants and

their woody hosts and consequences for

ecosystems, 3–15.

https://doi.org/10.1093/treephys/tpq108

Brundrett, M. C. (2002). Coevolution of roots and

mycorrhizas of land plants. New Phytologist,

154(2), 275–304.

https://doi.org/10.1046/j.1469-

8137.2002.00397.x

Calvet, C., Pinochet, J., Hernández, A., Dorrego,

Estaún, V., Camprubí, A. (2001). Field

microplot performance of the peach-almond

hybrid GF-677 after inoculation with

arbuscular mycorrhizal fungi in a replant soil

infested with root-knot nematodes.

Mychoriza, 10(6), 295–300. Retrieved from

https://link.springer.com/article/10.1007%2F

PL00009998

Cameron D. D.; Tennakoon, K. U. (2011). The

anatomy of Santalum album (Sandalwood)

haustoria. Canadian Journal of Botany,

84(10), 1608–1616. Retrieved from

https://www.researchgate.net/publication/237

155221_The_anatomy_of_Santalum_album_

Sandalwood_haustoria

Cheng, Q.; Zhang, Y,; Niu, M.; Yan, H.; Zhang, X;

Jaime A. Teixeira da Silva, J. A.; Ma, G.

(2017). Limitations in the tissue culture of

Indian sandalwood tree (Santalum album L.).

In Advancis in Biotechnology (pp. 1–13).

Retrieved from

https://www.researchgate.net/publication/313

247828

Crovadore, J., Schalk, M., & Lefort, F. (2012).

Selection and mass production of santalum

album L. Calli for induction of

Sesquiterpenes. Biotechnology and

Biotechnological Equipment, 26(2), 2870–

2874. https://doi.org/10.5504/bbeq.2012.0028

Da Silva, J. A. T., Winarto, B., Dobránszki, J.,

Cardoso, J. C., & Zeng, S. (2016). Tissue

disinfection for preparation of Dendrobium in

vitro culture. Folia Horticulturae, 28(1), 57–

75. https://doi.org/10.1515/fhort-2016-0008

Fusconi, A., Hooker, J. E., Morini, S., Tisserant, B.,

Atkinson, D.. Trotta, A., Gianinazzi-Pearson,

V. Munro, M., Fortuna, P., Giovannetti, M..

Berta, G.. Gianinazzi, S. (2012). Arbuscular

mycorrhizal induced changes to plant growth

and root system morphology in Prunus

cerasifera. Tree Physiology, 15(5), 281–293.

https://doi.org/10.1093/treephys/15.5.281

Geneviève, L., Chêneverta, R., Moutoglis, P., Serge

Gagnéb, S., Pichéc, Y., Vierheilig, H. (2002).

Flavonoid levels in roots of Medicago sativa

are modulated by the developmental stage of

the symbiosis and the root colonizing

arbuscular mycorrhizal fungus. Journal of

Plant Physiology, 159(12), 1329–1339.

Retrieved from

https://www.sciencedirect.com/science/article

/pii/S0176161704703624

Herawan, T., Na’iem, M., Indrioko, S., & Indrianto,

A. (2017). Pengaruh jenis dan konsentrasi zat

pengatur tumbuh pada induksi kalus

embriogenik klon cendana (Santalum album

Linn.). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan,

11(2), 151–158.

https://doi.org/10.20886/jpth.2017.11.2.151-

158

Heydová, M., Hronková H., Zahradníčková M.,

Šimková P., & Š. A. (2003). The Role of

Abscisic Acid in Acclimation of Plants

Cultivated in vitro to ex vitro Conditions.

Biologia Plantarum, 46(4), 535–541.

Retrieved from

https://link.springer.com/article/10.1023/A:10

24811527499

Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Inang Portulaca Sp. terhadap Aklimatisasi Plantlet Cendana (Santalum album Linn.)

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri

161

Hol, W . H. G., Cook, R. (2005). An overview of

arbuscular mycorrhizal fungi–nematode

interactions. Basic and Applied Ecology,

6(6), 489–503.

Kumar, K., & Rao, I. U. (2012).

Morphophysiologicals Problems in

Acclimatization of Micropropagated Plants in

- Ex Vitro Conditions- A Reviews. Journal of

Ornamental and Horticultural Plants, 2(4),

271–283.

Li, A. R., & Guan, K. Y. (2008). Arbuscular

mycorrhizal fungi may serve as another

nutrient strategy for some hemiparasitic

species of Pedicularis (Orobanchaceae).

Mycorrhiza, 18(8), 429–436. Retrieved from

https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs

00572-008-0196-z

Li, A. R., Guan, K. Y., Stonor, R., Smith, S. E., &

Smith, F. A. (2013). Direct and indirect

influences of arbuscular mycorrhizal fungi on

phosphorus uptake by two root hemiparasitic

Pedicularis species: Do the fungal partners

matter at low colonization levels? Annals of

Botany, 112(6), 1089–1098.

https://doi.org/10.1093/aob/mct177

Lima-Filho, J. M., Maia, L. C., Saggin Jr., O.J.,

Yano-Melo, A. M., Melo, N. F. (2003).

Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on the

acclimatization of micropropagated banana

plantlets. Mycorrhiza, 9(2), 119–123.

https://doi.org/10.1007/s005720050009

Lu, J. K., Xu, D. P., Kang, L. H., & He, X. H.

(2015). Host-species-dependent physiological

characteristics of hemiparasite Santalum

album in association with N 2 -fixing and

non-N 2 -fixing hosts native to southern

China, 1006–1017.

https://doi.org/10.1093/treephys/tpu073

Mathur, N., Vyas, A. (1999). Improved Biomass

Production, Nutrient Uptake and

Establishment of In Vitro Raised Ziziphus

mauritiana by VA Mycorrhiza. Journal of

Plant Physiology, 155(1), 129–132. Retrieved

from

https://www.sciencedirect.com/science/article

/pii/S0176161799801539

Press, l. C., & Phoenix, G. K. (2005). Impacts of

parasitic plants on natural communities. New

Phytologist, 166(3), 737–751. Retrieved from

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1

469-8137.2005.01358.x/full

Siqueira, J. O., Safir, G. R., & Nair, M. G. (1991).

Stimulation of vesicular-arbuscular

mycorrhizae formation by flavonoid

compounds. New Phytologist, 118, 87–93.

Sita, G. L., Ram, N. V. R., & Vaidyanathan, C. S.

(1979). Differentiation of embryoids and

plantlets from shoot callus of sandalwood.

Plant Science Letters, 15(3), 265–270.

Retrieved from

https://www.sciencedirect.com/science/article

/pii/0304421179901184?via%3Dihub

Smith, S. E., & Read, D. (2008). Mycorrhizal

Symbiosis (3rd ed.). Academic Press.

Retrieved from

https://www.sciencedirect.com/science/article

/pii/B9780123705266500015

Sukmadjaja, D. (2005). Embriogenesis somatik

langsung pada tanaman cendana. Jurnal

Bioteknologi Pertanian, 10(1), 1–6. Retrieved

from

http://blog.ub.ac.id/fahriansyahnurafandi/files

/2013/03/Embriogenesis-somatik-langsung-

pada-tanaman-cendana.pdf

Surata, I. K; Idris, M. M. (2001). Status Penelitian

Cendana. Berita Biologi, Edisi Khusus

Masalah Cendana NTT, 5, 521–537.

Van Hoveln, M. D., Evans, B. A., & Borowicz, V. A.

(2011). Hemiparasite – host plant interactions

and the impact of herbivory: a field

experiment. Botany, 89(8), 537–544.

https://doi.org/10.1139/b11-045

Webster, Seymour, Mitchell, S. A., & Achmad, M.

H. (2003). A novel surface sterilization

method for reducing fungal and bacterial

contamination of field grown medicinal

explants intended for in vitro culture., (June

2014).

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 12 No. 2, Desember 2018, p. 151 - 161

162

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

• Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jurnal ini menerima dan

mempublikasikan tulisan hasil penelitian berbagai aspek yang berhubungan bioscience seperti

silvikultur/budidaya, perbenihan, pemuliaan, genetika, bioteknologi, hama/penyakit, fisiologi dan

konservasi genetik.

• Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 11 dan

jarak 1,5 (satu koma lima) spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file

elektroniknya. Gambar dan tabel ditulis pada halaman terpisah. Pada semua tepi kertas

disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 1 (satu) rangkap dikirimkan kepada

Sekretariat Redaksi Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. File elektronik diunggah ke Open Journal System

(OJS) Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, pada link berikut: http://ejournal.forda-

mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPTH.

• Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi

manapun, dengan cara mengisi blanko pernyataan (copyright transfer dan ethical statement) yang

dapat di akses melalui OJS JPTH pada link berikut: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-

litbang/index.php/JPTH/about/submissions#authorGuidelines

• Sistematika Penulisan adalah sebagai berikut:

Judul: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, penulis dan instansi penulis, email penulis pertama

Abstrak: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia

I. PENDAHULUAN

II. BAHAN DAN METODE

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KESIMPULAN

Ucapan Terima Kasih,

Daftar Pustaka

Lampiran (jika ada)

• Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dengan ringkas, tidak lebih dari l0 kata serta

harus mencerminkan isi tulisan ukuran huruf 12. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di

bawah judul dengan huruf kecil ukuran huruf 10. Di bawah nama ditulis nama institusi asal penulis

dan alamat lengkap instansi/institusi serta alamat email penulis pertama.

• ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak Bahasa Indonesia tidak lebih dari

300 kata dalam satu paragraph, sedangkan abstrat Bahasa Inggris tidak lebih dari 250 kata, yang

berisi intisari permasalahan, tujuan, metode dan hasil penelitian serta kesimpulan. Bahasa Inggris

ditulis dalam huruf kecil miring dan Bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywords

dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 5 kata.

• Tabel: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa Indonesia dengan jelas

dan singkat. Tabel diberi nomor dan ukuran font 10 (sepuluh).

• Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras (berwarna atau hitam

putih). Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dengan ukuran font 10

(sepuluh).

• Tubuh naskah: diatur dalam BAB dan SUB BAB secara kosisten sesuai dengan kebutuhan. BAB

ditulis ditengah dan SUB BAB ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti:

I, II, III, dst. Untuk Bab

A, B, C, dst. Untuk Sub Bab

1, 2, 3, dst. Untuk Sub subbab

a, b, c, dst. Untuk Sub sub subbab

• DAFTAR PUSTAKA, setidaknya terdapat 10 pustaka yang berkualitas yang terbit 5 tahun

terakhir diantaranya minimal 5 jurnal ilmiah, disusun menurut abjad nama pengarang mengacu

pada APA 6th style.

Departemen Kehutanan. (2004). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.01/Menhut-11/2004

tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau di Sekitar Hutan dalam

Rangka Social Forestry. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Dephut.

Larcher, P. (1997). Physiological plant ecology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sambrook, J., & Russell, D. W. (1989). Molecular cloning: A laboratory manual (3rd ed.). Cold

Spring Harbor Laboratory Press.

Mahoro, S. (2002). Individual flowering schedule, fruit set and flower and seed production in

Vaccinium hirtum Thunmb. (Ericaceae). Canadian Journal of Botany, 80,82-92.

Gunaga, R.P., & Vasudeva, R. (2009). Overlap Index : A Measure to Access Flowering Synchrony

Among teak (Tectona granndis Linn.f) Clone in Seed Orchards. Current Science, 97(6),

941-946.

Pinyopusarerk, K., & Harwood, C.E. (2003). Flowering and seed production in tropical Eucalyptus

seed orchard. In J.W. Turnbull (Ed.), Eucalyptus in Asia. ACIAR Proceeding No 111.

Australian Centre for International Agricultural Research (pp. 247-248). Canberra.

Wikipedia. (2012). Konflik. Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses tanggal 5

Juni 2012, dari http://www.id.wikipedia.org/wiki/Konflik

Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap setiap pernyataan dan pendapat ilmiah yang

dikemukakan penulis.

Dewan Redaksi berhak merubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan

juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x

> REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) <

1

TITLE SHOULD BE CONCISE, INFORMATIVE, AND CLEARLY REFLECT THE

CONTENT OF THE MANUSCRIPT IN BAHASA INDONESIA

Title Should be Concise, Informative, and Clearly Reflect The Content of The Manuscript in

English

First Author1, Second Author2, Third Author1 and Fourth Author1

First, third, and fourth authors’ current affiliations including current address

email address: first author or correspondence person

Second authors’ current affiliations including current address

Received: ....... Revised: ....... Accepted: ........ (Filled by JPTH)

ABSTRACT (uppercase font 11 italic spasi 1 - before 18 point, after 0 point )

The abstract should not exceed 250 words. The abstracts should be self-explanatory. It must include the reason

for conducting the study, objectives, methods used, results and conclusion. Objective should briefly state the

problem or issue addressed, in language accessible to a general scientific audience. Technology or Method must

concisely summarize the technological innovation or method used to address the problem. Results should bring a

brief summary of the results and findings. Conclusions should provide brief concluding remarks on outcomes.

Keywords: Four to six keywords should be provided for indexing and abstracting. The word or term

overviews the issues discussed, written in alphabetical order, separated by commas (,)

ABSTRAK (Uppercase font 11 normal spasi 1 - before 18 point, after 0 point ).

Tuliskan terjemahan abstrak dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak lebih dari 300 kata. Abstrak menjelaskan

keseluruhan isi artikel. Abstrak meliputi maksud, tujuan penelitian, metodologi yang digunakan, hasil dan

kesimpulan. Maksud penelitian harus menjelaskan secara ringkas permasalahan yang diteliti menggunakan

bahasa ilmiah umum yang mudah dimengerti oleh pembaca. Teknologi atau metodologi yang digunakan untuk

pemecahan permasalahan penelitian harus dicantumkan secara lengkap dan ringkas dalam abstrak. Hasil

penelitian dan temuannya disajikan dalam ringkasan singkat. Kesimpulan harus menyatakan outcome yang

dicapai dalam kegiatan penelitian.

Kata kunci: Empat sampai enam kata kunci untuk keperluan indeksasi dan abstraksi. Setiap kata mencakup

isu yang dibahas dan diurutkan secara alphabet dipisahkan oleh tanda koma (,)

I. INTRODUCTION

State the objectives of the work and

provide an adequate background of the research

objectives, avoiding a detailed literature survey

or a summary of the results.

This document is a template for

Microsoft Word versions 2003 or later. To

prepare the manuscript, a template can be

downloaded from this link: http://ejournal.forda-

mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPTH.

Do not change the font sizes or line

spacing to squeeze more text into a limited

number of pages. Use italics for emphasis; do

not underline.

To insert images in Word, position the

cursor at the insertion point and either use Insert

| Picture | From File or copy the image to the

Windows clipboard and then Edit | Paste Special

| Picture (with “float over text” unchecked).

JPTH will do the final formatting of the

manuscript submitted.

II. MATERIAL AND METHOD

Provide sufficient detail of the research

work to allow method to be reproduced. The

material and method chapter can be divided into

several sub-chapters.

> Replace This Line With Your Paper Title (Double-Click Here To Edit) >

< Replace This Line With Author (Double-Click Here To Edit >

2

A. Study site/location and/or materials

Describe the time and location of the

study, materials and tools used as well as

research method.

B. Methods

Methods already published should be

indicated by a reference. Specific location

should include the geographical information

system. Only relevant modification to the

method should be described clearly.

C. Analysis

Write the process of inspecting,

cleaning, transforming, and modelling data

with the goal of discovering useful

information, suggesting conclusions, and

supporting decision-making.

Data analysis procedures concerning the

editing of data and information collected by

questionnaires or through FGD, insert data /

information into the computer, data validation,

insert data that has been validated in accordance

with the variables to be analyzed, as well as the

determination of the data analysis program

(SAS, SPSS, and / or others), and finally the

data tabulation of data interpretation. The data

analysis also determined by the extent /

magnitude of data sources that serve as research

subjects, whether the study population, the

study sample or case study (LIPI, 2012).

Table should be numbered. Please use

comma (,) and point (.) in all figures

appropriately according to the English writing

rule.

Most charts graphs and tables are one

column wide (3 1/2 inches or 21 picas) or two-

column width (7 1/16 inches, 43 picas wide).

Avoid sizing figures less than one column wide,

as extreme enlargements may distort the images

and result in poor reproduction. Therefore, it is

better if the image is slightly larger, as a minor

reduction in size should not have an adverse

effect the quality of the image.

Tabel 1. Hasil analisis keragaman (fonts size 10 pt)

Sumber Variasi db KT Sig.

A a - 1 Kta a**

B b - 1 KTb bns

A vs B (a-1)(b-1) KTab ab*

Error n – ab - 1 KTe

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata pada taraf uji α 0,01

* = berbeda nyata pada taraf uji α 0,05

ns = nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji

III. RESULT AND DISCUSSION

Results should address concerns and

research purposes which should be presented

clearly and concisely. Contains a comparison of

results with other matters that have a link or part

of a diversity of issues that have been published

by others, or the results of previous research if

this is a sequence of a research activity.

Discussion should explore the

significance of the results work to the current

condition or other research result, but not

repeating the result. Written with a quick

discussion and focus on the interpretation of the

results obtained. Discussion unnecessary re-

reading of the chart, but can be grouped result to

interpret the results and discussed based on

theory and the results of previous research.

What is interesting about this study compared to

previous results, or what stands out from this

observation?

Result and discussion may be separated

into sub chapter of result and discussion.

References may be used to support the research

findings and expected to be written at least in

the last five years.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) <

3

Gambar 1. Perbandingan rata-rata pertumbuhan

diameter semai Mangium umur 7 bulan

pada berbagai taraf perlakuan interval

penyiraman

Graphic images should be formatted and

saved using a suitable graphics processing

program allowing creating the images as

JPEG/TIFF. Image quality is very important to

reproduce the graphics. Poor quality graphics

cannot be improved. Photographs and grayscale

figures should be prepared with 300 dpi

resolution and saved with no compression, 8 bits

per pixel (grayscale). Colour graphics should be in

the following formats: TIFF, Word, PowerPoint,

Excel, and PDF. The resolution of a RGB colour

TIFF file should be 400 dpi. Please supply a high

quality hard copy or PDF proof of each image. If we

cannot achieve a satisfactory colour match using the

electronic version of the files, we will have the hard

copy scanned.

IV. CONCLUSION

A brief summary of the possible clinical

implications of the study is required in the

conclusion section. Conclusion contains the

main points of the article. It should not replicate

the abstract, but might elaborate the significant

results, possible applications and extensions of

the work.

ACKNOWLEDGEMENT

Acknowledgement is compulsory for

persons or organizations that have already

helped the authors in many ways. Sponsor and

financial support acknowledgments may be

placed in this section. Use the singular heading

even if you have many acknowledgements.

REFERENCES

Use at least 10 references referring to

American Psychological Association style (APA

style) 6th Edition. References must be listed and

organized alphabetically by author name. In-text

citation should also be based on the APA style

6th Edition. More information and sample paper

of using APA style can be downloaded from

http://www.apastyle.org.

Using citation application tools such as

EndNote or Mendeley is strongly recommended

to properly credit the information sources. By

properly cite the reference sources you are

avoiding plagiarism. Free reference manager

such as Mendeley can be downloaded from

https://www.mendeley.com/download-

mendeley-desktop/ to create bibliography,

references and in-text citation. Using application

tools for referencing will make the work much

easier rather than doing it manually.

About 80% of the references used in the

manuscript should be issued at least in the last

five years and should be from primary reference

sources (scientific journal, proceeding,

skripsi/thesis/disertation, specific book of

research result) except for specific science

textbooks (mathematics, taxonomy, climate,

etc.).

CITATIONS IN THE TEXT

APA uses the author-date method of

citation. The last name of the author and the date

of publication are inserted in the text in the

appropriate place. When referencing or

summarizing a source, provide the author and

year. When quoting or summarizing a particular

passage, include the specific page or paragraph

number, as well. When quoting in the

manuscript, if a direct quote is less than 40

words, incorporate it into the text and use

quotation marks. If a direct quote is more than

40 words, make the quotation a freestanding

indented block of text and DO NOT use

quotation marks.

> Replace This Line With Your Paper Title (Double-Click Here To Edit) >

< Replace This Line With Author (Double-Click Here To Edit >

4

One work by one author

In one developmental study (Smith, 1990),

children learned... OR

In the study by Smith (1990), primary

school children... OR

In 1990, Smith’s study of primary school

children…

Works by multiple authors

A work with two authors, cite both names

every time you reference the work in the

text.

A work with three to five authors, cite all

the author names the first time the reference

occurs and then subsequently include only

the first author followed by et al.

First citation: Masserton, Slonowski,

and Slowinski (1989) state that...

Subsequent citations: Masserton et al.

(1989) state that...

A work with 6 or more authors, cite only the

name of the first author followed by et al.

and the year.

Works by no identified author

A resource with no named author, cite the

first few words of the reference entry

(usually the title). Use double quotation

marks around the title of an article, chapter,

or Web page. Italicize the title of a

periodical, book, brochure, or report.

The site seemed to indicate support for

homeopathic drugs (“Medical

Miracles,” 2009). The brochure argues

for home schooling (Education Reform,

2007).

Treat reference to legal materials such as

court cases, statutes, and legislation like

works with no author.

Two or more works in the same

parenthetical citation Citations of two or more works in the same

parentheses should be listed in the order they

appear in the reference list (i.e.,

alphabetically, and then chronologically).

Several studies (Jones & Powell, 1993;

Peterson, 1995, 1998; Smith, 1990)

suggest that...

Specific parts of a source

Always give the page number for quotations

or to indicate information from a specific

table, chart, chapter, graph, or page. The

word page is abbreviated but not chapter.

The painting was assumed to be by

Matisse (Powell, 1989, Chapter 6), but

later analysis showed it to be a forgery

(Murphy, 1999, p. 85).

If, as in the instance of online material, the

source has neither visible paragraph nor page

numbers, cite the heading and the number of

the paragraph following it. This allows the

reader to locate the text in the source.

The patient wrote that she was

unimpressed by the doctor’s bedside

manner (Smith, 2006, Hospital

Experiences section, para. 2).

The use of word “and” and symbol “&”

A work with two or more authors, use the

word “and” in running text and

an ampersand “&” in parenthetical material,

in tables, captions, and in the reference list.

as Louth, Hare and Linden (1998)

demonstrated ...

as has been shown (Louth,

Hare & Linden, 1998) ...

CITATIONS IN A REFERENCE LIST

In general, references should contain the author

name, publication date, title, and publication

information. Include the issue number if the

journal is paginated by issue.

For information obtained electronically

or online include the DOI

DOI - a unique alphanumeric string assigned

to identify content and provide a persistent

link to its location on the internet. The DOI is

typically located on the first page of the

electronic journal article near the copyright

notice. When a DOI is used in the citation, no

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) <

5

other retrieval information is needed. Use this

format for the DOI in references: doi:xxxxxxx

If no DOI has been assigned to the content,

provide the home page URL of the journal or

of the book or report publisher. Do not insert a

hyphen if you need to break a URL across

lines; do not add a period after a URL, to

prevent the impression that the period is part

of the URL.

In general, it is not necessary to include

database information. Do not include retrieval

dates unless the source material has changed

over time.

Print Book Author, A. (year). Title of the document. Location

published: Publisher name.

Strunk, W., Jr., & White, E. B. (1979). The guide to

everything and then some more stuff. New

York, NY: Macmillan.

Gregory, G., & Parry, T. (2006). Designing brain-

compatible learning (3rd ed.). Thousand

Oaks, CA: Corwin.

Electronic Book Author, A. (year). Title of document. Retrieved from

url OR

Author, A. (year). Title of document. doi:xxxxxxx

Monro, V. (1835). A summer ramble in Syria: With a

Tartar trip from Aleppo to Stamboul (Vol. 1).

Retrieved from

http://books.google.com/books

Schiraldi, G. R. (2001). The post-traumatic stress

disorder sourcebook: A guide to healing,

recovery, and growth [Adobe Digital Editions

version]. doi:10.1036/0071393722

Chapter of a Book - different authors in

edited book Sharp, S. F., & Eriksen, M. E. (2003). Imprisoned

mothers and their children. In B. H. Zaitzow

& J. Thomas (Eds.), Women in prison:

Gender and social control (pp.119-136).

London: Lynne Rienner Publishers.

NOTE:

In the example above, 'Sharp & Eriksen' are the

authors of the chapter 'Imprisoned mothers

and their children', published in the book

'Women in prison: Gender and social control'.

One editor - use the abbreviation (Ed.). More than

one editor - use the abbreviation (Eds.).

For a book with no editor, include the word 'In'

before the book title

Journal Article - electronic version with

DOI Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of

article. Title of Periodical, volume(issue),

page range. doi:xx.xxxxxxxxxx

Turner, J. (2007). Justice and emotions. Social

Justice Research, 20(3), 288-

311. doi:10.1007/s11211-007-0043-y

Journal Article - electronic version

without DOI (DOI is not available) Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of

article. Title of Periodical, volume(issue),

page range. Retrieved from

http://www.homepageURL

Walters, W. (2008). Bordering the sea: Shipping

industries and the policing of

stowaways. Borderlands E-Journal, 7(3), 1-

25. Retrieved from http://www.border

lands.net.au/index.html

Journal Article - print version Author, A. A. (year). Title of article. Title of

Periodical. volume(issue), page range.

Radiarta, I. N. (2013). Relationship between

phytoplankton distribution with water quality

in the Strait Alas, Sumbawa, West Nusa

Tenggara (in Bahasa Indonesia). Jurnal Bumi

Lestari, 13(2), 234–243

Louth, S. M., Hare, R. D., & Linden, W. (1998).

Psychopathy and alexithymia in female

offenders. Canadian Journal of Behavioural

Science, 30(2), 91-98.

Online Newspaper Articles Becker, E. (2001, August 27). Prairie farmers reap

conservation's rewards. The New York Times.

Retrieved from http://www.nytimes.com

Encyclopaedia or dictionary - print Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of

book (ed). Location published: Publisher

name.

Sadie, S. (Ed.). (2000). The new Grove dictionary of

music and musicians (2nd ed., Vols. 1-29).

New York: Grove's Dictionaries.

> Replace This Line With Your Paper Title (Double-Click Here To Edit) >

< Replace This Line With Author (Double-Click Here To Edit >

6

Encyclopaedia or dictionary - electronic Author, A. A., & Author, B. B. (year). Title of

book (ed). Retrieved from url

Zalta, E. N. (Ed.). (2007). The Stanford encyclopedia

of philosophy. Retrieved from

http://plato.stanford.edu/

Technical and Research Reports (often

with corporate authors) Hershey Foods Corporation. (2001, March 15). 2001

Annual Report. Retrieved from

http://www.hersheysannualreport.com/2000/i

ndex.htm

Book Reviews Dent-Read, C., & Zukow-Goldring, P. (2001). Is

modeling knowing? [Review of the book

Models of cognitive development, by K.

Richardson]. American Journal of

Psychology, 114, 126-133.

NOTE: For articles that have a DOI, see Journal

Article with DOI example.

Data Sets Simmons Market Research Bureau. (2000). Simmons

national consumer survey [Data file]. New

York, NY: Author.

Conference Proceedings - electronic Shennan, S. (2008). Canoes and cultural

evolution. Proceedings of the National

Academy of Sciences 105, 3416-3420. doi:

10.1073/pnas.0800666105

Conference Proceedings - print Iyengar, S. S., & DeVoe, S. E. (2003). Rethinking the

value of choice: Considering cultural

mediators of intrinsic motivation. In R.

Dienstbier (ed.), Nebraska Symposium on

Motivation: Vol. 49. Cross-cultural

differences in perspectives on the self (pp.

129-174). Lincoln: University of Nebraska

Press.

Dissertation, Published Author, A. A. (Year). Title of dissertation (Doctoral

dissertation). Retrieved from Name of

database. (Accession or Order Number)

Adams, R. J. (1973). Building a foundation for

evaluation of instruction in higher education

and continuing education (Doctoral

dissertation). Retrieved from

http://www.ohiolink.edu/etd/

Dissertation, Unpublished Author, A. A. (Year). Title of

dissertation (Unpublished doctoral

dissertation). Name of Institution, Location.

Master’s thesis, from a commercial

database Author, A. A. (Year). Title of thesis (Master’s

thesis). Retrieved from Name of database.

(Accession or Order Number)

McNiel, D. S. (2006). Meaning through narrative: A

personal narrative discussing growing up

with an alcoholic mother (Master’s Thesis).

Retrieved from ProQuest Dissertations and

Theses Databases. (UMI No. 1434728)

Government Document National Institute of Mental Health. (1990). Clinical

training in serious mental illness (DHHS

Publication No. ADM 90-1679). Washington,

DC: U.S. Government Printing Office.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol.x. No. x, Month Year, p. x- x > REPLACE THIS LINE WITH YOUR PAPER IDENTIFICATION NUMBER (DOUBLE-CLICK HERE TO EDIT) <

7

If possible, equalize columns on the last page

JURNAL PEMULIAAN TANAMAN HUTAN

Diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Nomor: 21/E/KPT/2018

Tanggal 9 Juli 2018

DAFTAR ISI VOLUME 12

Nomor 1, Juni 2018

MAKALAH HASIL RISET (ORIGINAL PAPERS)

1. PENGUJIAN PENANDA JENIS SPESIFIK PADA JAMUR YANG BERPOTENSI

SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI PENYAKIT BUSUK AKAR

PADA AKASIA

Assessment of species specific primers for fungi as biological control agent of root rot

disease in Acacia

Istiana Prihatini, Anto Rimbawanto, Desy Puspitasari dan Dayin Fauzi .................... 1 – 11

2. PERTUMBUHAN BIBIT HASIL OKULASI PADA BEBERAPA KLON JATI

DARI GUNUNGKIDUL DAN WONOGIRI

Growth performance of bud grafted teak clones from Gunungkidul and Wonogiri

Hamdan Adma Adinugraha dan Abdul Azis Efendi ..................................................... 13 – 23

3. INTERAKSI FAMILI × LOKASI PADA UJI KETURUNAN GENERASI KEDUA

Eucalyptus pellita

Family × site interaction observed in second-generation progeny trial of Eucalyptus

pellita

Fasis Mangkuwibowo, Sapto Indrioko, dan Arif Nirsatmanto ..................................... 25 – 39

4. EMBRIOGENESIS SOMATIK ROTAN TOHITI (Calamus inops Becc. ex Heyne)

Somatic embryogenesis of tohiti rattan (Calamus inops Becc. ex Heyne)

Yelnititis ............................................................................................................................ 41 – 50

5. PERTUMBUHAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) PADA LAHAN

MARGINAL BERJENIS TANAH ULTISOL DI RIAU

Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in marginal land ultisol soil in Riau

Ahmad Junaedi ................................................................................................................. 51 – 63

6. SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN GENERASI

KEDUA KAYUPUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) DI GUNUNGKIDUL

Selection and genetic gain observed at second generation progeny trial of cajuput

(Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) in Gunungkidul

Sumardi, Noor Khomsah Kartikawati, Prastyono dan Anto Rimbawanto.................. 65 – 73

7. PENINGKATAN KUALITAS BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)

DAN MALAPARI (Pongamia pinnata L.) DENGAN APLIKASI MIKORIZA DAN

Trichoderma spp.

Quality improvement of nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) and malapari

(Pongamia pinnata L.) seedlings by Trichoderma spp. and mycorrhizal applications

Benyamin Dendang dan Aditya Hani ............................................................................. 75 – 84

Nomor 2, Desember 2018

MAKALAH HASIL RISET (ORIGINAL PAPERS)

1. HUBUNGAN KEKERABATAN Shorea gysbertsiana DENGAN TIGA JENIS

Shorea PENGHASIL TENGKAWANG LAINNYA BERDASARKAN PENANDA

RAPD

Genetic relationship of Shorea gysbertsiana with other three Shorea species producing

tengkawang based on RAPD marker

Purnamila Sulistyawati dan AYPBC Widyatmoko ....................................................... 85 – 94

2. SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN NYAWAI

(Ficus variegata Blume) DI BANTUL

Selection and genetic gain in progeny trial of nyawai (Ficus variegata Blume) at Bantul

Liliek Haryjanto, Prastyono dan Yayan Hadiyan.......................................................... 95 - 104

3. INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT PADA

Acacia auriculiformis DI YOGYAKARTA

Pathogen inventory and identification for Acacia auriculiformis planted in Yogyakarta

Nur Hidayati dan Rina Laksmi Hendrati ....................................................................... 105 - 113

4. PARAMETER GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN DAN KERAPATAN KAYU

KLON Eucalyptus pellita F. Muell. DI DUA TAPAK YANG BERBEDA DI

KALIMANTAN TIMUR

Genetic parameters for growth and basic density of Eucalyptus pellita F. Muell. clones

at two different sites in East Kalimantan

Achmad Ramadan, Sapto Indrioko, dan Eko Bhakti Hardiyanto ................................ 115 – 125

5. PENGUJIAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA

UNTUK MENGETAHUI KESTABILAN GENETIK KLON JATI (Tectona

grandis)

Random amplified polymorphism DNA marker test to assess genetic stability of teak

(Tectona grandis) clones

I.L.G. Nurtjahjaningsih, Toni Herawan, Reza Permatasari Rachma, dan Anto

Rimbawanto ...................................................................................................................... 127 – 134

6. IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT LODOH PADA SEMAI KALIANDRA

Identification of pathogen causes of damping-off diseases on kaliandra seedlings

Nur Hidayati ..................................................................................................................... 135 – 142

7. REGENERASI PERAKARAN PLANTLET IN VITRO DAN EX VITRO PADA

KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

Rooting regeneration of in vitro and ex vitro plantlets of cendana (Santalum album

Linn.) tissue culture

Asri Insiana Putri dan Toni Herawan ............................................................................ 143 – 150

8. PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULA DAN INANG Portulaca sp. TERHADAP

AKLIMATISASI PLANTLET CENDANA (Santalum album Linn.)

Influence of arbuscular mycorrhiza and Portulaca sp. host to acclimatization of

cendana (Santalum album Linn.) plantlets

Toni Herawan dan Asri Insiana Putri ............................................................................ 151 - 161

HUBUNGAN KEKERABATAN Shorea gysbertsiana DENGAN TIGA JENIS Shorea PENGHASIL TENGKAWANG LAINNYA BERDASARKAN PENANDA RAPD

SELEKSI DAN PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KETURUNAN NYAWAI (Ficus variegata Blume) DI BANTUL

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT PADA Acacia auriculiformis DI YOGYAKARTA

PARAMETER GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN DAN KERAPATAN KAYU KLON Eucalyptus pellita F. Muell. DI DUA TAPAK YANG BERBEDA DI KALIMANTAN TIMUR

PENGUJIAN PENANDA RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA UNTUK MENGETAHUI KESTABILAN GENETIK KLON JATI (Tectona grandis)

IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT LODOH PADA SEMAI KALIANDRA

REGENERASI PERAKARAN PLANTLET IN VITRO DAN EX VITRO PADA KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)

PENGARUH MIKORIZA ARBUSKULA DAN INANG Portulaca sp. TERHADAP AKLIMATISASI PLANTLET CENDANA (Santalum album L.)

Scan me for access

Open Journal System

Scan me for access

Journal Profile JPTH indexed by Sinta Indonesia