aceh pasca-memorandum of understanding (mou) helsinki (meninjau kembali qanun aceh dalam perspektif...
TRANSCRIPT
1
ACEH PASCA-Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki
(Meninjau Kembali Qanun Aceh Dalam Perspektif Kebijakan Publik)
…Berbilah-bilah rencong1 dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa kami selipkan pertanda martabat dan keagungan
Betapa pedih hati kami…
Dari Jakarta, kalian hujamkan mata rencong itu
Tepat di jantung kami.
(Penggalan puisi Rencong, karya Fikar W. Eda. 1998)
Pendahuluan
Sejarah perjalanan Aceh selalu diwarnai dengan konflik atau kekerasan. Sejak jaman
kesultanan hingga menjadi bagian dari wilayah Indonesia, Aceh tidak pernah berhenti
bergolak. Ultimatum Ratu Kerajaan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh pada
tahun 1873 merupakan awal babak panjang perjuangan mengembalikan hak untuk merdeka
sebagai manusia yang berdaulat. Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatannya, rakyat
Aceh berjuang dengan gigih. Hal ini terbukti dengan tidak bisa ditaklukakan dan didudukinya
wilayah Aceh oleh tentara Kerajaan Belanda. Bahkan korban tewas dari pihak tentara
Kerajaan Belanda tidak sedikit jumlahnya. Hingga akhirnya Belanda angkat kaki dari Aceh
dan Indonesia karena kalah oleh Jepang. Akan tetapi konflik di Aceh tidak pula serta merta
berhenti sampai di situ.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Aceh dimasukkan dalam
wilayah Kerisidenan Sumatera Utara bersama Medan. Hal ini memicu protes oleh rakyat
Aceh. Protes ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin ulama kharismatik Aceh,
Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953. Perlawanan rakyat Aceh ini bertujuan
untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (DII) bersama dengan Kartosoewirjo di Jawa
akibat tidak diakomodirnya keinginan rakyat Aceh untuk menerapkan syari‟at Islam sebagai
sebuah keistimewaan. Pada akhirnya pemberontakan ini pun berakhir karena pemerintah
pusat menyetujui memberikan keistimewaan bagi Aceh pada tiga bidang, yaitu, agama, adat
istiadat, dan pendidikan.
Konflik Aceh tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1976, Teungku Muhammad Hasan
Di Tiro, mendeklarasikan sebuah gerakan pemberontakan oleh rakyat Aceh. Gerakan ini
dinamakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang untuk meminta keadilan dan
1 Rencong adalah senjata tradisional masyarakat Aceh. Biasa digunakan saat acara adat seperti pernikahan, sunat
rasul, dan pesta rakyat. Rencong juga disematkan pada tamu kehormatan saat berkunjung ke Aceh.
2
kesejahteraan bagi rakyat Aceh dari pemerintah pusat. Saat itu Indonesia dipimpin oleh
Soeharto yang cenderung menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan sentralistik. Sehingga
pembangunan di daerah –khususnya Aceh –tidak terlaksana dengan baik. Bahkan kondisi
masyarakat di daerah jauh dari kesejahteraan. Pemberontakan GAM ini bertujuan untuk
kemerdekaan Aceh. Dapat dikatakan pemberontakan GAM adalah pemberontakan paling
lama di Aceh. Meskipun telah melalui berbagai perundingan antara pihak GAM dengan
Pemerintah Indonesia, akan tetapi konflik tidak juga mereda bahkan eskalasinya semakin
besar. GAM tetap pada tujuannya, yaitu, merdeka dari Indonesia.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, akhirnya tercapai kesepakatan untuk menghentikan
konflik antara GAM dan Tentara Republik Indonesia (TNI) dibantu Polisi Republik
Indonesia (Polri) di Helsinki, Finlandia. Perundingan yang dimediasi oleh Martti Ahtisaari –
mantan Presiden Finlandia dan Direktur Crisis Management Initiative –menghasilkan sebuah
kesepakatan damai yang dikenal dengan nama Memorandum of Understanding (MoU).
Perundingan itu tidak hanya menjadi angin segar kedamaian bagi rakyat Aceh, tetapi juga
termaktub hak-hak rakyat Aceh yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat melalui
Pemerintah Propinsi Aceh terkait dengan kejahteraan rakyat Aceh. Ada tiga poin utama dari
MoU Helsinki tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu, penerapan syari‟at Islam dan Lembaga Wali
Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil minyak bumi dan gas alam
sebesar 70 persen. Sementara pihak GAM sendiri bersedia untuk menanggalkan tuntutan
merdeka dan bersedia membangun Aceh ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Masalah kemudian muncul meskipun perjanjian damai sudah disepakati. Kesejahteraan
rakyat Aceh tidak juga tercapai. Masalah utamanya terletak pada komitmen baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah untuk melahirkan kebijakan yang pro-rakyat Aceh.
Sementara itu, setelah hampir 8 (delapan) tahun MoU Helsinki kebijakan yang dikeluarkan
kebanyakan bersifat politis dan cenderung menguntungkan satu kelompok saja. Sebut saja,
Peraturan Daerah –di Aceh disebut dengan Qanun –Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun
Bendera dan Lambang Aceh. Dua produk dari perlemen Aceh tersebut terkesan bersifat
politis karena sesuai dengan keinginan kelompok mantan GAM –alih-alih keinginan rakyat.
Sedangkan Qanun yang mengatur tentang pembagian hasil minyak dan gas alam di Aceh
sebesar 70 persen dan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi korban
konflik tak kunjung dirancang dan disahkan.
Pengesahan Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh ini
menuai protes dari rakyat Aceh sendiri. Berbagai kelompok rakyat Aceh yang menamakan
3
dirinya Gayo Merdeka menolak lahirnya Qanun Bendera dan Lambang Aceh karena mirip
dengan bendera GAM. Sementara beberapa kelompok rakyat Aceh lainnya menolak Qanun
Wali Nanggroe karena terkesan memberikan ruang gerak yang besar bagi Wali Nanggroe
untuk bertindak atas nama pribadi dan kelompok –alih-alih atas nama rakyat Aceh. Akan
tetapi tidak pula dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kelompok masyarakat yang
mendukung pengesahan dua qanun ini dengan alasan bahwa memang itu yang mereka
inginkan sebagai rakyat Aceh.
Pertentangan lahirnya dua qanun ini tidak hanya antar masyarakat di Aceh antara yang
menolak dan mendukung, akan tetapi pertentangan ini ikut melibatkan pemerintah pusat.
Bagi pemerintah pusat dimana berbagai produk peraturan daerah harus melalui persetujuan
pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri, keberadaan dua qanun tersebut dapat
menyebabkan kekacauan di masyarakat. Khususnya Qanun Bendera dan Lambang Aceh
karena sangat mirip dengan bendera dan lambang yang dipakai GAM sebagai simbol
perjuangan.
Keluarnya dua qanun tersebut tidak terlepas dari peran aktor (Pemerintahan Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dalam proses rancangan dan pengesahan qanun. Selain itu
terdapat juga dorongan atau pengaruh dari kelompok kepentingan, yaitu, mantan elite dan
kombatan GAM. Saat ini parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diduduki
secara dominan oleh elite dari Partai Aceh, partai lokal yang menjadi kendaraan politik
mantan anggota GAM pasca-MoU Helsinki. Dalam bidang pemerintahan (eksekutif), Saat ini
Aceh juga dipimpin oleh mantan elite GAM, yaitu, dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada
tahun 2012 lalu.
Dalam studi kebijakan publik, hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah
bagaimana interaksi aktor antara eksekutif dan legislatif. Interaksi aktor ini biasanya selalu
bermuara pada tarik ulur kepentingan sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung tidak
popular –alih-alih berdasarkan kebutuhan rakyat. Untuk kasus Aceh, interaksi aktor dalam
pembuatan kebijakan publik justru menjadi hal menarik karena eksekutif dan legislatif
dikuasi oleh elite dari partai politik yang sama. Sehingga, setiap rancangan kebijakan yang
diusulkan oleh eksekutif cenderung akan “di-amin-kan” oleh legislatif.
Masalah yang kemudian muncul adalah kebijakan publik (qanun) yang dihasilkan oleh
Pemerintah Aceh terindikasi tidak mengarah untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Qanun-qanun
(Peraturan Daerah) yang dirancang oleh legislatif Aceh dan disahkan oleh eksekutif Aceh
memihak pada satu golongan tertentu. Sehingga tujuan utama perdamaian, yaitu,
4
kesejahteraan bagi rakyat Aceh seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki, Undang-Undang
Pemerintahan Aceh, serta yang menjadi tujuan utama dari perjuangan GAM dulu, sangat sulit
tercapai.
Selayang Pandang Konflik Aceh
Aceh, dalam lembar sejarah selalu dirundung konflik dan kekerasan. Sejak Kerajaan
Belanda mengultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1873,
sontak seluruh rakyat Aceh saat itu bahu membahu ikut berperang demi mempertahankan
kedaulatan dan martabat yang selama ini dijunjung tinggi. Bagi Kerajaan Belanda, perang
Aceh bukan hanya sekedar pertikaian senjata namun merupakan fokus dari suatu sistem
politik nasional, kolonial, dan internasional (Van „T Veer, 1985: viii). Tujuan Kerajaan
Belanda untuk menaklukkan Aceh merupakan upaya untuk memonopoli sistem perdagangan
nusantara dan dunia, karena letak Aceh yang sangat strategis yaitu dipersilangan Selat
Malaka yang menghubungkan negeri-negeri di bagian timur Benua Asia serta Samudera
Hindia yang menjadi akses bagi negara-negara Asia Barat dan Selatan, serta negara-negara di
Eropa.
Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di
dunia. Kerajaan Aceh mencapai masa kejayaan saat Sultan Iskandar Muda naik tahta (1607-
1636). Kemegahan Kerajaan Aceh Darusslam dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam,
tersohor hingga berbagai negara-negara di Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Bandar
Aceh Darussalam merupakan lokasi strategis untuk berdagang, sehingga tak jarang
ditemukan orang-orang dari Arab, Gujarat, India, Turki, dan Eropa berinteraksi di bumi
Aceh. Bahkan beberapa dari mereka ada yang menetap dan menikah dengan pribumi.
Kedatangan mereka di Aceh bukan hanya untuk berdagang, melainkan ikut menyebarkan
agama yang mereka anut. Proses pembauran (akulturasi) bangsa-bangsa ini pada akhirnya
memengaruhi sistem keyakinan rakyat Aceh yang pada akhirnya memilih Islam sebagai
agama. Bagi masyarakat Aceh, Islam bukan hanya sebagai agama melainkan sebagai
pedoman hidup dan menjadi identitas “ke-Aceh-an” (Djumala, 2013: 17). Pada akhirnya
konstruksi persepsi diri rakyat Aceh inilah yang menjadikan Aceh dijuluki sebagai “Serambi
Mekkah”. Istilah ini membentuk identitas (identity formation) bagi rakyat Aceh. Islam sangat
mendarah daging dalam kehidupan rakyat Aceh. Dalam catatan sejarah bahwa konflik-
konflik yang dialami oleh rakyat Aceh, baik dalam hubungannya dengan dunia luar maupun
dalam konteks internalnya menawarkan katalis bagi pembentukan identitas mereka (Reid;
2006: 46-47).
5
Terkait dengan julukan sebagai Serambi Mekkah ini, ada dua padangan terhadap makna
terminologi Serambi Mekkah. Pertama, pengertian yang ada dalam naskah kuno karya
Nuruddin Ar-Raniry, Serambi Mekkah merujuk kepada Aceh yang dianggap sebagai suatu
kota yang megah seperti Mekkah, sehingga dianggap dipandang sebagai “Mekkah-nya
kawasan Timur” (Mecca of the East). Kedua, pengertian yang merujuk kepada pandangan
Snouck Hurgronje yang mengartikan istilah Serambi Mekkah sebagai “Gerbangn ke Tanah
Suci” (The Gate to the Holy Land). Penyebutan ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa Aceh
sering digunakan oleh para calon haji yang datang dari kepulauan di Timur (dalam hal ini
kepulauan di Nusantara) sebagai tempat persinggahan sebelum mereka melanjutkan
perjalanan ke Mekkah (Reid, 2006: 38-39).
Pembentukan identitas Aceh ini adalah hasil dari pertautan antara fakta sejarah Aceh dan
kesadaran sejarah yang berkembang di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Proses
pembentukan identitas ini jugalah yang pada akhirnya membangun kesadaran rakyat Aceh
yang lebih sensitive dan rentan terhadap setiap upaya pihak luar yang ingin mengeliminasi
identitas itu. Fakta sejarah dan kesadaran sejarah diyakini telah menentukan identitas yang
distingtif bagi rakyat Aceh dan pada gilirannya membangun sikap perlawanan rakyat Aceh
(Ali, 2008: 2).
Identitas “ke-Aceh-an” yang bersandar pada Islam inilah yang menjadi pendorong
munculnya konflik di Aceh. Setelah Indonesia mereka, Aceh menjadi bagian bagi negara
republik yang baru lahir ini. Selama masa perjuangan kemerdekaan, Aceh bahkan telah
menunjukkan komitmennya terhadap tegaknya Republik Indonesia dan menyatakan
kesediannya untuk menjadi bagian dari Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk
dukungan konkret, antara lain pembelian obligasi yang diterbitkan Pemerintah Sementara
Indonesia di Sumatera dan sumbangan uang tunai untuk membantu pembiayaan pemerintah
Indonesia di Yogyakarta dan membiayai diplomasi di tataran internasional (Ibrahimy, 2001:
46 dan Kawilarang, 2008: 151). Bentuk komitmen dan bantuan dari rakyat Aceh untuk
Republik Indonesia adalah pembelian dua pesawat terbang jenis Dakota yang digunakan oleh
Wakil Presiden, Muhammad Hatta untuk keliling Jawa-Sumatera guna mengonsolidasikan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pengumpulan dana ini dilakukan oleh Gabungan
Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) (Ibrahimy, 2001: 47-48, Kawilarang, 2008: 151,
dan Djumala, 2013: 21-22).
Akan tetapi masalah kemudian muncul saat Presiden Soekarno menetapkan dasar dari
Republik Indonesia adalah Pancasila, juga menutup kemungkinan menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Inilah yang memicu kekecewaan rakyat Aceh karena menganggap Soekarno
6
mengingkari janjinya saat berkunjung ke Aceh guna meminta bantuan rakyat Aceh untuk
membantu Republik Indonesia. Gubernur Aceh saat itu, Daud Beureueh bahkan merasa
dikecewakan oleh Soekarno. Kondisi ini pada akhirnya mendorong Daud Beureueh yang juga
sebagai Ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan dukungan rakyat Aceh
memberontak dan bergabung dengan Darul Islam/ Negara Islam Indonesia (DI/NII) pimpinan
Kartosoewirjo di Jawa (Djumala, 2013: 24-30).
Pemerintah Soekarno melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959
mengubah status Aceh menjadi “Daerah Istimewa” yang memberikan wewenang kepada
Aceh untuk melaksanakan otonomi daerah terutama di bidang agama, pendidikan, dan adat
istiadat (Nurrohman, 2006: 4). Pemberian status baru inilah yang pada akhirnya membuat
Daud Beureueh mau turun gunung untuk mengakhiri pemberontakannya.
Berakhirnya pemberontakan Daud Beureueh tidak serta merta menghilangkan konflik di
bumi Aceh. Bahkan dapat dikatakan konflik pasca-pemberontakan Daud Beureueh menjadi
laten dan terakumulasi saat Hasan Tiro memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 (Schulze, 2004: 4). Pemberontakan Hasan Tiro terjadi
saat Pemerintah Soeharto sedang fokus dalam pembangunan ekonomi yang membutuhkan
stabilitas politik, sehingga pusat tidak pernah menoleransi adanya aspirasi daerah yang
menuntut otonomi, apalagi memisahkan diri (Djumala, 2013; 33). Pembangunan ekonomi
yang dicanangkan oleh pusat pada masa Orde Baru terkesan sentralistik sehingga fokus
pembangunan hanya dirasakan oleh pusat –dalam hal ini Jawa. Daerah lain hanya dijadikan
“mesin keruk” dari limpahan kekayaan alam yang dimilikinya –khususnya Aceh.
Untuk mengendalikan sekaligus menumpas pemberontakan GAM, pemerintah pusat
mengeluarkan kebijakan hard power (menggunakan kekuatan militer) melalui operasi militer
dan menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer pada tahun 1989 (Djumala, 2013: 33-
34). Pemberontakan GAM dapat dikendalikan meskipun tidak dapat ditumpas sama sekali.
Konflik Aceh hanya menyisakan dendam di benak rakyat Aceh yang menjadi korban selama
pemberlakuan operasi militer selama 10 (sepuluh) tahun di Aceh (Marzuki dan Warsidi,
2011: 29-30).
Saat reformasi bergulir, pemerintahan Orde baru jatuh pada tanggal 24 Mei 1998
menjadikan pola konflik di Aceh ikut berubah. Setelah Jenderal TNI Wiranto selaku
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) mencabut status Daerah Operasi
Militer (DOM) bagi Aceh, konflik yang semula pada daerah laten akhirnya muncul ke
permukaan. GAM kembali mengonsolidasikan kekuatannya dengan melakukan propaganda
di masyarakat Aceh. Luka lama akibat pemberlakuan DOM di Aceh pada akhirnya GAM
7
dapat menggerakkan massa untuk menuntut referendum pada tanggal 8 November 1999.
Rapat akbar rakyat Aceh yang dilangsungkan di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda
Aceh tersebut melibatkan lebih kurang satu juta jiwa rakyat Aceh (Marzuki dan Warsidi,
2011: 30). Tuntutan rakyat Aceh saat itu hanya satu, yaitu, merdeka dari Republik Indonesia.
Aceh adalah daerah yang penting bagi Indonesia. Sebagai “daerah modal” tidak serta
merta Indonesia dengan mudah mengabulkan tuntutan rakyat Aceh tersebut. Berbagai pola
kebijakan dilahirkan agar GAM mau menanggalkan tuntutan merdekanya dan mau
melakukan gencatan senjata. Sejak Habibie menjadi presiden Indonesia hingga Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pendekatan perdamaian yang dilakukan juga berbeda.
Darmansyah Djumala (2013: 4-6) mencatat setidaknya terdapat dua pola penyelesaian konflik
Aceh sejak reformasi bergulir di Indonesia, yaitu, hard power dan soft power. Konsep ini
merupakan konsep dari Joseph Nye, Jr (2004) yang menunjukkan bahwa hard power
mengarah kepada penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan konflik. Pola ini dipakai
oleh Presiden Megawati saat menetapkan Darurat Militer untuk Aceh. Sedangkan soft power
merupakan penggunaan cara-cara dialogis untuk menyelesaikan konflik. Pola ini pula yang
dipakai oleh Presiden SBY untuk menyelesaikan konflik Aceh hingga berakhir dengan
ditandatanganinya MoU Helsinki pada tanggl 15 Agustus 2005.
MoU Helsinki; Sebuah Kebijakan Perdamaian
Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM menjadi babak baru bagi rakyat
Aceh. Meskipun perjanjian di Helsinki, Finlandia bukan perjanjian damai pertama yang
dilakukan oleh kedua belah pihak dalam upaya menghentikan konflik di Aceh. Tercatat dua
kali perundingan untuk menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM
dilakukan. Pertama, pada 12 Mei 2000 perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM
melahirkan kesepakatan Joint Understanding on Humanitarian Pause for Acehi (Jeda
Kemanusiaan). Perundingan itu sendiri difasilitasi oleh Henry Dunant Center, sebuah
lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di Jenewa, Swiss (Djumala, 2013: 41).
Perundingan pertama ini dimungkinkan terjadi karena perubahan struktur tatanegara
Indonesia akibat bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Kekuatan militer juga dirasa sangat
lemah apa lagi kepercayaan masyarakat kepada militer sudah sangat buruk. Dalam kondisi
inilah GAM merasa mau untuk duduk semeja bersama Pemerintah Indonesia demi
memikirkan jalan keluar bagi konflik Aceh dan dalam upaya menciptakan kesejahteraan bagi
rakyat Aceh.
8
Terjadinya perundingan Jeda Kemanusiaan ini menghadirkan perkembangan penting
dalam konflik Aceh, baik bagi Indonesia maupun bagi GAM. Bagi Pemerintah Indonesia,
perundingan ini setidaknya menjadi babak baru yang penting dalam upaya menyelesaikan
konflik Aceh yang selama 23 tahun tidak kunjung usai di bawah rezim Orde Baru. Selain itu,
perundingan ini juga sebagai upaya untuk mempertahankan Aceh sebagai bagian Republik
Indonesia, setelah Timor Timur lepas dari Indonesia (Huber, 2008 dalam Aguswandi dan
Large, 2008:17). Dari pihak GAM sendiri, Jeda Kemanusiaan memiliki arti penting terkait
dengan pembangunan citra GAM di mata internasional. Bersediannya Pemerintah Indonesia
untuk duduk dengan GAM mengindikasikan bahwa GAM merupakan entitas penting dalam
negara yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, bahkan kedudukannya sama dengan
Pemerintah Indonesia. Meskipun pada dasarnya konflik Aceh merupakan konflik asimetris,
yaitu, konflik yang terjadi antara satu entitas negara yang penting (seperti TNI) dengan
gerakan atau kelompok yang tidak memiliki pengakuan sebagai entitas dalam sebuah negara
(Miall, 1999: 12).
Pada kenyataannya, Jeda Kemanusiaan ini tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan
adanya upaya dari pihak GAM memanfaatkan kondisi ini guna menggalang dukungan dan
melakukan provokasi dengan mengibarkan bendera GAM serta memainkan sentiment agama.
GAM juga memanfaatkan Jeda Kemanusiaan untuk memperkuat perjuangan mereka (Tippe,
2000: 89). Sementara itu, TNI dan Polri diinstruksikan untuk tidak melakukan tindakan yang
dapat merusak Perjanjian Jeda Kemanusiaan. Pada akhirnya bentuk provokasi GAM ini
memicu kembali kekerasan TNI/Polri dengan GAM (Djumala, 2013: 44).
Setelah Jeda Kemanusiaan gagal untuk menciptakan damai yang berkelanjutan di Aceh,
pada tahun 2002 saat itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarno Putri
mengeluarkan kebijakan untuk mengajak GAM kembali berunding. Perundingan kedua
kalinya ini juga difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC). Kedua belah pihak, Pemerintah
Indonesia dan GAM duduk kembali satu meja di Jenewa, Swiss. Pada tanggal 9 Desember
2002, di tengah kondisi kekerasan masih terjadi di Aceh, Pemerintah Indonesia dan GAM
bersepakat melahirkan satu perjanjian yang dikenal dengan nama Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA) (Marzuki dan Warsidi, 2011: 30-31, dan Djumala, 2013: 48). Isi dari
kesepakatan itu antara lain mengatur tentang demiliterisasi kedua belah pihak, penyaluran
bantuan kemanusiaan, dan pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat perang. Untuk
mengawasi pelaksanaan CoHA tersebut, dibentuk komite bersama yang dinamakan Joint
Security Committee (JSC) terdiri dari perwakilan tiga pihak, yaitu, perwakilan Pemerintah
Indonesia, perwakilan GAM, dan perwakilan HDC.
9
CoHA tidak ubahnya Jeda Kemanusiaan, sebagai harapan damai bagi rakyat Aceh juga
ikut lenyap. Kegagalan CoHA disebabkan karena berbeda interpretasi tentang isi CoHA. Bagi
Pemerintah Indonesia, penerimaan CoHA oleh GAM berarti menerima otonomi khusus yang
diberikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2001. Sedangkan
bagi GAM, undang-undang tersebut adalah hasil rancangan Pemerintah Indonesia tanpa
melibatkan rakyat Aceh (dalam hal ini GAM) dalam perumusannya. Pada akhirnya, GAM
tetap pada tujuan perjuangannya, Aceh merdeka lepas dari Republik Indonesia.
Perbedaan persepsi antara Pemerintah Indonesia dengan GAM ini membuat perundingan
menjadi buntu, pada akhirnya membuat Pemerintah Indonesia meningkatkan kekuatan militer
di Aceh untuk menumpas GAM. Bagi pihak GAM, tidak ada gelagat untuk melucuti senjata
sesuai kesepakatan CoHA. Mengatasi memburuknya kondisi di Aceh, Pemerintah Indonesia
meminta siding di Tokyo, Jepang pada tanggal 25 April 2003. Akan tetapi perundingan gagal
dilaksanakan karena beberapa orang perwakilan GAM yang akan terbang ke Tokyo di
tangkap oleh militer Indonesia. Pada akhirnya, konflik terus berlanjut tanpa ada jalan keluar
sedikitpun (Marzuki dan Warsidi, 2011: 80-81).
Saat terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, SBY dan Jusuf
Kalla mulai mencari kebijakan terbaik bagi resolusi konflik Aceh. Pola-pola penyelesaian
konflik melalui pengerahan militer mulai diubah menjadi pola perundingan dan dialog. Pola
ini dirasa ampuh untuk menyelesaikan konflik Aceh karena beberapa alasan. Pertama, Aceh
pada akhir tahun 2004 dilanda bencana dahsyat, gempa berkekuatan 8,7 SR disusul tsunami
yang meluluhlantakkan Aceh. Bencana ini menjadi tragedi kemanusiaan baru di abad ke-21.
Bencana maha-dahsyat ini menelan korban jiwa sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang
hilang, dan 174.000 orang hidup ditenda-tenda pengungsian. Dari segi materil, 120.000
rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan rusak, 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693
fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur,
dan sebanyak 2.224 sekolah rusak atau hancur. Kerugian saat itu mencapai USD 4,5 milyar
(Marzuki dan Warsidi, 2011: 31-32).
Pasca-tsunami, Pemerintah Indonesia berupaya segera membantu para korban untuk
keluar dari bencana. Akan tetapi masalah yang muncul adalah sulitnya akses ke wilayah-
wilayah korban tsunami karena masih dikuasai oleh GAM. Bahkan GAM memiliki
persenjataan yang cukup memadai hasil rampasan saat tsunami terjadi karena beberapa
gudang senjata TNI/Polri di Aceh juga ikut terkena dampak tsunami. Untuk efektifitas
mitigasi bencana dan kelancaran aktifitas pemulihan korban tsunami, maka diperlukan suatu
kondisi yang kondusif. Kondisi ini sendiri akan didapatkan jika perdamaian tercapai di Aceh.
10
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia meminta GAM untuk berunding kembali dengan
mediasi Crisis Management Intiative (CMI) di Helsinki, Finlandia.
Kedua, terpilihnya SBY dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
melalui pemilihan umum langsung. Bagi GAM, terpilihnya SBY-JK saat itu menjadi awal
babak baru bagi kejelasan perjuangan GAM. Pihak GAM menyadari bahwa kekuatan militer
GAM makin berkurang akibat diberlakukannya Darurat Militer oleh Presiden Megawati. Saat
diajak untuk berunding kembali oleh Pemerintah Indonesia, GAM langsung menyetujuinya.
Di mata GAM, SBY-JK merupakan personal yang memiliki komitmen yang kuat untuk
menciptakan perdamaian bagi Aceh, bahkan saat keduanya masih menjabat sebagai menteri
koordinator dalam kabinet Megawati. Beberapa kali Menteri SBY dan JK mengusulkan untuk
melakukan pendekatan dialog yang mengedepankan kemanusiaan dan martabat bangsa Aceh.
Jika dilihat dari konsep yang ditawarkan Nye (2004), pola penyelesaian konflik yang
dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK untuk menyelesaikan konflik Aceh adalah soft power
dibandingkan hard power. Untuk lebih jelas mengenai perbedaan antara keduanya, lihat tabel
berikut:
Tabel 1
Dimensi Hard Power dan Soft Power
Dimensi Hard Power Soft Power
1. Cara/Pendekatan Ancaman
Paksaan
Kekuatan
Persuasi
Dialog
Perundingan
2. Instrumen Suap
Sanksi
Militer
Kebudayaan
Nilai/Values
Citra
3. Kebijakan Aliansi
Perang
Kerjasama
Diplomasi
4. Hasil/Dampak Resistensi
Pemberontakan
Peperangan
Akomodasi
Kesepakatan
Perdamaian Sumber: Dikembangkan dari Joseph Nye (2004) dan Djumala (2013)
Perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM kali ini difasilitasi oleh Martti
Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur Crisis
Management Initiative. Perundingan ini menghasilkan Memorandum of Understanding
(MoU) yang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk beberapa hal, yaitu, Pertama, Aceh
memiliki identitas kultural dengan penerapan syari‟at Islam dan Lembaga Wali Nanggroe.
Kedua, Aceh mendapat keadilan ekonomi yaitu pembagian hasil minyak bumi dan gas
sebesar 70 persen. Ketiga, rakyat Aceh mendapatkan hak politiknya melalui pembentukan
11
Partai Politik Lokal (Parlok). Ketiga butir inilah yang kemudian diatur dalam Undang-
Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Politik Desentralisasi dan Otonomi Khusus Bagi Aceh
Desentralisasi pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan
kesatuan nasional dengan cara memberi wewenang kepada daerah yang lebih luas agar
daerah tersebut merasa berkepentingan untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan pusat
(Djumala, 2013: 94). Menurut International Encyclopedia of Social Science (1968),
desentralisasi adalah sebuah terminologi yang merefer kepada transfer kekuasaan-kekuasaan
dari sebuah pemerintah pusat kepada otoritas yang berfungsi secara spesial dan legal personal
berbeda (sebagai contoh, peningkatan tingkat otonomi dari sebuah pemerintah daerah atau
sebuah perusahaan publik atau BUMN) (Abdullah, 2005: 58).
Dalam konteks Indonesia, sistem desentraliasi terdahulu yang termuat dalam Undang-
Undang No. 5 tahun 1974 terwarnai oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kewenangan
antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Simamarta (2002) dalam Abdullah (2005: 57)
pada waktu itu pemerintah pusat secara eksesif mengintervensi kebijakan otonomi daerah
tidak hanya pada tahapan formulasi dan implementasi tapi juga tahapan evaluasi kebijakan.
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah adalah untuk mendorong pemberdayan
masyarakat, membentuk potensi dan kreativitas masyarakat dan untuk meningkatkan
partisipasi publik dalam pembangunan daerah (UU No. 22/1999). Terlebih tujuan otonomi
daerah untuk membawa pemerintah lebih dekat kepada publik sehingga pelayanan publik
oleh pemerintah daerah lebih efektif dan efisien dan untuk mengembalikan kodrat daerah
yang selama ini telah terlalu didominasi pemerintah pusat. Senada dengan hal tersebut,
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai acuan terbaru
pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999 juga menggunakan asas otonomi dalam
kerangka desentralisasi dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsep dasar dari desentralisasi adalah menciptakan melimpahkan kewenangan
pemerintah pusat baik secara administrasi atau secara politik kepada daerah sehingga daerah
dapat menjalankan roda pemerintahan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya dengan
kemandiriannya. Desentralisasi digunakan untuk meredam potensi konflik di masyarakat,
khususnya masyarakat daerah. Akan tetapi kebijakan desentralisasi ini tidak serta merta
berlaku bagi semua negara guna meredam konflik. Hal ini dapat dipahami karena menurut
Brancati (2009: 8-9) desentralisasi memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif dari
desentralisasi adalah bahwa ia dapat meredam konflik dengan cara memberi rakyat ruang
12
lebih luas untuk ikut dalam perumusan kebijakan. Dengan cara itu diharapkan di kalangan
rakyat di daerah akan tumbuh rasa memiliki terhadap sistem politik nasional sehingga kecil
kemungkinan mereka akan memisahkan diri dari pusat.
Sedangkan sisi negatif dari desentralisasi adalah tidak ada jaminan bahwa desentralisasi
dapat meredam konflik atau pergolakan di daerah. Di beberapa kasus bahkan desentralisasi
dapat memicu terjadinya konflik karena tidak adanya rasa persatuan dan komitmen yang
dimiliki oleh daerah terhadap pusat. Desentralisasi dapat mendorong munculnya gerakan
separatisme akibat munculnya identitas etnik yang berbasis kedaerahan. Kebijakan
desentralisasi juga tidak luput dari tarik ulur kepentingan politik elite daerah sehingga dapat
memicu konflik horizontal di masyarakat. Banyaknya pemekaran daerah yang terjadi di
Indonesia saat ini bisa jadi merupakan dampak negatif dari desentralisasi yang “kebablasan”.
Tujuan desentralisasi untuk menciptakan stabilitas politik dapat diperluas cakupannya
dalam konteks konflik Aceh. Kebijakan desentralisasi harus dilakukan dalam konteks
penyelesaian konflik dalam bentuk pemberian otonomi khusus kepada Aceh jika
desentralisasi itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian. Hal pertama yang perlu
dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dalam wilayah konflik adalah menyelesaikan
konflik itu sendiri melalui sebuah kebijakan resolusi konflik. Resolusi konflik yang dilakukan
oleh SBY-JK adalah melakukan dialog atau negosiasi dengan mendiskusikan kembali
Undang-Undang No. 18 tahun 2001, sehingga dicapai kesepakatan bersama dan bukan
merupakan keputusan sepihak dari Pemerintah Indonesia sebagai mana perudingan-
perundingan masa lalu (Djumala, 2013: 96).
Melalui dialog Pemerintah Indonesia menawarkan suatu bentuk otonomi khusus yang
termaktub dalam MoU Helsinki dan selanjutnya menjadi pijakan awal bagi lahirnya Undang-
Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Keluarnya peraturan perundang-
undangan ini menjadi langkah awal bagi Aceh untuk menata diri setelah konflik dan bencana
tsunami. Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh yaitu kewenangan untuk memrintah
sendiri kecuali dalam hal politik luar negeri, pertahanan, dan fiskal. Jika melihat konteks
pemberian kewenangan bagi Aceh melalui otonomi khusus yang termaktub dalam MoU dan
UUPA ini tidak berbeda dengan isi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Dalam
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Pasal 10 ayat 2 dan 3 menyatakan: “Daerah diberi
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi “kecuali untuk urusan” politik luar negeri, pertahanan keamanan,
moneter dan fiskal, serta peradilan dan agama.”
13
Otonomi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada satuan Pemerintahan Daerah Aceh
adalah otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan kekhususan atau
keistimewaan yang dimiliki daerah Provinsi Aceh baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya; kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional, dan urusan tertentu di bidang agama. Konsep otonomi tersebut didasarkan
pada Pasal 18, Pasal 18a dan Pasal 18b UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara
teoritik, konsep otonomi seperti itu lazim disebut sebagai model asymmetric decentralization
(Wignjosoebroto, 2005: 562).
Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik berarti tanggung jawab bagi
pemerintahan Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis dan
mengelola pemerintahan daerah sesuai prinsip good governance, yaitu, transparan, akuntabel,
profesional, efisien, dan efektif. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang ekonomi berarti
tanggung jawab bagi Pemerintahan Aceh dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam
daerah Aceh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Aceh. Pemberian otonomi seluas-
luasnya di bidang sosialbudaya berarti tanggung jawab bagi Pemerintahan Daerah Aceh
dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Aceh (Departemen Dalam Negeri, 2006: 1).
Undang-Undang Pemerintahan Aceh; Sumber Konflik Baru
Sejak awal diundangkannya, Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh sudah menuai kontroversi. Meskipun awalnya semua pihak (Pemerintah Indonesia dan
GAM) dapat menerima isi dari undang-undang tersebut, akan tetapi di kemudian hari muncul
desakan khususnya dari pihak mantan anggota GAM untuk merevisi kembali subtansi isi dari
undang-undang tersebut. Salah satu alasan untuk melakukan revisi terhadap UUPA adalah
karena ketidaksesuaian beberapa isinya dengan MoU Helsinki.
Lazim diketahui bahwa MoU Helsinki adalah kesepakatan antara Pemerintah Indonesia
dengan GAM untuk menghentikan konflik di Aceh guna menata kembali Aceh menuju
kesejahteraan. Dalam pandangan ini, bahwa MoU Helsinki merupakan dasar bagi setiap
kebijakan yang akan dikeluarkan kemudian oleh Pemerintah Indonesia untuk Aceh. Djumala
(2013: 206-207) mencatat beberapa kesenjangan antara UUPA dengan MoU Helsinki,
sebagai berikut:
14
Tabel 2
Kesenjangan antara MoU Helsinki dan UUPA No. 11 tahun 2006
MoU Helsinki UUPA No. 11 tahun 2006 Implikasi
1. Pasal 1 mengatur
tentang
Penyelanggaraan
“Pemerintahan di
Aceh” (dalam bahasa
Inggris Governing of
Aceh).
1. UUPA tidak
menggunakan istilah
“Pemerintahan di Aceh”,
tetapi “Pemerintah
Aceh” (Pasal 1 ayat 6
dan 7).
1. Istilah “Pemerintah
Aceh” mengandung
nuansa “self
government”, istilah
yang tidak ada dalam
MoU Helsinki.
2. Pasal 1.1.1.
mengamanatkan UU
baru tentang
Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh
akan diundangkan.
2. Dalam konsiderans tidak
merujuk MoU Helsinki
sebagai dasar
penyusunan Undang-
Undang.
2. Peraturan lain turunan
UUPA No. 11 tahun
2006 dapat saja tidak
sesuai dengan MoU
Helsinki.
3. Pasal 1.1.2.a:
Kewenangan Pusat
adalah hubungan luar
negeri, pertahanan luar,
keamanan nasional, hal
ihwal moneterdan
fiskal, kekuasaan
hakim, dan kebebasan
beragama.
3. Pasal 7 ayat 2:
Kewenangan Pusat
adalah urusan
pemerintahan yang
bersifat nasional, politik
luar negeri, pertahanan,
kemanan, yustisi,
moneter dan fiskal
nasional, dan urusan
tertentu dalam bidang
agama.
3. Penambahan kata
“urusan bersifat
nasional” pada UUPA
memungkinkan
perluasan kewenangan
Pusat atas Aceh. Tidak
adanya kata “luar” pada
kata pertahanan luar di
UUPA menjadi
justifikasi Pusat untuk
menempatkan militer di
luar kebutuhan di Aceh.
4. Pasal 1.1.2.a: Aceh
akan melaksanakan
kewenangan dalam
semua sektor publik
yang diselenggarakan
bersamaan dengan
administrasi sipil dan
peradilan.
4. Pasal 11 ayat 1:
Pemerintah menetapkan
norma, standar,
prosedur, dan
pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan oleh
Pemerintah Aceh dan
pemerintah
kabupaten/kota.
4. Penetapan
norma,standar,
prosedur, dan
pengawasan oleh Pusat
akan membatasi hak
dan kewenangan khusus
Pemerintahn Aceh
dalam kegiatan
kepemerintahan di
Aceh.
5. Pasal 1.1.2.b:
Persetujuan
internasional terkait
Aceh akan berlaku
dengan “konsultasi dan
persetujuan” legislatif
Aceh.
5. Pasal 8 ayat 1:
Persetujuan
internasional yang
berkaitan langsung
dengan Pemerintah
Aceh dilakukan dengan
“konsultasi dan
pertimbangan” DPRA.
5. Penggantian kata
“persetujuan” dengan
“pertimbangan”
mengurangi
kewenangan, derajat
otonomi, dan makna
self-government bagi
Aceh.
6. Pasal 1.1.2.c:
Keputusan DPR-RI
terkait Aceh dilakukan
dengan “konsultasi dan
6. Pasal 8 ayat 2: Rencana
UU oleh DPR yang
berkaitan langsung
dengan Pemerintah
6. Penggantian kata
“persetujuan” dengan
“pertimbangan”
mengurangi
15
persetujuan” legislatif
Aceh.
Aceh dilakukan dengan
“konsultasi dan
pertimbangan” DPRA.
kewenangan, derajat
otonomi, dan makna
self-government bagi
Aceh.
7. Pasal 1.1.2.d:
Kebijakan administratif
oleh Pemerintah
Indonesia berkaitan
dengan Aceh
dilaksanakan dengan
“konsultasi dan
persetujuan” Kepala
Pemerintah Aceh.
7. Pasal 8 ayat 3:
Kebijakan administratif
berkaitan langsung
dengan Aceh yang akan
dibuat Pemerintah
dilakukan dengan
“konsultasi dan
pertimbangan”
Gubernur.
7. Penggantian kata
“persetujuan” dengan
“pertimbangan”
mengurangi
kewenangan, derajat
otonomi, dan makna
self-government bagi
Aceh.
8. Pasal 1.1.3: Nama
Aceh dan gelar pejabat
senior yang dipilih
akan ditentukan oleh
legislatif Aceh setelah
Pemilu yang akan
datang.
8. Pasal 251 ayat 3: Nama
dan gelar pejabat
dimaksud ditetapkan
dengan Peraturan
Pemerintah berdasarkan
usul dari DPRA dan
Gubernur Aceh.
8. Mengurangi
kewenangan DPRA dan
Gubernur Aceh karena
keputusan final ada di
tangan pusat.
9. Pasal 1.3.1: Aceh
berhak memeroleh
dana melalui hutang
luar negeri.
9. Pasal 186 ayat 1:
Pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota dapat
memeroleh pinjaman
dari Pemerintah yang
dananya bersumber dari
hutang luar negeri
dengan persetujuan
Menteri Keuangan.
9. Aceh tidak bisa
meminjam langsung
dari luar negeri, harus
melalui Pusat sehingga
mengurangi
kewenangan Aceh
untuk memeroleh dana
hutang luar negeri.
10. Pasal 4.1.1: Tentara
akan bertanggungjawab
menjaga pertahanan
eksternal Aceh. Dalam
keadaan waktu damai
yang normal, hanya
tentara organik yang
akan berada di Aceh.
10. Pasal 202 ayat 1:
Tentara Nasional
Indonesia
bertanggungjawab
menyelenggarakan
pertahanan negara dan
tugas lain di Aceh sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan.
10. Tidak ada kata
“pertahanan eksternal”
dan tambahan kata
“tugas lain”
memungkinkan militer
ikut terlibat dalam
keamanan internal
Aceh.
Sumber: Dikembangkan dari Djumala (2004: 206).
Jika dilihat balik ke belakang, penyusunan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh merupakan wujud dari komitmen Pemerintah yang disampaikan GAM
sebelum perundingan Helsinki, yaitu, Pemerintah memberikan otonomi yang luas bagi Aceh
untuk menyelenggarakan pemerintahan, ekonomi, politik, serta sosial dan budaya secara
mandiri tapi tetap dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi jika
melihat beberapa perbedaan antara UUPA dan Mou Helsinki seperti yang terlihat dalam tabel
maka dapat dikataka bahwa terdapat kesenjangan interpretasi antara Pemerintah dan GAM
16
terhadap kesepakatan yang dicapai dalam MoU Helsinki itu sendiri. Menurut Djumala (2013:
215) kesenjangan tersebut terjadi setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu, pertama adanya
sikap inkonsistensi yang ditunjukkan oleh Indonesia, baik oleh delegasi RI pada perundingan
Helsinki maupun oleh DPR-RI. Di satu pihak tim negosiator Indonesia yang dipimpin oleh
Menteri Koordinator Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Hamid Awaluddin, mengartikan
Goverming Aceh sebagai “Pemerintahan di Aceh”, bukan “Pemerintahan Aceh”. Namun di
pihak lain, DPR-RI di dalam UUPA menggunakan judul “Pemerintahan Aceh”. Penggunaan
istilah “Pemerintahan Aceh” diartikan oleh GAM bahwa Aceh memiliki pemerintah sendiri
(self-government), berbeda dengan daerah atau propinsi lainnya di Indonesia.
Dengan pemahaman seperti ini, GAM menilai bahwa banyak pasal dalam UUPA itu tidak
konsisten dengan jiwa MoU Helsinki. Jika dalam MoU Helsinki pasal-pasalnya memberikan
nuansa pemerintahan sendiri dengan kewenangan yang luas bagi Aceh. Sedangkan setiap
pasal dalam UUPA, kewenangan dan otonomi yang diberikan kepada Aceh tidak berbeda
dengan yang diberikan kepada daerah lain.
Kedua, kesenjangan interpretasi juga disebabkan oleh taktik yang dijalankan oleh juru
runding Indonesia pada perundingan di Helsinki. Pemerintah SBY-JK memang memiliki
komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan jalan damai dan
perundingan. Dalam konteks inilah justru juru runding Indonesia memainkan taktik: “sepakat
dulu, substansi kemudian”. Artinya, perundingan di Helsinki diupayakan sedapat mungkin
agar dapat menyetujui kesepakatan yang bersifat umum dulu; sedangkan penjabarannya ke
dalam substansi yang lebih detail akan diserahkan kepada DPR-RI. Inilah sebabnya mengapa
delegasi Indonesia di perundingan Helsinki itu setuju saja dengan istilah Goverming Aceh
yang diartikan oleh GAM sebagai “Pemerintahan Aceh” yang memiliki nuansa self-
government.
Melihat besarnya kesenjangan interpretasi antara Pemerintah Indonesia dengan GAM
terhadap MoU Helsinki dan UUPA menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan kemudian akan
semakin jauh dari substansi isi MoU dan UUPA. Konsep self-government akan menjadi
pusaran pertikaian pasca-MoU Helsinki. Kebijakan turunan yang dikeluarkan kemudian
selalu berbenturan dengan UUPA, misalnya, Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun
Bendera dan Lambang Aceh. Dua Qanun (peraturan daerah) ini sudah disahkan oleh legislatif
Aceh, akan tetapi terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam isinya dengan pasal-pasal UUPA.
Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh dua hal, pertama, dalam merumuskan kebijakan
(qanun), legislatif Aceh menggunakan pedoman MoU Helsinki yang memberikan
kewenangan luas bagi Pemerintahan Aceh sesuai dengan konsep self-government yang
17
ditawarkan GAM saat perundingan Helsinki dulu. Kondisi ini memungkinkan karena 33 kursi
DPRA dikuasai oleh Partai Aceh. Tidak hanya DPRA, DPR Kabupaten/Kota seluruh Aceh
juga didominasi oleh perwakilan Partai Aceh yang menjadi kendaraan politik mantan GAM.
Sudah sejak awal mantan GAM berusaha mengawal setiap pasal MoU Helsinki untuk
dilaksanakan secara baik.
Kedua, Pemerintah Indonesia memakai UUPA sebagai tolak ukur pengesahan qanun
Aceh yang baru. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga menggunakan peraturan perundang-
undangan lainnya untuk menilai apakah qanun Aceh yang disahkan oleh legislatif Aceh
tersebut sudah sesuai dan laik untuk diundangkan. Dalam hal inilah konflik baru terjadi,
akibat kesenjangan interpretasi dan perbedaan penggunaan dasar bagi rumusan peraturan
turunan. Kondisi lebih parahnya adalah bahwa MoU Helsinki tidak dijadikan konsideran
(dasar hukum) bagi perumusan UUPA, kondisi ini pulalah yang mengecewakan pihak GAM
dan rakyat Aceh.
Aceh Pasca-MoU Helsinki
Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki sebagai kesepakatan untuk
menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM tidak dapat dijadikan jaminan
perdamaian hakiki tercipta di Aceh. Untuk tataran makro, konflik memang sudah berakhir.
Selesainya konflik bukan berari berakhirnya konflik, justru setelah hampir delapan tahun
sejak kesepakatan damai ditandatangani, pola konflik di Aceh berubah. Jika dulu konflik
yang terjadi bersifat vertikal (antara Rakyat Aceh yang diwakili GAM dengan Pemerintah
Indonesia), sekarang yang justru terjadi adalah konflik Horizontal. Konflik horizontal ini
terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh
Pemerintah Aceh tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat Aceh.
Masalah yang muncul kemudian adalah tarik ulur kepentingan dalam perumusan
kebijakan untuk Aceh. Tarik ulur ini terjadi baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Aceh dan legislatif Aceh, Pemerintah Aceh dengan legislatif Aceh, atau pun antar sesame
legislatif Aceh. Hal ini dimungkinkan karena kebijakan publik merupakan lapangan konflik
kepentingan aktor-aktor (eksekutif, legislatif, ataupun kelompok penekan). Perumusan
kebijakan publik merupakan lapangan bagi aktivitas politik, sehingga aktor politik saling
tarik ulur dalam perumusannya (Nugroho, 2012: 547).
Tarik ulur kepentingan dan politik sudah terlihat sejak awal perundingan MoU Helsinki,
dimana terdapat perdebatan tentang makna self-government antara Pemerintah Indonesia
dengan GAM. Pemahaman elite GAM, makna self-government adalah model pemerintahan
18
negara bagian seperti dalam negara federal. Sedangkan oleh Pemerintah Indonesia makna
self-government bermakna bahwa Aceh menerima konsep otonomi khusus yang luas
(Ratnawati, 2007: 50-51). Menurut pandangan ini dapat dilihat bahwa Pemerintah mencoba
membatasi kewenangan Pemerintah Aceh. Upaya untuk membatasi kewenangan ini
ditunjukkan oleh Pemerintah melalui UUPA.
Dalam hal konflik interpretasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Aceh
berlanjut sampai kepada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan setelahnya. Pertama,
Pemerintah Pusat merekomendasikan revisi untuk dua qanun (Peraturan Daerah) Aceh, yaitu,
Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Aceh
Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh. Menurut pandangan Pemerintah
Pusat, beberapa isi dari Qanun Lembaga Wali Nanggroe bertentangan dengan isi UUPA yang
menjadi dasar bagi pembuatan peraturan daerah (qanun). Demikian pula dengan Qanun
Bendera dan Lambang Aceh, oleh Pemerintah Pusat direkomendasikan untuk diubah dan
disesuaikan dengan UUPA serta Peraturan Presiden Tentang Bendera dan Lambang Daerah.
Konon lagi Bendera dan Lambang Aceh tersebut sangat mirip dengan bendera GAM yang
oleh Pemerintah Indonesia dikatakan sebagai bendera gerakan separatis. Sedangkan bagi
Pemerintah Aceh, dua qanun tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan rakyat Aceh.
Argumentasi Pemerintah Aceh mengatasnamakan bahwa Wali Nanggroe dan Bendera Aceh
merupakan sejarah panjang yang diperjuangkan oleh rakyat Aceh.
Konflik kepentingan ini sangat memungkinkan terjadi karena masing-masing pihak
merasa memiliki kekuatan berdasarkan undang-undang untuk membuat kebijakan. Dalam
kajian kebijakan publik, perumusan kebijakan dapat dilakukan oleh eksekutif, legislatif,
kelompok kepentingan, partai politik, lembaga peradilan, dan instansi administratif
(Agustino, 2012: 29-38). Untuk konteks Aceh, MoU Helsinki dan UUPA menjadi dasar
gerak bagi elite Pemerintah Aceh untuk membuat kebijakan. Kebijakan di Aceh sedikit
banyak juga dipengaruhi oleh keberadaan Partai Politik Lokal. Parlemen Aceh di dominasi
oleh elite Partai Politik Lokal, yaitu, Partai Aceh yang notabenenya menjadi kendaraan
politik bagi mantan GAM. Elite Partai Aceh-lah yang ngotot memperjuangankan lahirnya
Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh.
Selama ini konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh hanya
merupakan simbol, belum pada tahap kesejahteraan rakyat Aceh. Berdasarkan MoU Helsinki,
untuk Aceh akan dibuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi guna memenuhi hak rakyat
Aceh yang menjadi korban selama konflik. Komisi ini juga berfungsi sebagai tim pencari
fakta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta dapat mengajukan gugatan hukum baik
19
ke pihak Pemerintah Pusat (TNI/Polri) dan pihak GAM. Akan tetapi qanun tentang KKR
tersebut sampai saat ini belum dipenuhi. Politik lempar bola dilakukan oleh elite Aceh
dengan mengatakan bahwa Pemerintah Pusat belum menyusun Peraturan Presiden sebagai
dasar pembuatan peraturan daerah (qanun).
Kebijakan lain yang belum dikeluarkan oleh pemerintah adalah kebijakan tentang hasil
bagi minyak bumi dan gas sebesar 70 persen. Kebijakan ini sangat tepat jika memang
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh konsisten untuk menyejahterakan rakyat Aceh.
Logika sederhananya seperti, jika rakyat aceh makmur karena pembangunan ekonomi yang
dibiayai dari hak hasil bagi minyak bumi dan gas, maka rakyat Aceh tidak akan mendukung
upaya kelompok yang bersitegang dengan Pusat karena hal itu akan menciptakan konflik baru
yang akan mengorbankan kesejahteraan yang sudah mereka nikmati.
Setelah konflik selesai dan Aceh damai yang diinginkan oleh rakyat Aceh pasca-MoU
Helsinki adalah terjaminnya kehidupan yang lebih baik. Ketika kehidupan rakyat Aceh
menjadi lebih baik maka mereka tidak akan mengorbankan kehidupan itu hanya untuk
mendukung kelompok yang berupaya untuk menghidupkan kembali ide referendum dan
merdeka, sehingga memicu konfli kembali. Perdamaian di Aceh pasca-MoU Helsinki dapat
berkesinambungan jika Pusat mempercepat realisasi otonomi atau keistimewaan Aceh di
bidang ekonomi agar kesejahteraan rakyat Aceh meningkat, sehingga menjauhkan mereka
dari ide-ide kelompok tertentu yang berpotensi untuk menimbulkan konflik baru dengan
pusat. Sebaliknya, elite Partai Aceh dan GAM dapat mengoptimalkan keistimewaan ekonomi
untuk kesejahteraan rakyat Aceh, bukan hanya fokus kepada simbol-simbol daerah yang
belum tentu menyejahterakan rakyat Aceh bahkan bisa menimbulkan konflik baru antar
sesama rakyat Aceh.
20
Daftar Pustaka
Abdullah, Sait. 2005. Desentralisasi; Konsep, Teori, dan Perdebatannya. Jurnal
Desentralisasi Nol. 6, No. 4. PDF.
Aguswandi & Large, Judith. 2008. Accord, Reconfiguring Politics; The Indonesia-Aceh
Peace Process. London: Conciliation Resources.
Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Ali, Fachry, dkk. 2008. Kalla dan Perdamaian Aceh. Lembaga Studi dan Pengembangan
Etika Usaha (Lspeu) Indonesia.
Brancati, Dawn. 2009. Peace by Design; Managing Intrastate Conflict throught
Decentralization. Oxford University Press.
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Pemerintahan Aceh. PDF.
Djumala, Darmansjah. 2013. Soft Power Untuk Aceh; Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ibrahimy, M. Nur El. 2001. Peranan Teungku M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh.
Media Dakwah.
Kawilarang, Harry & Hamzah, Murizal. 2008. Aceh; Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki.
Banda Aceh: Bandar Publishing.
Marzuki, Nashrun & Warsidi, Adi (ed.). 2011. Fakta Bicara; Mengungkap Pelanggaran
HAM di Aceh 1989-2005. Banda Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh.
Miall, Hugh (et.al). 1999. Contemporary Conflict Resolution; The Prevention, Management,
and Transformation of Deadly Conflict. Polity Press.
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy; Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan
Manajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Nurrohman. 2006. Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi Formalisasi
Syari‟at Islam di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Annual Conference on
Contemporary Islamic Studies. Bandung.
Nye, Joseph S. Jr. 2004. Soft Power, the Means to Success in World Politics. New York:
Public Affairs.
Reid, Anthony. 2006. Verandah of Violence; The Background to the Aceh Problem. Seattle:
Singapore Univerity Press & University of Washington Press.
Schulze, Kristen E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM); Anatomy of a Separatist
Organization. Policy Studies 2. Washington: East-West Center.
Tippe, Syarifuddin. 2000. Aceh di Persimpangan Jalan. Pustaka Cisendo.
Van „T Veer, Paul. 1985. Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti
Pers.
Wignjosoebroto, Soetandyo, dkk. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah; Sketsa Perjalanan
100 tahun. Jakarta: Yayasan TIFA dan ILD.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Qanun Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Qanun Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe.