aceh pasca-memorandum of understanding (mou) helsinki (meninjau kembali qanun aceh dalam perspektif...

20
1 ACEH PASCA-Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki (Meninjau Kembali Qanun Aceh Dalam Perspektif Kebijakan Publik) Berbilah-bilah rencong 1 dengan sarung dan tangkai berkilap tak lupa kami selipkan pertanda martabat dan keagungan Betapa pedih hati kami… Dari Jakarta, kalian hujamkan mata rencong itu Tepat di jantung kami. (Penggalan puisi Rencong, karya Fikar W. Eda. 1998) Pendahuluan Sejarah perjalanan Aceh selalu diwarnai dengan konflik atau kekerasan. Sejak jaman kesultanan hingga menjadi bagian dari wilayah Indonesia, Aceh tidak pernah berhenti bergolak. Ultimatum Ratu Kerajaan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh pada tahun 1873 merupakan awal babak panjang perjuangan mengembalikan hak untuk merdeka sebagai manusia yang berdaulat. Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatannya, rakyat Aceh berjuang dengan gigih. Hal ini terbukti dengan tidak bisa ditaklukakan dan didudukinya wilayah Aceh oleh tentara Kerajaan Belanda. Bahkan korban tewas dari pihak tentara Kerajaan Belanda tidak sedikit jumlahnya. Hingga akhirnya Belanda angkat kaki dari Aceh dan Indonesia karena kalah oleh Jepang. Akan tetapi konflik di Aceh tidak pula serta merta berhenti sampai di situ. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Aceh dimasukkan dalam wilayah Kerisidenan Sumatera Utara bersama Medan. Hal ini memicu protes oleh rakyat Aceh. Protes ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin ulama kharismatik Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953. Perlawanan rakyat Aceh ini bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (DII) bersama dengan Kartosoewirjo di Jawa akibat tidak diakomodirnya keinginan rakyat Aceh untuk menerapkan syari‟at Islam sebagai sebuah keistimewaan. Pada akhirnya pemberontakan ini pun berakhir karena pemerintah pusat menyetujui memberikan keistimewaan bagi Aceh pada tiga bidang, yaitu, agama, adat istiadat, dan pendidikan. Konflik Aceh tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1976, Teungku Muhammad Hasan Di Tiro, mendeklarasikan sebuah gerakan pemberontakan oleh rakyat Aceh. Gerakan ini dinamakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang untuk meminta keadilan dan 1 Rencong adalah senjata tradisional masyarakat Aceh. Biasa digunakan saat acara adat seperti pernikahan, sunat rasul, dan pesta rakyat. Rencong juga disematkan pada tamu kehormatan saat berkunjung ke Aceh.

Upload: cafe-acoustic

Post on 03-Feb-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

ACEH PASCA-Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki

(Meninjau Kembali Qanun Aceh Dalam Perspektif Kebijakan Publik)

…Berbilah-bilah rencong1 dengan sarung dan tangkai berkilap

tak lupa kami selipkan pertanda martabat dan keagungan

Betapa pedih hati kami…

Dari Jakarta, kalian hujamkan mata rencong itu

Tepat di jantung kami.

(Penggalan puisi Rencong, karya Fikar W. Eda. 1998)

Pendahuluan

Sejarah perjalanan Aceh selalu diwarnai dengan konflik atau kekerasan. Sejak jaman

kesultanan hingga menjadi bagian dari wilayah Indonesia, Aceh tidak pernah berhenti

bergolak. Ultimatum Ratu Kerajaan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh pada

tahun 1873 merupakan awal babak panjang perjuangan mengembalikan hak untuk merdeka

sebagai manusia yang berdaulat. Dalam perjuangan mempertahankan kedaulatannya, rakyat

Aceh berjuang dengan gigih. Hal ini terbukti dengan tidak bisa ditaklukakan dan didudukinya

wilayah Aceh oleh tentara Kerajaan Belanda. Bahkan korban tewas dari pihak tentara

Kerajaan Belanda tidak sedikit jumlahnya. Hingga akhirnya Belanda angkat kaki dari Aceh

dan Indonesia karena kalah oleh Jepang. Akan tetapi konflik di Aceh tidak pula serta merta

berhenti sampai di situ.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Aceh dimasukkan dalam

wilayah Kerisidenan Sumatera Utara bersama Medan. Hal ini memicu protes oleh rakyat

Aceh. Protes ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin ulama kharismatik Aceh,

Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953. Perlawanan rakyat Aceh ini bertujuan

untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (DII) bersama dengan Kartosoewirjo di Jawa

akibat tidak diakomodirnya keinginan rakyat Aceh untuk menerapkan syari‟at Islam sebagai

sebuah keistimewaan. Pada akhirnya pemberontakan ini pun berakhir karena pemerintah

pusat menyetujui memberikan keistimewaan bagi Aceh pada tiga bidang, yaitu, agama, adat

istiadat, dan pendidikan.

Konflik Aceh tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1976, Teungku Muhammad Hasan

Di Tiro, mendeklarasikan sebuah gerakan pemberontakan oleh rakyat Aceh. Gerakan ini

dinamakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang untuk meminta keadilan dan

1 Rencong adalah senjata tradisional masyarakat Aceh. Biasa digunakan saat acara adat seperti pernikahan, sunat

rasul, dan pesta rakyat. Rencong juga disematkan pada tamu kehormatan saat berkunjung ke Aceh.

2

kesejahteraan bagi rakyat Aceh dari pemerintah pusat. Saat itu Indonesia dipimpin oleh

Soeharto yang cenderung menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan sentralistik. Sehingga

pembangunan di daerah –khususnya Aceh –tidak terlaksana dengan baik. Bahkan kondisi

masyarakat di daerah jauh dari kesejahteraan. Pemberontakan GAM ini bertujuan untuk

kemerdekaan Aceh. Dapat dikatakan pemberontakan GAM adalah pemberontakan paling

lama di Aceh. Meskipun telah melalui berbagai perundingan antara pihak GAM dengan

Pemerintah Indonesia, akan tetapi konflik tidak juga mereda bahkan eskalasinya semakin

besar. GAM tetap pada tujuannya, yaitu, merdeka dari Indonesia.

Pada tanggal 15 Agustus 2005, akhirnya tercapai kesepakatan untuk menghentikan

konflik antara GAM dan Tentara Republik Indonesia (TNI) dibantu Polisi Republik

Indonesia (Polri) di Helsinki, Finlandia. Perundingan yang dimediasi oleh Martti Ahtisaari –

mantan Presiden Finlandia dan Direktur Crisis Management Initiative –menghasilkan sebuah

kesepakatan damai yang dikenal dengan nama Memorandum of Understanding (MoU).

Perundingan itu tidak hanya menjadi angin segar kedamaian bagi rakyat Aceh, tetapi juga

termaktub hak-hak rakyat Aceh yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat melalui

Pemerintah Propinsi Aceh terkait dengan kejahteraan rakyat Aceh. Ada tiga poin utama dari

MoU Helsinki tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu, penerapan syari‟at Islam dan Lembaga Wali

Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil minyak bumi dan gas alam

sebesar 70 persen. Sementara pihak GAM sendiri bersedia untuk menanggalkan tuntutan

merdeka dan bersedia membangun Aceh ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Masalah kemudian muncul meskipun perjanjian damai sudah disepakati. Kesejahteraan

rakyat Aceh tidak juga tercapai. Masalah utamanya terletak pada komitmen baik pemerintah

pusat maupun pemerintah daerah untuk melahirkan kebijakan yang pro-rakyat Aceh.

Sementara itu, setelah hampir 8 (delapan) tahun MoU Helsinki kebijakan yang dikeluarkan

kebanyakan bersifat politis dan cenderung menguntungkan satu kelompok saja. Sebut saja,

Peraturan Daerah –di Aceh disebut dengan Qanun –Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun

Bendera dan Lambang Aceh. Dua produk dari perlemen Aceh tersebut terkesan bersifat

politis karena sesuai dengan keinginan kelompok mantan GAM –alih-alih keinginan rakyat.

Sedangkan Qanun yang mengatur tentang pembagian hasil minyak dan gas alam di Aceh

sebesar 70 persen dan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi korban

konflik tak kunjung dirancang dan disahkan.

Pengesahan Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh ini

menuai protes dari rakyat Aceh sendiri. Berbagai kelompok rakyat Aceh yang menamakan

3

dirinya Gayo Merdeka menolak lahirnya Qanun Bendera dan Lambang Aceh karena mirip

dengan bendera GAM. Sementara beberapa kelompok rakyat Aceh lainnya menolak Qanun

Wali Nanggroe karena terkesan memberikan ruang gerak yang besar bagi Wali Nanggroe

untuk bertindak atas nama pribadi dan kelompok –alih-alih atas nama rakyat Aceh. Akan

tetapi tidak pula dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kelompok masyarakat yang

mendukung pengesahan dua qanun ini dengan alasan bahwa memang itu yang mereka

inginkan sebagai rakyat Aceh.

Pertentangan lahirnya dua qanun ini tidak hanya antar masyarakat di Aceh antara yang

menolak dan mendukung, akan tetapi pertentangan ini ikut melibatkan pemerintah pusat.

Bagi pemerintah pusat dimana berbagai produk peraturan daerah harus melalui persetujuan

pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri, keberadaan dua qanun tersebut dapat

menyebabkan kekacauan di masyarakat. Khususnya Qanun Bendera dan Lambang Aceh

karena sangat mirip dengan bendera dan lambang yang dipakai GAM sebagai simbol

perjuangan.

Keluarnya dua qanun tersebut tidak terlepas dari peran aktor (Pemerintahan Aceh dan

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dalam proses rancangan dan pengesahan qanun. Selain itu

terdapat juga dorongan atau pengaruh dari kelompok kepentingan, yaitu, mantan elite dan

kombatan GAM. Saat ini parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diduduki

secara dominan oleh elite dari Partai Aceh, partai lokal yang menjadi kendaraan politik

mantan anggota GAM pasca-MoU Helsinki. Dalam bidang pemerintahan (eksekutif), Saat ini

Aceh juga dipimpin oleh mantan elite GAM, yaitu, dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf

sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada

tahun 2012 lalu.

Dalam studi kebijakan publik, hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah

bagaimana interaksi aktor antara eksekutif dan legislatif. Interaksi aktor ini biasanya selalu

bermuara pada tarik ulur kepentingan sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung tidak

popular –alih-alih berdasarkan kebutuhan rakyat. Untuk kasus Aceh, interaksi aktor dalam

pembuatan kebijakan publik justru menjadi hal menarik karena eksekutif dan legislatif

dikuasi oleh elite dari partai politik yang sama. Sehingga, setiap rancangan kebijakan yang

diusulkan oleh eksekutif cenderung akan “di-amin-kan” oleh legislatif.

Masalah yang kemudian muncul adalah kebijakan publik (qanun) yang dihasilkan oleh

Pemerintah Aceh terindikasi tidak mengarah untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Qanun-qanun

(Peraturan Daerah) yang dirancang oleh legislatif Aceh dan disahkan oleh eksekutif Aceh

memihak pada satu golongan tertentu. Sehingga tujuan utama perdamaian, yaitu,

4

kesejahteraan bagi rakyat Aceh seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki, Undang-Undang

Pemerintahan Aceh, serta yang menjadi tujuan utama dari perjuangan GAM dulu, sangat sulit

tercapai.

Selayang Pandang Konflik Aceh

Aceh, dalam lembar sejarah selalu dirundung konflik dan kekerasan. Sejak Kerajaan

Belanda mengultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1873,

sontak seluruh rakyat Aceh saat itu bahu membahu ikut berperang demi mempertahankan

kedaulatan dan martabat yang selama ini dijunjung tinggi. Bagi Kerajaan Belanda, perang

Aceh bukan hanya sekedar pertikaian senjata namun merupakan fokus dari suatu sistem

politik nasional, kolonial, dan internasional (Van „T Veer, 1985: viii). Tujuan Kerajaan

Belanda untuk menaklukkan Aceh merupakan upaya untuk memonopoli sistem perdagangan

nusantara dan dunia, karena letak Aceh yang sangat strategis yaitu dipersilangan Selat

Malaka yang menghubungkan negeri-negeri di bagian timur Benua Asia serta Samudera

Hindia yang menjadi akses bagi negara-negara Asia Barat dan Selatan, serta negara-negara di

Eropa.

Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di

dunia. Kerajaan Aceh mencapai masa kejayaan saat Sultan Iskandar Muda naik tahta (1607-

1636). Kemegahan Kerajaan Aceh Darusslam dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam,

tersohor hingga berbagai negara-negara di Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Bandar

Aceh Darussalam merupakan lokasi strategis untuk berdagang, sehingga tak jarang

ditemukan orang-orang dari Arab, Gujarat, India, Turki, dan Eropa berinteraksi di bumi

Aceh. Bahkan beberapa dari mereka ada yang menetap dan menikah dengan pribumi.

Kedatangan mereka di Aceh bukan hanya untuk berdagang, melainkan ikut menyebarkan

agama yang mereka anut. Proses pembauran (akulturasi) bangsa-bangsa ini pada akhirnya

memengaruhi sistem keyakinan rakyat Aceh yang pada akhirnya memilih Islam sebagai

agama. Bagi masyarakat Aceh, Islam bukan hanya sebagai agama melainkan sebagai

pedoman hidup dan menjadi identitas “ke-Aceh-an” (Djumala, 2013: 17). Pada akhirnya

konstruksi persepsi diri rakyat Aceh inilah yang menjadikan Aceh dijuluki sebagai “Serambi

Mekkah”. Istilah ini membentuk identitas (identity formation) bagi rakyat Aceh. Islam sangat

mendarah daging dalam kehidupan rakyat Aceh. Dalam catatan sejarah bahwa konflik-

konflik yang dialami oleh rakyat Aceh, baik dalam hubungannya dengan dunia luar maupun

dalam konteks internalnya menawarkan katalis bagi pembentukan identitas mereka (Reid;

2006: 46-47).

5

Terkait dengan julukan sebagai Serambi Mekkah ini, ada dua padangan terhadap makna

terminologi Serambi Mekkah. Pertama, pengertian yang ada dalam naskah kuno karya

Nuruddin Ar-Raniry, Serambi Mekkah merujuk kepada Aceh yang dianggap sebagai suatu

kota yang megah seperti Mekkah, sehingga dianggap dipandang sebagai “Mekkah-nya

kawasan Timur” (Mecca of the East). Kedua, pengertian yang merujuk kepada pandangan

Snouck Hurgronje yang mengartikan istilah Serambi Mekkah sebagai “Gerbangn ke Tanah

Suci” (The Gate to the Holy Land). Penyebutan ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa Aceh

sering digunakan oleh para calon haji yang datang dari kepulauan di Timur (dalam hal ini

kepulauan di Nusantara) sebagai tempat persinggahan sebelum mereka melanjutkan

perjalanan ke Mekkah (Reid, 2006: 38-39).

Pembentukan identitas Aceh ini adalah hasil dari pertautan antara fakta sejarah Aceh dan

kesadaran sejarah yang berkembang di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Proses

pembentukan identitas ini jugalah yang pada akhirnya membangun kesadaran rakyat Aceh

yang lebih sensitive dan rentan terhadap setiap upaya pihak luar yang ingin mengeliminasi

identitas itu. Fakta sejarah dan kesadaran sejarah diyakini telah menentukan identitas yang

distingtif bagi rakyat Aceh dan pada gilirannya membangun sikap perlawanan rakyat Aceh

(Ali, 2008: 2).

Identitas “ke-Aceh-an” yang bersandar pada Islam inilah yang menjadi pendorong

munculnya konflik di Aceh. Setelah Indonesia mereka, Aceh menjadi bagian bagi negara

republik yang baru lahir ini. Selama masa perjuangan kemerdekaan, Aceh bahkan telah

menunjukkan komitmennya terhadap tegaknya Republik Indonesia dan menyatakan

kesediannya untuk menjadi bagian dari Indonesia. Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk

dukungan konkret, antara lain pembelian obligasi yang diterbitkan Pemerintah Sementara

Indonesia di Sumatera dan sumbangan uang tunai untuk membantu pembiayaan pemerintah

Indonesia di Yogyakarta dan membiayai diplomasi di tataran internasional (Ibrahimy, 2001:

46 dan Kawilarang, 2008: 151). Bentuk komitmen dan bantuan dari rakyat Aceh untuk

Republik Indonesia adalah pembelian dua pesawat terbang jenis Dakota yang digunakan oleh

Wakil Presiden, Muhammad Hatta untuk keliling Jawa-Sumatera guna mengonsolidasikan

perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pengumpulan dana ini dilakukan oleh Gabungan

Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) (Ibrahimy, 2001: 47-48, Kawilarang, 2008: 151,

dan Djumala, 2013: 21-22).

Akan tetapi masalah kemudian muncul saat Presiden Soekarno menetapkan dasar dari

Republik Indonesia adalah Pancasila, juga menutup kemungkinan menjadikan Islam sebagai

dasar negara. Inilah yang memicu kekecewaan rakyat Aceh karena menganggap Soekarno

6

mengingkari janjinya saat berkunjung ke Aceh guna meminta bantuan rakyat Aceh untuk

membantu Republik Indonesia. Gubernur Aceh saat itu, Daud Beureueh bahkan merasa

dikecewakan oleh Soekarno. Kondisi ini pada akhirnya mendorong Daud Beureueh yang juga

sebagai Ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan dukungan rakyat Aceh

memberontak dan bergabung dengan Darul Islam/ Negara Islam Indonesia (DI/NII) pimpinan

Kartosoewirjo di Jawa (Djumala, 2013: 24-30).

Pemerintah Soekarno melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959

mengubah status Aceh menjadi “Daerah Istimewa” yang memberikan wewenang kepada

Aceh untuk melaksanakan otonomi daerah terutama di bidang agama, pendidikan, dan adat

istiadat (Nurrohman, 2006: 4). Pemberian status baru inilah yang pada akhirnya membuat

Daud Beureueh mau turun gunung untuk mengakhiri pemberontakannya.

Berakhirnya pemberontakan Daud Beureueh tidak serta merta menghilangkan konflik di

bumi Aceh. Bahkan dapat dikatakan konflik pasca-pemberontakan Daud Beureueh menjadi

laten dan terakumulasi saat Hasan Tiro memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 (Schulze, 2004: 4). Pemberontakan Hasan Tiro terjadi

saat Pemerintah Soeharto sedang fokus dalam pembangunan ekonomi yang membutuhkan

stabilitas politik, sehingga pusat tidak pernah menoleransi adanya aspirasi daerah yang

menuntut otonomi, apalagi memisahkan diri (Djumala, 2013; 33). Pembangunan ekonomi

yang dicanangkan oleh pusat pada masa Orde Baru terkesan sentralistik sehingga fokus

pembangunan hanya dirasakan oleh pusat –dalam hal ini Jawa. Daerah lain hanya dijadikan

“mesin keruk” dari limpahan kekayaan alam yang dimilikinya –khususnya Aceh.

Untuk mengendalikan sekaligus menumpas pemberontakan GAM, pemerintah pusat

mengeluarkan kebijakan hard power (menggunakan kekuatan militer) melalui operasi militer

dan menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer pada tahun 1989 (Djumala, 2013: 33-

34). Pemberontakan GAM dapat dikendalikan meskipun tidak dapat ditumpas sama sekali.

Konflik Aceh hanya menyisakan dendam di benak rakyat Aceh yang menjadi korban selama

pemberlakuan operasi militer selama 10 (sepuluh) tahun di Aceh (Marzuki dan Warsidi,

2011: 29-30).

Saat reformasi bergulir, pemerintahan Orde baru jatuh pada tanggal 24 Mei 1998

menjadikan pola konflik di Aceh ikut berubah. Setelah Jenderal TNI Wiranto selaku

Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) mencabut status Daerah Operasi

Militer (DOM) bagi Aceh, konflik yang semula pada daerah laten akhirnya muncul ke

permukaan. GAM kembali mengonsolidasikan kekuatannya dengan melakukan propaganda

di masyarakat Aceh. Luka lama akibat pemberlakuan DOM di Aceh pada akhirnya GAM

7

dapat menggerakkan massa untuk menuntut referendum pada tanggal 8 November 1999.

Rapat akbar rakyat Aceh yang dilangsungkan di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda

Aceh tersebut melibatkan lebih kurang satu juta jiwa rakyat Aceh (Marzuki dan Warsidi,

2011: 30). Tuntutan rakyat Aceh saat itu hanya satu, yaitu, merdeka dari Republik Indonesia.

Aceh adalah daerah yang penting bagi Indonesia. Sebagai “daerah modal” tidak serta

merta Indonesia dengan mudah mengabulkan tuntutan rakyat Aceh tersebut. Berbagai pola

kebijakan dilahirkan agar GAM mau menanggalkan tuntutan merdekanya dan mau

melakukan gencatan senjata. Sejak Habibie menjadi presiden Indonesia hingga Presiden

Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pendekatan perdamaian yang dilakukan juga berbeda.

Darmansyah Djumala (2013: 4-6) mencatat setidaknya terdapat dua pola penyelesaian konflik

Aceh sejak reformasi bergulir di Indonesia, yaitu, hard power dan soft power. Konsep ini

merupakan konsep dari Joseph Nye, Jr (2004) yang menunjukkan bahwa hard power

mengarah kepada penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan konflik. Pola ini dipakai

oleh Presiden Megawati saat menetapkan Darurat Militer untuk Aceh. Sedangkan soft power

merupakan penggunaan cara-cara dialogis untuk menyelesaikan konflik. Pola ini pula yang

dipakai oleh Presiden SBY untuk menyelesaikan konflik Aceh hingga berakhir dengan

ditandatanganinya MoU Helsinki pada tanggl 15 Agustus 2005.

MoU Helsinki; Sebuah Kebijakan Perdamaian

Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM menjadi babak baru bagi rakyat

Aceh. Meskipun perjanjian di Helsinki, Finlandia bukan perjanjian damai pertama yang

dilakukan oleh kedua belah pihak dalam upaya menghentikan konflik di Aceh. Tercatat dua

kali perundingan untuk menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM

dilakukan. Pertama, pada 12 Mei 2000 perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM

melahirkan kesepakatan Joint Understanding on Humanitarian Pause for Acehi (Jeda

Kemanusiaan). Perundingan itu sendiri difasilitasi oleh Henry Dunant Center, sebuah

lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di Jenewa, Swiss (Djumala, 2013: 41).

Perundingan pertama ini dimungkinkan terjadi karena perubahan struktur tatanegara

Indonesia akibat bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Kekuatan militer juga dirasa sangat

lemah apa lagi kepercayaan masyarakat kepada militer sudah sangat buruk. Dalam kondisi

inilah GAM merasa mau untuk duduk semeja bersama Pemerintah Indonesia demi

memikirkan jalan keluar bagi konflik Aceh dan dalam upaya menciptakan kesejahteraan bagi

rakyat Aceh.

8

Terjadinya perundingan Jeda Kemanusiaan ini menghadirkan perkembangan penting

dalam konflik Aceh, baik bagi Indonesia maupun bagi GAM. Bagi Pemerintah Indonesia,

perundingan ini setidaknya menjadi babak baru yang penting dalam upaya menyelesaikan

konflik Aceh yang selama 23 tahun tidak kunjung usai di bawah rezim Orde Baru. Selain itu,

perundingan ini juga sebagai upaya untuk mempertahankan Aceh sebagai bagian Republik

Indonesia, setelah Timor Timur lepas dari Indonesia (Huber, 2008 dalam Aguswandi dan

Large, 2008:17). Dari pihak GAM sendiri, Jeda Kemanusiaan memiliki arti penting terkait

dengan pembangunan citra GAM di mata internasional. Bersediannya Pemerintah Indonesia

untuk duduk dengan GAM mengindikasikan bahwa GAM merupakan entitas penting dalam

negara yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, bahkan kedudukannya sama dengan

Pemerintah Indonesia. Meskipun pada dasarnya konflik Aceh merupakan konflik asimetris,

yaitu, konflik yang terjadi antara satu entitas negara yang penting (seperti TNI) dengan

gerakan atau kelompok yang tidak memiliki pengakuan sebagai entitas dalam sebuah negara

(Miall, 1999: 12).

Pada kenyataannya, Jeda Kemanusiaan ini tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan

adanya upaya dari pihak GAM memanfaatkan kondisi ini guna menggalang dukungan dan

melakukan provokasi dengan mengibarkan bendera GAM serta memainkan sentiment agama.

GAM juga memanfaatkan Jeda Kemanusiaan untuk memperkuat perjuangan mereka (Tippe,

2000: 89). Sementara itu, TNI dan Polri diinstruksikan untuk tidak melakukan tindakan yang

dapat merusak Perjanjian Jeda Kemanusiaan. Pada akhirnya bentuk provokasi GAM ini

memicu kembali kekerasan TNI/Polri dengan GAM (Djumala, 2013: 44).

Setelah Jeda Kemanusiaan gagal untuk menciptakan damai yang berkelanjutan di Aceh,

pada tahun 2002 saat itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarno Putri

mengeluarkan kebijakan untuk mengajak GAM kembali berunding. Perundingan kedua

kalinya ini juga difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC). Kedua belah pihak, Pemerintah

Indonesia dan GAM duduk kembali satu meja di Jenewa, Swiss. Pada tanggal 9 Desember

2002, di tengah kondisi kekerasan masih terjadi di Aceh, Pemerintah Indonesia dan GAM

bersepakat melahirkan satu perjanjian yang dikenal dengan nama Cessation of Hostilities

Agreement (CoHA) (Marzuki dan Warsidi, 2011: 30-31, dan Djumala, 2013: 48). Isi dari

kesepakatan itu antara lain mengatur tentang demiliterisasi kedua belah pihak, penyaluran

bantuan kemanusiaan, dan pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat perang. Untuk

mengawasi pelaksanaan CoHA tersebut, dibentuk komite bersama yang dinamakan Joint

Security Committee (JSC) terdiri dari perwakilan tiga pihak, yaitu, perwakilan Pemerintah

Indonesia, perwakilan GAM, dan perwakilan HDC.

9

CoHA tidak ubahnya Jeda Kemanusiaan, sebagai harapan damai bagi rakyat Aceh juga

ikut lenyap. Kegagalan CoHA disebabkan karena berbeda interpretasi tentang isi CoHA. Bagi

Pemerintah Indonesia, penerimaan CoHA oleh GAM berarti menerima otonomi khusus yang

diberikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2001. Sedangkan

bagi GAM, undang-undang tersebut adalah hasil rancangan Pemerintah Indonesia tanpa

melibatkan rakyat Aceh (dalam hal ini GAM) dalam perumusannya. Pada akhirnya, GAM

tetap pada tujuan perjuangannya, Aceh merdeka lepas dari Republik Indonesia.

Perbedaan persepsi antara Pemerintah Indonesia dengan GAM ini membuat perundingan

menjadi buntu, pada akhirnya membuat Pemerintah Indonesia meningkatkan kekuatan militer

di Aceh untuk menumpas GAM. Bagi pihak GAM, tidak ada gelagat untuk melucuti senjata

sesuai kesepakatan CoHA. Mengatasi memburuknya kondisi di Aceh, Pemerintah Indonesia

meminta siding di Tokyo, Jepang pada tanggal 25 April 2003. Akan tetapi perundingan gagal

dilaksanakan karena beberapa orang perwakilan GAM yang akan terbang ke Tokyo di

tangkap oleh militer Indonesia. Pada akhirnya, konflik terus berlanjut tanpa ada jalan keluar

sedikitpun (Marzuki dan Warsidi, 2011: 80-81).

Saat terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, SBY dan Jusuf

Kalla mulai mencari kebijakan terbaik bagi resolusi konflik Aceh. Pola-pola penyelesaian

konflik melalui pengerahan militer mulai diubah menjadi pola perundingan dan dialog. Pola

ini dirasa ampuh untuk menyelesaikan konflik Aceh karena beberapa alasan. Pertama, Aceh

pada akhir tahun 2004 dilanda bencana dahsyat, gempa berkekuatan 8,7 SR disusul tsunami

yang meluluhlantakkan Aceh. Bencana ini menjadi tragedi kemanusiaan baru di abad ke-21.

Bencana maha-dahsyat ini menelan korban jiwa sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang

hilang, dan 174.000 orang hidup ditenda-tenda pengungsian. Dari segi materil, 120.000

rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan rusak, 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693

fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur,

dan sebanyak 2.224 sekolah rusak atau hancur. Kerugian saat itu mencapai USD 4,5 milyar

(Marzuki dan Warsidi, 2011: 31-32).

Pasca-tsunami, Pemerintah Indonesia berupaya segera membantu para korban untuk

keluar dari bencana. Akan tetapi masalah yang muncul adalah sulitnya akses ke wilayah-

wilayah korban tsunami karena masih dikuasai oleh GAM. Bahkan GAM memiliki

persenjataan yang cukup memadai hasil rampasan saat tsunami terjadi karena beberapa

gudang senjata TNI/Polri di Aceh juga ikut terkena dampak tsunami. Untuk efektifitas

mitigasi bencana dan kelancaran aktifitas pemulihan korban tsunami, maka diperlukan suatu

kondisi yang kondusif. Kondisi ini sendiri akan didapatkan jika perdamaian tercapai di Aceh.

10

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia meminta GAM untuk berunding kembali dengan

mediasi Crisis Management Intiative (CMI) di Helsinki, Finlandia.

Kedua, terpilihnya SBY dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

melalui pemilihan umum langsung. Bagi GAM, terpilihnya SBY-JK saat itu menjadi awal

babak baru bagi kejelasan perjuangan GAM. Pihak GAM menyadari bahwa kekuatan militer

GAM makin berkurang akibat diberlakukannya Darurat Militer oleh Presiden Megawati. Saat

diajak untuk berunding kembali oleh Pemerintah Indonesia, GAM langsung menyetujuinya.

Di mata GAM, SBY-JK merupakan personal yang memiliki komitmen yang kuat untuk

menciptakan perdamaian bagi Aceh, bahkan saat keduanya masih menjabat sebagai menteri

koordinator dalam kabinet Megawati. Beberapa kali Menteri SBY dan JK mengusulkan untuk

melakukan pendekatan dialog yang mengedepankan kemanusiaan dan martabat bangsa Aceh.

Jika dilihat dari konsep yang ditawarkan Nye (2004), pola penyelesaian konflik yang

dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK untuk menyelesaikan konflik Aceh adalah soft power

dibandingkan hard power. Untuk lebih jelas mengenai perbedaan antara keduanya, lihat tabel

berikut:

Tabel 1

Dimensi Hard Power dan Soft Power

Dimensi Hard Power Soft Power

1. Cara/Pendekatan Ancaman

Paksaan

Kekuatan

Persuasi

Dialog

Perundingan

2. Instrumen Suap

Sanksi

Militer

Kebudayaan

Nilai/Values

Citra

3. Kebijakan Aliansi

Perang

Kerjasama

Diplomasi

4. Hasil/Dampak Resistensi

Pemberontakan

Peperangan

Akomodasi

Kesepakatan

Perdamaian Sumber: Dikembangkan dari Joseph Nye (2004) dan Djumala (2013)

Perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM kali ini difasilitasi oleh Martti

Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur Crisis

Management Initiative. Perundingan ini menghasilkan Memorandum of Understanding

(MoU) yang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk beberapa hal, yaitu, Pertama, Aceh

memiliki identitas kultural dengan penerapan syari‟at Islam dan Lembaga Wali Nanggroe.

Kedua, Aceh mendapat keadilan ekonomi yaitu pembagian hasil minyak bumi dan gas

sebesar 70 persen. Ketiga, rakyat Aceh mendapatkan hak politiknya melalui pembentukan

11

Partai Politik Lokal (Parlok). Ketiga butir inilah yang kemudian diatur dalam Undang-

Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Politik Desentralisasi dan Otonomi Khusus Bagi Aceh

Desentralisasi pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan

kesatuan nasional dengan cara memberi wewenang kepada daerah yang lebih luas agar

daerah tersebut merasa berkepentingan untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan pusat

(Djumala, 2013: 94). Menurut International Encyclopedia of Social Science (1968),

desentralisasi adalah sebuah terminologi yang merefer kepada transfer kekuasaan-kekuasaan

dari sebuah pemerintah pusat kepada otoritas yang berfungsi secara spesial dan legal personal

berbeda (sebagai contoh, peningkatan tingkat otonomi dari sebuah pemerintah daerah atau

sebuah perusahaan publik atau BUMN) (Abdullah, 2005: 58).

Dalam konteks Indonesia, sistem desentraliasi terdahulu yang termuat dalam Undang-

Undang No. 5 tahun 1974 terwarnai oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kewenangan

antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Simamarta (2002) dalam Abdullah (2005: 57)

pada waktu itu pemerintah pusat secara eksesif mengintervensi kebijakan otonomi daerah

tidak hanya pada tahapan formulasi dan implementasi tapi juga tahapan evaluasi kebijakan.

Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah adalah untuk mendorong pemberdayan

masyarakat, membentuk potensi dan kreativitas masyarakat dan untuk meningkatkan

partisipasi publik dalam pembangunan daerah (UU No. 22/1999). Terlebih tujuan otonomi

daerah untuk membawa pemerintah lebih dekat kepada publik sehingga pelayanan publik

oleh pemerintah daerah lebih efektif dan efisien dan untuk mengembalikan kodrat daerah

yang selama ini telah terlalu didominasi pemerintah pusat. Senada dengan hal tersebut,

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai acuan terbaru

pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999 juga menggunakan asas otonomi dalam

kerangka desentralisasi dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsep dasar dari desentralisasi adalah menciptakan melimpahkan kewenangan

pemerintah pusat baik secara administrasi atau secara politik kepada daerah sehingga daerah

dapat menjalankan roda pemerintahan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya dengan

kemandiriannya. Desentralisasi digunakan untuk meredam potensi konflik di masyarakat,

khususnya masyarakat daerah. Akan tetapi kebijakan desentralisasi ini tidak serta merta

berlaku bagi semua negara guna meredam konflik. Hal ini dapat dipahami karena menurut

Brancati (2009: 8-9) desentralisasi memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif dari

desentralisasi adalah bahwa ia dapat meredam konflik dengan cara memberi rakyat ruang

12

lebih luas untuk ikut dalam perumusan kebijakan. Dengan cara itu diharapkan di kalangan

rakyat di daerah akan tumbuh rasa memiliki terhadap sistem politik nasional sehingga kecil

kemungkinan mereka akan memisahkan diri dari pusat.

Sedangkan sisi negatif dari desentralisasi adalah tidak ada jaminan bahwa desentralisasi

dapat meredam konflik atau pergolakan di daerah. Di beberapa kasus bahkan desentralisasi

dapat memicu terjadinya konflik karena tidak adanya rasa persatuan dan komitmen yang

dimiliki oleh daerah terhadap pusat. Desentralisasi dapat mendorong munculnya gerakan

separatisme akibat munculnya identitas etnik yang berbasis kedaerahan. Kebijakan

desentralisasi juga tidak luput dari tarik ulur kepentingan politik elite daerah sehingga dapat

memicu konflik horizontal di masyarakat. Banyaknya pemekaran daerah yang terjadi di

Indonesia saat ini bisa jadi merupakan dampak negatif dari desentralisasi yang “kebablasan”.

Tujuan desentralisasi untuk menciptakan stabilitas politik dapat diperluas cakupannya

dalam konteks konflik Aceh. Kebijakan desentralisasi harus dilakukan dalam konteks

penyelesaian konflik dalam bentuk pemberian otonomi khusus kepada Aceh jika

desentralisasi itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian. Hal pertama yang perlu

dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dalam wilayah konflik adalah menyelesaikan

konflik itu sendiri melalui sebuah kebijakan resolusi konflik. Resolusi konflik yang dilakukan

oleh SBY-JK adalah melakukan dialog atau negosiasi dengan mendiskusikan kembali

Undang-Undang No. 18 tahun 2001, sehingga dicapai kesepakatan bersama dan bukan

merupakan keputusan sepihak dari Pemerintah Indonesia sebagai mana perudingan-

perundingan masa lalu (Djumala, 2013: 96).

Melalui dialog Pemerintah Indonesia menawarkan suatu bentuk otonomi khusus yang

termaktub dalam MoU Helsinki dan selanjutnya menjadi pijakan awal bagi lahirnya Undang-

Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Keluarnya peraturan perundang-

undangan ini menjadi langkah awal bagi Aceh untuk menata diri setelah konflik dan bencana

tsunami. Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh yaitu kewenangan untuk memrintah

sendiri kecuali dalam hal politik luar negeri, pertahanan, dan fiskal. Jika melihat konteks

pemberian kewenangan bagi Aceh melalui otonomi khusus yang termaktub dalam MoU dan

UUPA ini tidak berbeda dengan isi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Dalam

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Pasal 10 ayat 2 dan 3 menyatakan: “Daerah diberi

otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

berdasarkan asas otonomi “kecuali untuk urusan” politik luar negeri, pertahanan keamanan,

moneter dan fiskal, serta peradilan dan agama.”

13

Otonomi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada satuan Pemerintahan Daerah Aceh

adalah otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan kekhususan atau

keistimewaan yang dimiliki daerah Provinsi Aceh baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial

budaya; kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan

fiskal nasional, dan urusan tertentu di bidang agama. Konsep otonomi tersebut didasarkan

pada Pasal 18, Pasal 18a dan Pasal 18b UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara

teoritik, konsep otonomi seperti itu lazim disebut sebagai model asymmetric decentralization

(Wignjosoebroto, 2005: 562).

Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik berarti tanggung jawab bagi

pemerintahan Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis dan

mengelola pemerintahan daerah sesuai prinsip good governance, yaitu, transparan, akuntabel,

profesional, efisien, dan efektif. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang ekonomi berarti

tanggung jawab bagi Pemerintahan Aceh dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam

daerah Aceh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Aceh. Pemberian otonomi seluas-

luasnya di bidang sosialbudaya berarti tanggung jawab bagi Pemerintahan Daerah Aceh

dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Aceh (Departemen Dalam Negeri, 2006: 1).

Undang-Undang Pemerintahan Aceh; Sumber Konflik Baru

Sejak awal diundangkannya, Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah

Aceh sudah menuai kontroversi. Meskipun awalnya semua pihak (Pemerintah Indonesia dan

GAM) dapat menerima isi dari undang-undang tersebut, akan tetapi di kemudian hari muncul

desakan khususnya dari pihak mantan anggota GAM untuk merevisi kembali subtansi isi dari

undang-undang tersebut. Salah satu alasan untuk melakukan revisi terhadap UUPA adalah

karena ketidaksesuaian beberapa isinya dengan MoU Helsinki.

Lazim diketahui bahwa MoU Helsinki adalah kesepakatan antara Pemerintah Indonesia

dengan GAM untuk menghentikan konflik di Aceh guna menata kembali Aceh menuju

kesejahteraan. Dalam pandangan ini, bahwa MoU Helsinki merupakan dasar bagi setiap

kebijakan yang akan dikeluarkan kemudian oleh Pemerintah Indonesia untuk Aceh. Djumala

(2013: 206-207) mencatat beberapa kesenjangan antara UUPA dengan MoU Helsinki,

sebagai berikut:

14

Tabel 2

Kesenjangan antara MoU Helsinki dan UUPA No. 11 tahun 2006

MoU Helsinki UUPA No. 11 tahun 2006 Implikasi

1. Pasal 1 mengatur

tentang

Penyelanggaraan

“Pemerintahan di

Aceh” (dalam bahasa

Inggris Governing of

Aceh).

1. UUPA tidak

menggunakan istilah

“Pemerintahan di Aceh”,

tetapi “Pemerintah

Aceh” (Pasal 1 ayat 6

dan 7).

1. Istilah “Pemerintah

Aceh” mengandung

nuansa “self

government”, istilah

yang tidak ada dalam

MoU Helsinki.

2. Pasal 1.1.1.

mengamanatkan UU

baru tentang

Penyelenggaraan

Pemerintahan di Aceh

akan diundangkan.

2. Dalam konsiderans tidak

merujuk MoU Helsinki

sebagai dasar

penyusunan Undang-

Undang.

2. Peraturan lain turunan

UUPA No. 11 tahun

2006 dapat saja tidak

sesuai dengan MoU

Helsinki.

3. Pasal 1.1.2.a:

Kewenangan Pusat

adalah hubungan luar

negeri, pertahanan luar,

keamanan nasional, hal

ihwal moneterdan

fiskal, kekuasaan

hakim, dan kebebasan

beragama.

3. Pasal 7 ayat 2:

Kewenangan Pusat

adalah urusan

pemerintahan yang

bersifat nasional, politik

luar negeri, pertahanan,

kemanan, yustisi,

moneter dan fiskal

nasional, dan urusan

tertentu dalam bidang

agama.

3. Penambahan kata

“urusan bersifat

nasional” pada UUPA

memungkinkan

perluasan kewenangan

Pusat atas Aceh. Tidak

adanya kata “luar” pada

kata pertahanan luar di

UUPA menjadi

justifikasi Pusat untuk

menempatkan militer di

luar kebutuhan di Aceh.

4. Pasal 1.1.2.a: Aceh

akan melaksanakan

kewenangan dalam

semua sektor publik

yang diselenggarakan

bersamaan dengan

administrasi sipil dan

peradilan.

4. Pasal 11 ayat 1:

Pemerintah menetapkan

norma, standar,

prosedur, dan

pengawasan terhadap

pelaksanaan urusan oleh

Pemerintah Aceh dan

pemerintah

kabupaten/kota.

4. Penetapan

norma,standar,

prosedur, dan

pengawasan oleh Pusat

akan membatasi hak

dan kewenangan khusus

Pemerintahn Aceh

dalam kegiatan

kepemerintahan di

Aceh.

5. Pasal 1.1.2.b:

Persetujuan

internasional terkait

Aceh akan berlaku

dengan “konsultasi dan

persetujuan” legislatif

Aceh.

5. Pasal 8 ayat 1:

Persetujuan

internasional yang

berkaitan langsung

dengan Pemerintah

Aceh dilakukan dengan

“konsultasi dan

pertimbangan” DPRA.

5. Penggantian kata

“persetujuan” dengan

“pertimbangan”

mengurangi

kewenangan, derajat

otonomi, dan makna

self-government bagi

Aceh.

6. Pasal 1.1.2.c:

Keputusan DPR-RI

terkait Aceh dilakukan

dengan “konsultasi dan

6. Pasal 8 ayat 2: Rencana

UU oleh DPR yang

berkaitan langsung

dengan Pemerintah

6. Penggantian kata

“persetujuan” dengan

“pertimbangan”

mengurangi

15

persetujuan” legislatif

Aceh.

Aceh dilakukan dengan

“konsultasi dan

pertimbangan” DPRA.

kewenangan, derajat

otonomi, dan makna

self-government bagi

Aceh.

7. Pasal 1.1.2.d:

Kebijakan administratif

oleh Pemerintah

Indonesia berkaitan

dengan Aceh

dilaksanakan dengan

“konsultasi dan

persetujuan” Kepala

Pemerintah Aceh.

7. Pasal 8 ayat 3:

Kebijakan administratif

berkaitan langsung

dengan Aceh yang akan

dibuat Pemerintah

dilakukan dengan

“konsultasi dan

pertimbangan”

Gubernur.

7. Penggantian kata

“persetujuan” dengan

“pertimbangan”

mengurangi

kewenangan, derajat

otonomi, dan makna

self-government bagi

Aceh.

8. Pasal 1.1.3: Nama

Aceh dan gelar pejabat

senior yang dipilih

akan ditentukan oleh

legislatif Aceh setelah

Pemilu yang akan

datang.

8. Pasal 251 ayat 3: Nama

dan gelar pejabat

dimaksud ditetapkan

dengan Peraturan

Pemerintah berdasarkan

usul dari DPRA dan

Gubernur Aceh.

8. Mengurangi

kewenangan DPRA dan

Gubernur Aceh karena

keputusan final ada di

tangan pusat.

9. Pasal 1.3.1: Aceh

berhak memeroleh

dana melalui hutang

luar negeri.

9. Pasal 186 ayat 1:

Pemerintah Aceh dan

kabupaten/kota dapat

memeroleh pinjaman

dari Pemerintah yang

dananya bersumber dari

hutang luar negeri

dengan persetujuan

Menteri Keuangan.

9. Aceh tidak bisa

meminjam langsung

dari luar negeri, harus

melalui Pusat sehingga

mengurangi

kewenangan Aceh

untuk memeroleh dana

hutang luar negeri.

10. Pasal 4.1.1: Tentara

akan bertanggungjawab

menjaga pertahanan

eksternal Aceh. Dalam

keadaan waktu damai

yang normal, hanya

tentara organik yang

akan berada di Aceh.

10. Pasal 202 ayat 1:

Tentara Nasional

Indonesia

bertanggungjawab

menyelenggarakan

pertahanan negara dan

tugas lain di Aceh sesuai

dengan peraturan

perundang-undangan.

10. Tidak ada kata

“pertahanan eksternal”

dan tambahan kata

“tugas lain”

memungkinkan militer

ikut terlibat dalam

keamanan internal

Aceh.

Sumber: Dikembangkan dari Djumala (2004: 206).

Jika dilihat balik ke belakang, penyusunan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh merupakan wujud dari komitmen Pemerintah yang disampaikan GAM

sebelum perundingan Helsinki, yaitu, Pemerintah memberikan otonomi yang luas bagi Aceh

untuk menyelenggarakan pemerintahan, ekonomi, politik, serta sosial dan budaya secara

mandiri tapi tetap dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi jika

melihat beberapa perbedaan antara UUPA dan Mou Helsinki seperti yang terlihat dalam tabel

maka dapat dikataka bahwa terdapat kesenjangan interpretasi antara Pemerintah dan GAM

16

terhadap kesepakatan yang dicapai dalam MoU Helsinki itu sendiri. Menurut Djumala (2013:

215) kesenjangan tersebut terjadi setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu, pertama adanya

sikap inkonsistensi yang ditunjukkan oleh Indonesia, baik oleh delegasi RI pada perundingan

Helsinki maupun oleh DPR-RI. Di satu pihak tim negosiator Indonesia yang dipimpin oleh

Menteri Koordinator Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Hamid Awaluddin, mengartikan

Goverming Aceh sebagai “Pemerintahan di Aceh”, bukan “Pemerintahan Aceh”. Namun di

pihak lain, DPR-RI di dalam UUPA menggunakan judul “Pemerintahan Aceh”. Penggunaan

istilah “Pemerintahan Aceh” diartikan oleh GAM bahwa Aceh memiliki pemerintah sendiri

(self-government), berbeda dengan daerah atau propinsi lainnya di Indonesia.

Dengan pemahaman seperti ini, GAM menilai bahwa banyak pasal dalam UUPA itu tidak

konsisten dengan jiwa MoU Helsinki. Jika dalam MoU Helsinki pasal-pasalnya memberikan

nuansa pemerintahan sendiri dengan kewenangan yang luas bagi Aceh. Sedangkan setiap

pasal dalam UUPA, kewenangan dan otonomi yang diberikan kepada Aceh tidak berbeda

dengan yang diberikan kepada daerah lain.

Kedua, kesenjangan interpretasi juga disebabkan oleh taktik yang dijalankan oleh juru

runding Indonesia pada perundingan di Helsinki. Pemerintah SBY-JK memang memiliki

komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan jalan damai dan

perundingan. Dalam konteks inilah justru juru runding Indonesia memainkan taktik: “sepakat

dulu, substansi kemudian”. Artinya, perundingan di Helsinki diupayakan sedapat mungkin

agar dapat menyetujui kesepakatan yang bersifat umum dulu; sedangkan penjabarannya ke

dalam substansi yang lebih detail akan diserahkan kepada DPR-RI. Inilah sebabnya mengapa

delegasi Indonesia di perundingan Helsinki itu setuju saja dengan istilah Goverming Aceh

yang diartikan oleh GAM sebagai “Pemerintahan Aceh” yang memiliki nuansa self-

government.

Melihat besarnya kesenjangan interpretasi antara Pemerintah Indonesia dengan GAM

terhadap MoU Helsinki dan UUPA menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan kemudian akan

semakin jauh dari substansi isi MoU dan UUPA. Konsep self-government akan menjadi

pusaran pertikaian pasca-MoU Helsinki. Kebijakan turunan yang dikeluarkan kemudian

selalu berbenturan dengan UUPA, misalnya, Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun

Bendera dan Lambang Aceh. Dua Qanun (peraturan daerah) ini sudah disahkan oleh legislatif

Aceh, akan tetapi terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam isinya dengan pasal-pasal UUPA.

Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh dua hal, pertama, dalam merumuskan kebijakan

(qanun), legislatif Aceh menggunakan pedoman MoU Helsinki yang memberikan

kewenangan luas bagi Pemerintahan Aceh sesuai dengan konsep self-government yang

17

ditawarkan GAM saat perundingan Helsinki dulu. Kondisi ini memungkinkan karena 33 kursi

DPRA dikuasai oleh Partai Aceh. Tidak hanya DPRA, DPR Kabupaten/Kota seluruh Aceh

juga didominasi oleh perwakilan Partai Aceh yang menjadi kendaraan politik mantan GAM.

Sudah sejak awal mantan GAM berusaha mengawal setiap pasal MoU Helsinki untuk

dilaksanakan secara baik.

Kedua, Pemerintah Indonesia memakai UUPA sebagai tolak ukur pengesahan qanun

Aceh yang baru. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga menggunakan peraturan perundang-

undangan lainnya untuk menilai apakah qanun Aceh yang disahkan oleh legislatif Aceh

tersebut sudah sesuai dan laik untuk diundangkan. Dalam hal inilah konflik baru terjadi,

akibat kesenjangan interpretasi dan perbedaan penggunaan dasar bagi rumusan peraturan

turunan. Kondisi lebih parahnya adalah bahwa MoU Helsinki tidak dijadikan konsideran

(dasar hukum) bagi perumusan UUPA, kondisi ini pulalah yang mengecewakan pihak GAM

dan rakyat Aceh.

Aceh Pasca-MoU Helsinki

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki sebagai kesepakatan untuk

menghentikan konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM tidak dapat dijadikan jaminan

perdamaian hakiki tercipta di Aceh. Untuk tataran makro, konflik memang sudah berakhir.

Selesainya konflik bukan berari berakhirnya konflik, justru setelah hampir delapan tahun

sejak kesepakatan damai ditandatangani, pola konflik di Aceh berubah. Jika dulu konflik

yang terjadi bersifat vertikal (antara Rakyat Aceh yang diwakili GAM dengan Pemerintah

Indonesia), sekarang yang justru terjadi adalah konflik Horizontal. Konflik horizontal ini

terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh

Pemerintah Aceh tidak sesuai dengan kehendak dan kebutuhan rakyat Aceh.

Masalah yang muncul kemudian adalah tarik ulur kepentingan dalam perumusan

kebijakan untuk Aceh. Tarik ulur ini terjadi baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Aceh dan legislatif Aceh, Pemerintah Aceh dengan legislatif Aceh, atau pun antar sesame

legislatif Aceh. Hal ini dimungkinkan karena kebijakan publik merupakan lapangan konflik

kepentingan aktor-aktor (eksekutif, legislatif, ataupun kelompok penekan). Perumusan

kebijakan publik merupakan lapangan bagi aktivitas politik, sehingga aktor politik saling

tarik ulur dalam perumusannya (Nugroho, 2012: 547).

Tarik ulur kepentingan dan politik sudah terlihat sejak awal perundingan MoU Helsinki,

dimana terdapat perdebatan tentang makna self-government antara Pemerintah Indonesia

dengan GAM. Pemahaman elite GAM, makna self-government adalah model pemerintahan

18

negara bagian seperti dalam negara federal. Sedangkan oleh Pemerintah Indonesia makna

self-government bermakna bahwa Aceh menerima konsep otonomi khusus yang luas

(Ratnawati, 2007: 50-51). Menurut pandangan ini dapat dilihat bahwa Pemerintah mencoba

membatasi kewenangan Pemerintah Aceh. Upaya untuk membatasi kewenangan ini

ditunjukkan oleh Pemerintah melalui UUPA.

Dalam hal konflik interpretasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Aceh

berlanjut sampai kepada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan setelahnya. Pertama,

Pemerintah Pusat merekomendasikan revisi untuk dua qanun (Peraturan Daerah) Aceh, yaitu,

Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Aceh

Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh. Menurut pandangan Pemerintah

Pusat, beberapa isi dari Qanun Lembaga Wali Nanggroe bertentangan dengan isi UUPA yang

menjadi dasar bagi pembuatan peraturan daerah (qanun). Demikian pula dengan Qanun

Bendera dan Lambang Aceh, oleh Pemerintah Pusat direkomendasikan untuk diubah dan

disesuaikan dengan UUPA serta Peraturan Presiden Tentang Bendera dan Lambang Daerah.

Konon lagi Bendera dan Lambang Aceh tersebut sangat mirip dengan bendera GAM yang

oleh Pemerintah Indonesia dikatakan sebagai bendera gerakan separatis. Sedangkan bagi

Pemerintah Aceh, dua qanun tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan rakyat Aceh.

Argumentasi Pemerintah Aceh mengatasnamakan bahwa Wali Nanggroe dan Bendera Aceh

merupakan sejarah panjang yang diperjuangkan oleh rakyat Aceh.

Konflik kepentingan ini sangat memungkinkan terjadi karena masing-masing pihak

merasa memiliki kekuatan berdasarkan undang-undang untuk membuat kebijakan. Dalam

kajian kebijakan publik, perumusan kebijakan dapat dilakukan oleh eksekutif, legislatif,

kelompok kepentingan, partai politik, lembaga peradilan, dan instansi administratif

(Agustino, 2012: 29-38). Untuk konteks Aceh, MoU Helsinki dan UUPA menjadi dasar

gerak bagi elite Pemerintah Aceh untuk membuat kebijakan. Kebijakan di Aceh sedikit

banyak juga dipengaruhi oleh keberadaan Partai Politik Lokal. Parlemen Aceh di dominasi

oleh elite Partai Politik Lokal, yaitu, Partai Aceh yang notabenenya menjadi kendaraan

politik bagi mantan GAM. Elite Partai Aceh-lah yang ngotot memperjuangankan lahirnya

Qanun Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh.

Selama ini konflik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh hanya

merupakan simbol, belum pada tahap kesejahteraan rakyat Aceh. Berdasarkan MoU Helsinki,

untuk Aceh akan dibuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi guna memenuhi hak rakyat

Aceh yang menjadi korban selama konflik. Komisi ini juga berfungsi sebagai tim pencari

fakta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta dapat mengajukan gugatan hukum baik

19

ke pihak Pemerintah Pusat (TNI/Polri) dan pihak GAM. Akan tetapi qanun tentang KKR

tersebut sampai saat ini belum dipenuhi. Politik lempar bola dilakukan oleh elite Aceh

dengan mengatakan bahwa Pemerintah Pusat belum menyusun Peraturan Presiden sebagai

dasar pembuatan peraturan daerah (qanun).

Kebijakan lain yang belum dikeluarkan oleh pemerintah adalah kebijakan tentang hasil

bagi minyak bumi dan gas sebesar 70 persen. Kebijakan ini sangat tepat jika memang

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh konsisten untuk menyejahterakan rakyat Aceh.

Logika sederhananya seperti, jika rakyat aceh makmur karena pembangunan ekonomi yang

dibiayai dari hak hasil bagi minyak bumi dan gas, maka rakyat Aceh tidak akan mendukung

upaya kelompok yang bersitegang dengan Pusat karena hal itu akan menciptakan konflik baru

yang akan mengorbankan kesejahteraan yang sudah mereka nikmati.

Setelah konflik selesai dan Aceh damai yang diinginkan oleh rakyat Aceh pasca-MoU

Helsinki adalah terjaminnya kehidupan yang lebih baik. Ketika kehidupan rakyat Aceh

menjadi lebih baik maka mereka tidak akan mengorbankan kehidupan itu hanya untuk

mendukung kelompok yang berupaya untuk menghidupkan kembali ide referendum dan

merdeka, sehingga memicu konfli kembali. Perdamaian di Aceh pasca-MoU Helsinki dapat

berkesinambungan jika Pusat mempercepat realisasi otonomi atau keistimewaan Aceh di

bidang ekonomi agar kesejahteraan rakyat Aceh meningkat, sehingga menjauhkan mereka

dari ide-ide kelompok tertentu yang berpotensi untuk menimbulkan konflik baru dengan

pusat. Sebaliknya, elite Partai Aceh dan GAM dapat mengoptimalkan keistimewaan ekonomi

untuk kesejahteraan rakyat Aceh, bukan hanya fokus kepada simbol-simbol daerah yang

belum tentu menyejahterakan rakyat Aceh bahkan bisa menimbulkan konflik baru antar

sesama rakyat Aceh.

20

Daftar Pustaka

Abdullah, Sait. 2005. Desentralisasi; Konsep, Teori, dan Perdebatannya. Jurnal

Desentralisasi Nol. 6, No. 4. PDF.

Aguswandi & Large, Judith. 2008. Accord, Reconfiguring Politics; The Indonesia-Aceh

Peace Process. London: Conciliation Resources.

Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Ali, Fachry, dkk. 2008. Kalla dan Perdamaian Aceh. Lembaga Studi dan Pengembangan

Etika Usaha (Lspeu) Indonesia.

Brancati, Dawn. 2009. Peace by Design; Managing Intrastate Conflict throught

Decentralization. Oxford University Press.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Naskah Akademik Rancangan

Undang-Undang Pemerintahan Aceh. PDF.

Djumala, Darmansjah. 2013. Soft Power Untuk Aceh; Resolusi Konflik dan Politik

Desentralisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ibrahimy, M. Nur El. 2001. Peranan Teungku M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh.

Media Dakwah.

Kawilarang, Harry & Hamzah, Murizal. 2008. Aceh; Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki.

Banda Aceh: Bandar Publishing.

Marzuki, Nashrun & Warsidi, Adi (ed.). 2011. Fakta Bicara; Mengungkap Pelanggaran

HAM di Aceh 1989-2005. Banda Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh.

Miall, Hugh (et.al). 1999. Contemporary Conflict Resolution; The Prevention, Management,

and Transformation of Deadly Conflict. Polity Press.

Nugroho, Riant. 2012. Public Policy; Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan

Manajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Nurrohman. 2006. Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi Formalisasi

Syari‟at Islam di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Annual Conference on

Contemporary Islamic Studies. Bandung.

Nye, Joseph S. Jr. 2004. Soft Power, the Means to Success in World Politics. New York:

Public Affairs.

Reid, Anthony. 2006. Verandah of Violence; The Background to the Aceh Problem. Seattle:

Singapore Univerity Press & University of Washington Press.

Schulze, Kristen E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM); Anatomy of a Separatist

Organization. Policy Studies 2. Washington: East-West Center.

Tippe, Syarifuddin. 2000. Aceh di Persimpangan Jalan. Pustaka Cisendo.

Van „T Veer, Paul. 1985. Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti

Pers.

Wignjosoebroto, Soetandyo, dkk. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah; Sketsa Perjalanan

100 tahun. Jakarta: Yayasan TIFA dan ILD.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Qanun Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Qanun Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe.