jurnal antropologi ekologi tentang kasepuhan ciptagelar

23
1 Dampak Penguasaan Kawasan Halimun oleh Pemerintah dan Korporasi Terhadap Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Rahmad Efendi 1 , Dwi Rahma Safitri 2 , Ita Nurmawati 3 , Tuflicatul Ilmiyah 4 1,2,3,4 Jurusan Antropologi FISIP Unpad, Jalan Raya Jatinangor-Sumedang, Km 21, Jawa Barat, Indonesia Ringkasan Penelitian ini membahas tentang masalah yang dihadapi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar ketika kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak. Masalah tersebut membuat ruang gerak mereka jadi terbatas sehingga mengancam keberlangsungan adat istiadat mereka. Penelitian ini menggunakan desain metode penelitian kualitatif untuk menggali pemahaman masyarakat akan persoalan tersebut. Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, terdapat tradisi berpindah kampung beserta lahan garapan sebagai pengetahuan lokal mereka. Tradisi berpindah merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan penduduk. Masalah tekanan penduduk mesti diatasi untuk menjaga keberlangsungan tatanan adat mereka. Akan tetapi ketika kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak, Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar tentu akan sulit untuk menjalankan mekanisme tersebut, karena lahan sudah terbatas. Persoalan ini tentunya akan mempengaruhi sistem adat mereka, sehingga akan mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka nantinya. Kata kunci : Masyarakat Adat, Kasepuhan Ciptagelar, Kawasan Halimun, TNGHS, tekanan penduduk, pengetahuan lokal 1. Pendahuluan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan kawasan hutan konservasi terluas di Pulau Jawa. TNGHS memiliki peran sangat penting dalam menunjang keseimbangan iklim global dan hidrologis bagi lingkungan sekitarnya. Selain berfungsi sebagai penyeimbang kehidupan, potensi sumber daya alam yang dikandung sangatlah tinggi nilainya. Di kawasan inilah kita dapat menemukan beragam kehidupan, baik flora fauna maupun masyarakatnya (www.tnhalimun. go.id). Selain menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna, kawasan Halimun juga dihuni masyarakat lokal yang dikenal sebagai Masyarakat Adat Kasepuhan.

Upload: independent

Post on 29-Mar-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Dampak Penguasaan Kawasan Halimun oleh Pemerintah dan Korporasi

Terhadap Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar Rahmad Efendi1, Dwi Rahma Safitri2, Ita Nurmawati3, Tuflicatul Ilmiyah4

1,2,3,4Jurusan Antropologi FISIP Unpad, Jalan Raya Jatinangor-Sumedang, Km 21, Jawa Barat, Indonesia

Ringkasan

Penelitian ini membahas tentang masalah yang dihadapi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

ketika kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak. Masalah tersebut membuat ruang

gerak mereka jadi terbatas sehingga mengancam keberlangsungan adat istiadat mereka.

Penelitian ini menggunakan desain metode penelitian kualitatif untuk menggali pemahaman

masyarakat akan persoalan tersebut. Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, terdapat

tradisi berpindah kampung beserta lahan garapan sebagai pengetahuan lokal mereka. Tradisi

berpindah merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan penduduk. Masalah tekanan

penduduk mesti diatasi untuk menjaga keberlangsungan tatanan adat mereka. Akan tetapi ketika

kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak, Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

tentu akan sulit untuk menjalankan mekanisme tersebut, karena lahan sudah terbatas. Persoalan

ini tentunya akan mempengaruhi sistem adat mereka, sehingga akan mempengaruhi

keberlangsungan hidup mereka nantinya.

Kata kunci : Masyarakat Adat, Kasepuhan Ciptagelar, Kawasan Halimun, TNGHS, tekanan

penduduk, pengetahuan lokal

1. Pendahuluan

Kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak (TNGHS) merupakan

kawasan hutan konservasi terluas di Pulau

Jawa. TNGHS memiliki peran sangat

penting dalam menunjang keseimbangan

iklim global dan hidrologis bagi lingkungan

sekitarnya. Selain berfungsi sebagai

penyeimbang kehidupan, potensi sumber

daya alam yang dikandung sangatlah tinggi

nilainya. Di kawasan inilah kita dapat

menemukan beragam kehidupan, baik flora

fauna maupun masyarakatnya

(www.tnhalimun. go.id).

Selain menjadi rumah bagi beragam

flora dan fauna, kawasan Halimun juga

dihuni masyarakat lokal yang dikenal

sebagai Masyarakat Adat Kasepuhan.

2

Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan

suatu komunitas yang ruang hidupnya

berada di dalam kawasan TNGHS serta

menjalankan pola perilaku sosio-budaya

yang mengacu pada kehidupan masyarakat

tradisional Sunda pada abad 18 (Asep, 2000

dalam RMI, 2004) .

Masyarakat Adat Kasepuhan yang paling

dikenal adalah Kasepuhan Ciptagelar.

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

memiliki beragam pegetahuan lokal yang

menjadi ciri khas dari mereka. Pengetahuan

tersebut ditunjukkan dari model pengelolaan

dan penjagaan hutan, model pertanian

tradisional dengan beragam ritual yang

mengikutinya serta tradisi berpindah tempat

tinggal. Hingga saat ini, pengetahuan lokal

tersebut masih dipertahankan dan dijalankan

dalam keseharian hidup Masyarakat Adat

Kasepuhan Ciptagelar.

Dalam usaha menjaga dan melestarikan

pengetahuan lokal tersebut, masyarakat

Kasepuhan Ciptagelar berusaha mematuhi

segala ketentuan dan kesepakatan adat

kesepuhan. Seperti contoh larangan adat

agar tidak mengusik kawasan hutan yang

termasuk dalam kawasan THGH (www.

tnhalimun.go.id).

Kedekatan hubungan fisik dan spiritual

komunitas ini dengan bumi yang telah

menghidupi mereka selama beberapa

generasi, menciptakan hukum adat dan

kearifan lokal yang unik dan mendukung

pelestarian lingkungan Prinsip hidup ini

menjamin kelestarian alam agar dapat

dilestarikan demi generasi mendatang.

Kelestarian wilayah Kasepuhan Ciptagelar

merupakan cerminan dari pengelolaan

lingkungan yang berdasarkan sistem adat

tersebut (Ciptagelar.org).

Atas dasar nilai-nilai luhur dan

bermanfaat yang diusung, adat istiadat

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini diakui

oleh pemerintah sebagai suatu kearifan lokal

yang layak di lestarikan. Akan tetapi

kearifan lokal Masyarakat Adat Kasepuhan

saat ini sedang menghadapi tantangan pelik.

Setidaknya ada empat hal yang bisa

mempengaruhi keberlanjutan kearifan lokal

yakni, pertumbuhan penduduk, masuknya

teknologi dan budaya modern dari luar,

berkembangnya kapitalisme, serta terjadinya

kemiskinan dan kesenjangan dalam

masyarakat (Suhartini, 2009).

Terkait isu kearifan lokal, disiplin

Antropologi Ekologi melihat pengembangan

kearifan lokal sebagai bentuk dari

kebudayaan adaptif dalam mempertahankan

keberlangsungan hidup suatu masyarakat.

Dengan menggunakan perspektif tersebut,

penelitian ini berusaha mengkaji bagaimana

penciptaan adat istiadat oleh Masyarakat

3

Adat Kasepuhan Ciptagelar sebagai

mekanisme adaptif untuk bertahan

menghadapi berbagai tekanan baik dari luar

ataupun dari dalam masyarakat itu sendiri.

Beberapa tantangan yang menjadi

perhatian kami antara lain terkait tekanan

pertumbuhan penduduk, penurunan daya

dukung lahan, kemudian pembatasan ruang

gerak Masyarakat Adat Kasepuhan akibat

penguasaaan kawasan Halimun oleh pihak

pemerintah dan korporasi. Dalam konteks

ini kami melihat kecenderungan

terancamnya keberlanjutan adat istiadat

Kasepuhan Ciptagelar akibat tiga tantangan

tersebut.

Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan

“penghuni lama” di tengah rimba Halimun,

namun saat ini mereka sudah tidak sendiri

lagi. Saat ini kawasan kasepuhan juga

dikuasai oleh pemerintah dan beberapa

korporasi nasional juga swasta. Saat ini

ruang gerak Masyarakat Adat Kasepuhan

semakin terbatas karena adanya batas-batas

wilayah yang sudah tidak bisa lagi untuk

diakses.

Persoalan ini menjadi sumber konflik

bagi Kasepuhan. Taman nasional yang

diperluas hingga wilayah adat Kasepuhan

Cipta Gelar mengancam cara hidup

masyarakat adat yang diwariskan melalui

beberapa generasi. Akibat dari persoalan ini

bisa jadi membuat kearifan lokal akan

terganggu. Sehingga keberlangsungan adat

istiadat yang selama ini mereka jalani dan

pertahankan sebagai upaya mempertahankan

keberlanjutan hidup masyarakat juga ikut

terpengaruh (ciptagelar.org).

Oleh karena itulah, penelitian ini

berupaya mangkaji masalah tersebut dengan

menggunakan sudut pandang Antropologi

Ekologi. Masalah-masalah tersebut tentunya

sangat relevan dalam kajian antropologi,

ekologi mengenai hubungan pertumbuhan

penduduk dengan keterbatasan lahan dan

terjadinya perubahan sosial-budaya pada

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.

2. Metodologi

Penelitian ini dilakukan dengan desain

metode penelitian kualitatif. Diawali dengan

studi literatur dari sumber buku dan internet

guna mendapatkan informasi awal tentang

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.

Selanjutnya dilakukan observasi partisipan

serta wawancara kepada informan.

Observasi dilakukan terhadap kondisi

fisik wilayah Kasepuhan Ciptagelar,

aktivitas pemanfaatan lahan. serta masalah

kependudukan. Wawancara dilakukan

kepada informan kunci yang telah

disesuaikan dengan kebutuhan informasi.

Wawancara dilakukan dengan teknik

4

wawancara, singkat wawancara mendalam,

dan Focus Group Discussion.

Pengumpulan data dilakukan untuk

melakukan refleksi atas pengetahuan

masyarakat tentang relasi manusia dan alam

serta mengidentifikasi masalah yang sedang

mereka hadapi. Selanjutnya data yang

diperoleh dimaknai dan dikonstruksi

berdasarkan perspektif Antropologi Ekologi

dalam menganalisis dampak tekanan

pertumbuhan penduduk dan keterbatasan

lahan terhadap keberlanjutan adat istiadat

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.

3. Keadaan Umum Daerah Penelitian

3.1. Letak, Luas dan Wilayah

Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu

dari tiga kasepuhan yang berada di wilayah

di Desa Sirnaresmi. Wilayah Kasepuhan

Ciptagelar dibagi atas tiga dusun yakni

Dusun Sukamulya, Dusun Situmurni dan

Dusun Cipulus. Dari tiga dusun dibagi lagi

ke dalam 16 kampung (lembur).

Secara administratif Kasepuhan

Ciptagelar termasuk dalam wilayah Desa

Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten

Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Adapun

batas wilayah Desa Sirna Resmi adalah :

Tabel.1 Batas Wilayah Ciptagelar

No Arah Batas

1 Utara Desa Sirnagalih, Kec.

Cibeber, Propinsi

Banten

2 Selatan Desa Sirnarasa, Kec.

Cikakak, Kab.

Sukabumi, Propinsi

Jabar

3 Barat Dusun Cimapag, Desa

Sirnaresmi, Kec.

Cisolok, Kab.

Sukabumi, Propinsi

Jabar.

4 Timur Desa Cihamerang, Kec.

Kalapanunggal, Kab.

Sukabumi, Propinsi

Jabar. Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa

Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi

(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)

Gambar.1 Lokasi Kasepuhan Cipatgelar

Sumber : www.tnhalimun. go.id

5

Secara geografis Kasepuhan Ciptagelar

terletak antara koordinat S 06° 47’ 10,4” ;

BT 106° 29’ 52” di ketinggian 1200 mdpl.

Luas wilayah kasepuhan adalah 202 Ha

dengan pembagian dan pemanfaatan lahan

antara lain :

Tabel.2 Pemanfaatan Lahan Wilayah

Ciptagelar

N

o

Penggunaan

lahan

Luas

(Ha)

Propor

si (%)

1 Tanah basah/sawah 65 32,18

2 Tanah darat/kering

a. Pemukiman/pe

karangan

17 8,42

b. Perladangan 13 6,44

c. Tegalan 50 24,75

d. Talun 35 17,33

3 Kehutanan 22 10,89

Total luas lahan 202 100 Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa

Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi

(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)

3.2. Kondisi Kependudukan, Ekonomi,

Sosial dan Budaya

Penduduk sebagian besar warga asli

(warga kasepuhan) dan sebagian kecil

pendatang. Sementara itu data pertumbuhan

penduduk kampung adat Ciptagelar adalah

sebagai berikut;

Tabel.3 Pertumbuhan Penduduk Kasepuhan Ciptagelar

No Tahun Jumlah

penduduk

Jumlah

KK

1 2001 80 20

2 2008 250 60

3 2010 338 76 Sumber : dweepitt.multiply.com, data tahun 2006

,www.forumbebas.com, data tahun 2008, Disbudpar

Jabar data tahun 2010 dan baris kolot kasepuhan

Ciptagelar data tahun 2010.

Tingkat pendidikan tergolong rendah

karena sebagian besar hanya tamat SD. Mata

pencaharian utama penduduk adalah bertani

dan sebagian kecil bekerja di bidang lain.

Lingkup pekerjaan bertani antara lain

budidaya tanaman padi di sawah, huma

kebun dan talun. Pekerjaan lain yakni

berkebun, berternak, membuat gula kawung,

dan membuat kerajinan anyaman. Hasil

pertanian padi tidak boleh diperjual belikan

terkait dengan larangan adat. Hasil yang

boleh dijual antara lain bunga cengkeh,

buahan, kayu, ternak, serta produk olahan

seperti gula kawung dan anyaman.

Tabel.4 Tingkat Pendidikan Penduduk

Kasepuhan Ciptagelar

No Tingkat pendidikan Proporsi

(%)

6

1 SD 92,56

2 SLTP 3,63

3 SMA 0, 41

4 Pesantren -

5 Akademi -

6 Perguruan Tinggi 0,24

7 Kursus/Keterampilan 0,47

Jumlah 100 Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa

Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi

(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)

Tabel.5 Mata Pencaharian Penduduk

Kasepuhan Ciptagelar

No Mata

pencaharian/profesi

Presentase

(%)

1 Bertani 77,63

2 Buruh 13,61

3 Tukan/Jasa 4,62

5 Berdagang 1,59

6 Buruh Tani 1,30

7 Pegawai/Karyawan 0,36

7 Pegawai Negeri 0,47

8 Wiraswasta 0,41

9 TNI/Polri -

Jumlah 100 Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa

Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi

(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)

Masyarakat di kasepuhan Ciptagelar

desa Sirnaresmi terutama dalam satu

kampung, umumnya masih memiliki

hubungan kekerabatan. Warga yang sangat

dekat kekerabatannya biasanya ada dalam

satu rendangan/kasepuhan lingkungan

(ikatan satu keturunan dari orang pertama

yang menempati wilayah kampung

tersebut). Penduduk kasepuhan Ciptagelar

semuanya beragama Islam, namun sebagian

besar masih memegang kepercayaan

terhadap leluhur dan Dewi padi (Dewi Sri

atau Nyi Pohaci). Hal tersebut terkait

dengan sistem adat istiadat Masyarakat Adat

Kasepuhan. Adat memegang peranan

penting dalam kehidupan, terutama terkait

dengan ritual pertanian.

Penerapan adat juga diselaraskan dengan

perubahan zaman. Beberapa teknologi yang

sebelumnya merupakan pantangan, saat ini

telah masuk dalam kehidupan masyarakat.

Seperti pemanfaatan listrik dari PLTA untuk

pengunaan alat elektronik. Bahkan

pengembangan sistem informasi juga sudah

maju, ditunjukkan dengan adanya

penggunaan telepon seluler, adanya

pemancar radio komunitas (Swara

Ciptagelar) dan adanya stasiun Televisi

(Ciptagelar TV).

Namun untuk masalah pertanian,

masyarakat Ciptagelar sangat selektif dalam

pengembangan teknologi, karena hal

tersebut menyangkut kemurnian adat istiadat

7

mereka, hingga saat ini menurut pengakuan

masyarakat, hal baru yang bisa masuk hanya

penggunaan pupuk kimia saja.

3.3. Kawasan Ekosistem Halimun Sebuah

Arena Pergulatan Kepentingan

(disarikan dari laporan penelitian RMI,

2004)

Kawasan ekosistem Halimun merupakan

kawasan hutan primer dan sekunder yang

berada di wilayah Selatan Jawa Barat dan

Banten. Istilah kawasan gunung Halimun

muncul setelah sebagian wilayahnya

dikelola oleh taman nasional. Adimiharja

(1992) menyebutkan luas total dari kawasan

ekosistem Halimun yakni 122.000 Ha, yang

terdiri dari 82.000 Ha kawasan hutan

lindung dan 40.000 Ha cagar alam.

Kemudian bebekal informasi yang

dikeluarkan oleh FAO (1978) dan kemudian

diperkuat oleh LIPI-PHPA-JICA (1998),

Taman Nasional Halimun (TNGH)

mendefinisikan kawasan gunung Halimun

sebagai kawasan konservasi yang

dikategorikan masih sangat baik di pulau

Jawa. Berada di antara 1060 21’ BT dan

diantara 60 37’ – 60 31’ Barat Daya Propinsi

Jawa Barat, dan terletak di ketinggian 500-

1929 mdpl.

Berdasarkan fungsi ekologi kawasan,

para ahli konservasi dan lingkungan

memaknai kawasan ekosistem Halimun

sebagai daerah resapan air terpenting yang

menjaga ketersediaan air di wilayah Jawa

Barat dan Banten. Selanjutnya, dengan

kekayaan ekosistem yang dimiliki, kawasan

Halimun dimaknai sebagai salah satu

sumber penting pendapatan Negara. Sejak

tahun 1970-an dimulailah kegiatan investasi

berskala nasional dan internasional melalui

perkebunan teh, hutan pinus, dan

pertambangan emas. Bagi korporasi dan

Negara, kawasan Halimun merupakan

wilayah yang berpotensi besar menghasilkan

keuntungan.

Namun berbeda dengan pendapat orang

luar, masyarakat yang bermukim di dalam

dan sekitar kawasan Halimun mengenalnya

sebagai kawasan Gunung Sangga Buana

yang bermakana gunung penyangga bumi,

yang mana salah satu gunung tertinggi di

dalamnya bernama gunung Halimun.

Kawasan ini merupakan wilayah yang harus

dijaga kelestariannya agar tidak terjadi

bencana.

Masyarakat tersebut dikenal sebagai

Masyarakat Adat Kasepuhan. Mereka adalah

masyarakat adat yang menetapkan luas

Halimun berdasarkan tiga hal, yakni;

1. dalam konteks semantik bahasa sunda

Halimun sebagai wilayah yang ditutupi

kabut,

8

2. dalam konteks geografis yakni batasan

wilayah gunung Halimun dengan

gunung lain, dan

3. dalam konteks budaya, Halimun sebagai

wilayah kesatuan budaya yang mewakili

wilayah penyebaran Masyarakat Adat

Kasepuhan sesuai kemampuan daya

jelajah mereka.

Dalam keyakinan Masyarakat Adat

Kasepuhan terdapat wejangan leluhur

mengenai kewenangan pengelolaan Halimun

yang berbunyi “…jeulma anu salapan anu

boga gunung Halimun dititipkeun ka jeulma

tilu dititah ngarekasa sangga buana…”

yang artinya ada sembilan manusia

(komunitas) yang memiliki gunung

Halimun, dititipkan pada tiga orang

(komunitas) yang diperintah menjaga sangga

buana.

Adapun komunitas yang disebut

memiliki kawenangan di atas secara implisit

menunjuk pada komunitas yang ada didalam

dan sekitar kawasan Halimun, yakni

Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul

yang terdiri dari kasepuhan Citorek,

kasepuhan Ciptagelar, kasepuhan

Sirnaresmi, kasepuhan Cicarub, kasepuhan

Cisungsang, kasepuhan Urug, kasepuhan

Bayah, kasepuhan Cisitu, dan Masyarakat

Adat Baduy/Kanekes. Kemudian komunitas

yang ditugasi menjaga dan memeriksa

kondisi hutan diserahkan kepada Kasepuhan

Ciptagelar, Kasepuhan Urug dan Kasepuhan

Citorek.

Bagi komunitas ini, kawasan Halimun

adalah tempat hidup mereka, karena itu

harus dijaga kelestariannya demi menunjang

keberlangsungan hidup mereka. Bahkan

dalam lintasan sejarah, kasepuhan

Ciptagelar telah melakukan 14 kali

perpindahan kampung sebagai bagian dari

tradisi kepatuhan pada leluhur. Semua

perpindahan selalu berkisar di seputar

kawasan gunung Halimun, artinya

ketersediaan lahan untuk tempat berpindah

sangat penting bagi Masyarakat Adat

Kasepuhan Ciptagelar agar tradisi tesebut

dapat terus berlanjut. Karena tidak mungkin

mereka berpindah jika lahan tempat pindah

sudah dipenuhi kebun atau penduduk atau

tempatnya tidak boleh ditempati karena

sudah milik orang.

Namun saat ini, kawasan yang mereka

jaga ternyata sudah bukan milik Masyarakat

Adat Kasepuhan lagi seutuhnya.

Sebagaimana penjelasan awal di atas, saat

ini sudah banyak pihak yang memiliki

kekuasaan mengatur dan menguasai

kawasan Halimun. Berlandaskan hukum

nasional, saat ini Negara dan korporasi besar

telah menguasai sebagian besar kawasan

Halimun dengan beragam kepentingan.

9

Adapun beberapa pihak-pihak yang

berhubungan dengan Masyarakat Adat

Kasepuhan di arena Halimun adalah sebagai

berikut.

a. Sebagai penanggung jawab konservasi

hutan alam, TNGH mengembangkan

Zonasi Hutan yang sesuai dengan

Kepmenhut No. 282/Kpts-II/1992.

Dengan menyatakan bahwa wilayah

TNGH secara geografis terletak di antara

60 37’ - 60 51’ LS dan 1060 21’ - 1060 38

BT dengan luas 40.000 Ha yang tersebar

di Kab. Lebak seluas 14.487 Ha dan

25.513 Ha di Kab. Bogor dan Kab.

Sukabumi. Kemudian berdasarkan

Kepmenhut baru, No.175/Kpts-II/2003,

wilayah tersebut diperluas ke wilayah

Gunung Salak, sehingga menjadi

113.357 Ha dengan nama baru Taman

Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS). Keberadaan TNGHS ini

bertujuan untuk menjaga kelestarian

kawasan ekosistem Halimun untuk

kepentingan hidup orang banyak. Karena

itulah kebijakan utamanya menjaga

hutan dari segala hal yang bisa merusak

hutan, termasuk upaya masyarakat

mencari nafkah di hutan.

b. Sebagai BUMN penghasil keuntungan

untuk Negara, Perum Perhutani Unit III

Jawa Barat mengembangkan industri

kehutanan yang menghasilkan produk

berupa barang dan jasa yang bermutu

tinggi dan menghasilkan keuntungan

banyak. Di kawasan ekosistem Halimun,

wilayah kerja dan produksi Perum

Perhutani terdiri dari Kesatuan

Pemangku Hutan (KPH) Bogor seluas

69.872 Ha, KPH Sukabumi seluas

83.166 Ha dan KPH Lebak seluas

63.478,59 Ha. Lahan tersebut berasal

dari asset nasionalisasi perkebunan VOC

oleh nagara. Dalam pengembangan

hutan produksi, awalnya perhutani

sangat tegas menindak masyarakat yang

masuk hutan mereka. Namun aktivitas

perhutani tersebut mendapat perlawanan

dari masyarakat. Menyikapi hal itu

perhutani mengembangkan program

Corporate Sosial Responsibility (CSR)-

nya yang berupa sistem Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

untuk kembali merangkul masyarakat

dalam menjaga dan menikmati hasil

hutan. Namun berdasarkan tinjauan RMI

(2004), sistem PHBM tersebut lebih

berupa pengembangan lanjutan dari

sistem culturestelsel dan preangerstelsel

zaman VOC. Hal tersebut ditunjukkan

Perhutani dengan membiarkan petani

menanam palawija (yang ditentukan

Perhutani jenisnya) di bawah tegakan

10

pohon pinus milik Perhutani, namun

masyarakat harus membayar sebagai

ganti sewa lahan.

c. Kegiatan usaha yang dilakukan PTPN

VIII meliputi pembudidayaan tanaman,

pengolahan/produksi, dan penjualan

komoditi perkebunan teh (26.703 Ha),

Karet (28.879 Ha), Kina (4.105 Ha),

kakao (4.478 Ha), Kelapa Sawit (5.056

Ha), dan Getah Percha (714 Ha). Lahan

yang digunakan berasal dari asset

perkebunan VOC yang di nasionalisasi

oleh Negara.

d. Pihak Korporasi Swasta diwakili oleh

PT. Nirmala Agung dan PT. Aneka

Tambang. Perkebunan Nirmala

merupakan perkebunan teh seluas

971,22 Ha. Berasal dari lahan garapan

perkebunan VOC yang dilanjutkan pihak

swasta. Sementara itu PT Aneka

Tambang merupakan perusahaan

penambang emas yang 65% sahamnya

dikuasai Negara dan selebihnya milik

swasta. Penambangan emas dilakukan di

Gunung Pongkor dengan luas area 4.058

Ha yang terletak di tiga desa (Bantar

Karet, Cisarua dan Malasari).

4. Telaah Konseptual

(disarikan dari buku Johan Iskandar,

2009)

4.1. Populasi Penduduk dan Pasokan

Pangan

Perdebatan mengenai persoalan ini

diawali pandangan model klasik Malthus

yang menjelaskan pola hubungan pasokan

pangan dan pertumbuhan penduduk. Dalam

bukunya, Essay On The Principle Of

Population (1789) Malthus merumuskan

bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan

penduduk dibatasi oleh pasokan pangan.

Dalam hal ini, Malthus mengasumsikan

bahwa laju pertumbuhan pangan merupakan

variabel bebas yang mengikat laju

pertumbuhan penduduk. Malthus melihat

bahwa pertumbuhan manusia yang bersifat

eksponen menuntut bertambahnya

kebutuhan pangan. Sementara itu laju

pertumbuhan pangan yang linear hanya bisa

ditingkatkan dengan penambahan curahan

tenaga kerja di lahan. Namun hal tersebut

tidak akan berpengaruh besar terhadap

peningkatan pasokan pangan.

Hal lain yang ditakutkan Malthus adalah

ketidakmampuan manusia dalam mengatasi

gejala alam yang tidak bisa diprediksi dan

dihindari, seperti bencana alam contohnya.

Akibat dari hal tersebut menurut Malthus

akan menimbulkan wabah penyakit,

kelaparan, dan perang yang kemudian akan

menurunkan jumlah penduduk pada

11

pertumbuhan yang seimbang dengan

pertumbuhan pangan.

Atas dasar pemikiran seperti itu, Malthus

menyarankan suatu tindakan preventif.

Yaitu melakukan pengendalian jumlah

penduduk dengan patokan jumlah yang ideal

adalah jumlah penduduk yang dapat

ditampung suatu wilayah ketika wilayah

tersebut ditimpa bencana atau perang.

Namun Malthus mengesampingkan

kemampuan manusia dalam

mengembangkan sistem teknologi sebagai

cara bertahan hidup, dari sisi inilah Malthus

mendapat kritikan dari ilmuan lainnya.

Pendapat Malthus tersebut ditentang

oleh Boserup (1965) lewat tulisannya yang

dikenal dengan Model Kontra Malthus.

Boserup memiliki pandangan bahwa

pertumbuhan penduduk tidak bergantung

pada pertumbuhan pangan. Malah dengan

meningkatnya pertumbuhan penduduk maka

akan meningkatkan pertumbuhan pangan.

Karena penduduk akan merespon

meningkatnya kebutuhan pangan dengan

mengembangkan teknologi pertanian yang

ditunjukkan dengan perubahan menuju

intensifikasi tata guna lahan, perubahan

metoda kultivasi dan perubahan peralatan

pertanian. Perubahan teknologi tersebut

akan memicu kompleksnya organisasi sosial

ekonomi yang ada di dalam masyarakat

sebagai bentuk berbagi peran dan kerja.

Dalam pendapatnya, Boserup

menekankan kemampuan penduduk dalam

mengatasi keterbatasannya terhadap

penguasaan alam sebagai pemenuhan

kebutuhan hidup. Menurut Boserup,

meningkatnya populasi akan mendorong

semakin kompleksnya pengetahuan populasi

akan pemenuhan kebutuhan hidup.

Dalam hal ini, Boserup mencontohkan

perubahan yang terjadi pada masyarakat

ladang berpindah. Ketika populasi

meningkat, masa istirahat lahan yang

ditinggalkan masyarakat akan semakin

sebentar karena tuntutan pemenuhan

kebutuhan. Bahkan ketika populasi semakin

besar, akan terjadi perubahan dari ladang

berpindah menjadi ladang menetap dengan

pengembangan intensifikasi tata guna lahan

dan pengembangan alat-alat pertanian.

Secara eksplisit pandangan Boserup ini

menunjukkan bagaimana proses perubahan

suatu populasi masyarakat tradisional

menjadi populasi pengeksplotasi lahan yang

terorganisir.

Merespon Model Klasik Malthus dan

Model Kontra Malthus tersebut, Wilkinson

(1973) menyatakan pandangan yang

berbeda. Menurut Wilkinson pada umumnya

masyarakat tradisional memanfaatkan

12

sumber daya alam secara berkelanjutan

tanpa eksploitasi. Masyarakat tradisional

biasanya mengembangkan nilai-nilai tradisi

yang berguna untuk menjaga keseimbangan

ekologi.

Nilai tradisi yang dibicarakan oleh

Wilkinson adalah upaya pengendalian

populasi dalam bentuk aborsi, pembunuhan

bayi dan pelarangan berhubungan badan

selama masa menyusui anak. Sejalan dengan

pandangannya, Wilkinson sepakat dengan

saran Malthus mengenai pengendalian

jumlah penduduk.

4.2. Model Ekspansi Statis dan Nilai

Kebudayan Masyarakat Petani di

Jawa

Diskusi para ahli diatas ternyata belum

bisa diaplikasikan sepenuhnya dalam

konteks kehidupan petani di pulau Jawa.

Penelitian Boeke (1974) menunjukkan

perkembangan masyarakat petani di Jawa

lebih bersifat sosial ketimbang ekonomi

sebagaimana pendapat Boserup.

Pada umumnya petani di Jawa dan

Madura bekerja di sawah bukan untuk

mencari keuntungan namun sekedar

mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Jika

hasil panen sudah mencukupi kebutuhan

keluarga setahun, mereka sudah merasa

puas, tentram dan aman. Tujuan hidup

mereka bukan mencari harta namun

mencapai ketenangan dan kepuasan batin.

Nilai inilah yang disebut Boeke dengan

istilah limited needs atau oriental mysticism

yang tentunya bertentangan dengan nilai

hidup orang barat yang bersifat unlimited

needs.

Namun ternyata persoalan tidak selesai

hanya dengan merasa cukup dari apa yang

ada. Sejalan dengan pertambahan penduduk

yang cepat, lahan menjadi habis terbagi

sebagai warisan ke anak cucu. Dengan

sistem nilai masyarakat pulau Jawa yang

mewariskan harta bagi seluruh anak dalam

keluarga, menyebabkan kepemilikan lahan

di setiap keluarga menjadi turun. Akibatnya

pendapatan mereka akan berkurang dan

menyebabkan kemiskinan.

Menurut Boeke, apabila kasus tesebut

terjadi pada orang Jawa yang berideologi

limited needs, maka respon mereka yaitu

melakukan static expansion (memperluas

daerah pertanian, namun tetap dengan

tingkat teknologi dan pembagian kerja

seperti semula).

Sebagian dari mereka akan membuka

lahan pertanian dan desa baru di hutan-hutan

sekitar desa yang lama. Di pemukiman

tersebut para petani sudah cukup puas jika

sudah mencapai tingkat kehidupan ekonomi

yang sederhana seperti yang dicapai orang

13

tua mereka. Pada suatu masa permukiman

baru ini berkembang makin padat dan

menimbulkan kemiskinan. Lantas, pola yang

sama akan berulang kembali (Marzali,2003).

4.3. Pengendalian Tekanan Penduduk

Untuk Menjaga Keseimbangan

Ekologi

Upaya pengendalian jumlah penduduk

merupakan salah satu respon adaptif

terhadap kondisi lingkungan. Sejalan dengan

konsep materialisme budaya milik Harris,

mode of reproduction sebagai salah satu

unsur infrastruktur akan mempengaruhi

sistem organisasi sosial dan ideologi suatu

masyarakat.

Pada wilayah yang luas dan perlu

banyak tenaga untuk mengolahnya,

berkembanglah keyakinan banyak anak

banyak rezeki. Sementara pada lahan yang

tidak kondusif bagi pertumbuhan populasi

yang tinggi, maka pengendalian jumlah

penduduk adalah bentuk adaptasinya.

Pengendalian populasi ini penting

dilakukan agar lingkungan mereka tidak

rusak. Jika lingkungan rusak, maka

kehidupan mereka akan lebih terancam lagi

keberlangsungannya, karena dalam

pandangan materialisme budaya, manusia

tergantung pada alam.

Pada beragam masyarakat masalah

tekanan penduduk diatasi dengan berbagai

cara. Pada masyarakat pedalaman Dayak di

Kalimantan dan Nias di Sumatera Utara

dikembangkan semacam mitos adanya hantu

pemakan bayi. Mitos tersebut berguna untuk

menutupi pembunuhan bayi yang dilakukan

oleh orangtua mereka sendiri. Pembunuhan

bayi tersebut dilakukan agar tidak

membebani keluarga dan mengurangi

dampak kerusakan pada lingkungan.

Kemudian pada masyarakat Maring

Tsembaga yang berada di New Gunea Timur

juga melakukan upaya pengendalian tekanan

populasi. Masyarakat maring tsembaga

masih pada tahap perladangan berpindah,

Masalah yang dihadapi oleh masyarakat

ini adalah kesulitan untuk membuka lahan

untuk perluasan lahan pertanian dan

pemukiman namun mereka berdiam

menghuni suatu tempat yang dikelilingi oleh

hutan yang lebat. Ekpansi lahan sulit

dilakukan karena mereka dibatasi oleh hutan

dan lanskap yang bergunung-gunung.

Dalam kasus ini, masalah pengendalian

populasi sangat pnting bagi keseimbangan

relasi mereka dengan lingkungan. Untuk

menjaga hal tersebut, masyarakat Tsembaga

mengembangakan mekanisme peperangan

antar kelompok lokal agar populasi cepat

berkurang (Ellen, 19820).

14

Masyarakat adat Baduy di Banten,

memiliki cara lain untuk menjaga

keseimbangan jumlah penduduk. Meski

mereka terbatas wilayahnya seperti halnya

masyarakat Tsembaga, namun mereka

mengembangkan sistem nilai yang berbeda.

Masyarakat Baduy mengembangkan

nilai adat yang ketat dalam mengatur

kehidupan masyarakatnya. Bagi anggota

masyarakat yang melanggar aturan, sangsi

terbesarnya adalah dikeluarkan dari teritori

Baduy Dalam (Iskandar, 2009). Hal tersebut

sangat bermanfaat mengatasi tekanan

penduduk.

Sementara pada Masyarakat Adat

Kampung Kuta di Ciamis, dikembangkan

sistem nilai yang menghalangi orang untuk

memiliki anak yang banyak, dan dikuti

berkembangnya sistem KB alami.

Pembatasan jumlah anak tersebut

mereka lakukan untuk mempertahankan

stabilitas jumlah penduduk yang sesuai

dengan daya dukung lingkungan mereka,

terkait dengan keterbatasan lahan hidup

mereka karena adanya hutan larangan.

Namun pada Masyarakat Adat

Kasepuhan Ciptagelar, nampaknya

mekanisme yang dikembangkan untuk

mengatasi tekanan penduduk terhadap daya

dukung lingkungan bukan dengan cara

membunuh bayi, membatasi kelahiran,

berperang ataupun mengusir orang keluar

kampung.

Masyarakat Adat Kasepuhan

mengembangkan sistem adat yang

memberikan kesempatan pada keluarga inti

dari struktur pimpinan untuk pindah ke

tempat baru yang lebih lapang dengan daya

dukung lingkungan yang baik ketika terjadi

tekanan penduduk di kampung yang lama.

Ketika berpindah, tidak semua penduduk

yang ikut berpindah, hanya keluarga inti dan

orang-orang pilihan saja yang wajib

bepindah, sementara masyarakat biasa

dibebaskan untuk ikut pindah atau tidak.

Karena itu, setiap perpindahan kampung

atau pusat pemerintahan, akan terjadi

pengurangan penduduk yang besar, dan hal

itu akan menjaga kestabilan relasi populasi

dengan lingkungan.

5. Temuan Penelitian

5.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat

Kasepuhan Ciptagelar Dalam Upaya

Menjaga Keseimbangan Ekosistem

Gunung Halimun

Pengetahuan lokal dimaknai sebagai

kebijaksanaan manusia yang bersandar pada

filosofi, nilai-nilai, etika dan cara-cara

berperilaku yang melembaga secara

tradisional (Geriya, 2009). Pengetahuan

lokal secara konseptual terdiri atas dua

15

bentuk, yaitu pengetahuan yang bersifat

pragmatis terhadap dunia alamiah/dunia

objektif yang sedang berlangsung, dan

pengetahuan supranatural menyangkut nilai-

nilai cultural/ dunia subjektif, yang

seringkali mempengaruhi atau memodifikasi

keninginan seseorang terhadap sesuatu

(Prasodjo). Pengetahuan lokal yang unik

biasanya disebut dengan kearifan lokal.

Berbeda dengan pengetahuan lokal,

sebagai sebuah istilah, kearifan lokal adalah

sebuah tema humaniora yang diajukan untuk

memulihkan peradaban dari krisis

modernitas. Ia diunggulkan sebagai

“pengetahuan” yang “benar” ketika

berhadapan dengan “saintisme” modern.

Sains modern menganggap unsur “nilai”

dan “moralitas” sebagai unsur yang tidak

relevan untuk memahami ilmu pengetahuan.

Bagi “sains”, hanya fakta-fakta yang dapat

diukurlah yang boleh dijadikan dasar

penyusunan pengetahuan. Kearifan Lokal

adalah “Hujjah” (argumen) untuk

mengembalikan “nilai” dan “moralitas”

sebagai pokok pengetahuan (Rahmawati,

2008).

Dalam konteks ini, pengetahuan lokal

adalah pengetahuan yang erat hubungannya

dengan aspek pengelolaan sumber daya

alam dan mata pencaharian. Secara

konseptual, Berkes (1995) mengemukakan

bahwa pengetahuan lokal dalam aspek

ekologis dan dalam sistem nafkah, sangat

penting peranannya pada konservasi

keragaman hayati.

Berkes melihat kekuatan utama sistem

pengetahuan lokal dalam aspek ini adalah

(1) menjadi kunci penting konservasi dari

kesadaran dalam diri, (2) sistem

pengetahuan akumulatif dari pola adaptasi

ekologis yang berlangsung lama, dan (3)

sangat membantu untuk mendesain upaya

konservasi yang efektif.

Pada Masyarakat Adat Kasepuhan

Ciptagelar, bentuk-bentuk pengetahuan

pragmatis didasarkan pada sistem

kepercayaan yang merupakan bentuk

pengetahuan supranatural. Masyarakat Adat

Kasepuhan Ciptagelar memiliki beberapa

pengetahuan utama yang saling berkaitan.

Pengetahuan tersebut terutama yang

berhubungan langsung dengan masalah

pertanian. Seperti contohnya berladang

hanya sekali dalam setahun, tidak

menggunakan teknologi pertanian modern

pada pertanian, tidak menjual padi hasil

panen, sistem penyimpanan padi di leuit,

serta pelaksanaan ritual ungkapan

terimakasih kepada Dewi Sri.

Kemudian bentuk pengetahuan lain

adalah berupa pembagian hutan kawasan

Halimun dalam tiga zona, yang pertama

16

adalah hutan larangan yang sama sekali

tidak boleh diganggu, kemudian hutan

titipan yang boleh diakses seijin leluhur, dan

yang terakhir hutan sempalan yang boleh

digarap untuk pemenuhan kebutuhan hidup

masyarakat.

Pengetahuan lain yang menarik dari

Masyarakat Adat Kasepuhan adalah tradisi

berpindah kampung dan lahan garapan yang

telah belasan kali dilakukan Masyarakat

Adat Kasepuhan sejak berdirinya 600-an

tahun silam.

Dalam kerangka materialisme budaya,

Harris, pengetahuan yang dikembangkan

Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan

bentuk adaptif dalam upaya menjaga

keseimbangan lingkungan.

Masyarakat yang berada di kaki gunung

tentu bergantung terhadap keseimbangan

ekosistem gunung yang memberikan air dan

lahan yang subur bagi pertanian mereka.

Terjaganya kelestarian alam adalah

prasyarat berlanjutnya usaha pertanian.

Sebagai masyarakat petani, kehidupan

bertani sangat penting artinya bagi mereka,

karena disanalah fungsi subsisten pertanian

untuk kehidupan mereka.

Karena itu perlu adanya kesadaran akan

penjagaan kelestarian lingkungan yang

terlembaga dalam organisasi sosial

kemasyarakatan berikut dengan sistem

kepercayaan yang akan mempertegasnya.

Pengetahuan Masyarakat Adat

Kasepuhan mengenai pertanian tradisional

dan pengelolaan dan penjagaan sumber daya

hutan memang telah terbukti kebenaran dan

manfaatnya. Terbukti, hingga saat ini

Masyarakat Adat Kasepuhan tidak pernah

mengalami kekurangan pangan, karena

kesuburan tanah yang selalu terjaga

memberikan hasil panen yang melimpah.

Bahkan kemungkinan terjadinya musim

peceklik telah diantisipasi dengan

keberadaan leuit yang mempu menyimpan

padi hingga bertahan beberapa tahun.

Dengan penjagaan hutan, air berlimpah

dapat mereka nikmati. Tidak hanya sekedar

untuk minum, mandi, mencuci dan mengairi

sawah saja, saat ini ketersediaan air tersebut

bahkan telah menjadi sumber daya

pembangkit listrik tenaga air milik

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.

Karena itulah pengetahuan tersebut bahkan

diakui sebagai suatu kearifan lokal

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar

yang didukung dan diapresiasi oleh berbagai

pihak. Karena dengan pengetahuan tersebut,

ekosistem Halimun tetap terjaga dan

masyarakatpun menikmati manfaatnya.

Namun tidak semua pengetahuan

Masyarakat Adat Kasepuhan yang mendapat

17

apresiasi baik. Salah satu pengetahuan

Masyarakat Adat Kasepuhan yang masih

diperdebatkan hingga kini adalah tradisi

berpindah kampung gede beserta lahan

garapannya. Tradisi ini memancing

persoalan karena menurut beberapa pihak

terkait dengan pembukaan lahan hutan

lindung dan masalah status kepemilikan

lahan.

5.2. Tradisi Berpindah Sebagai

Mekanisme Pengendalian Tekanan

Populasi

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada

pembahasan sebelumnya, dari sisi pandang

materialisme budaya, tradisi berpindah ini

erat kaitannya dengan upaya pengendalian

tekanan populasi. Hal tersebut terkait

dengan daya dukung lingkungan yang terus

menurun.

Daya dukung lingkungan tersebut

dimaksudkan sebagai total maksimum

populasi manusia yang dapat didukung oleh

suatu lingkungan tertentu secara tak terbatas

tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan

(Iskandar, 2009). Berdasarkan teori tersebut

dapat dikatakan bahwa : “Jika populasi

tumbuh lebih cepat dari kemampuan bumi

dan lingkungan untuk memperbaiki sumber

daya maka kemampuan bumi akan

terlampaui dan berimbas pada kualitas

hidup manusia yang rendah”.

Sejalan dengan teori tersebut, tradisi

berpindah ini dilakukan untuk menghindari

penurunan kualitas hidup Masyarakat Adat

Kasepuhan yang kemudian akan berimbas

pada terganggunya tatanan adat istiadat yang

selalu mereka jaga.

Sebagaimana yang dijelaskan Prof.

Kusnaka Adimiharja dalam bukunya

(Kasepuhan yang tumbuh di atas yang

luruh, 1992), hingga tahun 1983 Masyarakat

Adat Kasepuhan telah menjalani 13 kali

perpindahan kampung gede beserta ladang.

Ditambah dengan perpindahan terakhir di

tahun 2001, maka saat ini total sudah 14 kali

perpindahan.

Dalam kepercayaan Masyarakat Adat

Kasepuhan, perpindahan tersebut murni

datang sebagai perintah dari leluhur yang

datang sebagai wangsit pada sesepuh girang.

Jika sudah mendapat wangsit, mau tidak

mau mereka harus berpindah pada lokasi

yang telah ditentukan.

Alasan berpindah tidak pernah

dijelaskan secara gamblang, karena

semuanya hanya berpatokan pada wangsit

yang diterima sesepuh girang. Namun

menurut beberapa baris kolot yang menjadi

informan, perpindahan tersebut merupakan

upaya peyelamatan tatanan adat dari

18

pengaruh perubahan yang sedang terjadi di

dalam masyarakat serta dari pengaruh

tekanan dunia luar.

Karena masyarakat yang terus

berkembang, beragam hal baru muncul baik

itu dari pengaruh warga kasepuhan yang

merantau lalu pulang dengan membawa

kebudayaan luar dan juga dari perilaku

pendatang yang ditiru masyarakat. Pada

masyarakat yang terus berkembang seperti

itu, kondisi sudah tidak tenang lagi, karena

itu perpindahan adalah suatu mekanisme

agar tatanan adat tetap terjaga.

Namun ada juga informasi yang

menguatkan perihal wangsit yang diterima

sesepuh girang benar adanya karena hal itu

pertanda dari leluhur terkait dengan suatu

kepercayaan mereka yang disebut “uga”.

Menurut kepercayaan mereka “uga”

mengungkapkan bahwa suatu waktu, sejalan

dengan janji karuhun, kasepuhan akan

pindah suatu tempat yang makmur yang

mereka sebut dengan “lebak cawene” yang

berarti “lembah perawan”. Jika kasepuhan

sudah mewujudkan janji karuhunnya, maka

pelabuhan ratu akan menjadi sebuah kota

yang ramai dikunjungi orang dari berbagai

belahan dunia (Adimiharja, 1992).

Sekiranya cerita inilah yang masih

diyakini oleh sebagian besar Masyarakat

Adat Kasepuhan, sehingga mereka menjadi

tunduk dan taat ketika wangsit berpindah

diterima oleh sesepuh girang, karena mereka

menganggapnya adalah bagian dari petunjuk

menuju “lebak cawene”.

Akan tetapi berdasarkan adat istiadat

Masyarakat Adat Kasepuhan, yang wajib

berpindah hanyalah keluarga dari sesepuh

girang bersama para pegawainya.

Masyarakat biasa tidak diwajibkan untuk

pindah kecuali yang sengaja mendapat titah

dari sespuh girang untuk ikut serta.

Meski demikian, biasanya banyak juga

masyarakat biasa yang ikut pindah menuju

kampong yang baru. Namun, yang pastinya

setiap perpindahan akan selalu

meninggalkan masyarakat di kampung lama,

dan masyarakat tersebut terus berkembang

hingga saat ini. Karena itulah kebanyakan

desa-desa yang berkembang di sekitaran

kawasan Halimun dulunya adalah bekas

kampung gede.

Selain itu ada juga informan yang

menjelaskan prakondisi sebelum berpindah

biasanya karena terjadinya kepadatan

penduduk. Adat waris yang memberikan

waris tanah pada semua anak menyebabkan

berkurangnya pendapatan tiap keluarga.

Jika lahannya cukup luas, maka bertani

sekali satahun juga cukup, namun jika

lahannya sudah sempit, maka akan susah

untuk memenuhi hidup keluarga dalam

19

setahun. Namun masih ada sistem pinjam-

meminjam padi pada tetangga ataupun leuit

gede, sehingga sangat membantu

pemenuhan kebutuhan pangan bagi keluarga

yang kurang mampu.

Atas dasar informasi yang didapatkan di

atas, pendekatan materialism budaya dapat

dipergunakan mengkaji hakikat perpnidahan

tersebut sebagai wujud upaya mengatasi

tekanan populasi. Ketika tekanan populasi

dan pengaruh luar mulai menggangu,

kebijakan untuk berpindah datang. Dengan

beberapa alasan logis karena tidak mungkin

mencukupi kebutuhan dengan sumber daya

dan pola produksi yang terbatas.

Membiarkan masalah tersebut berlanjut

sama artinya membiarkan terancamnya

keberlangsungan tatanan adat Kasepuhan

Ciptagelar, karena dengan kondisi seperti itu

control kaum elit kasepuhan terhadap

masyarakat akan semakin lemah dan

nantinya bisa berujung pada penurunan nilai

tatanan adat.

Karena adat mereka dalam cara bertani

tidak mau dirubah, sementara mereka juga

tidak mengembangkan sistem pengendalian

reproduksi dengan semacam KB alami. Jika

pada kondisi seperti itu terjadi masalah

tekabab penduduk, maka langkah tepat yang

diambil adalah berpindah. Mencari tempat

baru yang lebih lapang dan subur, dan

kembali menikmati masa-masa tenang dan

kepuasan atas hasil yang didapat dengan

cara produksi yang masih sama dengan yang

dulu.

Hampir serupa dengan ekspansi statis

seperti yang dikemukan oleh Boeke.

Polanya hampir sama, tekanan penduduk,

kemiskinan, pembukaan lahan baru, mode of

production yang tidak berubah, kepuasaan

dengan hasil yang pas-pasan, pertumbuhan

populasi, pewarisan tanah yang

memiskinkan, dan polanya kembali

berulang.

6. Tradisi berpindah, masih

mungkinkah?

Sebagaimana yang dijelaskan diatas,

perpindahan terus menerus yang dilakukan

Masyarakat Adat Kasepuhan di dasari

keyakinan mereka atas pencarian “lebak

Cawene” sesuai janji leluhur. Karena itulah

perpindahan tersebut berkisar di kawasan

gunung Halimun, berpindah dari satu sisi ke

sisi yang lainnya namun tetap berada di

kawasan gunung Halimun. Entah “lebak

cawene” sudah ditemukan atau belum,

namun berdasar informasi dari almarhum

Abah Anom dalam sebuah laporan

perjalanan (dweepitt.multiply.com/

journal/item/8) ”jika melihat perjalanan

sejarah adat, wangsit yang diterima, sebelum

20

tahun 2040 warga adatnya itu masih akan

terus berpindah tempat. Tetapi, pindahnya

ke mana Abah sendiri belum tahu," ungkap

Abah Anom. Melihat fenomena seperti itu,

wajar kiranya kita bertanya dimanakah

sebenarnya akan ditemukan “lebak cawene”

tersebut?. Sedangkan menurut informasi

yang diterima Prof. Kusnaka dari tokoh adat

di berbagai wilayah kasepuhan, lebak

cawene kasepuhan Ciptagelar terletak pada

suatu tempat di lembah gunung Ciawitali

(1530 m).

Gambar.2 Pola Perpindahan Kasepuhan

Cipategelar

Sumber peta : www.tnhalimun. go.id, Sumber pola

berpindah : Adimiharja, 1992.

Jika benar lebak cawene memang di

sana, maka akan menjadi sulit bagi

Masyarakat Adat Kasepuhan untuk

mencapainya, karena selain wilayah gunung

tersebut masuk dalam zonasi hutan primer

yang dilindungi, wilayah tersebut juga

masuk dalam area kelola Perum Perhutani

unit III Jawa Barat dan wilayah Taman

Nasional Gunung Halimun (TNGH).

Hal ini tentu menjadi persoalan bagi

banyak pihak yang memiliki status

kepemilikan atau penguasaan terhadap

lahan-lahan di kawasan Halimun tersebut.

Perpindahan tersebut dinilai mengganggu

kawasan yang menjadi zonasi hutan lindung

atau lahan garapan milik pihak tertentu.

Karena pada kenyataannya, konsep zonasi

hutan yang dimiliki Masyarakat Adat

Kasepuhan berbeda dengan konsep zonasi

hutan yang dibuat pemerintah.

Oleh karena itu terjadi permasalahan

ketika Masyarakat Adat Kasepuhan melihat

kawasan tersebut adalah hutan sempalan

yang boleh digarap, sementara itu pihak

pemerintah menetapkan wilayah tersebut

sebagai hutan yang tidak boleh diganggu.

Jika persoalan sudah seperti ini masih

mungkinkah Masyarakat Adat Kasepuhan

tetap menjalankan tradisi berpindah

tersebut?.

7. Catatan Penting Untuk Ke Depan

Melihat situasi seperti ini, dengan

banyaknya hak kepemilikan dan pengelolaan

lahan di kawasan ekosistem Halimun, akan

21

membuat ruang gerak bagi perpindahan

Masyarakat Adat Kasepuhan menjadi

semakin terbatas. Hal tersebut jika tidak

ditindaklanjuti dengan bijaksana, tentu akan

banyak persoalan yang muncul dikemudian

hari.

Pihak Negara dan korporasi tentu tidak

ingin wilayah hutan yang penting bagi

mereka terancam akan “digarap”

Masyarakat Adat Kasepuhan, sedangkan

Masyarakat Adat Kasepuhan akan bingung

jika nanti pindah lagi akan kemana arahnya

karena sebagian besar lahan sudah dikuasai

orang.

Mungkin merubah aturan pemerintah

tidaklah mudah, oleh karena itu penting

adanya semacam refleksi bagi Masyarakat

Adat Kasepuhan Ciptagelar dalam upaya

penyesuaian terhadap masalah yang mereka

hadapi ini.

Seperti yang dijelaskan di atas, tradisi

berpindah sebagai fungsi pengendalian

populasi sangat penting bagi

keberlangsungan tatanan adat Masyarakat

Adat Kasepuhan. Dalam pandangan klasik

Malthus, jika mereka diam pada suatu

tempat dengan populasi yang terus

bertambah, sementara produksi mereka tetap

segitu saja tentu akan muncul masalah yang

mempengaruhi keberlangsungan tatanan

adat.

Namun sesuai dengan saran Malthus,

jika Masyarakat Adat Kasepuhan mau

bertindak preventif, maka sebaiknya

diupayakan pengendalian jumlah kelahiran

bayi yang ketat, demi pertumbuhan

penduduk menjadi rendah bahkan nol.

Sehingga Masyarakat Adat Kasepuhan

Ciptagelar tetap bisa bertahan tanpa takut

akan tekanan penduduk.

Sementara itu dalam pandangan Boserup

yang dikoreksi Boeke jika Masyarakat Adat

Kasepuhan tidak bisa pindah lagi dengan

penduduk yang dibiarkan tetap bertambah,

tentunya perlu upaya adaptasi menyangkut

pengembangan teknologi dan organisasi

sosial-ekonomi yang mampu meningkatkan

produksi pertanian mereka yang sebaiknya

dikembangkan dari sistem nilai yang mereka

punya sehingga lebih menuju arah evolusi.

Seperti keyakinan Boserup akan

kemampuan manusia untuk beradaptasi

dengan kondisi lingkungan dengan

pengembangan teknologi, begitu juga

Masyarakat Adat Kasepuhan pasti mampu

mengembangkan sistem teknologi dan

organisasi sosial-ekonomi yang mampu

menyokong hidup mereka tanpa merubah

ataupun meninggalkan nilai tradisi yang

sudah mereka pegang sejak lama.

Para pihak pemangku kepentingan dalam

hal ini pemerintah dan korporasi, tentunya

22

perlu memikirkan baik-baik solusi yang

tepat. Dimana pihak pemerintah dan

korporasi hendaknya mementingkan

keberadaan dan keberlanjutan hidup

Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptgelar.

Selain itu upaya-upaya pembangunan yang

dilakukan pemerintah sebaiknya

menghindarkan pola yang berpusat dari

kebijakan di atas. Karena hal tersebut

tentunya akan memberikan pengaruh besar

terhadap pergesaran nilai dan pengetahuan

local milik masyarakat kasepuhan. Lebih

tepat menawarkan pembangunan yang

bersumber dari kebijakan dan pengetahuan

yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Agar

ke depannya sistem pengetahuan mereka

dapat tetap terjaga dan semakin berdaya

guna sebagai fungsi adaptasi dengan kondisi

lingkungannya.

Kemudian tentunya akan lebih bijak

untuk semua pihak yang berkepentingan

agar saling bekerjasama untuk menghasilkan

kesepakatan. Sehingga pengelolaan dan

penjagaan yang dilakukan dapat menjamin

keberlanjutan fungsi kawasan ekosistem

Halimun beserta keberlanjutan Masyarakat

Adat Kasepuhan yang ada di dalamnya.

Ucapan terimakasih kami sampaikan

kepada:

- Masyarakat Adat Kasepuhan

Ciptagelar yang telah menerima

kami dengan sangat baik sekali serta

telah bersedia berbagi

pengetahuannya kepada kami.

- Jurusan Antropologi Fisip Unpad

yang telah memberikan fasilitas

kepada kami sehingga dapat

menjalankan kuliah lapangan ini

dengan baik.

- Tim Dosen pengampu mata kuliah

Antropologi Ekologi yang telah

mencurakan pikiran waktu dan

tenaganya untuk memberikan

pengetahuan kepada kami.

- Teman-teman sejawat mahasiswa

Jurusan Antropologi Fisip Unpad

yang mengambil mata kuliah

Antropologi Ekologi, terima kasih

untuk kerjasamanya.

23

Referensi Buku : Adimihardja, Kusnaka.(1992).Kasepuhan yang

tumbuh di atas yang luruh : pengelolaan lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun Jawa Barat., Bandung : Tarsito

Hanafi, Imam, dkk. (2004). Nyoreang Alam Ka

Tukang Nyawang Anu Bakal Datang: Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Bogor : RMI.

Iskandar, J. (2009). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magsiter Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran.

Jurnal : Rita Rahmawati et.al. (2008). Pengetahuan

Lokal Masyarakat Kasepuhan : Dinamika,konflik dan Adaptasi Sosio-Ekologis. Sodality : Jurnal Transdisplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia , 02, 151-190.

Media Elektronik : Anonim.(2006). Ciptagelar di Gunung Halimun.

Dipetik pada tanggal 20 Mei 2001 dari www.dweepitt.multiply.com.

Anonim.(2008).Dilema, mengamankan hutan

konservasi TNGHS di Sukabumi.Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.tnhalimun.go.id

Anonim. (2008). Masyarakat Lokal. Dipetik

pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.tnhalimun.go.id

Anonim.(2009). Keadaan umun wilayah

penelitian. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.repository.ipb.ac.id.

Anonim. (2010). Ciptagelar Senada Alam.

Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.ciptagelar.org

Gun.(2008). Kampung Ciptagelar. Dipetik pada

tanggal 20 Mei 2011 dari www.forumbebas.com

Suhartini.(2009). Materi seminar nasional MIPA

:Tantangan Kearifan Lokal. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.staff.uny.ac.id.