kumpulan ringkasan ekologi hewan kkl alas purwo
TRANSCRIPT
24
BAB III
KUMPULAN RINGKASAN
3.1. Bidang Ekologi Hewan
DINAMIKA POPULASI DAN STUDI HABITAT MERAK HIJAU (Pavo muticus
Linnaeus, 1766) DI PADANG RUMPUT SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS
PURWO JAWA TIMUR
Prasetyo Putra Bangsa, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai dinamika populasi dan studi habitat merak hijau di
Padang Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama
empat hari dimulai dari tanggal 5 sampai 8 Mei 2014. Metode yang digunakan adalah metode
wawancara dan observasi yaitu metode pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk
mengetahui. Data populasi yang diambil dibedakan berdasarkan kelas umur berdasarkan
Hernomo (1995) yaitu: Jantan dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina remaja dan
anakan dan komponen habitat secara deskriptif dan perhitungan populasi mengunakan
sensus dari menara pengamatan di padang rumput semi-alami Sadengan pada pagi dan sore
hari dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga hari. Pengolahan data menggunakan Analisis
karakter habitat dari tiap poin dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan hasil
pengamatan dengan literatur yang ada dan meguraikan hubungan keduannya dengan
kelimpahan populasi sedangkan Perhitungan data populasi yang didapat, menggunakan seks
rasio. Hasil sensus populasi selama 4 hari didapat kan 8 jantan dewasa dan 9 betina dewasa
dan tidak ditemukan anakan.
Kata kunci : Sadengan, Merak Hijau, Populasi
PENDAHULUAN
Burung merak hijau dengan nama ilmiah Pavo muticus adalah salah satu spesies dari 3
jenis merak di dunia. Dua jenis burung merak yang lainnya adalah merak biru (Pavo cristatus)
dari Asia timur dan Merak Kongo (Afropavo congoensis) yang merupakan satwa endemik di
republic Kongo. Burung merak termasuk Ordo Galliformes yang banyak menghabiskan masa
hidupnya dipermukaaan tanah dan dimasukan kedalam suku Phasianidae. Burung merak hijau
jantan memiliki hias berwarna hijau metalik yang indah. Namun hal tersebut malah
mengancam populasinya dengan maraknya perburuan liar selain juga dengan semakin
habisnya habitat burung yang satu ini.
25
Menurut IUCN ( International Union For Conservation Of Nature and Natural ) tahun
2004 Merak hijau temasuk jenis satwa langka yang dilindungi dan memiliki status
Vulnurable, terancam secara global. Di Indonesia pun burung merak merupakan salah satu
jenis satwa yang langka dan dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
tanggal 10 Juni 1991 No.301 / Kpts-II / 1991 dan PP RI No. 7 Tn 1999 Tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Merak Hijau digolongkan Appendix II, yaitu masih bisa
diperdagangkan dalam jumlah yang terbatas.
Secara alami merak hijau (Pavo muticus) Linnaeus, 1766 dan habitatnya selalu
mengalami dinamika atau perubahan. Upaya konservasi Merak hijau memerlukan data dan
informasi yang memadai termasuk arah dari dinamika tersebut. Dua penelitian terakhir di
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) melaporkan jumlah Merak hijau di sadengan sebanyak
26 ekor (Annisa Yuniar 2007) dan sebanyak 44 ekor (Amala 2013). Terkait dengan
pergantian tahun, sistem pengelolaan dan anomali cuaca perubahan, dinamika populasi.
Populasi merak masih diragukan jumlahnya oleh karena itu diperlukan pengamatan populasi
dan habitat Merak hijau secara berkelanjutan untuk dapat menunjang upaya konservasi Merak
hijau.
ALAT, BAHAN, DAN METODE
Alat yang digunakan dalam pengamatan ini adalah Alat tulis, (Global Positionig
satelite) GPS, Kamera, penggaris, lembar pengamatan, meteran dan binokuler. Objek yang
diamati adalah Merak Hijau di Sadengan.beserta seluruh komponen habitatnya.Penelitian ini
bersifat deskriptif eksploratif. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
wawancara dan observasi yaitu dilakukan metode sensus jumlah populasi dari menara
pengamatan padang rumput semi-alami Sadengan pada pagi dan sore hari dan dilakukan
pengulangan sebanyak tiga hari. Data populasi yang diambil dibedakan berdasarkan kelas
umur berdasarkan Hernomo (1995) yaitu: Jantan dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina
remaja dan anakan. Dan pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk mengetahui
komponen habitat (seperti habitat makan, habitat minum, tempat bersarang, tempat istirahat,
tempat tidur, tempat menari, tempat kawin) secara deskriptif.
HASIL DAN DISKUSI
Merak Hijau (Pavo muticus) di padang rumput sadengan adalah salah satu dari sekian
banyak satwa dilindungi yang ada di Taman Nasional Alas Purwo. Sadengan merupakan titik
konsentrasi populasi merak hijau terbesar Taman Nasional Alas Purwo selain pada beberapa
titik di guntingan dan jati papak. Sadengan sendiri berukuran ± 80 ha.
Penelitian ini dilakukan selama 4 hari dengan metode observasi, yaitu pengamatan dan
perhitungan secara langsung di padang rumput sadengan yang meliputi jumlah populasi dan
keadaan habitat secara deskriptif. Pengamatan dilakukan dengan 2 metode yaitu dengan Scan
dari atas menara pengamatan dengan menggunakan binokuler dan metode jelajah yaitu
melakukan perhitungan perjumpaan merak dengan cara mengelilingin padang rumput
sadengan. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 hari agar didapatkan data yang representative.
Hasil yang diperoleh setelah melakukan pengamatan, diketahui bahwa merak di padang
sadengan keluar dari zona hutan dan masuk ke padang rumput sadengan dan titik perjumpaan
dominan pada sisi utara dan tenggara dari padang rumput sadengan, dan ditemukan dalam
jumlah yang sangat minimum keluar dari sisi barat yaitu daerah sekitar kanan dan kiri dari
26
menara pengamatan. Selama 4 hari pengamatan data populasi yang teramati naik pada hari
demi harinya. Pada hari pertama pagi dan sore hanya terhitung sebanyak 8 dan 7 ekor. Pada
hari kedua naik menjadi 7 pada pagi hari dan 12 pada sore harinya. Pada hari berikutnya
terjadi lagi kenaikan menjadi masing masing 10 pada pagi dan sore hari pengamatan. Pada
pengamatan hari terakhir didapat 15 ekor pada pagi dan 13 pada sore hari.
Naiknya jumlah merak yang berhasil dihitung tiap harinya dipengaruhi beberapa faktor
yaitu metode yang digunakan dalam perhitungan, waktu pengamatan, banyaknya gangguan
aktivitas manusia di dalam padang rumput sadengan dan kemampuan pengamat yang semakin
terbiasa dalam melakukan pengamatan. Dapat disimpulkan bahwa waktu pengamatan pada
pagi hari yang efektif adalah pukul 6.30 sampai pukul 8.30 dikarenakan aktifitas merak
sedang tinggi pada rentang waktu tersebut. Pada pagi hari metode yang efektif adalah
menggunakan metode jelajah dikarenakan bila melakukan scan akan sulit dikarenakan letak
menara pengamatan ada disebelah barat dari padang rumput sehingga akan sulit melakukan
perhitungan karena cahaya matahari langsung menuju mata.
Pada sore hari lebih efektif menggunakan metode scan dikarenakan matahari lebih
teduh dan membatu penglihatan sehingga pengamatan dari menara akan sangat efektif
sekaligus dapat menjadi klarifikasi data pagi yang mengacu pada titik keluarnya merak
tersebut. Pada hari-hari awal pengamatan banyak sekali aktivitas manusia pada pagi dan siang
hari terutama pada daerah utara yang merupakan titik pertemuan terbanyak. Aktivitas manusia
sangat menggangu munculnya merak ke dalam padang rumput dikarenakan burung merak
merupakan hewan yang sangat sensitif. Pada sore hari merak banyak melakukan aktivitasnya
dari pukul 15.30 sampai 17.00. selain itu aktivitas pengendalian lahan dari tumbuhan
pengganggu juga mempengaruhi banyaknya merak yang masuk ke padang rumput.
Analisis data yang gunakan adalah total count. Data terbesar yang diperoleh untuk
jantan dewasa dan betina dewasa adalah data pada hari ke 4. Setelah dilakukan analisa
didapatkan 8 ekor jantan dewasa dan 9 ekor betina dewasa. Dalam pengamatan selama 4 hari
ini tidak dijumpai anakan. Hal ini menurut petugas Taman Nasional Alas Purwo disebabkan
pada musim bertelur tahun lalu (September-Nopember 2013) semua sarang yang berlokasi di
sekitar sadengan mengalami kegagalan dalam proses penetasan yang disebabkan oleh
predator utama telur merak yaitu biawak.
Dari data pengamatan yang didapatkan tahun 2007, di sadengan terdapat 9 jantan
dewasa, 16 betina dewasa Sedangkan pada 2013 ditemukan 13 ekor jantan, 26 ekor betina dan
5 ekor anakan. Jika melihat dari Grafik 1. Pertumbuhan Populasi Merak Hijau di Sadengan
poplasi merak dari tahun 2007 selama enam tahun menuju 2013 terjadi kenaikan dari 25
menjadi 44. Terjadi kenaikan 19 ekor selama 6 tahun yg bila dirata-ratakan maka laju
pertumbuhan populasinya adalah 3,167 ekor/tahun.
Dari tahun 2013 ke 2014 terjadi penurunan populasi dari 44 ekor menjadi 17 ekor. Bila
dihitung laju populasinya adalah berkurang 27 ekor/tahun. Turunnya populasi merak di
padang rumput sadengan dipengaruhi beberapa alasan diantaranya tingginya aktivitas manusia
yang membuat merak melakukan migrasi ke tempat yang di rasa memiliki tingkat gangguan
yang lebih rendah. Lebih tingginya laju mortalitas dibandingkan angka natalitas juga dapat
menjadi penyebab berkurangnya populasi merak. Hal tersebut disebabkan tingginya predator
merak yaitu ajag dan macan tutul yang berperan sebagai top predator. Presentasi keselamatan
anakan juga berpengaruh.
27
Selain dari faktor mortalitas dan natalitas faktor lingkungan yang banyak gangguan dari
manusia ketika melakukan pengelolaan lahan juga dapat menjadi alas an terjadinya emigrasi
populasi merak dari sadengan ke tempat lain yang menyebabkan berkurangnya populasi
merak di sadengan. Faktor faktor teknis seperti tingginya bunga rumput dan banyaknya
tanaman herba seperti Lantana camara dan Chromolaena odorata yang menyulitkan
pengamatan dikarenakan mengklamufasekan tubuh merak yang berwarna hijau dengan baik.
Selain itu yang menjadi faktor penghambat adalah keterbatasan kemampuan penglihatan
pengamat dalam melakukan pengamatan.
Seks rasio untuku merak hijau pada tahun 2014 ini bernilai 0,889 . angka yang
mendekati perbandingan 1 : 1 menunjukan bahwa jumlah jantan dan betina dewasa mendekati
jumlah yang berimbang. Sedangkan pada tahun 2007 dan 2013 seks rasio merak bernilai 0,56
dan 0,5. Nilai tersebut menunjukan perbandingan jantan dan betina mendekati 1 : 2.
Perubahan seks rasio ini berpengaruh terhadap kemampuan populasi tersebut dalam
bereproduksi karena seperti kita ketahui bahwa merak jantan menganut sistem poligami.
Turunnya populasi merak betina sangat dipengaruhi kemampuan merak betina dalam
membela diri dan besarnya resiko kematian saat pengeraman.
Habitat makan merak dari yang diamati dibedakan menjadi 3 macam habitat. Pertama
dipadang rumput yang luas. Tempat ini biasanya digunakan pada pagi sebelum jam 8 dan sore
setelah pukul 15.30. tempat kedua adalah dibawah pohon rindang yang besar ditengah padang
rumput. Tempat makan tersebut dikarenakan member perlindungan dan tempat berteduh acap
kali digunakan oleh merak yang mencari makan pada saat matahari sedang panas sekitar
pukul 10 sampai pukul 12. Tempat ketiga adalah tempat herba tinggi yang banyak berada
disudut sudut sadengan yang sering digunakan mirip seperti penggunaan tempat makan yang
lebih terbuka.
Tempat minum merak tidak spesifik, meskipun banyak disediakan bak untuk minum,
namum pada penerapannya jarang ada hewan yang secara khusus mendatangi bak minum
untuk minum. Hal tersebut pertama disebabkan d=karena bak minum yang terlalu dekat
dengan menara pengamatan sehingga membuat merak merasa tidak nyaman diakarenakan
banyak aktivitas manusia. Selain itu merak adalah jenis burung yang tidak membutuhkan
banyak air, jadi genangan atau sungai yang mengalir mengelilingi sadengan dianggap cukup
untuk memenuhi kebutuhan air.
Pada waktu melakukan jelajah habitat ditemukan 2 bekas sarang yang ditunjukan oleh
petugas. Kedua sarang tersebut masih menurut petugas taman nasional mengalami kegagalan
saat proses penetasan akibat predasi dari biawak yang memakan telurnya. Sarang pertama
Dibawah pohon tempat istirahat dekat masih dalam kawasan savanna. Vegetasi padat Hyotis
capitata dan Chromolaena odorata yang mencapai 2 m. lokasi tersebut memudahkan merak
untuk kabur bila ada gangguan karena dekat dengan pohon dan tersembunyui di balik
rimbunnya tumbuhan herba. Tempat kedua berada Pada perakaran Ficus benjamina dan
dikelilingi beberapa semak Streblus asper. Berada pada zona ekoton Sekitar 5 meter dari
lahan terbuka. Tempat ini kurang terlindungi dan tersembunyi karena dekat dengan jalur
banteng. Sarang yang gagal menetaskan telur biasanya tidak akan digunakan kembali.
Diperkirakan inilah salah satu emigrasi merak dari sadengan.
Tempat istirahat dan tempat tidur biasanya adalah pohon yang sama. Dikarenakan
dianggap memiliki fungsi perlindungan dan kenyamanan yang membuat merak cenderung
mengulangi manggunakannya lagi. Jenis favorit adalah jabon (Anthocephalus cadamba)
28
namun beberapa pohon tidak spesifik pada spesies namun cukup memenuhi criteria tinggi
diatas 20 meter, karena percabangan pertama yang digunakan untuk tidur dan istirahat diatas
20 meter. Memiliki percabangan tegak lurus dan tidak terlalu rimbun oleh daun untuk
memudahkan terbang menuju pohon tersebut.
Habitat tempat menari adalah diareal terbuka dengan rumput yang pendek seperti jenis
(Axonopus compressus ) dan beberapa rumput yang tidak tumbuh tinggi. Bentuk datarannya
mendatar, dekat dengan semak untuk melakukan kawin dan pohon untuk melarikan diri.
Tempat kawin sendiri biasanya di zona ekoton atau dirimbunan tumbuhan herba sehinnga
tidak terlalu terlihat oleh predator. Tempat kawin sendiri biasanya dekat dengan tempat
bersarang.
Dalam melakukan aktivitas makan, minum, menari dan kawin merak hijau cenderung
sering melakukannya di area terbuka tanpa kanopi dengan vegetasi rumput rumputan dari
mayoritas family poaceae. Untuk aktivitas tidur dan istirahat merak cenderung melakukannya
di atas pohon yang tinggi dengan percabangan jarang. Sedangkan untuk bersarang merak
lebih selektif dalam menentukan tempat, biasanya pada daerah tersembunyi pada zona ekoton.
Hubungan antara habitat dengan populasi merak sangat erat dan tidak dapat dipisahkan,
karena habitat memberikan pelayanan ekosistem berupa ketersediaan makan dan minum,
tempat untuk berlindung dan yang tidak kalah penting adalah tempat untuk bersarang. Dari
penelitian ini penulis menduga bahwa habitat di sadengan tidak mampu memenuhi fungsi
sebagai penyedia tempat bersarang yang baik. Hal tersebut didukung dengan tidak ada anakan
yang menetas dari musim bertelur tahun lalu. Menurunnya fungsi habitat dalam menyediakan
tempat bersarang yang baik bagi merak hijau adalah pengelolaan habitat yang buruk seperti
memotong rumput pada daerah dimana biasanya merak hijau bertelur.
TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1. Pengamatan Populasi Merak
Waktu Jam Pengamatan
Kelas Umur
Jumlah Jantan
Dewasa
Betina
Dewasa Anakan
Pagi 05.45-08.00 3 5 0 8
Sore 15.20-16.00 5 2 0 7
Pagi 05.30-08.30 4 3 0 7
Sore 15.30-16.30 7 5 0 12
Pagi 06.30-09.30 6 4 0 10
Sore 15.30-17.00 5 5 0 10
Pagi 06.00-08.00 8 7 0 15
Sore 15.30-17.00 4 9 0 13
Tabel 2. Total Count
Kelas Umur Jumlah
Jantan Dewasa 8
Betina Dewasa 9
29
Anakan 0
Jumlah 17
Tabel 3. Perbandingan Populasi Merak
Tahun Kelas Umur
Jumlah jantan Betina Anakan
2007 9 16 0 25
2013 13 26 5 44
2014 8 9 0 17
Tabel 4. Perbandingan sex rasio
Tabel 5. Hasil Pengamatan Habitat
No Kategori
Habitat
Spesies Dominan Morfologi
1 Makan 1.kelompok vegetasi herba
Lantana camara,
Chromolaena odorata ;
2.kelompok vegetasi rumput
famili poaceae Heteropogon
contortus dan Axonopus
compressus
1. Tempat tanpa kanopi zona ekoton ;
2. daerah tanpa kanopi padang rumput
2 Minum Rumput famili Poaceae Cerukan kecil pada tanah
3 Bersarang 1.Vegetasipadat Hyotis
capitata dan Chromolaena
odorata ;
2.Pada perakaran Ficus
benjamina strata C-B
semak/semai Streblus asper
1. Dibawah pohon strata D untuk istirahat,
vegetasi herba sekitarnya mencapai 2 meter
;
2.Pada perakaran Ficus benjamina strata
C-B, pada zona ekoton sekitar 5 meter dari
lahan terbuka
4 Istirahat Artocarpus elasticus (Bendo)
dan Neolamarckia cadamba
(Jabon)
Pohon tertinggi, percabangan hampir tegak
lurus, daun tidak terlalu rimbun. Biasanya
merupakan pohon yang berdiri sendiri
ditengah savanna atau pada zona ekoton.
5 Tidur - Ketinggian mencapai 20 meter, tinggi
percabangan yang digunakan untuk tidur
adalah percabangan di meter ke 15
Tahun Populasi Jantan/Populasi Betina
2007 0,56
2013 0,5
2014 0,89
30
6 Menari Axonopus compressus dan
beberapa jenis rumput yang
tidak berbunga tinggi
Bentuk datarannya mendatar, dekat dengan
semak untuk melakukan kawin dan pohon
untuk melarikan diri.
7 Kawin - Sering pada ekoton berkanopi, dekat
tempat menari (betina akan digiring ke
tempat kawin).
Grafik 1. Pertumbuhan Populasi Merak Hijau di Sadengan
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil yang didapat selama pengamatan dan penelitian dinamika populasi
dan studi habitat merak hijau (Pavo muticus) di sadengan Taman Nasional Alas Purwo,
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Selama 4 hari pengamatan didapatkan total 15 ekor dengan 8 jantan dewasa dan 9 betina
dewasa. Dan tidak ditemukan anakan.
2. Jika dilihat dari perbandingan data pada tahun 2007 sampai 2013 didapat rerata laju
pertumbuhan populasi adalah 3,1667 ekor/tahun. Sedangkan untuk tahun 2013 sampai
2014 laju pertumbuhan populasinya menjadi – 27 ekor/tahun. Menurunnya populasi
tersebut dipengaruhi oleh nilai mortalitas dan emigrasi, lebih tinggi dibandingkan nilai
imigrasi dan natalistas yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti cuaca, predator,
kerusakan habitat dan aktivitas manusia dalam pengelolaan habitat disadengan.
3. Karakter habitat makan, minum, menari dan bersarang selain bergantung pada jenis
vegetasi juga terpengaruh oleh kenyamanan dan keamanan tempat makan tersebut.
Sedangkan untuk tempat kawin, istirahat dan tidur sangat dipengaruhi oleh fungsi dari
tempatnya dan tidak dipengaruhi jenis pohon yang digunakan, meskipun pada beberapa
jenis pohon memiliki criteria morfologi yang dianggap sesuai.
Berdasarkan kepada kendala dan kesulitan dilapangan, dapat diajukan beberapa saran,
antara lain :
1. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat mengenai populasi Merak Hijau, dibutuhkan
waktu yang lebih banyak dalam melakukan monitoring populasi merak hijau di lokasi
selain
2. Perlunya melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perkembangan populasi merak
dan mengetahui faktor inti dari dinamika populasi merak.
0
5
10
15
20
25
30
2007 2013 2014
jantan
Betina
Anakan
31
3. Aktivitas pengendalian lahan di sadengan sebaiknya dilakukan pada bukan musim kawin
merak hijau karena dapat menggangu aktivitas kawin merak hijau yang dapat
menurunkan nilai natalitas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Balai Taman Nasional Alas Purwo atas bantuannya selama di
lapangan. Terimakasih juga untuk dosen-dosen atas saran dan arahannya, juga untuk tim
Ekologi Hewan atas kerjasamanya selama di lapangan.
REFERENSI
Anderson, J.R. Muirs. 1985. Textbook of Pathology, edisi 12. Baltimora.
Grzimek B. 1972. Animal Encyclopedia (volume 8 : Bird). Van Nostrand Reinhold Co. New
York.
Hermono JB. 1995. Ecology and Behaviour of The Green Peafouwl (Pavo muticus Linnaeus,
1766) in The Baluran National Park, East Java-Indonesia. Faculty of Forestry Science
Georg August University Gottingen, Germany.
Supratman A. 1998. Kajian Pola Penyebaran Dan KArakteristik Habitat Merak Hijau (Pavo
muticus Linnaeus, 1766) Pada Musim Berbiak Di Resort Rowobendo, Taman
Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Skripsi Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Susanto, Pudyo. 2000. Ekologi Hewan. Jakarta :Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Suhardi, Rizal. 2012. Dinamika Populasi. http://rizalsuhardieksakta.blogspot.com
/2012/12/dinamika-populasi.html diakses tanggal 19 bulan maret 2014 pukul 2.35
WIB
Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar
Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Utami, Amala Lestari. 2013. Studi Distribusi Populasi dan Habitat Merak Hijau (Pavo
muticus Linnaeus, 1766) Di Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Jatinangor
Van BB, Prawiradiliga DM, Indrawan M, Marakamah A, Dirgayuga IWA, and Isa MA. 1991.
Notes on The Distribution and Status of Green Peafowl on Java. WWF Programe.
Bogor.
Wasono WT. 2005. Populasi dan Habitat Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) Di
Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Skripsi Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor
Yuniar, Annisa. 2007. Studi Populasi Dan Habitat Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus,
1766) Di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
Skripsi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor
Zulkifli, hilda. 1996. Biologi Lingkungan. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
32
AKTIVITAS HARIAN BIAWAK AIR ASIA (Varanus salvator, Laurenti 1786)
DI KAWASAN NGAGELAN DAN PANCUR, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
Yusuf Ilyasa Ilham, Tatang S. Erawan, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Penelitian ini mengenai aktivitas harian biawak air asia (Varanus salvator) di kawasan Pancur
dan Ngagelan, Taman Nasional Alas Purwo dan telah dilakukan pada 4 Mei - 7 Mei 2014.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah observasi secara langsung dengan
menggunakan teknik Focal animal sampling (Altmann,1974). Aktivitas haian biawak air
adalah mencari makan (foraging), berjemur (basking), makan (feeding), bergerak (moving),
dan kegiatan lainnya (others). Kegiatan mencari makan merupakan aktivitas yang paling
sering dilakukan di Pancur dan Ngagelan sebanyak 33%. Sedangkan aktivitas yang paling
sedikit diakukan adalah berjemur sebanyak 9%.
Kata kunci : Biawak air asia, Aktivitas harian, Pancur,Ngagelan
PENDAHULUAN Taman Nasional Alas Purwo merupakan taman nasional di Indonesia yang memiliki
keanekaragaman hayati tinggi. Pada kawasan ini terdapat 548 jenis tumbuhan, 31 jenis
mamalia, 236 burung, dan 20 jenis reptilia. Dari 20 jenis reptilian tersebut terdapat 2 macam
biawak, yaitu biawak air asia ( Varanus salvator) dan biawak kelabu (Varanus nebulosus).
Biawak air (Varanus salvator) di Taman Nasional Alas Purwo, merupakan biawak yang
terdapat pada wilayah paling timur Pulau Jawa, mendekati Pulau Bali. Kemudian biawak ini
juga merupakan predator utama bagi sejumlah hewan dilindungi seperti tukik atau anak
penyu. Banyaknya fungsi ekologis yang dimiliki oleh biawak air (Varanus salvator)
membuat biawak ini perlu di jaga kelestariannya. Untuk itu dibutuhkan data aktvitas harian
biawak air (Varanus salvator) untuk mendukung penelitian selanjutnya tentang biawak ini
dan upaya menjaga kelestariannya.
ALAT, BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 4 - 9 Juni 2014 dan dilakukan di Taman
Nasional Alas Purwo , Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Pengamatan dilakukan
di dua tempat yaitu di Ngagelan yang merupakan lokasi penangkaran penyu dan di Pancur
yang menurut pihak Balai Taman Nasional merupakan tempat yang paling sering ditemui
biawak air (Varanus salvator).Metode yang digunakan pada pengamatan adalah metode
observasi secara langsung di lapangan. Untuk pengumpulan data aktivitas harian digunakan
teknik focal animal sampling dan scan sampling (Altmann,1974). Objek yang dipilih adalah
biawak air asia (Varanus salvator) yang berukuran diatas satu meter. Biawak berukuran
tersebut dipilih karena dianggap mewakili aktivitas biawak secara keseluruhan di lokasi
tersebut.
Pengumpulan data aktivitas harian biawak air (Varanus salvator) di lapangan dilakukan
dengan menggunakan tenik “Scan sampling” (Altman,1974), yaitu dengan mencatat suatu
aktivitas yang tergolong dalam suautu kejadian penting dan dengan waktu durasi karena
33
tergolong sangat cepat dan menggunakan “Focal animal sampling” di mana hanya satu objek
yang dicatat aktivitasnya mewakili aktivitas semua individu dalam kawasan tersebut. .
Pengamatan dilakukan selama empat hari, setiap harinya dilakukan mulai pukul 06.00 sampai
dengan 18.00 WIB.
Data yang dikumpulkan adalah aktivitas yang dicatat adalah aktivitas istirahat (resting),
berjemur (basking), makan (feeding), bergerak (moving), dan aktivtas lain-lain (others).
Selain itu dicatat pula data jenis pakan, daya jelajah, jenis biawak, dan ukuran biawak, serta
jenis kelamin biawak tersebut.
HASIL DAN DISKUSI
Pada pengamatan selama dua hari di Ngagelan dan dua hari di Pancur di dapatkan
persentase dan proprsi waktu aktivitas biawak. Data kedua lokasi tersebut kemudian
dibandingkan. Aktivitas yang dibandingkan meliputi aktivitas berjemur (Basking), mencari
makan (Foraging), makan (Feeding), istirahat (Resting), dan lainnya (Other).
Mencari Makan (foraging)
Aktivitas mencari makan (foraging) merupakan aktivitas yang mempunyai persentase
terbesar di kedua lokasi. Ngagelan memiliki persentase sebesar 32,7% pada hari kedua dan
Pancur memiliki persentase sebesar 25,22% pada hari pertama dan 33,7% pada hari kedua.
Aktivitas biawak pada hari pertama di Ngagelan tidak tercatat karena tidak terjadi perjumpaan
dengan biawak. Persentase aktivitas ini besar karena kurang melimpahnya pakan alami.
Biawak akan menunggu pakan non alami untuk bisa makan. Persentase di Pancur besar
karena di wilayah ini biawak mencari makan (foraging) di dekat warung. Pakan non alami
yang dimakan oleh biawak meliputi ikan bekas manusia. Warung membuang limbah tersebut
setiap pagi hari. . Pada saat pengamat melakukan pengamatan di Ngagelan, pakan alami
masih cukup berlimpah karena sedang terjadi musim peneluran penyu. Sehingga biawak aktif
melakukan aktivitas mencari makan pada pagi hari dan siang hari. Pakan non alami yang
tersedia di Ngagelan adalah potongan ikan untuk makan tukik di penangkaran.
Makan (Feeding)
Aktivitas ini, wilayah Pancur pada pengamatan hari kedua memiliki persentasinya
17,56 % pada hari kedua dan di wilayah Ngagelan persentase paling rendah yaitu 8,62% pada
hari kedua sementara itu di wilayah Pancur pada hari pertama persentasenya 12,6 %. Wilayah
pancur memiliki persentase terbesar yaitu karena di wilayah ini pakan non alaminya yang
berlimpah. Biawak dengan kemampuan indera penciumannya yang tajam akan bergerak
mencari sumber pakan tersebut. Melimpahnya pakan non alami ini, membuat biawak
bergantung pada makanan non alami yang tersedia. Selain itu, tempat kemungkinan sarang
biawak terletak di dekat warung. Proporsi waktu aktif biawak untuk mencari makan di lokasi
ini hampir sepanjang hari, tetapi meningkat pada pukul 15.00-17.00. Di Ngagelan, Biawak
terlihat hanya memakan makanan non alam pada pagi hari. Menurut keterangan petugas,
biawak di Ngagelan mencari makan di pinggir pantai pada sore hari.
Berjemur (Basking) Aktivitas berjemur (basking) yang paling tinggi terjadi di Pancur pada hari pertama
yaitu sebesar 9 % dan persentase berjemur pada hari kedua di Pancur hanya 6,75% sementara
itu di Ngagelan memiliki aktivitas berjemur yang paling rendah yaitu 3,44%. Hal ini bisa
terjadi karena biawak di Pancur sudah tidak terganggu oleh kehadiran pengamat. Pada saat
pengamatan terlihat biawak berjemur dan tidak terganggu oleh kehadiran manusia. Sedangkan
34
pada wilayah Ngagelan, biawak terganggu dengan kehadiran pengamat pada saat biawak
sedang berjemur. Kondisi cuaca di kedua tempat pada saat pengamatan adalah cerah sehingga
kondisi ini sangat cocok bagi biawak untuk melakukan aktivitas berjemur (basking).
Istirahat (Resting)
Aktivitas istirahat (resting) ini paling banyak dilakukan oleh biawak di Pancur pada hari
pertama yaitu 18,01 % dan diikuti oleh biawak di Ngagelan yaitu 12,06% sementara yang
paling rendah adalah aktivitas di Pancur pada hari kedua sebesar 4,05%. Di Pancur memiliki
persentasenya paling besar adalah karena biawak terlihat memasuki sarang di lokasi Pancur.
Sarang ini merupakan gabungan dari akar rotan yang membentuk sebuah lubang.
Aktivitas lainnya (Other)
Aktivitas lainnya yang tercatat adalah menggali tanah (burrowing) untuk mencari
makan, dan berdiam utntuk menyadari adanya bahaya. Biawak menyadari adanya tanda baaya
dengan berdiam diri sejenak dan menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Pada aktivitas
ini, yang memiliki presentase yang paling tinggi adalah Ngagelan sebesar 18 %. Biawak di
Pancur memiliki presentase sebesar 12,61% dan 15,31 pada hari kedua dan pertama.
KESIMPULAN DAN SARAN
Aktivitas biawak di Pancur dan di Ngagelan adalah Mencari makan, istirahat, makan,
bergerak, dan lainnya. Aktivitas mencari makan (Foraging) merupakan aktivitas yang paling
banyak dilakukan oleh biawak air asia (Varanus salvator) di wilayah Pancur dan Ngagelan,
Taman Nasional Alas Purwo. Biawak air asia (Varanus salvator) memiliki waktu aktif pada
pagi hari, siang hari dan sore hari.
REFERENSI
Altmann,Jeanne.1974. Observational Study of Behaviour :Sampling methods.Chicago
Bennet.1991. A the Varanus gouldii and Sauromalus llispidus. review of IiOIIIC Soviel
literalure concerning the grey .
Jensen, P., B. Algers, and I. Ekesbo. 1986. Methods of Sampling and Analysis of Data in
Farm Animal Ethology. Birkha¨user, Basel, Switzerland.
Koch, A., E. Arida and W. Böhme. 2007a. Zwischenbericht über die Herpetofauna Sulawesis
unter besonderer Berücksichtigung der Gattung Varanus: phylogeographische
Beziehungen zu angrenzenden Gebieten. Elaphe 15(3): 42-52.
Murthy T.SN. 1995. Monitors· the giant lndlan lizards. Sci. Reponcr. 15(6): 419-420
Rawlinson P.A. 1971.The reptiles of West GippsL'IIld. Proc.Roy .Soc. Victoria 84( I ): 37-52
Taylor E.H _ 1922. Lizards of the Philippine . Islands. Publ. no 17. Bureau of Printing.
Manila.
35
POPULASI DAN TINGKAH LAKU LUTUNG (Trachypithecus auratus)
DI KAWASAN HUTAN PANTAI TRIANGULASI – PANCUR
TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR
Nurjannah Yuanisa Ruliyanti, Erri Noviar Megantara, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Lutung (Trachypithecus auratus, Geoffroy 1812) adalah satwa endemik Indonesia. Primata
ini tergolong satwa diurnal yang aktif berkegiatan pada siang hari dan hidupnya di atas pohon
atau arboreal. Lutung hidup secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 7 – 20 ekor
lutung, di dalamnya terdapat seekor jantan sebagai pemimpin kelompok dan beberapa betina
dewasa. Kelompok herbivora ini memiliki rambut berwarna hitam keperakan sedangkan
bayinya berwarna jingga, ukuran tubuh sekitar 55 cm dengan panjang ekor dapat mencapai
dua kali panjang tubuhnya.Penelitian yang dilakukan menggunakan metode survey lapangan
dengan teknik sampling jelajah menggunakan jalur yang representatif di sepanjang kawasan
hutan pantai Triangulasi hingga Pancur. Data populasi dikumpulkan dengan melakukan
sensus kelompok dan sensus individu, sedangkan pencatatan tingkah laku dilakukan ketika
terjadi perjumpaan dengan kelompok lutung berdasarkan metode ad libitum. Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa di sepanjang kawasan hutan pantai
Triangulasi hingga Pancur terdapat enam kelompok lutung. Setiap kelompok dipimpin oleh
seekor jantan dewasa, dan terdapat beberapa betina dewasa. Aktivitas yang banyak diamati
ketika terjadi pertemuan dengan lutung adalah makan dan berpindah. Pada saat makan,
herbivora ini duduk menyebar dalam kelompoknya. Ketika berpindah dapat diamati, para
satwa arboreal ini melompati, menuruni, dan memanjati dahan-dahan dan ranting pohon satu
ke pohon lainnya untuk berpindah.
Kata kunci: Lutung, Pancur, Populasi, Tingkah laku, Triangulasi
PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data tingkah laku dan populasi lutung di kawasan
hutan pantai Triangulasi hingga Pancur, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur.
Dilatarbelakangi oleh status lutung yang merupakan satwa endemik Indonesia namun
tergolong dalam status konservasi terancam (vulnerable) menurut Red list IUCN dan
termasuk dalam Apendiks II CITES yang mana satwa langka dan dilindungi dalam
perdagangannya, tetapi masih bisa diperdagangkan dalam jumlah yang terbatas, karena
jumlahnya yang semakin berkurang. Maka perlu dilakukan penelitian mengenai populasi dan
tingkah laku lutung guna memberikan informasi terkini tentang populasi lutung di alam dan
tingkah lakunya agar dapat memastikan jenis usaha konservasi seperti apa yang sesuai dan
dapat diterapkan oleh pihak taman nasional.
36
ALAT DAN METODE
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System),
binokuler, kamera, jam tangan, dan alat tulis serta worksheet. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survey lapangan dengan teknik sampling jelajah menggunakan
jalan yang representatif mewakili daerah penelitian. Pengumpulan data populasi dilakukan
dengan cara sensus kelompok dan individu. Dalam setiap perjumpaan dengan kelompok
lutung dihitung jumlah individu kelompok berdasarkan komposisi jenis kelamin, kelas, dan
tingkat usia lalu dicatat dalam lembar kerja. Pengambilan data perilaku menggunakan metode
ad libitum dilakukan dengan mencatat setiap aktivitas yang terlihat. Ketika dalam penelusuran
jalur penjelajahan ditemui kelompok lutung, maka akan dilakukan pula pencatatan tingkah
laku yang terlihat.
HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama tiga hari, setiap pagi dan sore
hari, didapatkan adanya 6 kelompok lutung yang tersebar di kawasan hutan pantai Triangulasi
hingga Pancur. Kelompok pertama ditemukan di blok Pancur dan dinamakan Pancur 3.
Kelompok ini beranggotakan 11 ekor lutung, dipimpin oleh seekor jantan dewasa, dengan 2
ekor betina dewasa, 3 remaja, 4 anak-anak, dan 1 bayi. Kelompok kedua masih ditemukan di
blok Pancur dan diasumsikan sebagai Pancur 2. Kelompok beranggotakan 19 ekor primata
berambut hitam ini dipimpin seekor jantan dewasa, dengan 3 ekor bayi, 4 individu betina
dewasa, 5 remaja, dan 6 anak-anak. Selanjutnya kelompok Pancur 1 yang ditemukan di
sekitar camping ground Resort Pancur beranggotakan 12 ekor lutung, di antaranya ialah 1
ekor jantan dewasa, 2 betina dewasa, 3 remaja, 4 anak-anak, dan 2 bayi. Selain kelompok
lutung Pancur 1, Pancur 2, dan Pancur 3, kelompok lutung Sunglon Ombo yang ditemukan di
sekitar Jembatan Sunglon Ombo pun berada di blok Pancur. Kelompok ini terdiri dari 1 ekor
jantan, 1 betina dewasa, 1 bayi, 3 remaja, dan 2 anak-anak, dengan total 8 individu.
Selain 4 kelompok yang ditemukan di sepanjang blok Pancur, 2 kelompok lagi di
temukan di blok Triangulasi. Kelompok Triangulasi 1 ditemukan di pertigaan Triangulasi-
Rowobendo-Pancur, kelompok Triangulasi 2 dapat dijumpai di sekitar kawasan Hutan Pantai
Triangulasi. Kelompok Triangulasi 1 beranggotakan 13 individu dengan rincian 1 individu
jantan dewasa, 3 induk dengan 3 bayi, 4 remaja dan 2 anak-anak. Serta kelompok Triangulasi
2 beranggotakan 18 individu dengan 5 bayi dan induknya individu, 1 ekor alpha male, 4 ekor
remaja dan 3 anak-anak. Dari keenam kelompok lutung yang diamati dapat diketahui besar
populasi lutung dikawasan tersebut sebanyak 81 individu dari berbagai tingkat usia dan jenis
kelamin.
Ketika terjadi perjumpaan, lutung teramati sedang makan bersama kelompoknya.
Lutung makan dalam posisi duduk yang stabil di dahan pohon, dengan satu tangan memegang
ranting atau dahan dan tangan lainnya mengambil daun atau buah lalu dimasukkan dalam
mulutnya. Induk lutung makan bersama bayi dalam pelukannya atau bayi lutung dibiarkan
bermain di sekitarnya. Lutung remaja biasanya makan bergerombol sambil bermain di dahan
pohon, sedangkan lutung jantan dewasa mencari makan di tajuk pohon terluar sambil
mengawasi kelompoknya. Selama aktivitas makan berlangsung, dapat diamati lutung remaja
bermain dan lutung betina mengasuh anaknya.
Alpha male menurut kamus Oxford adalah pejantan yang paling dominan dalam suatu
kelompok. Dapat diartikan, bahwa alpha male merupakan jantan pemimpin suatu kelompok.
37
Individu dalam posisi ini biasa terlihat dari ukuran badannya yang lebih besar dibanding yang
lain dalam kawanannya. Pemimpin dalam kelompok lutung teramati selalu memperhatikan
kelompoknya saat sedang beraktivitas, dan jika ada gangguan terhadap kelompoknya ia akan
bersifat agnositik dengan memperlihatkan geramannya ataupun menunjukkan pengawasan
dan kewaspadaan. Betina dewasa akan mudah terlihat jika telah memiliki bayi, karna bayi
tersebut akan terus berada di sekitar induk lutung.
Selama pengamatan berlangsung, terlihat beberapa makanan yang dikonsumsi oleh
masing-masing kelompok lutung bergantung dengan tumbuhan apa yang ada di dalam daerah
jelajahnya, daerah jelajah lutung rata-rata menurut Husodo (2002) adalah 2,78 hektar.
Diantaranya adalah keben (Barringtonia asiatica), malapari (Pongamia pinnata), jati
(Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), serta alaban(Vitex pubescens). Tumbuhan
ini mayoritas berada di sepanjang kawasan hutan pantai Triangulasi – Pancur.
Setelah makan dan menetap lama di wilayah tersebut, lutung akan berpindah untuk
mencari pohon makanan baru. Selama perpindahan terjadi, lutung jantan biasa memimpin
pergerakan, diikuti lutung betina dengan bayinya, lutung remaja akan bergerak terakhir dan
mengawasi daerah sekitarnya. Ketika berpindah, lutung menggunakan keempat tungkainya
untuk melompat, menurun, dan memanjat dahan pohon, kecuali bayi lutung. Bayi lutung akan
berpindah dalam pelukan induknya atau ia akan belajar berpindah dengan meraih dahan
pohon terdekat menggunakan tungkai depannya untuk berpindah dari pohon satu ke lainnya.
Ketika matahari mulai naik dan menjelang siang hari, kelompok lutung mulai berpindah
ke dalam hutan yang tutupannya lebih lebat, sehingga lebih teduh untuk beristirahat. Kegiatan
ini terus berlangsung hingga kembali terjadi pergerakan saat sore hari. Disaat sore hari lutung
kembali beraktivitas. Herbivora ini mulai berpindah kembali untuk mencari makanan, dan
mencari pohon tempat istirahat di malam hari.
TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1. Populasi Lutung
No Kelompok Lokasi
Jumlah Individu Kelompok Vegetasi
sekitar Dewasa
Remaja Anak
-anak Bayi Total
Jantan Betina
1 Pancur 3 Blok
Pancur 1 2 3 4 1 11
Tectona
grandis,
Swietenia
mahagoni,
Vitex
pubescens
2 Pancur 2 Blok
Pancur 1 4 5 6 3 19
Tectona
grandis,
Swietenia
mahagoni,
Vitex
pubescens
38
3 Pancur 1 Resort
Pancur 1 2 3 4 2 12
Tectona
grandis,
Swietenia
mahagoni,
Vitex
pubescens
4 Sunglon
Ombo
Jembatan
Sunglon
Ombo
1 1 3 2 1 8
Tectona
grandis,
Swietenia
mahagoni,
Vitex
pubescens,
Palem
5 Triangulasi
1
Pertigaan
Triangulasi 1 3 4 2 3 13
Baringtoni
a asiatica,
Pongamia
pinata
6 Triangulasi
2
Hutan
Pantai
Triangulasi
1 5 4 3 5 18
Baringtoni
a asiatica,
Pongamia
pinata
TOTAL = 6 KELOMPOK LUTUNG TOTAL INDIVIDU = 81 EKOR LUTUNG
Gambar 1. Alpha male Gambar 2. Induk lutung sedang makan
Gambar 3. Betina dewasa mengasuh anaknya Gambar 4. Lutung sedang berpindah
39
Gambar 5. Bayi lutung memiliki rambut jingga Gambar 6. Lutung remaja mengawasi sekitar
Gambar 7. Feses lutung
Gambar 8. Pohon tinggi Sleeping site
Gambar 9. Lutung Gambar 10. Lutung duduk di pohon
40
Gambar 11. Makanan lutung Pongamia pinnata Gambar 12. Makanan lutung Baringtonia asiatica
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pengamatan dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan, sebagai berikut:
1. Di sepanjang kawasan hutan pantai Triangulasi hingga Pancur dapat ditemukan
lutungdengan populasi sebanyak 81 ekor lutung dari enam kelompok yang ditemukan.
2. Tingkah laku yang dapat diamati selama pengamatan di lapangan adalah tingkah laku
lutung antar individu dalam kelompoknya, antar lutung betina dewasa, induk, bayi,
remaja, anak-anak, dan jantan dewasanya dalam setiap aktivitas, baik saat makan,
berpindah, istirahat, dan aktivitas lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Keberlangsungan penelitian ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa bantuan dan izin
yang diberikan, terima kasih kepada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran serta pengelola Taman Nasional Alas Purwo.
REFERENSI
Arifin, Syamsul. 2010. Pola Aktivitas Harian Owa Jawa (Hylobatesmoloch Audebert, 1798)
di Hutan Rasamala Resot Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Owa Jawa di Bodogol Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango Periode 2000 – 2010.
Husodo, Teguh dan Erri N. Megantara. 2002. Distribusi dan Daerah Jelajah Lutung
(Trachypithecusauratussondaicus) di Taman Wisata Alam Pangandaran. Jurnah
Biotika, Vol. 1, No. 1, Juni 2002 : 36 – 47.
Megantara, Erri N. 2004. Penyebaran dan Populasi Lutung (Trachypithecusauratus
sondaicus) di Cagar Alam/Taman Wisata Pangandaran. Jurnal Bionatura, Vol. 6, No.
3, November 2004 : 260 – 271
41
KEANEKAAN JENIS BURUNG PADA EKOSISTEM EKOTONE
PADANG PENGGEMBALAAN SADENGAN, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO,
JAWA TIMUR
Gammi Puspita Endah, Erri Noviar Megantara, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Penelitian mengenai keanekaan jenis burung pada ekosistem ekotone padang penggembalaan
Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo telah dilakukan pada tanggal 2 – 11 Mei 2014.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode point count (Reynold et al.,
1980). Ditemukan 29 jenis burung dari 20 famili dengan burung yang teramati pada titik
pengamatan sebanyak 19 jenis. Merak hijau (Pavo muticus) merupakan jenis burung yang
paling sering ditemui pada saat pengamatan dan memiliki tingkat persebaran paling tinggi di
lokasi penelitian yaitu sebesar 35.71%. Jenis burung yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi
adalah merak hijau (Pavo muticus) dengan nilai sebesar 17.78%. Status konservasi burung
dari hasil pengamatan adalah sebanyak 3 jenis burung berstatus Near threatened, 1 jenis
berstatus Vulnerable, dan 1 jenis berstatus Endangereddengan 2 jenis burung termasuk ke
dalam Appendices II serta 12 jenis burung dilindungi PP No. 7 Tahun 1999. Indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Wiener sebesar H’=2,57 yang menunjukan keanekaan jenis
burung di lokasi penelitian termasuk kategori sedang. Indeks kerataan sebesar 0,87 yang
menunjukan persebaran burung di lokasi penelitian merata. Kategori feedingguildyang paling
dominan dilokasi penelitian adalah kategori insectivorous dengan jumlah jenis burung
terbanyak yaitu lima jenis.
Kata kunci : Burung, Keanekaan jenis, Ekotone, Point Count
PENDAHULUAN
Burung dapat ditemukan diberbagai tipe ekosistem baik ekosistem alami maupun
ekosistem buatan manusia. Penyebarannya yang luas menjadikan burung sebagai sumber
kekayaan hayati yang potensial di Indonesia (Hadinoto, Mulyadi, dan Siregar, 2012).
Di alam burung memegang peranan penting untuk kelangsungan suatu ekosistem.
Jenis-jenis burung pemakan buah merupakan agen pemencar biji tumbuhan buah yang
dimakannya, hal ini secara tidak langsung membantu dalam pelestarian tumbuhan tersebut.
Jenis burung pemakan seranggajuga membantu dalam pengendalian populasi hama. Dari
peranannya tersebut maka keberadaan burung di dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan.
Kehadiran burung jenis tertentu pada suatu tempat dapat dikarenakan oleh kesukaan
burung tersebut terhadap habitatnya. Secara umum, habitat burung dapat dibedakan atas
habitat di darat, air tawar, dan laut, serta dapat dibagi lagi menurut tanaman-nya seperti hutan
lebat, semak maupun rerumputan (Rusmendro, 2004).
Habitat merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluk hidup termasuk
burung. Salah satu kawasan yang memiliki habitat yang beragam di Indonesia adalah Taman
Nasional Alas Purwo. Salah satu ekosistem yang ada di Taman Nasional Alas Purwo adalah
ekosistem savana. Savana yang terdapat di Taman Nasonal Alas Purwo merupakan savana
sekunder atau savana buatan. Dengan dibukanya lahan hutan menjadi savana terjadilah suatu
42
wilayah peralihan antara hutan dataran rendah dengan savana atau disebut ekotone. Salah satu
karakteristik terkenal ekotone adalah bahwa mereka memiliki keanekaragaman hayati yang
lebih tinggi dari ekosistem disekitarnya dan dengan demikian memegang nilai konservasi
tinggi (Risser 1995, Leopold 1933, Petts, 1990; Odum, 1983).
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif analisis. Pengumpulan data
burung menggunakan metode titik hitung atau point count (Reynold et al., 1980 dalam Bibby
et al., 1992). Titik hitung berjumlah 14 titik. Jarak antar titik hitung adalah 150 meter untuk
menghindari penghitungan ganda dengan radius pengamatan sebesar 30 m yang disesuaikan
dengan kemampuan pengamat dan visibilitas daerah pengamatan. Pengamatan dipisah
menjadi dua sesi pagi hari pada pukul 6.00 s/d 11.00 WIB dan sore hari pada pukul 15.00 s/d
17.00 WIB.. Penentuan kategori feeding guild didasarkan pada MacKinnon (2010).
Analisis Data
Indeks keanekaan menggunakan rumus Shannon-Wiener (1949) :
Dimana : H’ : Indeks Keanekaan Shannon-Wiener
ni : jumlah individu setiap jenis i
N : jumlah individu seluruh jenis burung
Indeks kerataan menggunakan rumus Pielou dalam Ludwig & Reynolds (1988) :
Dimana : E : indeks kerataan
S : jumlah jenis
H’ : indeks Shannon-Wiener
Kelimpahan jenis burung dihitung menggunakan rumus :
dimana : Ab : Kelimpahan jenis burung
ni : jumlah individu jenis i
N : Jumlah total individu seluruh jenis
Frekuensi relatif tiap jenis burung dihitung menggunakan rumus:
Dimana : Fm = jumlah titik ditemukan jenis i
jumlah total titik pengamatan
Fr : frekuensi relatif
Fm : frekuensi mutlak
HASIL DAN DISKUSI
Kelimpahan dan Distribusi Jenis Burung
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan 29 jenis burung yang berasal dari
20 famili. Sebanyak 19 jenis burung teramati di dalam radius titik hitung.
Tabel 1. Distribusi dan Kelimpahan Burung di Lokasi Penelitian
43
No Nama Jenis Nama Ilmiah F FR(%) Ind Ab
1 Bangau tong-tong Leptoptilos javanicus 1 7.14 1 2.22
2 Bentet Kelabu Lanius schach 3 21.43 4 8.89
3 Cekakak suci Todiramphus sanctus 1 7.14 1 2.22
4 Cekakak sungai Todiramphus chloris 1 7.14 1 2.22
5 Cipoh kacat Aegithina tipia 1 7.14 1 2.22
6 Cinenen kelabu Orthotomus rufieps 1 7.14 1 2.22
7 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster 1 7.14 3 6.67
8 Elang ular bido Spilornis cheela 1 7.14 1 2.22
9 Gagak hutan Corvus enca 2 14.29 7 15.56
10 Jinjing batu Hemipus hirundaceus 1 7.14 1 2.22
11 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus 1 7.14 1 2.22
12 Kerak kerbau Acridotheres javanicus 2 14.29 2 4.44
13 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier 3 21.43 7 15.56
14 Merak Hijau Pavo muticus 5 35.71 8 17.78
15 Pergam ketanjar Ducula rosacea 2 14.29 2 4.44
16 Sepah hutan Pericrorotus flameus 1 7.14 1 2.22
17 Srigunting hitam Dicrucus macrocercus 1 7.14 1 2.22
18 Takur tulung tumpuk Megalaima javanensis 1 7.14 1 2.22
19 Tiong mas Gracula religiosa 1 7.14 1 2.22
Total
45
Dari hasil analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa jenis burung yang
memilikikelimpahan tertinggi adalah Merak hijau (Pavo muticus) dengan nilai kelimpahan
sebesar 17.78% dan jumlah individu yang ditemukan pada lokasi pengamatan sebanyak 8
ekor. Karakteristik habitat merak hijau adalah areal terbuka yang dikelilingi oleh hutan, merak
hijau menyukai habitat terbuka yang ditumbuhi rerumputan sebagai tempat mencari makan
dan menyukai tempat terbuka yang ditumbuhi semak sebagai tempat bersarang (Hernowo,
2011).
Dari hasil analisis diketahui bahwa jenis burung dengan nilai frekuensi relatif tertinggi
adalah Merak hijau dengan nilai frekuensi sebesar 35,71%. Frekuensi relatif akan
memberikan informasi intensitas pertemuan setiap jenis burung serta tingkat penyebarannya
yang merata atau tidak merata yang dapat dilihat dari jumlah titik pengamatan menjumpai
suatu spesies burung tertentu. Oleh karena itu, semakin banyak titik pertemuan dengan spesies
burung tertentu maka semakin merata penyebarannya di lokasi penelitian (Hafif, 2013).
Dengan tingginya nilai frekuensi Merak hijau menunjukan bahwa jenis ini memiliki distribusi
yang merata di lokasi penelitian karena intensitas kehadirannya yang tinggi di titik hitung
yang telah dibuat.
44
Keanekaan Jenis dan Kemerataan Jenis Burung
Keanekaan jenis burung di lokasi penelitian di analisis menggunakan Indeks Shannon-
Wiener. Kemerataan jenis burung dianalisis menggunakan indeks Pielou dalam Ludwig &
Reynolds (1988). Hasil dari penghitungan adalah sebagai berikut :
Grafik 1. Nilai Indeks Keanekaan Jenis dan Kemerataan Jenis Burung di Lokasi
Penelitian
Berdasarkan analisis yang dilakukan didapatkan indeks keanekaan jenis sebesar 2,57.
Menurut Magurran (2004) nilai indeks keanekaan jenis burung dengan nilai 1,5 – 3,5
menunjukkan keanekaan yang sedang. Dengan demikin keanekaan jenis burung di lokasi
penelitian masuk ke dalam kategori sedang. Hal ini menunjukan bahwa lokasi penelitian
masih menyediakan daya dukung lingkungan yang baik untuk burung.
Kemeratan jenis burung pada lokasi penelitian adalah sebesar 0,87. Nilai kemerataan
jenis di lokasi penelitian mendekati nilai 1 sehingga dapat dikategorikan persebaran burung
dilokasi penelitian merata. Nilai kemerataan ini dapat menunjukan kompetisi intraspesies
yang tidak tinggi, dimana ketersediaan pakan yang dibutuhkan oleh suatu jenis burung dapat
diperoleh tidak pada hanya satu lokasi, tetapi pada sebagian besar wilayah (Hafif, 2013).
Status Konservasi Burung Dari 29 jenis burung yang teramati berikut merupakan status konservasi burung yang
ditemukan pada saat pengamatan.
Tabel 2. Status Konservasi Burung Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999,
IUCN, dan CITES
No Famili Nama Indonesia Nama Ilmiah Status Konservasi
IUCN CITES UU RI
1
Accipitridae
Elang laut perut putih Haliaeetus leucogaster LC - D
2 Elang hitam Ictinaetus malayensis LC - D
3 Elang brontok Nisaetus cirrhatus LC - D
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
Ekotone Sadengan
Indeks Keanekaan Jenis
Indeks Kemerataan
45
4 Elang ular bido Spilornis cheela LC - D
5
Alcedinidae
Cekakak Sungai Todiramphus chloris LC - D
6 Cekakak Suci Todiramphus sanctus LC - D
7 Raja udang punggung
merah Ceyx rufidorsa LC - D
8 Ardeidae Blekok sawah Ardeola speciosa LC - -
9 Bucerotidae
Kengkareng perut
putih
Anthracoceros
albirostris LC - D
10 Rangkong badak Buceros rhinoceros NT - D
11 Campephagidae
Sepah hutan Pericrocotus flammeus LC - -
12 Jinjing batu Hemipus
hirundinaceus LC - -
13 Chloropseidae Cipoh kacat Aegithina tiphia LC - -
14 Columbidae Pergam ketanjar Ducula rosacea NT - -
15 Ciconiidae Bangau tong-tong Leptoptilos javanicus V - D
16 Corvidae Gagak hutan Corvus enca LC - -
17 Cuculidae Wiwik kelabu Cacomantis merulinus LC - -
18 Dicruridae Srigunting hitam Dicrurus macrocercus LC - -
19 Laniidae Bentet kelabu Lanius schach LC - -
20 Meropidae Kirik-kirik senja Merops leschenaulti LC - -
21 Phasianidae Merak Hijau Pavo muticus EN Appendi
ces II D
22 Picidae Pelatuk besi Dinopium javanense LC - -
23 Pycnonotidae
Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster LC - -
24 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier LC - -
25 Capitonidae Takur tulung tumpuk Megalaima javensis NT - D
26 Sturnidae
Tiong emas Gracula religiosa LC Appendi
ces II -
27 Kerak kerbau Acridotheres javanicus LC - -
28 Sylviidae Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps LC - -
29 Zosteropidae Kacamata Biasa Zosterops palpebrosus LC - -
Ket : LC = Least concern (Resiko rendah), NT =Near threatened (Mendekati terancam
punah), EN = Endangered (Terancam punah), D = Dilindungi
Status konservasi menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources) menunjukan bahwa terdapat tiga jenis yang masuk ke dalam status Near
threatened atau mendekati terancam punah. Tiga jenis burung tersebut adalah Rangkong
badak, Pergam ketanjar, dan Takur tulungtumpuk. Bangau tong-tong merupakan jenis burung
yang masuk dalam kategori Vulnerable atau rentan. jenis burung yang masuk ke dalam status
Endangered atau terancam punah yaitu Merak hijau. Tekanan terhadap populasi Merak hijau
di pulau jawa sangat besar. Menurut Hernowo (2011), Tekanan utama pada populasi Merak
hijau adalah perburuan liar (telur, bulu, dan individu), perusakan habitat hijau jawa,
penyempitan dan konversi habitat merak.
46
Berdasarkan daftar CITES terdapat dua jenis burung yang termasuk ke dalam kategori
appendices II yaitu Merak hijau dan Tiong mas. Jenis yang dikategori appendices II adalah
jenis yang tidak terancam punah, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus
berlanjut tanpa adanya pengaturan. Sehingga keberadaan Merak hijau dan Tiong mas harus
terus dipantau karena berisiko punah apabila terus menerus dilakukan perdagangan.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 terdapat 12 jenis
burung yang dilindung yaitu jenis burung dari famili Accipitridae (Elang laut perut putih,
Elang hitam, Elang brontok, dan Elang ular bido), jenis burung dari famili Alcedinidae
(Cekakak sungai, Cekakak Suci, dan Raja udang punggung merah), jenis burung dari famili
Bucerotidae (Kengkareng perut putih dan Rangkong badak), jenis burung dari famili
Ciconiidae (Bangau tong-tong), jenis burung dari famili Phasianidae (Merak hijau) dan jenis
burung dari famili Capitonidae (Takur tulungtumpuk). Burung dari famili Accipitridae
merupakan top predator di alam, keberadaan top predator, sebagai puncak dari piramida
makanan, sering diidentikan dengan korelasi postitif terhadap keseimbangan ekosistem di
suatu wilayah (Hafif, 2013). Dengan masih banyaknya jenis burung top predator menunjukan
bahwa lokasi penelitian memiliki kelimpahan sumber pakan dan kondisi lingkungan yang
masih baik.
Pengelompokan Burung Berdasarkan Feeding Guild
Pengelompokan feeding guild didasarkan pada MacKinnon (2010) dimana dibuat enam
pengelompokan yaitu pemakan daging atau bangkai (carnivorous), pemakan biota air
(piscivorous), pemakan buah (frugivorous), pemakan biji (granivorous), pemakan serangga
(insectivorous), dan pemakan nektar (nectarivorous). Berikut merupakan daftar jenis burung
yang dikategorikan berdasarkan feeding guild-nya.
Tabel 3. Pengelompokan Burung Berdasarkan Feeding Guild
No. Nama Jenis Nama Ilmiah Feeding
guild
1 Bangau tong-tong Leptoptilos javanicus Ca-Pi
2 Bentet Kelabu Lanius schach Ca-Ins
3 Cekakak suci Todiramphus sanctus Ins-Pi
4 Cekakak sungai Todiramphus chloris Ins-Pi
5 Cipoh kacat Aegithina tipia Fru-Ins
6 Cinenen kelabu Orthotomus rufieps Ins
7 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Fru-Ins
8 Elang ular bido Spilornis cheela Ca
9 Gagak hutan Corvus enca Ca-Fru
10 Jinjing batu Hemipus hirundaceus Ins
11 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Fru-Ins
12 Kerak kerbau Acridotheres javanicus Ins
13 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Fru-Ins
14 Merak Hijau Pavo muticus Fru-Ins
15 Pergam ketanjar Ducula rosacea Fru-Gra
47
16 Sepah hutan Pericrorotus flameus Ins
17 Srigunting hitam Dicrucus macrocercus Ins
18 Takur tulung tumpuk Megalaima javanensis Fru
19 Tiong mas Gracula religiosa Fru
Dari tabel yang telah disajikan sebelumnya terlihat kelompok Insectivorous
merupakan kelompok feeding guild terbesar di lokasi pengamatan. Kategori insectivorous
memiliki lima jenis burung yang tergolong di dalamnya Cinenen kelabu, Jinjing batu, Kerak
kerbau, Sepah hutan, dan Srigunting hitam. Kategori insectivorous yang tinggi pada lokasi
pengamatan menunjukan kecenderungan bahwa keberadaan serangga di lokasi pengamatan
melimpah. Keadaan lokasi pengamatan yang didominasi oleh semak dan rumput
memudahkan jenis burung pemakan serangga untuk mencari pakan. Hal lain yang mendukung
kemelimpahan serangga di lokasi pengamatan adalah kehadiran hewan megaherbivore seperti
Banteng, Rusa, dan Kijang. Hewan-hewan ini menghasilkan feses yang disenangi oleh
beberapa jenis serangga seperti kumbang atau serangga permukaan tanah lainnya. Keberadaan
serangga ini menjadi sumber pakan bagi jenis-jenis burung insectivorous.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tercatat 45 individu, dari 19 jenis yang termasuk kedalam 15 famili. Nilai Indeks
Keanekaan Shannon-Wiener pada lokasi penelitian adalah H’=2,57.
2. Jenis burung dengan nilai kelimpahan tertinggi adalah Merak hijau dengan nilai
kelimpahan sebesar 17.7%. Jenis burung dengan nilai frekuensi relatif tertinggi adalah
Merak hijau dengan nilai frekuensi relatif sebesar 35.71%, tingginya nilai frekuensi
relatif ini menunjukan persebaran Merak hijau yang merata pada lokasi penelitian.
3. Kategori feeding guild yang memiliki jumlah jenis terbanyak adalah kategori
insectivorous dengan lima jenis. Sedangkan carnivorous-piscivorous, carnivorous-
insectivorous, carnivorous, dan carnivorous-frugivorous merupakan kategori feeding
guild yang memiliki jumlah jenis paling sedikit yaitu satu jenis.
REFERENSI
Bibby C, Martin J, Stuart M. 1998. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung.
Jakarta: Birdlife International-Indonesia Programme.
Hadinoto, Aras M., Yusni IS. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Kota Pekanbaru.
Jurnal Ilmu Lingkungan.
Hafif AR. 2013. Struktur Komunitas Burung di Kawasan Karst Citatah, Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
Hernowo JB. 2011. Ekologi Merak Hijau Jawa (Pavo muticus muticus) Linnaeus 1758, Pada
Beberapa Tipe Habitat di Ujung Timur Penyebarannya, Jawa Timur, Indonesia.
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
MacKinnon J, Karen P, Bas van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan
Kalimantan. Bogor : Puslitbang Biologi - LIPI.
48
Magurran AE. 2004. Ecological Diversity and Its measurement. Princeton University Press.
New Jersey
Odum EP. 1983. Basic ecology. Saunders College Publishing, Philadelphia.
Petts GE. 1990. The role of ecotones in aquatic landscape management. In: The Ecology and
management of aquatic-terrestrial ecotones (Ed. by R.J. Naiman and H. Décamps), pp.
227-261. UNESCO, Paris.
Rusmendro H. 2004. Materi Perkuliahan Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas
Nasional.Jakarta.
Risser PR. 1995. The Status of the science examining ccotones - A Dynamic aspect of
landscape is the area of steep gradients between more homogeneous vegetation
associations. Bioscience 45(5):318-325.
49
POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)DI KAWASAN
TRIANGULASI – PANCURTAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR
Rizki Muhamad Y., Erri Noviar Megantara, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui populasi monyet ekor panjang di kawasan
Triangulasi - Pancur Taman Nasional Alas Purwo. Penelitian lapangan dilakukan melalui
metode survey “sigi” dengan pengamatan secara langsung di lapangan. Persebaran kelompok
dipetakan dengan GPS dan kemudian diplot ke dalam peta yang bersumber dari software
Google Earth. Struktur populasi dianalisis secara deskriptif dan sebagai data penunjang,
dilakukan identifikasi vegetasi pada daerah pertemuan kelompok monyet. Pada kawasan
Triangulasi - Pancur didapatkan 2 kelompok monyet ekor panjang dengan jumlah individu
total 71 ekor. Kelompok 1 di daerah pesanggrahan Triangulasi sebanyak 44 individu dan
kelompok 2 di resort Pancur sebanyak 27 individu. Tingkat kepadatan monyet ekor panjang
yang diperoleh 23,7 ekor/km2 dengan rata - rata individu per kelompok 35,5 ekor. Komposisi
struktur populasi total adalah 13 jantan dewasa, 10 betina dewasa, 12 jantan remaja, 7 betina
remaja, 24 anak - anak, dan 5 bayi. Besar kecilnya ukuran kelompok ditentukan oleh ada
tidaknya pemangsa dan kelimpahan sumber pakan yang ada di alam sekitarnya.
Kata kunci : Distribusi, Macaca fascicularis, Populasi
PENDAHULUAN
Primata merupakan salah satu fauna yang keanekaragamannya sangat beragam
terdapat sekitar 200 jenis primata yang masih hidup di dunia (Emeirl dan De Vore, 1987
dalam Juraij, 2011). Salah satu primata yang penyebarannya sangat luas di dunia yaitu genus
Macaca, salah satu spesiesnya adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan hewan yang mampu hidup dalam beragam
ekosistem mulai dari hutan bakau, dataran rendah, hingga pegunungan (BTNAP, 2012).
Monyet ekor panjang dapat berperan sebagai penyebar biji karena memakan buah -
buahan, pengkontrol populasi serangga dan kepiting, serta merupakan mangsa dari
berbagaipredator di alam. Peranan tadi menjadikan keberadaan monyet ekor panjang di alam
perlu dipertahankan. Kemampuannya dalam bertahan hidup di beragam ekosistem dan mudah
berkembang biak membuat fungsinya penting dalam menjaga keseimbangan beragam
ekosistem.
Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui populasi Monyet Ekor Panjang yang
terdapat di kawasan Triangulasi - Pancur Taman Nasional Alas Purwo. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk memperoleh data mengenai populasi Monyet Ekor Panjang di kawasan
Triangulasi - Pancur Taman Nasional Alas Purwo untuk menunjang upaya pengelolaan satwa
di Taman Nasional Alas Purwo.
50
ALAT, BAHAN, DAN METODE
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survey (“sigi”). Pengumpulan data
populasi dilakukan melalui observasi langsung di lapangan (Paterson, 1992), yaitu dengan
melakukan sensus kelompok dan individu. Alat yang digunakan selama penelitian adalah
binokuler, dan gps serta Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sebagai objek penelitian.
Penelitian diawali dengan melakukan survey pendahuluan untuk mengetahui
keberadaan dan lokasi kelompok serta kondisi habitat secara umum. survey
pendahuluandilakukan dengan menyusuri jalan setapak di sepanjang Kawasan Triangulasi -
Pancur Taman Nasional Alas Purwo sepanjang ± 3 km di tambah informasi dari petugas
Taman Nasional Alas Purwo untuk mencari lokasi ditemukannya monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis). Seluruh blok pertemuan kelompok tersebut kemudian diplot ke dalam
peta yang bersumber dari software Google Earth.
Pengumpulan data jumlah individu dalam setiap kelompok dilakukan dengan cara
sensus yang dilakukan berulang sampai jumlah individu yang dihitung tetap untuk
memperkecil kesalahan. Sensus secara intensif dilakukan mulai pukul 06.00 – 10.00 dan
15.00 – 18.00 WIB dengan menggunakan metode observasi langsung yaitu mendatangi lokasi
- lokasi ditemukannya kelompok monyet ekor panjang. Perhitungan jumlah individu dalam
kelompok beserta komposisinya dilakukan pada saat kelompok melakukan pergerakan
melintasi daerah tertentu seperti jalan setapak, menyebrangi pohon yang kanopinya saling
bersinggungan dan pergerakan tersebut diikuti sehingga data jumlah anggota dan
komposisinya tercatat seluruhnya. Setelah perhitungan suatu kelompok berakhir di satu blok,
pengamatan dilakukan ke blok selanjutnya dan perhitungan kembali dilakukan.
Individu jantan dewasa ditandai dengan ukuran tubuh relatif besar, tegap dan kuat
serta lebih agresif dan lincah, bagian dada yang lebar mengecil pada bagian pinggang, rambut
pada bagian muka lebih panjang daripada individu betina dan memiliki penis kecil dengan
skrotum berbentuk tombol bundar. Betina dewasa ditandai dengan ukuran tubuh 50-75% dari
ukuran jantan dewasa, memiliki kelenjar mammae serta prilaku yang lebih tenang (Rowe,
1996 dalam Widiastuty dkk., 2011). Individu remaja ditandai dengan ukuran tubuh yang
relatif lebih kecil dibandingkan individu dewasa dengan warna tubuh yang lebih kecoklat-
coklatan dan belum mempunyai rambut yang berbentuk jambul pada kepalanya (Rowe, 1996
dalam Widiastuty dkk., 2011), ukuran ekstrimitas telah mencapai puncaknya dan individu
mulai memasuki masa pubertas (Andrade dkk., 2004 dalam Tarore, 2011). Individu anak
ditandai dengan ukuran tubuh lebih kecil daripada individu remaja, sudah lepas dari induknya
(bergerak secara independen) dan aktivitas bermainnya lebih dominan. Individu bayi ditandai
dengan warna tubuh yang coklat atau hitam dan selalu berada dalam gendongan betina
dewasa (Rowe, 1996 dalam Widiastuty dkk., 2011).
Analisa data untuk mengetahui rata - rata individu dilakukan dengan menggunakan
rumus:
Rata-rata individu per kelompok = Jumlah individu seluruh kelompok
Jumlah kelompok
Kerapatan individu = Jumlah individu seluruh kelompok
Luas daerah pengamatan
Satuan rata - rata individu per kelompok adalah individu/kelompok dan kerapatan individu
adalah individu/km2.
51
HASIL DAN DISKUSI
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan 2 kelompok monyet ekor panjang dengan
jumlah individu total 71 ekor. Komposisi individu total adalah 13 jantan dewasa, 10 betina
dewasa, 12 jantan remaja, 7 betina remaja, 24 anak - anak, dan 5 bayi (Tabel 1). Dari hasil
analisis data didapatkan juga nilai rata - rata individu tiap kelompok, yaitu 35,5
individu/kelompok yang menunjukkan bahwa penyebaran populasi Monyet Ekor Panjang
yang berada di kawasan Triangulasi - Pancur cukup merata, dengan nilai kerapatan Monyet
Ekor Panjang di kawasan Triangulasi - Pancur adalah 23,7 individu/km2.
Nilai rata - rata individu tiap kelompok ini lebih besar dibanding di daerah Pantai
Bama Taman Nasional Baluran yang menurut Juraij (2011), memiliki nilai frekuensi rata -
rata 31 ekor/ kelompok. Nilai kerapatan di kawasan Triangulasi - Pancur lebih kecil di
banding di kawasan Pantai Bama, Taman Nasional Baluran yang menurut Juraij (2011)
bernilai 46,5 individu/km2. Walaupun sama - sama merupakan daerah Pantai namun pada
Pantai Bama dapat ditemukan 3 kelompok Monyet ekor panjang dengan jumlah total 93 ekor.
Dalam Juraij (2011), kawasan Pantai Bama merupakan hutan pantai yang masih cukup luas
dengan persediaan makanan yang cukup melimpah sehingga kelompok Monyet ekor panjang
dapat bebas mencari makan tanpa harus merebut wilayah kelompok monyet lain.
Sebaran Macaca fascicularis di kawasan Triangulasi - Pancur tersebar cukup merata.
Dari luas wilayah yang diteliti sepanjang ± 3 km terdapat dua kelompok Macaca fascicularis
yang ditemukan, letak antar kelompoknya cukup jauh. Daerah sebaran di petakan dengan GPS
dan aplikasi QGIS v. 2.2 Valmiera, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta persebaran
Macaca fascicularis di kawasan Triangulasi - Pancur Taman Nasional Alas Purwo pada
gambar 1. Persebaran kelompok Monyet Ekor Panjang di kawasan Triangulasi - Pancur cukup
berjauhan antara kelompok 1 pesanggrahan Triangulasi dan kelompok 2 resort Pancur. Hal ini
dapat dikarenakan persediaan makanan yang cukup melimpah namun hanya terpusat di daerah
sekitar kawasan pesanggrahan Triangulasi dan resort Pancur dari mulai kawasan hutan,
sampai daerah pantai. Kedua tempat ini juga merupakan lokasi yang sering dikunjungi
pengunjung.
Kelompok pertama di daerah pesanggrahan Triangulasi ditemukan jumlah individu 44
ekor dengan komposisi kelompok umur dan jenis kelamin yaitu 8 jantan dewasa, 7 betina
dewasa, 7 jantan remaja, 4 betina remaja, 16 anak - anak, 2 bayi. Monyet ekor panjang pada
kelompok ini sangat mudah ditemui karena daerah jelajah dan aktivitasnya sepanjang hari
dominan di daerah sekitar pesanggrahan Triangulasi. Monyet pada kelompok pertama ini
memiliki ukuran tubuh lebih besar karena pakan yang melimpah dan banyak dijumpai
individu anak - anak yang menandakan daya regenerasi pada kelompok ini cukup baik. Pada
kelompok ini juga ditemukan sekitar 3 ekor monyet dewasa (1 jantan, 2 betina) yang cacat
pada bagian kaki dan banyak monyet anak - anak dan remaja yang cara jalannya sedikit cacat.
Habitat kelompok satu ini merupakan daerah penginapan pengunjung yang berjarak ± 100 -
150 m dari pantai dan didominasi oleh tumbuhan Pongamia pinnata dan Barringtonia
asiatica yang menjadi pakan dari monyet ekor panjang. Selain monyet ekor panjang, dapat
dijumpai pula fauna lain seperti Trachypithecus auratus, Muntiacus muntjak, Rusa timorensis,
dan Varanus salvator.
Kelompok kedua didaerah resort Pancur ditemukan jumlah individu 27 ekor dengan
komposisi kelompok umur dan jenis kelamin adalah 5 jantan dewasa, 3 betina dewasa, 5
52
jantan remaja, 3 betina remaja, 8 anak - anak, dan 3 bayi. Kelompok ini dapat dijumpai di
sekitar resort
Pancur, pantai Pancur, bagian belakang kantin sampai jembatan Pancur. Kelompok ini juga
memiliki daya regenerasi yang cukup baik karena banyak dijumpai monyet anak - anak.
Daerah Pancur merupakan daerah pos penjagaan, pantai pengunjung, camping ground, dan
terdapat sumber mata air yang membentuk sungai pendek sepanjang 30 - 40 m dan langsung
bermuara ke laut. Daerah ini didominasi oleh tumbuhan Bambu, Pandanus sp., Cassia
multijuga, Terminalia catappa, dan Manilkara kauki. Selain monyet ekor panjang, dapat
dijumpai fauna lain seperti Trachypithecus auratus, Rusa timorensis, dan Varanus salvator.
TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1. Komposisi Individu Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di
Kawasan Triangulasi - Pancur Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur
Kelompok Lokasi Jumlah
Individu
Komposisi Kelas Umur
Dewasa Remaja Anak Bayi
Jantan Betina Jantan Betina
1 Pesanggrahan
Triangulasi 44 8 7 7 4 16 2
2 Resort Pancur 27 5 3 5 3 8 3
Jumlah 71 13 10 12 7 24 5
Rata - Rata Ukuran
Kelompok 35.5 6.5 5 6 3.5 12 2.5
Sumber : Data primer (Mei, 2014)
Gambar 1. Peta Persebaran Monyet Ekor Panjang di kawasan Triangulasi – Pancur Keterangan : - Warna Merah: Daerah Pesanggrahan Triangulasi - Warna Kuning: Daerah Resort Pancur
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 kelompok monyet
ekor panjang di kawasan Triangulasi - Pancur dengan jumlah total individu yang ditemukan
adalah 71 ekor terdiri dari 23 dewasa, 19 remaja, 24 anak - anak, dan 5 bayi. Kepadatan
populasi monyet ekor panjang pada lokasi ini adalah 23,7 individu/km2 dengan rata - rata
individu per kelompok 35,5 individu/ kelompok.
53
Penelitian ini perlu dilakukan dengan waktu yang lebih lama dan pengulangan
dilakukan lebih banyak agar data yang didapatkan lebih akurat. Pembagian struktur populasi
berdasarkan jenis kelamin harusnya bisa dibedakan sampai individu anak - anak agar data
lebih spesifik. Populasi monyet ekor panjang ini perlu dikontrol setiap tahunnya oleh pihak
Balai Taman Nasional Alas Purwo agar jumlahnya tidak berlebihan sehingga dapat
mengganggu jalannya pariwisata di kawasan Triangulasi - Pancur dan juga tidak terlalu
sedikit sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di kawasan Triangulasi -
Pancur.
REFERENSI
BTNAP. 2012. Panduan Lapang Mamalia Taman Nasional Alas Purwo. Balai Taman
Nasional Alas Purwo. Banyuwangi.
Juraij. 2011. Distribusi dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada
Kawasan Pantai Bama Taman Nasional Baluran. Laporan Kuliah Kerja Lapangan.
Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
Tarore, J. J. 2011. Penetuan Standar Data Morfometri dan Berat Badan Macaca fascicularis
Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Penangkaran PT Indo Biomedical,
Jonggol. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia. Depok.
Widiastuty, H., Riana, D., Larasati, P., & Putri, I. A. 2011. Status Populasi Monyet Ekor
Panjang (Macaca fascicularis) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat.
54
STUDI POPULASI DAN HABITAT BANTENG (Bos javanicus d’Alton1832)
DI KAWASAN SAVANA SADENGAN, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO,
JAWA TIMUR
Rahmat Fikri, Johan Iskandar, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran Jatinangor
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai studi populasi dan habitat banteng (Bos javanicus
d’Alton 1832) di kawasan Savana SadenganTaman Nasional Alas Purwo Banyuwangi Jawa
Timur pada tanggl 2 – 11 Mei 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi dan
habitat banteng di kawasan Savana SadenganTaman Nasional Alas Purwo. Penelitian ini
dilakukan selama 4 hari di lapangan dengan rentang waktu 06.00 – 17.00 WIB. Penelitian ini
menggunakan metode terkonsentrasi dengan cara penghitungan secara langsung di lapangan
untuk populasi banteng, sedangkan untuk habitat banteng dilakukan dengan cara wawancara
dan studi literatur. Berdasarkan penelitian didapatkan perkiraan populasi banteng antara 37 –
78 individu. Habitat banteng yang teramati dan hasil wawancara yaitu savana Sadengan
merupakan habitat buatan dan didominansi oleh rumput Dichantium caricosum
Kata Kunci : Banteng, Populasi, Habitat, Taman Nasional Alas Purwo
PENDAHULUAN
Di pulau Jawa terutama di daerah Taman Nasional Alas Purwo penurunan populasi
banteng diduga karena perburuan dan degradasi habitat. Fenomena yang terjadi di Taman
Nasional Alas Purwo adalah pergerakan banteng dari kawasan Taman Nasional ke luar
kawasan. Penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati bukanlah dari eksploitasi
manusia secara langsung melainkan kerusakan habitat sebagai akibat yang tak dapat
dihindari dari bertambahnya populasi.
Populasi banteng diseluruh dunia diperkirakan tidak lebih dari 8.000 ekor. Bahkan
dimungkinkan kurang dari 5.000 ekor. Dalam setiap wilayah (habitat) populasinya jarang
yang mampu mencapai lebih dari 500 ekor (Anonim,2010).
Keberadaan suatu populasi sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Habitat adalah
suatuekosistem sehingga untuk menjamin kelestarian habitat, kelangsungan hubungan di
dalam sistem tersebut harus dipertahankan. Interaksi antara satwa dengan habitatnya (pakan,
air, dan cover) merupakan salah satu bentuk interaksi yang berperan dalam keseimbangan
ekosistem. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melengkapi pengetahuan
tentangpopulasi danhabitat banteng serta dapat menjadi masukan dalam pengelolaan dan
konservasi satwa khususnya di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur
ALAT, BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 4-9 Juni 2014 dan dilakukan di Taman
Nasional alas purwo , kabupaten banyuwangi, provinsi jawa timur. pengamatan dilakukan di
savanna sadengan yang merupakan lokasi pengembalaan banteng. penelitian diawali dengan
melakukan survey pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui dan mengenal tempat-
55
tempat yang biasa digunakan banteng untuk berkumpul melakukan aktivitas harian, selain itu
survey pendahuluan digunakan untuk memperoleh data primer menghitung populasi dan
analisis habitat banteng.
Pengumpulan data dilakukan pada pukul 06.00 – 17.00 dengan metode yang digunakan
pada pengamatan adalah metode terkonsentrasi (Alikodra,1990), dengan cara perhitungan
secara langsung pada lokasi-lokasi sesuai dengan pergerakan banteng dan kondisi
lingkungannya. data yang dikumpulkan untuk menghitungpopulasi banteng meliputi jumlah
individu berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin.Untuk mengetahui keadaan habitat, data
yang diambil berupa deskriptif yaitu ketersediaan air, predator, wilayah jelajah dan tempat
berlindung.
HASIL DAN DISKUSI
Dari hasil pengamatan habitat terlihat bahwa savanna Sadengan merupakan habitat
buatan untuk beberapa jenis satwa salah satunya banteng. Kontur tanah di Sadengan tidak
landai atau datar, namun bergelombang karena ada beberapa sungai kering yang membatasi
beberapa wilayah yang ada di Sadengan, pembatasan ini bertujuan untuk membagi wilayah
pakan atau feeding ground sehingga dapat teramati jumlah pakan yang berkurang. Teramati
bahwa banteng yang berada di savanna Sadengan sering memakan lamuran putih (Dichantium
caricosum) Di savanna Sadengan terdapat semak-semak dan tumbuhan invasi Cassi tora
yang menjadi gangguan untuk produktivitas pakan banteng, sehingga dilakukan pendongkelan
atau pembabatan semak agar pakan banteng dapat tumbuh. Beberapa pohon besar seperti
Gebang (Corypha utan) menjadi tempat istirahat dan tempat berteduh dari sinar matahari
Kondisi air di savanna Sadengan cukup melimpah karena adanya beberapa bak air dan
sprinkle yang selalu mengalirkan air dari tempat penampungan air dan dari goa basori. Pada
pengamatan hari pertama terlihat ada 2 ajag (Cuon alpinus) yang mengejar rusa, namun
banteng tidak kabur ke dalam hutan.
Populasi
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa populasi terbesar banteng selama
pengamatan terjadi pada hari pertama yaitu 78 ekor. Hal ini dimungkinkan karena cuaca pada
hari pertama cerah, sinar matahari tidak terlalu terik sehingga menungkinkan banteng keluar
dari tempat perlindungan. Jumlah banteng pada hari ketiga dan keempat mengalami
penurunan dikarenakan adanya gangguan dari manusia yang mendekati teritori banteng,
sehingga banteng masuk kedalam hutan.
Kehadiran banteng akan semakin berkurang di savanna sandengan pada menjelang
siang hari disebabkan karena udara yang panas dan sinar matahari yang terik menyebabkan
banteng mencari tempat untuk berteduh dibawah semak-semak atau didalam hutan yang
relative lebih rimbun, namun beberapa banteng akan keluar pada siang hari untuk makan.
Penurunan jumlah banteng pada hari ketiga dan keempat disebabkan karena waktu
pengamatan pada musim kemarau, dimana banteng-banteng melakukan migrasi lokal menuju
suatu daerah untuk mencari makan, minum dan lingkungan yang cocok, dimana luas migrasi
banteng di luar kawasan pada musim kering mencapai ±6,42 km (Murdyatmaka, 2008).
Menurut Banda Nurhara selaku koordinator unit pengelolaan banteng di Sadengan,
banteng yang tercatat di savanna Sadengan pada awal Januari sampai Mei 2014 adalah
sebanyak 120 individu dengan jantan 26 individu, betina 90 individu dan anak 5 individu.
Populasi banteng di Sadengan memiliki kecenderungan fluktuatif terhadap betina dan
56
menurun pada jantan. Pada tahun 1998 hingga 2003 jumlah banteng di savanna sandengan
mengalami penurunan terus menerus dari ±110 ekor menjadi ±17 ekor. Pada tahun 2004,
banteng betina mengalami kenaikan menjadi 50 ekor sampai dengan tahun 2007 populasi
rata-rata di Sadengan ±60 ekor. Penurunan populasi Banteng dalam rentang tahun 1998-2003
disebabkan oleh penurunan daya dukung feeding ground Sadengan dan perburuan liar.
Setelah dilakukan pemberantasan tumbuhan pengganggu, populasi banteng berangsur naik
namun belum optimal.
Sadengan dibagi menjadi 6 blok. Sebagian batas blok memanfaatkan sungai sebagai
node batas, sebagian lagi menggunakan titik pancang sementara. Pembagian blok ini
bertujuan untuk mempermudah pengelolaan dan pengawasan.Padang penggembalaan di
TNAP merupakan tempat makan (feeding- ground) buatan. Pembuatan padang pengembalaan
ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan pembinaan terhadap satwaliar terutama
banteng sebagai salah satu satwa prioritas utama pengelolaan diTNAP.
Habitat
Dari hasil pengamatan habitat terlihat bahwa savanna Sadengan merupakan habitat
buatan untuk beberapa jenis satwa salah satunya banteng. Kontur tanah di Sadengan tidak
landai atau datar, namun bergelombang karena ada beberapa sungai kering yang membatasi
beberapa wilayah yang ada di Sadengan, pembatasan ini bertujuan untuk membagi wilayah
pakan atau feeding ground sehingga dapat teramati jumlah pakan yang berkurang. Teramati
bahwa banteng yang berada di savanna Sadengan sering memakan lamuran putih (Dichantium
caricosum) Di savanna Sadengan terdapat semak-semak dan tumbuhan invasi Cassi tora
yang menjadi gangguan untuk produktivitas pakan banteng, sehingga dilakukan pendongkelan
atau pembabatan semak agar pakan banteng dapat tumbuh. Beberapa pohon besar seperti
Gebang (Corypha utan) menjadi tempat istirahat dan tempat berteduh dari sinar matahari.
Ketersediaan Air
Ketersediaan air di Sadengan selain dari sungai terdapat juga 8 buah kolam yang
berbentuk persegi panjang denganlebar 1,5 m panjang 5 m dan kedalaman 1 m. Air yang
terdapat dikolam diperoleh dari gua basori melalui pipa yang ditanam didalam tanah. Terdapat
juga pancuran air atau sprinkleyang tersebar di savanna Sadengan dengan jumlaah 16 titik, air
yang dikeluarkan dari sprinkle dialirkan dari penampungan air yang berada di sebalah menara
pengamatan, air ini terus dikeluarkan sepanjang hari.
Pakan Banteng
Pada awal pembuatannya, jenis tumbuhan yang ditanam di padang penggembalaan
adalah jenis lamuran, karena jenis ini merupakan pakan yang sangat disukai oleh banteng,
akan tetapi pada saat ini jumlahnya sangat sedikit, selain lamuran banteng juga memakan
jenis rumput Teki (Cyrerus sp.), Sidagori (Sida sp.), Pahitan (Axonopus compresus), Putihan
(Dichantium caricosum), dan Domdoman (Chrysopogon sp.).
Tempat Berlindung
Peranan tempat berlindung sangat diperlukan untuk proses kelestarian suatu populasi.
Pelindung adalah struktur lingkungan yang dapat melindungi kegiatan reproduuksi dan
berbagai aktivitas lainnya. Dilihat dari jumlah pohon yang berada di tengah savanna Sadengan
dan sekitarnya cukup memadai bagi banteng untuk berlindung dari terik matahari pada siang
hari ataupun untuk istirahat, tidur dan memamah biak.
57
Predator
Ajag sebagai predator umumnya menjadikan faktor pembantu bagi keseimbangan
populasi banteng di savanna Sadengan. Tetapi hal tersebut memberikan pengaruh yang
berbeda jika perburuan yang berlarut-larut. Pemangasaan oleh ajag merupakan proses seleksi
alam (natural selection), hewan yang sakit atau lemah dan hewan yang masih muda menjadi
sasaran bagi predator.
TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1. Populasi Banteng Selama Empat Hari Pengamatan (5 – 8 Mei 2014)
Hari,Tanggal
Waktu
Jantan Betina
Anak
Total Dewasa Remaja Dewasa Remaja
Senin, 5 Mei 2014 Pagi 8 7 57 6 - 78
Sore 7 9 51 7 - 73
Selasa, 6 Mei 2014 Pagi 18 5 44 7 1 75
Sore 1 5 26 5 - 37
Rabu, 7 Mei 2014 Pagi 3 7 18 9 - 37
Sore 2 5 19 9 1 36
Kamis, 8 Mei 2014 Pagi 6 3 31 7 - 47
Sore 3 4 24 6 - 37
Gambar 1. Savana Sadengan
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 2. Kelompok Banteng di Sadengan
Sumber : Dokumen Pribadi
58
KESIMPULAN DAN SARAN
Jumlah populasi banteng terbanyak di savanna Sadengan selama pengamatan sebanyak
78 individu, dengan jantan dewasa 8 individu, jantan remaja 7 individu dan betina dewasa 57
individu, betina remaja 6 individu. Dan jumlah populasi banteng terkecil sebanyak 2 jantan
dewasa, 5 jantan remaja dan 18 betina dewasa, 8 betina remaja dan 1 anak.Keadaan habitat
banteng di savanna Sadengan mengalami perubahan tiap tahunnya karena dilakukan
pembabatan habitat untuk mendukung banteng untuk tetap hidup.
Perlu dilakukan pengamatan populasi banteng dari tempat yang berbeda karena banteng
dapat tidak terlihat dari menara pengamatan, akibat bentuk tanah yang tidak rata.Dan juga
Perlu dilakukan penghitungan dengan teliti dari tingkat umur dan juga perbedaan jenis
kelamin sehingga didapatkan komposisi yang lebih jelas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasihsebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Prof.Dr.
Johan Iskandar, M.Sc. atas bimbingan dan sarannya. Kepada tim ekologi hewan dan pihak
TamanNasional Alas Purwo yang memberi izin untuk penelitian ini
REFERENSI
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid ke-1. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Aprilismulan. 1998. Konservasi Banteng (Bos javanicus) Di Padang Pengembalaan
Sandengan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Padjadjaran
Hoogerwerf A. 1970. Ujung Kulon The Land of The Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill.
Leiden. Netherlands
Kurniawan, Iwan.2009. Peran Taman Nasional Alas Purwo Sebagai Benteng Terakhir
Pelestarian Banteng (Bos Javanicus D’alton) Di Bagian Timur Pulau Jawa. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Mcllroy R.J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. (Terjemahan : an
Introduction to Tropical Grassland Husbandry) Jakarta: Pradya Paramita.
Nurhara. B, Margo dan Murdyatmoko Wahyu. 2008. Laporan Kegiatan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Feeding Ground Sadengan. Taman Nasional Alas Purwo.
Banyuwangi.
59
DINAMIKA POPULASI RUSA TIMOR (Cervus timorenensis ) DI PADANG
PENGEMBALAAN SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
Edhu Enriadis Adilingga, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Rusa timor ( Cervus timorensis ) merupakan salah satu satwa liar di Indonesia yang berstatus
IUCN 2008 Vulnerable dengan perkiraan penurunan populasi 10% pada setiap tiga generasi
(diperkirakan sebagai minimal 15 tahun) akibat hilang dan rusaknya habitat, serta perburuan
liar. Penelitian ini di lakukan di padang pengembalaan sadengan TNAP karena cocok untuk
menjadi pemodelan dalam pengelolaan satwa Rusa timor. Data yang di perlukan adalah data
ukuran populasi rusa timor di sadengan, data kondisi habitat di sadengan, kemudian di hitung
MVP ( Minimum Viable Population ). Metode yang digunakan untuk mengukur ukuran
populasi adalah metode total count ,data pertemuan dengan Rusa timor di gunakan data
pertemuan tertinggi dari tiap kelas umur. Data kualitas habitat yang di dapat merupakan data
dari wawancara petugas dan studi literatur. Hasil menunjukan bahwa ukuran populasi
sebanyak 74 individu menurun 28,27% dari tahun sebelumnya. Kondisi habitat di padang
pengembalaan sadengan memiliki daya dukung pakanya adalah sebesar 127 individu / tahun .
Serta MVP Rusa timor di padang pengembalaan sadengan adalah 549 individu dengan jumlah
betina anak 14 individu, jantan anak 14 indvidu , betina remaja 192 individu , jantan remaja
24 individu, betina dewasa 157 individu dan jantan dewasa 148 individu .
Kata kunci : Rusa timor , MVP , Sadengan , Populasi
PENDAHULUAN
Keanekaan satwa, di indonesia, memiliki keanekaragaman yang tinggi karena
wilayahnya yang luas dan berbentuk kepulauan tropis. Salah satu keanekaragaman jenis yang
cukup banyak adalah mamalia, di Indonesia dari 4400 jenis di dunia,515 di antaranya ada di
Indonesia dan 36 merupakan species endemik. Ke-515 jenis Mamalia tersebut tersebar di
seluruh di Indonesia dan di antaranya adalah Rusa jawa (Cervus timorensis). Sejak tahun
1931 melalui Undang-undang Perlindungan satwa liar no.134 dan No.266 Tahun 1931
pemerintahan Hindia Belanda telah menetapkanrusa sebagai satwa dilindungi dari kegiatan
perburuan,penagkapan,dan pemilikan. Namun meskipun sudah di lindungi oleh UU tidak
menjamin kelestarian popilasi rusa, dari data IUCN yang dirilis pada 2008 status rusa timor
tetap dinilai masih rentan karena menurut data laju pertumbuhan rusa timor tetap menurun
dengan laju penurun populasi 10% pada setiap dalam tiga generasi sebagai akibat dari
hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan liar. salah satu alasan utama rusa timor
harus di lindungi karena rusa timor merupakan salah satu satwa liar yang memiliki banyak
manfaat salah satunya adalah dagingnya yang dapat di makan. Oleh karena itu, Dinamika
populasi rusa timor (Cervus timorenensis) di padang pengembalaan Sadengan di harapkan
dapat digunakan untuk menetukan populasi minimum lestari yang bertujuan untuk konservasi
rusa timor khususnya yang berada di padang pengembalaan taman nasional alas purwo .
60
ALAT BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur, pada mei 2014.
Peralatan yang digunakan meliputi binokuler, catatan dan kamera. Jenis data yang
dikumpulkan berupa ukuran populasi rusa timor per kelas umur.Pengamatan di lakukan di
atas menara pada masa aktif rusa timor mencari makan yaitu pagi 06.00-09.00 dan sore 15.00-
17.30. Pengamatan kelas umur anak di lihat dari ukurannya yang kecil ¼ dewasa dan selalu
mengikuti induknya. untuk jantan dewasa ukuranya besar berwarna coklat kusam dan
memiliki tanduk dan cenderung soliter atau bahkan berkumpul dengan jantan lainnya. Jantan
remaja dilihat dari ukuranya sedang ½ dewasa dan memiliki tanduk yang kecil yang baru
tumbuh dan bukan pendek karena rontok, dapat di bedakan apabila pendek runcing maka itu
baru tumbuh sedangkan tanduk yang pendek tumpul itu merupakan tanduk dewasa yang
rontok atau selesai bertarung.Betina dewasa memiliki ukuran besar berwarna coklat kusam
dan untuk betina remaja ukuran sedang ½ dewasa dan berwarna coklat muda. Data mengenai
bio-ekologi rusa timor, kondisi umum lokasi penelitian,dan produktivitas hijauan di dapatkan
dari data literatur.
Analisis data
Struktur umur dan sex rasio
Sex Ratio =
Di mana : Y = Jumlah individu Jantan ,
X = Jumlah individu Betina
Peluang hidup
Px =
Di mana : Px = Peluang hidup kelas umur x, Lx+1 = Jumlah individu hidup pada KU x+1
Lx = Jumlah individu yang hidup pada KUx
Fekunditas dan breeding age
F =
Dimana : F = Fekunditas
X = Jumlah anak
B = Jumlah betina produktif
Daya dukung
Nilai daya dukung dihitung dengan rumus berikut
DD =
Ukuran Populasi minimum lestari
Kelestarian di capai ketika jumlah populasi ahir sama dengan populasi awal atau tidak
menurun dari populasi awal . Dengan kata lain :
N0=N1=N2=Nt
Dimana :
N0= jumlah Individu anak ( A0 )+ Jumlah individu ( R0 )+ Jumlah individu Dewasa
N1= jumlah Individu anak ( A1 )+ Jumlah individu ( R1 )+ Jumlah individu Dewasa (D1)
61
N2= jumlah Individu anak ( A2 )+ Jumlah individu ( R2 )+ Jumlah individu Dewasa (D2)
Jumlah Individu pada setiap kelas umur di tentukan berdasarkan matriks leslie yang
telah di modifikasi ( Priyono 1998 ) :
=
x
Fx = Fekunditas kelas umur
Px= Peluang hidup kelas umur x untuk melangsungkan kehidupan pada kelas umur
berikutnya
ðx = proporsi anggota populasi yang tidak mengalami peningkatan kelas umur .
Dari matriks leslie tersebut di turunkan dalam persamaan aljabar linear. Ukuran populasi
minimum lestari di tentukan dengan metode eliminasi pada persamaan tersebut .
N0=A+R+D…………………………………………………………………..………..1
N1 = {(F.R+F.D+(ðA)} + {(A.P1)+(ðR)} + {(1-ðR)R.P2)+ðdD}………..…………2
N2 = [ F. {(A.P1)+(ðR)} + F. {(1-ðR)R.P2)+ ðdD} + ðA(F.R+F.D+(ðAA) ] + [{ P1. (
F.R+F.D+(ðAA)+ ðr{(A.P1)+( ðRR)}] + [P2.(1-ðR){A.P1)+(ðRR)+ ðD {(1-ðR)R.P2)+
ðDD}…………...…………………………………………………………3
Keterangan : notasi ð didapatkan dari selang umur pada setiap kelas umur.
HASIL DAN DISKUSI
Ukuran Populasi
Tabel 1. Ukuran populasi rusa timor di TNAP tahun 2013 dan 2014
Tahun Jumlah Populasi Rusa Timor
2013** 103
2014* 74
Sumber : *Data Primer 2014 , ** Mufqi 2013
Ukuran populasi rusa timor di padang pengembalaan sadengan pada tahun 2014 adalah
74 individu, sedangkan pada tahun 2013, hasil ukuran populasi rusa timor di padang sadengan
sebanyak 103 individu.Dapat di simpulkan selama satu tahun populasi rusa timor di padang
pengembalaan sadengan berkurang 28,27%. Hasil wawancara dengan jagawana di sadengan
mengatakan selama setahun terahir serangan ajag begitu intensif sehingga banyak rusa timor
terutama kelas anak yang banyak menjadi korban ajag.
Struktur umur dan sex ratio
Tabel 2. Jumlah individu rusa timor di padang sadengan
No Kelas Umur Jantan Betina Jumlah
1 Anak 4 4 8
2 Remaja 4 29 33
3 Dewasa 16 17 33
Total Individu 24 50 74
62
Gambar 1. Struktur Umur Rusa Timor 2014 Gambar 2. Struktur Umur Rusa Timor *2008
Piramida struktur umur di TN Alas purwo menunjukan struktur umur dalam keadaan
mengalami gangguan. Terlihat dari kelas umur remaja yang memiliki jumlah lebih kecil di
bandingkan kelas umur atasnya pada jantan. dan kelas umur betina remaja yang sangat
banyak di betina. Bentuk struktur umur pada tahun 2008 dan 2014 ternyata memiliki struktur
yang cenderung sama yaitu mengalami gangguan pada kelas umur remaja. Gangguan struktur
populasi kemungkinan terjadi karena faktor perburuan ajag yang intensif selama 2013 di
mana terjadi penurunan populasi sebesar 28,27% dan kemungkinan sasaran utama ajag adalah
anak dan remaja rusa . Pengaruh daya saing jantan remaja dalam bertarung untuk
mendapatkan betina atau pakan dengan jantan dewasa merupakan faktor kecilnya jumlah
populasi jantan remaja di bandingkan dengan betina remaja. Sex ratio jantan betina normal
yaitu perbandingan antara jantan dan betina lebih banyak betina, namun perbandingannya
tidak ideal. pada kelas remaja sex ratio nya adalah 1: 7,96 dan pada kelas umur dewasa 1 :
1,06.
Peluang Hidup
Peluang hidup rusa timor di padang sadengan menunjukan kurva tipe 1, yaitu setelah
kelahiran tidak mengalami penurunan.
Gambar 5.3.2 Grafik Peluang hidup Rusa Timor 2014 Gambar 5.3.3 Grafik Peluang hidup Rusa Timor *2008
Peluang hidup rusa timor di padang sadengan menunjukan kurva tipe 1, yaitu setelah
kelahiran tidak mengalami penurunan. peluang hidup dari anak ke remaja sebesar 1.18 cukup
tinggi karena perilakunya yang masih alami dan remaja ke dewasa 0.33. Apabila di
bandingkan dengan grafik peluang hidup Rusa Timor di padang sadengan tahun 2008 ,
meskipun angkanya berbeda namun grafik cenderung sama. Hal ini di sebabkan karena
perilaku alami Rusa Timor di padang sadengan belum berubah terlalu banyak dari tahun
2008.
63
Fekunditas
Untuk nilai fekunditas di lakukan dengan cara studi literature di karenakan kesulitan
mengidentifikasi kelas umur pada saat di lapangan. Berikut data tabel fekunditas Rusa Timor
di TNAP (Yuliawati, 2008) :
Tabel 3. Fekunditas Rusa Timor TN Alas Purwo
Alas Purwo
Muda 0.45*
Dewasa 0.45*
Sumber : *Yuliawati 2011
Angka yang di tunjukan di tabel menunjukan angka fekunditas di bawah satu yang artinya
kecil kemungkinan dalam satu tahun rusa timor melahirkan 2 anak, karena setelah melahirkan
rusa timor merawat terlebih dahulu anaknya sebelum mengandung anak lagi.
Produktivitas Pakan
Perbandingan kondisi sadengan pada tahun 2008 dan 2014 yang merupakan rerumputan
setelah di hitung tahun 2008 seluas 20.326 Ha atau 24, 13 % dari 84,220. Tahun 2014 di
hitung berdsarakan di peta dan sesudah di pelihara luas rerumputannya seluas 31, 135 Ha dari
84,220 Ha atau 37,065 %, ada pertambahan sebesar 12.935 % dari tahun 2008. Penambahan
produktivitas pakan sebesar 12.935% yaitu 22095,24 kg berat segar/ Tahun . Sehingga
produktivitas pakan rumput di padang sadengan pada tahun 2014 sebesar 206.222,25 kg berat
segar / tahun . Berdasarkan hasil perhitungan populasi minimum lestari dengan persamaan
aljabar linear didapatkan ukuran populasi minimum lestari di padang pengembalaan sadengan
TN Alas purwo seperti pada tabel berikut:
Tabel 4. Ukuran populasi minimum lestari
Anak Remaja Dewasa Total
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
14 14 24 192 148 157 549
KESIMPULAN DAN SARAN
Jumlah populasi rusa di padang sadengan pada tahun 2014 adalah sebanyak 74
individu menurun 28,27% dari taun sebelumya. Struktur umur di padang sadengan termasuk
kedalam struktur umur yang mengalami gangguan,khusunya pada kelas remaja. Komposisi
sex ratio pada remaja 1:7,96 dan pada kelas umur dewasa 1:1,06. Kondisi daya dukung pakan
rusa di padang sadengan masih jauh di atas populasi rusa yang ada di lokasi penelitian ,
populasi di padang sadengan sebanyak 74 individu sedangkan daya dukung pakanya adalah
sebesar 127 individu / tahun . Ukuran populasi minimum lestari di padang pengembalaan
sadengan adalah 549 individu dengan jumlah anak betina 14 individu, anak jantan 14 individu
64
, betina remaja 192 individu , jantan remaja 24 individu, Betina dewasa 157 individu dan
jantan 148 dewasa .
Berdasarkan hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat di sampaikan, yaitu
penghitungan ukuran populasi sebaiknya dilakukan secara berkala minimal setahun sekali dan
juga pengambil data memiliki kemampuan mengidentifikasi kelas umur rusa timor di padang
sadengan alas purwo. Selain itu, perlu adanya penelitian daya saing Banteng dan Rusa Timor
di padang pengembalaan sadengan dalam hal saingan makanan berupa rerumputan untuk
memperkuat data daya dukung habitat untuk Rusa Timor dan Banteng di padang
pengembalaan sadengan .
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
membantu dan mendukung kegiatan penelitian khususnya kepada Pihak Taman Nasional Alas
Purwo yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas dan prasarana demi kelancaran
penelitian Kuliah Kerja Lapangan ini. Terimaksih juga untuk Pa Ruhyat selaku dose
pembimbing laporan dan lapangan serta Teh Astri Yuliwati yang telah membantu
menyelesaikan laporan ini.
REFERENSI
Alikodra HS . 1990. Pengelolaan satwa liar Jilid II. Pusat Antar Universitas Ilmu hayati.
IPB. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayab.
Bogor
Andoy EFS. 2002 . Studi populasi rusa timor ( Cervus timorenensis ) dan perburuan oleh
penduduk desa Poo Tomer dan Sota dalam taman Nasional Wasur marauke. skripsi.
Universitas Negeri Papua . Manokwari .
BTNAP. 2014 . Profil Taman Nasional Alas purwo . http://tnalaspurwo.org/profil- taman-
nasional-alas-purwo ( di akses tanggal 23 Februari 2014 )
Campbell A. 2002 . Minimum Viable Population Size for the bay Checkerspot Butterfly.
Wildlife 448.
Dradjat, A. S. 2002.Satwa Harapan Rusa Indonesia.Mataram University Press. Mataram
Hartanto, I. 2008. Komposisi Botani Pakan Rusa Timor (Cervus timorensis) di Penankaran
Rusa Timor DesaSumberingin Kab. Blitar. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Skripsi. Malang
Indrawan M, Primack R, Supriatna. 2007. Biologi konservasi . Yayasan oktober Indonesia
Hartanto, I . 2008 .KOMPOSISI BOTANI PAKAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) DI
PENANGKARAN RUSA TIMOR DESA SUMBERINGIN KAB. BLITAR.Laporan
Penelitian. Universitas Brawijaya . Malang
IUCN. 2008 .The IUCN Red List of Threatened Species : Rusa Timorensis.
Kangiras GE. 2009. Pendugaan Daya dukung dan model pertumbuhan populasi rusa timor di
CAgar alam dan taman wisata alam pananjung pangandaran, ciamis Jawa Barat. Tesis.
IPB
Kencana, Surya 2000. Habitat rusa timor (Cervus timorensis) dan kapasitas tampung
padangan alam taman buru Pulau Rumberpon. Manokwari , S1, Universitas
Cenderawasih, Manokwari.
65
Mufqi ,P .2013. Studi populasi rusa timor ( cervus timorensis de Blainville, 1822 ) . Sadengan
di TNAP . Laporan KKL. Unpad . Jatinangor
Mukhtar, A. S. dan E. Suita. 2002. Kebutuhan Daging Rusa di Beberapa Restoran Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Pusat Studi Ilmu
Hayati, Lembaga Penelitian IPB.
Nugraha, H. 2007. Analisis pola pengunaan ruang banteng ( bos javanicus )di cagar alam
dan taman wisata alam pangandaran, jawa barat. Skripsi. Jurusan konservasi sumber
daya hayati. fakultas kehutnan . IPB. Bogor
Nurhara .2008 . Rencana Pengelolaan Padang Pengembalan sadengan. Laporan.
Banyuwangi. Jawa Timur
Priyono A. 1998. Penentuan ukuran populasi optimal monyet individu panjang ( macaca
fascicularis Raffles, 1821 ) dalam penangkaran dengan system pemeliharan di alam
bebas: Studi kasus di PT Musi HUtan Persada. Tesis. IPB. Bogor .
Reed DH. 2000 . Expereimental test of minimum viable population size : Animal
Connservation.
Santosa Y, Auliyani D, Kartono AP. 2008 . Pendugaan Model Pertumbuhan dan Penyebaran
Spasial Populasi rusa timor ( Cervus timorenensis ) di Taman Nasional Alas purwo
Jawa timur. Media Konservasi .
Semiadi , G 2002. Potensi Industri Peternakan Rusa Tropik dan non tropic. Prosiding
seminar Bio ekologi dan konservasi Ungulata. Pusat studi ilmu hayati, lembaga
Penelitian IPB. Boogor.
Setiyati , T. 2008. Parameter Demografi dan pola penyebaran spasial Rusa timor ( cervus
timorensis de Blainvilee, 1822 ) di pulau rinca, taman nasional komodo . skripsi. Bogor
. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Shaffer M.L 1981. Minimum population sizes for species conservation. Bio science
Yuliawati, A.2011. Penetuan Ukuran Populasi Minimum Lesatari dan Optimum Lestari Rusa
timor Berdasarkan Parameter Demografi Studi Kasus Di Taman Wisata Alam / Cagar
Alam Pananjung Pangandaran Dan TNAP . Thesis . IPB
Wirdateti 2009. Karakteristik Morfometrik Rusa Sambar (Rusa unicolor)
Sebagai Dasar Kriteria Seleksi Sifat Pertumbuhan. Jurnal Veteriner Maret 2009
66
KARAKTERISTIK HABITAT PENELURAN PENYU ALAMI DAN PENETASAN
SEMI ALAMI PANTAI NGAGELAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO
BANYUWANGI, JAWA TIMUR
RR. Indry Noviarin Examinati, Tatang Suharmana Erawan, Ruhyat Partasasmita
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Karakteristik habitat peneluran penyu alami dan penetasan semi alami di Pantai Ngagelan
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 2-11 Mei 2014
bertujuan untuk mengetahui karakteristik habitat yang dipilih oleh penyu sebagai lokasi
bertelur di Pantai Ngagelan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survey yang meliputi pengamatan langusng dan wawancara dengan pihak terkait. Pantai
Ngagelan sebagai tempat yang dipilih oleh penyu untuk bertelur memiliki karakteristik yaitu
memiliki kemiringan agak landau dan pasir pantai yang halus. Vegetasi yang dominan di
sekitar pantai adalah Ipomoea pes-caprae dan Pandanus Tectorius. Bulan Januari – 8 Mei
2014, nilai keberhasilan menetas dan keberhasilan hidup berturut-turut adalah sebesar 87%
dan 96%.
Kata kunci : Habitat, Penyu, Pantai Ngagelan, Taman Nasional Alas Purwo
PENDAHULUAN
Pantai Ngagelan terletak di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Pantai ini
merupakan lokasi peneluran bagi 4 jenis penyu yaitu penyu hijau, penyu belimbing, penyu
sisik dan penyu abu-abu.
Menurut Ackerman (1997), penyu menggali sarang dan meletakkan telur-telurnya di
sebuah pantai berpasir. Pantai berpasir tempat peneluran penyu merupakan inkubator serta
memiliki suasana lingkungan yang sesuai bagi perkembangan embrio penyu. Iklim mikro
yang sesuai untuk inkubasi telur penyu ditimbulkan dari adanya interaksi antara karakter fisik
material, penyusun pantai, iklim lokal dan telur-telur dalam sarang.
Di Pantai Ngagelan, telur di peneluran alami dipindahkan ke penetasan alami ke
penetasan semi alami setelah induk penyu yang telah bertelur kembali ke laut. Ini merupakan
salah satu upaya konservasi untuk menyelamatkan populasi penyu agar tidak punah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh penyu dari penyakit, perlindungan penyu dari predator, dan
meningkatkan daya tetas telur penyu. Teknik konservasi yang tidak memadai merupakan
salah satu faktor penurunan populasi penyu selain pergeseran fungsi habitat peneluran penyu
dan predator. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai karakteristik habitat peneluran alami
dan semi alami di Pantai Ngagelan.
ALAT, BAHAN, DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 – 11 Mei 2014 di Taman Nasional Alas
Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Alat yang digunakan adalah busur
protaktor, GPS, kamera, roll meter (50 meter), soil tester, tabel pasang surut, thermometer
tanah, thermohigrometer, dan waterpass. Pengamatan dilakukan di Pantai Ngagelan yang
merupakan lokasi peneluran alami dan penetasan penyu semi alami. Metode yang digunakan
67
adalah adalah studi literatur, metode survey yang meliputi pengamatan langsung dan
wawancara dengan petugas Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Taman
Nasional Alas Purwo.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer, yaitu karakteristik pasir pantai,
kemiringan pantai, panjang dan lebar pantai, vegetasi sekitar sarang, temperatur dan
kelembapan sarang, dan jenis hewan yang berada di sekitar sarang. Data sekunder
meliputi karakteristik peneluran penyu, keadaan umum lokasi penelitian, penyebaran sarang,
jumlah penyu yang naik dan bertelur, keberhasilan penetasan serta tindakan pelestarian yang
dilakukan.
HASIL DAN DISKUSI
Pantai Ngagelan memiliki panjang 18.500 m (Pancur-Cungur). Pantai Ngaglan terdiri
atas 185 sektor. Panjang tiap sektor adalah 100 m. Lebar Pantai Ngagelan adalah 12,3 –
16,1 meter saat air laut pasang dan 74 meter saat surut. kemiringan Pantai Ngagelan
berkisar 4o
- 5o. Kisaran kemiringan tersebut tergolong dalam kategori pantai yang
landai (Manalu, 2010). Menurut Nuitja (1992), semakin landai pantai peneluran maka
semakin memudahkan penyu untuk melakukan aktivitas pendaratan mencari lokasi sarang
sebagai tempat bertelur.
Tekstur pasir pantai peneluran alami adalah 91% Pasir, 8, 15% Debu dan 0,61%
Liat. Tekstur pasir pantai penetasan semi alami tidak begitu berbeda jauh yaitu 90,33%
Pasir, 8,87% Debu dan 0,80% Liat. Analisis ini sesuai dengan yang Ridla (2007) katakan
bahwa substrat yang ideal untuk pendaratan penyu adalah 90% pasir dan sisanya debu.
Temperatur pasir di tempat peneluran alami dan semi alami pada kedalaman 40
cm dan 20 cm berbeda (Grafik 1). Temperatur pasir kedalaman 40 cm relatif lebih stabil
dibandingkan dengan kedalaman 20 cm. Temperatur tempat penetasan semi alami relatif
stabil tetapi temperaturnya lebih rendah daripada tempat peneluran alami. Pasir pada
kedalaman 40 cm dapat menyangga panas dibandingkan pasir pada kedalaman 20 cm
karena pada kedalaman 20 cm lebih dekat dengan permukaan. Permukaan pasir mudah
berubah karena dipengaruhi temperatur udara yang berbatasan langsung.
Rata-rata temperatur di tempat penetasan semi alami lebih rendah dibandingkan
temperatur peneluran alami. Goin et. al. (1978) menyatakan bahwa perkembangan
temperatur secara teratur dan bertahap pada batas-batas temperatur yang baik (25ºC -
32ºC) akan menghasilkan laju tetas yang terbaik dan waktu pengeraman yang relatif
singkat. Kisaran temperatur pasir pada tempat peneluran alami kedalaman 40cm adalah 32,3 –
35,4oC dan kisaran temperatur pasir pada penetasan semi alami adalah 28,5 – 32,5
oC.
Temperatur di penetasan semi alami dalam kisaran sesuai dengan pernyataan Goin et. al tetapi
temperatur pasir pada peneluran alami melebihi batas maksimum yang dikemukakan Goin et.
al. Perbedaan temperatur pada kedua lokasi dipengaruhi oleh banyak sedikitnya intensitas
cahaya yang diterima permukaan sarang karena sebagian kalor akan diserap dan dirambatkan
ke bagian tanah yang lebih dalam dan sebagian lagi akan dipantulkan.
68
Grafik 1. Temperatur Pasir (A) kedalaman 40 dan (B) kedalaman 20 cm.
Limpus (1997) menyatakan bahwa hasil penetasan telur dengan inkubator temperatur
30,5oC, seluruh telur menetas. Bila temperatur diturunkan hingga 24
oC, tukik akan mati.
Temperatur pengeraman juga dapat menentukan jenis kelamin tukik (anak penyu) di mana
pada kisaran temperatur 28,5 – 29, 5oC diperoleh tukik sebanyak 50% jantan dan 50% betina.
Jika temperaturnya dinaikan lebih dari 29,5oC akan diperoleh 100% tukik betina. Menurut
Pieau (1999), hal ini karena produksi enzim arometase berbanding lurus dengan temperatur.
Enzim arometase adalah hormon yang mengubah androgen menjadi estrogen. Peningkatan
hormon estrogen membentuk kelamin betina, sedangkan penurunan hormone estrogen
membentuk kelamin jantan. Temperatur di kedua lokasi lebih dari 30oC. Kemungkinan tukik
yang menetas di Pantai Ngagelan sebagian besar betina.
Kisaran kelembapan pasir pantai tempat peneluran alami berkisar antara 20 - 55%.
Kelembapan pasir pada penetasan semi alami lebih rendah dibandingkan pada peneluran
alami yaitu 0 – 15% karena pasir yang berada di penetasan semi alami sangat kering (tidak
terkena air). Tinggi muka air ketika pasang tertinggi dapat menyapu hingga ke dekat vegetasi
tetapi tidak mencapai pondok penetsan semi alami. Kelembapan permukaan pasir yang sangat
kering ini tidak mewakili kelembapan pasir pada bagian yang lebih dalam. Jadi upaya
penyiraman tempat penetasan semi alami tidak perlu dilakukan. Rata-rata kelembapan udara
di kedua lokasi berada di kisaran yang sama yaitu 46 - 94%.Menurut Ackerman (1997),
mortalitas embrio sangat tinggi pada kondisi kering, mengingat bahwa telur penyu sangat
peka terhadap kondisi kering. Akan tetapi, mortalitas yang tinggi juga dapat disebabkan oleh
terendamnya sarang telur oleh air laut dalam jangka waktu yang lama.
Pertahanan fisik telur terdiri atas kutikula, kerabang telur, dan selaput tipis. Kutikula
merupakan lapisan protein setebal 0.01 mm yang menyeliputi kerabang telur. Lapisan ini
dapat menutup pori-pori yang ada pada kerabang telur. Kerabang telur merupakan lapisan
telur paling luar sebagai pertahanan mekanis, sedangkan selaput telur terdiri dari dua lapis
yang berfungsi sebagai penyaring mikroorganisme. Ketiga pertahanan fisik ini merupakan
barrier yang akan menghalangi masuknya mikroorganisme pencemar berpenetrasi ke dalam
telur. Pertahanan kimiawi telur terdapat pada lapisan putih telur. Putih telur memiliki pH basa,
lisosim dan konalbumin yang dapat menghambat dan menghentikan pertumbuhan
mikroorganisme pada putih telur (Depkes, 1997).
69
Vegetasi yang diamati adalah vegetasi yang berada di sepanjang pantai sektor 88. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukan Pantai Ngagelan ditumbuhi pandan laut (Pandanus
tectorius), waru (Hibiscus tiliaceus), tapak kuda (Ipomoea pes-caprae), keben (Barringtonia
asiatica), dan batang lampung (Scaevola tacada). Hasil pengamatan selama patroli, penyu
membuat sarang di sekitar tumbuhan Ipomoea pes-caprae. Jarak sarang yang dibuat berkisar
1-2 meter dari Ipomoea pes-caprae. Lamanya waktu yang diperlukan penyu hijau untuk
menyeleksi habitat tergantung dari jarak sarangterhadap pinggir laut dan adanya penghalang
di pantai misalnya batang yang berserakan. Kadang-kadang penyu hijau yang telah mengali
lubang tubuh berpindahtempat untuk menggali lubang yang lain. Keadaan ini dapat
dikarenakan adanya akar tumbuhan sehingga menghalangi penggalian (Komarayanti, 2007).
Hewan yang ditemukan di sektor 88 selama 5 hari pengamatan adalah monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis), kadal pasir (Cryptoblepharus cursor), kepiting pantai
(Ocypoda sp.), elang laut (Haliaeetus leucogaster), burung raja udang (Todiramphus chloris),
biawak (Varanus salvator), musang (Paradoxurus hermaphroditus), dan lutung
(Trachypithecus auratus). Hewan-hewan tersebut ada yang berhubungan langsung dengan
penyu. Dari hasil wawancara dengan Petugas PHKA diperoleh informasi bahwa monyet ekor
panjang, biawak, semut merah, babi hutan, macan tutul, musang, kepiting pantai dan elang
laut adalah hewan predator penyu di Pantai Ngagelan.
Menurut Nontji (2005), fase tukik adalah fase yang paling kritis dalam hidupnya karena
pada saat itulah predator paling mudah untuk memangsanya. Ini dibuktikan dengan
banyaknya hewan yang memangsa fase tukik. Karena adanya predator di Pantai Ngagelan ini
kegiatan konservasi diwujudkan berupa upaya penetasan semi alami di pondok kerja
penetasan semi alami. Kegiatan konservasi yang dilakukan di Pantai Ngagelan adalah
monitoring penyu yang mendarat, upaya penetasan semi alami, dan perlindungan habitat
peneluran.
Gambar 1. Titik Pendaratan Penyu di Pantai Ngagelan Januari – 8 Mei 2014
Keterangan : Biru : lokasi peneluran penyu abu-abu/lekang
Hijau : lokasi peneluran penyu hijau
Kuning: lokasi peneluran penyu sisik
Penyu bersarang di sepanjang Pantai Ngagelan. Dari data yang diperoleh, meski sarang
penyu ditemukan merata, ada beberapa lokasi yang paling sering ditemui sarang. Hasil
pengamatan di Pantai Ngagelan pada Januari 2014 - 8 Mei 2014 terdapat 66 ekor penyu yang
mendarat dan bertelur dengan jumlah telur yang dihasilkan rata-rata 107 butir. Penyu yang
mendarat dari Januari – 8 Mei 2014 adalah penyu abu-abu/lekang, penyu hijau, dan penyu
sisik.
Sektor 116-120 dan sektor 126-130 adalah sektor yang paling sering ditemukan sarang
telur penyu. Suwelo (1988) berpendapat bahwa, banyak sedikitnya jumlah penyu yang
bertelur di suatu area tertentu dipengaruhi oleh keadaan oseanografi areal tersebut, seperti
1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
10
1
10
6
11
1
11
6
12
1
12
6
13
1
13
6
14
1
14
6
15
1
15
6
16
1
16
6
17
1
17
6
18
1
NOMOR SEKTOR PANTAI NGAGELAN DAN TITIK DITEMUKAN …
70
angin kencang, arus dan gelombang laut yang terlalu kuat. Hal tersebut akan menjadi
penghambat gerakan penyu untuk bermigrasi dan bertelur.
Grafik 2. Jumlah Sarang Penyu dan Jenisnya yang ditemukan di Pantai Ngagelan
Sarang telur penyu sisik ditemukan sekali pada bulan januari. Penyu sisik dan penyu
belimbing puncak musim bertelurnya adalah bulan Desember, Januari dan Februari sedangkan
penyu abu-abu/lekang dan penyu hijau bertelur puncaknya pada bulan Mei, Juni, dan Juli
(Buletin Manilkara Kauki Taman Nasional Alas Purwo, 2012). Ini dibuktikan dengan
ditemukannya sarang penyu abu-abu pada bulan Februari dan terus meningkat setiap bulannya
hingga Mei. Telah ditemukan 29 sarang penyu abu-abu di Pantai Ngagelan dari hari ke-1
sampai hari ke-8 pada bulan Mei. Berdasarkan hasil wawancara dengan Petugas PHKA, bulan
Mei dan Juni adalah bulan yang hampir setiap malam terlihat sarang penyu abu-abu.
Sedangkan penyu hijau yang masa bertelurnya bersamaan dengan penyu abu-abu tidak
ditemukan peningkatan sarang telurnya.
Terdapat lima sarang telur yang berhasil ditetaskan telur penyu yang berasal dari penyu
yang mendarat sejak awal tahun 2014. Dari 506 butir, dengan rata-rata inkubasi 37 hari,
keberhasilan penetasan mencapai 87%. Kegagalan penetasan telur terjadi akibat telur yang
steril, embrio yang abnormal kemudian mati. Masa inkubasi telur rata-rata 37 hari dengan
masa inkubasi paling lama adalah telur penyu hijau. Dari 506 butir telur yang terdapat pada
sarang, 441 telur menetas (87%) dan dari 441 telur yang menetas, diperoleh 425 tukik yang
hidup. Artinya telur penyu yang berhasil menetas menjadi tukik hidup 96%.Tukik yang mati
disebabkan oleh tukik yang abnormal dan kondisinya lemah. Dengan persentasi itu maka
penetasan semi alami mendukung usaha konservasi penyu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan kesimpulan bahwa Pantai Ngagelan memiliki
kemiringan 5o dengan pasir halus berwarna coklat terang, serta didominasi oleh vegetasi hutan
pantai dataran rendah yaitu Pandanus tectorius dan Ipomoea pes-caprae menjadikan pantai
ini tempat yang cocok bagi penyu untuk bertelur.
Saran bagi Taman Nasional Alas Purwo adalah perlu adanya peningkatan monitoring
terhadap temperatur di tempat penetasan semi alami agar tingkat penetasan telur meningkat.
0 2 4 6 8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32
Hijau Sisik Abu-Abu / Lekang
Abu-Abu / Lekang
Hijau Abu-Abu / Lekang
Hijau Abu-Abu / Lekang
Januari Februari Maret April Mei
71
Saran bagi penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas
penyu di perairan sekitar pantai Ngagelan agar usaha konservasi penyu di Taman Nasional
Alas Purwo juga meliputi habitat lainnya selain peneluran.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Allah
SWT. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Balai TamanNasional Alas Purwo
yang telah memberi izin penelitian di Pantai Ngagelan serta pihak lain yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
REFERENSI
Ackerman, R.A. 1997. The Nest Environment and The Embryonic Development of Sea
Turtles. In:Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). The Biology of Sea Turtle. CRC Press,
Boca Raton. ppBerok, Y.K. 1997.
BTNAP (Balai Taman Nasional Alas Purwo). 2012. Buletin Manilkara Kauki Edisi 5
Pengelolaan Penyu di TNAP. p 15
Departemen Kesehatan RI (1997). Program dan Kegiatan Pengawasan Makanan. Buletin
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Vol. 19. No.2. Hal. 10-
17
Goin, C.J., O.B. Goin and G.R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. Third ed.
W.E. Freeman and Co. San Fransisco. P 1111-115;267-269.
Komarayanti, Sawitri. 2007. Pembelajaran Berbasis Lingkungan. Program Studi Pendidikan
Biologi, Jurusan Pendidikan Mipa, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Muhammadiyah. Jember. p.43
Limpus, C. J. 1997. Populasi Penyu di Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat : Penyebaran
dan Statusnya. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia.
Jember-Indonesia.
Manalu. R. G. 2010. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik dan Upaya Pelestarian Di Pantai
Gili Meno. KIPA. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. (Tidak di publikasikan).
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta, 315-323 hlm.
Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press, Bogor. 127 Hlm
Pieau C., Dorizzi M and Richard-Mercier N. 1999. Temperature-dependent sex determination
and gonadal differentation in reptiles. Cellular and Molecular Life Sciences 55. p 887-
900
Ridla, D.A. 2007. Analsis Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Dalam Sarang semi Alami di
pantai Pangumbahan Sukabumi. IPB. Jawa Barat.
Soepangkat, Soetomo, Suwelo, Sutanto I. 1988. Proyek Pengembangan Kelestarian
Sumber Daya Alam Hayati Pusat Tahun 1988/1989: Pedoman Penangkaran
Penyu. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam. Bogor.