dalang i ketut kodi) institut s - isi denpasar download
TRANSCRIPT
WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS
WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)
SKRIPSI
OLEH :
PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010
PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR 2014
WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS
WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)
SKRIPSI
OLEH :
PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010
PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR 2014
ii
WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS
WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)
MENYETUJUI :
PEMBIMBING I
Drs. I Wayan Mardana, M.Pd NIP. 19541231 198303 1 016
PEMBIMBING II
Dra. Ni Diah Purnamawati, M.Si NIP. 19581128 198503 2 001
iii
Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh panitia Ujian Akhir Sarjana
(S1) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Pada
Hari / Tanggal : Rabu, 14 Mei 2014
Ketua : I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si (……………….) NIP. 19630730 199002 1 001
Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum (……………….) NIP. 19641231 199002 1 040
Dosen Penguji :
1. Dr. I Nyoman Catra, SST., M.A (……………….) NIP. 19541231 197803 1 008
2. Drs. I Wayan Mardana, M.Pd (……………….)
NIP. 19541231 198303 1 016 3. Dra. Ni Diah Purnamawati, M.Si (……………….)
NIP. 19581128 198503 2 001 Disahkan pada tanggal : …………………………………….
Mengetahui :
Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si NIP. 19630730 199002 1 001
Ketua Jurusan Pedalangan I Kadek Widnyana, SSP., M. Si NIP. 19661227 199203 1 004
iv
ABSTRAK Wayang Betel merupakan sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog. Pada tahun 2010 dengan daya inovasi dan kreasi yang khas, I Ketut Kodi, dalang akademik dari Banjar Mukti, Desa Singapadu kecamatan Sukawati kabupaten Gianyar memunculkan apa yang sampai saat ini di kenal dengan Wayang Betel yaitu sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari wayang lemah atau wayang gedog. Adapun ruang lingkup dari Kajian objek penelitian ini membahas seputar bentuk Wayang Lemah sebagai kreativitas Wayang kulit Bali (studi kasus WayangBetel: Dalang I Ketut Kodi). Sebuah produk seni pertunjukan berdasarkan data kualitatif dalam penelitian ini seperti: lamanya pertunjukan, tahapan-tahapan pertunjukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan WayangBetel ini di bangun oleh dalang I Ketut Kodi, maka kontribusi penelitian ini akan di analisis secara kualitatif. Penerapan metode kualitatif dalam penelitian ini menurut Arikunto (dalam Purnamawati 1989: 201) bertujuan untuk mencari dan menemukan ada atau tidak hubungan antar gejala yang ada. Kalau ada seberapa jauh hubungan itu, disamping berarti tidaknya hubungan itu. Subjeknya diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber: I Ketut Kodi dan berbagai sumber literatur terkait. Sebagai acuan akan menjadikan mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis teks Wayang Betel: dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dalam pertunjukan dilokasi penelitian. Disitulah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut struktur dan bentuk Wayang Betel, kemudian menelusuri fungsi yang terkandung didalamnya lewat dialog, monolog yang muncul dari lakon itu. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian dengan menggunakan tiga teori yaitu: teori estetika, teori kreativitas dan teori fungsional. Metode-metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Seluruh data diolah menggunakan tekhnik deskriptif interpretatif. Hasil penelitian ini ditulis menggunakan Pedoman Tugas Akhir pada Program Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar. Hasil penelitian ini membahas tentang Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi) dalam pembahasan ini menguraikan tentang Aspek Pertunjukan Wayang Kulit Bali dan Wayang Betel: Wayang, Darma Pewayangan, Pertunjukan Wayang Kulit Bali, Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran Wayang Betel, Masa Kanak-Kanak, Masa Remaja dan Terobosan Baru Tentang Tayang Tulit. Bentuk Pertunjukan Wayang Betel: Angga, Struktur, Aparatus. Wacana: Sumber Cerita, Tandakan, dan Lawakan. Tetikesan: Bentuk dan Kehasan, Tokoh dan Penokohan. dan Fungsi: Fungsi Estetika, Fungsi Kreativitas dan Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya. Penelitian ini membuktikan bahwa kreativitas mempunyai peranan penting dalam pertunjukan wayang kulit inovatif (Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi). Kata kunci : Wayang Betel Bentuk dan Fungsi
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya dapat tersusun kripsp dengan
judul “Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali
(Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)” tepat pada waktunya. Skripsi
ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan telah disetujui untuk
diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mencapai gelar
Sarjana (S1) pada Program Studi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan,
Institut Seni Indonesia Denpasar.
Sebagai hamba Tuhan, penulis menyadari akan keterbatasan yang penulis
miliki dan menyadari hakekat menjadi manusia, yang sudah tentu membutuhkan
bantuan dari orang lain. Selesainya penulisan skripsi ini sesungguhnya banyak
memperoleh bantuan, arahan, masukan dan saran-saran berupa dorongan dari
berbagai pihak. Dari kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis mengucapkan
rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang telah membantu. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:
Melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan rasa terima kasih
dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak atas kemurahan hati
membantu penulis, sehingga skripsi ini rampung tepat pada waktunya. Ucapan
terima kasih ini ditujukan kepada :
1. Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., selaku Rektor Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis menempuh perkuliahan.
vii
2. Bapak I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si selaku Dekan Fakultas Seni
Pertunjukan dan sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Ujian Tugas Akhir
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, yang telah memberi motivasi
selama mengikuti perkuliahan dan pada proses tugas akhir.
3. Bapak I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., selaku Pembantu
Dekan I, yang telah memberi motivasi selama mengikuti peroses
pembelajaran.
4. Ibu Doktor Ni Luh Sustyawati, M.pd selaku pembantu dekan III, yang
telah memberi motivasi selama mengikuti perkuliahan dan pada proses
tugas akhir serta bimbingan moril selama penulis mengikuti perkuliahan
dan kegiatan kampus.
5. Bapak I Kadek Widnyana, SSP., M. Si, selaku Ketua Jurusan Seni
Pedalangan ISI Denpasar, yang telah membantu penulis dalam proses
akademik selama mengikuti perkuliahan.
6. Ibu Ni Komang Sekar Marhaeni, SSP., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan
Seni Pedalangan ISI Denpasar, telah banyak memberikan dorongan
motivasi dan membantu secara akademis selama perkuliahan.
7. Bapak I Made Sidia., SSP, M.Si., selaku Pembimbing Akedemik yang
meluangkan waktunya memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan
hingga menyelesaikan skripsi ini serta bimbingan moril dan spiritualnya
kepada penulis sehingga penulis tetap bersemangat untuk mengikuti
perkuliahan di Jurusan Pedalangan.
viii
8. Bapak Drs. I Wayan Mardana, M.Pd selaku Pembimbing I atas perhatian,
bimbinganya, dan motivasi selama menempuh perkuliahan mengoreksi
dan membenahi tulisan pada skripsi ini.
9. Ibu Dra. Ni Diah Purnamawati., M.Si., selaku Pembimbing II yang telah
banyak memberikan dorongan, motivasi yang sangat berarti bagi penulis,
mengoreksi dan membenahi tulisan pada skripsi ini.
10. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sedana, SSP, M.A., selaku Guru Besar di
Jurusan Pedalangan dan Dosen yang sudah dengan sabar dan meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan semangat dari awal
perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
11. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar di Jurusan Pedalangan berserta
Pegawai Fakultas Seni Pertunjukan yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, bimbingan, pengalaman, motivasi, bantuan, dan arahan
selama awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.
12. Bapak I Ketut Kodi., SSP, M.Si, dosen penulis sekaligus seorang dalang
Wayang Betel atas kesediaannya sebagai informan, penulis ucapkan
terimakasih.
13. Teman-teman di Jurusan Pedalangan dan di Fakultas Seni Pertunjukan
(FSP) ISI Denpasar, atas dukungan dan dorongan spiritual yang diberikan
kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat rampung tepat pada waktu yang
telah ditentukan.
14. Ayah tercinta Pande Ketut Sutrisna dan Ibuku Terkasih Alm. Ni Ketut
Sari yang sudah banyak memberikan bantuan dan dukungan moral serta
spirit kepada penulis selama perkuliahan dan dalam proses penyusunan
ix
karya tulis ini. Tanpa restu dan anugrah kasih sayangnya penulis tidak
akan mampu mencapai semua ini.
Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis diterima sebagai amal
serta mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya, dan besar harapan
penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi yang
memerlukannya.
Denpasar, 28 April Mei 2014 Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN MOTO .................................................................................. iv ABSTRAK ................................................................................................ v KATA PENGANTAR .............................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii DAFTAR FOTO ....................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ....................................................... 6 1. 3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 6 1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................ 7 1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................................. 7 1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................... 8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 8
BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI ........................... 10 2.1 Kajian Sumber .............................................................................. 10 2.2 Landasan Teori ............................................................................. 12 2.2.1 Teori Estetika ...................................................................... 13 2.2.2 Teori Kreativitas .................................................................. 14 2.2.3 Teori Fungsional ................................................................. 15
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 17 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................... 17 3.2 Subjek Penelitian dan Jenis Data ................................................. 18 3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ................. 19 3.3.1 Metode Pengumpulan Data ................................................. 19 3.3.2 Instrumen Penelitian ............................................................ 21 3.4 Metode Deskripsi Data dan Penyajian Hasil Analisis ................... 23
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 26 4.1 Aspek Pertunjukan Wayang........................................ .. ............ 26 4.1.1 Wayang................................................................................ 26
4.1.2 Darma Pewayangan ............................................................ . 28 4.1.3 Pertunjukan Wayang Kulit Bali .......................................... 30 4.1.4 Pertunjukan Wayang Lemah............................................... 31 4.1.5 Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran WB............. 34 4.1.6 Masa Kanak-Kanak............................................................ . 36 4.1.7 Masa Remaja...................................................................... . 37 4.1.8 Terobosan Baru Tentang Wayang Kulit.............................. 37
xi
4.2 Bentuk Pertunjukan WB............................................................. 39 4.2.1 Angga.................................................................................. 39 4.2.1.1 Struktur Pertunjukan............................................... 40 4.2.1.2 Aparatus Pertunjukan........................................... 43 4.3 Wacana....................................................................................... 51 4.3.1 Sumber Cerita................................................................... 51 4.3.2 Tandak.............................................................................. 53 4.3.3 Retorika........................................................................... 54 4.3.4 Teknik Teaterikal.............................................................. 55 4.3.5 Lawakan/Lelucon............................................................. 55 4.4 Tetikesan.................................................................................... 56 4.4.1 Bentuk dan Hiasan............................................................ 56 4.4.2 Tokoh dan Penokohan...................................................... 57 4.4.2.1 Protagonis............................................................. 57 4.4.2.2 Antagonis.............................................................. 57 4.4.2.3 Tokoh Pembantu................................................... 58 4.5 Fungsi......................................................................................... 58 4.5.1 Fungsi Estetika................................................................... 59 4.5.2 Fungsi Kreativitas.............................................................. 61 4.5.3 Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya................ 65 BAB V PENUTUTUP............................................................................... 69 5.1 Simpulan.................................................................................... 70 5.2 Saran-saran................................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 71 DAFTAR INFORMAN ............................................................................ 74 LAMPIRAN 1 ........................................................................................... 75 LAMPIRAN 2 ........................................................................................... 85 LAMPIRAN 3 ........................................................................................... 86
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Bagan Struktur Pertunjukan WB. ............................................. 41
xiii
GLOSARIUM
Betel : Tembus
Lemah : Siang
Gedog : Kropak
Banjar : Istilah rumah warga di Bali
Kawi dalang : kreativitas dalang
University : Universitas
Wali : Upacara
Kelir : Layar
Blencong : Lampu yang bersumbu
Tukelan : Nama benang
Gender : Alat musik untuk wayang
Dapdap : Nama pohon
WB : Singkatan dari Wayang Betel
Quality : Kwalitas
DVD : Kaset vidio
Doyong : Miring
Royong : Selalu bergerak
Baying : Barang
Madya : Tengah
Amangku : Orang suci
Panglukatan
panyudamalan : Alat Untuk mensucikan
Akekawin : Melagukan
xiv
Wadah : Menara usungan mayat
Ngetisin : Memercikan
Toya : Air
Melaspasin : Menyucikan
Nunas : Meminta
Sesari : Imbalan
Gedebong : Pohon pisang
Ritus : Tata cara upacara keagamaan
Rambat : Nama sebuah alat musik
Ngeseng : Membakar
Bingin : Beringin
Bondres : Lawakan
Tetikesan : Sabet
Paileh : Jalannya
Seledet : Melirik
Tetuwek : Isinya
Pemungkah : Permulaan
Petangkilan : Menghadap
Angkat-angkat : Perjalanan
Papeson : Keluar
Gending : Nyanyian
Alas arum : Nama istilah lagu dalam wayang Bali
Penyacah parwa : Istilah sbelum mulai pertunjukan wayang Bali
Gayor : Hiasan panggung wayang
xv
Pegundeman : Rapat para tokoh
Kropak : Tempat menyimpan wayang
Cepala : Alat yang dipakai untuk memberikan isyarat
Knock down : Buka-tutup
Fleksibel : Lentur
Predana : Perempuan
Upakara : Sarana
Upakara : Persembahan
Gerong : Sinden
Rangon : Tempat pentas
Sport light : Nama lampu
Gamelan : Alat musik Bali
Barungan : Macam-macam benda
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bentuk Panggung WB ........................................................ 87 Gambar 2. Dalang melakukan persembahan sebelum pentas .............. 87 Gambar 3. Ekspresi Dalang saat memainkan kayonan ........................ 88 Gambar 4. Adegan Begawan Beksakarma menghadap ibunya Dewi
Gangga ............................................................................... 88 Gambar 5. Adegan Bima dan Dimbi .................................................... 89 Gambar 6. Dialog Punakawan Tualen dan Merdah ............................. 89 Gambar 7. Adegan Pertarungan Bima dan Detya Dimba .................... 90 Gambar 8. Adegan Pengabenan setelah Detya Dimba kalah perang
melawan Bima .................................................................... 90 Gambar 9. Informan I Ketut Kodi ........................................................ 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu unsur dari kebudayaan Indonesia adalah kesenian. Berkesenian
bagi masyarakat Bali, merupakan kegiatan paling menonjol dalam kehidupan
sehari-hari karena kesenian di Bali disamping sebagai hiburan atau tontonan juga
berfungsi sebagai ritual. Kondisi ini menimbulkan tantangan bagi para seniman
untuk mencipta dan terus menerus melakukan kreasi dan inovasi dalam
menciptakan bentuk untuk mencari nuansa baru.
Tumbuh suburnya kegiatan berkesenian Bali disebabkan oleh dorongan
yang kuat masyarakat Bali yang sebagian besar menganut Agama Hindu. Agama
Hindu memiliki unsur-unsur rasional, ritual, dan kepercayaan. Kegiatan
berkesenian Bali ini, didalam pelaksanaannya sering dijadikan sebagai drama
ritual dan sebagai persembahan kepada Tuhan. Kegiatan ini dapat menjadi sarana
untuk memperkuat rasa bhakti kepada Tuhan. Berbagai jenis kesenian Bali
tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Bali, seperti: arja, gambuh, topeng,
seni tari, seni bertembang, janger, wayang kulit dan sebagainya. Karena
dimantapkan dan dipelihara melalui dukungan sistem sosial yang berintikan
lembaga-lembaga tradisional. Lembaga-lembaga tersebut, seperti: desa adat,
banjar, subak dan berbagai jenis sekaa (organisasi profesi) sebagaimana
diungkapkan oleh Rudita (2013: 1).
Ditengah-tengah maraknya pertumbuhan apresiasi masyarakat terhadap
kesenian, salah satu seni pertunjukan yang masih tetap eksis hingga saat ini adalah
Wayang Kulit. Dewasa ini, seni pertunjukan Wayang Kulit Bali mengalami
2
perkembangan yang sangat mengembirakan, baik secara kuantitas maupun
kualitas. Secara kuantitas, kemajuan seni pertunjukan Wayang Kulit Bali dapat
dilihat dalam beberapa aspek penting seperti jumblah dalang, jumlah aktivitas atau
kegiatannya, jumlah penonton dan jumlah jenis wayang yang ada di Bali. Secara
kualitas pertunjukan Wayang Kulit Bali sebagai kesenian tradisional,
keberadaannya sangat diharapkan ditengah masyarakat, terutama berkaitan
dengan upacara ritual keagamaan. Satu sisi pertunjukan wayang mampu menjadi
media “tuntunan” atau pembelajaran bagi masyarakat, sementara disisi yang lain
pertunjukan wayang diharapkan mampu menjadi media “tontonan” atau media
hiburan bagi masyarakat.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang kulit tetap bertahan dan eksis di
zaman globalisasi ini karena wayang merupakan sebuah kesenian yang kaya
dengan kreativitas dan kreasi senimannya. Kreativitas dalang merupakan sesuatu
yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesenian wayang. Kreativitas
dalang juga merupakan suatu kekayaan seni yang lain daripada yang lain. Dalam
disertasinya yang berjudul Kawi Dalang:Creativity in Wayang Theatre yang
diajukan di University of Georgia, USA, tahun (2002: 2) Sedana menjelaskan
bahwa:
“This creative element is known as kawi dalang, which means the creativity (kawi) of the puppet master (dalang). The kawi dalang is not only crucial in perpetuating the genre, but it also allows each production to be distinct and unique, even though the dalang may perform the same story over and over again. Kawi dalang demands that each performance change in accordance with the fluctuating place-time-circumstances (desakala-patra). To a dalang artist, like myself, this element is both interesting and challenging, for it demands the creative response of the dalang puppeteer to any performance situation. Thus, kawi dalang is a term in the Balinese traditional theater that solely deals with the dalang’s creativity and improvisation in his/her performance. Kawi refers to two different things: an action of aesthetic creation and the name of a language. With reference to the action of aesthetic
3
creation, kawi means creation, improvisation, invention, or modification.” (2002: 2) yang artinya dalam bahasa indonesia seperti di bawah ini:
“Elemen kreatif ini dikenal sebagai kawi dalang, yang berarti kreativitas (kawi) dari seorang puppet master (dalang). Kawi Dalang tidak hanya krusial untuk mengekalkan gaya pertunjukan, tetapi ia juga memperbolehkan setiap produksi untuk menjadi berbeda dan unik, sekalipun Sang Dalang mungkin mempertunjukkan cerita yang sama terus menerus. Kawi dalang menuntut agar setiap pertunjukan berubah berkenaan dengan berubahnya tempat-waktu-keadaan (desa-kala-patra). Bagi seorang seniman dalang, seperti saya, elemen ini menarik sekaligus menantang, untuk tuntutan ini respon kreatif dari Dalang diperlukan dalam berbagai situasi pertunjukan. Sehingga, Kawi Dalang adalah sebuah istilah dalam theater tradisional Bali yang semata-mata diuraikan dengan creativitas dalang dan improfisasi dalam pertunjukannya. Kawi merujuk pada dua hal berbeda: sebuah aksi dari kreasi estetis dan nama dari sebuah bahasa. Dengan referensi untuk sebuah aksi dari kreasi estetis, kawi berarti kreasi, improfisasi, penemuan, atau modifikasi.”
Hal-hal sebagaimana diungkapkan Sedana di depan, secara kualitas dapat
dideteksi dari peningkatan mutu dalang, penonton dan pertunjukannya. Sebagai
sebuah seni pertunjukan tradisional, pertunjukan wayang kulit di Bali dapat
dibedakan menjadi dua jenis pertunjukan yaitu, Wayang Peteng dan Wayang
Lemah. Wayang Peteng adalah wayang yang dipentaskan pada malam hari.
Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang yang diadakan pada siang hari. Sesuai
dengan namanya, wayang lemah, bahwa lemah berarti siang atau terang (Kamus
Bali-Indonesia dalam Purnamawati, 2005: 67).
Kalau dilihat dari fungsinya pertunjukan wayang kulit termasuk kesenian
pelengkap upacara keagamaan (Wali) dalam rangkaian mengiringi Panca Yadnya
(Dewa Yadnyda, Bhuta Yadnya, dan Rsi Yadnya) (Kawen dalam Purnamawati,
2005: 68). Di beberapa tempat disebut juga dengan Wayang Gedog. Wayang ini
dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan Lampu Blencong. Dalam
memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas
benang putih (Benang Tukelan). sepanjang sekitar setengah sampai satu meter
yang diikat pada batang kayu Dapdap yang dipancangkan pada batang pisang
4
dikedua sisi dalang. Gamelan pengiringnya adalah gender-wayang yang berlaras
slendro (lima nada). Wayang upacara ini pementasannya sangat tergantung pada
waktu pelaksanaan upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat
dipentaskan pada siang hari, sore hari, maupun malam hari. Pendukung
pertunjukan ini yang paling kecil, 3 sampai 5 orang yang terdiri dari seorang
dalang dan satu atau dua opasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian
upacara, pertunjukan Wayang Lemah biasanya mengambil tempat disekitar tempat
upacara dengan tidak mempergunakan panggung khusus. Lakon yang dibawakan
pada umumny bersumber pada cerita Mahabarata yang disesuaikan dengan jenis
dan tingkat upacara yang diiringinya. Jangka waktu pementasan Wayang Lemah
pada umumnya singkat, sekitar 1-2 jam.
Untuk memberikan sentuhan lain terhadap minat para penonton Wayang
Lemah, agar tidak merasa jenuh, monoton, maka salah seorang dalang yaitu I
Ketut Kodi memberanikan diri melakukan inovasi dan kreativitas melalui pola
Wayang Lemah, menghasilkan produk baru yang bersifat tontonan atau hiburan.
Menurut I Ketut Kodi, kreativitas seni pewayangan atau pedalangan kini sudah
saatnya memikirkan optimalisasi wayang dan seniman dalang dalam berbagai
ungkapan artistiknya yang belakangan ini sering direduksi hanya sebagai pembaca
naskah pertunjukan. Sebagai seniman dalang mempunyai beberapa peranan vital,
yakni sebagai penyusun lakon, sebagai sutradara, sebagai narator atau pembawa
cerita, sebagai penyanyi, sebagai pemain wayang, sebagai pelawak dan
penceramah yang istimewa dan paling dekat dengan mayoritas masyarakat.
(wawancara, senin tgl 24 febuari 2014).
5
Berkenaan dengan wawancara yang penulis lakukan tersebut diatas, maka
muncul keinginan penulis sebagai peneliti untuk mengajak masyarakat mengenal
lebih jauh perkembangan Wayang Lemah di Bali. Kebanyakan masyarakat
mengetahui bahwa Wayang Lemah hanya dipentaskan pada saat adanya upacara
keagamaan di Bali. Namun, belakangan ini Wayang Lemah yang sering kita lihat
atau kita tonton didalam suatu upacara keagamaan isa dijadikan suatu acuan
dalam penciptaan suatu karya Inovasi. Seperti apa yang telah dilakukan oleh
seorang dalang, I Ketut Kodi. Beliau menciptakan Wayang Betel dengan
menggabungkan berbagai elemen, menjadikannya suatu garapan inovasi.
Wayang Betel merupakan sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi
dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog. Pada tahun 2010 dengan daya inovasi
dan kreasi yang khas, I Ketut Kodi, dalang akademik dari Banjar Mukti, Desa
Singapadu kecamatan Sukawati kabupaten Gianyar memunculkan apa yang
sampai saat ini di kenal dengan Wayang Betel yaitu sebuah garapan pewayangan
yang terinspirasi dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog.
Saat usulan penelitian ini ditulis (2014) Wayang Betel (selanjutnya ditulis
WB) sangat digemari oleh penonton, hal ini terjadi karena WB telah berasil pentas
di sejumlah tempat seperti dalam Pesta Kesenian Bali tahun 2010, dan gedung
Candra Metu ISI Denpasar sebagai pemenang dana DIVA ISI Denpasar. Dari
sekian kali pementasan dijadikan objek dalam penelitian ini, di tinjau dari bentuk
dan kreativitas wayang kulit Bali.
Alasan peneliti memilih WB sebagai kasus analisis dalam penelitian ini
ada tiga alasan yang dapat dikemukanan yaitu;
6
1) WB muncul dengan fenomena baru, terutama dalam pertunjukan
Wayang Lemah.
2) Pementasan WB yang unik karena munculnya mengalami perubahan
lewat kreativitas dalang.
3) Sepanjang pengetahuan peneliti WB belum pernah ada yang meneliti.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas atas maka dapat dirumuskan ke
dalam dua masalah penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana bentuk WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi
kreativitas Wayang Kulit Bali ?
2) Faktor apa yang menyebabkan Wayang Lemah dijadikan sumber inspirasi
kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi ?
3) Apa fungsi WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi kreativitas
Wayang Kulit Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Wayang Lemah
sebagai Sumber inspirasi wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut
Kodi) karena dalam pertunjukan WB memberikan inspirasi bagi masyarakat
umum, bahwa Wayang Lemah yang biasanya dipentaskan dalam suatu upacara
keagamaan di Bali dapat dijadikan sebagai acuan seni pertunjukan wayang yang
bersifat hiburan atau tontonan.
7
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan mencari relevansi teori-teori kreativitas dengan pakta
empiris dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali, Dalang I Ketut Kodi dengan
memperhatikan, bentuk, faktor yang mendorong dan fungsi sosial serta budaya
masyarakat Bali tujuan dilaksanakan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut;
1. untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk WB: Dalang I Ketut Kodi
sebagai sumber inspirasi Wayang Kulit Bali.
2. untuk mendepkripsikan faktor-faktor yang menyebabkan Wayang Lemah
dijadikan sumber inpsirasi kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi.
3. untuk mendepkripsikan fungsi WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber
inspirasi kreativitas Wayang Kulit Bali.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Mengenai manfaat dari penelitian ini, penulis akan menjabarkannya
sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Dapat dijadikan salah satu sumber infomasi secara ilmiah tentang kajian
diskripsi dalam pertunjukan wayang kulit Bali.
2. Dapat menambah referensi hasil-hasil penelitian khususnya tentang
Wayang Lemah sebagai sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali
(studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi).
3. Dapat dijadikan bahan infomasi bagi para peneliti yang hendak melakukan
penelitian ilmiah mengenai wayang kulit Bali.
8
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan
teori kreativitas, khususnya teori kreativitas yang berkaitan dengan bentuk WB
dalam seni pertunjukan wayang kulit. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan
sebagai salah satu sumber informasi bagi para peneliti yang berminat meneliti
aspek kreativitas dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali.
1.4.2 Manfaat Praktis
- Meningkatkan wawasan masyarakat penikmat seni pertunjukan wayang
kulit Bali bahwa, telah terjadi kreativitas dalam pertunjukan Wayang
Lemah.
- Dapat menggugah minat dan bakat para calon peneliti untuk melakukan
penelitian tentang Wayang Lemah sebagai sumber inspirasi kreativitas
wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) dari pemikiran
yang berbeda.
- Membuka wawasan berpikir para dalang wayang kulit Bali bahwa Wayang
Lemah yang sering dikaitkan dalam suatu upacara keagamaan di Bali dapat
dijadikan sumber inspirasi untuk berkreativitas.
- Sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan (pemerintah), baik
Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam menyusun program pembangunan
di bidang kebudayaan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menafsirkan objek kajian
penelitian dan mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang penulis
miliki maka, adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
9
1) Kajian objek penelitian ini membahas seputar bentuk Wayang Lemah
sebagai kreativitas Wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut
Kodi).
Sebuah produk seni pertunjukan berdasarkan data kualitatif dalam
penelitian ini misalnya seperti: lamanya pertunjukan, tahapan-tahapan
pertunjukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan WB ini di bangun oleh
dalang I Ketut Kodi, maka kontribusi penelitian ini akan di analisis secara
kualitatif. Penerapan metode kualitatif dalam penelitian ini menurut
Arikunto (dalam Purnamawati 1989: 201) bertujuan untuk mencari dan
menemukan ada atau tidak hubungan antar gejala yang ada. Kalau ada
seberapa jauh hubungan itu, disamping berarti tidaknya hubungan itu.
2) Subjeknya diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber: I Ketut
Kodi dan berbagai sumber literatur terkait. Sebagai acuan akan menjadikan
mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis teks WB:
Dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dalam pertunjukan dilokasi
penelitian. Disitulah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut
struktur dan bentuk WB, kemudian menelusuri fungsi yang terkandung
didalamnya lewat dialog, monolog yang muncul dari lakon itu.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini digunakan berbagai sumber-sumber pustaka atau
buku-buku sebagai sarana pendukung untuk dijadikan pedoman dan acuan dalam
menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
Menurut Mulyono (1978: 263) dalam bukunya yang berjudul ‘Wayang’
disebutkan bahwa, pertunjukan wayang itu seluruhnya menurut zaman kuna dan
adat ini dipertahankan sedemikian setianya, sehingga sampai sekarangpun
pembaharuan-pembaharuan yang dicobanya pada pertunjukan wayang dilihat oleh
“orang jawa” dengan kecurigaan dan sedapat mungkin ditolak.
Penelitian yang berjudul Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur
Dramatiknya oleh Soediro Satoto tahun 1985 yang diterbitkan oleh proyek
penelitian dan pengkajian Kebudayaan Nusantara (javanologi), Direktorat jeneral
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam penelitian ini
dianalisis struktur dramatik dan makna lakon wayang Purwa ( Jawa ) “Banjaran
Karna” dan “Karna tanding” yang dipentaskan oleh Ki Narto Sabdo. Penelitian
ini terkait dengan pendeskripsian ketika mengkaji masalah bentuk pertunjukan
WB.
A.A.M. Djelantik dalam buku yang berjudul, Estetika Instrumental:
Pengantar Dasar Ilmu Estetika. Buku ini, membahas tentang aspek-aspek yang
mendasar yang terdapat pada benda atau peristiwa kesenian, dijelaskan terdapat
tiga aspek, yakni: (1) wujud, (2) bobot, dan (3) penampilan. Pertama, wujud
11
memiliki dua unsur, yaitu bentuk dan struktur. Kedua, bobot memiliki tiga unsur,
yaitu suasana, gagasan, dan pesan. Ketiga, penampilan memiliki tiga unsur, yaitu
bakat, ketrampilan dan sarana. Buku ini, memberikan acuan dalam menentukan
konsep garap, dan dalam tata penyajian di atas pentas.
Darsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira (2002: 98) dalam
bukunya berjudul Pengantar Estetika mengungkapkan, bahwa suatu pertunjukan
dibangun dengan pondasi estetika baik dari segi wujud, bobot, dan
penampilannya, merupakan satu-satunya yang sangat komplit dan membangun
kesan indah, sehingga pertunjukan menjadi menarik untuk ditonton dan dinikmati,
yang mampu meninggalkan kesan mendalam bagi para penikmatnya. Pernyataan
Djelantik dan Darsono ini sangat penting artinya ketika membahas tentang
estetika karena pertunjukan WB sarat dengan kreativitas dalang.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang kulit tetap bertahan dan eksis di
zaman globalisasi ini karena wayang merupakan sebuah kesenian yang kaya
dengan kreativitas dan kreasi senimannya. Kreativitas dalang merupakan sesuatu
yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesenian wayang. Kreativitas
dalang juga merupakan suatu kekayaan seni yang lain daripada yang lain. Dalam
disertasinya yang berjudul Kawi Dalang:Creativity in Wayang Theatre yang
diajukan di University of Georgia, USA, Sedana (2002: 2).
Menurut Mardana (2008: 5) dalam tesisnya yang berjudul “Retorika
Dalam Ragam Tutur Pertunjukan Wayang Kulit Bali” mengungkapkan bahwa
dalam pertunjukan wayang kulit, kemampuan beretorika dari seorang dalang
memiliki peranan yang sangat sentral, karena kemampuan beretorika itulah yang
menjadikan suatu pertunjukan wayang kulit menjadi menarik dan komunikatif.
12
Umumnya pertunjukan wayang kulit akan terasa menarik apabila dalangnya
memiliki kemampuan beretorika yang memadai. Tanpa memiliki kemampuan
beretorika yang memadai dari dalang, suatu pertunjukan akan terasa
membosankan dan ditinggalkan oleh penontonnya. Pandangan Mardana dan
Sedana diatas sama-sama menekankan bahwa ada semacam benang merah agar
seorang dalang harus memiliki kemampuan berkreativitas dan berdialog dengan
baik agar tidak ditinggalkan penonton.
Dalam sebuah garapan pakeliran akan menyangkut dua aspek yaitu aspek
teaterikal dan aspek dramatikal. Yang dimaksud dengan aspek teaterikal disini
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pendukung pertunjukan seperti,
iringan, kelir, wayang, damar, panggung, keropak, cepala dan lain-lain.
Sedangkan aspek dramatikal adalah suatu yang berkaitan dengan pertunjukan itu
sendiri, seperti lakon, dialog, tetikesan dan lain-lainnya.(Sukerta, 2009: 2) Buku
ajar: pakeliran gaya baku VII. Ketika mengupas masalah struktur dan fungsi
dalam penelitian ini, maka pandangan Sukerta diatas pasti banyak kegunaanya
dalam mendukung penelitian WB ini.
2.2 Landasan Teori
Teori mempunyai fungsi yang sangat penting dalam penelitian ilmiah yaitu
sebagai alat untuk membedah permasalahan. Mark dan Godson (dalam Rudita,
2013: 18) menyatakan bahwa teori adalah aturan untuk menjelaskan proposisi
atau seperangkat proposisi yang terkait dengan beberapa fenomena alamiah dan
terdiri atas represetasi simbolik dari: (1) hubungan-hubungan yang diamati
diantara kejadian-kejadian yang diukur: (2) mekanisme atau struktur yang diduga
mendasari hubungan-hubungan itu: (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan
13
serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data yang diamati tanpa adanya
manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama teori estetika
untuk menganalisis dan mengkaji bentuk Wayang Lemah Sebagai kreativitas
Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) dari segi bentuk,
bobot atau isi dan penampilan dalam penyajiannya. Teori kedua adalah teori
kreativitas untuk menganalisis daripada dasar-dasar kreatif atau kreasi seorang
dalang dalam mengkemas suatu pertunjukan wayang kulit Bali yaitu Wayang
Lemah dijadikan acuan dalam berkreativitas sehingga muncul seni baru dalam
pertunjukan wayang kulit Bali. Sedangkan teori yang ketiga adalah teori funsional
untuk menganalisis struktur dan bentuk Wayang Lemah Sebagai Kreativitas
Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) maupun menganalisis
hubungan dan keterkaitan secara fungsional antara Wayang Lemah dan kreativitas
WB.
2.2.1 Teori Estetika
Teori Estetika menurut Djelantik (2004 : 15) bahwa semua benda atau
peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar yakni: wujud atau rupa,
bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian. Wujud mempunyai arti lebih luas
dari pada rupa yang lazim dipakai dalam kata seni rupa atau semisal dalam
kalimat batu itu mempunyai rupa seperti burung. Bobot adalah isi dari suatu
barang kesenian bukan hanya yang dilihat belaka tapi juga meliputi apa yang bisa
dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Salah seorang
pelopor teori estetika adalah Gustav Theodor Fechner (dalam Diah, 2004: 36)
14
berusaha menemukan kaidah-kaidah atau dalil-dalil mengapa orang lebih
menghargai sesuatu hal tertentu yang indah dan kurang menyukai yang lainnya.
Pandangan-pandangan diatas tentang estetika sejalan dengan pendapat
Mudji Sutrisno dan Christ Verhsak (dalam Purnamawati 2004: 36-37) dalam
bukunya Estetika: Filsafat Keindahan, yakni mengemukakan tiga pandangan
mengenai estetika atau keindahan, yaitu (1) keindahan berdasarkan keseimbangan,
(2) keindahan sebagai jalan menuju kontemplasi, dan (3) keindahan sebagai
pengalaman aposteriori dan empiris manusia. Teori ini digunakan untuk
membahas bentuk WB pada pertunjukan wayang kulit Bali, terutama
menganalisis tentang keindahan yang dimunculkan karena WB merupakan sebuah
produk karya seni.
Relevansi teori ini terhadap kedua rumusan masalah tersebut diatas dapat
digunakan untuk mengkaji bentuk dan fungsi pertunjukan Wayang Parwa dengan
lakon Gugurnya Detya Dimba oleh Dalang I Ketut Kodi. Bentuk dan struktur
pertunjukan wayang dari awal hingga akhir akan dapat dikaji berdasarkan konsep
estetika dan metode artistik sebagaimana yang diatur dalam koridor teori estetika.
2.2.2 Teori Kreativitas
Dalam buku “Kreativitas Sepanjang Masa Munandar” (1988: 1)
menjelaskan bahwa akhir-akhir ini kata kreativitas seringkali digunakan baik
dalam media masa, dalam percakapan sehari-hari, dalam kreativitas lebih mudah
penggunaannya daripada dalam perumusannya. Kalau kita minta pada orang-
orang, para hadirin atau peserta seminar dan pertemuan lainnya untuk
merumuskan pengertian kreativitas maka banyak yang mengalami kesulitan untuk
15
memberi batasan yang menurut mereka tepat. Kemungkinan hal ini disebabkan
disebabkan antara lain karena luas dan majemuknya konsep kreativitas.
Kreativitas menyangkut penemuan sesuatu yang “seni”nya belum pernah
terwujud sebelumnya. Apa yang dimaksudkan dengan “seni”nya tidak mudah
ditangkap, karena ini menyangkut sesuatu yang prinsipil, dan konseptual. Yang
dimaksudkan bukanlah hanya “wujud” yang baru, tetapi adanya pembaharuan
dalam konsep-konsep estetikanya sendiri, atau penemuan konsep yang baru sama
sekali. (Djelantik, 2004: 67). Teori ini digunakan untuk membahas kreativitas
WB: Dalang I Ketut Kodi dalam pertunjukan wayang kulit Bali, sehingga
menghasilkan produksi baru.
2.2.3 Teori Fungsional
David Kaplan (2002: 76) mengatakan bahwa dalam salah satu bentuknya,
fungsionalisme adalah penekanan dominan pada studi antropologi khususnya
penelitian etnografis, selama dasawarsa silam. (Sudah barang tentu menonjolnya
fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan
hal kebetulan). Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi
suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodelogis bahwa
kita harus mengekplorasi ciri sistemik bukan daya. Artinya, kita harus mengetahui
bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu
masyarakat sehingga membudaya suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain
ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan
tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis. Teori ini
digunakan untuk membahas kreativitas dan keterkaitan secara fungsional antara
16
bentuk pertunjukan, lakon, plot dan karakter atau tokoh dalam WB: Dalang I
Ketut Kodi Dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini, peneliti menyajikan paparan yang berhubungan dengan
metode penelitian yang telah diadopsi dalam penelitian ini. Bab ini mencakup
paparan mengenai (1) rancangan penelitian, (2) populasi sampel, (3) instrumen
penelitian (4) pengumpulan data, dan (5) deskripsi data.
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
untuk mendapatkan data yang nyata dan alamiah, tentang Wayang Lemah yang
dijadikan sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang
I Ketut Kodi). Penelitian kualitatif menurut Satori (dalam Rudita, 2002: 22)
adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari
sifat suatu barang atau jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau jasa berupa
kejadian/fenomena/gejala sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang
dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori. Jangan
sampai sesuatu yang berharga tersebut berlalu bersama waktu tanpa meninggalkan
manfaat. Penelitian kualitatif dapat didesain untuk memberikan sumbangannya
terhadap teori, praktis, kebijakan, masalah-masalah sosial dan tindakan. Penelitian
kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah tingkah
laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan.
Mekanisme kerja penelitian ini adalah menganalisis teks WB: Dalang I
Ketut Kodi yang didiskripsikan dari pertunjukan yang berupa DVD. Dalam
penelitian ini dirancang diskriptif kualitatif dalam bentuk studi kasus. Karena itu,
18
data-data diperoleh berhubungan dengan kreativitas dari seorang dalang selama
pertunjukan berlangsung. Jadi penelitian ini dilaksanakan pada latar pertunjukan
Wayang Kulit Bali yang berlangsung secara alamiah, sedangkan sumber data
penelitian adalah kreativitas Dalang I Ketut Kodi.
3.2 Subjek Penelitian dan Jenis Data
Kajian ini difokuskan pada Wayang Lemah sebagai Sumber inspirasi
kreativitas Wayang Kulit Bali Dalang I Ketut Kodi. Hal ini berarti penelitian yang
dilaksanakan berhubungan dengan perilaku verbal dalam kreativitas sang dalang
selama pertunjukan Wayang Kulit Bali. Dengan demikian yang menjadi sumber
data penelitian ini adalah pertunjukan WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai subjek
penelitian. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Mardana, 1992: 54) mengatakan
data penelitian kualitatif mencakup materi atau bahan mentah (rough materials)
yang dikumpulkan dari lapangan penelitian: data-data tersebut merupakan materi
atau bahan khusus (particulars) yang dianalisis dan dimanfaatkan untuk
menjawab masalah penelitian. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif
yang berupa data verbal yang dikumpulkan menggunakan teknik rekam,
observasi, dan wawancara. Jenis data yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Data yang berupa kreativitas Dalang I Ketut Kodi yang digunakan dalam
pertunjukan WB yang didapatkan melalui hasil rekaman berupa DVD;
2) Dokumen atau naskah yang berhubungan dengan perilaku, situasi, dan
peristiwa sesuai dengan cakupan penelitian ini yang didapatkan melalui
metode observasi;
3) Data yang berupa kreativitas, wawancara dengan dalang I Ketut Kodi;
19
Data (1), (2), dan (3) didiskripsikan dan di manfaatkan untuk menjawab
semua rumusan masalah penelitian ini.
3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Dengan mempertimbangkan sumber data, subjek penelitian, dan jenis data
yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam metode
pengumpulan data serta instrumen penelitian. Secara rinci, ketiga macam metode
pengumpulan data dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut.
3.3.1 Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber, jenis, dan karakteristik data yang diperlukan dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam metode pengumpulan data,
yakni: metode rekam dengan rekaman audio-vidio (audio-vidio rekording),
metode observasi tak langsung (indirect observation), dan metode wawancara
(interview). Pemanfaatan ketiga macam metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Metode rekam
Metode rekam adalah metode pengumpulan data yang dimanfaatkan
dengan melakukan perekaman audio-vidio (audio-vidio recording) yang
dilakukan terhadap kreativitas dalang I Ketut Kodi dalam pertunjukan wayang
kulit Bali WB. Hasil perekaman selanjutnya didokumentasikan dalam bentuk
DVD. Secara khusus perekaman audio-vidio dilakukan ketika dalang I Ketut Kodi
mementaskan wayang kulit Bali WB. Di gedung Candra Metu Institut Seni
Indonesia Denpasar tgl 20 Januari 2010, hasil rekaman tersebut berupa 1 keping
DVD dengan masa putar keseluruhan 73 menit 01 detik. Metode rekam ini
20
dimanfaatkan untuk mendapatkan data yang dapat memberikan gambaran secara
lengkap dan menyeluruh mengenai kreativitas Wayang Lemah Sebagai Sumber
Inspirasi Wayang Kulit Bali. (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi)
berlangsung.
2) Metode Observasi
Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi tidak
langsung (inderect observastion) yakni teknik pengumpulan data di mana
penyelidikan mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subjek yang
diselidiki dengan perantaraan sebuah alat, baik alat yang sudah ada (yang semula
tidak khusus dibuat untuk keperluan tersebut), maupun sengaja dibuat untuk
keperluan yang khusus itu (Surakhmad 1990: 162). Pelaksanaannya dapat
berlangsung di dalam situasi yang sebenarnya maupun di dalam situasi buatan.
Metode ini dimanfaatkan untuk melakukan pengamatan terhadap hasil
perekaman audio-vidio yang telah didokumentasikan dalam bentuk DVD, bukan
pengamatan terhadap pertunjukan Wayang kulit Bali WB oleh Dalang I Ketut
Kodi di atas panggung, sehingga observasi yang dilakukan ini termasuk observasi
tak langsung.melalui observasi terhadap hasil perekaman audio-vidio, peneliti
melakukan pencatatan hal-hal penting seperti teknik penyajian dan Wayang
Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Wayang Kulit Bali Dalang I Ketut Kodi. Di sini
peneliti mengamati dan mencatat hal-hal yang penting dari hasil rekaman itu
sendiri. Dengan menyaksikan hasil rekaman itu secara berulang-ulang serta
pencatatan ini digunakan sebagai data pendukung untuk menjawab rumusan
masalah diatas.
21
3) Metode wawancara
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh penjelasan dari subjek
penelitian tentang kreativitas Wayang Lemah dijadikan acuan dalam kreativitas
Wayang Kulit Bali WB, untuk mengetahui faktor penyebab dan fungsinya sebagai
bahan yang dapat mendukung pembahasan rumusan masalah kedua dan ketiga.
Karena itu, model wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi
terstruktur dan terbuka. Alasan menggunakan model wawancara ini karena
peneliti ingin menemukan penjelasan atau gambaran yang lebih dalam tentang
temuan-temuan tertentu yang teridentifikasi dalam transkripsi data dan proses
kreativitas pengembangan dari Wayang Lemah ke WB Dengan demikian , peneliti
akan menyiapkan pedoman wawancara setelah melakukan identifikasi atas
temuan-temuan penelitian. Disamping itu, pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman
wawancara akan berkembang bergantung pada situasi saat wawancara
berlangsung atau berupa pertanyaan pendalaman. Pelaksanaan wawancara akan
berlangsung secara fleksibel bergantung pada ketersediaan waktu subjek
penelitian. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan I Ketut Kodi
sebagai dalang WB secara lisan pada hari Jumat 28 Februari 2014. Wawancara ini
ditulis dan direkam dengan perekam catatan suara HP Blackberry. Dalam
penelitian ini Kodi sebagai dalang WB, sebagai informan utama dan informan
lainnya sebagai tambahan.
3.3.2 Instrumen Penelitian
Berdasarkan metode yang digunakan dalam pengumpulan data, instrumen
penelitian yang dipersiapkan dan dipakai dalam penelitian ini disesuaikan dengan
karakteristik metode pengumpulan data yang digunakan. Instrumen penelitian
22
yang dipersiapkan dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pengumpulan data
sesuai dengan karakteristik masing-masing metode. Dalam penelitian ini, peneliti
memanfaatkan dua macam instrumen penelitian. Kedua instrumen yang dimaksud
adalah:
1) Kartu Data
Kartu data sebagai instrumen penelitian dimanfaatkan untuk mengamati
rekaman berupa 1 keping DVD dengan masa putar 73 menit 01 detik. Penayangan
hasil rekaman DVD merk Polytron ditayangkan di layar televisi merk Polytron,
mencatat hal-hal yang menarik perhatian dan dianggap penting selama kegiatan
observasi dilakukan, seperti aktivitas verbal tertentu, gerakan-gerakan dalang
yang mendukung aktivitas verbalnya, situasi, dan peristiwa yang diamati,
dirasakan dan didengar. Catatan-catatan hasil observasi dijadikan sebagai data
pendukung untuk menganalisis dan mendeskripsikan proses membangun
kreativitas oleh dalang guna menjawab rumusan masalah kedua.
2) Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara sebagai instrumen pendukung pengumpulan data
melalui metode wawancara dibuat setelah peneliti melakukan perekaman dan
observasi. Pertanyaan–pertanyaan yang disusun dalam pedoman wawancara
disesuaikan dengan temuan-temuan yang didapatkan melalui observasi terhadap
hasil rekaman. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat semi terstruktur dan
terbuka. Pertanyaan semi terstruktur dimaksudkan untuk mendapat jawaban sesuai
dengan keinginan peneliti berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan dalam
kegiatan observasi. Pertanyaan bersifat terbuka berbentuk tanya jawab, tatap muka
antara si penanya atau wawancara dengan menggunakan alat yang disebut dengan
23
pedoman wawancara. Berarti pertanyaan yang memberikan kebebasan kepada
subjek penelitian untuk memberikan jawaban sesuai dengan kapasitasnya sebagai
dalang.
3.4 Metode Deskripsi Data dan Penyajian Hasil Penelitian
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
metode analisis deskriptif kualitatif. Seperti apa yang diungkapkan oleh Miles
(dalam Rudita, 2013: 34) analisis kualitatif diartikan sebagai usaha analisis
berdasarkan kata-kata yang tersusun kedalam bentuk teks yang diperluas. Analisis
dalam hal ini merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis catatan
wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang terhimpun untuk
memperoleh pengetahuan mengenai data tersebut dan mengkomunikasikan
sesuatu yang telah ditemukan. Data yang diperoleh berupa kata-kata, kalimat-
kalimat, paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat
deskritif, maka analisis data yang digunakan adalah teknik deskritif. Tahapan-
tahapan yang ditempuh dalam kegiatan diskripsi data dan penyajian hasil analisis
dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Transkripsi Data
Data verbal yang berupa kreativitas dalang yang telah direkam
ditranskripsikan menjadi naskah tertulis. Kreativitas dalang yang dijadikan naskah
tertulis adalah kreativitas wayang lemah sebagai acuan dalam penciptaan WB
yang dilakukan oleh Dalang I Ketut Kodi selama proses pertunjukan wayang kulit
berlangsung.
24
2) Identifikasi dan reduksi data
Data mengenai transkripsi rekaman pertunjukan WB selanjutnya
diidentifikasi dan direduksi. Data berupa kreativitas dalang selama pertunjukan
yang tidak relevan dengan masalah penelitian direduksi sehingga hasil reduksi
mendapatkan data-data yang relevan dengan masalah penelitian. Untuk itu proses
reduksi data dijadikan objek utama penelitian.
3) Deskripsi dan Interpretasi Data
Pada bagian ini, data yang telah diklasifikasikan ke dalam beberapa
katagori dan diberikan kode selanjutnya akan disajikan secara deskritif dan
diinterpretasikan dengan aspek-aspek yang kreativitas yang terkandung di
dalamnya. Interpretasi data kemudian dibahas secara hierarkis berdasarkan urutan
masalah yang telah dirumuskan untuk menarik kesimpulan dari penelitian ini.
Untuk menjawab rumusan masalah penelitian, hasil interpretasi dihubungkan
dengan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini yang
akan didukung oleh hasil triangulasi data melalui metode wawancara.
4) Triangulasi data
Untuk menjamin validitas dan reliabilitas hasil analisis data, sebelum
mendapat simpulan dari temuan-temuan yang didapatkan, peneliti melakukan
triangulasi data melalui metode wawancara. Triangulasi data dilakukan untuk
mendapatkan konfirmasi dan penjelasan dari subjek penelitian.
5) Penyajian Hasil Analisis
Temuan dari interpretasi yang didapatkan dalam analisis data selanjutnya
akan disimpulkan sebagai hasil penelitian dan disajikan secara verbal. Temuan
dari hasil penelitian disajikan secara hirarkis sesuai dengan urutan rumusan
25
masalah penelitian, yang meliputi: aspek-aspek kreativitas dalam proses
penciptaan WB. oleh dalang, proses membangun komposisi berkreativitas dalam
WB, dan fungsi-fungsi kreativitas yang di kembangkan oleh I Ketut Kodi selaku
Dalang WB.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Aspek Pertunjukan
Data yang berasil dikumpulkan dalam penulisan ini menunjukan bahwa
kreativitas yang digunakan dalam pengembangan Wayang lemah oleh: Dalang I
Ketut Kodi yang kita kenal dengan istilah (WB). Dalam Pertunjukan Wayang
Kulit Bali dengan lakon Gugurnya Detya Adimba adalah pengembangan dan
pengemasan secara rapi antara tradisi Wayang lemah dengan gerak Dalang yang
lebih dinamis dengan pencahayaan, dan beberapa pengolahan bentuk dialog,
vokal, gerak wayang, serta iringan.
4.1.1 Wayang
Wayang dalam bahasa jawa kata ini berarti “bayangan” dalam bahasa
Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh: bayeng. Dalam bahasa
Bugis wayang atau bayang. Dalam bahasa bikol dikenal kata baying artinya
“barang” yaitu apa yang bisa dilihat dengan nyata. Akar kata dari wayang adalah
yang. Akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain dapat dalam kata
layang atau terbang dan doyong bebrarti miring, tidak stabil, royong slalu
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Poyang-payingan atau berjalan
sempoyongan, tidak tenang dan lain sebagainya. Mulyono (1978: 9)
Secara etimologis, Holt (dalam Bandem, 1994: 31) kata “wayang” berasal
dari bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi, yakni “mawayang” yang sama artinya
dengan “bayang-bayang”. Dari kata wayang kemudian lahir istilah Wayang kulit
Bali, yakni sebuah istilah yang mengacu kepada prihal dan seluk beluk wayang
sebagai media pertunjukan yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau, dipahat,
27
ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk imajinasi atau khayalan mengenai dewa-
dewa, manusia, binatang, raksasa, pohon-pohonan, dan lain-lainnya. Selain itu,
sebagai seni pertunjukan yang menggunakan wayang sebagai media ungkap,
wayang kulit Bali dimainkan oleh orang yang ahli yang dinamakan dalang.
Perioderisasi sejarah pewayangan Indonesia dibedakan secara umum
menjadi pewayangan pada zaman pra sejarah dan pewayangan pada zaman
sejarah. Pada zaman Pra-sejarah pewayangan dikaitkan dengan kehidupan
masyarakat yang masih sangat sederhana dan belum mengenal kepercayaan
animisme dan dinamisme sangat kuat. Kepercayaan ini di dominasi oleh
keyakinan bahwa roh nenek moyang masih hidup dan dapat mengganggu
kebahagiaan manusia apabila tidak diadakan upacara pemujaan terhadap roh
nenek moyang. Wayang sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang
dianggap sudah ada sejak zaman Pra-sejarah, karena terdapat kegiatan pemujaan
yang menggunakan bayang-bayang sebagai simbol datangnya roh nenek moyang.
(Seramasara, 2000: 5).
Pendapat Seramasara dikuatkan oleh (Pandji dkk, 1987: 1) Dalam sejarah
wayang dikatakan oleh para sarjana atau para ahli didalam maupun di luar negeri
bahwa wayang itu telah ada di Indonesia sejak zaman Pra-sejarah yaitu sekitar
tahun 1500 S.M. wayang pada saat itu merupakan salah satu aspek upacara
keagamaan yang berbentuk penyembahan kepada nenek moyang atau kepada
Hyang. Upacara itu dilakukan oleh seorang pemimpin upacara yang disebut
Syaman. Semua nenek moyang dilukiskan dengan bentuk arca atau batu, tetapi
kemudian digambarkan dalam kulit binatang. Kemudyan dimasukan dengan
kebudayaan Hindu ke Indonesia sekitar tahun 400 M dengan membawa dua epos
28
besar Ramayana dan Mahabharata maka tokoh-tokoh nenek moyang diganti dan
diberi nama dengan tokoh-tokoh yang terdapat pada epos tersebut. Pemimpin
semula yang dilakukan oleh Syaman kemudian diganti dengan sebutan Dalang
yang sebetulnya fungsinya sama dengan Syaman tetapi ada mengarah dengan
pertunjukan.
Wayang adalah warisan kebudayaan leluhur yang telah mampu bertahan
berabad-abad dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai mencapai
bentuknya sekarang ini. Wayang memang dikenal dan didukung oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia yang memiliki corak yang khas dan bermutu tinggi
sehingga dikatakan sebagai salah satu kebudayaan nasional Edi sedyawati (dalam
Wicaksana, 2003:50-51).
Datangnya Agama Islam, sejarah seni pewayangan Indonesia mengalami
proses pengembangan dengan segala ketentuan tradisi seni rupa Islam-Indonesia
(S. Haryanto, 1992: 25). Pada saat itulah lahir bentuk wayang yang mencerminkan
suatu konsepsi matang yang lebih sesuai dengan tradisi seni Indonesia, visual
maupun spiritual, yang kemudian melahirkan bermacam-macam bentuk
perwujudan wayang antara lain, Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Krucil,
Wayang Madya dan lain-lainnya.
4.1.2 Darma Pewayangan
Kitab darma pewayangan adalah pustaka khusus yang isinya memuat
petunjuk yang membimbing para dalang dalam melaksanakan darma atau
kewajibannya sebagai dalang. Disamping itu secara tidak langsung juga
merupakan rambu-rambu yang mengikat dalang untuk tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip ajaran agam dan etika.
29
Dalam kamus Bali-Indonesia Dharma antara lain berarti kebenaran.
Sementara itu dalam kamus Jawa kuno-Indonesia (2000: 197) dharma antara lain
berarti kebiasaan, hukum, tata cara, tingkah laku, kewajiba atau sopan santun yang
harus dilakukan. Sedangkan kata pewayangan dalam kamus Jawa kuno-Indonesia
(2000: 1406) berarti tempat untuk pertunjukan wayang atau seperangkat boneka
wayang. Bertitik tolak dari makna leksikal dari kedua istilah tersebut dapat
disimpulkan bahwa, Dharma Pewayangan adalah semacam panduan atau
pegangan (hukum, tata cara, kewajiban) yang harus dilakukan oleh siapa saja yang
akan beraktivitas memainkan boneka-boneka wayang di daerah tempat
pertunjukan wayang, yaitu para dalang atau yang sedang mempersiapkan diri
menjadi dalang sebagaimana tertera pada wacana pembuka pada lontar darma
pewayangan. Purnamawati (dalam Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan 2005: 67).
Kata “Dharma” dalam kamus Jawa kuno-Indonesia karangan L.
Mardiwarsito berarti pokok ajaran, doktrin, hukum, undang-undang. Kemudian
dharma juga dapat pula berarti ketuhanan, kebatinan, kewajiban suci, setia jujur
adil, kebenaran, kebajikan, agama dan sabar (Wicaksana, 2009: 34-35). Menurut
Hooykaas (dalam Wicaksana, 2009: 35) struktur isi naskah Dharma Pewayangan
secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi 10 bagian antara lain: (1) Bagian
Pendahuluan, yang mengandung hal-hal yang bersifat metafisik; (2) Bagian yang
menggambarkan perbuatan dan mantra-mantra yang dianggap penting bagi sang
dalang; (3) Bagian yang menggambarkan perbuatan sang amangku dalang, dan
mantra-mantra yang berfungsi sebagai panglikatan panyudamalan (penyucian);
(4) Bagian yang memuat mantra-mantra yang diucapkan oleh dalang dalam
rangkaian upacara orang meninggal, antara lain mantra pada waktu sang dalang
30
akan akekawin/amanjang (melagukan tembang gede), pada wadah (menara
usungan mayat) yang diusung ke kuburan; (5) Kegiatan dan mantra pada waktu
oton (kelahiran) wayang; (6) Mantra untuk membuat air suci (toya) yang
dipercikan kepada wayang-wayang dan sarana lainnya; (7) Aktivitas yang
dilakukan sang dalang pada waktu ngetisin toya wayang (memercikan air suci
untuk wayang); (8) Mantra-mantra yang didasarkan (diucapkan) pada waktu
membuat wayang, pada waktu mewarnai wayang, dan pada waktu melaspasin
(mensucikan) wayang; (9) Pantangan-pantangan bagi sang amangku dalang; (10)
Pahala yang diterima sang amangku dalang yang taat melaksanakan isi lontar
Dharma Pewayangan , antara lain ia boleh mengambil upah (nunas sesari), boleh
melaksanakan pertunjukan wayang panyudamalan, ia dapat dikatagorikan sebagai
“dalang utama”, ia akan mendapatkan keselamatan lahir dan batin.
4.1.3 Pertunjukan Wayang Kulit Bali
Wayang menjadi sebuah seni pertunjukan adiluhung, telah nampak sejak
abad XI, ketika syair-syair Arjuna Wiwaha digubah oleh Empu Kanwa menyirat
sebuah karya seni yang agung bahwa: bila melihat wayang yang berduka cita,
maka para penonton ikut terharu, sedih, menangis, dan bingung, padahal hanya
boneka belaka dan semua yang dilakukan itu hanya hayalan belaka. Nilai
adiluhungnya terkesan dalam perannya yang mampu mengkomunikasi nilai-nilai
yang dapat mempengaruhi batin manusia. Pohon-pohon yang ditampilkan
mengesankan sebagai tokoh wayang, seolah-olah hidup dan memberikan isyarat
kepada manusia. (Seramasara, 2000: 21).
Seni pewayangan Bali sebagai warisan masa lampau telah memberikan
citra dan membentuk identitas budaya menyebabkan Bali menjadi cukup dikenal
31
oleh masyarakat dunia. Pertunjukan wayang diciptakan sebagai wahana
komunikatif, dan edukatif supaya masyarakat Bali menjadi lebih bermoral, etis
dan normatif dalam menyikapi perkembangan zaman. Dengan demikian seni
Pewayangan Bali merupakan produk seni, hasil dari interaksi yang kondusif dan
hakiki antara seniman dengan masyarakat Bali yang di jiwai oleh nilai-nilai
budaya Bali (Sidemen dalam Seramasara, 2005: 1).
Wayang kulit di Bali pada umumnya di pentaskan berkaitan dengan
hubungan upacara keagamaan misalnya seperti upacara Panca Yadnya (dewa, rsi,
pitra, butha dan manusa yadnya). Cerita yang diambil biasanya dari epos
Mahabharata dan Ramayana yang sarat dengan makna dan nilai-nilai kebenaran
sehingga selaras dengan inti ajaran agama Hindu yakni dharma dan kebenaran.
(Purnamawati, 2005: 64)
4.1.4 Wayang Lemah
Sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional, pertunjukan wayang kulit di
Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis pertunjukan yaitu, Wayang Peteng dan
Wayang Lemah. Wayang Peteng adalah wayang yang dipentaskan pada malam
hari. Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang yang diadakan pada siang hari.
Sesuai dengan namanya, Wayang Lemah, bahwa lemah berarti siang atau terang
(Kamus Bali-Indonesia dalam Purnamawati, 2005: 67).
Kalau dilihat dari fungsinya adalah termasuk kesenian pelengkap upacara
keagamaan (Wali) dalam rangkaian mengiringi Panca Yadnya (Dewa Yadnyda,
Bhuta Yadnya, dan Rsi Yadnya) (Kawen dalam Purnamawati, 2005: 68). Di
beberapa tempat disebut juga dengan wayang gedog. Wayang ini dipentaskan
tanpa menggunakan layar atau kelir, dan Lampu Blencong. Dalam memainkan
32
wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih
(Benang Tukelan). sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada
batang kayu Dapdap yang dipancangkan pada batang pisang dikedua sisi dalang.
Gamelan pengiringnya adalah gender-wayang yang berlaras slendro (lima nada).
Wayang upacara ini, pementasannya sangat tergantung pada waktu pelaksanaan
upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat dipentaskan pada siang hari,
sore hari, maupun malam hari. Pendukung pertunjukan ini yang paling kecil, 3
sampai 5 orang yang terdiri dari seorang dalang dan satu atau dua pasang penabuh
gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan Wayang Lemah biasanya
mengambil tempat disekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan
panggung khusus. Lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita
Mahabarata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat upacara yang diiringinya.
Jangka waktu pementasan Wayang Lemah pada umumnya singkat, sekitar 1-2
Jam.
Sesuai dengan namanya Wayang Lemah semestinya dipentaskan pada
siang hari sejalan dengan yadnya yang diiringinya, karena fungsi utamanya adalah
mengiring Panca yadnya yaitu: Manusa yadnya, Pitra yadnya, Dewa yadnya,
Bhuta yadnya dan Resi yadnya. Akan tetapi apabila yadnya itu dilakukan dikala
malam hari, Wayang Lemah pun dipentaskan pada malam hari pula (beriringan
dengan jalannya yadnya).
Pementasan baik dikala siang maupun pada malam hari tidak
mempergunakan kelir (layar putih) melainkan mempergunakan benang tukelan
direntangkan susun tiga masing-masing berisi uang kepeng, diikatkan pada dua
ranting dadap cabang tiga yang terpancang pada kedua belah ujung gedebong
33
pentas yaitu sebelah menyebelah dan tidak memakai lampu belencong. Bebanten
(sajen) pementasannya yang pokok, ialah suci asoroh dengan guling itiknya,
ajuman putih kuning, canang gantal, lenga-wangi buratwangi, Daksina Gede serba
empat, sarana 8100 kepeng, Segehan Gede, Pedupaan dan tetabuhan arak berem.
Bahan air suci sama dengan persediaan pada wayang Sapuh Leger, dipuja setelah
pementasan selesai. Hasilnya dipercikkan oleh Pengacara yadnya atau oleh Ki
Mangku Dalang sendiri kepada apa yang diupacarai.
Pemakaian lakon Wayang Lemah disesuaikan dengan jenisnya yadnya
umpama untuk mengiringi Dewa yadnya diambilkan dari ceritra Dewa Ruci atau
Maha Bharata (Parwa), misalnya Wana Parwa yang isinya mengandung
ungkapan-ungkapan bahwa Dewa-Dewalah penegak kebenaran dan keadilan.
Apabila untuk Manusia Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya
dicukilkan dari Maha Bharata (Asta Dasa Parwa), Bhima Suarga dan Dewa Ruci.
Selesailah sudah mengungkapkan garis-garis besar dari Wayang Lemah. Wayang
Lemah juga merupakan suatu kesenian yang kaya akan nilai etika, estetika, moral,
spiritual yang bisa dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dan sumber ilmu
pengetahuan.
4.1.5 Wayang Betel (WB)
WB adalah suatu terobosan baru tentang Wayang lemah dengan sangat
mementingkan kreativitas sebagai seorang seniman dalang agar menjadi sebuah
pertunjukan yang bisa dinikmati oleh masyarakat, tidak hanya untuk kepentingan
upacara keagamaan saja, melainkan menjadi sebuah hiburan yang segar. Dalam
garapan ini dalang beriteraksi aktif membangun suasana dramatik. Dalang yang
biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan berakting
34
diatas panggung didukung oleh lampu dan musik pengiring inovatif berintikan
gender rambat. Pertunjukan yang semula hanya ritus (tata cara upacara
keagamaan) akan dikembangakan menjadi sebuah bentuk hiburan entertaiment
yang mengintergrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan perkembangan
zaman dewasa ini. Sesuai dengan namanya, Betel berarti tembus pandang,
garapan WB ini berbentuk Wayang Lemah sehingga dapat dilihat tembus betel
dari mana saja tanpa terhalang oleh kelir/screen putih. Musik iringan yang
berintikan instrumen gender rambat juga akan diintegrasikan sedemikian rupa
sehingga garapan wayang ini juga menyajikan komponen musikal teater atau
teater musik.
4.1.6 Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran WB
I Ketut Kodi lahir di Desa Singapadu Gianyar 31 Desember 1963
merupakan anak ke tiga dari enam bersaudara. Orang tuanya I Wayan Tangguh,
sosok seniman yang penuh mendedikasikan hidupnya dalam jagat seni. I Ketut
Kodi sejak kecil dididik oleh orang tuanya berkesenian khususnya membuat
topeng dan kostum tari. Pada tahun 1978 mulai belajar menari dibina oleh I
Nyoman Cerita dan pada tahun itu pula I Ketut Kodi tertarik dan belajar dramatari
Arja di SMP dengan lakon Jayasakti, di banjar dengan lakon Madu Suara. Topeng
(dengan lakon Ida Telaga) dan sendratari (dengan lakon Japatuan) dengan
pembina I Made Kredek. Benih ini berkembang ketika dia mendapat kesempatan
meneruskan pendidikannya di SMKI (KOKAR) Jurusan Pedalangan tahun 1979.
Sehingga penguasaan secara praktisi dalam seni pertunjukan mulai memberikan
dasar yang kokoh tahun 1987 I Ketut Kodi menjadi dalang sendratari Ayodya
Kanda dan menjadi dalang sendratari Jamong wakil Pemkab Gianyar oleh Banjar
35
Sengguan Singapadu dalam PKB IV. Tuntutan dalam menyelesaikan sarjana
muda di ASTI Denpasar tahun 1987, yang mengharuskan untuk menggarap
wayang dengan judul “Ngeseng Bingin”. Sejak itu terbuka kesempatannya untuk
aktif sebagai penata pedalangan dan dalang serta ikut dalam penyusunan skenario
dalam pagelaran sendratari kolosal Pesta Kesenian Bali. Seniman Seni Pedalangan
(SSP) diraih di STSI Denpasar pada tahun 1989 dengan garapan pewayangan
layar berkembang dengan judul Anugerah.
Aktif sebagai tim pembina dan juri baik di tingkat kabupaten maupun
provinsi dalam kegiatan PKB Bali. Sebagai seniman praktisi telah membawanya
untuk mewakili Bali sebagai duta seni melakukan pementasan di beberapa negara
seperti Amerika Serikat, Australia, Italia, Jepang, India, Hongkong, Jerman,
Belanda, Portugal, dan Spanyol. Tahun 1996 mendapat undangan dari grup
gambelan Sekar Jaya USA untuk menggarap dramatari Ramayana kolaborasi
dengan Mantili Sanggar Tari India yang ada di USA. Kembali tahun 2001
diundang oleh Sekar Jaya dalam penggarapan dramatari Kawit Legong (Dreams
Karna) sebagai penari Dalem atau Raja dan penyusun skenario tahun 2006 meraih
gelar S2 (M.Si.) di Universitas Udayana (UNUD) dengan judul karya tulis
“Bondres dalam Perubahan Masyarakat Bali”.
WB adalah sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari Wayang
lemah/Wayang Gedog. WB tercipta karena penggarap I Ketut Kodi melihat
kehidupan Wayang lemah pada masyarakat Bali hanya dikaitkan dengan upacara
keagamaan. Penanggap pertunjukan ini kurang memperhatikan baik tempat pentas
maupun sarana-sarana pendukung lainnya. Hal ini membuat para dalang malas
untuk menggarap bagian artistiknya, hiburan dan konteksnya. Wayang lemah yang
36
berfungsi ritual menjadi kemasan baru berbentuk hiburan seni yang segar, sehat
dan bermutu. (wawancara hari Jumat, tgl 28 februari 2014) dengan I Ketut Kodi di
rumah beliau jam 05.00 sore.
4.1.7 Masa Kanak-Kanak
I Ketut Kodi masa kanak-kanaknya waktu SD sampai kelas 2 SMP tidak
begitu menyukai seni dan tidak berkeinginan untuk masuk ke dunia seni. Namun
beliau mengagumi salah seorang dalang dari Br. Babakan Sukawati yaitu Bapak
Madra (alm) dan seniman topeng seperti Cokorda Oka Singapadu begitu juga
beliau suka mengoreksi seniman-seniman tua yang ada di Bali. Apapun yang
beliau dapatkan dari apa yang beliau koreksi dari seniman-seniman tua dengan
cara ngoping (mendengarkan), sampai sekarang I Ketut Kodi masih ingat apa
yang didapatkan dari seniman-seniman tua itu dan akhirnya beliau tertarik
mendalami dunia seni. (wawancara tanggal 25 April tahun 2014 hari Jumat jam 12
: 30 siang) dengan I Ketut Kodi.
4.1.8 Masa Remaja
Benih ini berkembang ketika dia mendapat kesempatan meneruskan
pendidikannya di SMKI (KOKAR) Jurusan Pedalangan tahun 1979. Sehingga
penguasaan secara praktisi dalam seni pertunjukan mulai memberikan dasar yang
kokoh tahun 1987 I Ketut Kodi menjadi dalang sendratari Ayodya Kanda dan
menjadi dalang sendratari Jamong wakil Pemkab Gianyar oleh Banjar Sengguan
Singapadu dalam PKB IV. Tuntutan dalam menyelesaikan sarjana muda di ASTI
Denpasar tahun 1987, yang mengharuskan untuk menggarap wayang dengan judul
“Ngeseng Bingin”. Sejak itu terbuka kesempatannya untuk aktif sebagai penata
pedalangan dan dalang serta ikut dalam penyusunan skenario dalam pagelaran
37
sendratari kolosal Pesta Kesenian Bali. Sarjana Seni Pedalangan (SSP) diraih di
STSI Denpasar pada tahun 1989 dengan garapan pewayangan layar berkembang
dengan judul Anugerah.
I Ketut Kodi mengakhiri masa lajangnya tahun 1991 menikah dengan Ida
Ayu Made Diastini dari Mataram Lombok. Dan beliau dikarunia dua orang
putra/putri, yang pertama bernama Putu Bagus Bang Tatagraha Saputra dan yang
perempuan bernama Ni Made Ayu Satya Driti dan sekarang anaknya yang
pertama kuliah di ISI Jogja jurusan tari semester VI dan yang kedua kuliah di
Unud jurusan Sastra Jawa Kuno semester II.
4.1.9 Terobosan Baru Tentang Wayang Kulit
(Munandar, 1988: 2) mengungkapkan bahwa, setiap orang memiliki
potensi kreatif dalam derajat yang berbeda-beda dan dalam bidang yang berbeda-
beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar dapat diwujudkan. Untuk ini
diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong, baik dari luar lingkungan maupun dari
dalam individu sendiri. Perlu di ciptakan potensi lingkungan yang dapat memupuk
daya kreatif individu. Lingkungan dalam hal ini mencakup baik lingkungan dalam
arti kata sempit (keluarga, sekolah) maupun dalam arti kata luas (masyarakat,
kebudayaan).
Kreativitas menurut Marjaya (2006: 15) dalam WAYANG Jurnal Ilmiah
Seni Pewayangan mengatakan bahwa kreativitas yang dimaksud disini adalah
dasar-dasar kreaktif atau kreasi yang dimiliki oleh seorang dalang. Dalang yang
kreativitasnya tinggi akan dapat menciptakan hal-hal yang menarik sebagai
figuran dalam sebuah pertunjukan. Kreativitas itu meliputi ruang dan waktu,
dalam ruang dalang dapat memanfaatkan seluruh areal kelir untuk berimprovisasi
38
baik dalam bentuk wacana, tembang, tetikesan, maupun oleh iringan itu sendiri
yang terkait dengan gerak wayang (tetikesan) maupun tembang vokal. Sedangkan
waktu, yaitu saat-saat yang tepat bagi dalang untuk menyisipkan atau melakukan
kreativitas tanpa mengurangi alur dramatik suatu lakon.
Untuk menyiasati agar seniman dan musisinya tidak hanya duduk
sebagaimana pegelaran Wayang lemah biasa. Sehingga muncul ide dari dalang I
Ketut Kodi untuk membuat suatu terobosan baru tentang Wayang lemah dengan
sangat mementingkan kreativitas sebagai seorang seniman dalang agar menjadi
sebuah pertunjukan yang bisa dinikmati oleh masyarakat, tidak hanya untuk
kepentingan upacara keagamaan saja melainkan menjadi sebuah hiburan yang
segar. Dalam garapan ini dalang beriteraksi aktif membangun suasana dramatik.
Dalang yang biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan
berakting diatas panggung didukung oleh lampu dan musik pengiring inovatif
berintikan gender rambat. Wayang lemah yang semula hanya ritus (tata cara
upacara keagamaan) akan dikembangakan menjadi sebuah bentuk hiburan
entertaiment yang mengintergrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan
perkembangan zaman dewasa ini. Sesuai dengan namanya, Betel berarti tembus
pandang, garapan WB ini mengadopsi Wayang lemah sehingga dapat dilihat
tembus betel dari mana saja tanpa terhalang oleh kelir/screen putih. Musik iringan
yang berintikan instrumen gender rambat juga akan diintegrasikan sedemikian
rupa sehingga garapan wayang ini juga menyajikan komponen musikal teater atau
teater musik. Dalam garapan WB ini penggarap akan menggunakan konsep
minimalis dengan tidak mengurangi keunggulan-keunggulan yang telah ada,
karena berkesenian itu tidak harus selalu mewah. Seni pun bisa muncul dari suatu
39
yang sederhana, garapan ini merupakan bagian dari epos Mahabharata yakni
kehidupan Pandawa di hutan setelah lepas dari bencana kebakaran Goa Gala-Gala
sampai gugurnya Detya Dimba.
4.2 Bentuk Pertunjukan WB
Dalam kamus umum bahasa Indonesia oleh Badudu (1996: 161)
menjelaskan bahwa bentuk adalah tokoh, bangun, dan rupa. Sedangkan suharto
(dalam Rudita, 2013: 38) disebutkan bahwa bentuk adalah kata benda yang
mengandung pengertian sebuah bangunan yang dapat memberikan gambaran
wujud atau rupa dari sesuatu. Bentuk yang paling sederhana adalah titik, titik
sendiri tidak mempunyai ukuran atau dimensi. Titik tersendiri belum memiliki arti
tertentu. Kumpulan dari beberapa titik yang ditempatkan di area tertentu akan
mempunyai arti. Kalau titik-titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan titik
itu akan membentuk garis. Beberapa garis bersama akan membentuk bidang.
Beberapa bidang bersama bisa membentuk ruang. Titik, garis, bidang, dan ruang
merupakan bentuk-bentuk yang mendasar bagi seni rupa. Dalam seni musik dan
kerawitan bentuk-bentuk dasar yang berbeda-beda. Kita akan menjumpai not,
nada, bait, kempul, ketukan dan sebagainya. Dalam seni sastra bermacam-macam
bentuk yang mendasarinya. Kata, kalimat, babak, gaya, dan irama adalah
contohnya. Dalam seni tari kita jumpai tapak, paileh, pas (langkah), agem,
seledet, tetuwek dan sebagainya. (Djelantik, 2004: 18).
4.2.1 Angga
Makna kata “Angga” dalam kamus umum bahasa indonesia (1996: 51)
berarti anggota atau cabang. Selanjutnya, menurut Sedana (2003: 11) dalam
40
diagramnya yang disebut dengan Tri-Sandi dijelaskan bahwa angga adalah
bentuk/genre. Dalam bentuk terdapat struktur dan aparatus pertunjukan,
panggung, dan barungan gamelan.
Seperti apa yang dijelaskan diatas berkaitan dengan objek penulisan yang
diteliti yaitu WB. Bentuk garapan WB adalah garapan pakeliran inovatif dimana
penggarap mencoba mengembangkan dan mengemas secara rapi antara tradisi
Wayang lemah dengan gerak dalang yang lebih dinamis dengan pencahayaan, dan
beberapa pengolahan bentuk, dialog, vokal, gerak wayang serta iringan.
4.2.1.1 Struktur Pertunjukan
Struktur atau susunan mengacu pada bagaimana cara unsur-unsur dasar
masing-masing kesenian tersusun hingga terwujud. Seperti batu kali, batu bata,
batu paras, batu karang dan batako disusun menjadi tembok. Cara penyusunannya
beraneka macam. Penyusunan itu meliputi juga yang khas, sehingga terjalin
hubungan-hubungan berarti diantara bagian-bagian dari keseluruhan perwujudan
itu. Misalnya batu bata yang merah membuat kotak-kotak yang dilengkapi oleh
batu karang sehingga keseluruhannya terlihat sebagai ornamen tertentu (Djelantik,
2004: 18-19).
Struktur dalam arti luas ialah struktur yang membangun pertunjukan yang
dapat dibagi menjadi beberapa bagian atau adegan seperti misalnya adegan
pemungkah, adegan petangkilan, adegan angkat-angkatan, adegan papeson,
adegan siat dan lain-lain. Stuktur dalam artian sempit yakni struktur yang
didalamnya terdapat bagian-bagian yang terstruktur. Misalnya didalam adegan
petangkilan biasanya terdapat beberapa macam elemen estetik seperti gending
alas arum, penyacah parwa, tetikesan, gancaran (antawacana), dan iringan.
41
Elemen-elemen tersebut ditampilkan secara terstruktur. Salah satu contohnya
adalah tandak alas arum (Marjaya, 2006: 9).
Seperti apa yang dijelaskan oleh Djelantik dan Marjaya mengenai struktur,
penulis telah mengamati struktur pertunjukan WB melalui kaset (DVD) yang
dipentaskan di gedung Candra Metu ISI Denpasar pada tanggal 20 Januari tahun
2010. Dalam struktur pertunjukan WB akan penulis jelaskan per babak seperti di
bawah ini.
Tabel 1
Bagan Struktur Pertunjukan WB
Tahap Alur/Pembabakan
Durasi/Menit Peristiwa Naratif/Dramatis
Tabuh Petegak DVD Bagian 1 00:00-01:00
Para penahbuh memainkan gending petegak sebagai pembuka jalannya pertunjukan.
Kidung Wargasari 01:00-04:00 Dalang dan gerong melantunkan kidung wargasari saat keluarnya dalang dan para pembantu dalang.
Tari kayonan 04:00-07:50 Dalang memainkan kayonan diiringi dengan gerak dalang.
Prolog 07:50-09:14 Yoga Hyang Maha Pencipta menimbulkan lima unsur universal, yaitu: zat padat, cair, udara, panas, dan eter yang membentuk planit-planit termasuk dunia dengan isinya.
Ilustrasi adegan 09:14-09:55 Pandawa terbebas dari kebakaran Goa Sigala-gala
Narasi 09:55-10:24 Dalang mengisahkan keadaan di Astina Pura
Ekposisi 10:24-20:45 Bisma dicekam rasa putus asa mengenang kematian pandawa di balai Sigala-gala. Dewi Gangga meyakinkan bahwa Pandawa belum mati.
Kehidupan Pandawa di hutan
20:45-33:22 nyambung ke DVD Bagian 2 sampai 00:09
Punakawan Tualen dan Merdah mengisahkan kehidupan Pandawa setelah lepas dari bencana kebakaran Goa Sigala-gala dan merasa bersyukur telah dapat membebaskan rakyat ekacakra dan pendeta Beksakarma dari jajahan Detya Baka.
42
Adegan perburuan 00:09-05:54 Singa, Buaya, Gajah dan sejenisnya memberikan sindiran tentang kehidupan manusia
Di Kurubaya 05:54-17:48 Delem dan Sangut mengisahkan tentang nikmatnya kebebasan hidup dengan para Raksasa. Namun Sangut menunjukan kebebasan itu dengan rasa beban dan ikatan yang abadi.
Dimba 17:48-20:35 Penguasa hutan ini mencium bau manusia dan segera ingin memangsanya, diutuslah Dimbi untuk mencari mangsanya itu ke tengah hutan.
Perjalanan Dimbi 20:35-29:18 Dengan melihat otot-otot Bima yang begitu kekar, Dimbi menghayal serasa telah tidur bermesraan dengan Bima. Dimbi menghadap Dewi Kunti untuk minta restu dan bersedia dinikahkan dengan Bima. Dewi Kunti dan Catur Pandawa merestui pernikahan mereka dalam bentuk Gandarwa Wiwaha dengan berbulan madu di laut, gunung dan hutan.
Penanjakan Dramatis
29:18-30:29 Dimba tidak kuasa menunggu Dimbi dan segera menyusul ke tengah hutan sambil mengobrak-abrik isi hutan, seketika itu Dimba melihat Dimbi memadu kasih dengan Bima.
Puncak komplikasi 30:29-33:22 Perang terjadi antara Dimba dan Bima, Dimbi mengingatkan kepada Dewi Kunti bahwa kelemahan Dimba ada pada kakinya sehingga Bima disuruh segera memukul kaki Dimba, secepatnya sebelum malam tiba yang membuat dia semakin sakti.
Klimak dan Resolusi
DVD bagian 3 00.00-07:57
Menyadari ajalnya tiba, Dimba menyarankan kepada Dimbi untuk memelihara janinnya dengan Bima yang ada pada rahimnya dengan baik-baik. Janin itu diharapkan tumbuh dan mampu mengangkat martabat bangsa raksasa Kurubaya.
43
4.2.1.2 Aparatus Pertunjukan
Badudu (1996: 69) dalam kamus umum bahasa indonesia menyebutkan
Aparatus adalah bagian dari suatu alat yang melakukan fungsi khusus. Dalam
pertunjukan WB adapun alat-alat yang mempunyai fungsi kusus seperti apa yang
dapat penulis amati dengan cara menotonton melalui rekaman kaset DVD,
mendengar dan wawancara secara langsung dengan subyek yang diteliti seperti di
bawah ini.
1. Panggung
Badudu, (1996: 993) panggung adalah lantai tinggi yang diletakan diatas
tiang-tiang; lantai yang ditinggikan untuk tempat pertunjukan (tari, musik, lagu
dsb); tempat yang agak tinggi tempat orang dapat melihat dengan jelas.
Riantiarno, (2011: 12).Panggung adalah sebuah pentas pertunjukan. Secara fisik
berbeda, tapi fungsinya sama. Panggung lebih memiliki batas kesadaran untuk
membuat tempat pertunjukan dengan suatu ketinggian (stage-staging) tertentu
dengan maksud untuk mengangkat (ke atas) pertunjukan agar mendapat cukup
perhatian atau pengelihatan dari penontonnya.
Berdasarkan pengamatan penulis menyaksikan pertunjukan WB, bentuk
panggung yang digunakan tampak dari depan melalui hasil rekaman berupa DVD,
penulis melihat dalam pertunjukan itu menggunakan Gayor yang di atas dan
samping-sampingnya dihiasi dengan pohon dapdap dan berbagai jenis pepohonan
lainnya. Untuk menutupi batang pohon pisang penggarap menutup bagian bawah
panggung dengan kain hitam.
44
Bentuk panggung yang digunakan dalam pertunjukan WB pada saat pentas
di gedung Canra Metu ISI Denpasar tanggal 20 januari 2010, adalah berbentuk
gawang dengan panjang 3 meter dan lebar 1,40 meter.
2. Gedebong
Gedebong adalah batang pohon pisang, dalam pertunjukan wayang di Bali
gedebong digunakan sebagai pijakan-pijakan wayang saat para tokoh wayang
melakukan Pegundeman (rapat antara tokoh). I Ketut Kodi mengatakan, didalam
gawang terdapat batang pisang sepanjang 3 meter yang digunakan sebagai areal
penempatan wayang dan pemisah antara wayang, dalang dan penonton. Sebelah
kanan dan kiri gawang dihiasi dengan berbagai pepohonan untuk memberikan
kesan seolah-olah berada di tengah hutan sesuai dengan cerita yang dibawakan.
Dan tidak lupa pula pohon yang sering digunakan dalam pementasan Wayang
lemah yaitu pohon dadap sebagai bentuk tidak mengurangi makna dan fungsi
daripada pertunjukan Wayang lemah. Benang tukelan yang biasanya dibentangkan
diantara kedua pohon dadap dipindahkan ke masing-masing tubuh dalang, untuk
memberikan kesan lebih magis. Sebagai penghubung persatuan antara penggarap
dengan semua pendukungnya. (wawancara, 28 februari 2014) dengan dalang I
Ketut Kodi.
3. Kelir
Kelir adalah kain putih yang digunakan dalam suatu pertunjukan wayang
di Bali dengan panjang kira-kira 2 – 3 meter dan lebar sekitar 1,5 meter. Kelir
dalam pertunjukan wayang Bali berfungsi sebagai alat untuk memudahkan
memainkan wayang kulit. Dalam Ensiklopedi pewyangan Bali, dideskripsikan
bahwa kelir adalah tabir putih untuk menggelarkan wayang dan pelaksanaanya
45
akan tampak bayangan wayang. Kelir adalah simbol langit, sebagaimana
disebutkan dalam lontar Dharma Pewayangan, langit yang membatasi antara
dalang dengan penonton (secara filsafat). Didalam kenyataan banyak sekali
penonton yang justru ingin memnonton di balik kelir (mengambil posisi menonton
di dekat dalang) sehingga bisa menyaksikan keahlian dalang memainkan wayang.
I Ketut Kodi mengatakan kelir adalah simbul dari bumi dalam pertunjukan
wayang Bali.
Dalam pertunjukan WB tidak menggunakan kelir, sama seperti
pertunjukan Wayang lemah. Karena WB merupakan pengembangan dari Wayang
lemah.
4. Blencong
Blencong adalah lampu yang bersumbu, digunakan dalam pertunjukan
wayang Bali sebagai penerang dan menampilkan bayangan-bayangan wayang
pada kelir. Insiklopedia Mini pewayangan Bali mendeskripsikan dengan amat
singkat tentang blencong yakni sebagai alat penerangan yang sangat berguna
dalam pertunjukan bayangan untuk memberikan hidupnya suasana.
Pertunjukan WB tidak menggunakan Blencong melainkan lampu listrik
yang cahayanya disesuaikan dengan suasana yang diinginkan.
5. Sound Sistem
Yaitu alat pengeras suara yang kini sudah menjadi tradisi dalam
pertunjukan wayang kulit di Bali. Keberasilan seorang dalang dalam
berkomunikasi terletak pada kualitas sound sistem yang digunakan. Dalang-dalang
sekarang sebagian besar menggunakan sound sistem sebagai penopang
keberasilannya dalam pementasan Wayang Kulit.
46
6. Kropak
Kropak adalah tempat untuk menyimpan wayang. Namun dinding samping
kanannya biasanya digunakan untuk menimbulkan suara yang dipukul dengan
cepala. Puluhan bahkan lebih dari seratus Wayang Kulit yang tersimpan dan
teratur rapi dalam kropak.
Pada umumnya kropak wayang ini terbuat dari kayu jati yang berbentuk
sebuah kotak segi empat panjang. Penutup gedog, dirancang secara knock down
sehingga bisa dibuka dan ditutup, dilepaskan dan dipasang kembali sesuai dengan
kebutuhan. Keropak wayang diletakan di samping kiri pada waktu
pementasan.sedangkan penutup yang lepas diletakkan di sebelah kanan dalang
sebagai tempat wayang-wayang yang ikut dimainkan dalam pementasan tersebut.
Teknis bentuk kropak yang berkembang di Sukawati, pada sisi kanan
kropak itu dirancang secara fleksibel/lentur sehingga bisa dibenturkan dengan
penampang tempatnya berpasangan yang dapat menimbulkan efek suara tertentu
(sesuai dengan kehendak dalang), baik dari sisi dalam maupun dari sisi luar
bagian sisi kanan ini menjadi sasaran cepala yang dipegang dengan tangan
maupun dijepit dengan telunjuk dan ibu jari kaki kanan dalang, dalam mengiringi
gerak maupun dialog yang di ucapkan tokoh yang bermakna sebagai aksen dan
penegasan dalam dialog.
7. Cepala
Cepala dalam pewayangan Bali lebih dikenal dengan nama pengletakan
(Marajaya, 2006: 15). Nama ini diambil sesuai dengan bunyi yang ditimbulkan
oleh alat tersebut setelah dipukulkan pada sisi/dinding gedog (kropak) yaitu
tak...tak...tak...tak... sebagai lambang purusa (laki) dan gedog (kropak) lambang
47
predana (perempuan). Dalam pertunjukan WB cepala berfungsi untuk
memberikan aksen terhadap percakapan, pergantian adegan, mengisi kekosongan,
memberi tanda berhenti pada kekosongan, sebagai isyarat berhenti pada iringan,
mengatur dan sebagai ilustrasi iringan.
8. Upakara
Upakara atau banten merupakan sarana yang di persembahkan kepada
Tuhan Hyang Maha Esa yang di yakini memberi keselamat dalam suatu
pementasan Wayang Kulit Bali. Dalam pertunjukan WB upakara/banten yang
digunakan sangat sederhana, tidak seperti pertunjukan Wyang Lemah yang
dikaitkan dengan upacara keagamaan di Bali. seperti biasanya. Ini merupakan
penyederhanaan dan mengurangi fungsi dan maknanya karena WB merupakan
pertunjukan yang bersifat hiburan.
9. Komposer Iringan
Komposer adalah orang menciptakan lagu atau musik pengiring
pertunjukan. Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa
lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton. Dalam pertunjukan WB
sebagai penata iringannya adalah Made Subandi seniman musik dari Br. Buda
Ireng Batubulan Kangin, (wawancara tanggal 25 April tahun 2014 hari Jumat jam
12 : 30 siang) dengan I Ketut Kodi.
10. Personal Pembantu
a. Penggerak Wayang
- I Gede Wirawan
- I Putu Candra Wijaya
- I Made Darma
48
- I Made Sukarsa
- I Nyoman Suastana
b. Penabuh dan Instrument
- Indra Wijaya : Kendang Wadon
- Agun : Kendang Lanang
- Kadek Astawa : Gangsa
- Petruk : Gangsa
- Suastika : Gangsa
- Novi : Gangsa
- Kidal : Kantilan
- Putu Eman Sabudi S. : Kantilan
- Gus Bajra : Kantilan
- Midun : Kantilan
- Gde Puser Bumi : Calung
- Yande : Calung
- Wina : Jegogan
- Pande Bangkal : Jegogan
- Kadek Sumerta : Gong
- Dedik : Cengceng kecek
- Kadek Andika S. : Kajar
- Gde Sukaryana : Gender rambat saih pitu
- Ngurah Epo : Gender rambat saih pitu
- Dore : Suling
- Dwi : Suling
49
- Emon : Suling
11. Pesinden
Pesinden adalah orang yang melantunkan tembang yang sesuai dengan
iringan gamelan. Dalam pertunjukan WB menggunakan dua pesinden wanita
untuk memberikan warna yang berbeda tidak seperti pada Wayang lemah yang
tidak memakai sinden.
Pendukung sinden/Gerong:
1. Ni Komang Sekar Marheni
2. Nik Swasti
12. Wayang
Dalam pertunjukan WB menggunakan wayang kulit kurang lebih 25 buah
wayang. Wayang lemah yang semula hanya ritus (tata cara upacara keagamaan)
akan dikembangakan menjadi sebuah bentuk hiburan entertaiment yang
mengintergrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan perkembangan zaman
dewasa ini. I Ketut Kodi (wawancara, senin tgl 24 febuari 2014). Beberapa
wayang yang digunakan dalam pertunjukan WB kurang lebih seperti dibawah ini.
- Kayonan
- Rsi Bisma
- Dewi Gangga
- Dewi Kunti
- Yudistira
- Bima
- Nakula
50
- Sahadewa
- Beberapa wayang binatang
- Bala-bala Raksasa
- Beberapa Raksasa
- Raksasa Dimbi
- Raksasa Adimba
- Tualen
- Merdah
- Delem
- Sangut
- Empat kuda
- Beberapa panah
- Dan beberapa pohon
13. Tata Cahaya
Sumber penerangan pada pertunjukan WB ini menggunakan beberapa
lampu, seperti lampu untuk penerangan jendral di areal wayang dan Sport Light
yang berukuran 300 watt digunakan sebanyak dua buah. Fungsinya adalah untuk
mempertegas bentuk dan warna wayang. Penempatan lampu tersebut di depan
Ranggon, untuk mengatur lampu Sport light mempergunakan alat bernama
regulator (dimmer) yang dioprasikan oleh seorang teknisi dari belakang tangkai
lampu.
51
14. Iringan
Iringan dalam pertunjukan Wayang Kulit merupakan salah satu komponen
penting yang dapat memeberikan warna pada sebuah pertunjukan. Dalam
pertunjuka WB iringan yang digunakan dalah Gamelan Semarandana serta
ditambah dengan alat musik seperti Sungu. Gambelan Semarandana dapat
memberikan aksen-aksen, irama dan mempertegas ungkapan dalam adegan.
Adapun barungan gamelan tersebut menurut I Ketut Kodi, antara lain:
- Satu pasang kendang pelegongan
- Satu pasang gender rambat
- Empat buah gangsa
- Satu pasang calung
- Satu pasang jegogan
- Satu buah gong
- Seperangkat cengceng kepyak
- Dua buah kajar
- Empat buah seruling.
4.3 Wacana
Menurut sedana (2003: 11) dalam diagram paradigma kawi dalang
mengungkapkan bagian-bagian dari wecana itu adalah epos, kekawin,
parwa/kanda, geguritan, ragam retorika: tembang, ucapan dan narasi. Marajaya
(2006: 11) menjelaskan dalam pertunjukan Wayang Bali kegiatan bertutur
(beretorika) sering juga disebut dengan istilah antawacana. Antawacana adalah
bunyi atau perkataan yang baik.
52
4.3.1 Sumber cerita
Cerita yang digunakan dalam pertunjukan WB bersumber dari epos besar
Mahabharata. Epos Mahabharata menggambarkan kisah pertentangan antara dua
keluarga besar Korawa dan Pandawa yang termasuk masih keluarga juga yakni,
keluarga Bharata. Kraya besar ini terdiri dari 100.000 “sloka” (bait yang terdiri
dari dua baris) kemudian ditambah lagi Parwa yang ke-19 yang khusus memuat
kisah Kresna. Penulis karya besar ini bernama Wyasa. Selain itu didalamnya
digambarkan pula tentang mitilogi india kuno dan kehidupan sehari-hari dari masa
itu (Bagiarta, 2006: 31). Cerita yang diangkat dalam dalam pertunjukan WB
adalah gugurnya Detya Adimba yang dijadikan sebagai cerita pokok.
Cerita gugurnya Detya Adimba dimulai dari ketika tersiar kabar bahwa
Panca Pandawa beserta ibunya Dewi Kunti telah meninggal saat rumah Jatugraha
terbakar hangus. Berita ini membuat Rsi Bisma berduka dan gelisah untuk
meyakinkan berita yang tersiar diseluruh pelosok Astina. Rsi Bisma menghadap
ibundanya kesungai Gangga menanyakan kebenaran berita tersebut. Dewi Gangga
menegaskan dan meyakinkan Rsi Bisma bahwa pandawa masih hidup dan berada
disekitar hutan Kurubaya.
Raksasa Adimba sebagai penguasa hutan Kurubaya mencium bau
manusia, lalu menugaskan adiknya Raksasi Dimbi untuk mencari dan
membawanya pulang sebagai santapan. Ternyata bau yang tercium oleh Detya
Adimba adalah Panca Pandawa. Adimbi pun mendekatinya, karena gagah dan
kekarnya tubuh Bima Adimbi pun jatuh cinta. Pada awalnya Bima tidak
menghiraukan, karena permintaan Dewi Kunti Bima Akhirnya menerima lamaran
53
Adimbi. Setelah saling mencintai Adimbi mengajak Bima untuk berbulan madu
diatas gunung, di pantai, dan hutan yang sangat lebat.
Karena laparnya Adimba tidak tahan akan laparnya dan tidak sabar
menunggu kedatangan adiknya Adimbi. Lalu ia pergi ketengah hutan mencari
adiknya, sesampai dihutan dia melihat Adimbi berkasih-kasihan dengan Bima
yang tiada lain adalah mangsanya. Perang pun tidak dapat dielakan antara Bima
dengan Adimba, setelah diberi tahu oleh Adimbi tentang kelemahan dari Detya
Adimba kepada Bima akhirnya Detya Adimba menemui ajalnya.
4.3.2 Tandak
Tetandakan merupakan bahasa bertembang yang irama dan temponya
serasi dengan irama dan tempo gambelan yang mengiringi adegan Rota (dalam
Marjaya, 2006: 12). Gending-gending yang dikatagorikan sebagai tetandakan
dalam pertunjukan Wayang kulit adalah; gending alas arum, rebong (Romantis),
Mesem (sedih).
Dalam Pertunjukan WB, gending seperti alas arum tidak dipergunakan.
Gending alas arum yang biasanya dipergunakan dalam Pertunjukan Wayang Bali,
baik Wayang Peteng maupun Wayang lemah dalam pertunjukan ini diganti
dengan kidung wargasari warga sari sebagai pengawit untuk memberikan kesan
magis dalam Pertunjukan WB, namun kidung warga sari ini tidak digunakan
sebagai pengiring keluarnya tokoh-tokoh pewayangan seperti dalam Pertunjukan
Wayang Kulit Bali, hanya sebagai iringan saat keluarnya Dalang saat akan
melakukan persembahan dan persembahyangan di areal pementasan. menurut I
Ketut Kodi (wawancara 28 februari 2014).
54
Bentuk nyanyian kidung (kekidungan) dapat dikenal pada bait
permulaannya yang memakai bentuk “kawitan” dua bait. Kemudian menyusul
pemawak (nyanyian pendek) dua bait, penawa (nyanyian panjang) dua bait,
pemawak dua bait, penawa dua bait, demikian seterusnya sampai satu bab ceritera
kembali lagi “ kawitan” untuk bab ke dua. Kidung warga sari termasuk salah satu
tatwa tertulis yang penting dipertahankan mengingat kidung ini selalu
ditembangkan dalam upacara-upacara besar keagamaan di Bali. Contoh kidung
yang digunakan dalam Pertunjukan WB, seperti di bawah ini.
“Ida ratu sakeng luhur kawula nunas lugrane mangda sampun titiang tandruh mangayat betara mangkin titiang ngaturang pejati canang suci lan daksina sarwa sampun puput pratingkahing saji” artinya: wahai Tuhan dari alam nirwana hamba meminta kemurahanMu supaya hamba tidak menyangsikannya hamba menyembahMu sekarang dan hamba menghaturkan persembahan pejati, canang suci dan daksina semua sudah lengkap sarana untuk memujaMu
4.3.3 Retorika
Retorika atau kegiatan bertutur oleh dalang meliputi pemilihan materi
bahasa, kata-kata, ungkapan-ngkapan, istilah-istilah yang digunakan oleh I Ketut
Kodi untuk mewadahi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan kepada penonton
sreta gaya tutur yang sangat menarik dalam menampilkan gagasan dalam
pertunjukan WB.
55
4.3.4 Teknik Teaterikal
Teknik teaterikal yang digunakan oleh I Ketut Kodi yaitu mengapresiasi
kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai alat atau
media utama untuk menyatakan rasa dan karsanya. Alat atau media utama
ditunjang oleh unsur-unsur gerak, suara, bunyi dan rupa. Dalam pertunjukan WB,
dalang dan pendukung dalang semuanya berteaterikal saat menggerakan wayang
yang disesuaikan dengan gerak wayang yang mereka mainkan. Yang paling
berkesan dalam pertunjukan WB, dimana saat klimaks dari pertunjukan WB
teaterikal dilakukan keluar dari tempat pementasan wayang atau panggung
wayang pada saat gugurnya Detya Dimba dan jasadnya dalam cerita di Aben.
4.3.5 Lawakan/Lelucon
Lawakan yang dimaksud disini adalah olok-olok atau main-main saja,
Badudu (1996: 780) menjelaskanlawakan atau melawak adalah ber-olok-olok,
bergurau, melucu, melakukan melakukan sesuatu yangmembuat orang tertawa.
Wiyanto, (2002: 8) menguraikan tentang komedi atau suka cerita adalah penggeli
hati. Drama ini penuh kelucuan yang menimbulkan tawa penonton. Marjaya,
(2006: 14) dalam pertunjukan Wayang Kulit sebagai tontonan, Wayang Kulit
menyuguhkan hiburan-hiburan yang menarik penonton. Salah satunya adalah
lelucon.
Humor/lelucon sangat penting dalam pertunjukan wayang yang sifatnya
sebagai hiburan. Pementasan akan terasa kering bila tidak disuguhi unsur
humornya yang akhirnya menjadi membosankan. Seorang dalang harus pandai-
pandainya mencari dan mengumpulkan bahan-bahan sebagai lelucon dalam
56
pertunjukannya, sehingga penonton merasa jenuh saat menonton pertunjukan
wayang.
4.4 Tetikesan
Dalam dunia pewayangan di Bali gerak merupakan salah satu komponen
yang penting dalam pertunjukan yang lazim disebut dengan istilah “tetikesan”. Di
Jawa disebut dengan istilah “sabetan”.
4.4.1 Bentuk dan Hiasan
Dalam pertunjukan WB yang dapat penulis amati sebagai bentuk hiasan
dari WB adalah:
1. Bentuk WB yang dibuat sedemikian rupa atau dalam artian dimana
penonton bisa melihat secara langsung tanpa terhalangi layar (kelir) dan
bisa melihat adegan per-adegan dari sisi mana saja.
2. Pada pembuka pertunjukan WB disuguhkan kidung atau nyanyian suci
untuk memberikan kesan magis. Hal ini sangat khas dan berbeda
dengan pertunjukan wayang-wayang yang ada di Bali.
3. Ekpresi dalang, atau gerak dalang saat menarikan wayang, para dalang
disini melakukan gerakan yang mengikuti tarian wayang dan mengikuti
irama gamelan.
4. Dalang memakai benang tukelan yang melilit di tubuhnya, untuk
memberi kesan magis dan rasa persatuan antara dalang dengan para
pendukungnya.
5. Iringan, dalam pertunjukan WB menggunakan gamelan semarandana.
57
4.4.2 Tokoh dan Penokohan.
Yang dimaksud dengan penokohan disini adalah proses penampilan tokoh
sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus
mampu menciptakan citra tokoh. Karenanya, tokoh-tokoh harus dihidupkan.
Penokohan menggunakan berbagai cara, watak tokoh dapat terungkap lewat: (a)
tindakan; (b) ujaran atau ucapan; (c) pikiran, perasaan dan kehendaknya; (d)
penampilan fisiknya, (e) apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang
dirinya atau diri oranglain. Tokoh dalam seni sastra disebut “tokoh rekaan”
(dramatis personae) yang berfungsi sebagai pemegang peran watak, baik dalam
jenis roman atau lakon. (Soediro Satoto, 1985: 24-25).
4.4.2.1 Tokoh Protagonis
Tokoh Protagonis adalah pemeran utama, merupakan pusat atau sentral
cerita. Yang menjadi tokoh utama dalam Pertunjukan WB adalah Bima. Karena
dalam cerita yang diangkat dalam pertunjukan WB mengisahkan gugurnya Detya
Adimba. Bima menjadi tokoh utama karena dalam cerita menggambarkan perjalan
hidup Bima ketemu dengan Dimbi sampai dia menikah. Setelah diketahui oleh
Detya Dimba adiknya Dimbi yang disuruh mencari manusia untuk dijadikan
santapan, Dimbi malah bermesraan dengan Bima. Akhirnya perangpun tak
terelakan. Dalam peperangan itu Detya Dimba gugur di tangan Bima.
4.4.2.2 Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah peran lawan ia suka jadi musuh atau penghalang
tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik). Tokoh antagonis
dalam Pertunjukan WB adalah Detya Adimba. Dalam cerita gugurnya Detya
Adimba, Raksasa ini sebagai penghalang tokoh Bima yang pada saat itu sedang
58
bermesraan dengan Dimbi. Hal itu tidak diterima oleh Detya Dimba dan dia pun
menyerang Bima.
4.4.2.3 Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu adalah peran yang secara tidak langsung terlibat dalam
konflik (tikaian) yang terjadi; tetapi ia diperlukan untuk menyelesaikan cerita.
Yang menjadi tokoh pembantu dalam cerita yang di angkat dalam pertunjukan
WB adalah Dimbi. Karena dalam cerita Dimbi membantu Bima untuk mengatasi
kekuatan kakaknya Detya Dimba dan memberi tahu Bima tentang kelemahan dari
Detya Dimba.
4.5 Fungsi
Dalam kamus bahasa Indonesia Suharto (dalam Rudita, 20013: 53)
disebutkan fungsi adalah kata benda yang mengandung pengertian suatu pekerjaan
yang dilaksanakan (dilakukan), kegunaan suatu hal yang dapat dibedakan dari
karya yang lain (bekerja sesuai kedudukan).
David kaplan (2002: 76) mengatakan bahwa dalam salah satu bentuknya,
fungsionalisme adalah penekanan dominan pada studi antropologi khususnya
penulisan etnografis, selama dasawarsa silam. (Sudah barang tentu menonjolnya
fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan
hal kebetulan). Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi
suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodelogis bahwa
kita harus mengekplorasi ciri sistemik bukan daya. Artinya, kita harus mengetahui
bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu
masyarakat sehingga membudaya suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain
59
ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan
tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis.
Dalam membahas fungsi pertunjukan WB secara langsung juga dapat
membahas permasalah ke dua yaitu: faktor apa yang menyebabkan Wayang lemah
dijadikan sumber inspirasi kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi.
4.5.1 Fungsi Estetika
Ilmu estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keindahan, yang mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut “ke-
indahan” Djelantik (1990: 6). Pandangan Plato (dalam Sutrisno dan Verhaak,
1993: 25) tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Yang satu mengingatkan
kita akan seluruh filsafatnya tentang dunia idea, sedangkan yang lain nampaknya
lebih membatasi diri pada dunia yang nyata ini. Dalam WB nilai-nilai keindahan
yang terkandung didalamnya dapat mengkontribusi fungsi estetika terhadap
individu dalang I Ketut Kodi sebagai penggarap dan fungsi sosial terhadap
masyarakat penikmatnya.
a) Fungsi Individu
1. Fungsi pemenuhan kebutuhan fisik
Pada hakekatnya seorang dalang adalah manusia mempunyai kecakapan
untuk apresiasi pada keindahan dan pemakaian benda-benda. Seni terapan
memang mengacu pada pemuasan kebutuhan fisik sehingga segi kenyamanan
dalam berkesenian menjadi hal penting.
2. Fungsi pemenuhan kebutuhan emosional
Seorang dalang mempunyai sifat yang berbeda dengan manusia lain.
Pengalaman hidup sesorang dalang sangatlah mempengaruhi sisi emosional/
60
perasaaanya. Contoh perasaan sedih, letih-lelah, gembira, iba, kasihan, benci,
cinta dlll. Dalang dapat merasakan semua itu dikarenakan di dalam dirinya
terkandung dorongan emosional yang merupakan situasi kejiwaan pada setiap
manusia normal. Untuk memenuhi kebutuhan emosiaonal memerlukan dorongan
dari luar dirinya yang bersifat menyenangkan, memuaskan kebutuhan batinnya.
Sebagai sontoh karena kegiatan dan rutinitas sehari- hari maka bisa mengalami
keletihan sehingga memerlukan rekreasi dengan cara mencari hiburan. Seorang
dalang yang memiliki pengalaman estetikanya lebih banyak maka ia akan
memiliki kepuasan yang lebih banyak pula. Seniman adalah seseorang yang
mampu mengapresiasikan pengalaman dan perasaaannya dalam sebuah karya seni
yang diciptakannya. Hal itu juga diyakini olehnya sebagai sarana memuaskan
kebutuhan emosiaonal dirinya.
b) Fungsi Sosial
1. Fungsi Sosial di bidang Rekreasi
Kejenuhan sesorang karena aktivitasnya sehari-hari membuat sesorang
membutuhkan penyegaran diri misalnya diwaktu hari libur mengunjungi tepat-
tempat rekreasi, Seni Pedalangan juga dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi.
Seni Pedalangan sebagai tempat rekreasi adalah seni yang mampu menciptakan
suatu kondisi tertentu yang bersifat penyegaran dan pembaharuan dari kondisi
yang telah ada.
2. Fungsi Sosial di bidang Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas dimengerti sebagai suatu kondisi tertentu yang
memungkinkan terjadinya transformasi dan kegiatan sehingga mengakibatkan
seseorang mengalami suatu kondisi tertentu yang lebih maju. Dalam sebuah
61
pertunjukan seni pewayangan orang sering mendapatkan pendidikan secara tidak
langsung karena di dalam setiap karya seni pewayangan pasti ada pesan/ makna
yang sampaikan. Disadari atau tidak rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan
oleh seni merupakan alat pendidikan bagi seseorang. Seni pewayangan
bermanfaat untuk membimbing dan mendidik mental dan tingkah laku seseorang
supaya berubah kepada kondisi yang lebih baik-maju dari sebelumnya. Disinilah
seni pewayangan harus disadari menumbukan pengalaman estetika dan etika.
3. Fungsi Sosial Seni di bidang Rohani
Kepercayaan Agama Hindu sering juga dijadikan sebagai salah satu
sumber inspirasi seni pewayangan Bali yang berfungsi untuk kepentingan
keagamaan. Pengalaman-pengalaman religi tersebut tergambarkan dalam bentuk
nilai estetika. Banyak media yang mereka pergunakan. Ada yang memakai suara,
gerak, visual dan lain-lain.
4.5.2 Fungsi Kreativitas
Munandar (1988: 2) mengungkapkan bahwa, setiap orang memiliki
potensi kreatif dalam derajat yang berbeda-beda dan dalam bidang yang berbeda-
beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar dapat diwujudkan. Untuk ini
diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong, baik dari luar lingkungan maupun dari
dalam individu sendiri. Perlu di ciptakan potensi lingkungan yang dapat memupuk
daya kreatif individu. Lingkungan dalam hal ini mencakup baik lingkungan dalam
arti kata sempit (keluarga, sekolah) maupun dalam arti kata luas (masyarakat,
kebudayaan).Faktor-fator apakah dalam individu dan lingkungan yang merupakan
persyaratan bagi pertumbuhan kreativitas? Jika kita mengetahui faktor-faktor
62
internal eksternal ini maka kita dapat mengusahakan kondisi, suasana atau iklim
(internal dan eksternal) yang mendorong perkembangan kreativitas.
Kreativitas menurut Marajaya (2006: 15) dalam WAYANG Jurnal Ilmiah
Seni Pewayangan mengatakan bahwa kreativitas yang dimaksud disini adalah
dasar-dasar kreaktif atau kreasi yang dimiliki oleh seorang dalang. Dalang yang
kreativitasnya tinggi akan dapat menciptakan hal-hal yang menarik sebagai
figuran dalam sebuah pertunjukan. Kreativitas itu meliputi ruang dan waktu,
dalam ruang dalang dapat memanfaatkan seluruh areal kelir untuk berimprovisasi
baik dalam bentuk wacana, tembang, tetikesan, maupun oleh iringan itu sendiri
yang terkait dengan gerak wayang (tetikesan) maupun tembang vokal. Sedangkan
waktu, yaitu saat-saat yang tepat bagi dalang untuk menyisipkan atau melakukan
kreativitas tanpa mengurangi alur dramatik suatu lakon.
4.5.3 Pertunjukan WB untuk Menghadapi Tantangan Global
Bentuk kreatif dalam hal tetikesan, dalang mampu memainkan wayang
dengan sangat atraktif, artinya dalang I Ketut Kodi mampu mengaplikasi gerak-
gerak yang relevan dalam kehidupan nyata dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika
perang antara tokoh wayang Bima dengan tokoh wayang Detya Adimba, gerakan
Bima saat menghajar Detya Adimba dapat mengaplikasi dari gerak seorang
kesatria yang tangguh sehingga penonton akan lebih tertarik untuk menikmati
pertunjukan WB.
Kreatif dalam hal bahasa, artinya bahasa yang digunakan dalam
pertunjukan wayang menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dimengerti
masyarakat secara luas dan lebih komunikatif, mengingat bahasa dalam
pedalangan dewasa ini sulit untuk ditangkap oleh masyarakat awam.
63
Bentuk kreativitas dalam hal iringan, dalam WB menggunakan Gamelan
Semarandana untuk memberikan suasana yang lebih menarik dalam setiap adegan
pertunjukan tersebut. Sebenarnya seorang dalang cukup mengandalkan daya
kreativitasnya dalam mengolah dan menyusun karyanya sesuai dengan suasana
yang diinginkan, upaya tersebut sekiranya telah mampu diterima dan diminati
masyarakat pendukung pertunjukan wayang kulit.
Durasi dalam pertunjukan wayang, bagi seorang dalang kreatif tentu perlu
untuk dipertimbangkan lagi. Waktu pementesan yang tidak terlalu lama supaya
penonton tidak merasa jenuh dan meninggalkan pertunjukan wayang padahal
pertunjukan tersebut belum selesai, hal ini berakibat akhirnya penonton tidak
mengetahui cerita seutuhnya. Untuk mensiatsati dalam mengurangi durasi
pertunjukan wayang dapat dilakukan dengan mengurangi adegan-adegan yang
tidak penting dan kurang mendukung jalannya cerita. Dengan demikian, durasi
yang lebih efisien dan efektif tersebut maka penonton akan lebih merasa betah
untuk menikmati sajian tersebut.
Faktor-faktor apa yang mendorong dalam diri individu Dalang I Ketut
Kodi dan lingkungan yang merupakan persyaratan dari suatu kreativitas. I Ketut
Kodi adalah seniman Dalang dan juga seorang Dosen seni di Institut Seni
Indonesia Denpasar. Sehingga muncul ide-ide yang baru dari dalam diri beliau
dan juga merupakan suatu tuntutan yang harus beliau jalani sebagai seorang
seniman dalang. Dan lingkungan juga sangat mempengaruhi daya kreatif dari
seorang seniman dalang, Br. Mukti Desa Singapadu tempat kelahiran I Ketut
Kodi, merupakan daerah yang kental dengan seni dan budayanya. Dimana daerah
itu merupakan daerah penghasil produk seni dan banyak seniman-seniman dari
64
seniman topeng termasuk beliau juga, seniman tari, dalang, seni pahat dan lain
sebagainya. Sehingga tidak menutup kemungkinan I Ketut Kodi untuk
berkreativitas sebagai sebagai seniman dalang yang di dukung oleh fator
lingkungan.
WB merupakan hasil dari Kreativitas seorang seniman dalang I Ketut Kodi
yang terinspirasi dari Wayang lemah. Melihat Wayang lemah yang fungsinya
hanya sebagai pelengkap dalam suatu upacara keagamaan di Bali sehingga
muncul ide beliau untuk mengembangkan Wayang lemah ini. Seandainya Wayang
Lemah tidak dikaitkan dengan upacara keagamaan di Bali kemungkinan Wayang
lemah sudah punah dan generasi selanjutnya tidak akan pernah dapat menonton
Wayang lemah.
WB juga berfungsi untuk memotivasi seniman dalang untuk berkreativitas,
sehingga dalang-dalang akademik mulai melirik dan terinpirasi dari segi bentuk
pertunjukan WB. Ada bagian-bagian tertentu yang dilirik seperti dalang I Ketut
Muada, salah satu bentuk panggung dari tiga betuk panggung yang beliau bikin
dalam garapan ujian Tugas Akhit di ISI denpasar tahun 2013, beliau terinspirasi
dari bentuk panggungnya. Untuk memunculkan bayangan wayang di layar
maupun pada adegan-adegan dramatik lainnya di panggung, dalam garapan ini
penggarap menggunakan ruang pentas 4 sisi yang berputar yang satu sisi memakai
kelir putih, dua betel atau tembus tanpa kelir, dan yang satu sisi lagi berisi langse
(kain kelambu), Muada dalam “Skrip Karya Seni Pakeliran Dalem Sidakarya”
(2013: 5).
Garsana dalam wawancara 15 April 2014 hari selasa, beliau mengatakan
garapan yang nanti beliau pentasan dalam ujian Tugas Akhir yang akan
65
dilaksanakan mulai tanggal 5 Mei 2014. Menurut beliau garapannya yang berjudul
“Banda Semara” banyak terinspirasi dari pertunjukan WB. Tanggal 18 April
merupakan puncak acara pedudusan agung di Desa Singapadu. Disana
dipentaskan Wayang lemah atau Wayang Emas dengan lakon Dewa Ruci. Cerita
Dewa Ruci merupakan cerita yang sudah umum, namun I Ketut Kodi yang
mementaskan wayang tersebut mengemas/menggarap sedikit ceritanya yang
merupakan kelanjutan dari WB. Wayang Emas yang beliau pentaskan berasal dari
Mojokerto merupakan peninggalan Hindu yang di buat sekitar 500 tahun
silam.(wawancara tanggal 25 April tahun 2014 hari Jumat jam 12 : 30 siang)
dengan I Ketut Kodi.
4.5.3.1 Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Dilihat dari wilayah geografisnya Bali merupakan pulau kecil dengan luas
wilayah yang relatif sempit namun memiliki potensi tradisi besar. Tradisi besar ini
dapat dilihat seperti Bali memiliki, aksara, bahasa dan sastra sendiri, kesenian,
sistim Subak, Banjar dan Desa Pakraman.
Budayawan Prof. DR. Ida Bagus Mantra Gubernur Bali masa bakti 1978 -
1983 dan 1983 – 1988 telah menggali dan memantapkan kembali budaya Bali
sebagai suatu potensi. Mantra mengemukakan bahwa pembangunan berarti
pengembangan kebudayaan akan melahirkan pembangunan. Pembangunan adalah
proses berkelanjutan dan pembangunan memerlukan teknologi. Namun demikian
teknologi hendaknya tidak memperbudak manusia. Oleh karena itu Mantra
mengingatkan dan menekankan untuk dapat memelihara kebudayaan maka
keutuhan ide dasar (sentral)nya harus dapat terbina dengan baik (Sedawa, 2009: 1)
66
dalam makalahnya yang berjudul Membangun Budaya Rohani Generasi Muda
Hindu Bali.
WB merupakan suatu garapan baru yang bertujuan untuk memperkaya
kebudayaan Bali pada khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. I
Ketut Kodi menyiasati keberadaan Wayang lemah yang tergantung terhadap
upacara keagamaan Hindu di Bali. Seandainya tidak ada upacara keagamaan di
Bali kemungkinan besar Wayang lemah akan punah dan keberadaanya
menghilang dari khasanah budaya Bali. Fungsi WB dalam pelestarian dan
penembangan budaya dapat penulis amati adalah sebagai berikut.
1. Untuk menghadapi harus komunikasi yang makin besar, satu-satunya
jalan yang paling bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan secara
nasional ialah dengan cara meningkatkan kesadaran berbudaya,
menumbuhkan kemauan dan komitmen berbudaya. Ini berarti kita harus
lebih mempelajari agama Hindu dan mendalami kesusastraan Bali,
seperti melibatkan diri dengan menonton pertunjukan wayang. Karena
dalam pertunjukan wayang terkandung nilai-nilai yang luhur, begitu
juga dalam pertunjukan WB banyak terdapat ajaran-ajaran yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk menjadi seseorang yang
mampu menyaring unsur-unsur yang baik yang tidak sesuai dengan
kepribadian.
2. Untuk menghadapi tantang baru kebudayaan luar yang akan masuk
tanpa disadari menguasai kehidupan masyarakat sehingga akhirnya
menghilangkan dinamika kebudayaan wayang. Oleh karena itu
melestarikan kebudayaan wayang dengan kreativitas serta
67
mengembangkannya mengikuti kemajuan zaman. Dengan demikian
kebudayaan wayang akan berkembang dan berkelanjutan tanpa
kehilangan akarnya.
3. Untuk menumbuhkan rasa seni yang mendalam dalam masyarakat di
segala bidang, terutama dalam bidang seni pewayangan. Dengan
demikian kita tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang
bersifat negatif karena waktu telah terpusat pada kreativitas.
4. Untuk memperkaya diri dalam khasanah seni pewayangan, masyarakat
Bali memiliki berbagai kearifan lokal yang dapat dijadikan landasan
dalam pergaulan hidupnya seperti menyama braya, segilik seguluk,
ngandap kasor, paras-paros dan salulung sabayan taka. Kearifan lokal
sebagai wujud kebudayaan sendiri perlu dipahami secara mendalam
sehingga tidak hanyut dalam kecemerlangan bentuk luar yang dangkal
isinya. Jika kita dapa menghayati secara mendalam maka akan dapat
membawa kesejahtraan bagi masyarakat yang kemudian lebih
memperkuat akar budayanya. Manusia dapat maju dan dihormati bila ia
menunjukan kreativitas budaya yang tinggi. Warisan budaya seperti
wayang perlu dikembangkan sehingga mampu ikut menyelaraskan diri
dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat, seperti di bidang seni
pewayangan, seni lainnya, peninggalan purbakala, sejarah, bahasa, dan
lain-lainnya.
5. Untuk melawan goncangan dan gejolak-gejolak budaya populer dari
luar yang tidak serasi dengan budaya Bali, maka perlu peningkatan
sadar budaya. Sadar budaya akan meningkatkan kreativitas dalam
68
menghadapi tantangan baru yang selalu akan muncul. Bahkan
keberasilan ini akan membawa kesadaran jati diri dengan
kreativitasnya, yang kemudian akan dapat menambah khasanah budaya.
Kesadaran berbudaya berarti sadar akan warisan budaya yang luhur, adi
luhung dan memberi makna hidup dan kemuliaan pada diri sendiri.
6. Untuk mengatasi arus globalisasi, arus globalisasi mempengaruhi
mental dan prilaku manusia yang belum siap menerima arus. Usaha-
usaha yang dilakukan adalah pengenalan akan jati diri dengan
mendalami ajaran agama melalui pertunjukan wayang. Dengan media
wayang akan mudah memahami nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh
budaya sendiri berakar dari ajaran agama.
69
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Pada bab-bab sebelumnya telah dipaparkan hal-hal mengenai bentuk,
faktor penyebab dan fungsi dari Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas
Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi). Berdasarka uraian
yang dijelaskan pada bab-bab tersebut dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
Hasil penelitian Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang
Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) meliputi: (1) aspek
pertunjukan, (2) penjelasan mengenai wayang, (3) darma pewayangan, (4)
pertunjukan wayang kulit Bali, (5) pertunjukan Wayang Lemah, (6) biografi I
Ketut Kodi dan riwayat kelahiran WB, (7) trobosan baru mengenai wayang kulit.
Bentuk Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali
(Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) meliputi: (1) angga, (2) strutur, dan (3)
aparatus. dalam bab ini juga membahas masalah wacana yang digunakan dalam
pertunjukan WB yaitu: (1) sumber cerita, (2) tandak, (3) lawakan, (4) retorika, dan
(5) teknik teaterikal. Tetikesan meliputi: (1) bentuk dan kiasan, (2) tokoh dan
penokohan.
Fungsi Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali
(Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) meliputi: (1) fungsi estetika, (2) fungsi
kreativitas, (3) fungsi pelestarian dan pengembangan budaya.
Pembahasan mengenai fungsi Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas
Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi), secara langsung
70
membahas permasalahan nomor dua mengenai faktor penyebab Wayang lemah
dijadikan sumber inspirasi kreativitas WB.
Seperti apa yang dijelaskan diatas berkaitan dengan objek penulisan yang
diteliti yaitu WB. Bentuk garapan WB adalah garapan pakeliran inovatif dimana
penggarap mencoba mengembangkan dan mengemas secara rapi antara tradisi
Wayang lemah dengan gerak dalang yang lebih dinamis dengan pencahayaan, dan
beberapa pengolahan bentuk, dialog, vokal, gerak wayang serta iringan.
5.2 Saran-saran
Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi
Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) sebagai kreativitas seorang dalang yang patut di
apresiasi oleh para dalang lainnya. Dewasa ini pertunjukan wayang kulit Bali
sudah mengalami perubahan dari pertunjukan tradisi menjadi pertunjukan wayang
inovatif. Disinilah peranan seniman dalang harus mampu melakukan inovasi dan
kreasi secara dinamis sehingga pertunjukan wayang kulit tidak ditinggalkan oleh
penggemarnya. Mengenai penelitian Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas
Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) yang didiskripsikan
dari segi bentuk, faktor dan fungsinya masih belum sempurna. Maka penulis
mengharapkan bagi peneliti yang lainnya untuk memberikan kritik dan sarannya
agar nantinya penelitian tentang Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas
Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) menjadi lebih
sempurna.
71
DAFTAR PUSTAKA
Bagiarta, I Wayan. 2006. Buku Ajar Sejarah Kebudayaan Indonesia Denpasar:
Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar.
Bandem, I Made dkk. 1981/1982. Wimba Wayang Kulit Ramayana: Ketut Madra.
Denpasar: Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya
klasik/Tradisional dan Baru.
Djelantik, A.A.M. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Denpasar: Sekolah
Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar.
. 2004. Estetika Sebuah Pengantar Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Mudra Jurnal Seni Budaya Volume 11.
Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, UPT Penerbitan 2003.
. 2013. Pedoman Tugas Akhir. Institut Seni Indonesia Denpasar:
Denpasar.
Haryanto, S. 1998 Pratiwimba Adhiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kaplan, David. 2002 Teori Budaya Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kodi, I Ketut. 2009. Ringkasa/Summary WB Denpasar.
Mardana, I Wayan. 2008. “Retorika Dalam Ragam Tutur Pertunjukan” Wayang
Kulit Bali. Denpasar: Universitas Pendidikan Ganesa.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
72
Muada, I Ketut. 2013. Skrip Karya Seni Pakeliran Dalem Sidakarya. Denpasar:
ISI Denpasar.
Mulyono, Sri.1978. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Sebuah Tinjauan
Filosofi, Jakarta: PT. Gunung Agung.
. 1978. Wayang. Asal-usul, filsafat dan masa depannya. PT Gunung
Agung: Jakarta.
Mutiyoso, Bambang, dkk, 2004. Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang.
Surakarta : Citra Etnika.
Pandji, Drs.IG.B.N.dkk. 1987 Ensklopedi Mini Pewayangan Bali Penggalian Seni
Budaya Klasik/Tradisional dan Baru.
Purnamawati, Ni Diah.2005. Tesis Pertunjukan Wayang Cenk-Blonk Lakon Diah
Gagar Mayang Sebuah Pengembangan Budaya Denpasar: Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Rudita, I Made. 20013. Skripsi Tari kayonan Pada Pertunjukan Wayang Kulit
Inovatif Joblar ABG Dalam Lakon Anggada Kunjara Wesi Kajian
Bentuk, Fungsi dan Makna. Institut Seni Indonesia Denpasar:
Denpasar.
Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Parwa Makna dan Dramatiknya Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Sedana, I Nyoman. 2006. Seni Budaya Bali dan India: Komparasi Wayang Bali
dan Tolpavakoothu India. Institut Seni Indonesia Denpasar: Denpasar.
.2002. Kawi Dalang : Creativity in Wayang Theatre A Dissertation
Submitted to the Graduate Faculty of the University of Georgia in
73
Patrial Fulfillment of the Requirements for the Degree. Athens
Georgia.
Sedhawa, Dr. Ida Bagus. 2009. Membangun Budaya Rohani Generasi Muda
Hindu Bali Denpasar: Provinsi Bali.
Seramasara, Drs. I Gusti Ngurah. 2000. Sejarah Seni Pewayangan I Buku Ajar
Denpasar: Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia
Denpasar.
Sudarsana, Drs. I.B Putu. 2000. Ajaran Agama Hindu Uparengga Denpasar:
Percetakan Bali Yayasan Dharma Acarya.
Sudarta, I Gusti Putu dkk. 2009. Wayang. Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan.
Institut Seni Indonesia Denpasar: Denpasar.
Sukerta, I Nyoman. 2009. Buku Ajar Pakeliran Gaya Baku VII. Institut Seni
Indonesia Denpasar: Denpasar.
Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Wicaksana, I Dewa Ketut dan Widnyana, I Kadek. 2009. Buku Ajar Pengetahuan
Pedalangan I dan II Denpasar: Fakultas Seni Pertunjukan, Institut
Seni Indonesia Denpasar.
Wiyanto, Asul.2004. Terampil Bermain Drama Jakarta: PT Grasindo.
74
DAFTAR INFORMAN
Nama : I Ketut Kodi
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Seniman Dalang dan Dosen ISI Denpasar
Alamat : Banjar Mukti Desa Singapadu
Nama : I Made Garsana
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Seniman Dalang
Alamat : Banjar Kedampal Abian Semal Badung
Nama : I Made Kariasa
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Seniman Dalang
Alamat : Banjar Angantaka Badung
75
LAMPIRAN 1 Pakem
Panyacah Parwa
Pirapinten gati kunang ikang kala, duknyan tan hana paran-paran nora candra
naksatra Bayuakasadika. Telas ikanang sangarakalpa byakta, mijil..... Sang Hyang
Pasupati anangun kunang tapa mijil Sang Hyang Panca Mahabhuta pretiwi, apah,
bayu, teja, akasa. Paran ri sapara tingkah ira ri wus sampun jangkep ikanang
astadasa parwa riniket tekap ira Bhagawan Kresnadwipayana. Mijil Sang
Angringgit amolah cara kadi gelap sumusuping rangduning prajamandala. Nijil
Sanghyang Kawisuara Murti amunggel kunang tatwa carita, antyan caritanan ri
kehanan ira Rsi Bhisma lwir ginseng tanpapui tuas ira, riwus karenga Dewi Kunti
katekaning Panca Pandawa pejah tinunuan marikanang jatugraha. Samangkana
pamurwanikanang tatwa carita.
Bisma : Aduh lwir gineseng tanpapui ikanang adnyana disubane kapireng
I cening Panca Pandawa mati puun ditu di gua gala-gala. Ratu
bhatara, rasa tanpa guna yasan titiange sane riin wenten I Pandawa
sane cagerang titiang jaga prasida ngupahayu gumi Astinane, dados
mati tanpa dosa. Nah, ngudiang dadi keto, paling melah Ida I biang
bakal tunasang ditu di tukad ganggane. Singgih hyang ibu, ksama
akna nanak inganika dateng lwir angogah kerti inganika
marikanang tirta kedasar.
Dewi Gangga : Uduh nanak Rsi Bisma prapta, ne kenken cening teka masemita
sedih, neng rawosang sareng ibu.
76
Bisma : Singgih aratu ibu, mula asapunika yan demen mekerti tan wus-
wusan nandang sengsara. Prayojananikang anak gumawe pakon
sirang bapa. Kocap yan bakti kelawan rerama margi lantur
muponin rahayu. Titiang masumpah lakar ngelarang brahmacari
kesaksinin antuk Dewata Nawa Sanga, resing gana, lascarya
nyerahang keagungan ring adin titiang, Citranggada. Citrawirya
sapunika taler panggihin titiang, wenten I pandawa satsat
pancadewata sane andelang titiang jaga ngawinang Astinane
kejanaloka, padem kageseng antuk Hyang Agni rika ring Jatugraha.
Yan asapunika panadosne pacang napi mlajahin tutur agama.
Tatwa susila jaga arahin titiang para janane mangda tunjele lontar-
lontar agamane.
Dewi Gangga : Uduh nanak mas atma jiwa ibunta kita, cening Rsi Bisma, eda
cening sebet, I Pandawa nu idup, iya ada di tengahing alas buka
jani. Ne tuah pasuwecan Sang Hyang Widhi, ngicenin iya jalan
apang maan malajah lawan para Rsine di alase, miwah teken sarwa
pranine apang mateng bekel iyane wekasan dadi ratu, apang cening
percaya, takonin I Arya Widura, iya ane ngaenin jalan mawinan I
Pandawa luput lawan bayapati.
Bisma : Singgih inganika ibu, ksamakna yeki nanak inganika suksma ibu.
Enak mawali ibu maring tirta kedasar.
Narasi : Kweh swara kang giri-giri ri tengahing alas ri kalaning timira.
Warnanan ri mangkana suka cittanira Rsi Bisma wus rumenga
Pandawa kari maurip, antian cinaritanan mangke Sang Pandawa
77
dulur ibunira Dewi Kunti hana maring pantaraning desa Ekacatra
lawan wana Kurubaya.
Tualen : Sarwa angatagin sarwa sinom sarwi anangis ring luhur
Pakerikning sunari ampruang sriyokning cemara, angelur kesanga
luwah warih
Wredah : Akwehing wwang amalu, taluktak lawan jurang suaranya
anarung. Ertalinya kumaroncong nibeng parangan (Wilet
Mayura).
Tualen : Dah!
Wredah : Awake nanang
Tualen : Yan sing tebeg pasuecan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dong ba
blegeran konaa Bhataran nani Sang Pandawa puun di Jatugraha.
Wredah : Siapa tan katemoning ala, masedana sarwa ala. Biakta katemoning
ayu, masedana sarwa ayu. Yen suba pelaksanane patut, sinah bakal
kasuecanin sangkan jalan patute titinin anggon kanti, nanang.
Tualen : Ane kangenin nanang, Ida Bhatari Kunti suba maraga lingsir
kebara-bere iring dini di alase, ya ya ratu dadi kene dadi tepukin
titiang buka jani.
Wredah : Da keto nanang, Sang Pandawa anak maraga luwih, mabukti
pangarawuh Ida di Ekacatra prasida nambanin gumi Ekacatrane
saking pangrabdan I Detya Baka ane suba liwat, tur jani gumine
ditu, aman panjake, suba pada liang tur seleg, nyidang magarapan
tusing ja ada anak bani ngulgul buin. Ratu dewagung sareng sami
ngiring aratu macecingak iriki ring wanane.
78
Tualen : Durusang aratu durusang
Sahadewa : Madria ya lara siuhratanira (bebaturan)
Nakula : Kena de parta len Sang yuyutsu, yayi enak aparek lawan ibu
(bebaturan).
Sahadewa : Namya ranten inganika.
Arjuna : Mulatmara Sang Arjuna asemu kamanusan kaserepan ri
tingkahing musuh ira pada kadang taya wwang waneh
(bebaturan). Tawalen tuwinyan marikanang wana yan sampun
apupul lawan wwang sanak lwir marikanang swaraja.
Tualen : Yadiastun ring tengahing wana, yen sampun sareng ring sametone
sami waluya cokoridewa wenten ring puri Astina malinggih.
Arjuna : Yogya
Tualen : Patut aratu dwagung. Dah.., Ida Sang Bima punduta biang
katekaning rakan Ida sang Darmawangsa. Keto baktin idane.
Wredah : Bengong sajan wake nanang.
Bima : Penganjuraning lumampah sang mangaran Bima surangga kara
(bebaturan). Singgih inganika ibu, menawa inganika lesu enak
mararyan maring sor ikanang wandira.
Kunti : Nanak, ibunta kasatan poma, kita angamet we!
Tualen : Ida I biang kasatan, ngiring aratu dewagung made ngrereh toya!
Bima : Aneda ngiring, enak kaka ibu araryan!
Yudhistira : Yayi, yatna-yatna ta kita!
Bima : Ayua sangsaya kaka. Tualen, Wredah, enak lumampah, ring endi
hana danu, lwah metan ikanang we.
79
Tualen : Ngiring aratu mamarga. Katon kayune majajar-jajar. Kayu pinaka
wayang, akasa pinaka kelir. Dah.., ngulangunin pesan di alase,
Dah..! Dija ya jenaa ada tukad ada yeh?
Wredah : Nanang, dija ada kedis kerekuak, kedis kokokan tuwun, sinah ditu
ada yeh, ento cirine!
Tualen : Wredah.., burone pada masliyuran. Warak, gajah, pada malumba
galaknya.
Binatang-binatang saling menunjukkan kebolehannya, seperti: Singa,
harimau, kijang, dll.
Narasi : Ndatatita prabhu gumanti tujara sang detya kara wisaya
(bebaturan)….tan caritanan kehanan ikanang arya Bima ngulati
ikanang
we antian kawinursita mangke Detya Adimba anganti anten ira
Raksasi Adimbi angulati ikanang mangsa
Delem : Joh kong jangkung merangkung mara kumira kiramoring orang-
aring. Ring kangkung kungpa mangkuk kateleguk arep ring
dungilang ilung kong kuntul kong manungkul milu mulat ring
Melem mamulat wesanya tah wisesan bisu si besi bisan pangeluwi
sisili (bebaturan)
Sangut : Masadewek Lem.
Delem : Magending cai Ngut!
Sangut : lengleng lunglung lumanglang tumulu yalalaya ring sang
kulirangan Cangkak cod cangcinganya kecaka caka calan carcan
cucucud Dontang dok dina ya ngdoh mamedi-medi yatah medi
80
wedi-wedi Daryas minggus kasingkuh milu winijah ajong kampid
tukangakung (bebaturan)
Delem : Sangut, arah ha ha ha liang idep kakane mamarekan dini ngiring
bhataran cai Ida Detya Adimba. Sapamadegan ida dini di alas
kurubayane, jak tusing ada bani liwat. Salingke marupa manusa,
dewa tusing ada bani liwat.
Sangut : Dadi keto Lem?
Delem : ye reh asing ane liwat amaha teken bhataran cai, ye ajenga
Sangut : Keto suba rakus idane, mawinan telah suba tetadahane, bingung
ida jani
Adimba : Delem!
Delem : Titiang
Adimba : Aduh, ngong kaluwen. Kadiang punapa yayi Adimbi? Lama tan
hana prapta angawa tetadahan
Sangut : Dados masue ida I ari tan rawuh, dija jenaa ida ngrereh, yan
amunika rasa tampek boon manusane
Adimba : Yogya! Dimbi ring endi kalaganta. Enggal-enggal mulih, kaka
sampun seduk. Aduh..tan kuasa ngong naenang seduk Delem,
Guludawa, poma alih I adi Adimbi
Delem : Mangda titiang nyerep Ida lari.
Adimba : Yogya!
Delem : Sangut, jalan brangkat Ngut!
Sangut : Jalan Lem!
81
Narasi : Warnanen, ri kakung ira raksasi Adimbi. Wus lumihat sira
Bimasena tan sah sira angreremih
Adimbi : Baan tumben tepuk di jalan, bungsang hati ne ngiwasin, adeg
agung kumis nyempang
Bima : Tualen, dija ada anak luh gending-gending?
Tualen : Anak luh nuduk saang!
Bima : Apa nuduk saang, luh-luhe suba nganggo kompor gas mangke,
mirib ada kafe dekat-dekat sini
Wredah : Nanang, aduh! Anyang-anyangan wake nanang!
Tualen : Aeng ganjih bayun caine, saja jelema truna, tegul tuktukne Dah!
Adimbi : Larasmara olih usadi
Supana kariaurip
Geseng bara api kakung
Bima : Tualen, tulungin aku, cai nyerep ma, aku sing bias maken kenean
Adimbi : Ngiring amunggahing ulam
Tualen : Aaa maan pok!
Wredah : Nanang, wake bang pok, bang pok nanang!
Tualen : Ngoyong malu tolih-tolih gen, baanga cai teori.
Wredah : Nae nang, sing tahan nang
Adimbi : Nunggaling Samara Ratih
Bima : Jlema apa ne tanjal pesan!
Adimbi : Gula madu
Ngemaduang surasa agra (Sinom)
Bima : Geli-geli e e e geli, ah..! cicing kalaganta!
82
Tualen : Sampunang duagung made, keni hukuman KDRT cokoridewa.
Adimbi : Pakulun nari raja tlusakna sih inganika lamakana sida alakirabi
lawan sunu inganika Adimbi (menghadap Dewi Kunti) Yan tan
sida, leheng pejah yeki Dimbi (mengambil keris mau bunuh diri)
Kunti : Dewi, ayua kita mangko tuas kadalurung pejah kadi suwung
ngarania
Tualen : Dewa Diah Dimbi sampunang asapunika mati suwung, mati
ngapung wastane nika
Kunti : Nanak Werkodara, tulus akna weniaken pamintanikanang Dimbi.
Apan katon denirang ibunta jatu karmanta yayateki
Bima : Aku lek ibu lara, catur sanak lara, aku meliyang-liyang, idep aku
aja.
Kunti : Ibunta asung kreta lugraha
Yudhistira : Kakanta asung kreta lugraha juga, tumut rantenta presama.
Bima : Yan sampun mangkana trimakasih presama
Adimbi : Singgih pakulun nare raja, narendra catur Pandawa parama
suksma yayateki patik inganika Dimbi
Kunti Yudhistira : Inghulun asung kreta lugraha.
Adimbi : Kaka enak mangke anglanglang ulangun
Bima : Berbulan madu
Adimbi : Yogya (Mereka berbulan madu di atas bukit, di pantai, di pinggir
sungai)
Narasi : Antyan tan kuasa Adimba anandang lapa, tan sah sira migna
gatinikang wanacala
83
Adimba : Dimbi, ringendi kamu, aduh aduh.
Delem : Sangut, nyag-nyug alase Ngut!
Sangut : Melem, burone makalukan tur makejang dengang, stress betaran
Melem.
Adimba : Delem.., Guludawa.., siapa yayatika acangkrama ri angranikanang
parwata?
Delem : Nyen to ngroman di tuktuk gununge Ngut?
Sangut : Dewagung, Ida I ari ngroman sareng preman
Delem : Ah…, pangseganga, jujukanga, tungginganga, ah eh ah hmm..
Sangut : Lem, Lem, da ilidanga Lem. Lem Lem nah keles
Adimba : Dimbi
Dimbi : Kaka ayua
Adimba : Siapa wwang yayatika? Maman bang nyai ngamah iban nyaine!
Dimbi : Anten ta tresna lawan sira kaka Bima
Adimba : Siapa ? Mr. Bin ?
Dimbi : Tapuan. Bimasena
Adimba : Bima, pejah kalaganta. Tan urungan kita piringan de Dimba
kayamangke mati
Bima : Dimba, enak payu aperang pejah kita mangke
Dimbi : Kaka Bimasena, yatna-yatna inganika. Pakulun nare raja
warahakna lawan kaka Bimasena ring tapak kiwa kawisesan
Adimba
Kunti : Nanak, Bima palu tapaking kiwa Adimba
Bima : Suksma ibu. Dimba mati.
84
Adimba : Aduh.., mati Dimba mangke. Bima, henengakna rumuhun
sadurung ngong pejah. Ngong arep atutur lawan yayi Adimbi.
Aduh, aduh yayi Dimbi. Tan urungan kakanta pejah mangke,
nanging sadurung kakanta pejah rengenakna pawekas-pawekas
kakanta
Delem : Sangut, sing buwungan bhataran cai bakal seda, ya..! ya..! ya..!
Sangut : Nengil Melem, nengil! Bawos bhataran Melem matuturan ring
rain idane, adi Dewi Dimbi, tusing buwungan beli bakal ngalin adi
mati, sakewala sakonden beli mati, padingehang munyin beline
Adimba : Beli suba nawang, adi suba beling. Melahang nyen melihara
beling adine, apang ye dadi putra utama sida bakal ningtingang
naman wangsa kurubayane wekasan. Yen suba ya lekad, adanin
Gatotkaca. Reh bok ya ne jebug tur kriting, suba kelih serahang
gumi kurubayane keratin pringandanine teken I cening.
Adimbi : Kaka, ksamakna ranteninganika, apan titiang ngawenang beli
seda, titiang ngiringang saluir bawos beline.
Adimba : Singgih, singgih inganika nrepa Pandawa. Ampurayang iwang
titiange, titiang mapamit padem sane mangkin. Druwenang
katambetang adin titiange Dimbi. Aduh, pejah sira Dimba.
Kunti : Uduh Dewi Dimbi, dulur nanak Panca Pandawa enak geseng
mangke layon sira detya Dimba.
85
LAMPIRAN 2
1. Bagaimana bentuk WB: dalang I ketut Kodi.
- Bagaimana bentuk WB yang Bapak Ketut Kodi ciptakan?
- Kenapa anda memilih Wayang lemah untuk garapan WB?
- Apa keunggulan dari WB?
- Adakah alat-alat yang dikurangi dan di tambah dalam WB?
- Kenapa dalam pembuka pertunjukan WB anda memakai Kidung
Wargasari?
- Berapa personil garapan WB?
- Apakah dalam WB memakai Blencong?
1. Faktor penyebab berkreativitas.
- Faktor apa yang menyebabkan muncul ide anda untuk menggarap WB?
- Apakah ada dorongan dari luar atau ide anda sendiri?
- Apakah penggarapan WB ada kaitannya dengan keadaan sosial
masyarakat sekarang?
- Adakah faktor-faktor yang lain selain melihat kondisi Wayang lemah
hanya sebagai pelengkap upacara keagamaan?
2. Apa fungsi WB: dalang I Ketut.
- Apa fungsi WB dalam kehidupan sosial masyarakat?
- Apakah WB berfungsi sebagai dalang-dalang yang lain untuk
berkreatifitas?
- Adakah fungsi pelestarian budaya dalam garapan WB?
- Apakah kreativitas WB akan berlanjut atau sampai disini?
86
LAMPIRAN 3
(Gambar 1) Bentuk panggung WB.
(Gambar 2) Dalang melakukan persembahan sebelum pentas.
87
(Gambar 3) Ekspresi Dalang saat menarikan Kayonan.
(Gambar 4) Adegan Begawan Beksakarma menghadap ibunya Dewi Gangga.
89
(Gambar 7) Adegan Pertarungan Bima dengan Detya Dimba.
(Gambar 8) Adegan Pengabenan Detya Dimba setelah kalah perang melawan
Bima.