dalang i ketut kodi) institut s - isi denpasar download

107
WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi) SKRIPSI OLEH : PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010 PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2014

Upload: khangminh22

Post on 09-Jan-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS

WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

SKRIPSI

OLEH :

PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR 2014

WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS

WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

SKRIPSI

OLEH :

PANDE NYOMAN ARTAWA NIM 201003010

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR 2014

ii

WAYANG LEMAH SEBAGAI SUMBER INSPIRASI KREATIVITAS

WAYANG KULIT BALI (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)

MENYETUJUI :

PEMBIMBING I

Drs. I Wayan Mardana, M.Pd NIP. 19541231 198303 1 016

PEMBIMBING II

Dra. Ni Diah Purnamawati, M.Si NIP. 19581128 198503 2 001

iii

Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh panitia Ujian Akhir Sarjana

(S1) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Pada

Hari / Tanggal : Rabu, 14 Mei 2014

Ketua : I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si (……………….) NIP. 19630730 199002 1 001

Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum (……………….) NIP. 19641231 199002 1 040

Dosen Penguji :

1. Dr. I Nyoman Catra, SST., M.A (……………….) NIP. 19541231 197803 1 008

2. Drs. I Wayan Mardana, M.Pd (……………….)

NIP. 19541231 198303 1 016 3. Dra. Ni Diah Purnamawati, M.Si (……………….)

NIP. 19581128 198503 2 001 Disahkan pada tanggal : …………………………………….

Mengetahui :

Fakultas Seni Pertunjukan

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar

Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si NIP. 19630730 199002 1 001

Ketua Jurusan Pedalangan I Kadek Widnyana, SSP., M. Si NIP. 19661227 199203 1 004

iv

ABSTRAK Wayang Betel merupakan sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog. Pada tahun 2010 dengan daya inovasi dan kreasi yang khas, I Ketut Kodi, dalang akademik dari Banjar Mukti, Desa Singapadu kecamatan Sukawati kabupaten Gianyar memunculkan apa yang sampai saat ini di kenal dengan Wayang Betel yaitu sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari wayang lemah atau wayang gedog. Adapun ruang lingkup dari Kajian objek penelitian ini membahas seputar bentuk Wayang Lemah sebagai kreativitas Wayang kulit Bali (studi kasus WayangBetel: Dalang I Ketut Kodi). Sebuah produk seni pertunjukan berdasarkan data kualitatif dalam penelitian ini seperti: lamanya pertunjukan, tahapan-tahapan pertunjukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan WayangBetel ini di bangun oleh dalang I Ketut Kodi, maka kontribusi penelitian ini akan di analisis secara kualitatif. Penerapan metode kualitatif dalam penelitian ini menurut Arikunto (dalam Purnamawati 1989: 201) bertujuan untuk mencari dan menemukan ada atau tidak hubungan antar gejala yang ada. Kalau ada seberapa jauh hubungan itu, disamping berarti tidaknya hubungan itu. Subjeknya diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber: I Ketut Kodi dan berbagai sumber literatur terkait. Sebagai acuan akan menjadikan mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis teks Wayang Betel: dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dalam pertunjukan dilokasi penelitian. Disitulah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut struktur dan bentuk Wayang Betel, kemudian menelusuri fungsi yang terkandung didalamnya lewat dialog, monolog yang muncul dari lakon itu. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian dengan menggunakan tiga teori yaitu: teori estetika, teori kreativitas dan teori fungsional. Metode-metode pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Seluruh data diolah menggunakan tekhnik deskriptif interpretatif. Hasil penelitian ini ditulis menggunakan Pedoman Tugas Akhir pada Program Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar. Hasil penelitian ini membahas tentang Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi) dalam pembahasan ini menguraikan tentang Aspek Pertunjukan Wayang Kulit Bali dan Wayang Betel: Wayang, Darma Pewayangan, Pertunjukan Wayang Kulit Bali, Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran Wayang Betel, Masa Kanak-Kanak, Masa Remaja dan Terobosan Baru Tentang Tayang Tulit. Bentuk Pertunjukan Wayang Betel: Angga, Struktur, Aparatus. Wacana: Sumber Cerita, Tandakan, dan Lawakan. Tetikesan: Bentuk dan Kehasan, Tokoh dan Penokohan. dan Fungsi: Fungsi Estetika, Fungsi Kreativitas dan Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya. Penelitian ini membuktikan bahwa kreativitas mempunyai peranan penting dalam pertunjukan wayang kulit inovatif (Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi). Kata kunci : Wayang Betel Bentuk dan Fungsi

v

Moto:

Emas Walaupun di Lumpur, Tetap Saja Dia Emas

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya dapat tersusun kripsp dengan

judul “Wayang Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali

(Studi Kasus Wayang Betel: Dalang I Ketut Kodi)” tepat pada waktunya. Skripsi

ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan telah disetujui untuk

diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana (S1) pada Program Studi Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan,

Institut Seni Indonesia Denpasar.

Sebagai hamba Tuhan, penulis menyadari akan keterbatasan yang penulis

miliki dan menyadari hakekat menjadi manusia, yang sudah tentu membutuhkan

bantuan dari orang lain. Selesainya penulisan skripsi ini sesungguhnya banyak

memperoleh bantuan, arahan, masukan dan saran-saran berupa dorongan dari

berbagai pihak. Dari kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis mengucapkan

rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak

yang telah membantu. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:

Melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan rasa terima kasih

dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak atas kemurahan hati

membantu penulis, sehingga skripsi ini rampung tepat pada waktunya. Ucapan

terima kasih ini ditujukan kepada :

1. Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., selaku Rektor Institut Seni

Indonesia (ISI) Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis menempuh perkuliahan.

vii

2. Bapak I Wayan Suharta, S.Skar.,M.Si selaku Dekan Fakultas Seni

Pertunjukan dan sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Ujian Tugas Akhir

Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, yang telah memberi motivasi

selama mengikuti perkuliahan dan pada proses tugas akhir.

3. Bapak I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum., selaku Pembantu

Dekan I, yang telah memberi motivasi selama mengikuti peroses

pembelajaran.

4. Ibu Doktor Ni Luh Sustyawati, M.pd selaku pembantu dekan III, yang

telah memberi motivasi selama mengikuti perkuliahan dan pada proses

tugas akhir serta bimbingan moril selama penulis mengikuti perkuliahan

dan kegiatan kampus.

5. Bapak I Kadek Widnyana, SSP., M. Si, selaku Ketua Jurusan Seni

Pedalangan ISI Denpasar, yang telah membantu penulis dalam proses

akademik selama mengikuti perkuliahan.

6. Ibu Ni Komang Sekar Marhaeni, SSP., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan

Seni Pedalangan ISI Denpasar, telah banyak memberikan dorongan

motivasi dan membantu secara akademis selama perkuliahan.

7. Bapak I Made Sidia., SSP, M.Si., selaku Pembimbing Akedemik yang

meluangkan waktunya memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan

hingga menyelesaikan skripsi ini serta bimbingan moril dan spiritualnya

kepada penulis sehingga penulis tetap bersemangat untuk mengikuti

perkuliahan di Jurusan Pedalangan.

viii

8. Bapak Drs. I Wayan Mardana, M.Pd selaku Pembimbing I atas perhatian,

bimbinganya, dan motivasi selama menempuh perkuliahan mengoreksi

dan membenahi tulisan pada skripsi ini.

9. Ibu Dra. Ni Diah Purnamawati., M.Si., selaku Pembimbing II yang telah

banyak memberikan dorongan, motivasi yang sangat berarti bagi penulis,

mengoreksi dan membenahi tulisan pada skripsi ini.

10. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sedana, SSP, M.A., selaku Guru Besar di

Jurusan Pedalangan dan Dosen yang sudah dengan sabar dan meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan semangat dari awal

perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

11. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar di Jurusan Pedalangan berserta

Pegawai Fakultas Seni Pertunjukan yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, bimbingan, pengalaman, motivasi, bantuan, dan arahan

selama awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.

12. Bapak I Ketut Kodi., SSP, M.Si, dosen penulis sekaligus seorang dalang

Wayang Betel atas kesediaannya sebagai informan, penulis ucapkan

terimakasih.

13. Teman-teman di Jurusan Pedalangan dan di Fakultas Seni Pertunjukan

(FSP) ISI Denpasar, atas dukungan dan dorongan spiritual yang diberikan

kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat rampung tepat pada waktu yang

telah ditentukan.

14. Ayah tercinta Pande Ketut Sutrisna dan Ibuku Terkasih Alm. Ni Ketut

Sari yang sudah banyak memberikan bantuan dan dukungan moral serta

spirit kepada penulis selama perkuliahan dan dalam proses penyusunan

ix

karya tulis ini. Tanpa restu dan anugrah kasih sayangnya penulis tidak

akan mampu mencapai semua ini.

Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis diterima sebagai amal

serta mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata,

penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya, dan besar harapan

penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi yang

memerlukannya.

Denpasar, 28 April Mei 2014 Penulis

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN MOTO .................................................................................. iv ABSTRAK ................................................................................................ v KATA PENGANTAR .............................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii DAFTAR FOTO ....................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ....................................................... 6 1. 3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 6 1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................ 7 1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................................. 7 1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................... 8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 8

BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI ........................... 10 2.1 Kajian Sumber .............................................................................. 10 2.2 Landasan Teori ............................................................................. 12 2.2.1 Teori Estetika ...................................................................... 13 2.2.2 Teori Kreativitas .................................................................. 14 2.2.3 Teori Fungsional ................................................................. 15

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 17 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................... 17 3.2 Subjek Penelitian dan Jenis Data ................................................. 18 3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ................. 19 3.3.1 Metode Pengumpulan Data ................................................. 19 3.3.2 Instrumen Penelitian ............................................................ 21 3.4 Metode Deskripsi Data dan Penyajian Hasil Analisis ................... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 26 4.1 Aspek Pertunjukan Wayang........................................ .. ............ 26 4.1.1 Wayang................................................................................ 26

4.1.2 Darma Pewayangan ............................................................ . 28 4.1.3 Pertunjukan Wayang Kulit Bali .......................................... 30 4.1.4 Pertunjukan Wayang Lemah............................................... 31 4.1.5 Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran WB............. 34 4.1.6 Masa Kanak-Kanak............................................................ . 36 4.1.7 Masa Remaja...................................................................... . 37 4.1.8 Terobosan Baru Tentang Wayang Kulit.............................. 37

xi

4.2 Bentuk Pertunjukan WB............................................................. 39 4.2.1 Angga.................................................................................. 39 4.2.1.1 Struktur Pertunjukan............................................... 40 4.2.1.2 Aparatus Pertunjukan........................................... 43 4.3 Wacana....................................................................................... 51 4.3.1 Sumber Cerita................................................................... 51 4.3.2 Tandak.............................................................................. 53 4.3.3 Retorika........................................................................... 54 4.3.4 Teknik Teaterikal.............................................................. 55 4.3.5 Lawakan/Lelucon............................................................. 55 4.4 Tetikesan.................................................................................... 56 4.4.1 Bentuk dan Hiasan............................................................ 56 4.4.2 Tokoh dan Penokohan...................................................... 57 4.4.2.1 Protagonis............................................................. 57 4.4.2.2 Antagonis.............................................................. 57 4.4.2.3 Tokoh Pembantu................................................... 58 4.5 Fungsi......................................................................................... 58 4.5.1 Fungsi Estetika................................................................... 59 4.5.2 Fungsi Kreativitas.............................................................. 61 4.5.3 Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya................ 65 BAB V PENUTUTUP............................................................................... 69 5.1 Simpulan.................................................................................... 70 5.2 Saran-saran................................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 71 DAFTAR INFORMAN ............................................................................ 74 LAMPIRAN 1 ........................................................................................... 75 LAMPIRAN 2 ........................................................................................... 85 LAMPIRAN 3 ........................................................................................... 86

xii

DAFTAR TABEL Tabel 1 Bagan Struktur Pertunjukan WB. ............................................. 41

xiii

GLOSARIUM

Betel : Tembus

Lemah : Siang

Gedog : Kropak

Banjar : Istilah rumah warga di Bali

Kawi dalang : kreativitas dalang

University : Universitas

Wali : Upacara

Kelir : Layar

Blencong : Lampu yang bersumbu

Tukelan : Nama benang

Gender : Alat musik untuk wayang

Dapdap : Nama pohon

WB : Singkatan dari Wayang Betel

Quality : Kwalitas

DVD : Kaset vidio

Doyong : Miring

Royong : Selalu bergerak

Baying : Barang

Madya : Tengah

Amangku : Orang suci

Panglukatan

panyudamalan : Alat Untuk mensucikan

Akekawin : Melagukan

xiv

Wadah : Menara usungan mayat

Ngetisin : Memercikan

Toya : Air

Melaspasin : Menyucikan

Nunas : Meminta

Sesari : Imbalan

Gedebong : Pohon pisang

Ritus : Tata cara upacara keagamaan

Rambat : Nama sebuah alat musik

Ngeseng : Membakar

Bingin : Beringin

Bondres : Lawakan

Tetikesan : Sabet

Paileh : Jalannya

Seledet : Melirik

Tetuwek : Isinya

Pemungkah : Permulaan

Petangkilan : Menghadap

Angkat-angkat : Perjalanan

Papeson : Keluar

Gending : Nyanyian

Alas arum : Nama istilah lagu dalam wayang Bali

Penyacah parwa : Istilah sbelum mulai pertunjukan wayang Bali

Gayor : Hiasan panggung wayang

xv

Pegundeman : Rapat para tokoh

Kropak : Tempat menyimpan wayang

Cepala : Alat yang dipakai untuk memberikan isyarat

Knock down : Buka-tutup

Fleksibel : Lentur

Predana : Perempuan

Upakara : Sarana

Upakara : Persembahan

Gerong : Sinden

Rangon : Tempat pentas

Sport light : Nama lampu

Gamelan : Alat musik Bali

Barungan : Macam-macam benda

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk Panggung WB ........................................................ 87 Gambar 2. Dalang melakukan persembahan sebelum pentas .............. 87 Gambar 3. Ekspresi Dalang saat memainkan kayonan ........................ 88 Gambar 4. Adegan Begawan Beksakarma menghadap ibunya Dewi

Gangga ............................................................................... 88 Gambar 5. Adegan Bima dan Dimbi .................................................... 89 Gambar 6. Dialog Punakawan Tualen dan Merdah ............................. 89 Gambar 7. Adegan Pertarungan Bima dan Detya Dimba .................... 90 Gambar 8. Adegan Pengabenan setelah Detya Dimba kalah perang

melawan Bima .................................................................... 90 Gambar 9. Informan I Ketut Kodi ........................................................ 91

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu unsur dari kebudayaan Indonesia adalah kesenian. Berkesenian

bagi masyarakat Bali, merupakan kegiatan paling menonjol dalam kehidupan

sehari-hari karena kesenian di Bali disamping sebagai hiburan atau tontonan juga

berfungsi sebagai ritual. Kondisi ini menimbulkan tantangan bagi para seniman

untuk mencipta dan terus menerus melakukan kreasi dan inovasi dalam

menciptakan bentuk untuk mencari nuansa baru.

Tumbuh suburnya kegiatan berkesenian Bali disebabkan oleh dorongan

yang kuat masyarakat Bali yang sebagian besar menganut Agama Hindu. Agama

Hindu memiliki unsur-unsur rasional, ritual, dan kepercayaan. Kegiatan

berkesenian Bali ini, didalam pelaksanaannya sering dijadikan sebagai drama

ritual dan sebagai persembahan kepada Tuhan. Kegiatan ini dapat menjadi sarana

untuk memperkuat rasa bhakti kepada Tuhan. Berbagai jenis kesenian Bali

tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Bali, seperti: arja, gambuh, topeng,

seni tari, seni bertembang, janger, wayang kulit dan sebagainya. Karena

dimantapkan dan dipelihara melalui dukungan sistem sosial yang berintikan

lembaga-lembaga tradisional. Lembaga-lembaga tersebut, seperti: desa adat,

banjar, subak dan berbagai jenis sekaa (organisasi profesi) sebagaimana

diungkapkan oleh Rudita (2013: 1).

Ditengah-tengah maraknya pertumbuhan apresiasi masyarakat terhadap

kesenian, salah satu seni pertunjukan yang masih tetap eksis hingga saat ini adalah

Wayang Kulit. Dewasa ini, seni pertunjukan Wayang Kulit Bali mengalami

2

perkembangan yang sangat mengembirakan, baik secara kuantitas maupun

kualitas. Secara kuantitas, kemajuan seni pertunjukan Wayang Kulit Bali dapat

dilihat dalam beberapa aspek penting seperti jumblah dalang, jumlah aktivitas atau

kegiatannya, jumlah penonton dan jumlah jenis wayang yang ada di Bali. Secara

kualitas pertunjukan Wayang Kulit Bali sebagai kesenian tradisional,

keberadaannya sangat diharapkan ditengah masyarakat, terutama berkaitan

dengan upacara ritual keagamaan. Satu sisi pertunjukan wayang mampu menjadi

media “tuntunan” atau pembelajaran bagi masyarakat, sementara disisi yang lain

pertunjukan wayang diharapkan mampu menjadi media “tontonan” atau media

hiburan bagi masyarakat.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang kulit tetap bertahan dan eksis di

zaman globalisasi ini karena wayang merupakan sebuah kesenian yang kaya

dengan kreativitas dan kreasi senimannya. Kreativitas dalang merupakan sesuatu

yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesenian wayang. Kreativitas

dalang juga merupakan suatu kekayaan seni yang lain daripada yang lain. Dalam

disertasinya yang berjudul Kawi Dalang:Creativity in Wayang Theatre yang

diajukan di University of Georgia, USA, tahun (2002: 2) Sedana menjelaskan

bahwa:

“This creative element is known as kawi dalang, which means the creativity (kawi) of the puppet master (dalang). The kawi dalang is not only crucial in perpetuating the genre, but it also allows each production to be distinct and unique, even though the dalang may perform the same story over and over again. Kawi dalang demands that each performance change in accordance with the fluctuating place-time-circumstances (desakala-patra). To a dalang artist, like myself, this element is both interesting and challenging, for it demands the creative response of the dalang puppeteer to any performance situation. Thus, kawi dalang is a term in the Balinese traditional theater that solely deals with the dalang’s creativity and improvisation in his/her performance. Kawi refers to two different things: an action of aesthetic creation and the name of a language. With reference to the action of aesthetic

3

creation, kawi means creation, improvisation, invention, or modification.” (2002: 2) yang artinya dalam bahasa indonesia seperti di bawah ini:

“Elemen kreatif ini dikenal sebagai kawi dalang, yang berarti kreativitas (kawi) dari seorang puppet master (dalang). Kawi Dalang tidak hanya krusial untuk mengekalkan gaya pertunjukan, tetapi ia juga memperbolehkan setiap produksi untuk menjadi berbeda dan unik, sekalipun Sang Dalang mungkin mempertunjukkan cerita yang sama terus menerus. Kawi dalang menuntut agar setiap pertunjukan berubah berkenaan dengan berubahnya tempat-waktu-keadaan (desa-kala-patra). Bagi seorang seniman dalang, seperti saya, elemen ini menarik sekaligus menantang, untuk tuntutan ini respon kreatif dari Dalang diperlukan dalam berbagai situasi pertunjukan. Sehingga, Kawi Dalang adalah sebuah istilah dalam theater tradisional Bali yang semata-mata diuraikan dengan creativitas dalang dan improfisasi dalam pertunjukannya. Kawi merujuk pada dua hal berbeda: sebuah aksi dari kreasi estetis dan nama dari sebuah bahasa. Dengan referensi untuk sebuah aksi dari kreasi estetis, kawi berarti kreasi, improfisasi, penemuan, atau modifikasi.”

Hal-hal sebagaimana diungkapkan Sedana di depan, secara kualitas dapat

dideteksi dari peningkatan mutu dalang, penonton dan pertunjukannya. Sebagai

sebuah seni pertunjukan tradisional, pertunjukan wayang kulit di Bali dapat

dibedakan menjadi dua jenis pertunjukan yaitu, Wayang Peteng dan Wayang

Lemah. Wayang Peteng adalah wayang yang dipentaskan pada malam hari.

Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang yang diadakan pada siang hari. Sesuai

dengan namanya, wayang lemah, bahwa lemah berarti siang atau terang (Kamus

Bali-Indonesia dalam Purnamawati, 2005: 67).

Kalau dilihat dari fungsinya pertunjukan wayang kulit termasuk kesenian

pelengkap upacara keagamaan (Wali) dalam rangkaian mengiringi Panca Yadnya

(Dewa Yadnyda, Bhuta Yadnya, dan Rsi Yadnya) (Kawen dalam Purnamawati,

2005: 68). Di beberapa tempat disebut juga dengan Wayang Gedog. Wayang ini

dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan Lampu Blencong. Dalam

memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas

benang putih (Benang Tukelan). sepanjang sekitar setengah sampai satu meter

yang diikat pada batang kayu Dapdap yang dipancangkan pada batang pisang

4

dikedua sisi dalang. Gamelan pengiringnya adalah gender-wayang yang berlaras

slendro (lima nada). Wayang upacara ini pementasannya sangat tergantung pada

waktu pelaksanaan upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat

dipentaskan pada siang hari, sore hari, maupun malam hari. Pendukung

pertunjukan ini yang paling kecil, 3 sampai 5 orang yang terdiri dari seorang

dalang dan satu atau dua opasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian

upacara, pertunjukan Wayang Lemah biasanya mengambil tempat disekitar tempat

upacara dengan tidak mempergunakan panggung khusus. Lakon yang dibawakan

pada umumny bersumber pada cerita Mahabarata yang disesuaikan dengan jenis

dan tingkat upacara yang diiringinya. Jangka waktu pementasan Wayang Lemah

pada umumnya singkat, sekitar 1-2 jam.

Untuk memberikan sentuhan lain terhadap minat para penonton Wayang

Lemah, agar tidak merasa jenuh, monoton, maka salah seorang dalang yaitu I

Ketut Kodi memberanikan diri melakukan inovasi dan kreativitas melalui pola

Wayang Lemah, menghasilkan produk baru yang bersifat tontonan atau hiburan.

Menurut I Ketut Kodi, kreativitas seni pewayangan atau pedalangan kini sudah

saatnya memikirkan optimalisasi wayang dan seniman dalang dalam berbagai

ungkapan artistiknya yang belakangan ini sering direduksi hanya sebagai pembaca

naskah pertunjukan. Sebagai seniman dalang mempunyai beberapa peranan vital,

yakni sebagai penyusun lakon, sebagai sutradara, sebagai narator atau pembawa

cerita, sebagai penyanyi, sebagai pemain wayang, sebagai pelawak dan

penceramah yang istimewa dan paling dekat dengan mayoritas masyarakat.

(wawancara, senin tgl 24 febuari 2014).

5

Berkenaan dengan wawancara yang penulis lakukan tersebut diatas, maka

muncul keinginan penulis sebagai peneliti untuk mengajak masyarakat mengenal

lebih jauh perkembangan Wayang Lemah di Bali. Kebanyakan masyarakat

mengetahui bahwa Wayang Lemah hanya dipentaskan pada saat adanya upacara

keagamaan di Bali. Namun, belakangan ini Wayang Lemah yang sering kita lihat

atau kita tonton didalam suatu upacara keagamaan isa dijadikan suatu acuan

dalam penciptaan suatu karya Inovasi. Seperti apa yang telah dilakukan oleh

seorang dalang, I Ketut Kodi. Beliau menciptakan Wayang Betel dengan

menggabungkan berbagai elemen, menjadikannya suatu garapan inovasi.

Wayang Betel merupakan sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi

dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog. Pada tahun 2010 dengan daya inovasi

dan kreasi yang khas, I Ketut Kodi, dalang akademik dari Banjar Mukti, Desa

Singapadu kecamatan Sukawati kabupaten Gianyar memunculkan apa yang

sampai saat ini di kenal dengan Wayang Betel yaitu sebuah garapan pewayangan

yang terinspirasi dari Wayang Lemah atau Wayang Gedog.

Saat usulan penelitian ini ditulis (2014) Wayang Betel (selanjutnya ditulis

WB) sangat digemari oleh penonton, hal ini terjadi karena WB telah berasil pentas

di sejumlah tempat seperti dalam Pesta Kesenian Bali tahun 2010, dan gedung

Candra Metu ISI Denpasar sebagai pemenang dana DIVA ISI Denpasar. Dari

sekian kali pementasan dijadikan objek dalam penelitian ini, di tinjau dari bentuk

dan kreativitas wayang kulit Bali.

Alasan peneliti memilih WB sebagai kasus analisis dalam penelitian ini

ada tiga alasan yang dapat dikemukanan yaitu;

6

1) WB muncul dengan fenomena baru, terutama dalam pertunjukan

Wayang Lemah.

2) Pementasan WB yang unik karena munculnya mengalami perubahan

lewat kreativitas dalang.

3) Sepanjang pengetahuan peneliti WB belum pernah ada yang meneliti.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas atas maka dapat dirumuskan ke

dalam dua masalah penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana bentuk WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi

kreativitas Wayang Kulit Bali ?

2) Faktor apa yang menyebabkan Wayang Lemah dijadikan sumber inspirasi

kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi ?

3) Apa fungsi WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber inspirasi kreativitas

Wayang Kulit Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Wayang Lemah

sebagai Sumber inspirasi wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut

Kodi) karena dalam pertunjukan WB memberikan inspirasi bagi masyarakat

umum, bahwa Wayang Lemah yang biasanya dipentaskan dalam suatu upacara

keagamaan di Bali dapat dijadikan sebagai acuan seni pertunjukan wayang yang

bersifat hiburan atau tontonan.

7

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan mencari relevansi teori-teori kreativitas dengan pakta

empiris dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali, Dalang I Ketut Kodi dengan

memperhatikan, bentuk, faktor yang mendorong dan fungsi sosial serta budaya

masyarakat Bali tujuan dilaksanakan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut;

1. untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk WB: Dalang I Ketut Kodi

sebagai sumber inspirasi Wayang Kulit Bali.

2. untuk mendepkripsikan faktor-faktor yang menyebabkan Wayang Lemah

dijadikan sumber inpsirasi kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi.

3. untuk mendepkripsikan fungsi WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai sumber

inspirasi kreativitas Wayang Kulit Bali.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Mengenai manfaat dari penelitian ini, penulis akan menjabarkannya

sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat dijadikan salah satu sumber infomasi secara ilmiah tentang kajian

diskripsi dalam pertunjukan wayang kulit Bali.

2. Dapat menambah referensi hasil-hasil penelitian khususnya tentang

Wayang Lemah sebagai sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali

(studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi).

3. Dapat dijadikan bahan infomasi bagi para peneliti yang hendak melakukan

penelitian ilmiah mengenai wayang kulit Bali.

8

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan

teori kreativitas, khususnya teori kreativitas yang berkaitan dengan bentuk WB

dalam seni pertunjukan wayang kulit. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan

sebagai salah satu sumber informasi bagi para peneliti yang berminat meneliti

aspek kreativitas dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali.

1.4.2 Manfaat Praktis

- Meningkatkan wawasan masyarakat penikmat seni pertunjukan wayang

kulit Bali bahwa, telah terjadi kreativitas dalam pertunjukan Wayang

Lemah.

- Dapat menggugah minat dan bakat para calon peneliti untuk melakukan

penelitian tentang Wayang Lemah sebagai sumber inspirasi kreativitas

wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) dari pemikiran

yang berbeda.

- Membuka wawasan berpikir para dalang wayang kulit Bali bahwa Wayang

Lemah yang sering dikaitkan dalam suatu upacara keagamaan di Bali dapat

dijadikan sumber inspirasi untuk berkreativitas.

- Sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan (pemerintah), baik

Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam menyusun program pembangunan

di bidang kebudayaan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menafsirkan objek kajian

penelitian dan mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang penulis

miliki maka, adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

9

1) Kajian objek penelitian ini membahas seputar bentuk Wayang Lemah

sebagai kreativitas Wayang kulit Bali (studi kasus WB: Dalang I Ketut

Kodi).

Sebuah produk seni pertunjukan berdasarkan data kualitatif dalam

penelitian ini misalnya seperti: lamanya pertunjukan, tahapan-tahapan

pertunjukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan WB ini di bangun oleh

dalang I Ketut Kodi, maka kontribusi penelitian ini akan di analisis secara

kualitatif. Penerapan metode kualitatif dalam penelitian ini menurut

Arikunto (dalam Purnamawati 1989: 201) bertujuan untuk mencari dan

menemukan ada atau tidak hubungan antar gejala yang ada. Kalau ada

seberapa jauh hubungan itu, disamping berarti tidaknya hubungan itu.

2) Subjeknya diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber: I Ketut

Kodi dan berbagai sumber literatur terkait. Sebagai acuan akan menjadikan

mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis teks WB:

Dalang I Ketut Kodi yang didiskripsikan dalam pertunjukan dilokasi

penelitian. Disitulah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut

struktur dan bentuk WB, kemudian menelusuri fungsi yang terkandung

didalamnya lewat dialog, monolog yang muncul dari lakon itu.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini digunakan berbagai sumber-sumber pustaka atau

buku-buku sebagai sarana pendukung untuk dijadikan pedoman dan acuan dalam

menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

Menurut Mulyono (1978: 263) dalam bukunya yang berjudul ‘Wayang’

disebutkan bahwa, pertunjukan wayang itu seluruhnya menurut zaman kuna dan

adat ini dipertahankan sedemikian setianya, sehingga sampai sekarangpun

pembaharuan-pembaharuan yang dicobanya pada pertunjukan wayang dilihat oleh

“orang jawa” dengan kecurigaan dan sedapat mungkin ditolak.

Penelitian yang berjudul Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur

Dramatiknya oleh Soediro Satoto tahun 1985 yang diterbitkan oleh proyek

penelitian dan pengkajian Kebudayaan Nusantara (javanologi), Direktorat jeneral

Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam penelitian ini

dianalisis struktur dramatik dan makna lakon wayang Purwa ( Jawa ) “Banjaran

Karna” dan “Karna tanding” yang dipentaskan oleh Ki Narto Sabdo. Penelitian

ini terkait dengan pendeskripsian ketika mengkaji masalah bentuk pertunjukan

WB.

A.A.M. Djelantik dalam buku yang berjudul, Estetika Instrumental:

Pengantar Dasar Ilmu Estetika. Buku ini, membahas tentang aspek-aspek yang

mendasar yang terdapat pada benda atau peristiwa kesenian, dijelaskan terdapat

tiga aspek, yakni: (1) wujud, (2) bobot, dan (3) penampilan. Pertama, wujud

11

memiliki dua unsur, yaitu bentuk dan struktur. Kedua, bobot memiliki tiga unsur,

yaitu suasana, gagasan, dan pesan. Ketiga, penampilan memiliki tiga unsur, yaitu

bakat, ketrampilan dan sarana. Buku ini, memberikan acuan dalam menentukan

konsep garap, dan dalam tata penyajian di atas pentas.

Darsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira (2002: 98) dalam

bukunya berjudul Pengantar Estetika mengungkapkan, bahwa suatu pertunjukan

dibangun dengan pondasi estetika baik dari segi wujud, bobot, dan

penampilannya, merupakan satu-satunya yang sangat komplit dan membangun

kesan indah, sehingga pertunjukan menjadi menarik untuk ditonton dan dinikmati,

yang mampu meninggalkan kesan mendalam bagi para penikmatnya. Pernyataan

Djelantik dan Darsono ini sangat penting artinya ketika membahas tentang

estetika karena pertunjukan WB sarat dengan kreativitas dalang.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang kulit tetap bertahan dan eksis di

zaman globalisasi ini karena wayang merupakan sebuah kesenian yang kaya

dengan kreativitas dan kreasi senimannya. Kreativitas dalang merupakan sesuatu

yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesenian wayang. Kreativitas

dalang juga merupakan suatu kekayaan seni yang lain daripada yang lain. Dalam

disertasinya yang berjudul Kawi Dalang:Creativity in Wayang Theatre yang

diajukan di University of Georgia, USA, Sedana (2002: 2).

Menurut Mardana (2008: 5) dalam tesisnya yang berjudul “Retorika

Dalam Ragam Tutur Pertunjukan Wayang Kulit Bali” mengungkapkan bahwa

dalam pertunjukan wayang kulit, kemampuan beretorika dari seorang dalang

memiliki peranan yang sangat sentral, karena kemampuan beretorika itulah yang

menjadikan suatu pertunjukan wayang kulit menjadi menarik dan komunikatif.

12

Umumnya pertunjukan wayang kulit akan terasa menarik apabila dalangnya

memiliki kemampuan beretorika yang memadai. Tanpa memiliki kemampuan

beretorika yang memadai dari dalang, suatu pertunjukan akan terasa

membosankan dan ditinggalkan oleh penontonnya. Pandangan Mardana dan

Sedana diatas sama-sama menekankan bahwa ada semacam benang merah agar

seorang dalang harus memiliki kemampuan berkreativitas dan berdialog dengan

baik agar tidak ditinggalkan penonton.

Dalam sebuah garapan pakeliran akan menyangkut dua aspek yaitu aspek

teaterikal dan aspek dramatikal. Yang dimaksud dengan aspek teaterikal disini

adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pendukung pertunjukan seperti,

iringan, kelir, wayang, damar, panggung, keropak, cepala dan lain-lain.

Sedangkan aspek dramatikal adalah suatu yang berkaitan dengan pertunjukan itu

sendiri, seperti lakon, dialog, tetikesan dan lain-lainnya.(Sukerta, 2009: 2) Buku

ajar: pakeliran gaya baku VII. Ketika mengupas masalah struktur dan fungsi

dalam penelitian ini, maka pandangan Sukerta diatas pasti banyak kegunaanya

dalam mendukung penelitian WB ini.

2.2 Landasan Teori

Teori mempunyai fungsi yang sangat penting dalam penelitian ilmiah yaitu

sebagai alat untuk membedah permasalahan. Mark dan Godson (dalam Rudita,

2013: 18) menyatakan bahwa teori adalah aturan untuk menjelaskan proposisi

atau seperangkat proposisi yang terkait dengan beberapa fenomena alamiah dan

terdiri atas represetasi simbolik dari: (1) hubungan-hubungan yang diamati

diantara kejadian-kejadian yang diukur: (2) mekanisme atau struktur yang diduga

mendasari hubungan-hubungan itu: (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan

13

serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data yang diamati tanpa adanya

manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama teori estetika

untuk menganalisis dan mengkaji bentuk Wayang Lemah Sebagai kreativitas

Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) dari segi bentuk,

bobot atau isi dan penampilan dalam penyajiannya. Teori kedua adalah teori

kreativitas untuk menganalisis daripada dasar-dasar kreatif atau kreasi seorang

dalang dalam mengkemas suatu pertunjukan wayang kulit Bali yaitu Wayang

Lemah dijadikan acuan dalam berkreativitas sehingga muncul seni baru dalam

pertunjukan wayang kulit Bali. Sedangkan teori yang ketiga adalah teori funsional

untuk menganalisis struktur dan bentuk Wayang Lemah Sebagai Kreativitas

Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) maupun menganalisis

hubungan dan keterkaitan secara fungsional antara Wayang Lemah dan kreativitas

WB.

2.2.1 Teori Estetika

Teori Estetika menurut Djelantik (2004 : 15) bahwa semua benda atau

peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar yakni: wujud atau rupa,

bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian. Wujud mempunyai arti lebih luas

dari pada rupa yang lazim dipakai dalam kata seni rupa atau semisal dalam

kalimat batu itu mempunyai rupa seperti burung. Bobot adalah isi dari suatu

barang kesenian bukan hanya yang dilihat belaka tapi juga meliputi apa yang bisa

dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Salah seorang

pelopor teori estetika adalah Gustav Theodor Fechner (dalam Diah, 2004: 36)

14

berusaha menemukan kaidah-kaidah atau dalil-dalil mengapa orang lebih

menghargai sesuatu hal tertentu yang indah dan kurang menyukai yang lainnya.

Pandangan-pandangan diatas tentang estetika sejalan dengan pendapat

Mudji Sutrisno dan Christ Verhsak (dalam Purnamawati 2004: 36-37) dalam

bukunya Estetika: Filsafat Keindahan, yakni mengemukakan tiga pandangan

mengenai estetika atau keindahan, yaitu (1) keindahan berdasarkan keseimbangan,

(2) keindahan sebagai jalan menuju kontemplasi, dan (3) keindahan sebagai

pengalaman aposteriori dan empiris manusia. Teori ini digunakan untuk

membahas bentuk WB pada pertunjukan wayang kulit Bali, terutama

menganalisis tentang keindahan yang dimunculkan karena WB merupakan sebuah

produk karya seni.

Relevansi teori ini terhadap kedua rumusan masalah tersebut diatas dapat

digunakan untuk mengkaji bentuk dan fungsi pertunjukan Wayang Parwa dengan

lakon Gugurnya Detya Dimba oleh Dalang I Ketut Kodi. Bentuk dan struktur

pertunjukan wayang dari awal hingga akhir akan dapat dikaji berdasarkan konsep

estetika dan metode artistik sebagaimana yang diatur dalam koridor teori estetika.

2.2.2 Teori Kreativitas

Dalam buku “Kreativitas Sepanjang Masa Munandar” (1988: 1)

menjelaskan bahwa akhir-akhir ini kata kreativitas seringkali digunakan baik

dalam media masa, dalam percakapan sehari-hari, dalam kreativitas lebih mudah

penggunaannya daripada dalam perumusannya. Kalau kita minta pada orang-

orang, para hadirin atau peserta seminar dan pertemuan lainnya untuk

merumuskan pengertian kreativitas maka banyak yang mengalami kesulitan untuk

15

memberi batasan yang menurut mereka tepat. Kemungkinan hal ini disebabkan

disebabkan antara lain karena luas dan majemuknya konsep kreativitas.

Kreativitas menyangkut penemuan sesuatu yang “seni”nya belum pernah

terwujud sebelumnya. Apa yang dimaksudkan dengan “seni”nya tidak mudah

ditangkap, karena ini menyangkut sesuatu yang prinsipil, dan konseptual. Yang

dimaksudkan bukanlah hanya “wujud” yang baru, tetapi adanya pembaharuan

dalam konsep-konsep estetikanya sendiri, atau penemuan konsep yang baru sama

sekali. (Djelantik, 2004: 67). Teori ini digunakan untuk membahas kreativitas

WB: Dalang I Ketut Kodi dalam pertunjukan wayang kulit Bali, sehingga

menghasilkan produksi baru.

2.2.3 Teori Fungsional

David Kaplan (2002: 76) mengatakan bahwa dalam salah satu bentuknya,

fungsionalisme adalah penekanan dominan pada studi antropologi khususnya

penelitian etnografis, selama dasawarsa silam. (Sudah barang tentu menonjolnya

fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan

hal kebetulan). Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi

suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodelogis bahwa

kita harus mengekplorasi ciri sistemik bukan daya. Artinya, kita harus mengetahui

bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu

masyarakat sehingga membudaya suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain

ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan

tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis. Teori ini

digunakan untuk membahas kreativitas dan keterkaitan secara fungsional antara

16

bentuk pertunjukan, lakon, plot dan karakter atau tokoh dalam WB: Dalang I

Ketut Kodi Dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali.

17

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti menyajikan paparan yang berhubungan dengan

metode penelitian yang telah diadopsi dalam penelitian ini. Bab ini mencakup

paparan mengenai (1) rancangan penelitian, (2) populasi sampel, (3) instrumen

penelitian (4) pengumpulan data, dan (5) deskripsi data.

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif

untuk mendapatkan data yang nyata dan alamiah, tentang Wayang Lemah yang

dijadikan sumber inspirasi kreativitas wayang kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang

I Ketut Kodi). Penelitian kualitatif menurut Satori (dalam Rudita, 2002: 22)

adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari

sifat suatu barang atau jasa. Hal terpenting dari suatu barang atau jasa berupa

kejadian/fenomena/gejala sosial adalah makna dibalik kejadian tersebut yang

dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori. Jangan

sampai sesuatu yang berharga tersebut berlalu bersama waktu tanpa meninggalkan

manfaat. Penelitian kualitatif dapat didesain untuk memberikan sumbangannya

terhadap teori, praktis, kebijakan, masalah-masalah sosial dan tindakan. Penelitian

kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah tingkah

laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan.

Mekanisme kerja penelitian ini adalah menganalisis teks WB: Dalang I

Ketut Kodi yang didiskripsikan dari pertunjukan yang berupa DVD. Dalam

penelitian ini dirancang diskriptif kualitatif dalam bentuk studi kasus. Karena itu,

18

data-data diperoleh berhubungan dengan kreativitas dari seorang dalang selama

pertunjukan berlangsung. Jadi penelitian ini dilaksanakan pada latar pertunjukan

Wayang Kulit Bali yang berlangsung secara alamiah, sedangkan sumber data

penelitian adalah kreativitas Dalang I Ketut Kodi.

3.2 Subjek Penelitian dan Jenis Data

Kajian ini difokuskan pada Wayang Lemah sebagai Sumber inspirasi

kreativitas Wayang Kulit Bali Dalang I Ketut Kodi. Hal ini berarti penelitian yang

dilaksanakan berhubungan dengan perilaku verbal dalam kreativitas sang dalang

selama pertunjukan Wayang Kulit Bali. Dengan demikian yang menjadi sumber

data penelitian ini adalah pertunjukan WB: Dalang I Ketut Kodi sebagai subjek

penelitian. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Mardana, 1992: 54) mengatakan

data penelitian kualitatif mencakup materi atau bahan mentah (rough materials)

yang dikumpulkan dari lapangan penelitian: data-data tersebut merupakan materi

atau bahan khusus (particulars) yang dianalisis dan dimanfaatkan untuk

menjawab masalah penelitian. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif

yang berupa data verbal yang dikumpulkan menggunakan teknik rekam,

observasi, dan wawancara. Jenis data yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Data yang berupa kreativitas Dalang I Ketut Kodi yang digunakan dalam

pertunjukan WB yang didapatkan melalui hasil rekaman berupa DVD;

2) Dokumen atau naskah yang berhubungan dengan perilaku, situasi, dan

peristiwa sesuai dengan cakupan penelitian ini yang didapatkan melalui

metode observasi;

3) Data yang berupa kreativitas, wawancara dengan dalang I Ketut Kodi;

19

Data (1), (2), dan (3) didiskripsikan dan di manfaatkan untuk menjawab

semua rumusan masalah penelitian ini.

3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Dengan mempertimbangkan sumber data, subjek penelitian, dan jenis data

yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam metode

pengumpulan data serta instrumen penelitian. Secara rinci, ketiga macam metode

pengumpulan data dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dijelaskan sebagai berikut.

3.3.1 Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber, jenis, dan karakteristik data yang diperlukan dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam metode pengumpulan data,

yakni: metode rekam dengan rekaman audio-vidio (audio-vidio rekording),

metode observasi tak langsung (indirect observation), dan metode wawancara

(interview). Pemanfaatan ketiga macam metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Metode rekam

Metode rekam adalah metode pengumpulan data yang dimanfaatkan

dengan melakukan perekaman audio-vidio (audio-vidio recording) yang

dilakukan terhadap kreativitas dalang I Ketut Kodi dalam pertunjukan wayang

kulit Bali WB. Hasil perekaman selanjutnya didokumentasikan dalam bentuk

DVD. Secara khusus perekaman audio-vidio dilakukan ketika dalang I Ketut Kodi

mementaskan wayang kulit Bali WB. Di gedung Candra Metu Institut Seni

Indonesia Denpasar tgl 20 Januari 2010, hasil rekaman tersebut berupa 1 keping

DVD dengan masa putar keseluruhan 73 menit 01 detik. Metode rekam ini

20

dimanfaatkan untuk mendapatkan data yang dapat memberikan gambaran secara

lengkap dan menyeluruh mengenai kreativitas Wayang Lemah Sebagai Sumber

Inspirasi Wayang Kulit Bali. (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi)

berlangsung.

2) Metode Observasi

Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi tidak

langsung (inderect observastion) yakni teknik pengumpulan data di mana

penyelidikan mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subjek yang

diselidiki dengan perantaraan sebuah alat, baik alat yang sudah ada (yang semula

tidak khusus dibuat untuk keperluan tersebut), maupun sengaja dibuat untuk

keperluan yang khusus itu (Surakhmad 1990: 162). Pelaksanaannya dapat

berlangsung di dalam situasi yang sebenarnya maupun di dalam situasi buatan.

Metode ini dimanfaatkan untuk melakukan pengamatan terhadap hasil

perekaman audio-vidio yang telah didokumentasikan dalam bentuk DVD, bukan

pengamatan terhadap pertunjukan Wayang kulit Bali WB oleh Dalang I Ketut

Kodi di atas panggung, sehingga observasi yang dilakukan ini termasuk observasi

tak langsung.melalui observasi terhadap hasil perekaman audio-vidio, peneliti

melakukan pencatatan hal-hal penting seperti teknik penyajian dan Wayang

Lemah Sebagai Sumber Inspirasi Wayang Kulit Bali Dalang I Ketut Kodi. Di sini

peneliti mengamati dan mencatat hal-hal yang penting dari hasil rekaman itu

sendiri. Dengan menyaksikan hasil rekaman itu secara berulang-ulang serta

pencatatan ini digunakan sebagai data pendukung untuk menjawab rumusan

masalah diatas.

21

3) Metode wawancara

Metode wawancara digunakan untuk memperoleh penjelasan dari subjek

penelitian tentang kreativitas Wayang Lemah dijadikan acuan dalam kreativitas

Wayang Kulit Bali WB, untuk mengetahui faktor penyebab dan fungsinya sebagai

bahan yang dapat mendukung pembahasan rumusan masalah kedua dan ketiga.

Karena itu, model wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi

terstruktur dan terbuka. Alasan menggunakan model wawancara ini karena

peneliti ingin menemukan penjelasan atau gambaran yang lebih dalam tentang

temuan-temuan tertentu yang teridentifikasi dalam transkripsi data dan proses

kreativitas pengembangan dari Wayang Lemah ke WB Dengan demikian , peneliti

akan menyiapkan pedoman wawancara setelah melakukan identifikasi atas

temuan-temuan penelitian. Disamping itu, pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman

wawancara akan berkembang bergantung pada situasi saat wawancara

berlangsung atau berupa pertanyaan pendalaman. Pelaksanaan wawancara akan

berlangsung secara fleksibel bergantung pada ketersediaan waktu subjek

penelitian. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan I Ketut Kodi

sebagai dalang WB secara lisan pada hari Jumat 28 Februari 2014. Wawancara ini

ditulis dan direkam dengan perekam catatan suara HP Blackberry. Dalam

penelitian ini Kodi sebagai dalang WB, sebagai informan utama dan informan

lainnya sebagai tambahan.

3.3.2 Instrumen Penelitian

Berdasarkan metode yang digunakan dalam pengumpulan data, instrumen

penelitian yang dipersiapkan dan dipakai dalam penelitian ini disesuaikan dengan

karakteristik metode pengumpulan data yang digunakan. Instrumen penelitian

22

yang dipersiapkan dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pengumpulan data

sesuai dengan karakteristik masing-masing metode. Dalam penelitian ini, peneliti

memanfaatkan dua macam instrumen penelitian. Kedua instrumen yang dimaksud

adalah:

1) Kartu Data

Kartu data sebagai instrumen penelitian dimanfaatkan untuk mengamati

rekaman berupa 1 keping DVD dengan masa putar 73 menit 01 detik. Penayangan

hasil rekaman DVD merk Polytron ditayangkan di layar televisi merk Polytron,

mencatat hal-hal yang menarik perhatian dan dianggap penting selama kegiatan

observasi dilakukan, seperti aktivitas verbal tertentu, gerakan-gerakan dalang

yang mendukung aktivitas verbalnya, situasi, dan peristiwa yang diamati,

dirasakan dan didengar. Catatan-catatan hasil observasi dijadikan sebagai data

pendukung untuk menganalisis dan mendeskripsikan proses membangun

kreativitas oleh dalang guna menjawab rumusan masalah kedua.

2) Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara sebagai instrumen pendukung pengumpulan data

melalui metode wawancara dibuat setelah peneliti melakukan perekaman dan

observasi. Pertanyaan–pertanyaan yang disusun dalam pedoman wawancara

disesuaikan dengan temuan-temuan yang didapatkan melalui observasi terhadap

hasil rekaman. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat semi terstruktur dan

terbuka. Pertanyaan semi terstruktur dimaksudkan untuk mendapat jawaban sesuai

dengan keinginan peneliti berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan dalam

kegiatan observasi. Pertanyaan bersifat terbuka berbentuk tanya jawab, tatap muka

antara si penanya atau wawancara dengan menggunakan alat yang disebut dengan

23

pedoman wawancara. Berarti pertanyaan yang memberikan kebebasan kepada

subjek penelitian untuk memberikan jawaban sesuai dengan kapasitasnya sebagai

dalang.

3.4 Metode Deskripsi Data dan Penyajian Hasil Penelitian

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

metode analisis deskriptif kualitatif. Seperti apa yang diungkapkan oleh Miles

(dalam Rudita, 2013: 34) analisis kualitatif diartikan sebagai usaha analisis

berdasarkan kata-kata yang tersusun kedalam bentuk teks yang diperluas. Analisis

dalam hal ini merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis catatan

wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang terhimpun untuk

memperoleh pengetahuan mengenai data tersebut dan mengkomunikasikan

sesuatu yang telah ditemukan. Data yang diperoleh berupa kata-kata, kalimat-

kalimat, paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat

deskritif, maka analisis data yang digunakan adalah teknik deskritif. Tahapan-

tahapan yang ditempuh dalam kegiatan diskripsi data dan penyajian hasil analisis

dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Transkripsi Data

Data verbal yang berupa kreativitas dalang yang telah direkam

ditranskripsikan menjadi naskah tertulis. Kreativitas dalang yang dijadikan naskah

tertulis adalah kreativitas wayang lemah sebagai acuan dalam penciptaan WB

yang dilakukan oleh Dalang I Ketut Kodi selama proses pertunjukan wayang kulit

berlangsung.

24

2) Identifikasi dan reduksi data

Data mengenai transkripsi rekaman pertunjukan WB selanjutnya

diidentifikasi dan direduksi. Data berupa kreativitas dalang selama pertunjukan

yang tidak relevan dengan masalah penelitian direduksi sehingga hasil reduksi

mendapatkan data-data yang relevan dengan masalah penelitian. Untuk itu proses

reduksi data dijadikan objek utama penelitian.

3) Deskripsi dan Interpretasi Data

Pada bagian ini, data yang telah diklasifikasikan ke dalam beberapa

katagori dan diberikan kode selanjutnya akan disajikan secara deskritif dan

diinterpretasikan dengan aspek-aspek yang kreativitas yang terkandung di

dalamnya. Interpretasi data kemudian dibahas secara hierarkis berdasarkan urutan

masalah yang telah dirumuskan untuk menarik kesimpulan dari penelitian ini.

Untuk menjawab rumusan masalah penelitian, hasil interpretasi dihubungkan

dengan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini yang

akan didukung oleh hasil triangulasi data melalui metode wawancara.

4) Triangulasi data

Untuk menjamin validitas dan reliabilitas hasil analisis data, sebelum

mendapat simpulan dari temuan-temuan yang didapatkan, peneliti melakukan

triangulasi data melalui metode wawancara. Triangulasi data dilakukan untuk

mendapatkan konfirmasi dan penjelasan dari subjek penelitian.

5) Penyajian Hasil Analisis

Temuan dari interpretasi yang didapatkan dalam analisis data selanjutnya

akan disimpulkan sebagai hasil penelitian dan disajikan secara verbal. Temuan

dari hasil penelitian disajikan secara hirarkis sesuai dengan urutan rumusan

25

masalah penelitian, yang meliputi: aspek-aspek kreativitas dalam proses

penciptaan WB. oleh dalang, proses membangun komposisi berkreativitas dalam

WB, dan fungsi-fungsi kreativitas yang di kembangkan oleh I Ketut Kodi selaku

Dalang WB.

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aspek Pertunjukan

Data yang berasil dikumpulkan dalam penulisan ini menunjukan bahwa

kreativitas yang digunakan dalam pengembangan Wayang lemah oleh: Dalang I

Ketut Kodi yang kita kenal dengan istilah (WB). Dalam Pertunjukan Wayang

Kulit Bali dengan lakon Gugurnya Detya Adimba adalah pengembangan dan

pengemasan secara rapi antara tradisi Wayang lemah dengan gerak Dalang yang

lebih dinamis dengan pencahayaan, dan beberapa pengolahan bentuk dialog,

vokal, gerak wayang, serta iringan.

4.1.1 Wayang

Wayang dalam bahasa jawa kata ini berarti “bayangan” dalam bahasa

Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh: bayeng. Dalam bahasa

Bugis wayang atau bayang. Dalam bahasa bikol dikenal kata baying artinya

“barang” yaitu apa yang bisa dilihat dengan nyata. Akar kata dari wayang adalah

yang. Akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain dapat dalam kata

layang atau terbang dan doyong bebrarti miring, tidak stabil, royong slalu

bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Poyang-payingan atau berjalan

sempoyongan, tidak tenang dan lain sebagainya. Mulyono (1978: 9)

Secara etimologis, Holt (dalam Bandem, 1994: 31) kata “wayang” berasal

dari bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi, yakni “mawayang” yang sama artinya

dengan “bayang-bayang”. Dari kata wayang kemudian lahir istilah Wayang kulit

Bali, yakni sebuah istilah yang mengacu kepada prihal dan seluk beluk wayang

sebagai media pertunjukan yang dibuat dari kulit sapi atau kerbau, dipahat,

27

ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk imajinasi atau khayalan mengenai dewa-

dewa, manusia, binatang, raksasa, pohon-pohonan, dan lain-lainnya. Selain itu,

sebagai seni pertunjukan yang menggunakan wayang sebagai media ungkap,

wayang kulit Bali dimainkan oleh orang yang ahli yang dinamakan dalang.

Perioderisasi sejarah pewayangan Indonesia dibedakan secara umum

menjadi pewayangan pada zaman pra sejarah dan pewayangan pada zaman

sejarah. Pada zaman Pra-sejarah pewayangan dikaitkan dengan kehidupan

masyarakat yang masih sangat sederhana dan belum mengenal kepercayaan

animisme dan dinamisme sangat kuat. Kepercayaan ini di dominasi oleh

keyakinan bahwa roh nenek moyang masih hidup dan dapat mengganggu

kebahagiaan manusia apabila tidak diadakan upacara pemujaan terhadap roh

nenek moyang. Wayang sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang

dianggap sudah ada sejak zaman Pra-sejarah, karena terdapat kegiatan pemujaan

yang menggunakan bayang-bayang sebagai simbol datangnya roh nenek moyang.

(Seramasara, 2000: 5).

Pendapat Seramasara dikuatkan oleh (Pandji dkk, 1987: 1) Dalam sejarah

wayang dikatakan oleh para sarjana atau para ahli didalam maupun di luar negeri

bahwa wayang itu telah ada di Indonesia sejak zaman Pra-sejarah yaitu sekitar

tahun 1500 S.M. wayang pada saat itu merupakan salah satu aspek upacara

keagamaan yang berbentuk penyembahan kepada nenek moyang atau kepada

Hyang. Upacara itu dilakukan oleh seorang pemimpin upacara yang disebut

Syaman. Semua nenek moyang dilukiskan dengan bentuk arca atau batu, tetapi

kemudian digambarkan dalam kulit binatang. Kemudyan dimasukan dengan

kebudayaan Hindu ke Indonesia sekitar tahun 400 M dengan membawa dua epos

28

besar Ramayana dan Mahabharata maka tokoh-tokoh nenek moyang diganti dan

diberi nama dengan tokoh-tokoh yang terdapat pada epos tersebut. Pemimpin

semula yang dilakukan oleh Syaman kemudian diganti dengan sebutan Dalang

yang sebetulnya fungsinya sama dengan Syaman tetapi ada mengarah dengan

pertunjukan.

Wayang adalah warisan kebudayaan leluhur yang telah mampu bertahan

berabad-abad dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai mencapai

bentuknya sekarang ini. Wayang memang dikenal dan didukung oleh sebagian

besar masyarakat Indonesia yang memiliki corak yang khas dan bermutu tinggi

sehingga dikatakan sebagai salah satu kebudayaan nasional Edi sedyawati (dalam

Wicaksana, 2003:50-51).

Datangnya Agama Islam, sejarah seni pewayangan Indonesia mengalami

proses pengembangan dengan segala ketentuan tradisi seni rupa Islam-Indonesia

(S. Haryanto, 1992: 25). Pada saat itulah lahir bentuk wayang yang mencerminkan

suatu konsepsi matang yang lebih sesuai dengan tradisi seni Indonesia, visual

maupun spiritual, yang kemudian melahirkan bermacam-macam bentuk

perwujudan wayang antara lain, Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Krucil,

Wayang Madya dan lain-lainnya.

4.1.2 Darma Pewayangan

Kitab darma pewayangan adalah pustaka khusus yang isinya memuat

petunjuk yang membimbing para dalang dalam melaksanakan darma atau

kewajibannya sebagai dalang. Disamping itu secara tidak langsung juga

merupakan rambu-rambu yang mengikat dalang untuk tidak menyimpang dari

prinsip-prinsip ajaran agam dan etika.

29

Dalam kamus Bali-Indonesia Dharma antara lain berarti kebenaran.

Sementara itu dalam kamus Jawa kuno-Indonesia (2000: 197) dharma antara lain

berarti kebiasaan, hukum, tata cara, tingkah laku, kewajiba atau sopan santun yang

harus dilakukan. Sedangkan kata pewayangan dalam kamus Jawa kuno-Indonesia

(2000: 1406) berarti tempat untuk pertunjukan wayang atau seperangkat boneka

wayang. Bertitik tolak dari makna leksikal dari kedua istilah tersebut dapat

disimpulkan bahwa, Dharma Pewayangan adalah semacam panduan atau

pegangan (hukum, tata cara, kewajiban) yang harus dilakukan oleh siapa saja yang

akan beraktivitas memainkan boneka-boneka wayang di daerah tempat

pertunjukan wayang, yaitu para dalang atau yang sedang mempersiapkan diri

menjadi dalang sebagaimana tertera pada wacana pembuka pada lontar darma

pewayangan. Purnamawati (dalam Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan 2005: 67).

Kata “Dharma” dalam kamus Jawa kuno-Indonesia karangan L.

Mardiwarsito berarti pokok ajaran, doktrin, hukum, undang-undang. Kemudian

dharma juga dapat pula berarti ketuhanan, kebatinan, kewajiban suci, setia jujur

adil, kebenaran, kebajikan, agama dan sabar (Wicaksana, 2009: 34-35). Menurut

Hooykaas (dalam Wicaksana, 2009: 35) struktur isi naskah Dharma Pewayangan

secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi 10 bagian antara lain: (1) Bagian

Pendahuluan, yang mengandung hal-hal yang bersifat metafisik; (2) Bagian yang

menggambarkan perbuatan dan mantra-mantra yang dianggap penting bagi sang

dalang; (3) Bagian yang menggambarkan perbuatan sang amangku dalang, dan

mantra-mantra yang berfungsi sebagai panglikatan panyudamalan (penyucian);

(4) Bagian yang memuat mantra-mantra yang diucapkan oleh dalang dalam

rangkaian upacara orang meninggal, antara lain mantra pada waktu sang dalang

30

akan akekawin/amanjang (melagukan tembang gede), pada wadah (menara

usungan mayat) yang diusung ke kuburan; (5) Kegiatan dan mantra pada waktu

oton (kelahiran) wayang; (6) Mantra untuk membuat air suci (toya) yang

dipercikan kepada wayang-wayang dan sarana lainnya; (7) Aktivitas yang

dilakukan sang dalang pada waktu ngetisin toya wayang (memercikan air suci

untuk wayang); (8) Mantra-mantra yang didasarkan (diucapkan) pada waktu

membuat wayang, pada waktu mewarnai wayang, dan pada waktu melaspasin

(mensucikan) wayang; (9) Pantangan-pantangan bagi sang amangku dalang; (10)

Pahala yang diterima sang amangku dalang yang taat melaksanakan isi lontar

Dharma Pewayangan , antara lain ia boleh mengambil upah (nunas sesari), boleh

melaksanakan pertunjukan wayang panyudamalan, ia dapat dikatagorikan sebagai

“dalang utama”, ia akan mendapatkan keselamatan lahir dan batin.

4.1.3 Pertunjukan Wayang Kulit Bali

Wayang menjadi sebuah seni pertunjukan adiluhung, telah nampak sejak

abad XI, ketika syair-syair Arjuna Wiwaha digubah oleh Empu Kanwa menyirat

sebuah karya seni yang agung bahwa: bila melihat wayang yang berduka cita,

maka para penonton ikut terharu, sedih, menangis, dan bingung, padahal hanya

boneka belaka dan semua yang dilakukan itu hanya hayalan belaka. Nilai

adiluhungnya terkesan dalam perannya yang mampu mengkomunikasi nilai-nilai

yang dapat mempengaruhi batin manusia. Pohon-pohon yang ditampilkan

mengesankan sebagai tokoh wayang, seolah-olah hidup dan memberikan isyarat

kepada manusia. (Seramasara, 2000: 21).

Seni pewayangan Bali sebagai warisan masa lampau telah memberikan

citra dan membentuk identitas budaya menyebabkan Bali menjadi cukup dikenal

31

oleh masyarakat dunia. Pertunjukan wayang diciptakan sebagai wahana

komunikatif, dan edukatif supaya masyarakat Bali menjadi lebih bermoral, etis

dan normatif dalam menyikapi perkembangan zaman. Dengan demikian seni

Pewayangan Bali merupakan produk seni, hasil dari interaksi yang kondusif dan

hakiki antara seniman dengan masyarakat Bali yang di jiwai oleh nilai-nilai

budaya Bali (Sidemen dalam Seramasara, 2005: 1).

Wayang kulit di Bali pada umumnya di pentaskan berkaitan dengan

hubungan upacara keagamaan misalnya seperti upacara Panca Yadnya (dewa, rsi,

pitra, butha dan manusa yadnya). Cerita yang diambil biasanya dari epos

Mahabharata dan Ramayana yang sarat dengan makna dan nilai-nilai kebenaran

sehingga selaras dengan inti ajaran agama Hindu yakni dharma dan kebenaran.

(Purnamawati, 2005: 64)

4.1.4 Wayang Lemah

Sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional, pertunjukan wayang kulit di

Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis pertunjukan yaitu, Wayang Peteng dan

Wayang Lemah. Wayang Peteng adalah wayang yang dipentaskan pada malam

hari. Wayang Lemah adalah pertunjukan wayang yang diadakan pada siang hari.

Sesuai dengan namanya, Wayang Lemah, bahwa lemah berarti siang atau terang

(Kamus Bali-Indonesia dalam Purnamawati, 2005: 67).

Kalau dilihat dari fungsinya adalah termasuk kesenian pelengkap upacara

keagamaan (Wali) dalam rangkaian mengiringi Panca Yadnya (Dewa Yadnyda,

Bhuta Yadnya, dan Rsi Yadnya) (Kawen dalam Purnamawati, 2005: 68). Di

beberapa tempat disebut juga dengan wayang gedog. Wayang ini dipentaskan

tanpa menggunakan layar atau kelir, dan Lampu Blencong. Dalam memainkan

32

wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih

(Benang Tukelan). sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada

batang kayu Dapdap yang dipancangkan pada batang pisang dikedua sisi dalang.

Gamelan pengiringnya adalah gender-wayang yang berlaras slendro (lima nada).

Wayang upacara ini, pementasannya sangat tergantung pada waktu pelaksanaan

upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat dipentaskan pada siang hari,

sore hari, maupun malam hari. Pendukung pertunjukan ini yang paling kecil, 3

sampai 5 orang yang terdiri dari seorang dalang dan satu atau dua pasang penabuh

gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan Wayang Lemah biasanya

mengambil tempat disekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan

panggung khusus. Lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita

Mahabarata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkat upacara yang diiringinya.

Jangka waktu pementasan Wayang Lemah pada umumnya singkat, sekitar 1-2

Jam.

Sesuai dengan namanya Wayang Lemah semestinya dipentaskan pada

siang hari sejalan dengan yadnya yang diiringinya, karena fungsi utamanya adalah

mengiring Panca yadnya yaitu: Manusa yadnya, Pitra yadnya, Dewa yadnya,

Bhuta yadnya dan Resi yadnya. Akan tetapi apabila yadnya itu dilakukan dikala

malam hari, Wayang Lemah pun dipentaskan pada malam hari pula (beriringan

dengan jalannya yadnya).

Pementasan baik dikala siang maupun pada malam hari tidak

mempergunakan kelir (layar putih) melainkan mempergunakan benang tukelan

direntangkan susun tiga masing-masing berisi uang kepeng, diikatkan pada dua

ranting dadap cabang tiga yang terpancang pada kedua belah ujung gedebong

33

pentas yaitu sebelah menyebelah dan tidak memakai lampu belencong. Bebanten

(sajen) pementasannya yang pokok, ialah suci asoroh dengan guling itiknya,

ajuman putih kuning, canang gantal, lenga-wangi buratwangi, Daksina Gede serba

empat, sarana 8100 kepeng, Segehan Gede, Pedupaan dan tetabuhan arak berem.

Bahan air suci sama dengan persediaan pada wayang Sapuh Leger, dipuja setelah

pementasan selesai. Hasilnya dipercikkan oleh Pengacara yadnya atau oleh Ki

Mangku Dalang sendiri kepada apa yang diupacarai.

Pemakaian lakon Wayang Lemah disesuaikan dengan jenisnya yadnya

umpama untuk mengiringi Dewa yadnya diambilkan dari ceritra Dewa Ruci atau

Maha Bharata (Parwa), misalnya Wana Parwa yang isinya mengandung

ungkapan-ungkapan bahwa Dewa-Dewalah penegak kebenaran dan keadilan.

Apabila untuk Manusia Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya

dicukilkan dari Maha Bharata (Asta Dasa Parwa), Bhima Suarga dan Dewa Ruci.

Selesailah sudah mengungkapkan garis-garis besar dari Wayang Lemah. Wayang

Lemah juga merupakan suatu kesenian yang kaya akan nilai etika, estetika, moral,

spiritual yang bisa dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dan sumber ilmu

pengetahuan.

4.1.5 Wayang Betel (WB)

WB adalah suatu terobosan baru tentang Wayang lemah dengan sangat

mementingkan kreativitas sebagai seorang seniman dalang agar menjadi sebuah

pertunjukan yang bisa dinikmati oleh masyarakat, tidak hanya untuk kepentingan

upacara keagamaan saja, melainkan menjadi sebuah hiburan yang segar. Dalam

garapan ini dalang beriteraksi aktif membangun suasana dramatik. Dalang yang

biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan berakting

34

diatas panggung didukung oleh lampu dan musik pengiring inovatif berintikan

gender rambat. Pertunjukan yang semula hanya ritus (tata cara upacara

keagamaan) akan dikembangakan menjadi sebuah bentuk hiburan entertaiment

yang mengintergrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan perkembangan

zaman dewasa ini. Sesuai dengan namanya, Betel berarti tembus pandang,

garapan WB ini berbentuk Wayang Lemah sehingga dapat dilihat tembus betel

dari mana saja tanpa terhalang oleh kelir/screen putih. Musik iringan yang

berintikan instrumen gender rambat juga akan diintegrasikan sedemikian rupa

sehingga garapan wayang ini juga menyajikan komponen musikal teater atau

teater musik.

4.1.6 Biografi I Ketut Kodi dan Riwayat Kelahiran WB

I Ketut Kodi lahir di Desa Singapadu Gianyar 31 Desember 1963

merupakan anak ke tiga dari enam bersaudara. Orang tuanya I Wayan Tangguh,

sosok seniman yang penuh mendedikasikan hidupnya dalam jagat seni. I Ketut

Kodi sejak kecil dididik oleh orang tuanya berkesenian khususnya membuat

topeng dan kostum tari. Pada tahun 1978 mulai belajar menari dibina oleh I

Nyoman Cerita dan pada tahun itu pula I Ketut Kodi tertarik dan belajar dramatari

Arja di SMP dengan lakon Jayasakti, di banjar dengan lakon Madu Suara. Topeng

(dengan lakon Ida Telaga) dan sendratari (dengan lakon Japatuan) dengan

pembina I Made Kredek. Benih ini berkembang ketika dia mendapat kesempatan

meneruskan pendidikannya di SMKI (KOKAR) Jurusan Pedalangan tahun 1979.

Sehingga penguasaan secara praktisi dalam seni pertunjukan mulai memberikan

dasar yang kokoh tahun 1987 I Ketut Kodi menjadi dalang sendratari Ayodya

Kanda dan menjadi dalang sendratari Jamong wakil Pemkab Gianyar oleh Banjar

35

Sengguan Singapadu dalam PKB IV. Tuntutan dalam menyelesaikan sarjana

muda di ASTI Denpasar tahun 1987, yang mengharuskan untuk menggarap

wayang dengan judul “Ngeseng Bingin”. Sejak itu terbuka kesempatannya untuk

aktif sebagai penata pedalangan dan dalang serta ikut dalam penyusunan skenario

dalam pagelaran sendratari kolosal Pesta Kesenian Bali. Seniman Seni Pedalangan

(SSP) diraih di STSI Denpasar pada tahun 1989 dengan garapan pewayangan

layar berkembang dengan judul Anugerah.

Aktif sebagai tim pembina dan juri baik di tingkat kabupaten maupun

provinsi dalam kegiatan PKB Bali. Sebagai seniman praktisi telah membawanya

untuk mewakili Bali sebagai duta seni melakukan pementasan di beberapa negara

seperti Amerika Serikat, Australia, Italia, Jepang, India, Hongkong, Jerman,

Belanda, Portugal, dan Spanyol. Tahun 1996 mendapat undangan dari grup

gambelan Sekar Jaya USA untuk menggarap dramatari Ramayana kolaborasi

dengan Mantili Sanggar Tari India yang ada di USA. Kembali tahun 2001

diundang oleh Sekar Jaya dalam penggarapan dramatari Kawit Legong (Dreams

Karna) sebagai penari Dalem atau Raja dan penyusun skenario tahun 2006 meraih

gelar S2 (M.Si.) di Universitas Udayana (UNUD) dengan judul karya tulis

“Bondres dalam Perubahan Masyarakat Bali”.

WB adalah sebuah garapan pewayangan yang terinspirasi dari Wayang

lemah/Wayang Gedog. WB tercipta karena penggarap I Ketut Kodi melihat

kehidupan Wayang lemah pada masyarakat Bali hanya dikaitkan dengan upacara

keagamaan. Penanggap pertunjukan ini kurang memperhatikan baik tempat pentas

maupun sarana-sarana pendukung lainnya. Hal ini membuat para dalang malas

untuk menggarap bagian artistiknya, hiburan dan konteksnya. Wayang lemah yang

36

berfungsi ritual menjadi kemasan baru berbentuk hiburan seni yang segar, sehat

dan bermutu. (wawancara hari Jumat, tgl 28 februari 2014) dengan I Ketut Kodi di

rumah beliau jam 05.00 sore.

4.1.7 Masa Kanak-Kanak

I Ketut Kodi masa kanak-kanaknya waktu SD sampai kelas 2 SMP tidak

begitu menyukai seni dan tidak berkeinginan untuk masuk ke dunia seni. Namun

beliau mengagumi salah seorang dalang dari Br. Babakan Sukawati yaitu Bapak

Madra (alm) dan seniman topeng seperti Cokorda Oka Singapadu begitu juga

beliau suka mengoreksi seniman-seniman tua yang ada di Bali. Apapun yang

beliau dapatkan dari apa yang beliau koreksi dari seniman-seniman tua dengan

cara ngoping (mendengarkan), sampai sekarang I Ketut Kodi masih ingat apa

yang didapatkan dari seniman-seniman tua itu dan akhirnya beliau tertarik

mendalami dunia seni. (wawancara tanggal 25 April tahun 2014 hari Jumat jam 12

: 30 siang) dengan I Ketut Kodi.

4.1.8 Masa Remaja

Benih ini berkembang ketika dia mendapat kesempatan meneruskan

pendidikannya di SMKI (KOKAR) Jurusan Pedalangan tahun 1979. Sehingga

penguasaan secara praktisi dalam seni pertunjukan mulai memberikan dasar yang

kokoh tahun 1987 I Ketut Kodi menjadi dalang sendratari Ayodya Kanda dan

menjadi dalang sendratari Jamong wakil Pemkab Gianyar oleh Banjar Sengguan

Singapadu dalam PKB IV. Tuntutan dalam menyelesaikan sarjana muda di ASTI

Denpasar tahun 1987, yang mengharuskan untuk menggarap wayang dengan judul

“Ngeseng Bingin”. Sejak itu terbuka kesempatannya untuk aktif sebagai penata

pedalangan dan dalang serta ikut dalam penyusunan skenario dalam pagelaran

37

sendratari kolosal Pesta Kesenian Bali. Sarjana Seni Pedalangan (SSP) diraih di

STSI Denpasar pada tahun 1989 dengan garapan pewayangan layar berkembang

dengan judul Anugerah.

I Ketut Kodi mengakhiri masa lajangnya tahun 1991 menikah dengan Ida

Ayu Made Diastini dari Mataram Lombok. Dan beliau dikarunia dua orang

putra/putri, yang pertama bernama Putu Bagus Bang Tatagraha Saputra dan yang

perempuan bernama Ni Made Ayu Satya Driti dan sekarang anaknya yang

pertama kuliah di ISI Jogja jurusan tari semester VI dan yang kedua kuliah di

Unud jurusan Sastra Jawa Kuno semester II.

4.1.9 Terobosan Baru Tentang Wayang Kulit

(Munandar, 1988: 2) mengungkapkan bahwa, setiap orang memiliki

potensi kreatif dalam derajat yang berbeda-beda dan dalam bidang yang berbeda-

beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar dapat diwujudkan. Untuk ini

diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong, baik dari luar lingkungan maupun dari

dalam individu sendiri. Perlu di ciptakan potensi lingkungan yang dapat memupuk

daya kreatif individu. Lingkungan dalam hal ini mencakup baik lingkungan dalam

arti kata sempit (keluarga, sekolah) maupun dalam arti kata luas (masyarakat,

kebudayaan).

Kreativitas menurut Marjaya (2006: 15) dalam WAYANG Jurnal Ilmiah

Seni Pewayangan mengatakan bahwa kreativitas yang dimaksud disini adalah

dasar-dasar kreaktif atau kreasi yang dimiliki oleh seorang dalang. Dalang yang

kreativitasnya tinggi akan dapat menciptakan hal-hal yang menarik sebagai

figuran dalam sebuah pertunjukan. Kreativitas itu meliputi ruang dan waktu,

dalam ruang dalang dapat memanfaatkan seluruh areal kelir untuk berimprovisasi

38

baik dalam bentuk wacana, tembang, tetikesan, maupun oleh iringan itu sendiri

yang terkait dengan gerak wayang (tetikesan) maupun tembang vokal. Sedangkan

waktu, yaitu saat-saat yang tepat bagi dalang untuk menyisipkan atau melakukan

kreativitas tanpa mengurangi alur dramatik suatu lakon.

Untuk menyiasati agar seniman dan musisinya tidak hanya duduk

sebagaimana pegelaran Wayang lemah biasa. Sehingga muncul ide dari dalang I

Ketut Kodi untuk membuat suatu terobosan baru tentang Wayang lemah dengan

sangat mementingkan kreativitas sebagai seorang seniman dalang agar menjadi

sebuah pertunjukan yang bisa dinikmati oleh masyarakat, tidak hanya untuk

kepentingan upacara keagamaan saja melainkan menjadi sebuah hiburan yang

segar. Dalam garapan ini dalang beriteraksi aktif membangun suasana dramatik.

Dalang yang biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan

berakting diatas panggung didukung oleh lampu dan musik pengiring inovatif

berintikan gender rambat. Wayang lemah yang semula hanya ritus (tata cara

upacara keagamaan) akan dikembangakan menjadi sebuah bentuk hiburan

entertaiment yang mengintergrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan

perkembangan zaman dewasa ini. Sesuai dengan namanya, Betel berarti tembus

pandang, garapan WB ini mengadopsi Wayang lemah sehingga dapat dilihat

tembus betel dari mana saja tanpa terhalang oleh kelir/screen putih. Musik iringan

yang berintikan instrumen gender rambat juga akan diintegrasikan sedemikian

rupa sehingga garapan wayang ini juga menyajikan komponen musikal teater atau

teater musik. Dalam garapan WB ini penggarap akan menggunakan konsep

minimalis dengan tidak mengurangi keunggulan-keunggulan yang telah ada,

karena berkesenian itu tidak harus selalu mewah. Seni pun bisa muncul dari suatu

39

yang sederhana, garapan ini merupakan bagian dari epos Mahabharata yakni

kehidupan Pandawa di hutan setelah lepas dari bencana kebakaran Goa Gala-Gala

sampai gugurnya Detya Dimba.

4.2 Bentuk Pertunjukan WB

Dalam kamus umum bahasa Indonesia oleh Badudu (1996: 161)

menjelaskan bahwa bentuk adalah tokoh, bangun, dan rupa. Sedangkan suharto

(dalam Rudita, 2013: 38) disebutkan bahwa bentuk adalah kata benda yang

mengandung pengertian sebuah bangunan yang dapat memberikan gambaran

wujud atau rupa dari sesuatu. Bentuk yang paling sederhana adalah titik, titik

sendiri tidak mempunyai ukuran atau dimensi. Titik tersendiri belum memiliki arti

tertentu. Kumpulan dari beberapa titik yang ditempatkan di area tertentu akan

mempunyai arti. Kalau titik-titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan titik

itu akan membentuk garis. Beberapa garis bersama akan membentuk bidang.

Beberapa bidang bersama bisa membentuk ruang. Titik, garis, bidang, dan ruang

merupakan bentuk-bentuk yang mendasar bagi seni rupa. Dalam seni musik dan

kerawitan bentuk-bentuk dasar yang berbeda-beda. Kita akan menjumpai not,

nada, bait, kempul, ketukan dan sebagainya. Dalam seni sastra bermacam-macam

bentuk yang mendasarinya. Kata, kalimat, babak, gaya, dan irama adalah

contohnya. Dalam seni tari kita jumpai tapak, paileh, pas (langkah), agem,

seledet, tetuwek dan sebagainya. (Djelantik, 2004: 18).

4.2.1 Angga

Makna kata “Angga” dalam kamus umum bahasa indonesia (1996: 51)

berarti anggota atau cabang. Selanjutnya, menurut Sedana (2003: 11) dalam

40

diagramnya yang disebut dengan Tri-Sandi dijelaskan bahwa angga adalah

bentuk/genre. Dalam bentuk terdapat struktur dan aparatus pertunjukan,

panggung, dan barungan gamelan.

Seperti apa yang dijelaskan diatas berkaitan dengan objek penulisan yang

diteliti yaitu WB. Bentuk garapan WB adalah garapan pakeliran inovatif dimana

penggarap mencoba mengembangkan dan mengemas secara rapi antara tradisi

Wayang lemah dengan gerak dalang yang lebih dinamis dengan pencahayaan, dan

beberapa pengolahan bentuk, dialog, vokal, gerak wayang serta iringan.

4.2.1.1 Struktur Pertunjukan

Struktur atau susunan mengacu pada bagaimana cara unsur-unsur dasar

masing-masing kesenian tersusun hingga terwujud. Seperti batu kali, batu bata,

batu paras, batu karang dan batako disusun menjadi tembok. Cara penyusunannya

beraneka macam. Penyusunan itu meliputi juga yang khas, sehingga terjalin

hubungan-hubungan berarti diantara bagian-bagian dari keseluruhan perwujudan

itu. Misalnya batu bata yang merah membuat kotak-kotak yang dilengkapi oleh

batu karang sehingga keseluruhannya terlihat sebagai ornamen tertentu (Djelantik,

2004: 18-19).

Struktur dalam arti luas ialah struktur yang membangun pertunjukan yang

dapat dibagi menjadi beberapa bagian atau adegan seperti misalnya adegan

pemungkah, adegan petangkilan, adegan angkat-angkatan, adegan papeson,

adegan siat dan lain-lain. Stuktur dalam artian sempit yakni struktur yang

didalamnya terdapat bagian-bagian yang terstruktur. Misalnya didalam adegan

petangkilan biasanya terdapat beberapa macam elemen estetik seperti gending

alas arum, penyacah parwa, tetikesan, gancaran (antawacana), dan iringan.

41

Elemen-elemen tersebut ditampilkan secara terstruktur. Salah satu contohnya

adalah tandak alas arum (Marjaya, 2006: 9).

Seperti apa yang dijelaskan oleh Djelantik dan Marjaya mengenai struktur,

penulis telah mengamati struktur pertunjukan WB melalui kaset (DVD) yang

dipentaskan di gedung Candra Metu ISI Denpasar pada tanggal 20 Januari tahun

2010. Dalam struktur pertunjukan WB akan penulis jelaskan per babak seperti di

bawah ini.

Tabel 1

Bagan Struktur Pertunjukan WB

Tahap Alur/Pembabakan

Durasi/Menit Peristiwa Naratif/Dramatis

Tabuh Petegak DVD Bagian 1 00:00-01:00

Para penahbuh memainkan gending petegak sebagai pembuka jalannya pertunjukan.

Kidung Wargasari 01:00-04:00 Dalang dan gerong melantunkan kidung wargasari saat keluarnya dalang dan para pembantu dalang.

Tari kayonan 04:00-07:50 Dalang memainkan kayonan diiringi dengan gerak dalang.

Prolog 07:50-09:14 Yoga Hyang Maha Pencipta menimbulkan lima unsur universal, yaitu: zat padat, cair, udara, panas, dan eter yang membentuk planit-planit termasuk dunia dengan isinya.

Ilustrasi adegan 09:14-09:55 Pandawa terbebas dari kebakaran Goa Sigala-gala

Narasi 09:55-10:24 Dalang mengisahkan keadaan di Astina Pura

Ekposisi 10:24-20:45 Bisma dicekam rasa putus asa mengenang kematian pandawa di balai Sigala-gala. Dewi Gangga meyakinkan bahwa Pandawa belum mati.

Kehidupan Pandawa di hutan

20:45-33:22 nyambung ke DVD Bagian 2 sampai 00:09

Punakawan Tualen dan Merdah mengisahkan kehidupan Pandawa setelah lepas dari bencana kebakaran Goa Sigala-gala dan merasa bersyukur telah dapat membebaskan rakyat ekacakra dan pendeta Beksakarma dari jajahan Detya Baka.

42

Adegan perburuan 00:09-05:54 Singa, Buaya, Gajah dan sejenisnya memberikan sindiran tentang kehidupan manusia

Di Kurubaya 05:54-17:48 Delem dan Sangut mengisahkan tentang nikmatnya kebebasan hidup dengan para Raksasa. Namun Sangut menunjukan kebebasan itu dengan rasa beban dan ikatan yang abadi.

Dimba 17:48-20:35 Penguasa hutan ini mencium bau manusia dan segera ingin memangsanya, diutuslah Dimbi untuk mencari mangsanya itu ke tengah hutan.

Perjalanan Dimbi 20:35-29:18 Dengan melihat otot-otot Bima yang begitu kekar, Dimbi menghayal serasa telah tidur bermesraan dengan Bima. Dimbi menghadap Dewi Kunti untuk minta restu dan bersedia dinikahkan dengan Bima. Dewi Kunti dan Catur Pandawa merestui pernikahan mereka dalam bentuk Gandarwa Wiwaha dengan berbulan madu di laut, gunung dan hutan.

Penanjakan Dramatis

29:18-30:29 Dimba tidak kuasa menunggu Dimbi dan segera menyusul ke tengah hutan sambil mengobrak-abrik isi hutan, seketika itu Dimba melihat Dimbi memadu kasih dengan Bima.

Puncak komplikasi 30:29-33:22 Perang terjadi antara Dimba dan Bima, Dimbi mengingatkan kepada Dewi Kunti bahwa kelemahan Dimba ada pada kakinya sehingga Bima disuruh segera memukul kaki Dimba, secepatnya sebelum malam tiba yang membuat dia semakin sakti.

Klimak dan Resolusi

DVD bagian 3 00.00-07:57

Menyadari ajalnya tiba, Dimba menyarankan kepada Dimbi untuk memelihara janinnya dengan Bima yang ada pada rahimnya dengan baik-baik. Janin itu diharapkan tumbuh dan mampu mengangkat martabat bangsa raksasa Kurubaya.

43

4.2.1.2 Aparatus Pertunjukan

Badudu (1996: 69) dalam kamus umum bahasa indonesia menyebutkan

Aparatus adalah bagian dari suatu alat yang melakukan fungsi khusus. Dalam

pertunjukan WB adapun alat-alat yang mempunyai fungsi kusus seperti apa yang

dapat penulis amati dengan cara menotonton melalui rekaman kaset DVD,

mendengar dan wawancara secara langsung dengan subyek yang diteliti seperti di

bawah ini.

1. Panggung

Badudu, (1996: 993) panggung adalah lantai tinggi yang diletakan diatas

tiang-tiang; lantai yang ditinggikan untuk tempat pertunjukan (tari, musik, lagu

dsb); tempat yang agak tinggi tempat orang dapat melihat dengan jelas.

Riantiarno, (2011: 12).Panggung adalah sebuah pentas pertunjukan. Secara fisik

berbeda, tapi fungsinya sama. Panggung lebih memiliki batas kesadaran untuk

membuat tempat pertunjukan dengan suatu ketinggian (stage-staging) tertentu

dengan maksud untuk mengangkat (ke atas) pertunjukan agar mendapat cukup

perhatian atau pengelihatan dari penontonnya.

Berdasarkan pengamatan penulis menyaksikan pertunjukan WB, bentuk

panggung yang digunakan tampak dari depan melalui hasil rekaman berupa DVD,

penulis melihat dalam pertunjukan itu menggunakan Gayor yang di atas dan

samping-sampingnya dihiasi dengan pohon dapdap dan berbagai jenis pepohonan

lainnya. Untuk menutupi batang pohon pisang penggarap menutup bagian bawah

panggung dengan kain hitam.

44

Bentuk panggung yang digunakan dalam pertunjukan WB pada saat pentas

di gedung Canra Metu ISI Denpasar tanggal 20 januari 2010, adalah berbentuk

gawang dengan panjang 3 meter dan lebar 1,40 meter.

2. Gedebong

Gedebong adalah batang pohon pisang, dalam pertunjukan wayang di Bali

gedebong digunakan sebagai pijakan-pijakan wayang saat para tokoh wayang

melakukan Pegundeman (rapat antara tokoh). I Ketut Kodi mengatakan, didalam

gawang terdapat batang pisang sepanjang 3 meter yang digunakan sebagai areal

penempatan wayang dan pemisah antara wayang, dalang dan penonton. Sebelah

kanan dan kiri gawang dihiasi dengan berbagai pepohonan untuk memberikan

kesan seolah-olah berada di tengah hutan sesuai dengan cerita yang dibawakan.

Dan tidak lupa pula pohon yang sering digunakan dalam pementasan Wayang

lemah yaitu pohon dadap sebagai bentuk tidak mengurangi makna dan fungsi

daripada pertunjukan Wayang lemah. Benang tukelan yang biasanya dibentangkan

diantara kedua pohon dadap dipindahkan ke masing-masing tubuh dalang, untuk

memberikan kesan lebih magis. Sebagai penghubung persatuan antara penggarap

dengan semua pendukungnya. (wawancara, 28 februari 2014) dengan dalang I

Ketut Kodi.

3. Kelir

Kelir adalah kain putih yang digunakan dalam suatu pertunjukan wayang

di Bali dengan panjang kira-kira 2 – 3 meter dan lebar sekitar 1,5 meter. Kelir

dalam pertunjukan wayang Bali berfungsi sebagai alat untuk memudahkan

memainkan wayang kulit. Dalam Ensiklopedi pewyangan Bali, dideskripsikan

bahwa kelir adalah tabir putih untuk menggelarkan wayang dan pelaksanaanya

45

akan tampak bayangan wayang. Kelir adalah simbol langit, sebagaimana

disebutkan dalam lontar Dharma Pewayangan, langit yang membatasi antara

dalang dengan penonton (secara filsafat). Didalam kenyataan banyak sekali

penonton yang justru ingin memnonton di balik kelir (mengambil posisi menonton

di dekat dalang) sehingga bisa menyaksikan keahlian dalang memainkan wayang.

I Ketut Kodi mengatakan kelir adalah simbul dari bumi dalam pertunjukan

wayang Bali.

Dalam pertunjukan WB tidak menggunakan kelir, sama seperti

pertunjukan Wayang lemah. Karena WB merupakan pengembangan dari Wayang

lemah.

4. Blencong

Blencong adalah lampu yang bersumbu, digunakan dalam pertunjukan

wayang Bali sebagai penerang dan menampilkan bayangan-bayangan wayang

pada kelir. Insiklopedia Mini pewayangan Bali mendeskripsikan dengan amat

singkat tentang blencong yakni sebagai alat penerangan yang sangat berguna

dalam pertunjukan bayangan untuk memberikan hidupnya suasana.

Pertunjukan WB tidak menggunakan Blencong melainkan lampu listrik

yang cahayanya disesuaikan dengan suasana yang diinginkan.

5. Sound Sistem

Yaitu alat pengeras suara yang kini sudah menjadi tradisi dalam

pertunjukan wayang kulit di Bali. Keberasilan seorang dalang dalam

berkomunikasi terletak pada kualitas sound sistem yang digunakan. Dalang-dalang

sekarang sebagian besar menggunakan sound sistem sebagai penopang

keberasilannya dalam pementasan Wayang Kulit.

46

6. Kropak

Kropak adalah tempat untuk menyimpan wayang. Namun dinding samping

kanannya biasanya digunakan untuk menimbulkan suara yang dipukul dengan

cepala. Puluhan bahkan lebih dari seratus Wayang Kulit yang tersimpan dan

teratur rapi dalam kropak.

Pada umumnya kropak wayang ini terbuat dari kayu jati yang berbentuk

sebuah kotak segi empat panjang. Penutup gedog, dirancang secara knock down

sehingga bisa dibuka dan ditutup, dilepaskan dan dipasang kembali sesuai dengan

kebutuhan. Keropak wayang diletakan di samping kiri pada waktu

pementasan.sedangkan penutup yang lepas diletakkan di sebelah kanan dalang

sebagai tempat wayang-wayang yang ikut dimainkan dalam pementasan tersebut.

Teknis bentuk kropak yang berkembang di Sukawati, pada sisi kanan

kropak itu dirancang secara fleksibel/lentur sehingga bisa dibenturkan dengan

penampang tempatnya berpasangan yang dapat menimbulkan efek suara tertentu

(sesuai dengan kehendak dalang), baik dari sisi dalam maupun dari sisi luar

bagian sisi kanan ini menjadi sasaran cepala yang dipegang dengan tangan

maupun dijepit dengan telunjuk dan ibu jari kaki kanan dalang, dalam mengiringi

gerak maupun dialog yang di ucapkan tokoh yang bermakna sebagai aksen dan

penegasan dalam dialog.

7. Cepala

Cepala dalam pewayangan Bali lebih dikenal dengan nama pengletakan

(Marajaya, 2006: 15). Nama ini diambil sesuai dengan bunyi yang ditimbulkan

oleh alat tersebut setelah dipukulkan pada sisi/dinding gedog (kropak) yaitu

tak...tak...tak...tak... sebagai lambang purusa (laki) dan gedog (kropak) lambang

47

predana (perempuan). Dalam pertunjukan WB cepala berfungsi untuk

memberikan aksen terhadap percakapan, pergantian adegan, mengisi kekosongan,

memberi tanda berhenti pada kekosongan, sebagai isyarat berhenti pada iringan,

mengatur dan sebagai ilustrasi iringan.

8. Upakara

Upakara atau banten merupakan sarana yang di persembahkan kepada

Tuhan Hyang Maha Esa yang di yakini memberi keselamat dalam suatu

pementasan Wayang Kulit Bali. Dalam pertunjukan WB upakara/banten yang

digunakan sangat sederhana, tidak seperti pertunjukan Wyang Lemah yang

dikaitkan dengan upacara keagamaan di Bali. seperti biasanya. Ini merupakan

penyederhanaan dan mengurangi fungsi dan maknanya karena WB merupakan

pertunjukan yang bersifat hiburan.

9. Komposer Iringan

Komposer adalah orang menciptakan lagu atau musik pengiring

pertunjukan. Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa

lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton. Dalam pertunjukan WB

sebagai penata iringannya adalah Made Subandi seniman musik dari Br. Buda

Ireng Batubulan Kangin, (wawancara tanggal 25 April tahun 2014 hari Jumat jam

12 : 30 siang) dengan I Ketut Kodi.

10. Personal Pembantu

a. Penggerak Wayang

- I Gede Wirawan

- I Putu Candra Wijaya

- I Made Darma

48

- I Made Sukarsa

- I Nyoman Suastana

b. Penabuh dan Instrument

- Indra Wijaya : Kendang Wadon

- Agun : Kendang Lanang

- Kadek Astawa : Gangsa

- Petruk : Gangsa

- Suastika : Gangsa

- Novi : Gangsa

- Kidal : Kantilan

- Putu Eman Sabudi S. : Kantilan

- Gus Bajra : Kantilan

- Midun : Kantilan

- Gde Puser Bumi : Calung

- Yande : Calung

- Wina : Jegogan

- Pande Bangkal : Jegogan

- Kadek Sumerta : Gong

- Dedik : Cengceng kecek

- Kadek Andika S. : Kajar

- Gde Sukaryana : Gender rambat saih pitu

- Ngurah Epo : Gender rambat saih pitu

- Dore : Suling

- Dwi : Suling

49

- Emon : Suling

11. Pesinden

Pesinden adalah orang yang melantunkan tembang yang sesuai dengan

iringan gamelan. Dalam pertunjukan WB menggunakan dua pesinden wanita

untuk memberikan warna yang berbeda tidak seperti pada Wayang lemah yang

tidak memakai sinden.

Pendukung sinden/Gerong:

1. Ni Komang Sekar Marheni

2. Nik Swasti

12. Wayang

Dalam pertunjukan WB menggunakan wayang kulit kurang lebih 25 buah

wayang. Wayang lemah yang semula hanya ritus (tata cara upacara keagamaan)

akan dikembangakan menjadi sebuah bentuk hiburan entertaiment yang

mengintergrasikan kritik dan komentar sosial sesuai dengan perkembangan zaman

dewasa ini. I Ketut Kodi (wawancara, senin tgl 24 febuari 2014). Beberapa

wayang yang digunakan dalam pertunjukan WB kurang lebih seperti dibawah ini.

- Kayonan

- Rsi Bisma

- Dewi Gangga

- Dewi Kunti

- Yudistira

- Bima

- Nakula

50

- Sahadewa

- Beberapa wayang binatang

- Bala-bala Raksasa

- Beberapa Raksasa

- Raksasa Dimbi

- Raksasa Adimba

- Tualen

- Merdah

- Delem

- Sangut

- Empat kuda

- Beberapa panah

- Dan beberapa pohon

13. Tata Cahaya

Sumber penerangan pada pertunjukan WB ini menggunakan beberapa

lampu, seperti lampu untuk penerangan jendral di areal wayang dan Sport Light

yang berukuran 300 watt digunakan sebanyak dua buah. Fungsinya adalah untuk

mempertegas bentuk dan warna wayang. Penempatan lampu tersebut di depan

Ranggon, untuk mengatur lampu Sport light mempergunakan alat bernama

regulator (dimmer) yang dioprasikan oleh seorang teknisi dari belakang tangkai

lampu.

51

14. Iringan

Iringan dalam pertunjukan Wayang Kulit merupakan salah satu komponen

penting yang dapat memeberikan warna pada sebuah pertunjukan. Dalam

pertunjuka WB iringan yang digunakan dalah Gamelan Semarandana serta

ditambah dengan alat musik seperti Sungu. Gambelan Semarandana dapat

memberikan aksen-aksen, irama dan mempertegas ungkapan dalam adegan.

Adapun barungan gamelan tersebut menurut I Ketut Kodi, antara lain:

- Satu pasang kendang pelegongan

- Satu pasang gender rambat

- Empat buah gangsa

- Satu pasang calung

- Satu pasang jegogan

- Satu buah gong

- Seperangkat cengceng kepyak

- Dua buah kajar

- Empat buah seruling.

4.3 Wacana

Menurut sedana (2003: 11) dalam diagram paradigma kawi dalang

mengungkapkan bagian-bagian dari wecana itu adalah epos, kekawin,

parwa/kanda, geguritan, ragam retorika: tembang, ucapan dan narasi. Marajaya

(2006: 11) menjelaskan dalam pertunjukan Wayang Bali kegiatan bertutur

(beretorika) sering juga disebut dengan istilah antawacana. Antawacana adalah

bunyi atau perkataan yang baik.

52

4.3.1 Sumber cerita

Cerita yang digunakan dalam pertunjukan WB bersumber dari epos besar

Mahabharata. Epos Mahabharata menggambarkan kisah pertentangan antara dua

keluarga besar Korawa dan Pandawa yang termasuk masih keluarga juga yakni,

keluarga Bharata. Kraya besar ini terdiri dari 100.000 “sloka” (bait yang terdiri

dari dua baris) kemudian ditambah lagi Parwa yang ke-19 yang khusus memuat

kisah Kresna. Penulis karya besar ini bernama Wyasa. Selain itu didalamnya

digambarkan pula tentang mitilogi india kuno dan kehidupan sehari-hari dari masa

itu (Bagiarta, 2006: 31). Cerita yang diangkat dalam dalam pertunjukan WB

adalah gugurnya Detya Adimba yang dijadikan sebagai cerita pokok.

Cerita gugurnya Detya Adimba dimulai dari ketika tersiar kabar bahwa

Panca Pandawa beserta ibunya Dewi Kunti telah meninggal saat rumah Jatugraha

terbakar hangus. Berita ini membuat Rsi Bisma berduka dan gelisah untuk

meyakinkan berita yang tersiar diseluruh pelosok Astina. Rsi Bisma menghadap

ibundanya kesungai Gangga menanyakan kebenaran berita tersebut. Dewi Gangga

menegaskan dan meyakinkan Rsi Bisma bahwa pandawa masih hidup dan berada

disekitar hutan Kurubaya.

Raksasa Adimba sebagai penguasa hutan Kurubaya mencium bau

manusia, lalu menugaskan adiknya Raksasi Dimbi untuk mencari dan

membawanya pulang sebagai santapan. Ternyata bau yang tercium oleh Detya

Adimba adalah Panca Pandawa. Adimbi pun mendekatinya, karena gagah dan

kekarnya tubuh Bima Adimbi pun jatuh cinta. Pada awalnya Bima tidak

menghiraukan, karena permintaan Dewi Kunti Bima Akhirnya menerima lamaran

53

Adimbi. Setelah saling mencintai Adimbi mengajak Bima untuk berbulan madu

diatas gunung, di pantai, dan hutan yang sangat lebat.

Karena laparnya Adimba tidak tahan akan laparnya dan tidak sabar

menunggu kedatangan adiknya Adimbi. Lalu ia pergi ketengah hutan mencari

adiknya, sesampai dihutan dia melihat Adimbi berkasih-kasihan dengan Bima

yang tiada lain adalah mangsanya. Perang pun tidak dapat dielakan antara Bima

dengan Adimba, setelah diberi tahu oleh Adimbi tentang kelemahan dari Detya

Adimba kepada Bima akhirnya Detya Adimba menemui ajalnya.

4.3.2 Tandak

Tetandakan merupakan bahasa bertembang yang irama dan temponya

serasi dengan irama dan tempo gambelan yang mengiringi adegan Rota (dalam

Marjaya, 2006: 12). Gending-gending yang dikatagorikan sebagai tetandakan

dalam pertunjukan Wayang kulit adalah; gending alas arum, rebong (Romantis),

Mesem (sedih).

Dalam Pertunjukan WB, gending seperti alas arum tidak dipergunakan.

Gending alas arum yang biasanya dipergunakan dalam Pertunjukan Wayang Bali,

baik Wayang Peteng maupun Wayang lemah dalam pertunjukan ini diganti

dengan kidung wargasari warga sari sebagai pengawit untuk memberikan kesan

magis dalam Pertunjukan WB, namun kidung warga sari ini tidak digunakan

sebagai pengiring keluarnya tokoh-tokoh pewayangan seperti dalam Pertunjukan

Wayang Kulit Bali, hanya sebagai iringan saat keluarnya Dalang saat akan

melakukan persembahan dan persembahyangan di areal pementasan. menurut I

Ketut Kodi (wawancara 28 februari 2014).

54

Bentuk nyanyian kidung (kekidungan) dapat dikenal pada bait

permulaannya yang memakai bentuk “kawitan” dua bait. Kemudian menyusul

pemawak (nyanyian pendek) dua bait, penawa (nyanyian panjang) dua bait,

pemawak dua bait, penawa dua bait, demikian seterusnya sampai satu bab ceritera

kembali lagi “ kawitan” untuk bab ke dua. Kidung warga sari termasuk salah satu

tatwa tertulis yang penting dipertahankan mengingat kidung ini selalu

ditembangkan dalam upacara-upacara besar keagamaan di Bali. Contoh kidung

yang digunakan dalam Pertunjukan WB, seperti di bawah ini.

“Ida ratu sakeng luhur kawula nunas lugrane mangda sampun titiang tandruh mangayat betara mangkin titiang ngaturang pejati canang suci lan daksina sarwa sampun puput pratingkahing saji” artinya: wahai Tuhan dari alam nirwana hamba meminta kemurahanMu supaya hamba tidak menyangsikannya hamba menyembahMu sekarang dan hamba menghaturkan persembahan pejati, canang suci dan daksina semua sudah lengkap sarana untuk memujaMu

4.3.3 Retorika

Retorika atau kegiatan bertutur oleh dalang meliputi pemilihan materi

bahasa, kata-kata, ungkapan-ngkapan, istilah-istilah yang digunakan oleh I Ketut

Kodi untuk mewadahi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan kepada penonton

sreta gaya tutur yang sangat menarik dalam menampilkan gagasan dalam

pertunjukan WB.

55

4.3.4 Teknik Teaterikal

Teknik teaterikal yang digunakan oleh I Ketut Kodi yaitu mengapresiasi

kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai alat atau

media utama untuk menyatakan rasa dan karsanya. Alat atau media utama

ditunjang oleh unsur-unsur gerak, suara, bunyi dan rupa. Dalam pertunjukan WB,

dalang dan pendukung dalang semuanya berteaterikal saat menggerakan wayang

yang disesuaikan dengan gerak wayang yang mereka mainkan. Yang paling

berkesan dalam pertunjukan WB, dimana saat klimaks dari pertunjukan WB

teaterikal dilakukan keluar dari tempat pementasan wayang atau panggung

wayang pada saat gugurnya Detya Dimba dan jasadnya dalam cerita di Aben.

4.3.5 Lawakan/Lelucon

Lawakan yang dimaksud disini adalah olok-olok atau main-main saja,

Badudu (1996: 780) menjelaskanlawakan atau melawak adalah ber-olok-olok,

bergurau, melucu, melakukan melakukan sesuatu yangmembuat orang tertawa.

Wiyanto, (2002: 8) menguraikan tentang komedi atau suka cerita adalah penggeli

hati. Drama ini penuh kelucuan yang menimbulkan tawa penonton. Marjaya,

(2006: 14) dalam pertunjukan Wayang Kulit sebagai tontonan, Wayang Kulit

menyuguhkan hiburan-hiburan yang menarik penonton. Salah satunya adalah

lelucon.

Humor/lelucon sangat penting dalam pertunjukan wayang yang sifatnya

sebagai hiburan. Pementasan akan terasa kering bila tidak disuguhi unsur

humornya yang akhirnya menjadi membosankan. Seorang dalang harus pandai-

pandainya mencari dan mengumpulkan bahan-bahan sebagai lelucon dalam

56

pertunjukannya, sehingga penonton merasa jenuh saat menonton pertunjukan

wayang.

4.4 Tetikesan

Dalam dunia pewayangan di Bali gerak merupakan salah satu komponen

yang penting dalam pertunjukan yang lazim disebut dengan istilah “tetikesan”. Di

Jawa disebut dengan istilah “sabetan”.

4.4.1 Bentuk dan Hiasan

Dalam pertunjukan WB yang dapat penulis amati sebagai bentuk hiasan

dari WB adalah:

1. Bentuk WB yang dibuat sedemikian rupa atau dalam artian dimana

penonton bisa melihat secara langsung tanpa terhalangi layar (kelir) dan

bisa melihat adegan per-adegan dari sisi mana saja.

2. Pada pembuka pertunjukan WB disuguhkan kidung atau nyanyian suci

untuk memberikan kesan magis. Hal ini sangat khas dan berbeda

dengan pertunjukan wayang-wayang yang ada di Bali.

3. Ekpresi dalang, atau gerak dalang saat menarikan wayang, para dalang

disini melakukan gerakan yang mengikuti tarian wayang dan mengikuti

irama gamelan.

4. Dalang memakai benang tukelan yang melilit di tubuhnya, untuk

memberi kesan magis dan rasa persatuan antara dalang dengan para

pendukungnya.

5. Iringan, dalam pertunjukan WB menggunakan gamelan semarandana.

57

4.4.2 Tokoh dan Penokohan.

Yang dimaksud dengan penokohan disini adalah proses penampilan tokoh

sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus

mampu menciptakan citra tokoh. Karenanya, tokoh-tokoh harus dihidupkan.

Penokohan menggunakan berbagai cara, watak tokoh dapat terungkap lewat: (a)

tindakan; (b) ujaran atau ucapan; (c) pikiran, perasaan dan kehendaknya; (d)

penampilan fisiknya, (e) apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang

dirinya atau diri oranglain. Tokoh dalam seni sastra disebut “tokoh rekaan”

(dramatis personae) yang berfungsi sebagai pemegang peran watak, baik dalam

jenis roman atau lakon. (Soediro Satoto, 1985: 24-25).

4.4.2.1 Tokoh Protagonis

Tokoh Protagonis adalah pemeran utama, merupakan pusat atau sentral

cerita. Yang menjadi tokoh utama dalam Pertunjukan WB adalah Bima. Karena

dalam cerita yang diangkat dalam pertunjukan WB mengisahkan gugurnya Detya

Adimba. Bima menjadi tokoh utama karena dalam cerita menggambarkan perjalan

hidup Bima ketemu dengan Dimbi sampai dia menikah. Setelah diketahui oleh

Detya Dimba adiknya Dimbi yang disuruh mencari manusia untuk dijadikan

santapan, Dimbi malah bermesraan dengan Bima. Akhirnya perangpun tak

terelakan. Dalam peperangan itu Detya Dimba gugur di tangan Bima.

4.4.2.2 Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis adalah peran lawan ia suka jadi musuh atau penghalang

tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik). Tokoh antagonis

dalam Pertunjukan WB adalah Detya Adimba. Dalam cerita gugurnya Detya

Adimba, Raksasa ini sebagai penghalang tokoh Bima yang pada saat itu sedang

58

bermesraan dengan Dimbi. Hal itu tidak diterima oleh Detya Dimba dan dia pun

menyerang Bima.

4.4.2.3 Tokoh Pembantu

Tokoh pembantu adalah peran yang secara tidak langsung terlibat dalam

konflik (tikaian) yang terjadi; tetapi ia diperlukan untuk menyelesaikan cerita.

Yang menjadi tokoh pembantu dalam cerita yang di angkat dalam pertunjukan

WB adalah Dimbi. Karena dalam cerita Dimbi membantu Bima untuk mengatasi

kekuatan kakaknya Detya Dimba dan memberi tahu Bima tentang kelemahan dari

Detya Dimba.

4.5 Fungsi

Dalam kamus bahasa Indonesia Suharto (dalam Rudita, 20013: 53)

disebutkan fungsi adalah kata benda yang mengandung pengertian suatu pekerjaan

yang dilaksanakan (dilakukan), kegunaan suatu hal yang dapat dibedakan dari

karya yang lain (bekerja sesuai kedudukan).

David kaplan (2002: 76) mengatakan bahwa dalam salah satu bentuknya,

fungsionalisme adalah penekanan dominan pada studi antropologi khususnya

penulisan etnografis, selama dasawarsa silam. (Sudah barang tentu menonjolnya

fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukan

hal kebetulan). Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi

suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodelogis bahwa

kita harus mengekplorasi ciri sistemik bukan daya. Artinya, kita harus mengetahui

bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu

masyarakat sehingga membudaya suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain

59

ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan

tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis.

Dalam membahas fungsi pertunjukan WB secara langsung juga dapat

membahas permasalah ke dua yaitu: faktor apa yang menyebabkan Wayang lemah

dijadikan sumber inspirasi kreativitas WB: Dalang I Ketut Kodi.

4.5.1 Fungsi Estetika

Ilmu estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan

dengan keindahan, yang mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut “ke-

indahan” Djelantik (1990: 6). Pandangan Plato (dalam Sutrisno dan Verhaak,

1993: 25) tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Yang satu mengingatkan

kita akan seluruh filsafatnya tentang dunia idea, sedangkan yang lain nampaknya

lebih membatasi diri pada dunia yang nyata ini. Dalam WB nilai-nilai keindahan

yang terkandung didalamnya dapat mengkontribusi fungsi estetika terhadap

individu dalang I Ketut Kodi sebagai penggarap dan fungsi sosial terhadap

masyarakat penikmatnya.

a) Fungsi Individu

1. Fungsi pemenuhan kebutuhan fisik

Pada hakekatnya seorang dalang adalah manusia mempunyai kecakapan

untuk apresiasi pada keindahan dan pemakaian benda-benda. Seni terapan

memang mengacu pada pemuasan kebutuhan fisik sehingga segi kenyamanan

dalam berkesenian menjadi hal penting.

2. Fungsi pemenuhan kebutuhan emosional

Seorang dalang mempunyai sifat yang berbeda dengan manusia lain.

Pengalaman hidup sesorang dalang sangatlah mempengaruhi sisi emosional/

60

perasaaanya. Contoh perasaan sedih, letih-lelah, gembira, iba, kasihan, benci,

cinta dlll. Dalang dapat merasakan semua itu dikarenakan di dalam dirinya

terkandung dorongan emosional yang merupakan situasi kejiwaan pada setiap

manusia normal. Untuk memenuhi kebutuhan emosiaonal memerlukan dorongan

dari luar dirinya yang bersifat menyenangkan, memuaskan kebutuhan batinnya.

Sebagai sontoh karena kegiatan dan rutinitas sehari- hari maka bisa mengalami

keletihan sehingga memerlukan rekreasi dengan cara mencari hiburan. Seorang

dalang yang memiliki pengalaman estetikanya lebih banyak maka ia akan

memiliki kepuasan yang lebih banyak pula. Seniman adalah seseorang yang

mampu mengapresiasikan pengalaman dan perasaaannya dalam sebuah karya seni

yang diciptakannya. Hal itu juga diyakini olehnya sebagai sarana memuaskan

kebutuhan emosiaonal dirinya.

b) Fungsi Sosial

1. Fungsi Sosial di bidang Rekreasi

Kejenuhan sesorang karena aktivitasnya sehari-hari membuat sesorang

membutuhkan penyegaran diri misalnya diwaktu hari libur mengunjungi tepat-

tempat rekreasi, Seni Pedalangan juga dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi.

Seni Pedalangan sebagai tempat rekreasi adalah seni yang mampu menciptakan

suatu kondisi tertentu yang bersifat penyegaran dan pembaharuan dari kondisi

yang telah ada.

2. Fungsi Sosial di bidang Pendidikan

Pendidikan dalam arti luas dimengerti sebagai suatu kondisi tertentu yang

memungkinkan terjadinya transformasi dan kegiatan sehingga mengakibatkan

seseorang mengalami suatu kondisi tertentu yang lebih maju. Dalam sebuah

61

pertunjukan seni pewayangan orang sering mendapatkan pendidikan secara tidak

langsung karena di dalam setiap karya seni pewayangan pasti ada pesan/ makna

yang sampaikan. Disadari atau tidak rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan

oleh seni merupakan alat pendidikan bagi seseorang. Seni pewayangan

bermanfaat untuk membimbing dan mendidik mental dan tingkah laku seseorang

supaya berubah kepada kondisi yang lebih baik-maju dari sebelumnya. Disinilah

seni pewayangan harus disadari menumbukan pengalaman estetika dan etika.

3. Fungsi Sosial Seni di bidang Rohani

Kepercayaan Agama Hindu sering juga dijadikan sebagai salah satu

sumber inspirasi seni pewayangan Bali yang berfungsi untuk kepentingan

keagamaan. Pengalaman-pengalaman religi tersebut tergambarkan dalam bentuk

nilai estetika. Banyak media yang mereka pergunakan. Ada yang memakai suara,

gerak, visual dan lain-lain.

4.5.2 Fungsi Kreativitas

Munandar (1988: 2) mengungkapkan bahwa, setiap orang memiliki

potensi kreatif dalam derajat yang berbeda-beda dan dalam bidang yang berbeda-

beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar dapat diwujudkan. Untuk ini

diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong, baik dari luar lingkungan maupun dari

dalam individu sendiri. Perlu di ciptakan potensi lingkungan yang dapat memupuk

daya kreatif individu. Lingkungan dalam hal ini mencakup baik lingkungan dalam

arti kata sempit (keluarga, sekolah) maupun dalam arti kata luas (masyarakat,

kebudayaan).Faktor-fator apakah dalam individu dan lingkungan yang merupakan

persyaratan bagi pertumbuhan kreativitas? Jika kita mengetahui faktor-faktor

62

internal eksternal ini maka kita dapat mengusahakan kondisi, suasana atau iklim

(internal dan eksternal) yang mendorong perkembangan kreativitas.

Kreativitas menurut Marajaya (2006: 15) dalam WAYANG Jurnal Ilmiah

Seni Pewayangan mengatakan bahwa kreativitas yang dimaksud disini adalah

dasar-dasar kreaktif atau kreasi yang dimiliki oleh seorang dalang. Dalang yang

kreativitasnya tinggi akan dapat menciptakan hal-hal yang menarik sebagai

figuran dalam sebuah pertunjukan. Kreativitas itu meliputi ruang dan waktu,

dalam ruang dalang dapat memanfaatkan seluruh areal kelir untuk berimprovisasi

baik dalam bentuk wacana, tembang, tetikesan, maupun oleh iringan itu sendiri

yang terkait dengan gerak wayang (tetikesan) maupun tembang vokal. Sedangkan

waktu, yaitu saat-saat yang tepat bagi dalang untuk menyisipkan atau melakukan

kreativitas tanpa mengurangi alur dramatik suatu lakon.

4.5.3 Pertunjukan WB untuk Menghadapi Tantangan Global

Bentuk kreatif dalam hal tetikesan, dalang mampu memainkan wayang

dengan sangat atraktif, artinya dalang I Ketut Kodi mampu mengaplikasi gerak-

gerak yang relevan dalam kehidupan nyata dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika

perang antara tokoh wayang Bima dengan tokoh wayang Detya Adimba, gerakan

Bima saat menghajar Detya Adimba dapat mengaplikasi dari gerak seorang

kesatria yang tangguh sehingga penonton akan lebih tertarik untuk menikmati

pertunjukan WB.

Kreatif dalam hal bahasa, artinya bahasa yang digunakan dalam

pertunjukan wayang menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dimengerti

masyarakat secara luas dan lebih komunikatif, mengingat bahasa dalam

pedalangan dewasa ini sulit untuk ditangkap oleh masyarakat awam.

63

Bentuk kreativitas dalam hal iringan, dalam WB menggunakan Gamelan

Semarandana untuk memberikan suasana yang lebih menarik dalam setiap adegan

pertunjukan tersebut. Sebenarnya seorang dalang cukup mengandalkan daya

kreativitasnya dalam mengolah dan menyusun karyanya sesuai dengan suasana

yang diinginkan, upaya tersebut sekiranya telah mampu diterima dan diminati

masyarakat pendukung pertunjukan wayang kulit.

Durasi dalam pertunjukan wayang, bagi seorang dalang kreatif tentu perlu

untuk dipertimbangkan lagi. Waktu pementesan yang tidak terlalu lama supaya

penonton tidak merasa jenuh dan meninggalkan pertunjukan wayang padahal

pertunjukan tersebut belum selesai, hal ini berakibat akhirnya penonton tidak

mengetahui cerita seutuhnya. Untuk mensiatsati dalam mengurangi durasi

pertunjukan wayang dapat dilakukan dengan mengurangi adegan-adegan yang

tidak penting dan kurang mendukung jalannya cerita. Dengan demikian, durasi

yang lebih efisien dan efektif tersebut maka penonton akan lebih merasa betah

untuk menikmati sajian tersebut.

Faktor-faktor apa yang mendorong dalam diri individu Dalang I Ketut

Kodi dan lingkungan yang merupakan persyaratan dari suatu kreativitas. I Ketut

Kodi adalah seniman Dalang dan juga seorang Dosen seni di Institut Seni

Indonesia Denpasar. Sehingga muncul ide-ide yang baru dari dalam diri beliau

dan juga merupakan suatu tuntutan yang harus beliau jalani sebagai seorang

seniman dalang. Dan lingkungan juga sangat mempengaruhi daya kreatif dari

seorang seniman dalang, Br. Mukti Desa Singapadu tempat kelahiran I Ketut

Kodi, merupakan daerah yang kental dengan seni dan budayanya. Dimana daerah

itu merupakan daerah penghasil produk seni dan banyak seniman-seniman dari

64

seniman topeng termasuk beliau juga, seniman tari, dalang, seni pahat dan lain

sebagainya. Sehingga tidak menutup kemungkinan I Ketut Kodi untuk

berkreativitas sebagai sebagai seniman dalang yang di dukung oleh fator

lingkungan.

WB merupakan hasil dari Kreativitas seorang seniman dalang I Ketut Kodi

yang terinspirasi dari Wayang lemah. Melihat Wayang lemah yang fungsinya

hanya sebagai pelengkap dalam suatu upacara keagamaan di Bali sehingga

muncul ide beliau untuk mengembangkan Wayang lemah ini. Seandainya Wayang

Lemah tidak dikaitkan dengan upacara keagamaan di Bali kemungkinan Wayang

lemah sudah punah dan generasi selanjutnya tidak akan pernah dapat menonton

Wayang lemah.

WB juga berfungsi untuk memotivasi seniman dalang untuk berkreativitas,

sehingga dalang-dalang akademik mulai melirik dan terinpirasi dari segi bentuk

pertunjukan WB. Ada bagian-bagian tertentu yang dilirik seperti dalang I Ketut

Muada, salah satu bentuk panggung dari tiga betuk panggung yang beliau bikin

dalam garapan ujian Tugas Akhit di ISI denpasar tahun 2013, beliau terinspirasi

dari bentuk panggungnya. Untuk memunculkan bayangan wayang di layar

maupun pada adegan-adegan dramatik lainnya di panggung, dalam garapan ini

penggarap menggunakan ruang pentas 4 sisi yang berputar yang satu sisi memakai

kelir putih, dua betel atau tembus tanpa kelir, dan yang satu sisi lagi berisi langse

(kain kelambu), Muada dalam “Skrip Karya Seni Pakeliran Dalem Sidakarya”

(2013: 5).

Garsana dalam wawancara 15 April 2014 hari selasa, beliau mengatakan

garapan yang nanti beliau pentasan dalam ujian Tugas Akhir yang akan

65

dilaksanakan mulai tanggal 5 Mei 2014. Menurut beliau garapannya yang berjudul

“Banda Semara” banyak terinspirasi dari pertunjukan WB. Tanggal 18 April

merupakan puncak acara pedudusan agung di Desa Singapadu. Disana

dipentaskan Wayang lemah atau Wayang Emas dengan lakon Dewa Ruci. Cerita

Dewa Ruci merupakan cerita yang sudah umum, namun I Ketut Kodi yang

mementaskan wayang tersebut mengemas/menggarap sedikit ceritanya yang

merupakan kelanjutan dari WB. Wayang Emas yang beliau pentaskan berasal dari

Mojokerto merupakan peninggalan Hindu yang di buat sekitar 500 tahun

silam.(wawancara tanggal 25 April tahun 2014 hari Jumat jam 12 : 30 siang)

dengan I Ketut Kodi.

4.5.3.1 Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Budaya

Dilihat dari wilayah geografisnya Bali merupakan pulau kecil dengan luas

wilayah yang relatif sempit namun memiliki potensi tradisi besar. Tradisi besar ini

dapat dilihat seperti Bali memiliki, aksara, bahasa dan sastra sendiri, kesenian,

sistim Subak, Banjar dan Desa Pakraman.

Budayawan Prof. DR. Ida Bagus Mantra Gubernur Bali masa bakti 1978 -

1983 dan 1983 – 1988 telah menggali dan memantapkan kembali budaya Bali

sebagai suatu potensi. Mantra mengemukakan bahwa pembangunan berarti

pengembangan kebudayaan akan melahirkan pembangunan. Pembangunan adalah

proses berkelanjutan dan pembangunan memerlukan teknologi. Namun demikian

teknologi hendaknya tidak memperbudak manusia. Oleh karena itu Mantra

mengingatkan dan menekankan untuk dapat memelihara kebudayaan maka

keutuhan ide dasar (sentral)nya harus dapat terbina dengan baik (Sedawa, 2009: 1)

66

dalam makalahnya yang berjudul Membangun Budaya Rohani Generasi Muda

Hindu Bali.

WB merupakan suatu garapan baru yang bertujuan untuk memperkaya

kebudayaan Bali pada khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. I

Ketut Kodi menyiasati keberadaan Wayang lemah yang tergantung terhadap

upacara keagamaan Hindu di Bali. Seandainya tidak ada upacara keagamaan di

Bali kemungkinan besar Wayang lemah akan punah dan keberadaanya

menghilang dari khasanah budaya Bali. Fungsi WB dalam pelestarian dan

penembangan budaya dapat penulis amati adalah sebagai berikut.

1. Untuk menghadapi harus komunikasi yang makin besar, satu-satunya

jalan yang paling bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan secara

nasional ialah dengan cara meningkatkan kesadaran berbudaya,

menumbuhkan kemauan dan komitmen berbudaya. Ini berarti kita harus

lebih mempelajari agama Hindu dan mendalami kesusastraan Bali,

seperti melibatkan diri dengan menonton pertunjukan wayang. Karena

dalam pertunjukan wayang terkandung nilai-nilai yang luhur, begitu

juga dalam pertunjukan WB banyak terdapat ajaran-ajaran yang

bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk menjadi seseorang yang

mampu menyaring unsur-unsur yang baik yang tidak sesuai dengan

kepribadian.

2. Untuk menghadapi tantang baru kebudayaan luar yang akan masuk

tanpa disadari menguasai kehidupan masyarakat sehingga akhirnya

menghilangkan dinamika kebudayaan wayang. Oleh karena itu

melestarikan kebudayaan wayang dengan kreativitas serta

67

mengembangkannya mengikuti kemajuan zaman. Dengan demikian

kebudayaan wayang akan berkembang dan berkelanjutan tanpa

kehilangan akarnya.

3. Untuk menumbuhkan rasa seni yang mendalam dalam masyarakat di

segala bidang, terutama dalam bidang seni pewayangan. Dengan

demikian kita tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang

bersifat negatif karena waktu telah terpusat pada kreativitas.

4. Untuk memperkaya diri dalam khasanah seni pewayangan, masyarakat

Bali memiliki berbagai kearifan lokal yang dapat dijadikan landasan

dalam pergaulan hidupnya seperti menyama braya, segilik seguluk,

ngandap kasor, paras-paros dan salulung sabayan taka. Kearifan lokal

sebagai wujud kebudayaan sendiri perlu dipahami secara mendalam

sehingga tidak hanyut dalam kecemerlangan bentuk luar yang dangkal

isinya. Jika kita dapa menghayati secara mendalam maka akan dapat

membawa kesejahtraan bagi masyarakat yang kemudian lebih

memperkuat akar budayanya. Manusia dapat maju dan dihormati bila ia

menunjukan kreativitas budaya yang tinggi. Warisan budaya seperti

wayang perlu dikembangkan sehingga mampu ikut menyelaraskan diri

dengan kebutuhan kebutuhan masyarakat, seperti di bidang seni

pewayangan, seni lainnya, peninggalan purbakala, sejarah, bahasa, dan

lain-lainnya.

5. Untuk melawan goncangan dan gejolak-gejolak budaya populer dari

luar yang tidak serasi dengan budaya Bali, maka perlu peningkatan

sadar budaya. Sadar budaya akan meningkatkan kreativitas dalam

68

menghadapi tantangan baru yang selalu akan muncul. Bahkan

keberasilan ini akan membawa kesadaran jati diri dengan

kreativitasnya, yang kemudian akan dapat menambah khasanah budaya.

Kesadaran berbudaya berarti sadar akan warisan budaya yang luhur, adi

luhung dan memberi makna hidup dan kemuliaan pada diri sendiri.

6. Untuk mengatasi arus globalisasi, arus globalisasi mempengaruhi

mental dan prilaku manusia yang belum siap menerima arus. Usaha-

usaha yang dilakukan adalah pengenalan akan jati diri dengan

mendalami ajaran agama melalui pertunjukan wayang. Dengan media

wayang akan mudah memahami nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh

budaya sendiri berakar dari ajaran agama.

69

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Pada bab-bab sebelumnya telah dipaparkan hal-hal mengenai bentuk,

faktor penyebab dan fungsi dari Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas

Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi). Berdasarka uraian

yang dijelaskan pada bab-bab tersebut dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

Hasil penelitian Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang

Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) meliputi: (1) aspek

pertunjukan, (2) penjelasan mengenai wayang, (3) darma pewayangan, (4)

pertunjukan wayang kulit Bali, (5) pertunjukan Wayang Lemah, (6) biografi I

Ketut Kodi dan riwayat kelahiran WB, (7) trobosan baru mengenai wayang kulit.

Bentuk Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali

(Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) meliputi: (1) angga, (2) strutur, dan (3)

aparatus. dalam bab ini juga membahas masalah wacana yang digunakan dalam

pertunjukan WB yaitu: (1) sumber cerita, (2) tandak, (3) lawakan, (4) retorika, dan

(5) teknik teaterikal. Tetikesan meliputi: (1) bentuk dan kiasan, (2) tokoh dan

penokohan.

Fungsi Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali

(Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) meliputi: (1) fungsi estetika, (2) fungsi

kreativitas, (3) fungsi pelestarian dan pengembangan budaya.

Pembahasan mengenai fungsi Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas

Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi), secara langsung

70

membahas permasalahan nomor dua mengenai faktor penyebab Wayang lemah

dijadikan sumber inspirasi kreativitas WB.

Seperti apa yang dijelaskan diatas berkaitan dengan objek penulisan yang

diteliti yaitu WB. Bentuk garapan WB adalah garapan pakeliran inovatif dimana

penggarap mencoba mengembangkan dan mengemas secara rapi antara tradisi

Wayang lemah dengan gerak dalang yang lebih dinamis dengan pencahayaan, dan

beberapa pengolahan bentuk, dialog, vokal, gerak wayang serta iringan.

5.2 Saran-saran

Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas Wayang Kulit Bali (Studi

Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) sebagai kreativitas seorang dalang yang patut di

apresiasi oleh para dalang lainnya. Dewasa ini pertunjukan wayang kulit Bali

sudah mengalami perubahan dari pertunjukan tradisi menjadi pertunjukan wayang

inovatif. Disinilah peranan seniman dalang harus mampu melakukan inovasi dan

kreasi secara dinamis sehingga pertunjukan wayang kulit tidak ditinggalkan oleh

penggemarnya. Mengenai penelitian Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas

Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) yang didiskripsikan

dari segi bentuk, faktor dan fungsinya masih belum sempurna. Maka penulis

mengharapkan bagi peneliti yang lainnya untuk memberikan kritik dan sarannya

agar nantinya penelitian tentang Wayang lemah Sumber Inspirasi Kreativitas

Wayang Kulit Bali (Studi Kasus WB: Dalang I Ketut Kodi) menjadi lebih

sempurna.

71

DAFTAR PUSTAKA

Bagiarta, I Wayan. 2006. Buku Ajar Sejarah Kebudayaan Indonesia Denpasar:

Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar.

Bandem, I Made dkk. 1981/1982. Wimba Wayang Kulit Ramayana: Ketut Madra.

Denpasar: Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya

klasik/Tradisional dan Baru.

Djelantik, A.A.M. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Denpasar: Sekolah

Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar.

. 2004. Estetika Sebuah Pengantar Bandung: Masyarakat Seni

Pertunjukan Indonesia.

Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Mudra Jurnal Seni Budaya Volume 11.

Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, UPT Penerbitan 2003.

. 2013. Pedoman Tugas Akhir. Institut Seni Indonesia Denpasar:

Denpasar.

Haryanto, S. 1998 Pratiwimba Adhiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang

Jakarta: Penerbit Djambatan.

Kaplan, David. 2002 Teori Budaya Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kodi, I Ketut. 2009. Ringkasa/Summary WB Denpasar.

Mardana, I Wayan. 2008. “Retorika Dalam Ragam Tutur Pertunjukan” Wayang

Kulit Bali. Denpasar: Universitas Pendidikan Ganesa.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

72

Muada, I Ketut. 2013. Skrip Karya Seni Pakeliran Dalem Sidakarya. Denpasar:

ISI Denpasar.

Mulyono, Sri.1978. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Sebuah Tinjauan

Filosofi, Jakarta: PT. Gunung Agung.

. 1978. Wayang. Asal-usul, filsafat dan masa depannya. PT Gunung

Agung: Jakarta.

Mutiyoso, Bambang, dkk, 2004. Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang.

Surakarta : Citra Etnika.

Pandji, Drs.IG.B.N.dkk. 1987 Ensklopedi Mini Pewayangan Bali Penggalian Seni

Budaya Klasik/Tradisional dan Baru.

Purnamawati, Ni Diah.2005. Tesis Pertunjukan Wayang Cenk-Blonk Lakon Diah

Gagar Mayang Sebuah Pengembangan Budaya Denpasar: Program

Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Rudita, I Made. 20013. Skripsi Tari kayonan Pada Pertunjukan Wayang Kulit

Inovatif Joblar ABG Dalam Lakon Anggada Kunjara Wesi Kajian

Bentuk, Fungsi dan Makna. Institut Seni Indonesia Denpasar:

Denpasar.

Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Parwa Makna dan Dramatiknya Proyek

Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Sedana, I Nyoman. 2006. Seni Budaya Bali dan India: Komparasi Wayang Bali

dan Tolpavakoothu India. Institut Seni Indonesia Denpasar: Denpasar.

.2002. Kawi Dalang : Creativity in Wayang Theatre A Dissertation

Submitted to the Graduate Faculty of the University of Georgia in

73

Patrial Fulfillment of the Requirements for the Degree. Athens

Georgia.

Sedhawa, Dr. Ida Bagus. 2009. Membangun Budaya Rohani Generasi Muda

Hindu Bali Denpasar: Provinsi Bali.

Seramasara, Drs. I Gusti Ngurah. 2000. Sejarah Seni Pewayangan I Buku Ajar

Denpasar: Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia

Denpasar.

Sudarsana, Drs. I.B Putu. 2000. Ajaran Agama Hindu Uparengga Denpasar:

Percetakan Bali Yayasan Dharma Acarya.

Sudarta, I Gusti Putu dkk. 2009. Wayang. Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan.

Institut Seni Indonesia Denpasar: Denpasar.

Sukerta, I Nyoman. 2009. Buku Ajar Pakeliran Gaya Baku VII. Institut Seni

Indonesia Denpasar: Denpasar.

Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito.

Wicaksana, I Dewa Ketut dan Widnyana, I Kadek. 2009. Buku Ajar Pengetahuan

Pedalangan I dan II Denpasar: Fakultas Seni Pertunjukan, Institut

Seni Indonesia Denpasar.

Wiyanto, Asul.2004. Terampil Bermain Drama Jakarta: PT Grasindo.

74

DAFTAR INFORMAN

Nama : I Ketut Kodi

Umur : 51 tahun

Pekerjaan : Seniman Dalang dan Dosen ISI Denpasar

Alamat : Banjar Mukti Desa Singapadu

Nama : I Made Garsana

Umur : 43 tahun

Pekerjaan : Seniman Dalang

Alamat : Banjar Kedampal Abian Semal Badung

Nama : I Made Kariasa

Umur : 35 tahun

Pekerjaan : Seniman Dalang

Alamat : Banjar Angantaka Badung

75

LAMPIRAN 1 Pakem

Panyacah Parwa

Pirapinten gati kunang ikang kala, duknyan tan hana paran-paran nora candra

naksatra Bayuakasadika. Telas ikanang sangarakalpa byakta, mijil..... Sang Hyang

Pasupati anangun kunang tapa mijil Sang Hyang Panca Mahabhuta pretiwi, apah,

bayu, teja, akasa. Paran ri sapara tingkah ira ri wus sampun jangkep ikanang

astadasa parwa riniket tekap ira Bhagawan Kresnadwipayana. Mijil Sang

Angringgit amolah cara kadi gelap sumusuping rangduning prajamandala. Nijil

Sanghyang Kawisuara Murti amunggel kunang tatwa carita, antyan caritanan ri

kehanan ira Rsi Bhisma lwir ginseng tanpapui tuas ira, riwus karenga Dewi Kunti

katekaning Panca Pandawa pejah tinunuan marikanang jatugraha. Samangkana

pamurwanikanang tatwa carita.

Bisma : Aduh lwir gineseng tanpapui ikanang adnyana disubane kapireng

I cening Panca Pandawa mati puun ditu di gua gala-gala. Ratu

bhatara, rasa tanpa guna yasan titiange sane riin wenten I Pandawa

sane cagerang titiang jaga prasida ngupahayu gumi Astinane, dados

mati tanpa dosa. Nah, ngudiang dadi keto, paling melah Ida I biang

bakal tunasang ditu di tukad ganggane. Singgih hyang ibu, ksama

akna nanak inganika dateng lwir angogah kerti inganika

marikanang tirta kedasar.

Dewi Gangga : Uduh nanak Rsi Bisma prapta, ne kenken cening teka masemita

sedih, neng rawosang sareng ibu.

76

Bisma : Singgih aratu ibu, mula asapunika yan demen mekerti tan wus-

wusan nandang sengsara. Prayojananikang anak gumawe pakon

sirang bapa. Kocap yan bakti kelawan rerama margi lantur

muponin rahayu. Titiang masumpah lakar ngelarang brahmacari

kesaksinin antuk Dewata Nawa Sanga, resing gana, lascarya

nyerahang keagungan ring adin titiang, Citranggada. Citrawirya

sapunika taler panggihin titiang, wenten I pandawa satsat

pancadewata sane andelang titiang jaga ngawinang Astinane

kejanaloka, padem kageseng antuk Hyang Agni rika ring Jatugraha.

Yan asapunika panadosne pacang napi mlajahin tutur agama.

Tatwa susila jaga arahin titiang para janane mangda tunjele lontar-

lontar agamane.

Dewi Gangga : Uduh nanak mas atma jiwa ibunta kita, cening Rsi Bisma, eda

cening sebet, I Pandawa nu idup, iya ada di tengahing alas buka

jani. Ne tuah pasuwecan Sang Hyang Widhi, ngicenin iya jalan

apang maan malajah lawan para Rsine di alase, miwah teken sarwa

pranine apang mateng bekel iyane wekasan dadi ratu, apang cening

percaya, takonin I Arya Widura, iya ane ngaenin jalan mawinan I

Pandawa luput lawan bayapati.

Bisma : Singgih inganika ibu, ksamakna yeki nanak inganika suksma ibu.

Enak mawali ibu maring tirta kedasar.

Narasi : Kweh swara kang giri-giri ri tengahing alas ri kalaning timira.

Warnanan ri mangkana suka cittanira Rsi Bisma wus rumenga

Pandawa kari maurip, antian cinaritanan mangke Sang Pandawa

77

dulur ibunira Dewi Kunti hana maring pantaraning desa Ekacatra

lawan wana Kurubaya.

Tualen : Sarwa angatagin sarwa sinom sarwi anangis ring luhur

Pakerikning sunari ampruang sriyokning cemara, angelur kesanga

luwah warih

Wredah : Akwehing wwang amalu, taluktak lawan jurang suaranya

anarung. Ertalinya kumaroncong nibeng parangan (Wilet

Mayura).

Tualen : Dah!

Wredah : Awake nanang

Tualen : Yan sing tebeg pasuecan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dong ba

blegeran konaa Bhataran nani Sang Pandawa puun di Jatugraha.

Wredah : Siapa tan katemoning ala, masedana sarwa ala. Biakta katemoning

ayu, masedana sarwa ayu. Yen suba pelaksanane patut, sinah bakal

kasuecanin sangkan jalan patute titinin anggon kanti, nanang.

Tualen : Ane kangenin nanang, Ida Bhatari Kunti suba maraga lingsir

kebara-bere iring dini di alase, ya ya ratu dadi kene dadi tepukin

titiang buka jani.

Wredah : Da keto nanang, Sang Pandawa anak maraga luwih, mabukti

pangarawuh Ida di Ekacatra prasida nambanin gumi Ekacatrane

saking pangrabdan I Detya Baka ane suba liwat, tur jani gumine

ditu, aman panjake, suba pada liang tur seleg, nyidang magarapan

tusing ja ada anak bani ngulgul buin. Ratu dewagung sareng sami

ngiring aratu macecingak iriki ring wanane.

78

Tualen : Durusang aratu durusang

Sahadewa : Madria ya lara siuhratanira (bebaturan)

Nakula : Kena de parta len Sang yuyutsu, yayi enak aparek lawan ibu

(bebaturan).

Sahadewa : Namya ranten inganika.

Arjuna : Mulatmara Sang Arjuna asemu kamanusan kaserepan ri

tingkahing musuh ira pada kadang taya wwang waneh

(bebaturan). Tawalen tuwinyan marikanang wana yan sampun

apupul lawan wwang sanak lwir marikanang swaraja.

Tualen : Yadiastun ring tengahing wana, yen sampun sareng ring sametone

sami waluya cokoridewa wenten ring puri Astina malinggih.

Arjuna : Yogya

Tualen : Patut aratu dwagung. Dah.., Ida Sang Bima punduta biang

katekaning rakan Ida sang Darmawangsa. Keto baktin idane.

Wredah : Bengong sajan wake nanang.

Bima : Penganjuraning lumampah sang mangaran Bima surangga kara

(bebaturan). Singgih inganika ibu, menawa inganika lesu enak

mararyan maring sor ikanang wandira.

Kunti : Nanak, ibunta kasatan poma, kita angamet we!

Tualen : Ida I biang kasatan, ngiring aratu dewagung made ngrereh toya!

Bima : Aneda ngiring, enak kaka ibu araryan!

Yudhistira : Yayi, yatna-yatna ta kita!

Bima : Ayua sangsaya kaka. Tualen, Wredah, enak lumampah, ring endi

hana danu, lwah metan ikanang we.

79

Tualen : Ngiring aratu mamarga. Katon kayune majajar-jajar. Kayu pinaka

wayang, akasa pinaka kelir. Dah.., ngulangunin pesan di alase,

Dah..! Dija ya jenaa ada tukad ada yeh?

Wredah : Nanang, dija ada kedis kerekuak, kedis kokokan tuwun, sinah ditu

ada yeh, ento cirine!

Tualen : Wredah.., burone pada masliyuran. Warak, gajah, pada malumba

galaknya.

Binatang-binatang saling menunjukkan kebolehannya, seperti: Singa,

harimau, kijang, dll.

Narasi : Ndatatita prabhu gumanti tujara sang detya kara wisaya

(bebaturan)….tan caritanan kehanan ikanang arya Bima ngulati

ikanang

we antian kawinursita mangke Detya Adimba anganti anten ira

Raksasi Adimbi angulati ikanang mangsa

Delem : Joh kong jangkung merangkung mara kumira kiramoring orang-

aring. Ring kangkung kungpa mangkuk kateleguk arep ring

dungilang ilung kong kuntul kong manungkul milu mulat ring

Melem mamulat wesanya tah wisesan bisu si besi bisan pangeluwi

sisili (bebaturan)

Sangut : Masadewek Lem.

Delem : Magending cai Ngut!

Sangut : lengleng lunglung lumanglang tumulu yalalaya ring sang

kulirangan Cangkak cod cangcinganya kecaka caka calan carcan

cucucud Dontang dok dina ya ngdoh mamedi-medi yatah medi

80

wedi-wedi Daryas minggus kasingkuh milu winijah ajong kampid

tukangakung (bebaturan)

Delem : Sangut, arah ha ha ha liang idep kakane mamarekan dini ngiring

bhataran cai Ida Detya Adimba. Sapamadegan ida dini di alas

kurubayane, jak tusing ada bani liwat. Salingke marupa manusa,

dewa tusing ada bani liwat.

Sangut : Dadi keto Lem?

Delem : ye reh asing ane liwat amaha teken bhataran cai, ye ajenga

Sangut : Keto suba rakus idane, mawinan telah suba tetadahane, bingung

ida jani

Adimba : Delem!

Delem : Titiang

Adimba : Aduh, ngong kaluwen. Kadiang punapa yayi Adimbi? Lama tan

hana prapta angawa tetadahan

Sangut : Dados masue ida I ari tan rawuh, dija jenaa ida ngrereh, yan

amunika rasa tampek boon manusane

Adimba : Yogya! Dimbi ring endi kalaganta. Enggal-enggal mulih, kaka

sampun seduk. Aduh..tan kuasa ngong naenang seduk Delem,

Guludawa, poma alih I adi Adimbi

Delem : Mangda titiang nyerep Ida lari.

Adimba : Yogya!

Delem : Sangut, jalan brangkat Ngut!

Sangut : Jalan Lem!

81

Narasi : Warnanen, ri kakung ira raksasi Adimbi. Wus lumihat sira

Bimasena tan sah sira angreremih

Adimbi : Baan tumben tepuk di jalan, bungsang hati ne ngiwasin, adeg

agung kumis nyempang

Bima : Tualen, dija ada anak luh gending-gending?

Tualen : Anak luh nuduk saang!

Bima : Apa nuduk saang, luh-luhe suba nganggo kompor gas mangke,

mirib ada kafe dekat-dekat sini

Wredah : Nanang, aduh! Anyang-anyangan wake nanang!

Tualen : Aeng ganjih bayun caine, saja jelema truna, tegul tuktukne Dah!

Adimbi : Larasmara olih usadi

Supana kariaurip

Geseng bara api kakung

Bima : Tualen, tulungin aku, cai nyerep ma, aku sing bias maken kenean

Adimbi : Ngiring amunggahing ulam

Tualen : Aaa maan pok!

Wredah : Nanang, wake bang pok, bang pok nanang!

Tualen : Ngoyong malu tolih-tolih gen, baanga cai teori.

Wredah : Nae nang, sing tahan nang

Adimbi : Nunggaling Samara Ratih

Bima : Jlema apa ne tanjal pesan!

Adimbi : Gula madu

Ngemaduang surasa agra (Sinom)

Bima : Geli-geli e e e geli, ah..! cicing kalaganta!

82

Tualen : Sampunang duagung made, keni hukuman KDRT cokoridewa.

Adimbi : Pakulun nari raja tlusakna sih inganika lamakana sida alakirabi

lawan sunu inganika Adimbi (menghadap Dewi Kunti) Yan tan

sida, leheng pejah yeki Dimbi (mengambil keris mau bunuh diri)

Kunti : Dewi, ayua kita mangko tuas kadalurung pejah kadi suwung

ngarania

Tualen : Dewa Diah Dimbi sampunang asapunika mati suwung, mati

ngapung wastane nika

Kunti : Nanak Werkodara, tulus akna weniaken pamintanikanang Dimbi.

Apan katon denirang ibunta jatu karmanta yayateki

Bima : Aku lek ibu lara, catur sanak lara, aku meliyang-liyang, idep aku

aja.

Kunti : Ibunta asung kreta lugraha

Yudhistira : Kakanta asung kreta lugraha juga, tumut rantenta presama.

Bima : Yan sampun mangkana trimakasih presama

Adimbi : Singgih pakulun nare raja, narendra catur Pandawa parama

suksma yayateki patik inganika Dimbi

Kunti Yudhistira : Inghulun asung kreta lugraha.

Adimbi : Kaka enak mangke anglanglang ulangun

Bima : Berbulan madu

Adimbi : Yogya (Mereka berbulan madu di atas bukit, di pantai, di pinggir

sungai)

Narasi : Antyan tan kuasa Adimba anandang lapa, tan sah sira migna

gatinikang wanacala

83

Adimba : Dimbi, ringendi kamu, aduh aduh.

Delem : Sangut, nyag-nyug alase Ngut!

Sangut : Melem, burone makalukan tur makejang dengang, stress betaran

Melem.

Adimba : Delem.., Guludawa.., siapa yayatika acangkrama ri angranikanang

parwata?

Delem : Nyen to ngroman di tuktuk gununge Ngut?

Sangut : Dewagung, Ida I ari ngroman sareng preman

Delem : Ah…, pangseganga, jujukanga, tungginganga, ah eh ah hmm..

Sangut : Lem, Lem, da ilidanga Lem. Lem Lem nah keles

Adimba : Dimbi

Dimbi : Kaka ayua

Adimba : Siapa wwang yayatika? Maman bang nyai ngamah iban nyaine!

Dimbi : Anten ta tresna lawan sira kaka Bima

Adimba : Siapa ? Mr. Bin ?

Dimbi : Tapuan. Bimasena

Adimba : Bima, pejah kalaganta. Tan urungan kita piringan de Dimba

kayamangke mati

Bima : Dimba, enak payu aperang pejah kita mangke

Dimbi : Kaka Bimasena, yatna-yatna inganika. Pakulun nare raja

warahakna lawan kaka Bimasena ring tapak kiwa kawisesan

Adimba

Kunti : Nanak, Bima palu tapaking kiwa Adimba

Bima : Suksma ibu. Dimba mati.

84

Adimba : Aduh.., mati Dimba mangke. Bima, henengakna rumuhun

sadurung ngong pejah. Ngong arep atutur lawan yayi Adimbi.

Aduh, aduh yayi Dimbi. Tan urungan kakanta pejah mangke,

nanging sadurung kakanta pejah rengenakna pawekas-pawekas

kakanta

Delem : Sangut, sing buwungan bhataran cai bakal seda, ya..! ya..! ya..!

Sangut : Nengil Melem, nengil! Bawos bhataran Melem matuturan ring

rain idane, adi Dewi Dimbi, tusing buwungan beli bakal ngalin adi

mati, sakewala sakonden beli mati, padingehang munyin beline

Adimba : Beli suba nawang, adi suba beling. Melahang nyen melihara

beling adine, apang ye dadi putra utama sida bakal ningtingang

naman wangsa kurubayane wekasan. Yen suba ya lekad, adanin

Gatotkaca. Reh bok ya ne jebug tur kriting, suba kelih serahang

gumi kurubayane keratin pringandanine teken I cening.

Adimbi : Kaka, ksamakna ranteninganika, apan titiang ngawenang beli

seda, titiang ngiringang saluir bawos beline.

Adimba : Singgih, singgih inganika nrepa Pandawa. Ampurayang iwang

titiange, titiang mapamit padem sane mangkin. Druwenang

katambetang adin titiange Dimbi. Aduh, pejah sira Dimba.

Kunti : Uduh Dewi Dimbi, dulur nanak Panca Pandawa enak geseng

mangke layon sira detya Dimba.

85

LAMPIRAN 2

1. Bagaimana bentuk WB: dalang I ketut Kodi.

- Bagaimana bentuk WB yang Bapak Ketut Kodi ciptakan?

- Kenapa anda memilih Wayang lemah untuk garapan WB?

- Apa keunggulan dari WB?

- Adakah alat-alat yang dikurangi dan di tambah dalam WB?

- Kenapa dalam pembuka pertunjukan WB anda memakai Kidung

Wargasari?

- Berapa personil garapan WB?

- Apakah dalam WB memakai Blencong?

1. Faktor penyebab berkreativitas.

- Faktor apa yang menyebabkan muncul ide anda untuk menggarap WB?

- Apakah ada dorongan dari luar atau ide anda sendiri?

- Apakah penggarapan WB ada kaitannya dengan keadaan sosial

masyarakat sekarang?

- Adakah faktor-faktor yang lain selain melihat kondisi Wayang lemah

hanya sebagai pelengkap upacara keagamaan?

2. Apa fungsi WB: dalang I Ketut.

- Apa fungsi WB dalam kehidupan sosial masyarakat?

- Apakah WB berfungsi sebagai dalang-dalang yang lain untuk

berkreatifitas?

- Adakah fungsi pelestarian budaya dalam garapan WB?

- Apakah kreativitas WB akan berlanjut atau sampai disini?

86

LAMPIRAN 3

(Gambar 1) Bentuk panggung WB.

(Gambar 2) Dalang melakukan persembahan sebelum pentas.

87

(Gambar 3) Ekspresi Dalang saat menarikan Kayonan.

(Gambar 4) Adegan Begawan Beksakarma menghadap ibunya Dewi Gangga.

88

(Gambar 5) Adegan Bima dengan Dimbi.

(Gambar 6) Dialog Punakawan Malen dengan Merdah.

89

(Gambar 7) Adegan Pertarungan Bima dengan Detya Dimba.

(Gambar 8) Adegan Pengabenan Detya Dimba setelah kalah perang melawan

Bima.

90

(Gambar 9) I Ketut Kodi Dalang WB Sekaligus Informan Kunci.