case pterigium

30
CASE REPORT PTERIGIUM GRADE II OD DISUSUN OLEH: Cindikia Ayu S. 1102011065 PEMBIMBING : Dr. Hj. Elfi Hendriati Budiman, Sp.M DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF MATA RSUD GARUT FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: debby-astasya-annisa

Post on 22-Jan-2016

55 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

eyes

TRANSCRIPT

Page 1: Case Pterigium

CASE REPORT

PTERIGIUM GRADE II OD

DISUSUN OLEH:

 

Cindikia Ayu S.

1102011065

PEMBIMBING :

Dr. Hj. Elfi Hendriati Budiman, Sp.M

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN

KLINIK BAGIAN/ SMF MATA RSUD GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2015

Page 2: Case Pterigium

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PENDERITA PEMERIKSA

No. CM : 798xxx Nama : Cindikia Ayu S

Tanggal : 7 September 2015 NPM : 1102011065

Nama : Ny. T

Umur : 36 tahun (P) PEMBIMBING

Alamat : Kp. Sengke

Pekerjaan : Buruh Tani (dr. Hj. Elfi Hendriati B, Sp.M)

ANAMNESA

Keluhan utama : Terdapat selaput pada mata kanan

Anamnesa khusus :

Pasien perempuan 36 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet Garut dengan keluhan

adanya selaput pada mata kanan yang dirasa sejak 8 bulan yang lalu. Pasien mengatakan

awalnya selaput tersebut sebesar tahi lalat, lalu dirasakan semakin lama semakin membesar

sehingga pasien merasa seperti ada yang mengganjal di mata dan mengganggu aktivitas.

Selain itu pasien juga mengeluhkan mata yang merah yang disertai dengan berair dan gatal.

Keluhan dirasa memberat pada saat pasien sedang beraktifitas di luar ruangan dan merasa

membaik apabila pasien sudah berada di dalam ruangan atau rumah. Apabila sedang berada

diluar ruangan atau sedang bertani pasien tidak mengenakan topi maupun kacamata

pelindung. Pasien mengeluhkan apabila melihat terasa buram dan mengatakan bahwa mata

pasien pernah tercolok padi saat sedang bertani. Keluhan seperti melihat ganda ataupun

2

Page 3: Case Pterigium

buram seperti ada kabut disangkal oleh pasien. Adanya kotoran mata pada pagi hari disangkal

oleh pasien. Pasien mengaku belum pernah diobati sebelumnya.

Anamnesa keluarga :

Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang menderita penyakit selaput pada mata.

Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal oleh pasien. Tidak ada anggota keluarga

yang mengenakan kacamata. Tidak ada anggota keluarga yang melihat buram.

Riwayat penyakit dahulu :

- Pasien mengaku baru pertama kali mengalami mata berselaput ini

- Pasien mengaku memiliki riwayat darah rendah

- Adanya penyakit kencing manis disangkal oleh pasien

- Pernah memakai kacamata disangkal oleh pasien

- Pasien mengakui bahwa matanya pernah tercolok padi

Riwayat Sosial ekonomi :

Pasien mengaku bahwa pekerjaan sehari-hari pasien adalah sebagai buruh. Saat ini pasien

tinggal bersama suami yang bekerja sebagai buruh beserta anaknya. Pasien mengatakan

pengobatan pasien dengan menggunakan jamkesmas.

Riwayat gizi :

Pasien sehari-hari makan 3 kali sehari, dengan menggunakan makanan yang seadanya di

warung nasi dekat rumahnya. Seperti contohnya nasi, telor, tahu, sambel, yang disertai

dengan sayur bayam.

PEMERIKSAAN

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit Ringan

Kesadaran : Composmentis

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

3

Page 4: Case Pterigium

Respirasi : 24 kali/menit

Suhu : 36,1° C

2. Status Oftalmologi

Pemeriksaan Subjektif

Visus OD OS

SC 0,6 0,6

CC - -

STN - -

KOREKSI S-1,75 C-0,2590° S-0,75

ADD - -

GERAKAN BOLA MATA Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Pemeriksaan Eksternal

OD OS

Palpebra superior Tidak Ada Kelainan Tidak Ada Kelainan

Palpebra inferior Tidak Ada Kelainan Tidak Ada Kelainan

Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur

Ap. Lakrimalis Tidak Ada Kelainan Tidak Ada Kelainan

Konj. Tarsalis superior Tenang Tenang

Konj. Tarsalis inferior Tenang Tenang

Konj. Bulbi Terdapat jaringan

fibrovaskular yang

berbentuk persegi panjang

pada bagian nasal yang

melewati limbus hingga

kornea

Tenang

4

Page 5: Case Pterigium

Kornea Terdapat jaringan

fibrovaskular yang

berbentuk persegi panjang

yang mengenai ± 0,5 mm

kornea

Jernih

COA Sedang Sedang

Pupil Bulat, ditengah Bulat, ditengah

Diameter pupil ± 3 mm ± 3 mm

Reflex cahaya

Direct + +

Indirect + +

Iris Coklat, Kripta + Coklat, Kripta +

Shadow test Negatif Negatif

Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Biomikroskop (Slit Lamp)

OD OS

Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur

Konjungtiva superior Tidak Ada Kelainan Tidak Ada Kelainan

Konjungtiva inferior Tidak Ada Kelainan Tidak Ada Kelainan

Kornea Jernih Jernih

COA Sedang Sedang

Pupil Bulat, isokor, di tengah Bulat, isokor, di tengah

Iris Coklat, kripta jelas Coklat, kripta jelas

Lensa Jernih Jernih

Tonometri schiotz 7 / 5.5 = 12.2 mmHg 4 / 5.5 = 20.6 mmHg

Palpasi Normal perpalpasi Normal perpalpasi

Pemeriksaan Funduskopi

Funduskopi OD OS

Lensa Dalam batas normal Dalam batas normal

Vitreus Jernih Jernih

5

Page 6: Case Pterigium

Fundus Reflex fundus (+) Reflex fundus (+)

Papil Bulat, batas tegas Bulat, batas tegas

CDR 0,3-0,4 0,3-0,4

A/V retina sentralis 2/3 2/3

Retina Eksudat (-)

Perdarahan (-)

Edema (-)

Eksudat (-)

Perdarahan (-)

Edema (-)

Macula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

RESUME :

Pasien perempuan 36 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet Garut dengan keluhan

adanya selaput pada mata kanan sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan seperti ada yang

mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar ke bola mata (+), mata kiri merah,

berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena sinar matahari dan debu. Apabila melihat

terasa buram (+). Riwayat trauma karena tercolok padi (+). Apabila sedang berada diluar

ruangan atau sedang bertani keluhan dirasa memberat (+), pasien tidak mengenakan topi

maupun kacamata pelindung (+).

OD OS

Visus 0,6 0,6

Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Palpebra sup/inf Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Konjungtiva bulbi Terdapat jaringan

fibrovaskular yang

berbentuk persegi panjang

pada bagian nasal yang

melewati limbus hingga

kornea

Tenang

Kornea Terdapat jaringan

fibrovaskular yang

berbentuk persegi panjang

yang mengenai ± 0,5 mm

Jernih

6

Page 7: Case Pterigium

kornea

COA Sedang Sedang

Pupil Bulat isokor Bulat isokor

Iris Coklat, kripta + Coklat, kripta +

Lensa Jernih Jernih

Tonometri 12,2 mmHg 20,6 mmHg

Shadow Test - -

Lensa Jernih Jernih

Fundus Reflex fundus (+) Reflex fundus (+)

Diagnosa kerja :

Pterygium Grade II OD

Diagnosis banding :

Pinguecula OD

Pseudopterigium OD

Rencana pemeriksaan:

1. Pemeriksaan Sonde

2. Pemeriksaan Histologi

3. Pemeriksaan Laboratorium: Hb, Ht, Trombosit, Leukosit, BT, CT

4. Pemeriksaan Kimia Darah: Glukosa Darah Sewaktu

5. Pemeriksaan Urin Rutin

Rencana terapi :

Medikamentosa :

Cendo Xytrol ED 6dd gtt 1 OD

Non medikamentosa:

1. Hindari panjanan pencetus, misalnya matahari dan debu dengan menggunakan

kacamata pelindung atau kacamata hitam dan menggunakan topi saat beraktivitas di

luar ruangan.

2. Rencana operasi OD dengan alasan kosmetik.

Prognosa :

Quo ad vitam : Ad Bonam

Quo ad functionam : Ad Bonam

7

Page 8: Case Pterigium

8

Page 9: Case Pterigium

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PTERYGIUM

Definisi

Pterigium adalah penyakit mata eksternal umum yang lebih sering terlihat di daerah tropis

dan subtropis karena paparan sinar matahari ultraviolet.1 Pterygium adalah suatu jaringan

yang berbentuk segitiga atau sayap pada permukaan basement membrane sebagai akibat dari

pertumbuhan epitel limbus yang masuk ke kornea secara sentripetal. Proliferasi tersebut

diikuti dengan terjadinya hiperplasia dari epitel konjungtiva, proliferatif, gambaran inflamasi,

serta kaya pembuluh darah. Gambaran histologi dari pertumbuhan berlebihan pterygium

adalah terdapatnya proliferasi fibrovaskular berlebihan, degradasi membran basal, dan invasi

stroma kornea oleh jaringan fibrovaskular.2 Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi

degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk

menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat

hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.13

Epidemiologi

Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan

kering yang merupakan karakteristik dari daerah periequator. “Sabuk pterygium” merupakan

daerah dengan prevalensi pterygium yang tinggi, terletak pada daerah lintang 370 utara dan

selatan equator. Menurut Tan et al. beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang

meningkat sesuai umur. Berdasarkan hasil survei nasional pada tahun 1993-1996 mengenai

angka kesakitan mata di 8 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa pterygium terletak pada

urutan kedua penyakit mata terbanyak di Indonesia dengan angka prevalensi sebesar 13,9%.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gazzard di Indonesia, ditemukan bahwa angka

prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Sumatra. Sedangkan, dari survei kesehatan indra

penglihatan dan pendengaran tahun 1995, prevalensi pterygium merupakan urutan pertama

pada penyakit mata tersering di Sulawesi Utara dengan angka prevalensi 17,9%. Mandang

pun menemukan kasus pterygium sebanyak 14,69% khususnya di 19 desa dan sebanyak

17,50% di tiga ibukota kecamatan Kabupaten Minahasa. Angka tersebut menempatkan

pterygium sebagai penyakit mata nomor tiga sesudah kelainan refraksi dan penyakit infeksi

mata bagian luar. Hasil yang lebih detail dilaporkan oleh Bustani dan Mangindaan.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebanyak 21,35% kasus pterygium di dua desa

9

Page 10: Case Pterigium

Kabupaten Minahasa Utara dengan persebaran pria sebanyak 12,92% dan wanita sebanyak

8,43%.2

Survei epidemiologi menunjukkan bahwa tingkat prevalensi pterygium bervariasi tergantung

pada populasi yang sebenarnya. Prevalensi keseluruhan berkisar 0,7-31% di berbagai

populasi dunia. Sebagai aturan umum, tingkat prevalensi untuk peningkatan pterygium

dengan usia meskipun penurunan prevalensi memiliki dilaporkan untuk pasien berusia lebih

dari 60 sampai 70 tahun. Biasanya berkembang pada pasien yang telah hidup di panas iklim

dan mungkin merupakan respon terhadap kekeringan kronis dan paparan sinar ultraviolet,

debu dan angin panas. Ini jarang terlihat pada pasien yang lebih muda dari usia 20 tahun. Dari

91 mata pada 80 pasien mata kanan terlibat dalam 54 pasien (67,5%), mata kiri terlibat dalam

37 pasien (46,25%). Lokasi pterygium ditemukan menjadi hidung di 88 mata (96,70%) dari

mata, sedangkan temporal dalam 3 (3,30%) dari mata. 3

Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi pterygium bersifat multifaktorial, dapat berupa paparan sinar matahari, debu,

ataupun udara kering. Faktor resiko untuk terjadinya pterygium telah dievaluasi di berbagai

tempat di dunia dan memberikan bukti bahwa komponen genetik, mekanisme anti apoptosis,

sitokin, faktor pertumbuhan, faktor angiogenik, ekstraseluler matrix remodeling, mekanisme

imunologik, dan infeksi virus memiliki pernanan terhadap terbentuknya pterygium.2

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni

menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan

jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.4 Radiasi cahaya UV tipeB

menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian

terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat

dalam patogenesis pterigium.5

Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu,

kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang

menjalar ke kornea.6

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama

untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada

konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan

ke meatus nasi inferior.6

10

Page 11: Case Pterigium

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih

banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak

langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung

akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering

didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.6

Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra

akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel kornea dan

sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal stem cell.

Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan

dan meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis.

Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial

fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik dan

proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea.

Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan

jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal,

atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi

pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, yaitu

lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium

menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk

memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini

11

Page 12: Case Pterigium

menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea

sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.7

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi

fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen

abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan

hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan

tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa

dihancurkan oleh elastase.7

Klasifikasi

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup

oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut

Youngson):

Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2

mm melewati kornea

Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.8

Manifestasi Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

1. mata sering berair dan tampak merah

2. merasa seperti ada benda asing

12

Page 13: Case Pterigium

3. timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,

biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga

mengganggu penglihatan

4. pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis

visual sehingga tajam penglihatan menurun.

Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata,

disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama

bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan

penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing

dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat

melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan

menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan

menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti

pada pseudopterigium.

Diagnosis Banding

1. Pinguecula

Pinguecula sangat sering pada orang dewasa. Keadaan ini tampak sebagai nodul

kuning pada kedua sisi kornea (lebih banyak di sisi nasal) di daerah aperture

palpebrae. Nodul terdiri atas jaringan hialin dan jaringan elastic kuning, jarang

bertumbuh besar, tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan terapi,

tetapi sering meradang. Pada umumnya tidak diperlukan terapi, tetapi pada kasus

pingueculitis tertentu, dapat diberikan steroid topical lemah (mis., prednisolone

0,12%) atau obat anti-inflamasi non-steroid topical.8

13

Page 14: Case Pterigium

2. Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat

ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva

tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan

hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium

juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada

pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea

sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula

didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.6

14

Page 15: Case Pterigium

Tatalaksana

1. Terapi Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang

mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan

steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan

kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau

mengalami kelainan pada kornea.

15

Page 16: Case Pterigium

2. Terapi Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat

mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut

ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior

untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu

memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal

mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)

sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari

pemakaian MMC juga cukup berat.

A. Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau

karena astigmatismus

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

B. Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan

dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah

digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat

kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium

adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk

memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk

epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan

kornea.9

1. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan

sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89

persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.9

2. Teknik Autograft Konjungtiva

16

Page 17: Case Pterigium

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40

persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan

autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di

atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi,

dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-

hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi

minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst,

MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar

untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat

rendah dengan teknik ini.9

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran

amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan

bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat

peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan

sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia

primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan

dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar

konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan

membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.

Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin

untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral

dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

Komplikasi

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan visus dan skar

pada konjungtiva, kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi,

17

Page 18: Case Pterigium

diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan

perforasi bola mata meskipun jarang terjadi.10

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi

sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah

berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau

transplantasi membran amnion pada saat eksisi.11 Pada kesempatan langka, degenerasi ganas

dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.

Preventif

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani

yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata

pelindung sinar matahari.6

Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan

dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.6

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat

ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa

tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya.

Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting

dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien

tertentu.12

18

Page 19: Case Pterigium

BAB III

PEMBAHASAN

Pembahasan di dalam kasus ini antara lain mencakup :

1. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai pasien dengan Pterigium grade II OD?

2. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien ini ?

3. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?

1. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai pasien Pterigium grade II OD?

Anamnesis :

Pasien perempuan 36 tahun datang ke Poliklinik Mata RSU dr. Slamet Garut dengan keluhan

adanya selaput pada mata kanan sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan seperti ada yang

mengganjal (+), terdapat selaput di mata kiri menjalar ke bola mata (+), mata kiri merah,

berair, dan gatal (+) semakin memberat jika terkena sinar matahari dan debu. Apabila melihat

terasa buram (+). Riwayat trauma karena tercolok padi (+). Apabila sedang berada diluar

ruangan atau sedang bertani keluhan dirasa memberat (+), pasien tidak mengenakan topi

maupun kacamata pelindung (+).

Pada pemeriksaan Oftalmologi didapatkan hasil :

OD OS

Visus 0,6 0,6

Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Palpebra sup/inf Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Konjungtiva bulbi Terdapat jaringan

fibrovaskular yang

berbentuk persegi panjang

pada bagian nasal yang

melewati limbus hingga

kornea

Tenang

Kornea Terdapat jaringan

fibrovaskular yang

Jernih

19

Page 20: Case Pterigium

berbentuk persegi panjang

yang mengenai ± 0,5 mm

kornea

COA Sedang Sedang

Pupil Bulat isokor Bulat isokor

Iris Coklat, kripta + Coklat, kripta +

Lensa Jernih Jernih

Shadow Test - -

Lensa Jernih Jernih

Fundus Reflex fundus (+) Reflex fundus (+)

2. Bagaimanakah penatalaksanaan pada pasien ini?

Pada umumnya terapi untuk pterigium grade I dan II adalah dengan memberikan

kombinasi antibiotic dengan kortikosteroid. Maka pada pasien ini diberikan cendo

xytrol yang kandungannya berupa dexamethasone, neomycin sulfate, dan polymixin B

sulfate. Tetes mata ini diberikan sehari 6 kali sebanyak 1 tetes pada mata kanan.

Sedangkan terapi non medikamentosa adalah dengan menghindari pajanan sinar

matahari dan debu dengan menggunakan kacamata pelindung dan topi saat beraktifitas

di luar ruangan.

3. Bagaimanakah prognosis pada pasien ini?

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Umumnya prognosis pada pterigium adalah baik. Dengan melakukan pembedahan

hasilnya akan baik, tetapi jika terjadi kekambuhan dapat diatasi dengan kombinasi

operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.

20

Page 21: Case Pterigium

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed A Zaki , Sherif Emerah , Mohamed Ramzy, Hany M Labib. Management of

Recurrent Pterygia. Journal of American Science 2011;7(1):230-234.

2. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai Faktor Risiko Tumbuh Ulang

Pterygium. J Indon Med Assoc. 2013;63(3):100-105.

3. Pandey A, Marken N, Marken R, Pandey B. A Clinical Study of Pterygium and

Results of Treatment by Excision and Limbal Autograft or Augmented with Post-

Op Mitomycin C. Open Journal of Ophthalmology. 2013;03(04):97-102.

4. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of

pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-

13.

5. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium

treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308–313.

6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III

penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104

7. Anisa R. Perbandingan Hasil Operasi Pterigium Tipe Vaskular Dengan Metode

Bare Sclera dan Conjunctival Autograft. Thesis. RSUP H. Adam Malik, Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.

8. Eva P, Whitcher J. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. 17th ed. Jakarta: EGC;

2015.

9. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management

of Pterygium http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?

10. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review.

Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5

11. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.

Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p.

51 - 82.

12. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

13. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.

21