repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · bab ii tinjauan pustaka 2.1....
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teori
Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk,
definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara mengonstruksi hubungan antar konsep dan proposisi dengan
menggunakan asumsi dan logika tertentu. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
2.1.1. Kebijakan Publik
2.1.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau public policy berasal dari
bahasa Yunani “polis” yang berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam
bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam
bahasa Inggris “policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-
masalah atau administrasi pemerintahan.
Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003: 1), kebijkan publik
adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan
suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi
9
10
kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat
hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan
publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai
intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai
instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
Easton dalam Tangkilisan (2003: 2) berpendapat bahwa Kebijakan publik
diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang
keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan
suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari
sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian
nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat
diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari
serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai
andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah
publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi
pemerintah.
Sedangkan menurut pendapat Henz Eulau dan Kenneth Previt dalam Soenarko
(2003: 41), merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai oleh
kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat
kebijakan dan yang melaksanakannya. Carl Friedrich dalam Soenarko (2003: 42)
memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
11
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat
diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah (intervensi sosio kultural) dengan
mendayagunakan berbagai instrumen (baik kelompok, individu maupun pemerintah)
untuk mengatasi persoalan publik.
2.1.1.2. Tahapan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu bebrapa ahli politik
menaruh minat untuk mengkaji kebijakan public membagi proses- proses penyusunan
kebijakan public ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk
memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik. Berikut tahapan kebijkan publik
(Winarno, 2002: 28):
a. Tahapan penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Apada akhirnya, beberapa masalah
masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu
12
masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan
untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.
b. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternative atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan
suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahapan
perumusan kebijakan masing masing alternative bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
c. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternative kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumusan kebijakan, pada akhirnya salah satu alternative kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus antara direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
d. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan elit, jika program
tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah
diambil sebagai alternative pemecah masalah harus diimplementasikan, yakni
13
dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen- agen pemerintah
ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit- unit
administrasi yang memobilisasikan sumberdaya financial dan manusia. Pada
tahap implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun
beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
e. Evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yan telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalh. Kebijkan public pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyrakat. Oleh
karena itu, ditentukan ukuran-ukuran atau criteria yang mebjadi dasar untuk
menilai apakah kebijakan public telah meraih dampak yang diinginkan.
2.1.2. Implementasi Kebijakan
2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold
Lawswell (Purwanto, 2012: 17). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali
mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu
pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy process approach).
Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa
sesungguhnya kebijakan publik, maka kebijakan publik harus diurai menjadi
14
beberapa bagian sebagai tahapantahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi,
implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara
jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar
bagaimana suatu kebijakan publik dirumuskan.
Sementara itu, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2002: 102)
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan
kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun
waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan
kebijakan.
Implementasi adalah tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan
dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan
akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat, karena
tahapan inilah masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di
lapangan (Nugroho, 2006: 119).
2.1.2.2. Model Implementasi Kebijakan
15
Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model kebijakan, yaitu
sebagai berikut:
1. Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn
Van Meter dan Van Horn menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat
mempengaruhi implementasi dan suato model kinerja kebijakan. Beberapa variabel
yang terdapat dalam Model Van Meter dan Van Horn adalah (Winarno, 2002: 110):
Gambar 2.1. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Sumber: (Winarno, 2002: 110)
a) Standar dan Sasaran Kebijakan
Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena
implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan
itu tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran-
sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat
keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak dokumen seperti regulasi-
16
regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk
evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran
dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan
dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang
didukung oleh penelitian.
b) Sumber Daya
Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian
dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia.
Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun
perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat
menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan.
c) Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksana
Menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi
yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang
dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan
ukuran-ukuran dan tujuan tersebut.
d) Karekteristik Badan-badan Pelaksana
17
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi
informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini
penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri
yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya yang berkaitan dengan
konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut
pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen
pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah
menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.
e) Kecenderungan Implementator/Pelaksana
Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana sangat
berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud
respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya
implementasi. Jika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih
apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai
pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif.
f) Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi
Kondisi sosial, ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas
implementasi kebijakan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak
kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi
18
kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi
lingkungan eksternal yang kondusif.
2. Model Implementasi Kebijakan George Edward III
Menurut Edwards dalam Winarno (2002, 125-126), terdapat empat faktos atau
variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Factor-faktor atau variable
tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut George Edwards III
Sumber: (Winarno, 2002: 125)
a) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga
19
akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok
sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
b) Sumber-sumber (Resources)
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasika secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya dalam melaksanakannya,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud
sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, sumber daya finansial.
Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif.
Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
c) Kecenderungan-kecenderungan (Disposisi)
Disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh implementator,
seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Kecenderungan perilaku atau
karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan
implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting
yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen
yang tinggi. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka
implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.
20
d) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi
setiap Implementor dalam bertindak.
3. Model Implementasi Merilee S. Grindle
Menurut Grindle (Subarsono, 2009: 99), ada dua variable besar yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu:
Gambar 2.3. Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle
21
Sumber: (Subarsono, 2009: 99)
1. Variabel isi kebijakan (content of policy) mencakup:
a. Sejauh mana kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi
kebijakan,
b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group,
c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan,
d. Apakah letak suatu program sudah tepat,
e. Apakah suatu kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan rinci,
dan
f. Apakah suatu program sudah didukung oleh sumber daya yang memadai.
2. Variable lingkungan kebijakan mencakup:
22
a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para
actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan,
b. Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, dan
c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
2.2. Variabel-variabel dalam Penelitian
Dalam mengkaji suatu studi implementasi kebijakan dapat dilakukana dengan
menggunakan berbagai model implementasi kebijakan. Sehingga dapat dilihat
pelaksanaan suatu kebijakan dengan variable-variabel dalam model-model
implementasi tersebut. Model implementasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan model implementasi kebijakan George C. Edwards, dengan
variable sebagai berikut:
a. Komunikasi
Komunikasi diperlukan supaya tercipta konsistensi atau kesepakatan dari
ukuran dasar dan tujuan sehingga implementator mengetahui secara tepat ukuran
maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi antar organisasi juga menunujuk adanya
tuntutan saling mendukung antar institusi yang berkaitan dengan program/kebijakan.
Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah:
1) Kerjasama para implementator
2) Metode sosialisasi kebijakan/program yang digunakan
3) Intensitas komukasi
23
b. Sumber Daya
Sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia maupun finasial
sangat penting dalam menjalankan kebijakan/program. Sumber daya yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah:
1) Kemampuan implementator, dengan melihat jenjang pendidikan,
pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program,
kemampuan menyampaikan program dan mengarahkan.
2) Ketersedian fasilitas sarana dan prasarana
3) Ketersediaan finansial, dengan melihat kebutuhan dana, prediksi kekuatan
dana dan besaran biaya.
c. Disposisi
Sikap para implementator sangat dibutuhkan dalam menjalankan sebuah
kebijakan/program. Adapun yang dimaksud dengan sikap implementator yan
ditujukan dalam penelitian ini adalah:
1) Gambaran komitmen dan kejujuran yang dapat dilihat dari konsistensi antar
pelaksana kegiatan dengan guideline yang telah ditetapkan
2) Sikap demokratis yang dapat terlihat dari proses kerjasama antar
implementator.
d. Struktur Birokrasi
Aspek struktur birokrasi ini mencangkup dua hal penting, yang pertama
adalah standar operation procedur (SOP) dan struktur organisasi pelaksana
24
1) Ketersedian SOP yang mudah dipahami.
2) Struktur organisasi pelaksana yang melihat rentang kendali antara pemimpin
dan bawahan.
2.3. Hasil-hasil Penelitian mengenai Pelaksanaan Pendidikan Khusus
Sebagai bahan pertimbangan, peneliti mencantumkan beberapa hasil
penelitian terdahulu mengenai pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa.
Dalam penelitian Slamet H dan Joko Santosa mengenai Revitalisasi Sekolah Luar
Biasa pasca implementasi program pendidikan inklusi melakukan penelitian di empat
Kabupaten/Kota yaitu Surakarta, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri dengan
pemilihan sampel yaitu empat SLB Negeri dan delapan SLB Swasta dengan delapan
jenis ketunaan yaitu tunanetra, tunarungu wicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
autis, tunaganda, dan lambar belajar.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dalam penyelenggaraan pendidikannya,
beberapa SLB negeri maupun swasta sudah memiliki asrama bagi peserta didik.
Tolok ukur standar pelayanan pendidikan antara lain pemenuhan standar isi, standar
kompetensi lulusan, standar proses, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga
kependidikan, pengelolaan, penilaian, dan pembiayaan. Dalam sarana dan prasarana,
diketahui bahwa satu SLB swasta tidak memiliki ruang perpustakaan dan lima SLB
swasta tidak memiliki ruang laboratorium. Sementara SLB negeri yang tidak
memiliki ruang perpustakaan ada tiga. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat
25
kekurangan standar sarana dan prasarana di beberapa SLB baik negeri maupun
swasta.
Sedangkan standar pendidik dan tenaga kependidikan diketahui bahwa dari 12
SLB terdapat empat SLB Negeri yang tidak memiliki tenaga laboratorium dan tujuh
SLB swasta yang tidak memiliki tenaga laboratorium. Secara garis besar dapat ditarik
kesimpulan bahwa tenaga yang kurang memenuhi, baik di SLB negeri maupun
swasta adalah tenaga laboratorium dan perpustakaan.
Dan mengenai Guru Pembimbing Khusus (GPK) diketahui bahwa guru
pembimbing khusus yang sudah tersertifikasi lebih sedikit dari pada yang belum
tersertifikasi. bahkan seluruh guru pembimbing khusus Tuna daksa, Tuna ganda, dan
Lambat belajar belum ada yang sertifikasi. Hanya guru pembimbing khusus Tuna
grahita yang telah sertifikasi jumlahnya lebih banyak dari pada yang belum.
Selain itu juga dalam penelitian Estitika Rochmatul, Irwan Noor, dan Heru
Ribawanto dengan judul Pengembangan Kapasitas Sekolah Luar Biasa untuk
Meningkatkan Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus melakukan
penelitian di SDLBN Kedungkandang Malang bahwa anak berkebutuhan khusus
tidak dapat disamakan dengan anak normal pada umumnya. Pelayanan pendidikan
yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus sangat humanis. Cara
memberikan pendidikannya yaitu perindividu dan tidak bisa secara klasikal. Anak-
anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti pelajaran secara klasikal, karena
kemampuan setiap anak berbeda-beda. Mereka memiliki kurikulum khusus dalam
26
pelayanan pendidikannya. Akan tetapi, kurikulum tersebut tidak dapat diterapkan
seratus persen karena setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan
tidak bisa menyesuaikan kurikulum.
Dari hasil penelitian di SDLBN Kedungkandang masih terdapat sarana
prasarana yang penting dan belum terpenuhi yaitu (1) ruang orientasi dan mobilitas
untuk latihan ketrampilan gerak, pembentukan postur tubuh, gaya jalan dan olahraga
untuk anak tunanetra, (2) Ruang Bina Wicara untuk lahihan wicara anak tunarungu,
(3) Ruang Bina Diri untuk pembelajaran Bina Diri untuk anak tunagrahita, (4) Ruang
tata usaha untuk pengelolaan administrasi. Ruangan-ruangan inilah yang seharusnya
dipenuhi terlebih dahulu oleh sebuah sekolah luar biasa.
Berdasarkan sumberdaya manusianya yang dimaksud yaitu guru terdapat
suatu program yaitu PIGP yang merupakan singkatan dari Program Induksi Guru
Pembimbing. Program ini dilakukan kepada guru baru yang ada di sekolah tersebut
dengan dibimbing oleh Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan sebagian besar
dibimbing oleh guru senior. Sebelum dipercayakan untuk mengajar sendiri di kelas,
maka guru baru akan dibimbing oleh guru senior dalam arti guru senior membagikan
pengalamannya dengan guru baru tentang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.
Program ini dilakukan selama satu sampai dua tahun. Jadi apabila dirasa guru baru
sudah mempunyai keahlian yang baik untuk mengajar anak berkebutuhan khusus
sendiri, maka sekolah berani untuk melepaskan guru untuk mengajar sendiri di kelas.
27
Upaya pengembangan kapasitas dalam hal budaya organisasi di SDLBN
Kedungkandang, berdasarkan penelitian yaitu sekolah menerapkan budaya
kekeluargaan dan saling keterbukaan satu sama lainnya. Adanya budaya demikian
memberikan pengaruh yang besar di dalam sekolah. Suasana sekolah menjadi lebih
nyaman dan kondusif. Akan tetapi, tetap seluruh kewenangan dan pengambilan
keputusan masih sentalistik pada kepala Sekolah. Namun, guru-guru juga dapat
menyampaikan pendapatnya karena sifatnya sharing. Semua pendapat dari guru akan
didengarkan dan ditampung oleh Kepala Sekolah. Selanjutnya dalam keputusannya
Kepala Sekolah tetap mempunyai andil besar dalam memutuskan apa yang harus
dilakukan atau tidak dilakukan oleh Kepala Sekolah.
Sedangkan faktor yang dapat menghambat pengembangan yaitu gaya
kepemimpinan Kepala Sekolah. Dalam hal ini pemimpin terkesan tidak mau berupaya
untuk mengembangkan kapasitasnya. Dengan gaya kepemimpinan yang demikian
terkadang membuat guru merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal itu
karena guru tidak perlu berpikir yang rumit, karena semua keputusan ada di Kepala
Sekolah. Sehingga guru-guru tidak dapat mengembangkan kemampuannya. Selain
itu, gaya kepemimpinan Kepala Sekolah juga tertutup untuk segala hal tentang
perkembangan sekolah. Sehingga yang mengetahui segala sesuatu tentang sekolah
hanya Kepala Sekolah.
Selain itu, faktor penghambat lainnya yaitu beban administrassi yang
dilakukan oleh guru. Tugas guru akan semakin berat dan mempunyai beban yang
28
lebih banyak lagi. Dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan
energi yang besar dan butuh fokus yang besar pula. Apabila guru dibebankan dengan
tugas lain di luar tugas utamanya yaitu mengajar maka guru akan merasa kewalahan.
Kegiatan administrasi di sebuah sekolah luar biasa seharusnya dibebankan kepada
personil lain di luar guru.
Dari dua penelitian yang telah peneliti paparkan tadi terungkap bahwa dalam
pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa memang masih banyak kendala
yang dihadapi seperti halnya sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan
pendidikan khusus ini masih kurang memadai khususnya ruang-ruang khusus bagi
setiap jenis kelainan atau kebutuhan khusus dan tidak memiliki tenaga laboratorium
baik di SLB negeri maupun swasta. Kendala yang kedua ialah gaya kepemimpinan
Kepala Sekolah. Dalam hal ini pemimpin terkesan tidak mau berupaya untuk
mengembangkan kapasitasnya. Dengan gaya kepemimpinan yang demikian
terkadang membuat guru merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal itu
karena guru tidak perlu berpikir yang rumit, karena semua keputusan ada di Kepala
Sekolah sehingga guru-guru tidak benar-benar dapat mengembangkan
kemampuannya. Selain itu juga beban administrassi yang dilakukan oleh guru
sehingga guru selain tugasnya adalah mengajar juga menjadi tenaga administrasi
yang membuat guru tersebut menjadi kewalahan dalam menjalankan tugas utamanya
sebagai guru yaitu mengajar.
29
2.4. Kebijakan-kebijakan mengenai Pelaksanaan Pendidikan Khusus
Pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sejak berdirinya
hingga sekarang telah mengalami perjalanan yang panjang, baik yang terjadi di
Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Pendidikan anak berkebutuhan
khusus secara umum dapat dilaksanakan di sekolah khusus, maupun di sekolah
umum/sekolah reguler.
Di Indonesia, perkembangan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan
khusus dan pendidikan khusus lainnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat
dalam dua dasa warsa terakhir. Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 2 tahun 1989 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-
Undang Nomor.20 tahun 2003, pendidikan luar biasa tidak saja diselenggarakan
melalui sistem persekolahan khusus (SLB), namun juga dapat diselenggarakan secara
inklusif di sekolah reguler pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Dalam Undang-Undang Nomor.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan pada pasal 5 ayat 2 juga
disebutkan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau social berhak memperoleh pendidika khusus.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, ada bermacam-macam ada beberapa
jenis peserta didik berkelainana, yang terdiri atas:
30
1. Tunanetra
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya,
berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pendidikan
khusus.
2. Tunawicara
Tunawicara merupakan individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurang atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, seperti
rongga mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak
berfungsinya organ pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan
pada system saraf dan struktur otot, serta ketidakmampuan dalam kontrol gerak
juga dapat mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara.
3. Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal
dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap
memerlukan pendidikan khusus.
4. Tunadaksa
31
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap
pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan
pendidikan khusus.
5. Tunalaras
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan
bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya
maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus demi
kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
6. Tunagrahita
Tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata (IQ dibawah 70)
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun
sosial, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus. Hambatan ini terjadi
sebelum umur 18 tahun
7. Berkesulitan Belajar
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga
disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor
inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga
32
memerlukan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa
kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau
kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka
tidak mengalami kesulitan yang signifikan.
8. Lamban belajar (slow learner)
Lamban Belajar adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di
bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami
hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial,
tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban
dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan
berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non
akademik, dan karenanya memerlukan pendidikan khusus.
9. Autis
Autis adalah gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya
gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi
sosial, komunikasi dan perilaku.
10. Memiliki Gangguan Motorik
11. Menjadi Korban Penyalagunaan Narkotika, Obat Terlarang, dan Zat Adiktif
Lainnya, dan
12. Memiliki Kelainan Lain
33
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
dan Pengelolaan Pendidikan, penyelenggaraan pendidikan khusus bagi anak
berkelainan diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dan dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan satuan pendidikan
keagamaan. Pada satuan pendidikan khusus, diselenggarakan oleh pemerintah
provinsi dan pada satuan pendidikan umum diselenggarakan oleh pemerintah
kabupaten/kota.
Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1) Sistem Layanan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah pendidikan yang terpisah dari
sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem
segregasi meksudnya adalah penyelenggaran pendidikan yang dilakasanakan secara
khusus, dan terpisah dari penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal. Dengan
kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga
pendidikan khusus untuk anak berkebutukhan khusus seperti SLB, SDLB, SMPLB,
SMALB.
34
Ada empat bentuk penyelenggarakan pendidikan dengan sistem segregasi,
yaitu SLB, SLB Berasrama, Kelas Jauh/Kelas Kunjung, dan lain sebagainya. Bentuk
Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. SLB berkembang
sesuai dengan kelainan yang ada(satu kelaianan saja), sehingga ada SLB untuk
Tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C),
SLB untuk tunadaksa (SLB-D), SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di SLB tesebut ada
tingkat persiapan,tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih
mengarah ke sistam individualisasi.
2) Sistem Layanan Terpadu/Integrasi/Inklusif
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi/inklusi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Untuk membantu
kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu di sediakan
Guru Pembimbing Khusus (GPK).
Berdasarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Khusus,
yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan pendidikan khusus ialah membantu
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, itelektual, dan social
agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, sebagai pribadi maupun anggota
masyarakat dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan social, budaya dan
35
alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan lanjutan.
Selain itu dalam SPM tersebut ada juga tujuan setiap jenjang pendidikan,
yaitu:
a. Taman Kanak-kanak Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik
mengembangkan berbagai potensi baik fisik maupun psikis yang meliputi
moral dan nilai-nilai agama, social, emosional, kognitif, bahasa, fisik/motoric,
kemandirian dan seni untuk sipa memasuki pendidikan dasar,
b. Sekolah Dasar Luar Biasa bertujuan agar peserta didika memiliki kemampuan
dasar baca, tulis, hitung, pengetahuan imtak, berkarakter, berbudi pekerti
luhur dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi peserta didik sesuai
dengan tingkat perkembangannya, mempersiapkan peserta didika untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
c. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa bertujuan memberikan bekal
kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan
dasar peningkatan pengetahuan dasar dan sikap serta keterampilan yang
diperoleh di SDLB yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan
kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai
dengan kelainan yang dimilikinya dan tingkat perkembangannya serta
mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMALB
36
d. SMALB bertujuan memberikan bekal kemampuan yang merupakan
peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh di SMPLB
yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai
pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan kelainan yang
dimilikinya.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasinonal No. 33 tahun 2008 disebutkan
bahwa setiap SLB baik pada tingkatan SD, SMP, maupun SMA sekurang-kurangnya
memiliki ruang pembelajaran umum, ruang pembelajaran khusus dan ruang
penunjang sesuai dengan jenjang pendidikan dan jenis ketunaan peserta didik yang
dilayani, dengan rincian sebagai berikut:
1. Ruang Pembelajaran Umum
a) Ruang Kelas
Fungsi ruang kelas adalah tempat kegiatan pembelajaran teori dan praktik
dengan alat sederhana yang mudah dihadirkan. Jumlah minimum ruang kelas sama
dengan banyak rombongan belajar. Kapasitas maksimum ruang kelas adalah 5 peserta
didik untuk ruang kelas tingkat SD dan 8 peserta didik untuk ruang kelas tingkat SMP
dan SMA.
Rasio minimum luas ruang kelas adalah 3 m2/peserta didik. Untuk rombongan
belajar dengan peserta didik kurang dari 5 orang, luas minimum ruang kelas adalah
15 m2. Lebar minimum ruang kelas adalah 3 m. Ruang kelas memiliki jendela yang
memungkinkan pencahayaan yang memadai untuk membaca buku dan untuk
37
memberikan pandangan ke luar ruangan. Ruang kelas memiliki pintu yang memadai
agar peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya, dan dapat
dikunci dengan baik saat tidak digunakan. Salah satu dinding ruang kelas dapat
berupa dinding semi permanen agar pada suatu saat dua ruang kelas yang
bersebelahan dapat digabung menjadi satu ruangan.
b) Ruang Perpustakaan
Ruang perpustakaan berfungsi sebagai tempat kegiatan peserta didik, guru dan
orangtua peserta didik memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka
dengan membaca, mengamati dan mendengar, dan sekaligus tempat petugas
mengelola perpustakaan. Luas minimum ruang perpustakaan adalah 30 m2. Lebar
minimum ruang perpustakaan adalah 5 m. Ruang perpustakaan dilengkapi jendela
untuk memberi pencahayaan yang memadai untuk membaca buku.
2. Ruang Pembelajaran Khusus
a) Ruang Orientasi dan Mobilitas (OM) untuk Tunanetra (A)
Ruang Orientasi dan Mobilitas (OM) merupakan tempat latihan keterampilan
gerak, pembentukan postur tubuh, gaya jalan dan olahraga, serta dapat berfungsi
sebagai ruang serbaguna. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau
SMPLB tunanetra memiliki minimum satu buah ruang OM dengan luas minimum 15
m2.
38
b) Ruang Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) untuk
Tunarungu (B)
i) Ruang Bina Wicara
Ruang Bina Wicara berfungsi sebagai tempat latihan wicara
perseorangan. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB
tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Wicara dengan luas
minimum 4 m2.
ii) Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama
Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama berfungsi sebagai tempat
mengembangkan kemampuan memanfaatkan sisa pendengaran dan/atau
perasaan vibrasi untuk menghayati bunyi dan rangsang getar di sekitarnya, serta
mengembangkan kemampuan berbahasa khususnya bahasa irama. Sekolah
yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunarungu memiliki
minimum satu buah ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama yang dapat
menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30 m2.
c) Ruang Bina Diri untuk Tunagrahita (C)
Ruang Bina Diri berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran Bina Diri
yang meliputi merawat diri (makan, minum, menjaga kebersihan badan, buang air),
mengurus diri (berpakaian dan berhias diri), okupasi (melakukan kegiatan sehari-hari
yang meliputi mencuci dan menyeterika baju, menyemir sepatu, membuat minuman,
memasang sprei, dan membersihkan lantai).
39
Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunagrahita
memiliki minimum satu buah ruang Bina Diri dengan luas minimum 24 m2. Ruang
Bina Diri dilengkapi dengan kamar mandi dan/atau jamban khusus untuk latihan atau
dapat memanfaatkan jamban yang ada.
d) Ruang Bina Diri dan Bina Gerak untuk Tunadaksa (D)
Ruang Bina Diri dan Bina Gerak berfungsi sebagai tempat latihan koordinasi,
layanan perbaikan disfungsi organ tubuh, terapi wicara dan terapi okupasional, serta
sekaligus berfungsi sebagai ruang asesmen. Sekolah yang melayani peserta didik
SDLB dan/atau SMPLB tunadaksa memiliki minimum satu buah ruang Bina Diri dan
Bina Gerak yang dapat menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30
m2
. Ruang Bina Diri dan Bina Gerak dilengkapi dengan kamar mandi dan/atau
jamban khusus untuk latihan atau dapat memanfaatkan jamban yang ada.
e) Ruang Bina Pribadi dan Sosial untuk Tunalaras (E)
Ruang Bina Pribadi dan Sosial berfungsi sebagai tempat penanganan dan
pemberian tindakan kepada peserta didik dalam usaha perubahan perilaku, pribadi
dan sosial. Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunalaras
memiliki minimum satu ruang Bina Pribadi dan Sosial dengan luas minimum 9
m2.Ruang Bina Pribadi dan Sosial dapat memberikan kenyamanan suasana bagi
peserta didik.
f) Ruang Keterampilan
40
Ruang keterampilan berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran
keterampilan sesuai dengan program keterampilan yang dipilih oleh tiap sekolah.
Pada setiap sekolah yang menyelenggarakan jenjang pendidikan SMPLB dan/atau
SMALB minimum terdapat dua buah ruang keterampilan. Ruang tersebut digunakan
untuk kegiatan pembelajaran pada jenis keterampilan yang dapat dipilih dari tiga
kelompok keterampilan: keterampilan rekayasa, keterampilan jasa atau keterampilan
perkantoran. Ruang keterampilan memiliki luas minimum 24 m2 dan lebar minimum
4 m. Ruang keterampilan dilengkapi dengan sarana sesuai jenis keterampilan.
3. Ruang Penunjang
a) Ruang Pimpinan
Ruang pimpinan berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan pengelolaan
SDLB, SMPLB dan/atau SMALB, pertemuan dengan sejumlah kecil guru, orang tua
murid, unsur komite sekolah, petugas dinas pendidikan, atau tamu lainnya. Luas
minimum ruang pimpinan adalah 12 m2 dan lebar minimum adalah 3 m. Ruang
pimpinan mudah diakses oleh guru dan tamu sekolah, serta dapat dikunci dengan
baik.
b) Ruang Guru
Ruang guru berfungsi sebagai tempat guru bekerja dan istirahat serta
menerima tamu, baik peserta didik maupun tamu lainnya.Rasio minimum luas ruang
guru adalah 4 m2/pendidik dan luas minimum adalah 32 m
2. Ruang guru mudah
41
dicapai dari halaman SDLB, SMPLB dan/atau SMALB ataupun dari luar lingkungan
SDLB, SMPLB dan/atau SMALB, serta dekat dengan ruang pimpinan.
c) Ruang Tata Usaha
Ruang tata usaha berfungsi sebagai tempat kerja petugas untuk mengerjakan
administrasi SDLB, SMPLB dan/atau SMALB. Rasio minimum luas ruang tata usaha
adalah 4 m2/petugas dan luas minimum adalah 16 m
2. Ruang tata usaha mudah
dicapai dari halaman SDLB, SMPLB dan/atau SMALB ataupun dari luar lingkungan
SDLB, SMPLB dan/atau SMALB, serta dekat dengan ruang pimpinan.
d) Tempat Beribadah
Tempat beribadah berfungsi sebagai tempat warga SDLB, SMLPB dan/atau
SMALB melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu
sekolah. Banyaknya tempat beribadah sesuai dengan kebutuhan tiap SDLB, SMPLB
dan/atau SMALB, dengan luas minimum adalah 12 m2.
e) Ruang UKS
Ruang UKS berfungsi sebagai tempat untuk penanganan dini peserta didik
yang mengalami gangguan kesehatan di SDLB, SMPLB dan/atau SMALB. Luas
minimum ruang UKS adalah 12 m2.
f) Ruang Konseling/Asesmen
Ruang konseling/asesmen berfungsi sebagai tempat peserta didik
mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan
pribadi, sosial, belajar, dan karir, serta berfungsi sebagai tempat kegiatan dalam
42
menggali data kemampuan awal peserta didik sebagai dasar layanan pendidikan
selanjutnya. Luas minimum ruang konseling/asesmen adalah 9 m2. Ruang
konseling/asesmen dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi
peserta didik.
g) Ruang Organisasi Kesiswaan
Ruang organisasi kesiswaan berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan
kesekretariatan pengelolaan organisasi kesiswaan. Luas minimum ruang organisasi
kesiswaan adalah 9 m2.
h) Jamban
Jamban berfungsi sebagai tempat buang air besar dan/atau kecil. Minimum
terdapat 2 unit jamban. Pada SDLB, SMPLB, dan/atau SMALB untuk tunagrahita
dan/atau tunadaksa, minimum salah satu unit jamban merupakan unit yang dapat
digunakan oleh anak berkebutuhan khusus, termasuk pengguna kursi roda.
Jamban dilengkapi dengan peralatan yang mempermudah peserta didik
berkebutuhan khusus untuk menggunakan jamban. Luas minimum 1 unit jamban
adalah 2 m2. Jamban harus berdinding, beratap, dapat dikunci, dan mudah
dibersihkan. Tersedia air bersih di setiap unit jamban.
i) Gudang
Gudang berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan pembelajaran di luar
kelas, tempat menyimpan sementara peralatan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB
43
yang tidak/belum berfungsi, dan tempat menyimpan arsip SDLB, SMPLB dan/atau
SMALB yang telah berusia lebih dari 5 tahun. Luas minimum gudang adalah 18 m2.
j) Ruang Sirkulasi
Ruang sirkulasi horizontal berfungsi sebagai tempat penghubung antar ruang
dalam bangunan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB dan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan bermain dan interaksi sosial peserta didik di luar jam
pelajaran, terutama pada saat hujan ketika tidak memungkinkan kegiatan-kegiatan
tersebut berlangsung di halaman SDLB, SMPLB dan/atau SMALB.
Ruang sirkulasi horizontal berupa koridor yang menghubungkan ruang-ruang
di dalam bangunan SDLB, SMPLB dan/atau SMALB dengan luas minimum adalah
30% dari luas total seluruh ruang pada bangunan, lebar minimum adalah 1,8 m, dan
tinggi minimum adalah 2,5 m.
Ruang sirkulasi horizontal dapat menghubungkan ruang-ruang dengan baik,
beratap, serta mendapat pencahayaan dan penghawaan yang cukup. Koridor tanpa
dinding pada lantai atas bangunan bertingkat dilengkapi pagar pengaman dengan
tinggi 90 -110 cm.
k) Tempat Bermain/Berolahraga
Tempat bermain/berolahraga berfungsi sebagai area bermain, berolahraga,
pendidikan jasmani, upacara, dan kegiatan ekstrakurikuler, serta sebagai tempat
44
latihan orientasi dan mobilitas bagi peserta didik tunanetra dan latihan mobilitas bagi
peserta didik tunadaksa.
Minimum terdapat tempat bermain/berolahraga berukuran 20 m x 10 m yang
memiliki permukaan datar, drainase baik, dan tidak terdapat pohon, saluran air, serta
benda-benda lain yang mengganggu kegiatan berolahraga.
Sebagian lahan di luar tempat bermain/berolahraga ditanami pohon yang
berfungsi sebagai peneduh. Lokasi tempat bermain/berolahraga diatur sedemikian
rupa sehingga tidak banyak mengganggu proses pembelajaran di kelas. Tempat
bermain/berolahraga tidak digunakan untuk tempat parkir.
Mengenai kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan
khusus yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 157 tahun 2014 tentang Kurikulum Pendidikan Khusus bahwa kurikulum
pendidikan khusus bagi peserta didika berkelainan atau kebutuhan khusus merupakan
kurikulum 013 PAUD, kurikulum 2013 SD/MI, kurikullum 2013 SMP/MTS,
kurikulum 2013 SMA/MA, kurikulum 2013 SMK/MA yang kemudian disesuaikan
dengan kebutuhan khusus peserta didik berkelainan atau berkebutuhan khusus.
Dalam Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa muatan kurikulum pendidikan khusus
bagi peserta didik tunanetra dan tunadaksa ringan kelas I SDLB/MILB sampai
dengan kelas XII SMALB/MALB atau SMKLB/MAKLB disetarakan dengan muatan
kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas VIII
SMP/MTs ditambah program kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian.
45
Pasal 9 ayat 2 yaitu muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik
tunarungu kelas I SDLB/MILB sampai dengan kelas XII SMALB/MALB atau
SMKLB/MAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler
Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas VI SD/MI ditambah program
kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian. Pasal 9 ayat 3 yaitu muatan
kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tunagrahita ringan, tunadaksa
sedang, dan autis kelas I SDLB/MILB sampai dengan kelas XII SMALB/MALB atau
SMKLB/MAKLB disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler
Pendidikan Anak Usia Dini sampai dengan kelas IV SD/MI ditambah program
kebutuhan khusus dan program pilihan kemandirian. Dan pada pasal 9 ayat 4 bahwa
muatan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta didik tunagrahita sedang kelas I
SDLB/MILB sampai dengan kelas XII SMALB/MALB atau SMKLB/MAKLB
disetarakan dengan muatan kurikulum pendidikan reguler Pendidikan Anak Usia Dini
sampai dengan kelas II SD/MI ditambah program kebutuhan khusus dan program
pilihan kemandirian.
Dan kemudian dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
160 tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum tahun 2006 dan Kurikulum 2013
dalam pasal 8 menyatakan bahwa satuan pendidikan khusus melaksanakan kurikulum
2013 sesuai dengan peraturan perundagn-undangan
2.5. Definisi Konsep
46
Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu
sosial (Singarimbun, 1989: 3). Melalui konsep, peneliti diharapkan dapat
meneyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa
kejadian yang berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun definisi
konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan
dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam
kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Kebijkan publik
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
2. Implementasi kebijakan merupakan tindakan atau proses pelaksanaan terhadap
kebijakan yang telah ditetapkan dan dijalankan dengan berbagai program untuk
mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Adapun teori yang digunakan yaitu
dengan menggabungkan teori implementasi kebijakan George C. Edward
sebagai berikut:
a. Komunikasi,
b. Sumber Daya,
c. Disposisi, dan
47
d. Struktur Birokrasi.
2.6. Definisi Operasional
Konsep yang digambarkan dalam definisi konsep tentu saja tidak akan dapat
diobservasi atau diukur gejalanya dilapangan. Untuk dapat diobservasi atau diukur,
maka suatu konsep harus didefinisikan secara operasional. Definisi operasional ini
dimaksudkan untuk memberikan rujukan-rujukan empiris apa saja yang dapat
ditemukan dilapangan untuk menggambarkan secara tepat konsep yang dimaksud
sehingga konsep tersebut dapat diamati dan diukur. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa definisi operasional merupakan jembatan yang menghubungkan
conceptual-theoretical level dengan empirical –observational level. Adapun definisi
operasional dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :
a. Komunikasi
Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah:
1. Kerjasama para pelaksana pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan
khusus
2. Metode sosialisasi program pendidikan khusus yang digunakan
3. Intensitas komukasi para pelaksana program pendidikan khusus
b. Sumber Daya
Sumber daya yang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:
1. Kemampuan implementator atau pelaksana
48
2. Sumber dana dalam penyelenggaraan program pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus.
3. Ketersediaan fasilitas yang mendukung program pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus.
c. Disposisi atau Sikap Para Implementator
Adapun yang dimaksud dengan sikap implementator yan ditujukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Gambaran komitmen dan kejujuran yang dapat dilihat dari konsistensi
antar pelaksana pendidikan khusus dengan pedoman yang telah ditetapkan
2. Sikap demokratis yang dapat terlihat dari proses kerjasama antar pelaksana
program pendidikan khusus.
d. Struktur Birokrasi
Aspek struktur birokrasi ini mencangkup dua hal penting, yaitu sebagai
berikut:
1. Ketersedian SOP yang mudah dipahami dalam pelaksanaan pendidikan
khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
2. Struktur organisasi pelaksana yang menangani program pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus.
2.7. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
49
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat kerangka teori, hasil penelitian, isu-isu dalam
pelaksanaan, definisi konsep, dan definisi operasional.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
penelitian, penelitian data, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data.
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini memuat gambaran umum mengenai tempat dilakukannya
penelitian yang meliputi lokasi penelitian, keadaan lokasi penelitian,
sistem kepemimpian pada lokasi penelitian, dan lain sebagainya
BAB V PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat analisis data-data yang diperoleh di lapangan
BAB VI ANALISIS DATA
Bab ini memuat analisis data-data yang diperoleh saat penelitian
dilakukan dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang
diajukan
BAB VII PENUTUP
50
Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu dari
hasil penelitian yang dilakukan