presus selulitis

76
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Suyono, 2007). Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1)Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah hingga 300-1.200 mg/dL; (2)Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis; dan (3)Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Soegondo, 2005). Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi dalam darah (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme glukosa yang terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO 2 dan air, 5% diubah menjadi 1

Upload: muhammad-budiman-irpan-bachtiar

Post on 27-Oct-2015

283 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

persentasi kasus bagian penyakit dalam penjelsan analisa kasus selulitis pada asien Diabetes mellitus

TRANSCRIPT

Page 1: Presus selulitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan

adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa

organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Suyono, 2007).

Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan

dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1)Berkurangnya pemakaian

glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah hingga

300-1.200 mg/dL; (2)Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme

lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga

timbul gejala aterosklerosis; dan (3)Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Soegondo,

2005).

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi

dalam darah (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut.

Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme

glukosa yang terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan

mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan

kira-kira 30–40% diubah menjadi lemak. Pada penderita DM semua proses terganggu,

glukosa tidak dapat ke dalam sel, sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme

protein dan lemak (Soegondo, 2005).

Hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali apabila berlebihan sehingga

darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Kondisi yang berbahaya adalah

glukosuria karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat disertai

hilangnya berbagai elektrolit. Hal ini menyebabkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada

penderita Diabetes Melitus (DM) yang tidak diobati. Karena adanya dehidrasi, maka tubuh

berusaha mengatasi dengan banyak minum (polidipsia). Badan kehilangan empat kalori untuk

setiap gram glukosa yang diekskresi. Sedangkan, polifagia timbul karena perangsangan pusat

1

Page 2: Presus selulitis

nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Soegondo,

2006).

Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus meningkat.

Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi

5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2004). Diabetes Melitus (DM) sering

disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan

menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan

berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan

Waspadji, 2003).

Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari

orang dewasa. Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat

menonjol, seperti di Singapura, kekerapan DM sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun

yang lalu. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,

kekerapan DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di

Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6% (Suyono, 2007).

Gaya hidup mempengaruhi kejadian Diabetes Melitus (DM), di mana penelitian yang

dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayu

putih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995,

angka kejadian sekitar 1,1%. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok

didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar 14.7%, di Makassar prevalensi DM terakhir tahun

2005 yang mencapai 12.5% (Soegondo, 2006).

Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan

peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86-138%.

Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya (Suryono Slamet, 2006) :

a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat

2) Penduduk usia lanjut betambah banyak

3) Urbanisasi makin tak terkendali

b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi

2) Restoran siap santap

3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary

2

Page 3: Presus selulitis

life, kurang gerak badan

c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat sering

dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat. Dengan referat

ini diharapkan dapat menambah pemahaman pembaca tentang Diabetes Melitus (DM) serta

dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit metabolik yang paling sering di

jumpai di masyarakat Indonesia.

3

Page 4: Presus selulitis

BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.S

Umur : 62 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat : Jl.Kalimantan III B2 Perumnas III Jakarta

Tanggal masuk RS : 18 Maret 2013

Tanggal anamnesis : 21 Maret 2013

No. CM : 007408

II. DATA DASAR

1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 13.00 WIB.

Keluhan Utama : kaki kanan bengkak kemerahan sejak 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang perempuan usia 52 tahun datang dari poliklinik Penyakit Dalam

RSPAD dengan keluhan kaki kanan bengkak kemerahan, nyeri, dan demam. Riwayat

trauma/luka disangkal. Pemakaian sepatu/sandal sempit disangkal. Jalan tanpa alas kaki

juga disangkal. Pasien juga mengeluhkan kakinya kesemutan dan sedikit baal. Selain itu

pasien juga mengeluhkan pandangannya sedikit berkurang. Pasien menyangkal pernah

melahirkan anak dengan berat >4kg.

Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Semenjak saat

itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat (> 8x) terutama saat

malam hari dan mengganggu tidur, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang

lebih banyak dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga

mengatakan semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat badan 9-10

kg. Pasien rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat

4

Page 5: Presus selulitis

diabetes yang termasuk golongan sulfonylurea 3x100 mg/ hari. Pasien juga mempunyai

riwayat hipertensi 2 tahun yang lalu. Berobat rutin dengan tekanan darah rata-rata 150

mmHg.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat Diabetes Melitus : tahun 2003

Riwayat Hipertensi : tahun 2011

Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluhan yang sama sebelumnya : ada

Riwayat Hipertensi : tidak ada

Riwayat Diabetes Mellitus : ada

Riwayat Penyakit Jantung : tidak ada

Riwayat Alergi : tidak ada

2. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 13.00 WIB

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Frekuensi Nadi : 84 x/menit, isi dan tekanan cukup, teratur

Frekuensi nafas : 20 x/menit, reguler

Suhu : 36,5 °C

Berat badan : 62 kg

Tinggi badan : 160 cm

IMT : 20.33

Status gizi : Normoweight

5

Page 6: Presus selulitis

Status Generalisata

Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada

hematom, suhu raba normal, turgor kulit baik, ulkus

dekubitus (-)

Kepala&rambut : Normocephal, rambut hitam dengan beberapa rambut

putih, distribusi merata, tidak mudah dicabut & tidak

mudah rontok.

Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera tidak ikterik, kedudukan

bola mata simetris, pupil bulat isokor, diameter 3 mm,

lensa keruh -/-, reflek cahaya positif, edema palpebra

tidak ada

Telinga : Normotia, liang telinga lapang, discharge tidak ada,

serumen (+/+)

Hidung : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi septum maupun

sekret hidung, tidak ada nafas cuping hidung.

Mulut & gigi : Mukosa mulut basah, lidah tidak kotor, bibir tidak kering,

tidak tampak sianosis.

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil TI – TI tenang.

Leher : Simetris, JVP 5-2 cm, trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid

tidak teraba membesar, kelenjar getah bening tidak teraba

membesar, tidak ada kaku kuduk.

Thorak : Bentuk normal (Normochest), simetris saat statis dan

dinamis, spider nervi tidak ada

Paru

- Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak tampak retraksi

supraklavikula dan interkostal, tidak ada pelebaran vena,

tidak tampak sikatriks.

6

Page 7: Presus selulitis

- Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri simetris.

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

- Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang paru,

ronkhi tidak ada , wheezing tidak ada..

Jantung :

- Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus Cordis tidak kuat angkat, teraba pada sela iga V

Linea Midclavicula Sinistra.

- Perkusi : Batas kanan jantung : sela iga IV linea sternalis dextra.

Batas kiri jantung : sela iga V linea midclavicula

Sinistra.

Batas pinggang jantung : sela iga III linea sternalis sinistra.

- Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen :

- Inspeksi : Datar, tidak tampak benjolan, sikatriks maupun venektasi.

- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak

teraba pembesaran, ballotement tidak ada, turgor kulit baik

- Perkusi : Tympani pada seluruh lapang abdomen. Shifting dullness

tidak ada.

- Auskultasi : Bising usus ada, normal

Ekstremitas : Telapak tangan tidak sianosis dan hangat. Kaki kanan

tampak kemerahan, palmar eritem (+/+), CRT <2”, pulsasi

arteri dorsalis pedis dextra masih baik. kekuatan motorik

kaki kanan dan kiri baik.

Edema : terdapat edema pada kaki kanan

7

Page 8: Presus selulitis

Refleks fisiologis

Refleks patela

Reflek achilles

Sensibilitas

Nyeri

Tekan

Raba

Kanan Kiri

(+) (+)

(+) (+)

Kanan Kiri

(+) (+)

(+) (+)

(+) (+)

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium di RSPAD Gatot Soebroto :

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

18-03-2013 21-3-2013

Hematologi

Hematologi rutin

Hemoglobin 9,8 g/dl 9,9 g/dl 13 – 18 g / dL

Hematokrit 29 30 40 – 52 %

Eritrosit 3,4 3,4 4.3 – 6.0 juta / µL

Leukosit 13600 14300 4.800 – 10.800 / µL

Trombosit 305000 311000 150.000 – 400.000 /

µL

Hitung jenis

Basofil 0 0 0 – 1%

Eosinofil 2 1 1 – 3%

Batang 3 3 2 – 6%

Segmen 74 77 50 – 70%

Limfosit 17 15 20 – 40%

Monosit 4 4 2 – 8%

MCV 86 89 80 – 96 fL

MCH 29 29 27 – 32 pg

MCHC 34 32 32 – 36 g/dL

8

Page 9: Presus selulitis

RDW 12,30 12,60 11.5 – 14.5 %

Kimia Klinik

Bilirubin total 0,43 Tidak diperiksa < 1.5 mg / dL

Fosfatase alkali 125 Tidak diperiksa

SGOT ( AST ) 16 Tidak diperiksa < 35 UL

SGPT ( ALT ) 16 Tidak diperiksa < 40 UL

Protein total 7,5 Tidak diperiksa 6 – 8,5 g/dL

Albumin 3,1 Tidak diperiksa 3.5 – 5.0 g/dL

Globulin 4,4 Tidak diperiksa 2.5 – 3.5 g/dL

Ureum 25 Tidak diperiksa 20 – 50 mg/dL

Kreatinin 0,8 Tidak diperiksa 0,5 – 1,5 mg/dL

Gula darah sewaktu

Glukosa darah Puasa

Glukosa 2 jam PP

317

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

432

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

< 140 mg/dL

70-100 mg/dl

<140 mg/dl

Natrium ( Na) 137 Tidak diperiksa 135 – 147 mmol/L

Kalium ( K ) 3,5 Tidak diperiksa 3,5 – 5,0 mmol/L

HbA1c 9,1 Tidak diperiksa

Klorida ( CL ) 98 Tidak diperiksa 95 – 105 mmol /L

Urinalisis Tidak diperiksa

PH 8,0 Tidak diperiksa 4,6 – 8,0

Berat Jenis 1.015 Tidak diperiksa 1.010 – 1.030

Protein +/positif 1 Tidak diperiksa Negatif

Glukosa +++/positif 3 Tidak diperiksa Negatif

III. RESUME

Pasien seorang perempuan usia 62 tahun datang dari poliklinik Penyakit Dalam

RSPAD dengan keluhan kaki kanan bengkak kemerahan, nyeri, dan demam sejak 3 hari

9

Page 10: Presus selulitis

SMRS. Pasien juga mengeluhkan kakinya kesemutan dan sedikit baal. Selain itu pasien

juga mengeluhkan pandangannya sedikit berkurang.

Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Semenjak saat

itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat (> 8x) terutama saat

malam hari, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak dari

biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan

semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat badan 9-10 kg. Pasien

rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat diabetes

yang termasuk golongan sulfonylurea 3x100 mg/ hari.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran

kompos mentis, dengan tekanan darah 140/ 90 mmHg, frekuensi nadi 84 x / menit,

respirasi rate 20 x / menit dan suhu 36,5 °C. pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam

kaki kanan kemerahan dan edema.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, Gula darah sewaktu 317 mg/dl

IV. DAFTAR MASALAH

Diabetes melitus tipe II dengan selulitis pedis dextra

V. PENGKAJIAN

Diabetes melitus tipe II

• Anamnesis

Pasien menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Semenjak saat itu pasien

mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat (> 8x) terutama saat malam hari

dan mengganggu tidur, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak

dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan

semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat badan 9-10 kg.

• Pemeriksaan fisik

Edema dan kemerahan pada kaki kanan

• Pemeriksaan Laboratorium

Glukosa darah sewaktu 317 mg/dl

Selulitis pedis dextra

• Anamnesis

10

Page 11: Presus selulitis

Pasien mengeluhan kaki kanan bengkak kemerahan, nyeri, dan demam sejak 3 hari

SMRS. Riwayat trauma/luka disangkal.

• Pemeriksaan fisik

Edema dan kemerahan pada kaki kanan

Assesment : Diabetes Melitus tipe 2 dengan selulitis pedis dextra

Penatalaksanaan

Rencana diagnostik:

- Cek GDS serial, Hba1c

Rencana terapi:

- NaCl 0,9 % / 500 cc / 24 jam

- Noverapid 3x5IU 5-5-5

- Captopril 2x25

- Paracetamol 3x500mg

- Ceftriaxone 2x2gr

- Diet lunak 1700 kkal / hari

Rencana edukasi :

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit tersebut. Dan memberikan

edukasi untuk mengikuti pola makan sehat, meningkatkan kegiatan

jasmani/aktivitas fisik, pengobatan yang sesuai dan rutin, serta melakukan

pemantauan melalui pemeriksaan secara berkala

FOLLOW UP

Tanggal Pemeriksaan

21 Maret 2013 S: nyeri kaki berkurang

O:

TD 140/80mmHg,

Nadi 84x/’

11

Page 12: Presus selulitis

RR 18x/’

T 360C

KU/KES : TSS/ CM

Pemeriksaan fisik Dalam batas normal

Pemeriksaan Laboratorium GDS 157 mg/dl

GDP 161 mg/dl, GD 2pp 231 mg/dl

A: DM tipe 2 dengan selulitis pedis dextra

P :

NaCL 0,9% 1000 cc/ 24 jam

Novorapid 3x12IU

Lantus 1x10IU

Captopril 3x25mg

Metronidazol 3x500mg

PCT 3x500mg

Ceftriaxone 2x2gr

Diet DM lunak 1900 kkal/hari

22 Maret 2013 S: -

O:

TD 150/100mmHg

Nadi 84x/’

RR 18x/’

T 36,50C

KU/ KES : TSS/ CM

Pemeriksaan Fisik dalam batas normal

A : DM tipe 2 dengan selulitis pedis dextra

P:

NaCL 0,9% 1000 cc/ 24 jam

Novorapid 3x12IU

Lantus 1x12IU

Captopril 3x25mg

Metronidazol 3x500mg

PCT 3x500mg

Ceftriaxone 2x2gr

12

Page 13: Presus selulitis

Diet DM lunak 1900 kkal/hari

DIAGNOSA AKHIR

Diabetes mellitus tipe II dengan selulitis pedis dextra

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB III

ANALISA KASUS

PEMBAHASAN DIAGNOSIS

13

Page 14: Presus selulitis

1. Diabetes Mielitus Tipe II

Pada Diabetes Tipe II terjadi mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor

genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga

Gejala atau keluhan klasik DM :

Sering berkemih/kencing (poliuria),

Sering atau cepat merasa haus/dahaga (polidipsia),

Lapar yang berlebihan (polifagia),

Gejala lain :

Kehilangan berat badan yang tidak jelas penyebabnya

Kesemutan/mati rasa pada ujung saraf di telapak tangan dan kaki

Cepat lelah dan lemah

Mengalami gangguan penglihatan secara tiba-tiba

Pada pasien ini didapatkan keluhan kaki bengkak kemerahan, terasa nyeri, dan

demam sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mempunyai riwayat diabetes sejak 10 tahun yang lalu

dengan diawali gejala-gejala klasik DM dan pasien mengaku rutin minum obat diabetes 3x

100 mg setiap hari. Dari pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan Glukosa darah sewaktu 317 mg/dl.

PEMBAHASAN TATALAKSANA

14

Page 15: Presus selulitis

1. Diabetes Mielitus Tipe II

Pemicu sekresi insulin

Penambah sensitivitas terhadap insulin

Penghambat glukoneogenesis

Penghambat  glukosidase  alfa (acarbose)

Pada perawatan pasien diberikan obat Novorapid 3 x 12IU dan Lantus 1x10IU.

Novorapid adalah insulin aspart, termasuk insulin kerja singkat, mulai kerja 30 menit sampai

puncaknya 1-3 jam dan bertahan sampai 7-8 jam. Lantus adalah jenis insulin yang digunakan

untuk mengontrol tingkat gula darah penderita diabetes selama 24 jam. Hal ini juga disebut

sebagai insulin kerja Panjang. Nama generik Lantus adalah glargine insulin.

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

15

Page 16: Presus selulitis

2.1.1 GAMBARAN UMUM DIABETES MELITUS

Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara berkembang,

akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak diamati.

Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,

menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koronner

(PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).

Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut

maupun relatif (Sudoyo Aru, 2006).

Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi

merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM

dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target

(disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan

kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

pada jaringan termasuk hati (Sudoyo Aru, 2006).

2.1.2. EPIDEMIOLOGI

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering

ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka

kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia

menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih

dari 15 tahun (Subekti, 2004).

Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini

dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang

tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi

komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 2003).

Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6%

dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan

diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat

membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan

16

Page 17: Presus selulitis

kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju

pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu (Subekti,

2004).

Dari data ini dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan

kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan terjadinya Diabetes melitus (DM).

Tabel 1:

Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap Diabetes terbanyak pada penduduk

dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025

Urutan Negara 1995

(juta)

urutan Negara 2025

(juta)

1 India 19,4 1 India 57,2

2 Cina 16,0 2 Cina 37,6

3 Amerika

Serikat

13,9 3 Amerika

Serikat

21,9

4 Federasi

Russia

8,9 4 Pakistan 14,5

5 Jepang 6,3 5 Indonesia 12.4

6 Brazil 4,9 6 Federasi

Russia

12,2

7 Indonesia 4,5 7 Meksiko 11,7

8 Pakistan 4,3 8 Brazil 11,6

9 Meksiko 3,8 9 Mesir 8,8

10 Ukraine 3,6 10 Jepang 8,5

Semua

negara lain

49,7 103,6

Jumlah 135,3 300

Sumber : Subekti, 2004

Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia berkisar

antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat

Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di

daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji

menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari dari

17

Page 18: Presus selulitis

orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari

segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di

Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah

urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.

Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM

tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005 mencapai

12,5%(Supartondo dan Waspadji, 2003).

Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan

peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86-138%.

Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di atas, maka

dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1 atau 2 dekade

yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan meningkat dengan

drastis.

Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya

(Suryono Slamet, 2006):

a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat

2) Penduduk usia lanjut betambah banyak

3) Urbanisasi makin tak terkendali

b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi

2) Restoran siap santap

3)Teknologi canggih menimbulkan sedentary

life, kurang gerak badan

c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih

panjang.

2.1.3. ETIOLOGI

18

Page 19: Presus selulitis

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin

adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan

perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mengimbangi

resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan

ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada

rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas

mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2006).

Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus (DM).

Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar

glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan

sel β pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar

glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani,

2006).

2.1.4. PATOFISIOLOGI

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak.

Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik.

Energi pada ”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari,

yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).

Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam

sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses

kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut

metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting

yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai

bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas

(Suyono, 2007).

Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan

oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang

disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)

menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007).

19

Page 20: Presus selulitis

Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih

banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.

Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada

keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin)

banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan

sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh

darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).

Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-

faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) :

Obesitas terutama yang berbentuk sentral

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Kurang gerak badan

Faktor keturunan (herediter)

2.1.5. MANIFESTASI KLINIK

Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),

sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan

yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada

jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka

sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).

20

Page 21: Presus selulitis

Perjalanan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.

Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang

perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.

Tabel 2.

Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun

Keadaan klinis saat

diagnosis

Berat Ringan

Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau

tinggi

Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau

normal

Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,

insulin

Sumber : Suyono S, 2007

2.1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar

glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan

setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO)

(Gustaviani Reno, 2006).

Pemeriksaan kadar glukosa darah.

Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 – 12 jam

sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan

21

Page 22: Presus selulitis

seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus

dihabiskan dalam waktu 15 – 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk

pemeriksaan glukosa 2 jam PP (Gustaviani Reno, 2006).

Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan

serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung

dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik

(gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang

rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat

menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan

menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus (DM)

(Gustaviani Reno, 2006).

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi,

enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode

glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase (Gustaviani Reno, 2006).

a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk

reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang

bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.

b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan

presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang

digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM),

digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun

1998.

Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)

Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic

antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid

decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani Reno, 2006).

a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di

sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA menunjukkan adanya

kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya

penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1.

22

Page 23: Presus selulitis

b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang

dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB).

Anti GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3

petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus

(DM) muncul.

Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM) tipe

2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indicator yang baik

untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor respons individual setelah

operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pancreas atau

transplantasi sel-sel pulau pancreas (Gustaviani Reno, 2006).

Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM)

Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah kadar

gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta

pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani Reno, 2006).

Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini

memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan

ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau

terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin

(Gustaviani Reno, 2006).

Pemeriksaan HbA1C

HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa

dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini

diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan irevarsibel (Gustaviani

Reno, 2006).

Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high

performance liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity

Chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri (Gustaviani Reno, 2006).

23

Page 24: Presus selulitis

a. Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen

dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mangganggu adalah

adanya Hbs dan HbC yang bias memberikan hasil negatif palsu.

b. Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan

ion exchange chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan

presisi yang baik sekali. Metoce ini juga direkomendasikan menjadi metode

referensi.

c. Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya

kurang dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion,

pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.

d. Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang

labih maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.

e. Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih

dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi

suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode

ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil

pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.

f. Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak

dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu

lama, sample besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu

m mol/L.

Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa

darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa

darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya) sejak

3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk

menghindari komplikasi

(Gustaviani Reno, 2006).

Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C

penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya,

penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali

(Gustaviani Reno, 2006).

24

Page 25: Presus selulitis

2.1.7. DIAGNOSIS DIABETES MELITUS

Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa

secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole

blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka

kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).

Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan pemeriksaan

penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau

tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka

yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan

dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk

memastikan diagnosis definitif (Sudoyo Aru, 2006).

25

Page 26: Presus selulitis

Keterangan :

GDP = Glukosa Darah Puasa

GDS = Glukosa Darah Sewaktu

GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

Pemeriksaan penyaringan

Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes

Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT

(Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien

dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara

menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan

penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2002).

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM

sebagai berikut (PERKENI, 2002) :

1. Usia ≥ 45 tahun

2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m², yang disertai dengan faktor

risiko:

- Kebiasaan tidak aktif

- Turunan pertama dari orang tua dengan DM

- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4 kg, atau riwayat DM

gestasional

- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)

- Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL

- Menderita Policictic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang

terkait dengan resistensi insulin

- Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya

- Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular

26

Page 27: Presus selulitis

Tabel 3.

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM

(mg/dl)

Bukan DM Belum pasti

DM

DM

Kadar glukosa darah

sewaktu (mg/dl)

Plasma vena < 110 110-199 > 200

Darah

kapiler

< 90 90-199 > 200

Kadar glukosa darah

puasa (mg/dl)

Plasma vena < 110 110-125 > 126

Darah

kapiler

< 90 90-199 > 110

Sumber : Soegondo S (2005)

catatan :

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan

pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor

risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Tolerangi

Glukosa

Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada

keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien

adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta

pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah

sewaktu ³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan

27

Page 28: Presus selulitis

kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM

(Sudoyo Aru, 2006).

Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil pemeriksaan

glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan

diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka

abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³

200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)

didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ³ 200 mg/dl (Sudoyo Aru, 2006).

Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :

3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum

air putih diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit

Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak

merokok

Tabel 4.

Kriteria diagnostik diabetes melitus* dan gangguan toleransi glukosa

28

Page 29: Presus selulitis

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl

Atau

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl

Atau

3. Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban

glukosa 75 gram pada TTGO**

Sumber : PERKENI, 2002

* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,

kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat,

seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun

cepat.

** Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk

penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar

glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga

dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

2.1.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup

Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).

Tujuan penatalaksanaan

A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan

tercapainya target pengendalian glukosa darah.

B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas

dan maortalitas dini DM.

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2006)

29

Page 30: Presus selulitis

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)

dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal

atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,

misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya

ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan

gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan

pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan

khusus

(PERKENI, 2006)

I. Edukasi

Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :

- Perjalanan penyakit DM

- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

- Penyulit DM dan risikonya

- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau

insulin serta obat-obatan lain

- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin

mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia

- Pentingnya latihan jasmani yang teratur

- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)

- Pentingnya perawatan diri

30

Page 31: Presus selulitis

- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

II. Terapi gizi medis (TGM)

- Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna

mencapai target terapi

- prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan

untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu

ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa

darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Karbohidrat

- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi

- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan

- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat

tinggi

- Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi

- Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang

sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar

gula misalnya pada minuman ringan dan permen

- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari

Lemak

- Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori

- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori

- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh

tunggal

31

Page 32: Presus selulitis

- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak

jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole

milk)

- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari

sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid),

membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh

Protein

- Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi

- Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa

kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe

- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg

BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik

tinggi

Garam

- Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg

atau sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur

- Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada

mereka yang hipertensi

Serat

- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut

Pemanis

- Batasi penggunaan pemanis bergizi

- Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma

- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi.

Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal

32

Page 33: Presus selulitis

sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada

beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah

sebagai berikut :

Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,

rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm – 100) x 1 kg

BB Normal : BB ideal ± 10 %

Kurus : < BBI – 10 %

Gemuk : > BBI + 10 %

Penentuan status gizi dapat digunakan

BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.

BB ( Kg )

IMT =

TB ( M2 )

Klasifikasi IMT :

BB Kurang < 18,5

BB Normal 18,5 – 22,9

BB lebih ≥ 23,0

Dengan risiko 23,0 – 24,9

Obes I 25,0 – 29,9

Obes II ≥ 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

33

Page 34: Presus selulitis

Jenis kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita

sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB

Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade

antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi

20 % untuk usia diatas 70 tahun

Aktifitas fisik atau pekerjaan

Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 %

pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50 %

dengan aktifitas sangat berat

Berat badan

- Bila kegemukan dikurangi 20 – 30 % bergantung pada tingkat

kegemukan

-Bila kurus ditambah 20 – 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk

meningkatkan BB

-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit

1000 – 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 – 1600 kkal / hari untuk

pria

34

Page 35: Presus selulitis

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi

dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % )

serta 2 – 3 porsi makan ringan ( 10 – 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan

kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap

disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola

pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

III. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang

sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).

- Continous

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh

: bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging

tanpa istirahat.

- Rytmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan

berelaksasi secara teratur.

- Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan

cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

- Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan

sampai hingga mencapai 30-60 menit.

Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate

Maksimum Heart Rate = 220-umur

- Endurance

35

Page 36: Presus selulitis

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan

(jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.

Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai

memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas,

didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus

membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam

pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.

Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut

nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :

DNM = 220 – Umur ( dalam Tahun )

Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 – 4 kali

seminggu selama ± 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM

tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan

berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan

jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas – malasan.

IV. Terapi Farmakologis

Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai

dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).

1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan

36

Page 37: Presus selulitis

(Sudoyo Aru, 2006) :

A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid

B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis : metformin

D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α

A. Golongan Insulin Secretagogues

Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi

sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

1) SULFONILUREA

Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun

1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan

diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi

gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi

kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan

sekresi insulin.

Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan

merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila

sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi

penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran

dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca

intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul

yang mengandung insulin.

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk

melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk

pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat

ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.

Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah,

untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana

kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang

lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat

37

Page 38: Presus selulitis

diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan

kadar glukosa darah yang cukup bermakna.

Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya

dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2

minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah

puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya

diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada

obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi

atau pada makan makanan porsi terbesar.

2) GLINID

Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai

struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.

Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin)

kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat

dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali

sehari.

B. Golongan Insulin Sensitizing

1) BIGUANID

Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.

Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak

dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu

metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk

extended release.

Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk

menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau

pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-

hati pada orang usia lanjut.

38

Page 39: Presus selulitis

Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan

menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa

oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa

di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan

mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam

keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.

Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan

menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik,

tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan.

Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi

yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat

menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-

masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis

rendah.

Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak

awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom

Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang

kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau

sulfonylurea sampai dosis maksimal.

Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien

gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan

sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian

lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding

dengan insulin saja.

Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah

penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai

monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan

dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan

monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat

anti diabetik lain.

39

Page 40: Presus selulitis

2) GLITAZONE

Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk

meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)

merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR)

yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target

kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada

organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan

kerja insulin.

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah

1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh

berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.

Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal

atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55

mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone

juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai

monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis

tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung

kelas I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada

gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan

pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan

sebagai obat tunggal.

C. Penghambat Glukoneogenesis

1) METFORMIN

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama

dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien – pasien

dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,

syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk

mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

40

Page 41: Presus selulitis

D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa

glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan

penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja

di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh

pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung

dan flatulen.

Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran

pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan,

metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas

enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat

dan sebagian besar diekskresi melalui feses.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:

a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan

secara bertahap.

b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping

obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet,

karena lama kerjanya 24 jam).

c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya

interaksi obat.

d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah

menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada

insulin.

e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Tabel 5

Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C

( Hb-glikosilat )

Golongan Cara kerja utama Efeksamping utama Penurunan A1C

41

Page 42: Presus selulitis

Sulfonilurea

Meningkatkan

sekresi insulin

BB naik,

hipoglikemia1,5 – 2 %

Glinid

Meningkatkan

sekresi insulin

BB naik,

hipoglikemia1,5 – 2 %

Metformin

Menekan produksi

glukosa hati &

menambah

sensitifitas terhadap

insulin

Diare, dyspepsia,

asidosis laktat

1,5 – 2 %

Penghambat

glukosidase α

Menghambat

absorpsi glukosa

Flatulens, tinja

lembek0,5 – 1,0 %

Tiazolidindion

Menambah

sensitifitas terhadap

insulin

Edema

1,3%

Insulin

Menekan produksi

glukosa hati,

stimulasi

pemanfaatan glukosa

Hipoglikemia, BB

naikPotensial sampai

normal

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon

kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal

Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan

Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan

42

Page 43: Presus selulitis

Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat

Acarbose : bersama suapan pertama makan

Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

Tabel 6

Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Golongan Generik Mg/tab Dosis

harian

Lama

kerja

Frek/hari Waktu

Klorpropamid 100-250 100-

500

24-36 1

Glibenklamid 2,5 – 5 2,5 - 15 12-24 1 – 2

Sulfonilurea Glipizid 5 – 10 5 – 2- 10-16 1 – 2 Sebelum

Glikuidon 30 30 -

120

6 - 8 2 – 3 makan

Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1

Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3

Nateglinid 120 360 - 3

Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4 - 8 24 1 Tdk

bergantung

Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal

makan

Penghambat

glukosidase α

Acarbose 50-100 100-

300

3 Bersama

suapan

pertama

Biguanid Metformin 500-850 250-

3000

6-8 1-3 Bersama/

sesudah

makan

43

Page 44: Presus selulitis

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)

Insulin diperlukan pada keadaan :

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

- Ketoasidosis diabetik

- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik

- Hiperglikemia dengan asidosis laktat

- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )

- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :

- Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )

- Insulin kerja pendek ( short acting insulin )

- Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )

- Insulin kerja panjang ( long acting insulin )

- Insuln campuran tetap ( premixed insulin )

Efek samping terapi insulin

- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia

- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

-

Table 7

Insulin di Indonesia

Nama Buatan Efek puncak Lama kerja

44

Page 45: Presus selulitis

Cepat

Actrapid

Humulin-R

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Eli Lilly (U-100)

2-4 jam 6-8 jam

Menengah

Insulatard

Monotard Human

Humulin-N

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Eli Lilly (U-100)

4-12 jam 18-24 jam

Campuran

Mixtard 30

Humulin-30/70

Novo Nordisk (U-40&U-100)

Eli Lilly (U-100)

1-8 14-15

Panjang

Lantus

Bentuk Penfill untuk

Bentuk Penfill untuk

Bentuk Penfill untuk

Aventis

Novopen 3 adalah :

Actrapid Human 100

Insulatard Human 100

Maxtard 30 Human 100

Humapen Ergo adalah :

Humulin-R 100

Humulin-N 100

Humulin-30/70

Optipen adalah :

Tidak ada 24 am

45

Page 46: Presus selulitis

Lantus

Sumber : PERKENI, 2006

Terapi kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk

kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan

kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat

pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi

OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.

Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah

kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan

pada malam hari menjelang tidur.

Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali

glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,

kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah

puasa keesokan harinya.

Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak

terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja

(PERKENI, 2006)

2.1.9. KOMPLIKASI

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun

(Sudoyo Aru, 2006).

I. Penyulit akut

46

Page 47: Presus selulitis

Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus

ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka

kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.

Ketoasidosis diabetik

Hiperosmolar nonketotik

Hipoglikemia

II. Penyulit menahun

1. Makroangiopati, yang melibatkan :

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah tepi

Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati:

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

3. Neuropati

2.1.10. PENGENDALIAN DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM

yang baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik, apabila kadar glukosa darah

mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang

diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah (Sudoyo Aru, 2006).

Tabel 8

Kriteria pengendalian DM

Baik Sedang Buruk

GD puasa 80 – 109 110 - 125 ≥ 126

GD 2 jam pp 80 – 144 145 - 179 ≥ 180

47

Page 48: Presus selulitis

A1C < 6,5 6,5 – 8 >8

Kolesterol total < 200 200 - 239 ≥ 240

LDL < 100 100 - 129 ≥ 130

HDL >45

Trigliserida < 150 150 - 199 ≥ 200

IMT 18,5 – 22,9 23 - 25 >25

Tekanan darah < 130/80 130 – 140 / 80 - 90 >140/90

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2.1.11. PROGNOSIS

Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang

normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk

meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).

2.2 SELULITIS

Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi menyebar ke

dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.1 Infeksi ini biasanya didahului luka atau trauma

dengan penyebab tersering Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada

anak usia di bawah 2 tahun dapat disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan

tampak sakit berat, sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti

bakterimia dan septikemia.3 Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti

eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti

demam dan peningkatan hitungan sel darah putih.4 Selulitis yang mengalami supurasi disebut

flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang

disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus grup A disebut erisepelas. Tidak ada

perbedaan yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh

Streptokokus.1

48

Page 49: Presus selulitis

Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan antibiotik. Infeksi

dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh jika terlambat dalam

memberikan pengobatan.

Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus dan

Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah

Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan

Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang

jarang pada selulitis.6 Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan

ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan

gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur eksternal maupun

hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada

imunokopromais lebih sering melalui aliran darah (buku kuning). Onset timbulnya penyakit

ini pada semua usia.

Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk

ditandai dengan kemerahan dengan batas tidak jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran

perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan

demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai

limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal

(flegmon, nekrosis atau gangren).

49

Page 50: Presus selulitis

Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant urticaria, insect bite

(respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema nodosum, eritema migran (Lyme borreliosis),

perivascular herpes zooster, acute Gout, Wells syndrome (selulitis eosinofilik), Familial

Mediterranean fever-associated cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma

gangrenosum, sweet syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis), Kawasaki disease,

carcinoma erysipeloides merupakan beberapa diagnosis banding dari selulitis

Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada

pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak meninggi, batas tidak

jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita

biasanya demam dan dapat menjadi septikemia.(7)

Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan sering

disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan septikemia.(6) Lesi

50

Page 51: Presus selulitis

kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau merah keunguan. Lesi kebiru-

biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang disebabkan oleh Streptokokus pneumonia

Pada pemeriksaan darah tepi selulitis terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung

jenis bergeser ke kiri.(7)

Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000 IU IM

selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500 mg setiap 6 jam,

selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H. Influenza diberikan Ampicilin untuk anak (3

bulan sampai 12 tahun) 100-200 mg/kg/d (150-300 mg), >12 tahun seperti dosis dewasa.

Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus penghasil

penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai

alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50

mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450

mg/hari PO; anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain

eritromisin dan klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral

selama 7-10 hari. (6)

BAB V

KESIMPULAN

Diabetes mellitus adalah gangguan endokrin kronis yang ditandai oleh gangguan

semua jenis metabolisme pada latar belakang kekurangan insulin absolut atau relatif. Faktor

utama timbulnya DM adalah karena gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan makanan

yang mengandung kalori tinggi dan kurang berolah raga. Meskipun faktor keturunan

berkontribusi, tetapi DM tidak akan muncul bila tidak ada faktor pencetus, yakni gaya hidup

yang tidak sehat. Gangguan metabolisme yang terjadi dengan diabetes, negatif

mempengaruhi keadaan organ internal, yang mengapa diabetes mellitus sering berkembang

dalam keadaan seperti nefropati diabetik. Salah satu konsekuensi dari penyakit ginjal diabetes

adalah anemia yang terjadi pada kebanyakan pasien dengan penyakit ini.

51

Page 52: Presus selulitis

Karena DM bisa menimbulkan berbagai komplikasi terutama seperti selulitis pedis,

maka pengobatan DM harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa spesialis yang terkait

dengan komplikasi DM seperti jantung dan pembuluh darah, ginjal, mata dan syaraf.

Pemeriksaan fungsi ginjal, status metabolik dan lemak dalam darah harus dilakukan secara

berkala. 70% orang yang mengalami cuci darah karena gagal ginjal adalah penderita DM.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-1859.

2. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I. Media Aesculapius Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001

3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus

Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: 2002; hal 1-19

52

Page 53: Presus selulitis

4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe

2 Di Indonesia. Semarang: 2006.

5. Powers C Alvin. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th. Medical Publishing

Division Mc Graw-Hill. North America: 2005.

6. Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan Spesialis

Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: 2005; Hal 1974-80.

7. Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; Hal 1860-3.

8. Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23.

9. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006

10. Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7.

11. Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14

12. Yunir Em, Soebardi Suharko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:

2006; 1864-7.

53