presus anestesi cedera kepala

58
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Trauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun mental. Trauma susunan saraf pusat merupakan penyebab kematian tersering pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun di negara- negara berkembang. Kematian akibat trauma tersebut, sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala. Selain menyebabkan kematian, cedera kepala juga sering mengakibatkan kecacatan permanen (Selladurai et al., 2007). Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika yang disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi cedera kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai 2,5- 5,6 juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas (Marshall, 2000). Data dari kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus kecelakaan lalu lintas dan sekitar 70% dari angka tersebut

Upload: dera-fakhrunnisa-rukmana

Post on 24-Oct-2015

360 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

cedera kepala

TRANSCRIPT

Page 1: Presus Anestesi cedera kepala

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Trauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang

komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi

kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun

mental. Trauma susunan saraf pusat merupakan penyebab kematian tersering

pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun di negara-negara

berkembang. Kematian akibat trauma tersebut, sebagian besar disebabkan

oleh cedera kepala. Selain menyebabkan kematian, cedera kepala juga sering

mengakibatkan kecacatan permanen (Selladurai et al., 2007).

Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika

yang disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi

cedera kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai

2,5- 5,6 juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring

meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan

semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas (Marshall, 2000). Data dari

kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus

kecelakaan lalu lintas dan sekitar 70% dari angka tersebut mengalami cedera

kepala dalam berbagai derajat keparahan. Penelitian Suparnadi (2002),

menunjukkan bahwa 60% penderita cedera kepala berusia 20-39 tahun,

dengan komposisi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan

3:1. Penelitian Wijanarka (2005), menunjukkan dari 100 penderita cedera

kepala, 76% cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang dan 9% cedera

kepala berat.

Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani

secara tepat dan cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada

dasarnya memiliki tujuan untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum

serta mencegah cedera kepala sekunder. Penanganan yang dilakukan saat

terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol

pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya

Page 2: Presus Anestesi cedera kepala

komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang tidak normal dan

membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga

(Hardi, 2008).

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai

penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera

primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan

faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia,

dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak

lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif

yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada

di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.

Cedera kepala membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.

Mengingat pentingnya hal itu, dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh

dalam penanganan kegawatdaruratan cedera kepala. Berdasarkan latar

belakang di atas, akan dibahas tentang cedera kepala, penanganan

kegawatdaruratan cedera kepala, serta peran bagian anestesiologi dalam

menangani kasus cedera kepala.

II. Tujuan

1. Tujuan Umum

Meninjau manajemen tindakan anestesi pada cedera kepala berat

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan tentang cedera kepala

b. Menjelaskan tentang penanganan kegawatdaruratan cedera kepala

berat

c. Menjelaskan tentang tindakan anestesi pada cedera kepala berat

( preoperatif, durante op, dan post operatif)

III. Manfaat

Menambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang anestesiologi

khususnya yang berkaitan dengan anestesi pada tindakan penanganan cedera

kepala berat.

Page 3: Presus Anestesi cedera kepala

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDURAL HEMATOMA

1. Definisi

Epidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara

tengkorak dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural).

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya

fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri

meningens (a. Meningea media). Hematom epidural yang berasal dari

perdarahan vena lebih jarang terjadi (Sjamsuhidajat, 2003).

Gambar 1. CT Scan Epidural Hematom

2. Etiologi

Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:

1) Trauma kepala

2) Sobekan arteri/vena meningea mediana

3) Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum

4) Ruptur vena diplorica

Page 4: Presus Anestesi cedera kepala

3. Klasifikasi

Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan

menjadi:

1) Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.

2) Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam–7 hari.

3) Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7.

4. Patofisiologi

Epidural hematoma sering terjadi di daerah temporal bila salah satu

cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila ada

benturan keras pada tulang tengkorak. Hematom dapat pula terjadi di daerah

frontal atau oksipital (Hafid, 2004).

Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os

temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,

desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang

kepala sehingga hematom bertambah besar (Hafid, 2004).

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan

pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini

menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran

tentorium (Hafid, 2004).

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria di medulla

oblongata dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat

nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini

mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada

lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan

kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat

cepat, dan tanda babinski positif (Hafid, 2004).

Semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang

besar. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa

terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau

Page 5: Presus Anestesi cedera kepala

Brief contact force

Cedera kepala berat atau fraktur kranium

Ruptur arteri meningea media

Perdarahan semakin cepat

Ruptur permukaan luar duramater

Darah merembes diantara duramater dan kranium

Darah terkumpul

Bekuan darah membentuk massa

Menekan otak

Peningkatan tekanan intrakranial

Cedera otak sekunder

Kerusakan otak permanen

Koma Pembesaran pupil

Nyeri kepala Kematian

terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.

Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang

progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun (Hafid, 2004).

Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar

setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval

terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada

subdural hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural

hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena

pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar

(Hafid, 2004).

Page 6: Presus Anestesi cedera kepala

5. Penegakkan Diagnosis

a. Anamnesis

1) Riwayat trauma

2) Gangguan kesadaran (bisa dalam keadaan tidak sadar, hilang

kesadaran singkat atau tidak mengalami kehilangan kesadaran).

3) Adanya interval lucid, Interval lucid klasik muncul pada 20-50%

pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-

lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan

kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas

sampai efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan

tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan

kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada

luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa

perdarahan epidural.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat,

2004)

1) Pasien mungkin cedera kepala seperti laserasi kulit

kepala, cephalohematoma, atau kontusio.

2) Cedera sistemik juga dapat muncul sebagai tanda adanya trauma

3) Trias Cushing klasik mungkin terjadi melibatkan hipertensi sistemik,

bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul

ketika perfusi serebral.

4) Penilaian neurologis

1) tingkat kesadaran

GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini. GCS positif

berhubungan dengan hasil akhir

2) aktivitas motorik

3) Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena drift

pronator mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah

ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang

Page 7: Presus Anestesi cedera kepala

keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas

mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun penting.

tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia.

4) pembukaan mata

5) respon verbal

6) reaktivitas dan ukuran pupil

c. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006;

Syamsuhidayat, 2004)

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung

trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan

epidural, baik spontan maupun trauma.

b. Pencitraan (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat, 2004)

1) CT-scan

a) CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif

dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas.

Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh

perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya

pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks.

Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan

epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan

menghambat ventrikel keempat (Mardjono, 2000; Sjamsir,

2006; Syamsuhidayat, 2004).

b) Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan

parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut

memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-

scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4

minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap)

setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai

isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin

mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau

Page 8: Presus Anestesi cedera kepala

level hemoglobin serum yang rendah (Mardjono, 2000; Sjamsir,

2006; Syamsuhidayat, 2004)

3) MRI

Perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini

kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek

massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas (Mardjono,

2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat, 2004).

6. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Awal

1) Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal

Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan

segera identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing,

serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal).

Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya

sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi

karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal

lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus

segera dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus

hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi

vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh

melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.

Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien dengan

multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga

pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw

thrust adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang

secara otomatis melindungi vertebra servikal (Feliciano et al.,

2004).

2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi

Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien

bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%

sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan

Page 9: Presus Anestesi cedera kepala

penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi

dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan

perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau

terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35

mmHg (Feliciano et al., 2004).

3) Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan

Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi

kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak

jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala

karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam

timbulnya edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan

oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial

yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat

dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks

dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber

perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang

hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah (Feliciano et

al., 2004).

b. Konservatif

1) Manitol 20%

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan

otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang

intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus

dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20

menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48

jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm (Japardi,

2002).

2) Loop diuretik (Furosemid)

Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat

pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial

pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai

Page 10: Presus Anestesi cedera kepala

efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh

manitol. Dosis 40 mg/hari/IV (Japardi, 2002).

3) Terapi barbiturat (Fenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif

terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini

bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap

obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara menekan

metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun;

karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari

kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen

berkurang. Cara pemberiannya: bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5

jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan

pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.

Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis

diturunkan bertahap selama 3 hari (Japardi, 2002).

4) Cairan Intravena

Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan

perfusi serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan

menaikkan tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya

untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia,

jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung

glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk

pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi

adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium

serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema

otak (De Jong, 2004). Strategi terbaik adalah mempertahankan

volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan

cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi

hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak (Seth & Morris,

2004).

5) Antikonvulsan

Page 11: Presus Anestesi cedera kepala

Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma

kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca

trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa

memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan

hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan

ICP (Feliciano et al., 2004).

Pengobatan (Japardi, 2002):

a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari

b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15

menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9%

dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru

oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti

obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18

mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan

dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral

c. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan

resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom

intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik

panjang.

c. Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat (American Collage Surgeon,

2004):

1) Volume hematoma > 25 ml

2) Keadaan pasien memburuk

3) Pendorongan garis tengah > 5 mm

Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi

sederhana (burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi

hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life

saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan

tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya

keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk

Page 12: Presus Anestesi cedera kepala

life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume (American Collage

Surgeon, 2004):

1) > 25 cc desak ruang supra tentorial

2) > 10 cc desak ruang infratentorial

3) > 5 cc desak ruang thalamus

Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan

(American Collage Surgeon, 2004):

1) Penurunan klinis.

2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm

dengan penurunan klinis yang progresif.

3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm

dengan penurunan klinis yang progresif.

d. Nonmedikamentosa

1) Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya

ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada

pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya

pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena

otak menjadi lancar (Japardi, 2002).

2) Nutrisi Adekuat

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-

2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses

ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan

norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam.

Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi

peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000

kalori/hari (Japardi, 2002).

7. Prognosis

Page 13: Presus Anestesi cedera kepala

Prognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2007):

a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

b. Besarnya

c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya

baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka

kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus.

Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum

operasi (Heegaard & Biros, 2007).

8. Komplikasi

Komplikasi cedera kepala yang mungkin terjadi diantaranya adalah

sebagai berikut (Price & Wilson, 2006):

a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi

b. Edema serebral

c. Hernia jaringan otak

d. Infeksi

e. Emboli lemak

f. Hidrosefalus

g. Fistula cairan serebrospinalis

B. MANAJEMEN ANESTESI PADA CEDERA KEPALA BERAT

1. Preoperatif

a. Penilaian awal kondisi pasien

1) Penilaian neurologi (Dunn, 2000).

a) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana

dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan

status neurologis pasien dengan trauma kepala.

Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat

Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang

Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan

Page 14: Presus Anestesi cedera kepala

b) Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris

ekstremitas harus secepatnya dinilai.

c) Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang

berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama

ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks

atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks

maupun abdomen harus dilakukan segera.

2) Jalan nafas dan ventilasi (Bendo et al., 2001)

a) Intubasi

Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan

nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena

semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang

penuh dan sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada

krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal dilakukan

selama digunakan laringoskop dan intubasi.

b) Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi

c) Ventilasi mekanik

Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi

diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm.

Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan

kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia,

harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction

bronkus dapat dilakukan.

3) Stabilisasi kardiovaskular (Bendo et al., 2001)

a) Resusitasi cairan.

Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik

dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume

intravaskular yang adekuat.

Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai

hematokrit yang rendah membutuhkan tranfusi untuk

mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya

dipertahankan diatas 30%.

Page 15: Presus Anestesi cedera kepala

Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang

mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena

hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis.

Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani

hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya

dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL

b) Inotropik dan vasopresor.

Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki

melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor

secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin

direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure

diatas 60 mmHg.

4) Penanganan peningkatan TIK (Bendo et al., 2001; Kirkness et al.,

2005).

a) Hiperventilasi.

Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien

dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2

sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan

efektif menurunkan TIK.

b) Terapi diuretik.

Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit

pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas

serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.

c) Posisi.

Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan

menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan

dimana tekanan darah sistemik menurun.

d) Kortikosteroid

Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat

dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada

pasien dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir

menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi

Page 16: Presus Anestesi cedera kepala

kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam

penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma

spinal.

2. Peri dan Intraopertif

Anestesi general di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi

respirasi dan sirkulasi. Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan

hemodinamik sabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan

tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial.

Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif (Bendo et al., 2001;

Ezekiel, 2004; Ezekiel et al., 2005).

a) Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.

Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 >

100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru

neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)

untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya

dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat

menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.

b) Penanganan sirkulasi

CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan

meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti

cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau

vasopresor.

c) Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah

dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon

dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).

Penanganan peningkatan TIK intraoperatif (Pattersen et al., 2007).

a) Posisi pasien

Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak

menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara

Page 17: Presus Anestesi cedera kepala

substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan

leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.

b) Ventilasi

Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi

dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.

c) Sirkulasi

Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan

sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.

d) Diuretik

Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide

juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada

pasien dengan penurunan fungsi jantung.

e) Drainase CSF

Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang

efektif dalam menurunkan TIK.

3. Postoperatif

a) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke

kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.

b) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2

< 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.

c) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh

kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri

rerata > 130 mmHg.

d) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid.

Hematokrit pertahankan 33%.

e) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan

kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.

f) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb

dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin

terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb)

perlahan –lahan selama 1-2 menit.

Page 18: Presus Anestesi cedera kepala

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. Umi Alfiah

Umur : 45 tahun

Berat badan : 55 Kg

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Kasegeran RT 05/02 Cilongok, Banyumas

Agama : Islam

Tanggal masuk RSMS : 17 September 2013

No. CM : 293572

B. PRIMARY SURVEY

1. A: tidak clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-), Malapati sulit dinilai

2. B: Spontan, RR : 24x/menit, suara dasar vesikuler +/+, Wh (-), Rh (-),

stridor (+/+)

3. C: TD 160/90 mmHg, Nadi 120 kali/menit, reguler, tegangan dan isi

cukup, S1>S2, G (-), M (-)

4. D: GCS E1M3V1, BB 55 kg, TB 160 cm, BMI 21.4, Suhu 37,9°C

C. SECONDARY SURVEY

1. ANAMNESIS

a. Keluhan utama : Penurunan kesadaran

b. Keluhan tambahan: Muntah, keluar darah dari telinga kiri dan hidung

c. Riwayat penyakit sekarang

Pasien dibawa keluarga ke IGD RS Margono Soekarjo atas

rujukan Puskesmas 1 Cilongok dengan Cedera Kepala Sedang setelah

mengalami kecelakaan lalu lintas yakni tertabrak mobil dari arah

belakang saat pasien berjalan kaki. Kecelakaan terjadi 1 jam sebelum

pasien datang ke IGD RSMS. Menurut keterangan saksi yang ada di

tempat kejadian, pasien langsung tidak sadarkan diri dan muntah

Page 19: Presus Anestesi cedera kepala

sebanyak 2x berisi darah. Pasien tetap tidak sadarkan diri sampai tiba

di IGD. Selain itu ditemukan pula darah yang keluar dari telinga kiri

dan hidung pasien.

d. Riwayat penyakit dahulu

1) Riwayat hipertensi : disangkal

2) Riwayat kencing manis: disangkal

3) Riwayat asma : disangkal

4) Riwayat jantung : disangkal

5) Riwayat alergi : disangkal

6) Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

e. Riwayat penyakit keluarga

1) Riwayat hipertensi : disangkal

2) Riwayat kencing manis: disangkal

3) Riwayat asma : disangkal

4) Riwayat jantung : disangkal

5) Riwayat alergi : disangkal

2. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan di IGD RSMS, 17 September 2013

a. Keadaan umum : Lemah

b. Kesadaran : GCS E1M3V1

c. Tanda vital :

Tekanan darah : 160/90 mmHg

Nadi : 120x/ menit

Respirasi : 24x/ menit

Suhu : 37.9ºC

d. BB : 55 kg

e. TB : 160 cm

f. Status Generalis

1) Kepala

Bentuk dan ukuran :normocephal

Rambut dan kulit kepala :hitam terdistribusi merata, tidak

mudah dicabut

Page 20: Presus Anestesi cedera kepala

2) Mata :palpebra superior edema (-), mata cekung (-),

konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) RC +/+

PB anisokor 5mm/3mm

3) Telinga :otorrhoae (-)/(+), sekret (-)

4) Hidung :septum deviasi (-), sekret (-), napas cuping hidung

(-) darah (+)

5) Mulut :bibir kering (-), sianosis (-), darah (-)

6) Tenggorokan :faring sdn, tonsil sdn, malapati sdn

7) Leher :simetris, trakhea di tengah, kelenjar tiroid,

submandibula, supra-infra clavicula tidak teraba

8) Ekstremitas :akral dingin, sianosis (-), edema (-), deformitas (-)

9) Kulit :turgor baik, petechiae (-)

10) Genitalia :tidak dilakukan

11) Anus Rektum :tidak dilakukan

g. Status Lokalis

1) Paru

Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak

ketertinggalan gerak, kelainan bentuk dada (-),

eksperium diperpanjang(-), retraksi interkostalis (-),

jejas (-)

Palpasi : Vokal fremitus apeks kanan = kiri

Vokal fremitus basal kanan = kiri

Perkusi : Perkusi orientasi lapang paru sonor, Batas paru-hepar

SIC V LMCD

Auskultasi: Apeks : Suara dasar vesikuler +/+

Basal : Suara dasar vesikuler +/+

Ronki basah halus -/-

Ronki basah kasar -/-

Wheezing -/-

Stridor +/+

2) Jantung

Auskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan

Page 21: Presus Anestesi cedera kepala

3) Abdomen

Inspeksi : datar, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas

Auskultasi : bising usus (+) N

Palpasi : supel, test undulasi (-)

Perkusi :timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Hepar : tak teraba

Lien : tak teraba

h. Ekstremitas:

Ekstremitas

superior

Ekstremitas

inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Akral dingin + + + +

Reflek fisiologis + + + +

Reflek patologis - - - -

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 17 April 2013 jam 08.30

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin 12.6 Gr/dl 12.0-16.0

Leukosit H 26.740 /µL 4800- 10800

Hematokrit 39 % 37-47

Page 22: Presus Anestesi cedera kepala

Eritrosit 4.6 106 /µL 4,2 – 5,4

Trombosit H 537.000 /µL 150.000 – 450.000

MCV 85,5 fL 79,0 – 99,0

MCH 27,3 pg 27,0 – 31,0

MCHC L 32,0 % 33 – 37

RDW 14,2 11,5 – 14,5

MPV 9,1 fL 7,2 – 11,1

Hitung Jenis

Basofil 0,3 0 - 1

Eosinofil L 0,7 2 – 4

Batang L 0,8 2 – 5

Segmen H 78,9 40 – 70

Limfosit L 16,8 25 – 40

Monosit 2,5 2 – 8

Kimia Klinik

Ureum 19,7 mg/dl 14,98- 38,52

Kreatinin 0.78 mg/dl 0,80-1,30

Glukosa sewaktu 159 mg/dl < = 200

Natrium 142 mmol/L 136-145

Kalium 4,5 mmol/L 3,5-5,1

Klorida L 96 mmol/L 35-107

Page 23: Presus Anestesi cedera kepala

b. CT-scan Tanpa Kontras

Hematom ekstracranial regio parietoocipital sinistra, fraktur temporal

sinistra, occipital sinistra, dan frontalis sinistra, EDH, ICH,

Penumatocell, Hematom sinus ethmoid, Perdarahan 49,5 cc

D. DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis prabedah : EDH parietooccipal sinistra, ICH parietotemporal

dextra, Ekstracranial hematom, dan Fraktur basis

cranii fossa posterior

Diagnosis pasca bedah : EDH parietooccipal sinistra, ICH parietotemporal

dextra, Ekstracranial hematom, dan Fraktur basis

cranii fossa posterior

Jenis pembedahan : Craaniotomi evakuasi EDH

E. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK

Status ASA IV

F. TINDAKAN

Dilakukan : Craaniotomi evakuasi EDH

Tanggal : 17 September 2013

G. LAPORAN ANESTESI

Status Anestesi

1. Persiapan Anestesi

a. Informed concent + Death on Table

b. Pasang IV line 2 jalur NaCl tetes cepat

c. Challange Test untuk mengetahui status pasien

hipovolemik/euvolemik dengan pemberian kristaloid 10-20 cc per

Page 24: Presus Anestesi cedera kepala

KgBB yakni 1000 cc selama 15-30 menit kemudian lihat

hemodinamik pasien.

d. Pemasangan kateter

e. Mulai puasa sebelum operasi

2. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)

b. Premedikasi : -

c. Co-induksi : Fentanyl 100 µgram, Lidokain 80 mg

d. Induksi : Propofol 100 mg

e. Fasilitas intubasi : Rocuronium 40 mg

f. Pemeliharaan : O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC

3. Teknik anestesi

a. Pasien dalam posisi telentang

b. Dilakukan intubasi dengan pemasangan ET ukuran 7,5

c. Respirasi : Ventilasi kendali

d. Jumlah cairan yang masuk selama operasi: kristaloid 2000 cc (RL

500 cc dan NaCl 1500 cc), koloid 500cc, Manitol 250 cc, dan

PRC 1 Kolf

4. Pemantauan selama anestesi :

a. Mulai anestesi : 16.50 WIB

b. Mulai pembedahan : 17.05 WIB

c. Selesai operasi : 18.50 WIB

d. Selesai anestesi : 19.00 WIB

5. Cairan yang masuk durante operasi:

RL 500 cc

NaCl 1500 cc

HES 500 cc

Manitol 250 cc

PRC 1 Kolf

Terapi cairan

Page 25: Presus Anestesi cedera kepala

Berat badan = 55 kg

Maintenence = 2xKgBB/jam 110 cc/jam

Pengganti Puasa = Lama puasa x kebutuhan per jam 1100 cc

Stress operasi (operasi besar) 8cc x 55 = 440 cc

a. Kebutuhan jam pertama

50% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam

550 cc + 440cc + 110 cc = 1100 cc

b. Kebutuhan jam kedua

25% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam

275 cc + 440cc + 110 cc = 825 cc

Kebutuhan cairan selama 120 menit operasi

1100 cc + 825 cc =1925 cc/ 2 jam 1925 x 15 240 tpm

2 x 60

Cairan yang masuk selama operasi RL 500 ml, NaCl 1500 cc,

HES 500 cc, Manitol 250 cc, PRC 1 Kolf

6. Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi.

Jam

(WIB)

Tindakan Tekanan

Darah

(mmHg)

Nadi

(x/menit)

Saturasi

O2 (%)

16.50 a. Pasien masuk ke kamar operasi, dan

dipindahkan ke meja operasi

b. Pemasangan monitoring tekanan darah,

nadi, saturasi O2

c. Dua jalur Infus NaCl masing-masing 500cc

terpasang pada tangan kanan dan tangan

kiri

160/90 140 100

Page 26: Presus Anestesi cedera kepala

d. Pemberian premedikasi –

e. Pemberian Co-induksi Fentanyl 100 µgram,

f. Pemberian Lidokain 80 mg

g. Pemberian Induksi Propofol 100 mg

h. Fasilitas intubasi Rocuronium 40 mg

i. Pemasangan ET

17.05 Operasi dimulai 160/85 110 100

17.20 HES 500 cc 150/100 108 100

17.35 Kondisi terkontrol 145/95 110 100

17.50 Efedrin HCL 1 cc

RL 500 cc

110/80 130 100

18.05 Manitol 125 cc 100/85 115 100

18.20 Kondisi terkontrol 130/90 98 100

18.35 Kondisi terkontrol 120/82 104 100

18.50 a. Operasi selesai

b. Diberikan Ketorolac 30 mg

c. Pelepasan ET

d. Pemasangan sunngkup oksigen pada pasien

e. Pelepasan alat monitoring

f. Persiapan ke ruangan ICU

120/80 75 100

7. Pemantauan post operasi

a. Pengawasan ketat tanda vital dalam ruang ICU dengan

menggunakan ventilator.

b. Pemantauan tanda vital setiap 1 jam selama selama 24 jam.

c. Lanjutkan infus RL

d. Pemasangan NGT

Page 27: Presus Anestesi cedera kepala

Pemeriksaan Darah Lengkap Post operasi tanggal 17 April 2013 jam

22.00

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin L 7.1 Gr/dl 12.0-16.0

Leukosit H 21.730 /µL 4800- 10800

Hematokrit L 21 % 37-47

Eritrosit L 2,5 106 /µL 4,2 – 5,4

Trombosit 272.000 /µL 150.000 – 450.000

MCV 83,3 fL 79,0 – 99,0

MCH 28,2 pg 27,0 – 31,0

MCHC 33,8 % 33 – 37

RDW 13,9 11,5 – 14,5

MPV 9,2 fL 7,2 – 11,1

Hitung Jenis

Basofil 0,1 0 - 1

Eosinofil L 0,0 2 – 4

Batang L 0,7 2 – 5

Segmen H 84.5 40 – 70

Limfosit L 9.8 25 – 40

Monosit 4,9 2 – 8

Page 28: Presus Anestesi cedera kepala

Kimia Klinik

Ureum 15,8 mg/dl 14,98- 38,52

Kreatinin 0.72 mg/dl 0,80-1,30

Glukosa sewaktu 165 mg/dl < = 200

Natrium 142 mmol/L 136-145

Kalium 4,1 mmol/L 3,5-5,1

Klorida 104 mmol/L 35-107

Kalsium L 5,5 Mg/dL 8,4-10,2

Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 18 April 2013 jam 15.00

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin L 7.7 Gr/dl 12.0-16.0

Leukosit H 21.470 /µL 4800- 10800

Hematokrit L 23 % 37-47

Eritrosit L 2,7 106 /µL 4,2 – 5,4

Trombosit 239.000 /µL 150.000 – 450.000

MCV 83,7 fL 79,0 – 99,0

MCH 28,3 pg 27,0 – 31,0

MCHC 34,2 % 33 – 37

Page 29: Presus Anestesi cedera kepala

RDW 13,8 11,5 – 14,5

MPV 9,5 fL 7,2 – 11,1

Hitung Jenis

Basofil 0,2 0 - 1

Eosinofil L 0,0 2 – 4

Batang L 0,5 2 – 5

Segmen H 87,8 40 – 70

Limfosit L 8,1 25 – 40

Monosit 3,4 2 – 8

Kimia Klinik

Ureum 19,7 mg/dl 14,98- 38,52

Kreatinin L 0,59 mg/dl 0,80-1,30

Glukosa sewaktu 120 mg/dl < = 200

Natrium 143 mmol/L 136-145

Kalium 3,9 mmol/L 3,5-5,1

Klorida 102 mmol/L 35-107

Kalsium L 8,1 Mg/dL 8,4-10,2

Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 19 April 2013 jam 19.50

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Page 30: Presus Anestesi cedera kepala

Darah Lengkap

Hemoglobin L 9,9 Gr/dl 12.0-16.0

Leukosit H 14.670 /µL 4800- 10800

Hematokrit L 29 % 37-47

Eritrosit L 3,5 106 /µL 4,2 – 5,4

Trombosit 237.000 /µL 150.000 – 450.000

MCV 83,6 fL 79,0 – 99,0

MCH 28,5 pg 27,0 – 31,0

MCHC 34,1 % 33 – 37

RDW 14,1 11,5 – 14,5

MPV 9,6 fL 7,2 – 11,1

Hitung Jenis

Basofil 0,2 0 - 1

Eosinofil L 0,1 2 – 4

Batang L 0,5 2 – 5

Segmen H 83,6 40 – 70

Limfosit L 11,2 25 – 40

Monosit 4,4 2 – 8

H. PROGNOSA

Ad Vitam : Dubia ad malam

Ad Functionam : Dubia ad malam

Ad Sanationam : Dubia ad malam

Page 31: Presus Anestesi cedera kepala

BAB IV

PEMBAHASAN

Cedera kepala adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan

mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan

outcome yang baik. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan

cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak,

menghindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter

bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan

sirkulasi.

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan

persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan

anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan

sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi,

menentukan jenis operasi yang akan di gunakan serta melihat kelainan yang

berhubungan dengan anestesi. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien

secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat

yang tepat bagi pasien.

Page 32: Presus Anestesi cedera kepala

Pemeriksaan pre operatif pada cedera kepala sama seperti pemeriksaan

rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan

intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya

serta hasil CT-scan. Peningkatan tekanan intrakranial pada CT-scan ditunjukkan

dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,

hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema

(adanya daerah hipodensitas). Tindakan pre operatif yang dilakukan pada pasien

adalah sebagai berikut :

1. Melakukan visit pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Hal ini berguna untuk

menentukan masalah yang ada pada pasien, meramalkan kemungkinan

penyulit, melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan terjadi,

menentukan status fisik pasien serta menentukan tindakan anestesi yang

sesuai.

2. Memberikan informasi pada keluarga pasien mengenai keadaan pasien,

tindakan operatif yang akan dilakukan, keuntungan dan kerugian tindakan

operatif serta resiko yang dapat terjadi.

3. Melakukan fluid challenge test

Fluid challenge test merupakan prosedur diagnostik yang

digunakan untuk mengidentifikasi suatu keadaan hipovolemik. Prosedur

ini bertujuan untuk mengetahui keadaan sistem kardiosirkulasi pasien dan

sebagai panduan dalam melakukan resusitasi cairan. Terdapat empat

komponen penting dalam fluid challenge test diantaranya adalah jenis

cairan yang akan diberikan (kristaloid), kecepatan pemberian cairan ( 500-

1000 ml atau 10-20 ml/kgBB dalam 10-30 menit), target hemodinamik

( MAP > 70 mmHg, HR < 110x/m, produksi urin 0,5-1 ml/jam), serta

pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya oedem pulmo.

Terapi cairan kristaloid ataupun koloid menjadi masalah apabila

diberikan dalam jumlah yang tidak tepat. Apabila kehilangan cairan tidak

dikoreksi, maka pasien akan mengalami keadaan hipovolemia yang

selanjutnya menimbulkan kerusakan ginjal dan komplikasi lainnya,

sebaliknya kelebihan pemberian cairan akan menyebabkan oedem pulmo.

Page 33: Presus Anestesi cedera kepala

Oleh karena itu fluid challenge test dilakukan agar terapi cairan diberikan

secara tepat.

4. Puasa sebelum operasi

Pasien terakhir makan dan minum 10 jam sebelum operasi. Puasa sebelum

operasi dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah dan aspirasi saat

operasi.

Pasien mengalami cedera kepala berat dan dilakukan tindakan operatif

yaitu craniotomi. Tindakan craniotomi menggunakan anestesi umum (anestesi

general) karena tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang

tidak memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk

menjamin adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur

menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan

volume tidal yang tidak terlalu besar.

Obat-obatan yang diberikan pada pasien selama operasi berlangsung

diantaranya adalah :

1. Co-induksi (Fentanyl 100 µgram dan Lidokain 80 mg)

- Fentanyl 2-150 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon

hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Fentanyl

adalah suatu opioid agonis derifat phenylpiperidine sintetik yang

secara struktur berkaitan dengan meperidine, sebagai suatu analgesic,

fentanyl lebih kuat 75 sampai 125 kali dibandingkan morfin. Dosis

intraoperatif sebesar 2-150 µg/kgBB dengan onset 2-3 menit dan

durasi sekitar 15- 20 menit.

- Lidokain 1,5mg/kg iv, diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat

membantu untuk mencegah peningkatan tekanan intra kranial. Sebagai

obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila

ditambahkan adrenalin dosis maksimal mencapai 6 mg/kgBB.

Lidokain menyebabkan penurunan tekanan intrakranial (tergantung

dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder peningkatan resistensi

vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak.

2. Induksi (Propofol 100 mg)

Page 34: Presus Anestesi cedera kepala

Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam induksi

dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Dosis yang digunakan sebesar

2,5-3 mg/kgBB dengan onset 30-40 detik dan durasi 5-10 menit.

3. Fasilitas intubasi (Rocuronium 40 mg)

Rocuronium diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia umum untuk

mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot

rangka selama pembedahan. Dosis yang digunakan dalam intubasi

endotrakeal: 0,6-1,2 mg/kgBB, sedangkan dosis pemeliharaan: 0,1- 0,2

mg/kgBB.

4. Pemeliharaan (O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC)

Isofluran merupakan depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki

sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada

halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin

memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan

konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena

dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP.

Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif yang diberikan pada

pasien diantaranya adalah:

d) Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.

Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 >

100 mmHg. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) yang berlebihan

sebaiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks

dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.

e) Penanganan sirkulasi.

CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan

meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan,

peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau

vasopresor.

f) Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah

dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon

dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).

Page 35: Presus Anestesi cedera kepala

Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi

nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle

atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat

menjahit kulit. Kadar PaCO2 dianaikkan ke arah normoventilasi. Hindari

rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera mungkin,

ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien betul-betul

bangun. Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG,

tekanan darah, SpO2 terus dilakukan.

Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah:

posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau

ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi, bila perlu diventilasi, pertahankan

normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah

cedera kepala. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak

boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata

> 130 mmHg. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bisa diberikan

koloid. Hematokrit pertahankan 33%. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada

pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%. Untuk

mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan

kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan

diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2 menit.

Page 36: Presus Anestesi cedera kepala

BAB V

KESIMPULAN

1. Tanggal 17 September 2013 telah dilakukan tindakan cranotomi evakuasi

EDH dengan menggunakan teknik anastesi yang dipakai adalah anastesi

general dengan menggunakan lidokain, fentanyl, dan propofol.

2. Tahapan preoperative diantaranya adalah memeriksa pasien untuk

memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak,

puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien tidak dapat

direncanakan puasa secara pasti, akan tetapi pasien tidak makan dan minum

selama tidak sadarkan diri yakni selama 10 jam.

3. Tahapan intraopratif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga

pemasangan ET. Pada pasien ini pemasangan ET dilakukan karena waktu

operasi yang lma (2 jam) dan pasien dalam posisi supine.

Page 37: Presus Anestesi cedera kepala

4. Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri, dan

keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian obat analgesik,

kristaloid, koloid, dan obat antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

American College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh.

United States of America.

Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In:

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.

Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.

Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008

De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford

Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000

Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical Strategies:

Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical Strategies

Publishing, USA. 2004.

Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2004. Trauma. 5th Ed. New

York: McGraw-Hill.

Page 38: Presus Anestesi cedera kepala

Gilroy, J. 2000. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill.

Hafid, A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong

W.D. Jakarta: EGC, hal. 818-819

Heegaard, William dan Michelle Biros. 2007. Traumatic Brain Injury. Emerg Med

Clin N Am. 25: 655–678.

Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of

Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury.

Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16.

Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available

at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf.

Diakses tanggal 26 Desember 2012.

Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend

CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of

Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.

Price, Sylvia A., Wilson M. Lorraine. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis dan

Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel. 2004. Blueprints

Surgery. Third Edition. UK: Blackwell Publishing.

Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

Snell R.S. 1996. Neurologi Klinik, Edisi ke dua. Jakarta: EGC.

Mardjono M., Sidarta P., 2000. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan,

Penerbit Dian Rakyat, Jakarta hal 255-256.

R. Syamsuhidayat.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ke2; EGC; Jakarta

Page 39: Presus Anestesi cedera kepala

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Kondisi pasien saat berada di ruang ICU (H+1 Operasi)

Page 40: Presus Anestesi cedera kepala

Hasil CT Scan