8 presus anestesi hydrocephalus vpshunt

67
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti kepala (De jong W, Sjamsuhidajat R., 2005). Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal.Selain itu beberapa lesi intrakranial menyebabkan peninggian TIK, namun tidak sampai menyebabkan hidrosefalus. Peninggian volume CSS tidak ekivalen dengan hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral. Hidrosefalus sebagai kesatuan klinik dibedakan oleh tiga faktor: a).peninggian tekanan intraventrikuler, b).penambahan volume CSS, c).dilatasi rongga CSS. Secara keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 : 1000. sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi yang berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada anak- anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena kongenital. Mujahid Anwar dkk mendapatkan 40 – 50% bayi dengan

Upload: angelo-doniho

Post on 13-Feb-2015

127 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang

berarti kepala (De jong W, Sjamsuhidajat R., 2005). Hidrosefalus merupakan

penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan

dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan

pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini

disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan antara produksi dan

absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan terjadi diatas

hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi cairan

subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem

ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal.Selain itu

beberapa lesi intrakranial menyebabkan peninggian TIK, namun tidak sampai

menyebabkan hidrosefalus. Peninggian volume CSS tidak ekivalen dengan

hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral. Hidrosefalus sebagai

kesatuan klinik dibedakan oleh tiga faktor: a).peninggian tekanan

intraventrikuler, b).penambahan volume CSS, c).dilatasi rongga CSS. Secara

keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 : 1000.

sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap populasi

yang berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada anak-

anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika

hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena

kongenital. Mujahid Anwar dkk mendapatkan 40 – 50% bayi dengan

perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus.

Pongsakdi Visudiphan dkk pada penelitiannya mendapatkan 36 dari 49 anak-

anak dengan meningitis TB mengalami hidrosefalus, dengan 3 catatan 8 anak

dengan hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans.

Hidrosefalus yang terjadi sebagai komplikasi meningitis bakteri dapat

dijumpai pada semua usia (Sri M., et. al. 2006).

B. HIDROSEFALUS

1. DEFINISI

Hidrosefalus dapat didefinisikan secarfa luas sebagai suatu gangguan

pembentukan,aliran, atau penyerapan cerebrospinal fluid (CSF) yang

mengarah ke peningkatan volume cairan di dalam SSP. Kondisi ini juga

bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik dari CSF (Rekate, 2009)

2. KLASIFIKASI

Hidrosefalus adalah suatu kondisi yang ditandai oleh volume intrakranial

cairan cerebrospinal fluid yang berlebihan. Dapat berupa communicant

dan noncommunicant, tergantung pada apakah atau tidak hubungan cairan

cerebrospinal antara sistem ventrikel dan subarachnoid space (De Jong, W.

dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).

a. Hidrosefalus Obstruktif (Non-komunikans)

Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang disebabkan

obstruksi pada salah satu tempat pembentukan likuor, antara pleksus

koroidalis sampai tempat keluarnya dari ventrikel IV melalui foramen

Magendi dan Luschka.

2

b. Hidrosefalus Komunikans

Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal tanpa disertai

penyumbatan system ventrikel.

Hidrosefalus kongenital terjadi pada sekitar satu per seribu kelahiran.

Hal ini umumnya terkait dengan malformasi congenital lain dan

mungkin disebabkan oleh gangguan genetik atau gangguan intra uterine

seperti infeksi dan perdarahan7.

3. EPIDEMIOLOGI

Insidensi kongenital hidrosefalus pada United States adalah 3 per

1.000 kelahiran hidup; insiden hidrosefalus yang didapat tidak diketahui

secara pasti persis karena berbagai gangguan yang dapat menyebabkan

kondisi tersebut. sekitar 100,000 shunts digunakan setiap tahunnya di

beberapa Negara, namun sedikit informasi yang tersedia untuk Negara

lainnya. Jika hidrosefalus tidak ditatalaksana, kematian dapat terjadi akibat

sekunder tonsilar herniasi akibat kompresi sel otak dan menyebabkan

respiratory arrest (Rekate, 2009).

Ketergantungan shunt terjadi pada 75% dari semua kasus

hidrosefalus yang ditatalaksana dan 50% pada anak anak dengan

hydrocephalus tipe communicant. Pasien tersebut sering datang ke rumah

sakit untuk revisi shunt atau untuk pengobatan komplikasi shunt atau

kegagalan shunt. Gangguan pengembangan fungsi kognitif pada bayi dan

anak-anak, atau hilangnya fungsi kognitif pada orang dewasa, merupakan

komplikasi pada hidrosefalus yang tidak di obati. Hal ini dapat menetap

setelah pengobatan. Kehilangan visual juga merupakan penyulit dari

3

hidrosefalus yang tidak diobati dan dapat menetap setelah pengobatan

(Rekate, 2009).

Insiden hidrosefalus berdasarkan usia menyajikan kurva bimodal.

Satu puncak terjadi pada masa bayi dan terkait dengan berbagai bentuk

cacat bawaan. Puncak lain yang terjadi di masa dewasa, sebagian besar

dihasilkan dari NPH. Hidrosefalus dewasa dijumpai sekitar 40% dari total

kasus hidrosefalus. berdasarkan usia tidak dijumpai perbedaan insidensi

hidrosefalus (Espay, A.J., et. al.; 2010).

4. FAKTOR RESIKO DAN ETIOLOGI

Hidrosefalus terjadi karena gangguan sirkulasi likuor di dalam

system ventrikel atau oleh produksi likuor yang berlebihan. Hidrosefalus

terjadi bila terdapat penyumbatan aliran likuor pada salah satu tempat,

antara tempat pembentukan likuor dalam system ventrikel dan tempat

absorpsi dalam ruang subarachnoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi

ruangan CSS di bagian proksimal sumbatan. Tempat yang sering

tersumbat dan terdapat dalam klinis adalah foramen Monro, foramen

Luschka dan Magendi, sisterna magna dan sisterna basalis (De Jong, W.

dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).

Secara teoritis, pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan

kecepatan absorpsi yang normal akan menyebabkan terjadinya

hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat

pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus

koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada

4

bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan perdarahan

(De Jong, W. dan Sjamsuhidajat, R.; 2005).

a. Kelainan Bawaaan (Hasan R. dan Alatas H.; 2002)

1) Stenosis Akuaduktus Sylvius, merupakan penyebab terbanyak pada

hidrosefalus bayi dan anak ( 60-90% ). Akuaduktus dapat merupakan

saluran buntu atau abnormal lebih sempit dari biasa. Umumnya ge-

jala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada

bulan-bulan pertama setelah lahir.

2) Spina bifida dan cranium bifida, hidrosefalus pada kelainan ini bi-

asanya berhubungan dengan sindroma Arnord-Chiari akibat ter-

tariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata dan serebelum

letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga ter-

jadi penyumbatan sebagian atau total.

3) Sindrom Dandy-Walker,merupakan atresiakongenital foramen

Luschka dan Magendi dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan

pelebaran system ventrikel, terutama ventrikel IV yang dapat

sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di

daerah fossa posterior.

4) Kista arakhnoid,dapat terjadi congenital maupun didapat akibat trau-

ma sekunder suatu hematoma.

5) Anomaly pembuluh darah, dalam kepustakaan dilaporkan terjadi

hidrosefalus akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai arteria

serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus tranversus dengan

akibat obstruksi akuaduktus.

5

b. Infeksi, akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga terja-

di obliterasi ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut

meningitis purulenta terjad bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi

mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis.

Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bu-

lan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis terlihat

penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan

daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen

terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan inter-

pendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya lebih

tersebar.

c. Neoplasma, hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di

setiap tempat aliran CSS. Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada

penyebabnya dan apabila tumor tidak bisa dioperasi, maka dapat di-

lakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS melalui saluran bu-

atan atau pirau. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan

penyumbatan ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius bagian terakhir bi-

asanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyum-

batan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofarin-

gioma.

d. Perdarahan, telah banyak dibuktikan bahwa perdarahn sebelum dan

sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen

terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi aki-

bat organisasi dari darah itu sendiri.

6

5. PATOFISIOLOGI

Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga

mekanisme yaitu; produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi

aliran liquor, peningkatan tekanan sinus venosa. Sebagai konsekuensi dari

tiga mekanisme diatas adalah peningkatan tekanan intracranial sebagai

upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbs. Mekanisme

terjadinya dilatasi ventrikel masib belum dipahami dengan jelas, namun

hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari

ketidakseimbangan antara produksi dan absorbs. Mekanisme terjadinya

dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda beda tiap saat tiap

saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat

dari (Listiono, 2010):

a. Kompensasi sistem serebrovascular

b. Redistribusi dari liquor serebrospinal atau cairan ekstraseluler atau

kedunya dalam susunan sistem saraf pusat.

c. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gang-

guan viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)

d. Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)

e. Hilangnya jaringan otak

f. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat

adanya regangan abnormal pada sutura cranial.

Produksi liquor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor

pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang

berlebihan akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam

7

mempertahankan keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor,

sehingga akhirnya ventrikel akan membesar. Adapula beberapa laporan

mengenai produksi liquor yang berlebihan tanpa adanya tumor pada

pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis A (Listiono,

2010).

Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus

hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran

akan meningkatkan tekanan liquor secara proporsional dalam upaya

mempertahankan resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi

aliran cairan liquor adan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik

berpengaruh pada penampilan klinis (Listiono, 2010).

6. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis bervariasi sesuai dengan umur penderita8. Gejala yang

tampak berupa gejala akibat tekanan intracranial yang meninggi6. Pada

pasien hidrosefalus berusia di bawah 2 tahun gejala yang paling umum

tampak adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala.

Makrokrani mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar

kepala lebih besar dari dua deviasi standart di atas ukuran normal, atau

persentil 98 dari kelompok usianya (Listiono, 2010).

Selain itu menentukan telah terjadinya makrokrania juga dapat

dipastikan dengan mengukur lingkaran kepala suboksipito-bregmatikus

dibandingkan dengan lingkaran dada dan angka normal pada usia yang

sama. Lebih penting lagi ialah pengukuran berkala lingkaran kepala, yaitu

8

untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari

normal (Listiono, 2010).

Gejala tekanan intracranial yang meninggi dapat berupa muntah,

nyeri kepala dan pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema papil

saraf kranialis II pada pemerikaan funduskopi (Listiono, 2010).

Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intracranial

lainnya yaitu (Listiono, 2010) :

a. Fontanel anterior yang sangat tegang. Biasanya fontanel anterior dalam

keadaan normal tampak datar atau bahkan sedikit cekung ke dalam pada

bayi dalam posisi berdiri (tidak menangis)

b. Sutura cranium tampak atau teraba melebar

c. Kulit kepala licin mengkilap atau tampak vena vena supervisial menon-

jol. Perkusi kepala akan terasa seperti pot bunga yang retak (cracked

pot sign)

d. Fenomena matahari tenggelam (sunset phenomena) tampak kedua bola

mata deviasi kebawah dan kelopak mata atas tertarik, sclera tampak di

atas iris sehingga iris seakan akan matahari yang akan terbenan. Fenom-

ena ini seperti halnya tanda perinaud, yang terdapat gangguan pada

daerah tektam. Esotropia akibat parase n.VI dan kadang terdapat parase

pada n. III, dapat menyebabkan penglihatan ganda dan mempunya re-

siko bayi menjadi ambliopia.

Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa

gangguan kesadaran, motoris atau kejang, kadang-kadang gangguan pusat

vital, bergantung kepada kemampuan kepala untuk membesar dalam

9

mengatasi tekanan intracranial yang meninggi. Bila proses berlangsung

lambat, maka mungkin tidak terdapat gejala neurologis walaupun telah

terdapat pelebaran ventrikel yang belum begitu melebar (Listiono, 2010).

Gejala lainnya yang dapat terjadi ialah spastisistas yang biasanya

melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus

pyramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai

gangguan berjalan, gangguan endoktrin (karena distraksi hipotalamus dan

‘pituitari stalk’ oleh dilatasi ventrikel III) (Listiono, 2010)

7. PENATALAKSANAAN

Pada sebagian penderita, pembesaran kepala berhenti sendiri (arrested

hydrocephalus) mungkin oleh rekanalisasi ruang subarachnoid atau

kompensasi pembentukan CSS yang berkurang. Tindakan bedah belum

ada yang memuaskan 100%, kecuali bila penyebabnya ialah tumor yang

masih bisa diangkat. Ada tiga prinsip pengobatan hidrosefalus, yaitu;

mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus koroidalis,

dengan tindakan reseksi atau koagulasi, akan tetapi hasilnya tidak

memuaskan, memperbaiki hubungan antara tempat produksi CSS dengan

tempat absorpsi yakni menghubungkan ventrikel dengan ruang

subarachnoid. Misalnya, ventrikulo-sisternostomi Torkildsen pada stenosis

akuaduktus. Pada anak hasilnya kurang memuaskan, karena sudah ada

insufisiensi fungsi absorpsi, Pengeluaran CSS ke dalam organ

ekstrakranial

a. Penanganan sementara

10

Terapi konservatif medikamentasa ditujukan untuk mebatasi evolusi

hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dan pleksus

choroid (asetazolamit 100 mg/kgBB/hari; furosemid 1,2

mg/kgBB/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi

diatas hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif

diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan

hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk

pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya

gangguan metabolic (Espay, A.J., et. al.; 2010 dan Listiono, 2010)

Drainase liqouor eksternal dilakukan dengan memasang kateter

ventrikuler yang kemudian dihubungka dengan suatu kantong drain

eksternal. Keadaan ini dilakukan untuk penderita yang berpotensi

menjadi hidrosefalus (hidrosefalus transisi) atau yang sedang

mengalami infeksi. Keterbatasan tindakan ini adalah adanya ancaman

kontaminasi liquor dan penderita harus selalu dipantau secara ketat

(Listiono, 2010). Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah puksi

ventrikel yang dilakukan berulang kali untuk mengatasi pembesaran

ventrikel yang terjadi.

Cara cara untuk mengatasi pembesaran ventrikel diatas dapat

diterapkan pada beberapa situasi tertentu seperti pada kasus stadium

akut hidrosefalus paska perdarahan (Listiono, 2010).

b. Penanganan Alternatif (selain shunting)

Tindakan alternatif selain operasi pintas (shunting) diterapkan

khususnya bagi kasus kasus yang mengalami sumbatan didalam

11

sistem ventrikel termasuk juga saluran keluar ventrikel IV (misal;

stenosis akuaduktus, tumor fossa posterior, kista arakhnoid). Dalam

hal ini maka tindakan terapeutik semacam ini perlu dipertimbangkan

terlebih dahulu, walaupun kadang lebih rumit daripada memasang

shunt, mengingat restorasi aliran liqour menuju keadaan atau

mendeteksi normal selalu lebih baik daripada suatu drainase yang

artifisiel (Listiono, 2010).

Terapi etiologic. Penanganan terhadap etiologi hidrosefalus

merupakan strategi terbaik; seperti antara lain; pengontrolan kasus

yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang

mengganggu aliran liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor atau

perbaikan suatu malformasi. Pada beberapa kasus diharuskan untuk

melakukan terapi sementara terlebih dahulu sebelum diketahui secara

pasti lesi penyebab; atau masih memerlukan tindakan operasi shunting

karena kasus yang mempunyai etiologi multifactor atau mengalami

gangguan aliran liquor skunder (Listiono, 2010).

Penetrasi membrane. Penetrasi dasar ventrikel III merupakan suatu

tindakan membuat jalan alternative melalui rongga subarachnoid bagi

kasus kasus stenosis akuaduktus atau (lebih umum) gangguan aliran

pada fossa posterior (termasuk tumor fossa posterior). Selain

memulihkan fungsi sirkulasi liquor secara pseudo fisiologi,

ventrukulostomi III dapat menciptakan tekanan hidrostatik yang

uniform pada seluruh sistem saraf pusat sehingga mencegah terjadinya

perbedaan tekanan pada struktur struktuk garis tengah yang rentan2.

12

Saat ini metode yang terbaik untuk melakukan tindakan tersebut

adalah dengan teknik bedah endoskopik, dimana suatu neuroendoskop

(rigid atau fleksibel) dimasukkan melalui burrhole coronal (2-3 cm

dari garis tengah) kedalam ventrikel lateral, kemudian melalui

foramen monro (diidentifikasi berdasarkan pleksus khoroid dan vena

septalis serta dan vena thalamus triata) masuk kedalam ventrikel III.

Lubang di buat didepan percabangan arteri basilaris sehingga

terbentuk saluran antara ventrikel III dengan sisterna

interpedinkularis. Lubang ini dapat dibuat dengan memakai laser,

monopolar kuagulator, radiofrekuensi, dan kateter balon (Listiono,

2010).

c. Operasi pemasangan ‘pintas’ (shunting)

Sebagian besar pasien hidrosefalus memerlukan shunting, bertujuan

membuat aliran liquor baru (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas

drainase (seperti; peritoneum, atrium kanan, pleura). Pada anak anak

lokasi kavitas yang terpilih adalah rongga peritoneum, mengingat

mampu menampung kateter yang cukup panjang sehingga dapat

menyesuaikan pertumbuhan anak serta resiko terjadi infeksi relatif

lebih kecil dibanding rongga jantung. Biasanya cairan LCS didrainasi

dari ventrikel, namun terkadang pada hidrosefalus kommunikan ada

yang didrain ke rongga subarachnoid lumbar (Listiono, 2010).

Pada dasarnya alat shunt terdiri dari tiga komponen yaitu; kateter

proksimal, katub (dengan/tanpa reservior), dan kateter distal.

Komponen bahan dasarnya adalah elastomer silicon. Pemilihan

13

pemakaian didasarkan atas pertimbangan mengenai penyembuhan

kulit yang alam hal ini sesuai dengan usia penderita, berat badan,

ketebalan kulit dan ukuran kepala. Sistem hidrodinamik shunt tetap

berfungsi pada tekanan yang tinggi, sedang dan rendah, dan pilihan

ditetapkan sesuai dengan ukuran ventrikel, status pasien (vegetative,

normal) pathogenesis hidrosefalus, dan proses evolusi penyakit

(Espay, A.J., et. al.; 2010 dan Listiono, 2010).

Penempatan reservoir shunt umunya dipasang di frontal atau temporo-

oksipital yang kemudian disalurkan di bawah kulit. Tehnik operasi

penempatan shunt didasarkan pada pertimbangan anatomis dan

potensi kontaminasi yang mungkin terjadi. Terdapat dua hal yang

perlu diorbservasi pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit

terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi

alat shunt yang dipasang (Listiono, 2010). Terdapat dua jenis tempat

pemasangan cateter VP shunt pada daerah kepala, yang pertama

penusukkan pada daerah frontal ventrikel, dengan tempat penusukkan

sekitar 3 cm dari garis tengah (pada garis tengah pupil) dan 1cm

anterior dari sutura coronal, sedangkan tempat penusukkan yang

kedua pada daerah posterior ventrikel, dengan menusukkan sekitar 3-

4cm dari garis tengah dan anterior dari sutura lambroidea (Piatt, J.H,

2002).

14

Gambar1. Teknik melakukan penuskkan di kepala pada VP shunt (Piatt, J.H, 2002).

Penempatan shunting pada abdominal harus memuhi tujuan berikut

(Piatt, J.H, 2002).

a. Kateter abdominal dari shunting harus tepat masuk pada rung peri-

toneal, bukan pada ruang preperitonial atau jaringan subkutan

ataupun pada organ berongga lainnya

b. Luka tidak menyebabkan kebocoran LCS

c. Luka bersih dari infeksi, atau jika terjadi infeksi superficial, kateter

shunting jangan sampai terkontaminasi

d. Luka sebaiknya tidak menyolol mata.

Penusukkan dinding abdominal dibantu dengan jari pada tangan yang

tidak dominan, sedangkan tangan yang dominan mendorong kateter.

Penusukkan melewati laposan fasia dan otot dari dinding abdomen

dan peritoneum parietal pada beberappa saentimeter diatas insisi

(Piatt, J.H, 2002).

15

Gambar2.Penusukkan abdominal pada pemasangan VP shunt

(Piatt, J.H, 2002).

Gambar3. Ventrikulo peritoneal shunting

Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga komplikasi yaitu; infeksi,

kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah

aliran yang tidak adekuat. Infeksi meningkatkan resiko akan kerusakan

intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis

mencakup komplikasi komplikasi seperti; oklusi aliran di dalam shunt

(proksimal katub atau distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari

tempat semula, tempat pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional

16

dapat berupa drainase yang berlebihan atau malah kurang lancarnya

drainase. Drainase yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi

lanjutan seperti terjadinya efusi subdural, kraniosinostosis, lokulasi

ventrikel, hipotensi ortostatik (Espay, A.J., et. al.; 2010 dan Listiono,

2010)

8. KOMPLIKASI

a. Berhubungan dengan progresifitas hidrosefalus

1) Perubahan Visual

Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi. Kerusakan nervus

optikus adalah akibat desakkan di region frontal atau frontotemporal,

timbul segera setelah mengalami desakkan. Gejala klinik bergantung

pada lokasi pendesakkan, umumnya berupa penurunan visus (daya

lihat), skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negatif, atau

hemianopia bitemporal. Peningkatan tekanan intra serebral

menyebabkan papil edema, sehingga menyebabkan ketajaman

penglihatan akan menurun dan lebih lanjut dapat mengakibatkan

kebutaan yang irreversible bila terjadi atrofi papila N.II (Garton H. J.

L., dan Piatt J.H., 2004).

2) Oklusi dari arteri cerebral posterior akibat proses skunder dari

transtentorial herniasi

3) kronik papil udema akibat kerusakan nervus optikus.

4) Dilatasi dari ventrikel ke tiga dengan kompresi area kiasma optikum.

5) Disfungsi cognitive dan inkontunensia

b. Berhubungan dengan pengobatan

17

1) Electrolit imbalance

2) Metabolic acidosis

c. Berhungan dengan terapi bedah

1) Tanda dan gejala dari peningkatan tekanan intracranial dapat dise-

babkan oleh gangguan pada shunt.

2) Subdural hematoma atau subdural hygroma akibat skunder dari

overshunting. Nyeri kepala dan tanda neurologis fokal dapat di-

jumpai.

3) Tatalaksana kejangn dengan dengan obat antiepilepsi.

4) Okasional Infeksi pada shunt dapat asimtomatik. pada neonates, dap-

at bermanifestasi sebagai perubahan pola makan, irritabilitas, vomit-

ing, febris, letargi, somnolen, dan ubun ubun menonjol. Anak-anak

yang lebih tua dan orang dewasa biasa dengan gejala dengan sakit

kepala, febris, vomitus, dan meningismus. Dengan ventriculoperi-

toneal (VP) shunts, sakit perut dapat terjadi.

5) Shunts dapat bertindak sebagai saluran untuk metastasis extraneural

tumor tertentu (misalnya, medulloblastoma).

6) Komplikasi dari VP shunt termasuk; peritonitis, hernia inguinal, per-

forasi organ abdomen, obtruksi usus, volvulus, dan CSF asites.

7) Komplikasi dari ventriculoatrial (VA) shunt termasuk; septicemia,

shunt embolus, endocarditis, dan hipertensi pulmunal.

8) Kompliaksi dari Lumboperitoneal shunt termasuk; radiculopathy dan

arachnoiditis.

18

C. ABSES OTAK

Abses otak dikenal sebagai salh satu bentuk supurasi yang terjadi di intra

cranial. Lesi ini dapat ditangani secara pembedahan. Bakteri yang

menyebablan abses pada otak biasanya campuran dari bakteri aerob dan

anaerob. Bakteri yang dapat diisolasi pada 50 kasus adalah sebagai berikut

(Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. 1993)

Tabel1. Bakteri penyebab abses otak

Sumber: (Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. 1993)

Letak penyebaran abses otak, dapat diidentifikasi dari sumber awal infeksi

terjadi.

19

Tabel2. Lokasi abses otak terdasarkan presdisposisi sumber infeksi.

Sumber: (Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. 1993)

Tuberkulosis pada sistem saraf pusat terjadi karena penyebaran hematogen

dari M. tuberculosis. Tuberkulosis meningitis dapat terjadi karena penyebaran

secara limfatik, dari noduli limfaticus servikal. Bakteri tuberculosis

terimmobilisasi pada arteri akhir yang menyebabkan pembentukan fokus

tuberkulosis pada submeningeal. Permukaan meningeal menjadi terlapisi oleh

eksudat berwarna abu abu kekuningan. Hingga akhirnya bakteri tuberkulosis

dapat memasukki otak yang memiliki suplai darah yang banyak.

Tuberkuloma yang tertama terbentuk, dan merangsang reaksi sekunder yang

dapat membentuk kapsul yang tebal. Jika tuberkuloma menyumbat aliran

cairan serebro spinal, maka dapat terjadi hydrocephalus (Liau, P.W., et.al.

2010).

D. ANESTESI GENERAL

20

Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu “an” berarti

“tidak, tanpa” dan “aestheos” berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”.

Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika

melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan

rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum / general anesthesia merupakan

tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya

kesadaran, dan bersifat pulih kembali (reversibel). Trias anestesi meliputi

sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat secara

parenteral dan inhalasi (Dahnert, 2003; Ekayuda, 2006). Stadium anestesi

terdiri dari :

a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi

Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut

Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah,

biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir

dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.

b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium

Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang

irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata

tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan

hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.

c. Stadium III : stadium pembedahan

Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi

dalam 4 plana, yaitu :

1. Plana 1

21

Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat

dengan pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-

kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks

cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah

menghilang, tonus otot menurun.

2. Plana 2

Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan

frekwensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal,

bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks

cahaya menurun dan refleks kornea menghilang.

3. Plana 3

Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada

torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah

sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal,

juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan

refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi

refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin

menurun.

4. Plana 4

Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot

diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma,

tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan

refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.

d. Stadium IV : stadium paralisis

22

Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti

kegagalan sirkulasi (Morgan, 2006).

Dalam operasi bedah saraf terdapat tiga sasaran yaitu mengendalikan

tekanan intrakranial dan volume otak dengan pengaturan CBF, volume CSF,

melindungi jaringan saraf dari iskemia dan injuri sekunder dengan proteksi

otak, mengurangi perdarahan dengan teknik hipotensi tanpa menurunkan

CPP. Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf :

a. Jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu

b. Ventilasi kendali : oksigenasi adekuat (Pao2: 100-200 mmHg), hipokarbi

(PaCO2 : 25-30 mmHg)

c. Hindari lonjakan tekanan darah

d. Hindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral seperti :

a) Tidak ada batuk atau mengejan

b) Tidak ada tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan thoraks

c) Tidak ada PEEP yang tidak disengaja

e. Hindari obat dan teknik yang meningkatkan CBF, volume CSF, ICP

f. Menggunakan teknik khusus bila diperlukan untuk mengurangi ICP dan

edema serebri

g. Pemberian cairan dengan tepat (Tatang, 1997; Hughes, 2008).

1. Evaluasi pra bedah

Tindakan preoperatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien

seoptimal mungkin dalam menghadapi operasi. Persiapan prabedah

menentukan keberhasilan suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang

memadai merupakan faktor sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter

23

spesialis anestesiologi hendaknya mengunjungi pasien sebelum pasien

dibedah, agar dapat mempreersiapkan fisik dan mental pasien,

merencanakan dan memilih teknik anestesi serta obat yang dipakai, dan

menentukan klasifikasi pasien berdasarkan ASA. Penilaian dan persiapan

pasien diantaranya meliputi:

1) Anamnesis

a. Identifikasi pasien (nama, umur, alamat, dll).

b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi

c. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita untuk

mengetahui kemungkinan penyulit anestesi (misalnya alergi,

diabetes melitus, penyakit paru kronis, penyakit jantung, penyakit

ginjal, dan penyakit hati.

d. Riwayat pemakaian obat meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan

obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi

dengan obat anestetik

e. Riwayat anestetik atau operasi sebelumnya, meliputi tanggal, jenis

pembedahan, dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca

bedah.

f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempenaruhi tindakan

(merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.

g. Riwayat berdasarkan sistem organ

h. Makanan yang terakhir dimakan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).

2) Pemeriksaan fisik

24

a. Tinggi dan berat badan, untuk memperkirakan dosis obat, terapi

cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pem-

bedahan.

b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta

suhu tubuh.

c. Jalan nafas (air way),

d. Kesadaran, Jantung, paru-paru, abdomen, punggung, neurologis, Ek-

stremitas.

e. Evaluasi tekanan intrakranial, efek samping penyakit intrakranial

(Mangku, 2010; Gupta, 2001).

3) Pemeriksaan Penunjang

a. Rutin: darah, urin, foto dada (terutama untuk bedah mayor), elek-

trokardiografi (untuk pasien diatas umur 40 tahun).

b. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi

c. CT-Scan (Mangku, 2010; Gupta, 2001).

2. Premedikasi

Premedikasi sebaiknya diberikan karena sistem saraf pusat pada

pasien dengan penyakit intrakranial menjadi sangat sensitif. Sebelum

pasien dilakukan induksi anestesi, langkah selanjutny adalah dilakukan

premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantranya :

a. Meredakan kecemasan dan ketakutan

b. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

25

c. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah

d. Mengurangi isi cairan lambung.

Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah

aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada operasi

elektif, pasien dewasa dipuasakan 6 jam sebelum operasi. Pasien

dengan penurunan kesaddaran mengalami perlambatan pengosongan

lambung sehingga harus hati-hati adanya bahaya aspirasi

e. Membuat amnesia

f. Memperlancar induksi anestesi

g. Meminimalkan jumlah obat anestesi

h. Mengurangi reflek yang membahayakan (Dahnert, 2003)

Obat premedikasi

a. Diazepam dapat diberikan pada pasien 0,1-0,2 mg/KgBB.

Penambahan sedasi dapat diberikan pada pasien saat datang di ruang

operasi. Jika pasien dengan tekanan intrakranial tinggi, penggunaan

opioid sebaiknya dihindari karena berefek depresi pernapasan dan

peningkatan CBF dan menyebabkan hiperkarbi (Hughes, 2008).

b. Hipnoz (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer). Modazolam

merupakan obat induksi jangka pendek yang dapat digunakan untuk

premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan den-

gan diazepam, midazolam bekerja lebih cepat karena transformasi

metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua,

dengan perubahan oganik otak atau gangguan fungsi jantung dan per-

napasan, dosis midazolam harus ditentikan secara hati-hati. Dosis pre-

26

medikasi dewasa 0.07-0.10 mg/KgBB. Dosis pada orang tua 0.025-

0.05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah ar-

teri, denyutnadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit

c. Cedantron (Ondansentrone). Suatu antagonis reseptor serotonin 5 –

HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah

pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme, konsti-

pasi, dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4mg.

d. Fentanil dapat dipertimbangkan untuk menekan respon nyeri (Dunn,

2007; Hughes, 2008).

3. Monitoring

Monitoring anestesi yang dilakukan antara lain :

a. Monitoring sirkulasi terdiri dari elektrokardiogram, tekanan darah,

central venous pressure (CVP) saat ada indikasi

b. Monitoring ventilasi terdiri dari volum tidal, frekuensi nafas dan

tahanan jalan nafas, pulse oksimeter

c. Monitoring keseimbangan cairan terdiri dari urin output, elektrolit,

pengukuran hematokrit

d. Monitoring derajat relaksasi otot

e. Monitoring suhu tubuh untuk mencegah hipotermi dan hipertermi

(Tatang, 1997;Mangku, 2010)

4. Teknik anestesi umum

a. INHALASI dengan Respirasi Spontan,

1) Sungkup wajah

2) Intubasi endotrakeal

27

3) Laryngeal mask airway (LMA)

b. INHALASI dengan Respirasi kendali

1) Intubasi endotrakeal

2) Laryngeal mask airway

c. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)

1) Tanpa intubasi endotrakeal

2) Dengan intubasi endotrakeal

Anestesi dengan menggunakan sungkup wajah dianjurkan apabila :

a. pembedahan singkat ½ - 1 jam tanpa membuka peritoneum

b. bukan operasi daerah kepala atau leher

c. lambung kosong

d. ASA 1 – 2.

Jika di luar dari kriteria di atas, sebaiknya digunakan intubasi

endotrakeal. Anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotrakeal

diindikasikan untuk :

a. pembedahan lama (> 1 jam)

b. pembedahan daerah kepala dan leher

c. jika kesulitan mempertahankan jalan napas karena berbagai sebab.

LMA hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup (lambung

kosong) (Dahnert, 2003).

5. Induksi dan intubasi

Induksi merupakan tahap yang kritis, tidak jarang terjadi kenaikan

tekanan intrakranial karena teknik yang salah. Beberapa faktor penting

yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial saat intubasi yaitu

28

anestesi dan relaksasi otot kurang adekuat, peningkatan PaCO2 karena

henti nafas, hipoksia, karena oksigenasi kurang memadai, posisi kepala

salah sehingga menyebabkan gangguan drainase likuor (Mangku, 2010;

Hughes, 2008).

Tujuan anestesi pada pasien dengan prosedur operasi intrakranial yaitu

hipnosis, amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan

hipertensi, hipotensi, hipoksia, hiperkarbi serta batuk. Induksi anestesi

merupakan tindakan untuk membuat pasien sadar menjadi tidak sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, yang

bersifat reversibel. Induksi anestesi dapat dikerjakan melalui intravena,

inhalasi, intramuskular, atau rektal.

• S : Scope. Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-scope, untuk membantu memasukan endotrakeal tube.

• T : Tubes. Pipa trakea, dipilih berdasarkan usia. Pada anak usia <5

tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon.

• A : Air way. Pipa mulut faring (guedel, orotracheal-airway) atau pipa

hidung faring (naso-tracheal airway). Pipa ini ditujukan untuk menahan

lidah saat pasien tidak sadar dan menjaga lidah tidak menutup jalan na-

pas.

• T : Tape. Plaster untuk menfiksasikan tube, supaya tidak terdorong

ataupun tercabut.

• I : Introducer. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik yang

mudah dibengkokan, sehingga memudahkan tube mudah masuk.

• C : Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.

29

• S : Suction. Penyedot lendir, darah, dan lain-lainnya.

Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping

dose. Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan

dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya

di bawah dari full dose ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose

dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien

presyok).

Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang

memiliki sifat-sifat :

a. tidak berbau menyengat / merangsang

b. baunya enak

c. cepat membuat pasien tertidur.

Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Tanda-tanda

induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata

disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata (Tatang, 1997; Mangku,

2010).

Obat Induksi Intravena yang Digunakan.

1) Recofol (Profofol)

Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi

saraf melalui GABA. Propofol tidak larut dalam air dan tersedia dalam

bentuk larutan dengan konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air

dan mengandung minyak kacang kedelai, gliserol, dan lecithin telur.

Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi kontraindikasi pemberian

propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari kuning telur,

30

sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumn (kuning telur).

Dosis yang diberikan 2-4 mg/kg (Dahnert, 2003).

Efek pada Organ Tubuh

a. Kardiovaskuler :

Efek utama adalah turunnya tekanan darah karena turunnya

resistensi perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis),

kontraktilitas miokard dan menurunnya preload. Hipotensi lebih

menonjol daripada pemberian thiopental namun biasanya mudah

pulih dengan rangsangan laringoskopi dan intubasi. Faktor yang

memperberat hipotensi adalah dosis yang besar, pemberian yang

cepat dan usia tua.

Propofol menghambat refleks baroreseptor terhadap hipotensi

terutama pada keadaan normokarbia ataupun hipokarbia. Walaupun

jarang terjadi, penurunan tensi dapat mengakibatkan bradikardi

akibat dari refleks vagal. Perubahan pada frekuensi dan curah

jantung biasanya tidak menonjol, namun dapat cukup berat hingga

menimbulkan asistol terutama pada usia-usia yang ekstrim, obat-

obatan dengan efek kronotropik negaif, atau menjalani operasi yng

dapat menimbulkan refleks okulokardiak.

Pasien dengan fungsi ventrikel yang menurun dapat

mengalami penurunan tensi yang cukup signifikan sebagai hasil

dari penurunan tekanan diastolik dan kontraktilitas yang menurun.

Konsumsi oksigen miokard dan aliran darah jantung menurun,

namun ternyata ditemukan pula peningkaan laktat pada pembuluh

31

darah koroner yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara

suplai oksigen dan kebutuhannya.

b. Respirasi

Seperti halnya barbiturat, propofol mempunyai efek depresi

pernapasan yang cukup besar yang sering menyebabkan apnea

setelah pemberian dosis induksi. Bahkan bila hanya diberikan

dalam dosis subanestetik sebagai sedatif, propofol menghambat

refleks pernapasan akibat stimulasi kondisi hiperkarbia, sehingga

obat ini hanya dapat digunakan oleh orang yang terlatih.

Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga

berguna saat intubasi atau pemasangan LMA.

Walaupun propofol mempunyai efek pelepasan histamin,

insidensinya bila dibandingkan dengan barbiturat maupun etomidat

lebih kecil, sehingga tidak dikontraindikasikan terhadap pasien-

pasien asma.

c. Otak

Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan

intrakranial. Pada pasien dengan tekanan intrakranial yang

meningkat propofol dapat menyebabkan penurunan CPP yang

drastis hingga < 50 mmHg kecuali dilakukan langkah-langkah

untuk menjaga MAP.

Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik proteksi otak

yang sama kuat pada kejadian iskemia. Propofol mempunyai efek

32

antipruritik, dan efek antiemetiknya membuat obat ini cocok untuk

pasien ODS.

Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak

memberikan toleransi setelah pemebrian infus propofol dalam

waktu lama.

2) Fentanil

Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang

bekerja terutama pada reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada

reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai

potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang

memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.

Dosis Fentanil

a. Premedikasi : 50-100 mcg IM disuntikkan intramuskular 30-60

menit sebelum pembedahan.

b. Tambahan untuk anestesi regional : 50-100mcg disuntikkan intra-

muskular atau intravena secara perlahan selama 1-2 menit saat

penghilang rasa sakit tambahan dibutuhkan.

c. Sesudah operasi (ruang pemulihan) : 50-100 mcg disuntikkan intra-

muskular, bisa diulangi dalam waktu 1-2 jam sesuai kebutuhan

Efek Samping

Depresi pernapasan, otot kaku, hipotensi, bradikardia, laringospasme,

mual dan muntah. Kedinginan, kelelahan, halusinasi setelah operasi,

gejala-gejala ektrapiramidal saat digunakan dengan suatu tranquilizer

seperti Droperidol.

33

Opioid menyebabkan perubahan minimal pada hemodinamik cerebral

dan berfungsi mengurangi respon intubasi dan kraniotomi. Karena

intubasi, penempatan kepala, dan prosedur kraniotomi (insisi dan

manipulasi periosteum) termasuk periode yang sangat merangsang

tekanan intrakranial. Fentanil dosis 5-10 µg/kg) dan remifentanil biasa

digunakan, karena keduanya memiliki onset cepat dan poten.

Konsentrasi rendah dari agen volatil dapat berfungsi untk mencegah

hipertensi selama awal pembedahan. Setelah intubasi, mata ditutup

untuk mencegah iritasi dari larutan prabedah. Pada induksi pemberian

oksigenasi yang adekuat, kemudian diberikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb

(iv) untuk menekan rangsang simpatis saat intubasi, intubasi dengan

propofol, dan laringskopi, pemasangan ETT, dan fiksasi (Gupta, 2001;

Hughes, 2008).

6. Pemeliharaan anestesi

Maintenance/ rumatan anestesi dapat dikerjakan melalui intravena

atau inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Maintenance mengacu

pada trias anastesi: hipnotic, analgetic, dan relaksasi. Rumatan anestesi

bisa dengan narkotik atau volatil anestesi. Setiap kenaikan ICP akibat

volatil anestesi dapat dikurangi dengan pemberian pentotal atau diazepam

lebih dahulu, bersama dengan keadaan hipokarbia 10 menit sebelum

pemberian isofluran. Bebrapa hal yang perlu diperhatikan selama

pemeliharaan antara lain

a. Kombinasi obat yaitu N2O:O2 =60%:40%, fentanil.

Dehidrobenzperidol, muscle relaxan non depolarisasi. Pilihan lain

34

N2O:O2 =60%:40%, disertai isofluran atau desfluran/sevofluran dan

pelumpuh otot misalnya vecuronium 0,1 mg/kg BB/jam untuk menjaga

pergerakan.

b. Isofluran diberikan setelah tulang tengkorak dibuka. Otak menjadi lebih

bengkak dengan volatil anestei dibandingkan dengan anestesi iv. Untuk

mengurangi pembengkakan akibat volatil dapat diberikan diuretik. Di

beberapa center digunakan volatil anestesi sejak permulaan dan obat

anestesi inhalasi terpilih yaitu isofluran. Keuntungan isofluran antara

lain Mudah memakai, Efek proteksi otak, Mudah mengendalikan

tekanan darah, Pemulihan cepat, Pada konsentrasi 0,5% CBF menurun

dan baru meningkat pada konsteras 0,95% tetapi peningkatan ICP oleh

isofluran 1% mudah dilawan dengan hipokapnia, Peningkatan ICP oleh

isofluran berakhir 30 menit setelah obat dihentikan, sedangkan akibat

halotan atau enfluran berakhir setelah 3 jam obat dihentikan.

Penggunaan kombinasi anestesi iv dan inhalasi dapat digunaakan

sampai tulang dibuka.

c. Pemberian osmotik diuresis dan steroid, bertujuan untuk menurunkan

TIK meski hal ini masih kontroversi

d. Analgesik dibutuhkan selama insisi kulit dan meneghubungkan drain

dari kepala sampai abdomen. Fentanil dapat diberikan (1–3 μg/kg)

e. Perubahan hemodinamik mungkin terjadi saat volume besar CSF

dialirkan dengan cepat pada kateter ventrikular. Hal ini harus

diwaspadai karena dapat menyebabkan bradikardi dan hipotensi

(Tatang, 1997; Dunn, 2007; Mangku, 2010, Hughes, 2008).

35

7. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi

Pada perdarahan < 20% dari perkiraan volume darah pasien, diberikan

cairan pengganti kristaloid atau koloid, namun bila > 20% diberikan

transfusi darah (Mangku, 2010).

8. Pemulihan anestesi

Menjelang akhir operasi, dosis pelemas otot diturunkan sampai

TOF=1. EtCO2 dinaikkan perlahan mencapai normal untuk mencegah

kenaikan cepat dari perubahan PaCO2. IPPV diteruskan sampai kepala

selesai diperban dan anestesi dipertahankan cukup untuk mencegah

sraining akibat tube. Dangkalnya anestesi dan reaksi terhadap ETT dapat

menyebabkan peningkatan ICP dan tekanan arteri sehingga dipertahankan

jangan terjadi straining, batuk atau kenaikan tekanan darah saat ekstubasi

(Tatang, 1997; Basil, 2000).

9. Medikasi post operasi

a. Analgetik : Ketorolac

Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia

yang potensi tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat

bila diberi secara intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai

sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang

nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid.

Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptif dari opioid. Hal yang

berlawanan efek analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan obat

AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska pembedahan.

36

Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi

pada kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid,

ketorolak sedikit atau tidak mempengaruhi saluran empedu .

Farmakokinetik

Setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma konsentrasi

tercapai pada 30 sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 6-

8 jam. Mula kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3

jam. Obat dan hasil metabolitnya akan dikeluarkan melalui urin. Ikatan

dengan protein melebihi 99 % dan bersihan obat ini menurun

dibandingkan opioid.

Farmakodinamik

Bekerja di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat

yang kemudian menghambat sintesis dari prostaglandin dan

menghasilkan efek analgesia.

1) Efek analgesia.

Pada percobaan di beberapa hewan animal, mempunyai efek

analgesia 200-800 kali lebih poten dibandingkan dengan aspirin,

indometasin, naproksen dan fenil butazon.

2) Efek anti inflamasi

Mempunyai anti inflamasi yang kurang dibandingkan dengan efek

analgesinya. Efek antiinflamasinya hampir sama dengan

indometasin.

3) Efek pada fungsi platelet dan hemostasik

37

Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen mencetuskan

agregasi platelet. Tidak ada interaksi dengan heparin dan

menimbulkan efek pada waktu trombin dan waktu protrombin.

4) Efek pada mukosa gastrointestinal

Tergantung pada dosis untuk menimbulkan erosi mukosa

gastrointestinal (Mangku, 2010).

b. Antiemetic : Ondansetron

Secara fisiologis, reseptor 5-HT3 berkaitan dengan muntah dan

didapatkan pada saluran cerna dan otak (area postrema). Reseptor 5-

HT2 bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos dan agregasi

trombosit; reseptor 5-HT4 terdapat pada saluran cerna yang berguna

untuk sekresi dan peristaltik, dan reseptor 5-HT7 yang terutama

terdapat pada sistem limbik mempunyai peran dalam depresi.

Ondansetron, granisetron, dolasetron dan tropisetron secara selektif

menghambat reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek

terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer

(eferen vagal abdominal) dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada

area postrema dan nukleus traktus solitarius) tampknya mempunyai

peranan penting dalam permulaan refleks muntah. Tidak seperti

metoklopramid, oba-obaan ini tidak mempunyai efek terhadap motilitas

saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian bawah (Mangku,

2010).

Penggunaan Klinis

38

Semua obat ini telah terbukti efektif sebagai antiemetik pada

periode post operatif. Pemberian profilaksis dapat diberikan pada pasien

yang mempunyai riwayat mual post operatif, pasien yang menjalani

prosedur yang memiliki resiko tinggi untuk muntah (laparoskopi); pada

keadaan dimana keadaan mual muntah harus dihindari (operasi bedah

saraf) dan pasien yang sedang mengalami mual muntah. Pada saat ini

hanya ondansetron dan dolasetron yang disetujui oleh FDA untuk mual

muntah post operasi; granisetron hanya untuk pencegahan mual muntah

yang dipicu oleh khemoterapi.

Dosis

Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk

ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg

yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.

Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis

4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam (Mangku,

2010).

39

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 20 tahun

Berat Badan : 38 kg

Tinggi Badan : 150 cm

Agama : Islam

Alamat : Aman Rt2/Rw3 Kaligondah, Purbalingga

No. RM : 884010

B. PRIMARY SURVEY

Pemeriksaan

1. Airway

Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu.

2. Breathing

Napas spontan, thoraco-abdominal, tidak tampak ketertinggalan gerak

pada dada (gerak dada simetris), RR 28x per menit, reguler, tidak terdapat

retraksi, trakea terletak di median, terdapat suara rhonki pada pulmo

dekstra dan tidak terdengar suara wheezing.

3. Circulation

Kulit hangat, TD 120/70 mmHg, nadi 76x per menit, ireguler, isi dan

tegangan cukup.

4. Disability

Keadaan umum tampak sakit sedang, gizi kurang, kesadaran : compos

mentis, GCS E4V5M6 = 15, pupil bulat, isokor, 5mm/5mm dan reflek

cahaya +/+ menurun, visus 1/300 oculi dexta et sinistra

40

C. SECONDARY SURVEY

1. Anamnesis

a. Keluhan utama : Kepala pusing selama 1 bulan terakhir

b. Keluhan tambahan :

Pandangan mata kabur, leher terasa kaku

c. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien rujukan dari RSUD Purbalingga datang ke IGD RSMS

tanggal 4 Januari 2012 pukul 17.15 WIB dengan keluhan kepala terasa

pusing, pandangan mata kabur, dan leher terasa kaku. Pada bulan

agustus 2011, pasien menyatakan pernah menderita sakit paru-paru,

mendapat pengobatan namun obat tidak dihabiskan karena merasa

sudah sembuh. Satu bulan kemudian pasien mengalami kejang

sebanyak 4 kali.

d. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat asma disangkal

2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

3) Riwayat penyakit jantung disangkal

4) Riwayat penyakit hipertensi disangkal

5) Riwayat penyakit ginjal disangkal

6) Riwayat penyakit DM disangkal

7) Riwayat penyakit TB kasus putus obat

8) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal

e. Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM,

hipertensi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien dalam

keluarga keluarga disangkal

2. Pemeriksaan Fisik

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 130/90 mmHg

41

Nadi : 116 x/menit

Suhu : 36,8°C

Pernafasan : 28 x/menit

Status Generalis

a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak

sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang

dari 2 detik dan teraba hangat.

b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,

rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah

dicabut.

c. Muka : Simetris tidak terdapat jejas.

d. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera

ikterik, pupil isokor Φ5mm/5mm dan terdapat

reflek cahaya +/+ menurun, visus 1/300 oculi

dextra et sinistra

e. Hidung : Tidak didapatkan deviasi septum, discharge (darah

atau cairan) dan napas cuping hidung.

f. Mulut/Gigi : Tidak terdapat bibir sianosis, hematom, lidah

kotor,carries dan hiperemis pada faring.

g. Telinga : Simetris dan tidak didapatkan discharge (darah

atau cairan).

h. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas

2) Palpasi : Terdapat leher kaku, trake teraba di tengah, tidak

terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar

limfe.

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae

sinistra

b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat

c) Perkusi :

42

i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra

ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra

iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan di-

namis serta tidak ditemukan retraksi dan ketert-

inggalan gerak.

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri

dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi: Terdengar suara rhonkhi pada pulmo dextra.

Tidak terdengar suara wheezing

j. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan

massa

b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

c) Perkusi : Timpanitis

d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan

lien tidak teraba.

k. Pemeriksaan Ekstremitas :

1) Inspeksi :

Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

2) Palpasi :

1) KM : 5555 5555 3) Turgor kulit cukup

5555 5555 tidak edema

2) Tonus : N N 4) Akral hangat

N N

43

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 04-1-2012 Nilai normalHematologiHemoglobin 12,4 12,0-16,0 g/dLLeukosit 10420 4800-10800/µLHematokrit 37 37-47%Eritrosit 4,1x106 4,2-5,4x106/µTrombosit 345000 150000-450000/µLMCV 90,4 79,0-99,0 flMCH 30,5 27,0-31,0 pgMCHC 33,8 33,0-37,0 %RDW 13,9 11,5-14,5 %MPV 7,8 7,2-11,1 flHitung Jenis Basofil 0,1 0,0-1,0 % Eosinofil 0,0 2,0-4,0% Batang 0,00 2,0-5,0% Segmen 78,8 40,0-70,0% Limfosit 11,5 25,0-40,0% Monosit 9,7 2,0-8,0%PT 12,7 11,5-15,5 detikAPTT 31,8 25-35 detikKimia KlinikSGOT 18 15-37 U/LSGPT 16 30-65 U/LUreum 29,1 14,98-38,52 mg/dLCreatinin 0,47 0,60-1,00 mg/dLGDS 80 ≤ 200 mg/dLNatrium 143 136-148 mmol/LKalium 4,0 3,5-8,1 mmol/LKlorida 96 98-107 mmol/LSeroimmunologiHBsAg Non-reaktif Non-reaktif

4. Pemeriksaan Head CT Scan

Tampak lesi hiperdens dikelilingi ring enhancement regio temporal dan

parietal dekstra ukuran 0,5x 0,5, ventrikulomegali +,

periventrikel inhibisi

D. DIAGNOSIS

Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru kasus

putus obat

44

E. PENATALAKSANAAN

1. Dokter umum IGD konsul ke Bagian Bedah

Penatalaksanaan yaitu :

a IVFD RL 20 tpm

b Citicolin 2x250mg iv

c Dexametasone 3x1A iv

d Levofoxacin 1x1A iv

e Piracetam 1x1g iv

f Pemeriksaan Rontgen thorax AP

g Pemeriksaan Head CT scan

h Pemeriksaan darah perifer lengkap

i Konsul ke Bagian Bedah

2. Bagian Bedah konsul ke Bagian Anestesi

Penatalaksanaan yaitu :

a Pro Ventrikuloperitoneal Shunt Cito

b Diamox 3x500mg

c KCl 3x500mg

d Ceftriaxon 2x2 gr

e Kemicetin 4x1gr

f Ketorolac 3x1 Amp

g Rantin 2x1 Amp

h Piracetam 3x3g

i Fenitoin 3x100mg

j Rontgen thorax AP

k Informed Consent Operasi

l Konsul ke Bagian Anestesi

m Sedia WB 2 kolf

b. Informed Conset Pembiusan

c. Rencana Post op : HCU

3. Dilakukan operasi dengan general anastesi dgn status ASA III dengan

diagnosis pasca bedah sesuai dengan diagnosis awal

45

F. KESIMPULAN

ACC ASA III

G. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru

kasus putus obat

2. Diagnosis Pasca Bedah

Hidrocephalus obstruktif dan abses multipel dengan riwayat Tb paru

kasus putus obat

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a Cukur rambut kepala

b. Sedia WB 2 Kolf

4. Penatalaksanaan Operasi

a. Jenis Pembedahan : Vp Shunt

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : ET-Semiclosed

d. Mulai Anestesi : 5 Januari 2012 pukul 06.00 WIB

e. Mulai Operasi : 5 Januari 2012 pukul 06.15 WIB

f. Premedikasi : -

g. Medikasi : Propofol 80mg, Fentanyl 100μg

h. Maintanance : O2,N2O, Isofluran

i. Relaksasi : Rocuronium 25 mg

j. Respirasi : Ventilator

k. Posisi : Supine

l. Cairan Durante Operasi : NaCl 1000ml

m. Pemantauan Tekanan Darah dan HR

Waktu Hasil Pantauan Tindakan06.00 WIB TD 133/94

mmHgHR 104x/mSpO2100%

Pasien masuk ke ruang OK IGD dan dilakukan pemasangan NIBP

46

dan saturasi O2. Infus NaCl terpasang pada tangan kanan. Mulai anestesi dengan GA semiclosed dengan Propofol dan Fentanyl. Dipasang ET No.7. Nafas dikontrol ventilator

06.15 WIB TD 116/94 mmHgHR 125x/mSpO2100%

Dimulai pembedahan

06.30 WIB TD 110/60 mmHg

Dimaukkan Ondansetron 4 mg iv, dan ketorolac 30 mg iv

HR 100x/mSpO2100%

06.45 WIB TD 115/57 mmHg

Dimasukkan NaCl 500 cc

HR 98x/mSpO2100%

07.00 WIB TD100/52 mmHgHR 90x/m\SpO2100%

07.15 WIB TD 110/52 mmHgHR 100x/mSpO2100%

07.30 WIB TD 112/52 mmHg

Operasi selesai. Pasien dikirim ke HCU

HR 98 x/mSpO2100%

n . Selesai operasi : 07.30 WIB

o. Selesai anestesi : 07.40 WIB

p. Perdarahan : 80 cc

q. Urin Tampung : 100 cc

H. PEMBAHASAN

1. Preoperatif

Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan

pemeriksaan yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

47

pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang

akan di operasi dalam kasus ini adalah ASA III yaitu pasien dengan

kelainan sistemik berat yang mengganggu aktivutas. Selanjutnya

ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu anestesi

general. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :

a. Informed consent

Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang

diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan

dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,

komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan

dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien

dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien.

Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau

keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga

resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat

dipertimbangkan dengan baik.

b. Puasa

Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung

karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi

akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga

refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien

dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan

pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat

48

dipuasakan selama 6 jam karena operasi baru dilakukan pada pukul 06.00

WIB sementara pasien telah diminta berpuasa sejak pukul 00.00 WIB.

c. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum

baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan

laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung

jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero

imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada

tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.

Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi

distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.

Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah

terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor

pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi

perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat

meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak

kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. Protombin

time (PT) akan mengukur kemampuan pembekuan faktor I (fibrinogen),

II (protrombin), V, VII, dan X. Protrombin akan dikonversi menjadi

trombin akibat aksi tromboplastin, yang diperlukan dalam pembekuan

darah. Activated protrombin time (APTT) digunakan untuk mendeteksi

apakah terdapat defisiensi terhadap seluruh faktor pembekuan kecuali

faktor VII dan XII. Pada pasien ini, nilai trombosit, PT, dan APTT dalam

49

batas normal sehingga diharapkan tidak terjadi perdarahan hebat (Kee,

2008).

Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya

dalam berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang

dominan berada di petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145

mEq/L. Keadaan hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat

dapat mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan

otak yang ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal

sangat efisien dalam mengeksresikan Na. Hipo- dan hiperkalemia

merupakan keadaan yang gawat karena dapat menyebabkan aritmia

jantung dan perlu segera dikoreksi (Mangku, 2010). Pada pasien ini

kadar Na dan K dalam batas normal.

2. Durante Operasi

Pada pasien ini dilakukan teknik General Anestesi (GA) dengan

ET- semiclosed, yaitu pemberian obat anestesi melalui intravena dan

dilakukan intubasi dengan endotracheal tube kemudian disambungkan

dengan ventilator oksigen. Teknik ini dilakukan pada operasi-operasi

besar, pembiusan secara total dan memerlukan waktu lama, sehingga

diperlukan pembebasan jalan nafas dengan ET dan bantuan oksigen yang

adekuat. Pasien berada dalam posisi supine kemudian dilakukan

pemberian obat anestesi secara intravena.

Tujuan anestesi pada prosedur intrakranial adalah hipsnosis,

amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan tekanan

perfusi jaringan. Pasien diberikan medikasi dengan propofol sebanyak 80

50

mg dan fentanil sebanyak 100μg. Propofol merupakan derivat fenol

dengan nama kimia di-iso-profil fenol, berupa cairan berwarna putih

susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi, mulai

kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan kesadaran

segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Pada

pemberian dosis induksi (2mg/kgBB), pemulihan kesadaran berlangsung

cepat, pasien akan bangun setelah 4-5 menit tanpa disertai efek samping

misalnya mual, muntah, sakit kepala, dan lainnya.

Propofol bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis

yang diberikan. Selain itu, propofol juga mendepresi sistem

kardiovaskuler sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang segera

dengan kompensasi peningkatan denyut nadi. Propofol tidak mendepresi

sinitesis hormon adrenal dan tidak menimbulkan pelepasan histamin.

Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek

analgetik maupun relaksasi otot (Mangku, 2010). Oleh karena itu, pada

pasien ini diberikan tambahan fentanyl sebagai analgetik.

Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang

bekerja terutama pada reseptor μ dengan sedikit berpengaruh pada

reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai

potensi analgesia 50-100 kali efek morfin, dan bersifat lipofilik yang

memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.

Fentanyl bersifat depresan terhadap saraf pusat , pernapasan, menekan

respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anestesia dan

51

pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular. Dosis

fentanyl sebagai analgesia adalah 1-2μg/KgBB (Mangku, 2010).

Untuk mencapai trias anestesi yang ketiga, yaitu relaksasi,

digunakan rocuronium 25mg yang merupakan obat pelumpuh otot non

depolarisasi. Penggunaannya dalam klinik adalah untuk memfasilitasi

intubasi endotrakea, menghilangkan refleks laring dan refleks jalan

napas, memudahkan napas kendali, dan membuat relaksasi lapangan

operasi. Dosis awal rokuronium adalah 0,6-1 mg/KgBB, sedangkan dosis

pemeliharaannya 0,10-0,15mg/KgBB, dengan durasi 30-60 menit

(Mangku, 2010).

Tahapan maintenance dilakuakan dengan pemberian O2, N2O,

dan Isofluran. Nitrous oksida (N2O) berkhasiat sebagai analgesia dan

tidak memiliki khasiat hipnotikum. Khasiat analgesianya relatif lemah

oleh karena itu dikombinasikan dengan oksigen. Padapemakaiannya yang

lazim dalam anestesia, N2O tidak menimbulkan pengaruh negatif

terhadap sistim kardiovaskuler, hanya menimbulkan sedikit dilatasi pada

jantung. Sistem organ lain seperti sistem respirasi, ginjal, reproduksi, otot

rangka, endokrin, dan metabolisme tidak mengalami perubahan. Dalam

penggunaannya, N2O dapat dikombinasikan dengan O2 dengan

perbandingan yang bervariasi, N2O:O2=70:30 pada pasien normal,

N2O:O2=60:40 pada pasien yang memerlukan tunjangan oksigen lebih

banyak, dan N2O:O2=70:30 pada pasien risiko tinggi (Mangku, 2010).

Pada kasus ini digunakan N2O sebanyak 2L demikian O2 sebanyak 2L.

52

Pada kasus ini, Isofluran 1,5% digunakan sebagai komponen

hipnotik dalam pemeliharaan anaestesia umum. Selain itu, isofluran

memiliki efek analgesi ringan dan relaksasi otot ringan. Dosis

pemeliharaan dengan pola napas spontan adalah 1-2,5%, sedangkan pada

napas kendali berkisar antara 0,5-1%> Isofluran akan mendepresi sistem

saraf pusat sesuai dengan dosis yang diberikan, pada dosis anestesia tidak

menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebral serta

mekanisme autoregulasi tetap stabil. Kelebihan lainnya adalah penurunan

konsumsi oksigen otak sehingga isofluran merupakan obat pilihan untuk

anestesia pada kraniotomi karena tidak mempengaruhi tekanan

intrakranial dan mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya

yang menguntungkan pada teknik hipotensi kendali (Mangku, 2010).

Tekanan darah dipantau setiap 15 menit sekali untuk

mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Penurunan tekanan

sistole pada pasien sekitar 20 mmHg dan belum mencapai 20% dari

tekanan darah awal sehingga tidak perlu diberi tindakan untuk menaikkan

tekanan darah. Selain itu, nadi dan SpO2 juga dipantau dengan bantuan

pulse oxymetri untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan atau

penurunan nadi maupun gangguan perfusi O2.

Selanjutnya, pasien diberikan ketorolac 30mg iv dan

ondansetron 4mg iv. Ketorolac 30mg diindikasikan untuk

penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat

setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti inflamasi non

steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6 jam sehingga

53

digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena bukan sebagai

antiinfalamasi. Ketorolac memiliki ikatan protein yang tinggi den di

metabolisme secara ekstensif menjadi metabolit yang aktif dan tidak

aktif. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang nyata dan telah

dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin pada nyeri

ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan dinerikan secara

intramuskular dan intravena, tetap terdapat juga dalam bentuk obat oral.

(Katzung, 2002).

Ondansetron secara selektif akan menghambat reseptor

serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek terhadap reseptor

dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer (eferen vagal abdominal)

dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada area postrema dan nukleus

traktus solitarius) yang mempunyai peranan penting dalam permulaan

refleks muntah. Tidak seperti metoklopramid, obat ini tidak mempunyai

efek terhadap motilitas saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian

bawah. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan untuk

ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg

yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.

Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4

mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.

Pada pasien ini digunakan cairan infus NaCl 1000ml untuk

mempertahankan circulating blood volume dengan mencukupi kebutuhan

maintenance, pengganti puasa, dan stress operasi. Terapi cairan durante

operasi dijabarkan sebagai berikut :

54

Usia : 20 tahun

Berat badan : 38 kg

Terapi Cairan :

Maintanance = 2cc x BB (kg)= 2 x 38= 76 cc

Pengganti Puasa

(PP)

=

=

=

6 x maintenance

6 x 76

456Stress Operasi = 6cc/kgBB (Sedang)

= 6cc x 38 = 228 cc

Jam I = ½ PP + M + SO= 228 + 76 + 228= 532 cc

Jam II = ¼ PP + M + SO=

=

114 + 76 + 228 cc

418 ccJam III = ¼ PP + M + SO

= 418 ccJam IV = M + SO

= 76+228= 304 cc

Estimated Blood Volume = 65xBB

= 65x38 kg

= 2470 cc

Allowed Blood Loss = 20%xEBV

= 20%x2470

= 494 cc

3. Post operatif

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang HCU. Pasien di

observasi selama 5 jam meliputi vital sign, input cairan, dan urine

output. Hasil pemantauan di HCU sebagai berikut

Pemantauan Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul

55

08.00 09.00 10.00 11.00 12.00Tekanan

darah

133/93

mmHg

138/97

mmHg

138/97

mmHg

114/87

mmHg

120/86

mmHgNadi 115 x/m 90 x/m 90 x/m 103 x/m 88 x/mLaju

respirasi18 x/m 20 x/m 15 x/m 21 x/m 17 x/m

Suhu 36°CSaturasi O2 100% 100% 100% 100% 100%Terapi O2 Binasal 3L/m

Infus NaCl, KaEN mg3 1500cc/24jamUrine

output250cc

Terapi yang diberikan selama di berikan selama dirawat di ruang

HCU adalah :

1. Ceftriaxon 2x2gr

2. Kemicetin 4x1gr

3. Rantin 2x1Amp

4. Ketorolac 3x1Amp

5. Phenitoin 3x100mg

6. Piracetam 3x1Amp

Sebelum pasien dipindahkan ke ruang cempaka pada pukul 13.00 WIB,

dilakukan pemeriksaan darah dan analisis cairan serebrospinal dengan

hasil sebagai berikut :

Pemeriksaan 04-1-2012 Nilai normalHematologiHemoglobin 13,4 12,0-16,0 g/dLLeukosit 7870 4800-10800/µLHematokrit 39 37-47%Eritrosit 4,3x106 4,2-5,4x106/µTrombosit 312000 150000-450000/µLMCV 91 79,0-99,0 flMCH 31 27,0-31,0 pgMCHC 34 33,0-37,0 %

56

RDW 14,1 11,5-14,5 %MPV 7,9 7,2-11,1 flHitung Jenis Basofil 0,3 0,0-1,0 % Eosinofil 0,1 2,0-4,0% Batang 0,00 2,0-5,0% Segmen 74,7 40,0-70,0% Limfosit 12,6 25,0-40,0% Monosit 12,3 2,0-8,0%Kimia KlinikTotal Protein 7,55 6,4-8,2 g/dlAlbumin 2,92 3,4-5,0 g/dlGlobulin 3,63 2,7-3,2 g/dlUreum 28,3 14,98-38,52 mg/dLCreatinin 0,86 0,60-1,00 mg/dLGDS 102 ≤ 200 mg/dLNatrium 143 136-148 mmol/LKalium 3,6 3,5-8,1 mmol/LKlorida 100 98-107 mmol/LKalsium 8,7 8,4-10,2 mg/dlCairan OtakWarna Kuning kemerahanKejernihan KeruhBekuan NegatifBerat jenis 1,005Jumlah sel 4 0-5Hitung jenisSegmen 20,0Limfosit 80,0Tes nonne PositifTes Pandy NegatifGlukosa 56 70-110mg/flProtein 30 <11,9mg/dlKlorida 111 119-130mmol/L

57

BAB III

KESIMPULAN

1. Hidrosefalus adalah suatu gangguan pembentukan ,aliran, atau penyerapan

cerebrospinal fluid (CSF) yang mengarah ke peningkatan volume cairan di

dalam SSP.

2. Tuberkulosis adalah salah satu penyebab abses otak dan hidrosefalus

obstruktif

3. Nona S, dengan hidrocephalus obstruktif dan multipel absess, dilakukan

tindakan ventriculoperitoneal shunt, dengan teknik anestesi general, metode

semiclosed dengan ETT no 7, medikasi anestesi yang diberikan adalah

propofol 80mg, fentanyl 100μg, rocuronium 25mg, N2O 2L, O2 2L, Isofluran

58

1,5%, ketorolac 30mg, dan ondansetron 4mg, NaCL 1000cc, dengan

perdarahan 80cc dan urin output 100cc , post op dirawat di HCU

4. Penaganan hidrosefalus dengan menggunakan teknik VP shunt, dan

digunakan metode anestesi general anestesi.

DAFTAR PUSTAKA

Basil, F Matta., Menon, David. Textbook of neuroanaesthesia and critical care.

London. Greenwich Medical Media. 2000.

Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition,

Williams & Wilkins, Arizona,2003, 117 – 178

Dunn, peter F. 2007. Clinical anesthesia procedures of the massachusetts general

hospital. 7th edition. Lippincott williams&Wilkins

Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, 2006, 359-366

Espay A J, Murro A M, Talavera F, Caselli R J, Benbadis S R, Crysta H A. April

Hydrocephalus. Medscape reference. 2010. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/1135286-overview#showall last

update 10 Januari 2012.

De jong W, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Bab 24 Kepala dan

Leher Penerbit Jakarta: EGC; 2005. 335-386

59

Gupta, A., Summors, A. Notes in neuroanaesthesia and critical care. London;

Greenwich Medical Media. 2001.

Hassan R dan Alatas H. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. Bagian ilmu

kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 2002.

Hughes, Richard. Anaesthesia for ventriculo-peritoneal shunt insertion. London,

Ormond Street Hospital for Children. 2008.

Mangku, Gde., Senapathi, T.G.A. Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan

Reanimasi. Jakarta; Indeks. 2010

Morgan GE, Michail MS, Muray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York:

Lange, 2006.

Katzung, G Bertram.. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta,

2002

Kee, Joyce LeFever, Pedoman Pemeriksaan Labolatorium dan Diagnostik.

Jakarta: EGC, 2008.

Lakshmi V; Rao R.R. dan Dinakar, I. Bacteriology of brain abscess. J. Med.

Microbiol. 1993. 39:187-190

Latief . Kartini A.S., M. Ruswan D. Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : FKUI,

2001

Liau, P.W.; Chiang, T.R.; Lee, M.C. et. al. Tuberculosis with Meningitis,

Myeloradiculitis, Arachnoiditis and Hydrocephalus: A Case report. Acra

Neurol Taiwan. 2010. 19: 189-193

Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6.

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2010.

Piatt, J.H. Insertion of ventriculoperitoneal dan ventriculovenous cerebrospinal

fluid shunt. Techniques in Neurosurgery. 2002. 7(3): 197-205.

Rekate HL. A contemporary definition and classification of hydrocephalus. Semin

Pediatr Neurol. 2009.16(1):9-15.

Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Dexa Media. 2006. 1 (19):40-48

Tatang bisri. Neuroanestesi. Neuroanestesi . Bandung; UNPAD. 1997.

60

61

LAMPIRAN

62

63

64

65

66

67