presus anestesi
DESCRIPTION
medicTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Hemoroid merupakan dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal superior dan
inferior. Insidensi hemoroid meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 50 tahun
keatas, 50% individu mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang
terkena. Namun demikian tidak berarti penyakit ini hanya diderita oleh orang tua saja.
Hemoroid dapat terjadi pada semua usia, bahkan kadang-kadang dapat dijumpai pada anak-
anak. Walaupun hemoroid tidak mengancam keselamatan jiwa, tetapi dapat menyebabkan
perasaan yang tidak nyaman.
Hemoroid dapat diklasifikasikan menjadi hemoroid interna dan eksterna. Hemoroid
interna merupakan pelebaran vena dari plexus hemoroidalis superior yang berada diatas linea
dentata. Sedangkan hemoroid eksterna merupakan pelebaran vena dari plexus hemoroid
inferior yang berada dibawah linea dentata. Hemoroid interna dibagi menjadi 4 derajat.
Berdasarkan jenis dan derajat hemoroid, penatalaksanaan hemoroid dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu penatalaksanaan konservatif dan pembedahan. HIST
(Hemorrhoid Institute of South Texas) menetapkan indikasi untuk tatalaksana pembedahan
hemoroid. Hemoroidektomi adalah teknik bedah untuk menghilangkan hemoroid.
Teknik anestesi yang digunakan pada hemoroidektomi dapat menggunakan anestesi
umum atau anestesi regional. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknik
anestesi regional lebih diminati dalam pelaksanaan hemoroidektomi karena memiliki banyak
keuntungan dibandingkan dengan anestesi umum.
Anestesi regional atau disebut juga anestesi neuroaxial. Salah satu jenis anestesi
regional yaitu anestesi spinal yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Adapun
indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang
dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini
digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria),
perineum dan kaki. Teknik anestesi spinal mempunyai keuntungan secara umum yaitu
terkontrolnya kesadaran pasien selama tindakan pembedahan berlangsung.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HEMOROID
1. Definisi
Hemoroid merupakan dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal
superior dan inferior.
2. Anatomi Anal Canal
Anal canal adalah akhir dari usus besar dengan panjang 4 cm dari rektum
hingga orifisium anal. Setengah bagian kebawah dari anal canal dilapisi oleh epitel
skuamosa dan setengah bagian keatas oleh epitel kolumnar. Pada bagian yang
dilapisi oleh epitel kolumnar tersebut membentuk lajur mukosa (lajuuur morgagni).
Suplai darah bagian atas anal canal berasal dari pembuluh rektal superior
sedangkan bagian bawahnya berasal dari pembuluh rektal inferior. Kedua pembuluh
darah tersebut merupakan percabangan pembuluh darah rektal yang berasal dari
arteri pudendal interna. Arteri ini adalah salah satu cabang arteri iliaka interna.
Arteri-arteri tersebut akan membentuk pleksus disekitar orifisium anal.
Hemoroid adalah bantalan vaskular yang terdapat di anal canal yang biasanya
ditemukan di tiga daerah utama yaitu kiri samping, kanan, depan dan bagian kanan
belakang. Hemoroid berada dibawah lapisan epitel anal canal dan terdiri dari plexus
arteriovenosus terutama cabang terminal arteri rektal superior dan arteri hemoroid
superior. Selain itu hemoroid juga menghubungkan antara arteri hemoroid dengan
jaringan sekitarnya.
Persarafan pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom, bagian
bawah dipersarafi oleh saraf somatik rektal inferior yang merupakan akhir
percabangan saraf pudendal.
2
3. Etiologi
Etiologi hemoroid sampai saat ini belum diketahui secara pasti, beberapa
faktor pendukung yang terlibat diantaranya adalah :
Penuaan
Kehamilan
Hereditas
Konstipasi atau diare kronik
Penggunaan toilet yang berlama-lama
Posisi tubuh, misalnya duduk dalam waktu yang lama
Obesitas
Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kongesti vaskular dan prolapsus
mukosa.
4. Patogenesis
Penyebab hemoroid diduga kelemahan dinding vena. Vena rectalis superior
merupakan bagian paling bergantung pada sirkulasi portal dan tidak berkatup. Jadi
berat kolom darah vena paling besar pada vena yang terletak pada paruh atas canalis
ani. Disini jaringan ikat longgar submukosa sedikit memberi penyokong pada
dinding vena. Selanjutnya aliran balik darah vena dihambat oleh kontraksi lapisan
otot dinding rectum selama defekasi. Konstipasi kronik yang dikaitkan dengan
mengedan yang lama merupakan faktor predisposisi. Hemoroid kehamilan sering
terjadi akibat penekanan vena rectalis superior oleh uterus gravid.
5. Klasifikasi
Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan asalnya, dimana dentata line menjadi
batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu :
a. Hemoroid internal, berasal dari bagian proksimal dentata line dan dilapisi
mukosa.
b. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian distal dentata line dan dilapisi
oleh epitel skuamosa.
6. Derajat hemoroid internal
Hemoroid internal diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan yaitu :
a. Derajat I, hemoroid mencapai lumen anal canal.
3
b. Derajat II, hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat
pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
c. Derajat III, hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk
kembali secara manual oleh pasien.
d. Derajat IV, hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal canal
meski dimasukkan secara manual.
Keterangan : IH=Internal Hemoroid, EH=External Hemoroid, AC=Anal Canal,
AT=Anchoring Tisue, PL=Pecten Ligamen. Hemoroid Tingkat III dan IV, Pleksus
Hemoroid berada diluar anal kanal.
7. Gejala klinis
Gejala klinis hemoroid dapat dibagi berdasarkan jenis hemoroid yaitu :
Hemoroid internal :
Prolaps dan keluarnya mukus
Perdarahan
Rasa tidak nyaman
Gatal
Hemoroid eksternal
Rasa terbakar
Nyeri
Gatal
4
8. Penatalaksanaan
Classification Treatment Options
1st Degree – No rectal prolapse Diet
Local & general drugs
Sclerotherapy
Infrared coagulation
2nd Degree – Rectal prolapse is spontaneously
reducible
Sclerotherapy
Infrared coagulation
Banding [recurring banding may
require Procedure for Prolapse and
Hemorrhoids (PPH)]
3rd Degree – Rectal prolapse is manually
reducible
Banding
Hemorrhoidectomy
Procedure for Prolapse and
Hemorrhoids (PPH)
4th Degree – Rectal prolapse irreducible Hemorrhoidectomy
Procedure for Prolapse and
Hemorrhoids (PPH)
Hemoroidektomi atau eksisi bedah dapat dilakukan untuk mengangkat semua
jaringan yang terlibat dalam proses ini. Selama pembedahan, sfingter rektal biasanya
didilatasi secara digital dan hemoroid diangkat dengan klem dan kauter atau dengan
ligasi dan kemudian dieksisi.
B. ANESTESI PADA HEMOROIDEKTOMI
Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal
juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
5
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Injeksi ini biasanya disuntikan di daerah lumbal pada
ruang L2 / 3 atau L3 / 4.
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi
a. Bedah abdomen bagian bawah, misal: op hernia, apendiksitis
b. Bedah urologi
c. Bedah anggota gerak bagian bawah
d. Bedah obstetri ginekologi
e. Bedah anorectal & perianal, misal: hemoroidektomi
Kontra indikasi
Absolut
1. Kelainan pembekuan darah (koagulopati)
2. Infeksi daerah insersi
3. Hipovolemia berat
4. Penyakit neurologis aktif
5. Pasien menolak
relative
1. Nyeri punggung
2. Aspirin sebelum operasi
3. Heparin preoperasi
4. Pasien tidak kooperatif atau emosi tidak stabil
Prosedur
a. Persiapan
Persiapan pasien
Informed consent
Pasang monitor ukur tanda vital
Alat dan obat
6
Spinal nedle G 25-29
Spuit 3 cc/5cc/10cc
Bupivacaine
Fenthanyl, catapres
Plester
Efedrin
b. Teknik
1. Setelah dimonitor, posisika pasien duduk atau tidurkan pasien misalkan dalam
posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
Gambar. Teknik Spinal Anastesi
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
7
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal
misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik.
Komplikasi
Akut
1. Hipotensi dikarenakan dilatasi PD
2. Bradikardi dikarenakan blok terlalu tinggi
3. Hipoventilasi
4. Mual muntah dikarenakan hipotensi terlalu tajam
5. Total spinal obat anestesi naik ke atas
Pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala
4. Retensi urin dikarenakan sakral terblok
BAB III
8
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bukit besar, Palembang
Ruangan : Cempaka
No. Rekam medis : 290154
Diagnosis : Hemoroid interna grade III
Tindakan : Hemoroidektomi
II. Anamnesis
Riwayat operasi : -
Riwayat alergi : -
Riwayat penyakit penyerta : -
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
BB : 55 kg TB : 165 cm
Vital sign
TD : 115/86 mmHg
N : 72 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,4 0C
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah (21/01/2015)
Hb : 13,7 g %
Hematokrit : 38 %
Leukosit : 8200/mL
Trombosit : 359.000
9
CT : 4 menit
BT : 2 menit
SGOT : 12 U/L
SGPT : 9 U/L
GDS : 105 mg/dL
Ureum : 28 mg/dL
Creatinin : 0,9 mg/dL
Rontgen Thorax
Cor dan Pulmo dalam batas normal
Pemeriksaan EKG
Normal EKG
V. Kesan ASA (The American Society of Anesthesiologist)
Kesan ASA 1 (Pasien normal yang sehat)
VI. Rencana Anestesi
a. Jenis anestesi : Regional anestesi
b. Teknik anestesi : Spinal anestesi
c. Mulai anestesi : 22 Januari 2015 pukul 09.15 WIB
d. Mulai operasi : 22 Januari 2015 pukul 09.25 WIB
BAB IV
LAPORAN ANESTESI
10
A. Pre Operatif
Informed consent
Puasa selama 6-8 jam
IV line terpasang infus RL 500 cc
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
TD : 115/86 mmHg
N : 72 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,4 0C
B. Premedikasi Anestesi
Pasien diberikan Ondansetron 8 mg (1amp) secara IV.
C. Penatalaksanaan Anestesi
Tanggal 22 Januari 2015 pukul 09.00, Tn. H, 60 tahun, tiba di ruang operasi
dengan terpasang infus RL 500 cc pada tangan kanan.
Dilakukan pemasangan manset dan pemasangan pulse oxymetri dengan :
TD : 125/72 mmHg, N : 80 x/menit, SpO2 : 99%
Pukul 09.15
Diberikan premedikasi dengan injeksi Ondansetron 8 mg secara intravena.
Setelah itu posisikan pasien duduk dan kepala menunduk.
Lakukan desinfeksi disekitar daerah tusukan yaitu diregio L3/L4.
Lakukan induksi dengan injeksi Bupivacaine 2,5 cc (12,5 mg) dan Fenthanyl
0,5 cc (25 mcg) secara intratekal. Setelah obat masuk, pasien kembali
berbaring dan diposisikan dengan posisi litotomi.
Setelah itu dipasang kanul nasal Oksigen untuk pemeliharaan respirasi.
Setelah pasien terinduksi dengan tanda-tanda seperti kesemutan, kaki terasa
berat dan tidak bisa digerakkan, maka operasi dapat dimulai. Selama operasi
berlangsung, nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen dimonitor setiap 5
menit dengan hasil :
11
Pukul (WIB) Tekanan Darah
(mmHg)
Nadi (x/menit) Saturasi O2 (%)
09.15 125/72 80 99
09.25 105/70 85 99
09.30 108/70 83 99
09.35 112/76 78 98
09.40 112/76 81 98
09.45 115/80 80 98
09.50 118/78 78 99
09.55 118/78 78 99
10.00 121/78 80 99
10.05 118/80 77 99
10.10 118/74 82 99
Lama operasi
45 menit (09.25-10.10)
Maintenance
Oksigenasi : O2 2 liter dengan menggunakan nasal kanul.
Cairan : RL 1000 cc (2 kolf)
Medikasi tambahan
Ketorolac 30 mg (1 amp) IV
Post operatif
Pasien masuk keruang pemulihan, observasi tanda vital dan dinilai pemulihan
pasca anestesi dengan Bromage Score
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Jika Bromage Skor < 2, pasien boleh dipindahkan ke ruang perawatan.
Pada pasien ini didapatkan nilai Bromage Score < 2 dan pasien dapat dipindahkan
ke ruang perawatan.
12
BAB V
PEMBAHASAN
13
A. Pre-Operatif
Pasien datang dengan keluhan dan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis Hemoroid Interna grade III. Pasien
dianjurkan untuk dilakukan tindakan hemoroidektomi.
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-operasi yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium darah,
rontgen thorax dan EKG untuk menentukan status fisik ASA. Maka dapat dinilai kondisi
fisik pasien termasuk ASA I. Pasien diminta puasa selama 6-8 jam sebelum operasi.
Kemudian ditentukan rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional
anestesi dengan teknik Subarachoid Block. Jenis anastesi yang dipilih adalah regional
anastesi cara spinal. Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf
setinggi L3-L4 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang
optimal bagi Hemoroidektomi. Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal
adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah
papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum, anus dan kaki.
B. Durante Operatif
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi
yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh
inferior saja.
Ondansetron 8 mg/ 4 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron
merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai
pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam
usus dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat
reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah
yang bisa menyebabkan aspirasi.
Induksi pada pasien ini diberikan Bupivacaine 2,5 cc (12,5 mg). Bupivacaine
merupakan obat anastesi lokal yang mekanismenya mencegah terjadinya depolarisasi
pada membran sel saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson
tidak dapat bereaksi dengan asetilkolin sehingga membran tetap semipermeabel dan tidak
terjadi perubahan potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf
14
tersebut berhenti sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem
saraf pusat. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi
yang akan dilakukan. Pemilihan Bupivacaine sebagai obat induksi adalah karena mula
kerja yang cepat dan durasi yang lama. Durasi analgetik pada L3-L4 selama 2-3 jam, dan
Bupivacaine menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah
selama 2- 2,5 jam. Selain itu Bupivacaine juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua
jaringan yang terkena. Pada induksi pasien ini, bupivacaine dikombinasikan dengan
Fenthanyl sebanyak 0,5 cc (25 mcg) sebagai obat analgesik. Selain efek analgetik,
Fenthanyl juga dapat menyebabkan depresi pernafasan.
Maintenance yang diberikan selama operasi berlangsung yaitu O2 dan cairan.
O2 diberikan sebanyak 2 liter/menit melalui nasal kanul. Pemberian oksigen untuk
menjaga oksigenasi pasien terutama akibat efek depresi pernafasan yang disebabkan oleh
Fenthanyl. Sedangkan cairan yang diberikan yaitu Ringer Laktat (RL) yang merupakan
kristaloid dengan komposisi Na+, K+, Cl-, Ca++ dan laktat untuk mengganti kehilangan
cairan. Menurut perhitungan teoritis, pemberian cairan dilakukan berdasarkan
perhitungan sebagai berikut :
1. Pre-operasi
Kebutuhan Maintenance 2 cc/kgBB/jam
= 55 kg x 2 cc
= 110 cc
2. Durante Operasi
Kebutuhan cairan saat operasi
Pengganti cairan saat puasa pra bedah
Pasien sudah puasa 8 jam sebelum pembedahan, sehingga kebutuhan
cairan puasa pada pasien adalah :
(Lama puasa x kebutuhan maintenace)
(8 jam x 110 cc = 880 cc)
Penggantian cairan puasa pra-bedah ini diberikan 50% pada jam
pertama operasi, 25% pada jam kedua operasi dan 25% pada jam ketiga
operasi. Sehingga pada pasien ini diberikan :
880 cc x 50% = 440 cc ( jam pertama)
Pengganti cairan yang keluar selama operasi
15
Banyaknya cairan yang keluar akibat translokasi selama pembedahan
tergantung dari jenis operasi. Perhitungan pada pasien ini yaitu :
Operasi sedang : 6 cc/kgBB/jam => 6 cc x 55 kg = 330 cc
Maka total pemberian cairan pada jam pertama pasien ini adalah :
Kebutuhan maintenance + kebutuhan pengganti puasa + kebutuhan cairan saat operasi =
110 cc + 440 cc + 330 cc = 880 cc (2 kolf RL)
Sebagai analgetik diberikan ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine)
sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek.
Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara ketat 4
aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi, monitoring lapangan
operasi, dan monitoring lingkungan operasi.
C. Post Operatif
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap
dan baik. Observasi tanda vital dan dinilai pemulihan pasca anestesi dengan Bromage
Score. Jika Bromage Skor < 2, pasien boleh dipindahkan ke ruang perawatan. Pada
pasien ini didapatkan nilai Bromage Score < 2 dan pasien dapat dipindahkan ke ruang
perawatan. Pasien diharuskan untuk bed rest 24 jam post operasi dan tidak boleh duduk.
Bila tidak ada mula dan muntah, pasien diperbolehkan untuk minum. Observasi tanda
vital terutama tekanan darah dan nadi tiap 15 menit selama 1 jam pertama.
BAB VI
KESIMPULAN
16
1. Pasien seorang laki-laki, usia 60 tahun dengan Hemoroid interna grade III dan kondisi
pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia oleh karena itu
digolongkan sebagai ASA I.
2. Premedikasi yang digunakan adalah Ondansentron 8 mg/ 4 ml (1 ampul) untuk mencegah
mual dan muntah.
3. Induksi anestesi menggunakan Bupivacaine 2,5 cc (12,5 mg) dikombinasikan dengan
Fenthanyl 0,5 cc (25 mcg).
4. Maintenance selama operasi dengan O2 2 liter/menit melalui nasal kanul dan pemberian
cairan saat operasi dengan Ringer Laktat 880 cc (2 kolf).
5. Selama perjalanan anestesi, pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti
nyeri.
6. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik dan
diberikan instruksi pasca operasi.
17