pitiriasis versikolor print

26
PITIRIASIS VERSICOLOR Pendahuluan Tinea versikolor atau disebut pitiriasis versikolor disebabkan ragi lipofilik dari genus Malassezia, yang merupakan infeksi superfisial yang paling sering sering terjadi dan memiliki angka kejadian kekambuhan yang tinggi setelah selesai pengobatan 1 . Gejala klinis yang sering muncul adalah makula hipo atau hiperpigmentasi pada bagian dada, leher dan lengan atas 2-4 Eichstedt pertama menemukan bahwa tinea versikolor adalah infeksi jamur pada tahun 1846. Selama beberapa tahun diyakini bahwa ragi adalah jenis jamur yang normal ada dipermukaan kulit. Kemudian pada tahun 1889 Baillon memastikan bahwa jamur yang menyebabkan tinea versikolor adalah jenis ragi dan memiliki nama Malassezia dan dimasukkan kedalam spesies microsporum dari dermatophytes. Pada tahun 1951 Gordon mendreskripsikan karakteristik dari M.furfur dan menggantikan namanya menjadi Pityrosporum orbiculare. Sehingga pada saat ini M.furfur juga sering disebut P. orbiculare, P. ovale, dan M. ovalis 3,5,6 Tinea versikolor merupakan infeksi jamur tersering di wilayah khatulistiwa dan nomer dua tersering di Indonesia 5,6 . Angka kejadian semakin bertambah pada musim panas. Faktor yang mempengaruhi tinea versikolor ada yang dari dalam dan luar tubuh 3,6 . Gejala klinis utma yang diberikan oleh tinea versikolor cukup bermacam-macam warna makula yang timbul, yang kadang Pitiriasis Versikolor Page 1

Upload: daniobunda

Post on 01-Dec-2015

599 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Suatu laporan hasil kumpulan referensi mengenai penyakit Pitiriasi versicolor atau panu. Penulisan dibuat dengan tujuan melengkapi tugas untuk mendapat gelar

TRANSCRIPT

Page 1: Pitiriasis Versikolor Print

PITIRIASIS VERSICOLOR

Pendahuluan

Tinea versikolor atau disebut pitiriasis versikolor disebabkan ragi lipofilik dari genus

Malassezia, yang merupakan infeksi superfisial yang paling sering sering terjadi dan memiliki

angka kejadian kekambuhan yang tinggi setelah selesai pengobatan1. Gejala klinis yang sering

muncul adalah makula hipo atau hiperpigmentasi pada bagian dada, leher dan lengan atas 2-4

Eichstedt pertama menemukan bahwa tinea versikolor adalah infeksi jamur pada tahun

1846. Selama beberapa tahun diyakini bahwa ragi adalah jenis jamur yang normal ada

dipermukaan kulit. Kemudian pada tahun 1889 Baillon memastikan bahwa jamur yang

menyebabkan tinea versikolor adalah jenis ragi dan memiliki nama Malassezia dan dimasukkan

kedalam spesies microsporum dari dermatophytes. Pada tahun 1951 Gordon mendreskripsikan

karakteristik dari M.furfur dan menggantikan namanya menjadi Pityrosporum orbiculare.

Sehingga pada saat ini M.furfur juga sering disebut P. orbiculare, P. ovale, dan M. ovalis3,5,6

Tinea versikolor merupakan infeksi jamur tersering di wilayah khatulistiwa dan nomer

dua tersering di Indonesia5,6. Angka kejadian semakin bertambah pada musim panas. Faktor yang

mempengaruhi tinea versikolor ada yang dari dalam dan luar tubuh3,6.

Gejala klinis utma yang diberikan oleh tinea versikolor cukup bermacam-macam warna

makula yang timbul, yang kadang disertai adalah rasa gatal yang jarang atau bahkan tidak ada.

Sehingga alasan utama pasien untuk datang berobat adalah alasan kosmetik adanya macula yang

mengganggu kosmetik 5-8.

Penegakan diagnosis untuk penyakit ini yang utama adalah secara klinis dan anamnesis

serta dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis penyakit yang

sering disebut panu tersebut2,3,8.

Dalam pengobatan tinea versikolor dapat diterapi secara topikal dan sistemik tergantung

pada tingkat keparahan dari penyakit tersebut. Pilihan obat bermacam-macam untuk terapi

penyakit disebabkan oleh jamur Malassezia furfur ini2,3,9.

Pencegahan penyakit tersebut sangat dibutuhkan karena penyakit tersebit sangat sering

terjadi kekambuhan2.

Pitiriasis Versikolor Page 1

Page 2: Pitiriasis Versikolor Print

Defenisi

Tinea versikolor atau disebut pitiriasis versikolor disebabkan ragi lipofilik dari genus

Malassezia, yang merupakan infeksi superfisial yang paling sering sering terjadi dan memiliki

angka kejadian kekambuhan yang tinggi setelah selesai pengobatan1. Gejala klinis yang sering

muncul adalah macula hipo atau hiperpigmentasi pada bagian dada, leher dan lengan atas2-4.

Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur universal dan paling sering ditemukan di daerah

tropis, istilah berhubungan dengan gejala perubahan warna kulit yang disebabkan oleh infeksi

jamur tersebut. Perubahan warna kulit yang terjadi dapat berwarna putih (hipopigmentasi), coklat

kehitaman (hiperpigmentasi) dan merah muda.3,5,6

Sinonim

Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis versikolor

flava, panu dan panau.2,3

Epidemiology

Spesis Malassezia adalah ragi saprofytik yang tumbuh pada kulit normal pada bagian kepala,

punggung dan leher yang merupakan daerah pada tubuh yang memiliki kandungan lemak yang

banyak10,11. Penyakit ini sering mengenai anak muda terutama pada masa pubertas. Pada masa ini

terjadi peningkatan sebum dalam kelenjar sebasea yang mengakibatkan peningkatan

kemungkinan terjadinya pertumbuhan jamur tersebut secara berlebihan. Pertumbuhan yang

berlebihan tersebut juga dapat disebabkan oleh perubahan hormonal, malnutrisi, penggunaan

kontrasepsi oral dan hiperhidrosis12. Angka kejadian pitiriasis versikolor di dunia sebesar 20-

25% populasi dunia menderita penyakit ini. Pada daerah tropis angka kejadian pitiriasis

versikolor pada daerah tropis sebesar 30-40% populasi diwilayah tropis menderita penyakit ini

tetapi hanya 60% dari populasi yang menunjukkan gejala klinis 10,13. Angka kejadian pitiriasis

versikolor tertinggi terjadi pada saat musim panas, ini berhubungan dengan sifat dari jamur

penyebab1,7,11,15.

Di Indonesia yang berada disekitar garis ekuator memiliki suhu sekitar 300 sepanjang

tahun dan memiliki kepadatan pendudukan mencapai 70%. pitiriasis versikolor merupakan

dermatomikosis nomer 2 terbanyak di Indonesia 12.

Pitiriasis Versikolor Page 2

Page 3: Pitiriasis Versikolor Print

Pada sebuah penelitian di Argentina, pasien laki-laki dan perempuan yang menderita

pitiriasis versikolor memiliki jumlah yang sama. Pasien yang menderita pitiriasis versikolor

terbanyak adalah pasien pada rentan umur diantara 20-30 tahun. pitiriasis versikolor paling

banyak di temukan pada bagian punggung pasien.6

Etiology

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia Furfur yang merupakan spesies dari genus

malassezia, Family Filobasidiaceae, Ordo Tremellales, Class Hymenomycetes, Filum

Basidiomycota dan Kingdom Fungi. Malassezia yang memiliki 13 spesies diantaranya M.

Furfur, M. Sympodialisis, M. restricta, M. glabosa, M. Obtusa, M. caprae, M. slooffiae, M.

japonica, M. nana, M. yamatoensis, M. equine, M. pachydermatis. Dari sejumlah spesies diatas,

M. furfur dan M. sympodialis merupakan spesis terbanyak yang ditemukan pada pasien penderita

pitiriasis versikolor di Jakarta14. Pada penelitian lainnya ditemukan M. glabosa pada 955 pasien

yang menderita pitiriasis versikolor di Amerika5,11.

Spesies Malassezia merupakan jamur yang senang hidup didaerah dengan kelembaban

tinggi, temperatur yang tinggi dan daerah yang memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi.11,14

M. furfur dapat di kultur dari daerah lesi yang mengalami kelainan sebagai patogen dan

pada kulit normal sebagai flora normal dapat ditemukan di daerah yang memiliki kelenjar sebum

di tubuh7. M. furfur bersifat lipofilik, dapat tumbuh in vitro hanya pada penambahan olive oil dan

lanolin. Pada kondisi tertentu M. furfur berubah dari bentuk saprofitic menjadi bentuk parasitik

mycelial yang dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis. Faktor yang berperan dalam hal

tersebut adalah suhu yang meningkat, kelembaban yang meningkat, herediter, cushing’s sindrom,

immunosupresan dan malnutrisi8,12,. Pada pasien yang telah sembuh pengobatan dan dilakukan

pemeriksaan kultur, masih dapat di temukan M. furfur pada lesi tersebut. Ini yang mengakibatkan

pitiriasis versikolor merupakan penyakit yang sering terjadi kekambuhan5. Pada penelitian

ditemukan bahwa 80% pasien pitiriasis versikolor akan mengalami kambuhan setelah 2 tahun.

Sehingga membutuhkan pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan. Faktor lain yang

berperan dalam angka kejadian pitiriasis versikolor adalah penggunaan minyak atau lotion pada

pasien meningkatkan angka kejadian.1

Pitiriasis Versikolor Page 3

Page 4: Pitiriasis Versikolor Print

Spesies Malassezia dapat dibedakan berdasarkan nutrisi yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan, morfologi, dan secara molekular biologi. M pachydermatis merupakan genus

malassezia yang dapat tumbuh eksogen tanpa membutuhkan lemak untuk bertumbuh. M.

sympodialis merupakan penyebab kelainan kulit pada bayi dan neonatus.

Cara Penularan

Sebagian besar kasus pitiriasis versikolor terjadi karena aktivasi Malassezia pada tubuh penderita

sendiri (autothocus flora), walaupun dilaporkan adanya penularan dari individu lain. Kondisi

patogen terjadi bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara hospes dengan ragi

sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu malassezia akan berkembang ke bentuk

miselial dan bersifat lebih patogenik.

Patogenesis

Pitiriasis versikolor muncul ketika M. furfur berubah bentuk menjadi bentuk miselia karena

adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun edogen. Faktor eksogen meliputi panas dan

kelembaban. Hal ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak dijumpai di

daerah tropis dan pada musim panas di daerah sub tropis. Faktor eksogen lainnya adalah

penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana mengakibatkan peningkatan konsentrasi

CO2, mikroflora dan pH.

Faktor endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi

immunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu diabetes

melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan dan penyakit berat memudahkan

timbulnya pitiriasis versikolor. Pada pasien dengan cushing sindrom mengalami penigkatan

kortisol dalam darah juga berarti terjadi peningkatan lemak dalam tubuh yang berperan dalam

mendukung pertumbuhan M. furfur. Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh adanya toksin

yang langsung menghambat pembentukan melanin dan adanya C9 dan C11 asam decarbosilat

yang dihasilkan oleh Pityrosporum yang merupakan inhibitor kompetitif dari tirosinase.

Tirosinase adalah enzim yang berpran dalam pembentukan melanin. Mekanisme lainnya adalah

M. furfur menghambat pertumbuhan stratum korneum. Mekanisme dari macula hiperpigmentasi

adalah terjadi penipisan stratum korneum oleh M. furfur yang mengakibatkan munculnya reaksi

Pitiriasis Versikolor Page 4

Page 5: Pitiriasis Versikolor Print

radang sehingga muncul macula tersebut dan juga karena ada penimpisan stratum korneum

mengakibatkan meningkatnya kemungkinan infeksi sekunder15.

Gejala Klinis

Pitiriasis versikolor paling sering mengenai usia belasan walaupun pada beberapa penelitian

ditemukan paling banyak terjadi pada rentan usia 20-30 tahun2,12.

Pada penderita umunya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula atau berupa plak

berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) yang berbatas tegas dan rasa

gatal yang ringan pada umunya muncul saat berkeringat1,3,4,16,. Pada pasien dengan kulit terang

akan muncul bercak hiperpigmentasi atau eritama sedangkan pasien dengan kulit gelap atau

hitam bercak muncul berupa bercak hipopigmentasi. Pasien sering mengeluhkan adanya bercak

yang mengganggu kosmetik pasien7. Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama

sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan

pada lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus. Pada

kulit hitam atau kecoklatan umumnya berwarna putih sedang pada kulit putih atau terang

cenderung berwarna coklat atau kemerahan. Makula umunya khas berbentuk bulat atau oval

tersebar pada daerah yang terkena. Pada beberapa lokasi yang selalu lembab, misalnya pada

daerah dada, kadang batas lesi dab skuama menjadi tidak jelas18.

Lesi pitiriasis versikolor terutama dijumpai dibagian atas dada dan meluas ke lengan atas,

leher, tengkuk, perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus dimana lesi hanya

dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapat tekanan pakaian, misalnya pada bagian

yang tertutup pakaian dalam. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan axial, inguinal atau pada kulit

muka dan kepala.1,-5,10

Untuk menunjukkan adanya skuamasi secara sederhana dapat dilakukan garukan dengan

kuku, akan nampak batas yang jelas antara lesi dan kulit normal8.

Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran

seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Lesi yang kecil biasanya berbentuk bulat atau oval.

Beberapa kasus didaerah berhawa dingin dapat sembuh total. Pada sebagian besar kasus

pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi macula hipopigmentasi yang menetap

hingga beberapa bulan tanpa adanya skuama.

Pitiriasis Versikolor Page 5

Page 6: Pitiriasis Versikolor Print

Berikut adalah beberapa contoh lesi pada pitiriasis versikolor

Pitiriasis Versikolor Page 6

Page 7: Pitiriasis Versikolor Print

Gamba 1. A. Makula Hiperpigmentasi pada punggung, B. Makula Eritematous pada axial, C. Makula

hipopigmentasi pada lengan atas, D. Makula Hipopigmentasi pada dada 5,16,19

Diagnosis

Diagnosis klinis pitiriasis versikolor ditegakkan berdasarkan adanya makula hipopigmentasi,

hiperpigmentasi atau kemerahan yang berbatas sangat tegas, tertutp skuama halus. Pemeriksaan

dengan lampu wood akan menunjukkan adanya pendaran (florosensi) berwarna kuning muda

pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopi sedaian skuama dengan KOH memperlihatkan

kelompok sel ragi bulat berdinding tebal dengan misselium kasar, sering terputus-putus (pendek-

pendek), yang akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat tinta Parker blue-black atau biru

laktofenol. Gambaran ragi dan misselium tersebut sering dilukiskan sebagai meat boll and

spaghetti. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokkan menggunakan skapel tumpul

Pitiriasis Versikolor Page 7

Page 8: Pitiriasis Versikolor Print

atau menggunakan selotip yang dilekakan pada lesi. Pembuktian dengan biakan malassezia tidak

diagnostik oleh karena Malessezia merupak flora normal kulit2,3,5,8,12,16,20.

Gambar 2. A. M. furfur pada pewarnaan KOH, B. M. furfur pada pewarnaan dengan tinta Parker

Blue5,8

Pada pemeriksaan biopsy menunjukkan stratum korneum yang tipis bersama dengan hifa

dan spora. Pada lesi, terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasias,

tidak ada melanosit dan minimal infiltrate sel radang.

Pitiriasis Versikolor Page 8

Page 9: Pitiriasis Versikolor Print

Gambar 3. Gambaran histopatology pada pitiriasis versikolor dengan pewarnaan HE21

Diagnosis Banding

Pitiriasis versikolor sering di diagnosis banding dengan MH tipe TT, vetiligo, pitiriasis alba,

pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, sefilis sekunder. Vetiligo dibedakan dengan adanya total

depigmentasi pada lesi dan ukuran lesi pada vetiligo lebih besar dibanding pitiriasis versikolor

dan kloasma dibedakan dengan tidak dijumpainya skuama. Dermatitis seboroik, pitiriasis rosea,

sufulis sekunder, pinta dan tinea corporis umumnya menunjukkan adanya tingkat inflamasi yang

lebih hebat. Eritrasma umunya menyerupai pitiriasis versikolor bentuk hiperpigmentasi atau

eritematosa, tetapi memberikan floresensi kemerahan pada pemeriksaan dengan lampu wood.

Membedakan pitiriasis versikolor dengan MH tipe TT adalah pada lesi MH terdapat anastesi, dan

anhidrosis, serta pada pemeriksaan fisis lainnya ditemukan tanda-tanda pembesaran saraf dan

lainnya yang mendukung kearah MH.1,3,5,8,10,22,

1. Morbus Hansen

Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita Morbus Hansen mempunyai ciri-ciri

yang khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi. Lesi dapat satu atau banyak,

berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini

terjadi karena menurunnya aktivitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah

melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan

mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom.

Pitiriasis Versikolor Page 9

Page 10: Pitiriasis Versikolor Print

Gambar 4. Gambar macula hipopigmentasi pada MH tipe BL23

2. Vitiligo

Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial

ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas, dan asimtomatis.

Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, bergaris tengah

beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi

berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo

mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang terpajan (muka,

dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium

(sekitar mulut, hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang

menonjol (jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan sel

melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood

makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo

dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya22,24

Pitiriasis Versikolor Page 10

Page 11: Pitiriasis Versikolor Print

Gambar 4. Vitiligo 22,24.

3. Hipopigmentasi Post Inflamasi

Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi

misalnya Lupus eritematosus diskoid, Dermatitis atopik, Psoriasis, Parapsoriasis gutata

kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai

dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah

menderita psoriasis25.

Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan mulai menghilang

setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar

matahari22,25.

Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari

melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis, hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari

edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika

diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan

gambaran penyakit kulit primernya25.

Pitiriasis Versikolor Page 11

Page 12: Pitiriasis Versikolor Print

Ganbar 5. Hipopigmentasi Post Inflamasi 25

4. Pitiriasis Alba

Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3 – 16 tahun (30 – 40%). Wanita dan pria

sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau

sesuai warna kulit dengan skuama kulit diatasnya. Setelah eritema menghilang, lesi yang

dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang

berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4 – 20. Pada

anak-anak lokasi kelainan pada muka (50 – 60%), Paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi,

dan dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi

dapat juga terasa gatal dan panas22,26.

Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan terdapat

hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan dapat dibedakan dari Vitiligo dengan adanya batas

yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu

Wood.

Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca inflamasi

dan efek penghambatan sinar ultraviolet oleh epidermis yang mengalami hiperkeratosis dan

parakeratosis.

Pitiriasis Versikolor Page 12

Page 13: Pitiriasis Versikolor Print

Gambar 6. Pitiriasis alba pada anak-anak 26

Pengobatan

Pengobatan ini harus dilakukan secara holistik, tekun, serta konsisten. Obat-obatan yang dapat

dipakai yaitu1,2,3,8,9,16,17,18,27,:

1. Topikal: ditujukan untuk lesi yang minimal. Sedian obat topical antara lain solision, sampo,

paint atau cat, cream dan ointment.

Suspensi selenium sulfide (selsun yellow) yang dapat dipakai sebagai shampoo 2 – 3 kali

seminggu selama 2 – 4 minggu. Obat ini digosokkan pada lesi dan didiamkan 15 – 30

menit sebelum mandi. Obat ini memiliki kekurangan yaitu bau yang kurang sedap dan

kadang bersifat iritatif dan mengakibatkan kulit menjadi kering sehingga menyababkan

pasien kurang taat melakukan pengobatan2,3.

Salisil spiritus 10%.

Derivat-derivatazol, misalnya Mikonazol 2%, Klotrimazol 1%, Isokonazol 1%, dan

Ekonazol 1%.Dioleskan 1 – 2 kali sehari selama 2 – 3 minggu. Mikonasol memilliki

struktur yang sama dengan econazole, obat ini melakukan penetrasi sampai ke stratum

korneum dan bertahan selama 4 hari setelah pemakaian. Kurang 1% diserap masuk

kedalam darah. Efek samping dari pengguanaan obat ini adalah rasa terbakar dan muncul

rekasi alergi. Obat ini termasuk aman untuk pasien hamil. Klotrimazol diserap kurang dari

0.5% oleh kulit yang intak. Berefek fungisidal 3 hari setelah pemakaian dan sebagian kecil

dimetabolisme di hati dan keluar melalui empedu. Pada penggunaan secara topikal akan

menimbulkan rasa tersengat, eritema, gatal, deskuamasi dan urtikaria. Ekonazol

merupakan derifat dari mikonazol berkerja menembuh stratum korneum bahkan sampai ke

Pitiriasis Versikolor Page 13

Page 14: Pitiriasis Versikolor Print

lapisan dermis kulit. Kurang dari 1% diserap oleh darah. Efek samping yang sering

muncul adalah lokal eritema, rasa tersengat, rasa terbakar, dan gatal9,28.29

Sulfur prespitatum dalam bedak kocok 4 – 20%. Sulfur terbukti baik untuk pengobatan

pitiriasis versikolor,

Tolsiklat, Tolnaftat,. Tolnaftat sangat efektif untuk pitiriasis versikolor yang disebabkan

oleh M. furfur, hampir tidak ada laporan mengenai rekasi alergi dari obat tersebut.

Tersedia dalam bentuk krim 1%, gel, bedak dan solution. Obat ini digunakan selama 7

sampai 21 hari.

Haloprogrin.

Larutan Tiosulfasnatrikus 25%. Larutan ini dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi. Obat ini

digunakan selama 2 minggu3.

2. Sistemik: digunakan pada kondisi tertentu misalnya jika adanya resistensi pada obat topikal,

lesi yang luas, dan sering terjadinya kekambuhan.

Ketokonazol dengan dosis 1 x 200 mg selama 10 hari atau 400 mg dosis tunggal.

Ketokonazol tersedia dalam bentuk tablet 200 mg, merupakan turunan imidazol dengan

struktur mirip mikonazol dan klotrimazole. Obat ini bersifat lipofiliki dan larut dalam air

dalam kondisi asam. Penyerapan obat berfariasi secara individu, menghasilkan kadar

plasma yang cukup untuk menekan berbagai macam jamur. Penyerapan akan menurun pd

pH lambung yang tinggi, pada pemberian antagonis H2 atau bersama dengan antasida dan

penggunaan bersama dengan antikolinerjik akan menurunkan absorbs dan bioavibilitas

obat tersebut. Dalam waktu 2 jam 90-99% obat tersebut sudah berikatan dengan albumin.

Ketokonazol dimetabolisme di hepar dan 90% diekskresi melalui empedu dan saluran

cerna dalam bentuk tidak aktif. Pada pasien yang mengalami gangguan ginjal, tidak

berpengaruh terhadap obat tersebut. Obat tersebut berisifat hepatotoksic sehingga

diperlukan pemeriksaan fungsi hepar saat memulai, selama dan setelah pengobatan.

Ketokonazol menurunkan jumlah testoteron dalam serum, namun akan kembali normal

saat obat tersebut dihentikan. Obat tersebut meningkatkan efek dari obat antikoagulan dan

kortikosteroid 2,3,9,28,29.

Itrakonazol dengan dosis 200 mg per hari secara oral selama 5 – 7 hari atau 100mg/hari

selama 15 hari sampai 1 bulan atau 400mg dosis tunggal. Obat ini bersifat keratinofilik

Pitiriasis Versikolor Page 14

Page 15: Pitiriasis Versikolor Print

dan lipofilik. Cara kerja dari obat ini adalah dengan menghambat C-demethylation pada

sintesis ergosterol yang sangat berperan dalam pembentukan membrane jamur. Obat ini

merupakan anti jamur derivate Trazol dengan spectrum luas dan lebih kuat dari pada

Ketokonazol dan disarankan untuk kasus yang relaps atau tidak responsef terhadap

pengobatan lainnya. Obat tersebut juga tersedia dalam bentuk injeksi intravena 10mg/ml

sering digunakan pada kasus aspiergilosis blastomicosis dan histoplasmosis. Pada

penggunan secara oral penyerapan akan lebih baik jika diberikan bersama dengan

makanan. Efek terhadap enzim hati lebih sedikit dibandingkan dengan ketokonazol. Pada

pasien dengan peningkatan enzim hepar akan meningkatkan jumlah itrakonazol dalam

plasma. pada sebuah penelitian menunjukkan penggunaan itrakonazol 400mg dosis

tunggal lebih baik dibandingkan dengan penggunaan 200mg/hari atau 100mg/hari selama

1 bulan2,3,9,27,28,29.

Flukonazole 50mg/hari atau 150mg/minggu selama 1 bulan atau 400mg dosis tunggal,

pada anak-anak 3-6mg/kgBB/hari. Sedian obat tersebut yang ada di Indonesia 150 mg dan

50 mg. Obat tersebut diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi ada atau

tidaknya makanan dalam lambung atau tingkat keasaman lambung. Flukonazol tesebar

rata keseluruh cairan tubuh juga pada saliva dan sputum. Waktu paruh eliminasi obat ini

adalah 25jam dan di ekskresi melalui ginjal. Efek samping dari obat ini adalah gangguan

saluran cerna. Obat ini akan meningkatkan kadar plasma fenitoin dan sulfunilurea dan

menurunkan kadar plasma warfarin dan siklosporin. Efek samping dari obat ini adalah

mual dan muntah pada penggunaan diatas 200mg. pasien yang mengkonsumsi diatas

800mg/hari disarankan agar digunakan bersama dengan antiemetic2,3,9,27,28,29.

Selain itu, pakaian, kain seprai, handuk harus dicuci dengan air panas. Kebanyakan

pengobatan akan menghilangkan infeksi aktif (skuama) dalam waktu beberapa hari, tetapi

untuk menjamin pengobatan yang tuntas, pengobatan ketat ini harus diteruskan selama

beberapa minggu. Daerah hipopigmentasi belum akan tampak normal, namun lama-kelamaan

akan menjadi coklat kembali sesudah terkena sinar matahari.

Prognosis

Pitiriasis Versikolor Page 15

Page 16: Pitiriasis Versikolor Print

Prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan secara holistik, tekun, dan

konsisten. Pengobatan ini harus diteruskan selama 2 minggu setelah fluoresensi negative dengan

pemeriksaan lampu Wood dan sediaan langsung pun juga negatif.

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu menjaga higienitas perseorangan, hindari kelembaban

kulit yang berlebihan, dan menghindari kontak langsung dengan penderita. Penyakit ini

merupakan penyakit yang memiliki angka keambuhan sangat tinggi sekitar 80% dalam 2 tahun

sehingga diperlukan pengobatan yang berkelanjutan dan pencegahan dengan menggunakan

sampo selenium sulfide sekali seminggu dapat membatuh mencegah angka kekambuhan

penyakit tersebut. Cara lain untuk mencegah kekambuhan dari pitiriasis versikolor disarankan

pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk mencegah kekambuhan. Pada daerah endemic

dapat disarankan memakai ketokonazol 200 mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau itrakonazole

200 mg sekali sebulan5.

Pitiriasis Versikolor Page 16

Page 17: Pitiriasis Versikolor Print

Daftar Pustaka

1. Straten MRV. Hossain MA. Ghannium MA. Cutaneus infections dermatophytosis,

onycomicosis, and tinea versicolor. 2003. Cleveland. Elsevier

2. Radiono S. Pitiriasis Versicolor. dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi

SR, Dwihastuti P, Widaty S. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta. Kolompok Studi

Dermatomikosis Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.

2004. hal 19-23

3. Budimulja U. Mikosis : Pitiriasis Versikolor dalam: Djuanda A. Ilmu Kesehatan Kulit

dan Kelamin. Ed.VI. Jakarta : balai Penerbit FKUI. 2010. hal 100-1

4. Chapman SW. Miscellaneous Mycoses and Algal Infections : Malasseziasis. in: Fauci

AS, et all. Harrison's Principles of Internal Medicine. New York. McGraw Hill. 2008. p:

5. Heffernan MP. Yeast Infections: Candidiasis, Pityriasis (Tinea) Versicolor. in: Freedberg

IM, Eizen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine 6th Ed. New York. : McGraw Hill. 2003. p: 2006-18

6. Guisano G. et al. Prevalenceof Malassezia species in pityriasis versicolor lesions in

northeast Argentina. 2010. Argentina

7. Rai MK. Wankhade S. Tinea Versicolor – An Epidemiology. 2009. Maharashtra. J

Microbial Biochem Technol.

8. Arenas R. Pityriasis Versicolor in: Tropical Dermatology. Texas. Landes Bioscience.

2001. p: 12-6

9. Anti Fungal agent in: Goodman and Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics.

New York: Mc Graw Hill. 2008 p: 798-811

10. Patel S. Meixner JA. Smith MB. McGinnis MR. Superficial mycoses and dermatophytes :

Pityriasis versicolor. in Tyring SK, Lupi O, Hengge UR. Tropical Dermatology. China

Elsevier Inc. 2006. P187-8

11. Sharma R. Sharma G. Sharma M. Anti-Malassezia furfur activity of essential oils againt

causal agent of Pityriasis versicolor disease. 2012. India. Departemen of Botany

University of Rajasthan.

12. Gothamy ZMGE. A Review of Pityriasis Versicolor. 2004. Cairo. Departement of

Dermatology & Venereology AIn-Shams University.

Pitiriasis Versikolor Page 17

Page 18: Pitiriasis Versikolor Print

13. Havlickova B. Czaika VA. Friedrich M. Epidemiological trend in skin mycoses

worldwide. 2008. Germany. Blackwell Publishing Ltd.

14. Krisanti RIA. Bramono K. Wisnu IM. Identification of Malassezia species from pityriasis

versicolor in Indonesia and its relationship with clinical characteristics. 2008 Jakarta.

Blackwell Publishing

15. Choi S. Fungal Infections : Pityriasis Versicolor. in : Arndt KA, Hsu JTS. Manual of

Dermatologic Therapeutics, 7th Ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins. 2007. p:

91-2

16. Khachemoune A. Dermatologic Disorders : Tinea versicolor. in: Current Medical

Diagnosis and Treatment. 2011. New York. : McGraw Hill.

17. Hay RJ. Fungal and yeast infections. in: ABC of Dermatology. 4 th Ed. London. BMJ

Publishing group Ltd. 2003. p: 101-4

18. Berkshire R. Tinea Versicolor. NHF Foundation Trust. 2008

19. Paris LC. Tinea Versicolor. in: Frankel DH. Field Guide to Clinical Dermatology, 2nd Ed.

New York. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 65-6

20. James WD. Berger TG. Elston DM. Diseases Resulting from Fungi and Yeast : pityriasis

versicolor. in: Andrew’s Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada.

Elsevier Inc. 2006 p. 313-4.

21. Hinshaw M. Longley JB. Fungal diseases : Diseases caused by Malassezia Furfur. in:

Elder DE. Lever's Histopathology of the Skin, 9th Ed. New York. Lippincott Williams &

Wilkins. 2005. p: 609

22. Bahadoran P. Hypomelanoses and Hypermelanoses. in: Freedberg IM, Eizen AZ, Wolf

K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine

6th Ed. New York. : McGraw Hill. 2003. p: 838,58.

23. Kosasih A. Wisnu IM. Daili ESS. Menaldy SL. Kusta dalam: Djuanda A. Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin. Ed.VI. Jakarta : balai Penerbit FKUI. 2010. hal:73-88.

24. Callen JP. Vitiligo. in: Frankel DH. Field Guide to Clinical Dermatology, 2nd Ed. New

York. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 158-9

25. Callen JP. Hipopigmentasi postinflammatori. in: Frankel DH. Field Guide to Clinical

Dermatology, 2nd Ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 1554-5

Pitiriasis Versikolor Page 18

Page 19: Pitiriasis Versikolor Print

26. Jansen T. Seborrheic Dermatitis. in: Freedberg IM, Eizen AZ, Wolf K, Austen KF,

Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 6th Ed. New

York. : McGraw Hill. 2003. p. 1998-1200

27. Bigby M. Casulo C. Pityriasis Versicolor.

28. Setiabudy R. Bahry B. Obat Jamur dalam : Farmako dan Terapi ed. 5 Jakarta : Balai

Penerbit FKUI 2011. hal: 571-84

Pitiriasis Versikolor Page 19