penatalaksanaan pitiriasis versikolor

26
1 Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor Liana Verawaty, IGAA Dwi Karmila Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar BAB I PENDAHULUAN Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna baik hipopigmentasi, hiperpigmentasi ataupun eritematosa, tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal. 1,2 Prevalensi PV di daerah tropis mencapai 60%, sedangkan di daerah subtropis atau daerah dengan empat musim, prevalensi cenderung lebih rendah. PV lebih banyak dijumpai pada usia dewasa muda baik laki- laki ataupun perempuan. 3 Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Pitiriasis versikolor adalah dermatomikosis terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. 4 Genus Malassezia spp., yang sebelumnya dikenal sebagai Pityrosporum, termasuk didalamnya adalah 14 spesies yeast basidiomycetous lipofilik. Setiap spesies ini dibedakan berdasarkan kebutuhan nutrisi, morfologi, dan biologi. Semua Malassezia spp. membutuhkan lipid karena tidak mampu mensintesis asam lemak jenuh kecuali M. pachydermatis. 1,2 Infeksi kutaneus oleh Malassezia spp. ini menyebabkan 2 tipe infeksi yaitu pitiriasis versikolor dan pityrosporum folikulitis. Malassezia juga berperan pada beberapa penyakit lainnya, seperti dermatitis seboroik, dermatitis atopik, dan psoriasis. Fitz Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal ada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

1

Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

Liana Verawaty, IGAA Dwi Karmila

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar

BAB I

PENDAHULUAN

Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat

infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas

berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna baik hipopigmentasi,

hiperpigmentasi ataupun eritematosa, tertutup skuama halus, terutama pada bagian

atas dan ekstremitas proksimal.1,2

Prevalensi PV di daerah tropis mencapai 60%,

sedangkan di daerah subtropis atau daerah dengan empat musim, prevalensi

cenderung lebih rendah. PV lebih banyak dijumpai pada usia dewasa muda baik laki-

laki ataupun perempuan. 3 Lingkungan yang hangat dan lembab diperkirakan menjadi

salah satu faktor pencetus. Pitiriasis versikolor adalah dermatomikosis terbanyak

kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. 4

Genus Malassezia spp., yang sebelumnya dikenal sebagai Pityrosporum,

termasuk didalamnya adalah 14 spesies yeast basidiomycetous lipofilik. Setiap

spesies ini dibedakan berdasarkan kebutuhan nutrisi, morfologi, dan biologi. Semua

Malassezia spp. membutuhkan lipid karena tidak mampu mensintesis asam lemak

jenuh kecuali M. pachydermatis. 1,2

Infeksi kutaneus oleh Malassezia spp. ini

menyebabkan 2 tipe infeksi yaitu pitiriasis versikolor dan pityrosporum folikulitis.

Malassezia juga berperan pada beberapa penyakit lainnya, seperti dermatitis seboroik,

dermatitis atopik, dan psoriasis. Fitz Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik,

dimorfik yang hidup komensal ada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher

Page 2: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

2

yang cenderung banyak mengandung lemak permukaan. 3 Sebuah studi di Indonesia

melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan

M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa. 4

Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan

kulit. 2 Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam azeleat, suatu

asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase

dalam alur produksi melanin. 6,7

Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah

senyawa indol yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi

yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. 7

Penemuan dominasi M. furfur

pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol

yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi

jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten

terhadap sinar matahari.3,4

Tujuan terapi pada PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai

jumlah komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh. 5

Terapi

topikal merupakan terapi pilihan utama untuk pitiriasis versikolor. Terapi sistemik,

dapat dipilih apabila penyakit melibatkan area kulit yang luas, rekurensi, dan gagal

terapi topikal. 2,8

Studi menunjukkan, terapi dalam jangka waktu yang lama,

konsentrasi yang lebih tinggi pada terapi topikal dan dosis yang lebih tinggi pada

terapi oral, terbukti meningkatkan angka kesembuhan. 2,5,8

Lesi hipopigmentasi dan

hiperpigmentasi dapat bertahan dalam waktu lama sampai hitungan bulan, meskipun

penyakit telah sembuh, yang menyebabkan pasien merasa penyakit belum sembuh.8

Repigmentasi memerlukan waktu lama dan dari segi kosmetik sering dirasakan

mengganggu oleh pasien. 9 Tujuan tinjauan pustaka ini adalah menambah pemahaman

mengenai mekanisme hipopigmentasi yang terjadi pada PV, penatalaksanaan untuk

PV dan repigmentasinya.

Page 3: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pitiriasis Versikolor

2.1.1. Defiinisi

Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat infeksi kulit

kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi klinis khas berupa

bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang tertutup skuama halus,

terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.1,2

Perubahan warna dapat

berupa hipo-, hiperpigmentasi, dan eritematosa. Sinonim PV antara lain tinea

versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver spots, chromophytosis,

tinea alba, achromia parasitica, malasseziasis, panu. 3

2.1.2. Epidemiologi

Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab dan hanya

1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis terbanyak kedua di

antara dermatofitosis lain di Indonesia. 2,3

Lingkungan yang hangat dan lembab

diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia terletak pada garis ekuator

dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan kelembaban 70%. PV lebih

banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda baik laki-laki maupun

perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia 21-25 tahun, sedangkan pada

perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30 tahun. Di daerah tropis, laki-laki

Page 4: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

4

cenderung lebih banyak menderita PV dibandingkan dengan perempuan, yang

dikaitkan dengan jenis pekerjaan. 3

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis

PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik yang dahulu

disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale, tetapi saat ini telah

diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya dianggap hanya satu spesies,

yakni M. furfur, namun analisis genetik menunjukkan berbagai spesies yang berbeda

dan dengan teknik molekular saat ini telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M.

sympoidalis, M. globosa, M. obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M.

japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M. nana, M. equine, M cuniculi, dan M.

pachydermatis.1,5

Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal

pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak

mengandung lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang berhubungan

dengan PV adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa dengan perbedaan

urutan spesies predominan, yang tampaknya dipengaruhi lokasi geografis dan metode

isolasi. 3

Studi di Indonesia melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari

PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M.

sympoidalis, dan M. globosa dan tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin,

maupun lokasi anatomi lesi untuk spesies tertentu. 4

PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang menjadi

bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor yang

mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2 yang meningkat

pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis, penggunaan

kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.1,2

Kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral juga dianggap memudahkan terjadinya

PV. Faktor genetik yang poligenik mungkin berpengaruh terhadap kerentanan

terhadap PV, dan hal tersebut cenderung mempengaruhi awitan yang lebih muda pada

Page 5: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

5

pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi yang tinggi pada pengobatan, serta durasi

penyakit yang lebih lama. 3 Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada

kerentanan terhadap PV. Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang

normal di kulit, diduga ada kemungkinan transmisi dari individu lain. 1

Belum ada

penjelasan mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis

bahwa lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga

muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi.6

Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi tidak

dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa proses

imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi histiosit dan

peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga akan

meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan terjadinya

elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada respon imun yang

diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang akan mengakibatkan

apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar. Malassezia juga

mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel mononuklear. Pada populasi

Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu, sementara

jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan menekan

melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter

tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi

hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum

korneum. 10

2.1.3.1 Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor

Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan

kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam azeleat, suatu asam

dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam

alur produksi melanin. Ukuran melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit

termelanisasi diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini

terjadi pada orang dengan kulit lebih gelap. 11

Hipopigmentasi akan menetap

Page 6: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

6

beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi lebih jelas pada musim panas dikarenakan

kulit normal sekitar menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari. Selain itu

Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit tryptophan-

dependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang

merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. Senyawa indol tersebut ada yang

mempengaruhi melanogenesis dan ada yang mampu menyebabkan downregulation

proses inflamasi, antara lain. 2,3,5

Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya.

Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya

pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin

memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet,

sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.4

Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm

memberikan warna kuning-kehijauan.

Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat

aktivitas 5-lipoksigenase.

Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan

apoptosis dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.

Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik

dan kemampuannya mempresentasikan antigen.

Mayser et al., menyatakan bahwa M. furfur menunjukkan sejumlah besar

produksi pigmen indol dan fluorochromes saat ditumbuhkan dengan tryptophan (Trp)

sebagai sumber nitrogen, yang dapat menjelaskan berbagai gejala klinis dari PV.9

Pada tanaman patogen Ustilayo maydis, yang mewakili filogenetik dari Malassezia

spp. akhir-akhir ini menunjukkan jalur biosintetik dari produksi pigmen Trp adalah

berdasarkan aktivitas suatu enzim yaitu transaminase 1 (TAM 1).7,12

Trp

aminotransferase mengubah Trp menjadi indolepyruvate (IP). Lebih jauh lagi

ditemukan bahwa pigmen indol dapat berkembang secara spontan dari IP dan Trp

Page 7: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

7

tanpa melalui kerja enzim tambahan. Sintesis dari produksi pigmen dari Trp

dikatalisa dari biosintetik tunggal yaitu aktivitas TAM 1. 12

Hal ini menunjukkan

bawa penggunaan spontan dari metabolit produk mampu mengkonstitusi salah satu

jalur penting dalam patofisiologi PV.8

Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta

penebalan stratum korneum.13

Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis

serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya

hiperpigmentasi.1,14

Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat

memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi

hal ini belum terbukti. 14

2.1.3.2 Proses Repigmentasi

Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang memiliki

efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase.15

Pada

pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit, bervariasi

mulai melanosom hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu asam

dikarboksilat yang diproduksi M. furfur adalah asam azeleat yang mungkin

menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari melanosit ini mungkin dapat

menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang lama dari bulan

hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV menghambat

repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi untuk periode

waktu tertentu. 16

Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis

perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan dengan

menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-

liberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan kesembuhan

dengan repigmentasi cepat. 7,17

Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di kulit.

Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan

berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial.17

Melanosit dan

Page 8: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

8

keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi

nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan

aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses

repigmentasi pada PV. 2

2.1.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih, merah atau

kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat berkeringat.

Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini karena warna

skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat. 3 Pigmentasi lesi

yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen normal pasien, paparan sinar

matahari, dan derajat keparahan penyakit. 18

Pada orang kulit putih, lesi berwarna

lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi tidak menjadi tan pada pajanan

matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap, lesi cenderung lebih putih atau

hipopigmentasi. 1 Pada lesi awal biasanya akan muncul area hipopigmentasi

sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua hal ini

dapat muncul pada satu pasien. 18

Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas,

tertutup skuama halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya

skuama pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi

akan tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek,

scalpel, atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier). 2,18

Pada penyakit yang telah

lanjut lesi akan menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi

bervariasi dan dapat ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.1,2,18

Page 9: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

9

Gambar 1. Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi hiperpigmentasi karena

hiperemia akibat respon inflamasi dan peningkatan melanin. B. Lesi hipopigmentasi, batas

jelas dengan skuama tipis. 2

Gambar 2. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi.

A. Bentuk makuler B. Bentuk papuler. C. Bentuk perifolikuler.2

Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian meluas ke

bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan meluas ke

daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif jarang, lesi juga

dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut sebagai tipe inversa;

selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia.1,2,18

Variasi klinis yang

jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk atrofikans, periareolar

atau imbrikata. 10,19,20

Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien

seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais lain,

Page 10: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

10

misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis Malassezia. 3,21

Pada

kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran

seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian besar kasus pengobatan

akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang menetap. 22

2.1.5 Diagnosis Banding

Bentuk gambaran klinis dari PV bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga

coklat. Pada lesi awal biasanya akan muncul lesi hipopigmentasi, namun seiring

dengan waktu lesi tersebut lama kelamaan dapat menjadi hiperpigmentasi. 23

Oleh

karena itu, diagnosa banding untuk PV dibedakan pula menurut warna lesi yang

muncul yaitu hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. 22,23

Diagnosis banding PV dengan lesi hiperpigmentasi antara lain yaitu pitiriasis

rosea, eritrasma, dermatitis seboroik, dan tinea korporis. Diagnosa banding PV

dengan lesi hipopigmentasi antara lain yaitu pitiriasis alba, vitiligo, morbus hansen

tipe tuberkuloid, hipopigmentasi paska inflamasi, pinta, chemical leucoderma, dan

progressive macular hypomelanosis. Berikut adalah diagnosis banding pitiriasis

versikolor dengan lesi hipopigmentasi :

1. Pitiriasis alba

Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3–16 tahun (30-40%). Lesi

berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau

sesuai warna kulit dengan skuama kulit diatasnya. Setelah eritema

menghilang, lesi yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus.

Bercak biasanya multipel 4 – 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka

(50 – 60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi, dan dahi. Lesi dapat

dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik tetapi dapat

juga terasa gatal dan panas. Pemeriksaan menggunakan lampu Wood,

kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak

tegas dan lesi yang tidak amelanotik. 2

2. Vitiligo

Page 11: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

11

Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali

familial ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas,

dan asimtomatis. Makula hipomelanosis yang khas berupa bercak putih

seperti putih kapur, bergaris tengah beberapa millimeter sampai beberapa

sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan kulit

pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vitiligo

mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang

terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa

(aksila, lipat paha), daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rektum),

bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku). 2,24

Pada pemeriksaan dengan lampu Wood makula amelanotik pada vitiligo

tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan makula

hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya. 24,25

3. Morbus Hansen (MH)

Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita MH mempunyai ciri-ciri

yang khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis, dan atrofi. Lesi dapat

soliter atau multipel, berbatas tegas dengan ukuran bervariasi, biasanya

terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi karena menurunnya

aktivitas melanosit.

Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit dapat normal atau

menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi serta

menurunnya jumlah melanosom. 2

4. Hipopigmentasi Paska Inflamasi (HPI)

Hipopigmentasi paska inflamasi merupakan hilangnya sebagian atau total dari

pigmentasi kulit, yang terjadi setelah inflamasi pada kulit. Distribusi dan

derajat keparahan kehilangan pigmen berkaitan dengan luas dan derajat

inflamasi. 26

Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi

sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang

terjadi sesudah menderita psoriasis. 25

Hipopigmentasi terjadi segera setelah

Page 12: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

12

resolusi penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu

hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar matahari. 2,25

Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer

melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis, hipopigmentasi

mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin

akibat meningkatnya epidermal turnover. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum

berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipopigmentasi akan menunjukkan

gambaran penyakit kulit primernya. 27

5. Pinta (carate, mal de pinta, azul)

Pinta yang berarti bercak warna dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh

Treponema carateum. Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah

inokulasi, berupa papule eritem, soliter atau multipel. Dalam beberapa minggu

berkembang menjadi plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan dapat

mencapai ukuran diameter 20 cm. Predileksi pada daerah yang terbuka

misalnya tangan, kaki, lengan, wajah dan leher. Lesi dapat bertahan hingga

tahunan atau sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi.

Lesi sekunder (pintids) timbul antara 1 hingga 12 bulan kadang

tahunan setelah munculnya lesi primer, berupa papul eritem yang berkembang

menjadi plak. Lesi sekunder mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi

primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak gatal. Beberapa lesi dapat

berbentuk anular atau sirsinata dengan batas yang meninggi dimana jumlah

treponema ditemukan tinggi. Sejalan dengan waktu, lesi berubah warna

menjadi coklat atau tembaga dan kadang biru, abu-abu atau hitam. Dalam 1

plak dapat dijumpai lebih dari satu warna.

Lesi tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah lesi sekunder.

Gambaran klinis utama berupa depigmentasi seperti vitiligo disertai warna

coklat, biru, merah dan ungu. Lesi mempunyai batas ireguler dan berukuran

bervariasi. Makula timbul simetris pada penonjolan tulang, seperti

Page 13: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

13

pergelangan tangan, jari tangan, tumit, dan disekitar lesi lama. Pada

pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hiperkeratosis,

degenerasi sel basal. Trepanoma dapat ditemukan di epidermis pada stadium

primer, sekunder, dan tersier tapi tidak ditemukan treponema pada makula

depigmentasi. Lesi primer atau sekunder dapat hilang setelah terapi diberikan

namun lesi stadium lanjut akan menetap seumur hidup.2,29

6. Chemical leucoderma

Chemical leucoderma adalah hipomelanosis yang didapat akibat paparan

berulang bahan kimia terutama derivat fenol dan sulfhydryl. Telah dilaporkan

terjadinya leukoderma ada pekerja yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon

(MBEH) yang digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan

pada disinfektan dan germisida tetapi juga pada tape adesif, kontrasepsi

diafragma, baju karet, kondom karet, boneka karet, sarung tangan karet dan

lain-lain.

Leukoderma yang diakibatkan oleh MBEH dapat menyerupai

vitiligo. Makula hipopigmentasi bewarna putih susu tidak hanya terjadi di

tempat aplikasi tetapi juga dapat terjadi lesi satelit berupa makula

hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang biasanya permanen.

Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului erupsi iritan atau

dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal leukoderma bersifat

reversibel jika paparan dihentikan. Hipomelanosis oleh karena hidrokuinon

biasanya tidak berbatas tegas, tidak terjadi depigmentasi penuh dan tidak ada

lesi satelit. Kelainan ini bersifat reversibel.

Pada pemeriksaan histologi leukoderma karena bahan kimia tidak

mempunyai gambaran diagnostik yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo.

Pada makula tidak ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada

epidermis dan dermis.

Terdapat banyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma

akibat bahan kimia. Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif tirosinase,

hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan pada sintesis melanosom,

Page 14: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

14

gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit atau berkurangnya

sintesis melanin di melanosom. Sulfhidril merupakan bahan sitotoksik yang

mengganggu pembentukan melanin dengan cara menghambat tirosinase atau

lebih mengutamakan pembentukan phaeomelanin dan metabolitnya dibanding

melanogenesis.

Tes definitif ataupun histologi untuk membedakan vitiligo dengan

chemical leucoderma belum ada. Chemical leucoderma bersifat irreversibel

jika bahan kimia tersebut tidak segera dieliminasi dengan segera. Leukoderma

yang disebabkan oleh hidrokuinon biasanya pulih secara spontan, terutama

jika ditambah dengan sinar ultraviolet. 2

7. Progressive Macular Hipomelanosis

Progressive macular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang sering

dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi yang

menyebar cepat pada badan. Terjadi terutama pada wanita usia 18-25 tahun.

Sering disangka sebagai PV dan pitiriasis alba. Lesi berbentuk makula

hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, tidak berskuama, bentuk numular

dan dapat berkonfluen. Predileksi di badan dan punggung.

Patogenesis PMH belum diketahui. Menurut Guilet dkk., kelainan ini

terjadi karena campuran gen kulit hitam dan putih yang berasal dari orang tua

penderita. Dugaan ini timbul karena kelainan ini banyak dijumpai pada ras

campuran. Wiete dkk., mengatakan kelainan ini diakibatkan oleh

Propionibacterium acnes. Makula hipopigmentasi timbul karena P. acnes,

diduga menghasilkan zat yang menghambat melanogenesis seperti

mekanisme hipopigmentasi pada PV. Hal ini berdasarkan pengamatannya

bahwa lesi makula hipopigmentasi pada PMH memberikan fluorosensi

berwarna merah dan bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu

Wood. Gambaran mikroskopis pada lesi menunjukkan melanin sedikit

Page 15: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

15

berkurang. Penemuan ini menunjukkan bahwa kelainan ini mungkin

merupakan hasil dari perubahan ukuran dan distribusi melanosom. 2,29

Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apapun

tapi dapat menyembuh secara spontan dalam waktu 3 bulan hingga 4 tahun.

Wiete dkk. melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil peroxide dan

antibiotik topikal yang berfungsi untuk menekan P. Acnes dan merangsang

melanogenesis dengan hasil yang bagus. 29

2.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH terhadap sediaan skuama yang berasal

dari kerokan atau menggunakan selotip akan menunjukkan hifa atau miselia jamur

yang seperti putung rokok pendek, berbentuk seperti huruf i,j, dan v, serta spora bulat

atau oval dalam jumlah banyak dan cenderung bergerombol, sehingga memberi

gambaran khas sebagai spaghetti and meat ball atau banana and grapes. 1,2

Temuan

miselium memastikan diagnosis, dan lebih dominan daripada spora.1

Pengecatan

dengan larutan KOH 10-20% dan tinta Parker biru-hitam memberi warna biru pada

jamur yang mempermudah pemeriksaan. 16

Gambar 3. Gambaran spaghetti and meatballs Malassezia pada preparat KOH 2

Pemeriksaan dengan lampu Wood juga dapat digunakan untuk konfirmasi

diagnosis terutama untuk bercak PV subklinis, warna kuning kehijauan akan

Page 16: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

16

berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal ini mungkin dapat disebabkan infeksi oleh

spesies non-fluoresens karena hanya M. furfur yang menghasilkan fluorochromes. 15

Infeksi M. furfur akan menunjukkan adanya pendaran berwarna kuning kehijauan

pada lesi yang bersisik karena adanya pityrialactone. Pityrialactone adalah salah satu

metabolit indol menyerap cahaya dan berpendar di bawah lampu UV 365 nm.1,2

Pemeriksaan dengan lampu Wood kadangkala dapat menunjukkan lesi yang lebih

luas atau banyak dibandingkan dengan pengamatan biasa. Perlu diketahui bahwa

tidak semua lesi PV menunjukkan fluoresensi dengan lampu Wood. 2 ,3

Hasil biakan Malassezia dalam media agar Sabourraud dengan tambahan

streptomycin, penicillin, dan Actidione ditutup dengan minyak zaitun di atasnya tidak

bernilai diagnostik oleh karena Malassezia merupakan flora normal kulit.1,2

Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah spesies terbanyak pada kultur

dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni et al. di Tunisia

yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak 65% pada kultur

dengan medium Dixon dengan teknik molekuler. 15

Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan spora

yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan Periodic Acid

Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa

dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada melanosit dan infiltrat sel radang

minimal. 15

Organisme terkadang tampak di sekitar folikel rambut dan di sekitar

muara folikel.

2.2 Penatalaksanaan PV dan Terapi Repigmentasi

2.2.1 Terapi Topikal dan Sistemik

Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea versikolor antara

lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid, siklopiroksolamin,

begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur alilamin. Protokol yang

digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu penggunaan losion selenium

sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area yang terkena selama 7-10 menit

Page 17: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

17

kemudian dibersihkan. Penggunaan harian dipertimbangkan pada kasus yang

luas, aplikasi 3-4 kali per minggu umumnya cukup adekuat dan frekuensinya

dapat diturunkan hingga sekali atau dua kali dalam sebulan dan digunakan

sebagai regimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Sebagai

alternatif, dapat digunakan ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena,

didiamkan selama 5 menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama

tiga hari berturut-turut. Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali

sehari pada area yang terkena selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan

lebih dari 80%. Walaupun terapi topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir,

atau ringan terapi sistemik mungkin diperlukan untuk pasien dengan penyakit

yang luas, sering berulang, atau jika tidak berhasil dengan agen topikal. 1,2

Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral

pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg

per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama

3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis

tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil

yang sebanding. Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan

efektivitas lebih dari 75% dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang

sama dengan itrakonazole selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif

diberikan dosis tunggal 400 mg. Terbinafin oral merupakan suatu alilamin,

tidak direkomendasikan untuk pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena

obat ini tidak dihantarkan secara efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas

obat serta interaksi melalui pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450

harus diperhatikan pada penggunaan azole oral untuk pengobatan tinea

versikolor. Pengobatan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV

adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi. 30

Rekurensi yang relatif sering dan bercak hipopigmentasi yang

bertahan lama merupakan masalah paling sering dihadapi pada pengobatan

PV. Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan sistemik, dapat

Page 18: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

18

digunakan, meskipun belum ada pustaka yang melaporkan tentang

keuntungan terapi kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat digunakan,

mengingat angka rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya faktor risiko yang

sulit dihindari. 3

Sebagai contoh kombinasi topikal sampo selenium sulfida

1,8% sekali seminggu, 1 jam sebelum mandi pagi dan ketokonazol

400mg/minggu pada hari yang sama selama 3 bulan. Cara tersebut dapat

dipilih terutama untuk kasus dengan lesi yang luas. 2,3

Tabel 1. Daftar obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia 2,3

Nama Sediaan/dosis Cara penggunaan Keterangan

Obat topikal

Berbagai derivat

azol, missal

mikonazol

Krim 1-2% 1-2x/hari Untuk lesi

terbatas

Terbinafin Krim 1-2x/hari Untuk lesi

terbatas. Tidak

dianjurkan FDA

untuk PV

Ketokonazole Sampo 2% 1x 5 menit/hari

sebelum mandi

Selenium sulfide Sampo 1,8% a. Minimum

1x10

menit/hari

sebelum mandi

b. Setiap dua hari

sekali tiap

malam

sebelum tidur

Mewarnai

pakaian, tidak

untuk wajah dan

genitalia

Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 2x/hari setiap hari Bau menyengat

sulit hilang,

sebaiknya tidak

untuk wajah

Propylene glycol Solusio 50% 2X/hari

Zinc pyrithioe Sampo Dioleskan 5

menit/hari selama

Page 19: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

19

2 minggu

Obat sistemik

Ketoconazol Tablet 200mg a. 1 tablet/hari

selama 7-10

hari

b. Dosis tunggal

2 tablet atau

diulang hingga

4 dosis dalam 2

minggu

Perhatian pada

efek samping dan

interaksi obat

Itrakonasol Kapsul 100 mg a. 800-1000mg

terbagi dalam 5

hari

b. 200-400

mg/hari selama

3-7 hari

c. 400 mg dosis

tunggal

Untuk kasus

rekalsitran.

Perhatian pada

efek samping dan

interaksi obat

Flukonasol Tablet 50 mg

dan 150 mg

400 mg dosis

tunggal atau di

ulang setelah 2

minggu

Tidak dianjurkan

FDA untuk PV

Terapi topikal yang mengandung asam salisilat 3-6%, asam undesilenat,

tolnaftat, masih dapat digunakan untuk PV lesi terbatas, meskipun efektivitasnya

lebih rendah dibandingkan dengan obat antijamur baru. Secara in vitro, Malassezia

spp. sensitif terhadap terbinafin, akan tetapi pemberian terbinafin oral tidak efektif

untuk pengobatan PV. 29

Sediaan terbinafin topikal bentuk gel 1% dan solusio 1%

sekali sehari dilaporkan berhasil baik pada PV dan telah disetujui FDA (Food and

Drug Association), meskipun bentuk krim tidak dianjurkan.2,3

Studi di Indonesia

menggunakan solusio 1% memberikan hasil yang kurang memuaskan. 31

Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal atau

komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia.1,5

Angka kekambuhan

antara 60-80% dalam 2 tahun pertama.30

Terapi preventif yang dapat digunakan

antara lain berupa obat topikal 1 - 2kali per bulan; ketokonazol 400mg sekali sebulan

Page 20: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

20

atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal bulan; atau itrakonazol 2 kali

200mg/ hari setiap bulan.1,5

Meskipun demikian, sebaiknya diobati ulang saat PV

kambuh daripada pemberian terapi supresif atau preventif dalam jangka lama. 1

2.2.2 Terapi Baru

Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan. 1,5

Semakin

berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang dikembangkan

berbagai terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating cream selama 10

hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan kesembuhan

dengan repigmentasi cepat. 10

Terapi fotodinamik dengan 5-aminolevulenic acid juga

digunakan untuk terapi area terbatas.33

Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang

sama dengan ketoconazole 2% krim pada PV. 33

1. Nitric oxide (NO) dikenal sebagai molekul reaktif yang terlibat dalam berbagai

fungsi sel tubuh, yaitu meningkatkan aliran darah, relaksasi otot, modulasi respon

imun, dan peningkatan fungsi ginjal. Pada beberapa kasus, tubuh menggunakan

NO sebagai perlindungan terhadap patogen dan invasi mikroba umumnya. Nitric

oxide adalah salah satu efektor sitotoksik yang penting dalam pertahanan respon

imun terhadap mikroorganisme intraseluler dan patogen, seperti jamur, yang

terlalu besar untuk difagositosis. Nitric oxide diproduksi oleh beberapa enzim

yang dikenal sebagai nitric oxide synthases. Nitric oxide diproduksi di permukaan

kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. 17

Melanosit dan keratinosit memproduksi NO sebagai respon sitokin inflamasi dan

produksi NO pada keratinosit dipacu oleh radiasi UV. Nitric oxide meningkatkan

aktivitas tirosinase dan melanogenesis. 2 Pemberian NO 3% topikal sebanyak 2

kali sehari menunjukkan perbaikan yang signifikan. 17

Sebuah laporan kasus di

Jerman melaporkan aplikasi cycloserine 0,2mol/ L dua kali sehari selama 5 hari

menghasilkan repigmentasi cepat dari lesi hiperpigmentasi PV.

2. Cycloserine, sebuah inhibitor TAM (transaminase) mampu menghambat produksi

pigmen dari M. furfur in vitro pada dosis tertentu. Cycloserine telah dikenal

Page 21: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

21

sebagai antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai lini kedua terapi

untuk infeksi Mycobacterium tuberculosis. Cycloserine bekerja dengan

menghambat enzim yaitu alanine racemase dan D-alanin ligase yang

menyebabkan deplesi D-alanin. Laporan kasus ini adalah yang pertama

menunjukkan hasil yang impresif dari aplikasi TAM inhibitor topikal untuk PV.

Hasil ini mampu menunjukkan pentingnya jalur metabolik Trp pada patogenesis

PV dan membantu mengembangkan pendekatan terapi baru serta pencegahannya.

Pembentukan metabolit dari Trp harus dihentikan pada stadium awal karena

apabila efek farmakologi telah terbentuk dan berkembang maka intervensi terapi

akan sulit. 11

3. Terapi Fotodinamik

Investigasi eksperimental in vitro telah menunjukkan bahwa beberapa strain

jamur dapat menjadi tidak aktif dengan radiasi gelombang cahaya tampak dengan

adanya photosensitizer. 34

Terapi fotodinamik telah banyak digunakan di seluruh

dunia dan terbukti efektif untuk tumor kulit begitu pula untuk penyakit inflamasi

maupun infeksi kulit lain. 37

Pada infeksi dermatofit, secara in vitro terapi

fotodinamik menunjukkan degradasi hifa dan inaktivasi dari spora. Jumlah cahaya

yang sesuai harus menembus sampai stratum korneum dan folikel rambut,

biasanya berada pada spektrum regio cahaya merah.37

Kim melaporkan

penggunaan 5-aminolevulinic acid (ALA) dikombinasi dengan terapi fotodinamik

untuk lesi hiperpigmentasi PV menunjukkan hasil yang memuaskan. ALA 20%

topikal dalam petrolatum diaplikasikan pada lesi dan ditutup dengan bahan

oklusif polyurethane film. Setelah 4 jam, ALA yang berlebih dibersihkan dan lesi

disinari dengan cahaya dari diode pemancar cahaya (gelombang cahaya

630±50nm). Intensitas cahaya yang digunakan adalah 100 J/cm2 dan dosis cahaya

yang diberikan adalah 70-80J/cm2. Prosedur diulangi 2 minggu kemudian dengan

peningkatan dosis cahaya kelipatan 10 J/ cm2. Lesi membaik dalam 4minggu dan

pasien diobservasi sampai dengan 3bulan tanpa reinfeksi. 34

4. Adapalene

Page 22: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

22

Adapalene gel, derivat tretinoin adalah salah satu agen non spesifik untuk

pengobatan PV memberikan efikasi yang sama dibandingkan dengan

ketokonazole 2% krim 2 kali sehari selama 2 minggu. Adapalene, analog asam

retinoat selektif memiliki kerja yang cepat dan profil tolerabilitas yang aman

dibandingkan dengan retinoat lain. Pada pasien yang menggunakan kortikosteroid

terdapat penurunan epidermal turnover sehingga PV kerap muncul. Adapalene

diduga mampu melepaskan keratinosit abnormal dan menormalkan kembali

disfungsi keratinisasi dari keratinosit serta disfungsi epidermal turnover pada lesi

PV. Kelebihan lainnya, adapalene mampu menurunkan sekresi sebum dari

kelenjar sebasea, sehingga adapalene gel topikal mampu menciptakan lingkungan

yang kurang nyaman untuk Malassezia spp. sehingga menurunkan propagasi

Malassezia spp. dan jumlah spora serta hifa dengan cara eliminasi bersamaan

dengan lepasnya keratinosit abnormal pada lapisan keratin. Hal ini menyebabkan

PV lebih mudah diobati. 33

Pada salah satu mekanisme lesi hiperpigmentasi

dinyatakan bahwa faktor inflamasi turut berperan. Adapalene memiliki aktivitas

anti inflamasi. Berdasarkan kemampuan imunomodulasi, banyak penelitian yang

menemukan bahwa adapalene gel topikal mengurangi reaksi inflamasi. Efek

imunomodulasi dari adapalene gel topikal akan menurunkan reaksi inflamasi pada

lesi PV sehingga akan memperbaiki gejala klinis. Dengan demikian walaupun

adapalene bukan golongan anti jamur, akan tetapi mampu menghilangkan jamur

dengan mengganggu lingkungan yang dibutuhkan oleh Malassezia spp. untuk

hidup. Mekanisme terapi tersebut akan mengurangi kemungkinan resistensi obat

terhadap jamur.

Page 23: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

23

BAB III

RINGKASAN

Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat

infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi klinis khas

berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna, baik hipopigmentasi,

hiperpigmentasi ataupun eritematosa, yang tertutup skuama halus, terutama pada

bagian atas dan ekstremitas proksimal. Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari

dan mengganggu proses penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga

karena peran asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp.

bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Selain itu Malassezia

spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol yang diduga mengakibatkan

hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis pitiriasis

versikolor pada umumnya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat

dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M.

furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan

ultraviolet sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.

Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan sehingga

penting dinformasikan ke pasien agar tidak menganggap penyakitnya belum sembuh.

Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang

dikembangkan terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating cream

Page 24: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

24

selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan

angka kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik dengan 5-

aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas. Adapalane gel juga

menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2% krim pada pitiriasis

versikolor.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th

ed. Oxford: Wiley-

Blackwell; 2010. p. 36.10 – 36.12.

2. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)

versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. 8th

ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p.

2298-311.

3. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,

Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.

Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;

2013. h. 24-34.

4. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,

Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.

Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;

2013. h. 24-34.

5. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegrakid A. The

Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev 2012; 25:

106-41.

6. Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In:

Brakhage AA, Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2nd

ed. Berlin: Springer;

2008. p. 115-54.

7. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis

versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:

541-3.

8. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions.

Arch Dermatol 2010; 146:1132.

Page 25: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

25

9. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis

versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:

541-3.

10. Crowson AN, Magro CM.Atropyhing tinea versicolor : A clinical and

histological study of 12 patients. Int J Dermatol 2003; 42: 928-32.

11. Akaberi AA, Amini SS, Hajihosseini H. An Unusual Form of Tinea

Versicolor: A Case Report. Iran J of Dermatol 2009; 12(3): 30-1.

12. Zuther K, Mayser P, Hettwer U, Wu W, Spiteller P, Kindler BL, et al. The

tryptophan aminotransferase Tam1 catalyses the single biosynthetic step for

tryptophan-dependent pigment synthesis in Ustilago maydis. Mol

Microbiology 2008; 68:152-72.

13. Ashbee HR and Evans EGV. Immunology of diseases associated with species

Malassssezia. Clin Microbiol Rev 2002; 15:21-57.

14. Gaitanis G, Chasapi V, Velegraki A. Novel application of the Masson-

Fontana stain for demonstrating Malassezia species melanin like pigment

production in vitro and in clinical specimens. J Clin Microbiol 2005; 43:4147-

51.

15. Erchiga VC and Hay RJ. Pityriasis Versicolor and Other Malassezia Skin

Diseases. In: Boekhout T, Gueho-Kellerman E, Mayser P, Velegraki A.

editors. Malassezia and the Skin. 9

th ed. Berlin: Springer; 2010, p.175-99.

16. Oliveira JR, Mazocco VT, Steiner D. Pityriasis Versicolor. An bras Dermatol

2012; 77(5): 611-8.

17. Jowkar F, Jamshidzadeh A, Pakninyat S, Namazi MR. Efficacy of nitric

oxide-liberating cream on pityriasis versicolor. J Derm Treat 2010; 21:93-6.

18. El-Gothamy ZMG. A review of pityriasis versicolor. J Egypt Wom Dermatol

Soc 2004; 1:38-43.

19. Smith BL, Koestenblatt EK, Weinberg JM. Areolar and periareolar Pityriasis

Versicolor. JEADV 2004;18:736-48.

20. Zawar V, Chuh A. Pityriasis Versicolor imbricate – overlapping parallel scale

in a novel variant of pityriasis versicolor. JEADV 2008; 22: 1143-4.

21. Venkatesen P, Prefect JR, Myers SA. Evaluation and management of fungal

infection in immunocompromissed patients. Dermatol Ther 2009; 12: 87-107.

22. Hussein MM, Naby HE, Salem AASM, Abdo HM, Hassan HM. Comparative

study for the reliability of cellophane tape and standard KOH mount in

diagnosis of pityriasis versicolor. The Gulf J of Dermatol and Venereol 2010;

17(2): 29-34.

23. Aljabre SHM, Alzayir AAA, Abdulghani M, Osman OO. Pigmentary changes

of tinea versicolor in dark skinned patients. Int J Dermatology 2001; 40: 273-

5.

24. Callen JP. Vitiligo. In: Frankel DH, editor. Field Guide to Clinical

Dermatology, 2nd

ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.

158-9.

Page 26: Penatalaksanaan Pitiriasis Versikolor

26

25. Ortonne, Jean-Paul., Passeron, Thierry. Vitiligo and Other Disorders of

Hypopigmentation. In : Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., Schaffer, J.V., editors.

Dermatology. 3rd

ed. New York: Elseviers; 2012: p. 1049-74.

26. Vachiramon, V., Thadanipon, K. Postinflammatory Hypopigmentation.

Clinical and Experimental Dermatology. Thailand. 2011: 708-14.

27. Halder, Rebat, M ., Nandedkar, Maithily.A., Neal, Kenneth, W. Pigmentary

Disorders in Pigmented Skins. In: Halder, Rebat, M. Dermatology and

Dermatological Therapy of Pigmented Skins. 2006: p. 114-43.

28. Kahn IW, Schmidt B, Aberer W, Abere E. Pinta in Austria (or Cuba?) Import

of an extinct disease?. Citated on 21 April 2014. Available at:

www.archdermatol.com.

29. Westerhof W, Relyved GN, Kingswijk MM. Propionibacterium acnes and the

pathogenesis of Progressive macular hypomelanosis. Citated on 21 April

2014. Available at: www.archdermatol.com.

30. Mellen LA., Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB. Treatment of pityriasis

versicolor in United States. J Dermatolog Treat 2004; 15: 89-92.

31. Budimulja U, Paul C. One-week terbinafine 1% solution in pityriasis

versicolor: twice-daily application is more effective than once-daily. J

Dermatolog Treat 2002; 13: 39-40.

32. Charles AJ. Superficial cutaneous fungal infections in tropical countries.

Dermatol Ther 2009; 22:550-9.

33. Shi TW, Ren XK, Yu HX, Tang YB. Roles of Adapalene in the Treatment of

Pityriasis Versicolor. Dermatology 2012; 224:184-8.

34. Kim YC. Successful Treatment of Pityriasis Versicolor With 5-

Aminolevulinic Acid Photodynamic Therapy. Arch Dermatol Sep 2007;

143(9):1218-20.