mati batang otak

31

Click here to load reader

Upload: rien2903

Post on 27-Jun-2015

489 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mati Batang Otak

Medical UPN "Veteran" Jakarta

Senin, 26 April 2010

TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK

PENDAHULUAN

Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saat detak

jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik ditemukan

untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati,

sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak

dan bukan fungsi jantung dan paru. Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan,

bahkan masyarakat umum secara luas telah menyetujui bahwa seseorang dapat

dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di Amerika Serikat, kematian

dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis

Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh cedera kepala

berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan

oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di Amerika,

penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid .

Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan

tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi

suplai darah atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi

korteks daripada batang otak .

Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959,

Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” atau koma

ireversibel, untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam

kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta

menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, komite ad hoc

di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan

koma ireversibel, atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas,

pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya

telah diidentifikasi. Pada tahun 1976, The Conference of Medical Royal Colleges di

Inggris menyatakan bahwa kematian otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang

komplet dan ireversibel. Pada tahun 1981, President’s Commission for the Study of

Page 2: Mati Batang Otak

Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research

mempublikasikan panduan berkaitan dengan kematian otak.

Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan

bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal

dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang

bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Batasan

mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest) ,

fungsi otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat

menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan

resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata “denyut jantung telah berhenti“ maka

ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ

telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan atau organ.

Diagnosis mati batang otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI

tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama

terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis

fungsi batang otak.

Definisi Mati

Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan) ditambah henti

sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel.

Pada masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulijan

semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang

optimal.

Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak

dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati

biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak

yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung,

ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.

Mati serebral (kematian kortek) adalh kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum,

terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral

ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan

batang otak.

Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika) merupakan kerusakan

berat ireversibel pada pasien yang tetap atidak sadar dan tidak responsif, tetapi

mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Ini harus

Page 3: Mati Batang Otak

dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan

tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napas spontan. Pada keadaan

vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur. ( Sunatrio. 1986, Safar P, 1984)

DEFINISI MATI BATANG OTAK

Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian

otak dalam kata-kata adalah sulit. Di kriteria Inggris, tidak ada definisi yang jelas.

Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang

dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut: “Istilah

kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak

secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang

ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat

secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”.

(Hing-yu, 1994).

Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh

beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen,

yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak

adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil

terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji

kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan,

menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan

respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG

yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa

adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat

seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff,

2009)

Menurut Uniform Determination of Death Act, yang diembangkan oleh National

Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s Commission for

the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research,

seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi

dan respirasi secara ireversibel, dan (2), terhentinya semua fungsi otak secara

keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel. (Mernoff, 2009)

Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan

usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai

Page 4: Mati Batang Otak

dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya

refleks-refleks.

Menurut panduan yang digunakan di Amerika, kematian otak didefinisikan sebagai

hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan

penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea

(New York State Department of Health, 2005).

PEMERIKSAAN KLINIS

Banyak anggota berbagai asosiasi ahli saraf dan ahli bedah saraf telah menyusun

kebijakan dan panduan praktek untuk menegakkan diagnosis kematian otak. Hanya

ada sedikit perbedaan yang ada, dan selalu ada penekanan yang konsisten pada

pengujian apnea dan penilaian fungsi otak sebagai metode plihan dalam menegakkan

diagnosis kematian otak. Tes konfirmasi yang rutin dengan elektroensefalografi tidak

lagi menjadi pilihan. Uji elektrofisiologis lain juga tidak cukup mendapat validasi dan

memiliki kesulitan baik dalam pelaksanaan maupun interpretasinya.

Kebijakan dan panduan praktek tersebut diterapkan secara merata pada dewasa dan

usia 2 bulan ke atas. Kematian otak pada bayi berusia kurang dari 2 bulan didiagnosis

dengan pendekatan yang berbeda pada kebanyakan kebijakan dan biasanya meliputi

uji apnea, uji fungsi otak berulang, elektroensefalografi, dan uji perfusi serebral

(Lazar et al, 2001).

Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian otak

dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pemeriksaan pasien

yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan dengan teliti. Deklarasi

tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga

identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi ireversibel, penyingkiran tanda

neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebingungan,

interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan dilakukannya tes laboratorium tambahan

yang dianggap perlu (Wijdicks, 2001. Walshe,2001).

Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yan

perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes

refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak

ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten dengan

kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan (New York State

Department of Health, 2005).

Page 5: Mati Batang Otak

Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami

kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi:

penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya

gangguan elektrolit, asam – basa, atau endokrin; tidak adanya hipotermia parah,

didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau sama dengan 32oC; dan tidak

adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler (Wijdicks,

2001).

Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang

mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom

dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan

diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi.

Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan

proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan pencitraan otak).

Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan oleh

kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang

dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut

dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera

kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun,

saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi

yang berat tanpa periode anoksia serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami

embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan memakan waktu

lebih lama.

Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis

kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien

tidak responsif, dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau

lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.

Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat

penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada

farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar

serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level serum dilakukan.

Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau benzodiazepine, maka obat

antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk

mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan

Page 6: Mati Batang Otak

obat pelemas otot (muscle relaxant).

Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan

harus di atas 35O C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus disingkirkan

juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi arteri (Hong Kong

Society of Critical Care Medicine, 1998. Walshe,2001).

Interpretasi dari pindaian computed tomography (CT) adalah penting untuk

menentukan penyebab kematian otak. Umumnya, pindaian CT menunjukkan massa

beserta herniasi otak, lesi hemisferik multipel dengan edema, atau edema saja.

Kompresi arteri dan vena mengakibatkan oedem sitotoksik dan tekanan intrakranial

dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh aqusduktus

atau ruang subarakhnoid. Perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi

otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris

(yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan

intraparenkimal dan memperparah oedem. Bagaimanapun, temuan pada pindaian CT

tidak menghilangkan kebutuhan untuk pemeriksaan yang teliti atas faktor-faktor lain

yang mungkin menyesatkan diagnosis. Sebaliknya, hasil pindaian CT dapat

menunjukkan hasil normal pada periode awal setelah henti jantung dan paru dan pada

pasien dengan meningitis atau ensefalitis fulminan. Pemeriksaan cairan serebrospinal

dapat menunjukkan adanya kondisi dimana terjadi infeksi pada sistem saraf pusat.

Kriteria klinis untuk kematian otak pada dewasa dan anak adalah sebagai berikut:

Koma

Tidak ada respon motorik

Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah dengan

dilatasi (4 – 6 mm)

Tidak ada refleks kornea

Tidak ada refleks tersedak

Tidak ada respon kalorik

Tidak ada batuk sebagai respon terhadap suction trakhea

Tidak ada refleks menghisap dan menutup mulut

Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg di atas nilai

dasar normal

Interval antara kedua evaluasi, sesuai usia pasien:

Lahir hingga 2 bulan, 48 jam

Page 7: Mati Batang Otak

>2 bulan hingga 1 tahun, 24 jam

>1 tahun hingga <18>2 bulan hingga 1 tahun, 1 tes konfirmasi

>1 tahun hingga <18 tahun, opsional

≥18 tahun, opsional

Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh meliputi dokmentasi koma, tidak adanya

refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran

jalur refleks pada mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian

otak, pasien kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla oblongata

adalah bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa jam dibutuhkan

untuk terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh, dan selama periode

tersebut, mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada kasus yang jarang dimana

terdapat fungsi medula oblongata yang tetap ada, ditemukan tekanan darah normal,

respon batuk setelah suction trakhea, dan takhikardia setelah pemberian 1 mg

atropine.

Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap stimulus

nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi temporomandibuler,

atau bantalan kuku pada jari. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan ada tidaknya

refleks batang otak. Bila tidak ada refleks batang otak, pemeriksaa harus menemukan

adanya pupil yang oval atau bulat pada posisi tengah dengan dilatasi (4 – 6 mm) tanpa

adanya respon terhadap cahaya terang. Saat kepala digelengkan dengan cepat,

seharusnya tidak ada gerakan okulosefalik yang muncul. Bagaimanapun, interpretasi

terhadap tes tersebut sulit, dan dapat memberi hasil yang membingungkan apabila ada

cedera spinal. Tidak adanya pergerakan mata saat dirangsang harus dikonfirmasi

dengan stimulasi kalorik dingin, dimana timpani diirigasi dengan air es setelah kepala

dimiringkan 30 derajat. Seharusnya tidak ada deviasi tonus ke arah stimulus dingin.

Adanya bekuan darah atau serumen di kanal telinga mungkin menghalangi respon

pada orang yang tidak mengalami kematian otak.

Pemeriksa harus menguji adanya refleks kornea dengan menyentuh ujung kornea

dengan ujung kapas pembersih untuk menghasilkan stimulus yang adekuat. Respon

batuk dapat diuji dengan suction bronkhial, karena menggerakkan pipa trakhea maju

mundur mungkin tidak menghasilkan rangsang yang cukup (Wijdicks, 2001).

Setelah tampak bahwa refleks batang otak tidak ada, apnea harus diuji. Oksigenasi

difusi apnea adalah prosedur yang dilakukan untuk mempertahankan oksigenasi saat

Page 8: Mati Batang Otak

pengujian. Batas stimulasi maksimal pusat pernapasan di medula oblongata (yang

dapat mengalami gangguan fungsi akibat cedera) telah diatur di Amerika Serikat pada

tekanan parsial karbon dioksida setinggi 60 mmHg atau lebih tinggi 20 mmHg

daripada nilai dasar normal. Pelepasan ventilator akan memungkinkan tekanan parsial

karbon dioksida untuk meningkat di atas 60 mmHg dan pH turun di bawah 7,28

dalam waktu 8 hingga 10 menit. Pada pasien yang menggunakan bantuan ventilator,

oksigenasi dipertahankan dengan memberikan preoksigenasi dan menggunakan

oksigen aliran rendah (biasanya 5 hingga 6 L. menit) yang dihantarkan melalui kateter

yang ditempatkan di trakhea setinggi karina.

Bila aspek-aspek pemeriksaan klinis tidak dapat dilakukan maka prosedur diagnosis

pendukung dapat dipertimbangkan. Absennya aliran darah intracranial, ditunjukkan

dengan pindaian radionuklida atau angiografi serebral 4-vasa, akan sangat mendukung

diagnosis kematian otak. Elektroensefalografi telah terbukti tidak dapat diandalkan

dalam menjadi uji pendukung untuk kematian otak dan tidak lagi disertakan dalam

panduan praktek. Potensial pacuan batang otak, Doppler intracranial, pencitraan lain

seperti MRI dan uji atropine kini masih dalam investigasi untuk menentukan

manfaatnya dalam mendukung diagnosis kematian otak (Lazar et al, 2001).

Walaupun banyak publikasi yang membahas tentang isu kematian otak, terdapat

kekurangan dalam literatur yang berbasis bukti untuk mendukung praktek di masa

sekarang sehubungan dengan penentuan kematian otak. Beberapa aspek yang masih

menjadi kontroversi adalah sebagai berikut:

• Keahlian dokter

Walaupun ada beberapa panduan dan ketentuan memberikan spesifikasi kualifikasi

dari dokter yang terlibat dalam penentuan kematian otak, banyak yang tidak

memberikan hal tersebut. tidak ada bukti di literatur untuk merekomendasikan adanya

spesialisasi. Dokter yang menangani perawatan kritis, spesialis ilmu saraf,

anestesiologis, dan ahli bedah trauma umumnya terlibat dalam penanganan pasien

yang mengalami cedera otak. Pelatihan yang tepat yang dilengkapi dengan keahlian

klinis mungkin lebih penting daripada spesialisasi dari dokter yang ada. Banyak

panduan yang secara eksplisit mengeksklusi dokter yang terlibat dalam transplantasi

organ dari pasien yang menjalani proses penentuan kematian otak, seperti

dimandatkan oleh hukum di semua propinsi Kanada.

• Kriteria klinis

Penilaian klinis untuk menentukan kematian otak sangat mirip di kebanyakan

Page 9: Mati Batang Otak

panduan. Sementara pemeriksaan menyeluruh kadang terhambat oleh kondisi dari

cedera yang dialami pasien, namun secara umum semuanya merekomendasikan tes

diagnosis ansiler untuk dilakukan. Semua panduan menuntut hilangnya respon yang

dimediasi saraf pusat terhadap nyeri. Sebagian pasien mungkin masih menunjukkan

beberapa aktivitas spinal refleks yang mungkin dapat menyesatkan pengamat umum

atau klinisi yang tidak berpengalaman. Aktivitas refleks spinal yang teramati dapat

berkisar dari kedutan yang pelan hingga “Tanda Lazarus” yang lebih kompleks. Tetap

adanya refleks-refleks ini tetap sejalan dengan kematian otak seperti dikonfirmasi

oleh uji elektroensefalografi atau absennya aliran darah otak.

Terdapat perbedaan tipis pada berbagai panduan berkaitan dengan penilaian respon

pupil terhadap cahaya dan derajat dilatasi, namun tidak ada dasar ilmiah untuk

perbedaan-perbedaan tersebut yang diidentifikasi dengan jelas. Kebanyakan panduan

tidak mencantumkan refleks okulosefalik atau doll’s eye. Walaupun demikian, Pallis

dan Harley merekomendasikan inklusi respon doll’s eye walaupun tidak dituntut oleh

hukum United Kingdom untuk penentuan kematian otak.

Penentuan apnea persisten dituntut oleh semua panduan walaupun akhir dari evaluasi

tersebut tidak konsisten. Pada negara-negara yang tidak terlalu maju secara teknis,

apnea yang ditentukan oleh pemutusan ventilator mungkin cukup. Bagaimanapun,

kebanyakan panduan pada negara-negara barat membutuhkan dokumentasi dari batas

apnea dengan analisis gas darah arteri, sementara di United Kingdom batas PaCO2

≥50 mmHg dibutuhkan. Kebanyakan panduan Amerika Utara merekomendasikan

batas apnea PaCO2 ≥60 mmHg. Beberapa panduan juga membutuhkan dokumentasi

pH asam <7,28. Basis bukti untuk batas tersebut tidak ada.

• Pemeriksaan klinis berikutnya dan interval waktu

Evaluasi klinis sekunder menjadi bagian dari panduan bahkan sejak kriteria Harvard

tentang kematian otak. Walaupun riwayat dari pemeriksaan sekunder in tidak terlalu

jelas, namun kemungkinan kegunaannya adalah untuk meminimalkan terjadinya

kesalahan teknis pada pemeriksaan.

Kebanyakan panduan klinis meminta dilakukannya dua pemeriksaan klinis dalam

batas interval waktu yang ditentukan tergantung dari etiologi cedera otak. Yang paling

sering, direkomendasikan adalah memberikan periode observasi selama 24 jam antar

pemeriksaan. Pada pasien dengan cedera otak hipoksik – iskemik. Bagaimanapun,

banyak panduan yang cenderung tidak spesifik dalam memberikan interval waktu

pada kondisi klinis yang lain. Waktu interval cenderung menurun dibandingkan

Page 10: Mati Batang Otak

dengan panduan paling awal yang dikeluarkan oleh komite ad hoc Harvard Medical

School. Beberapa panduan seperti yang dikembangkan oleh Australiand and New

Zealand Intensive Care Society (ANZICS) memandatkan harus ada dua dokter yang

menentukan kematian otak bila akan dilakukan transplantasi organ, sementara lainnya

tidak. Lebih seringnya, seorang dokter dapat melakukan kedua pemeriksaan klinis.

Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung posisi tersebut dalam literatur.

• Panduan yang sesuai usia

Hanya sedikit dasar ilmiah untuk pnduan yang spesifik sesuai usia. Walaupun

demikian, hampir semua panduan menyebutkan bahwa protokol harus disesuaikan

bila mengevaluasi neonatus dan bayi. Kebanyakan badan setuju bahwa kritria klinis

dewasa dapat diterapkan pada anak dengan usia di atas 52 minggu. Bagaimanapun,

pemeriksaan klinis sendiri umumnya tidak cukup untuk anak berusia di bawah satu

tahun. American Academy of Pediatrics Task Force on Brain Death in Children

merekomendasikan waktu interval antar pemeriksaan yang disesuaikan dengan usia

pasien.

• Faktor-faktor yang menyesatkan

Telah dikeahui bahwa hipotermia, yang didefinisikan sebagai suhu inti tubuh <32O C,

menginduksi hiporefleksia dan pada suhu <28O C dapat terjadi arefleksia. Walaupun

demikian, derajat kesadaran dan suhu inti tubuh tidak terlalu berkaitan. Banyak

panduan memasukkan batas temperature inti tubuh dalam menentukan kematian otak

secara klinis, namun batas yang direkomendasikan bervariasi dari 32,2O C hingga

36,0O C tanpa dasar bukti yang jelas untuk batas-batas tersebut.

Penentuan kematian otak saat diketahui ada terapi atau intoksikasi obat yang diminum

sendiri menuntut perhatian atas profil farmakokinetik dari agen yang diketahui

tersebut. Bila tidak diketahui apa agen yang diberikan pada pasien, skriing obat harus

dipertimbangkan, dan tes ansiler untuk mengkonfirmasu henti sirkulasi serebral

direkomendasikan.

Bila semua kriteria kematian otak terpenuhi, tidak ada kebutuhan untuk melakukan tes

ansiler. Namun, kadang cedera traumatik mata dan telinga sering menyertai cedera

otak dan dapat ditemukan gangguan metabolik pada pasien yang mengalami cedera

otak.

Panduan yan dipublikasikan berkaitan dengan tes ansiler umumnya

merekomendasikan penilaian aliran darah otak keseluruhan atau elektroensefalografi.

Page 11: Mati Batang Otak

Dua tes diagnosis yang dapat mengidentifikasi henti sirkulasi serebral secara

menyeluruh adalah angografi serebral dan angiografi radionuklida Tc-99m

heksamethilpropilen-amin oksim (Tc-HMPAO) (Baron et al, 2006).

TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK

Tiga temuan utama dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon,

absennya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan klinis dari batang otak meliputi

tes refleks batang otak, penentuan kemampuan pasien untuk bernapas secara spontan,

dan evaluasi respon motor terhadap nyeri.

1. Koma atau tidak adanya respon.

Pengujian respon motor dari ekstremitas diuji dengan stimulasi nyeri penekanan

daerah supraorbita dan dasar kuku. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini

adalah kemungkinan adanya respon motorik (“Lazarus sign”) yan dapat terjadi secara

spontan selama tes apnea, seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan

berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan

kelemahan motorik yang cukup lama.

2. Absennya refleks batang otak.

A. Pupil.

Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya

yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval,

ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan

berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9

mm. Pupil yang mengalami dilatasi menggambarkan kematian otak, karena jalut

servikal simpatis yang berhubungan dengan serat otot dilator yang tersusun radial

masih dapat tetap utuh.

Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat

mempengaruhi ukuran pupil. Pada dosis konvensional, atropin yang diberikan secara

intravena tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap respon pupil. Karena tidak

ada reseptor nikotinik di iris, obat penyekat neuromuskuler tidak mempengaruhi

ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli

Page 12: Mati Batang Otak

dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non

reaktif. Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya pada iris ataupun efek dari

operasi harus dieksklusi.

B. Pergerakan okuler.

Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da tes kalorik

dengan air es. Pengujian ini hanya dilakkan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau

instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Vertebra servikal

harus diperiksa dengan pencitraan untuk menunjukkan tidak adanya fraktur atau

instabilitas potensial. Refleks okulosefalik yang dirangsang dengan menggerakkan

kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan,

pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan

gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher.

Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan

pergerakan mata vertikal dan horizontal.

Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama irigasi dari

tympanum di tiap sisi telinga dengan 50 ml air es. Irigasi tympanum dilakukan paling

baik dengan menggunakan kateter suction kecil di kanal auditorik eksternal dan

menghubungkannya dengan siring 50 ml yang diisi dengan air es. Deviasi tonus dari

mata yang muncul akibat rangsang kalorik dingin tidak akan muncul pada kematian

otak. Investigator harus mengamati hingga 1 menit setelah pemberian stimulus, dan

waktu antara pemberian rangsang pada tiap sisi harus minimal 5 menit.

Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya obat yang dapat

mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida,

antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah

cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat

menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga

mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi

langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon

kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang

ekimoses.

C. Sensasi fasial dan respon motor fasial

Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks rahang

harus absen. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan

memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada

Page 13: Mati Batang Otak

daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi

temporomandibuler.

Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang

berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.

D. Refleks faring dan trakhea

Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop,

harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.

Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara

oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.

3. Apnea

Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian.

Perubahan yang penting pada tanda vital (misalnya hipotensi yang mencolok, aritmia

kardia berat) yang ditemukan pada pemeriksaan apnea dapat berkaitan dengan

kurangnya pengamatan terhadap kondisi-kondisi yan dilakukan sebelum pengujian,

walaupun perubahan tersebut dapat terjadi secara spontan karena asidosis yang

meningkat. Sehingga, persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan: (1) suhu

inti lebih dari atau sama dengan 36,5O C (4,5O C lebih tinggi dari suhu yang menjadi

persyaratan diagnosis klinis kematian otak yakni 32O C), (2) tekanan darah sistolik

yang lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg, (3) euvolemia (atau lebih baim

apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelumnya), (4) eukapnea (atau apabila

PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 40 mm Hg), dan (5) normoksemia (atau

apabila PO2 arteri lebih dari atau sama dengan 200 mm Hg). Oksimeter pulsa

dihubungkan pada pasien.

Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap berikut:

• Memutus hubungan dengan ventilator

• Memberikan O2 100% 6 l/menit. Pilihannya adalah dengan menempatkan kanul

setinggi karina.

• Amati dengan seksama pergerakan respirasi. Respirasi didefinisikan dengan

pergerakan abdomen atau dada yang menghasilkan volume tidal yang adekuat. Bila

ada, respirasi dianggap ada pada uji apnea ini. Saat terjadi gerakan yang mirip dengan

respirasi, maka harus diamati hingga akhir uji apnea, dmana oksigenasi berada pada

level yang lebih rendah. Saat hasilnya meragukan, spirometer dapat dihubungkan

dengan pasien untuk memastikan bahwa tidak ada volume tidal.

• Ukur PO2, PCO2, dan pH arteri setelah kira-kira 8 menit dan hubungkan kembali

Page 14: Mati Batang Otak

dengan ventilator.

• Bila gerakan respirasi tidak ada dan PCO2 arteri sama dengan atau lebih dari 60 mm

Hg (pilihan lain adalah PCO2 yang meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar),

maka tes apnea dinyatakan positif (sehingga mendukung diagnosis klinis kematian

otak).

• Bila teramati adanya gerakan respirasi, maka tes apnea dinyatakan negatif (sehingga

tidak mendukung diagnosis klinis kematian otak), dan tes harus diulang.

• Bila selama tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, oksimeter pulsa

menunjukkan desaturasi, dan terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah,

hubungkan dengan ventilator, dan lakukan analisa gas darah arteri. Tes apnea

memberikan hasil positif, apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 60 mm Hg

atau meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar. Bila PCO2 kurang dari 60 mm

Hg, atau peningkatannya kurang dari 20 mm Hg, hasilnya tidak dapat dipastikan.

Pada kondisi ini, dimana terdapat instabilitas kardiovaskuler bersamaan dengan

ketidak jelasan batasan atas PCO2 dimana terjadi stimulasi maksimal terhadap pusat

pernafasan, maka tergantung pada dokter untuk memutuskan apakah diperlukan tes

konfirmasi untuk memastikan diagnosis klinis kematian otak.

• Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada

aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang dengan apnea selama 10

menit. (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009)

Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:

1. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian

otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.

2. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-

benar terjadi atau tidak.

3. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau

gangguan metabolik.

4. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.

5. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan. Tes

tidak boleh terbatas pada beberapa pusa penelitian saja; idealnya ia harus dapat

diterapkan pada semua Intensive Care Unit (ICU) dan teknik harus dapat diandalkan

dan mudah dipelajari.

Page 15: Mati Batang Otak

Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis

(elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan

pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik), tes aliran darah otak

(angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler

transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT), dan

pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena

jugularis, dan tes atropin.

Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan

supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya

kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG

merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala

dan tidak merekam dari struktur sbkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan

hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar. Lebih

jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan hasil

datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau tempat

lain.

Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam kaitannya

dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan

dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar

atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana

keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi

positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari

ideal untuk penentuan kematian otak.

Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak

dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya

diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep

bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu

akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi

transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik

edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi

sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata.

Konsekuensinya, darah tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya

memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak,

sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak

Page 16: Mati Batang Otak

memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan

kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau

hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat,

dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi

empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes

kedokteran nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi

dan CT emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak

dua dimensi.

Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur

arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara

patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial

menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur

tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh.

Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak

serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam

melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah

daripada positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru

dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati

otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.

Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi

serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien

ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis

interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan

darah arteri rata-rata.

Selain tes konfirmasi, tidak ada tes lain yan dapat dipertimbangkan secara serius. Tes

atropin misalnya, hanya memberikan penilaian dari fungsi medulla yang terbatas.

Atropin adalah obat antikolinergik yang akan menghilangkan tonus vagus yang

tersisa, seperti dibuktikan dengan peningkatan denyut jantung. Pada kematian otak,

tes atropin akan menyebabkan peningkatan denyut jantung <3%. Karena nukleus

vagus motor dorsal berada di medulla, tes ini hanya memberikan penilaian yang

terbatas dari fungsi medulla kaudal. Walaupun ini merupakan bagian dari otak yang

akan tersisa pada kematian otak, tes ini hanya memberikan penilaian yang sangat

terbatas.

Penentuan saturasi oksigen vena pada bulbus jugularis (di mana rasio antara saturasi

Page 17: Mati Batang Otak

oksigen vena sentral dan bulbus jugularis <1) terbukti memiliki sensitivitas setingi

96,6% dan spesifisitas 9,3% pada kematian otak, namun Young et al menemukan satu

orang yang hidup dengan rasio yang kurang dari 1. Tes ini tidak didapatkan di semua

pusat pelayanan kesehatan, dan membutuhkan keterampilan khusus untuk insersi

kateter. (Young et al. 2006)

KESIMPULAN

Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan

pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang

definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru,

dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis. Kematian otak

kebanyakan diakibatkan oleh cedera kepala berat dan perdarahan intrakranial.

Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak

didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang

otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks

batang otak, dan apnea. Pada pasien, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria

eksklusi. Harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses

terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang negatif pada

pemeriksaan refleks-refleks batang otak.

Saat ini masih banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena

masih kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.

KOMENTAR :

1. Buat tabel yang sederhana tentang kematian otak dibeberapa negara : persamaan

dan perbedaannya

Page 18: Mati Batang Otak

2. Buat tabel sederhana tentang pemeriksaan kematian otak ( Cara – caranya ) di

Indonesia

3. Kesimpulan : TAMBAH tentang pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan.

4. Kalau sudah diperbaiki kirim kembali ke saya ( sudah diprint biar bisa ditanda

tangani )

DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 Apr 19 344

1215-1221

1. Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles, N Engl J Med,

vol. 344, no. 16- april 19 2001.

2. So Hing-Yu, MBBS, FANZCA FFICANZCAFHKAM(Anesthesiology), UPDATE

ARTICLE Brain Death, Honng Kong Practitioner 16 (II) November 1994.

3. Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies in ethical

declaration of death, Can J ANESTH 2003/ 50:7 / pp 725-731.

4. Pernyataan IDI tentang mati. Surat Keputusan PB IDI No 231/PB/A.4/90.

5. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM ,2006.

6. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik

Indonesia 1984:185.

7. Sunatrio S: Penentuan mati/Pengakhiran resusitasi dan euthanasia pasif di ICU.

Lokakarya tentang Mati & Euthanasia pasif, PKGDI 1986.

8. Stephen T. Mernoff, MD, Brain Death: Neurologist’s Perspective, clinical Assistant

profesor of neurology, brown medical school,neurorehabilitation program,

rehabilitation hospital of rhode island.

9. Guidelines For Detremining Brain Death, New York State Departement of Health,

December 2005

Page 19: Mati Batang Otak

10. Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain Death. C MAJ

Mar 20,2001;164 (6).

11. Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of Critical Care

Medicine, journal of the Royal College of Physicians of London 1995, 29:381-2.

12. Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief Review:

History, Concept And Controversies In The Neurological Determination Of Death.

CAN J Anesth 2006/53;6/pp 602-608.

13. Carlos Eduardo Reis MD. MEDSTUDENTS-NEUROLOGY: Brain Death Criteria

Betterhealth Channel. Article Brain Death; WWW.betterhealth.vic.gov.au.

14. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary Tests In

The Neurological Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 620-627.