hipotiroid dan hipertiroid
DESCRIPTION
penyakit tiroid yaitu hipotiroid dan hipertiroidTRANSCRIPT
HIPOTIROID DAN HIPERTIROID
A. PENYEBAB
a. Hipotiroid
Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar
tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi
kelenjar tiroid, maka kadar HT yang rendah akan disertai oleh
peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak adanya umpan balik
negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila
hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar HT yang
rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus
tinggi karena. tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun
HT. Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan
menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH.
b. Hipertiroid
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi
menjadi beberapa kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling
banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic adenoma, dan
multinodular goiter.
i. Graves’ Disease
Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme
karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’
disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan
tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus
tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa
peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini
disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat
berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh
TSAb7 memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid
menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya
paparan antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting
cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel
T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T helper
akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Salah satu
faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien
raves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh
empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada
urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang
normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine (Jacobson et al, 2008)
B. GEJALA
a. Hipotiroid
Kelambanan, perlambatan daya pikir, dan gerakan yang canggung
lambat, penurunan frekuensi denyut jantung, pembesaran jantung
(jantung miksedema), dan penurunan curah jantung, pembengkakkan
dan edema kulit, terutama di bawah mata dan di pergelangan
kaki ,penurunan kecepatan metabolisme, penurunan kebutuhan kalori,
penurunan nafsu makan dan penyerapan zat gizi dari saluran cema,
konstipasi, perubahan-perubahan dalam fungsi reproduksi, kulit kering
dan bersisik serta rambut kepala dan tubuh yang tipis dan rapuh.
b. Hipertiroid
Manifestasi klinik yang dirasakan pasien dapat berupa
gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang
mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan
kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi
C. Parameter
a. Hipotiroid
Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4),
TSH, dan TRH akan dapat mendiagnosis kondisi dan lokalisasi
masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid.
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui fungsi tiroid biasanya
menunjukkan kadar T4 yang rendah dan kadar TSH yang tinggi.
Pemeriksaan fisik menunjukkan tertundanya pengenduran otot selama
pemeriksaan refleks. Penderita tampak pucat, kulitnya kuning,
pinggiran alis matanya rontok, rambut tipis dan rapuh, ekspresi
wajahnya kasar, kuku rapuh, lengan dan tungkainya membengkak serta
fungsi mentalnya berkurang. Tanda-tanda vital menunjukkan
perlambatan denyut jantung, tekanan darah rendah dan suhu tubuh
rendah. Pemeriksaan rontgen dada bisa menunjukkan adanya
pembesaran jantung.
b. Hipertiroid
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan
tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik. Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan
diagnosis hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3
bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif
1. TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang
diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative feedback pada
pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid axis. Apabila
kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi normal, maka hipofisis akan
mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon
tiroid kembali normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka
hipofisis akan mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid. Bahn et al
(2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan lini pertama
pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid akan
menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga
pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan
darah lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid.
Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder atau
yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat rendah dan
bahkan tidak terdeteksi (<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus
hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga pemeriksaan
serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar yang harus dilakukan
(Bahn et al, 2011).
2. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan
sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan
utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang
menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada
awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi
pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi
sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan
pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al,
2011).
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui
etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat
Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih
banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4
sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan
post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al,
2002).
Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme
yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan
pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama
Graves’ disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal pemakaian obat
anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 bebas.
3. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang
biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah antithyroid
peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan
antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan
TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease.
TPOAb ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb
pada 70–95% pasien (Joshi, 2011).
Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme
pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan
tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan TPOAb
dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 – 50% menderita
tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et al, 2011).
4. Radioactive Iodine Uptake
Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui
berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+/I- di
kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan kapsul atau cairan yang
berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6
atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’
disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan
uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita
yang hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006).
5. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid
scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4 -). Kelebihan
penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang
lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya
risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik
dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011).
Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan
akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam
hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan
scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan
kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan
scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong
hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).
6. Ultrasound Scanning
Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran
kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan, noninvasive
serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma dan toxic
multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran nodul secara akurat (Beastall
et al, 2006).
Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus
hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya pada
pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular goiter, dan
pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al, 2010).
7. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)
FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid
(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode
ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu
aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan nodul akibat
toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan
utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis Hasil dari
biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis dilaboratorium. Hasil dari
biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk
dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan
malignant (kanker) (Bahn et al, 2011; Beastall et al, 2006).
Menurut Ghorib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran kecil
yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan
ultrasonography. Selain itu penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan
pada kondisi pasien dengan multinodular goiter dan obesitas.
D. PATOLOGI
a. Hipotiroid
Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau
gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid. Sintesis hormon tiroid
diatur sebagai berikut :
1. Hipotalamus membuat Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) yang
merangsang hipofisis anterior.
2. Hipofisis anterior mensintesis thyrotropin (Thyroid Stimulating
Hormone = TSH) yang merangsang kelenjar tiroid.
3. Kelenjar tiroid mensintesis hormon tiroid (Triiodothyronin = T3
dan Tetraiodothyronin = T4 = Thyroxin) yang merangsang metabolisme
jaringan yang meliputi: konsumsi oksigen, produksi panas tubuh, fungsi
syaraf, metabolisme protrein, karbohidrat, lemak, dan vitamin-vitamin,
serta kerja daripada hormon-hormon lain.
4. Hipotiroid dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau
hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka
kadar HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH
karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior
dan hipotalamus. Apabila hipotiroid terjadi akibat malfungsi hipofisis,
maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH
dari hipotalamus tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari
TSH maupun HT. Hipotiroid yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus
akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH.
b. Hipertiroid
Hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dibentuk di sel epitel (tirosit) yang mengelilingi folikel kelenjar tiroid. Pembentukan dan pelepasan T3dan T4 serta pertumbuhan kelenjar tiroid dirangsang oleh tirotropin (TSH) dari hipofisis anterior. Pelepasannya selanjutnya dirangsang oleh tirolibelin (TRH) dari hipotalamus. Stres dan esterogen akan
meningkatkan pelepasan TSH, sedangkan glukokortikoid, somastotatin, dan dopamine akan menghambatnya.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir. Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain.8