klasifikasi goiter struma hipotiroid hipertiroid

24
A. Definisi Goiter Goiter adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipetiroidisme). 1,2 Hipotiriodisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Hipertiroid didefinisikan sebagai respon jaringa-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolisme hormon tiroid yang berlebihan. 2,3 B. Klasifikasi Goiter Menurut American Society for Study of Goiter membagi goiter menjadi: 12 1.Goiter Nodusa Non Toksik 2.Goiter Diffusa Non Toksik 3.Goiter Diffusa Toksik 4.Goiter Nodusa Toksik Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu, baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa. 12 1. Goiter Nodusa Non Toksik

Upload: supak-silawani

Post on 18-Feb-2015

594 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

A. Definisi Goiter

Goiter adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Pembesaran ini dapat terjadi pada

kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid

(hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipetiroidisme).1,2

Hipotiriodisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga

sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Hipertiroid didefinisikan sebagai respon

jaringa-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolisme hormon tiroid yang berlebihan.2,3

B. Klasifikasi Goiter

Menurut American Society for Study of Goiter membagi goiter menjadi:12

1. Goiter Nodusa Non Toksik

2. Goiter Diffusa Non Toksik

3. Goiter Diffusa Toksik

4. Goiter Nodusa Toksik

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi

fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa dan

diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma difus adalah pembesaran yang

merata dengan konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika

pembesaran tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa,

apabila lebih dari satu, baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut

multinodusa.12

1. Goiter Nodusa Non Toksik

Struma nodosa nontoksik merupakan struma nodosa tanpa disertai tanda- tanda

hipertiroidisme. Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar dengan

lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin.

Pembesaran kelenjar tiroid ini bukan merupakan proses inflamasi atau neoplastik dan

tidak berhubungan dengan abnormalitas fungsi tiroid.12

a) Epidemiologi

Perbandingan struma nodosa pada perempuan dan laki –laki adalah 5-10 : 1.

Struma nodosa endemik terjadi pada 10% populasi suatu daerah. Sedangkan

struma nodosa yang bersifat sporadik disebabkan oleh multifaktor seperti

lingkungan dan genetik dan tidak melibatkan populasi umum.

Struma endemis biasanya timbul pada masa kanak – kanak. Struma sporadik

karena penyebab lain jarang terjadi sebelum pubertas dan tidak memiliki usia

insiden puncak. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut,

Page 2: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang

hiperplasia dan bagian yang berinvolusi.

b) EtiologiPenyebab paling banyak dari struma non toksik adalah kekurangan iodium.

Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya

belum diketahui. Struma non toksik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :2,3,13

1) Kekurangan iodium: Defisiensi iodin merupakan penyebab terbanyak struma

nontoksik endemik maupun sporadik.. Pembentukan struma terjadi pada

difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi

berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hipotiroid dan

kretinisme.

2) Kelebihan iodium.

3) Goitrogen :

a) Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,

expectorants yang mengandung yodium

b) Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan

resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

c) Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,

brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam

rumput liar.

4) Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosintetik hormon kelejar tiroid

5) Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak

mengakibatkan nodul benigna dan maligna

c) PatofisiologiStruma yang terjadi akibat kekurangan iodium yang dapat menghambat

pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis

mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan

sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke

dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.2,3,14

Page 3: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa nontoksik

adalah respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar

tiroid pad tiap individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-

sel dalam folikel yang sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain

( IGF dan EGF ) sangat bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat

bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan sel-sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat

bereplikasi. Sel- sel akan bereplikasi menghasilkan sel dengan sifat yang sama.

Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang tinggi ini tidak tersebar merata dalam

satu kelenjar tiroid sehingga lama –kelamaan tumbuh bernodul –nodul.4,13,14

Aktivitas fungsional sel –sel folikular juga sangat bervariasi. Sel –sel

autonom dapat mengambil dan mensintesis iodin tanpa bantuan TSH. Sel –sel ini

akan mensintesis tiroglobulin ( termasuk T4 dan T3) dan memiliki aktivitas

endositotik. Ketidakseimbangan antara sintesis tiroglobulin dan aktivitas

endositotik ini menyebabkan pertumbuhan nodul yang bervariasi. Penyebab dari

munculnya sel –sel autonom ini kemungkinan disebabkan karena adanya mutasi

pada reseptor TSH sel folilkular.4,12,13

2. Goiter Diffusa Non Toksik

Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang

tampak tanpa membentuk nodul. Bentuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik

(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel.12

Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi

koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris,

walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-

folikelnya dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini

tidak sama di keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan

atau kebutuhan tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel

sehingga terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara

makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen, sementara secara histologis

akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya gepeng dan

kuboid.12

Etiologi struma difusa nontoksik diantaranya :2,3,4

1) Defisiensi iodium

2) Autoimmun thyroiditis: Hashimoto atau postpartum thyroiditis

Page 4: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

3) Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan

penurunan pelepasan hormon tiroid.

4) Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis

terhadap hormon tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating

immunoglobulin

5) Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosintesis

hormon tiroid.

6) Terpapar radiasi

3. Goiter Diffusa Toksik

Struma diffusa toksik (tirotoksikosis) merupakan hipermetabolisme karena

jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.

Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exopthalmic goiter),

bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan di antara hipertiroidisme

lainnya.2,3,15

a) Epidemiologi

Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999

diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian

hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44%

– 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Diantara

pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit Grave. Insidensi

tiap tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi

pada usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit Grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki

maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi

penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang

kulit hitam. 2

b) Etiologi

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan

thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan

thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan

hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun lainnya karena

memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular goitre,

oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy.2,15

Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%

penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit

Page 5: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan

autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak

pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka

kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.3,4,15

Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi,

faktor trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic

gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal.2,3,4,15

1) Faktor genetik

Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara

mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-

sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam satu

keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini

meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian

TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita penyakit gaves

diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.

Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu

memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam

mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb,

dan Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk membuat TSAb.

2) Faktor imunologis

Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ

spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid

(thyroid stimulating antibody atau TSAb).

Teori imunologis penyakit graves :

a) persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif

b) diwariskannya HLA khusus dan gen lain yang berespon immunologik

khusus

c) rendahnya sel T dengan fungsi supresor

d) adanya ekspresi HLA yang tidak tepat

e) adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi

f) stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T

g) adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.

Keadaan normal sistem imun tidak bereaksi atau memproduksi

antibodi yang tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut mempunyai

Page 6: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

toleransi imunologik terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan

sistem imun mulai bereaksi terhadap komponen diri maka mulailah proses

yang disebut autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi

terhadap komponen tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi

selama periode prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai

akibat dari berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik,

hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek

secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi

dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya seringkali

autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.2,15

Pada penyakit Graves anti-self-antibody dan cell mediated response,

yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup

meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap

jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).2,15

Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb.

Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH

dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor

TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang lama, efek

seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang berasal dari

hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini mampu

menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung

selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya pengaruhnya akan

hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan. 2,15

Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum.

Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh: 2,3,4,15

a) Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi

yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang

banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe

organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien

dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi terhadap anti-

Yersinia.

b) Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal

komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi

antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.

Page 7: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

c) Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama

dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus

dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells

yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan

kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan interleukin atau sitokin

lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit Graves adalah kondisi

autoimmun dimana terbentuk antibodi terhadap reseptor TSH. Penyakit graves

adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan

faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk

dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti TNF-β,

CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor TSH. Penyakit

graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya dipengaruhi oleh faktor

lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor infeksi. 2,15

3) Trauma Psikis

Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan

konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya

produksi hormon tiroid justru turun. Secara teoritis stres mengubah fungsi

limfosit T supresor atau T helper, meningkatkan respon imun dan

memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress akut maupun kronik

menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific mechanism,

diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.

4) Radiasi Tiroid eksternal

Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami

radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini

yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat

melepaskan antigen serta menyulut penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi

memberi efek bermacam-macam pada subset sel T, yang mendorong

disregulasi imun.

5) Chorionic Gonadothropin Hormon

Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh

jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara

imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG

(yang mempunyai sub unit alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG.

Page 8: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

Secara klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum,

dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau

hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya

berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.

c) Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap

antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang

limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang

disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid

sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan

TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi

yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas

merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,

oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.2

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid

yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).

Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada

permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam

proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita

penyakit Graves.2

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan

bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan

mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti

DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.2,15

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells)

dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang

berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata

dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan

inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan

otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.2,4,15

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi

sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan

terjadinya akumulasi glikosaminoglikans. 2

Page 9: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan

katekolamin, seperti takikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena

terjadinya peningkatan reseptor katekolamin di dalam otot jantung.2

d) Gambaran Klinis

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal

dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa

goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon

tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi

hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Manifestasi

ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas

pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien

ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid

lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan

konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah

hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.4,15

e) Tes Laboratorik

Kadar T3 dan T4 meninggi, ambilan yodium radioaktif biasanya meningkat.

Kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid Stimulating Hormone

Sensitive (TSHS) yang tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)

meningkat, jelas menunjukkan hipertiroidisme. Pemeriksaan auto antibodi tiroid

membantu untuk membedakan penyakti autoimun dengan penyebab lain.15

4. Goiter Nodusa Toksik

Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid

yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan

hipertiroid.2,4,12

a) Epidemiologi

Struma nodular toksik lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Pada

wanita dan pria berusia diatas 40 tahun, rata – rata prevalensi nodul yang bisa

teraba adalah 5 – 7 % dan 1 – 2 %. Kebanyakan pasien struma nodular toksik

berusia lebih dari 50 tahun.

Pada area endemik kekurangan iodium, struma nodular toksik terjadi

sekitar 40 % dari kasus hipertiroidism, 10 % berbentuk nodul toksik yang solid

Page 10: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

(mononoduler/adenoma toksik) dan 30% berbentuk multinoduler. Grave disease

terjadi sekitar 58 % dari seluruh kasus hipertiroidisme.

b) Etiologi dan Patogenesis

Fungsi otonomik dari kelenjar tiroid berhubungan dengan kekurangan

iodium. Berbagai variasi mekanisme , diantaranya :2,3,4,12

1) Keadaan yang menjurus pada struma nodular toksik

Defisiensi iodium berdampak pada penurunan kadar T4, yang mencetus

hiperplasia sel tiroid untuk mengkompensasi kadar T4 yang rendah.

Peningkatan replikasi sel tiroid merupakan faktor predisposisi sel tunggal

untuk mengalami mutasi somatik dari reseptor TSH. Aktifasi konstitutif dari

reseptor TSH bisa membuat faktor autokrin yang mempromosikan

pertumbuhan yang menghasilkan proliferasi klonal. Sel klon memproduksi

nodul yang multiple.

2) Mediator pertumbuhan yang terlibat diantaranya:

Produksi Endhotelin 1 (ET – 1) meningkat pada kelenjar tiroid tikus

yang mengalami hiperplasia, ini menunjukkan bahwa produksi ET-1

meningkatkan pertumbuhan kelenjar tiroid dan vaskularisasinya. ET-1

merupakan suatu vasokonstriktor, mitogen dari vascular endothelium, sel otot

polos dan sel folkular tiroid.

C. Penegakkan Diagnosis Goiter

1. Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa

benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid

atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus

digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai

dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru

ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu

juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui

apakah ada kecendrungan ke arah goiter. Sebaliknya jika pasien datang dengan

keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih

jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.3,4,16

Gejala-gejala hipotiroidisme pada bayi baru lahir adalah kesukaran bernapas,

sianosis, ikterus, kesulitan makan, tangisan kasar, hernia umbilikalis dan retardasi

berat dan retardasi pematangan tulang yang nyata. Epifisis tibia proksimal dan

Page 11: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

epifisis femur distal terdapat pada semua bayi cukup bulan dengan berat badan lebih

dari 2500 g. Tidak adanya epifisis ini merupakan bukti kuat adanya hipotiroidisme.

Hipotiroidisme pada anak-anak ditandai adanya retardasi pertumbuhan dan tanda-

tanda retardasi mental. sedangkan hipertiroidisme pada anak-anak terdapat

pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi pasien dengan struma

nontoksik adalah pola pertumbuhan struma, gejala obstruksi atau kompresi (rasa

tercekik di tenggorokan, suara serak, kesulitan menelan kesulitan bernafas, disfagia),

dan keluhan kosmetik. Sedangkan pada struma toksik yang perlu diperhatikan gejala

dan tanda hipertiroid.16

Indeks Wayne digunakan untuk menentukan apakah pasien mengalami

eutiroid, hipotiroid atau hipertiroid. 4

Page 12: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

Tabel 1.

Indeks

Wayne

2.

Pemeriksaan Fisik Tiroid

1) Inspeksi

a) Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala

sedikit fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m.

sternokleidomastoideus relaksasi sehingga kelenjar tiroid mudah dievaluasi.

b) Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa

komponen berikut:

c) Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus

d) Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler

e) Jumlah: uninodusa atau multinodusa

f) Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal

g) Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak

h) Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

2) Palpasi

Gejala subjektif Angk

a

Gejala objektif Ada Tidak

Dispneu d’ effort +1 Tiroid teraba +3 -3

Palpitasi +2 Bruit diatas systole +2 -2

Capai/lelah +2 Eksoftalmus +2 -

Suka panas -5 Lid retraksi +2 -

Suka dingin +5 Lid lag +1 -

Keringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2

Nervous +2 Tangan panas +2 -2

Tangan basah +1 Nadi

Tangan panas -1 <80x/m - -3

Nafsu makan ↑ +3 80-90x/m -

Nafsu makan ↓ -3 >90x/m +3

BB ↑ -3 < 11 à Hipotiroid

11-18 à normal

> 19 à hipertiroid

BB ↓ +3

Fibrilasi atrium +3

Jumlah

Page 13: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

a) Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di

belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa

hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:

b) Perluasan dan tepi

c) Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba

trakea dan kelenjarnya

d) Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

e) Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari

musculus ini)

f) Limfonodi dan jaringan sekitarnya

3) Auskultasi

Bruit sound pada ujung bawah kelenjar tiroid.

Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul

tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :3,4,16

1) Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar

digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian

menjadi lunak.

2) Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang

mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah

berlangsung lama.

3) Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan, walaupun nodul

ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus

merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar

4) 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.

5) Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama

yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif

6) Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional

atau perubahan suara menjadi serak.

Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus

karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign).

3. Pemeriksaan Fisik Khusus

a. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah

Page 14: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

b. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan

meletakkan sehelai kertas di atas tangan

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid

terbagi atas :2,3,4

a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk mengetahui kadar

T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA)

dan ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar T4 serum di bawah 6 g/dL atau

TSH serum di atas 30 U/mL indikatif adanya hipotiroidisme neonatal. Diagnosis

dapat dikonfirmasi dengan bukti radiologis adanya retardasi umur tulang.

Tabel 2. Nilai rujukan uji fungsi tiroid

Uji Kelompok Subyek Rentang nilai Unit

TSH Usia 4 hari

2 – 20 minggu

21 – 54 tahun

55 – 87 tahun

Wanita hamil

1 – 39

1,7 – 9,1

0,7 – 4

0,4 – 4,2

0,3 – 5,2

mlU/L

T4 Neonatus

Dewasa

6,5

4,6 – 11

µg/dL

T3 Dewasa 20 – 50 tahun

Dewasa 51 – 90 tahun

70 – 204

40 – 181

ng/dL

b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi terhadap

macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum penderita dengan

Page 15: Klasifikasi Goiter Struma Hipotiroid Hipertiroid

penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating

hormone antibody. Apabila ibu dicurigai menderita hipotiroid maka bayi perlu

diperiksa antibodi antitiroid. Kadar Thyroid Binding Globulin (TGB) diperiksa bila

ada dugaan defisiensi TGB yaitu bila pengobatan hormon tiroid tidak berespon.

c. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau pembesaran struma

retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto

rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan

antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya jaringan kanker yang tidak

menangkap iodium dan bisa dilihat dengan scanning tiroid.

Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang

didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran, bentuk lokasi

dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar).

Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat

dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal

dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah

dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila

uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama

dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari

normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.

d. Pemeriksaan histopatologis FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) dapat membantu

menegakkan 80 % diagnosis. FNAB tidak perlu dilakukan pada lesi berukuran kurang

dari 10 mm. Satu sampai sepuluh persen struma multinodosa merupakan karsinoma.