paper kebijakan pemerintahan
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak baik tentang
organisasi, ataupun pemerintah. Kebijakan merupakan pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran tertentu1. Kebijakan sebagai sebuah sikap yang diambil oleh pemegang kekuasaan
tentunya dilakukan sebagai sebuah bentuk alternatif solusi dalam mengatur sesuatu hal
agar hal tersebut bisa tertata dengan baik dan mampu meraih suatu kondisi yang
diharapkan. Sejatinya kebijakan yang dijadikan pedoman bagi eksekutor dapat menjadi
guiden didalam pengimplementasian di lapangan. Namun, apakah fungsi dari kebijakan
tersebut sudah mampu berada di dalam posisinya ataukah menjadi suatu hal yang justru
perlu di evaluasi lebih lanjut?
Membahas tentang kebijakan khususnya di dalam dunia pemerintahan, tentu kita akan
berbicara terkait produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk
regulasi positif yang dibentuk berdasarkan kepentingan yang berorientasi bagi masyarakat
umum, karena masyarakat di dalam suatu negara memang memerlukan aturan sebagai
pedoman dalam bertindak. Namun sayangnya, banyak produk hukum yang dihasilkan
oleh pemerintah, di dalam implementasi di lapangan terhambat karena terjadi
ketidakharmonisan substansi antara satu produk hukum dengan produk hukum lainnya.
Dalam pembahasan ini, penulis akan mengevaluasi terkait produk hukum yang
mengatur terkait dana hibah, dengan parameter fokus pembahasan dibatasi pada
organisasi kemasyarakatan yang diposisikan sebagai objek penerima dana hibah. Hibah
yang memiliki pengertian sebagai pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak
atas sesuatu kepada orang lain2, memiliki pengaturan khusus melalui regulasi positif yang
mengatur khususnya terkait penyaluran dana hibah dari Pemerintah Daerah yang
bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun yang
menjadi dasar hukum pengaturan terkait hibah daerah antara lain, Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, dengan objek pengaturan yang berhak
menerima dana hibah dari Pemerintah Daerah sesuai dengan Pasal 8 PP No. 2 Tahun 1 Power Point Analisis Kebijakan Publik, oleh Nurliah Nurdin, Slide 4.2 http://kbbi.web.id
1 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
2012 tentang Hibah Daerah yaitu; Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD,
dan/atau badan, lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum3.
Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk melalui dasar diktum mengingat yaitu Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Dalam perkembangannya, peraturan terkait dana hibah diatur lebih
teknis di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 yang telah
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Didalam pasal 11 ayat (2) huruf e Permendagri Nomor
39 Tahun 2012 disebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan sebagai salah satu objek
belanja hibah4.
Organisasi kemasyarakatan yang menjadi salahsatu objek yang berhak menerima dana
hibah dari pemerintah daerah dalam perkembangannya memiliki regulasi khusus yang
spesifik mengatur terkait arah kebijakan organisasi kemasyarakatan. Pengaturan tersebut
bermula dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
yang dalam perkembangannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Di dalam pasal 37 ayat (1) huruf f Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diatur bahwa sumber
keuangan organisasi kemasyarakatan dapat bersumber dari APBN dan/atau APBD5,
dalam hal ini hibah dari APBD oleh pemerintah daerah kepada organisasi
kemasyarakatan dimungkinkan. Namun jika menelaah substansi PP No. 2 Tahun 2012
tentang Hibah Daerah, Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan dan Permendagri No. 39 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, ada
perbedaan substansi terkait objek penerima hibah khusunya untuk organisasi
kemasyarakatan. Didalam Pasal 8 huruf d PP No. 2 Tahun 2012, disebutkan bahwa objek
yang berhak menerima dana hibah adalah “badan, lembaga dan organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum indonesia”, sementara di dalam pasal 11 ayat (2)
huruf e Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 disebutkan bahwa objek penerima dana hibah
3 PP No. 2 Tahun 2012, pasal 8.4 Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, pasal 11 ayat (2) huruf e.5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, pasal 37 ayat (1) huruf f.
2 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
adalah “organisasi kemasyarakatan”. Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan
karena antara organisasi kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia dan organisasi
kemasyarakatan memiliki definisi yang berbeda. Di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa
bentuk organisasi kemasyarakatan dapat berbentuk ormas berbadan hukum dan ormas
tidak berbadan hukum. Hal ini kembali menjadi permasalahan ketika muncul Undang-
Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 289 ayat (5) huruf d
yang substansinya sama dengan PP nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah yang
menyatakan bahwa objek yang berhak menerima dana hibah adalah “badan, lembaga dan
organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum indonesia”.
Perbedaan substansi diantara beberapa produk hukum negara ini, membuat
implementasi penyaluran dana hibah di daerah menjadi terhambat, karena selama ini,
penyaluran dana hibah berpedoman pada Permendagri No. 39 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai lex specialist peraturan yang mengatur terkait
pemberian dana hibah. Selain itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan bahwa memang bukan hanya organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum saja yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
namun lebih jauh dari itu banyak organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum
yang hidup di tengah masyarakat. Sementara, akibat adanya Pasal 289 ayat (5) huruf d
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membatasi objek
penerima hibah yaitu organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia saja,
maka pemerintah di daerah tidak berani mencairkan dana hibah bagi organisasi
kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum, padahal penetapan ormas yang berhak
mendapatkan dana hibah untuk Tahun 2015 sudah ditetapkan sejak akhir tahun anggaran
2014. Hal ini menyebabkan kondisi yang cheos di tengah masyarakat dan pemerintahan
daerah dan menyebabkan penyerapan anggaran pada pos anggaran belanja bantuan hibah
menjadi tidak terserap pada hampir seluruh APBD di provinsi dan kabupaten/kota.
Sebagai contoh di Kabupaten Jepara dana hibah sebesar 14 M tidak dicairkan6 dan di
Kabupaten Badung Prov. Bali anggaran untuk dana hibah untuk organisasi
6 http:// jepara.go.id /?pilih=news&aksi=lihat&id=751 , diunduh tanggal 21 Februari 2016.
3 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
kemasyarakatan Tahun 2015 sebesar 120,2 M tidak terserap7 serta banyak pemerintah
daerah di provinsi dan kabupaten kota lainnya yang juga terhambat untuk melakukan
pencairan dan hibah. Selain itu juga banyak sekali surat masuk dari daerah yang
ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri yang meminta penjelasan terkait regulasi
penyaluran dan hibah bagi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah daerah juga banak
yang kemudian datang ke kantor Kementerian Dalam Negeri untuk berkonsultasi lebih
lanjut mengenai hal tersebut, baik ke Biro Hukum Setjen, Ditjen Politik dan Pemerintahan
Umum maupun Ditjen Bina Keuangan Daerah. Hal ini menunjukan adanya implikasi
yang cukup besar sebagai ekses perbedaan substansi produk hukum yang dikeluarkan
oleh Kementerian Dalam Negeri.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Surat
Edaran Menter Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang Penajaman Ketentuan Pasal
298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Substansi dari Surat Edaran Mendagri tersebut menerjemahkan ulang Pasal 289 ayat (5)
yang dijelaskan pada angka 9 (sembilan) yang menyatakan bahwa:
a. Badan dan lembaga yang berbadan hukum Indonesia, adalah:
1) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela dan social
yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;
2) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan sosial
yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diterbikan oleh
Menteri Dalam Negeri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; dan
b. Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia adalah organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau organisasi kemasyarakatan yang
berbadan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya pada angka 10 (sepuluh) dinyatakan bahwa pelaksanaan anggaran hibah
dan bantuan social yang tercantum dalam Peraturan Daerah tentang APBD sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka berlaku ketentuan bahwa
penyediaan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dilaksanakan sepanjang telah
dilakukan evaluasi dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala SKPD terkait, memperoleh
pertimbangan dari TAPD dan tercantum dalam KUA/PPAS tahun anggaran berkenaan 7 http://balipost.com/read/breaking-news/2015/07/27/38372/hibah-untuk-lembaga-adat-tersandung-se- mendagri.html, diunduh tanggal 21 Februari 2016.
4 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
sesuai dengan maksud Peraturan Menteri Dalam Ngeri Nomor 32 Tahun 2011
sebagaimana diubah dengan Peraturan Meneri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Adanya disharmonisasi substansi pengaturan mengenai penyaluran dana hibah,
khususnya bagi organisasi kemasyarakatan sebagai salahsatu objek penerima dana
hibah;
2. Adanya keresahan pemerintah daerah terhadap substansi penjelasan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298
ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang
masih ambigu untuk dijadikan pedoman implementasi dana hibah bagi organisasi
kemasyarakatan.
1.3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisa evaluasi kebijakan terhadap disharmonisasi substansi pengaturan
pada produk hukum yang mengatur terkait penyaluran dana hibah bagi organisasi
kemasyarakatan?
2. Apakah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang
Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sudah bisa dijadikan solusi terkait permasalahan
penyaluran dana hibah bagi organisasi kemasyarakatan?
3. Bagaimana alternatif solusi penyelesaian permasalahan penyaluran dana hibah bagi
organisasi kemasyarakatan?
BAB 2
TINJAUAN TEORI
5 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
2.1. Pengertian, Tujuan, dan Bentuk Pemberian Hibah yang bersumber dari APBD
2.1.1. Pengertian Hibah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “hibah” berarti pemberian (dengan
sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain8. Kata “hibah”
memiliki 2 (dua) makna, yaitu hibah antar personal sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan hibah terkait dengan
keuangan daerah, sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan sebagai
berikut:
1) Pasal 1666 KUH Perdata,menyatakanhibah/penghibahan (schenking)adalah suatu
persetujuan/perjanjian (overeenkomst) dengan/dalam mana pihak yang
menghibahkan (schenker), pada waktu ia masih hidup, secara cuma-cuma
(omniet) dan tak dapatditarik kembali, menyerahkan/melepaskan sesuatu
bendakepada/demi keperluan penerima hibah (begiftigde) yangmenerima
penyerahan/penghibahan itu.
2) Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f PP Nomor 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, menyatakan bahwa hibah digunakan untuk
menganggarkan pemberian uang/barangatau jasa kepada pemerintah atau
pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi
kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat
tidak wajib dan tidak mengikat,serta tidak secara terus menerus.
3) Pasal 42 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Pemendagri
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
yang menyatakan bahwa belanja hibah digunakan untuk menganggarkan
pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepadapemerintah atau
pemerintah daerah lainnya, perusahaandaerah, masyarakat, dan organisasi
kemasyarakatanyang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
4) Pasal 1 angka 14 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun
2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari
8 http://kbbi.web.id
6 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pengertian hibah adalah pemberian
uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah
daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan,
yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak
mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang
penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
5) Buletin Teknis Nomor 4 Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) tentang
Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah, menyatakan bahwa hibah
adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada
pemerintah atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan
organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,
bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus.
6) Buletin Teknis Nomor 13 SAP tentang Akuntansi Hibah, yang menyatakan bahwa
belanja hibah adalah belanja pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa yang
dapatdiberikan kepada pemerintah negara lain, organisasi internasional, pemerintah
pusat/daerah, perusahaan negara/daerah, kelompok masyarakat, atau organisasi
kemasyarakatan yangsecara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak
wajib dan tidak mengikat, sertatidak secara terus menerus kecuali ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan.
2.1.2. Tujuan Pemberian Hibah
Sesuai dengen pengertian hibah, maka pemberian hibah oleh pemerintah daerah
bertujuan untuk menunjang penyelenggaran urusan pemerintah daerah. Pemberian hibah
ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah dengan
tetap memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat9,
serta sesuai dengan asas pengelolaan keuangan daerah10.
Asas-asas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
9 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, Pasal 4 ayat (3). 10 PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, Pasal 7.
7 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
1) Asas keadilan yaitu terdapat keseimbangan dalam distribusi kewenangan dan
penyalurannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan
pertimbangan objektif;
2) Asas kepatutan yaitu tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan
proporsional;
3) Asas rasionalitas yaitu keputusan atas pemberian hibah harustepat sasaran dan
dapat dipertanggungjawabkan;
4) Asas manfaat untuk masyarakatyaitubahwa keuangan daerah harus diutamakan
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan bermanfaat;
5) Asas pengelolaan keuangan daerah berarti bahwa keuangan daerah dikelola secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,
transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan,
kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
2.1.3. Bentuk Hibah
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian
Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
pemberian hibah dapat berupa uang, barang, atau jasa.
Bentuk hibah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Hibah berupa uang, dianggarkan dalam kelompok belanja tidak langsung, jenis
belanja hibah, obyek belanja hibah, dan rincian obyek belanja hibah pada Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)11. PPKD merupakan kepala Satuan Kerja
Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) yang mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaanAPBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah12. Hibah berupa
uang dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung yang merupakan belanja
yang tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan
daerah13.
11 PermendagriNomor 32 Tahun 2011 sebagaimanatelahdiubahdenganPermendagriNomor 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (1). 12 Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Pasal 1 angka 15. 13 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Pasal 36 ayat (2).
8 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
2) Hibah berupa pembelian barang dan/atau kegiatan berupa jasa, dianggarkan dalam
kelompok belanja langsung yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan,
yang diuraikan kedalam jenis belanja barang dan jasa, obyek belanja hibah barang
atau jasa berkenaan kepada pihak ketiga/masyarakat, dan rincian obyek belanja
hibah barang atau jasa yang diserahkan kepada kepada pihak ketiga/masyarakat
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)14. SKPD merupakan perangkat
daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang15.
Hibah berupa barang dan/atau jasa dapat dikelompokkan ke dalam belanja
langsung yang merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan daerah16.
2.2. Pengertian dan Bentuk Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila17.
Ormas dapat berbentuk18:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
2.3. Jenis, Hierarki dan Asas Peraturan Perundang-Undangan
2.3.1. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;14 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (3). 15 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Pasal 1 angka 10.16 Ibid,Pasal 36 ayat (2).17 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 1.18 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 12 ayat 1.
9 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2.3.2. Asas Peraturan Perundang-Undangan
1. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan yang rendah (asas hierarki)19.
2. Asas lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex generalis)20.
3. Asas lex posterior derogat legi priori yaitu pada peraturan yang sederajat,
peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan
yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini
peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan perundangan-
undangan ditegaskan secara ekspilisit yang mencerminkan asas ini21.
2.4. Kedudukan Surat Edaran Menteri di dalam Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. Prof. Dr. A. Hamid S Attamimi, SH menyatakan bahwa norma
dari suatu peraturan perundang-undangan adalah selalu bersifat mengikat umum,
abstrak, dan berlaku terus menerus (dauerhaftig)22. Urutannya UUD 1945, TAP MPR,
UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda kabupaten/kota23. Tidak ada
penyebutan SE secara eksplisit24.
19 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_superior_derogat_legi_inferior, diunduh pada 21 Februari 2016.20 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_general, diunduh pada 21 Februari 2016.21 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_posterior_derogat_legi_priori, diunduh pada 21 Februari 2016.22 http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/19902-kedudukan-peraturan-kebijakan-surat-edaran,-instruksi,-petunjuk-teknis-dalam-hukum-positif-di-indonesia, diunduh pada 22 Februari 2016.23 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, Pasal 7.24 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan , diunduh pada 22 Februari 2016.
10 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
Hasil data yang didapatkan penulis dari wawancara yang dikutip oleh
hukumonline kepada Bayu Dwi Anggoro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember,
sebagai berikut25,
“SE memang bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan. Masuk peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving)”.
Surat Edaran adalah surat yang ditujukan kepada banyak orang atau banyak
lembaga, bahkan dapat ditujukan kepada khalayak masyarakat26. Surat Edaran adalah
naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara
melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak27.
Surat Edaran merupakan suatu perintah pejabat tertentu kepada
bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat
Edaran Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena
pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.
Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran
merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan
kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan
penerbitannya28:
a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak;
b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan;
c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
d. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik.
BAB 3
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Disharmonisasi Produk Hukum yang Mengatur Penyaluran Dana Hibah
25 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan , diunduh pada 22 Februari 2016.26 http://www.landasanteori.com/2015/07/pengertian-surat-fungsi-jenis-menurut.html, diunduh pada 23 Februari 2016.27 Permendagri No. 55 Tahun 2010, butir 43. 28 http://www.kopertis12.or.id/2012/02/04/kedudukan-surat-edaran-ditinjau-dari-sudut-pandang-tata-hukum-indonesia.html, diunduh pada 23 Februari 2016.
11 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
3.1.1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD
Pengaturan khusus mengenai hibah yang berbentuk uang dan bersumber dari
APBD memang diawali dari dibentuknya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang
ditetapkan pada tanggal 28 Juli 2011. Amanat pembentukan peraturan menteri
terhadap dana hibah memang tidak dikatakan secara eksplisit di dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, namun Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hibah diatur dalam peraturan perundangan tersendiri29. Meskipun tidak secara
ekplisit dikatakan bahwa pengaturan teknis untuk hibah uang yang bersumber dari
APBD diatur oleh peraturan menteri, namun situasi dan kondisi pemerintahan
khususnya di daerah memerlukan pengaturan teknis yang mengatur terkait penyaluran
dana hibah agar menunjang tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi
pengelolaan hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Selanjutnya membahas tentang dana hibah untuk organisasi kemasyarakatan, di dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
disebutkan sebagai berikut:
“Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian uang/barang atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus.”30
Organisasi kemasyarakatan dikatakan di dalam PP No. 58 Tahun 2005 sebagai salahsatu objek penerima hibah. Selanjutnya, Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5 menyatakan bahwa Hibah dapat diberikan kepada31:
a. pemerintah;
29 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, Pasal 25.30 Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, Pasal 27 ayat (7) huruf f.31 Permendagri No. 32 Tahun 2011, Pasal 5.
12 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
b. pemerintah daerah lainnya;c. perusahaan daerah;d. masyarakat; dan/ataue. organisasi kemasyarakatan.
Sesuai dengan analisis substansi dan dasar pembentukan Permendagri Nomor
32 Tahun 2011 sudah sesuai kebutuhan kondisi kekinian pada saat itu dan tidak ada
yang salah dengan pencantuman objek “organisasi kemasyarakatan” di dalam
Permendagri tersebut karena sudah sesuai dengan istilah penyebutan objek penerima
hibah yang diatur di dalam PP no. 58 Tahun 2005. Hanya saja yang perlu dikaji lebih
lanjut, apakah memungkinkan secara hukum membentuk peraturan menteri jikalau
tidak ada dasar amanat yang jelas dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi? Karena sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.32
Dasar pembentukan Permendagri ini adalah menimbang dari amanat ketentuan
Pasal 129 dan Pasal 130 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa Menteri Dalam Negeri berwenang melakukan
pembinaan pengelolaan keuangan daerah33, oleh karenanya pembentukan Permendagri
No. 32 Tahun 2011 tidak ada kekeliruan terhadapnya.
32 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 8.33 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 129 dan Pasal 130.
13 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
3.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah
Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah adalah merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 45 Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Darah, yang menyebutkan bahwa “Tata cara pemberian, penerimaan, dan
penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”34 Peraturan pemerintah ini ditetapkan pada tanggal 4 Januari 2012.
Namun, pembentukan peraturan pemerintah ini nampaknya memang tidak
menjadikan Permendagri No. 32 Tahun 2011 sebagai salah satu pertimbangan
peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan masukan substansi pada
pengaturan PP No. 2 Tahun 2012. Terbukti dengan adanya perbedaan substansi
pengaturan dalam hal objek penerima dana hibah khususnya untuk organisasi
kemasyarakatan. Di dalam PP No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan
bahwa “Hibah dari Pemerintah Daerah dapat diberikan kepada badan, lembaga, dan
organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.”35 Sementara di
dalam pengaturan Permendagri No. 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5 huruf e
menyatakan bahwa hibah dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan.
Perbedaan penyebutan istilah objek penerima hibah antara organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia dan organisasi kemasyarakatan,
pada waktu itu belum menimbulkan suatu kebingungan karena memang terkait
pengaturan perundang-undangan khusus yang mengatur organisasi kemasyarakatan di
dalam Undang-Undang 8 Tahun 1985 tidak membedakan antara organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum dan organisasi kemasyarakatan. Namun, justru
hal ini yang kemudian menjadi inti permasalahan dari disharmonisasi produk
peraturan perundang-undangan yang membahas tentang hibah bagi organisasi
kemasyarakatan.
34 Undang-Undang 33 Tahun 2004, Pasal 45.35 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d.
14 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
3.1.3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD
Sesuai dengan amanat Pasal 22 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2012, menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran
hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk uang diatur dengan
Peraturan Menteri.”36 Amanat pasal pada peraturan pemerintah ini secara ekplisit
memerintahkan adanya pembentukan peraturan menteri sebagai pedoman aturan
teknis penyaluran hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk
uang, dalam hal ini yang bersumber dari APBD. Padahal, peraturan teknis tersebut
sudah lebih dahulu ada, yaitu Permendagri No. 32 Tahun 2011, dengan dasar
pembentukan yang berbeda.
Hal ini sebetulnya menjadi peluang penyamaan substansi pengaturan terkait
dana hibah, khususnya untuk organisasi kemasyarakatan yang diatur didalam
Permendagri 32 Tahun 2011, dengan adanya revisi terhadap Permendagri 32 Tahun
2011 melalui Permendagri No. 39 Tahun 2102 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang ditetapkan setelah PP No. 2 Tahun
2012 ditetapkan, yaitu pada tanggal 22 Mei 2012. Namun ternyata, tidak ada
perbedaan substansi terkait objek penerima hibah pada Permendagri No. 39 Tahun
2012, yang masih menyatakan bahwa objek belanja hibah salah satunya adalah
organisasi kemasyarakatan.37 Jadi dapat disimpulkan bahwa revisi dari Permendagri
No. 39 Tahun 2012 bukan merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 22 ayat (7)
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, namun hanya sekedar perbaikan
beberapa pasal pada Permendagri No. 32 Tahun 2011 saja.
3.1.4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
merupakan Undang-Undang pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang memang sudah tidak sesuai dengan kondisi
kekinian ang dibutuhkan masyarakat. Di dalam UU No. 17 Tahun 2013 dikatakan
bahwa, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, 36 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, Pasal 22 ayat (7).37 Permendagri No. 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (2) huruf e.
15 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.38
Berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, di
dalam UU No. 17 Tahun 2013 ini, dikenal spesifikasi bentuk organisasi
kemasyarakatan. Pada Pasal 12 ayat (1) dikatakan bahwa Ormas dapat berbentuk39:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
Hal inilah yang kemudian menjadi inti permasalahan dari perbedaan
pengaturan yang ada antara Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39
Tahun 2012 yang menyatakan bahwa objek penerima hibah salah satunya adalah
organisasi kemasyarakatan, sedangkan PP No. 2 Tahun 2012 menyatakan objek
penerima hibah salah satunya adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum
Indonesia. Sementara sesuai dengan UU no. 17 Tahun 2013, bahwa organisasi
kemasyarakatan bukan hanya organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum,
namun ada juga organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum. Apabila
mengacu pada PP No. 2 Tahun 2012 maka, organisasi kemasyarakatan yang tidak
berbadan hukum tidak berhak menerima dana hibah.
Namun, adanya perbedaan antara substansi Permendagri No. 39 Tahun 2012
yaitu pada Mei 2012 dan PP No. 2 Tahun 2012 serta lahirnya Undang-Undang No. 17
Tahun 2013 selama kurun waktu tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2014 tidak
terlalu menjadi sebuah permasalahan terhadap impementasi penyaluran dana hibah di
daerah, karena pemerintah daerah lebih berpedoman pada lex specialis pengaturan
dana hibah daerah, yaitu Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39
Tahun 2012, namun hal ini menjadi sebuah permasalahan besar yang menjadikan
keresahan di daerah semenjak lahirnya Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 298 yang mengatur tentang objek penerima
hibah, dimana substansi nya murni mengadopsi dari PP No. 2 Tahun 2012 Pasal 8
ayat (1) huruf d, yang menyatakan bahwa “Hibah dari Pemerintah Daerah dapat
diberikan kepada badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan
hukum Indonesia.”40
38 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 1.39 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 12 ayat 1.40 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d.
16 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
3.1.5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Lahirnya Undang- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, menjadi perhatian seluruh aparatur pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah. Undang-Undang induk yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2012 ini
sudah tentu menjadi regulasi yang dinantikan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Di
dalam Undang-Undang ini, ternyata juga mengatur terkait hibah yang bersumber dari
APBD, yaitu pada Pasal 298 ayat (5), bahwa:
Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia.41
Berbeda dengan lahirnya PP No. 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, yang
sebetulnya merupakan lex specialis yang mengatur terkait hibah, lahirnya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 298 ayat (5) yang mengatur terkait
objek penerima dana hibah justru lebih menarik perhatian bagi seluruh aparatur
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah padahal Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 bukan regulasi spesialis yang mengatur terkait hibah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menimbulkan kebingungan
bagi daerah, khususnya dalam menyalurkan dana hibah yang bersumber dari APBD
kepada organisasi kemasyarakatan. Perbedaan substansi Permendagri No. 32 Tahun
2011 dan Permendagri No. 39 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 menimbulkan kebingungan pada hampir seluruh Pemerintahan Daerah, sehingga
Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota tidak berani mencairkan
dana hibah bagi ormas yang tidak berbadan hukum.
Dampak dari hal tersebut, penyerapan anggaran belanja hibah di daerah sangat
minim yang menyebabkan penyerapan APBD secara keseluruhan di daerah Provinsi
maupun Kabupaten/Kota tidak optimal. Sebagai contoh di Kabupaten Jepara dana
hibah sebesar 14 M tidak dicairkan42 dan di Kabupaten Badung Prov. Bali anggaran
untuk dana hibah untuk organisasi kemasyarakatan Tahun 2015 sebesar 120,2 M tidak 41 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, Pasal 298 ayat (5).42 http:// jepara.go.id /?pilih=news&aksi=lihat&id=751 , diunduh tanggal 21 Februari 2016.
17 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
terserap43 serta banyak pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten kota lainnya
yang juga terhambat untuk melakukan pencairan dan hibah. Selain itu juga banyak
sekali surat masuk dari daerah yang ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri
yang meminta penjelasan terkait regulasi penyaluran dan hibah bagi organisasi
kemasyarakatan. Pemerintah daerah juga banak yang kemudian datang ke kantor
Kementerian Dalam Negeri untuk berkonsultasi lebih lanjut mengenai hal tersebut,
baik ke Biro Hukum Setjen, Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum maupun Ditjen
Bina Keuangan Daerah. Hal ini menunjukan adanya implikasi yang cukup besar
sebagai ekses perbedaan substansi produk hukum yang dikeluarkan oleh Kementerian
Dalam Negeri.
3.1.6. Analisa Disharmonisasi Produk Hukum yang Mengatur Penyaluran Dana Hibah
a. Analisa Evaluasi Kebijakan Dana Hibah dilihat dari Jenis dan Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan
Diantara beberapa peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan dan
mengatur tentang hibah berupa uang yang bersumber dari APBD khusus untuk
objek penerima hibah yaitu organisasi kemasyarakatan, dimana substansi diantara
beberapa produk hukum tersebut ada yang berbeda, maka penulis menganalisis
kedudukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dipedomani
dilihat dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan
amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.44
43 http://balipost.com/read/breaking-news/2015/07/27/38372/hibah-untuk-lembaga-adat-tersandung-se- mendagri.html, diunduh tanggal 21 Februari 2016.
44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7.
18 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
Untuk menganalisa jenis dan hierarki juga mengacu pada Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, bahwa:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.45
Adapun analisis produk hukum tersebut, sebagai berikut:
No. Nama PeraturanPer-UU-an
Dasar Pembentukan
Tanggal Penetapan
Substansi yang Berbeda
Jenis dan Hierarki
1. Permendagri No. 32/2011
Kewenangan Mendagri sebagai Pengelola Keuda, Pasal 129 dan 130 PP No. 58/2005
28 Juli 2011Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan
Peraturan perundang-undangan lain (dibentuk melalui kewenangan)
2. PP No. 2/2012 Pasal 45 UU 33/2004 4 Januari 2012
Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan berbadan hukum indonesia
Urutan ke- 4 setelah Undang-Undang
3. Permendagri No. 39/2012
Pasal 22 ayat (7) PP No. 2/2012 22 Mei 2012
Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan
Peraturan perundang-undangan lain (ada amanat pembentukan)
4. UU No.17/2013 Pengganti UU No. 8/1985 22 Juli 2013
- Ormas Berbentuk Badan Hukum dan Tidak Berbadan Hukum
- Sumber keuangan ormas dimungkinkan dari APBN/APBD
Urutan ke-3 setelah TAP MPR
45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 8.
19 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
5. UU No. 23/2014 Pengganti UU No. 32/2004
2 Oktober 2014
- Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan berbadan hukum indonesia
Urutan ke-3 setelah TAP MPR
Tabel 3.1. Pendataan Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Hibah
Sesuai dengan Tabel 3.1, analisa yang bisa diambil terkait disharmonisasi
pengaturan mengenai penyaluran hibah berbentuk uang yang bersumber dari
APBD untuk organisasi kemasyarakatan, dilihat dar jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan Permendagri No. 32 Tahun 2011 sudah tepat karena dibentuk
sesuai dengan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam hal pengelolaan
keuangan daerah, dalam hal ini dana hibah yang bersumber dari APBD dengan
memperhatikan kebutuhan dan kondisi kekinian di masyarakat dalam rangka
menunjang tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan
hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Selanjutnya, penyebutan istilah ”organisasi
kemasyarakatan” sudah tepat sesuai dengan isi dari Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah;
2. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 sudah tepat apabila dilihat dari dasar
pembentukannya, yaitu amanat Pasal 45 Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Darah. Hanya saja penyebutan objek penerima hibah keliru disebutkan (tidak sesuai dengan Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5). Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun
2012 menyatakan bahwa “Hibah dari Pemerintah Daerah dapat diberikan
kepada badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan
hukum Indonesia.”46, hal tersebut berbeda dengan Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa objek penerima hibah itu salahsatunya
46 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d.
20 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
adalah organisasi kemasyarakatan (secara general, tidak spesifik yang berbadan hukum saja). Hal ini yang menjadi awal perbedaan penerjemahan istilah antara organisasi kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia dengan istilah organisasi kemasyarakatan. Namun, karena Peraturan Pemerintah di dalam hirarki peraturan perundang-undangan jauh lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri, maka seyogyanya yang menjadi pedoman acuan dalam penyaluran hibah adalah PP No. 2 Tahun 2012.
3. Lahirnya revisi Permendagri No. 32 Tahun 2011 yang dirubah dengan Permendagri No. 39 Tahun 2012, seharusnya menyesuaikan dengan substansi PP No. 2 Tahun 2012, hal tersebut diperkuat dengan amanat di dalam Pasal 22 ayat (7) Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyaluran hibah dari Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah dalam bentuk uang diatur dengan Peraturan Menteri.”47
Namun ternyata, Permendagri No. 39 Tahun 2012 tidak mengacu pada PP No.
12 Tahun 2012 dan bukan merupakan pelaksanaan dari amanat PP No. 12
Tahun 2012, namun lebih kepada perbaikan substansi dari Permendagri No. 32
Tahun 2011 saja, dengan objek penerima hibah salah satunya adalah
organisasi kemasyarakatan.48 Apabila dianalisa, hal tersebut keliru karena
substansi Permendagri No. 39 Tahun 2012 tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya yaitu PP No. 2 Tahun 2012.
Dan seharusnya yang menjadi acuan penyaluran dana hibah daerah adalah
tetap PP No. 2 Tahun 2012.
4. Undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
apabila dianalisa dalam permasalahan perbedaan pengaturan terkait dana hibah
untuk ormas sebenarnya tidak berkaitan langsung. Hanya saja di dalam
Undang-Undang ini mulai dikenal spesifikasi atau pembeda bentuk organisasi
kemasyarakatan, yaitu pada Pasal 12 ayat (1) dikatakan bahwa Ormas dapat
berbentuk49:
a. badan hukum; atau47 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, Pasal 22 ayat (7).48 Permendagri No. 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (2) huruf e.49 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 12 ayat 1.
21 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
b. tidak berbadan hukum.
Melalui pengaturan pada pasal ini semakin jelas terlihat perbedaan antara
istilah organisasi kemasyarakatan (secara umum) dan organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum yang merupakan bagian dari bentuk
organisasi kemasyarakatan, dimana kedua hal tersebut yang menjadi inti dari
perbedaan pengaturan objek penerima hibah antara Permendagri No. 32/2011
dan Permendagri No. 39/2012 dengan PP No. 2 Tahun 2012.
5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan
pedoman induk penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sehingga menjadi
perhatian dari seluruh aparatur pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Substansi Pasal 289 UU 23 Tahun 2014 yang mengatur terkait objek penerima
hibah, mengadopsi murni dari PP No. 2 Tahun 2012, yaitu pada Pasal 298 ayat
(5), bahwa:
Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia.50
Meskipun perbedaan pengaturan ini sudah ada sejak lahirnya PP No. 2 Tahun
2012, namun respon dari pemerintah daerah dan masyarakat terlihat lebih
besar pada saat lahirnya UU No. 23 Tahun 2014. Jika dilihat dari jenis dan
hirarki peraturan perundang-undangan memang posisi UU 23 Tahun 2014
lebih tinggi meskipun bukan lex spesialis sebagai undang-undang yang
mengatur hibah, selain itu diperkuat dengan PP No. 2 Tahun 2012 sebagai lex
spesiais peraturan perundang-undangan yang mengatur hibah daerah yang
seharusnya menjadi acuan pelaksanaan hibah di daerah. Hal ini semakin
melemahkan posisi Permendagri No. 32/2011 dan Permendagri No. 39/2012.
b. Analisa Evaluasi Kebijakan Dana Hibah dilihat dari Asas Peraturan
Perundang-Undangan
Sesuai dengan Tabel 3.1, adapun Analisa Evaluasi Kebijakan Dana Hibah
dilihat dari Asas Peraturan Perundang-Undangan, sebagai berikut:
50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, Pasal 298 ayat (5).
22 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
a. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih
tinggi mengesampingkan peraturan yang rendah (asas hierarki)51.
Menurut analisa evaluasi kebijakan dana hibah dilihat dari asas ini, dapat
disimpulkan bahwa posisi UU 23 Tahun 2014 lebih tinggi meskipun bukan lex
spesialis sebagai undang-undang yang mengatur hibah, selain itu diperkuat
dengan PP No. 2 Tahun 2012 sebagai lex spesiais peraturan perundang-
undangan yang mengatur hibah daerah yang seharusnya menjadi acuan
pelaksanaan hibah di daerah. Hal ini semakin melemahkan posisi Permendagri
No. 32/2011 dan Permendagri No. 39/2012.
b. Asas lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)52.
Menurut asas ini, memang Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri
No. 39 Tahun 2012 merupakan lex specialis pengaturan hibah, namun hal
tersebut dikalahkan dengan posisi PP No. 2 Tahun 2012 yang juga lex
spesialis pengaturan hibah daerah ditambah dengan posisi didalam hierarki
peraturan perundang-undangan PP No. 2 Tahun 2012 lebih tinggi
dibandingkan Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39
Tahun 2012. Hal ini semakin melemahkan posisi Permendagri No. 32/2011
dan Permendagri No. 39/2012.
c. Asas lex posterior derogat legi priori yaitu pada peraturan yang sederajat,
peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan
yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini
peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan
perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilisit yang mencerminkan asas
ini53.
Dalam hal ini, PP No. 2 Tahun 2012 semakin diperkuat dengan posisinya
sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan lebih baru yaitu
ditetapkan pada tanggal 4 Januari 2012, dibandingkan permendagri No.
32/2011 dengan posisinya yang lebih rendah dibandingkan PP dan 51 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_superior_derogat_legi_inferior, diunduh pada 21 Februari 2016.52 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_general, diunduh pada 21 Februari 2016.53 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_posterior_derogat_legi_priori, diunduh pada 21 Februari 2016.
23 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
penetapannya yang lebih lama, yaitu pada tanggal 28 Juli 2011. Di sisi lain
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 meskipun bukan lex specialis mengatur
hibah, namun posisi di dalam hierarki peraturan perundang-undangan jauh
lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri, dan waktu ditetapkannya pun
masih sangat baru yaitu pada tanggal 2 Oktober 2014. Hal ini kembali semakin
melemahkan posisi Permendagri No. 32/2011 dan Permendagri No. 39/2012.
3.2. Polemik Surat Edaran Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ
tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah
Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan
dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan
mendesak54. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena
Surat Edaran merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata
berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar
pertimbangan penerbitannya55:
a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak;
b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan;
c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
d. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan
yang baik.
Sebagai respon dari banyaknya pertanyaan dari pemerintahan daerah dan
masyarakat terkait pengaturan dana hibah yang berbeda, Kementerian Dalam Negeri
kemudian mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ
tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Substansi dari Surat Edaran Mendagri tersebut
menerjemahkan ulang Pasal 289 ayat (5) yang dijelaskan pada angka 9 (sembilan)
yang menyatakan bahwa:
a. Badan dan lembaga yang berbadan hukum Indonesia, adalah:
1) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela dan social
yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;
54 Permendagri No. 55 Tahun 2010, butir 43. 55 http://www.kopertis12.or.id/2012/02/04/kedudukan-surat-edaran-ditinjau-dari-sudut-pandang-tata-hukum-indonesia.html, diunduh pada 23 Februari 2016.
24 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
2) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan sosial
yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diterbikan oleh
Menteri Dalam Negeri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; dan
b. Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia adalah organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau organisasi kemasyarakatan
yang berbadan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan pengesahan badan
hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada angka 10 (sepuluh) dinyatakan bahwa pelaksanaan anggaran
hibah dan bantuan sosial yang tercantum dalam Peraturan Daerah tentang APBD
sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka berlaku
ketentuan bahwa penyediaan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dilaksanakan
sepanjang telah dilakukan evaluasi dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala SKPD
terkait, memperoleh pertimbangan dari TAPD dan tercantum dalam KUA/PPAS
tahun anggaran berkenaan sesuai dengan maksud Peraturan Menteri Dalam Ngeri
Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Peraturan Meneri Dalam Negeri
Nomor 39 Tahun 2012.
Seperti sebagaimana peruntukannya, surat edaran dikeluarkan dalam keadaan
mendesak yang memang substansinya berisi penjelasan terhadap peraturan
perundang-undangan yang belum jelas. Namun, substansi surat edaran sudah tentu
harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ, sebagaimana substansi yang disampaikan
sebelumnya, mencoba menjelaskan pengertian dari Pasal 298 ayat (5), namun
sayangnya justru terkesan seperti menambahkan terjemahan yang sebetulnya tidak
ada di dalam peraturan perundang-undangan. Hanya berdasarkan atas keinginan untuk
dapat mengakomodir objek ormas yang tidak berbadan hukum (hanya terdaftar dan
memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT)) saja. Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 900/4627/SJ memberikan penjelasan bahwa badan dan lembaga
berbadan hukum indonesia mencakup organisasi kemasyarakatan yang dibentuk
peraturan perundang-undangan dan organisasi kemasyarakatan yang terdaftar yang
memiliki SKT, padahal jelas pengertian dari ormas ber-SKT adalah ormas yang tidak
berbadan hukum, bukan badan atau lembaga yang berbadan hukum Indonesia seperti
penjelasan SE MDN Nomor 900/4627/SJ.
25 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
Dampaknya, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ, bukan
memberikan jawaban dan penjelasan yang nyata untuk pemerintah daerah, namun
malah membuat polemik di daerah karena penerjemahan yang bisa dikatakan tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Belum lagi munculnya pertanyaan
sekaligus tuntutan dari kelompok masyarakat yang merasa tidak terakomodir di dalam
SE MDN Nomor 900/4627/SJ, seperti kelompok tani, dan kelompok masyarakat
lainnya yang jelas tidak berbadan hukum, tidak ber-SKT apalagi di bentuk oleh
peraturan perundang-undangan. Hal ini membuat implementasi penyaluran dan hibah
di daerah semakin tidak jelas. Akibatnya, tetap banyak daerah yang tidak berani untuk
mencairkan pos belanja hibah daerah untuk organisasi kemasyarakatan dan penilaian
terhadap Kementerian Dalam Negeri sebagai pemerintah pusat menjadi banyak
dipertanyakan oleh pemerintahan daerah.
3.3. Alternatif Solusi Permasalahan Penyaluran Dana Hibah
Dari hasil analisa evaluasi kebijakan yang mengatur terkait pengaturan dana hibah
berbentuk uang yang bersumber dari APBD, ada beberapa alternatif solusi yang
disarankan oleh penulis, yaitu sebagai berikut:
1. Sesuai analisa substansi peraturan perundang-undangan berdasarkan jenis, hierarki
dan asas peraturan perundang-undangan, legalitas formal yang layak dijadikan
acuan untuk penyaluran dana hibah di daerah adalah PP No. 12 Tahun 2012,
adapun lex specialis yang mengatur terkait teknis penyaluran dana hibah di daerah
yang berbentuk uang dan bersumber dari APBD, maka harus diadakan revisi
terhadap Permendagri No. 39 Tahun 2012 dan menyesuaikan dengan substansi
pengaturan yang ada pada PP No. 12 Tahun 2012;
2. Kondisi nyata, bahwa realitas di tengah masyarakat banyak hidup dan
berkembang organisasi kemasyarakatan yang tidak memiliki badan hukum, baik
yang berbentuk SKT, yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan maupun
kelompok masyarakat lainnya, yang tidak boleh juga keberadaannya diabaikan
oleh pemerintah maka, sebijaknya pemerintah menganggarkan dana lain selain
hibah, dapat berbentuk program pemberdayaan bagi organisasi kemasyarakatan,
yang dapat dilakukan melalui program kemitraan dan kerjasama sesuai dengan
Permendagri No. 44 Tahun 2012 tentang Pedoman Kerjasama Organisasi
Kemasyarakatan dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, atau bentuk
pelatihan dan pendidikan, orientasi kepemimpinan dan kaderisasi, dan lain
26 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
sebagainya sehingga organisasi kemasyarakatan dan kelompok masyarakat tetap
diakui keberadaannya dan tetap mendapatkan pembinaan dari pemerintah;
3. Apabila organisasi kemasyarakatan yang tidak memiliki badan hukum, baik yang
berbentuk SKT, yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan maupun
kelompok masyarakat lainnya tersebut, yang tidak terakomodir untuk
mendapatkan dana hibah sesuai dengan PP No. 2 Tahun 2012 dan UU No. 23
Tahun 2014, maka sebagai subjek hukum masyarakat berhak mengajukan uji
material pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 kepada
Mahkamah Konstitusi dan memperjuangkan agar pasal yang mengatur pemberian
hibah dikaji kembali untuk selanjutnya diputuskan di dalam Sidang MK terkait
permohonan uji pasal tersebut, agar entitas tersebut diatas dapat juga terakomodir
dan mendapatkan kembali dana hibah seperti pengaturan pada Permendagri No.
32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39 Tahun 2012.
27 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Sesuai analisa substansi peraturan perundang-undangan berdasarkan jenis, hierarki
dan asas peraturan perundang-undangan, legalitas formal yang layak dijadikan acuan
untuk penyaluran dana hibah di daerah adalah PP No. 12 Tahun 2012 tentang hibah
daerah, adapun lex specialis yang mengatur terkait teknis penyaluran dana hibah di
daerah yang berbentuk uang dan bersumber dari APBD, maka harus diadakan revisi
terhadap Permendagri No. 39 Tahun 2012 dan menyesuaikan dengan substansi
pengaturan yang ada pada PP No. 12 Tahun 2012;
2. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang Penajaman
Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, belum mampu memberikan jawaban atas kegamangan yang
ada di tengah masyarakat dan pemerintahan daerah terkait permasalahan penyaluran
dana hibah di daerah bagi organisasi kemasyarakatan, namun justru banyak
menimbulkan pertanyaan dari isi substansi surat edaran yang dinilai menambahkan
terjemahan di luar pengaturan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Harus ada ketegasan dari Pemerintah terhadap pengaturan penyaluran dana hibah.
Hendaknya sikap yang diambil pemerintah pusat baik arahan langsung maupun
tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun perbedaan
pendapat dan penerjemahan, harusnya dapat dikomunikasikan dan dikoordinasikan
dengan baik antar pihak yang berkaitan dengan substansi, dalam hal ini Ditjen Bina
Keuangan Daerah dan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum, serta Biro Hukum
Setjen Kementerian Dalam Negeri, agar juga dapat menjadi bahan evaluasi bersama
untuk pengambilan kebijakan yang lebih baik yang lebih berorientasi pada
kepentingan masyarakat.
28 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan