paper kebijakan pemerintahan

28
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak baik tentang organisasi, ataupun pemerintah. Kebijakan merupakan pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu 1 . Kebijakan sebagai sebuah sikap yang diambil oleh pemegang kekuasaan tentunya dilakukan sebagai sebuah bentuk alternatif solusi dalam mengatur sesuatu hal agar hal tersebut bisa tertata dengan baik dan mampu meraih suatu kondisi yang diharapkan. Sejatinya kebijakan yang dijadikan pedoman bagi eksekutor dapat menjadi guiden didalam pengimplementasian di lapangan. Namun, apakah fungsi dari kebijakan tersebut sudah mampu berada di dalam posisinya ataukah menjadi suatu hal yang justru perlu di evaluasi lebih lanjut? Membahas tentang kebijakan khususnya di dalam dunia pemerintahan, tentu kita akan berbicara terkait produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk regulasi positif yang dibentuk berdasarkan kepentingan yang berorientasi bagi masyarakat umum, karena masyarakat di dalam suatu negara memang memerlukan aturan sebagai pedoman dalam bertindak. Namun sayangnya, banyak produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah, di dalam implementasi di lapangan terhambat karena terjadi ketidakharmonisan substansi antara satu produk hukum dengan produk hukum lainnya. Dalam pembahasan ini, penulis akan mengevaluasi terkait produk hukum yang mengatur terkait dana hibah, dengan parameter fokus pembahasan dibatasi pada organisasi kemasyarakatan yang diposisikan sebagai objek penerima dana hibah. Hibah yang memiliki pengertian sebagai pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain 2 , memiliki pengaturan khusus melalui regulasi positif yang mengatur khususnya terkait penyaluran dana hibah dari Pemerintah Daerah yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun yang menjadi dasar hukum pengaturan terkait hibah daerah antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, dengan objek pengaturan yang berhak menerima dana hibah dari Pemerintah Daerah sesuai dengan Pasal 8 PP No. 2 Tahun 1 Power Point Analisis Kebijakan Publik, oleh Nurliah Nurdin, Slide 4. 2 hp://kbbi.web.id 1 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

Upload: independent

Post on 25-Nov-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana

dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak baik tentang

organisasi, ataupun pemerintah. Kebijakan merupakan pernyataan cita-cita, tujuan,

prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai

sasaran tertentu1. Kebijakan sebagai sebuah sikap yang diambil oleh pemegang kekuasaan

tentunya dilakukan sebagai sebuah bentuk alternatif solusi dalam mengatur sesuatu hal

agar hal tersebut bisa tertata dengan baik dan mampu meraih suatu kondisi yang

diharapkan. Sejatinya kebijakan yang dijadikan pedoman bagi eksekutor dapat menjadi

guiden didalam pengimplementasian di lapangan. Namun, apakah fungsi dari kebijakan

tersebut sudah mampu berada di dalam posisinya ataukah menjadi suatu hal yang justru

perlu di evaluasi lebih lanjut?

Membahas tentang kebijakan khususnya di dalam dunia pemerintahan, tentu kita akan

berbicara terkait produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk

regulasi positif yang dibentuk berdasarkan kepentingan yang berorientasi bagi masyarakat

umum, karena masyarakat di dalam suatu negara memang memerlukan aturan sebagai

pedoman dalam bertindak. Namun sayangnya, banyak produk hukum yang dihasilkan

oleh pemerintah, di dalam implementasi di lapangan terhambat karena terjadi

ketidakharmonisan substansi antara satu produk hukum dengan produk hukum lainnya.

Dalam pembahasan ini, penulis akan mengevaluasi terkait produk hukum yang

mengatur terkait dana hibah, dengan parameter fokus pembahasan dibatasi pada

organisasi kemasyarakatan yang diposisikan sebagai objek penerima dana hibah. Hibah

yang memiliki pengertian sebagai pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak

atas sesuatu kepada orang lain2, memiliki pengaturan khusus melalui regulasi positif yang

mengatur khususnya terkait penyaluran dana hibah dari Pemerintah Daerah yang

bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun yang

menjadi dasar hukum pengaturan terkait hibah daerah antara lain, Peraturan Pemerintah

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, dengan objek pengaturan yang berhak

menerima dana hibah dari Pemerintah Daerah sesuai dengan Pasal 8 PP No. 2 Tahun 1 Power Point Analisis Kebijakan Publik, oleh Nurliah Nurdin, Slide 4.2 http://kbbi.web.id

1 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

2012 tentang Hibah Daerah yaitu; Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD,

dan/atau badan, lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum3.

Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk melalui dasar diktum mengingat yaitu Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah. Dalam perkembangannya, peraturan terkait dana hibah diatur lebih

teknis di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 yang telah

diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah. Didalam pasal 11 ayat (2) huruf e Permendagri Nomor

39 Tahun 2012 disebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan sebagai salah satu objek

belanja hibah4.

Organisasi kemasyarakatan yang menjadi salahsatu objek yang berhak menerima dana

hibah dari pemerintah daerah dalam perkembangannya memiliki regulasi khusus yang

spesifik mengatur terkait arah kebijakan organisasi kemasyarakatan. Pengaturan tersebut

bermula dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan

yang dalam perkembangannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan. Di dalam pasal 37 ayat (1) huruf f Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diatur bahwa sumber

keuangan organisasi kemasyarakatan dapat bersumber dari APBN dan/atau APBD5,

dalam hal ini hibah dari APBD oleh pemerintah daerah kepada organisasi

kemasyarakatan dimungkinkan. Namun jika menelaah substansi PP No. 2 Tahun 2012

tentang Hibah Daerah, Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan dan Permendagri No. 39 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan

Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, ada

perbedaan substansi terkait objek penerima hibah khusunya untuk organisasi

kemasyarakatan. Didalam Pasal 8 huruf d PP No. 2 Tahun 2012, disebutkan bahwa objek

yang berhak menerima dana hibah adalah “badan, lembaga dan organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum indonesia”, sementara di dalam pasal 11 ayat (2)

huruf e Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 disebutkan bahwa objek penerima dana hibah

3 PP No. 2 Tahun 2012, pasal 8.4 Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, pasal 11 ayat (2) huruf e.5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, pasal 37 ayat (1) huruf f.

2 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

adalah “organisasi kemasyarakatan”. Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan

karena antara organisasi kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia dan organisasi

kemasyarakatan memiliki definisi yang berbeda. Di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa

bentuk organisasi kemasyarakatan dapat berbentuk ormas berbadan hukum dan ormas

tidak berbadan hukum. Hal ini kembali menjadi permasalahan ketika muncul Undang-

Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 289 ayat (5) huruf d

yang substansinya sama dengan PP nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah yang

menyatakan bahwa objek yang berhak menerima dana hibah adalah “badan, lembaga dan

organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum indonesia”.

Perbedaan substansi diantara beberapa produk hukum negara ini, membuat

implementasi penyaluran dana hibah di daerah menjadi terhambat, karena selama ini,

penyaluran dana hibah berpedoman pada Permendagri No. 39 Tahun 2012 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai lex specialist peraturan yang mengatur terkait

pemberian dana hibah. Selain itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan bahwa memang bukan hanya organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum saja yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,

namun lebih jauh dari itu banyak organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum

yang hidup di tengah masyarakat. Sementara, akibat adanya Pasal 289 ayat (5) huruf d

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membatasi objek

penerima hibah yaitu organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia saja,

maka pemerintah di daerah tidak berani mencairkan dana hibah bagi organisasi

kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum, padahal penetapan ormas yang berhak

mendapatkan dana hibah untuk Tahun 2015 sudah ditetapkan sejak akhir tahun anggaran

2014. Hal ini menyebabkan kondisi yang cheos di tengah masyarakat dan pemerintahan

daerah dan menyebabkan penyerapan anggaran pada pos anggaran belanja bantuan hibah

menjadi tidak terserap pada hampir seluruh APBD di provinsi dan kabupaten/kota.

Sebagai contoh di Kabupaten Jepara dana hibah sebesar 14 M tidak dicairkan6 dan di

Kabupaten Badung Prov. Bali anggaran untuk dana hibah untuk organisasi

6 http:// jepara.go.id /?pilih=news&aksi=lihat&id=751 , diunduh tanggal 21 Februari 2016.

3 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

kemasyarakatan Tahun 2015 sebesar 120,2 M tidak terserap7 serta banyak pemerintah

daerah di provinsi dan kabupaten kota lainnya yang juga terhambat untuk melakukan

pencairan dan hibah. Selain itu juga banyak sekali surat masuk dari daerah yang

ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri yang meminta penjelasan terkait regulasi

penyaluran dan hibah bagi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah daerah juga banak

yang kemudian datang ke kantor Kementerian Dalam Negeri untuk berkonsultasi lebih

lanjut mengenai hal tersebut, baik ke Biro Hukum Setjen, Ditjen Politik dan Pemerintahan

Umum maupun Ditjen Bina Keuangan Daerah. Hal ini menunjukan adanya implikasi

yang cukup besar sebagai ekses perbedaan substansi produk hukum yang dikeluarkan

oleh Kementerian Dalam Negeri.

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Surat

Edaran Menter Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang Penajaman Ketentuan Pasal

298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Substansi dari Surat Edaran Mendagri tersebut menerjemahkan ulang Pasal 289 ayat (5)

yang dijelaskan pada angka 9 (sembilan) yang menyatakan bahwa:

a. Badan dan lembaga yang berbadan hukum Indonesia, adalah:

1) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela dan social

yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;

2) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan sosial

yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diterbikan oleh

Menteri Dalam Negeri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; dan

b. Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia adalah organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau organisasi kemasyarakatan yang

berbadan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Selanjutnya pada angka 10 (sepuluh) dinyatakan bahwa pelaksanaan anggaran hibah

dan bantuan social yang tercantum dalam Peraturan Daerah tentang APBD sebelum

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka berlaku ketentuan bahwa

penyediaan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dilaksanakan sepanjang telah

dilakukan evaluasi dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala SKPD terkait, memperoleh

pertimbangan dari TAPD dan tercantum dalam KUA/PPAS tahun anggaran berkenaan 7 http://balipost.com/read/breaking-news/2015/07/27/38372/hibah-untuk-lembaga-adat-tersandung-se- mendagri.html, diunduh tanggal 21 Februari 2016.

4 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

sesuai dengan maksud Peraturan Menteri Dalam Ngeri Nomor 32 Tahun 2011

sebagaimana diubah dengan Peraturan Meneri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.

1.2. Identifikasi Masalah

1. Adanya disharmonisasi substansi pengaturan mengenai penyaluran dana hibah,

khususnya bagi organisasi kemasyarakatan sebagai salahsatu objek penerima dana

hibah;

2. Adanya keresahan pemerintah daerah terhadap substansi penjelasan Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298

ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang

masih ambigu untuk dijadikan pedoman implementasi dana hibah bagi organisasi

kemasyarakatan.

1.3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisa evaluasi kebijakan terhadap disharmonisasi substansi pengaturan

pada produk hukum yang mengatur terkait penyaluran dana hibah bagi organisasi

kemasyarakatan?

2. Apakah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang

Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah sudah bisa dijadikan solusi terkait permasalahan

penyaluran dana hibah bagi organisasi kemasyarakatan?

3. Bagaimana alternatif solusi penyelesaian permasalahan penyaluran dana hibah bagi

organisasi kemasyarakatan?

BAB 2

TINJAUAN TEORI

5 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

2.1. Pengertian, Tujuan, dan Bentuk Pemberian Hibah yang bersumber dari APBD

2.1.1. Pengertian Hibah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “hibah” berarti pemberian (dengan

sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain8. Kata “hibah”

memiliki 2 (dua) makna, yaitu hibah antar personal sebagaimana dimaksud dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan hibah terkait dengan

keuangan daerah, sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan sebagai

berikut:

1) Pasal 1666 KUH Perdata,menyatakanhibah/penghibahan (schenking)adalah suatu

persetujuan/perjanjian (overeenkomst) dengan/dalam mana pihak yang

menghibahkan (schenker), pada waktu ia masih hidup, secara cuma-cuma

(omniet) dan tak dapatditarik kembali, menyerahkan/melepaskan sesuatu

bendakepada/demi keperluan penerima hibah (begiftigde) yangmenerima

penyerahan/penghibahan itu.

2) Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f PP Nomor 58 tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, menyatakan bahwa hibah digunakan untuk

menganggarkan pemberian uang/barangatau jasa kepada pemerintah atau

pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi

kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat

tidak wajib dan tidak mengikat,serta tidak secara terus menerus.

3) Pasal 42 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Pemendagri

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,

yang menyatakan bahwa belanja hibah digunakan untuk menganggarkan

pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepadapemerintah atau

pemerintah daerah lainnya, perusahaandaerah, masyarakat, dan organisasi

kemasyarakatanyang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.

4) Pasal 1 angka 14 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah, yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun

2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun

2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari

8 http://kbbi.web.id

6 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pengertian hibah adalah pemberian

uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah

daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan,

yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak

mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang

penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.

5) Buletin Teknis Nomor 4 Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) tentang

Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah, menyatakan bahwa hibah

adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada

pemerintah atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan

organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,

bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus.

6) Buletin Teknis Nomor 13 SAP tentang Akuntansi Hibah, yang menyatakan bahwa

belanja hibah adalah belanja pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa yang

dapatdiberikan kepada pemerintah negara lain, organisasi internasional, pemerintah

pusat/daerah, perusahaan negara/daerah, kelompok masyarakat, atau organisasi

kemasyarakatan yangsecara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak

wajib dan tidak mengikat, sertatidak secara terus menerus kecuali ditentukan lain

dalam peraturan perundang-undangan.

2.1.2. Tujuan Pemberian Hibah

Sesuai dengen pengertian hibah, maka pemberian hibah oleh pemerintah daerah

bertujuan untuk menunjang penyelenggaran urusan pemerintah daerah. Pemberian hibah

ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah dengan

tetap memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat9,

serta sesuai dengan asas pengelolaan keuangan daerah10.

Asas-asas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

9 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, Pasal 4 ayat (3). 10 PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, Pasal 7.

7 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

1) Asas keadilan yaitu terdapat keseimbangan dalam distribusi kewenangan dan

penyalurannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan

pertimbangan objektif;

2) Asas kepatutan yaitu tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan

proporsional;

3) Asas rasionalitas yaitu keputusan atas pemberian hibah harustepat sasaran dan

dapat dipertanggungjawabkan;

4) Asas manfaat untuk masyarakatyaitubahwa keuangan daerah harus diutamakan

untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan bermanfaat;

5) Asas pengelolaan keuangan daerah berarti bahwa keuangan daerah dikelola secara

tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,

transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan,

kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

2.1.3. Bentuk Hibah

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah, yang telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian

Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,

pemberian hibah dapat berupa uang, barang, atau jasa.

Bentuk hibah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Hibah berupa uang, dianggarkan dalam kelompok belanja tidak langsung, jenis

belanja hibah, obyek belanja hibah, dan rincian obyek belanja hibah pada Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)11. PPKD merupakan kepala Satuan Kerja

Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) yang mempunyai tugas melaksanakan

pengelolaanAPBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah12. Hibah berupa

uang dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung yang merupakan belanja

yang tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan

daerah13.

11 PermendagriNomor 32 Tahun 2011 sebagaimanatelahdiubahdenganPermendagriNomor 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (1). 12 Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Pasal 1 angka 15. 13 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Pasal 36 ayat (2).

8 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

2) Hibah berupa pembelian barang dan/atau kegiatan berupa jasa, dianggarkan dalam

kelompok belanja langsung yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan,

yang diuraikan kedalam jenis belanja barang dan jasa, obyek belanja hibah barang

atau jasa berkenaan kepada pihak ketiga/masyarakat, dan rincian obyek belanja

hibah barang atau jasa yang diserahkan kepada kepada pihak ketiga/masyarakat

pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)14. SKPD merupakan perangkat

daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang15.

Hibah berupa barang dan/atau jasa dapat dikelompokkan ke dalam belanja

langsung yang merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan

pelaksanaan program dan kegiatan daerah16.

2.2. Pengertian dan Bentuk Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk

oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,

kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya

tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila17.

Ormas dapat berbentuk18:

a. badan hukum; atau

b. tidak berbadan hukum.

2.3. Jenis, Hierarki dan Asas Peraturan Perundang-Undangan

2.3.1. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;14 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (3). 15 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, Pasal 1 angka 10.16 Ibid,Pasal 36 ayat (2).17 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 1.18 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 12 ayat 1.

9 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2.3.2. Asas Peraturan Perundang-Undangan

1. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi

mengesampingkan peraturan yang rendah (asas hierarki)19.

2. Asas lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan

hukum yang bersifat umum (lex generalis)20.

3. Asas lex posterior derogat legi priori yaitu pada peraturan yang sederajat,

peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan

yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini

peraturan yang lama tidak berlaku lagi.  Biasanya dalam peraturan perundangan-

undangan ditegaskan secara ekspilisit yang mencerminkan asas ini21.

2.4. Kedudukan Surat Edaran Menteri di dalam Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma

hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan. Prof. Dr. A. Hamid S Attamimi, SH menyatakan bahwa norma

dari suatu peraturan perundang-undangan adalah selalu bersifat mengikat umum,

abstrak, dan berlaku terus menerus (dauerhaftig)22. Urutannya UUD 1945, TAP MPR,

UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda kabupaten/kota23. Tidak ada

penyebutan SE secara eksplisit24.

19 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_superior_derogat_legi_inferior, diunduh pada 21 Februari 2016.20 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_general, diunduh pada 21 Februari 2016.21 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_posterior_derogat_legi_priori, diunduh pada 21 Februari 2016.22 http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/19902-kedudukan-peraturan-kebijakan-surat-edaran,-instruksi,-petunjuk-teknis-dalam-hukum-positif-di-indonesia, diunduh pada 22 Februari 2016.23 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, Pasal 7.24 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan , diunduh pada 22 Februari 2016.

10 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

Hasil data yang didapatkan penulis dari wawancara yang dikutip oleh

hukumonline kepada Bayu Dwi Anggoro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember,

sebagai berikut25,

“SE memang bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan. Masuk peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving)”.

Surat Edaran adalah surat yang ditujukan kepada banyak orang atau banyak

lembaga, bahkan dapat ditujukan kepada khalayak masyarakat26. Surat Edaran adalah

naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara

melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak27.

Surat Edaran merupakan suatu perintah pejabat tertentu kepada

bawahannya/orang di bawah binaannya. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat

Edaran Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena

pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.

Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran

merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan

kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan

penerbitannya28:

a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak;

b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan;

c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik.

BAB 3

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1. Disharmonisasi Produk Hukum yang Mengatur Penyaluran Dana Hibah

25 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan , diunduh pada 22 Februari 2016.26 http://www.landasanteori.com/2015/07/pengertian-surat-fungsi-jenis-menurut.html, diunduh pada 23 Februari 2016.27 Permendagri No. 55 Tahun 2010, butir 43. 28 http://www.kopertis12.or.id/2012/02/04/kedudukan-surat-edaran-ditinjau-dari-sudut-pandang-tata-hukum-indonesia.html, diunduh pada 23 Februari 2016.

11 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

3.1.1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD

Pengaturan khusus mengenai hibah yang berbentuk uang dan bersumber dari

APBD memang diawali dari dibentuknya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang

ditetapkan pada tanggal 28 Juli 2011. Amanat pembentukan peraturan menteri

terhadap dana hibah memang tidak dikatakan secara eksplisit di dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, namun Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hibah diatur dalam peraturan perundangan tersendiri29. Meskipun tidak secara

ekplisit dikatakan bahwa pengaturan teknis untuk hibah uang yang bersumber dari

APBD diatur oleh peraturan menteri, namun situasi dan kondisi pemerintahan

khususnya di daerah memerlukan pengaturan teknis yang mengatur terkait penyaluran

dana hibah agar menunjang tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi

pengelolaan hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD).

Selanjutnya membahas tentang dana hibah untuk organisasi kemasyarakatan, di dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,

disebutkan sebagai berikut:

“Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian uang/barang atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus.”30

Organisasi kemasyarakatan dikatakan di dalam PP No. 58 Tahun 2005 sebagai salahsatu objek penerima hibah. Selanjutnya, Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5 menyatakan bahwa Hibah dapat diberikan kepada31:

a. pemerintah;

29 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, Pasal 25.30 Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005, Pasal 27 ayat (7) huruf f.31 Permendagri No. 32 Tahun 2011, Pasal 5.

12 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

b. pemerintah daerah lainnya;c. perusahaan daerah;d. masyarakat; dan/ataue. organisasi kemasyarakatan.

Sesuai dengan analisis substansi dan dasar pembentukan Permendagri Nomor

32 Tahun 2011 sudah sesuai kebutuhan kondisi kekinian pada saat itu dan tidak ada

yang salah dengan pencantuman objek “organisasi kemasyarakatan” di dalam

Permendagri tersebut karena sudah sesuai dengan istilah penyebutan objek penerima

hibah yang diatur di dalam PP no. 58 Tahun 2005. Hanya saja yang perlu dikaji lebih

lanjut, apakah memungkinkan secara hukum membentuk peraturan menteri jikalau

tidak ada dasar amanat yang jelas dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi? Karena sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.32

Dasar pembentukan Permendagri ini adalah menimbang dari amanat ketentuan

Pasal 129 dan Pasal 130 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa Menteri Dalam Negeri berwenang melakukan

pembinaan pengelolaan keuangan daerah33, oleh karenanya pembentukan Permendagri

No. 32 Tahun 2011 tidak ada kekeliruan terhadapnya.

32 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 8.33 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pasal 129 dan Pasal 130.

13 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

3.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah

Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah adalah merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 45 Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Darah, yang menyebutkan bahwa “Tata cara pemberian, penerimaan, dan

penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan

Pemerintah.”34 Peraturan pemerintah ini ditetapkan pada tanggal 4 Januari 2012.

Namun, pembentukan peraturan pemerintah ini nampaknya memang tidak

menjadikan Permendagri No. 32 Tahun 2011 sebagai salah satu pertimbangan

peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan masukan substansi pada

pengaturan PP No. 2 Tahun 2012. Terbukti dengan adanya perbedaan substansi

pengaturan dalam hal objek penerima dana hibah khususnya untuk organisasi

kemasyarakatan. Di dalam PP No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d menyatakan

bahwa “Hibah dari Pemerintah Daerah dapat diberikan kepada badan, lembaga, dan

organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.”35 Sementara di

dalam pengaturan Permendagri No. 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5 huruf e

menyatakan bahwa hibah dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan.

Perbedaan penyebutan istilah objek penerima hibah antara organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia dan organisasi kemasyarakatan,

pada waktu itu belum menimbulkan suatu kebingungan karena memang terkait

pengaturan perundang-undangan khusus yang mengatur organisasi kemasyarakatan di

dalam Undang-Undang 8 Tahun 1985 tidak membedakan antara organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum dan organisasi kemasyarakatan. Namun, justru

hal ini yang kemudian menjadi inti permasalahan dari disharmonisasi produk

peraturan perundang-undangan yang membahas tentang hibah bagi organisasi

kemasyarakatan.

34 Undang-Undang 33 Tahun 2004, Pasal 45.35 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d.

14 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

3.1.3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri 32 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD

Sesuai dengan amanat Pasal 22 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

2012, menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran

hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk uang diatur dengan

Peraturan Menteri.”36 Amanat pasal pada peraturan pemerintah ini secara ekplisit

memerintahkan adanya pembentukan peraturan menteri sebagai pedoman aturan

teknis penyaluran hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk

uang, dalam hal ini yang bersumber dari APBD. Padahal, peraturan teknis tersebut

sudah lebih dahulu ada, yaitu Permendagri No. 32 Tahun 2011, dengan dasar

pembentukan yang berbeda.

Hal ini sebetulnya menjadi peluang penyamaan substansi pengaturan terkait

dana hibah, khususnya untuk organisasi kemasyarakatan yang diatur didalam

Permendagri 32 Tahun 2011, dengan adanya revisi terhadap Permendagri 32 Tahun

2011 melalui Permendagri No. 39 Tahun 2102 tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Dalam Negeri 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan

Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang ditetapkan setelah PP No. 2 Tahun

2012 ditetapkan, yaitu pada tanggal 22 Mei 2012. Namun ternyata, tidak ada

perbedaan substansi terkait objek penerima hibah pada Permendagri No. 39 Tahun

2012, yang masih menyatakan bahwa objek belanja hibah salah satunya adalah

organisasi kemasyarakatan.37 Jadi dapat disimpulkan bahwa revisi dari Permendagri

No. 39 Tahun 2012 bukan merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 22 ayat (7)

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, namun hanya sekedar perbaikan

beberapa pasal pada Permendagri No. 32 Tahun 2011 saja.

3.1.4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

merupakan Undang-Undang pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang

Organisasi Kemasyarakatan yang memang sudah tidak sesuai dengan kondisi

kekinian ang dibutuhkan masyarakat. Di dalam UU No. 17 Tahun 2013 dikatakan

bahwa, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dan

dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, 36 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, Pasal 22 ayat (7).37 Permendagri No. 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (2) huruf e.

15 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam

pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

berdasarkan Pancasila.38

Berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, di

dalam UU No. 17 Tahun 2013 ini, dikenal spesifikasi bentuk organisasi

kemasyarakatan. Pada Pasal 12 ayat (1) dikatakan bahwa Ormas dapat berbentuk39:

a. badan hukum; atau

b. tidak berbadan hukum.

Hal inilah yang kemudian menjadi inti permasalahan dari perbedaan

pengaturan yang ada antara Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39

Tahun 2012 yang menyatakan bahwa objek penerima hibah salah satunya adalah

organisasi kemasyarakatan, sedangkan PP No. 2 Tahun 2012 menyatakan objek

penerima hibah salah satunya adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum

Indonesia. Sementara sesuai dengan UU no. 17 Tahun 2013, bahwa organisasi

kemasyarakatan bukan hanya organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum,

namun ada juga organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum. Apabila

mengacu pada PP No. 2 Tahun 2012 maka, organisasi kemasyarakatan yang tidak

berbadan hukum tidak berhak menerima dana hibah.

Namun, adanya perbedaan antara substansi Permendagri No. 39 Tahun 2012

yaitu pada Mei 2012 dan PP No. 2 Tahun 2012 serta lahirnya Undang-Undang No. 17

Tahun 2013 selama kurun waktu tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2014 tidak

terlalu menjadi sebuah permasalahan terhadap impementasi penyaluran dana hibah di

daerah, karena pemerintah daerah lebih berpedoman pada lex specialis pengaturan

dana hibah daerah, yaitu Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39

Tahun 2012, namun hal ini menjadi sebuah permasalahan besar yang menjadikan

keresahan di daerah semenjak lahirnya Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 298 yang mengatur tentang objek penerima

hibah, dimana substansi nya murni mengadopsi dari PP No. 2 Tahun 2012 Pasal 8

ayat (1) huruf d, yang menyatakan bahwa “Hibah dari Pemerintah Daerah dapat

diberikan kepada badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan

hukum Indonesia.”40

38 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 1.39 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 12 ayat 1.40 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d.

16 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

3.1.5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Lahirnya Undang- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, menjadi perhatian seluruh aparatur pemerintahan baik di pusat

maupun di daerah. Undang-Undang induk yang mengatur penyelenggaraan

pemerintahan daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2012 ini

sudah tentu menjadi regulasi yang dinantikan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Di

dalam Undang-Undang ini, ternyata juga mengatur terkait hibah yang bersumber dari

APBD, yaitu pada Pasal 298 ayat (5), bahwa:

Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:

a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah lain;

c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau

d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum

Indonesia.41

Berbeda dengan lahirnya PP No. 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, yang

sebetulnya merupakan lex specialis yang mengatur terkait hibah, lahirnya Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya Pasal 298 ayat (5) yang mengatur terkait

objek penerima dana hibah justru lebih menarik perhatian bagi seluruh aparatur

pemerintahan baik di pusat maupun di daerah padahal Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 bukan regulasi spesialis yang mengatur terkait hibah.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menimbulkan kebingungan

bagi daerah, khususnya dalam menyalurkan dana hibah yang bersumber dari APBD

kepada organisasi kemasyarakatan. Perbedaan substansi Permendagri No. 32 Tahun

2011 dan Permendagri No. 39 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 menimbulkan kebingungan pada hampir seluruh Pemerintahan Daerah, sehingga

Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota tidak berani mencairkan

dana hibah bagi ormas yang tidak berbadan hukum.

Dampak dari hal tersebut, penyerapan anggaran belanja hibah di daerah sangat

minim yang menyebabkan penyerapan APBD secara keseluruhan di daerah Provinsi

maupun Kabupaten/Kota tidak optimal. Sebagai contoh di Kabupaten Jepara dana

hibah sebesar 14 M tidak dicairkan42 dan di Kabupaten Badung Prov. Bali anggaran

untuk dana hibah untuk organisasi kemasyarakatan Tahun 2015 sebesar 120,2 M tidak 41 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, Pasal 298 ayat (5).42 http:// jepara.go.id /?pilih=news&aksi=lihat&id=751 , diunduh tanggal 21 Februari 2016.

17 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

terserap43 serta banyak pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten kota lainnya

yang juga terhambat untuk melakukan pencairan dan hibah. Selain itu juga banyak

sekali surat masuk dari daerah yang ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri

yang meminta penjelasan terkait regulasi penyaluran dan hibah bagi organisasi

kemasyarakatan. Pemerintah daerah juga banak yang kemudian datang ke kantor

Kementerian Dalam Negeri untuk berkonsultasi lebih lanjut mengenai hal tersebut,

baik ke Biro Hukum Setjen, Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum maupun Ditjen

Bina Keuangan Daerah. Hal ini menunjukan adanya implikasi yang cukup besar

sebagai ekses perbedaan substansi produk hukum yang dikeluarkan oleh Kementerian

Dalam Negeri.

3.1.6. Analisa Disharmonisasi Produk Hukum yang Mengatur Penyaluran Dana Hibah

a. Analisa Evaluasi Kebijakan Dana Hibah dilihat dari Jenis dan Hierarki

Peraturan Perundang-Undangan

Diantara beberapa peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan dan

mengatur tentang hibah berupa uang yang bersumber dari APBD khusus untuk

objek penerima hibah yaitu organisasi kemasyarakatan, dimana substansi diantara

beberapa produk hukum tersebut ada yang berbeda, maka penulis menganalisis

kedudukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dipedomani

dilihat dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan

amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.44

43 http://balipost.com/read/breaking-news/2015/07/27/38372/hibah-untuk-lembaga-adat-tersandung-se- mendagri.html, diunduh tanggal 21 Februari 2016.

44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7.

18 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

Untuk menganalisa jenis dan hierarki juga mengacu pada Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, bahwa:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah

atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.45

Adapun analisis produk hukum tersebut, sebagai berikut:

No. Nama PeraturanPer-UU-an

Dasar Pembentukan

Tanggal Penetapan

Substansi yang Berbeda

Jenis dan Hierarki

1. Permendagri No. 32/2011

Kewenangan Mendagri sebagai Pengelola Keuda, Pasal 129 dan 130 PP No. 58/2005

28 Juli 2011Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan

Peraturan perundang-undangan lain (dibentuk melalui kewenangan)

2. PP No. 2/2012 Pasal 45 UU 33/2004 4 Januari 2012

Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan berbadan hukum indonesia

Urutan ke- 4 setelah Undang-Undang

3. Permendagri No. 39/2012

Pasal 22 ayat (7) PP No. 2/2012 22 Mei 2012

Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan

Peraturan perundang-undangan lain (ada amanat pembentukan)

4. UU No.17/2013 Pengganti UU No. 8/1985 22 Juli 2013

- Ormas Berbentuk Badan Hukum dan Tidak Berbadan Hukum

- Sumber keuangan ormas dimungkinkan dari APBN/APBD

Urutan ke-3 setelah TAP MPR

45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 8.

19 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

5. UU No. 23/2014 Pengganti UU No. 32/2004

2 Oktober 2014

- Objek penerima hibah: organisasi kemasyarakatan berbadan hukum indonesia

Urutan ke-3 setelah TAP MPR

Tabel 3.1. Pendataan Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Hibah

Sesuai dengan Tabel 3.1, analisa yang bisa diambil terkait disharmonisasi

pengaturan mengenai penyaluran hibah berbentuk uang yang bersumber dari

APBD untuk organisasi kemasyarakatan, dilihat dar jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan Permendagri No. 32 Tahun 2011 sudah tepat karena dibentuk

sesuai dengan kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam hal pengelolaan

keuangan daerah, dalam hal ini dana hibah yang bersumber dari APBD dengan

memperhatikan kebutuhan dan kondisi kekinian di masyarakat dalam rangka

menunjang tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan

hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Selanjutnya, penyebutan istilah ”organisasi

kemasyarakatan” sudah tepat sesuai dengan isi dari Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah;

2. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 sudah tepat apabila dilihat dari dasar

pembentukannya, yaitu amanat Pasal 45 Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Darah. Hanya saja penyebutan objek penerima hibah keliru disebutkan (tidak sesuai dengan Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5). Pada Pasal 8 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun

2012 menyatakan bahwa “Hibah dari Pemerintah Daerah dapat diberikan

kepada badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan

hukum Indonesia.”46, hal tersebut berbeda dengan Penjelasan Pasal 27 ayat (7) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan

Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 di dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa objek penerima hibah itu salahsatunya

46 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) huruf d.

20 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

adalah organisasi kemasyarakatan (secara general, tidak spesifik yang berbadan hukum saja). Hal ini yang menjadi awal perbedaan penerjemahan istilah antara organisasi kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia dengan istilah organisasi kemasyarakatan. Namun, karena Peraturan Pemerintah di dalam hirarki peraturan perundang-undangan jauh lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri, maka seyogyanya yang menjadi pedoman acuan dalam penyaluran hibah adalah PP No. 2 Tahun 2012.

3. Lahirnya revisi Permendagri No. 32 Tahun 2011 yang dirubah dengan Permendagri No. 39 Tahun 2012, seharusnya menyesuaikan dengan substansi PP No. 2 Tahun 2012, hal tersebut diperkuat dengan amanat di dalam Pasal 22 ayat (7) Peraturan

Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa, “Ketentuan lebih

lanjut mengenai tata cara penyaluran hibah dari Pemerintah kepada

Pemerintah Daerah dalam bentuk uang diatur dengan Peraturan Menteri.”47

Namun ternyata, Permendagri No. 39 Tahun 2012 tidak mengacu pada PP No.

12 Tahun 2012 dan bukan merupakan pelaksanaan dari amanat PP No. 12

Tahun 2012, namun lebih kepada perbaikan substansi dari Permendagri No. 32

Tahun 2011 saja, dengan objek penerima hibah salah satunya adalah

organisasi kemasyarakatan.48 Apabila dianalisa, hal tersebut keliru karena

substansi Permendagri No. 39 Tahun 2012 tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya yaitu PP No. 2 Tahun 2012.

Dan seharusnya yang menjadi acuan penyaluran dana hibah daerah adalah

tetap PP No. 2 Tahun 2012.

4. Undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

apabila dianalisa dalam permasalahan perbedaan pengaturan terkait dana hibah

untuk ormas sebenarnya tidak berkaitan langsung. Hanya saja di dalam

Undang-Undang ini mulai dikenal spesifikasi atau pembeda bentuk organisasi

kemasyarakatan, yaitu pada Pasal 12 ayat (1) dikatakan bahwa Ormas dapat

berbentuk49:

a. badan hukum; atau47 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012, Pasal 22 ayat (7).48 Permendagri No. 39 Tahun 2012, Pasal 11 ayat (2) huruf e.49 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, Pasal 12 ayat 1.

21 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

b. tidak berbadan hukum.

Melalui pengaturan pada pasal ini semakin jelas terlihat perbedaan antara

istilah organisasi kemasyarakatan (secara umum) dan organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum yang merupakan bagian dari bentuk

organisasi kemasyarakatan, dimana kedua hal tersebut yang menjadi inti dari

perbedaan pengaturan objek penerima hibah antara Permendagri No. 32/2011

dan Permendagri No. 39/2012 dengan PP No. 2 Tahun 2012.

5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan

pedoman induk penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sehingga menjadi

perhatian dari seluruh aparatur pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Substansi Pasal 289 UU 23 Tahun 2014 yang mengatur terkait objek penerima

hibah, mengadopsi murni dari PP No. 2 Tahun 2012, yaitu pada Pasal 298 ayat

(5), bahwa:

Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:

a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah lain;

c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau

d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum

Indonesia.50

Meskipun perbedaan pengaturan ini sudah ada sejak lahirnya PP No. 2 Tahun

2012, namun respon dari pemerintah daerah dan masyarakat terlihat lebih

besar pada saat lahirnya UU No. 23 Tahun 2014. Jika dilihat dari jenis dan

hirarki peraturan perundang-undangan memang posisi UU 23 Tahun 2014

lebih tinggi meskipun bukan lex spesialis sebagai undang-undang yang

mengatur hibah, selain itu diperkuat dengan PP No. 2 Tahun 2012 sebagai lex

spesiais peraturan perundang-undangan yang mengatur hibah daerah yang

seharusnya menjadi acuan pelaksanaan hibah di daerah. Hal ini semakin

melemahkan posisi Permendagri No. 32/2011 dan Permendagri No. 39/2012.

b. Analisa Evaluasi Kebijakan Dana Hibah dilihat dari Asas Peraturan

Perundang-Undangan

Sesuai dengan Tabel 3.1, adapun Analisa Evaluasi Kebijakan Dana Hibah

dilihat dari Asas Peraturan Perundang-Undangan, sebagai berikut:

50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, Pasal 298 ayat (5).

22 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

a. Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih

tinggi mengesampingkan peraturan yang rendah (asas hierarki)51.

Menurut analisa evaluasi kebijakan dana hibah dilihat dari asas ini, dapat

disimpulkan bahwa posisi UU 23 Tahun 2014 lebih tinggi meskipun bukan lex

spesialis sebagai undang-undang yang mengatur hibah, selain itu diperkuat

dengan PP No. 2 Tahun 2012 sebagai lex spesiais peraturan perundang-

undangan yang mengatur hibah daerah yang seharusnya menjadi acuan

pelaksanaan hibah di daerah. Hal ini semakin melemahkan posisi Permendagri

No. 32/2011 dan Permendagri No. 39/2012.

b. Asas lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)52.

Menurut asas ini, memang Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri

No. 39 Tahun 2012 merupakan lex specialis pengaturan hibah, namun hal

tersebut dikalahkan dengan posisi PP No. 2 Tahun 2012 yang juga lex

spesialis pengaturan hibah daerah ditambah dengan posisi didalam hierarki

peraturan perundang-undangan PP No. 2 Tahun 2012 lebih tinggi

dibandingkan Permendagri No. 32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39

Tahun 2012. Hal ini semakin melemahkan posisi Permendagri No. 32/2011

dan Permendagri No. 39/2012.

c. Asas lex posterior derogat legi priori yaitu pada peraturan yang sederajat,

peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan

yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini

peraturan yang lama tidak berlaku lagi.  Biasanya dalam peraturan

perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilisit yang mencerminkan asas

ini53.

Dalam hal ini, PP No. 2 Tahun 2012 semakin diperkuat dengan posisinya

sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan lebih baru yaitu

ditetapkan pada tanggal 4 Januari 2012, dibandingkan permendagri No.

32/2011 dengan posisinya yang lebih rendah dibandingkan PP dan 51 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_superior_derogat_legi_inferior, diunduh pada 21 Februari 2016.52 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_general, diunduh pada 21 Februari 2016.53 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_posterior_derogat_legi_priori, diunduh pada 21 Februari 2016.

23 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

penetapannya yang lebih lama, yaitu pada tanggal 28 Juli 2011. Di sisi lain

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 meskipun bukan lex specialis mengatur

hibah, namun posisi di dalam hierarki peraturan perundang-undangan jauh

lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri, dan waktu ditetapkannya pun

masih sangat baru yaitu pada tanggal 2 Oktober 2014. Hal ini kembali semakin

melemahkan posisi Permendagri No. 32/2011 dan Permendagri No. 39/2012.

3.2. Polemik Surat Edaran Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ

tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah

Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan

dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan

mendesak54. Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena

Surat Edaran merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata

berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar

pertimbangan penerbitannya55:

a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak;

b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan;

c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan

yang baik.

Sebagai respon dari banyaknya pertanyaan dari pemerintahan daerah dan

masyarakat terkait pengaturan dana hibah yang berbeda, Kementerian Dalam Negeri

kemudian mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ

tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Substansi dari Surat Edaran Mendagri tersebut

menerjemahkan ulang Pasal 289 ayat (5) yang dijelaskan pada angka 9 (sembilan)

yang menyatakan bahwa:

a. Badan dan lembaga yang berbadan hukum Indonesia, adalah:

1) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela dan social

yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;

54 Permendagri No. 55 Tahun 2010, butir 43. 55 http://www.kopertis12.or.id/2012/02/04/kedudukan-surat-edaran-ditinjau-dari-sudut-pandang-tata-hukum-indonesia.html, diunduh pada 23 Februari 2016.

24 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

2) Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan sosial

yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diterbikan oleh

Menteri Dalam Negeri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; dan

b. Organisasi Kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia adalah organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau organisasi kemasyarakatan

yang berbadan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan pengesahan badan

hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pada angka 10 (sepuluh) dinyatakan bahwa pelaksanaan anggaran

hibah dan bantuan sosial yang tercantum dalam Peraturan Daerah tentang APBD

sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka berlaku

ketentuan bahwa penyediaan anggaran belanja hibah dan bantuan sosial dilaksanakan

sepanjang telah dilakukan evaluasi dan mendapatkan rekomendasi dari Kepala SKPD

terkait, memperoleh pertimbangan dari TAPD dan tercantum dalam KUA/PPAS

tahun anggaran berkenaan sesuai dengan maksud Peraturan Menteri Dalam Ngeri

Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Peraturan Meneri Dalam Negeri

Nomor 39 Tahun 2012.

Seperti sebagaimana peruntukannya, surat edaran dikeluarkan dalam keadaan

mendesak yang memang substansinya berisi penjelasan terhadap peraturan

perundang-undangan yang belum jelas. Namun, substansi surat edaran sudah tentu

harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ, sebagaimana substansi yang disampaikan

sebelumnya, mencoba menjelaskan pengertian dari Pasal 298 ayat (5), namun

sayangnya justru terkesan seperti menambahkan terjemahan yang sebetulnya tidak

ada di dalam peraturan perundang-undangan. Hanya berdasarkan atas keinginan untuk

dapat mengakomodir objek ormas yang tidak berbadan hukum (hanya terdaftar dan

memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT)) saja. Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri Nomor 900/4627/SJ memberikan penjelasan bahwa badan dan lembaga

berbadan hukum indonesia mencakup organisasi kemasyarakatan yang dibentuk

peraturan perundang-undangan dan organisasi kemasyarakatan yang terdaftar yang

memiliki SKT, padahal jelas pengertian dari ormas ber-SKT adalah ormas yang tidak

berbadan hukum, bukan badan atau lembaga yang berbadan hukum Indonesia seperti

penjelasan SE MDN Nomor 900/4627/SJ.

25 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

Dampaknya, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ, bukan

memberikan jawaban dan penjelasan yang nyata untuk pemerintah daerah, namun

malah membuat polemik di daerah karena penerjemahan yang bisa dikatakan tidak

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Belum lagi munculnya pertanyaan

sekaligus tuntutan dari kelompok masyarakat yang merasa tidak terakomodir di dalam

SE MDN Nomor 900/4627/SJ, seperti kelompok tani, dan kelompok masyarakat

lainnya yang jelas tidak berbadan hukum, tidak ber-SKT apalagi di bentuk oleh

peraturan perundang-undangan. Hal ini membuat implementasi penyaluran dan hibah

di daerah semakin tidak jelas. Akibatnya, tetap banyak daerah yang tidak berani untuk

mencairkan pos belanja hibah daerah untuk organisasi kemasyarakatan dan penilaian

terhadap Kementerian Dalam Negeri sebagai pemerintah pusat menjadi banyak

dipertanyakan oleh pemerintahan daerah.

3.3. Alternatif Solusi Permasalahan Penyaluran Dana Hibah

Dari hasil analisa evaluasi kebijakan yang mengatur terkait pengaturan dana hibah

berbentuk uang yang bersumber dari APBD, ada beberapa alternatif solusi yang

disarankan oleh penulis, yaitu sebagai berikut:

1. Sesuai analisa substansi peraturan perundang-undangan berdasarkan jenis, hierarki

dan asas peraturan perundang-undangan, legalitas formal yang layak dijadikan

acuan untuk penyaluran dana hibah di daerah adalah PP No. 12 Tahun 2012,

adapun lex specialis yang mengatur terkait teknis penyaluran dana hibah di daerah

yang berbentuk uang dan bersumber dari APBD, maka harus diadakan revisi

terhadap Permendagri No. 39 Tahun 2012 dan menyesuaikan dengan substansi

pengaturan yang ada pada PP No. 12 Tahun 2012;

2. Kondisi nyata, bahwa realitas di tengah masyarakat banyak hidup dan

berkembang organisasi kemasyarakatan yang tidak memiliki badan hukum, baik

yang berbentuk SKT, yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan maupun

kelompok masyarakat lainnya, yang tidak boleh juga keberadaannya diabaikan

oleh pemerintah maka, sebijaknya pemerintah menganggarkan dana lain selain

hibah, dapat berbentuk program pemberdayaan bagi organisasi kemasyarakatan,

yang dapat dilakukan melalui program kemitraan dan kerjasama sesuai dengan

Permendagri No. 44 Tahun 2012 tentang Pedoman Kerjasama Organisasi

Kemasyarakatan dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, atau bentuk

pelatihan dan pendidikan, orientasi kepemimpinan dan kaderisasi, dan lain

26 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

sebagainya sehingga organisasi kemasyarakatan dan kelompok masyarakat tetap

diakui keberadaannya dan tetap mendapatkan pembinaan dari pemerintah;

3. Apabila organisasi kemasyarakatan yang tidak memiliki badan hukum, baik yang

berbentuk SKT, yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan maupun

kelompok masyarakat lainnya tersebut, yang tidak terakomodir untuk

mendapatkan dana hibah sesuai dengan PP No. 2 Tahun 2012 dan UU No. 23

Tahun 2014, maka sebagai subjek hukum masyarakat berhak mengajukan uji

material pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 kepada

Mahkamah Konstitusi dan memperjuangkan agar pasal yang mengatur pemberian

hibah dikaji kembali untuk selanjutnya diputuskan di dalam Sidang MK terkait

permohonan uji pasal tersebut, agar entitas tersebut diatas dapat juga terakomodir

dan mendapatkan kembali dana hibah seperti pengaturan pada Permendagri No.

32 Tahun 2011 dan Permendagri No. 39 Tahun 2012.

27 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan

BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Sesuai analisa substansi peraturan perundang-undangan berdasarkan jenis, hierarki

dan asas peraturan perundang-undangan, legalitas formal yang layak dijadikan acuan

untuk penyaluran dana hibah di daerah adalah PP No. 12 Tahun 2012 tentang hibah

daerah, adapun lex specialis yang mengatur terkait teknis penyaluran dana hibah di

daerah yang berbentuk uang dan bersumber dari APBD, maka harus diadakan revisi

terhadap Permendagri No. 39 Tahun 2012 dan menyesuaikan dengan substansi

pengaturan yang ada pada PP No. 12 Tahun 2012;

2. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/4627/SJ tentang Penajaman

Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, belum mampu memberikan jawaban atas kegamangan yang

ada di tengah masyarakat dan pemerintahan daerah terkait permasalahan penyaluran

dana hibah di daerah bagi organisasi kemasyarakatan, namun justru banyak

menimbulkan pertanyaan dari isi substansi surat edaran yang dinilai menambahkan

terjemahan di luar pengaturan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Harus ada ketegasan dari Pemerintah terhadap pengaturan penyaluran dana hibah.

Hendaknya sikap yang diambil pemerintah pusat baik arahan langsung maupun

tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun perbedaan

pendapat dan penerjemahan, harusnya dapat dikomunikasikan dan dikoordinasikan

dengan baik antar pihak yang berkaitan dengan substansi, dalam hal ini Ditjen Bina

Keuangan Daerah dan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum, serta Biro Hukum

Setjen Kementerian Dalam Negeri, agar juga dapat menjadi bahan evaluasi bersama

untuk pengambilan kebijakan yang lebih baik yang lebih berorientasi pada

kepentingan masyarakat.

28 Disharmonisasi Produk Hukum Terkait Penyaluran Dana Hibah Bagi Organisasi Kemasyarakatan