analisis kebijakan publik

31
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK USAHA PELEBURAN BUDAYA PADA MASA ORDE BARU DITINJAU DARI TEORI PEMBUATAN KEBIJAKAN DOSEN PENGAMPU : RESTU KARLINA RAHAYU OLEH : MOCHAMAD TAUFIQ ISMAIL NIM : 135120601111021 UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK 1

Upload: independent

Post on 15-Mar-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

USAHA PELEBURAN BUDAYA PADA MASA ORDE BARU DITINJAU

DARI TEORI PEMBUATAN KEBIJAKAN

DOSEN PENGAMPU :

RESTU KARLINA RAHAYU

OLEH :

MOCHAMAD TAUFIQ ISMAIL

NIM :

135120601111021

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

1

ILMU PEMERINTAHAN

TAHUN 2014/2015

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Gambar tentang keberhasilan implementasi

kebijakan menurut teori Edward III.

Gambar 1.2 : Alur sebuah instruksi kebijakan dari pembuat

kebijakan hingga implementaror.

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.3 TUJUAN

BAB II TINJAUAN TEORITIS

2.1 TEORI DISKRIMINASI

2.2 TEORI GEORGE C. EDWARD . III

BAB III PROFIL PRESIDEN

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 FAKTOR PEMERINTAH MENGELUARKAN INPRES 14/1967

4.2 DAMPAK KEBIJAKAN YANG DITIMBULKAN

4.3 KEBIJAKAN DILIHAT DARI TEORI EDWARD C. III

BAB V PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

5.2 DAFTAR PUSTAKA

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Indonesia merupakan negara yang multikultur yang memiliki

beragam suku bangsa dan budaya. Keanekaragaman suku bangsa di

Indonesia terbungkus rapi oleh adanya semboyan Bhineka Tunggal

Ika di bawah cengkraman burung Garuda Pancasila. Artinya

keberadaan suku bangsa di Indonesia dilindungi oleh dasar

negara Indonesia yakni Pancasila. Kebudayaan-kebudayaan yang

ada di Indonesia baik kebudayaan asli maupun kebudayaan asing

tetaplah dilindungi oleh negara asalkan tidak menggerus

kebudayaan asli yang ada di Indonesia. Maka suku bangsa yang

ada di Indonesia yang memiliki kebuayaan yang berbeda-beda ini

haruslah dapat duduk dan jalan bersama-sama tanpa ada

intervensi atau dominasi dari suku budaya lain.

Terkadang keanekaragaman kebudayaan yang ada di suatu

negara seperti di Indonesia memiliki konsekuensi tinggi

tentang adanya potensi konfil horizontal. Keanekaragaman

budaya selain menambah khasanah kebudayaan yang ada di

Indonesia juga sering menimbulkan konflik yang terjadi antar

suku dan etnis. Penyebab suku dan etnis yang saling berkonflik

antara lain disebabkan oleh kecemburuan sosial yang menganggap

suku lain lebih kaya sehingga mendominasi suku lain.

Masyarakat melihat ada anggapan bahwa suku yang lebih

sejahtera akan melakukan penindasan dan dominasi terhadap suku

lain yang keadaan perekonomiannya lebih rendah. Hal ini adalah

sesuatu yang sangat sensitif jika mengacu kepada konflik yang

mengorbankan banyak jiwa nyawa.

Pada rezim presiden Soeharto hal semacam itu telah

terjadi dan melanda di tanah air Indonesia. Perlakuan yang

tidak adil dilakukan oleh pemerintah terhadap salah satu etnis

pendatang atau kebudayaan asing di Indonesia. Usaha yang

dilakukan mendiang presiden Soeharto kepada etnis tiong hoa di

tanah air Indonesia bisa dikatakan diskrimiantif. Pada masa

Orde Baru sering bermunculan suatu peraturan dan keputusan

yang bersifat membatsi dan mengurangi ruang gerak kaum

Tionghoa di Indonesia, peraturan ini muncul dengan dalih untuk

mempercepat proses asimilasi.1 Peraturan-peraturan ini dianggap

merugikan kaum Tionghoa yang berada di Indonesia,

peraturan tersebut bagi masyarakat Tionghoa dianggap merugikan

kaum Tionghoa seperti adanya Inpres 14/1967 yang berisi

1 Eka Jati Leovandita dan Agus Trilaksana, Mei 2013, Undang-Undang Anti Diskriminasi Tionghoa di Indonesia pada Tahun 1998-2008, Avatara, Volume 1, No. 2, https://id.scribd.com/doc/141854764/UNDANG-UNDANG-ANTI-DISKRIMINASI-TIONGHOA-DI-INDONESIA-PADA-TAHUN-1998-2008#scribd, 26 Desember2014.

tentang larangan agama, kebudayaan dan adat istiadat etnis

Tionghoa dirayakan secara besar-besaran, kemudian ada

SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 yang mengenai larangan penerbitan,

percetakan, serta iklan yang menggunakan aksara dan bahasa

Cina.2 Kebudayaan yang beragam yang semestinya bisa duduk

berdampingan dan melangkah bersama untuk kemajuan negara

justru malah ada usaha penghilangan identitas secara perlahan

oleh pemerintah. Kejadian tersebut terjadi kareana adanya

sentimen pada etnis tionghoa akan luka yang terjadi di masa

lalu, sewaktu terjadinya G.30.S./PKI.

Sejak peristiwa kudeta yang dilakukan oleh kaum komunis,

presiden Soeharto memulai langkahnya untuk memerangi komunis

di Indonesia sehingga etnis tionghoa menjadi korban. Karena

kaum Tionghoa diduga menjalin hubungan yang erat dengan

komunis Tiongkok, Soeharto memutus hubungan diplomatis dengan

Tiongkok, lalu mengimplementasikan kebijakan asimilasi3 yang

mengakibatkan erosi budaya dan bahasa etnis Tionghoa. Kendati

demikian, masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia tetap patuh

dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia.

Masyarakat etnis tionghoa memasukkan anak-anak mereka kedalam

sekolah berbahasa Indonesia dan mengganti nama-nama China

mereka menjadi nama Indonesia. Mereka menjauh dari dunia

politik dan menjalankan adat istiadat, budaya dan peribadatan

mereka hanya di lingkup keluargga saja. Tidak ada klentheng di

daerah-daerah, tidak ada pertunjukan barongsai mewarnai2 Eka Jati, Leovandita dan Trilaksana, Agus, Mei 2013, Undang-Undang Anti Diskriminasi Tionghoa di Indonesia pada Tahun 1998-2008, Avatara, Volume 1, No. 2, https://id.scribd.com/doc/141854764/UNDANG-UNDANG-ANTI-DISKRIMINASI-TIONGHOA-DI-INDONESIA-PADA-TAHUN-1998-2008#scribd, 26 Desember2014.

3 Ignatius Wibowo dkk, “Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tonghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998”, 28 Desember 2014, hlm. 58.

perayaan adat dan kebudayaan seperti saat ini. Mereka menjadi

korban terhadap peristiwa politik yang sama sekali tidak ada

sangkut pautnya dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Erosi kebudayaan yang dialami oleh masyarakat etnis

Tionghoa merupakan kejadian tidak boleh terulang kembali di

masa sekarang. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah pusat maupun daerah haruslah dapat merangkul semua

golongan, etnis, serta adat-istiadat yang berkembang di

penjuru nusantra.

1.2 Rumusan masalah.

1. Apa saja faktor-faktor dan penyebab yang mempengaruhi

pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bersifat

diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ?

2. Bagaimana dampak kebijakan yang ditimbulkan dari adanya

Inpres 14/1967?

3. Apakah kebijakan yang diterapkan telah berjalan dengan

baik, jika dilihat dari teori analsis implmentasi

kebijakan ?

1.3 Tujuan.

1. Untuk mengetahui faktor-faktor dan penyebab yang

mempengaruhi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang

bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.

2. Untuk mengetahui dampak kebijakan yang ditimbulkan dari

adanya Inpres 14/1967.

3. Untuk mengetahui kebijakan yang diterapkan telah berjalan

dengan baik, jika dilihat dari teori analsis implementasi

kebijakan.

BAB II

Tinjauan Teoritis

2.1 Teori Diskriminasi.

Jika kita mendengar kata diskriminasi yang terlintas di

pikiran kita adalah perlakuan yang tidak adil dan sewenang-

wenang terhadap seseorang atau kelompok. Banyak sekali pakar-

pakar yang telah mendefinisikan istilah diskriminasi baik

jenis, tipe-tipe, dan sebab diskriminasi. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Theodorson & Theodorson. Diskriminasi adalah

perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau

kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal,

atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,

kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.4

Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu

tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya

dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa

perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak

demokrasi. Artinya pengertian diskriminasi adalah bersifat,

dalam artian suatu keadaan yang tidak mengedepankan demokrasi,

dari tindakan sekelompok mayoritas terhadap minoritas.

Lebih dalam lagi selanjutnya diutarakan oleh Doob dalam

Liliweri yang pada intinya membatasi suatu kelompok untuk

berkembang. Diskriminasi merupakan perilaku yang ditunjukkan

untuk mencegah suatu kelompok, atau membatasi kelompok lain

yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumber daya.5 Secara

teoritis, diskriminasi merupakan usaha melalui kebijakan untuk

mengurangi, membatasi, memusnahkan, serta melindungi secara

legal. Diskriminasi juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk

menciptakan pluralisme budaya dan mengasimilasi kelompok lain.

4 James Danandjaj, Mei 2003, “Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Merupakan Masalah Aktual di Indonesia Sehingga Perlu Ditanggulangi Segera”, Depok : Universitas Indonesia,hlm. 1.5 Ibid.

Diskriminasi adalah perlakuan yang buruk yang dilakukan

oleh sekelompok orang atau individu kepada sekolompok masnusia

tertentu. Adapun jenis-jenis diskriminasi yang dijelaskan oleh

Fulthoni adalah sebagai berikut :

a) Diskriminasi berdasarkan suku / etnis, dan agama /

keyakinan.

b) Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender

(peran sosial karena jenis kelamin)

c) Diskriminasi terhadap penyandang cacat.

d) Diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.

e) Diskriminasi karena kasta sosial.

Beberapa tipe-tipe diskriminasi yang dijelaskan oleh

Pettigrew dalam Lilliweri adalah sebagai berikut :

a) Diskriminasi langsung, tindakan yang membatasi suatu

wilayah, seperti pemukiman, jenis pekerjaan,

fasilitas umum dan semacamnya. Hal ini terjadi

ketika pengambil keputusan mengarahkan kebijakannya

langsung kepada obyek sasaran yang dituju

berdasarkan atas prasangka dan kecurigaan tertentu.

b) Diskriminasi tidak langsung, kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah ditujukan untuk menghalangi suatu

etnis, ras untuk berkembang dan berhubungan dengan

suku, ras, atau etnis lain. Prosedur dan sistem yang

dibuat oleh pemerintah secara bias mengandung

diskriminasi sehingga merugikan kelompok tertentu.

Adapun sebab-sebab diskriminasi menurut Yahya (2006:248-

249) adalah sebagai berikut :

a) Mekanisme pertahanan psikologi (projection)

Adanya pemindahan ciri-ciri yang dimiliki oleh

seseorang kepada orang lain yang tidak

disukainya.

b) Kekecewaan

Setengah dari kekecewaan yang dirasakan oleh

orang lain dilimpahkan kepada orang lain dengan

kata lain mencari kambing hitam.

c) Mengalami rasa tidak selamat dan rendah diri

Seseorang yang sedang merasa terancam dan

merasa rendah diri untuk menenangkan diri maka

mereka mencoba merendahkan orang lain atau

kelompok lain.

d) Sejarah

Ditimbulkan karena adanya sejarah pada masa

lalu.

e) Persaingan dan eksploitasi

Masyarakat modern hidup lebih matrealistik dan

hidup dalam persaingan. Kelompok maupun

individu akan bersaing diantara mereka untuk

mendapat kekayaan, kemewahan dan kekuasaan.

f) Corak sosialisasi

2.2 Teori George C. Edwards III.

Berbagai peraturan pada masa orde baru tentang pembatasan

perkembangan kebudayaan tionghoa datang dari presiden sendiri

maupun dari lembaga resmi dibawah kepresidenan. Sifat

pemerintahan pada masa orde baru yang sentralistik

mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh lembaga-

lembaga di bawah kepresidenan maupun pemerintah daerah banyak

di pengaruhi oleh presiden. Tanpa melihat akibat yang

dirasakan oleh target group pemerintahan Soeharto cenderung

memaksakan segala kebijakan dan peraturannya dengan dalih

asimilasi budaya. Adanya executive heavy yang mempengaruhi

kebijakan demi kebijakan yang dibuat mengakibatkan aspirasi

dari masyarakat sasaran kebiajakan tidak diakomodir. Selain

itu juga tidak terasa sepenuhnya manfaat yang dihasilkan oleh

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Itulah strategi

eksekutif masa itu dalam kebijakannya melawan komunisme di

Indonesia.

Teori dari George C. Edwards III menurut saya tepat untuk

menjelaskan implementasi kebijakan yang bersifat diskriminasi

oleh presiden Soeharto tersebut. Keberhasilan implementasi

kebijakan yang dikemukaka oleh George C. Edwards III

dipengaruhi oleh empat variabel besar yakni (1) komunikasi,

(2) sumber daya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. Skema

kebijakan yang dikemukakan sebagai berikut :

Komunikasi

Sumberdaya

Implemenstasi

Disposisi

Struktur Birokrasi

Sumber : Subarsono, 2010 : 91

Penjelasan dari skema kebijakan yang dipaparkan oleh

George C. Edwards III adalah yang pada intinya kesuksesan

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat dipengaruhi

oleh empat variabel besar. Penjelasan dari keempat variabel

sesuai dari buku karangan Subarsono (2010:90) adalah :

1. Komunikasi

Keberhasilan dari implementasi kebijakan mengharuskan

agar pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harus

dilaksanakan. Tujuan-tujuan yang menjadi isi dari kebijakan

yang akan diimplementasikan harus disampaikan kepada kelompok

sasaran (target group) sehingga kebijakan yang akan dilaksanakan

menjadi lancar.

2. Sumber daya

Meskipun isi dari kebijakan sudah dikomunikasikan secara

jelas dan konsisten kepada implementor dan kelompok sasaran

(target group), pemerintah perlu melihat sumber daya dari

implementor untuk melaksanakan kebijakan. Sumberdaya tersebut

dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi

implementor, dan sumberdaya finansial.6 Apabila implementor

kekurangan sumberdaya baik sumber daya manusia maupun

sumberdaya finansial, maka kebijakan tidak akan berjalan

6 Subarsono,”Analisis Kebijakan Publik”, 29 Desember 2014, hlm 91.

efektif. Jadi sumberdaya merupakan faktor penting guna

menunjang keberhasilan implementasi sumberdaya.

3. Disposisi

Disposisi merupakan keadaan watak dan karakteristik yang

dimiliki oleh implementor. Watak dan karakter dari implementor

dapat berwujud kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis.

Implementor juga harus sejalan dan mempunyai prespektif yang

sama dengan pembuat kebijakan, hal tersebut dimaksudkan agar

proses implementasi kebijakan berjalan dengan baik dan

efektif.

4. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi merupakan aspek penting dalam

implementasi kebijakan. Struktur organisasi memberi pengaruh

yang signifikan terhadap pelaksanaan kebijakan. Salah satu

aspek struktur yang baik adalah organisasi yang mempunyai

prosedur operasi yang standar (Standart Operating Procedures atau

SOP). Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur

birokrasi yang rumit dan kompleks.7 Struktur birokrasi yang

panjang menyebabkan aktivitas implementasi dai pembuat

kebijakan menjadi tidak flesibel.

Demikian penjelasan dari teori yang dikemukakan oleh

George C. Edwards III. Penjelasan teori tersebut dapat

menjelaskan proses analisi kebijakan presiden Soeharto

terhadap etnis tionghoa yang cenderung diskriminatif.

7 Subarsono,”Analisis Kebijakan Publik”, 29 Desember 2014, hlm 92.

BAB III

Profil Presiden

Presiden ke dua Republik Indonesia, Presiden Soeharto

adalah Presiden yang berasal dari kalangan militer. Kiprah

beliau saat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun

1965 telah mengangkat nama beliau untuk menjadi salah satu

orang nomor satu di negeri ini. Sayangnya dengan adanya

peristiwa pemberontakan Partai Komuni Indonesia (PKI) nama

Presiden Soeharto sedikit tercoreng juga. Pasalnya adanya

perintah yang dikeluarkan oleh presiden waktu itu Soekarno

melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), dilihat oleh

masyarakat Indonesia sebagai usaha presiden Soeharto untuk

mencari kekuasaan. Banyak dugaan-dugaan yang yang berhembus

yang datang dari masyarakat bahwa dengan adanya Surat Perintah

11 Maret (Supersemar), Presiden Soeharto berusaha

menggulingkan kekuasaan atau mengkudeta kekuasaan Presiden

Soekarno. Akan tetapi kebenaran masih belum terungkap tentang

keberadaan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), dan sampai

saat ini masih menjadi misteri untuk diungkap. Itulah

sebagaian kiprah dan perjalanan hidup mendiang Presiden

Soeharto yang diwarnai intrik-intrik politik serta krisis

nasional pada saat beliau akan menjadi penguasa nomor satu di

Indonesia.

Peristiwa pemberontakan Komunis di Indonesia menjadikan

Presiden Soeharto menaruh kecurigaan terhadap etnis tionghoa

di Indonesia. Berbagai kecurigaan dituduhkan kepada etnis

tionghoa yang diduga mempunyai hubungan dengan pemerintahan

Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sejak saat itu setelah naik

menjadi presiden, beliau memulai langkahnya untuk memerangi

Komunis di Indonesia. Sehingga atas dasar kecurigaan itulah

Presiden Soeharto mengeluarkan berbagai kebijakan yang

bersifat meminggirkan keberadaan dan eksistensi etnis Tionghoa

di Indonesia.

Salah satu kebijakan Presiden Soeharto adalah Inpres

14/1967 yang berisi tentang larangan agama, kebudayaan dan

adat istiadat etnis Tionghoa dirayakan secara besar-besaran.

Pada Inpres tersebut sangat terlihat pemerintahan Orde baru

sangat memaksakan kebijakan tersebut. Kepada warga negara

Indonesia keturunan China watu itu kami serukan untuk tidak

menunda-nunda lagi berintegrasi dan berasimilasi dengan

masyrakat Indoneisa (asli).8 Terhadap orang China warga negara

asing akan tetap diberikan perlakuan seperti yang diberikan

kepada warga negaraasing lainnya, sesuai dengan kebiasaan-

kebiasaan internasional yang berlaku, tanpa mengurangi

kewaspadaan kita terhadap kemungkinan-kemungkinan usaha-usaha

subversi dan infiltrasinya.9 Pemaparan Presiden Soeharto dalam

otobiografinya menegaskan bahwa begitulah pendirian Soeharto

terhadap etnis Tionghoa yang berada di Indonesia.

Pada kebijakan yang lain, kesan memaksa sangat terlihat

dengan mengharuskan warga Tionghoa meninggalkan agama dan

kepercayaan yang dianutnya. Perintah yang dikeluarkan untuk

meninggalkan agama Konghucu kemudian harus meyakini agama dan

keyakinan yang diakui di Indonesia waktu itu yakni Islam,

Kristen, Khatolik, Hindu, Budha. Alasan yang dijelaskan oleh

pemerintah ialah karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila

sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa yang ada di Indonesia.

Meskipun begitu menurut presiden akan tetap memberikan hak8 G. Dwipayana dan Ramadhan K.H,”Otobiografi Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, 4 Desember 2013, hlm. 279.9 G. Dwipayana dan Ramadhan K.H, “Otobiografi Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Sayaí”, 5 Desember 2015, hlm. 279.

kepada warga etnis Tionghoa di Indonesia. Warga negara

Indonesia keturunan China, meskipun ia keturunan China, ia

adalah warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak,

dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia asli.10

Semua hal tersebut dilaksanakan guna melindungi budaya

Indonesia dari pengaruh Komunis yang diduga dibawa oleh etnis

Tionghoa di Indonesia.

Pemerintahan orde baru menggunakan berbagai macam cara

untuk menyukseskan kebijakan tersebut. Penerapan kebijakan

pada masa orde baru terkesan dipaksakan dan cenderung sepihak

tanpa menyerap aspirasi dari masyarakat terlebih dahulu.

Kebijakan presiden banyak didukung dengan kekuatan Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena presiden memegang

kendali penuh atas kekuatan tersebut. Pemaksaan sangat

terlihat pada setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah dengan dalih untuk mempercepat asimilasi budaya

serta menghilangkan Komunis di Indonesia.

BAB IV

10 Ibid.

Pembahasan

4.1 Faktor Penyebab Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan Inpres

14/1967.

Inpres yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat

mendiskriminasi warga etnis Tionghoa. Kebijakan yang melarang

melaksanakan kegiatan ibadah secara erbuka, serta pelarangan

perayaan adat-istiadat serta budaya sangat merugikan warga

etnis Tionghoa. Sesuai dengan teori yang ada, perlakuan yang

dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia bisa dikatakan sebgai

diskriminasi. Bisa dikatakan diskriminasi karena kejadian yang

menimpa etnis Tionghoa di Indonesia sesuai dengan teori bahwa

ada perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau

kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal,

atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,

kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.

Kejadian tersebut sesuai dengan paparan yang dijelaskan oleh

Theodorson tentang arti diskriminasi.

Sesuai penjelasan tentang arti diskriminasi tersebut ada

penyebab pemerintah pusat memberlakukan kebijakannya kepada

etnis Tionghoa di Indonesia. Beberapa penyebab dan alasan

diberlakukannya Inpres 14/1967 kepada etnis Tionghoa adalah

alasan sejarah dan masa lalu. Kaitannya etnis Tionghoa dengan

masa lalu adalah adanya peristiwa G.30.S/PKI, yang notabennya

adalah gerakan pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia

(PKI). Warga etnis Tionghoa disinyalir memiliki hubungan

dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang memiliki ideologi

komunis. Berdasarkan hal itu Presiden Soeharto memiliki

kebijakan untuk membendung segala pengaruh budaya dan adat-

istiadat dari etnis Tionghoa di Indonesia. Kecurigaan

pemerintah waktu itu kareana ada ketakutan jika etnis Tionghoa

akan menyebarkan paham komunis yang bertentangan dengan

ideologi bangsa serta membahayakan kehidupan bangsa Indonesia.

Kecurigaan tersebut tidak berdasar karena hanya melihat warga

Tionghoa sebagai kaki tangan negara leluhurnya, dan tidak ada

pembuktian dari pemerintah akan hal itu.

Kelompok etnis Tionghoa dianggap sebgai kelompok yang

tidak mempunyai sumbagan bagi pembangunan bangsa dan negara

Indonesia.11 Padahal pada masa persiapan kemerdekaan ada tokoh

Indonesia keturunan tionghoa yang membantu mempersiapkan

kemerdekan bagi Indonesia dari tangan penjajah. Padahal, ada

lima orang Tionghoa yang ikut dalam persiapan kemerdekaan

Indonesia dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia, yaitu Liem Koen Hian, Oen Tiang Tjoei,

Oei Tjong How, Tang Eng Hwa, Oei Tiang Tjoei, dan Yap Tjan

Bing.12Kalau ditarik lagi ke belakang lagi, ada empat orang

Tionghoa dalam pembacaan teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928,

yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, Jhon Lauw Tjoan Hok, dan

Tjion Djien Kwie.13 Beberapa nama-nama tersebut meskipun tidak

hilang dari catatan dan tulisan sejarah bangsa, akan tetapi

seakan-akan hilang dalam wacana tentang pembangunan negara dan

bangsa.

11 Ignatius Wibowo dkk, , “Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tonghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998”, 5 Januari 2015, hlm. 29.

12

Ignatius Wibowo dkk, , “Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tonghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998”, 5 Januari 2015, hlm. 29.

13 Ibid.

Atas dasar sejarah itulah pemerintah orde baru

mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif terhadap warga etnis

Tionghoa. Kebijakan yang tidak mengindahkan hak-hak dasar umat

manusia. Kebijakan yang bertujuan meminggirkan etnis Tionghoa

di Indonesia agar tidak menyebarkan pengaruhnya kepada bangsa

Indonesia. Kebijakan yang cenderung dipaksakan dengan dalih

asimilasi dan integrasi budaya asing ke budaya Indonesia.

4.2 Dampak Kebijakan yang Ditimbulkan dari Adanya Inpres

14/1967.

Etnis Tionghoa yang terkena dampak langsung terhadap

penerapan kebijakan Inpres 14/1967 mengalami trauma yang

sangat mendalam. Trauma yang dialami sebagian besar warga

etnis Tionghoa tersebut sangat beralasan karena mereka begitu

mengalami rasa sakit dan kekecewaan yang amat mendalam kepada

pemerintah. Mereka begitu anti terhadap sesuatu yang berbau

politik dan pemerintahan, karena hal-hal yang berbau sesuatu

tersebut sudah mendapat citra yang kotor dari sebagian besar

warga etnis Tionghoa di Indonesia. Trauma tersebut telah

menimbulkan kecenderungan di kalangan warga Tionghoa untuk

menyekolahkan anaknya ke bidang-bidang studi yang sama sekali

tidak terkait dengan politik ataupun bidang-bidang yang

dikuasai negara, sehingga pada akhirnya, paling tidak sampai

tahun 1998, orang Tionghoa lebih banyak ditemukan pada bidang-

bidang pekerjaan yang terkait dengan natural science (eksakta),

ekonomi, dan arsitektur.14 Meskipun tidak ada data yang

mendukung pernyataan saya tersebut, akan tetapi kita bisa

melihat secara kasar bahwa hampir tidak ada generasi yang

14 Ibid, hlm. 9.

lahir setelah tahun 1965 menjadi seorang pegawai pemerintah

atau pegawai negeri. Sehingga masyarakat umum melihat bahwa

orang Tionghoa cenderung terkonsentrasi spada bidang ekonomi.

Trauma peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965 itu ditambah

dengan perasaan mereka sebagai orang asing atau outsider di

Indonesia, menjadikan warga etnis Tionghoa cenderung

mengabaikan mengabaikan persoalan lingkungan yang tidak

terkait dengan mereka. Hal ini pula yang menyebabkan bahkan

sampai hari ini orang Tionghoa cenderung dianggap “eksklusif”,

“asosial”, “tidak mau membaur”, dan sebagainya.15 Jelas sekali

bahwa warga etnis Tionghoa menjadi “apolitik” ketika mereka

menjadi disangkut putkan dengan kejadian pemberontakan Partai

Komunis Indonesia pada tahun 1965. Istilah “apolitik” dalam

artian mereka tidak memahami politik sebagaimana seharusnya.

Bukan hanya warga Tionghoa saja yang memiliki sikap “apolitik”

akibat kejadian tahun 1965, tetapi warga non Tionghoa pun

banyak yang memeiliki sikap “apolitik”. Sesungguhnya tragedi

pada tahun 1965 yang lalu merupakan tragedi nasional yang

memiliki dampak sangat luas dan berkepanjangan.

Peristiwa G.30.S/PKI yang pecah pada tahun 1965 merupakan

peristiwa yang sangat memiliki dampak yang sangat luas dan

berkepanjangan bagi bangsa Indonesia dan etnis Tionghoa secara

khusus. Kecadaian tersebut menimbulkan trauma yang sangat

mendalam ditambah dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah

orde baru kala itu. Kebijakan yang dikeluarkan sangat

menyakitkan dan merugikan kaum Tionghoa karena hak-hak mereka

15 Ignatius Wibowo dkk, , “Setelah Air Mata Kering Masyarakat Tonghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998”, 5 Januari 2015, hlm. 9.

sebagai manusia dihalangi dan dibatsi oleh pemerintah kala

itu. Kebijakan yang dikeluarkan tersebut tetap dilaksanakan

oleh mereka dengan patuh meski timbul kebencian mereka

terhadap pemerintah kala itu. Kebijakan pemerintah tersebut

adalah beban tambahan setelah adanya trauma yang mendalam dari

peristiwa atau tragedi pada tahun 1965 kala itu.

4.3 Kebijakan Inpres 14/1967 Dilihat dari Teori Edward C. III.

Untuk menjelaskan evaluasi kritis kebijakan yang dibuat

oleh pemerintahan orde baru, dapat menggunakan berbagai teori-

teori tentang evaluasi kebijakan. Akan tetapi mengevaluasi

kebijakan yang dikeluarkan dengan menggunakan teori yang

dikemukakan oleh Edward C. III lebih jelas dan mudah untuk

dimengerti. Keberhasilan implementasi kebijakan yang

dijelaskan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1)

komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur

birokrasi. Penjelasan dari keempat butir-butir atau indikator

keberhasilan sebuah kebijakan yang dijelaskan oleh Edward C.

III kaitannya dengan dikeluarkannya Inpres 14/1967 dijelaskan

pada sub bahasan di bawah.

4.3.1 Komunikasi.

Melihat kesuksesan dari implementasi kebijakan pada masa

orde baru salah satunya yakni Inpres 14/1967 tidak lepas dari

intensnya pemerintah pada kala itu dalam proses komunikasi

kebijakan. Setelah Presiden Soeharto mengumumkan bahwa akan

memulai langkahnya untuk menumpas paham Komunis di Indonesia,

maka dengan dikeluarkannya Inpres ini seluruh komponen

masyarakat harus bekerja sama. Tidak terkecuali lembaga-

lembaga pemerintahan dan non pemerintah di bawah presiden pada

kala itu harus siap menerima segala tanggung jawab yang

diberikan oleh pemerintah pusat. Semua hal tersebut dilakukan

oleh pemerintah untuk mensukseskan agenda asimilasi budaya

yang direncanakan oleh pemerintah.

Proses komunikasi pada kala itu menggunakan media yang

begitu terbatas. Masih minimnya media masa pada kala itu

dipergunakan dengan sebaik mungkin oleh pemerintahan orede

baru. Meskipun minim media cetak maupun elektronik, sebagian

besar masyarakat telah mengetahui kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah pusat. Adanya Televisi republik Indonesia

(TVRI), Radio Republik Indonesia (RRI), dan juga koran-koran

merupakan media pemerintah dalam mengkomunikasikan

kebijakannya kepada masyarakat. Presiden Soeharto memberikan

pidato secara eksklusif terhadap kebijakan yang beliau

keluarkan kemudian disiarkan ke seluruh penjuru Indonesia

secara serentak. Seperti itulah cara Presiden Soeharto

memanfaatkan media yang terbatas dalam mengomunikasikan

berbagai kebijakan yang beliau keluarkan.

Media masa yang berada di bawah tekanan pemerintah tidak

bisa semena-mena dalam mengeluarkan berita. Seluruh

pemberitaan yang disiarkan baik dari Televisi Republik

Indonesia (TVRI), Radio Republik Indonesia (RRI), maupun dari

media cetak harus mendapatkan izin dari pemerintah. Tidak ada

pemberitaan yang berimbang, seluruh keburukan pemerintaha

serta kebobrokan rezim kala itu tidak ada yang berani

memberitankannya, jika tidak ingin berhubungan dengan aparat

penegak hukum. Ketidak bebasan pers pada kala itu

menguntungkan bagi stabilitas politik dalam negeri pada masa

orde baru. Oleh karena itu pemerintah orde baru begitu mudah

dalam mengomunikasikan setiap kebijakan-kebijakannya.

Pernyataan tersebut sesuai karena media masa pada kala itu

berada di bawah kendali pemerintahan.

4.3.2 Sumberdaya.

Pada Inpres 14/1967 tentang pelarangan agama,

kepercayaan, dan adat-istiadat banyak dukungan sumberdaya

manusia yang mempengaruhi kesuksesan kebijakan tersebut. Para

birokrat yang bekerja mulai dari Kemenetrian Agama,

Kemenetrian Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Segenap Badan dan

Alat Pemerintah di Pusan dan Daerah. Pada lembaga-lembaga

tersebut terdapat kegiatan pemahaman tentang kebijakan dari

pemerintah pusat agar didapat prespektif yang sama dengan

keinginan pemerintah pusat. Setelah itu pada tahap selanjutnya

di susunlah peraturan-peraturan yang mendukung Inpres tentang

agama, kepercayaan, adat-istiadat etnis Tionghoa.

Adanya kekuatan militer yang amat disegani merupakan

modal yang sangat berharga yang dimiliki oleh pemeritahan

Soeharto. Presiden Soeharto yang dari kalangan militer

memegang kendali penuh atas kekuatan militer kala itu untuk

kepentingan implementasi kebijakannya. Presiden Soeharto yang

cenderung otoriter dalam menjalankan pemerintahannya membuat

lembaga-lembaga di bawahnya menjadi mudah untuk dikendalikan.

Adanya peran Angakatan Bersenjata Indoneisa (ABRI) pada setiap

kebijakan yang dikeluarkan adalah sebagai alat kontrol yang

paling efektif yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga dalam

pelaksanaan kebijakan pemerintahan Soeharto tidak begitu

kekurangan sumberdaya manusia karena ada bantuan dari kalangan

Angakatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) waktu itu.

Sumberdaya anggaran tidak terlalu nampak pada

implementasi kebijakan Inpres 14/1967. Kebijakan Inpres ini

tidak membutuhkan dana karena sifat dari kebijakan ini adalah

intruksi dari presiden yang memuat butir-butir aturan.

Pemerintah tidak mempunyai proyek secara khusus dalam Inpres

14/1967 yang membutuhkan dana bersumber dari anggaran negara.

Pada Inpres 14/1967 hanya berisi tetang aturan-aturan dan

larangan-larangan mengenai perkembangan agama Konghucu. Selain

itu melarang warga etnis Tionghoa merayakan hari besar

keagamaan, adat-istiadat dan kebudayaan yang telah lama

dilakukan. Jadi dapat dikatakan bahwa Inpres yang dikeluarkan

oleh mendiang presiden Soeharto tidak memerlukan dana khusus.

4.3.3 Disposisi.

Disposisi yang baik mengakibatkan kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah dapat berjalan dengan efektif.

Begitu juga pada era pemerintahan Presiden Soeharto, Inpres

tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat-istiadat

dilaksanakan oleh implementor dengan segala kepatuhan. Tidak

ada sikap perlawanan yang ditunjukkan oleh implementor tentang

ketidak sependapatannya terhadap kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah. Kepatuhan yang ditunjukkan oleh implementor

kebijakan terhadap Inpres yang dikeluarkan pemerintah

disebabkan oleh faktor ketakutan. Ketakutan yang terjadi

karena jika sampai ada implementor yang tidak patuh terhadap

aturan pusat, maka implementor tersebut atau pelaksana

kebijakan di bawah presiden itu harus siap dicabut jabatannya

oleh pemerintah pusat. Salah satu faktor yang lain adalah

ketakutan para birokrat apabila menentang kebijakan pusat maka

harus siapberhadapan dengan aparat pemerintah. Hal-hal

tersebut dilakukan untuk menyatukan tujuan dan prespektif

antara pembuat kebijakan dengan birokrat di bawahnya guna

kebijakan yang dijalankan dapat berjalan dengan efektif.

Keadaan diatas memang menunjukkan betapa adanya unsur

paksaan oleh pemerintah pusat terhadap berjalannya kebijakan

yang dikeluarkan. Tidak adanya keadaan yang demokratis

menyebabkan adanya pihak-pihak yang tertekan dan cenderung

terpaksa dalam melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah pusat. Jangankan implementor yang melaksanakan

kebijakan pemerintah pusat, target group yang menjadi obyek

dikenakannya Inpres tersebut juga sangat terpaksa

melaksanakannya. Aspirasi dari masyarakat tidak dapat terserap

karena pemerintah menciptakan keadaan yang tidak demokratis.

Betapa sangat terluka dan tertekannya masyarakat Tionghoa

dipaksa meninggalkan keyakinan dan keimanan yang telah lama

dianut secara turun temurun mulai dari nenek moyangnya. Meski

pada waktu itu tidak terciptanya keadaan yang demokratis yang

mewarnai kebijakan tersebut, akan tetapi kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah bisa dikatakan berhasil.

Disposisi yang buruk yang terjadi pada implementasi

kebijakan yang terjadi pada Inpres tersebut tidak menjadikan

kegalalan dalam penerapanya. Terlihat pada dikeluarkannya

Inpres tersebut, semua warga Tionghoa diwajibkan tunduk pada

peraturan yang dibuat oleh pemerintah kala itu. Begitu juga

pada implementor dan birokrat-birokrat yang menjalankan

kebijakan tersebut, semua diwajibkan patuh terhadap peraturan

yang dibuat. Keberhasilan implementasi yang diterapkan tidak

lepas dari usaha pemerintah orde baru menciptakan iklim yang

kondusif dengan memegang kendali militer sepenuhnya untuk

mengontrol jalannya implementasi kebijakan.

4.3.4 Struktur Birokrasi.

Pemerintah orde baru dalam penerapan kebijakannya tidak

memrlukan alur birokrasi yang terlalu panjang. Pada

penerapannya Intruksi yang dikeluarkan oleh presiden Soeharto

selain ditujukkan langsung kepada obyek kebijakan tetapi juga

kepada lembaga-lembaga yang membantu mengimplementasikannya.

Pada tahap awal setelah melalui perumusan kebijakan-kebijakan

dalam berbagai sidang-sidang di Majelis Permusyawaratn Rakyat

(MPR), intruksi kemudian ditujukan kepada kemnterrian-

kementerian serta pemerintah daerah terkait. Sehingga alur

intruksi dari presiden dapat digambarkan seperti berikut :

Presiden Republik Indonesia

Kementerintan Agama bersama Kejaksaan Agung

Kementerian Dalam Negeri bersama Kejaksaan Agung

Pemerintah Daerah Tingkat I / Provinsi

Pemerintah Daerah Tingkat II / Kabupaten

Penjelasan dari gambar diatas adalah intruksi kebijakan

yang dikeluarkan oleh presiden kala itu diturunkan ke berbagai

instansi. Inpres diturunkan kepada Kementerian Agama bersama

dengan Kejaksaan Agung. Pada tahap ini ditentukan kategori

agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat

agama, kepercayaan dan adat-istiadat Cina diatur oleh Menteri

Agama setelah mendengar pertimbangan dari Jaksa Agung.

Selanjutya permasalahan keamanan dan penertiban terhadap

pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam

Negeri bersama dengan Jaksa Agung. Kemudian dilimpahkan kepada

alat pemerintah di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

BAB V

Penutup

5.1 Kesimpulan

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah orde baru

terbilang sukses. Apalagi jika melihat sikap implementor

terhadap intruksi yang diberikan oleh preiden Soeharto kala

itu. Tidak ada perlawanan dan sikap berontak yang

Presiden Republik Indonesia

Kementerintan Agama bersama Kejaksaan Agung

Kementerian Dalam Negeri bersama Kejaksaan Agung

Pemerintah Daerah Tingkat I / Provinsi

Pemerintah Daerah Tingkat II / Kabupaten

diperlihatkan oleh implementor kebijakan di setiap lembaga-

lembaga yang berwenang. Sikap patuh dan tunduk juga terlihat

pada obyek sasaran yakni warga etnis Tionghoa di Indonesia.

Bahkan sikap dari media masa kala itu yang tidak bisa

menyuarakan ketidak adilan yang terjadi hanya bisa bungkam dan

hanya bisa mengabarkan berita dari sisi pemerintah saja.

Banyaknya intimidasi dan intervensi dari pemerintah pusat kala

itu kebijakan ini tetap masih dikatakan berhasil diterapkan,

meskipun kebijakan kala itu tidak memperhitungkan hak-hak

obyek sasaran.

Meskipun keberhasilan ini berhasil diterapkan pada masa

pemerintahan orde baru, akan tetapi kebijakan ini tidak

dipandang baik oleh sebgaian besar masyarakat. Pandangan

masyarakat umumnya melihat bahwa Inpres ini bukanlah jawaban

dan bukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah. Bahkan

dengan adanya kebijakan ini masalah baru muncul dan dampaknya

sangat serius bagi kelompok masyarakat yang terkena langsung

kebijakan ini. Pemerintah tidak mempertimbangkan hak-hak dasar

warga masyarakatnya dalam penerapan kebijakan yang

dikeluarkan. Sehingga warga masyarakat yang terkena langsung

kebijakan merasa terpinggirkan dan

5.2 Daftar Pustaka.

Dwipayana, G dan K.H, Ramadhan. 1996. Otobiografi Soeharto Pikiran,

Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta : Citra Lamtoro Gung Persada.

Subarsono, AG. 2010. Analisis Kebijakan Publik Konsep,Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wibowo, Ignatius (dkk). 2010. Setelah Air Mata Kering Masyarakat

Tionghoa Pasca- Peristiwa Mei 1998. Jakarta : Kompas.

Abdul Wahab, Solichin. 2014. Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke

PenyusunanModel- Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta : Bumi

Aksara.

Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta :

Trans Media Pustaka.

Eka Jati, Leovandita dan Trilaksana, Agus. 2013. Undang-Undang

Anti Diskriminasi Tionghoa di Indonesia pada Tahun 1998-2008. Avatara,

Volume 1, No. 2 : 111.

Danandjaja, James, 2013.Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Merupakan

Masalah Aktual di Indonesia Sehingga Perlu Ditanggulangi Segera. Depok :

Universitas Indonesia.