analisis kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa di dki jakarta

32
Universitas Indonesia Analisis Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa di DKI Jakarta Pengantar Kebijakan Pajak (PKP) Nama : Sarah Khanita NPM : 1206275805 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program Ilmu Administrasi Fiskal DEPOK Juni 2015

Upload: ui

Post on 28-Nov-2023

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Universitas Indonesia

Analisis Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa di DKI

Jakarta

Pengantar Kebijakan Pajak (PKP)

Nama : Sarah Khanita

NPM : 1206275805

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Program Ilmu Administrasi Fiskal

DEPOK

Juni 2015

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Makalah ini adalah hasil karya kami sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah kami nyatakan dengan benar.

Nama : Sarah Khanita

NPM : 1206275805

TTD :

Jakarta, 5 Juni 2015

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan izin

Nya Makalah Pengantar Kebijakan Pajak yang berjudul ANALISIS KEBIJAKAN KENAIKAN

PAJAK HIBURAN ATAS INDUSTRI SPA DI DKI JAKARTA dapat terselesaikan.

Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama dari berbagai

pihak. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Prof. Dr. Haula Rosdiana M.Si, Dr. Titi Muswati Putranti M.Si, dan Dra. Inayati, M.Si

sebagai Tim Dosen Pengajar Mata Kuliah Pengantar Kebijakan Pajak atas arahan dan

bimbingannya

2. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun materil

3. Teman – teman Fiskal Paralel 2012 atas semangat dan dukungannya

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tiada gading yang tak retak. Demikian juga halnya

dengan makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak yang

membutuhkan.

Jakarta, 5 Juni 2015

Sarah Khanita

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................6

1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………….……8

1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………….....9

BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Kebijakan Publik...........................................................................................10

2.2 Formulasi Kebijakan Publik..........................................................................11

2.3 Kebijakan Pajak…………………………………………………………….11

2.4 Fungsi Pajak………………………………………………………………...13

2.5 Pajak Daerah………………………………………………………………..13

2.6 Pajak Hiburan…………………………………………………………..…..15

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………………....17

3.2 Jenis Penelitian……………………………………………………………..18

3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penulisan……………………..18

3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penulisan……………………18

3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu……………………….19

3.2.4 Jenis Penelitian Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data……………19

BAB 4 GAMBARAN UMUM

4.1 Pemungutan Pajak Hiburan di DKI Jakarta Melalui Dinas Pelayanan Pajak

(DPP) DKI Jakarta………………………………………………………….20

4.2 Pajak Hiburan di DKI Jakarta……………………………………………...21

4.3 Industri Spa………………………………...................................................23

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Analisis Perubahan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa………………...26

BAB 6 KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan………………………………………………………………...30

6.2 Saran……………………………………………………………………….30

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................31

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Target penerimaan pajak daerah di Provinsi DKI Jakarta tiap tahunnya selalu meningkat.

Terlebih, apabila menilik target penerimaan pajak daerah provinsi DKI Jakarta tahun 2015 yang

mengalami kenaikan sebesar Rp 3.5 triliun menjadi Rp 36 triliun1. Hal tersebut secara tidak

langsung membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI) memutar otak untuk mencari

cara bagaimana menggali potensi pajak daerah yang ada di dalam provinsinya. Salah satu cara

untuk meningkatkan potensi pajak daerah di DKI Jakarta adalah dengan menggali potensi yang

ada pada pajak hiburan di Jakarta. Ketentuan mengenai pajak hiburan itu sendiri diatur dalam

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, dan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 13

Tahun 2010 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3

Tahun 2015. Pada umumnya penyelenggaraan hiburan harus mendapat izin dari bupati/walikota.

Pengajuan tersebut harus diajukan secara tertulis berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh

kepala daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pihak yang menjadi wajib pajak adalah

penyelenggara hiburan.

Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015

(Perda Nomor 3 Tahun 2015) yang dimaksud dengan hiburan adalah semua tontonan film,

pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, pameran, diskotik, karaoke,

klab malam, dan sejenisnya, sirkus, akrobat, sulap, permainan bilyar dan bowling, pacuan kuda

dan pacuan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, panti pijat, refleksi mandi uap/spa, pusat

kebugaran (fitness center), dan pertandingan olahraga. Semua hal tersebut merupakan objek pajak

hiburan yang mana dalam ayat selanjutnya disebutkan pengecualian dari objek pajak hiburan

adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran (gratis). Dalam perkembangannya,

pajak hiburan memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha peningkatan pajak daerah di

DKI Jakarta. Bisnis hiburan merupakan salah satu primadona untuk dikenakan pajak oleh pemprov

1 http://jakarta.bisnis.com/read/20141120/77/274214/dki-targetkan-penerimaan-pajak-rp36-triliun

DKI terlebih Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki berbagai tempat wisata

dan hiburan yang dapat menarik pengunjung atau turis untuk datang menikmati wisata hiburan

yang ada di Jakarta.

Salah satu objek pajak hiburan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Perda

Nomor 3 Tahun 2015 adalah pemandian uap atau biasa dikenal dengan spa. Seiring dengan

berkembangnya waktu, Spa merupakan salah satu hiburan yang banyak digemari oleh kalangan

menengah ke atas, hal ini lantas membuat para pelaku usaha bisnis membuka usaha Spa di kota-

kota besar seperti Jakarta. Hal ini sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Ir. Jero Wacik, SE

bahwa Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia yang memiliki perkembangan

industri spa yang cukup meningkat setelah India dan Cina. Tahun 2010, spa di Indonesia tumbuh

7% hampir menyaingi Cina yang sebesar 8% serta India yang 11%, tidak dapat dipungkiri bahwa

industri Spa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pariwisata di Indonesia yang mana hal ini

menyumbangkan keuntungan ekonomi bagi Indonesia2. Disisi lain, perkembangan industri spa

juga menguntungkan daerah tempat industri spa tersebut berada karena pemerintah daerah dapat

mengenakan pajak hiburan atas industri tersebut yang mana tarif pajak hiburan untuk spa lebih

besar dibanding tarif pajak hiburan lainnya.

Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia. Tak heran banyak investor atau industri lokal

maupun asing yang menanamkan modal atau membuka usahanya di jantung kota Indonesia ini,

tak terkecuali industri spa yang kian marak di Jakarta. Perkembangan indsutri spa di Jakarta

memberikan angin segar kepada pemprov DKI untuk menarik pajak hiburan dari industri ini.

Target penerimaan pajak daerah di DKI Jakarta pada tahun 2015 ini rupanya melibatkan pajak

hiburan sebagai salah satu jenis pajak yang dapat dioptimalisasikan, hal tersebut dapat dibuktikan

dengan adanya perubahan Perda Nomor 13 Tahun 2010 tentang pajak hiburan yang kemudian

diubah menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2015 yang dimana didalamnya terdapat klausul pengenaan

tarif pajak sebesar 35% terhadap industri Spa. Hal ini menimbulkan sejumlah kontroversi yang

dapat memicu turunnya pertumbuhan dan perkembangan industri spa di Jakarta. Kenaikan tarif

pajak atas industri spa dapat membuat pengusaha spa bangkrut dan gulung tikar, hal tersebut

sebagaimana diungkapkan oleh Yudit Elma selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa di

Indonesia (ASPI) DPD DKI Jakarta yang mengatakan bahwa para pelaku atau pengusaha spa

2 http://antaranews.com Global Spa Summit 2011: Industri Spa di Indonesia Semakin Maju,

sangat keberatan dengan kenaikan tarif pajak menjadi 35% yang semula 20%, yang mana rata-rata

pelaku usaha spa hanya mengambil margin sebesar 20-30%, apabila tarif pajak sebesar 35% terus

ditetapkan maka dapat membuat pelaku industri tersebut bangkrut dan menutup usahanya3.

Isu mengenai kenaikan tarif pajak hiburan di DKI Jakarta khususnya pada industri spa

sebenarnya sudah lama terdengar sejak pertengahan tahun 2014 dan sudah mendapat persetujuan

dari DPRD DKI perihal peningkatan tarif beberapa jenis pajak hiburan di Jakarta. Disisi lain,

penetapan kenaikan tarif pajak atas industri spa di DKI Jakarta kian membuat resah pasalnya pada

Perda Nomor 3 Tahun 2015 telah ditetapkan bahwa tarif pajak untuk industri spa adalah sebesar

35%. Yudit Elma selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa di Indonesia (ASPI) DPD

DKI Jakarta yang mengatakan bahwa untuk membangun usaha spa membutuhkan modal yang

tidak sedikit untuk gedung, listrik, kebersihan ruangan,air, upah karyawan, insentif, biaya kursus

terapis, dan lainnya4. Menurut penuturannya, modal untuk membangun usaha spa tidak bisa break

event point dalam kurun waktu yang singkat. Apabila industri ini terus dikenakan tarif pajak yang

terlalu tinggi, bukan hal yang tidak mungkin apabila secara berangsur-angsur pertumbuhan

ekonomi dalam industri ini menjadi semakin turun dan membuat pengusaha industri tersebut

menutup usaha spa nya di Jakarta.

1.2 Perumusan Masalah

Penetapan kenaikan tarif pajak atas industri spa yang tertuang dalam Perda Nomor 3 Tahun

2015, yang dimana hal ini menyebabkan kenaikan tarif pajak sebesar 15% dari yang sebelumnya

20% menjadi 35%. Presentase kenaikan tarif pajak atas industri tersebut dinilai terlalu tinggi

terlebih margin dari usaha spa belum menyentuh 50% dan pengusaha akan sangat merasa

diberatkan apabila dikenakan pajak sebesar 35%. Hal ini juga dapat memicu banyaknya pelaku

usaha spa yang bangkrut dan menutup usaha spa nya di Jakarta. Disisi lain, pemprov DKI berupaya

untuk mengoptimalisasi penerimaan daerah dari sektor pajak dengan menaikkan beberapa jenis

3 http://jakarta.bisnis.com/read/20150131/77/397172/tarif-pajak-hiburan-meroket-pebisnis-spa-terancam-bangkrut 4 Ibid

tarif pajak hiburan yang salah satunya pajak hiburan atas spa. Berdasarkan permasalahan tersebut

maka pertanyaan penulisan yang dirumuskan adalah:

“Apakah latar belakang kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa di DKI Jakarta?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penulisan ini mengkaji tentang alasan yang melatarbelakangi pembuatan kebijakan

kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa yang mana hal tersebut direpresentasikan dalam

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan

Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan. Penulisan ini dibuat sebagai tugas Ujian

Akhir Semester (UAS) mata kuliah Pengantar Kebijakan Pajak yang mana dalam penulisan ini

penulis menggunakan metode studi pustaka dan literatur dalam menjawab pertanyaan penulisan.

BAB 2

KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan Publik menurut Dye merupakan apapun yang dipilih pemerintah dan tidak

dipilih oleh pemerintah5, sedangkan Nugroho mengartikan kebijakan publik sebagai suatu

keputusan yang dibuat oleh negara dan strategi untuk merealisasikan tujuan negara6. Tak jauh

berbeda dengan definisi yang diungkapkan Nugroho, Laswell mengartikan kebijakan publik

sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, serta

praktek-praktek tertentu7. Sejalan dengan apa yang telah didefinisikan sebelumnya, Subarsono

mengungkapkan bahwa dalam pembuatan kebijakan publik terdapat kerangka kerja yang akan

ditentukan oleh beberapa hal berikut: 1) Tujuan yang hendak dicapai 2) Preferensi nilai 3) Sumber

daya yang mendukung kebijakan 4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan

5) Lingkungan yang mencangkup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya 6) Strategi

yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan8.

Selain itu, Anderson juga menambahkan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan

yang dirumuskan dan dikembangkan oleh pemerintah, dalam hal ini Anderson menjelaskan

rumusannya terhadap beberapa unsur yang ada dalam kebijakan publik: 1) Kebijakan publik dibuat

dan diterapkan karena adanya suatu tujuan khusus yang berorientasikan kepada hasil bukan

sekedar tindakan yang tidak sistematis atau dengan sengaja dirumuskan oleh pemerintah 2)

Kebijakan publik merupakan serangkaian pola yang dilakukan oleh pemerintah bukan sekedar

keputusan yang terpisah 3) Hasil kebijakan merupakan tindakan yang akan pemerintah lakukan

bukan sekedar apa yang mereka inginkan ataupun apapun yang mereka katakan ingin dilakukan

5 Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall 6 Nugroho, Riant. 2011. Public Policy (Edisi ketiga). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo 7 Laswell, H.D. 1979. The Signature of Power. New Brunswick, NJ: Transaction Books 8 Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

4) Pada kebijakan publik terdapat kebijakan yang bersifat mendorong maupun melarang

masyarakat 5) Kebijakan publik harus didasarkan pada hukum dan bersifat mengatur masyarakat9.

2.2 Formulasi Kebijakan Publik

Formulasi kebijakan merupakan suatu rangkaian proses perumusan kebijakan yang

dilakukan oleh pembuat kebijakan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan10. Menurut

Widodo, formulasi kebijakan merupakan suatu hal yang penting karena apabila tidak dilakukan

formulasi yang baik secara tepat dan komprehensif maka hasil kebijakan tidak bisa

diimplementasikan dengan baik atau sulit untuk diimplementasikan sehinggal hal ini dapat

berdampak kepada tidak tercapainya tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut11. Widodo juga

mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 4 tahapan formulasi kebijakan yang baik yaitu: 1)

Identifikasi dan pemahaman masalah 2) Penyusunan agenda 3) Formulasi masalah kebijakan 4)

Mendesain kebijakan12. Disisi lain, Islamy dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip

Perumusan Kebijaksanaan Negara mengelompokkan tahapan formulasi kebijakan secara lebih

luas menjadi enam tahap, yaitu: 1) Perumusan masalah kebijakan 2) Penyusunan agenda

pemerintah 3) Perumusan usulan kebijakan negara 4) Pengesahan kebijakan negara 5) Pelaksanaan

kebijakan negara 6) Penilaian kebijakan negara13.

2.3 Kebijakan Pajak

Kebijakan pajak menurut Rosdiana dan Irianto merupakan kebijakan fiskal dalam arti

sempit14. Kebijakan pajak itu sendiri meliputi hal-hal yang mencangkup kewajiban dan tata cara

perpajakan seperti siapa yang dikenakan pajak, apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai objek

9 Anderson, James. 1984. Public Policy Making. New York: Holt, Binehart, and Winston 10 Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah 11 Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing 12 Ibid 13 Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara 14 Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantara Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

pajak, dan bagaimana prosedur pelaksanaan pemungutan pajak15. Kebijakan perpajakan secara

garis besar dapat dirumuskan sebagai:

1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang

penerimaan negara, dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.

2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi kebutuhan

dana untuk keperluan negara.

3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan

negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara.16

Selain itu, Cobham menjelaskan bahwa ada empat tujuan yang harus dicapai dalam

pembuatan suatu kebijakan pajak, yaitu:

1. Revenue

Pendapatan merupakan tujuan yang paling jelas dan merupakan tujuan langsung dari

perpajakan, sehingga tujuan pembuatan suatu kebijakan pajak haruslah dapat

memberikan kontribusi pendapatan bagi negara.

2. Redistribution

Bertujuan agar memberikan suatu kalangan tertentu cara untuk mencapai penghasilan

sesuai yang dibutuhkan, dengan mengangkat masyarakatnya keluar dari garis

kemiskinan.

3. Representation

Merupakan keuntungan yang sangat potensial yang dipicu oleh sistem pajak yang dapat

berfungsi dengan baik.

4. Re-pricing economic alternatives Sektor pajak merupakan alat utama bagi pemerintah

untuk mempengaruhi perilaku dari WP di negaranya.17

15 Mansury. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Indonesia Hill-Co 16 Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Prenada Media Group 17 Cobham, Alex. 2005. Taxation Policy and Development England: The Oxford Council on Good Governance

2.4 Fungsi Pajak

Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi yaitu :

Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-

pengeluarannya. Fungsi ini disebut juga sebagai fungsi penerimaan (revenue function).

Oleh karena itu, suatu pemungutan pajak yang baik sudah seharusnya memenuhi asas

revenue productivity. Maka dalam menentukan kebijakan pajak, berlaku second base

theory. Jika suatu pajak sulit untuk dipungut padahal potensinya cukup besar maka bisa

saja pemerintah lebih mengedepankan asas yang dirasa dapat memudahkan pemerintah

untuk mengoleksi penerimaan negara yang lebih besar.

Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak tidak hanya berfungsi sebagai pengisi kantong negara. Pajak memiliki fungsi

lain yaitu sebagai alat pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Contoh tarif atas ekspor sebesar 0% merupakan salah satu bentuk usaha

pemerintah agar pengusaha dalam negeri dapat terus bersaing dengan produk mancanegara.

Selain itu pajak juga dapat berfungsi sebagai distorsi suatu kegiatan perdagangan dengan

cara mengenakan excise (cukai) terhadap barang dan jasa tertentu yang memiliki

eksternalitas negatif guna membatasi produksi barang atau jasa tersebut. Kebijakan pajak

yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan bagian dari kerangka dari fungsi ekonomi

yang harus dilaksanakan oleh negara.18

2.5 Pajak Daerah

Seiring dengan perkembangan waktu dan kebutuhan yang lebih kompleks, banyak negara

di dunia termasuk Indonesia memberlakukan otonomi daerah di negaranya. Pemberlakuan

otonomi daerah tersebut membuat pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam membangun

daerahnya sendiri yang dimana hal tersebut secara tidak langsung mendorong pemerintah daerah

untuk menggali potensi sumber keuangan yang ada di daerahnya, salah satunya melalui pajak

daerah. Dalam hal ini, merujuk kepada pengertian pajak daerah menurut Marihot P. Siahaan dalam

18 Haula Rosdiana dan Edi Slamet, Pengantar Ilmu Pajak, (Jakarta : Rajagrafindo Perkasa, 2012), hal 39-41

bukunya yang berjudul Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah merupakan pajak yang

ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah yang dimana wewenang

pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai

pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di daerah19.

Definisi pajak daerah lainnya juga diungkapkan oleh Mardiasmo, menurutnya pajak daerah

adalah pajak yang dipungut oleh daerah yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan

pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut20. Pendapat yang hampir sama juga

diutarakan oleh Panca Kurniawan dan Agus Purwanto yang dimana pajak daerah merupakan pajak

yang dikelola oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berguna untuk

menunjang penerimaan pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam

Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah21.

Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut dan menetapkan berbagai jenis

pajak daerah yang berpotensi sebagai sumber penerimaan daerah mereka, dalam hal ini ruang

lingkup pajak daerah itu sendiri terbatas oleh objek pajak yang belum dikenakan dalam pajak

pusat22. Adanya ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya pemungutan pajak ganda

yang akibatnya dapat memberatkan wajib pajak. Selain itu, dalam hal suatu pungutan pajak oleh

daerah merupakan suatu pajak ganda, maka daerah hanya dapat memungut tambahan (atau opsen)

saja atas pajak yang dipungut oleh negara23. Oleh karena itu, kriteria dari pajak daerah itu sendiri

dirasa penting, menurut Davey24 kriteria pajak daerah meliputi: 1) Kecukupan dan Elastisitas 2)

Keadilan 3) Kemampuan Administratif 4) Kesepakatan Politis 5) Distorsi terhadap Perekonomian.

19 Marihot P. Siahaan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2005. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

20 Mardiasmo. 2003. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI

21 Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto. 2004. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Malang: Bayumedia

Publishing

22 Devano, Sony dan Siti Kurnia. 2006. Perpajakan, Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana

23 Brotodiharjo, R. Santoso. 1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama

24 KJ, Davey. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Melalui kriteria tersebut, pembuat kebijakan dapat memilah sumber penerimaan apa yang dapat

dijadikan sebagai pajak daerah.

Penetapan terhadap pajak daerah adalah suatu hal yang penting karena memiliki kontribusi

yang sangat banyak terhadap pendapatan asli daerah (PAD) namun perlu diketahui bahwa peran

pajak daerah dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah tergantung dari sesuai atau

tidaknya pajak daerah tersebut untuk dijadikan sumber pendapatan daerah25. Pada umumnya,

berdasarkan kewenangan pemungutan dan cakupan objek pajak, pajak daerah terbagi menjadi dua

jenis yaitu pajak yang dipungut provinsi dan pajak yang dipungut oleh kabupaten atau kota. Pajak

provinsi merupakan kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah provinsi yang dimana

cakupan objek pajak tersebut hanya sebatas provinsi, dan untuk memperluas objek pajak tersebut

hanya dapat dilalui oleh perubahan perundang-undangan. Sedangkan untuk pajak kabupaten atau

kota merupakan kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota,

cakupan objek pajak tersebut tentunya lebih luas dari pada pajak provinsi, dan untuk memperluas

cakupan objek kabupaten atau kota diperlukan adanya perubahan atas peraturan pemerintah.

2.6 Pajak Hiburan

Pajak hiburan merupakan salah satu jenis pajak yang tergolong kedalam pajak asli daerah

yang dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda) tingkat Kabupaten/Kota. Pajak hiburan di

beberapa kota besar dijadikan sebagai salah satu jenis pajak yang memiliki potensi yang besar

untuk menghasilkan penerimaan daerah dari sektor pajak. Pajak hiburan itu sendiri didefinisikan

oleh Nasution sebagai pajak asli daerah yang dikenakan atas semua hiburan dengan memungut

bayaran yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah26.

Menurut Soelarno, pajak hiburan adalah suatu pertunjukan atau keramaian berupa

sandiwara, wayang, bioskop, pertunjukan-pertunjukan di dalam warung kopi, kabaret, sirkus,

pertunjukan menyanyi dan musik, balet, dansa, fancy fair, pesta, pameran dan pidato, kecuali

pameran dan pidato yang sifatnya penerangan, ilmiah, atau keagamaan. Pertunjukan-pertunjukan

25 Ikhsan, M dan Roy V. Salomo. 2002. Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta: STIA LAN Press

26 Nasution, Agus Salim dkk. 1986. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Penerbit Karunia Universitas Terbuka

di dalam pasar malam, pertunjukan dengan alat musik, pertandingan-pertandingan, dan

pertunjukan olahraga, permainan-permainan yang tergabung meminta pembayaran dari

penontonnya27.

Pajak hiburan dapat dikatakan sebagai pajak yang cukup elastis karena penetapan pajaknya

berdasarkan presentase tertentu dari harga masuk (karcis) dan cost of collection atas pajak ini

relatif rendah28. Pengenaan pajak hiburan sebenarnya dikenakan kepada pihak penyelenggara

hiburan namun dapat dibebankan kepada konsumen dengan cara menaikan harga yang semestinya

dibayar oleh konsumen, tarif atas pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan paling tinggi sebesar 35% 29.

27 Soelarno, Slamet. 1999. Seri Pengetahuan Pendapatan Daerah (Administrasi Pendapatan Daerah dalam Terapan). Jakarta: STIA LAN Press 28 Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Yellow Mediatama 29 Yani, Ahmad. 2004. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian adalah suatu cara untuk menemukan jawaban-jawaban pada sejumlah

pertanyaan yang ingin diketahui oleh peneliti30. Metode penelitian adalah keseluruhan proses

berpikir yang dimulai dari menemukan permasalahan kemudian dijabarkan melalui suatu kerangka

tertentu yang selanjutnya dilakukan proses pengumpulan data sebagai pengujian empiris untuk

mendapatkan penjelasan dalam penarikan kesimpulan atas gejala sosial yang diteliti31.

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dipilih peneliti untuk menjawab pertanyaan permasalahan

yang ada dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Creswell, penelitian kualitatif

adalah proses penyelidikan pemahaman berdasarkan tradisi metodologis yang berbeda untuk

mengeksplor suatu masalah sosial yang terjadi. Pada penelitian ini, peneliti membangun sebuah

gambaran yang kompleks dan secara holistik, menganalisa kata-kata, melaporkan pandangan

informan secara rinci, dan mengadakan penelitian dalam kondisi alaminya32. Pendekatan kualitatif

dipilih dalam penelitian ini karena beberapa alasan yaitu:

Memahami isu-isu rumit suatu proses karena penelitian ini lebih mengacu kepada

formulasi suatu kebijakan

Memahami isu-isu yang terjadi secara nyata lebih rinci. Penelitian ini akan melihat

bagaimana situasi atau kenyataan yang dihadapi oleh perumus kebijakan

Meneliti tentang latar belakang suatu fenomena yang tidak dapat diteliti dengan

penelitian kuantitatif.

30 Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6th edition). New York: Pearson Eduaction Inc 31 Moloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya 32 Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, Mix Method Approaches (2nd edition). United States of America: SAGE Publications Inc

3.2 Jenis Penelitian

Setiap penelitian dapat digolongkan berdasarkannya jenisnya. Jenis penelitian itu sendiri

terbagi menjadi empat, yaitu penelitian berdasarkan tujuan, penelitian berdasarkan manfaat,

penelitian berdasarkan dimensi waktu, dan penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data.

3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penelitian

Jenis penelitian ini berdasarkan tujuan yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif mampu menyajikan gambaran mengenai sebuah situasi yang spesifik,

terperinci, dan keadaan sosial sebenarnya. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah

adanya analisis yang terperinci mengenai kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan atas

industri spa di DKI Jakarta.

3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penelitian

Bila dilihat pada manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, maka penelitian ini

tergolong sebagai penelitian murni. Lebih lanjut, Neuman mendefiniskan penelitian murni

sebagai suatu penelitian dasar yang memajukan atau meningkatkan pengetahuan mendasar

tentang dunia sosial yang berfokus pada menyangkal atau mendukung teori yang

menjelaskan bagaimana dunia sosial beroperasi, apa yang membuat sesuatu terjadi,

mengapa hubungan sosial merupakan cara tertentu, dan mengapa masyarakat berubah33.

Melihat pada penjelasan yang disampaikan oleh Neuman terkait dengan penelitian

murni tersebut, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian murni. Hal ini karena :

1. penelitian ini murni dilakukan untuk pemenuhan keinginan peneliti itu sendiri, bukan

karena permintaan dari pihak lain,

2. penelitian ini juga dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,

3. hasil dari penelitian ini bermanfaat dalam memberikan dasar untuk pengetahuan dan

pemahaman yang dapat dijadikan sumber metode, teori, dan gagasan yang dapat

diaplikasikan pada penelitian selanjutnya

33 Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6th edition). New York: Pearson Eduaction Inc

3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu

Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian

cross-sectional. Penelitian cross-sectional ialah ketika seorang peneliti melakukan

penelitian dalam satu waktu34. Dapat dikatakan pula penelitian cross-sectional ialah suatu

penelitian yang dilakukan dalam waktu tertentu, tidak akan dilakukan penelitian lain di

waktu yang berbeda untuk diperbandingkan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini

menggunakan dimensi waktu cross-sectional karena kebijakan mengenai kenaikan tarif

pajak hiburan atas industri spa di Jakarta baru dikeluarkan pada awal tahun 2015.

3.2.4 Jenis Penelitian Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data

Selain dapat dikategorikan berdasarkan tujuan, manfaat, dan dimensi waktu, suatu

penelitian juga dapat dikategorikan berdasarkan teknik pengumpulan data. Dilihat dari

teknik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif

berupa interpretasi dari data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dan literatur.

34 Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6th edition). New York: Pearson Eduaction Inc

BAB 4

GAMBARAN UMUM

4.1 Pemungutan Pajak Hiburan di DKI Jakarta Melalui Dinas Pelayanan Pajak (DPP)

DKI Jakarta

Pemungutan pajak hiburan termasuk pajak hiburan atas industri spa di DKI Jakarta

dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta. Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI

Jakarta merupakan suatu organisasi daerah yang memiliki tanggung jawab untuk mengurus dan

mengatur pendapatan daerah. Nama Dinas Pelayanan Pajak (DPP) di DKI Jakarta sudah beberapa

kali berganti nama, namun pada tahun 2008 Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta

mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang organisasi perangkat daerah yang

merubah sebutan Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta menjadi Dinas Pelayanan Pajak Provinsi

DKI Jakarta yang kemudian hal ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun

2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta.

Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta sebagai organisasi daerah memiliki tujuan

utama yaitu menyelenggarakan pemungutan pendapatan daerah dan mengadakan koordinasi

dengan instansi lain dalam hal perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian pemungutan

pendapatan daerah. Dalam hal melaksanakan tugasnya, DPP DKI Jakarta memiliki beberapa

fungsi yaitu: 1) Perumusan Kebijakan Teknis di Bidang Pendapatan Darah 2) Perencanaan

Rencana dan Program Kegiatan di Bidang Pendapatan Daerah 3) Penelitian, Pengkajian, Evaluasi,

Penggalian, dan Pengembangan Pendapatan Daerah 4) Pembinaan Pelaksanaan Kebijakan

Pelayanan di Bidang Pendapatan Daerah 5) Penyelenggaraan Pelayanan dan Pemungutan Pajak

Daerah 6) Pengkoordinasian Pemungutan Dana Perimbangan 7) Pemberian Izin di Bidang

Pendapatan Daerah 8) Evaluasi, Pemantauan, dan Pengendalian Pungutan Pajak Daerah 9)

Pengelolaan Dukungan Teknis dan Administratif 10) Pembinaan Teknis Pelayanan Kegiatan Suku

Dinas, Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan bermotor.

4.2 Pajak Hiburan di DKI Jakarta

Dalam melakukan pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta tentunya pihak DPP DKI

Jakarta perlu mengacu dan mematuhi peraturan yang berlaku yang dimana peraturan tersebut dapat

dijadikan sebagai landasan hukum. Dasar hukum atas pajak hiburan di DKI Jakarta mengacu

kepada:

1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

yang mana merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

2) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pajak Hiburan yang mana merupakan

perubahan dari Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan

Berdasarkan pasal 1 ayat 24 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dimaksud

dengan pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan yang mana menurut pasal 3

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 yang termasuk kedalam objek pajak hiburan adalah

tontonan film, pagelaran kesenian musik, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, pameran,

diskotik karaoke, sirkus, acrobat, sulap, permainan bilyar, bowling, pacuan kuda, pacuan

kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, pusat kebugaran

(fitness center), pertandingan olahraga. Pada ayat selanjutnya yaitu pada pasal 4 yang dikecualikan

dari objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran.

Pada pajak hiburan yang menjadi subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan

yang menikmati hiburan sedangkan yang menjadi wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau

badan yang menyelenggarakan hiburan. Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah uang yang

diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan termasuk potongan harga dan

tiket secara cuma-cuma (gratis) yang diberikan kepada penerima jasa hiburan. Tarif pajak hiburan

di DKI Jakarta sesuai dengan Perda Nomor 3 Tahun 2015 paling kecil sebesar 0% untuk hiburan

tradisional dan paling besar sebesar 35% untuk pajak hiburan atas panti pijat, mandi uap, dan spa.

Tabel 4.2

Tarif Pajak Hiburan DKI Jakarta Berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2015

No Jenis Hiburan Tarif

1 Pertunjukan Film di Bioskop 10%

2 Pagelaran Kesenian, Musik, Tari, dan/atau Busana

Lokal:

Nasional:

Internasional:

0%

5%

15%

3 Kontes Kecantikan

Lokal:

Nasional:

Internasional:

0%

5%

15%

4 Pameran

Non Komersial:

Komersial:

0%

10%

5 Diskotik, Klub Malam, Pub, Bar, Musik Hidup (live

music), musik dengan Disc Jockey (DJ), dan sejenisnya

25%

6 Sirkus, Akrobat, Sulap

Lokal:

Nasional dan Internasional:

0%

10%

7 Permainan Bilyar, dan Bowling 10%

8 Pacuan Kuda

Lokal:

Tradisional:

5%

15%

9 Pacuan Kendaraan Bermotor 15%

10 Permainan Ketangkasan 10%

11 Panti Pijat, Mandi Uap, dan Spa 35%

12 Refleksi dan Pusat Kebugaran (fitness center) 10%

13 Pertandingan Olahraga

Lokal:

Nasional:

Internasional

0%

5%

15%

Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak

dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Perhitungan pajak hiburan dapat dirumuskan sebagai

berikut:

4.3 Industri Spa

Spa yang merupakan singkatan dari Solus Per Aqua yaitu perawatan dengan menggunakan

air merupakan salah satu upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk menjaga, meningkatkan,

serta memulihkan kesehatan dalam kesegaran, kecantikan, relaksasi dengan menyeimbangkan

body, mind, spirit. Pelayanan spa itu sendiri menggunakan sumber daya alam seperti sumber air

panas, sumber air, dan lumpur mineral untuk perawatan dan pengobatan. Selain itu, pelayanan spa

juga menggunakan aroma terapi, pijatan, herbal, dan suasana pendukung seperti latar alunan

musik, warna ruangan, dan hal lainnya yang dapat menciptakan suasana tenang dan nyaman.

Seiring dengan berjalannya waktu, pelayanan spa telah menjadi suatu industri pelayanan

jasa. Ditinjau dari kegiatannya, metode perawatan dengan melakukan perawatan dan

menggunakan bantuan terapis menjadikan spa sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan

Pajak Hiburan yang Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran untuk

Menonton/Menikmati Hiburan

tradisional. Upaya keseahatan tradisional itu sendiri adalah upaya kesehatan yang dilakukan

dengan cara lain diluar ilmu kedokteran yang mencangkup cara teknik, obat, mengacu kepada

pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan turun temurun yang diperoleh melalui pendidikan

maupun berguru. Pada tahun 2004 dikeluarkan peraturan Menteri Kesehartan Nomor

1205/Menkes/Per/X/2004 tentang Pedoman Persyaratan Kesehatan Pelayanan Sehat Pakai Air

(SPA) untuk memberi standar Spa yang terdiri dari prinsip dasar dan ruang lingkup spa,

penatalaksanaan spa, pembinaan dan pengawasan spa, monitoring, dan evaluasi serta tata cara

perizinan penyelenggaraan spa.

Penggolongan spa menurut tujuan perawatannya terbagi dua yaitu health spa (wellness

spa) dan medical spa. Health spa adalah perawatan spa yang memberikan peningkatan pelayanan

kesehatan, pemeliharaan, dan pemeliharaan tubuh yang lebih menekankan kepada relaksasi dan

keindahan penampilan. Sedangkan, medical spa adalah kategori spa yang memberikan pelayanan

secara menyeluruh yakni peningkatan kesehatan, pemeliharaan, pencegahan, dan dengan dengan

mengutamakan kepada pemulihan (revitalisasi dan rehabilitasi). Spa pada umumnya

menyuguhkan beberapa perawatan untuk tubuh seperti dengan menggunakan terapi air

(hydrotherapy), pijat (massage), terapi aroma dengan minyak esens, relaksasi, rejuvenasi,

revitalisasi, dan spa terapi.

Pada pelayanan spa yang terkait dengan jasa yang disuguhkan atas spa itu sendiri terbagi

menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Kategori minimal yang menggunakan peralatan sederhana 2)

Kategori sedang dengan menggunakan peralatan sedang 3) kategori utama yaitu perawatan spa

dengan menggunakan hidroterapi dan peralatan yang kompleks. Penggunaan peralatan spa itu

sendiri tentunya harus terjamin mutu, manfaat, dan keamanannya. Selain itu, alat kesehatan

tersebut harus terdaftar di Departemen Kesehatan. Pada tabel 4.3 akan terlihat perbedaan peralatan

pada setiap kategori spa.

Tabel 4.3

Peralatan Pelayanan Spa

Peralatan

Sederhana/Minimal

Peralatan Sedang Peralatan Utama/Kompleks

a. Shower

b. Bath Tub

c. Steamer Tradisional

d. Facial (Manual)

a. Aqua Medic Pool

-Jaccuzi/Whirlpool

-Bath tub

b. Steamer/Sauna

c. Electric Blanket

d. Sound System

e. Facial Equipment

f. Electric Massage

Sederhana

a. Aqua Medic Pool

- Jaccuzi

- 2 Whirlpool

- 1 Water Exercise

Area

b. Hydro Tub (air and

water jet)

c. Electric Blanket

d. Sound System

e. Facial Equipment

f. Electric Massage

g. Shower Room

(kapasitas 5 orang)

h. Steamer/Sauna

(kapasitas 5 orang)

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Analisis Perubahan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa

Perkembangan industri spa di Indonesia teruma di kota-kota besar seperti Jakarta dari tahun

ke tahun berkembang pesat. Berdasarkan data yang didapatkan oleh tim marketing.co.id bahwa

industri spa di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 7% setiap tahunnya35. Tak hanya itu

industri spa yang semakin menjamur ini juga mampu mengepakan sayapnya di kancah

Internasional, seperti pada tahun 2010 industri spa di Indonesia mengalami pertumbuhan ketiga

terscepat di Asia setelah India dan Cina, kemudian pada tahun 2014 kemarin beberapa industri spa

di Indonesia mengikuti pameran kecantikan yang bertajuk Beyond Beauty ASEAN di Bangkok36.

Hal ini tentunya semakin mendorong penanam modal dan pelaku usaha membuka usaha di bidang

pelayanan spa. Jakarta merupakan salah satu kota destinasi wisata spa di Indonesia selain Bali dan

Yogyakarta. Perkembangan dunia usaha spa ini rupanya juga dimanfaatkan oleh Pemprov DKI

dalam meningkatkan penerimaan daerah.

Menurut peraturan perundang-undangan Nomor 28 Tahun 2009, industri spa merupakan

salah satu objek pajak hiburan yang karena termasuk salah satu jenis dari pajak daerah maka

pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Pemprov DKI melihat perkembangan

industri spa menjadi salah satu objek wisata dan juga pajak hiburan yang berpotensi dalam

penerimaan daerah. Hal ini lantas membuat Pemprov DKI pada pertengahan tahun 2014 memiliki

klausul untuk menaikan tarif pajak hiburan atas industri spa menjadi 35%. Hal tersebut dinilai

pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalisasikan pendapatan daerah dari sektor

pajak yang mana pada tahun 2014 target sebesar Rp 32.5 Triliun tidak dapat terealisasi dengan

baik namun kemudian pada tahun 2015 target penerimaan daerah dari sektor pajak naik sebesar

Rp 3.5 triliun atau menjadi Rp 36 triliun.

35 http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/18/lldyo1-wowoindustri-spa-indonesia-masuk-tiga-besar-asia 36 http://gaya.tempo.co/read/news/2014/06/28/110588764/spa-indonesia-ikut-pameran-di-bangkok

Target penerimaan daerah dari sektor pajak yang begitu besar dalam hal ini membuat pajak

hiburan dari sektor industri spa menjalankan fungsi budgetairnya secara lebih maksimal. Pemprov

DKI memanfaatkan tarif maksimal pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 yaitu sebesar 35% pada pajak hiburan industri spa, hal tersebut tentunya

harus dipertimbangkan secara matang agar tidak menimbulkan distorsi pada

pengimplementasiannya seperti mengganggu perekonomian atas sektor industri spa yang dimana

dapat menimbulkan dampak buruk terhadap penerimaan daerah dari sektor pajak hiburan maupun

dari sektor pariwisata. Selain itu, dalam menggali potensi pajak yang dimiliki Pemprov DKI perlu

memperhatikan perbandingan hasil pajak yang dipungut dengan biaya pungut. Hal ini diperlukan

agar jangan sampai potensi penerimaan pajak yang ingin digali oleh pemerintah justru memberikan

collecting cost yang lebih besar dibanding revenue yang dihasilkan.

Kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa ini diatur di dalam Peraturan Daerah Nomor

3 Tahun 2015 yang mana pada peraturan ini secara garis besar terdapat dua perubahan yang

signifikan terkait tarif pajak hiburan di DKI Jakarta yaitu kenaikan tarif pajak hiburan atas industri

spa, panti pijat, dan pemandian uap dan penurunan tarif pajak hiburan atas hiburan tradisional

menjadi 0%. Pembuatan kebijakan ini di satu sisi dinilai baik untuk perkembangan hiburan

tradisional namun disisi lain penurunan tarif yang diberikan kepada industri tradisional secara

tidak langsung terlihat seolah-olah seperti mengalihkan penerimaan pajak dari sektor hiburan

tradisional kepada sektor industri panti pijat, pemandian uap, dan spa sehingga hal ini berdampak

kepada kenaikan tarif pajak hiburan atas industri panti pijat, pemandian uap, dan spa sebesar 15%.

Hal ini rupanya menuai kontroversi dari para pelaku usaha spa yang sebagaimana menurut

penuturan Yudit Elma selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa di Indonesia (ASPI)

DPD DKI Jakarta untuk membuka usaha spa diperlukan modal yang cukup besar sekitar 2 miliar

belum lagi untuk mencapai break even point, pengusaha membutuhkan waktu yang tidak cepat

dengan rata-rata margin terbaik mereka hanya 20-30%, hal ini tentunya akan sangat memberatkan

apabila Pemprov DKI mengenakan pajak atas spa sebesar 35% yang dengan kata lain melebihi

margin keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha tersebut. Yudit Elma juga mengungkapkan

bahwa apabila kebijakan tersebut tetap diimplementasikan maka bukan hal yang tidak mungkin

apabila banyak pelaku usaha yang akan bangkrut atau menutup usahanya37.

Perda Nomor 3 Tahun 2015 mengenakan tarif pajak hiburan atas semua industri spa. Hal

ini semestinya perlu dijelaskan secara lebih rinci karena industri spa itu sendiri memiliki tiga

kategori yaitu kategori minimal, sedang, dan utama. Terlebih saat ini, banyak industri spa yang

tidak hanya menawarkan jasa spa namun jasa lainnya seperti jasa prostitusi yang lebih dikenal

dengan spa ++. Hal tersebut perlu diperhatikan karena margin keuntungan industri spa pada

umumnya 20-30% akan berbeda dengan industri spa ++ yang margin keuntungannya bisa lebih

dari 50%. Apabila tarif pajak yang dikenakan lebih besar dari margin keuntungan yang didapat

oleh pengusaha bukan tidak mungkin kalau pelaku usaha lebih memilih untuk menutup usahanya

dan pindah ke kota lain yang tarif pajak hiburan atas industri spa nya lebih kecil.

Penetapan tarif pajak hiburan atas industri spa yang termaktub pada Perda Nomor 3 Tahun

2015 merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang dimana seperti yang diungkapkan

oleh Dye yaitu what government choose to do and not to do, pemerintah memiliki kewenangan

untuk memilih apa yang dipilihnya dan tidak dipilihnya dalam membuat keputusan yang berkaitan

dengan kebijakan publik38. Selain itu, Perda Nomor 3 Tahun 2015 juga merepresentasikan

kebijakan perpajakan yang dibuat oleh Pemprov DKI yang dalam hal ini sesuai dengan apa yang

diutarakan oleh Devano bahwa secara garis besar kebijakan perpajakan haruslah merupakan suatu

keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah namun

hendaknya Pemprov DKI juga memperhatikan sudut pandang pelaku usaha spa yang merasakan

dampak langsung dari kebijakan ini39.

Selain itu, kebijakan kenaikan tarif pajak atas industri spa di DKI Jakarta semestinya

memperhatikan terlebih dahulu tarif pajak daerah disekitarnya. Dalam hal ini Pemprov DKI dapat

belajar dari permasalahan yang muncul akibat penetapan Nilai Sewa Reklame (NSR) yang

dianggap terlalu tinggi yang menyebabkan pemerintah kekurangan pemasukan dari sektor pajak

reklame dan tak lama setelah penetapan NSR yang baru pemprov DKI memberikan insentif dengan

37 http://jakarta.bisnis.com/read/20150131/77/397172/tarif-pajak-hiburan-meroket-pebisnis-spa-terancam-bangkrut

38 Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall 39 Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Prenada

menurunankan NSR sebesar 50%40. Pada kasus tersebut tentunya banyak stakeholder yang lebih

memilih untuk memasang reklame nya di daerah-daerah sekitar Jakarta seperti Depok, Tangerang,

Bekasi, Bogor, dan Bandung ketimbang harus memasang reklamenya di Jakarta karena NSR yang

terlalu tinggi. Hal ini secara tidak langsung berkaitan dengan kenaikan tarif pajak hiburan atas

industri spa yang mana dapat membuat pelaku usaha spa lebih memilih menanamkan modalnya

atau membuka usahanya di kota-kota lain yang memiliki tarif pajak hiburan atas industri spa lebih

rendah.

40 http://poskotanews.com/2014/10/23/harga-sewa-reklame-tinggi-dikeluhkan-pengusaha/

BAB 6

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Perkembangan industri spa yang cukup pesat di Jakarta nampaknya membuat Pemprov

DKI membidik industri tersebut sebagai salah satu objek penerimaan daerah yang dapat digali, hal

tersebut direpresentasikan dengan adanya kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa

di DKI Jakarta yang sebagaimana hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015.

Kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa menjadi 35% merupakan salah satu cara Pemprov

DKI untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sektor pajak. Hal ini dikarenakan target

penerimaan daerah dari sektor pajak di tahun 2015 ini naik menjadi Rp 36 triliun yang mana

sebelumnya pada tahun 2014 Pemprov DKI belum dapat mencapai target penerimaan pajak

sebesar Rp 32.5 triliun. Selain itu, dengan ketentuan tersebut Pemprov DKI juga berusaha untuk

menutupi potential loss yang ada pada pajak hiburan tradisional yang mana menurut Perda Nomor

3 Tahun 2015 tarif pajak tersebut diturunkan menjadi 0%.

6.2 Saran

Perda Nomor 3 Tahun 2015 mengenakan tarif pajak hiburan atas semua industri spa. Hal

ini semestinya perlu dijelaskan secara lebih rinci karena industri spa itu sendiri memiliki tiga

kategori yaitu kategori minimal, sedang, dan utama. Jangan sampai industri spa yang berada pada

kategori minimal atau sedang merasa sangat terbebani dengan kenaikan tarif pajak hiburan yang

baru, karena hal ini akan berdampak kepada perekonomian daerah baik dari sektor pajak daerah

maupun sektor pariwisata. Pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta semestinya dapat lebih

bijak dalam membuat maupun menetapkan kebijakan, hendaknya kebijakan yang dibuat tidak

merugikan industri kecil yang baru berkembang ataupun mendistorsi perekonomian industri spa.

Ada baiknya sebelum membuat suatu kebijakan, Pemprov DKI telah berkaca kepada permasalahan

serupa yang sebelumnya pernah terjadi sehingga pada pengimplementasiannya tidak timbul

masalah yang tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah

Anderson, James. 1984. Public Policy Making. New York: Holt, Binehart, and Winston

Brotodiharjo, R. Santoso. 1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama

Cobham, Alex. 2005. Taxation Policy and Development England: The Oxford Council on Good

Governance

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, Mix Method Approaches (2nd

edition). United States of America: SAGE Publications Inc

Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Prenada

Media Group

Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall

Ikhsan, M dan Roy V. Salomo. 2002. Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta: STIA LAN Press

Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Yellow Mediatama

KJ, Davey. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto. 2004. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia.

Malang: Bayumedia Publishing

Laswell, H.D. 1979. The Signature of Power. New Brunswick, NJ: Transaction Books

Mansury. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Indonesia Hill-Co

Mardiasmo. 2003. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI

Marihot P. Siahaan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2005. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Moloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Nasution, Agus Salim dkk. 1986. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Penerbit Karunia

Universitas Terbuka

Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative

Aprroaches (6th edition). New York: Pearson Eduaction Inc

Nugroho, Riant. 2011. Public Policy (Edisi ketiga). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantara Ilmu Pajak: Kebijakan dan

Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Soelarno, Slamet. 1999. Seri Pengetahuan Pendapatan Daerah (Administrasi Pendapatan Daerah

dalam Terapan). Jakarta: STIA LAN Press

Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan

Publik. Malang: Bayumedia Publishing

Yani, Ahmad. 2004. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sumber Lainnya:

http://jakarta.bisnis.com/read/20141120/77/274214/dki-targetkan-penerimaan-pajak-rp36-triliun

http://antaranews.com Global Spa Summit 2011: Industri Spa di Indonesia Semakin Maju

http://jakarta.bisnis.com/read/20150131/77/397172/tarif-pajak-hiburan-meroket-pebisnis-spa-

terancam-bangkrut

http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/18/lldyo1-wowoindustri-spa-

indonesia-masuk-tiga-besar-asia

http://gaya.tempo.co/read/news/2014/06/28/110588764/spa-indonesia-ikut-pameran-di-bangkok

http://poskotanews.com/2014/10/23/harga-sewa-reklame-tinggi-dikeluhkan-pengusaha/