modal sosial sebagai coping burnout perawat perempuan

77

Upload: khangminh22

Post on 06-Jan-2023

95 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

Modal Sosial sebagai Coping Burnout

Perawat Perempuan pada Masa Pandemi COVID-19

(Studi di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang)

Penulis:Prof. Dr. Arkanudin, M.Si.Dr. Dra. Rupita, M.Kes.

ii

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan pada Masa Pandemi COVID-19: Studi di RSUD dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang Oleh : © Prof. Dr. Arkanudin, M.Si. Dr. Dra. Rupita, M.Kes.Hak Cipta @2021 pada penulisISBN: 978-623-7683-23-0

Penerbit: CV. Sarana GraciaJl. Widosari II No 47Semarang

Anggota IKAPI

E-mail : [email protected]

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 UU No XXVIII/2014 tentang Hak Cipta:

Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Editor : RahoyoFoto Sampul: AyoJakarta.com

SG/001/Juli 2021/0054

iii

Prakata

Tidak ada kata yang lebih tepat daripada “puji dan syukur” untuk mengungkapkan rasa syukur tim penulis atas diterbitkannya buku berjudul Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan pada Masa Pandemi COVID-19 (Studi di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang) ini. Buku ini merupakan luaran dari hasil penelitian kami. Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan karunia-NYA juga laporan ini dapat kami selesaikan.

Banyak pihak yang disadari atau tidak turut membantu proses penelitian, penulisan, hingga diterbitkannya menjadi buku. Para pejabat dan staf di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura yang memberikan sumbangsih atas pemikiran serta dukungan administratif yang mereka berikan merupakan sesuatu yang tidak pernah kami lupakan. Begitu juga kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang, staf, tenaga kesehatan baik dokter, bidan maupun perawat serta semua pihak yang juga berjasa bagi pemetaan isu dalam penelitian ini dari awal. Terlalu banyak pihak yang ikut berpartisipasi, sehingga tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Kepada mereka, kami juga tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya, kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT., semoga bantuan, saran, fasilitas serta kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak mendapat balasan yang setimpal dari-NYA.

Pontianak, 25 Juni 2021

iv

v

Daftar Isi

Prakata .................................................................................................................. iii

Bab I. Wabah Covid-19 dan Kerentanan Tenaga Kesehatan .......... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Konteks Kajian ............................................................................... 4

Bab II. Perawat Perempuan dan Kerentanan Burnout ...................... 7 2.1. Konsep Modal Sosial .................................................................... 7 2.2. Konsep Perawat Perempuan .................................................... 12 2.3. Teoretical Framework: Burnout ............................................... 16

Bab III. Kabupaten Ketapang: Geografis, Demografis, dan Eksistensi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ....................... 21 3.1. Kondisi Geografis Kabupaten Ketapang .............................. 21 3.2. Demografi ......................................................................................... 22 3.3. Mata Pencaharian Penduduk ................................................... 23 3.4. Kondisi Kesehatan Masyarakat Kabupaten Ketapang ... 24 3.5. Gambaran Umum RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang ............................................................................ 25 3.6. Kepegawaian di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang ............. 27 3.7. Derajat Kesehatan Kabupaten Ketapang ............................ 29

Bab IV. Burnout Perawat Perempuan yang Bekerja di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang ........................... 37 4.1. Karakteristik Informan Penelitian ......................................... 37 4.2. Burnout Perawat Perempuan pada Situasi COVID-19 di RSUD Dr. Agoesdjam ....................... 41

Bab V. Modal Sosial (Social Capital) Perawat Perempuan dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang .................................................. 51

Bab VI. Penutup ................................................................................................. 63 6.1. Kesimpulan Kajian ........................................................................ 63 6.2. Rekomendasi .................................................................................. 63

Daftar Pustaka .................................................................................................... 65Tentang Penulis ................................................................................................. 68

vi

vii

Daftar Tabel

Tabel 3.1 Batas Wilayah Kabupaten Ketapang 22Tabel 3.2 Mata Pencarian Penduduk Kabupaten Ketapang 23Tabel 3.3 Keadaan Pegawai Medis/Nonmedis di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang 27Tabel 3.4 Jumlah dan Kualifikasi Pegawai di RSUD Dr Agoesdjam Kabupaten Ketapang 28Tabel 4.1 Informan Berdasarkan Kelompok Umur 37Tabel 4.2 Informan Berdasarkan Status Perkawinan 38Tabel 4.3 Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan 39Tabel 4.4 Informan Berdasarkan Lama Bekerja 40

viii

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

1

BAB I

Wabah Covid-19 dan Kerentanan Tenaga Kesehatan

1.1. Latar BelakangWabah virus corona atau Covid-19 menjadi peristiwa tragis yang terjadi

di Wuhan, China kemudian mewabah di berbagai belahan dunia. Indonesia termasuk menjadi negara yang terdampak oleh Covid-19, di mana data saat ini menunjukkan jumlah kasus positif berjumlah 7.418 kasus, dengan kasus kematian 635 dan kasus sembuh 913 (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020).

Situasi mengkhawatirkan meliputi beberapa wilayah di Indonesia, tidak terkecuali di Kalimantan Barat. Sejak pertama kali ditemukan kasus Covid-19 sampai April 2020, sudah ditemukan sebanyak 31 kasus positif Covid-19 di Kalimantan Barat. Persebaran pasien positif di beberapa wilayah kabupaten/kota. Satu di antaranya adalah di Kabupaten Ketapang, di mana RSUD Dr. Agoesdjam menjadi satu-satunya rumah sakit rujukan Covid-19 di wilayah Kabupaten Ketapang yang ditunjuk oleh pusat.

Persoalan yang muncul kemudian adalah banyaknya pasien yang berdatangan untuk memeriksakan diri di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang, di mana jumlah tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat cukup terbatas. Hal ini menimbulkan kerja yang over (burnout) pada tenaga kesehatan, di mana mereka harus kerja ekstra dalam pemantauan dan penanganan pasien secara berkala di lingkungan kerjanya.

Lingkungan kerja merujuk pada hal-hal yang berada di sekeliling dan melingkupi kerja karyawan di dalam suatu kantor atau dalam organisasi. Kondisi lingkungan kerja lebih banyak bergantung dan diciptakan oleh

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

2

pimpinan, sehingga suasana kerja yang tercipta tergantung pada pola yang diciptakan pimpinan. Dalam hal ini, lingkungan kerja merujuk pada lingkungan RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang. Bekerja dengan tenggat waktu yang sangat ketat dan di bawah pengawasan serta tekanan akan menimbulkan burnout. Hal ini dapat mempengaruhi kinerja seseorang dalam memberikan hasil kerja yang berkualitas tinggi.

Burnout merupakan fenomena cukup baru di dalam bidang ilmu psikologi. Pemahaman tentang konsep burnout ini sebenarnya telah ada sejak lama, tetapi pada tahun 1974 permasalahan burnout baru menjadi bahan kajian oleh para ahli psikologi. Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis yang bekerja menangani remaja bermasalah di lembaga pelayanan di New York. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan yang telah bertahun-tahun bekerja. Menurutnya para sukarelawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen dan menurunnya motivasi seiring dengan berjalannya waktu.

Menurut Freudenberger (dalam Farber, 1991), burnout merupakan suatu bentuk kelelahan yang terjadi karena seseorang bekerja terlalu intens, berdedikasi dan berkomitmen tinggi, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama, memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan tekanan-tekanan untuk memberi lebih banyak lagi. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri sendiri, dari klien yang sangat membutuhkan mereka, dan dari administrator (penilik atau pengawas). Tekanan-tekanan ini dapat menimbulkan rasa bersalah, yang akhirnya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pelayanan keperawatan adalah burnout syndrome. Burnout Syndrome yang dialami perawat adalah keadaan ketika perawat menunjukkan perilaku seperti memberikan respons yang tidak menyenangkan kepada pasien, menunda pekerjaan, mudah marah di saat rekan kerja ataupun pasien bertanya hal yang sederhana, mengeluh cepat lelah dan pusing serta lebih parahnya tidak mempedulikan pekerjaan dan keadaan sekitarnya (Asih & Trisni, 2015).

Di saat realitas yang terjadi tidak mendukung idealisme mereka, maka

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

3

mereka akan tetap berupaya mencapai idealisme tersebut dan akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami burnout yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan. Sejak itu terminologi tentang burnout berkembang menjadi pengertian luas dan digunakan untuk memahami fenomena kejiwaan seseorang.

Dalam dunia kerja, burnout merupakan istilah yang digunakan berkaitan dengan stres kerja. Konsepsi dan bahasan-bahasan yang dilakukan oleh para ahli mengenai burnout, tidak satu pun yang tidak dikaitkan dengan lingkungan kerja dan jenis pekerjaan. Burnout ialah suatu situasi di mana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi, dan menarik diri dari pekerjaan.

Konteks penelitian ini adalah burnout pada perawat perempuan di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang. Perawat sering bertemu pasien dengan berbagai macam karakter dan penyakit yang diderita. Tidak hanya dari sisi pasien saja yang dapat membuat perawat mengalami kelelahan fisik, emosi dan juga mental tetapi dari sisi keluarga pasien yang banyak menuntut, rekan kerja yang tidak sejalan dan dokter yang cenderung arogan (Mariyanti, 2011).

Burnout Syndrome yang dialami perawat adalah keadaan ketika perawat menunjukkan perilaku seperti memberikan respons yang tidak menyenangkan kepada pasien, menunda pekerjaan, mudah marah di saat rekan kerja ataupun pasien bertanya hal yang sederhana, mengeluh cepat lelah dan pusing serta lebih parahnya tidak mempedulikan pekerjaan dan keadaan sekitarnya (Asih & Trisni, 2015).

Dampak yang paling terlihat dari burnout adalah menurunnya kinerja dan kualitas pelayanan. Individu yang mengalami burnout syndrome akan kehilangan makna dari pekerjaan yang dikerjakannya karena respons yang berkepanjangan dari kelelahan emosional, fisik dan mental yang mereka alami. Perawat dituntut dapat menjadi figur yang dibutuhkan oleh pasiennya, yang dapat bersimpati, selalu perhatian, fokus dan hangat kepada pasien.

Pada ruang isolasi Covid-19 di RSUD dr Agoesdjam Ketapang, perawat bisa mendapatkan pasien dari berbagai tingkatan umur. Sehingga karakter pasien juga menjadi beragam. Artinya bahwa karakter pasien satu dengan pasien lainnya menjadi berbeda-beda, ada yang remaja, dewasa dan orang

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

4

tua lanjut usia. Hal ini berpengaruh terhadap keinginan pasien dalam hal pelayanan, sehingga tuntutan kepada perawat untuk melakukan berbagai tugas menjadi beragam pula.

Semakin banyak tuntutan kepada perawat membuat beban kerja perawat menjadi tinggi dalam memberikan praktik keperawatan yang aman dan efektif serta bekerja dalam lingkungan yang memiliki standar klinik yang tinggi. Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental yaitu harus melakukan banyak pekerjaan yang menjadi sumber stres dalam pekerjaan. Dampak dari beban kerja yang berlebihan akan mengalami kelelahan kerja (Triwijayanti, 2016).

Pekerja yang mengalami burnout akan cenderung diam dan terlihat tanpa daya, hal ini terjadi karena hilangnya motivasi dan semangat yang berakibat pada ketidakberdayaan. Pada kondisi stres, pekerja cenderung menjadi lebih aktif dan agresif secara emosional. Penderita burnout maupun stres sama-sama mengalami masalah terutama dalam pekerjaan, namun responsnya berbeda. Stres yang berkepanjangan dapat berpotensi menjadi burnout, sedangkan kondisi burnout yang dialami oleh pekerja belum tentu disebabkan oleh stres.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulisan kajian ini lebih berfokus untuk melihat sejauh mana perawat perempuan di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang mampu mengelola burnout di tengah-tengah pelayanan kinerja dan integritas mereka pada masa pandemi Covid-19 saat ini.

1.2. Konteks KajianBerdasarkan sudut pandang ergonomic setiap beban kerja yang

diterima seorang harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Beban dapat berupa beban fisik dan beban mental. Gagal dalam memenuhi tenggat waktu dan tidak mampu bertahan menghadapi tekanan kerja akan mempengaruhi keseluruhan keberhasian kerja. Berusaha mengatasi hal-hal tersebut dengan cara menghindarinya, justru menambah tekanan yang akan diterima. Jika tidak diatasi dengan baik, maka akan sangat merugikan.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

5

Sementara itu, kemampuan individu dalam bekerja sama menghadapi permasalahan yang ada, hanya akan tumbuh jika terdapat saling percaya di antara sekalian unsur-unsur, kelompok, golongan yang ada di suatu masyarakat yang ada di lingkup organisasi tersebut, dalam hal ini adalah pegawai RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang. Dengan demikian, saling percaya adalah salah satu unsur penting yang menjadi modal sosial (Social Capital) bagi suatu masyarakat tersebut, termasuk bagi suatu komunitas sebagai ‘miniatur’ (bagian lebih kecil) dari suatu masyarakat. Berpijak dari hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana modal sosial sebagai coping burnout perawat perempuan pada masa pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang?”

Kemudian, hasil kajian tentang modal sosial sebagai coping burnout perawat perempuan pada masa pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang ini dapat menjadi rekonstruksi kebijakan pemerintah daerah terkhusus kebijakan oleh manajemen rumah sakit dalam memperhatikan karyawannya. Kemudian, memberikan masukan dan pengetahuan bagi perawat perempuan dalam pengelolaan burnout yang dihadapi ketika melayani dan menangani pasien di tengah wabah penyakit.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

6

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

7

BAB II

Perawat Perempuandan Kerentanan Burnout

2.1. Konsep Modal SosialJacobs (1961) menggunakan istilah modal sosial pada awal tahun

1960-an. Meskipun dia tidak secara eksplisit mendefinisikan istilah ini, dia menggunakan istilah modal sosial yang ia gunakan mengacu pada nilai jejaring. Ahli ilmu politik, Salisbury (1969) mengembangkan istilah ini sebagai suatu komponen penting dalam formasi kelompok kepentingan dalam artikelnya yang berjudul An Exchange Theory of Interest Groups.

Sosiolog Bourdieu (1972) menggunakan istilah ini dalam judul karya ilmiahnnya dan mengklarifikasikan istilah ini beberapa tahun kemudian yang kontras dengan kebudayaan, ekonomi dan modal simbolis. Sosiolog lain seperti James Coleman, Barry Wellman dan Scot Wortley mengadopsi definisi modal sosial dari Glenn Loury pada tahun 1977 dalam pengembangan dan mempopulerkan konsep modal sosial. Di akhir tahun 1990-an konsep modal sosial mulai terkenal, menjadi fokus dari penelitian program Bank Dunia dan merupakan pokok bahasan dari beberapa buku, termasuk buku dari Putnam (2000) yang berjudul Bowling Alone serta karangan Putnam dan Lewis Feldstein yang berjudul Better Together.

Modal Sosial atau dalam bahasa Inggris disebut dengan Social Capital memiliki banyak definisi, interpretasi, dan kegunaan sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli Sosiologi. Fukuyama (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Adapun Cox mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

8

oleh jejaring, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerja sama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.

Dari pendapat beberapa ahli di antaranya Hasbullah, Coleman, dan Putnam, dan Riddel, penulis mengambil tiga komponen utama yaitu:

a. Kepercayaan/Rasa Percaya (Trust)

Definisi dari kepercayaan mengacu pada situasi yang ditunjukkan melalui beberapa aspek: Seseorang yang sebagai pemercaya (trustor) mengharapkan aksi timbal balik dari orang yang dipercaya (trustee); situasi ini berhubungan langsung dengan masa depan. Sebagai tambahan, pemercaya baik secara sukarela ataupun terpaksa meninggalkan kontrol atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dipercaya.

Kepercayaan/rasa percaya bisa disematkan dalam hubungan antarmanusia. Rasa percaya ini bisa ditunjukkan bahwa manusia memiliki watak alami untuk mempercayai orang lain. Secara konseptual, rasa percaya juga dapat disematkan dengan hubungan antarkelompok sosial (keluarga, teman, komunitas, organisasi, perusahaan, dan bangsa).

Dalam dunia pendidikan, rasa percaya atas kelompok sosial ini dapat dilihat dalam rasa percaya yang dibangun oleh masyarakat terhadap institusi pendidikan. Dengan rasa percaya yang dimiliki oleh masyarakat atas sekolah, secara bertahap masyarakat madani yang merupakan puncak pencapaian dari peradaban manusia akan terbangun.

b. Shared Values

Menurut Hasbullah (2006) Values adalah sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola kultural.

Dalam pendidikan, nilai ini tumbuh dalam lembaga pendidikan melalui pengajaran yang dialami oleh pendidik dan peserta didik. Nilai-nilai di

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

9

lingkungan sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai mulia kehidupan manusia secara otomatis akan membangun alam bawah sadar para peserta didik untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan itu.

c. Jejaring Sosial

Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jejaring hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.

Daniel P. Aldrich, salah seorang profesor di Universitas Purdue, mendeskripsikan tiga mekanisme modal sosial. Aldrich mendefinisikan tiga tipologi ini yaitu: bonding, bridging, dan linking. Modal sosial terikat (bonding) adalah hubungan yang dimiliki seseorang dengan teman-temannya dan kerabatnya, yang membuat modal sosial terikat ini sebagai bentuk terkuat modal sosial. Modal sosial yang menjembatani (bridging) adalah hubungan antara teman dengan teman yang lainnya, membuat kekuatan modal sosial ini di bawah modal sosial terikat. Modal sosial yang terkait (linking) adalah hubungan antara seseorang dan pemerintah atau pimpinan lainnya. Aldrich (2015) juga mengaplikasikan ide-ide dari modal sosial ini ke dalam prinsip-prinsip dasar pemulihan bencana, dan mendiskusikan faktor-faktor baik yang membantu maupun menghalangi pemulihan bencana, seperti tingkat kerusakan, kepadatan penduduk, kualitas pemerintah, dan bantuan. Dia terutama meneliti pemulihan Jepang setelah krisis nuklir 2011.

Menurut Putnam (dalam Kaid & Holtz-Bacha, 2007), ada dua komponen utama dalam tipologi modal sosial ini, yaitu: modal sosial terikat dan modal sosial yang menjembatani. Modal sosial terikat yang mengacu pada nilai yang disematkan pada jejaring sosial antara kelompok masyarakat homogen dan modal sosial yang menjembatani yang mengacu pada jejaring sosial kelompok masyarakat heterogen. Contoh masyarakat homogen ini sering kita temukan dalam gang-gang yang bersifat negatif di mana masih memegang erat peraturan yang dibuat komunitas itu serta cenderung bersifat eksklusif. Sedangkan

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

10

contoh masyarakat heterogen bisa kita temui di klub-klub belajar, perguruan tinggi, di mana kebebasan pemikiran lebih dijunjung tinggi. Menurut Putnam (2000) tipe modal sosial yang menjembatani cenderung memberikan dampak yang positif pada masyarakat, pemerintah, perseorangan, dan komunitas.

Menurut Woolcock (2003) pada pola yang berbentuk bonding atau exclusive pada umumnya nuansa hubungan yang terbentuk mengarah ke pola inward looking. Sedangkan pada pola yang berbentuk bridging atau inclusive lebih mengarah ke ke pola outward looking.

Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.

Hasbullah (2006) menyatakan, pada masyarakat yang bounded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesivitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekadar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, struktur hierarki feodal, kohesivitas yang bersifat bonding.

Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru jika pada masyarakat tradisonal yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Modal sosial itu ada, akan tetapi kekuatannya terbatas pada satu demensi saja, yaitu demensi kohesivitas kelompok. Kohesifitas kelompok yang terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional kedalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang melekat dalam setiap proses interaksi yang juga berpola tradisional.

Mereka juga miskin dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya mengembangkan ide baru, orientasi baru, dan nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

11

nilai dan norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbetuk pada akhirnya memiliki resistensi kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yang demikian bahkan akan menghambat hubungan yang kreatif dengan negara, dengan kelomok masyarakat lain, serta menghambat pembangunan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan.

Jika kita kaitkan dalam dunia pendidikan, pendidikan dengan tipologi inward looking atau bonding ini, dapat kita temukan di dalam pendidikan bersifat militer. Dapat kita temui hierarki dalam pendidikan militer ini. Di mana senioritas begitu nampak, serta terbatasnya kebebasan berpendapat dari anggota maupun siswa yang berada dalam pendidikan militer ini. Contoh lainnya juga ada di dalam pendidikan pesantren salaf. Di mana beberapa resistensi terhadap perubahan yang berbau arus modernitas kadang dibatasi. Seperti penggunaan HP, komputer, dll. Namun, lambat laun, di pondok-pondok pesantren salaf sudah dapat menerima kemajuan-kemajuan ini dan sudah memulai keterbukaannya dengan pembaharuan-pembaharuan.

Mengikuti Coleman (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada Dimensi fight for (berjuang untuk). Yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (pada situasi tertentu, termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompok tersebut). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbol-simbol dan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekadar sense of solidarity (solidarity making).

Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hasil-hasil kajian di banyak negara menunjukkan bahwa tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinan perkembangan di banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia akan meningkatkan, dan bangsa menjadi jauh lebih kuat.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

12

Tanpa menjembatani menurut Bolin et al (2004) modal sosial, kelompok terikat bisa menjadi terisolasi dan tersingkirkan dari keseluruhan masyarakat. Dan hal yang paling penting, dari kelompok yang menjembatani harus terjadi untuk menunjukkan peningkatan dalam modal sosial.

2.2. Konsep Perawat PerempuanPerawat berasal dari bahasa Latin yaitu nutrix yang artinya adalah

merawat atau memelihara. Keperawatan bisa saja diartikan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual komprehensif.

Perawat adalah orang yang telah lulus dari pendidikan perawatan, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa perawat perempuan merupakan perempuan yang telah menamatkan pendidikan keperawatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Definisi perawat ini masih belum mempunyai batasan yang tegas karena hanya didasarkan pada telah lulusnya seseorang dari pendidikan keperawatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Asmadi, 2008). Menurut International Council of Nursing, perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, memiliki wewenang untuk memberikan pelayanan dan peningkatan kesehatan, serta pencegahan penyakit di negara yang bersangkutan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan wewenang melakukan tindakan keperawatan (Yulihastin, 2009).

Keperawatan adalah salah satu profesi di rumah sakit yang berperan penting dalam upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pada standar tentang evaluasi dan pengendalian mutu dijelaskan bahwa pelayanan keperawatan menjamin adanya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dengan terus-menerus melibatkan diri dalam program pengendalian mutu di rumah sakit.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

13

Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2001). Menurut Wardah, Febrina, dan Dewi (2017), perawat adalah tenaga yang bekerja secara profesional, memiliki kemampuan, kewenangan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Pada hakikatnya keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat profesi yang berorientasi pada pelayanan, memiliki empat tingkatan klien (individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Keperawatan sebagai profesi merupakan salah satu pekerjaan di mana dalam menentukan tindakannya perawat mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan serta memiliki keterampilan yang jelas dalam keahliannya. Selain itu, menurut Hidayat (2008) bahwa sebagai profesi keperawatan mempunyai otonomi kewenangan dan tanggung jawab dalam tindakan serta adanya kode etik dalam bekerja dan berorientasi pada pelayanan dengan pemberian asuhan keperawatan kepada individu, kelompok, dan masyarakat.

Peran merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukannya dalam sistem. Lebih lanjut, peran perawat menurut Hidayat (2008) dalam konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari peran sebagai asuhan keperawatan, advokat pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan pembaharu. Uraian peran keperawatan sebagai berikut:

1. Peran sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaaan kebutuhan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

14

2. Peran sebagai Advokat Klien

Peran ini dilakukan perawat untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga berperan dalam mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

3. Peran Pendidik

Peran ini dilakukan dengan membantu klien meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

4. Peran Koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

5. Peran Kolaborator

Peran perawat ini dapat dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan, termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam menentukan bentuk pelayanan selanjutnya.

6. Peran Konsultan

Peran di sini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

7. Peran Pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

15

dengan metode pemberian pelayanan keperawatan yang diberikan.

Hidayat (2008) juga menjelaskan bahwa fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi dapat berubah dan disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan perannya, perawat akan melakukan berbagai fungsi di antaranya fungsi independen, fungsi dependen, dan fungsi interdependen.

1. Fungsi Independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, di mana dalam melaksanakan tugasnya perawat secara sendiri dengan keputusan sendiri melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktivitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta-mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.

2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi di mana perawat melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan pelimpahan tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3. Fungsi Interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dokter ataupun lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan bekerja sama dengan perawat dalam memantau reaksi obat yang telah diberikan.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

16

2.3. Teoretical Framework: Burnout

Burnout yaitu keadaan stres secara psikologis yang sangat ekstrem sehingga individu mengalami kelelahan emosional dan motivasi yang rendah untuk bekerja. Burnout dapat merupakan akibat dari stres kerja yang kronis (King, 2010). Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) berpendapat bahwa burnout merupakan reaksi emosi negatif yang terjadi di lingkungan kerja, ketika individu tersebut mengalami stres yang berkepanjangan. Burnout merupakan sindrom psikologis yang meliputi kelelahan, depersonalisasi dan menurunnya kemampuan dalam melakukan tugas-tugas rutin dan mengakibatkan timbulnya rasa cemas, depresi, atau bahkan dapat mengalami gangguan tidur.

Menurut Griffin (2003 dalam Priansa 2017:260), burnout adalah perasaan letih (secara fisik dan mental) yang mungkin muncul saat seseorang mengalami stres yang terlalu parah dalam jangka waktu yang lama. Santrock (2002) menyatakan bahwa burnout merupakan perasaan putus asa dan tidak berdaya, yang diakibatkan oleh stres berlarut-larut yang berkaitan dengan pekerjaan. Lebih lanjut, Farber (1991) mendefinisikan burnout sebagai berikut:

Burnout is a work-related syndrome that stems from an individual’s perception of significant discrepancy between effort (input) and reward (output), this perception being influenced by individual, organizational, and social factors. It occurs most often in those who work face to face with troubled or needy clients and is typically marked by withdrawal from and cynicism toward clients, emotional and physical exhaustion, and various psychological symptoms, such as irritability, anxiety, sadness, and lowered selfesteem.

Maslach & Leiter (1997) menyatakan bahwa burnout merupakan keadaan seseorang yang merasakan adanya ketegangan emosional saat bekerja sehingga dapat menyebabkan seseorang tersebut menarik diri secara psikologis dan menghindarkan diri untuk terlibat. Kemudian, hal ini juga berkaitan erat dengan pendapat Cherniss (1987) yang menyatakan:

Burnout is defined as psychological withdrawal from work in response to excessive stress or dissatisfaction. In other words, the term refers to the loss of enthusiasm, excitement, and a sense of mission in one.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

17

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa burnout didefinisikan sebagai penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan sebagai reaksi stres yang berlebihan atau ketidakpuasan. Dengan kata lain, suatu keadaan yang berhubungan dengan hilangnya antusiasme, kegembiraan, dan arti dari misi dalam sebuah pekerjaan.

Burnout merupakan suatu situasi di mana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi dan menarik diri dari pekerjaan. Pekerja yang terkena burnout lebih gampang mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah, dan menjadi sinis tentang karier mereka (Davis & Jhon, 1985). Reaksi stres yang terutama sering terjadi pada orang dengan standar yang tinggi adalah burnout. Burnout adalah keadaan kelelahan emosional dan fisik, produktivitas yang rendah, dan perasaan terisolasi, sering disebabkan oleh tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan. Orang-orang yang menghadapi kondisi tekanan tinggi setiap hari sering merasa lemah, putus asa, dan emosional terkuras dan akhirnya dapat berhenti untuk mencoba.

Burnout adalah keadaan tekanan psikologis seorang karyawan setelah berada di pekerjaan itu untuk jangka waktu tertentu. Seseorang yang menderita burnout secara emosional kelelahan dan memiliki motivasi kerja yang rendah (Spector, 1996). Menurut Poerwandari (2010) burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik. Biasanya burnout dialami dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terus-menerus. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat berkonsentrasi, gampang sakit) dan biasanya bersifat kumulatif, maka kadang persoalan tidak demikian mudah diselesaikan.

Burnout merupakan suatu kondisi psikologis yang dialami individu akibat dari timbulnya stres dalam jangka waktu yang lama dan dengan intensitas yang cukup tinggi, yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri yang mengakibatkan individu merasa terpisah dari lingkungannya. Oleh karena itu perlu reaksi untuk menghadapinya, karena jika tidak maka akan muncul gangguan fisik maupun psikologis. Semakin tinggi nilai yang diperoleh maka mengindikasikan bahwa tingkat burnout semakin tinggi, demikian pula

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

18

semakin rendahnya skor maka tingkat burnout semakin rendah.

Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) burnout mempunyai tiga dimensi sebagai berikut:

a) Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

Kelelahan emosional adalah perasaan lelah dan letih di tempat kerja. Ketika seseorang mengalami exhaustion dia akan merasakan energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat teratasi lagi.

b) Depersonalisasi (Depersonalization)

Depersonalisasi adalah pengembangan perasaan sinis dan tak berperasaan terhadap orang lain. Proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan individu. Hal ini berupa sikap sinis terhadap orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaan dan kecenderungan untuk menarik diri serta mengurangi keterlibatan dalam bekerja. Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderita menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu mereka akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan.

c) Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi

Biasanya ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan terhadap kehidupan. Maslach dalam hal ini juga menyatakan bahwa penurunan pencapaian prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah karena telah melakukan orang lain di sekitarnya secara negatif.

Burnout menurut Widiastuti dan Kamsih (2008) muncul dari adanya stres yang berkepanjangan, sehingga banyak faktor yang mempengaruhi burnout sering dikaitkan dengan munculnya stres. Menurut Sihotang (2004) terdapat dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:

1) Faktor eksternal meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

19

2) Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.

Lebih lanjut, Maslach & Leiter (1997), menyebutkan bahwa terdapat enam faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan, di antaranya:

1. Beban Kerja

Beban kerja yang dimaksud meliputi apa dan seberapa banyak tugas yang dilakukan oleh karyawan. Pekerjaan yang lebih sering dilakukan, permintaan tugas yang berlebihan, dan pekerjaan yang lebih komplek dapat menyebabkan burnout.

2. Kekurangan Kontrol

Merupakan kemampuan untuk mengatur prioritas pekerjaan sehari-hari, memilih pendekatan untuk melakukan pekerjaan, dan membuat keputusan dalam menggunakan sumber dayanya untuk menjadi karyawan yang profesional. Jika karyawan memiliki kontrol yang rendah maka mudah terkena burnout.

3. Ketidakcukupan Upah

Karyawan berharap bahwa pekerjaan yang dilakukannya dapat menghasilkan imbalan berupa uang, prestise, dan keamanan. Namun, ketika hal itu dinilai belum mencukupi kebutuhan karyawan, karyawan tersebut akan mudah terkena burnout.

4. Perselisihan Antar-komunitas

Gangguan dalam komunitas di tempat kerja yang dapat memicu burnout meliputi konflik dengan rekan kerja, dukungan sosial, perasaan terisolasi, serta perasaan bekerja secara terpisah dan merasa kurang kerja sama.

5. Tidak Adanya Kejujuran/Keadilan

Ketiadaan keterbukaan meliputi tiga aspek yaitu tidak adanya kepercayaan, keterbukaan, dan rasa hormat. Hal tersebut berpengaruh

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

20

langsung terhadap burnout.

6. Konflik Nilai

Nilai-nilai yang bertentangan antara karyawan dengan pekerjaannya dapat memicu terjadinya burnout karyawan.

Kesehatan perempuan juga berhubungan dengan posisi perempuan sebagai subjek. Khususnya dalam persoalan kesehatan reproduksi, pengetahuan mengenai Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi sangat menentukan tidak hanya kondisi kesehatan fisik perempuan tetapi juga well-being perempuan (Jurnal Perempuan, 2019).

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

21

BAB III

Kabupaten Ketapang: Geografis, Demografis, dan

Eksistensi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

3.1. Kondisi Geografis Kabupaten KetapangKabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas dari 14 kabupaten/

kota di Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Ketapang memiliki luas wilayah sebesar 31.588 km2 atau 21,28 persen dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang sebesar 146.807 km2. Secara geografis, Kabupaten Ketapang berada pada posisi 00 19’ 26,51” Lintang Selatan sampai dengan 30 4’16,59’’ Lintang Selatan dan 1090 47’36,55’’ Bujur Timur sampai dengan 1110 21’37,36’’ Bujur Timur, dan berada pada posisi sebelah selatan Provinsi Kalimantan Barat.

Dilihat dari jenis tanahnya, sebagian besar daerah Kabupaten Ketapang terdiri dari tanah kuarter (49,64%), efusif tak dibagi (17,38%) dan intrusif & plutonik asam. Selain itu sebagian wilayah Kabupaten Ketapang merupakan perairan laut dengan jumlah pulau sebanyak 45 buah di mana 93,33% tidak berpenghuni dan tersebar di Kecamatan Kendawangan, Delta Pawan dan Matan Hilir Utara.

Wilayah Kabupaten Ketapang terdiri dari 20 Kecamatan, di mana 13 kecamatan berada di daerah perhuluan dan selebihnya merupakan kawasan pesisir, yaitu wilayah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan laut. Kecamatan Kendawangan adalah kecamatan terluas dengan luas wilayah 5.859 Km2 atau 18,55 persen dari total luas wilayah

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

22

Kabupaten Ketapang, sedangkan kecamatan terkecil wilayahnya adalah Kecamatan Delta Pawan. Terdapat 45 pulau kecil di wilayah Kabupaten Ketapang yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kendawangan (36 pulau), Kecamatan Delta Pawan (4 pulau) dan Kecamatan Matan Hilir Selatan (5 pulau). Terdapat 3 pulau dari 36 pulau di Kecamatan Kendawangan yang berpenghuni.

Secara administratif Kabupaten Ketapang terdiri dari 20 Kecamatan, 240 Desa dan 9 Kelurahan dengan batas wilayah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Batas Wilayah Kabupaten Ketapang

Barat Berbatasan dengan Kabupaten Kayong Utara dan Laut Natuna.Selatan Berbatasan dengan Laut JawaTimur Berbatasan dengan Kabupaten Melawi dan Provinsi Kalimantan Tengah.Utara Berbatasan dengan Kabupaten Pontianak, Sekadau, Sintang dan Sanggau

Sumber: Kabupaten Ketapang dalam Angka, 2019

3.2. DemografiLaju pertumbuhan penduduk Kabupaten Ketapang selama kurun

waktu 1980-1990 adalah sebesar 2,58 %, kemudian pada kurun waktu 1990-2000 sebesar 2,77%, sedangkan kurun waktu 2000-2010 laju pertumbuhan penduduknya mencapai 2,14 %. Jika dilihat dari Kecamatan yang ada, laju pertumbuhan penduduk tertinggi pada kurun waktu 2000-2010 terjadi di Kecamatan Sungai Laur 3,22%, sedangkan yang terendah bahkan jumlah penduduknya cenderung berkurang terdapat pada dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Singkup yaitu berkurang rata-rata sebesar 2,58% dan Kecamatan Pemahan yang berkurang rata-rata sebesar 0,58% per tahun pada periode yang sama.

Jumlah penduduk Kabupaten Ketapang pada pertengahan tahun 2016 berdasarkan hasil sensus penduduk 2015 (angka sementara) berjumlah 427.158 jiwa, terdiri dari 222.149 jiwa penduduk laki-laki dan 205.009 jiwa penduduk perempuan. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin adalah 52,01% penduduk laki-laki dan 47,99 % penduduk perempuan.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

23

Secara umum, sex ratio penduduk Kabupaten Ketapang adalah sebesar 108, artinya penduduk laki-laki 8% lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2016, penyebaran penduduk Kabupaten Ketapang terkonsentrasi di wilayah ibu kota Kabupaten dan 5 Kecamatan pesisir lainnya yang mencapai 46,2% dari total jumlah penduduk. Kecamatan Delta Pawan, Benua Kayong dan Kendawangan adalah 3 Kecamatan dengan penduduk terbanyak sedangkan 3 Kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Pemahan, Singkup dan Simpang Dua. Dengan luas wilayah sekitar 31.588 km2 dan penduduk berjumlah 427.158 jiwa, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ketapang adalah 14 jiwa per km2.

Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Delta Pawan (962 jiwa/km2) dan yang paling jarang adalah Kecamatan Hulu Sungai (2 jiwa/km2).

3.3. Mata Pencaharian PendudukMata pencarian penduduk di wilayah Kabupaten Ketapang terdiri dari

bermacam-macam mata pencarian. Untuk lebih jelasnya, mata pencarian penduduk di Kabupaten Ketapang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.2Mata Pencarian Penduduk Kabupaten Ketapang

No. Mata Pencarian Jumlah Persentase (%)1. PNS/ABRI 51.762 25,552. Swasta 36.942 18,233. Wiraswasta 24.948 12,314. Nelayan 45.108 22,265. Tani 43.811 21,62Jumlah 202.571 100,00

Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Ketapang, Tahun 2019

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

24

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Ketapang bermata pencarian PNS/ABRI yaitu sebanyak 51.762 orang (25,55 %), sebagai nelayan yaitu sebanyak 45.108 orang (22,26 %), sebagai petani yaitu sebanyak 43.811 orang (21,62 %), selebihnya sebagai pegawai swasta yaitu 36.942 orang (18,23 %) dan sebagai wiraswasta yaitu 24.948 orang (12,31 %). Banyak masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan karena di Kabupaten Ketapang banyak terdapat daerah pesisir dan sungai.

3.4. Kondisi Kesehatan Masyarakat Kabupaten KetapangUntuk ukuran tingkat Kabupaten sebenarnya kondisi sarana dan

prasarana kesehatan di Kabupaten Ketapang belum memadai untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduknya. Misalnya masih kurangnya tenaga dokter spesialis di kabupaten ini, fasilitas rumah sakit pemerintah yang belum memadai, dan belum tersedianya tenaga ahli medis.

Dilihat dari keadaan rumah penduduk di Kabupaten Ketapang, terutama di kotanya sudah banyak yang permanen. Namun jika ditinjau dari tata letak kota perlu dilakukan penataan kembali. Hal ini dikarenakan pemukiman penduduk bersatu dengan rumah burung walet yang menjadi primadona di Kabupaten Ketapang setelah kayu belian dan tambang emas. Kondisi seperti ini dapat berpotensi menjadikan lingkungan pemukiman tidak sehat, tidak nyaman karena suara bising dari burung walet, dan bukan tidak mungkin kelak dapat berpotensi menjadi media penularan flu burung.

Adapun kondisi prasarana air bersih masih memprihatinkan, karena penduduknya sebagaian besar masih menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama bagi penduduk yang berdiam di pinggiran sungai masih menggunakan air sungai dalam kegiatan mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Setiap keluarga pada umumnya tidak memiliki bak sampah, bak sampah yang tersedia hanya milik umum yang disediakan oleh Kantor Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Ketapang. Menjaga kesehatan lingkungan masih belum dipahami oleh manyarakat, hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya masyarakt yang membuang sampah di pinggiran sungai, terutama bagi yang

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

25

yang berdiam di pinggiran sungai. Sedangkan masyarakat yang tinggal di daratan membuang sampahnya dengan cara membakarnya, dalam jumlah besar. Cara pembakaran sampah seperti ini akan berpotensi menambah pencemaran udara di Kabupaten Ketapang.

3.5. Gambaran Umum RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang

Secara umum pelayanan rumah sakit terdiri dari pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan rawat inap merupakan pelayanan terhadap pasien rumah sakit yang menempati tempat tidur perawatan karena keperluan observasi, diagnosis, terapi, rehabilitasi medik dan pelayanan medik lainnya. Pelayanan rawat inap merupakan pelayanan medis yang utama di rumah sakit dan merupakan tempat untuk interaksi antara pasien dan pihak-pihak yang ada di dalam rumah sakit dan berlangsung dalam waktu yang lama. Pelayanan rawat inap melibatkan pasien, dokter, dan perawat dalam hubungan yang sensitif yang menyangkut kepuasan pasien, mutu pelayanan dan citra rumah sakit. Semua itu sangat membutuhkan perhatian pihak manajemen rumah sakit.

Berbagai kegiatan yang terkait dengan pelayanan rawat inap di rumah sakit, yaitu penerimaan pasien, pelayanan medik (dokter), pelayanan perawatan oleh perawat, pelayanan penunjang medik, pelayanan obat, pelayanan makan, serta administrasi keuangan (Suryawati dkk, 2006).

RSUD Agoesdjam Kabupaten Ketapang ditetapkan berdasarkan SK DPRD Tingkat II Ketapang No. 44/1164/KESRA tanggal 16 Juli 1984. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Ketapang yang didirikan dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan bantuan dari Asian Development Bank (ADB). RSUD Dr. Agoesdjam merupakan rumah sakit umum bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya di wilayah Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat.

Sebelum berdiri di tempat sekarang, operasional RSUD Dr. Agoesdjam dilaksanakan di daerah Mulia Baru, tepatnya di Jalan Dr. Soetomo nomor 65 Ketapang, dan setelah tahun 1984 barulah dilaksanakan di tempat yang sekarang, yaitu di Jalan Mayjend. D.I. Panjaitan nomor 51 Kelurahan Sampit,

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

26

Kecamatan Delta Pawan Kabupaten Ketapang. Pengembangan dan perluasan serta pemenuhan fasilitas pelayanan terus dilakukan di tempat ini sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat.

RSUD Dr. Agoesdjam telah dimanfaatkan untuk kegiatan operasional rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakat, khususnya masyarakat di Kabupaten Ketapang. Beberapa pelayanan kesehatan yang diberikan antara lain adalah; pelayanan medis spesialistik bedah, spesialis penyakit dalam, spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, spesialis penyakit anak, pelayanan medis umum, serta pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Beberapa pelayanan pendukung juga sudah mulai dilaksanakan seperti pelayanan bedah sentral, laboratorium, radiologi, farmasi, gizi, hemodialisa dan rehabilitasi medik, serta pemeliharaan sarana rumah sakit.

Dengan demikian, hingga kini RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan di lokasi yang baru selama lebih dari 30 tahun, dengan berbagai pasang surut kegiatan operasional. Sebagai RSUD dengan klasifikasi Tipe C, RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang di samping mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan 4 (empat) dokter spesialis dasar (Spesialis penyakit dalam, bedah, anak dankebidanan), juga sudah ditunjang dengan keberadaan dokter spesialis lain, seperti dokter spesialis THT, mata, paru, gigi, saraf, anak, kandungan dan patologi klinik.

Dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, sejak tahun 2006 RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang mulai dikelola sebagai Badan Layanan Umum Daerah yang dibentuk dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Ketapang Nomor 7 Tahun 2006.

Badan Layanan Umum merupakan satuan kerja perangkat daerah atau unit kerja pada satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah daerah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

27

3.6. Kepegawaian di RSUD Dr. Agoesdjam KetapangKeberhasialan suatu organisasi dalam menjalankan program kerjanya,

khususnya dalam hal ini program pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan tujuannya, harus didukung oleh tersedianya tenaga medis dan nonmedis yang kompenten dalam melaksanakan program-program tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk lebih jelasnya mengenai keadaan pegawai di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3

Keadaan Pegawai Medis/Nonmedis di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang

No. Jenis TenagaStatus Kepegawaian

Jumlah Persentase (%)PNS PHDL P L P

1. Paramedis 54 13 50 44 161 52,62. Non Medis 15 42 39 38 134 45,4

Jumlah 69 55 89 82 295 100

Sumber: Bagian Kepegawaian RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang, 2019.

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa jenis tenaga yang ada di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang yaitu paramedis yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yaitu sebanyak 67 orang dan yang masih berstatus honor sebanyak 94 orang. Sedangkan tenaga non-medis yaitu sebanyak 57 orang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dan sebanyak 77 orang berstatus sebagai pegawai honor.

Melihat jenis tenaga yang ada di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten lebih banyak tenaga non-medis daripada pegawai medisnya. Agar mutu pelayanan di rumah sakit tersebut menjadi lebih baik, sebaiknya ditambah lagi dokter spesialis, dan tenaga ahli lainnya. Kemudian, untuk mengetahui jumlah dan kualifikasi pegawai RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

28

Tabel 3.4 Jumlah dan Kualifikasi Pegawai di RSUD Dr Agoesdjam Kabupaten Ketapang

No. Kualifikasi Pegawai

Status PegawaiJum-lah

Persen-tase (%)PNS PTT/Honor

L P L+P L P L+PA. Tenaga Medis1. Dr. Spesialis 4 2 6 0 0 0 6 2,02. Dr. Umum 3 1 4 3 2 5 9 3,03. Dr. Gigi 2 0 2 0 0 0 2 0,64. Apoteker 1 1 2 0 0 0 2 0,65. SKM 0 1 1 0 0 0 1 0,3B. Tenaga Paramedis1. Akper 3 5 8 5 7 12 20 10,72. Penata Anastesi 1 2 3 0 0 0 3 13. APK 3 0 3 2 0 2 5 1,64. AKZI 1 2 3 2 0 2 5 1,65. APRO 4 2 5 0 0 0 5 1,67. ATEM 1 2 3 1 1 2 5 1,68. AKFIS 1 0 1 0 1 1 2 0,69. D3 Administrasi

Pembangunan1 0 1 0 0 0 1 0,3

10. D3 Bidan 0 2 2 0 3 3 5 1,6

11. Bidan 0 9 9 0 6 6 15 5,012. SPK 22 32 54 3 8 11 65 3313. SMAK 4 0 4 3 2 5 9 3,014. SPPH 1 1 2 0 0 0 2 0,615. SPRG 2 1 3 0 0 0 3 1,016. SMF 3 0 3 2 0 2 5 1,617 SPAG 2 0 2 0 0 0 2 0,618. Pekarya Kesehatan 3 5 8 0 0 0 8 2,7C. Tenaga Non Medis1. SMA 6 12 18 12 5 17 35 15,82. SMP 3 0 3 5 2 7 10 3,33. SD 0 0 0 8 7 15 15 5,3Jumlah 161 134 295 100

Sumber: Bagian Kepegawaian RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang, 2019

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

29

Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tenaga medis dan non-medis di RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang, masih banyak yang berpendidikan Sekolah Perawat Kesehatan yaitu sebanyak orang 29 orang sebagai PNS dan 36 orang sebagai pegawai PTT/honor.

Untuk menghadapi era globalisasi dan agar menang dalam persaingan nanti, RSUD Dr. Agoesdjam Kabupaten Ketapang harus meningkatkan kualifikasi para pegawainya misalnya dengan cara memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kepada para pegawainya berdasarkan kualifikasi yang dibutuhkan oleh rumah sakit secara bertahap.

3.7. Derajat Kesehatan Kabupaten KetapangDerajat kesehatan merupakan salah satu ukuran kesejahteraan dan

kualitas sumber daya manusia. Derajat kesehatan Kabupaten Ketapang penting dijabarkan dalam bahasan ini untuk mendapatkan gambaran atas keparahan situasi derajat kesehatan yang bisa saja terjadi sebagai akibat dari COVID-19 ini. Derajat kesehatan ini juga merupakan deteksi dini atas penanganan secara tepat pasien yang mengalami tingkat keparahan karena penyakit tertentu.

Untuk menggambarkan derajat kesehatan digunakan indikator kualitas utama seperti angka kematian dan angka kesakitan, kelahiran, status gizi dan lain-lainnya. Derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten Ketapang digambarkan melalui dua indikator pembangunan kesehatan, yaitu angka kematian (mortalitas) dan angka kesakitan (morbiditas). Berikut ini merupakan uraian situasi derajat kesehatan menurut data profil kesehatan Kabupaten Ketapang (2017).

3.7.1. Angka Kematian (Mortalitas)

Kejadiaan kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu dapat memberi gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat atau dapat digunakan sebagai indikator penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Tinggi rendahnya angka kematian, secara umum terkait erat dengan tingkat kesakitan golongan bayi, balita dan ibu maternal (hamil, melahirkan, nifas). Angka kematian pada umumnya

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

30

diperoleh dari data survei, sedangkan angka kematian yang ada di fasilitas kesehatan didapat dari kasus rujukan dan pencatatan rutin (laporan).

Angka kematian yang cukup bervariasi dari tahun ke tahun dapat dilihat pada uraian dibawah ini:

Angka lahir mati

Angka lahir mati yaitu jumlah seluruh lahir mati dibandingkan dengan seluruh kelahiran (hidup dan mati) di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Jumlah kejadian lahir mati di Kabupaten Ketapang tahun 2017 sebanyak 51 kejadian atau 6 per 1.000 kelahiran. Angka ini menurun dibandingkan angka lahir mati tahun 2016 yaitu 9 per 1.000 kelahiran. Angka kejadian lahir mati tertinggi berada di wilayah Puskesmas Kendawangan sebanyak 9 kejadian, di wilayah Puskesmas Nanga Tayap dan Sandai sebanyak 5 kejadian dan di wilayah Puskesmas Balai Berkuak sebanyak 4 kejadian.

Ada beberapa faktor penyebab meningkatnya angka lahir mati di antaranya adalah pernah mengalami kejadian bayi lahir mati sebelumnya, kehamilan kembar atau lebih, usia saat hamil, obesitas, merokok, minum alkohol dan obat-obatan. Angka lahir mati di Kabupaten dari tahun 2013 – 2017 cenderung naik turun. Angka lahir mati tertinggi pada tahun 2014 dan 2016 yakni 9 per 1000 kelahiran dan pada tahun 2017 turun menjadi 6,3 per 1000 kelahiran.

a. Angka Kematian Bayi (AKB)

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan angka yang dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat karena bayi adalah kelompok usia yang paling rentan terkena dampak dari perubahan lingkungan maupun sosial ekonomi. Indikator AKB terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan dan kesehatannya. Adapun yang dimaksud kematian bayi yaitu kematian yang terjadi pada bayi usia 0 – 11 bulan (termasuk kematian neonatal). Kematian neonatal yaitu kematian yang terjadi pada bayi usia sampai dengan 28 hari. Angka kematian bayi dihitung dengan membandingkan jumlah kematian usia 0–11 bulan terhadap jumlah kelahiran hidup disuatu wilayah. Kejadian kematian bayi pada tahun 2017 sebanyak 67 kejadian. Kejadian ini meningkat bila dibandingkan dengan

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

31

tahun 2016 yaitu 53 kejadian. Sedangkan angka kematian bayi sejak tahun 2013 – 2017 berkisar antara 6 – 8 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi tertinggi terdapat pada tahun 2013 yakni 8,9 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi terendah terdapat pada tahun 2015 yakni 6,6 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2017 angka kematian bayi 8,4 per 1000 kelahiran hidup meningkat dari tahun 2016 dan 2017.

b. Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Balita (AKABA) dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat permasalahan anak termasuk status gizi, sanitasi dan angka kesakitan lainnya. Kematian Balita yaitu kematian yang terjadi pada bayi atau anak usia 0 – 59 bulan (bayi dan anak balita). Angka kematian balita dihitung dengan membandingkan jumlah kematian usia 0 – 59 bulan disuatu wilayah pada suatu waktu tertentu. Kematian balita tahun 2017 sebanyak 67 kejadian yang semuanya merupakan kasus kematian bayi, angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu sebanyak 60 kejadian.

AKABA (termasuk bayi dan balita) sejak tahun 2013 – 2017 berkisar antara 7 – 10 per 1.000 kelahiran hidup. AKABA tertinggi pada tahun 2013 yakni 9,7 per 1.000 kelahiran hidup dan berangsur menurun menjadi 7,5 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2016, namun di tahun 2017 naik kembali menjadi 8,4 per 1.000 kelahiran hidup.

Kejadian kematian ibu pada tahun 2017 sebanyak 11 kasus lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak 8 kejadian (Tabel 6 Lampiran profil). Angka kematian ibu (AKI) sejak tahun 2013–2017 cenderung naik turun dan berkisar antara 80,9–210,4 per 100.000 kelahiran hidup. AKI tertinggi pada tahun 2014 yakni 210,4 per 100.000 kelahiran hidup dan AKI terendah terdapat pada tahun 2013 yakni 99 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2017 menjadi 138 per 100.000 kelahiran hidup.

3.7.2. Upaya Kesehatan Kabupaten Ketapang

1. Program Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa upaya kesehatan ibu ditujukan untuk menjaga

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

32

kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas, serta dapat mengurangi angka kematian ibu sebagai salah satu indikator Renstra dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang tersebut meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

2. Cakupan K1 dan K4

Pelayanan sebelum ibu melahirkan (antenatal care/ ANC) merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum dan bidan) kepada ibu hamil selama masa kehamilan sesuai pedoman pelayanan antenatal dengan titik berat pada kegiatan promotif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat pada cakupan pelayanan K1 dan K4.

3. Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Linakes) dan Cakupan Pelayanan Nifas

Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Linakes) adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Sedangkan cakupan pelayanan nifas adalah pelayanan kesehatan ibu pasca-persalinan dengan peningkatan pelayanan kesehatan bagi ibu nifas minimal tiga kali dari mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan untuk mendeteksi dini komplikasi yang mungkin terjadi.

4. Cakupan Imunisasi TT pada Ibu Hamil

Pemberian imunisasi pada ibu hamil selama kehamilan adalah 2 (dua) kali yaitu TT1 dan TT2. Cakupan TT1 tertinggi terdapat di Puskesmas Pesaguan (72,6%), Puskesmas Manis Mata (65,3%) kemudian disusul oleh Puskesmas Tuan-tuan (58,8%). Sedangkan untuk cakupan TT2 tertinggi dimulai dari Puskesmas Tanjung Pura (74,7%), Puskesmas Pesaguan (62,4%) dan Puskesmas Sukamulya (58,9%). Namun berdasarkan status imunisasinya seorang ibu hamil tidak akan diberikan lagi vaksin tetanus bila ia sudah memiliki riwayat 5 kali (T5) mendapat vaksin tetanus selama hidupnya.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

33

5. Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi

Program penanggulangan anemia yang dilakukan adalah memberikan tablet tambah darah yaitu sediaan Fe yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada balita, ibu hamil, ibu nifas, remaja putri, dan WUS (Wanita Usia Subur).

6. Pelayanan Kesehatan Bayi

Bayi merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan maupun serangan penyakit. Kesehatan bayi dan balita harus dipantau untuk memastikan bahwa kesehatannya selalu dalam kondisi optimal. Pelayanan kesehatan pada bayi termasuk salah satu indikator yang dapat menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan kesehatan bayi dan balita.

Pelayanan kesehatan pada bayi ditujukan pada bayi usia 29 hari sampai usia 11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan meliputi pemberian imunisasi dasar lengkap, stimulasi deteksi interval dini tumbuh kembang bayi (SDIDTK), pemberian vitamin A, konseling ASI ekslusif dan pemberian makanan pendamping ASI.

7. Cakupan Pelayanan Anak Balita

Kesehatan anak usia di bawah lima tahun merupakan bagian yang sangat penting. Usia tersebut merupakan landasan yang membentuk masa depan kesehatan, pertumbuhan, perkembangan dan hasil pembelajaran di sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan secara umum. Anak balita adalah anak yang berusia antara 12 sampai 59 bulan. Kesehatan bayi dan balita harus dipantau untuk memastikan bahwa kesehatannya selalu dalam kondisi optimal.

Alat yang biasanya digunakan untuk pemantauan tumbuh kembang balita adalah KMS (Kartu Menuju Sehat). Pelayanan kesehatan pada anak balita dilakukan oleh tenaga kesehatan dan memperolah pelayanan pemantauan perkembangan minimal 8 kali setahun (pengukuran tinggi dan berat badan), pemberian vitamin A dua kali setahun (bulan Februari dan Agustus), Stimulasi

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

34

Deteksi dan Intervensi Tumbuh Kembang minimal 2 kali setahun, Pelayanan Balita Sakit sesuai standar menggunakan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

8. Pelayanan Keluarga Berencana

Keluarga berencana merupakan salah satu kebijakan yang tujuannya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Hal ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Cakupan keluarga berencana terdiri dari cakupan peserta KB aktif dan cakupan pesera KB baru.

9. Pelayanan Imunisasi

Pelayanan imunisasi merupakan bagian dari upaya pencegahan dan pemutusan mata rantai penularan pada Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

10. Perbaikan Gizi Masyarakat

Upaya perbaikan gizi masyarakat bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi serta konsumsi pangan, sehingga berdampak pada perbaikan keadaan atau status gizi, terutama status gizi kurang dan status gizi buruk, serta mempertahankan keadaan status gizi baik.

11. Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan

Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan tumbuh kembang Balita di Posyandu, dilanjutkan dengan penentuan status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi buruk harus segera ditindak lanjuti dengan rencana tindak yang jelas, sehingga penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal. Pendataan gizi buruk di Kabupaten Ketapang didasarkan pada kategori Tinggi Badan/Umur (TB/U). Jika ternyata balita tersebut merupakan kasus gizi buruk, maka segera dilakukan perawatan gizi buruk sesuai pedoman di Posyandu dan Puskesmas. Jika ternyata terdapat penyakit penyerta yang berat dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera dirujuk ke rumah sakit.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

35

12. Penjaringan Kesehatan Siswa SD/ Setingkat

Anak sekolah merupakan sasaran yang strategis untuk pelaksanaan program kesehatan karena selain jumlah yang besar, sudah terorganisir dan mudah dijangkau. Sasaran pelaksanaan kegiatan ini diutamakan murid SD/sederajat kelas 1. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran tentang kesehatan dan kesehatan gigi dilaksanakan sedini mungkin.

13. Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut

Rasio tumpatan gigi terhadap pencabutan gigi tetap di Kabupaten Ketapang sebesar 1:3. Rasio ini jauh lebih rendah dari target Renstra Kabupaten 1:1. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain: masyarakat masih kurang memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, frekuensi penyuluhan kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan oleh petugas kesehatan di setiap lini baik yang dilakukan didalam maupun diluar gedung masih sangat minim dan terbatasnya tenaga perawat gigi dan peralatan untuk penambalan gigi.

14. Pelayanan Kesehatan Usila (60 tahun +)

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya usia harapan hidup penduduk, meningkatnya akses terhadap pelayanan kesehatan, meningkatnya daya beli masyarakat, meningkatkan kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan gizi dan mempunyai pendidikan yang lebih baik, sehingga memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidup. Meningkatnya usia harapan hidup penduduk menyebabkan jumlah penduduk usia lanjut (lansia) juga meningkat.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

36

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

37

BAB IV

Burnout Perawat Perempuan yang Bekerja di RSUD Dr. Agoesdjam

Kabupaten Ketapang

4.1. Karakteristik Informan PenelitianInforman dalam penelitian ini merupakan perawat perempuan yang

bekerja di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang berjumlah 8 orang. Wawancara dilakukan secara daring dengan masing-masing informan dengan interval waktu wawancara yang berbeda-beda.

Tabel 4.1Informan Berdasarkan Kelompok Umur

No. Umur Jumlah Persentase (%)1. 20 - 25 1 12,52. 26 – 30 1 12,53. 31 – 35 2 254. 36 – 40 1 12,55. 41 – 45 1 12,56. 46 - 50 2 25

Jum-lah

8 100

Sumber: Data Primer, 2020

Dapat dijelaskan bahwa rata-rata umur informan adalah 28 tahun, dengan umur terendah 20 tahun dan tertinggi 48 tahun. Umur informan paling banyak berada pada interval umur 31-32.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

38

Tabel 4.2Informan Berdasarkan Status Perkawinan

No. Status Pernikahan Jumlah Persentase (%)1. Kawin 6 752. Janda (Cerai hidup dan Cerai

Mati)2 25

Jum-lah

8 100

Sumber: Data Primer, 2020

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

39

Informan berdasarkan status perkawinan dapat dijelaskan bahwa terdapat 6 atau 88% informan yang berstatus sudah kawin, kemudian terdapat 2 atau 12% informan yang berstatus janda dikarenakan cerai mati dan cerai hidup.

Tabel 4.3Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)1. D3 7 87,52. S1 Keperawatan 1 12,53 S2 Keperawatan 0 0Jumlah 8 100

Sumber: Data Primer, 2020

Dapat dijelaskan bahwa 100% responden pernah mengikuti pendidikan formal. Proporsi terbesar informan dengan pendidikan tamat D3 yaitu sebanyak 95%, kemudian tamat S1 Keperawatan 5% dan tamat S2 Keperawatan yaitu 0%. Pendidikan dapat menunjukkan status sosial seseorang karena dengan pendidikan yang dimiliki seseorang dapat menentukan lapangan, jenis, atau status pekerjaan yang pada akhirnya akan menetukan besar kecilnya penghasilan.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

40

Tabel 4.4 Informan Berdasarkan Lama Bekerja

No. Lama Bekerja Jumlah Persentase (%)1. 1 – 4 2 252. 5 – 7 2 253. 8 – 9 3 37,54. 10 ≥ 1 12,5Jum-lah

8 100

Sumber: Data Primer, 2020

Masalah penting yang dihadapi oleh perempuan bekerja pada umumnya termasuk mereka yang melibatkan diri di sektor formal adalah peran ganda mereka yang satu sama lain harus berjalan serasi dan seimbang. Sehingga, hal ini berpotensi menimbulkan burnout pada mereka, karena mereka diharapkan tetap dapat membagi waktu antara tugas sebagai pencari nafkah dengan tugas sebagai pengelola rumah tangga.

Bagaimanapun syaratnya beban kerja di sektor ini, kegiatan tersebut tetap mereka tekuni, karena mutlak perlu di samping membantu suami menambah pendapatan juga sangat berarti bagi mempertahankan kelangsungan hidup mereka yang selalu berada di garis subsistensi.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

41

4.2. Burnout Perawat Perempuan pada Situasi COVID-19 di RSUD Dr. Agoesdjam

Burnout merupakan suatu situasi di mana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi dan menarik diri dari pekerjaan. Pekerja yang terkena burnout lebih gampang mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah, dan menjadi sinis tentang karier mereka (Davis & Jhon, 1985).

Perawat yang bertugas di ruang rawat inap RSUD Dr Agoedjam Ketapang bekerja dibagi menjadi tiga shift, delapan jam untuk shift pagi, delapan jam untuk shift siang dan delapan jam untuk shift malam. Pada dasarnya tugas perawat disepakati dalam lokakarya tahun 1983 yang berdasarkan fungsi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan adalah sebagai berikut: mengkaji kebutuhan pasien, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan rencana keperawatan, mengevaluasi hasil asu-han keperawatan, mendokumentasikan proses keperawatan (Hidayat, 2009).

Lumenta (1989), menegaskan bahwa tugas utama perawat yaitu memperhatikan kebutuhan pasien, merawat pasien dengan penuh tanggung jawab dan memberikan pelayanan asuhan kepada individu atau kelompok orang yang mengalami tekanan karena menderita sakit. Perawat yang bertugas di ruang rawat inap sangat sering bertemu dengan pasien dengan berbagai macam karakter dan penyakit yang diderita. Pasien sering mengeluh akan penyakitnya, hal ini membuat perawat mengalami kelelahan.

Tidak hanya dari sisi pasien yang dapat membuat perawat mengalami kelelahan fisik, emosi dan juga mental; tetapi juga dari sisi keluarga pasien yang banyak menuntut/komplain, rekan kerja yang tidak sejalan dan dokter yang cenderung arogan. Hal ini dapat menyebabkan perawat mengalami stres (Yulihastin, 2009). Berdasarkan hasil survei dari PPNI (Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia), sekitar 50,9 persen perawat yang bekerja di 4 provinsi di Indonesia mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah tanpa insentif memadai (Rachmawati, 2008). Situasi ini pun terjadi pada perawat di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang selama masa pandemi Covid-19 ini.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

42

Reaksi stres yang terutama sering terjadi pada orang dengan standar yang tinggi adalah burnout. Burnout adalah keadaan kelelahan emosional dan fisik, produktivitas yang rendah, dan perasaan terisolasi, sering disebabkan oleh tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini diungkapkan informan 4 sebagai berikut:

“Kalau lelah, pastilah ada lelahnya kan. Apalagi di tengah situasi pandemi ini kami-kami perawat ini kan harus bekerja ekstra untuk pasien-pasien. Bukan hanya pasien yang positif Covid-19 saja tetapi juga pasien biasa yang harus dijaga agar terhindar dari penularan virus ini kan.”

Orang-orang yang menghadapi kondisi tekanan tinggi setiap hari sering merasa lemah, putus asa, dan emosional terkuras dan akhirnya dapat berhenti mencoba (Lefton, 1997). Burnout adalah keadaan tekanan psikologis seorang karyawan setelah berada dipekerjaan itu untuk jangka waktu tertentu. Ini dinyatakan oleh informan 7 dan informan 8, berikut ini:

“Iya, Bu. Sekarang kan sudah mau dua bulan masa pandemi Covid-19 ini. Cukup menguras tenaga dan pikiran juga. Di satu sisi, kita perawat ini kan sebagai garda terdepan di rumah sakit gitu kan. Tapi, di sisi lain kita juga ada takutnya juga, takut kalau pas pulang ke rumah kita ndak steril atau apa gitu kan. Maklumlah rumah sakit ini kan jadi tempat yang paling rentang penularan virus ini.” (informan 8)

“Sebenarnya capek. Namun, karena tugas sebagai perawat ini kan kita jiwai sebagai panggilan hidup. Jadi, lelah atau takut itu sudah dilawan dengan keberanian diri. Karena kita benar-benar menjalani panggilan tugas ini. Emosional tentu terganggu juga, bukan hanya menguras tenaga. Kita takut, kita juga capek menghadapi situasi. Tapi ya bagaimana lagi kalau tidak dihadapi saja.” (Informan 7)

Seseorang yang menderita burnout secara emosional kelelahan dan memiliki motivasi kerja yang rendah. Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter burnout mempunyai tiga dimensi yaitu (dalam Rizka, 2013), sebagai berikut ini:

1. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

Kelelahan emosional adalah perasaan lelah dan letih di tempat kerja (Spector, 1996). Ketika seseorang mengalami exhaustion maka mereka akan

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

43

merasakan energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat teratasi lagi (Rizka, 2013).

Kelelahan emosional adalah perasaan terlalu berat secara emosional dan kehabisan salah satu sumber daya emosional akibat adanya beban kerja yang berlebihan dan konflik personal. Kelelahan emosional terdiri dari kelelahan fisik dan emosi yang ditandai dengan kekurangan energi seperti kehilangan semangat dan motivasi untuk melakukan aktivitas. Hal ini dirasakan oleh informan 1, berikut ini hasil wawancara:

“Menurut saya bukan karena beban berat ya, karena situasi kita pun kerjanya seperti biasa, walau ada ekstra lembur dalam pengawasan ketat pasien Covid-19 ini kan. Namun yang membuat emosional terkuras ini kan pikiran kita, rasa takut dan pikiran yang tidak-tidak itu selalu menghampiri lah. Kan kita tahu sendiri di Indonesia tenaga kesehatan banyak yang berguguran karena situasi pandemi ini. Jadi kita berdoa saja yang terbaik untuk hidup kita.”

2. Depersonalisasi (Depersonalization)

Depersonalisasi adalah pengembangan perasaan sinis dan tak berperasaan terhadap orang lain (Spector, 1996). Proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan individu. Hal ini berupa sikap sinis terhadap orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaan dan kecenderungan untuk menarik diri serta mengurangi keterlibatan dalam bekerja. Hal ini dikatakan informan 3 sebagai berikut:

“Kita paham benar akan job desk pekerjaan kita sebagai perawat ini menjadi sangat rentan di situasi pandemi ini kan. Kita juga melihat di mana-mana ada pengucilan bahkan ada perawat yang di usir karena dianggap penyebar virus Covid-19. Hal ini sangat mengganggu performa kerja kita karena ada sikap sinis masyarakat. Seolah-olah kita ini menyebar virus dari rumah sakit lalu di bawa ke komplek atau ke keluarga.”

Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderita menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu, maka mereka akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

44

Depersonalisasi adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan bersikap negatif, kasar menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauh dari lingkungan sosial dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar

3. Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi

Biasanya ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan terhadap kehidupan. Maslach (dalam Diaz, 2007) menyatakan bahwa penurunan pencapaian prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan orang lain disekitarnya secara negatif.

Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (low personal accomplishment) di mana individu tidak pernah merasa puas dengan hasil kerja sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya ataupun orang lain. Hal ini dikatakan oleh informan 2 berikut ini:

“Penghargaan kerja itu seperti karena kita stres mikirkan pasien-pasien yang positif Covid-19 ini, lalu banyak juga masyarakat yang sinis di lingkungan tempat tinggal misalnya, ini menambah beban pikiran kita yang secara tidak langsung berpengaruh juga di prestasi kerja kita. Namun, kalau saya sendiri menjadi diri sendiri saja, hanya pasrah saja sama yang maha kuasa.”

Burnout muncul dari adanya stres yang berkepanjangan, sehingga banyak faktor yang mempengaruhi burnout sering dikaitkan dengan munculnya stres (Widiastuti dan Kamsih, 2008). Ada dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu (Sihotang, 2004), sebagai berikut:

1. Faktor eksternal meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton.

a) Kelebihan beban kerja

Umumnya, beban kerja adalah yang paling langsung berhubungan dengan aspek kelelahan dari burnout (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001:414). Kelebihan beban kerja atau work overload merupakan salah satu prediktor yang paling penting dari burnout (Nirel, at., all, 2008 : 538).

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

45

Kelebihan beban kerja merupakan suatu tekanan pekerjaan yang dapat menimbulkan penurunan kondisi tubuh karyawan. Hal tersebut dikarenakan tuntutan kerja yang harus dikerjakan oleh karyawan dengan kurun waktu tertentu dan membutuhkan banyak kemampuan yang dimilik oleh karyawan tersebut.

b) Konflik peran

Prediktor job burnout adalah linkungan dan individu itu sendiri. Prediktor dari lingkungan adalah sumber stres, seperti kelebihan beban kerja, konflik peran, ambiguitas peran (Knežević, 2011:539).

c) Dukungan sosial

Menurut Rush dalam Sulistyantini (1997), burnout dapat hilang dengan menghilangkan terlebih dahulu stres yang dialami individu, yaitu salah satunya dengan mengaktifkan dukungan sosial (Lailani, 2001 : 72). Parasuraman, dkk; menyatakan bahwa dukungan sosial berhubungan dengan burnout. Dukungan sosial yang diterima dari atasan, teman kerja, dan keluarga mempunyai andil yang besar untuk meringankan beban seseorang yang mengalami burnout (Andarika, 2004 : 4)

d) Kondisi fisik tempat kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2010), tentang hubungan antara persepsi lingkungan kerja psikologis dengan burnout pada perawat RSU Budi Pekalongan, menunjukkan arah hubungan negatif yang signifikan antara persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis dengan burnout. Semakin negatif persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis maka semakin tinggi burnout, demikian pula sebaliknya semakin positif persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis maka semakin rendah burnout.

e) Manajemen perusahaan

Karyawan diharapkan untuk memberikan lebih dalam hal waktu, tenaga, keterampilan, dan fleksibilitas, sedangkan mereka menerima lebih sedikit dari segi peluang karir, pekerjaan yang lama, keamanan kerja, dan sebagainya. Pelanggaran kontrak psikologis cenderung untuk menimbulkan burnout (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001 : 409).

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

46

f) Karakteristik pekerjaan

Tuntutan pekerjaan kuantitatif (misalnya terlalu banyak bekerja untuk waktu yang tersedia) telah dipelajari oleh para peneliti burnout, dan temuan itu mendukung pendapat umum bahwa burnout merupakan respon terhadap kelebihan beban kerja. Begitu pula dengan tuntutan pekerjaan yang bersifat kualitatif (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001 : 407).

2. Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.

Karakteristik demografis: Burnout berhubungan dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, status perkawinan, dan lain sebagainya (Ahola, 2007:20).

a) Usia

Diantara karyawan yang lebih muda tingkat burnout dilaporkan lebih tinggi daripada di antara mereka yang berumur lebih dari 30 atau 40 tahun. Usia dengan pengalaman kerja yang masih sedikit, sehingga burnout tampaknya lebih berisiko sebelumnya dalam karir seseorang (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001:409).

b) Jenis kelamin

Variabel demografis seks belum menjadi prediktor kuat burnout (meskipun beberapa pendapat bahwa burnout lebih dari pengalaman perempuan). Beberapa studi menunjukkan burnout yang lebih tinggi bagi perempuan, beberapa menunjukkan skor yang lebih tinggi untuk laki-laki, dan yang lain tidak menemukan perbedaan keseluruhan. Perbedaan seks yang kecil tapi konsisten adalah bahwa laki-laki sering skor lebih tinggi pada cynicism. Ada juga kecenderungan dalam beberapa penelitian bagi perempuan untuk skor sedikit lebih tinggi pada exhaustion (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001:410).

c) Tingkat pendidikan

Pendidikan baik dasar dan kejuruan memiliki efek utama yang signifikan pada burnout. Tingkat burnout adalah sedikit lebih tinggi diantara perempuan yang tidak menyelesaikan sekolah komprehensif dari pada mereka yang menyelesaikannya. Perempuan yang memiliki pendidikan

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

47

kejuruan memiliki tingkatan sedikit agak lebih tinggi pada exhaustion dan berkurangnya profesionalitas daripada wanita dengan pendidikan tingkat lembaga (institute). Dan lebih tinggi pada cynicism daripada wanita dengan pendidikan tingkat sekolah (Ahola, 2007 : 58).

d) Status perkawinan

Berkaitan dengan status perkawinan, mereka yang belum menikah (terutama laki-laki) tampaknya lebih rentan terhadap burnout dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah. Orang yang berstatus single tampaknya mengalami tingkat burnout lebih tinggi daripada mereka yang bercerai (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001 : 410). Efek dari status perkawinan diantara laki-laki adalah signifikan untuk setiap dimensi burnout. Tingkat burnout lebih tinggi diantara laki-laki yang belum menikah (Ahola, 2007 : 58)

e) Kepribadian

Individu yang mempunyai tipe kepribadian locus of control eksternal lebih rentan terhadap burnout daripada individu yang mempunyai tipe kepribadian locus of control internal (Jaya dan Rahmat, 2005 : 217).

f) Sikap terhadap pekerjaan

Orang-orang mempunyai harapan yang berbeda dalam bekerja. Dalam beberapa kasus ini harapan yang sangat tinggi, baik dari segi sifat pekerjaan (misalnya menarik, menantang, menyenangkan) dan kemungkinan mencapai keberhasilan (misalnya menyembuhkan pasien, mendapatkan promosi). Apakah seperti harapan yang tinggi dianggap idealis atau realistis. Salah satu hipotesis adalah bahwa mereka merupakan faktor risiko untuk burnout. Harapan yang tinggi membuat orang bekerja terlalu keras dan melakukan terlalu banyak, sehingga mengarah ke exhaustion dan cynicism, akhirnya ketika upaya yang tinggi tidak menghasilkan apa yang mereka harapkan (Maslach, Schaufeli dan Leiter, 2001:411).

Adapun faktor lainnya yang menjadi faktor penyebab burnout menurut Simamora dalam Rahman (2007:220), antara lain:

a. Kurangnya dukungan sosial dari atasan

b. Imbalan yang diberikan tidak mencukupi atau tidak tepat

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

48

c. Pekerjaan yang berulang-ulang atau sedikit memberikan ruang gerak bagi kreativitas

d. Kondisi kerja yang tidak menyenangkan atau menekan

e. Pekerjaan yang monoton atau tidak variatif.

Selain rawat inap Covid-19 yang disediakan oleh pemerintah daerah di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang, ada juga perawatan rawat jalan di dalam pelayanan rumah sakit, di mana pasien reaktif dapat melakukan isolasi mandiri dengan pantauan tenaga kesehatan dari Dr. Agoesdjam. Berbeda dengan rawat inap, pelayanan rawat jalan (ambulatory services) adalah salah satu bentuk dari pelayanan kedokteran secara sederhana. Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang disediakan untuk pa- sien tidak dalam bentuk rawat inap (hospitalization) (Feste, 2000 dalam Nurhayati, 2004).

Tugas perawat yang bertugas di ruang rawat jalan adalah membantu dokter menyiapkan alat-alat, menimbang, memeriksa tekanan darah pasien, dan memberikan obat-obat apa saja yang diperlukan. Pada masa Covid-19 ini, juga disediakan test PCR Covid-19. Pada dasarnya perawat bekerja atas perintah atau instruksi dokter.

Pada pelayanan rawat jalan pasien yang reaktif ketika melakukan test Covid-19, frekuensi pertemuan antara perawat dan pasien lebih singkat jika dibandingkan dengan perawat yang bertugas di ruang rawat inap. Perawat di ruang rawat jalan bertemu dengan pasien hanya saat hari pemeriksaan saja, akan tetapi perawat lebih sering bertemu dengan dokter yang memeriksa pasien. Masalah yang sering dialami oleh para perawat di ruang rawat jalan adalah komplain dari pasien tentang pelayanan yang lamban, kinerja administrasi, perawat yang bersikap “judes”, dokter yang tidak serius bekerja dan dokter spesialis yang datang ke rumah sakit terlambat dan pulang lebih cepat.

Dari fakta di atas perawat yang bertugas di ruang rawat inap Covid-19 dan rawat jalan Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang berpotensi mengalami stres/tekanan karena tuntutan pekerjaan yang overload yang berhubungan dengan orang lain, seperti memberikan pelayanan keperawatan pada pasien, baik untuk kesembuhan ataupun pemulihan status fisik dan mentalnya,

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

49

memberikan pelayanan lain bagi kenyamanan dan keamanan pasien seperti penataan tempat tidur dan lain-lain, melakukan tugas-tugas administratif, menyelenggarakan pendidikan keperawatan berkelanjutan, melakukan berbagai penelitian/riset dan berpartisipasi aktif dalam pendidikan bagi para calon perawat. Keadaan seperti ini apabila berlangsung terusmenerus akan menyebabkan perawat mengalami kelelahan fisik, emosi, dan mental yang disebut dengan gejala burnout.

Bernadin (dalam Rosyid, 1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada orang yang berkerja pada bidang pelayanan kemanusiaan (human sevices) dan bekerja erat dengan masyarakat. Penderita burnout banyak dijumpai pada perawat di rumah sakit, pekerja sosial, guru, dan para anggota polisi. Menurut Cherniss (1980), burnout adalah penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan yang dilakukan sebagai reaksi atas stres dan ketidakpuasan terhadap situasi kerja yang berlebihan atau berkepanjangan.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

50

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

51

BAB V

Modal Sosial (Social Capital) Perawat Perempuan dalam

Menghadapi Pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang

Burnout masih merupakan masalah kesehatan kerja dan produktivitas kerja dengan prevalensi kejadian yang terus meningkat sehingga memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan. Individu yang mengalami burnout biasanya memiliki gejala psikosomatik (kelemahan dan insomnia), masalah emosional (cemas dan depresi), masalah sikap (permusuhan, apatis dan tidak percaya) dan masalah perilaku (agresivitas, lekas marah dan isolasi). Menariknya pada kasus di RSUD dr Agoesdjam Ketapang, perawat memiliki modal sosial yang dapat menjadi alternatif dalam meminimalisir stres kerja akibat burnout.

Bourdieu dan Wacquant menegaskan bahwa modal sosial merupakan jumlah sumber daya, baik aktual maupun maya, yang berkumpul pada seseorang individu atau kelompok karena memiliki jejaring yang kuat dan tahan lama berupa hubungan timbal balik dari perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan.

Modal sosial masuk dalam dimensi sosial dari paradigma pembangunan berkelanjutan yang mencoba mengintegrasikan tiga dimensi: sosial, ekonomi, dan lingkungan. Selain itu, modal sosial juga berperan positif dalam dimensi politik karena mendorong partisipasi, aksesibilitas dan kebebasan masyarakat yang juga menjadi prinsip dalam paradigma pembangunan inklusif berkelanjutan.

Dalam hal ini, masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang terorganisir secara teratur memiliki budaya tertentu dan masing-masing

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

52

menyadari bahwa mereka adalah merupakan satu kesatuan. Masyarakat acapkali dianggap sebagai kelompok besar di mana seseorang dapat menjadi salah seorang anggotanya. Dengan kata lain, yang termasuk masyarakat adalah kelompok sosial lain yang diorganisir oleh para anggotanya, misalnya komunitas perkotaan dan pedesaan, keluarga, persatuan buruh, asosiasi profesi, dan lain sebagainya.

Pada hakikatnya suatu lembaga sosial mencakup himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia. Proses pelembagaan yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan; dalam arti lain bahwa norma kemasyarakatan itu dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga norma yang terlembagakan ini kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup atau menjadi perangkat aturan yang mengikat antara hubungan individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Kemudian, yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Dalam hal ini pranata sosial yang terjadi pada masyarakat merupakan bagian-bagian dari sistem nilai dan norma yang kemudian membentuk struktur sosial. Terdapat beberapa unsur pranata yang dapat diamati atau dilihat antara lain adalah perilaku-perilaku individu atau kelompok ketika melangsungkan hubungan atau interaksi sosial dengan sesamanya.

Pada umumnya disepakati bahwa nilai-nilai dan norma-norma dijadikan sebagai media kehidupan sosial dan menengahi hubungan-hubungan untuk transaksi-transaksi sosial. Mereka memungkinkan pertukaran sosial langsung, dan mereka mengatur proses-proses integrasi sosial dan diferensiasi di dalam struktur-struktur sosial yang kompleks dan juga perkembangan organisasi sosial dan reorganisasi di dalamnya.

Istilah modal sosial sejatinya merujuk kepada kapasitas individu untuk memperoleh barang material atau simbolik yang bernilai berdasarkan kebajikan hubungan sosial dan keanggotaan dalam kelompok sosial atau kapasitas pluralitas seseorang untuk menikmati keuntungan dari tindakan

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

53

kolektif berdasarkan kebajikan dari partisipasi sosial, kepercayan terhadap institusi atau komitmen untuk menetapkan cara dalam melakukan sesuatu (Ritzer, 2004).

Menurut Portes (1998) modal sosial adalah kemampuan dari para aktor untuk menjamin manfaat dengan bertumpu pada keanggotaan dalam jejaring sosial dan struktur-struktur sosial lain. Sedangkan menurut Woolcock (1998) modal sosial adalah derajat kohesi sosial yang ada dalam komunitas. Ia mengacu pada proses-proses antar orang yang membangun jejaring, norma-norma, dan social trust, dan memperlancar koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Kemudian Lang & Hornburg (1998) berpendapat bahwa modal sosial umumnya merujuk pada ketersediaan rasa saling percaya di dalam masyarakat (stocks of sosial trust), norma-norma, dan jejaring yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan bersama.

Coleman (1989) melihat modal sosial sebagai keseluruhan sesuatu yang diarahkan atau diciptakan untuk memudahkan tindakan individu dalam struktur sosialnya. Sementara itu Putnam (2000:19) mengatakan, sedangkan modal fisik mengacu kepada objek-objek fisik dan modal manusia mengacu kepada properti individu, modal sosial merujuk kepada hubungan antara individu, jaringan sosial dan norma-norma timbal balik serta kepercayaan yang timbul dari mereka. Baik Coleman dan Putnam sama-sama mengakui bahwa modal sosial dapat bertambah maupun berkurang dari waktu ke waktu (Field, 2010).

Modal sosial diasumsikan sebagai alternatif bentuk modalitas lain. Secara teoritis ada perdebatan mengenai modal sosial bermuara kepada relasi-relasi sosial. Perdebatan itu berkenaan dengan konseptualisasi modal sosial sebagai kapital konkrit dimana individu atau kelompok mampu mendayagunakan relasi-relasi sosial mencakup nilai-norma, jaringan sosial dan kepercayaan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan manfaat sosial.

Konsep modal sosial menarik perhatian para akademisi dan praktisi di dalam isu pembangunan. Modal sosial kemudian dianggap sebagai kerangka teoritis yang bermanfaat dalam paradigma pembangunan inklusif berkelanjutan. Posisi modal sosial menjadi penting untuk disorot mengingat

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

54

paradigma pembangunan yang diberlakukan tersebut lebih bersifat bottom up ketimbang top down. Modal sosial masuk dalam dimensi sosial dari paradigma pembangunan berkelanjutan yang mencoba mengintegrasikan tiga dimensi: sosial, ekonomi dan lingkungan. Selain itu, posisi modal sosial juga berperan positif dalam dimensi politik karena mendorong partisipasi, aksesibilitas dan kebebasan masyarakat yang juga menjadi prinsip dalam paradigma pembangunan inklusif berkelanjutan.

Kemudian, apabila dikaji dari segi sumber daya yang terendap di dalamnya, modal dapat dikategorikan menjadi beberapa bentuk: modal finansial, modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Masing-masing bentuk modal tersebut memiliki perbedaan dalam pola atau proses investasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain) dan manfaat sosial (social benefit) (Usman, 2008).

Modal sosial saat ini banyak dipakai oleh para akademisi maupun praktisi dalam berbagai kajian. Modal sosial terutama hadir sebagai alternatif bentuk modalitas lain seperti modal ekonomi, modal budaya dan modal manusia. Pierre Bourdieu (1986) memperkenalkan konsep modal sosial dalam konteks perdebatan bentuk-bentuk modalitas tersebut. Bourdieu (1986) memperdebatkannya dengan melihat peluangnya untuk dikonversikan. Menurut Bourdieu, bukan hanya modal ekonomi yang mudah dikonversikan ke dalam bentuk uang, melainkan modal budaya yang pada situasi tertentu, dapat dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi.

Konsep modal sosial sebenarnya muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi hal tersebut (Syahra, 2003).

Modal sosial bukan semata-mata dilihat sebagai sebuah hasil melainkan lebih kepada proses. Modal sosial mengalami pembentukan terus-menerus dan senantiasa mengakumulasi dirinya. Berbeda dengan bentuk modalitas lain, modal sosial tidak akan pernah habis ketika dipakai.

Kualitas modal sosial justru akan semakin baik apabila sering dimanfaatkan. Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa faktor umum yang

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

55

mempengaruhi pembentukan modal adalah: kebiasaan, kedudukan (peranan aktor), pendidikan, kelas sosial ekonomi dan nilai-nilai personal. Modal sosial terutama berakar pada gagasan kepercayaan, norma, dan jaringan informal dan percaya bahwa relasi sosial adalah sumber daya yang berharga (Bhandari dan Yasinoubu, 2009). Ketiga hal tersebut, yaitu norma sosial, jaringan sosial dan kepercayaan merupakan indikator atau unsur modal sosial. Ketiganya merupakan hubungan saling berkelindan.

Woolcock (2001) menyatakan ada tiga jenis modal sosial antara lain: a. Social Bounding (Perekat Sosial) merupakan jenis modal sosial dengan ciri-ciri terdapat ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) pada sebuah sistem kemasyarakatan. Pada umumnya social bounding ini berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat istiadat. b. Social Bridging (Jembatan Sosial) yaitu sebuah ikatan sosial yang muncul sebagai reaksi terhadap berbagai macam karakteristik kelompoknya. Social bridging bisa timbul karena terdapat berbagai kelemahan yang ada di sekitarnya, menjadikan mereka memutuskan untuk membangun kekuatan dari kelemahan. c. Social Lingking (Hubungan/Jaringan Sosial) merupakan hubungan sosial yang dikarakteristikkan dengan terdapatnya hubungan antara beberapa level dari kekuatan sosial ataupun status sosial yang ada pada masyarakat. Seperti hubungan antara elite politik dengan masyarakat umum.

Pada prinsipnya, modal sosial berbicara mengenai ikatan atau kohesi sosial. Gagasan sentral modal sosial tentang ikatan sosial adalah bahwa jaringan merupakan aset yang sangat bernilai, dasar bagi kohesi sosial karena mendorong iklim kerjasama untuk memperoleh manfaat (Field, 2010). Pada kenyataannya, menggunakan hubungan untuk bekerjasama membantu orang memperbaiki kehidupan mereka (Putnam, 2000: 19 dan Woolcock, 1998 dalam Field, 2010). Relasi-relasi sosial tersebut dapat diberdayakan sebagai modal untuk mendapat bukan hanya keuntungan ekonomi tetapi juga manfaat sosial (Usman, 2018).

Kemudian, di sisi lain, modal sosial memiliki dua dimensi yaitu dimensi kognitif (kultural) dan dimensi struktural (Bain dan Hicks dikutip Krishna dan Shradder dalam Syahra, 2003). Dimensi kognitif berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama dalam

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

56

masyarakat guna mencapai tujuan bersama. Dimensi struktural merupakan susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada tingkat lokal yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam dimensi modal sosial, peran agen atau tokoh merupakan hal penting yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari modal sosial itu sendiri. Sama halnya seperti dalam sebuah keluarga, di mana nilai-nilai kebajikan dan budi pekerti ditanamkan kepada anak (keturunan) oleh orang tuanya, maka dalam membangun kepercayaan maupun relasi sosial serta menggunakan nilai-nilai dan norma-norma untuk menjadi pengikat dalam komunitas diperlukan adanya tokoh-tokoh yang dapat menjadi sentral dan dapat mempengaruhi seluruh anggota komunitas.

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain:

1. Sikap dan partisipatif,2. Sikap yang saling memperhatikan, 3. Saling memberi dan menerima,4. Saling percaya mempercayai dan,5. Diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.

Unsur lain yang memegang peran penting adalah kemauan masyarakat untuk terus secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.

Modal manusia adalah tulang punggung Pembangunan Manusia dan pembangunan ekonomi di setiap negara. Modal manusia, merupakan instrumen yang penting dalam pembangunan, tidak saja untuk mengenalkan pembangunan, tetapi sekaligus juga untuk mempromosikan pembangunan yang komprehensif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Haq, 1996).

Menurut pendekatan ini, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk meningkatkan

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

57

akumulasi barang dan modal. Modal sosial (social capital) berbeda dengan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ manusia.

Investasi human capital konvensional adalah dalam bentuk pendidikan (sekolah), pelatihan menjadi seorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara (bangsa).

Masih dalam taraf pengembangannya, sekarang muncul pula gagasan pembangunan yang berkelanjutan yang erat kaitannya dengan kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi ke generasi jaminan pemerataan pembangunan antargenerasi. Dalam konsep ini pemakaian dan hasil penggunaan sumber daya alam dan lingkungan yang merusak sumbernya tidak dihitung sebagai kontribusi terhadap pertumbuhan tetapi sebagai pengurangan aset.

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu konsep perubahan sosial harus diakui untuk selalu mengacu atau berpijak pada paradigma pembangunan berbasis masyarakat (Korten, 1984). Tanpa itu, pengembangan masyarakat akan kehilangan rohnya, dan akan terjebak pada proses rekayasa sosial (social engineering) yang akan menempatkan masyarakat sekadar sebagai obyek pemilik kepentingan, baik itu dari birokrasi pemerintah, atau bahkan LSM atau Donor yang berlagak sebagai pahlawan yang mengatasnamakan masyarakat untuk tujuan-tujuan pribadi maupun kelompoknya.

Pembangunan berbasis masyarakat, secara sederhana dapat diartikan sebagai pembangunan yang mengacu kepada kebutuhan masyarakat, direncanakan, dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan sebesar-besarnya memanfaatkan potensi sumber-daya (alam, manusia, kelembagaan, nilai-nilai sosial-budaya, dan lain-lain.) yang ada dan diakses oleh masyarakat setempat.

Oleh karena itu, pembangunan berbasis masyarakat seharusnya

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

58

pembangunan berangkat dari kebutuhan masyarakat dan bukannya dirumuskan oleh “orang luar” atau elit masyarakat yang merasa tahu dan lebih pandai untuk merumuskan pembangunan yang cocok bagi masyarakatnya. Pembangunan berbasis masyarakat, berarti pembangunan harus berbasis pada sumberdaya lokal, berbasis pada modal sosial, berbasis pada budaya lokal, menghormati atau berbasis pada kearifan lokal, dan berbasis pada modal spiritual yang dimiliki dan atau diyakini oleh masyarakat setempat.

Sejalan dengan hal tersebut, telaahan tentang Pembangunan Berbasis Masyarakat mencakup:

1. Pembangunan dari atas dan atau dari bawah (Top-down/Bottom-up).

2. Pembangunan berbasis sumberdaya-lokal.3. Pembangunan berbasis modal sosial.4. Pembangunan berbasis kebudayaan.5. Pembangunan berbasis kearifan lokal.6. Pembangunan berbasis modal spiritual.

Dapat dikatakan bahwa modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Kemampuan bekerja sama muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian – bagian paling kecil dalam masyarakat. Modal sosial bisa dilembagakan (menjadi kebiasaan) dalam kelompok yang paling kecil ataupun dalam kelompok masyarakat yang besar seperti negara.

Keterkaitannya dengan modal sosial kelompok perawat perempuan dalam resiliensi menghadapi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam yaitu bagaimana mereka dapat memanajemen burnout dengan keterbatasan kondisi mereka bertugas menjadi garda terdepan penanganan Covid-19 di Kabupaten Ketapang. Seperti yang dikatakan informan 4 berikut ini:

“Penting sekali ya dukungan sosial dan moral dari keluarga, bahkan dari masyarakat yang menghargai kerja keras kita. Jangan ada yang sinis, dengan menghargai kerja kita itu saja menjadi modal sosial mungkin ya bagi diri sendiri. Dukungan teman sejawat yang pasti, karena kita sesama tenaga kesehatan di rumah sakit Agoesdjam ini saling menguatkan dan saling kompak.”

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

59

Dalam modal sosial, terdapat beberapa unsur penting yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Hasbullah, ada enam unsur pokok dalam modal sosial meliputi participation in networks, reciptory, trust, social norms, values, dan proactive action. Sedangkan menurut Riddel, ada tiga unsur yaitu: kepercayaan, norma-norma, serta jejaring.

Dari pendapat beberapa ahli di antaranya Hasbullah, Coleman, dan Putnam, dan Riddel, penulis mengambil tiga komponen utama yang menjadi model modal sosial perawat dalam menghadapi masa pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang yaitu trust, values dan networks.

Adapun dapat dijelaskan model modal sosial perawat dalam menghadapi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam sebagai berikut.

Gambar 5.1

Model Modal Sosial Perawat Perempuan

Sumber: Diolah Peneliti, 2020.

1. Kepercayaan/Rasa Percaya (Trust)

Definisi dari kepercayaan mengacu pada situasi yang ditunjukkan melalui beberapa aspek: Seseorang yang sebagai pemercaya (trustor) mengharapkan aksi timbal balik dari orang yang dipercaya (trustee); situasi ini berhubungan langsung dengan masa depan. Sebagai tambahan, pemercaya baik secara sukarela ataupun terpaksa meninggalkan kontrol atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dipercaya. Hal ini disampaikan informan 5 sebagai berikut dalam menyampaikan modal sosial yang ia rasakan sesama tenaga kesehatan di rumah sakit Dr. Agoesdjam Ketapang:

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

60

“Rasa percaya itu sudah pasti ya. Ini juga menguatkan kami sesama tenaga kesehatan, utamanya dokter dan perawat yang intens berinteraksi dengan pasien Covid-19 ini kan. Jadi, kita sama-sama percaya bahwa kita mampu, dan kita optimis dapat menang dalam peperangan melawan Covid-19 ini.”

Kepercayaan/rasa percaya bisa disematkan dalam hubungan antar manusia. Rasa percaya ini bisa ditunjukkan bahwa manusia memiliki watak alami untuk mempercayai orang lain. Secara konseptual, rasa percaya juga dapat disematkan dengan hubungan antar kelompok sosial (keluarga, teman, komunitas, organisasi, perusahaan, dan bangsa).

Dalam dunia pendidikan, rasa percaya atas kelompok sosial ini dapat dilihat dalam rasa percaya yang dibangun oleh masyarakat terhadap institusi pendidikan. Dengan rasa percaya yang dimiliki oleh masyarakat atas sekolah, secara bertahap masyarakat madani yang merakan puncak pencapaian dari peradaban manusia akan terbangun.

2. Shared Values

Menurut Hasbullah, Values adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudaya-an, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola kultural. Hal ini disampaikan oleh informan 3 sebagai berikut:

“Kita berbagi, saling bercerita kalau ada apa-apa. Di Ketapang ini kan sudah ada juga yang dilaporkan meninggal karena Covid-19 ini, jadi kita saling berbagi beban, bukan saja kepada sesama tenaga kesehatan namun juga kita berbagi beban kepada keluarga korban. Mereka juga pasti terpukul karena ada anggota keluarga mereka yang Covid, apalagi sampai ada yang meninggal dunia. Ini kita harus berempati begitu sih.”

Dalam pendidikan, nilai ini tumbuh dalam lembaga pendidikan melalui pengajaran yang dialami oleh pendidik dan peserta didik. Nilai-nilai di lingkungan sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai mulia kehidupan manusia secara otomatis akan membangun alam bawah sadar para peserta

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

61

didik untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan itu.

Shared value ternyata juga tidak hanya kepada sesama tenaga kesehatan, namun juga dengan keluarga. Artinya dukungan keluarga menjadi penting, tempat mereka berbagi beban dan bercerita. Hal ini diakui oleh informan 2 sebagai berikut:

“Suami dan anak saya menjadi penyemangat. Saya menjadi dikuatkan ketika saya bekerja ini menjadi garda depan Covid-19 ini kan, keluarga kecil saya menjadi tujuan saya. Bahwa saya harus tetap sehat dan berdoa untuk selamat selama bertugas.”

Dukungan keluarga pada penelitian ini berhubungan signifikan dengan burnout pada perawat di RSUD dr Agoesdjam Ketapang. Hal ini dapat dipahami sebab dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menekan, individu membutuhkan dukungan sosial. Individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi tidak hanya mengalami stres yang rendah, tetapi juga dapat mengatasi stres secara lebih berhasil dibanding dengan mereka yang kurang memperoleh dukungan sosial.

Salah satu sumber dukungan sosial adalah keluarga. Keluarga merupakan tempat bercerita dan mengeluarkan keluhan-keluhan bila individu mengalami persoalan. Situasi ini diakui juga oleh informan 4 sebagai berikut:

“Keluarga saya menjadi dukungan moril dan sosial saya ya. Anak-anak saya selalu berkomunikasi via telepon, biasa juga via WA. Itu menjadi ketenangan tersendiri bagi saya dalam bekerja. Saya kerjapun enak, nyaman karena ada dukungan anak-anak.”

Dukungan sosial keluarga bekerja sebagai pelindung untuk melawan perubahan peristiwa kehidupan yang penuh stres. Melalui dukungan sosial keluarga, kesejahteraan psikologis akan meningkat karena adanya perhatian dan pengertian akan menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan harga diri dan kejelasan identitas diri serta memiliki perasaan positif mengenai diri sendiri. Dukungan sosial keluarga dan adanya perhatian orang lain dapat membuat orang tahan terhadap tekanan yang menimbulkan burnout.

3. Jejaring sosial

Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jejaring hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

62

berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok. Hal ini disampaikan oleh informan 5 berikut ini:

“Pada dasarnya kita menghadapi Covid-19 ini bersama-sama ya, bukan hanya tenaga kesehatan saja yang menjadi garda terdepan sebenarnya, namun juga masyarakat memiliki peran yang sangat vital dan penting karena kan kalau masyarakat tidak menjaga protokol kesehatan dalam beraktivitas, hal ini dapat berakibat fatal dalam penularan Covid-19 ini. Jadi kita saling bekerjasama, menjalin kerja tim dengan puskesmas dan seluruh lapisan masyarakat menghadapi situasi Covid ini.”

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

63

BAB VI

Penutup

6.1. Kesimpulan KajianBerdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka

dapat disimpulkan bahwa situasi Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam cukup mengkhawatirkan sehingga meningkatkan waspada pihak Rumah Sakit, dalam hal ini burnout tenaga kesehatan semakin meningkat. Tugas dan tanggung jawab perawat menjadi prioritas pada penanganan pasien Covid-19, yang dalam hal ini memunculkan rasa takut, rasa khawatir dan beban tanaga dan pikiran bagi tenaga kesehatan khususnya perawat di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang. Lebih lanjut bahwa burnout yang dialami oleh perawat dalam menghadapi situasi Covid-19 ini yaitu adanya kelebihan beban kerja, performa kerja yang menurun karena kelelahan, dan prestasi kerja menurun karena dibayang-bayangi rasa cemas dan khawatir.

Adapun tercipta rasa saling memiliki antar tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan Covid-19 di RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang, dengan terciptanya modal sosial yang terjali seperti rasa percaya antar kolega, share values atau saling berbagi rasa dan adanya ikatan jejaring sosial.

5.2. RekomendasiBerdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, maka dapat

direkomendasikan beberapa hal berikut ini:

1. Kebijakan satu pintu data pasien Covid-19 melalui RSUD Dr. Agoesdjam.

2. Adanya kebijakan penambahan insentif terkhusus untuk tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 dan bekerja lembur.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

64

3. Jika diperlukan rekrutmen tenaga kesehatan baru untuk menjadi penopang tenaga kesehatan yang sudah ada.

4. Untuk mencegah terjadinya burnout yang lebih berat disarankan agar Rumah Sakit melakukan upaya perbaikan sistem kerja untuk mengurangi beban kerja, dukungan sosial keluarga agar dipertahankan atau lebih ditingkatkan.

5. Kebijakan Rumah Sakit yang harus berbenah untuk berpihak pada perlindungan dan keselamatan tenaga kesehatan dari stigma dan diskriminasi masyarakat.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

65

Daftar Pustaka

Aldrich, D. P. (2015). Resilience and Recovery in Asian Disasters: Community Ties, Market Mechanisms, and Governance, USA: Springer.

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit EGC.

Bolin, B., et al. (2004). Bonding and Bridging: Understanding the Relationship between Social Capital and Civic Action. Journal of Planning Education and Research. 24: 64-77.

Bourdiue, P. (1972). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Cherniss, C. (1987). Staff Burnout: Job Stress In Human Services. London: sage Publications.

Coleman, J. S. (1999). Foundations of Social Theory. Cambridge Mass: Harvard University Press.

Davis, K. & John, W. N. (1985). Perilaku dalam organisasi. Jakarta: Erlangga.

Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang. (2017). Profil Kesehatan Kabupaten Ketapang. Ketapang: Dinkes Kabupaten Ketapang.

Farber, A.B. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in The American Teacher. San Fransisco: Bass Publisher.

Farber, B. A. (1991). The Jossey-Bass education series. Crisis in education: Stress and burnout in the American teacher. Jossey-Bass.

Fukuyama, F. (1997). Social Capital. Oxford: Brasenose College.

Griffin, R. (2003). Manajemen, Edisi Ke-7 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020). Situasi Covid-19 di Indonesia. Retrieved from: https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

66

Hasbullah, J. (2006). Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit MR-United Press.

Hidayat A. A. (2008). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.

Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. Random House.

Jurnal Perempuan. (2019). Perempuan dan kesehatan. Jurnal Perempuan. Vol. 24, No. 3, hal. iii.

Kaid, L. L., & Holtz-Bacha, C. (2007). Encyclopedia of Political Communication. SAGE Publications.

Kemenkes Republik Indonesia. (2001). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1239/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

King, A, L. (2010). Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Maslach, C. & Leiter, M.P. (1997). The truth about burnout: How organisations cause personal stress and what to do about it. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Maslach, C., Schaufeli, W.B., & Leiter, M.P. (2001). Job burnout. Annual Review of Psychology. Vol. 52, Hal. 397–422

Poerwandari, K. (2010). Mengatasi Burnout di Tempat Kerja. Retrieved from: http://www.portalhr.com.tips/2id2 23.html

Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone. USA: Simon & Schuster. Inc.

Salisbury, R. H. (1969). An Exchange Theory of Interest Groups. Midwest Journal of Political Science. Vol. 13, No. 1, pp. 1-32.

Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.

Sihotang, I. N. (2004). Burnout pada karyawan ditinjau dari persepsi terhadap lingkungan kerja psikologis dan jenis kelamin. Jurnal PSYCHE. Vol. 1, Hal. 13-14.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

67

Spector, P. E. (2008). Industrial and Organizational Psychology. USA: John Wiley and Sons Inc.

Wardah, Febrina, & Dewi. (2017). Pengaruh Pengetahuan Perawat Dalam Pemenuhan Perawatan Spiritual Pasien Di Ruang Intensif. Jurnal Edurance. Vol 2, No 3.

Widiastuti, D. Z., & Kamsih, A. (2008). Hubungan Antara Kepribadian Hardiness Dengan Burnout Pada Guru Sekolah Dasar. Jurnal InSight. Vol. 6, No. 2.

Woolcock, M. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, 1998 27 (1), 151-208. In Elinor Ostrom and T.K. (2003). Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Modal Sosial sebagai Coping Burnout Perawat Perempuan...

68

Tentang Penulis

Penulis bernama lengkap Prof. Dr. Arkanudin, M.Si., merupakan Guru Besar Antropologi Budaya (Sejak 1 April 2008) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak. Penulis lahir di Nanga Keruap, 25 Oktober 1961. Penulis menamatkan jenjang S-1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, kemudian penulis menamatkan pendidikan jenjang S-2 pada program

Magister Antropologi, FISIP Universitas Padjadjaran Bandung dan penulis menamatkan pendidikan jenjang S-3 program Doktor Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Saat ini penulis aktif mengajar di FISIP Universitas Tanjungpura, aktif menulis di jurnal dan menulis buku.

Penulis bernama lengkap Dr. Dra. Rupita, M.Kes., dan akrab disapa dengan panggilan iin. Penulis lahir di Ketapang pada tanggal 10 September 1965. Anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ayah H. Asmiri Djawas dan Ibu Hj. Thaibah Karim. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis mulai dari SD diselesaikan pada tahun 1976 di SDN 1 Matan Hilir Selatan Ketapang, SMP diselesaikan pada tahun 1983

di SMP Negeri 81 Jakarta, SMA diselesaikan pada tahun 1983 pada SMA Negeri 5 Sumur Batu Jakarta. Lalu, jenjang S-1 diselesaikan pada tahun 1989 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak Jurusan Kesejahteraan Sosial. S2 diselesaikan pada tahun 2004 di program Studi Ilmu Kesehatan Kerja, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. S3 diselesaikan pada tahun 2019 di Program Studi Sosiologi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.