gerakan perempuan
TRANSCRIPT
Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi
Oleh. Mulara Halomoan
Abstrak
Perempuan lekat kaitannya dengan tindak diskriminasi, tersebut
tak dapat dihindari karena adanya subordinasi yang masih melekat
pada perempuan. Dengan demikian terjadilah ketimpangan gender
antara perempuan dengan laki - laki. Peraturan-peraturan yang
berlaku di Indonesia mengenai kesetaraan hak antara laki-laki
dengan perempuan tidaklah dapat menjamin penghapusan diskriminasi
pada perempuan. Berbagai upayah telah dilakukan untuk mengurangi
ketimpangan tersebut, namun hingga saat ini belum terlihat
adanya keseimbangan dalam relasi gender. Banyak tindak
diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan mengatas namakan agama
dan etnik. Kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur
oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan lebih rendah
dibandingkan dengan kaum laki – laki. Kebiasaan yang sudah
berlangsung lama ini masih saja terjadi , dan telah dibuktikan
oleh banyak pengamat dan kritikus. Gerakan Perempuan yang muncul
di Indonesia merupakan bentuk dari ketidakpuasan atas kondisi
sosial perempuan yang masih menjadi objek diskriminasi. Tulisan
ini akan membahas pergerakan perempuan di Indonesia yang salah
satu bentuknya adalah Kampanye Solidaritas Gerakan Perempuan Anti
Kekerasan (GADIS).
Pengantar
Sejarah pergerakan Perempuan Indonesia terlahir sejak jaman penjajahan
kolonial Belanda. Kita mengenal pergerakan yang dilakukan oleh R.A
Kartini, Dewi Sartika, dan pejuang-pejuang lainnya yang merupakan
tokoh pejuang wanita. Perjuangan perempuan di Indonesia merupakan
bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan Indonesia.
Meskipun perjuangan perempuan telah dilakukan sejak lama dan peraturan
perundang - undangan telah mengatur kesamaan hak antara laki-laki dan
perempuan, ketimpangan gender masih sangat terasa. Dengan adanya
ketidaksamaan tersebut, wanita menjadi objek dari diskriminasi.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa perempuan Indonesia didiskriminasi
melalui idiologi dari agama dan entik. Hal tersebut dapat dirasakan
dengan adanya budaya patriarki yang menyelubungi kehidupan sosial
perempuan di Indonesia. Dalam sejarah, perempuan lebih rentan atau
lebih banyak mengalami kekalahan dan penindasan karena faktor fisik,
ekonomi, dan sosial yang mebuatnya lebih lemah.Kedudukan kaum
perempuan lebih rendah dari pada laki – laki dikarenakan tradisi dan
budaya yang ada, seperti yang telah disampaikan. Perempuan layaknya
seperti burung yang dipelihara dalam sangkar, dapat terbang namun tak
dapat terbang tinggi. Hal itu yang dapat mendefinisikan perempuan.
Perkembangan feminisme di Indonesia merupakan pendorong dari gerakan
perempuan akan kondisi sosial mereka saat ini.
Ada kondisi umu yang membuat perempuan sama dengan laki – laki, namun
ada pula kodisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda
dengan laki – laki, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Perbedaan
dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan
dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan laki – laki. Nilai
dan cara berada perempuan dikonstruksikan dan dikondisikan oleh
pengalaman – pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat
dan mempunyai tingkat kesensitifan serta kepedulian yang besar. Nilai
– nilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian yang kental melekat
didalam sistem cara pandang dunia perempuan. Sedangkan perbedaan
dengan cara menilai negative adalah melihat nilai – nilai perempuan
sebagai “yang lain” (other). Sehingga denganmudah terjadi pengobjekan
dan penindasan. Susan Wendell dalam tulisannya The Social Construction of
Dissability menunjukan bahwa dalam kasus “Ableism”, yaitu tindakan
diskriminasi terhadapa mereka yang cacat metal dan fisik terjadi
karena fakto –faktor sosial –diskontruksikan secara sosial. Dalam
hampir semua tindakan diskriminasi, mengambil pola dari pijakan
awalnya bentuk-bentuk mitos, otherness, dan cara berfikir dikotomik. Hal
ini pulalah yang terjadi dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Studi Terdahulu
Pergerakan mengenai perempuan di Indonesia semakin berkembang karena
belum puasnya perempuan atas kondisi sosial yang masih memiliki
ketimpangan gender. Gerakan perempuan berkembang dan dipengaruhi oleh
aliran feminism. Banyak penulus yang mengkaji tentang gerakan
perempuan dan aliran feminism, salah satunya adalah Muhadjir Darwin
yang mengkaji gerakan permpuan kedalam jurnalnya yang berjudul
“Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa”.
Tulisan ini menjelaskan bahwa gagasan kesetaraan gender bukanlah
gagasan baru yang tidak seluruhnya merupakan gagasan dari luar.
Pergerakan perempuan sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut ditandai dengan munculnya pejuang - pejuang perempuan
pemberontak penjajahan Belanda, diantaranya adalah Cut Nyak Dien, Nyai
Ageng, Cut Meutia, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan R.A
Kartini yang memperjuangkan emansipasi dan pendidikan bagi kaum hawa
bangsa Indonesia. Beberapa perempuan yang telah disebut sebagai
pelopor perjuangan perempuan sebenarnya hanya sebagian kecil dari
perjuang perempuan lain yang tak pernah dikenal, tetapi mereka tetap
berjuang. Meskipun bangsa Indonesia telah melewati perjalanan panjang
hingga saat ini, hal tersebut belum menjamin perempuan Indonesia akan
kesetaraan mereka dengan kaum adam. Dalam tulisan ini, penulis
membahas pergerakan perempuan dari pra kemerdekaan sampai dengan
membahas pergerakan perempuan masa kini. Secara umum dapat dikatakan
bahwa baik sebelum kemerdekaan atau setelahnya, terdapat kemajuan akan
pergerakan tersebut meski belum terlihat kesetaraan yang nyata. Namun
ada pula cukup bukti bahwa perempuan belum sepenuhnya bebas dari
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Masih banyak perempuan yang
mengalami pelecehan, menjadi korban kekerasan, mengalami marginalisasi
baik di rumah tangga atau di tempat kerja. Terhadap perlakuan yang
tidak adil tersebut, hokum belum berpihak pada perempuan. Akibatnya
masyarakat semakin tidak percaya pada pemerintah dan lembaga penegak
hukum.
Perempuan, seperti juga laki - laki, adalah warga Negara, dengan hak –
hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi oleh
Negara karena perbedaan jenis kelamin, seperti juga tidak dibenarkan
adanya diskriminasi karena perbedaan agama, suku, bahasa, kelas,
ekonomi, dan sebagainya, karena hal ini bertentangan dengan prinsip -
prinsip demokrasi dan hak – hak asasi manusia yang universal.
Perjuangan kesetaraan gender perlu mengalami revilitasi. Perjuangan
tersebut harus diletakan dalam kenteks keadilan sosial yang lenih
luas, yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk diskriminasi atas
dasar jenis kelamin, suku atau agama. Dalam konteks ini ketimpangan
gender tidak hanya menjadi masalah perempuan, tetapi masalah semua
anak bangsa. Demikian juga masyarakat yang berkeadilan gender tidak
hanya akan menguntungkan perempuan, tetapi juga laki – laki, karena
majunya perempuan akan berimplikasi pada kemajuan seluruh masyarakat.
Perkembangan Gerakan Perempuan dan Feminisme
Dari kajian yang dibahas oleh Muhadjir Darwin, pada umunya pergerakan
perempuan di Indonesia selalu berkaitan dengan sejarah bangsa kita.
Muhadjir meyakini bahwa masih banyaknya tindak diskriminasi yang
dirasakan oleh kaum perempuan. Meskipun perkembangan bangsa Indonesia
telah melewati sejarah yang dapat dikatakan merupakan perkembangan
yang panjang, namun hal tersebut tetap saja terjadi. Kondisi sosial
perempuan pada suatu masa memperlihatkan dunia akan relasi terhadap
gender suatu bangsa. Permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan
memicu lahir dan berkembangnya pergerakan -pergerakan perempuan.
Perkembangan pergerakan perempuan terbagi kedalam empat bagian. Hal
tersebut merupakan implikasi dari perkembangan bangsa Indonesia masa
kolonial, kemerdekaan sampai pada saat ini. (Gadis Arivia : 2006).
Pada tahap pertama, pergerakan perempuan muncul karena adanya
persoalan hak memilih dan pemilihan pejabat negara serta permasalahan
yang paling utama dan sering diperbincangkan adalah persoalan hak
pendidikan yang dikemukakan pada zaman penjajahan Belanda. Pada
periode ini, gerakan perempuan lebih bersifat individual dan tidak
terlepas dari pengaruh kemunculan feminism liberal pada abad ke – 18
di daratan Eropa. Salah satu pengaruh dari gerakan perempuan pada
periode ini adalah ide bahwa keterbelakangan perempuan akibat oleh
kurangnya kesempatan perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Periode
ini ditandai dengan pendirian sekolah – sekolah untuk perempuan,
seperti Sekolah Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika di Bandung pada
tahun 1904, Sekolah Perempuan yang didirikan oleh R. A Kartini di
Semarang pada tahun 1912. Pergerakan perempuan pada periode ini
sejalan dengan perjuangan kaum pria yang juga berfokus pada pemberian
kesempatan untuk warga pribumi agar mendapatkan pendidikan. Menurut
Suryochondro (1995), organisasi organisasi perempuan yang terbentuk
pada periode ini antara lain adalah Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915),
Percintaan Ibu Kepada Anak Temurum – PIKAT (Manado, 1917), Purborini
(Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917),
Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poetri
Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanita Katolik (Yogyakarta, 1924) dan
oraganisasi – organisasi lainnya yang berdiri saat kolonial Belanda.1
Pada tahap kedua, memunculkan persoalan politis yang berada pada basis
massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun publik
perempuan yang ditemui pada masa pra kemerdekaan. Pada masa ini juga
tujuan gerakan perempuan adalah untuk melawan kemiskinan dan ketidak
adilan, memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan
kesempatan kerja. Diskriminasi terhadap perempuan tidak berkurang
meskipun secara legal telah ada jaminan hak politik perempuan yang
pada saat ini dikeluarkan pada masa orde lama yaitu pada pasal 27 UUD
1945 dan UU no. 80 tahun 1958 tentang persamaan upah pekerja laki –
laki dengan perempuan. Pada masa ini, organisasi perempuan yang
terbentuk harus bernaung di bawah partai politik, kondisi ini dimulai
pada tahun 1960 yang mengharuskan oraganisasi massa bernaung di bawah
partai politik. Wadah organisasi pergerakan perempuan Indonesia
merdeka diganti dengan Persatuan Negara Wanita Indonesia (Perwani) dan
Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian bergabung dan menjadi
Persatuan Wanita Republik Indonesia.2
1 Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 180
Pada tahap ketiga, pada masa orde baru, menampilkan wacana tugas –
tugas domestik perempuan sebagai mana yang diinginkan negara. Pada
masa orde baru posisi perempuan lebih banyak dititik beratkan pada
perannya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dibakukan pada UU tentang
Perkawinan pada tahun 1974, Undang-undang tersebut melegalkan
kedudukan laki – laki dan permpuan yang tadinya hanya sebagai hasil
budaya menjadi sesuatu yang memiliki ketetapan hukum karena dibakukan
dalam sebuah undang – undang. 3
Dan pada era reformasi sampai saat ini yang masuk pada tahap keempat,
memunculkan pergerakan – pergerakan liberal yang bertemakan anti
kekerasan terhadap perempuan. Perjuangan perempuan sejak tahun 1998
hingga saat ini adalah perluasan perjuangan yang didukung oleh
jaringan nasional dan internasional. Perjuangan ini bertujuan mencapai
keadilan gender dan bersifat inklusif melalui peningkatan wawasan
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, 4
Dari penjelasan tersebut, pergerakan perempuan memiliki perkembangan,
namun tetap saja masih ada tuntutan yang merupakan ketidak puasan atas
kondisi sosial yang nyata terhadap hak perempuan. Pada dasarnya, teori
- teori feminism telah mengembangkan pemikiran yang luar biasa
tentang persoalan – persoalan ketidak adilan sosial serupa dengan
perkembangan pergerakan peremuan di Indonesia. Gelombang pertama
mengajukan pertanyaan – pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan
perempuan di dalamnya yang telah dipermasalahkan kedudukan dan posisi
perempuan. Gelombang ke dua memberikan penjelasan umum tentang konsep
2 Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 1843 Ibid, hlm. 1864 Ibid, hlm. 187
fundamental penindasan terhadap perempuan dab respon terhadap kritik -
kritik Marxisme.
Feminisme tidak pernah tertarik untuk membangun suatu teori yang
abstrak dengan prinsip-prinsip universal. Feminisme sering kali
mengambil posisi epistimologis yang menentang suatu pencarian
rasionalistik dan sistem universal. Sebaliknya, pencarian feminism
selalu ditekankan pada pengalaman moral. Feminis Annette Baier dimana
dikutip oleh Gadis Arivia (2006:37) mengatakan bahwa perempuan dalam
perdebatan moralnya mempunyai kehendak yang berbeda dari laki – laki.
Perempuan lebih menitik beratkan nilai – nilai etika yang berarti bagi
kehidupannya. Perempuan hidup didalam masyarakat yang nilai – nilai
kefeminimannya dianggap remeh dan tidak penting, seluruh eksistensinya
sebagai perempuan disubordinasikan. Dalam masyarakat yang patriarkis,
seluruh aturan universum berlaku pada sistem “aturan laki – laki” (the
law of father). Sifat egois yang berpusat pada kemauan laki – laki sehingga
dunia public menjadi dominasi laki – laki.5
Sebagian para feminis mengarapkan agar adanya solusi cepat lewat aksi-
aksi politis. Hal tersebut dihasilkan baik itu oleh kaum perempuan
sendiri, mahasiswa, gerakan HAM ataupun pemerintah. Hal tersebut
diharapkan agar program –program yang dirancang dan dihasilkan oleh
pemerintah diharapkan berpijak pada keadilan gender serta memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk kemajuan perempuan.
Diskriminasi dan Ketertinggalan Perempuan
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan atau perlakuan yang tidak
adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan atau
perlakuan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang diwakili oleh
5 Gadis Arivia, Feminisme : Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas, 2006)
individu yang lebih dominan. Diskriminasi menjadi suatu hal yang
biasa dijumpai dalam masyarakat dan bertumpu pada kecenderungan
manusia untuk membeda - bedakan manusia. Diskriminasi dianggap
sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip “setiap manusia
harus diberi hak dan peluang yang sama” (equal opportunity).
Jika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik gender, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga
merupakan dasar dari tindakan diskriminasi, jelas hal ini telah
menyalahi prinsip dasar hak manusia. Jadi, diskriminasi secara
singkat, bisa kita simpulkan sebagai perlakuan terhadap orang
atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori
tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi
dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu
secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur,
atau karakteristik yang lain. Dari kedua definisi tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan
berbeda-beda terhadap manusia.6
Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki atas
kaum perempuan menurut Collins (1975) sebagaimana dikutip oleh
Megawangi (1999: 86) sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam
tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003: ix) perempuan ditempat
kan sebagaithe second human being (manusia kelas dua), yang berada di
bawah superioritas laki-laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk
penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan
untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, ada pembedaan peran
antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih banyak6 Doortje D. Turangan, Karya Ilmiah : Upayah Pemberdayaan Perempuan dan Hak Asasi Manusia, (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 2008)
ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki berada di ranah
publik. Akibat yang paling jelas dari situasi sosial seperti di
atas adalah ter jadinya diskriminasi terhadap perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan diterjemahkan sebagai segala bentuk
pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan atas
dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapus
kan pengakuan atas penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa
mempertimbangkan status mereka, hak asasi mereka, dan
kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya,
hukum, dan lainlain (JP, 2006: 150).
Alison Jagger, seorang feminis, memberi penjelasan ketertindasan
perempuan sebagai berikut7:
1. Perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas.
2. Bahwa ketertindasan perempuan sangat meluas di hampir seluruh
masyarakat manapun.
3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan bentuk yang paling dalam
dan ketertindasan yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat
dihilangkan dengan perubahan - perubahan sosial seperti
penghapusan kelas masyarakat tertentu.
4. Bahwa penindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang
amat sangat terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif, walaupun kesengsaraan tersebut tidak tampak
karena adanya ketertutupan , baik yang dilakukan oleh pihak
penindas maupun tertindas.
7 Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, hlm 100 - 103
5. Bahwa pemahaman penindasan terhadap perempuan pada dasarnya
memberikan model konseptual untuk mengerti bentuk – bentuk lain
penindasan.
Diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan merupakan implikasi dari
ketimpangan gender yang mereka alami. Meskipun di Indonesia memiliki
hukum yang dapat menjamin penegakan hak – hak perempuan, namun
perempuan masih saja menjadi objek dari diskriminasi. Peraturan yang
dibuat oleh pemerintah bak pisau bermata dua yang dapat melukai mereka
dari segala sisi. Banyak peraturan perundang – undangan yang
terindikasi melanggar hak – hak dari perempuan. Pemerintah secara
resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara
perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27.
Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini
berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif
terhadap perempuan. Seperti dalam UU mengenai sistem pengupahan tenaga
kerja perempuan, tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan-perempuan
dianggap lajang sehingga suami dan anak-anak tidak mendapatkan
tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan ini
termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990
tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di
lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri Pertambangan
No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan
No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan
kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri
Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No. 10/1994 tentang
prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas
perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan
daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan
tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin
oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-
haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi dan menerima
manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.
Kekerasan Terhadap Perempuan
Persoalan yang melekat pada kasus ketimpangan gender adalah kasus
kekerasan. Hal tersebut dilatarbelakangin oleh kondisi perempuan yang
lebih lemah dari kaum laki – laki. Kekerasan dapat dibagi menjadi dua
yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik atau psikis. Hal
tersebut dapat terjadi kepada perempuan dimanapun dan kapanpun. Peta
kekerasan terhadap perempuan dengan segala macam bentuk dan situasi
yang dialami dapat dilihat di tabel dibawah ini :
Relasi
Personal
Relasi Kerja Relasi
Kemasyarakata
n
Situasi Konflik
Bentuk Tekanan
psikologis,
kekerasan
fisik,
pelecehan
seksual,
pemerkosaan,
eksploitasi
ekonomi,
pekerja
keluarga,
Diskriminasi
kerja dalam
ragam
bentuk,
pelecehan
seksual,
pemerkosaan,
penyiksaan
seksual
Pelecehan
seksual,
pemerkosaan,
praktek-
praktek
budaya,
perdagangan
perempuan,
pornografi
Penembakan,
pembunuhan,
penganiayaan,
penculikan,
kerja paksa
pelecehan
seksual,
pemerkosaan,
penyiksaan
seksual,
perbudakan
bentuk-
bentuk
penghalangan
pemenuhan
kebutuhan
seksual,
intimidasi
berbasis gender
Lokasi Rumah
tinggal, dan
tempat lain
yang
memungkinkan
Tempat
kerja, dan
tempat lain
yang
memungkinkan
Komunitas,
tempat umu,
tempat
penampungan
Tempat umum,
markas tentara,
rumah korban,
tempat
pengungsianPelaku Anggota
keluarga,
mantan suami
/ pacar
Majikan,
mandor,
sesama
pekerja
Warga
masyarakat
Tentara, sipil
bersenjata,
orang yang
memiliki
hubungan relasiKorban Istri, anak
perempuan
Pekerja
wanita
Perempuan
dewasa,
perempuan
dibawah umur,
anak jalanan
Perempuan
sipil,
perempuan
pengungsi,
perempuan
tahananSumber : Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2012) hlm. 197
Dapat dilihat bahwa banyak bentuk kekerasan yang dialami oleh
perempuan karena perbedaan yang mereka miliki oleh laki-laki.
Perempuan dinilai lemah dan laki – laki lebih kuat.
Perempuan , Agama, Politik dan Budaya
Agama, politik dan budaya, ketiganya memiliki kaitan terhadap
diskriminasi perempuan, dimana dalam agama dan budaya mengatur tentang
hal – hal yang harus dilaksanakan dan yang tidak dilaksanakan, serta
batasan – batasan yang harus dipatuhi. Sedangkan politik merupakan
aspek yang didalamnya memiliki kaitan terhadap hak – hak perempuan.
Apa kaitanya agama dengan perempuan ? Agama mengatur hal – hal yang
baik dan buruk yang harus dilakukan serta yang dilarang. Dalam agama
mengatur tentang kodrat laki – laki yang lebih tinggi sebagai iman
dalam keluarga. Selain itu dalam kebudayaan, yaitu adat istiadat,
kondisi sosial perempuan Indonesia sebagian besar diselubungi oleh
budaya patriarki yang dianut kebanyakan etnik di Indonesia. Banyak
adat istiadat yang mendiskriminasi kaum perempuan contohnya adalah
dalam kebanyakan etnis di Indonesia yang menggunakan mas kawin dalam
pernikahan. Hal tersebut disimbolkan sebagai bentuk jual beli yang
dilakukan oleh pengantin laki – laki dengan keluarga pengantin
perempuan. Dalam pembagian warisan, kebanyakan adat di Indonesia
menganut sistem pembagian waris terhadap keturunan laki – laki dan
masih banyak adat – adat yang mengenyampingkan kehadiran perempuan
sebagai sosok yang sama statusnya dengan kaum laki-laki.
Dalam politik di Indonesia, masih adanya tindak diskriminasi yaitu
sedikitnya perwakilan kaum perempuan dalam kancah perpolitikan di
Indonesia. Meskipun Indonesia pernah dikepalai oleh seorang wanita,
hal tersebut tak membawa angina segar dalam kesetaraan gender di dalam
perpolitikan Indonesia. Selain itu terdapat berbagai bentuk peraturan
baik undang - undang maupun peraturan yang menjadi bias dan
mendiskriminasi kaum perempuan.
Contoh Pasal - Pasal yang Bermasalah dalam Kebijakan Publik di
Indonesia
Kebijakan TemaUU Nomor 62 tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan
Memberikan jaminan hak yang sama
bagi laki – laki dan perempuan
untuk memperoleh dan
mempertahankan kewarganegaraan.
Tapi Undang – undang
kewarganegaraan tersebut masih
memberlakukan asas kesatuan dalam
kewarganegaraan (one person in the law
doctrine) yakni bahwa suami atau
bapaklah yang menentukan
kewarganegaraan anaknya (pasal 1c,
d, dan e)Pasal 31 dan 34 UU nomor 1 tahun
1974
Tentang perkawinan yang
mengukuhkan pembakuan peran atara
perempuan dan laki – laki, dengan
menyatakan suami sebagai kepala
keluarga dan wajib memberi nafkah
kepada istri dan keluarganya,
sedangkan istri adalah ibu rumah
tangga yang wajib mengurusi rumah
tangga dengan sebaik – baiknya.
Akibatnya, perempuan dan laki –
laki mempunyai akses dan control
yang berbeda terhadap sumber daya
ekomomi, sosial dan politik.PP 45 Tahun 1990 PP ini telah mendiskriminasikan
perempuan yang menjadi istri kedua
untuk mengundurkan diri dari
pekerjaanya, sedangkan laki – laki
yang berpoligami tidak mendapatkan
sanksi apapun.UU nomor 23 Tahun 1992 Satu – satunya undang – undang
yang mengatur tentang kesehatan
adalah UU No. 23 tahun 1992. Jika
dilihat dari sudut hak – hak
perempuan, UU ini banyak
memberikan perhatian pada masalah
pengaturan jarak kelahiran (pasal
13) dan kesehatan ibu hamil (pasal
14). Pasal UU 15 kesehatan
memberikan kemungkinan
dilakukannya tindak tertentu untuk
menyelamatkan ibu dan anaknya.
Pada pasal 15 memberikan syarat
kepada penanganan medis bahwa yang
untuk melakukan penanganan harus
mendapatkan persetujuan dari suami
ataupun orang tua dan rekomendasi
dari dua orang ahli lainnya.
Dengan demikiam dapat dikatakan
bahwa perempuan dalah kondisi
tersebut tidak memiliki hak atau
kontrol atas tubuhnya sendiri.UU nomor 5 tahun 1997 Adanya ketentuan larangan kerja
malam untuk perempuan disebabkan
karena digunakannua pendekatan
protektif – regulative, yang
didasarkan pada asumsi peran
gender, terutama untu melindungi
fungsi reproduksi perempuan. UU
tersebut bahkan menegaskan dalam
penjelasannya bahwa larangan ini
diberlakukan karena malam hari
merupakan waktu permpuan untuk
keluarganya.Pasal 285 KUHP Pasal 285 KUHP tentang perkosaan
hanya menghukum pelaku yang
melakukan perkosaan terhadap
perempuan yang bukan istri nya.
Ini berarti hukum tidak memberikan
proteksi kepada perempuan yang
mengalami kekerasan seksual dari
suaminya. Dengan kata laim, pasal
285 KHUP mendiskriminasi perempuan
berdasarkan status perkawinannya.
Di samping itu, pengertian
kekerasan sangat sempit yang hanya
terbatas pada kekerasan fisik dan
proses pembuktian dalam kenyataan
juga tidak berpihak atau
melindungi korbanSumber : Sumber : Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 194
GADIS (Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi) sebagai Solidaritas Gender
Gerakan perempuan di Indonesia muncul karena ketidakpuasan yang
dialami oleh perempuan Indonesia terhadap kondisi sosial perempuan
saat ini. Perempuan masih dijadikan nomor dua meskipun regulasi
tentang kesetaraan gender telah diusung sejak lama. Meski dunia telah
memperingati hari perempuan sedunia hampir selama seabad ini. Hadirnya
lembaga pemberdayaan perempuan dan lembaga – lembaga lainnya yang
mengedepankan hak dan suara perempuan, namun masih saja terjadi kasus
tindak diskriminasi dan kekerasan. Naasnya kejadiaan tersebut
seharusnya sudah tidak ada lahi karena pemerintah Indonesia
meratifikasi CEDAW (Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against
Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984 sehingga seharusnya pemerintah
memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan, melindungi, dan memenuhi
hak – hak perempuan. Hingga tahun 2010, Indonesia memiliki sekitar 156
perda – perdes diskriminatif dan UU yang bias yang tadi sudah dibahas
sedikit pada kajian Perempuan , Agama, Politik dan Budaya. Perda dan
perdes yang diskriminatif tersebut mencakup aturan berpakaian bagi
perempuan , larangan keluar malam, kriminalisasi PSK, pornografi dan
aturan – aturan lain yang bukan hanya mengancam dan mengintimidasi
perempuan tetapi juga mendiskriminasi perempuan sehingga timpangnya
kesetaraam gender dengan kaum laki – laki.
Dengan kasus diskriminasi terhadap perempuan tersebut dan berbagai
kasus pelanggaran terhadap hak dan suara perempuan, hal tersebut
menjadi ransangan terhadap kaum organisasi maupun non organisasi
perempuan untuk mencanangkan suatu gerakan sebagai bentuk dari
solidaritas kaum perempuan. Hal tersebut terjadi di berbagai wilayah
yang tersebar di Indonesia. Gerakan solidaritas tersebut juga
diprakarsai karena adanya tindak kekerasan dan diskriminasi yang
terjadi akhir - akhir ini di Indonesia yang mengatas namakan agama
dan budaya. Negara seolah – olah tidak mampu dalam menangani kelompok
– kelompok yang mengatas namakan agama dalam menegakan kaidah – kaidah
mereka dengan menggunakan kekerasan dan mengintiminasi kaum minoritas
dan kaum perempuan. Untuk itu solidaritas perempuan dalam rangkaian
Kampanye Gerakan Anti Diskriminasi (GADIS) yang konsern terhadap
perjuangan – perjuangan hak dan suara kaum perempuan dalam kesetaraan
gender, keadilan, dan kemanusiaan. Oleh sebab itu gerakan yang
dilaksanakan pada 8 Maret 2011 dari Patung Kuda Medan Merdeka Barat
sampai di depan Istana Negara menuntu beberapa pokok sebagai berikut :
1. Mencabut semua peraturan atau kebijakan yang mendiskriminasi dan
mengkriminalisasi perempuan termasuk SKB 3 Mentri No. 3 Tahun
2008.
2. Memastikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) memenuhi unsur
pemenuhan hak – hak konstirusi perempuan dan kelompok minoritas.
3. Memberentikan pemproduksian peraturan diskriminatif terhadap
perempuan karena bertentangan dengan Undang – Undang Dasar
1945 , UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No, 39 tahun 1999
tentang HAM , dan UU No . 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi
Konvensi Anti Penyiksaan.
4. Memastikan bahwa negara memberikan perlindungan atas jebebasan
dan ruang gerak, serta terhindar dari segala jenis dan bentuk
ancaman sebagai wujud perlindungan hak konstitusi sebagai
perempuan, sebagai kelompol minoritas, dan sebagai warga negara
Indonesia.
Dengan adanya Kampanye Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi (GADIS)
tersebut, dapat dikatakan bahwa gerakan yang dilakukan perempuan masih
berjalan sampai saat ini. Kampanya tersebut dapat dikatakan sebuh
gerakan karena merupakan bentuk dari aksi kolektif dengan orientasi
konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu,
dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh
aktor - aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitias kolektif
yang kuat melebihi bentuk - bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye
bersama. Kampanye tersebut terjadi karena adanya kesamaan kondisi dan
memiliki kesamaan tujuan terhadap gerakan tersebut.
Menurut sudut pandang Psikologis, teori ketidakpuasan (discontent theory)
berpandangan bahwa akar dari gerakan terletak pada perasaan
ketidakpuasan. Solidaritas perempuan tersebut merasa kondisi sosial
perempuan sangan tertindas yang menjadikan mereka tidak puas. Terdapat
bayak ragam ketidakpuasan, mulai dari luapan emosional kaum perempuan
yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan. Sedangkan dalam sudut
pandang sosiologi, menurut teori Deprivasi Relatif menunjukan bahwa
kaum perempuan merasa kecewa karena adanya kesenjangan anatara harapan
dan kenyataan. Dalam orientasi dari gerakan “GADIS” kita dapat melihat
bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan yang menitikan pada orientasi
nilai, yaitu merubah nilai budaya, norma dan sistem kepercayaan. Hal
tersebut dilakukan dengan penggalangan kampanya tersebut.
Sumber : www.google.com
Kesimpulan
Sejarah panjang gerakan perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa
perempuan telah memberiwarna tersendiri bagi pembelajaran
demokratisasi di Indonesia. Namun meskipun perjalanan bangsa
Indonesia telah panjang dan perempuan memberikan kontribusi yang
banyak, status kesetaraan gender belum dirasakan oleh perempuan
Indonesia. Banyak tindak diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan
mengatas namakan agama dan etnik. Kedudukan kaum perempuan dalam
kehidupan sosial diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan
lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki – laki. Munculnya gerakan
perempuan adalah dalam memperjuangkan hak dan suara bagi kaum
perempuan yang diselimuti oleh kabut budaya dan agama yang sebagian
besar membuat kesetaraan gender menjadi timpang. Gerakan perempuan di
Indonesia telah muncul sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sampai saat
ini. Dengan demikian para kaum perempuan yang melakukan pergerakan
tersebut dapat dikatakan tidak puas dan merasa kecewa akan kondisi
sosialnya sampai saat ini. Gerakan tersebut muncul karena kesenjangan
antara harapan dan kenyataan yang mereka alami.
Daftar Pustaka
De Beauvoir. Simone. The Second Sex Kehidupan Perempuan, diterjemahkan oleh
Toni B. Febrianton., dkk. Jakarta: Pustaka Prometea, 2003.
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda. Jakarta : Mizan, 1999.
Jurnal Perempuan, 2003.
Arivia, Gadis. Feminisme : Sebuah Kata Hat. Jakarta : Kompas, 2006.
Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2012.