gerakan perempuan

22
Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi Oleh. Mulara Halomoan Abstrak Perempuan lekat kaitannya dengan tindak diskriminasi, tersebut tak dapat dihindari karena adanya subordinasi yang masih melekat pada perempuan. Dengan demikian terjadilah ketimpangan gender antara perempuan dengan laki - laki. Peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan tidaklah dapat menjamin penghapusan diskriminasi pada perempuan. Berbagai upayah telah dilakukan untuk mengurangi ketimpangan tersebut, namun hingga saat ini belum terlihat adanya keseimbangan dalam relasi gender. Banyak tindak diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan mengatas namakan agama dan etnik. Kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki – laki. Kebiasaan yang sudah berlangsung lama ini masih saja terjadi , dan telah dibuktikan oleh banyak pengamat dan kritikus. Gerakan Perempuan yang muncul di Indonesia merupakan bentuk dari ketidakpuasan atas kondisi sosial perempuan yang masih menjadi objek diskriminasi. Tulisan ini akan membahas pergerakan perempuan di Indonesia yang salah satu bentuknya adalah Kampanye Solidaritas Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (GADIS). Pengantar Sejarah pergerakan Perempuan Indonesia terlahir sejak jaman penjajahan kolonial Belanda. Kita mengenal pergerakan yang dilakukan oleh R.A

Upload: kompasiana

Post on 19-Jan-2023

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi

Oleh. Mulara Halomoan

Abstrak

Perempuan lekat kaitannya dengan tindak diskriminasi, tersebut

tak dapat dihindari karena adanya subordinasi yang masih melekat

pada perempuan. Dengan demikian terjadilah ketimpangan gender

antara perempuan dengan laki - laki. Peraturan-peraturan yang

berlaku di Indonesia mengenai kesetaraan hak antara laki-laki

dengan perempuan tidaklah dapat menjamin penghapusan diskriminasi

pada perempuan. Berbagai upayah telah dilakukan untuk mengurangi

ketimpangan tersebut, namun hingga saat ini belum terlihat

adanya keseimbangan dalam relasi gender. Banyak tindak

diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan mengatas namakan agama

dan etnik. Kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur

oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan lebih rendah

dibandingkan dengan kaum laki – laki. Kebiasaan yang sudah

berlangsung lama ini masih saja terjadi , dan telah dibuktikan

oleh banyak pengamat dan kritikus. Gerakan Perempuan yang muncul

di Indonesia merupakan bentuk dari ketidakpuasan atas kondisi

sosial perempuan yang masih menjadi objek diskriminasi. Tulisan

ini akan membahas pergerakan perempuan di Indonesia yang salah

satu bentuknya adalah Kampanye Solidaritas Gerakan Perempuan Anti

Kekerasan (GADIS).

Pengantar

Sejarah pergerakan Perempuan Indonesia terlahir sejak jaman penjajahan

kolonial Belanda. Kita mengenal pergerakan yang dilakukan oleh R.A

Kartini, Dewi Sartika, dan pejuang-pejuang lainnya yang merupakan

tokoh pejuang wanita. Perjuangan perempuan di Indonesia merupakan

bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan Indonesia.

Meskipun perjuangan perempuan telah dilakukan sejak lama dan peraturan

perundang - undangan telah mengatur kesamaan hak antara laki-laki dan

perempuan, ketimpangan gender masih sangat terasa. Dengan adanya

ketidaksamaan tersebut, wanita menjadi objek dari diskriminasi.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa perempuan Indonesia didiskriminasi

melalui idiologi dari agama dan entik. Hal tersebut dapat dirasakan

dengan adanya budaya patriarki yang menyelubungi kehidupan sosial

perempuan di Indonesia. Dalam sejarah, perempuan lebih rentan atau

lebih banyak mengalami kekalahan dan penindasan karena faktor fisik,

ekonomi, dan sosial yang mebuatnya lebih lemah.Kedudukan kaum

perempuan lebih rendah dari pada laki – laki dikarenakan tradisi dan

budaya yang ada, seperti yang telah disampaikan. Perempuan layaknya

seperti burung yang dipelihara dalam sangkar, dapat terbang namun tak

dapat terbang tinggi. Hal itu yang dapat mendefinisikan perempuan.

Perkembangan feminisme di Indonesia merupakan pendorong dari gerakan

perempuan akan kondisi sosial mereka saat ini.

Ada kondisi umu yang membuat perempuan sama dengan laki – laki, namun

ada pula kodisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda

dengan laki – laki, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Perbedaan

dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan

dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan laki – laki. Nilai

dan cara berada perempuan dikonstruksikan dan dikondisikan oleh

pengalaman – pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat

dan mempunyai tingkat kesensitifan serta kepedulian yang besar. Nilai

– nilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian yang kental melekat

didalam sistem cara pandang dunia perempuan. Sedangkan perbedaan

dengan cara menilai negative adalah melihat nilai – nilai perempuan

sebagai “yang lain” (other). Sehingga denganmudah terjadi pengobjekan

dan penindasan. Susan Wendell dalam tulisannya The Social Construction of

Dissability menunjukan bahwa dalam kasus “Ableism”, yaitu tindakan

diskriminasi terhadapa mereka yang cacat metal dan fisik terjadi

karena fakto –faktor sosial –diskontruksikan secara sosial. Dalam

hampir semua tindakan diskriminasi, mengambil pola dari pijakan

awalnya bentuk-bentuk mitos, otherness, dan cara berfikir dikotomik. Hal

ini pulalah yang terjadi dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Studi Terdahulu

Pergerakan mengenai perempuan di Indonesia semakin berkembang karena

belum puasnya perempuan atas kondisi sosial yang masih memiliki

ketimpangan gender. Gerakan perempuan berkembang dan dipengaruhi oleh

aliran feminism. Banyak penulus yang mengkaji tentang gerakan

perempuan dan aliran feminism, salah satunya adalah Muhadjir Darwin

yang mengkaji gerakan permpuan kedalam jurnalnya yang berjudul

“Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa”.

Tulisan ini menjelaskan bahwa gagasan kesetaraan gender bukanlah

gagasan baru yang tidak seluruhnya merupakan gagasan dari luar.

Pergerakan perempuan sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Hal tersebut ditandai dengan munculnya pejuang - pejuang perempuan

pemberontak penjajahan Belanda, diantaranya adalah Cut Nyak Dien, Nyai

Ageng, Cut Meutia, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan R.A

Kartini yang memperjuangkan emansipasi dan pendidikan bagi kaum hawa

bangsa Indonesia. Beberapa perempuan yang telah disebut sebagai

pelopor perjuangan perempuan sebenarnya hanya sebagian kecil dari

perjuang perempuan lain yang tak pernah dikenal, tetapi mereka tetap

berjuang. Meskipun bangsa Indonesia telah melewati perjalanan panjang

hingga saat ini, hal tersebut belum menjamin perempuan Indonesia akan

kesetaraan mereka dengan kaum adam. Dalam tulisan ini, penulis

membahas pergerakan perempuan dari pra kemerdekaan sampai dengan

membahas pergerakan perempuan masa kini. Secara umum dapat dikatakan

bahwa baik sebelum kemerdekaan atau setelahnya, terdapat kemajuan akan

pergerakan tersebut meski belum terlihat kesetaraan yang nyata. Namun

ada pula cukup bukti bahwa perempuan belum sepenuhnya bebas dari

diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Masih banyak perempuan yang

mengalami pelecehan, menjadi korban kekerasan, mengalami marginalisasi

baik di rumah tangga atau di tempat kerja. Terhadap perlakuan yang

tidak adil tersebut, hokum belum berpihak pada perempuan. Akibatnya

masyarakat semakin tidak percaya pada pemerintah dan lembaga penegak

hukum.

Perempuan, seperti juga laki - laki, adalah warga Negara, dengan hak –

hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi oleh

Negara karena perbedaan jenis kelamin, seperti juga tidak dibenarkan

adanya diskriminasi karena perbedaan agama, suku, bahasa, kelas,

ekonomi, dan sebagainya, karena hal ini bertentangan dengan prinsip -

prinsip demokrasi dan hak – hak asasi manusia yang universal.

Perjuangan kesetaraan gender perlu mengalami revilitasi. Perjuangan

tersebut harus diletakan dalam kenteks keadilan sosial yang lenih

luas, yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk diskriminasi atas

dasar jenis kelamin, suku atau agama. Dalam konteks ini ketimpangan

gender tidak hanya menjadi masalah perempuan, tetapi masalah semua

anak bangsa. Demikian juga masyarakat yang berkeadilan gender tidak

hanya akan menguntungkan perempuan, tetapi juga laki – laki, karena

majunya perempuan akan berimplikasi pada kemajuan seluruh masyarakat.

Perkembangan Gerakan Perempuan dan Feminisme

Dari kajian yang dibahas oleh Muhadjir Darwin, pada umunya pergerakan

perempuan di Indonesia selalu berkaitan dengan sejarah bangsa kita.

Muhadjir meyakini bahwa masih banyaknya tindak diskriminasi yang

dirasakan oleh kaum perempuan. Meskipun perkembangan bangsa Indonesia

telah melewati sejarah yang dapat dikatakan merupakan perkembangan

yang panjang, namun hal tersebut tetap saja terjadi. Kondisi sosial

perempuan pada suatu masa memperlihatkan dunia akan relasi terhadap

gender suatu bangsa. Permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan

memicu lahir dan berkembangnya pergerakan -pergerakan perempuan.

Perkembangan pergerakan perempuan terbagi kedalam empat bagian. Hal

tersebut merupakan implikasi dari perkembangan bangsa Indonesia masa

kolonial, kemerdekaan sampai pada saat ini. (Gadis Arivia : 2006).

Pada tahap pertama, pergerakan perempuan muncul karena adanya

persoalan hak memilih dan pemilihan pejabat negara serta permasalahan

yang paling utama dan sering diperbincangkan adalah persoalan hak

pendidikan yang dikemukakan pada zaman penjajahan Belanda. Pada

periode ini, gerakan perempuan lebih bersifat individual dan tidak

terlepas dari pengaruh kemunculan feminism liberal pada abad ke – 18

di daratan Eropa. Salah satu pengaruh dari gerakan perempuan pada

periode ini adalah ide bahwa keterbelakangan perempuan akibat oleh

kurangnya kesempatan perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Periode

ini ditandai dengan pendirian sekolah – sekolah untuk perempuan,

seperti Sekolah Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika di Bandung pada

tahun 1904, Sekolah Perempuan yang didirikan oleh R. A Kartini di

Semarang pada tahun 1912. Pergerakan perempuan pada periode ini

sejalan dengan perjuangan kaum pria yang juga berfokus pada pemberian

kesempatan untuk warga pribumi agar mendapatkan pendidikan. Menurut

Suryochondro (1995), organisasi organisasi perempuan yang terbentuk

pada periode ini antara lain adalah Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915),

Percintaan Ibu Kepada Anak Temurum – PIKAT (Manado, 1917), Purborini

(Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917),

Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poetri

Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanita Katolik (Yogyakarta, 1924) dan

oraganisasi – organisasi lainnya yang berdiri saat kolonial Belanda.1

Pada tahap kedua, memunculkan persoalan politis yang berada pada basis

massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun publik

perempuan yang ditemui pada masa pra kemerdekaan. Pada masa ini juga

tujuan gerakan perempuan adalah untuk melawan kemiskinan dan ketidak

adilan, memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan

kesempatan kerja. Diskriminasi terhadap perempuan tidak berkurang

meskipun secara legal telah ada jaminan hak politik perempuan yang

pada saat ini dikeluarkan pada masa orde lama yaitu pada pasal 27 UUD

1945 dan UU no. 80 tahun 1958 tentang persamaan upah pekerja laki –

laki dengan perempuan. Pada masa ini, organisasi perempuan yang

terbentuk harus bernaung di bawah partai politik, kondisi ini dimulai

pada tahun 1960 yang mengharuskan oraganisasi massa bernaung di bawah

partai politik. Wadah organisasi pergerakan perempuan Indonesia

merdeka diganti dengan Persatuan Negara Wanita Indonesia (Perwani) dan

Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian bergabung dan menjadi

Persatuan Wanita Republik Indonesia.2

1 Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 180

Pada tahap ketiga, pada masa orde baru, menampilkan wacana tugas –

tugas domestik perempuan sebagai mana yang diinginkan negara. Pada

masa orde baru posisi perempuan lebih banyak dititik beratkan pada

perannya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dibakukan pada UU tentang

Perkawinan pada tahun 1974, Undang-undang tersebut melegalkan

kedudukan laki – laki dan permpuan yang tadinya hanya sebagai hasil

budaya menjadi sesuatu yang memiliki ketetapan hukum karena dibakukan

dalam sebuah undang – undang. 3

Dan pada era reformasi sampai saat ini yang masuk pada tahap keempat,

memunculkan pergerakan – pergerakan liberal yang bertemakan anti

kekerasan terhadap perempuan. Perjuangan perempuan sejak tahun 1998

hingga saat ini adalah perluasan perjuangan yang didukung oleh

jaringan nasional dan internasional. Perjuangan ini bertujuan mencapai

keadilan gender dan bersifat inklusif melalui peningkatan wawasan

perempuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, 4

Dari penjelasan tersebut, pergerakan perempuan memiliki perkembangan,

namun tetap saja masih ada tuntutan yang merupakan ketidak puasan atas

kondisi sosial yang nyata terhadap hak perempuan. Pada dasarnya, teori

- teori feminism telah mengembangkan pemikiran yang luar biasa

tentang persoalan – persoalan ketidak adilan sosial serupa dengan

perkembangan pergerakan peremuan di Indonesia. Gelombang pertama

mengajukan pertanyaan – pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan

perempuan di dalamnya yang telah dipermasalahkan kedudukan dan posisi

perempuan. Gelombang ke dua memberikan penjelasan umum tentang konsep

2 Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 1843 Ibid, hlm. 1864 Ibid, hlm. 187

fundamental penindasan terhadap perempuan dab respon terhadap kritik -

kritik Marxisme.

Feminisme tidak pernah tertarik untuk membangun suatu teori yang

abstrak dengan prinsip-prinsip universal. Feminisme sering kali

mengambil posisi epistimologis yang menentang suatu pencarian

rasionalistik dan sistem universal. Sebaliknya, pencarian feminism

selalu ditekankan pada pengalaman moral. Feminis Annette Baier dimana

dikutip oleh Gadis Arivia (2006:37) mengatakan bahwa perempuan dalam

perdebatan moralnya mempunyai kehendak yang berbeda dari laki – laki.

Perempuan lebih menitik beratkan nilai – nilai etika yang berarti bagi

kehidupannya. Perempuan hidup didalam masyarakat yang nilai – nilai

kefeminimannya dianggap remeh dan tidak penting, seluruh eksistensinya

sebagai perempuan disubordinasikan. Dalam masyarakat yang patriarkis,

seluruh aturan universum berlaku pada sistem “aturan laki – laki” (the

law of father). Sifat egois yang berpusat pada kemauan laki – laki sehingga

dunia public menjadi dominasi laki – laki.5

Sebagian para feminis mengarapkan agar adanya solusi cepat lewat aksi-

aksi politis. Hal tersebut dihasilkan baik itu oleh kaum perempuan

sendiri, mahasiswa, gerakan HAM ataupun pemerintah. Hal tersebut

diharapkan agar program –program yang dirancang dan dihasilkan oleh

pemerintah diharapkan berpijak pada keadilan gender serta memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya untuk kemajuan perempuan.

Diskriminasi dan Ketertinggalan Perempuan

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan atau perlakuan yang tidak

adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan atau

perlakuan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang diwakili oleh

5 Gadis Arivia, Feminisme : Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas, 2006)

individu yang lebih dominan. Diskriminasi menjadi suatu hal yang

biasa dijumpai dalam masyarakat dan bertumpu pada kecenderungan

manusia untuk membeda - bedakan manusia. Diskriminasi dianggap

sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip “setiap manusia

harus diberi hak dan peluang yang sama” (equal opportunity).

Jika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena

karakteristik gender, ras, agama dan kepercayaan, aliran

politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga

merupakan dasar dari tindakan diskriminasi, jelas hal ini telah

menyalahi prinsip dasar hak manusia. Jadi, diskriminasi secara

singkat, bisa kita simpulkan sebagai perlakuan terhadap orang

atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori

tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi

dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu

secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur,

atau karakteristik yang lain. Dari kedua definisi tersebut maka

dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan

berbeda-beda terhadap manusia.6

Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki atas

kaum perempuan menurut Collins (1975) sebagaimana dikutip oleh

Megawangi (1999: 86) sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam

tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003: ix) perempuan ditempat

kan sebagaithe second human being (manusia kelas dua), yang berada di

bawah superioritas laki-laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk

penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan

untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, ada pembedaan peran

antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih banyak6 Doortje D. Turangan, Karya Ilmiah : Upayah Pemberdayaan Perempuan dan Hak Asasi Manusia, (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 2008)

ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki berada di ranah

publik. Akibat yang paling jelas dari situasi sosial seperti di

atas adalah ter jadinya diskriminasi terhadap perempuan.

Diskriminasi terhadap perempuan diterjemahkan sebagai segala bentuk

pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan atas

dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapus

kan pengakuan atas penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa

mempertimbangkan status mereka, hak asasi mereka, dan

kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya,

hukum, dan lainlain (JP, 2006: 150).

Alison Jagger, seorang feminis, memberi penjelasan ketertindasan

perempuan sebagai berikut7:

1. Perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas.

2. Bahwa ketertindasan perempuan sangat meluas di hampir seluruh

masyarakat manapun.

3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan bentuk yang paling dalam

dan ketertindasan yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat

dihilangkan dengan perubahan - perubahan sosial seperti

penghapusan kelas masyarakat tertentu.

4. Bahwa penindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang

amat sangat terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun

secara kuantitatif, walaupun kesengsaraan tersebut tidak tampak

karena adanya ketertutupan , baik yang dilakukan oleh pihak

penindas maupun tertindas.

7 Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, hlm 100 - 103

5. Bahwa pemahaman penindasan terhadap perempuan pada dasarnya

memberikan model konseptual untuk mengerti bentuk – bentuk lain

penindasan.

Diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan merupakan implikasi dari

ketimpangan gender yang mereka alami. Meskipun di Indonesia memiliki

hukum yang dapat menjamin penegakan hak – hak perempuan, namun

perempuan masih saja menjadi objek dari diskriminasi. Peraturan yang

dibuat oleh pemerintah bak pisau bermata dua yang dapat melukai mereka

dari segala sisi. Banyak peraturan perundang – undangan yang

terindikasi melanggar hak – hak dari perempuan. Pemerintah secara

resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara

perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27.

Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini

berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif

terhadap perempuan. Seperti dalam UU mengenai sistem pengupahan tenaga

kerja perempuan, tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan-perempuan

dianggap lajang sehingga suami dan anak-anak tidak mendapatkan

tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan ini

termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990

tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di

lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri Pertambangan

No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan

No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan

kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri

Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No. 10/1994 tentang

prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas

perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan

daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan

tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin

oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi

bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-

haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi dan menerima

manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.

Kekerasan Terhadap Perempuan

Persoalan yang melekat pada kasus ketimpangan gender adalah kasus

kekerasan. Hal tersebut dilatarbelakangin oleh kondisi perempuan yang

lebih lemah dari kaum laki – laki. Kekerasan dapat dibagi menjadi dua

yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik atau psikis. Hal

tersebut dapat terjadi kepada perempuan dimanapun dan kapanpun. Peta

kekerasan terhadap perempuan dengan segala macam bentuk dan situasi

yang dialami dapat dilihat di tabel dibawah ini :

Relasi

Personal

Relasi Kerja Relasi

Kemasyarakata

n

Situasi Konflik

Bentuk Tekanan

psikologis,

kekerasan

fisik,

pelecehan

seksual,

pemerkosaan,

eksploitasi

ekonomi,

pekerja

keluarga,

Diskriminasi

kerja dalam

ragam

bentuk,

pelecehan

seksual,

pemerkosaan,

penyiksaan

seksual

Pelecehan

seksual,

pemerkosaan,

praktek-

praktek

budaya,

perdagangan

perempuan,

pornografi

Penembakan,

pembunuhan,

penganiayaan,

penculikan,

kerja paksa

pelecehan

seksual,

pemerkosaan,

penyiksaan

seksual,

perbudakan

bentuk-

bentuk

penghalangan

pemenuhan

kebutuhan

seksual,

intimidasi

berbasis gender

Lokasi Rumah

tinggal, dan

tempat lain

yang

memungkinkan

Tempat

kerja, dan

tempat lain

yang

memungkinkan

Komunitas,

tempat umu,

tempat

penampungan

Tempat umum,

markas tentara,

rumah korban,

tempat

pengungsianPelaku Anggota

keluarga,

mantan suami

/ pacar

Majikan,

mandor,

sesama

pekerja

Warga

masyarakat

Tentara, sipil

bersenjata,

orang yang

memiliki

hubungan relasiKorban Istri, anak

perempuan

Pekerja

wanita

Perempuan

dewasa,

perempuan

dibawah umur,

anak jalanan

Perempuan

sipil,

perempuan

pengungsi,

perempuan

tahananSumber : Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia, 2012) hlm. 197

Dapat dilihat bahwa banyak bentuk kekerasan yang dialami oleh

perempuan karena perbedaan yang mereka miliki oleh laki-laki.

Perempuan dinilai lemah dan laki – laki lebih kuat.

Perempuan , Agama, Politik dan Budaya

Agama, politik dan budaya, ketiganya memiliki kaitan terhadap

diskriminasi perempuan, dimana dalam agama dan budaya mengatur tentang

hal – hal yang harus dilaksanakan dan yang tidak dilaksanakan, serta

batasan – batasan yang harus dipatuhi. Sedangkan politik merupakan

aspek yang didalamnya memiliki kaitan terhadap hak – hak perempuan.

Apa kaitanya agama dengan perempuan ? Agama mengatur hal – hal yang

baik dan buruk yang harus dilakukan serta yang dilarang. Dalam agama

mengatur tentang kodrat laki – laki yang lebih tinggi sebagai iman

dalam keluarga. Selain itu dalam kebudayaan, yaitu adat istiadat,

kondisi sosial perempuan Indonesia sebagian besar diselubungi oleh

budaya patriarki yang dianut kebanyakan etnik di Indonesia. Banyak

adat istiadat yang mendiskriminasi kaum perempuan contohnya adalah

dalam kebanyakan etnis di Indonesia yang menggunakan mas kawin dalam

pernikahan. Hal tersebut disimbolkan sebagai bentuk jual beli yang

dilakukan oleh pengantin laki – laki dengan keluarga pengantin

perempuan. Dalam pembagian warisan, kebanyakan adat di Indonesia

menganut sistem pembagian waris terhadap keturunan laki – laki dan

masih banyak adat – adat yang mengenyampingkan kehadiran perempuan

sebagai sosok yang sama statusnya dengan kaum laki-laki.

Dalam politik di Indonesia, masih adanya tindak diskriminasi yaitu

sedikitnya perwakilan kaum perempuan dalam kancah perpolitikan di

Indonesia. Meskipun Indonesia pernah dikepalai oleh seorang wanita,

hal tersebut tak membawa angina segar dalam kesetaraan gender di dalam

perpolitikan Indonesia. Selain itu terdapat berbagai bentuk peraturan

baik undang - undang maupun peraturan yang menjadi bias dan

mendiskriminasi kaum perempuan.

Contoh Pasal - Pasal yang Bermasalah dalam Kebijakan Publik di

Indonesia

Kebijakan TemaUU Nomor 62 tahun 1958 tentang

Kewarganegaraan

Memberikan jaminan hak yang sama

bagi laki – laki dan perempuan

untuk memperoleh dan

mempertahankan kewarganegaraan.

Tapi Undang – undang

kewarganegaraan tersebut masih

memberlakukan asas kesatuan dalam

kewarganegaraan (one person in the law

doctrine) yakni bahwa suami atau

bapaklah yang menentukan

kewarganegaraan anaknya (pasal 1c,

d, dan e)Pasal 31 dan 34 UU nomor 1 tahun

1974

Tentang perkawinan yang

mengukuhkan pembakuan peran atara

perempuan dan laki – laki, dengan

menyatakan suami sebagai kepala

keluarga dan wajib memberi nafkah

kepada istri dan keluarganya,

sedangkan istri adalah ibu rumah

tangga yang wajib mengurusi rumah

tangga dengan sebaik – baiknya.

Akibatnya, perempuan dan laki –

laki mempunyai akses dan control

yang berbeda terhadap sumber daya

ekomomi, sosial dan politik.PP 45 Tahun 1990 PP ini telah mendiskriminasikan

perempuan yang menjadi istri kedua

untuk mengundurkan diri dari

pekerjaanya, sedangkan laki – laki

yang berpoligami tidak mendapatkan

sanksi apapun.UU nomor 23 Tahun 1992 Satu – satunya undang – undang

yang mengatur tentang kesehatan

adalah UU No. 23 tahun 1992. Jika

dilihat dari sudut hak – hak

perempuan, UU ini banyak

memberikan perhatian pada masalah

pengaturan jarak kelahiran (pasal

13) dan kesehatan ibu hamil (pasal

14). Pasal UU 15 kesehatan

memberikan kemungkinan

dilakukannya tindak tertentu untuk

menyelamatkan ibu dan anaknya.

Pada pasal 15 memberikan syarat

kepada penanganan medis bahwa yang

untuk melakukan penanganan harus

mendapatkan persetujuan dari suami

ataupun orang tua dan rekomendasi

dari dua orang ahli lainnya.

Dengan demikiam dapat dikatakan

bahwa perempuan dalah kondisi

tersebut tidak memiliki hak atau

kontrol atas tubuhnya sendiri.UU nomor 5 tahun 1997 Adanya ketentuan larangan kerja

malam untuk perempuan disebabkan

karena digunakannua pendekatan

protektif – regulative, yang

didasarkan pada asumsi peran

gender, terutama untu melindungi

fungsi reproduksi perempuan. UU

tersebut bahkan menegaskan dalam

penjelasannya bahwa larangan ini

diberlakukan karena malam hari

merupakan waktu permpuan untuk

keluarganya.Pasal 285 KUHP Pasal 285 KUHP tentang perkosaan

hanya menghukum pelaku yang

melakukan perkosaan terhadap

perempuan yang bukan istri nya.

Ini berarti hukum tidak memberikan

proteksi kepada perempuan yang

mengalami kekerasan seksual dari

suaminya. Dengan kata laim, pasal

285 KHUP mendiskriminasi perempuan

berdasarkan status perkawinannya.

Di samping itu, pengertian

kekerasan sangat sempit yang hanya

terbatas pada kekerasan fisik dan

proses pembuktian dalam kenyataan

juga tidak berpihak atau

melindungi korbanSumber : Sumber : Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 194

GADIS (Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi) sebagai Solidaritas Gender

Gerakan perempuan di Indonesia muncul karena ketidakpuasan yang

dialami oleh perempuan Indonesia terhadap kondisi sosial perempuan

saat ini. Perempuan masih dijadikan nomor dua meskipun regulasi

tentang kesetaraan gender telah diusung sejak lama. Meski dunia telah

memperingati hari perempuan sedunia hampir selama seabad ini. Hadirnya

lembaga pemberdayaan perempuan dan lembaga – lembaga lainnya yang

mengedepankan hak dan suara perempuan, namun masih saja terjadi kasus

tindak diskriminasi dan kekerasan. Naasnya kejadiaan tersebut

seharusnya sudah tidak ada lahi karena pemerintah Indonesia

meratifikasi CEDAW (Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against

Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984 sehingga seharusnya pemerintah

memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan, melindungi, dan memenuhi

hak – hak perempuan. Hingga tahun 2010, Indonesia memiliki sekitar 156

perda – perdes diskriminatif dan UU yang bias yang tadi sudah dibahas

sedikit pada kajian Perempuan , Agama, Politik dan Budaya. Perda dan

perdes yang diskriminatif tersebut mencakup aturan berpakaian bagi

perempuan , larangan keluar malam, kriminalisasi PSK, pornografi dan

aturan – aturan lain yang bukan hanya mengancam dan mengintimidasi

perempuan tetapi juga mendiskriminasi perempuan sehingga timpangnya

kesetaraam gender dengan kaum laki – laki.

Dengan kasus diskriminasi terhadap perempuan tersebut dan berbagai

kasus pelanggaran terhadap hak dan suara perempuan, hal tersebut

menjadi ransangan terhadap kaum organisasi maupun non organisasi

perempuan untuk mencanangkan suatu gerakan sebagai bentuk dari

solidaritas kaum perempuan. Hal tersebut terjadi di berbagai wilayah

yang tersebar di Indonesia. Gerakan solidaritas tersebut juga

diprakarsai karena adanya tindak kekerasan dan diskriminasi yang

terjadi akhir - akhir ini di Indonesia yang mengatas namakan agama

dan budaya. Negara seolah – olah tidak mampu dalam menangani kelompok

– kelompok yang mengatas namakan agama dalam menegakan kaidah – kaidah

mereka dengan menggunakan kekerasan dan mengintiminasi kaum minoritas

dan kaum perempuan. Untuk itu solidaritas perempuan dalam rangkaian

Kampanye Gerakan Anti Diskriminasi (GADIS) yang konsern terhadap

perjuangan – perjuangan hak dan suara kaum perempuan dalam kesetaraan

gender, keadilan, dan kemanusiaan. Oleh sebab itu gerakan yang

dilaksanakan pada 8 Maret 2011 dari Patung Kuda Medan Merdeka Barat

sampai di depan Istana Negara menuntu beberapa pokok sebagai berikut :

1. Mencabut semua peraturan atau kebijakan yang mendiskriminasi dan

mengkriminalisasi perempuan termasuk SKB 3 Mentri No. 3 Tahun

2008.

2. Memastikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) memenuhi unsur

pemenuhan hak – hak konstirusi perempuan dan kelompok minoritas.

3. Memberentikan pemproduksian peraturan diskriminatif terhadap

perempuan karena bertentangan dengan Undang – Undang Dasar

1945 , UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi

Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No, 39 tahun 1999

tentang HAM , dan UU No . 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi

Konvensi Anti Penyiksaan.

4. Memastikan bahwa negara memberikan perlindungan atas jebebasan

dan ruang gerak, serta terhindar dari segala jenis dan bentuk

ancaman sebagai wujud perlindungan hak konstitusi sebagai

perempuan, sebagai kelompol minoritas, dan sebagai warga negara

Indonesia.

Dengan adanya Kampanye Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi (GADIS)

tersebut, dapat dikatakan bahwa gerakan yang dilakukan perempuan masih

berjalan sampai saat ini. Kampanya tersebut dapat dikatakan sebuh

gerakan karena merupakan bentuk dari aksi kolektif dengan orientasi

konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu,

dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh

aktor - aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitias kolektif

yang kuat melebihi bentuk - bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye

bersama. Kampanye tersebut terjadi karena adanya kesamaan kondisi dan

memiliki kesamaan tujuan terhadap gerakan tersebut.

Menurut sudut pandang Psikologis, teori ketidakpuasan (discontent theory)

berpandangan bahwa akar dari gerakan terletak pada perasaan

ketidakpuasan. Solidaritas perempuan tersebut merasa kondisi sosial

perempuan sangan tertindas yang menjadikan mereka tidak puas. Terdapat

bayak ragam ketidakpuasan, mulai dari luapan emosional kaum perempuan

yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan. Sedangkan dalam sudut

pandang sosiologi, menurut teori Deprivasi Relatif menunjukan bahwa

kaum perempuan merasa kecewa karena adanya kesenjangan anatara harapan

dan kenyataan. Dalam orientasi dari gerakan “GADIS” kita dapat melihat

bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan yang menitikan pada orientasi

nilai, yaitu merubah nilai budaya, norma dan sistem kepercayaan. Hal

tersebut dilakukan dengan penggalangan kampanya tersebut.

Sumber : www.google.com

Kesimpulan

Sejarah panjang gerakan perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa

perempuan telah memberiwarna tersendiri bagi pembelajaran

demokratisasi di Indonesia. Namun meskipun perjalanan bangsa

Indonesia telah panjang dan perempuan memberikan kontribusi yang

banyak, status kesetaraan gender belum dirasakan oleh perempuan

Indonesia. Banyak tindak diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan

mengatas namakan agama dan etnik. Kedudukan kaum perempuan dalam

kehidupan sosial diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan

lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki – laki. Munculnya gerakan

perempuan adalah dalam memperjuangkan hak dan suara bagi kaum

perempuan yang diselimuti oleh kabut budaya dan agama yang sebagian

besar membuat kesetaraan gender menjadi timpang. Gerakan perempuan di

Indonesia telah muncul sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sampai saat

ini. Dengan demikian para kaum perempuan yang melakukan pergerakan

tersebut dapat dikatakan tidak puas dan merasa kecewa akan kondisi

sosialnya sampai saat ini. Gerakan tersebut muncul karena kesenjangan

antara harapan dan kenyataan yang mereka alami.

Daftar Pustaka

De Beauvoir. Simone. The Second Sex Kehidupan Perempuan, diterjemahkan oleh

Toni B. Febrianton., dkk. Jakarta: Pustaka Prometea, 2003.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda. Jakarta : Mizan, 1999.

Jurnal Perempuan, 2003.

Arivia, Gadis. Feminisme : Sebuah Kata Hat. Jakarta : Kompas, 2006.

Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2012.

Vreede, Cora – De Stuers. Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian.

Jakarta : Komunitas Bambu, 2008.

http://www.google.com