untitled - kementerian pemberdayaan perempuan dan
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
Tim Penyusun Pembina Prof. DR. Yohana Susana Yembise, Dip.Apling, MA Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Penanggungjawab dr. Heru Prasetyo Kasidi, MSc Deputi Kesetaraan Gender Pengarah Materi: Dr. A. Darsono Sudibyo Asdep Kesetaraan Gender bidang Politik, Hukum dan Hankam Tim Penyusun Modul : Pakar/Ahli dibidangnya dari Lembaga Kajian dan Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (LKPPM). Koordinator : Dr. Abdul Aziz SR Angota Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat Rosa Yulianty, SH Dr. Nurdin Kontributor : 1. Komisi Pemilihan Umum (KPU): Ida Budiati, SH, MH 2. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu): Prof. Dr. Muhamad 3. Kepala Daerah yang terpilih Tahun 2015
-‐ Bupati Klaten; Ibu Hj. Sri Hartini, SE -‐ Bupati Luwu Utara, Ibu Hj. Indah Putri Indriyani, S.IP, Msi -‐ Bupati Jember, Ibu Hj. dr. Faida, MMR -‐ Bupati Karawang, dr. Cellica Nurrachdiana -‐ Wakil Bupati Klaten; Ibu Hj. Sri Mulyani
4. Calon Kepala Daerah pada Pemilihan Tahun 2015 -‐ Kabupaten Sleman, Ibu Yuni Satia Rahayu -‐ Kabupaten Gowa, Ibu Hj. Tenri Olle Yasin Limpo, SH, M.Si -‐ Kabupaten Jember, Ibu Nurlaila
-‐ Kabupaten Wonosobo, Ibu Maya Rosida 5. Pimpinan Organisasi Perempuan tingkat Pusat
-‐ Lembaga Ta’lif Wan Nashr Nahdaltul Ulama (LTN -‐ NU) -‐ Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI)) -‐ Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)
-‐ Kaukus Perempuan Partai Politik (KPPI) -‐ Kaukus Perempuan Parlemen (KPPRI) -‐ Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)
6. Direktorat Politik Dalam Negeri, Ditjen Polpum, Kementerian Dalam Negeri, RI. 7. Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI.
8. Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI. 9. Akademisi :
-‐ Universitas Indonesia (UI) -‐ Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ) -‐ Institute STIAMI) -‐ Universitas Terbuka
Pendukung Teknis 1. Agam Bekti Nugraha 2. Margaret Robin Korwa, SH, MH 3. Sardi Sumbayak, BA
Pendukung Administrasi
1. Thomas Rizal 2. Marlinah
*****
Tim Penyusun Pembina Prof. DR. Yohana Susana Yembise, Dip.Apling, MA Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Penanggungjawab dr. Heru Prasetyo Kasidi, MSc Deputi Kesetaraan Gender Pengarah Materi: Dr. A. Darsono Sudibyo Asdep Kesetaraan Gender bidang Politik, Hukum dan Hankam Tim Penyusun Modul : Pakar/Ahli dibidangnya dari Lembaga Kajian dan Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (LKPPM). Koordinator : Dr. Abdul Aziz SR Angota : Dr. Margareta Hanita Kurniawati Hastuti Dewi, PhD, Dr. Hanief Shaha Gafur Ahmad Ubaidilah, PhD Kiki Luthfillah, (Kandidat doktor) Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat Syafuan Rozi, MSi Rosa Yulianty, SH Dr. Nurdin Kontributor : 1. Komisi Pemilihan Umum (KPU): Ida Budiati, SH, MH 2. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu): Prof. Dr. Muhamad 3. Kepala Daerah yang terpilih Tahun 2015
-‐ Bupati Klaten; Ibu Hj. Sri Hartini, SE -‐ Bupati Luwu Utara, Ibu Hj. Indah Putri Indriyani, S.IP, Msi -‐ Bupati Jember, Ibu Hj. dr. Faida, MMR -‐ Bupati Karawang, dr. Cellica Nurrachdiana -‐ Wakil Bupati Klaten; Ibu Hj. Sri Mulyani
4. Calon Kepala Daerah pada Pemilihan Tahun 2015 -‐ Kabupaten Sleman, Ibu Yuni Satia Rahayu -‐ Kabupaten Gowa, Ibu Hj. Tenri Olle Yasin Limpo, SH, M.Si -‐ Kabupaten Jember, Ibu Nurlaila
-‐ Kabupaten Wonosobo, Ibu Maya Rosida 5. Pimpinan Organisasi Perempuan tingkat Pusat
-‐ Lembaga Ta’lif Wan Nashr Nahdaltul Ulama (LTN -‐ NU) -‐ Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI)) -‐ Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)
-‐ Kaukus Perempuan Partai Politik (KPPI) -‐ Kaukus Perempuan Parlemen (KPPRI) -‐ Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)
6. Direktorat Politik Dalam Negeri, Ditjen Polpum, Kementerian Dalam Negeri, RI. 7. Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. 8. Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI. 9. Akademisi :
-‐ Universitas Indonesia (UI) -‐ Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ) -‐ Institute STIAMI) -‐ Universitas Terbuka
Pendukung Teknis 1. Agam Bekti Nugraha 2. Margaret Robin Korwa, SH, MH 3. Sardi Sumbayak, BA
Pendukung Administrasi
1. Thomas Rizal 2. Marlinah
*****
3.
7
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 15, JAKARTA 10110,
Telepon (021) 3842638, 3805562 FAXIMILE (021) 3805559, 3805562 Situs www.menegpp.go.id
PENGANTAR
Puja dan puji syukur senantia kami persembahkan kepada Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, cq Deputi Kesetaraan Gender bekerjasama
dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat (LKPPM) dapat
menyusun Modul Penguatan Kapasitas Perempuan Potensial Bakal Calon Kepala
Daerah. Penyusunan modul ini adalah bagian dari upaya dan langkah strategis
Deputi Kesetaraan Gender untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan
yang dihadapi oleh perempuan untuk menjadi pimpinan di daerahnya.
Penyusunan modul ini melalui proses yang cukup menyita waktu, komitmen
yang kuat serta konsentrasi pemikiran yang serius oleh para penyusun modul dan
melibatkan berbagai pihak seperti:i Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Pemilu, Badan Pusat Statistik, dan Ahli Personal Branding serta Kementerian PP-PA.
Melakukan wawancara khusus dengan Perempuan Calon Kepala Daerah yang kalah
dan yang menang pada Pilkada serentak tahun 2015. Pada setiap Forum Group
Disscussion (FGD), penyusunan modul melibatkan perempuan kader partai politik,
perempuan pimpinan Ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat, mantan anggota DPR
dan DPRD serta akademisi. Oleh sebab itu, penyusunan modul ini merupakan hasil
pemikiran transformatif dari berbagai pihak yang disusun secara sistematik oleh
para pakar/ahli dibidangnya sehingga memiliki tingkat keakuratan dan validitas
yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
Modul ini adalah panduan untuk melakukan pendidikan politik guna
membangun kualitas para tokoh perempuan yang potensial siap maju menjadi
bakal calon kepala daerah. Oleh sebab itu, peserta akan dilatih oleh fasilitator yang
ahli dibidangnya masing-masing. Dari pelatihan ini diharapkan dapat diperoleh
pengetahuan yang komprehensif yang dapat menjadi bekal dalam menyiapkan diri
bersaing untuk meraih kemenangan pada pemilihan kepala daerah.
6 7
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 15, JAKARTA 10110,
Telepon (021) 3842638, 3805562 FAXIMILE (021) 3805559, 3805562 Situs www.menegpp.go.id
PENGANTAR
Puja dan puji syukur senantia kami persembahkan kepada Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, cq Deputi Kesetaraan Gender bekerjasama
dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat (LKPPM) dapat
menyusun Modul Penguatan Kapasitas Perempuan Potensial Bakal Calon Kepala
Daerah. Penyusunan modul ini adalah bagian dari upaya dan langkah strategis
Deputi Kesetaraan Gender untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan
yang dihadapi oleh perempuan untuk menjadi pimpinan di daerahnya.
Penyusunan modul ini melalui proses yang cukup menyita waktu, komitmen
yang kuat serta konsentrasi pemikiran yang serius oleh para penyusun modul dan
melibatkan berbagai pihak seperti:i Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Pemilu, Badan Pusat Statistik, dan Ahli Personal Branding serta Kementerian PP-PA.
Melakukan wawancara khusus dengan Perempuan Calon Kepala Daerah yang kalah
dan yang menang pada Pilkada serentak tahun 2015. Pada setiap Forum Group
Disscussion (FGD), penyusunan modul melibatkan perempuan kader partai politik,
perempuan pimpinan Ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat, mantan anggota DPR
dan DPRD serta akademisi. Oleh sebab itu, penyusunan modul ini merupakan hasil
pemikiran transformatif dari berbagai pihak yang disusun secara sistematik oleh
para pakar/ahli dibidangnya sehingga memiliki tingkat keakuratan dan validitas
yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
Modul ini adalah panduan untuk melakukan pendidikan politik guna
membangun kualitas para tokoh perempuan yang potensial siap maju menjadi
bakal calon kepala daerah. Oleh sebab itu, peserta akan dilatih oleh fasilitator yang
ahli dibidangnya masing-masing. Dari pelatihan ini diharapkan dapat diperoleh
pengetahuan yang komprehensif yang dapat menjadi bekal dalam menyiapkan diri
bersaing untuk meraih kemenangan pada pemilihan kepala daerah.
9
Namun demikian, kami mengharapkan masukan pemikiran, kritik dan
sarannya untuk perbaikan modul dan penyusunannya. Kami mengucapkan
terimakasih kepada pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan modul
dan secara khusus kepada para Pakar Lembaga Kajian dan Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (LKPPM) yang memfasilitasi penyusunan modul Penguatan
Kapasitas Perempuan Potensial Calon Kepala Daerah.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menerima amal ibadah yang
terlibat dalam penyusunan modul ini. Terimakasih.
Deputi Kesetaraan Gender,
Heru Prasetyo Kasidi
Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat – LKPPM
PRAWACANA
Ketika aku menjadi perempuan pertama yang menjadi Walikota San Fransico, aku sadar bahwa aku selalu diuji – oleh pers, oleh bawahan, oleh kepala departemen. ...
Jelaslah, lebih sulit bagi perempuan untuk berhasil dalam dunia politik dibandingkan laki-laki. Perempuan harus selalu membuktikan bahwa mereka pantas dan bisa
diandalkan. (Dianne Feinstein, 1992).
ALHAMDULILLAH, modul pelatihan ini telah dapat diselesaikan dengan baik sesuai jadwal yang ditentukan. Oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, modul ini secara resmi diberi label Modul/Panduan Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Potensial Bakal Calon Kepala Daerah.
Modul ini lahir berkat kerjasama yang baik dan menyenangkan antara Deputi Kesetaraan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (cq. Asisten Deputi Kesetaraan Gender Bidang Politik Hukum dan Hankam) dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat (LKPPM). Kementerian PP&PA memfasilitasi penyusunan modul dengan arahan substansi yang cermat dan profesional dan sementara LKPPM menyiapkan para pakar politik, gender, dan statistik. Juga melibatkan berbagai kalangan lainnya dalam pembahasan draft-draft modul dalam lima kali putaran focused grup discussion.
Terdapat sembilam materi yang menjadi menu dalam modul ini, yaitu: [i] Keutamaan Kepemimpinan Perempuan dalam Politik di Indonesia; [ii] Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Agama dan Sosial Budaya; [iii] Strategi Pencalonan Perempuan dalam Pilkada; [iv] Strategi Perolehan Suara Perempuan Calon Kepala Daerah pada Pilkada; [v] Perempuan dan Personal Branding dalam Pilkada; [vi] Strategi Kampanye dalam Pilkada; [vii] Mengawal Suara dalam Pilkada; [viii] Transformasi Konflik di Daerah; dan [ix] Perempuan Kepala Daerah dan Kebijakan Publik yang Responsif Gender.
Materi pertama “Keutamaan Kepemimpinan Perempuan dalam Politik di Indonesia” berusaha menjelaskan dan menyajikan hakikat kepemimpinan, potret perempuan dalam politik, dan soal pentingnya kepemimpinan perempuan dalam panggung politik dan kekuasaan di Indonesia. Materi dalam modul ini, perempuan potensial bakal calon kepala daerah diharapkan memiliki pemahaman betapa perempuan
ttd
8 9
Namun demikian, kami mengharapkan masukan pemikiran, kritik dan
sarannya untuk perbaikan modul dan penyusunannya. Kami mengucapkan
terimakasih kepada pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan modul
dan secara khusus kepada para Pakar Lembaga Kajian dan Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (LKPPM) yang memfasilitasi penyusunan modul Penguatan
Kapasitas Perempuan Potensial Calon Kepala Daerah.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menerima amal ibadah yang
terlibat dalam penyusunan modul ini. Terimakasih.
Deputi Kesetaraan Gender,
Dr. Heru Prasetyo Kasidi, MSc.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat – LKPPM
PRAWACANA
Ketika aku menjadi perempuan pertama yang menjadi Walikota San Fransico, aku sadar bahwa aku selalu diuji – oleh pers, oleh bawahan, oleh kepala departemen. ...
Jelaslah, lebih sulit bagi perempuan untuk berhasil dalam dunia politik dibandingkan laki-laki. Perempuan harus selalu membuktikan bahwa mereka pantas dan bisa
diandalkan. (Dianne Feinstein, 1992).
ALHAMDULILLAH, modul pelatihan ini telah dapat diselesaikan dengan baik sesuai jadwal yang ditentukan. Oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, modul ini secara resmi diberi label Modul/Panduan Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Potensial Bakal Calon Kepala Daerah.
Modul ini lahir berkat kerjasama yang baik dan menyenangkan antara Deputi Kesetaraan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (cq. Asisten Deputi Kesetaraan Gender Bidang Politik Hukum dan Hankam) dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat (LKPPM). Kementerian PP&PA memfasilitasi penyusunan modul dengan arahan substansi yang cermat dan profesional dan sementara LKPPM menyiapkan para pakar politik, gender, dan statistik. Juga melibatkan berbagai kalangan lainnya dalam pembahasan draft-draft modul dalam lima kali putaran focused grup discussion.
Terdapat sembilam materi yang menjadi menu dalam modul ini, yaitu: [i] Keutamaan Kepemimpinan Perempuan dalam Politik di Indonesia; [ii] Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Agama dan Sosial Budaya; [iii] Strategi Pencalonan Perempuan dalam Pilkada; [iv] Strategi Perolehan Suara Perempuan Calon Kepala Daerah pada Pilkada; [v] Perempuan dan Personal Branding dalam Pilkada; [vi] Strategi Kampanye dalam Pilkada; [vii] Mengawal Suara dalam Pilkada; [viii] Transformasi Konflik di Daerah; dan [ix] Perempuan Kepala Daerah dan Kebijakan Publik yang Responsif Gender.
Materi pertama “Keutamaan Kepemimpinan Perempuan dalam Politik di Indonesia” berusaha menjelaskan dan menyajikan hakikat kepemimpinan, potret perempuan dalam politik, dan soal pentingnya kepemimpinan perempuan dalam panggung politik dan kekuasaan di Indonesia. Materi dalam modul ini, perempuan potensial bakal calon kepala daerah diharapkan memiliki pemahaman betapa perempuan
8
11
memeta potensi konflik di daerahnya berikut kemampuan mengelola dan melakukan transformasi terhadap konflik-konflik yang terjadi. Materi transformasi konflik berusaha mengantar perempuan-perempuan potensial bakal calon kepala untuk memahami hal itu.
Materi kesembilan “Perempuan Kepala Daerah dan Kebijakan Publik yang Responsif Gender”. Salah satu tugas penting seorang kepala daerah terpilih adalah menyusun kebijakan pembangunan daerah. Salah satu acuan dalam menyusun kebijakan itu adalah visi-misi yang ditawarkannya ketika masa kampanye. Kebijakan yang disusun harus dipastikan responsif gender, dan itu harus tercermin sebelumnya di dalam visi-misi di samping yang ditetapkan secara top down dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJM/P) Nasional. Bagaimana menyusun kebijakan responsif gender, prinsip-prinsip apa saja yang ada di dalamnya, mencakup aspek-aspek apa saja, dan bagaimana strategi impelementasinya? Materi kesembilan ini berusaha menyajikan dengan baik hal-hal tersebut.
LKPPM berterima kasih kepada Kementerian PP&PA, khususnya Deputi Kesetaraan Gender serta Asisten Deputi Kesetaraan Gender Bidang Politik Hukum dan Hankam yang berkenan memberi amanah kepada LKPPM untuk menyiapkan, menyusun dan mensistematisasi modul pelatihan ini. Terima kasih pula kepada teman-teman pakar yang telah bersedia meluang waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyusun materi-materi dalam modul ini.
Sangat disadari modul ini masih memiliki kekurangan-kekurangan, dan kami terbuka menerima kritik dan saran untuk penyempurnaannya di masa-masa mendatang. Semoga modul ini memberi manfaat.
Jakarta, Juni 2016
Direktur Eksekutif LKPPM
Selaku Koordinator Tim Penyusun
Dr. Abdul Aziz SR
Indonesia harus tampil dan mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan kekuasaan dan mengelola pembangunan daerah.
Materi kedua “Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Agama dan Sosial Budaya” berusaha menjelaskan bagaimana agama-agama (yang dianut di negeri ini) memandang dan memberi posisi kepada perempuan dalam dunia politik, juga bagaimana eksistensi perempuan Indonesia di arena politik dari sudut pandang sosial budaya yang beragam.
Materi ketiga “Strategi Pencalonan Perempuan dalam Pilkada” berusaha menjelaskan bagaimana perempuan potensial di daerah menjadi figur yang patut diperhitungkan oleh partai politik dalam menentukan kandidat kepala daerah. Dengan materi ini, perempuan potensial itu dibekali pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan peluang yang diberikan regulasi berikut bagaimana mendefinisikan dan memosisikan diri sebagai figur penting dan memiliki kapasitas sehingga dinilai layak dicalonkan oleh partai politik dalam pilkada.
Materi keempat “Strategi Perolehan Suara Perempuan Calon Kepala Daerah pada Pilkada”. Ini penting, sebab betapapun perempuan potensial, berhasil menjadi calon kepala daerah, mereka tentu masih perlu berjuang dengan cerdas bagaimana strategi mengumpulkan suara minimal untuk bisa menang di pilkada. Materi ini berusaha memberikan pemahaman dan tips-tips mengenai hal itu.
Materi kelima “Perempuan dan Personal Branding dalam Pilkada. Memiliki potensi dan kapasitas diri saja dalam kontestasi politik seperti pilkada tidaklah cukup. Perlu ada upaya-upaya yang sah dan wajar untuk menyatakan kapada partai politik dan publik luas bahwa “saya bisa dan berbeda dengan yang lain. Saya layak pilih dan mampu menjadi pemimpin yang membawa kemajuan”. Perlu strategi mencitrakan diri secara cerdik ke publik sebagai figur perempuan pemimpin yang hebat dan amanah. Materi personal branding sangat membantu untuk itu.
Materi keenam “Strategi Kampanye dalam Pilkada”. Kampanye merupakan salah satu bagian penting dalam kontestasi politik seperti pilkada. Ia (kampanye) mesti dirancang dengan baik dan tepat jika ingin mendapat dukungan besar pemilih dalam kontestasi. Strategi kampanye kandidat menjadi faktor penting dalam meraih simpati publik dan dukungan pemilih. Menyadari hal itu, modul ini turut menyajikan materi tersendiri soal strategi kampanye dalam pilkada.
Materi ketujuh “Mengawal Suara dalam Pilkada”, ini tidak kalah pentingnya. Bagi para kandidat, ini kerja “terakhir” dari serangkaian proses dalam pilkada. Setiap suara yang diperoleh harus dijaga dan dikawal dengan ketat hingga ke tingkat penetapan hasil pilkada. Satu suara sangat berharga dan tidak boleh berpindah tangan. Bagaimana strategi mengawal suara dalam pilkda? Materi ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
Materi kedelapan “Transformasi Konflik di Daerah”. Potensi konflik di daerah sangat besar seiring dengan pluralitas masyarakat serta bertali-temalinya berbagai macam kepentingan, dan sewaktu-waktu dapat meledak. Perempuan potensial bakal calon kepala daerah – terlebih lagi jika mereka terpilih sebagai kepala daerah – perlu memiliki pemahaman yang kuat mengenai hal itu. Mereka perlu memiliki kemampuan dalam
11
10
memeta potensi konflik di daerahnya berikut kemampuan mengelola dan melakukan transformasi terhadap konflik-konflik yang terjadi. Materi transformasi konflik berusaha mengantar perempuan-perempuan potensial bakal calon kepala untuk memahami hal itu.
Materi kesembilan “Perempuan Kepala Daerah dan Kebijakan Publik yang Responsif Gender”. Salah satu tugas penting seorang kepala daerah terpilih adalah menyusun kebijakan pembangunan daerah. Salah satu acuan dalam menyusun kebijakan itu adalah visi-misi yang ditawarkannya ketika masa kampanye. Kebijakan yang disusun harus dipastikan responsif gender, dan itu harus tercermin sebelumnya di dalam visi-misi di samping yang ditetapkan secara top down dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJM/P) Nasional. Bagaimana menyusun kebijakan responsif gender, prinsip-prinsip apa saja yang ada di dalamnya, mencakup aspek-aspek apa saja, dan bagaimana strategi impelementasinya? Materi kesembilan ini berusaha menyajikan dengan baik hal-hal tersebut.
LKPPM berterima kasih kepada Kementerian PP&PA, khususnya Deputi Kesetaraan Gender serta Asisten Deputi Kesetaraan Gender Bidang Politik Hukum dan Hankam yang berkenan memberi amanah kepada LKPPM untuk menyiapkan, menyusun dan mensistematisasi modul pelatihan ini. Terima kasih pula kepada teman-teman pakar yang telah bersedia meluang waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyusun materi-materi dalam modul ini.
Sangat disadari modul ini masih memiliki kekurangan-kekurangan, dan kami terbuka menerima kritik dan saran untuk penyempurnaannya di masa-masa mendatang. Semoga modul ini memberi manfaat.
Jakarta, Juni 2016
Direktur Eksekutif LKPPM
Selaku Koordinator Tim Penyusun
Dr. Abdul Aziz SR
Indonesia harus tampil dan mengambil peran lebih besar dalam mengendalikan kekuasaan dan mengelola pembangunan daerah.
Materi kedua “Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Agama dan Sosial Budaya” berusaha menjelaskan bagaimana agama-agama (yang dianut di negeri ini) memandang dan memberi posisi kepada perempuan dalam dunia politik, juga bagaimana eksistensi perempuan Indonesia di arena politik dari sudut pandang sosial budaya yang beragam.
Materi ketiga “Strategi Pencalonan Perempuan dalam Pilkada” berusaha menjelaskan bagaimana perempuan potensial di daerah menjadi figur yang patut diperhitungkan oleh partai politik dalam menentukan kandidat kepala daerah. Dengan materi ini, perempuan potensial itu dibekali pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan peluang yang diberikan regulasi berikut bagaimana mendefinisikan dan memosisikan diri sebagai figur penting dan memiliki kapasitas sehingga dinilai layak dicalonkan oleh partai politik dalam pilkada.
Materi keempat “Strategi Perolehan Suara Perempuan Calon Kepala Daerah pada Pilkada”. Ini penting, sebab betapapun perempuan potensial, berhasil menjadi calon kepala daerah, mereka tentu masih perlu berjuang dengan cerdas bagaimana strategi mengumpulkan suara minimal untuk bisa menang di pilkada. Materi ini berusaha memberikan pemahaman dan tips-tips mengenai hal itu.
Materi kelima “Perempuan dan Personal Branding dalam Pilkada. Memiliki potensi dan kapasitas diri saja dalam kontestasi politik seperti pilkada tidaklah cukup. Perlu ada upaya-upaya yang sah dan wajar untuk menyatakan kapada partai politik dan publik luas bahwa “saya bisa dan berbeda dengan yang lain. Saya layak pilih dan mampu menjadi pemimpin yang membawa kemajuan”. Perlu strategi mencitrakan diri secara cerdik ke publik sebagai figur perempuan pemimpin yang hebat dan amanah. Materi personal branding sangat membantu untuk itu.
Materi keenam “Strategi Kampanye dalam Pilkada”. Kampanye merupakan salah satu bagian penting dalam kontestasi politik seperti pilkada. Ia (kampanye) mesti dirancang dengan baik dan tepat jika ingin mendapat dukungan besar pemilih dalam kontestasi. Strategi kampanye kandidat menjadi faktor penting dalam meraih simpati publik dan dukungan pemilih. Menyadari hal itu, modul ini turut menyajikan materi tersendiri soal strategi kampanye dalam pilkada.
Materi ketujuh “Mengawal Suara dalam Pilkada”, ini tidak kalah pentingnya. Bagi para kandidat, ini kerja “terakhir” dari serangkaian proses dalam pilkada. Setiap suara yang diperoleh harus dijaga dan dikawal dengan ketat hingga ke tingkat penetapan hasil pilkada. Satu suara sangat berharga dan tidak boleh berpindah tangan. Bagaimana strategi mengawal suara dalam pilkda? Materi ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
Materi kedelapan “Transformasi Konflik di Daerah”. Potensi konflik di daerah sangat besar seiring dengan pluralitas masyarakat serta bertali-temalinya berbagai macam kepentingan, dan sewaktu-waktu dapat meledak. Perempuan potensial bakal calon kepala daerah – terlebih lagi jika mereka terpilih sebagai kepala daerah – perlu memiliki pemahaman yang kuat mengenai hal itu. Mereka perlu memiliki kemampuan dalam
10
ttd
13
Daftar Isi
A. Pendahuluan
B. Data Penduduk, Jumlah dan Perilaku Pemilih di Indonesia
C. Survey dan Persepsi Masyarakat terhadap Politisi Perempuan
D. Menghitung Target Perolehan Suara Minimal untuk Menang pada Pilkada
Daftar Pustaka
Halaman Pengantar
Intisari Kemenangan calon kepala daerah ditentukan
berdasarkan perolehan suara terbanyak yang diberikan
oleh para pemilih kepada para calon kepala daerah.
Modul ini berisi tentang pengetahuan dalam membuat
target perolehan suara perempuan calon kepala daerah.
Memahami seperti apa perilaku pemilih juga
diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mencapai
target perolehan suara tersebut.
Kompetensi Utama Peserta diharapkan dapat memiliki wawasan untuk
lebih memahami seperti apa karakter atau perilaku para
pemilih dan wawasan mengenai perlunya serta
bagaimana membuat estimasi target minimal perolehan
suara untuk menang dalam Pilkada.
Kompetensi Pendukung Pada akhir sesi pembelajaran peserta diharapkan :
1. Mengetahui data apa saja yang diperlukan untuk
membuat target perolehan suara
2. Mampu memahami konsep dan menentukan
perhitungan estimasi target minimal perolehan
suara untuk menang dalam Pilkada di daerahnya
3. Mampu menghitung target minimal sebaran
suara di tiap TPS
16
19
27
36
61
12 15
Daftar Isi
A. Pendahuluan
B. Data Penduduk, Jumlah dan Perilaku Pemilih di Indonesia
C. Politisi Perempuan dan Sarana Survey untuk Mengetahui Persepsi Masyarakat
D. Menghitung Target Perolehan Suara Minimal untuk Menang pada Pilkada
Daftar Pustaka
Halaman Pengantar
Intisari Kemenangan calon kepala daerah ditentukan
berdasarkan perolehan suara terbanyak yang diberikan
oleh para pemilih kepada para calon kepala daerah.
Modul ini berisi tentang pengetahuan dalam membuat
target perolehan suara perempuan calon kepala daerah.
Memahami seperti apa perilaku pemilih juga
diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mencapai
target perolehan suara tersebut.
Kompetensi Utama Peserta diharapkan dapat memiliki wawasan untuk
lebih memahami seperti apa karakter atau perilaku para
pemilih dan wawasan mengenai perlunya serta
bagaimana membuat estimasi target minimal perolehan
suara untuk menang dalam Pilkada.
Kompetensi Pendukung Pada akhir sesi pembelajaran peserta diharapkan :
1. Mengetahui data apa saja yang diperlukan untuk
membuat target perolehan suara
2. Mampu memahami konsep dan menentukan
perhitungan estimasi target minimal perolehan
suara untuk menang dalam Pilkada di daerahnya
3. Mampu menghitung target minimal sebaran
suara di tiap TPS
16 15
A. Pendahuluan
Luasnya wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari
13.000 pulau1, 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota2, jelas tidak mungkin rasanya jika
menyerahkan semua urusan daerah kepada pemerintah pusat. Adanya kebijakan
otonomi daerah bertujuan untuk meringankan tanggung jawab pemerintah pusat dari
persoalan kedaerahan. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerinatah
pusat, harus benar-‐‑benar menunjukkan perannya dalam mengurus wilayahnya masing-‐‑
masing. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 Ayat 3
bahwa tujuan otonomi daerah adalah menjalankan otonomi yang seluas-‐‑luasnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Dengan adanya otonomi, pemerintah daerah berhak untuk mengatur daerahnya
sendiri, memiliki kebebasan dalam meningkatkan pelayanan, dan cepat tanggap akan
kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, diharapkan terciptanya kehidupan berdemokrasi,
pemerataan, dan keadilan, serta mendorong peningkatan pemberdayaan dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Hal yang terpenting adalah mengembangkan peran
dan fungsi DPRD, dengan tetap memelihara hubungan baik antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Dengan demikian, daerah dapat mengalami proses
pemberdayaan yang lebih optimal, sehingga kemampuan prakarsa dan kreativitas
pemerintah daerah akan terpacu, serta dalam mengatasi masalah yang terjadi di
daerahnya dapat semakin kuat.3
Peran dan usaha kepala daerah sangat dibutuhkan dalam rangka mengelola
pemerintahannya agar berbagai kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya dapat
diperhatikan dengan baik. Pemerintah daerah harus benar-‐‑benar berkomitmen
memajukan daerahnya, jika tidak ingin kehilangan kepercayaan masyarakatnya. Dalam
1 Hasil Survey Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010 2 Data dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia 2013 3 “Tujuan Otonomi Daerah dan Manfaatnya Lengkap” http://www.seputarpengetahuan.com/2015/02/ tujuan-otonomi-daerah-dan-manfaatnya.html
hal ini, setiap kepala daerah harus bekerja keras guna meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintahannya. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pemilihan
kepala daerah menjadi titik tolak dari keberhasilan suatu daerah. Artinya kedaulatan di
tangan rakyat dalam proses Pilkada, menjadi penentu untuk mendapatkan sosok
pemimpin kepala daerah yang mampu membawa kemajuan suatu daerah. Pilkada
seakan sebagai penentu arah, akan dibawa ke mana suatu daerah, setidaknya untuk
satu periode ke depan. Salah memilih sosok pemimpin kepala daerah dalam Pilkada,
maka akan menuai kehancuran di daerahnya.
Menurut McQuail (2000: 102) bahwa media massa bertanggung jawab dan
mempunyai peran besar terhadap apa yang disebut kebudayaan massa atau budaya
populer, dan dalam perkembangannya, media massa telah ‘menjajah’ bentuk budaya
lain. Di lain pihak, sebagaimana yang dijelaskan Lasswell (1972) bahwa ilmu politik
adalah ilmu tentang pengaruh dan kekuatan pengaruh.4 Pemberitaan media masa
tentang kinerja para wakil rakyat yang cenderung mengecewakan, telah mendorong
masyarakat menjadi skpetis sehingga sedikit-‐‑banyaknya telah memengaruhi
penurunan partisipasi politk masyarakat dalam ajang Pemilu ataupun Pilkada. Melihat
kecenderungan media masa seperti itu, para bakal calon berpikir keras membuat
strategi bagaimana menghilangkan keraguan masyarakat dan menarik perhatian,
kepercayaan serta dukungan rakyat, agar berhasil memperoleh suara terbanyak dalam
memenangkan Pilkada.
Dibutuhkan strategi dalam memenangkan Pilkada, misalnya mulai dari strategi
pencalonan, menentukan personal branding untuk meningkatkan penerimaan dan
simpati masyarakat, serta strategi kampanye. Meskipun berbagai strategi telah
dipersiapkan dengan baik, namun pada akhirnya, suara rakyatlah yang menentukan
menang tidaknya seorang bakal calon dalam mengumpulkan suara terbanyak.
4Seperti dikutip pada “Peranan Media Massa dalam Kehidupan Sosial dan Politik Indonesia,”
http://www.kompasiana.com/yuhdyanto/peranan-media-massa-dalam-kehidupan-sosial-dan-politik-indonesia_552a36486ea834f649552d3c
14 17
A. Pendahuluan
Luasnya wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari
13.000 pulau1, 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota2, jelas tidak mungkin rasanya jika
menyerahkan semua urusan daerah kepada pemerintah pusat. Adanya kebijakan
otonomi daerah bertujuan untuk meringankan tanggung jawab pemerintah pusat dari
persoalan kedaerahan. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerinatah
pusat, harus benar-‐‑benar menunjukkan perannya dalam mengurus wilayahnya masing-‐‑
masing. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 Ayat 3
bahwa tujuan otonomi daerah adalah menjalankan otonomi yang seluas-‐‑luasnya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Dengan adanya otonomi, pemerintah daerah berhak untuk mengatur daerahnya
sendiri, memiliki kebebasan dalam meningkatkan pelayanan, dan cepat tanggap akan
kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, diharapkan terciptanya kehidupan berdemokrasi,
pemerataan, dan keadilan, serta mendorong peningkatan pemberdayaan dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Hal yang terpenting adalah mengembangkan peran
dan fungsi DPRD, dengan tetap memelihara hubungan baik antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Dengan demikian, daerah dapat mengalami proses
pemberdayaan yang lebih optimal, sehingga kemampuan prakarsa dan kreativitas
pemerintah daerah akan terpacu, serta dalam mengatasi masalah yang terjadi di
daerahnya dapat semakin kuat.3
Peran dan usaha kepala daerah sangat dibutuhkan dalam rangka mengelola
pemerintahannya agar berbagai kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya dapat
diperhatikan dengan baik. Pemerintah daerah harus benar-‐‑benar berkomitmen
memajukan daerahnya, jika tidak ingin kehilangan kepercayaan masyarakatnya. Dalam
1 Hasil Survey Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010 2 Data dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia 2013 3 “Tujuan Otonomi Daerah dan Manfaatnya Lengkap”
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/02/ tujuan-otonomi-daerah-dan-manfaatnya.html
hal ini, setiap kepala daerah harus bekerja keras guna meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintahannya. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pemilihan
kepala daerah menjadi titik tolak dari keberhasilan suatu daerah. Artinya kedaulatan di
tangan rakyat dalam proses Pilkada, menjadi penentu untuk mendapatkan sosok
pemimpin kepala daerah yang mampu membawa kemajuan suatu daerah. Pilkada
seakan sebagai penentu arah, akan dibawa ke mana suatu daerah, setidaknya untuk
satu periode ke depan. Salah memilih sosok pemimpin kepala daerah dalam Pilkada,
maka akan menuai kehancuran di daerahnya.
Menurut McQuail (2000: 102) bahwa media massa bertanggung jawab dan
mempunyai peran besar terhadap apa yang disebut kebudayaan massa atau budaya
populer, dan dalam perkembangannya, media massa telah ‘menjajah’ bentuk budaya
lain. Di lain pihak, sebagaimana yang dijelaskan Lasswell (1972) bahwa ilmu politik
adalah ilmu tentang pengaruh dan kekuatan pengaruh.4 Pemberitaan media masa
tentang kinerja para wakil rakyat yang cenderung mengecewakan, telah mendorong
masyarakat menjadi skpetis sehingga sedikit-‐‑banyaknya telah memengaruhi
penurunan partisipasi politk masyarakat dalam ajang Pemilu ataupun Pilkada. Melihat
kecenderungan media masa seperti itu, para bakal calon berpikir keras membuat
strategi bagaimana menghilangkan keraguan masyarakat dan menarik perhatian,
kepercayaan serta dukungan rakyat, agar berhasil memperoleh suara terbanyak dalam
memenangkan Pilkada.
Dibutuhkan strategi dalam memenangkan Pilkada, misalnya mulai dari strategi
pencalonan, menentukan personal branding untuk meningkatkan penerimaan dan
simpati masyarakat, serta strategi kampanye. Meskipun berbagai strategi telah
dipersiapkan dengan baik, namun pada akhirnya, suara rakyatlah yang menentukan
menang tidaknya seorang bakal calon dalam mengumpulkan suara terbanyak.
4Seperti dikutip pada “Peranan Media Massa dalam Kehidupan Sosial dan Politik Indonesia,” http://www.kompasiana.com/yuhdyanto/peranan-media-massa-dalam-kehidupan-sosial-dan-politik-indonesia_552a36486ea834f649552d3c
18 17
Penentuan personal branding maupun strategi kampanye jika hanya menurut
perspektif calon kepala daerah semata, dan tidak sesuai aspirasi pemilih, maka bisa jadi
segala perisiapan yang telah dilakukan, tidak mendapatkan hasil yang maksimal,
bahkan para pemilih berpaling kepada kandidiat lain. Untuk itu, pentingnya membuat
target minimal perolehan suara dengan memahami karakter umum para pemilih.
Melakukan riset politik merupakan cara yang biasa digunakan untuk memahami
karakter pemilih.
Bagan 1.
Strategi-‐‑Strategi untuk Meraih Kemenangan
S
Menurut Johnson (2001), dalam sebuah sistem Pemilu yang demokratis, riset
politik merupakan unsur penting. Riset bertujuan untuk mengetahui kekuatan-‐‑
kelemahan kompetitor, perilaku pemilih, segmentasi pemilih, peta wilayah, dan faktor
lainnya. Tanpa riset politik, seorang kandidat akan sulit memenangkan persaingan.
Metode riset yang paling populer digunakan adalah metode survey. Adman Nursal
(2004) mengatakan bahwa strategi kampanye politik tanpa riset bagaikan orang buta
Strategi Pencalonan
Personal Branding
Strategi Kampanye
Perilaku Pemilih
Perolehan Suara
Kemenangan dalam
Pemilihan
yang berjalan tanpa tongkat. Dengan demikian, dalam menyusun strategi-‐‑strategi
pemenangan, tidak bisa dilakukan hanya dari satu sudut pandang calon kepala daerah
saja, tetapi juga harus melihat dari sudut pandang pemilih. Mengetahui perilaku
pemilih, setiap bakal calon kepala daerah dapat membuat strategi yang tepat sesuai
karakter pemilih di daerahnya. Strategi yang tepat itulah, sebagai penentu kemenangan
seoarang bakal calon untuk memperoleh suara terbanyak dalam Pilkada, dan
menghantarkannya menjadi kepala daerah yang mendapatkan dukungan legitimasi
dari rakyat.
B. Data Penduduk, Jumlah dan Perilaku Pemilih di Indonesia
Berdasarkan data sensus penduduk pada Mei 2010 yang dilakukan oleh BPS,
jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 238.518.800 jiwa.5 Dari jumlah tersebut, yang
termasuk ke dalam daftar pemilih tetap pada Pemilu 2014 yang lalu sebanyak
186.575.617 pemilih atau sekitar 78% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebesar 49,9%
dari jumlah pemilih tetap di Indonesia, yaitu sebanyak 93.153.933 pemilih berjenis
kelamin perempuan. 6 Ha ini menunjukkan jumlah suara pemilih laki-‐‑laki dan
perempuan hampir berimbang. Namun sayangnya, tidak semua dari daftar pemilih
tersebut yang menggunakan hak suaranya.
Pada Pemilu 2014, tercatat bahwa jumlah pemilih angkatan kaum muda
mencapai 30% dari daftar pemilih tetap.7 Selain itu, keikutsertaan kelompok usia muda
dalam menggunakan hak suaranya relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya.8 Hal ini tentu saja sangat disayangkan apalagi suara potensial
tersebut dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meraup suara guna
5Statistik Indonesia 2015, Katalog BPS: 1101001, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 76. 6Sumber data: kpu.go.id dalam Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat
Statistik, 2015), hlm. 105. 7Data Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti dikutip dari “Pemilih Muda Penentu Kemenangan,”
http://www.dw.de/pemilih-muda-penentu-kemenangan/a-17527983. 8Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat
Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014.
16 19
Penentuan personal branding maupun strategi kampanye jika hanya menurut
perspektif calon kepala daerah semata, dan tidak sesuai aspirasi pemilih, maka bisa jadi
segala perisiapan yang telah dilakukan, tidak mendapatkan hasil yang maksimal,
bahkan para pemilih berpaling kepada kandidiat lain. Untuk itu, pentingnya membuat
target minimal perolehan suara dengan memahami karakter umum para pemilih.
Melakukan riset politik merupakan cara yang biasa digunakan untuk memahami
karakter pemilih.
Bagan 1.
Strategi-‐‑Strategi untuk Meraih Kemenangan
S
Menurut Johnson (2001), dalam sebuah sistem Pemilu yang demokratis, riset
politik merupakan unsur penting. Riset bertujuan untuk mengetahui kekuatan-‐‑
kelemahan kompetitor, perilaku pemilih, segmentasi pemilih, peta wilayah, dan faktor
lainnya. Tanpa riset politik, seorang kandidat akan sulit memenangkan persaingan.
Metode riset yang paling populer digunakan adalah metode survey. Adman Nursal
(2004) mengatakan bahwa strategi kampanye politik tanpa riset bagaikan orang buta
Strategi Pencalonan
Personal Branding
Strategi Kampanye
Perilaku Pemilih
Perolehan Suara
Kemenangan dalam
Pemilihan
yang berjalan tanpa tongkat. Dengan demikian, dalam menyusun strategi-‐‑strategi
pemenangan, tidak bisa dilakukan hanya dari satu sudut pandang calon kepala daerah
saja, tetapi juga harus melihat dari sudut pandang pemilih. Mengetahui perilaku
pemilih, setiap bakal calon kepala daerah dapat membuat strategi yang tepat sesuai
karakter pemilih di daerahnya. Strategi yang tepat itulah, sebagai penentu kemenangan
seoarang bakal calon untuk memperoleh suara terbanyak dalam Pilkada, dan
menghantarkannya menjadi kepala daerah yang mendapatkan dukungan legitimasi
dari rakyat.
B. Data Penduduk, Jumlah dan Perilaku Pemilih di Indonesia
Berdasarkan data sensus penduduk pada Mei 2010 yang dilakukan oleh BPS,
jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 238.518.800 jiwa.5 Dari jumlah tersebut, yang
termasuk ke dalam daftar pemilih tetap pada Pemilu 2014 yang lalu sebanyak
186.575.617 pemilih atau sekitar 78% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebesar 49,9%
dari jumlah pemilih tetap di Indonesia, yaitu sebanyak 93.153.933 pemilih berjenis
kelamin perempuan. 6 Ha ini menunjukkan jumlah suara pemilih laki-‐‑laki dan
perempuan hampir berimbang. Namun sayangnya, tidak semua dari daftar pemilih
tersebut yang menggunakan hak suaranya.
Pada Pemilu 2014, tercatat bahwa jumlah pemilih angkatan kaum muda
mencapai 30% dari daftar pemilih tetap.7 Selain itu, keikutsertaan kelompok usia muda
dalam menggunakan hak suaranya relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya.8 Hal ini tentu saja sangat disayangkan apalagi suara potensial
tersebut dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meraup suara guna 5 Statistik Indonesia 2015, Katalog BPS: 1101001, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 76. 6 Sumber data: kpu.go.id dalam Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 105. 7 Data Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti dikutip dari “Pemilih Muda Penentu Kemenangan,” http://www.dw.de/pemilih-muda-penentu-kemenangan/a-17527983. 8 Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014.
20 19
memenangkan kompetisi pada Pemilu. Menurut tipologi model Almond dan Verba
(1990:16), ada tiga kategori orientasi pemilih muda dalam menggunakan hak
politiknya: Pertama, orientasi kognitif, yaitu pengetahuan dan kepercayaan pada
kandidat. Kedua, orientasi afektif, yaitu perasaan terhadap Pemilu, dan pengaruh teman
terhadap penentuan pilihan. Ketiga, orientasi evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat
pemilih muda terhadap parpol/kandidat pilihannya.9
Tabel 1.
Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Kelompok Usia
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
9 Seperti dikutip pada Setiajid, “Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Muda dalam Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010 (Studi Kasus Pemilih muda di Kota Semarang)”, Integralistik, No.1/Th.XXII/2011, Januari-Juni 2011, hlm.19.
Grafik 1.
Persentase Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 1955 -‐‑ 201410
Sumber : Diolah dari data KPU oleh BPS
Pada grafik tersebut terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu
mengalami kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun. Guna mengetahui
penyebab fenomena tersebut, sangatlah penting memahami seperti apa perilaku para
pemilih. Secara garis besar, ada tiga aspek yang biasanya digunakan dalam studi
mengenai perilaku pemilih, yaitu aspek sosiologis, psikologis, dan rasional.
Pertama aspek sosilogis. Para ahli politik dan sosiologi Eropa Barat memandang
masyarakat secara keseluruhan sebagai sekelompok orang yang mempunyai kesadaran
status yang kuat. Mereka percaya bahwa masyarakat sudah tertata sedemikian rupa
sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosialnya sehingga memahami
karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami
perilaku politik individu.11 Para ahli berasumsi bahwa perilaku memilih ditentukan
oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, kelompok
10 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm.103. 11Afan Gaffar, 1992, hlm. 4-5, dikutip pada Mulyawarman, “Perilaku Pemilih Masyarakat dalam
Pemilihan Kepala Desa: Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar”, http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/download/1265/1256, diakses tanggal 16 Oktober 2014.
91.4 96.6 96.5 96.5 96.4 95.1 93.6 92.7 84.1
71 75.11
0
20
40
60
80
100
120
1955 1971 1977 1982 1987 1192 1997 1999 2004 2009 2014
18 21
memenangkan kompetisi pada Pemilu. Menurut tipologi model Almond dan Verba
(1990:16), ada tiga kategori orientasi pemilih muda dalam menggunakan hak
politiknya: Pertama, orientasi kognitif, yaitu pengetahuan dan kepercayaan pada
kandidat. Kedua, orientasi afektif, yaitu perasaan terhadap Pemilu, dan pengaruh teman
terhadap penentuan pilihan. Ketiga, orientasi evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat
pemilih muda terhadap parpol/kandidat pilihannya.9
Tabel 1.
Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Kelompok Usia
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
9 Seperti dikutip pada Setiajid, “Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Muda dalam
Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010 (Studi Kasus Pemilih muda di Kota Semarang)”, Integralistik, No.1/Th.XXII/2011, Januari-Juni 2011, hlm.19.
Grafik 1.
Persentase Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 1955 -‐‑ 201410
Sumber : Diolah dari data KPU oleh BPS
Pada grafik tersebut terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu
mengalami kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun. Guna mengetahui
penyebab fenomena tersebut, sangatlah penting memahami seperti apa perilaku para
pemilih. Secara garis besar, ada tiga aspek yang biasanya digunakan dalam studi
mengenai perilaku pemilih, yaitu aspek sosiologis, psikologis, dan rasional.
Pertama aspek sosilogis. Para ahli politik dan sosiologi Eropa Barat memandang
masyarakat secara keseluruhan sebagai sekelompok orang yang mempunyai kesadaran
status yang kuat. Mereka percaya bahwa masyarakat sudah tertata sedemikian rupa
sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosialnya sehingga memahami
karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami
perilaku politik individu.11 Para ahli berasumsi bahwa perilaku memilih ditentukan
oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, kelompok
10 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm.103. 11Afan Gaffar, 1992, hlm. 4-5, dikutip pada Mulyawarman, “Perilaku Pemilih Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa: Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar”, http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/download/1265/1256, diakses tanggal 16 Oktober 2014.
91.4 96.6 96.5 96.5 96.4 95.1 93.6 92.7 84.1
71 75.11
0
20
40
60
80
100
120
1955 1971 1977 1982 1987 1192 1997 1999 2004 2009 2014
22 21
etnik atau kedaerahan dan bahasa. Seseorang berpartisipasi dalam Pemilu karena
kesadaran tentang arti penting Pemilu bagi kepentingan dirinya dan masyarakat
banyak.12 Hal tersebut sejalan dengan hasil survey yang dilakukan LIPI bahwa tempat
tinggal, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, maupun pengeluaran belanja sehari-‐‑hari,
memberikan perbedaan terhadap keputusan pemilih untuk menentukan partai yang
dipilihnya.13 Para penganut model sosiologis ini meyakini bahwa seorang pemilih akan
memilih partai politik atau calon pejabat publik tertentu karena adanya kesamaan
antara karakteristik sosiologis pemilih dengan karakteristik sosiologis partai politik
atau calon pejabat publik.14
Kedua, apek psikologis. Selain faktor sosiologis, faktor psikologis juga dapat
menentukan perilaku pemilih. Menurut penganut model psikologis, seorang warga
berpartisipasi dalam Pemilu bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-‐‑
ekonomi atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik
dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya
informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta
percaya pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan.15 Orang yang secara psikologis
meyakini bahwa partisipasinya dalam Pemilu akan ikut memiliki andil dalam
menentukan kualitas pejabat yang kelak terpilih, maka ia lebih cenderung untuk
menggunakan hak suaranya dalam Pemilu dibandingkan dengan yang tidak memiliki
keyakinan.16
12Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 6. 13Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014. 14Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 9-10. 15Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm.22. 16Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014.
Jadi, meskipun seseorang terlibat dalam kehidupan civic, ia tidak secara
otomatis berpartisipasi dalam Pemilu bila ia tidak ingin berpartisipasi.17
Tabel 2.
Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Keyakinan Peran Memperbaiki Keadaan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Partisanship atau identitas partai dipercaya memiliki pengaruh positif terhadap
partisipasi politik. Partisanship adalah suatu keadaan psikologis, yakni perasaan dekat,
dengan menunjukkan sikap mendukung atau setia pada identifikasi diri dengan partai
politik tertentu. Karena itu pula, partisanship biasa disebut sebagai identitas partai
seseorang. Seorang partisan punya energi psikologis untuk memenangkan partai atau
bakal calon yang didukungnya dalam Pemilu. Oleh karena itu, ia akan lebih cenderung
ikut serta dalam Pemilu dibandingkan mereka yang bukan partisan. Orang yang
berada dalam jaringan sosial tetapi bukan partisan, belum tentu ikut serta dalam
Pemilu karena Pemilu tidak secara langsung berguna bagi mereka yang tidak punya
kaitan psikologis.18
Sementara itu, menurut Green dan Palmquist seperti yang dikutip oleh Saiful
Mujani, dkk, model psikologis bertumpu pada asumsi bahwa identitas partai relatif
stabil, dan lebih tepat digunakan untuk menjelaskan stabilitas kontinuitas perilaku
politik, sebagaimana yang terjadi dalam politik Amerika. Namun pada kenyataannya
17 Verba, Schlozman, dan Brady 1995, dalam Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang
Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 22
18 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm.24-25
20 23
etnik atau kedaerahan dan bahasa. Seseorang berpartisipasi dalam Pemilu karena
kesadaran tentang arti penting Pemilu bagi kepentingan dirinya dan masyarakat
banyak.12 Hal tersebut sejalan dengan hasil survey yang dilakukan LIPI bahwa tempat
tinggal, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, maupun pengeluaran belanja sehari-‐‑hari,
memberikan perbedaan terhadap keputusan pemilih untuk menentukan partai yang
dipilihnya.13 Para penganut model sosiologis ini meyakini bahwa seorang pemilih akan
memilih partai politik atau calon pejabat publik tertentu karena adanya kesamaan
antara karakteristik sosiologis pemilih dengan karakteristik sosiologis partai politik
atau calon pejabat publik.14
Kedua, apek psikologis. Selain faktor sosiologis, faktor psikologis juga dapat
menentukan perilaku pemilih. Menurut penganut model psikologis, seorang warga
berpartisipasi dalam Pemilu bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-‐‑
ekonomi atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik
dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai), punya
informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta
percaya pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan.15 Orang yang secara psikologis
meyakini bahwa partisipasinya dalam Pemilu akan ikut memiliki andil dalam
menentukan kualitas pejabat yang kelak terpilih, maka ia lebih cenderung untuk
menggunakan hak suaranya dalam Pemilu dibandingkan dengan yang tidak memiliki
keyakinan.16
12Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 6. 13Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat
Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014. 14Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 9-10. 15Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm.22. 16Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat
Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014.
Jadi, meskipun seseorang terlibat dalam kehidupan civic, ia tidak secara
otomatis berpartisipasi dalam Pemilu bila ia tidak ingin berpartisipasi.17
Tabel 2.
Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Keyakinan Peran Memperbaiki Keadaan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Partisanship atau identitas partai dipercaya memiliki pengaruh positif terhadap
partisipasi politik. Partisanship adalah suatu keadaan psikologis, yakni perasaan dekat,
dengan menunjukkan sikap mendukung atau setia pada identifikasi diri dengan partai
politik tertentu. Karena itu pula, partisanship biasa disebut sebagai identitas partai
seseorang. Seorang partisan punya energi psikologis untuk memenangkan partai atau
bakal calon yang didukungnya dalam Pemilu. Oleh karena itu, ia akan lebih cenderung
ikut serta dalam Pemilu dibandingkan mereka yang bukan partisan. Orang yang
berada dalam jaringan sosial tetapi bukan partisan, belum tentu ikut serta dalam
Pemilu karena Pemilu tidak secara langsung berguna bagi mereka yang tidak punya
kaitan psikologis.18
Sementara itu, menurut Green dan Palmquist seperti yang dikutip oleh Saiful
Mujani, dkk, model psikologis bertumpu pada asumsi bahwa identitas partai relatif
stabil, dan lebih tepat digunakan untuk menjelaskan stabilitas kontinuitas perilaku
politik, sebagaimana yang terjadi dalam politik Amerika. Namun pada kenyataannya
17 Verba, Schlozman, dan Brady 1995, dalam Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang
Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 22 18 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm.24-25
24 23
bahwa politik itu cukup dinamis, seperti halnya perubahan-‐‑perubahan kekuatan partai
politik dan jumlah partai politik di Indonesia.
Ketiga aspek rasional. Selain kedua aspek di atas, kondisi ekonomi-‐‑politik juga
termasuk salah satu yang bersifat dinamis dan sekaligus menjadi inti munculnya model
rasional. Model ini dibangun di atas kombinasi teori-‐‑teori aksi sosial dan teori ekonomi
tentang rasionalitas. Berdasarkan teori ekonomi, Anthony Downs menurunkan definisi
rasionalitas, yaitu sebagai usaha untuk mencapai tujuan dengan cara yang paling
reasonable. Maksud dari reasonable adalah cara dimana seseorang berdasarkan
pengetahuan terbaik yang dimilikinya, mewujudkan tujuannya dengan menggunakan
input sumber daya yang paling sedikit. Dengan kata lain, seorang individu yang
rasional tertarik terhadap cara yang biayanya paling efektif dalam memaksimalkan apa
yang ia peroleh.19
Dalam konteks Pemilu, teori rasionalitas menekankan pada motivasi individu
untuk memilih atau tidak memilih, berdasarkan kalkulasi untung-‐‑rugi saat
menentukan kandidat yang akan dipilih. Dalam perspektif ini, seseorang berperilaku
rasional, akan menghitung bagaimana caranya mendapatkan hasil maksimal dengan
ongkos minimal. Terlepas memilih atau tidak memilih, jika tidak medapatkan hasil
yang lebih baik, atau pun kondisi sosial ekonomi masyarakat sama saja dengan
keadaan sebelumnya, maka dengan tidak mengikuti Pemilu merupakan hal yang lebih
menguntungkan bagi mereka yang berpaham rasionalitas.20
19 Jocelyn A.J. Evans, Voters and Voting (London: Sage Publications, 2004), hlm. 70-71. 20 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta, Mizan Publika, 2012, Hal. 29.
Tabel 3.
Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Penilaian Terhadap Pemerintahan Saat Ini
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Pada tabel tersebut terlihat bahwa tingkat pemilik hak suara yang tidak
menggunakan hak suaranya lebih tinggi pada kelompok yang merasa tidak puas
terhadap kinerja pemerintah, yaitu sebesar 7.5%.
Terkait dengan pemberian suara (voting), Downs memberikan batasan bahwa
rational voting hanya menunjuk pada pilihan yang didasarkan pada motivasi ekonomi
dan politik. Beberapa isu ekonomi yang paling penting antara lain pertumbuhan,
pengangguran, dan inflasi. Sedangkan, keputusan yang didorong oleh ketakutan,
misalnya yang disebabkan oleh tekanan keluarga serta dorongan untuk ikut-‐‑ikutan
orang di sekitarnya, tidak dapat dikategorikan sebagai rational voting.21
Menurut pendapat beberapa ahli seperti Downs (1956), Wheaterford dan Kiewiet
(1980), Fiorina (1981), dan Lewis-‐‑Beck (1998) seperti yang dikutip oleh Saiful Mujani,
bahwa seseorang menentukan calon pilihannya apabila calon tersebut dipandang dapat
membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya, yaitu terkait kehidupan ekonomi.
Untuk mengetahui apakah seorang calon tertentu dapat membantu mencapai
kepentingan ekonominya atau tidak, seorang pemilih tidak membutuhkan informasi
yang akurat-‐‑akurat amat, melainkan ia cukup mempersepsikan keadaan ekonomi
dirinya saat ini, di bawah pemerintahan yang sedang berkuasa, dan dibandingkan
dengan kondisi ekonomi pada pemerintahan sebelumnya. Pada saat yang sama, ia akan
mengevaluasi keadaan ekonomi nasional secara umum, dengan membandingkan
21 Jocelyn A.J. Evans, Voters and Voting (London: Sage Publications, 2004), hlm. 4.
22 25
bahwa politik itu cukup dinamis, seperti halnya perubahan-‐‑perubahan kekuatan partai
politik dan jumlah partai politik di Indonesia.
Ketiga aspek rasional. Selain kedua aspek di atas, kondisi ekonomi-‐‑politik juga
termasuk salah satu yang bersifat dinamis dan sekaligus menjadi inti munculnya model
rasional. Model ini dibangun di atas kombinasi teori-‐‑teori aksi sosial dan teori ekonomi
tentang rasionalitas. Berdasarkan teori ekonomi, Anthony Downs menurunkan definisi
rasionalitas, yaitu sebagai usaha untuk mencapai tujuan dengan cara yang paling
reasonable. Maksud dari reasonable adalah cara dimana seseorang berdasarkan
pengetahuan terbaik yang dimilikinya, mewujudkan tujuannya dengan menggunakan
input sumber daya yang paling sedikit. Dengan kata lain, seorang individu yang
rasional tertarik terhadap cara yang biayanya paling efektif dalam memaksimalkan apa
yang ia peroleh.19
Dalam konteks Pemilu, teori rasionalitas menekankan pada motivasi individu
untuk memilih atau tidak memilih, berdasarkan kalkulasi untung-‐‑rugi saat
menentukan kandidat yang akan dipilih. Dalam perspektif ini, seseorang berperilaku
rasional, akan menghitung bagaimana caranya mendapatkan hasil maksimal dengan
ongkos minimal. Terlepas memilih atau tidak memilih, jika tidak medapatkan hasil
yang lebih baik, atau pun kondisi sosial ekonomi masyarakat sama saja dengan
keadaan sebelumnya, maka dengan tidak mengikuti Pemilu merupakan hal yang lebih
menguntungkan bagi mereka yang berpaham rasionalitas.20
19 Jocelyn A.J. Evans, Voters and Voting (London: Sage Publications, 2004), hlm. 70-71. 20 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta, Mizan Publika, 2012, Hal. 29.
Tabel 3.
Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Penilaian Terhadap Pemerintahan Saat Ini
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Pada tabel tersebut terlihat bahwa tingkat pemilik hak suara yang tidak
menggunakan hak suaranya lebih tinggi pada kelompok yang merasa tidak puas
terhadap kinerja pemerintah, yaitu sebesar 7.5%.
Terkait dengan pemberian suara (voting), Downs memberikan batasan bahwa
rational voting hanya menunjuk pada pilihan yang didasarkan pada motivasi ekonomi
dan politik. Beberapa isu ekonomi yang paling penting antara lain pertumbuhan,
pengangguran, dan inflasi. Sedangkan, keputusan yang didorong oleh ketakutan,
misalnya yang disebabkan oleh tekanan keluarga serta dorongan untuk ikut-‐‑ikutan
orang di sekitarnya, tidak dapat dikategorikan sebagai rational voting.21
Menurut pendapat beberapa ahli seperti Downs (1956), Wheaterford dan Kiewiet
(1980), Fiorina (1981), dan Lewis-‐‑Beck (1998) seperti yang dikutip oleh Saiful Mujani,
bahwa seseorang menentukan calon pilihannya apabila calon tersebut dipandang dapat
membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya, yaitu terkait kehidupan ekonomi.
Untuk mengetahui apakah seorang calon tertentu dapat membantu mencapai
kepentingan ekonominya atau tidak, seorang pemilih tidak membutuhkan informasi
yang akurat-‐‑akurat amat, melainkan ia cukup mempersepsikan keadaan ekonomi
dirinya saat ini, di bawah pemerintahan yang sedang berkuasa, dan dibandingkan
dengan kondisi ekonomi pada pemerintahan sebelumnya. Pada saat yang sama, ia akan
mengevaluasi keadaan ekonomi nasional secara umum, dengan membandingkan
21 Jocelyn A.J. Evans, Voters and Voting (London: Sage Publications, 2004), hlm. 4.
26 25
kondisi ekonomi pada pemerintahan sekarang dengan pemerintahan sebelumnya, dan
menganilisisnya pada pemerintahan baru yang akan datang. 22
Tabel 4. Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Persepsi Keadaan Ekonomi Keluarga Saat Ini
Dibanding Tahun Lalu
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Tabel 5. Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Persepsi Keadaan Ekonomi Keluarga Saat Ini
Dibanding Satu Tahun ke Depan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Ketiga model, yaitu sosiologis, psikologis, dan rasional bisa dipahami dalam
suatu hierarki faktor-‐‑faktor yang mempengaruhi perilaku memilih. Seperti pendapat
Warrant E. Miller dan J. Merril Shanks, yang dikutip Saiful Mujani dkk., bahwa faktor-‐‑
faktor dalam model sosiologis dapat ditempatkan sebagai komponen yang paling
dasar. Di atasnya, faktor-‐‑faktor dari model psikologis dan pilihan rasional menjadi
penjelasan lanjutan. Dimulai dari identitas partai (partisanship), predisposisi atas
22 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta, Mizan Publika, 2012, Hal. 33.
kebijakan-‐‑kebijakan pemerintah beserta persepsi tentang kondisi saat ini, evaluasi atas
kinerja partai atau pejabat yang berkuasa, persepsi tentang citra personalitas calon,
hingga prospek calon atau partai jika terpilih (berkuasa). Jadi, pilihan untuk
berpartisipasi memilih partai atau kandidat tertentu merupakan kompleksitas dari
berbagai faktor dalam ketiga model tersebut.23
Dengan demikian, sebelum menghitung target minimal perolehan suara, ada
beberapa data yang terlebih dulu harus dikumpulkan, salah satunya yaitu data
mengenai jumlah penduduk dan jumlah pemilih tetap, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
C. Survey dan Persepsi Masyarakat terhadap Politisi Perempuan
Perbincangan mengenai pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah,
tentu tidak akan lepas dari isu gender di dalamnya. Jumlah perempuan yang berhasil
menduduki posisi legislatif maupun eksekutif sampai saat ini masih jauh lebih kecil
dibanding laki-‐‑laki, padahal jumlah pemilih perempuan hampir sebanding dengan
jumlah pemilih laki-‐‑laki. Para pemilih perempuan masih lebih cenderung untuk
memilih calon pejabat publik laki-‐‑laki. Seperti terlihat hasil survey pada Pemilu
Legislatif 2014, bahwa lebih dari 50% pemilih perempuan justru tidak memilih caleg
perempuan.24
Tabel 6. Persentase Pemilih yang Memilih Caleg Perempuan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
23 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta, Mizan Publika, 2012, Hal. 34. 24 Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat
Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014.
24 27
kondisi ekonomi pada pemerintahan sekarang dengan pemerintahan sebelumnya, dan
menganilisisnya pada pemerintahan baru yang akan datang. 22
Tabel 4. Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Persepsi Keadaan Ekonomi Keluarga Saat Ini
Dibanding Tahun Lalu
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Tabel 5. Penggunaan Hak Suara Berdasarkan Persepsi Keadaan Ekonomi Keluarga Saat Ini
Dibanding Satu Tahun ke Depan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Ketiga model, yaitu sosiologis, psikologis, dan rasional bisa dipahami dalam
suatu hierarki faktor-‐‑faktor yang mempengaruhi perilaku memilih. Seperti pendapat
Warrant E. Miller dan J. Merril Shanks, yang dikutip Saiful Mujani dkk., bahwa faktor-‐‑
faktor dalam model sosiologis dapat ditempatkan sebagai komponen yang paling
dasar. Di atasnya, faktor-‐‑faktor dari model psikologis dan pilihan rasional menjadi
penjelasan lanjutan. Dimulai dari identitas partai (partisanship), predisposisi atas
22 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta, Mizan Publika, 2012, Hal. 33.
kebijakan-‐‑kebijakan pemerintah beserta persepsi tentang kondisi saat ini, evaluasi atas
kinerja partai atau pejabat yang berkuasa, persepsi tentang citra personalitas calon,
hingga prospek calon atau partai jika terpilih (berkuasa). Jadi, pilihan untuk
berpartisipasi memilih partai atau kandidat tertentu merupakan kompleksitas dari
berbagai faktor dalam ketiga model tersebut.23
Dengan demikian, sebelum menghitung target minimal perolehan suara, ada
beberapa data yang terlebih dulu harus dikumpulkan, salah satunya yaitu data
mengenai jumlah penduduk dan jumlah pemilih tetap, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
C. Survey dan Persepsi Masyarakat terhadap Politisi Perempuan
Perbincangan mengenai pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah,
tentu tidak akan lepas dari isu gender di dalamnya. Jumlah perempuan yang berhasil
menduduki posisi legislatif maupun eksekutif sampai saat ini masih jauh lebih kecil
dibanding laki-‐‑laki, padahal jumlah pemilih perempuan hampir sebanding dengan
jumlah pemilih laki-‐‑laki. Para pemilih perempuan masih lebih cenderung untuk
memilih calon pejabat publik laki-‐‑laki. Seperti terlihat hasil survey pada Pemilu
Legislatif 2014, bahwa lebih dari 50% pemilih perempuan justru tidak memilih caleg
perempuan.24
Tabel 6. Persentase Pemilih yang Memilih Caleg Perempuan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
23 Saiful Mujani, dkk, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta, Mizan Publika, 2012, Hal. 34. 24 Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014.
28 27
Pada penyelenggaraan Pilkada 2010 – 2014, dari seluruh provinsi di Indonesia,
hanya provinsi Banten yang memilih gubernur seorang perempuan. Sementara,
provinsi-‐‑provinsi lainnya, baik gubernur maupun wakil gubernurnya adalah laki-‐‑laki.
Sedangkan, untuk Pemilihan Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota, berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri 2013 yang kemudian diolah oleh BPS, dari 504
kabupaten/kota, hanya 17 kabupaten/kota (3,4%) terpilih bupati/walikota perempuan,
dan posisi wakil bupati/wakil walikota perempuan, sekitar 4,9% saja.25
25 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 141.
Tabel 7. Kepala Daerah Hasil Pilkada Menurut Jenis Kelamin, Tahun Pelantikan, dan Jabatan
Sebelum Menjadi Gubernur Terpilih26
Sumber: Diolah dari pemberitaan media
26 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 140.
26 29
Pada penyelenggaraan Pilkada 2010 – 2014, dari seluruh provinsi di Indonesia,
hanya provinsi Banten yang memilih gubernur seorang perempuan. Sementara,
provinsi-‐‑provinsi lainnya, baik gubernur maupun wakil gubernurnya adalah laki-‐‑laki.
Sedangkan, untuk Pemilihan Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota, berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri 2013 yang kemudian diolah oleh BPS, dari 504
kabupaten/kota, hanya 17 kabupaten/kota (3,4%) terpilih bupati/walikota perempuan,
dan posisi wakil bupati/wakil walikota perempuan, sekitar 4,9% saja.25
25 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 141.
Tabel 7. Kepala Daerah Hasil Pilkada Menurut Jenis Kelamin, Tahun Pelantikan, dan Jabatan
Sebelum Menjadi Gubernur Terpilih26
Sumber: Diolah dari pemberitaan media
26 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 140.
30 29
Tabel 8.
Jenis Kelamin Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota27
27 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 141.
Sumber: Diolah dari Kementerian Dalam Negeri (November 2013)
Catatan: jumlah wabup/wawali tidak sama dengan jumlah bupati/walikota karena adanya wilayah kabupaten/kota yang wabup/wawali berhalangan tetap
Kemudian pada 9 Desember 2015 yang lalu, sebanyak 269 daerah terdiri dari: 9
provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten menyelenggarakan Pilkada gelombang pertama
secara serentak. Berdasarkan data KPU mengenai hasil Pilkada 2015, calon perempuan
yang turut meramaikan bursa Pilkada adalah sebanyak 55 calon (7%). Sedangkan calon
permepuan yang berhasil terpilih menjadi kepala daerah, tidak mencapai setengahnya,
hanya mencapai 40% dari 55 calon. Fakta ini menunjukkan bahwa kaum laki-‐‑laki masih
mendominasi dibandingkan dengan kaum perempuan dalam perpolitikkan di
Indonesia, khususnya dalam jajaran eksekutif.
Grafik 2. Persentase Perempuan Cakada dan Perempuan Menang pada Pilkada 2015
Laki-laki Cakada
93%
Perempuan Cakada
7%
Menang 40% Kalah
60%
28 31
Tabel 8.
Jenis Kelamin Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota27
27 Statistik Politik 2015, Katalog BPS: 4601003, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 141.
Sumber: Diolah dari Kementerian Dalam Negeri (November 2013)
Catatan: jumlah wabup/wawali tidak sama dengan jumlah bupati/walikota karena adanya wilayah kabupaten/kota yang wabup/wawali berhalangan tetap
Kemudian pada 9 Desember 2015 yang lalu, sebanyak 269 daerah terdiri dari: 9
provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten menyelenggarakan Pilkada gelombang pertama
secara serentak. Berdasarkan data KPU mengenai hasil Pilkada 2015, calon perempuan
yang turut meramaikan bursa Pilkada adalah sebanyak 55 calon (7%). Sedangkan calon
permepuan yang berhasil terpilih menjadi kepala daerah, tidak mencapai setengahnya,
hanya mencapai 40% dari 55 calon. Fakta ini menunjukkan bahwa kaum laki-‐‑laki masih
mendominasi dibandingkan dengan kaum perempuan dalam perpolitikkan di
Indonesia, khususnya dalam jajaran eksekutif.
Grafik 2. Persentase Perempuan Cakada dan Perempuan Menang pada Pilkada 2015
Laki-laki Cakada
93%
Perempuan Cakada
7%
Menang 40% Kalah
60%
32 31
Meskipun untuk menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah dapat melalui
jalur partai politik maupun perseorangan, namun jalur perseorangan nampaknya
masih lebih berat dibanding jalur partai politik. Para calon kepala daerah dari jalur
perseorangan harus berjuang sendiri untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak
mungkin. Data KPU hasil Pilkada 2015, memperlihatkan bahwa calon perempuan
berasal dari partai politik mencapai 89,09%, dan dari jalur perseorangan, hanya
10.91%. Sedangkan calon perempuan yang berhasil memenangkan pilkada dari jalur
perseorangan, hanya mencapai 4,55%
Pada Februari 2017 mendatang akan dilaksanakan Pilkada serentak
gelombang kedua. Menurut data AMJ (akhir masa jabatan) dari KPU, daerah-‐‑daerah
yang menyelenggarakan Pilkada secara serentak gelombang kedua pada 2017
mendatang, sebanyak 7 provinsi, yaitu Aceh, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat, serta 76 kabupaten, dan 18
kota.
Tentunya, para pemilih mempunyai pertimbangannya sendiri ketika
menggunakan hak suaranya untuk memenangkan kandidat yang dianggap layak.
Hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Para calon perempuan perlu belajar untuk
memahami karakter pemilih pada fenomena Pemilu/Pilkada sebelumnya.
Tabel 9. Kualitas Politisi Perempuan Dibanding Politisi Laki-‐‑Laki Menurut Pemilih
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Meskipun adanya tuntutan kesamaan hak antara laki-‐‑laki dan perempuan
(kesetaraan gender) di segala bidang, namun kehadiran perempuan belum
21
sepenuhnya diterima atau didukung oleh rakyat dalam dunia politik. Terbukti pada
Pemilu Legislatif 2014, lebih dari 50% pemilih cenderung untuk tidak memilih caleg
perempuan. Padahal kualitas perempuan tidak kalah hebat dengan kualitas kaum
laki-‐‑laki. Lebih dari 60% pemilih yang memilih caleg perempuan, menurut mereka,
bahwa kualitas perempuan sebagai caleg masih lebih baik bila dibandingkan dengan
kualitas laki-‐‑laki. Namun demikian, pada kenyataannya, kaum laki-‐‑laki masih
mendominasi dalam bursa calon legislatif, calon kepala daerah, dan calon presiden.
Tabel 10. Perbandingan Kualitas Politisi Perempuan vs Politisi Laki-‐‑laki Menurut Pendapat Pemilih yang Memilih Caleg Perempuan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Tabel 11. Peluang Laki-‐‑laki dan Perempuan menjadi Calon Presiden
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Rakyat mempunyai kriteria sendiri untuk menentukan pilihannya kepada
para calon legislatif, dan calon kepala daerah, serta calon presiden. Dalam hal ini,
kriteria yang harus dimiliki oleh calon presiden adalah: memahami kehendak dan
kebutuhan semua lapisan masyarakat, sederhana dan merakyat, berwibawa, kuat,
Meskipun untuk menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah dapat melalui
jalur partai politik maupun perseorangan, namun jalur perseorangan nampaknya
masih lebih berat dibanding jalur partai politik. Para calon kepala daerah dari jalur
perseorangan harus berjuang sendiri untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak
mungkin. Data KPU hasil Pilkada 2015, memperlihatkan bahwa calon perempuan
berasal dari partai politik mencapai 89,09%, dan dari jalur perseorangan, hanya
10.91%. Sedangkan calon perempuan yang berhasil memenangkan pilkada dari jalur
perseorangan, hanya mencapai 4,55%
Pada Februari 2017 mendatang akan dilaksanakan Pilkada serentak
gelombang kedua. Menurut data AMJ (akhir masa jabatan) dari KPU, daerah-‐‑daerah
yang menyelenggarakan Pilkada secara serentak gelombang kedua pada 2017
mendatang, sebanyak 7 provinsi, yaitu Aceh, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat, serta 76 kabupaten, dan 18
kota.
Tentunya, para pemilih mempunyai pertimbangannya sendiri ketika
menggunakan hak suaranya untuk memenangkan kandidat yang dianggap layak.
Hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Para calon perempuan perlu belajar untuk
memahami karakter pemilih pada fenomena Pemilu/Pilkada sebelumnya.
Tabel 9. Kualitas Politisi Perempuan Dibanding Politisi Laki-‐‑Laki Menurut Pemilih
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Meskipun adanya tuntutan kesamaan hak antara laki-‐‑laki dan perempuan
(kesetaraan gender) di segala bidang, namun kehadiran perempuan belum
21
sepenuhnya diterima atau didukung oleh rakyat dalam dunia politik. Terbukti pada
Pemilu Legislatif 2014, lebih dari 50% pemilih cenderung untuk tidak memilih caleg
perempuan. Padahal kualitas perempuan tidak kalah hebat dengan kualitas kaum
laki-‐‑laki. Lebih dari 60% pemilih yang memilih caleg perempuan, menurut mereka,
bahwa kualitas perempuan sebagai caleg masih lebih baik bila dibandingkan dengan
kualitas laki-‐‑laki. Namun demikian, pada kenyataannya, kaum laki-‐‑laki masih
mendominasi dalam bursa calon legislatif, calon kepala daerah, dan calon presiden.
Tabel 10. Perbandingan Kualitas Politisi Perempuan vs Politisi Laki-‐‑laki Menurut Pendapat Pemilih yang Memilih Caleg Perempuan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Tabel 11. Peluang Laki-‐‑laki dan Perempuan menjadi Calon Presiden
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Rakyat mempunyai kriteria sendiri untuk menentukan pilihannya kepada
para calon legislatif, dan calon kepala daerah, serta calon presiden. Dalam hal ini,
kriteria yang harus dimiliki oleh calon presiden adalah: memahami kehendak dan
kebutuhan semua lapisan masyarakat, sederhana dan merakyat, berwibawa, kuat,
30 33
Meskipun untuk menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah dapat melalui
jalur partai politik maupun perseorangan, namun jalur perseorangan nampaknya
masih lebih berat dibanding jalur partai politik. Para calon kepala daerah dari jalur
perseorangan harus berjuang sendiri untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak
mungkin. Data KPU hasil Pilkada 2015, memperlihatkan bahwa calon perempuan
berasal dari partai politik mencapai 89,09%, dan dari jalur perseorangan, hanya
10.91%. Sedangkan calon perempuan yang berhasil memenangkan pilkada dari jalur
perseorangan, hanya mencapai 4,55%
Pada Februari 2017 mendatang akan dilaksanakan Pilkada serentak
gelombang kedua. Menurut data AMJ (akhir masa jabatan) dari KPU, daerah-‐‑daerah
yang menyelenggarakan Pilkada secara serentak gelombang kedua pada 2017
mendatang, sebanyak 7 provinsi, yaitu Aceh, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat, serta 76 kabupaten, dan 18
kota.
Tentunya, para pemilih mempunyai pertimbangannya sendiri ketika
menggunakan hak suaranya untuk memenangkan kandidat yang dianggap layak.
Hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Para calon perempuan perlu belajar untuk
memahami karakter pemilih pada fenomena Pemilu/Pilkada sebelumnya.
Tabel 9. Kualitas Politisi Perempuan Dibanding Politisi Laki-‐‑Laki Menurut Pemilih
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Meskipun adanya tuntutan kesamaan hak antara laki-‐‑laki dan perempuan
(kesetaraan gender) di segala bidang, namun kehadiran perempuan belum
21
sepenuhnya diterima atau didukung oleh rakyat dalam dunia politik. Terbukti pada
Pemilu Legislatif 2014, lebih dari 50% pemilih cenderung untuk tidak memilih caleg
perempuan. Padahal kualitas perempuan tidak kalah hebat dengan kualitas kaum
laki-‐‑laki. Lebih dari 60% pemilih yang memilih caleg perempuan, menurut mereka,
bahwa kualitas perempuan sebagai caleg masih lebih baik bila dibandingkan dengan
kualitas laki-‐‑laki. Namun demikian, pada kenyataannya, kaum laki-‐‑laki masih
mendominasi dalam bursa calon legislatif, calon kepala daerah, dan calon presiden.
Tabel 10. Perbandingan Kualitas Politisi Perempuan vs Politisi Laki-‐‑laki Menurut Pendapat Pemilih yang Memilih Caleg Perempuan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Tabel 11. Peluang Laki-‐‑laki dan Perempuan menjadi Calon Presiden
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Rakyat mempunyai kriteria sendiri untuk menentukan pilihannya kepada
para calon legislatif, dan calon kepala daerah, serta calon presiden. Dalam hal ini,
kriteria yang harus dimiliki oleh calon presiden adalah: memahami kehendak dan
kebutuhan semua lapisan masyarakat, sederhana dan merakyat, berwibawa, kuat,
Meskipun untuk menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah dapat melalui
jalur partai politik maupun perseorangan, namun jalur perseorangan nampaknya
masih lebih berat dibanding jalur partai politik. Para calon kepala daerah dari jalur
perseorangan harus berjuang sendiri untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak
mungkin. Data KPU hasil Pilkada 2015, memperlihatkan bahwa calon perempuan
berasal dari partai politik mencapai 89,09%, dan dari jalur perseorangan, hanya
10.91%. Sedangkan calon perempuan yang berhasil memenangkan pilkada dari jalur
perseorangan, hanya mencapai 4,55%
Pada Februari 2017 mendatang akan dilaksanakan Pilkada serentak
gelombang kedua. Menurut data AMJ (akhir masa jabatan) dari KPU, daerah-‐‑daerah
yang menyelenggarakan Pilkada secara serentak gelombang kedua pada 2017
mendatang, sebanyak 7 provinsi, yaitu Aceh, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat, serta 76 kabupaten, dan 18
kota.
Tentunya, para pemilih mempunyai pertimbangannya sendiri ketika
menggunakan hak suaranya untuk memenangkan kandidat yang dianggap layak.
Hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Para calon perempuan perlu belajar untuk
memahami karakter pemilih pada fenomena Pemilu/Pilkada sebelumnya.
Tabel 9. Kualitas Politisi Perempuan Dibanding Politisi Laki-‐‑Laki Menurut Pemilih
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Meskipun adanya tuntutan kesamaan hak antara laki-‐‑laki dan perempuan
(kesetaraan gender) di segala bidang, namun kehadiran perempuan belum
21
sepenuhnya diterima atau didukung oleh rakyat dalam dunia politik. Terbukti pada
Pemilu Legislatif 2014, lebih dari 50% pemilih cenderung untuk tidak memilih caleg
perempuan. Padahal kualitas perempuan tidak kalah hebat dengan kualitas kaum
laki-‐‑laki. Lebih dari 60% pemilih yang memilih caleg perempuan, menurut mereka,
bahwa kualitas perempuan sebagai caleg masih lebih baik bila dibandingkan dengan
kualitas laki-‐‑laki. Namun demikian, pada kenyataannya, kaum laki-‐‑laki masih
mendominasi dalam bursa calon legislatif, calon kepala daerah, dan calon presiden.
Tabel 10. Perbandingan Kualitas Politisi Perempuan vs Politisi Laki-‐‑laki Menurut Pendapat Pemilih yang Memilih Caleg Perempuan
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Tabel 11. Peluang Laki-‐‑laki dan Perempuan menjadi Calon Presiden
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Rakyat mempunyai kriteria sendiri untuk menentukan pilihannya kepada
para calon legislatif, dan calon kepala daerah, serta calon presiden. Dalam hal ini,
kriteria yang harus dimiliki oleh calon presiden adalah: memahami kehendak dan
kebutuhan semua lapisan masyarakat, sederhana dan merakyat, berwibawa, kuat,
34 33
22
tegas dalam mengambil keputusan, diterima oleh semua kalangan, dan bersih dari
KKN.
Dari 5 kriteria tersebut di atas, seorang calon yang dapat memahami
kehendak dan kebutuhan semua lapisan masyarakat, adalah kriteria paling tertinggi
prosentasinya yang diinginkan oleh masyarakat, yakni 93,04%
Grafik 3.
Kriteria yang Penting untuk Dimiliki Presiden Menurut Masyarakat Indonesia
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Adapun dalam pemilihan legislatif, terkait dengan calon perempuan, terdapat
beberapa kriteria yang menjadi pilihan rakyat, antara lain: memasang banyak atribut
kampanye, berasal dari daerah yang sama, satu suku (etnis), dicalonkan oleh partai
yang didukung rakyat, didukung oleh kerabat/orang terdekat, dan mempunya latar
belakang (track record) yang baik.
Dari beberapa kriteria tersebut, hasil survey menyatakan bahwa, caleg
perempuan yang mempunyai latar belakang (track record) yang baik, adalah kriteria
yang paling banyak mendapat dukungan rakyat yaitu mencapai 68,68%
Grafik 4.
Pertimbangan Pemilih Caleg Perempuan
23
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Inilah pentingnya survey jejak pendapat bagi para calon kepala daerah, untuk
dapat memahami gambaran kriteria setiap calon yang dikehendaki oleh rakyat.
Survey juga diarahkan untuk mengetahui popularitas dan elektabilitas seorang
calon. Dari hasil-‐‑hasil survey yang dilakukan, seorang calon dan tim suksesnya,
dapat membuat strategi-‐‑strategi untuk memenangkan hati rakyat sehingga akhirnya
dapat terpilih dengan meraih dukungan suara rakyat dalam suatu pemilihan.
Sejak era reformasi, survey banyak digunakan oleh partai-‐‑partai politik dalam
membantu menentukan pasangan calon kepala daerah yang akan diusungnya.
Partai Demokrat misalnya, pada Pemilihan Kepala Daerah serentak Desember 2015
lalu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat menuturkan bahwa selain popularitas dan
kapabilitas, para calon harus membawa misi partai ke depan. Untuk itu, Partai
Demokrat menggunakan survey karena dianggap sebagai cara yang obyektif untuk
mengetahui kemampuan seseorang yang dipercaya menjadi calon kepala daerah.
22
tegas dalam mengambil keputusan, diterima oleh semua kalangan, dan bersih dari
KKN.
Dari 5 kriteria tersebut di atas, seorang calon yang dapat memahami
kehendak dan kebutuhan semua lapisan masyarakat, adalah kriteria paling tertinggi
prosentasinya yang diinginkan oleh masyarakat, yakni 93,04%
Grafik 3.
Kriteria yang Penting untuk Dimiliki Presiden Menurut Masyarakat Indonesia
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Adapun dalam pemilihan legislatif, terkait dengan calon perempuan, terdapat
beberapa kriteria yang menjadi pilihan rakyat, antara lain: memasang banyak atribut
kampanye, berasal dari daerah yang sama, satu suku (etnis), dicalonkan oleh partai
yang didukung rakyat, didukung oleh kerabat/orang terdekat, dan mempunya latar
belakang (track record) yang baik.
Dari beberapa kriteria tersebut, hasil survey menyatakan bahwa, caleg
perempuan yang mempunyai latar belakang (track record) yang baik, adalah kriteria
yang paling banyak mendapat dukungan rakyat yaitu mencapai 68,68%
Grafik 4.
Pertimbangan Pemilih Caleg Perempuan
32 35
22
tegas dalam mengambil keputusan, diterima oleh semua kalangan, dan bersih dari
KKN.
Dari 5 kriteria tersebut di atas, seorang calon yang dapat memahami
kehendak dan kebutuhan semua lapisan masyarakat, adalah kriteria paling tertinggi
prosentasinya yang diinginkan oleh masyarakat, yakni 93,04%
Grafik 3.
Kriteria yang Penting untuk Dimiliki Presiden Menurut Masyarakat Indonesia
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Adapun dalam pemilihan legislatif, terkait dengan calon perempuan, terdapat
beberapa kriteria yang menjadi pilihan rakyat, antara lain: memasang banyak atribut
kampanye, berasal dari daerah yang sama, satu suku (etnis), dicalonkan oleh partai
yang didukung rakyat, didukung oleh kerabat/orang terdekat, dan mempunya latar
belakang (track record) yang baik.
Dari beberapa kriteria tersebut, hasil survey menyatakan bahwa, caleg
perempuan yang mempunyai latar belakang (track record) yang baik, adalah kriteria
yang paling banyak mendapat dukungan rakyat yaitu mencapai 68,68%
Grafik 4.
Pertimbangan Pemilih Caleg Perempuan
23
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Inilah pentingnya survey jejak pendapat bagi para calon kepala daerah, untuk
dapat memahami gambaran kriteria setiap calon yang dikehendaki oleh rakyat.
Survey juga diarahkan untuk mengetahui popularitas dan elektabilitas seorang
calon. Dari hasil-‐‑hasil survey yang dilakukan, seorang calon dan tim suksesnya,
dapat membuat strategi-‐‑strategi untuk memenangkan hati rakyat sehingga akhirnya
dapat terpilih dengan meraih dukungan suara rakyat dalam suatu pemilihan.
Sejak era reformasi, survey banyak digunakan oleh partai-‐‑partai politik dalam
membantu menentukan pasangan calon kepala daerah yang akan diusungnya.
Partai Demokrat misalnya, pada Pemilihan Kepala Daerah serentak Desember 2015
lalu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat menuturkan bahwa selain popularitas dan
kapabilitas, para calon harus membawa misi partai ke depan. Untuk itu, Partai
Demokrat menggunakan survey karena dianggap sebagai cara yang obyektif untuk
mengetahui kemampuan seseorang yang dipercaya menjadi calon kepala daerah.
22
tegas dalam mengambil keputusan, diterima oleh semua kalangan, dan bersih dari
KKN.
Dari 5 kriteria tersebut di atas, seorang calon yang dapat memahami
kehendak dan kebutuhan semua lapisan masyarakat, adalah kriteria paling tertinggi
prosentasinya yang diinginkan oleh masyarakat, yakni 93,04%
Grafik 3.
Kriteria yang Penting untuk Dimiliki Presiden Menurut Masyarakat Indonesia
Sumber: Diolah dari hasil survey nasional LIPI
Adapun dalam pemilihan legislatif, terkait dengan calon perempuan, terdapat
beberapa kriteria yang menjadi pilihan rakyat, antara lain: memasang banyak atribut
kampanye, berasal dari daerah yang sama, satu suku (etnis), dicalonkan oleh partai
yang didukung rakyat, didukung oleh kerabat/orang terdekat, dan mempunya latar
belakang (track record) yang baik.
Dari beberapa kriteria tersebut, hasil survey menyatakan bahwa, caleg
perempuan yang mempunyai latar belakang (track record) yang baik, adalah kriteria
yang paling banyak mendapat dukungan rakyat yaitu mencapai 68,68%
Grafik 4.
Pertimbangan Pemilih Caleg Perempuan
36 3524
Namun, Partai Demokrat juga tidak menutup mata dari kearifan realitas lokal yang
muncul di tempat-‐‑tempat tertentu.28
Selain Partai Demokrat, PDIP juga melakukan survey dalam menentukan
pasangan calon yang diusungnya. Ketua DPD PDIP Jawa Tengah menyatakan
bahwa hasil survey internal partai, akan menjadi persyaratan utama dikeluarkannya
rekomendasi calon kepala daerah melalui partainya. Hasil survey calon kepala
daerah yang dinilai, memenuhi kriteria dan persyaratan calon, kemudian akan
direkomendasikan menjadi satu nama.29
Partai Nasdem juga termasuk salah satu partai yang menetapkan pasangan
calon berdasarkan hasil survey, dengan menetapkan empat kriteria yaitu
kompetensi, kelayakan, bebas dari kasus hukum, dan tidak dikutip uang mahar.
Survey juga digunakan untuk menguji elektabilitas dan kriteria kelayakan pasangan
calon, di berbagai daerah.30
D. Menghitung Target Perolehan Suara Minimal untuk Menang pada Pilkada
Pasal 18 ayat (4) Undang-‐‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan “Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Bupati
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Walikota sebagai Kepala
Pemerintah Kota, dipilih secara demokratis”. Sementara pada Pasal 1 ayat (2)
disebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-‐‑Undang Dasar”.
28 “Hinca Pandjaitan: PD Pilih 269 Pasangan Calon Terbaik pada Pilkada 2015 Berdasar Kriteria yang Logis,” http://www.demokrat.or.id/2015/07/hinca-pandjaitan-pd-pilih-269-pasangan-calon-terbaik-pada-Pilkada-2015-berdasar-kriteria-yang-logis/ diakses pada 3 April 2016 29“Instrumen Survey Jadi Syarat Rekomendasi PDIP Calonkan Kepala Daerah,” http://www.aktual.com/instrumen-survey-jadi-syarat-rekomendasi-pdip-calonkan-kepala-daerah/ diakses pada 3 April 2016 30 “Nasdem Hati-Hati Tetapkan Kriteria Calon Kepala Daerah,” http://www.harnas.co/2015/11/16/nasdem-hati-hati-tetapkan-kriteria-calon-kepala-daerah diakses pada 3 April 2016
25
Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut, Pemilihan Kepala
Daerah semestinya dilakukan secara langsung. 31 Hal ini ternyata tidak sejalan
dengan Undang-‐‑Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pelaksanaannya,
Undang-‐‑Undang ini mendapat penolakan yang luas dari rakyat. Oleh karena itu,
dibentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-‐‑Undang tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-‐‑Undang Nomor 1
Tahun 2015. Dengan ditetapkannya Undang-‐‑Undang ini, Pemilihan Kepala Daerah
tidak lagi dilakukan melalui perwakilan rakyat di DPRD tetapi dipilih secara
langsung oleh rakyat. Akan tetapi, ketentuan-‐‑ketentuan dalam Undang-‐‑Undang
Nomor 1 Tahun 2015 apabila dilaksanakan, dirasa masih terdapat inkonsistensi dan
menyisakan sejumlah kendala, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan dengan
cara menetapkan Undang-‐‑Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota menjadi Undang-‐‑Undang. Ketentuan-‐‑ketentuan pada Undang-‐‑
Undang Nomor 8 Tahun 2015 inilah yang kemudian menjadi acuan dalam
Pemilihan Kepala Daerah.
Terdapat beberapa perbedaan antara UU No. 22 Tahun 2014, UU No. 1 Tahun
2015, dan UU No. 8 Tahun 2015 seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :
31“Membedah Pertentangan UU Pilkada dengan UUD 1945,”
https://m.tempo.co/read/news/2014/09/28/078610253/membedah-pertentangan-uu-Pilkada-dengan-uud-1945 diakses pada 14 Maret 2016
24
Namun, Partai Demokrat juga tidak menutup mata dari kearifan realitas lokal yang
muncul di tempat-‐‑tempat tertentu.28
Selain Partai Demokrat, PDIP juga melakukan survey dalam menentukan
pasangan calon yang diusungnya. Ketua DPD PDIP Jawa Tengah menyatakan
bahwa hasil survey internal partai, akan menjadi persyaratan utama dikeluarkannya
rekomendasi calon kepala daerah melalui partainya. Hasil survey calon kepala
daerah yang dinilai, memenuhi kriteria dan persyaratan calon, kemudian akan
direkomendasikan menjadi satu nama.29
Partai Nasdem juga termasuk salah satu partai yang menetapkan pasangan
calon berdasarkan hasil survey, dengan menetapkan empat kriteria yaitu
kompetensi, kelayakan, bebas dari kasus hukum, dan tidak dikutip uang mahar.
Survey juga digunakan untuk menguji elektabilitas dan kriteria kelayakan pasangan
calon, di berbagai daerah.30
D. Menghitung Target Perolehan Suara Minimal untuk Menang pada Pilkada
Pasal 18 ayat (4) Undang-‐‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan “Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Bupati
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Walikota sebagai Kepala
Pemerintah Kota, dipilih secara demokratis”. Sementara pada Pasal 1 ayat (2)
disebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-‐‑Undang Dasar”.
28 “Hinca Pandjaitan: PD Pilih 269 Pasangan Calon Terbaik pada Pilkada 2015 Berdasar Kriteria yang Logis,” http://www.demokrat.or.id/2015/07/hinca-pandjaitan-pd-pilih-269-pasangan-- -pada-Pilkada-2015-berdasar-kriteria-yang-logis/ diakses pada 3 April 2016
29 “Instrumen Survey Jadi Syarat Rekomendasi PDIP Calonkan Kepala Daerah,” http://www.aktual.com/instrumen-survey-jadi-syarat-rekomendasi-pdip-calonkan-kepala-daerah/ diakses pada 3 April 2016
30“Nasdem Hati-Hati Tetapkan Kriteria Calon Kepala Daerah,” http://www.harnas.co/2015/11/16/nasdem-hati-hati-tetapkan-kriteria-calon-kepala-daerah diakses pada 3 April 2016
25
Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut, Pemilihan Kepala
Daerah semestinya dilakukan secara langsung. 31 Hal ini ternyata tidak sejalan
dengan Undang-‐‑Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pelaksanaannya,
Undang-‐‑Undang ini mendapat penolakan yang luas dari rakyat. Oleh karena itu,
dibentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-‐‑Undang tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-‐‑Undang Nomor 1
Tahun 2015. Dengan ditetapkannya Undang-‐‑Undang ini, Pemilihan Kepala Daerah
tidak lagi dilakukan melalui perwakilan rakyat di DPRD tetapi dipilih secara
langsung oleh rakyat. Akan tetapi, ketentuan-‐‑ketentuan dalam Undang-‐‑Undang
Nomor 1 Tahun 2015 apabila dilaksanakan, dirasa masih terdapat inkonsistensi dan
menyisakan sejumlah kendala, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan dengan
cara menetapkan Undang-‐‑Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota menjadi Undang-‐‑Undang. Ketentuan-‐‑ketentuan pada Undang-‐‑
Undang Nomor 8 Tahun 2015 inilah yang kemudian menjadi acuan dalam
Pemilihan Kepala Daerah.
Terdapat beberapa perbedaan antara UU No. 22 Tahun 2014, UU No. 1 Tahun
2015, dan UU No. 8 Tahun 2015 seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :
31“Membedah Pertentangan UU Pilkada dengan UUD 1945,”
https://m.tempo.co/read/news/2014/09/28/078610253/membedah-pertentangan-uu-Pilkada-dengan-uud-1945 diakses pada 14 Maret 2016
34 3724
Namun, Partai Demokrat juga tidak menutup mata dari kearifan realitas lokal yang
muncul di tempat-‐‑tempat tertentu.28
Selain Partai Demokrat, PDIP juga melakukan survey dalam menentukan
pasangan calon yang diusungnya. Ketua DPD PDIP Jawa Tengah menyatakan
bahwa hasil survey internal partai, akan menjadi persyaratan utama dikeluarkannya
rekomendasi calon kepala daerah melalui partainya. Hasil survey calon kepala
daerah yang dinilai, memenuhi kriteria dan persyaratan calon, kemudian akan
direkomendasikan menjadi satu nama.29
Partai Nasdem juga termasuk salah satu partai yang menetapkan pasangan
calon berdasarkan hasil survey, dengan menetapkan empat kriteria yaitu
kompetensi, kelayakan, bebas dari kasus hukum, dan tidak dikutip uang mahar.
Survey juga digunakan untuk menguji elektabilitas dan kriteria kelayakan pasangan
calon, di berbagai daerah.30
D. Menghitung Target Perolehan Suara Minimal untuk Menang pada Pilkada
Pasal 18 ayat (4) Undang-‐‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan “Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Bupati
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Walikota sebagai Kepala
Pemerintah Kota, dipilih secara demokratis”. Sementara pada Pasal 1 ayat (2)
disebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-‐‑Undang Dasar”.
28 “Hinca Pandjaitan: PD Pilih 269 Pasangan Calon Terbaik pada Pilkada 2015 Berdasar
Kriteria yang Logis,” http://www.demokrat.or.id/2015/07/hinca-pandjaitan-pd-pilih-269-pasangan-calon-terbaik-pada-Pilkada-2015-berdasar-kriteria-yang-logis/ diakses pada 3 April 2016
29“Instrumen Survey Jadi Syarat Rekomendasi PDIP Calonkan Kepala Daerah,” http://www.aktual.com/instrumen-survey-jadi-syarat-rekomendasi-pdip-calonkan-kepala-daerah/ diakses pada 3 April 2016
30“Nasdem Hati-Hati Tetapkan Kriteria Calon Kepala Daerah,” http://www.harnas.co/2015/11/16/nasdem-hati-hati-tetapkan-kriteria-calon-kepala-daerah diakses pada 3 April 2016
25
Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut, Pemilihan Kepala
Daerah semestinya dilakukan secara langsung. 31 Hal ini ternyata tidak sejalan
dengan Undang-‐‑Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pelaksanaannya,
Undang-‐‑Undang ini mendapat penolakan yang luas dari rakyat. Oleh karena itu,
dibentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-‐‑Undang tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-‐‑Undang Nomor 1
Tahun 2015. Dengan ditetapkannya Undang-‐‑Undang ini, Pemilihan Kepala Daerah
tidak lagi dilakukan melalui perwakilan rakyat di DPRD tetapi dipilih secara
langsung oleh rakyat. Akan tetapi, ketentuan-‐‑ketentuan dalam Undang-‐‑Undang
Nomor 1 Tahun 2015 apabila dilaksanakan, dirasa masih terdapat inkonsistensi dan
menyisakan sejumlah kendala, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan dengan
cara menetapkan Undang-‐‑Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota menjadi Undang-‐‑Undang. Ketentuan-‐‑ketentuan pada Undang-‐‑
Undang Nomor 8 Tahun 2015 inilah yang kemudian menjadi acuan dalam
Pemilihan Kepala Daerah.
Terdapat beberapa perbedaan antara UU No. 22 Tahun 2014, UU No. 1 Tahun
2015, dan UU No. 8 Tahun 2015 seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :
31“Membedah Pertentangan UU Pilkada dengan UUD 1945,” https://m.tempo.co/read/news/2014/09/28/078610253/membedah-pertentangan-uu-Pilkada-dengan-uud-1945 diakses pada 14 Maret 2016
24
Namun, Partai Demokrat juga tidak menutup mata dari kearifan realitas lokal yang
muncul di tempat-‐‑tempat tertentu.28
Selain Partai Demokrat, PDIP juga melakukan survey dalam menentukan
pasangan calon yang diusungnya. Ketua DPD PDIP Jawa Tengah menyatakan
bahwa hasil survey internal partai, akan menjadi persyaratan utama dikeluarkannya
rekomendasi calon kepala daerah melalui partainya. Hasil survey calon kepala
daerah yang dinilai, memenuhi kriteria dan persyaratan calon, kemudian akan
direkomendasikan menjadi satu nama.29
Partai Nasdem juga termasuk salah satu partai yang menetapkan pasangan
calon berdasarkan hasil survey, dengan menetapkan empat kriteria yaitu
kompetensi, kelayakan, bebas dari kasus hukum, dan tidak dikutip uang mahar.
Survey juga digunakan untuk menguji elektabilitas dan kriteria kelayakan pasangan
calon, di berbagai daerah.30
D. Menghitung Target Perolehan Suara Minimal untuk Menang pada Pilkada
Pasal 18 ayat (4) Undang-‐‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan “Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Bupati
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, dan Walikota sebagai Kepala
Pemerintah Kota, dipilih secara demokratis”. Sementara pada Pasal 1 ayat (2)
disebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-‐‑Undang Dasar”.
28 “Hinca Pandjaitan: PD Pilih 269 Pasangan Calon Terbaik pada Pilkada 2015 Berdasar
Kriteria yang Logis,” http://www.demokrat.or.id/2015/07/hinca-pandjaitan-pd-pilih-269-pasangan-calon-terbaik-pada-Pilkada-2015-berdasar-kriteria-yang-logis/ diakses pada 3 April 2016
29“Instrumen Survey Jadi Syarat Rekomendasi PDIP Calonkan Kepala Daerah,” http://www.aktual.com/instrumen-survey-jadi-syarat-rekomendasi-pdip-calonkan-kepala-daerah/ diakses pada 3 April 2016
30“Nasdem Hati-Hati Tetapkan Kriteria Calon Kepala Daerah,” http://www.harnas.co/2015/11/16/nasdem-hati-hati-tetapkan-kriteria-calon-kepala-daerah diakses pada 3 April 2016
25
Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut, Pemilihan Kepala
Daerah semestinya dilakukan secara langsung. 31 Hal ini ternyata tidak sejalan
dengan Undang-‐‑Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pelaksanaannya,
Undang-‐‑Undang ini mendapat penolakan yang luas dari rakyat. Oleh karena itu,
dibentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-‐‑Undang tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-‐‑Undang Nomor 1
Tahun 2015. Dengan ditetapkannya Undang-‐‑Undang ini, Pemilihan Kepala Daerah
tidak lagi dilakukan melalui perwakilan rakyat di DPRD tetapi dipilih secara
langsung oleh rakyat. Akan tetapi, ketentuan-‐‑ketentuan dalam Undang-‐‑Undang
Nomor 1 Tahun 2015 apabila dilaksanakan, dirasa masih terdapat inkonsistensi dan
menyisakan sejumlah kendala, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan dengan
cara menetapkan Undang-‐‑Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-‐‑Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota menjadi Undang-‐‑Undang. Ketentuan-‐‑ketentuan pada Undang-‐‑
Undang Nomor 8 Tahun 2015 inilah yang kemudian menjadi acuan dalam
Pemilihan Kepala Daerah.
Terdapat beberapa perbedaan antara UU No. 22 Tahun 2014, UU No. 1 Tahun
2015, dan UU No. 8 Tahun 2015 seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :
31“Membedah Pertentangan UU Pilkada dengan UUD 1945,”
https://m.tempo.co/read/news/2014/09/28/078610253/membedah-pertentangan-uu-Pilkada-dengan-uud-1945 diakses pada 14 Maret 2016
38 3726
Tabel 12.
Perbedaan UU No. 22 Tahun 2014, UU No.1 Tahun 2015, dan UU No.8 Tahun 2015
Aspek UU No. 22 Tahun
2014
UU No. 1 Tahun 2015 UU No. 8 Tahun
2015
Prinsip Pelaksanaan
Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Walikota dipilih oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota secara demokratis dengan asas bebas, terbuka, jujur, dan adil
Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat
Peserta Pemilihan -‐‑ Calon Gubernur, Bupati dan Walikota yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; -‐‑ Calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
-‐‑ Calon Gubernur, Bupati dan Walikota yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik; -‐‑ Calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
-‐‑ Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; -‐‑ Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
Ketentuan untuk mendaftarkan calon yang diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik
Calon diusulkan dari Fraksi atau gabungan Fraksi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari
Calon diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan
Pasangan calon diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari
27
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
Ketentuan Jumlah Dukungan untuk Mendaftarkan Calon yang Berasal dari Calon Perseorangan
1. Pendaftaran calon Gubernur : -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : mencapai 2.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 2.000.000 < jumlah penduduk ≤ 6.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 6.000.000 < jumlah penduduk ≤ 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : > 12.000.000 jiwa Jumlah minimal
1. Pendaftaran calon Gubernur :
-‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : mencapai 2.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 2.000.000 < jumlah penduduk ≤ 6.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 6.000.000 < jumlah penduduk ≤ 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : > 12.000.000 jiwa Jumlah minimal
1. Pendaftaran Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur: -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : mencapai 2.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 10% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 2.000.000 < jumlah penduduk ≤ 6.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 8,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 6.000.000 < jumlah penduduk ≤ 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 7,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang
36 3926
Tabel 12.
Perbedaan UU No. 22 Tahun 2014, UU No.1 Tahun 2015, dan UU No.8 Tahun 2015
Aspek UU No. 22 Tahun
2014
UU No. 1 Tahun 2015 UU No. 8 Tahun
2015
Prinsip Pelaksanaan
Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Walikota dipilih oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota secara demokratis dengan asas bebas, terbuka, jujur, dan adil
Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat
Peserta Pemilihan -‐‑ Calon Gubernur, Bupati dan Walikota yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; -‐‑ Calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
-‐‑ Calon Gubernur, Bupati dan Walikota yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik; -‐‑ Calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
-‐‑ Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik; -‐‑ Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang
Ketentuan untuk mendaftarkan calon yang diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik
Calon diusulkan dari Fraksi atau gabungan Fraksi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari
Calon diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan
Pasangan calon diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari
27
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan
Ketentuan Jumlah Dukungan untuk Mendaftarkan Calon yang Berasal dari Calon Perseorangan
1. Pendaftaran calon Gubernur : -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : mencapai 2.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 2.000.000 < jumlah penduduk ≤ 6.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 6.000.000 < jumlah penduduk ≤ 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : > 12.000.000 jiwa Jumlah minimal
1. Pendaftaran calon Gubernur :
-‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : mencapai 2.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 2.000.000 < jumlah penduduk ≤ 6.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 6.000.000 < jumlah penduduk ≤ 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : > 12.000.000 jiwa Jumlah minimal
1. Pendaftaran Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur: -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : mencapai 2.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 10% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 2.000.000 < jumlah penduduk ≤ 6.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 8,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang bersangkutan : 6.000.000 < jumlah penduduk ≤ 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 7,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di provinsi yang
40 3928
dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2. Pendaftaran calon Bupati dan Walikota: -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : mencapai 250.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 250.000 < jumlah penduduk ≤ 500.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 500.000 < jumlah penduduk ≤ 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan
dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2. Pendaftaran calon Bupati dan Walikota: -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : mencapai 250.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 250.000 < jumlah penduduk ≤ 500.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 500.000 < jumlah penduduk ≤ 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota
bersangkutan : > 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2. Pendaftaran Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota: -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : mencapai 250.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 10% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 250.000 < jumlah penduduk ≤ 500.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 8,5% penduduk
29
: > 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
yang bersangkutan : > 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
-‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 500.000 < jumlah penduduk ≤ 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 7,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : >1.000.000 jiwa -‐‑ Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk
-‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
Penghitungan Suara
-‐‑ Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai calon terpilih
-‐‑ Apabila terdapat jumlah suara yang sama, maka dilakukan pemungutan suara ulang putaran kedua
-‐‑ Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang memperoleh suara lebih dari 30% jumlah suara sah ditetapkan sebagai calon terpilih
-‐‑ Apabila tidak ada yang mencapai jumlah tersebut, maka calon yang meraih suara
-‐‑ Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon
38 4128
dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2. Pendaftaran calon Bupati dan Walikota: -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : mencapai 250.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 250.000 < jumlah penduduk ≤ 500.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 500.000 < jumlah penduduk ≤ 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan
dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2. Pendaftaran calon Bupati dan Walikota: -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : mencapai 250.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 250.000 < jumlah penduduk ≤ 500.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 500.000 < jumlah penduduk ≤ 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 4% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota
bersangkutan : > 12.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2. Pendaftaran Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota: -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : mencapai 250.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 10% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 250.000 < jumlah penduduk ≤ 500.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 8,5% penduduk
29
: > 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
yang bersangkutan : > 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 3% penduduk -‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
-‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : 500.000 < jumlah penduduk ≤ 1.000.000 jiwa Jumlah minimal dukungan : 7,5% penduduk -‐‑ Jumlah penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan : >1.000.000 jiwa -‐‑ Jumlah minimal dukungan : 6,5% penduduk
-‐‑ Jumlah dukungan tersebut harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
Penghitungan Suara
-‐‑ Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai calon terpilih
-‐‑ Apabila terdapat jumlah suara yang sama, maka dilakukan pemungutan suara ulang putaran kedua
-‐‑ Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang memperoleh suara lebih dari 30% jumlah suara sah ditetapkan sebagai calon terpilih
-‐‑ Apabila tidak ada yang mencapai jumlah tersebut, maka calon yang meraih suara
-‐‑ Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon
4130
paling lambat 2 jam setelah hasil penghitungan suara putaran pertama diumumkan
-‐‑ Apabila terdapat jumlah suara yang sama pada putaran kedua, maka dilakukan pemungutan suara ulang putaran ketiga paling lambat 2 jam setelah hasil penghitungan suara putaran kedua diumumkan
-‐‑ Apabila pada putaran ketiga masih terdapat perolehan suara yang sama, maka pemenang ditentukan dengan mengkonversi perolehan suara hasil pemilihan umum dari masing-‐‑masing anggota DPRD yang memilih
terbanyak pertama dan kedua akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah untuk putaran kedua
-‐‑ Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah pada putaran kedua ditetapkan sebagai calon terpilih
terpilih -‐‑ Apabila terdapat jumlah perolehan suara yang sama, maka Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan , Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati , serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih
Dengan adanya perubahan Undang-‐‑Undang tersebut, terdapat beberapa
konsekuensi atau tantangan yang harus dihadapi oleh peserta pemilihan, yaitu :
1. Peserta pemilihan yaitu Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati
dan Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Wakil Walikota. Oleh karena itu,
31
pada saat akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan, Calon Kepala
Daerah harus sudah menentukan pasangan calon wakilnya.
2. Terdapat kenaikan jumlah minimal dukungan bagi pasangan calon
perseorangan yang akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan.
Dengan demikian, pasangan calon perseorangan harus lebih meningkatkan
berbagai upaya untuk lebih banyak mendapatkan kepercayaan dan
dukungan dari rakyat untuk menjadi peserta pemilihan.
3. Selain berupaya mendapatkan sebanyak-‐‑banyaknya dukungan suara, para
pasangan calon juga harus memperhatikan ketersebaran suara di seluruh
daerah pemilihannya. Oleh karenanya, pasangan calon tidak bisa hanya
berorientasi pada daerah yang menjadi kantong suaranya saja tetapi juga
harus berupaya mendapatkan suara dari daerah pemilihan yang lain.
4. Pasangan calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara sah
terbanyak dalam satu kali putaran. Hal ini bertujuan untuk lebih
mengefisiensikan waktu dan anggaran penyelenggaraan pemilihan.
Meskipun untuk menjadi peserta pemilihan dapat dilakukan dari jalur partai
politik atau perseorangan, kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam
Pemilihan Kepala Daerah sepertinya masih mengalami kesulitan. Adanya
perubahan ketentuan pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang syarat pencalonan yang
cenderung lebih ketat menjadi salah satu sebab semakin sulitnya bagi perempuan
untuk berada di jajaran eksekutif.
Partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki kursi setidaknya
20% di DPRD atau 25% suara sah saat Pemilu Legislatif. Hal ini lantas mendorong
partai politik untuk mengusung calon yang lebih unggul dalam hal elektabilitas
sosial, popularitas, dan finansial dimana secara umum hal-‐‑hal tersebut cenderung
lebih dimiliki oleh calon laki-‐‑laki dibandingkan calon perempuan. Sementara itu,
apabila calon perempuan hendak maju dari jalur perseorangan pun bukanlah suatu
hal yang mudah. Untuk memasuki jajaran eksekutif dibutuhkan power yang lebih 31
pada saat akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan, Calon Kepala
Daerah harus sudah menentukan pasangan calon wakilnya.
2. Terdapat kenaikan jumlah minimal dukungan bagi pasangan calon
perseorangan yang akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan.
Dengan demikian, pasangan calon perseorangan harus lebih meningkatkan
berbagai upaya untuk lebih banyak mendapatkan kepercayaan dan
dukungan dari rakyat untuk menjadi peserta pemilihan.
3. Selain berupaya mendapatkan sebanyak-‐‑banyaknya dukungan suara, para
pasangan calon juga harus memperhatikan ketersebaran suara di seluruh
daerah pemilihannya. Oleh karenanya, pasangan calon tidak bisa hanya
berorientasi pada daerah yang menjadi kantong suaranya saja tetapi juga
harus berupaya mendapatkan suara dari daerah pemilihan yang lain.
4. Pasangan calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara sah
terbanyak dalam satu kali putaran. Hal ini bertujuan untuk lebih
mengefisiensikan waktu dan anggaran penyelenggaraan pemilihan.
Meskipun untuk menjadi peserta pemilihan dapat dilakukan dari jalur partai
politik atau perseorangan, kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam
Pemilihan Kepala Daerah sepertinya masih mengalami kesulitan. Adanya
perubahan ketentuan pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang syarat pencalonan yang
cenderung lebih ketat menjadi salah satu sebab semakin sulitnya bagi perempuan
untuk berada di jajaran eksekutif.
Partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki kursi setidaknya
20% di DPRD atau 25% suara sah saat Pemilu Legislatif. Hal ini lantas mendorong
partai politik untuk mengusung calon yang lebih unggul dalam hal elektabilitas
sosial, popularitas, dan finansial dimana secara umum hal-‐‑hal tersebut cenderung
lebih dimiliki oleh calon laki-‐‑laki dibandingkan calon perempuan. Sementara itu,
apabila calon perempuan hendak maju dari jalur perseorangan pun bukanlah suatu
hal yang mudah. Untuk memasuki jajaran eksekutif dibutuhkan power yang lebih
42
40 4330
paling lambat 2 jam setelah hasil penghitungan suara putaran pertama diumumkan
-‐‑ Apabila terdapat jumlah suara yang sama pada putaran kedua, maka dilakukan pemungutan suara ulang putaran ketiga paling lambat 2 jam setelah hasil penghitungan suara putaran kedua diumumkan
-‐‑ Apabila pada putaran ketiga masih terdapat perolehan suara yang sama, maka pemenang ditentukan dengan mengkonversi perolehan suara hasil pemilihan umum dari masing-‐‑masing anggota DPRD yang memilih
terbanyak pertama dan kedua akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah untuk putaran kedua
-‐‑ Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah pada putaran kedua ditetapkan sebagai calon terpilih
terpilih -‐‑ Apabila terdapat jumlah perolehan suara yang sama, maka Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan , Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati , serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih
Dengan adanya perubahan Undang-‐‑Undang tersebut, terdapat beberapa
konsekuensi atau tantangan yang harus dihadapi oleh peserta pemilihan, yaitu :
1. Peserta pemilihan yaitu Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati
dan Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Wakil Walikota. Oleh karena itu,
31
pada saat akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan, Calon Kepala
Daerah harus sudah menentukan pasangan calon wakilnya.
2. Terdapat kenaikan jumlah minimal dukungan bagi pasangan calon
perseorangan yang akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan.
Dengan demikian, pasangan calon perseorangan harus lebih meningkatkan
berbagai upaya untuk lebih banyak mendapatkan kepercayaan dan
dukungan dari rakyat untuk menjadi peserta pemilihan.
3. Selain berupaya mendapatkan sebanyak-‐‑banyaknya dukungan suara, para
pasangan calon juga harus memperhatikan ketersebaran suara di seluruh
daerah pemilihannya. Oleh karenanya, pasangan calon tidak bisa hanya
berorientasi pada daerah yang menjadi kantong suaranya saja tetapi juga
harus berupaya mendapatkan suara dari daerah pemilihan yang lain.
4. Pasangan calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara sah
terbanyak dalam satu kali putaran. Hal ini bertujuan untuk lebih
mengefisiensikan waktu dan anggaran penyelenggaraan pemilihan.
Meskipun untuk menjadi peserta pemilihan dapat dilakukan dari jalur partai
politik atau perseorangan, kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam
Pemilihan Kepala Daerah sepertinya masih mengalami kesulitan. Adanya
perubahan ketentuan pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang syarat pencalonan yang
cenderung lebih ketat menjadi salah satu sebab semakin sulitnya bagi perempuan
untuk berada di jajaran eksekutif.
Partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki kursi setidaknya
20% di DPRD atau 25% suara sah saat Pemilu Legislatif. Hal ini lantas mendorong
partai politik untuk mengusung calon yang lebih unggul dalam hal elektabilitas
sosial, popularitas, dan finansial dimana secara umum hal-‐‑hal tersebut cenderung
lebih dimiliki oleh calon laki-‐‑laki dibandingkan calon perempuan. Sementara itu,
apabila calon perempuan hendak maju dari jalur perseorangan pun bukanlah suatu
hal yang mudah. Untuk memasuki jajaran eksekutif dibutuhkan power yang lebih 31
pada saat akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan, Calon Kepala
Daerah harus sudah menentukan pasangan calon wakilnya.
2. Terdapat kenaikan jumlah minimal dukungan bagi pasangan calon
perseorangan yang akan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan.
Dengan demikian, pasangan calon perseorangan harus lebih meningkatkan
berbagai upaya untuk lebih banyak mendapatkan kepercayaan dan
dukungan dari rakyat untuk menjadi peserta pemilihan.
3. Selain berupaya mendapatkan sebanyak-‐‑banyaknya dukungan suara, para
pasangan calon juga harus memperhatikan ketersebaran suara di seluruh
daerah pemilihannya. Oleh karenanya, pasangan calon tidak bisa hanya
berorientasi pada daerah yang menjadi kantong suaranya saja tetapi juga
harus berupaya mendapatkan suara dari daerah pemilihan yang lain.
4. Pasangan calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara sah
terbanyak dalam satu kali putaran. Hal ini bertujuan untuk lebih
mengefisiensikan waktu dan anggaran penyelenggaraan pemilihan.
Meskipun untuk menjadi peserta pemilihan dapat dilakukan dari jalur partai
politik atau perseorangan, kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam
Pemilihan Kepala Daerah sepertinya masih mengalami kesulitan. Adanya
perubahan ketentuan pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang syarat pencalonan yang
cenderung lebih ketat menjadi salah satu sebab semakin sulitnya bagi perempuan
untuk berada di jajaran eksekutif.
Partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki kursi setidaknya
20% di DPRD atau 25% suara sah saat Pemilu Legislatif. Hal ini lantas mendorong
partai politik untuk mengusung calon yang lebih unggul dalam hal elektabilitas
sosial, popularitas, dan finansial dimana secara umum hal-‐‑hal tersebut cenderung
lebih dimiliki oleh calon laki-‐‑laki dibandingkan calon perempuan. Sementara itu,
apabila calon perempuan hendak maju dari jalur perseorangan pun bukanlah suatu
hal yang mudah. Untuk memasuki jajaran eksekutif dibutuhkan power yang lebih
44 43
32
besar apalagi dengan adanya kenaikan syarat yang signifikan guna menunjukkan
bahwa dirinya benar-‐‑benar dapat merepresentasikan dukungan riil dari masyarakat.
Calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan setidaknya sebesar 6,5-‐‑10%
dari jumlah penduduk untuk dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan.
Pada kenyataannya, sampai saat ini, Pemilihan Kepala Daerah masih terkesan mahal
dan membutuhkan kekuatan yang besar baik secara popularitas, sosial, maupun
finansial.32
Beratnya syarat dukungan bagi calon perseorangan tersebut dianggap
berbeda dengan syarat calon yang didukung partai politik. Pasalnya, syarat
pencalonan calon yang didukung partai politik ditentukan melalui perolehan suara
berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT), sementara syarat dukungan calon
perseorangan berdasarkan jumlah penduduk. Oleh karena itu, pada 2015 lalu,
Mahkamah Konstitusi telah mengubah ketentuan tersebut dan memutuskan bahwa
syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam
daftar pemilih tetap. Dengan adanya putusan ini tentu saja dapat meringankan
syarat pencalonan perseorangan dan mendorong calon perseorangan untuk ikut
dalam bursa pencalonan Pilkada.
Meskipun telah ada perubahan ketentuan Mahkamah Konstitusi untuk
meringankan persayaratan pencalonan perseorangan, namun bagi calon perempuan
masih menghadapi berbagai tantangan tersendiri. Sesuai ketentuan pada UU No. 8
Tahun 2015, bahwa pemilihan kepala daerah hanya diadakan dengan satu kali
putaran dimana yang menjadi kepala daerah terpilih adalah calon kepala daerah
dengan perolehan suara terbanyak. Apabila di antara calon terjadi perolehan jumlah
suara yang sama, maka yang memenangkan pemilihan kepala daerah adalah calon
dengan perolehan suara yang tersebar merata di daerah pemilihan. Sangatlah
32 “Panggung Pilkada Belum Ramah Perempuan,”
http://www.rumahPemilu.org/in/read/9887/Panggung-Pilkada-Belum-Ramah-Perempuan
33
penting membuat estimasi target minimal perolehan suara, agar jumlah suara yang
merata dapat diperolah di masing-‐‑masing daerah pemilihan. Memang strategi
membuat target minimal perolehan suara, tidak lantas menjamin kemenangan
seorang calon, namun setidakanya dapat memperikirakan peluang akan sebuah
harapan untuk menang.
Perumusan Cara Menghitung Estimasi Minimal Target Perolehan Suara untuk Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah .
Sebelum menghitung estimasi minimal target perolehan suara untuk
memenangkan pemilihan kepala daerah, terdapat beberapa data yang terlebih
dahulu perlu disiapkan seperti yang tersaji pada tabel di bawah ini :
Tabel 13. Data yang Perlu Disiapkan untuk Menghitung Estimasi Minimal Target Perolehan Suara
No. Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota
1. Jumlah pemilih di provinsi yang bersangkutan
Jumlah pemilih di kabupaten/kota yang bersangkutan
2. Data kabupaten/kota yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
Data kecamatan yang terdapat pada kabupaten/kota yang bersangkutan
3. Data kecamatan yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
Data kelurahan/desa yang terdapat pada kabupaten/kota yang bersangkutan
4. Data kelurahan/desa yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
Data TPS yang terdapat pada kabupaten/kota yang bersangkutan
5. Data TPS yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
42 45
32
besar apalagi dengan adanya kenaikan syarat yang signifikan guna menunjukkan
bahwa dirinya benar-‐‑benar dapat merepresentasikan dukungan riil dari masyarakat.
Calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan setidaknya sebesar 6,5-‐‑10%
dari jumlah penduduk untuk dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan.
Pada kenyataannya, sampai saat ini, Pemilihan Kepala Daerah masih terkesan mahal
dan membutuhkan kekuatan yang besar baik secara popularitas, sosial, maupun
finansial.32
Beratnya syarat dukungan bagi calon perseorangan tersebut dianggap
berbeda dengan syarat calon yang didukung partai politik. Pasalnya, syarat
pencalonan calon yang didukung partai politik ditentukan melalui perolehan suara
berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT), sementara syarat dukungan calon
perseorangan berdasarkan jumlah penduduk. Oleh karena itu, pada 2015 lalu,
Mahkamah Konstitusi telah mengubah ketentuan tersebut dan memutuskan bahwa
syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam
daftar pemilih tetap. Dengan adanya putusan ini tentu saja dapat meringankan
syarat pencalonan perseorangan dan mendorong calon perseorangan untuk ikut
dalam bursa pencalonan Pilkada.
Meskipun telah ada perubahan ketentuan Mahkamah Konstitusi untuk
meringankan persayaratan pencalonan perseorangan, namun bagi calon perempuan
masih menghadapi berbagai tantangan tersendiri. Sesuai ketentuan pada UU No. 8
Tahun 2015, bahwa pemilihan kepala daerah hanya diadakan dengan satu kali
putaran dimana yang menjadi kepala daerah terpilih adalah calon kepala daerah
dengan perolehan suara terbanyak. Apabila di antara calon terjadi perolehan jumlah
suara yang sama, maka yang memenangkan pemilihan kepala daerah adalah calon
dengan perolehan suara yang tersebar merata di daerah pemilihan. Sangatlah
32 “Panggung Pilkada Belum Ramah Perempuan,”
http://www.rumahPemilu.org/in/read/9887/Panggung-Pilkada-Belum-Ramah-Perempuan
33
penting membuat estimasi target minimal perolehan suara, agar jumlah suara yang
merata dapat diperolah di masing-‐‑masing daerah pemilihan. Memang strategi
membuat target minimal perolehan suara, tidak lantas menjamin kemenangan
seorang calon, namun setidakanya dapat memperikirakan peluang akan sebuah
harapan untuk menang.
Perumusan Cara Menghitung Estimasi Minimal Target Perolehan Suara untuk Memenangkan Pemilihan Kepala Daerah .
Sebelum menghitung estimasi minimal target perolehan suara untuk
memenangkan pemilihan kepala daerah, terdapat beberapa data yang terlebih
dahulu perlu disiapkan seperti yang tersaji pada tabel di bawah ini :
Tabel 13. Data yang Perlu Disiapkan untuk Menghitung Estimasi Minimal Target Perolehan Suara
No. Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota
1. Jumlah pemilih di provinsi yang bersangkutan
Jumlah pemilih di kabupaten/kota yang bersangkutan
2. Data kabupaten/kota yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
Data kecamatan yang terdapat pada kabupaten/kota yang bersangkutan
3. Data kecamatan yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
Data kelurahan/desa yang terdapat pada kabupaten/kota yang bersangkutan
4. Data kelurahan/desa yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
Data TPS yang terdapat pada kabupaten/kota yang bersangkutan
5. Data TPS yang terdapat pada provinsi yang bersangkutan
46 45
34
Langkah-‐‑langkah menghitung estimasi minimal target perolehan suara :
(1) Mengetahui jumlah pemilih di daerah yang bersangkutan
(2) Menghitung estimasi persentase minimal target total perolehan suara di daerah yang bersangkutan dengan rumus :
𝑃𝑃 = 100
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 + 1
Keterangan : P = estimasi persentase minimal target perolehan suara Rumus tersebut berdasarkan ketentuan bahwa pasangan calon terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak, dan dengan asumsi bahwa para pasangan calon yang saling berkompetisi mempunyai “kekuatan yang sama” dengan perolehan suara yang berimbang
(3) Menghitung estimasi jumlah minimal target total perolehan suara di daerah yang bersangkutan dengan rumus :
𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷ℎ 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 Keterangan : S = estimasi jumlah minimal target perolehan suara
(4) Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap daerah sebaran suara .
35
Penyelenggaraan Pemilu, seringkali terdapat sekelompok orang yang disebut
“golongan putih”, yaitu mereka yang secara sengaja serta dengan maksud dan
tujuan menolak memberikan hak suaranya dalam Pemilu. Pola yang dilakukan oleh
para “golputers” misalnya, tidak menggunakan hak politiknya dengan tidak
mendatangi TPS, kalau pun datang ke TPS, mereka merusak kertas suara dengan
mencoblos lebih dari satu calon, atau pun dengan mencoblos di bagian luar dari foto
calon, dan berbagai pola lannya, dengan tujuan untuk tidak memberikan hak
suaranya, bahkan bertujuan untuk menggagalkan Pemilu.
Adanya golongan putih ini tentu saja akan berpengaruh pada perhitungan
hasil jumlah suara sah. Lantas mungkin muncul pertanyaan, mengapa suara tidak
sah dari golongan putih, tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam
perhitungan estimasi jumlah minimal target perolehan suara? Untuk menjawab hal
tersebut, perhatikan dua ilustrasi berikut dengan menggunakan data Pilkada 2015
kota Tangerang Selatan sebagai contoh:
Data Pilkada 2015 Kota Tangerang Selatan :
Jumlah pemilih = 930.483
Jumlah pengguna hak pilih = 529.106
Jumlah yang tidak menggunakan hak pilih = 401.377
Jumlah suara sah = 512.128
Jumlah suara tidak sah = 16.978
Jumlah golput = Jml yang tidak menggunakan hak pilih + Jml suara tidak sah
Jumlah golput = 401.377 + 16.978 = 418.355
Jumlah paslon peserta pemilihan = 3
Paslon Airin – Benyamin menang sebagai kepala daerah terpilih dengan perolehan suara sebanyak 305.049 suara
44 47
34
Langkah-‐‑langkah menghitung estimasi minimal target perolehan suara :
(1) Mengetahui jumlah pemilih di daerah yang bersangkutan
(2) Menghitung estimasi persentase minimal target total perolehan suara di daerah yang bersangkutan dengan rumus :
𝑃𝑃 = 100
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 + 1
Keterangan : P = estimasi persentase minimal target perolehan suara Rumus tersebut berdasarkan ketentuan bahwa pasangan calon terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak, dan dengan asumsi bahwa para pasangan calon yang saling berkompetisi mempunyai “kekuatan yang sama” dengan perolehan suara yang berimbang
(3) Menghitung estimasi jumlah minimal target total perolehan suara di daerah yang bersangkutan dengan rumus :
𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷ℎ 𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦𝑦 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 Keterangan : S = estimasi jumlah minimal target perolehan suara
(4) Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap daerah sebaran suara .
35
Penyelenggaraan Pemilu, seringkali terdapat sekelompok orang yang disebut
“golongan putih”, yaitu mereka yang secara sengaja serta dengan maksud dan
tujuan menolak memberikan hak suaranya dalam Pemilu. Pola yang dilakukan oleh
para “golputers” misalnya, tidak menggunakan hak politiknya dengan tidak
mendatangi TPS, kalau pun datang ke TPS, mereka merusak kertas suara dengan
mencoblos lebih dari satu calon, atau pun dengan mencoblos di bagian luar dari foto
calon, dan berbagai pola lannya, dengan tujuan untuk tidak memberikan hak
suaranya, bahkan bertujuan untuk menggagalkan Pemilu.
Adanya golongan putih ini tentu saja akan berpengaruh pada perhitungan
hasil jumlah suara sah. Lantas mungkin muncul pertanyaan, mengapa suara tidak
sah dari golongan putih, tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam
perhitungan estimasi jumlah minimal target perolehan suara? Untuk menjawab hal
tersebut, perhatikan dua ilustrasi berikut dengan menggunakan data Pilkada 2015
kota Tangerang Selatan sebagai contoh:
Data Pilkada 2015 Kota Tangerang Selatan :
Jumlah pemilih = 930.483
Jumlah pengguna hak pilih = 529.106
Jumlah yang tidak menggunakan hak pilih = 401.377
Jumlah suara sah = 512.128
Jumlah suara tidak sah = 16.978
Jumlah golput = Jml yang tidak menggunakan hak pilih + Jml suara tidak sah
Jumlah golput = 401.377 + 16.978 = 418.355
Jumlah paslon peserta pemilihan = 3
Paslon Airin – Benyamin menang sebagai kepala daerah terpilih dengan perolehan suara sebanyak 305.049 suara
48 47
36
Ilustrasi 1 (Dengan memasukkan variabel “golongan putih” dalam perhitungan):
Menghitung estimasi persentase minimal target perolehan suara :
𝑃𝑃 =1003 + 1 = 35 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara : 𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ − 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 930.483 − 418.355
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 512.128
𝑆𝑆 = 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏.𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐 𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔
Angka ini jauh lebih kecil dari angka perolehan suara kemenangan Airin - Benyamin
Implikasinya:
Jumlah suara tidak sah golput baru bisa dipastikan setelah proses penghitungan suara. Jika ternyata golput lebih sedikit dari yang diperkirakan, atau bahkan tidak ada suara golput, maka estimasi jumlah minimal target perolehan suara yang dibuat, akan lebih kecil atau kurang dari yang seharusnya dibutuhkan.
Ilustrasi 2 (Tanpa memasukkan variabel “golongan putih” dalam perhitungan):
Menghitung estimasi persentase minimal target perolehan suara :
𝑃𝑃 =1003 + 1 = 35 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara : 𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 930.483
𝑆𝑆 = 𝟑𝟑𝟑𝟑𝟑𝟑.𝟔𝟔𝟔𝟔𝟔𝟔 𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔𝒔
Angka ini melebihi dari angka perolehan suara kemenangan Airin - Benyamin
Implikasinya:
Jumlah suara tidak sah golput baru bisa dipastikan setelah proses penghitungan suara. Jika ternyata terdapat jumlah suara golput, maka estimasi jumlah minimal target perolehan suara yang dibuat akan melebihi dari yang ditargetkan, bahkan melebihi dari hasil perolehan suara.
37
Dari kedua ilustrasi tersebut, terlihat bahwa dengan memasukkan variabel
golongan putih dalam perhitungan estimasi jumlah minimal target perolehan suara,
akan lebih memiliki risiko yaitu target tersebut tidak mencukupi kebutuhan jumlah
suara untuk memenangkan pemilihan. Menurut data hasil Pilkada 2015, rata-‐‑rata
persentase pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya sekitar 30-‐‑an %. Dengan
demikian, tanpa memasukkan variabel golongan putih dalam perhitungan estimasi
jumlah minimal target perolehan suara, akan lebih aman dan risikonya pun relatif
lebih kecil.
Contoh Perhitungan Estimasi Minimal Target Perolehan Suara pada Daerah Penyelenggara Pilkada 2017
Guna lebih memperjelas bagaimana perhitungan estimasi jumlah minimal
target perolehan suara untuk lebih membuka peluang memenangkan pemilihan
kepala daerah, berikut akan disajikan contoh simulasi perhitungan estimasi minimal
target perolehan suara pada daerah-‐‑daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan
kepala daerah pada 2017 mendatang.
Contoh Perhitungan Estimasi Minimal Target Perolehan Suara pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cimahi:
Kecamatan Pemilih
Cimahi Selatan 174.952
Cimahi Tengah 109.265
Cimahi Utara 103.705
Total 387.922
Langkah 1.
Mengetahui data jumlah pemilih (berdasarkan data pemilih tetap pada pemilihan presiden 2014)
46 4937
Dari kedua ilustrasi tersebut, terlihat bahwa dengan memasukkan variabel
golongan putih dalam perhitungan estimasi jumlah minimal target perolehan suara,
akan lebih memiliki risiko yaitu target tersebut tidak mencukupi kebutuhan jumlah
suara untuk memenangkan pemilihan. Menurut data hasil Pilkada 2015, rata-‐‑rata
persentase pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya sekitar 30-‐‑an %. Dengan
demikian, tanpa memasukkan variabel golongan putih dalam perhitungan estimasi
jumlah minimal target perolehan suara, akan lebih aman dan risikonya pun relatif
lebih kecil.
Contoh Perhitungan Estimasi Minimal Target Perolehan Suara pada Daerah Penyelenggara Pilkada 2017
Guna lebih memperjelas bagaimana perhitungan estimasi jumlah minimal
target perolehan suara untuk lebih membuka peluang memenangkan pemilihan
kepala daerah, berikut akan disajikan contoh simulasi perhitungan estimasi minimal
target perolehan suara pada daerah-‐‑daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan
kepala daerah pada 2017 mendatang.
Contoh Perhitungan Estimasi Minimal Target Perolehan Suara pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Cimahi:
Kecamatan Pemilih
Cimahi Selatan 174.952
Cimahi Tengah 109.265
Cimahi Utara 103.705
Total 387.922
Langkah 1.
Mengetahui data jumlah pemilih (berdasarkan data pemilih tetap pada pemilihan presiden 2014)
50 49
38
Langkah 2.
Menghitung estimasi persentase minimal target perolehan suara dengan rumus :
𝑃𝑃 = 100
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 + 1
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1002 + 1 = 51 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika pasangan calon lebih dari 2. Cara yang sama, estimasi persentase target perolehan
suara dihitung dengan cara sebagai berikut :
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1003 + 1 = 35 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1004 + 1 = 26 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
39
Langkah 3.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara dengan rumus :
𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 51% 𝑥𝑥 387.922 = 197.841 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 387.922 = 135.773 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 26% 𝑥𝑥 387.922 = 100.860 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Dari langkah 2 dan langkah 3 di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah
pasangan calon pada pemilihan kepala daerah, maka estimasi jumlah minimal
target perolehan suara yang diperlukan untuk lebih membuka kemenangan bagi
seorang calon kepala daerah, peluangnya semakin kecil atau semakin sedikit.
Meskipun yang menang menjadi kepala daerah terpilih merupakan paslon dengan perolehan suara terbanyak, namun apabila terdapat perolehan jumlah suara yang
sama, maka berdasar ketentuan UU, yang menjadi kepala daerah terpilih adalah pasangan calon dengan sebaran
perolehan suara yang lebih merata.
48 51
38
Langkah 2.
Menghitung estimasi persentase minimal target perolehan suara dengan rumus :
𝑃𝑃 = 100
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 + 1
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1002 + 1 = 51 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika pasangan calon lebih dari 2. Cara yang sama, estimasi persentase target perolehan
suara dihitung dengan cara sebagai berikut :
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1003 + 1 = 35 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1004 + 1 = 26 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
39
Langkah 3.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara dengan rumus :
𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 51% 𝑥𝑥 387.922 = 197.841 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 387.922 = 135.773 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 26% 𝑥𝑥 387.922 = 100.860 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Dari langkah 2 dan langkah 3 di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah
pasangan calon pada pemilihan kepala daerah, maka estimasi jumlah minimal
target perolehan suara yang diperlukan untuk lebih membuka kemenangan bagi
seorang calon kepala daerah, peluangnya semakin kecil atau semakin sedikit.
Meskipun yang menang menjadi kepala daerah terpilih merupakan paslon dengan perolehan suara terbanyak, namun apabila terdapat perolehan jumlah suara yang
sama, maka berdasar ketentuan UU, yang menjadi kepala daerah terpilih adalah pasangan calon dengan sebaran
perolehan suara yang lebih merata.
52 51
40
Langkah 4.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap daerah sebaran suara
a. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan dengan rumus :
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆
Keterangan : SKec = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan. Estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan dengan 3 paslon pada pilkada kota Cimahi: Kecamatan Cimahi Selatan
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =174.952387.922 𝑥𝑥 135.773 = 61.234 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Cimahi Tengah
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =109.265387.922 𝑥𝑥 135.773 = 38.243 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Cimahi Utara
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =103.705387.922 𝑥𝑥 135.773 = 36.297 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan, dengan jumlah pasangan calon, kurang dari 3 atau lebih.
Basis pertama pemenangan pada Pilkada/Pemilu adalah di TPS. Sehingga sangat diperlukan untuk menghitung estimasi
jumlah minimal target perolehan suara sampai di level TPS.
41
b. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS dengan rumus:
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Keterangan : STPS = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS. Contoh, menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS di kota Cimahi, kecamatan Cimahi Selatan, kelurahan Cibeber apabila terdapat 3 pasangan calon peserta Pilkada di kota Cimahi. TPS 1
Jumlah pemilih di TPS 1 = 302
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =302
174.952 𝑥𝑥 61.234 = 106 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
TPS 28
Jumlah pemilih di TPS 28 = 409
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =409
174.952 𝑥𝑥 61.234 = 144 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS lain yang ada di kelurahan Cibeber maupun di kelurahan lain di setiap kecamatan, dengan jumlah pasangan calon, kurang dari 3 atau lebih.
50 53
40
Langkah 4.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap daerah sebaran suara
a. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan dengan rumus :
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆
Keterangan : SKec = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan. Estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan dengan 3 paslon pada pilkada kota Cimahi: Kecamatan Cimahi Selatan
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =174.952387.922 𝑥𝑥 135.773 = 61.234 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Cimahi Tengah
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =109.265387.922 𝑥𝑥 135.773 = 38.243 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Cimahi Utara
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =103.705387.922 𝑥𝑥 135.773 = 36.297 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan, dengan jumlah pasangan calon, kurang dari 3 atau lebih.
Basis pertama pemenangan pada Pilkada/Pemilu adalah di TPS. Sehingga sangat diperlukan untuk menghitung estimasi
jumlah minimal target perolehan suara sampai di level TPS.
41
b. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS dengan rumus:
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Keterangan : STPS = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS. Contoh, menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS di kota Cimahi, kecamatan Cimahi Selatan, kelurahan Cibeber apabila terdapat 3 pasangan calon peserta Pilkada di kota Cimahi. TPS 1
Jumlah pemilih di TPS 1 = 302
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =302
174.952 𝑥𝑥 61.234 = 106 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
TPS 28
Jumlah pemilih di TPS 28 = 409
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =409
174.952 𝑥𝑥 61.234 = 144 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS lain yang ada di kelurahan Cibeber maupun di kelurahan lain di setiap kecamatan, dengan jumlah pasangan calon, kurang dari 3 atau lebih.
54 53
42
Contoh Perhitungan Estimasi Minimal Target Perolehan Suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Sulawesi Barat
Kabupaten/Kota Pemilih
Majene 107.754
Mamasa 120.249
Mamuju 249.171
Mamuju Utara 104.177
Polewali Mandar 306.226
Total 887.577
Langkah 1.
Mengetahui data jumlah pemilih (berdasarkan data pemilih tetap pada pemilihan presiden 2014)
Langkah 2.
Menghitung estimasi persentase minimal target perolehan suara dengan rumus :
𝑃𝑃 = 100
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 + 1
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1002 + 1 = 51 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika pasangan calon lebih dari 2. Cara yang sama, estimasi persentase target perolehan
suara dihitung sebagai berikut :
43
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1003 + 1 = 35 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1004 + 1 = 26 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Langkah 3.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara, dengan rumus :
𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶ℎ𝑖𝑖
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 51% 𝑥𝑥 887.577 = 452.665 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 887.577 = 310.652 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
52 55
42
Contoh Perhitungan Estimasi Minimal Target Perolehan Suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Sulawesi Barat
Kabupaten/Kota Pemilih
Majene 107.754
Mamasa 120.249
Mamuju 249.171
Mamuju Utara 104.177
Polewali Mandar 306.226
Total 887.577
Langkah 1.
Mengetahui data jumlah pemilih (berdasarkan data pemilih tetap pada pemilihan presiden 2014)
Langkah 2.
Menghitung estimasi persentase minimal target perolehan suara dengan rumus :
𝑃𝑃 = 100
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 + 1
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1002 + 1 = 51 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika pasangan calon lebih dari 2. Cara yang sama, estimasi persentase target perolehan
suara dihitung sebagai berikut :
43
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1003 + 1 = 35 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑃𝑃 =1004 + 1 = 26 (𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 %)
Langkah 3.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara, dengan rumus :
𝑆𝑆 = 𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶ℎ𝑖𝑖
Jika terdapat 2 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 51% 𝑥𝑥 887.577 = 452.665 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Jika terdapat 3 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 35% 𝑥𝑥 887.577 = 310.652 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
56 55
44
Meskipun yang menang menjadi kepala daerah terpilih merupakan paslon dengan perolehan suara
terbanyak, namun apabila terdapat perolehan jumlah suara yang sama, maka berdasar ketentuan UU, yang menjadi kepala daerah terpilih adalah paslon dengan
sebaran perolehan suara yang lebih merata
Langkah 4.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap daerah sebaran suara
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 26% 𝑥𝑥 887.577 = 230.771 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Dari langkah 2 dan langkah 3 di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah
pasangan calon pada pemilihan kepala daerah, maka estimasi jumlah minimal
target perolehan suara yang diperlukan untuk lebih membuka kemenangan
bagi seorang calon kepala daerah, peluang semakin kecil atau semakin sedikit.
45
a. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/kota dengan rumus :
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘/𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑥𝑥 𝑆𝑆
Keterangan : SKab/Kota = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/kota Estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/kota apabila terdapat 4 calon dalam pilkada di Provinsi Sulawesi Barat: Kabupaten/Kota Majene
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =107.754887.577 𝑥𝑥 230.771 = 28.017 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Mamasa
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =120.171887.577 𝑥𝑥 230.771 = 31.245 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Mamuju
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =249.171887.577 𝑥𝑥 230.771 = 64.785 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Mamuju Utara
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =104.177887.577 𝑥𝑥 230.771 = 27.087 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Polewali Mandar
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =306.226887.577 𝑥𝑥 230.771 = 79.620 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/ kota, dengan jumlah pasangan calon, kurang dari 4 atau lebih.
54 57
44
Meskipun yang menang menjadi kepala daerah terpilih merupakan paslon dengan perolehan suara
terbanyak, namun apabila terdapat perolehan jumlah suara yang sama, maka berdasar ketentuan UU, yang menjadi kepala daerah terpilih adalah paslon dengan
sebaran perolehan suara yang lebih merata
Langkah 4.
Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap daerah sebaran suara
Jika terdapat 4 pasangan calon, maka:
𝑆𝑆 = 26% 𝑥𝑥 887.577 = 230.771 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Dari langkah 2 dan langkah 3 di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah
pasangan calon pada pemilihan kepala daerah, maka estimasi jumlah minimal
target perolehan suara yang diperlukan untuk lebih membuka kemenangan
bagi seorang calon kepala daerah, peluang semakin kecil atau semakin sedikit.
45
a. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/kota dengan rumus :
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘/𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑥𝑥 𝑆𝑆
Keterangan : SKab/Kota = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/kota Estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/kota apabila terdapat 4 calon dalam pilkada di Provinsi Sulawesi Barat: Kabupaten/Kota Majene
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =107.754887.577 𝑥𝑥 230.771 = 28.017 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Mamasa
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =120.171887.577 𝑥𝑥 230.771 = 31.245 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Mamuju
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =249.171887.577 𝑥𝑥 230.771 = 64.785 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Mamuju Utara
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =104.177887.577 𝑥𝑥 230.771 = 27.087 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kabupaten/Kota Polewali Mandar
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =306.226887.577 𝑥𝑥 230.771 = 79.620 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kabupaten/ kota, dengan jumlah pasangan calon, kurang dari 4 atau lebih.
58 57
46
b. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan dengan rumus :
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘/𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Keterangan : SKec = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan Sebagai contoh menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan di kabupaten/kota Majene, apabila terdapat 4 calon dalam pilkada di Provinsi Sulawesi Barat:: Kecamatan Banggae
Jumlah pemilih di kecamatan Banggae = 26.115
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =26.115107.754 𝑥𝑥 28.017 = 6.791 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Malunda
Jumlah pemilih di kecamatan Malunda = 11.787
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =11.787107.754 𝑥𝑥 28.017 = 3.065 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Ulumunda
Jumlah pemilih di kecamatan Ulumunda = 5.785
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =5.785107.754 𝑥𝑥 28.017 = 1.505 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan lain di kabupaten/kota Majene maupun di kabupaten/kota lain, dengan jumlah paslon peserta pemilihan kepala daerah kurang dari 4 atau lebih
47
Basis pertama pemenangan pada Pilkada/Pemilu adalah di TPS. Sehingga sangat diperlukan untuk menghitung estimasi
jumlah minimal target perolehan suara sampai di level TPS.
c. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS dengan rumus :
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Keterangan : STPS = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS Sebagai contoh menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS di provinsi Sulawesi Barat, kabupaten/kota Majene, kecamatan Banggae, kelurahan Rangas apabila jumlah paslon peserta pemilihan kepala daerah di provinsi Sulawesi Barat ada 4 : TPS 3
Jumlah pemilih di TPS 3 = 324
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =32426.115 𝑥𝑥 6.791 = 85 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
TPS 8
Jumlah pemilih di TPS 8 = 305
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =30526.115 𝑥𝑥 6.791 = 80 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS lain yang ada di kelurahan Rangas maupun di kelurahan lain di setiap kecamatan apabila jumlah paslon peserta pemilihan kepala daerah “kurang dari” atau “lebih dari” 4
56 59
46
b. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan dengan rumus :
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘/𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾/𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Keterangan : SKec = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan Sebagai contoh menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan di kabupaten/kota Majene, apabila terdapat 4 calon dalam pilkada di Provinsi Sulawesi Barat:: Kecamatan Banggae
Jumlah pemilih di kecamatan Banggae = 26.115
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =26.115107.754 𝑥𝑥 28.017 = 6.791 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Malunda
Jumlah pemilih di kecamatan Malunda = 11.787
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =11.787107.754 𝑥𝑥 28.017 = 3.065 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Kecamatan Ulumunda
Jumlah pemilih di kecamatan Ulumunda = 5.785
𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 =5.785107.754 𝑥𝑥 28.017 = 1.505 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap kecamatan lain di kabupaten/kota Majene maupun di kabupaten/kota lain, dengan jumlah paslon peserta pemilihan kepala daerah kurang dari 4 atau lebih
47
Basis pertama pemenangan pada Pilkada/Pemilu adalah di TPS. Sehingga sangat diperlukan untuk menghitung estimasi
jumlah minimal target perolehan suara sampai di level TPS.
c. Menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS dengan rumus :
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Keterangan : STPS = estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS Sebagai contoh menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS di provinsi Sulawesi Barat, kabupaten/kota Majene, kecamatan Banggae, kelurahan Rangas apabila jumlah paslon peserta pemilihan kepala daerah di provinsi Sulawesi Barat ada 4 : TPS 3
Jumlah pemilih di TPS 3 = 324
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =32426.115 𝑥𝑥 6.791 = 85 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
TPS 8
Jumlah pemilih di TPS 8 = 305
𝑆𝑆𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =30526.115 𝑥𝑥 6.791 = 80 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
Catatan :
Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung estimasi jumlah minimal target perolehan suara di setiap TPS lain yang ada di kelurahan Rangas maupun di kelurahan lain di setiap kecamatan apabila jumlah paslon peserta pemilihan kepala daerah “kurang dari” atau “lebih dari” 4
60 59
48
Sangat diperlukan adanya peta wilayah dukungan masyarakat, guna
mengetahui daerah mana saja yang berpotensi menjadi basis perolehan suara dalam
pilkada maupun pemilu. Untuk mengetahui basis dukungan suara dari suatu
daerah, seorang bakal calon yang berasal dari partai politik, dapat menggunakan
data-‐‑data pemilu/pilkada sebelumnya. Data-‐‑data tersebut sangat dimungkinkan
sebagai informasi awal, dalam membuat berbagai strategi agar mencapai minimal
target perolehan suara. Sedangkan bagi calon dari jalur perseorangan, maka data-‐‑
data tentang wilayah domosili pendukungnya, bisa dijadikan informasi awal untuk
mengetahui perkiraan wilayah mana saja yang berpotensi menjadi basis perolehan
suara.
Betapa pentingnya strategi untuk mencapai estimasi target perolehan suara
yang harus dipersiapkan oleh masing-‐‑masing kandidat dan tim suksesnya. Potensi
persaingan dan kekuatan setiap kandidat harus dicermati secara seksama, selain
kondisi sosial politik masing-‐‑masing daerah pemilihan juga memerlukan perhatian
serius guna membuat perencanaan dan strategi pemenangan. Segala kemungkinan
harus diperhitungkan, temasuk personal branding, dan karakter pemilih di setiap
daerah dalam menyusun strategi kampanye seapik mungkin, guna menarik hati para
pemilih.
Dengan demikian, peluang untuk mencapai kemenangan dengan
memperoleh dukungan suara dari rakyat, menjadi sebuah kenyataan dalam ajang
pilkada/pemilu.
49
Daftar Pustaka
Evans, Jocelyn A.J. 2004. Voters and Voting. London: Sage Publications.
Johnson, Janet Buttolph and H.T. Reynolds. 2001. Political Science Research Methods. 4
th edition. Washington DC: Congressional Quarterly.
McQuail, Dennis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. 4th edition. New
Delhi: SAGE publications Ltd.
Mujani, Saiful, dkk. 2012. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam
Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-‐‑Orde Baru. Jakarta: Mizan
Publika.
Mulyawarman. 2001. “Perilaku Pemilih Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa:
Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar”. [e-‐‑journal]
dalam http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/download/1265/1256
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Setiajid. 2011. “Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Muda dalam
Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010
(Studi Kasus Pemilih muda di Kota Semarang).” Integralistik.
No.1/Th.XXII/2011.
Statistik Indonesia 2015. Katalog BPS: 1101001. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Statistik Politik 2015. Katalog BPS: 4601003. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
“Hinca Pandjaitan: PD Pilih 269 Pasangan Calon Terbaik pada Pilkada 2015
Berdasar Kriteria yang Logis,” http://www.demokrat.or.id/2015/07/hinca-‐‑
pandjaitan-‐‑pd-‐‑pilih-‐‑269-‐‑pasangan-‐‑calon-‐‑terbaik-‐‑pada-‐‑Pilkada-‐‑2015-‐‑berdasar-‐‑
kriteria-‐‑yang-‐‑logis/
58 61
48
Sangat diperlukan adanya peta wilayah dukungan masyarakat, guna
mengetahui daerah mana saja yang berpotensi menjadi basis perolehan suara dalam
pilkada maupun pemilu. Untuk mengetahui basis dukungan suara dari suatu
daerah, seorang bakal calon yang berasal dari partai politik, dapat menggunakan
data-‐‑data pemilu/pilkada sebelumnya. Data-‐‑data tersebut sangat dimungkinkan
sebagai informasi awal, dalam membuat berbagai strategi agar mencapai minimal
target perolehan suara. Sedangkan bagi calon dari jalur perseorangan, maka data-‐‑
data tentang wilayah domosili pendukungnya, bisa dijadikan informasi awal untuk
mengetahui perkiraan wilayah mana saja yang berpotensi menjadi basis perolehan
suara.
Betapa pentingnya strategi untuk mencapai estimasi target perolehan suara
yang harus dipersiapkan oleh masing-‐‑masing kandidat dan tim suksesnya. Potensi
persaingan dan kekuatan setiap kandidat harus dicermati secara seksama, selain
kondisi sosial politik masing-‐‑masing daerah pemilihan juga memerlukan perhatian
serius guna membuat perencanaan dan strategi pemenangan. Segala kemungkinan
harus diperhitungkan, temasuk personal branding, dan karakter pemilih di setiap
daerah dalam menyusun strategi kampanye seapik mungkin, guna menarik hati para
pemilih.
Dengan demikian, peluang untuk mencapai kemenangan dengan
memperoleh dukungan suara dari rakyat, menjadi sebuah kenyataan dalam ajang
pilkada/pemilu.
49
Daftar Pustaka
Evans, Jocelyn A.J. 2004. Voters and Voting. London: Sage Publications.
Johnson, Janet Buttolph and H.T. Reynolds. 2001. Political Science Research Methods. 4
th edition. Washington DC: Congressional Quarterly.
McQuail, Dennis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. 4th edition. New
Delhi: SAGE publications Ltd.
Mujani, Saiful, dkk. 2012. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam
Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-‐‑Orde Baru. Jakarta: Mizan
Publika.
Mulyawarman. 2001. “Perilaku Pemilih Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa:
Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar”. [e-‐‑journal]
dalam http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/download/1265/1256
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Setiajid. 2011. “Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Muda dalam
Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010
(Studi Kasus Pemilih muda di Kota Semarang).” Integralistik.
No.1/Th.XXII/2011.
Statistik Indonesia 2015. Katalog BPS: 1101001. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Statistik Politik 2015. Katalog BPS: 4601003. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
“Hinca Pandjaitan: PD Pilih 269 Pasangan Calon Terbaik pada Pilkada 2015
Berdasar Kriteria yang Logis,” http://www.demokrat.or.id/2015/07/hinca-‐‑
pandjaitan-‐‑pd-‐‑pilih-‐‑269-‐‑pasangan-‐‑calon-‐‑terbaik-‐‑pada-‐‑Pilkada-‐‑2015-‐‑berdasar-‐‑
kriteria-‐‑yang-‐‑logis/
6250
“Instrumen Survey Jadi Syarat Rekomendasi PDIP Calonkan Kepala Daerah,”
http://www.aktual.com/instrumen-‐‑survey-‐‑jadi-‐‑syarat-‐‑rekomendasi-‐‑pdip-‐‑
calonkan-‐‑kepala-‐‑daerah/
“Membedah Pertentangan UU Pilkada dengan UUD 1945,”
https://m.tempo.co/read/news/2014/09/28/078610253/membedah-‐‑
pertentangan-‐‑uu-‐‑Pilkada-‐‑dengan-‐‑uud-‐‑1945
“Nasdem Hati-‐‑Hati Tetapkan Kriteria Calon Kepala Daerah,”
http://www.harnas.co/2015/11/16/nasdem-‐‑hati-‐‑hati-‐‑tetapkan-‐‑kriteria-‐‑calon-‐‑
kepala-‐‑daerah
“Panggung Pilkada Belum Ramah Perempuan,”
http://www.rumahPemilu.org/in/read/9887/Panggung-‐‑Pilkada-‐‑Belum-‐‑
Ramah-‐‑Perempuan
“Pemilih Muda Penentu Kemenangan,” http://www.dw.de/pemilih-‐‑muda-‐‑penentu-‐‑
kemenangan/a-‐‑17527983
“Peranan Media Massa dalam Kehidupan Sosial dan Politik Indonesia,”
http://www.kompasiana.com/yuhdyanto/peranan-‐‑media-‐‑massa-‐‑dalam-‐‑
kehidupan-‐‑sosial-‐‑dan-‐‑politik-‐‑indonesia_552a36486ea834f649552d3c
“Tujuan Otonomi Daerah dan Manfaatnya Lengkap,”
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/02/tujuan-‐‑otonomi-‐‑daerah-‐‑dan-‐‑
manfaatnya.html
Hasil Survey Nasional “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”,
Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2014
UU No. 22 Tahun 2014
UU No.1 Tahun 2015
UU No.8 Tahun 2015
1
PANDUAN V
BUKU PANDUAN V
Personal Branding Perempuan dalam Pilkada
BUKU PANDUAN V
Personal Branding Perempuan dalam Pilkada
63
Halaman Pengantar
A. Keragaman Profil Perempuan Pemenang Pilkada
B. Membangkitkan Minat Perempuan Berkompetisi dalam Pilkada
C. Perempuan Potensial dengan Modal Individu yang Kuat dalam Pilkada
D. Mengapa Personal Branding Penting dalam Pilkada?
E. Komponen Pembentuk Personal Branding
F. Muatan Khusus Personal Branding Perempuan dalam Pilkada
G. Tahap-Tahap Membangun Personal Branding
H. Strategi Mempromosikan Personal Branding Perempuan dalam Pilkada
I. Mempromosikan Personal Branding Melalui Televisi dan
Mengefektifkan Modal Sosial
J. Target Waktu Penyiapan Personal Branding Perempuan Menuju Pilkada
2017
Daftar Pustaka
Daftar Isi
6567737479828587
92
100
102
64 65
A. Keragaman Profil Perempuan Pemenang Pilkada
Sejak tahun 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung
(selanjutnya disebut Pilkada) sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004.
Kemudian, Pilkada dilaksanakan dalam skema Pilkada serentak sesuai dengan UU
No. 8/2015. Pilkada telah memberikan dampak positif bagi masyarakat termasuk
kaum perempuan. Perempuan menjadi salah satu elemen masyarakat yang mampu
menggunakan momentum Pilkada untuk memperluas perannya dalam politik lokal.
Hal ini dapat dilihat dari tren semakin meningkatnya jumlah perempuan yang
muncul dan memenangkan Pilkada.
Jika pada masa Orde Baru di bawah UU No. 5/1974 ketika pemilihan
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan intervensi kuat
dari presiden, hanya terdapat dua perempuan kepala daerah yang terpilih yaitu Tutty
Hayati Anwar sebagai Bupati Majalengka (1998–2003) dan Molly Mulyahati
Djubaedi sebagai Walikota Sukabumi (1998–2003), pada 1974–1998. Kemudian,
sejak Era Reformasi 1998, dengan UU No. 22/1999 dimana pemilihan masih
dilakukan oleh DPRD, terdapat empat perempuan kepala daerah terpilih yaitu
Rustriningsih Bupati Kebumen (2000–2005), Haeny Relawati Rini Widyastuti
Bupati Tuban (2001–2006), Rina Iriani Bupati Karanganyar (2003–2008), dan
Tutty Hayati Anwar Bupati Majalengka (2003–2008).
Jumlah perempuan kepala daerah mengalami peningkatan secara perlahan
tetapi pasti sejak pemilihan kepala daerah dilaksanakan langsung dengan UU No.
32/2004. Terdapat lima perempuan kepala daerah terpilih dalam Pilkada sejak
tahun 2005 yaitu Siti Qomariyah Bupati Pekalongan (2006–2011), Rustriningsih
Bupati Kebumen (2005–2010) dan menjadi wakil gubernur Jawa Tengah (2008–
2013), Rina Iriani Bupati Karanganyar (2008–2013), Haeny Relawati Rini
Widyastuti Bupati Tuban (2006–2011) dan Ratna Ani Lestari Bupati Banyuwangi
(2005–2010). Jumlah perempuan kepala daerah terpilih semakin meningkat tajam
dalam kurun waktu Pilkada 2010-2015: 17 perempuan kepala daerah terpilih di
seluruh Indonesia1 dimana 13 terpilih di Pulau Jawa, yaitu (1) Haryanti Sutrisno
Bupati Kediri, (2) Sri Surya Widati Bupati Bantul, (3) Widya Kandi Susanti Bupati
Kendal, (4) Anna Sophanah Bupati Indramayu, (5) Airin Rachmy Diany Walikota
Tangerang Selatan, (6) Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten, (7) Tri Rismaharini
1 Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015), hal. 190-191.
Halaman Pengantar
Intasari Buku ini berisi pengetahuan dasar tentang bagaimana membangun
personal branding perempuan potensial untuk muncul dalam
Pilkada. Menggarisbawahi dua momentum penting, dan tiga tahap
untuk bangkit dalam Pilkada, perempuan diharapkan memiliki
kesadaran atas modal individunya sebagai perempuan potensial.
Perempuan potensial diharapkan menggali salah satu modal
individu yang paling kuat, sesuai passion untuk diolah menjadi
personal branding. Buku ini membekali perempuan untuk
memahami mengapa personal branding penting, komponen
pembentuk personal branding, muatan khusus personal branding
perempuan, tahap-tahap membangun personal branding, strategi
promosi, dan aplikasi personal branding menuju Pilkada 2017.
Kompetensi
Utama
Peserta diharapkan memiliki wawasan yang mendorongnya
bangkit dan berminat maju dalam Pilkada. Perempuan potensial
menyadari passion dan modal individu paling kuat yang
dimilikinya, kemudian mengolahnya menjadi personal branding,
untuk diaplikasikan dalam rentang waktu tertentu menuju Pilkada
2017.
Kompetensi
Pendukung
Pada akhir sesi pembelajaran peserta diharapkan:
1. Memiliki minat untuk maju dalam Pilkada.
2. Menyadari sebagai perempuan potensial dengan modal
individu yang kuat untuk berkompetisi dalam Pilkada.
3. Menemukan aspek sesuai passion dan modal individu yang
paling kuat, untuk diolah menjadi personal branding.
4. Merumuskan personal branding perempuan dalam Pilkada.
5. Mengaplikasikan dalam rentang waktu tertentu menuju
Pilkada 2017.
64 65
A. Keragaman Profil Perempuan Pemenang Pilkada
Sejak tahun 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung
(selanjutnya disebut Pilkada) sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004.
Kemudian, Pilkada dilaksanakan dalam skema Pilkada serentak sesuai dengan UU
No. 8/2015. Pilkada telah memberikan dampak positif bagi masyarakat termasuk
kaum perempuan. Perempuan menjadi salah satu elemen masyarakat yang mampu
menggunakan momentum Pilkada untuk memperluas perannya dalam politik lokal.
Hal ini dapat dilihat dari tren semakin meningkatnya jumlah perempuan yang
muncul dan memenangkan Pilkada.
Jika pada masa Orde Baru di bawah UU No. 5/1974 ketika pemilihan
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan intervensi kuat
dari presiden, hanya terdapat dua perempuan kepala daerah yang terpilih yaitu Tutty
Hayati Anwar sebagai Bupati Majalengka (1998–2003) dan Molly Mulyahati
Djubaedi sebagai Walikota Sukabumi (1998–2003), pada 1974–1998. Kemudian,
sejak Era Reformasi 1998, dengan UU No. 22/1999 dimana pemilihan masih
dilakukan oleh DPRD, terdapat empat perempuan kepala daerah terpilih yaitu
Rustriningsih Bupati Kebumen (2000–2005), Haeny Relawati Rini Widyastuti
Bupati Tuban (2001–2006), Rina Iriani Bupati Karanganyar (2003–2008), dan
Tutty Hayati Anwar Bupati Majalengka (2003–2008).
Jumlah perempuan kepala daerah mengalami peningkatan secara perlahan
tetapi pasti sejak pemilihan kepala daerah dilaksanakan langsung dengan UU No.
32/2004. Terdapat lima perempuan kepala daerah terpilih dalam Pilkada sejak
tahun 2005 yaitu Siti Qomariyah Bupati Pekalongan (2006–2011), Rustriningsih
Bupati Kebumen (2005–2010) dan menjadi wakil gubernur Jawa Tengah (2008–
2013), Rina Iriani Bupati Karanganyar (2008–2013), Haeny Relawati Rini
Widyastuti Bupati Tuban (2006–2011) dan Ratna Ani Lestari Bupati Banyuwangi
(2005–2010). Jumlah perempuan kepala daerah terpilih semakin meningkat tajam
dalam kurun waktu Pilkada 2010-2015: 17 perempuan kepala daerah terpilih di
seluruh Indonesia1 dimana 13 terpilih di Pulau Jawa, yaitu (1) Haryanti Sutrisno
Bupati Kediri, (2) Sri Surya Widati Bupati Bantul, (3) Widya Kandi Susanti Bupati
Kendal, (4) Anna Sophanah Bupati Indramayu, (5) Airin Rachmy Diany Walikota
Tangerang Selatan, (6) Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten, (7) Tri Rismaharini
1 Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015), hal. 190-191.
Halaman Pengantar
Intasari Buku ini berisi pengetahuan dasar tentang bagaimana membangun
personal branding perempuan potensial untuk muncul dalam
Pilkada. Menggarisbawahi dua momentum penting, dan tiga tahap
untuk bangkit dalam Pilkada, perempuan diharapkan memiliki
kesadaran atas modal individunya sebagai perempuan potensial.
Perempuan potensial diharapkan menggali salah satu modal
individu yang paling kuat, sesuai passion untuk diolah menjadi
personal branding. Buku ini membekali perempuan untuk
memahami mengapa personal branding penting, komponen
pembentuk personal branding, muatan khusus personal branding
perempuan, tahap-tahap membangun personal branding, strategi
promosi, dan aplikasi personal branding menuju Pilkada 2017.
Kompetensi
Utama
Peserta diharapkan memiliki wawasan yang mendorongnya
bangkit dan berminat maju dalam Pilkada. Perempuan potensial
menyadari passion dan modal individu paling kuat yang
dimilikinya, kemudian mengolahnya menjadi personal branding,
untuk diaplikasikan dalam rentang waktu tertentu menuju Pilkada
2017.
Kompetensi
Pendukung
Pada akhir sesi pembelajaran peserta diharapkan:
1. Memiliki minat untuk maju dalam Pilkada.
2. Menyadari sebagai perempuan potensial dengan modal
individu yang kuat untuk berkompetisi dalam Pilkada.
3. Menemukan aspek sesuai passion dan modal individu yang
paling kuat, untuk diolah menjadi personal branding.
4. Merumuskan personal branding perempuan dalam Pilkada.
5. Mengaplikasikan dalam rentang waktu tertentu menuju
Pilkada 2017.
66 67
terpilih tersebut ternyata mampu memanfaatkan dan mendayagunakan modal
individu yang dimilikinya untuk diolah sedemikian rupa bagi kemenangan
politiknya. Lalu dimanakah kunci pertama bagi seorang perempuan untuk dapat
bangkit berkiprah dalam Pilkada?.
B. Membangkitkan Minat Perempuan Berkompetisi dalam Pilkada
Pada dasarnya setiap perempuan memilki potensi yang unik dan berbeda
dengan perempuan lainnya. Memang tidak semua perempuan memiliki modal
individu yang sama dengan para perempuan kepala daerah terpilih yang sudah
disajikan terdahulu. Namun demikian, setiap perempuan harus menyadari tugas dan
menggali potensi yang dimilikinya, untuk bangkit berkompetisi dalam Pilkada.
Mengapa perempuan harus bangkit dalam Pilkada saat ini?.
Pertama, abad ke-21 adalah abad perempuan, dan sudah saatnya perempuan
Indonesia ambil bagian dalam perubahan besar ini. Futurolog, John Naisbitt &
Patricia Aburdene (1990) dalam bukunya Megatrends 2000: Ten New Directions for
the 1990's, mencatat sepuluh tren yang diprediksikan akan mewarnai dunia pada
abad ke-21, yaitu salah satunya menyebutkan era kepemimpinan perempuan
(Decade of Women in Leadership).4 Secara perlahan namun pasti kita melihat
kemunculan banyak perempuan menjadi pemimpin dunia.5 Melihat berbagai
perkembangan kemunculan para perempuan sebagai pemimpin negara dari berbagai
belahan dunia, maka saat ini adalah momentum yang paling tepat bagi perempuan
Indonesia untuk maju dan muncul dalam politik, termasuk Pilkada.
4 Lihat review buku ini oleh Daniel A. Levy, Naisbitt, J., & Aburdene, P. (1990). Megatrends 2000: Ten new directions for the 1990's. New York: William Morrow and Company, Inc., $21.95, (hardcover), 384 pp. (ISBN 0-688-07224-0), https://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/v2n1/pdf/levy.pdf (diakses 8 April 2016). 5 Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman perempuan pertama sejak 2005, Helle Thorning Schmidt sebagai perdana menteri Denmark pada tahun 2011, Dalia Grybauskaite Presiden Lithuania yang terpilih tahun 2009, Atifete Jahjaga Presiden wanita termuda yang memimpin Kosovo sejak 2012, Park Geun-hye presiden terpilih Korea Selatan sejak 2013, Veline Widmer-Shlumpf Presiden Swiss yang terpilih pada 2012, Johanna Sigurdardottir Perdana menteri Iceland terpilih pada 2009, Portia Simpson Miller Perdana menteri Jamaika yang terpilih pada 2012, Laura Chinchilla Miranda Presiden wanita pertama Kosta Rika ini terpilih 2010, Kamla Persad-Bissessar Perdana menteri wanita pertama Trinidad dan Tobago yang terpilih 2010, Dilma Rousseff presiden wanita pertama Brasil terpilih 2011, Cristina Fernandez Presiden wanita Argentina yang terpilih 2007, Ellen Johnson Sirleaf Presiden wanita pertama Liberia yang terpilih 2006, Joyce Banda presiden wanita pertama Malawi terpilih 2012, Sheikh Hasina perdana menteri wanita Bangladesh terpilih 2009, Yingluck Shinawatra perdana menteri perempuan pertama Thailand terpilih 2011, Julia Gillard Perdana menteri wanita pertama Australia terpilih 2010, Michellet Bachelet Mantan Wakil Sekjen United Nations Women, dan Presiden Chili terpilih 2014.
Walikota Surabaya, (8) Idza Priyanti Bupati Brebes, (9) Puput Tantriana Sari Bupati
Probolinggo, (10) Rukmini Walikota Probolinggo, (11) Utje Ch Hamid Suganda
Bupati Kuningan, (12) Hj Atty Suharti Tochija Walikota Cimahi, (13) Neneng
Hasanah Yasin Bupati Bekasi. Sementara itu, 4 perempuan terpilih di luar Pulau
Jawa yaitu (1) Ni Putu Eka Wiryastuti Bupati Tabanan, (2) Rita Widyasari Bupati
Kutai Kertanegara, (3) Christiany Eugenia Paruntu Bupati Minahasa Selatan, dan (4)
Juliarti Djuhardi Alwi Bupati Sambas. Jumlah perempuan kepala daerah terpilih
dalam Pilkada semakin bertambah, yaitu terdapat 24 perempuan kepala daerah
terpilih dalam Pilkada serentak, 9 Desember 2015.2
Hal yang penting untuk dicatat bahwa para perempuan kepala daerah terpilih
ini memilki beragam profil. Dari segi asal usulnya, perempuan pemenang Pilkada
dapat dikelompokkan menjadi empat tipe: pertama, tipe perempuan
politisi/birokrat karir dengan pengaruh kekerabatan yang kuat; kedua tipe
perempuan kepala daerah yang menduduki jabatan karena kekerabatan yang sangat
kuat; ketiga tipe perempuan non politisi/non birokrat karir dengan pengaruh
kekerabatan yang kuat; keempat tipe perempuan politisi/birokat karir tanpa
pengaruh kekerabatan yang kuat.
Tipe keempat adalah perempuan politisi/birokrat karir tanpa pengaruh
kekerabatan yang kuat, biasanya mengawali karir politik sebagai politisi profesional
atau sebagai birokrat tulen yang bekerja di bidang masing-masing. Perempuan
pemimpin daerah yang muncul dari tipe keempat umumnya memiliki daya tarik
tersendiri karena memiliki kemampuan menonjol di bidang tertentu yang telah
diasah bertahun-tahun yang kemudian mempengaruhi cara mereka membangun
daerah yang bersangkutan selama menjadi kepala daerah.3 Termasuk dalam tipe ini
adalah Tri Rismaharini. Tipe keempat inilah tipe ideal yang seharusnya menjadi
pijakan bagi para perempuan politisi untuk muncul dalam kompetisi Pilkada, dan
semakin didorong untuk banyak bermunculan.
Meskipun latar belakang setiap perempuan ini berbeda-beda, namun catatan
penting yang harus digarisbawahi adalah bahwa para perempuan kepala daerah
2 Data diambil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, tanpa halaman. 3 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Profil, Status dan Kinerja Perempuan Kepala Daerah: Kajian Dampak Pemilihan Kepala Daerah Langsung,” Jurnal Perempuan 83, vol. 19, no. 4, November 2014 : (67-105); dan “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 39-59.
66 67
terpilih tersebut ternyata mampu memanfaatkan dan mendayagunakan modal
individu yang dimilikinya untuk diolah sedemikian rupa bagi kemenangan
politiknya. Lalu dimanakah kunci pertama bagi seorang perempuan untuk dapat
bangkit berkiprah dalam Pilkada?.
B. Membangkitkan Minat Perempuan Berkompetisi dalam Pilkada
Pada dasarnya setiap perempuan memilki potensi yang unik dan berbeda
dengan perempuan lainnya. Memang tidak semua perempuan memiliki modal
individu yang sama dengan para perempuan kepala daerah terpilih yang sudah
disajikan terdahulu. Namun demikian, setiap perempuan harus menyadari tugas dan
menggali potensi yang dimilikinya, untuk bangkit berkompetisi dalam Pilkada.
Mengapa perempuan harus bangkit dalam Pilkada saat ini?.
Pertama, abad ke-21 adalah abad perempuan, dan sudah saatnya perempuan
Indonesia ambil bagian dalam perubahan besar ini. Futurolog, John Naisbitt &
Patricia Aburdene (1990) dalam bukunya Megatrends 2000: Ten New Directions for
the 1990's, mencatat sepuluh tren yang diprediksikan akan mewarnai dunia pada
abad ke-21, yaitu salah satunya menyebutkan era kepemimpinan perempuan
(Decade of Women in Leadership).4 Secara perlahan namun pasti kita melihat
kemunculan banyak perempuan menjadi pemimpin dunia.5 Melihat berbagai
perkembangan kemunculan para perempuan sebagai pemimpin negara dari berbagai
belahan dunia, maka saat ini adalah momentum yang paling tepat bagi perempuan
Indonesia untuk maju dan muncul dalam politik, termasuk Pilkada.
4 Lihat review buku ini oleh Daniel A. Levy, Naisbitt, J., & Aburdene, P. (1990). Megatrends 2000: Ten new directions for the 1990's. New York: William Morrow and Company, Inc., $21.95, (hardcover), 384 pp. (ISBN 0-688-07224-0), https://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/v2n1/pdf/levy.pdf (diakses 8 April 2016). 5 Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman perempuan pertama sejak 2005, Helle Thorning Schmidt sebagai perdana menteri Denmark pada tahun 2011, Dalia Grybauskaite Presiden Lithuania yang terpilih tahun 2009, Atifete Jahjaga Presiden wanita termuda yang memimpin Kosovo sejak 2012, Park Geun-hye presiden terpilih Korea Selatan sejak 2013, Veline Widmer-Shlumpf Presiden Swiss yang terpilih pada 2012, Johanna Sigurdardottir Perdana menteri Iceland terpilih pada 2009, Portia Simpson Miller Perdana menteri Jamaika yang terpilih pada 2012, Laura Chinchilla Miranda Presiden wanita pertama Kosta Rika ini terpilih 2010, Kamla Persad-Bissessar Perdana menteri wanita pertama Trinidad dan Tobago yang terpilih 2010, Dilma Rousseff presiden wanita pertama Brasil terpilih 2011, Cristina Fernandez Presiden wanita Argentina yang terpilih 2007, Ellen Johnson Sirleaf Presiden wanita pertama Liberia yang terpilih 2006, Joyce Banda presiden wanita pertama Malawi terpilih 2012, Sheikh Hasina perdana menteri wanita Bangladesh terpilih 2009, Yingluck Shinawatra perdana menteri perempuan pertama Thailand terpilih 2011, Julia Gillard Perdana menteri wanita pertama Australia terpilih 2010, Michellet Bachelet Mantan Wakil Sekjen United Nations Women, dan Presiden Chili terpilih 2014.
Walikota Surabaya, (8) Idza Priyanti Bupati Brebes, (9) Puput Tantriana Sari Bupati
Probolinggo, (10) Rukmini Walikota Probolinggo, (11) Utje Ch Hamid Suganda
Bupati Kuningan, (12) Hj Atty Suharti Tochija Walikota Cimahi, (13) Neneng
Hasanah Yasin Bupati Bekasi. Sementara itu, 4 perempuan terpilih di luar Pulau
Jawa yaitu (1) Ni Putu Eka Wiryastuti Bupati Tabanan, (2) Rita Widyasari Bupati
Kutai Kertanegara, (3) Christiany Eugenia Paruntu Bupati Minahasa Selatan, dan (4)
Juliarti Djuhardi Alwi Bupati Sambas. Jumlah perempuan kepala daerah terpilih
dalam Pilkada semakin bertambah, yaitu terdapat 24 perempuan kepala daerah
terpilih dalam Pilkada serentak, 9 Desember 2015.2
Hal yang penting untuk dicatat bahwa para perempuan kepala daerah terpilih
ini memilki beragam profil. Dari segi asal usulnya, perempuan pemenang Pilkada
dapat dikelompokkan menjadi empat tipe: pertama, tipe perempuan
politisi/birokrat karir dengan pengaruh kekerabatan yang kuat; kedua tipe
perempuan kepala daerah yang menduduki jabatan karena kekerabatan yang sangat
kuat; ketiga tipe perempuan non politisi/non birokrat karir dengan pengaruh
kekerabatan yang kuat; keempat tipe perempuan politisi/birokat karir tanpa
pengaruh kekerabatan yang kuat.
Tipe keempat adalah perempuan politisi/birokrat karir tanpa pengaruh
kekerabatan yang kuat, biasanya mengawali karir politik sebagai politisi profesional
atau sebagai birokrat tulen yang bekerja di bidang masing-masing. Perempuan
pemimpin daerah yang muncul dari tipe keempat umumnya memiliki daya tarik
tersendiri karena memiliki kemampuan menonjol di bidang tertentu yang telah
diasah bertahun-tahun yang kemudian mempengaruhi cara mereka membangun
daerah yang bersangkutan selama menjadi kepala daerah.3 Termasuk dalam tipe ini
adalah Tri Rismaharini. Tipe keempat inilah tipe ideal yang seharusnya menjadi
pijakan bagi para perempuan politisi untuk muncul dalam kompetisi Pilkada, dan
semakin didorong untuk banyak bermunculan.
Meskipun latar belakang setiap perempuan ini berbeda-beda, namun catatan
penting yang harus digarisbawahi adalah bahwa para perempuan kepala daerah
2 Data diambil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, tanpa halaman. 3 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Profil, Status dan Kinerja Perempuan Kepala Daerah: Kajian Dampak Pemilihan Kepala Daerah Langsung,” Jurnal Perempuan 83, vol. 19, no. 4, November 2014 : (67-105); dan “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 39-59.
68 69
lingkungan sosial masyarakat tertentu. Di sinilah mulai terjadi pembentukan
perbedaan peran dan posisi laki-laki untuk menjadi ‘sepatutnya perempuan’ dan
‘sepatutnya laki-laki’ sebagai sebuah konstruksi sosial yang berbeda-beda sesuai
konteks dan budaya masyarakat tertentu; inilah yang disebut dengan gender. Kini,
pengertian gender tidak hanya merujuk pada sebuah konstruksi sosial perempuan
dan laki-laki, tetapi juga dipahami sebagai hubungan gender (gender relations) yang
merujuk pada aksi dan interaksi antara orang-orang dalam sebuah seting sosial
dimana kelas sosial, etnisitas, dan orientasi sexual mempengaruhi pembentukan
standar norma kepatutan (“properness”) individu dalam sebuah komunitas.7
Menurut R.W. Connel (2008: 8-10), gender adalah sebuah struktur sosial (“sosial
structure”) dimana individu maupun kelompok saling berinteraksi dalam sebuah
struktur sosial dimana “gender arrangement” diproduksi secara sosial dan berbeda-
beda dalam setiap budaya; jadi, gender adalah hubungan gender yang selalu terjadi
dalam kehidupan sehari-hari melalui bermacam media dan sarana dimana ide-ide
mengenai “gender-appropriate behaviour” selalu terus menerus disosialisasikan
melalui beragam aktor seperti tokoh agama, orang tua, guru, bintang iklan, dsb.8
Di dalam lingkup budaya dan adat istiadat dalam sebuah komunitas itulah,
hubungan gender menjadi aspek paling penting karena di dalamnya terdapat tata
nilai, kepercayaan, perilaku dan praktik yang mengatur norma-norma kepantasan
mengenai perempuan dan laki-laki dalam seting sosial komunitas tertentu. Setiap
komunitas memiliki budaya berupa seperangkat pemikiran, tata nilai, dan praktik
yang bersumber dari kearifan lokal yang dipegang teguh dan dipercaya untuk
mengatur kehidupan keluarga termasuk mengenai peran, posisi, dan kewenangan
laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Menurut Georgia Duerst-
Lahti and Rita Mae Kelly (1995: 15) budaya ditempatkan sebagai elemen dasar
terpenting dalam memahami gender, karena budaya memfasilitasi pembentukan
atribut gender (menjadi laki-laki atau menjadi perempuan) karena pemahaman
pengetahuan mengenai jenis kelamin (sex) terjadi dan dihantarkan dalam budaya.9
Catatan Michelle Zimbaalist Rosaldo (1974) mengenai “a universal
asymmetry in cultural evaluations of the sexes” sangat berguna karena dalam
kerangka itu mampu melihat bahwa meskipun mungkin perempuan penting, 7 Georgia Duerst–Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership, and Gender,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly (USA: The University of Michigan Press, 1995), hal. 16-17. 8 R.W. Connell, Gender (USA: Polity Press, 2008), hal. 4 - 10, dan 54. 9 Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership, and Gender,” hal. 5.
Kedua, Pilkada telah menyediakan struktur kesempatan yang lebih besar
bagi perempuan untuk maju dan berkompetisi dalam politik lokal.6 Hal ini
dimungkinkan karena ketika pemilihan masih melalui DPRD, perempuan
menghadapi banyak rintangan karena dominasi laki-laki dalam struktur partai
politik termasuk dalam pengambilan keputusan pencalonan kepala daerah. Maka,
Pilkada telah memungkinkan perempuan melakukan berbagai manuver politik lebih
leluasa untuk mendayagunakan modal individu untuk muncul dalam politik lokal,
bahkan terkadang tidak perlu melalui jalur partai politik (jalur perseorangan), dan
langsung berhubungan dengan pemilih. Maka, saat ini adalah saat yang paling tepat
bagi para perempuan Indonesia untuk memanfaatkan momentum radikal ini bagi
perubahan dan perbaikan kondisi dirinya sendiri dan masyarakat luas. Jika tidak
sekarang, maka kapan lagi?. Lalu, bagaimana memulainya?. Setidaknya terdapat tiga
langkah mendasar bagi perempuan untuk mulai bangkit.
Pertama, perempuan memiliki kesadaran bahwa setiap perempuan lahir
sebagai seorang individu otonom, sama halnya dengan seorang laki-laki. Meskipun
perbedaan biologis melekat pada perempuan seperti kemampuan melahirkan anak
dan menyusui serta naluri keibuan yang kuat yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Hal
ini tidak menjadikan perempuan menjadi makhluk yang lemah dan memiliki sifat
dan posisi lebih rendah dibandingkan laki-laki di dalam keluarga maupun
masyarakat. Selain itu, harus diingat bahwa karakter femimin (seperti lemah lembut
dan halus bertutur kata) tidak selalu hanya melekat pada perempuan, tetapi dapat
saja dimiliki oleh laki-laki. Demikian pula dengan karakter maskulin (seperti tegas,
berani, lantang) tidak selalu hanya melekat pada laki-laki, tetapi dapat saja dimiliki
dan menonjol pada diri seorang perempuan.
Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologis, yang kemudian
menimbulkan konsekwensi berbeda yang peran dan posisi dalam keluarga sebagai
seorang ibu dan ayah. Tetapi peran dan posisi yang berbeda itu tidak berarti
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki
harus memperoleh akses, partisipasi, dan kontrol yang sama, dan keduanya memilki
peran dan posisi komplementer dalam keluarga.
Kedua, perempuan harus kritis gender. Meskipun perempuan diciptakan
sebagai individu yang otonom, seorang perempuan tumbuh dan berkembang dalam
6 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Jender Orde Baru”, Jurnal Penelitian Politik, P2P LIPI, vol.4, no.1, 2007: (59-68).
68 69
lingkungan sosial masyarakat tertentu. Di sinilah mulai terjadi pembentukan
perbedaan peran dan posisi laki-laki untuk menjadi ‘sepatutnya perempuan’ dan
‘sepatutnya laki-laki’ sebagai sebuah konstruksi sosial yang berbeda-beda sesuai
konteks dan budaya masyarakat tertentu; inilah yang disebut dengan gender. Kini,
pengertian gender tidak hanya merujuk pada sebuah konstruksi sosial perempuan
dan laki-laki, tetapi juga dipahami sebagai hubungan gender (gender relations) yang
merujuk pada aksi dan interaksi antara orang-orang dalam sebuah seting sosial
dimana kelas sosial, etnisitas, dan orientasi sexual mempengaruhi pembentukan
standar norma kepatutan (“properness”) individu dalam sebuah komunitas.7
Menurut R.W. Connel (2008: 8-10), gender adalah sebuah struktur sosial (“sosial
structure”) dimana individu maupun kelompok saling berinteraksi dalam sebuah
struktur sosial dimana “gender arrangement” diproduksi secara sosial dan berbeda-
beda dalam setiap budaya; jadi, gender adalah hubungan gender yang selalu terjadi
dalam kehidupan sehari-hari melalui bermacam media dan sarana dimana ide-ide
mengenai “gender-appropriate behaviour” selalu terus menerus disosialisasikan
melalui beragam aktor seperti tokoh agama, orang tua, guru, bintang iklan, dsb.8
Di dalam lingkup budaya dan adat istiadat dalam sebuah komunitas itulah,
hubungan gender menjadi aspek paling penting karena di dalamnya terdapat tata
nilai, kepercayaan, perilaku dan praktik yang mengatur norma-norma kepantasan
mengenai perempuan dan laki-laki dalam seting sosial komunitas tertentu. Setiap
komunitas memiliki budaya berupa seperangkat pemikiran, tata nilai, dan praktik
yang bersumber dari kearifan lokal yang dipegang teguh dan dipercaya untuk
mengatur kehidupan keluarga termasuk mengenai peran, posisi, dan kewenangan
laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Menurut Georgia Duerst-
Lahti and Rita Mae Kelly (1995: 15) budaya ditempatkan sebagai elemen dasar
terpenting dalam memahami gender, karena budaya memfasilitasi pembentukan
atribut gender (menjadi laki-laki atau menjadi perempuan) karena pemahaman
pengetahuan mengenai jenis kelamin (sex) terjadi dan dihantarkan dalam budaya.9
Catatan Michelle Zimbaalist Rosaldo (1974) mengenai “a universal
asymmetry in cultural evaluations of the sexes” sangat berguna karena dalam
kerangka itu mampu melihat bahwa meskipun mungkin perempuan penting, 7 Georgia Duerst–Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership, and Gender,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly (USA: The University of Michigan Press, 1995), hal. 16-17. 8 R.W. Connell, Gender (USA: Polity Press, 2008), hal. 4 - 10, dan 54. 9 Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly, “On Governance, Leadership, and Gender,” hal. 5.
Kedua, Pilkada telah menyediakan struktur kesempatan yang lebih besar
bagi perempuan untuk maju dan berkompetisi dalam politik lokal.6 Hal ini
dimungkinkan karena ketika pemilihan masih melalui DPRD, perempuan
menghadapi banyak rintangan karena dominasi laki-laki dalam struktur partai
politik termasuk dalam pengambilan keputusan pencalonan kepala daerah. Maka,
Pilkada telah memungkinkan perempuan melakukan berbagai manuver politik lebih
leluasa untuk mendayagunakan modal individu untuk muncul dalam politik lokal,
bahkan terkadang tidak perlu melalui jalur partai politik (jalur perseorangan), dan
langsung berhubungan dengan pemilih. Maka, saat ini adalah saat yang paling tepat
bagi para perempuan Indonesia untuk memanfaatkan momentum radikal ini bagi
perubahan dan perbaikan kondisi dirinya sendiri dan masyarakat luas. Jika tidak
sekarang, maka kapan lagi?. Lalu, bagaimana memulainya?. Setidaknya terdapat tiga
langkah mendasar bagi perempuan untuk mulai bangkit.
Pertama, perempuan memiliki kesadaran bahwa setiap perempuan lahir
sebagai seorang individu otonom, sama halnya dengan seorang laki-laki. Meskipun
perbedaan biologis melekat pada perempuan seperti kemampuan melahirkan anak
dan menyusui serta naluri keibuan yang kuat yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Hal
ini tidak menjadikan perempuan menjadi makhluk yang lemah dan memiliki sifat
dan posisi lebih rendah dibandingkan laki-laki di dalam keluarga maupun
masyarakat. Selain itu, harus diingat bahwa karakter femimin (seperti lemah lembut
dan halus bertutur kata) tidak selalu hanya melekat pada perempuan, tetapi dapat
saja dimiliki oleh laki-laki. Demikian pula dengan karakter maskulin (seperti tegas,
berani, lantang) tidak selalu hanya melekat pada laki-laki, tetapi dapat saja dimiliki
dan menonjol pada diri seorang perempuan.
Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologis, yang kemudian
menimbulkan konsekwensi berbeda yang peran dan posisi dalam keluarga sebagai
seorang ibu dan ayah. Tetapi peran dan posisi yang berbeda itu tidak berarti
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki
harus memperoleh akses, partisipasi, dan kontrol yang sama, dan keduanya memilki
peran dan posisi komplementer dalam keluarga.
Kedua, perempuan harus kritis gender. Meskipun perempuan diciptakan
sebagai individu yang otonom, seorang perempuan tumbuh dan berkembang dalam
6 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, “Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Jender Orde Baru”, Jurnal Penelitian Politik, P2P LIPI, vol.4, no.1, 2007: (59-68).
70 71
Sementara itu dalam seting Mesir, Saba Mahmood yang meneliti gerakan
Muslim perempuan berbasis masjid di Mesir pada pertengahan tahun 1990an yang
merupakan bagian perkembangan kebangkitan Islam. Mahmood mengeksplorasi
bagaimana proses keberagamaan dalam mencapai kesalehan menurut Islam seperti
selalu shabar, berperilaku dan bertutur kata sopan, menjaga sikap dan perasaan
malu, dapat mengendalikan diri, sebagai ekpresi kesalehen mereka sebagai individu;
ketika dalam pandangan feminis liberal praktik-praktik tersebut ditafsirkan sebagai
proses penaklukan perempuan Muslim ke dalam sistem patriarki, maka berdasarkan
konteks dan pengalaman para perempuan Muslim yang ditelitinya maka Mahmood
mengajak ilmuan untuk mempertimbangkan alasan dan maksud dari mereka yang
melakukan praktik kesalehan tersebut dalam konteks budaya dan sejarah yang
melekat pada masyarakat tersebut.13 Kemudian, Mahmood menentang interpretasi
feminis liberal mengenai definisi ‘agency dan menurutnya “agency not as a synonym
for resistance to relations of domination, but as a capacity for action….”14
Sejalan dengan Mahmood, kajian antropologi Sylva Frisk mengenai
perempuan Muslim Malaysia di Kuala Lumpur dari tahun 1995-2000,
menyimpulkan bahwa praktik kesalehan perempuan Muslim Malaysia yang
berkembang sejalan dengan Islamisasi Malaysia tidak serta merta berarti menentang
kewenangan laki-laki sebagaimana ditafsirkan dan difahami dalam wacana feminis,
akan tetapi keinginan mereka untuk tunduk mengikuti keinginan Tuhannya--yang
diekspresikan dengan keselehan individu—lebih penting bagi mereka daripada
keperluan untuka menentang patriarki.15
Studi dalam konteks Indonesia yang terinspirasi dari Mahmood adalah kajian
etnografi oleh Eva F. Amrullah mengenai perempuan Muslim kelas menengah dan
kelas atas anggota Jama’ah Tabligh di Jakarta. Dalam studinya Amrullah
mengungkapkan bahwa Jama’ah Tabligh menyediakan nilai dan ruang bagi para
perempuan ini untuk mencapai kesalehan dengan kembali pada jalan Islam yang
13 Saba Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001): 225. 14 Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival”, lihat juga bukunya, Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005), hal 203. 15 Sylva Frisk, Submitting to God: Women and Islam in Urban Malaysia (Malaysia: NIAS Press, 2009), hal. 190.
berkuasa, berpengaruh, tetapi jika dibandingkan dengan laki-laki yang seumur dan
status sosial yang sama, perempuan di mana saja secara umum kurang diakui dan
kurang memiliki kewenangan kuat mengakar pada budaya; laki-laki selalu menjadi
lokus nilai budaya di mana laki-laki memiliki kewenangan (“authority”) dan
legitimasi budaya lebih dari perempuan.10
Beberapa ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana seorang perempuan
yang terlahir merdeka dan otonom, tetapi lingkungan keluarga, sosial budaya yang
membentuknya di daerah tertentu bisa jadi membuatnya tidak mampu
mengoptimalkan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini karena norma gender
mengenai bagaimana sepatutnya peran perempuan dan laki-laki dalam suatu
komunitas, pada umumnya masih merugikan perempuan. Maka, setiap perempuan
harus kritis gender yaitu mampu melihat dan menyadari berbagai kendala gender
yang dihadapi dalam konteks sosial budaya di sekelilignya, dan jeli mencari peluang
untuk memberdayakan dirinya dari keadaan yang membelenggunya.
Ketiga, perempuan mampu menjalankan peran ‘agency’. Menurut definisi
feminis liberal yang berlatar belakang gerakan perempuan barat, ‘agency’ merupakan
perlawanan terhadap perendahan atau penindasan (“resitance to sub-ordination or
oppression”) dimana penindasan terjadi karena dominasi kaum laki-laki.11 Dalam
konteks perempuan Muslim di Indonesia ‘agency’ dimaknai berbeda. Kajian Susan
Blackburn, Bianca J. Smith and Siti Syamsiyatun (2008) mengenai agensi
perempuan Muslim Indonesia dalam berbagai persoalan seperti poligami,
pemakaian jilbab, rekonstruksi identitas perempuan dalam era baru desentralisasi,
keberagamaan perempuan di desa-desa di Jawa, kepemimpinan nyai di pesentren
(istri kyai), menyimpulkan bahwa perempuan Muslim Indonesia merupakan “as
cultural, social, political, and religious agents who actively interpret discourses on
Islam, and Islamic discourses and practice, to shape their roles as women and their
sense of self at the intersection of Indonesian society, culture, and Islam in local and
national context”.12
10 Michelle Zimbaalist Rosaldo, “Woman, Culture, and Society: A Theoretical Overview,” dalam Women, Culture & Society, ed. Michelle Zimbalist Rosaldo and Louise Lamphere (California: Stanford University Press, 1974), hal. 17, 20-21. 11 Sebagaimana dikutip dari Kathryn Abrams, “From Autonomy to Agency: Feminist Perspectives on Self-Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3 (1999): 807. 12 Lihat Susan Blackburn, Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun, “Introduction”, dalam Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, ed. Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (Clayton: Monash University Press, 2008), hal. 3
70 71
Sementara itu dalam seting Mesir, Saba Mahmood yang meneliti gerakan
Muslim perempuan berbasis masjid di Mesir pada pertengahan tahun 1990an yang
merupakan bagian perkembangan kebangkitan Islam. Mahmood mengeksplorasi
bagaimana proses keberagamaan dalam mencapai kesalehan menurut Islam seperti
selalu shabar, berperilaku dan bertutur kata sopan, menjaga sikap dan perasaan
malu, dapat mengendalikan diri, sebagai ekpresi kesalehen mereka sebagai individu;
ketika dalam pandangan feminis liberal praktik-praktik tersebut ditafsirkan sebagai
proses penaklukan perempuan Muslim ke dalam sistem patriarki, maka berdasarkan
konteks dan pengalaman para perempuan Muslim yang ditelitinya maka Mahmood
mengajak ilmuan untuk mempertimbangkan alasan dan maksud dari mereka yang
melakukan praktik kesalehan tersebut dalam konteks budaya dan sejarah yang
melekat pada masyarakat tersebut.13 Kemudian, Mahmood menentang interpretasi
feminis liberal mengenai definisi ‘agency dan menurutnya “agency not as a synonym
for resistance to relations of domination, but as a capacity for action….”14
Sejalan dengan Mahmood, kajian antropologi Sylva Frisk mengenai
perempuan Muslim Malaysia di Kuala Lumpur dari tahun 1995-2000,
menyimpulkan bahwa praktik kesalehan perempuan Muslim Malaysia yang
berkembang sejalan dengan Islamisasi Malaysia tidak serta merta berarti menentang
kewenangan laki-laki sebagaimana ditafsirkan dan difahami dalam wacana feminis,
akan tetapi keinginan mereka untuk tunduk mengikuti keinginan Tuhannya--yang
diekspresikan dengan keselehan individu—lebih penting bagi mereka daripada
keperluan untuka menentang patriarki.15
Studi dalam konteks Indonesia yang terinspirasi dari Mahmood adalah kajian
etnografi oleh Eva F. Amrullah mengenai perempuan Muslim kelas menengah dan
kelas atas anggota Jama’ah Tabligh di Jakarta. Dalam studinya Amrullah
mengungkapkan bahwa Jama’ah Tabligh menyediakan nilai dan ruang bagi para
perempuan ini untuk mencapai kesalehan dengan kembali pada jalan Islam yang
13 Saba Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001): 225. 14 Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival”, lihat juga bukunya, Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005), hal 203. 15 Sylva Frisk, Submitting to God: Women and Islam in Urban Malaysia (Malaysia: NIAS Press, 2009), hal. 190.
berkuasa, berpengaruh, tetapi jika dibandingkan dengan laki-laki yang seumur dan
status sosial yang sama, perempuan di mana saja secara umum kurang diakui dan
kurang memiliki kewenangan kuat mengakar pada budaya; laki-laki selalu menjadi
lokus nilai budaya di mana laki-laki memiliki kewenangan (“authority”) dan
legitimasi budaya lebih dari perempuan.10
Beberapa ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana seorang perempuan
yang terlahir merdeka dan otonom, tetapi lingkungan keluarga, sosial budaya yang
membentuknya di daerah tertentu bisa jadi membuatnya tidak mampu
mengoptimalkan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini karena norma gender
mengenai bagaimana sepatutnya peran perempuan dan laki-laki dalam suatu
komunitas, pada umumnya masih merugikan perempuan. Maka, setiap perempuan
harus kritis gender yaitu mampu melihat dan menyadari berbagai kendala gender
yang dihadapi dalam konteks sosial budaya di sekelilignya, dan jeli mencari peluang
untuk memberdayakan dirinya dari keadaan yang membelenggunya.
Ketiga, perempuan mampu menjalankan peran ‘agency’. Menurut definisi
feminis liberal yang berlatar belakang gerakan perempuan barat, ‘agency’ merupakan
perlawanan terhadap perendahan atau penindasan (“resitance to sub-ordination or
oppression”) dimana penindasan terjadi karena dominasi kaum laki-laki.11 Dalam
konteks perempuan Muslim di Indonesia ‘agency’ dimaknai berbeda. Kajian Susan
Blackburn, Bianca J. Smith and Siti Syamsiyatun (2008) mengenai agensi
perempuan Muslim Indonesia dalam berbagai persoalan seperti poligami,
pemakaian jilbab, rekonstruksi identitas perempuan dalam era baru desentralisasi,
keberagamaan perempuan di desa-desa di Jawa, kepemimpinan nyai di pesentren
(istri kyai), menyimpulkan bahwa perempuan Muslim Indonesia merupakan “as
cultural, social, political, and religious agents who actively interpret discourses on
Islam, and Islamic discourses and practice, to shape their roles as women and their
sense of self at the intersection of Indonesian society, culture, and Islam in local and
national context”.12
10 Michelle Zimbaalist Rosaldo, “Woman, Culture, and Society: A Theoretical Overview,” dalam Women, Culture & Society, ed. Michelle Zimbalist Rosaldo and Louise Lamphere (California: Stanford University Press, 1974), hal. 17, 20-21. 11 Sebagaimana dikutip dari Kathryn Abrams, “From Autonomy to Agency: Feminist Perspectives on Self-Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3 (1999): 807. 12 Lihat Susan Blackburn, Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun, “Introduction”, dalam Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, ed. Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (Clayton: Monash University Press, 2008), hal. 3
72 73
C. Perempuan Potensial dengan Modal Individu yang Kuat dalam Pilkada
Seorang perempuan potesial harus mampu mengidentifikasikan apa saja
modal individu yang dimilikinya. Modal individu merujuk pada berbagai kondisi
dasar yang dimiliki seorang perempuan yang dapat menjadi sebuah keunggulan
pribadi dan penting untuk dikembangkan sebagai keunggulan komparatif dalam
Pilkada. Modal individu dapat berupa:
a) latar belakang keluarga yang berasal dari kalangan berpengaruh (misalnya tokoh
agama, politisi, tokoh adat, took budaya)
b) jenjang pendidikan formal yang tinggi dan berprestasi
c) pendidikan informal (misalnya pondok pesantren)
d) profesi dalam bidangnya masing-masing yang menunjukkan prestasi (politisi sukses,
pengusaha sukses, guru teladan, birokrat teladan, istri sukses dari seorang politisi
laki-laki yang sukses)
e) jejaring dengan berbagai organisasi masyarakat yang beragam
f) jejaring dan pengalaman dalam organisasi perempuan
Seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan potensial jika telah
memiliki salah satu modal individu tersebut, ataupun kombinasi dari berbagai modal
dasar tersebut. Kenapa potensial?. Karena tidak semua perempuan memiliki kualitas
dengan modal individu seperti tersebut. Perempuan potensial dengan modal
individu yang kuat seperti itu harus percaya diri dan menonjolkan prestasi dari
modal individu yang dimilikinya. Perempuan potensial harus mampu mengolah
modal individu yang dimilikinya, mengasah, dan menggunakannya terus menerus
agar masyarakat melihatnya sebagai figur yang patut diteladani dan dipercaya. Pada
gilirannya, figur perempuan yang berkualitas ini diharapkan dapat dilirik sebagai
calon pemimpin alternatif berkualitas dalam kontestasi Pilkada di daerah yang
bersangkutan.
Dalam upaya seorang perempuan potensial untuk memunculkan dirinya dan
memperoleh tempat di hati masyarakat, seorang perempuan harus mampu menjalin
komunikasi interpersonal yang baik dari berbagai kalangan dengan masuk melalui
berbagai jaringan. Hal ini mutlak dilakukan karena untuk maju dalam kompetisi
Pilkada memerlukan kendaraan politik baik melalui partai politik ataupun jalur
perseorangan. Maka, kemampuan komunikasi interpersonal yang baik dan
berjejaring dengan berbagai kalangan ini menjadi salah satu kunci dalam upaya
seorang perempuan untuk muncul dan diperhitungkan dalam kontestasi Pilkada.
sebenarnya untuk melarikan diri dan menyembuhkan diri dari krisis individu dan
krisis sosial yang melanda masyarakat.16
Dengan memperhatikan konteks Indonesia, dalam buku ini maka seorang
perempuan dapat didefiniskan telah menjalankan peran ‘agency’, jika mampu tampil
sebagai subyek untuk menyadari (self-awareness) hambataan dari norma/pranata
gender di sekelilignya, untuk kemudian mampu menggunakan modal individu yang
dimilikinya dengan mengolah/menegosiasikan/menyiasati konsep-konsep dan
pranata gender tersebut, untuk bangkit mengoptimalkan berbagai modal individu
yang dimilikinya, untuk muncul di ruang publik dan secara perlahan-lahan
memperluas peran dan posisinya di ruang publik. Setelah perempuan mampu
bangkit memberdayakan dirinya sendiri. Langkah berikutnya adalah perempuan
harus mampu mengidentifikasikan modal individu yang kuat untuk berkompetisi
dalam Pilkada.
Gambar 1. Membangkitkan Minat Perempuan Berkompetisi
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
16 Eva F. Amrullah, “Seeking Sancturay in ‘the age of disroder’: Women in Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5, (2011): 135-160.
BANGKIT berkompe(si dalam PILKADA
3 TAHAP: Individu otonom, kri(s gender, peran 'agency'
2 ALASAN: mengapa sekarang?
72 73
C. Perempuan Potensial dengan Modal Individu yang Kuat dalam Pilkada
Seorang perempuan potesial harus mampu mengidentifikasikan apa saja
modal individu yang dimilikinya. Modal individu merujuk pada berbagai kondisi
dasar yang dimiliki seorang perempuan yang dapat menjadi sebuah keunggulan
pribadi dan penting untuk dikembangkan sebagai keunggulan komparatif dalam
Pilkada. Modal individu dapat berupa:
a) latar belakang keluarga yang berasal dari kalangan berpengaruh (misalnya tokoh
agama, politisi, tokoh adat, took budaya)
b) jenjang pendidikan formal yang tinggi dan berprestasi
c) pendidikan informal (misalnya pondok pesantren)
d) profesi dalam bidangnya masing-masing yang menunjukkan prestasi (politisi sukses,
pengusaha sukses, guru teladan, birokrat teladan, istri sukses dari seorang politisi
laki-laki yang sukses)
e) jejaring dengan berbagai organisasi masyarakat yang beragam
f) jejaring dan pengalaman dalam organisasi perempuan
Seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan potensial jika telah
memiliki salah satu modal individu tersebut, ataupun kombinasi dari berbagai modal
dasar tersebut. Kenapa potensial?. Karena tidak semua perempuan memiliki kualitas
dengan modal individu seperti tersebut. Perempuan potensial dengan modal
individu yang kuat seperti itu harus percaya diri dan menonjolkan prestasi dari
modal individu yang dimilikinya. Perempuan potensial harus mampu mengolah
modal individu yang dimilikinya, mengasah, dan menggunakannya terus menerus
agar masyarakat melihatnya sebagai figur yang patut diteladani dan dipercaya. Pada
gilirannya, figur perempuan yang berkualitas ini diharapkan dapat dilirik sebagai
calon pemimpin alternatif berkualitas dalam kontestasi Pilkada di daerah yang
bersangkutan.
Dalam upaya seorang perempuan potensial untuk memunculkan dirinya dan
memperoleh tempat di hati masyarakat, seorang perempuan harus mampu menjalin
komunikasi interpersonal yang baik dari berbagai kalangan dengan masuk melalui
berbagai jaringan. Hal ini mutlak dilakukan karena untuk maju dalam kompetisi
Pilkada memerlukan kendaraan politik baik melalui partai politik ataupun jalur
perseorangan. Maka, kemampuan komunikasi interpersonal yang baik dan
berjejaring dengan berbagai kalangan ini menjadi salah satu kunci dalam upaya
seorang perempuan untuk muncul dan diperhitungkan dalam kontestasi Pilkada.
sebenarnya untuk melarikan diri dan menyembuhkan diri dari krisis individu dan
krisis sosial yang melanda masyarakat.16
Dengan memperhatikan konteks Indonesia, dalam buku ini maka seorang
perempuan dapat didefiniskan telah menjalankan peran ‘agency’, jika mampu tampil
sebagai subyek untuk menyadari (self-awareness) hambataan dari norma/pranata
gender di sekelilignya, untuk kemudian mampu menggunakan modal individu yang
dimilikinya dengan mengolah/menegosiasikan/menyiasati konsep-konsep dan
pranata gender tersebut, untuk bangkit mengoptimalkan berbagai modal individu
yang dimilikinya, untuk muncul di ruang publik dan secara perlahan-lahan
memperluas peran dan posisinya di ruang publik. Setelah perempuan mampu
bangkit memberdayakan dirinya sendiri. Langkah berikutnya adalah perempuan
harus mampu mengidentifikasikan modal individu yang kuat untuk berkompetisi
dalam Pilkada.
Gambar 1. Membangkitkan Minat Perempuan Berkompetisi
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
16 Eva F. Amrullah, “Seeking Sancturay in ‘the age of disroder’: Women in Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5, (2011): 135-160.
BANGKIT berkompe(si dalam PILKADA
3 TAHAP: Individu otonom, kri(s gender, peran 'agency'
2 ALASAN: mengapa sekarang?
74 75
dalam politik lokal, yaitu sejak pemberlakukan mekanisme pemilihan kepala daerah
langsung dengan UU No. 32/2004 yang efektif berlaku sejak tahun Pilkada 2005,
2010, dan dalam format Pilkada serentak tahun 2015, dan seterusnya.
Jika dalam sebuah demokrasi perwakilan, popularitas dan kinerja seseorang
calon tidak begitu menentukan kemenangan karena kemampuan lobi politik dan
jejaring politik lebih menentukan. Maka dalam sebuah demokrasi langsung,
popularitas seorang politisi sehingga dikenal luas, penampilan fisik, pembawaan
yang mengundang simpati, serta track record yang bagus, akan sangat menentukan
kemenangan seseorang, disamping faktor lobi politik dan jaringan. Dalam sebuah
demokrasi langsung, seorang politisi harus dikenal luas oleh berbagai kalangan
masyarakat, kemudian disukai, dan dipilih. Dalam sistem pemilihan secara langsung
atau popular votes, memang aspek tokoh atau figur sangat menonjol dan akan
menentukan kemenangan seorang politisi.17
Signifikansi sosok atau figur politisi dalam sebuah model demokrasi langsung
ternyata berbanding lurus dengan kenyataan adanya penurunan identifikasi pemilih
terhadap partai politik terutama sejak Pemilu di Era Reformasi. Jika dilihat tren
identifikasi diri pemilih terhadap partai politik (merasa dekat dengan partai
tertentu) menunjukkan kecenderungan terus menurun dalam sepuluh tahun
demokrasi di Indonesia paska Orde Baru yaitu dari Pemilu 1999-2009. Sebagai
ilustrasi, sebagaimaa hasil penelitian Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho
Ambardi (2012:380) penurunan identitas partai pada tingkat agregat sangat tajam
yaitu dari 86% pada Pemilu Legislatif April 1999, menjadi 55% pada Pemilu April
2004, dan turun kembali menjadi hanya 20% pada Pemilu April 2009; sama halnya
dengan Pilpres yaitu sekitar 50% pada Pilpres Juli 2004 kemudian menurun menjadi
sekitar 21% pada Pilpres Juli 2009.18
Ternyata penurunan identitas partai ini konsisten dengan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik yang juga terus mengalami penurunan. Sebagai
ilustrasi, kepercayaan masyarakat pada partai politik sebanyak 79% (2001),
menurun menjadi 65% (2002), terus menururn menjadi 57% (2005), 47% (2006),
39% (2007), dan hanya 39% (2008); ini artinya semakin banyak masyarakat yang
17 Mengutip dari Ari Pradhanawati, “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik,” FORUM, vol. 39, no. 1 (Februari 2011): 8. 18 Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru (Bandung: Mizan, 2012), hal. 380.
Gambar 2. Alur Fase Awal Perempuan Potensial Berkompetisi
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
D. Mengapa Personal Branding Penting dalam Pilkada?
Setelah mampu bangkit dan berjejaring dalam Pilkada, seorang perempuan
potensil juga harus memahami dan membangun personal branding. Mengapa
personal branding ini penting dipersiapkan oleh seorang perempuan potensial
untuk berkompetisi dalam Pilkada?.
Aspek popularitas seorang politisi menjadi salah satu kunci yang menentukan
kemenangan seseorang dalam demokrasi langsung termasuk Pilkada. Harus disadari
bahwa perubahan praktik demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung yang terjadi
di tingkat nasional dan lokal, seiring dengan bergulirnya era Reformasi sejak Mei
1998, telah memberikan dampak pada perubahan perilaku pemilih.
Dalam sistem demokrasi perwakilan, suara rakyat direpresentasikan dalam
sebuah lembaga perwakilan dan rakyat tidak dapat menggunakan hak pilihnya
secara langsung untuk memilih presiden dan kepala daerah. Pada masa Orde Baru,
pemilihan presiden dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana
mayoritas anggotnya dari Fraksi Golkar dan ABRI sehingga selalu aklamasi memilih
Suharto sebagai Presiden RI. Sejak Era Reformasi, pemilihan presiden dilakukan
secara langsung dimana rakyat secara langsung menggunakan hak pilihnya yaitu
sejak Pemilu Presiden 2004, 2009, dan 2014. Tren demokrasi langsung juga terjadi
2 alasan, 3 tahap bangkit
Sadar modal Individu kuat
Komunikasi interpersonal & berjejaring untuk maju Pilkada
74 75
dalam politik lokal, yaitu sejak pemberlakukan mekanisme pemilihan kepala daerah
langsung dengan UU No. 32/2004 yang efektif berlaku sejak tahun Pilkada 2005,
2010, dan dalam format Pilkada serentak tahun 2015, dan seterusnya.
Jika dalam sebuah demokrasi perwakilan, popularitas dan kinerja seseorang
calon tidak begitu menentukan kemenangan karena kemampuan lobi politik dan
jejaring politik lebih menentukan. Maka dalam sebuah demokrasi langsung,
popularitas seorang politisi sehingga dikenal luas, penampilan fisik, pembawaan
yang mengundang simpati, serta track record yang bagus, akan sangat menentukan
kemenangan seseorang, disamping faktor lobi politik dan jaringan. Dalam sebuah
demokrasi langsung, seorang politisi harus dikenal luas oleh berbagai kalangan
masyarakat, kemudian disukai, dan dipilih. Dalam sistem pemilihan secara langsung
atau popular votes, memang aspek tokoh atau figur sangat menonjol dan akan
menentukan kemenangan seorang politisi.17
Signifikansi sosok atau figur politisi dalam sebuah model demokrasi langsung
ternyata berbanding lurus dengan kenyataan adanya penurunan identifikasi pemilih
terhadap partai politik terutama sejak Pemilu di Era Reformasi. Jika dilihat tren
identifikasi diri pemilih terhadap partai politik (merasa dekat dengan partai
tertentu) menunjukkan kecenderungan terus menurun dalam sepuluh tahun
demokrasi di Indonesia paska Orde Baru yaitu dari Pemilu 1999-2009. Sebagai
ilustrasi, sebagaimaa hasil penelitian Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho
Ambardi (2012:380) penurunan identitas partai pada tingkat agregat sangat tajam
yaitu dari 86% pada Pemilu Legislatif April 1999, menjadi 55% pada Pemilu April
2004, dan turun kembali menjadi hanya 20% pada Pemilu April 2009; sama halnya
dengan Pilpres yaitu sekitar 50% pada Pilpres Juli 2004 kemudian menurun menjadi
sekitar 21% pada Pilpres Juli 2009.18
Ternyata penurunan identitas partai ini konsisten dengan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik yang juga terus mengalami penurunan. Sebagai
ilustrasi, kepercayaan masyarakat pada partai politik sebanyak 79% (2001),
menurun menjadi 65% (2002), terus menururn menjadi 57% (2005), 47% (2006),
39% (2007), dan hanya 39% (2008); ini artinya semakin banyak masyarakat yang
17 Mengutip dari Ari Pradhanawati, “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik,” FORUM, vol. 39, no. 1 (Februari 2011): 8. 18 Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru (Bandung: Mizan, 2012), hal. 380.
Gambar 2. Alur Fase Awal Perempuan Potensial Berkompetisi
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
D. Mengapa Personal Branding Penting dalam Pilkada
Setelah mampu bangkit dan berjejaring dalam Pilkada, seorang perempuan
potensil juga harus memahami dan membangun personal branding. Mengapa
personal branding ini penting dipersiapkan oleh seorang perempuan potensial
untuk berkompetisi dalam Pilkada?.
Aspek popularitas seorang politisi menjadi salah satu kunci yang menentukan
kemenangan seseorang dalam demokrasi langsung termasuk Pilkada. Harus disadari
bahwa perubahan praktik demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung yang terjadi
di tingkat nasional dan lokal, seiring dengan bergulirnya era Reformasi sejak Mei
1998, telah memberikan dampak pada perubahan perilaku pemilih.
Dalam sistem demokrasi perwakilan, suara rakyat direpresentasikan dalam
sebuah lembaga perwakilan dan rakyat tidak dapat menggunakan hak pilihnya
secara langsung untuk memilih presiden dan kepala daerah. Pada masa Orde Baru,
pemilihan presiden dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana
mayoritas anggotnya dari Fraksi Golkar dan ABRI sehingga selalu aklamasi memilih
Suharto sebagai Presiden RI. Sejak Era Reformasi, pemilihan presiden dilakukan
secara langsung dimana rakyat secara langsung menggunakan hak pilihnya yaitu
sejak Pemilu Presiden 2004, 2009, dan 2014. Tren demokrasi langsung juga terjadi
2 alasan, 3 tahap bangkit
Sadar modal Individu kuat
Komunikasi interpersonal & berjejaring untuk maju Pilkada
76 77
secara bersama sama terhadap perilaku pemilih sebesar 0.707.24 Dapat dikatakan
bahwa personal branding yang berhasil akan berdampak terhadap perilaku pemilih
Contoh empiris betapa pentingnya personal branding dipersiapkan dan
berperan dalam kemenangan seorang politisi dalam Pilkada nampak jelas dalam
kasus kemenangan Jokowi pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta tahun 2012.
Kemenangan Jokowi pada Pilgub 2012 salah satunya ditentukan oleh pencitraan
Jokowi dalam hal kepribadiannya yang dipersepsikan sebagai sosok yang ‘rendah
hati’, sangat berebeda dengan persepsi sosok Foke yang arogan.25 Jadi, meskipun
Jokowi baru masuk dalam kontestasi Pilkada DKI selama 5 bulan, namun karena
personal branding Jokowi dikombinasikan dengan Ahok (Jokowi-Ahok) sangat
kuat, maka mereka mampu mangalahkan Foke yang justru telah menjabat lima
tahun.26 Maka dapat dipahami bahwa dalam Pemilu atau Pilkada pemilih cenderung
lebih memandang figur kandidat daripada partai politik pengusungnya, yang pada
gilirannya menimbulkan ‘personalisasi figur’ dimana para kandidat berlomba-lomba
membangun citra.27 Dalam konteks inilah, betapa strategis dan pentingnya personal
branding dalam Pilkada.
Gambar 3. Mengapa Personal Branding penting dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
24 Lihat Kurniawati M. Harifin, “Pengaruh Personal Branding dan Positioning terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bonebolango,” POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, vol 3, no. 1 (April 2012), http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/view/4825/4374 (diakses 13 April 2016). 25 “Pencitraan Kuat Faktor Utama Kemenangan Jokowi: Citra Gubernur Petahana Fauzi Bowo dipandang Arogan”, www.beritasatu.com, Kamis, 20 September 2012, sebagaimana dikutip dari Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik, hal. 56-57. 26 Ibid. 27 Ari Pradhanawati, “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik,” hal. 10.
Personal Branding sangat pen(ng
bagi kemenangan calon dalam Pilkada
Penurunan iden(tas pemilih terhadap Parpol
Menurunnya kepercayaan terhadap Parpol
Menguatnya pengaruh faktor figur, tokoh, dalam kompe(si demokrasi langsung "personalisasi figur"
tidak mempercayai bahwa partai politik memperjuangankan kepentingan mereka.19
Dampak lanjutan dari hal ini adalah menurunnya tingkat partisipasi politik
masyarakat20
Menghadapi tren politik Indonesia dalam sistem demokrasi langsung pasca-
Orde Baru, yaitu semakin menurunnya identitas partai dan semakin menurunnya
tingkat kepercayaan msyarakat terhadap partai politik, maka aspek ketokohan atau
figur menjadi sangat penting untuk dilihat. Tidak hanya dalam sebuah negara denan
demokrasi yang sudah maju, di negara demokrasi baru di mana pelembagaan partai
poltik belum tertata dengan baik, tokoh dipercaya memiliki peran sangat penting
karena dapat menjadi penarik massa pemilih dan membentuk identitas partai: yaitu
ketika seseorang membentuk partai politik maka daya tarik massa akan ditentukan
oleh daya tarik seorang tokoh terhadap perilaku pemilih dan identitas partai.21
Dilihat dari data, kemudian diketahui bahwa pemilih Indonesia memiliki afeksi atau
kesukaan terhadap tokoh tertentu dengan tren yang cenderung naik dari Pemilu
1999 sampai dengan 2009 seperti pada Pilpres 2004, di mana Susilo Bambang
Yudhoyono adalah tokoh yang paling banyak dipersepsi pemilih sebagai orang yang
pintar, berwawasan luas, mampu memimpin dengan tegas, berorientasi pada
pemecahan masalah, berwibawa, dapat dipercaya dan memiliki empati,
menyenangkan dan disukai.22
Ilustrasi di atas yang menunjukkan bukti-bukti empiris menurunnya
identitas pemilih terhadap partai politik, diikuti dengan menurunnya kepercayaan
publik pada partai politik, dan semakin signifikannya sosok, figur atau tokoh dalam
sebuah model demokrasi langsung. Bahkan mengutip Dewi Haroen (2014) tentang
riset kemenangan Pilkada, Pemilu, Pilpres memperlihatkan bahwa lebih dari 50%
hasil kemenangan ditentukan oleh faktor tokoh yang diusung, sisanya ditentukan
oleh kualitas program yang ditawarkan, branding (pencitraan), dan kualitas mesin
politik atau tim yang bagus.23 Dalam sebuah penelitian kuantitatif mengenai
pengaruh personal branding dan positioning terhadap perilaku pemilih dalam
Pilkada di Kabupaten Bonebolango, Provinsi Gorontalo pada tahun 2010
memperlihatkan adanya korelasi positif antara personal branding dan positioning
19 Ibid., hal 380 - 381. 20 Ibid., hal 383. 21 Ibid., hal 425. 22 Ibid., hal 427. 23 Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014) hal. 56-57.
76 77
secara bersama sama terhadap perilaku pemilih sebesar 0.707.24 Dapat dikatakan
bahwa personal branding yang berhasil akan berdampak terhadap perilaku pemilih
Contoh empiris betapa pentingnya personal branding dipersiapkan dan
berperan dalam kemenangan seorang politisi dalam Pilkada nampak jelas dalam
kasus kemenangan Jokowi pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta tahun 2012.
Kemenangan Jokowi pada Pilgub 2012 salah satunya ditentukan oleh pencitraan
Jokowi dalam hal kepribadiannya yang dipersepsikan sebagai sosok yang ‘rendah
hati’, sangat berebeda dengan persepsi sosok Foke yang arogan.25 Jadi, meskipun
Jokowi baru masuk dalam kontestasi Pilkada DKI selama 5 bulan, namun karena
personal branding Jokowi dikombinasikan dengan Ahok (Jokowi-Ahok) sangat
kuat, maka mereka mampu mangalahkan Foke yang justru telah menjabat lima
tahun.26 Maka dapat dipahami bahwa dalam Pemilu atau Pilkada pemilih cenderung
lebih memandang figur kandidat daripada partai politik pengusungnya, yang pada
gilirannya menimbulkan ‘personalisasi figur’ dimana para kandidat berlomba-lomba
membangun citra.27 Dalam konteks inilah, betapa strategis dan pentingnya personal
branding dalam Pilkada.
Gambar 3. Mengapa Personal Branding penting dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
24 Lihat Kurniawati M. Harifin, “Pengaruh Personal Branding dan Positioning terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bonebolango,” POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, vol 3, no. 1 (April 2012), http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/view/4825/4374 (diakses 13 April 2016). 25 “Pencitraan Kuat Faktor Utama Kemenangan Jokowi: Citra Gubernur Petahana Fauzi Bowo dipandang Arogan”, www.beritasatu.com, Kamis, 20 September 2012, sebagaimana dikutip dari Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik, hal. 56-57. 26 Ibid. 27 Ari Pradhanawati, “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik,” hal. 10.
Personal Branding sangat pen(ng
bagi kemenangan calon dalam Pilkada
Penurunan iden(tas pemilih terhadap Parpol
Menurunnya kepercayaan terhadap Parpol
Menguatnya pengaruh faktor figur, tokoh, dalam kompe(si demokrasi langsung "personalisasi figur"
tidak mempercayai bahwa partai politik memperjuangankan kepentingan mereka.19
Dampak lanjutan dari hal ini adalah menurunnya tingkat partisipasi politik
masyarakat20
Menghadapi tren politik Indonesia dalam sistem demokrasi langsung pasca-
Orde Baru, yaitu semakin menurunnya identitas partai dan semakin menurunnya
tingkat kepercayaan msyarakat terhadap partai politik, maka aspek ketokohan atau
figur menjadi sangat penting untuk dilihat. Tidak hanya dalam sebuah negara denan
demokrasi yang sudah maju, di negara demokrasi baru di mana pelembagaan partai
poltik belum tertata dengan baik, tokoh dipercaya memiliki peran sangat penting
karena dapat menjadi penarik massa pemilih dan membentuk identitas partai: yaitu
ketika seseorang membentuk partai politik maka daya tarik massa akan ditentukan
oleh daya tarik seorang tokoh terhadap perilaku pemilih dan identitas partai.21
Dilihat dari data, kemudian diketahui bahwa pemilih Indonesia memiliki afeksi atau
kesukaan terhadap tokoh tertentu dengan tren yang cenderung naik dari Pemilu
1999 sampai dengan 2009 seperti pada Pilpres 2004, di mana Susilo Bambang
Yudhoyono adalah tokoh yang paling banyak dipersepsi pemilih sebagai orang yang
pintar, berwawasan luas, mampu memimpin dengan tegas, berorientasi pada
pemecahan masalah, berwibawa, dapat dipercaya dan memiliki empati,
menyenangkan dan disukai.22
Ilustrasi di atas yang menunjukkan bukti-bukti empiris menurunnya
identitas pemilih terhadap partai politik, diikuti dengan menurunnya kepercayaan
publik pada partai politik, dan semakin signifikannya sosok, figur atau tokoh dalam
sebuah model demokrasi langsung. Bahkan mengutip Dewi Haroen (2014) tentang
riset kemenangan Pilkada, Pemilu, Pilpres memperlihatkan bahwa lebih dari 50%
hasil kemenangan ditentukan oleh faktor tokoh yang diusung, sisanya ditentukan
oleh kualitas program yang ditawarkan, branding (pencitraan), dan kualitas mesin
politik atau tim yang bagus.23 Dalam sebuah penelitian kuantitatif mengenai
pengaruh personal branding dan positioning terhadap perilaku pemilih dalam
Pilkada di Kabupaten Bonebolango, Provinsi Gorontalo pada tahun 2010
memperlihatkan adanya korelasi positif antara personal branding dan positioning
19 Ibid., hal 380 - 381. 20 Ibid., hal 383. 21 Ibid., hal 425. 22 Ibid., hal 427. 23 Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014) hal. 56-57.
78 79
E. Komponen Pembentuk Personal Branding
Lalu apa sebenarnya personal branding itu?. Personal branding pada
hakikatnya merupakan sebuah bentuk baru28 dalam marketing politik.29 Jika pada
tahun 1980an dan 1990an marketing politik lebih didominasi oleh model klasik
berupa kampanye melalui agenda seting di media Tv dan iklan-iklan kampanye
politik di Tv yang menghabiskan banyak biaya. Maka sejak tahun 2000an, terjadi
perubahan dalam dunia marketing politik yang lebih mengarah ke penekanan
komunikasi langsung dalam pemasaran politik dimana “branding” menjadi strategi
kunci.30 Jadi, secara sederhana dapat dikatakan terjadi pergeseran dari model klasik
marketing politik yang lebih menekankan iklan dan agenda seting di Tv, ke
penekanan pada citra diri seorang tokoh yang menekankan pentingnya personal
branding atau dalam politik sebagai political branding.
Pergeseran ini menandakan perubahan dalam dunia komunikasi politik: dari
model yang mengandalkan media massa ke model yang lebih berorientasi pada
konsumen (“a consumer model of political communication”).31 Jadi, seorang politisi
tidak lagi hanya mempromosikan melalui media massa mengenai dirinya secara satu
arah tanpa mengetahui keinginan dari pemilih. Tetapi dalam model personal
branding dalam dunia komunikasi politik baru, maka seorang politisi harus
mengetahui betul apa yang menjadi permasalahan di lapangan dan keinginan dari
para pemilihnya. Melalui persoalan yang dihadapi dan ekspektasi pemilih itulah,
nantinya seorang politisi membangun personal branding-nya. Oleh karena itulah,
seorang politisi termasuk politisi perempuan untuk dapat muncul dalam Pilkada
adalah merumuskan personal branding yang hendak dibangun dan dipasarkannya.
Merujuk Ann K. Brooks dan Chinede Anumudu (February 2016) personal
branding adalah “the deployment of individuals’ identity narratives for career and
28 Sebagaimana dikemukakan (Scammel 2007) dikutip dari Lidya Joyce Sandra, “Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2012 di media Sosial Twitter,” Jurnal E-Komunikasi, Univeristas Kristen Petra Surabaya, hal. 280., http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/viewFile/912/812 (diakses 13 April 2016) 29 Andrew Lock and Phil Harris, “Political marketing – vive la différence!”,https://www.researchgate.net/profile/Phil_Harris/publication/242347129_Political_marketing_-/links/0046352c1373ed797b000000.pdf (diakses 13 April 2016) 30 Margaret Scammell, “Political Brands and Consumer Citizens: The Rebranding of Tony Blair,” The Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 611 (May 2007) : 176. (diakses via JSTOR, 1 April 2016) 31 Ibid., hal. 177.
Gambar 4.
Dan Peran Strategis Personal Branding dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis, dengan memodifikasi Diagram “Alur Citra Diri
Caleg-Pemilih-Caleg” yang dibuat oleh Ibu Wahidah Suaib, Kemitraan.
Pada dasarnya personal branding yang pada hakikatnya adalan political
branding adalah upaya seorang politisi, yaitu perempuan calon kepala daerah untuk
menampilkan karakter pribadinya yang kuat, menonjolkan kekuatan diri (modal
indvidu) yang unik, dibarengi dengan track record yang sudah teruji, dengan
tampilan yang meyakinkan sehingga menjadi sebuah keunggulan komparatif
dibandingkan dengan kandidat lain. Jadi, personal branding menyasar agar para
pemilih memiliki pandangan positif, melekat erat mengenai citra diri seorang
perempuan calon kepala daerah. Pada akhirnya nanti, seorang pemilih tidak saja
mengenal, tetapi mengenang baik, menyukai, dan kemudian menjatuhkan pilihan
pada perempuan calon kepala daerah yang bersangkutan.
Mengenal
Mengenang Baik
Menyukai
Memilih
PEMILIH
POPULARITAS
PERSONAL BRANDING
Pentingnya Aspek Popularitas
78 79
E. Komponen Pembentuk Personal Branding
Lalu apa sebenarnya personal branding itu?. Personal branding pada
hakikatnya merupakan sebuah bentuk baru28 dalam marketing politik.29 Jika pada
tahun 1980an dan 1990an marketing politik lebih didominasi oleh model klasik
berupa kampanye melalui agenda seting di media Tv dan iklan-iklan kampanye
politik di Tv yang menghabiskan banyak biaya. Maka sejak tahun 2000an, terjadi
perubahan dalam dunia marketing politik yang lebih mengarah ke penekanan
komunikasi langsung dalam pemasaran politik dimana “branding” menjadi strategi
kunci.30 Jadi, secara sederhana dapat dikatakan terjadi pergeseran dari model klasik
marketing politik yang lebih menekankan iklan dan agenda seting di Tv, ke
penekanan pada citra diri seorang tokoh yang menekankan pentingnya personal
branding atau dalam politik sebagai political branding.
Pergeseran ini menandakan perubahan dalam dunia komunikasi politik: dari
model yang mengandalkan media massa ke model yang lebih berorientasi pada
konsumen (“a consumer model of political communication”).31 Jadi, seorang politisi
tidak lagi hanya mempromosikan melalui media massa mengenai dirinya secara satu
arah tanpa mengetahui keinginan dari pemilih. Tetapi dalam model personal
branding dalam dunia komunikasi politik baru, maka seorang politisi harus
mengetahui betul apa yang menjadi permasalahan di lapangan dan keinginan dari
para pemilihnya. Melalui persoalan yang dihadapi dan ekspektasi pemilih itulah,
nantinya seorang politisi membangun personal branding-nya. Oleh karena itulah,
seorang politisi termasuk politisi perempuan untuk dapat muncul dalam Pilkada
adalah merumuskan personal branding yang hendak dibangun dan dipasarkannya.
Merujuk Ann K. Brooks dan Chinede Anumudu (February 2016) personal
branding adalah “the deployment of individuals’ identity narratives for career and
28 Sebagaimana dikemukakan (Scammel 2007) dikutip dari Lidya Joyce Sandra, “Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2012 di media Sosial Twitter,” Jurnal E-Komunikasi, Univeristas Kristen Petra Surabaya, hal. 280., http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/viewFile/912/812 (diakses 13 April 2016) 29 Andrew Lock and Phil Harris, “Political marketing – vive la différence!”,https://www.researchgate.net/profile/Phil_Harris/publication/242347129_Political_marketing_-/links/0046352c1373ed797b000000.pdf (diakses 13 April 2016) 30 Margaret Scammell, “Political Brands and Consumer Citizens: The Rebranding of Tony Blair,” The Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 611 (May 2007) : 176. (diakses via JSTOR, 1 April 2016) 31 Ibid., hal. 177.
Gambar 4. Pentingnya Aspek Popularitas
Dan Peran Strategis Personal Branding dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis, dengan memodifikasi Diagram “Alur Citra Diri
Caleg-Pemilih-Caleg” yang dibuat oleh Ibu Wahidah Suaib, Kemitraan.
Pada dasarnya personal branding yang pada hakikatnya adalan political
branding adalah upaya seorang politisi, yaitu perempuan calon kepala daerah untuk
menampilkan karakter pribadinya yang kuat, menonjolkan kekuatan diri (modal
indvidu) yang unik, dibarengi dengan track record yang sudah teruji, dengan
tampilan yang meyakinkan sehingga menjadi sebuah keunggulan komparatif
dibandingkan dengan kandidat lain. Jadi, personal branding menyasar agar para
pemilih memiliki pandangan positif, melekat erat mengenai citra diri seorang
perempuan calon kepala daerah. Pada akhirnya nanti, seorang pemilih tidak saja
mengenal, tetapi mengenang baik, menyukai, dan kemudian menjatuhkan pilihan
pada perempuan calon kepala daerah yang bersangkutan.
Mengenal
Mengenang Baik
Menyukai
Memilih
PEMILIH
POPULARITAS
PERSONAL BRANDING
80 81
Dalam sebuah personal branding seorang politisi yang pada hakekatnya
merupakan sebuah political branding, catatan dari Margaret Scammell (2007)
dapat menjadi salah satu rujukan bahwa setidaknya terdapat tiga hal yang harus ada
dalam sebuah political branding: (i) memahami keinginan dan perilaku pemilih
sebagai implementasi dari komunikasi politik yang berorientasi pada konsumen, (ii)
keterhubungan dengan pemilih atau kosumen dengan mengandalkan komunikasi
yang interaktif dan personal, (iii) mencakup aspek politik yang keras (hard politics
seperti policies, issues, record of performance) dan aspek yang halus (soft politics
seperti emotional connection, values, likeability).37
Selain itu, personal branding juga harus dibangun sesuai dengan konteks dan
kebutuhan lokal di daerahnya, termasuk memperhatikan aspek budaya lokal supaya
tidak jauh panggang dari api sebagaimana catatan Julien Cayla dan Eric J. Arnould
(2008).38 Jadi, dalam model “a cultural approach to branding” sebuah merek
adalah sebuah manifestasi budaya yang harus dibentuk mencerminkan aspek sosial,
sejarah, dan geografi dari tempat dan budaya yang berbeda-beda.39
Jika dimanifestasikan dalam konteks Pilkada, maka sebuah personal
branding yang pada hakikatnya adalah sebuah political branding harus dibuat
sesuai dengan konteks lokal dan kultur di daerah di mana perempuan tersebut
mencalonkan diri. Menurut David Aaker (2014) Sebuah personal branding harus
dapat menjawab kebutuhkan penyelesaian permasalahan yang dihadapi daerah
tersebut dan tecermin dalam visi brand.40
Selain beberapa elemen penting mengenai karakter seseorang yang harus
tecermin dalam personal branding, track record, memiliki visi misi bran yang dapat
mengatasi persoalan lokal dan sesuai keinginan pemilih. Terdapat satu hal sangat
penting komponen pembentuk personal branding yang tidak boleh dilupakan.
Bessie Mitsikopoulou (2008: 359) mengatakan bawah sebuah personal branding
seorang politisi pada dasarnya merupakan “not only elements of a candidate’s
personality, but also elements of a candidate’s appearance such as hairstyle and
37 Margaret Scammell, “Political Brands and Consumer Citizens: The Rebranding of Tony Blair,” hal. 189-190. 38 Julien Cayla and Eric J. Arnould, “A Cultural Approach to Branding in the Global Marketplace,” Journal of International Marketing, vol. 16, no. 4 (2008): 86. (diakses via JSTOR, 1 April 2016) 39 Ibid., hal. 87. 40 David Aaker, Aaker on Branding: Branding Menurut Aaker (Jakarta: Kompas Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 29, 66.
employement purposes”.32 Sementara itu, menurut Dewi Haroen (2014) personal
branding adalah “proses membentuk persepsi masyarakat terhadap aspek-aspek
yang dimiliki oleh seseorang, di antaranya adalah kepribadian, kemampuan, atau
nilai-nilai, dan bagaimana semua itu menimbulkan persepsi positif dari masyarakat
yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai alat pemasaran.”33 Lebih jauh
dijelaskan bahwa personal branding sebaiknya mampu menjelaskan seseorang
tentang “Who are you”/siapa Anda yang sebearnya, “What have you done”/apa yang
telah Anda lakukan, “What will you do”/apa visi dan misi Anda; atau dapat
dirangkum menjadi 3K yaitu Karakter, Kompetensi, Kekuatan Anda.34
Menurut MC. Maryati, jika personal brand adalah “gambaran atau citra diri
seseorang yang kuat dan positif di mata orang lain atau publik”, maka personal
branding adalah “pencitraan terhadap diri seseorang yang dibangun oleh orang yang
bersangkutan dan diapresiasi oleh orang disekitarnya.”35 Menurut MC. Maryati,
personal branding bertujuan, “agar mempunyai identitas atau image yang menonjol
dan berbeda dari yang lain, agar mendapat positioning yang kuat di benak orang lain
atau publik.”36
Jadi, jika citra diri adalah bagaimana kita memandang diri kita, maka
personal branding atau pencitraan adalah bagaimana kita dilihat oleh orang lain.
Idealnya, sebuah personal branding yaitu gambaran kita dalam memandang diri
kita sendiri, sama dengan gambaran orang lain memandang diri kita. Jadi, hal
penting yang harus digarisbawahi adalah personal branding itu sebaiknya secara
jujur menggambarkan diri, kepribadian, keunggulan, dan karakter seseorang
termasuk janji perubahan yang hendak dilakukannya dalam politik. Personal
branding bukan sekedar iklan palsu, karena jika demikian dapat menjurus kepada
sebatas pencitraan publik. Personal branding yang tidak diikuti dengan bukti dan
kiprah nyata dari seseorang, hanya akan menjadi bumerang karena akan
menyebabkan pemilih tidak percaya dan justru meninggalkan yang bersangkutan
secara perlahan.
32 Ann K. Brooks and Chinedu Anumudu, “Identity Development in Personal Braning Instruction: Social Narratives and Online Brand Management in a Global Economy,” Adult Learning, vol. 27, no. 1 (Februari 2016): 24. 33 Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik, hal. 13. 34 Ibid, hal. 19. 35 MC. Maryati, “Personal Branding,” materi dipresentasikan dalam Diksusi Terfokus Panduan Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Perempuan Calon Kepala Daerah dalam Pilkada, 25 April 2016. 36 Ibid.
80 81
Dalam sebuah personal branding seorang politisi yang pada hakekatnya
merupakan sebuah political branding, catatan dari Margaret Scammell (2007)
dapat menjadi salah satu rujukan bahwa setidaknya terdapat tiga hal yang harus ada
dalam sebuah political branding: (i) memahami keinginan dan perilaku pemilih
sebagai implementasi dari komunikasi politik yang berorientasi pada konsumen, (ii)
keterhubungan dengan pemilih atau kosumen dengan mengandalkan komunikasi
yang interaktif dan personal, (iii) mencakup aspek politik yang keras (hard politics
seperti policies, issues, record of performance) dan aspek yang halus (soft politics
seperti emotional connection, values, likeability).37
Selain itu, personal branding juga harus dibangun sesuai dengan konteks dan
kebutuhan lokal di daerahnya, termasuk memperhatikan aspek budaya lokal supaya
tidak jauh panggang dari api sebagaimana catatan Julien Cayla dan Eric J. Arnould
(2008).38 Jadi, dalam model “a cultural approach to branding” sebuah merek
adalah sebuah manifestasi budaya yang harus dibentuk mencerminkan aspek sosial,
sejarah, dan geografi dari tempat dan budaya yang berbeda-beda.39
Jika dimanifestasikan dalam konteks Pilkada, maka sebuah personal
branding yang pada hakikatnya adalah sebuah political branding harus dibuat
sesuai dengan konteks lokal dan kultur di daerah di mana perempuan tersebut
mencalonkan diri. Menurut David Aaker (2014) Sebuah personal branding harus
dapat menjawab kebutuhkan penyelesaian permasalahan yang dihadapi daerah
tersebut dan tecermin dalam visi brand.40
Selain beberapa elemen penting mengenai karakter seseorang yang harus
tecermin dalam personal branding, track record, memiliki visi misi bran yang dapat
mengatasi persoalan lokal dan sesuai keinginan pemilih. Terdapat satu hal sangat
penting komponen pembentuk personal branding yang tidak boleh dilupakan.
Bessie Mitsikopoulou (2008: 359) mengatakan bawah sebuah personal branding
seorang politisi pada dasarnya merupakan “not only elements of a candidate’s
personality, but also elements of a candidate’s appearance such as hairstyle and
37 Margaret Scammell, “Political Brands and Consumer Citizens: The Rebranding of Tony Blair,” hal. 189-190. 38 Julien Cayla and Eric J. Arnould, “A Cultural Approach to Branding in the Global Marketplace,” Journal of International Marketing, vol. 16, no. 4 (2008): 86. (diakses via JSTOR, 1 April 2016) 39 Ibid., hal. 87. 40 David Aaker, Aaker on Branding: Branding Menurut Aaker (Jakarta: Kompas Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 29, 66.
employement purposes”.32 Sementara itu, menurut Dewi Haroen (2014) personal
branding adalah “proses membentuk persepsi masyarakat terhadap aspek-aspek
yang dimiliki oleh seseorang, di antaranya adalah kepribadian, kemampuan, atau
nilai-nilai, dan bagaimana semua itu menimbulkan persepsi positif dari masyarakat
yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai alat pemasaran.”33 Lebih jauh
dijelaskan bahwa personal branding sebaiknya mampu menjelaskan seseorang
tentang “Who are you”/siapa Anda yang sebearnya, “What have you done”/apa yang
telah Anda lakukan, “What will you do”/apa visi dan misi Anda; atau dapat
dirangkum menjadi 3K yaitu Karakter, Kompetensi, Kekuatan Anda.34
Menurut MC. Maryati, jika personal brand adalah “gambaran atau citra diri
seseorang yang kuat dan positif di mata orang lain atau publik”, maka personal
branding adalah “pencitraan terhadap diri seseorang yang dibangun oleh orang yang
bersangkutan dan diapresiasi oleh orang disekitarnya.”35 Menurut MC. Maryati,
personal branding bertujuan, “agar mempunyai identitas atau image yang menonjol
dan berbeda dari yang lain, agar mendapat positioning yang kuat di benak orang lain
atau publik.”36
Jadi, jika citra diri adalah bagaimana kita memandang diri kita, maka
personal branding atau pencitraan adalah bagaimana kita dilihat oleh orang lain.
Idealnya, sebuah personal branding yaitu gambaran kita dalam memandang diri
kita sendiri, sama dengan gambaran orang lain memandang diri kita. Jadi, hal
penting yang harus digarisbawahi adalah personal branding itu sebaiknya secara
jujur menggambarkan diri, kepribadian, keunggulan, dan karakter seseorang
termasuk janji perubahan yang hendak dilakukannya dalam politik. Personal
branding bukan sekedar iklan palsu, karena jika demikian dapat menjurus kepada
sebatas pencitraan publik. Personal branding yang tidak diikuti dengan bukti dan
kiprah nyata dari seseorang, hanya akan menjadi bumerang karena akan
menyebabkan pemilih tidak percaya dan justru meninggalkan yang bersangkutan
secara perlahan.
32 Ann K. Brooks and Chinedu Anumudu, “Identity Development in Personal Braning Instruction: Social Narratives and Online Brand Management in a Global Economy,” Adult Learning, vol. 27, no. 1 (Februari 2016): 24. 33 Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik, hal. 13. 34 Ibid, hal. 19. 35 MC. Maryati, “Personal Branding,” materi dipresentasikan dalam Diksusi Terfokus Panduan Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Perempuan Calon Kepala Daerah dalam Pilkada, 25 April 2016. 36 Ibid.
82 83
perempuan dalam politik ini dapat dirunut dari disiplin ilmu Politik klasik yang
memang bias gender dan merugikan perempuan. Hal ini karena para filosof Politik
seperti Plato yang memisahkan ruang publik (polis) sebagai ranah laki-laki,
sementara perempuan tidak boleh terlibat dalam polis karena tempatnya adalah di
dalam ruang privat (keluarga) di mana perempuan diposisikan sebagai barang
(property) dan bukan sebagai manusia, yang tidak memiliki hak dan dianggap
sebagai komoditas belaka, sebagaimana dikritik oleh Susan Moller Okin.43
Kritik terhadap kecenderungan disiplin Politik yang tidak netral gender,
dibangun dengan asumsi dasar yang mengabaikan pengalaman perempuan sebagai
subyek telah muncul sejak 1970an. Kathleen B. Jones dan Anna G. Jonasdottir
(1988: 1-10) bahkan dengan tajam mengatakan bahwa ada kecenderungan “sexism”
dalam disiplin ilmu politik dan perlunya perubahan dalam metodologi penelitian
politik yang pada gilirannya mengkonseptualisasi arena politik dalam kacamata
gender; gender harus dilihat sebagai kategori analitis dalam ilmu politik sehingga
mendefinisikan ulang dan memperluas ruang lingkup politik.44
Kathleen B. Jones (1988: 11-12) menyatakan bahwa salah satu sebab
terpenting perempuan dan kepentingan perempuan tidak nampak dalam pemikiran
dan analisis ilmu politik tradisional di dunia barat adalah penerimaan konsep
keterpisahan secara fundamental antara publik sebagai domain laki-laki dalam
melakuan “political action” dalam sebuah polis, dengan ruang privat yang
diasosiasikan dengan peran perempuan di ranah domestik.45 Selain itu, hal itu
disebabkan pula oleh struktur produksi pengetahuan dan referensi dalam studi
politik yang masih didominasi oleh laki-laki sehingga perlunya pendekatan-
pendekatan feminis dalam riset ilmu sosial dan politik.46
Dikotomi pemahaman dan praktik yang terjadi terus menerus bahwa
persoalan politik formal seperti persoalan kelembagaan, kepemiluan, partai politik,
43 Susan Moller Okin, “Philosopher Queens and Private Wives: Plato on Women and the Family,” dalam Feminist Interpretations and Polilitical Theory, ed. Mary Lyndon Shanley and Carole Pateman (Cambridge: Poity Press, 1991), hal. 11-31. 44 Lihat Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir, “Introduction: Gender as an Analytic Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hal. 1-10. 45 Kathleen B. Jones, “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hal. 1-10. 46 Lihat Vicky Randall, “Feminism and Political Analysis,” dalam Different Roles, Different Voices: Women and Politics in the United States and Europe, ed. Marianne Githens, Pippa Norris, Joni Lovenduski, (New York: Harper Collins College Publishers, 1994), hal. 4-16.
clothing, provide vivid illustrations of a candidate’s image”.41 Jadi, jelas dalam
personal branding harus memperhatikan aspek kepribadian, karakter pribadi
(personality), dan yang tidak kalah penting adalah penampilan atau kemasan.
Gambar 5. Komponen Pembentuk Personal Branding
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
F. Muatan Khusus Personal Branding Perempuan dalam Pilkada
Oleh karena dalam buku ini personal branding yang hendak dibangun adalah
pada diri seorang perempuan, maka harus ada sebuah brand positioning42 yang
jelas, spesifik, dan unik untuk membedakan dengan para kandidat laki-laki. Maka,
setidaknya terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu:
Pertama, kehadiran perempuan dalam politik harus mampu
mendekonstruksi Politik menjadi hal yang humanis, dekat, dan solutif terhadap
persoalan sehari-hari (everyday politics). Hal pertama kali yang harus disadari oleh
seorang perempuan dalam membangun personal branding adalah menyadari bahwa
praktik politik secara umum selalu dianggap sebagai persoalan laki-laki, bukan
ranah para perempuan untuk ikut terlibat secara substansial, dengan peran dan
posisi perempuan di pinggiran. Kecenderungan peminggiran peran dan posisi
41 Bessie Mitsikopoulou, “Introduction: The Branding of Political Entities as Discursive Practice,” Journal of Langunge and Politics, vol. 7, no 3 (2008): 359. 42 Brand positioning ini sangat penting dan mutlak dilakukan dalam membangun sebuah brand atau yang biasa disebut dengan ‘developing brand positioning’. Lihat Kevin Lane Keller and Donald R. Lehmann, “Brands and Branding: Research Findings and Future Priorities,” Marketing Science, vol. 25, no. 6 (Nov-Dec 2006): 740 (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Siapa Anda (Personality, Passion)
Apa yang sudah Anda Lakukan (Track record)
Apa yang akan Anda lakukan
(VISI MISI brand)
Apa konteks Lokal (keinginan pemilih, persoalan lokal)
Personal Branding
Penampilan/Kemasan
82 83
perempuan dalam politik ini dapat dirunut dari disiplin ilmu Politik klasik yang
memang bias gender dan merugikan perempuan. Hal ini karena para filosof Politik
seperti Plato yang memisahkan ruang publik (polis) sebagai ranah laki-laki,
sementara perempuan tidak boleh terlibat dalam polis karena tempatnya adalah di
dalam ruang privat (keluarga) di mana perempuan diposisikan sebagai barang
(property) dan bukan sebagai manusia, yang tidak memiliki hak dan dianggap
sebagai komoditas belaka, sebagaimana dikritik oleh Susan Moller Okin.43
Kritik terhadap kecenderungan disiplin Politik yang tidak netral gender,
dibangun dengan asumsi dasar yang mengabaikan pengalaman perempuan sebagai
subyek telah muncul sejak 1970an. Kathleen B. Jones dan Anna G. Jonasdottir
(1988: 1-10) bahkan dengan tajam mengatakan bahwa ada kecenderungan “sexism”
dalam disiplin ilmu politik dan perlunya perubahan dalam metodologi penelitian
politik yang pada gilirannya mengkonseptualisasi arena politik dalam kacamata
gender; gender harus dilihat sebagai kategori analitis dalam ilmu politik sehingga
mendefinisikan ulang dan memperluas ruang lingkup politik.44
Kathleen B. Jones (1988: 11-12) menyatakan bahwa salah satu sebab
terpenting perempuan dan kepentingan perempuan tidak nampak dalam pemikiran
dan analisis ilmu politik tradisional di dunia barat adalah penerimaan konsep
keterpisahan secara fundamental antara publik sebagai domain laki-laki dalam
melakuan “political action” dalam sebuah polis, dengan ruang privat yang
diasosiasikan dengan peran perempuan di ranah domestik.45 Selain itu, hal itu
disebabkan pula oleh struktur produksi pengetahuan dan referensi dalam studi
politik yang masih didominasi oleh laki-laki sehingga perlunya pendekatan-
pendekatan feminis dalam riset ilmu sosial dan politik.46
Dikotomi pemahaman dan praktik yang terjadi terus menerus bahwa
persoalan politik formal seperti persoalan kelembagaan, kepemiluan, partai politik,
43 Susan Moller Okin, “Philosopher Queens and Private Wives: Plato on Women and the Family,” dalam Feminist Interpretations and Polilitical Theory, ed. Mary Lyndon Shanley and Carole Pateman (Cambridge: Poity Press, 1991), hal. 11-31. 44 Lihat Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir, “Introduction: Gender as an Analytic Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hal. 1-10. 45 Kathleen B. Jones, “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir (Great Britain: Sage Publication, 1988), hal. 1-10. 46 Lihat Vicky Randall, “Feminism and Political Analysis,” dalam Different Roles, Different Voices: Women and Politics in the United States and Europe, ed. Marianne Githens, Pippa Norris, Joni Lovenduski, (New York: Harper Collins College Publishers, 1994), hal. 4-16.
clothing, provide vivid illustrations of a candidate’s image”.41 Jadi, jelas dalam
personal branding harus memperhatikan aspek kepribadian, karakter pribadi
(personality), dan yang tidak kalah penting adalah penampilan atau kemasan.
Gambar 5. Komponen Pembentuk Personal Branding
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
F. Muatan Khusus Personal Branding Perempuan dalam Pilkada
Oleh karena dalam buku ini personal branding yang hendak dibangun adalah
pada diri seorang perempuan, maka harus ada sebuah brand positioning42 yang
jelas, spesifik, dan unik untuk membedakan dengan para kandidat laki-laki. Maka,
setidaknya terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu:
Pertama, kehadiran perempuan dalam politik harus mampu
mendekonstruksi Politik menjadi hal yang humanis, dekat, dan solutif terhadap
persoalan sehari-hari (everyday politics). Hal pertama kali yang harus disadari oleh
seorang perempuan dalam membangun personal branding adalah menyadari bahwa
praktik politik secara umum selalu dianggap sebagai persoalan laki-laki, bukan
ranah para perempuan untuk ikut terlibat secara substansial, dengan peran dan
posisi perempuan di pinggiran. Kecenderungan peminggiran peran dan posisi
41 Bessie Mitsikopoulou, “Introduction: The Branding of Political Entities as Discursive Practice,” Journal of Langunge and Politics, vol. 7, no 3 (2008): 359. 42 Brand positioning ini sangat penting dan mutlak dilakukan dalam membangun sebuah brand atau yang biasa disebut dengan ‘developing brand positioning’. Lihat Kevin Lane Keller and Donald R. Lehmann, “Brands and Branding: Research Findings and Future Priorities,” Marketing Science, vol. 25, no. 6 (Nov-Dec 2006): 740 (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Siapa Anda (Personality, Passion)
Apa yang sudah Anda Lakukan (Track record)
Apa yang akan Anda lakukan
(VISI MISI brand)
Apa konteks Lokal (keinginan pemilih, persoalan lokal)
Personal Branding
Penampilan/Kemasan
84 85
telah purna tahun 2015, (ii) hasil sidang Komisi Status Perempuan PBB
(Commission on the Status of Women, CSW) ke 60 yang berlangsung pada 14-25
Maret di markas besar PBB di New York seperti peluncuran ‘Youth and Gender
Equality Strategy’ menuju target SDG’s 2030 dan peluncuran ‘the Global Database
on Violence Against Women,’49 (iv) upaya meningkatkan peran dan posisi lembaga
Hak Asasi Manusia (HAM) nasional termasuk lembaga Hak Asasi Manusia (HAM)
Perempuan.50
G. Tahap-Tahap Membangun Personal Branding
Setelah memahami konsep personal branding dan muatan khusus untuk
perempuan calon kepala daerah, maka bagian ini akan menguraikan tahap-tahap
untuk membangun personal branding, disajikan sebagai berikut.
Pertama, merumuskan konsep personal brandingnya. Hal ini dapat dimulai
dari pemahaman mengenai dirinya, passion, dan apa saja yang telah dilakukan
selama ini. Bagi perempuan yang memang belum pernah terjun dalam politik
praktis, maka perempuan yang bersangkutan harus terlebih dahulu mampu
mengenal apa yang menjadi passion-nya: sesuatu pekerjaan dimana yang
bersangkutan sangat tertarik, mencintai dan sangat menikmati pekerjaan di bidang
tersebut. Hal ini dapat berupa kecintaan pada aspek kewirausahaan, pada aspek
budaya suatu daerah, pada persoalan anak-anak, pada persoalan tanam-tanaman,
atau pada persoalan pendidikan. Jadi, passion ini pada dasarnya adalah
penggambaran yang sesungguhnya dari karakter seseorang.
Jika seorang perempuan yang telah berkecimpung dalam dunia aktifisme,
maka personal branding tidak perlu mulai dari nol. Perempuan dapat merefleksikan
kerja-kerja apa saja yang selama ini sudah pernah dilakukannya. Misalnya seorang
perempuan yang aktif melakukan berbagai kegiatan sosial di bidang kesehatan, maka
hal itu bisa menjadi track record yang bagus untuk membangun personal branding.
Atau seseorang yang memiliki ketertarikan di bidang kewirausahaan, di bidang
49 Untuk lebih lengkapnya mengenai hasil UN WOMEN CSW 60 pada 14-24 Maret 2016 cek http://www.unwomen.org/en/csw/csw60-2016 (diakses 1 April 2016) 50 Untuk catatan mengenai hasil-hasil CSW 60 yang dicatat oleh perwakilan delegasi dari Indonesia yaitu Komnas Perempuan lihat Yuniyanti Chuzaifah, “Catatan Komnas Perempuan dari Commission on the Status of Women (CSW) 60 atau Komisi Status Perempuan di PBB (14-25 Maret 2016). http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Catatan-Komnas-Perempuan-dari-Commission-on-the-Status-of-Women-_CSW_-60-atau-Komisi-Status-Perempuan-di-PBB-_14-25-Maret-2016_.pdf (diakses 1 April 2016).
dan lembaga perwakilan yang berada di ruang publik sebagai urusan laki-laki,
mengakibatkan perempuan menjadi semakin sulit untuk berpartisipasi dalam politik
formal. Perempuan perlu menyadari kecenderungan ini lalu melakukan dekonstruksi
secara aktif dengan berupaya menghadirkan perspektif perempuan dalam setiap
langkah dan programnya dengan prioritas, sensitivitas dan aktivitas politik yang
berbeda dengan politisi laki-laki. Sehingga dalam kacamata seorang perempuan,
Politik tidak saja melulu persoalan struktur kelembagaan yang jauh dari persoalan
keseharian dan jelas bias gender, tetapi kehadiran perempuan mampu membawa
aura baru Politik sebagai ‘everyday politics’, atau Politik yang ‘dekat dengan
persoalan sehari-hari’ seperti menyentuh persoalan perempuan dan anak-anak.
Kedua, perempuan harus menyadari bahwa “personal is political”. “The
personal is political” adalah slogan gerakan perempuan gelombang kedua akhir
tahun 1960an yang dipopularkan oleh Carol Hanisch.47 Slogan ini pada intinya
hendak menekankan bahwa pengalaman individual atau pribadi sangat terkait
dengan struktur sosial dan politik yang lebih luas dalam masyarakat; menurut Kate
Millet slogan ini dapat dimaknai bahwa hubungan dalam ranah privat antara laki-
laki dengan perempuan sebenarnya sangat erat terkait dengan dimensi politik
karena dalam ranah privat itu terjadi kontrol laki-laki terhadap perempuan yang
kemudian merambah ke ranah yang lebih luas di arena publik.48 Dalam konteks
inilah, seorang perempuan juga harus peka terhadap berbagai persoalan yang terjadi
di sekelilingnya yang mungkin tersembunyi di dalam benteng sebuah keluarga.
Ketiga, seorang perempuan harus memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai berbagai pranata advokasi gender yang berkembang di dunia
internasional, sejauhmana Indonesia telah meratifikasinya, dan bagaimana
menginisiasi solusi terkait persoalan perempuan dan anak-anak di daerahnya
dengan rujukan pranata tersebut. Beberapa diantaranya adalah: (i) the Convention
on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang
diadopsi PBB pada tahun 1979 dan sudah diratifikasi oleh Indonesia, perkembangan
Deklarasi Beijing, (ii) Sustainable Development Goals (SDGS) yaitu mencapai
kesetaraan gender dengan memberdayakan kaum ibu dan perempuan yang
ditargetkan tercapai padai 2030, sebagai kelanjutan Millennium Development Goals
(MDGs) untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang 47 Hester Eisenstein, Contemporary Feminist Thought (London, Sidney: Unwin Paperbacks, 1984), hal.12. 48 Ibid.
84 85
telah purna tahun 2015, (ii) hasil sidang Komisi Status Perempuan PBB
(Commission on the Status of Women, CSW) ke 60 yang berlangsung pada 14-25
Maret di markas besar PBB di New York seperti peluncuran ‘Youth and Gender
Equality Strategy’ menuju target SDG’s 2030 dan peluncuran ‘the Global Database
on Violence Against Women,’49 (iv) upaya meningkatkan peran dan posisi lembaga
Hak Asasi Manusia (HAM) nasional termasuk lembaga Hak Asasi Manusia (HAM)
Perempuan.50
G. Tahap-Tahap Membangun Personal Branding
Setelah memahami konsep personal branding dan muatan khusus untuk
perempuan calon kepala daerah, maka bagian ini akan menguraikan tahap-tahap
untuk membangun personal branding, disajikan sebagai berikut.
Pertama, merumuskan konsep personal brandingnya. Hal ini dapat dimulai
dari pemahaman mengenai dirinya, passion, dan apa saja yang telah dilakukan
selama ini. Bagi perempuan yang memang belum pernah terjun dalam politik
praktis, maka perempuan yang bersangkutan harus terlebih dahulu mampu
mengenal apa yang menjadi passion-nya: sesuatu pekerjaan dimana yang
bersangkutan sangat tertarik, mencintai dan sangat menikmati pekerjaan di bidang
tersebut. Hal ini dapat berupa kecintaan pada aspek kewirausahaan, pada aspek
budaya suatu daerah, pada persoalan anak-anak, pada persoalan tanam-tanaman,
atau pada persoalan pendidikan. Jadi, passion ini pada dasarnya adalah
penggambaran yang sesungguhnya dari karakter seseorang.
Jika seorang perempuan yang telah berkecimpung dalam dunia aktifisme,
maka personal branding tidak perlu mulai dari nol. Perempuan dapat merefleksikan
kerja-kerja apa saja yang selama ini sudah pernah dilakukannya. Misalnya seorang
perempuan yang aktif melakukan berbagai kegiatan sosial di bidang kesehatan, maka
hal itu bisa menjadi track record yang bagus untuk membangun personal branding.
Atau seseorang yang memiliki ketertarikan di bidang kewirausahaan, di bidang
49 Untuk lebih lengkapnya mengenai hasil UN WOMEN CSW 60 pada 14-24 Maret 2016 cek http://www.unwomen.org/en/csw/csw60-2016 (diakses 1 April 2016) 50 Untuk catatan mengenai hasil-hasil CSW 60 yang dicatat oleh perwakilan delegasi dari Indonesia yaitu Komnas Perempuan lihat Yuniyanti Chuzaifah, “Catatan Komnas Perempuan dari Commission on the Status of Women (CSW) 60 atau Komisi Status Perempuan di PBB (14-25 Maret 2016). http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Catatan-Komnas-Perempuan-dari-Commission-on-the-Status-of-Women-_CSW_-60-atau-Komisi-Status-Perempuan-di-PBB-_14-25-Maret-2016_.pdf (diakses 1 April 2016).
dan lembaga perwakilan yang berada di ruang publik sebagai urusan laki-laki,
mengakibatkan perempuan menjadi semakin sulit untuk berpartisipasi dalam politik
formal. Perempuan perlu menyadari kecenderungan ini lalu melakukan dekonstruksi
secara aktif dengan berupaya menghadirkan perspektif perempuan dalam setiap
langkah dan programnya dengan prioritas, sensitivitas dan aktivitas politik yang
berbeda dengan politisi laki-laki. Sehingga dalam kacamata seorang perempuan,
Politik tidak saja melulu persoalan struktur kelembagaan yang jauh dari persoalan
keseharian dan jelas bias gender, tetapi kehadiran perempuan mampu membawa
aura baru Politik sebagai ‘everyday politics’, atau Politik yang ‘dekat dengan
persoalan sehari-hari’ seperti menyentuh persoalan perempuan dan anak-anak.
Kedua, perempuan harus menyadari bahwa “personal is political”. “The
personal is political” adalah slogan gerakan perempuan gelombang kedua akhir
tahun 1960an yang dipopularkan oleh Carol Hanisch.47 Slogan ini pada intinya
hendak menekankan bahwa pengalaman individual atau pribadi sangat terkait
dengan struktur sosial dan politik yang lebih luas dalam masyarakat; menurut Kate
Millet slogan ini dapat dimaknai bahwa hubungan dalam ranah privat antara laki-
laki dengan perempuan sebenarnya sangat erat terkait dengan dimensi politik
karena dalam ranah privat itu terjadi kontrol laki-laki terhadap perempuan yang
kemudian merambah ke ranah yang lebih luas di arena publik.48 Dalam konteks
inilah, seorang perempuan juga harus peka terhadap berbagai persoalan yang terjadi
di sekelilingnya yang mungkin tersembunyi di dalam benteng sebuah keluarga.
Ketiga, seorang perempuan harus memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai berbagai pranata advokasi gender yang berkembang di dunia
internasional, sejauhmana Indonesia telah meratifikasinya, dan bagaimana
menginisiasi solusi terkait persoalan perempuan dan anak-anak di daerahnya
dengan rujukan pranata tersebut. Beberapa diantaranya adalah: (i) the Convention
on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang
diadopsi PBB pada tahun 1979 dan sudah diratifikasi oleh Indonesia, perkembangan
Deklarasi Beijing, (ii) Sustainable Development Goals (SDGS) yaitu mencapai
kesetaraan gender dengan memberdayakan kaum ibu dan perempuan yang
ditargetkan tercapai padai 2030, sebagai kelanjutan Millennium Development Goals
(MDGs) untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang 47 Hester Eisenstein, Contemporary Feminist Thought (London, Sidney: Unwin Paperbacks, 1984), hal.12. 48 Ibid.
86 87
memakai slogan “Jokowi adalah Kita” yang bersuha mendekatkan atau mencari
kedekatan emosional dengan para pemilih yang terbukti memang berhasil.
Ketiga, memastikan “visibility” sebuah brand. Montoya dan Vanhaley (2004)
menegaskan bahwa dalam pembentukan personal branding harus ada “visibility”
yaitu harus dapat dilihat secara konsisten terus menerus sampai brand seseorang
dikenal. Maka, tahap selanjutnya dalam personal branding adalah seseorang harus
berani tampil mempromosikan dirinya, memasarkan diri, dengan menggunakan
semua kesempatan yang ada agar lebih popular. Bahkan terdapat sebuah anggapan
bahwa visibility atau popularitas ini justru lebih penting dan menentukan daripada
kemampuan (ability); kandidat yang sangat berkualitas jika tidak dibarengi dengan
pengelolaan pencitraan yang baik dan tepat, maka tidak akan populer dan tidak
memperoleh simpati publik. Berikut ini disajikan tahap-tahap membangun personal
branding perempuan dalam Pilkada.
Gambar 6. Tahap-Tahap Membangun Personal Branding
Perempuan dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
H. Strategi Mempromosikan Personal Branding Perempuan dalam
Pilkada
Bagian berikutnya akan mengulas mengenai tahap-tahap mempromosikan
atau memasarkan personal branding. Personal branding yang sudah dibentuk, dan
nantinya dibangun dengan kerja-kerja nyata harus terus dipromosikan sejak awal
untuk memperkenalkan dirinya kepada publik. Hal ini karena untuk dapat dipilih
seseorang meniscayakan untuk dikenal, baru kemudian disukai, lalu dipilih. Upaya
Tahap 1
SIAPA APA YANG SUDAH DILAKUKAN PERSONAL BRANDING Karakter Passion Track record sebagai modal awal yang bagus
Tahap 2
APA YANG AKAN ANDA LAKUKAN Rumuskan VISI MISI BRAND Brand Posi6ong Bahasa Sederhana, singkat, padat, mudah dipahami Inova(f dan Krea(f
Tahap 3
VISIBILITY Harus dapat dilihat secara konsisten terus menerus sampai brand seseorang dikenal luas.
perikanan, di bidang pertanian, pertamanan, di bidang bisnis, atau kegiatan
keagamaan, itu semua dapat menjadi track record yang bagus dalam personal
branding seseorang.
Sebagai contohnya, Ibu Risma memiliki passion di bidang pertamanan dan
tata kota, lalu beliau membangun minat itu dalam karir profesionalnya. Dimulai dari
birokrat kelas bawah, keseriusan Risma membuahkan hasil yaitu terpilih sebagai
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan
Kota Surabaya (1997), Kepala Cabang Dinas Pertamanan Kota Surabaya (2001),
Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (2005), Kepala Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Surabaya (2005), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota
Surabaya (2008), Wali Kota Surabaya (2010-2015; 2016-Sekarang). Melalui berbagai
kegiatan dan track record yang pasti ini, maka dengan mudah Risma membangun
sebuah personal branding yang kuat sebagai seorang kepala daerah yang peduli
terhadap persoalan lingkungan, perempuan dan anak-anak.
Kedua, setelah memahami passion dan memiliki track record yang teruji
dengan berbagai kerja nyata, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan visi dan
misi brand dengan bahasa yang sederhana, jelas, padat, singkat, dan mengena.
Misalnya, Risma sangat terkenal dengan branding yang mengedepankan aspek
femininitasnya yaitu aspek keibuan yang tecermin dalam kepeduliannya merawat
dan memperbaiki taman dalam tata kota, menyediakan berbagai fasilitas ramah
perempuan dan anak-anak. Kesemuanya itu terangkum dalam kata Risma sebagai
“Ibu bagi seluruh kota” dimana dia berkata bahwa, “kelebihan saya sebagai wanita,
saya bisa merasakan seperti seorang ibu bagi seluruh kota”.51 Jadi, dengan bahasa
sederhana, singkat padat, Risma dapat menampilkan sosoknya yang terbaik dengan
bukti yang sudah nyata di tengah masyarakat. Yang lebih menarik lagi, meskipun
Risma menggambarkan diri atau terkenal dengan branding sebagai “ibu dari seluruh
kota”, tetapi karakternya sangat maskulin seperti tegas dan tidak kompromi.
Beberapa contoh lainnya kata-kata sederhana dalam personal branding yang
suskses adalah misalnya dalam Pilgub DKI 2012 Jokowi menggunakan slogan "JB"
yang dapat berarti "Jokowi Basuki" atau "Jakarta Baru" yang menjanjikan
perubahan untuk mengatasi slogan atau bran dari Foke (Fauzi Bowo) sebagai status
quo dengan “Serahkan pada Ahlinya”. Atau pula dalam Pilpres 2009, Jokowi
51 Mengutip pernyataan Tri Rismaharini sebagaimana dikutip dari Ira Puspito Rini, True Spirit Ibu Risma (Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2014), hal. 95.
86 87
memakai slogan “Jokowi adalah Kita” yang bersuha mendekatkan atau mencari
kedekatan emosional dengan para pemilih yang terbukti memang berhasil.
Ketiga, memastikan “visibility” sebuah brand. Montoya dan Vanhaley (2004)
menegaskan bahwa dalam pembentukan personal branding harus ada “visibility”
yaitu harus dapat dilihat secara konsisten terus menerus sampai brand seseorang
dikenal. Maka, tahap selanjutnya dalam personal branding adalah seseorang harus
berani tampil mempromosikan dirinya, memasarkan diri, dengan menggunakan
semua kesempatan yang ada agar lebih popular. Bahkan terdapat sebuah anggapan
bahwa visibility atau popularitas ini justru lebih penting dan menentukan daripada
kemampuan (ability); kandidat yang sangat berkualitas jika tidak dibarengi dengan
pengelolaan pencitraan yang baik dan tepat, maka tidak akan populer dan tidak
memperoleh simpati publik. Berikut ini disajikan tahap-tahap membangun personal
branding perempuan dalam Pilkada.
Gambar 6. Tahap-Tahap Membangun Personal Branding
Perempuan dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
H. Strategi Mempromosikan Personal Branding Perempuan dalam
Pilkada
Bagian berikutnya akan mengulas mengenai tahap-tahap mempromosikan
atau memasarkan personal branding. Personal branding yang sudah dibentuk, dan
nantinya dibangun dengan kerja-kerja nyata harus terus dipromosikan sejak awal
untuk memperkenalkan dirinya kepada publik. Hal ini karena untuk dapat dipilih
seseorang meniscayakan untuk dikenal, baru kemudian disukai, lalu dipilih. Upaya
Tahap 1
SIAPA APA YANG SUDAH DILAKUKAN PERSONAL BRANDING Karakter Passion Track record sebagai modal awal yang bagus
Tahap 2
APA YANG AKAN ANDA LAKUKAN Rumuskan VISI MISI BRAND Brand Posi6ong Bahasa Sederhana, singkat, padat, mudah dipahami Inova(f dan Krea(f
Tahap 3
VISIBILITY Harus dapat dilihat secara konsisten terus menerus sampai brand seseorang dikenal luas.
perikanan, di bidang pertanian, pertamanan, di bidang bisnis, atau kegiatan
keagamaan, itu semua dapat menjadi track record yang bagus dalam personal
branding seseorang.
Sebagai contohnya, Ibu Risma memiliki passion di bidang pertamanan dan
tata kota, lalu beliau membangun minat itu dalam karir profesionalnya. Dimulai dari
birokrat kelas bawah, keseriusan Risma membuahkan hasil yaitu terpilih sebagai
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan
Kota Surabaya (1997), Kepala Cabang Dinas Pertamanan Kota Surabaya (2001),
Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (2005), Kepala Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Surabaya (2005), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota
Surabaya (2008), Wali Kota Surabaya (2010-2015; 2016-Sekarang). Melalui berbagai
kegiatan dan track record yang pasti ini, maka dengan mudah Risma membangun
sebuah personal branding yang kuat sebagai seorang kepala daerah yang peduli
terhadap persoalan lingkungan, perempuan dan anak-anak.
Kedua, setelah memahami passion dan memiliki track record yang teruji
dengan berbagai kerja nyata, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan visi dan
misi brand dengan bahasa yang sederhana, jelas, padat, singkat, dan mengena.
Misalnya, Risma sangat terkenal dengan branding yang mengedepankan aspek
femininitasnya yaitu aspek keibuan yang tecermin dalam kepeduliannya merawat
dan memperbaiki taman dalam tata kota, menyediakan berbagai fasilitas ramah
perempuan dan anak-anak. Kesemuanya itu terangkum dalam kata Risma sebagai
“Ibu bagi seluruh kota” dimana dia berkata bahwa, “kelebihan saya sebagai wanita,
saya bisa merasakan seperti seorang ibu bagi seluruh kota”.51 Jadi, dengan bahasa
sederhana, singkat padat, Risma dapat menampilkan sosoknya yang terbaik dengan
bukti yang sudah nyata di tengah masyarakat. Yang lebih menarik lagi, meskipun
Risma menggambarkan diri atau terkenal dengan branding sebagai “ibu dari seluruh
kota”, tetapi karakternya sangat maskulin seperti tegas dan tidak kompromi.
Beberapa contoh lainnya kata-kata sederhana dalam personal branding yang
suskses adalah misalnya dalam Pilgub DKI 2012 Jokowi menggunakan slogan "JB"
yang dapat berarti "Jokowi Basuki" atau "Jakarta Baru" yang menjanjikan
perubahan untuk mengatasi slogan atau bran dari Foke (Fauzi Bowo) sebagai status
quo dengan “Serahkan pada Ahlinya”. Atau pula dalam Pilpres 2009, Jokowi
51 Mengutip pernyataan Tri Rismaharini sebagaimana dikutip dari Ira Puspito Rini, True Spirit Ibu Risma (Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2014), hal. 95.
88 89
2) PERSIAPAN ISI
Setelah mengetahui segmen mana yang hendak ditembus dalam promosi sebuah
personal branding, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan materi atau isi
yang hendak digunakan untuk mempromosikan personal branding itu. Biasanya
seorang politisi memilki tim yang membantu mempersiapkan poin-poin sesuai
dengan personal branding yang dibangun. Misalnya jika membangun personal
branding sebagai seorang perempuan calon kepala daerah yang peduli persoalan
kesehatan lokal, maka harus siap dengan materi tentang persoalan utama terkait
kesehatan secara umum di daerah itu dan terkait perempuan dan anak-anak secara
khsusus. Selain itu, harus bisa menyebutkan solusi konkrit yang dapat ditawarkan
untuk mengatasinya.
Hal penting yang harus diingat dalam mempersiapkan materi adalah format
acara apa yang akan didatangi oleh perempuan calon kepala daerah tersebut. Hal ini
karena setiap materi tentu harus dibuat sesuai dengan format acara agar tidak salah
dalam proses menyampaian, sehingga pesan utama justru tidak sampai pada
pemilih. Misalnya, materi untuk format acara seminar langsung, tentu berbeda
dengan format acara talkshow di radio, dengan kampanye massa, dan debat politik.
Jadi, materi disesuaikan dengan format acara yang akan dipakai untuk
mempromosikan personal branding tersebut.
3) PERSIAPAN TAMPILAN
Salah satu hal yang paling penting dalam sebuah promosi personal branding
ataupun dalam personal branding itu sendiri adalah tampilan. Jadi, tampilan fisik
ini adalah salah satu elemen penting dalam personal branding karena memang
seorang politisi yang tampil dengan personal branding tertentu dituntut menarik
secara fisik, untuk memperoleh simpati pemilih, termasuk dalam hal ini adalah
kemampuan dan gaya komunikasi atau ‘public speaking’ yang bagus. Dalam konteks
persiapan tampilan fisik ini, maka dapat dikategorikan dua hal yaitu:
a) Komunikasi verbal berupa persiapan ‘public speaking’ yang bagus. Seorang
politisi baik perempuan maupun laki-laki dituntut memiliki kemampuan
komunikasi publik atau ‘public speaking’ yang bagus. Memang setiap orang
memiliki gaya berpidato berbeda-beda misalnya gaya berbicara Jokowi yang
kalem tetapi langsung to the point, beda dengan gaya komunikasi Sukarno
yang sangat tegas berkharisma. Untuk sosok perempuan kepala daerah
melakukan promosi personal branding ini di beberapa literatur disebut dengan
marketing politik sebagai upaya seseorang dikenal dengan karakter dan visi tertentu
dan menancap terus dalam pikiran dan hati masyarakat.
Dalam konsep marketing politik, paling tidak terdapat 6 langkah penting yang
harus diperhatikan dalam mempromisikan personal branding yaitu:
(i) menemukan citra yang baik dalam diri seseorang (brand image),
(ii) menyadari citra baik tersebut supaya tersampaikan dan mendapat perhatian
dari para pemilih (brand awareness),
(iii) keunggulan Anda (brand equity) sehingga pantas dipilih,
(iv) anda mencerminkan kualitas citra seperti yang dibayangkan pemilih
(perceived brand quality),
(v) loyalitas pemilih (brand loyalty),
(vi) mempertahankan citra diri Anda dengan baik (maintaining brand image).52
Jadi, setelah seseorang mampu mengenali dirinya yang kemudian
dikonsepkan dalam sebuah personal branding, langkah selanjutnya harus disusun
sebuah strategi sistematis untuk memperkenalkan personal branding tersebut
kepada khalayak. Beberapa strategi yang bisa dilakukan adalah:
1) MEMAHAMI SIAPA PEMIRSANYA
Hal pertama yang harus diketahui dalam mempromosikan personal branding
adalah mengetahui siapa audience atau permirsa yang hendak dihadapi. Hal ini
sesuai dengan perkembangan dalam studi komunikasi politik yang sekarang lebih
mengarah ke pemahaman terhadap keinginan pemilih. Selain itu memang
seyogyanya seorang perempuan kepala daerah mengetahui terlebih dahulu daerah
dimana dia akan berkompetisi, memahami peta pemilih daerah tersebut, memahami
karakteristik sosial dari para pemilihnya, dan basis loyal pemililihnya. Hal ini
penting sebagai dasar bagi perempuan calon kepala daerah untuk merumuskan isi
atau materi yang hendak dipresentasikan dalam mempromosikan personal
branding tersebut. Sebagai contohnya misalnya, pada Pilpres 2009, Jokowi
menggunakan “Salam 2 Jari” untuk menarik simpati dan menjalin kedekatan
emosional dengan pemilih muda. Jadi, tiap segmen pemilih memang seharusnya
didekati dengan cara yang berbeda-beda.
52 Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik , hal. 61.
88 89
2) PERSIAPAN ISI
Setelah mengetahui segmen mana yang hendak ditembus dalam promosi sebuah
personal branding, maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan materi atau isi
yang hendak digunakan untuk mempromosikan personal branding itu. Biasanya
seorang politisi memilki tim yang membantu mempersiapkan poin-poin sesuai
dengan personal branding yang dibangun. Misalnya jika membangun personal
branding sebagai seorang perempuan calon kepala daerah yang peduli persoalan
kesehatan lokal, maka harus siap dengan materi tentang persoalan utama terkait
kesehatan secara umum di daerah itu dan terkait perempuan dan anak-anak secara
khsusus. Selain itu, harus bisa menyebutkan solusi konkrit yang dapat ditawarkan
untuk mengatasinya.
Hal penting yang harus diingat dalam mempersiapkan materi adalah format
acara apa yang akan didatangi oleh perempuan calon kepala daerah tersebut. Hal ini
karena setiap materi tentu harus dibuat sesuai dengan format acara agar tidak salah
dalam proses menyampaian, sehingga pesan utama justru tidak sampai pada
pemilih. Misalnya, materi untuk format acara seminar langsung, tentu berbeda
dengan format acara talkshow di radio, dengan kampanye massa, dan debat politik.
Jadi, materi disesuaikan dengan format acara yang akan dipakai untuk
mempromosikan personal branding tersebut.
3) PERSIAPAN TAMPILAN
Salah satu hal yang paling penting dalam sebuah promosi personal branding
ataupun dalam personal branding itu sendiri adalah tampilan. Jadi, tampilan fisik
ini adalah salah satu elemen penting dalam personal branding karena memang
seorang politisi yang tampil dengan personal branding tertentu dituntut menarik
secara fisik, untuk memperoleh simpati pemilih, termasuk dalam hal ini adalah
kemampuan dan gaya komunikasi atau ‘public speaking’ yang bagus. Dalam konteks
persiapan tampilan fisik ini, maka dapat dikategorikan dua hal yaitu:
a) Komunikasi verbal berupa persiapan ‘public speaking’ yang bagus. Seorang
politisi baik perempuan maupun laki-laki dituntut memiliki kemampuan
komunikasi publik atau ‘public speaking’ yang bagus. Memang setiap orang
memiliki gaya berpidato berbeda-beda misalnya gaya berbicara Jokowi yang
kalem tetapi langsung to the point, beda dengan gaya komunikasi Sukarno
yang sangat tegas berkharisma. Untuk sosok perempuan kepala daerah
melakukan promosi personal branding ini di beberapa literatur disebut dengan
marketing politik sebagai upaya seseorang dikenal dengan karakter dan visi tertentu
dan menancap terus dalam pikiran dan hati masyarakat.
Dalam konsep marketing politik, paling tidak terdapat 6 langkah penting yang
harus diperhatikan dalam mempromisikan personal branding yaitu:
(i) menemukan citra yang baik dalam diri seseorang (brand image),
(ii) menyadari citra baik tersebut supaya tersampaikan dan mendapat perhatian
dari para pemilih (brand awareness),
(iii) keunggulan Anda (brand equity) sehingga pantas dipilih,
(iv) anda mencerminkan kualitas citra seperti yang dibayangkan pemilih
(perceived brand quality),
(v) loyalitas pemilih (brand loyalty),
(vi) mempertahankan citra diri Anda dengan baik (maintaining brand image).52
Jadi, setelah seseorang mampu mengenali dirinya yang kemudian
dikonsepkan dalam sebuah personal branding, langkah selanjutnya harus disusun
sebuah strategi sistematis untuk memperkenalkan personal branding tersebut
kepada khalayak. Beberapa strategi yang bisa dilakukan adalah:
1) MEMAHAMI SIAPA PEMIRSANYA
Hal pertama yang harus diketahui dalam mempromosikan personal branding
adalah mengetahui siapa audience atau permirsa yang hendak dihadapi. Hal ini
sesuai dengan perkembangan dalam studi komunikasi politik yang sekarang lebih
mengarah ke pemahaman terhadap keinginan pemilih. Selain itu memang
seyogyanya seorang perempuan kepala daerah mengetahui terlebih dahulu daerah
dimana dia akan berkompetisi, memahami peta pemilih daerah tersebut, memahami
karakteristik sosial dari para pemilihnya, dan basis loyal pemililihnya. Hal ini
penting sebagai dasar bagi perempuan calon kepala daerah untuk merumuskan isi
atau materi yang hendak dipresentasikan dalam mempromosikan personal
branding tersebut. Sebagai contohnya misalnya, pada Pilpres 2009, Jokowi
menggunakan “Salam 2 Jari” untuk menarik simpati dan menjalin kedekatan
emosional dengan pemilih muda. Jadi, tiap segmen pemilih memang seharusnya
didekati dengan cara yang berbeda-beda.
52 Dewi Haroen, Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik , hal. 61.
90 91
dengan konteks agama, budaya dan adat-istiadat lokal. Namun, penting untuk
diingat bahwa seyogyanya simbol-simbol agama tidak hanya sekedar dipakai
dalam personal branding, tetapi betul-betul mencerminkan keseharian
perempuan calon kepala daerah tersebut.
4) PEMANFAATAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DIGITAL
Saat ini kita hidup dan berada di era komunikasi digital. Hampir semua sendi
kehidupan ditentukan oleh teknologi digital dengan adanya ponsel pintar yang
dengan mudah mengakses semua informasi diperlukan hanya dengan hitungan
detik. Itu semua dimungkinkan karena adanya jaringan internet yang membuat
dunia terasa sempit dan semua serba terhubung. Dalam kaitan dengan hal ini, maka
mutlak bagi perempuan calon kepala daerah untuk menggunakan berbagai media
sosial yang ada seperti twitter, facebook, Instagram untuk mempromosikan personal
branding dan menjangkau semua lapisan masyarakat.
Dalam kasus Jokowi, setelah merumuskan branding mengenai dirinya,
Jokowi begitu strategis menggunakan media sosial twitter untuk kampanye sosial.
Dalam salah satu penelitian ditemukan bahwa political branding Jokowi selama
masa kampanye Pemilu DKI Jakarta tahun 2012 di media sosial twitter dibentuk
melalui penampilan, personalitas, dan pesan-pesan politis; jadi jelas ada unsur
pembangunan hubungan emosional antara politisi dengan konstituen.54 Melalui
political branding via twitter ini Jokowi hendak menggambarkan diri dengan brand
yang unik, memiliki perbedaan dan kekhasan dengan politisi lain sebelumnya yaitu
sebagai sosok yang terbuka, dekat dengan rakyat, kredibel.55 Satu hal lagi yang juga
sangat penting dalam mempromosikan personal branding adalah adanya
keterikatan emosional antara politisi dengan pemilih, serta terasa aspek
ketulusannya bahwa seorang kandidat kepala daerah memang betul-betul ingin
memberikan solusi bagi masyarakat sekitarnya.
54 Lidya Joyce Sandra, “Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2012 di media Sosial Twitter,” Jurnal E-Komunikasi, Univeristas Kristen Petra Surabaya, hal. 286, http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/viewFile/912/812 (diakses 13 April 2016) 55 Ibid.
dengan gaya komunikasi publik yang unik adalah Risma dengan gaya ceplos-
ceplos, polos, jujur dan tho the point dalam menyampaian pendapat justru
menunjukkan ketrampilan Risma dalam menguasai berbagai persoalan teknis
dan riil di lapangan. Gaya komunikasi publik ini harus disesuaikan dengan
karakter pribadi yang bersangkutan yang unik dan tidak dibuat-buat.
b) Komunikasi non-verbal berupa bahasa tubuh yang mencerminkan ketulusan,
termasuk gaya berbusana, dan gaya rambut. Mengulangi kembali poin dari
Mitsikopoulou (2008: 359) mengatakan bawah sebuah personal branding
seorang politisi pada dasarnya merupakan “not only elements of a candidate’s
personality, but also elements of a candidate’s appearance such as hairstyle
and clothing, provide vivid illustrations of a candidate’s image”.53 Maka jelas
bahwa komunikasi non-verbal berupa tampilan berbusana yang cocok dengan
brand yang diusung, kejelian dan kecermatan menggunakan elemen lokal juga
sangat penting.
Dalam konteks busana ini, maka warna baju yang dipilih sebisa mungkin
memayungi semua pemilih dan dipakai secara secara terus menerus dan
konsisten. Baju tertentu atau asosiasi warna tertentu identik dengan
penggambaran diri seseorang seperti Megawati yang konsisten memakai
warna merah dalam hampir semua bajunya, atau Jokowi yang tampil dan baju
kemeja kotak-kotak pada Pilgub 2012, dan kemeja putih pada Pilpres 2009.
Selain itu, masih dalam komunikasi non-verbal ini adalah tampilan wajah
yang menarik seperti selalu menebar senyuman termasuk dalam foto-foto,
gambar yang disebarkan melalui pamphlet, baliho, dan yang paling penting
adalah dalam kertas suara. Hal ini nampaknya sepele, tetapi impressi positif
akan terpancar dari foto seseorang yang tersenyum lepas daripada foto
seseorang tanpa ekpresi senyum dan datar. Selain itu, hal yang sangat penting
juga adalah memperhatikan gaya rambut ataupun pemakaian kerudung bagi
yang Muslim, atau simbol-simbol agama dan budaya tertentu dalam
berbusana (misalnya kain, selendang, penutup kepala tertentu di daerah
tertentu). Hal ini penting untuk mendekatkan perempuan kepala daerah
53 Bessie Mitsikopoulou, “Introduction: The Branding of Political Entities as Discursive Practice,” Journal of Langunge and Politics, vol. 7, no 3 (2008): 359.
90 91
dengan konteks agama, budaya dan adat-istiadat lokal. Namun, penting untuk
diingat bahwa seyogyanya simbol-simbol agama tidak hanya sekedar dipakai
dalam personal branding, tetapi betul-betul mencerminkan keseharian
perempuan calon kepala daerah tersebut.
4) PEMANFAATAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DIGITAL
Saat ini kita hidup dan berada di era komunikasi digital. Hampir semua sendi
kehidupan ditentukan oleh teknologi digital dengan adanya ponsel pintar yang
dengan mudah mengakses semua informasi diperlukan hanya dengan hitungan
detik. Itu semua dimungkinkan karena adanya jaringan internet yang membuat
dunia terasa sempit dan semua serba terhubung. Dalam kaitan dengan hal ini, maka
mutlak bagi perempuan calon kepala daerah untuk menggunakan berbagai media
sosial yang ada seperti twitter, facebook, Instagram untuk mempromosikan personal
branding dan menjangkau semua lapisan masyarakat.
Dalam kasus Jokowi, setelah merumuskan branding mengenai dirinya,
Jokowi begitu strategis menggunakan media sosial twitter untuk kampanye sosial.
Dalam salah satu penelitian ditemukan bahwa political branding Jokowi selama
masa kampanye Pemilu DKI Jakarta tahun 2012 di media sosial twitter dibentuk
melalui penampilan, personalitas, dan pesan-pesan politis; jadi jelas ada unsur
pembangunan hubungan emosional antara politisi dengan konstituen.54 Melalui
political branding via twitter ini Jokowi hendak menggambarkan diri dengan brand
yang unik, memiliki perbedaan dan kekhasan dengan politisi lain sebelumnya yaitu
sebagai sosok yang terbuka, dekat dengan rakyat, kredibel.55 Satu hal lagi yang juga
sangat penting dalam mempromosikan personal branding adalah adanya
keterikatan emosional antara politisi dengan pemilih, serta terasa aspek
ketulusannya bahwa seorang kandidat kepala daerah memang betul-betul ingin
memberikan solusi bagi masyarakat sekitarnya.
54 Lidya Joyce Sandra, “Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2012 di media Sosial Twitter,” Jurnal E-Komunikasi, Univeristas Kristen Petra Surabaya, hal. 286, http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/viewFile/912/812 (diakses 13 April 2016) 55 Ibid.
dengan gaya komunikasi publik yang unik adalah Risma dengan gaya ceplos-
ceplos, polos, jujur dan tho the point dalam menyampaian pendapat justru
menunjukkan ketrampilan Risma dalam menguasai berbagai persoalan teknis
dan riil di lapangan. Gaya komunikasi publik ini harus disesuaikan dengan
karakter pribadi yang bersangkutan yang unik dan tidak dibuat-buat.
b) Komunikasi non-verbal berupa bahasa tubuh yang mencerminkan ketulusan,
termasuk gaya berbusana, dan gaya rambut. Mengulangi kembali poin dari
Mitsikopoulou (2008: 359) mengatakan bawah sebuah personal branding
seorang politisi pada dasarnya merupakan “not only elements of a candidate’s
personality, but also elements of a candidate’s appearance such as hairstyle
and clothing, provide vivid illustrations of a candidate’s image”.53 Maka jelas
bahwa komunikasi non-verbal berupa tampilan berbusana yang cocok dengan
brand yang diusung, kejelian dan kecermatan menggunakan elemen lokal juga
sangat penting.
Dalam konteks busana ini, maka warna baju yang dipilih sebisa mungkin
memayungi semua pemilih dan dipakai secara secara terus menerus dan
konsisten. Baju tertentu atau asosiasi warna tertentu identik dengan
penggambaran diri seseorang seperti Megawati yang konsisten memakai
warna merah dalam hampir semua bajunya, atau Jokowi yang tampil dan baju
kemeja kotak-kotak pada Pilgub 2012, dan kemeja putih pada Pilpres 2009.
Selain itu, masih dalam komunikasi non-verbal ini adalah tampilan wajah
yang menarik seperti selalu menebar senyuman termasuk dalam foto-foto,
gambar yang disebarkan melalui pamphlet, baliho, dan yang paling penting
adalah dalam kertas suara. Hal ini nampaknya sepele, tetapi impressi positif
akan terpancar dari foto seseorang yang tersenyum lepas daripada foto
seseorang tanpa ekpresi senyum dan datar. Selain itu, hal yang sangat penting
juga adalah memperhatikan gaya rambut ataupun pemakaian kerudung bagi
yang Muslim, atau simbol-simbol agama dan budaya tertentu dalam
berbusana (misalnya kain, selendang, penutup kepala tertentu di daerah
tertentu). Hal ini penting untuk mendekatkan perempuan kepala daerah
53 Bessie Mitsikopoulou, “Introduction: The Branding of Political Entities as Discursive Practice,” Journal of Langunge and Politics, vol. 7, no 3 (2008): 359.
92 93
media elektronika khususnya Tv. Dalam konteks ini, buku ini menggarisbawahi
peran signifikan Tv dalam promosi personal branding.
Mengapa demikian?. Salah satu cara paling cepat untuk memperoleh
popularitas dan dikenal oleh msyarakat luas, kemudian disukai oleh pemilih adalah
dengan media massa karena jangkauannya yang massif. Ekspos melalui media massa
sangat massif misalnya warga yang pernah mengikuti Kampanye melalui Tv
mencapai 87%, radio 49%, surat kabar 41%, sementara kampanye berbentuk
pertemuan umum hanya dapat mengumpulkan massa sekitar 23% pemilih saja.56
Maka wajar jika media massa terutama Tv menjadi sarana peling potensial dan
strategis untuk membantu seorang politisi dikenal oleh masyarakat dan calon
pemilih secara massif. Betapa pentingnya Tv dalam era saat ini bahkan Rhenald
Kasali (2013) sampai mengatakan bahwa sebuah brand belum benar-benar menjadi
brand bila belum tampil dan menjadi perhatian publik di Tv, karena melalui Tv
sebuah brand dapat mempengaruhi karakter, membentuk pasar dan tersebar secara
berlipat (multiscreen) dari Tv, komputer, dan ponsel pintar.57
Kehadiran Tv sebagai salah satu media komunikasi publik telah merubah
perilaku politik dan cara-cara pemasaran politik. Jika pada masa sebelum
munculnya Tv, selain melalui kampanye langsung, maka media cetak menjadi satu-
satunya wadah bagi para politisi untuk mempromosikan dirinya. Maka dengan
munculnya televisi, cara-cara komunikasi politik juga mengalami perubahan. Tv kini
menjadi bagian yang sangat penting dalam politik, apalagi di era demokrasi langsung
yang menekankan pada kedekatan para pemilih dengan para politisi dalal sebuah
proses demokrasi langsung.
Sebagai ilustrasi, dalam kasus di Amerika Serikat, Robin T. Reid (2004),
melakukan observasi pada strategi para politisi perempuan dalam pemilihan umum
senator tahun 1996 di Amerika Serikat. Melalui observasi tersebut diketahui bahwa
penampilan fisik menjadi salah satu point sangat penting sejak ditemukannya dan
mengemukanya Tv; ketika dahulu para pemilih hanya melihat politisi melalui surat
khabar atau majalah, sekarang dengan mudah mereka menyaksikan via Tv.58
56 Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, hal 435. 57 Rhenald Kasali, Camera Branding, Camera Genic vs Aura Genic: Televisi, Kita, dan Perubahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 15-19. 58 Robin T. Reid, “Appearances Do Matter: How Makeup and Clothes Can Affect the Outcome of Elections,” Campaigns and Elections 25, no. 3 (2004): 23-4. http://web.ebscohost.com/ehost/detail (diakses 22 Februari 2012).
Gambar 7. Strategi Promosi Personal Branding Perempuan
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
I. Mempromosikan Personal Branding Melalui Televisi dan
Mengefektifkan Modal Sosial
Salah satu bagian penting yang harus diperhatikan oleh perempuan calon
kepala daerah dalam mempromosikan personal branding-nya adalah mampu
bersahabat dengan media atau “media friendly”. Jika dirunut, media massa dapat
dikategorikan menjadi (i) media cetak seperti surat kabar atau majalah, dan (ii)
media elektronika seperti radio, Televisi (Tv), internet maupun film dokumenter.
Seorang politisi harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan semua
awak media agar kiprah dan personal brandingnya dijadikan rujukan dalam tulisan
atau liputannya. Namun demikian, tanpa mengecilkan arti pentingnya media cetak,
maka buku panduan ini ingin mengulas lebih mendalam arti penting dan strategis
MANFAATKAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DIGITAL
MANFAATKAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
DIGITAL
PERSIAPAN TAMPILAN
PERSIAPAN ISI SESUAI FORMAT ACARA
TULUS ASPEK EMOSI,
DEKAT DG PEMILIH
SIAPA PEMIRSA
92 93
media elektronika khususnya Tv. Dalam konteks ini, buku ini menggarisbawahi
peran signifikan Tv dalam promosi personal branding.
Mengapa demikian?. Salah satu cara paling cepat untuk memperoleh
popularitas dan dikenal oleh msyarakat luas, kemudian disukai oleh pemilih adalah
dengan media massa karena jangkauannya yang massif. Ekspos melalui media massa
sangat massif misalnya warga yang pernah mengikuti Kampanye melalui Tv
mencapai 87%, radio 49%, surat kabar 41%, sementara kampanye berbentuk
pertemuan umum hanya dapat mengumpulkan massa sekitar 23% pemilih saja.56
Maka wajar jika media massa terutama Tv menjadi sarana peling potensial dan
strategis untuk membantu seorang politisi dikenal oleh masyarakat dan calon
pemilih secara massif. Betapa pentingnya Tv dalam era saat ini bahkan Rhenald
Kasali (2013) sampai mengatakan bahwa sebuah brand belum benar-benar menjadi
brand bila belum tampil dan menjadi perhatian publik di Tv, karena melalui Tv
sebuah brand dapat mempengaruhi karakter, membentuk pasar dan tersebar secara
berlipat (multiscreen) dari Tv, komputer, dan ponsel pintar.57
Kehadiran Tv sebagai salah satu media komunikasi publik telah merubah
perilaku politik dan cara-cara pemasaran politik. Jika pada masa sebelum
munculnya Tv, selain melalui kampanye langsung, maka media cetak menjadi satu-
satunya wadah bagi para politisi untuk mempromosikan dirinya. Maka dengan
munculnya televisi, cara-cara komunikasi politik juga mengalami perubahan. Tv kini
menjadi bagian yang sangat penting dalam politik, apalagi di era demokrasi langsung
yang menekankan pada kedekatan para pemilih dengan para politisi dalal sebuah
proses demokrasi langsung.
Sebagai ilustrasi, dalam kasus di Amerika Serikat, Robin T. Reid (2004),
melakukan observasi pada strategi para politisi perempuan dalam pemilihan umum
senator tahun 1996 di Amerika Serikat. Melalui observasi tersebut diketahui bahwa
penampilan fisik menjadi salah satu point sangat penting sejak ditemukannya dan
mengemukanya Tv; ketika dahulu para pemilih hanya melihat politisi melalui surat
khabar atau majalah, sekarang dengan mudah mereka menyaksikan via Tv.58
56 Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, hal 435. 57 Rhenald Kasali, Camera Branding, Camera Genic vs Aura Genic: Televisi, Kita, dan Perubahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 15-19. 58 Robin T. Reid, “Appearances Do Matter: How Makeup and Clothes Can Affect the Outcome of Elections,” Campaigns and Elections 25, no. 3 (2004): 23-4. http://web.ebscohost.com/ehost/detail (diakses 22 Februari 2012).
Gambar 7. Strategi Promosi Personal Branding Perempuan
dalam Pilkada
Sumber: dibuat oleh penulis
I. Mempromosikan Personal Branding Melalui Televisi dan
Mengefektifkan Modal Sosial
Salah satu bagian penting yang harus diperhatikan oleh perempuan calon
kepala daerah dalam mempromosikan personal branding-nya adalah mampu
bersahabat dengan media atau “media friendly”. Jika dirunut, media massa dapat
dikategorikan menjadi (i) media cetak seperti surat kabar atau majalah, dan (ii)
media elektronika seperti radio, Televisi (Tv), internet maupun film dokumenter.
Seorang politisi harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan semua
awak media agar kiprah dan personal brandingnya dijadikan rujukan dalam tulisan
atau liputannya. Namun demikian, tanpa mengecilkan arti pentingnya media cetak,
maka buku panduan ini ingin mengulas lebih mendalam arti penting dan strategis
MANFAATKAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DIGITAL
MANFAATKAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
DIGITAL
PERSIAPAN TAMPILAN
PERSIAPAN ISI SESUAI FORMAT ACARA
TULUS ASPEK EMOSI,
DEKAT DG PEMILIH
SIAPA PEMIRSA
94 95
baru, yaitu sebagai “a reformist, trusted, pious-nationalist, female leader.”60 Salah
satu cara untuk menunjukkan personal branding yang baru ini kepada masyarakat
luas adalah tampil melalui RATIH Tv.
Dengan menunjukkan penampilan baru yang memakai kerudung, melalui
media Tv, maka Rustriningsih tidak saja menunjukkan tampilan baru tetapi lebih
dari itu bahwa dirinya telah menjadi lebih sesuai dengan norma-norma kesalehan
Islam. Dengan personal branding yang baru ini, maka Rustri mengharapkan simpati
tidak hanya dari pemilih loyal nasionalis di bagian ‘kulon kali’, tetapi justru
menyasar simpati dari kalangan santri NU di daerah ‘wetan kali’. Contoh ini
menunjukkan bagaimana personal branding dapat diolah sedemikian rupa untuk
memperluas jangkauan dan simpati publik, khususnya dalam kompetisi Pilkada.
Harus digarisbawahi disini bahwa penekanan pentingnya para perempuan
calon kepala daerah memanfaatkan media Tv untuk promosi personal branding
hanya mungkin dapat dilakukan oleh petahana atau mereka yang memiliki modal
capital (uang) yang banyak karena mahalnya biaya iklan di Tv. Lalu bagaimana
dengan para politisi yang tidak memiliki modal uang yang memadai untuk beriklan
di Tv?.
Bagi perempuan calon kepala daerah yang tidak miliki modal uang yang
memadai, maka yang bersangkutan dapat memulai dari track record yang selama ini
sudah ada dan dimilikinya. Misalnya seseorang yang memiliki rekam jejak sangat
bagus di bidang pengelolaan kota dan taman kota, seperti Risma di Surabaya maka
dirinya tinggal mengolah dan mengkonkritkan personal brandingnya melalui
berbagai strategi promosi berbiaya murah khususnya dengan memanfaatkan jejaring
ibu-ibu relawan yang tergabung dalam program penghijauan Surabaya.
Contoh lainnya adalah Indah Putri Indriani yang berhasil menang dalam
Pilkada Luwu Utara Desember 2015, menjadi perempuan kepala daerah pertama di
Sulawesi Selatan. Meskipun Indah Putri Indriani bukan asli dari suku Luwu, tetapi
orang tuanya tinggal di Luwu Utara sejak dirinya masih kecil. Indah adalah putri
satu-satunya dari seorang wiraswasta, dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.
Indah memiliki kedekatan dengan masyarakat Luwu Utara karena ia menempuh
Sekolah Dasar di Luwu Utara, mengenyam pendidikan pesantren untuk tingkat SMP
dan SMA di Palopo. Indah memiliki latar belakang pendidikan yang bagus yaitu S1 di
FISIP UNHAS dan S2 di FISIP UI. Indah menjadi pengajar tidak tetap di UI,
60 Ibid., hal 80.
Kemudian Reid menegaskan bahwa karena kampanye politik menjadi semakin
visual, maka peran ‘make up’ dan pakaian sangat berperan penting dalam
menciptakan potret yang ideal yang disukai dan dapat menarik perhatian pemilih
dalam Pemilu.
Sebagai salah satu contoh politisi yang sangat efeketif menggunakan Tv dalam
proses awal kemunculannya adalah Rustriningsih. Rustriningsih, pada mulanya
adalah ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kebumen, yang mengawali karir
politik bersentuhan dekat dengan basis PDI pro-Megawati. Kemudian dalam
perkembangannya, Rustriningsih terpilih menjadi ketua KPUD Kebumen, lalu
terpilih menjadi anggota MPR, yang kemudian mencalonkan diri sebagai kepala
daerah perempuan pertama di Kebumen tahun 2000. Setelah itu, Rustriningsih
mendirikan Tv lokal bernama RATIH Tv pada tahun 2003, sebagai satu-satunya
televisi yang pada waktu itu didirikan oleh kepala daerah di Indonesia. Melalui
RATIH Tv, Rustriningsih menyapa warga Kebumen dengan program ‘Selamat Pagi
Bupati’ (SPB) sebuah program untuk menyapa warga Kebumen setiap pagi,
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan dilaporkan warga, lalu
menindaklanjuti melalui berbagai satuan kerja yang ada. Mesti dilihat bahwa dalam
konteks saat itu, RATIH Tv menjadi salah satu contoh nyata inovasi tata kelola
pemerintahan daerah yang kebetulan dipimpin seorang perempuan.
Jadi, konteks awal era Reformasi yang masih pada fase transisi terhadap
praktik praktik keterbukaan dan akuntabilitas, maka adanya RATIH Tv dengan
program nyata yang menyapa para warganya secara langsung, menjadi salah satu
inovasi sangat popular dan banyak dikagumi saat itu. Ini menunjang upaya Rustri
untuk muncul dengan branding sebagai “a reformist and trusted female leader”
sebagai pemimpin perempuan yang reformis, dapat dipercaya, dan akuntabel.59
Sementara itu, dalam perkembangannya, Rustriningsih, yang latar belakangnya
adalah dari kalangan nasionalis, secara perlahan mulai menyesuaikan dengan
norma-norma Islam. Pada tahun 2004, Rustriningsih melakukan ibadah haji, lalu
sekembalinya dari haji memakai kerudung dan menikah. Perubahan tampilan
Rustriningsih yang memakai kerudung sejak tahun 2004 ini harus dilihat secara
strategis politis sebagai upayanya untuk tampil dengan personal branding yang
59 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender, and Networks in Post-Suharto Indonesia, hal 79.
94 95
baru, yaitu sebagai “a reformist, trusted, pious-nationalist, female leader.”60 Salah
satu cara untuk menunjukkan personal branding yang baru ini kepada masyarakat
luas adalah tampil melalui RATIH Tv.
Dengan menunjukkan penampilan baru yang memakai kerudung, melalui
media Tv, maka Rustriningsih tidak saja menunjukkan tampilan baru tetapi lebih
dari itu bahwa dirinya telah menjadi lebih sesuai dengan norma-norma kesalehan
Islam. Dengan personal branding yang baru ini, maka Rustri mengharapkan simpati
tidak hanya dari pemilih loyal nasionalis di bagian ‘kulon kali’, tetapi justru
menyasar simpati dari kalangan santri NU di daerah ‘wetan kali’. Contoh ini
menunjukkan bagaimana personal branding dapat diolah sedemikian rupa untuk
memperluas jangkauan dan simpati publik, khususnya dalam kompetisi Pilkada.
Harus digarisbawahi disini bahwa penekanan pentingnya para perempuan
calon kepala daerah memanfaatkan media Tv untuk promosi personal branding
hanya mungkin dapat dilakukan oleh petahana atau mereka yang memiliki modal
capital (uang) yang banyak karena mahalnya biaya iklan di Tv. Lalu bagaimana
dengan para politisi yang tidak memiliki modal uang yang memadai untuk beriklan
di Tv?.
Bagi perempuan calon kepala daerah yang tidak miliki modal uang yang
memadai, maka yang bersangkutan dapat memulai dari track record yang selama ini
sudah ada dan dimilikinya. Misalnya seseorang yang memiliki rekam jejak sangat
bagus di bidang pengelolaan kota dan taman kota, seperti Risma di Surabaya maka
dirinya tinggal mengolah dan mengkonkritkan personal brandingnya melalui
berbagai strategi promosi berbiaya murah khususnya dengan memanfaatkan jejaring
ibu-ibu relawan yang tergabung dalam program penghijauan Surabaya.
Contoh lainnya adalah Indah Putri Indriani yang berhasil menang dalam
Pilkada Luwu Utara Desember 2015, menjadi perempuan kepala daerah pertama di
Sulawesi Selatan. Meskipun Indah Putri Indriani bukan asli dari suku Luwu, tetapi
orang tuanya tinggal di Luwu Utara sejak dirinya masih kecil. Indah adalah putri
satu-satunya dari seorang wiraswasta, dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.
Indah memiliki kedekatan dengan masyarakat Luwu Utara karena ia menempuh
Sekolah Dasar di Luwu Utara, mengenyam pendidikan pesantren untuk tingkat SMP
dan SMA di Palopo. Indah memiliki latar belakang pendidikan yang bagus yaitu S1 di
FISIP UNHAS dan S2 di FISIP UI. Indah menjadi pengajar tidak tetap di UI,
60 Ibid., hal 80.
Kemudian Reid menegaskan bahwa karena kampanye politik menjadi semakin
visual, maka peran ‘make up’ dan pakaian sangat berperan penting dalam
menciptakan potret yang ideal yang disukai dan dapat menarik perhatian pemilih
dalam Pemilu.
Sebagai salah satu contoh politisi yang sangat efeketif menggunakan Tv dalam
proses awal kemunculannya adalah Rustriningsih. Rustriningsih, pada mulanya
adalah ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kebumen, yang mengawali karir
politik bersentuhan dekat dengan basis PDI pro-Megawati. Kemudian dalam
perkembangannya, Rustriningsih terpilih menjadi ketua KPUD Kebumen, lalu
terpilih menjadi anggota MPR, yang kemudian mencalonkan diri sebagai kepala
daerah perempuan pertama di Kebumen tahun 2000. Setelah itu, Rustriningsih
mendirikan Tv lokal bernama RATIH Tv pada tahun 2003, sebagai satu-satunya
televisi yang pada waktu itu didirikan oleh kepala daerah di Indonesia. Melalui
RATIH Tv, Rustriningsih menyapa warga Kebumen dengan program ‘Selamat Pagi
Bupati’ (SPB) sebuah program untuk menyapa warga Kebumen setiap pagi,
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan dilaporkan warga, lalu
menindaklanjuti melalui berbagai satuan kerja yang ada. Mesti dilihat bahwa dalam
konteks saat itu, RATIH Tv menjadi salah satu contoh nyata inovasi tata kelola
pemerintahan daerah yang kebetulan dipimpin seorang perempuan.
Jadi, konteks awal era Reformasi yang masih pada fase transisi terhadap
praktik praktik keterbukaan dan akuntabilitas, maka adanya RATIH Tv dengan
program nyata yang menyapa para warganya secara langsung, menjadi salah satu
inovasi sangat popular dan banyak dikagumi saat itu. Ini menunjang upaya Rustri
untuk muncul dengan branding sebagai “a reformist and trusted female leader”
sebagai pemimpin perempuan yang reformis, dapat dipercaya, dan akuntabel.59
Sementara itu, dalam perkembangannya, Rustriningsih, yang latar belakangnya
adalah dari kalangan nasionalis, secara perlahan mulai menyesuaikan dengan
norma-norma Islam. Pada tahun 2004, Rustriningsih melakukan ibadah haji, lalu
sekembalinya dari haji memakai kerudung dan menikah. Perubahan tampilan
Rustriningsih yang memakai kerudung sejak tahun 2004 ini harus dilihat secara
strategis politis sebagai upayanya untuk tampil dengan personal branding yang
59 Lihat Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender, and Networks in Post-Suharto Indonesia, hal 79.
96 97
dapat menawarkan uang atau hal yang serupa, tetapi dia menawarkan bahwa dirinya
akan selalu ada untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapi
masyarakat. Indah berupaya untuk menyentuh hati dan nurani dari masyarakat di
Luwu Utara dan silahkan membandingkan antara program-program yang
ditawarkannya dengan calon lainnya.
Indah juga menyasar basis pemilih perempuan. Dia menamakan basis pemilih
perempuan sebagai ‘Kartini Pintar’ beranggotakan perempuan lintas agama dengan
kegiatan kampnaye door to door, dan bagi yang Muslim menggunakkan majelis
taklim untuk mengkampanyekan dukungan terhadap Indah. Indah juga menjanjikan
pemihakan pemerintah daerah terhadap persoalan perempuan dan anak-anak jika
dirinya terpilih menjadi bupati.
Indah menggunakan “Dari Luwu Utara untuk Indonesia” ketika dirinya dulu
maju sebagai wakil bupati pada Pilkada tahun 2010. Ketika Pilkada Desember 2015,
Indah menggunakan “Perempuan untuk Luwu Utara, dari Luwu Utara untuk Dunia”.
Adapun slogan utama kampanye Indah adalah PINTAR yaitu “Pilih Indah Tahar”,
yang juga bermakna kata pintar sebagai sesuatu berkonotasi positif dan dapat
diterima semua kalangan. Dengan slogan PINTAR ini, Indah berusaha masuk ke
alam bawah sadar pemilih dan menggiring pemilih untuk bersikap rasional dan logis
mana calon yang memiliki visi luas dan mana yang berpikir sempit kedaerahan.
Selain belajar dari personal branding yang sukses, bagus juga mempelajari
personal branding perempuan kepala daerah yang gagal dalam Pilkada Desember
2015. Seorang politisi perempuan di Sulawesi Selatan yang juga memiliki modal
sosial yang sangat kuat adalah Tenri Olleh Yasin Limpo, kakak kandung dari politisi
berpengaruh di Sulawesi Selatan yaitu Syahrul Yasin Limpo. Tenri mencalonkan diri
sebagai kepala daerah pada Pilkada di Kabupaten Gowa pada Desember 2015. Pada
Pilkada di Kabupaten Gowa tersebut, Tenri adalah satu-satunya perempuan calon
kepala daerah di antara lima pasangan calon kepala daerah yang berkompetisi di
Kabupaten Gowa. Lebih menarikya lagi, Tenri Limpo juga harus bersaing dengan
keponakannya sendiri yaitu Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo yang merupakan
anak dari Ichsan Yasin Limpo Bupati Gowa selama dua periode (2005-2010) (2010-
2015) sekaligus adik kandung Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.
Jadi, Pilkada di Kabupaten Gowa tahun lalu, semakin memperlihatkan tidak
saja berjayanya dinasti Limpo di Gowa yang memang tempat asal mula kiprah
dinasti Limpo yaitu H. M. Yasin Daeng Limpo ayah dari seluruh klan Limpo adalah
kemudian staf ahli di DPR RI Komisi II bidang pemerintahan dalam negeri dan
otonomi daerah selama 5 tahun. Sejak kuliah Indah aktif berorganisasi dan banyak
melakukan kegiatan sosial.
Suami Indah, Muhammad Fauzi adalah seorang pengusaha dan anggota DPR
RI dari Partai Bulan Bintang pada periode (2004-2009) dari Aceh. Indah menjadi
calon anggota DPR RI pada Pemilu Legislatif tahun 2009 dari Partai Bula Bintang
Dapil I (Luwu Utara, terdiri dari Kecamatan Bone-Bone, Sukamaju, Tanalili), namun
tidak berhasil memperoleh kursi meskipun perolehan suaranya terbanyak ke-2.
Modal sosial Indah dan popularitasnya di kalangan masyarakat Luwu Utara
mengantarkannya untuk dipilih sebagai kandidat wakil bupati berpasangan dengan
Arifin Junaidi. Pada akhirnya Arifin Junaidi-Indah Putri Indriani berhasil menang
pada Pilkada Luwu Utara 2010 dan menjadi bupati dan wakil bupati (2010-2015).
Modal sosial yang kuat kemudian diolahnya dalam personal branding. Indah
tampil sebagai sosok yang selalu hadir dekat dengan rakyat misalnya tidak segan
untuk singgal secara mendadak jika ada warga yang meninggal dunia sebagai bentuk
penghormatan, bercengkerama dengan warga, dengan anak-anak dan ibu-ibu.
Karakter Indah yang meskipun masih muda, tetapi selalu menghormati yang lebih
tua, tidak menjaga jarak, tidak pilih-pilih, sederhana, tanggap terhadap persoalan,
menjadi sebuah daya tarik khusus yang membedakannya dengan para wakil bupati
sebelumnya.
Ketika persiapan maju dalam Pilkada 19 Desember 2015 yang lalu, Indah
melakukan survei tingkat popularitas dan kesukaan masyarakat terhadapnya. Hasil
survei menunjukkan bahwa popularitas Arifin Junaidi sebagai Bupati Luwu Utara
(2010-2015) lebih tinggi dibandingkan Indah, tetapi tingkat kesukaan masyarakat
kepada Indah lebih tinggi. Jadi, tanpa perlu melakukan upaya sistematis untuk
membentuk personal branding, rekam jejak Indah sebagai wakil bupati yang
berkualitas menjadikan pemilih dan masyarakat Luwu Utara memandangnya,
sebagaimana keterangan Indah, sebagai sosok yang muda, cerdas, responsive,
peduli, solutif, sederhana; ini menjadi sebuah modal atau investasi utama yang
sangat bagus bagi personal branding-nya.61
Indah berusaha mempertahankan personal branding positif yang sudah
melekat erat di hati pemilih Luwu Utara ini. Indah menekankan bahwa dirinya tidak
61 Wawancara Kurniawati Hastuti Dewi dengan Indah Putri Indriani Bupati Luwu Utara (2015-2020) di kantor Bupati Luwu Utara, 20 April 2016.
96 97
dapat menawarkan uang atau hal yang serupa, tetapi dia menawarkan bahwa dirinya
akan selalu ada untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapi
masyarakat. Indah berupaya untuk menyentuh hati dan nurani dari masyarakat di
Luwu Utara dan silahkan membandingkan antara program-program yang
ditawarkannya dengan calon lainnya.
Indah juga menyasar basis pemilih perempuan. Dia menamakan basis pemilih
perempuan sebagai ‘Kartini Pintar’ beranggotakan perempuan lintas agama dengan
kegiatan kampnaye door to door, dan bagi yang Muslim menggunakkan majelis
taklim untuk mengkampanyekan dukungan terhadap Indah. Indah juga menjanjikan
pemihakan pemerintah daerah terhadap persoalan perempuan dan anak-anak jika
dirinya terpilih menjadi bupati.
Indah menggunakan “Dari Luwu Utara untuk Indonesia” ketika dirinya dulu
maju sebagai wakil bupati pada Pilkada tahun 2010. Ketika Pilkada Desember 2015,
Indah menggunakan “Perempuan untuk Luwu Utara, dari Luwu Utara untuk Dunia”.
Adapun slogan utama kampanye Indah adalah PINTAR yaitu “Pilih Indah Tahar”,
yang juga bermakna kata pintar sebagai sesuatu berkonotasi positif dan dapat
diterima semua kalangan. Dengan slogan PINTAR ini, Indah berusaha masuk ke
alam bawah sadar pemilih dan menggiring pemilih untuk bersikap rasional dan logis
mana calon yang memiliki visi luas dan mana yang berpikir sempit kedaerahan.
Selain belajar dari personal branding yang sukses, bagus juga mempelajari
personal branding perempuan kepala daerah yang gagal dalam Pilkada Desember
2015. Seorang politisi perempuan di Sulawesi Selatan yang juga memiliki modal
sosial yang sangat kuat adalah Tenri Olleh Yasin Limpo, kakak kandung dari politisi
berpengaruh di Sulawesi Selatan yaitu Syahrul Yasin Limpo. Tenri mencalonkan diri
sebagai kepala daerah pada Pilkada di Kabupaten Gowa pada Desember 2015. Pada
Pilkada di Kabupaten Gowa tersebut, Tenri adalah satu-satunya perempuan calon
kepala daerah di antara lima pasangan calon kepala daerah yang berkompetisi di
Kabupaten Gowa. Lebih menarikya lagi, Tenri Limpo juga harus bersaing dengan
keponakannya sendiri yaitu Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo yang merupakan
anak dari Ichsan Yasin Limpo Bupati Gowa selama dua periode (2005-2010) (2010-
2015) sekaligus adik kandung Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.
Jadi, Pilkada di Kabupaten Gowa tahun lalu, semakin memperlihatkan tidak
saja berjayanya dinasti Limpo di Gowa yang memang tempat asal mula kiprah
dinasti Limpo yaitu H. M. Yasin Daeng Limpo ayah dari seluruh klan Limpo adalah
kemudian staf ahli di DPR RI Komisi II bidang pemerintahan dalam negeri dan
otonomi daerah selama 5 tahun. Sejak kuliah Indah aktif berorganisasi dan banyak
melakukan kegiatan sosial.
Suami Indah, Muhammad Fauzi adalah seorang pengusaha dan anggota DPR
RI dari Partai Bulan Bintang pada periode (2004-2009) dari Aceh. Indah menjadi
calon anggota DPR RI pada Pemilu Legislatif tahun 2009 dari Partai Bula Bintang
Dapil I (Luwu Utara, terdiri dari Kecamatan Bone-Bone, Sukamaju, Tanalili), namun
tidak berhasil memperoleh kursi meskipun perolehan suaranya terbanyak ke-2.
Modal sosial Indah dan popularitasnya di kalangan masyarakat Luwu Utara
mengantarkannya untuk dipilih sebagai kandidat wakil bupati berpasangan dengan
Arifin Junaidi. Pada akhirnya Arifin Junaidi-Indah Putri Indriani berhasil menang
pada Pilkada Luwu Utara 2010 dan menjadi bupati dan wakil bupati (2010-2015).
Modal sosial yang kuat kemudian diolahnya dalam personal branding. Indah
tampil sebagai sosok yang selalu hadir dekat dengan rakyat misalnya tidak segan
untuk singgal secara mendadak jika ada warga yang meninggal dunia sebagai bentuk
penghormatan, bercengkerama dengan warga, dengan anak-anak dan ibu-ibu.
Karakter Indah yang meskipun masih muda, tetapi selalu menghormati yang lebih
tua, tidak menjaga jarak, tidak pilih-pilih, sederhana, tanggap terhadap persoalan,
menjadi sebuah daya tarik khusus yang membedakannya dengan para wakil bupati
sebelumnya.
Ketika persiapan maju dalam Pilkada 19 Desember 2015 yang lalu, Indah
melakukan survei tingkat popularitas dan kesukaan masyarakat terhadapnya. Hasil
survei menunjukkan bahwa popularitas Arifin Junaidi sebagai Bupati Luwu Utara
(2010-2015) lebih tinggi dibandingkan Indah, tetapi tingkat kesukaan masyarakat
kepada Indah lebih tinggi. Jadi, tanpa perlu melakukan upaya sistematis untuk
membentuk personal branding, rekam jejak Indah sebagai wakil bupati yang
berkualitas menjadikan pemilih dan masyarakat Luwu Utara memandangnya,
sebagaimana keterangan Indah, sebagai sosok yang muda, cerdas, responsive,
peduli, solutif, sederhana; ini menjadi sebuah modal atau investasi utama yang
sangat bagus bagi personal branding-nya.61
Indah berusaha mempertahankan personal branding positif yang sudah
melekat erat di hati pemilih Luwu Utara ini. Indah menekankan bahwa dirinya tidak
61 Wawancara Kurniawati Hastuti Dewi dengan Indah Putri Indriani Bupati Luwu Utara (2015-2020) di kantor Bupati Luwu Utara, 20 April 2016.
98 99
Gowa. Tenri merasa personal branding sebagai ‘ibu’ ini cocok dengan kiprahnya
selama ini yang memang menjadi figure yang bisa memayungi masyarakat Gowa,
tidak ada perempuan di Gowa dengan kiprah politik kemasyarakatan yang matang
seperti dirinya.
Ketika diungkap lebih jauh, kata “SAYANG” diambil dari slogan yang pernah
dipakai Syahrul Yasin Limpo selama kampanye pemilihan gubernur Sulawesi Selatan
Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang (SAYANG) baik pada Pilkada Gubernur
Sulawesi Selatan tahun 2008, maupun tahun 2013. Jadi, kata “SAYANG” selain
bermakna universal mengajak orang untuk menyangi Tenri, kata-kata ini juga
menegaskan Tenri sebagai kerabat dekat Syahrul Yasin Limpo, dalam upaya untuk
menarik dukungan sebesar-besarnya dari para pemilih loyal Syahrul Yasin Limpo
yang memang sebagian besar ada di Gowa, supaya memilih Tenri pada Pilkada
Kabupaten Gowa 2015. Pemihakan Tenri terhadap persoalan kemiskinan dan
gender juga nampak dalam visi dan misinya dimana salah satunya menekankan
bahwa dirinya ‘pro poor dan pro gender’.
Tenri juga sangat memperhatikan aspek pemilihan warna dalam tampilan
personal brandingnya. Tulisan “SAYANG IBU” dan latar belakang dipilih warna
kuning karena memang dirinya ingin memperoleh simpati dan dukungan pemilih
Golkar. Sementara itu, Tenri juga memakai kerudung warna hijau karena untuk
memperoleh dukungan pemilih dari kaum muslim khususnya kalangan Nahdlatul
Ulama mengingat dia dirinya dicalonkan oleh Partai Partai Persatuan Pembangunan
dan NASDEM.
Sebelum Tenri maju dalam Pilkada, survei pendahuluan dari salah satu
lembaga survei menunjukkan popularitasnya di masyarakat Gowa sudah sangat
tinggi yaitu 98%. Kemudian, elektabilitas Tenri sebelum personal branding
diluncurkan adalah 45%; kemudian elektabilitasnya meningkat menjadi 51% setelah
personal branding diluncurkan dan dipromosikan.64
Meskipun Tenri adalah paket lengkap seorang politisi perempuan calon
kepala daerah, tetapi dirinya ternyata dapat dikalahkan oleh keponakannya sendiri
Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo yang masih sangat muda dan baru menjabat
sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan (2014-2019), kemudian maju dalam Pilkada
Gowa 2015. Menurut penelitian, salah satu faktor kegagalan personal branding
64 Wawancara Kurniawati Hastuti Dewi dengan Tenri Olle Yasin Limpo di kediamannya di Makassar, 23 April 2016.
seorang militer, yang kemudian setelah purna tugas aktif berpolitik mendirikan
partai Golkar di Sulawesi Selatan, kemudian diikuti dengan meroketnya Syahrul
Yasin Limpo sebagai bupati Gowa dua periode (1994-2002) dan kemudian menjadi
Gubernur Sulawesi Selatan dua periode (2008-2013) (2013-2018). Ibu dari klan
Limpo adalah Hj Nurhayati Yasin Limpo seorang kader ‘Aisyiah dan aktif berpolitik
yaitu anggota DPRD Sulsel dari Golkar selama tiga periode (1987-1999), anggota
DPR RI dari Golkar (1999-2004) dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan.
Dilihat dari latar belakangnya, Tenri memang dibesarkan dari keluarga
politisi yang sangat disegani peletak kiprah Golkar di Sulawesi Selatan. Tenri
tumbuh besar di Gowa. Aktif berorganisasi sejak sekolah, Pelajar Islam Indonesia,
HMI, kemudian berkiprah dalam politik. Tenri kemudian terpilih menjadi Ketua
DPD Golkar Kabupaten Gowa selama sepuluh tahun (sampai sekarang masih
menjabat), anggota DPRD Kabupaten Gowa dari Golkar selama 2 periode (2004-
2009) (2009-2014), Ketua DPRD Gowa pada periode (2009-2014), anggota DPRD
Sulawesi Selatan dari Golkar periode (2014-2019).
Selain aktif berpolitik, Tenri adalah seorang pengusaha sukses di bidang real
estate, yang menurutnya menjadi sebuah keunggulan tersendiri dibanding calon
lainnya karena modal material yang dimilikinya tentu menjadi lebih mencukupi, dan
mempermudahnya menjalin jaringan dengan berbagai kalangan yang sangat penting
dalam politik.62 Tenri tidak menemui hambatan dari suaminya untuk berpolitik.
Tenri aktif berorganisasi seperti menjadi ketua P2TP2A Kabupaten Gowa, Ketua
Kaukus Perempuan Batara Gowa, sebagai pengurus daerah ‘Aisyiyah Kabupaten
Gowa dan Sulawesi Selatan.
Jadi, dapat dikatakan Tenri memiliki modal individu dan sosial yang sangat
kuat: berasal dari keluarga politisi berpengaruh, memiliki sumber daya kapital yang
memadai, dan pengalaman organisasi kemasyarakatan dan berpolitik yang sudah
matang.
Ketika ditanyakan mengenai konsep personal branding yang dibangunnya
selama Pilkada di Kabupaten Gowa 2015, Tenri menjelaskan brand “SAYANG
IBU”.63 Maksudnya adalah berusaha menggambarkan sosok Tenri sebagai seorang
perempuan, seorang ibu, di mana semua orang mencintai dan menyayangi ibunya;
dalam konteks ini Tenri menempatkan dirinya sebagai ibu bagi seluruh masyarakat 62 Wawancara Kurniawati Hastuti Dewi dengan Tenri Olle Yasin Limpo di kediamannya di Makassar, 23 April 2016. 63 Ibid.
98 99
Gowa. Tenri merasa personal branding sebagai ‘ibu’ ini cocok dengan kiprahnya
selama ini yang memang menjadi figure yang bisa memayungi masyarakat Gowa,
tidak ada perempuan di Gowa dengan kiprah politik kemasyarakatan yang matang
seperti dirinya.
Ketika diungkap lebih jauh, kata “SAYANG” diambil dari slogan yang pernah
dipakai Syahrul Yasin Limpo selama kampanye pemilihan gubernur Sulawesi Selatan
Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang (SAYANG) baik pada Pilkada Gubernur
Sulawesi Selatan tahun 2008, maupun tahun 2013. Jadi, kata “SAYANG” selain
bermakna universal mengajak orang untuk menyangi Tenri, kata-kata ini juga
menegaskan Tenri sebagai kerabat dekat Syahrul Yasin Limpo, dalam upaya untuk
menarik dukungan sebesar-besarnya dari para pemilih loyal Syahrul Yasin Limpo
yang memang sebagian besar ada di Gowa, supaya memilih Tenri pada Pilkada
Kabupaten Gowa 2015. Pemihakan Tenri terhadap persoalan kemiskinan dan
gender juga nampak dalam visi dan misinya dimana salah satunya menekankan
bahwa dirinya ‘pro poor dan pro gender’.
Tenri juga sangat memperhatikan aspek pemilihan warna dalam tampilan
personal brandingnya. Tulisan “SAYANG IBU” dan latar belakang dipilih warna
kuning karena memang dirinya ingin memperoleh simpati dan dukungan pemilih
Golkar. Sementara itu, Tenri juga memakai kerudung warna hijau karena untuk
memperoleh dukungan pemilih dari kaum muslim khususnya kalangan Nahdlatul
Ulama mengingat dia dirinya dicalonkan oleh Partai Partai Persatuan Pembangunan
dan NASDEM.
Sebelum Tenri maju dalam Pilkada, survei pendahuluan dari salah satu
lembaga survei menunjukkan popularitasnya di masyarakat Gowa sudah sangat
tinggi yaitu 98%. Kemudian, elektabilitas Tenri sebelum personal branding
diluncurkan adalah 45%; kemudian elektabilitasnya meningkat menjadi 51% setelah
personal branding diluncurkan dan dipromosikan.64
Meskipun Tenri adalah paket lengkap seorang politisi perempuan calon
kepala daerah, tetapi dirinya ternyata dapat dikalahkan oleh keponakannya sendiri
Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo yang masih sangat muda dan baru menjabat
sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan (2014-2019), kemudian maju dalam Pilkada
Gowa 2015. Menurut penelitian, salah satu faktor kegagalan personal branding
64 Wawancara Kurniawati Hastuti Dewi dengan Tenri Olle Yasin Limpo di kediamannya di Makassar, 23 April 2016.
seorang militer, yang kemudian setelah purna tugas aktif berpolitik mendirikan
partai Golkar di Sulawesi Selatan, kemudian diikuti dengan meroketnya Syahrul
Yasin Limpo sebagai bupati Gowa dua periode (1994-2002) dan kemudian menjadi
Gubernur Sulawesi Selatan dua periode (2008-2013) (2013-2018). Ibu dari klan
Limpo adalah Hj Nurhayati Yasin Limpo seorang kader ‘Aisyiah dan aktif berpolitik
yaitu anggota DPRD Sulsel dari Golkar selama tiga periode (1987-1999), anggota
DPR RI dari Golkar (1999-2004) dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan.
Dilihat dari latar belakangnya, Tenri memang dibesarkan dari keluarga
politisi yang sangat disegani peletak kiprah Golkar di Sulawesi Selatan. Tenri
tumbuh besar di Gowa. Aktif berorganisasi sejak sekolah, Pelajar Islam Indonesia,
HMI, kemudian berkiprah dalam politik. Tenri kemudian terpilih menjadi Ketua
DPD Golkar Kabupaten Gowa selama sepuluh tahun (sampai sekarang masih
menjabat), anggota DPRD Kabupaten Gowa dari Golkar selama 2 periode (2004-
2009) (2009-2014), Ketua DPRD Gowa pada periode (2009-2014), anggota DPRD
Sulawesi Selatan dari Golkar periode (2014-2019).
Selain aktif berpolitik, Tenri adalah seorang pengusaha sukses di bidang real
estate, yang menurutnya menjadi sebuah keunggulan tersendiri dibanding calon
lainnya karena modal material yang dimilikinya tentu menjadi lebih mencukupi, dan
mempermudahnya menjalin jaringan dengan berbagai kalangan yang sangat penting
dalam politik.62 Tenri tidak menemui hambatan dari suaminya untuk berpolitik.
Tenri aktif berorganisasi seperti menjadi ketua P2TP2A Kabupaten Gowa, Ketua
Kaukus Perempuan Batara Gowa, sebagai pengurus daerah ‘Aisyiyah Kabupaten
Gowa dan Sulawesi Selatan.
Jadi, dapat dikatakan Tenri memiliki modal individu dan sosial yang sangat
kuat: berasal dari keluarga politisi berpengaruh, memiliki sumber daya kapital yang
memadai, dan pengalaman organisasi kemasyarakatan dan berpolitik yang sudah
matang.
Ketika ditanyakan mengenai konsep personal branding yang dibangunnya
selama Pilkada di Kabupaten Gowa 2015, Tenri menjelaskan brand “SAYANG
IBU”.63 Maksudnya adalah berusaha menggambarkan sosok Tenri sebagai seorang
perempuan, seorang ibu, di mana semua orang mencintai dan menyayangi ibunya;
dalam konteks ini Tenri menempatkan dirinya sebagai ibu bagi seluruh masyarakat 62 Wawancara Kurniawati Hastuti Dewi dengan Tenri Olle Yasin Limpo di kediamannya di Makassar, 23 April 2016. 63 Ibid.
100 101
Jika mencermati tahapan Pilkada 2017 ini, maka dapat dilihat bahwa masa
kampanya adalah Oktober 2016 sampai dengan Februari 2017. Berdasarkan rentang
waktu tersebut, maka perempuan potensial dapat mulai menyusun konsep personal
branding dan mengimplementasikannya sesuai estimasi waktu menuju Pilkada
2017.
Gambar 8. Time Frame Target Implementasi Personal Branding
Menuju Pilkada 2017
Sumber: dibuat oleh penulis
Melalui time frame seperti dalam gambar di atas, maka para perempuan
potensial diharapkan dapat dengan mudah mengimplementasikan rencana sejak
dari penyusunan konsep personal branding dirinya, mengupayakan peningkatan
popularitasnya, mempromosikan personal branding untuk dapat ditetapkan sebagai
calon kepala daerah, dan pada akhirnya promosi intensif personal branding dengan
target terpilih pada Pilkada 2017.
April-‐Mei 2016 SUSUN KONSEP PERSONAL BRANDING
(Medsos, media cetak, jejaring) TARGET: MULAI DIKENAL OLEH MASYARAKAT
Mei-‐September 2016 PROMOSI PERSONAL BRANDING (Medsos, media cetak, jejaring) TARGET: DITETAPKAN SEBAGAI CAKADA
September-‐Februari 2016 PROMOSI INTENSIF PERSONAL BRANDING (via TV, Jejaring, kontak langsung dengan para pemilih). TARGET: MENANG PILKADA
Tenri adalah pihak lawan menggunakan slogan “SAYANG IBU” untuk meng-counter
pencalonan Tenri dengan mengatakan bahwa karena mereka sayang ibu, maka
biarkanlah yang muda-muda (termasuk keponakannya Adnan Purichta Ichsan Yasin
Limpo) yang maju bekerja untuk Gowa, dan biarkanlah seorang ibu istirahat di
rumah saja. Jadi, pembicaraan seperti ini dilakukan di kedai-kedai atau dari mulut-
ke mulut yang kemudian membentuk opini masyarakat, sehingga slogan “SAYANG
IBU” yang semula diharapkan menarik dukungan simpati pemilih, kemudian justru
berbalik merugikannya dan menguntungkan lawan. Oleh karena itulah, seorang
perempuan calon kepala daerah, tidak hanya harus berhati-hati dan jeli
merumuskan personal branding dan slogannya, tetapi juga harus memahami pula
potensi, kelemahan, dan kekuatan.
Personal Branding Perempuan Menuju
Pilkada 2017
Setelah memahami konsep personal branding, menentukan personal
branding yang sesuai dengan karakter pribadi politisi perempuan potensial,
memahami tahah-tahap membangun personal branding dan strategi
mempromosikannya. Maka perempuan potensial harus didorong untuk
mengimplementasikannya menuju Pilkada 2017. Jika merujuk Komisi Pemilihan
Umum (KPU), maka tahapan Pilkada tahun 2017 meliputi beberapa hal di bawah ini:
Tabel 1. Tahapan Menuju Pilkada 2017
Waktu
Kegiatan
23 Februari – 30 April 2016 Menyusun peraturan Mei dan Juni 2016 Pembentukan Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS)
Juli 2016 Penyerahan dukungan calon perseorangan (tingkat provinsi pada 13-17 Juli) (tingkat kabupaten/kota 16-20 Juli)
28 - 30 Agustus 2016 Pendaftaran pasangan calon dari parpol atau gabungan parpol
30 September Penetapan pasangan calon perseorangan dan parpol
Oktober - Desember 2016 Sengketa pemilihan Oktober 2016 – Februari 2017 Kampanye 15 Februari 2017 Hari Pemungutan Suara Sumber: http://politik.rmol.co/read/2016/03/15/239492/inilah_Rancangan-Tahapan-Pilkada-Serentak-2017 (diakses 11 April 2016).
J. Target Waktu Penyiapan
100 101
Jika mencermati tahapan Pilkada 2017 ini, maka dapat dilihat bahwa masa
kampanya adalah Oktober 2016 sampai dengan Februari 2017. Berdasarkan rentang
waktu tersebut, maka perempuan potensial dapat mulai menyusun konsep personal
branding dan mengimplementasikannya sesuai estimasi waktu menuju Pilkada
2017.
Gambar 8. Time Frame Target Implementasi Personal Branding
Menuju Pilkada 2017
Sumber: dibuat oleh penulis
Melalui time frame seperti dalam gambar di atas, maka para perempuan
potensial diharapkan dapat dengan mudah mengimplementasikan rencana sejak
dari penyusunan konsep personal branding dirinya, mengupayakan peningkatan
popularitasnya, mempromosikan personal branding untuk dapat ditetapkan sebagai
calon kepala daerah, dan pada akhirnya promosi intensif personal branding dengan
target terpilih pada Pilkada 2017.
April-‐Mei 2016 SUSUN KONSEP PERSONAL BRANDING
(Medsos, media cetak, jejaring) TARGET: MULAI DIKENAL OLEH MASYARAKAT
Mei-‐September 2016 PROMOSI PERSONAL BRANDING (Medsos, media cetak, jejaring) TARGET: DITETAPKAN SEBAGAI CAKADA
September-‐Februari 2016 PROMOSI INTENSIF PERSONAL BRANDING (via TV, Jejaring, kontak langsung dengan para pemilih). TARGET: MENANG PILKADA
Tenri adalah pihak lawan menggunakan slogan “SAYANG IBU” untuk meng-counter
pencalonan Tenri dengan mengatakan bahwa karena mereka sayang ibu, maka
biarkanlah yang muda-muda (termasuk keponakannya Adnan Purichta Ichsan Yasin
Limpo) yang maju bekerja untuk Gowa, dan biarkanlah seorang ibu istirahat di
rumah saja. Jadi, pembicaraan seperti ini dilakukan di kedai-kedai atau dari mulut-
ke mulut yang kemudian membentuk opini masyarakat, sehingga slogan “SAYANG
IBU” yang semula diharapkan menarik dukungan simpati pemilih, kemudian justru
berbalik merugikannya dan menguntungkan lawan. Oleh karena itulah, seorang
perempuan calon kepala daerah, tidak hanya harus berhati-hati dan jeli
merumuskan personal branding dan slogannya, tetapi juga harus memahami pula
potensi, kelemahan, dan kekuatan.
XI. Target Waktu Penyiapan Personal Branding Perempuan Menuju
Pilkada 2017
Setelah memahami konsep personal branding, menentukan personal
branding yang sesuai dengan karakter pribadi politisi perempuan potensial,
memahami tahah-tahap membangun personal branding dan strategi
mempromosikannya. Maka perempuan potensial harus didorong untuk
mengimplementasikannya menuju Pilkada 2017. Jika merujuk Komisi Pemilihan
Umum (KPU), maka tahapan Pilkada tahun 2017 meliputi beberapa hal di bawah ini:
Tabel 1. Tahapan Menuju Pilkada 2017
Waktu
Kegiatan
23 Februari – 30 April 2016 Menyusun peraturan Mei dan Juni 2016 Pembentukan Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS)
Juli 2016 Penyerahan dukungan calon perseorangan (tingkat provinsi pada 13-17 Juli) (tingkat kabupaten/kota 16-20 Juli)
28 - 30 Agustus 2016 Pendaftaran pasangan calon dari parpol atau gabungan parpol
30 September Penetapan pasangan calon perseorangan dan parpol
Oktober - Desember 2016 Sengketa pemilihan Oktober 2016 – Februari 2017 Kampanye 15 Februari 2017 Hari Pemungutan Suara Sumber: http://politik.rmol.co/read/2016/03/15/239492/inilah_Rancangan-Tahapan-Pilkada-Serentak-2017 (diakses 11 April 2016).
102 103
Mahmood, Saba. Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005.
Mujani, Saiful., R. William Liddle, Kuskridho Ambardi. Kuasa Rakyat: Analisis
tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru (Bandung: Mizan, 2012),
Novianto dan Handayani. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2008. Okin, Susan Moller. “Philosopher Queens and Private Wives: Plato on Women and
the Family,” dalam Feminist Interpretations and Polilitical Theory, ed. Mary Lyndon Shanley and Carole Pateman. Cambridge: Poity Press, 1991.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah
Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, tanpa halaman.
Randall, Vicky. “Feminism and Political Analysis,” dalam Different Roles, Different
Voices: Women and Politics in the United States and Europe, ed. Marianne Githens, Pippa Norris, Joni Lovenduski. New York: Harper Collins College Publishers, 1994.
Rini, Ira Puspito. True Spirit Ibu Risma. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2014. Rita Mae Kelly and Georgia Duerst-Lahti, “The Study of Gender Power and Its Link
to Governance and Leadership,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly. USA: The University of Michigan Press, 1995.
Rita Mae Kelly, and Georgia Duerst –Lahti. “On Governance, Leadership, and
Gender,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly. USA: The University of Michigan Press, 1995.
Rosaldo, Michelle Zimbaalist. “Woman, Culture, and Society: A Theoretical
Overview,” dalam Women, Culture & Society, ed. Michelle Zimbalist Rosaldo and Louise Lamphere. Stanford University Press, 1974.
Jurnal Abrams, Kathryn. “From Autonomy to Agency: Feminist Perspectives on Self-
Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3 (1999): 807. Amrullah, Eva F. “Seeking Sancturay in ‘the age of disroder’: Women in
Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5, (2011): 135-160. Brooks, Ann K. and Chinedu Anumudu. “Identity Development in Personal Braning
Instruction: Social Narratives and Online Brand Management in a Global Economy,” Adult Learning, vol. 27, no. 1 (Februari 2016): 24.
Daftar Pustaka
Buku Aaker, David. Aaker on Braning: Branding Menurut Aaker. Jakarta: Kompas
Gramedia Pustaka Utama, 2014. Blackburn, Susan., Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun. “Introduction” dalam
Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, ed. Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun. Clayton: Monash University Press, 2008.
Connel, R.W. Gender. USA: Polity Press, 2008.
Dewi, Kurniawati Hastuti. Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015.
Frisk, Sylva. Submitting to God: Women and Islam in Urban Malaysia. Malaysia:
NIAS Press, 2009. Haroen, Dewi. Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014. Jones, Kathleen B,. and Anna G. Jonasdottir. “Introduction: Gender as an Analytic
Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir. Britain: Sage Publication, 1988.
Jones, Kathleen B. “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests
of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir. Great Britain: Sage Publication, 1988.
Kasali, Rhenald. Camera Branding, Camera Genic vs Aura Genic: Televisi, Kita,
dan Perubahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia,“Daftar Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Yang Telah Diterbitkan Keputusannya PresidenRepublik Indonesia Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005, 2006, 2007, dan Tahun 2008”, tanpa halaman.
Levy, Daniel A. Book review. Naisbitt, J., & Aburdene, P. (1990). Megatrends 2000:
Ten new directions for the 1990's. New York: William Morrow and Company, Inc., $21.95, (hardcover), 384 pp. (ISBN 0-688-07224-0), https://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/v2n1/pdf/levy.pdf (diakses 8 April 2016).
102 103
Mahmood, Saba. Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005.
Mujani, Saiful., R. William Liddle, Kuskridho Ambardi. Kuasa Rakyat: Analisis
tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru (Bandung: Mizan, 2012),
Novianto dan Handayani. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS, 2008. Okin, Susan Moller. “Philosopher Queens and Private Wives: Plato on Women and
the Family,” dalam Feminist Interpretations and Polilitical Theory, ed. Mary Lyndon Shanley and Carole Pateman. Cambridge: Poity Press, 1991.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah
Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, tanpa halaman.
Randall, Vicky. “Feminism and Political Analysis,” dalam Different Roles, Different
Voices: Women and Politics in the United States and Europe, ed. Marianne Githens, Pippa Norris, Joni Lovenduski. New York: Harper Collins College Publishers, 1994.
Rini, Ira Puspito. True Spirit Ibu Risma. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2014. Rita Mae Kelly and Georgia Duerst-Lahti, “The Study of Gender Power and Its Link
to Governance and Leadership,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly. USA: The University of Michigan Press, 1995.
Rita Mae Kelly, and Georgia Duerst –Lahti. “On Governance, Leadership, and
Gender,” dalam Gender Power, Leadership, and Governance, ed. Georgia Duerst –Lahti and Rita Mae Kelly. USA: The University of Michigan Press, 1995.
Rosaldo, Michelle Zimbaalist. “Woman, Culture, and Society: A Theoretical
Overview,” dalam Women, Culture & Society, ed. Michelle Zimbalist Rosaldo and Louise Lamphere. Stanford University Press, 1974.
Jurnal Abrams, Kathryn. “From Autonomy to Agency: Feminist Perspectives on Self-
Direction,” William & Mary Law Review Vol. 40, no. 3 (1999): 807. Amrullah, Eva F. “Seeking Sancturay in ‘the age of disroder’: Women in
Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5, (2011): 135-160. Brooks, Ann K. and Chinedu Anumudu. “Identity Development in Personal Braning
Instruction: Social Narratives and Online Brand Management in a Global Economy,” Adult Learning, vol. 27, no. 1 (Februari 2016): 24.
Daftar Pustaka
Buku Aaker, David. Aaker on Braning: Branding Menurut Aaker. Jakarta: Kompas
Gramedia Pustaka Utama, 2014. Blackburn, Susan., Bianca J Smith and Siti Syamsiyatun. “Introduction” dalam
Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, ed. Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun. Clayton: Monash University Press, 2008.
Connel, R.W. Gender. USA: Polity Press, 2008.
Dewi, Kurniawati Hastuti. Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015.
Frisk, Sylva. Submitting to God: Women and Islam in Urban Malaysia. Malaysia:
NIAS Press, 2009. Haroen, Dewi. Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014. Jones, Kathleen B,. and Anna G. Jonasdottir. “Introduction: Gender as an Analytic
Category in Political Theory,” dalam The Political Interests of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir. Britain: Sage Publication, 1988.
Jones, Kathleen B. “Towards the Revision of Politics,” dalam The Political Interests
of Gender: Developing Theory and Research with a Feminist Face, ed. Kathleen B. Jones and Anna G. Jonasdottir. Great Britain: Sage Publication, 1988.
Kasali, Rhenald. Camera Branding, Camera Genic vs Aura Genic: Televisi, Kita,
dan Perubahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia,“Daftar Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Yang Telah Diterbitkan Keputusannya PresidenRepublik Indonesia Hasil Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005, 2006, 2007, dan Tahun 2008”, tanpa halaman.
Levy, Daniel A. Book review. Naisbitt, J., & Aburdene, P. (1990). Megatrends 2000:
Ten new directions for the 1990's. New York: William Morrow and Company, Inc., $21.95, (hardcover), 384 pp. (ISBN 0-688-07224-0), https://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/v2n1/pdf/levy.pdf (diakses 8 April 2016).
104 105
Sumber On line Chuzaifah, Yuniyanti. “Catatan Komnas Perempuan dari
Commission on the Status of Women (CSW) 60 atau Komisi Status Perempuan di PBB (14-25 Maret 2016).
http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Catatan-Komnas-Perempuan-dari-Commission-on-the-Status-of-Women-_CSW_-60-atau-Komisi-Status-Perempuan-di-PBB-_14-25-Maret-2016_.pdf (diakses 1 April 2016).
Lock, Andrew., and Phil Harris. “Political marketing – vive la
différence!”,https://www.researchgate.net/profile/Phil_Harris/publication/242347129_Political_marketing_-/links/0046352c1373ed797b000000.pdf (diakses 13 April 2016).
Sandra, Lidya Joyce. “Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu
Gubernur DKI Jakarta 2012 di media Sosial Twitter,” Jurnal E-Komunikasi, Univeristas Kristen Petra Surabaya, hal. 286, http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/viewFile/912/812 (diakses 13 April 2016)
UN WOMEN CSW 60 pada 14-24 Maret 2016 cek
http://www.unwomen.org/en/csw/csw60-2016 (diakses 1 April 2016)
Cayla, Julien and Eric J. Arnould. “A Cultural Approach to Branding in the Global Marketplace,” Journal of International Marketing, vol. 16, no. 4 (2008): 86. (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Dewi, Kurniawati Hastuti. “Profiles, Statuses and Performance of Female Local
Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 39-59.
_______. “Profil, Status dan Kinerja Perempuan Kepala Daerah: Kajian Dampak
Pemilihan Kepala Daerah Langsung,” Jurnal Perempuan 83, vol. 19, no. 4, November 2014 : (67-105)
________. “Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Jender Orde Baru”, Jurnal
Penelitian Politik, P2P LIPI, vol.4, no.1, 2007: (59-68). Harifin, Kurniawati M. “Pengaruh Personal Branding dan Positioning terhadap
Perilaku Pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bonebolango,” POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, vol 3, no. 1 (April 2012), http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/view/4825/4374 (diakses 13 April 2016).
Keller, Kevin Lane., and Donald R. Lehmann. “Brands and Branding: Research
Findings and Future Priorities,” Marketing Science, vol. 25, no. 6 (Nov-Dec 2006): 740. (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Mahmood, Saba. “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some
Reflections on the Egyptian Islamic Revival”. Cultural Anthropology 16, 2 (May 2010): 202–36.
Mitsikopoulou, Bessie. “Introduction: The Branding of Political Entities as Discursive
Practice,” Journal of Langunge and Politics, vol. 7, no 3 (2008): 359.
Pradhanawati, Ari. “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik,” FORUM, vol. 39, no. 1 (Februari 2011): 8.
Reid, Robin T. “Appearances Do Matter: How Makeup and Clothes Can Affect the
Outcome of Elections,” Campaigns and Elections 25, no. 3 (2004): 23-4. http://web.ebscohost.com/ehost/detail (diakses 22 Februari 2012).
Scammell, Margaret. “Political Brands and Consumer Citizens: The Rebranding of
Tony Blair,” The Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 611 (May 2007) : 176. (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Power Point MC. Maryati, “Personal Branding,” materi dipresentasikan dalam Diksusi Terfokus
Panduan Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Perempuan Calon Kepala Daerah dalam Pilkada, 25 April 2016.
104 105
Sumber On line Chuzaifah, Yuniyanti. “Catatan Komnas Perempuan dari
Commission on the Status of Women (CSW) 60 atau Komisi Status Perempuan di PBB (14-25 Maret 2016).
http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Catatan-Komnas-Perempuan-dari-Commission-on-the-Status-of-Women-_CSW_-60-atau-Komisi-Status-Perempuan-di-PBB-_14-25-Maret-2016_.pdf (diakses 1 April 2016).
Lock, Andrew., and Phil Harris. “Political marketing – vive la
différence!”,https://www.researchgate.net/profile/Phil_Harris/publication/242347129_Political_marketing_-/links/0046352c1373ed797b000000.pdf (diakses 13 April 2016).
Sandra, Lidya Joyce. “Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu
Gubernur DKI Jakarta 2012 di media Sosial Twitter,” Jurnal E-Komunikasi, Univeristas Kristen Petra Surabaya, hal. 286, http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/viewFile/912/812 (diakses 13 April 2016)
UN WOMEN CSW 60 pada 14-24 Maret 2016 cek
http://www.unwomen.org/en/csw/csw60-2016 (diakses 1 April 2016)
Cayla, Julien and Eric J. Arnould. “A Cultural Approach to Branding in the Global Marketplace,” Journal of International Marketing, vol. 16, no. 4 (2008): 86. (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Dewi, Kurniawati Hastuti. “Profiles, Statuses and Performance of Female Local
Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 39-59.
_______. “Profil, Status dan Kinerja Perempuan Kepala Daerah: Kajian Dampak
Pemilihan Kepala Daerah Langsung,” Jurnal Perempuan 83, vol. 19, no. 4, November 2014 : (67-105)
________. “Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Jender Orde Baru”, Jurnal
Penelitian Politik, P2P LIPI, vol.4, no.1, 2007: (59-68). Harifin, Kurniawati M. “Pengaruh Personal Branding dan Positioning terhadap
Perilaku Pemilih dalam Pemilukada di Kabupaten Bonebolango,” POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, vol 3, no. 1 (April 2012), http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/view/4825/4374 (diakses 13 April 2016).
Keller, Kevin Lane., and Donald R. Lehmann. “Brands and Branding: Research
Findings and Future Priorities,” Marketing Science, vol. 25, no. 6 (Nov-Dec 2006): 740. (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Mahmood, Saba. “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some
Reflections on the Egyptian Islamic Revival”. Cultural Anthropology 16, 2 (May 2010): 202–36.
Mitsikopoulou, Bessie. “Introduction: The Branding of Political Entities as Discursive
Practice,” Journal of Langunge and Politics, vol. 7, no 3 (2008): 359.
Pradhanawati, Ari. “Perilaku Pemilih di Era Politik Pencitraan dan Pemasaran Politik,” FORUM, vol. 39, no. 1 (Februari 2011): 8.
Reid, Robin T. “Appearances Do Matter: How Makeup and Clothes Can Affect the
Outcome of Elections,” Campaigns and Elections 25, no. 3 (2004): 23-4. http://web.ebscohost.com/ehost/detail (diakses 22 Februari 2012).
Scammell, Margaret. “Political Brands and Consumer Citizens: The Rebranding of
Tony Blair,” The Annals of the American Academy of Political and Social Science, vol. 611 (May 2007) : 176. (diakses via JSTOR, 1 April 2016)
Power Point MC. Maryati, “Personal Branding,” materi dipresentasikan dalam Diksusi Terfokus
Panduan Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Perempuan Calon Kepala Daerah dalam Pilkada, 25 April 2016.
1
BUKU PANDUAN VI
STRATEGI DAN KIAT SUKSES KAMPANYE BAGI KANDIDAT PEREMPUAN UNTUK
MEMENANGKAN PILKADA
2016
BUKU PANDUAN VI
Oleh:
SYAFUAN ROZI SOEBHAN
2016
107
PANDUAN 6 STRATEGI DAN KIAT SUKSES KAMPANYE INTISARI PANDUAN Modul ini berisi tentang upaya yang dapat dilakukan
oleh calon kepala daerah perempuan dalam menyusun strategi dan mempelajari kiat sukses kampanye.
TUJUAN PEMBELAJARAN Memberikan pemahaman terhadap calon kepala daerah perempuan tentang pengetahuan dasar bagaimana teori dan praktik kampanye politik dilakukan.
KOMPETENSI UTAMA 1. Peserta memperoleh pemahaman mengenai seluk-beluk persiapan kampanye dalam proses memenangkan pilkada yaitu mengenal jenis dan bentuk kampanye tradisional, modern dan pascamodern.
2. Mengenal dan menerapkan jenis kampanye pro bono publik.
3. Mampu menakar popularitas, kapabilitas, kapasitas dan elektibilitas dalam kampanye.
4. Menguasai artikulasi dan agregasi kepentingan dalam kampanye politik. keahlian retorika dan public speaking dalam kampanye.
5. Mampu memetakan tujuan dan model kampanye politik.
6. Memahami regulasi komisi pemilihan umum dalam kampanye politik tentang larangan dan sanksi pelanggaran kampanye.
KOMPETENSI PENDUKUNG Pada akhir sesi pembelajaran, peserta diharapkan
antara lain memiliki keahlian yaitu: 1. Mampu memahami tahapan dan proses
kampanye yang diatur dalam peraturan KPU. 2. Memahami mekanisme penyelesaian dugaan
pelanggaran kampanye. 3. mengenal bagaimana kampanye negatif dan
positif dan membangun kampanye putih dan menolak kampanye hitam.
4. mampu mempersiapkan dan menjalankan kampanye politik mulai dari perencanaan kampanye politik. strategi perluasan pasar politik. peran manajer kampanye dan tim sukses mendulang dukungan.
5. Memahami perlunya riset kecil untuk mengetahui “keinginan dan perilaku pemilih”, mengenal komponen dalam riset opini public, mengenal beberapa jenis riset untuk persiapan kampanye.
6. Mampu membuat strategi dan inspirasi mengumpulkan donasi kampanye. Membentuk Tim Fundraiser (pencari dana). Mengenali Siapa Penyumbang Potensial. Membentuk Panitia Pencari Dana.
7. Mampu membangun relasi dengan media tidak hanya saat kampanye.
108 109
DAFTAR ISI
Bahan 1: Pengantar Pengetahuan Teori dan Praktik Kampanye Politik 1.a. Mengenal apa & bagaimana komunikasi politik secara mudah. 1.b. Mengenal kampanye dan pemasaran politik. 1.c. Mengenal jenis dan bentuk kampanye tradisional. 1.d. Mengenal jenis dan bentuk kampanye modern dan pascamodern. 1.e. Mengenal jenis kampanye pro bono publik: kreatif & efektif. 1.f. Menakar popularitas, kapabilitas, kapasitas dan elektibilitas dalam kampanye. 1.g. Kiat menguasai artikulasi dan agregasi kepentingan dalam kampanye politik. 1.h. Perlunya keahlian retorika dan public speaking dalam kampanye. 1.i. Kiat memetakan tujuan dan model kampanye politik. 1.j.Pengetahuan regulasi komisi pemilihan umum dalam kampanye politik. a. Perlunya mengenal regulasi aturan main kampanye. b.Pengetahuan tentang larangan dan sanksi pelanggaran kampanye. c.Mekanisme penyelesaian dugaan pelanggaran kampanye. d.Kiat mengenal bagaimana kampanye negatif dan positif. e.Membangun kampanye putih dan menolak kampanye hitam. 2. Bagaimana Merancang Kegiatan Kampanye dan Iklan Politik 2.a. Kiat mempersiapkan kampanye alat peraga. 2.b.Kiat mempersiapkan kampanye debat politik. 2.c.Mempersiapkan kampanye pertemuan terbatas. 2.d.Mempersiapkan pertemuan tatap muka dan dialog. 2.f.mempersiapkan kampanye Rapat Umum. 2.g.Mempersiapkan kegiatan kampanye lainnya . 2.h.Mempersiapkan pemberitaan dan penyiaran kampanye. 2.i. Kampanye Inovatif dan persyaratan Pilkada: score pro bono publik. Bahan 2: Kiat Mempersiapkan dan Menjalankan Kampanye Politik 2.1.Perencanaan kampanye politik. 2.2.Strategi perluasan pasar politik dalam kampanye cakadap. 2.3.Peran manajer kampanye dan tim sukses mendulang dukungan. 2.4. Perlunya riset kecil untuk mengetahui “keinginan dan perilaku pemilih”. 2.4.a.Komponen-komponen dalam riset opini publik. 2.4.b.Mengenal beberapa jenis riset untuk persiapan kampanye. 2.4.c.Strategi dan inspirasi mengumpulkan donasi kampanye. 2.4.d.Membentuk tim fundraiser (pencari dana). 2.4.e.Kiat mengenali siapa penyumbang potensial. 2.4.f.Kiat membentuk panitia pencari dana. 2.5. Kiat membangun relasi dengan media tidak saat kampanye. 2.6.Optimalisasi mesin partai politik dan kampanye calon independen. 2.7.Contoh bahan kampanye politik: 2.7.a.Mengolah isu perempuan, anak dan keluarga. 2.7.b..Contoh tema kampanye politik berbasis profesi dan komunitas. 2.8.Kiat kampanye politik hypnosis untuk kandidat perempuan. 2.8.a.Memahami hypnosis untuk kampanye politik. 2.8.bMemahami cara komunikasi bawah sadar untuk kampanye politik.
8. Optimalisasi Mesin Partai Politik dan Kampanye Calon Independen.
9. Memahami contoh Bahan Kampanye Politik: Mengolah Isu Perempuan, Anak dan Keluarga dan membuat sendiri bahan kampanye dalam tim.
10. Melakukan evaluasi kampanye pilkada berdasarkan catatan dari KPU, evaluasi menejemen pendanaan kampanye dan menggali kiat sukses dan gagal cakadap dalam kampanye pilkada yang telah lalu.
SESI 6 : STRATEGI DAN KIAT SUKSES KAMPANYE � WAKTU : 120 Menit
� KOMPETENSI UTAMA
Peserta memperoleh pemahaman mengenai seluk-beluk kampanye Pilkada. � KOMPETENSI PENDUKUNG
1. Mampu memahami tahapan dan proses kampanye dalam Pilkada. 2. Memahami persoalan larangan dan yang dibolehkan dalam kampanye. 3. Memahami upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh calon kepala/wakil kepala
daerah untuk mememangkan Pilkade lewat strategi kampanye yang efektif dan efisien.
� METODE : 1. Curah Pendapat dengan cara Problem Base Learning (PBL). 2. Diskusi kelompok (Membahas Kasus) dengan cara Colaborative Learning (CL).
� ALAT/BAHAN :
1. Presentasi Power Point (Ppt). 2. Kasus-kasus isu kontemporer. 3. Formulir merumuskan rencana aksi kampanye.
� ALUR FASILITASI :
1. Fasilitator membuka sesi, menjelaskan tujuan sesi dan kaitan dengan sesi sebelumnya. Penting disampaikan bahwa sesi ini menekankan pada rencana aksi agar setiap peserta bisa menerapkannya sebagai bagian dari strategi kampanye Pilkada yang akan dijalani setelah pelatihan ini.
2. Fasilitator menjelaskan tentang isu-isu atau permasalahan-permasalahan kontemporer seputar proses tahapan kampanye dalam Pilkada.
3. Bagi peserta dalam beberapa kelompok secara random—minta setiap kelompok untuk menuliskan suatu kasus yang mereka ketahui rencana aksi atau cara untuk melakukan kampanye yang efektif dan efisien.
4. Diskusi pleno, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi, dan tanggapan dari peserta lain.
5. Fasilitator menjelaskan tugas individual tentang membuat rencana aksi tidak lanjut. Bagikan form tindak lanjut. Form akan diisi pada akhir sesi.
6. Fasilitator menutup sesi.
108 109
DAFTAR ISI
1. Mengenal apa & bagaimana komunikasi politik secara mudah.
pro bono publik: kreatif & efektif. popularitas, kapabilitas, kapasitas dan elektibilitas dalam kampanye.
retorika dan public speaking dalam kampanye.
a. Perlunya mengenal regulasi aturan main kampanye. b. Pengetahuan tentang larangan dan sanksi pelanggaran kampanye. c. Mekanisme penyelesaian dugaan pelanggaran kampanye. d. Kiat mengenal bagaimana kampanye negatif dan positif. e. Membangun kampanye putih dan menolak kampanye hitam.
a. Kiat mempersiapkan kampanye alat peraga. b. Kiat mempersiapkan kampanye debat politik. c. Mempersiapkan kampanye pertemuan terbatas. d. Mempersiapkan pertemuan tatap muka dan dialog. f. Mempersiapkan kampanye Rapat Umum. g. Mempersiapkan kegiatan kampanye lainnya . h. Mempersiapkan pemberitaan dan penyiaran kampanye. i. Kampanye Inovatif dan persyaratan Pilkada: score pro bono publik. B. Kiat Mempersiapkan dan Menjalankan Kampanye Politik 1. Perencanaan kampanye politik. 2. Strategi perluasan pasar politik dalam kampanye cakadap. 3. Peran manajer kampanye dan tim sukses mendulang dukungan. 4. Perlunya riset kecil untuk mengetahui “keinginan dan perilaku pemilih”. a. Komponen-komponen dalam riset opini publik. b. Mengenal beberapa jenis riset untuk persiapan kampanye. c. Strategi dan inspirasi mengumpulkan donasi kampanye. d. Membentuk tim fundraiser (pencari dana). e. Kiat mengenali siapa penyumbang potensial. f. Kiat membentuk panitia pencari dana. 5. Kiat membangun relasi dengan media tidak saat kampanye. 6. Optimalisasi mesin partai politik dan kampanye calon independen. 7. Contoh bahan kampanye politik: a. Mengolah isu perempuan, anak dan keluarga. b. Contoh tema kampanye politik berbasis profesi dan komunitas. 8. Kiat kampanye politik hypnosis untuk kandidat perempuan. a. Memahami hypnosis untuk kampanye politik. b. Memahami cara komunikasi bawah sadar untuk kampanye politik.
A. Pendahuluan
2. Mengenal kampanye dan pemasaran politik. 3. Mengenal jenis dan bentuk kampanye tradisional. 4. Mengenal jenis dan bentuk kampanye modern dan pascamodern. 5. Mengenal jenis kampanye 6. 7. Kiat menguasai artikulasi dan agregasi kepentingan dalam kampanye politik. 8. Perlunya keahlian9 . Kiat memetakan tujuan dan model kampanye politik. 10 . Pengetahuan regulasi komisi pemilihan umum dalam kampanye politik.
Menakar
11. Bagaimana Merancang Kegiatan Kampanye dan Iklan Politik
111
112112119119120121123123125128128131132133135
135135136138138139139140141
142142144145146148148149150150151156157157157158158161163
8. Optimalisasi Mesin Partai Politik dan Kampanye Calon Independen.
9. Memahami contoh Bahan Kampanye Politik: Mengolah Isu Perempuan, Anak dan Keluarga dan membuat sendiri bahan kampanye dalam tim.
10. Melakukan evaluasi kampanye pilkada berdasarkan catatan dari KPU, evaluasi menejemen pendanaan kampanye dan menggali kiat sukses dan gagal cakadap dalam kampanye pilkada yang telah lalu.
SESI 6 : STRATEGI DAN KIAT SUKSES KAMPANYE � WAKTU : 120 Menit
� KOMPETENSI UTAMA
Peserta memperoleh pemahaman mengenai seluk-beluk kampanye Pilkada. � KOMPETENSI PENDUKUNG
1. Mampu memahami tahapan dan proses kampanye dalam Pilkada. 2. Memahami persoalan larangan dan yang dibolehkan dalam kampanye. 3. Memahami upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh calon kepala/wakil kepala
daerah untuk mememangkan Pilkade lewat strategi kampanye yang efektif dan efisien.
� METODE : 1. Curah Pendapat dengan cara Problem Base Learning (PBL). 2. Diskusi kelompok (Membahas Kasus) dengan cara Colaborative Learning (CL).
� ALAT/BAHAN :
1. Presentasi Power Point (Ppt). 2. Kasus-kasus isu kontemporer. 3. Formulir merumuskan rencana aksi kampanye.
� ALUR FASILITASI :
1. Fasilitator membuka sesi, menjelaskan tujuan sesi dan kaitan dengan sesi sebelumnya. Penting disampaikan bahwa sesi ini menekankan pada rencana aksi agar setiap peserta bisa menerapkannya sebagai bagian dari strategi kampanye Pilkada yang akan dijalani setelah pelatihan ini.
2. Fasilitator menjelaskan tentang isu-isu atau permasalahan-permasalahan kontemporer seputar proses tahapan kampanye dalam Pilkada.
3. Bagi peserta dalam beberapa kelompok secara random—minta setiap kelompok untuk menuliskan suatu kasus yang mereka ketahui rencana aksi atau cara untuk melakukan kampanye yang efektif dan efisien.
4. Diskusi pleno, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi, dan tanggapan dari peserta lain.
5. Fasilitator menjelaskan tugas individual tentang membuat rencana aksi tidak lanjut. Bagikan form tindak lanjut. Form akan diisi pada akhir sesi.
6. Fasilitator menutup sesi.
c. Tips merancang kampanye yang menghipnosis. 163
110 111
STRATEGI DAN KIAT SUKSES KAMPANYE BAGI KANDIDAT PEREMPUAN UNTUK MEMENANGKAN PILKADA
Oleh: Syafuan Rozi Soebhan
" ...Kelakone Ilmu Iku kanti Laku.... ". “Ilmu itu akan berwujud hanya kalau dilakukan atau dipraktikkan !”.
(Wejangan Raja Nusantara Mangkunegoro IV)
“Kampanye yang paling efektif adalah kegiatan Pro Bono Publik- Kerja Nyata Untuk Orang Banyak yang dirawat dan dilakukan
terus menerus di antara dua Pemilu.(SRS)
Bahan 1: Pengantar Pengetahuan Teori dan Praktik Kampanye Politik Kegunaan suatu teori kampanye politik adalah untuk menyederhanakan hal rumit
terkait kampanye, melihat pola-pola berulang terkait kemenangan dan kekalahan kandidat
dalam berkampanye, memperhitungkan apa yang telah dan akan terjadi dan menjadi acuan
suatu tindakan atau pemecahan masalah dan peluang dalam berkampanye. Bagaimana
menerapkan pemahaman tentang konsep dan teori kampanye politik, baru akan terasa jika
benar-benar dilakukan di ‘alam politik nyata’ dan ikut dalam proses kompetisi dalam suatu
arena kompetisi semacam Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah).
Untuk itu, panduan ini dibuat, agar calon pemimpin perempuan tidak ragu untuk maju
berkompetisi dengan kandidat laki-laki. Agar kaum perempuan lebih memahami seluk-beluk
kampanye dan memenangkan hati para pemilih dalam suatu panggung pemilihan kepala
daerah di Indonesia.Walaupun kenyataannya baru 46 orang perempuan pemenang Pilkada
Serentak 2016 di 264 daerah di Indonesia. Pekerjaan sinergis dan kolaboratif diperlukan untuk
mendorong kebijakan properempuan untuk memenangkan Pilkada. Khususnya bagaimana
strategi dan teknik memenangkan hati para pemilih.
Kampanye adalah sebuah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian
dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang
terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam
suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan,
pembelokan pecapaian.1 Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan
untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu
merujuk pada kampanye pada pemilihan umum. Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide
1 Lihat ulasan : Paquette, Laure, (2006), Campaign Strategy. New York: Nova.
1. Catatan dari KPU. 2. Catatan menejemen pendanaan kampanye. 3. Menggali kiat sukses dan gagal cakadap dalam kampanye. Daftar Pustaka Lampiran 1.Contoh Pooling/Riset Survey Untuk Memetakan Strategi Kampanye.
C. Penutup: Evaluasi Kampanye Pilkada 167167168168
174
176
176
110 111
" ...Kelakone Ilmu Iku kanti Laku.... ". “Ilmu itu akan berwujud hanya kalau dilakukan atau dipraktikkan !”.
(Wejangan Raja Nusantara Mangkunegoro IV)
“Kampanye yang paling efektif adalah kegiatan Pro Bono Publik- Kerja Nyata Untuk Orang Banyak yang dirawat dan dilakukan
terus menerus di antara dua Pemilu.(SRS)
Kegunaan suatu teori kampanye politik adalah untuk menyederhanakan hal rumit
terkait kampanye, melihat pola-pola berulang terkait kemenangan dan kekalahan kandidat
dalam berkampanye, memperhitungkan apa yang telah dan akan terjadi dan menjadi acuan
suatu tindakan atau pemecahan masalah dan peluang dalam berkampanye. Bagaimana
menerapkan pemahaman tentang konsep dan teori kampanye politik, baru akan terasa jika
benar-benar dilakukan di ‘alam politik nyata’ dan ikut dalam proses kompetisi dalam suatu
arena kompetisi semacam Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah).
Untuk itu, panduan ini dibuat, agar calon pemimpin perempuan tidak ragu untuk maju
berkompetisi dengan kandidat laki-laki. Agar kaum perempuan lebih memahami seluk-beluk
kampanye dan memenangkan hati para pemilih dalam suatu panggung pemilihan kepala
daerah di Indonesia.Walaupun kenyataannya baru 46 orang perempuan pemenang Pilkada
Serentak 2016 di 264 daerah di Indonesia. Pekerjaan sinergis dan kolaboratif diperlukan untuk
mendorong kebijakan properempuan untuk memenangkan Pilkada. Khususnya bagaimana
strategi dan teknik memenangkan hati para pemilih.
Kampanye adalah sebuah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian
dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang
terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam
suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi, penghambatan,
pembelokan pecapaian.1 Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan
untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik selalu
merujuk pada kampanye pada pemilihan umum. Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide
1 Lihat ulasan : Paquette, Laure, (2006), Campaign Strategy. New York: Nova.
A. Pendahuluan
2.8.c.Tips merancang kampanye yang menghipnosis. Bahan 3 Penutup: Evaluasi Kampanye Pilkada 3.1. Catatan dari KPU. 3.2. Catatan menejemen pendanaan kampanye. 3.3. Menggali kiat sukses dan gagal cakadap dalam kampanye. Daftar Pustaka Lampiran 1.Contoh Pooling/Riset Survey Untuk Memetakan Strategi Kampanye.
112 113
umum. Kampanye dilakukan dengan prinsip etika politik, inovatif, kreatif, sportif, efisien,
ramah lingkungan, akuntabel, non-diskriminatif, beradab dan tanpa kekerasan.
Kampanye yang sehat adalah bagian dari proses berdemokrasi secara substnsial yaitu
menenggakan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan publik. Demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kampanye politik adalah suatu usaha yang terkelola,
terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu
jabatan resmi. Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat. Tugas itu
pada abad kesembilan belas pada hakikatnya sama yakni membujuk sejumlah pemberi suara
yang sudah terdaftar untuk mendukung calon seperti anda, aktifis perempuan pemimpin
daerah masa depan.
Kampanye yang berorientasi pada hubungan masyarakat, berusaha merangsang
perhatian orang kepada sang calon. Ia mencoba meningkatkan identifikasi dan citra sang calon
di antara kelompok pemberi suara, menyebarluaskan pandangan sang calon tentang berbagai
masalah penting, dan mendorong para pemberi suara menuju ke tempat pemilihan untuk
memberikan suara kepada sang calon. Ia juga berikhtiar membujuk orang-orang yang masing
bimbang (swing voter, Golput) dan kadang bahkan menjurus-balikkan orang-orang yang
cenderung untuk mendukung calon dari pihak penentang.
Pendekatan berdasarkan metode humas berbeda sekali dari kampanye yang
mengandalkan pada kontak pribadi, perlindungan, dan umpan balik langsung untuk menjamin
hasil pemilihan yang dikehendaki. Pendekatan humas bertumpu, baik pada berita yang dapat
dihasilkan kampanye, maupun pada waktu dan tempat yang dapat dibeli (untuk iklan). 6
Menurut peneliti Pfau dan Parrot, kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar,
bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tentu dengan tujuan
mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. 7
Selanjutnya beralih pada topik kompetensi pemasaran politik atau political marketing
yaitu kemampuan positioning untuk memiliki dan menguasai ilmu dan strategi kampanye
untuk memenangkan kompetisi politik secara efisien, efektif dan demokratis. Kita perlu
memahami kebijakan tentang pemilihan umum dan kapasitas perseorangan kandidat, dan
menghubungkannya dengan faktor pendorong ide pemasaran politik, lewat pemasaran dan
penarik pemasaran politik, dalam pikiran pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna
politis inilah yang menjadi output penting political marketing yang menentukan, pihak mana
yang akan dicoblos oleh pemilih.
6 Arnold Steinberg, (1981), Kampanye Politik dalam Praktek . Jakarta: PT Intermasa, hlm.12-13. 7 Lihat Antar Venus, (2004), Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi . Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hlm. 7
bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari
beberapa poin yang berbicara tentang isu-isu kebijakan.2
Kita perlu mengevaluasi model dan cara kampanye yang dilakukan sehingga mengapa
baru tercapai 45 daerah yang melahirkan perempuan pemimpin, yaitu ada di 39 kabupaten dan
6 kota. Ada 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, dan 22 orang perempuan
yang terpilih sebagai wakil kepala daerah. Angka yang terlampau kecil—hanya 17 persen—bila
dibandingkan dengan banyak daerah yang dimenangkan laki-laki. Jika dibandingkan dengan
jumlah kepala dan wakil kepala daerah yang memenangkan pilkada, ada 46 perempuan dari
528 orang (8,7 persen) yang memenangkan Pilkada di 264 daerah.3
1. Mengenal Apa & Bagaimana Komunikasi Politik Secara Mudah
Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi atau penyampaian,
pertukaran dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini, keyakinan, dan lainnya) yang
dilakukan oleh para partisipan atau kandidat pemimpin politik dalam kerangka kegiatan-
kegiatan politik yang terlembaga. Konsep “terlembaga” berkaitan dengan adanya perencanaan,
penggerakan, inovasi dan kreatifitas, pengembangan sistem dan jaringan, evaluasi dan umpan
balik secara cepat dan akurat.4
Komunikasi politik juga dapat dinyatakan sebagai proses penyampaian pesan-pesan
politik dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu hingga memberikan efek
dan feedback atau umpan balik. Dalam hal ini, kampanye sebagai suatu komunikasi politik
diharapkan berbuah simpati, empati dan dukungan politik, artinya anda dipilih dan dipercaya
untuk menegakkan amanah pemilih dan pembayar pajak di negeri ini, sehingga menang
sebagai pemimpin kepala daerah lewat proses kompetitif Pilkada.5
Apa itu kampanye politik? Kampanye politik adalah kegiatan menawarkan visi, misi, dan
program ‘Pasangan Calon’ dan atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau
meyakinkan pemilih untuk memilih calon pasangan tertentu. Kampanye dilaksanakan sebagai
wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Pendidikan politik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilihan
2 Lihat Katz, Richard S., and P. Mair (eds.), (1994), How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democracies. NY: Sage Publications. 3 Data berdasar rekapitulasi suara sementara formulir Model C1 yang telah ditetapkan KPPS dan diunggah ke laman pilkada2015.kpu.go.id. tanggal 17/12/2015. 4 Lihat R.M. Perloff, (1998), Political Communication: Politics, Press, and Public in America ( New Jersey and London : Lawrence Erlbaum. 5 Lihat juga Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, (2008), Encyclopedia of Political Communication. California: Sage Publications.
112 113
umum. Kampanye dilakukan dengan prinsip etika politik, inovatif, kreatif, sportif, efisien,
ramah lingkungan, akuntabel, non-diskriminatif, beradab dan tanpa kekerasan.
Kampanye yang sehat adalah bagian dari proses berdemokrasi secara substnsial yaitu
menenggakan kedaulatan rakyat dan kesejahteraan publik. Demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kampanye politik adalah suatu usaha yang terkelola,
terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu
jabatan resmi. Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat. Tugas itu
pada abad kesembilan belas pada hakikatnya sama yakni membujuk sejumlah pemberi suara
yang sudah terdaftar untuk mendukung calon seperti anda, aktifis perempuan pemimpin
daerah masa depan.
Kampanye yang berorientasi pada hubungan masyarakat, berusaha merangsang
perhatian orang kepada sang calon. Ia mencoba meningkatkan identifikasi dan citra sang calon
di antara kelompok pemberi suara, menyebarluaskan pandangan sang calon tentang berbagai
masalah penting, dan mendorong para pemberi suara menuju ke tempat pemilihan untuk
memberikan suara kepada sang calon. Ia juga berikhtiar membujuk orang-orang yang masing
bimbang (swing voter, Golput) dan kadang bahkan menjurus-balikkan orang-orang yang
cenderung untuk mendukung calon dari pihak penentang.
Pendekatan berdasarkan metode humas berbeda sekali dari kampanye yang
mengandalkan pada kontak pribadi, perlindungan, dan umpan balik langsung untuk menjamin
hasil pemilihan yang dikehendaki. Pendekatan humas bertumpu, baik pada berita yang dapat
dihasilkan kampanye, maupun pada waktu dan tempat yang dapat dibeli (untuk iklan). 6
Menurut peneliti Pfau dan Parrot, kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar,
bertahap dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tentu dengan tujuan
mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. 7
Selanjutnya beralih pada topik kompetensi pemasaran politik atau political marketing
yaitu kemampuan positioning untuk memiliki dan menguasai ilmu dan strategi kampanye
untuk memenangkan kompetisi politik secara efisien, efektif dan demokratis. Kita perlu
memahami kebijakan tentang pemilihan umum dan kapasitas perseorangan kandidat, dan
menghubungkannya dengan faktor pendorong ide pemasaran politik, lewat pemasaran dan
penarik pemasaran politik, dalam pikiran pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna
politis inilah yang menjadi output penting political marketing yang menentukan, pihak mana
yang akan dicoblos oleh pemilih.
6 Arnold Steinberg, (1981), Kampanye Politik dalam Praktek . Jakarta: PT Intermasa, hlm.12-13. 7 Lihat Antar Venus, (2004), Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi . Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hlm. 7
bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari
beberapa poin yang berbicara tentang isu-isu kebijakan.2
Kita perlu mengevaluasi model dan cara kampanye yang dilakukan sehingga mengapa
baru tercapai 45 daerah yang melahirkan perempuan pemimpin, yaitu ada di 39 kabupaten dan
6 kota. Ada 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, dan 22 orang perempuan
yang terpilih sebagai wakil kepala daerah. Angka yang terlampau kecil—hanya 17 persen—bila
dibandingkan dengan banyak daerah yang dimenangkan laki-laki. Jika dibandingkan dengan
jumlah kepala dan wakil kepala daerah yang memenangkan pilkada, ada 46 perempuan dari
528 orang (8,7 persen) yang memenangkan Pilkada di 264 daerah.3
1.a.Mengenal Apa & Bagaimana Komunikasi Politik Secara Mudah
Definisi komunikasi politik adalah seluruh proses transmisi atau penyampaian,
pertukaran dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini, keyakinan, dan lainnya) yang
dilakukan oleh para partisipan atau kandidat pemimpin politik dalam kerangka kegiatan-
kegiatan politik yang terlembaga. Konsep “terlembaga” berkaitan dengan adanya perencanaan,
penggerakan, inovasi dan kreatifitas, pengembangan sistem dan jaringan, evaluasi dan umpan
balik secara cepat dan akurat.4
Komunikasi politik juga dapat dinyatakan sebagai proses penyampaian pesan-pesan
politik dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu hingga memberikan efek
dan feedback atau umpan balik. Dalam hal ini, kampanye sebagai suatu komunikasi politik
diharapkan berbuah simpati, empati dan dukungan politik, artinya anda dipilih dan dipercaya
untuk menegakkan amanah pemilih dan pembayar pajak di negeri ini, sehingga menang
sebagai pemimpin kepala daerah lewat proses kompetitif Pilkada.5
1.b.Mengenal Kampanye dan Pemasaran Politik
Apa itu kampanye politik? Kampanye politik adalah kegiatan menawarkan visi, misi, dan
program ‘Pasangan Calon’ dan atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau
meyakinkan pemilih untuk memilih calon pasangan tertentu. Kampanye dilaksanakan sebagai
wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Pendidikan politik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilihan
2 Lihat Katz, Richard S., and P. Mair (eds.), (1994), How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democracies. NY: Sage Publications. 3 Data berdasar rekapitulasi suara sementara formulir Model C1 yang telah ditetapkan KPPS dan diunggah ke laman pilkada2015.kpu.go.id. tanggal 17/12/2015. 4 Lihat R.M. Perloff, (1998), Political Communication: Politics, Press, and Public in America ( New Jersey and London : Lawrence Erlbaum. 5 Lihat juga Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, (2008), Encyclopedia of Political Communication. California: Sage Publications.
114 115
sebagai pemimpin generasi baru (baby-boomers)yang akan mengubah Washington. Ia menohok keberhasilan Bush dengan positioning statement it’s economic stupid.8
Berikutnya ada tips atau kiat berupa peringatan dini untuk menghindari empat kesalahan dalam menetapkan positioning dalam pemasaran dan kampanye politik yakni: 1. Underpositioning. Posisi kampanye terlalu rendah. Ada greget atau ‘chemistry’ kontestan
yang tidak dirasakan para pemilih karena posisi yang terlalu rendah atau ‘biasa-biasa’ saja. Kontestan tersebut dianggap sama saja dengan kerumunan calon partai-partai lainnya sehingga para pemilih tidak bisa membedakan dengan kandidat lainnya. Contoh: kualitas calon adalah ‘macan garang’ namun dipasarkan sebagai ‘kucing kurap’.
2. Overpositioning. Posisi kampanye berlebihan atau memaksakan. Pemasar atau manajer kampanye terlalu sempit memposisikan kontestannya sehingga mengurangi minat para pemilih di segmen yang dibidik. Contoh: kualitas calon adalah tidak pandai berbahasa daerah atau asing, namun dipaksakan berbahasa tersebut sehingga tampak gagap, ‘bodoh’, dan tak layak pilih dimata pemilih mengambang. Untuk itu diperlukan pelatihan bahasa yang khusus dan berulang-ulang agar lancer dan didampingi penutur bahasa asli agar terkesan hangat dan bersungguh-sungguh mau belajar di hadapan para pemilih. akomodatif,
3. Confuse positioning. Posisi kampanye membingungkan.Para pemilih ragu-ragu karena positioning kontestan dalam berkampanye terlalu banyak memakai atribut. Contoh: calon dicitrakan sebagai tokoh multi fungsi: aktor peduli lingkungan, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh olah raga, dst. Namun, misalnya atribut itu bertolak belakang dengan kenyataannya, perusahaannya tidak ramah lingkungan, berkampanye hemat energy namun pemakain energy rirumahnya boros, mengkampanyekan masyarakat yang sehat namun jarang berolah raga, bangun kesiangan, tidur kemalaman. Menyatakan cinta tanah air namun suka dan tak pernah memutar lagu-lagu nusantara, melainkan lagu-lagu barat dan jarang mengunjungi tempat ibadah di acara non formal, hanya pada saat seremonial.
4. Doubtful positioning. Posisi kampanye meragukan. Para pemilih meragukan kebenaran positioning yang disampaikan karena tidak di dukung bukti yang memadai antara lain karena produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan positioning. Contoh: calon dicitrakan sebagai seorang yang peduli anak dan keluarga, namun faktanya ia kawin cerai dan anaknya terlibat narkoba akibat kurang perhatian.
Selanjutnya akan dijelaskan positioning dan strategi komunikasi untuk kandidat. Dalam hal ini dikenal dengan istilah positioning komunikasi untuk memasuki jendela otak pemilih agar sebuah kontestan mengandung arti tertentu yang mencerminkan keunggulannya terhadap kontestan pesaing dalam bentuk hubungan asosiasitif. Positioning efektif harus dilakukan berdasarkan analisis terhadap faktor eksternal dan internal preferensi segmen pemilih yang menjadi sasaran utama yang diketahui dari hasil segmentasi.
Selama ini calon memberikan kartu nama yang berisi nama dan foto dirinya beserta visi dan misi program yang isinya umum atau keadaan yang dikehendaki. Hal ini tidak cukup. Perlu di muculkan positioning kampanye yang lebih spesifik atau khsusu � agar kredibel dan efektif– di mata permilih. Untuk itu pesan harus dijabarkan dalam bauran produk politik yang meliputi: 1. Produk kampanye berupa Policy adalah tawaran kebijakan publik dan
program kerja spesifik, jika terpilih kelak atau yang pernah dirintisnya dalam bentuk kegiatan Pro Bono Publik. Policy merupakan solusi yang ditawarkan kontestan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan berdasarkan isu-isu yang dianggap penting oleh para pemilih. Policy yang efektif harus memenuhi tiga syarat, yaitu: � Menarik perhatian karena unik. Misalnya kebijakan mengelola sungai sebagai
halaman depan, sungai untuk wisata pasar terapung, sungai yang kaya ikan yang
8 Lihat Adman Nursal (2004) Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden . Jakarta: PT Gramedia, hlm. 156-157.
Bagan Strategi Kampanye dan Pemasaran Politik
Sumber: Adman Nursal, Political Marketing, 2004.
Bagan di atas ini memperkokoh teori bahwa seorang kandidat perlu mempunyai sebuah
positioning (penentuan diri) dan Self-image (merek, citra diri) tertentu yang unik atau khas,
populer dan berpotensi menimbulkan elekatabilitasnya tinggi. Tujuannya agar dapat meraih
dukungan massa pemilih atau konstituen, khususnya massa atau pemilih mengambang yang
belum menentukan pilihan hingga hari pemilu (swing-voter). Cara untuk mem-positioning-
kan sebuah kontestan politik ada lima cara, yaitu:
1. Calon diposisikan berdasarkan kategori tertentu. Sebagai contoh calon yang diusung partai atau calon perseorangan/independen. Cakada perempuan misalnya dapat memposisikan diri sebagai kandidat pembaharu atau inovatif, perawat sistem dan harmoni, akomodatif, penghubung perbedaan atau multikulturalis, ketimbang yang memposisikan sebagai calon perempuan nasiolis-religius atau putri daerah aseli saja.
2. Positioning berdasarkan atribut tertentu. Misalkan, calon dari sebuah organisasi politik bisa saja memposisikan dirinya sebagai kandidat yang didukung partai terbesar. Dengan positioning ini terkandung makna tidak langsung bahwa calon tersebut memiliki sumber daya dan pendukung yang besar sehingga mampu meyakinkan pemilih bahwa calon ini mampu mewujudkan programnya dengan efektif dan efisien, dengan gangguan actor yang minimalis.
3. Positioning berdasarkan benefit. Posisi calon dalam berkampanye adalah menunjukkan apa yang telah dia buat sebagai Pro Bono Publik, akan memberi manfaat tertentu kepada para pemilih. Misalnya, manfaat bagi orang tua bekerja dan keluarga. Seorang calon aktifis perempuan memposisikan dirinya sebagai kandidat yang peduli balita dan orang tua tunggal yang akan memperjuangkan day-cares gratis bagi pasangan bekerja dan penyediaan lapangan kerja khusus bagi orang tua tunggal yang programmnya diadakan dari anggaran daerah.
4. Positioning berdasarkan kategori komunitas pemilih. Seorang calon dapat memposisikan dirinya sebagai penggemar makanan pedas, pencinta humor (fans club stand up comedy), pencinta musik cadas-dangdut, wong cilik yang kreatif, atau calon independen yang mengakar. Calon lainnya dapat memposisikan dirinya dengan kelompok sosial tertentu.
5. Positioning berdasarkan pesaing alias competitor. Untuk mengalahkan George Bush pada Pemilu Presiden Amerika tahun 1992, Bill Clinton menerapkan competitor positioning. Saat itu, Bush dikenal sebagai pemimpin yang memiliki reputasi politik luar negeri yang hebat, terutama setelah mengalahkan Irak dalam perang Teluk. Tetapi Bush kurang berhasil dalam bidang ekonomi. Clinton dengan cerdik memposisikan dirinya
Positioning
Research and Polling
Presentasi
Policy
Person
Party Pull Marketing
Pass Marketing
Push Marketing
Political Campaign
Marketing
Gambar 1
114 115
sebagai pemimpin generasi baru (baby-boomers)yang akan mengubah Washington. Ia menohok keberhasilan Bush dengan positioning statement it’s economic stupid.8
Berikutnya ada tips atau kiat berupa peringatan dini untuk menghindari empat kesalahan dalam menetapkan positioning dalam pemasaran dan kampanye politik yakni: 1. Underpositioning. Posisi kampanye terlalu rendah. Ada greget atau ‘chemistry’ kontestan
yang tidak dirasakan para pemilih karena posisi yang terlalu rendah atau ‘biasa-biasa’ saja. Kontestan tersebut dianggap sama saja dengan kerumunan calon partai-partai lainnya sehingga para pemilih tidak bisa membedakan dengan kandidat lainnya. Contoh: kualitas calon adalah ‘macan garang’ namun dipasarkan sebagai ‘kucing kurap’.
2. Overpositioning. Posisi kampanye berlebihan atau memaksakan. Pemasar atau manajer kampanye terlalu sempit memposisikan kontestannya sehingga mengurangi minat para pemilih di segmen yang dibidik. Contoh: kualitas calon adalah tidak pandai berbahasa daerah atau asing, namun dipaksakan berbahasa tersebut sehingga tampak gagap, ‘bodoh’, dan tak layak pilih dimata pemilih mengambang. Untuk itu diperlukan pelatihan bahasa yang khusus dan berulang-ulang agar lancer dan didampingi penutur bahasa asli agar terkesan hangat dan bersungguh-sungguh mau belajar di hadapan para pemilih. akomodatif,
3. Confuse positioning. Posisi kampanye membingungkan.Para pemilih ragu-ragu karena positioning kontestan dalam berkampanye terlalu banyak memakai atribut. Contoh: calon dicitrakan sebagai tokoh multi fungsi: aktor peduli lingkungan, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh olah raga, dst. Namun, misalnya atribut itu bertolak belakang dengan kenyataannya, perusahaannya tidak ramah lingkungan, berkampanye hemat energy namun pemakain energy rirumahnya boros, mengkampanyekan masyarakat yang sehat namun jarang berolah raga, bangun kesiangan, tidur kemalaman. Menyatakan cinta tanah air namun suka dan tak pernah memutar lagu-lagu nusantara, melainkan lagu-lagu barat dan jarang mengunjungi tempat ibadah di acara non formal, hanya pada saat seremonial.
4. Doubtful positioning. Posisi kampanye meragukan. Para pemilih meragukan kebenaran positioning yang disampaikan karena tidak di dukung bukti yang memadai antara lain karena produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan positioning. Contoh: calon dicitrakan sebagai seorang yang peduli anak dan keluarga, namun faktanya ia kawin cerai dan anaknya terlibat narkoba akibat kurang perhatian.
Selanjutnya akan dijelaskan positioning dan strategi komunikasi untuk kandidat. Dalam hal ini dikenal dengan istilah positioning komunikasi untuk memasuki jendela otak pemilih agar sebuah kontestan mengandung arti tertentu yang mencerminkan keunggulannya terhadap kontestan pesaing dalam bentuk hubungan asosiasitif. Positioning efektif harus dilakukan berdasarkan analisis terhadap faktor eksternal dan internal preferensi segmen pemilih yang menjadi sasaran utama yang diketahui dari hasil segmentasi.
Selama ini calon memberikan kartu nama yang berisi nama dan foto dirinya beserta visi dan misi program yang isinya umum atau keadaan yang dikehendaki. Hal ini tidak cukup. Perlu di muculkan positioning kampanye yang lebih spesifik atau khsusu � agar kredibel dan efektif– di mata permilih. Untuk itu pesan harus dijabarkan dalam bauran produk politik yang meliputi: 1. Produk kampanye berupa Policy adalah tawaran kebijakan publik dan
program kerja spesifik, jika terpilih kelak atau yang pernah dirintisnya dalam bentuk kegiatan Pro Bono Publik. Policy merupakan solusi yang ditawarkan kontestan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan berdasarkan isu-isu yang dianggap penting oleh para pemilih. Policy yang efektif harus memenuhi tiga syarat, yaitu: � Menarik perhatian karena unik. Misalnya kebijakan mengelola sungai sebagai
halaman depan, sungai untuk wisata pasar terapung, sungai yang kaya ikan yang
8 Lihat Adman Nursal (2004) Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden . Jakarta: PT Gramedia, hlm. 156-157.
Bagan Strategi Kampanye dan Pemasaran Politik
Sumber: Adman Nursal, Political Marketing, 2004.
Bagan di atas ini memperkokoh teori bahwa seorang kandidat perlu mempunyai sebuah
positioning (penentuan diri) dan Self-image (merek, citra diri) tertentu yang unik atau khas,
populer dan berpotensi menimbulkan elekatabilitasnya tinggi. Tujuannya agar dapat meraih
dukungan massa pemilih atau konstituen, khususnya massa atau pemilih mengambang yang
belum menentukan pilihan hingga hari pemilu (swing-voter). Cara untuk mem-positioning-
kan sebuah kontestan politik ada lima cara, yaitu:
1. Calon diposisikan berdasarkan kategori tertentu. Sebagai contoh calon yang diusung partai atau calon perseorangan/independen. Cakada perempuan misalnya dapat memposisikan diri sebagai kandidat pembaharu atau inovatif, perawat sistem dan harmoni, akomodatif, penghubung perbedaan atau multikulturalis, ketimbang yang memposisikan sebagai calon perempuan nasiolis-religius atau putri daerah aseli saja.
2. Positioning berdasarkan atribut tertentu. Misalkan, calon dari sebuah organisasi politik bisa saja memposisikan dirinya sebagai kandidat yang didukung partai terbesar. Dengan positioning ini terkandung makna tidak langsung bahwa calon tersebut memiliki sumber daya dan pendukung yang besar sehingga mampu meyakinkan pemilih bahwa calon ini mampu mewujudkan programnya dengan efektif dan efisien, dengan gangguan actor yang minimalis.
3. Positioning berdasarkan benefit. Posisi calon dalam berkampanye adalah menunjukkan apa yang telah dia buat sebagai Pro Bono Publik, akan memberi manfaat tertentu kepada para pemilih. Misalnya, manfaat bagi orang tua bekerja dan keluarga. Seorang calon aktifis perempuan memposisikan dirinya sebagai kandidat yang peduli balita dan orang tua tunggal yang akan memperjuangkan day-cares gratis bagi pasangan bekerja dan penyediaan lapangan kerja khusus bagi orang tua tunggal yang programmnya diadakan dari anggaran daerah.
4. Positioning berdasarkan kategori komunitas pemilih. Seorang calon dapat memposisikan dirinya sebagai penggemar makanan pedas, pencinta humor (fans club stand up comedy), pencinta musik cadas-dangdut, wong cilik yang kreatif, atau calon independen yang mengakar. Calon lainnya dapat memposisikan dirinya dengan kelompok sosial tertentu.
5. Positioning berdasarkan pesaing alias competitor. Untuk mengalahkan George Bush pada Pemilu Presiden Amerika tahun 1992, Bill Clinton menerapkan competitor positioning. Saat itu, Bush dikenal sebagai pemimpin yang memiliki reputasi politik luar negeri yang hebat, terutama setelah mengalahkan Irak dalam perang Teluk. Tetapi Bush kurang berhasil dalam bidang ekonomi. Clinton dengan cerdik memposisikan dirinya
Positioning
Research and Polling
Presentasi
Policy
Person
Party Pull Marketing
Pass Marketing
Push Marketing
Political Campaign
Marketing
116 117
Setidaknya ada empat alasan mengapa gambar menghasilkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan kata-kata: * Gambar lebih mudah dicamkan dan disimpan lebih dulu dibandingkan dengan kata-kata
apalagi angka-angka. * Merupakan alat aktivasi atau stimulus informasi yang lebih cepat dibandingkan teks. * Lebih mudah diingat dibandingkan dengan kata. * bisa digunakan untuk menciptakan citra positif produk.
� Pemilihan Simbol akustik. Simbol akustik ini meliputi bagaimana nada, irama, dan warna bunyi ketika sebuah pesan politik disampaikan. Sudah menjadi pengetahuan umum, kualitas retorika dari seseorang juga dipengaruhi kepiwaiannya menggunakan simbol-simbol akustik. Substansi bisa sama tetapi makna akan berbeda jika disampaikan dengan menggunakan simbol akustik yang berbeda. Simbol-simbol akustik ini memiliki muatan emosi dari substansi pesan yang disampaikan. Seringkali seorang tokoh politik gagal menarik minat massa karena tidak mampu mengelola simbol-simbol akustik dalam berbicara atau berpidato.
Simbol-simbol akustik tidak hanya penting dalam percakapan lisan atau pidato. Ia juga meliputi musik, jingle, dan efek-efek suara yang digunakan dalam menyampaikan berbagai produk politik seperti iklan, penyelenggaraan event, dsb. Kita dapat belajar dari peneliti bernama David Burrows yang mengatakan, latar belakang suara akan memberikan suatu tekstur aktivitas mikro kepada dunia pesan. Latar belakang suara dapat membuat manusia rileks, tergesa-gesa, sedih, gembira, dan ungkapan emosi lainnya. Karena itu, simbol-simbol akustik memiliki makna penting dalam presentasi produk politik seperti dalam kampanye.
� Pemilihan Simbol ruang dan waktu. Simbol ruang adalah menggunakan ruang atau lokasi tertentu untuk membentuk makna tertentu pula. Pidato di kawasan perang akan berbeda maknanya dibandingkan di tempat aman walaupun substansi pidatonya sama, sama halnya pidato di pasar, pemukiman kumuh atau kompleks perumahan kelas menengah atas. Penyampaian pesan melalui ruang iklan memiliki makna yang berbeda dibandingkan melalui berita. Selain itu, siapa yang terdapat di dalam ruang tersebut juga akan menentukan makna politis yang terbentuk.
Waktu atau momentum juga faktor penting untuk membentuk makna politis tertentu. Kritik politik yang disampaikan sebelum peristiwa reformasi memiliki makna yang berbeda dibanding setelah reformasi. Organisasi politik yang tangguh umumnya memiliki kepekaan terhadap momentum. Efektivitas pesan juga terkait dengan momentum yang dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan tersebut.
Presentasi produk politik — dengan menggunaan media dan konteks simbolis tertentu — sangat penting untuk mengatasi karakter produk politik yang intangible, perishable, dan inseparable. Dengan demikian, para pemilih akan mudah mengenal dan mengasosiasikan produk politik tersebut. Tanpa manajemen presentasi yang baik, substansi produk politik akan sulit dikenal para pemilih, apalagi untuk membangun asosiasi tertentu. Jika hal ini terjadi, kampanye politik tidak akan menghasilkan makna politis yang diharapkan dalam pikiran para pemilih.
Produk politik tersebut disampaikan kepada pasar politik yang meliputi media massa dan influencer groups sebagai pasar perantara, dan para pemilih sebagai pasar tujuan akhir. Penyampaian produk politik langsung kepada pemilih disebut push marketing. Penyampaian produk politik dengan memanfaatkan media massa disebut pull marketing. Sedangkan penyampaian produk politik kepada influencer groups disebut sebagai pass marketing.
Agar berjalan terkendali sesuai sasaran obyektif, proses political marketing perlu dipandu dengan polling dan berbagai aktivitas riset lainnya. Dalam sistem pemilu yang demokratis. Riset merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebuah kontestan yang ingin menerapkan political marketing dengan efektif. Tanpa riset, para pemasar tidak tahu arah yang akan dituju, sudah sampai di mana, apa yang harus disampaikan, apa yang harus diubah dan apa yang harus diteruskan. 9
9 Ibid, hlm. 220-223 dan 241.
berwarna-warni namun hanya boleh ditangkap dalam jumlah atau waktu tertentu saja.
� Mudah terserap pemilih karena tersebar lewat jaringan. Gagasan ini sudah dicoba oleh jaringan komunitas daerah aliran sungai, kelompok pencinta ikan, kelompok sadar wisata, dll.
� Attribute yang mudah diingat dan jelas, contohnya ada. Logo kampanye “Cinta Sungai”, “Sungai Halaman Depan Kita”, “Sungai Tanah Air Kita”.
2. Produk kampanye berupa Personality yaitu kualitas pribadi kandidat cakada perempuan eksekutif yang akan dipilih melalui Pemilukada. Kualitas keperibadian ini dapat dilihat melalui tiga dimensi, yakni: � Kualitas instrumental, berkaitan kemampuan memecahkan masalah dan
menunjukkan cara unik dan efektif memperbaiki persoalan, pembahruan atau merawat sistem.
� Dimensi simbolis (memilih analogi, pengumpamaan) dan fenotipe optic (memilih warna, disain, bentuk) atribut kampanye, pakaian, sepatu, topi, dst. Warna mewakili pesan tertentu dan suasana yang ingin diciptakan, misalkan kuning: kecerdasan, hijau: perawatan, biru: ketenangan, merah: keberanian, putih: ketulusan, kejujuran.
� Dimensi kualitas tersebut harus dikelola agar kandidat attribute dan pesan yang akan disetujui oleh para pemilih terhubung atau ‘nyambung’.
3. Produk kampanye berupa Party atau Bagian Nilai Lebih, dapat juga dilihat sebagai subtansi produk politik. Partai mempunyai identitas utama, aset reputasi-rekam jejak karir masa lalu, dan identitas estetis-keindahan. Ketiga hal tersebut akan dipertimbangkan oleh para pemilih dalam menetapkan pilihannya. Oleh karena itu, dalam political marketing, unsur-unsur tersebut harus dikelola dengan baik.
4. Produk kampanye berupa Comprehensive Presentation atau penyajian lengkap adalah bagaimana ketiga substansi produk politik (policy, person, party) disajikan bersamaan untuk saling menguatkan. Presentasi sangat penting karena dapat mempengaruhi makna-politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih. Presentation disajikan dengan medium presentasi yang secara umum dapat dikelompokkan dengan menjadi objek fisik, orang, dan event. Aspek penting lainnya dalam presentasi adalah penggunaan konteks simbolis yang terdiri dari beberapa hal berikut:
� Pemilihan Simbol linguistik. Dalam political marketing dan kampanye, substansi produk politik yang disampaikan dalam kampanye haruslah attributable, mudah diingat dan unik, terutama mempunyai kaitan kuat dengan para pemilih. Kaitan dengan pemilih dapat dibangun dengan menciptakan simbol konkret yang mudah masuk ke pikiran para pemilih. Simbol tersebut lebih mudah masuk ke titik fokus kognitif pemilih melalui jalan pintas informasi. Tentu saja simbol-simbol yang digunakan adalah simbol-simbol yang jelas dan dikenal. Dengan demikian, simbol-simbol tersebut mudah dimaknai.
Sebagai contoh kasus, Jokowi memakai atribut kesederhanaan, seperti kemeja, celana dan sepatu yang sederhana. Contoh lain calon presiden Corry Aquino yang berhadapan dengan petahana Presiden Filipina Ferdinand Marcos dianggap korup dan tidak efisien. Ia menyindir Marcos denga symbol kontra: Imelda Marcos, Ibu Negara dengan 3000 pasang sepatu. Hal ini menjadi simbol linguistik terkait dengan isu apa yang hendak ditekan. Simbol linguistik yang efektif akan menghasilkan narasi besar. “Imelda dengan 3000 pasang sepatu” merupakan pemicu dari berkembangnya imajinasi pemilih mengenai potret perilaku pemerintahan Marcos. Narasi besar inilah yang pada akhirnya membentuk makna politis tertentu dalam pikiran pemilih untuk memilih Carry sebagai harapan perubahan.
� Pemilihan Simbol optik. Mengacu pada temuan Schweiger dan Adami yang menungkap bahwa presentasi yang efektif tidak cukup dengan kata-kata, melainkan juga memilih gambar tertentu sebagai tema kampanye. Alasannya karena manusia adalah “makhluk ber-mata.” Menurut pepatah Cina, satu gambar menghasilkan seribu makna. Karena itu, gambar yang baik akan membantu efektivitas kampanye. Alasannya adalah, citra gambar akan lebih mudah disimpan di otak manusia dalam bentuk gambar dan kode verbal.
116 117
Setidaknya ada empat alasan mengapa gambar menghasilkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan kata-kata: * Gambar lebih mudah dicamkan dan disimpan lebih dulu dibandingkan dengan kata-kata
apalagi angka-angka. * Merupakan alat aktivasi atau stimulus informasi yang lebih cepat dibandingkan teks. * Lebih mudah diingat dibandingkan dengan kata. * bisa digunakan untuk menciptakan citra positif produk.
� Pemilihan Simbol akustik. Simbol akustik ini meliputi bagaimana nada, irama, dan warna bunyi ketika sebuah pesan politik disampaikan. Sudah menjadi pengetahuan umum, kualitas retorika dari seseorang juga dipengaruhi kepiwaiannya menggunakan simbol-simbol akustik. Substansi bisa sama tetapi makna akan berbeda jika disampaikan dengan menggunakan simbol akustik yang berbeda. Simbol-simbol akustik ini memiliki muatan emosi dari substansi pesan yang disampaikan. Seringkali seorang tokoh politik gagal menarik minat massa karena tidak mampu mengelola simbol-simbol akustik dalam berbicara atau berpidato.
Simbol-simbol akustik tidak hanya penting dalam percakapan lisan atau pidato. Ia juga meliputi musik, jingle, dan efek-efek suara yang digunakan dalam menyampaikan berbagai produk politik seperti iklan, penyelenggaraan event, dsb. Kita dapat belajar dari peneliti bernama David Burrows yang mengatakan, latar belakang suara akan memberikan suatu tekstur aktivitas mikro kepada dunia pesan. Latar belakang suara dapat membuat manusia rileks, tergesa-gesa, sedih, gembira, dan ungkapan emosi lainnya. Karena itu, simbol-simbol akustik memiliki makna penting dalam presentasi produk politik seperti dalam kampanye.
� Pemilihan Simbol ruang dan waktu. Simbol ruang adalah menggunakan ruang atau lokasi tertentu untuk membentuk makna tertentu pula. Pidato di kawasan perang akan berbeda maknanya dibandingkan di tempat aman walaupun substansi pidatonya sama, sama halnya pidato di pasar, pemukiman kumuh atau kompleks perumahan kelas menengah atas. Penyampaian pesan melalui ruang iklan memiliki makna yang berbeda dibandingkan melalui berita. Selain itu, siapa yang terdapat di dalam ruang tersebut juga akan menentukan makna politis yang terbentuk.
Waktu atau momentum juga faktor penting untuk membentuk makna politis tertentu. Kritik politik yang disampaikan sebelum peristiwa reformasi memiliki makna yang berbeda dibanding setelah reformasi. Organisasi politik yang tangguh umumnya memiliki kepekaan terhadap momentum. Efektivitas pesan juga terkait dengan momentum yang dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan tersebut.
Presentasi produk politik — dengan menggunaan media dan konteks simbolis tertentu — sangat penting untuk mengatasi karakter produk politik yang intangible, perishable, dan inseparable. Dengan demikian, para pemilih akan mudah mengenal dan mengasosiasikan produk politik tersebut. Tanpa manajemen presentasi yang baik, substansi produk politik akan sulit dikenal para pemilih, apalagi untuk membangun asosiasi tertentu. Jika hal ini terjadi, kampanye politik tidak akan menghasilkan makna politis yang diharapkan dalam pikiran para pemilih.
Produk politik tersebut disampaikan kepada pasar politik yang meliputi media massa dan influencer groups sebagai pasar perantara, dan para pemilih sebagai pasar tujuan akhir. Penyampaian produk politik langsung kepada pemilih disebut push marketing. Penyampaian produk politik dengan memanfaatkan media massa disebut pull marketing. Sedangkan penyampaian produk politik kepada influencer groups disebut sebagai pass marketing.
Agar berjalan terkendali sesuai sasaran obyektif, proses political marketing perlu dipandu dengan polling dan berbagai aktivitas riset lainnya. Dalam sistem pemilu yang demokratis. Riset merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebuah kontestan yang ingin menerapkan political marketing dengan efektif. Tanpa riset, para pemasar tidak tahu arah yang akan dituju, sudah sampai di mana, apa yang harus disampaikan, apa yang harus diubah dan apa yang harus diteruskan. 9
9 Ibid, hlm. 220-223 dan 241.
berwarna-warni namun hanya boleh ditangkap dalam jumlah atau waktu tertentu saja.
� Mudah terserap pemilih karena tersebar lewat jaringan. Gagasan ini sudah dicoba oleh jaringan komunitas daerah aliran sungai, kelompok pencinta ikan, kelompok sadar wisata, dll.
� Attribute yang mudah diingat dan jelas, contohnya ada. Logo kampanye “Cinta Sungai”, “Sungai Halaman Depan Kita”, “Sungai Tanah Air Kita”.
2. Produk kampanye berupa Personality yaitu kualitas pribadi kandidat cakada perempuan eksekutif yang akan dipilih melalui Pemilukada. Kualitas keperibadian ini dapat dilihat melalui tiga dimensi, yakni: � Kualitas instrumental, berkaitan kemampuan memecahkan masalah dan
menunjukkan cara unik dan efektif memperbaiki persoalan, pembahruan atau merawat sistem.
� Dimensi simbolis (memilih analogi, pengumpamaan) dan fenotipe optic (memilih warna, disain, bentuk) atribut kampanye, pakaian, sepatu, topi, dst. Warna mewakili pesan tertentu dan suasana yang ingin diciptakan, misalkan kuning: kecerdasan, hijau: perawatan, biru: ketenangan, merah: keberanian, putih: ketulusan, kejujuran.
� Dimensi kualitas tersebut harus dikelola agar kandidat attribute dan pesan yang akan disetujui oleh para pemilih terhubung atau ‘nyambung’.
3. Produk kampanye berupa Party atau Bagian Nilai Lebih, dapat juga dilihat sebagai subtansi produk politik. Partai mempunyai identitas utama, aset reputasi-rekam jejak karir masa lalu, dan identitas estetis-keindahan. Ketiga hal tersebut akan dipertimbangkan oleh para pemilih dalam menetapkan pilihannya. Oleh karena itu, dalam political marketing, unsur-unsur tersebut harus dikelola dengan baik.
4. Produk kampanye berupa Comprehensive Presentation atau penyajian lengkap adalah bagaimana ketiga substansi produk politik (policy, person, party) disajikan bersamaan untuk saling menguatkan. Presentasi sangat penting karena dapat mempengaruhi makna-politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih. Presentation disajikan dengan medium presentasi yang secara umum dapat dikelompokkan dengan menjadi objek fisik, orang, dan event. Aspek penting lainnya dalam presentasi adalah penggunaan konteks simbolis yang terdiri dari beberapa hal berikut:
� Pemilihan Simbol linguistik. Dalam political marketing dan kampanye, substansi produk politik yang disampaikan dalam kampanye haruslah attributable, mudah diingat dan unik, terutama mempunyai kaitan kuat dengan para pemilih. Kaitan dengan pemilih dapat dibangun dengan menciptakan simbol konkret yang mudah masuk ke pikiran para pemilih. Simbol tersebut lebih mudah masuk ke titik fokus kognitif pemilih melalui jalan pintas informasi. Tentu saja simbol-simbol yang digunakan adalah simbol-simbol yang jelas dan dikenal. Dengan demikian, simbol-simbol tersebut mudah dimaknai.
Sebagai contoh kasus, Jokowi memakai atribut kesederhanaan, seperti kemeja, celana dan sepatu yang sederhana. Contoh lain calon presiden Corry Aquino yang berhadapan dengan petahana Presiden Filipina Ferdinand Marcos dianggap korup dan tidak efisien. Ia menyindir Marcos denga symbol kontra: Imelda Marcos, Ibu Negara dengan 3000 pasang sepatu. Hal ini menjadi simbol linguistik terkait dengan isu apa yang hendak ditekan. Simbol linguistik yang efektif akan menghasilkan narasi besar. “Imelda dengan 3000 pasang sepatu” merupakan pemicu dari berkembangnya imajinasi pemilih mengenai potret perilaku pemerintahan Marcos. Narasi besar inilah yang pada akhirnya membentuk makna politis tertentu dalam pikiran pemilih untuk memilih Carry sebagai harapan perubahan.
� Pemilihan Simbol optik. Mengacu pada temuan Schweiger dan Adami yang menungkap bahwa presentasi yang efektif tidak cukup dengan kata-kata, melainkan juga memilih gambar tertentu sebagai tema kampanye. Alasannya karena manusia adalah “makhluk ber-mata.” Menurut pepatah Cina, satu gambar menghasilkan seribu makna. Karena itu, gambar yang baik akan membantu efektivitas kampanye. Alasannya adalah, citra gambar akan lebih mudah disimpan di otak manusia dalam bentuk gambar dan kode verbal.
118 119
dijadikan dasar pertimbangan oleh para pemilih untuk menentukan siapa yang akan menjadi eksekutif atau pelaksana mandat suara orang banyak.
Sebab, Politik adalah praktik atau pekerjaaan menjalankan urusan orang banyak yaitu melaksanakan atau mencari legitimasi kekuasaan untuk diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan pelayan sekaligus pelaksana dalam urusan kebaikan bersama. Pilkada atau Pemilihan kepala daerah–mengacu pada arena, logika, dan ekspektasi politik, dalam hal ini tumbuhnya pemahaman akan munculnya “kampanye pasca modern” yang menyudahi “kampanye modern”. Kampanye pasca-modern dimungkinkan oleh terjadinya gelombang ketiga demokratisasi yang menggejala di seluruh dunia mulai tahun 1974. 11
1.c.Mengenal Jenis dan Bentuk Kampanye Tradisional
Jenis kampanye tradisonal antara lain kampanye luar ruang dan dalam ruang seperti mengunjungi pasar-pasar tradisional, mengikuti acara keagamaan dan olah raga. Bentuk lainnya adalah memfilmkan dan menyiarkan kampanye kandidat dan tim sukses dalam bentuk iring-iringan mobil di jalan-jalan dengan dilatari bunyi petasan guna menarik perhatian massa. Namun ada efek negatifnya, jenis kampanye jalanan seperti ini dimanfaatkan oleh lawan politik untuk upaya pembunuhan seperti yang pernah dialami calon presiden Chen Shuibein tahun 2004.
Letusan petasan itu menyebabkan kameramen televisi dan pasukan pengawal lengah dan dimanfaatkan oleh sniper untuk melakukan kejahatan dan pengacauan. Hal yang hampir sama dialami kandidat presiden Benino Aquino di Filipina yang telah menghilangkan jiwanya. Untuk pengalaman Indonesia, kampanye arak-arakan yang menimbulkan korban jiwa para peserta kampanye menimbulkan opini distrust atau ketidakpercayaan pada penyelenggara kampanye.
Bentuk lain kampanye tradisional dan dianggap berbiaya mahal adalah pemasangan spanduk, pamlet, bendera, baliho, stiker dan pesan di kendaraan bergerak dan panggung hiburan di lapangan. 1.d.Mengenal Jenis dan Bentuk Kampanye Modern dan Pascamodern
Menurut peneliti komunikasi politik Fritz Plasser and Gunda Plasser, ada perbedaan yang mendasar antara kampanye modern dengan kampanye pasca-modern, yaitu (i) Dalam kampanye modern waktu yang dibutuhkan bisa satu bulan, dua bulan, tiga bulan, atau dst., � Sedangkan kampanye pasca-modern tidak mengenal batas waktu, sepanjang waktu, karena berlangsung terus menerus tanpa jeda dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya (sepanjang waktu adalah kampanye).
(ii) Kampanye modern membutuhkan dana yang besar karena masa kampanye berlangsung cukup panjang, sedangkan kampanye pasca-modern menuntut biaya yang lebih besar akibat ketiadaan batas waktu yang jelas.
(iii) Penyokong utama dalam kampanye modern adalah media televisi (terutama perebutan jam-jam tayang utama, prime-time, oleh para kandidat untuk mempromosikan dirinya), dalam kampanye pasca modern peran televisi tereduksi dengan peran multimedia (TV, media cetak, internet, milis, sms, dll).
(iv) “Logika media” dalam kampanye modern berubah menjadi “logika pemasaran” dalam kampanye pasca-modern. Dalam “logika media” masyarakat diperlakukan sebagai “audiens” yang harus dipertahankan. Ketika “logika media” pada “kampanye modern” berubahnya menjadi “logika pemasaran” pada iklim “kampanye pasca-modern,” maka kemudian masyarakat bukan lagi menjadi “audiens” tetapi berubah menjadi “konsumen.”
Secara umum ada lima alat untuk menyampaikan produk politik kepada pasar yaitu calon pemilih kita, yaitu:
11 Lihat Arnold Steinberg, (1981) Kampanye Politik dalam Praktek . Jakarta: PT Intermasa, hlm. 1. Lihat juga Leo Agustino, (2005) “PILKADA Langsung: Beberapa Catatan” dalam ANALISIS CSIS, “Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal”, Jakarta, Vol. 34, No. 2, hlm. 126-127.
Selanjutnya kita bisa belajar dari peneliti She dan Burton, setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan produk politik dalam kampanye, yakni: 1. Memperhitungkan Konsistensi pada disiplin pesan. Tim media harus menjaga agar
unsur-unsur produk politik yang disampaikan tetap berada di bawah payung positioning yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, selama kampanye Presiden Amerika tahun 2000, Bush senantiasa fokus pada “leadership” sebagai positioning. Kebijakan ekonomi, kebutuhan mengubah sistem pendidikan, pemotongan pajak, dan lain-lain dikemas sedemikian rupa untuk mendukung positioning tersebut. Dimensi kualitas person yang dimunculkan juga konsisten dengan kandidat, termasuk catatan masa silamnya, dan konsisten pula dengan pandangan dan tindakan sejumlah pendukung Bush sebagai kandidat presiden.
2. Memperhitungkan Efisiensi biaya, khususnya untuk pemasangan iklan. Efisiensi bukan semata-mata diukur dari jumlah audiens yang bisa dicapai oleh sebuah media, melainkan berdasar jumlah pemilih yang dibidik atau persuadable voters.
3. Memperhitungkan Timing atau momentum. Masalah momentum ini penting, khususnya dalam melontarkan isu-isu tertentu dan bereaksi terhadap pesaing. Reaksi yang terlalu cepat mungkin juga tidak efektif karena belum semua segmen pasar “ngeh” dengan isu yang dilontarkan pesaing. Tetapi reaksi yang terlambat juga berbahaya karena tidak bisa lagi mengubah pandangan audiens yang terlanjur percaya dengan isu tersebut.
4. Memperhitungkan Pengemasan. Bagaimana sebuah substansi dikemas meliputi tiga hal, yakni struktur (susunan dari pesan yang ingin disampaikan), format (suara, visual, dan unsur gerak), dan sumber (siapa, bagaimana menyampaikan pesan). Tim juga memilih tipe-tipe kampanye sesuai perkembangan situasi, yaitu: � Kampanye positif, yakni kampanye dengan menyampaikan keunggulan dari sebuah
kontenstan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Francois Mitrand ketika berkampanye memperebutkan jabatan Presiden Perancis, yakni dengan pesan quiet force atau kekuatan dalam kesejukkan.
� Kampanye komparatif menggambarkan diferensiasi antar kontestan. Inilah yang dilakukan oleh Bill Clinton untuk menghadapi tantangan Bob Dole untuk memperebutkan kursi Presiden Amerika.
� Kampanye menyerang adalah kampanye dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan lawan.
5. Memperhitungkan Permainan ekspresi. Kampanye politik harus dilakukan dengan optimisme yang terus-menerus sampai detik-detik terakhir bahwa kemenangan ada di tangan. Karena itu, kampanye politik harus dapat mengontrol ekspektasi. Hal ini tergambar dari dua fenomena berikut: � Saat awal, seorang penantang selalu membangun kesan bahwa kemenangan
dimungkinkan, sedangkan tokoh yang sedang menjabat mengatakan bahwa pihaknya pasti menang karena program yang dijalankannya sukses.
� Penantang mengatakan agar pemilih jangan duduk berpangku tangan karena nanti “kita” kalah. Sebaliknya pejabat yang sedang berkuasa mengatakan, jangan terlena karena banyak hal yang dapat kita lakukan lagi.10
Arena politik adalah seperti pasar kehidupan. Ada penjual, ada pembeli dan ada barang dan jasa yang ditawarkan dan dicari oleh penjual dan pembeli. Dalam konteks kampanye, antara kandidat politik dan para pemilik. Di pasar ada kompetisi dan dengan sendirinya ada pemasaran. Di arena politik ada seleksi dan persaingan, dan dengan sendirinya ada pemasaran politik yang bagus, sedang atau bahkan buruk.
Arnold Steinberg, seorang pakar Ilmu Politik menyampaikan bahwa kampanye politik modern adalah cara menarik dan meyakinkan yang digunakan para warga negara yang mengajukan diri atau dipromosikan oleh komunitasnya untuk menjadi calon pemimpin dalam demokrasi semacam Pilkada. Penampilan selama kampanye dan di luar kampanye akan
10 , hlm. 242-244. Ibid
118 119
dijadikan dasar pertimbangan oleh para pemilih untuk menentukan siapa yang akan menjadi eksekutif atau pelaksana mandat suara orang banyak.
Sebab, Politik adalah praktik atau pekerjaaan menjalankan urusan orang banyak yaitu melaksanakan atau mencari legitimasi kekuasaan untuk diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan pelayan sekaligus pelaksana dalam urusan kebaikan bersama. Pilkada atau Pemilihan kepala daerah–mengacu pada arena, logika, dan ekspektasi politik, dalam hal ini tumbuhnya pemahaman akan munculnya “kampanye pasca modern” yang menyudahi “kampanye modern”. Kampanye pasca-modern dimungkinkan oleh terjadinya gelombang ketiga demokratisasi yang menggejala di seluruh dunia mulai tahun 1974. 11
Jenis kampanye tradisonal antara lain kampanye luar ruang dan dalam ruang seperti mengunjungi pasar-pasar tradisional, mengikuti acara keagamaan dan olah raga. Bentuk lainnya adalah memfilmkan dan menyiarkan kampanye kandidat dan tim sukses dalam bentuk iring-iringan mobil di jalan-jalan dengan dilatari bunyi petasan guna menarik perhatian massa. Namun ada efek negatifnya, jenis kampanye jalanan seperti ini dimanfaatkan oleh lawan politik untuk upaya pembunuhan seperti yang pernah dialami calon presiden Chen Shuibein tahun 2004.
Letusan petasan itu menyebabkan kameramen televisi dan pasukan pengawal lengah dan dimanfaatkan oleh sniper untuk melakukan kejahatan dan pengacauan. Hal yang hampir sama dialami kandidat presiden Benino Aquino di Filipina yang telah menghilangkan jiwanya. Untuk pengalaman Indonesia, kampanye arak-arakan yang menimbulkan korban jiwa para peserta kampanye menimbulkan opini distrust atau ketidakpercayaan pada penyelenggara kampanye.
Bentuk lain kampanye tradisional dan dianggap berbiaya mahal adalah pemasangan spanduk, pamlet, bendera, baliho, stiker dan pesan di kendaraan bergerak dan panggung hiburan di lapangan.
Menurut peneliti komunikasi politik Fritz Plasser and Gunda Plasser, ada perbedaan yang mendasar antara kampanye modern dengan kampanye pasca-modern, yaitu (i) Dalam kampanye modern waktu yang dibutuhkan bisa satu bulan, dua bulan, tiga bulan, atau dst., � Sedangkan kampanye pasca-modern tidak mengenal batas waktu, sepanjang waktu, karena berlangsung terus menerus tanpa jeda dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya (sepanjang waktu adalah kampanye).
(ii) Kampanye modern membutuhkan dana yang besar karena masa kampanye berlangsung cukup panjang, sedangkan kampanye pasca-modern menuntut biaya yang lebih besar akibat ketiadaan batas waktu yang jelas.
(iii) Penyokong utama dalam kampanye modern adalah media televisi (terutama perebutan jam-jam tayang utama, prime-time, oleh para kandidat untuk mempromosikan dirinya), dalam kampanye pasca modern peran televisi tereduksi dengan peran multimedia (TV, media cetak, internet, milis, sms, dll).
(iv) “Logika media” dalam kampanye modern berubah menjadi “logika pemasaran” dalam kampanye pasca-modern. Dalam “logika media” masyarakat diperlakukan sebagai “audiens” yang harus dipertahankan. Ketika “logika media” pada “kampanye modern” berubahnya menjadi “logika pemasaran” pada iklim “kampanye pasca-modern,” maka kemudian masyarakat bukan lagi menjadi “audiens” tetapi berubah menjadi “konsumen.”
Secara umum ada lima alat untuk menyampaikan produk politik kepada pasar yaitu calon pemilih kita, yaitu:
11 Lihat Arnold Steinberg, (1981) Kampanye Politik dalam Praktek . Jakarta: PT Intermasa, hlm. 1. Lihat juga Leo Agustino, (2005) “PILKADA Langsung: Beberapa Catatan” dalam ANALISIS CSIS, “Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal”, Jakarta, Vol. 34, No. 2, hlm. 126-127.
Selanjutnya kita bisa belajar dari peneliti She dan Burton, setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan produk politik dalam kampanye, yakni: 1. Memperhitungkan Konsistensi pada disiplin pesan. Tim media harus menjaga agar
unsur-unsur produk politik yang disampaikan tetap berada di bawah payung positioning yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, selama kampanye Presiden Amerika tahun 2000, Bush senantiasa fokus pada “leadership” sebagai positioning. Kebijakan ekonomi, kebutuhan mengubah sistem pendidikan, pemotongan pajak, dan lain-lain dikemas sedemikian rupa untuk mendukung positioning tersebut. Dimensi kualitas person yang dimunculkan juga konsisten dengan kandidat, termasuk catatan masa silamnya, dan konsisten pula dengan pandangan dan tindakan sejumlah pendukung Bush sebagai kandidat presiden.
2. Memperhitungkan Efisiensi biaya, khususnya untuk pemasangan iklan. Efisiensi bukan semata-mata diukur dari jumlah audiens yang bisa dicapai oleh sebuah media, melainkan berdasar jumlah pemilih yang dibidik atau persuadable voters.
3. Memperhitungkan Timing atau momentum. Masalah momentum ini penting, khususnya dalam melontarkan isu-isu tertentu dan bereaksi terhadap pesaing. Reaksi yang terlalu cepat mungkin juga tidak efektif karena belum semua segmen pasar “ngeh” dengan isu yang dilontarkan pesaing. Tetapi reaksi yang terlambat juga berbahaya karena tidak bisa lagi mengubah pandangan audiens yang terlanjur percaya dengan isu tersebut.
4. Memperhitungkan Pengemasan. Bagaimana sebuah substansi dikemas meliputi tiga hal, yakni struktur (susunan dari pesan yang ingin disampaikan), format (suara, visual, dan unsur gerak), dan sumber (siapa, bagaimana menyampaikan pesan). Tim juga memilih tipe-tipe kampanye sesuai perkembangan situasi, yaitu: � Kampanye positif, yakni kampanye dengan menyampaikan keunggulan dari sebuah
kontenstan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Francois Mitrand ketika berkampanye memperebutkan jabatan Presiden Perancis, yakni dengan pesan quiet force atau kekuatan dalam kesejukkan.
� Kampanye komparatif menggambarkan diferensiasi antar kontestan. Inilah yang dilakukan oleh Bill Clinton untuk menghadapi tantangan Bob Dole untuk memperebutkan kursi Presiden Amerika.
� Kampanye menyerang adalah kampanye dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan lawan.
5. Memperhitungkan Permainan ekspresi. Kampanye politik harus dilakukan dengan optimisme yang terus-menerus sampai detik-detik terakhir bahwa kemenangan ada di tangan. Karena itu, kampanye politik harus dapat mengontrol ekspektasi. Hal ini tergambar dari dua fenomena berikut: � Saat awal, seorang penantang selalu membangun kesan bahwa kemenangan
dimungkinkan, sedangkan tokoh yang sedang menjabat mengatakan bahwa pihaknya pasti menang karena program yang dijalankannya sukses.
� Penantang mengatakan agar pemilih jangan duduk berpangku tangan karena nanti “kita” kalah. Sebaliknya pejabat yang sedang berkuasa mengatakan, jangan terlena karena banyak hal yang dapat kita lakukan lagi.10
Arena politik adalah seperti pasar kehidupan. Ada penjual, ada pembeli dan ada barang dan jasa yang ditawarkan dan dicari oleh penjual dan pembeli. Dalam konteks kampanye, antara kandidat politik dan para pemilik. Di pasar ada kompetisi dan dengan sendirinya ada pemasaran. Di arena politik ada seleksi dan persaingan, dan dengan sendirinya ada pemasaran politik yang bagus, sedang atau bahkan buruk.
Arnold Steinberg, seorang pakar Ilmu Politik menyampaikan bahwa kampanye politik modern adalah cara menarik dan meyakinkan yang digunakan para warga negara yang mengajukan diri atau dipromosikan oleh komunitasnya untuk menjadi calon pemimpin dalam demokrasi semacam Pilkada. Penampilan selama kampanye dan di luar kampanye akan
10 Ibid, hlm. 242-244.
120 121
glandangan dan anak jalanan; peralatan dapur untuk membuat sistem dapur dhuafa bagi anak jalanan dan tuna wisma; resep makanan cemilan untuk diproduksi beserta peralatan teknisnya, bibit tanaman, bibit ternak, buku praktis usaha kreatif dan pemasarannya. Hal ini bukan dikategorikan sebagai biaya politik untuk membangun kedekatan dan social enterpenurship, atau pro bono publik, bukan politik uang, karena bentuknya hadiah, sama halnya memberikan hadiah pada tamu, teman yang ulang tahun. Sedangkan politik uang adalah langsung memberikan uang tunai kepada calon pemilih, artinya membeli suara yang dianggap tidak etis.
Dalam menjalankan kampanye berbiaya murah, kandidat kepala daerah
perempuan perlu memiliki Pengetahuan Kandidat tentang Push dan Pull Marketing dalam Kampanye.
Kita dapat belajar dari peneliti komunikasi politik Sea dan Burton yang menemumukan
adanya push marketing yaitu upaya pendorong agar produk politik dapat menyentuh para pemilih secara langsung atau dengan cara yang lebih costomized atau personal, dalam hal ini kontak langsung dan cara costomized mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: 1. Mengarahkan para pemilih menuju suatu tingkat kognitif, afeksi dan psikomotorik yang
berbeda dibandingkan dengan bentuk kampanye lainnya. Cakadap yang berbicara langsung akan memberikan efek yang berbeda dibandingkan dengan melalui iklan. Untuk itu Cakadap perlu mendatangi supir taksi, warung, restoran, pedagang di pasar, kepala sekolah, dst. yang akan berbicara dengan setiap pelanggan dan komunitasnya tentang ‘kebaikan’ dan kelayakan memilih Cakadap karena telah dan akan membuat pembenahan di daerahnya.
2. Kontak langsung memungkinkan pembicaraan dua arah, melakukan persuasi dengan pendekatan verbal dan non-verbal seperti tampilan, ekpresi wajah, bahasa tubuh, dan isyarat-isyarat fisik lainnya.
3. Menghumaniskan kandidat sebagai bukan saja calon yang dikenal danamun yang dipercaya akan dipilih karena kedekaan pribadi.
4. Meningkatkan antusiasme massa dan menarik perhatian media massa.13 Apa itu Pull Marketing? Menurut Adman Nursal, pendekatan pull marketing terdiri
dari dua cara penggunaan media dan jaringan sahabat, yaitu dengan membayar murah dan tanpa membayar sama sekali. Pendekatan ini sangat menentukan pembentukan citra sebuah kontestan dalam kampanye politik, karena meliputi berbagai aspek yang sederhana karena mengangkat faktor “hati dan kedekatan”, persahabatan dan kepercayaan, maka faktor kedekatan dengan pemilih sangat penting agar pendekatan ini berbiaya murah. Faktor penarik suara berbiaya murah ini dijalankan dalam bentuk: Kawan …..kandidat, sahabat …kandidat, Pro…kandidat, Peduli Anak dan Keluarga, dst.
Kegiatan lain kampanye berbiaya murah, dari rakyat untuk rakyat, dengan dukungan sponsor dan filantroper (dermawan) dalam bentuk kegiatan kebudayaan (pentas seni, panen raya, konser musik); kegiatan olahraga (gerak jalan santai, sepeda santai); kegiatan sosial (bazar, donor darah, perlombaan, hari ulang tahun; dan atau - kampanye melalui media sosial. Setiap calon perempuan perlu mencatat siapa yang berulang tahun dan mengirimkan pesan ucapan selamat, begitu juga yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), musibah dan pindahan rumah. 1.f.Menakar Popularitas, Kapabilitas, Kapasitas dan Elektibilitas dalam Kampanye
Inilah pengertian sederhana konsep popularitas, kapabilitas, kompetensi, akseptabilitas dan elektabilitas. Popularitas sederhananya lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya seseorang, baik dalam arti positif, ataupun negatif. Kapabilitas, artinya juga sama dengan Kompetensi, yaitu Kemampuan. Namun pemaknaan kapabilitas tidak sebatas memiliki keterampilan (skill) namun lebih dari itu, yaitu lebih paham secara mendetail sehingga benar
13 Ibid, hlm. 259.
1. Iklan, yakni cara mengkomunikasikan gagasan-gagasan dan produk-produk politik melalui media massa tertentu oleh kontenstan tertentu dengan memberi bayaran kepada pihak media tersebut. Iklan dapat menjangkau publik luas, bisa diulang, serta dapat dibuat dengan sangat ekspresif, motif, dan dramatis. Iklan bermanfaat untuk membangun awaraness, membuat perundingan, dan mengingatkan kembali. Dengan demikian, iklan selain dapat memberi informasi juga merupakan alat untuk mempersuasi khalayak. Contoh iklan adalah iklan media elektronik, iklan layar lebar, brosur, booklet, poster, leaftlet, bendera, spanduk, billboard, dan lain-lain.
2. Direct marketing atau pemasaran langsung adalah penggunaan surat, telepon, dan alat-alat kontak non-personal lainnya untuk berkomunikasi atau meminta respon orang yang dihubungi mengenai gagasan atau produk politik tertentu. Contohnya, adalah surat, kontak telepon, dan email. Karakter dari direct marketing adalah customized (pesan bisa disesuaikan dengan individu sasaran) dan selalu baru. Metode ini sangat penting untuk membidik orang-orang penting di media massa dan influencer. Tetapi metode ini juga dapat digunakan untuk menghubungi satu persatu pemilih.
3. Special event adalah event khusus yang diadakan untuk mengumpulkan para pemilih atau pihak-pihak tertentu sebagai ajang untuk menyampaikan gagasan atau produk politik. Kelebihan spesial event adalah mampu menampilkan unsur drama dan unsur-unsur lainnya yang dapat mempengaruhi afeksi dan emosi para hadirin dan para penyaji dapat merespon dan berinteraksi dengan massa. Dengan kelebihan ini, special event dapat memberikan multiplier effect atau efek berganda pasca even, yakni menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut dan menjadi daya tarik untuk pemberitaan pers. Contohnya, adalah rapat umum, event hiburan, kontes, pertemuan khusus untuk memperingati peristiwa atau tokoh tertentu, dan sebagainya.
4. Personal contact atau kontak personal adalah interaksi tatap muka dengan orang-orang tertentu untuk menyampaikan gagasan atau produk politik, misalnya ,obrolan ramah-tamah, lobi politik, presentasi personal, pertemuan terbatas, dsb. Kelebihan metode ini tentu saja pada kemungkinan masing-masing pihak untuk memberikan tanggapan nonverbal, dapat menerima dan memberi respon langsung, dan memungkinkan diskusi berkembang. Kontak personal juga penting untuk menjangkau media massa dan influencer.
5. Public relation adalah berbagai program yang didesain untuk agar pasar–pemilih, media massa, dan influencer � mempercayai produk politik sebuah kontestan dengan mengkomunikasikan informasi dan kesan yang kredibel. Contohnya, press kits, pidato, seminar, buku, lobi, media identitas, majalah kontestan, konferensi pers, event media, dsb. Kelebihan dari metode ini adalah kredibilitasnya yang tinggi dan memungkinkan untuk menjangkau beberapa pihak yang selama ini menolak. Metode ini juga penting untuk menjangkau media massa dan influencer.12
Pro Bono Publik: Relatif Murah & Efektif?
Murah itu relatif. Caranya adalah dengan membangun model Jaringan 1:10: 20: 40. Cara murah dan efektif bagi Cakadap untuk memenangkan Pemilukada adalah dengan kiat berkampanye jauh-jauh hari diantara dua Pemilukada dengan tips calon mendatangi tokoh pemilih untuk meyakinkannya dalam bentuk sajian kegiatan Pro Bono Publik (kegiatan inovatif untuk kemanfaatan orang banyak) dan kemudian tokoh pertama I ni diharapkan dapat memberikan sugesti dan persetujuan kepada minimal 10 orang disekitarnya untuk memilih seorang kandidat, kemudian 10 orang ini mempengaruhi pasangannya menjadi 20 orang, kemudian mempengaruhi minimal 20 orang anak/kerabat yang punya hak pilih sehingga paling kurang terkumpul 40 orang, dan begitu seterusnya.
Untuk mendekati tokoh masyarakat ini bisa dengan memberikan souvenir atau barang bermanfaat sebagai cindera mata atau modal kerja. Misalkan: sperangkat alat untuk membuat batik dan kain lokal tradisonal untuk usaha kreatif ekonomis dan bantuan pro bono publik bagi
12 Ibid, hlm. 234-238
120 121
glandangan dan anak jalanan; peralatan dapur untuk membuat sistem dapur dhuafa bagi anak jalanan dan tuna wisma; resep makanan cemilan untuk diproduksi beserta peralatan teknisnya, bibit tanaman, bibit ternak, buku praktis usaha kreatif dan pemasarannya. Hal ini bukan dikategorikan sebagai biaya politik untuk membangun kedekatan dan social enterpenurship, atau pro bono publik, bukan politik uang, karena bentuknya hadiah, sama halnya memberikan hadiah pada tamu, teman yang ulang tahun. Sedangkan politik uang adalah langsung memberikan uang tunai kepada calon pemilih, artinya membeli suara yang dianggap tidak etis.
Dalam menjalankan kampanye berbiaya murah, kandidat kepala daerah
perempuan perlu memiliki Pengetahuan Kandidat tentang Push dan Pull Marketing dalam Kampanye.
Kita dapat belajar dari peneliti komunikasi politik Sea dan Burton yang menemumukan
adanya push marketing yaitu upaya pendorong agar produk politik dapat menyentuh para pemilih secara langsung atau dengan cara yang lebih costomized atau personal, dalam hal ini kontak langsung dan cara costomized mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: 1. Mengarahkan para pemilih menuju suatu tingkat kognitif, afeksi dan psikomotorik yang
berbeda dibandingkan dengan bentuk kampanye lainnya. Cakadap yang berbicara langsung akan memberikan efek yang berbeda dibandingkan dengan melalui iklan. Untuk itu Cakadap perlu mendatangi supir taksi, warung, restoran, pedagang di pasar, kepala sekolah, dst. yang akan berbicara dengan setiap pelanggan dan komunitasnya tentang ‘kebaikan’ dan kelayakan memilih Cakadap karena telah dan akan membuat pembenahan di daerahnya.
2. Kontak langsung memungkinkan pembicaraan dua arah, melakukan persuasi dengan pendekatan verbal dan non-verbal seperti tampilan, ekpresi wajah, bahasa tubuh, dan isyarat-isyarat fisik lainnya.
3. Menghumaniskan kandidat sebagai bukan saja calon yang dikenal danamun yang dipercaya akan dipilih karena kedekaan pribadi.
4. Meningkatkan antusiasme massa dan menarik perhatian media massa.13 Apa itu Pull Marketing? Menurut Adman Nursal, pendekatan pull marketing terdiri
dari dua cara penggunaan media dan jaringan sahabat, yaitu dengan membayar murah dan tanpa membayar sama sekali. Pendekatan ini sangat menentukan pembentukan citra sebuah kontestan dalam kampanye politik, karena meliputi berbagai aspek yang sederhana karena mengangkat faktor “hati dan kedekatan”, persahabatan dan kepercayaan, maka faktor kedekatan dengan pemilih sangat penting agar pendekatan ini berbiaya murah. Faktor penarik suara berbiaya murah ini dijalankan dalam bentuk: Kawan …..kandidat, sahabat …kandidat, Pro…kandidat, Peduli Anak dan Keluarga, dst.
Kegiatan lain kampanye berbiaya murah, dari rakyat untuk rakyat, dengan dukungan sponsor dan filantroper (dermawan) dalam bentuk kegiatan kebudayaan (pentas seni, panen raya, konser musik); kegiatan olahraga (gerak jalan santai, sepeda santai); kegiatan sosial (bazar, donor darah, perlombaan, hari ulang tahun; dan atau - kampanye melalui media sosial. Setiap calon perempuan perlu mencatat siapa yang berulang tahun dan mengirimkan pesan ucapan selamat, begitu juga yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), musibah dan pindahan rumah.
Inilah pengertian sederhana konsep popularitas, kapabilitas, kompetensi, akseptabilitas dan elektabilitas. Popularitas sederhananya lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya seseorang, baik dalam arti positif, ataupun negatif. Kapabilitas, artinya juga sama dengan Kompetensi, yaitu Kemampuan. Namun pemaknaan kapabilitas tidak sebatas memiliki keterampilan (skill) namun lebih dari itu, yaitu lebih paham secara mendetail sehingga benar
13 Ibid, hlm. 259.
1. Iklan, yakni cara mengkomunikasikan gagasan-gagasan dan produk-produk politik melalui media massa tertentu oleh kontenstan tertentu dengan memberi bayaran kepada pihak media tersebut. Iklan dapat menjangkau publik luas, bisa diulang, serta dapat dibuat dengan sangat ekspresif, motif, dan dramatis. Iklan bermanfaat untuk membangun awaraness, membuat perundingan, dan mengingatkan kembali. Dengan demikian, iklan selain dapat memberi informasi juga merupakan alat untuk mempersuasi khalayak. Contoh iklan adalah iklan media elektronik, iklan layar lebar, brosur, booklet, poster, leaftlet, bendera, spanduk, billboard, dan lain-lain.
2. Direct marketing atau pemasaran langsung adalah penggunaan surat, telepon, dan alat-alat kontak non-personal lainnya untuk berkomunikasi atau meminta respon orang yang dihubungi mengenai gagasan atau produk politik tertentu. Contohnya, adalah surat, kontak telepon, dan email. Karakter dari direct marketing adalah customized (pesan bisa disesuaikan dengan individu sasaran) dan selalu baru. Metode ini sangat penting untuk membidik orang-orang penting di media massa dan influencer. Tetapi metode ini juga dapat digunakan untuk menghubungi satu persatu pemilih.
3. Special event adalah event khusus yang diadakan untuk mengumpulkan para pemilih atau pihak-pihak tertentu sebagai ajang untuk menyampaikan gagasan atau produk politik. Kelebihan spesial event adalah mampu menampilkan unsur drama dan unsur-unsur lainnya yang dapat mempengaruhi afeksi dan emosi para hadirin dan para penyaji dapat merespon dan berinteraksi dengan massa. Dengan kelebihan ini, special event dapat memberikan multiplier effect atau efek berganda pasca even, yakni menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut dan menjadi daya tarik untuk pemberitaan pers. Contohnya, adalah rapat umum, event hiburan, kontes, pertemuan khusus untuk memperingati peristiwa atau tokoh tertentu, dan sebagainya.
4. Personal contact atau kontak personal adalah interaksi tatap muka dengan orang-orang tertentu untuk menyampaikan gagasan atau produk politik, misalnya ,obrolan ramah-tamah, lobi politik, presentasi personal, pertemuan terbatas, dsb. Kelebihan metode ini tentu saja pada kemungkinan masing-masing pihak untuk memberikan tanggapan nonverbal, dapat menerima dan memberi respon langsung, dan memungkinkan diskusi berkembang. Kontak personal juga penting untuk menjangkau media massa dan influencer.
5. Public relation adalah berbagai program yang didesain untuk agar pasar–pemilih, media massa, dan influencer � mempercayai produk politik sebuah kontestan dengan mengkomunikasikan informasi dan kesan yang kredibel. Contohnya, press kits, pidato, seminar, buku, lobi, media identitas, majalah kontestan, konferensi pers, event media, dsb. Kelebihan dari metode ini adalah kredibilitasnya yang tinggi dan memungkinkan untuk menjangkau beberapa pihak yang selama ini menolak. Metode ini juga penting untuk menjangkau media massa dan influencer.12
1.e.Mengenal Jenis Kampanye Pro Bono Publik: Relatif Murah & Efektif?
Murah itu relatif. Caranya adalah dengan membangun model Jaringan 1:10: 20: 40. Cara murah dan efektif bagi Cakadap untuk memenangkan Pemilukada adalah dengan kiat berkampanye jauh-jauh hari diantara dua Pemilukada dengan tips calon mendatangi tokoh pemilih untuk meyakinkannya dalam bentuk sajian kegiatan Pro Bono Publik (kegiatan inovatif untuk kemanfaatan orang banyak) dan kemudian tokoh pertama I ni diharapkan dapat memberikan sugesti dan persetujuan kepada minimal 10 orang disekitarnya untuk memilih seorang kandidat, kemudian 10 orang ini mempengaruhi pasangannya menjadi 20 orang, kemudian mempengaruhi minimal 20 orang anak/kerabat yang punya hak pilih sehingga paling kurang terkumpul 40 orang, dan begitu seterusnya.
Untuk mendekati tokoh masyarakat ini bisa dengan memberikan souvenir atau barang bermanfaat sebagai cindera mata atau modal kerja. Misalkan: sperangkat alat untuk membuat batik dan kain lokal tradisonal untuk usaha kreatif ekonomis dan bantuan pro bono publik bagi
12 Ibid, hlm. 234-238
122 123
mulai dari orang kecil dikaki gunung, sampai ke SBY di istana Negara. Tapi apakah dia memiliki elektabilitas untuk maju sebagai Calon Presiden tahun 2014 ?
Orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik secara meluas dalam masyarakat. Namun untuk dapat dikenal secara luas, perlu ada usaha untuk memperkenalkan. Di sini publikasi dan kampanye memegang peranan penting. Ada orang baik, yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang memperkenalkan menjadi tidak elektabel. Sebaliknya, orang yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepat.
Maka itu, dalam hal ini tergantung pada dua aspek. Pertama, teknik kampanye yang dipergunakan. Kedua, tingkat kematangan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum berkembang, kecocokan profesi tidak menjadi persoalan. Sementara dalam masyarakat yang relative maju professi calon menjadi cukup penting. Uraian ini perlu dikemukakan dengan maksud untuk memperjelas bagi mereka yang ingin maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pada waktu yang akan datang. Begitu juga bagi juru kampanyenya.
Hal yang mudah dan perlu diingat, tidak semua kampanye berhasil meningkatkan elektabilitas. Ada kampanye yang menyentuh perasaan, ada kampanye yang tidak menyentuh kepentingan rakyat. Ada kampanye yang kosong ada kampanye yang berbobot, karena kejelasannya menunjukkan cara apa yang akan ditempuh untuk melakukan perubahan atau perbaikan keadaan, mengapa, bagaimana, oleh siapa, kapan akan dilakukan. Tidak hanya jargon kosong dan pernyataan tanpa solusi dan kebersamaan.
Kampanye yang menyentuh kapentingan rakyat secara sepesifik misalnya kaum ibu dan pasangan suami istri yang bekerja, misalnya bisa diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas kaum kelas menengah diperkotaan. Tapi kampanye asal kampanye, tanpa menampilkan kinerja tokoh atau menggunakan kata-kata yang tidak relevan atau yang tidak dapat dipahami rakyat, nampaknya dapat berakibat pada ditinggalkan oleh peilih.
1.g. Kiat Menguasai Artikulasi dan Agregasi Kepentingan dalam Kampanye Politik.
Ketika akan mempersiapkan kampanye politik, tim dan kandidat perlu mempelajari bagaimana asal dan usul tentang artikulasi dan agregasi kepentingan yang berkembang di daerah pemilihannya. Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat. Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan, penyampaian atau ekspresi berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif dan eksekutif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik. Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.15
Ada kiatnya, artikulasi kepentingan yang baik mestinya: Konkret (nyata), spesifik (jelas ditujukan kepada pihak siapa), partikular (jelas dilakukan oleh siapa), instrumental (jelas menunjukan cara untuk mencapai dan mengubah sesuatu). Kemudian agregasi kepentingan yang baik melalui proses seleksi gagasan yang terbaik, melakukan kombinasi yang paling sesuai dan ada inovasi atau kebaruan yang diajukan, untuk mendapatkan perhatian publik pemilih. 1.h.Perlunya Keahlian Retorika dan Public Speaking dalam Kampanye
Retorika berasal dari bahasa Greek atau Yunani: �����, rhêtôr, kemudian diserap oleh bahasa Inggris menjadi kata orator (ahli pidato) dan teacher (guru), yang mengacu pada teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan persetujuan, kesepahaman dan dukungan, dengan melalui pengolahan karakter pembicara, emosional atau argumentasi yang
15 Lihat Haryanto, (1986) Sistem Politik Suatu Pengantar . Yogyakarta: Liberty.
benar menguasai kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara mengatasinya. Sedangkan kompetensi, artinya adalah Kemampuan khusus dan unik sebagai seorang individu atau calon pemimpin diharapkan memiliki kemampuan, ketrampilan atau skill.
Akseptabilitas, artinya adalah Keterterimaan, kecocokkan dan kepantasan. Kata ini berasal dari "peminjaman" kata Accetability. Elektabilitas, ini adalah kata yang sulit untuk diterjemahkan karena sebelumnya tidak terdapat dalam kamus bahasa Indonesia, namun bila diartikan, Elektabilitas adalah "Ketertarikan yang dipilih" bukan sesuatu yang sangat buruk (elek, bahasa Jawa). Sesuatu barang atau orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah yang terpilih dan disukai oleh masyarakat.14
Selanjutnya, jika kita analisis efektifitas sebuah kampanye politik, ada gejala seorang kandidat yang katanya sedang berkampanye namun sebenarnya belum atau bukan berkampanye secara cerdas dan meyakinkan para pemilih, khususnya pemilih mengambang yang kalkulatif dan rasional. Apa yang dilakukan dengan memasang poster, spanduk, baleho, bendera, stiker, dianggap seperti membuang garam ke laut. Pemilih tidak tertarik dengan hal yang biasa-biasa saja.
Cara lama itu mungkin malah disebut menyampah. Mereka sesungguhnya belum berkampanye, walaupun sudah membagi kalender dengan wajah narsisnya, ada yang mulai turun ke desa-desa, atau melemparkan jargon-jargon dan harapan-harapan hampa melalui media massa. Istilah-istilah yang dipergunakan banyak yang masih sulit dicerna rakyat biasa. Bahasa yang diucapkan masih bergaya puisi, bahasa dewa atau pepesan kosong, tanpa penjelasan atau gambar soal sebelum dan sesudah perubahan yang diinginkan. Pesannya tidak komunikatif, tidak kontras dan tidak jelas apa maunya.
Sebagai contoh ada lulusan S2 dari sebuah perguruan tinggi di USA, datang berkampanye politik ke suatu daerah dengan gaya mengakunya sebagai seorang tokoh nasional. Tokoh politik karbitan ini mengatakan “untuk pembangunan kita memerlukan secure and peace....(mirip kata-kata Vicky atau Vickyisasi)...Kita perlu sebuah ‘ruang’ yang aman dan damai……”. Kemudian Kita Harus anti-Revolusi Hijau. Pendengar menjadi bingung dengan kata-kata asing tersebut, gelisah dan mengantuk, bertanya di dalam hati, apa maunya orang tersebut karena sulit mengerti istilah yang dipergunakan. Konon pula, bagaimana pula dengan rakyat umum di desa-desa dan kota-kota. Kalau rakyat pemilih tidak tahu apa yang dikatakan, untuk apa ada kampanye?. Tidak ada kesan sama sekali, apa kebaruan yang akan dilakukan, cara apa yang akan ditempuh oleh siapa, kapan dan bagaimana?.
Pertanyaan yang perlu kita kemukakan, apa yang menjadi tujuan dari kampanye itu? Apakah sekedar untuk popularitas dengan sering tampil, atau untuk meningkatkan elektabilitas? Istilah popularitas dan elektabilitas dalam masyarakat memang sering disama-artikan. Padahal keduanya mempunyai makna dan konotasi yang berbeda, meskipun keduanya mempunyai kedekatan dan korelasi yang besar.
Popularitas lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya seseorang, baik dalam arti positif, ataupun negatif. Sementara elektabilitas berarti kesediaan orang memilihnya untuk jabatan tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jenis jabatan yang ingin diraih. Elektabiltas untuk menjadi gubernur tidak sama dengan elektabilitas untuk jabatan Ketua PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia).
Dalam masyarakat, sering diartikan, orang yang populer dianggap mempunyai elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas tinggi adalah orang yang populer. Memang kedua konstatasi ini ada benarnya. Tapi tidak selalu demikian. Popularitas dan elektabilitas tidak selalu berjalan seiring. Adakalanya berbalikan. Orang menjadi popular karena sering tampil di depan umum. Sering terlibat dengan persoalan-persoalan publik. Bagaimana dia tampil, merupakan persoalan lanjutan untuk menilai elektabilitasnya. Kalau tampilnya sebagai pelaku kriminal, sebagai koruptor atau karena tindakan yang melanggar etika publik, maka pengaruhnya terhadap elektabilitas tentu saja negatif. Aceng Fikri sekarang sudah menjadi sangat populer. Sudah dikenal secara meluas,
14 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) dengan rujukan situs website: http://kbbi.web.id/
122 123
mulai dari orang kecil dikaki gunung, sampai ke SBY di istana Negara. Tapi apakah dia memiliki elektabilitas untuk maju sebagai Calon Presiden tahun 2014 ?
Orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik secara meluas dalam masyarakat. Namun untuk dapat dikenal secara luas, perlu ada usaha untuk memperkenalkan. Di sini publikasi dan kampanye memegang peranan penting. Ada orang baik, yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang memperkenalkan menjadi tidak elektabel. Sebaliknya, orang yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepat.
Maka itu, dalam hal ini tergantung pada dua aspek. Pertama, teknik kampanye yang dipergunakan. Kedua, tingkat kematangan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum berkembang, kecocokan profesi tidak menjadi persoalan. Sementara dalam masyarakat yang relative maju professi calon menjadi cukup penting. Uraian ini perlu dikemukakan dengan maksud untuk memperjelas bagi mereka yang ingin maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pada waktu yang akan datang. Begitu juga bagi juru kampanyenya.
Hal yang mudah dan perlu diingat, tidak semua kampanye berhasil meningkatkan elektabilitas. Ada kampanye yang menyentuh perasaan, ada kampanye yang tidak menyentuh kepentingan rakyat. Ada kampanye yang kosong ada kampanye yang berbobot, karena kejelasannya menunjukkan cara apa yang akan ditempuh untuk melakukan perubahan atau perbaikan keadaan, mengapa, bagaimana, oleh siapa, kapan akan dilakukan. Tidak hanya jargon kosong dan pernyataan tanpa solusi dan kebersamaan.
Kampanye yang menyentuh kapentingan rakyat secara sepesifik misalnya kaum ibu dan pasangan suami istri yang bekerja, misalnya bisa diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas kaum kelas menengah diperkotaan. Tapi kampanye asal kampanye, tanpa menampilkan kinerja tokoh atau menggunakan kata-kata yang tidak relevan atau yang tidak dapat dipahami rakyat, nampaknya dapat berakibat pada ditinggalkan oleh peilih.
Politik. Ketika akan mempersiapkan kampanye politik, tim dan kandidat perlu mempelajari
bagaimana asal dan usul tentang artikulasi dan agregasi kepentingan yang berkembang di daerah pemilihannya. Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat. Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan, penyampaian atau ekspresi berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif dan eksekutif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik. Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.15
Ada kiatnya, artikulasi kepentingan yang baik mestinya: Konkret (nyata), spesifik (jelas ditujukan kepada pihak siapa), partikular (jelas dilakukan oleh siapa), instrumental (jelas menunjukan cara untuk mencapai dan mengubah sesuatu). Kemudian agregasi kepentingan yang baik melalui proses seleksi gagasan yang terbaik, melakukan kombinasi yang paling sesuai dan ada inovasi atau kebaruan yang diajukan, untuk mendapatkan perhatian publik pemilih.
dalam Kampanye Retorika berasal dari bahasa Greek atau Yunani: rhêtôr, kemudian diserap
oleh bahasa Inggris menjadi kata orator (ahli pidato) dan teacher (guru), yang mengacu pada teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan persetujuan, kesepahaman dan dukungan, dengan melalui pengolahan karakter pembicara, emosional atau argumentasi yang
15 Lihat Haryanto, (1986) Sistem Politik Suatu Pengantar . Yogyakarta: Liberty.
7. Kiat Menguasai Artikulasi dan Agregasi Kepentingan dalam Kampanye
8. Perlunya Keahlian Retorika dan Public Speaking
benar menguasai kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara mengatasinya. Sedangkan kompetensi, artinya adalah Kemampuan khusus dan unik sebagai seorang individu atau calon pemimpin diharapkan memiliki kemampuan, ketrampilan atau skill.
Akseptabilitas, artinya adalah Keterterimaan, kecocokkan dan kepantasan. Kata ini berasal dari "peminjaman" kata Accetability. Elektabilitas, ini adalah kata yang sulit untuk diterjemahkan karena sebelumnya tidak terdapat dalam kamus bahasa Indonesia, namun bila diartikan, Elektabilitas adalah "Ketertarikan yang dipilih" bukan sesuatu yang sangat buruk (elek, bahasa Jawa). Sesuatu barang atau orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah yang terpilih dan disukai oleh masyarakat.14
Selanjutnya, jika kita analisis efektifitas sebuah kampanye politik, ada gejala seorang kandidat yang katanya sedang berkampanye namun sebenarnya belum atau bukan berkampanye secara cerdas dan meyakinkan para pemilih, khususnya pemilih mengambang yang kalkulatif dan rasional. Apa yang dilakukan dengan memasang poster, spanduk, baleho, bendera, stiker, dianggap seperti membuang garam ke laut. Pemilih tidak tertarik dengan hal yang biasa-biasa saja.
Cara lama itu mungkin malah disebut menyampah. Mereka sesungguhnya belum berkampanye, walaupun sudah membagi kalender dengan wajah narsisnya, ada yang mulai turun ke desa-desa, atau melemparkan jargon-jargon dan harapan-harapan hampa melalui media massa. Istilah-istilah yang dipergunakan banyak yang masih sulit dicerna rakyat biasa. Bahasa yang diucapkan masih bergaya puisi, bahasa dewa atau pepesan kosong, tanpa penjelasan atau gambar soal sebelum dan sesudah perubahan yang diinginkan. Pesannya tidak komunikatif, tidak kontras dan tidak jelas apa maunya.
Sebagai contoh ada lulusan S2 dari sebuah perguruan tinggi di USA, datang berkampanye politik ke suatu daerah dengan gaya mengakunya sebagai seorang tokoh nasional. Tokoh politik karbitan ini mengatakan “untuk pembangunan kita memerlukan secure and peace....(mirip kata-kata Vicky atau Vickyisasi)...Kita perlu sebuah ‘ruang’ yang aman dan damai……”. Kemudian Kita Harus anti-Revolusi Hijau. Pendengar menjadi bingung dengan kata-kata asing tersebut, gelisah dan mengantuk, bertanya di dalam hati, apa maunya orang tersebut karena sulit mengerti istilah yang dipergunakan. Konon pula, bagaimana pula dengan rakyat umum di desa-desa dan kota-kota. Kalau rakyat pemilih tidak tahu apa yang dikatakan, untuk apa ada kampanye?. Tidak ada kesan sama sekali, apa kebaruan yang akan dilakukan, cara apa yang akan ditempuh oleh siapa, kapan dan bagaimana?.
Pertanyaan yang perlu kita kemukakan, apa yang menjadi tujuan dari kampanye itu? Apakah sekedar untuk popularitas dengan sering tampil, atau untuk meningkatkan elektabilitas? Istilah popularitas dan elektabilitas dalam masyarakat memang sering disama-artikan. Padahal keduanya mempunyai makna dan konotasi yang berbeda, meskipun keduanya mempunyai kedekatan dan korelasi yang besar.
Popularitas lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya seseorang, baik dalam arti positif, ataupun negatif. Sementara elektabilitas berarti kesediaan orang memilihnya untuk jabatan tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jenis jabatan yang ingin diraih. Elektabiltas untuk menjadi gubernur tidak sama dengan elektabilitas untuk jabatan Ketua PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia).
Dalam masyarakat, sering diartikan, orang yang populer dianggap mempunyai elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas tinggi adalah orang yang populer. Memang kedua konstatasi ini ada benarnya. Tapi tidak selalu demikian. Popularitas dan elektabilitas tidak selalu berjalan seiring. Adakalanya berbalikan. Orang menjadi popular karena sering tampil di depan umum. Sering terlibat dengan persoalan-persoalan publik. Bagaimana dia tampil, merupakan persoalan lanjutan untuk menilai elektabilitasnya. Kalau tampilnya sebagai pelaku kriminal, sebagai koruptor atau karena tindakan yang melanggar etika publik, maka pengaruhnya terhadap elektabilitas tentu saja negatif. Aceng Fikri sekarang sudah menjadi sangat populer. Sudah dikenal secara meluas,
14 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) dengan rujukan situs website: http://kbbi.web.id/
124 125
Tagline tentunya tidak hanya satu untaian kata. Parpol di Indonesia era reformasi pun sudah memilih dan menentukan tagline partainya sedemikian rupa bahwa tagline ini batasan optimal usaha yang akan dilakukan jika parpol tersebut pegang kekuasaan dan kelola negara. Berikut tagline 12 parpol peserta Pemilu 2014: Partai NasDem: Menggelorakan restorasi Indonesia. Partai PKB: Berkomitmen Indonesia lahir batin. Partai PKS: Meneguhkan cinta kerja dan harmoni. Partai PDIP: Teriakan Indonesia hebat. Partai Golkar: Harapkan suara Golkar suara rakyat. Partai Gerindra: Bertanya kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi?. Partai Demokrat: Bertekad memberi bukti bukan janji. PAN: Terus bekerja untuk rakyat. PPP: Memandu menuju Indonesia berkah. Partai Hanura: Menggugah hati, nurani bicara. PBB: Berseru tegakkan keadilan dan kepastian hukum. PKPI: Berjanji bekerja untuk kemakmuran rakyat.
Seorang calon kepala daerah, presiden atau wapres setiap hari akan ditanya berbagai macam topik dan masalah, apa visi dan misinya. Calon kepala daerah, Capres dan cawapres harus menjawab semua permasalahan bangsa yang muncul. Sekitar 99 persen yang diucapkan calon kepala daerah, capres dan cawapres akan segera dilupakan, tapi ada 1 persen yang melekat dan selalu diingat. Itulah fungsinya slogan!
Berikut adalah contoh tagline dalam kampanye dan daftar frasa pikat politik, yaitu pernyataan-pernyataan terkenal yang pernah dilontarkan berbagai kandidat tokoh politik. "Yes, we can! (Ya, Kita Bisa) "—Slogan Barack Obama pada kampanye presiden 2008. "I like Ike (Saya Suka Kamu)"—Slogan kampanye Presiden Dwight D. Eisenhower, "I'm Ross, and you're the Boss"( Saya Ross dan Anda adalah Bossnya)—kata Ross Perot pada pemilu presiden 1992, "Ask not what your country can do for you—ask what you can do for your country"[6]—Bagian dari pidato pelantikan John F. Kennedy, "In this present crisis, government is not the solution to our problems; government is the problem"—Ronald Reagan.
Kita masih ingat ungkapan"Gitu aja kok repot?"—Semboyan yang dipopulerkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. "Bersama kita bisa."—Slogan Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004 (Mirip tag-linenya Obama 2008,-sama-sama dari Partai Demokrat). Jika kita flashback ke tahun 2009 kita pasti tak asing dengan slogan “Lanjutkan”, ya itu adalah slogan pasangan SBY dan Budiono ketika Pemilu di Indonesia. Pada Pemilu tahun 2012 di Amerika Serikat, Obama dan Biden juga menggunakan slogan “Forward” yang artinya kurang lebih sama dengan “Lanjutkan”. Hasilnya kedua pasangan tersebut menjadi pemenang dalam pemilu. "Lanjutkan!"—Slogan kampanye pencalonan diri Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2009. "Lebih Cepat Lebih Baik"—Slogan kampanye Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pemilu presiden 2009, menyindir kelambanan Yudhoyono.
Juga tagline- "Semua bisa diatur."—Slogan populer Wakil Presiden Adam Malik. Veni, vidi, vici / "Aku datang, aku lihat, aku menang"—Ditulis oleh Julius Caesar pada tahun 47 SM . "Aku telah menyiapkan 100 peti mati. 99 untuk pejabat yang korup dan 1 untuk diriku sendiri."—Zhu Rongji, Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok 1998–2003. “Tidak penting apakah dia kucing putih atau hitam; selama dia masih bisa menangkap tikus, dia kucing yang hebat."—Deng Xiaoping berbicara tentang liberalisasi ekonomi.
Contoh slogan lain yang menarik untuk dicermati adalah “Jakarta Baru”, slogan tersebut merupakan slogan Jokowi dan Ahok di Pilkada Jakarta 2012. Slogan tersebut jika disingkat akan menjadi JB yang merupakan inisial dari pasangan tersebut yaitu Jokowi dan Basuki. Dipercaya atau tidak slogan tersebut membawa pasangan tersebut menjadi Jakarta 1 dan 2. 1.i. Kiat Memetakan Tujuan dan Model Kampanye Politik
Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavioral)dari kandidat dan tim sukses yang akan menjalankan kampanye politik, yaitu: 1. Kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran
pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu.
mendukung suatu pernyataan. Secara umum retorika adalah seni atau teknik persuasi politik yang bersifat ide transaksional (pertukaran gagasan) dan transformasional (membagi dan merubah nilai lama dan baru), dengan menggunakan lambang kata-kata untuk mengidentifikasi gagasan pembicara untuk dimengerti oleh pendengar melalui pidato.16
Selanjutnya public-speaking adalah sebuah bentuk komunikasi yang dilakukan secara lisan tentang suatu hal atau topik di hadapan banyak orang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi, mengubah opini, mengajar, mendidik, memberikan penjelasan serta memberikan informasi kepada masyarakat tertentu pada suatu tempat tertentu.
Sebagai contoh mudah adalah Barack Obama, yang kita kenal sebagai orang berkulit hitam pertama yang bisa menguasai Negeri Paman Sam. Obama muda adalah mahasiswa yang berlatih berbicara di depan komunitasnya, termasuk orang yang pandai berbicara menggerakan pemerintah caunty/distrik-nya untuk membangun drainase yang dalam untuk menanggulangi banjir.
Pandai berbicara bukan dalam arti banyak omong kosong, melainkan beliau mampu mengolah kata-kata sedemikian rupa sehingga apa yang disampaikannya dapat menguasai bawah sadar pendengar, mampu mengubah pola pikir mereka, dan kemudian mempengaruhinya untuk meng-IYA-kan apa yang dikatakan oleh Presiden AS pertama yang ber-almamater-kan SD Menteng, Jakarta Selatan ini.
Selanjutnya, konsultan politik Greg Adams yang pernah menjadi tim sukses Bill Clinton menyatakan dalam retorika dan public speaking memerlukan slogan politik atau "tagline". Hal ini sangat penting dan menentukan bagi kemenangan seorang calon. Menanyakan apakah slogan penting bagi kemenangan capres (calon presiden) atau cakada (calon kepala daerah) sama saja dengan menanyakan apakah seorang pelatih penting bagi sebuah kesebelasan sepak bola. Jawabannya, tentu saja: ya!.
Seorang pelatih sepakbola sangat penting perannya bagi kesebelasannya. Ia tidak masuk gelanggang pertandingan, dia tidak menendang atau berlari mengejar bola. Meskipun tidak ikut bertanding, ia adalah salah satu penentu dalam kemenangan permainan. Peran pelatih dalam sepak bola sama dengan peran slogan dalam kampanye politik. Pelatih sepakbola tidak terlibat dalam kancah pertandingan. Ia memberi semangat dan arah bagi tim kesebelasannya. Itulah fungsi sebuah slogan atau tagline.
Salah satu contoh slogan yang sering muncul dimedia massa adalah slogan dari Pegadaian. Salah satu perusahaan plat merah tersebut memiliki slogan “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Walaupun slogan tersebut seringkali mendapatkan cibiran dari masyarakat, nampaknya Pegadaian tetap menggunakan slogan tersebut dan belum terpikir untuk merubahnya. Anda pasti pernah mendengar slogan “Lambang Makanan Bermutu” ? Ya itu merupakan slogan dari perusahaan makanan dalam kemasan terkenal dari Indonesia, yaitu Indofood. Dengan slogan tersebut, Indofood berkomitmen untuk senantiasa memproduksi makanan dalam kemasan yang berkualitas dan bergizi tinggi untuk masyarakat Indonesia.
Bekerja Bekerja Bekerja” merupakan slogan yang relatif masih baru di Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mana sebelumnya berslogankan “Electricity for a Better Life” atau yang dalam bahasa Indonesia berarti “Listrik Untuk Kehidupan yang Lebih Baik”. Slogan ini terinspirasi oleh motto hidup Dirut PLN saat itu, Dahlan Iskan yaitu “Kerja Kerja dan Kerja”.
Salah satu slogan dalam aspek kehidupan sosial yang tak asing ditelinga masyarakat kita adalah“Dua Anak Cukup” yang merupakan slogan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sebelumnya BKKBN merubah slogannya menjadi “Dua Anak Lebih Baik” tapi ternyata slogan tersebut dirasa kurang komunikatif. “Ini Kandang Kita” merupakan slogan yang tak akan perlu terlupakan oleh masyarakat Indonesia, khusunya yang mencintai sepakbola dan Tim Nasional Indonesia. Sebenarnya itu merupakan sebuah slogan dari sebuah produk untuk Timnas kita di Piala Asia 2007. Pada turnamen tersebut, Indonesia main sangat mengesankan walaupun tidak masuk 8 besar.
16 Lihat Erickson, Keith V. (ed.). (1974). Aristotle: The Classical Heritage of Rhetoric ( NJ:Metuchen, 1974). Cooper, John M. “Rhetoric, Dialectic, and the Passions.”, (1993) In Oxford Studies in Ancient Philosophy 11, hlm. 175-198.
124 125
Tagline tentunya tidak hanya satu untaian kata. Parpol di Indonesia era reformasi pun sudah memilih dan menentukan tagline partainya sedemikian rupa bahwa tagline ini batasan optimal usaha yang akan dilakukan jika parpol tersebut pegang kekuasaan dan kelola negara. Berikut tagline 12 parpol peserta Pemilu 2014: Partai NasDem: Menggelorakan restorasi Indonesia. Partai PKB: Berkomitmen Indonesia lahir batin. Partai PKS: Meneguhkan cinta kerja dan harmoni. Partai PDIP: Teriakan Indonesia hebat. Partai Golkar: Harapkan suara Golkar suara rakyat. Partai Gerindra: Bertanya kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi?. Partai Demokrat: Bertekad memberi bukti bukan janji. PAN: Terus bekerja untuk rakyat. PPP: Memandu menuju Indonesia berkah. Partai Hanura: Menggugah hati, nurani bicara. PBB: Berseru tegakkan keadilan dan kepastian hukum. PKPI: Berjanji bekerja untuk kemakmuran rakyat.
Seorang calon kepala daerah, presiden atau wapres setiap hari akan ditanya berbagai macam topik dan masalah, apa visi dan misinya. Calon kepala daerah, Capres dan cawapres harus menjawab semua permasalahan bangsa yang muncul. Sekitar 99 persen yang diucapkan calon kepala daerah, capres dan cawapres akan segera dilupakan, tapi ada 1 persen yang melekat dan selalu diingat. Itulah fungsinya slogan!
Berikut adalah contoh tagline dalam kampanye dan daftar frasa pikat politik, yaitu pernyataan-pernyataan terkenal yang pernah dilontarkan berbagai kandidat tokoh politik. "Yes, we can! (Ya, Kita Bisa) "—Slogan Barack Obama pada kampanye presiden 2008. "I like Ike (Saya Suka Kamu)"—Slogan kampanye Presiden Dwight D. Eisenhower, "I'm Ross, and you're the Boss"( Saya Ross dan Anda adalah Bossnya)—kata Ross Perot pada pemilu presiden 1992, "Ask not what your country can do for you—ask what you can do for your country"[6]—Bagian dari pidato pelantikan John F. Kennedy, "In this present crisis, government is not the solution to our problems; government is the problem"—Ronald Reagan.
Kita masih ingat ungkapan"Gitu aja kok repot?"—Semboyan yang dipopulerkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. "Bersama kita bisa."—Slogan Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2004 (Mirip tag-linenya Obama 2008,-sama-sama dari Partai Demokrat). Jika kita flashback ke tahun 2009 kita pasti tak asing dengan slogan “Lanjutkan”, ya itu adalah slogan pasangan SBY dan Budiono ketika Pemilu di Indonesia. Pada Pemilu tahun 2012 di Amerika Serikat, Obama dan Biden juga menggunakan slogan “Forward” yang artinya kurang lebih sama dengan “Lanjutkan”. Hasilnya kedua pasangan tersebut menjadi pemenang dalam pemilu. "Lanjutkan!"—Slogan kampanye pencalonan diri Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu presiden 2009. "Lebih Cepat Lebih Baik"—Slogan kampanye Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pemilu presiden 2009, menyindir kelambanan Yudhoyono.
Juga tagline- "Semua bisa diatur."—Slogan populer Wakil Presiden Adam Malik. Veni, vidi, vici / "Aku datang, aku lihat, aku menang"—Ditulis oleh Julius Caesar pada tahun 47 SM . "Aku telah menyiapkan 100 peti mati. 99 untuk pejabat yang korup dan 1 untuk diriku sendiri."—Zhu Rongji, Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok 1998–2003. “Tidak penting apakah dia kucing putih atau hitam; selama dia masih bisa menangkap tikus, dia kucing yang hebat."—Deng Xiaoping berbicara tentang liberalisasi ekonomi.
Contoh slogan lain yang menarik untuk dicermati adalah “Jakarta Baru”, slogan tersebut merupakan slogan Jokowi dan Ahok di Pilkada Jakarta 2012. Slogan tersebut jika disingkat akan menjadi JB yang merupakan inisial dari pasangan tersebut yaitu Jokowi dan Basuki. Dipercaya atau tidak slogan tersebut membawa pasangan tersebut menjadi Jakarta 1 dan 2.
Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavioral)dari kandidat dan tim sukses yang akan menjalankan kampanye politik, yaitu: 1. Kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran
pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu.
9. Kiat Memetakan Tujuan dan Model Kampanye Politik
mendukung suatu pernyataan. Secara umum retorika adalah seni atau teknik persuasi politik yang bersifat ide transaksional (pertukaran gagasan) dan transformasional (membagi dan merubah nilai lama dan baru), dengan menggunakan lambang kata-kata untuk mengidentifikasi gagasan pembicara untuk dimengerti oleh pendengar melalui pidato.16
Selanjutnya public-speaking adalah sebuah bentuk komunikasi yang dilakukan secara lisan tentang suatu hal atau topik di hadapan banyak orang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi, mengubah opini, mengajar, mendidik, memberikan penjelasan serta memberikan informasi kepada masyarakat tertentu pada suatu tempat tertentu.
Sebagai contoh mudah adalah Barack Obama, yang kita kenal sebagai orang berkulit hitam pertama yang bisa menguasai Negeri Paman Sam. Obama muda adalah mahasiswa yang berlatih berbicara di depan komunitasnya, termasuk orang yang pandai berbicara menggerakan pemerintah caunty/distrik-nya untuk membangun drainase yang dalam untuk menanggulangi banjir.
Pandai berbicara bukan dalam arti banyak omong kosong, melainkan beliau mampu mengolah kata-kata sedemikian rupa sehingga apa yang disampaikannya dapat menguasai bawah sadar pendengar, mampu mengubah pola pikir mereka, dan kemudian mempengaruhinya untuk meng-IYA-kan apa yang dikatakan oleh Presiden AS pertama yang ber-almamater-kan SD Menteng, Jakarta Selatan ini.
Selanjutnya, konsultan politik Greg Adams yang pernah menjadi tim sukses Bill Clinton menyatakan dalam retorika dan public speaking memerlukan slogan politik atau "tagline". Hal ini sangat penting dan menentukan bagi kemenangan seorang calon. Menanyakan apakah slogan penting bagi kemenangan capres (calon presiden) atau cakada (calon kepala daerah) sama saja dengan menanyakan apakah seorang pelatih penting bagi sebuah kesebelasan sepak bola. Jawabannya, tentu saja: ya!.
Seorang pelatih sepakbola sangat penting perannya bagi kesebelasannya. Ia tidak masuk gelanggang pertandingan, dia tidak menendang atau berlari mengejar bola. Meskipun tidak ikut bertanding, ia adalah salah satu penentu dalam kemenangan permainan. Peran pelatih dalam sepak bola sama dengan peran slogan dalam kampanye politik. Pelatih sepakbola tidak terlibat dalam kancah pertandingan. Ia memberi semangat dan arah bagi tim kesebelasannya. Itulah fungsi sebuah slogan atau tagline.
Salah satu contoh slogan yang sering muncul dimedia massa adalah slogan dari Pegadaian. Salah satu perusahaan plat merah tersebut memiliki slogan “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Walaupun slogan tersebut seringkali mendapatkan cibiran dari masyarakat, nampaknya Pegadaian tetap menggunakan slogan tersebut dan belum terpikir untuk merubahnya. Anda pasti pernah mendengar slogan “Lambang Makanan Bermutu” ? Ya itu merupakan slogan dari perusahaan makanan dalam kemasan terkenal dari Indonesia, yaitu Indofood. Dengan slogan tersebut, Indofood berkomitmen untuk senantiasa memproduksi makanan dalam kemasan yang berkualitas dan bergizi tinggi untuk masyarakat Indonesia.
Bekerja Bekerja Bekerja” merupakan slogan yang relatif masih baru di Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mana sebelumnya berslogankan “Electricity for a Better Life” atau yang dalam bahasa Indonesia berarti “Listrik Untuk Kehidupan yang Lebih Baik”. Slogan ini terinspirasi oleh motto hidup Dirut PLN saat itu, Dahlan Iskan yaitu “Kerja Kerja dan Kerja”.
Salah satu slogan dalam aspek kehidupan sosial yang tak asing ditelinga masyarakat kita adalah“Dua Anak Cukup” yang merupakan slogan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sebelumnya BKKBN merubah slogannya menjadi “Dua Anak Lebih Baik” tapi ternyata slogan tersebut dirasa kurang komunikatif. “Ini Kandang Kita” merupakan slogan yang tak akan perlu terlupakan oleh masyarakat Indonesia, khusunya yang mencintai sepakbola dan Tim Nasional Indonesia. Sebenarnya itu merupakan sebuah slogan dari sebuah produk untuk Timnas kita di Piala Asia 2007. Pada turnamen tersebut, Indonesia main sangat mengesankan walaupun tidak masuk 8 besar.
16 Lihat Erickson, Keith V. (ed.). (1974). Aristotle: The Classical Heritage of Rhetoric ( NJ:Metuchen, 1974). Cooper, John M. “Rhetoric, Dialectic, and the Passions.”, (1993) In Oxford Studies in Ancient Philosophy 11, hlm. 175-198.
126 127
Model lima tahap ini di atas penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanye yang dengan mudah dapat
dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan sebagai identitas kampanye diantaranya simbol, warna, lagu atau jingle, seragam dan slogan.
2. Tahap berikutnya adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh ketika seseorang telah masuk dalam daftar kandidat anggota legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen.
3. Tahap ketiga partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya relatif sulit dibedakan dengan tahap legitimasi karena ketika seorang kandidat, produk atau gagasan mendapatkan legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak. Partisipasi ini bisa bersifat nyata atau simbolik. Partisipasi nyata ditunjukkan oleh keterlibatan orang-orang dalam menyebarkan pamflet, brosur atau poster, menghadiri demonstrasi yang diselenggarakan sebuah lembaga swadaya masyarakat atau memberikan sumbangan untuk perjuangan partai. Sementara partisipasi simbolik bersifat tidak langsung, misalnya ketika anda menempelkan stiker nama partai tertentu di kaca belakag mobil anda, atau sekedar mengenakan kaos partai tertentu yang dibagikan secara gratis.
4. Tahap penetrasi pada tahap ini seorang kandidat sebuah produk atau sebuah gagasan telah hadir dan mendapat tempat di hati masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya, telah berhasil menarik simpati masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa ia adalah kandidat terbaik dari sekian yang ada. Sebuah kampanye yang ditujukan untuk menentang kebijakan pemerintah mendapat liputan media massa secara luas dan mendapat tanggapan serius pemerintah dengan membuka dialog untuk mencari jalan keluar terbaik.
5. Terakhir tahap distribusi atau sebagai tahap pembuktian. Pada tahap ini tujuan kampanye pada umumnya telah tercapai. Kandidat politik telah mendapat kekuasaan yang mereka cari.Tinggal sekarang bagaimana mereka membuktikan janji-janji mereka pada saat kampanye. Bila mereka gagal melakukan hal itu maka akibat fatal bagi kelangsungan jabatan, produk atau gagasan yang telah diterima masyarakat.
Selain yang di atas, Judith Trent dan Robert Frienderberg menjelaskan tentang The
communicative functions model dalam bukunya yang bertajuk Political Campaign Communication. Mereka adalah praktisi sekaligus pengamat kampanye yang dikonstruksi dari lingkungan politik nyata. Model ini memusatkan analisis pada tahapan kegiatan kampanye. Langkah-langkah dimulai dari surfacing (pemunculan), primary (terpenting), nomination (pemilihan), dan election (pencalonan).
Gambar Model Fungsi Komunikatif Dalam Kampanye Politik
Sumber: Antar Venus, Manajemen Kampanye, 2004.
1. Surfacing (pemunculan) lebih banyak berkaitan dengan membangun landasan tahap berikutnya
seperti: memetakan daerah-daerah yang akan dijadikan tempat kampanye, membangun kontak dengan tokoh-tokoh setempat atau orang-orang ‘kita’ yang berada di daerah tersebut, mengorganisasikan pengumpulan dana dsb. Tahap ini umumnya dimulai begitu seorang secara resmi mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu. Pada tahap ini pula khalayak akan melakukan evaluasi awal terhadap citra kandidat secara umum. Dengan kata lain khalayak akan melakukan uji citra publik terhaap kandidat tersebut.
2. Tahap primary (peluncuran perdana). Pada tahap ini berupaya untuk memfokuskan perhatian khalayak pada kandidat, gagasan atau produk yang telah dimunculkan di arena persaingan. Pada tahap ini mulai melibatkan khalayak untuk mendukung kampanye yang dilaksanakan.
3. Dalam konteks politik yang dijelaskan di atas, tahap primary, merupakan tahap yang paling kritis dan relative “paling mahal”. Dikatakan kritis karena di sini secara ketat bersaing dengan kandidat-kandidat lain di mana dalam proses persaingan itu mungkin saja kita “terlepas ucapan kata” menghamburkan janji-janji yang kemudian tidak dapat kita penuhi. Dikatakan relatif mahal karena
Surfacing Primary Nomination Election
2. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada issue-issue yang menjadi tema kampanye.
3. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah prilaku khalayak secara kongkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara kongkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye.17
Kita dapat juga belajar dari peneliti komunikasi politik Charles U. Larson kampanye dibagi ke dalam tiga kategori yakni: 1. Product-oriented campaigns (commercial campaigns atau corporate campaign) atau
kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh keuntungan finansial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan.
2. Candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaigns (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum. Misal, Kampanye Pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, kampanye kuota perempuan di DPR.
3. Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial.18
Dalam memahami model kampanye ada model the five stages development model. Model ini dianggap yang paling populer dan banyak diterapkan di berbagai belahan dunia. Kepopuleran ini tidak terlepas dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik pada Candidate oriented campaigns, Product-oriented campaigns, dan cause or idea oriented campaigns. Fokus model ini adalah pada tahapan kegiatan kampanye bukan pada proses pertukaran pesan antara pelaku kamapnye atau campaigner dengan peserta sasaran atau campaignee. Pada model ini digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus dilalui sebelum akhirnya kegiatan tersebut berhasil atau gagal mencapai tujuan. Tahapan kegiatan tersebut meliputi identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi.
Gambar Model Perkembangan Lima Tahap Fungsional
17 Penjelasan di atas sama dengan yang dijelaskan oleh Ostergaard yang menyebut ketiga aspek tersebut dengan tiga 3A sebagai kependekan dari: (i) Awareness, yakni menggugah kesadaran, menarik perhatian dan memberi informasi tentang produk, atau gagasan yang dikampanyekan. (ii) Attitude; yakni diarahkan pada perubahan dalam ranah sikap. (iii) Action, yakni tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Lihat, Ibid, hlm. 10 18 Kampanye jenis ketiga di atas dalam istilah Kotler disebut sebagai social change campaigns, yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik terkait. Pada dasarnya berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam kategori kampanye politik dan kampanye produk dapat dimasukkan ke dalam kampanye perubahan sosial. Dengan demikian kampanye ini cakupannya sangat luas. Lihat, Ibid, hlm. 11
Identifikasi
Legitimasi
Partisipasi
Penetrasi
Sumber: Antar Venus, Manajemen Kampanye, 2004.
Distribusi
126 127
Model lima tahap ini di atas penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanye yang dengan mudah dapat
dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan sebagai identitas kampanye diantaranya simbol, warna, lagu atau jingle, seragam dan slogan.
2. Tahap berikutnya adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh ketika seseorang telah masuk dalam daftar kandidat anggota legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen.
3. Tahap ketiga partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya relatif sulit dibedakan dengan tahap legitimasi karena ketika seorang kandidat, produk atau gagasan mendapatkan legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak. Partisipasi ini bisa bersifat nyata atau simbolik. Partisipasi nyata ditunjukkan oleh keterlibatan orang-orang dalam menyebarkan pamflet, brosur atau poster, menghadiri demonstrasi yang diselenggarakan sebuah lembaga swadaya masyarakat atau memberikan sumbangan untuk perjuangan partai. Sementara partisipasi simbolik bersifat tidak langsung, misalnya ketika anda menempelkan stiker nama partai tertentu di kaca belakag mobil anda, atau sekedar mengenakan kaos partai tertentu yang dibagikan secara gratis.
4. Tahap penetrasi pada tahap ini seorang kandidat sebuah produk atau sebuah gagasan telah hadir dan mendapat tempat di hati masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya, telah berhasil menarik simpati masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa ia adalah kandidat terbaik dari sekian yang ada. Sebuah kampanye yang ditujukan untuk menentang kebijakan pemerintah mendapat liputan media massa secara luas dan mendapat tanggapan serius pemerintah dengan membuka dialog untuk mencari jalan keluar terbaik.
5. Terakhir tahap distribusi atau sebagai tahap pembuktian. Pada tahap ini tujuan kampanye pada umumnya telah tercapai. Kandidat politik telah mendapat kekuasaan yang mereka cari.Tinggal sekarang bagaimana mereka membuktikan janji-janji mereka pada saat kampanye. Bila mereka gagal melakukan hal itu maka akibat fatal bagi kelangsungan jabatan, produk atau gagasan yang telah diterima masyarakat.
Selain yang di atas, Judith Trent dan Robert Frienderberg menjelaskan tentang The
communicative functions model dalam bukunya yang bertajuk Political Campaign Communication. Mereka adalah praktisi sekaligus pengamat kampanye yang dikonstruksi dari lingkungan politik nyata. Model ini memusatkan analisis pada tahapan kegiatan kampanye. Langkah-langkah dimulai dari surfacing (pemunculan), primary (terpenting), nomination (pemilihan), dan election (pencalonan).
Gambar Model Fungsi Komunikatif Dalam Kampanye Politik
Sumber: Antar Venus, Manajemen Kampanye, 2004.
1. Surfacing (pemunculan) lebih banyak berkaitan dengan membangun landasan tahap berikutnya
seperti: memetakan daerah-daerah yang akan dijadikan tempat kampanye, membangun kontak dengan tokoh-tokoh setempat atau orang-orang ‘kita’ yang berada di daerah tersebut, mengorganisasikan pengumpulan dana dsb. Tahap ini umumnya dimulai begitu seorang secara resmi mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu. Pada tahap ini pula khalayak akan melakukan evaluasi awal terhadap citra kandidat secara umum. Dengan kata lain khalayak akan melakukan uji citra publik terhaap kandidat tersebut.
2. Tahap primary (peluncuran perdana). Pada tahap ini berupaya untuk memfokuskan perhatian khalayak pada kandidat, gagasan atau produk yang telah dimunculkan di arena persaingan. Pada tahap ini mulai melibatkan khalayak untuk mendukung kampanye yang dilaksanakan.
3. Dalam konteks politik yang dijelaskan di atas, tahap primary, merupakan tahap yang paling kritis dan relative “paling mahal”. Dikatakan kritis karena di sini secara ketat bersaing dengan kandidat-kandidat lain di mana dalam proses persaingan itu mungkin saja kita “terlepas ucapan kata” menghamburkan janji-janji yang kemudian tidak dapat kita penuhi. Dikatakan relatif mahal karena
Surfacing Primary Nomination Election
2. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada issue-issue yang menjadi tema kampanye.
3. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah prilaku khalayak secara kongkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara kongkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye.17
Kita dapat juga belajar dari peneliti komunikasi politik Charles U. Larson kampanye dibagi ke dalam tiga kategori yakni: 1. Product-oriented campaigns (commercial campaigns atau corporate campaign) atau
kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh keuntungan finansial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan.
2. Candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaigns (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum. Misal, Kampanye Pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, kampanye kuota perempuan di DPR.
3. Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial.18
Dalam memahami model kampanye ada model the five stages development model. Model ini dianggap yang paling populer dan banyak diterapkan di berbagai belahan dunia. Kepopuleran ini tidak terlepas dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik pada Candidate oriented campaigns, Product-oriented campaigns, dan cause or idea oriented campaigns. Fokus model ini adalah pada tahapan kegiatan kampanye bukan pada proses pertukaran pesan antara pelaku kamapnye atau campaigner dengan peserta sasaran atau campaignee. Pada model ini digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus dilalui sebelum akhirnya kegiatan tersebut berhasil atau gagal mencapai tujuan. Tahapan kegiatan tersebut meliputi identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi.
Gambar Model Perkembangan Lima Tahap Fungsional
17 Penjelasan di atas sama dengan yang dijelaskan oleh Ostergaard yang menyebut ketiga aspek tersebut dengan tiga 3A sebagai kependekan dari: (i) Awareness, yakni menggugah kesadaran, menarik perhatian dan memberi informasi tentang produk, atau gagasan yang dikampanyekan. (ii) Attitude; yakni diarahkan pada perubahan dalam ranah sikap. (iii) Action, yakni tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Lihat, Ibid, hlm. 10 18 Kampanye jenis ketiga di atas dalam istilah Kotler disebut sebagai social change campaigns, yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik terkait. Pada dasarnya berbagai jenis kampanye yang tidak termasuk dalam kategori kampanye politik dan kampanye produk dapat dimasukkan ke dalam kampanye perubahan sosial. Dengan demikian kampanye ini cakupannya sangat luas. Lihat, Ibid, hlm. 11
Identifikasi
Legitimasi
Partisipasi
Penetrasi
Sumber: Antar Venus, Manajemen Kampanye, 2004.
Distribusi
128 129
Tim Kampanye bertugas menyusun seluruh kegiatan tahapan Kampanye dan bertanggung jawab atas teknis pelaksanaan penyelenggaraan Kampanye. Untuk mendukung penyelenggaraan kampanye dapat menunjuk Petugas Kampanye yang bertugas: a. menyelenggarakan kegiatan Kampanye; b. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat tentang penyelenggaraan Kampanye; c. menyebarkan Bahan Kampanye dan bertanggung jawab terhadap kelancaran, keamanan dan ketertiban penyelenggaraan Kampanye.
Tim Kampanye mendaftarkan Petugas Kampanye 1 (satu) hari setelah penetapan Pasangan Calon sampai dengan paling lambat 1 (satu) hari sebelum penyelenggaraan Kampanye. Pendaftaran Petugas Kampanye menggunakan formulir Model BC2-KWK untuk disampaikan kepada: a. KPU ProvinsiKabupaten/Kota; b. Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya; dan d. sebagai arsip Pasangan Calon.
Dalam melaksanakan Kampanye, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat menunjuk organisasi penyelenggara kegiatan yaitu organisasi yang ditunjuk Pasangan Calon, mencakup organisasi sayap Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Organisasi penyelenggara kegiatan badan hukum yang didirikan dan dikelola oleh Warga Negara Indonesia dan tunduk kepada hukum Negara Republik Indonesia. Kampanye dapat dilaksanakan oleh orang-seorang dan relawan pendukung Pasangan Calon yang menjalankan program-program Kampanye secara sukarela. Pendaftaran orang-seorang menggunakan formulir Model BC3-KWK untuk disampaikan kepada: a. KPU Provinsi / Kabupaten/Kota; b. Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya; dan d. sebagai arsip Pasangan Calon dan relawan.
Materi Kampanye Pasangan Calon wajib memuat visi, misi dan program yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota. Materi Kampanye dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Pasangan Calon berhak untuk mendapatkan informasi atau data dari Pemerintah Daerah sesuai peraturan perundangundangan.
Visi, misi dan program yang menjadi Materi Kampanye akan menjadi dokumen resmi daerah apabila Pasangan Calon terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Materi Kampanye diatur dalam pasal 18 -20, Peraturan KPU No. 7/2015 yang mengatur isinya harus: a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945; b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; c. meningkatkan kesadaran hukum; d. memberikan informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab sebagai bagian dari pendidikan politik; dan e. menjalin komunikasi politik yang sehat antara Pasangan Calon dengan masyarakat sebagai bagian dari membangun budaya politik Indonesia yang demokratis dan bermartabat.
Materi Kampanye disampaikan dengan cara: a. sopan, yaitu menggunakan bahasa atau kalimat yang santun dan pantas ditampilkan kepada umum; b. tertib, yaitu tidak mengganggu kepentingan umum; c. edukatif/mendidik, yaitu memberikan informasi yang bermanfaat dan mencerahkan Pemilih; d. bijak dan beradab, yaitu tidak menyerang pribadi, kelompok, golongan atau Pasangan Calon lain; dan e. tidak bersifat provokatif. Pasangan Calon wajib menyampaikan visi, misi dan program pemerintahan yang akan diselenggarakan, apabila menjadi Pasangan Calon terpilih pada setiap pelaksanaan kegiatan Kampanye.
Metode kampanye terdiri dari Debat publik atau debat terbuka antar Pasangan Calon diselenggarakan oleh KPU dan disiarkan secara langsung melalui Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran Swasta. Dalam hal debat publik atau debat tidak dapat disiarkan secara langsung karena keterbatasan frekuensi, debat publik atau debat terbuka dapat disiarkan secara tunda melalui Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran terbuka Swasta pada masa Kampanye, dapat disiarkan ulang pada masa Kampanye. Debat publik atau debat terbuka diselenggarakan paling banyak 3 (tiga) kali pada masa Kampanye.
Debat publik atau debat terbuka dipandu oleh moderator yang berasal dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu Pasangan Calon. Moderator dilarang memberikan komentar,
pada tahap inilah sesungguhnya kita bersaing untuk menjadi nominator selanjutnya yang akan dipilih oleh khalayak, berhadapan dengan kemungkinan penggunaan politik uang (pembelian suara pemilih), bukan ‘ongkos politik’ (upaya inovatif dan ongkos wajar untuk membangun relasi dengan pemilih). Begitu Cakadap mendapat pengakuan masyarakat memperoleh liputan media secara luas, atau gagasannya menjadi topik pembicaraan anggota-anggota masyarakat, maka tahap keempat yaitu tahap nominasi pun dimulai.
4. Terakhir adalah tahap election atau pemilihan. Pada tahap ini biasanya masa kampanye telah berakhir. Namun secara terselubung seringkali para kandidat “membeli” ruang tertentu dari media massa agar kehadiran mereka tetap dirasakan. Beberapa kandidat bahkan dengan sengaja membuat berita-berita tertentu–biasanya yang berdimensi kemanusiaan–agar mendapat simpati khalayak. Di beberapa negara dengan tingkat korupsi tergolong sangat tinggi seperti di Indonesia, misalnya, pada tahap pemilihan ini ada fenomena yang disebut ‘serangan fajar’ yakni tindakan menyuap pemilih dengan sejumlah uang agar mereka memilih partai atau orang yang bersangkutan.
10. PENGETAHUAN REGULASI KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM KAMPANYE
19
a. Perlunya Mengenal Regulasi Aturan Main Kampanye Pemilukada
Cakadap perlu memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang apa yang boleh dan tiak boleh atau netral (dibolehkan karena tidak diatur) terkait regulasi kampanye Pemilukada tentang apa yang boleh, tidak boleh dan tidak diatur sehingga boleh dilakukan. Ibarat pendekar yang mau maju dipertarungan perlu menguasai aturan main selain penguasaan jurus-jurus dan persiapan ‘gizi dan stamina’ dalam kampanye. Tata cara kampanye Pemilukada antara lain diatur dalam PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NO. 7 TAHUN 2015 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI DAN/ATAU WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Kampanye diselenggarakan di seluruh wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Pasangan Calon mempunyai hak, kesempatan, dan perlakuan yang adil dan setara dalam Kampanye. Kampanye dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. jujur; b. terbuka; dan c. dialogis.
Kampanye merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi Pemilih dalam Pemilihan. Kampanye yang dilaksanakan oleh KPU dilaksanakan dengan metode: a. debat publik atau debat terbuka antar Pasangan Calon; b. penyebaran Bahan Kampanye kepada umum; c. pemasangan Alat Peraga Kampanye; dan/atau d. iklan di media massa cetak dan/atau media massa elektronik. Kampanye yang dilaksanakan Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilaksanakan dengan metode: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka dan dialog; dan/atau c. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendanaan Kampanye oleh KPU difasilitasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pendanaan Kampanye oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye menjadi tanggung jawab Pasangan Calon. Kampanye yang dilaksanakan oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat dilaksanakan oleh pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Dalam melaksanakan Kampanye, Pasangan Calon bersama dengan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau Pasangan Calon perseorangan membentuk Tim Kampanye dan menunjuk Penghubung Pasangan Calon. Tim Kampanye dan Penghubung Pasangan Calon didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten Kota pada saat pendaftaran Pasangan Calon.
Pendaftaran Tim Kampanye dan Penghubung Pasangan Calon menggunakan formulir Model BC1-KWK untuk disampaikan kepada: a. KPU Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota; b. Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya; dan d. sebagai arsip Pasangan Calon. Kemudian KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota akan mengumumkan daftar nama Tim Kampanye yang telah didaftarkan pada papan pengumuman dan/atau laman KPU Provinsi Kabupaten/Kota.
19 http://www.kpu.go.id/koleksigambar/APPROVED+Juknis+Kampanye+Pilkada+2015.pdf
128 129
Tim Kampanye bertugas menyusun seluruh kegiatan tahapan Kampanye dan bertanggung jawab atas teknis pelaksanaan penyelenggaraan Kampanye. Untuk mendukung penyelenggaraan kampanye dapat menunjuk Petugas Kampanye yang bertugas: a. menyelenggarakan kegiatan Kampanye; b. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat tentang penyelenggaraan Kampanye; c. menyebarkan Bahan Kampanye dan bertanggung jawab terhadap kelancaran, keamanan dan ketertiban penyelenggaraan Kampanye.
Tim Kampanye mendaftarkan Petugas Kampanye 1 (satu) hari setelah penetapan Pasangan Calon sampai dengan paling lambat 1 (satu) hari sebelum penyelenggaraan Kampanye. Pendaftaran Petugas Kampanye menggunakan formulir Model BC2-KWK untuk disampaikan kepada: a. KPU ProvinsiKabupaten/Kota; b. Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya; dan d. sebagai arsip Pasangan Calon.
Dalam melaksanakan Kampanye, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat menunjuk organisasi penyelenggara kegiatan yaitu organisasi yang ditunjuk Pasangan Calon, mencakup organisasi sayap Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Organisasi penyelenggara kegiatan badan hukum yang didirikan dan dikelola oleh Warga Negara Indonesia dan tunduk kepada hukum Negara Republik Indonesia. Kampanye dapat dilaksanakan oleh orang-seorang dan relawan pendukung Pasangan Calon yang menjalankan program-program Kampanye secara sukarela. Pendaftaran orang-seorang menggunakan formulir Model BC3-KWK untuk disampaikan kepada: a. KPU Provinsi / Kabupaten/Kota; b. Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya; dan d. sebagai arsip Pasangan Calon dan relawan.
Materi Kampanye Pasangan Calon wajib memuat visi, misi dan program yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota. Materi Kampanye dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Pasangan Calon berhak untuk mendapatkan informasi atau data dari Pemerintah Daerah sesuai peraturan perundangundangan.
Visi, misi dan program yang menjadi Materi Kampanye akan menjadi dokumen resmi daerah apabila Pasangan Calon terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Materi Kampanye diatur dalam pasal 18 -20, Peraturan KPU No. 7/2015 yang mengatur isinya harus: a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945; b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; c. meningkatkan kesadaran hukum; d. memberikan informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab sebagai bagian dari pendidikan politik; dan e. menjalin komunikasi politik yang sehat antara Pasangan Calon dengan masyarakat sebagai bagian dari membangun budaya politik Indonesia yang demokratis dan bermartabat.
Materi Kampanye disampaikan dengan cara: a. sopan, yaitu menggunakan bahasa atau kalimat yang santun dan pantas ditampilkan kepada umum; b. tertib, yaitu tidak mengganggu kepentingan umum; c. edukatif/mendidik, yaitu memberikan informasi yang bermanfaat dan mencerahkan Pemilih; d. bijak dan beradab, yaitu tidak menyerang pribadi, kelompok, golongan atau Pasangan Calon lain; dan e. tidak bersifat provokatif. Pasangan Calon wajib menyampaikan visi, misi dan program pemerintahan yang akan diselenggarakan, apabila menjadi Pasangan Calon terpilih pada setiap pelaksanaan kegiatan Kampanye.
Metode kampanye terdiri dari Debat publik atau debat terbuka antar Pasangan Calon diselenggarakan oleh KPU dan disiarkan secara langsung melalui Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran Swasta. Dalam hal debat publik atau debat tidak dapat disiarkan secara langsung karena keterbatasan frekuensi, debat publik atau debat terbuka dapat disiarkan secara tunda melalui Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran terbuka Swasta pada masa Kampanye, dapat disiarkan ulang pada masa Kampanye. Debat publik atau debat terbuka diselenggarakan paling banyak 3 (tiga) kali pada masa Kampanye.
Debat publik atau debat terbuka dipandu oleh moderator yang berasal dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu Pasangan Calon. Moderator dilarang memberikan komentar,
pada tahap inilah sesungguhnya kita bersaing untuk menjadi nominator selanjutnya yang akan dipilih oleh khalayak, berhadapan dengan kemungkinan penggunaan politik uang (pembelian suara pemilih), bukan ‘ongkos politik’ (upaya inovatif dan ongkos wajar untuk membangun relasi dengan pemilih). Begitu Cakadap mendapat pengakuan masyarakat memperoleh liputan media secara luas, atau gagasannya menjadi topik pembicaraan anggota-anggota masyarakat, maka tahap keempat yaitu tahap nominasi pun dimulai.
4. Terakhir adalah tahap election atau pemilihan. Pada tahap ini biasanya masa kampanye telah berakhir. Namun secara terselubung seringkali para kandidat “membeli” ruang tertentu dari media massa agar kehadiran mereka tetap dirasakan. Beberapa kandidat bahkan dengan sengaja membuat berita-berita tertentu–biasanya yang berdimensi kemanusiaan–agar mendapat simpati khalayak. Di beberapa negara dengan tingkat korupsi tergolong sangat tinggi seperti di Indonesia, misalnya, pada tahap pemilihan ini ada fenomena yang disebut ‘serangan fajar’ yakni tindakan menyuap pemilih dengan sejumlah uang agar mereka memilih partai atau orang yang bersangkutan.
1.j.PENGETAHUAN REGULASI KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM KAMPANYE 19 a. Perlunya Mengenal Regulasi Aturan Main Kampanye Pemilukada
Cakadap perlu memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang apa yang boleh dan tiak boleh atau netral (dibolehkan karena tidak diatur) terkait regulasi kampanye Pemilukada tentang apa yang boleh, tidak boleh dan tidak diatur sehingga boleh dilakukan. Ibarat pendekar yang mau maju dipertarungan perlu menguasai aturan main selain penguasaan jurus-jurus dan persiapan ‘gizi dan stamina’ dalam kampanye. Tata cara kampanye Pemilukada antara lain diatur dalam PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NO. 7 TAHUN 2015 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI DAN/ATAU WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Kampanye diselenggarakan di seluruh wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Pasangan Calon mempunyai hak, kesempatan, dan perlakuan yang adil dan setara dalam Kampanye. Kampanye dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. jujur; b. terbuka; dan c. dialogis.
Kampanye merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi Pemilih dalam Pemilihan. Kampanye yang dilaksanakan oleh KPU dilaksanakan dengan metode: a. debat publik atau debat terbuka antar Pasangan Calon; b. penyebaran Bahan Kampanye kepada umum; c. pemasangan Alat Peraga Kampanye; dan/atau d. iklan di media massa cetak dan/atau media massa elektronik. Kampanye yang dilaksanakan Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilaksanakan dengan metode: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka dan dialog; dan/atau c. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendanaan Kampanye oleh KPU difasilitasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pendanaan Kampanye oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye menjadi tanggung jawab Pasangan Calon. Kampanye yang dilaksanakan oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat dilaksanakan oleh pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Dalam melaksanakan Kampanye, Pasangan Calon bersama dengan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau Pasangan Calon perseorangan membentuk Tim Kampanye dan menunjuk Penghubung Pasangan Calon. Tim Kampanye dan Penghubung Pasangan Calon didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten Kota pada saat pendaftaran Pasangan Calon.
Pendaftaran Tim Kampanye dan Penghubung Pasangan Calon menggunakan formulir Model BC1-KWK untuk disampaikan kepada: a. KPU Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota; b. Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai tingkatannya; dan d. sebagai arsip Pasangan Calon. Kemudian KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota akan mengumumkan daftar nama Tim Kampanye yang telah didaftarkan pada papan pengumuman dan/atau laman KPU Provinsi Kabupaten/Kota.
19 http://www.kpu.go.id/koleksigambar/APPROVED+Juknis+Kampanye+Pilkada+2015.pdf
130 131
musik); c. kegiatan olahraga (gerak jalan santai, sepeda santai); d. kegiatan sosial (bazar, donor darah, perlombaan, hari ulang tahun); dan/atau e. kampanye melalui media sosial.
Rapat umumdimulai pukul 09.00 waktu setempat dan berakhir paling lambat pukul 18.00 waktu setempat dengan menghormati hari dan waktu ibadah di Indonesia. dilaksanakan di lapangan, stadion, alun-alun atau tempat terbuka lainnya. Petugas Kampanye wajib memerhatikan daya tamping tempat. Petugas dan peserta Kampanye dilarang membawa atau menggunakan tanda gambar, simbol-simbol, panji, pataka, dan/atau bendera yang bukan tanda gambar atau atribut lain dari Pasangan Calon yang bersangkutan.
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya dan pejabat daerah dapat ikut dalam Kampanye dengan mengajukan izin cuti Kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.Pengetahuan Regulasi tentang Larangan dan Sanksi pelanggaran Kampanye
Dalam konteks kampanye pasangan calon perlu mengetahui bahwa media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dilarang: a. menjual pemblokiran segmen; b. pemblokiran waktu untuk Kampanye; dan/atauc. menerima program sponsor dalam format atau segmen apapun yang dapat dikategorikan sebagai Iklan Kampanye.
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya yang menjadi Pasangan Calon dalam melaksanakan Kampanye wajib memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatannya; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti memerhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Fasilitas Negara yang dimaksud adalah : a. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya; b. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik Pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil, yang pelaksanaannya harus memerhatikan prinsip keadilan; dan c. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, dan peralatan lainnya.
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perangkat kecamatan, dan perangkat desa atau sebutan lain/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Tim Kampanye dan/atau Petugas Kampanye.
Dalam Kampanye dilarang: a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik; c. melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; d. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik; e. mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum; f. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah; g. merusak dan/atau menghilangkan Alat Peraga Kampanye; h. menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah; i. melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU; j. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.
Dalam pasal 69 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i diatur bahwa kegiatan Kampanye, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang melibatkan: a. pejabat Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; b. aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan/atau c. kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/kelurahan. Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara
penilaian dan kesimpulan terhadap penyampaian materi debat dari setiap Pasangan Calon KPU memberikan akses bagi penyandang disabilitas dalam penyelenggaraan debat publik atau debat terbuka. Materi debat publik atau debat terbuka adalah visi dan misi Pasangan Calon dalam rangka: a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b. memajukan daerah; c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; d. menyelesaikan persoalan daerah; e. menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan f. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
Penyebaran Bahan Kampanye diatur juga oleh Peraturan KPU No.7/2015, yaitu akan dibantu oleh KPU. Bahan Kampanye tersebut meliputi: a. selebaran (flyer) paling besar ukuran 8,25 cm x 21 cm; b. brosur (leaflet) paling besar ukuran posisi terbuka 21 cm x 29,7 cm, posisi terlipat 21 cm x 10 cm; c. pamflet paling besar ukuran 21 cm x 29,7 cm; dan/atau d. poster paling besar ukuran 40 cm x 60 cm. Desain dan materi Bahan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota.
Desain dan materi sebagaimana dimaksud dapat memuat visi, misi, program, foto Pasangan Calon, tanda gambar Partai Politik atau Gabungan Partai Poitik dan/atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye menyampaikan desain dan materi Bahan Kampanye sebagaimana kepada KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota. KPU akan mencetak Bahan Kampanye sesuai dengan desain dan materi yang disampaikan oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye diutamakan menggunakan bahan yang dapat didaur ulang.
Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat membuat dan mencetak Bahan Kampanye selain yang difasilitasi oleh KPU meliputi: kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, paying, stiker paling besar ukuran 10 cm x 5 cm. Stiker dilarang ditempel di tempat umum, meliputi: a. tempat ibadah termasuk halaman; b. rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; c. gedung atau fasilitas milik pemerintah; d. lembaga pendidikan (gedung dan sekolah); e. jalan-jalan protokol; f. jalan bebas hambatan; g. sarana dan prasarana publik; dan/atau h. taman dan pepohonan. Setiap Bahan Kampanye apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah).
Penyebaran Bahan Kampanye kepada umum dilakukan pada Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, dan/atau di tempat umum. Alat Peraga Kampanye meliputi: a. baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 m x 7 m, paling banyak 5 (lima) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kabupaten/kota; b. umbul-umbul paling besar ukuran 5 m x 1,15 m, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kecamatan; dan/atau c. spanduk paling besar ukuran 1,5 m x 7 m, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan.
Desain dan materi Alat Peraga Kampanye dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU. Desain dan materi dapat memuat visi, misi, program, foto Pasangan Calon, tanda gambar Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan/atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Lokasi pemasangan Alat Peraga Kampanye dilarang berada di:a. tempat ibadah termasuk halaman; b. rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; c. gedung milik pemerintah; dan d. lembaga pendidikan (gedung dan sekolah). Pemasangan Alat Peraga Kampanyedilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemasangan Alat Peraga Kampanyepada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota bekerjasama dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat untuk mengamankan Alat Peraga Kampanye dan membersihkan Alat Peraga Kampanye paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.
Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye melaksanakan kegiatan lain dalam bentuk: a. rapat umum, dengan jumlah terbatas; b. kegiatan kebudayaan (pentas seni, panen raya, konser
130 131
musik); c. kegiatan olahraga (gerak jalan santai, sepeda santai); d. kegiatan sosial (bazar, donor darah, perlombaan, hari ulang tahun); dan/atau e. kampanye melalui media sosial.
Rapat umumdimulai pukul 09.00 waktu setempat dan berakhir paling lambat pukul 18.00 waktu setempat dengan menghormati hari dan waktu ibadah di Indonesia. dilaksanakan di lapangan, stadion, alun-alun atau tempat terbuka lainnya. Petugas Kampanye wajib memerhatikan daya tamping tempat. Petugas dan peserta Kampanye dilarang membawa atau menggunakan tanda gambar, simbol-simbol, panji, pataka, dan/atau bendera yang bukan tanda gambar atau atribut lain dari Pasangan Calon yang bersangkutan.
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya dan pejabat daerah dapat ikut dalam Kampanye dengan mengajukan izin cuti Kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.Pengetahuan Regulasi tentang Larangan dan Sanksi pelanggaran
Kampanye Dalam konteks kampanye pasangan calon perlu mengetahui bahwa media massa cetak,
media massa elektronik dan lembaga penyiaran dilarang: a. menjual pemblokiran segmen; b. pemblokiran waktu untuk Kampanye; dan/atauc. menerima program sponsor dalam format atau segmen apapun yang dapat dikategorikan sebagai Iklan Kampanye.
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara lainnya yang menjadi Pasangan Calon dalam melaksanakan Kampanye wajib memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatannya; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti memerhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Fasilitas Negara yang dimaksud adalah : a. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya; b. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik Pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil, yang pelaksanaannya harus memerhatikan prinsip keadilan; dan c. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, dan peralatan lainnya.
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perangkat kecamatan, dan perangkat desa atau sebutan lain/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Tim Kampanye dan/atau Petugas Kampanye.
Dalam Kampanye dilarang: a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik; c. melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; d. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik; e. mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum; f. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah; g. merusak dan/atau menghilangkan Alat Peraga Kampanye; h. menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah; i. melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU; j. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.
Dalam pasal 69 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i diatur bahwa kegiatan Kampanye, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang melibatkan: a. pejabat Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; b. aparatur sipil negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan/atau c. kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/kelurahan. Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara
penilaian dan kesimpulan terhadap penyampaian materi debat dari setiap Pasangan Calon KPU memberikan akses bagi penyandang disabilitas dalam penyelenggaraan debat publik atau debat terbuka. Materi debat publik atau debat terbuka adalah visi dan misi Pasangan Calon dalam rangka: a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b. memajukan daerah; c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; d. menyelesaikan persoalan daerah; e. menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan f. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
Penyebaran Bahan Kampanye diatur juga oleh Peraturan KPU No.7/2015, yaitu akan dibantu oleh KPU. Bahan Kampanye tersebut meliputi: a. selebaran (flyer) paling besar ukuran 8,25 cm x 21 cm; b. brosur (leaflet) paling besar ukuran posisi terbuka 21 cm x 29,7 cm, posisi terlipat 21 cm x 10 cm; c. pamflet paling besar ukuran 21 cm x 29,7 cm; dan/atau d. poster paling besar ukuran 40 cm x 60 cm. Desain dan materi Bahan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota.
Desain dan materi sebagaimana dimaksud dapat memuat visi, misi, program, foto Pasangan Calon, tanda gambar Partai Politik atau Gabungan Partai Poitik dan/atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye menyampaikan desain dan materi Bahan Kampanye sebagaimana kepada KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota. KPU akan mencetak Bahan Kampanye sesuai dengan desain dan materi yang disampaikan oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye diutamakan menggunakan bahan yang dapat didaur ulang.
Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat membuat dan mencetak Bahan Kampanye selain yang difasilitasi oleh KPU meliputi: kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, paying, stiker paling besar ukuran 10 cm x 5 cm. Stiker dilarang ditempel di tempat umum, meliputi: a. tempat ibadah termasuk halaman; b. rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; c. gedung atau fasilitas milik pemerintah; d. lembaga pendidikan (gedung dan sekolah); e. jalan-jalan protokol; f. jalan bebas hambatan; g. sarana dan prasarana publik; dan/atau h. taman dan pepohonan. Setiap Bahan Kampanye apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah).
Penyebaran Bahan Kampanye kepada umum dilakukan pada Kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, dan/atau di tempat umum. Alat Peraga Kampanye meliputi: a. baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 m x 7 m, paling banyak 5 (lima) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kabupaten/kota; b. umbul-umbul paling besar ukuran 5 m x 1,15 m, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kecamatan; dan/atau c. spanduk paling besar ukuran 1,5 m x 7 m, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan.
Desain dan materi Alat Peraga Kampanye dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU. Desain dan materi dapat memuat visi, misi, program, foto Pasangan Calon, tanda gambar Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan/atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Lokasi pemasangan Alat Peraga Kampanye dilarang berada di:a. tempat ibadah termasuk halaman; b. rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; c. gedung milik pemerintah; dan d. lembaga pendidikan (gedung dan sekolah). Pemasangan Alat Peraga Kampanyedilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemasangan Alat Peraga Kampanyepada tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota bekerjasama dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat untuk mengamankan Alat Peraga Kampanye dan membersihkan Alat Peraga Kampanye paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.
Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye melaksanakan kegiatan lain dalam bentuk: a. rapat umum, dengan jumlah terbatas; b. kegiatan kebudayaan (pentas seni, panen raya, konser
132 133
Republik Indonesia sesuai tingkatannya; c. Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, dan Panitia Pengawas Lapangan; dan d. sebagai arsip KPU Provinsi/ KPU/KIP Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS. d.Kiat Mengenal Bagaimana Kampanye Negatif dan Positif?
Kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Istilah kampanye hitam dalam perjalanannya memang sering disubtitusikan secara bergantian dengan istilah kampanye negatif, sehingga seolah-olah keduanya sama secara konsepsi, padahal tidak. Kampanye hitam (black campaign) bertujuan untuk menjatuhkan dan melakukan pembunuhan karakter (character assassination) seorang calon dengan memaparkan isu maupun rumor yang tidak benar dan tidak didukung bukti, selain itu substansi materi kampanye hitam cenderung mengandung unsur fitnah dan tanpa beban sampai menyentuh wilayah yang sangat privacy dari diri seorang calon, dan kampanye hitam dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak jelas sumbernya. Tegasnya kampanye hitam bersifat menyesatkan, membangun keresahan dan membodohi sehingga menjadi kontraproduktif dengan demokrasi. Sedangkan kampanye negatif (negative campaign) secara objektif lebih berusaha untuk membuka sisi-sisi minus seorang calon dengan referensi data yang kuat.
Kampanye pemilu harus memberikan kesempatan kepada pemilih untuk mendapatkan informasi tentang politisi, tema-tema dan argumentasi politik. Selain itu, para juru kampanye dan perencana kampanye — dan ini sah-sah saja — mencari perdebatan dengan lawan kampanyenya. Kampanye adalah melebih-lebihkan, memperkasar, membuat polemik dan menertawakan (lawan). Konfrontasi yang direncanakan ini memiliki satu tujuan, yakni membangkitkan rasa ragu pada diri lawan.
Pesan-pesan yang negatif biasanya sampai pada publik. Memang pesan-pesan seperti itu membangkitkan rasa marah, tapi kesadaran ini tidak penting atau tidak relevan. Hal yang penting adalah publik menerima informasi semacam itu, mereka menyerapnya. Terutama sekali kalau informasi itu disampaikan melalui simbol-simbol, slogan-slogan dan emosi.
Walaupun berbohong bisa dengan fakta. Orang bisa saja jujur, tetapi pada saat bersamaan juga tidak fair. Usaha sistematis untuk mencari bahan kontras diri apa yang dikampanyekan lawan politik adalah sah-sah saja. Segala sisi lawan perlu dicermati dan dibahas. Apakah itu keputusan janji-janji mereka, sumber dana dan pendukung ataupun sikap mereka terhadap kompromi atau kesediaan untuk berdebat.
Pihak yang tidak memperhatikan prinsip ‘perang’ kata-kata dalam kampanye, misalnya mengkritik tanpa data-data atau bukti yang tepat, maka ia harus memperhitungkan resikonya. Pihak lawan akan bereaksi cepat dengan serangan balik. Hal yang mengejutkan, reaksi balik seperti ini dapat menyebabkan bencana bagi penyerang pertama tadi. Karenanya, perencana dan juru kampanye yang pintar memancing lawannya untuk menyerang pada tempat dan waktu yang salah. Sebuah jebakan yang sangat membahayakan.20
Kampanye negatif lebih selektif dengan hanya menggugat hal-hal tertentu dari diri seorang calon yang dirasakan memiliki signifikansi besar dengan persoalan pemerintahan dan kemasyarakatan. Kampanye ini dikerjakan secara terbuka dan jelas siapa yang menjadi penanggungjawabnya. Kampanye negatif bersifat mencerahkan dan turut mendinamisasi proses demokrasi. Dengan demikian, jelaslah bahwa black campaign dan negative campaign adalah dua istilah dengan substansi ide yang sangat berbeda.21 1. Masyarakat harus lebih jeli dalam menanggapi setiap informasi dan isu yang berkembang,
baik itu yang bersumber dari sms, selebaran, koran “dadakan,” maupun cerita yang berkembang dari mulut ke mulut. Jangan langsung cepat percaya, tanpa melakukan proses klarifikasi atau “cek dan ricek” terlebih dahulu. Untuk informasi dan isu yang tidak jelas sumber data dan penyebarnya serta bernuansa provokatif, wajib untuk langsung ditolak.
20 Ibid, hlm.15-16 21 http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Opini&id=122881 “Kelamnya Black Campaign,” oleh Andi Widjajanto, download Pkl 21.05, Tgl 09-08-2005
lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye. Larangan meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang mencetak dan memasang Alat Peraga Kampanye selain pada tempat yang telah ditentukan. Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Pemilih.
Sanksi kampanye diatur dalam pasal 71-75 dalam Peraturan KPU No. 7/2015 yaitu: Pelanggaran atas larangan ketentuan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i dikategorikan sebagai tindak pidana dan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran atas larangan ketentuan pelaksanaan
Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf j dan huruf k dikenai sanksi: a. peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah Pemilihan lain. Pelanggaran atas larangan ketentuan penyebaran Bahan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dikenai sanksi: a. peringatan tertulis; b. perintah penarikan Bahan Kampanye yang telah disebarkan.
Pelanggaran atas larangan ketentuan pemasangan Alat Peraga Kampanye dikenai sanksi: a. peringatan tertulis; b. perintah penurunan Alat Peraga Kampanye dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Apabila Pasangan Calon tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, dan/atau Panwas Kecamatan berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja setempat untuk menurunkan Alat Peraga Kampanye. Pelanggaran atas larangan ketentuan Pemasangan Iklan Kampanye dikenai sanksi: a. peringatan tertulis; b. perintah penghentian penayangan Iklan Kampanye di media massa.
Apabila Pasangan Calon tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam, Pasangan Calon yang bersangkutan dikenai sanksi pembatalan sebagai Calon. Pasangan Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai Pasangan Calon oleh KPU Provinsi dan KPU/KIP Kabupaten/kota dan dikenai sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, dikenai sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasangan Calon, Tim Kampanye, petugas Kampanye, dan peserta Kampanye yang melakukan pelanggaran pidana dalam melakukan Kampanye dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c. Mekanisme Penyelesaian Dugaan Pelanggaran Kampanye
Ada pengaturan dalam regulasi bahwa Pemilih, pemantau Pemilihan, dan/atau peserta Pemilihan dapat melaporkan dugaan adanya pelanggaran ketentuan Kampanye. Laporan dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada: a. KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS; atau b. Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, dan Panitia Pengawas Lapangan. Laporan dugaan pelanggaran dilakukan secara tertulis, paling sedikit memuat: a. nama dan alamat pelapor; b. nama dan alamat terlapor; c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan d. uraian kejadian, wajib dilampiri fotokopi identitas pelapor dan disertai bukti pendukung.
Dalam hal terbukti terjadi pelanggaran ketentuan Kampanye, KPU, Panwas, , PPK, dan PPS menerbitkan keputusan tentang pemberian sanksi kepada Pasangan Calon, Petugas Kampanye dan/atau Tim Kampanye. Keputusan tentang pemberian sanksi disampaikan kepada: a. Pasangan Calon, Petugas Kampanye dan/atau Tim Kampanye; b. Kepolisian Negara
132 133
Republik Indonesia sesuai tingkatannya; c. Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, dan Panitia Pengawas Lapangan; dan d. sebagai arsip KPU Provinsi/ KPU/KIP Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS. d. Kiat Mengenal Bagaimana Kampanye Negatif dan Positif?
Kampanye hitam berbeda dengan kampanye negatif. Istilah kampanye hitam dalam perjalanannya memang sering disubtitusikan secara bergantian dengan istilah kampanye negatif, sehingga seolah-olah keduanya sama secara konsepsi, padahal tidak. Kampanye hitam (black campaign) bertujuan untuk menjatuhkan dan melakukan pembunuhan karakter (character assassination) seorang calon dengan memaparkan isu maupun rumor yang tidak benar dan tidak didukung bukti, selain itu substansi materi kampanye hitam cenderung mengandung unsur fitnah dan tanpa beban sampai menyentuh wilayah yang sangat privacy dari diri seorang calon, dan kampanye hitam dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak jelas sumbernya. Tegasnya kampanye hitam bersifat menyesatkan, membangun keresahan dan membodohi sehingga menjadi kontraproduktif dengan demokrasi. Sedangkan kampanye negatif (negative campaign) secara objektif lebih berusaha untuk membuka sisi-sisi minus seorang calon dengan referensi data yang kuat.
Kampanye pemilu harus memberikan kesempatan kepada pemilih untuk mendapatkan informasi tentang politisi, tema-tema dan argumentasi politik. Selain itu, para juru kampanye dan perencana kampanye — dan ini sah-sah saja — mencari perdebatan dengan lawan kampanyenya. Kampanye adalah melebih-lebihkan, memperkasar, membuat polemik dan menertawakan (lawan). Konfrontasi yang direncanakan ini memiliki satu tujuan, yakni membangkitkan rasa ragu pada diri lawan.
Pesan-pesan yang negatif biasanya sampai pada publik. Memang pesan-pesan seperti itu membangkitkan rasa marah, tapi kesadaran ini tidak penting atau tidak relevan. Hal yang penting adalah publik menerima informasi semacam itu, mereka menyerapnya. Terutama sekali kalau informasi itu disampaikan melalui simbol-simbol, slogan-slogan dan emosi.
Walaupun berbohong bisa dengan fakta. Orang bisa saja jujur, tetapi pada saat bersamaan juga tidak fair. Usaha sistematis untuk mencari bahan kontras diri apa yang dikampanyekan lawan politik adalah sah-sah saja. Segala sisi lawan perlu dicermati dan dibahas. Apakah itu keputusan janji-janji mereka, sumber dana dan pendukung ataupun sikap mereka terhadap kompromi atau kesediaan untuk berdebat.
Pihak yang tidak memperhatikan prinsip ‘perang’ kata-kata dalam kampanye, misalnya mengkritik tanpa data-data atau bukti yang tepat, maka ia harus memperhitungkan resikonya. Pihak lawan akan bereaksi cepat dengan serangan balik. Hal yang mengejutkan, reaksi balik seperti ini dapat menyebabkan bencana bagi penyerang pertama tadi. Karenanya, perencana dan juru kampanye yang pintar memancing lawannya untuk menyerang pada tempat dan waktu yang salah. Sebuah jebakan yang sangat membahayakan.20
Kampanye negatif lebih selektif dengan hanya menggugat hal-hal tertentu dari diri seorang calon yang dirasakan memiliki signifikansi besar dengan persoalan pemerintahan dan kemasyarakatan. Kampanye ini dikerjakan secara terbuka dan jelas siapa yang menjadi penanggungjawabnya. Kampanye negatif bersifat mencerahkan dan turut mendinamisasi proses demokrasi. Dengan demikian, jelaslah bahwa black campaign dan negative campaign adalah dua istilah dengan substansi ide yang sangat berbeda.21 1. Masyarakat harus lebih jeli dalam menanggapi setiap informasi dan isu yang berkembang,
baik itu yang bersumber dari sms, selebaran, koran “dadakan,” maupun cerita yang berkembang dari mulut ke mulut. Jangan langsung cepat percaya, tanpa melakukan proses klarifikasi atau “cek dan ricek” terlebih dahulu. Untuk informasi dan isu yang tidak jelas sumber data dan penyebarnya serta bernuansa provokatif, wajib untuk langsung ditolak.
20 Ibid, hlm.15-16 21 http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Opini&id=122881 “Kelamnya Black Campaign,” oleh Andi Widjajanto, download Pkl 21.05, Tgl 09-08-2005
lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye. Larangan meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang mencetak dan memasang Alat Peraga Kampanye selain pada tempat yang telah ditentukan. Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Pemilih.
Sanksi kampanye diatur dalam pasal 71-75 dalam Peraturan KPU No. 7/2015 yaitu: Pelanggaran atas larangan ketentuan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i dikategorikan sebagai tindak pidana dan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran atas larangan ketentuan pelaksanaan
Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf j dan huruf k dikenai sanksi: a. peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau b. penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah Pemilihan lain. Pelanggaran atas larangan ketentuan penyebaran Bahan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dikenai sanksi: a. peringatan tertulis; b. perintah penarikan Bahan Kampanye yang telah disebarkan.
Pelanggaran atas larangan ketentuan pemasangan Alat Peraga Kampanye dikenai sanksi: a. peringatan tertulis; b. perintah penurunan Alat Peraga Kampanye dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Apabila Pasangan Calon tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, dan/atau Panwas Kecamatan berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja setempat untuk menurunkan Alat Peraga Kampanye. Pelanggaran atas larangan ketentuan Pemasangan Iklan Kampanye dikenai sanksi: a. peringatan tertulis; b. perintah penghentian penayangan Iklan Kampanye di media massa.
Apabila Pasangan Calon tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam, Pasangan Calon yang bersangkutan dikenai sanksi pembatalan sebagai Calon. Pasangan Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai Pasangan Calon oleh KPU Provinsi dan KPU/KIP Kabupaten/kota dan dikenai sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, dikenai sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasangan Calon, Tim Kampanye, petugas Kampanye, dan peserta Kampanye yang melakukan pelanggaran pidana dalam melakukan Kampanye dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c.Mekanisme Penyelesaian Dugaan Pelanggaran Kampanye
Ada pengaturan dalam regulasi bahwa Pemilih, pemantau Pemilihan, dan/atau peserta Pemilihan dapat melaporkan dugaan adanya pelanggaran ketentuan Kampanye. Laporan dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada: a. KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS; atau b. Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, dan Panitia Pengawas Lapangan. Laporan dugaan pelanggaran dilakukan secara tertulis, paling sedikit memuat: a. nama dan alamat pelapor; b. nama dan alamat terlapor; c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan d. uraian kejadian, wajib dilampiri fotokopi identitas pelapor dan disertai bukti pendukung.
Dalam hal terbukti terjadi pelanggaran ketentuan Kampanye, KPU, Panwas, , PPK, dan PPS menerbitkan keputusan tentang pemberian sanksi kepada Pasangan Calon, Petugas Kampanye dan/atau Tim Kampanye. Keputusan tentang pemberian sanksi disampaikan kepada: a. Pasangan Calon, Petugas Kampanye dan/atau Tim Kampanye; b. Kepolisian Negara
134 135
e.Membangun Kampanye Putih dan Menolak Kampanye Hitam: Pengertian apa itu kampanye hitam kadang belum dimengerti dan disepakati secara kolektif oleh
sebagian di antara pelaku politik. Secara umum yang disebut dengan kampanye hitam adalah menghina,
memfitnah, mengadu domba, menghasut, atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang
calon, sekelompok orang, partai politik, pendukung seorang calon, terhadap lawan mereka. Ini berbeda
dengan menyampaikan kritik terhadap visi dan misi atau program calon tertentu; yang tidak tergolong
black campaign.
Larangan yang berkaitan dengan black campaign adalah, (1) menghina seseorang, agama, suku,
ras, golongan, calon dan atau Pasangan Calon yang lain; serta (2) menghasut dan mengadu-domba
perseorangan atau masyarakat. Lalu, apa ancaman terhadap mereka yang melakukan kampanye hitam?
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2007 pasal 214 disebutkan, mereka yang dengan sengaja melanggar
larangan pelaksanaan Kampanye dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling
lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp. 6.000.000,00,- dan paling banyak Rp. 24.000.000,00,.
Mari kita membangun budaya kampanye putih atau positif. Alangkah lebih santun jika dukungan
dari para simpatisan itu diarahkan pada sesuatu yang positif. Jika Anda terlibat dalam kampanye hitam
pihak lawan calon yang Anda jagokan, bukan tidak mungkin massa mengambang yang Anda harapkan
memilih calon pilihan Anda, justru berpikir ulang dan tidak jadi memihak calon Anda. Itu resiko yang
dihadapi bila kita nekad mengambil jalan pintas dengan cara kampanye hitam terhadap pesaing politik.
Ket:Mari memmbangun Kampanye Putih dan Menolak Kampanye Hitam. Sumber: https://www.google.co.id/search?q=Kampanye
2. Bagaimana Merancang Kegiatan Kampanye dan Iklan Politik
Komisi Pemiliahan Umum (KPU) RI telah memberikan penjelasan terkait regulasi soal bagaimana merancang kegiatan Kampanye, diuraikan sebagai berikut:23 2.a. Kiat Mempersiapkan Kampanye Alat Peraga
1. Tata cara menggunakan APK (Alat Peraga Kampanye). Apakah yang dimaksud APK? Alat peraga kampanye mencakup semua benda atau bentuk lain yang memuat visi – misi dan program, atau simbol, tanda gambar Pasangan Calon untuk mengajak orang memilih Pasangan Calon tertentu. Siapakah yang menyiapkan materi, disain hingga pemasangannya? Disain dan Materi dibuat dan dibiayai oleh tim Pasangan Calon, berdasarkan supervisi KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Produksi dan pemasangan termasuk lokasi pemasangan di fasilitasi oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
23 Ibid,-
2. Semua kejanggalan maupun pelanggaran yang ditemui oleh masyarakat dalam proses pemilu, misalnya kampanye hitam, hendaknya diselesaikan melalui jalur atau mekanisme formal.
Ada dua langkah alternatif yang dapat ditempuh, yaitu: � Langsung mengadukannya kepada panwas pemilihan. � Dapat melalui kelompok pemantau pilkada untuk kemudian bersama-sama
meneruskan laporan ini kepada panwas pemilihan.22
Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye negatif adalah
upaya menaikkan diri dengan mengkritik lawan dengan disertai fakta, bukti dan argumentasi yang rasional. Negative campaign sangat diperlukan untuk melihat track record kandidat secara utuh, asalkan disampaikan secara faktual. Perbedaan mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye negatif. Kampanye negatif sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam tidak sesuai fakta. seorang kandidat bisa saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut bersifat faktual. Contoh empiris salah satu kampanye negatif yang pernah dilakukan dalam politik Indonesia di era reformasi adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk pada Pemilu 2004 yang lalu.
Kampanye negatif merupakan suatu keniscayaan dalam berpolitik. Alam kampanye setiap kandidat berusaha melakukan dua hal: Menunjukkan hal-hal yang baik terkait dirinya dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan saingan atau lawan politiknya.Sedangkan kampanye hitam adalah politik pencitraan, penghinaan bahkan kebohongan dengan menjatuhkan martabat lawan. Kampanye negatif itu bisa dinilai tidak masalah, yang masalah itu kampanye hitam. Kampanye hitam yang dilakukan kandidat ataupun pendukung contohnya menyinggung perbedaan suku, agama, ras, hingga keterkaitan dengan ideologi terlarang terkait calon yang lain.
22 Pada hakekatnya, semua materi dan aktivitas kampanye yang bersifat bohong dan membodohi adalah kampanye hitam. Menyebarkan fitnah atau informasi miring tanpa data yang valid tentang diri seorang calon jelas adalah kampanye hitam. Namun kita juga harus peka terhadap praktek kampanye hitam lain yang tampil dengan wajah ramah, yaitu kampanye dengan mimpi-mimpi dan janji-janji bohong. Seringkali masyarakat justru gampang tertipu oleh tipe kampanye hitam yang terakhir ini. Apalagi jika ditambahi dengan beberapa lembar uang, bumbu-bumbu irasional, dan sentimen-sentimen primordial. Lihat http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=opini &id=122881, “Kelamnya Black Campaign,” oleh Priyo Handoko, download Pkl 21.05, Tgl 09-08-2005 dan Strategi Politik dan Penerapannya contoh Kasus Kampanye Pemilu Jerman 2002, bagian I dari III “Persiapan Pemilu – Sebuah Pengantar, hlm. 15
Simulasi contoh teks pidato yang bukan Kampanye Hitam, silahkan peserta membuat contoh teks pidato kampanye positif:
BANYAK IDENTITAS, SEDIKIT PEMBANGUNAN!
Bapak-‐bapak ibu-‐ibu dan anak muda semua…..
Perkembangan kota dan desa di Indonesia dalam dua dekade terakhir terlalu disibukkan oleh identitas. Pemerintah daerah di berbagai penjuru negeri berlomba menamai kota-‐kotanya dengan identitas yang dicari-‐cari dari kebudayaan atau sejarah. Ada yang menamainya "kota santri", " kota budaya", "kota tua", dst. Tetapi di sisi lain kota-‐kota tersebut terlalu sedikit membangun fasilitas publik. Transportasi publik sangat buruk (bahkan tidak ada di beberapa kota), air bersih susah, lingkungan kotor, dan penataan tata ruang yang tidak pernah berjalan sesuai rencana.
Akibatnya kualitas hidup warga memburuk. Ironisnya, pilkada justru sering menjadi ajang untuk memperkuat identitas, bukan mempertanyakan ulang arah pembangunan. Kata pembangunan sendiri, yang terlanjur berkonotasi buruk, terpinggirkan dari agenda politik publik. Ia seolah-‐olah anti-‐kebudayaan atau anti-‐sejarah, bahkan digambarkan anti-‐HAM.
Pemimpin kota yang baik adalah mereka yang sedikit membicarakan identitas dan diri mereka sendiri, tetapi giat membangun fasilitas dan pemecahan problem publik. Tidak ada kebudayaan atau sejarah di kota yang
saluran airnya mampet oleh sampah atau ruang terbuka hijaunya habis dirampas oleh mal-‐mal.
(Sumber: Amin Mudzakir, PSDR, LIPI, 2016)
134 135
e. Membangun Kampanye Putih dan Menolak Kampanye Hitam: Pengertian apa itu kampanye hitam kadang belum dimengerti dan disepakati secara kolektif oleh
sebagian di antara pelaku politik. Secara umum yang disebut dengan kampanye hitam adalah menghina,
memfitnah, mengadu domba, menghasut, atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang
calon, sekelompok orang, partai politik, pendukung seorang calon, terhadap lawan mereka. Ini berbeda
dengan menyampaikan kritik terhadap visi dan misi atau program calon tertentu; yang tidak tergolong
black campaign.
Larangan yang berkaitan dengan black campaign adalah, (1) menghina seseorang, agama, suku,
ras, golongan, calon dan atau Pasangan Calon yang lain; serta (2) menghasut dan mengadu-domba
perseorangan atau masyarakat. Lalu, apa ancaman terhadap mereka yang melakukan kampanye hitam?
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2007 pasal 214 disebutkan, mereka yang dengan sengaja melanggar
larangan pelaksanaan Kampanye dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling
lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp. 6.000.000,00,- dan paling banyak Rp. 24.000.000,00,.
Mari kita membangun budaya kampanye putih atau positif. Alangkah lebih santun jika dukungan
dari para simpatisan itu diarahkan pada sesuatu yang positif. Jika Anda terlibat dalam kampanye hitam
pihak lawan calon yang Anda jagokan, bukan tidak mungkin massa mengambang yang Anda harapkan
memilih calon pilihan Anda, justru berpikir ulang dan tidak jadi memihak calon Anda. Itu resiko yang
dihadapi bila kita nekad mengambil jalan pintas dengan cara kampanye hitam terhadap pesaing politik.
Ket:Mari memmbangun Kampanye Putih dan Menolak Kampanye Hitam. Sumber: https://www.google.co.id/search?q=Kampanye
Komisi Pemiliahan Umum (KPU) RI telah memberikan penjelasan terkait regulasi soal bagaimana merancang kegiatan Kampanye, diuraikan sebagai berikut:23 a. Kiat Mempersiapkan Kampanye Alat Peraga
1. Tata cara menggunakan APK (Alat Peraga Kampanye). Apakah yang dimaksud APK? Alat peraga kampanye mencakup semua benda atau bentuk lain yang memuat visi – misi dan program, atau simbol, tanda gambar Pasangan Calon untuk mengajak orang memilih Pasangan Calon tertentu. Siapakah yang menyiapkan materi, disain hingga pemasangannya? Disain dan Materi dibuat dan dibiayai oleh tim Pasangan Calon, berdasarkan supervisi KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Produksi dan pemasangan termasuk lokasi pemasangan di fasilitasi oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
23 Ibid,-
11. Bagaimana Merancang Kegiatan Kampanye dan Iklan Politik
2. Semua kejanggalan maupun pelanggaran yang ditemui oleh masyarakat dalam proses pemilu, misalnya kampanye hitam, hendaknya diselesaikan melalui jalur atau mekanisme formal.
Ada dua langkah alternatif yang dapat ditempuh, yaitu: � Langsung mengadukannya kepada panwas pemilihan. � Dapat melalui kelompok pemantau pilkada untuk kemudian bersama-sama
meneruskan laporan ini kepada panwas pemilihan.22
Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye negatif adalah
upaya menaikkan diri dengan mengkritik lawan dengan disertai fakta, bukti dan argumentasi yang rasional. Negative campaign sangat diperlukan untuk melihat track record kandidat secara utuh, asalkan disampaikan secara faktual. Perbedaan mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye negatif. Kampanye negatif sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam tidak sesuai fakta. seorang kandidat bisa saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut bersifat faktual. Contoh empiris salah satu kampanye negatif yang pernah dilakukan dalam politik Indonesia di era reformasi adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk pada Pemilu 2004 yang lalu.
Kampanye negatif merupakan suatu keniscayaan dalam berpolitik. Alam kampanye setiap kandidat berusaha melakukan dua hal: Menunjukkan hal-hal yang baik terkait dirinya dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan saingan atau lawan politiknya.Sedangkan kampanye hitam adalah politik pencitraan, penghinaan bahkan kebohongan dengan menjatuhkan martabat lawan. Kampanye negatif itu bisa dinilai tidak masalah, yang masalah itu kampanye hitam. Kampanye hitam yang dilakukan kandidat ataupun pendukung contohnya menyinggung perbedaan suku, agama, ras, hingga keterkaitan dengan ideologi terlarang terkait calon yang lain.
22 Pada hakekatnya, semua materi dan aktivitas kampanye yang bersifat bohong dan membodohi adalah kampanye hitam. Menyebarkan fitnah atau informasi miring tanpa data yang valid tentang diri seorang calon jelas adalah kampanye hitam. Namun kita juga harus peka terhadap praktek kampanye hitam lain yang tampil dengan wajah ramah, yaitu kampanye dengan mimpi-mimpi dan janji-janji bohong. Seringkali masyarakat justru gampang tertipu oleh tipe kampanye hitam yang terakhir ini. Apalagi jika ditambahi dengan beberapa lembar uang, bumbu-bumbu irasional, dan sentimen-sentimen primordial. Lihat http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=opini &id=122881, “Kelamnya Black Campaign,” oleh Priyo Handoko, download Pkl 21.05, Tgl 09-08-2005 dan Strategi Politik dan Penerapannya contoh Kasus Kampanye Pemilu Jerman 2002, bagian I dari III “Persiapan Pemilu – Sebuah Pengantar, hlm. 15
Simulasi contoh teks pidato yang bukan Kampanye Hitam, silahkan peserta membuat contoh teks pidato kampanye positif:
BANYAK IDENTITAS, SEDIKIT PEMBANGUNAN!
Bapak-‐bapak ibu-‐ibu dan anak muda semua…..
Perkembangan kota dan desa di Indonesia dalam dua dekade terakhir terlalu disibukkan oleh identitas. Pemerintah daerah di berbagai penjuru negeri berlomba menamai kota-‐kotanya dengan identitas yang dicari-‐cari dari kebudayaan atau sejarah. Ada yang menamainya "kota santri", " kota budaya", "kota tua", dst. Tetapi di sisi lain kota-‐kota tersebut terlalu sedikit membangun fasilitas publik. Transportasi publik sangat buruk (bahkan tidak ada di beberapa kota), air bersih susah, lingkungan kotor, dan penataan tata ruang yang tidak pernah berjalan sesuai rencana.
Akibatnya kualitas hidup warga memburuk. Ironisnya, pilkada justru sering menjadi ajang untuk memperkuat identitas, bukan mempertanyakan ulang arah pembangunan. Kata pembangunan sendiri, yang terlanjur berkonotasi buruk, terpinggirkan dari agenda politik publik. Ia seolah-‐olah anti-‐kebudayaan atau anti-‐sejarah, bahkan digambarkan anti-‐HAM.
Pemimpin kota yang baik adalah mereka yang sedikit membicarakan identitas dan diri mereka sendiri, tetapi giat membangun fasilitas dan pemecahan problem publik. Tidak ada kebudayaan atau sejarah di kota yang
saluran airnya mampet oleh sampah atau ruang terbuka hijaunya habis dirampas oleh mal-‐mal.
(Sumber: Amin Mudzakir, PSDR, LIPI, 2016)
136 137
Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat kebangsaan dan kebanggaan menjadi warga negara se-nusantara, persaudaraan umat manusia, dan perasaan kesebumian.
Siapa sajakah yang terlibat dalam penyusunan materi debat dan pemilihan moderator? Dalam menentukantema serta menyusun materi debat KPU mendapat masukan dari Panelis yang terdiri dari pakar dari kalanganprofesional dan akademisi. Panelis dapat memberikan usulan moderator atau diusulkan menjadi moderator. Moderator kemudian dipilih dan ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu calon.
Dalam proses penetapan tema serta Moderator KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari setiap tim kampanye pasangan calon. Bagaimanakah Metode Pelaksanaan Debat? Metode debat menggunakan format Kandidat Moderator. Debat dilaksanakan maksimal berdurasi 90 menit dan 30 menit untuk jeda iklan.Penayangan Iklan wajib menyertakan iklan layanan masyarakat terkait pemilu.
Debat terdiri dari beberapa babak (4-6 Babak) terdiri dari pemaparan visi-misi dan program yang diusung terkait tema, pertanyaan dari moderator terkait tema dan tanyajawab/pernyataan sanggahan antara pasangan calon. Moderator memiliki peran penting untuk menjaga keberimbangan kesempatan bagi tiap- tiap pasangan calon dari segi waktu dan bobot pertanyaan. Debat digelar di ruang tertutup yang mampu menampung tamu dan pendukung setiap pasangan calon. Tim Kampanye bertanggung jawab menjaga ketertiban masing-masing tim pendukung.
Bagaimanakah aturan penyiaran Debat? Debat disiarkan melalui: Lembaga Penyiaran Publik dan atau Lembaga Penyiaran Swasta. Dalam hal debat publik atau debat terbuka tidak dapat disiarkan secara langsung karena keterbatasan frekuensi, debat dapat disiarkan secara tunda pada masa Kampanye. Debat publik atau debat terbuka juga dapat disiarkan ulang selama masa Kampanye. Stasiun televisi penyelenggara penyiaran Debat wajib menyediakan clean feed, sebagai materi relay bagi stasiun televisi lainnya, dalam upaya menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Dalam penyiaran debat, sangat penting menjaga keberimbangan bagi masing-masing pasangan calon, baik dalam pengambilan gambar hingga penayangannya. Tidak boleh ada pasangan calon yang dirugikan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga sudah mengeluarkan regulasi aturan main menyangkut kampanye Pemilukada. Regulasi itu antara lain mengatur saoal Iklan Kampanye memuat informasi mengenai visi - misi, program, tanda gambar/foto atau audio visual pasangan calon, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Iklan dapat berisi pesan ajakan atau meyakinkan calon pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu. Apa saja bentuk Materi Iklan Kampanye? Tulisan, Suara,Gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan. Apa saja yang di fasilitasi KPU terkait Iklan Kampanye? KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota memfasilitasi penayangan Iklan pada:
Media massa cetak - Media massa elektronik, yaitu televisi dan radio - Lembaga penyiaran; dalam bentuk iklan komersial atau iklan layanan masyarakat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menentukan dan menetapkan jumlah penayangan dan ukuran atau durasi Iklan Kampanye untuk setiap Pasangan Calon. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib memberikan kesempatan dan alokasi ruang/waktu yang sama dan berimbang kepada setiap Pasangan Calon dalam menetapkan jadwal Penayangan. Siapakah yang memproduksi materi iklan? Materi Iklan Kampanye dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran atau durasi yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sesuai pertauran dan etika periklanan.
Berapakah Durasi dan Frekuensi Penayangan iklan kampanye? 1. Cetak Jumlah iklan kampanye yang dapat di muat di media cetak maksimal selebar
satu halaman, pada setiap edisi 14 hari sebelum masa tenang (ukuran dan frekuensi menyesuaikan ketersediaan anggaran serta tarif iklan media cetak yang berlaku) Iklan pasangan calon dapat dimuat bersamaan dalam satu halaman di episode yang sama atau atau
2. Apa sajakah bentuk APK itu? Bentuk APK konvensional adalah baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 m x 7 m, paling banyak 5 (lima) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kabupaten/kota - umbul-umbul paling besar ukuran 5 m x 1,15 m, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kecamatan - spanduk paling besar ukuran 1,5 m x 7 m, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau kelurahan
3. Bahan Kampanye. Apakah yang dimaksud Bahan Kampanye? Bahan Kampanye mencakuo semua benda atau bentuk lain yang memuat visi - misi, program Pasangan Calon, simbol, atau tanda gambar yang disebar untuk keperluan Kampanye. - Selebaran (flyer) paling besar ukuran 8,25 cm x 21 cm; - Brosur (leaflet) paling besar ukuran posisi terbuka 21 cm x 29,7 cm, posisi terlipat 21 cm x 10 cm; - Pamflet paling besar ukuran 21 cm x 29,7 cm; - Poster paling besar ukuran 40 cm x 60 cm.
4. Siapakah yang menyiapkan materi dan disain, hingga pencetakkannya? Desain dan materi dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Selain Visi – Misi dan Program serta tanda gambar/foto pasangan calon, materi juga dapat menampilkan tanda gambarPartai Politik atau Gabungan Partai Poitik atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota mencetak Bahan Kampanye paling banyak sejumlah kepala keluarga pada daerah Pemilihan untuk setiap Pasangan Calon. Bahan Kampanye yang sudah di cetak kemudian diserahkan kepada tim Kampanye Pasangan Calon untuk disebarluaskan.
5. Bolehkah Tim Kampanye Pasangan Calon mencetak Bahan Kampanye selain yang difasilitasi oleh KPU? Boleh, Bahan Kampanye yang dapat di produksi sendiri meliputi; Kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, stiker paling besar ukuran 10 cm x 5 cm. Apa saja ketentuan lainnya yang mengatur percetakan dan penyebaran bahan kampaye? Setiap Bahan Kampanye, apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Penyebaran Bahan Kampanye kepada umum dilakukan pada kegiatan kampanye seperti: Pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, dan/atau di tempat umum. Bahan Kampanye seperti stiker, pamflet atau poster tidak boleh di pasang/tempel pada fasilitas umum seperti; tempat ibadah termasuk halaman rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.
b.Kiat Mempersiapkan Kampanye Debat Politik 24 Kampanye Debat Publik atau Debat Politik Terbuka adalah salah satu upaya
menyebarluaskan profil, visi dan misi serta program kerja pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, sehingga pemilih mendapat gambaran yang komprehensif dalam menentukan pilihannya.
Kapan dan berapa kali pelaksanaannya? Paling banyak 3 (tiga) kali oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, dalam hal ini waktu pelaksanaan dikoordinasikan bersama tim kampanye masing-masing pasangan calon. Apa sajakah yang termasuk dalam materi Debat? Materi debat disusun untuk menggali lebih dalam visi - misi dan Program Kerja Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam: Upaya yang akan dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Upaya yang akan dilakukan dalam memajukan daerah; Upaya yang akan dilakukan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; Upaya yang akan dilakukan dalam menyelesaikan persoalan daerah; Upaya menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional;dan Upaya memperkokoh
24 http://www.kpu.go.id/koleksigambar/APPROVED+Juknis+Kampanye+Pilkada+2015.pdf
136 137
Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat kebangsaan dan kebanggaan menjadi warga negara se-nusantara, persaudaraan umat manusia, dan perasaan kesebumian.
Siapa sajakah yang terlibat dalam penyusunan materi debat dan pemilihan moderator? Dalam menentukantema serta menyusun materi debat KPU mendapat masukan dari Panelis yang terdiri dari pakar dari kalanganprofesional dan akademisi. Panelis dapat memberikan usulan moderator atau diusulkan menjadi moderator. Moderator kemudian dipilih dan ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu calon.
Dalam proses penetapan tema serta Moderator KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari setiap tim kampanye pasangan calon. Bagaimanakah Metode Pelaksanaan Debat? Metode debat menggunakan format Kandidat Moderator. Debat dilaksanakan maksimal berdurasi 90 menit dan 30 menit untuk jeda iklan.Penayangan Iklan wajib menyertakan iklan layanan masyarakat terkait pemilu.
Debat terdiri dari beberapa babak (4-6 Babak) terdiri dari pemaparan visi-misi dan program yang diusung terkait tema, pertanyaan dari moderator terkait tema dan tanyajawab/pernyataan sanggahan antara pasangan calon. Moderator memiliki peran penting untuk menjaga keberimbangan kesempatan bagi tiap- tiap pasangan calon dari segi waktu dan bobot pertanyaan. Debat digelar di ruang tertutup yang mampu menampung tamu dan pendukung setiap pasangan calon. Tim Kampanye bertanggung jawab menjaga ketertiban masing-masing tim pendukung.
Bagaimanakah aturan penyiaran Debat? Debat disiarkan melalui: Lembaga Penyiaran Publik dan atau Lembaga Penyiaran Swasta. Dalam hal debat publik atau debat terbuka tidak dapat disiarkan secara langsung karena keterbatasan frekuensi, debat dapat disiarkan secara tunda pada masa Kampanye. Debat publik atau debat terbuka juga dapat disiarkan ulang selama masa Kampanye. Stasiun televisi penyelenggara penyiaran Debat wajib menyediakan clean feed, sebagai materi relay bagi stasiun televisi lainnya, dalam upaya menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Dalam penyiaran debat, sangat penting menjaga keberimbangan bagi masing-masing pasangan calon, baik dalam pengambilan gambar hingga penayangannya. Tidak boleh ada pasangan calon yang dirugikan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga sudah mengeluarkan regulasi aturan main menyangkut kampanye Pemilukada. Regulasi itu antara lain mengatur saoal Iklan Kampanye memuat informasi mengenai visi - misi, program, tanda gambar/foto atau audio visual pasangan calon, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Iklan dapat berisi pesan ajakan atau meyakinkan calon pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu. Apa saja bentuk Materi Iklan Kampanye? Tulisan, Suara,Gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan. Apa saja yang di fasilitasi KPU terkait Iklan Kampanye? KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota memfasilitasi penayangan Iklan pada:
Media massa cetak - Media massa elektronik, yaitu televisi dan radio - Lembaga penyiaran; dalam bentuk iklan komersial atau iklan layanan masyarakat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menentukan dan menetapkan jumlah penayangan dan ukuran atau durasi Iklan Kampanye untuk setiap Pasangan Calon. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib memberikan kesempatan dan alokasi ruang/waktu yang sama dan berimbang kepada setiap Pasangan Calon dalam menetapkan jadwal Penayangan. Siapakah yang memproduksi materi iklan? Materi Iklan Kampanye dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran atau durasi yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sesuai pertauran dan etika periklanan.
Berapakah Durasi dan Frekuensi Penayangan iklan kampanye? 1. Cetak Jumlah iklan kampanye yang dapat di muat di media cetak maksimal selebar
satu halaman, pada setiap edisi 14 hari sebelum masa tenang (ukuran dan frekuensi menyesuaikan ketersediaan anggaran serta tarif iklan media cetak yang berlaku) Iklan pasangan calon dapat dimuat bersamaan dalam satu halaman di episode yang sama atau atau
2. Apa sajakah bentuk APK itu? Bentuk APK konvensional adalah baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 m x 7 m, paling banyak 5 (lima) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kabupaten/kota - umbul-umbul paling besar ukuran 5 m x 1,15 m, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kecamatan - spanduk paling besar ukuran 1,5 m x 7 m, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau kelurahan
3. Bahan Kampanye. Apakah yang dimaksud Bahan Kampanye? Bahan Kampanye mencakuo semua benda atau bentuk lain yang memuat visi - misi, program Pasangan Calon, simbol, atau tanda gambar yang disebar untuk keperluan Kampanye. - Selebaran (flyer) paling besar ukuran 8,25 cm x 21 cm; - Brosur (leaflet) paling besar ukuran posisi terbuka 21 cm x 29,7 cm, posisi terlipat 21 cm x 10 cm; - Pamflet paling besar ukuran 21 cm x 29,7 cm; - Poster paling besar ukuran 40 cm x 60 cm.
4. Siapakah yang menyiapkan materi dan disain, hingga pencetakkannya? Desain dan materi dibuat dan dibiayai oleh Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Selain Visi – Misi dan Program serta tanda gambar/foto pasangan calon, materi juga dapat menampilkan tanda gambarPartai Politik atau Gabungan Partai Poitik atau foto pengurus Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota mencetak Bahan Kampanye paling banyak sejumlah kepala keluarga pada daerah Pemilihan untuk setiap Pasangan Calon. Bahan Kampanye yang sudah di cetak kemudian diserahkan kepada tim Kampanye Pasangan Calon untuk disebarluaskan.
5. Bolehkah Tim Kampanye Pasangan Calon mencetak Bahan Kampanye selain yang difasilitasi oleh KPU? Boleh, Bahan Kampanye yang dapat di produksi sendiri meliputi; Kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, stiker paling besar ukuran 10 cm x 5 cm. Apa saja ketentuan lainnya yang mengatur percetakan dan penyebaran bahan kampaye? Setiap Bahan Kampanye, apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Penyebaran Bahan Kampanye kepada umum dilakukan pada kegiatan kampanye seperti: Pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, dan/atau di tempat umum. Bahan Kampanye seperti stiker, pamflet atau poster tidak boleh di pasang/tempel pada fasilitas umum seperti; tempat ibadah termasuk halaman rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.
2.b.Kiat Mempersiapkan Kampanye Debat Politik24 Kampanye Debat Publik atau Debat Politik Terbuka adalah salah satu upaya
menyebarluaskan profil, visi dan misi serta program kerja pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, sehingga pemilih mendapat gambaran yang komprehensif dalam menentukan pilihannya.
Kapan dan berapa kali pelaksanaannya? Paling banyak 3 (tiga) kali oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, dalam hal ini waktu pelaksanaan dikoordinasikan bersama tim kampanye masing-masing pasangan calon. Apa sajakah yang termasuk dalam materi Debat? Materi debat disusun untuk menggali lebih dalam visi - misi dan Program Kerja Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam: Upaya yang akan dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Upaya yang akan dilakukan dalam memajukan daerah; Upaya yang akan dilakukan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; Upaya yang akan dilakukan dalam menyelesaikan persoalan daerah; Upaya menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional;dan Upaya memperkokoh
24 http://www.kpu.go.id/koleksigambar/APPROVED+Juknis+Kampanye+Pilkada+2015.pdf
138 139
2.f.Mempersiapkan Kampanye Rapat Umum
Rapat umum dilaksanakan pasangan calon dan tim kampanye di lapangan, stadion, alun-alun atau tempat terbuka lainnya, dengan jumlah pendukung dan undangan yang dengan menyesuaikan kapasitas tempat. Kapankah pelaksanaan Rapat Umum? Rapat umum diadakan pada masa kampanye pukul 09.00 waktu setempat dan berakhir paling lambat pukul 18.00 waktu setempat dengan menghormati hari dan waktu ibadah di Indonesia. Berapa kalikah rapat umum paling banyak dapat dilaksanakan? - 2 (dua) kali untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur - 1 (satu) kali untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Tim Kampanye terkait hari/tanggal pelaksanaan.
Hal-hal apa sajakah yang perlu diperhatikan Pasangan Calon dan Tim Kampanye? Petugas Kampanye wajib memerhatikan daya tampung lokasi penyelenggaran rapat
umum. Petugas Kampanye rapat umum dari setiap Pasangan Calon wajib menunjuk 1 (satu) orang atau lebih dari anggotanya sebagai koordinator lapangan. Petugas Kampanye bertanggung jawab atas kelancaran, keamanan dan ketertiban peserta Kampanye pada saat keberangkatan dan/atau kepulangan dari tempat Kampanye. Petugas dan peserta Kampanye dilarang membawa atau menggunakan tanda gambar, simbol-simbol, panji, pataka, dan/atau bendera yang bukan tanda gambar atau atribut lain dari Pasangan Calon yang bersangkutan.
Peserta Kampanye yang menghadiri Kampanye rapat umum dengan menggunakan kendaraan bermotor secara rombongan atau konvoi, dalam keberangkatan dan kepulangannya dilarang: - melakukan pawai kendaraan bermotor; dan - melanggar peraturan lalu lintas. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon dapat mengikutsertakan personil satuan tugas atau sebutan lainnya. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik wajib mendaftarkan satuan tugaskepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Kampanye.
Personil satuan tugas wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: Dilarang menggunakan seragam mirip Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; Dilarang menyimpan dan/atau membawa senjata api dan senjata tajam; Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjaga ketertiban dan keamanan Kampanye. 2.g.Mempersiapkan kegiatan Kampanye lainnya
Pasangan Calon dan atau Tim Kampanye dapat melaksanakan kegiatan lain dalam bentuk: rapat umum, dengan jumlah terbatas; kegiatan kebudayaan (pentas seni, panen raya, konser musik); kegiatan olahraga (gerak jalan santai, sepeda santai); kegiatan sosial (bazar, donor darah, perlombaan, hari ulang tahun; dan atau - kampanye melalui media sosial. Bagaimanakah Pengaturan Kegiatan Kampanye Melalui Media Sosial? Kampanye pada media sosial dilakukan oleh Pasangan Calon dan atau Tim Kampanye melalui pemanfaatan jejaring sosial media di internet. Dalam Kegiatan ini akun resmi sosial media digunakan untuk kemperluan kampanye selama masa kampanye.
Perlukah Paslon/Tim Kampanye melaporkan Akun Sosial Media resminya? Pasangan Calon wajib mendaftarkan akun resmi di media sosial kepada KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota sesuai tingkatannya, dengan mengisi formulir BC4-KWK paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Kampanye. Formulir juga dilampirkan kepada Bawaslu/Panwaslu dan Kepolisian sesuai tingkatannya. Seperti apakah materi kampanye dalam media sosial itu? Materi Kampanye dalam media sosialdapat berupa: tulisan, suara dan gambar yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan. Desain menyesuaikan dengan template dan fitur yang tersedia dalam applikasi sosial media yang digunakan.
Kapan dan berapa lama kampanye dalam sosial media dapat dilakukan? Selama masa kampanye.Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye wajib menutup akun resmi di media sosial paling lambat 1 (satu) hari setelah masa Kampanye berakhir.
saling bergantian di episode berikutnya. Penentuan ukuran dan frekuensi iklan harus memenuhi prinsip keterbukaan serta keberimbangan bagi semua pasangan calon.Catatan: Ukuran halaman standar Koran: 330.5 mm x 550 mm, ukuran halaman, standar tabloid: 290 mm x 420 mm, ukuran halaman standar majalah: 210.5 mm x 270,5 mm.
2. Televisi Jumlah penayangan Iklan Kampanye di televisi untuk setiap Pasangan Calon, paling banyak kumulatif 10 spot, berdurasi paling lama 30 detik, untuk setiap stasiun televisi, setiap hari selama masa penayangan Iklan Kampanye. Penentuan alokasi, frekuensi penayangan serta jadwal (placement) ditentukan dengan memenuhi prinsip keterbukaan dan keberimbangan bagi pasangan calon.
3. Radio Jumlah penayangan Iklan Kampanye di radio untuk setiap Pasangan Calon, paling banyak 10 spot, berdurasi paling lama 60 detik, untuk setiap stasiun radio, setiap hari selama masa penayangan Iklan Kampanye. Penentuan alokasi, frekuensi penyiaran serta jadwal (placement) ditentukan dengan memenuhi prinsip keterbukaan dan keberimbangan bagi pasangan calon.
Bagaimanakah pengaturan penayangan Iklan Layanan Masyarakat non-partisan? Media massa elektronik dan lembaga penyiaran menyiarkan Iklan Kampanye layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 detik. Iklan Kampanye layanan masyarakat dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak, lembaga penyiaran atau dibuat oleh pihak lain. Jumlah waktu tayang Iklan Kampanye layanan masyarakat tidak termasuk jumlah tayangan Iklan Kampanye yang difasilitasi oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
Bagaimanakah Pengaturan Iklan Kampanye komersial atau yang tidak di fasilitasi KPU? Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dilarang menayangkan Iklan kampanye komersial selain yang difasilitasi oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang memuat dan menayangkan Iklan Kampanye komersial atau layanan masyarakat wajib mematuhi kode etik periklanan.
c. Mempersiapkan Kampanye Pertemuan Terbatas
Pertemuan terbatas adalah pertemuan dengan jumlah audiens terbatas di dalam ruangan atau gedung tertutup, yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pasangan calon/tim kampanye. Jumlah peserta disesuaikan dengan kapasitas ruangan, maksimum: a. 2.000 orang untuk tingkat provinsi; b. 1.000 orang untuk tingkat kabupaten/kota. Undangan kepada peserta harus memuat informasi mengenai hari, tanggal, jam, tempat kegiatan, nama pembicara, dan penanggung jawab. Petugas Kampanye pertemuan terbatas dan tamu undangan hanya dibenarkan membawa atau menggunakan: - nomor urut dan foto Pasangan Calon; - tanda gambar Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon - umbul-umbul atau atribut Pasangan Calon. d. Mempersiapkan Pertemuan Tatap Muka dan Dialog
Pertemuan tatap muka disertai dialog secara interaktif dapat dilaksanakan didalam atau diluar ruangan dengan ketentuan: Jumlah peserta tidak melampaui kapasitas tempat duduk. Peserta dapat terdiri atas peserta pendukung dan tamu undangan. Pertemuan tatap muka dan dialog yang dilaksanakan diluar ruangan dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kunjungan ke pasar, tempat tinggal warga, komunitas warga atau tempat umum lainnya.
Petugas Kampanye pertemuan tatap muka dan dialog dapat memasang Alat Peraga Kampanye di halaman gedung atau tempat pertemuan Hal-hal lain apa saja yang perlu diperhatikan Tim Kampanye dalam menyelenggarakan Pertemuan Terbatas atau Pertemuan Tatap Muka dan Dialog? Tim Kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat, dengan tembusan disampaikan kepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota sesuai tingkatannya. Pemberitahuan tertulis mencakup informasi: Hari, tanggal, waktu, tempat, nama pembicara; jumlah peserta yang diundang dan penanggung jawab.
138 139
Rapat umum dilaksanakan pasangan calon dan tim kampanye di lapangan, stadion, alun-alun atau tempat terbuka lainnya, dengan jumlah pendukung dan undangan yang dengan menyesuaikan kapasitas tempat. Kapankah pelaksanaan Rapat Umum? Rapat umum diadakan pada masa kampanye pukul 09.00 waktu setempat dan berakhir paling lambat pukul 18.00 waktu setempat dengan menghormati hari dan waktu ibadah di Indonesia. Berapa kalikah rapat umum paling banyak dapat dilaksanakan? - 2 (dua) kali untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur - 1 (satu) kali untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Tim Kampanye terkait hari/tanggal pelaksanaan.
Hal-hal apa sajakah yang perlu diperhatikan Pasangan Calon dan Tim Kampanye? Petugas Kampanye wajib memerhatikan daya tampung lokasi penyelenggaran rapat
umum. Petugas Kampanye rapat umum dari setiap Pasangan Calon wajib menunjuk 1 (satu) orang atau lebih dari anggotanya sebagai koordinator lapangan. Petugas Kampanye bertanggung jawab atas kelancaran, keamanan dan ketertiban peserta Kampanye pada saat keberangkatan dan/atau kepulangan dari tempat Kampanye. Petugas dan peserta Kampanye dilarang membawa atau menggunakan tanda gambar, simbol-simbol, panji, pataka, dan/atau bendera yang bukan tanda gambar atau atribut lain dari Pasangan Calon yang bersangkutan.
Peserta Kampanye yang menghadiri Kampanye rapat umum dengan menggunakan kendaraan bermotor secara rombongan atau konvoi, dalam keberangkatan dan kepulangannya dilarang: - melakukan pawai kendaraan bermotor; dan - melanggar peraturan lalu lintas. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon dapat mengikutsertakan personil satuan tugas atau sebutan lainnya. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik wajib mendaftarkan satuan tugaskepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Kampanye.
Personil satuan tugas wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: Dilarang menggunakan seragam mirip Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; Dilarang menyimpan dan/atau membawa senjata api dan senjata tajam; Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjaga ketertiban dan keamanan Kampanye.
Pasangan Calon dan atau Tim Kampanye dapat melaksanakan kegiatan lain dalam bentuk: rapat umum, dengan jumlah terbatas; kegiatan kebudayaan (pentas seni, panen raya, konser musik); kegiatan olahraga (gerak jalan santai, sepeda santai); kegiatan sosial (bazar, donor darah, perlombaan, hari ulang tahun; dan atau - kampanye melalui media sosial. Bagaimanakah Pengaturan Kegiatan Kampanye Melalui Media Sosial? Kampanye pada media sosial dilakukan oleh Pasangan Calon dan atau Tim Kampanye melalui pemanfaatan jejaring sosial media di internet. Dalam Kegiatan ini akun resmi sosial media digunakan untuk kemperluan kampanye selama masa kampanye.
Perlukah Paslon/Tim Kampanye melaporkan Akun Sosial Media resminya? Pasangan Calon wajib mendaftarkan akun resmi di media sosial kepada KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota sesuai tingkatannya, dengan mengisi formulir BC4-KWK paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan Kampanye. Formulir juga dilampirkan kepada Bawaslu/Panwaslu dan Kepolisian sesuai tingkatannya. Seperti apakah materi kampanye dalam media sosial itu? Materi Kampanye dalam media sosialdapat berupa: tulisan, suara dan gambar yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan. Desain menyesuaikan dengan template dan fitur yang tersedia dalam applikasi sosial media yang digunakan.
Kapan dan berapa lama kampanye dalam sosial media dapat dilakukan? Selama masa kampanye.Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye wajib menutup akun resmi di media sosial paling lambat 1 (satu) hari setelah masa Kampanye berakhir.
e. Mempersiapkan Kampanye Rapat Umum
f. Mempersiapkan kegiatan Kampanye lainnya
saling bergantian di episode berikutnya. Penentuan ukuran dan frekuensi iklan harus memenuhi prinsip keterbukaan serta keberimbangan bagi semua pasangan calon.Catatan: Ukuran halaman standar Koran: 330.5 mm x 550 mm, ukuran halaman, standar tabloid: 290 mm x 420 mm, ukuran halaman standar majalah: 210.5 mm x 270,5 mm.
2. Televisi Jumlah penayangan Iklan Kampanye di televisi untuk setiap Pasangan Calon, paling banyak kumulatif 10 spot, berdurasi paling lama 30 detik, untuk setiap stasiun televisi, setiap hari selama masa penayangan Iklan Kampanye. Penentuan alokasi, frekuensi penayangan serta jadwal (placement) ditentukan dengan memenuhi prinsip keterbukaan dan keberimbangan bagi pasangan calon.
3. Radio Jumlah penayangan Iklan Kampanye di radio untuk setiap Pasangan Calon, paling banyak 10 spot, berdurasi paling lama 60 detik, untuk setiap stasiun radio, setiap hari selama masa penayangan Iklan Kampanye. Penentuan alokasi, frekuensi penyiaran serta jadwal (placement) ditentukan dengan memenuhi prinsip keterbukaan dan keberimbangan bagi pasangan calon.
Bagaimanakah pengaturan penayangan Iklan Layanan Masyarakat non-partisan? Media massa elektronik dan lembaga penyiaran menyiarkan Iklan Kampanye layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 detik. Iklan Kampanye layanan masyarakat dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak, lembaga penyiaran atau dibuat oleh pihak lain. Jumlah waktu tayang Iklan Kampanye layanan masyarakat tidak termasuk jumlah tayangan Iklan Kampanye yang difasilitasi oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
Bagaimanakah Pengaturan Iklan Kampanye komersial atau yang tidak di fasilitasi KPU? Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dilarang menayangkan Iklan kampanye komersial selain yang difasilitasi oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang memuat dan menayangkan Iklan Kampanye komersial atau layanan masyarakat wajib mematuhi kode etik periklanan.
2.c.Mempersiapkan Kampanye Pertemuan Terbatas
Pertemuan terbatas adalah pertemuan dengan jumlah audiens terbatas di dalam ruangan atau gedung tertutup, yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pasangan calon/tim kampanye. Jumlah peserta disesuaikan dengan kapasitas ruangan, maksimum: a. 2.000 orang untuk tingkat provinsi; b. 1.000 orang untuk tingkat kabupaten/kota. Undangan kepada peserta harus memuat informasi mengenai hari, tanggal, jam, tempat kegiatan, nama pembicara, dan penanggung jawab. Petugas Kampanye pertemuan terbatas dan tamu undangan hanya dibenarkan membawa atau menggunakan: - nomor urut dan foto Pasangan Calon; - tanda gambar Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan Pasangan Calon - umbul-umbul atau atribut Pasangan Calon. 2.d.Mempersiapkan Pertemuan Tatap Muka dan Dialog
Pertemuan tatap muka disertai dialog secara interaktif dapat dilaksanakan didalam atau diluar ruangan dengan ketentuan: Jumlah peserta tidak melampaui kapasitas tempat duduk. Peserta dapat terdiri atas peserta pendukung dan tamu undangan. Pertemuan tatap muka dan dialog yang dilaksanakan diluar ruangan dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kunjungan ke pasar, tempat tinggal warga, komunitas warga atau tempat umum lainnya.
Petugas Kampanye pertemuan tatap muka dan dialog dapat memasang Alat Peraga Kampanye di halaman gedung atau tempat pertemuan Hal-hal lain apa saja yang perlu diperhatikan Tim Kampanye dalam menyelenggarakan Pertemuan Terbatas atau Pertemuan Tatap Muka dan Dialog? Tim Kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat, dengan tembusan disampaikan kepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota sesuai tingkatannya. Pemberitahuan tertulis mencakup informasi: Hari, tanggal, waktu, tempat, nama pembicara; jumlah peserta yang diundang dan penanggung jawab.
140 141
2.i. Kampanye Inovatif dan Persyaratan Pilkada: Score Pro Bono Publik25 Kendala yang dihadapi aktifis perempuan dalam pencalalonan dan bisa melakukan
kampanye politik adalah hadirnya dinasti politik dan oligharkhi partai. Jangankan untuk memipi melakukan aktifitas kampanye, untuk dicalonkan saja sudah terpinggirkan. Selama ini persyaratan untuk ikut pemilu masih normatif dan belum optimal menghasilkan kepala daerah yang bermutu dan memiliki kemampuan. Siapa dan bagaimana kualitasnya tidak tampak bila dikaji dari uraian visi, misi dan program yang umumnya normatif dan abstrak.
Akibatnya ketika seorang kepala daerah terpilih maka kebijakannya pun dirasa belum bermanfaat atau sesuai dengan kebutuhan rakyat. Ada usulan bahwa syarat bagi calon kandidat kepala daerah adalah pengumpulan score probono publik, yaitu adanya bentuk bobot angka yang ditujukan kepada karya dan kontribusi seorang calon kepala daerah bagi masyarakat jika seseorang ingin menjadi pemimpin mereka dalam kompetisi Pemilukada. Namanya, “pro bono publik”.
Apa pengertian atau maksud dari istilah “pro bono publik”? Secara etimologis “pro bono publik” berarti untuk kebaikan orang banyak. Ada beberapa istilah. Dalam literatur klasik disebut dengan endom onia, yang artinya kebaikan bersama. Dalam bahasa latin adalah pro bono publik. Jika dibahasakan dalam bahasa kita, Indonesia, sudah memberikan nilai kebaikan untuk orang banyak. Probono publik adalah kampanye nyata yang dilakukan sepanjang tahun dan diantara dua pemilu, bukan pencitraan atau kepura-puraan. Kerja nyata dan berguna bagi publik.
Penilaiannya seperti apa? Poin dalam pro bono publik adalah satu kegiatan yang bermanfaat untuk kebaikan orang banyak. Misalnya seorang yang ingin menjadi wakil rakyat di provinsi, harus mengumpulkan 50 poin pro bono publik. Sebelum 50 poin terkumpul seseorang belum bisa mencalonkan sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Kita bisa memasukan bidang kewirausahaan. Apakah mampu, seseorang bisa menyerap orang bekerja di suatu daerah dari satu unit usaha yang dibuatnya. Di Sukabumi misalnya, selama ini belum ada pengusahaan industri batik Sukabumi. Setelah diusahakan, masyarakat Sukabumi mendapat satu pekerjaan baru melalui batik Sukabumi yang seseorang itu hidupkan. Ini baru contoh 1 poin pro bono publik bidang kesejahteraan publik dalam bentuk membangun kewirausahaan dan ekonomi kreatif bagi penduduk.
Ada lagi poin pro bono dengan kriteria integritas. Apakah bisa seseorang bisa menanamkan nilai integritas di lingkungannya. Misalnya, seseorang telah membuat dan menjalankan “Kantin Kejujuran”. Bagaimana ia bisa mengajak dan menerapkan kejujuran pada orang banyak dalam keseharian. Ini poin pro bono publik integritas. Dengan poin pro bono publik, seseorang berkontribusi dulu di daerah pemilihan. Maka setiap orang yang mewakili rakyat, memang dikenal. Syarat ini yang mendorong akuntabiltas, representabilitas dan responsibilitas calon kepala daerah di masa mendatang.
Perwujudannya menjadi persyaratan aktual bagaimana? Untuk mewujudkan itu memang harus ada adendum atau penambahan syarat pada undang-undang Pemilukada. Hal yang di tambahkan adalah pasal persyaratan pencalonan kepala daerah, ditambahkan satu pasal, agar bisa menjadi calon kepala daerah, para calon harus mengumpulkan poin pro bono publik. Jumlah persyaratannya bertingkat. Untuk daerah tingkat satu (Provinsi) misalnya 100 poin. Tingkat dua (Kabupaten, Kota) 50 poin. Presiden mungkin perlu 500 poin misalnya.
Dengan cara ini setiap calon politisi akan dipaksa menjadi negarawan yang harus berkerja dan kreatif dari bawah dulu. Tidak akan ada politik dinasti atau kader jenggot yang mengkarbit seseorang tiba-tiba loncat menjadi calon kepala daerah. Misalnya, Bang Haji Rhoma Irama mau jadi presiden. Maka dia mesti mempunyai poin pro bono publik dulu untuk daerah kelahirannya di Tasikmalaya. Lalu di Jawa Barat. Baru pro bono publik untuk Indonesia. Sehingga kita dapat pemimpin yang mengakar dari bawah secara alamiah. Carta ini akan memberi peluang bagi aktifis perempuan yang kreatif dan mengakar untuk tampil bersaing dengan calon yang diusung oleh dinasti politik tertentu. Bahkan diduga, tradisi dinasi
25 http://www.rumahpemilu.org/in/read/975/Syafuan-Rozi-Soeban-Pro-Bono-Publik-untuk-
Keterwakilan-Demokrasi-Substantif
Pemberitaan dan penyiaran kampanye bertujuan untuk menyampaikan berita terkait kegiatan Kampanye Pasangan Calon kepada masyarakat. Jenis media apa sajakah yang dapat digunakan? Pemberitaan dan penyiaran Kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Apa sajakah yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara media dalam menyiarkan kampanye? Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dalam memberitakan dan menyiarkan kegiatan Kampanye dengan mematuhi kode etik jurnalistik, etika penyiaran dan peraturan perundang-undangan. Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang dalam memberitakan dan menyiarkan kegiatan Kampanye Pasangan Calon. Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kegiatan Kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Pasangan Calon.
Bagaimana halnya dengan Lembaga Penyiaran Komunitas? Pasangan Calon dilarang memanfaatkan lembaga penyiaran komunitas untuk kepentingan Kampanyenya Lembaga penyiaran komunitashanya dapat menyiarkan proses Pemilihan sebagai bentuk layanan kepada masyarakat. Apa sajakah bentuk penyiaran kampanye? Penyiaran Kampanyedilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran: - monolog - dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar; - pemirsa atau suara pendengar; dan/atau - jajak pendapat. Narasumber penyiaran monolog dan dialog wajib mematuhi kode etik jurnalistik, etika penyiaran dan peraturan perundang-undangan. Siaran monolog dan dialog yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan singkat, surat elektronik, dan/atau faksimili.
Tata cara penyelenggaraan siaran monolog dan dialog diatur bersama-sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia. Larangan Pemblokiran Segmen untuk Penyiaran Kampanye Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dilarang: - menjual pemblokiran segmen; - pemblokiran waktu untuk Kampanye; dan/atau - menerima menerima program sponsor dalam format atau segmen apapun yang dapat dikategorikan sebagai Iklan Kampanye.
Catatan: Pemblokiran segmen adalah kolom pada media massa cetak, sub- acara pada media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang digunakan untuk pemberitaan bagi publik. Pemblokiran waktu, adalah hari dan tanggal penerbitan media massa cetak, elektronik dan jam tayang pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk pemberitaan bagi publik. Media massa cetak dan elektronik menyediakan halaman dan waktu yang adil dan berimbang untuk pemuatan berita dan wawancara untuk setiap Pasangan Calon. Selama masa tenang media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran, dilarang menyiarkan iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon.
Siapakah yang melakukan pengawasan pemberitaan, penyiaran & iklan kampanye? Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan Iklan Kampanye yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak dan media massa elektronik. Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan tentang penyiaran atau pers.
g. Mempersiapkan Pemberitaan dan Penyiaran Kampanye
140 141
: Score Pro Bono Publik 25
Kendala yang dihadapi aktifis perempuan dalam pencalalonan dan bisa melakukan kampanye politik adalah hadirnya dinasti politik dan oligharkhi partai. Jangankan untuk memipi melakukan aktifitas kampanye, untuk dicalonkan saja sudah terpinggirkan. Selama ini persyaratan untuk ikut pemilu masih normatif dan belum optimal menghasilkan kepala daerah yang bermutu dan memiliki kemampuan. Siapa dan bagaimana kualitasnya tidak tampak bila dikaji dari uraian visi, misi dan program yang umumnya normatif dan abstrak.
Akibatnya ketika seorang kepala daerah terpilih maka kebijakannya pun dirasa belum bermanfaat atau sesuai dengan kebutuhan rakyat. Ada usulan bahwa syarat bagi calon kandidat kepala daerah adalah pengumpulan score probono publik, yaitu adanya bentuk bobot angka yang ditujukan kepada karya dan kontribusi seorang calon kepala daerah bagi masyarakat jika seseorang ingin menjadi pemimpin mereka dalam kompetisi Pemilukada. Namanya, “pro bono publik”.
Apa pengertian atau maksud dari istilah “pro bono publik”? Secara etimologis “pro bono publik” berarti untuk kebaikan orang banyak. Ada beberapa istilah. Dalam literatur klasik disebut dengan endom onia, yang artinya kebaikan bersama. Dalam bahasa latin adalah pro bono publik. Jika dibahasakan dalam bahasa kita, Indonesia, sudah memberikan nilai kebaikan untuk orang banyak. Probono publik adalah kampanye nyata yang dilakukan sepanjang tahun dan diantara dua pemilu, bukan pencitraan atau kepura-puraan. Kerja nyata dan berguna bagi publik.
Penilaiannya seperti apa? Poin dalam pro bono publik adalah satu kegiatan yang bermanfaat untuk kebaikan orang banyak. Misalnya seorang yang ingin menjadi wakil rakyat di provinsi, harus mengumpulkan 50 poin pro bono publik. Sebelum 50 poin terkumpul seseorang belum bisa mencalonkan sebagai wakil rakyat di pemerintahan. Kita bisa memasukan bidang kewirausahaan. Apakah mampu, seseorang bisa menyerap orang bekerja di suatu daerah dari satu unit usaha yang dibuatnya. Di Sukabumi misalnya, selama ini belum ada pengusahaan industri batik Sukabumi. Setelah diusahakan, masyarakat Sukabumi mendapat satu pekerjaan baru melalui batik Sukabumi yang seseorang itu hidupkan. Ini baru contoh 1 poin pro bono publik bidang kesejahteraan publik dalam bentuk membangun kewirausahaan dan ekonomi kreatif bagi penduduk.
Ada lagi poin pro bono dengan kriteria integritas. Apakah bisa seseorang bisa menanamkan nilai integritas di lingkungannya. Misalnya, seseorang telah membuat dan menjalankan “Kantin Kejujuran”. Bagaimana ia bisa mengajak dan menerapkan kejujuran pada orang banyak dalam keseharian. Ini poin pro bono publik integritas. Dengan poin pro bono publik, seseorang berkontribusi dulu di daerah pemilihan. Maka setiap orang yang mewakili rakyat, memang dikenal. Syarat ini yang mendorong akuntabiltas, representabilitas dan responsibilitas calon kepala daerah di masa mendatang.
Perwujudannya menjadi persyaratan aktual bagaimana? Untuk mewujudkan itu memang harus ada adendum atau penambahan syarat pada undang-undang Pemilukada. Hal yang di tambahkan adalah pasal persyaratan pencalonan kepala daerah, ditambahkan satu pasal, agar bisa menjadi calon kepala daerah, para calon harus mengumpulkan poin pro bono publik. Jumlah persyaratannya bertingkat. Untuk daerah tingkat satu (Provinsi) misalnya 100 poin. Tingkat dua (Kabupaten, Kota) 50 poin. Presiden mungkin perlu 500 poin misalnya.
Dengan cara ini setiap calon politisi akan dipaksa menjadi negarawan yang harus berkerja dan kreatif dari bawah dulu. Tidak akan ada politik dinasti atau kader jenggot yang mengkarbit seseorang tiba-tiba loncat menjadi calon kepala daerah. Misalnya, Bang Haji Rhoma Irama mau jadi presiden. Maka dia mesti mempunyai poin pro bono publik dulu untuk daerah kelahirannya di Tasikmalaya. Lalu di Jawa Barat. Baru pro bono publik untuk Indonesia. Sehingga kita dapat pemimpin yang mengakar dari bawah secara alamiah. Carta ini akan memberi peluang bagi aktifis perempuan yang kreatif dan mengakar untuk tampil bersaing dengan calon yang diusung oleh dinasti politik tertentu. Bahkan diduga, tradisi dinasi
25 http://www.rumahpemilu.org/in/read/975/Syafuan-Rozi-Soeban-Pro-Bono-Publik-untuk-
Keterwakilan-Demokrasi-Substantif
h. Kampanye Inovatif dan Persyaratan Pilkada
2.h.Mempersiapkan Pemberitaan dan Penyiaran Kampanye Pemberitaan dan penyiaran kampanye bertujuan untuk menyampaikan berita terkait
kegiatan Kampanye Pasangan Calon kepada masyarakat. Jenis media apa sajakah yang dapat digunakan? Pemberitaan dan penyiaran Kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Apa sajakah yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara media dalam menyiarkan kampanye? Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dalam memberitakan dan menyiarkan kegiatan Kampanye dengan mematuhi kode etik jurnalistik, etika penyiaran dan peraturan perundang-undangan. Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang dalam memberitakan dan menyiarkan kegiatan Kampanye Pasangan Calon. Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kegiatan Kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Pasangan Calon.
Bagaimana halnya dengan Lembaga Penyiaran Komunitas? Pasangan Calon dilarang memanfaatkan lembaga penyiaran komunitas untuk kepentingan Kampanyenya Lembaga penyiaran komunitashanya dapat menyiarkan proses Pemilihan sebagai bentuk layanan kepada masyarakat. Apa sajakah bentuk penyiaran kampanye? Penyiaran Kampanyedilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran: - monolog - dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar; - pemirsa atau suara pendengar; dan/atau - jajak pendapat. Narasumber penyiaran monolog dan dialog wajib mematuhi kode etik jurnalistik, etika penyiaran dan peraturan perundang-undangan. Siaran monolog dan dialog yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan singkat, surat elektronik, dan/atau faksimili.
Tata cara penyelenggaraan siaran monolog dan dialog diatur bersama-sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia. Larangan Pemblokiran Segmen untuk Penyiaran Kampanye Media massa cetak, media massa elektronik dan lembaga penyiaran dilarang: - menjual pemblokiran segmen; - pemblokiran waktu untuk Kampanye; dan/atau - menerima menerima program sponsor dalam format atau segmen apapun yang dapat dikategorikan sebagai Iklan Kampanye.
Catatan: Pemblokiran segmen adalah kolom pada media massa cetak, sub- acara pada media massa elektronik dan lembaga penyiaran yang digunakan untuk pemberitaan bagi publik. Pemblokiran waktu, adalah hari dan tanggal penerbitan media massa cetak, elektronik dan jam tayang pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk pemberitaan bagi publik. Media massa cetak dan elektronik menyediakan halaman dan waktu yang adil dan berimbang untuk pemuatan berita dan wawancara untuk setiap Pasangan Calon. Selama masa tenang media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran, dilarang menyiarkan iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon.
Siapakah yang melakukan pengawasan pemberitaan, penyiaran & iklan kampanye? Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan Iklan Kampanye yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak dan media massa elektronik. Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan tentang penyiaran atau pers.
142 143
3. Aliansi politik. Perlu dibentuk koalisi klasik di dalam dan di luar partai dengan perkumpulan-perkumpulan dekat dan klub-klub, lobi, dan kelompok-kelompok kepentingan serta media yang berpihak pada kita. Yang juga perlu dicari adalah tokoh-tokoh terjun sendiri ke dalam kampanye atau yang dapat memobilisasi orang lain.
4. Promosi. Tujuannya komunikasi yang terbiayai dan terkontrol sesuai anggaran. Iklan di Koran, plakat, iklan di radio dan TV, iklan di bioskop, iklan di situs internet (direct mailing); semua ini membutuhkan persiapan para agen (kegiatan ini sering di sebut briefing), tahap perancangan dan penolakan konsep, tahap produksi alat-alat promosi dan iklan dan juga tahap penempatan. Artinya, membeli tempat pemasangan iklan dan durasi iklan. Kegiatan ini harus dilakukan pihak yang profesional.
5. Kampanye di jalan-jalan dan Events. Langkah ini diartikan sebagai aksi basis atau aktivis partai yang terorganisasi, dengan atau tanpa selebriti, stan-stan informasi, aksi telepon, canvassing dari rumah-kerumah. Kegiatan ini tidak hanya membutuhkan manajemen personal para profesional tapi juga pembantu-pembantu sukarela — dan biaya logistik yang besar. Terutama sekali untuk kegiatan-kegiatan besar seperti kongres partai yang diikuti banyak aksi lain (seperti tawaran khusus di internet, konferensi pers).
6. Humas. Fokus humas adalah komunikasi yang terjadi dengan cara memberikan informasi dan pengaruh kepada media-media independen. Tujuannya adalah agar informasi tentang parpol masuk ke dalam redaksi siaran berita dengan pemberitaan yang lebih terpercaya. Informasi ini sebaiknya tidak hanya diserahkan kepada ide-ide spontan juru bicara partai, tapi harus mengikuti keseluruhan strategi komunikasi.
7. Koordinasi dan perencanaan waktu untuk kandidat (atau petinggi parpol): bagian ini berarti mendefinisikan aturan-aturan terhadap persetujuan dan penolakan agenda termasuk masing-masing tujuan politik dan komunikatif. Setidaknya harus dipersiapkan sebuah sistem dan logistik setelah undangan diterima atau ditolak (kombinasi dengan agenda lain, waktu yang tersedia, menulis pidato, persiapan pribadi, hiruk-pikuk media, pembahasan setelah persiapan). Tapi daripada hanya menunggu undangan sebaiknya parpol proaktif mengadakan event dan memasarkannya.
8. Perencanaan keuangan: berarti bukan hanya membuat kas penerimaan dan pengeluaran yang sederhana, tapi juga harus membuat definisi yang tepat tentang tugas-tugas tertentu dalam kas dan waktu masuk dan keluarnya uang (cash flow). Semakin cepat uang datang semakin baik dan semakin besar efek politik yang dikembangkannya. Tapi sebaliknya, partai mana yang dalam tahap ‘panas’ bangkrut itu berarti salah sendiri.
9. Pengumpulan dana (Fundaraising): komunikasi adalah kegiatan yang tidak murah. Siapa yang sebelum atau selama kampanye mengumpulkan sumbangan-sumbangan kecil secara sistematis, maka ia akan dapat menambahkan modal dananya dari segelintir sumbangan besar, subsidi dan iuran anggota. Tidak semua kampanye memerlukan tim pencari dana dari luar, tapi yang dibutuhkan adalah konsultasi dari pengumpul sumbangan yang berpengalaman dan ahli sosial marketing, baik itu menyangkut sumbangan via On-line, sumbangan melalui surat, entertainment yang bersifat menguntungkan atau pun melalui acara dinner kandidat.
10. Administrasi dan pembukuan: juga tim kecil dan komite-komite kecil partai setidaknya harus ditata dengan baik. Artinya, ada kegiatan rutin kantor, asisten dan manajemen office dan selain itu wewenang yang jelas dalam menjalankan pembukuan keuangan (bendahara);
11. Mobilisasi pada hari pemilihan (atau pada puncak kampanye seperti demonstrasi besar hari aksi secara nasional, pemunggutan suara): “penyelesaian akhir” harus disiapkan dengan tepat agar mendapatkan hasil maksimal dari sumber daya yang ada sebelum hari kampanye selesai.
politik akan berkurang bahkan hilang jika diterapkan persyaratan score pro bono publik bagi calon kepala daerah di Indonesia.
Pertanyaan kemudiaan adalah penilainya siapa? Asosiasi Ilmu Politik Indonesia punya kompetensi untuk menjadi verifikator. Karena organisasi ini punya cabang di seluruh Indonesia. Insya-Allah Asosiasi Ilmu Politik Indonesia lebih independen dalam pengertian, punya tanggung jawab ilmiah, tanggujawab perubahan masyarakat untuk lebih baik, professional dan coba secara personal pun independen.
Bagaimana dengan jika bentuk pro bono publik seseorang sudah terjadi di masa lalu, bahkan sudah tak ada atau dilupakan masih dapat diperhitungkan dan dimasukan nilai akumulatifnya? Iya. Apa yang dibuat Rhoma Irama di masa lalunya bisa menjadi poin pro bono publik. Lagu-lagunya mengenai kebanggaan menjadi Indonesia, ini inpiratif bagi orang banyak. Jadi termasuk pro bono publik juga. Ada variable tak lekang oleh waktu di dalam penilaian pro bono publik. Cara menghitung poinnya ada yang menekankan pada keabadian. Tak lekang oleh waktu. Tapi juga ada yang menyertai satuan waktu, periodic. Misal, nilai pro bono publik ada waktu yang cukup bisa dikatakan seseorang telah berkontribusi di satu daerah pemilihannya. Minimal lima tahun. Sedang, 10 tahun. Panjang di atas 15 tahun.
Walau pun tak bisa berkontribusi di tempat kelahiran, seseorang bisa berkontribusi di daerah pemilihannya. Ini karena undang-undang mensyaratkan domisili. Jika mau fleksibel, mungkin seseorang tak harus membangun pro bono publik di tempatnya tinggal, tapi bisa di suatu daerah lain. Perubahan bisa langsung dilakukan di daerah tempat tinggalnya. Bisa juga secara jarak jauh. Dengan sistem dan jaringannya dia bisa melakukan perubahan di luar tempat tinggalnya.
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia akan melacak apakah ada kaitan koordinasi dan kontribusi terhadap satu bentuk pro bono publik dengan seseorang. Pemeriksaan bertingkat dan terbuka, merupakan satu cara menetapkan poin. Ini pun berlaku terhadap kadarluarsa pro bono publik seseorang. Kita akan ada dua katagori. Ada yang tak lekang oleh waktu dan ada yang dalam kurun waktu. Karena memang syarat kebaikan juga ada berlaku dalam waktu pendek dan panjang. Ini diupayakan bisa diukur. Pengukuran dilakukan tak hanya pada pro bono publik yang berwujud fisik. Pro bono publik berwujud non-fisik pun ada. Misal untuk Rhoma Irama, jelas, lagu-lagu yang bernuansa ke-Indonesiaan, multikultural itu termasuk dalam pro bono publik non-fisik. Ini bisa dihitung sebagai poin pro bono publik juga.
B. Kiat Mempersiapkan dan Menjalankan Kampanye Politik
1. Perencanaan Kampanye Politik
Kampanye pemilu tanpa perencanaan adalah seperti perjalanan ke arah yang tak jelas
tanpa peta dan kompas. Artinya, hampir bisa dipastikan orang si pelaku perjalanan tidak akan
sampai di tempat yang dituju. Dalam melakukan kampanye, harus memiliki rencana kampanye
yang mencakup duabelas tahap berikut:
1. Meneliti dan menganalisa lawan politik dan perencanaan kampanyenya, komposisi demografis dan gaya hidup pemilih, cara-cara perilaku sosial dan politis mereka, dan juga kelebihan dan kelemahan pihak sendiri. Tujuannya untuk mengetahui apa yang kira-kira akan menyebabkan kekalahan dan dalam kondisi bagaimana kampanye akan dimulai.
2. Penelitian jajak pendapat secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil dari penelitian opini publik tidak perlu berasal dari lembaga peneliti yang mahal. Yang penting adalah kita tahu di mana posisi kita. Artinya, kita tahu apa yang sedang berkembang, di mana pihak lawan menunjukkan kelemahannya, tema atau isu-isu apa saja yang sedang ‘panas’ dan yang dapat dimanfaatkan sebagai kendaraan bagi tujuan kita. Apakah data-data tersebut berasal dari profesor yang kita kenal atau dari lembaga komersial besar, itu kurang penting. Yang penting adalah independensi sumber yang memberikan fakta nyata tanpa kepentingan stategis.
142 143
3. Aliansi politik. Perlu dibentuk koalisi klasik di dalam dan di luar partai dengan perkumpulan-perkumpulan dekat dan klub-klub, lobi, dan kelompok-kelompok kepentingan serta media yang berpihak pada kita. Yang juga perlu dicari adalah tokoh-tokoh terjun sendiri ke dalam kampanye atau yang dapat memobilisasi orang lain.
4. Promosi. Tujuannya komunikasi yang terbiayai dan terkontrol sesuai anggaran. Iklan di Koran, plakat, iklan di radio dan TV, iklan di bioskop, iklan di situs internet (direct mailing); semua ini membutuhkan persiapan para agen (kegiatan ini sering di sebut briefing), tahap perancangan dan penolakan konsep, tahap produksi alat-alat promosi dan iklan dan juga tahap penempatan. Artinya, membeli tempat pemasangan iklan dan durasi iklan. Kegiatan ini harus dilakukan pihak yang profesional.
5. Kampanye di jalan-jalan dan Events. Langkah ini diartikan sebagai aksi basis atau aktivis partai yang terorganisasi, dengan atau tanpa selebriti, stan-stan informasi, aksi telepon, canvassing dari rumah-kerumah. Kegiatan ini tidak hanya membutuhkan manajemen personal para profesional tapi juga pembantu-pembantu sukarela — dan biaya logistik yang besar. Terutama sekali untuk kegiatan-kegiatan besar seperti kongres partai yang diikuti banyak aksi lain (seperti tawaran khusus di internet, konferensi pers).
6. Humas. Fokus humas adalah komunikasi yang terjadi dengan cara memberikan informasi dan pengaruh kepada media-media independen. Tujuannya adalah agar informasi tentang parpol masuk ke dalam redaksi siaran berita dengan pemberitaan yang lebih terpercaya. Informasi ini sebaiknya tidak hanya diserahkan kepada ide-ide spontan juru bicara partai, tapi harus mengikuti keseluruhan strategi komunikasi.
7. Koordinasi dan perencanaan waktu untuk kandidat (atau petinggi parpol): bagian ini berarti mendefinisikan aturan-aturan terhadap persetujuan dan penolakan agenda termasuk masing-masing tujuan politik dan komunikatif. Setidaknya harus dipersiapkan sebuah sistem dan logistik setelah undangan diterima atau ditolak (kombinasi dengan agenda lain, waktu yang tersedia, menulis pidato, persiapan pribadi, hiruk-pikuk media, pembahasan setelah persiapan). Tapi daripada hanya menunggu undangan sebaiknya parpol proaktif mengadakan event dan memasarkannya.
8. Perencanaan keuangan: berarti bukan hanya membuat kas penerimaan dan pengeluaran yang sederhana, tapi juga harus membuat definisi yang tepat tentang tugas-tugas tertentu dalam kas dan waktu masuk dan keluarnya uang (cash flow). Semakin cepat uang datang semakin baik dan semakin besar efek politik yang dikembangkannya. Tapi sebaliknya, partai mana yang dalam tahap ‘panas’ bangkrut itu berarti salah sendiri.
9. Pengumpulan dana (Fundaraising): komunikasi adalah kegiatan yang tidak murah. Siapa yang sebelum atau selama kampanye mengumpulkan sumbangan-sumbangan kecil secara sistematis, maka ia akan dapat menambahkan modal dananya dari segelintir sumbangan besar, subsidi dan iuran anggota. Tidak semua kampanye memerlukan tim pencari dana dari luar, tapi yang dibutuhkan adalah konsultasi dari pengumpul sumbangan yang berpengalaman dan ahli sosial marketing, baik itu menyangkut sumbangan via On-line, sumbangan melalui surat, entertainment yang bersifat menguntungkan atau pun melalui acara dinner kandidat.
10. Administrasi dan pembukuan: juga tim kecil dan komite-komite kecil partai setidaknya harus ditata dengan baik. Artinya, ada kegiatan rutin kantor, asisten dan manajemen office dan selain itu wewenang yang jelas dalam menjalankan pembukuan keuangan (bendahara);
11. Mobilisasi pada hari pemilihan (atau pada puncak kampanye seperti demonstrasi besar hari aksi secara nasional, pemunggutan suara): “penyelesaian akhir” harus disiapkan dengan tepat agar mendapatkan hasil maksimal dari sumber daya yang ada sebelum hari kampanye selesai.
politik akan berkurang bahkan hilang jika diterapkan persyaratan score pro bono publik bagi calon kepala daerah di Indonesia.
Pertanyaan kemudiaan adalah penilainya siapa? Asosiasi Ilmu Politik Indonesia punya kompetensi untuk menjadi verifikator. Karena organisasi ini punya cabang di seluruh Indonesia. Insya-Allah Asosiasi Ilmu Politik Indonesia lebih independen dalam pengertian, punya tanggung jawab ilmiah, tanggujawab perubahan masyarakat untuk lebih baik, professional dan coba secara personal pun independen.
Bagaimana dengan jika bentuk pro bono publik seseorang sudah terjadi di masa lalu, bahkan sudah tak ada atau dilupakan masih dapat diperhitungkan dan dimasukan nilai akumulatifnya? Iya. Apa yang dibuat Rhoma Irama di masa lalunya bisa menjadi poin pro bono publik. Lagu-lagunya mengenai kebanggaan menjadi Indonesia, ini inpiratif bagi orang banyak. Jadi termasuk pro bono publik juga. Ada variable tak lekang oleh waktu di dalam penilaian pro bono publik. Cara menghitung poinnya ada yang menekankan pada keabadian. Tak lekang oleh waktu. Tapi juga ada yang menyertai satuan waktu, periodic. Misal, nilai pro bono publik ada waktu yang cukup bisa dikatakan seseorang telah berkontribusi di satu daerah pemilihannya. Minimal lima tahun. Sedang, 10 tahun. Panjang di atas 15 tahun.
Walau pun tak bisa berkontribusi di tempat kelahiran, seseorang bisa berkontribusi di daerah pemilihannya. Ini karena undang-undang mensyaratkan domisili. Jika mau fleksibel, mungkin seseorang tak harus membangun pro bono publik di tempatnya tinggal, tapi bisa di suatu daerah lain. Perubahan bisa langsung dilakukan di daerah tempat tinggalnya. Bisa juga secara jarak jauh. Dengan sistem dan jaringannya dia bisa melakukan perubahan di luar tempat tinggalnya.
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia akan melacak apakah ada kaitan koordinasi dan kontribusi terhadap satu bentuk pro bono publik dengan seseorang. Pemeriksaan bertingkat dan terbuka, merupakan satu cara menetapkan poin. Ini pun berlaku terhadap kadarluarsa pro bono publik seseorang. Kita akan ada dua katagori. Ada yang tak lekang oleh waktu dan ada yang dalam kurun waktu. Karena memang syarat kebaikan juga ada berlaku dalam waktu pendek dan panjang. Ini diupayakan bisa diukur. Pengukuran dilakukan tak hanya pada pro bono publik yang berwujud fisik. Pro bono publik berwujud non-fisik pun ada. Misal untuk Rhoma Irama, jelas, lagu-lagu yang bernuansa ke-Indonesiaan, multikultural itu termasuk dalam pro bono publik non-fisik. Ini bisa dihitung sebagai poin pro bono publik juga.
Bahan 2: Kiat Mempersiapkan dan Menjalankan Kampanye Politik
2.1.Perencanaan Kampanye Politik
Kampanye pemilu tanpa perencanaan adalah seperti perjalanan ke arah yang tak jelas
tanpa peta dan kompas. Artinya, hampir bisa dipastikan orang si pelaku perjalanan tidak akan
sampai di tempat yang dituju. Dalam melakukan kampanye, harus memiliki rencana kampanye
yang mencakup duabelas tahap berikut:
1. Meneliti dan menganalisa lawan politik dan perencanaan kampanyenya, komposisi demografis dan gaya hidup pemilih, cara-cara perilaku sosial dan politis mereka, dan juga kelebihan dan kelemahan pihak sendiri. Tujuannya untuk mengetahui apa yang kira-kira akan menyebabkan kekalahan dan dalam kondisi bagaimana kampanye akan dimulai.
2. Penelitian jajak pendapat secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil dari penelitian opini publik tidak perlu berasal dari lembaga peneliti yang mahal. Yang penting adalah kita tahu di mana posisi kita. Artinya, kita tahu apa yang sedang berkembang, di mana pihak lawan menunjukkan kelemahannya, tema atau isu-isu apa saja yang sedang ‘panas’ dan yang dapat dimanfaatkan sebagai kendaraan bagi tujuan kita. Apakah data-data tersebut berasal dari profesor yang kita kenal atau dari lembaga komersial besar, itu kurang penting. Yang penting adalah independensi sumber yang memberikan fakta nyata tanpa kepentingan stategis.
144 145
bijak apabila memanfaatkan perubahan nilai atau perubahan struktur yang terjadi dalam masyarakat. Perluasan pasar tidak mungkin dicapai dengan tema yang tidak laku dijual.
Bagi partai sendiri, persyaratan-persyaratan berikut harus dipenuhi dan konsekuensinya harus dipertimbangkan, yaitu: � Harus ada pernyataan bahwa partai dan calon yang akan diusung berorientasikan
program yang baru yang bersifat saling melengkapi. � Bersamaan dengan ditampilkannya program baru, profil partai juga ikut berubah.
Bersamaan dengan itu harus pula diperhatikan apakah profil yang baru masih dapat diterima oleh kalangan pemilih lama–sehingga bertambahnya jumlah pemilih tidak diiringi oleh hilangnya pemilih lama, atau jumlah pemilih seluruhnya makin berkurang antara program dan individu.
� Program –program yang ada harus dipasangkan dengan individu-individu yang menunjukkan keselarasan antara program dan individu.
� Program atau tema baru tidak dapat muncul secara tiba-tiba. Sebelumnya, pemegang jabatan atau pemegang mandat harus sudah dipersiapkan melalui program pengembangan pribadi. Contoh, dalam sebuah kejadian konkret, Sekjen sebuah partai menampilkan ide program baru kepada publik. Ide ini diterima dan disebarluaskan oleh berbagai media dengan antusias. Sayangnya anggota dan pemegang jabatan partai kurang dipersiapkan. Karena kekurangsiapan itu, lalu muncul bertahan dari pihak pemegang jabatan terhadap berita-berita media. Lebih dari itu, anggota partai tidak dapat memberikan dukungan terhadap ide ini di lingkungan sekitar mereka, karena mereka tidak memiliki informasi yang cukup. Akhirnya aksi ini terhenti dan tidak dapat dihidupkan kembali.
Sebuah kampanye untuk memperluas pasar juga senantiasa memberikan kemungkinan untuk menarik anggota baru. Oleh karena itu, organisasi harus disiapkan untuk menghadapi kelompok target baru ini. Partisipasi dan pengorganisasian atas anggota-anggota baru harus terpenuhi. Untuk itu perlu dilakukan investasi dalam bidang pengembangan (yang berhubungan dengan program), bidang pengembangan pribadi (pembinaan), dan bidang humas.
2. Optimalisasi Implementasi Politik Dalam kasus ini, produk baru yang ditawarkan � yaitu keuntungan yang dihasilkan
oleh kerja politik baru untuk pemilih, semacam kegiatan pro bono publik tersebut, perlu disebarkan dari mulut kemulut para calon pemilih. Untuk itu pertama-tama politik harus dirumuskan secara jelas. Politik yang belum rampung. Di sini pihak eksekutif seringkali salah bertindak karena produk dan keuntungan yang ditawarkannya tidak dirumuskan secara jelas, sehingga tidak dapat dimengerti oleh warga. Sebelum pelaksanaan, perlu dilakukan pekerjaan kehumasan yang cukup. Karena apabila hal ini tidak dilakukan, proyek tersebut sewaktu-waktu dapat didiskriminasikan.
Produk atau politik yang sejak lama sudah ada di pasaran dan belum berhasil diimplementasikan secara sukses, atau bahkan gagal mengarah kepada perluasan pasar jika tetap menggunakan namanya yang lama. Produk atau politik semacam ini membutuhkan nama yang baru, deskripsi baru dari keuntungan yang ditawarkan, dan apabila diinginkan, juga sebuah kemasan baru yang dihubungkan dengan individu-individu baru. Pertentangan internal perlu diatasi, sedapat mungkin sebelum dilakukan kampanye terbuka atas produk atau pemasaran politik tersebut.28
2.3.Peran Manajer Kampanye dan Tim Sukses Mendulang Dukungan
Peran manajer kampanye dan tim sukses untuk mendulang dukungan pemilih adalah seni tersendiri. Membuat slogan politik juga butuh seni tersendiri. Pengalaman dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat membuktikan bahwa slogan politik telah mewarnai demokrasi negeri itu sepanjang 150 tahun. Sebuah kalimat atau satu dua kata dirancang
28 Ibid, hlm. 104-106
12. Perencanaan waktu: untuk semua isu/tema, promosi, aksi PR, fundrasing (pencari dana) dan keuangan tujuannya tidak boleh ditentukan “pada satu waktu,” namun harus dibuat jadwal yang pasti kapan tujuan tersebut akan di capai.26
Secara umum kampanye adalah sederetan peristiwa komunikasi. Kampanye disampaikan kepada khalayak dengan suatu pesan yang dapat mereka terima dan sehingga pihak yang berkampanye memperoleh mayoritas terhadap suatu kepuasan politik, misalnya untuk memberikan suara kepada seorang kandidat atau partai — atau untuk menentang lawan partai. Atau dalam kasus kampanye tertentu, tujuannya adalah untuk memperoleh dukungan finansial, dukungan komunikasi atau organisatoris, untuk menekan komisi pengambil keputusan. Kampanye yang baik sebagai kampanye komunikasi sebaiknya memiliki ciri: 1. Memancing perhatian, unik bahkan istimewa. 2. Mempresentasikan pesan dalam bentuk gambar dan kata yang orisinal dan baru. 3. Membedakan kandidat, partai dan masalah secara jelas dari mereka yang bersaing. 4. Bercita-cita atau membangun hubungan/kontak yang terus menerus.
Kunci kemenangan dalam kampanye adalah intensitas pesan dan intensitas hubungan, yaitu repetisi. Setelah melakukan survei dan membentuk hubungan secara intensif kampanye dimulai dengan upaya-upaya pertamanya, yakni membangkitkan minat publik pada calon atau materi dan membentuk citra kampanye itu harus: 1. Membuat publik tertarik pada awal kampanye dengan suatu atraksi/peritiwa. 2. Memperkenalkan tokoh-tokoh, himbauan-himbauan dan pendukung. 3. Membangun hubungan dengan media. 4. Memantapkan suatu gaya kampanye sebagai jenis merek dagang. 5. Memfokuskan pada satu tema yang dominan.27
2. Strategi Perluasan Pasar Politik dalam Kampanye Cakadap
Selanjutnya kita bisa belajar dari peneliti komunikasi politik untuk menjadi pengetahuan
cakadap (calon kepala daerah perempuan) dari peneliti Peter Schroder, tentang strategi
perluasan pasar dukungan politik yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Optimalisasi Kampanye Pemilu Dalam kampanya pemilu, strategi perluasan pasar yang ofensif bertujuan untuk
membentuk kelompok pemilih baru di samping para pemilih yang telah ada. Oleh karena itu harus ada penawaran baru atau penawaran yang lebih baik bagi para pemilih yang selama ini memilih partai pesaing. Jadi yang dibahas di sini adalah strategi persaingan yang faktual, di mana berbagai partai bertarung untuk kelompok pemilih dalam sebuah kompetisi.
Strategi semacam ini perlu dipersiapkan melalui sebuah kampanye pengantar, untuk menjelaskan kepada publik tentang penawaran mana saja yang lebih baik, dibandingkan dengan penawaran partai-partai lainnya. Untuk merumuskan penawaran baru ini, adalah
26 Semua kegiatan yang diterangkan secara garis besar di atas hanyalah langkah-langkah awal
dalam perencanaan kampanye — semacam daftar tugas dengan kerja kosong yang harus diisi. Perencanaan kampanye bukan sebuah bisnis yang dapat dijalankan berdasarkan resep paten. Intuisi, instink dan kreatifitas juga berperan penting dalam perencanan sebuah kampanye, dan tentu saja pengalamn profesional, yakni pengalaman yang membuat kita dapat mengambil keputusan dengan cepat dan jelas dan juga untuk mengatakan ya atau tidak sebagai negarawan yang berorientasi jangka panjang. Dana dan organisasi sebagai modal awal sebuah kampanye termasuk dalam langkah-langkah perencanaan. Yang penting lagi adalah adanya seorang pemimpin yang mandiri secara politis, yang memiliki kemampuan untuk memperkerjakan ahali-ahli yang tepat dan yang memiliki daya gempur untuk menjegal lawan dalam pemilu. Lihat, Strategi Politik dan Penerapannya Contoh Kasus Kampanye Pemilu Jerman 2002; Bagian I dari III “Persiapan Pemilu — Sebuah Pengantar,” Friderich Naumann Stiftung, Jakarta, hlm. 9-12
27 Strategi Politik dan Penerapannya Contoh Kasus Kampanye Pemilu Jerman 2002; Bagian I dari III “Persiapan Pemilu — Sebuah Pengantar,” Friderich Naumann Stiftung, Jakarta, hlm. 12
144 145
bijak apabila memanfaatkan perubahan nilai atau perubahan struktur yang terjadi dalam masyarakat. Perluasan pasar tidak mungkin dicapai dengan tema yang tidak laku dijual.
Bagi partai sendiri, persyaratan-persyaratan berikut harus dipenuhi dan konsekuensinya harus dipertimbangkan, yaitu: � Harus ada pernyataan bahwa partai dan calon yang akan diusung berorientasikan
program yang baru yang bersifat saling melengkapi. � Bersamaan dengan ditampilkannya program baru, profil partai juga ikut berubah.
Bersamaan dengan itu harus pula diperhatikan apakah profil yang baru masih dapat diterima oleh kalangan pemilih lama–sehingga bertambahnya jumlah pemilih tidak diiringi oleh hilangnya pemilih lama, atau jumlah pemilih seluruhnya makin berkurang antara program dan individu.
� Program –program yang ada harus dipasangkan dengan individu-individu yang menunjukkan keselarasan antara program dan individu.
� Program atau tema baru tidak dapat muncul secara tiba-tiba. Sebelumnya, pemegang jabatan atau pemegang mandat harus sudah dipersiapkan melalui program pengembangan pribadi. Contoh, dalam sebuah kejadian konkret, Sekjen sebuah partai menampilkan ide program baru kepada publik. Ide ini diterima dan disebarluaskan oleh berbagai media dengan antusias. Sayangnya anggota dan pemegang jabatan partai kurang dipersiapkan. Karena kekurangsiapan itu, lalu muncul bertahan dari pihak pemegang jabatan terhadap berita-berita media. Lebih dari itu, anggota partai tidak dapat memberikan dukungan terhadap ide ini di lingkungan sekitar mereka, karena mereka tidak memiliki informasi yang cukup. Akhirnya aksi ini terhenti dan tidak dapat dihidupkan kembali.
Sebuah kampanye untuk memperluas pasar juga senantiasa memberikan kemungkinan untuk menarik anggota baru. Oleh karena itu, organisasi harus disiapkan untuk menghadapi kelompok target baru ini. Partisipasi dan pengorganisasian atas anggota-anggota baru harus terpenuhi. Untuk itu perlu dilakukan investasi dalam bidang pengembangan (yang berhubungan dengan program), bidang pengembangan pribadi (pembinaan), dan bidang humas.
2. Optimalisasi Implementasi Politik Dalam kasus ini, produk baru yang ditawarkan � yaitu keuntungan yang dihasilkan
oleh kerja politik baru untuk pemilih, semacam kegiatan pro bono publik tersebut, perlu disebarkan dari mulut kemulut para calon pemilih. Untuk itu pertama-tama politik harus dirumuskan secara jelas. Politik yang belum rampung. Di sini pihak eksekutif seringkali salah bertindak karena produk dan keuntungan yang ditawarkannya tidak dirumuskan secara jelas, sehingga tidak dapat dimengerti oleh warga. Sebelum pelaksanaan, perlu dilakukan pekerjaan kehumasan yang cukup. Karena apabila hal ini tidak dilakukan, proyek tersebut sewaktu-waktu dapat didiskriminasikan.
Produk atau politik yang sejak lama sudah ada di pasaran dan belum berhasil diimplementasikan secara sukses, atau bahkan gagal mengarah kepada perluasan pasar jika tetap menggunakan namanya yang lama. Produk atau politik semacam ini membutuhkan nama yang baru, deskripsi baru dari keuntungan yang ditawarkan, dan apabila diinginkan, juga sebuah kemasan baru yang dihubungkan dengan individu-individu baru. Pertentangan internal perlu diatasi, sedapat mungkin sebelum dilakukan kampanye terbuka atas produk atau pemasaran politik tersebut.28
3. Peran Manajer Kampanye dan Tim Sukses Mendulang Dukungan
Peran manajer kampanye dan tim sukses untuk mendulang dukungan pemilih adalah seni tersendiri. Membuat slogan politik juga butuh seni tersendiri. Pengalaman dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat membuktikan bahwa slogan politik telah mewarnai demokrasi negeri itu sepanjang 150 tahun. Sebuah kalimat atau satu dua kata dirancang
28 Ibid, hlm. 104-106
12. Perencanaan waktu: untuk semua isu/tema, promosi, aksi PR, fundrasing (pencari dana) dan keuangan tujuannya tidak boleh ditentukan “pada satu waktu,” namun harus dibuat jadwal yang pasti kapan tujuan tersebut akan di capai.26
Secara umum kampanye adalah sederetan peristiwa komunikasi. Kampanye disampaikan kepada khalayak dengan suatu pesan yang dapat mereka terima dan sehingga pihak yang berkampanye memperoleh mayoritas terhadap suatu kepuasan politik, misalnya untuk memberikan suara kepada seorang kandidat atau partai — atau untuk menentang lawan partai. Atau dalam kasus kampanye tertentu, tujuannya adalah untuk memperoleh dukungan finansial, dukungan komunikasi atau organisatoris, untuk menekan komisi pengambil keputusan. Kampanye yang baik sebagai kampanye komunikasi sebaiknya memiliki ciri: 1. Memancing perhatian, unik bahkan istimewa. 2. Mempresentasikan pesan dalam bentuk gambar dan kata yang orisinal dan baru. 3. Membedakan kandidat, partai dan masalah secara jelas dari mereka yang bersaing. 4. Bercita-cita atau membangun hubungan/kontak yang terus menerus.
Kunci kemenangan dalam kampanye adalah intensitas pesan dan intensitas hubungan, yaitu repetisi. Setelah melakukan survei dan membentuk hubungan secara intensif kampanye dimulai dengan upaya-upaya pertamanya, yakni membangkitkan minat publik pada calon atau materi dan membentuk citra kampanye itu harus: 1. Membuat publik tertarik pada awal kampanye dengan suatu atraksi/peritiwa. 2. Memperkenalkan tokoh-tokoh, himbauan-himbauan dan pendukung. 3. Membangun hubungan dengan media. 4. Memantapkan suatu gaya kampanye sebagai jenis merek dagang. 5. Memfokuskan pada satu tema yang dominan.27
2.2.Strategi Perluasan Pasar Politik dalam Kampanye Cakadap
Selanjutnya kita bisa belajar dari peneliti komunikasi politik untuk menjadi pengetahuan
cakadap (calon kepala daerah perempuan) dari peneliti Peter Schroder, tentang strategi
perluasan pasar dukungan politik yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Optimalisasi Kampanye Pemilu Dalam kampanya pemilu, strategi perluasan pasar yang ofensif bertujuan untuk
membentuk kelompok pemilih baru di samping para pemilih yang telah ada. Oleh karena itu harus ada penawaran baru atau penawaran yang lebih baik bagi para pemilih yang selama ini memilih partai pesaing. Jadi yang dibahas di sini adalah strategi persaingan yang faktual, di mana berbagai partai bertarung untuk kelompok pemilih dalam sebuah kompetisi.
Strategi semacam ini perlu dipersiapkan melalui sebuah kampanye pengantar, untuk menjelaskan kepada publik tentang penawaran mana saja yang lebih baik, dibandingkan dengan penawaran partai-partai lainnya. Untuk merumuskan penawaran baru ini, adalah
26 Semua kegiatan yang diterangkan secara garis besar di atas hanyalah langkah-langkah awal
dalam perencanaan kampanye — semacam daftar tugas dengan kerja kosong yang harus diisi. Perencanaan kampanye bukan sebuah bisnis yang dapat dijalankan berdasarkan resep paten. Intuisi, instink dan kreatifitas juga berperan penting dalam perencanan sebuah kampanye, dan tentu saja pengalamn profesional, yakni pengalaman yang membuat kita dapat mengambil keputusan dengan cepat dan jelas dan juga untuk mengatakan ya atau tidak sebagai negarawan yang berorientasi jangka panjang. Dana dan organisasi sebagai modal awal sebuah kampanye termasuk dalam langkah-langkah perencanaan. Yang penting lagi adalah adanya seorang pemimpin yang mandiri secara politis, yang memiliki kemampuan untuk memperkerjakan ahali-ahli yang tepat dan yang memiliki daya gempur untuk menjegal lawan dalam pemilu. Lihat, Strategi Politik dan Penerapannya Contoh Kasus Kampanye Pemilu Jerman 2002; Bagian I dari III “Persiapan Pemilu — Sebuah Pengantar,” Friderich Naumann Stiftung, Jakarta, hlm. 9-12
27 Strategi Politik dan Penerapannya Contoh Kasus Kampanye Pemilu Jerman 2002; Bagian I dari III “Persiapan Pemilu — Sebuah Pengantar,” Friderich Naumann Stiftung, Jakarta, hlm. 12
146 147
politik. Saat ini sudah lazim bahwa kandidat politik perseorangan dan calon yang diusung oleh parpol cenderung untuk menggunakan jasa sebuah lembaga jajak pendapat sebelum mereka turun berkampanye, sebelum merumuskan apa dan bagaimana strategi mereka untuk dikenal dan dipilih oleh konstituen. Peran lembaga konsultan politik terkadang memiliki peran penting selama kampanye berlangsung.
Trend dan perubahan suasana politik secara tiba-tiba ini merupakan informasi yang penting bagi kandidat — karena di sini mereka mengecek apakah strategi mereka berhasil atau tidak. Kalau tidak, mungkin strateginya perlu dirubah atau di sesuaikan. Pemilih juga bisa terpengaruh oleh pragnosa seperti ini. Contohnya telah terbukti, bahwa banyak pemilih lepas atau yang tidak terikat pada partai tertentu pada akhirnya memilih calon tertentu yang nampak akan menang daripada yang terlihat akan kalah. Karena prediksi seperti ini kadang-kadang mempengaruhi perilaku pemilih dan pada gilirannya hasil pemilu, maka hasil kerja lembaga peneliti inipun perlu dipertanyakan secara kritis. Karena pada dasarnya lembaga-lembaga itupun adalah bagian dari politik yang memiliki simpati dan antipati. Oleh sebab itu seringkali tidak jelas apakah prediksi yang mereka buat adalah keinginan mereka atau memang obyektif hasil ilmu pengetahuan.29
Riset survai, memberikan banyak manfaat bagi kampanye politik. Ia dapat membantu seorang calon kandidat untuk menentukan apakah ia akan dapat turut dalam pemilihan apa tidak. Ia dapat memberikan gambaran tentang besarnya tugas pemilihan, dana yang diperlukan untuk merubah identifikasi atau dukungan kepada sang kandidat. Survai dapat memberitahukan seorang kandidat berapa banyak waktu, perhatian, pengeluaran untuk iklan, dan sebagainya harus diperuntukan bagi daerah-daerah tertentu atau bagi subkelompok-subkelompok khusus.
Riset survey dapat menyarankan di mana kekuatannya harus dimanfaatkan dan di daerah mana kelemahannya begitu besar sehingga sumber-sumber dana hanya boleh digunakan apabila daerah-daerah lain sudah cukup dilayani. Ia dapat menyarankan di mana bagaimana mencapai macam-macam pemilih tertentu, yaitu masalah-masalah apa yang menggerakkan mereka mendekat kepada sang kandidat seandainya ia dianggap bersifat luwes. Sang ahli strategi tidak menciptakan posisi sang kandidat melainkan berikhtiar untuk menemukan, menekankan dan menonjolkan secara tepat posisi dan perasaan sang kandidat yang paling dekat dengan perasaan para pemilih yang dijadikan sasaran oleh survai.
Setelah metode-metode survai baru tentang teknik wawancara diuji dalam praktek, dapat ditemukan lebih banyak lagi informasi yang relevan bagi tuntutan lingkungan politik yang berlaku sekarang. Sebagai contoh, jumlah orang yang memberikan suara adalah, seperti telah disebutkan terdahulu, suatu pertimbangan penting dalam meramalkan hasil pemilihan, terutama dalam suatu pertarungan yang “ketat.” Jumlah orang yang memberikan suara dalam pemilihan atau yang selanjutnya kita sebut saja jumlah pemilih yang datang, adalah suatu fungsi dari, antara lain: 1. Ikatan dengan partai politik: penganut-penganut partai yang kuat dan gigih lebih
cenderung untuk memberikan suara. 2. Tanggungjawab sebagai warga negara: warga negara yang bersemangat patriotik yang
merasa bahwa memilih itu adalah suatu kewajiban yang khidmat, condong untuk memberikan suara.
3. Perihatin terhadap hasil pemilihan: orang yang yakin, pertama, bahwa pemilihan ini sangat penting artinya bagi kesejahteraan, dan kedua, bahwa hasil pemilihan mungkin tidak jauh berbeda antara partai-partai yang bertanding, akan condong untuk memberikan suara.
4. Perhatian terhadap kampanye: orang yang perhatiannya terhadap kampanye telah diluapkan oleh pemberitaan tentang kampanye televisi dan surat kabar, iklan-iklan yang bertubi-tubi, penonjolan masalah-masalah yang menyangkut kepentingannya, dan sebagainya, akan condong untuk memberikan suara.
29 Lihat buku panduan Strategi Politik dan Penerapannya Contoh Kasus Kampanye Pemilu
Jerman 2002, Bagian I dari III “Persiapan Pemilu — Sebuah Pengantar,” Friderich Naumann Stiftung, Jakarta, hlm. 37.
sedemikian rupa untuk memenangkan satu calon dan mengalahkan lawan-lawannya. Arena politik adalah arena permainan yang dikelola secara team-works.
Manajer kampanye, tim sukses dan konsultan politik berkumpul untuk menentukan slogan paling tepat. Mereka mengeluarkan gagasan, berargumentasi, dan memilih slogan yang terbaik. Pada tahun 1992, tim sukses Capres Bill Clinton, misalnya, berdebat untuk memilih sejumlah slogan yang ditawarkan konsultan, yaitu "Putting people first (Dahulukan kepentingan rakyat)", "Don`t stop thinking about tomorrow (Jangan berhenti memikirkan masa depan)", dan "New Covenant (Kontrak politik baru)".
Itu usulan slogan yang bagus, namun dianggap tidak cukup "nendang". Mereka mencari slogan baru yang lebih pas dengan suasana hati kebatinan rakyat Amerika Serikat waktu itu yang sedang dirundung kesulitan ekonomi, meskipun George Bush Sr, "incumbent" yang dikenal berhasil dalam perang Irak. Mereka akhirnya menemukan slogan baru yang pas dengan sentimen politik waktu itu secara tidak sengaja. Ketika kebuntuan gagasan terjadi, mereka melirik ke catatan kecil yang ditempel di atas meja oleh para pekerja dan sukarelawan: "It`s the economy, stupid!".Slogan itulah yang akhirnya membuat Bush Senior kehilangan kursi kepresidenannya dan menaikkan Bill Clinton ke Gedung Putih.
Begitulah adanya kreatifitas dan kecerdasan dalam kompetisi politik. Satu hal yang membuat sebuah slogan lebih baik dari slogan lainnya adalah kaitannya dengan suasana kebatinan para pemilih. Slogan yang baik adalah yang betul-betul nyambung dengan alam pikiran pemilih. Sebab, bagaimanapun baiknya pemilihan kata, indahnya sebuah bahasa, jika tidak sesuai dengan suasana kejiwaan pemilih, tentu saja akan gagal. Sebaliknya, jika suasana kebatinan pemilih sudah ditangkap, sebuah slogan tetap tidak akan bunyi kalau kata-kata dan kalimatnya tidak tepat. Setiap kata ada nuansanya dan setiap kalimat ada makna konotasinya.
Jika dikaji seksama slogan-slogan politik yang terkenal dan berhasi