fenomena menunda pernikahan pada perempuan
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
1
FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)
Dosen Pembimbing : Dra. Ida Rosyidah, M.A.,
Disusun Oleh :
SYIFA AGISTIA PUTRI
11171110000056
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2022
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Januari 2022
Syifa Agistia Putri
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Syifa Agistia Putri
NIM : 11171110000056
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
Fenomena Menunda Pernikahan pada Perempuan
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 17 Januari 2022
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., Dra. Ida Rosyidah, M.A.,
NIP. 197609182003122003 NIP. 196306161990032002
iii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN
oleh
Syifa Agistia Putri
(11171110000056)
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02
Februari 2022. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua Sidang,
Joharotul Jamilah, S.Ag., M.Si.
NIP. 19680810861997032002
Penguji I, Penguji II,
Dr. Iim Halimatussa’diyah, M.A.,Ph.D Dr. Vinita Susanti, M.Si
NIP. 198101122011012009 NIP. 196501151991032002
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 02 Februari
2022.
Ketua Program Studi Sosiologi
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122003
iv
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisa fenomena menunda pernikahan pada perempuan.
Tujuan dilakukan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan alasan perempuan
menunda pernikahan dan untuk menjelaskan bagaimana proses pengambilan
keputusan pernikahan yang dilakukan oleh perempuan. Dalam penelitian ini
menggunakan metode kualitatif guna memperoleh informasi secara jelas dan
mendalam. Pendekatan teori yang digunakan adalah Autonomy Theory
(kemandirian) milik Steinberg Laurence. Data penelitian didapatkan melalui proses
wawancara dengan lima belas perempuan karier dengan kriteria usia minimal 29
tahun, yang ditentukan dengan metode purposive sampling dan snowball sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan menunda pernikahan dipengaruhi
oleh beberapa alasan, di antaranya: (1) menjadi tulang punggung keluarga (generasi
sandwich); (2) fokus bekerja dan mengejar karir; (3) melanjutkan pendidikan; (4)
ketakutan/ trauma, baik dari pasangan atau pun dari pengalaman masa lalu
keluarga; dan (5) belum menemukan pasangan yang tepat. Selanjutnya, dalam
proses pengambilan keputusan pernikahan perempuan melalui dua tahapan yaitu
pemilihin pasangan berdasarkan kriteria dan pertimbangan kehidupan pasca
pernikahan.
Kata kunci: Otonomi, Kemandirian, Menunda Pernikahan, Perempuan.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala pertolongan, ridho, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Fenomena
Menunda Pernikahan pada Perempuan. Shalawat dan salam juga penulis curahkan
kepada junjunan kita semua, Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi
sumber inspirasi dan teladan terbaik untuk umat manusia.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah skripsi di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak dapat disangkal bahwa butuh usaha keras, kegigihan, dan kesabaran dalam
penyelesaian penyusunan skripsi ini. Maka dari itu, penulis ingin berterima kasih
dengan sangat tulus untuk diri sendiri yang belajar banyak hal dalam penyusunan
skripsi ini. Tak terhitung berapa banyak tangisan dan air mata yang setiap harinya
menemani penulis. Banyak hal yang saya lalui selama proses penyusunan skripsi
ini. Berkali-kali jatuh tidak lantas membuat penulis menyerah. Jika lelah,
beristirahat sejenak tidak masalah. Tubuh kita bukan robot. Mimpi dan cita-cita
masih harus terus diperjuangkan. Sebab itu, kita membutuhkan banyak energi untuk
terus melanjutkan perjuangan. Selalu ingat, Allah SWT ada dan senantiasa
menolong hamba-Nya yang sedang kesusahan.
Penulis pun menyadari bahwa dalam proses pengerjaan penyusunan skripsi
ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, dukungan, bimbingan, dan
kerja sama dari berbagai pihak serta Ridho dari Allah SWT sehingga kendala-
kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Penulis mengucapkan beribu-ribu
vi
terima kasih kepada kedua orang tua, Papa dan Mama beserta seluruh keluarga yang
telah membesarkan penulis dengan penuh cinta, kasih sayang, memberikan doa,
motivasi, semangat, dukungan, dan berjuang hingga penulis akhirnya sampai di titik
ini. Semoga Papa, Mama beserta keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT serta
diberikan nikmat rezeki dan sehat wal’afiat oleh Allah SWT. Aamiin.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap dapat
belajar lebih banyak lagi dalam mengimplementasikan ilmu yang didapatkan.
Skripsi ini tentunya tidak lepas dari bimbingan, masukan, dna arahan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses pengerjaan penyusunan skripsi ini di antaranya adalah:
1. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Program Studi Sosiologi FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Joharotul Jamilah, S.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dra. Ida Rosyidah, M.A., selaku dosen Pembimbing Akademik sekaligus
Pembimbing Skripsi, yang dengan ikhlas meluangkan waktu memberikan
dukungan, bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Kasyfiyullah, M.Si., selaku dosen Antropologi dan Sosiologi
Pendidikan yang turut membantu penulis mengembangkan pola pikir untuk
vii
melihat suatu fenomena secara dekat dekat menggunakan sudut pandang
baru.
6. Segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan baik
dan penuh kesabaran serta ketulusan.
7. Teruntuk salah satu dosen perempuan Sosiologi FISIP UIN Syarif
Hidayatullah yang namannya tidak dapat penulis sebutkan demi menjaga
privasinya. Terima kasih atas nasihat dan motivasinya yang secara tidak
langsung menyadarkan penulis bahwa hidup sangatlah berharga, menjadikan
setiap permasalahan dalam hidup sebagai batu loncatan pendewasaan diri
dalam menjalani kehidupan yang lebih keras lagi. Bu, sepanjang hidup saya
berterima kasih banyak, tanpa Anda ketahui Anda telah menjadi perantara
Allah SWT dalam menyelamatkan nyawa saya.
8. Para perempuan sebagai informan penulis. Terima kasih atas waktu dan
pengalamannya yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
9. Dwi Ratna Prima, Kakak penulis yang senantiasa memberikan nasehat,
motivasi dan dukungan dalam setiap situasi yang sedang penulis hadapi.
10. Ian Faizal Arif, Kakak penulis yang dengan sangat ikhlas menerima tongkat
estafet dari orang tua untuk membiayai penulis dan adik agar terus bisa
menyelesaikan pendidikan. Makasih Abang untuk semua usaha yang Abang
lakuin buat Syifa bisa terus kuliah.
11. Seluruh teman-teman penulis di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih telah berkenan
viii
menjalin relasi, berdiskusi dan bertukar pikiran serta memberikan makna baru
dalam kehidupan penulis.
12. Sipon dan Ardha, teman penulis yang terkasih. Terima kasih sudah
mengulurkan tangan dan bersedia menjadi teman penulis selama menjalani
masa perkuliahan.
13. Teh Nad, my sister from another mother yang dipertemukan melalu twitter.
Terima kasih untuk segala tingkah ajaib dan konyolmu setiap hari, itu semua
menjadi penghibur bagi penulis. “Teruslah menangis untuk hidup yang lebih
lega”. Gue nungguin McD Panas 2 ditambah McFlurry loh, Teh, gaboleh
lupa!
14. Hilya dan Nisrina, teman dekat penulis. Terima kasih sudah menjadi tempat
penulis bercerita baik senang maupun sedih.
15. Orang-orang terkasih dan tersayang yang banyak membantu penulis dalam
penyusunan skripsi.
Demikian ungkapan terima kasih penulis sampaikan. Penulis berharap
semoga Allah SWT mengaruniakan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka
semua. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan
memberikan kontribusi pada pengembangan kajian Sosiologi, Aamiin.
Jakarta, 17 Januari 2022
Syifa Agistia Putri
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................................... ii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ............................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Pernyataan Masalah ........................................................................................ 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 5
1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 6
1.5 Definisi Konsep............................................................................................. 10
1.6 Kerangka Teoritis .......................................................................................... 15
1.7 Metodologi Penelitian ................................................................................... 20
1.8 Sistematika Penulisan ................................................................................... 28
BAB II FENOMENA GAYA HIDUP PEREMPUAN PERKOTAAN ....... 29
2.1 Kehidupan Perempuan Di Kota di Era Global .............................................. 29
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS ............................................................. 36
3.1 Alasan Penundaan Pernikahan Pada Kalangan Perempuan Perkotaan ............... 36
3.2 Peran Otonomi Dalam Pengambilan Keputusan Pernikahan Pada Perempuan .. 49
BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 58
4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 58
4.2 Saran ............................................................................................................. 59
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62
LAMPIRAN ...................................................................................................... xi
A. Tabel Matriks Pertanyaan I ............................................................................ xi
B. Tabel Matriks Pertanyaan II ......................................................................... xiii
Koding Matriks I ....................................................................................................... xv
Koding Matriks 2 ...................................................................................................... liii
Transkrips Wawancara ............................................................................................ lxvi
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Tabel Informan .................................................................................. 24
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pernyataan Masalah
Dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam menjalani siklus kehidupan,
pernikahan sering kali dianggap sebagai sebuah keharusan secara norma dan
budaya yang sangat dihargai oleh hampir semua kelompok etnis di Indonesia. Demi
menghindari malu, orang tua tidak jarang menuntut anak-anaknya terutama
perempuan untuk segera menikah agar tidak dikatakan sebagai perempuan tua.
Terdapat penilaian negatif terhadap status “lajang” membuat perempuan dengan
status tersebut rentan menjadi target stigma. Pada masyarakat Jawa misalnya,
Perempuan yang belum menikah oleh masyarakat Jawa dipandang bukan sebagai
perempuan utuh (Mulder, dalam Hapsari dkk., 2007). Perempuan lajang dengan
usia 30-50 tahun cenderung dipandang masyarakat bukan sebagai perempuan
dengan profesi tertentu, melainkan sebagai perempuan yang belum menikah
(Kumalasari, 2007). Bahkan pada masyarakat individualis seperti Jerman
menunjukkan sikap negatif terhadap orang-orang yang melajang. Secara umum,
perempuan dewasa lajang cenderung mendapatkan beberapa penilaian negatif
seperti kurang dapat bertanggungjawab, kurang dewasa, dan kurang bisa bergaul
dari pada mereka yang telah menikah (Etaugh & Birdoes, 1991; Conley & Collins,
2002).
Howe & Strauss (2000) dalam Adilah & Wiwin (2021) mengatakan bahwa
generasi milenial atau kelompok manusia yang lahir mulai tahun 1982 sampai 2000
banyak mengalami ketakutan untuk berkomitmen dalam berumah tangga. Sehingga
2
hal ini menyebabkan mereka enggan untuk menikah (Hartanto, 2016). Pernikahan
sebagai tahapan kehidupan yang positif pada kenyataannya mulai mengalami
pergeseran dan dinilai berbeda oleh generasi milenial (Wang & Taylor, 2011).
Generasi milenial cenderung menunda pernikahan dan cenderung menganggap
bahwa pernikahan tidak terlalu penting untuk disegerakan atau bahkan dilakukan
(Wang & Taylor, 2011). Dikatakan juga bahwa generasi milenial memiliki
kecenderungan melakukan kohabitasi (tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan,
KBBI, 2021) dan cenderung lebih menghargai parenthood daripada pernikahan
(Wang & Taylor, 2011).
Perempuan yang masuk dalam golongan kaum milenial akan menjadi lebih
pemilih dalam menentukan pasangan hidup serta mementingkan stabilitas finansial
sebelum memutuskan untuk lanjung ke jenjang pernikahan (Badan Pusat Statistik,
2018). Presentase perempuan milenial yang belum menikah menurut Susenas 2017
sebesar 36,03%, ini artinya bahwa perempuan milenial yang belum menikah masih
tergolong cukup tinggi meskipun lebih dari setengah perempuan milenial (63,97%)
telah berstatus menikah (Badan Pusat Statistik, 2018). Besarnya proporsi penduduk
perempuan yang menikah karena berkaitan dengan faktor reproduksi, di mana masa
reproduksi perempuan dianggap subur rentang usia 15-49 tahun (Badan Pusat
Statistik, 2018).
Apabila ditinjau dari daerah tempat tinggal, perempuan milenial perkotaan
lebih banyak yang belum menikah (38,32%) dibandingkan dengan perempuan
milenial pedesaan (26,92%) (Badan Pusat Statistik, 2018). Tingginya angka belum
3
menikah pada perempuan milenial di perkotaan disebabkan karena tingginnya
tingkat pendidikan, kestabilan finansial, dan telah memudarnya adat tradisi budaya.
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun
2012, penduduk perempuan belum menikah pada usia 30-34 tahun sebanyak 4,5 %.
Data ini juga diperkuat oleh UK National Statistic Office, yang menyatakan bahwa
pada tahun 2012, usia rata-rata perempuan menikah adalah 30 tahun (Ruslan, 2011).
Untuk Provinsi DKI Jakarta, menurut data SDKI Tahun 2017, sebanyak 6%
penduduk perempuan belum menikah pada usia 30-34 tahun.
Tingginya tingkat pendidikan yang perempuan miliki menjadikan mereka
berambisi untuk menjadi pekerja dan bergabung dalam bidang profesionalisme.
Efek lanjutannya adalah fenomena menunda usia pernikahan semakin sering
ditemui (Badan Pusat Statistik, 2018). Silalahi (2018) dalam Adilah & Wiwin
(2021) mengatakan bahwa generasi milenial yang berpendidikan tinggi sering kali
menunda pernikahan, bahkan memutuskan untuk tidak menikah, karena mereka
mempercayai pendidikan sebagai aspek kedewasaan yang lebih penting dari
pernikahan (Calfas, 2017).
Perempuan yang bekerja atas dasar kemampuan dan keahlian yang
dimilikinya cenderung akan menunda diri mereka untuk menikah dan menjadi ibu
rumah tangga untuk beberapa tahun ke depan. Mereka akan memfokuskan diri
mereka untuk bekerja mengejar karir yang diinginkan. Bagi perempuan lajang,
pernikahan menjadi kontrak sosial, yang artinya harus ada kesepakatan antara
kedua belah pihak tanpa ada keterlibatan orang lain. Para perempuan lajang pada
4
umumnya adalah perempuan yang memiliki otonomi dan kuasa penuh atas dirinya
sendiri, menganggap bahwa pernikahan adalah sebuah pilihan rasional, personal
dan tidak ditentukan oleh masyarakat. Sebagai individu, perempuan memiliki
kebebasan untuk menentukan dan memilih pendamping hidupnya (Suhartami,
2002).
Selain itu, bagi perempuan, bekerja merupakan kesempatan untuk dapat
mengaktualisasikan diri. Bekerja memungkinkan untuk seorang perempuan
mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif. Dengan
bekerja, perempuan berusaha menemukan arti dan identitas dirinya dan pencapaian
tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Pekerjaan yang mereka
jalani merupakan bukti prestasi dari kemampuan yang dimiliki
Bayali (2013) menyatakan persyaratan dalam pekerjaan yang diberikan oleh
perusahaan menjadi salah satu faktor seseorang memutuskan menunda pernikahan.
Demi menekan angka kerugian, perusahaan membuat berbagai macam persyaratan
yang harus dipatuhi oleh setiap karyawan, misalnya sistem kerja kontrak.
Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan salah satu informan
perempuan yang memutuskan menunda pernikahan karena alasan pekerjaan.
Oleh sebab itu, penelitian ini ingin mencari tahu lebih mendalam tentang
pandangan perempuan dalam memandang pernikahan dan strategi perempuan
dalam memutuskan untuk menunda pernikahan. Selain itu, alasan yang mendasari
penelitian ini karena maraknya perempuan yang menunda menikah jelas menjadi
5
masalah dan menarik untuk diteliti, mengingat pernikahan merupakan suatu kultur
sosial yang sulit diabaikan, khususnya bagi perempuan.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka penulis merumuskan sebuah
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa perempuan menunda menikah?
2. Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk menikah pada
perempuan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan alasan perempuan
menunda pernikahan dan untuk menjelaskan bagaimana proses pengambilan
keputusan pernikahan yang dilakukan oleh perempuan.
Harapan peneliti dalam penelitian ini guna menghasilkan,
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan
akademik, pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam penerapan ilmu
metode penelitian khususnya mengenai gambaran pengetahuan terhadap
pandangan perempuan tentang pernikahan dan fenomena menunda menikah
pada perempuan yang terjadi di kota-kota besar. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan mampu menambah wawasan dan pengembangan teoritis untuk
Sosiologi Keluarga dan Sosiologi Gender.
6
2. Manfaat Praktis
Adanya penelitian ini diharapkan dapat mendorong untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai fenomena menunda pernikahan pada
perempuan. Adapun manfaat secara khusus yaitu sebagai saran positif kepada
pembaca untuk lebih kritis dalam memandang suatu fenomena. Selain itu,
manfaat dari penelitian ini juga bermanfaat bagi pengetahuan keluarga dalam
menyikapi keputusan untuk menikah atau menunda menikah yang diambil
oleh anggota keluarga khususnya anak perempuan. Pengambilan keputusan
menunda pernikahan yang diambil oleh perempuan juga berguna bagi
pengembangan bagi kebijakan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (PPPA).
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang perempuan karir yang menunda menikah telah banyak
didiskusikan oleh kalangan akademisi. Beberapa penelitian yang ditemukan
cenderung lebih membahas bagaimana perempuan yang belum atau menunda
menikah memaknai kehidupan mereka, seperti pada penelitian milik Andu (2019),
Oktarina (2015), Rahmalia (2018). Sedangkan penelitian lainnya mengambil fokus
pada pengambilan keputusan menunda menikah yang dilakukan perempuan
penghafal Al-Qur’an (Hikmah, 2017).
Penelitian di atas menyimpulkan bahwa semakin meningkatnya kualitas
pendidikan, semakin banyak pula keterlibatan perempuan di ruang publik yang
pada akhirnya membuka wacana baru tentang cara berpikir mereka. Salah satunya
7
ialah adanya pergeseran pada makna pernikahan. Dewasa ini, pernikahan dianggap
sebagai hak kebebasan individu, bukan lagi sebagai sesuatu yang mengikat mereka.
Saat ini, perempuan mendapatkan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri,
seperti misalnya ingin fokus bekerja. Hal tersebut dapat dilihat dari realitas sosial
perempuan yang memutuskan untuk menunda pernikahan di mana mereka memilih
untuk fokus terhadap pekerjaannya, yaitu dengan menunjukkan sikap etos kerja
yang tinggi misalnya, pencapaian tujuan, dan kesadaran serta tanggung jawab
terhadap profesinya. Rahmalia (2018) dalam risetnya menemukan bahwa
perempuan yang belum atau menunda menikah lebih memaknai hidup mereka
dengan mandiri secara keuangan, membahagiakan orang tua, dan berkeyakinan
kuat kepada Tuhan bahwa Dia memiliki rencana yang indah untuk mereka. Selain
itu, Andu (2019) juga memaparkan bahwa perempuan yang belum atau menunda
menikah menganggap bahwa pernikahan tidak harus terburu-buru. Pernikahan
bukanlah hal urgent yang harus segera dilangsungkan. Sedangkan pada penelitian
yang dilakukan oleh Hikmah (2017) ditemukan bahwa pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh perempuan penghafal Al-Qur’an sangat beragam dan rumit
karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti sosial, budaya, dan
psikologi. Akan tetapi, faktor budaya lebih dominan dalam memberikan pengaruh
sebelum pengambilan keputusan.
Selanjutnya, penelitian Dwi (2018) berfokus pada rasionalitas tindakan
melajang pemuda muslim di Desa Jimbung. Subjek penelitian ini adalah laki-laki.
Penelitian tersebut menggunakan konsep teori Rasionalitas Tindakan Sosial oleh
Max Weber, yang mengatakan bahwa tindakan rasional manusia dapat
8
mempengaruhi individu-individu lain dalam masyarakat. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa rasionalitas dibalik tindakan melajang pemuda muslim di
Desa Jimbung ada empat, yaitu: a). Rasionalitas praktis, yaitu lebih
mempertimbangkan hal yang paling cepat dan praktis dilakukan, yaitu tindakan
melajang karena melihat temannya juga belum menikah; b). Rasionalitas teoritis,
yaitu mempertimbangkan hubungan kausalitas seseorang mengapa melakukan
tindakan melajang; c). Rasionalitas substantif, yaitu mempertimbangkan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat seperti nilai agama dan nilai kesopanan; d).
Rasionalitas formal, yaitu mempertimbangkan aturan yang ada di dalam
masyarakat dalam memilih pasangan.
Penulis juga merujuk pada penelitian yang dilakukan Adilah & Wiwin (2021)
yang menggali makna pernikahan pada generasi milenial yang menunda menikah
dan memutuskan tidak menikah. Penelitian tersebut terdapat dua pengelompokkan,
yaitu (1) kelompok penunda pernikahan; dan (2) kelompok menolak pernikahan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bagi kelompok penunda, pernikahan
adalah tahapan baru, hidup bersama pasangan, jangan egois, harus kondusif untuk
membesarkan anak, idealnya pasangan adalah orang tercinta, pernikahan adalah
tempat di mana pasangan harus dewasa, ibadah, jangan dilakukan karena tekanan
orang lain, membutuhkan persetujuan kedua belah pihak, harus dilakukan dengan
serius, sarana melahirkan generasi baru, dan dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Sedangkan bagi kelompok penolak, pernikahan diartikan sebagai
rumit, beban, tidak abadi, berisiko, meragukan, harus didasari rasa ketertarikan,
bukan millestone, tidak penting, tidak sakral, dan butuh kesabaran.
9
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada teori
yang digunakan walaupun masih dalam lingkup teori sosial. Jika penelitian
sebelumnya menggunakan beberapa teori seperti teori Rasionalitas tindakan sosial
Max Weber, teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer, teori Pengurangan
Ketidakpastiaan Charles Berger, dan teori Pengambilan Keputusan George R.
Terry. Sedangkan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori Otonomi oleh
Steinberg dalam analisisnya.
Selain itu, dalam penelitian ini juga penulis ingin mengkaji alasan yang
mendasari perempuan dalam menunda pernikahan serta strategi perempuan dalam
memutuskan untuk menunda pernikahan. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan yang perempuan miliki semakin
menjadikan perempuan ambisius menjadi pekerja dan memasuki dunia
profesionalisme serta bersaing dengan laki-laki. Sebab fenomena ini memberikan
dampak terjadinya penundaan pernikahan yang terjadi di kalangan perempuan,
lebih khususnya terhadap perempuan perkotaan. Oleh sebab itu, penulis tertarik
mengkaji lebih dalam fenomena ini menggunakan teori otonomi oleh Steinberg.
Dengan demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dan keunikan tersendiri
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Sehingga penelitian ini
dapat digunakan untuk memperluas sudut pandang serta kajian akademis mengenai
fenomena menunda pernikahan pada perempuan di perkotaan.
10
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Perempuan Karier
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wanita adalah perempuan dewasa
(lebih halus), kaum-kaum putri sedangkan perempuan adalah lawan jenis laki-laki.
Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata “empu” yakni suatu gelar
kehormatan yang artinya tuan dan orang yang ahli. Sementara karir memiliki dua
pengertian: Pertama, perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan,
jabatan, dan sebagainya. Kedua, karir dalam arti umum adalah pekerjaan yang
memberikan harapan untuk maju.
Dalam Undang-Undang Kerja 1984 No. 12 disebutkan bahwa perempuan
bekerja atau pekerja perempuan adalah seorang perempuan yang melakukan
aktivitas atau pekerjaan di luar rumah atau di luar urusan keluarganya atau
perempuan yang bekerja di segala macam perusahaan swasta atau negeri.
Perempuan karier adalah perempuan yang memperoleh atau mengalami
perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain.
Hafiz (2002) menggambarkan pengertian tentang perempuan karier, yaitu
perempuan yang aktif dalam melakukan suatu kegiatan/pekerjaan untuk mencapai
kemajuan. Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh perempuan karier adalah bidang
pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya misalnya, bidang ekonomi, politik,
pemerintahan, sosial-budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Keikutsertaan perempuan di lapangan pekerjaan merupakan kebanggan
tersendiri dalam suatu keluarga. Apalagi pekerjaan itu sebagai penunjang profesi
yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Dengan demikian, persepsi dari masyarakat
11
khususnya keluarga perempuan tersebut, keberadaan perempuan karier merupakan
suatu kemajuan dan kebanggaan yang patut dihargai. Perempuan yang memasuki
dunia kerja atau memasuki dunia berkarier ada kalanya memang suatu keharusan,
misalnya karena orang tua sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, dan ada kalanya hanya menyalurkan bakat, profesi, dan memanfaatkan
ilmu serta keahliannya.
Meskipun perempuan telah dianggap sebagai mitra kaum laki-laki, tetapi
pada kenyataannya mereka masih sering mengalami kesulitan dalam mengejar atau
mencapai jenjang karier yang lebih tinggi karena pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan terlihat masih berhubungan dengan pekerjaannya di ranah domestik.
Yuwono (1994) menyatakan bahwa hal ini terjadi karena motivasi kerja perempuan
masih sering diwarnai oleh faktor-faktor sosial budaya yang akan membentuk
sikap-sikap tertentu dalam bekerja. Nasikun (1990) menyatakan bahwa jika karena
evolusi perkembangan zaman kaum perempuan melangkah ke pekerjaan-pekerjaan
di sektor publik, maka jenis-jenis pekerjaan yang terbuka bagi kaum perempuan
ternyata tidak jauh melangkah dari perpanjangan pekerjaan rumah tangga, seperti
bidan; perawat; guru; sekretaris; dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang
memerlukan lebih banyak keahlian manual.
Dengan demikian pada penelitian ini perempuan karier didefinisikan sebagai
perempuan yang memperoleh atau mengalami perkembangan dan kemajuan dalam
pekerjaan, jabatan pada suatu bidang profesional tertentu sesuai kemampuan yang
dimiliki sebagai upaya mengaktualisasikan dan menemukan identitas diri serta
mencapai kemajuan dan kepuasan dalam hidup.
12
1.5.2 Perempuan Lajang
Sebutan perempuan lajang digunakan untuk membedakan dengan
perempuan yang sudah menikah dan berkeluarga. Bagi perempuan lajang saat ini
pernikahan lebih dipengarui oleh pemikiran-pemikiran yang rasional, personal dan
bersifat penting. Mereka mempertimbangkan pernikahan dari berbagai sudut
pandang, tidak hanya sekadar mengikuti ritus pernikahan yang sudah membudaya
di masyarakat. Pertimbangan tersebut menjadi sangat mutlak karena perempuan
lajang adalah perempuan yang juga memiliki otonomi dan kekuasaan penuh atas
dirinya sendiri. Jadi setiap keputusan dan berbagai pertimbangan yang menyangkut
hidupnya membutuhkan suatu pemikiran atas dasar kajian yang rasional dan
personal (Suhartami, 2002).
Perlu dipahami bahwa kategori dari perempuan lajang ada dua, yaitu lajang
atas dasar keinginan sendiri (secara sengaja dan tidak sengaja) dan lajang secara
permanen (sementara dan tetap). Perempuan yang sengaja melajang sementara
(voluntary temporary singles) adalah mereka yang belum menikah atau sudah
pernah menikah namun tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas utama.
Sedangkan perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables
singles) terdiri dari perempuan lajang yang sengaja tidak ingin menikah atau
melakukan perkawinan. Kemudian, perempuan yang tidak sengaja melajang
sementara (involuntary temporary singles) adalah perempuan lajang yang belum
menikah tetapi mereka menginginkan perkawinan dan berupaya untuk menemukan
pasangan yang tepat. Terkahir, perempuan yang tidak sengaja melajang seterusnya
(involuntary stables singles) adalah perempuan lajang berusia tua yang ingin
13
menikah tetapi belum menemukan pasangan yang tepat dan pasrah menerima status
singlenya (Oktarina, 2015).
1.5.3 Penundaan Pernikahan
Pernikahan dan perkawinan seringkali diartikan sama, padalah secara
pengertian keduanya merujuk pada aktivitas yang berbeda. Menurut KBBI (2021)
nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai ddengan ketentuan
hukum dan ajaran agama. Sementara kawin, yakni (1) membentuk keluarga dengan
lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah; (2) melakukan hubungan kelamin; (3)
bersetubuh (sudah menikah/belum menikah); dan, (4) perkawinan. Berdasarkan
pengertian tersebut, perbedaan pernikahan dan perkawinan adalah sebagai berikut:
pernikahan adalah suatu pembentukan keluarga dengan suami-istri yang sah di mata
agama, adat dan negara. Sedangkan perkawinan adalah proses pembentukan
keluarga dengan cara persetubuhan. Perkawinan lebih bersifat fungsionalistik,
dalam hal ini perkawinan secara disengaja dilakukan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan seksualnya sehingga manusia mampu menempatkan diri pada fungsi dan
perannya masing-masing di dalam suatu perkawinan (Koentjaraningrat, 1992).
Menikah merupakan suatu hal yang penting dalam siklus kehidupan manusia,
selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga dapat memenuhi
kebutuhan psikologis seseorang seperti rasa kasih sayang, rasa aman dan rasa ingin
dihargai. Seseorang yang telah melakukan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan
perempuan sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, baik
yang dilakukan secara hukum maupun secara adat atau kepercayaan dapat
dikatakan pula sebagai pernikahan. (Desiyanti, 2015).
14
Secara fisik, perempuan yang telah memasuki usia 21-25 tahun merupakan
usia yang digunakan sebagian besar perempuan untuk menargetkan usia
pernikahan. Hurlock (2004) menyatakan bahwa tujuan dari sebagian besar
perempuan yang belum menikah selama usia dua puluh tahunan adalah perkawinan.
Namun, apabila pada usia tiga puluh tahun mereka belum juga menikah, perempuan
cenderung akan menukar tujuan dan nilai hidupnya ke arah dan tujuan serta gaya
hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karier dan
kesenangan pribadi. Bagi Hurlock, usia tiga puluh tahun merupakan usia kritis
(critical age) bagi perempuan yang belum menikah. Kehidupan perempuan sering
kali diwarnai stress ketika ia mencapai usia ketiga puluh tahun namun belum juga
menikah. Akan tetapi, secara bertahap stress tersebut berkurang karena perempuan
mulai menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang baru.
Bagi kebanyakan perempuan, keinginan untuk menikah dan berkeluarga
berkurang setelah usia tiga puluh tahun karena mereka menyadari bahwa mereka
tidak berhasil mencapai tujuannya, yaitu menikah di usia sebelum usia tiga puluh
tahun. Kemudian, perempuan mejalani gaya hidup baru yang dikenal dengan istilah
melajang menurut Hurlock (2004).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa menunda pernikahan merupakan suatu sikap
yang secara sengaja dan sadar dilakukan oleh perempuan untuk memperlambat
dirinya membangun relasi rumah tangga bersama laki-laki. Dalam hal ini
memperlambatkan diartikan bahwa perempuan belum memiliki keinginan untuk
berusaha dan mencari pasangan hidup.
15
1.6 Kerangka Teoritis
1.6.1 Teori Otonomi
a. Definisi Otonomi
Pada umumnya otonomi diartikan dengan ketahanan diri dan kemandirian
(Santrock, 2007). Tidak jarang otonomi digunakan secara bergantian dengan
kemandirian (independensi) (Steinberg, 1993). Menurut beberapa ahli, kedua
konsep tersebut pada hakekatnya tidak memiliki perbedaan signifikan sehingga
dapat digunakan secara silih berganti. Namun, beberapa ahli menyatakan bahwa
secara konseptual, pengertian otonomi tidak hanya sebatas pada kemandirian
tingkah laku. Melainkan otonomi juga mencakup kemandirian dalam aspek
emosional dan nilai.
Steinberg menyatakan bahwasannya terdapat tiga konsep dalam otonomi
yaitu otomoni emosional, otonomi behavioral, dan otonomi nilai. Otonomi
emosional merupakan salah satu aspek dari kemandirian yang berkaitan dengan
perubahan hubungan individu dengan orang tua. Otonomi behavioral merupakan
kapasitas individu dalam mengambil keputusan dan menentukan pilihan.
Sedangkan otonomi nilai umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit
dicapai secara sempurna dibandingkan dengan kedua tipe otonomi lainnya.
Otonomi nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan individu dalam
memaknai setiap nilai yang diyakini dalam hidupnya. Artinya, individu tidak
mendapat tekanan untuk mengikuti tuntutan orang lain tentang apa yang ia yakini
(Steinberg, 1993).
16
Menurut Steinberg (1993), individu yang telah berkembang otonominya akan
menunjukkan ciri-ciri yaitu, (1) melalui proses individuasi dan menolak pengaruh
dari luar,, individu memfokuskan dirinya untuk menjadi diri sendiri; (2)
mengarahkan diri untuk lebih percaya diri dan berusaha melakukan perubahan
dalam mengambil keputusan secara mandiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain; (3)
adanya pergeseran pemikiran yang lebih abstrak konseptual, keyakinan dan nilai
diri.
Berkaitan dengan penelitian ini, perempuan dewasa yang tidak bergantung
lagi terhadap orang tua, baik secara emosi maupun finansial, dan berani mengambil
keputusan untuk memilih menunda pernikahan serta bersedia menanggung risiko
atas keputusan tersebut. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa ia telah memiliki
otonominya sendiri (Steinberg, 1993).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi adalah kemampuan individu untuk tidak bergantung kepada orang
lain secara emosi, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen
terhadap pilihan, dan mempunyai prinsip-prinsip/nilai-nilai yang diyakini dalam
hidup.
Diketahui bahwa refleksi diri dan identitas diri seseorang sebagian besar
dibentuk oleh tradisi dan norma komunal yang tidak dapat dipertanyakan
sepenuhnya. Masing-masing dibesarkan dalam semacam konteks sosial, meskipun
tidak selalu dalam konteks keluarga, refleksi diri dan identitas diri juga dapat
terbentuk pada jaringan sosial yang lebih luas seperti komunitas dan bangsa.
17
Hampir semua dari individu sepanjang hidupnya terlibat dalam hubungan sosial dan
komunitas. Hubungan sosial dan komunitas ini dipupuk dan dipertahankan oleh
berbagai jenis ikatan yang dibagikan bersama dengan orang lain, seperti bahasa,
tradisi, sejarah, tujuan, pandangan, nilai, dan ketertarikan bersama. Bahkan musuh
bersama, ketidakadilan, dan bencana pun menjadi sumber daya hubungan sosial
dapat dipertahankan (Mackenzie & Stoljar, 2000).
Individu menjadi lebih otonom mengenai beberapa tradisi, pandangan, atau
nilai dalam hidupnya tidak berarti ia berhenti bergantung pada orang lain atau
memutus hubungan sosialnya. Seorang individu yang menjadi lebih otonom pun
tidak menghindari perkembangan sejarah sosial pribadinya sendiri. Otonomi selalu
merupakan masalah derajat. Pertimbangan reflektif masih diaggap sebagai
keuntungan dalam otonomi bahkan jika dilakukan berdasarkan standar dan
hubungan lain yang tidak secara bersamaan dikenai pengawasan yang sama
(Mackenzie & Stoljar, 2000).
Sejalan dengan pendapat yang diajukan Collin (1997) (dalam Gerald R.
Adams & Berzoncky, 2003: 182), dan Ryan et al (1995) (dalam Widawati, 2008)
menyatakan bahwa perkembangan otonomi juga dipengaruhi oleh berbagai aspek
internal. Berdasarkan hal tersebut perkembangan otonomi individu dipengaruhi
oleh sikap dan tindakan individu dalam menghadapi situasi atau lingkungan
eksternal yang ada.
Berdasarkan konsep otonomi Steinberg (1993) ataupun Collin (1994) (dalam
Gerald R. Adam & Benzoncky, 2003: 175), maka individu yang otonominya kurang
18
atau tidak berkembang akan menunjukkan ciri-ciri yaitu, (1) individu akan tetap
memiliki ketergantungan terhadap orang tua; (2) individu kurang berani mengambil
keputusan secara mandiri; dan, (3) individu kurang mampu berpikir berdasarkan
nilai-nilai diri.
Dengan memiliki otonomi, individu juga akan memiliki pegangan, yaitu
prinsip dan nilai-nilai dalam hidupnya. Nilai-nilai tersebut ia dapatkan dari
pemikiran yang mendalam, berdasarkan keyakinan dirinya bukan hanya sekadar
ikut-ikutan saja (Steinberg, 2002).
Pada masa dewasa sendiri akan ada banyak tugas-tugas yang harus dapat
dipenuhi oleh individu. Menurut Turner & Helms (1995), tugas-tugas pada masa
dewasa antara lain mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina
kehidupan rumah tangga, memantapkan ekonomi rumah tangga, dan menjadi warga
negara yang bertanggung jawab (Dariyo, 2003). Selain itu, pada masa dewasa,
individu juga dituntut untuk dapat memperoleh kelompok sosial yang seirama
dengan nilai-nilai pahamnya (Mappiare, 1982). Individu dewasa juga dituntut untuk
sukses dalam memenuhi tuntutan budaya di tempat tinggalnya, sukses dalam
interaksi dengan orang lain, dan sukses dalam mengekspresikan diri. Individu yang
dewasa juga mempunyai kepribadian yang terintegrasi, dapat menerima realitas
dengan baik, dapat menyelesaikan persoalan dalam hidupnya, bertanggung jawab
pada perbuatannya, mampu merasakan emosi yang kuat namun juga dapat
mengontrol emosi dengan baik (Cole, 1963).
19
Steinberg (2002) dan Santrock (2007) mengungkapkan bahwa otonomi
individu terkait dengan hubungan dan kelekatan dengan keluarganya, dalam hal ini
adalah orang tua, serta pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya. Selain orang
tua, otonomi individu juga dipengaruhi oleh hubungan dengan saudaranya (sibling
relationship), hubungan dengan teman sebaya (peer), dan juga termasuk hubungan
dengan orang lain di lingkungannya dan budaya.
Untuk dapat menjadi otonom dan mandiri, individu membutuhkan
kesempatan, motivasi dan dukungan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya.
Dengan demikian, ia akan menjadi seorang individu yang mampu mengatur diri
dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri tanpa dipengaruhi atau diatur
oleh orang lain.
Sesungguhnya kapasitas otonomi tidak secara intrinsik mengganggu secara
sosial. Lebih tegas lagi, perbedaan yang muncul di antara orang-orang sebagai
akibat dari penolakan otonomi dari salah satu pihak terhadap nilai-nilai atau
komitmen yang masih dipegang pihak lain yang pada akhirnya menyebabkan satu
pihak menjauh atau menolak yang lain. Kekhawatiran mereka adalah bahwa orang-
orang yang otonom akan mengganggu atau meninggalkan hubungan bersama yang
berharga (Mackenzie & Stoljar, 2000).
Secara tradisional, mayoritas perempuan memperoleh identitas utama sejak
mereka dewasa adalah dari pernikahan dan keluarga mereka. Namun, pada akhir
abad kedua puluh, setidaknya bagi beberapa kelompok perempuan peluang sosial
dan ekonomi telah meluas. Karena perluasan peluang inilah banyak perempuan
20
tidak perlu lagi mengakomodasikan diri mereka sendiri secara tidak kritis terhadap
pernikahan tradisional atau ikatan pada hubungan lain untuk menopang diri mereka
sendiri (Mackenzie & Stoljar, 2000).
1.7 Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memahami tentang fenomena apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan sebagainya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007). Tujuan dari penelitian
kualitatif adalah memperoleh pemahaman mendalam atas apa yang terjadi di
masyarakat, dan menafsirkan perilaku masyarakat dengan cara-cara yang dapat
dipahami oleh mereka sendiri. Sehingga, penelitian kualitatif berusaha menangkap
perasaan, tekstur, makna perilaku dan konteks yang lebih luas di mana peristiwa itu
terjadi (Silalahi, 2009).
Adapun metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang tujuan utamanya untuk memberikan
gambaran dengan menggunakan kata-kata dan angka serta untuk menyajikan
profil/persoalan, klasifikasi jenis, atau garis besar tahapan guna menjawab
pertanyaan seperti siapa, kapan, di mana, dan bagaimana. Secara singkat, penelitian
deskriptif menyajikan gambaran yang spesifik mengenai situasi, penataan sosial,
atau hubungan (Neuman, 2013). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
21
bahwa penelitian deskriptif berusaha menggambarkan objek penelitian berdasarkan
fakta dan data serta peristiwa dan berusaha menghubungkan serta menganalisanya
berdasarkan konsep-konsep yang telah dikembangkan sehingga memudahkan
peneliti dalam memecahkan masalah. Pendekatan kualitatif dipilih karena penulis
ingin memperoleh informasi secara jelas dan mendalam tentang pandangan
perempuan dalam memandang pernikahan dan strategi perempuan dalam
memutuskan untuk menunda pernikahan. Selain itu menunda perkawinan
merupakan hal yang sensitif sehingga informasi akan tergali lebih dalam apabila
menggunakan pendekatan kualitatif.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan orang yang paham betul mengenai apa yang
sedang diteliti. Lebih tegas lagi, Moleong (2007) mengatakan bahwa subjek
penelitian adalah orang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi
dan kondisi latar penelitian (Basrowi & Suwandi, 2008: 188). Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan lokasi
penelitian, yakni wilayah perkotaan. Wilayah perkotaan dipilih karena tren
penundaan pernikahan lebih umum terjadi pada masyarakat perkotaan. Sehingga
studi ini berfokus pada wilayah perkotaan. Kemudian, teknik ini juga penulis
gunakan untuk menentukan kriteria atau kualifikasi tertentu sebagai informan,
yaitu:
1. Lajang (single) minimal usia 29 tahun;
2. Telah menikah dengan usia pertama perkawinan adalah 30 tahun;
22
3. Memliki pekerjaan/karier atau usaha;
Adapun informan dalam penelitian ini dipilih menggunakan snowball
sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang
pada awalnya berjumlah sedikit, namun lama kelamaan menjadi besar. Hal ini
dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu
memberikan data yang memuaskan. Maka peneliti mencari orang lain lagi yang
dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian, jumlah sumber data
semakin besar seperti bola salju yang menggelinding (Sugiyono, 2019). Dalam
teknik ini, pengumpulan data dilakukan secara berantai yang dimulai dengan
beberapa tahapan, yaitu:
a. Tahap Pertama
Pada tahap awal penelitian, penulis mulai meminta bantuan kepada kakak
kandung penulis untuk dikenalkan kepada teman atau kenalan yang memenuhi
kriteria informan untuk dijadikan sampel awal. Pada tahap ini, awalnya penulis
memperoleh satu orang informan yang kemudian berkembang menjadi tiga orang
informan.
b. Tahap Kedua
Untuk memenuhi target penulis, pada tanggal 02 Oktober 2021, penulis
berusaha mencari informan lain yang sesuai dengan kriteria informan penelitian
melalui jejaring sosial media Twitter. Pada tahap ini, penulis menuliskan sebuah
“tweet” bertuliskan kriteria informan yang dibutuhkan dan meminta ketersediaan
23
para mutual (teman yang saling mengikuti di akun Twitter) dan non-mutual untuk
menjadi informan dalam penelitian ini.
c. Tahap Ketiga
Satu hari kemudian setelah cuitan penulis di Twitter, penulis banyak sekali
menerima request DM (Direct Message) yang berisikan bahwa mereka memenuhi
kriteria dan bersedia menjadi informan. Selain itu, terdapat pula yang menawarkan
temannya untuk dikenalkan kepada penulis untuk dijadikan informan, karena
temannya memenuhi kriteria sebagai informan penelitian. Pada tahap ini, penulis
langsung memilah dan memilih kembali siapa saja yang benar-benar memenuhi
kriteria informan. Penulis juga menghubungi kembali seseorang yang ingin
mengenalkan temannya kepada penulis. Dari perkenalan ini, penulis memperoleh
tiga orang informan sebagai sampe kedua. Sedangkan dari Direct Message di
Twitter, penulis memilih empat orang sebagai informan.
d. Tahap Keempat
Setelah melakukan komunikasi melalui jejaring media sosial, yakni Twitter
dan WhatsApp, sepuluh informan tersebut bersedia menjadi informan dalam
penelitian ini. Kemudian, penulis mulai menjadwalkan waktu wawancara. Proses
wawancara dilakukan secara daring sebab penelitian ini berlangsung di masa
pandemi Covid-19, dimana pemerintah memberlakukan PPKM (Pembatasan
Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat) sebagai upaya penekanan penurunan angka
penyebaran Covid-19 yang semakin meluas. Wawancara dengan informan pertama
kali dimulai pada hari Jumat, 29 Oktober 2021 sampai dengan 08 November 2021.
24
e. Tahap Kelima
Penulis masih membutuhkan informan lagi untuk memenuhi target
responden. Di tahap ini penulis kembali meminta bantuan kakak kandung penulis
untuk dikenalkan kepada teman-temannya. Seingat penulis, kakak kandung penulis
memiliki banyak teman perempuan yang memenuhi kriteria informan. Sambil
menunggu respon dan jawaban dari calon informan, penulis melakukan transkrip
wawancara yang telah penulis lakukan sebelumnya. Transkrip dilakukan setelah
penulis menyelesaikan sesi wawancara dengan informan. Pada tahap ini juga
penulis berhasil mengumpulkan lima orang informan yang merupakan teman-
teman kakak kandung penulis.
f. Tahap Keenam
Wawancara kembali dilakukan dengan informan baru pada tanggal 22
November dan berakhir pada tanggal 05 Desember 2021. Total informan pada
penelitian ini berjumlah lima belas perempuan yang telah memenui kriteria
informan.
No. Nama Usia Asal/Domisili Pekerjaan Status
Perkawinan
Usia
Menikah
1. Y 48 tahun Jawa Tengah Sek. DRPD Komisi
III Kab. Purbalingga
Menikah 30 tahun
2. KK 32 tahun Jakarta Selatan CEO PT. X Menikah 30 tahun
3. I 36 tahun Depok Dosen Menikah 34 tahun
4. US 30 tahun Malang Freelancer Belum Menikah -
5. U 30 tahun Padang Freelancer Belum Menikah -
6. S 31 tahun Batam Psikolog Menikah 30 tahun
Tabel 1.1. Tabel Informan
25
Dari lima belas orang informan dalam penelitian ini, lima di antaranya telah
berstatus menikah, dengan rata-rata usia perkawinan pertamanya adalah 30 tahun.
kemudian, sepuluh orang informan lainnya masih berstatus lajang. Para perempuan
yang menjadi informan dalam penelitian ini memiliki pekerjaan yang beragam,
namun mayoritas dari mereka adalah karyawan swasta. Terdapat juga beberapa dari
mereka yang telah bergabung dalam bidang profesionalisme seperti psikolog,
dosen, bidan, dan editor. Dengan pekerjaan dan karier yang dimiliki menunjukkan
bahwa para perempuan tersebut telah mandiri secara finansial.
Perempuan lajang yang bekerja dan perempuan yang sudah menikah dengan
usia pertama perkawinan adalah 30 tahun dipilih karena pertama, perempuan
tersebut masuk ke dalam golongan perempuan milenial. Kedua, penulis melihat
semakin banyaknya peluang bagi perempuan untuk mengenyam tinggi bangku
pendidikan, semakin tinggi pula lapangan pekerjaan terbuka luas bagi mereka.
Dengan hadirnya perempuan di sektor publik yang umumnya diisi oleh perempuan-
perempuan dengan dengan kualitas pendidikan yang unggul membawa warna baru
dalam cara berpikir mereka. Salah satunya ialah bagaimana cara mereka memaknai
sebuah pernikahan.
7. IN 33 tahun Jakarta Timur Dosen Belum Menikah -
8. A 35 tahun Jakarta Selatan Bidan Menikah 34 tahun
9. N 32 tahun Depok Karyawan Swasta Belum Menikah -
10. YT 30 tahun Jakarta Selatan Karyawan Swasta Belum Menikah -
11. L 31 tahun Jakarta Timur Karyawan Swasta Belum Menikah -
12. AR 29 tahun Jakarta Selatan Karyawan Swasta Belum Menikah -
13. CT 30 tahun Jakarta Selatan Editor Belum Menikah -
14. FT 30 tahun Jakarta Timur PNS Belum Menikah -
15. AA 29 tahun Jakarta Timur Guru Belum Menikah -
26
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2019) mendefinisikan wawancara
(interview) sebagai pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui
tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
Dengan melakukan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih
mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang
terjadi, di mana hal ini tidak dapat ditemukan melalui observasi (Stainback, 1988)
dalam Sugiyono (2019). Dalam penelitian ini, penulis melakukan proses
wawancara dengan lima belas orang informan yang dilakukan secara daring melalui
telephone, hanya via suara. Dan satu informan lainnya melalui wawancara langsung
face to face. Kemudian, penulis hanya melakukan satu kali wawancara dengan
informan dengan rata-rata menghabiskan waktu 30 menit hingga 2 jam dalam satu
kali wawancara.
4. Analisis Data
Bogdan (dalam Sugiyono, 2019) menyatakan bahwa analisis data adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan lainnya sehingga dapat dengan mudah dipahami
serta temuannya dapat dijadikan informasi untuk orang lain. Analisis data dilakukan
dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.
27
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a. Reduksi data (data reduction)
Data yang penulis dapatkan di lapangan jumlahnya cukup beragam, kompleks
dan rumit. Maka dari itu diperlukan reduksi data. Pada proses ini, penulis mereduksi
data yang ada dengan cara mengkoding hasil wawancara, yaitu memilih bagian-
bagian yang relevan dan fokus dengan topik penelitian yang sedang dilakukan.
b. Penyajian data (data display)
Setalah data direduksi, selanjtutkan penulis melakukan penyajian data dalam
bentuk teks yang bersifat naratif. Pada tahap ini, penulis menjelaskan hasil dan
analisis yang penulis lakukan berdasarkan data wawancara. Analisis yang
ditampilkan merupakan informasi mengenai pandangan perempuan tentang
pernikahan dan pengambilan keputusan pernikahan pada perempuan dalam
analisis teori otonomi.
c. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification)
Setelah hasil dan analisis ditampilkan, selanjutnya pada tahap ini penulis
menyajikan kesimpulan dari data yang diperoleh melalui proses penelitian.
Kesimpulan yang diambil ialah kesimpulan yang menjawab dua pertanyaan
penelitian di atas.
28
1.8 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi tentang pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, definisi konsep,
kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Fenomena Gaya Hidup Perempuan Perkotaan. Dalam bab ini membahas
kehidupan perempuan perkotaan di era global.
Bab III Temuan Hasil dan Analisa. Pada bab ini berisikan hasil temuan yang ada
di lapangan.
Bab IV Penutup. Pada bab ini sekaligus terakhir berisi tentang kesimpulan dari
penelitian dan penulisan atas hasil temuan yang ada di lapangan. Bab ini juga berisi
saran bagi peneliti selanjutnya yang hendak melakukan penelitian dengan tema
penelitian serupa.
29
BAB II
FENOMENA GAYA HIDUP PEREMPUAN PERKOTAAN
2.1 Kehidupan Perempuan Di Kota di Era Global
Kemajuan perkotaan dan industri tidak luput dari proses modernisasi. Secara
umum, modernisasi dipahami sebagai proses perubahan atau transformasi dari
kehidupan bersama yang bersifat tradisional ke arah pola-pola sosial, ekonomi,
politik yang telah berkembang di negara-negara Barat. Proses modernisasi
diwujudkan melalui perubahan pola-pola perilaku yang mengadopsi aspek-aspek
kehidupan modern, seperti mekanisasi, urbanisasi, penggunaan teknologi seperti
alat-alat komunikasi massa, serta sistem administrasi-birokrasi yang teratur,
terencan, dan terukur. Modernisasi kerap kali disamakan dengan Westernisasi.
Padahal keduanya sangat berbeda. Westernisasi merupakan sikap meniru dan
menerapkan budaya Barat tanpa adanya upaya untuk menyeleksi atau
menyesuaikan dengan nilai-nilai yang dimiliki. Pengaruh budaya Barat biasanya
diperolah melalui media cetak dan elektronik seperti televisi, internet, buku, dan
majalah.
Berbicara tentang perempuan, tidak sedikit dari hasil kajian yang
menyebutkan bahwa perempuan dan anak masih tergolong kelompok rentan yang
sering mengalami berbagai masalah seperti kemiskinan, kekerasan, konflik dan
sebagainya. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara di seluruh dunia, tetapi juga
di Indonesia. Secara kultural, konstruksi gender masih merugikan pihak
perempuan, di mana pihak perempuan dianggap lebih rendah sehingga pada proses
pengambilan keputusan jarang mengikutsertakan perempuan. Selain itu,
30
perempuan dinilai hanya mampu dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
domestik.
Prinsip utama pembangunan manusia adalah mengupayakan posisi laki-laki
maupun perempuan setara, di mana keduanya dapat memilih pilihan dalam
kehidupannya, menyadari potensi yang ada pada dirinya, dan kebebasan dalam
menjalani kehidupan secara terhormat dan berharga (UNDP, 2015) dalam
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2020). Oleh
karena itu, kesetaraan gender menjadi indikator yang sangat penting dalam
pembangunan manusia. Perempuan dan laki-laki sama-sama penting untuk
diperhitungkan sehingga sama-sama dapat berperan, terlibat, dan berkontribusi
untuk mencapai pembangunan manusia seutuhnya.
Lambat tapi pasti, perempuan mulai dapat membuktikan bahwa mereka layak
diperhitungkan atas kecerdasan dan kemampuan mereka. Saat ini perempuan telah
banyak berkontribusi dalam pembangunan. Peran perempuan dalam upaya
peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat adalah dengan
terlibatnya perempuan pada bidang-bidang ekonomi, politik, pemerintahan dan
bidang lainnya. Sebagai contoh pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan
Wakil Jusuf Kalla pada periode 2014-2019, perempuan semakin diperdayakan
dalam bidang politik. Hal tersebut dibuktikan dengan ditetapkannya peraturan
kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik.
Lebih lanjut menyangkut upaya pemberdayaan perempuan di bidang
ekonomi, saat ini telah muncul industri ekonomi kreatif. Di mana perempuan telah
31
sukses mendominasi serapan tenaga kerja pada sektor ini. Dalam laporan Tenaga
Kerja Ekonomi Kreatif, BPS dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyebut
perempuan secara konsisten menjadi pemain utama industri kreatif sejak 2011
hingga 2016. Persentase perempuan di sektor ini sebesar 53,86%. Angka yang
cukup mencolok bila dibandingkan dengan komposisi industri pada umumnya, di
mana pekerja perempuan hanya sekitar 37,16% dan laki-laki sebesar 62,84%. Pada
tahun 2016, perempuan yang bekerja di sektor ekonomi kreatif sebanyak 9,4 juta
jiwa (KEMENKO PMK, 2019)
Dalam konteks pembangunan, arus utama gender dan pemberdayaan
perempuan begitu erat kaitannya dengan memperbaiki kualitas generasi penerus
bangsa. Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality yang
berlangsung saat Asian Development Bank Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji
(04/05/2019), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
menyebutkan bahwa kaum perempuan adalah aset, potensi dan investasi penting
bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai kapabilitas dan
kemampuannya.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 mencatat jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari pada penduduk perempuan, yakni jumlah penduduk laki-laki di
Indonesia sebanyak 136,66 juta jiwa atau 50,58% dari keseluruhan penduduk
Indonesia. Sementara jumlah penduduk perempuan sebanyak 133,54 juta jiwa atau
49,42% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Sedangkan Indeks Pembangunan
Gender (IPG) Indonesia mengalami kenaikan dari 90,99 pada tahun 2018 menjadi
91,07 di tahun 2019. Artinya, IPG Indonesia mengalami kenaikan sebesar 0,55 poin
32
atau tumbuh 0,08% dibandingkan 2018. Diketahui IPG yang mendekati 100 secara
jelas mengindikasikan bahwa semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-
laki dan perempuan. Peningkatan IPG ini disebabkan oleh pertumbuhan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) perempuan yang lebih besar dibandingkan IPM laki-
laki pada periode 2018-2019. BPS dalam www.Kemenpppa.go.id mencatat IPM
perempuan naik sebesar 0,08%, sedikit lebih besar dibanding dengan IPM laki-laki
yang tumbuh 0,70% dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun IPG di tahun 2019
mengalami peningkatan, namun belum berhasil mencapai target Indikator Kerja
Utam Renstra Kementerian PPPA di tahun 2019 yang mentargetkan IPG telah
mencapai 92,00.
Sementara capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia telah
menunjukkan kemajuan yang terus meningkat. Dalam dua tahun terakhir, IDG
Indonesia menunjukkan peningkatan dari angka 71, 74 pada tahun 2017 telah
meningkat menjadi 75,24 di tahun 2019. Hal tersebut terjadi karena adanya
peningkatan pada semua indikator pembentuk IDG, terutama pada keterlibatan
perempuan di parlemen yang meningkat secara signifikan. Di tahun 2019, jumlah
perempuan di parlemen meningkat menjadi 20,52% dari 17,32% pada tahun 2018.
Hal ini membuktikan bahwa pemberdayaan gender di Indonesia semakin nyata.
Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peran perempuan dalam
pembangunan, oleh sebab itu pemerintah memberikan perhatian pada empat sektor
utama yaitu, kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, serta terkait pencegahan
kekerasan. Di samping itu, langkah strategis disiapkan untuk mengatasi isu
33
pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, sekaligus tujuan pembangunan
berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s).
Pembangunan manusia dibidang kesehatan masih perlu diperjuangkan. Salah
satunya ialah usaha untuk menurunkan Angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia, di
mana pada saat ini AKI masih cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya praktik perkawinan usia anak pada perempuan, kehamilan yang tidak
diinginkan, dan masih sangat rendahnya jumlah pengguna alat kontrasepsi pada
laki-laki. Selain AKI, angka perkawinan dini juga masih tinggi, yaitu berkisar usia
17-18 tahun sebesar 20,74% dan usia kurang dari 16 tahun sebanyak 15,48%
(Kemen.PPPA, 2020a).
Dalam bidang pendidikan, perempuan dan laki-laki telah mencapai
kesetaraan. Hal ini dibuktikan dengan kepemilikan ijazah antara perempuan dan
laki-laki yang setara. Tingginya tingkat pendidikan yang perempuan miliki
menjadikan mereka berambisi untuk menjadi pekerja dan bergabung dalam bidang
profesionalisme. Efek lanjutannya adalah fenomena menunda usia pernikahan
semakin sering ditemui (Badan Pusat Statistik, 2018). Silalahi (2018) dalam Adilah
& Wiwin (2021) mengatakan bahwa generasi milenial yang berpendidikan tinggi
sering kali menunda pernikahan, bahkan memutuskan untuk tidak menikah, karena
mereka mempercayai pendidikan sebagai aspek kedewasaan yang lebih penting dari
pernikahan (Calfas, 2017). Namun hal ini tidak berarti bahwa agenda pembangunan
manusia di bidang pendidikan telah selesai. Karena pada kenyataannya masih
terdapat kesenjangan pendidikan berdasarkan wilayah kota dan desa.
34
Perempuan yang masuk dalam golongan kaum milenial akan menjadi lebih
pemilih dalam menentukan pasangan hidup serta mementingkan stabilitas finansial
sebelum memutuskan untuk lanjung ke jenjang pernikahan (Badan Pusat Statistik,
2018). Presentase perempuan milenial yang belum menikah menurut Susenas 2017
sebesar 36,03%, ini artinya bahwa perempuan milenial yang belum menikah masih
tergolong cukup tinggi meskipun lebih dari setengah perempuan milenial (63,97%)
telah berstatus menikah (Badan Pusat Statistik, 2018). Besarnya proporsi penduduk
perempuan yang menikah karena berkaitan dengan faktor reproduksi, di mana masa
reproduksi perempuan dianggap subur rentang usia 15-49 tahun (Badan Pusat
Statistik, 2018).
Apabila ditinjau dari daerah tempat tinggal, perempuan milenial perkotaan
lebih banyak yang belum menikah (38,32%) dibandingkan dengan perempuan
milenial pedesaan (26,92%) (Badan Pusat Statistik, 2018). Tingginya angka belum
menikah pada perempuan milenial di perkotaan disebabkan karena tingginnya
tingkat pendidikan, kestabilan finansial, dan telah memudarnya adat tradisi budaya.
Di bidang ekonomi masih terjadi kesenjangan gender di mana jumlah pekerja
perempuan pada tahun 2019 hanya sebesar 51,89%, angka ini masih jauh lebih
rendah di bandingkan laki-laki yang telah mencapai 83,13%. Selain jumlah pekerja,
diskriminasi pun terjadi pada upah pekerja perempuan yang masih jauh lebih kecil
dari pada laki-laki dengan beban kerja yang sama dan pendidikan yang setara. Rasio
rata-rata antara upah perempuan dan laki-lai yang bekerja di tahun 2019 hanya
sebesar 77,39% (Kemen. PPPA, 2020a).
35
Konstruksi budaya menempatkan perempuan bekerja menghadapi dilema
antara bertanggung jawab pada keluarga atau berperan di ruang publik/pasar kerja.
Hal tersebut berpengaruh pada pilihan pekerjaan yang tidak bisa sebebas laki-laki.
Namun demikian, terlepas dari semua bidang yang bisa digeluti oleh kaum
perempuan, sampai sejauh ini perempuan telah membuktikan bahwa mereka
mampu berpartisipasi dalam proses pembangunan.
36
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS
Pada bab ini, penulis menyajikan hasil studi dari pengolahan data yang
dilakukan pada perempuan yang belum/ menunda menikah dan yang sudah
menikah di usia 30 tahun yang tersebar untuk mengetahui alasan mengapa
perempuan menunda menikah dan bagaimana proses pengambilan keputusan pada
perempuan yang memutuskan untuk menikah atau tidak menikah.
Studi ini menggunakan teori otonomi milik Laurence Steinberg yang
mencakup tiga dimensi, di antaranya: (a) otonomi emosi yakni kemampuan
individu untuk tidak bergantung secara emosi terhadap orang lain, dalam hal ini
orang tua; (b) otonomi tingkah laku dipahami sebagai kemampuan individu dalam
mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut;
dan (c) otonomi nilai adalah kemampuan individu untuk memaknai seperangkat
prinsip tentang benar dan salah, serta penting atau tidak penting (Steinberg, 1993).
Penulis akan memaparkan mengenai bagaimana otonomi/kemandirian
perempuan dapat mengubah pemikiran perempuan tentang pernikahan serta
bagaimana otonomi/kemandirian perempuan mempengaruhi setiap keputusan yang
akan perempuan ambil, dalam hal ini adalah menikah/menunda pernikahan.
3.1 Alasan Penundaan Pernikahan Pada Kalangan Perempuan Perkotaan
Pendidikan membawa perempuan memiliki status sosial dan ekonomi yang
mampu memberikan kuasa di hidupnya. Melalui analisis teori otonomi Steinberg,
perempuan mampu memilih dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan
hidupnya secara mandiri. Foucault (1980) menjelaskan bahwa pengetahuan adalah
37
kuasa. Pengetahuan yang dimiliki oleh para perempuan membuat pola pikir mereka
menjadi lebih luas dan terbuka untuk hidup atas kontrol dirinya sendiri. Pendidikan
menjadi modal utama bagi perempuan untuk menjalankan hidup sesuai dengan
kendali diri sendiri, sebelum akhirnya mereka mandiri secara ekonomi. Perempuan
yang berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi mampu memutuskan
pilihan hidupnya. Dalam hal ini, mereka mampu bernegosiasi terkait dengan
pernikahan.
Menikah merupakan sebuah keputusan yang sangat rumit. Menikah bukan
hanya mengambil keputusan untuk diri sendiri melainkan banyak pihak, di
antaranya calon pasangan, orang tua, keluarga besar dan lingkungan. Alasan-alasan
tersebut menjadi faktor eksternal mengapa perempuan memutuskan menunda
menikah.
Perempuan yang menjadi informan penulis adalah mereka yang memutuskan
menikah atau menunda menikah di usia dewasa, yakni di usia 29–48 tahun.
Menurut Santoso dan Winarto (2010: 127) dalam Andu (2019) usia dewasa berkisar
antara 25 – 35 tahun, fase usia ini disebut sebagai masa dewasa awal atau muda.
Dari wawancara yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa keputusan
perempuan menunda menikah dipengaruhi oleh beberapa alasan, di antaranya: (1)
menjadi tulang punggung keluarga (generasi sandwich); (2) fokus bekerja dan
mengejar karir; (3) melanjutkan pendidikan; (4) ketakutan/ trauma, baik dari
pasangan atau pun dari pengalaman masa lalu keluarga; dan (5) belum menemukan
pasangan yang tepat.
38
a. Tulang Punggung Keluarga
Sandwich generation menurut T Broady (2019) dalam Kompas.com (diakses
04 Januari 2021) menjelaskan bahwa generasi sandwich adalah individu yang
membagi sumber daya mereka untuk anak dan orang tuanya yang telah memasuki
usia lanjut. Dengan demikian, seseorang yang termasuk dalam generasi sandwich
tidak hanya mengurus diri sendiri. Lebih dari itu, mereka juga turut menanggung
beban generasi sebelum dan sesudahnya. Posisi mereka yang berada di antara dua
generasi itulah yang kemudian membuat seseorang diibaratkan seperti sandwich.
Status generasi sandwich membuat seseorang memiliki jumlah tanggungan
keluarga yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan non-generasi sandwich.
Jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak tersebut menyebabkan generasi
sandwich memiliki kewajiban finansial yang cenderung lebih tinggi.
Sebagai generasi sandwich, yang berperan sebagai tulang punggung keluarga
menjadi salah satu alasan perempuan menunda pernikahan. Bertanggung jawab atas
masa depan adik-adik, membayar semua tagihan sekolah, keperluan rumah tangga
seperti bayar tagihan listrik, makan, air dan lainnya. Dalam situasi seperti ini,
perempuan hanya ingin berjuang demi membahagiakan keluarga dan melupakan
sejenak prioritas untuk menikah.
Salah satu informan penulis, AR (29) menyebutkan bahwa salah satu alasan
ia memutuskan menunda menikah karena ia berada dalam generasi sandwich,
“...Karena sandwich generation itu juga aku harus ngebantu adik-adik aku
selanjutnya untuk sekolah lagi ya kan. Sedangkan jarak nanti adik aku
sekolah lagi itu, waktunya orang tua aku pensiun. Aku sebagai yang tua
ngebantu adik-adik aku kan. Kalo aku sudah nikah itu, nggak akan bisa
39
melakukan kayak begitu karena nanti aku akan punya keluarga yang bakalan
aku prioritaskan” (wawancara dengan AR, 27 November 2021).
Solberg dalam Kompas.com menyepakati status sebagai generasi sandwich
memberikan dampak negatif terhadap kondisi pernikahan. Sejalan dengan hasil
studi tersebut, penelitian Hopps (2017) di Amerika Serikat menemukan bahwa
kelompok individu yang memiliki tanggung jawab merawat orang tua lebih banyak
merasa tertekan apabila dibandingkan dengan yang tidak memiliki tanggung jawab
serupa (Kompas.com).
b. Fokus bekerja dan mengejar karir
Banyak perempuan modern atau yang dikenal saat ini dengan sebutan
perempuan milenial lebih mementingkan pendidikan serta karier dari pada
hubungan percintaan. Pendidikan digunakan sebagai salah satu ukuran dari tingkat
kemampuan sumber daya manusia yang menjadi bekal dalam memasuki lapangan
pekerjaan (Oktarina, 2015). Pekerjaan mendefiniskan seseorang secara mendasar
(Blustein, 2008) dalam Santrock (2011: 30). Oleh karena itu perempuan
menjadikan pekerjaan sebagai wadah pengaktualisasian diri. Beberapa orang juga
memperoleh identitasnya melalui pekerjaan (Santrock, 2011). Oleh sebab itu
pekerjaan dan karier dianggap lebih menguntungkan dari pada pernikahan.
Kesibukan mereka tentu membuat mereka terlambat menikah atau secara sengaja
memutuskan menunda pernikahan.
Selain itu, pekerjaan sangat mempengaruhi kondisi finansial, kondisi rumah,
cara meluangkan waktu, lokasi rumah, sahabat-sahabatnya, dan kesehatan (Hodson,
2009). Lingkungan pekerjaan yang nyaman dan aman juga menjadi salah satu
40
alasan perempuan menunda menikah. Menurut pernyataan salah satu informan, Y
(48) menyatakan bahwa,
“Jadi aku memang tidak pernah (kepikiran untuk menikah), gara-garanya
aku tidak pernah di rumah (bekerja diperantauan). Bekerja terus. Kepengen
aktualisasi diri..” (wawancara dengan Y, 29 Oktober 2021)
Bekerja dibidang entertaiment, tepatnya dibidang broadcasting dengan
segudang beban dan tanggung jawab yang harus ia emban, tidak membuat Y (48)
kewalahan. Justru sebaliknya, ia merasakan kenyamanan bekerja dibidang tersebut.
Menurutnya lingkungan dan teman-teman kerjanya sangat mengasyikkan. Selain
itu, ia juga merasa memiliki kebebasan untuk berteman dengan siapa saja. Karena
dibidang ini, menurutnya perempuan dan laki-laki sama saja. Hal ini membuatnya
terlalu menikmati pekerjaannya sehingga ia tidak berpikir untuk menjalin relasi
romantis apalagi memikirkan untuk menikah.
“... Saking asiknya kalo di dunia broadcast inilah yang membuat aku nggak
kepikiran buat pacaran, enggak. Apalagi menikah juga enggak. Saking
asiknya” (wawancara dengan Y, 29 Oktober 2021).
“... Ya karena nyaman bekerja, enjoy, yasudah aku gak kepikiran untuk cari-
cari pasangan. Semua bertemen enak saja, orang aku bertemen sama siapa
saja enak. Kayak begitu loh. Jadi yasudah nggak kepikiran saja. Kerjaanku
banyak. Besok ketemu lagi harus tanggung jawab atas ini atas itu. Seperti itu
mbak.” (wawancara dengan Y, 29 Oktober 2021).
Selain tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas, keputusan Y (48)
menunda pernikahan saat itu juga karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan
keluarga. Di mana tiga saudara laki-lakinya saat itu belum menikah.
Sama seperti yang diutarakan oleh CT (30), di usianya saat ini ia memutuskan
untuk tidak terlalu terburu-buru menikah dengan alasan ingin mengejar karier dan
41
menstabilkan pekerjaan. Sebagaimana yang CT (30) katakan bahwasannya ia baru
saja memulai karier di usia 24- 25, sebab itu ia masih perlu waktu untuk
menstabilkan pekerjaannya sampai sekarang.
“Kepengennya gue sih kalo gue sudah bener-bener punya profesi, gue baru
deh mikirin mau nikah...
... Ngestabilkan pekerjaan gue yang baru banget gue mulai” (wawancara
dengan CT, 01 Desember 2021).
Harapan CT mengejar karir dan menggeluti suatu profesi tertentu selain
karena uang, ia juga menginginkan kehidupan yang stabil untuk di masa depan.
“... Ya minimal kehidupan gue stabil saja sih. gini, kerjaan sekarang gue
bukan PNS, gue juga belum punya investasi apa-apa. Maksudnya, gue belum
punya hal-hal jangka panjang begitu lah. Apa yang gue lakuin sekarang itu
pikirannya buat apa yang gue dapet besok. Masih yang bener-bener kejadian
saat ini, belum buat yang jangka panjang. Belum ada rencana jangka
panjang. Asuransi pun gue masih nempel sama kantor. Jadi ya, gue kerja
buat itu sih palingan” (wawancara dengan CT, 01 Desember 2021).
Selain alasannya mengejar karier dan menstabilkan pekerjaan. CT
menyatakan alasan ia menunda pernikahan karena ia lebih mementingkan
keluarganya. Baginya, keluarga adalah nomor satu. Maksudnya adalah untuk saat
ini, penghasilan CT dialokasikan sepenuhnya untuk keluarga dan dirinya sendiri.
CT menegaskan, ia tidak yakin apabila ia menikah penghasilannya akan cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta ia dan pasangan.
“Gue lebih ke mentingin, ngenomor satuin keluarga dulu sih. Maksudnya,
penghasilan gue saat ini gue alihkan buat keluarga gue dulu. Kalo misalnya
gue nikah kan, gue punya keluarga lain, nah, otomatis penghasilan gue
kebagi lagi tuu. Nah, gue belum sampe ditahap itu. Belum ready”
(wawancara dengan CT, 01 Desember 2021).
Kemudian L (31) juga menyatakan bahwa ia masih ingin mengejar karier
sebelum memutuskan menikah, “Aku masih mau ngejar karir aku” (wawancara
42
dengan L, 27 November 2021). Lebih lanjut lagi L (31) menegaskan menurutnya
usia 20an dan 30an awal merupakan masa-masa produktif bagi manusia. Jadi ia
beranggapan bahwa menikah saat ini bukanlah hal yang penting.
“Aku nggak mikirin itu sih sebenernya. Karena menurut aku itu tuh, belum
penting saja sih buat menikah di usia segini. Karena menurut aku nih ya,
umur segini, usia 20an 30an awal itu ya fokus ngejar karir dulu saja”
... Jadi ya alasannya kenapa di usia aku yang 31 tahun ini masih gak nikah,
karena itu tadi, aku mikirnya masih usia 30an awal lah, mau ngejar karir aku
dulu dan nikah menurutku untuk sekarang bukan yang penting-penting
banget” (wawancara dengan L, 27 November 2021).
Dewasa ini, persaingan di dunia kerja dan peluang kerja sangat terbuka bagi
perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya tingkat pendidikan yang
dimilikik oleh perempuan (Mahfudzathillah, 2018). Papalia dkk dalam
Mahfudzathillah (2018) menyatakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi
jarang menjadi pengangguran, dibandingkan berpendidikan rendah. Banyaknya
perempuan yang bekerja setelah mereka menyelesaikan pendidikan tinggi,
membawa akibat pada meningkatnya komitmen terhadap karier dan penundaan
pernikahan (Betz dkk dalam Dewi, 2006: 87; dalam Mahfudzathillah, 2018: 6).
Keyakinan kultural yang tertanam dalam kerja keras untuk saat-saat yang panjang
selama masa dewasa akan menciptakan jalur status, keamanan, dna kebahagiaan.
Maka dari itu banyak individu yang mempunyai konsep ideal tentang karier untuk
mencapai mimpi dan mobilitas sosial melalui tangga pekerjaan (Phyllis Moen;
2009a; Santrock; 2011: 29).
Bagi perempuan, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan
diri. Bekerja memungkinkan seorang perempuan mengekspresikan diri. Melalui
hekerja, perempuan berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian
43
tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Di samping itu, tujuan
perempuan bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka.
Kebutuhan finansial ini berkaitan dengan kesiapan sosial ekonomi sebelum
memasuki pernikahan (Walgito dalam Dewi, 2006: 87; dalam Mahfudzathillah,
2018: 6).
c. Melanjutkan Pendidikan
Pendidikan memberikan warna baru bagi pemikiran manusia, membuat sudut
pandang menjadi lebih luas dan terbuka terhadap suatu kemungkinan-
kemungkinan. Perempuan mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki dalam hal
pendidikan. Terbukanya keesempatan mengenyam pendidikan yang sangat luas
menjadikan perempuan berambisi untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Tidak jarang bagi perempuan yang berorientasi pada pendidikan mereka melupakan
pernikahan.
L (31), menyatakan bahwa ia tidak ingin menikah selain karena masih
menganggap dirinya berada di dalam usia produktif dan keinginan mengejar karier.
Alasan L yang lain adalah karena ia ingin melanjutkan pendidikan. Setelah ia
menyelesaikan pendidikan S-2 barulah ia mulai memikirkan pernikahan.
“Jadi, aku memang ada rencana mau ngelanjutin sekolah lagi, kepengen S2.
Nanti setelah selesai baru deh aku mikirin buat nikah. Begitu. Palingan kalo
dikarir aku itu, aku ngumpulin uang buat ngelanjutin biaya aku pas S2 nanti”
(wawancara dengan L, 27 November 2021).
Informan penulis yang lain, yakni IN (33), juga berpikir hal yang sama seperti
L (31). Selain karena alasan pribadi, sebagai seorang dosen di salah satu Universitas
swasta di Jakarta, ia pun mendapat tuntutan untuk mempunyai pendidikan sampai
44
jenjang S-3. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab IN belum menikah sampai
saat ini.
“Saya kan eee pekerjaannya sebagai dosen ya. Jadi pastinya kita dituntut
untuk terus kuliah gituu sampai S3. Dan saya memang kepengen S3 dari pas
lulus S2 bakalan mau S3. Cuma memang belum bisa langsung karena
memang saya dapat beasiswa yang memang harus mengabdi dulu jadi
dosen” (wawancara dengan IN, 06 November 2021).
Tingginya tingkat pendidikan yang perempuan miliki menjadikan mereka
berambisi untuk menjadi pekerja dan bergabung dalam bidang profesionalisme.
Selaras dengan apa yang diutarakan oleh AR (29), keputusannya menunda menikah
karena ingin terus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya kemudian mengejar
karier. Keputusan AR untuk menunda menikah juga disamburt baik oleh keluarga.
AR menjelaskan bahwa keluarganya, tepatnya dari garis keturunan Ayah selalu
mengutamakan pendidikan. Ini juga terjadi kepada sepupu-sepupunya, di mana
mereka baru melangsungkan pernikahan di usia 30an, bahkan ada yang sampai
umur 35 tahun baru menikah. Dan di keluarganya hal tersebut bukan menjadi
masalah yang besar.
“Dari keluarga ayah juga sama, mereka lebih mengutamakan pendidikan,
karena sepupu aku saja yang paling tua baru nikah umur 30an, dan yang
tertua kedua itu baru nikah umur 35...
... Di keluarga ku juga kan mengutamakan pendidikan nomor satu, jadi ya
kita itu ambisius banget buat ngejar pendidikan setinggi-tingginya dan karir
sebagus mungkin” (wawancara dengan AR, 27 November 2021).
Melanjutkan pendidikan menunjukkan bahwa kebutuhan ekonomi dan
pendidikan menjadi hal utama pada perempuan yang memutuskan menunda
pernikahan. Dari pengalaman pribadi penulis melihat, perempuan dengan
pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang bagus, umumnya tidak terlalu
45
memikirkan hubungannya dengan pasangan untuk dibawa ke arah yang lebih serius,
yakni pernikahan. Mereka berfokus pada karier dan dengan secara sengaja menunda
pernikahan.
d. Ketakutan/ Trauma masa lalu
Selain alasan mengejar pendidikan dan karier, terdapat pula ketimpangan
hubungan dalam berpacaran, yang pada akhirnya memberikan dampak rasa takut/
traumatik bagi perempuan untuk memikirkan hubungan yang lebih serius, dalam
hal ini pernikahan. Seperti AR (29), saat usianya 18 tahun, ia mendapat perlakuan
buruk dari sang kekasih. Dan itu berdampak bagi AR untuk memulai kembali
hubungan yang baru. Perasaan trauma juga dialami oleh sang mama karena melihat
anaknya terus menerus menangis.
“Aku pacaran kan umur 18 tahun ya, itu saja mama ku kayak yang nggak
suka begitu, makanya kayak di bawah kendali mama ku juga (pacarannya).
Nah waktu aku putus pun sampe nangis-nangis, mama ku tuh merasa sakit
hati juga soalnya sudah ngerasa ngerelain aku sama dia tapi aku kayak
digituin (perlakuan buruk) sama dia jadi mama ku juga trauma juga kan”
(wawancara dengan AR, 27 November 2021).
Kemudian IN (33), di usianya saat ini, ia belum juga menikah atau memiliki
pasangan. Ia bercerita, sebenarnya ia sudah merencanakan pernikahan sebelum usia
30 tahun. Namun, rencana tersebut tidak dapat direalisasikan karena pasangannya
saat itu tidak menyetujui IN melanjutkan pendidikan. Padahal pekerjaannya sebagai
dosen menuntut dirinya untuk terus melanjutkan pendidikan.
“Mmmm, jadi sebenernya sih sebelum umur 30 tahun, sempet itulah, pengen
– pernah mau menikah, kayak begitu...
... Waktu itukan kita obrolinnya memang sudah mau menikah. Saya izin sama
dia (pasangan saat itu) “kalo misalnya nanti kita jadi, gitukan, terus abis itu,
saya kuliah boleh nggak” Gitukan. Cuma jawaban dia tidak, dia tidak,
gimana ya, nggak ngizinin tapi dia bilang dia mencarinya seorang
46
pendamping yang eee memperdalam ilmu agama bukan ilmu dunia”
(wawancara dengan IN, 06 November 2021).
Kegagalan IN (33) dalam merencanakan pernikahan membuat dirinya
merasakan sedikit ketakutan untuk memulai hubungan kembali. Sebab itulah
mengapa sampai sekarang ia belum juga memutuskan untuk menikah dan memilih
menikmati hidupnya saat ini.
“Sejujurnya, karena yang itu, karena si cowok itu, sempet kayak takut
jadinya. Nanti kalo aku nikah malah dikekang lagi. Karena beneran, dia dari
awal kita chattingan itu sudah tipe yang ngekang. Kayak misalnya “lagi
apa?” “lagi ngecek instagram” “kok main instagram mulu sih? itulah
bersih-bersih rumahlah” Kayak gituu” (wawancara dengan IN, 06 November
2021).
Sejalan dengan IN, AR (29) juga mengalami hal yang sama. Pengalaman
memiliki pacar yang abusive (dia bercerita di luar sesi wawancara bersama penulis)
membuat dirinya takut untuk menjalin kasih kembali, “....Aku juga, ada trauma
sama pasangan waktu pacaran dulu hahaha. Itu jadi ngebuat aku trauma sama
laki-laki. Kayak aku belum bisa nemuin di mata aku yang bener-bener baik, begitu
loh. Jadi sampe sekarang aku selalu mandang cowok itu semuanya sama saja,
brengsek” (wawancara dengan AR, 27 November 2021).
Membahas perihal ketakutan terbesar dalam pernikahan, mayoritas informan
menyatakan bahwa mereka takut akan perceraian dan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Dua ketakutan terbesar tersebut berasal dari pengalaman pribadi,
keluarga, maupun lingkungan pertemanan serta lingkungan sekitar mereka. Seperti
dua informan penulis, yaitu U (30) dan L (31), mereka merupakan bagian dari
perceraian. Informan pertama, U (30) merupakan pihak yang orang tuanya
47
mengalami perceraian sehingga ia berharap ketika suatu saat ia menikah, ia tidak
mengalami perceraian seperti apa yang kedua orang tuanya alami.
“...Tapi nanti kalo andaikan gua nikah gua kayak gitu ga ya, katanya kan
buah jatuh ga jauh dari pohonnya, aku takut apa yang dialami semua akan
aku alami ketika aku nikah gitu, emang manusia itu nggak sama, cuman
gimana si ketakutan anak kalo ngeliat orangtuanya 2 kali gagal, apalagi
sampe ada kekerasan kayak gitu. Itu si faktor pertama yang bikin aku takut
tuh orang tua, tapi di bilang trauma si ga trauma” (wawancara dengan U, 03
November 2021).
Kemudian, L (31) merupakan pihak yang lingkungan keluarganya banyak
mengalami perceraian karena menikah di usia dini. Selain itu, lingkungan
pertemanannya pun tidak jauh berbeda. Perceraian yang terus menerus terjadi di
lingkungan sekitarnya membuat L trauma akan pernikahan.
“Mmm jujur, aku ada traumatik, ya. Karena pertama, lingkungan ku yang
dari keluarga itu banyak juga yang menikah muda ya. Adik-adik dari ibuku
dan kakak-kakaknya juga pada nikah muda. Terus cerai. Jadi, kayak nikah
lagi, dan begitu terus. Jadi, kayak, ada anak pertama dari istri pertama, anak
kedua dari istri kedua, dan seterusnya. Mereka itu jadi nikah cerai nikah
cerai bahkan sampe tiga kali. Aku jadi bertanya-tanya kan “ini mereka
kenapa sih?” “ mereka memutuskan menikah sampe 3 kali itu kenapaaa?”
Jadi kayak “keputusan menikah di awal itu kenapa?” “Kenapa bisa jadi
cerai terus menikah lagi terus cerai lagi itu kenapa?”. Maksudku, kenapa
harus mengulangi kesalahan yang sama bahkan sampe 3 kali itu kenapa...
Terus, di lingkungan aku juga punya teman-teman kuliah yang abis kuliah
mereka menikah tapi bercerai. Jadi menurut aku itu kayak, ngeliat mereka
bercerai itu kayak, aduh “apakah nanti kalo aku memutuskan untuk menikah,
aku akan bernasib sama kayak mereka kah?”. Salah satunya itu yang jadi
ketakutan aku sampe sekarang nggak mau nikah. Kayak yang di awal aku
bilang, aku maunya nikah satu kali seumur hidup. Dan orang itu yang mampu
ngebimbing aku sampe aku tua. Kita jalanin hidup sama-sama. Aku nggak
mau salah pilih orang” (wawancara dengan L, 27 November 2021).
Pandangan perempuan mengenai pernikahan berangkat dari pengalaman
pribadi yang mereka dapat dari orang-orang terdekat di sekitar mereka. Terdapat
pula ketimpangan ekspektasi dan kenyataan. Di mana informan perempuan penulis
48
menganggap bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen yang suci serta bernilai
ibadah, maka dari itu harus dijaga kesuciannya. Akan tetapi berbeda dengan realitas
yang ada, di mana kebanyakan pernikahan saat ini menjadi ajang perlombaan.
Tergesa-gesa dalam memutuskan untuk menikah dan berakhir perceraian.
U (30) juga merasakan hal yang sama. ia memutuskan untuk menunda
menikah karena takut jika perceraian kedua orang tuanya juga akan terjadi kepada
dirinya kelak.
“Karena faktor keluarga deh kayaknya, faktor orangtua lebih tepatnya.
Mama papa ku kan cerai di umurku 2 tahun” (wawancara dengan U, 03
November 2021).
Dari pernyataannya, U (30) memberitahukan kepada penulis bahwa
sebenarnya ia tidak memiliki trauma. Ia menegaskan bahwa ia masih bisa menjalin
hubungan dengan lawan jenis dan tidak menutup diri, “...Jadi itu kayak bikin
dibilang trauma bukan sih, karena aku juga pacaran..” (wawancara dengan U, 03
November 2021).. Akan tetapi, perceraian kedua orang tuanya dan kekerasan yang
dialami oleh sang mama yang dilakukan oleh suami keduanya terus menghantui U.
Dan hal tersebut memberikan rasa takut pada U untuk menikah.
Hurlock (2002) dalam Mahfudzathillah (2018: 7) menyatakan salah satu
alasan dewasa muda menunda menikah adalah kekecewaan yang pernah dialami
karena kehidupan keluarga yang tidak bahagia pada masa lalu atau pengalaman
pernikahan yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya. Menurut
Morison & Berlin (dalam Papalia 2008; dalam Mahfudzathillah, 2018:7) perceraian
bukanlah sebuah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah proses rangkaian
49
pengalaman berpotensi menekan yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan terus
berlangsung setelah terjadinya perpisahan tersebut.
e. Belum menemukan pasangan yang tepat
Alasan lainnya perempuan memutuskan menunda menikah karena belum
menemukan pasangan yang tepat. Seperti yang diungkapnkan oleh A (35), “Ya
sambil ikhtiar dan cari-cari juga..” (wawancara dengan A, 08 November 2021).
Senada dengan FT (30), “...Belum ada aja sih. Kalo aku ya, sih, eee apa ya, banyak
yang deket juga cuma ya belum ada apa ya eee belum ada kecocokan aja sama
yang kemarin itu, begitu. Sebenernya nggak nunda juga” (wawancara dengan FT,
04 Desember 2021).
3.2 Peran Otonomi Dalam Pengambilan Keputusan Pernikahan Pada
Perempuan
Pada hakikatnya, manusia akan terus berkembang sesuai dengan tahapan usia
yang mereka jalani dan disesuaikan dengan tugas perkembangan pada tahapan-
tahapan perkembangan tersebut. Tugas-tugas perkembangan tersebut harus dicapai
oleh individu untuk membentuk kematangan diri. Dalam perkembangannya,
individu pasti mengalami masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa.
Salah satu tugas perkembangan pada individu dalam tahapan dewasa muda ialah
memasuki dunia kerja. Di samping itu terdapat pula tugas perkembangan lain yaitu
membentuk komitmen atau relasi keterikatan yang penting dan intim dengan lawan
jenis melalui pernikahan. Dunia kerja dan membentuk komitmen dengan pasangan
hidup merupakan karakteristik dari tugas perkembangan individu menuju dewasa
(Mahfuzhatillah, 2018).
50
Pernikahan adalah hubungan laki-laki dan perempuan yang diakui secara
sosial yang dimaksudkan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi
membesarkan anak dan membangun pembagian peran antar pasangan. Menikah
merupakan sebuah tuntutan sosial yang datang dari masyarakat, keluarga, orientasi
seksual serta kemapanan. Pernikahan adalah tuntutan dari masyarakat atas
keberadaan kita sebagai makhluk sosial yang tidak mampu hidup sendiri.
Pernikahan adalah tuntutan dari keluarga atas kemandirian dan didikan yang telah
dilakukan oleh orang tua. Pernikahan juga merupakan tuntutan dari orientasi
seksual atas segala kenormalan seseorang sebagai manusia. Terakhir, pernikahan
merupakan tuntutan atas kemapanan yang telah dicapai oleh manusia
(Mahfuzhatillah, 2018).
Menurut Olson dan Defrain (2006), alasan orang untuk menikah adalah
mencari teman hidup (companionship), cinta dan intimasi, supportive partnership,
sexual partnership, dan sharing parenthood. Stinnett (dalam Turner & Helms,
1987) memaparkan alasan mendasar seseorang untuk melakukan pernikahan adalah
komitmen, one to one relationship, companionship and sharing, cinta,
kebahagiaan, dan legitimasi hubungan seks dan anak. Pada dua teori ini
menyebutkan teman hidup (companioship) sebagai salah satu alasan utama
seseorang memutuskan menikah.
Pernikahan merupakan hal yang penting, namun bukan berarti perempuan
harus tergesa-gesa dalam melaksanakannya. Karena memutuskan untuk menikah
bukan lah hal yang mudah. Menemukan pasangan yang tepat tidak semudah kita
membalikkan telapak tangan. Diperlukan banyak pertimbangan lain yang sangat
51
penting, mengingat pernikahan adalah peristiwa sakral nan suci yang kebanyakan
orang mengingkannya sekali seumur hidup.
Pada sub bab ini, penulis akan memaparkan proses perempuan dalam
mengambil keputusan untuk menikah. Perempuan melalui dua tahapan panjang
sebelum akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan, di antaranya:
Pertama, perempuan mempunyai kriteria dalam memilih pasangan. Tak
hanya laki-laki, perempuan juga memiliki beberapa kriteria pasangan untuk
dijadikan suaminya kelak. Sebagai contohnya L (31), selain mengidealkan laki-laki
yang pekerja keras dan bertanggung jawab, ia juga mengidealkan pasangannya
kelak seorang laki-laki yang mempunyai pekerjaan tetap, bukan pekerja kontrak.
Baginya, akan banyak kemungkinan-kemungkinan buruk jika calon pasangannya
adalah seorang pekerja kontrak, apalagi di masa pandemi sekarang ini, di mana
banyak pemutusan kontrak kerja.
“Tapi yang jelas, aku cuman pengennya suamiku itu punya pekerjaan,
pekerjaannya tetap lah jangan sampe masih kontrak atau apa. Karena kita
gatau kan di masa pandemi gini banyak pekerja kontrak yang diputus, dan
aku gamau itu kejadian di aku dan calon suamiku nanti. Itu yang pertama.
Yang kedua, bertanggung jawab. Sudah sih, segitu saja. Pekerjaan tetap dan
bertanggung jawab” (Wawancara dengan L, 27 November 2021).
Sejalan dengan L (31), IN (33) juga memiliki kriteria pasangan yang pekerja
keras dan bertanggung jawab. Selain itu, ia juga tidak menginginkan pasangannya
kelak mengekang dirinya. IN berharap pasangannya akan tetap memberikan
kebebasan dan mendukung dirinya untuk tetap melanjutkan karier dan pendidikan
yang sedang ia jalani.
“Sebenernya kalo ngomongin yang dulu begitu ya. Saya maunya yang
pekerja keras, terus bertanggung jawab. Dan dari awal itu saya bilang,
nggak suka cowok yang mengekang. Karena saya bukan tipe orang yang suka
52
dikekang. Saya akan nurut kalau misalnya itu menurut saya harus dituruti”
(wawancara dengan IN, 06 November 2021).
Pasangan yang mapan secara finansial dapat membantu mewujudkan
keluarga yang bahagia. Dengan harapan setelah menikah tidak ingin kekurangan
dalam hal keuangan.
Kriteria selanjutnya yang menjadi dominan pada perempuan dalam
memutuskan melaksanakan pernikahan adalah agama. Agama menjadi sangat
penting pada proses pengambilan keputusan pernikahan pada perempuan.
Empat orang informan yakni YT (30), N (32), A (35), dan S (31) mengatakan
bahwa agama atau keyakinan yang dianut menjadi hal yang sangat penting untuk
dibicarakan sebelum akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan.
“...Yang pertama, seiman itu penting” (wawancara dengan YT, 23 November
2021).
“...Agama penting banget juga buat aku, seiman” (wawancara dengan N, 22
November 2021).
“...Terutama dalam hal agama, ya. Apakah agamanya sudah jelas..untuk
menuju pencapaian apa yang mau kita tuju selama menikah ke depannya”
(wawancara dengan A, 08 November 2021).
“...hal-hal yang sensitif harus diomongin, misalnya agama. Kadang ya, yang
agamanya sama saja tetap ada perbedaan..” (wawancara dengan S, 04
November 2021).
Ajaran agama sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir individu.
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bahwasannya ajaran agama mampu
menciptakan pandangan individu, dalam hal ini terkait dengan pernikahan. Islam
memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral,
bermakna ibadah kepada Allah SWT, mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan
53
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan (Wahyu, 2016).
N (32) menginginkan pernikahan yang tujuan akhirnya adalah “jannah-Nya”.
Artinya, ia memandang bahwa pernikahan hanya dilaksanakan sekali dalam seumur
hidup serta menjalani kehidupan bersama dengan pasangan sampai maut
memisahkan, “Jadi nikah itu bener-bener untuk lahir batin dan bener-bener
tujuannya kepada Allah. Jadi, bukan buat status atau pamer doang “nih gue sudah
nikah nih”. Dan aku bukan yang kayak begitu. Aku pribadi nikah karena ingin lebih
bahagia dan tujuan akhirnya Jannah” (wawancara dengan N, 22 November 2021).
YT(30) dan L (31) menambahkan, pernikahan merupakan ibadah bersama yang
dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Rasulullah serta menyempurnakan
sebagian agama.
Dua orang informan penulis lainnya, yaitu A (35) dan I (36) menyatakan
bahwa mereka pernah gagal beberapa kali dalam mencari pasangan sebelum
akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. A (35) baru melangsungkan
pernikahan impiannya pada tahun 2020. Di mana sebelumnya ia telah merasakan
pahitnya gagal menikah pada tahun 2014. Kegagalan tersebut menjadikannya lebih
berhari-hati dalam memilih pasangan tetapi tidak membuatnya menutup diri dengan
lawan jenis yang ingin mencoba mengenal dirinya. Selain itu, sambil terus mencari-
cari pasangan yang tepat, A menyibukkan diri dengan bekerja dan kegiatan riset
penelitian.
Melalui teman-teman kajian dan web-web ta’aruf, dijadikan A (35) sebagai
wadah untuk dirinya mencari pasangan, “Mungkin dari teman-teman kajian. Terus
54
dari web-web taaruf juga pernah” (wawancara dengan A, 08 November 2021).
Senada dengan A (35), I (36) juga beberapa kali menemukan ketidakcocokan dari
calon pasangannya. Sebagai tipikal orang yang selalu serius terhadap suatu hal, I
(36) mempunyai beberapa kriteria untuk calon pasangannya kelak. Akan tetapi,
ketika ia dipertemukan oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang ia kriteriakan,
I selalu menemukan ketidakcocokan. Dan itu berlangsung selama lima kali
pertemuan dengan orang yang berbeda.
“Setelah aku membuat kriteria, akhirnya kriteria itu mental. Banyak yang
mentalnya gitukan ya. Mungkin kita hanya butuh satu, satu penguat sih.
Karena enggak ada orang yang bener-bener sesuai dengan kriteria yang kita
tulis atau yang kita impikan sebenernya. Tapi ternyata ujungnya tuh cuma
ada satu yang bener-bener jadi penguat atau yang jadi eee iya atau hal yang
paling kuatlah di antara semuanya. Dan itu yang aku sadari setelah bertemu
dengan 1 2 3 4 5 orang gitukan ya. Mereka tuh, rata-rata eee ada kriterianya
di aku tapi kok adalagi yang bikin aku, aku ilfeel deh bagian ininya dan itu
aku tinggalin. Aku ilfeel deh dibagian ininya” (wawancara dengan I, 01
November 2021).
Ketika mencari pasangan, umumnya setiap orang pasti memiliki kriteria dan
standarnya masing-masing. Entah itu mungkin berkaitan dengan fisik, atau hanya
seputar kepribadian dan sifat seseorang. Meskipun pada kenyataannya, saat
seseorang sudah menemukan kenyamanan dalam calon pasangannya, sering kali
standar dan kriteria menjadi terabaikan. Namun, bukan berarti seseorang bebas
memilih tanpa adanya pertimbangan.
Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh I (36), “Dulu
sih sempet sih, bikin kriteria ini itu karena aku kan tipe orangnya pemikir. Eee bikin
kriteria kayak gini gini gini pokoknya aku pikirin semua lah aku rencanakan seperti
apa yang aku inginkan. Begitu ya. Eee tapi ternyata diketemuin sama orang-orang
55
yang seperti kriteria aku kenapa kok aku menolak, begitu ya” (wawancara dengan
I, 01 November 2021).
Sama halnya dengan U (30), ia menyatakan bahwa ingin mendapatkan
pasangan yang setara tingkat pendidikannya alias minimal S-1. Hal ini karena latar
belakang keluarga U yang datang dari keluarga berpendidikan. Selain itu, pihak
keluarga menuntut pendidikan yang tinggi bagi calon pasangan U karena berangkat
dari pengalaman masa lalu U sendiri. Lahir dari keluarga yang tidak utuh, sehingga
U kecil kehilangan sosok sang Ayah, besar harapan keluarga, jika U bisa bersama
dengan laki-laki yang berpendidikan, ia akan akan terus dididik dan dijaga sampai
mati.
“Aku dari kecil nggak ada ayah, nggak ada orang yang ngebimbing aku
selain opah aku. Jadi dia mikir “lu butuh cowo yang bener-bener bisa
ngedidik lu bisa ngejagain lu sampe mati nanti” jadi dia mintanya yah
minimal pendidikannya setara sama lu, dia S-1 lu S-1 silahkan, kerjanya apa
ya terserah” (wawancara dengan U, 03 November 2021).
Mayoritas informan perempuan yang penulis wawancarai menyatakan bahwa
kriteria pasangan mereka adalah yang seiman dan bertanggung jawab. Mampu
membimbing mereka dunia dan akhirat. Di samping itu, kebanyakan informan
penulis pun memandang pernikahan sebagai sebuah ladang pahala dan ibadah.
Memilih pasangan yang terbaik adalah keputusan yang tepat dan merupakan
salah satu cara untuk menekan angka perceraian yang semakin marak. Oleh karena
itu, banyak perempuan yang rela mengorbankan waktu untuk menyeleksi calon
pasangannya kelar agar tidak terjebak dalam ikatan pernikahan yang hanya sekadar
sturktur sosial, lebih dari itu, melaksanakan pernikahan karena tuntutan umur dan
tren saja.
56
Pada tahap pertama, otonomi nilai dan behavioral menjadi paling dominan
terkait pengambilan keputusan pernikahan pada perempuan. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, kriteria pasangan yang ditentukan oleh perempuan dipengaruhi
oleh sistem nilai yang dibangun pada lingkungan sekitar mereka seperti keluarga
dan tempat kerja. Sehingga membentuk otonomi behavioral perempuan, dimana
perempuan memiliki kemampuan mengambil keputusan sendiri dan konsekuen
terhadap pilihannya.
Memikirkan dan mempertimbangkan kehidupan pasca pernikahan
merupakan tahap kedua dalam proses pengambilan keputusan pernikahan pada
perempuan. Pada tahap ini, perempuan akan membicarakan apa saja hal-hal yang
terkait dengan kehidupan pasca pernikahan kepada pasangan. Hal-hal yang
dibicarakan di antaranya menyangkut: (1) keterbukaan finansial, seperti
tanggungan terhadap keluarga dan hutang piutang; (2) komitmen dan kepercayaan;
(3) pekerjaan dan karier; (4) tempat tinggal setelah menikah; (5) pembagian peran
dalam rumah tangga; dan (6) validasi pasangan.
N (32) berpendapat, menurutnya, usia bukan menjadi malasah mengapa ia
masih melajang. Permasalahan di sini adalah bagaimana N (32) memvalidasi calon
pasangannya agar kelak pernikahan yang dijalani sesuai dengan apa yang ia
impikan.
“Jadi, disini kenapa aku belum menikah sampe sekarang itu sebenernya
masalahnya bukan di usia sih. Tapi bagaimana kita validasi calon pasangan
kita nanti. Jadi bukan masalah kalo misalnya memang mau nikah muda dan
pasangannya beneran baik, kan, nanti pernikahannya juga bakalan langgeng
kan, Gis. Kita akan bahagia, begitu” (wawancara dengan N, 22 November
2021).
57
Berangkat dari pengalaman keluarganya, N (32) tidak ingin pernikahan yang
menurutnya adalah sakral dan seumur hidup sekali dinodai oleh percerairan karena
keteledoran kita dalam memilih calon pasangan.
“Tapi kan disini, kadang, kebetulan ya, yang terjadi disini, yang terjadi sama
eee bahkan ada beberapa keluarga aku juga yang mmm, kayaknya kemarin
ada deh, keponakan aku di kampung, usianya 15 tahun sudah nikah, dan
sekarang anaknya sudah dua. Dan ya, itu gagal kan. Nah, dari situ mikir
“aduh, masih kecil-kecil” begitu ya. Bayangin 15 tahun janda anak dua.
Mmm cowoknya itu nggak dewasa. Ujung-ujungnya broken lagi. “apa sih
yang salah sebenernya?” “kan nikahnya sudah bener segala macam kok bisa
terjadi kayak begitu?”. Disitu aku sedikit bisa merasakan “wah itu (nikah)
bukan main-main. Mendingan gue bener-bener validasi dan gue bisa bener-
bener sampe mati sama dia” (wawancara dengan N, 22 November 2021).
Permasalah mengenai perempuan menunda pernikahan berkaitan erat dengan
kerja dan peluang karier yang saat ini sudah sangat terbuka luas bagi perempuan.
Modernisasi dan kesetaraan gender yang melebarkan pilihan perempuan untuk
menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dan mengejar karier. Perempuan lajang pada
umumnya memang tidak menjadi pernikahan sebagai prioritas utama, melainkan
pendidikan dan karier lah yang dipandang paling menguntungkan. Kedua hal
tersebut menjadi penting bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensi dan
identitas diri mereka dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, pendidikan dan karir
juga dijadikan alasan menunda pernikahan karena mempersiakan status sosial dan
ekonomi yang lebih baik sebab pernikahan bukan sekadar memenuhi tuntutan
keluarga dan lingkungan.
58
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Salah satu bentuk pengembangan perempuan dewasa yang belum menikah
ialah mempunyai otonomi emosional yang kuat karena didukung oleh kemandirian
mereka secara finansial. Kemandirian finansial yang dimiliki oleh perempuan
membantu mereka lebih mudah untuk mengendurkan simpul-simpul infatil yang
ada di dalam keluarga. Perempuan yang mandiri secara ekonomi akan merasa lebih
mudah dalam mengambil setiap keputusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Berkaitan dengan ini, sebagian perempuan dalam penelitian ini memutuskan
untuk melangsungkan pernikahan pada usia matang, yaitu 30 tahun. Sebagiannya
yang lain memutuskan untuk belum melaksanakan pernikahan walaupun telah
menginjak usia 30 tahun. Ini artinya, para perempuan yang menjadi informan
penulis telah mempunyai otonomi diri yang matang. Mereka telah memutuskan
untuk menikah atau pun menunda pernikahan berdasarkan keputusan pribadi tanpa
dipengaruhi orang lain serta siap menerima risiko akibat dari keputusannya
tersebut.
Pernikahan merupakan sebuah keputusan yang rumit dan sulit. Dalam proses
pengambilan keputusan pernikahan perempuan melalui dua tahapan yaitu pemilihin
pasangan berdasarkan kriteria dan pertimbangan kehidupan pasca pernikahan.
Terlebih lagi jika melihat realitas saat ini marak ditemukan kasus perceraian dan
broken home. Demikian para perempuan yang memutuskan untuk menunda
pernikahan salah satunya karena melihat terdapat perbedaan nilai-nilai antara
59
dirinya sendiri dengan pasangan, keluarga, mau pun lingkungan terkait kehidupan
berumah tangga.
4.2 Saran
Dari hasil temuan yang ada, para perempuan yang memutuskan untuk
menunda pernikahan selain memiliki alasan yang mendasar dari dalam diri mereka
masing-masing. Lebih dari itu, para perempuan tersebut mempunyai potensi dan
berkesempatan untuk lebih jauh lagi mengembangkan kapasitas dirinya.
Pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki oleh perempuan menjadi salah satu bukti
kesetaraan gender, di mana saat ini dunia dan pemerintah sedang meminimalis atau
meniadakan diskriminasi gender. Sebagaimana yang diketahui, berdasarkan
Millenial Development Goals (MDGs), kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan merupakan isu ketigak dari delapan isu yang disuarakan. Terdapat dua
indikator dalam isu kesetaraan gender menurut Millenial Development Goals
(MDGs) sebagai berikut: (1) Closing the gender gap in education at all levels
(menutup kesenjangan gender dalam pendidikan di semua tingkatan); dan, (2)
Increasing women’s share of wage employment in the non-agricultural sector
(meningkatkan pangsa perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non
pertanian).
4.2.1 Saran Bagi Perempuan Yang Ingin Menunda Pernikahan
Saran penulis untuk para perempuan penunda pernikahan, terus tetap menjaga
nilai-nilai yang telah tertanam di dalam diri para perempuan, khususnya terkait
tentang pernikahan. Banyak kesempatan yang yang para perempuan miliki sebelum
akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan dan terikat dengan
60
komitmen seumur hidup. Jangan sia-siakan kesempatan tersebut, dan teruslah
melakukan hal positif dan pengembangan diri.
4.2.2 Saran Orang Tua Bagi Anak Perempuan Yang Berkarir Dan
Menunda Pernikahan
Diharapkan setiap orang tua dapat mengarahkan anak perempuannya untuk
memiliki persepsi lain yang lebih positif tentang pernikahan. Anak perempuan
diajarkan belajar mengendalikan kecemasan mereka bahwa pernikahan tidak
seburuk yang mereka pikirkan sebab di dalamnya terdapat dukungan dari orang tua
dan keluarga.
4.2.3 Saran Untuk Pengambilan Kebijakan KPPPA
Pasangan yang menikah pada usia yang belum matang menimbulkan berbagai
dampak negatif. Sebab secara psikologis mereka belum siap menjadi orang tua
karena masih berada dalam usia yang labil dan rentan terjadinya pertengkaran,
kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan perceraian. Oleh sebab
itu, penulis berharap pemerintah pusat khususnya kepada Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan penelusuran
kebijakan yang mendukung terhadap program pendewasaan usia menikah. Dengan
kebijakan tersebut diharapkan KPPPA mampu menurunkan angka pernikahan dini.
Kemudian, peneliti lain dapat melakukan penelitian serupa mengingat
penelitian terkait perempuan yang menunda pernikahan belum banyak dilakukan.
Tentunya penelitian tersebut nantinya dilakukan dengan beberapan pembaharuan,
di antaranya menggunakan kerangka berpikir yang berbeda, rumusan
62
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
A. Hafiz Anshary A, Z dan Huzaumah T, Yanggo (ed). 2002. Ihdad Wanita Karir
dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer (II). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Adams, G.R. & Berzonchy, M.D. (2003). Handbook of Adolescence. Blackwell
Publishing.
Amidana, Hikmah. 2017. “Pengambilan Keputusan untuk Menunda Pernikahan
pada Hafidzah Al-Qur’an Wilayah Tulungagung”. Skripsi. Fakultas Ushuludin
Adab dan Dakwah. Prodi Tasawuf dan Psikoterapi. IAIN Tulungagung.
Andu, Christine Purnamasari. 2019. Makna Pernikahan Bagi Wanita Lajang Usia
Dewasa”. Jurnal Representamen Vol. 5 No. 01.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Bayali, C. 2013. “Menunda Pernikahan Bagi Wanita Karir Menurut Hukum
Islam”. Hukum Islam, XIII (1).
Cole, L. (1963). Psychology Of Adolescence, 5th ed. New York: Holt, Rinehart &
Winston.
Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia: Jakarta.
Dewi, A. A., & Valentina, T. D. (2013). Hubungan kelekatan orang tua-remaja
dengan kemandirian pada remaja di SMKN 1 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana,
181-189.
63
Etaugh, C., & Birdoes, L. N. 1991. Effects of Age, Sex, and Marital Status on Person
Perception. Perceptual and Motor Skills, 72, 491-497.
Hapsari, P,. Nisfiannoor, M., & Murmanks, A. W. 2007. Konflik Perempuan Jawa
Yang Masih Melajang Di masa Dewasa Madya. Jurnal Arkhe, 12 (1), 41-56.
Ime, W. Desiyanti. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan
Dini Pada Pasangan Usia Subuh di Kecamatan Mapanget Kota Manado. Jurnal
Penelitian. Hal 217.
Ismiatun, Dwi. 2018. “Rasionalitas Tindakan Melajang Pemuda Muslim Di Desa
Jimbung Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten”. Skripsi. Fakultas Ushuludin
dan Pemikiran Islam, prodi Sosiologi Agama. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Jamaludin, Andon Nasrullah. “Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota
dan Problematikanya”. Cetakan kedua. Penerbit: CV Pustaka Setia. Bandung.
ISBN 978-979-076-518-4.
Johnson, M.P., Caughlin, J.P. and Huston, T.L. 1999. The Tripartite Nature of
Marital Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married.
Journal of Marriage and the Family, Vol 61, 160-162.
Koentjaraningrat. 1992. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kumalasari, D. 2007. Single Professional Women Sebagai Fenomena Gaya Hidup
Baru di Masyarakat Yogyakarta (Studi Kasus: Kabupaten Sleman). Jurnal
Pendidikan Sejarah FISE UNY. Diakses pada tanggal 03 Februari 2022.
64
Mackenzie, Catriona., and Natalie Stoljar. 2000. Relational Autonomy: Feminist
Perspective on Autonomy, agency, and the social self. Oxford University Press.
ISBN 0-19-512333-6; ISBN 0-19-512334-4 (pbk).
Mahfuzhatillah, Khairul Fadhilah. 2018. “Studi Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Menunda Menikah Pada Wanita Dewasa Awal”. ITTIHAD, Vol.
11 No. 1, Januari-Juni 2018. P-ISSN:2549-9238. E-ISSN: 2580-5541.
Mardiansjah, Fadjar Hari dan Pramita Rahayu. 2019. “Urbanisasi dan
Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia: Suatu Perbandingan Antar-Kawasan Makro
Indonesia”. Jurnal Pengembangan Kota Vol. 7 No. 1 (91-110). DOI:
10.14710/jpk.7.1.91-110. http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jpk
Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Murphy, D. A., Greenwell, L., Resell, J., Brecht, M.-L., & Schuster, M. A. (2008).
Early and middle adolescent's autonomy development. Clinical child psychology
psychiatry, 253-276.
Nasikun. 1990. Peningkatan Peranan Perempuan Dalam Pembangunan: Beberapa
Teori dan Implikasi Kebijaksanaan. Seminar Peranan Perempuan Dalam
Pembangunan: Antara Harapan dan Kenyataan. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gajahmada.
Neuman, W. Lawrence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif. Edisi 7. Jakarta: PT Indeks.
Nofal, Arif. 2019. “Perilaku Penundaan Pernikahan Ditinjau dari Hukum Islam”.
Skripsi. Fakultas Syariah. Prodi Hukum Keluarga Islam. IAIN Bengkulu.
65
Noom, M. J., Dekovic, M., & Meeus, W. (2001). Conceptual analysis and
measurement of adolescent autonomy. Journal of youth and adolescence, 577-595.
Nur Sabrina, Latifa. 2016. “Kontrol Diri Wanita yang Menunda Pernikahan”.
Publikasi Ilmiah. Fak. Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nurviana, Adilah dan Wiwin Hendriani. 2021. “Makna Pernikahan pada Generasi
Milenial yang Menunda Pernikahan dan Memutuskan untuk Tidak Menikah”.
Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan Mental. Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga. E-ISSN: 2776-1851. http://e-journal.unair.ac.id/index.php/BRPKM
Olson, D.H., and Defrain, J. 2006. Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and
Strengths (5th edition). Boston: McGraw-Hill.
Hearty Nurhadi dan Aida Fitalaya S. Hubeis. Dinamika Wanita Indonesia seri 01:
Multidimensional. Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita. Jakarta.
Oktraina, Lindha Pradipti,. Mahendra Wijaya dan Argyo Demartoto. 2015.
“Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus Pada Perempuan Lajang yang Bekerja di
Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri”. Jurnal Analisa Sosiologi (3) April
2015, 4(1): 75-90.
Rahmalia, Dwi. 2018. “Makna Hidup Pada Wanita Dewasa Madya yang Belum
Menikah”. Kognisi Jurnal, Vol. 3 No. 1 Agustus 2018. 2528-4495.
Santrock, J. (2007). Remaja. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence (6th ed). Alih Bahasa: Shinto A., Sherly S.,
(2003): Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta. Erlangga.
Santrock, J.W. (1994). CMc/ development, 6th ed. USA: Brown & Benchmark
communication, inc.
66
Santrock, J.W. (1996). Life-Span Development, 5th ed. Alih Bahasa : Achmad C,
Juda. D: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta. Erlangga.
Santrock, J.W. (2011). Life-Span Development. Perkembangan Masa-Hidup. Edisi
Ketigabelas, Jilid 2. Jakarta. Eerlangga.
Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Statistik, Badan Pusat. 2017. “Laporan SDKI 2017 Provinsi DKI Jakarta”.
Statistik, Badan Pusat. 2018. “Pengembangan Manusia Berbasis Gender”.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Statistik, Badan Pusat. 2018. “Statistik Gender Tematik”. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Statistik, Badan Pusat. 2019. “Statistik Gender Tematik”. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Steinberg, L. (1993). Adolescence. New York. Mc.Graw-Hill In.
Steinberg, L. (2002). Adolescence, 6 ed. Boston. Mc. Graw-Hill In.
Subadi, Tjipto. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Penerbit Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Sugiyono. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
ALFABETA.
Suhartami, Wiwik. 2002. Perempuan Lajang: Meretas Identitas Di Luar Ikatan
Perkawinan. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Turner, J. S., and Helms, D.B. 1987. Life-span Development (3rd edition). London:
Holt Rinehart Winston.
67
Wang, W and Taylor P. 2011. “For Millennials, Parenthood Trumps Marriage”.
Retrieved Januari 17, 2019, from Pew Research Center.
Widawati, Lisa. Hubungan Otonomi dengan Regulasi Diri pada Bidang Akademik
Siswa SMU Terpadu. MIMBAR, Vol. XXV, No. 1 (Juli-Desember 2008): 185-198.
Yuwono, S. 1984. Pokok-Pokok Kebijaksanaan Ketenagakerjaan Khususnya
Perempuan Dalam Repelita IV. Dalam Sadli, S. 1989. Kumpulan Makalah Seminar
Nasional Perempuan Indonesia: Fakta dan Citra. Jakarta: Program Pengembangan
Karir Perempuan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
https://peraturan.go.id/common/dokumen/In/1974/uu0011974.pdf
diakses tanggal 05 Juli 2021.
https://kbbi.web.id/kemandirian
diakses tanggal 27 Desember 2021 pukul 12.04 WIB.
https://kbbi.web.id/nikah
diakses tanggal 27 Desember 2021 pukul 15.36 WIB.
https://kbbi.web.id/kawin
diakses tanggal 27 Desember 2021 pukul 15.40 WIB.
https://Kompas.com/generasi-sandwich
diakses 04 Januari 2021 pukul 10.39 WIB.
https://www.bkkbn.go.id/detailpost/bkkbn-usia-pernikahan-ideal-21-25-tahun
diakses 18 Agustus 2021 pukul 17.45 WIB.
Millenium Development Goals – Let Speak Out for MDGs – ID.
https://www.undp.org/MDG
diakses 14 Januari 2021 pukul 14.29 WIB.
68
Sumber Wawancara:
Wawancara pribadi dengan Y, 29 Oktober 2021.
Wawancara pribadi dengan KK, 01 November 2021.
Wawancara pribadi dengan I, 01 November 2021.
Wawancara pribadi dengan US, 02 November 2021.
Wawancara pribadi dengan U, 03 November 2021.
Wawancara pribadi dengan S, 04 November 2021.
Wawancara pribadi dengan IN, 06 November 2021.
Wawancara pribadi dengan A, 08 November 2021.
Wawancara pribadi dengan N, 22 November 2021.
Wawancara pribadi dengan YT, 23 November 2021.
Wawancara pribadi dengan L, 27 November 2021.
Wawancara pribadi dengan AR, 27 November 2021.
Wawancara pribadi dengan CT, 01 Desember 2021.
Wawancara pribadi dengan FT, 04 Desember 2021.
Wawancara pribadi dengan AD, 05 Desember 2021.
xi
LAMPIRAN
Matriks Pertanyaan Informan
Nama :
Usia :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status Perkawinan :
Domisili :
Tempat Tinggal :
A. Tabel Matriks Pertanyaan I
No. Dimensi Otonomi
Menurut Steinberg
Pertanyaan-Pertanyaan Jawaban
1. Otonomi Emosional
(emotional autonomy),
yakni kemampuan
individu untuk tidak
bergantung pada orang
lain
1. Apakah saat ini Anda
masih tinggal bersama
orang tua/keluarga
inti?
2. Menurut Anda, apakah
dengan masih tinggal
bersama orang tua
membuat Anda tidak
memiliki kebebasan
dalam menentukan
pilihan hidup terutama
keputusan untuk
menikah/tidak
menikah?
3. Ketika memutuskan
untuk menunda
pernikahan, apakah
keputusan tersebut
berasal dari diri sendiri
atau ada pengaruh dari
lingkungan sekitar?
Misalnya, di
lingkungan
keluarga/pertemanan
Anda lebih banyak
yang bekerja dari pada
menikah.
4. Ketika memutuskan
untuk menikah, apakah
keputusan tersebut
yang Anda inginkan?
Atau ada desakan dari
xii
keluarga dan
lingkungan sekitar
yang mendorong Anda
untuk menikah.
5. Dengan usia Anda saat
ini, apakah Anda
merasa sudah mampu
mencari solusi dan
menyelesaikan
masalah sendiri tanpa
melibatkan orang lain?
2. Otonomi Tingkah Laku
(behavioral autonomy),
yakni kemampuan
individu dalam
mengambil keputusan
secara mandiri dan
konsekuen terhadap
pilihan
1. Apakah alasan Anda
memilih untuk tidak
tinggal bersama
dengan orang tua?
2. Apakah Anda memiliki
kebebasan untuk
menjalani hubungan
(berpacaran) tanpa
mendapat desakan ke
jenjang yang lebih
serius (pernikahan)
dari orang tua atau
lingkungan sekitar?
3. Apakah Anda memiliki
kebebasan untuk
memilih siapa yang
akan menjadi pasangan
hidup Anda?
4. Apa alasan Anda
memutuskan untuk
bekerja dan menjadi
perempuan karir?
5. Apa alasan Anda
memutuskan untuk
menunda pernikahan?
6. Apakah Anda sudah
mengetahui
konsekuensi dari
keputusan yang Anda
ambil, dalam hal ini
menunda pernikahan?
7. Apa yang Anda
rasakan dari menunda
pernikahan?
xiii
8. Bagaimana respon
keluarga khususnya
orang tua terhadap
keputusan yang Anda
ambil, dalam hal ini
menunda pernikahan?
9. Bagaimana hubungan
Anda dengan orang
tua, kerabat, dan
lingkungan sekitar
ketika mereka
mengetahui Anda
memutuskan menunda
pernikahan?
10. Bagaimana Anda
menyikapi penilaian
orang lain (orang tua,
kerabata, lingkungan
sekitar) terhadap
keputusan yang Anda
ambil?
11. Apa alasan Anda
memilih untuk
melepaskan pekerjaan
Anda dan memilih
menjadi Ibu Rumah
Tangga sepenuhnya?
3. Otonomi Nilai (value
autonomy) dipahami
sebagai kemampuan
individu dalam memaknai
seperangkat prinsip yang
diyakini dalam hidup
1. Bagaimana pandangan
Anda tentang
pernikahan?
2. Menurut Anda, apakah
pernikahan menjadi
keharusan bagi
perempuan?
3. Bagaimana Anda
menyikapi perbedaan
pandangan yang terjadi
di antara Anda dan
orang tua?
B. Tabel Matriks Pertanyaan II
No. Status
Informan
Pertanyaan-Pertanyaan Jawaban
1. Belum
Menikah
1. Apakah Anda memiliki pasangan?
2. Bagaimana kriteria Anda dalam
memilih pasangan?
xiv
3. Bagaimana peran orang tua dalam
menentukan pasangan Anda?
4. Apakah Anda mendapat desakan
dari orang tua untuk segera
menikah?
5. Apakah Anda pernah merasa
khawatir dengan status Anda saat
ini?
6. Apa saja yang akan Anda
bicarakan pada pasangan sebelum
memutuskan untuk menikah?
7. Setelah menikah, apakah Anda
masih berkeinginan untuk bekerja
dan berkarir seperti saat ini?
8. Apakah Anda sudah menentukan
di usia berapa Anda akan
menikah?
2. Sudah
Menikah
1. Bagaimana proses bertemu dengan
pasangan?
2. Bagaimana kriteria Anda dalam
memilih pasangan?
3. Bagaimana peran orang tua dalam
menentukan pasangan Anda?
4. Apakah Anda mendapat desakan
dari orang tua untuk segera
menikah?
5. Saai itu, apakah Anda merasa
khawatir dengan status Anda yang
belum menikah?
6. Apa alasan Anda memutuskan
untuk menikah?
7. Bagaimana Anda dan pasangan
mendiskusikan tentang
pernikahan?
8. Apa perbedaan yang Anda rasakan
sebelum dan sesudah menikah?
9. Bagaimana Anda mendiskusikan
dengan pasangan terkait Anda
yang tetap berkarir setelah
menikah?
xv
Koding Matriks I
OTONOMI EMOSIONAL
Kemampuan Individu untuk tidak bergantung kepada orang lain
Apakah saat ini Anda masih tinggal bersama orang tua/kelurga inti?
1. Rumah sendiri. (Karina)
2. Belum, masih tinggal sama mertua.
Oh, iya, masih tinggal sama orang tua terus (sebelum menikah).
(Indah)
3. eee selama kuliah S1 ngekos. Cuman pas mulai masuk S2 aku sudah
mulai apa namanya, eee mulai ngontrak. Sampe sekarang. Sampe
selesai S2 aku masih ngontrak. Enggak, gak tertarik balik kosan lagi,
sih. (Ummu)
4. eee kalo yang di Mojokerto saya sama eee sama siapa sih, sama
mertua. Cuman, kalo yang di Malang, memang rumahnya keluarga,
rumah saya. Tapi enggak bareng orang tua,gituu. Orang tua saya di
Jakarta soalnya.
Alhamdulillah aku ada rumah juga, sih, disini (Batam). Rumah
keluarga. Jadi kita disuruh tempatin. Oh yaudah deh, kayak gituu.
(Scha)
5. sama orang tua. Tapi sekarang ngekos di Bogor juga karena kan lagi
kuliah ini, jadi saya ngekost di Bogor. Tapi kalo weekend pulang.
(Intan)
6. eeee di PIM. Di pondok indah mertua (tertawa).
aku kan juga dulunya ngekos ya. ya sebenenrya juga sudah biasa
sendirian juga.
mmm yang beneran ngekosnya itu sejak 2017. Sebelum-sebelumnya
aku tinggal di asrama kebidanan. Jadi aku lebih banyak pulang pergi
itu ke asrama. (Ayu)
7. aku masih tinggal sama orang tua, Gis, disini, di Depok. Kebetulan
dari kecil, terus aku kuliah juga nggak pernah ngekos-ngekos sih.
(Nurvita)
8. aku ngekos gis. Aku aslinya dari Indramayu. (Yuti)
9. sendiri. Aku ngontrak. (Lena)
10. enggak. Gue tinggal sendiri, ngekos di Jakarta Selatan. (Citra)
Dengan usia Anda saat ini, apakah Anda merasa sudah mampu mencari
solusi dan menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain?
1. saat ini ya, tergantung masalahnya sih. Kalo memang masalah itu
diperlukan pendapat orang tua ya tanya sama orang tua. Tapi kalo
memang tidak diperlukan atau dalam arti itu tidak diperlukan dalam
hal yang sama orang tua memang sebaiknya nggak usah taulah.
Mungkin malah akan tidak baik hasilnya itu yang enggak. jadi
sekarang ya tergantung kondisinya atau tergantung permasalahannya.
Jadi, itu, nggak nggak selalu semuanya dibicarain ke orang tua. gitu
kadang mungkin ke suami atau mungkin kalau mungkin namanya kita
berumah tangga itu kan pasti ada permasalahan-permasalahan ya.
xvi
Nah, itu permasalahan-permasalahan tersebut eee jika masalah itu
akan bisa besar bisa kecil. Kita bisa besar-besarin masalah atau kita
mau memperkecil masalah tersebut begitu. Nah, kalau misalnya
dengan ngomong sama orang tua akan menjadi melebar gitukan,
apalagi permasalah rumah tangga, ya, janganlah disampaikan.
Mungkin kita bisa cari teman yang nggak ember, nggak bocor
gitukan. Misalnya kita dalam kondisi rumah tangga yang itu sih.
Sejauh itu diusahakan seperti itu walaupun sulit ya. (Indah)
2. kalo keputusan tetap di aku. Cuman, aku tetap sharing jadi, dari
apapun yang aku ambil mereka pasti oke. jadi, eee kalo maksudnya
terkait persetujuan, enggak sih, semuanya alhamdulillahnya masih di
aku. (Ummu)
3. Iyah betul, aku bukan tipikal orang, karena dari kecil udah terbiasa
hidup sama orang (bukan orang tua kandung), jadi aku punya
keinginan gamau nyusahin orang lain, selama aku bisa sendiri, aku
selesain sendiri. (Unge)
4. iya. Terutama yang menyangkut pendidikan. Kayak ini, saya mau
kuliah. Saya bilang. Saya mau ngekos pun saya bilang. Kan awalnya,
saya itu angkatan 2020 S3 nya, cuman baru ngekos baru bulan ini.
Nah itu saya bilang sama mama saya kalo saya mau ngekos. Terus
misalnya lagi saya mau pergi gitukan, travelling lah saya tetap bilang.
Pokoknya ya eee saya sih tipe yang terbuka sih sama orang tua.
Kecuali, kalo cowok. Sebenernya kalo cowok saya gak terbuka
kecuali memang saya sudah yakin begitu. Kalo misalnya baru kenalan
begitu-begitu, ya sudah, simpen sendiri dulu. Aku takutnya kalo aku
kenalin, orang tua terlalu ngarep kan. Jadi nanti disuruh ajak ke rumah
lah apalah. Padahal kita belum sreg gituloh. Kitanya masih mau cari
tahu dan ngetes ini cowok. Makanya kalo yang masalah itu ya aku
sendiri dulu. Jadi keputusan yang kayaknya sudah hampir fix ya saya
obrolin ke orang tua. Tapi kalo yang masih, yang sayanya juga masih
ragu untuk ngelakuin apa nggak eee di keep dulu saja. biar nggak
kepikiran juga kan. (Intan)
5. eee pas ngekos terakhir ini kebetulan ibuku sudah meninggal ya. jadi
aku memang lebih banyak untuk urusan keputusan menikah dan
lainnya itu lebih banyak aku biasanya eee mungkin aku untuk taaruf
aku berjalan dulu sendiri tapi nanti di pertengahan aku akan
sampaikan ke kakak-kakak ku. Nanti kalo misalnya sudah mau nazor,
aku sudah ngasih gambaran ini sebelumnya jadi nanti entar kakak ku
nggak kaget-kaget banget. Maksudnya juga biar dia nggak ngerasa
ter, ter apa ya, mungkin merasa kayak nggak dianggap lah.
iya betul. Takutnya kan kita sudah ngobrol ternyata akunya nggak
sreg gitukan, ya nggak enak juga kan. (Ayu)
6. eee iya dan tidak sih. jadi, ada yang mungkin hal-hal sepele lah ya.
Tapi sometimes kita pasti punya yang namanya bad day ya. kadang
ada “aduh, gue lagi bete banget nii” dari mulai urusan kerjaan. Kan
tidak menutup ya, Gis, karena kita bekerja dengan banyak orang. Pasti
xvii
ada kayak begitu, dari atasan lah atau segala macam. Atau “aduh, lagi
nggak enak nii kliennya” hahaha “aduh, boss nya lagi gini-gini
nyenyenye”. Hal-hal kayak begitu palingan lebih ke curhat saja sih,
kelar. Cuma kalo untuk solusinya tetap balik ke aku sendiri. Aku yang
ambil keputusannya. Nggak disetir siapa-siapa. (Nurvita)
7. masalah apa nih? Berkaitan sama masalah..mmm kalo aku sih gini ya
gis, kalo pendapat orang tua sih pasti tetap ya, tetap aku butuh.
Apalagi kalo keputusan itu besar, berkaitan dengan kehidupan aku ke
depannya. Pasti aku minta izin sama orang tua. Tapi kalo untuk
masalah sehari-hari ya aku selesaiin sendiri sih. (Yuti)
8. iya!! Karena kadang kalo aku punya masalah itu aku nggak ceritakan.
Yauda aku selesaikan sendirian saja. tapi kalo sudah berat banget nih
ya masalahnya mau nggak mau orang tua harus tahu, aku ceritain aku
lagi punya masalah apa.
iyaa... selagi masalahnya nggak ngeganggu aku banget, aku selesain
sendiri sih. kecuali itu tadi, kalo sudah sampe bikin pusing dan
bagaimana ya eeee pasti aku ceritain ke mereka. (Lena)
9. sejauh ini sih, iyaa. Karena terbiasa hidup sendiri. Sesimpel gue besok
makan apa, itu kan termasuk cari solusi sendiri gitukan. Punya
penghasilan sendiri, mau dipake buat apa saja itu juga kna termasuk
keputusan sendiri. Jadi, menurut gue sih ya, sejauh yang gue tahu, gue
sudah bisa mutusin apa-apa sendiri.
enggak semuanya sih. gue sama orang tua itu nggak terlalu terbuka.
Nggak semua hal yang gue alamin tiap hari, terus gue ceritain gue
orang tua. Itu nggak. Ya banyak juga hal yang gue sembunyiin dari
nyokap. Palingan masalah kerjaan, masalah pasangan, yang kayak
gituu sih yang gue omongin ke nyokap. Tapi kalo masalah teman,
masalah kegiatan gue, nggak terlalu gue buka ke nyokap sih. (Citra)
Menurut Anda, apakah dengan masih tinggal bersama orang tua membuat
Anda tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup terutama
keputusan untuk menikah/tidak menikah?
1. bisa dibilang iya sih. tapi bisa juga dibilang nggak. gue bisa jauh dari
pertanyaan-pertanyaan “kapan nikah?”. Tapi kan, sekalinya gue
ketemu itu gue pasti ditanyain tuh, “pacarnya siapa sekarang?” terus,
“rencananya mau nikah kapan?” nyenyenye gue palingan yang kayak,
“sudah, tenang dulu saja, mah” kayak gituu. (Citra)
Ketika memutuskan untuk menikah, apakah keputusan tersebut yang Anda
inginkan? Atau ada desakan dari keluarga dan lingkungan sekitar yang
mendorong Anda untuk menikah?
1. iya sih, memang, memang, iya memang kepengen saya sendiri dan
memang dia juga eee nggak ada tuntutan. Ya memang ngalir saja
gituu. Kayaknya sudah waktunya nikah deh, nikah saja yuk. Biar
goalsnya itu punya kehidupan yang lebih baik, atau apa-apa itu
mindsetnya bareng gitukan. Jadi, nggak, nggak, belum nikah, kalo
xviii
saya sih ya, kalo belum nikah itu kayak apa-apa itu ditanggung
sendiri. Tapi kalo sudah nikah kan sekarang jadi ada temennya.
(Scha)
OTONOMI BEHAVIORAL
Kemampuan Individu dalam mengambil keputusan secara mandiri
dan konsekuen terhadap pilihan
Apakah alasan Anda memilih untuk tidak tinggal bersama dengan orang
tua?
1. sebenernya ini bukan keputusan gue pribadi ya. gue kan sempet
ngekos itu, eee, sudah terbiasa ngekos itu dari kuliah. Sudah mulai
jauh dari orang tua sejak itu. Karena jarak dari rumah ke kampus itu
jauh banget, jadi harus ngekos. Nah, pas gue kerja pun, itu pas banget
sama keputusan nyokap buat tinggal di Sumedang, terus gue keterima
kerja di Jakarta, yaudah, mau nggak mau gue ngekos. Jadi bukan hal
yang baru juga buat ngekos dan hidup sendiri. (Citra)
Apa alasan Anda memutuskan untuk menunda pernikahan?
1. kenapa? Kalo pertanyaannya kenapa, kalo alasan secara pribadi sih
eee enggak ada ya. Maksudnya ya memang mengalir begitu saja.
karena, aku pribadi sih maunya nikah cepet-cepet ya (tertawa) tapi
ternyata tidak semudah itu dalam menemukan pasangan. pasangan ya.
Apa namanya, menemukan pasangan yang eee pas begitu. Terus habis
itu dalam menemukan... karena aku punya prinsip nggak mau
pacaran. Sementara lingkungan aku itu eee lingkungan yang orang
biasa saja. jadi, boleh dibilang aku bukan berenang di kolam yang
tepat sebenernya. Ngerti gak? Jadi, aku punya prinsip enggak mau
pacaran. Tapi, aku nggak masuk dalam komunitas itu, begitu.
komunitas dimana orang tidak pacaran. Lalu, mungkin dia berta’aruf
seperti apa begitu ya. seperti itu jadi, yang pertama itu. Kemudian,
yang kedua, ternyata ketika dalam mencari pasangan itu eee apa yaa,
oke aku tidak pacaran, tapi aku dikenalkan misalnya sama orang,
sama siapa begitu kan ya. Eee tapi ya ternyata gak mudah begitu.
Karena kalo misalnya mungkin ya, model ta’aruf begitu kan, kitaa...,
aku banyak skeptisnya, begitu. Kalo misalnya kita ta’aruf itukan kita
di...sudah ada orang kepercayaan gitukan sebagai penengah. Itu ya.
Kalo misalnya kita coba berprinsip tidak mau berpacaran tapi kita
mengenal, gimana caranya coba? Begitu kan. Kecuali kita punya
seorang yang bisa kita eee bisa kita apa namanya, bisa kita percayai.
Tapi kalo diserahin ke kita otomatis kita bakalan jalan terus sama dia,
gitukan.
iya, bakalan jalan bareng sama dia, bakal eee berduaan, kayak begitu-
begitu. Nah itu, aku menghindari itu, tapi, ternyata yaa... ya... tidak
tidak tidak mudah. Karena aku nggak berada dalam komunitas yang
mendukung prinsip aku, lingkungan yang islami lah istilahnya. Biasa
saja begitu. Jadi itu, prinsip yang aku punya itu nggak pas di
xix
lingkungan yang tidak pas kayak begitu. mungkin ya, itu salah satu
mungkin selain itu mungkin Allah memang tidak, belum
menghendaki. Maksudnya menghendaki mungkin belum
menghendaki di usia aku segini atau mungkin dengan orang yang ini,
begitu. (Indah)
2. eee ini agak-agak gimana ya. Aku punya beberapa, bukan problem,
sih. Jadi, ada beberapa faktor. Beberapa faktor tuh, gapapa aku urain
saja (tertawa). Jadi misalnya kayak, kalau kenapa belum mau nikah,
kalo dari aku pribadi emang belum mau nikah. Soalnya eee apa ya,
mungkin karena aku kelamaan pendidikan kali, ya. Jadi fokus ke
pendidikan saja. terus sekarang sudah selesai tuh, malah, eee pengen
jeda dulu. Maksudnya, kan ini (menikah) bebannya banyak pasti kan
ya. Eee bebannya banyak, tanggung jawabnya banyak. Habis nikah
pasti anak, apa, apa, apa. Aku tuh semacam kayak sedikit nggak siap.
Kalo dari akunya pribadi memang belum, belum kepikiran setahunan
ini pengennya belum. Cuman, karena, kalo dari segi posisi saya
adalah anak pertama. Anak pertama perempuan (tertawa) di keluarga,
usia segini (belum menikah) itu menakutkan bagi semua orang
(tertawa). Jadi, sudah mulai apa, selalu diteror hampir setiap hari
untuk disuruh nikah.
Jadi sebenernya, ada dua pandangan sih. Maksudnya, kalo
memutuskan nggak nikah juga, eee fifty-fifty ya. Aku pribadinya
memang gak mau, belum mau. Cuman keluarga tuh, kalo bisa
secepatnya.
iya. Heeh. Lebih kayak, apa, aku kalo mikir jauhnya, lebih ke habis
nikahnya itu prosesnya itu yang bikin aku jadi agak sedikit males.
Maksudnya masih belum pengen kesitu aku. Itu sih yang
memberatkan. (Ummu)
3. karena faktor keluarga deh kayaknya, faktor orangtua lebih tepatnya.
Mama papa ku kan cerai di umurku 2 tahun, terus menikah lagi sama
orang betawi sana ciledug sana juga, terus punya anak 2 sepasang
cewe cowo, cuman engga nuduh satu etnis ya cuman kebetulan si pas
laki-laki ini , orang betawi itu kan kebanyakan lingkungannya di sana
sana aja ya rumahnya , nah kebetulan dia ini jeger, jeger itu yang
ngambilin pajak-pajak orang di pasar atau yang jual tanah ke dia
gitulah.
nah iya gitu si, itu juga salah satu kerjaannya. Kerjaan yang lainnya,
kek misalnya ada pasar malem tuh di sepanjang jalan kreyo itu nanti
hasilnya buat dia gitu. Cuman karena beliau ini yang preman pasar
kasar maen tangan, aku sma kelas 2 itu mereka cerai si, karena
terakhir kali dia nendang perut mama ku si sampe luka dalem gitu, ya
om aku ga terima dong, kaka-kaka nya ga terima, akhirnya disuruh
cerai, disuruh pulang kekampung mamaku ini. Jadi itu kayak bikin di
xx
bilang trauma bukan si, karena aku juga pacaran kayak engga
kepikiran aja gitu, tapi nanti kalo andaikan gua nikah gua kek gitu ga
ya, katanya kan buah jatuh ga jauh dari pohonnya, aku takut apa yang
dialami semua akan aku alami ketika aku nikah gitu, emang manusia
itu ga sama, cuman gimana si ketakutan anak kalo ngeliat orangtuanya
2 kali gagal, apalagi sampe ada kekerasan kek gitu. Itu si faktor
pertama yang bikin aku takut tuh orang tua, tapi di bilang trauma si
ga trauma.
iyah, terus cuman grgr itu doang si, karena takut itu terulang lagi
makanya aku belum punya komitmen untuk nikah gitu.
dulu aku bahkan dari SMP nih ya gatau aku berpikir, kata orang sih
dewasa sebelum waktunya, dari SMP itu aku udah punya prinsip aku
akan nikah itu di umur 27 atau 28 paling mentok umur 30 tahun.
Untuk anak usia 13 tahun aku udah mikir kek gitu, sampe SMA sampe
kuliah itu tetap tertanam di otak aku jadi prinsip aku, makanya sampe
skrg belom nikah kan, nah karena punya prinsip kek gitu, lepas dari
ortu, jadi kayak lepas dari ortu, aku tuh udah hidup mandiri dari kecil
tanpa kasih sayang dari ayah walaupun di kasih sayang sama nenek,
om, oma, opah, ya cuman kan rasanya pasti beda kan, jadi ya udah
gede sebelum waktunya kayak independen aja aku gitu hidupnya,
secuek itu sampe aku beli makan, bahkan kalo aku masi kerja nih di
jakarta, itu kayak mikir ah udahlah gua gamau nikah toh gua udah
bisa nyari duit sendiri, gua mandiri, kemana-mana tinggal bawa motor
bawa mobil atau kalo gamau cape nyetir pesen ojol atau car,beli apa-
apa, beli perhiasan, beli baju, beli makan, healing cari udara ke bogor
sendiri gua ayo, jadi udah ngapain gua nikah gitu, aku punya prinsip
gitu.
betul, karena kami semua rata-rata yang perempuan ngerantau ke
Jakarta apalagi orang Minang kan ya kata orang “kalo cewe Minang
udah ngerantau mereka ga peduliin nikah, mereka akan jadi wanita
karir”.
itu terbukti, iya bahkan temen-temen aku, kan kita waktu kuliah tuh
ada ber10 orang yah satu tongkrongan, yang 8 udah nikah, mereka
pasti langsung cecer kok lu ga kepikiran nikah sih, atau aku orangnya
secuek itu, misal baru putus nih bahkan udah pacaran nih 5 tahun, tapi
sekalinya putus karena diselingkuhin, cuman nangis 2 minggu 3
minggu abis itu have fun lagi gitu. Mereka kayak lu yakin nih gaada
sedikitpun rasa nangis kesel atau apa gitu? Yaudah berarti bukan
jalannya aku serata itu ngomong, ya kalo udah putus yaudah gitu kan,
udah jalannya putus berati bukan dia orangnya gitu selesai, ya kalo
mau sedih yauda gitu gausa lama aku bilang gitu kan. Sampe prinsip
nikahpun mereka langsung nanya, lu yakin nikah umur segitu nge?
Yaelah orang Padang mah, nikah umur segitu kalo mereka anak
xxi
rantau mah bodoamat aku bilang, akhirnya mereka paham, nah itulah
kenapa selama di Jakarta aku gapunya pikiran untuk nikah, (Unge)
4. kalo mau memutuskan menikah di usia segitu mah enggak ya. Karena
memang eee not mind goals gitukan awalnya. Karena semua orang
akan menikah. Nggak, nggak pasti sih. gimana ya, eee fase ya fase.
Saya sih menganggap semua fase ada yang memang mau, ada yang
memang enggak. Ada yang akan menjalaninya, ada yang nggak.
Cuman, kalo saya, kalo pun, gini sih mindsetnya kalo memang, oh
kalo perempuan nggak punya contoh, expired. Kalo perempuan akan
jadi, apa namanya, kalo nggak segera menikah, tuh, apa sih.. (Scha)
5. mmmm, jadi sebenernya sih sebelum umur 30 tahun, sempet itulah,
pengen – pernah mau menikah, kayak gituu. Sudah pernah deket tapi
nggak deket-deket banget juga sih, sama cowok. Cuma, jadi ini, saya
kan eee pekerjaannya sebagai dosen ya. Jadi pastinya kita dituntut
untuk terus kuliah gituu sampai S3. Dan saya memang kepengen S3
dari pas lulus S2 bakalan mau S3. Cuma memang belum bisa
langsung karena memang saya dapat beasiswa yang memang harus
mengabdi dulu jadi dosen,
jadi, mau nggak mau mengabdi dulu baru bisa apply S3, gitukan. Nah,
ketika sudah selesai mengabdi, berarti saya mau S3 dong. Karena toh
nanti ujung-ujungnya jadi dosen juga diminta untuk S3 kan. Nah, saya
izin. Waktu itukan kita obrolinnya memang sudah mau menikah. Saya
izin sama dia (pasangan saat itu). Kalo misalnya nanti kita jadi,
gitukan, terus abis itu, saat kuliah boleh nggak? Gitukan. Cuma
jawaban dia tidak, dia tidak, gimana ya, nggak ngizinin tapi dia bilang
dia mencarinya seorang pendamping yang eee memperdalam ilmu
agama bukan ilmu dunia (tertawa).
Padahal di awal kita sudah komit. Saya itukan dosen. Saya juga
mencari pendamping yang tidak menghalangi mimpi saya, cita-cita
saya, gitukan. (Intan)
6. wah alasannya panjang kali lebar ini. Alasannya sebelum hijrah atau
sesudah hijrah ini? (tertawa)
ya sebelum hijrah itukan aku sempet eeee ya nggak diperbolehkan lah
ya pacaran. Nah terus itu, berapa ya, kurang lebih, pokoknya adalah
aku niat mau nikah. Sudah pacaran juga. Tetapi ternyata qodarullah
belum jodoh. Sampe akhirnya aku sudah nggak ada orang tua.
Akhirnya aku kan sudah mulai belajar agama lah istilahnya. Dari situ
aku tahu, “oh, ternyata nggak boleh pacaran” gitukan. Sampe
akhirnya aku hijrah, aku mulai taaruf. Akhirnya aku taaruf, qodarullah
belum jodoh lagi. Yaudah sibuklah dengan kegiatan, biasa, ada
dibidang pelayanan, kadang diriset penelitian. Ya sambil ikhtiar dan
cari-cari juga. Mungkin dari teman-teman kajian. Terus dari web-web
taaruf juga pernah. Kadang kan juga mungkin kita sudah niat, sudah
xxii
ngerasa sudah siap, tapi qodarullah Allah belum ngijinin begitu ya.
Giliran kita kejar malah ngga ada ya (tertawa). Giliran nggak kita
kejar ternyata datang, gituu. Datengnya berbarengan lagi. Kadang-
kadang suka kayak gituu diujinya. Sudah akhirnya eee pokoknya
diujinya tu keseringan tu mungkin dari pihak ikhwannya ya.
Ikhwannya kayakknya, ada saja begitu Allah kasih ujiannya. Ya
mungkin juga memang belum jodohnya. Padahal sudah sampe
lamaran. Tapi akhirnya kandas tengah jalan. Yaudah akhirnya nggak
lama, dapet lah ini calon suami. Kita kenal juga taarufan. (Ayu)
7. oke, jadi kalo alasan yang sekarang ya dek, karena satu, yaudah
jalanin dulu. Yang kedua, karena memang mmm kalo apa ya, kalo
soal cowok begitu mmm masalah jodoh begitu memang aku belum
nemu yang pas ya. Bisa dibilang belum berjodoh lah ya. Mungkin
kayak, ada sih (yang ngedeketin), tapi kita kayak, eee mungkin
semakin tua usia kita juga semakin ini ya dek, ya, semakin selektif.
Kayak begitu ya. mungkin, ada beberapa orang juga yang, “yaudah
gue jalanin saja dulu sudah”. Tapi, kalo aku adalah tipe yang mungkin
lebih ke hati-hati ya, terus juga gamau asal saja. Terus eee ya balik
lagi deh, mungkin akunya juga yang masih sibuk kerja juga. Terus
belum nemu yang pas. Jadi yaudah, aku jalanin saja dulu masa-masa
aku sendirinya sambil terus berdoa juga berusaha juga itu pasti.
Cuman, untuk saat ini (menikah) kayaknya belum sih. Maksudnya
tahun ini nih hahaha kan sudah mau abis ya, tapi kayaknya jodohku
belum keliatan begitu hahaha kalo tahun depan gatau deh bagaimana.
Jodoh kan nggak ada yang tahu ya selain Allah. Kalo sekarang sih aku
kayak begitu, dek.
kalo menunda, enggak ya. aku nggak ada niat buat nunda pernikahan,
sih. cuman itu saja sih, kalo sekarang itu kayak masih, yaudah, ngalir
saja kayak air. Tapi akunya juga nggak menutup diri bagi siapapun
yang mau kenal aku. Aku tetap berikhtiar. Dalam artian gini, Gis, kalo
misalnya ada yang deketin, dan, kira-kira kriteria dia masuk nih di
aku, yaudah, coba saja dulu. Tapi kalo sekarang kan belum ada ya.
Maksudnya masih yang begitu lah, kayak, yang antara serius atau
nggak. Ya lebih banyak yang belum serius sih. Maksudnya, dari pihak
sananya. Jadi, yaudah, kita temenan saja dulu. Begitu sih.
Aku nggak nunda sih. Cuma kalo ada, misalnya ada, tadi yang aku
bilang misalnya dalam waktu, bulan depan atau tahun depan ini, tiba-
tiba ada yang ngedeketin dan itu cocok, ya bisa saja kan aku menikah
dalam waktu dekat? Jadi, aku nggak nunda sih sebenernya. Nggak.
Begitu dek. (Nurvita)
8. kalo aku sih ya karena belum ketemu sama seseorang yang pas untuk
dijadikan partner hidup aku. Kan menikah itu untuk jangka waktu
yang lama ya, seumur hidup. Jadi aku masih mencari yang tepat sih
untuk hidup aku.
xxiii
aku pribadi enggak sih, gis (tidak ada niat menunda menikah).
Yaudah, jalanin saja.
sebenernya aku itu nggak ada pikiran untuk nggak nikah sih. Nggak
ada. Sejujurnya, aku juga ingin menikah. Tapi maksudnya karena eee
kadang karena sirkel pertemanan aku juga sempit, aku pulang kerja
balik ke kosan. Kerja kosan kerja kosan saja kayak begitu. Terus
kalopun aku main ya palingan sama teman-teman kantor, yang rata-
rata tuh cewek sebenernya. Aku sempet sih terbesit, “aku harus cari
kemana ya?”, namanya juga jodohkan harus dicari juga kan, harus
dikejar, begitu. Ya tapi, yaudah seiring berjalannya waktu saja sih aku
sekarang. Kalo untuk perasaan mau nikah, aku selalu ada. Aku selalu
berdoa, begitu ya. Tapi kalo misalnya aku yang terlalu fokus kerja
banget sampe lupa menikah itu nggak sih. Karena aku pribadi kan
juga ingin menikah. Sekarang itu aku lebih ke jalanin saja. Kan Allah
yang sudah atur semuanya. (Yuti)
9. mmm apa ya, aku nggak mikirin itu sih sebenernya. Karena menurut
aku itu tuh, belum penting saja sih buat menikah di usia segini. Karena
menurut aku nih ya, umur segini, usia 20an sampe 30an awal itu ya
fokus ngejar karir dulu saja. Nah, tapi kalo usia kamu sudah nginjak
30an dan ngerasa sudah siap menikah dan ngurusin anak segala
macam, ngurusin suami dan segala macam baru deh menikah.
Menurut aku sih gituu ya..jadi ya alasannya kenapa di usia aku yang
31 tahun ini masih gak nikah, karena itu tadi, aku mikirnya masih usia
produktif, mau ngejar karir aku dulu dan nikah menurutku untuk
sekarang bukan yang penting-penting banget. Nanti mungkin kalo
usia ku sudah 33 atau 35an sekian baru aku pikirin hahaha.
Aku masih mau ngejar karir aku.
Tapi palingan aku kayak lebih ke pendidikan aku sih. Jadi, aku
memang ada rencana mau ngelanjutin sekolah lagi, kepengen S2.
Nanti setelah selesai baru deh aku mikirin buat nikah. Begitu.
Palingan kalo dikarir aku itu, aku ngumpulin uang buat ngelanjutin
biaya aku pas S2 nanti.
Dan sekarang pun ada yang ngedeketin aku buat ke arah yang lebih
serius tapi akunya malah yang entar dulu deh hahaha. Mungkin,
karena aku juga ngerasa lebih nyaman sendiri. Jadi aku belum mikir
kesana. (Lena)
10. iya, tapi nggak ada rencana nunda juga. Jadi, kayak, yaudah kalo
memang sudah ada waktunya, ya gue nikah lah. Kalo nunda kan
kesannya kayak gue bener-bener nggak mau nikah. Eee waktu-waktu
dekat inilah.
xxiv
eee simpelnya lebih ke mmm kagak ada lakinya. Tapi eee apa
namanya, gue mikirin karir sih. maksudnya kan gini, sebenernya
orang tua gue nargetin gue nikah maksimal 25. Sedangkan gue baru
punya karir itu di umur 26 27. Itu juga sebenernya belum bisa dibilang
karir sih, karena gue masih jadi staff, belum pegang profesi.
Kepengennya gue sih kalo gue sudah bener-bener punya profesi, gue
baru deh mikirin mau nikah.
Ngestabilkan pekerjaan gue yang baru banget gue mulai. Sama eee
gue lebih ke mentingin, ngenomor satuin keluarga dulu sih.
maksudnya, penghasilan gue saat ini gue alihkan buat keluarga gue
dulu. Kalo misalnya gue nikah kan, gue punya keluarga lain, nah,
otomatis penghasilan gue kebagi lagi tuu. Nah, gue belum sampe
ditahap itu. Belum ready.
Tapi ya itu tadi, gue mau kerja dulu, karir dulu, stabilin pekerjaan gue.
Jadi nggak sekarang nikahnya. Nggak dalam waktu dekat. Begitu.
Kepengennya gue nikah juga bukan yang kepengen banget, sih. masih
bisalah gue tahan entar-entaran. Teman-teman seusia gue juga kan
banyak yang sudah berkeluarga juga tuu. Kadang gue suka ke trigger
juga untuk eee, “ih ingin deh punya anak”. Penasaran begitu, gue
interest buat ngurus anak itu kayak gimanaa sih? terus kepengen juga
punya suami yang bisa nemenin tiap hari. Cuman kan yang jadi
masalah, nikah itu nggak cukup sampai disitu. Kalo ngomongin
faktanya kan, nikah lebih ke ekonomi. Terus dunia lo juga bakalan
kebagi-bagi. Yang kesitunya sih sebenernya yang buat gue belum siap
untuk nikah di umur gue yang sekarang. (Citra)
11. Sebenernya sih nggak. Aku tuh nggak sama sekali niatin untuk
menunda menikah. Dulu malah sebenernya punya rencana menikah
itu usia 23-an, gitu. Kan, aku lulus kuliah itu usia 21 jalan 22, pada
saat itu. Ya, mikirnya pada saat itu kan hanya begini “Gue perempuan,
selesai kuliah mau ngapain lagi sih?”. Okelah kerja. Tapi, perempuan
nggak terlalu dituntut untuk kerjalah, ya. Kayak gitu. Dan orang tua
pun model-model kolot gitu lah yang namanya “Udah lah kamu
ngapain lagi, sih?”. Kayak gitu. Ya, sempet punya target 23 lah.
Kebetulan pada saat itu ada pasangan. Cuman, pasanganku itu
memang belum selesai. Jadi aku duluan yang selesai. Nah, terus, udah
kayak gitu, ya udah. Jadi kan sambil nunggu dia selesai juga. Itu tuh
sebenernya kita juga udah komit (komitmen). Ya udah ngga apa-apa.
Sambil nunggu dia, pasti kan aku karir dulu. Berjalannya waktu,
berfikir juga, iya juga, sih. Masih usia segini masih 22 tahun mah
masih muda banget. Masih banyak yang dicari. Masih pengen
ngerasain cari uang, bisa bantu keluarga, minimal bisa kasih ke adek-
adek. Dari situ, sambil berjalannya waktu, itu sih menikmati aja,
enjoy-enjoy aja. Ya udah. Tapi diperjalanan itu kan, biasalah
omongan-omongan. Makin bertambah, wah udah 23. Oh, ternyata
xxv
meleset. Ternyata pasangannya belum siap juga. 23 berjalan lagi,
sampai akhirnya usia 24 25 sampe 28. Lah, sudah umur segini saja
hahah. Trus mikir “Ah masih 28 lah, ya. Masih muda.”. Nah, ketika
di usia 29, dan ternyata di situ berakhir hubunganku. Sebenarnya udah
berhubungan cukup lama sebelumnya. Pas usia 29 tahun barulah di
situ agak berpikir ternyata, wah, nggak terasa nih waktu. Dari yang
tadinya santai, santai, santai, ini umur 29 masih belum punya yang
pasti juga. Trus, dari situ, ya udah, apa ya, lebih ke lillahi ta’ala aja.
Berjalannya aja, menikmati aja. Aku masih suka main orangnya.
Pengen ke sana, ke sini, masih mau karir yang lebih lagi. Walaupun
memang aku berkecimpung di dunia pendidikan, karena memang aku
memilih udah di dunia pendidikan, udah berfikir untuk totalitaslah di
situ. Dari situ, ya sudah. Sebenernya pas di usia 25, sempet mau
nargetin lagi, tapi di situ agak takut mau nargetin, karena agak trauma
dari yang sebelum-sebelumnya. Punya target dari usia 23, oh ya udah
25 tahun gitu, kan. Ternyata di 25 meleset juga. Sampai akhirnya di
usia sekarang 29 dan baru ketemu lagi. Cukup lama juga sih buat aku
move on dari yang lama. (Ade)
12. sebenernya ada banyak faktor, sebenernya aku itu, ngambil keputusan
itu sudah mikir mateng-mateng dan awalnya orang tua menentang ya.
Tapi karena aku jelasin segala alasannya akhirnya mereka mengerti
dan malah balik dukung aku untuk nggak nikah cepet-cepet. Lagian
jodo juga kan tergantung kapan datengnya kan.
Kenapa aku ambil keputusan untuk menunda menikah itu yang
pertama sebenernya ada alasan pribadi yang gabisa aku ceritain dan
aku bagi-bagi ke orang. Terus, yang kedua, eee tahu kan, sandwhich
generation di Indonesia kayak bagaimana? Ya itu alasannya. Terus,
karena, sandwich generation itu juga aku harus ngebantu adik-adik
aku selanjutnya untuk sekolah lagi ya kan. Sedangkan jarak nanti adik
aku sekolah lagi itu, waktunya orang tua aku pensiun. Aku sebagai
yang tua ngebantu adik-adik aku kan. Kalo aku sudah nikah itu, nggak
akan bisa melakukan kayak begitu karena nanti aku akan punya
keluarga yang bakalan aku prioritaskan.
Terus juga ya, aku itu dari dulu banget, sebelum aku lulus kuliah, aku
itu pengen banget ngejar beasiswa ke luar negeri. nah, kalo aku nikah,
aku nggak mungkin bisa dengan bebasnya ngejar beasiswa yang aku
mau. Aku juga sudah (melakukan) perhitungan, kalo misalnya, aku
ambil beasiswa umur sekian, jarak sekian, belum lagi aku mau ngejar
karir juga. Kemungkinan kan ya, umur 30an lah aku baru kelar itu.
Terus faktor lainnya aku juga, ada trauma sama pasangan waktu
pacaran dulu hahaha. Itu jadi ngebuat aku trauma sama laki-laki.
Kayak aku belum bisa nemuin di mata aku yang bener-bener baik,
begitu loh. Jadi sampe sekarang aku selalu mandang cowok itu
semuanya sama saja, brengsek. Buat apa cari-cari lagi ya kan.
xxvi
Toh, sekarang aku ngerasa aku bisa semuanya, ngapain aku perlu
pendamping hidup gitu? Terus faktor lainnya itu, di lingkungan aku
itu, misalkan, orang tuanya teman aku bahkan teman aku sendiri pun
ngalamin divorce begitu kan. Apalagi macem-macem perceraian kan
banyak ya, itu jadi ngebentuk mindset aku ternyata pernikahan nggak
sebaik itu. Ternyata pernikahan itu buruk banget ya, kok sampe bisa
ngerusak batin. Maksudnya aku trauma pacaran saja sudah nyiksa
batin, aku gak mau saja ngalamin hal yang sama di pernikahan,
trauma lagi aku gak mau. Meskipun Indonesia lagi gencar-gencarnya
kampanye nikah muda, tapi aku kayak, yang, kek, apa sih kok mereka
pada begitu? (nikah muda) nggak mikirin ke depannya nanti kayak
bagaimana. Itu pandangan aku sendiri begitu sih. (Arisa)
13. sebenernya nggak nunda juga sih, dek, gitu, cuma ya... belum ada aja
sih. Kalo aku ya, sih, eee apa ya.. banyak yang deket juga cuma ya
belum ada apa ya eee.. belum ada kecocokan saja sama yang kemarin
itu, begitu. Sebenernya nggak nunda juga. Karena kalo aku sih ya,
namanya sebuah pernikahan kita juga harus pilih untuk apa ya, untuk
pernikahan kita kan. Itu penting. Jadi memang sudah seharusnya apa
namanya, eee,,, apa ya, liat dari segi agamanya juga, begitu, baik
nggak, bertanggung jawab nggak, kayak gitu-begitu sih.
hehe iyaa nggak ada, nggak ada sama sekali. Tapi karena ya memang
belum nemu yang cocok saja. Sekarang mah, tinggal tunggu jodohnya
saja deh hahaha (Fitri)
Apakah Anda sudah mengetahui konsekuensi dari keputusan yang Anda
ambil, dalam hal ini menunda pernikahan?
1. karena sudah aku pikirin mateng mateng ya, jadi menurut ku ini sudah
keputusan yang tepat dan aku bisa terima konsekuensinya nanti ke
depannya kayak apa. Untuk rasa menyesal mungkin nggak ada ya,
tapi palingan cuma kayak ngerasa kesepian saja kali ya, karena ngeliat
angkatan aku seumuran aku sudah pada punya keluarga sendiri. Pasti
ada rasa iri, pasti. Tapi kan balik lagi sekarang, kalo batin kita belum
siapa menikah, jangan dipaksain. Soalnya nanti kalo ada apa-apa,
yang disalahin orang lain kan juga salah, kasihan jadinya. (Arisa)
2. Makanya, kenapa aku yakin, karena aku tau dia bukan orang yang,
maksudnya bertele-tele, nggak punya prinsip, yang nggak pegang
omongan. Karena, sebelumnya aku kan juga udah kenal dia walaupun
beberapa bulanlah, oh cukup tau orangnya seperti apa. Penilaian
orang tuaku terhadap dia pun juga baik. Aku ya lebih ke yang percaya
orang tua aja deh, karena orang tua kan nggak mungkin menyesatkan
juga. (Ade)
3. hoo tahu gue. Gue sudah ngalamin juga kok hahahaha (Citra)
4. tahu, dan aku siap sih. Inikan keputusan yang aku ambil sendiri. Jadi,
apapun nanti kedepannya ya aku tanggung sendiri juga. Ini
keputusannya kan berasal dari aku. Bukan yang eee bukan aku yang
xxvii
kepengen banget nikah, justru terbalik kan, aku malah gamau. Kayak,
aduh ribet deh nanti kalo misalnya nikah. Jadi yaudah jalanin saja aku
bawa enjoy saja. (Lena)
5. sudah, sudah tahu (Unge)
6. sudah siap sih. maksudnya kaya istilah orang yang, aku tuuh sering
dibilang gini, nanti punya anak susah. Punya anak berisiko ya kalo
usia tua katanya. Eeee gatau sih kalo aku untuk urusan itu malah aku
sudah siap saja sih. Yaudah lah, gituu. (Ummu)
Apakah Anda memiliki kebebasan untuk menjalani hubungan
(berpacaran) tanpa mendapat desakan ke jenjang yang lebih serius
(pernikahan) dari orang tua atau lingkungan sekitar?
Apakah Anda memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang akan
menjadi pasangan hidup Anda?
1. bebas. Selagi kamu bertanggung jawab pada keputusan kamu, nggak
memalukan keluarga. (Karina)
2. kalo orang tua...bebas sih. Dari jaman dulu. Malah lucunya gini,
jaman sekolah tuh, bener-bener protektif banget. Jadi, eee saya itu
nggak pernah, enggak pernah pacaran sama sekali. Sampe usia berapa
ya. S2 itu 24 atau 25 ya. 24 mungkin. Baru pertama kali pacaran itu.
Jadi maksudnya, orang tua itu, masuk umur 20 malah, kok kamu
belum ada pacar? Terus aku bilang, dari sekolah lah, dari jaman dulu
sudah terbiasa protektif. Jadi sudah terbiasa fokus ke pelajaran, ke
sekolah. Nggak pernah mikir aneh-aneh gituu. Jadi, makanya
mungkin, karena orang tua khawatir ya. Ayo ayo, jadi malah mereka
yang ayo sama siapa saja, yang penting seiman begitu-begitu saja sih.
Kalo yang persyaratan khusus sih enggak ada. (Ummu)
3. oh engga, paling cuman dibercandain doang mau nikah lo? Ah ga
sekarang ah, ntar aja aku bilang. Waktu aku kerja di Jakarta kan ya,
om aku kan kayak gitu. Lu umur segini ga kepikiran nikah? Etapi abis
itu dibantah lagi sama dia, eh tapi ngapain nikah cepet-cepet ya, tante
lu aja nikahnya umur 30 lebih, haha
jadi kayak udah bukan tuntuntan lagi buat aku, gaada yang harus
menuntut aku buat menikah, jadi yaudah..
kalo deket sama siapa aja sebagai teman ga masalah, cuman kemaren
terakhir aku ada pernah pacaran sama dari etnis Jawa, kebetulan
pendidikannya hanya sebatas SMA, om aku ga setuju, karena
alhamdulillahnya keluarga aku semua berpendidikan, ya yang sukses-
sukses di Jakarta sana semuanya berpendidikan, apalagi aku dari kecil
gaada ayah gaada orang yang ngebimbing aku selain opah aku, jadi
dia mikir lu butuh cowo yang bener-bener bisa ngedidik lu bisa
ngejagain lu sampe mati nanti, jadi dia mintanya yah minimal
pendidikannya setara sama lu, dia s1 lu s1 silahkan, kerjanya apa ya
terserah, kalo di jakarta kan minimal mah kerja tuh ngantongin 5 juta
xxviii
sebulan kan.. kalo masalah mau keturunan darimana si mereka ga
mempermasalahkan, karena kebetulan istrinya dia juga orang Jawa
kan, jadi yaudah kalo masalah suku its okey, cuman pendidikan
nomer 1, akhirnya karena aku juga seorang pemikir, emang nalar aku
akan kayak gitu, beda emang cara didik orang yang berpendidikan
sama yang engga, emang engga semua tapi rata-rata kayak gitu.
(Unge)
4. ayah sama ibu nggak yaa. Palingan yang penting buat mereka itu satu
agama, seiman. Cuma ya, justru saya yang mengkriteriakan ini harus
seperti ini ini ini.
kalo ayah nggak. Tapi kalo ibu kadang suka tanya. Mungkin juga
karena teman-temannya anaknya umur segini segini sudah punya
anak, sudah punya cucu. Ya ibu suka tanya, kamu kapan? Tapi pas
tahu saya mau kuliah, ya sudah. Memang didukung sih. dari keluarga
justru ya sudah kalo emangnya misalnya bisa kuliah dan dapet
beasiswa juga gitukan ya sudah lanjut saja. (Intan)
5. alhamdulillah sih aku welcome saja ya. Tapi kadang-kadang kan kalo
ada yang mau ngenalin, suka dikasih gambaran kan tu. Orangnya gini
gini gini kerjanya gini gini gini. Maksudnya, kalo misalnya dari
akunya sudah ngerasa, “duh, kayaknya enggak, deh.” soalnya aku
juga punya kriteria tersendiri gituloh. Misalnya orangnya perokok.
“ah, mending nggak usah ngenalin” karena kan aku memang sudah
saklek sama orang yang perokok, sudah nggak cocok duluan. Karena
aku maunya calonku nggak ngerokok gituu. (Ayu)
6. alhamdulillah enggak ada sih, Gis. Jadi, orang tua aku itu bisa
dibilang sangat moderat ya. mungkin setiap orang tua beda-beda ya.
karena aku juga pernah denger cerita dari adik aku itu, dia kelahiran
tahun 94 kan, teman-temennya dia itu banyak yang orang tuanya itu
kayak didesak buat cepet-cepet married kan. Ada yang dijodohin juga.
Bahkan mama nya itu sampe rela nyari-nyariin jodoh buat anaknya,
kayak begitu. Terus adik aku ini, dia compare ke keluarga kita kan,
“alhamdulillah ya kak, kita nggak terlalu di push banget”. Ya aku tahu
sih, setiap orang beda-beda. Kan ada yang keluarga besar, anaknya
banyak, segala macam. Nah, mungkin, kalo kita karena cuman
berdua, kakak adik, jadi orang tua serahin semua keputusan itu ke kita
sih. yang terbaik buat kita. Tapi, alhamdulillah sih, so far kayak dari
mama pribadi begitu nggak pernah sih, yang kayak nuntut, “harus
sekarang juga nikahnya atau kalo nggak mau, mama cariin!”, enggak
yang kayak begitu mama ku, kita bebas banget alhamdulillah.
oke, dari orang tua ya, kalo dari keluarga sih terutama mungkin karena
kita anak perempuan jadi lebih ke mama kali ya kalo cerita-cerita
begitu. Kalo ke papa iya juga sih, cuman kalo ke papa itu lebih ke
nasihat dan segala macam, begitu. Kalo orang tua aku itu yang penting
itu lebih ke, satu, iman dulu. Jadi yang paling ditekankan mereka ke
xxix
aku dan adik aku, itu, iman. Mereka nggak melarang aku deket sama
siapa saja. cuman, kalo buat yang serius begitu, yang buat ke rumah
tangga itu harus banget ya seiman. Itu dulu sih, imannya dulu yang
paling penting. Mereka nggak ngasih larang-larangan atau kriteria
yang bagaimana-bagaimana sih, Gis. Kalo imannya sudah sama,
yaudah, begitu. (Nurvita)
7. kalo dulu, kalo dulu nih aku waktu masih tinggal bareng sama orang
tua. Sebenernya orang tua aku itu tipe yang eee sangat ketat begitu,
gis. Karena kan anaknya 4 perempuan semua. Jadi, kalo ada laki-laki
yang mendekati, Bapak ku itu yang tegas begitu. Dan bikin aku takut
untuk bawa laki-laki ke rumah untuk dikenalkan. Jadi, selama aku di
rumah itu dulu, sebelum aku kuliah. Aku sama sekali memang gak
pacaran dan nggak pernah ngenalin laki-laki ke orang tua. Terus kalo
sekarang, karena aku sudah misah kan sama mereka, aku tinggal
sendiri sekarang. Orang tua ku malah yang ngasih kebebasan sih ke
aku. Bebas untuk aku memilih pasangan. Yang penting ya anaknya
sopan dan baik. Begitu sih. (Yuti)
8. iya ada.. bahkan pernah aku sampe mau dijodohin hahaha. Tapi kayak
apa ya, kan kita yang punya hidup ya. Kita yang bakalan ngejalanin
ya. Kita yang pilih orangnya. Dan itu yang bakalan kita jalanin. Ya
kalo misalnya pilihan dari orang tua, terus kita iyain dengan terpaksa
kan jadinya bakal ini terus eeee susah sendiri. Jadi, aku sudah pernah
bilang juga ke orang tua aku, kayak, “boleh mungkin kalo ibu sama
ayah punya kriteria sendiri tapi kan yang ngejalanin aku, yang dari
bangun tidur sampe tidur lagi ya aku. Aku ngejalanin hidupku sama
dia. Hari-hariku sama dia. kalo misalnya pilihan kalian nggak terbaik
buat aku, bagaimana nanti aku bisa ngejalanin semuanya tiap hari?”.
Maksud aku itu ya, jadi kalopun misalnya orang tua aku punya kriteria
pasangan yang seperti ini itu, itu tuh mesti sejalan dengan aku juga.
(Lena)
9. sejujurnya mereka, kayak yang gimana ya, eeee ya sama saja kayak
orang tua yang kolot pada umumnya. Punya pekerjaan yang stabil,
terus, agamanya bagus, terus juga attitudenya juga bagus, asal usul
keluarganya jelas dari mana, gituu. Lebih kesitu saja sih. sebenernya
aturan ini lebih ke nyokap ya karena kalo bokap nggak gini. Dan
intinya sebenernnya kalo dari nyokap itu, pasangan gue nggak
ngelarang apapun yang gue mau. Itu sih. kalo di luar itu, kriteria yang
detail sih nggak ada ya. ganteng atau harus berseragam gituu nggak
ada.
enggak. Santai saja gue kalo ada yang mau kenalan, mah. tapi dulu
sempet sih, jadi, dikenalinnya itu pas gue sudah mau lulus. Itu pas
pertama kali dikenalin gue rada-rada nggak seneng. Karena kayak,
eee, ya, walaupun tanpa gue melihat background si cowok ini kayak
gimanaa ya. tapi gue tuu ngerasa kesannya dikenalin itu jadi eee
“apaan sih kok gue kayak nggak laku banget” gituu, “nggak mau ah,
xxx
nggak mau dikenalin” awal-awalnya begitu. Cuma ya, lama kelamaan
sekarang kalo mau kenalan yaudah, kenalan saja sini. (Citra)
10. Sebelumnya iya, seperti itu. Sebelumnya sangat seperti itu, karena
kebetulan aku anak pertama. Aku anak pertama, adekku 3, dan
kebetulan perempuan semua juga. Adekku yang kedua, eh adekku
yang paling gede maksudnya kan kembar kebetulan. Dan memang
seusia sih sebenernya. Jadi yang dipikirkan sama orang tuaku adalah
kamu tuh cepetan! Kamu punya adek gadis juga. Jangan sampe yang
namanya, ya janganlah, kalau bisa dibilang, janganlah sampe
dilangkahin adek, kayak gitu, kan. Kamu harus lebih dulu! Mama juga
nggak mau kalau kamu misalnya dilewatin sama adekmu. Tapi
alhamdulillah-nya adekku sih lebih kayak pengertian. Dia juga kayak
mengikuti jejakku, ya, kalau bisa dibilang. Dia tuh nggak mau juga
“Nggak, ah. Mba Ayu, aku juga nggak mau nikah muda. Masih
pengen main, masih pengen karir dulu. Nanti lah usia 25 26 aja.”. Eh,
jangan ngomong gitu aku bilang. Kalau jodohnya udah dateng
gimana? Hahaha... ya udahlah. Tapi, ya udah, sampai sekarang
dibawa enjoy aja. (Ade)
Bagaimana respon keluarga khususnya orang tua terhadap keputusan yang
Anda ambil, dalam hal ini menunda pernikahan?
1. eee orang tua itu melihat aku itu orang yang akhirnya menutup diri.
Jadi orang tua aku itu tipikalnya apa ya, orang tua tuh, dari awal
mereka itu tadi kan aku bilang kan mereka tidak mendesak. Kalo
mendesak kan berarti mereka ngomong secara langsung sama aku.
Tapi karena mereka, kenapa aku tipikal orang yang berdiskusi, karena
orang tua aku tipikalnya diskusi. Begitu. Jadi, mereka tipikalnya
diskusi. Jadi mereka tidak mendesak aku dalam kondisi yang nyuruh
gituloh. Itu enggak. Tapi mereka yang ngajak ngobrol. Ketika mereka
melihat aku masih yang dalam kondisi yang dalam tanda kutip ya,
NORMAL lah istilahnya, jadi mereka ya membiarkan saja gitu tapi
mereka di sisi lain aktif mencari kan. Dalam artian, yang tadi aku
bilang, ada nggak sih calon buat anak aku. Eee suatu saat ya misalnya
contohnya ya, aku dipanggilnya, eee karena aku orang padang ya,
dipanggilnya uni di rumah. Uni, boleh ya ibu kasih ini ada teman ibu
gini gini gini punya bla bla bla segala macem, boleh ga ibu kasih
nomor telfon uni? Boleh. Begitu. Jadi, mereka tuh begitu caranya.
Jadi karena mereka melihat aku bukan yang menutup diri atau malah
menghindar-menghindar. Nah, mereka boleh dibilang ya mereka
mengikuti alurnya aku. Jadi aku nggak ada, kalo menjelaskan secara
secara spesifik menjelaskan gitu nggak pernah sih cuman dalam
tersirat dalam diskusi-diskusi kita. Obrolan antara aku dengan orang
tua, obrolan aku dengan adik-adik aku, begitu ya. Disitu,
tersampaikannya disitu. Tanpa aku harus menjelaskannya secara
gamblang. “aku gak mau pacaran ya!” Gini gini gini, enggak, aku
nggak kayak begitu caranya. Apa namanya, lebih kebanyak
musyawarah, banyak diskusi, banyak ngobrol. Itu sih. (Indah)
xxxi
2. kontra sih, pasti. Kontra. Cuman, aku tipe kalau ngomong sama
Mama aku tuhh, kalo kata mama aku apa ya, aku nggak pernah serius.
Jadi, ketika aku ngomel, eee bukan ngomel sih, ngomong “nggak usah
peduli pandangan orang kayak gini gini” mama aku tuh nggak
nganggap serius, begitu. Dikira aku bercanda. (Ummu)
3. balik lagi, karena kemarin aku tinggal di Jakarta, kan masyarakatnya
bodo amat, apalagi aku posisinya ngekost, siapa yang peduli, iya ga?
Jadi kenapa aku selama di jakarta, sebodoamat, karena ya itu, karena
keluarga akupun ga nuntut, karena keluarga aku yang cewe nikahnya
rata-rata di atas 27. (Unge)
4. Kalo mama papa sih nggak yang terlalu menuntut. Kalo ibu saya sih,
kebetulan pendidikan nomor satu. Jadi, yaudah lah ya, kejarlah cita-
citamu setinggi langit. Nggak papa, begitu. Jodoh mah entar ada saja.
(Scha)
5. Tapi pas tahu saya mau kuliah, ya sudah. Memang didukung sih. dari
keluarga justru ya sudah kalo emangnya misalnya bisa kuliah dan
dapet beasiswa juga gitukan ya sudah lanjut saja. (Intan)
6. Karena mungkin orang tua sudah ngeliat, dan mungkin mereka juga
lebih tahu kita dari pada diri kita sendiri ya, jadi kayak watak kita,
terus kayak, “oh, dia ini kayak gini orangnya”. Terus jelek baiknya
kita itu kadang kan orang tua lebih tahu ya. mungkin ada suatu
kejadian di keluarga ku yang maaf nggak bisa aku ceritakan disini..
Dan itu memang, bagaimana ya, jadi dari situ orang tua aku itu kayak
lebih mmm “im proud to having you”, aku sama adik aku. Berdua.
Tapi mungkin juga bisa jadi gini, “mama seneng ini salah satu dari
kalian ada yang nikah, tapi mama juga sedih di sisi lain karena nanti
pasti kalian ikut suaminya apa segala macam”. Dan, sebelum itu
terjadi, mungkin mama lebih seneng kita bareng-bareng dulu sama
aku dan adik. Begitu sih, Gis.
iya, tapi bukan berarti mama nggak pengen kita nikah ya..pasti diem-
diem mama ngedoain kita dapet yang terbaik. Cuman, untuk saat ini
seperti apa yang tadi aku bilang, di keluarga ada moment yang kita
diuji banget. Aku tahu, setiap orang pasti punya ujian hidup masing-
masing. Dan sampe sekarang pun aku mikirnya, “aduh, kayaknya
Allah sayang banget deh sama gue” sampe saking sayangnya itu kita
dikasih ujian yang besar banget hahaha. (Nurvita)
7. Ya pada awalnya orang tua ku itu kayak...eee.... jangan deh, jangan
targetin segitu bla bla bla buat nikah itu terlalu tua segala macam. Ya
biasalah ya kalo orang kita itu mikirnya kalo nikah diusia 30an itu
sudah tua bangetlah. Jadi ya gituu deh. “ibu dulu nikah nggak umur
segini”. Tapi ya menurut aku, prinsip orang kan beda-beda ya.
Kematangan pribadi orang juga beda-beda. Dan menurut aku, diusia
aku yang sekarang aku belum dewasa dan belum bisa menilai mana
yang harus aku prioritaskan atau ngga. Aku takutnya, kalo aku
xxxii
menikah sekarang, diusia sekarang, terus harus cerai sama suami
karena pemikiran aku yang kayak begini ini, kan nggak enak juga.
Aku mikirnya adalah menikah itu untuk satu kali seumur hidup. Jadi,
memang harus bener-bener mateng buat cari seseorang yang bisa
dibilang, kita punya tujuan yang sama dan jalan dan pemikiran yang
sama juga, begitu. Jadi ya, itu, aku ngasih tahu alasan aku nggak mau
nikah ke orang tua aku kayak begitu. Dan syukurnya mereka nerima.
Tapi syukurnya orang tua aku nggak papa. Mungkin juga karena aku
kasih penjelasan yang masuk akal hahaha (Lena)
8. Nyokap gue nargetinnya kayak, “ya lo jangan sampe lebih tua lah
nikahnya dari pada kakak lo”. Ini kalo ngomongin target awalnya.
Lebih kesitu. Gue ngasih pengertiannya itu lebih ke, ya yang pertama-
pertama kali sih gue ngediemin gitukan, nggak gue hiraukan
omongan-omongan nyokap gue yang kayak gituu. Terus juga, apa,
lebih dibawa bercanda. Nah, yang terakhir, kalo misalnya makin
kenceng nii, sampe dikenalin ke anaknya teman nyokap gue lah segala
macem atau yang kayak gituu gituu lah, gue ngasih pengertiannya,
“pasti semua ada waktunya” kayak begitu sih. maksudnya, kan,
nyokap yang nyaksiin sendiri hidup gue gimanaa. Pas kuliah itu gue
ada waktunya, gue dapet kuliah dimana. Terus juga pas dapet kerja.
Gue kan pas abis lulus nggak langsung dapet kerja. Ada waktunya
juga. Pasti semua itu ada waktunya. Jadi ngasih pengertiannya lebih
ke situ saja, sih. lebih ke, namanya takdir mah pasti ada saja
tanggalnya, begitu.
Karena alhamdulillah nya juga mereka pada tahu gue kerjanya kayak
gimana, terus juga gue tinggal sendiri. Maksudnya, kayak mereka
percayalah sama gue dan keputusan gue sendiri. (Citra)
9. Nah, itu. Bener. Tapi, ternyata orang tuaku tanggapannya positif. Itu
yang aku heran juga. Padahal awalnya sempet menentang. Menentang
dalam arti, sebelum tau sama dia, menentang untuk yang “Kamu tuh
bukan lagi yang pacar-pacaran. Kamu cari yang serius, gini, gini,
gini!”, dan aku berusaha buat jujur itu cuma buat mereka tau, tapi aku
tidak berharap seperti apa. Aku lebih berharap yang legowo, ya udah
terserah Ayah dan Mama aja. Aku hanya mengutarakan aku tertarik
sama siapa. Tapi, andai kata Ayah sama Mama nggak ridha, kalau
aku misalnya sama dia, ya udah aku yang lebih ke silahkan Ayah dan
Mama carikan. Aku udah seperti itu aja pada saat itu. Udah ikhlas aja.
Eh, ternyata orang tuaku nggak mempermasalahkan, dan mereka pun
tau kamu harus menunggu, ya udah. Tapi dengan catatan si pihak laki-
laki ini bisa komit (komitmen), bisa konsekuen, dan bisa istiqomah,
maksudnya dia pegang amanat sama Ayahku seperti ini. Udah
ngomong juga kan sama Ayahku. Ternyata dia juga menyanggupi,
meyakinkan, walaupun memang masih ada kendala. (Ade)
10. Kalo untuk nunda nikah mereka bisa ngerti, bahkan mereka nggak
menuntut di umur sekian harus sudah nikah atau bagaimana-
xxxiii
bagaimana begitu ya, karena di keluarga ku juga banyak yang nikah
telat ya, mama aku saja nikah umur 27 tahun. Tapi kalo nggak nikah
sama sekali kayaknya nggak mungkin dibolehin sih.
Dari keluarga ayah juga sama, mereka lebih mengutamakan
pendidikan, karena sepupu aku saja yang paling tua baru nikah umur
30an, dan yang tertua kedua itu baru nikah umur 35.
Akhirnya ya aku bilang, aku gamau nikah. Terus mama aku ya tanya,
loh kenapa gak mau nikah, kalo kalian gak nikah nanti keturunan
mama siapa lagi kalo bukan dari kalian, begitu kan. Yauda kalo gak
boleh gak nikah, kasih kita jangka waktu buat nikah nggak cepet-
cepet. Mama malah kayak ngasih kebebesan buat anak-anaknya mau
umur berapa kita nikah nanti. Tapi tetap yang penting nikah. Begitu
sih. (Arisa)
11. nggak ada, nggak ada yang mempermasalahkan sih. Kebetulan orang
tua ku juga sudah nggak ada dek, jadi ya, aku juga ngerasa bebas
untuk menentukan pilihan hidupku. Palingan ya, disupport juga sama
keluarga besar yang lain, kayak saudara-saudara kan ya, itu doang sih,
begitu. (Fitri)
Bagaimana Anda menyikapi penilaian orang lain (orang tua,
kerabata, lingkungan sekitar) terhadap keputusan yang Anda ambil?
1. ada sih, palingan dari orang-orang sekitar gitu suka tanya kenapa sih
belum nikah sudah umur segini? Ya aku kan juga gatau ya kenapa
belum nikah juga padahal gak ada niat nunda hahaha gatau jodohnya
dateng kapan kan haha. Tapi yaudalah, biarin saja mau bagaimana
lagi. Kita mau maksain lagi juga bagaimana? Sudah ikhtiar, sudah
usaha, sudah doa tapi kalau Allah belum ngasih ya bagaimana...
yaudalah, aku kan nggak diem-diem saja tunggu jodoh, tapi juga
ikhtiar, usaha, juga doa. (Fitri)
2. ummm, teman-teman aku sihi tahu ya kalo aku mau nunda nikah
begitu, mereka selalu bilang kalo aku nunda nikah, nanti jarak aku
dan anak aku itu jauh. Terus ya aku bilang saja, ya gapapa kok aku
sama orang tua ku juga jaraknya jauh kok hahaha tapi ngerasa teman
deket kok. Terus juga banyak sih yang bilang, nanti kamu keburu tua
loh nanti gak bisa liat cucu-cucu kamu kalo kamu nikahnya ditelatin.
Aku tuuh kayak, yang, loh sudah cucu-cucu saja sih hahaha. Ya
sejauh ini sih ya negatif itu datengnya dari orang-orang sekitar sih
karena omongan orang-orang itu yang ngebuat suasana jadi negatif.
Tapi kalo aku pribadi nggak merasakan dampak negatifnya sih.
(Arisa)
3. iya ada. mungkin ada aja omongan “Kok lu mau sih sama yang muda?
Kok lu sama yang muda?”. Kayak gitu. Sempet juga, ya kan kita
nggak tau, kalau bisa milih gue cari yang lebih tua lah. Tapi kita kan
nggak taunya, namanya jalan. Tapi aku mikir, ah nggak tua nggak
muda, yang tua juga belum tentu bisa mengayomi.
xxxiv
Kalau itu kayaknya Agis udah paling paham, nih. Pastilah. Kalau
masalah kayak gitu mah ada pasti. Apalagi usia se-aku ini bahkan
anaknya udah hampir dua. Jadi ada perasaan, aduh... jangankan
temen, saudara aja, sepupu sepantaran. Aku tuh udah nggak punya
sepupu sepantaran lagi loh bahasanya, karena sepantaran-sepantaran
udah pada berkeluarga semua. Tinggal yang di bawah aku, adek-adek
sepupu. Walaupun, aku tetep sih, maksudnya aku merasa aku belum
menikah, gabung sama mereka masih yang enjoy-enjoy aja. Mereka
juga welcome-welcome aja. Bahkan mereka merasa jadi sepantaran,
nih. Tapi tetep sih ketika sama yang sepantaran merasa ih udah nggak
asik, nih. Biasanya sama dia apa-apa, sekarang lebih sama suaminya.
Ya, kadang ada-lah perasaan iri. (Ade)
4. eee yang nyinyir lebih ke keluarga besar gue sih. terutama keluarga
nyokap ya. karena dia keluarga jawa. Kalo keluarga bokap kan
keluarga sunda, yang eee sodara bokap gue nggak terlalu banyak dan
sepupu gue juga nggak terlalu banyak juga kalo dari bokap. Jadi,
nggak banyak yang neken. Tapi kalo dari nyokap itu lumayan banyak
yang neken, karena, ibaratnya itu disana ada urutan sepupu yang
nikah, gituloh. Dan, ini tuu sudah masuk ke giliran gue. Dan itu
lumayan berat. Dan kalo lagi ada acara besar nih, “iya, Citra kapan
nikah?, “kapan menyusul?”, “ini sudah giliran kamu loh” kayak
begitu lah. Tapi gue bawa bercanda mulu sih, kalo lagi ditanyain
hahaha. Ya maksudnya, yaudah sih, tenang saja. ya alhamdulillahnya
sih, ya, nggak pernah yang diteken banget gituu ya, “kapan kamu
nikah?!!” kayak yang disidang begitu, nggak. Cuma ditanyain gituu-
gituu doang, bercanda lah.
risiiiihhhhh. Risih banget. Karena itukan kehidupan pribadi gue ya.
walaupun itu keluarga gue sendiri, gue tetap ngerasa itu kan
keputusan gue untuk nikah atau nggak. Itu privasi gue. (Citra)
5. pertama, karena aku jauh dari orang tua, aku nggak tahu sih ada yang
ngomongin aku apa nggak hahaha. Tapi, kalo di lingkungan aku
sendiri nih, engga ada sih. Karena aku juga kan orangnya santai ya.
Jadi, ketika ada yang tanya. “umur berapa?”, “sudah nikah apa
belum?” yaudah jawab saja seadanya, “umur aku 29”, “aku belum
menikah”. Ya adalah nanti aku nikah tapi nggak sekarang hahaha.
Lagian juga aku sekarang nggak punya pacar juga kan. Sekalipun
nanti ada yang nyinyirin aku yaudah gapapa, hak mereka sih itu. Aku
mah santai. Diemin saja. Aku nggak ambil pusing. Gapapa. (Lena)
6. eee sebenernya adek aku kan sudah menikah duluan ya, gis. Adek aku
sudah menikah satu tahun yang lalu. Sebenernya ya pastilah ya,
orang-orang sekitar pasti yang mikir, “adiknya duluan, kenapa?”
begitu. Tapi kalo misalnya, omongan negatif ya ada saja sih, gis. Ya
mungkin saja mereka berfikirnya aku terlalu pemilih, terus dikiranya
xxxv
juga aku terlalu fokus bekerja dan mecari uang. Paling begitu sih.
Lebih ke dikira terlalu pemilih sih.
Tapi yang pasti, aku pasti ada perasaan sedih ya, gis. Dari hati kecilku,
aku juga sedih. Lebih ke sedihnya tuh, memandang orang lain sih.
Nanti orang lain anggap aku itu gimana. Atau misalnya orang tua.
Pasti yang namanya orang tua kan berharapnya kan aku duluan nih
yang menikah, tapi ternyata malah adek ku duluan. Lebih ke kayak
begitu sih. Aku lebih khawatir sama pandangan orang lain ke aku.
iya lebih kesitu, gis. Pastikan nanti mereka kayak banyak tanya “ini
kenapa aku dilangkah?”, “adeknya kenapa nikah duluan” kayak
begitu kayak begitu yang sebenernya bikin aku sedih pas tahu adek
ku mau menikah. Tapi ya, aku bahagia juga dia menikah. (Yuti)
7. kalo kayak begitu pasti ada ya, Gis. Dari tetangga begitu palingan kalo
kita ketemu papasan saja. Cuma ya itu tadi kan, aku kerja dari pagi
sampe sore atau bahkan malam banget baru pulang terus besoknya
lagi harus berangkat kerja lagi pagi-pagi. Palingan kalo tetangga ya
tanya-tanya ke mama aku sih, “si Yuni kapan nikah?” begitu sih
palingan yang aku tahu. Dan aku juga nanggepinnya biasa sih, “iya
bu masih mau kerja dulu”, “belum ada bu, kalopun ada juga nanti kita
undang” begitu hahaha.
Tapi kalo teman, mmm, ada juga sih ya temenku yang seumuran sama
aku, bahkan lebih tua dari aku, mmm ya orang-orang generasi aku lah
ya, yang kelahiran 88 87 89. Bahkan ada juga itu kemarin yang di
kantor lama, kakak senior aku, kayaknya umurnya pas 39 deh, itu baru
married juga. Jadi kayak, eee aku sih jujur ya, gak mau juga nikah
setua itu, cuman, kalo ada yang tanya yaudah kita bilang saja, “masih
sibuk kerja”, “belum ada yang sesuai”. Tapi, kalopun nanti sudah ada
dan pas, insya Allah kita bakalan langsung itu (menikah).
Terus juga ini ya aku itu orangnya cuek banget. Ya kalo ditanyain ya
tinggal bilang saja, “memang belum ada” begitu, kalo misalnya ada
yang tanya. Atau bahkan dari sodara tanya begitu kan, yaudah aku
bercandain saja hahaha. Kan abis itu yaudah lewat.
Kalo teman, aku balik lagi sih, karena beberapa temenku juga ada
yang belum married juga, jadi, kita nggak pernah tanyain status.
Palingan kayak, “eeyy lagi deket sama siapa tuu?” begitu-begitu
doang. Semuanya aku bawa enjoy, santai saja. alhamdulillah nya juga
nggak ada yang terlalu iseng banget juga ya. sejail-jailnya kalo
ngomongin aku di belakang ya, yaudah, biarin saja, toh itu kan urusan
mereka, bukan urusan aku.
xxxvi
Pernah (tersinggung). Cuman ya itu biasanya terjadi di tempat-tempat
yang banyak orang ngumpul ya. Misalkan kayak reunian atau lainnya.
Cuman karena beberapa tahun terakhir nggak pernah ada yang kayak
begitu ke aku ya, Gis. Ada sih, tapi palingan personal begitu. Kayak
misalnya tiba-tiba di ig (instagram) nihh teman lama, nanyain “eh lo
sudah married belum?” ya jawab saja, “iya ini belum, doain ya”
sudah. Nggak pernah sampe yang gimanaa-gimanaa begitu.
(Nurvita)
8. mmmm nggak ada sih. malah kalo aku sudah ada calon begitu ya.
Sebenernya ya mereka ingin memilihkan. Cuma ya aku memang lebih
banyak mmilih/cari sendiri sih. giliran sudah ada juga, mereka suka
dapetnya ya menurutku nggak baik, begitu ya. Jadi mungkin kadang-
kadang suka bersebrangan penilaian keluarga sama aku, gitusih (Ayu)
9. kalo omongan perawan tua dan nggak laku itu nggak. Tapi palingan
gini sih, ayo kapan nikah kapan nikah. Begitu-begitu saja sih. jadi, ya
sudah.
ya disenyumin saja, ya doain ya. Begitu-begitu saja sih. nggak yang
terlalu gimanaa-gimanaa juga akunya. Ya memang mulutnya lagi
mmm ingin basa-basi saja. Cuma ya sebenernya basi basinya
pertanyaannya nggak enak. Tapi ya sudah. Kalo mungkin mood saya
lagi enak sih palingan ya sudah disenyumin tapi sih memang kadang
kalo lagi moodnya nggak bagus, aku suka baper juga sih (tertawa).
mmmm tersinggung ya, cuman dulu sih. sebenernya ketika di umur
30 ya, karena sebelum di umur 30 itu saya memang kepengen
menikah. Jadi, kayak ada target begitu. Kayaknya pengen deh
sebelum 30 ini gue nikah. Nah, ternyata gak sesuai target. Dan
kemudian ada yang nanyain kayak gituu, aku sempet tersinggung.
Tapi semenjak kejadian yang itu, yang aku ketemu cowok kayak
gituu, terus abis itu saya juga harus kuliah, terus ada yang dikerjain
juga kan. Jadi, mulai rasa tersinggungnya justru makin kesini makin
kecil. Sudah jadi biasa saja. dan orang-orang kayak gituu yang tanya-
tanya kayak begitu sudah sangat jarang untuk sekarang. Justru
banyakan dulu pas sebelum 30. Tapi kesini-kesini, mereka ngeliat aku
toh happy. Dia (Aku) kuliah. Saya juga sering travelling juga kan.
Dengan umur-umur teman-teman saya yang seumur saya sudah ribet
sama anak, sama suaminya. Saya masih bisa traveling sendiri atau
sama teman saya. Jadi mereka ngeliatnya, oh mungkin ini anak
walaupun belum nikah, dia happy. Jadi, ya sudah gak akan diusik
gituu dengan pertanyaan kapan kapan kapan, gituu. (Intan)
10. Tapi pasti ada omonganlah dari bude. Apa sih, ya omongan dari luar.
Cuman, enggak terlalu jadi pikiran sih kalo saya. Malah kayak yaudah
lah. Ya namanya orang pasti ada saja yang komen. Pasti ada saja yang
bilang, iii sekolah tinggi-tinggi belum nikah, eh nanti susah loh punya
anak, ngapain pacraan lama-lama nggak nikah-nikah, dan pasti ada
xxxvii
saja yang komen kayak begitu. Cuman, ya kalo kita fokusnya sama
yang itu, ntar lama-lama capek. (Scha)
11. tetangga yang ngomong ih kok si Unge pulang kok ga nikah-nikah
atau si Unge pulang kok ga kerja-kerja? Aslinya bodo amat si atau
aku bales omongan mereka, cuman kan gaenak karena mereka disini
masih keluarga lah ibaratnya, nanti hubungannya malah jadi cekcok
kan.
Jadi yaudah, dan aku orangnya kalo udah tau sifat orang gitu tuh
yaudah, berarti aku akan memaklumi, selama mereka ga mencari
perkara yang bener-bener berkoar ini itu sampe bikin nama nenek aku
jelek. Kalo aku ga masalah di omongin, cuman nenek aku nih yang
jadinya kepikiran. Aku bisa ngebalikin kata-kata mereka, maaf maaaf
bukannya menjelekkan satu keluarga ya. Mereka dia anak-anaknya
itu yang kerja cuman 2, yang 2 nya ga kerja. Aku kalo mereka mau
baik, yauda ayo aku bakal jadi malaikat tapi kalo mancing jahatnya
aku, aku akan lebih parah dari setan, aku gituin kan. Jadi, aku bisa sih
balikin kata-kata dia, kalo gue kerja di Jakarta, gaji anak lo berdua itu
gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen gitu tapi kalo mancing
jahatnya aku, aku akan lebih parah dari setan, aku gituin kan. Jadi,
aku bisa sih balikin kata-kata dia, kalo gue kerja di Jakarta, gaji anak
lo berdua itu gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen gitu ya ngomong
gitu ke dia, tapi lu mau ga ngerawat nenek gua selama gua di Jakarta,
gua gaji deh lo, aku bisa aja ngomong kek gitu, cuman yaudah
makanya karena aku tau orangnya kayak gitu, aku tau keluarganya
kayak gitu, yaudah aku bodoamat, maksudnya yaudah biarin gausah
dipikirin ke nenek gitu. Lagian juga kalo bunga kerja di jakarta,
gajinya gedean bunga dibanding gaji keluarga anak-anak mereka, aku
gituin aja ke nenek aku. (Unge)
12. aku risih banget! Risih banget ya ampun. Aku jadi kayak males banget
ya Allah. malesss. Bener-bener males banget.
nah ini, ini karena, karena saya hidupnya ngerantau ya. Jadi, jauh dari
keluarga saya, tinggalnya disini. Kebetulan di lingkungan sekitarku
itu, aku tumbuh sama orang-orang yang memang bahkan lebih tua
dari aku pun belum nikah. Jadi, temanku S1 S2 itu rata-rata belum
nikah, sih. Cewek cowoknya tuh masih slow saja, masih terpaut sama
karir. Usia mereka malah 31 32. Jadi akunya slow. Nah, kalo
keluarga, kalo yang disana, yang di Sulawesi kan nggak gituu. Se aku
gituu anaknya sudah masuk SD mungkin atau apa. Nah, itu yang
membedakan. Jadi kalau akunya santai orang tua grusak-grusuk tuh,
karena itu. Kalo dari akunya sih biasa saja (tertawa).
heeh. Soalnya karena mungkin memang perbandingan lingkungan
mereka itukan lingkungan rumah. Rumah disana itukan ya, eee
stigmanya usia 30 itu usia tua. Usia yang sudah harus apa, eee
xxxviii
anaknya sudah harus segini, apa gituu. Sementara lingkungan saya di
sini itu, enggak gituu, beda banget.
kalo pandanganku sih ya, maksudnya kalo urusan kayak gini mestinya
nggak usah terlalu, dengerin kata orang, gituu. Iya ikut campur.
Apalagi meminta gini. Karena perbandingan dengan keluarga orang,
dengan ini, gituu. “ini sudah nikah, anaknya gini” naah!! Itu tuh,
malah aku nggak suka. (tertawa) itu sih menurutku.
kalo mereka enggak gimana-gimana, sih, biasa saja. cuman, kan pasti
sering tuh, ada acara keluarga. Aaa itu baru. Mungkin karena akunya
nggak di sana jadi pasti, “oh gimana??”, “jadi kapan nikah?”. Aaaa
ituuu. Kayak gituu-gituu saja sih. Tapi kalo hubungan sih, so far so
good ya. Kalo saya yang nggak gimana-gimana. Biasa, normal-
normal saja. cuman, suka gangguin mamaku dengan berakhir
mamaku nelfon. “aaa gimana ini?” (Ummu)
13. sempet ada rasa sedih juga. Karena mungkin nih, karena perasaan
saja. karena memang aku kan itu tadi, aku kepenginan itu (menikah)
juga gituloh. Tapi kan memang belum, ya mungkin memang belum
jodohnya saat itu dateng, kaya gitukan ya. Aku sih melihatnya, kok
kayaknnya mereka mengkasihani aku ya, gituu. Itu yang, yang
prasangka buruknya. Jadi kayaknya orang-orang itu mengkasihani
aku. Itu kali mungkin. Mungkin kata-katanya seperti itu ya. Padahal
sebenernya (mereka) biasa saja sih. Eeee Cuma ya mereka ya
bukannya mengkasihani lebih kepada eee yaudahlah kita cariin sama
siapa yaa... kayak begitu (tertawa). Cuma aku di sisi lain juga ada rasa,
ih, kok mereka kayaknya gimana begitu ya, mandang aku, jadi
kayak... kadang-kadang juga jadi sering menghindar untuk pertemuan
keluarga, misalnya begitu ya. Kayak begitu-begitu ada juga sempet.
Cuma ya akhirnya aku berintropeksi diri. Kalo misalnya begini terus
kapan aku mau majunya. Yaudah santai aja sih. Akhirnya lambat laun,
akhirnya eee yaudah, akhirnya bisa, bisa ini sendiri (menerima
keadaan), maksudnya yang enggak terlalu baper-baper banget.
akhirnya biasa saja. dengan tahap biasa, yang awalnya baper ya
istilahnya begitu ya kalau anak sekarang sampe akhirnya biasa saja
sekarang. Begitu sih. Sampe nggak kepikiran. (Indah)
14. aku tipe orang yang tidak pernah memperdulikan omongan tetangga,
satu itu. Aku orangnya cuek banget, bodo amat tetangga mau
ngomong apa, orang gua gak bisa makan saja tetangga gak ada yang
nolongin, ya kan? Aku gak (perduli). Aku juga kayak begitu, apa
nikah dipaksa-paksa? Orang jodohnya saja gak ada masa mau
dipaksa-paksa nikah sama siapa coba, ya gak? Nanti juga akan ada
waktunya. (Yuniarti)
Apa yang Anda rasakan dari menunda pernikahan?
1. iya kebebasan. Kebebasan saja. karena yang lainnya ya sama saja ya.
Apa namanya, misalnya kita dulu lagi suntuk atau lagi ada film baru
xxxix
ini, pengen nonton. Kalo dulu kan okelah cabutlah jalan nonton. Kita
mau nonton sama siapa gitukan bisa pilih, sama kakak, sama adek,
atau sama siapa gtu atau sa, temen-teman, cari saja. bisa. Kapan pun,
anytime. Pulang malam-malam boleh. Kalo sekarang kan nggak bisa
hahaha. Kadang ihhh bete deh pengen nonton tapi ya enggak bisa saat
itu juga hahaha. Jadi ya itu saja sih kebebasan. Freedom ya. Eee tapi,
mungkin kebebasan itu akan lebih didapatkan kalo kita
memperbanyak komunikasi. Karena memang kan di awal itu pasti,
penyatuan persepsi, komunikasiitu tidak tidak mulus, pasti. Akau bisa
jamin itu hahaha. Nah, maka disitu, patokan kebebasan itu sebenarnya
tuh apa namanya, setiap orang itu berbeda-beda. Seperti apa yang
dimaksudkan. Kalo aku saat ini sih, lebih kepada itu ya (kebebasan).
(Indah)
2. mmmm keuntungan belum menikah di usia sekarang ya..kalo aku
ngeliatin teman-teman yang mungkin sudah nikah tuh, memang
akunya lebih mikirin, masih fokus ke diri sendiri. Terus lebih banyak
waktu luang kali ya. Maksudnya, bener-bener eemmm apa ya, masih
bisa santai-santailah istilahnya. Leha-leha. Kalo aku bandinginkan,
orang-orang yang sudah nikah kan kayaknya, harus kemana-mana
harus anaknya, ada suaminya. Aku belum siap untuk itu (tertawa).
(Ummu)
3. keuntungan kita bekerja sendiri, duit masih duit kita, masih bisa
nyenengin diri sendiri, beda kalo udah nikah, ya walopun orang duit
suami duit istri, duit istri ya duit istri, tapi ga bisa gitu mau gimanapun
kalo lagi ada di suatu sikon yang mendesak duit suami kurang dan lu
harus nambahin, ya mau gamau lu harus turun tangan, kalo misal
orangnya kerja ya. Kalo ga kerja itu bisa jadi salah satu hal yang
memicu suami istri berantem tapi kalo suami punya tempramen gitu
“lu sih ga kerja makanya kan giliran gaada duit ga bisa bantu gua”.
Nah itu banyak disekeliling aku yang kayak gitu, entah orang tuanya
yang kayak gitu, entah temen pribadi aku kayak gitu ya cerita rumah
tangganya itu banyak. Makanya keuntungan sebelum bersuami pas
kerja ya itu duitnya bisa aku gunain semua aku sebebas aku suka-suka
aku, aku mau beli apa aja dengan belum nikahpun aku bisa bebas,
enjoy kemana aja, lu mau make baju apa aja okey mau nyeleweng
sana sini okey, mau pergi kesana sini okey, ya bener kata orang yang
nikah muda, “lo mending jangan nikah muda deh, nikmatin masa
remaja lu dulu have fun aja dulu sendiri selama lu masih sendiri”.
(Unge)
4. Saya juga sering travelling juga kan. Dengan umur-umur teman-
teman saya yang seumur saya sudah ribet sama anak, sama suaminya.
Saya masih bisa traveling sendiri atau sama teman saya. Jadi mereka
ngeliatnya, oh mungkin ini anak walaupun belum nikah, dia happy.
Jadi, ya sudah gak akan diusik gituu dengan pertanyaan kapan kapan
kapan, gituu.
xl
mmmm ya kan kalo sudah nikah, kalo saya itu prinsipnya, kalo saya
sudah nikah ya apa-apa harus izin suami. Jadi saya tidak perlu
melakukan apa yang saya mau kayak harus izin dulu mau kemana
mau kemana, gitusih. Sebenernya lebih kearah kebebasan sih. (Intan)
5. kalo sekarang malah ngerasanya kayak nggak gimanaa-gimanaa ya,
Gis hahaha. Maksudnya, mungkin ada beberapa orang yang sedih,
karena putus nyambung sama pasangannya yang berujung nggak jadi
married atau sudah tunangan tapi nggak jadi nikah. Kalo aku kan
belum ada tahap itu sekarang jadi kayak, yang dirasain biasa saja
hahaha. Malah jujur, aku jadi merasa lebih bersyukur sih, nggak ada
yang perlu juga untuk disedihkan. Jadi lebih ke apa ya, “oh, aku nihh
belum married sampe sekarang mungkin Allah mau kasih aku waktu
biar aku lebih deket dulu sama Dia” begitu. Aku nggak ada feeling
yang gimanaa-gimanaa sih selain aku jadi makin bersyukur saja.
(Nurvita)
6. eee aku jadi punya siklus pertemanan sih. Aku ada kesempatan untuk
lebih banyak mengenal orang.. aku jadi ngerasa bebas nggak ada
tuntutan ini itu dari pasangan. Karena selama ini juga kan aku apa-
apa sendiri. Aku jadi bebas mau apa saja, main sama siapa saja.
begitu, gis. (Yuti)
7. justru diumur sekarang aku itu nggak ngerasa bebas ya. kan, kalo
orang sudah berkeluarga, waktu libur mereka buat keluarga ya. kalo
aku, kalo libur ya aku di rumah saja nggak ngapa-ngapain. Palingan
ya aku ngerasa hidupku nggak diatur-atur sih. Aku juga orangnya
nggak suka diatur ya. jadi, mungkin ngerasa aku bebas disitu ya.
nggak ada yang nge bla bla bla in aku begitu. Jadi, buat sekarang itu
ya sudah semuanya semaunya aku saja nggak perlu izin sana sini. Jadi
lebih leluasa saja hidupku. (Lena)
8. Mungkin aku masih bisa lebih menikmati waktuku sih, ya.
Maksudnya menikmati hal-hal yang mungkin aku masih belum bisa
lakuin, misalkan kayak karir. Mungkin aku harus lebih lagi. Trus,
karena aku sebenernya hobi jalan juga ya, jadi masih pengen sana-
sini, gabung sama temen, kumpul, dan lain sebagainya. Karena aku
berfikir, kayaknya ya Allah baik aja, masih memberikan aku
kesempatan menikmati masa-masa sebelum aku nikah. Nanti kalau
udah nikah kan bedalah. Kalau udah nikah, kita lebih terikat. Apalagi
kalau udah punya anak. Kadang temenku sendiri, temenku sendiri aja
udah banyak yang berkeluarga ya, banyak yang punya anak, mereka
suka ngeluh aduh enak banget jadi lu bisa kumpul, masih bisa
nongkrong sana-sini. Kalau ini udah mikirin duh gue punya buntut,
nih. Ya udahlah, yuk nikmatin aja, ntar kalau lu udah nikah lu bakal
kangen masa-masa kayak gini. Nah, itu sih yang bikin aku kayak ya
udah nikmatin saja. (Ade)
9. yang pertama nih, pasti kamu kalo misalkan daftar pegawai negri,
terus pelatihan-pelatihan, maksudnya kayak mau masuk kerja tapi ada
pelatihan-pelatihan dulu begitu, kan pasti disitu statusnya tidak
xli
menikah atau belum menikah ya kan? Nah, kalo kita sudah terlanjur
nikah tapi umur kita mencukupi untuk masuk kerja disitu tapi status
kita sudah menikah, terus juga kemampuan kita juga mencukupi, jadi
sayang kan gak bisa ikutan (daftar kerja) karena status menikah yang
kita miliki. Terus juga pengembangan diri kita tuh, seberapa mandiri
kita tanpa orang lain di samping kita, kita bisa lebih mengembangkan
karir sendiri dan bangga sama diri sendiri. Di keluarga ku juga kan
mengutamakan pendidikan nomor satu, jadi ya kita itu ambisius
banget buat ngejar pendidikan setinggi-tingginya, dan karir sebagus
mungkin.
Pasti, cewek-cewek kan kalo sudah nikah pasti urusannya nggak jauh
dari dapur, sumur, dan kamar. Apalagi kalo misalnya nanti sudah
punya anak, bakalan susah buat ngembangin diri (karir) lebih luas
lagi. Karena nanti (kalo sudah nikah) dunia kita nggak jauh-jauh dari
suami anak suami anak, begitu. (Arisa)
10. yaa,, lebih apa ya,, um, bisa lebih mengeksplor diri sih yang pasti.
Maksudnya masih bebas untuk apa ya, mungkin coba-coba buka
usaha, kayak begitu, terus, bisa lebih banyak lagi cari ilmunya. Kalo
dari aku sih begitu ya, dek. (Fitri)
Apa alasan Anda memutuskan untuk bekerja dan menjadi
perempuan karir?
1. ya kalo misalnya nggak dihubungin sama uang, ya minimal
kehidupan gue stabil saja sih. gini, kerjaan sekarang gue bukan PNS,
gue juga belum punya investasi apa-apa. Maksudnya, gue belum
punya hal-hal jangka panjang begitu lah. Apa yang gue lakuin
sekarang itu pikirannya buat apa yang gue dapet besok. Masih yang
bener-bener kejadian saat ini, belum buat yang jangka panjang. Belum
ada rencana jangka panjang. Asuransi pun gue masih nempel sama
kantor. Jadi ya, gue kerja buat itu sih palingan. Dan gue itu tipikal
orang yang gak bisa hidup kalo nggak ngelakuin sesuatu. Maksudnya,
gue pernah ada ditahap, gue lulus kuliah, terus kosong gitukan nggak
kerjaan. Selama itu gue bingung mau ngapain kan. Dan itu gak enak
banget lah. Lo hidup nggak punya tujuan. Misalkan juga lo mau beli
apa-apa juga nggak ada uang. Gue ngerasa ngaruh juga ke kehidupan
sosial soalnya, karena ketika lo ngobrol sama orang itu jadi kayak
nggak ada topik pembicaraannya, “apasih yang mau lo omongin?”.
Kalo punya kerjaan kan ada saja lah yang kita obrolin, gituu. Terus
juga di luar itu, gue ngejadiin kerja itu kayak belajar saja sih... kita
belajar di level yang lebih atas saja selain dari sekolah, gituu. “Gue
sudah belajar di SMA, kuliah, terus gue belajar dimana lagi nih?”
Nyokap gue selalu bilang, “jangan sampe lo lulus kuliah, terus nikah,
nah itu lo harus punya prinsip kalo lo harus punya penghasilan even
sekecil apapun, lo mau jadi apapun, yang penting lo punya kerjaan”.
xlii
Karena pada dasarnya, kalo lo nanti nikah, punya suami, dibiayain
sama suami, lo harus tetap punya identitas sendiri, sih. (Citra)
2. mmm ya itu tadi sih, aku punya target buat aku sekolah lagi S2. Aku
juga lagi berusaha cari-cari beasiswa buat S2 ku. Jadi, selagi aku
belum memutuskan untuk menikah, aku bakalan terus kejar
pendidikan aku sih. (Lena)
3. kemandirian sih kalo aku. Aku itu dulu sama orang tua tuh dijaga
banget. Nggak pernah pergi-pergi begitu. Terus, aku kuliah. Aku
mulai hidup sendiri. Aku ngekos. Jadi lebih tahu arti susahnya hidup,
pengalaman hidup dan kemandirian. Jadi aku banyak belajar sih.
Makanya aku memutuskan untuk merantau. Terlebih lagi, di
Indramayu kan nggak banyak lowongan pekerjaan begitu kan.
Akhirnya aku merantau ke Jakarta sambil mencari uang sekalian
belajar tentang kehidupan yang lebih eee lebih itu deh pokoknya.
iya bener. Aku juga kan anak pertama. Jadi ngerasa juga punya
tanggung jawab sama orang tua dan adik-adik ku. Mereka nggak
nuntut sih sebenernya, tapi sebagai anak adalah pasti perasaan kayak
begitu. Apalagi aku anak pertama. (Yuti)
4. hahaha iya duit mah nomor satu, Gis. Cuman ya itu tadi aku balik lagi
sih, aku kerja itu ingin cari tahu bagaimana caranya kita bisa mandiri
dan nggak bergantungan sama orang lain. Dan, ya, kalo dari keluarga
sih, biar aku bisa lebih bersyukur juga. Karena kita kan nggak pernah
tahu ya, kayak misalnya, ayah kita sakit, terus tiba-tiba nggak bisa
cari duit. Itu kan sudah pincang sebelah. Nah, dari sisi itu aku bisa
eeee jadi kita disini itu sama-sama jadi tulang punggung. Tidak
mengandalkan satu orang saja sebagai pencari nafkah. Jadi, mau
nggak mau kita harus tetap bekerja. Bahkan kalo memungkinkan kita
bisa jadi enterpreneur sendiri itu lebih baik lagi. Cuman, karena
waktunya belum kesitu ya jadi aku tetap kerja saja.
ho oh..bener.. apalagi kan aku anak pertama, jadi, naturally nya kayak
begitu kali ya. Karena anak pertama jadi ngerasa kayak bukan beban
sih sebenernya, jadi kayak lebih harus bertanggung jawab saja sama
orang tua dan adik, begitu. “gue sudah gede, gantian dong.. kemarin
orang tua gue sudah ngebiayain gue sama adik gini-gini” perasaan
kayak begitu ada banget di aku, sih, Gis. Dari sisi itu juga aku mikir
ya, “nanti kalo aku married gimanaa orang tua gue?”, mungkin kalo
aku sudah sukses banget, sambil married sambil ngebiayain orang tua
kayaknya semua itu bisa bikin aku lebih happy sih. (Nurvita)
5. saya senang ya ketika melihat orang lain berkembang, gituu kan.
Ketika klien akhirnya bisa dari titik yang minus akhirnya sekarang
bisa berkembang di +1 +2, kayak gituu. Dan recognize semua orang
punya potensi dan nggak semua bisa melihat potensi itu sesuatu yang
menyenangkan bisa helping people melalui ilmu yang saya pelajari,
xliii
kayak gituu. Kalo dukanya, apa ya dukanya, so far sih seneng-seneng
saja. (Scha)
6. karena emang aku kerja pengen dapet duit pengen nyenengin diri
sendiri, pengen bisa beli apapun tanpa nyusahin, ibaratnya kalo dari
aku umur 2 tahun sampe kuliah kan secara kasarnya udah nyusahin
orang, duit keluarga udah keluar buat aku tapi kan aku ada rasa ga
enaknya kan. Jadi semejak aku kerja di kuliah pun, aku udah kayak
“wah gua harus prepare diri sendiri gamau nyusahin orang, duitnya
buat gua sendiri, gua mau beli apapun yaudah gitu”. (Unge)
7. oh enggak, kalo aku orangnya nothing to lose sih mbak. Satu itu.
Kedua, aku cuman pengen belajar saja. Waktu itu tuh, aku cita-citanya
Cuma 2 doang loh mbak. Aku cuman pengen ke tanah arab sama ke
belanda (tertawa).
aku kerja itu, satu, karena ingin aktualisasi diri. Aku gak kepengen
kayak kakak-kakak aku. Intinya, di rumah itu, kakakku laki-laki tiga,
tapi tuh, mboen, tahu mboen nggak mbak? Maksudnya, anak mami
gitulah hahahaha. Aku gamau jauh-jauh kerja dari ibu, kayak begitu
hahahaha. (Yuniarti)
OTONOMI NILAI
Kemampuan individu dalam memaknai seperangkat prinsip yang diyakini
dalam hidup
Bagaimana pandangan Anda tentang pernikahan?
1. pernikahan itu komitmen. komitmen terhadap pasangan sendiri,
komitmen terhadap pilihan, eee komitmen terhadap rasa sakit, yang
akan diterima, ya ditelen, kayak begitu. Ya intinya itu, komitmen saja.
pernikahan buat saya adalah komitmen. Misalnya sudah milih dia, ya
sudah setia sama dia. (Karina)
2. pernikahan itu, pernikahan itu yang aku...eee just information saja ya,
aku jadi kemarin itu apa namanya sebelum menikah itu sempet
banyak ikut workshop. Aku tipikalnya serius ya. Jadi aku ikut
workshop menikah. Aku ikut seminar. Yang kayak begitu-begitu tuh.
Workshop ini seminar ini bener-bener private ya. Workshopnya itu 2
hari dan pesertanya itu hanya 5. Dan disitu aku satu-satunya
perempuan. Dan di situ aku banyak banget dapet ilmu lah ya tentang
pernikahan itu seperti apa. Karena itu tadi, aku banyak, banyak apa
namanya itu, banyak berpikir bahwa pernikahan itu apa apa apa. Aku
harus bertemu dengan orang seperti apa, begitu-begitu. Nah itu yang
mungkin bikin aku rada lama (menikah) juga, seperti itu. Eee cara
bertemunya juga bagaimana itu juga aku pikirin semuanya. Sampe
kayaknya otakku tuh mau meledak, begitu. Harusnya nggak usah
dipikirin banget. Harusnya kita ngalir saja begitu. Mungkin dengan
rambu-rambu yang harus ditaati. Seperti itu sih. Dari situ aku melihat,
karena sebelumnya aku melihat pernikahan itu ya menikah, ibadah,
itu. Tapi, ketika aku sudah mengikuti workshop itu, dan beberapa
kelas menikah lagi yang aku ikuti secara terpisah, oh ternyata,
xliv
pernikahan itu, tuh, sebagai sebuah lembaga seumur hidup, ya. Kalo
kantor kan ada pensiunnya, ya. Terus kan kalau sekolah ada
selesainya gitu kan. Tapi kalo pernikaha kan kan nggak, lifetime ya.
Jadi aku menganggap sebuah pernikahan itu adalah lembaga di mana
yang nanti akan dihasilkan dari lembaga ini anak-anak yang hebat.
Dan itukan nggak mudah. Kalo mencetak anak-anak yang hebat
gitukan ya. Karena orang tuanya juga harus hebat juga. Menjadi orang
yang biasa juga hebat saja susah. Hebat disini itu dalam arti banyak
ya. Itu, bisa jadi, generasi-generasi yang baik, orang yang bermanfaat.
jadi bukan orang yang bukan orangnya nggak jadi seseorang tapi
orang yang bisa kasih manfaat banyak banget. Dan itu melalui
lembaga pernikahan yang baik. Lembaga pernikahan yang sehat. Jadi
sekarang aku menganggap pernikah itu ya seperti itu. dan itu tidak
mudah ternyata membuat lembaga itu karena bisa jadi kan, suami
belum doong (mengerti) dengan apa yang kita maksudkan. Dan kita
tidak bisa memaksakan. Walaupun suami aku bisa diajak diskusi, tapi
dia punya pendapat sendiri. Yang bisa jadi menurut dia aneh. Begitu
kan ya. Yang segala sesuatunya itu dikonstruksikan, dibikin
sistematis. Kalo bisa dibikin rancangan pembelajaran. Kan gabisa
kayak begitu. Dia bukan tipikal orang yang begitu. Dia itu tipikal
orang yang lebih lebih spontan. Dan ini yang menjadi tantangan. Aku
gabisa plek-plekan kasih tahu bla bla bla segala macem gitukan
sementara apa namanya ya proses itu, ya lifetime, seumur hiduplah
dalam kita mengkomunikasikan.
Tapi, bedanya yang aku rasain ya, dengan kita, eee karena gini mau
punya ilmu atau nggak punya ilmu pasti ketemu masalah dalam nikah.
Ketika kita udah punya, maksudnya, oh kita sudah pernah dikasih,
sudah pernah belajar lah. Bagaimana cara berkomunikasi misalnya.
Bagaimana cara kita berpikir kayak gitu gitu ya. Karena pemikiran
laki-laki dan perempuan kan berbeda. Nah itu (kalo sudah punya
ilmu) kita akan lebih mudah. Perempuan itukan baperan. Nah, jadi,
aku melihat bahwa lembaga pernikahan itu sebagai suatu lembaga
yang luar biasa banget ya serunya. Tapi ya itu ujungnya, harus
menghasilkan generasi yang hebat. Itu sih. (Indah)
3. aaa kalo aku ya, itu kalo aku mandang nikah itu sebagai eee
komitmen, sih. Jadi, di mataku tuuh ketika orang sudah mutusin
nikah, menurutku tuh, dia sudah bener-bener enggak bisa apa ya,
istilahnya, gabisa selfish. Jadi gabisa egois. Jadi gabisa kayak aku
sekarang gituu masih mikir aku mau makan apa? Aku apa, aku apa.
Kalo nikah tuh nggak bisa. Kita harus mengutamakan orang lain dulu.
Terus apa ya, relasi ke keluarga lain itu juga menurut aku
berhubungan gituu. Maksudnya sama mertua atau apa. Jadi,
pernikahan tuuh lebih mengembangkan. Relationship tuuh bukan kita
dan pacar lagi. Tapi jauh lebih luas dari itu dan menurutku itu
kompleks sih. (Ummu)
xlv
4. pandangan aku terhadap pernikahan, kalo dasarnya si itu sebuah
kewajiban ya kalo mau ngomongin agama, tapi kalo naluri aku
sebagai manusia selama aku bisa mandiri kayaknya ga nikah tuh ga
masalah deh, aku mikirnya gitu. Sebenernya kalo aku gak nikah pun
gapapa, aku masih bisa hidup. Terus kalo ada orang yang ngomong,
tapi kan lu butuh pendamping, butuh yang ngajarin kamu, butuh kamu
berbagi kasih sayang dalam macam hal ini itu, terus selama ini gua
hidup 26 tahun gua ngeluh ga ngeluh-ngeluh banget, gua bisa
nikmatin hidup gua sendiri, ya walaupun ngeluh paling ngeluhnya ke
ade, dan ngeluhnya itu paling cuman “ih gua cape kerja deh dek,
liburan yuk”. Tapi untuk segala persoalan aku akan nyelesainnya
sendiri. Tapi kalo ditanya mau nikah ga? Mauu, siapa si yang gamau.
Ibaratnya kamu juga kan udah gede kan, siapa si yang gamau dipenuhi
kebutuhan batinnya. Aku normal, aku bukan seorang yang peduli
tentang hubungan badan, enggak, aku normal, aku ngeliat orang
pacaran gandengan, pelukan, ciuman ya aku pengen, siapa yang
gamau, untuk orang normal ya. Manja-manja sama suami, pengen
punya anak ya pengen, cuman disatu sisi masih banyak belenggu yang
aku pikirin, ini gimana ya gua nikah dia kasar ga ya sama gua kayak
nyokap gua dulu, nerima ga ya dengan gua dan keluarga gua yang kek
gini, mau bertahan ga ya sampe gua mati nanti. Dan pemikiran-
pemikiran lain yang overthinking itu gabisa diilangin, walopun
nyatanya pengen tapi lebih banyak ke gak pengennya. (Unge)
5. kalo saya menganggap nikah itu maraton ya. Jadi, kita harus pinter-
pinter eee bukan maraton sih, eh iya maraton, tapi itu dengan kita
yang gatau tracknya akan kayak gimana. Kadang ada yang terjal, ada
yang becek, ada yang luwes saja. ada yang di aspal. Yang jelas kalo
yang namanya maraton kita kan kudu pinter-pinter untuk mengatur
tempo ya kapan harus cepet kapan harus pelan, kapan harus istirahat
dan kapan harus berjalan lagi. Kayak begitu sih. dan maratonnya
maraton beregu ya bukan maraton sendirian. Yang namanya beregu
kan kita harus mikirin, oh, partner kita masih kuat nggak jalannya,
masih bisa nggak ini larinya. gimana kalo dia kesulitan, kita perlu
bantuin. Kayak begitu. Seperti yang aku bilang, ketika kita bener-
bener siap untuk menikah, itu semua nggak akan terlalu kaget begitu
loh, before dan afternya nikah. Cuman kan ya orang macem-macem.
(Scha)
6. mmmm sebenernya ya, ya itu kita kayak harus berkomitmen, sih. dan
memang harus apa ya, komunikasi harus baik sama pasangan. Nah itu
banyak yang gak bisa dijaga. Dan saya punya beberapa teman yang
(sudah) menikah justru tidak terlihat bahagia dalam pernikahannya.
Nah itu tuh yang salah satu juga membuat saya, ah yaudah begitu
(belum menikah), maksudnya, saya ngeliat si ini eee dikekang sama
suaminya, terus apa lagi eee gak boleh kerja setelah menikah. Terus
ada yang pihak mertuanya rese gitukan. Terus ada yang, yang dia
stress biasanya. Karena pada awalnya dia berkarir, kantoran terus
xlvi
tiba-tiba jadi ibu rumah tangga. Dia stress malah jadi ngomel-ngomel
terus di rumah. Jadi saya mikir, kalo kayak gitukan jadi nggak ada
nilai ibadahnya. Kan menikah adalah ibadah katanya. Yang kayak
begitu-begitu jadi membuat saya juga agak sedikit bersyukur karena
belum menikah. Mungkin kalo saya sudah menikah yaa mungkin
tidak bisa sebebas ini. (Intan)
7. pernikahan itu ya menyatukan satu pasangan eee dua orang yang
berbeda. Berbeda juga karakternya eee yang dimana terikat dengan
hak dan kewajiban masing-masing, begitu. Itu yang aku liat ya dari
aku sebelum menikah. Dan semuanya juga masing-masing harus
menyesuaikan juga. Tapi setelah menikah ternyata, yang kita
pikirkan, yang kita lihat dulu kan keluarga kita, teman-teman kita
yang menikah lebih dulu, begitu. Tapi setelah kita menyelami lebih
dalam dan menjalani sendiri bersama pasangan ternyata nikah itu,
mmm ya apa ya... nano-nano lah (tertawa) ternyata itu banyak banget
masalahnya ya. memang sih kita itu gak boleh berandai-andai ya,
karena takutnya syaiton juga. Cuman aku ngerasanya, mungkin Allah
memberikan aku pernikahan di umurku yang sudah semakin matang
ini, itu karena supaya aku lebih siap menjalaninya. Kan karena, orang
berfikirnya menikah itu hanya indahnya doang kan. Ternyata banyak
disitu (nikah) tanggung jawab dan kita juga harus bisa beradaptasi.
Tidak hanya kepada pasangan tapi juga mesti menyesuaikan dengan
keluarga suami, keluarga kita juga. Harus bisa menjembatani kalo ada
sesuatu yang mungkin nggak nyaman. Bisa berbagi suka dan duka.
Ya mungkin eee lebih ringan ya. nikah itu buat kita lebih ringan kalo
misalnya ada masalah. Ngejalaninnya itu lebih ringan dibandingkan
dengan sebelumnya. Ya nikah itu ladang pahalanya banyaklah
pokoknya. Pokoknya yang belum nikah harus segera menikah
(tertawa). Harus ikhtiar lah. Niatnya karena Allah. Sudah itu saja. dan
tidak memperberat, terutama tidak memperberat laki-laki untuk
maharnya. (Ayu)
8. eeee pernikahan buat aku itu sekufu ya. kalo dalam Islam itu, sekufu
itu setara. Jadi, kalo bisa kita cari pasangan yang setara. Mungkin bisa
dari umur yang nggak jauh beda, tapi kalo lebih muda juga aku nggak
masalah sih, lebih tua juga aku nggak masalah. Cuman, yang penting
sekufu. Dalam artian, kita sepemikiran. Jangan sampe dia maunya ke
kiri aku maunya ke kanan. Kalo kayak gitukan nggak nemu titiknya
kan. Jadi nikah itu bener-bener untuk lahir batin dan bener-bener
tujuannya kepada Allah. Jadi, bukan buat status atau pamer doang,
“nii gue sudah nikah nii”. Dan aku bukan yang kayak begitu. Aku
pribadi nikah karena ingin lebih bahagia dan tujuan akhirnya Jannah.
(Nurvita)
9. pernikahan itu menyatukan dua keluarga menjadi satu. Dimana kita
hidup bersama dan berdampingan. Terus juga, jadi teman hidup yang
menemani kita suka dan duka. Ibadah bersama juga karena
xlvii
menyempurnakan agama juga kan. Jadi ya pernikahan menurutku
baik ya dan diinginkan semua orang. (Yuti)
10. duh, apa ya, aku juga bingung hahahaha. Mmm orang kalo menuju
pernikahan itu kan suatu yang baik ya. dianjurkan juga kan karena
melengkapi sunnahnya Rasul. Itu sih yang aku tahu. Ya menurutku
bagus sih kalo ada orang yang punya niat menyegerakan menikah.
Dan yang paling penting dia harus bertanggung jawab sama
pilihannya sih. itu saja sih menurutku. (Lena)
11. pandangan gue...eee pernikahan itu bukan hal yang eee gue
sebenernya rada nggak setuju sama yang, gini gini, di lingkungan gue
itu ada teman-teman perempuan gue yang ngerasa kalo pernikahan itu
bisa menyelesaikan masalah-masalah hidup lo karena lo punya
pendamping. Justru, klao menurut gue malah pernikahan itu, ya
mungkin iya bisa ngebawa kebahagiaan ke lo, tapi depends on kalo
misalnya lo mau bahagia ya lo harusnya bisa menyelesaikan masalah-
masalah yang terjadi di dalam rumah tangga. Karena ya bagaimana
ya, karena kan dari kecil manusia itu tinggal sama orang tua nya,
dibesarin sama orang tua nya, rata-rata dibesarin sama orang tua
sendiri ya. terus juga, mungkin orang-orang kayak gue lebih yang
punya ruang privasinya lebih gede dan segala macam. Terus tiba-tiba
harus nikah dan ngebagi dunia sama orang lain yang bahkan bukan
sedarah. Cuma based on feeling saja lo ngerasa ini orang cocok, gituu.
Menurut gue itu hal yang krusial dan berat ya. makanya perlu
pemikiran yang mateng banget, “ini orang pas nggak sih buat jadi
suami?”, “buat jadi imam lo?”.
Pernikahan itu lebih ke apa ya, menuju tingkatan kehidupan
berikutnya, gituu ya. jadi maksudnya, lo sudah masuk ke pintu
pernikahan ini bukan berarti hidup lo sudah tenang. Tapi lebih ke, ya,
lo akan mendapatkan masalah baru dan which is lo level up.
Sebenernya orang-orang rada keliru juga ya. eee sebenernya gue
nggak nyalahin perempuan-perempuan yang ngerasa eee apa
namanya, ngerasain bebannya makin banyak ketika dia sudah nikah.
Karena menurut gue, ya itu kan keputusan lo untuk nikah. Kalo lo
ngerasa beban abis nikah itu berat, artinya yang salah itu ada di lo.
Artinya, lo itu belum bisa menyelesaikan itu, gituu. Kalo lo mau
pernikahan lo bahagia, ya lo harus bisa neken diri lo untuk grow up
lagi buat selesain semua masalah-masalah rumah tangga.
Dan buat gue ya, nggak ada kata terlambat sih buat nikah. Even lo
sudah cinta banget nihh tapi ternyata pasangan lo, cowok lo punya
penyakit seksual dan lo gak bisa terima itu, menurut gue, lo berhak
buat nggak nikah sama dia. tapi kalo misalnya lo bisa nerima itu,
yaudah. (Citra)
xlviii
Menurut Anda, apakah pernikahan menjadi keharusan bagi
perempuan?
1. nggak sih. nikah nggak harus menurutku. Kalo misalnya perempuan
itu sudah mampu bertanggung jawab sama diri dia sendiri dan mandiri
terutama secara keuangan, menurutku nggak harus deh dibebankan
nikah buat mereka. Ya mungkin iya dia butuh perlindungan dari
seseorang, dari laki-laki. Tapi menurut aku, kalo dia ngerasa diri dia
mampu untuk menghidupi diri dia sendiri dan tidak membutuhkan
orang lain ya nggak haruslah nikah. (Lena)
2. kalo aku sih, nggak sih ya. Karena menurutku itu menikah bukan
suatu hal yang wajib. Semua wanita juga punya prioritas hidupnya
masing-masing. Ada mungkin sebagian orang yang berfikiran mereka
mau hidup sendiri saja, mungkin karena dia sudah mandiri secara
finansial juga sudah cukup. Atau mungkin karena faktor lain juga sih,
mungkin pernah trauma sama laki-laki sampe akhirnnya mikir “aku
lebih baik sendiri” begitu. Jadi ya menikah kalo menurut aku bukan
suatu hal yang wajib. Target orang kan beda-beda. Pilihan orang juga
beda-beda. Jadi kita gabisa ngejudge orang juga kalo misalnya dia
memutuskan nggak menikah. Nggak salah juga sih. Kan yang penting
menurut dia baik buat hidup dia. (Yuti)
3. kalo sunnah nya sih sebaiknya menikah yaa. Tapi kalo ada orang yang
tidak menikah, itu balik ke dirinya ya. Dalam sejarah aku baca ya,
kebetulan aku juga suka baca. Di sejarah Islam menceritakan, ada
sahabat Rasul, entah sahabat atau keturunan sahabat aku lupa, dia
perempuan, seorang pejuang dan beliau tidak menikah. Jadi beliau
bener-bener membaktikan dirinya buat dakwah. Kita sebagai manusia
kan nggak bisa sembarang ngejudge ya, “ih kok dia nggak married sih
padahal dia kan beriman?” atau, “kenapa nggak nikah kan padahal
sudah sukses” begitu-begitu lah ya. kkita nggak boleh kayak begitu.
Aku sih balik lagi, kalo aku pribadi ya kepengennya aku menikah.
Kalo ada yang nggak mau nikah, yauda biarin saja, itu kan sudah jadi
pilihan dia dan mereka sudah memutuskan itu ya kita hargai saja. kalo
aku sih begitu ya. (Nurvita)
4. ya kalo ngikutin sunnahnya Rasulullah SAW sih harusnya iya. Nggak
hanya perempuan tapi berlaku juga buat laki-laki. Harus sama-sama
berusaha. Ya selebihnya kita harus tawakal kan. Karena selebihnya
hanya Allah yang tahu yang terbaik untuk kita. Yang penting kitanya
jangan putus asa. Tetap berikhtiar, tawakal. Itu saja sih. (Ayu)
5. enggak sih. tergantung kalo misalnya dia.... eee jadi gini, ada yang
pernah bilang sebenernya menikah itukan sunah ya. Tapi akan
menjadi wajib kalo misalnya ternyata dia tidak bisa menahan hawa
nafsunya. Kalo kayak begitu dia wajib nikah. Tapi, kalo dia masih
bisa (menahan hawa nafsu) kayaknya tidak akan menjadi wajib ya.
Terus, kalo misalnya dia menikah tapi tidak bisa atau tidak mampu
bahagia, maka jadinya jatuhnya makruh atau haram kali ya. Malah
jadi menyakiti pasangan. Mengekang. Untuk cowok nih, menikah
xlix
dengan alasan biar bisa makan masakan pasangan, nyuruh-nyuruh
pasangan. Kan jadinya jatuhnya haram, menyakiti sesama manusia.
Jadi ya tergantung kita posisinya saat itu dimana. Kalo saya misalnya,
jatuhnya sunnah. Tapi kalo misalnya ada teman saya (tertawa) tidak
bisa menahan hawa nafsu ya mungkin buat dia jadi wajib. Dari pada
membahayakan yang lain (tertawa). (Intan)
6. kalo saya, kalo personal view saya sih nggak. Kayak banyak hal yang
bisa didapat. Kalo menikah boleh, nggak menikah juga boleh. Karena
setiap orang itu cita-citanya beda. Ada memang yang cita-citanya mau
jadi ibu. pengen jadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Itu boleh
banget. Tapi kalo memang nggak mau nikah, ribet gitukan. Nikah
ribet, nanti begini begini, aku harus ini bla bla bla, ya nggak papa
(nggak nikah). Ada orang yang nggak mau nikah, terus dipaksa,
dituntut nikah karena tuntutan usia lah, tuntutan keluarga tapi malah
dia ngga bisa all out. Dia akan merasa terbebani, karena merasa dia
melakukan hal yang nggak dia sukai. Dia harus melakukan sesuatu
yang dia gamau. Malah nanti nggak bahagia. Malah jadi beban yang
kemudian, takutnya ya takutnya, malah bikin unhealthy relationship
sama pasangan. Terus malah nanti tgraumanya diteruskan, kalo punya
anak. Kayak begitu. Takutnya kayak begitu. Jadi, menurutku nikah
itu bukan keharusan. Tapi, itu cuman masalah timing saja. ada orang
yang timingnya memang nggak nikah. Ada yang memang nikah tapi
timingnya telat. (Scha)
7. bagi perempuan ya, aku pribadi engga. Karena kita gabisa
memaksakan semua perempuan harus menikah, karena banyak yang
masalahnya kayak aku atau mungkin lebih, misal dulunya maaf dia
dilecehkan oleh laki-laki, dia punya trauma sama laki-laki dan gamau
punya hubungan sama laki-laki tuh kayaknya wajar, karena ga semua
trauma tuh bisa dihilangin dengan gampang. Kalo untuk sebuah
keharusan sih kalo menurut aku engga, karena kita gatau
problematika yang dialami oleh seseorang itu seperti apa. Kita gabisa
menuntut elo cewe, elo harus nikah. Di luar konteks agama yang
mewajibkan ya, kalo cuman dari persepsi manusia lo harus nikah lo
cewe lo ga boleh nikah umur segini, engga, itu ga mengharuskan.
(Unge)
8. kalo aku sih mandangnya gini, enggak cuman buat wanita atau pun
laki-laki juga menurutku sama, gituu dalam pandanganku tuuh sama.
Mmm apa ya, lebih ke karena kita manusia, terus sudah usia segini,
usia dewasa lah ya. Kita tuhh tahu, kita mau milih apa, kita tahu yang
mau kita capai itu apa. Ketika ada orang, cewek misalnya usia berapa,
mungkin lebih tua dari aku misalnya. dia milih untuk nggak nikah,
nggak masalah. Orang misalnya, mungkin dia pernah punya trauma,
atau mungkin tanpa background dia sudah sukses dan dia nggak
butuh, merasa nggak butuh apa-apa ya its okey. Yang penting di
audah tahu, apa ya, intinya buat dia yang terbaik apa, rencana dia ke
depannya apa. Nggak masalah kalo emangnya dia gak mau nikah.
l
Kalo menurutku nggak masalah, gituu. Its okay saja. intinya tuuh
nggak ada yang salah, gitusih. (Ummu)
9. kalo ya eee pernikahan itu sunah begitu ya, kalau kita ngomongin sisi
agama. Rasulullah itu sangat menganjurkan untuk menikah. Eee itu
sunahnya. Dan Allah itu sudah ya apa ya, jadi kalo di Quran itu kan
ada, Menikahlah, gitu kan ya. Ya itu merupakan suatu perintah dari
Allah kasih tahu seperti itu. Karena apa? Karena Allah tahu kebutuhan
manusia. Allah tahu, ini banyak ini, kayak gini dari dari dari segi
apapun Ini ini semuanya ada ada fungsinya, gitukan ya. Dari segi
untuk jiwa. Perempuan itu nggak bisa berdiri sendiri. Tetap harus ada
orang kalau ketika ayahnya, ketika dia kecil ya, dengan ayahnya dia
sebagai mahromnya ya, yang menjaga izzahnya dia, menjaga
kehormatannya dia. Eee itu tuh, perempuan itu seperti itu. Tidak tidak
bisa dan tidak mudah dilecehkan oleh laki-laki lain. Karena laki-laki
itu kan dia kalau dia tidak dibekali dengan ilmu agama apa namanya
atau etika lah ya, itu dia mungkin bisa jadi binal laki-laki itu. Binal itu
dalam arti eee apa namanya eee itu kita nggak bisa nggak bisa kalau
misalnya, ah seseorang yang terpelajar, orang yang ini bakal dia
terhormat. Mannernya dia. Itu nggak. Aku juga pernah menemukan
dia terpelajar, dia ini laki-laki ya, itu tetap saja ketika sama
perempuan, dia bisa, bisa, bisa apa namanya ya, bisa ya mungkin
melecehkan lah ya, kayak begitu. Jadi, perempuan itu terjaga
izzahnya dengan sisi laki-laki di sampingnya. Yang pertama dengan
oleh ayahnya, yang kedua dengan suaminya. makanya Allah itu kasih
perintah seperti itu (untuk menikah). Itu baru satu sisi ya. Banyak sisi-
sisi yang lain. Eee jiwanya lebih tenang. Itu yang didapatkan (dari
menikah) jiwanya tenang. Terus juga dia eee apa namanya eee apa
lagi ya, ya yang pasti ada manfaatnya juga untuk laki-laki. Karena
laki-laki kan harus menyalurkan hasrat seksualnya. Ketika ada istri di
sampingnya, sehat pertama iya. Yang kedua tenang juga jiwanya.
Karena ketenangan jiwa ini nggak Allah kasih ke sembarangan orang.
Allah kasih ketenangan jiwa itu sama orang yang dipilihNya saja
begitu. Jadi, pernikahan itu merupakan salah satu jalan yang Allah
berikan kepada kita untuk meraih ketenangan jiwa. Kalo sepinter
apapun orang, kalo jiwanya nggak tenang jadinya grasak-grusuk.
Nanti kalopun dia jadi inventor sesuatu, malahan jadi perusak, gitukan
ya. Kayak bikin bom segala macem. Karena jiwanya gak tenang. Dia
malah bikin rusak bumi, begitu.
Itu salah satu, salah satu kan Allah bilang juga kan apa namanya
dengan ketenangan jiwa itu yang dicari manusia. Kayak yang di AR-
Rum itu kan, ada kan. Coba deh kamu pikir deh, orang nyari duit
banyak-banyak buat apa kalau dia bukan buat kepuasan dia.
Iya kan. Ketenangan jiwa. Apa dia jalan-jalan, refreshing lah. Itu
semua ketenangan jiwa. Nah, lembaga pernikahan ini, itu tuh, bikin
li
ketenangan jiwa kalo memang kitanya, secara sadar tidak sadar ya,
kayak begitu. Kalo kita sadar, itu akan kita pakai cara bersyukur. Tapi
kalo nggak sadar, kita bakalan cari-cari lagi, ish kok begini sih, aku
belum punya ini, nah yang kayak begitu yang akhirnya bikin kita
nggak tenang sendiri. Ngerti nggak? Kayak aku ini misalnya kan
masih tinggal sama mertua. Adalah keinginan aku untuk mempunyai
rumah sendiri. Nah, ketika aku mengingat bahwa aku apa eee dengan
pernikahan ini sendiri pun aku sudah Allah cukupkan sebenernya
tanpa aku mengharap lebih lagi gitukan ya, sudah cukup tenang. Jadi
intinya adalah, kalau misalnya seseorang yang menikah dan ternyata
itu membuat jiwa-jiwanya tenang itu nggak apa ya keinginan-
keinginan yang itu tuh akan bisa teredam sendiri. Dan akan lebih
mensyukuri dengan apa yang dimiliki saat ini. (Indah)
10. kalo saya mau melanjutkan ego saya sebagai alfa women, yang bisa
menghiduoi diri sendiri ya gak perlu laki-laki. Saya bisa sendiri. Tapi
ketika saya memikirkan, eee saya punya kebutuhan seksual, saya
butuh, butuh teman yang memang bisa diajak ngobrol sehari-hari
secara intim, ya saya memikirkan, ya eee saya butuh untuk menikah.
Lebih ke ini saja sih, saya alfa women, lebih banyak punya teman
cowok, saya tipe cewek bebas yang friends with benefit kemana-
mana, dan saya melakukan seks bebas secara eee apa namanya, secara
sehat, ya mungkin saja seperti itu. Bisa saja saya gak nikah. Cuma
kayaknya kalo memikirkan lagi, eee mungkin saya pikiran seksnya
itu yang komitmen dengan satu pasangan. Ya menikah. Kayak begitu.
Untuk masalah risiko kesehatan, kemudian masalah, mungkin kita
mempertimbangkan juga masalah eee ya itu tadi, teman sehidup
semati, klise sih, tapi sehidup sematinya tuh bener dan buat diskusi
bareng, ngomong intim, kayak gitusih. Saya butuh itu. Karena
memang kalo dengan teman-teman biasa atau teman-teman laki –
saya lebih deket ke teman laki-laki dari pada perempuan dalam
pertemanan, itu eee tetap ada batasan. Kita bisa dengan bebas itu ya
sama suami. (Karina)
Bagaimana Anda menyikapi perbedaan pandangan yang terjadi di antara
Anda dan orang tua?
1. Cuman mungkin aku melihatnya, rata-rata karena eee orang tua jaman
dulu, jaman mereka mungkin jaman dulu itu eee emang begitu
kebudayaannya kali ya. Eee kalo mama ku tuuh cerita, dia tamat SD
itu, dia kan tinggal di Pulau dulu. Jaman SMA itu udah lulus itu udah
termasuk sudah usia yang tua banget buat nikah. Jadi dia disuruh
nenek kakek saya itu buat langsung nikah dan dia kabur dari pulau
itu. Aku mikirnya mungkin memang orang-orang dulu itu, orang tua
kita, melalui masa seperti itu. Jadinya sekarang yang mereka
ngomongin ke anaknya adalah masa mereka dulu. Bahwa usia kamu
itu tua buat nikah. Tua banget malah. Mama dulu nikah usia segini.
Terus, apa kamu nggak mau nikah? Siapa nanti yang ngubur kamu?
Siapa nanti yang usia kamu 80 kamu mau ngapain? Kayak begitu-
lii
begitu. Mungkin apa, mungkin karena mereka melihat masa-masa
mereka. Padahal kan jaman sekarang eee media berkembang,
teknologi-teknologi berkembang, beda (dengan jaman dulu). Kita
tidak bisa menyamakan itu. Tapi mereka masih hidup disitu dan
membawa itu ke generasi anak-anaknya. Itu sih menurutku. (Ummu)
liii
Koding Matriks 2
STATUS: BELUM MENIKAH
Apakah Anda memiliki pasangan?
1. aku punya cowok soalnya (Ummu)
2. temen deket, kalo pacar engga. (Unge)
3. kalo yang deket banget sih nggak ada ya. Cuma ya memang kalo
teman-teman cowok aku itu banyak. Yang mau ngedeketin aku juga
ada. Cuma ya itu tadi, palingan ya yaudah berteman saja. teman haha
hihi saja begitu belum yang ke arah sana, yang serius banget belum
ada sih. (Nurvita)
4. enggak ada sih, gis.. (Yuti)
5. adaa... (Ade)
6. tapi ada yang lagi deket sih, dek (Fitri)
Bagaimana kriteria Anda dalam memilih pasangan?
1. kalo dari gue ya, yang jelas dia bisa jadi imam buat gue. Gue sih
kepengennya orang yang lebih dari gue. Artinya, bukan yang lebih
kaya dari gue, atau lebih ganteng gituu, bukan. Tapi lebih dalam
artian, apa yang gue nggak punya, ini orang punya. Misalnya, gue
minus dibidang apa, nah dia bisa disitu. Gue lebih cari orang yang
bisa ngelengkapin sih dibandingkan orang yang sama persis. Palingan
sama, oh! Komunikasi juga sih. kalo kriteria fisik sebenernya gue
nggak terlalu matter sih, walaupun pada akhirnya gue mikirin itu juga
ya. Cuma yang nggak terlalu ini banget gituu lah. Lebih ke personality
nya kalo gue. (Citra)
2. Tapi yang jelas, aku cuman pengennya suamiku itu punya pekerjaan,
pekerjaannya tetap lah jangan sampe masih kontrak atau apa. Karena
kita gatau kan di masa pandemi gini banyak pekerja kontrak yang
diputus, dan aku gamau itu kejadian di aku dan calon suamiku nanti.
Itu yang pertama. Yang kedua, bertanggung jawab. Sudah sih, segitu
saja. Pekerjaan tetap dan bertanggung jawab. (Lena)
3. kalo kriteria sih ya, yang pertama, seiman itu penting. Terus bisa
membimbing aku ke hal yang lebih baik, dalam segi agamanya juga.
Pedoman agamanya...eee maksudnya mengerti lah, maksudnya juga
bukan yang paham agama banget sih, nggak juga. Cuma maksudnya
mengerti dan paham dasar-dasar menikah itu seperti apa. Biar nanti
eee menikah itu kan ibadah seumur hidup aku. Aku juga ingin sosok
laki-laki yang mampu menghargai wanita, yang mengerti aku. Terus
juga jadi teman hidup aku, apapun. Jadi aku pengennya punya
pasangan yang bisa mengerti, bisa menerima segala kekurangan aku,
bisa selalu sama-sama sama aku apapun kondisinya. Ya memang
punya satu tujuan yang sama lah untuk hidup yang lebih baik. karena
ya kenyamanan itu penting menurutku dan saling mendukung
nantinya..(Yuti)
4. eee sebenernya kalo ngomongin yang dulu gituu ya. Ya saya maunya
yang pekerja keras, ya standar lah. Pekerja keras, terus bertanggung
jawab. Dan dari awal itu saya bilang, nggak suka cowok yang
liv
mengekang. Karena saya bukan tipe orang yang suka dikekang. Saya
akan nurut kalo misalnya itu menurut saya harus dituruti. Tapi kalo
misalnya kayak disuruh begitu kayak jadi males duluan. Makanya
ketika ketemu yang itu, yang sudah jelas-jelas dari awal nggak boleh
(lanjut S3). Dan sebenernya omongan saya izin sekolah itu,
setelah...mmmm gimana ya. Jadi sebelum-sebelumnya itu, kita
memang sudah sempet kayak berbeda pendapat gituu. Kayak dia itu
nyuruh aku kayak gini gini gini. Nah, itukan saya kan nggak seneng
ya. Sebenernya saya itu sudah tahan-tahan itu pas itu. Tapi, oh ya
sudah lah mungkin itu nanti bisa menyesuaikan. Tapi ketika dia sudah
bilang gak mau yang melanjutkan kuliah mmm apa (tertawa)
menuntut ilmu dunia lebih tinggi dari pada menuntut ilmu agama.
Saya ok, yaudah. Dari pada diterusin dan akhirnya saya gabisa kuliah,
gitukan. Toh kan apa-apa nanti harus izin suami kalo sudah menikah
kan. (Intan)
5. jadi dia mintanya yah minimal pendidikannya setara sama lu, dia s1
lu s1 silahkan, kerjanya apa ya terserah, kalo di jakarta kan minimal
mah kerja tuh ngantongin 5 juta sebulan kan.. kalo masalah mau
keturunan darimana si mereka ga mempermasalahkan, karena
kebetulan istrinya dia juga orang Jawa kan, jadi yaudah kalo masalah
suku its okey, cuman pendidikan nomer 1, akhirnya karena aku juga
seorang pemikir, emang nalar aku akan kayak gitu, beda emang cara
didik orang yang berpendidikan sama yang engga, emang engga
semua tapi rata-rata kayak gitu. (Unge)
6. eeeemm sebentar. Kalo aku sih dulu, menarget, bukan menarget juga
bukan cari orang yang kayak, setipikal saja kayaknya diobrolan
bakalan nyambung. Bukan yang apa ya, eee tahu nggak sih, istilahnya
matiin suasana. Kayak begitu saja sih. Yang nyambung obrolannya.
Jadi kayak teman, kayak sahabat begitu. (Ummu)
Bagaimana peran orang tua dalam menentukan pasangan Anda?
1. kalo deket sama siapa aja sebagai teman ga masalah, cuman kemaren
terakhir aku ada pernah pacaran sama dari etnis Jawa, kebetulan
pendidikannya hanya sebatas SMA, om aku ga setuju, karena
alhamdulillahnya keluarga aku semua berpendidikan, ya yang sukses-
sukses di Jakarta sana semuanya berpendidikan, apalagi aku dari kecil
gaada ayah gaada orang yang ngebimbing aku selain opah aku, jadi
dia mikir lu butuh cowo yang bener-bener bisa ngedidik lu bisa
ngejagain lu sampe mati nanti, jadi dia mintanya yah minimal
pendidikannya setara sama lu, dia s1 lu s1 silahkan, kerjanya apa ya
terserah, kalo di jakarta kan minimal mah kerja tuh ngantongin 5 juta
sebulan kan.. kalo masalah mau keturunan darimana si mereka ga
mempermasalahkan, karena kebetulan istrinya dia juga orang Jawa
kan, jadi yaudah kalo masalah suku its okey, cuman pendidikan
nomer 1, akhirnya karena aku juga seorang pemikir, emang nalar aku
akan kayak gitu, beda emang cara didik orang yang berpendidikan
lv
sama yang engga, emang engga semua tapi rata-rata kayak gitu.
(Unge)
2. Kan ada tu orang tua yang anaknya belum nikah terus dicari-cariin.
Nah orang tua saya justru nggak. Soalnya takutnya kalo dicariin
kitanya nggak cocok nanti kesalahan jadi dari orang tua. Jadi,
mendingan kamu yang tahu yang bikin kamu nyaman itu bagaimana
begitu kan. Yaudah carilah sendiri. Nanti kalo misalnya sudah yakin.
Kayaknya sudah ini ini, sudah pas begitu ya. Baru deh minta pendapat
orang tua. Orang tua saya begitu sih tipenya.
Aku itu dulu pernah begitu minta dicariin terus mama ku malah
bilang, “ah nanti kamu malah nggak sreg lagi”. Karena ibu saya itu
tahu saya itu gimanaa ya, sebenernya dibilang pemilih banget itu
nggak cuman ya itu pilihannya suka aneh-aneh. Kayaknya gituu ya
dari pada nggak sreg gitukan terus uring-uringan, yaudah ibu nggak
pernah (cariin) sih. lagian sudah besar ini. (Intan)
3. Terus ada juga sih beberapa orang juga yang jadinya mau ngenalin
aku, begitu sih gis. (Yuti)
4. perrrnaaahh!!! Dan itu 2 kali. (Citra)
Apakah Anda mendapat desakan dari orang tua untuk segera menikah?
1. Cuman, karena, kalo dari segi posisi saya adalah anak pertama. Anak
pertama perempuan (tertawa) di keluarga, usia segini (belum
menikah) itu menakutkan bagi semua orang (tertawa). Jadi, sudah
mulai apa, selalu diteror hampir setiap hari untuk disuruh nikah. Aku
pribadinya memang gak mau, belum mau. Cuman keluarga tuh, kalo
bisa secepatnya. (Ummu)
2. oh engga, paling cuman dibercandain doang mau nikah lo? Ah ga
sekarang ah, ntar aja aku bilang. Waktu aku kerja di Jakarta kan ya,
om aku kan kayak gitu. Lu umur segini ga kepikiran nikah? Etapi abis
itu dibantah lagi sama dia, eh tapi ngapain nikah cepet-cepet ya, tante
lu aja nikahnya umur 30 lebih, haha. (Unge)
3. nggak ada sih, nggak ada. Alhamdulillah kalo dari keluarga saya,
kayak keluarga papa mama itu nggak ada. (Intan)
4. alhamdulillah enggak ada sih, Gis. (Nurvita)
5. sebenernya kalo mama ku sih eee kalo suruh cepet-cepet sih nggak
ya. palingan apa ya...nggak sih nggak disuruh cepet-cepet nikah.
Paling kalo misalnya ada yang tanya (kapan nikah) ya doain, minta
doanya. Begitu sih. Tapi kalo misalnya ngobrol secara langsung
berdua, terus tanya “kapan?”, “kapan kamu mau nikah?” itu nggak sih
kalo orang tua ku. (Yuti)
6. kalo dari orang tua aku sih waktu dulu iya (ada desakan). Waktu aku
umur berapa ya...mmm aku kan sudah satu tahun ini nggak ada pacar.
Sebelumnya aku ada (pacar). Jadi, satu tahun yang lalu itu kita sudah
break up, nggak pacaran lagi. Dulu waktu masih pacaran itu ya
didesak buat cepet-cepet nikah. “ngapain sih pacaran lama-lama, kan
sudah punya pacar ini sudah buruan nikah” kayak begitu sih. Tapi
lvi
setelah putus, sekarang sih nggak (tidak didesak). Jadi yaudah jalanin
saja, begitu. (Lena)
7. sebenernya orang tua gue nargetin gue nikah maksimal 25. (Citra)
8. Sebelumnya iya, seperti itu. Sebelumnya sangat seperti itu, karena
kebetulan aku anak pertama. Aku anak pertama, adekku 3, dan
kebetulan perempuan semua juga. Adekku yang kedua, eh adekku
yang paling gede maksudnya kan kembar kebetulan. Dan memang
seusia sih sebenernya. Jadi yang dipikirkan sama orang tuaku adalah
kamu tuh cepetan! Kamu punya adek gadis juga. Jangan sampe yang
namanya, ya janganlah, kalau bisa dibilang, janganlah sampe
dilangkahin adek, kayak gitu, kan. Kamu harus lebih dulu! Mama juga
nggak mau kalau kamu misalnya dilewatin sama adekmu. (Ade)
Apakah Anda pernah merasa khawatir dengan status Anda saat ini?
1. buat sekarang engga sih. Tapi aku pernah baca artikel, katanya, di usia
35 tahun kalo perempuan belum menikah itu kamu sudah harus
khawatir. Dan buat aku jadi mikir, “iya juga ya, kalo usia aku 35 dan
aku belum menikah, kayaknya aku mesti khawatir sih”. Di negara-
negara lain juga begitu kan, kayak di Korea, di Barat juga begitu kalo
usianya 35 terus belum menikah, mereka juga khawatir. Tapi kalo
misalnya di bawah itu, mereka belum khawatir, santai saja. kan juga
mikirnya usia 20an sampe 30an 33 34 lah masih usia produktif begitu.
Nah, kalo sudah 35 atau di atasnya gituu kan kita sudah cukup berusia
ya dan produktifitas kita sudah menurun eee berkurang lah semuanya
begitu. Mulai dari kesehatan dan segala macamnya berkurang lah
makanya kita perlu seseorang buat ngejagain kita. Jadi aku mikirnya,
“ah, iya, nanti kalo usiaku sudah 35 aku sudah harus khawatir”. Aku
juga sudah mikirin kan, aku mau S2 dulu dan itu dibutuhkan waktu
kurang lebih 2 tahun. Abis itu aku mau kerja lagi.. jadi ya, menikah
itu masih panjang banget deh buat aku kesananya. (Lena)
2. (khawatir karena omongan tetangga) iya lebih kesitu, gis. Pastikan
nanti mereka kayak banyak tanya “ini kenapa aku dilangkah?”,
“adeknya kenapa nikah duluan” kayak begitu kayak begitu yang
sebenernya bikin aku sedih pas tahu adek ku mau menikah. Tapi ya,
aku bahagia juga dia menikah. (Yuti)
3. iya pasti. Pasti sih, khawatir banget hahaha. Apalagi kalo teman-
teman yang nikah memang yang seumuran aku ya. kayak teman-
teman dulu yang satu SMP SMA. Pasti adalah rasa kahwatir aku,
“aduh dia sudah married, sudah punya anak dua” gitukan. Teman-
teman aku itu ya, yang rata-rata seumuran aku itu minimal banget
anaknya rata-rata sudah dua hahaha. Ada juga sih yang sudah married
tapi belum punya anak, ada. Bahkan ada sepupu aku yang di bawah
aku, anaknya sudah tiga. Ya seneng saja sih, ngeliat sudah pada punya
anak, “oh, iya, dia sudah punya anak”. Cuman, kalo ke diri sendiri
antara pengen tapi juga sama belum ready begitu hahaha. (Nurvita)
4. mmm pernah sih. sempet kepikiran begitu. Cuma ya buru-buru
langsung dialihin lah. Saya juga kan pekerjaannya banyak. Lagi
lvii
kuliah juga. Dan kerja juga kan. Jadi, kayak ketutup (lupa). Dan
kebetulan juga ada teman deket yang memang dia juga belum nikah.
Jadi kita kayak sama-sama mensupport gitulah. (Intan)
Apa saja yang akan Anda bicarakan pada pasangan sebelum
memutuskan untuk menikah?
1. mmmm keuangan sih. nanti gimana, kalo misalnya sudah menikah
apakah...eee jadikan ada yang uang suami jadi uang istri atau mungkin
sendiri-sendiri. Atau bisa juga uang istri jadi uang bersama. Itu
menurutku penting dan harus dibahas sih. terus nanti setelah menikah
itu istri boleh kerja atau nggak. Terus kayak kesepakatan-kesepakatan
misalnya nanti pembagian kerja rumah tangga kayak gimana. Itu
penting juga loh dibahas, karena ada yang dulu mungkin singlenya
dia biasa nggak megang pekerjaan rumah. Bisa jadi di rumahnya ada
ART. terus ketika menikah, si suaminya bukan tipe yang
mengandalkan ART, gitukan. Nah, itu harus dibahas. Terus mau
tinggal dimana. Apakah di rumah mertua atau di rumah sendiri. Terus
eee ada hutang atau tidak sebelum menikah. Jadi maksudnya jangan
sampe kita baru tahu kalo suami kita ternyata banyak hutang sebelum
menikahnya, atau kebalikannya. Terus ya ntar gimanaa nanti
kehidupan setelah pernikahan. (Intan)
2. yang penting itu kan validasi buat aku ya. dia orangnya gimanaa,
seperti apa. Selain itu, agama penting banget juga buat aku. Seiman.
Kedua, kalo dari perilaku dan lain-lain kita bisa liat attitude dan
manner dia. yang kecil-kecil dulu deh, kayak misalnya orangnya
sopan apa nggak, terus dari cara dia ngomong itu juga gimanaa. Kalo
buat yang tanya dia langsung, palingan kayak, kasarnya ya, “lo sudah
siap belum hidup susah dan seneng sama gue?” jadi bukan senengnya
doang. Dia sudah siap apa belum. Sama, “yaudah kalo sudah sama
gue, lo jangan lagi tengok kanan kiri”. Jangan sampe menduakan lah.
(Nurvita)
3. keterbukaan sih. menurutku kepercayaan itu penting. Banyak sih ya.
kan, kalo pacaran kan belum tentu kita tahu semuanya tentang dia.
palingan sih, kayak, “kamu punya tanggungan nggak ini saat ini?”,
kalo misalnya ada, dibicarakan dulu tanggungannya apa. Terus,
“finansial kamu bagaimana, sudah cukup atau belum?”, kita kan
bakalan ngejalanin berdua. Terus “kita tinggal dimana?”, mau tinggak
ngontrak kah, tinggal sama orang tua kah. Terus juga obrolin tentang
kerjaan, “kamu ini mau nya aku full jadi ibu rumah tangga atau boleh
bekerja?” (Yuti)
4. yang pertama itu, kita harus jujur ya. sebelum menikah kita punya
apa, dia punya apa. Terus beban dan tanggung jawab kita sebagai
anak. Nggak mungkin kita gapunya beban dan tanggung jawab sama
orang tua kan. Apalagi kalo calon pasangan kita punya adik. Atau kalo
misalnya dia gak punya orang tua, dia punya beban dan tanggung
jawab apa selain itu. Jadi kan, kita harus tahu itu dari situ. Ya intinya,
dia bisa bertanggung jawab atas tanggung jawab yang dia punya, tidak
lviii
melepaskan tanggung jawabnya dia sebagai anak, ya ayok nikah. Tapi
kalo misalnya dia nikah tapi harus melepaskan tanggung jawabnya
sebagai anak, ya aku mikir 2 kali. Karena aku punya orang tua kan,
punya adik-adik juga yang sebagai uangku juga aku kasih ke mereka.
Jadi ya itu, ketika dia harus memberikan uangnya ke orang tua, aku
harus tahu dan sebaliknya. Transparan ajalah kita sebagai pasangan.
Gitusih. (Lena)
5. eee lebih ke ini sih nanti, yang biasa kita obrolin kayaknya, apa ya,
eee mau – emm enggak, mau tinggal dimana, atau ke depannya
rencananya seperti apa? Begitu-begitu aj asih. Yang apa yang umum
dibicarakan. Berat ya. Itu saja sih. Nggak ada yang terlalu gimanaa-
gimanaa. Mungkin karena kaunya santai atau gimanaa. (Ummu)
Setelah menikah, apakah Anda masih berkeinginan untuk bekerja dan
berkarir seperti saat ini?
1. gue masih kepengen tetap kerja. (Citra)
2. sebenernya aku sih fleksibel ya. sedapetnya saja nanti. Kalo misalnya
dari pasangan aku dia mau aku tetap bekerja, ya aku kerja. Tapi kalo
nggak dikasih kerja, ya nggak papa aku nggak kerja juga. Tapi
sebenernya kalo dari aku pribadi sih aku maunya fokus ke keluarga.
Jadi kepengennya aku nggak kerja lagi kalo misalnya nanti aku sudah
punya suami. (Lena)
3. kayaknya sih aku kalo sudah punya anak pengennya full jadi ibu
rumah tangga saja deh, gis. Ingin lebih fokus ngurus anak dan
keluarga saja sih sebenernya. (Yuti)
4. insya Allah kalo masih ada kesempatan dan masih kuat secara fisik
juga, aku sih kepengennya masih tetap kerja. Ada sih ya beberapa tipe
suami yang ngizinin istrinya kerja ada juga yang nggak. Tapi kalo
misalnya aku dapet suami yang ngizinin aku tetap boleh kerja, ya
Alhamdulillah, aku bakalan kerja. Sambil membangun yang sudah
ada. Aku kan berkarir, ya aku lanjutin karir aku. Bukan berarti
menikah malah buat aku tinggalin karir, begitu sih, Gis. (Nurvita)
5. kalo dosen, iya. Mungkin, saya akan mohon gituu ya sama calon saya,
tolong jangan halangi saya untuk menjadi dosen. Dosen disini, di
kampus tempat saya sekarang ngajar kebetulan nggak terlalu padet
sebetulnya. Jadi, dosen bisa dateng pas jam ngajar saja atau kalo pun
memang harus dari pagi sampai sore tapikan nggak full (tiap hari)
begitu. Sebenernya pekerjaan rumah tangga pun mungkin masih bisa
ke handle walaupun sudah menikah. Jadi, ya kalo bisa sih jangan lah
di stop (pekerjaan dosennya). Karena maksudnya eee saya itu tipe
yang kalo misalnya di rumah terus itu mumet. Yaa dari pada saya
mood-mood-an, moodnya nggak bagus, ya mendingan akunya
dibebaskan lah. (Intan)
Apakah Anda sudah menentukan di usia berapa Anda akan
menikah?
1. enggak sih, semenjak kejadian yang itu saya sudah nggak pernah ada
target-target mau nikah usia berapa-berapanya. Kalo misalnya
lix
ketemu, pas, cocok, ya ayok. Tapi sih memang sebenernya karena
kuliah ini saya agak khawatir justru kalo menikah. Karena, jurusan
saya kan ke arah science ya yang harus ngelab penelitiannya. Nah, itu
saya takut lebih ke anak begitu kan. Kan kita kalo punya anak kecil
itu pengennya harus selalu ketemu. Sebenernya saya agak khawatir
kalo misalnya saya ketemu jodohnya sekarang karena saya masih
harus ngelab. Maksudnya gini, kalo menikahnya nggak (khawatir)
tapi kalo punya anak itu saya maunya sudah dalam keadaan selesai
kuliah. Mungkin kalo kerja sambil punya anak masih bisa. Karena kan
tadi ya, saya kerjanya dosen, dan dosen kerjanya nggak terlalu sibuk.
Kalopun sibuk sebenernya bisa kita kerjakan di rumah. Misalnya
kayak buat paper atau apa begitu sebenernya itu bisa dikerjakan di
rumah sambil ketemu anak. Tapi, kalo penelitian di lab itukan nggak
mungkin bawa anak kecil kan. Ya itu sih sebenernya. Makanya saya
nggak terlalu buru-buru ya karena itu. Saya masih harus kuliah, masih
penelitian, yang kayaknya kalo saya punya anak justru saya khawatir
anak saya nggak keurus. (Intan)
2. Nah, kalo sudah 35 atau di atasnya gituu kan kita sudah cukup berusia
ya dan produktifitas kita sudah menurun eee berkurang lah semuanya
begitu. Mulai dari kesehatan dan segala macamnya berkurang lah
makanya kita perlu seseorang buat ngejagain kita. Jadi aku mikirnya,
“ah, iya, nanti kalo usiaku sudah 35 aku sudah harus khawatir”. Aku
juga sudah mikirin kan, aku mau S2 dulu dan itu dibutuhkan waktu
kurang lebih 2 tahun. Abis itu aku mau kerja lagi.. jadi ya, menikah
itu masih panjang banget deh buat aku kesananya. (Lena)
STATUS: SUDAH MENIKAH
Bagaimana proses bertemu dengan pasangan?
1. heeh dikenalin sama orang tua. (Indah)
2. karena kebetulan eee saya ketemu suami saya umur 26. Sebenernya
suami saya itu teman saya, lama banget, gitukan. s1 nya kita
berbarengan emangnya. Dan dia memang sahabat saya sih, jadi, satu
circle, gituu. (Scha)
3. oh dia, dia fans radionya aku waktu masih kuliah waktu itu.
(Yuniarti)
4. .. aku nikah sama anaknya Bu Eri. Mantan dosen di BK juga. Suamiku
anaknya beliau. Nah, akhirnya aku taarufan diakhir Desember 2019.
Ya istikharah lah aku. 2019 Desember aku kenalan, Februari kita
nazhar, terus Maretnya kalo nggak salah kita lamaran deh. terus April
aku nikah. (Ayu)
Bagaimana kriteria Anda dalam memilih pasangan?
1. eee yang jelas nggak ngerokok yaa. Terus eee solatnya di masjid. Ya
sayang keluarga eee maksudnya sayang sama aku sama sayang sama
keluargaku juga. Terima semua kekurangan dan kelebihan aku. Sudah
lx
sih palingan itu saja. oh, terus... harus sevisi ya. Dalam agama juga.
Bisa saling melengkapilah begitu. Terus sama-sama suka ke kajian.
Sama-sama mau belajar agama. (Ayu)
2. ya kalo aku kliknya adalah sama orang yang eee aku bisa ajak diskusi.
Jadi kalau nyambung tektokan aja sih sebenernya. Karena dengan
orang yang bisa diajak diskusi, segala sesuatu bisa dibicarakan.
Misalnya ada masalah kah atau apakah. Jadi nggak Cuma sekedar
pinter, nggak Cuma sekedar wawasan luas, nggak sekedar Cuma ini.
Kalo misalnya dia pinter, wawasannya luas, tapi dia gabisa diajak
ngobrol begitu, gabisa diajak berunding istilahnya. Oh, itu jadi...kalo
aku nggak cocok. Nah, Ini aku temui dalam diri suami aku sekarang.
(Indah)
Bagaimana peran orang tua dalam menentukan pasangan Anda?
1. ya tipikal orang tua juga sih sebenernya. karena orang tua pasti selalu
mencarikan. Coba kenalin sama si A, oh belum cocok, yaudah
enggak. Terus kenalin sama si B. Aku juga bukan tipikal yang nyerah
juga. Oh nggak cocok, yaudah kita coba lagi sama yang lain. Nggak
cocok lagi, coba sama yang lain lagi (tertawa). Itu, jadi saling-saling
antara orang tua dengan aku. Jadi orang tua juga aktif dan akunya juga
nggak, nggak, nggak menolak untuk dicarikan, gitusih kalo istilahnya.
(Indah)
Apakah Anda mendapat desakan dari orang tua untuk segera
menikah?
1. enggak ada sih. Soalnya saya menikah juga di umur yang memang
sesuai sama rencana hidup saya. Dan orang tua saya masih
menganggap itu normal lah, begitu. Kalo saya, belum nikah-nikah
umur 31 32 baru deh kayaknya orang tua saya mulai, mulai agak ribut
mempertanyakan. (Karina)
2. ada. Ada...ada dong. (Indah)
3. tidak, tidak ada. (Yuniarti)
4. nggak ada sih, nggak ada. Alhamdulillah kalo dari keluarga saya,
kayak keluarga papa mama itu nggak ada.. Karena orang tua juga
nggak menuntut ya. Alhamdulillah orang tua nggak menuntut. (Scha)
5. iya ada. Dulu, mamaku tu dulu waktu mau detik-detik sakit itu sampe
mengkhawatirkan aku juga. Aku belum menikah. “Takutnya mama
sudah nggak ada gini gini segala macam”. Ya adalah pasti desakan
mah. karena menurutku setiap orang tua ngerasa (khawatir) kayak
begitu juga sama anaknya. (Ayu)
Saai itu, apakah Anda merasa khawatir dengan status Anda yang
belum menikah?
1. mmm awalnya, sebelum hijrah iya, ya (khawatir dan takut). Sebelum
hijrah tu kita ngeliat teman-teman, satu-satu di Budi (RS. Budi
Kemuliaan) sudah pada nikah. Palingan sudah 3 orang waktu itu yang
belum menikah. 3 4 orang lah. Terus lama-lama, yang misalnya
menurut kita, “ih,” ternyata dia sudah duluan. Padahal kita mikirnya,
“kayaknya dia bakal belakangan, deh” eh ternyata dia duluan dong
lxi
(tertawa). Kan kita mikirnya, kita nggak pernah ngeliat dia pacaran,
nggak pernah cerita-cerita. Orangnya tomboy lah, gituu. Tahu-tahu
sudah duluan kan. Nah dari situ ada perasaan khawatir juga. “waduh,
kalo sudah kayak gini kan bingung mau main kemana juga. Kalo mau
ngubungin juga takut ngeganggu gitukan”. Ya terus, lama-lama kita
belajar agama kan, yaudah akhirnya perbaiki diri saja terus. Kan kalo
kita perbaiki diri, Allah kan juga pasti akan kasih (jodoh) gituu.
Pikirku kalo nggak dikasih di dunia ya di akhirat dikasih. Selama kita
berusaha, ikhtiar, tawakal, yaudah perasaan itu ilang. Jadi nggak
panik lagi kalo ditanya orang-orang kapan nikah kapan ini ini ini.
“Makanya jangan terlalu punya kriteria pasangan yang terlalu
tinggi.”, “cari apalagi sih” dan segala macemnya. Yaudah, kalo ada
yang kayak begitu sekarang disenyumin saja sama ya minta doanya
saja deh. kadang ada yang ngenalin gitukan. Tapi ya memang belum
cocok kan. (Ayu)
2. oh pasti. Pasti. Pasti ada kekhawatiran. Karena aku bukan orang yang
eee aku bukan orang yang tipikal eee apa namanya, kalo sekarang kan
perempuan banyak yang dia lebih ke karir, begitu. Itu mungkin
pengalihan begitu ya, dengan karir. Kalo aku sih enggak begitu
malahan biasa saja orangnya (tertawa). Jadinya aku juga bukannya
yang eee apa namanya, (aku) orangnya biasa-biasa saja. jadi nggak,
nggak, akhirnya aku, menekuni sesuatu yang akhirnya aku jadinya tuh
sampe melupakan ini gitukan. Dalam tanda kutip ya, menikah. Aku
itu enggak (tidak tenggelam dalam karir). Justru aku takut (untuk)
menekuni sesuatu begitu. Aku punya temen-temen gitu kan di
komunitas, bukan komunitas sih, ya komunitas semacam itulah ya
untuk untuk bisa, mungkin ya, kalau aku mau itu aku akan nyemplung
disitu total dan mungkin juga aku akan, akan apa, akhirnya akan
terlupakan begitu segala kegelisahan, segala ke apa namanya
kepikiran itu kan ya. Tapi justru aku gamau itu aku nyemplung ke
kegiatan yang memang bikin aku lupa untuk menikah. Ngerti gak?
(Indah)
Apa alasan Anda memutuskan untuk menikah?
1. Karena teman-temennya sudah pada nikah semua. (Yuniarti)
2. eee kalo strategi ngomong-ngomong sama orang tua yaaa, kan sudah
tahu saya pacaran nih, kemudian eee seperti, eee aku serius, ya
nyampein ke orang tuanya ya, sepertinya aku serius sama anak ini nih,
atau sama cowok ini, kayak begitu. Kan pasti (tanggapan orang tua)
oh ya, memang sudah serius? Memang sudah dipikirin? Pasti akan
ada pertanyaan dari orang tua, emang sudah dipikirkan? Rencana
kedepannya bagaimana, akan tinggal dimana? Finansialnya seperti
apa. Ketika kita bisa menyajikan jawaban-jawaban tersebut secara
pasti, ya lolos lolos saja, kayak begitu. Apakah kamu yakin dengan
sifat-sifatnya? Ketika kamu bisa menjelaskan bahwa kamu yakin
dengan sifat calon suami kamu, ya orang tua saya sih, eee lolos lolos
saja. (Karina)
lxii
3. kalo mau memutuskan menikah di usia segitu mah enggak ya. Karena
memang eee not mind goals gitukan awalnya. Karena semua orang
akan menikah. Nggak, nggak pasti sih. gimana ya, eee fase ya fase.
Saya sih menganggap semua fase ada yang memang mau, ada yang
memang enggak. Ada yang akan menjalaninya, ada yang nggak.
Cuman, kalo saya, kalo pun, gini sih mindsetnya kalo memang, oh
kalo perempuan nggak punya contoh, expired. Kalo perempuan akan
jadi, apa namanya, kalo nggak segera menikah, tuh, apa sih.. Jadi,
akhirnya memutuskan menikah umur 30an karena kebetulan eee saya
ketemu suami saya umur 26. Sebenernya suami saya itu teman saya,
lama banget, gitukan. Cuman akhirnya kita memutuskan pacaran itu
umur 26 terus, oh yauda deh, serius saja yuk. Terus tahu-tahu eh
nikah. Sudah deh (tertawa). Terjadi begitu saja dengan lancar. (Scha)
Bagaimana Anda dan pasangan mendiskusikan tentang pernikahan?
1. pertama sih, visi misi pernikahan ya. Terutama dalam hal agama ya.
misalkan agamanya sudah sejalan eee terus untuk menuju pencapaian
apa yang kita tuju selama menikah ke depannya juga. Kalo misalnya
sudah sama, ya sudah menurutku lanjut (menikah). (Ayu)
2. banyak ya sebenernya (tertawa). Jadi itu memang, memang yang isu-
isu sensitif itu harus dibahas diawal dulu. Kayak finansial, atau kayak,
nanti kita kalo nikah siapa yang mau nanggung hidup. Apakah pure
yang cowok saja, atau yang cewek boleh ngebantuin. Atau, ya sudah
sendiri-sendiri atau gimanaa itu harus diobrolin. Terus kayak
misalnya mau punya anak apa nggak. Mau langsung punya anak apa
nggak, itu juga (diobrolin). Mau punya anak berapa. Terus misalnya
nanti kalo menikah, mau tinggal dimana. Eee mau tinggal di orang tua
atau mandiri. Atau misalnya mau ngontrak atau gimanaa. Itu harus
diomongin. Jadi memang, kalo mau nikah itu kita gabisa cuman aku
cocok, kamu cocok, oke, kita nikah. Nggak bisa begitu. Jadi, memang
bekalnya, awlanya harus diomongin dulu yang isu-isu sensitif. Terus
juga misalnya kayak value, apa ya, value itu semacam nilai-nilai yang
dianut. Kayak misalnya nanti mau membesarkan anak dengan cara
seperti apa, bukan metode atau secara teknis ya, tapi kayak, gimana
ini kita mau membesarkan anak, dengan apa. Value apa yang mau kita
berikan. Apakah dengan dikasih sayang atau ada juga kan yang kita
harus keras sama anak, nggak boleh begitu-begitu. Kan ada yang
seperti itu. Nah itu tuuh harus diomongin. Sebenernya banyak banget
sih. oh, terus, masalah preferensi seks juga penting itu. Karena, orang
kan kesannya kadang tabu, ya, takut untuk diomongin. Nanti takut
kalo begini-begini. Ada juga mungkin yang eee biasanya tuuh yang
minder cewek-cewek. Kayak, eee kita nggak menutup bahwa
fenomena sekarang perilaku seksual sebelum menikah itu sudah
banyak. Ya itu banyak cewek-cewek yang minder, kayak, aduh, nanti
kalo misalnya suami ku tahu aku nggak perawan gimanaa ya? Jadi
tuuh takut diomongin. Terus akhirnya nanti ketika sudah menikah,
baru tahu, akhirnya malah bikin marah. Padahal kan sebenernya
lxiii
masalah perawan nggak perawan kan bukan sesuatu – kalo saya ya,
bukan sesuatu yang harusnya jadi masalah dalam pernikahan. Ketika
kita sayang – aku sih, menerima secara utuh maupun dia kondisinya
kayak begitu. Nah, laki-laki yang sayang kan juga nggak akan
mempermasalahkan hal itu. Masalahnya kan bukan cewek doang
yang melakukan perbuatan seksual di luar nikah. Kan yang cowok
juga. Cuman nggak ada bekasnya saja istilahnya begitu. Itu juga perlu
diomongin. Ya hal-hal yang sensitif-sensitif kayak begitu harus
diomongin. Terus juga kayak misalnya agama. Apakah nanti kalo
misalnya – karena kita misalnya agama sudah sama saja kadang tuuh
tetap ada perbedaan ya. Misalnya islam begitu, kan ada yang
mahzabnya beda. Itu harus make sure dulu itu. Kalo nggak nanti yang
satu NU, yang satu Muhamadiyyah. Ada saja yang bikin beda. Itu tuu
bisa jadi berantem. Karena orang tuu kalo sudah nikah, sumber
peliknya itu bukan sesuatu yang besar. Dan sumber perceraian itu
justru bukan sesuatu yang besar, loh. Bukan kayak masalah warisan,
masalah pelakor, begitu-begitu, bukan. Nggak tahu sih, ya, taoi
menurut saya fenomenanya, base on science nya itu kayak, justru
lebih sering orang memutuskan bercerai karena hal-hal kecil yang
nggak diomongin. Misalnya, perbedaan perilaku, perbedaan habit.
Dia (suami) tidurnya ngorok, nggak suka suami tidur ngorok. Yang
kayak begitu-begitu lah. Hal-hal kecil tapi nggak diobrolin. (Scha)
3. Untuk ngomongin pekerjaan sendiri di awal sih enggak. Karena
memang dia tahu dari awal kalo aku ini sekarang eee ya seorang aku
yang ini saja (dosen). Jadi, dia sih, tahu ya profesi seorang dosen itu
tuh, apa namanya nggak mudah gituu ya. Jadi sudah tahu dari awal.
Dan nggak ada pembicaraan. mungkin ada (pembicaraan) kalau bisa
sih pekerjaannya deket dari rumah itu saja. cari kampus yang dekat
rumah yang ditempatin gitukan ya. Kalo sekarang kan kita di rumah
mertua di Depok. Berarti cari kampus yang dekat-dekat sini. Biar
lebih deket ke rumah. Biar nggak capek. kan ada anak yang diurus
dan segala macam itu kan. Itu saja sih. Jadi enggak ada pembicaraan
secara khusus di awal, nggak ada. Karena memang taunya dari awal
akunya pekerja, tapi bukan pekerjaan yang di kantoran. Maksudnya
yang biasa gituu ya. Kan heeh, rintisan awalnya itukan pelan-pelan
gitukan. Dan itu sama suami sih diterima. Cuma masalah tempatnya
saja palingan. Suami maunya kalo bisa kerja yang deket-deket rumah
saja. (Indah)
Apa perbedaan yang Anda rasakan sebelum dan sesudah menikah?
1. ya apa ya, kalo sebelum nikah ya mikirin diri sendiri. Kalo misalnya,
sebagai perempuan ya kalo sudah menikah, sebagai perempuan ada
pikiran tambahan. Pikiran tambahan melayani suami, eee dalam
bentuk entah itu seksual atau entah itu untuk makanan, entah itu
dalam hal eee apa ya namanya, kewajiban, kayak pekerjaan rumah
tangga, kayak begitu. Which is, bebannya jadi bertambah. Kalo dulu
kan mikirin diri sendiri, semua dipenuhi orang tua. Kalo yang
lxiv
sekarang ya beban itu sudah di diri sendiri akibat konsekuensi
menikah. (Karina)
2. eeee apa ya, bedanya itu tadi, yang hingar bingar kehidupan
(misalnya) party, begitu-begitu itu enggak. Jadi, hidup sebelum
menikah dan setelah menikah itu rasanya nggak jauh berbeda karena
saya juga merasa nggak terlalu banyak part of my life yang berubah
setelah menikah. Paling, tentu saja ada penyesuaian ya. Namanya juga
menikah, beda status. Jadi semakin ada peran istri. Sekarang sudah
punya suami, sudah punya tanggung jawab lebih. Punya jawab-
tanggung jawab yang memang harus ditunaikan, kayak begitu.
Cuman kalo yang habis nikah itu gabisa pergi kemana-mana, gabisa
main sama teman, kehilangan kehidupan itu nggak sih kalo saya.
Cuma kalo saya tipenya kebetulan yang eee sukanya itu, me timenya
itu sendirian, begitu kan ya. Jadi itu, sometimes kalo misalnya sudah
capek banget sama kerjaan, lagi banyak, entah lagi banyak presure,
atua kayak apa-apa. Jadi, sometimes itu, eee jadi ketika suami saya
pergi, gitukan, pergi main atau kemana, saya malah (itu waktunya)
saya me time, saya bisa di rumah sendirian nggak ngapa-ngapain atau
bersih-bersih rumah. Itu kerasa banget sih. jadi kayak butuh lebih
banyak space untuk diri sendiri. Kan kalo masih hidup sendiri, ya
bebas. Tapikan kalo menikah, kita gabisa kayak begitu. Aduh, aku
mau sendiri ini, jangan ganggu ya. Kan gabisa kayak begitu. Bisa sih,
cuman kan harus disampaikan dengan cara yang tidak menyinggung
pasangan. (Scha)
3. mmm banyak yaa. Yang pasti, mungkin dulu sifat keibuannya kurang
sekarang jadi belajar ya ternyata punya anak sendiri itu mesti begini
begini begini. Sama halnya juga jadi istri. Harus bisa membagi waktu
lah. Jadi istri, jadi ibu, jadi mantu, jadi adik ipar. Terus eee apa ya,
lebih bisa mengendalikan emosi dan lebih bersabar, gitusih. Dan bisa
apa ya, eee cari banyak pahala ya setelah menikah. Dan itu sih, lebih
memanfaatkan waktu saja. beda sama waktu masih sendiri.
oh me time. Menurutku ya, mungkin semua orang akan mengalami
hal itu ya. waktu untuk mereka sendiri akan berkurang. Pasti ada.
Tapikan di balik itu semua, sebelum kita menikah, ya secara ininya
ya, seharusnya buat kita yang sudah siap menikah ya harusnya sudah
siap nerima risiko dan harus bertanggung jawab. Tapi, kalopun
memang butuh, ya mungkin me time nya bisa, ya menurut aku sih
mungkin bisa dengan bermain sama anak atau ngobrol dengan suami.
Atua mungkin kemana kemana begitu. Ya mungkin itu bisa sedikit
ngurangin rasa sedihnya kita lah. Dulu kan bisa begini begini begini.
Terus sekarang sudah nggak bisa lagi. Bukan nggak bisa sih, tapi agak
susah saja sebenernya. Ya itu tadi kata aku, mungkin rasa sedihnya
bisa hilang dengan cara kita main sama anak atau banyak ngobrol
sama suami. (Ayu)
lxv
Bagaimana Anda mendiskusikan dengan pasangan terkait Anda
yang tetap berkarir setelah menikah?
1. eee ini nggak terlalu sulit sebenernya dilakukan kalau di rumah tangga
aku ya. karena suami itu tipikal keluarganya bekerja semua. Jadi,
justru mereka akan aneh kalo nggak bekerja (tertawa). Perempuan-
perempuannya begitu ya, kebetulan juga pekerja. Ibu mertuaku juga
pekerja tpi sudah pensiun. Aku juga punya ipar perempuan, pekerja.
Jadi lingkungan sekitar itu bekerja semua. Justru dipihak keluarga aku
ini (yang tidak bekerja) ya, adekku udah menikah justru enggak kerja,
begitu. Jadi enggak terlalu sulit sih. (Indah)
2. oke, sejak sebelum menikah kita sudah ngobrol soalnya. Jadi, ini
bekal buat cewek-cewek ya, kalo memang seandainya mau menikah,
eee dan mau bekerja setelah menikah, baiknya diomongin. Jadi, kalo
mau apa-apa itu sebelum menikah itu diomongin semua sama
calonnya. Jadi, biar nggak kaget pas nikah. Saya dulu pas punya
pacar, eee pas dulu sebelum nikah sama suami, saya bilang, aku nanti
pokoknya kalo nikah aku tetap pengen bekerja. Tapi atas keinginanku
sendiri. Bukan karena dipaksa atau apa. Ntar kalo aku pengen kerja
boleh ya kerja. Tapi kalo aku capek, aku berhenti juga gapapa ya. Dan
suami (tanggapannya) yauda terserah kamu saja. yang penting kamu
seneng, kayak begitu. Jadi ya diomongin saja sih. dan kebetulan,
valuenya kita nggak terlalu bertabrakan. Jadi, suami oke-oke saja.
mungkin kan ada, kalo suami-suami lain, mungkin kan nggak
ngebolehin gitukan. Itu akan susah sih cara ngomongnya. Nah, dan
saya sendiri kebetulan eee nggak mau yang – karena kan psikolog ya,
jadi, jadwalnya toh lebih fleksibel. Jadi, nggak yang dari pagi sampe
sore gituu nggak. (Scha)
3. jadi aku, mmm kita, sebelum menikah itu kan tukeran proposal ya.
Proposal taaruf, gituu. Dan disitu ada point-point, baik secara dunia
maupun secara agama begitu. Terus, eee jadi disitu ada komitmennya
juga dimana aku masih ada keinginan untuk tetap bekerja dan lain-
lain. Aku juga kasih alasan kenapa aku masih kepengen kerja. Ya
Alhamdulillahnya, sebelum menikah memang sudah ada komitmen.
Dan dia (suamiku) juga mengerti kali ya profesiku kan sama kayak
ibunya dulu. Dan, aku kerja juga nggak setiap hari juga. Aku disini
seminggu 2 kali atau 3 kali palingan.
Alhamdulillahnya enggak sih. dan suamiku juga ngedukung, support
aku juga. Karena mungkin juga dia ngerasa profesiku ini banyak
maslahatnya (manfaat) lah buat orang. Dan pekerjaan ini nggak bisa
digantikan dengan laki-laki juga. (Ayu)
lxvi
Transkrips Wawancara
1. Informan Yuniarti
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Jumat, 29 Oktober 2021
Nama : Yuniarti
Usia : 48 Tahun
Status Perkawinan : Sudah menikah
Usia Menikah : 30 Tahun
Pendidikan : S-2 Hukum
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga, Sekretaris DPRD Purbalingga
Domisili : Purbalingga, Jawa Tengah
P : Halo, Assalamu’alaikum
I : Ya, halo selamat pagi. Mbak siapa ini?
P : Dengan Agis, Bu.
I : oh, iya. Mbak Agis. gimana mbak Agis ada yang bisa saya bantu?
P : Ibu, sebelumnya terima kasih sudah mau jadi narasumber Agis
I : ya, oke..
P : iya tadi..
I : jangan grogi mbak, santai saja hahaha jangan gemetar-gemeteran gitu
(tertawa)
P : (tertawa) iya bentar ini, Bu. Saya gemeter banget hahaha
I : santai aja lagi, biasa aja (tertawa) kita ngobrol-ngobrol aja santai, enak
P : sebentar, Bu. saya ambil nafas dulu biar rileks hahaha
I : iya iya, tarik nafas, buang, tarik nafas lagi, buang lagi.. santai saja aku
nggak gigit kok (tertawa) santai saja mbak
P : (inhale exhale) oke, kita mulai ya, Bu.
P : dengan Ibu siapa?
I : Yuniarti
P : usia saat ini berapa, Bu?
I : aku berarti..aku kelahiran 73
P : 73... berarti sekarang 48 ya
I : 48 iya bener. 48 lebih lah. 48 setengah.
P : oh iya iya, 48 setengah. Saat ini domisilinya dimana, Bu?
I : saya domisilinya di Purbalingga, Jawa Tengah, mbak.
P : oh, memang dari lahir sampai sekarang disana atau gimana, Bu?
I : aku lahir aku numpang lahir di Jakarta. kebetulan ibuku asli Jakarta kalau
bapakku aslinya daerah Jawa Tengah. Asli Banyumas. Jadi, aku sama kakak-
kakakku berlima lahir di Jakarta semua. Tapi kebetulan ketika aku kecil, SD, kita
pindah ke Purwekerto tadinya mbak. Purwekerto inikan sebelahan dengan
Purbalingga, masih satu residence-an lah kalo jaman dulu. Jadi, aku SD SMA di
Purwekerto. Kalo tiga kakakku ada yang SMA disana (Jakarta) ada yang SMP
disana (Jakarta). kan kita berenam bersaudara. Terus adikku lahir di Purwekerto
tuh, jadi oleh-oleh (tertawa) kepindahan itu. Bapakku masih kerja di Jakarta, pulang
bolak-balik aja kayak gitu. Jadi kita sama Ibu di rumah, di Purwekerto, begitu.
lxvii
P : kalo boleh tahu Jakartanya dimana, Bu?
I : oh kalo Jakartanya rumahnya bapak sama ibuku itu di Kemayoran.
P : oh pusat ya
I : iya Jakarta Pusat, bener
P : ibu sendiri anak keberapa?
I : anak kelima dari enam bersaudara
P : wah sama kayak saya, Bu (tertawa)
I : sama ya mbak?
P : iya saya juga enam bersaudara dan saya anak kelima.
I : anak kelima iya iya
P : untuk saat ini ibu bekerja atau jadi ibu rumah tangga full time?
I : eeee... dulu iya, kayak gini. Aku dulu waktu jaman bujang eee kerja terus
ketika aku menikah eee lahir anak kesatu itu tahun 2000an terus anakku setahun
dua tahun, selama dua tahun itu aku titipin ke ibu sama kakakku kan. Kakakku
kebetulan anaknya cuma satu, kayak begitu, dan sudah gede. Karena kita belum
mapan lah, waktu itu suamiku masih baru lulus kuliah dan belum punya pekerjaan,
kayak gitu. Aku ya sudah kerja duluan kan. Terus akhirnya sama suami disuruh
resign. Kebetulan aku kerjanya di Semarang waktu itu. Jadi ketemuannya sama
suami 2 minggu sekali, sebulan sekali, kayak gitu. LDR lah kalo kata anak jaman
sekarang mah (tertawa) kalo dulu kan belum ada LDR istilahnya. Jadi, anak aku di
Purwekerto, aku di Semarang. Suamiku orang Solo kebetulan. Kita ketemu di
Semarang lah. Jadi ya itu, ketika suami sudah bisa ngontrak sendiri, dulu kan,
ngontraknya bareng-bareng sama teman-teman, terus bisa ngontrak sendiri, “mah,
kamu resign saja” kayak gitu. Yaudah, aku resign dan ngurusin anak full sampe
anakku TK. Ya ini saja, ngurus anak-anak (di rumah). Kemudian anak kesatu
keluar, kedua ketiga keluar. Kayak gitu.
P : sekarang berarti ini rumah sendiri ya, Bu? sudah rumah sendiri.
I : alhamdulillah sudah rumah sendiri.
P : ibu anaknya berapa?
I : 4. Anak saya ada 4.
P : usia paling tua dan mudanya berapa?
I : paling tua ini (tertawa) si Sasa, usianya sekarang 20, terus 15 mau ke 16
besok Januari baru 16 terus 14 sama 12.
P : 20, 16, 14, 12. Oke
P : kan, denger-denger dari Sasa nih, Sasa ya. Katanya Ibu nikah itu usia 30
tahun, bener, Bu?
I : iya heeh bener, bener.
P : alasannya kenapa, Bu?
I : alesannya? Karena teman-temennya sudah pada nikah semua (tertawa)
P : teman-teman ibu sudah pada nikah semua..(tertawa)
I : (tertawa) iyaa, jadi gini, ceritanya gini,
P : gimana-gimana tuh, Bu?
I : iyaa, jadi aku pas pulang kampung itu kan, ketika aku umur 29an mau ke
eehh 28an mau ke 29. Kayak gini, aku kan gak di rumah. Jadi, setelah aku lulus
SMA itu 6 bulan aku nganggur terus aku eee waktu itu kebetulan aku dapet, kalo
sekarang dapet undangan ya, kalo dulu PMDK waktu itu. Kebetulan bapakku kan
lxviii
pensiunan. Nah ketikaa aku dapet PMDK kayak begitu, di Jogja. Nah, bapakku
bilang, bapak adil sama semua anak-anak bapak, kayak begitu. Adil dalam maksud
artian bapak tuh, bapak gabisa sekolahin salah satu lebih tinggi dari yang lain, kayak
begitu. Jadi semua SMA semua. Kalo kamu mau kuliah, kamu pake uang kamu
sendiri, kayak begitu. Wah padahal tinggal cari kos-kosan doang kan, sekolah gak
bayar waktu itu kan. Jujur, waktu itu aku rada-rada, orang tua gue gimana sih, kayak
begitu. Aku jujur marah ya. Ketika aku bisa kayak begitu (ada kesempatan kuliah)
orang tua gak mendukung. Tapi ada alasan orang tua yang kemudian aku maklumin.
Yasudah, kalo memang orang tua ku adil menurut orang tua ku seperti itu, yasudah.
Waktu itu aku keluar dari rumah, terus aku itu kerja. Cuma ibuku bilang, kamu,
kalo mau kuliah, kamu bisa kuliah dengan uang kamu sendiri. Jadi aku keluar dari
rumah, terus aku jadi pelayan toko, pelayan restoran. Pokoknya semua pekerjaan
yang bisa...aku tipenya pembosan. Tapi bukan pembosan dalam artian apa-apa, aku
gak betah kerja. Bukan itu. Kalo aku kerja di suatu tempat, ketika aku ada prestasi
dan aku gak dikasih reward, kayak begitu kan, sama majikan atau sama si owner
kayak begitu sudah tahunan (kerja) aku langsung keluar. Aku nggak apply dulu,
enggak. Aku langsung saja keluar. Aku orangnya tipe gambling. Yasudah, hadapi
saja yang di depan. Ada apa, apa, apa langsung hajar saja. Tipenya aku seperti itu.
Aku pernah bekerja di Perhotelan. Jadi suatu saat, aku apply di lowongan pekerjaan.
Jam setengah 12 malem aku denger ada lowongan pekerjaan seperti itu, aku
masukin. Dan aku betah sampe 5 setengah tahun. itu di dunia perhotelan ya. Jadi
aku memang tidak pernah, gara-garanya aku tidak pernah di rumah. Bekerja terus.
Kepengen aktualisasi diri. Jati diri jaman dulu kan kayak begitu lah ya. Anak-anak
umur segitu kayak begitu kan. Aktualisasi dirinya seperti apa, jati diriku seperti apa,
apa. Aku ingin meraih cita-cita. Anak lain masih bisa dibiayain orang tua, aku
enggak. Dan aku nggak menyesali itu. Karena memang, yasudah, keterbatasan
orang tua. Aku cuma bisa diwarisin cuma bisa sekolah sampe SMA, yasudah. Nah,
supaya sukses gimana? Aku mengusahakan apa yang sudah aku raih itu, ilmu-ilmu
itu, ya aku jalanin, kayak begitu. Nah, disetiap kesempatan aku kerja itu, aku juga
masih penasaran kuliah kayak apasih...? dan aku mencoba kuliah. Nah, ternyata,
kita kan gabisa manajemen waktu. Aku minta ganti shift, aku jadinya shift siang-
malem. Karena pagi aku kuliah dari jam 7 sampe jam 4. Ternyata itu gabisa. Aku
cuma kuliah satu setengah tahun saja waktu itu. Satu, karena eee salary aku cuma
buat bayar semesteran, bayar angkot, kayak begitu-begitu kan, terus bayar makan,
bayar kos. Itukan aku manage sendiri semuanya. Jadi, ah, mendingan enak kerja
deh dari pada kuliah. Yang penting aku sudah merasakan kuliah itu kayak apa. Oh
kuliah kayak gini, oh ngerjain tugas kayak gini. Sudah, itu doang sih. Aku enggak
ngejar title sih sama sekali. Cuma penasaran saja. Oh, aku sudah merasakan kuliah
nih, sudah.
Nah, itu kan aku kerja 5 setengah tahun di dunia perhotelan kan. Aku sama sekali
0 di dunia perhotelan. Tapi aku terus belajar, belajar, belajar sambil jalan kan. Learn
by working kayak begitu kalo orang sekarang bilang (tertawa). Sampe akhirnya aku
merasa kok stuck ya, kayak begitu, tidak ada perkembangan, tidak ada yang bisa
memacu diriku untuk lebih baik, kayak begitu. Cuma kayak begitu-begitu saja. Yaa,
ada ilmu yang bertambah, aku bisa les bahasa belanda lah. Kebetulan kan tamu-
tamunya bule. Aku bisa conversation misalnya inggrisnya lebih bagus, aku bisa ada
lxix
pengetahuan dibahasa belanda. Aku les sendiri, kayak gitukan. Ada sih nilai sisi
positifnya, aku juga bisa ngerti table manner, aku bisa ngerti planner misalnya
kayak wedding organizer kayak begitu. Kan kita harus bisa seperti itu ya. Ada ilmu-
ilmu yang memang aku pelajari ketika bekerja dan aku ambil itu sebagai
pembelajaran buat aku kedepannya. Aku cuma kayak begitu. Aku curi ilmunya deh.
nah, setelah itu, karena stuck dan tidak ada masa depan yang... aku keluar. Aku
sengaja keluar dan belum apply kemanapun. Di rumah satu minggu, duit
tabunganku habis. Akhirnya aku apply terus aku diterima di sebuah networking
broadcast. Nah, kebetulan, aku suaraku gak bagus sebenernnya waktu itu tapi aku
3 bulan training itu cuma bikin drama-drama saja. Ini aku cerita saja ya, biar paham.
Aku (buat) drama-drama radio, terus aku belajar bagaimana program radio itu
seperti apa, kayak begitu. Aku senengnya di belakang layar, aku gak demen show
off gituloh. Oh, ini si Yuni, enggak. Aku demennya eee apa yang aku kerjakan di
belakang layar bisa berhasil dibawakan sama teman-teman, kita kan team work.
Jadi aku mensupport yang di depan layar. Tapi, ternyata ada bosku eee program
directorku minta aku ke level yang, tadinya aku di radio AM dipindah ke radio FM.
aku ditawari mau pindah ga, pindah kemana mas?, pindah ke yang lebih
menjanjikan buat kamu. Ya aku okedeh. Aku gatau dimana tempatnya. Pokoknya
aku itu tipe orang yang disuruh pindah ya hayuk saja, disuruh perang juga ya hayuk
(tertawa). Dimana juga gue kagak tahu. Hajar saja yang penting mah. jadi aku
dipindahin ke tempat radio yang memang ternyata masih baru, bener-bener baru.
Jadi dari 0 aku belajar itu. Nah, aku liat ternyata eeee broadcast itu itu
networkingnya luar biasa, seJawa Tengah, dia punya 61 station radio. Jadi aku wah,
ini kesempatan buat aku belajar. Jadi aku itu disuruh apaaa saja, demen saja. Jadi,
selama 7 tahun lebih aku di broadcast. Saking asiknya kalo di dunia broadcast inilah
yang membuat aku gak kepikiran buat pacaran, enggak. Apalagi menikah juga
enggak. Saking asiknya. Kita kumpul sama teman-teman eee di dunia broadcast
kayak begitu jadi reporter, pencari berita. Aku juga pernah ikut pelatihan jadi
jurnalistik. Selama satu tahun aku ambil kursus itu terus cari-cari berita kaya begitu
seneng saja. Oh, ternyata aku bisa liat dunia luar. Terus eee musik-musik terbaru,
ketemu artis-artis juga. Yasudah aku gausah kemana-mana deh. gausah ikut konser,
aku bisa ketemu artisnya langsung. Ketemu yovie nuno, iis dahlia, semuanya juga
ada (tertawa) sudah di radio itu saja. Terus aku bisa di program itu, orang-orang,
fans-fans aku, pendengar-pendengar aku. Terus aku punya jatah eee siaran sendiri
yang disitu tempatnya curhatnya anak abg. Sebenernya aku bukan psikolog ya,
cuma mungkin aku jadi pendengar yang baik pada waktu itu kali ya. Jadi banyak
orang yang curhat di acara aku, acara aku jadi booming waktu itu. Ya sekarang jadi
apa eee apa sih kalo dulu jadi prime time. Acaranya aku jadi prime time dan itu
mendatangkan iklan-iklan yang banyak. Tapi aku sebel juga, karena aku jadi gada
kesempatan ngomong disitu, cuma muter iklaaan terus ntar lagu, kepotong terus
kayak begitu. Aku gak seneng juga (tertawa) aku jadi gabisa menjual apa yang aku
punya kan. Gabisa ngomong banyak. Jadi, akhirnya aku memutuskan
mengundurkan diri jadi announcer, jadi reporter juga aku mengundurkan diri. Tapi
sama ownerku yang di pusat, aku ditolak. (dan ditawari) sudah kamu pindah saja
ke marketing. Jadi aku pindah ke marketing area, di dua station di Semarang. Kalo
dulu aku jadi program director, aku melalui proses juga, 11 bulan aku jadi penyiar
lxx
di radio FM, 3 bulan di radio AM kan pertama, di desa terus pindah ke FM yang
ada di kota. Terus, 11 bulan berikutnya aku di pindah lagi di kota besar, ya itu
Semarang. Terus aku mengikuti pelatihan, pelatihan, pelatihan, setelah itu satu
setengah tahun berikutnya aku diangkat sebagai program director. Jadi aku bisa
keliling dari satu radio ke radio yang lain ketika ada radio yang memang sdm nya
perlu diperbaharui atau perlu dijinakkan biasanya aku diturunkan disitu, di daerah-
daerah sangarlah. Daerah-daerah keras. Kalo radionya dirasa sudah lumayan bisa
berjalan dan suasana kondusif, aku dipindahin lagi ke daerah yang enggak kondusif.
Aku juga dari dulu gatau kenapa aku begitu. Aku selalu dipindahin ke daerah-
daerah yang penuh apa eee konflik. Jadi aku itu kerjanya jadi ngadem-ngademin
orang, terus kalo iklan radionya gak banyak aku diturunin (dipindah) ke daerah situ
supaya ada iklan yang masuk. Ini salah dimana, jadi, aku itu menguuuulik ini radio
kenapa nggak laku ya padahal acaranya bagus, kayak begitu. Itu yang ditugasin
manajemen sama aku seperti itu selama 11 tahun di radio. Asyik sih. Jadi saking
asiknya bekerja. Kalo salary kayak begitu kecillah dulu di radio. Cuma karena aku
ketemu dengan orang-orang yang baru, orang-orang yang punya masalah, orang-
orang yang percaya sama aku jadi buat aku enjoy di dunia broadcast, di dunia
marketing juga. Di radio, periklanan, dulu kan booming. Kalo sekarang duh, susah
deh iklannya, kasian teman-temenku yang masih ada di sana. Jadi sekarang ya
karena nyaman bekerja, enjoy, yasudah aku gak kepikiran untuk cari-cari pasangan.
Semua bertemen enak saja, orang aku bertemen sama siapa saja enak. Kayak begitu
loh. Jadi yasudah.
Nah, akhirnya timbul ketika mau menikah itu ketika pulang ke rumah, mudikkan.
Ternyata teman-temenku itu, sudah pada menikah (tertawa). Ternyata di kampung
tinggal aku doang yang seangkatan aku belum (menikah). (di kampung) aku ketemu
teman geh, loh, sudah nikah, sudah bawa anak, malah ada temenku yang sudah bisa
nyunatin anaknya, aku diundang buset anaknya sudah gede banget (tertawa). Aku
itung-itung kan geh, oh, dia kawin ketika misalnya SMP apa lulus SMA, kayak
gituloh. Tapi aku sih nggak ngaruh kayak gitumah. Jujur saja, kalo mungkin aku di
rumah ibuku saja, di desa kayak begitu, mungkin persepsi orang aku ini perawan
tua dan lain-lain ya. Tapi ketika kita hidup di kota, ketemu dengan teman-teman
yang sefrekuensi sama kita, aaa bodo amat kita mau punya cowok kek enggak kek
emang gue pikirin. Yaudahlah itu urusannya masing-masing, ngapain kek, kayak
begitu. Untungnya aku nggak di rumah ibukku. Palingan yang disasarin ibuku, loh
itu loh kok anaknya belum menikah, kayak gitukan palingan (tertawa). Aku kan
punya kakak cowok tiga, belum menikah juga (pada saat itu) mereka kan. Jadi, satu,
aku nungguin eee di atas aku kan 4. Kakak aku yang perama sudah menikah, terus,
3 cowok nih, belum menikah juga. Mereka belum pada bisa berkomitmen lah
intinya, karena pekerjaan juga belum mapan apalagi cowokkan. Nah, aku kan
tunggu kakakku kan, eee istilahnya sopan santunya kayak begitu. Loh, kakakku saja
belum menikah, alesan yang klise sebenernya, mereka saja belum, masa aku mau
nyalip. Meskipun kakakku bilang, sudah lo nyalip gue saja gapapa. Mbok ya masa
aku nyalip tiga orang hahaha enggak enak bener. Selain itu juga karena memang
belum ada pasangannya jadi yasudah (tertawa). Kakakku juga yang tiga ini kayak
yang terserah mau kawin mau enggak ya silahkan, namanya juga anak laki. Tapikan
kalo perempuan mereka juga mikirin juga, kasian akunya kali ya. Mereka juga
lxxi
gapapa aku nyalip gausah dikasih apa-apa begitu. Kan kalo di Jawa ada pelangkah,
nah, mereka gak minta itu sih. Terus aku mikir ya gak masalah (tidak menikah)
nanti kalo tiba saatnya aku nikah ya bakalan nikah juga kok. Kalo aku ketemu jodoh
yang satu frekuensi ya menikah. Tapi terlepas dari itu semua karena kita enjoy
bekerja, karena kita punya tujuan-tujuan prioritas sukses itu seperti apasih. Aku
belum bisa, sebenernya belum bisa beli apa-apa cuman kenyamanan hati
kenyamanan hidup ketika aku enjoy dengan pekerjaanku, ketemu dengan orang-
orang yang baru, itulah yang kadang melupakan kebutuhan aku untuk menikah,
kayak begitu. Nggak kepikiran saja. Kerjaanku banyak. Besok ketemu lagi harus
tanggung jawab atas ini atas itu. Seperti itu mbak.
P : kalo dihitung-hitung berarti ya, Ibu itu bekerja hampir 17 tahun lebih ya
I : ya 17 18 lah mbak. Aku lulus sekolah 17 tahun.
P : iya perhotelan 5 setengah tahun, dan broadcast 11 tahun. apasih bu, yang
Ibu cari dari bekerja sepanjang rentang waktu tersebut? Apalagi ibu juga single,
tidak ada pasangan dan ibu bekerja, yang ibu cari itu apa?
I : yang aku cari? Duitlah (tertawa)
P : aduh iya sih bener ya duit (tertawa) maksudnya, selain duit begitu bu ada
ga selain kenyamanan juga. Kayak misalnya ibu punya tujuan, oh gue harus
menduduki posisi ini posisi itu.
I : oh enggak, kalo aku orangnya nothing to lose sih mbak. Satu itu. Kedua,
aku cuman pengen belajar saja. Waktu itu tuh, aku cita-citanya Cuma 2 doang loh
mbak. Aku cuman pengen ke tanah arab sama ke belanda (tertawa).
P : apatuh, dorongan untuk pergi ke belanda itu apa?
I : ya itu, ke arab karena orang muslim. Kalo ke belandanya karena aku pas
di hotel ketemu sama orang belanda (tertawa),kebetulan mereka dua hari stay kan,
nginep, staynya di hotelku. Terus ada orang belanda yang seneng sama aku
(tertawa) dia dateng lagi terus bilang aku jauh dari belanda buat temuin kamu disini,
cielah (tertawa). Hahaha itu jamannya aku muda ya. Jadi, cita-citanya cuman 2 saja,
jalan hidup aku ingin ke tanah arab entah umroh atau haji smaa ke belanda. Ke
belandanya juga gatau mau kemana, tujuannya gak jelas. Apa gara-gara belanda itu
nenek moyangnya aku, kayak begitu sebagai penjajah, atau gara-gara tamuku itu
(tertawa). Ini cita-cita absurd ya, maksudnya, aku kerja itu, satu, karena ingin
aktualisasi diri. Aku gak kepengen kayak kakak-kakak aku. Intinya, di rumah itu,
kakakku laki-laki tiga, tapi tuh, mboen, tahu mboen nggak mbak? Maksudnya, anak
mami gitulah hahahaha. Aku gamau jauh-jauh kerja dari ibu, kayak begitu
hahahaha. Jadi aku mikir ih ngapain sih anak laki, anak laki kan langkahnya
panjang. Kalo perempuan kan enggak. Waktu itu loh ya. Aku nggak berpikir
kesetaraan gender ya. Belum ada istilah itu ya. Adanya paling emansipasi kartini,
kayak gitukan semua bisa diiniin sama perempuan sama laki sama. Cuman karena
aku liat keluargaku saja, ih aku sebel sama kakakku deh, masa kok anak laki mbok
mboken. Gak bisa lepas dari pantat mamaknya masak kayak begitu. Kalo tiduran
mesti bareng sama ibuku. Aku jadi jijik kayak gtiuloh. Maksudnya kayak, ih
ngapain gituloh, sudah jauh-jauh kerja, malah hiks aku gabisa kerja disini bu, aku
kerja disini saja ya bu (yang dekat dengan rumah ibu). Aku jadi kayak, idih? Ilfeel
banget. Salah satu alasanku keluar dari rumah ya karena itu. Males saja di rumah,
aku gabisa berkembang kalo aku di rumah saja. udah, aku keluar rumah. Aktualisasi
lxxii
diri sih, sebenernya. Kalo aku kayak gini, gimana aku bisa berkembang? Secara,
satu, pikirannya pasti njedel – bulet disitu saja, lagian juga aku gak kuliah, gak
ketemu orang-orang. coba aku kuliah, keluar.
Ketika aku keluar, segala permasalahan hidup aku hadapi sendiri. Aku tipe orang
yang tidak mengeluh sama orang tua. Aku punya duit apa nggak punya duit, aku
diem. Kalo aku punya duit lebih, aku kirimin ke bapak sama ibu. Terus aku juga
gak mau ngomongin kesusahannya aku. Aku taunya itu, kalo bapak ibuku bahagia.
Aku hidup baik-baik saja. bapakku juga kayak gini, bapakku pernah ngomong,
“ketika kamu sudah keluar dari rumah ini, kamu balik kesini, apa kamu balik lagi
ke kosan kamu, berarti kamu cukup uang.” Itu bapak aku, keras kan. Tapi, ketika
sekarang, aku liat di luar negeri, umur 18 kayak gitukan sudah keluar dari rumah
ya. Mereka pendidikannya kayak gitukan. Aku baca, suka juga liat-liat film kayak
begitu, oh, ternyata tuh, bapakku nggak keras-keras amat kok kayak tipe orang-
orang luar negeri begitu (tertawa). Pikiranku ya kayak begitu saja. sudah, aku 18
tahun itu ya, mengembara kemana pun, kaki aku melangkah dimana ada rejeki ya
itu. Jadi konsekuensinya aku ya tetap aku tanggung sendiri. Bertanggung jawab
sama diri kamu sendiri.
P : ketika Ibu memutuskan untuk keluar dari rumah, berarti Ibu memang
sudah tahu konsekuensi atau bahaya di luar dan Ibu siap menghadapinya?
I : betul, betul. Oh, iya, iya. Harus siap. Siap nggak siap harus siap.
P : ada pikiran ini nggak sih, Bu. pas Ibu milih keluar dari rumah tuh, Ibu
berpikir eee ih, gue perempuan, gitu, gimana ya nanti nasib ke depannya, karena
kan Ibu jauh dari keluarga, orang tua, kakak dan adik?
I : oh, aku enggak pernah pikirin. ngapain, kakak gue saja nggak mikirin gue
(tertawa). Kayak gini, aku cuman pesen sama ibuku, “Bu, jangan pernah mikirin
aku, Ibu doa saja”. kalo bapakku sudah ngelepasin aku, sudah. Bapakku cuman
pesen, “kamu, tanggung jawab sama dirimu sendiri. Yang nyatet Gusti Allah”
kayak begitu, “di pundakmu ada ayah sama ibumu”, sudah begitu doang. Jadi ketika
aku melakukan kesalahan atau apa, gue inget muka mak bapak gue lah, mbak.
Ketika aku ingin pacaran pun, temenku, di kota besar otomatis kan sudah aneh-aneh
ya jaman dulu ya. Kalo dulu ada istilah ayam kampus, apa apa apa kayak begitu.
Radioku kan radio terkenal banyak mahasiswa juga kayak begitu, rata-rata anak
fakultas undip lah, stikuba, kalo di Semarang kayak begitu, anak-anak kuliahanlah
intinya. Jadi, pergaulan bebas kayak begitu sudah ada dari jaman dulu. Teman kos
ku juga, ada yang pergaulan bebas kayak begitu. Aku yaudah masing-masing saja.
kita tahu ya lo seperti itu, ya monggo. Saya juga gak tertarik untuk mencampuri
urusan orang lain. Aku biasanya yang sering dicurhatin, dia abis melakukan apa,
kayak gitukan. Kan biasa tuh, kalo sudah kayak begitu galau-galau,”mbak aku mau
curhat~”, dikira gue paling tua sendiri kaleee ya (tertawa). Yaudah aku dengerin.
Ternyata, ketika, kan cewek-cewek tuh, ada yang beda agama, ada yang beda
seperti ini, seperti itu, ada yang ayam kampus, kayak gitukan. Terselip-terselip
kayak gitukan.
Aku jadinya kan gini, oh, ya, ya, cari pasangan itu tidak semudah apa yang menjadi
impian kita. Kayak misalnya, aku nih, kepengen cowok yang jadi suamiku tuh,
begini begini begini. Itu gabisa. Bagus-bagusnya ya pas lagi pacaran saja, tapi
ketika menikah, semua ininya, semuaaaa eeee semuanya keliatam semuanya kan
lxxiii
jelek-jelenya. Akhirnya aku, ketika ada cowok yang seneng sama aku, malah aku
yang diputusin, 2 minggu doang pacaran aku diputusin (tertawa). Aku pernah,
pernah beneran, pacraan 2 minggu doang. Pdktnya 2 bulan,
P : pacarannya 2 minggu, putus (tertawa)
I : 2 minggunya, cukup sampai disini, ini apaan? Buset gue diputusin.
Sumpah beneran, anakku juga suka ketawa ngekek, mama masa pacaran cuma 2
minggu doang diputusin lagi (tetawa). Iye emang dikasih jam terus gue diputusin
(tertawa). Jadi ya mengalir saja, ketika jodoh, rejeki, maut itu yang ngatur Tuhan.
Ya aku sudah slow saja begitu. Terus misalnya ada yang seneng sama aku, aku
langsung bilang, “mau kawin sama gua nggak?” kayak begitu saja mbak.
P : tapi dari pengalaman ibu pacaran yang 2 minggu itu bikin ibu itu gak sih,
bu, trauma untuk kedepannya lagi buat deket sama cowok lagi?
I : oh! Kaga! Saya mah diputusin cari lagi (tertawa)
P : iya berarti nggak ambil pusing ya bu hahaha
I : kayak gini ajadeh, kalo aku kayak gini, eee diputusin yaudahlah. ngapain?
Berartikan memang dia bukan buat kita. Kita obral saja, misalnya lagi siaran nih,
ada bapak-bapak ibu-ibu nih ya minta lagu-lagu lama, iya nih bu, saya jomblo
tolongin dong, ada anaknya nggak (tertawa) sudah diobral tuh sampe segitunya di
radio, mbak, tetap saja nggak dateng-dateng tuh jodoh saya. Coba, iyakan, kalo
belum waktunya kan susah,
P : iya susah ya, bener-bener
I : makanya kan. Mungkin, menurut Tuhan ada orang yang terbaik yang akan
dateng, kayak begitu ajasih, mbak.
P : sebenernya dari dalam diri ibu sendiri, untuk memutuskan menikah di usia
30an itu, sebenernya nggak direncanakan ya bu?
I : ya kagak lah
P : itu karena pengaruh lingkungan kerja saja yang emnag bikin ibu nyaman..
I : iya, kebetulan teman-teman saya itu ya semuanya cewek-cewek kan, juga
orangnya asyik-asyik, nggak punya pasangan, kalo sekarang (istilah) jomblo ya,
kalo dulu enggak, enggak ini, dulu apaan sih ya, eee ya nggak punya pacar lah ya,
ya asyik-asyik saja. karena kita sudah, eee, sama tugas-tugas kantor tuh, lumayan
berat. Bagaimana kita naikin rating radio kita, bagaimana ada kegiatan off air sama
artis-artis. Ya sudah padet, mbak, kegiatannya.
P: iya kayak istilahnya tuh, pekerjaan gue sudah ribet ngapain mikirin hal-hal kayak
begitu (romansa)
I : ribet!! ngapain amat ngurusin cowok yang ribet-ribet. “say, sudah solat,
sudah makan?” itu kayak, ih, lima kali sehari. Gue bilang gini, buset gue bangun
saja ditelfonin, “sudah solah subuh sayang?” gue bilang, “buset sudah gue baru
bangun, baru selesai siaran jam 2 pagi. Masih ngantuklah, solat entar dulu”.
P : tapi ibu sendiri pernah gak sih tiba-tiba lagi ngerjain sesuatu, terus
kepikiran, kayak ada rasa khawatir, gue nanti bakal nikah gak ya? Jodoh gue seperti
apa? Pernah mnegalami kayak begitu gak bu?
I : bakalan nggak ada jodoh? Nggak sih. Aku nggak khawatir (tertawa)
P : dan dari orang tua ibu sendiri pun nggak ada dorongan, maksudnya
pembicaraan, kamu kapan nikah dan sebagainya?
I : oh tidak, tidak ada.
lxxiv
P : kakak pertama ibu berarti perempuan ya, bu?
I : iya perempuan
P : menikah usia berapa kakaknya?
I : mmmm 29an kayaknya
P : kalo orang tua ibu menikah usia berapa?
I : ooo, kalo ibuku umur 19 tahun, jaman dulu tuh, terus bapakku umur... beda
11 tahun lah sama ibuku. Bapakku beda 11 tahun sama ibu
P : oo okay, berarti bapak menikah usia 30 ya
I : iya bener bapakku menikah usia 30. Orang beda 11 tahun sama ibu.
P : kalo bisa disimpulin memang orang tua ibu sendiri pun pada jaman itu
menikah pada usia yang sudah cukup matang. Jaman dulu ya. Jaman dulu kan
kebanyakan orang menikah pada usia 12 tahun, 13 tahun, 9 tahun pun bahkan ada.
I: heeh, ibuku umur 19 tahun menikah. Ibuku anak pertama kebetulana, terus
bapakku anak kelima dari 11 bersaudara. Nah, bapakku kan dari dulu itu ikut eee
ikut tentara PETA. Yang pas jaman jepang-jepang itu, bapakku tuh mengalami itu.
Kayak begitu. Jalan kaki sampe Jakarta. jadi yaudah, pas mapan, ya baru menikah
sama ibuku dan bisa punya kontrakan, bapak baru menikah.
P : aku mau tahu itu dong bu, pola asuh orang tua ibu sama anak-anaknya
kayak gimana di rumah?
I : ooo itu
P : iya cara mereka mengasuh anak-anaknya bagaimana?
I : weeeeee keras banget! (tertawa) keras banget mbak. Jaman dulu, tahu
gesper nggak mbak? Sabuk yee. Ya itulah, sering disabet pake itu. Pokoknya mah
kalo sekarang mah kayaknya banyak deh orangtua masuk penjara.
P : pembagian kerja di rumah bagaimana bu? apakah sesuai dengan jenis
kelaminnya, misalnya si anak perempuan membantu urusan ibu, dan laki-laki
yaudah. Ada pembedaan ngga sih bu?
I : aaa betul. Kakak saya tuh, yang laki-laki. Semua sih, kalo ibu sama bapak
sih, kalo dulu kebetulan bapak kan di Jakarta dan kita hidup sama ibu nih, juah di
kampung. Kampunya masih kampung banget lah. Air sumur saja kita kuning, ya.
Gabisa buat makan minum kayak begitu lah ya. Jadi kita kan, ngambil tuh (Air)
yang jauh. Nah, itu semua kan dijadwal sama ibuku, hari ini si ini, hari itu si itu,
kayak gitukan. Tapi kadang, kakakku yang laki-laki ngaburkan, main kagak inget
waktu, maghrib baru pulang. Akhirnya gue juga yang kena. Perkara makan juga
adil, tempe 2 iris 2 iris semua kayak begitu. Semua sama. Tapi yang kerja aku
doang. Ya kalo aku sih gini, memang ada pembeda, anak kesayangan sama nggak.
Dulu aku sempet tanya sama ibuku sama bapakku bilang, “buk, pak, gue anak
pungut apa ya?” kayak begitu pernah. Itu satu, terus muka gue jelek sendiri
(tertawa). Jadi, ibu bapakku itu sayang sama kakakku yang pertama, kalo aku
wajarlah, anak pertama itu biasa luberan kasih sayangnya masih banyak ya kan,
anak pertama. Terus ibuku sayang sama anak laki-laki, karena anak kedua laki-laki,
sudah tuh, terus anak ketiga disayang sama bapak, karena anaknya penyakitan dari
kecil, akhirnya aku yaudaah. Aku juga suka tanya kan, bapakku kan sering
dongeng. Terus anak keempat, paling cakep sendiri tuh, kakakku yang laki
hidungnya mancung, kata ibuku pas ngidam, ibu ngidam Vanderbough,
tetangganya yang bule, kalo pagi ibu suka liatin idungnya mancung kayak
lxxv
perosotan. Ternyata kakakku hidungnya persis sama (mancung) putih, kayak
gitukan, kaya Vanderbough itu. Lah pas giliran gue, item mbak.
P : aduh, ibu maaf saya ketawa
I : ya gapapa mbak memang bener saya item. Aku kan sampe tanya sama
bapakku, “pak gue anak pungut ya pak?” gada yang sayang sama aku, beneran.
Orang ini ya, kakakku nilai rapotnya 5 4 kayak begitu gak dimarahin sama bapakku.
Tapi kalo aku rankingnya turun dari 3, aku di itu, disabetin pakai gesper. Aku juga
kan sering dikencingin sama bapakku. Bukan sering sih, tapi baru 3 kali, eh, 2 kali
dikencingin sama bapakku karena nilai raporku jelek. Aku juga diempos (dicubit).
Aku kan tomboy ya, jadi karena aku punya kakak laki-laki 3, otomatis aku mainnya
sama mereka. Main gundu lah main apalah kayak gitukan. Kakak aku nyolong
singkongnya orang, kakak aku gak ngaku, mana ibuku sudah rebus, ternyata
tetanggaku kehilangan singkong (tertawa). Hayo ini siapa yang nyuri, ibuku marah.
Kakakku 3 ngumpet di kamar terus aku dikunciin pintu. Akhirnya kakak aku ngaku,
buk, aku buk yang ngambil (singkong). Ibuku juga galak. Diempos kita biru-biru.
Wah, kalo bapakku lebih galak lagi, lebih galak sama aku sih.
Dulu kan rapor warnanya biru sama merah, nah kalo kakakku tuh warnanya merah-
merah semua. Birunya jarang. Jarang banget. Nah kalo aku itu enggak, enggak ada
merahnya sama sekali. Jadi ketika aku misalnya, bapak aku itu keras sama aku itu
kalo secara akademik.
P : hmmm
I : kalau aku nilaiku turun, biasanya bapakku langsung ngomel bla bla bla
kayak gitu, aku sering digebukin, ya dalam taraf, ya kalau dulu dalam wajar lah,
ibuku udah kecapekan ngurus anak-anak kan, bapakku kan gak seneng anak-
anaknya jajan, ibu setiap hari masak, gak ada pembantu kan, masak bikin cemilan
khusus kayak gitu, jadi kita gak pernah makan makanan dari luar, ibuku selalu
bilang cemilan apapun bentuknya kayak gitu kita buat sendiri kayak gitu. Terus
kalau masalah tugas-tugas memang sih kadang anak cowo suka-suka menghindar
dari tugas kayak gitu
P : suka di special kan gitu ya Bu?
I : bagian nyuci aku yang beresin sama (tidak terdengar jelas) bukan di
specialkan sih cuma mereka aja yang ngabur dari tanggung jawab
P : jadi itu dateng dari anaknya, sementara
I : dateng dari anaknya iya tapi kalau udah kepepet, misalnya kalau gak
dikasih makan sama ibuku mau aja dia ngaku lo gak dikasih makan ye dibilang gitu
sama ibu ku, yaudah baru deh dia ngaku apa dia iniin mau nyuci-nyuci gitu kan,
kalau dulu sih kalau makan misalnya kita yang udah bantuin ibu masak, misalnya
yang laki-laki nyuci piring gitu udah terorganisir gitu
P : berarti termasuk pembagian perannya di keluarga ibu itu adil?
I : adil-adil anaknya aja
P : anaknya aja yang kurang bertanggung jawab gitu ya bu?
I : betul eh iya hahaha
P : bagus bagus aku kira sebagian banyaknya keluarga itu kan mereka selalu
banyaknya menspesialkan laki-laki bu, jadinya asumsiku gini oh mungkin ibu itu
memutuskan kuliah itu juga memutuskan keluar dari rumah karna alasan di rumah
lxxvi
terkekang maksudnya ngeliat pola asuh keluarga yang mungkin kurang cocok
ternyata saya salah haha adil adil
I : aku keluar rumah karena memang aku tu kepengen, gua pengen sukses
dibanding kakak-kakak gua
P : pengen mengaktualisasikan
I : kakak-kakak gua kan anak mami semua, jadi aktualisasi diri itu aja
kepengen temenku kan abis kuliah nih dibiyain orang tua nih, ibuku kadang suka
"Yun, uang semester (kata selanjutnya tidak jelas menit 43.51)" "ibu gak usah
mikirin uang semester kuliah" ibu arisan suka pamer (gak ada suaranya lagi menit
44.01)
P : ibu waktu itu kuliah jurusannya apa bu (menyambungkan menit 44.08)
maaf bu reconecting nih putus-putus lagi
I : (kresek-kresek gak jelas menit 44.24) hallo mbak iya denger gak
P : iya denger, maaf ni kayaknya daritadi reconecting terus, ibu kalau boleh
tau jurusan kuliahnya waktu itu apa bu?
I : aku ambil pas aku kerja ya, aku kerja sekitar tahun 90an, berarti aku 95,
berarti 93an, 93an kira kira gitu duit udah ada lah ya aku ambil management
perkantoran, udah kan cuma 1.5 tahunan itu, udah terus aku, ketika aku menikah
aku kuliah lagi
P : oh iya kuliah lagi?
I : iya ketika aku udah menikah aku kuliah lagi dibayarin laki gua dah
P : jurusannya masih sama? Management perkantoran?
I : gak gak
P : apa?
I : aku ambil hukum
P : ih ibu positif vibe sekali
I : ambil hukum terus aku kerja kan itu dulu, terus aku kerja aku bisa, aku
disuruh kerja sama suamiku, terus aku ambil S2 magister ambilnya hukum bisnis,
kalau hukum yang pertama hukum perdata, yang itu hukum bisnis karena aku dan
suami kan buka usaha sendiri gitu tapi waktu itu aku cuma sampe proposal tesis
deh, aku gak lanjutin sampe ditelfon-telfon sama dosen besarnya, karena ada
permasalahan pribadi lah waktu itu ayahku meninggal sakit sebulan terus aku ada
permasalahan sendiri terus aku udah deh capek gitu loh aku capek mikir, gak taunya
temenku pada beli itu tesis, gilaaaa hahaha ya kabar-kabar aku kerja sendiri, bikin
tesis sendiri, jurnal pusing loh baca jurnal jurnal sama ngurus anak kan, anaknya
waktu itu udah 4 kan berarti, jadi waktu itu aku sempet sakit sampe opname
seminggu lah gara gara di depan laptop gak bisa satu hari satu malam aku gak tidur
kan, depan laptop terus gitu kan buat jurnal makalah gitu cari cari itu, aku bukan
tipikal idealis sih, apa yang aku bisa lakuin sendiri aku lakuin sendiri, sebaik
mungkin sebagus mungkin, gak perlu bantuin orang, kalau memang belum aku
kesusahan kayak gitu aku lakuin sendiri
P : bu, apa nih dorongan atau motivasi ibu yang memutuskan ibu kuliah
sesudah menikah?
I : karna kebetulan suamiku waktu itu ada permasalahan hukum, terus aku
nyewa pengacara kan, lah nyewa pengacara buat bohongan doang, habis semua lah
harta benda, aku sama suamiku akhirnya gini, sebenarnya akhir cerita kayak gitu,
lxxvii
kan kita abis tu uangnya tu, sebenarnya kasus apa sih, cuman hukuman percobaan
buat suami waktu itu tapi kita bahas tapi kita habis kita gak tau hukum apalagi
pekerjaan suamiku itu sedikit banyak harus ada kan janjian kontrak kan, harus tau
tentang hukum kan, kebetulan kita berdua ambil hukum, jadi suamiku juga kuliah
lagi karena ada satu permasalahan yang pekerjaan yang mengakibatkan kita
berhubungan dengan lawyer dan lawyer ini itu tidak bisa membantu kita padahal
udah dalam posisi kita gak bersalah loh sebenarnya tapi duit kita tu abis abis abis
kayak gitu loh, buat kerja hari lah, buat ke pengadilan lah, buat ini lah, buat itu lah,
buat nyogok polisinya lah, kita kan orang bego iya iya aja padahal kita duit gak ada,
kita abis semua, tabungan kita jadi kita langsung punya tekad gini, ayok kita sekolah
hukum supaya kita tau, gua ambil hukum pidana, lo ambil hukum perdata, kayak
gitu gua mengantisipasi atau kelak di kemudian hari ada hal-hal tidak terduga
dengan apa yang menjadi lahan rezeki kita, seperti itu
P : lalu struggleya ibu ketika kuliah juga dan mengurus anak juga pasti kan bu
I : Gini mbak, anakku masih bayi waktu itu, setahunan baru lah yang keempat
tapi ya, dulu aku titipin sama orang tua lah, sama kakak, karna hidupnya sama ibuku
sama ayahku kan masih ada tu, udah sepi kan rumah sana kan gak ada orang, udah
pada gede-gede, udah nikah kan yang laki laki waktu itu kan, jadi ibuku sendiri
yang biasanya, aku titipin kesana, mau berangkat kuliah titipin ntar malem aku
ambil kayak gitu, karna diliat kok rempong banget gitu kan akhirnya "eh anak lu
disini aje gimane? Ntar kalo lu kangen bisa kesini kan deket cuma 25 menit lah"
kayak gitu, terus aku bilang sama suamiku, suamiku ACC ya udah gak masalah jadi
anakku sampe SD eh TK aku sekolahin disana karna kakak-kakakku juga peduli
sama keponakan gitu kan, anaknya udah SMA juga udah gak ini kan, gak masalah
gak ada beban sama suaminya kan kayak gitu, jadi dia ngurusin ibu sama bapak aku
sama ngurusin anak kakak ku, semua kebutuhan apa susu apa bla bla bla ya kita gak
usah dibilangin lah, kita support kayak gitu, kalau gua kangen siang hari, malam
hari, tengah malam aku kesana suami kayak gitu, dia disini sama aku waktu itu
belom punya rumah ya maksudnya ya, punya rumah kontrakan gitu, yaudah disini
aja anak-anak lu daripada dan satu kenapa aku titipin sama orang tua sama kakakku
karna waktu itu aku ambil ART ternyata anak aku yang bayi itu digebukin dilaporin
sama tetangga aku ketika aku kuliah katanya gini "ibu ibu pulangnya cepet jangan
lama lama dong" "emang kenapa?" "bu itu aku liat di hordeng" depan rumahku kan,
aku kan di perumahan gitu "aku liat itu mbaknya gebukin si ini" masih 6 bulan
waktu itu, itu kurang ajar tapi aku gak punya bukti waktu itu jadi pas pulang kuliah
aku naik becak kan, gak dianterin suamiku, kebetulan pas jam kosong aku naik
becak berhenti jauh jalan kaki ternyata bener aku liat dengan kepala mataku sendiri
anakku lagi digebukin padahal masih bayi, dia gak ngapa-ngapain sebenarnya
anakku itu diem gak taunya ya udah "mbak langsung beres-beres, aku gak terima
nih" aku langsung telfon suamiku "pulang ke rumah, anterin mbaknya pulangin ke
rumah" "ada apa sih ma?" "udah pokoknya pulang" akhirnya aku cerita lah sama
ibuku sama kakakku, "udeh anak lu sini aja daripada lu bayar mahal-mahal malah
kayak gitu, itu baru ketauan sehari" ya kebetulan baru 2 bulan, "coba kemaren-
kemaren kalau gak dilapori tetangga aje", yaudah intinya tu, kenapa kesana aku
titipin karna satu perlakuan ART yang gak pada tempatnya udah itu
P : terus kayak ngerasa lebih aman gitu ya sama orang tua?
lxxviii
I : iya sama orang tua lebih aman lebih ini lah, aku balik kapan-kapan juga
bisa, begitu mbak
P : bu, ibu ketemu sama suami pas di Semarang saat ibu broadcast kah?
I : oh dia, dia fans radionya aku, waktu masih kuliah waktu itu, ini anakku
ketawa lagi
P : ibu kalau boleh tau, usianya sama kah sama suami?
I : beda 1.5 tahun
P : tua suami ya berarti?
I : iya he'eh
P : tuaan suami berarti, ok ok. Gimana tu bu ketika memutuskan untuk
menikah?
I : kalau suamiku itu pacarnya banyak, jadi kalau kan kayak gini, dia kan fans
aku gitu kan, dia dulu manggil dek minta lagu, ketemu temen-temen, di tempatku
kan ada kuis-kuis gitu kan, dia ikut itu kan terus "ih aku rak punya duit Iki, tolonglah
ikut kuisnya, siapa pake nama siapa" biasa kong kalikong gitu kan terus ntar telfon
tapi harus standby di kontrak di asrama kos-kosan dia gitu, udah gitu aja tapi kalau
aku sih aku kan lingkunganku lingkungan bapakku kan lingkungan klenik,
maksudnya bapakku dulu pernah jadi kesepuhan, mbah-mbahku pernah jadi
kesepuhan, jadi aku terbiasa di lingkungan kejawen ya makanya aku cerita di
lingkungan kejawen itu untuk puasa gitu, aku udah terbiasa liat primbon gitu gitu
aku udah terbiasa ya, nah ketika aku biasanya ketemu sama orang, aku tu ada seneng
sama orang tapi orangnya begini begini kayak gak gak bisa ngebaca orang tapi bisa
liat dari body language nya gitu, aku gak bisa baca pikiran kecuali kakakku kan dia
bisa baca kan dia udah di buka sih ituannya bukan indigo juga sih cuma karna
keseringan puasa, ikhtiar kayak gitu sebenernya latihannya kita bisa lebih peka
kayak gitu, tapi kejadian kayak gitu pekanya lebih ke perasaan bukan ke makhluk
astral hahaha jadi aku belajar liat orang ini pelit, orang ini baik kayak gitu, ni orang
kayak gini kayak gitu jadi ketika aku kenalan sama cowo misalnya gitu dia ada
flirting apa naksir naksir kayak gitu aku paham oh ini naksir aku tapi aku kalau klop
sama dia, jujur aku suka cowo yang cerdas yang smart, aku gak mau cowo yang
anak mami, pernah ada sih yang demen tapi anak mami banget, aku gak demen, dia
gak bisa memutuskan apalagi cowok yang terserah kamu, terus semua kemauan
cewe itu diturutin aku bukan tipe yang kayak gitu juga, aku senengnya yang ada
debat-debatnya gitu kan, aku mau tau alasannya apa, pokoknya ada yang debat,
entah itu debat table atau debat kusir yaudah asik aja kalau ada yang bisa buka
wawasan, dari cara bicaranya orang, cowo itu aku tau kayak gitu loh mbak, oh ini
cuma sebates seneng doang oh ini bucin banget kalau sekarang ya gak demen
dibucinin tersiksa kalau bucin jadi pas sekarang suami ini aku kayak wah playboy
kalau sekarang fuckboy nih kayak gitu aja udah, dia ngasih tanda tanda saya biasa
aja terus dia eee santai aku kan biasanya sampe jam 9 malam tu aku siaran sampe
jam 12 malam dia dateng tu, aku tau dia misalnya ini dia pagi sama si A si B si C
kayak gitu biasa aja kadang aku mengungkapkan ke orang yang suka
mengungkapkan secara gamblang, dia misal punya pacar 3, punya pacar 4, aku ya
ngomong aja dan suamiku yang ini ni yaudah kayak gitu resikonya lu yang no 4
yaudah aku juga gak cinta-cinta banget yaudah biasa aja karna aku pernah mencintai
seseorang terlalu banget kalau putus sakit banget, ada orang lain lagi, aku
lxxix
menghindari itu, ketika ada orang seneng sama aku ya aku biasa aja lah, sebelum
lu bilang sama bapak gua, gua gak akan terlalu menggantungkan harapan sama
kamu, gitu aja
P : iya bener
I : Ketika sama dia aku berapa tahun putus nyambung putus nyambung sih,
aku sih santai aja kalau diputusin, yaudah cari yang lain, aku tu gak pernah terlalu
terpuruk ketika diputusin sama cowo, pasti Allah sudah memberikan seseorang
yang sesuai dengan kita kayak gitu, aku putus sambung sama suamiku,
perbedaannya dia gak suka dengan kinerjanya aku kerja kayak gitu loh, aku kerja
di dunia broadcast terus aku pindah ke marketing ketemu orang-orang bla bla bla
gitu kan, dulu kan masih pake rok mini ya ceritanya ya kayak gitu kan hahaha dia
itu orangnya kayak gitu, dia itu kalo gitu, sebisa mungkin aku gak usah kerja loh
padahal itu aku lagi pada zaman-zaman keemasan waktu itu aku memimpin
(broadcastion? menit 59.42) kalau aku pribadi aku loh ya, di zaman keemasan aku
memimpin (broadcastion? menit 59.52) aku sebagai program director, aku megang
2 radio sekaligus, jadi aku 2 minggu di Semarang, 2 minggu di Banyumas, 2 minggu
di Semarang, 2 minggu di Banyumas, itu adalah suatu award melihat kinerja aku
dan gak ada orang menurut pikiran aku ya gak ada orang yang bisa seperti aku, aku
di pojokin terjepit di radio radio yang anarkis, kalau suasana gak kondusif "ayo
kamu turun ke acara A buat suasananya kondusif, kamu cari permasalahan disana
lapor ke kita" jadi aku cepet gitu mbak jadi kalau ada permasalahan hidup aku yang
sangat sangat keras gitu aku ya biasa aja ini juga bukan masalah kok, aku juga tapi
kalau pasangan aku gini gini aku yaudah gak gak gak sakit hati, terpuruk ah cari aja
lagi banyak cowok di dunia ini ya kan
P : iya bener, ibu tepatnya menika usia berapa bu?
I : berarti 29 lah, 29 lebih 3 bulan 4 bulanan lah, ya itu juga aku tanya dulu
sama laki gua "eh kita kawinnya kapan?" "aku cuma punya duit 2 juta" cuma punya
duit 2 juta, terus aku tanya ibu beneran ini aku tanya pacar ku kan, jadi aku sama
suami tu sama-sama tipe orang yang dia juga ke keluarga sama kayak aku mirip
jadi kakak-kakaknya juga gak ada yang tombokan, dia anak bontot kebetulan juga
dia mau berhasil juga cuma dia juga kuliah cuma dikasih 3 juta sama ibunya, 3 juta
di semester kedua, dia cukupin le, cukup, makanya laki gua jadi joki, pembalap
gelap gitu kan , kehidupannya fuckboy banget kayak gitu, maunya judi balapan
untuk menyambung hidup, kenapa dia kalau aku kenapa dia punya pacar banyak
yang ada di kota itu karna buat makan siang makan malam, ntar makan siang di
tempat A makan malam di tempat B kayak gitu hidupnya dia hahaha
P : oh ya ampun cerdas beneran cerdas
I : iya kalau aku melihat seperti itu, ya aku sih positif thinking
P : iya iya bener ibu positif thinking sekali
I : kalau kan punya pemikiran kayak gitu, aku ceplosin gini, aku bilang kayak
gini anak kosan miskin lu cuma numpang makan doang gua tau, lu kalau kesini gak
punya rokok. kebetulan gua punya rokok Sampoerna Mild waktu itu, kan ada tu kan
not for sale lumayan kan tu kecil kecil kan, yaudah gua bagiin aja waktu itu punya
kekuasaan hahaha lu butuh support yang kayak gini kan gua kasih sabun So Klin
dulu aku punya kerjasama sama So Klin kayak gitu sama Mayora sama apa itu kan
makanan banyak, di marketing kita ada sampel sampel yang not for sale kayak gitu
lxxx
kan, banyak sih jadi yaudah dibagiin namanya gua anak kos kaum dhuafa, sama
sama kaum dhuafa gua bilang gitu, jadi aku sama suamiku gak ada mengikat
pacaran gitu, kalau lu serius sama gua ya lu ijab aja ngapain main main kayak
begitu.
P : iya bener
I : tapi kita kan punya pemikiran terbuka maksudnya kita sama-sama dari
keluarga yang biasa-biasa aja gitu lah yang cukup, gak berlimpah materi, buat
makan cukup makan tempe doang, kita kan beranjak dari situ, aku kan punya
prinsip aku bilang kalau lu seneng sama gua satu gua gak mau ngeributin warisan
orang tua, kedua gua gak mau hidup sama mertua atau orang tua, aku bilang berarti
lu sama gua harus punya rumah sendiri, aku bilang kayak gitu, terus ketiga aku gak
mau ikut campur atau direpotin sama saudara ipar , aku bilangnya waktu itu kayak
gitu, kalau mau nolong ok tapi kalau mau hidup bareng gak, aku bilang kayak gitu,
kita hidup berdua dengan keluarga kita susah seneng kita diem aku bilang gitu, gak
usah minta apapun sama orang tua, kita bisa usaha sendiri, akhirnya 2 juta itu aku
kasihin ke ibu aku terus aku bilang "bu, gua mau kawin tapi ini cuma punya 2 juta,
pokoknya ijab aja deh" udah aku bilang kayak gitu ibu cuma melongo "emang lu
bunting?" "ya gak lah" akhirnya dateng kan tu perwakilan ditentuin besok sebulan
berikutnya, udah. Tau gak seserahannya gak kayak sekarang sekarang, "aku udah
gak punya duit" "udah diem aja lu, gua punya tu selimut, lu buntel aja tu selimut,
besok bawa itu emak gua gak bakal tau, gua punya bahan lebaran belom gua pake,
lu buntel aja sendiri ntar kasih ke cowo gua, ntar lu bawa kasih seserahan itu" gua
bilang gitu "gak usah bilang aku punya nya ini, gak usah kagak ada yang tau" orang
ngasih seserahan segitu mahalnya segitu bagusnya kan satu buat nutup mata saudara
saudara, buat update status status doang kan sekarang, buat foto kayak gitu kan,
padahal duit sendiri, kalau aku yaudah apa yang aku beli, kagak ada orang orang
yang tau. Lu punya duit lu bayar utang ke gua, ibuku sedih mbak kok seserahannya
segini doang "bu, ini bukan apa-apa, doain yang akan jadi perjalanan berikutnya itu
setelah pernikahan gua bener gak sama pilihan gua itu" laki gua kan kayak preman
mukanya mbak, jelek, gantengan sekarang maksudnya
P : ya Allah ini nyablak banget, Betawi banget, Jakartanya keluar
I : beneran anakku juga bilang, ih ayah kok jelek banget, aku bilang biasa aja
gak seneng gua bilang, beneran suamiku cuma cengar cengir, suamiku tu sama-
sama, kita sama-sama orang limited edition ya, gak ada disenengin diputisin siapa
siapa jadi kita sama-sama orang terbuang ya kan jadi yaudah lah kita ngeklop aja.
Yaudah kita biasa aja bareng, caci maki ya biasa, ya itu makanya masih satu level
usianya, aku lahir tahun 73 jadi ya masih kayak berteman aja, berteman aja sama
anak-anakku ini anakku yang cowok udah 16 tahun udah puber kayak gitu kan suka
curhat sama aku, bapaknya dulu cewenya banyak, kamu dapet satu doing.
Managemen waktunya kayak gimana yah? buset genetiknya turun dari lu tuh, kalau
mama mah gak kalau mama satu aja gak abis abis, aku sih bilang kayak gitu, ya kita
terbuka aja, kita sama anak-anak berteman aja gitu, gak kayak aku sama mak bapak
diem aja nunduk, sekarang aja mataku melotot "ma matanya melotot melotot takut
keluar tau ma" kayak gitu sama aku, susah kan? Gak bisa zaman sekarang didik
anak kaku kayak gitu gak bisa, kita harus mengikuti alamnya dia aja, dia lagi
kepengen apa, dia lagi galau, dia misal kuliah ketemu temen terus dia terjebak si
lxxxi
pertemanan yang gak baik gitu, dia sempet marah juga, dia diemin aku seminggu
aku nanti bilang "temen kamu gini gini kak, pertemanan itu gini gini" terus dia
"untung aku dulu dengerin mama ya" yaudah nurutin saja.
P : berarti emang ibu dan suami tu bukan orang tua yang strict parents gitu ya
berarti?
I : kagak kagak, berteman aja sama anak, aku dulu pernah ngerasain itu kan
strict, sampe aku dikencingin sama bapakku kan, digebukin kan, aku ngerasa ada
kebencian yang tertanam, benci kayak gitu loh, aku benci banget ngerasa ada rasa
benci tapi setelah aku besar setelah aku keluar dari rumah aku pikir apa yang
dilakukan bapak aku benar tapi salah dalam mengimplementasinkannya, mau
mendidik secara disiplin bla bla bla tapi ada kesenioritasan, mungkin bapakku dulu
diperlakukan keras, gak mau puasa lah atau berendam di sungai apa lah kayak gitu
kan jadinya dihukum kayak gitu tapi yaudah lah kita kan gak bisa langsung
mewariskan kayak ospek gitu kan junioritas senioritas gitu kan, yaudah sekarang
kalau anakku lagi mengungkapkan ngambeknya dia, gak setuju sama aku kayak
gitu kadang ada yang lewat WA "aku marah sama mama" "yowes marah gak usah
makan, gak usah mandi" aku bilang kayak gitu aja
P : ibu mau tanya lagi, ibu selama kerja di kota itu apa yaaa presentasi ibu
pulang itu setahun bisa banyak atau ibu pulang ketika ya ibu pengen pulang aja gitu
ketemu orang tua
I : ketika aku masih bujang? Apa ketika eee oh masih bujang? Ketika masih
bujang itu Kalau pas ada duit hahaha
P : iya aku penasaran ketika orang tua ibu di desa ya di rumah lama, ibu di
kota dan ketika ibu balik itu ibu menyadari loh tinggal saya nih yang belum
menikah, padahal temen-temen saya udah punya anak, bahkan udah mau nyunatin
anaknya, nah dari keluarga ibu sendiri emang gak ada dorongan untuk ibu segera
menikah kan, tapi gimana sih bu pandangan-pandangan tetangga, maksudnya ada
gak yang ngomong?
I : aku tipe orang yang tidak pernah mempedulikan omongan tetangga, satu
itu, aku orangnya cuek banget, bodo amat tetangga mau ngomong apa, orang gua
gak bisa makan aja tetangga gak ada yang nolongin, ya kan? Aku gak, sampe
sekarang pun rumahku jelek digosipin macam-macam, rumah kayak kandang sapi
gitu lah, aku cuma kayak gini ya masa orang bangun rumah bareng-bareng? Orang
rezeki beda-beda, nanti suatu saat kita akan mengalami menuju kesitu, aku juga
kayak gitu, ngapain nikah dipaksa-paksa, orang jodohnya aja gak ada masa mau
dipaksa-paksa nikah sama siapa coba, ya gak? Nanti juga akan ada waktunya,
kebetulan kalau untuk pulang ke rumah itu aku sesuai dengan kondisi tapi untuk
telfon aku biasanya seminggu sekali telfon "ibu baik gak? Bapak baik gak?" Kalau
ayahku surat-suratan, dia curhat banyak sih soalnya
P : seru banget surat-suratan
I : iya surat-suratan, ntar dia cerita anaknya si A si B si C kayak gitu karna
ayahku tipe orang curhat dan sementara anaknya yang dengerin curhatannya
bapakku perang, bapakku apa itu cuma aku doang, jadi di pandangan kakak-
kakakku yang lain ya aku tu anak kesayangan bapak, mereka mandangnya kayak
gitu, eh anak kesayangan padahal bapakku itu ya namanya orang tua, padahal aku
tu seneng baca buku motivasi-motivasi, aku kan senengnya baca ya, buku-buku
lxxxii
motivasi, buku-buku inter apa lah apa lah jadi ada buku psikolog buku-buku filsuf-
filsuf gitu, jadi aku ingin memahami orang oh bapakku seperti ini, aku melihat dari
mata beliau ya, sebenernya bukan materi, beliau ingin perhatian, ingin didengerin
ngomong, namanya orang tua pasti ngelantur lah kepengen menunjukkan
kebanggaan di zaman dulu tapi anaknya gak bisa liat akhirnya cerita tapi pasti cerita
bolak-balik bolak-balik kayak gitu, tapi kalau aku dengerin sampe titik komanya
aku masih inget, nanti bapak bilang belok kanan nah bener kan belok kanan, terus
nanti belok kiri, aku tu sampe hapal, aku biarin aja, "ya pak" dengan kalimat yang
sama aku bolak-balik dengerin, bapakku seneng aja, ya namanya orang tua, berlaku
seperti itu dengan suamiku yang sekarang, aku jadi pendengar yang baik, padahal
suamiku udah bilang 3 kali nih ntar belok kanan belok kiri nih sama persis seperti
itu, jadi ya aku dengerin aja dengerin, setiap orang kan punya permasalahan unek-
unek gak cuma butuh duit doang kan solusinya, didengerin dikasih solusi kalau
butuh solusinya, kalau butuh didengerin ya dengerin aja sampe aku hapal tu cerita
kayak gitu.
Jadi kalau sama bapak, bapak sering curhat lewat surat bisa berapa lembar gitu, tapi
kalau ibu aku telfon, aku pulangnya paling banter 6 bulan sekali, kalau gak setahun
sekali, lebaran aku gak pernah pulang tapi aku telfon aku kirim makan aku kirim
duit, seperti misalnya kayak gitu lah kalau ada rezeki aku kasih ibu, aku kasih
bapak, bapak beda kasih ibu beda, jangan sampe bapak tau, jangan sampe ibu tau,
kalau bapak aku transferin, kalau ibu lewat barang, beli panci ntar aku bilang "bu
di bawah ada amplop, awas nanti ketauan bapak hahaha" udah kan gitu, kalau aku
pulang, bapak masih tidur aku selipin di bawah bantal, aku selip di bantal kalau ibu
ntar ibu lagi apa di kamar aku taro di lemari kayak gitu
P : kenapa bu kayak gitu? Maksudnya kenapa ibu bisa kepikiran kalo kasih
ibu bapak gak boleh tau, kasih bapak ibu gak boleh tau?
I : karna bapakku tipe orang suka kayak gini, bapakku suka bersedekah tapi
gak ngomong-ngomong gitu tapi ibuku ngartiinnya bapakku itu ngasih saudara, kan
gini saudara gak punya kan lebih deket, bapakku kasih itu sambil bersedekah jadi
bapak kan komunikasinya sama aku "kamu mau gak titip buat anak yatim? Kamu
mau titip gak?" Jadi aku kasih bapak lebih, bapakku ada rencana mau ke panti ini
kan, aku titip tapi nanti bapak aku yang mengalokasikan tapi ibuku taunya itu bagi-
bagi, dikasih-kasih ke saudara, buat sendiri gak ada, ibuku tu sering negatif thinking
sama bapakku sampe tua, sampe bapak mau meninggal, aku bilang "ibu jangan
negatif thinking terus sama bapak, bapak udah gak lama lagi mau ninggalin kita"
aku bilang kayak gitu kan, terus ibuku aku kasih biar ibuku bisa beli makanan
sendiri, beli sesuatu sendiri deh, mau beli cincin apa beli baju apa beli apa, karna
kalau bapakku tau nanti "mana duit yang dikasih Yuni sini, kan duitnya buat beli
beras" hahaha padahal bapakku udah dikasih, nanti ibuku jajan "ibumu gak kasih-
kasih, ibumu makan dewek" kayak gitu, jadi aku coba mengerti jalan pikiran orang
tuaku, ibuku kurang memahami bapakku, bapakku juga kurang memahami
keinginan ibu, misal ibu pengen beli dawet di pasar minum disana tapi bapakku
kurang ngerti malah dibawa pulang gitu, kurang romantis gitu, jadi aku sebagai
anak mencoba memahami keduanya, oh bapakku seperti ini ibuku seperti ini, jadi
aku ketika ngasih bapak jangan sampe tau ibu, kalau ngasih ibu jangan sampe tau
bapak, kalau duanya tau pernah waktu itu ngasih ada beliau duduk berdua ini buat
lxxxiii
bapak ini buat ibu, punya ibu diambil samua sama bapak, kan kasian aku bilang iya
bu nanti aku ganti, jadi aku memperlakukan kayak gitu, aku ngasih kakakku yang
lain juga kayak gitu, nanti misalnya ngasih kakakku yang cowok aku kasih sama
istrinya atau kasih sama anak-anaknya, udah kayak gitu aja, aku mencoba ya aku
bisa liat orang itu kayak gini, kayak gini, kelebihan aku itu aku terapkan di
kehidupanku sehari-hari, ini orang tipenya pengen diginiin nih, pengen disanjung,
ada yang gak, ada yang biasa-biasa aja kayak gitu, ya jadilah begitu mbak.
P : tadi kan ibu bilang, ibu suka telfon dan surat-suratan sama ayah sama ibu,
semenjak ibu diluar gitu di perantauan, apapun itu ibu bicarakan sama orang tua?
Ibu punya masalah atau mau ambil keputusan ini itu?
I : kagak kagak, tidak pernah sama sekali, aku mau nyunatin anakku aku gak
cerita ke ibuku, anakku sunat aja
P : jadi setelah ibu memutuskan keluar dari rumah pergi ke perantauan itu
memang sudah ditanamkan di dalam hati apapun keputusan yang ibu ambil ibu pilih
sendiri, tidak di kompromikan lagi dengan orang tua?
I : iya iya, jadi segala suatu hal yang membutuhkan keputusan yang berkaitan
dengan kebutuhan aku waktu aku bujang ya, yang berkaitan dengan hidupku, aku
putuskan sendiri, entah itu beraspek negatif atau beraspek positif, konsekuensinya
aku terima sendiri, aku gak mau orang tuaku tau aku menghadapi masalah, kan
pernah di kantor aku di skors karna aku kesalahan fatal, aku diem aja gak pernah
curhat, gak pernah ini, aku kan curhatnya muterin lagu, buat drama sesuai dengan
cerita aku, itu aja biasanya kayak gitu, aku tinggal bikin cerita udah kayak gitu aja
cukup ya satu lagi paling nangis-nangis pas lagi shalat gitu doang, soalnya ketika
cerita ke temen pun nanti ketika temannya lagi benci sama gua nih ya, nanti gua
diceritain ke orang lain makanya aku gak percaya sama temen apalagi yang
namanya temen sejati, bullshit gak ada, temen buat jalan gitu aja udah sekedar jalan,
daripada di traktir lu, aku lebih suka traktir orang, aku tipenya kayak gitu kalau gak
punya duit yaudah gak usah jalan-jalan di rumah aja, bikin makanan sendiri udah
gitu
P : ok Bu, sekarang aku mau nanya itu dong bu , pendapat ibu tentang
pernikahan, gimana menurut ibu pernikahan itu? Pemikiran ibu pas masih muda ya
sama pemikiran ibu sesudah menikah
I : kalau pendapat pernikahan pas masih bujang, pendapatnya gua rasa 100%
berbunga-bunga deh ya kalau bahas pernikahan, pikirannya positif, ah punya suami
yang sayang terus mapan, ya kan?
P : iya bener
I : mapan terus sefrekuensi sama kita, dia romantis banget kayak gitu, telfon
saban hari kadang "udah makan? Udah pret?" Kayak gitu kan kayak pacaran-
pacaran gitu kan nanti ketika pernikahan gua bangun tidur ada laki gua, terlepas
dari hubungan suami istri lah ya ada kenyamanan dalam hati, ada ntar ada teman
curhat yang bener-bener ngertiin kita sebagai pasangan, tapi ternyata ketika
menikah, KETIKA MENIKAH, saya garis bawahi, betul-betul ketika pemerintah
memerintahkan menikahlah di usia yang tepat, kan ada peraturannya tu menikah di
usia berapa tu 18 tahun buat perempuan, laki-laki 20. Kenapa dalam usia itu, harus
siap mental, siap mentalnya, siap jiwanya, rohaninya, kalau bisa kalau lagi udah
mapan kayak gitu kan, dijelaskan disitu kan kalau bisa mapan, nah kebetulan kalau
lxxxiv
aku menikah dalam situasi suamiku belom mapan ya, pas lulus kuliah cari-cari,
kalau aku kebetulan sudah bekerja, ada penghasilan lah ya, kalau aku dan suami
kebetulan sefrekuensi, satu sebisa mungkin gak nyusahin orang tua, apa yang bisa
dikerjain sendiri sebisa mungkin kita lakuin sendiri, terus aku juga tipenya ayok
kita mulai dari nol nol nol, jujur aku sama suami mulai dari nol kan, kita masih
dalam perembukan nih belom ke perkawinan, yaudah jebret kita menikah, dia
melamar, ketika dalam keadaan halal, pernikahan kan halalnya, kita melakukan ---
P : hal yang dilarang? Omg reconecting
I : (putus-putus menit 01.23.45 - 01.24.04) di kasur, baju kotor terus makan
taro di wastafel, ya kalau tugas kita kalau kotor taro di belakang, ya hanya sebatas
istri nyambut suami bisa tapi permasalahannya ketika (putus-putus menit 01.24.20
- 01.24.55) sifat mertua seperti apa, keadaan banget banget banget, memahami
kedua orang tua itu luar biasa perjuangannya itu, ya ketika itu suamiku kan anak
bontot ya cowok, jadi ada sister complex atau brother complex gitu jadi sampe
sekarang anak-anakku sampe paham kakaknya perempuan itu merasa adiknya
kebanggaan keluarga, aku gak masalah dia mau menolong, dia mau membawa
anaknya, itu tugas anak laki-laki kok, gak usah ngomong ke aku, aku juga paham,
itu kenapa kita harus punya pasangan yang seiman karna dalam agama kita masing-
masing disampaikan bagaimana memperlakukan mertua, bagaimana
memperlakukan saudara ipar, bagaimana memperlakukan kamu, kamu juga kan
memilih sampai akhir muliakan lah, muliakan bla bla bla, kayak gitu kan, itu udah
diatur dalam agama kita masing-masing, ada adabnya tapi kembali ke masalah
analogisnya itu perjuangan berat, aku sampe jujur jujur jujur ya aku sampe setengah
tahun pernikahanku aku pisah loh sama suamiku, kenap jarak anakku yang pertama
jaraknya 5 tahun sama anak yang kedua karna aku pisah
P : oh gitu
I : pisah bukan karna cinta kita yang udah abis, gak, karna pihak eee aku gak
menyalahkan pihak mana karna satu kita masih muda kita sama-sama satu ukuran
satu level, emosi kita masih tinggi, egois kita masih tinggi, suamiku juga gak mau
suamiku dengan pikirannya bahwa dia benar dan aku yang merasa aku sudah
mengerti perasaan, menyabarkan diri egoisnya situ, lu gak mau ngertiin gua, ketika
aku menikah aku dititipin saudaranya dari laki-laki tu, aku bilang gini, aku kan
punya kelebihan di satu sisi bisa melihat orang kan, aku bilang sama suamiku "aku
gak mau ditititpin si cewe ini deh" aku bilang kayak gitu, aku gak bisa sama dia, ini
nakal, aku sampe bilang kayak gitu, dia bilang kamu masa gitu sama keponakan,
bilangnya gitu, sampe suatu saat kejadian beneran aku bilang sama pak RT
"silahkan pak tapi jangan bilang kalau saya tau" karna suamiku gak percaya kan,
aku diem pura-pura gak ngerti padahal aku udah bilang sama pak RT sama temen-
temen karang taruna kalau aku tau ya, mau jaga perasaan suami saya, aku bilang
kayak gitu, nah kejadian-kejadian ada lagi terjadi di pihak keluarganya dia, yang
recokin rumah tangganya aku biarpun aku udah pisah rumah tapi tetep suamiku
masih diniin sama keluarganya dia gitu loh, aku akhirnya bilang gini deh, aku hamil
luar biasa perjuangannya, aku sampe aku memilih memutuskan semuanya sendiri
ya, aku pulang ke rumah, aku bawa surat nikah, 40 hari aku melahirkan di
Semarang, aku mau gugat cerai, ibuku gak tau aku mau gugat cerai, aku udah pisah
dari rumah, kan katanya kalau udah 40 hari udah boleh jalan-jalan lah ya bagi orang
lxxxv
jawa, jadi keluar rumah aku ke rumah ibuku aku di Semarang, aku kirab lah "ayuk
bu aku kirab" aku bawa anakku lah ke Purwokerto, aku kan di Semarang, besok
paginya aku ke pengadilan agama masukin surat, aku gugat cerai, sebulan
berikutnya suamiku dapet panggilan, dia dateng ke rumah gak bisa gak boleh, aku
tetep maju, 7 bulan lah proses perjalanan perceraian itu, akhirnya aku bilang gini
"tolong bahagiakan ibumu dulu, bahagiakan keluargamu dulu, kalau memang kita
masih ada jodoh, kalau kita memang ditakdirkan, kita akan ketemu pada masanya",
aku bilang kayak gitu ke suamiku, 3,5 tahun aku menjanda, aku hilang dari
peredaran, aku pindah kerja gak di Semarang lagi, aku tutup kontak sama suami,
keluarga, suamiku juga ketemu sama anaknya cuma 10 menit kayak gitu, di tahun
pertama di bulan-bulan pertama ketemu sekali sebulan, setelahnya biasalah laki-
laki cari lagi, aku yaudah lah aku juga bodo amat "oh yaudah jodoh cuma sampe
disini" yaudah aku gak menyesali cuman 3 tahun anakku tanya "ayah dimana?",
kan tetangga gak ada yang tau sih, karna dari bujang kan gak pernah di rumah ya,
anakku juga dititipkan disitu gak pernah nanya mantunya dimana, ini anaknya gak
ada yang ngurus, ibuku sih nutupinnya begitu, udah kalau begitu gak ada yang
cerita, aku pulang sesekali juga ketemu anakku sampe 3,5 tahun berjalan lah. Aku
cuma sebagai pribadi yang mengenal Tuhan, waktu itu aku cuma minta kayak gini
untuk diriku sendiri "ya Allah kalau memang ini kesalahannya aku, tunjukkan
kesalahan itu sama aku tapi kalau aku benar, tolong tunjukkan kebenaran itu kepada
suamiku" nah akhirnya kebenaran itu terungkap setelah 3,5 tahun lebih berjalan,
suamiku hubungin aku minta maaf "ma, maaf ya" kayak gitu doang "kamu bener"
udah oh yaudah kayak gitu udah, berarti Tuhan kan sudah memberikan jawaban
sekian lama kan, yasudah aku biasa lagi terus aku longgarin dia mau ketemu
anaknya, dia juga udah punya pacar, aku juga dikasih tau sama temen-temen "oh
mas mu sudah punya pacar" "oh yaudah gapapa" aku bilang kayak gitu "kita udah
lost contact kok" aku bilang "bu, kalau si itu mau ketemu anaknya gapapa, mau ajak
ke mall gapapa" aku bilang gitu, dia udah gak ngirimin nafkah kan, cuma 3 bulan
pertama lah, aku sih gak mempermasalahkan kayak gitu, gak penting-penting
amatlah gitu, aku cuma eee aku tipenya kayak gini siapa orang yang menzolimi aku,
lu bakal kena bukan karma sih ya, balasan yang setimpal kayak gitu aja, aku balikin
aja sama Allah, dan rata-rata orang yang suka ngomongin gua gak jelas, kalau gua
salah jelas gua minta maaf di depan dia, kalau ada orang yang gak jelas apalagi
saudara gua sendiri gitu lo bakal kena gitu aja, cuma gitu aja sih Allah maha tau
sih, aku seringnya ngomong kayak gitu, bukan apa-apa, Allah gak tidur pasti nanti
dikembalikan, jadi aku lebih sabar lagi dan suamiku ngajakin rujuk lagi setelah 6
bulan kan di ngajakin rujuk, anak dia udah gede sih, aku perlu 6 bulan aku tanya-
tanya setujua apa gak, ibuku gak setuju, ibuku sakit hati gitu ya kan, kalau bapakku
"terserah kamu yang menjalani" aku selalu di support sama bapakku, sumpah suer
jadi aku nikah kedua kalinya itu cuma bawa bapak doang, bawa anakku, bawa
suami gua, yang jadi wali yang jadi saksi orang KUA
P : ibunya ibu gak hadir?
I : gak hadir, ibu cuma mau ketemu empat mata sama laki aku, aku ijab itu
dia minta ketemu empat mata sama suamiku, mereka buat perjanjian, aku gak tau
perjanjiannya apa, nanya ibuku tapi ibuku gak mau kasih tau ke aku, suamiku juga
gak mau kasih tau ke aku. Jadi ibuku cuma bicara berdua doang tuh mau minta
lxxxvi
perjanjian apa lah, gak tau gua juga sampe sekarang terus yaudah ibuku gak ini,
bapakku juga, aku cuma ijab di KUA doang terus aku saat itu pindah kontrakan
lagi, aku resign juga dari kerjaan, tadinya aku maiah kerja juga terus aku disuruh
resign, ternyata disitu gua disuruh ngurus mertua gua lah, ngurusin ponakan-
ponakan dia lah, ngurusin saudara ipar dia lah, serumah bareng, gua bilang "buset
keulang lagi ni cerita hahaha" wah ada Tersanjung bagian dua ni, bagian 2 sampe 7
hahaha, yaudah aku cuma bilang gini "mungkin Allah menilai aku orang yang
paling kuat paling sabar ketika menghadapi persoalan ini" yaudah gua jabanin deh
sampe berapa ujian gua, gitu aja. Udah aku sakit-sakit, tetangga yang gak tau cerita
orang baru kebetulan "ibu kasian ya baru ini terus ini" kan sangar-sangar semua
kakak-kakaknya dia, prilakunya juga rada-rada absurd gak benar kayak gitu jadi
aku yang biasanya kakak-kakak aku yang bandel masih ada sopan masih ada aturan
liat saudaranya luar biasa, yang perempuan juga julid netizennya luar biasa, cari
mukanya bener-bener, kalau di depanku bisa benci bengis bengis bengis tapi kalau
ada suamiku "hai apa kabar?" anakku sampe tau loh "mama, itu bude kalau ada
aman di depannya ada ayah baik ya tapi kalau ayah gak ada jahat langsung deh"
anakku sampe tau loh, jadi aku pembelajaran saja sama anakku "ya kayak gitu kak,
ketika kita menikah, bukan hanya kita berdua tapi kita ada 2 keluarga yang
dikawinkan, terus harus kita pahami kalau suamiku gak mau memahami keluargaku
gak masalah, aku yang memahami mereka, kalau aku harus memahami keluarga
mereka ya ok, gitu aja, jadi memang ada dua sisi yang gak sesuai nih di laki gua,
timbal baliknya gak ada, ya ada sih namanya kekurangan dan kelebihan ada di
setiap pasangan, ya aku memahami itu tapi kelebihan pasangan aku satu sefrekuensi
sama aku, tipenya boros dia lebih boros dari aku, dia suka ngasih-ngasih orang, gua
juga suka ngasih-ngasih orang, yaudah kayak gitu loh, aku ditipu orang "yaudah
kalau di tipu nanti ada rezeki lagi untuk kita" laki gua "yaudeh" jadinya bukan
menggampangkan orang, laki aku tu positif thinking banget orangnya, anakku
sampe heran "ayah ketipu malah bolak-balik bukannya nasib itu mah, ayahnya
doyan ketipu" "ayahmu itu berpikir positif ke orang yang punya hutang ya harus
dibayar" kayak gitu, saya sama suami selagi masih bisa bantu ya bantu, ya
perjanjiannya hutang ya hutang harus dibayar, kalau gak bayar sekali dua kali kita
tagih, udah kewajiban kita kan udah nanti kita balikin sama Tuhan, "ya Allah yang
akan nagih hutang mama ke dia" udah gitu aja, jadi gak kepikiran, kebetulan aku
sama suami satu frekuensi kalau bahas yang kayak gini, ya kebetulan banyak
frekuensi yang sama, aku sama suami ada keputusan apa, suamiku kadang udah
mutusin dulu nih, aku belom yakin belom diajak rembukan, diomongin, lu gak usah
ngomong kalo udah mutusin, misal beli mobil, rumah, lu ngapain nyuruh gua milih
warna item atau putih taunya lu beli warna merah, iya kan?
P : iya bener
I : Iya itu laki-laki kayak gitu, jadi perjalanan perkawinan aku tu selam 21
tahun ini sih banyak suka dan dukanya rata-rata persamaan mempersamakan
persepsi dan cara pandang kita ke depannya kayak apa, mendidik anak seperti apa,
kadang aku suka sebel misalnya aku lagi ngasih notis nih ngasih warning sama
anak-anak harus gini bla bla bla kayak gitu, suami ku gak kayak kaleng rombeng
kayak radio rusak, kayak gitu siapa yang gak sakit hati coba
P : bener itu bikin kesel
lxxxvii
I : kesel kan, ketika gua ngomong kayak gini diem lah, kalau gua comel gua
cerewet ya lu pergi aja ngapain disuruh dengerin, iye kan tapi kalau gua marah, gua
ngabur "gak duduk dulu sekalian" dia kesakitan gitu kan, sama anak gua disuruh
dengeriiiiinnnnnn kayak gitu, ya biasa laki-laki ego nya kan kayak gitu, tapi kalau
perempuan lagi ngomong dikira kaleng rombeng, dikira radio bodol lah, rusak lah,
itu pernikahan ya kayak gitu
P : terus bu sampai saat ini berarti masih ada hal-hal yang ibu kompromi kan
lagi, maksudnya kedepannya pernikahan ibu mau seperti apa karna tadi di awal
perjalanannya maaf sempet ada kegagalan ya kan bu, nah pas mulai lagi ibu
membicarakannya seperti apa? Terus nanti harapan ibu ke depannya mau seperti
apa? Ibu mau bicarakan itu gak sama suami?
I : ya ya namanya pernikahan pasti ada pasang surutnya, ujian datengnya
bukan cuma dari suami istri itu sendiri, bisa dateng dari orang tua, dari saudara,
lingkungan sekitar ya tetangga atau dari selingkuhan, itu bisa didatangkan dari
siapapun, dari anak pun ada, bisa bikin kita marah-marahan, dia bela dia terus gua
marahin, dia bisa marah sama emaknya juga kan, sama aja semua permasalahan itu
bisa membuka peluang, siapapun bisa disitu, permasalahan keluarga bisa timbul,
bagaimana cara kita mengatasinya? (01.40.55 - 01.41.18 narsum ngobrol sama
orang lain di telfon) kan sampe mana aku tadi lupa
P : awal pernikahan memang banyak cobaannya
I : banyak cobaannya bisa membuka peluang buat siapa aja deh bisa ngambil
jadi setan disitu kan, jadi ketika saat itu suamiku sudah rada bagus
perekonomiannya, aku sadar banget nih ya, aku bisa bangun rumah, lagi proses
waktu itu, jadi aku sudah dibilangin sama ibuku sama bapakku tentang berumah
tangga, karna aku pernah gagal juga karna ya hasil pemikiran aku sendiri kan, karna
egoisme dari kedua belah pihak, orang tuaku juga gak mencampuri banget, gak
"yaudah kamu ambil keputusan itu ya konsekuensi kamu yang tanggung" aku juga
"yaudah pak biarin aja, orang gua yang pisah sendiri, bapak gak usah bingung, aku
juga kerja aku cari duit sendiri, yang penting anakku selamat bisa nyusu" gitu kan.
Udah jadi waktu itu aku dibilangin, aku belajar dari sekeliling, biasanya kehidupan
rumah tangga sudah mulai membaik, meningkat, ada rezeki ada salah satunya yang
tergelincir, aku paham banget ya kan, ya aku mulai mempelajari, ya pernah suami
ku itu tergelincir lah kayak gitu, dia ada sama perempuan lain, ya aku santai aja lah,
aku bisa liat kok ini suamiku beda, berarti kaniat hp nya buka, biasanya hp tu
digeletakin, sekarang dibawa tidur kan, sekarang di password, biasanya gak pake
minyak wangi sekarang pake minyak wangi, itu kan udah keliatan, memang bener
kan jadinya aku kepo kan dan aku baru main Facebook kan, dia menyalahkan apa
yang aku lakukan, sama dia aku salah, ini jadi ada apakah terus ada satu nama yang
aneh, tipe suamiku adalah tidak pernah menghapus SMS dari zaman apa lah itu gak
pernah dihapus sampe ribuan SMS, sampe hp nya ngehang gak pernah dihapus, itu
kelebihannya suami aku, jadi aku bisa langsung melacak jebret ada satu nama terus
aku liat chattingnya itu buset buset buset, tadinya suamiku biasa aja nanggepinnya
kan, sebagai rekan kerja aja, partner bisnis kan jebret jebret lah kok berakhir udah
ada rasa ada kata-kata sayang muncul, aku yaudah aku pindah no nya ke hp aku kan
jebret, besok paginya aku belanja menuhin kulkas, anakku kan senengnya ayam,
aku ungkep ayam, aku penuhin telur Indomie, pokoknya kulkas penuh full dulu
lxxxviii
terus aku berangkat kerja, aku bilang sama kakak laki-lakinya dia, biasanya ikut
sama aku "mas tolong ditelfon ini no ini, yang nerima cewe apa cowo" "loh
kenapa?" "adikmu selingkuh" aku bilang gitu kan, wah kakaknya marah kan "mana
mungkin anak baik bla bla bla" suamiku kan terkenalnya anak baik kan di
keluarganya, kalau aku kan tau di luarnya "mana mungkin ini bla bla bla" "aku kan
cuma nyuruh nelfon doang mas, ntar kalau yang angkat cewe tanya namanya siapa,
bener gak kenal sama ini, gua gak bilang adek lu jelek ya". itu pagi tu, nah akhirnya
kakaknya (suamiku) telfon kan. Dan bener (yang angkat) cewek. Ditanyain
namanya pas sama sama nama yang dinamain di kontaknya suamiku. Kan ada aku
itu pas dia (kakaknya suami) telfon dan itu di loudspeaker. Yaudah jeberet langsung
aku matiin. “wis, toh, bener mbok” aku bilang begitu kan. Kakaknya tu diem saja
kan. Dia mikir mungkin, “masa adikku yang lurus kayak gini” kayak begitu
mungkin di dalam pikirannya. Terus, aku berangkat kerja. “sudah, aku berangkat
kerja ya.” pamit sama kakak iparku itu. Sudah, aku berangkat kerja mbak. Sudah
mateng masak dari jam 9. Terus jam 11 atau 12 begitu suamiku wa, katanya ada
orang yang mau ketemu sama aku, katanya begitu. Aku ditungguin sama orang
pusat, begitu. “aku kayaknya gabisa, deh” aku bilang kayak begitu. Terus aku itu
sebenernya sudah eee jaman itu BBM ya. dan aku sudah BBM si cewek itu
panjaaaaang kali lebar aku memperkenalkan diri kalo aku istrinya si ini dengan anak
sekian bla bla bla. Aku baik-baik kok ngomongnya sama perempuan itu. Nah jebret
jebret jebret pesan itu aku forward ke suamiku siangnya. Aku bilang ke suamiku,
“eh sorry beb tadi aku BBM-an sama pacarmu” aku bilang kayak begitu saja
(tertawa), “maaf ya aku lancang”. Sudah, abis itu suamiku nggak bales. Sudah
dibaca sih tapi memang nggak dibales (tertawa).
Terus seharusnya aku pulang ke rumah. Eee waktu itu aku sudah S2 kan, kebetulan
kuliah hari Sabtu. “aku berangkat kuliah ya” aku izin sama suammiku kayak begitu.
Padahal sebenernya nggak ada pelajaran, jam kosong. Jadi, aku numpang tidur di
tempat teman ku yang seorang dosen di Manado yang kebetulan dapet tugas belajar
tempat aku S2. “wee aku ikut dong, numpang tidur di tempatmu”, “memang ada
apa kau bu?” kayak begitu (tertawa) “tumben-tumbenan kau tidur di kos” gituu,
“gue ada masalah sama laki gue”, “gue tidur ya sambil ngerjain tugas”, “oh iya, iya
gapapa bu. bawa baju ga?”, “nggak” gue bilang, “yaudah pakai baju kita”. Nah jadi
aku tidur di asrama anak-anak Manado itu. Aku bilang, aku pergi yaa. Dan disitu
aku Cuma bawa duit 200rb doang. Memang bawa motor juga. Aku berangkat
kuliah, aku ngomongnya berangkat kuliah. Tapi ada jam kosong. Aku juga bilang,
“jagain anak-anak. Itu ada ayam ungkep, telor, bla bla bla”. Sudah deh, sehari itu
aku putus kontak sama suamiku.
Yaudah, aku cuman intropeksi apasih yang kurang sama diri aku. Terus aku juga
sambil ngerjain tugaslah dan temenku nggak ada yang gangguin. Karena aku bilang
lagi ada permasalahan keluarga dan mereka juga kan dosen-dosen yang yaa sudah
paham juga lah. Jadi, mereka kasih aku kamar satu biar aku menyelesaikan
masalahnya sendiri. Sudah ini, besoknya Minggunya aku balik malem. Aku bilang
ke suamiku, “aku balik, sudah sampe rumah”. Suamiku kan pergi sama anak-anak
kan nyariina aku. Pas aku nyalain hp isinya spam dari suamiku semua. “mah,
dimana dimana dimana” kayak begitu. Telfon dan miscall ada ratusan itu kayaknya.
Tapi aku juga sudah telfon ke kakak aku, “nanti kalo suami gue ke situ bawa anak-
lxxxix
anak jangan ditanyain ya gue dimana. Soalnya gue lagi kabur.” Aku bilang kayak
giut ke kakakku. Terus aku juga bilang ke dia, “lagi gue lagi pacaran niih, terus
ketahuan sama gue tapi belum ngomong” kayak bilang kayak begitu. Terus aku
juga bilang juga, “gausah tanya-tanya. Bilangin Bapak juga jangan tanya macem-
macem. Biasa aja”. Karena aku mengkondisikan yang di rumah sana (keluargaku)
biar suamiku juga nyaman main ke rumah ibuku disana.
Yaudah, sampe rumah, suamiku malah yang sudah pasang surut duluan. Biasalah
laki-laki kan kayak begitu ya. pulang ke rumah bukannya memperjelas persoalan
malah dia yang marah-marah ke aku. Ya aku diemin saja. aku nggak tanya-tanya
juga ada kali semingguan. Terus dia kayak yang capek sendiri soalnya kalo marah-
marah gue diemin saja. nggak gue kasih makan juga. Gue sih masak ya buat makan
sendiri saja. aku kayak begitu karena suamiku nggak memperjelas masalahnya. Dia
cuman maaf doang di chat. Akhirnya dia ngajakin aku ngomong. Ya biasalah dia
marah-marah dulu. “kamu maunya gimana sih mah?!! nyenyenye” kayak begitu.
Terus akhirnya aku, “loh ya, maunya gimana?” “lo ada sayang-sayangan sama
cewek lain. Gue salahnya dimana coba?” aku bilang begitu tu ke suamiku. “gue
mau intropeksi deh, gue kurangnya dimana? Gue kurang hot apa gimanaa?”, “gue
kurang cakep?!”, “tolong dong 3,5 juta setiap bulan buat gue suntik putih” kan gue
bilang begitu tu mbak. Gue aslinya itu item, mbak. Terus suamiku malah nyengir
doang, “yo mending buat tuku susu” (ya mendingan buat beli susu). Dulu waktu itu
gue anak 4 buat susu itu habis sekitar 7jt lah buat susu doang. Terus ya, “kalo emnag
kurang tinggi, ya gue cuman bisa sampe segini doang” ya gue bilang begitu. “Kalo
kurang putih ya sini 3,5 juta perbulan. Modalin lah”. “lo mau apa dari gue, mau gue
nungging atau segala macem ayo gue jabanin. Tinggal ngomong! Dikomunikasiin
semuanya!” yaudah aku omongin juga semuanya ke suamiku kayak begitu. Sudah,
abis itu dia ngaku salah, “iya aku salah”. Dan ternyata itu masalah pekerjaan. Jadi,
ya suamiku ceritalah kalo pekerjaan harus ini ini ini. “kan ini mah, namnaya
entertain ya harus gini gini gini”, “yo ora mesti lah! Melu melu kayak ngono!” (ya
nggak harus lah. Ikut-ikut kayak begitu). Ya nggak masalah sebenernya kalo kayak
traktir makan atau apalah begitu karena gue juga dulu di marketing tahu kok. Tapi
kan salahnya dia bermain perasaan. Sampe aku tanya ke suamiku, “jadi lo mau nya
gimanaa? Ini kita mau bubar lagi apa gimanaa?” aku bilang kayak begitu saja.
P : terus respon suami bagaimana bu?
I : ya suamiku diem saja. terus akhirnya dia diem 3 hari sama aku nggak
ngomong. Kita diem-dieman begitu ya. terus akhirnya malem-malem – kan kita
juga berhubungan seks kan. Lah tapi kan aku jijik kayak begitu kan (tertawa).
Dalem hatiku tu jijik, “aduh bekas cipokannya siapa itu bibir” misalnya kayak
begitu ya. aku orangnya jijik-an ya mbak. Jujur ya pas suami ketahuan selingkuh
itu, aku itu mikir, “aduh itu bekasnya dia” ada orang lain yang pernah menjamah
selain aku. begitu begitu lah. Ih malesin amat, idih. Belum bisa lupa. Ada saatnya
kita memaafkan ya ada. Tapikan kalo lupa nggak bisa. Saya butuh waktu buat
ngelupain semuanya.
Oh, ya, terus suamiku kasih tahu aku kalo dia sudah putusin kontrak kerja. Padahal
waktu itu nilainya sekian M. Padahal kalo dipikir-pikir ya.. eee sekian M tapi
dengan taruhan keuntungan yang nggak seberapa dan rumah tangga hancur, yaa
nggak worth menurutku. Nah, yang kayak gini yang harus dibicarakan dengan jelas.
xc
Aku juga bukan tipe orang yang nggak mau diajak susah kok. Aku nggak pernah
ngeluh dan saya juga mau diajak susah. Ya ayok, kita mulai sama-sama dari 0. Aku
juga pernah kan ngelahirin anak kedua itu ngutang dulu sama dokternya. Aku
bayarnya 2 bulan kemudian. Pernah saya ngalamin itu. Kita juga pernah merasakan
masa-masa sulit. Di usir dari kontrakan juga pernah. Aku juga pernah ngalamin
tidur di rumah kontrakan yang nggak ada jendela nggak ada pintu. “Apa aku pernah
ngeluh?” aku bilang begitu. “Terus ini, masa sih baru dikasih rejeki sedikit kayak
gini kamu sudah lupa sama perjalanan hidup kita yang panjang” aku bilang kayak
begitu. Jangan mikirinnya lo kepengen cewek yang cakep. “Tapi harusnya lo itu
mikir gimana caranya bikin bini lo cakep. Makanya sini duit buat gue suntik putih.
Kalo mau bubar ya ayok bubar” bilang begitu dah gue sama laki gue.
Abis itu ya dia mikir mungkin. Apa gimanaa. Dia mencoba berubah. Tadinya aku
masih yang gimanaa begitu ya. masih sakit hati sih, terus geli juga, ih. Tapi ngeliat
suami itu ngebaik-baikin, terus ngelucu juga akhirnya aku ngerasa kasian juga sama
dia masa orang ngelucu nggak ada yang ketawa. Aku juga keinget masa susah kita
lagi. Oh, iya, aku pernah susah sama dia. Perjalanan aku bisa balik lagi sama suami,
mulai dari dia yang digaplokin sama kakak-kakakku, diomelin sama ibuku, terus
aku juga yang dicemesin sama keluarganya suamiku, sama ipar-iparku disuruh
sujud-sujudlah, aku sampe yang nurunin egoku sampe ke dasar banget aku lakuin
demi suamiku dan segala macem yang pernah kita lewatin bareng-bareng. Jadi
yaudah lah, kita kosong-kosong lagi. Kita mulai dari awal lagi. Batasan-batasan
dalam berteman dengan lawan jenis mulai diperjelas lagi. Tapi sih, lebih banyak
suamiku yang ngasih larangan-larangan ke aku. Nggak boleh ini nggak boleh itu.
xci
2. Informan K
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Minggu, 01 November 2021
Nama : K
Usia : 32 tahun
Status Perkawinan : Sudah menikah
Usia Menikah : 30 Tahun
Pendidikan : S-2
Pekerjaan : CEO PT. X
Domisili : Jakarta Selatan
P : halo, selamat pagi.
I : selamat pagi.
P : dengan kak karina ya?
I : iya betul.
P : iya ini aku agis, kak.
I : iya silahkan.
P : iya, gimana kak kabarnya hari ini?
I : baik.
P : baik, alhamdulillah. Kak makasih ya. Sebelumnya makasih sudah bersedia
jadi narasumber aku.
I : heem.
P : iya. Oke,
I : dimana deh kamu kuliahnya aku lupa?
P : apa kak?
I : kuliahnya dimana?
P : oh, aku kuliahnya di UIN Jakarta, kak.
I : oww oke iya iya.
P : kakak sendiri dimana tinggalnya sekarang?
I : Jakarta.
P : Jakartaaa mana kak? Ehehe
I : eee Jakarta selatan
P : ooo Jakarta selatan. Oke. Nama lengkap kakak?
I : karina
P : oke. Usia saat ini kak kalo boleh tau?
I : eee 32 sekarang.
P : oke. Kakak pekerjaan saat ini apa?
I : eee direktur utama atau ceo.
P : iya...di?
I : PT. X
P : oh, itu bergerak dibidang apa kak?
I : dibidang teknologi, IT.
P : ooo sudah lama menjabat jadi dirut dan gimana?
I : sudah lama.
P : ooo oke oke. Pendidikan terakhirnya kak?
I : S2.
xcii
P : S2 ya oke oke. Sekarang di Jakarta Selatan tinggal sama keluarga atau
tinggal sendiri kayak ngekos atau rumah sendiri begitu kak?
I : rumah sendiri.
P : alhamdulillah. Oke, kak, aku langsung masuk ke pertanyaan inti saja ya.
Eee apa alasan kakak sampe saat ini melajang itu sebenernya apa? Yang paling
mendasari.
I : enggak melajang sih, sudah menikah.
P : oooh sudah menikah??? Kakak menikah usia berapa?
I : 30.
P : oh, 30. Oke. Berarti saat ini sudah berkeluarga...
I : iya sudah.
P : oke. Aku mau tahu dong kak, gimana kakak berdiskusi sama pasangan
setelah menikah, sampe akhirnya, eee maksudnya, sampe akhirnya kakak itu setelah
menikah tetap bekerja? Bagaimana kakak mendiskusikan itu sama suami.
I : mendiskusikannya ya sebelum nikah.
P : iya, bagaimana kak?
I : eee ya pada saat yang namanya berpacaran atau berkenalan yaa dibahas
semuanya eee kalo apa, kalo memang dia, kalo memang visinya sama untuk menuju
pernikahan. Atau dari aku sebagai diri perempuan, aku akan melakukan semacam
testing atau pertanyaan-pertanyaan yang menurutku, oke ini lolos persyaratanku
untuk menjadi suamiku, gituloh.
P : oo oke. Lalu dari suami pun nggak keberatan ya kak, maksudnya, yaudah
dia dari awal pembicaraan juga sudah setuju.
I : kan saya S2 itu sebelum nikah ya.
P : iya..
I : jadi memang eee dan saya tipikal alfa women yang eee tahu maunya apa,
saya mau, saya mau kerja, tidak mau menyia-nyiakan pendidikan saya. Jadi saya
mencari laki-laki yang memang menghargai pendidikan, yang menghargai
perempuan, yang bisa tahu dan yang, dan yang eee bangga terhadap perempuan
yang berpendidikan tinggi, begitu. Dan keputusan kerja atau tidak diomongin, ya.
Kalo memang laki-laki itu bilang eee sanggup, supaya saya jadi ibu rumah tangga.
Saya akan tanyakan, memang kamu perencanaannya seperti apa, eee karir kamu,
kayak begitu. Jangan sampe dimasa ekonomi yang sekarang eee bukannya malah
double, eee apa ya, bukannya malah pendapatannya tandem atau dua pendapatan,
maksain satu pendapatan malah jadinya menyusahkan diri sendiri, kayak begitu.
Atau menyusahkan keluarga nantinya. Kalo jawabannya memuaskan, maka ya,
saya oke saja jadi ibu rumah tangga. Tapi kalo jawabannya tidak memuaskan, saya
tidak akan (tidak menjadi ibu rumah tangga dan tetap bekerja).
P : oo ooke. Kakak mulai bekerja dari usia berapa?
I : umur 20 tahun.
P : 20 tahun. dan itu, setelah bekerja masih tinggal sama orang tua atau
memang sudah mutusin keluar dari rumah kak?
I : kalo ngekost itu keluar dari rumah? Atau gimana?
P : iya ngekost juga keluar dari rumah. Maksudnya jauh dari orang tua gitu.
I : jauh dari rumah ya sejak umur 16 tahun. lulus SMA langsung kuliah di
luar kota.
xciii
P : kakak di usia pas keluar dari rumah, ketika umur 16 tahun, sudah ngerasa
ini belum sih, sudah bisa bertanggung jawab atas diri sendiri..
I : belum. Kan, masih dapet uang saku dari orang tua.
P : tapi keputusan-keputusan hidup kakak semasa kuliah itu, kakak sudah
ngerasa, oh saya sudah pantas untuk memutuskan jalan hidup saya.
I : ketika kamu memilih kuliah di luar kota, itu sudah harus masuk itungan
siap. Kalo nggak siap ya jangan pilih kuliah di luar kota. Kamu harus mengambil
semua konsekuensi atas semua pilihan kamu.
P : oo oke. Saat ini juga suami bekerja kak?
I : suami bekerja di perusahaan saya.
P : berarti kakak itu menikah di usia 30,
I : ya.
P : bagaiamana tuh, kak, kakak membicarakan eee keputusan kakak untuk
menikah sama orang tua kakak?
I : eee kalo strategi ngomong-ngomong sama orang tua yaaa, kan sudah tahu
saya pacaran nih, kemudian eee seperti, eee aku serius, ya nyampein ke orang
tuanya ya, sepertinya aku serius sama anak ini nih, atau sama cowok ini, kayak
begitu. Kan pasti (tanggapan orang tua) oh ya, memang sudah serius? Memang
sudah dipikirin? Pasti akan ada pertanyaan dari orang tua, emang sudah dipikirkan?
Rencana kedepannya bagaimana, akan tinggal dimana? Finansialnya seperti apa.
Ketika kita bisa menyajikan jawaban-jawaban tersebut secara pasti, ya lolos lolos
saja, kayak begitu. Apakah kamu yakin dengan sifat-sifatnya? Ketika kamu bisa
menjelaskan bahwa kamu yakin dengan sifat calon suami kamu, ya orang tua saya
sih, eee lolos lolos saja.
P : oke. Dari orang tua sendiri sebenarnya eee ada desakan gak sih, kak, atau
dorongan ketika kakak sampe di usia 23 atau 24, ditanya kamu mau menikah, ada
rencana menikah usia berapa. Dari orang tua kakak ada desakan seperti itu ga?
I : enggak ada sih. Soalnya saya menikah juga di umur yang memang sesuai
sama rencana hidup saya. Dan orang tua saya masih menganggap itu normal lah,
begitu. Kalo saya, belum nikah-nikah umur 31 32 baru deh kayaknya orang tua saya
mulai, mulai agak ribut mempertanyakan.
P : kalo begitu, kakak juga memiliki kebebesan gak, untuk kakak mau pacaran
sama siapa saja atau kakak mau kenal deket sama cowok mana saja, orang tua ya,
silahkan.
I : bebas. Selagi kamu bertanggung jawab pada keputusan kamu, nggak
memalukan keluarga.
P : oh oke. Kalo boleh tahu kakak sendiri berapa bersaudara?
I : 3 bersaudara.
P : kakak anak ke?
I : pertama.
P : aku mau tanya, kalo boleh tahu usia orang tua kakak menikah itu usia
berapa ya?
I : umur 28.
P : ibu dan ayah sama-sama 28 kak?
I : ya, sama-sama 28.
xciv
P : kak, ketika kakak menikah nih, apa sih hal-hal yang selama ini, maksudnya
apa perbedaan yang kakak rasakah setelah menikah dan sebelum menikah?
I : ya apa ya, kalo sebelum nikah ya mikirin diri sendiri. Kalo misalnya,
sebagai perempuan ya kalo sudah menikah, sebagai perempuan ada pikiran
tambahan. Pikiran tambahan melayani suami, eee dalam bentuk entah itu seksual
atau entah itu untuk makanan, entah itu dalam hal eee apa ya namanya, kewajiban,
kayak pekerjaan rumah tangga, kayak begitu. Which is, bebannya jadi bertambah.
Kalo dulu kan mikirin diri sendiri, semua dipenuhi orang tua. Kalo yang sekarang
ya beban itu sudah di diri sendiri akibat konsekuensi menikah.
P : ooo oke. Kalo menurut kakak sendiri, eee pernikahan itu apa sih kak?
I : pernikahan itu komitmen.
P : ya...?
I : komitmen terhadap pasangan sendiri, komitmen terhadap pilihan, eee
komitmen terhadap rasa sakit, yang akan diterima, ya ditelen, kayak begitu. Ya
intinya itu, komitmen saja. pernikahan buat saya adalah komitmen. Misalnya sudah
milih dia, ya sudah setia sama dia.
P : lalu menurut kakak seberapa penting siap menikah secara mental, finansial
dan emosi?
I : ya penting.
P : seperti apa kak?
I : ya sudah itu jawabannya penting.
P : kakak bilang kalo pernikahan itu komitmen. Kalo kita sebagai perempuan,
menurut kakak pernikahan itu suatu keharusan gak sih?
I : eee tergantung cara pikirnya seperti apa ya.
P : iyaa...
I : kalo saya mau melanjutkan ego saya sebagai alfa women, yang bisa
menghiduoi diri sendiri ya gak perlu laki-laki. Saya bisa sendiri. Tapi ketika saya
memikirkan, eee saya punya kebutuhan seksual, saya butuh, butuh teman yang
memang bisa diajak ngobrol sehari-hari secara intim, ya saya memikirkan, ya eee
saya butuh untuk menikah. Lebih ke ini saja sih, saya alfa women, lebih banyak
punya teman cowok, saya tipe cewek bebas yang friends with benefit kemana-
mana, dan saya melakukan seks bebas secara eee apa namanya, secara sehat, ya
mungkin saja seperti itu. Bisa saja saya gak nikah. Cuma kayaknya kalo
memikirkan lagi, eee mungkin saya pikiran seksnya itu yang komitmen dengan satu
pasangan. Ya menikah. Kayak begitu. Untuk masalah risiko kesehatan, kemudian
masalah, mungkin kita mempertimbangkan juga masalah eee ya itu tadi, teman
sehidup semati, klise sih, tapi sehidup sematinya tuh bener dan buat diskusi bareng,
ngomong intim, kayak gitusih. Saya butuh itu. Karena memang kalo dengan teman-
teman biasa atau teman-teman laki – saya lebih deket ke teman laki-laki dari pada
perempuan dalam pertemanan, itu eee tetap ada batasan. Kita bisa dengan bebas itu
ya sama suami.
P : kak, aku punya satu pertanyaan terakhir. Menurut kakak, perempuan
dikatakan telat menikah itu saat usia berapa?
I : apa? Perempuan apa?
P : perempuan dikatakan telat menikah itu di usia berapa menurut kak karina?
xcv
I : telat menikah...eee di atas 30. Kenapa di atas 30? Pertama adalah karena
pertimbangan kesehatan. Ketika seorang perempuan itu eee semakin tua, maka dia
akan semakin berisiko untuk mempunyai anak. Jadi menurut saya, masalah tua
menikah itu sebenarnya bukan masalah kamu dirong-rong atau segala macem. Tapi
visi kamu melihat diri kamu sebagai perempuan untuk bereproduksi, memiliki anak
itu bagaimana, kayak begitu. Ketika kamu hamil umur 35, maka kamu akan
semakin meningkatkan risiko anak kamu meninggal, kayak begitu. Atau berisiko
terhadap hidup kamu. Kayak begitu. Saya lebih ke kesehatan saja sih. Bukan
masalah, apa namanya, masalah susah cari pasangan lah, masih enak hidup sendiri
lah, bukan, bukan itu. Lebih kepada pertimbangan kesehatan.
xcvi
3. Informan Indah
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Minggu, 01 November 2021
Nama : Indah
Usia : 36 tahun
Status Perkawinan : Sudah menikah
Usia Menikah : 34 Tahun
Pendidikan : S-2 Kebidanan
Pekerjaan : Dosen dan Bidan
Domisili : Depok
P : Halo assalamualaikum
I : walaykumsalam
P : iya Bu gimana Ibu? Ibu lagi dimana ini?
I : Saya lagi di rumah tapi sambil ada rapat, sih.
P : oh iya iya,
P : nih, aku ganggu enggak nih?
I : eeee enggak sih, kayaknya ya (tertawa) ya, ya, gimana syifa?
P : aku panggil kakak aja ya biar lebih enak hehe
I : oh iya, baik.
P : aku tahu dari kak nana... eeh sebelumnya Kak indah makasih banget sudah
mau jadi narasumber aku.
I : oh iya gak papa. Hahaha gapapa sayang
P : dari kak nana ngasih tahu kalo kak Indah nikah di usia di atas 30, ya?
Tepatnya usia berapa kak?
I : eee usia berapa ya...tunggu...3...3...34 lewat, ya 34 setengah lah. Aku
Januari 34. Aku nikahnya agustus.
P : alasannya apa kak?
I : kenapa? Kalo pertanyaannya kenapa, kalo alasan secara pribadi sih eee
enggak ada ya. Maksudnya ya memang mengalir begitu saja. karena, aku pribadi
sih maunya nikah cepet-cepet ya (tertawa) tapi ternyata tidak semudah itu dalam
menemukan pasangan. pasangan ya. Apa namanya, menemukan pasangan yang eee
pas begitu. Terus habis itu dalam menemukan... karena aku punya prinsip nggak
mau pacaran. Sementara lingkungan aku itu eee lingkungan yang orang biasa saja.
jadi, boleh dibilang aku bukan berenang di kolam yang tepat sebenernya. Ngerti
gak? Jadi, aku punya prinsip enggak mau pacaran. Tapi, aku nggak masuk dalam
komunitas itu, begitu.
P : ooo oke...
I : komunitas dimana orang tidak pacaran. Lalu, mungkin dia berta’aruf
seperti apa begitu ya. seperti itu jadi, yang pertama itu. Kemudian, yang kedua,
ternyata ketika dalam mencari pasangan itu eee apa yaa, oke aku tidak pacaran, tapi
aku dikenalkan misalnya sama orang, sama siapa begitu kan ya. Eee tapi ya ternyata
gak mudah begitu. Karena kalo misalnya mungkin ya, model ta’aruf begitu kan,
kitaa..., aku banyak skeptisnya, begitu. Kalo misalnya kita ta’aruf itukan kita
di...sudah ada orang kepercayaan gitukan sebagai penengah. Itu ya. Kalo misalnya
kita coba berprinsip tidak mau berpacaran tapi kita mengenal, gimana caranya
xcvii
coba? Begitu kan. Kecuali kita punya seorang yang bisa kita eee bisa kita apa
namanya, bisa kita percayai. Tapi kalo diserahin ke kita otomatis kita bakalan jalan
terus sama dia, gitukan.
P : iya..iya..
I : iya, bakalan jalan bareng sama dia, bakal eee berduaan, kayak begitu-
begitu. Nah itu, aku menghindari itu, tapi, ternyata yaa... ya... tidak tidak tidak
mudah. Karena aku nggak berada dalam komunitas yang mendukung prinsip aku,
lingkungan yang islami lah istilahnya. Biasa saja begitu. Jadi itu, prinsip yang aku
punya itu nggak pas di lingkungan yang tidak pas kayak begitu. mungkin ya, itu
salah satu mungkin selain itu mungkin Allah memang tidak, belum menghendaki.
Maksudnya menghendaki mungkin belum menghendaki di usia aku segini atau
mungkin dengan orang yang ini, begitu.
P : tapi ada kekhawatiran nggak sih, kak Indah sendiri (yang belum menikah
di usia 34)?
I : oh pasti. Pasti. Pasti ada kekhawatiran. Karena aku bukan orang yang eee
aku bukan orang yang tipikal eee apa namanya, kalo sekarang kan perempuan
banyak yang dia lebih ke karir, begitu. Itu mungkin pengalihan begitu ya, dengan
karir. Kalo aku sih enggak begitu malahan biasa saja orangnya (tertawa). Jadinya
aku juga bukannya yang eee apa namanya, (aku) orangnya biasa-biasa saja. jadi
nggak, nggak, akhirnya aku, menekuni sesuatu yang akhirnya aku jadinya tuh
sampe melupakan ini gitukan. Dalam tanda kutip ya, menikah. Aku itu enggak
(tidak tenggelam dalam karir). Justru aku takut (untuk) menekuni sesuatu begitu.
Aku punya temen-temen gitu kan di komunitas, bukan komunitas sih, ya komunitas
semacam itulah ya untuk untuk bisa, mungkin ya, kalau aku mau itu aku akan
nyemplung disitu total dan mungkin juga aku akan, akan apa, akhirnya akan
terlupakan begitu segala kegelisahan, segala ke apa namanya kepikiran itu kan ya.
Tapi justru aku gamau itu aku nyemplung ke kegiatan yang memang bikin aku lupa
untuk menikah. Ngerti gak?
P : Kenapa Kak alasannya?
I : alasannya ya karena aku takut. Ya karena aku takut malah nati aku nggak
nikah-nikah (tertawa). Karena banyak itu beberapa orang yang aku temuin,
mungkin entahlah apa-apa, aku nggak terlalu ngorek-ngorek. Orang-orang yang aku
temui mereka sampai dengan usia 40 begitu-begitu kan belum menikah juga. Kalo
aku perhatiin ternyata dia tuh, akhirnya nyemplung disesuatu. Entah itu komunitas
apa, misalnya ada yang dia itu buka klinik, misalnya, sebenernya sih nggak
menutup kemungkinan sih ya, ya mungkin dia menyibukkan dirinya. Ada yang
berkecimpung dibidang apa...penelitian. ya mungkin itu hanya sekedar aktifitas
sehari-hari dia saja ya. Tapi, yang kita liat dari sisi luar itu liatnya, akhirnya dia
menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatannya yang seperti itu. Misalnya
kegiatan-kegiatan lain yang mungkin bikin dia sibuk. Nah, kalo aku nggak mau
menyibukkan diri aku tuh sampe aku lupa untuk aku menikah. Ngerti gak?
P : iya...
I : jadi aku beberapa kali diajak, ayolah, ayolah kita tekuni (kegiatan
penelitian) yang dimana mengharuskan aku pergi ke luar dari eee ke luar
jabodetabek. Itu, pergi kemana gitukan untuk, untuk melakukan sesuatu. Yang
xcviii
kayak begitu justru aku takut, begitu. Ah entar malah, malah lupa lagi (menikah).
Begitu. Justru itu malah kepikiran hal-hal kayak begitu.
P : aaa oke. Kak, kalo misalnya dari orang tua sendiri ada desakan (untuk
segera menikah) begitu gak ketika sudah di usia 30an tapi belum menikah?
I : ada. Ada...ada dong.
P : gimana tuh kak? Bisa diceritain?
I : ya tipikal orang tua juga sih sebenernya. Orang tua yang eee seperti biasa.
Maksudnya eee bukan orang tua yang akhirnya eee yasudahlah eee sekarang belum
nikah yaudah kamu kejar karir kamu dulu saja atau kejar ini dulu saja. jadi, tetap
orang tua tuh, tetap selalu mengingatkan. Itu justru, itu mungkin yang buat aku
selalu tetap pikirin (untuk menikah) karena orang tua pasti selalu mencarikan. Coba
kenalin sama si A, oh belum cocok, yaudah enggak. Terus kenalin sama si B. Aku
juga bukan tipikal yang nyerah juga. Oh nggak cocok, yaudah kita coba lagi sama
yang lain. Nggak cocok lagi, coba sama yang lain lagi (tertawa). Itu, jadi saling-
saling antara orang tua dengan aku. Jadi orang tua juga aktif dan akunya juga nggak,
nggak, nggak menolak untuk dicarikan, gitusih kalo istilahnya.
P : oooke. Jadi orang tua memang bantu untuk cari juga ya kak.
I : heeh
P : kalo...gini gini, kakak sering mikir gini nggak sih, dengan orang-orang
sekitar, sama gue yang sudah usia segini nih, belum menikah, gitu? Kakak
memikirkan stigma dari masyarakat nggak sih?
I : ya kepikiran lah.
P : tanggapan kakak seperti apa?
I : sempet ada rasa sedih juga. Karena mungkin nih, karena perasaan saja.
karena memang aku kan itu tadi, aku kepenginan itu (menikah) juga gituloh. Tapi
kan memang belum, ya mungkin memang belum jodohnya saat itu dateng, kaya
gitukan ya. Aku sih melihatnya, kok kayaknnya mereka mengkasihani aku ya,
gituu. Itu yang, yang prasangka buruknya. Jadi kayaknya orang-orang itu
mengkasihani aku. Itu kali mungkin. Mungkin kata-katanya seperti itu ya. Padahal
sebenernya (mereka) biasa saja sih. Eeee Cuma ya mereka ya bukannya
mengkasihani lebih kepada eee yaudahlah kita cariin sama siapa yaa... kayak begitu
(tertawa). Cuma aku di sisi lain juga ada rasa, ih, kok mereka kayaknya gimana
begitu ya, mandang aku, jadi kayak... kadang-kadang juga jadi sering menghindar
untuk pertemuan keluarga, misalnya begitu ya. Kayak begitu-begitu ada juga
sempet. Cuma ya akhirnya aku berintropeksi diri. Kalo misalnya begini terus kapan
aku mau majunya. Yaudah santai aja sih. Akhirnya lambat laun, akhirnya eee
yaudah, akhirnya bisa, bisa ini sendiri (menerima keadaan), maksudnya yang
enggak terlalu baper-baper banget. akhirnya biasa saja. dengan tahap biasa, yang
awalnya baper ya istilahnya begitu ya kalau anak sekarang sampe akhirnya biasa
saja sekarang. Begitu sih. Sampe nggak kepikiran.
P : kalo, apa ya kak, kak Indah sendiri nih. Ketemu suami itu juga, memang
dikenalin sama orangtua kah?
I : heeh dikenalin sama orang tua.
P : ada ini nggak sih kak, kalo boleh tahu, ada kriteria khusus nggak untuk
calon suami kakak seperti apa?
xcix
I : ya kalo aku kliknya adalah sama orang yang eee aku bisa ajak diskusi. Jadi
kalau nyambung tektokan aja sih sebenernya. Dulu sih sempet sih, bikin kriteria ini
itu karena aku kan tipe orangnya pemikir. Eee bikin kriteria kayak gini gini gini
pokoknya aku pikirin semua lah aku rencanakan seperti apa yang aku inginkan.
Begitu ya. Eee tapi ternyata diketemuin sama orang-orang yang seperti kriteria aku
kenapa kok aku menolak, begitu ya. Ternyata di sisi yang lain, aaaa aku itu
sebenernya klikan di awal dulu, baru ngebuka jalan yang lain. Klikan aku di awal
itu apa? kalau anak orang itu yang bisa diajak diskusi, diajak ngobrol lah ya. Dalam
artian setara, bukan oranag yang apa namanya yang kepintaran istilahnya atau
mungkin yang terlalu dibawah aku begitu. Ini kalau alhamdulillah sih sama suami
ini seperti itu yang aku bikin klik sama dia. Karena dia eee bisa ngikutin.
Maksudnya gini, aku bisa ngikutin dia, dia juga bisa ngikutin aku. Eee pendapat
aku bisa di eee apa namanya dihargain sama dia, begitu. Jadi, itu ternyata yang bikin
aku begitu ya, setelah aku membuat kriteria, akhirnya kriteria itu mental (tertawa),
banyak yang mentalnya gitukan ya. Mungkin kita hanya butuh satu, satu penguat
sih. Karena enggak ada orang yang bener-bener sesuai dengan kriteria yang kita
tulis atau yang kita impikan sebenernya. Tapi ternyata ujungnya tuh Cuma ada satu
yang bener-bener jadi penguat atau yang jadi eee iya atau hal yang paling kuatlah
di antara semuanya. Dan itu yang aku sadari setelah bertemu dengan 1 2 3 4 5 orang
gitukan ya. Mereka tuh, rata-rata eee ada kriterianya di aku tapi kok adalagi yang
bikin aku, aku ilfeel deh bagian ininya dan itu aku tinggalin. Aku ilfeel deh dibagian
ininya. Mungkin pemilih kali ya. Seperti itu. Jadi, eee itu yang akhirnya aku
mencoba untuk apa namanya, ayolah. Maksudnya apa sih sebenernya point utama
deh, gitukan ya, yang bisa bikin, oh, ternyata orang yang bisa diajak diskusi. Karena
dengan orang yang bisa diajak diskusi, segala sesuatu bisa dibicarakan. Misalnya
ada masalah kah atau apakah. Jadi nggak Cuma sekedar pinter, nggak Cuma sekedar
wawasan luas, nggak sekedar Cuma ini. Kalo misalnya dia pinter, wawasannya
luas, tapi dia gabisa diajak ngobrol begitu, gabisa diajak berunding istilahnya. Oh,
itu jadi...kalo aku nggak cocok. Nah, Ini aku temui dalam diri suami aku sekarang.
P : kak, aku mau make sure lagi ya. berarti sebenarnya keluarga kakak itu tahu
kalau misalkan emang kakak mau menikah tapi tidak mau pacaran gitu ya. Makanya
mereka tidak terlalu buru-buru banget atau mendesak kakak untuk segera menikah.
gitu ya.
I : eee kalo mendesak sih, gimana ya definisi mendesak itu. Mereka itu tidak
menunjukkan ke aku tapi mereka meminta bantuan misalnya ke sepupu atau ke
siapakah begitu. Ada gak sih calon buat anak aku. Boleh lah kenalin. cuman nggak,
nggak ke aku langsung. Jadi mereka aktif mencarikan (pasangan) buat aku.
P : kakak ngasih pengertian-pengertian ke orang tuanya seperti apa sih? kayak
pengertian kalo kamu emang nggak mau pacaran dulu. Dan yang kamu tahu kan,
orang tua kakak memang nggak ngedesak dan mereka juga nggak ngomong
langsung ya melainkan lewat sepupu-sepupu kamu.
I : bentar-bentar aku dipanggil kayaknya. Bisa diulang nggak pertanyaannya?
P : iya, jadi, kakak berusaha nggak sih untuk ngasih pengertian ke orang tua
untuk kakak yang belum menikah dan tidak juga mau berpacaran?
I : eee orang tua itu melihat aku itu orang yang akhirnya menutup diri. Jadi
orang tua aku itu tipikalnya apa ya, orang tua tuh, dari awal mereka itu tadi kan aku
c
bilang kan mereka tidak mendesak. Kalo mendesak kan berarti mereka ngomong
secara langsung sama aku. Tapi karena mereka, kenapa aku tipikal orang yang
berdiskusi, karena orang tua aku tipikalnya diskusi. Begitu. Jadi, mereka tipikalnya
diskusi. Jadi mereka tidak mendesak aku dalam kondisi yang nyuruh gituloh. Itu
enggak. Tapi mereka yang ngajak ngobrol. Ketika mereka melihat aku masih yang
dalam kondisi yang dalam tanda kutip ya, NORMAL lah istilahnya, jadi mereka ya
membiarkan saja gitu tapi mereka di sisi lain aktif mencari kan. Dalam artian, yang
tadi aku bilang, ada nggak sih calon buat anak aku. Eee suatu saat ya misalnya
contohnya ya, aku dipanggilnya, eee karena aku orang padang ya, dipanggilnya uni
di rumah. Uni, boleh ya ibu kasih ini ada teman ibu gini gini gini punya bla bla bla
segala macem, boleh ga ibu kasih nomor telfon uni? Boleh. Begitu. Jadi, mereka
tuh begitu caranya. Jadi karena mereka melihat aku bukan yang menutup diri atau
malah menghindar-menghindar. Nah, mereka boleh dibilang ya mereka mengikuti
alurnya aku. Jadi aku nggak ada, kalo menjelaskan secara secara spesifik
menjelaskan gitu nggak pernah sih cuman dalam tersirat dalam diskusi-diskusi kita.
Obrolan antara aku dengan orang tua, obrolan aku dengan adik-adik aku, begitu ya.
Disitu, tersampaikannya disitu. Tanpa aku harus menjelaskannya secara gamblang.
“aku gak mau pacaran ya!” Gini gini gini, enggak, aku nggak kayak begitu caranya.
Apa namanya, lebih kebanyak musyawarah, banyak diskusi, banyak ngobrol. Itu
sih.
P : kalau kak Indah sekarang udah di rumah sendiri? Maksudnya udah udah
misah (dari orang tua)
I : belum (masih tinggal sama mertua)
P : oh, nggak, maksudku kemarin pas sebelum menikah, masih satu atap
dengan orang tua ya?
I : oh, iya, masih tinggal sama orang tua terus.
P : eee kalo menurut kakak nih selama Kakak itu sudah menikah sekarang pun
masih ada enggak sih beberapa hal yang perlu kakak diskusikan sama keluarga kak
Indah sendiri? orang tua kak indah ya, misalnya untuk keputusan,
I : terkait?
P : yang terkait apapun. mungkin kak indah berpikir kayaknya perlu deh yang
ini dibicarakan ke mama atau papa gitu.
I : saat ini ya, tergantung masalahnya sih. Kalo memang masalah itu
diperlukan pendapat orang tua ya tanya sama orang tua. Tapi kalo memang tidak
diperlukan atau dalam arti itu tidak diperlukan dalam hal yang sama orang tua
memang sebaiknya nggak usah taulah. Mungkin malah akan tidak baik hasilnya itu
yang enggak. jadi sekarang ya tergantung kondisinya atau tergantung
permasalahannya. Jadi, itu, nggak nggak selalu semuanya dibicarain ke orang tua.
gitu kadang mungkin ke suami atau mungkin kalau mungkin namanya kita berumah
tangga itu kan pasti ada permasalahan-permasalahan ya. Nah, itu permasalahan-
permasalahan tersebut eee jika masalah itu akan bisa besar bisa kecil. Kita bisa
besar-besarin masalah atau kita mau memperkecil masalah tersebut begitu. Nah,
kalau misalnya dengan ngomong sama orang tua akan menjadi melebar gitukan,
apalagi permasalah rumah tangga, ya, janganlah disampaikan. Mungkin kita bisa
cari teman yang nggak ember, nggak bocor gitukan. Misalnya kita dalam kondisi
ci
rumah tangga yang itu sih. Sejauh itu diusahakan seperti itu walaupun sulit ya
(tertawa).
P : kak aku mau nanya lagi, suami kakak sekarang bekerja kah?
I : bekerja.
P : kak Indah juga sekarang kerja gimana sih kakak tuh sama suami
mendiskusikan tentang kakak yang tetap bekerja setelah menikah.
I : eee ini nggak terlalu sulit sebenernya dilakukan kalau di rumah tangga aku
ya. karena suami itu tipikal keluarganya bekerja semua.
P : ooo oke
I : begitu. Jadi, justru mereka akan aneh kalo nggak bekerja (tertawa).
Perempuan-perempuannya begitu ya, kebetulan juga pekerja. Ibu mertuaku juga
pekerja tpi sudah pensiun. Aku juga punya ipar perempuan, pekerja. Jadi
lingkungan sekitar itu bekerja semua. Justru dipihak keluarga aku ini (yang tidak
bekerja) ya, adekku udah menikah justru enggak kerja, begitu. Jadi enggak terlalu
sulit sih.
P : Itu bukan jadi suatu masalah gitu ya. malah itu itu pembicaraan kayak gitu
pasti diomongin di awal dong Kak sebelum ke jenjang yang lebih serius.
I : eee iya, karena kalo...aku sama suami ini kan, eee kita, maksudnya tuh kan,
memang dikenalin ya, tapi akhirnnya kan keputusan ada di tangan kita berdua
sendiri, kita mau maju atau tidak. Untuk ngomongin pekerjaan sendiri di awal sih
enggak. Karena memang dia tahu dari awal kalo aku ini sekarang eee ya seorang
aku yang ini saja (dosen). Jadi, dia sih, tahu ya profesi seorang dosen itu tuh, apa
namanya nggak mudah gituu ya. Jadi sudah tahu dari awal. Dan nggak ada
pembicaraan. mungkin ada (pembicaraan) kalau bisa sih pekerjaannya deket dari
rumah itu saja. cari kampus yang dekat rumah yang ditempatin gitukan ya. Kalo
sekarang kan kita di rumah mertua di Depok. Berarti cari kampus yang dekat-dekat
sini. Biar lebih deket ke rumah. Biar nggak capek. kan ada anak yang diurus dan
segala macam itu kan. Itu saja sih. Jadi enggak ada pembicaraan secara khusus di
awal, nggak ada. Karena memang taunya dari awal akunya pekerja, tapi bukan
pekerjaan yang di kantoran. Maksudnya yang biasa gituu ya. Kan heeh, rintisan
awalnya itukan pelan-pelan gitukan. Dan itu sama suami sih diterima. Cuma
masalah tempatnya saja palingan. Suami maunya kalo bisa kerja yang deket-deket
rumah saja.
P : kak, aku ada dua pertanyaan terakhir. mau nanya pendapat kak Indah
tentang pernikahan itu seperti apa?
I : pernikahan itu, pernikahan itu yang aku...eee just information saja ya, aku
jadi kemarin itu apa namanya sebelum menikah itu sempet banyak ikut workshop.
Aku tipikalnya serius ya. Jadi aku ikut workshop menikah. Aku ikut seminar. Yang
kayak begitu-begitu tuh. Workshop ini seminar ini bener-bener private ya.
Workshopnya itu 2 hari dan pesertanya itu hanya 5. Dan disitu aku satu-satunya
perempuan. Dan di situ aku banyak banget dapet ilmu lah ya tentang pernikahan itu
seperti apa. Karena itu tadi, aku banyak, banyak apa namanya itu, banyak berpikir
bahwa pernikahan itu apa apa apa. Aku harus bertemu dengan orang seperti apa,
begitu-begitu. Nah itu yang mungkin bikin aku rada lama (menikah) juga, seperti
itu. Eee cara bertemunya juga bagaimana itu juga aku pikirin semuanya. Sampe
kayaknya otakku tuh mau meledak, begitu. Harusnya nggak usah dipikirin banget.
cii
Harusnya kita ngalir saja begitu. Mungkin dengan rambu-rambu yang harus ditaati.
Seperti itu sih. Dari situ aku melihat, karena sebelumnya aku melihat pernikahan
itu ya menikah, ibadah, itu. Tapi, ketika aku sudah mengikuti workshop itu, dan
beberapa kelas menikah lagi yang aku ikuti secara terpisah, oh ternyata, pernikahan
itu, tuh, sebagai sebuah lembaga seumur hidup, ya. Kalo kantor kan ada pensiunnya,
ya. Terus kan kalau sekolah ada selesainya gitu kan. Tapi kalo pernikaha kan kan
nggak, lifetime ya. Jadi aku menganggap sebuah pernikahan itu adalah lembaga di
mana yang nanti akan dihasilkan dari lembaga ini anak-anak yang hebat. Dan itukan
nggak mudah. Kalo mencetak anak-anak yang hebat gitukan ya. Karena orang
tuanya juga harus hebat juga. Menjadi orang yang biasa juga hebat saja susah. Hebat
disini itu dalam arti banyak ya. Itu, bisa jadi, generasi-generasi yang baik, orang
yang bermanfaat. jadi bukan orang yang bukan orangnya nggak jadi seseorang tapi
orang yang bisa kasih manfaat banyak banget. Dan itu melalui lembaga pernikahan
yang baik. Lembaga pernikahan yang sehat. Jadi sekarang aku menganggap
pernikah itu ya seperti itu. dan itu tidak mudah ternyata membuat lembaga itu
karena bisa jadi kan, suami belum doong (mengerti) dengan apa yang kita
maksudkan. Dan kita tidak bisa memaksakan. Walaupun suami aku bisa diajak
diskusi, tapi dia punya pendapat sendiri. Yang bisa jadi menurut dia aneh. Begitu
kan ya. Yang segala sesuatunya itu dikonstruksikan, dibikin sistematis. Kalo bisa
dibikin rancangan pembelajaran. Kan gabisa kayak begitu. Dia bukan tipikal orang
yang begitu. Dia itu tipikal orang yang lebih lebih spontan. Dan ini yang menjadi
tantangan. Aku gabisa plek-plekan kasih tahu bla bla bla segala macem gitukan
sementara apa namanya ya proses itu, ya lifetime, seumur hiduplah dalam kita
mengkomunikasikan.
Tapi, bedanya yang aku rasain ya, dengan kita, eee karena gini mau punya ilmu atau
nggak punya ilmu pasti ketemu masalah dalam nikah. Ketika kita udah punya,
maksudnya, oh kita sudah pernah dikasih, sudah pernah belajar lah. Bagaimana cara
berkomunikasi misalnya. Bagaimana cara kita berpikir kayak gitu gitu ya. Karena
pemikiran laki-laki dan perempuan kan berbeda. Nah itu (kalo sudah punya ilmu)
kita akan lebih mudah. Perempuan itukan baperan. Nah, jadi, aku melihat bahwa
lembaga pernikahan itu sebagai suatu lembaga yang luar biasa banget ya serunya.
Tapi ya itu ujungnya, harus menghasilkan generasi yang hebat. Itu sih.
P : nah, sekarang, gimana pendapat kakak, apakah pernikahan suatu
keharusan bagi perempuan?
I : kalo ini aku jawab dari sisi agama ya.
P : oke boleh silahkan
I : kalo ya eee pernikahan itu sunah begitu ya, kalau kita ngomongin sisi
agama. Rasulullah itu sangat menganjurkan untuk menikah. Eee itu sunahnya. Dan
Allah itu sudah ya apa ya, jadi kalo di Quran itu kan ada, Menikahlah, gitu kan ya.
Ya itu merupakan suatu perintah dari Allah kasih tahu seperti itu. Karena apa?
Karena Allah tahu kebutuhan manusia. Allah tahu, ini banyak ini, kayak gini dari
dari dari segi apapun Ini ini semuanya ada ada fungsinya, gitukan ya. Dari segi
untuk jiwa. Perempuan itu nggak bisa berdiri sendiri. Tetap harus ada orang kalau
ketika ayahnya, ketika dia kecil ya, dengan ayahnya dia sebagai mahromnya ya,
yang menjaga izzahnya dia, menjaga kehormatannya dia. Eee itu tuh, perempuan
itu seperti itu. Tidak tidak bisa dan tidak mudah dilecehkan oleh laki-laki lain.
ciii
Karena laki-laki itu kan dia kalau dia tidak dibekali dengan ilmu agama apa
namanya atau etika lah ya, itu dia mungkin bisa jadi binal laki-laki itu. Binal itu
dalam arti eee apa namanya eee itu kita nggak bisa nggak bisa kalau misalnya, ah
seseorang yang terpelajar, orang yang ini bakal dia terhormat. Mannernya dia. Itu
nggak. Aku juga pernah menemukan dia terpelajar, dia ini laki-laki ya, itu tetap saja
ketika sama perempuan, dia bisa, bisa, bisa apa namanya ya, bisa ya mungkin
melecehkan lah ya, kayak begitu. Jadi, perempuan itu terjaga izzahnya dengan sisi
laki-laki di sampingnya. Yang pertama dengan oleh ayahnya, yang kedua dengan
suaminya. makanya Allah itu kasih perintah seperti itu (untuk menikah). Itu baru
satu sisi ya. Banyak sisi-sisi yang lain. Eee jiwanya lebih tenang. Itu yang
didapatkan (dari menikah) jiwanya tenang. Terus juga dia eee apa namanya eee apa
lagi ya, ya yang pasti ada manfaatnya juga untuk laki-laki. Karena laki-laki kan
harus menyalurkan hasrat seksualnya. Ketika ada istri di sampingnya, sehat pertama
iya. Yang kedua tenang juga jiwanya. Karena ketenangan jiwa ini nggak Allah
kasih ke sembarangan orang. Allah kasih ketenangan jiwa itu sama orang yang
dipilihNya saja begitu. Jadi, pernikahan itu merupakan salah satu jalan yang Allah
berikan kepada kita untuk meraih ketenangan jiwa. Kalo sepinter apapun orang,
kalo jiwanya nggak tenang jadinya grasak-grusuk. Nanti kalopun dia jadi inventor
sesuatu, malahan jadi perusak, gitukan ya. Kayak bikin bom segala macem. Karena
jiwanya gak tenang. Dia malah bikin rusak bumi, begitu.
Itu salah satu, salah satu kan Allah bilang juga kan apa namanya dengan ketenangan
jiwa itu yang dicari manusia. Kayak yang di AR-Rum itu kan, ada kan. Coba deh
kamu pikir deh, orang nyari duit banyak-banyak buat apa kalau dia bukan buat
kepuasan dia.
P : iya bener
I : iya kan. Ketenangan jiwa. Apa dia jalan-jalan, refreshing lah. Itu semua
ketenangan jiwa. Nah, lembaga pernikahan ini, itu tuh, bikin ketenangan jiwa kalo
memang kitanya, secara sadar tidak sadar ya, kayak begitu. Kalo kita sadar, itu akan
kita pakai cara bersyukur. Tapi kalo nggak sadar, kita bakalan cari-cari lagi, ish kok
begini sih, aku belum punya ini, nah yang kayak begitu yang akhirnya bikin kita
nggak tenang sendiri. Ngerti nggak? Kayak aku ini misalnya kan masih tinggal
sama mertua. Adalah keinginan aku untuk mempunyai rumah sendiri. Nah, ketika
aku mengingat bahwa aku apa eee dengan pernikahan ini sendiri pun aku sudah
Allah cukupkan sebenernya tanpa aku mengharap lebih lagi gitukan ya, sudah
cukup tenang. Jadi intinya adalah, kalau misalnya seseorang yang menikah dan
ternyata itu membuat jiwa-jiwanya tenang itu nggak apa ya keinginan-keinginan
yang itu tuh akan bisa teredam sendiri. Dan akan lebih mensyukuri dengan apa yang
dimiliki saat ini.
P : kak, satuu lagi, satu lagi. Sebelum menikah, keuntungan apa sih yang kak
indah dapatkan?
I : kebebasan.
P : selain kebebesan?
I : iya kebebasan. Kebebasan saja. karena yang lainnya ya sama saja ya. Apa
namanya, misalnya kita dulu lagi suntuk atau lagi ada film baru ini, pengen nonton.
Kalo dulu kan okelah cabutlah jalan nonton. Kita mau nonton sama siapa gitukan
bisa pilih, sama kakak, sama adek, atau sama siapa gtu atau sa, temen-teman, cari
civ
saja. bisa. Kapan pun, anytime. Pulang malam-malam boleh. Kalo sekarang kan
nggak bisa hahaha. Kadang ihhh bete deh pengen nonton tapi ya enggak bisa saat
itu juga hahaha. Jadi ya itu saja sih kebebasan. Freedom ya. Eee tapi, mungkin
kebebasan itu akan lebih didapatkan kalo kita memperbanyak komunikasi. Karena
memang kan di awal itu pasti, penyatuan persepsi, komunikasiitu tidak tidak mulus,
pasti. Akau bisa jamin itu hahaha. Nah, maka disitu, patokan kebebasan itu
sebenarnya tuh apa namanya, setiap orang itu berbeda-beda. Seperti apa yang
dimaksudkan. Kalo aku saat ini sih, lebih kepada itu ya (kebebasan).
P : okay kak. Sekarang usia kakak berapa ya?
I : aku kelahiran 85. Berarti usia ku 36 ya.
P : pendidikan terakhirnya kak?
I : S-2
cv
4. Informan Ummu
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Selasa, 02 November 2021
Nama : Ummu
Usia : 30 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-2
Pekerjaan : Freelancer
Domisili : Malang, Jawa Timur
P : halo assalamualaikum, kak ummu
I : walaykumsalam, iya, halooo.
P : sudah, sudah free ya kak ini?
I : ya insyaAllah sudah free
I : siapa, siapa aku panggil siapa namanya?
P : eee panggil Agis saja kak.
I : Agis...
P : iya, Agis
I : ooo ya ya oke oke. gimana gimana, Gis?
P : iya kak sebelumnya makasih banyak ya udah bersedia jadi narasumber
aku. Terus aku juga mau ngucapin selamat atas wisudanya.
I : (tertawa) makasih, makasih. Semoga kamu cepet ini ya, cepet selesai juga
P : iya aamiin. Aamiin ya Allah, aamiin.
P : wisuda itu ya kak eee S-2?
I : iya wisuda S-2
P : aaa Masya Allah hebat, kak. Dimana kak?
I : di UB. Brawijaya. Di Malang.
P : oalah, Brawijaya. Keren kak. Jurusan apa kak?
I : (tertawa) iya S-1 S-2 nya Alhamdulillah disitu (UB)
P : jurusan apa kak?
I : aku ini, tata kota. Teknik tata kota.
P : kakak memang asli Malang? Eh apa asli Surabaya ya?
I : enggak. Aku aslinya Sulawesi. Cuman sudah lama di Malangnya.
P : eee oh itu ya, dari S1 sudah di Malang ya kak.
I : heeh, bener (tertawa)
P : aku dulu waktu pemilihan kampus pilih UB, tapi ketendang, bukan jodoh
(tertawa)
I : hooo iyaa??
P : heeh aduh, ngebet banget pengen dulu UB, tapi nggak jadi nggak keterima.
I : ooo (antusias) terus kamu sekarang dimana jadinya?
P : aku jadinya di UIN Jakarta.
I : hooo heeh heeh. Aslinya Jakarta tapi ya?
P : iya asli Jakarta. Tangerang sih, Betawi Tangerang kalo aku.
I : hoo Tangerang
P : iya kak.
cvi
P : oh iya kak, ini kamu ada rencana untuk balik kesana ga? Balik ke
Sulawesi?
I : untuk saat ini sih, belum, sih. Masih mau disini dulu (Malang).
P : okay. Memang kerjanya juga di daerah situ ya kak (Malang)?
I : iya, jadi, karena aku freelance jadi kadang di Malang, di Sidoarjo atau di
Surabaya. Jadi puter-puter daerah situ saja.
P : kak, eee, berarti selama kuliah kakak ngekos?
I : eee selama kuliah S1 ngekos. Cuman pas mulai masuk S2 aku sudah mulai
apa namanya, eee mulai ngontrak. Sampe sekarang. Sampe selesai S2 aku masih
ngontrak. Enggak, gak tertarik balik kosan lagi, sih.
P : kenapa kak?
I : memang dari kuliah sih aku memang orangnya enggak suka rame-rame
gitu ya.
P : ooo iya pas ngekos itu rame-rame ya
I : heeh kalo ngekos kan kamarnya banyak, anak-anaknya banyak, jadi aku
nggak begitu cocok.
P : berarti ini kakak ngontrak di satu rumah, gituu?
I : hmm, satu rumah. Bener-bener.
I : terus terus gimana gimana?
P : Iya nih aku mau tanya-tanya, sih. Maksudnya memang topik ku agak-agak
menyinggung,,
I : enggk papa..santai
P : Jadi kalau misal ada pertanyaannya sekiranya mungkin Kakak nggak mau
jawab bisa di skip saja, sih.
I : hooo okay fine its okay.
P : aku kepo dong Ini kak, kakak dari S1 ke S2 itu ada jeda berapa tahun?
I : hmmm bentar. Aku lulus (S1) tuh 2015 akhir. S1 itu (maksud disini adalah
S2) masuk 2016. Berarti ada jeda 6 bulanan 7 bulan.
P : asatagaa. Jadi dari lulus S1 jeda 6 bulan langsung S2??
I : heeh. Cuman dua-duanya tuh nggak tepat waktu. Jadi, S1 itu aku 5 tahun.
nah, S2 ini yang agak parah. Soalnya memang barengan kerja kan. S1 S2 sama-
sama barengan kerja, sih. Proyekan. Jadi aku nggak begitu fokus sama kuliah
(tertawa).
P : kak, itu berarti S1 Kakak udah mulai cari cari pekerjaan di semester
berapa?
I : kayaknya di semester berapa ya..aku masih aktif kuliah, berarti skripsi
itukan semester 8 ya. Semester... antara semester 6 atau semester 5 begitu ya aku
juga sudah lupa. Sudah lama banget, sih. Kalo yang pertama kali proyekan itu, heeh,
sudah lumayan lama.
P : itu memang awalnya diajak-ajak gitu kah? atau memang Kakak cari ya cari
lowongan gitu-begitu?
I : kalo di kita karena tata kota, ya. Jadi, di sekitar kita, senior kita biasa itu
yang nawarin. Mereka biasanya cari mahasiswa memang. Jadi, bayaran lebih murah
(tertawa) terus, eee masih perlu dibimbing gitukan. Terus kita mulai ikut-ikut
survei. Abis itu dari kebiasaan survei ningkat ke garap dokumen-dokumen.
cvii
Memulai dari sini ya. Ya biasa ditawarin, kalo enggak ya kita biasa cari sendiri juga
sih kadang-kadang.
P : emang nggak ngerasa pusing apa kak, dari S-1 cuma jeda 6 bulan langsung
pilih S-2?
I : sebenernya pusing banget, sih. Itu makanya S-2 nya aku lama banget
(tertawa). Cuman S-2 itu karena diminta orang tua,
P : ooo begitu
I : jadi istilahnya tuh, biar sekalian begitu. Soalnya memang basic keluarga
itu akademis semua. Dosen guru. Jadi, eee harusss pendidikan lebih dari S-1.
P : ooo ya ya pengaruh dari lingkungan keluarga juga ya.
I : iya, aslinya sih gak mau.
P : oh iya, kak, aku langsung ke ini saja deh, aku mau tanya, alasan mendasar
kakak di umur sekarang masih melajang itu sebenarnya apa?
I : sebenernya lajang itu...masuk nggak sih, aku punya cowok soalnya
(tertawa) aslinya.
P :boleh boleh, bisa kok. aku ganti deh, kenapa di umur sekarang belum
memutuskan untuk menikah?
I : eee ini agak-agak gimana ya. Aku punya beberapa, bukan problem, sih.
Jadi, ada beberapa faktor. Beberapa faktor tuh, gapapa aku urain saja (tertawa). Jadi
misalnya kayak, kalau kenapa belum mau nikah, kalo dari aku pribadi emang belum
mau nikah. Soalnya eee apa ya, mungkin karena aku kelamaan pendidikan kali, ya.
Jadi fokus ke pendidikan saja. terus sekarang sudah selesai tuh, malah, eee pengen
jeda dulu. Maksudnya, kan ini (menikah) bebannya banyak pasti kan ya. Eee
bebannya banyak, tanggung jawabnya banyak. Habis nikah pasti anak, apa, apa,
apa. Aku tuh semacam kayak sedikit nggak siap. Kalo dari akunya pribadi memang
belum, belum kepikiran setahunan ini pengennya belum. Cuman, karena, kalo dari
segi posisi saya adalah anak pertama. Anak pertama perempuan (tertawa) di
keluarga, usia segini (belum menikah) itu menakutkan bagi semua orang (tertawa).
Jadi, sudah mulai apa, selalu diteror hampir setiap hari untuk disuruh nikah.
Jadi sebenernya, ada dua pandangan sih. Maksudnya, kalo memutuskan nggak
nikah juga, eee fifty-fifty ya. Aku pribadinya memang gak mau, belum mau. Cuman
keluarga tuh, kalo bisa secepatnya.
P : jadi, saat ini kakak sudah punya pacar gitu ya, pasangan?
I : hoo ya sudah sudah. Sudah berapa ya,
P : sudah berapa lama kak?
I : 4 tahun, mau masuk 5 tahun.
P : dari kalian berdua itu memang, yaa eee sudah masuk ke tahap serius gak
sih? walaupun Kakak kan nggak mau menikah tapi dari diri Kakak sendiri tuh ada
keseriusan nggak sih menjalin hubungan ini, sama pasangan kakak saat ini?
I : kalau serius sudah sih, ya. Soalnya dari kita berdua sudah ngerencanain,
maksudnya persiapannya apa saja, sudah ngebahas apa saja. eee apa, pacarku juga
sudah pernah ketemu mama papa, begitu. Semuanya, insyaAllah sih, kalo sudah
serius, sudah serius sih, dari kita berduanya. Tapi ya memang masih slow saja.
orang tua saja yang rada ini.
P : tapi dari pasangan kakak sendiri enggak mendesak (untuk menikah) kah?
Mengerti, dan tidak mendesak kita harus menikah umur sekian, begitu.
cviii
I : enggak sih. Karena kalo dari dianya engga. Kalo dari dianya, dia kebalikan
aku. Dia anak bungsu di antara semua cowok. Jadi slow saja keluarganya.
P : berarti karena sudah memasuki usia 30 juga, berarti kakak itu dong, itu
pasti ada obrolan sama pasangan kakak karena eee apa belum, persiapan Kakak itu
belum ada untuk menikah Kakak obrolin dan tanggapan dari si pasangan kakak
sendiri pun ya ya oke. enggak mempermasalahkan itu. Keluarganya pun juga kah?
I : enggak mempermasalahkan juga sih.
P : kalo dari segi..sorry aku tanya, kalo dari segi finansial, apakah kakak dan
pasangan sudah merasa stabil untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih itu.
I : iya sudah..
P : cuman ke masalah ini saja ya kak, ke kesiapan mentalnya aja kali ya buat
kakaknya.
I : iya. Heeh. Lebih kayak, apa, aku kalo mikir jauhnya, lebih ke habis
nikahnya itu prosesnya itu yang bikin aku jadi agak sedikit males. Maksudnya
masih belum pengen kesitu aku. Itu sih yang memberatkan.
P : Berarti nih, dari orang tua itu kan udah ada desakan untuk kakak segera
menikah ya,
I : heeh betul.
P : karena khawatir kakak anak pertama, udah kepala 3,
I : yaa betul.
P : Nah, aku kepo gimana sih, kakak itu membicarakan hal ini? Maksudnya
ketidaksiapan kakak untuk menikah sama orang tua tuh kayak gimana? Ngasih
pengertian sama mereka.
I : jadi dulu kalau masih awal-awal itu. Kalo saya sih, kalo ditanya tuh,
gimana ya aku ngomongnya bentar. Aku tuh bilang, masih pengen ini mah,
tanggung lah begitu, masih. Aku langsung ngomongin saja, masih belum pengen,
begitu. Karena apa, ya slow saja. maksudnya ya memang belum mau, gituu. Terus
pasti alasannya (orang tua mendesak), pandangan orang, semua anak tetangga
sudah nikah, itu tuh, yang lebih muda dari kamu sudah ankanya dua. Gituuu.
Perbandingannya pasti ke orang lain. Aku pasti, langsung nge-cut, ya jangan
dibandingin ke orang lain. Jangan, jangan dengerin orang lain. Aku pasti ngomong
begitu. Cuman ya, ya memang orang tua agak, agak apa, maksudnya pandangan
orang-orang lain terhadap keluarga kita menurut saya penting jadinya, dibantah lagi
sama orang tua. Lama kelamaan ya, aku iya-iyain saja. aku bilang iya nanti iya
nanti. Cuman, sekarang tuh, enggak pernah lagi saya ngomong eee apa ya,
ngomongin langsung kalo aku nggak begitu siap, atau masih ntar-ntar saja padahal.
Aku cuman iya-iyain saja gituu. Jadi enggak, kalo sekang tuh, nggak begitu jujur
ke orang tua.
P : eee tadi memang sempet disinggung kan, orang tua kakak khawatir sama
pandangan orang-orang gitu ya,
I : heeh betul
P : khawatir mungkin anak perempuannya gini-gini diomongin orang gini-
gini. Kakak sendiri sebenernya nanggepin pandangan, stigma dari masyarakat
kayak bagaimana, sih?
I : nah ini, ini karena, karena saya hidupnya ngerantau ya. Jadi, jauh dari
keluarga saya, tinggalnya disini. Kebetulan di lingkungan sekitarku itu, aku tumbuh
cix
sama orang-orang yang memang bahkan lebih tua dari aku pun belum nikah. Jadi,
temanku S1 S2 itu rata-rata belum nikah, sih. Cewek cowoknya tuh masih slow
saja, masih terpaut sama karir. Usia mereka malah 31 32. Jadi akunya slow. Nah,
kalo keluarga, kalo yang disana, yang di Sulawesi kan nggak gituu. Se aku gituu
anaknya sudah masuk SD mungkin atau apa. Nah, itu yang membedakan. Jadi kalau
akunya santai orang tua grusak-grusuk tuh, karena itu. Kalo dari akunya sih biasa
saja (tertawa).
P : iya.. orang tua malah yang lebih khawatir ya.
I : heeh. Soalnya karena mungkin memang perbandingan lingkungan mereka
itukan lingkungan rumah. Rumah disana itukan ya, eee stigmanya usia 30 itu usia
tua. Usia yang sudah harus apa, eee anaknya sudah harus segini, apa gituu.
Sementara lingkungan saya di sini itu, enggak gituu, beda banget.
P : tapi dari orang tua sendiri itu dari orang tua kakak sendiri itu ngasih
kebebasan gak sih, untuk kakak deket sama lelaki manapun begitu? Maksudnya, ya
terserah selagi, biasanya kan ada orang tua yang kamu harusnya deket sama lelaki
yang seperti ini,
I : sesuku.. kayak begitu ya
P : ada nggak sih? orang tua memberi kebebasan
I : kalo orang tua...bebas sih. Dari jaman dulu. Malah lucunya gini, jaman
sekolah tuh, bener-bener protektif banget. Jadi, eee saya itu nggak pernah, enggak
pernah pacaran sama sekali. Sampe usia berapa ya. S2 itu 24 atau 25 ya. 24
mungkin. Baru pertama kali pacaran itu. Jadi maksudnya, orang tua itu, masuk
umur 20 malah, kok kamu belum ada pacar? Terus aku bilang, dari sekolah lah, dari
jaman dulu sudah terbiasa protektif. Jadi sudah terbiasa fokus ke pelajaran, ke
sekolah. Nggak pernah mikir aneh-aneh gituu. Jadi, makanya mungkin, karena
orang tua khawatir ya. Ayo ayo, jadi malah mereka yang ayo sama siapa saja, yang
penting seiman begitu-begitu saja sih. Kalo yang persyaratan khusus sih enggak
ada.
P : kak aku mau make sure lagi, sebenernya tanggapan atau respon orang tua
kakak sama pilihan kakak ini yang nggak mau menikah di usia segini, maksudnya
yang belum siap untuk menikah di usia sekarang tuu, pro atau kontra, sih?
P : (menghela nafas) kontra sih, pasti.
P : okee
I : kontra. Cuman, aku tipe kalau ngomong sama Mama aku tuhh, kalo kata
mama aku apa ya, aku nggak pernah serius. Jadi, ketika aku ngomel, eee bukan
ngomel sih, ngomong “nggak usah peduli pandangan orang kayak gini gini” mama
aku tuh nggak nganggap serius, begitu.
P : okeee
I : dikira aku bercanda.
P : Kakak berarti udah bekerja tuh eee berapa tahun ya?
I : haduh, dari kapan ya. (tertawa) anggaplah dari 2013 pas pertama kali
proyekan.
P : berarti 8 tahun mau ke 9 tahun lah ya.
I : iya, sekitar itu kali.
P : kak, inikan kakak sekarang posisinya jauh nih di Malang, orang tua di
Sulawesi dan umur Kakak udah kepala 3. Kakak masih ngerasa nggak sih apapun
cx
keputusan kakak harus didiskusikan sama orang tua Kakak di sana? atau yaudah ini
hidupku jadi aku ambil pilihanku sendiri, begitu.
I : kalo keputusan tetap di aku. Cuman, aku tetap sharing jadi, dari apapun
yang aku ambil mereka pasti oke. jadi, eee kalo maksudnya terkait persetujuan,
enggak sih, semuanya alhamdulillahnya masih di aku.
P : kakak dari kakaknya sendiri, Kakak punya kriteria pasangan atau calon
suami itu harus seperti apa begitu?
I : eeeemm sebentar. Kalo aku sih dulu, menarget, bukan menarget juga
bukan cari orang yang kayak, setipikal saja kayaknya diobrolan bakalan nyambung.
Bukan yang apa ya, eee tahu nggak sih, istilahnya matiin suasana. Kayak begitu
saja sih. Yang nyambung obrolannya. Jadi kayak teman, kayak sahabat begitu.
P : kakak sama pasangan sepantaran kah?
I : beda. Lebih tua setahun.
P : pasangan juga saat ini bekerja ya kak?
I : heeeh (bekerja)
P : kak, mau tanya lagi dari keputusan kakak nih untuk menunda menikah,
kakak sebenernya udah siap belum sama konsekuensi yang ke depannya bakal
kakak terima?
I : sudah siap sih. maksudnya kaya istilah orang yang, aku tuuh sering
dibilang gini, nanti punya anak susah. Punya anak berisiko ya kalo usia tua katanya.
Eeee gatau sih kalo aku untuk urusan itu malah aku sudah siap saja sih. Yaudah lah,
gituu.
P : terus nih, kak, eee keluarga, ini keluarga besar pun pasti udah mengetahui
kan kakak ya, umur sekian belum menikah itu,
I : oh ya ya, jelas tahu
P : hubungan sama keluarga termasuk keluarga besar itu kayak bagaimana?
Pas mereka tahu kakak umur segini maksudnya belum siap juga untuk menikah.
I : kalo mereka enggak gimana-gimana, sih, biasa saja. cuman, kan pasti
sering tuh, ada acara keluarga. Aaa itu baru. Mungkin karena akunya nggak di sana
jadi pasti, “oh gimana??”, “jadi kapan nikah?”. Aaaa ituuu. Kayak gituu-gituu saja
sih. Tapi kalo hubungan sih, so far so good ya. Kalo saya yang nggak gimana-
gimana. Biasa, normal-normal saja. cuman, suka gangguin mamaku dengan
berakhir mamaku nelfon. “aaa gimana ini?”
P : risih nggak sih, kak?
I : aku risih banget! Risih banget ya ampun. Aku jadi kayak males banget ya
Allah.
P : iya jadi, kayak mungkin dari kakak ada perasaan kayak males gitu untuk
ketemu sama keluarga besar begitu,
I : malesss. Bener-bener males banget.
P : karena ditanyain pertanyaan yang sama gitu ya.
I : iyaa. Sama mungkin karena, kalo pandanganku sih ya, maksudnya kalo
urusan kayak gini mestinya nggak usah terlalu,
P : ikut campur...
I : dengerin kata orang, gituu. Iya ikut campur. Apalagi meminta gini. Karena
perbandingan dengan keluarga orang, dengan ini, gituu. “ini sudah nikah, anaknya
gini” naah!! Itu tuh, malah aku nggak suka. (tertawa) itu sih menurutku.
cxi
P : okeee. Kak, kakak ini kan udah ada di tahap serius sama pasangan. Apa
saja sih, yang kakak obrolin atau diskusikan kedepannya? mungkin ada harapan-
harapan di pernikahan kalau memang Alhamdulillah sampai ke sana, jenjang
pernikahan, apa aja yang perlu dibicarakan dan disiapkan.
I : sama maksudnya bicarakan sama orang tua atau sama pasangan?
P : eee sama pasangan kakak sendiri.
I : eee lebih ke ini sih nanti, yang biasa kita obrolin kayaknya, apa ya, eee
mau – emm enggak, mau tinggal dimana, atau ke depannya rencananya seperti apa?
Begitu-begitu aj asih. Yang apa yang umum dibicarakan. Berat ya. Itu saja sih.
Nggak ada yang terlalu gimanaa-gimanaa. Mungkin karena kaunya santai atau
gimanaa.
P : karena ini juga ya kan kita tuh ngerasa santai karena memang lingkungan,
lingkungan kita pun, di tempat kakak tinggal sekarang ya udah gapapa umur segini
mereka tuh nggak belum menikah juga gitu kan.
I : iya bener. Malah sahabatku, sahabat deket saya tuh malah dia pindah ke
Jerman dan sekarang pacaran sama orang Jerman yang jelas dia nggak bakal nikah.
Tapi tetap biasa saja, santai. Dia selalu bilang, di Jerman tuh, usia kita tuh usia
produktif, usia muda, gituu. Jadi, iya, orang malah masih santai. Jadi istilahnya
gituu. Lingkunganku rata-rata gituu sih (tertawa).
P : sama lingkungan di sini, di tempat kakak sekarang
I : iyaa...lingkungan sekarang. Bener-bener.
P : kalo di Sulawesi, bukan (tertawa)
I : heeeh enggak. Big No.
P : (tertawa) pulang ke Sulawesi berapa tahun sekali kak? atau mungkin
berapa bulan sekali?
I : sebenernya, biasa tiap tahun. cuman, ini semenjak pandemi enggak balik.
P : ooo 2 tahun berarti ini ya
I : iya 2 tahunan, bener.
P : ini wisuda,
I : Januari tahun depan balik paling.
P : ini wisuda berarti kakak sendiri kah?
I : sendirian. Heeh.
P : ya ampun. Hebat-hebat.
I : (tertawa) gapapa, karena wisuda daring juga kali ya jadi lebih slow.
Untungnya S1 nya wisuda offline sih, jadi aku nggak begitu ini (tertawa)
P : (tertawa) iii enak merasakan wisuda offline
I : iya makanya (tertawa) yang kasian tuh S1 tapi online, haduh.
P : iya aduh, bener sih. Semoga pandemi cepat berakhir.
I : iya amin, amin.
P : kak, aku mau tanya lagi nih, dari usia kakaknya sekarang dan belum
menikah apa sih apa aja keuntungan yang kita dapatkan?
I : mmmm keuntungan belum menikah di usia sekarang ya..kalo aku ngeliatin
teman-teman yang mungkin sudah nikah tuh, memang akunya lebih mikirin, masih
fokus ke diri sendiri. Terus lebih banyak waktu luang kali ya. Maksudnya, bener-
bener eemmm apa ya, masih bisa santai-santailah istilahnya. Leha-leha. Kalo aku
cxii
bandinginkan, orang-orang yang sudah nikah kan kayaknya, harus kemana-mana
harus anaknya, ada suaminya. Aku belum siap untuk itu (tertawa).
P : ooww oke. lebih ini nggak sih, eee atau mungkin karena kakak juga sudah
punya pasangan sih, ya. Tapi, kakak lebih, lari untuk menyibukkan diri dengan
bekerja nggak? Kakak sendiri tipe orang yang mungkin ambisius kah atau yang
yaudah jalanin saja?
I : mmm kalo aku yang jalanin saja sih. Ambisius juga nggak, nggak begitu.
Jadi ya nyantai saja sih kalo aku. Apalagi aku punya kucing. Jadi, memelihara
kucing juga membantu (tertawa)
P : iiii seru banget!! punya berapa kucing kak?
I : ooo banyak (tertawa) berapa ya, banyaak. Jadi ya nggak sepi-sepi banget.
P : kucing tuh penyelamat kita kalo lagi bosen sendirian. Walaupun dia cuman
meong-meong tuh kita ngomong dia bales cuman ngeong-ngeong itu kayak dibales
gitu ya omongannya.
I : iya bener. Kita duduk di rumah seharian gak ngapa-ngapain sama kucing
tuuh, enak saja (tertawa).
P : kak, aku mau ini lagi ada 3 pertanyaan terakhir deh. Aku mau nanya
pendapat kakak dong tentang pernikahan itu seperti apa?
I : gimanaa-gimanaa?
P : pandangan kakak tentang pernikahan itu seperti apa?
I : pandanganku tentang pernikahan...sebenernya kalo aku...pandangan apa
nih, maksudnya pengertian atau hubungan didalamnya
P : boleh bebas pengertiannya atau hubungannya di dalamnya. Pokoknya
kakak melihat pernikahan itu sebagai sebuah apa?
I : aaa kalo aku ya, itu kalo aku mandang nikah itu sebagai eee komitmen,
sih. Jadi, di mataku tuuh ketika orang sudah mutusin nikah, menurutku tuh, dia
sudah bener-bener enggak bisa apa ya, istilahnya, gabisa selfish. Jadi gabisa egois.
Jadi gabisa kayak aku sekarang gituu masih mikir aku mau makan apa? Aku apa,
aku apa. Kalo nikah tuh nggak bisa. Kita harus mengutamakan orang lain dulu.
Terus apa ya, relasi ke keluarga lain itu juga menurut aku berhubungan gituu.
Maksudnya sama mertua atau apa. Jadi, pernikahan tuuh lebih mengembangkan.
Relationship tuuh bukan kita dan pacar lagi. Tapi jauh lebih luas dari itu dan
menurutku itu kompleks sih.
P : jadi dibutuhkan banget sebenarnya kesiapan mental itu utama,
I : benerrrr
P : psikis
I : bener, benerr
P : emosi
I : haduh, nikah ya nikah saja. dalam hatiku, cuman nggak berani aku
omongin ya, takutnya dikira menggurui. Jadi, kalo di kepalaku tuuh nggak cuman
asal nikah saja, sah-sah saja. habis itu pulang, tidur. Nggak gituu. Kalo di aku malah
lebih menakutkan. Soalnya, pasti ada tanggung jawab lagi. Apalagi, kalo orang tua
ku tuh mikir, kalo nikah itu wajib punya anak. Sementara aku tuh enggak. Kalo
menurutku dikasih ya dikasih. Kalo memang pasangan yang milih nggak punya
anak juga gak masalah. Soalnya komunikasi di dalamnya itu sama pasangan yang
menurtuku penting banget.
cxiii
P : berarti memang Kakak itu tipe yang apa ya maksudnya, iya sih benar aku
setuju karena biasanya pandangan orang tua atau orang-orang masyarakat sekitar
yang , maksudnya yang sudah sepuh gitu ya kak, yang sudah jadi orang tua, mereka
akan menganggap ya orang menikah ya harusnya anak. Pasti nanti setelah menikah
itu pasti ada pertanyaan selanjutnya Kapan punya anak? Kapan mau punya anak
kedua? kapan punya anak ketiga? dan seterusnya sedangkan,
I : kalo kata ibuku malah gini, wanita itu kan diciptakan karena wajib untuk
memiliki keturunan. Mau ku bantah loh, enggak begitu ya konsepnya. Terus orang
yang nggak dikasih keturunan, gimanaa? Masa mau ngomong kayak gituu di depan
muka mereka, kan enggak lucu, gituu.
P : setuju sih aku.
I : karena menurutku pertanyaan tentang anak itu agak sedikit, sedikit nggak
sopan sih. Kalo misalnya tanya ke orang yang baru nikah, yang nikah belum punya
anak karena ini ini, gituu.
P : karena memang kebanyakan dari kita kan dari orang-orang kita itu ya
mencampuri hal-hal privasi orang banget gitu ya.
I : iya, bener, bener, bener sekali. Dan itu shshhshs menggelikan. Aku
sebenernya pengen jauh dari lingkungan kayak begitu, cuman, ya gimanaa, kita di
Indonesia.
P : jadi kayak, orang itu dengan pertanyaan kapan nikah, kapan punya anak,
dan urusan pribadi lainnya tuuh, berlindung dibalik kata kita kan perhatian, kita kan
peduli, gitu loh.
I : iya. Mesti kayak begitu. Nggak bisa lepas.
P : seluruh kayaknya seluruh Indonesia kayak begitu gak sih (tertawa).
I : iya memang kayak begitu. Nanti kalo misalnya ini, pasti omongannya gini,
kalo meninggal siapa yang nguburin,
P : heeh bener.. nanti hari tuanya siapa yang ngurusin kalo enggak punya anak
I : pasti kayak begitu. Hhhh yaudah lah.
P : yaudah kita sebagai anak ya udah diem aja deh walaupun enggak setuju.
Dari pada orang tua nyap-nyap gitu ya.
I : iya bener. Aku cuma bisa menggerutu saja dalam hati. Cuman kalo
ngomong langsung nggak, nggak bisa (tertawa).
P : nah kak, menurut kakak juga ini, sebagai perempuan itu menikah itu
sebagai sebuah keharusan nggak sih?
I : enggak (tertawa)
P : enggak...alasannya donggg
I : kalo aku sih mandangnya gini, enggak cuman buat wanita atau pun laki-
laki juga menurutku sama, gituu dalam pandanganku tuuh sama. Mmm apa ya, lebih
ke karena kita manusia, terus sudah usia segini, usia dewasa lah ya. Kita tuhh tahu,
kita mau milih apa, kita tahu yang mau kita capai itu apa. Ketika ada orang, cewek
misalnya usia berapa, mungkin lebih tua dari aku misalnya. dia milih untuk nggak
nikah, nggak masalah. Orang misalnya, mungkin dia pernah punya trauma, atau
mungkin tanpa background dia sudah sukses dan dia nggak butuh, merasa nggak
butuh apa-apa ya its okey. Yang penting di audah tahu, apa ya, intinya buat dia yang
terbaik apa, rencana dia ke depannya apa. Nggak masalah kalo emangnya dia gak
cxiv
mau nikah. Kalo menurutku nggak masalah, gituu. Its okay saja. intinya tuuh nggak
ada yang salah, gitusih.
P : iya ya bener. Karena memang, enggak soalnya kan kita orang itu masih
berpandangan kalau perempuan itu yang ngapain sih kuliah tinggi-tinggi, sekolah
tinggi-tinggi, toh, ujung-ujungnya pun kalian bakalan di sumur, dapur, dan kamar.
I : iyaaa. Dih, aku, kalo ada orang yang ngomong itu di depan ku, tak keplak
mulutnya.
P : hahaha iya bener kak. Iya, makanya makannya banyak banget kan
orangnya masih beranggapan ya nikah lah masa perempuan nggak nikah, gituu.
Mau dikata apa (kalo nggak nikah) begitu. sedangkan untuk sekarang, seorang laki-
laki berusia diatas 30 gitu ya , belum menikah tuh orang kek, ya wajar dia laki-laki,
I : ya wajar dia laki-laki...iya, bener begitu..
P : tapi perempuan umur 23 aja jangankan 23 deh, dia udah ketahuan lagi
nyusun skripsi aja tuh bakalan keluarga deket itu bakalan nanya ih berarti habis
lulus nikah ya. Padahal nggak semua orang butuh nikah.
I : iya betul. Betul itu.
I : sayangnya memang, aku ggak tahu sih karena aku bukan ahlinya. Cuman
mungkin aku melihatnya, rata-rata karena eee orang tua jaman dulu, jaman mereka
mungkin jaman dulu itu eee emang begitu kebudayaannya kali ya. Eee kalo mama
ku tuuh cerita, dia tamat SD itu, dia kan tinggal di Pulau dulu. Jaman SMA itu udah
lulus itu udah termasuk sudah usia yang tua banget buat nikah. Jadi dia disuruh
nenek kakek saya itu buat langsung nikah dan dia kabur dari pulau itu. Aku
mikirnya mungkin memang orang-orang dulu itu, orang tua kita, melalui masa
seperti itu. Jadinya sekarang yang mereka ngomongin ke anaknya adalah masa
mereka dulu. Bahwa usia kamu itu tua buat nikah. Tua banget malah. Mama dulu
nikah usia segini. Terus, apa kamu nggak mau nikah? Siapa nanti yang ngubur
kamu? Siapa nanti yang usia kamu 80 kamu mau ngapain? Kayak begitu-begitu.
Mungkin apa, mungkin karena mereka melihat masa-masa mereka. Padahal kan
jaman sekarang eee media berkembang, teknologi-teknologi berkembang, beda
(dengan jaman dulu). Kita tidak bisa menyamakan itu. Tapi mereka masih hidup
disitu dan membawa itu ke generasi anak-anaknya. Itu sih menurutku.
P : kak, kalau kira-kira kalau boleh di kira-kira, di umur berapa sih sekiranya
kakak tuuh sudah merasa sudah waktunya saya untuk menikah?
I : eeee sebenarnya ya, kalo aku kepengennya usia 32.
P : oh 32. Kalo boleh tahu kakak saat ini usianya berapa?
I : 30 pas.
P : kakak ngerasa di waktu 2 tahun itu, sudah cukup begitu ya untuk
menstabilkan emosi kakak.
I : heeh betul-betul. Lebih ke kesiapan. Kesiapan mental. Lebih ke apa ya,
pengen puasin diri sendiri dulu baru – rasa-rasanya sih kalo ngeliat sekarang
mungkin 2 tahun lagi sudah bisa kali ya.
P : terus nih kak, kalo misalnya sudah menikah kakak bakalan terus bekerja
dan berkarir kah? atau stop
I : kalau saya, iya pasti. Soalnya kebetulan keluarga saya yang tadi aku bilang
kan, keluarga saya basicnya akademis. Jadi, dari SMP itu ibu saya sudah narik saya
dan ngomong kayak gini, “kamu nanti kalo besar, harus bekerja. Biar uang kamu
cxv
mau beli kalung, mau beli emas, nggak minta sama suamimu”. Itu aku sudah dari
SMP dicatet kayak begitu. Jadi, sudah pasti literally pasti bekerja. Aku tumbuh di
sebuah keluarga yang semua wanitanya, semua perempuannya meskipun nikah
muda, nikah apa, pasti kerja. Alhamdulillahnya sih gituu.
P : dan pasangan pun enggak masalah gitu ya Kak? Kakak sudah
membicarakan hal ini belum?
I : nggak masalah sih. Iya memang kan kita ketemunya pas S2. Maksudnya
orang S2 itukan rata-rata pandangannya eee tujuannya kerja, gituu.
P : aku kepo dong kak, Itu orang tua kakak sendiri menikah usia berapa tadi?
I : kata mama ku sih, 20...23 atau 24 gituu. Beda sama papaku dia lebih tua 5
tahun. jadi, papaku itu dosen S1 nya ibuku (tertawa). Jadi, nikah sama dosennya.
P : oalah, jadi dosen dan mahasiswa
I : heeh (tertawa)
P : iii sweet banget. Cintanya bersemi di kampus.
P : kakak berapa bersaudara?
I : aku 4. Satu cowok. Anak ketiganya cowok. Dan itu, nah, ini lucu.
P : kenapa tuhh kak?
I : jarak usia kita itu deket-deketan. Sama adikku yang kedua juga, sama yang
cewek ini bedanya 2 tahun. adikku yang ketiga sama aku bedanya 3 tahun. yang
bungsu itu kelahiran 99, jadi lumayan jauh sih kalo yang bungsunya. Masalahnya
adalah ketika, si cowok ini, adikku yang ketiga ini kelahiran 93 itu mau nikah, eh
94, dia mau nikah. Ini sudah ancang-ancang mau nikah. Mama aku tuuh gamau.
Jadi, meskipun adikku sudah siap secara finansial, dan lain-lain sebagainya. Bahkan
ceweknya juga sudah siap, eee sudah mau dilamar. Mama ku tuuh gamau, soalnya
alasannya harus aku dulu. Ini lucu sih. Maksudku, entah ini mamaku membuat-buat
alasan biar aku mau cepet-cepet atau gimanaa. Aku juga gatau sih, nggak pernah
aku tanyain. Cuman, aku nangkepnya agak disengaja sih biar aku nya duluan,
akunya buru-buru gituloh.
P : dan, kakak pun sebenernya nggak masalah ya kalau misalnya adik kakak
nikah duluan.
I : ya nggak masalah. Aku setiap mamaku telfon begitu, pasti aku suruh,
“yaudah nikah saja, kasian itu mau ibadah dihalang-halangi”. Terus nanti
kesalahannya dijatuhin lagi ke aku, “makanya kamu dulu nyenyenye” (tertawa)
P : (tertawa)
I : nggak bisa dibantah
P : dan adik perempuan Kakak sendiri, adik perempuan kakak ni yang kedua
gimanaa? udah punya pasangan juga?
I : belumm. Dia agak beda. Ansos banget. Jadi, mungkin orang tua aku juga
gabisa ngomongin ya. Jadi, masalah pasanga, dia juga sama nggak pernah pacaran
sama sekali sampe sekarang. Dan dia nggak tertarik untu berpasangan. Entah orang
tua ku yang terlalu fookus ke aku atau gimanaa. Tapi mereka itu membiarkan dan
nggak mengkhawatirkan (adik kedua) kayak aku.
P : mungkin karena kakak juga anak pertama kali ya
I : iyaaa
P : kakak umurnya 28 ya
cxvi
I : iya 28. Mungkin karena aku sih menduganya karena, mungkin satu, yang
punya pasangan itu cuman aku doang. Terus yang kedua, karena memang dari kecil,
gimanaa ya orang tua aku ngomonginnya, gambaran adikku yang kedua lebih, dia
itu kayak, tahu gak sih, anak cewek yang di kamar terus, yang suka sama korea-
korea gituu. Dia korea banget. Eee jadi apa ya, dia punya dunianya sendiri. Bahkan
di usia dia sekarang. Nah, orang tua saya agak sedikit menyerah juga sih. Misalnya
ketika ngomong tentang cowok tuuh, di iyuh-iyuh gituu. Nggak dipaksa dia
meskipun usia 28. Nggak ada itu dia kayak aku, aku tuuh sudah tua, kamu itu ini,
nggak ada tuuh. Orang tua ku ngomong nikah ke dia, agak gimana begitu.
P : mungkin ini tanpa sepengetahuan kakak sebenernya adik kakak tuuh di
rong-rong (tertawa)
I : (tertawa) mungkin ya. Atau gini, aku sih nangkepnya karena memang, itu
tadi, pandangan orang jadi karena aku anak pertama terus orang disana kan
manggilnya, “bapaknya umi, bapaknya umi”. Jadi, istilahnya namaku yang paling
besar. Nah, setiap arisan atau apa setiap keluarga tuuh pasti tanya, “umi tuu sudah
nikah?”. Nah, untuk meredakan itu, mungkin, karena di anatar 4 saudaraku itukan
belum ada yang nikah. Jadi, harus ada satu yang nikah. Dan, mungkin iyasih, karena
aku paling tua dan aku yang paling terkenal istilahnya, jadi harus aku (tertawa).
Mungkin, misalnya aku sudah nikah pun, mereka mungkin nggak sebegitu
mengkhawatirkan adikku yang kedua ini kemungkinan.
cxvii
5. Informan Unge
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Rabu, 03 November 2021
Nama : Unge
Usia : 30 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-1 Sastra dan Bahasa Indonesia
Pekerjaan : Freelancer
Domisili : Padang, Sumatera Barat
I : Hallo..
P : Hallo pagi kak Unge, ini Agis
I : Hallo Agis, beneran jam 10 dong yaa..
P : Iyaaah hahah, kak Unge lagi apa?
I : Aku abis nyapu, beberes rumah..
P : Ohh okey.. kesibukannya lagi ngapain aja kak? Maksudnya akhir-akhir
ini lagi sibuk apa?
I : Akhir-akhir ini lagi di rumah aja sih, pengen nikmatin waktu luang
P : Emm,, okey. Emang tinggal dimana? Maksudnya domisilinya dimana?
I : Aku di Padang,
P : Ohmygod, jauh banget. Asli Padang kak?
I : Iyah asli Padang, baru balik sebelumnya di Jakarta, ngerantau di Jakarta
P : Ouu, di Jakarta kuliah, kerja?
I : Kerja, dari SMA sampai kerja.
P : Dari SMA sampai kerja kaka di Jakarta?
I : Iyah, dari 13 tahun
P : Ohmygod, 13 tahun sekarang umur ka Unge 30 ya?
I : Iyah.
P : Kak itu 14 tahun udah ngerantau ke Jakarta?
I : iyah hehe
P : Kok berani?
I : Iyah itu udah 16 tahun kan yah..
P : Iyah, kok berani sih kak?
I : emm, apa yah, karena emang aku anaknya dari kecil udah gak tinggal
sama orangtua, jadi kayak ayo aja gitu.
P : Oh okey, kenapa mutusin buat ke jakarta? Diajak atau emang yaudah
emang mau?
I : Oh ituu, Omaa, ingat gak yang aku bilang dichat abang sepupu aku itu
dia. Nah dia itu kan tunggal, sebenarnya dia itu jatohnya Om aku, nah dia anak
tunggal, nah dia mau punya adik, nah oma sama opa aku juga pengen punya anak
cewe, jadi ibaratnya aku kayak mau dijadiin anak cewenya gitu loh. Cuman karena
aku itu dari kecil gak sama mama papah jadi aku tinggal sama nenek aku, kakaknya
si Oma ini di kampung, aku mah gamau pisah sama neneknya, aku si anak neneklah
ibaratnya. Jadi sampe SMP aku di Padang, nah pas SMA kejadian gempa yang 2009
itu loh yang tsunami di Mentawai, itu kan rumah aku sebagian hancur, nah jadi
akhirnya itu alasan aku di bawa ke Jakarta sama Oma aku.
cxviii
P : Oh okey, Jakartanya di mana ka?
I : di Tangerang, di Ciledug.
P : Ih deket, deket aku berarti.
I : Dimana?
P : Aku mah Cipondoh, kakak ciledug mananya?
I : Astaga
P : Astaga deket bangeet.
I : Aku di Kreyo.
P : Oh tau tau aku, Kreyo.
I : di komplek taman astri..
P : Oh tau tau, ih deket banget berati yah, beda kecamatan doang gak sih?
I : iyah, orang tangerang juga ternyata
P : Asli aku orang tangerang.
I : oh orang tua kamu asli jakarta yah?
P : Iyah, asli sini
I : Tapi papa kamu kayak orang Padang tau mukanya
P : iyah apa? Hahaha
I : di liat fotonya
P : Tapi ini baru pertama kali sih papah ku di bilang orang Padang, biasanya
justru akunya yang di bilang kayak orang Medan.
I : Oh iya, muka kamu juga kayak orang Medan
P : kayak orang medan apa orang jawa gitu, mereka tuh gaada yang percaya
kalo aku orang betawi soalnya mukanya gak kek orang betawi, terus ngomongku
juga gak kayak yang betawi-betawi banget gitu loh ka, jadi kayak agak-agak medok
dikit dikit gitu.
I : haha, kamu kuliah dimana?
P : di UIN, kak Unge kuliah di UIN juga?
I : di UIN juga tau haha
P : hah? Haha jurusan apa kak?
I : UIN ciputat kan, padahal aku kemaren ngekostnya pas banget di belakang
kampus, aku tarbiyah .
P : ohh tarbiyah, aku fisip .
I : emm, fisip, kampus 2 yah berarti?
P : iyah kampus 2, ih astaga katingku haha
I : kating udah jauh banget jaraknya, kamu berapa sih umurnya 21 eh 20 ya?
P : aku 23 .
I : oh iya udah semester 7 ya sekarang?
P : ihh semester 9 hehe
I : gapapa, aku juga lulusnya semester 11 hahaha
P : aduh kalo bisa tahun ini aku terakhir
I : haha tenang masih semester 9, aku mah semester 11 ..
P : jurusan apa kak tarbiyahnya?
I : Pendidikan dan Sastra Bahasa Indonesia.
P : Oh anak sastra, kok ngekost sih kak?
I : jadi kan pas selesai SMA itu oma aku meninggal karena kanker payudara,
berarti kan kalo di Minang itu garis keturunan ibu yah, .
cxix
P : kak maap aku potong, jadi Oma itu berati sebagai orang tua angkat kaka
ya di Jakarta?
I : iyah, nah jadi kan Opa ku PNS , jadi aku dimasukin gaji, diangkat sebagai
anak, jadi segala apapun, yang ngebiayain aku dari sekolah makan baju dan segala
macamnya lah, aku aja manggilnya udah bukan oma opah tapi mama papah. Jadi
beliau meninggal, karena oma aku itu kan udah gaada, berarti garisnya udah putus
gitu dong karena beliau udah gaada, jadi aku kuliah ya em apa yah, aku sejak dari
kecil kan udah ga tinggal sama orangtua karena nyokap bokap cerai pas aku umur
2 tahun, terus aku dirawat nenek terus sampe aku gede, nah kan bingung nih, karena
aku orang tua aku gapunya penghasilan tetap buat nyekolahin aku setelah oma
meninggal nih gimana nih. Terus kakanya mamah aku, om aku, dialah yang
ngusulin dirinya buat biayain aku kuliah sampe lulus. Cuman syarat kalo aku ga
lulus sampe semester 8, semester 9 selanjutnya kamu bayar kuliah sendiri, trus aku
okeey kan gitu. Cuman karena rumah om aku itu jauh di regency, pasar bengkok
itu kan jauh banget yah kalo mau ke UIN, jadi aku tinggal sama Angah aku, angah
aku ini ade nenek aku yang nomer 2, oma aku itu yang paling bontot di komplek
depag ciputat, cuman karena semester 6 aku ada matkul teater kajian drama, dimana
2 semester, semester 5 sama semester 6 itu diwajibkan untuk ikut tampil acara
drama buat dapet nilai, kebetulan aku ketua pelaksananya dimana yang kalo pulang
itu pasti pagi, entah rapat lah atau latihan terus menerus setiap hari jadi karena aku
tinggalnya sama orang kan gaenak yah kalo pulang malem terus, apalagi kalo
dianterin cowo, jadi om aku ini buat keputusan, kamu mau ngekos ga, om bayarin
kosan kamu jangan di rumah Angah lagi gaenak sama tetangga Anggah, yaudah
akhirnya aku ngekos dibelakang kampus deket SMP itu,
P : oh iyah, berarti mulai ngekos itu semester 6 yah ka
I : semester 5 deh kayaknya. Yaudah akhirnya aku ngekos aja terus sampai
kerja terakhir kemarin.
P : hmm, berarti kak unge itu di jakarta awalnya tinggal sama omah, pas
kuliah tinggal di ciputat di adeknya nenek juga, trus semester 5 mulai ngekos di
bawa sama Om.
I : Iyah, om itu kakanya mamah.
P : Oh iyah, jadi yang bawa kaka ke jakarta itu Om?
I :Omahh, om aku itu cuman ngebiayain aku pas kuliah doang, pas omah aku
udah meninggal pas aku lulus SMA, jadi kan aku udah ga tinggal di rumah itu
karena omah aku gaada. Jadi setelah aku lulus SMA ya, aku ditanggung biayanya
sama Om aku ini, kakanya mamah,
P : berati lulus tahun berapa kak?
I : 2018,
P : berarti masuk kuliah itu 2011 ya?
I : 2012.
P : kayaknya sepupuku juga ada deh ka yang anak UIN juga, jurusan kaka,
angkatan kakak bukan yah? Namanya kak bobi.
I : oh mygod kenal, yang gondrong kan?
P : hah kaka kenal?
I : iyah.
P : 1 angkatan ga itu?
cxx
I : emm, 2 tahun di atas aku itu.
P : dia juga kayaknya baru lulusnya agak lama tuh kak bobi.
I : iya emang, makanya jangan ngira sastra itu gampang, sastra itu justru
paling banyak lulusnya lama selain anak informatika itu juga lulusnya banyak yang
lama.
P : iyah bener tuh kak bobi ampe gondrong-gondrong rambutnya..
I : aku sama bobi itu satu hari sama sidangnya, kalo ga salah ya.
P : iya terus tanteku alumni uin juga, jurusannya sama juga, tante Amaliyah,
kayaknya jauh di atas ka Unge sih, soalnya sekarang usianya mungkin udah 32 apa
33 gitu.
I : aku aja 30 loh,
P : mungkin, bisa jadi sepantaran kak bobi malah kayaknya atau lebih tua ya.
Aslinya tuh orang jawa, istrinya om aku.
I : pake kacamata ga dia?
P : engga dia gamake kacamata.
I : bukan berarti,
P : ih sempit ya.
I : ternyata sepupunya bobi kamu..
P : iya deket banget soalnya orangtua nya mamanya ka bobi itu adiknya
papaku. Rumahnya tinggal nyebrang doang, depan gang udah lurus nyampe.
I : oalah, hahahaa
P : kak berarti saat ini kaka di Padang, tinggal sama siapa?
I : sama neneku, balik lagi sama nenek.
P : kenapa memutuskan balik lagi ke Padang?
I : nenek aku udah sakit udah ga bisa jalan tuh, jadi karena anak beliau udah
yang di jakarta semua udah berkeluarga kan ga mungkin mereka yang pulang, jadi
ya aku, mau gamau.
P : oh okey, jadi kakak berdua aja sama nenek?
I : ada nyokap si sama ade yang paling kecil.
P : okey, nenek ka unge gamau dibawa ke jakarta kah?
I : engga mau, karena emang udah lama gede di kampung tua di kampung,
masa si mau, kalo di kampung kan halaman rumah luas terus kalo pagi nyabut
rumput, ngobrol sama tetangga di depan ke sawah, kalo di jakarta udah di suruh
gamau beliau, misal liburan di jakarta juga baru seminggu udah cape di jakarta, mau
pulang aja, mau ngapain si di jakarta cuman tidur makan nonton doang.
P : oh iya si bener, karena udah lama juga di Padang disana, punya temen,
kalo di jakarta mungkin gaada yang bisa diajak ngobrol atau gimana.
I : punya rumah sendiri juga, ngapain di jakarta.
P : oh iya bener, kak ini aku mau tau kaka sekarang umurnya 30 tahun, kak
unge udah punya pasangan belum? Maksudnya pacar atau temen deket.
I : temen deket, kalo pacar engga.
P : oh okey, umur saat ini kaka kan bilang di DM kalo aku ga salah yah kaka
bilang memang ada rencana untuk menikah tapi nanti, kenapa kak?
I : karena faktor keluarga deh kayaknya, faktor orangtua lebih tepatnya.
Mama papa ku kan cerai di umurku 2 tahun, terus menikah lagi sama orang betawi
sana ciledug sana juga, terus punya anak 2 sepasang cewe cowo, cuman engga
cxxi
nuduh satu etnis ya cuman kebetulan si pas laki-laki ini , orang betawi itu kan
kebanyakan lingkungannya di sana sana aja ya rumahnya , nah kebetulan dia ini
jeger, jeger itu yang ngambilin pajak-pajak orang di pasar atau yang jual tanah ke
dia gitulah.
P : oh kayak makelar gitu yah?
I : ah itu mah kekerenan bahasanya,
P : oh okey, bisa jadi calo. Kalo di betawi pun sebenernya banyak calo tanah,
maksudnya yang nawar-nawarin tanah terus nanti dapet komisi.
I : nah iya gitu si, itu juga salah satu kerjaannya. Kerjaan yang lainnya, kek
misalnya ada pasar malem tuh di sepanjang jalan kreyo itu nanti hasilnya buat dia
gitu. Cuman karena beliau ini yang preman pasar kasar maen tangan, aku sma kelas
2 itu mereka cerai si, karena terakhir kali dia nendang perut mama ku si sampe luka
dalem gitu, ya om aku ga terima dong, kaka-kaka nya ga terima, akhirnya disuruh
cerai, disuruh pulang kekampung mamaku ini. Jadi itu kayak bikin di bilang trauma
bukan si, karena aku juga pacaran kayak engga kepikiran aja gitu, tapi nanti kalo
andaikan gua nikah gua kek gitu ga ya, katanya kan buah jatuh ga jauh dari
pohonnya, aku takut apa yang dialami semua akan aku alami ketika aku nikah gitu,
emang manusia itu ga sama, cuman gimana si ketakutan anak kalo ngeliat
orangtuanya 2 kali gagal, apalagi sampe ada kekerasan kek gitu. Itu si faktor
pertama yang bikin aku takut tuh orang tua, tapi di bilang trauma si ga trauma.
P : okey, karena kak unge sendiri masih bisa untuk berkomunikasi dengan
lawan jenis dengan baik yah
I : iyah, terus cuman grgr itu doang si, karena takut itu terulang lagi makanya
aku belum punya komitmen untuk nikah gitu.
P : em okey, kaka ni kalo aku boleh bilang ada rencana untuk menunda
menikahkan berati?
I : dulu aku bahkan dari SMP nih ya gatau aku berpikir, kata orang sih
dewasa sebelum waktunya, dari SMP itu aku udah punya prinsip aku akan nikah itu
di umur 27 atau 28 paling mentok umur 30 tahun. Untuk anak usia 13 tahun aku
udah mikir kek gitu, sampe SMA sampe kuliah itu tetap tertanam di otak aku jadi
prinsip aku, makanya sampe skrg belom nikah kan, nah karena punya prinsip kek
gitu, lepas dari ortu, jadi kayak lepas dari ortu, aku tuh udah hidup mandiri dari
kecil tanpa kasih sayang dari ayah walaupun di kasih sayang sama nenek, om, oma,
opah, ya cuman kan rasanya pasti beda kan, jadi ya udah gede sebelum waktunya
kayak independen aja aku gitu hidupnya, secuek itu sampe aku beli makan, bahkan
kalo aku masi kerja nih di jakarta, itu kayak mikir ah udahlah gua gamau nikah toh
gua udah bisa nyari duit sendiri, gua mandiri, kemana-mana tinggal bawa motor
bawa mobil atau kalo gamau cape nyetir pesen ojol atau car,beli apa-apa, beli
perhiasan, beli baju, beli makan, healing cari udara ke bogor sendiri gua ayo, jadi
udah ngapain gua nikah gitu, aku punya prinsip gitu.
P : Jadi selama ini keputusan-keputusan yang ada di hidup ka unge pun, kamu
ambil/kamu putusin sendiri ka?
I : Iyah betul, aku bukan tipikal orang, karena dari kecil udah terbiasa hidup
sama orang (bukan orang tua kandung), jadi aku punya keinginan gamau nyusahin
orang lain, selama aku bisa sendiri, aku selesain sendiri.
cxxii
P : okey, kamu udah siap atau udahh tau belum dan siap untuk konsekuensi
dari pilihan kak Unge saat ini untuk menunda menikah?
I : udah, udah tau.
P : udah? Udah siap untuk nerima semuanya, mungkin bisa jadi kan ya
pandangan masyarakat tuh ngeliat cewe di atas 25 belum menikah kayaknya udah
di bilang ih nanti , gimana, perawan tua, nanti gimana nikah? Punya anaknya nanti
susah loh , segala macem. Tanggapan kak unge sendiri kayak gimana?
I : balik lagi, karena kemarin aku tinggal di Jakarta, kan masyarakatnya bodo
amat, apalagi aku posisinya ngekost, siapa yang peduli, iya ga? Jadi kenapa aku
selama di jakarta, sebodoamat, karena ya itu, karena keluarga akupun ga nuntut,
karena keluarga aku yang cewe nikahnya rata-rata di atas 27.
P : ohh, memang dari lingkungan keluarganya pun, perempuannya menikah
rata-rata di usia yang matang ya ka?
I : betul, karena kami semua rata-rata yang perempuan ngerantau ke Jakarta
apalagi orang Minang kan ya kata orang “kalo cewe Minang udah ngerantau mereka
ga peduliin nikah, mereka akan jadi wanita karir”.
P : dan itu terbukti ga di kaka?
I : itu terbukti, iya bahkan temen-temen aku, kan kita waktu kuliah tuh ada
ber10 orang yah satu tongkrongan, yang 8 udah nikah, mereka pasti langsung cecer
kok lu ga kepikiran nikah sih, atau aku orangnya secuek itu, misal baru putus nih
bahkan udah pacaran nih 5 tahun, tapi sekalinya putus karena diselingkuhin, cuman
nangis 2 minggu 3 minggu abis itu have fun lagi gitu. Mereka kayak lu yakin nih
gaada sedikitpun rasa nangis kesel atau apa gitu? Yaudah berarti bukan jalannya
aku serata itu ngomong, ya kalo udah putus yaudah gitu kan, udah jalannya putus
berati bukan dia orangnya gitu selesai, ya kalo mau sedih yauda gitu gausa lama
aku bilang gitu kan. Sampe prinsip nikahpun mereka langsung nanya, lu yakin
nikah umur segitu nge? Yaelah orang Padang mah, nikah umur segitu kalo mereka
anak rantau mah bodoamat aku bilang, akhirnya mereka paham, nah itulah kenapa
selama di Jakarta aku gapunya pikiran untuk nikah, beda lagi konteksnya sekarang
kalo aku udah pulang yah.
P : iyah oke, gimana perbedaannya kak?
I : ini sih faktor tetangga deket, kek kamu bilang tadi. Faktor tetangga yang
ngomong ih kok si Unge pulang kok ga nikah-nikah atau si Unge pulang kok ga
kerja-kerja? Aslinya bodo amat si atau aku bales omongan mereka, cuman kan
gaenak karena mereka disini masih keluarga lah ibaratnya, nanti hubungannya
malah jadi cekcok kan.
P : berarti dari keluarga sendiri, memang gaada desakkan buat kaka untuk
segera menikah ya?
I : oh engga, paling cuman dibercandain doang mau nikah lo? Ah ga
sekarang ah, ntar aja aku bilang. Waktu aku kerja di Jakarta kan ya, om aku kan
kayak gitu. Lu umur segini ga kepikiran nikah? Etapi abis itu dibantah lagi sama
dia, eh tapi ngapain nikah cepet-cepet ya, tante lu aja nikahnya umur 30 lebih, haha
P : Karena bercermin dari keluarga sendiri sih ya..
I : jadi kayak udah bukan tuntuntan lagi buat aku, gaada yang harus menuntut
aku buat menikah, jadi yaudah..
cxxiii
P : tapi kalo dari pihak keluarga pun memberi kebebasan gak ke ka unge
untuk dekat sama siapa aja gitu?
I : kalo deket sama siapa aja sebagai teman ga masalah, cuman kemaren
terakhir aku ada pernah pacaran sama dari etnis Jawa, kebetulan pendidikannya
hanya sebatas SMA, om aku ga setuju, karena alhamdulillahnya keluarga aku
semua berpendidikan, ya yang sukses-sukses di Jakarta sana semuanya
berpendidikan, apalagi aku dari kecil gaada ayah gaada orang yang ngebimbing aku
selain opah aku, jadi dia mikir lu butuh cowo yang bener-bener bisa ngedidik lu
bisa ngejagain lu sampe mati nanti, jadi dia mintanya yah minimal pendidikannya
setara sama lu, dia s1 lu s1 silahkan, kerjanya apa ya terserah, kalo di jakarta kan
minimal mah kerja tuh ngantongin 5 juta sebulan kan.. kalo masalah mau keturunan
darimana si mereka ga mempermasalahkan, karena kebetulan istrinya dia juga
orang Jawa kan, jadi yaudah kalo masalah suku its okey, cuman pendidikan nomer
1, akhirnya karena aku juga seorang pemikir, emang nalar aku akan kayak gitu,
beda emang cara didik orang yang berpendidikan sama yang engga, emang engga
semua tapi rata-rata kayak gitu.
P : berarti memang syarat dari keluarga tuh, ya minimal pendidikannya setara
sama ka unge. Kak ini deh hubungan kak unge sama keluarga unge baik, karena
mereka ga menuntut kaka untuk segera menikah, tapi kaka nih sekarang kaka di
Padang, tadi kan kaka bilang pas udah di Padang ini kaka tuh udah ngedenger lah
omongan-omongan tetangga tentang kak unge yang umur sekarang belum menikah
dan ga kerja. Gimana sih kaka hubungannya sama mereka gitu? Maksudnya kaka
masih mau nyapa ga si ke mereka kek say hello sekedar nyapa silaturahmi.
I : masih, masih. Mereka ibaratnya masih 1 rumpun keluarga aku, masih
garis keluarga aku. Jadi yaudah, dan aku orangnya kalo udah tau sifat orang gitu
tuh yaudah, berarti aku akan memaklumi, selama mereka ga mencari perkara yang
bener-bener berkoar ini itu sampe bikin nama nenek aku jelek. Kalo aku ga masalah
di omongin, cuman nenek aku nih yang jadinya kepikiran. Aku bisa ngebalikin
kata-kata mereka, maaf maaaf bukannya menjelekkan satu keluarga ya. Mereka dia
anak-anaknya itu yang kerja cuman 2, yang 2 nya ga kerja. Aku kalo mereka mau
baik, yauda ayo aku bakal jadi malaikat tapi kalo mancing jahatnya aku, aku akan
lebih parah dari setan, aku gituin kan. Jadi, aku bisa sih balikin kata-kata dia, kalo
gue kerja di Jakarta, gaji anak lo berdua itu gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen
gitu tapi kalo mancing jahatnya aku, aku akan lebih parah dari setan, aku gituin kan.
Jadi, aku bisa sih balikin kata-kata dia, kalo gue kerja di Jakarta, gaji anak lo berdua
itu gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen gitu ya ngomong gitu ke dia, tapi lu mau
ga ngerawat nenek gua selama gua di Jakarta, gua gaji deh lo, aku bisa aja ngomong
kek gitu, cuman yaudah makanya karena aku tau orangnya kayak gitu, aku tau
keluarganya kayak gitu, yaudah aku bodoamat, maksudnya yaudah biarin gausah
dipikirin ke nenek gitu. Lagian juga kalo bunga kerja di jakarta, gajinya gedean
bunga dibanding gaji keluarga anak-anak mereka, aku gituin aja ke nenek aku.
P : kalo boleh tau, dulunya kak unge bekerja sebagai apa?
I : di Astra.
P : Astra tuh mobil bukan sih ka kalo aku ga salah?
I : Astra itu asuransi, cuman asuransinya semua, asuransi jiwa, asuransi
pekerjaan, kendaraan properti, jadi aku di Astra pusatnya.
cxxiv
P : ohh daerah mana?
I : daerah simatupang.
P : Oh tb simatupang?
I : Kamu kalo dari arah kp. Rambutan mau balik ke arah ciputat, ada gedung
yang dari jauh udah keliatan jam digitalnya.
P : ih iya iya kayaknya engeh deh aku.
I : nah itu kantor aku.
P : oalah okey, berarti keputusan kak unge untuk tdk bekerja memang semata-
mata karena nenek yang di Padang itu ya?
I : iyah, jadi kemarin aku baru pulang itu dari bulan puasa sih, 2 bulan
sebelum waktu kontrak aku abis itu, sebenernya nenek aku udah sering ngeluh sakit
kaki, sakit kepala, sakit pinggang ke om sama tante aku yang di jakarta yah. Terus
ada omongan lah ya dari om aku, kamu mau pulang ga kata dia, nemenin nenek di
rumah kasian, karena mau jujur pun, hubungan nyokap aku sama nenek aku engga
baik, mamahku itu orangnya pembangkang lah ya kalo di bilang ibaratnya gitu, dia
nikah sama papahku aja itu udah membangkang gitu, jadi ga terlalu baik gitu, jadi
mau ga mau ya harus aku yang ibaratnya dari kecil di rawat nenek aku untuk pulang,
terus aku bilang tanggung sih tinggal 2 bulan, aku juga belum tau si keputusannya
mau diperpanjang atau engga karena sekarang lagi pandemi, karena kebanyakan
temen-temen aku yang harusnya kontrak di perpanjang malah dicut sama kantor
karena pandemi ini. Ini kayaknya bakal ada pengcutan deh aku, jadi tunggu 2 bulan
lagi yah aku bilang. Alhasil setelah 2 bulan kontrak aku udah abis, betul kontrak
aku gak di perpanjang, karena pandemi ini.
Nah yaudah bilang ke om, nah sekarang kan kamu udah ga kerja di Astra, mau
lanjut kerja di tempat lain atau mau pulang. Di diri aku pribadi masi mau tetap di
jakarta, cuman fikiran aku itu berfikir “lo dirawat nenek lo dari kecil, tanggung
jawab lo sekarang mana ke nenek lu?” jadi yaudah deh akhirnya aku pulang
kemarin pas bulan puasa sampe sekarang.
Kalo di kampung kan, kalo gaada orang dalem mah susah yah nyari kerja, wadah
kerja disini juga sedikit, lapangan kerjanya juga ga banyak. Ga dikota-kota banget,
ga di padang kota, ga di bukit tinggi, ya bisa dibilang kampung, ya cuman bank
masi bisa diitung jari lah, akhirnya ga kerja-kerja kan, nah makanya orang banyak
ngomong begitu karena kalo kayak gini kan bingung yah, udah ga kerja, kita pun
ga nikah, jadi kayak yang biasanya kerja dari subuh sampe maghrib, dapet
penghasilan tetap, terus ga nikah, terus tiba-tiba pulang, udah 6 bulan, tabungan
abis dong, tabungan udah mulai menyusut jadi balik lagi kayak aku masih kuliah
dulu dikasih sama Om kan.
Terus akhirnya yaudah sampai sini, keputusan aku sama nenek aku, baru ngobrol
sama nenek aku sih, nikah deh akhirnya tercetus deh kata aku nikah, pilihannya,
karena aku ke Jakarta nenek gamau dibawa, kalo aku ke jakarta kasian nenek sama
siapa, di kampung gaada kerjaan, kecuali kalo aku udah punya suami dan aku udah
ditanggung, aduh duit gua mana ya, beli ini beli itu kan ga akan dipikirin lagi kalo
aku punya suami, tapi kan ini aku belum nikah jadi udah ngomong sama nenek, ini
baiknya gimana, aku ke jakarta dan nenek mau ikut? Ya enggalah.. terus kamu mau
ke jakarta? Yaudah silahkan. Terus nenek gimana? Yang ke pasar beli lauk siapa,
yang bersih-bersih rumah siapa, yang jagain nenek nanti siapa. Diem gabisa
cxxv
jawabkan, karena sebenernya akuu udah punya planning dulu, aku udah ngomong
untuk kos sama ade aku, ade aku kos di uin juga sekarang udah semester 5.
Aku sebelum pulang pesen “dek, gue pait-paitnya kalo gua pulang gua gaakan dapet
kerja, lu tau itu kan.” Tau kata diaa, kalo gua ga dapat kerja otomatis gua akan cari
suami yang nanggung gua, nanggung tanggung jawab gua dan dia gitu kan. Kalo
gua dibawa suami gua, entah itu ke padang atau dia dinas kemana atau tinggal d
rumah yang udah dia beli, lu mau ga pulang setelah lulus kuliah buat nemenin
nenek, ntar gua cariin kerja walopun susah, seenggaknya nenek ada yang jaga. Kata
dia oke gitu kan.cuman sekarang karena dia masih smt 5 dan aku juga udah ga kerja,
aku bingung nih harus ngapain.
P : kak tapi kan bukannya masih online yah?
I : apanya?
P : kuliah.
I : iyasih, masih online, cuman kan kalo andaikan nanti mendadak tibatiba
dia disuruh dosen, nih kemarin aja dia sekali-kali ketemu dosen kalo ujian, ujiannya
di rumah dosennya. Dan aku yakin sama papahnya dia, dia kan tinggal sama
papahnya nih, engga akan dibolehin, kecuali kalo emang dia udah lulus dan dia mau
pulang ke kampung lagi gak masalah, ini kan dia kuliah masih dibiayain papahnya,
jadi dia masih nurut sama papahnya di jakarta sana, dia ga berani pulang dulu, kata
dia gitu.
P : okey, tapi kayaknya beneran kak unge ada diposisi yang sulit sih?
I : sangat, sangat sangat banget agis sumpah, ini aja aku sampe ngadu ke
sepupu aku, ini gua harus gimana ya sumpah, dia cuman beda 2 tahun doang kan
sama aku dan di jakarta, gua harus gimana ya gua bingung tau, yaudah lu cari laki
sana, lu kata cari laki dikampung gampang, kalo di jakarta orang kerja dengan gaji
umr 4,5 jt sebenernya itu udah cukup untuk sewa rumah yang biasa aja, dia bilang
gini yaelah lu cari laki engga harus nyari istri yang udah kerja, ya kalo di jakarta
mah iya, kalo di kampung mah kan beda, kalo di kampung mah justru yang gajinya
cuman segitu doang emang cukup, aku gituin kan. Jadi beban sekarang beneran,
pertama selain karena udah gaada pemasukan terus ga ngapa-ngapain, biasanya
kerja di depan komputer ketemu client, meeting segala macem kan, sekarang gaada
kerjaan terus gaada pemasukan stress aku harus ngapain, kalo aku mutusin buat
nikah, nikah itu ga gampang, karena aku orangnya tinggal nerima si cowo asal
cowonya berpendidikan dan kerja kan aku tinggal oke doang kan, tapi dari pihak
cowo, mau ga orangtuanya punya mantunya ga kerja, okelah aku lulusan s1, tapi
aku kan ga kerja.
P : apalagi memang kan ga mungkin baru kenal sebulan dua bulan tiga bulan
memutuskan untuk menikah, mungkin untuk sebagian orang itu udah cukup tapi
kan buat ka unge pribadi..
I : iyah itu untuk aku sih, memang betul aku gaakan sebulan duabulan
mengenal orang memutuskan pacaran engga, pacar lamapun butuh pdkt, makanya
aku menolak keras kalo ada orang yang mau taarufin aku, aku gamau.
P : iyasih bener, karena kayaknya buat mengenal calon pasangan hidup tuh
ga cukup mengenal sebulan duabulan tiga bulan ga sih ka.
I : iya betul, kalo aku sih prinsipnya kayak gitu.
cxxvi
P : iyasih bener sama aku juga. Susah ka, kalo misal ka unge pun akhirnya di
keadaan kek gini memutuskan untuk menikah kan kita ga sekali ngedip itu langsung
ada calon suaminya.
I : betul, makanya aku sekarang lagi dramatik, berpikir keras aku harus
ngapain yah di kampung ini, usaha apa di kampung, cafe udah banyak mau ternak
sebernya ya semua usaha butuh modal yah buat aku yang hidup sendiri biaya apa
apa sama sendiri kan aku gapunya tabungan sampai 100jt, paling tabungan ya yang
disisihin dari kerja itupun karena aku 6 bulan d rumah ya udah abis dong, udah
makin kekikis dong tabungan aku, ga bakal cukup gitu. Ini aja aku mau nikah mikir
keras, ini kalo nanti nikah gimana ya resepsinya, aku cucu kesayangan nenek, kalo
cuman sekedar nikah di KUA apa mereka mau atau pihak si laki-laki mau, aku sih
terserah ayo ke KUA doang cuman bayar 300rb modal foto latar biru juga aku ayo
aja gitu kan cuman keluarga mau ga? Mau sekeras apapun aku punya prinsip,
yaudah si kan yang nikah lu, ga bisa, kita hidup masih di dalam rumah keluarga
kecuali aku tinggal sendiri only just me yauda cuman ke KUA doang hayu, tapi kan
ini kita punya tante kita punya om kita punya nenek, kan gabisa kayak gitu.
P : iyah betul banget, tapi dari diri kaka sebenernya udah ada kesiapan belum
si buat menikah?
I : kalo siap mah, siap batinnya siap, lahirnya aku belum siap berdebat sama
suami aku, karena aku ga kerja nanti, pengeluaran gimana, ya walopun kita belom
ngomongin masalah ini ya, cuman untuk berfikir hidup itu sekarang ga cuman
sekedar sejuta dua juta sebulan, untuk beli cabe aja sekilo 36ribu di pasar, lu mau
makan paan nanti, kalo cuman gaji sejuta sejuta dengan gua yang kerja, aku lebih
mikirin lahirnya dibanding batinnya.
P : okeyy, aku ada 3 pertanyaan terakhir nih kak. Pandangan ka unge tentang
pernikahan itu seperti apa?
I : pandangan aku terhadap pernikahan, kalo dasarnya si itu sebuah
kewajiban ya kalo mau ngomongin agama, tapi kalo naluri aku sebagai manusia
selama aku bisa mandiri kayaknya ga nikah tuh ga masalah deh, aku mikirnya gitu.
Sebenernya kalo aku gak nikah pun gapapa, aku masih bisa hidup. Terus kalo ada
orang yang ngomong, tapi kan lu butuh pendamping, butuh yang ngajarin kamu,
butuh kamu berbagi kasih sayang dalam macam hal ini itu, terus selama ini gua
hidup 26 tahun gua ngeluh ga ngeluh-ngeluh banget, gua bisa nikmatin hidup gua
sendiri, ya walaupun ngeluh paling ngeluhnya ke ade, dan ngeluhnya itu paling
cuman “ih gua cape kerja deh dek, liburan yuk”. Tapi untuk segala persoalan aku
akan nyelesainnya sendiri. Tapi kalo ditanya mau nikah ga? Mauu, siapa si yang
gamau. Ibaratnya kamu juga kan udah gede kan, siapa si yang gamau dipenuhi
kebutuhan batinnya. Aku normal, aku bukan seorang yang peduli tentang hubungan
badan, enggak, aku normal, aku ngeliat orang pacaran gandengan, pelukan, ciuman
ya aku pengen, siapa yang gamau, untuk orang normal ya. Manja-manja sama
suami, pengen punya anak ya pengen, cuman disatu sisi masih banyak belenggu
yang aku pikirin, ini gimana ya gua nikah dia kasar ga ya sama gua kayak nyokap
gua dulu, nerima ga ya dengan gua dan keluarga gua yang kek gini, mau bertahan
ga ya sampe gua mati nanti. Dan pemikiran-pemikiran lain yang overthinking itu
gabisa diilangin, walopun nyatanya pengen tapi lebih banyak ke gak pengennya.
P : berapa persen tuh ka pengen dan ga pengennya?
cxxvii
I : 75% ga pengen, 25% pengen .
P : emang sih, orang tuh berpikir nikah kan gampang tinggal lo ijab qabul
selesai, tapi kan buat orang yang ngejalaninnya kayaknya justru yang sulit itu
setelah pernikahannya itu kan.
I : kalo orang yang dari kecil keluarganya harmonis, kaya terus dapet
jodohnya juga yang kaya harmonis, terus ketemu 2 keluarga yang klop ya enak,
coba kalo orang yang dari kecil udah punya masalah hidup yang menjadikan
dewasa sebelum waktunya, emang enak, ya enggalah, banyak pikiran yang
dipikirinkan.
P : banyak ketakutan-ketakutan yang jadi bayang-bayang dia itu loh.
I : iyah, makanya dibilang mau ya mau tapi mau banget ya engga, kalo bisa
si sebenernya mending gua ke jakarta lagi deh kerja dari pagi ketemu sore, tidur
terus besok gitu lagi terus gua dapet duit gua kasih duit gua ke nenek gua, itu
pencapaian yang lebih baik menurut aku, cuman yah kalo keadaannya udah kayak
gini kan aku bingung, stuck. Nurutin ego aku buat aku jadi wanita karir tapi nenek
ku sakit, tapi kalo aku ikut ke kampung jagain nenek aku harus gimana, kerja engga
punya suami juga engga, tapi kalo nikah takut, serba jadi kayak bingung deh. Jadi
sekarang oh yaudahlah, gimana nanti maunya gimana, mungkin untuk beberapa
bulan kemudian kayaknya si bakal ada omongan sama om om aku, kayak ketakutan
nenek aku kalo nanti lu nikah biayanya darimana atau lu nikah mau sama siapa,
nanti akan diomongin si setelah ku berfikir sekarang, setelah aku buka pikiran,
malah ngobrol sama kamu ini jadinya malah kayak kepikiran tau oh iya gua harus
nikah tau. Dari pas ku nanya, emang penelitian kamu tentang apa sih dek? Terus
kamu bilang tentang nunda nikah, wah pas banget nih. Jadi kayak udah sedikit demi
sedikit buka jalan pikiran aku lah, walopun ada yang dikorbanin.
P : karena kayaknya emang dari yang aku denger cerita ka unge tuh, ka unge
bener-bener ada diposisi yang terjepit, di satu sisi tuh pasti yah kamu tuh ngerasa
punya potensi kalo gua tuh bisa bekerja lebih dari yang kemarin punya penghasilan
lagii, tapi di satu sisi lagi di Padang ada nenek ka unge, yang memang butuh ka
unge juga, jadi memang kayaknya salah satu harus ada yang dikorbankan.
I : emang makanya kemarin aku milih mengorbankan karir aku kan,
P : kak tapi kamu tuh ini gak sih, dulu pas masi di jakarta tuh menjadi kan
karir mu itu sebagai pengalihan dari menikah?
I : emm, disebut pengalihan si engga, karena emang aku kerja pengen dapet
duit pengen nyenengin diri sendiri, pengen bisa beli apapun tanpa nyusahin,
ibaratnya kalo dari aku umur 2 tahun sampe kuliah kan secara kasarnya udah
nyusahin orang, duit keluarga udah keluar buat aku tapi kan aku ada rasa ga enaknya
kan. Jadi semejak aku kerja di kuliah pun, aku udah kayak “wah gua harus prepare
diri sendiri gamau nyusahin orang, duitnya buat gua sendiri, gua mau beli apapun
yaudah gitu”.
P : oiya 1 lagi nih kak, menurut kak unge sendiri pernikahan itu jadi sebuah
keharusan gak sih bagi perempuan?
I : bagi perempuan ya, aku pribadi engga. Karena kita gabisa memaksakan
semua perempuan harus menikah, karena banyak yang masalahnya kayak aku atau
mungkin lebih, misal dulunya maaf dia dilecehkan oleh laki-laki, dia punya trauma
sama laki-laki dan gamau punya hubungan sama laki-laki tuh kayaknya wajar,
cxxviii
karena ga semua trauma tuh bisa dihilangin dengan gampang. Kalo untuk sebuah
keharusan sih kalo menurut aku engga, karena kita gatau problematika yang dialami
oleh seseorang itu seperti apa. Kita gabisa menuntut elo cewe, elo harus nikah. Di
luar konteks agama yang mewajibkan ya, kalo cuman dari persepsi manusia lo harus
nikah lo cewe lo ga boleh nikah umur segini, engga, itu ga mengharuskan.
P : jadi malah sekarang berfikirnya pernikahan itu malah jadi sebuah pilihan
ga si? Jadi orang boleh nikah boleh engga gitu.
I : entah itu dia gamau nikah, tapi dia ngelakuin seks diluar nikah ya terserah
dia, itu hidup dia, jangan maksakan kehendak lo harus nikah, kecuali keluarga yang
menghendaki harus nikah itu gapapa yah. Kalo urusan sama keluarga si itu kayak
keluarga inti itu seperti mama papa ade, karena mereka itu punya ikatan batin. Tapi
kalo cuman dari omongan orang itu bukan sesuatu hal yang harus lo iyain, oh si ini
ngomong ini jadi gua harus nikah, engga, menurut gua engga.
P : okey, dari yang kak unge rasakan sampai umur sekarang nih waktu masih
bekerja, apasih keuntungan yang di dapat?
I : keuntungan kita bekerja sendiri, duit masih duit kita, masih bisa nyenengin
diri sendiri, beda kalo udah nikah, ya walopun orang duit suami duit istri, duit istri
ya duit istri, tapi ga bisa gitu mau gimanapun kalo lagi ada di suatu sikon yang
mendesak duit suami kurang dan lu harus nambahin, ya mau gamau lu harus turun
tangan, kalo misal orangnya kerja ya. Kalo ga kerja itu bisa jadi salah satu hal yang
memicu suami istri berantem tapi kalo suami punya tempramen gitu “lu sih ga kerja
makanya kan giliran gaada duit ga bisa bantu gua”. Nah itu banyak disekeliling aku
yang kayak gitu, entah orang tuanya yang kayak gitu, entah temen pribadi aku
kayak gitu ya cerita rumah tangganya itu banyak. Makanya keuntungan sebelum
bersuami pas kerja ya itu duitnya bisa aku gunain semua aku sebebas aku suka-suka
aku, aku mau beli apa aja dengan belum nikahpun aku bisa bebas, enjoy kemana
aja, lu mau make baju apa aja okey mau nyeleweng sana sini okey, mau pergi
kesana sini okey, ya bener kata orang yang nikah muda, “lo mending jangan nikah
muda deh, nikmatin masa remaja lu dulu have fun aja dulu sendiri selama lu masih
sendiri”.
P : okey, yaampun aku udah selesai ka, pertanyaannya udah abis. Jadi udah
nih ya, karena ka unge ada di kondisi yang sekarang, jadi sudah mulai terpikirkan
untuk okey gua harus menikah., kemudian memutuskan untuk akhirnya berkorban.
I : iyaah, ya mau gimana pilihannya gaada, pilihannya cuman itu yang bisa
aku lakuin.
P : tapi kalo misalnya ternyata nenek kak unge berubah pikiran dan
memutuskan untuk ke jakarta, kak unge gas dong untuk mencari kerja lagi dan
menunda menikah lagi?
I : iyah bener wkwk tapi itu kayaknya sih bukan hal yang mungkin terjadi.
P : iyasih tapi semoga aja neneknya berubah pikiran atau ga ada yang mau
gantiin ngurus nenek. Hehehe oiya adenya kak unge di uin juga? Perempuan?
I : iyaa, jurusan FIKOM. Ngambil broadcast, perempuan juga.
cxxix
6. Informan Scha
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Kamis, 04 November 2021
Nama : Scha
Usia : 31 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Usia Menikah : 30 Tahun
Pendidikan : S-2 Psikologi
Pekerjaan : Psikolog
Domisili : Malang, Jawa Timur / Batam
P : halo, selamat sore,
I : halo, selamat sore. Halo agisss!!
P : halo kak!! Aku panggilnya siapa ini? Kak Scha?
I : iya boleh boleh
P : oke kak Scha. Sudah free ini, kak?
I : (tertawa) sudah, sudah free kok.
P : oke, Alhamdulillah.
I : maaf ya mundur (tertawa) ini aku baru selesai kegiatan.
P : oh iya gapapa. Padet banget ya hari ini, kak?
I : iyaa, lumayan.
I : iya gimana Agis? aku bisa bantu apa ini?
P : makasih ya kak sudah luangin waktunya buat aku. Buat kita ngobrol-
ngobrol.
I : iya silahkan, mangga.
P : sekarang ini kak Scha kesibukannya apa?
I : kesibukannya ya.. karena saya psikolog paling handle klien. Terus
kesibukannya sih paling ya menjalankan peran sebagai istri saja. jadi ngurus rumah,
ngurus kucing. Eee paling ya karena psikolog jadi punya klien.
P : oh, kak Scha tuh psikolog?? Buka praktik juga kah?
I : eee iya kayak begitu. Tapi karena sekarang saya kan posisi habis pindah,
jadi kayak ribet begitu dan praktek antar propinsi. Jadi sekarang paling terima
kliennya masih online.
P : ooo jadi memang karena kepindahan ini jadinya konsultasinya online gitu
ya, memang biasanya tatap muka langsung kah kak?
I : iya kalo dulu. Dulu kan saya di Malang. Di Malang tatap muka langsung.
Tapi karena memang pandemi juga, sejak pandemi tuh jadi lebih banyak, lebih
banyak apa sih tuh, kayak sesi zoom, begitu-begitu sih. Sesi call. Tatap mukanya
memang dikurangin.
P : oke oke
I : jadi sekarang pas pindahan nggak terlalu sulit ya. Seperti itu.
P : kenapa pindah ke Batam Kak?
I : karena ikut suami bekerja (tertawa)
P : ooo suami bekerjanya di Batam.
P : awalnya di Malang juga memang asli sana kah atau gimana?
cxxx
I : saya asli Malang, suami Mojokerto. Suami kan kebetulan karyawan
swasta. Jadi, eee kan Mojokerto-Malang tuh kan deket. Enggak deket juga sih. 3
jam. Jadi kan, eee kadang wekeend dimana, di Malang. Atau nggak, kita 2 minggu
di Malang, 2 minggu lagi di Mojokerto. Kayak begitu-begitu. Jadi, masih fleksibel.
P : kalo di Malang sendiri sama di Mojokerto gitu rumah sendiri atau maaf
bareng sama orang tua kak?
I : eee kalo yang di Mojokerto saya sama eee sama siapa sih, sama mertua.
Cuman, kalo yang di Malang, memang rumahnya keluarga, rumah saya. Tapi
enggak bareng orang tua,gituu. Orang tua saya di Jakarta soalnya.
P : ooo begitu okay. Kalo boleh tahu, sudah berapa tahun kak jadi psikolog?
I : berapa ya (tertawa) eeee 4 tahun 5 tahun sekarang, insya Allah.
P : ii asyik banget. Jadi psikolog asyik ya kak (tertawa)
I : kamu jurusan apa sih Agis?
P : aku sosiologi
I : ooo sosiologi. (jadi psikolog) asyik saja. karena memang sudah, sudah
suka kan. Ya senang-senang saja dijalaninya.
P : suka dukanya dong kak jadi psikolog..
I : saya senang ya ketika melihat orang lain berkembang, gituu kan. Ketika
klien akhirnya bisa dari titik yang minus akhirnya sekarang bisa berkembang di +1
+2, kayak gituu. Dan recognize semua orang punya potensi dan nggak semua bisa
melihat potensi itu sesuatu yang menyenangkan bisa helping people melalui ilmu
yang saya pelajari, kayak gituu. Kalo dukanya, apa ya dukanya, so far sih seneng-
seneng saja. dukanya mungkin hampir nggak ada (tertawa)
P : karena menikmati berprofesi sebagai psikolog
I : ah ini, kalo dukanya palingan masalah administrasi kayak begitu-begitu
deh yang harus bikin laporan, begitu-begitu. Harus setor status, harus memperbaiki
eh apa sih, harus update praktek. Kayak begitu-begitu saja, sih.
P : Berarti sekarang di Batam ini ngontrak atau gimana kak?
I : Alhamdulillah aku ada rumah juga, sih, disini. Rumah keluarga. Jadi kita
disuruh tempatin. Oh yaudah deh, kayak gituu.
P : aku boleh tahu nggak, usia kak Scha saat ini umur berapa?
I : 31 (tertawa)
P : 31...terus menikah usia?
I : 29. Eee mau ke 30 sih tapi
P : 29 mau ke 30 ya...
P : aku mau tahu alasan kak Scha memutuskan menikah di usia segitu itu
karena apa?
I : kalo mau memutuskan menikah di usia segitu mah enggak ya. Karena
memang eee not mind goals gitukan awalnya. Karena semua orang akan menikah.
Nggak, nggak pasti sih. gimana ya, eee fase ya fase. Saya sih menganggap semua
fase ada yang memang mau, ada yang memang enggak. Ada yang akan
menjalaninya, ada yang nggak. Cuman, kalo saya, kalo pun, gini sih mindsetnya
kalo memang, oh kalo perempuan nggak punya contoh, expired. Kalo perempuan
akan jadi, apa namanya, kalo nggak segera menikah, tuh, apa sih..
P : eee perawan tua begitu kak
cxxxi
I : enggak ada pikiran kayak begitu sama sekali soalnya. Karena orang tua
juga nggak menuntut ya. Alhamdulillah orang tua nggak menuntut. Jadi, akhirnya
memutuskan menikah umur 30an karena kebetulan eee saya ketemu suami saya
umur 26. Sebenernya suami saya itu teman saya, lama banget, gitukan. Cuman
akhirnya kita memutuskan pacaran itu umur 26 terus, oh yauda deh, serius saja yuk.
Terus tahu-tahu eh nikah. Sudah deh (tertawa). Terjadi begitu saja dengan lancar.
P : berarti kak Scha dengan suaminya itu sepantaran ya?
I : s1 nya kita berbarengan emangnya. Dan dia memang sahabat saya sih, jadi,
satu circle, gituu.
P : oke berarti keputusan untuk menikah itu memang datang dari diri kak Scha
sendiri ya.
I : iya sih, memang, memang, iya memang kepengen saya sendiri dan
memang dia juga eee nggak ada tuntutan. Ya memang ngalir saja gituu. Kayaknya
sudah waktunya nikah deh, nikah saja yuk. Biar goalsnya itu punya kehidupan yang
lebih baik, atau apa-apa itu mindsetnya bareng gitukan. Jadi, nggak, nggak, belum
nikah, kalo saya sih ya, kalo belum nikah itu kayak apa-apa itu ditanggung sendiri.
Tapi kalo sudah nikah kan sekarang jadi ada temennya.
P : eee waktu sebelum menikah dan setelah menikah apa perbedaan yang
kakak rasakan?
I : eeee apa ya, bedanya itu tadi, yang hingar bingar kehidupan (misalnya)
party, begitu-begitu itu enggak. Jadi, hidup sebelum menikah dan setelah menikah
itu rasanya nggak jauh berbeda karena saya juga merasa nggak terlalu banyak part
of my life yang berubah setelah menikah. Paling, tentu saja ada penyesuaian ya.
Namanya juga menikah, beda status. Jadi semakin ada peran istri. Sekarang sudah
punya suami, sudah punya tanggung jawab lebih. Punya jawab-tanggung jawab
yang memang harus ditunaikan, kayak begitu. Cuman kalo yang habis nikah itu
gabisa pergi kemana-mana, gabisa main sama teman, kehilangan kehidupan itu
nggak sih kalo saya. Cuma kalo saya tipenya kebetulan yang eee sukanya itu, me
timenya itu sendirian, begitu kan ya. Jadi itu, sometimes kalo misalnya sudah capek
banget sama kerjaan, lagi banyak, entah lagi banyak presure, atua kayak apa-apa.
Jadi, sometimes itu, eee jadi ketika suami saya pergi, gitukan, pergi main atau
kemana, saya malah (itu waktunya) saya me time, saya bisa di rumah sendirian
nggak ngapa-ngapain atau bersih-bersih rumah. Itu kerasa banget sih. jadi kayak
butuh lebih banyak space untuk diri sendiri. Kan kalo masih hidup sendiri, ya bebas.
Tapikan kalo menikah, kita gabisa kayak begitu. Aduh, aku mau sendiri ini, jangan
ganggu ya. Kan gabisa kayak begitu. Bisa sih, cuman kan harus disampaikan
dengan cara yang tidak menyinggung pasangan.
P : setuju sih, kalo lagi butuh waktu sendiri itu bersih-bersih jadi healing
banget gak sih, kak..
I : aaaa benerrr (tertawa)
I : jadi tuuh, kalo di psikologi itu, bersih-bersih bisa jadi coping skill. Jadi
tuuh bikin kita preleasestantion, jadi bikin kita mindfull, lebih fokus sama apa yang
dikerjakan dan memang bonusnya kan rumah jadi lebih rapi kan, jadi lebih enak.
P : kak, diawal pertama kali kita dm-an itu kan kak Scha bilang, kalo saat ini
kak Scha bekerjadan suami mengizinkan. Aku kepo dong kak, gimana cara kalian
cxxxii
berdua itu mendiskusikan hal ini? Untuk kak Scha yang sudah menikah tapi tetap
bekerja.
I : oke, sejak sebelum menikah kita sudah ngobrol soalnya. Jadi, ini bekal
buat cewek-cewek ya, kalo memang seandainya mau menikah, eee dan mau bekerja
setelah menikah, baiknya diomongin. Jadi, kalo mau apa-apa itu sebelum menikah
itu diomongin semua sama calonnya. Jadi, biar nggak kaget pas nikah. Saya dulu
pas punya pacar, eee pas dulu sebelum nikah sama suami, saya bilang, aku nanti
pokoknya kalo nikah aku tetap pengen bekerja. Tapi atas keinginanku sendiri.
Bukan karena dipaksa atau apa. Ntar kalo aku pengen kerja boleh ya kerja. Tapi
kalo aku capek, aku berhenti juga gapapa ya. Dan suami (tanggapannya) yauda
terserah kamu saja. yang penting kamu seneng, kayak begitu. Jadi ya diomongin
saja sih. dan kebetulan, valuenya kita nggak terlalu bertabrakan. Jadi, suami oke-
oke saja. mungkin kan ada, kalo suami-suami lain, mungkin kan nggak ngebolehin
gitukan. Itu akan susah sih cara ngomongnya. Nah, dan saya sendiri kebetulan eee
nggak mau yang – karena kan psikolog ya, jadi, jadwalnya toh lebih fleksibel. Jadi,
nggak yang dari pagi sampe sore gituu nggak.
P : jadi memang itu suatu apa ya, suatu hal yang enggak sulit untuk
dibicarakan dan diambil ya, untuk kak Scha yang pasti tetap bekerja setelah
menikah itu.
I : heeh karena kan saya S1 psikologi ya, S2 magister profesi psikologi. Ya
emang goalsnya dari dulu, aku memang mau jadi psikolog, gitukan. Aku pengen
gini-gini-gini. Jadi, ketika akhirnya memutuskan untuk tetap punya pasangan yang
serius, ya ayok obrolin. Bahwa, nanti kalo aku menikah jangan menuntut eee jangan
mengira aku akan mengurung mimpi-mimpiku dalam kotak. Nggak. Dan saya juga
percaya pasangan yang suportif akan menyuport pasangannya mencapai mimpi.
Mau laki-laki ataupun perempuan. Harusnya idealnya seperti itu.
P : selain karir atau pekerjaan apa aja sih yang perlu diobrolin sama pasangan
ketika kita memutuskan untuk lanjut ke tahap yang lebih serius.
I : banyak ya sebenernya (tertawa). Jadi itu memang, memang yang isu-isu
sensitif itu harus dibahas diawal dulu. Kayak finansial, atau kayak, nanti kita kalo
nikah siapa yang mau nanggung hidup. Apakah pure yang cowok saja, atau yang
cewek boleh ngebantuin. Atau, ya sudah sendiri-sendiri atau gimanaa itu harus
diobrolin. Terus kayak misalnya mau punya anak apa nggak. Mau langsung punya
anak apa nggak, itu juga (diobrolin). Mau punya anak berapa. Terus misalnya nanti
kalo menikah, mau tinggal dimana. Eee mau tinggal di orang tua atau mandiri. Atau
misalnya mau ngontrak atau gimanaa. Itu harus diomongin. Jadi memang, kalo mau
nikah itu kita gabisa cuman aku cocok, kamu cocok, oke, kita nikah. Nggak bisa
begitu. Jadi, memang bekalnya, awlanya harus diomongin dulu yang isu-isu
sensitif. Terus juga misalnya kayak value, apa ya, value itu semacam nilai-nilai
yang dianut. Kayak misalnya nanti mau membesarkan anak dengan cara seperti apa,
bukan metode atau secara teknis ya, tapi kayak, gimana ini kita mau membesarkan
anak, dengan apa. Value apa yang mau kita berikan. Apakah dengan dikasih sayang
atau ada juga kan yang kita harus keras sama anak, nggak boleh begitu-begitu. Kan
ada yang seperti itu. Nah itu tuuh harus diomongin. Sebenernya banyak banget sih.
oh, terus, masalah preferensi seks juga penting itu. Karena, orang kan kesannya
kadang tabu, ya, takut untuk diomongin. Nanti takut kalo begini-begini. Ada juga
cxxxiii
mungkin yang eee biasanya tuuh yang minder cewek-cewek. Kayak, eee kita nggak
menutup bahwa fenomena sekarang perilaku seksual sebelum menikah itu sudah
banyak. Ya itu banyak cewek-cewek yang minder, kayak, aduh, nanti kalo misalnya
suami ku tahu aku nggak perawan gimanaa ya? Jadi tuuh takut diomongin. Terus
akhirnya nanti ketika sudah menikah, baru tahu, akhirnya malah bikin marah.
Padahal kan sebenernya masalah perawan nggak perawan kan bukan sesuatu – kalo
saya ya, bukan sesuatu yang harusnya jadi masalah dalam pernikahan. Ketika kita
sayang – aku sih, menerima secara utuh maupun dia kondisinya kayak begitu. Nah,
laki-laki yang sayang kan juga nggak akan mempermasalahkan hal itu. Masalahnya
kan bukan cewek doang yang melakukan perbuatan seksual di luar nikah. Kan yang
cowok juga. Cuman nggak ada bekasnya saja istilahnya begitu. Itu juga perlu
diomongin. Ya hal-hal yang sensitif-sensitif kayak begitu harus diomongin. Terus
juga kayak misalnya agama. Apakah nanti kalo misalnya – karena kita misalnya
agama sudah sama saja kadang tuuh tetap ada perbedaan ya. Misalnya islam begitu,
kan ada yang mahzabnya beda. Itu harus make sure dulu itu. Kalo nggak nanti yang
satu NU, yang satu Muhamadiyyah. Ada saja yang bikin beda. Itu tuu bisa jadi
berantem. Karena orang tuu kalo sudah nikah, sumber peliknya itu bukan sesuatu
yang besar. Dan sumber perceraian itu justru bukan sesuatu yang besar, loh. Bukan
kayak masalah warisan, masalah pelakor, begitu-begitu, bukan. Nggak tahu sih, ya,
taoi menurut saya fenomenanya, base on science nya itu kayak, justru lebih sering
orang memutuskan bercerai karena hal-hal kecil yang nggak diomongin. Misalnya,
perbedaan perilaku, perbedaan habit. Dia (suami) tidurnya ngorok, nggak suka
suami tidur ngorok. Yang kayak begitu-begitu lah. Hal-hal kecil tapi nggak
diobrolin.
P : dan itu malah jadi pemicu konflik di rumah tangga itu ya
I : hooo benar.. yang misalnya sekarang tuuh, paling sering dipasangan-
pasangan muda itu, suaminya suka nge-game. Jadi, sukanya mabar. Syaa nggak
ngerti juga ya istilahnya, tapi kayak, suka nge-game sampe larut. Jadi, pulang kerja,
makan. Abis itu di kamar tapi nge-game. Mereka lupa quality time sama istrinya.
Itu sering jadi keluhan belakangan ini dipasangan-pasangan muda. Misalnya nggak
tahu waktu. Kalo suaminya, sering bilang kayak, eee, tapi kan ini aku ngilangin
stress. Kayak begitu-begitu loh. Tapi nggak ketemu di tengah.
P : dari keluarga kakak sendiri tuh sebenernya ada desakan nggak sih untuk
kakak harus menikah di usia sekian?
I : nggak ada sih, nggak ada. Alhamdulillah kalo dari keluarga saya, kayak
keluarga papa mama itu nggak ada. Tapi pasti ada omonganlah dari bude. Apa sih,
ya omongan dari luar. Cuman, enggak terlalu jadi pikiran sih kalo saya. Malah
kayak yaudah lah. Ya namanya orang pasti ada saja yang komen. Pasti ada saja
yang bilang, iii sekolah tinggi-tinggi belum nikah, eh nanti susah loh punya anak,
ngapain pacraan lama-lama nggak nikah-nikah, dan pasti ada saja yang komen
kayak begitu. Cuman, ya kalo kita fokusnya sama yang itu, ntar lama-lama capek.
P : heeh.. biasanya malah dari pihak luar itu yang lebih rese ya kak
I : iyaa bener. Kalo mama papa sih nggak yang terlalu menuntut. Kalo ibu
saya sih, kebetulan pendidikan nomor satu. Jadi, yaudah lah ya, kejarlah cita-citamu
setinggi langit. Nggak papa, begitu. Jodoh mah entar ada saja.
P : kak Scha berapa bersaudara?
cxxxiv
I : eee 3. Saya anak pertama.
P : adik-adik kakak sudah menikah semua?
I : belum. Masih jauh sih umurnya. Kebetulan adikku yang cowok, (umur) 25
dan adik saya yang cewek masih semester 3. Baru kuliah.
P : aku mau tahu pendapat kak Scha tentang pernikahan itu seperti apa?
I : kalo saya menganggap nikah itu maraton ya. Jadi, kita harus pinter-pinter
eee bukan maraton sih, eh iya maraton, tapi itu dengan kita yang gatau tracknya
akan kayak gimana. Kadang ada yang terjal, ada yang becek, ada yang luwes saja.
ada yang di aspal. Yang jelas kalo yang namanya maraton kita kan kudu pinter-
pinter untuk mengatur tempo ya kapan harus cepet kapan harus pelan, kapan harus
istirahat dan kapan harus berjalan lagi. Kayak begitu sih. dan maratonnya maraton
beregu ya bukan maraton sendirian. Yang namanya beregu kan kita harus mikirin,
oh, partner kita masih kuat nggak jalannya, masih bisa nggak ini larinya. gimana
kalo dia kesulitan, kita perlu bantuin. Kayak begitu. Seperti yang aku bilang, ketika
kita bener-bener siap untuk menikah, itu semua nggak akan terlalu kaget begitu loh,
before dan afternya nikah. Cuman kan ya orang macem-macem.
P : dan menurut Kak Scha, sebenernya pernikahan itu suatu keharusan nggak
bagi perempuan?
I : kalo saya, kalo personal view saya sih nggak. Kayak banyak hal yang bisa
didapat. Kalo menikah boleh, nggak menikah juga boleh. Karena setiap orang itu
cita-citanya beda. Ada memang yang cita-citanya mau jadi ibu. pengen jadi
madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Itu boleh banget. Tapi kalo memang nggak
mau nikah, ribet gitukan. Nikah ribet, nanti begini begini, aku harus ini bla bla bla,
ya nggak papa (nggak nikah). Ada orang yang nggak mau nikah, terus dipaksa,
dituntut nikah karena tuntutan usia lah, tuntutan keluarga tapi malah dia ngga bisa
all out. Dia akan merasa terbebani, karena merasa dia melakukan hal yang nggak
dia sukai. Dia harus melakukan sesuatu yang dia gamau. Malah nanti nggak
bahagia. Malah jadi beban yang kemudian, takutnya ya takutnya, malah bikin
unhealthy relationship sama pasangan. Terus malah nanti tgraumanya diteruskan,
kalo punya anak. Kayak begitu. Takutnya kayak begitu. Jadi, menurutku nikah itu
bukan keharusan. Tapi, itu cuman masalah timing saja. ada orang yang timingnya
memang nggak nikah. Ada yang memang nikah tapi timingnya telat.
P : jadi sebenernya nggak masalah ya dia menikah tapi di usia di atas 30
I : nggak papa.... kan tolak ukur bahagianya orang macem-macem. Yang
bikin kadang sumpek itu kan, bikin manusia sumpek itukan karena omongan orang.
Karena tuntutan sosial, gitukan. Karena standar masyarakat tuu harusnya
perempuan menikah itu di usia gini gini gini. Sebenenrnya kalo kita nggak terlalu
mikirin, bukan nggak terlalu mikirin sih. sebenernya kalo kita bisa memfilter kapan
harus dengerin kata orang, kapan harus mendengarkan kebutuhan kita sendiri. Kita
akan lebih bisa tahu, oh, ini loh yang kita mau. Kayak begitu sih.
cxxxv
7. Informan Intan
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Sabtu, 06 November 2021
Nama : Intan
Usia : 33 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-3
Pekerjaan : Dosen
Domisili : Jakarta Timur
P : namanya kak Intan?
I : ya, Intan Nurulazmi
P : sekarang kalo boleh tahu usianya berapa kak?
I : sekarang 33
P : status saat ini kak?
I : saat ini single.
P : oke. aku langsung ke inti pertanyaan saja deh. apa sebenernya yang
mendasari kak Intan di usia 33 tahun ini, sampai saat ini belum menikah?
I : mmmm, jadi sebenernya sih sebelum umur 30 tahun, sempet itulah, pengen
– pernah mau menikah, kayak gituu. Sudah pernah deket tapi nggak deket-deket
banget juga sih, sama cowok. Cuma, jadi ini, saya kan eee pekerjaannya sebagai
dosen ya. Jadi pastinya kita dituntut untuk terus kuliah gituu sampai S3. Dan saya
memang kepengen S3 dari pas lulus S2 bakalan mau S3. Cuma memang belum bisa
langsung karena memang saya dapat beasiswa yang memang harus mengabdi dulu
jadi dosen,
P : okay...
I : jadi, mau nggak mau mengabdi dulu baru bisa apply S3, gitukan. Nah,
ketika sudah selesai mengabdi, berarti saya mau S3 dong. Karena toh nanti ujung-
ujungnya jadi dosen juga diminta untuk S3 kan. Nah, saya izin. Waktu itukan kita
obrolinnya memang sudah mau menikah. Saya izin sama dia (pasangan saat itu).
Kalo misalnya nanti kita jadi, gitukan, terus abis itu, saat kuliah boleh nggak?
Gitukan. Cuma jawaban dia tidak, dia tidak, gimana ya, nggak ngizinin tapi dia
bilang dia mencarinya seorang pendamping yang eee memperdalam ilmu agama
bukan ilmu dunia (tertawa).
Padahal di awal kita sudah komit. Saya itukan dosen. Saya juga mencari
pendamping yang tidak menghalangi mimpi saya, cita-cita saya, gitukan.
P : pasangan yang suportif gituu lah ya kak...
I : iya sepertu itu gis. Tapi ketika sudah kesini-sini tuuh, dia malah bilangnya
gituu. Yaudah, abis itu putus. Maksudnya sudah nggak lanjut.
P : hubungannya berjalan berapa lama kak?
I : sebentar sih. jadi itu kayak apa yaa, dikenalin gituu. Jadi kayak baru
sebulan dua bulan gituu. Tapi memang sudah intens.
P : jadi memang awalnya tuu cowok sudah tahu kan ya kakak pekerjaannya
sebagai dosen?
I : ya sudah tahu. Jadikan pas awal-awal dikenalin kan dia, mungkin teman
saya bilang, dia (saya) itu dosen. Terus pas obrolan kita awal-awal juga eee apa
cxxxvi
namanya, kerjanya dimana begitu-begitu kan. Ya ngobrolah. Ya sudah tahu sih.
Cuma itu...ya...
P : sebenernya apa sih yang mendorong kakak untuk meneruskan pendidikan
sampai S3? Selain tuntutan menjadi dosen
I : mmmm karena apa ya, ketika apply S3 itu belum ada sedikit kendala.
Cuma maksudnya kayak dilancarkan saja begitu. Jadi ya sudah, kayaknya mending
saya kuliah saja dulu. Siapa tahu mungkin ketemunya (jodoh) pas lagi kuliah
(tertawa). Kan kita gatau ya ketemu jodohnya dimana. Dan sebenernya setelah sama
si cowok itu pernah juga dikenalin lagi. Cuma pas dikenalin, temenku ini bilang (ke
si cowok) kalo aku sudah S2 yang nanti ada kemungkinan mau lanjut S3. Nah,
cowok itu mundur. Jadi, saya mikir, oh ya sudah memang berarti bukan jodohnya.
P : kakak saat ini tinggal sendiri atau sama orang tua?
I : sama orang tua. Tapi sekarang ngekos di Bogor juga karena kan lagi kuliah
ini, jadi saya ngekost di Bogor. Tapi kalo weekend pulang.
P : oh, jadi kalo setiap weekend itu pulang ke Bogor?
I : oh, enggak, ke Jakarta.
P : oh iya iya.. kalo boleh tahu kakak S3 nya dimana?
I : di IPB.
P : aaa sudah aku duga
I : iya tadinya itu kepengen apa Agis ketemu di Bogor saja. tapi, oh yaudah
lah, di Jakarta saja. lebih deket.
P : jurusannya apa kak?
I : ilmu pangan
P : kakak dosen dimana?
I : saya dosen di Syahid.
P : kalo dari kakak sendiri, ada nggak sih tipe atau kriteria khusus untuk
pasangan?
I : eee sebenernya kalo ngomongin yang dulu gituu ya. Ya saya maunya yang
pekerja keras, ya standar lah. Pekerja keras, terus bertanggung jawab. Dan dari awal
itu saya bilang, nggak suka cowok yang mengekang. Karena saya bukan tipe orang
yang suka dikekang. Saya akan nurut kalo misalnya itu menurut saya harus dituruti.
Tapi kalo misalnya kayak disuruh begitu kayak jadi males duluan. Makanya ketika
ketemu yang itu, yang sudah jelas-jelas dari awal nggak boleh (lanjut S3). Dan
sebenernya omongan saya izin sekolah itu, setelah...mmmm gimana ya. Jadi
sebelum-sebelumnya itu, kita memang sudah sempet kayak berbeda pendapat gituu.
Kayak dia itu nyuruh aku kayak gini gini gini. Nah, itukan saya kan nggak seneng
ya. Sebenernya saya itu sudah tahan-tahan itu pas itu. Tapi, oh ya sudah lah
mungkin itu nanti bisa menyesuaikan. Tapi ketika dia sudah bilang gak mau yang
melanjutkan kuliah mmm apa (tertawa) menuntut ilmu dunia lebih tinggi dari pada
menuntut ilmu agama. Saya ok, yaudah. Dari pada diterusin dan akhirnya saya
gabisa kuliah, gitukan. Toh kan apa-apa nanti harus izin suami kalo sudah menikah
kan.
P : kalo dari orang tua kakak sebenernya ada desakan nggak untuk segera
menikah?
I : kalo ayah nggak. Tapi kalo ibu kadang suka tanya. Mungkin juga karena
teman-temannya anaknya umur segini segini sudah punya anak, sudah punya cucu.
cxxxvii
Ya ibu suka tanya, kamu kapan? Tapi pas tahu saya mau kuliah, ya sudah. Memang
didukung sih. dari keluarga justru ya sudah kalo emangnya misalnya bisa kuliah
dan dapet beasiswa juga gitukan ya sudah lanjut saja.
P : kalo omongan-omongan dari luar begitu ada nggak kak?
I : omongan yang seperti apa?
P : iya kayak misalnya dengan usia kakak yang sudah matang dan masih
belum menikah, apakah pernah dapat omongan negatif, sorry kayak misalnya
perawan tua dan semacamnya.
I : kalo omongan perawan tua dan nggak laku itu nggak. Tapi palingan gini
sih, ayo kapan nikah kapan nikah. Begitu-begitu saja sih. jadi, ya sudah.
P : tanggapan kakak sendiri kayak gimanaa sama orang-orang yang
berkomentar seperti itu?
I : ya disenyumin saja, ya doain ya. Begitu-begitu saja sih. nggak yang terlalu
gimanaa-gimanaa juga akunya. Ya memang mulutnya lagi mmm ingin basa-basi
saja. Cuma ya sebenernya basi basinya pertanyaannya nggak enak. Tapi ya sudah.
Kalo mungkin mood saya lagi enak sih palingan ya sudah disenyumin tapi sih
memang kadang kalo lagi moodnya nggak bagus, aku suka baper juga sih (tertawa)
P : kakak pernah ngerasa khawatir nggak, kayak misalnya, nanti gue bakalan
nikah nggak ya.
I : mmm pernah sih. sempet kepikiran begitu. Cuma ya buru-buru langsung
dialihin lah. Saya juga kan pekerjaannya banyak. Lagi kuliah juga. Dan kerja juga
kan. Jadi, kayak ketutup (lupa). Dan kebetulan juga ada teman deket yang memang
dia juga belum nikah. Jadi kita kayak sama-sama mensupport gitulah.
P : iya ya, lingkungan itu kayaknya membantu kita banget untuk nggak terlalu
mikirin hal itu. Dan kak Intan juga pun berada di lingkungan yang memang
mendukung kakak untuk tidak buru-buru menikah.
I : alhamdulillahnya seperti itu. Pertolongan Allah juga kali ya. Punya teman
punya keluarga dan rekan kerja yang mensupport. Ya memang kadang suka ditanya,
tapi, mungkin karena sayanya juga nggak terlalu mmm apa ya. Sebenernya kan kalo
menikah itu kan, maksudnya dari pada kita menikah sama orang yang gak tepat
gitukan, nanti malah lebih ribet. ya sudah mendingan sambil menjalani mimpi,
siapa tahu kayak misalnya lagi kuliah terus ketemu jodoh. Saya selalu posiitif sih
kalo misalnya lagi pergi kemana begitu, siapa tahu ketemu jodoh disitu.
P : aku mau make sure yang tadi kan, pertanyaan sebelumnya. Sebenernya
kakak ada perasaan tersinggung nggak sama orang-orang yang nanyain kapan nikah
kapan nikah, gituu?
I : mmmm tersinggung ya, cuman dulu sih. sebenernya ketika di umur 30 ya,
karena sebelum di umur 30 itu saya memang kepengen menikah. Jadi, kayak ada
target begitu. Kayaknya pengen deh sebelum 30 ini gue nikah. Nah, ternyata gak
sesuai target. Dan kemudian ada yang nanyain kayak gituu, aku sempet
tersinggung. Tapi semenjak kejadian yang itu, yang aku ketemu cowok kayak gituu,
terus abis itu saya juga harus kuliah, terus ada yang dikerjain juga kan. Jadi, mulai
rasa tersinggungnya justru makin kesini makin kecil. Sudah jadi biasa saja. dan
orang-orang kayak gituu yang tanya-tanya kayak begitu sudah sangat jarang untuk
sekarang. Justru banyakan dulu pas sebelum 30. Tapi kesini-kesini, mereka ngeliat
aku toh happy. Dia (Aku) kuliah. Saya juga sering travelling juga kan. Dengan
cxxxviii
umur-umur teman-teman saya yang seumur saya sudah ribet sama anak, sama
suaminya. Saya masih bisa traveling sendiri atau sama teman saya. Jadi mereka
ngeliatnya, oh mungkin ini anak walaupun belum nikah, dia happy. Jadi, ya sudah
gak akan diusik gituu dengan pertanyaan kapan kapan kapan, gituu.
P : selain kakak bisa travelling secara bebas, sebenernya keuntungan apa saja
yang kakak dapetin dari belum menikah?
I : mmmm ya kan kalo sudah nikah, kalo saya itu prinsipnya, kalo saya sudah
nikah ya apa-apa harus izin suami. Jadi saya tidak perlu melakukan apa yang saya
mau kayak harus izin dulu mau kemana mau kemana, gitusih. Sebenernya lebih
kearah kebebasan sih.
P : kalo misalnya, misalnya suatu saat kakak menikah, kakak masih akan tetap
bekerja dan berkarir kah?
I : kalo dosen, iya. Mungkin, saya akan mohon gituu ya sama calon saya,
tolong jangan halangi saya untuk menjadi dosen. Dosen disini, di kampus tempat
saya sekarang ngajar kebetulan nggak terlalu padet sebetulnya. Jadi, dosen bisa
dateng pas jam ngajar saja atau kalo pun memang harus dari pagi sampai sore
tapikan nggak full (tiap hari) begitu. Sebenernya pekerjaan rumah tangga pun
mungkin masih bisa ke handle walaupun sudah menikah. Jadi, ya kalo bisa sih
jangan lah di stop (pekerjaan dosennya). Karena maksudnya eee saya itu tipe yang
kalo misalnya di rumah terus itu mumet. Yaa dari pada saya mood-mood-an,
moodnya nggak bagus, ya mendingan akunya dibebaskan lah.
P : kakak ada target lagi nggak, kira-kira di usia kapan akan menikah?
I : enggak sih, semenjak kejadian yang itu saya sudah nggak pernah ada
target-target mau nikah usia berapa-berapanya. Kalo misalnya ketemu, pas, cocok,
ya ayok. Tapi sih memang sebenernya karena kuliah ini saya agak khawatir justru
kalo menikah. Karena, jurusan saya kan ke arah science ya yang harus ngelab
penelitiannya. Nah, itu saya takut lebih ke anak begitu kan. Kan kita kalo punya
anak kecil itu pengennya harus selalu ketemu. Sebenernya saya agak khawatir kalo
misalnya saya ketemu jodohnya sekarang karena saya masih harus ngelab.
Maksudnya gini, kalo menikahnya nggak (khawatir) tapi kalo punya anak itu saya
maunya sudah dalam keadaan selesai kuliah. Mungkin kalo kerja sambil punya
anak masih bisa. Karena kan tadi ya, saya kerjanya dosen, dan dosen kerjanya nggak
terlalu sibuk. Kalopun sibuk sebenernya bisa kita kerjakan di rumah. Misalnya
kayak buat paper atau apa begitu sebenernya itu bisa dikerjakan di rumah sambil
ketemu anak. Tapi, kalo penelitian di lab itukan nggak mungkin bawa anak kecil
kan. Ya itu sih sebenernya. Makanya saya nggak terlalu buru-buru ya karena itu.
Saya masih harus kuliah, masih penelitian, yang kayaknya kalo saya punya anak
justru saya khawatir anak saya nggak keurus.
P : orang tua kak Intan ngasih kebebasan nggak buat kakak kenal dan dekat
dengan cowok mana saja?
I : ayah sama ibu nggak yaa. Palingan yang penting buat mereka itu satu
agama, seiman. Cuma ya, justru saya yang mengkriteriakan ini harus seperti ini ini
ini.
P : kalo pandangan kak Intan tentang pernikahan itu seperti apa?
I : mmmm sebenernya ya, ya itu kita kayak harus berkomitmen, sih. dan
memang harus apa ya, komunikasi harus baik sama pasangan. Nah itu banyak yang
cxxxix
gak bisa dijaga. Dan saya punya beberapa teman yang (sudah) menikah justru tidak
terlihat bahagia dalam pernikahannya. Nah itu tuh yang salah satu juga membuat
saya, ah yaudah begitu (belum menikah), maksudnya, saya ngeliat si ini eee
dikekang sama suaminya, terus apa lagi eee gak boleh kerja setelah menikah. Terus
ada yang pihak mertuanya rese gitukan. Terus ada yang, yang dia stress biasanya.
Karena pada awalnya dia berkarir, kantoran terus tiba-tiba jadi ibu rumah tangga.
Dia stress malah jadi ngomel-ngomel terus di rumah. Jadi saya mikir, kalo kayak
gitukan jadi nggak ada nilai ibadahnya. Kan menikah adalah ibadah katanya. Yang
kayak begitu-begitu jadi membuat saya juga agak sedikit bersyukur karena belum
menikah. Mungkin kalo saya sudah menikah yaa mungkin tidak bisa sebebas ini.
P : kak, kalo diliat dari faktor finansial dan emosi dan kesepian kakak sendiri,
sebenernya kakak sudah memenuhi kriteria itu nggak sih untuk menikah?
I : mmmm emosi kadang saya suka drop juga sih (tertawa). Terutama kayak
mau dapet (menstruasi) itu, memang suka down. Jadi sebenernya, gimana ya, kalo
dibilang siap (menikah) ya siap sih. tapi memang ada satu, satu, eee beberapa
moment yang mungkin saya down. Dan mungkin, dan saya kalo down itu suka
kepengennya nggak mau ketemu orang yang membuat saya down, satu. Ya saya
keluar rumah gitukan, kayak pergi, kayak ini nih, ke Mall atau kemana gituu sendiri
saja.
P : oh... me time...
I : yuppp me time. Abis itu saya pulang dan happy. Ketika saya sudah
menikah kan (tertawa) nggak mungkin kayak gitukan. Lagi mood down terus
keluaar rumah sendirian. Nggak mungkin. Kita nggak bisa egois pergi sendiri. Jadi
saya itu bingung itu termasuk sudah siap (menikah) atau belum. Tapi saya pikir,
belum yaa (belum siap menikah). Kalo finansial, ya ada sih tabungan. Tapi
kayaknya kalo untuk pesta yang besar sih, belum ya.
P : aku ada satu atau dua pertanyaan lagi ini kak.
I : yup yup apa itu.
P : menurut kakak menikah bagi perempuan itu sebuah keharusan nggak?
I : enggak sih. tergantung kalo misalnya dia.... eee jadi gini, ada yang pernah
bilang sebenernya menikah itukan sunah ya. Tapi akan menjadi wajib kalo misalnya
ternyata dia tidak bisa menahan hawa nafsunya. Kalo kayak begitu dia wajib nikah.
Tapi, kalo dia masih bisa (menahan hawa nafsu) kayaknya tidak akan menjadi wajib
ya. Terus, kalo misalnya dia menikah tapi tidak bisa atau tidak mampu bahagia,
maka jadinya jatuhnya makruh atau haram kali ya. Malah jadi menyakiti pasangan.
Mengekang. Untuk cowok nih, menikah dengan alasan biar bisa makan masakan
pasangan, nyuruh-nyuruh pasangan. Kan jadinya jatuhnya haram, menyakiti
sesama manusia. Jadi ya tergantung kita posisinya saat itu dimana. Kalo saya
misalnya, jatuhnya sunnah. Tapi kalo misalnya ada teman saya (tertawa) tidak bisa
menahan hawa nafsu ya mungkin buat dia jadi wajib. Dari pada membahayakan
yang lain (tertawa).
P : apa saja sih kak yang menurut kakak itu penting banget untuk diobrolin
diawal sebelum kita memutuskan untuk menikah?
I : mmmm keuangan sih. nanti gimana, kalo misalnya sudah menikah
apakah...eee jadikan ada yang uang suami jadi uang istri atau mungkin sendiri-
sendiri. Atau bisa juga uang istri jadi uang bersama. Itu menurutku penting dan
cxl
harus dibahas sih. terus nanti setelah menikah itu istri boleh kerja atau nggak. Terus
kayak kesepakatan-kesepakatan misalnya nanti pembagian kerja rumah tangga
kayak gimana. Itu penting juga loh dibahas, karena ada yang dulu mungkin
singlenya dia biasa nggak megang pekerjaan rumah. Bisa jadi di rumahnya ada
ART. terus ketika menikah, si suaminya bukan tipe yang mengandalkan ART,
gitukan. Nah, itu harus dibahas. Terus mau tinggal dimana. Apakah di rumah
mertua atau di rumah sendiri. Terus eee ada hutang atau tidak sebelum menikah.
Jadi maksudnya jangan sampe kita baru tahu kalo suami kita ternyata banyak
hutang sebelum menikahnya, atau kebalikannya.
P : transparan sama keuangan ya kak...
I : iya itu penting. Terus ya ntar gimanaa nanti kehidupan setelah pernikahan..
P : satu lagi kak, satu lagi..
I : iyaa boleh
P : kak Intan inikan masih tinggal sama orang tua ya. Apakah kak intan masih
sering mendiskusikan dengan orang tua dari setiap keputusan yang akan kak intan
ambil?
I : iya. Terutama yang menyangkut pendidikan. Kayak ini, saya mau kuliah.
Saya bilang. Saya mau ngekos pun saya bilang. Kan awalnya, saya itu angkatan
2020 S3 nya, cuman baru ngekos baru bulan ini. Nah itu saya bilang sama mama
saya kalo saya mau ngekos. Terus misalnya lagi saya mau pergi gitukan, travelling
lah saya tetap bilang. Pokoknya ya eee saya sih tipe yang terbuka sih sama orang
tua. Kecuali, kalo cowok. Sebenernya kalo cowok saya gak terbuka kecuali
memang saya sudah yakin begitu. Kalo misalnya baru kenalan begitu-begitu, ya
sudah, simpen sendiri dulu. Aku takutnya kalo aku kenalin, orang tua terlalu ngarep
kan. Jadi nanti disuruh ajak ke rumah lah apalah. Padahal kita belum sreg gituloh.
Kitanya masih mau cari tahu dan ngetes ini cowok. Makanya kalo yang masalah itu
ya aku sendiri dulu. Jadi keputusan yang kayaknya sudah hampir fix ya saya obrolin
ke orang tua. Tapi kalo yang masih, yang sayanya juga masih ragu untuk ngelakuin
apa nggak eee di keep dulu saja. biar nggak kepikiran juga kan.
P : kak Intan berapa bersaudara?
I : aku 2. Aku anak pertama
P : adik kak intan perempuan juga kah? usia berapa?
I : perempuan. Eee usia 29
P : sudah menikah?
I : belum
P : oh belum juga...berarti orang tua kak intan tipe yang slow saja begitu ya?
Yang kayaknya nggak terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya menikah di usia
berapa saja.
I : iyaa bener. Kan ada tu orang tua yang anaknya belum nikah terus dicari-
cariin. Nah orang tua saya justru nggak. Soalnya takutnya kalo dicariin kitanya
nggak cocok nanti kesalahan jadi dari orang tua. Jadi, mendingan kamu yang tahu
yang bikin kamu nyaman itu bagaimana begitu kan. Yaudah carilah sendiri. Nanti
kalo misalnya sudah yakin. Kayaknya sudah ini ini, sudah pas begitu ya. Baru deh
minta pendapat orang tua. Orang tua saya begitu sih tipenya.
Aku itu dulu pernah begitu minta dicariin terus mama ku malah bilang, “ah nanti
kamu malah nggak sreg lagi”. Karena ibu saya itu tahu saya itu gimanaa ya,
cxli
sebenernya dibilang pemilih banget itu nggak cuman ya itu pilihannya suka aneh-
aneh. Kayaknya gituu ya dari pada nggak sreg gitukan terus uring-uringan, yaudah
ibu nggak pernah (cariin) sih. lagian sudah besar ini.
P : kalo boleh tahu, orang tua kak intan menikah di usia berapa?
I : ibu 24, ayah 27.
P : jadi memang mereka menikah di usia yang sudah matang juga ya kak
I : setelah kejadian itu sebenernya ada beberapa kali yang coba buat
menjodohkan. Cuman apa ya, kalo dijodohin itu kayak sudah males begitu. Jadi ya
mendingan kayak deket sendiri saja.
P : ada perasaan traumatik nggak kak?
I : sejujurnya, karena yang itu, karena si cowok itu, sempet kayak takut
jadinya. Nanti kalo aku nikah malah dikekang lagi. Karena beneran, dia dari awal
kita chattingan itu sudah tipe yang ngekang. Kayak misalnya, “lagi apa?”, “lagi
ngecek instagram”, “kok main instagram mulu sih? itulah bersih-bersih rumahlah”.
Kayak gituu. Cuman ya pas saat itu, saya yang oh iya yaudah deh disabar-sabarin
saja dulu. Terus cowok ini juga kan yang ngenalin teman saya. Jadi yaa...terus,
sebenernya sudah nggak yakin. Cuman saya bingung gimana ya bilang mau
mundurnya itu gimanaa begitu.
Terus konsul lah aku sama teman yang lain, curhat begitu. Aku lagi deket sama ini,
dia orangnya gini gini gini. Terus temenku kasih saran, “coba kamu tanya tentang
poligami sama S3 boleh ga?” jawab si cowok itu dari 2 pertanyaan itu tidak
memuaskan. Jadi, dia sebenernya bukan yang pro poligami cuman dia kayak nggak
eee jadi kayak di tengah-tengah arah ke pro gituu. Dan aku jadi kayak, wah calon-
calon dipoligami lagi nanti aku (tertawa). Jadi ketika dia ngelarang aku untuk kuliah
lagi, aku jadi takut sih. apalagi kemarin sebelum S3 ya. Takut. Takut yang kalo
nikah nanti sebelum S3, gue dikekang (tertawa). Kalo sekarang, eee ketakutannya
bukan lagi dikekang. Karena kan aku udh lagi menempuh S3. Kan gak mungkin
masa lagi S3 terus nikah, terus S3 nya disuruh resign. Kayaknya itu kemungkinan
kecil. Kalo sekarang cuman takut anak. Kalo misalnya aku nikah sekarang terus
punya anak. Nanti anaknya bagaimana ya. Aku lagi penelitian di lab nanti anak aku
gimanaa. Mmm jadi agak-agak khawatir juga sih sama cowok-cowok yang
mengekang setelah percakapan itu terjadi.
Kan kalo kita sudah nikah apa-apa harus izin suami. Saya menghindari itu. Dari
pada saya jadi istri yang durhaka (tertawa). Jadi ya pekerjaan yang bisa dikerjakan
sebelum nikah, ya kerjakanlah. Puas-puasin. Ya setiap orang kan beda ya. Mungkin
dia prioritasnya nikah sebelum umur 30, kayak saya dulu. Saya sih tidak menjudge
juga orang yang mau menikah muda. Ya silahkan. Yang penting kamu setelah
menikah bertanggung jawab. Jangan jadi malah nyesel. Kan ada yang gini, dia
menjudge kita-kita yang belum menikah di usia segini lah, belum nikah gituu, dan
dia menikah muda tapi dia ngeluh anaknya gini, suaminya gini. Lah, itukan
ibaratnya kamu nikah nggak ada yang maksa, terus kenapa ngeluh? Ketika saya
kuliah pun, banyak tugas banyak apa apa begitu yaudah jangan ngeluh. Itukan
pilihan kamu sendiri. Nggak ada yang maksa kan.
Jadi, apapun yang kalian pilih dalam hidup, yaudah jalanin dengan baik. Terus
kalopun ada masalah ya jangan menyesal begitu. Jangan kayak begitu.
cxlii
Ketika saya sibuk pun, saya akan meluangkan waktu untuk me time. Me time itu
nggak harus jalan-jalan, traveliing. Walaupun kadang iya saya kayak begitu. Tapi
saya juga sering me time ke mall, window shopping saja. terus kayak jajan-jajan
yang Cuma ke kafe atau kadang joging. Pokoknya yang beneran sendiri tapi kita
ngerasa puas begitu. Atau ke Mcd begitu cuman beli McCoffe nya. Ya kayak
begitu-begitu saja sih. sesibuk apapun saya, saya masih bisa meluangkan waktu
untuk itu. Kan ada ya orang yang saking sibuknya sampe me time saja nggak bisa.
Dan alhamdulillahnya selama bekerja sih, saya belum pernah kejadian kayak
begitu. Ada sih sibuk yang sibuk bnaget, misalnya kalo lagi mau ada acara apa apa
begitu. Tapikan nggak yang sibuk setiap hari begitu nggak.
cxliii
8. Informan Ayu
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Senin, 08 November 2021
Nama : Ayu
Usia : 35 Tahun
Status Perkawinan : Sudah menikah
Usia Menikah : 34 Tahun
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : Bidan
Domisili : Jakarta Selatan
P : halo Assalamu’alaikum.
I : walaykumsalam. Maaf ya fa tadi lagi ada pasien.
P : iya gapapa kak Ayu. Maaf juga ya aku gak tahu kalo kamu lagi ada pasien.
I : sorry ya nanti kalo ntar kepotong-potong ya.
P : iya gapapa kok kak.
P : yaudah ini aku coba langsung saja ya kak.
I : iya boleh-boleh.
P : kak Ayu nama lengkapnya boleh disebutkan?
I : memang gak dapet bocoran dari kak Nana? (tertawa)
P : yah engga kak...
I : (tertawa) namanya panjang... Ayu Indah Sari Prihatinningsih.
P : usia saat ini berapa kak?
I : eee 35
P : pekerjaannya?
I : bu bidan...(tertawa)
P : oh... bidan...
P : status saat ini sudah menikah ya kak.
I : sudah Alhamdulillah.
P : Alhamdulillah.
P : domisilinya dimana kak Ayu?
I : eee di Jakarta Selatan.
P : ooo Jakarta Selatan. Aku kira di luar Jabodetabek kak.
P : tempat tinggal saat ini, rumah sendiri kak?
I : eeee di PIM. Di pondok indah mertua (tertawa)
P : (tertawa) bisa saja ngelucunya kak.
P : kalo boleh tahu, usia kak Ayu pertama kali menikah itu pada usia berapa?
I : eee usianya itung sendiri ya (tertawa). Aku nikah tanggal 5 April 2020.
P : oke. berarti nikah usia 34 ya kak.
I : iyaa betul.
P : apasih kak, alasan yang mendasari kakak menikah di usia yang cukup
matang tersebut?
I : wah alasannya panjang kali lebar ini. Alasannya sebelum hijrah atau
sesudah hijrah ini? (tertawa)
P : boleh diceritakan senyamannya kak Ayu, deh. dari yang sebelum boleh,
yang sesudah juga boleh. Tapi enaknya mah semuanya diceritain sih kak (tertawa).
cxliv
I : oke, oke. nanti kamu rangkum sendiri ya.
P : iyaa
I : ya sebelum hijrah itukan aku sempet eeee ya nggak diperbolehkan lah ya
pacaran. Nah terus itu, berapa ya, kurang lebih, pokoknya adalah aku niat mau
nikah. Sudah pacaran juga. Tetapi ternyata qodarullah belum jodoh. Sampe
akhirnya aku sudah nggak ada orang tua. Akhirnya aku kan sudah mulai belajar
agama lah istilahnya. Dari situ aku tahu, “oh, ternyata nggak boleh pacaran”
gitukan. Sampe akhirnya aku hijrah, aku mulai taaruf. Akhirnya aku taaruf,
qodarullah belum jodoh lagi. Yaudah sibuklah dengan kegiatan, biasa, ada dibidang
pelayanan, kadang diriset penelitian. Ya sambil ikhtiar dan cari-cari juga. Mungkin
dari teman-teman kajian. Terus dari web-web taaruf juga pernah. Kadang kan juga
mungkin kita sudah niat, sudah ngerasa sudah siap, tapi qodarullah Allah belum
ngijinin begitu ya. Giliran kita kejar malah ngga ada ya (tertawa). Giliran nggak
kita kejar ternyata datang, gituu. Datengnya berbarengan lagi. Kadang-kadang suka
kayak gituu diujinya. Sudah akhirnya eee pokoknya diujinya tu keseringan tu
mungkin dari pihak ikhwannya ya. Ikhwannya kayakknya, ada saja begitu Allah
kasih ujiannya. Ya mungkin juga memang belum jodohnya. Padahal sudah sampe
lamaran. Tapi akhirnya kandas tengah jalan. Yaudah akhirnya nggak lama, dapet
lah ini calon suami. Kita kenal juga taarufan. Ya mungkin juga sudah tahu kali dari
kak Nana?
P : eee belum sih kak
I : oh belum ya.. aku nikah sama anaknya Bu Eri. Mantan dosen di BK juga.
Suamiku anaknya beliau. Nah, akhirnya aku taarufan diakhir Desember 2019. Ya
istikharah lah aku. 2019 Desember aku kenalan, Februari kita nazhar, terus
Maretnya kalo nggak salah kita lamaran deh. terus April aku nikah. Jadi sebenernya
banyak faktor itu dari pihak keluarga ada, dari ikhwannya juga ada. Itu sih
kebanyakan, sih.
P : sebenenrya menikah di usia 34 itu atas keputusan kakak sendiri nggak?
I : mmmm sebenernya aku, waktu aku masih ada ibuku. Eee ibuku kan juga
satu profesi (bidan) kayak aku kan. Jadi waktu itu, waktu ibuku masih ada itu, aku
sudah niat. Sudah mau nikah. Qodarullah, sudah lamaran tu, ternyata bukan jodoh.
Itu dari tahun 2014. Ya pokoknya jatuh bangun lah aku sampe akhirnya Allah
kasihnya di 2020 baru menikah.
P : ada perasaan ini nggak kak, kan, dulu sempet merasakan gagal menikah
eeee
I : wah sangat, kacau waktu itu.
P : kakak ada perasaan khawatir dan takut begitu nggak siih?
I : mmm awalnya, sebelum hijrah iya, ya (khawatir dan takut). Sebelum hijrah
tu kita ngeliat teman-teman, satu-satu di Budi (RS. Budi Kemuliaan) sudah pada
nikah. Palingan sudah 3 orang waktu itu yang belum menikah. 3 4 orang lah. Terus
lama-lama, yang misalnya menurut kita, “ih,” ternyata dia sudah duluan. Padahal
kita mikirnya, “kayaknya dia bakal belakangan, deh” eh ternyata dia duluan dong
(tertawa). Kan kita mikirnya, kita nggak pernah ngeliat dia pacaran, nggak pernah
cerita-cerita. Orangnya tomboy lah, gituu. Tahu-tahu sudah duluan kan. Nah dari
situ ada perasaan khawatir juga. “waduh, kalo sudah kayak gini kan bingung mau
main kemana juga. Kalo mau ngubungin juga takut ngeganggu gitukan”. Ya terus,
cxlv
lama-lama kita belajar agama kan, yaudah akhirnya perbaiki diri saja terus. Kan
kalo kita perbaiki diri, Allah kan juga pasti akan kasih (jodoh) gituu. Pikirku kalo
nggak dikasih di dunia ya di akhirat dikasih. Selama kita berusaha, ikhtiar, tawakal,
yaudah perasaan itu ilang. Jadi nggak panik lagi kalo ditanya orang-orang kapan
nikah kapan ini ini ini. “Makanya jangan terlalu punya kriteria pasangan yang
terlalu tinggi.”, “cari apalagi sih” dan segala macemnya. Yaudah, kalo ada yang
kayak begitu sekarang disenyumin saja sama ya minta doanya saja deh. kadang ada
yang ngenalin gitukan. Tapi ya memang belum cocok kan.
P : kamu tipe yang terbuka atau welcome saja ya kak untuk cowok-cowok
yang mau kenal sama kamu atau ada yang mau ngenalin kamu begitu kak.
I : alhamdulillah sih aku welcome saja ya. Tapi kadang-kadang kan kalo ada
yang mau ngenalin, suka dikasih gambaran kan tu. Orangnya gini gini gini kerjanya
gini gini gini. Maksudnya, kalo misalnya dari akunya sudah ngerasa, “duh,
kayaknya enggak, deh.” soalnya aku juga punya kriteria tersendiri gituloh.
Misalnya orangnya perokok. “ah, mending nggak usah ngenalin” karena kan aku
memang sudah saklek sama orang yang perokok, sudah nggak cocok duluan.
Karena aku maunya calonku nggak ngerokok gituu.
P : memangnya kriteria pasangan kak Ayu itu seperti apa?
I : eee yang jelas nggak ngerokok yaa. Terus eee solatnya di masjid. Ya
sayang keluarga eee maksudnya sayang sama aku sama sayang sama keluargaku
juga. Terima semua kekurangan dan kelebihan aku. Sudah sih palingan itu saja. oh,
terus... harus sevisi ya. Dalam agama juga. Bisa saling melengkapilah begitu. Terus
sama-sama suka ke kajian. Sama-sama mau belajar agama.
P : dari pihak keluarga kakak ada desakan nggak untuk kakak segera
menikah?
I : iya ada. Dulu, mamaku tu dulu waktu mau detik-detik sakit itu sampe
mengkhawatirkan aku juga. Aku belum menikah. “Takutnya mama sudah nggak
ada gini gini segala macam”. Ya adalah pasti desakan mah. karena menurutku setiap
orang tua ngerasa (khawatir) kayak begitu juga sama anaknya.
P : dulu, sebelum kakak menikah, ada nggak mungkin dari keluarga atau
orang-orang sekitar yang memandang kakak sebelah mata karena belum menikah?
I : mmmm nggak ada sih. malah kalo aku sudah ada calon begitu ya.
Sebenernya ya mereka ingin memilihkan. Cuma ya aku memang lebih banyak
mmilih/cari sendiri sih. giliran sudah ada juga, mereka suka dapetnya ya menurutku
nggak baik, begitu ya. Jadi mungkin kadang-kadang suka bersebrangan penilaian
keluarga sama aku, gitusih.
P : nah, ini kan kak Ayu sudah menikah dan masih tetap bekerja juga sebagai
bidan. Bagaimana sih kak Ayu mengkomunikasikan ke suami untuk kak Ayu yang
tetap bekerja setelah menikah?
I : jadi aku, mmm kita, sebelum menikah itu kan tukeran proposal ya.
Proposal taaruf, gituu. Dan disitu ada point-point, baik secara dunia maupun secara
agama begitu. Terus, eee jadi disitu ada komitmennya juga dimana aku masih ada
keinginan untuk tetap bekerja dan lain-lain. Aku juga kasih alasan kenapa aku
masih kepengen kerja. Ya Alhamdulillahnya, sebelum menikah memang sudah ada
komitmen. Dan dia (suamiku) juga mengerti kali ya profesiku kan sama kayak
cxlvi
ibunya dulu. Dan, aku kerja juga nggak setiap hari juga. Aku disini seminggu 2 kali
atau 3 kali palingan.
P : jadi itu sebenernya bukan sesuatu yang sulit untuk dibicarakan ya kak.
I : Alhamdulillahnya enggak sih. dan suamiku juga ngedukung, support aku
juga. Karena mungkin juga dia ngerasa profesiku ini banyak maslahatnya (manfaat)
lah buat orang. Dan pekerjaan ini nggak bisa digantikan dengan laki-laki juga.
P : menurut kak Ayu, sebelum memutuskan untuk menikah, apasih yang
sekiranya penting untuk dibicrakan?
I : pertama sih, visi misi pernikahan ya. Terutama dalam hal agama ya.
misalkan agamanya sudah sejalan eee terus untuk menuju pencapaian apa yang kita
tuju selama menikah ke depannya juga. Kalo misalnya sudah sama, ya sudah
menurutku lanjut (menikah).
P : aku mau tanya kak, pendapat kak Ayu tentang pernikahan itu seperti apa?
I : eee sebelum itu aku menganggap pernikahan itu eeee aduh susah banget
sih fa pertanyaannya (tertawa). Eeee pernikahan itu, ini aku jawab nggak secara
teori ya fa. Boleh kan?
P : iya boleh kak. Ini sebenernya gimanaa cara kakak ngeliat pernikahan itu
sebagai apa sih.
I : pernikahan itu ya menyatukan satu pasangan eee dua orang yang berbeda.
Berbeda juga karakternya eee yang dimana terikat dengan hak dan kewajiban
masing-masing, begitu. Itu yang aku liat ya dari aku sebelum menikah. Dan
semuanya juga masing-masing harus menyesuaikan juga. Tapi setelah menikah
ternyata, yang kita pikirkan, yang kita lihat dulu kan keluarga kita, teman-teman
kita yang menikah lebih dulu, begitu. Tapi setelah kita menyelami lebih dalam dan
menjalani sendiri bersama pasangan ternyata nikah itu, mmm ya apa ya... nano-
nano lah (tertawa) ternyata itu banyak banget masalahnya ya. memang sih kita itu
gak boleh berandai-andai ya, karena takutnya syaiton juga. Cuman aku ngerasanya,
mungkin Allah memberikan aku pernikahan di umurku yang sudah semakin matang
ini, itu karena supaya aku lebih siap menjalaninya. Kan karena, orang berfikirnya
menikah itu hanya indahnya doang kan. Ternyata banyak disitu (nikah) tanggung
jawab dan kita juga harus bisa beradaptasi. Tidak hanya kepada pasangan tapi juga
mesti menyesuaikan dengan keluarga suami, keluarga kita juga. Harus bisa
menjembatani kalo ada sesuatu yang mungkin nggak nyaman. Bisa berbagi suka
dan duka. Ya mungkin eee lebih ringan ya. nikah itu buat kita lebih ringan kalo
misalnya ada masalah. Ngejalaninnya itu lebih ringan dibandingkan dengan
sebelumnya. Ya nikah itu ladang pahalanya banyaklah pokoknya. Pokoknya yang
belum nikah harus segera menikah (tertawa). Harus ikhtiar lah. Niatnya karena
Allah. Sudah itu saja. dan tidak memperberat, terutama tidak memperberat laki-laki
untuk maharnya.
P : menurut kak Ayu, nikah itu jadi keharusan nggak buat perempuan?
I : ya kalo ngikutin sunnahnya Rasulullah SAW sih harusnya iya. Nggak
hanya perempuan tapi berlaku juga buat laki-laki. Harus sama-sama berusaha. Ya
selebihnya kita harus tawakal kan. Karena selebihnya hanya Allah yang tahu yang
terbaik untuk kita. Yang penting kitanya jangan putus asa. Tetap berikhtiar,
tawakal. Itu saja sih.
P : perbedaan apa yang kak Ayu rasakan sebelum dan sesudah menikah?
cxlvii
I : mmm banyak yaa. Yang pasti, mungkin dulu sifat keibuannya kurang
sekarang jadi belajar ya ternyata punya anak sendiri itu mesti begini begini begini.
Sama halnya juga jadi istri. Harus bisa membagi waktu lah. Jadi istri, jadi ibu, jadi
mantu, jadi adik ipar. Terus eee apa ya, lebih bisa mengendalikan emosi dan lebih
bersabar, gitusih. Dan bisa apa ya, eee cari banyak pahala ya setelah menikah. Dan
itu sih, lebih memanfaatkan waktu saja. beda sama waktu masih sendiri.
P : kak Ayu pernah ngerasa waktu untuk kak Ayu sendirian itu berkurang
nggak?
I : oh me time. Menurutku ya, mungkin semua orang akan mengalami hal itu
ya. waktu untuk mereka sendiri akan berkurang. Pasti ada. Tapikan di balik itu
semua, sebelum kita menikah, ya secara ininya ya, seharusnya buat kita yang sudah
siap menikah ya harusnya sudah siap nerima risiko dan harus bertanggung jawab.
Tapi, kalopun memang butuh, ya mungkin me time nya bisa, ya menurut aku sih
mungkin bisa dengan bermain sama anak atau ngobrol dengan suami. Atua
mungkin kemana kemana begitu. Ya mungkin itu bisa sedikit ngurangin rasa
sedihnya kita lah. Dulu kan bisa begini begini begini. Terus sekarang sudah nggak
bisa lagi. Bukan nggak bisa sih, tapi agak susah saja sebenernya. Ya itu tadi kata
aku, mungkin rasa sedihnya bisa hilang dengan cara kita main sama anak atau
banyak ngobrol sama suami.
I : aku kan juga dulunya ngekos ya. ya sebenenrya juga sudah biasa sendirian
juga.
P : oh ngekos... sejak tahun berapa kak mulai ngekos?
I : mmm yang beneran ngekosnya itu sejak 2017. Sebelum-sebelumnya aku
tinggal di asrama kebidanan. Jadi aku lebih banyak pulang pergi itu ke asrama.
P : nah kak, selama kak Ayu ngekos atau jauh dari keluarga ini, setiap
keputusan yang akan kak Ayu ambil, kakak ngerasa itu perlu nggak untuk
dibicarakan dulu sama keluarga?
I : eee pas ngekos terakhir ini kebetulan ibuku sudah meninggal ya. jadi aku
memang lebih banyak untuk urusan keputusan menikah dan lainnya itu lebih
banyak aku biasanya eee mungkin aku untuk taaruf aku berjalan dulu sendiri tapi
nanti di pertengahan aku akan sampaikan ke kakak-kakak ku. Nanti kalo misalnya
sudah mau nazor, aku sudah ngasih gambaran ini sebelumnya jadi nanti entar kakak
ku nggak kaget-kaget banget. Maksudnya juga biar dia nggak ngerasa ter, ter apa
ya, mungkin merasa kayak nggak dianggap lah.
P : jadi memang tunggu kak Ayu fix dulu begitu ya baru kemudian
dibicarakan dengan pihak keluarga..
I : iya betul. Takutnya kan kita sudah ngobrol ternyata akunya nggak sreg
gitukan, ya nggak enak juga kan.
P : kak satu lagi hehe. Tadi kan kak Ayu sempet bilang adalah ya desakan dari
orang tua, dari ibu untuk kakak segera menikah. Nah, bagaimana sih cara kak Ayu
ngasih pengertian kalo kak Ayu gini gini gini?
I : kan ibuku meninggal itu desember ya. 31 desember 2016. Jadi sebelum itu
tu mama memang sudah sakit kan. Jadi, ya palingan kita nyampein kalo kita eeee
insyaAllah bakalan ada jodohnya. Yang penting kan aku terus berusaha begitu. Dan
kakak-kakak aku juga menyampaikan hal yang sama. “insyaAllah mama dikasih
cxlviii
umur yang panjang, bisa ngeliat Ayu menikah” kayak begitu. Maksudnya “doain
saja mah” kayak begitu. Ya palingan aku ngomong kayak begitu saja sih, fa.
cxlix
9. Informan Nurvita
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Senin, 22 November 2021
Nama : Nurvita
Usia : 32 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : D-3
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Domisili : Depok
P : halo, Assalamu’alaikum
I : walaykumsalam. Ini Agis ya?
P : iya kak hehe
I : (tertawa) halo, halo, gimana, Gis?
P : iya kak, ini aku persingkat saja ya.. bisa tolong disebutin nama lengkap
kamu siapa kak?
I : oke. Nama lengkap aku Yuni Nurvita Sari. Tapi gini dek, di KTP aku itu
salah ketik (tertawa)
P : oalah, kok bisa kak?
I : ya begitu sudah gegara salah tulis juga di akte lahir. Seharusnya kan nama
aku yang bener itu pake V viktor tapi ditulisnya pake P hahaha
P : salah satu huruf juga agak sebel ya kak
I : ho oh
P : usia kakak saat ini berapa kak?
I : aku sekarang 32
P : kalo pendidikan terakhirnya kak?
I : aku D3 ya, Gis. Kampusnya perlu nggak ini? Hahaha
P : boleh boleh kalo nggak keberatan mah kak
I : aku D3 PNJ. Pernah denger nggak, Gis?
P : oh, iya. Tahu aku kak. Yang barengan sama UI kan?
I : hahaha iya disitu, Gis. Poltek UI. Satu kampus sama UI, di dalemnya.
P : oh, iyaa iyaa kak tahu aku
I : hooo kebetulan di belakang rumah kan. Aku juga rumahnya deket daerah-
daerah sini
P : depok kan kak...
I : iya depok hahaha
P : almetnya jakun ye kak hahaha
I : hahahaha sudah lama banget itu dek. Mungkin Agis masih SMP kali ya
aku sudah lulus kuliah.
P : ambil jurusan apa kak?
I : kamu kelahiran tahun berapa, Gis?
P : ah, aku 98 kak
I : wuuuuuu jauh sekali ya hahaha aku juga punya adik cewek disini, tapi dia
94 sih..oiya, aku jurusannya Teknik Grafika
P : Teknik Grafika sama kayak desain grafis nggak sih kak? Haha
cl
I : mmm jadi itu sebenernya kalo jurusan aku itu di Indonesia cuma ada 2.
Jadi, satu ada disini (Poltek UI) sama di eeee politeknik ini loh yang di Srengseng
ini aduh aku lupa namanya, pokoknya ada disitu. Jadi, memang dosennya kan dari
situ. Jurusan aku itu waktu pertama kali aku masuk juga gini, “apaan sih teknik
grafika?” gitukan. Terus waktu itu juga kan masih cukup baru juga. Jadi kayak anak
paling bontot lah di PNJ itu. Kalo kayak yang sudah lama-lama itukan kayak teknik
sipil, teknik mesin. Nah ini itu teknik grafika...pas awal aku masuk itu ya neng,
tahun 2010 aku lulus itu memang masih cukup baru, jadi paling muda. Jadi,
literaturenya juga nggak banyak, dosennya pun orang industri. Jadi, aku sebenernya
pas kuliah itu bener-bener ngawang banget hahahaha
P : astaga kak, ih.. terus masuk situ memang kemauan sendiri apa gimana?
I : kemauan sendiri sih. cuma kan memang awalnya itu aku kecebur ya
hahaha dulu kan namanya PMB tu dek. Kalo sekarang aku nggak tahu deh, mungkin
sudah berubah-ubah ya, SNMPTN, SPMB. Nah, aku ikut kan PMB itu mau ke UI
yang S1 cuman nggak masuk, aku nggak lolos. Terus yaudah lah yang ini saja, yang
teknik begitu. Sudah mana kecebur, eh malah dapetnya teknik. Dulu itu aku
kepengennya yang kayak UI yang FKM (Fak. KesMas). Terus ini yang PNJ coba-
coba iseng eh malahan masuk. Yaudah, mau nggak mau harus dijalanin kan
P : iyalah, harus dijalanin kak, keren kak, sampe lulus kan itu haha
I : hahaha iya sampe lulus
P : sudah kecebur, teknik lagi ya dapetnya.. mau nggak mau deh ikutin alurnya
saja
I : sudah nasib aku sudah, Gis hahaha.. walaupun susah ya. beneran susah loh.
Kan kalo kerja gampang ya, ngga cocok, kita tinggal keluar saja begitu. Tapi kalo
kuliah itu enggak, mau keluar pasti butuh biaya lagi sedangkan kita juga belum ada
penghasilan, belum kerja lah istilahnya.
P : ah iya itu kak bener.. jadi mau nggak mau harus bertahan disitu ya
I : iyaa, kasian juga kan orang tua. Dulu waktu aku kuliah ya dek, mmm 10
tahun yang lalu, itu semesteran aku sudah 2 juta dan aku rasa itu lumayan gede ya
pada saat itu. Mungkin kalo buat sekarang semesteran 2 juta itu biasa saja. Pasti
sekarang kan ada yang 4 juta 5 juta per semester. Kalo jaman aku itu waktu itu D3
per semester 2 juta itu sudah lumayan mehong loh. Aku juga heran sih, padalah PNJ
negeri ya, tapi mmm kayak yang aku bilang tadi, mungkin karena banyak jurusan
baru jadi harga per semesternya naik hahaha
P : kak, status kamu saat ini menikah atau belum menikah?
I : mmm kalo saat ini belum. Aku belum menikah. Masih single, Gis. Aku
masih menikmati kerja
P : kamu tinggal sama orang tua atau sendiri kak, ngekos atau ngontrak
begitu?
I : aku masih tinggal sama orang tua, Gis, disini, di Depok. Kebetulan dari
kecil, terus aku kuliah juga nggak pernah ngekos-ngekos sih
P : kak, aku mau tahu alasan kamu dong, kenapa di umur 32 tahun ini masih
memilih melajang karena apa?
I : oke, jadi kalo alasan yang sekarang ya dek, karena satu, yaudah jalanin
dulu. Yang kedua, karena memang mmm kalo apa ya, kalo soal cowok begitu mmm
masalah jodoh begitu memang aku belum nemu yang pas ya. Bisa dibilang belum
cli
berjodoh lah ya. Mungkin kayak, ada sih (yang ngedeketin), tapi kita kayak, eee
mungkin semakin tua usia kita juga semakin ini ya dek, ya, semakin selektif. Kayak
begitu ya. mungkin, ada beberapa orang juga yang, “yaudah gue jalanin saja dulu
sudah”. Tapi, kalo aku adalah tipe yang mungkin lebih ke hati-hati ya, terus juga
gamau asal saja. Terus eee ya balik lagi deh, mungkin akunya juga yang masih
sibuk kerja juga. Terus belum nemu yang pas. Jadi yaudah, aku jalanin saja dulu
masa-masa aku sendirinya sambil terus berdoa juga berusaha juga itu pasti. Cuman,
untuk saat ini (menikah) kayaknya belum sih. Maksudnya tahun ini nih hahaha kan
sudah mau abis ya, tapi kayaknya jodohku belum keliatan begitu hahaha kalo tahun
depan gatau deh bagaimana. Jodoh kan nggak ada yang tahu ya selain Allah. Kalo
sekarang sih aku kayak begitu, dek
P : tapi sekarang kamu lagi ada deket sama cowok nggak kak?
I : kalo yang deket banget sih nggak ada ya. Cuma ya memang kalo teman-
teman cowok aku itu banyak. Yang mau ngedeketin aku juga ada. Cuma ya itu tadi,
palingan ya yaudah berteman saja. teman haha hihi saja begitu belum yang ke arah
sana, yang serius banget belum ada sih
P : cuman sekedar yaudah teman saja, gausah dibawa perasaan begitu ya..
I : he he, benerrr... jadi, kayak, bisa dibilang ya dek, karena di umur sekarang,
di umur yang sudah dewasa juga itu tuh, berasa sih, semakin kita sibuk kerja jadi
teman-teman kita jga makin sedikit. Maksudnya, teman yang deket banget itu bisa
dihitung dengan jari, yang bener-bener tahu personal kita kayak gimana. Dan
teman-teman aku yang cowok tadi itu, teman gang-an itu banyak sebenernya, kalo
mau kopdar ya ayok kopdar. Cuman kan balik lagi tadi, merekanya juga kan sibuk
sama dunianya masing-masing. Itu sih. jadi ya itu, aku juga kurang bergaul juga
hahaha karena sudah sibuk
P : iya sih bener kak, kita belum punya pacar terus teman-teman juga sibuk
sama dunia masing-masing... yaudah dari pada bingung mending ikutan sibukkin
diri sama kerjaan nggak sih kak...
I : ah, iya, bener.. fokus bekerja. Tapi tidak menutup diri ya. Maksudnya ini,
misalnya ini kita ngobrol kayak gini kan dek, “iya kak Yuni belum ada bla bla bla”,
tapi besok? Kan kita nggak pernah tahu ya. misalnya besok ada yang tiba-tiba aku
cocok, begitu, dan di hati sudah bener-bener sreg, memang dia orang yang aku
sukain, ya bisa saja, gitukan..
P : tapi dari diri kamu sendiri kak, ada planing untuk menunda menikah
nggak?
I : kalo menunda, enggak ya. aku nggak ada niat buat nunda pernikahan, sih.
cuman itu saja sih, kalo sekarang itu kayak masih, yaudah, ngalir saja kayak air.
Tapi akunya juga nggak menutup diri bagi siapapun yang mau kenal aku. Aku tetap
berikhtiar. Dalam artian gini, Gis, kalo misalnya ada yang deketin, dan, kira-kira
kriteria dia masuk nih di aku, yaudah, coba saja dulu. Tapi kalo sekarang kan belum
ada ya. Maksudnya masih yang begitu lah, kayak, yang antara serius atau nggak.
Ya lebih banyak yang belum serius sih. Maksudnya, dari pihak sananya. Jadi,
yaudah, kita temenan saja dulu. Begitu sih.
Aku nggak nunda sih. Cuma kalo ada, misalnya ada, tadi yang aku bilang misalnya
dalam waktu, bulan depan atau tahun depan ini, tiba-tiba ada yang ngedeketin dan
clii
itu cocok, ya bisa saja kan aku menikah dalam waktu dekat? Jadi, aku nggak nunda
sih sebenernya. Nggak. Begitu dek
P : kalo dari orang tua kamu kak, mereka ngasih kebebesan nggak buat kamu
deket sama cowok mana saja? maksudnya, mungkin mereka punya kriteria calon
mantu tertentu begitu kak
I : oke, dari orang tua ya, kalo dari keluarga sih terutama mungkin karena kita
anak perempuan jadi lebih ke mama kali ya kalo cerita-cerita begitu. Kalo ke papa
iya juga sih, cuman kalo ke papa itu lebih ke nasihat dan segala macam, begitu.
Kalo orang tua aku itu yang penting itu lebih ke, satu, iman dulu. Jadi yang paling
ditekankan mereka ke aku dan adik aku, itu, iman. Mereka nggak melarang aku
deket sama siapa saja. cuman, kalo buat yang serius begitu, yang buat ke rumah
tangga itu harus banget ya seiman. Itu dulu sih, imannya dulu yang paling penting.
Mereka nggak ngasih larang-larangan atau kriteria yang bagaimana-bagaimana sih,
Gis. Kalo imannya sudah sama, yaudah, begitu.
P : kamu termasuk orang yang suka cerita sama orang tua ya kak?
I : iyaaa!!! Hahaha aku sama adik aku itu termasuk orang yang eee apa ya,
kita itu nggak bisa nyembunyiin sesuatu dari orang tua. Jadi apapun itu kita cerita
ke mereka sih. walaupun yang receh-receh doang ini, tetap kita ceritain, kayak, “iya
ini mah di kantor ada yang lucu gini gini”, pasti cerita.
P : terbuka sama orang tua ya
I : iya, betul.. aku dan adik itu anak-anak yang terbuka, nggak bisa
nyembunyiin sesuatu deh. misalkan nih ya, itu kan tadi cuma bercandaan doang nih,
“iya nih tadi aku ada liat teman aku ada yang lucu nih” aku ngetawain itu sama
mama. Terus misalnya tiba-tiba yang aku ketawain tadi jadi jodoh aku, ya gapapa.
Yang penting kan nanti mama ku, “oh, ya, sudah pernah diceritain yang ini mah”,
begitu.
P : tapi kalo misalnya kamu lagi curhat tentang cowok, cerita misalnya lagi
deket sama si ini si ini, begitu, kak, orang tua ada nggak sih yang ngedesak-desak
buat buruan nikah?
I : alhamdulillah enggak ada sih, Gis. Jadi, orang tua aku itu bisa dibilang
sangat moderat ya. mungkin setiap orang tua beda-beda ya. karena aku juga pernah
denger cerita dari adik aku itu, dia kelahiran tahun 94 kan, teman-temennya dia itu
banyak yang orang tuanya itu kayak didesak buat cepet-cepet married kan. Ada
yang dijodohin juga. Bahkan mama nya itu sampe rela nyari-nyariin jodoh buat
anaknya, kayak begitu. Terus adik aku ini, dia compare ke keluarga kita kan,
“alhamdulillah ya kak, kita nggak terlalu di push banget”. Ya aku tahu sih, setiap
orang beda-beda. Kan ada yang keluarga besar, anaknya banyak, segala macam.
Nah, mungkin, kalo kita karena cuman berdua, kakak adik, jadi orang tua serahin
semua keputusan itu ke kita sih. yang terbaik buat kita. Tapi, alhamdulillah sih, so
far kayak dari mama pribadi begitu nggak pernah sih, yang kayak nuntut, “harus
sekarang juga nikahnya atau kalo nggak mau, mama cariin!”, enggak yang kayak
begitu mama ku, kita bebas banget alhamdulillah.
P : dari tetangga atau keluarga atau mungkin juga dari orang-orang sekitar nih
kak, pernah ada yang mandang kamu sebelah mata nggak sih karena status kamu
saat ini yang masih melajang di usia 32 tahun? dan tanggepan kamu buat orang-
orang seperti itu bagaimana?
cliii
I : kalo kayak begitu pasti ada ya, Gis. Dari tetangga begitu palingan kalo kita
ketemu papasan saja. Cuma ya itu tadi kan, aku kerja dari pagi sampe sore atau
bahkan malam banget baru pulang terus besoknya lagi harus berangkat kerja lagi
pagi-pagi. Palingan kalo tetangga ya tanya-tanya ke mama aku sih, “si Yuni kapan
nikah?” begitu sih palingan yang aku tahu. Dan aku juga nanggepinnya biasa sih,
“iya bu masih mau kerja dulu”, “belum ada bu, kalopun ada juga nanti kita undang”
begitu hahaha.
Tapi kalo teman, mmm, ada juga sih ya temenku yang seumuran sama aku, bahkan
lebih tua dari aku, mmm ya orang-orang generasi aku lah ya, yang kelahiran 88 87
89. Bahkan ada juga itu kemarin yang di kantor lama, kakak senior aku, kayaknya
umurnya pas 39 deh, itu baru married juga. Jadi kayak, eee aku sih jujur ya, gak
mau juga nikah setua itu, cuman, kalo ada yang tanya yaudah kita bilang saja,
“masih sibuk kerja”, “belum ada yang sesuai”. Tapi, kalopun nanti sudah ada dan
pas, insya Allah kita bakalan langsung itu (menikah).
Terus juga ini ya aku itu orangnya cuek banget. Ya kalo ditanyain ya tinggal bilang
saja, “memang belum ada” begitu, kalo misalnya ada yang tanya. Atau bahkan dari
sodara tanya begitu kan, yaudah aku bercandain saja hahaha. Kan abis itu yaudah
lewat.
Kalo teman, aku balik lagi sih, karena beberapa temenku juga ada yang belum
married juga, jadi, kita nggak pernah tanyain status. Palingan kayak, “eeyy lagi
deket sama siapa tuu?” begitu-begitu doang. Semuanya aku bawa enjoy, santai saja.
alhamdulillah nya juga nggak ada yang terlalu iseng banget juga ya. sejail-jailnya
kalo ngomongin aku di belakang ya, yaudah, biarin saja, toh itu kan urusan mereka,
bukan urusan aku.
P : pernah tersinggung nggak kak kalo ada orang yang tanya-tanya nikah sama
kamu?
I : pernah. Cuman ya itu biasanya terjadi di tempat-tempat yang banyak orang
ngumpul ya. Misalkan kayak reunian atau lainnya. Cuman karena beberapa tahun
terakhir nggak pernah ada yang kayak begitu ke aku ya, Gis. Ada sih, tapi palingan
personal begitu. Kayak misalnya tiba-tiba di ig (instagram) nihh teman lama,
nanyain “eh lo sudah married belum?” ya jawab saja, “iya ini belum, doain ya”
sudah. Nggak pernah sampe yang gimanaa-gimanaa begitu.
P : pernah khawatir nggak sih kak, kira-kira di umur berapa kamu akan nikah?
Secara kan ngeliat teman pasti sudah banyak juga yang nikah..
I : iya pasti. Pasti sih, khawatir banget hahaha. Apalagi kalo teman-teman
yang nikah memang yang seumuran aku ya. kayak teman-teman dulu yang satu
SMP SMA. Pasti adalah rasa kahwatir aku, “aduh dia sudah married, sudah punya
anak dua” gitukan. Teman-teman aku itu ya, yang rata-rata seumuran aku itu
minimal banget anaknya rata-rata sudah dua hahaha. Ada juga sih yang sudah
married tapi belum punya anak, ada. Bahkan ada sepupu aku yang di bawah aku,
anaknya sudah tiga. Ya seneng saja sih, ngeliat sudah pada punya anak, “oh, iya,
dia sudah punya anak”. Cuman, kalo ke diri sendiri antara pengen tapi juga sama
belum ready begitu hahaha.
P : kamu belum siapnya itu sebenernya secara apa sih kak? Belum siap secara
mental kah, finansial kah...
cliv
I : eee sebenernya kalo sudah ada jodohnya mah ya, aku yaudah jalanin saja
ya, Gis. Cuman ya itu sih kalo ngeliat kasus-kasus yang ada di sekeliling aku ya
kebetulan ada beberapa yang broken. Banyak dari mereka yang nikah muda tapi
broken. Dari situ aku mengambil suatu pelajaran juga, sih, “oh, gue gak boleh buru-
buru juga tapi nggak yang terlalu lama juga” begitu, Gis.
Jadi, disini kenapa aku belum menikah sampe sekarang itu sebenernya masalahnya
bukan di usia sih. tapi bagaimana kita validasi calon pasangan kita nanti. Jadi bukan
masalah kalo misalnya memang mau nikah muda dan pasangannya beneran baik,
kan, nanti pernikahannya juga bakalan langgeng kan, Gis. Kita akan bahagia,
begitu. Tapi kan disini, kadang, kebetulan ya, yang terjadi disini, yang terjadi sama
eee bahkan ada beberapa keluarga aku juga yang mmm, kayaknya kemarin ada deh,
keponakan aku di kampung, usianya 15 tahun sudah nikah, dan sekarang anaknya
sudah dua. Dan ya, itu gagal kan. Nah, dari situ mikir, “aduh, masih kecil-kecil”
begitu ya, bayangin 15 tahun janda anak dua. Mmm cowoknya itu nggak dewasa.
Ujung-ujungnya broken lagi. “apa sih yang salah sebenernya?”, “kan nikahnya
sudah bener segala macam kok bisa terjadi kayak begitu?”. Disitu aku sedikit bisa
merasakan, “wah itu (nikah) bukan main-main. Mendingan gue bener-bener
validasi dan gue bisa bener-bener sampe mati sama dia” begitu. Kayak begitu sih
mungkin prinsipku sekarang.
P : yaappp, harapan semua orang kan menikah inginnya sekali seumur hidup
dan sehidup semati ya.. jadi memang perlu banget kita selektif buat milih calon
pasangan
I : iya, jujur, Gis, aku takut banget salah pilih orang
P : aaaah iya bener banget kak! Banyak kan ya pas masih pdkt pacaran begitu
baik taunya pas nikah keluar semua taringnya huhu
I : iyaaa, Gis. Aku kalo dapet yang sholeh mah ya gapapa Alhamdulillah
banget. Aku itu gamau karena misalnya kita diburu-buruin buat nikah jadi kita asal
pilih, kayak, “yaudah deh gue sama dia saja”, eh ternyata malah salah orang. Nah,
aku gamau kayak begitu.
P : aku pernah baca, denger juga sih, ada yang bilang sebenernya mereka
nggak nikah itu bukan takut sama pernikahannya, tapi mereka takut menikah
dengan orang yang salah.
I : iya!! Bisa dibilang prinsip aku kayak begitu, Gis. Jadi sampe sekarang aku
belum nikah itu bukan karena gimanaa-gimanaa ya, bukan takut sama finansial atau
apalah itu. Nggak. Karena aku yakin, kalo kita sudah nikah itu, rejeki bakalan Allah
bukain dari pintu mana saja. Walaupun pas kita nikah itu, kita nggak ada uang sama
sekali. Tapi pasti deh, ada jalan Allah kasih kita. Cuman, masalah aku bukan disitu
ya. Tapi, gimanaa aku pilih orangnya. “ya Allah bener nggak sih dia orang yang
bener?”. Dulu aku pernah pacaran ya, Gis, dan kita break up, yaa dia orang yang
salah, nggak baik buat aku. Alhamdulillah Allah tunjukin ternyata memang
orangnya nggak bener. Dan aku bersyukur nggak jadi sama dia.
P : pengalaman kayak begitu jadi bikin kita lebih selektif lagi nggak sih kak
buat kenal orang baru...maksudnya buat orang-orang yang ingin serius sama kita
gituu
I : iya bener..dan itu jadi pelajaran banget buat aku. Dan aku harus berterima
kasih sama Allah sudah nunjukkin dia orang yang seperti apa. Jadi kita nggak lanjut
clv
sama dia. Coba kalo beneran aku nikah sama dia, dan kebongkar pas sudah jadi, di
belakang begitu, kan malah nyesel ya. dan buat kita gak bahagia ngejanin hidup.
P : tapi dari kejadian itu, buat kamu trauma nggak kak?
I : alhamdulillahnya nggak sih hahaha aku orangnya gampangan buat move
on, Gis. Kalo ada orang kayak begitu, yaudah aku mah. Dan aku bukan tipe orang
yang menyamakan, maksudnya kayak, “ih gue nggak mau deket-deket sama cowok
dulu deh, soalnya semua cowok begini-beguni” aku nggak kayak begitu. Aku malah
kayak, “oh, ternyata ada lagi ini yang baik, yang lebih baik”. Cuman kadang-kadang
itu yaa karena memang belum cocok saja kali yaa. Belum berjodoh. Misalnya kayak
akunya sudah sreg sama dia, tapi dianya belum. Atau kebalikannya, misalnya
dianya yang sudah sreg, eh malah akunya yang belum. Jadi tarik ulur saja terus
hahaha
P : tadi kan kamu bilang ya kak, kamu sama adik kamu itu nggak didesak buat
nikah cepet-cepet sama orang tua. Aku sebenernya kepo deh kak, bagaimana cara
kalian ngasih pengertian ke orang tua atas keputusan kalian ini eeee yang belum
mau menikah sampe sekarang?
I : sebenernya kita nggak ngejelasin apa-apa sih, dek, ke mereka. Karena
mungkin orang tua sudah ngeliat, dan mungkin mereka juga lebih tahu kita dari
pada diri kita sendiri ya, jadi kayak watak kita, terus kayak, “oh, dia ini kayak gini
orangnya”. Terus jelek baiknya kita itu kadang kan orang tua lebih tahu ya.
mungkin ada suatu kejadian di keluarga ku yang maaf nggak bisa aku ceritakan
disini..
P : iya kak gapapa..
I : iya, jadi memang disini hidup kita itu diuji banget sama Allah. Jadi karena
sudah melewati yaaa beberapa belas tahun yang lalu kita selalu diuji Allah, jadi ya
sekarang itu kita syukuri saja hidup kita, semuanya. Banyak-banyak bersyukur
sama Allah. Lebih ke situ sih, Gis. Karena ada moment di keluarga yang nggak bisa
aku ceritain. Dan itu memang, bagaimana ya, jadi dari situ orang tua aku itu kayak
lebih mmm “im proud to having you”, aku sama adik aku. Berdua. Tapi mungkin
juga bisa jadi gini, “mama seneng ini salah satu dari kalian ada yang nikah, tapi
mama juga sedih di sisi lain karena nanti pasti kalian ikut suaminya apa segala
macam”. Dan, sebelum itu terjadi, mungkin mama lebih seneng kita bareng-bareng
dulu sama aku dan adik. Begitu sih, Gis.
P : menikmati waktu bersama anak-anaknya dulu yaa...
I : iya, tapi bukan berarti mama nggak pengen kita nikah ya..pasti diem-diem
mama ngedoain kita dapet yang terbaik. Cuman, untuk saat ini seperti apa yang tadi
aku bilang, di keluarga ada moment yang kita diuji banget. Aku tahu, setiap orang
pasti punya ujian hidup masing-masing. Dan sampe sekarang pun aku mikirnya,
“aduh, kayaknya Allah sayang banget deh sama gue” sampe saking sayangnya itu
kita dikasih ujian yang besar banget hahaha.
P : kalo boleh tahu kak, kamu sudah kerja berapa lama ya?
I : kalo dihitung dari pertama kali aku kerja itu kan aku lulus 2010 akhir ya
waktu itu, September deh kalo nggak salah. Nah, terus, 2011 itu aku mulai kerja
sampe sekarang nih 2021.
P : 10 tahun ya
I : iya sekitar 10 tahun berarti
clvi
P : sebenernya apa kak alasan kamu bekerja dan menjadi perempuan karir?
Selain uang ya.. hahaha.
I : hahaha iya duit mah nomor satu, Gis. Cuman ya itu tadi aku balik lagi sih,
aku kerja itu ingin cari tahu bagaimana caranya kita bisa mandiri dan nggak
bergantungan sama orang lain. Dan, ya, kalo dari keluarga sih, biar aku bisa lebih
bersyukur juga. Karena kita kan nggak pernah tahu ya, kayak misalnya, ayah kita
sakit, terus tiba-tiba nggak bisa cari duit. Itu kan sudah pincang sebelah. Nah, dari
sisi itu aku bisa eeee jadi kita disini itu sama-sama jadi tulang punggung. Tidak
mengandalkan satu orang saja sebagai pencari nafkah. Jadi, mau nggak mau kita
harus tetap bekerja. Bahkan kalo memungkinkan kita bisa jadi enterpreneur sendiri
itu lebih baik lagi. Cuman, karena waktunya belum kesitu ya jadi aku tetap kerja
saja.
P : jadi lebih mempersiapkan diri kalo misalnya suatu saat keadaan terburuk
terjadi di keluarga ya kak, kayak yang tadi kamu bilang, jadi pincang sebelah karena
ngandelin satu orang saja.
I : ho oh..bener.. apalagi kan aku anak pertama, jadi, naturally nya kayak
begitu kali ya. Karena anak pertama jadi ngerasa kayak bukan beban sih
sebenernya, jadi kayak lebih harus bertanggung jawab saja sama orang tua dan adik,
begitu. “gue sudah gede, gantian dong.. kemarin orang tua gue sudah ngebiayain
gue sama adik gini-gini” perasaan kayak begitu ada banget di aku, sih, Gis. Dari
sisi itu juga aku mikir ya, “nanti kalo aku married gimanaa orang tua gue?”,
mungkin kalo aku sudah sukses banget, sambil married sambil ngebiayain orang
tua kayaknya semua itu bisa bikin aku lebih happy sih.
Kadang dari keadaan juga yang melatih kita buat tanggung jawab hahaha. Allah itu
kan kalo melatih kita pasti sedikit demi sedikit ya. “ini, lo biar belajar nii”. Aku
dulu itu nggak setegar ini dan nggak semandiri ini. Dulu aku tetap masih
bergantungan sama orang tua. Cuman pas kesini-sini, “gue anak pertama, orang tua
gue sudah makin tua, bagaimana caranya ini biar orang tua gue sehat terus dan gue
bisa kerja terus?” dan “kalo pun gue dapet jodoh, gue mau jodoh gue bisa
membiayai hidup gue”. Ya paling enggak, kita sama-sama pekerja keras lah. Jangan
sampe, amit-amit ya, ada kan cowok yang cuman numpang hidup doang. Kerja
ngandelin istrinya. Ada yang kayak begitu, Gis. Itu kenyataan. Dan kebetulan di
keluarga aku ada yang kayak begitu juga. Jadi kayak, “wow kok kayak begitu ya?
dulu nggak kayak begitu padahal, dulu keliatannya bagus, tapi kesini malah malas
terus bininya juga ngomel-ngomel mulu”. Dan itu ada di keluarga ku seperti itu.
P : kak, kamu pernah sengaja menenggelamkan diri di pekerjaan kamu nggak
kak? Menyibukkan diri begitu biar nggak terlalu mikirin banget atau lupa buat
nikah..
I : dalam 10 tahun aku kerja, pasti pernah yaa mengalihkan ke kerjaan begitu,
pernah. Tapi kalo yang mengalihkan banget sih enggak. Tapi dalam 10 tahun aku
pernah mengalami hal itu. Pernah ada dititik itu. Cuma makin kesini, aku lebih open
minded saja sih, nggak menjadikan pekerjaan aku sebagai alasan. Dalam artian
gini, aku sibuk nih sekarang, tapi kalo misalnya tiba-tiba aku ketemu jodohku dan
sudah sreg padahal lagi sibuk-sibuknya kerja, ya gapapa. Bisa kok. Dan kalo
memang berjodoh dan mau married, gapapa.
clvii
P : sampe sekarang kamu belum menikah kak, apa yang kamu rasain kak atau
kamu dapetin?
I : kalo sekarang malah ngerasanya kayak nggak gimanaa-gimanaa ya, Gis
hahaha. Maksudnya, mungkin ada beberapa orang yang sedih, karena putus
nyambung sama pasangannya yang berujung nggak jadi married atau sudah
tunangan tapi nggak jadi nikah. Kalo aku kan belum ada tahap itu sekarang jadi
kayak, yang dirasain biasa saja hahaha. Malah jujur, aku jadi merasa lebih bersykur
sih, nggak ada yang perlu juga untuk disedihkan. Jadi lebih ke apa ya, “oh, aku nihh
belum married sampe sekarang mungkin Allah mau kasih aku waktu biar aku lebih
deket dulu sama Dia” begitu. Aku nggak ada feeling yang gimanaa-gimanaa sih
selain aku jadi makin bersyukur saja.
P : sekarang kan kamu masih tinggal sama orang tua ya kak. Kamu sudah
merasa mampu mencari solusi dan menyelesaikan masalah sendirian nggak kak
tanpa harus melibatkan orang tua?
I : eee iya dan tidak sih. jadi, ada yang mungkin hal-hal sepele lah ya. Tapi
sometimes kita pasti punya yang namanya bad day ya. kadang ada “aduh, gue lagi
bete banget nii” dari mulai urusan kerjaan. Kan tidak menutup ya, Gis, karena kita
bekerja dengan banyak orang. Pasti ada kayak begitu, dari atasan lah atau segala
macam. Atau “aduh, lagi nggak enak nii kliennya” hahaha “aduh, boss nya lagi gini-
gini nyenyenye”. Hal-hal kayak begitu palingan lebih ke curhat saja sih, kelar.
Cuma kalo untuk solusinya tetap balik ke aku sendiri. Aku yang ambil
keputusannya. Nggak disetir siapa-siapa.
P : terbuka saran dari mana saja tapi keputusan tetap kita yang ambil
I : ho oh bener-bener.. yang penting kita dengerin dulu saran dari orang-orang
kayak gini kayak gini. Nanti kita pikirkan lagi untuk mencari solusinya yang
terbaik. Kayak begitu sih aku palingan
P : kak, aku mau tanya pandangan kamu tentang pernikahan itu seperti apa?
I : eeee pernikahan buat aku itu sekufu ya. kalo dalam Islam itu, sekufu itu
setara. Jadi, kalo bisa kita cari pasangan yang setara. Mungkin bisa dari umur yang
nggak jauh beda, tapi kalo lebih muda juga aku nggak masalah sih, lebih tua juga
aku nggak masalah. Cuman, yang penting sekufu. Dalam artian, kita sepemikiran.
Jangan sampe dia maunya ke kiri aku maunya ke kanan. Kalo kayak gitukan nggak
nemu titiknya kan. Jadi nikah itu bener-bener untuk lahir batin dan bener-bener
tujuannya kepada Allah. Jadi, bukan buat status atau pamer doang, “nii gue sudah
nikah nii”. Dan aku bukan yang kayak begitu. Aku pribadi nikah karena ingin lebih
bahagia dan tujuan akhirnya Jannah.
P : kamu setuju nggak kalo nikah itu wajib bagi perempuan?
I : kalo sunnah nya sih sebaiknya menikah yaa. Tapi kalo ada orang yang
tidak menikah, itu balik ke dirinya ya. Dalam sejarah aku baca ya, kebetulan aku
juga suka baca. Di sejarah Islam menceritakan, ada sahabat Rasul, entah sahabat
atau keturunan sahabat aku lupa, dia perempuan, seorang pejuang dan beliau tidak
menikah. Jadi beliau bener-bener membaktikan dirinya buat dakwah. Kita sebagai
manusia kan nggak bisa sembarang ngejudge ya, “ih kok dia nggak married sih
padahal dia kan beriman?” atau, “kenapa nggak nikah kan padahal sudah sukses”
begitu-begitu lah ya. kkita nggak boleh kayak begitu. Aku sih balik lagi, kalo aku
pribadi ya kepengennya aku menikah. Kalo ada yang nggak mau nikah, yauda
clviii
biarin saja, itu kan sudah jadi pilihan dia dan mereka sudah memutuskan itu ya kita
hargai saja. kalo aku sih begitu ya.
P : jika suatu saat kamu menikah kak, apa saja sih kira-kira yang bakal kamu
bicarakan sama pasangan sebelum akhirnya mantep buat mutusin nikah?
I : yang penting itu kan validasi buat aku ya. dia orangnya gimanaa, seperti
apa. Selain itu, agama penting banget juga buat aku. Seiman. Kedua, kalo dari
perilaku dan lain-lain kita bisa liat attitude dan manner dia. yang kecil-kecil dulu
deh, kayak misalnya orangnya sopan apa nggak, terus dari cara dia ngomong itu
juga gimanaa. Kalo buat yang tanya dia langsung, palingan kayak, kasarnya ya, “lo
sudah siap belum hidup susah dan seneng sama gue?” jadi bukan senengnya doang.
Dia sudah siap apa belum. Sama, “yaudah kalo sudah sama gue, lo jangan lagi
tengok kanan kiri”. Jangan sampe menduakan lah.
P : aduh iya dah kalo selingkuh mah sudah nggak ada obatnya lagi, penyakit
itu heuuu
I : hahahahaha iya aduh sudah canceled banget deh orang kayak begitu. Aku
sih nggak trauma ya, kan setiap orang beda-beda. Tapi kan sering itu diberitakan
pasangan yang selingkuh. Kalo aku sih, dijadikan pelajaran saja, “aduh, salah pilih
orang ini”. Ya ke depannya jangan lagi milih orang yang kayak begitu hahaha.
palingan cuma bisa bilang, “aduh, sayang banget kenapa harus gini” hahaha. Doain
saja.
P : kalo sudah nikah nanti, kamu bakalan terus kerja atau berhenti kak?
I : insya Allah kalo masih ada kesempatan dan masih kuat secara fisik juga,
aku sih kepengennya masih tetap kerja. Ada sih ya beberapa tipe suami yang
ngizinin istrinya kerja ada juga yang nggak. Tapi kalo misalnya aku dapet suami
yang ngizinin aku tetap boleh kerja, ya Alhamdulillah, aku bakalan kerja. Sambil
membangun yang sudah ada. Aku kan berkarir, ya aku lanjutin karir aku. Bukan
berarti menikah malah buat aku tinggalin karir, begitu sih, Gis.
P : nah, kalo dapet suami yang ternyata nggak izinin kamu kerja, bagaimana
kak?
I : yaaa mau nggak mau sih ya. nurut apa kata suami. Tapi ya itu tadi, karena
aku sebelum nikah sudah punya karir, pekerjaan begitu.. aku mau kita itu ada deal-
deal-an di awal.. okelah aku nggak boleh kerja lagi, tapi nggak menutup
kemungkinan dong aku bisa cari uang dengan cara lain? Online shop atau buka
usaha di rumah atau apalah itu.
Aku tipe orang yang lebih mengutamakan komunikasi sih, aku akan tanya dengen
sejelas-jelasnya alasan kenapa aku nggak boleh kerja, kenapa aku harus berhenti
kerja, begitu. “oh, nggak boleh ketemu yang bukan muhrim” misalkan kayak begitu
alasannya. Oh, yaudah, berarti aku bisa pakai opsi lain dong cari rejekinya.
Walaupun aku sudah jadi istri, aku kepengen lah tetap punya penghasilan sendiri.
Seneng saja begitu bisa beli ini itu pakai duit sendiri
P : bisa bantu ekonomi keluarga juga kan ya kak, masih bisa bantu biayain
orang tua juga. Jadi nggak sepenuhnya ngandelin uang suami
I : iyaa aku kepengen bisa terus kayak gini. Di keluarga aku juga ada kan tuh,
tanteku, anaknya sudah 3 tapi masih tetap kerja sana sini, jadi agen asuransi. Jago
deh dia itu kalo marketing. Padahal suaminya sudah kerja kantoran, tapi tante aku
masih saja kerja juga. Kebutulan juga suaminya ngizinin dan dianya juga memang
clix
seneng kerja. Dan aku melihat, walaupun mereka dari keluarga berada, tanteku ini
memang jiwanya pekerja keras hahaha. Sekarang mungkin usianya sudah 40an
lebih mau ke 50 kali ya. Dari situ aku akan ambil yang baik-baik dari pernikahan
dan dari sisi buruknya aku akan ambil pelajarannya.
P : ketika memutuskan menikah, keputusan itu datang dari kamu sendiri ya
kak? Bukan karena paksaan dan lain sebagainya?
I : iyaa!!! 100% dari aku. Tapi tetap perlu didiskusikan dengan orang tua dan
keluarga. Cuman keputusan ada di aku karena aku yang bakalan ngejalanin ini.
clx
10. Informan Yuti
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Selasa, 23 November 2021
Nama : Yuti
Usia : 30 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : D-3
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Domisili : Jakarta Selatan
P : halo, selamat sore kak Yuti.
I : iya, sore Agis
P : maaf ya kak, mengganggu waktunya
I : iya gapapa Agis..
P : oke kak, ini aku langsung mulai saja ya pertanyaannya.
I : iya boleh..
I : Agis sebelumnya kuliah jurusan apa?
P : oh, aku sosiologi kak
I : oh sosiologi..
P : hehe iyaa (tertawa)
P : mmm kak, boleh tahu nama lengkapnya gak?
I : nama aku Yutiana Ratna Sari
P : usia saat ini berapa kak?
I : aku 30
P : pendidikan terakhirnya kak Yuti apa?
I : D3 Jurusan Managemen Industri Jasa Makanan dan Gizi IPB
P : kalo status sekarang saat ini apa, menikah atau belum menikah?
I : belum menikah.
P : oh, iya, kakak domisilinya dimana kak?
I : di Jakarta Selatan
P : saat ini tinggalnya ngekos atau di rumah sendiri kak sama orang tua?
I : aku ngekos gis. Aku aslinya dari Indramayu
P : oalah, asli orang indramayu toh kak.
I : iya gis. Aku kebetulan ngekos di daerah kebayoran lama
P : pilih ngekos di daerah situ memang biar deket dari kantor ya kak?
I : iya, eh, enggak juga sih sebenernya jaraknya lumayan jauh juga dari kantor
P : haha iya tadi sebenernya sempet mikir ya, setahu aku kan kantor kakak
sama kayak kak Hilda, di Kuningan. Jauh juga kalo ngekos di Kebayoran Lama.
Nggak jauh banget sih, tapi lumayan lah ya.
I : iya kantor aku di Aryo Bimo daerah setiabudi sana gis bareng Hilda
P : kenapa pilih di Kebayoran kak?
I : mmm dapet yang harganya lumayan murah disana (tertawa)
P : iyasih ya, ngekos kan juga pilih-pilih harga juga ya kak
I : nah iyaa itu. Terus aku juga cocok sama tempatnya. Jauh sih ke kantor tapi
yang nggak jauh banget begitu lagian transportasi juga sudah banyak, masih bisa
kejaungkau juga
clxi
P : iya bener itu kak. Tinggal naik busway saja ya atau krl sabi haha atau naik
gojek ada
I : iyaa yang namanya capek mah pasti adalah gis
P : hahaha iya kak Yuti...
P : kak, aku mau tanya ya..
I : iya gis boleh
P : sebenernya apasih yang mendasari kakak di usia kakak sekarang, kakak
masih melajang?
I : kalo aku sih ya karena belum ketemu sama seseorang yang pas untuk
dijadikan partner hidup aku. Kan menikah itu untuk jangka waktu yang lama ya,
seumur hidup. Jadi aku masih mencari yang tepat sih untuk hidup aku.
P : tapi kak, saat ini kakak lagi deket sama seseorang nggak?
I : enggak ada sih, gis..
P : ooo, memang, yaudah lagi pengen sendiri dulu kali ya kak..
I : iya gis..
P : kak, dari kakak sendiri ada rencana untuk menunda menikah nggak?
I : aku pribadi enggak sih, gis. Yaudah, jalanin saja.
P : mmm jalanin saja sembari cari-cari pasangan yang cocok dan tepat ya kak
I : iya bener begitu (tertawa)
P : eeee kak Yuti kan jauh nih dari keluarga, mereka di Indramayu, kamu
disini. Dan usia kakak juga sudah dapat dikatakan sebagai usia dewasa. Kamu
ngerasa nggak sih kak, mampu mencari solusi dan menyelesaikan masalah kakak
sendiri tanpa melibatkan pihak lain, orang tua dalam hal ini?
I : masalah apa nih? Berkaitan sama masalah..mmm kalo aku sih gini ya gis,
kalo pendapat orang tua sih pasti tetap ya, tetap aku butuh. Apalagi kalo keputusan
itu besar, berkaitan dengan kehidupan aku ke depannya. Pasti aku minta izin sama
orang tua. Tapi kalo untuk masalah sehari-hari ya aku selesaiin sendiri sih.
P : jadi memang ada beberapa keputusan yang akan kakak bicarakan ke orang
tua tergantung besar atau kecilnya keputusan tersebut ya kak.
I : iyaa begitu gis
P : berarti untuk hal-hal kecil, kakak berani untuk mengambil keputusannya
secara mandiri ya kak. Oke oke
I : iya gis
P : dari orang tua kakak nih, ada desakan nggak sih kak untuk kamu segera
menikah?
I : sebenernya kalo mama ku sih eee kalo suruh cepet-cepet sih nggak ya.
palingan apa ya...nggak sih nggak disuruh cepet-cepet nikah. Paling kalo misalnya
ada yang tanya (kapan nikah) ya doain, minta doanya. Begitu sih. Tapi kalo
misalnya ngobrol secara langsung berdua, terus tanya “kapan?”, “kapan kamu mau
nikah?” itu nggak sih kalo orang tua ku.
P : oke, berarti memang dari orang tua tidak terlalu ada desakan ya kak
I : iya.. palingan orang-orang di sekitar sih yang kayak sodara begitu-begitu
sih. Tapi ya paling tanyain “kapan nikah?”. Terus ada juga sih beberapa orang
(sodara) juga yang jadinya mau ngenalin aku, begitu sih gis. Tapi kalo ke mama ku,
dia nggak memaksakan aku untuk cepat nikah.
clxii
P : nah, cara kakak nanggepin orang-orang atau sodara-sodara kakak, yang
mau ngenalin kamu atau nyariin kamu itu bagaimana?
I : sebenernya aku gapapa juga sih kalo ada yang mau dikenalin yaa. Terus
ya, kalo aku sih, misalnya diomongin ya nggak ada kata lain sih selain “ya doian
saja”. Kalo misalnya ada yang terbaik menurut sodara aku, maksudnya itu misalnya
“orang ini baik loh”, “orang ini gini-gini-gini”, aku nggak menolak juga sih untuk
didekatkan.
P : terus kak, kalo dari orang tua kakak ngasih kebebesan nggak untuk kamu
dekat sama laki-laki yang seperti ini seperti itu?
I : kalo dulu, kalo dulu nih aku waktu masih tinggal bareng sama orang tua.
Sebenernya orang tua aku itu tipe yang eee sangat ketat begitu, gis. Karena kan
anaknya 4 perempuan semua. Jadi, kalo ada laki-laki yang mendekati, Bapak ku itu
yang tegas begitu. Dan bikin aku takut untuk bawa laki-laki ke rumah untuk
dikenalkan. Jadi, selama aku di rumah itu dulu, sebelum aku kuliah. Aku sama
sekali memang gak pacaran dan nggak pernah ngenalin laki-laki ke orang tua. Terus
kalo sekarang, karena aku sudah misah kan sama mereka, aku tinggal sendiri
sekarang. Orang tua ku malah yang ngasih kebebasan sih ke aku. Bebas untuk aku
memilih pasangan. Yang penting ya anaknya sopan dan baik. Begitu sih.
P : kamu pernah mengalami gak kak, mungkin dari tetangga, saudara atau
orang sekitar yang mandang kamu sebelah mata karena status kamu yang masih
lajang sampe saat ini?
I : eee sebenernya adek aku kan sudah menikah duluan ya, gis. Adek aku
sudah menikah satu tahun yang lalu. Sebenernya ya pastilah ya, orang-orang sekitar
pasti yang mikir, “adiknya duluan, kenapa?” begitu. Tapi kalo misalnya, omongan
negatif ya ada saja sih, gis. Ya mungkin saja mereka berfikirnya aku terlalu pemilih,
terus dikiranya juga aku terlalu fokus bekerja dan mecari uang. Paling begitu sih.
Lebih ke dikira terlalu pemilih sih.
P : adek kamu kan sudah menikah ya kak. Bagaimana perasaan kamu kak pas
tahu adek mau ngelangkahin kamu?
I : pastinya aku sedih sih ya pas awal aku tahu adek ku mau menikah itu. Tapi
aku juga gamau menghalangiku untuk menikah juga kan. Ditambah aku sama adek
ku ini bedanya cuma satu tahun setengah. Jadi memang jarak kita nggak terlalu
jauh, begitu gis. Terus waktu itu juga dia sudah ada pasangannya kan yang mau
serius sama dia. Dan pada saat itu kebetulan aku juga lagi nggak ada pasangan juga.
Jadi aku tuh gamau...eee (menikah) itu kan hal yang baik ya. Gak baik juga kalo
ditunda apalagi kalo memang sudah ada pasangan yang mau serius gitukan ya. Jadi,
ya, aku mendukung keputusan adek ku. Tapi yang pasti, aku pasti ada perasaan
sedih ya, gis. Dari hati kecilku, aku juga sedih. Lebih ke sedihnya tuh, memandang
orang lain sih. Nanti orang lain anggap aku itu gimana. Atau misalnya orang tua.
Pasti yang namanya orang tua kan berharapnya kan aku duluan nih yang menikah,
tapi ternyata malah adek ku duluan. Lebih ke kayak begitu sih. Aku lebih khawatir
sama pandangan orang lain ke aku.
P : kamu sedih karena mengkhawatirkan omongan-omongan dari luar ya
I : iya lebih kesitu, gis. Pastikan nanti mereka kayak banyak tanya “ini kenapa
aku dilangkah?”, “adeknya kenapa nikah duluan” kayak begitu kayak begitu yang
clxiii
sebenernya bikin aku sedih pas tahu adek ku mau menikah. Tapi ya, aku bahagia
juga dia menikah.
P : kamu menjadikan pekerjaan kamu sebagai pengalihan dari kesedihan
kamu nggak kak? Jadi kayak, eee lebih menyibukkan diri dengan terus bekerja
sampe kamu lupa sama sedih kamu dan mungkin, buat kamu lupa juga sama
menikah. Pernah seperti itu nggak kak?
I : sebenernya aku itu nggak ada pikiran untuk nggak nikah sih. Nggak ada.
Sejujurnya, aku juga ingin menikah. Tapi maksudnya karena eee kadang karena
sirkel pertemanan aku juga sempit, aku pulang kerja balik ke kosan. Kerja kosan
kerja kosan saja kayak begitu. Terus kalopun aku main ya palingan sama teman-
teman kantor, yang rata-rata tuh cewek sebenernya. Aku sempet sih terbesit, “aku
harus cari kemana ya?”, namanya juga jodohkan harus dicari juga kan, harus
dikejar, begitu. Ya tapi, yaudah seiring berjalannya waktu saja sih aku sekarang.
Kalo untuk perasaan mau nikah, aku selalu ada. Aku selalu berdoa, begitu ya. Tapi
kalo misalnya aku yang terlalu fokus kerja banget sampe lupa menikah itu nggak
sih. Karena aku pribadi kan juga ingin menikah. Sekarang itu aku lebih ke jalanin
saja.
P : tunggu waktu yang tepat dan jodoh terbaik dateng dari Tuhan ya kak
I : nah iya itu bener. Kan Allah yang sudah atur semuanya.
P : nggak munafik ya kak, hidup sekarang butuh uang nggak ada uang kita
nggak hidup
I : (tertawa) iya bener
P : nah, selain uang, sebenernya apa sih yang jadi alasan kakak untuk tetap
bekerja dan berkarir?
I : kemandirian sih kalo aku. Aku itu dulu sama orang tua tuh dijaga banget.
Nggak pernah pergi-pergi begitu. Terus, aku kuliah. Aku mulai hidup sendiri. Aku
ngekos. Jadi lebih tahu arti susahnya hidup, pengalaman hidup dan kemandirian.
Jadi aku banyak belajar sih. Makanya aku memutuskan untuk merantau. Terlebih
lagi, di Indramayu kan nggak banyak lowongan pekerjaan begitu kan. Akhirnya aku
merantau ke Jakarta sambil mencari uang sekalian belajar tentang kehidupan yang
lebih eee lebih itu deh pokoknya.
P : selain mandiri secara finansial, kamu juga belajar jadi lebih dewasa dan
memaknai hidup ya kan karena tinggal jauh juga sama orang tua
I : iya bener. Aku juga kan anak pertama. Jadi ngerasa juga punya tanggung
jawab sama orang tua dan adik-adik ku. Mereka nggak nuntut sih sebenernya, tapi
sebagai anak adalah pasti perasaan kayak begitu. Apalagi aku anak pertama
P : iya bener itu kak
P : hubungan kamu sama keluarga di Indramayu baik kah kak? Sering
berkomunikasi juga nggak?
I : baik Alhamdulillah, baik. Kalo komunikasi ya nggak setiap hari sih, kalo
sama mama ku ya. Tapi kalo sama adik-adik ku, kita hampir tiap hari chattingan
gituu sih.
P : dari kamu kak, kamu ada kriteria pasangan yang diinginkan gak?
I : kalo kriteria sih ya, yang pertama, seiman itu penting. Terus bisa
membimbing aku ke hal yang lebih baik, dalam segi agamanya juga. Pedoman
agamanya...eee maksudnya mengerti lah, maksudnya juga bukan yang paham
clxiv
agama banget sih, nggak juga. Cuma maksudnya mengerti dan paham dasar-dasar
menikah itu seperti apa. Biar nanti eee menikah itu kan ibadah seumur hidup aku.
Aku juga ingin sosok laki-laki yang mampu menghargai wanita, yang mengerti aku.
Terus juga jadi teman hidup aku, apapun. Jadi aku pengennya punya pasangan yang
bisa mengerti, bisa menerima segala kekurangan aku, bisa selalu sama-sama sama
aku apapun kondisinya. Ya memang punya satu tujuan yang sama lah untuk hidup
yang lebih baik.
P : pasangan yang satu frekuensi dan punya visi misi hidup yang sama ya kak
I : iya seperti itu.. karena ya kenyamanan itu penting menurutku dan saling
mendukung nantinya..
P : iya itu betul banget. Penting deh buat dapet pasangan yang selalu support
kita itu huhu
P : kak, suatu saat nanti misalnya kakak sudah ketemu dengan orang yang
tepat, hal apa saja sih yang bakalan kakak omongin ke pasangan sebelum
memutuskan untuk menikah?
I : keterbukaan sih. menurutku kepercayaan itu penting. Banyak sih ya. kan,
kalo pacaran kan belum tentu kita tahu semuanya tentang dia. palingan sih, kayak,
“kamu punya tanggungan nggak ini saat ini?”, kalo misalnya ada, dibicarakan dulu
tanggungannya apa. Terus, “finansial kamu bagaimana, sudah cukup atau belum?”,
kita kan bakalan ngejalanin berdua. Terus “kita tinggal dimana?”, mau tinggak
ngontrak kah, tinggal sama orang tua kah. Terus juga obrolin tentang kerjaan,
“kamu ini mau nya aku full jadi ibu rumah tangga atau boleh bekerja?”
P : kalo dari hati kamu kak, pengennya nanti setelah menikah tetap bekerja
atau berhenti bekerja?
I : kayaknya sih aku kalo sudah punya anak pengennya full jadi ibu rumah
tangga saja deh, gis. Ingin lebih fokus ngurus anak dan keluarga saja sih sebenernya.
P : kak, menurut kamu, pernikahan itu seperti apa sih?
I : pernikahan itu menyatukan dua keluarga menjadi satu. Dimana kita hidup
bersama dan berdampingan. Terus juga, jadi teman hidup yang menemani kita suka
dan duka. Ibadah bersama juga karena menyempurnakan agama juga kan. Jadi ya
pernikahan menurutku baik ya dan diinginkan semua orang.
P : kamu setuju gak kak, kalo menikah itu sebagai suatu kewajiban bagi
perempuan?
I : kalo aku sih, nggak sih ya. Karena menurutku itu menikah bukan suatu hal
yang wajib. Semua wanita juga punya prioritas hidupnya masing-masing. Ada
mungkin sebagian orang yang berfikiran mereka mau hidup sendiri saja, mungkin
karena dia sudah mandiri secara finansial juga sudah cukup. Atau mungkin karena
faktor lain juga sih, mungkin pernah trauma sama laki-laki sampe akhirnnya mikir
“aku lebih baik sendiri” begitu. Jadi ya menikah kalo menurut aku bukan suatu hal
yang wajib. Target orang kan beda-beda. Pilihan orang juga beda-beda. Jadi kita
gabisa ngejudge orang juga kalo misalnya dia memutuskan nggak menikah. Nggak
salah juga sih. Kan yang penting menurut dia baik buat hidup dia.
P : dia mau nikah silahkan, nggak mau juga silahkan..
P : kak, di usia kakak saat ini, melajang dan juga bekerja, keuntungan apa
yang kakak dapatkan?
clxv
I : eee aku jadi punya siklus pertemanan sih. Aku ada kesempatan untuk lebih
banyak mengenal orang..
P : jadi lebih banyak bergaul ya kak..dan punya kebebasan buat berteman
sama siapa saja nggak sih kak?
I : iya betul, iya bener.. aku jadi ngerasa bebas nggak ada tuntutan ini itu dari
pasangan. Karena selama ini juga kan aku apa-apa sendiri. Aku jadi bebas mau apa
saja, main sama siapa saja. begitu, Gis.
clxvi
11. Informan Lena
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Sabtu, 27 November 2021
Nama : Lena
Usia : 31 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Domisili : Jakarta Timur
P : halo, selamat siang
I : halo, siang Agis!
P : kalo boleh tahu saat ini kamu usianya berapa kak?
I : aku 31
P : saat ini kamu tinggal dimana kak?
I : aku di Klender
P : Jakarta Timur ya... ngekos atau tinggal sama orang tua kak?
I : sendiri. Aku ngontrak
P : aslinya memang orang sini kak (Jakarta)?
I : oh enggaaa..aku aslinya dari Bengkulu..
P : oh woow jauh ya hahaha... sudah berapa tahun kak di Jakarta?
I : kalo gak salah dari 2014 deh...
P : karena kuliah kak?
I : iya...aku kuliahnya iya disini.
P : dimana kak?
I : di Raspati Indonesia. Purindo. Tahu nggak?
P : huhu baru denger aku kak, maaf ya
I : oh iya gapapa sih haha..kebetulan aku kuliah disana juga baru lulus kan,
2019.
P : oh, jadi masuk 2014 lulus 2019 ya kak begitu?
I : oh nggak. Itu aku kuliah lagi, Gis. Aku awalnya D3 di Bengkulu lulus
tahun 2013. Terus 2014 ke Jakarta, kerja. Yaudah, kepengen nerusin sekolah lagi
kan aku, yaudah terus 2017 S1 lulus 2019. Begitu.
P : kak, apasih yang menjadi alasan kamu tetap melajang dan belum menikah
di usia sekarang?
I : mmm apa ya, aku nggak mikirin itu sih sebenernya. Karena menurut aku
itu tuh, belum penting saja sih buat menikah di usia segini. Karena menurut aku nih
ya, umur segini, usia 20an sampe 30an awal itu ya fokus ngejar karir dulu saja. Nah,
tapi kalo usia kamu sudah nginjak 30an dan ngerasa sudah siap menikah dan
ngurusin anak segala macam, ngurusin suami dan segala macam baru deh menikah.
Menurut aku sih gituu ya..jadi ya alasannya kenapa di usia aku yang 31 tahun ini
masih gak nikah, karena itu tadi, aku mikirnya masih usia produktif, mau ngejar
karir aku dulu dan nikah menurutku untuk sekarang bukan yang penting-penting
banget. Nanti mungkin kalo usia ku sudah 33 atau 35an sekian baru aku pikirin
hahaha.
P : jadi memang menikah bukan prioritas kamu saat ini ya kak
clxvii
I : iya. Bukan, bukan. Aku masih mau ngejar karir aku
P : kak, mengejar karir itu kamu ada target nggak kepengen posisi atau jabatan
tertentu yang ingin kamu raih?
I : kalo posisi sih nggak ya. Tapi palingan aku kayak lebih ke pendidikan aku
sih. Jadi, aku memang ada rencana mau ngelanjutin sekolah lagi, kepengen S2.
Nanti setelah selesai baru deh aku mikirin buat nikah. Begitu. Palingan kalo dikarir
aku itu, aku ngumpulin uang buat ngelanjutin biaya aku pas S-2 nanti.
P : oke. jadi, kamu bekerja untuk ngumpulin uang buat lanjut S-2 ya.. begitu...
I : iya begitu, Gis..
P : kalo dari orang tua kamu bagaimana kak? Ada desakan nggak sih buat
segera menikah?
I : kalo dari orang tua aku sih waktu dulu iya (ada desakan). Waktu aku umur
berapa ya...mmm aku kan sudah satu tahun ini nggak ada pacar. Sebelumnya aku
ada (pacar). Jadi, satu tahun yang lalu itu kita sudah break up, nggak pacaran lagi.
Dulu waktu masih pacaran itu ya didesak buat cepet-cepet nikah. “ngapain sih
pacaran lama-lama, kan sudah punya pacar ini sudah buruan nikah” kayak begitu
sih. Tapi setelah putus, sekarang sih nggak (tidak didesak). Jadi yaudah jalanin saja,
begitu.
P : berarti dari kamu pribadi memang sudah memutuskan untuk menunda
menikah ya kak..
I : hahaha iya benerrr
P : nah, itu bagaimana itu kamu membicarakan hal tersebut sama orang tua
kamu kak?
I : eee sebenernya biasa saja sih. kayak, aku ngasih tahu biasa, begitu.
“Kayaknya kalo aku misalnya langsung nikah gini gini gini deh” begitu sih. Jadi
eee buat ngasih pengertian ke orang tua eee akunya sendiri belum siap kalo buat
menikah diusia segini. Ya pada awalnya orang tua ku itu kayak...eee.... jangan deh,
jangan targetin segitu bla bla bla buat nikah itu terlalu tua segala macam. Ya
biasalah ya kalo orang kita itu mikirnya kalo nikah diusia 30an itu sudah tua
bangetlah. Jadi ya gituu deh. “ibu dulu nikah nggak umur segini”. Tapi ya menurut
aku, prinsip orang kan beda-beda ya. Kematangan pribadi orang juga beda-beda.
Dan menurut aku, diusia aku yang sekarang aku belum dewasa dan belum bisa
menilai mana yang harus aku prioritaskan atau ngga. Aku takutnya, kalo aku
menikah sekarang, diusia sekarang, terus harus cerai sama suami karena pemikiran
aku yang kayak begini ini, kan nggak enak juga. Aku mikirnya adalah menikah itu
untuk satu kali seumur hidup. Jadi, memang harus bener-bener mateng buat cari
seseorang yang bisa dibilang, kita punya tujuan yang sama dan jalan dan pemikiran
yang sama juga, begitu. Jadi ya, itu, aku ngasih tahu alasan aku nggak mau nikah
ke orang tua aku kayak begitu. Dan syukurnya mereka nerima.
P : syukurlah. Karena kan nggak jarang juga ya orang tua itu kontra dengan
keputusan anaknya yang mau menunda nikah..
I : iya. Banyak kayak begitu. Tapi syukurnya orang tua aku nggak papa.
Mungkin juga karena aku kasih penjelasan yang masuk akal hahaha
P : hahaha iya sangat jelas dan meyakinkan sih..
P : oiya kak, kamu ini kan sekarang posisinya jauh dari keluarga, orang tua
I : he eh...
clxviii
P : terus juga tadi kamu bilang, diusia sekarang kamu masih merasa belum
dewasa dan masih takut dalam menilai begitu lah ya..
I : iya..iyaa
P : nah tapi, kamu ngerasa nggak sih sudah mampu mencari solusi dan
menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain?
I : iya!! Karena kadang kalo aku punya masalah itu aku nggak ceritakan.
Yauda aku selesaikan sendirian saja. tapi kalo sudah berat banget nih ya masalahnya
mau nggak mau orang tua harus tahu, aku ceritain aku lagi punya masalah apa.
P : buat hal-hal kecil kamu mampu selesaikan sendiri ya
I : iyaa... selagi masalahnya nggak ngeganggu aku banget, aku selesain
sendiri sih. kecuali itu tadi, kalo sudah sampe bikin pusing dan bagaimana ya eeee
pasti aku ceritain ke mereka.
P : dari orang tua kamu ngasih kebebasan nggak kak buat kamu dekat dengan
cowok mana saja? atau mungkin orang tua punya kriteria khusus untuk pasangan
kamu?
I : iya ada.. bahkan pernah aku sampe mau dijodohin hahaha. Tapi kayak apa
ya, kan kita yang punya hidup ya. Kita yang bakalan ngejalanin ya. Kita yang pilih
orangnya. Dan itu yang bakalan kita jalanin. Ya kalo misalnya pilihan dari orang
tua, terus kita iyain dengan terpaksa kan jadinya bakal ini terus eeee susah sendiri.
Jadi, aku sudah pernah bilang juga ke orang tua aku, kayak, “boleh mungkin kalo
ibu sama ayah punya kriteria sendiri tapi kan yang ngejalanin aku, yang dari bangun
tidur sampe tidur lagi ya aku. Aku ngejalanin hidupku sama dia. Hari-hariku sama
dia. kalo misalnya pilihan kalian nggak terbaik buat aku, bagaimana nanti aku bisa
ngejalanin semuanya tiap hari?”. Maksud aku itu ya, jadi kalopun misalnya orang
tua aku punya kriteria pasangan yang seperti ini itu, itu tuh mesti sejalan dengan
aku juga.
P : kita juga perlu ngerasa cocok sama dia gituu
I : nah iya!! Kalo nggak cocok tapi dicocok-cocokin kan sama saja maksa.
Aku gamau. Kalo ujung-ujungnya cere ya apa kan prinsipku menikah buat sekali
seumur hidup.
P : iya bener kak
P : kak, dari keputusan kamu yang mau menunda menikah ini, kamu sudah
tahu konsekuensi ke depannya seperti apa kah? Sudah siap dengan semuanya?
I : tahu, dan aku siap sih. Inikan keputusan yang aku ambil sendiri. Jadi,
apapun nanti kedepannya ya aku tanggung sendiri juga. Ini keputusannya kan
berasal dari aku. Bukan yang eee bukan aku yang kepengen banget nikah, justru
terbalik kan, aku malah gamau. Kayak, aduh ribet deh nanti kalo misalnya nikah.
Jadi yaudah jalanin saja aku bawa enjoy saja.
P : pernah dapet pandangan negatif nggak kak baik dari keluarga, kerabat,
teman kerja tentang status kamu saat ini?
I : pertama, karena aku jauh dari orang tua, aku nggak tahu sih ada yang
ngomongin aku apa nggak hahaha. Tapi, kalo di lingkungan aku sendiri nih, engga
ada sih. Karena aku juga kan orangnya santai ya. Jadi, ketika ada yang tanya. “umur
berapa?”, “sudah nikah apa belum?” yaudah jawab saja seadanya, “umur aku 29”,
“aku belum menikah”. Ya adalah nanti aku nikah tapi nggak sekarang hahaha.
Lagian juga aku sekarang nggak punya pacar juga kan. Sekalipun nanti ada yang
clxix
nyinyirin aku yaudah gapapa, hak mereka sih itu. Aku mah santai. Diemin saja. Aku
nggak ambil pusing. Gapapa.
P : kalo lingkungan kerja kamu bagaimana kak? Rata-rata single atau sudah
menikah?
I : yang single masih ada juga. Malahan rata-rata yang sudah menikah itu
yang usianya di bawah aku. Usia 24 25 26 lah yang sudah menikah itu. Aku belum
hahaha masih santai saja, gak mikirin. Karena aku belum mau mikirin serius buat
rumah tangga. Just for information ya, aku juga kan break up nya gara-gara
cowokku tuh terus ngedesak aku buat nikah, “ayo nikah, ayo nikah” kayak begitu
kan. “yaudah kalo kamu nggak siap nungguin aku, kamu bisa cari perempuan lagi
yang siap sama kamu” aku bilang kayak begitu. Jadi yaudah, kita putus. Dan
sekarang pun ada yang ngedeketin aku buat ke arah yang lebih serius tapi akunya
malah yang entar dulu deh hahaha. Mungkin, karena aku juga ngerasa lebih nyaman
sendiri. Jadi aku belum mikir kesana.
P : sebenernya apa sih kak, yang bikin kamu ngerasa belum siap buat
menikah? Sebagian orang kan misalnya belum siap menikah karena takut menikah
dengan orang yang salah, atau takut dengan kehidupan setelah berumah tangganya,
misalnya juga dia takut buat punya anak dan segala macam. Kalo kamu apa kak?
Apa yang membuat kamu belum siap menikah dan akhirnya memutuskan untuk
menunda menikah?
I : mmmm jujur, aku ada traumatik, ya. karena pertama, lingkungan ku yang
dari keluarga itu banyak juga yang menikah muda ya. adik-adik dari ibuku dan
kakak-kakaknya juga pada nikah muda. Terus cerai. Jadi, kayak nikah lagi, dan
begitu terus. Jadi, kayak, ada anak pertama dari istri pertama, anak kedua dari istri
kedua, dan seterusnya. Mereka itu jadi nikah cerai nikah cerai bahkan sampe tiga
kali. Aku jadi bertanya-tanya kan, ini mereka kenapa sih? mereka memutuskan
menikah sampe 3 kali itu kenapaaa?. Jadi kayak, keputusan menikah di awal itu
kenapa? Kenapa bisa jadi cerai terus menikah lagi terus cerai lagi itu kenapa?.
Maksudku, kenapa harus mengulangi kesalahan yang sama bahkan sampe 3 kali itu
kenapa. Terus, di lingkungan aku juga punya teman-teman kuliah yang abis kuliah
mereka menikah tapi bercerai. Jadi menurut aku itu kayak, ngeliat mereka bercerai
itu kayak, aduh, “apakah nanti kalo aku memutuskan untuk menikah, aku akan
bernasib sama kayak mereka kah?”. Salah satunya itu yang jadi ketakutan aku
sampe sekarang nggak mau nikah. Kayak yang di awal aku bilang, aku maunya
nikah satu kali seumur hidup. Dan orang itu yang mampu ngebimbing aku sampe
aku tua. Kita jalanin hidup sama-sama. Aku nggak mau salah pilih orang.
P : ada pengaruh keluarga yang buat kamu trauma ya kak. Sampe akhirnya
mutusin buat nunda nikah..
I : iya. Dan itu bukan satu dua orang, Gis. Itu banyaaaakk bangettt. Kayak
teman-teman kuliah ku juga begitu kan. “kok ini orang sudah ganti suami lagi ya”
“sudah ganti pasangan lagi ya” “loh kok sudah nikah lagi ya, kemarin kayaknya
bukan ini orangnya deh” hahaha kayak begitu sih. Jadi mungkin kayak, “oh, ya,
divorce, mungkin”. Tapi kayak, gampang banget gituloh buat menikah lagi tuhh??
Itu keputusannya bagaimana??? Hahaha aku sendiri saja pusing mikirnya. Ngeliat
orang banyak yang nikah cerai nikah cerai jadi buat aku mikir berkali-kali lipat lagi
buat nikah deh.
clxx
P : iya sih bener kak karena nikah kan bukan buat main-main ya.. dan
ngejalanin hidup setelah menikah itu juga kan gak gampang
I : nah iya ituu.. mmm aku juga nggak maksud eee apa ya...ya terserah begitu
sebenernya dia mau nikah muda atau tua, terserah. Itu hak mereka. Cuma yang aku
nggak habis pikir, menikah diusia muda tapi bercerai sampe 3 kali itu bagaimana???
Sampe-sampe mengulangi kesalahan yang sama lagi dipernikahan sebelumnya.
Keputusan dia mau menikah itu bagaimana awalnya, itu sih sebenernya yang eee
buat aku jadi mikir lagi.
P : bener sih ini. Mereka sampe ngelakuin kesalahan 3 kali berturut-turut itu
bagaimana hahaha apa nggak belajar dari yang kemarin-kemarin ya...
I : kan...
P : kak, selain untuk mencari uang, alasan kamu bekerja dan berkarir itu apa?
I : mmm ya itu tadi sih, aku punya target buat aku sekolah lagi S2. Aku juga
lagi berusaha cari-cari beasiswa buat S2 ku. Jadi, selagi aku belum memutuskan
untuk menikah, aku bakalan terus kejar pendidikan aku sih.
P : kalo dari kamu sendiri nih kak, ada kriteria pasangan tertentu gak?
I : enggak ada sih. Tapi yang jelas, aku cuman pengennya suamiku itu punya
pekerjaan, pekerjaannya tetap lah jangan sampe masih kontrak atau apa. Karena
kita gatau kan di masa pandemi gini banyak pekerja kontrak yang diputus, dan aku
gamau itu kejadian di aku dan calon suamiku nanti. Itu yang pertama. Yang kedua,
bertanggung jawab. Sudah sih, segitu saja. Pekerjaan tetap dan bertanggung jawab.
P : kalo misalnya nanti dari calon suami kamu nggak izinin kamu untuk kerja
lagi, bagaimana kak?
I : ya gapapa. Kan tadi dia karyawan tetap hahaha berarti dia ngerasa sudah
mampu memenuhi semua kebutuhan aku. Ya aku nggak masalah sih.
P : tapi sebenernya kamu pribadi masih mau bekerja atau nggak?
I : sebenernya aku sih fleksibel ya. sedapetnya saja nanti. Kalo misalnya dari
pasangan aku dia mau aku tetap bekerja, ya aku kerja. Tapi kalo nggak dikasih
kerja, ya nggak papa aku nggak kerja juga. Tapi sebenernya kalo dari aku pribadi
sih aku maunya fokus ke keluarga. Jadi kepengennya aku nggak kerja lagi kalo
misalnya nanti aku sudah punya suami.
P : menurut kamu, hal apa saja yang penting buat diobrolin sama pasangan
sebelum memutuskan untuk menikah?
I : yang pertama itu, kita harus jujur ya. sebelum menikah kita punya apa, dia
punya apa. Terus beban dan tanggung jawab kita sebagai anak. Nggak mungkin kita
gapunya beban dan tanggung jawab sama orang tua kan. Apalagi kalo calon
pasangan kita punya adik. Atau kalo misalnya dia gak punya orang tua, dia punya
beban dan tanggung jawab apa selain itu. Jadi kan, kita harus tahu itu dari situ. Ya
intinya, dia bisa bertanggung jawab atas tanggung jawab yang dia punya, tidak
melepaskan tanggung jawabnya dia sebagai anak, ya ayok nikah. Tapi kalo
misalnya dia nikah tapi harus melepaskan tanggung jawabnya sebagai anak, ya aku
mikir 2 kali. Karena aku punya orang tua kan, punya adik-adik juga yang sebagai
uangku juga aku kasih ke mereka. Jadi ya itu, ketika dia harus memberikan uangnya
ke orang tua, aku harus tahu dan sebaliknya. Transparan ajalah kita sebagai
pasangan. Gitusih.
P : pandangan kamu tentang pernikahan itu seperti apa kak?
clxxi
I : duh, apa ya, aku juga bingung hahahaha. Mmm orang kalo menuju
pernikahan itu kan suatu yang baik ya. dianjurkan juga kan karena melengkapi
sunnahnya Rasul. Itu sih yang aku tahu. Ya menurutku bagus sih kalo ada orang
yang punya niat menyegerakan menikah. Dan yang paling penting dia harus
bertanggung jawab sama pilihannya sih. itu saja sih menurutku.
P : oke. Kamu setuju nggak kak, kalo menikah sebagai sebuah keharusan bagi
perempuan?
I : nggak sih. nikah nggak harus menurutku. Kalo misalnya perempuan itu
sudah mampu bertanggung jawab sama diri dia sendiri dan mandiri terutama secara
keuangan, menurutku nggak harus deh dibebankan nikah buat mereka. Ya mungkin
iya dia butuh perlindungan dari seseorang, dari laki-laki. Tapi menurut aku, kalo
dia ngerasa diri dia mampu untuk menghidupi diri dia sendiri dan tidak
membutuhkan orang lain ya nggak haruslah nikah.
P : apasih kak yang kamu rasain diusia sekarang belum menikah dan fokus
bekerja? Mungkin kamu ngerasa lebih bebas kah?
I : justru diumur sekarang aku itu nggak ngerasa bebas ya. kan, kalo orang
sudah berkeluarga, waktu libur mereka buat keluarga ya. kalo aku, kalo libur ya aku
di rumah saja nggak ngapa-ngapain. Palingan ya aku ngerasa hidupku nggak diatur-
atur sih. Aku juga orangnya nggak suka diatur ya. jadi, mungkin ngerasa aku bebas
disitu ya. nggak ada yang nge bla bla bla in aku begitu. Jadi, buat sekarang itu ya
sudah semuanya semaunya aku saja nggak perlu izin sana sini. Jadi lebih leluasa
saja hidupku.
P : kamu pernah ngerasa khawatir nggak sih kak sama status kamu sekarang
ini?
I : buat sekarang engga sih. Tapi aku pernah baca artikel, katanya, di usia 35
tahun kalo perempuan belum menikah itu kamu sudah harus khawatir. Dan buat
aku jadi mikir, “iya juga ya, kalo usia aku 35 dan aku belum menikah, kayaknya
aku mesti khawatir sih”. Di negara-negara lain juga begitu kan, kayak di Korea, di
Barat juga begitu kalo usianya 35 terus belum menikah, mereka juga khawatir. Tapi
kalo misalnya di bawah itu, mereka belum khawatir, santai saja. kan juga mikirnya
usia 20an sampe 30an 33 34 lah masih usia produktif begitu. Nah, kalo sudah 35
atau di atasnya gituu kan kita sudah cukup berusia ya dan produktifitas kita sudah
menurun eee berkurang lah semuanya begitu. Mulai dari kesehatan dan segala
macamnya berkurang lah makanya kita perlu seseorang buat ngejagain kita. Jadi
aku mikirnya, “ah, iya, nanti kalo usiaku sudah 35 aku sudah harus khawatir”. Aku
juga sudah mikirin kan, aku mau S2 dulu dan itu dibutuhkan waktu kurang lebih 2
tahun. Abis itu aku mau kerja lagi.. jadi ya, menikah itu masih panjang banget deh
buat aku kesananya.
clxxii
12. Informan Arisa
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Sabtu, 27 November 2021
Nama : Arisa
Usia : 29 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Domisili : Jakarta Selatan
P : halo Arisa!
I : halo gis! Hahaha
P : kak, ini kita ngobrol-ngobrol santai saja ya.
I : iya boleh, santai
P : kemarin kan waktu di dm kamu bilang kamu ada rencana untuk menunda
menikah ya kak, aku boleh tahu nggak alasannya kenapa?
I : sebenernya ada banyak faktor, sebenernya aku itu, ngambil keputusan itu
sudah mikir mateng-mateng dan awalnya orang tua menentang ya. Tapi karena aku
jelasin segala alasannya akhirnya mereka mengerti dan malah balik dukung aku
untuk nggak nikah cepet-cepet. Lagian jodo juga kan tergantung kapan datengnya
kan.
Kenapa aku ambil keputusan untuk menunda menikah itu yang pertama sebenernya
ada alasan pribadi yang gabisa aku ceritain dan aku bagi-bagi ke orang. Terus, yang
kedua, eee tahu kan, sandwhich generation di Indonesia kayak bagaimana? Ya itu
alasannya. Terus, karena, sandwich generation itu juga aku harus ngebantu adik-
adik aku selanjutnya untuk sekolah lagi ya kan. Sedangkan jarak nanti adik aku
sekolah lagi itu, waktunya orang tua aku pensiun. Aku sebagai yang tua ngebantu
adik-adik aku kan. Kalo aku sudah nikah itu, nggak akan bisa melakukan kayak
begitu karena nanti aku akan punya keluarga yang bakalan aku prioritaskan.
Terus juga ya, aku itu dari dulu banget, sebelum aku lulus kuliah, aku itu pengen
banget ngejar beasiswa ke luar negeri. nah, kalo aku nikah, aku nggak mungkin bisa
dengan bebasnya ngejar beasiswa yang aku mau. Aku juga sudah (melakukan)
perhitungan, kalo misalnya, aku ambil beasiswa umur sekian, jarak sekian, belum
lagi aku mau ngejar karir juga. Kemungkinan kan ya, umur 30an lah aku baru kelar
itu. Terus faktor lainnya aku juga, ada trauma sama pasangan waktu pacaran dulu
hahaha. Itu jadi ngebuat aku trauma sama laki-laki. Kayak aku belum bisa nemuin
di mata aku yang bener-bener baik, begitu loh. Jadi sampe sekarang aku selalu
mandang cowok itu semuanya sama saja, brengsek. Buat apa cari-cari lagi ya kan.
Toh, sekarang aku ngerasa aku bisa semuanya, ngapain aku perlu pendamping
hidup gitu? Terus faktor lainnya itu, di lingkungan aku itu, misalkan, orang tuanya
teman aku bahkan teman aku sendiri pun ngalamin divorce begitu kan. Apalagi
macem-macem perceraian kan banyak ya, itu jadi ngebentuk mindset aku ternyata
pernikahan nggak sebaik itu. Ternyata pernikahan itu buruk banget ya, kok sampe
bisa ngerusak batin. Maksudnya aku trauma pacaran saja sudah nyiksa batin, aku
gak mau saja ngalamin hal yang sama di pernikahan, trauma lagi aku gak mau.
Meskipun Indonesia lagi gencar-gencarnya kampanye nikah muda, tapi aku kayak,
clxxiii
yang, kek, apa sih kok mereka pada begitu? (nikah muda) nggak mikirin ke
depannya nanti kayak bagaimana. Itu pandangan aku sendiri begitu sih.
Maaf ya suara aku gemeteran hehehe
P : its okay kak, rilex saja. Oiya, jadi menurut kamu tuh, ya, nikah itu nggak
terlalu penting buat kamu?
I : di mata orang tua ku penting, tapi di mata aku nggak penting hahaha. Aku
maunya freedom sih, hidup tanpa pernikahan. Kalo saja Indonesia kayak negara
Barat, aku bakalan milih untuk nggak nikah deh, sayangnya kita bukan negara barat
ya hahaha. Aku masih mikirin orang tua juga soalnya kan. Keluarga ku menganut
nilai-nilai yang bisa dibilang tinggi juga untuk urusan menikah sih. Kalo untuk
nunda nikah mereka bisa ngerti, bahkan mereka nggak menuntut di umur sekian
harus sudah nikah atau bagaimana-bagaimana begitu ya, karena di keluarga ku juga
banyak yang nikah telat ya, mama aku saja nikah umur 27 tahun. Tapi kalo nggak
nikah sama sekali kayaknya nggak mungkin dibolehin sih.
Dari keluarga ayah juga sama, mereka lebih mengutamakan pendidikan, karena
sepupu aku saja yang paling tua baru nikah umur 30an, dan yang tertua kedua itu
baru nikah umur 35.
P : Jadi, menurut kamu ini, keputusan kamu untuk menunda menikah itu
sudah keputusan yang tepat untuk kamu ambil dan terima resikonya tanpa ada rasa
penyesalan?
I : karena sudah aku pikirin mateng mateng ya, jadi menurut ku ini sudah
keputusan yang tepat dan aku bisa terima konsekuensinya nanti ke depannya kayak
apa. Untuk rasa menyesal mungkin nggak ada ya, tapi palingan cuma kayak ngerasa
kesepian saja kali ya, karena ngeliat angkatan aku seumuran aku sudah pada punya
keluarga sendiri. Pasti ada rasa iri, pasti. Tapi kan balik lagi sekarang, kalo batin
kita belum siapa menikah, jangan dipaksain. Soalnya nanti kalo ada apa-apa, yang
disalahin orang lain kan juga salah, kasihan jadinya.
P : aku penasaran deh kak, keputusan ini kamu ambil sendiri dengan berpikir
secara matang. Bagaimana sih caranya kamu melakukan pendekatan ke orangtua
untuk membicarakan hal ini? Apalagi tadi kamu bilang orang tua kamu termasuk
menganut nilai-nilai budaya yang terbilang tinggi tentang pernikahan?
I : pertama sih ya aku jujur sama alasan aku kenapa gamau nikah cepet-cepet.
Kebetulan juga adik-adik aku berfikiran hal yang sama, apa sih pentingnya nikah.
Karena dari drama-drama di tv juga kan ngajarin kita bagaimana kehidupan
pernikahan kan. Akhirnya ya aku bilang, aku gamau nikah. Terus mama aku ya
tanya, loh kenapa gak mau nikah, kalo kalian gak nikah nanti keturunan mama siapa
lagi kalo bukan dari kalian, begitu kan. Yauda kalo gak boleh gak nikah, kasih kita
jangka waktu buat nikah nggak cepet-cepet.
Terus ada juga tetangga, dia nikah muda, terus rumah tangganya nggak bahagia
karena ada campur tangan mertua kan. Terus mama ku kayak yang kasian begitu,
masih muda tapi pernikahannya ya gak bahagia. Makanya mama ku juga yang
nggak dukung nikah muda dan malah kayak ngasih kebebesan buat anak-anaknya
mau umur berapa kita nikah nanti. Tapi tetap yang penting nikah. Begitu sih.
Keluarga ku sih, ya, dibilang bebas banget ya nggak juga, tapi nggak yang ngekang
banget juga. Kayak waktu itu aku pacaran kan umur 18 tahun ya, itu saja mama ku
kayak yang nggak suka begitu, makanya kayak di bawah kendali mama ku juga
clxxiv
(pacarannya). Nah waktu aku putus pun sampe nangis-nangis mama ku tuh merasa
sakit hati juga soalnya sudah ngerasa ngerelain aku sama dia tapi aku kayak digituin
(perlakuan buruk) sama dia jadi mama ku juga trauma juga kan.
P : keuntungan atau dampak positif apa sih yang kamu dapetin dari menunda
menikah?
I : yang pertama nih, pasti kamu kalo misalkan daftar pegawai negri, terus
pelatihan-pelatihan, maksudnya kayak mau masuk kerja tapi ada pelatihan-
pelatihan dulu begitu, kan pasti disitu statusnya tidak menikah atau belum menikah
ya kan? Nah, kalo kita sudah terlanjur nikah tapi umur kita mencukupi untuk masuk
kerja disitu tapi status kita sudah menikah, terus juga kemampuan kita juga
mencukupi, jadi sayang kan gak bisa ikutan (daftar kerja) karena status menikah
yang kita miliki. Terus juga pengembangan diri kita tuh, seberapa mandiri kita
tanpa orang lain di samping kita, kita bisa lebih mengembangkan karir sendiri dan
bangga sama diri sendiri. Di keluarga ku juga kan mengutamakan pendidikan
nomor satu, jadi ya kita itu ambisius banget buat ngejar pendidikan setinggi-
tingginya, dan karir sebagus mungkin.
Pasti, cewek-cewek kan kalo sudah nikah pasti urusannya nggak jauh dari dapur,
sumur, dan kamar. Apalagi kalo misalnya nanti sudah punya anak, bakalan susah
buat ngembangin diri (karir) lebih luas lagi. Karena nanti (kalo sudah nikah) dunia
kita nggak jauh-jauh dari suami anak suami anak, begitu.
P : untuk teman-teman seangkatan kamu sudah banyak yang nikah belum
kak?
I : eeee kebetulan waktu aku kuliah, di prodi aku cuma satu kelas kan, nah
kebetulan ada 2 orang yang sudah nikah tapi yang satu sudah cerai. Nah yang itu
yang bikin aku mikir mateng-mateng, kasian juga kehidupannya dia, kasian karena
jadi janda di usia yang masih muda banget gituu loh. Kalo yang satunya lagi kan
baik-baik saja ya hidupnya, bahagia begitu lah beda sama yang ini, baru 6 bulan
nikah sudah diceraikan begitu sama suaminya. Kasian kan, mental masih muda,
masih mau senen-seneng terus diajak nikah pas nikah tiba-tiba diceraikan di depan
orang tuanya terus kekerasan pula. Yaallah kasian banget.
P : untuk dampak negatifnya ada nggak yang kamu rasain dari menunda
menikah?
I : ummm, teman-teman aku sihi tahu ya kalo aku mau nunda nikah begitu,
mereka selalu bilang kalo aku nunda nikah, nanti jarak aku dan anak aku itu jauh.
Terus ya aku bilang saja, ya gapapa kok aku sama orang tua ku juga jaraknya jauh
kok hahaha tapi ngerasa teman deket kok. Terus juga banyak sih yang bilang, nanti
kamu keburu tua loh nanti gak bisa liat cucu-cucu kamu kalo kamu nikahnya
ditelatin. Aku tuuh kayak, yang, loh sudah cucu-cucu saja sih hahaha. Ya sejauh ini
sih ya negatif itu datengnya dari orang-orang sekitar sih karena omongan orang-
orang itu yang ngebuat suasana jadi negatif. Tapi kalo aku pribadi nggak merasakan
dampak negatifnya sih.
P : haha iya bener banget sih. Sebenernya memang selagi kita enjoy dan fine-
fine saja dengan keputusan yang diambil, nggak bakalan ada negatifnya sih ya.
Dampak negatif ya tercipta ya dari lingkungan luar bukan dari diri kita sendiri
hahaha
clxxv
I : iya kan bener banget, karena aku milih nunda nikah ya sejauh ini nggak
ngerasain negatifnya juga. Masyarakatnya saja yang sering julid-julid begitu.
Ngeliat perempuan 26 27 belum nikah sudah di cap perawan tua lah, nggak laku
lah. Padahal kita kan berhak nentuin pilihan hidup kita sendiri, bukan masyarakat
P : menurut kamu kak, usia ideal untuk menikah itu usia berapa sih?
I : kalo menurut aku sih ya, perempuan ideal menikah itu biar nggak sampe
30 banget begitu terus juga yang nggak terlalu muda banget juga, 27 kali ya
idealnya buat nikah hehehe
P : tanggapan kamu tentang telat menikah bagaimana kak?
I : itu kan keputusan dia sendiri, jadi ya biarin saja. Ya balik lagi juga, segala
keputusan apapun yang diambil pasti ada alasannya. Apalagi ini pernikahan ya,
sekali seumur hidup. Makanya perlu dipikirin mateng-mateng. Terus juga kan
berhubungan sama batiniah juga, sudah siap belum batinnya.
Pernikahan kan nggak cuma menyatukan dua kepala, tapi dua keluarga. Bagaimana
nantinya kita ketemu sama orang-orang yang berbeda pemikiran dan lain-lainnya,
sudah siap belum. Ada juga kan orang yang telat nikah karena memang belum nemu
yang cocok, atau, memang dia betah sendiri nyaman sendiri dan nggak mau nikah
sama sekali, ya terserah juga, ya itu sih, balik ke pilihan dan alasan masing-masing
orang saja bagaimana.
P : kalo usia telat menikah untuk perempuan berapa kak?
I : 40 tahun kali yaa, itu sudah telat banget menurutku.
P : oiya, terakhir ini, menurut kamu, menikah itu butuh kesiapan 100 persen
nggak sih? Dan tipe ideal pasangan kamu yang seperti apa?
I : eeeee yang pertama itu yang pasti yang menerima kita apa adanya,
tanggung jawab, nerima segala kekurangan yang ada di diri kita, terus juga
menerima keluarga kita yang seperti ini seperti itu karena kita bakalan hidup lama
sama dia, jadi ya pengennya yang kayak begitu. Terus juga harus sayang sama diri
dia sendiri dulu, kalo dia sayang diri dia, berarti dia sayang orang lain. Menghormati
keputusan orang lain.
Aku itu waktu itu pernah bilang sih, aku mau nikah ketika hidup aku sudah mapan
dan hidup pasanganku juga mapan. Terus kata teman-teman aku bilang, ah kamu
kalo sudah nikah juga bakalan mapan kan rejeki orang nikah kan ada saja. Terus ya
aku bilang, ya itu kan pandangan aku kayak begitu. Terus temenku juga bilang lagi,
kalo mau tunggu mapan, mau sampe kapan yang ada kamu nggak nikah-nikah. Ada
benernya juga sih, tapi ya kan namanya tipe sewaktu-waktu bisa berubah ya. Begitu
sih yaa
P : makasih ya kak atas waktunya!
clxxvi
13. Informan Citra
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Rabu, 01 Desember 2021
Nama : Citra
Usia : 30 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Domisili : Jakarta Selatan
P : halo
I : halo. Aduh, sorry ya suara gue nggak terlalu (tertawa) rada abis suaranya
P : iya gapapa, masih kedengeran. Kak, ini gue langsung saja ya
I : iya langsung-langsung. Btw tentang apa sih?
P : tentang ini sih, menunda menikah pada perempuan. Lo ada rencana mau
nunda niikah nggak kak?
I : enggak ada sih. gue itu nggak ada rencana mau nikah, nggak ada rencana
juga buat nunda nikah.
P : gimanaa-gimanaa??? Lo nggak ada rencana mau nikah...terus?
I : iya, tapi nggak ada rencana nunda juga. Jadi, kayak, yaudah kalo memang
sudah ada waktunya, ya gue nikah lah. Kalo nunda kan kesannya kayak gue bener-
bener nggak mau nikah. Eee waktu-waktu dekat inilah.
P : kok lo bisa ada pikiran nggak mau nikah, awalnya gimanaa deh?
I : eee simpelnya lebih ke mmm kagak ada lakinya. Tapi eee apa namanya,
gue mikirin karir sih. maksudnya kan gini, sebenernya orang tua gue nargetin gue
nikah maksimal 25. Sedangkan gue baru punya karir itu di umur 26 27. Itu juga
sebenernya belum bisa dibilang karir sih, karena gue masih jadi staff, belum pegang
profesi. Kepengennya gue sih kalo gue sudah bener-bener punya profesi, gue baru
deh mikirin mau nikah.
P : jadi memang boleh dibilang fokus lo sekarang ngestabilin pekerjaan lo
dulu ya kak
I : betul. Ngestabilkan pekerjaan gue yang baru banget gue mulai. Sama eee
gue lebih ke mentingin, ngenomor satuin keluarga dulu sih. maksudnya,
penghasilan gue saat ini gue alihkan buat keluarga gue dulu. Kalo misalnya gue
nikah kan, gue punya keluarga lain, nah, otomatis penghasilan gue kebagi lagi tuu.
Nah, gue belum sampe ditahap itu. Belum ready.
P : sorry sorry, gue salah tangkep kayaknya sama maksud lo di awal tadi yang
bilang nggak ada niat buat nikah hahaha itu maksudnya lo nggak ada niat nikah
dalam waktu deket ya kak?
I : ehh hahaha iyaa memang tadi gue bilangnya gimanaa?
P : lo bilang nggak ada rencana mau nikah...
I : anjir hahaha nggak, maksud gue itu, adalah gue kepengen lah nikah. Tapi
ya itu tadi, gue mau kerja dulu, karir dulu, stabilin pekerjaan gue. Jadi nggak
sekarang nikahnya. Nggak dalam waktu dekat. Begitu. Kepengennya gue nikah
juga bukan yang kepengen banget, sih. masih bisalah gue tahan entar-entaran.
Teman-teman seusia gue juga kan banyak yang sudah berkeluarga juga tuu. Kadang
clxxvii
gue suka ke trigger juga untuk eee, “ih ingin deh punya anak”. Penasaran begitu,
gue interest buat ngurus anak itu kayak gimanaa sih? terus kepengen juga punya
suami yang bisa nemenin tiap hari. Cuman kan yang jadi masalah, nikah itu nggak
cukup sampai disitu. Kalo ngomongin faktanya kan, nikah lebih ke ekonomi. Terus
dunia lo juga bakalan kebagi-bagi. Yang kesitunya sih sebenernya yang buat gue
belum siap untuk nikah di umur gue yang sekarang.
P : kak, tadi kan lo bilang kalo orang tua lo nargetin lo nikah itu 25 ya.
sedangkan lo pribadi nggak mau nikah di umur segitu dan ini mungkin sudah lewat
dari target yang orang tua lo kasih. Sebenernya gue kepengen tahu gimanaa lo
ngasih pengertian ke orang tua atas keputusan lo ini?
I : sebenernya nyokap gue nargetin gue 25 karena ngeliat kakak gue kan. Dia
itu lulus kuliah 23, 24 sudah punya calon, yaudah, nikah sudah itu dia di umur 24.
Nyokap gue nargetinnya kayak, “ya lo jangan sampe lebih tua lah nikahnya dari
pada kakak lo”. Ini kalo ngomongin target awalnya. Lebih kesitu. Gue ngasih
pengertiannya itu lebih ke, ya yang pertama-pertama kali sih gue ngediemin
gitukan, nggak gue hiraukan omongan-omongan nyokap gue yang kayak gituu.
Terus juga, apa, lebih dibawa bercanda. Nah, yang terakhir, kalo misalnya makin
kenceng nii, sampe dikenalin ke anaknya teman nyokap gue lah segala macem atau
yang kayak gituu gituu lah, gue ngasih pengertiannya, “pasti semua ada waktunya”
kayak begitu sih. maksudnya, kan, nyokap yang nyaksiin sendiri hidup gue
gimanaa. Pas kuliah itu gue ada waktunya, gue dapet kuliah dimana. Terus juga pas
dapet kerja. Gue kan pas abis lulus nggak langsung dapet kerja. Ada waktunya juga.
Pasti semua itu ada waktunya. Jadi ngasih pengertiannya lebih ke situ saja, sih. lebih
ke, namanya takdir mah pasti ada saja tanggalnya, begitu.
P : berarti orang tua lo sudah sempet mau ngenalin lo sama anak temennya
begitu kak..
I : perrrnaaahh!!! Dan itu 2 kali.
P : terus respon lo gimana kak?
I : yaaa, apa ya, dua orang itu sebenernya cuman omongan nyokap doang. Itu
juga omongan nyokap sama temennya, kan. Bukan yang orangnya sendiri –
anaknya teman nyokap yang nyamperin gue. Lebih ke, yaudah, kalo mau kenalan,
kenalan saja. kalo nggak, ya nggak. Itu cuman sebatas omongan-omongan orang
tua yang ya akhirnya nggak terlaksana juga, sih. kenalannya juga nggak yang
ketemu berdua, gituu. Karena kan rata-rata teman nyokap gue ada di luar kota kan.
Jadi, ya jauh juga, begitu.
P : tapi lo bukan pribadi yang menutup diri buat kenalan sama cowok kan kak?
I : enggak. Santai saja gue kalo ada yang mau kenalan, mah. tapi dulu sempet
sih, jadi, dikenalinnya itu pas gue sudah mau lulus. Itu pas pertama kali dikenalin
gue rada-rada nggak seneng. Karena kayak, eee, ya, walaupun tanpa gue melihat
background si cowok ini kayak gimanaa ya. tapi gue tuu ngerasa kesannya
dikenalin itu jadi eee “apaan sih kok gue kayak nggak laku banget” gituu, “nggak
mau ah, nggak mau dikenalin” awal-awalnya begitu. Cuma ya, lama kelamaan
sekarang kalo mau kenalan yaudah, kenalan saja sini.
P : oke kak.. oiya, sekarang ini lo tinggal sama orang tua atau ngekos?
I : enggak. Gue tinggal sendiri, ngekos di Jakarta Selatan
P : kenapa mutusin buat pisah rumah sama orang tua, dan ngekos?
clxxviii
I : sebenernya ini bukan keputusan gue pribadi ya. gue kan sempet ngekos
itu, eee, sudah terbiasa ngekos itu dari kuliah. Sudah mulai jauh dari orang tua sejak
itu. Karena jarak dari rumah ke kampus itu jauh banget, jadi harus ngekos. Nah, pas
gue kerja pun, itu pas banget sama keputusan nyokap buat tinggal di Sumedang,
terus gue keterima kerja di Jakarta, yaudah, mau nggak mau gue ngekos. Jadi bukan
hal yang baru juga buat ngekos dan hidup sendiri.
P : nah, sekarang kan lo hidup sendiri nii kak, jauh dari orang tua. Lo sudah
ngerasa mampu mencari solusi dan selesaikan masalah lo sendiri nggak tanpa
bantuan dari orang lain?
I : sejauh ini sih, iyaa. Karena terbiasa hidup sendiri. Sesimpel gue besok
makan apa, itu kan termasuk cari solusi sendiri gitukan. Punya penghasilan sendiri,
mau dipake buat apa saja itu juga kna termasuk keputusan sendiri. Jadi, menurut
gue sih ya, sejauh yang gue tahu, gue sudah bisa mutusin apa-apa sendiri.
P : kalo buat masalah-masalah pribadi lo, lo tipe anak yang suka cerita sama
orang tua nggak kak?
I : enggak semuanya sih. gue sama orang tua itu nggak terlalu terbuka. Nggak
semua hal yang gue alamin tiap hari, terus gue ceritain gue orang tua. Itu nggak. Ya
banyak juga hal yang gue sembunyiin dari nyokap. Palingan masalah kerjaan,
masalah pasangan, yang kayak gituu sih yang gue omongin ke nyokap. Tapi kalo
masalah teman, masalah kegiatan gue, nggak terlalu gue buka ke nyokap sih.
P : dengan lo jauh dari orang tua, ngerasa ada kebebasan nggak kak atas
keputusan lo yang nggak mau nikah buru-buru ini? Maksudnya itu kayak, eee, lo
jadi lebih jarang ditanyain atau dipush tentang nikah gituu. Kita jadi lebih gampang
buat menghindar, gituu
I : bisa dibilang iya sih. tapi bisa juga dibilang nggak. gue bisa jauh dari
pertanyaan-pertanyaan “kapan nikah?”. Tapi kan, sekalinya gue ketemu itu gue
pasti ditanyain tuh, “pacarnya siapa sekarang?” terus, “rencananya mau nikah
kapan?” nyenyenye gue palingan yang kayak, “sudah, tenang dulu saja, mah” kayak
gituu.
P : aslinya lo risih nggak sih kak kalo ditanyain kayak begitu?
I : risiiiihhhhh. Risih banget. Karena itukan kehidupan pribadi gue ya.
walaupun itu keluarga gue sendiri, gue tetap ngerasa itu kan keputusan gue untuk
nikah atau nggak. Itu privasi gue
P : lo ambil keputusan ini kak, berarti lo sudah tahu dan siap sama konsekuensi
ke depannya kan?
I : hoo tahu gue. Gue sudah ngalamin juga kok hahahaha
P : oh, lo sudah sering juga dinyinyirin orang kak?
I : eee yang nyinyir lebih ke keluarga besar gue sih. terutama keluarga nyokap
ya. karena dia keluarga jawa. Kalo keluarga bokap kan keluarga sunda, yang eee
sodara bokap gue nggak terlalu banyak dan sepupu gue juga nggak terlalu banyak
juga kalo dari bokap. Jadi, nggak banyak yang neken. Tapi kalo dari nyokap itu
lumayan banyak yang neken, karena, ibaratnya itu disana ada urutan sepupu yang
nikah, gituloh. Dan, ini tuu sudah masuk ke giliran gue. Dan itu lumayan berat. Dan
kalo lagi ada acara besar nih, “iya, Citra kapan nikah?, “kapan menyusul?”, “ini
sudah giliran kamu loh” kayak begitu lah. Tapi gue bawa bercanda mulu sih, kalo
lagi ditanyain hahaha. Ya maksudnya, yaudah sih, tenang saja. ya alhamdulillahnya
clxxix
sih, ya, nggak pernah yang diteken banget gituu ya, “kapan kamu nikah?!!” kayak
yang disidang begitu, nggak. Cuma ditanyain gituu-gituu doang, bercanda lah.
Karena alhamdulillah nya juga mereka pada tahu gue kerjanya kayak gimana, terus
juga gue tinggal sendiri. Maksudnya, kayak mereka percayalah sama gue dan
keputusan gue sendiri.
P : kak, selaian alasan karena memang lo mau ngejar karir, ada nggak sih
alasan lain yang akhirnya mempengaruhi lo juga buat nikah nanti-nanti dulu, gituu?
Mungkin gak lo ada trauma pacaran atau apa gituu kak?
I : sebenernya gue nggak totally nggak kepengen nikah ya. pasti adalah gue
mau nikah, cuma yang entar saja gituu, nggak sekarang. Bahkan sebenernya gue
sempet ada pikiran, kalo nikah bukan ibadah, kayaknya gue bakalan milih nggak
nikah deh seumur hidup. Cuma masalahnya kan, nikah itu ibadah ya, jadi, ya, gue
juga mau (nikah). Karena dari yang gue tahu juga nih, dari menikah itu kita bisa
dapetin banyak hal. Tapi kalo dibilang trauma... eee gue nggak punya trauma
tersendiri. Keluarga gue juga baik-baik saja. tapi ya, seiring berjalannya waktu itu
gue dapet informasi soal permasalahan suami-istri kayak gimanaa. Atau misalkan
teman gue, ada yang sudah nikah, terus punya masalah sama keluarganya. Terus
gimanaa gue tahu informasi tentang gimanaa ribetnya punya keluarga, gimanaa
ribetnya lo harus bagi waktu sama suami, sama anak-anak, sampe gue pernah
denger teman gue yang sama sekali nggak punya waktu buat me time sendiri, itu
susah banget gituu untuk kesana. Dan gue ngerasa kayaknya gue masih belum siap
sama semua itu deh. gue belum siap sampe situ. Karena gue mau nya itu, gue sudah
bener-bener stabil semuanya baru deh mungkin gue putusin buat gue punya pacar
kepengennya langsung serius deh, gituu, yang bisa langsung nikah. Sudah dia saja.
P : tujuan lo milih kerja dan mengejar karir apa kak?
I : ya kalo misalnya nggak dihubungin sama uang, ya minimal kehidupan gue
stabil saja sih. gini, kerjaan sekarang gue bukan PNS, gue juga belum punya
investasi apa-apa. Maksudnya, gue belum punya hal-hal jangka panjang begitu lah.
Apa yang gue lakuin sekarang itu pikirannya buat apa yang gue dapet besok. Masih
yang bener-bener kejadian saat ini, belum buat yang jangka panjang. Belum ada
rencana jangka panjang. Asuransi pun gue masih nempel sama kantor. Jadi ya, gue
kerja buat itu sih palingan. Dan gue itu tipikal orang yang gak bisa hidup kalo nggak
ngelakuin sesuatu. Maksudnya, gue pernah ada ditahap, gue lulus kuliah, terus
kosong gitukan nggak kerjaan. Selama itu gue bingung mau ngapain kan. Dan itu
gak enak banget lah. Lo hidup nggak punya tujuan. Misalkan juga lo mau beli apa-
apa juga nggak ada uang. Gue ngerasa ngaruh juga ke kehidupan sosial soalnya,
karena ketika lo ngobrol sama orang itu jadi kayak nggak ada topik
pembicaraannya, “apasih yang mau lo omongin?”. Kalo punya kerjaan kan ada saja
lah yang kita obrolin, gituu. Terus juga di luar itu, gue ngejadiin kerja itu kayak
belajar saja sih... kita belajar di level yang lebih atas saja selain dari sekolah, gituu.
“Gue sudah belajar di SMA, kuliah, terus gue belajar dimana lagi nih?”
Nyokap gue selalu bilang, “jangan sampe lo lulus kuliah, terus nikah, nah itu lo
harus punya prinsip kalo lo harus punya penghasilan even sekecil apapun, lo mau
jadi apapun, yang penting lo punya kerjaan”. Karena pada dasarnya, kalo lo nanti
nikah, punya suami, dibiayain sama suami, lo harus tetap punya identitas sendiri,
sih.
clxxx
P : dari orang tua ngasih kriteria khusus nggak kak buat pasangan lo harus
seperti apa?
I : sejujurnya mereka, kayak yang gimana ya, eeee ya sama saja kayak orang
tua yang kolot pada umumnya. Punya pekerjaan yang stabil, terus, agamanya bagus,
terus juga attitudenya juga bagus, asal usul keluarganya jelas dari mana, gituu.
Lebih kesitu saja sih. sebenernya aturan ini lebih ke nyokap ya karena kalo bokap
nggak gini. Dan intinya sebenernnya kalo dari nyokap itu, pasangan gue nggak
ngelarang apapun yang gue mau. Itu sih. kalo di luar itu, kriteria yang detail sih
nggak ada ya. ganteng atau harus berseragam gituu nggak ada.
P : kalo dari lo sendiri, kriteria pasangan kayak gimanaa yang lo mau?
I : kalo dari gue ya, yang jelas dia bisa jadi imam buat gue. Gue sih
kepengennya orang yang lebih dari gue. Artinya, bukan yang lebih kaya dari gue,
atau lebih ganteng gituu, bukan. Tapi lebih dalam artian, apa yang gue nggak punya,
ini orang punya. Misalnya, gue minus dibidang apa, nah dia bisa disitu. Gue lebih
cari orang yang bisa ngelengkapin sih dibandingkan orang yang sama persis.
Palingan sama, oh! Komunikasi juga sih. kalo kriteria fisik sebenernya gue nggak
terlalu matter sih, walaupun pada akhirnya gue mikirin itu juga ya. Cuma yang
nggak terlalu ini banget gituu lah. Lebih ke personality nya kalo gue.
P : gue mau tahu dong pandangan lo tentang pernikahan kayak gimanaa?
I : pandangan gue...eee pernikahan itu bukan hal yang eee gue sebenernya
rada nggak setuju sama yang, gini gini, di lingkungan gue itu ada teman-teman
perempuan gue yang ngerasa kalo pernikahan itu bisa menyelesaikan masalah-
masalah hidup lo karena lo punya pendamping. Justru, kalo menurut gue malah
pernikahan itu, ya mungkin iya bisa ngebawa kebahagiaan ke lo, tapi depends on
kalo misalnya lo mau bahagia ya lo harusnya bisa menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi di dalam rumah tangga. Karena ya bagaimana ya, karena kan dari kecil
manusia itu tinggal sama orang tua nya, dibesarin sama orang tua nya, rata-rata
dibesarin sama orang tua sendiri ya. terus juga, mungkin orang-orang kayak gue
lebih yang punya ruang privasinya lebih gede dan segala macam. Terus tiba-tiba
harus nikah dan ngebagi dunia sama orang lain yang bahkan bukan sedarah. Cuma
based on feeling saja lo ngerasa ini orang cocok, gituu. Menurut gue itu hal yang
krusial dan berat ya. makanya perlu pemikiran yang mateng banget, “ini orang pas
nggak sih buat jadi suami?”, “buat jadi imam lo?”.
Pernikahan itu lebih ke apa ya, menuju tingkatan kehidupan berikutnya, gituu ya.
jadi maksudnya, lo sudah masuk ke pintu pernikahan ini bukan berarti hidup lo
sudah tenang. Tapi lebih ke, ya, lo akan mendapatkan masalah baru dan which is lo
level up.
Sebenernya orang-orang rada keliru juga ya. eee sebenernya gue nggak nyalahin
perempuan-perempuan yang ngerasa eee apa namanya, ngerasain bebannya makin
banyak ketika dia sudah nikah. Karena menurut gue, ya itu kan keputusan lo untuk
nikah. Kalo lo ngerasa beban abis nikah itu berat, artinya yang salah itu ada di lo.
Artinya, lo itu belum bisa menyelesaikan itu, gituu. Kalo lo mau pernikahan lo
bahagia, ya lo harus bisa neken diri lo untuk grow up lagi buat selesain semua
masalah-masalah rumah tangga.
clxxxi
P : ya karena banyak juga sih ya kasus yang sudah ngerasa cocok ini sama
pasangan, ya sudah nikah. Tanpa mikir ulang lagi sebenernya diri ini sudah siap
belum secara keseluruhannya...
I : iya banyak kejadian kayak begitu. Ya itu tadi, Cuma gara-gara cinta, mau
nikah. Cuma gara-gara dia sudah cinta terus kaya, mau nikah. Tapi lo lupa sama
soal, yang menurut gue rada-rada sering dilupain sama orang-orang yang mau nikah
diseumuran gue itu adalah soal sex life. Even lo nggak pernah berhubungan seksual
sebelumnya, tapi bukan berarti lo nggak punya pengetahuan tentang seksual. Kayak
orang-orang itu banyak banget yang skip tentang soal tes kesehatan. Dan gue itu
rada-rada sensitif kalo misalnya ada orang yang, “lo nikah, yaudah, nikah saja”. tapi
mereka lupa sama hal-hal yang menurut gue sensitif kayak begitu, termasuk buat
tes kepribadian pasangan kita juga. Makanya banyak orang yang kaget kan setelah
nikah, “oh ternyata dia orangnya kayak gini”, “oh, ternyata dia sex life nya kayak
gini”. Kayak, lo itu nggak tahu kalo misalnya cowok lo pernah “jajan” dimana atau
nggak. Kalo lo tes kan, lo akhirnya tahu kan.
Dan buat gue ya, nggak ada kata terlambat sih buat nikah. Even lo sudah cinta
banget nihh tapi ternyata pasangan lo, cowok lo punya penyakit seksual dan lo gak
bisa terima itu, menurut gue, lo berhak buat nggak nikah sama dia. tapi kalo
misalnya lo bisa nerima itu, yaudah.
P : kak, kalo nanti lo nikah nihh, terus suami lo nggak ngizinin lo kerja lagi,
lo gimanaa kak?
I : gue masih kepengen tetap kerja. Mmm tapi sebenernya ini tergantung ya,
karena kan gue punya informasi tentang kakak gue. Sebenernya kakak gue juga kan
kuliah juga kan, terus kerja, dia itu keja cuma 3 tahun, terus dia nikah, dia sempet
punya posisi dimana dia kerja, dia nikah, dan dia punya baby. Nah, kakak gue itu
tipikal orang yang nggak bisa eee ibaratnya nggak bisa ngasih anaknya ke
pengasuh, begitu. Walaupun ke nyokap sendiri. Padahal nyokap sudah sering
bilang, “sudah anak kamu sama mama saja” gituu. Nah, tetap saja dia ngurus
sendiri. Nah disini, gue itu nggak tahu gue nanti kayak gimanaa. Karena kakak gue
itu kayak begitu setelah dia nikah. Dia baru sadar pentingnya ngasih full time ke
anak itu setelah dia nikah.
Cuma sejauh ini ya, karena gue belum nikah apalagi punya anak ya, jadi gue
ngerasanya gue kayaknya bisa deh kerja sambil punya anak dan gue tetap ngedidik
anak gue pakai tangan gue sendiri.
I : gue kan kerja disalah satu portal berita ya, tapi bagian videografernya.
Disana juga banyak yang usianya di atas gue, bahkan jauh masih belum pada nikah.
Malah ada yang nggak mau nikah juga.
P : aaaagituu.. sempet juga ada narsum gue yang pengalaman kerja di radio,
entertaint begitu, banyak juga yang belum nikah karena teman-temannya pada
enjoy dan lingkungan kerjanya enak, jadi nggak kepikiran buat nikah begitu kak
I : nah iya, teman-teman kerja gue juga termasuk yang enak begitu. Terus
juga ya, kebanyakan orang-orang yang nikah itu ya orang-orang yang memang
hidupnya sudah punya jaminan masa tua sih kalo kata gue. PNS lah, BUMN, begitu-
begitu, yang sudah ada jaminan hidup lah. Jadinya mikir, “gue apa lagi ya, kerja
sudah stabil, gaji sudah ada, jaminan hari tua ada, yaudah, nikah saja” begitu
hahaha. Sedangkan gue masih kepengen eksplor banyak lagi bidang. Pada akhirnya
clxxxii
gue punya persepsi kalo nikah itu bukan sebuah keharusan lah. Nggak ada tuntutan
perempuan umur segini segitu harus nikah. Karena yang gue paham ya, di agama
gue pun nggak ada angka yang tertulis umatnya harus menikah diumur berapa.
clxxxiii
14. Informan Ade
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Minggu, 05 Desember 2021
Nama : Ade
Usia : 29 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : Guru
Domisili : Jakarta Timur
P : ...sebagian orang tua atau orang-orang yang berpikiran kayak gitu kan udah
usia yang mateng buat nikah, ya. Apalagi untuk perempuan. Kalau Kakak sendiri,
niat, emang ada… maksudnya menunda menikah itu emang Kakak niatin atau
nggak, sih?
I : Sebenernya sih nggak. Aku tuh nggak sama sekali niatin untuk menunda
menikah. Dulu malah sebenernya punya rencana menikah itu usia 23-an, gitu. Kan,
aku lulus kuliah itu usia 21 jalan 22, pada saat itu. Ya, mikirnya pada saat itu kan
hanya begini “Gue perempuan, selesai kuliah mau ngapain lagi sih?”. Okelah kerja.
Tapi, perempuan nggak terlalu dituntut untuk kerjalah, ya. Kayak gitu. Dan orang
tua pun model-model kolot gitu lah yang namanya “Udah lah kamu ngapain lagi,
sih?”. Kayak gitu. Ya, sempet punya target 23 lah. Kebetulan pada saat itu ada
pasangan. Cuman, pasanganku itu memang belum selesai. Jadi aku duluan yang
selesai. Nah, terus, udah kayak gitu, ya udah. Jadi kan sambil nunggu dia selesai
juga. Itu tuh sebenernya kita juga udah komit (komitmen). Ya udah ngga apa-apa.
Sambil nunggu dia, pasti kan aku karir dulu. Berjalannya waktu, berfikir juga, iya
juga, sih. Masih usia segini masih 22 tahun mah masih muda banget. Masih banyak
yang dicari. Masih pengen ngerasain cari uang, bisa bantu keluarga, minimal bisa
kasih ke adek-adek. Dari situ, sambil berjalannya waktu, itu sih menikmati aja,
enjoy-enjoy aja. Ya udah. Tapi diperjalanan itu kan, biasalah omongan-omongan.
Makin bertambah, wah udah 23. Oh, ternyata meleset. Ternyata pasangannya belum
siap juga. 23 berjalan lagi, sampai akhirnya usia 24 25 sampe 28. Lah, sudah umur
segini saja hahah. Trus mikir “Ah masih 28 lah, ya. Masih muda.”. Nah, ketika di
usia 29, dan ternyata di situ berakhir hubunganku. Sebenarnya udah berhubungan
cukup lama sebelumnya. Pas usia 29 tahun barulah di situ agak berpikir ternyata,
wah, nggak terasa nih waktu. Dari yang tadinya santai, santai, santai, ini umur 29
masih belum punya yang pasti juga. Trus, dari situ, ya udah, apa ya, lebih ke lillahi
ta’ala aja. Berjalannya aja, menikmati aja. Aku masih suka main orangnya. Pengen
ke sana, ke sini, masih mau karir yang lebih lagi. Walaupun memang aku
berkecimpung di dunia pendidikan, karena memang aku memilih udah di dunia
pendidikan, udah berfikir untuk totalitaslah di situ. Dari situ, ya sudah. Sebenernya
pas di usia 25, sempet mau nargetin lagi, tapi di situ agak takut mau nargetin, karena
agak trauma dari yang sebelum-sebelumnya. Punya target dari usia 23, oh ya udah
25 tahun gitu, kan. Ternyata di 25 meleset juga. Sampai akhirnya di usia sekarang
29 dan baru ketemu lagi. Cukup lama juga sih buat aku move on dari yang lama.
P : Tapi dari orang tua sendiri menuntut Kakak buat, udah lah cepetan nikah,
gitu?
clxxxiv
I : Sebelumnya iya, seperti itu. Sebelumnya sangat seperti itu, karena
kebetulan aku anak pertama. Aku anak pertama, adekku 3, dan kebetulan
perempuan semua juga. Adekku yang kedua, eh adekku yang paling gede
maksudnya kan kembar kebetulan. Dan memang seusia sih sebenernya. Jadi yang
dipikirkan sama orang tuaku adalah kamu tuh cepetan! Kamu punya adek gadis
juga. Jangan sampe yang namanya, ya janganlah, kalau bisa dibilang, janganlah
sampe dilangkahin adek, kayak gitu, kan. Kamu harus lebih dulu! Mama juga nggak
mau kalau kamu misalnya dilewatin sama adekmu. Tapi alhamdulillah-nya adekku
sih lebih kayak pengertian. Dia juga kayak mengikuti jejakku, ya, kalau bisa
dibilang. Dia tuh nggak mau juga “Nggak, ah. Mba Ayu, aku juga nggak mau nikah
muda. Masih pengen main, masih pengen karir dulu. Nanti lah usia 25 26 aja.”. Eh,
jangan ngomong gitu aku bilang. Kalau jodohnya udah dateng gimana? Hahaha...
ya udahlah. Tapi, ya udah, sampai sekarang dibawa enjoy aja.
P : Tapi kalau misalnya, ini, apa namanya, kalau suatu saat tiba-tiba adik
Kakak yang dapet jodoh duluan, trus Kakak dilangkah, tanggepan Kakak gimana?
I : Kalau aku pribadi? Kalau aku pribadi sebenernya nggak masalah. Jujur,
nggak masalah. Kalau misalkan memang... aku nggak mau sampai ada kesan kayak
gini loh, gara-gara aku, adekku terhambat. Nah, aku nggak mau seperti itu. Karena,
yang namanya jalan takdir, namanya jodoh kita nggak ada tau. Kalau andai kata
adekku dapet duluan juga aku ikut senenglah. Cuman, permasalahannya di sini itu
adalah orang tua, karena orang tua masih berpikiran kolot, ya. Masih berfikiran eh
jaman dulu gimana, sih? Katanya pamali lah kalau misalnya, apalagi anak pertama
perempuan. Kecuali aku laki-laki. Tapi, kalau aku sih nggak berfikir kayak gitu.
Cuman ya udahlah lebih ke manut apa kata orang tua dan emang, kebetulan yang
tadi aku bilang, adekku sih lebih yang nggak terlalu berfikiran untuk nikah cepet
juga. Bahkan kalau misalnya aku tanya sekarang juga “Lu siap nggak gini, gini?”,
nggak sama sekali. Dia sama sekali nggak siap untuk menikah. Mikirin soal nikah
juga belum, kata dia. Padahal juga sama, dia juga lagi skripsian. Yang satu sih udah
sidang, tinggal yang satunya lagi belum sidang.
P : Berarti kalau disimpulin sebenernya nggak ada rencana untuk menunda
nikah, ya? Cuman emang belum nemu orang yang tepat, ya.
I : Tepat, betul!
P : Tapi, karena di sini Kakak posisinya udah punya pasangan, ya. Trus, dari
pasangannya sendiri belum pasti kan, maksudnya dalam artian dia lulus koas juga
belum. Gimana, ya? Ini sebuah pilihan yang tepat nggak, sih buat Kakak? Menjalin
hubungan dengan si dia hahaha... maksudnya kan jaraknya jauh, beda 5 tahun, ya?
Maksudnya sebuah keputusan yang tepat nggak sih bagi Kakak, umurnya 29,
pasangan kamu usianya 24, mungkin nungguin dia selesai dapet gelar dokternya, 2
atau 3 tahun lagi, kan? Itu sebuah pilihan yang tepat nggak? Berarti Kakak ngambil
risiko lagi, loh.
I : Hahaha... jadi sebenernya, ini ceritanya sangat panjang ya kalau diceritain.
Awalnya aku juga berfikirnya seperti itu. Apalagi aku kan juga lelah namanya
menunggu lagi. Dari yang sebelumnya aku nunggu dari aku... aku dulu waktu sama
mantanku juga aku berhubungan udah dari semester 5, aku kuliah semester 5. Tanpa
dirasa 8 9 tahun berlalu, tapi dengan sia-sia, tanpa kejelasan. Sebenernya sempet
ada rasa trauma di situ, agak takut kembali terulang yang seperti itu. Bahasanya
clxxxv
PHP lah gitu. Kita udah berharap lebih, udah komitmen, tapi nyatanya ya memang
mungkin bukan jalannya, seperti itu. Memang waktu itu juga tuh ya gimana, ya?
Berfikir. Aku memang cukup memiliki pertimbangan cukup besar. Malah tadinya
dia ini aku mau ke adekku, awalnya. Karena aku berfikir nggak mungkinlah kalau
aku, karena dia seusia adekku. Seusia adek gue. Sempet gue comblangin ke adek
gue aja, deh. Awalnya juga memang temen aja, karena dia juga enak dibuat sharing.
Akhirnya sempet deket sama adekku, walaupun aku cuman bilang pada saat itu
kenal aja, bertemen aja dulu, siapa tau cocok. Kalau misalnya cocok, ya monggo,
kalau nggak ya kembali lagi ke masing-masing. Aku kan nggak maksain. Dan
nyatanya ternyata adekku nggak merespon yang gimana-gimana, biasa aja. Ya udah
temen aja. Dan sebaliknya, Ikram sendiri sempet ya, kamu sempet ada feel,
maksudnya sempet ada usaha untuk mendekati. Karena pada saat itu aku sempet
menggojlok “Ya udah coba dulu, coba dulu!”. Tapi berjalannya waktu, bukannya
dia deket ke adekku, malah deketnya ke aku, karena komunikasinya antara aku
sama dia. Dan sebenernya kedekatan aku sama dia itu udah dari yang Jogja itu, kita
udah banyak ngobrol, banyak cerita. Dan setelahnya pun juga seperti itu, kita sering
ketemu, sering ngobrollah, sharing, dan sebagainya. Aku ngerasa kok nyambung.
Aku salutnya sama dia, walaupun dia muda tapi pemikirannya itu cukup ke depan,
gitu loh. Itu yang aku salutin. Tua banget dia, tuh. Hahaha... makanya dia tuh salah
banget kalau dibilang baby face, salah banget. Hahaha... karena sifatnya tua,
jiwanya tuh tua. Itu sih yang bikin aku awalnya tuh kagum sama dia, karena aku
tertarik dengan planning jangka panjangnya, yang aku berfikir “Gue nyari yang
kayak gini sih sebenernya.”. Tapi sempet berfikir “Aduh tapi ini nggak mungkin.”.
Pada saat akhirnya, udah berjalannya waktu, berfikir orang tua juga sempet yang
udahlah siapa ajalah gini, gini. Aku belum berani terus terang sama orang tua,
walaupun sebenernya Ikram sendiri udah sering main ke rumah. Tapi, pada saat itu,
orang tua taunya deket sama adekku tapi melalui perantara aku. Orang tuaku
berharap, kamu tuh bukan saatnya nunggu, kamu tuh udah yang harusnya besok
udah siap nikah. Aku cuma yang, ya gimana, ya. Tapi, hati nggak bisa boong juga,
ada pergolakan batinnya juga. Jadi butuh istikharah, sekali dua kali. Dan finalnya,
ngerasa, dianya juga berusaha untuk meyakinkan. Aku juga akhirnya ngerasa kayak
Allah kasih jalan juga. Nggak taulah ya ini petunjuk atau gimana. Tapi, aku
ngerasanya memang ya udah dia memang sosok yang aku cari. Kebetulan orang
tuaku juga memang begitu suka, kagum juga sama anak ini. Tadinya udah sempet
yang pasrah lillahi ta’alah, apapun keputusan orang tuaku, aku jujur di situ sama
orang tua aku. Ternyata aku seperti ini sama dia. Dia sama adekku ternyata nggak
gimana-gimana. Adekku pun nggak yang merasa seperti gimana-gimana. Di situ
orang tuaku lebih yang ya udah kalau kamu yakin, silahkan. Tapi kamu tau
risikonya, kayak gitu. Ya, aku tau risikonya. Dan aku ngomong, sebelum
pengutaraan itu sama orang tuaku, aku bilang sama dia, kita punya konsekuensi
masing-masing. Aku punya, dia punya. Mungkin, kalau aku ke dia, risiko aku harus
nunggu kembali. Tadinya aku sempet yang bimbang juga yang aduh gila ya apa gue
harus menunggu sampai usia 31, 32 tahun. Sempet di situ yang gue siap nggak ya,
dengan waktu yang nggak sebentar. Sebenernya hati udah pengen berkeluargalah.
P : Dengan waktu yang nggak sebentar dan umur terus bertambah ya, Kak.
Tuntutan keluarga pasti pressure-nya lebih gede banget.
clxxxvi
I : Nah, itu. Bener. Tapi, ternyata orang tuaku tanggapannya positif. Itu yang
aku heran juga. Padahal awalnya sempet menentang. Menentang dalam arti,
sebelum tau sama dia, menentang untuk yang “Kamu tuh bukan lagi yang pacar-
pacaran. Kamu cari yang serius, gini, gini, gini!”, dan aku berusaha buat jujur itu
cuma buat mereka tau, tapi aku tidak berharap seperti apa. Aku lebih berharap yang
legowo, ya udah terserah Ayah dan Mama aja. Aku hanya mengutarakan aku
tertarik sama siapa. Tapi, andai kata Ayah sama Mama nggak ridha, kalau aku
misalnya sama dia, ya udah aku yang lebih ke silahkan Ayah dan Mama carikan.
Aku udah seperti itu aja pada saat itu. Udah ikhlas aja. Eh, ternyata orang tuaku
nggak mempermasalahkan, dan mereka pun tau kamu harus menunggu, ya udah.
Tapi dengan catatan si pihak laki-laki ini bisa komit (komitmen), bisa konsekuen,
dan bisa istiqomah, maksudnya dia pegang amanat sama Ayahku seperti ini. Udah
ngomong juga kan sama Ayahku. Ternyata dia juga menyanggupi, meyakinkan,
walaupun memang masih ada kendala. Kendalanya adalah di keluarga Ikram. Kalau
dikeluarganya, pengen dia selesai dulu, dan memang belum bisa terang-terangan
untuk saat ini, karena dia dianggap masih studi. Pengennya fokus. Di situ aku
berusaha buat ya udah aku mengerti, aku mencoba mengerti itu. Tapi, dia bilang,
insya Allah nanti aku bisa bantu untuk meyakinkan. Kamu tenang aja. Aku akhirnya
lebih ke yang lega, yang penting omongan kamu bisa dipegang. Jangan sampai,
amit-amit gitu ya, nanti di tengah jalan, aku udah menanti, menunggu, nyatanya
kamu nggak berusaha. Aku kan juga punya trauma kayak gitu sebelumnya.
P : Jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama.
I : Mungkin Agis mengerti perasaan seperti itu. Perasaan seperti apa, karena
kita perempuan, ya.
P : Karena 2 tahun, 3 tahun itu bukan waktu yang sebentar, ya. Kalau emang
pihak pasangannya bisa kasih kepastian mah, kitanya santai. Kalau dianya masih a-
i-u, gitu-gitu kan...
I : Makanya, kenapa aku yakin, karena aku tau dia bukan orang yang,
maksudnya bertele-tele, nggak punya prinsip, yang nggak pegang omongan.
Karena, sebelumnya aku kan juga udah kenal dia walaupun beberapa bulanlah, oh
cukup tau orangnya seperti apa. Penilaian orang tuaku terhadap dia pun juga baik.
Aku ya lebih ke yang percaya orang tua aja deh, karena orang tua kan nggak
mungkin menyesatkan juga.
P : Tapi kalau dari Kakak sendiri, keuntungannya atau dampak positif Kakak
di umur yang sekarang belum menikah apa?
I : Mungkin aku masih bisa lebih menikmati waktuku sih, ya. Maksudnya
menikmati hal-hal yang mungkin aku masih belum bisa lakuin, misalkan kayak
karir. Mungkin aku harus lebih lagi. Trus, karena aku sebenernya hobi jalan juga
ya, jadi masih pengen sana-sini, gabung sama temen, kumpul, dan lain sebagainya.
Karena aku berfikir, kayaknya ya Allah baik aja, masih memberikan aku
kesempatan menikmati masa-masa sebelum aku nikah. Nanti kalau udah nikah kan
bedalah. Kalau udah nikah, kita lebih terikat. Apalagi kalau udah punya anak.
Kadang temenku sendiri, temenku sendiri aja udah banyak yang berkeluarga ya,
banyak yang punya anak, mereka suka ngeluh aduh enak banget jadi lu bisa kumpul,
masih bisa nongkrong sana-sini. Kalau ini udah mikirin duh gue punya buntut, nih.
clxxxvii
Ya udahlah, yuk nikmatin aja, ntar kalau lu udah nikah lu bakal kangen masa-masa
kayak gini. Nah, itu sih yang bikin aku kayak ya udah nikmatin aja.
P : Berarti nggak terbebani kan ya, walaupun umurnya udah segitu tapi belum
menikah.
I : Kalau sebelumnya sih emang sempet terbebani karena belum punya yang
pasti.
P : Sama mungkin melenceng dari target.
I : nah! Betul.
P : Makanya sekarang untuk yang kedua kalinya tidak menargetkan umur
berapa untuk menikah.
I : Karena aku lebih percaya gini aja, Allah itu kasih di waktu yang tepatlah
gitu. Apalagi aku mikirnya juga gini, ya sekarang kan lagi corona ya. Mungkin itu
positifnya juga, mungkin juga ini hikmahnya. Tadinya orang tuaku nargetin aku
nikah 2020. Kamu 2020 udah harus nikah, kayak gitu. Karena kalau bisa sebelum
Ayahku pensiun. Tapi, ternyata Ayahku juga meleset. Dia berharap sebelum
pensiun anaknya, minimal aku, udah menteslah, udah nikah, tapi ternyata belum.
Karena kan beliau masih punya tanggungan, masih aku, adek-adekku 3, kita 4
anaknya perempuan semua, jadi ya udah.
P : Tapi kalau dampak negatifnya, Kakak sendiri ngerasain nggak? Omongan
orang-orang sekitar mungkin?
I : iya ada. mungkin ada aja omongan “Kok lu mau sih sama yang muda? Kok
lu sama yang muda?”. Kayak gitu. Sempet juga, ya kan kita nggak tau, kalau bisa
milih gue cari yang lebih tua lah. Tapi kita kan nggak taunya, namanya jalan. Tapi
aku mikir, ah nggak tua nggak muda, yang tua juga belum tentu bisa mengayomi.
P : Berarti sebenernya nggak ada niatan untuk menunda menikah ya dari
Kakak. Karena memang belum nemu yang tepat, dan bisa dibilang ada trauma, ya.
Melenceng dari target soalnya. Menyesal nggak sih menargetkan umur buat
menikah?
I : Dibilang menyesal, nggak terlalu juga, karena kalau kita pikirin menyesal
yang ada aku nggak bisa maju ke depan, ya. Yang ada bakalan kayak merasa
menyesali masa lalu terus gitu. Tapi, ya udahlah aku mikirnya life must go on. Gue
nggak mungkin gitu terus. Jadi ya udah sekarang lebih nikmati aja, enjoy aja, yang
penting ya bismillah, dan aku juga pesen satu sama dia tolong kamu punya amanah,
aku juga posisinya juga udah coba yakin sama dia juga. Harapanku dia bener-bener
megang omongan, karena ya gitulah.
P : Jadi orang itu bisa dikatakan siap menikah ketika? Menurut Kakak ketika
apa?
I : Ketika dia siap menerima tanggung jawab. Karena kalau menurut aku,
menikah itu bukan buat sehari dua hari, sebulan dua bulan. Dan aku berfikir,
sekarang kan lagi jamannya nikah muda, ya? Bahkan yang cowok aja usia 21, 22
lah banyak yang udah memutuskan menikah. Aku kadang berfikirnya begini, aku
tidak menyalahkan, itu kembali lagi mungkin jodohnya udah dateng. Cuman
mungkin aku berfikir apakah dia benar-benar sudah siap dengan segala konsekuensi
kehidupan rumah tangga, ya? Karena bisa kita bilang rumah itu bukan ajang cari
bahagia, loh. Kalau bahagia, jomblo juga bisa bahagia hahaha... jadi malah justru
rumah tangga itu malah ajang ujian dimulai. Dia harus bertanggung jawab kalau
clxxxviii
nanti punya anak seperti apa? Apakah nanti dia juga bisa amanah terhadap anaknya?
Terhadap istrinya juga. Untuk perempuan juga apakah secara bekal ilmu sudah
cukup, sudah mampu untuk nanti membekali anaknya? Karena perempuan kan
nanti jadi madrasah pertama buat anak. Aku berfikir di situ. Memang aku berusaha
untuk memanfaatkan waktu aku ini untuk banyak belajar sebenarnya. Dan salah
satunya juga aku banyak belajar dari dia. Mungkin dari hal-hal agama yang aku
mah ya pengetahuan agama secara umum aja, ya. Ternyata memang tidak semudah
itu. Aku juga banyak sharing sama temen-temen guru juga, temen-temenku dulu
yang udah pada berkeluarga. Mereka bilang kalau mencari pasangan itu bukan lagi,
yang kalau udah seusia kita, cari yang gantenglah, cari yang begini begitu. Duh, itu
katanya di rumah tangga udah nggak kepake. Yang kepake itu apa? Tanggung
jawabnya, terus juga agama, pegangan agamanya. Selama dia punya pegangan
agama yang baik, insya Allah lah dia bisa bimbing keluarganya. Nah, itu sih yang
aku percaya dari dia. Karena aku kayaknya nggak pernah meragukan. Insya Allah.
Kalau misalnya udah nikah gitu. Karena banyak juga kasus yang temenku juga baru
menikah, baru 2 tahun lah, pisah atau cerai. Gara-gara apa? Ya itu gara-gara
suaminya itu, mungkin bisa dibilang, pemahaman agamanya minim, terus yang
kedua juga dari awal juga nggak jujur, banyak kebohongan. Jadi awal terlalu manis,
jadi ketika berumah tangga ketahuan deh itu borok-boroknya, bahasanya kayak
gitu. Padahal pacaran udah lama. Jadi aku berfikir, ya memang pacaran juga tidak
menjamin lu tau dia sepenuhnya.
P : Karena sifat aslinya bakal keluar pas kita udah nikah, ya.
I : Masya Allah, aku sampe yang serem juga. Dia di usia segini udah jadi
janda, dan anaknya masih kecil. Aku belajar juga dari situ. Wah, bener banget nih
ternyata. Memang pegangannya cuma 2 itu. Kalau kita pengen nyari yang A sampai
Z, nggak bakal nemu kayaknya. Nggak ada yang sempurna. Toh manusia punya
kekurangan. Dia punya kekurangan, kita punya kekurangan. Tapi, gimana caranya
kita punya kelebihan, nah kelebihan itu yang saling menutupi, gitu aja.
P : Tanggepan Kakak untuk perempuan-perempuan yang menunda nikah tuh
gimana?
I : Mungkin, kebetulan aku juga ada temen, sebenernya ada temen juga 2
orang, sepantaran aku. Bahkan yang satunya udah 30 lebih-an lah. Dia bekerja,
wanita karir, terlalu mandiri. Kalau yang kasus temenku yang satunya ini, yang 30
ke atas-an, dia ini terlalu mandiri orangnya. Memang udah ditinggal orang tua, udah
lama, dia tinggal hanya bertiga, adeknya dua, adeknya cowok dua. Tapi adeknya
yang paling gede udah meninggal, jadi tinggal berdua. Cuman, agak kurang sedikit
harmonis, kurang begitu deketlah hubungan antara kakak sama adek ini, jadi
adeknya lebih kayak ngerasa ya udah gue merasa bisa hidupin diri sendiri. Jadi, dia
kayak tinggal sendiri aja di rumah. Emang terlalu mandiri, cewek ini terlalu
mandiri, terlalu yang apa-apa selalu sendiri, merasa bisa sendiri. Akhirnya ya
terlena aja, nggak terlalu memikirkan masalah pasangan akhirnya. Kalau dibilang
agak tomboy, agak tomboy memang. Tapi bukan berarti dia nggak suka laki-laki.
Mungkin dalam hatinya, namanya perempuan, tetep aja ya mendambakan sosok
pendamping. Hanya saja, itu tadi karena dia disibukkan dengan kerjanya, terus ya
udah gue udah terbiasa melakukan sendiri, lebih happy begitu. Ya, akhirnya sampai
seusia segitu dia belum menikah.
clxxxix
P : Karena mungkin akhirnya ngerasa udah mampu, mungkin, secara
finansial. Jadi dia tidak terlalu memikirkan pasangan, untuk berbagi kehidupan.
Tapi, sebenarnya, pentingnya memiliki pasangan tuh buat support psikologis kita
juga, gitu.
I : Betul. Menentramkan hati lah, ya. Haha...
P : Seenggaknya tuh punya tempat untuk mengeluh gitu. Selain keluarga.
P : Tapi kalau menurut kamu, usia ideal untuk menikah buat perempuan umur
berapa, sih?
I : Menurut aku, ya... menurut aku minimal 25. Minimal. Itu sih menurutku.
Kalo maksimalnya mmmm berapa ya... Tapi hahaha aku saja tunggu dia
(pasangannya) itu juga kalo jadi ya, aku sudah 31 hahaha. Kalo begitu, nggak ada
lah maksimalnya usia perempuan itu menikah usia berapa, nggak ada. Ya selagi dia
siap dan bisa bertanggung jawab sama pilihannya. Tapi sih perlu juga buat ngeliat
dari segi kesehatannya. Aku pribadi kayaknya perempuan telat menikah itu kalo
usianya sudah 35an kali ya, soalnya kalo dari segi kesehatan kayak apa itu, takut
kenapa-napa saja nanti kalo mereka mau punya keturunannya. Begitu sih.
Karena perempuan itu kan punya masa suburnya, apa kalimatnya? Lebih ke
kehamilan risiko, kalau udah usia 35-an ke atas. Walaupun sebenernya ada juga
orang, perempuan, yang baru menikah usia 35, 36, ada. Kebetulan ada temen guru
juga di Harja, ada juga perempuan belum menikah, udah usia 36-an malah sekarang.
P : Pernah punya perasaan iri nggak sih, Kak? Kayak iri gitu loh liat temen-
temen ih mereka udah gendong anak, mereka udah punya pasangan. Kalau
pasangan kan ada, tapi kan yang secara sah... perempuan itu setiap usia 26, 25, 24
itu tuh kebanyakkan temen-temen udah pada nikah. Aku aja yang 22, temen SD-ku
udah pada nikah. Aku kayak ih cepet banget sih nikah. Buru-buru banget, ngapain
gitu, loh? Dia udah, gue kapan, ya?
I : Kalau itu kayaknya Agis udah paling paham, nih. Pastilah. Kalau masalah
kayak gitu mah ada pasti. Apalagi usia se-aku ini bahkan anaknya udah hampir dua.
Jadi ada perasaan, aduh... jangankan temen, saudara aja, sepupu sepantaran. Aku
tuh udah nggak punya sepupu sepantaran lagi loh bahasanya, karena sepantaran-
sepantaran udah pada berkeluarga semua. Tinggal yang di bawah aku, adek-adek
sepupu. Walaupun, aku tetep sih, maksudnya aku merasa aku belum menikah,
gabung sama mereka masih yang enjoy-enjoy aja. Mereka juga welcome-welcome
aja. Bahkan mereka merasa jadi sepantaran, nih. Tapi tetep sih ketika sama yang
sepantaran merasa ih udah nggak asik, nih. Biasanya sama dia apa-apa, sekarang
lebih sama suaminya. Ya kadang adalah perasaan iri.
cxc
15. Informan Fitri
P : Pewawancara
I : Informan
Tanggal wawancara : Sabtu, 04 Desember 2021
Nama : Fitri
Usia : 30 Tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : PNS
Domisili : Jakarta Timur
P : halo selamat siang kak
I : selamat siang
P : iya, ini dengan kak Fitri ya?
I : iya he’eh Fitri, bener
P : baik kak, perkenalkan saya Agis mahasiswa semester 9 jurusan sosiologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebelumnya makasih banget nih kak udah
bersedia ngeluangin waktu untuk Agis tanya-tanya ya kak.
I : iya gak apa apa, nggak masalah
P : Nah, Agis mau tanya eee kalo boleh tahu kakak nama lengkapnya siapa
ya?
I : namaku... Fitria Yesicha.
P : usianya berapa kak kalau boleh tau?
I : 30 sekarang
P : Pendidikan terakhirnya kak?
I : S1
P : untuk sekarang kakak bekerja kah? Kalo iya, bekerja di bidang apa?
I : Di pemerintahan, di dinas perumahan pemukiman cipta karya tata ruang
sidoarjo
P : (maaf) untuk status kakak saat ini apa?
I : Belum menikah, tapi ada yang lagi deket sih, dek
P : aku mau nanya ini kak, faktor apa sih kak yang sebenarnya mempengaruhi
kakak untuk menunda menikah?
I : sebenernya nggak nunda juga sih, dek, gitu, cuma ya... belum ada aja sih.
Kalo aku ya, sih, eee apa ya.. banyak yang deket juga cuma ya belum ada apa ya
eee.. belum ada kecocokan saja sama yang kemarin itu, begitu. Sebenernya nggak
nunda juga.
Karena kalo aku sih ya, namanya sebuah pernikahan kita juga harus pilih untuk apa
ya, untuk pernikahan kita kan. Itu penting. Jadi memang sudah seharusnya apa
namanya, eee,,, apa ya, liat dari segi agamanya juga, begitu, baik nggak,
bertanggung jawab nggak, kayak gitu-begitu sih.
P : untuk dipekerjaan kakak sendiri, ada larangan tertulis untuk pegawai
nggak untuk tidak menikah selama masa kerja beberapa tahun misalnya?
I : oh, nggak ada. Nggak ada kok larangan seperti itu.
P : jadi sebenernya kakak itu tidak bermaksud untuk menunda menikah ya
sebenernya.
cxci
I : hehe iyaa nggak ada, nggak ada sama sekali. Tapi karena ya memang
belum nemu yang cocok saja. Sekarang mah, tinggal tunggu jodohnya saja deh
hahaha
P : untuk keluarga sendiri bagaimana kak tanggapannya melihat di umur
segini kakak belum juga menikah?
I : nggak ada, nggak ada yang mempermasalahkan sih. Kebetulan orang tua
ku juga sudah nggak ada dek, jadi ya, aku juga ngerasa bebas untuk menentukan
pilihan hidupku. Palingan ya, disupport juga sama keluarga besar yang lain, kayak
saudara-saudara kan ya, itu doang sih, begitu.
P : lanjut nih kak, keuntungan atau dampak positif apa sih kak yang kakak
dapetin dari... usia segini kakak belum juga menikah?
I : yaa,, lebih apa ya,, um, bisa lebih mengeksplor diri sih yang pasti.
Maksudnya masih bebas untuk apa ya, mungkin coba-coba buka usaha, kayak
begitu, terus, bisa lebih banyak lagi cari ilmunya. Kalo dari aku sih begitu ya, dek.
P : tadi dampak positifnya sudah ya kak, kalo dampak negatifnya ada nggak
sih kak dari kakak pribadi?
I : ada sih, palingan dari orang-orang sekitar gitu suka tanya kenapa sih belum
nikah sudah umur segini? Ya aku kan juga gatau ya kenapa belum nikah juga
padahal gak ada niat nunda hahaha gatau jodohnya dateng kapan kan haha. Tapi
yaudalah, biarin saja mau bagaimana lagi. Kita mau maksain lagi juga bagaimana?
Sudah ikhtiar, sudah usaha, sudah doa tapi kalau Allah belum ngasih ya
bagaimana... yaudalah, aku kan nggak diem-diem saja tunggu jodoh, tapi juga
ikhtiar, usaha, juga doa.
P : um, menurut kakak, berapa sih usia yang ideal untuk perempuan menikah?
I : kalo menurut aku sih ya 24 sampe 30 sih ya kayaknya ya.
P : tanggapan kakak untuk orang-orang yang menunda atau telat menikah
bagaimana?
I : kalo aku sih ya, itukan masalah pribadi masing-masing ya, eee telat
menikah itu dalam hal apa dulu, misalnya kayak aku, belum nemu jodohnya hahaha,
atau ada juga kan , yang apa ya kasarnya, memang dia bener-bener gamau menikah.
Ada juga yang kayak begitu. Nah, kalo yang buat gamau nikah dulu ini ya, itu
pilihannya dia tapi juga um, apa ya, mungkin tugas kita sebagai temannya, dikasih
tahu, jangan kayak begitu, soalnya nanti di masa tuanya sendirian kan gaenak.
P : pertanyaan terakhir nih kak, apakah menurut kakak, penting untuk
menikah sampai siap 100%?
I : kalo menunggu kesiapan 100% juga kayaknya lama ya kalo nunggu siap
nggak siapnya, begitu kan. Siap nggak siap sebenernya kita yang penting harus
mempersiapkan diri, sih. Misalnya kayak aku umur 30 tapi belum ada jodohnya kan
bagaimana caranya kita tetap memperbaiki diri. Nanti kalo seandainya sudah ada
jodohnya ya, insyaAllah sudah siap lah begitu istilahnya. Sedangkan kalo tunggu
100% juga kayaknya nggak mungkin ya. Kalo menurutku sih ya mendingan sambil
belajar sih ya, memantaskan diri juga buat pasangan.
Kalo aku sih, kalo sudah nemu pasangan yang baik agamanya, bertanggung jawab,
ya yaudah nikah saja. Nikah juga kan ibadah ya.