fenomena menunda pernikahan pada perempuan

260
1 FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos) Dosen Pembimbing : Dra. Ida Rosyidah, M.A., Disusun Oleh : SYIFA AGISTIA PUTRI 11171110000056 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2022

Upload: khangminh22

Post on 11-May-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)

Dosen Pembimbing : Dra. Ida Rosyidah, M.A.,

Disusun Oleh :

SYIFA AGISTIA PUTRI

11171110000056

Program Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2022

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Januari 2022

Syifa Agistia Putri

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Syifa Agistia Putri

NIM : 11171110000056

Program Studi : Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

Fenomena Menunda Pernikahan pada Perempuan

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 17 Januari 2022

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., Dra. Ida Rosyidah, M.A.,

NIP. 197609182003122003 NIP. 196306161990032002

iii

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

FENOMENA MENUNDA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN

oleh

Syifa Agistia Putri

(11171110000056)

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02

Februari 2022. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sosial (S.sos) pada Program Studi Sosiologi.

Ketua Sidang,

Joharotul Jamilah, S.Ag., M.Si.

NIP. 19680810861997032002

Penguji I, Penguji II,

Dr. Iim Halimatussa’diyah, M.A.,Ph.D Dr. Vinita Susanti, M.Si

NIP. 198101122011012009 NIP. 196501151991032002

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 02 Februari

2022.

Ketua Program Studi Sosiologi

FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.

NIP. 197609182003122003

iv

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisa fenomena menunda pernikahan pada perempuan.

Tujuan dilakukan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan alasan perempuan

menunda pernikahan dan untuk menjelaskan bagaimana proses pengambilan

keputusan pernikahan yang dilakukan oleh perempuan. Dalam penelitian ini

menggunakan metode kualitatif guna memperoleh informasi secara jelas dan

mendalam. Pendekatan teori yang digunakan adalah Autonomy Theory

(kemandirian) milik Steinberg Laurence. Data penelitian didapatkan melalui proses

wawancara dengan lima belas perempuan karier dengan kriteria usia minimal 29

tahun, yang ditentukan dengan metode purposive sampling dan snowball sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan menunda pernikahan dipengaruhi

oleh beberapa alasan, di antaranya: (1) menjadi tulang punggung keluarga (generasi

sandwich); (2) fokus bekerja dan mengejar karir; (3) melanjutkan pendidikan; (4)

ketakutan/ trauma, baik dari pasangan atau pun dari pengalaman masa lalu

keluarga; dan (5) belum menemukan pasangan yang tepat. Selanjutnya, dalam

proses pengambilan keputusan pernikahan perempuan melalui dua tahapan yaitu

pemilihin pasangan berdasarkan kriteria dan pertimbangan kehidupan pasca

pernikahan.

Kata kunci: Otonomi, Kemandirian, Menunda Pernikahan, Perempuan.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT atas segala pertolongan, ridho, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Fenomena

Menunda Pernikahan pada Perempuan. Shalawat dan salam juga penulis curahkan

kepada junjunan kita semua, Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi

sumber inspirasi dan teladan terbaik untuk umat manusia.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah skripsi di

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak dapat disangkal bahwa butuh usaha keras, kegigihan, dan kesabaran dalam

penyelesaian penyusunan skripsi ini. Maka dari itu, penulis ingin berterima kasih

dengan sangat tulus untuk diri sendiri yang belajar banyak hal dalam penyusunan

skripsi ini. Tak terhitung berapa banyak tangisan dan air mata yang setiap harinya

menemani penulis. Banyak hal yang saya lalui selama proses penyusunan skripsi

ini. Berkali-kali jatuh tidak lantas membuat penulis menyerah. Jika lelah,

beristirahat sejenak tidak masalah. Tubuh kita bukan robot. Mimpi dan cita-cita

masih harus terus diperjuangkan. Sebab itu, kita membutuhkan banyak energi untuk

terus melanjutkan perjuangan. Selalu ingat, Allah SWT ada dan senantiasa

menolong hamba-Nya yang sedang kesusahan.

Penulis pun menyadari bahwa dalam proses pengerjaan penyusunan skripsi

ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, dukungan, bimbingan, dan

kerja sama dari berbagai pihak serta Ridho dari Allah SWT sehingga kendala-

kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Penulis mengucapkan beribu-ribu

vi

terima kasih kepada kedua orang tua, Papa dan Mama beserta seluruh keluarga yang

telah membesarkan penulis dengan penuh cinta, kasih sayang, memberikan doa,

motivasi, semangat, dukungan, dan berjuang hingga penulis akhirnya sampai di titik

ini. Semoga Papa, Mama beserta keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT serta

diberikan nikmat rezeki dan sehat wal’afiat oleh Allah SWT. Aamiin.

Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap dapat

belajar lebih banyak lagi dalam mengimplementasikan ilmu yang didapatkan.

Skripsi ini tentunya tidak lepas dari bimbingan, masukan, dna arahan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih

dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu

dalam proses pengerjaan penyusunan skripsi ini di antaranya adalah:

1. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik (FISIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Program Studi Sosiologi FISIP

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Joharotul Jamilah, S.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi

FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Ida Rosyidah, M.A., selaku dosen Pembimbing Akademik sekaligus

Pembimbing Skripsi, yang dengan ikhlas meluangkan waktu memberikan

dukungan, bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Kasyfiyullah, M.Si., selaku dosen Antropologi dan Sosiologi

Pendidikan yang turut membantu penulis mengembangkan pola pikir untuk

vii

melihat suatu fenomena secara dekat dekat menggunakan sudut pandang

baru.

6. Segenap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan baik

dan penuh kesabaran serta ketulusan.

7. Teruntuk salah satu dosen perempuan Sosiologi FISIP UIN Syarif

Hidayatullah yang namannya tidak dapat penulis sebutkan demi menjaga

privasinya. Terima kasih atas nasihat dan motivasinya yang secara tidak

langsung menyadarkan penulis bahwa hidup sangatlah berharga, menjadikan

setiap permasalahan dalam hidup sebagai batu loncatan pendewasaan diri

dalam menjalani kehidupan yang lebih keras lagi. Bu, sepanjang hidup saya

berterima kasih banyak, tanpa Anda ketahui Anda telah menjadi perantara

Allah SWT dalam menyelamatkan nyawa saya.

8. Para perempuan sebagai informan penulis. Terima kasih atas waktu dan

pengalamannya yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

9. Dwi Ratna Prima, Kakak penulis yang senantiasa memberikan nasehat,

motivasi dan dukungan dalam setiap situasi yang sedang penulis hadapi.

10. Ian Faizal Arif, Kakak penulis yang dengan sangat ikhlas menerima tongkat

estafet dari orang tua untuk membiayai penulis dan adik agar terus bisa

menyelesaikan pendidikan. Makasih Abang untuk semua usaha yang Abang

lakuin buat Syifa bisa terus kuliah.

11. Seluruh teman-teman penulis di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih telah berkenan

viii

menjalin relasi, berdiskusi dan bertukar pikiran serta memberikan makna baru

dalam kehidupan penulis.

12. Sipon dan Ardha, teman penulis yang terkasih. Terima kasih sudah

mengulurkan tangan dan bersedia menjadi teman penulis selama menjalani

masa perkuliahan.

13. Teh Nad, my sister from another mother yang dipertemukan melalu twitter.

Terima kasih untuk segala tingkah ajaib dan konyolmu setiap hari, itu semua

menjadi penghibur bagi penulis. “Teruslah menangis untuk hidup yang lebih

lega”. Gue nungguin McD Panas 2 ditambah McFlurry loh, Teh, gaboleh

lupa!

14. Hilya dan Nisrina, teman dekat penulis. Terima kasih sudah menjadi tempat

penulis bercerita baik senang maupun sedih.

15. Orang-orang terkasih dan tersayang yang banyak membantu penulis dalam

penyusunan skripsi.

Demikian ungkapan terima kasih penulis sampaikan. Penulis berharap

semoga Allah SWT mengaruniakan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka

semua. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan

memberikan kontribusi pada pengembangan kajian Sosiologi, Aamiin.

Jakarta, 17 Januari 2022

Syifa Agistia Putri

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................................... ii

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ............................................. iii

ABSTRAK ......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................... v

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Pernyataan Masalah ........................................................................................ 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 5

1.4 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 6

1.5 Definisi Konsep............................................................................................. 10

1.6 Kerangka Teoritis .......................................................................................... 15

1.7 Metodologi Penelitian ................................................................................... 20

1.8 Sistematika Penulisan ................................................................................... 28

BAB II FENOMENA GAYA HIDUP PEREMPUAN PERKOTAAN ....... 29

2.1 Kehidupan Perempuan Di Kota di Era Global .............................................. 29

BAB III TEMUAN DAN ANALISIS ............................................................. 36

3.1 Alasan Penundaan Pernikahan Pada Kalangan Perempuan Perkotaan ............... 36

3.2 Peran Otonomi Dalam Pengambilan Keputusan Pernikahan Pada Perempuan .. 49

BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 58

4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 58

4.2 Saran ............................................................................................................. 59

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 62

LAMPIRAN ...................................................................................................... xi

A. Tabel Matriks Pertanyaan I ............................................................................ xi

B. Tabel Matriks Pertanyaan II ......................................................................... xiii

Koding Matriks I ....................................................................................................... xv

Koding Matriks 2 ...................................................................................................... liii

Transkrips Wawancara ............................................................................................ lxvi

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tabel Informan .................................................................................. 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pernyataan Masalah

Dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam menjalani siklus kehidupan,

pernikahan sering kali dianggap sebagai sebuah keharusan secara norma dan

budaya yang sangat dihargai oleh hampir semua kelompok etnis di Indonesia. Demi

menghindari malu, orang tua tidak jarang menuntut anak-anaknya terutama

perempuan untuk segera menikah agar tidak dikatakan sebagai perempuan tua.

Terdapat penilaian negatif terhadap status “lajang” membuat perempuan dengan

status tersebut rentan menjadi target stigma. Pada masyarakat Jawa misalnya,

Perempuan yang belum menikah oleh masyarakat Jawa dipandang bukan sebagai

perempuan utuh (Mulder, dalam Hapsari dkk., 2007). Perempuan lajang dengan

usia 30-50 tahun cenderung dipandang masyarakat bukan sebagai perempuan

dengan profesi tertentu, melainkan sebagai perempuan yang belum menikah

(Kumalasari, 2007). Bahkan pada masyarakat individualis seperti Jerman

menunjukkan sikap negatif terhadap orang-orang yang melajang. Secara umum,

perempuan dewasa lajang cenderung mendapatkan beberapa penilaian negatif

seperti kurang dapat bertanggungjawab, kurang dewasa, dan kurang bisa bergaul

dari pada mereka yang telah menikah (Etaugh & Birdoes, 1991; Conley & Collins,

2002).

Howe & Strauss (2000) dalam Adilah & Wiwin (2021) mengatakan bahwa

generasi milenial atau kelompok manusia yang lahir mulai tahun 1982 sampai 2000

banyak mengalami ketakutan untuk berkomitmen dalam berumah tangga. Sehingga

2

hal ini menyebabkan mereka enggan untuk menikah (Hartanto, 2016). Pernikahan

sebagai tahapan kehidupan yang positif pada kenyataannya mulai mengalami

pergeseran dan dinilai berbeda oleh generasi milenial (Wang & Taylor, 2011).

Generasi milenial cenderung menunda pernikahan dan cenderung menganggap

bahwa pernikahan tidak terlalu penting untuk disegerakan atau bahkan dilakukan

(Wang & Taylor, 2011). Dikatakan juga bahwa generasi milenial memiliki

kecenderungan melakukan kohabitasi (tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan,

KBBI, 2021) dan cenderung lebih menghargai parenthood daripada pernikahan

(Wang & Taylor, 2011).

Perempuan yang masuk dalam golongan kaum milenial akan menjadi lebih

pemilih dalam menentukan pasangan hidup serta mementingkan stabilitas finansial

sebelum memutuskan untuk lanjung ke jenjang pernikahan (Badan Pusat Statistik,

2018). Presentase perempuan milenial yang belum menikah menurut Susenas 2017

sebesar 36,03%, ini artinya bahwa perempuan milenial yang belum menikah masih

tergolong cukup tinggi meskipun lebih dari setengah perempuan milenial (63,97%)

telah berstatus menikah (Badan Pusat Statistik, 2018). Besarnya proporsi penduduk

perempuan yang menikah karena berkaitan dengan faktor reproduksi, di mana masa

reproduksi perempuan dianggap subur rentang usia 15-49 tahun (Badan Pusat

Statistik, 2018).

Apabila ditinjau dari daerah tempat tinggal, perempuan milenial perkotaan

lebih banyak yang belum menikah (38,32%) dibandingkan dengan perempuan

milenial pedesaan (26,92%) (Badan Pusat Statistik, 2018). Tingginya angka belum

3

menikah pada perempuan milenial di perkotaan disebabkan karena tingginnya

tingkat pendidikan, kestabilan finansial, dan telah memudarnya adat tradisi budaya.

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun

2012, penduduk perempuan belum menikah pada usia 30-34 tahun sebanyak 4,5 %.

Data ini juga diperkuat oleh UK National Statistic Office, yang menyatakan bahwa

pada tahun 2012, usia rata-rata perempuan menikah adalah 30 tahun (Ruslan, 2011).

Untuk Provinsi DKI Jakarta, menurut data SDKI Tahun 2017, sebanyak 6%

penduduk perempuan belum menikah pada usia 30-34 tahun.

Tingginya tingkat pendidikan yang perempuan miliki menjadikan mereka

berambisi untuk menjadi pekerja dan bergabung dalam bidang profesionalisme.

Efek lanjutannya adalah fenomena menunda usia pernikahan semakin sering

ditemui (Badan Pusat Statistik, 2018). Silalahi (2018) dalam Adilah & Wiwin

(2021) mengatakan bahwa generasi milenial yang berpendidikan tinggi sering kali

menunda pernikahan, bahkan memutuskan untuk tidak menikah, karena mereka

mempercayai pendidikan sebagai aspek kedewasaan yang lebih penting dari

pernikahan (Calfas, 2017).

Perempuan yang bekerja atas dasar kemampuan dan keahlian yang

dimilikinya cenderung akan menunda diri mereka untuk menikah dan menjadi ibu

rumah tangga untuk beberapa tahun ke depan. Mereka akan memfokuskan diri

mereka untuk bekerja mengejar karir yang diinginkan. Bagi perempuan lajang,

pernikahan menjadi kontrak sosial, yang artinya harus ada kesepakatan antara

kedua belah pihak tanpa ada keterlibatan orang lain. Para perempuan lajang pada

4

umumnya adalah perempuan yang memiliki otonomi dan kuasa penuh atas dirinya

sendiri, menganggap bahwa pernikahan adalah sebuah pilihan rasional, personal

dan tidak ditentukan oleh masyarakat. Sebagai individu, perempuan memiliki

kebebasan untuk menentukan dan memilih pendamping hidupnya (Suhartami,

2002).

Selain itu, bagi perempuan, bekerja merupakan kesempatan untuk dapat

mengaktualisasikan diri. Bekerja memungkinkan untuk seorang perempuan

mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif. Dengan

bekerja, perempuan berusaha menemukan arti dan identitas dirinya dan pencapaian

tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Pekerjaan yang mereka

jalani merupakan bukti prestasi dari kemampuan yang dimiliki

Bayali (2013) menyatakan persyaratan dalam pekerjaan yang diberikan oleh

perusahaan menjadi salah satu faktor seseorang memutuskan menunda pernikahan.

Demi menekan angka kerugian, perusahaan membuat berbagai macam persyaratan

yang harus dipatuhi oleh setiap karyawan, misalnya sistem kerja kontrak.

Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan salah satu informan

perempuan yang memutuskan menunda pernikahan karena alasan pekerjaan.

Oleh sebab itu, penelitian ini ingin mencari tahu lebih mendalam tentang

pandangan perempuan dalam memandang pernikahan dan strategi perempuan

dalam memutuskan untuk menunda pernikahan. Selain itu, alasan yang mendasari

penelitian ini karena maraknya perempuan yang menunda menikah jelas menjadi

5

masalah dan menarik untuk diteliti, mengingat pernikahan merupakan suatu kultur

sosial yang sulit diabaikan, khususnya bagi perempuan.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka penulis merumuskan sebuah

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa perempuan menunda menikah?

2. Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk menikah pada

perempuan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan alasan perempuan

menunda pernikahan dan untuk menjelaskan bagaimana proses pengambilan

keputusan pernikahan yang dilakukan oleh perempuan.

Harapan peneliti dalam penelitian ini guna menghasilkan,

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan

akademik, pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam penerapan ilmu

metode penelitian khususnya mengenai gambaran pengetahuan terhadap

pandangan perempuan tentang pernikahan dan fenomena menunda menikah

pada perempuan yang terjadi di kota-kota besar. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan mampu menambah wawasan dan pengembangan teoritis untuk

Sosiologi Keluarga dan Sosiologi Gender.

6

2. Manfaat Praktis

Adanya penelitian ini diharapkan dapat mendorong untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai fenomena menunda pernikahan pada

perempuan. Adapun manfaat secara khusus yaitu sebagai saran positif kepada

pembaca untuk lebih kritis dalam memandang suatu fenomena. Selain itu,

manfaat dari penelitian ini juga bermanfaat bagi pengetahuan keluarga dalam

menyikapi keputusan untuk menikah atau menunda menikah yang diambil

oleh anggota keluarga khususnya anak perempuan. Pengambilan keputusan

menunda pernikahan yang diambil oleh perempuan juga berguna bagi

pengembangan bagi kebijakan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak (PPPA).

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang perempuan karir yang menunda menikah telah banyak

didiskusikan oleh kalangan akademisi. Beberapa penelitian yang ditemukan

cenderung lebih membahas bagaimana perempuan yang belum atau menunda

menikah memaknai kehidupan mereka, seperti pada penelitian milik Andu (2019),

Oktarina (2015), Rahmalia (2018). Sedangkan penelitian lainnya mengambil fokus

pada pengambilan keputusan menunda menikah yang dilakukan perempuan

penghafal Al-Qur’an (Hikmah, 2017).

Penelitian di atas menyimpulkan bahwa semakin meningkatnya kualitas

pendidikan, semakin banyak pula keterlibatan perempuan di ruang publik yang

pada akhirnya membuka wacana baru tentang cara berpikir mereka. Salah satunya

7

ialah adanya pergeseran pada makna pernikahan. Dewasa ini, pernikahan dianggap

sebagai hak kebebasan individu, bukan lagi sebagai sesuatu yang mengikat mereka.

Saat ini, perempuan mendapatkan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri,

seperti misalnya ingin fokus bekerja. Hal tersebut dapat dilihat dari realitas sosial

perempuan yang memutuskan untuk menunda pernikahan di mana mereka memilih

untuk fokus terhadap pekerjaannya, yaitu dengan menunjukkan sikap etos kerja

yang tinggi misalnya, pencapaian tujuan, dan kesadaran serta tanggung jawab

terhadap profesinya. Rahmalia (2018) dalam risetnya menemukan bahwa

perempuan yang belum atau menunda menikah lebih memaknai hidup mereka

dengan mandiri secara keuangan, membahagiakan orang tua, dan berkeyakinan

kuat kepada Tuhan bahwa Dia memiliki rencana yang indah untuk mereka. Selain

itu, Andu (2019) juga memaparkan bahwa perempuan yang belum atau menunda

menikah menganggap bahwa pernikahan tidak harus terburu-buru. Pernikahan

bukanlah hal urgent yang harus segera dilangsungkan. Sedangkan pada penelitian

yang dilakukan oleh Hikmah (2017) ditemukan bahwa pengambilan keputusan

yang dilakukan oleh perempuan penghafal Al-Qur’an sangat beragam dan rumit

karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti sosial, budaya, dan

psikologi. Akan tetapi, faktor budaya lebih dominan dalam memberikan pengaruh

sebelum pengambilan keputusan.

Selanjutnya, penelitian Dwi (2018) berfokus pada rasionalitas tindakan

melajang pemuda muslim di Desa Jimbung. Subjek penelitian ini adalah laki-laki.

Penelitian tersebut menggunakan konsep teori Rasionalitas Tindakan Sosial oleh

Max Weber, yang mengatakan bahwa tindakan rasional manusia dapat

8

mempengaruhi individu-individu lain dalam masyarakat. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa rasionalitas dibalik tindakan melajang pemuda muslim di

Desa Jimbung ada empat, yaitu: a). Rasionalitas praktis, yaitu lebih

mempertimbangkan hal yang paling cepat dan praktis dilakukan, yaitu tindakan

melajang karena melihat temannya juga belum menikah; b). Rasionalitas teoritis,

yaitu mempertimbangkan hubungan kausalitas seseorang mengapa melakukan

tindakan melajang; c). Rasionalitas substantif, yaitu mempertimbangkan nilai-nilai

yang ada di dalam masyarakat seperti nilai agama dan nilai kesopanan; d).

Rasionalitas formal, yaitu mempertimbangkan aturan yang ada di dalam

masyarakat dalam memilih pasangan.

Penulis juga merujuk pada penelitian yang dilakukan Adilah & Wiwin (2021)

yang menggali makna pernikahan pada generasi milenial yang menunda menikah

dan memutuskan tidak menikah. Penelitian tersebut terdapat dua pengelompokkan,

yaitu (1) kelompok penunda pernikahan; dan (2) kelompok menolak pernikahan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bagi kelompok penunda, pernikahan

adalah tahapan baru, hidup bersama pasangan, jangan egois, harus kondusif untuk

membesarkan anak, idealnya pasangan adalah orang tercinta, pernikahan adalah

tempat di mana pasangan harus dewasa, ibadah, jangan dilakukan karena tekanan

orang lain, membutuhkan persetujuan kedua belah pihak, harus dilakukan dengan

serius, sarana melahirkan generasi baru, dan dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan. Sedangkan bagi kelompok penolak, pernikahan diartikan sebagai

rumit, beban, tidak abadi, berisiko, meragukan, harus didasari rasa ketertarikan,

bukan millestone, tidak penting, tidak sakral, dan butuh kesabaran.

9

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada teori

yang digunakan walaupun masih dalam lingkup teori sosial. Jika penelitian

sebelumnya menggunakan beberapa teori seperti teori Rasionalitas tindakan sosial

Max Weber, teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer, teori Pengurangan

Ketidakpastiaan Charles Berger, dan teori Pengambilan Keputusan George R.

Terry. Sedangkan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori Otonomi oleh

Steinberg dalam analisisnya.

Selain itu, dalam penelitian ini juga penulis ingin mengkaji alasan yang

mendasari perempuan dalam menunda pernikahan serta strategi perempuan dalam

memutuskan untuk menunda pernikahan. Seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan yang perempuan miliki semakin

menjadikan perempuan ambisius menjadi pekerja dan memasuki dunia

profesionalisme serta bersaing dengan laki-laki. Sebab fenomena ini memberikan

dampak terjadinya penundaan pernikahan yang terjadi di kalangan perempuan,

lebih khususnya terhadap perempuan perkotaan. Oleh sebab itu, penulis tertarik

mengkaji lebih dalam fenomena ini menggunakan teori otonomi oleh Steinberg.

Dengan demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dan keunikan tersendiri

dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Sehingga penelitian ini

dapat digunakan untuk memperluas sudut pandang serta kajian akademis mengenai

fenomena menunda pernikahan pada perempuan di perkotaan.

10

1.5 Definisi Konsep

1.5.1 Perempuan Karier

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wanita adalah perempuan dewasa

(lebih halus), kaum-kaum putri sedangkan perempuan adalah lawan jenis laki-laki.

Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata “empu” yakni suatu gelar

kehormatan yang artinya tuan dan orang yang ahli. Sementara karir memiliki dua

pengertian: Pertama, perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan,

jabatan, dan sebagainya. Kedua, karir dalam arti umum adalah pekerjaan yang

memberikan harapan untuk maju.

Dalam Undang-Undang Kerja 1984 No. 12 disebutkan bahwa perempuan

bekerja atau pekerja perempuan adalah seorang perempuan yang melakukan

aktivitas atau pekerjaan di luar rumah atau di luar urusan keluarganya atau

perempuan yang bekerja di segala macam perusahaan swasta atau negeri.

Perempuan karier adalah perempuan yang memperoleh atau mengalami

perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain.

Hafiz (2002) menggambarkan pengertian tentang perempuan karier, yaitu

perempuan yang aktif dalam melakukan suatu kegiatan/pekerjaan untuk mencapai

kemajuan. Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh perempuan karier adalah bidang

pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya misalnya, bidang ekonomi, politik,

pemerintahan, sosial-budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Keikutsertaan perempuan di lapangan pekerjaan merupakan kebanggan

tersendiri dalam suatu keluarga. Apalagi pekerjaan itu sebagai penunjang profesi

yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Dengan demikian, persepsi dari masyarakat

11

khususnya keluarga perempuan tersebut, keberadaan perempuan karier merupakan

suatu kemajuan dan kebanggaan yang patut dihargai. Perempuan yang memasuki

dunia kerja atau memasuki dunia berkarier ada kalanya memang suatu keharusan,

misalnya karena orang tua sudah tidak sanggup lagi untuk memenuhi kebutuhan

keluarga, dan ada kalanya hanya menyalurkan bakat, profesi, dan memanfaatkan

ilmu serta keahliannya.

Meskipun perempuan telah dianggap sebagai mitra kaum laki-laki, tetapi

pada kenyataannya mereka masih sering mengalami kesulitan dalam mengejar atau

mencapai jenjang karier yang lebih tinggi karena pekerjaan-pekerjaan yang

dilakukan terlihat masih berhubungan dengan pekerjaannya di ranah domestik.

Yuwono (1994) menyatakan bahwa hal ini terjadi karena motivasi kerja perempuan

masih sering diwarnai oleh faktor-faktor sosial budaya yang akan membentuk

sikap-sikap tertentu dalam bekerja. Nasikun (1990) menyatakan bahwa jika karena

evolusi perkembangan zaman kaum perempuan melangkah ke pekerjaan-pekerjaan

di sektor publik, maka jenis-jenis pekerjaan yang terbuka bagi kaum perempuan

ternyata tidak jauh melangkah dari perpanjangan pekerjaan rumah tangga, seperti

bidan; perawat; guru; sekretaris; dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang

memerlukan lebih banyak keahlian manual.

Dengan demikian pada penelitian ini perempuan karier didefinisikan sebagai

perempuan yang memperoleh atau mengalami perkembangan dan kemajuan dalam

pekerjaan, jabatan pada suatu bidang profesional tertentu sesuai kemampuan yang

dimiliki sebagai upaya mengaktualisasikan dan menemukan identitas diri serta

mencapai kemajuan dan kepuasan dalam hidup.

12

1.5.2 Perempuan Lajang

Sebutan perempuan lajang digunakan untuk membedakan dengan

perempuan yang sudah menikah dan berkeluarga. Bagi perempuan lajang saat ini

pernikahan lebih dipengarui oleh pemikiran-pemikiran yang rasional, personal dan

bersifat penting. Mereka mempertimbangkan pernikahan dari berbagai sudut

pandang, tidak hanya sekadar mengikuti ritus pernikahan yang sudah membudaya

di masyarakat. Pertimbangan tersebut menjadi sangat mutlak karena perempuan

lajang adalah perempuan yang juga memiliki otonomi dan kekuasaan penuh atas

dirinya sendiri. Jadi setiap keputusan dan berbagai pertimbangan yang menyangkut

hidupnya membutuhkan suatu pemikiran atas dasar kajian yang rasional dan

personal (Suhartami, 2002).

Perlu dipahami bahwa kategori dari perempuan lajang ada dua, yaitu lajang

atas dasar keinginan sendiri (secara sengaja dan tidak sengaja) dan lajang secara

permanen (sementara dan tetap). Perempuan yang sengaja melajang sementara

(voluntary temporary singles) adalah mereka yang belum menikah atau sudah

pernah menikah namun tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas utama.

Sedangkan perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables

singles) terdiri dari perempuan lajang yang sengaja tidak ingin menikah atau

melakukan perkawinan. Kemudian, perempuan yang tidak sengaja melajang

sementara (involuntary temporary singles) adalah perempuan lajang yang belum

menikah tetapi mereka menginginkan perkawinan dan berupaya untuk menemukan

pasangan yang tepat. Terkahir, perempuan yang tidak sengaja melajang seterusnya

(involuntary stables singles) adalah perempuan lajang berusia tua yang ingin

13

menikah tetapi belum menemukan pasangan yang tepat dan pasrah menerima status

singlenya (Oktarina, 2015).

1.5.3 Penundaan Pernikahan

Pernikahan dan perkawinan seringkali diartikan sama, padalah secara

pengertian keduanya merujuk pada aktivitas yang berbeda. Menurut KBBI (2021)

nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai ddengan ketentuan

hukum dan ajaran agama. Sementara kawin, yakni (1) membentuk keluarga dengan

lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah; (2) melakukan hubungan kelamin; (3)

bersetubuh (sudah menikah/belum menikah); dan, (4) perkawinan. Berdasarkan

pengertian tersebut, perbedaan pernikahan dan perkawinan adalah sebagai berikut:

pernikahan adalah suatu pembentukan keluarga dengan suami-istri yang sah di mata

agama, adat dan negara. Sedangkan perkawinan adalah proses pembentukan

keluarga dengan cara persetubuhan. Perkawinan lebih bersifat fungsionalistik,

dalam hal ini perkawinan secara disengaja dilakukan oleh manusia untuk memenuhi

kebutuhan seksualnya sehingga manusia mampu menempatkan diri pada fungsi dan

perannya masing-masing di dalam suatu perkawinan (Koentjaraningrat, 1992).

Menikah merupakan suatu hal yang penting dalam siklus kehidupan manusia,

selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga dapat memenuhi

kebutuhan psikologis seseorang seperti rasa kasih sayang, rasa aman dan rasa ingin

dihargai. Seseorang yang telah melakukan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan

perempuan sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, baik

yang dilakukan secara hukum maupun secara adat atau kepercayaan dapat

dikatakan pula sebagai pernikahan. (Desiyanti, 2015).

14

Secara fisik, perempuan yang telah memasuki usia 21-25 tahun merupakan

usia yang digunakan sebagian besar perempuan untuk menargetkan usia

pernikahan. Hurlock (2004) menyatakan bahwa tujuan dari sebagian besar

perempuan yang belum menikah selama usia dua puluh tahunan adalah perkawinan.

Namun, apabila pada usia tiga puluh tahun mereka belum juga menikah, perempuan

cenderung akan menukar tujuan dan nilai hidupnya ke arah dan tujuan serta gaya

hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karier dan

kesenangan pribadi. Bagi Hurlock, usia tiga puluh tahun merupakan usia kritis

(critical age) bagi perempuan yang belum menikah. Kehidupan perempuan sering

kali diwarnai stress ketika ia mencapai usia ketiga puluh tahun namun belum juga

menikah. Akan tetapi, secara bertahap stress tersebut berkurang karena perempuan

mulai menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang baru.

Bagi kebanyakan perempuan, keinginan untuk menikah dan berkeluarga

berkurang setelah usia tiga puluh tahun karena mereka menyadari bahwa mereka

tidak berhasil mencapai tujuannya, yaitu menikah di usia sebelum usia tiga puluh

tahun. Kemudian, perempuan mejalani gaya hidup baru yang dikenal dengan istilah

melajang menurut Hurlock (2004).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa menunda pernikahan merupakan suatu sikap

yang secara sengaja dan sadar dilakukan oleh perempuan untuk memperlambat

dirinya membangun relasi rumah tangga bersama laki-laki. Dalam hal ini

memperlambatkan diartikan bahwa perempuan belum memiliki keinginan untuk

berusaha dan mencari pasangan hidup.

15

1.6 Kerangka Teoritis

1.6.1 Teori Otonomi

a. Definisi Otonomi

Pada umumnya otonomi diartikan dengan ketahanan diri dan kemandirian

(Santrock, 2007). Tidak jarang otonomi digunakan secara bergantian dengan

kemandirian (independensi) (Steinberg, 1993). Menurut beberapa ahli, kedua

konsep tersebut pada hakekatnya tidak memiliki perbedaan signifikan sehingga

dapat digunakan secara silih berganti. Namun, beberapa ahli menyatakan bahwa

secara konseptual, pengertian otonomi tidak hanya sebatas pada kemandirian

tingkah laku. Melainkan otonomi juga mencakup kemandirian dalam aspek

emosional dan nilai.

Steinberg menyatakan bahwasannya terdapat tiga konsep dalam otonomi

yaitu otomoni emosional, otonomi behavioral, dan otonomi nilai. Otonomi

emosional merupakan salah satu aspek dari kemandirian yang berkaitan dengan

perubahan hubungan individu dengan orang tua. Otonomi behavioral merupakan

kapasitas individu dalam mengambil keputusan dan menentukan pilihan.

Sedangkan otonomi nilai umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit

dicapai secara sempurna dibandingkan dengan kedua tipe otonomi lainnya.

Otonomi nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan individu dalam

memaknai setiap nilai yang diyakini dalam hidupnya. Artinya, individu tidak

mendapat tekanan untuk mengikuti tuntutan orang lain tentang apa yang ia yakini

(Steinberg, 1993).

16

Menurut Steinberg (1993), individu yang telah berkembang otonominya akan

menunjukkan ciri-ciri yaitu, (1) melalui proses individuasi dan menolak pengaruh

dari luar,, individu memfokuskan dirinya untuk menjadi diri sendiri; (2)

mengarahkan diri untuk lebih percaya diri dan berusaha melakukan perubahan

dalam mengambil keputusan secara mandiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain; (3)

adanya pergeseran pemikiran yang lebih abstrak konseptual, keyakinan dan nilai

diri.

Berkaitan dengan penelitian ini, perempuan dewasa yang tidak bergantung

lagi terhadap orang tua, baik secara emosi maupun finansial, dan berani mengambil

keputusan untuk memilih menunda pernikahan serta bersedia menanggung risiko

atas keputusan tersebut. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa ia telah memiliki

otonominya sendiri (Steinberg, 1993).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan otonomi adalah kemampuan individu untuk tidak bergantung kepada orang

lain secara emosi, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen

terhadap pilihan, dan mempunyai prinsip-prinsip/nilai-nilai yang diyakini dalam

hidup.

Diketahui bahwa refleksi diri dan identitas diri seseorang sebagian besar

dibentuk oleh tradisi dan norma komunal yang tidak dapat dipertanyakan

sepenuhnya. Masing-masing dibesarkan dalam semacam konteks sosial, meskipun

tidak selalu dalam konteks keluarga, refleksi diri dan identitas diri juga dapat

terbentuk pada jaringan sosial yang lebih luas seperti komunitas dan bangsa.

17

Hampir semua dari individu sepanjang hidupnya terlibat dalam hubungan sosial dan

komunitas. Hubungan sosial dan komunitas ini dipupuk dan dipertahankan oleh

berbagai jenis ikatan yang dibagikan bersama dengan orang lain, seperti bahasa,

tradisi, sejarah, tujuan, pandangan, nilai, dan ketertarikan bersama. Bahkan musuh

bersama, ketidakadilan, dan bencana pun menjadi sumber daya hubungan sosial

dapat dipertahankan (Mackenzie & Stoljar, 2000).

Individu menjadi lebih otonom mengenai beberapa tradisi, pandangan, atau

nilai dalam hidupnya tidak berarti ia berhenti bergantung pada orang lain atau

memutus hubungan sosialnya. Seorang individu yang menjadi lebih otonom pun

tidak menghindari perkembangan sejarah sosial pribadinya sendiri. Otonomi selalu

merupakan masalah derajat. Pertimbangan reflektif masih diaggap sebagai

keuntungan dalam otonomi bahkan jika dilakukan berdasarkan standar dan

hubungan lain yang tidak secara bersamaan dikenai pengawasan yang sama

(Mackenzie & Stoljar, 2000).

Sejalan dengan pendapat yang diajukan Collin (1997) (dalam Gerald R.

Adams & Berzoncky, 2003: 182), dan Ryan et al (1995) (dalam Widawati, 2008)

menyatakan bahwa perkembangan otonomi juga dipengaruhi oleh berbagai aspek

internal. Berdasarkan hal tersebut perkembangan otonomi individu dipengaruhi

oleh sikap dan tindakan individu dalam menghadapi situasi atau lingkungan

eksternal yang ada.

Berdasarkan konsep otonomi Steinberg (1993) ataupun Collin (1994) (dalam

Gerald R. Adam & Benzoncky, 2003: 175), maka individu yang otonominya kurang

18

atau tidak berkembang akan menunjukkan ciri-ciri yaitu, (1) individu akan tetap

memiliki ketergantungan terhadap orang tua; (2) individu kurang berani mengambil

keputusan secara mandiri; dan, (3) individu kurang mampu berpikir berdasarkan

nilai-nilai diri.

Dengan memiliki otonomi, individu juga akan memiliki pegangan, yaitu

prinsip dan nilai-nilai dalam hidupnya. Nilai-nilai tersebut ia dapatkan dari

pemikiran yang mendalam, berdasarkan keyakinan dirinya bukan hanya sekadar

ikut-ikutan saja (Steinberg, 2002).

Pada masa dewasa sendiri akan ada banyak tugas-tugas yang harus dapat

dipenuhi oleh individu. Menurut Turner & Helms (1995), tugas-tugas pada masa

dewasa antara lain mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina

kehidupan rumah tangga, memantapkan ekonomi rumah tangga, dan menjadi warga

negara yang bertanggung jawab (Dariyo, 2003). Selain itu, pada masa dewasa,

individu juga dituntut untuk dapat memperoleh kelompok sosial yang seirama

dengan nilai-nilai pahamnya (Mappiare, 1982). Individu dewasa juga dituntut untuk

sukses dalam memenuhi tuntutan budaya di tempat tinggalnya, sukses dalam

interaksi dengan orang lain, dan sukses dalam mengekspresikan diri. Individu yang

dewasa juga mempunyai kepribadian yang terintegrasi, dapat menerima realitas

dengan baik, dapat menyelesaikan persoalan dalam hidupnya, bertanggung jawab

pada perbuatannya, mampu merasakan emosi yang kuat namun juga dapat

mengontrol emosi dengan baik (Cole, 1963).

19

Steinberg (2002) dan Santrock (2007) mengungkapkan bahwa otonomi

individu terkait dengan hubungan dan kelekatan dengan keluarganya, dalam hal ini

adalah orang tua, serta pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya. Selain orang

tua, otonomi individu juga dipengaruhi oleh hubungan dengan saudaranya (sibling

relationship), hubungan dengan teman sebaya (peer), dan juga termasuk hubungan

dengan orang lain di lingkungannya dan budaya.

Untuk dapat menjadi otonom dan mandiri, individu membutuhkan

kesempatan, motivasi dan dukungan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya.

Dengan demikian, ia akan menjadi seorang individu yang mampu mengatur diri

dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri tanpa dipengaruhi atau diatur

oleh orang lain.

Sesungguhnya kapasitas otonomi tidak secara intrinsik mengganggu secara

sosial. Lebih tegas lagi, perbedaan yang muncul di antara orang-orang sebagai

akibat dari penolakan otonomi dari salah satu pihak terhadap nilai-nilai atau

komitmen yang masih dipegang pihak lain yang pada akhirnya menyebabkan satu

pihak menjauh atau menolak yang lain. Kekhawatiran mereka adalah bahwa orang-

orang yang otonom akan mengganggu atau meninggalkan hubungan bersama yang

berharga (Mackenzie & Stoljar, 2000).

Secara tradisional, mayoritas perempuan memperoleh identitas utama sejak

mereka dewasa adalah dari pernikahan dan keluarga mereka. Namun, pada akhir

abad kedua puluh, setidaknya bagi beberapa kelompok perempuan peluang sosial

dan ekonomi telah meluas. Karena perluasan peluang inilah banyak perempuan

20

tidak perlu lagi mengakomodasikan diri mereka sendiri secara tidak kritis terhadap

pernikahan tradisional atau ikatan pada hubungan lain untuk menopang diri mereka

sendiri (Mackenzie & Stoljar, 2000).

1.7 Metodologi Penelitian

1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memahami tentang fenomena apa

yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan sebagainya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007). Tujuan dari penelitian

kualitatif adalah memperoleh pemahaman mendalam atas apa yang terjadi di

masyarakat, dan menafsirkan perilaku masyarakat dengan cara-cara yang dapat

dipahami oleh mereka sendiri. Sehingga, penelitian kualitatif berusaha menangkap

perasaan, tekstur, makna perilaku dan konteks yang lebih luas di mana peristiwa itu

terjadi (Silalahi, 2009).

Adapun metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif merupakan penelitian yang tujuan utamanya untuk memberikan

gambaran dengan menggunakan kata-kata dan angka serta untuk menyajikan

profil/persoalan, klasifikasi jenis, atau garis besar tahapan guna menjawab

pertanyaan seperti siapa, kapan, di mana, dan bagaimana. Secara singkat, penelitian

deskriptif menyajikan gambaran yang spesifik mengenai situasi, penataan sosial,

atau hubungan (Neuman, 2013). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan

21

bahwa penelitian deskriptif berusaha menggambarkan objek penelitian berdasarkan

fakta dan data serta peristiwa dan berusaha menghubungkan serta menganalisanya

berdasarkan konsep-konsep yang telah dikembangkan sehingga memudahkan

peneliti dalam memecahkan masalah. Pendekatan kualitatif dipilih karena penulis

ingin memperoleh informasi secara jelas dan mendalam tentang pandangan

perempuan dalam memandang pernikahan dan strategi perempuan dalam

memutuskan untuk menunda pernikahan. Selain itu menunda perkawinan

merupakan hal yang sensitif sehingga informasi akan tergali lebih dalam apabila

menggunakan pendekatan kualitatif.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan orang yang paham betul mengenai apa yang

sedang diteliti. Lebih tegas lagi, Moleong (2007) mengatakan bahwa subjek

penelitian adalah orang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi

dan kondisi latar penelitian (Basrowi & Suwandi, 2008: 188). Dalam penelitian ini

penulis menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan lokasi

penelitian, yakni wilayah perkotaan. Wilayah perkotaan dipilih karena tren

penundaan pernikahan lebih umum terjadi pada masyarakat perkotaan. Sehingga

studi ini berfokus pada wilayah perkotaan. Kemudian, teknik ini juga penulis

gunakan untuk menentukan kriteria atau kualifikasi tertentu sebagai informan,

yaitu:

1. Lajang (single) minimal usia 29 tahun;

2. Telah menikah dengan usia pertama perkawinan adalah 30 tahun;

22

3. Memliki pekerjaan/karier atau usaha;

Adapun informan dalam penelitian ini dipilih menggunakan snowball

sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang

pada awalnya berjumlah sedikit, namun lama kelamaan menjadi besar. Hal ini

dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu

memberikan data yang memuaskan. Maka peneliti mencari orang lain lagi yang

dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian, jumlah sumber data

semakin besar seperti bola salju yang menggelinding (Sugiyono, 2019). Dalam

teknik ini, pengumpulan data dilakukan secara berantai yang dimulai dengan

beberapa tahapan, yaitu:

a. Tahap Pertama

Pada tahap awal penelitian, penulis mulai meminta bantuan kepada kakak

kandung penulis untuk dikenalkan kepada teman atau kenalan yang memenuhi

kriteria informan untuk dijadikan sampel awal. Pada tahap ini, awalnya penulis

memperoleh satu orang informan yang kemudian berkembang menjadi tiga orang

informan.

b. Tahap Kedua

Untuk memenuhi target penulis, pada tanggal 02 Oktober 2021, penulis

berusaha mencari informan lain yang sesuai dengan kriteria informan penelitian

melalui jejaring sosial media Twitter. Pada tahap ini, penulis menuliskan sebuah

“tweet” bertuliskan kriteria informan yang dibutuhkan dan meminta ketersediaan

23

para mutual (teman yang saling mengikuti di akun Twitter) dan non-mutual untuk

menjadi informan dalam penelitian ini.

c. Tahap Ketiga

Satu hari kemudian setelah cuitan penulis di Twitter, penulis banyak sekali

menerima request DM (Direct Message) yang berisikan bahwa mereka memenuhi

kriteria dan bersedia menjadi informan. Selain itu, terdapat pula yang menawarkan

temannya untuk dikenalkan kepada penulis untuk dijadikan informan, karena

temannya memenuhi kriteria sebagai informan penelitian. Pada tahap ini, penulis

langsung memilah dan memilih kembali siapa saja yang benar-benar memenuhi

kriteria informan. Penulis juga menghubungi kembali seseorang yang ingin

mengenalkan temannya kepada penulis. Dari perkenalan ini, penulis memperoleh

tiga orang informan sebagai sampe kedua. Sedangkan dari Direct Message di

Twitter, penulis memilih empat orang sebagai informan.

d. Tahap Keempat

Setelah melakukan komunikasi melalui jejaring media sosial, yakni Twitter

dan WhatsApp, sepuluh informan tersebut bersedia menjadi informan dalam

penelitian ini. Kemudian, penulis mulai menjadwalkan waktu wawancara. Proses

wawancara dilakukan secara daring sebab penelitian ini berlangsung di masa

pandemi Covid-19, dimana pemerintah memberlakukan PPKM (Pembatasan

Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat) sebagai upaya penekanan penurunan angka

penyebaran Covid-19 yang semakin meluas. Wawancara dengan informan pertama

kali dimulai pada hari Jumat, 29 Oktober 2021 sampai dengan 08 November 2021.

24

e. Tahap Kelima

Penulis masih membutuhkan informan lagi untuk memenuhi target

responden. Di tahap ini penulis kembali meminta bantuan kakak kandung penulis

untuk dikenalkan kepada teman-temannya. Seingat penulis, kakak kandung penulis

memiliki banyak teman perempuan yang memenuhi kriteria informan. Sambil

menunggu respon dan jawaban dari calon informan, penulis melakukan transkrip

wawancara yang telah penulis lakukan sebelumnya. Transkrip dilakukan setelah

penulis menyelesaikan sesi wawancara dengan informan. Pada tahap ini juga

penulis berhasil mengumpulkan lima orang informan yang merupakan teman-

teman kakak kandung penulis.

f. Tahap Keenam

Wawancara kembali dilakukan dengan informan baru pada tanggal 22

November dan berakhir pada tanggal 05 Desember 2021. Total informan pada

penelitian ini berjumlah lima belas perempuan yang telah memenui kriteria

informan.

No. Nama Usia Asal/Domisili Pekerjaan Status

Perkawinan

Usia

Menikah

1. Y 48 tahun Jawa Tengah Sek. DRPD Komisi

III Kab. Purbalingga

Menikah 30 tahun

2. KK 32 tahun Jakarta Selatan CEO PT. X Menikah 30 tahun

3. I 36 tahun Depok Dosen Menikah 34 tahun

4. US 30 tahun Malang Freelancer Belum Menikah -

5. U 30 tahun Padang Freelancer Belum Menikah -

6. S 31 tahun Batam Psikolog Menikah 30 tahun

Tabel 1.1. Tabel Informan

25

Dari lima belas orang informan dalam penelitian ini, lima di antaranya telah

berstatus menikah, dengan rata-rata usia perkawinan pertamanya adalah 30 tahun.

kemudian, sepuluh orang informan lainnya masih berstatus lajang. Para perempuan

yang menjadi informan dalam penelitian ini memiliki pekerjaan yang beragam,

namun mayoritas dari mereka adalah karyawan swasta. Terdapat juga beberapa dari

mereka yang telah bergabung dalam bidang profesionalisme seperti psikolog,

dosen, bidan, dan editor. Dengan pekerjaan dan karier yang dimiliki menunjukkan

bahwa para perempuan tersebut telah mandiri secara finansial.

Perempuan lajang yang bekerja dan perempuan yang sudah menikah dengan

usia pertama perkawinan adalah 30 tahun dipilih karena pertama, perempuan

tersebut masuk ke dalam golongan perempuan milenial. Kedua, penulis melihat

semakin banyaknya peluang bagi perempuan untuk mengenyam tinggi bangku

pendidikan, semakin tinggi pula lapangan pekerjaan terbuka luas bagi mereka.

Dengan hadirnya perempuan di sektor publik yang umumnya diisi oleh perempuan-

perempuan dengan dengan kualitas pendidikan yang unggul membawa warna baru

dalam cara berpikir mereka. Salah satunya ialah bagaimana cara mereka memaknai

sebuah pernikahan.

7. IN 33 tahun Jakarta Timur Dosen Belum Menikah -

8. A 35 tahun Jakarta Selatan Bidan Menikah 34 tahun

9. N 32 tahun Depok Karyawan Swasta Belum Menikah -

10. YT 30 tahun Jakarta Selatan Karyawan Swasta Belum Menikah -

11. L 31 tahun Jakarta Timur Karyawan Swasta Belum Menikah -

12. AR 29 tahun Jakarta Selatan Karyawan Swasta Belum Menikah -

13. CT 30 tahun Jakarta Selatan Editor Belum Menikah -

14. FT 30 tahun Jakarta Timur PNS Belum Menikah -

15. AA 29 tahun Jakarta Timur Guru Belum Menikah -

26

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2019) mendefinisikan wawancara

(interview) sebagai pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui

tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Dengan melakukan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih

mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang

terjadi, di mana hal ini tidak dapat ditemukan melalui observasi (Stainback, 1988)

dalam Sugiyono (2019). Dalam penelitian ini, penulis melakukan proses

wawancara dengan lima belas orang informan yang dilakukan secara daring melalui

telephone, hanya via suara. Dan satu informan lainnya melalui wawancara langsung

face to face. Kemudian, penulis hanya melakukan satu kali wawancara dengan

informan dengan rata-rata menghabiskan waktu 30 menit hingga 2 jam dalam satu

kali wawancara.

4. Analisis Data

Bogdan (dalam Sugiyono, 2019) menyatakan bahwa analisis data adalah

proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, dan lainnya sehingga dapat dengan mudah dipahami

serta temuannya dapat dijadikan informasi untuk orang lain. Analisis data dilakukan

dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.

27

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Reduksi data (data reduction)

Data yang penulis dapatkan di lapangan jumlahnya cukup beragam, kompleks

dan rumit. Maka dari itu diperlukan reduksi data. Pada proses ini, penulis mereduksi

data yang ada dengan cara mengkoding hasil wawancara, yaitu memilih bagian-

bagian yang relevan dan fokus dengan topik penelitian yang sedang dilakukan.

b. Penyajian data (data display)

Setalah data direduksi, selanjtutkan penulis melakukan penyajian data dalam

bentuk teks yang bersifat naratif. Pada tahap ini, penulis menjelaskan hasil dan

analisis yang penulis lakukan berdasarkan data wawancara. Analisis yang

ditampilkan merupakan informasi mengenai pandangan perempuan tentang

pernikahan dan pengambilan keputusan pernikahan pada perempuan dalam

analisis teori otonomi.

c. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification)

Setelah hasil dan analisis ditampilkan, selanjutnya pada tahap ini penulis

menyajikan kesimpulan dari data yang diperoleh melalui proses penelitian.

Kesimpulan yang diambil ialah kesimpulan yang menjawab dua pertanyaan

penelitian di atas.

28

1.8 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi tentang pernyataan masalah, pertanyaan

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, definisi konsep,

kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Fenomena Gaya Hidup Perempuan Perkotaan. Dalam bab ini membahas

kehidupan perempuan perkotaan di era global.

Bab III Temuan Hasil dan Analisa. Pada bab ini berisikan hasil temuan yang ada

di lapangan.

Bab IV Penutup. Pada bab ini sekaligus terakhir berisi tentang kesimpulan dari

penelitian dan penulisan atas hasil temuan yang ada di lapangan. Bab ini juga berisi

saran bagi peneliti selanjutnya yang hendak melakukan penelitian dengan tema

penelitian serupa.

29

BAB II

FENOMENA GAYA HIDUP PEREMPUAN PERKOTAAN

2.1 Kehidupan Perempuan Di Kota di Era Global

Kemajuan perkotaan dan industri tidak luput dari proses modernisasi. Secara

umum, modernisasi dipahami sebagai proses perubahan atau transformasi dari

kehidupan bersama yang bersifat tradisional ke arah pola-pola sosial, ekonomi,

politik yang telah berkembang di negara-negara Barat. Proses modernisasi

diwujudkan melalui perubahan pola-pola perilaku yang mengadopsi aspek-aspek

kehidupan modern, seperti mekanisasi, urbanisasi, penggunaan teknologi seperti

alat-alat komunikasi massa, serta sistem administrasi-birokrasi yang teratur,

terencan, dan terukur. Modernisasi kerap kali disamakan dengan Westernisasi.

Padahal keduanya sangat berbeda. Westernisasi merupakan sikap meniru dan

menerapkan budaya Barat tanpa adanya upaya untuk menyeleksi atau

menyesuaikan dengan nilai-nilai yang dimiliki. Pengaruh budaya Barat biasanya

diperolah melalui media cetak dan elektronik seperti televisi, internet, buku, dan

majalah.

Berbicara tentang perempuan, tidak sedikit dari hasil kajian yang

menyebutkan bahwa perempuan dan anak masih tergolong kelompok rentan yang

sering mengalami berbagai masalah seperti kemiskinan, kekerasan, konflik dan

sebagainya. Hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara di seluruh dunia, tetapi juga

di Indonesia. Secara kultural, konstruksi gender masih merugikan pihak

perempuan, di mana pihak perempuan dianggap lebih rendah sehingga pada proses

pengambilan keputusan jarang mengikutsertakan perempuan. Selain itu,

30

perempuan dinilai hanya mampu dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan

domestik.

Prinsip utama pembangunan manusia adalah mengupayakan posisi laki-laki

maupun perempuan setara, di mana keduanya dapat memilih pilihan dalam

kehidupannya, menyadari potensi yang ada pada dirinya, dan kebebasan dalam

menjalani kehidupan secara terhormat dan berharga (UNDP, 2015) dalam

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2020). Oleh

karena itu, kesetaraan gender menjadi indikator yang sangat penting dalam

pembangunan manusia. Perempuan dan laki-laki sama-sama penting untuk

diperhitungkan sehingga sama-sama dapat berperan, terlibat, dan berkontribusi

untuk mencapai pembangunan manusia seutuhnya.

Lambat tapi pasti, perempuan mulai dapat membuktikan bahwa mereka layak

diperhitungkan atas kecerdasan dan kemampuan mereka. Saat ini perempuan telah

banyak berkontribusi dalam pembangunan. Peran perempuan dalam upaya

peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat adalah dengan

terlibatnya perempuan pada bidang-bidang ekonomi, politik, pemerintahan dan

bidang lainnya. Sebagai contoh pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan

Wakil Jusuf Kalla pada periode 2014-2019, perempuan semakin diperdayakan

dalam bidang politik. Hal tersebut dibuktikan dengan ditetapkannya peraturan

kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik.

Lebih lanjut menyangkut upaya pemberdayaan perempuan di bidang

ekonomi, saat ini telah muncul industri ekonomi kreatif. Di mana perempuan telah

31

sukses mendominasi serapan tenaga kerja pada sektor ini. Dalam laporan Tenaga

Kerja Ekonomi Kreatif, BPS dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyebut

perempuan secara konsisten menjadi pemain utama industri kreatif sejak 2011

hingga 2016. Persentase perempuan di sektor ini sebesar 53,86%. Angka yang

cukup mencolok bila dibandingkan dengan komposisi industri pada umumnya, di

mana pekerja perempuan hanya sekitar 37,16% dan laki-laki sebesar 62,84%. Pada

tahun 2016, perempuan yang bekerja di sektor ekonomi kreatif sebanyak 9,4 juta

jiwa (KEMENKO PMK, 2019)

Dalam konteks pembangunan, arus utama gender dan pemberdayaan

perempuan begitu erat kaitannya dengan memperbaiki kualitas generasi penerus

bangsa. Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality yang

berlangsung saat Asian Development Bank Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji

(04/05/2019), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

menyebutkan bahwa kaum perempuan adalah aset, potensi dan investasi penting

bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai kapabilitas dan

kemampuannya.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 mencatat jumlah penduduk laki-laki

lebih banyak dari pada penduduk perempuan, yakni jumlah penduduk laki-laki di

Indonesia sebanyak 136,66 juta jiwa atau 50,58% dari keseluruhan penduduk

Indonesia. Sementara jumlah penduduk perempuan sebanyak 133,54 juta jiwa atau

49,42% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Sedangkan Indeks Pembangunan

Gender (IPG) Indonesia mengalami kenaikan dari 90,99 pada tahun 2018 menjadi

91,07 di tahun 2019. Artinya, IPG Indonesia mengalami kenaikan sebesar 0,55 poin

32

atau tumbuh 0,08% dibandingkan 2018. Diketahui IPG yang mendekati 100 secara

jelas mengindikasikan bahwa semakin kecil kesenjangan pembangunan antara laki-

laki dan perempuan. Peningkatan IPG ini disebabkan oleh pertumbuhan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) perempuan yang lebih besar dibandingkan IPM laki-

laki pada periode 2018-2019. BPS dalam www.Kemenpppa.go.id mencatat IPM

perempuan naik sebesar 0,08%, sedikit lebih besar dibanding dengan IPM laki-laki

yang tumbuh 0,70% dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun IPG di tahun 2019

mengalami peningkatan, namun belum berhasil mencapai target Indikator Kerja

Utam Renstra Kementerian PPPA di tahun 2019 yang mentargetkan IPG telah

mencapai 92,00.

Sementara capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia telah

menunjukkan kemajuan yang terus meningkat. Dalam dua tahun terakhir, IDG

Indonesia menunjukkan peningkatan dari angka 71, 74 pada tahun 2017 telah

meningkat menjadi 75,24 di tahun 2019. Hal tersebut terjadi karena adanya

peningkatan pada semua indikator pembentuk IDG, terutama pada keterlibatan

perempuan di parlemen yang meningkat secara signifikan. Di tahun 2019, jumlah

perempuan di parlemen meningkat menjadi 20,52% dari 17,32% pada tahun 2018.

Hal ini membuktikan bahwa pemberdayaan gender di Indonesia semakin nyata.

Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peran perempuan dalam

pembangunan, oleh sebab itu pemerintah memberikan perhatian pada empat sektor

utama yaitu, kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, serta terkait pencegahan

kekerasan. Di samping itu, langkah strategis disiapkan untuk mengatasi isu

33

pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, sekaligus tujuan pembangunan

berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s).

Pembangunan manusia dibidang kesehatan masih perlu diperjuangkan. Salah

satunya ialah usaha untuk menurunkan Angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia, di

mana pada saat ini AKI masih cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh

banyaknya praktik perkawinan usia anak pada perempuan, kehamilan yang tidak

diinginkan, dan masih sangat rendahnya jumlah pengguna alat kontrasepsi pada

laki-laki. Selain AKI, angka perkawinan dini juga masih tinggi, yaitu berkisar usia

17-18 tahun sebesar 20,74% dan usia kurang dari 16 tahun sebanyak 15,48%

(Kemen.PPPA, 2020a).

Dalam bidang pendidikan, perempuan dan laki-laki telah mencapai

kesetaraan. Hal ini dibuktikan dengan kepemilikan ijazah antara perempuan dan

laki-laki yang setara. Tingginya tingkat pendidikan yang perempuan miliki

menjadikan mereka berambisi untuk menjadi pekerja dan bergabung dalam bidang

profesionalisme. Efek lanjutannya adalah fenomena menunda usia pernikahan

semakin sering ditemui (Badan Pusat Statistik, 2018). Silalahi (2018) dalam Adilah

& Wiwin (2021) mengatakan bahwa generasi milenial yang berpendidikan tinggi

sering kali menunda pernikahan, bahkan memutuskan untuk tidak menikah, karena

mereka mempercayai pendidikan sebagai aspek kedewasaan yang lebih penting dari

pernikahan (Calfas, 2017). Namun hal ini tidak berarti bahwa agenda pembangunan

manusia di bidang pendidikan telah selesai. Karena pada kenyataannya masih

terdapat kesenjangan pendidikan berdasarkan wilayah kota dan desa.

34

Perempuan yang masuk dalam golongan kaum milenial akan menjadi lebih

pemilih dalam menentukan pasangan hidup serta mementingkan stabilitas finansial

sebelum memutuskan untuk lanjung ke jenjang pernikahan (Badan Pusat Statistik,

2018). Presentase perempuan milenial yang belum menikah menurut Susenas 2017

sebesar 36,03%, ini artinya bahwa perempuan milenial yang belum menikah masih

tergolong cukup tinggi meskipun lebih dari setengah perempuan milenial (63,97%)

telah berstatus menikah (Badan Pusat Statistik, 2018). Besarnya proporsi penduduk

perempuan yang menikah karena berkaitan dengan faktor reproduksi, di mana masa

reproduksi perempuan dianggap subur rentang usia 15-49 tahun (Badan Pusat

Statistik, 2018).

Apabila ditinjau dari daerah tempat tinggal, perempuan milenial perkotaan

lebih banyak yang belum menikah (38,32%) dibandingkan dengan perempuan

milenial pedesaan (26,92%) (Badan Pusat Statistik, 2018). Tingginya angka belum

menikah pada perempuan milenial di perkotaan disebabkan karena tingginnya

tingkat pendidikan, kestabilan finansial, dan telah memudarnya adat tradisi budaya.

Di bidang ekonomi masih terjadi kesenjangan gender di mana jumlah pekerja

perempuan pada tahun 2019 hanya sebesar 51,89%, angka ini masih jauh lebih

rendah di bandingkan laki-laki yang telah mencapai 83,13%. Selain jumlah pekerja,

diskriminasi pun terjadi pada upah pekerja perempuan yang masih jauh lebih kecil

dari pada laki-laki dengan beban kerja yang sama dan pendidikan yang setara. Rasio

rata-rata antara upah perempuan dan laki-lai yang bekerja di tahun 2019 hanya

sebesar 77,39% (Kemen. PPPA, 2020a).

35

Konstruksi budaya menempatkan perempuan bekerja menghadapi dilema

antara bertanggung jawab pada keluarga atau berperan di ruang publik/pasar kerja.

Hal tersebut berpengaruh pada pilihan pekerjaan yang tidak bisa sebebas laki-laki.

Namun demikian, terlepas dari semua bidang yang bisa digeluti oleh kaum

perempuan, sampai sejauh ini perempuan telah membuktikan bahwa mereka

mampu berpartisipasi dalam proses pembangunan.

36

BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS

Pada bab ini, penulis menyajikan hasil studi dari pengolahan data yang

dilakukan pada perempuan yang belum/ menunda menikah dan yang sudah

menikah di usia 30 tahun yang tersebar untuk mengetahui alasan mengapa

perempuan menunda menikah dan bagaimana proses pengambilan keputusan pada

perempuan yang memutuskan untuk menikah atau tidak menikah.

Studi ini menggunakan teori otonomi milik Laurence Steinberg yang

mencakup tiga dimensi, di antaranya: (a) otonomi emosi yakni kemampuan

individu untuk tidak bergantung secara emosi terhadap orang lain, dalam hal ini

orang tua; (b) otonomi tingkah laku dipahami sebagai kemampuan individu dalam

mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut;

dan (c) otonomi nilai adalah kemampuan individu untuk memaknai seperangkat

prinsip tentang benar dan salah, serta penting atau tidak penting (Steinberg, 1993).

Penulis akan memaparkan mengenai bagaimana otonomi/kemandirian

perempuan dapat mengubah pemikiran perempuan tentang pernikahan serta

bagaimana otonomi/kemandirian perempuan mempengaruhi setiap keputusan yang

akan perempuan ambil, dalam hal ini adalah menikah/menunda pernikahan.

3.1 Alasan Penundaan Pernikahan Pada Kalangan Perempuan Perkotaan

Pendidikan membawa perempuan memiliki status sosial dan ekonomi yang

mampu memberikan kuasa di hidupnya. Melalui analisis teori otonomi Steinberg,

perempuan mampu memilih dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan

hidupnya secara mandiri. Foucault (1980) menjelaskan bahwa pengetahuan adalah

37

kuasa. Pengetahuan yang dimiliki oleh para perempuan membuat pola pikir mereka

menjadi lebih luas dan terbuka untuk hidup atas kontrol dirinya sendiri. Pendidikan

menjadi modal utama bagi perempuan untuk menjalankan hidup sesuai dengan

kendali diri sendiri, sebelum akhirnya mereka mandiri secara ekonomi. Perempuan

yang berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi mampu memutuskan

pilihan hidupnya. Dalam hal ini, mereka mampu bernegosiasi terkait dengan

pernikahan.

Menikah merupakan sebuah keputusan yang sangat rumit. Menikah bukan

hanya mengambil keputusan untuk diri sendiri melainkan banyak pihak, di

antaranya calon pasangan, orang tua, keluarga besar dan lingkungan. Alasan-alasan

tersebut menjadi faktor eksternal mengapa perempuan memutuskan menunda

menikah.

Perempuan yang menjadi informan penulis adalah mereka yang memutuskan

menikah atau menunda menikah di usia dewasa, yakni di usia 29–48 tahun.

Menurut Santoso dan Winarto (2010: 127) dalam Andu (2019) usia dewasa berkisar

antara 25 – 35 tahun, fase usia ini disebut sebagai masa dewasa awal atau muda.

Dari wawancara yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa keputusan

perempuan menunda menikah dipengaruhi oleh beberapa alasan, di antaranya: (1)

menjadi tulang punggung keluarga (generasi sandwich); (2) fokus bekerja dan

mengejar karir; (3) melanjutkan pendidikan; (4) ketakutan/ trauma, baik dari

pasangan atau pun dari pengalaman masa lalu keluarga; dan (5) belum menemukan

pasangan yang tepat.

38

a. Tulang Punggung Keluarga

Sandwich generation menurut T Broady (2019) dalam Kompas.com (diakses

04 Januari 2021) menjelaskan bahwa generasi sandwich adalah individu yang

membagi sumber daya mereka untuk anak dan orang tuanya yang telah memasuki

usia lanjut. Dengan demikian, seseorang yang termasuk dalam generasi sandwich

tidak hanya mengurus diri sendiri. Lebih dari itu, mereka juga turut menanggung

beban generasi sebelum dan sesudahnya. Posisi mereka yang berada di antara dua

generasi itulah yang kemudian membuat seseorang diibaratkan seperti sandwich.

Status generasi sandwich membuat seseorang memiliki jumlah tanggungan

keluarga yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan non-generasi sandwich.

Jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak tersebut menyebabkan generasi

sandwich memiliki kewajiban finansial yang cenderung lebih tinggi.

Sebagai generasi sandwich, yang berperan sebagai tulang punggung keluarga

menjadi salah satu alasan perempuan menunda pernikahan. Bertanggung jawab atas

masa depan adik-adik, membayar semua tagihan sekolah, keperluan rumah tangga

seperti bayar tagihan listrik, makan, air dan lainnya. Dalam situasi seperti ini,

perempuan hanya ingin berjuang demi membahagiakan keluarga dan melupakan

sejenak prioritas untuk menikah.

Salah satu informan penulis, AR (29) menyebutkan bahwa salah satu alasan

ia memutuskan menunda menikah karena ia berada dalam generasi sandwich,

“...Karena sandwich generation itu juga aku harus ngebantu adik-adik aku

selanjutnya untuk sekolah lagi ya kan. Sedangkan jarak nanti adik aku

sekolah lagi itu, waktunya orang tua aku pensiun. Aku sebagai yang tua

ngebantu adik-adik aku kan. Kalo aku sudah nikah itu, nggak akan bisa

39

melakukan kayak begitu karena nanti aku akan punya keluarga yang bakalan

aku prioritaskan” (wawancara dengan AR, 27 November 2021).

Solberg dalam Kompas.com menyepakati status sebagai generasi sandwich

memberikan dampak negatif terhadap kondisi pernikahan. Sejalan dengan hasil

studi tersebut, penelitian Hopps (2017) di Amerika Serikat menemukan bahwa

kelompok individu yang memiliki tanggung jawab merawat orang tua lebih banyak

merasa tertekan apabila dibandingkan dengan yang tidak memiliki tanggung jawab

serupa (Kompas.com).

b. Fokus bekerja dan mengejar karir

Banyak perempuan modern atau yang dikenal saat ini dengan sebutan

perempuan milenial lebih mementingkan pendidikan serta karier dari pada

hubungan percintaan. Pendidikan digunakan sebagai salah satu ukuran dari tingkat

kemampuan sumber daya manusia yang menjadi bekal dalam memasuki lapangan

pekerjaan (Oktarina, 2015). Pekerjaan mendefiniskan seseorang secara mendasar

(Blustein, 2008) dalam Santrock (2011: 30). Oleh karena itu perempuan

menjadikan pekerjaan sebagai wadah pengaktualisasian diri. Beberapa orang juga

memperoleh identitasnya melalui pekerjaan (Santrock, 2011). Oleh sebab itu

pekerjaan dan karier dianggap lebih menguntungkan dari pada pernikahan.

Kesibukan mereka tentu membuat mereka terlambat menikah atau secara sengaja

memutuskan menunda pernikahan.

Selain itu, pekerjaan sangat mempengaruhi kondisi finansial, kondisi rumah,

cara meluangkan waktu, lokasi rumah, sahabat-sahabatnya, dan kesehatan (Hodson,

2009). Lingkungan pekerjaan yang nyaman dan aman juga menjadi salah satu

40

alasan perempuan menunda menikah. Menurut pernyataan salah satu informan, Y

(48) menyatakan bahwa,

“Jadi aku memang tidak pernah (kepikiran untuk menikah), gara-garanya

aku tidak pernah di rumah (bekerja diperantauan). Bekerja terus. Kepengen

aktualisasi diri..” (wawancara dengan Y, 29 Oktober 2021)

Bekerja dibidang entertaiment, tepatnya dibidang broadcasting dengan

segudang beban dan tanggung jawab yang harus ia emban, tidak membuat Y (48)

kewalahan. Justru sebaliknya, ia merasakan kenyamanan bekerja dibidang tersebut.

Menurutnya lingkungan dan teman-teman kerjanya sangat mengasyikkan. Selain

itu, ia juga merasa memiliki kebebasan untuk berteman dengan siapa saja. Karena

dibidang ini, menurutnya perempuan dan laki-laki sama saja. Hal ini membuatnya

terlalu menikmati pekerjaannya sehingga ia tidak berpikir untuk menjalin relasi

romantis apalagi memikirkan untuk menikah.

“... Saking asiknya kalo di dunia broadcast inilah yang membuat aku nggak

kepikiran buat pacaran, enggak. Apalagi menikah juga enggak. Saking

asiknya” (wawancara dengan Y, 29 Oktober 2021).

“... Ya karena nyaman bekerja, enjoy, yasudah aku gak kepikiran untuk cari-

cari pasangan. Semua bertemen enak saja, orang aku bertemen sama siapa

saja enak. Kayak begitu loh. Jadi yasudah nggak kepikiran saja. Kerjaanku

banyak. Besok ketemu lagi harus tanggung jawab atas ini atas itu. Seperti itu

mbak.” (wawancara dengan Y, 29 Oktober 2021).

Selain tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas, keputusan Y (48)

menunda pernikahan saat itu juga karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan

keluarga. Di mana tiga saudara laki-lakinya saat itu belum menikah.

Sama seperti yang diutarakan oleh CT (30), di usianya saat ini ia memutuskan

untuk tidak terlalu terburu-buru menikah dengan alasan ingin mengejar karier dan

41

menstabilkan pekerjaan. Sebagaimana yang CT (30) katakan bahwasannya ia baru

saja memulai karier di usia 24- 25, sebab itu ia masih perlu waktu untuk

menstabilkan pekerjaannya sampai sekarang.

“Kepengennya gue sih kalo gue sudah bener-bener punya profesi, gue baru

deh mikirin mau nikah...

... Ngestabilkan pekerjaan gue yang baru banget gue mulai” (wawancara

dengan CT, 01 Desember 2021).

Harapan CT mengejar karir dan menggeluti suatu profesi tertentu selain

karena uang, ia juga menginginkan kehidupan yang stabil untuk di masa depan.

“... Ya minimal kehidupan gue stabil saja sih. gini, kerjaan sekarang gue

bukan PNS, gue juga belum punya investasi apa-apa. Maksudnya, gue belum

punya hal-hal jangka panjang begitu lah. Apa yang gue lakuin sekarang itu

pikirannya buat apa yang gue dapet besok. Masih yang bener-bener kejadian

saat ini, belum buat yang jangka panjang. Belum ada rencana jangka

panjang. Asuransi pun gue masih nempel sama kantor. Jadi ya, gue kerja

buat itu sih palingan” (wawancara dengan CT, 01 Desember 2021).

Selain alasannya mengejar karier dan menstabilkan pekerjaan. CT

menyatakan alasan ia menunda pernikahan karena ia lebih mementingkan

keluarganya. Baginya, keluarga adalah nomor satu. Maksudnya adalah untuk saat

ini, penghasilan CT dialokasikan sepenuhnya untuk keluarga dan dirinya sendiri.

CT menegaskan, ia tidak yakin apabila ia menikah penghasilannya akan cukup

untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta ia dan pasangan.

“Gue lebih ke mentingin, ngenomor satuin keluarga dulu sih. Maksudnya,

penghasilan gue saat ini gue alihkan buat keluarga gue dulu. Kalo misalnya

gue nikah kan, gue punya keluarga lain, nah, otomatis penghasilan gue

kebagi lagi tuu. Nah, gue belum sampe ditahap itu. Belum ready”

(wawancara dengan CT, 01 Desember 2021).

Kemudian L (31) juga menyatakan bahwa ia masih ingin mengejar karier

sebelum memutuskan menikah, “Aku masih mau ngejar karir aku” (wawancara

42

dengan L, 27 November 2021). Lebih lanjut lagi L (31) menegaskan menurutnya

usia 20an dan 30an awal merupakan masa-masa produktif bagi manusia. Jadi ia

beranggapan bahwa menikah saat ini bukanlah hal yang penting.

“Aku nggak mikirin itu sih sebenernya. Karena menurut aku itu tuh, belum

penting saja sih buat menikah di usia segini. Karena menurut aku nih ya,

umur segini, usia 20an 30an awal itu ya fokus ngejar karir dulu saja”

... Jadi ya alasannya kenapa di usia aku yang 31 tahun ini masih gak nikah,

karena itu tadi, aku mikirnya masih usia 30an awal lah, mau ngejar karir aku

dulu dan nikah menurutku untuk sekarang bukan yang penting-penting

banget” (wawancara dengan L, 27 November 2021).

Dewasa ini, persaingan di dunia kerja dan peluang kerja sangat terbuka bagi

perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya tingkat pendidikan yang

dimilikik oleh perempuan (Mahfudzathillah, 2018). Papalia dkk dalam

Mahfudzathillah (2018) menyatakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi

jarang menjadi pengangguran, dibandingkan berpendidikan rendah. Banyaknya

perempuan yang bekerja setelah mereka menyelesaikan pendidikan tinggi,

membawa akibat pada meningkatnya komitmen terhadap karier dan penundaan

pernikahan (Betz dkk dalam Dewi, 2006: 87; dalam Mahfudzathillah, 2018: 6).

Keyakinan kultural yang tertanam dalam kerja keras untuk saat-saat yang panjang

selama masa dewasa akan menciptakan jalur status, keamanan, dna kebahagiaan.

Maka dari itu banyak individu yang mempunyai konsep ideal tentang karier untuk

mencapai mimpi dan mobilitas sosial melalui tangga pekerjaan (Phyllis Moen;

2009a; Santrock; 2011: 29).

Bagi perempuan, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan

diri. Bekerja memungkinkan seorang perempuan mengekspresikan diri. Melalui

hekerja, perempuan berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian

43

tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Di samping itu, tujuan

perempuan bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka.

Kebutuhan finansial ini berkaitan dengan kesiapan sosial ekonomi sebelum

memasuki pernikahan (Walgito dalam Dewi, 2006: 87; dalam Mahfudzathillah,

2018: 6).

c. Melanjutkan Pendidikan

Pendidikan memberikan warna baru bagi pemikiran manusia, membuat sudut

pandang menjadi lebih luas dan terbuka terhadap suatu kemungkinan-

kemungkinan. Perempuan mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki dalam hal

pendidikan. Terbukanya keesempatan mengenyam pendidikan yang sangat luas

menjadikan perempuan berambisi untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Tidak jarang bagi perempuan yang berorientasi pada pendidikan mereka melupakan

pernikahan.

L (31), menyatakan bahwa ia tidak ingin menikah selain karena masih

menganggap dirinya berada di dalam usia produktif dan keinginan mengejar karier.

Alasan L yang lain adalah karena ia ingin melanjutkan pendidikan. Setelah ia

menyelesaikan pendidikan S-2 barulah ia mulai memikirkan pernikahan.

“Jadi, aku memang ada rencana mau ngelanjutin sekolah lagi, kepengen S2.

Nanti setelah selesai baru deh aku mikirin buat nikah. Begitu. Palingan kalo

dikarir aku itu, aku ngumpulin uang buat ngelanjutin biaya aku pas S2 nanti”

(wawancara dengan L, 27 November 2021).

Informan penulis yang lain, yakni IN (33), juga berpikir hal yang sama seperti

L (31). Selain karena alasan pribadi, sebagai seorang dosen di salah satu Universitas

swasta di Jakarta, ia pun mendapat tuntutan untuk mempunyai pendidikan sampai

44

jenjang S-3. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab IN belum menikah sampai

saat ini.

“Saya kan eee pekerjaannya sebagai dosen ya. Jadi pastinya kita dituntut

untuk terus kuliah gituu sampai S3. Dan saya memang kepengen S3 dari pas

lulus S2 bakalan mau S3. Cuma memang belum bisa langsung karena

memang saya dapat beasiswa yang memang harus mengabdi dulu jadi

dosen” (wawancara dengan IN, 06 November 2021).

Tingginya tingkat pendidikan yang perempuan miliki menjadikan mereka

berambisi untuk menjadi pekerja dan bergabung dalam bidang profesionalisme.

Selaras dengan apa yang diutarakan oleh AR (29), keputusannya menunda menikah

karena ingin terus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya kemudian mengejar

karier. Keputusan AR untuk menunda menikah juga disamburt baik oleh keluarga.

AR menjelaskan bahwa keluarganya, tepatnya dari garis keturunan Ayah selalu

mengutamakan pendidikan. Ini juga terjadi kepada sepupu-sepupunya, di mana

mereka baru melangsungkan pernikahan di usia 30an, bahkan ada yang sampai

umur 35 tahun baru menikah. Dan di keluarganya hal tersebut bukan menjadi

masalah yang besar.

“Dari keluarga ayah juga sama, mereka lebih mengutamakan pendidikan,

karena sepupu aku saja yang paling tua baru nikah umur 30an, dan yang

tertua kedua itu baru nikah umur 35...

... Di keluarga ku juga kan mengutamakan pendidikan nomor satu, jadi ya

kita itu ambisius banget buat ngejar pendidikan setinggi-tingginya dan karir

sebagus mungkin” (wawancara dengan AR, 27 November 2021).

Melanjutkan pendidikan menunjukkan bahwa kebutuhan ekonomi dan

pendidikan menjadi hal utama pada perempuan yang memutuskan menunda

pernikahan. Dari pengalaman pribadi penulis melihat, perempuan dengan

pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang bagus, umumnya tidak terlalu

45

memikirkan hubungannya dengan pasangan untuk dibawa ke arah yang lebih serius,

yakni pernikahan. Mereka berfokus pada karier dan dengan secara sengaja menunda

pernikahan.

d. Ketakutan/ Trauma masa lalu

Selain alasan mengejar pendidikan dan karier, terdapat pula ketimpangan

hubungan dalam berpacaran, yang pada akhirnya memberikan dampak rasa takut/

traumatik bagi perempuan untuk memikirkan hubungan yang lebih serius, dalam

hal ini pernikahan. Seperti AR (29), saat usianya 18 tahun, ia mendapat perlakuan

buruk dari sang kekasih. Dan itu berdampak bagi AR untuk memulai kembali

hubungan yang baru. Perasaan trauma juga dialami oleh sang mama karena melihat

anaknya terus menerus menangis.

“Aku pacaran kan umur 18 tahun ya, itu saja mama ku kayak yang nggak

suka begitu, makanya kayak di bawah kendali mama ku juga (pacarannya).

Nah waktu aku putus pun sampe nangis-nangis, mama ku tuh merasa sakit

hati juga soalnya sudah ngerasa ngerelain aku sama dia tapi aku kayak

digituin (perlakuan buruk) sama dia jadi mama ku juga trauma juga kan”

(wawancara dengan AR, 27 November 2021).

Kemudian IN (33), di usianya saat ini, ia belum juga menikah atau memiliki

pasangan. Ia bercerita, sebenarnya ia sudah merencanakan pernikahan sebelum usia

30 tahun. Namun, rencana tersebut tidak dapat direalisasikan karena pasangannya

saat itu tidak menyetujui IN melanjutkan pendidikan. Padahal pekerjaannya sebagai

dosen menuntut dirinya untuk terus melanjutkan pendidikan.

“Mmmm, jadi sebenernya sih sebelum umur 30 tahun, sempet itulah, pengen

– pernah mau menikah, kayak begitu...

... Waktu itukan kita obrolinnya memang sudah mau menikah. Saya izin sama

dia (pasangan saat itu) “kalo misalnya nanti kita jadi, gitukan, terus abis itu,

saya kuliah boleh nggak” Gitukan. Cuma jawaban dia tidak, dia tidak,

gimana ya, nggak ngizinin tapi dia bilang dia mencarinya seorang

46

pendamping yang eee memperdalam ilmu agama bukan ilmu dunia”

(wawancara dengan IN, 06 November 2021).

Kegagalan IN (33) dalam merencanakan pernikahan membuat dirinya

merasakan sedikit ketakutan untuk memulai hubungan kembali. Sebab itulah

mengapa sampai sekarang ia belum juga memutuskan untuk menikah dan memilih

menikmati hidupnya saat ini.

“Sejujurnya, karena yang itu, karena si cowok itu, sempet kayak takut

jadinya. Nanti kalo aku nikah malah dikekang lagi. Karena beneran, dia dari

awal kita chattingan itu sudah tipe yang ngekang. Kayak misalnya “lagi

apa?” “lagi ngecek instagram” “kok main instagram mulu sih? itulah

bersih-bersih rumahlah” Kayak gituu” (wawancara dengan IN, 06 November

2021).

Sejalan dengan IN, AR (29) juga mengalami hal yang sama. Pengalaman

memiliki pacar yang abusive (dia bercerita di luar sesi wawancara bersama penulis)

membuat dirinya takut untuk menjalin kasih kembali, “....Aku juga, ada trauma

sama pasangan waktu pacaran dulu hahaha. Itu jadi ngebuat aku trauma sama

laki-laki. Kayak aku belum bisa nemuin di mata aku yang bener-bener baik, begitu

loh. Jadi sampe sekarang aku selalu mandang cowok itu semuanya sama saja,

brengsek” (wawancara dengan AR, 27 November 2021).

Membahas perihal ketakutan terbesar dalam pernikahan, mayoritas informan

menyatakan bahwa mereka takut akan perceraian dan kekerasan dalam rumah

tangga (KDRT). Dua ketakutan terbesar tersebut berasal dari pengalaman pribadi,

keluarga, maupun lingkungan pertemanan serta lingkungan sekitar mereka. Seperti

dua informan penulis, yaitu U (30) dan L (31), mereka merupakan bagian dari

perceraian. Informan pertama, U (30) merupakan pihak yang orang tuanya

47

mengalami perceraian sehingga ia berharap ketika suatu saat ia menikah, ia tidak

mengalami perceraian seperti apa yang kedua orang tuanya alami.

“...Tapi nanti kalo andaikan gua nikah gua kayak gitu ga ya, katanya kan

buah jatuh ga jauh dari pohonnya, aku takut apa yang dialami semua akan

aku alami ketika aku nikah gitu, emang manusia itu nggak sama, cuman

gimana si ketakutan anak kalo ngeliat orangtuanya 2 kali gagal, apalagi

sampe ada kekerasan kayak gitu. Itu si faktor pertama yang bikin aku takut

tuh orang tua, tapi di bilang trauma si ga trauma” (wawancara dengan U, 03

November 2021).

Kemudian, L (31) merupakan pihak yang lingkungan keluarganya banyak

mengalami perceraian karena menikah di usia dini. Selain itu, lingkungan

pertemanannya pun tidak jauh berbeda. Perceraian yang terus menerus terjadi di

lingkungan sekitarnya membuat L trauma akan pernikahan.

“Mmm jujur, aku ada traumatik, ya. Karena pertama, lingkungan ku yang

dari keluarga itu banyak juga yang menikah muda ya. Adik-adik dari ibuku

dan kakak-kakaknya juga pada nikah muda. Terus cerai. Jadi, kayak nikah

lagi, dan begitu terus. Jadi, kayak, ada anak pertama dari istri pertama, anak

kedua dari istri kedua, dan seterusnya. Mereka itu jadi nikah cerai nikah

cerai bahkan sampe tiga kali. Aku jadi bertanya-tanya kan “ini mereka

kenapa sih?” “ mereka memutuskan menikah sampe 3 kali itu kenapaaa?”

Jadi kayak “keputusan menikah di awal itu kenapa?” “Kenapa bisa jadi

cerai terus menikah lagi terus cerai lagi itu kenapa?”. Maksudku, kenapa

harus mengulangi kesalahan yang sama bahkan sampe 3 kali itu kenapa...

Terus, di lingkungan aku juga punya teman-teman kuliah yang abis kuliah

mereka menikah tapi bercerai. Jadi menurut aku itu kayak, ngeliat mereka

bercerai itu kayak, aduh “apakah nanti kalo aku memutuskan untuk menikah,

aku akan bernasib sama kayak mereka kah?”. Salah satunya itu yang jadi

ketakutan aku sampe sekarang nggak mau nikah. Kayak yang di awal aku

bilang, aku maunya nikah satu kali seumur hidup. Dan orang itu yang mampu

ngebimbing aku sampe aku tua. Kita jalanin hidup sama-sama. Aku nggak

mau salah pilih orang” (wawancara dengan L, 27 November 2021).

Pandangan perempuan mengenai pernikahan berangkat dari pengalaman

pribadi yang mereka dapat dari orang-orang terdekat di sekitar mereka. Terdapat

pula ketimpangan ekspektasi dan kenyataan. Di mana informan perempuan penulis

48

menganggap bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen yang suci serta bernilai

ibadah, maka dari itu harus dijaga kesuciannya. Akan tetapi berbeda dengan realitas

yang ada, di mana kebanyakan pernikahan saat ini menjadi ajang perlombaan.

Tergesa-gesa dalam memutuskan untuk menikah dan berakhir perceraian.

U (30) juga merasakan hal yang sama. ia memutuskan untuk menunda

menikah karena takut jika perceraian kedua orang tuanya juga akan terjadi kepada

dirinya kelak.

“Karena faktor keluarga deh kayaknya, faktor orangtua lebih tepatnya.

Mama papa ku kan cerai di umurku 2 tahun” (wawancara dengan U, 03

November 2021).

Dari pernyataannya, U (30) memberitahukan kepada penulis bahwa

sebenarnya ia tidak memiliki trauma. Ia menegaskan bahwa ia masih bisa menjalin

hubungan dengan lawan jenis dan tidak menutup diri, “...Jadi itu kayak bikin

dibilang trauma bukan sih, karena aku juga pacaran..” (wawancara dengan U, 03

November 2021).. Akan tetapi, perceraian kedua orang tuanya dan kekerasan yang

dialami oleh sang mama yang dilakukan oleh suami keduanya terus menghantui U.

Dan hal tersebut memberikan rasa takut pada U untuk menikah.

Hurlock (2002) dalam Mahfudzathillah (2018: 7) menyatakan salah satu

alasan dewasa muda menunda menikah adalah kekecewaan yang pernah dialami

karena kehidupan keluarga yang tidak bahagia pada masa lalu atau pengalaman

pernikahan yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya. Menurut

Morison & Berlin (dalam Papalia 2008; dalam Mahfudzathillah, 2018:7) perceraian

bukanlah sebuah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah proses rangkaian

49

pengalaman berpotensi menekan yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan terus

berlangsung setelah terjadinya perpisahan tersebut.

e. Belum menemukan pasangan yang tepat

Alasan lainnya perempuan memutuskan menunda menikah karena belum

menemukan pasangan yang tepat. Seperti yang diungkapnkan oleh A (35), “Ya

sambil ikhtiar dan cari-cari juga..” (wawancara dengan A, 08 November 2021).

Senada dengan FT (30), “...Belum ada aja sih. Kalo aku ya, sih, eee apa ya, banyak

yang deket juga cuma ya belum ada apa ya eee belum ada kecocokan aja sama

yang kemarin itu, begitu. Sebenernya nggak nunda juga” (wawancara dengan FT,

04 Desember 2021).

3.2 Peran Otonomi Dalam Pengambilan Keputusan Pernikahan Pada

Perempuan

Pada hakikatnya, manusia akan terus berkembang sesuai dengan tahapan usia

yang mereka jalani dan disesuaikan dengan tugas perkembangan pada tahapan-

tahapan perkembangan tersebut. Tugas-tugas perkembangan tersebut harus dicapai

oleh individu untuk membentuk kematangan diri. Dalam perkembangannya,

individu pasti mengalami masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa.

Salah satu tugas perkembangan pada individu dalam tahapan dewasa muda ialah

memasuki dunia kerja. Di samping itu terdapat pula tugas perkembangan lain yaitu

membentuk komitmen atau relasi keterikatan yang penting dan intim dengan lawan

jenis melalui pernikahan. Dunia kerja dan membentuk komitmen dengan pasangan

hidup merupakan karakteristik dari tugas perkembangan individu menuju dewasa

(Mahfuzhatillah, 2018).

50

Pernikahan adalah hubungan laki-laki dan perempuan yang diakui secara

sosial yang dimaksudkan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi

membesarkan anak dan membangun pembagian peran antar pasangan. Menikah

merupakan sebuah tuntutan sosial yang datang dari masyarakat, keluarga, orientasi

seksual serta kemapanan. Pernikahan adalah tuntutan dari masyarakat atas

keberadaan kita sebagai makhluk sosial yang tidak mampu hidup sendiri.

Pernikahan adalah tuntutan dari keluarga atas kemandirian dan didikan yang telah

dilakukan oleh orang tua. Pernikahan juga merupakan tuntutan dari orientasi

seksual atas segala kenormalan seseorang sebagai manusia. Terakhir, pernikahan

merupakan tuntutan atas kemapanan yang telah dicapai oleh manusia

(Mahfuzhatillah, 2018).

Menurut Olson dan Defrain (2006), alasan orang untuk menikah adalah

mencari teman hidup (companionship), cinta dan intimasi, supportive partnership,

sexual partnership, dan sharing parenthood. Stinnett (dalam Turner & Helms,

1987) memaparkan alasan mendasar seseorang untuk melakukan pernikahan adalah

komitmen, one to one relationship, companionship and sharing, cinta,

kebahagiaan, dan legitimasi hubungan seks dan anak. Pada dua teori ini

menyebutkan teman hidup (companioship) sebagai salah satu alasan utama

seseorang memutuskan menikah.

Pernikahan merupakan hal yang penting, namun bukan berarti perempuan

harus tergesa-gesa dalam melaksanakannya. Karena memutuskan untuk menikah

bukan lah hal yang mudah. Menemukan pasangan yang tepat tidak semudah kita

membalikkan telapak tangan. Diperlukan banyak pertimbangan lain yang sangat

51

penting, mengingat pernikahan adalah peristiwa sakral nan suci yang kebanyakan

orang mengingkannya sekali seumur hidup.

Pada sub bab ini, penulis akan memaparkan proses perempuan dalam

mengambil keputusan untuk menikah. Perempuan melalui dua tahapan panjang

sebelum akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan, di antaranya:

Pertama, perempuan mempunyai kriteria dalam memilih pasangan. Tak

hanya laki-laki, perempuan juga memiliki beberapa kriteria pasangan untuk

dijadikan suaminya kelak. Sebagai contohnya L (31), selain mengidealkan laki-laki

yang pekerja keras dan bertanggung jawab, ia juga mengidealkan pasangannya

kelak seorang laki-laki yang mempunyai pekerjaan tetap, bukan pekerja kontrak.

Baginya, akan banyak kemungkinan-kemungkinan buruk jika calon pasangannya

adalah seorang pekerja kontrak, apalagi di masa pandemi sekarang ini, di mana

banyak pemutusan kontrak kerja.

“Tapi yang jelas, aku cuman pengennya suamiku itu punya pekerjaan,

pekerjaannya tetap lah jangan sampe masih kontrak atau apa. Karena kita

gatau kan di masa pandemi gini banyak pekerja kontrak yang diputus, dan

aku gamau itu kejadian di aku dan calon suamiku nanti. Itu yang pertama.

Yang kedua, bertanggung jawab. Sudah sih, segitu saja. Pekerjaan tetap dan

bertanggung jawab” (Wawancara dengan L, 27 November 2021).

Sejalan dengan L (31), IN (33) juga memiliki kriteria pasangan yang pekerja

keras dan bertanggung jawab. Selain itu, ia juga tidak menginginkan pasangannya

kelak mengekang dirinya. IN berharap pasangannya akan tetap memberikan

kebebasan dan mendukung dirinya untuk tetap melanjutkan karier dan pendidikan

yang sedang ia jalani.

“Sebenernya kalo ngomongin yang dulu begitu ya. Saya maunya yang

pekerja keras, terus bertanggung jawab. Dan dari awal itu saya bilang,

nggak suka cowok yang mengekang. Karena saya bukan tipe orang yang suka

52

dikekang. Saya akan nurut kalau misalnya itu menurut saya harus dituruti”

(wawancara dengan IN, 06 November 2021).

Pasangan yang mapan secara finansial dapat membantu mewujudkan

keluarga yang bahagia. Dengan harapan setelah menikah tidak ingin kekurangan

dalam hal keuangan.

Kriteria selanjutnya yang menjadi dominan pada perempuan dalam

memutuskan melaksanakan pernikahan adalah agama. Agama menjadi sangat

penting pada proses pengambilan keputusan pernikahan pada perempuan.

Empat orang informan yakni YT (30), N (32), A (35), dan S (31) mengatakan

bahwa agama atau keyakinan yang dianut menjadi hal yang sangat penting untuk

dibicarakan sebelum akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan.

“...Yang pertama, seiman itu penting” (wawancara dengan YT, 23 November

2021).

“...Agama penting banget juga buat aku, seiman” (wawancara dengan N, 22

November 2021).

“...Terutama dalam hal agama, ya. Apakah agamanya sudah jelas..untuk

menuju pencapaian apa yang mau kita tuju selama menikah ke depannya”

(wawancara dengan A, 08 November 2021).

“...hal-hal yang sensitif harus diomongin, misalnya agama. Kadang ya, yang

agamanya sama saja tetap ada perbedaan..” (wawancara dengan S, 04

November 2021).

Ajaran agama sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir individu.

Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bahwasannya ajaran agama mampu

menciptakan pandangan individu, dalam hal ini terkait dengan pernikahan. Islam

memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral,

bermakna ibadah kepada Allah SWT, mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan

53

dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-

ketentuan hukum yang harus diindahkan (Wahyu, 2016).

N (32) menginginkan pernikahan yang tujuan akhirnya adalah “jannah-Nya”.

Artinya, ia memandang bahwa pernikahan hanya dilaksanakan sekali dalam seumur

hidup serta menjalani kehidupan bersama dengan pasangan sampai maut

memisahkan, “Jadi nikah itu bener-bener untuk lahir batin dan bener-bener

tujuannya kepada Allah. Jadi, bukan buat status atau pamer doang “nih gue sudah

nikah nih”. Dan aku bukan yang kayak begitu. Aku pribadi nikah karena ingin lebih

bahagia dan tujuan akhirnya Jannah” (wawancara dengan N, 22 November 2021).

YT(30) dan L (31) menambahkan, pernikahan merupakan ibadah bersama yang

dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Rasulullah serta menyempurnakan

sebagian agama.

Dua orang informan penulis lainnya, yaitu A (35) dan I (36) menyatakan

bahwa mereka pernah gagal beberapa kali dalam mencari pasangan sebelum

akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. A (35) baru melangsungkan

pernikahan impiannya pada tahun 2020. Di mana sebelumnya ia telah merasakan

pahitnya gagal menikah pada tahun 2014. Kegagalan tersebut menjadikannya lebih

berhari-hati dalam memilih pasangan tetapi tidak membuatnya menutup diri dengan

lawan jenis yang ingin mencoba mengenal dirinya. Selain itu, sambil terus mencari-

cari pasangan yang tepat, A menyibukkan diri dengan bekerja dan kegiatan riset

penelitian.

Melalui teman-teman kajian dan web-web ta’aruf, dijadikan A (35) sebagai

wadah untuk dirinya mencari pasangan, “Mungkin dari teman-teman kajian. Terus

54

dari web-web taaruf juga pernah” (wawancara dengan A, 08 November 2021).

Senada dengan A (35), I (36) juga beberapa kali menemukan ketidakcocokan dari

calon pasangannya. Sebagai tipikal orang yang selalu serius terhadap suatu hal, I

(36) mempunyai beberapa kriteria untuk calon pasangannya kelak. Akan tetapi,

ketika ia dipertemukan oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang ia kriteriakan,

I selalu menemukan ketidakcocokan. Dan itu berlangsung selama lima kali

pertemuan dengan orang yang berbeda.

“Setelah aku membuat kriteria, akhirnya kriteria itu mental. Banyak yang

mentalnya gitukan ya. Mungkin kita hanya butuh satu, satu penguat sih.

Karena enggak ada orang yang bener-bener sesuai dengan kriteria yang kita

tulis atau yang kita impikan sebenernya. Tapi ternyata ujungnya tuh cuma

ada satu yang bener-bener jadi penguat atau yang jadi eee iya atau hal yang

paling kuatlah di antara semuanya. Dan itu yang aku sadari setelah bertemu

dengan 1 2 3 4 5 orang gitukan ya. Mereka tuh, rata-rata eee ada kriterianya

di aku tapi kok adalagi yang bikin aku, aku ilfeel deh bagian ininya dan itu

aku tinggalin. Aku ilfeel deh dibagian ininya” (wawancara dengan I, 01

November 2021).

Ketika mencari pasangan, umumnya setiap orang pasti memiliki kriteria dan

standarnya masing-masing. Entah itu mungkin berkaitan dengan fisik, atau hanya

seputar kepribadian dan sifat seseorang. Meskipun pada kenyataannya, saat

seseorang sudah menemukan kenyamanan dalam calon pasangannya, sering kali

standar dan kriteria menjadi terabaikan. Namun, bukan berarti seseorang bebas

memilih tanpa adanya pertimbangan.

Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh I (36), “Dulu

sih sempet sih, bikin kriteria ini itu karena aku kan tipe orangnya pemikir. Eee bikin

kriteria kayak gini gini gini pokoknya aku pikirin semua lah aku rencanakan seperti

apa yang aku inginkan. Begitu ya. Eee tapi ternyata diketemuin sama orang-orang

55

yang seperti kriteria aku kenapa kok aku menolak, begitu ya” (wawancara dengan

I, 01 November 2021).

Sama halnya dengan U (30), ia menyatakan bahwa ingin mendapatkan

pasangan yang setara tingkat pendidikannya alias minimal S-1. Hal ini karena latar

belakang keluarga U yang datang dari keluarga berpendidikan. Selain itu, pihak

keluarga menuntut pendidikan yang tinggi bagi calon pasangan U karena berangkat

dari pengalaman masa lalu U sendiri. Lahir dari keluarga yang tidak utuh, sehingga

U kecil kehilangan sosok sang Ayah, besar harapan keluarga, jika U bisa bersama

dengan laki-laki yang berpendidikan, ia akan akan terus dididik dan dijaga sampai

mati.

“Aku dari kecil nggak ada ayah, nggak ada orang yang ngebimbing aku

selain opah aku. Jadi dia mikir “lu butuh cowo yang bener-bener bisa

ngedidik lu bisa ngejagain lu sampe mati nanti” jadi dia mintanya yah

minimal pendidikannya setara sama lu, dia S-1 lu S-1 silahkan, kerjanya apa

ya terserah” (wawancara dengan U, 03 November 2021).

Mayoritas informan perempuan yang penulis wawancarai menyatakan bahwa

kriteria pasangan mereka adalah yang seiman dan bertanggung jawab. Mampu

membimbing mereka dunia dan akhirat. Di samping itu, kebanyakan informan

penulis pun memandang pernikahan sebagai sebuah ladang pahala dan ibadah.

Memilih pasangan yang terbaik adalah keputusan yang tepat dan merupakan

salah satu cara untuk menekan angka perceraian yang semakin marak. Oleh karena

itu, banyak perempuan yang rela mengorbankan waktu untuk menyeleksi calon

pasangannya kelar agar tidak terjebak dalam ikatan pernikahan yang hanya sekadar

sturktur sosial, lebih dari itu, melaksanakan pernikahan karena tuntutan umur dan

tren saja.

56

Pada tahap pertama, otonomi nilai dan behavioral menjadi paling dominan

terkait pengambilan keputusan pernikahan pada perempuan. Seperti yang telah

dijelaskan di atas, kriteria pasangan yang ditentukan oleh perempuan dipengaruhi

oleh sistem nilai yang dibangun pada lingkungan sekitar mereka seperti keluarga

dan tempat kerja. Sehingga membentuk otonomi behavioral perempuan, dimana

perempuan memiliki kemampuan mengambil keputusan sendiri dan konsekuen

terhadap pilihannya.

Memikirkan dan mempertimbangkan kehidupan pasca pernikahan

merupakan tahap kedua dalam proses pengambilan keputusan pernikahan pada

perempuan. Pada tahap ini, perempuan akan membicarakan apa saja hal-hal yang

terkait dengan kehidupan pasca pernikahan kepada pasangan. Hal-hal yang

dibicarakan di antaranya menyangkut: (1) keterbukaan finansial, seperti

tanggungan terhadap keluarga dan hutang piutang; (2) komitmen dan kepercayaan;

(3) pekerjaan dan karier; (4) tempat tinggal setelah menikah; (5) pembagian peran

dalam rumah tangga; dan (6) validasi pasangan.

N (32) berpendapat, menurutnya, usia bukan menjadi malasah mengapa ia

masih melajang. Permasalahan di sini adalah bagaimana N (32) memvalidasi calon

pasangannya agar kelak pernikahan yang dijalani sesuai dengan apa yang ia

impikan.

“Jadi, disini kenapa aku belum menikah sampe sekarang itu sebenernya

masalahnya bukan di usia sih. Tapi bagaimana kita validasi calon pasangan

kita nanti. Jadi bukan masalah kalo misalnya memang mau nikah muda dan

pasangannya beneran baik, kan, nanti pernikahannya juga bakalan langgeng

kan, Gis. Kita akan bahagia, begitu” (wawancara dengan N, 22 November

2021).

57

Berangkat dari pengalaman keluarganya, N (32) tidak ingin pernikahan yang

menurutnya adalah sakral dan seumur hidup sekali dinodai oleh percerairan karena

keteledoran kita dalam memilih calon pasangan.

“Tapi kan disini, kadang, kebetulan ya, yang terjadi disini, yang terjadi sama

eee bahkan ada beberapa keluarga aku juga yang mmm, kayaknya kemarin

ada deh, keponakan aku di kampung, usianya 15 tahun sudah nikah, dan

sekarang anaknya sudah dua. Dan ya, itu gagal kan. Nah, dari situ mikir

“aduh, masih kecil-kecil” begitu ya. Bayangin 15 tahun janda anak dua.

Mmm cowoknya itu nggak dewasa. Ujung-ujungnya broken lagi. “apa sih

yang salah sebenernya?” “kan nikahnya sudah bener segala macam kok bisa

terjadi kayak begitu?”. Disitu aku sedikit bisa merasakan “wah itu (nikah)

bukan main-main. Mendingan gue bener-bener validasi dan gue bisa bener-

bener sampe mati sama dia” (wawancara dengan N, 22 November 2021).

Permasalah mengenai perempuan menunda pernikahan berkaitan erat dengan

kerja dan peluang karier yang saat ini sudah sangat terbuka luas bagi perempuan.

Modernisasi dan kesetaraan gender yang melebarkan pilihan perempuan untuk

menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dan mengejar karier. Perempuan lajang pada

umumnya memang tidak menjadi pernikahan sebagai prioritas utama, melainkan

pendidikan dan karier lah yang dipandang paling menguntungkan. Kedua hal

tersebut menjadi penting bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensi dan

identitas diri mereka dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, pendidikan dan karir

juga dijadikan alasan menunda pernikahan karena mempersiakan status sosial dan

ekonomi yang lebih baik sebab pernikahan bukan sekadar memenuhi tuntutan

keluarga dan lingkungan.

58

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Salah satu bentuk pengembangan perempuan dewasa yang belum menikah

ialah mempunyai otonomi emosional yang kuat karena didukung oleh kemandirian

mereka secara finansial. Kemandirian finansial yang dimiliki oleh perempuan

membantu mereka lebih mudah untuk mengendurkan simpul-simpul infatil yang

ada di dalam keluarga. Perempuan yang mandiri secara ekonomi akan merasa lebih

mudah dalam mengambil setiap keputusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri.

Berkaitan dengan ini, sebagian perempuan dalam penelitian ini memutuskan

untuk melangsungkan pernikahan pada usia matang, yaitu 30 tahun. Sebagiannya

yang lain memutuskan untuk belum melaksanakan pernikahan walaupun telah

menginjak usia 30 tahun. Ini artinya, para perempuan yang menjadi informan

penulis telah mempunyai otonomi diri yang matang. Mereka telah memutuskan

untuk menikah atau pun menunda pernikahan berdasarkan keputusan pribadi tanpa

dipengaruhi orang lain serta siap menerima risiko akibat dari keputusannya

tersebut.

Pernikahan merupakan sebuah keputusan yang rumit dan sulit. Dalam proses

pengambilan keputusan pernikahan perempuan melalui dua tahapan yaitu pemilihin

pasangan berdasarkan kriteria dan pertimbangan kehidupan pasca pernikahan.

Terlebih lagi jika melihat realitas saat ini marak ditemukan kasus perceraian dan

broken home. Demikian para perempuan yang memutuskan untuk menunda

pernikahan salah satunya karena melihat terdapat perbedaan nilai-nilai antara

59

dirinya sendiri dengan pasangan, keluarga, mau pun lingkungan terkait kehidupan

berumah tangga.

4.2 Saran

Dari hasil temuan yang ada, para perempuan yang memutuskan untuk

menunda pernikahan selain memiliki alasan yang mendasar dari dalam diri mereka

masing-masing. Lebih dari itu, para perempuan tersebut mempunyai potensi dan

berkesempatan untuk lebih jauh lagi mengembangkan kapasitas dirinya.

Pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki oleh perempuan menjadi salah satu bukti

kesetaraan gender, di mana saat ini dunia dan pemerintah sedang meminimalis atau

meniadakan diskriminasi gender. Sebagaimana yang diketahui, berdasarkan

Millenial Development Goals (MDGs), kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan merupakan isu ketigak dari delapan isu yang disuarakan. Terdapat dua

indikator dalam isu kesetaraan gender menurut Millenial Development Goals

(MDGs) sebagai berikut: (1) Closing the gender gap in education at all levels

(menutup kesenjangan gender dalam pendidikan di semua tingkatan); dan, (2)

Increasing women’s share of wage employment in the non-agricultural sector

(meningkatkan pangsa perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non

pertanian).

4.2.1 Saran Bagi Perempuan Yang Ingin Menunda Pernikahan

Saran penulis untuk para perempuan penunda pernikahan, terus tetap menjaga

nilai-nilai yang telah tertanam di dalam diri para perempuan, khususnya terkait

tentang pernikahan. Banyak kesempatan yang yang para perempuan miliki sebelum

akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan dan terikat dengan

60

komitmen seumur hidup. Jangan sia-siakan kesempatan tersebut, dan teruslah

melakukan hal positif dan pengembangan diri.

4.2.2 Saran Orang Tua Bagi Anak Perempuan Yang Berkarir Dan

Menunda Pernikahan

Diharapkan setiap orang tua dapat mengarahkan anak perempuannya untuk

memiliki persepsi lain yang lebih positif tentang pernikahan. Anak perempuan

diajarkan belajar mengendalikan kecemasan mereka bahwa pernikahan tidak

seburuk yang mereka pikirkan sebab di dalamnya terdapat dukungan dari orang tua

dan keluarga.

4.2.3 Saran Untuk Pengambilan Kebijakan KPPPA

Pasangan yang menikah pada usia yang belum matang menimbulkan berbagai

dampak negatif. Sebab secara psikologis mereka belum siap menjadi orang tua

karena masih berada dalam usia yang labil dan rentan terjadinya pertengkaran,

kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan perceraian. Oleh sebab

itu, penulis berharap pemerintah pusat khususnya kepada Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan penelusuran

kebijakan yang mendukung terhadap program pendewasaan usia menikah. Dengan

kebijakan tersebut diharapkan KPPPA mampu menurunkan angka pernikahan dini.

Kemudian, peneliti lain dapat melakukan penelitian serupa mengingat

penelitian terkait perempuan yang menunda pernikahan belum banyak dilakukan.

Tentunya penelitian tersebut nantinya dilakukan dengan beberapan pembaharuan,

di antaranya menggunakan kerangka berpikir yang berbeda, rumusan

61

permasalahan, metode penelitian, studi kasus dan teknik pengumpulan data yang

berbeda pula.

62

DAFTAR PUSTAKA

Sumber:

A. Hafiz Anshary A, Z dan Huzaumah T, Yanggo (ed). 2002. Ihdad Wanita Karir

dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer (II). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Adams, G.R. & Berzonchy, M.D. (2003). Handbook of Adolescence. Blackwell

Publishing.

Amidana, Hikmah. 2017. “Pengambilan Keputusan untuk Menunda Pernikahan

pada Hafidzah Al-Qur’an Wilayah Tulungagung”. Skripsi. Fakultas Ushuludin

Adab dan Dakwah. Prodi Tasawuf dan Psikoterapi. IAIN Tulungagung.

Andu, Christine Purnamasari. 2019. Makna Pernikahan Bagi Wanita Lajang Usia

Dewasa”. Jurnal Representamen Vol. 5 No. 01.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Bayali, C. 2013. “Menunda Pernikahan Bagi Wanita Karir Menurut Hukum

Islam”. Hukum Islam, XIII (1).

Cole, L. (1963). Psychology Of Adolescence, 5th ed. New York: Holt, Rinehart &

Winston.

Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia: Jakarta.

Dewi, A. A., & Valentina, T. D. (2013). Hubungan kelekatan orang tua-remaja

dengan kemandirian pada remaja di SMKN 1 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana,

181-189.

63

Etaugh, C., & Birdoes, L. N. 1991. Effects of Age, Sex, and Marital Status on Person

Perception. Perceptual and Motor Skills, 72, 491-497.

Hapsari, P,. Nisfiannoor, M., & Murmanks, A. W. 2007. Konflik Perempuan Jawa

Yang Masih Melajang Di masa Dewasa Madya. Jurnal Arkhe, 12 (1), 41-56.

Ime, W. Desiyanti. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan

Dini Pada Pasangan Usia Subuh di Kecamatan Mapanget Kota Manado. Jurnal

Penelitian. Hal 217.

Ismiatun, Dwi. 2018. “Rasionalitas Tindakan Melajang Pemuda Muslim Di Desa

Jimbung Kecamatan Kalikotes Kabupaten Klaten”. Skripsi. Fakultas Ushuludin

dan Pemikiran Islam, prodi Sosiologi Agama. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Jamaludin, Andon Nasrullah. “Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota

dan Problematikanya”. Cetakan kedua. Penerbit: CV Pustaka Setia. Bandung.

ISBN 978-979-076-518-4.

Johnson, M.P., Caughlin, J.P. and Huston, T.L. 1999. The Tripartite Nature of

Marital Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married.

Journal of Marriage and the Family, Vol 61, 160-162.

Koentjaraningrat. 1992. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Djambatan.

Kumalasari, D. 2007. Single Professional Women Sebagai Fenomena Gaya Hidup

Baru di Masyarakat Yogyakarta (Studi Kasus: Kabupaten Sleman). Jurnal

Pendidikan Sejarah FISE UNY. Diakses pada tanggal 03 Februari 2022.

64

Mackenzie, Catriona., and Natalie Stoljar. 2000. Relational Autonomy: Feminist

Perspective on Autonomy, agency, and the social self. Oxford University Press.

ISBN 0-19-512333-6; ISBN 0-19-512334-4 (pbk).

Mahfuzhatillah, Khairul Fadhilah. 2018. “Studi Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Menunda Menikah Pada Wanita Dewasa Awal”. ITTIHAD, Vol.

11 No. 1, Januari-Juni 2018. P-ISSN:2549-9238. E-ISSN: 2580-5541.

Mardiansjah, Fadjar Hari dan Pramita Rahayu. 2019. “Urbanisasi dan

Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia: Suatu Perbandingan Antar-Kawasan Makro

Indonesia”. Jurnal Pengembangan Kota Vol. 7 No. 1 (91-110). DOI:

10.14710/jpk.7.1.91-110. http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jpk

Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Murphy, D. A., Greenwell, L., Resell, J., Brecht, M.-L., & Schuster, M. A. (2008).

Early and middle adolescent's autonomy development. Clinical child psychology

psychiatry, 253-276.

Nasikun. 1990. Peningkatan Peranan Perempuan Dalam Pembangunan: Beberapa

Teori dan Implikasi Kebijaksanaan. Seminar Peranan Perempuan Dalam

Pembangunan: Antara Harapan dan Kenyataan. Yogyakarta: Pusat Penelitian

Kependudukan Universitas Gajahmada.

Neuman, W. Lawrence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif

dan Kuantitatif. Edisi 7. Jakarta: PT Indeks.

Nofal, Arif. 2019. “Perilaku Penundaan Pernikahan Ditinjau dari Hukum Islam”.

Skripsi. Fakultas Syariah. Prodi Hukum Keluarga Islam. IAIN Bengkulu.

65

Noom, M. J., Dekovic, M., & Meeus, W. (2001). Conceptual analysis and

measurement of adolescent autonomy. Journal of youth and adolescence, 577-595.

Nur Sabrina, Latifa. 2016. “Kontrol Diri Wanita yang Menunda Pernikahan”.

Publikasi Ilmiah. Fak. Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Nurviana, Adilah dan Wiwin Hendriani. 2021. “Makna Pernikahan pada Generasi

Milenial yang Menunda Pernikahan dan Memutuskan untuk Tidak Menikah”.

Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan Mental. Fakultas Psikologi Universitas

Airlangga. E-ISSN: 2776-1851. http://e-journal.unair.ac.id/index.php/BRPKM

Olson, D.H., and Defrain, J. 2006. Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and

Strengths (5th edition). Boston: McGraw-Hill.

Hearty Nurhadi dan Aida Fitalaya S. Hubeis. Dinamika Wanita Indonesia seri 01:

Multidimensional. Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita. Jakarta.

Oktraina, Lindha Pradipti,. Mahendra Wijaya dan Argyo Demartoto. 2015.

“Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus Pada Perempuan Lajang yang Bekerja di

Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri”. Jurnal Analisa Sosiologi (3) April

2015, 4(1): 75-90.

Rahmalia, Dwi. 2018. “Makna Hidup Pada Wanita Dewasa Madya yang Belum

Menikah”. Kognisi Jurnal, Vol. 3 No. 1 Agustus 2018. 2528-4495.

Santrock, J. (2007). Remaja. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence (6th ed). Alih Bahasa: Shinto A., Sherly S.,

(2003): Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta. Erlangga.

Santrock, J.W. (1994). CMc/ development, 6th ed. USA: Brown & Benchmark

communication, inc.

66

Santrock, J.W. (1996). Life-Span Development, 5th ed. Alih Bahasa : Achmad C,

Juda. D: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta. Erlangga.

Santrock, J.W. (2011). Life-Span Development. Perkembangan Masa-Hidup. Edisi

Ketigabelas, Jilid 2. Jakarta. Eerlangga.

Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Statistik, Badan Pusat. 2017. “Laporan SDKI 2017 Provinsi DKI Jakarta”.

Statistik, Badan Pusat. 2018. “Pengembangan Manusia Berbasis Gender”.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Statistik, Badan Pusat. 2018. “Statistik Gender Tematik”. Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Statistik, Badan Pusat. 2019. “Statistik Gender Tematik”. Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Steinberg, L. (1993). Adolescence. New York. Mc.Graw-Hill In.

Steinberg, L. (2002). Adolescence, 6 ed. Boston. Mc. Graw-Hill In.

Subadi, Tjipto. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Penerbit Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Sugiyono. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

ALFABETA.

Suhartami, Wiwik. 2002. Perempuan Lajang: Meretas Identitas Di Luar Ikatan

Perkawinan. Jakarta: Jurnal Perempuan.

Turner, J. S., and Helms, D.B. 1987. Life-span Development (3rd edition). London:

Holt Rinehart Winston.

67

Wang, W and Taylor P. 2011. “For Millennials, Parenthood Trumps Marriage”.

Retrieved Januari 17, 2019, from Pew Research Center.

Widawati, Lisa. Hubungan Otonomi dengan Regulasi Diri pada Bidang Akademik

Siswa SMU Terpadu. MIMBAR, Vol. XXV, No. 1 (Juli-Desember 2008): 185-198.

Yuwono, S. 1984. Pokok-Pokok Kebijaksanaan Ketenagakerjaan Khususnya

Perempuan Dalam Repelita IV. Dalam Sadli, S. 1989. Kumpulan Makalah Seminar

Nasional Perempuan Indonesia: Fakta dan Citra. Jakarta: Program Pengembangan

Karir Perempuan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

https://peraturan.go.id/common/dokumen/In/1974/uu0011974.pdf

diakses tanggal 05 Juli 2021.

https://kbbi.web.id/kemandirian

diakses tanggal 27 Desember 2021 pukul 12.04 WIB.

https://kbbi.web.id/nikah

diakses tanggal 27 Desember 2021 pukul 15.36 WIB.

https://kbbi.web.id/kawin

diakses tanggal 27 Desember 2021 pukul 15.40 WIB.

https://Kompas.com/generasi-sandwich

diakses 04 Januari 2021 pukul 10.39 WIB.

https://www.bkkbn.go.id/detailpost/bkkbn-usia-pernikahan-ideal-21-25-tahun

diakses 18 Agustus 2021 pukul 17.45 WIB.

Millenium Development Goals – Let Speak Out for MDGs – ID.

https://www.undp.org/MDG

diakses 14 Januari 2021 pukul 14.29 WIB.

68

Sumber Wawancara:

Wawancara pribadi dengan Y, 29 Oktober 2021.

Wawancara pribadi dengan KK, 01 November 2021.

Wawancara pribadi dengan I, 01 November 2021.

Wawancara pribadi dengan US, 02 November 2021.

Wawancara pribadi dengan U, 03 November 2021.

Wawancara pribadi dengan S, 04 November 2021.

Wawancara pribadi dengan IN, 06 November 2021.

Wawancara pribadi dengan A, 08 November 2021.

Wawancara pribadi dengan N, 22 November 2021.

Wawancara pribadi dengan YT, 23 November 2021.

Wawancara pribadi dengan L, 27 November 2021.

Wawancara pribadi dengan AR, 27 November 2021.

Wawancara pribadi dengan CT, 01 Desember 2021.

Wawancara pribadi dengan FT, 04 Desember 2021.

Wawancara pribadi dengan AD, 05 Desember 2021.

xi

LAMPIRAN

Matriks Pertanyaan Informan

Nama :

Usia :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Status Perkawinan :

Domisili :

Tempat Tinggal :

A. Tabel Matriks Pertanyaan I

No. Dimensi Otonomi

Menurut Steinberg

Pertanyaan-Pertanyaan Jawaban

1. Otonomi Emosional

(emotional autonomy),

yakni kemampuan

individu untuk tidak

bergantung pada orang

lain

1. Apakah saat ini Anda

masih tinggal bersama

orang tua/keluarga

inti?

2. Menurut Anda, apakah

dengan masih tinggal

bersama orang tua

membuat Anda tidak

memiliki kebebasan

dalam menentukan

pilihan hidup terutama

keputusan untuk

menikah/tidak

menikah?

3. Ketika memutuskan

untuk menunda

pernikahan, apakah

keputusan tersebut

berasal dari diri sendiri

atau ada pengaruh dari

lingkungan sekitar?

Misalnya, di

lingkungan

keluarga/pertemanan

Anda lebih banyak

yang bekerja dari pada

menikah.

4. Ketika memutuskan

untuk menikah, apakah

keputusan tersebut

yang Anda inginkan?

Atau ada desakan dari

xii

keluarga dan

lingkungan sekitar

yang mendorong Anda

untuk menikah.

5. Dengan usia Anda saat

ini, apakah Anda

merasa sudah mampu

mencari solusi dan

menyelesaikan

masalah sendiri tanpa

melibatkan orang lain?

2. Otonomi Tingkah Laku

(behavioral autonomy),

yakni kemampuan

individu dalam

mengambil keputusan

secara mandiri dan

konsekuen terhadap

pilihan

1. Apakah alasan Anda

memilih untuk tidak

tinggal bersama

dengan orang tua?

2. Apakah Anda memiliki

kebebasan untuk

menjalani hubungan

(berpacaran) tanpa

mendapat desakan ke

jenjang yang lebih

serius (pernikahan)

dari orang tua atau

lingkungan sekitar?

3. Apakah Anda memiliki

kebebasan untuk

memilih siapa yang

akan menjadi pasangan

hidup Anda?

4. Apa alasan Anda

memutuskan untuk

bekerja dan menjadi

perempuan karir?

5. Apa alasan Anda

memutuskan untuk

menunda pernikahan?

6. Apakah Anda sudah

mengetahui

konsekuensi dari

keputusan yang Anda

ambil, dalam hal ini

menunda pernikahan?

7. Apa yang Anda

rasakan dari menunda

pernikahan?

xiii

8. Bagaimana respon

keluarga khususnya

orang tua terhadap

keputusan yang Anda

ambil, dalam hal ini

menunda pernikahan?

9. Bagaimana hubungan

Anda dengan orang

tua, kerabat, dan

lingkungan sekitar

ketika mereka

mengetahui Anda

memutuskan menunda

pernikahan?

10. Bagaimana Anda

menyikapi penilaian

orang lain (orang tua,

kerabata, lingkungan

sekitar) terhadap

keputusan yang Anda

ambil?

11. Apa alasan Anda

memilih untuk

melepaskan pekerjaan

Anda dan memilih

menjadi Ibu Rumah

Tangga sepenuhnya?

3. Otonomi Nilai (value

autonomy) dipahami

sebagai kemampuan

individu dalam memaknai

seperangkat prinsip yang

diyakini dalam hidup

1. Bagaimana pandangan

Anda tentang

pernikahan?

2. Menurut Anda, apakah

pernikahan menjadi

keharusan bagi

perempuan?

3. Bagaimana Anda

menyikapi perbedaan

pandangan yang terjadi

di antara Anda dan

orang tua?

B. Tabel Matriks Pertanyaan II

No. Status

Informan

Pertanyaan-Pertanyaan Jawaban

1. Belum

Menikah

1. Apakah Anda memiliki pasangan?

2. Bagaimana kriteria Anda dalam

memilih pasangan?

xiv

3. Bagaimana peran orang tua dalam

menentukan pasangan Anda?

4. Apakah Anda mendapat desakan

dari orang tua untuk segera

menikah?

5. Apakah Anda pernah merasa

khawatir dengan status Anda saat

ini?

6. Apa saja yang akan Anda

bicarakan pada pasangan sebelum

memutuskan untuk menikah?

7. Setelah menikah, apakah Anda

masih berkeinginan untuk bekerja

dan berkarir seperti saat ini?

8. Apakah Anda sudah menentukan

di usia berapa Anda akan

menikah?

2. Sudah

Menikah

1. Bagaimana proses bertemu dengan

pasangan?

2. Bagaimana kriteria Anda dalam

memilih pasangan?

3. Bagaimana peran orang tua dalam

menentukan pasangan Anda?

4. Apakah Anda mendapat desakan

dari orang tua untuk segera

menikah?

5. Saai itu, apakah Anda merasa

khawatir dengan status Anda yang

belum menikah?

6. Apa alasan Anda memutuskan

untuk menikah?

7. Bagaimana Anda dan pasangan

mendiskusikan tentang

pernikahan?

8. Apa perbedaan yang Anda rasakan

sebelum dan sesudah menikah?

9. Bagaimana Anda mendiskusikan

dengan pasangan terkait Anda

yang tetap berkarir setelah

menikah?

xv

Koding Matriks I

OTONOMI EMOSIONAL

Kemampuan Individu untuk tidak bergantung kepada orang lain

Apakah saat ini Anda masih tinggal bersama orang tua/kelurga inti?

1. Rumah sendiri. (Karina)

2. Belum, masih tinggal sama mertua.

Oh, iya, masih tinggal sama orang tua terus (sebelum menikah).

(Indah)

3. eee selama kuliah S1 ngekos. Cuman pas mulai masuk S2 aku sudah

mulai apa namanya, eee mulai ngontrak. Sampe sekarang. Sampe

selesai S2 aku masih ngontrak. Enggak, gak tertarik balik kosan lagi,

sih. (Ummu)

4. eee kalo yang di Mojokerto saya sama eee sama siapa sih, sama

mertua. Cuman, kalo yang di Malang, memang rumahnya keluarga,

rumah saya. Tapi enggak bareng orang tua,gituu. Orang tua saya di

Jakarta soalnya.

Alhamdulillah aku ada rumah juga, sih, disini (Batam). Rumah

keluarga. Jadi kita disuruh tempatin. Oh yaudah deh, kayak gituu.

(Scha)

5. sama orang tua. Tapi sekarang ngekos di Bogor juga karena kan lagi

kuliah ini, jadi saya ngekost di Bogor. Tapi kalo weekend pulang.

(Intan)

6. eeee di PIM. Di pondok indah mertua (tertawa).

aku kan juga dulunya ngekos ya. ya sebenenrya juga sudah biasa

sendirian juga.

mmm yang beneran ngekosnya itu sejak 2017. Sebelum-sebelumnya

aku tinggal di asrama kebidanan. Jadi aku lebih banyak pulang pergi

itu ke asrama. (Ayu)

7. aku masih tinggal sama orang tua, Gis, disini, di Depok. Kebetulan

dari kecil, terus aku kuliah juga nggak pernah ngekos-ngekos sih.

(Nurvita)

8. aku ngekos gis. Aku aslinya dari Indramayu. (Yuti)

9. sendiri. Aku ngontrak. (Lena)

10. enggak. Gue tinggal sendiri, ngekos di Jakarta Selatan. (Citra)

Dengan usia Anda saat ini, apakah Anda merasa sudah mampu mencari

solusi dan menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain?

1. saat ini ya, tergantung masalahnya sih. Kalo memang masalah itu

diperlukan pendapat orang tua ya tanya sama orang tua. Tapi kalo

memang tidak diperlukan atau dalam arti itu tidak diperlukan dalam

hal yang sama orang tua memang sebaiknya nggak usah taulah.

Mungkin malah akan tidak baik hasilnya itu yang enggak. jadi

sekarang ya tergantung kondisinya atau tergantung permasalahannya.

Jadi, itu, nggak nggak selalu semuanya dibicarain ke orang tua. gitu

kadang mungkin ke suami atau mungkin kalau mungkin namanya kita

berumah tangga itu kan pasti ada permasalahan-permasalahan ya.

xvi

Nah, itu permasalahan-permasalahan tersebut eee jika masalah itu

akan bisa besar bisa kecil. Kita bisa besar-besarin masalah atau kita

mau memperkecil masalah tersebut begitu. Nah, kalau misalnya

dengan ngomong sama orang tua akan menjadi melebar gitukan,

apalagi permasalah rumah tangga, ya, janganlah disampaikan.

Mungkin kita bisa cari teman yang nggak ember, nggak bocor

gitukan. Misalnya kita dalam kondisi rumah tangga yang itu sih.

Sejauh itu diusahakan seperti itu walaupun sulit ya. (Indah)

2. kalo keputusan tetap di aku. Cuman, aku tetap sharing jadi, dari

apapun yang aku ambil mereka pasti oke. jadi, eee kalo maksudnya

terkait persetujuan, enggak sih, semuanya alhamdulillahnya masih di

aku. (Ummu)

3. Iyah betul, aku bukan tipikal orang, karena dari kecil udah terbiasa

hidup sama orang (bukan orang tua kandung), jadi aku punya

keinginan gamau nyusahin orang lain, selama aku bisa sendiri, aku

selesain sendiri. (Unge)

4. iya. Terutama yang menyangkut pendidikan. Kayak ini, saya mau

kuliah. Saya bilang. Saya mau ngekos pun saya bilang. Kan awalnya,

saya itu angkatan 2020 S3 nya, cuman baru ngekos baru bulan ini.

Nah itu saya bilang sama mama saya kalo saya mau ngekos. Terus

misalnya lagi saya mau pergi gitukan, travelling lah saya tetap bilang.

Pokoknya ya eee saya sih tipe yang terbuka sih sama orang tua.

Kecuali, kalo cowok. Sebenernya kalo cowok saya gak terbuka

kecuali memang saya sudah yakin begitu. Kalo misalnya baru kenalan

begitu-begitu, ya sudah, simpen sendiri dulu. Aku takutnya kalo aku

kenalin, orang tua terlalu ngarep kan. Jadi nanti disuruh ajak ke rumah

lah apalah. Padahal kita belum sreg gituloh. Kitanya masih mau cari

tahu dan ngetes ini cowok. Makanya kalo yang masalah itu ya aku

sendiri dulu. Jadi keputusan yang kayaknya sudah hampir fix ya saya

obrolin ke orang tua. Tapi kalo yang masih, yang sayanya juga masih

ragu untuk ngelakuin apa nggak eee di keep dulu saja. biar nggak

kepikiran juga kan. (Intan)

5. eee pas ngekos terakhir ini kebetulan ibuku sudah meninggal ya. jadi

aku memang lebih banyak untuk urusan keputusan menikah dan

lainnya itu lebih banyak aku biasanya eee mungkin aku untuk taaruf

aku berjalan dulu sendiri tapi nanti di pertengahan aku akan

sampaikan ke kakak-kakak ku. Nanti kalo misalnya sudah mau nazor,

aku sudah ngasih gambaran ini sebelumnya jadi nanti entar kakak ku

nggak kaget-kaget banget. Maksudnya juga biar dia nggak ngerasa

ter, ter apa ya, mungkin merasa kayak nggak dianggap lah.

iya betul. Takutnya kan kita sudah ngobrol ternyata akunya nggak

sreg gitukan, ya nggak enak juga kan. (Ayu)

6. eee iya dan tidak sih. jadi, ada yang mungkin hal-hal sepele lah ya.

Tapi sometimes kita pasti punya yang namanya bad day ya. kadang

ada “aduh, gue lagi bete banget nii” dari mulai urusan kerjaan. Kan

tidak menutup ya, Gis, karena kita bekerja dengan banyak orang. Pasti

xvii

ada kayak begitu, dari atasan lah atau segala macam. Atau “aduh, lagi

nggak enak nii kliennya” hahaha “aduh, boss nya lagi gini-gini

nyenyenye”. Hal-hal kayak begitu palingan lebih ke curhat saja sih,

kelar. Cuma kalo untuk solusinya tetap balik ke aku sendiri. Aku yang

ambil keputusannya. Nggak disetir siapa-siapa. (Nurvita)

7. masalah apa nih? Berkaitan sama masalah..mmm kalo aku sih gini ya

gis, kalo pendapat orang tua sih pasti tetap ya, tetap aku butuh.

Apalagi kalo keputusan itu besar, berkaitan dengan kehidupan aku ke

depannya. Pasti aku minta izin sama orang tua. Tapi kalo untuk

masalah sehari-hari ya aku selesaiin sendiri sih. (Yuti)

8. iya!! Karena kadang kalo aku punya masalah itu aku nggak ceritakan.

Yauda aku selesaikan sendirian saja. tapi kalo sudah berat banget nih

ya masalahnya mau nggak mau orang tua harus tahu, aku ceritain aku

lagi punya masalah apa.

iyaa... selagi masalahnya nggak ngeganggu aku banget, aku selesain

sendiri sih. kecuali itu tadi, kalo sudah sampe bikin pusing dan

bagaimana ya eeee pasti aku ceritain ke mereka. (Lena)

9. sejauh ini sih, iyaa. Karena terbiasa hidup sendiri. Sesimpel gue besok

makan apa, itu kan termasuk cari solusi sendiri gitukan. Punya

penghasilan sendiri, mau dipake buat apa saja itu juga kna termasuk

keputusan sendiri. Jadi, menurut gue sih ya, sejauh yang gue tahu, gue

sudah bisa mutusin apa-apa sendiri.

enggak semuanya sih. gue sama orang tua itu nggak terlalu terbuka.

Nggak semua hal yang gue alamin tiap hari, terus gue ceritain gue

orang tua. Itu nggak. Ya banyak juga hal yang gue sembunyiin dari

nyokap. Palingan masalah kerjaan, masalah pasangan, yang kayak

gituu sih yang gue omongin ke nyokap. Tapi kalo masalah teman,

masalah kegiatan gue, nggak terlalu gue buka ke nyokap sih. (Citra)

Menurut Anda, apakah dengan masih tinggal bersama orang tua membuat

Anda tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup terutama

keputusan untuk menikah/tidak menikah?

1. bisa dibilang iya sih. tapi bisa juga dibilang nggak. gue bisa jauh dari

pertanyaan-pertanyaan “kapan nikah?”. Tapi kan, sekalinya gue

ketemu itu gue pasti ditanyain tuh, “pacarnya siapa sekarang?” terus,

“rencananya mau nikah kapan?” nyenyenye gue palingan yang kayak,

“sudah, tenang dulu saja, mah” kayak gituu. (Citra)

Ketika memutuskan untuk menikah, apakah keputusan tersebut yang Anda

inginkan? Atau ada desakan dari keluarga dan lingkungan sekitar yang

mendorong Anda untuk menikah?

1. iya sih, memang, memang, iya memang kepengen saya sendiri dan

memang dia juga eee nggak ada tuntutan. Ya memang ngalir saja

gituu. Kayaknya sudah waktunya nikah deh, nikah saja yuk. Biar

goalsnya itu punya kehidupan yang lebih baik, atau apa-apa itu

mindsetnya bareng gitukan. Jadi, nggak, nggak, belum nikah, kalo

xviii

saya sih ya, kalo belum nikah itu kayak apa-apa itu ditanggung

sendiri. Tapi kalo sudah nikah kan sekarang jadi ada temennya.

(Scha)

OTONOMI BEHAVIORAL

Kemampuan Individu dalam mengambil keputusan secara mandiri

dan konsekuen terhadap pilihan

Apakah alasan Anda memilih untuk tidak tinggal bersama dengan orang

tua?

1. sebenernya ini bukan keputusan gue pribadi ya. gue kan sempet

ngekos itu, eee, sudah terbiasa ngekos itu dari kuliah. Sudah mulai

jauh dari orang tua sejak itu. Karena jarak dari rumah ke kampus itu

jauh banget, jadi harus ngekos. Nah, pas gue kerja pun, itu pas banget

sama keputusan nyokap buat tinggal di Sumedang, terus gue keterima

kerja di Jakarta, yaudah, mau nggak mau gue ngekos. Jadi bukan hal

yang baru juga buat ngekos dan hidup sendiri. (Citra)

Apa alasan Anda memutuskan untuk menunda pernikahan?

1. kenapa? Kalo pertanyaannya kenapa, kalo alasan secara pribadi sih

eee enggak ada ya. Maksudnya ya memang mengalir begitu saja.

karena, aku pribadi sih maunya nikah cepet-cepet ya (tertawa) tapi

ternyata tidak semudah itu dalam menemukan pasangan. pasangan ya.

Apa namanya, menemukan pasangan yang eee pas begitu. Terus habis

itu dalam menemukan... karena aku punya prinsip nggak mau

pacaran. Sementara lingkungan aku itu eee lingkungan yang orang

biasa saja. jadi, boleh dibilang aku bukan berenang di kolam yang

tepat sebenernya. Ngerti gak? Jadi, aku punya prinsip enggak mau

pacaran. Tapi, aku nggak masuk dalam komunitas itu, begitu.

komunitas dimana orang tidak pacaran. Lalu, mungkin dia berta’aruf

seperti apa begitu ya. seperti itu jadi, yang pertama itu. Kemudian,

yang kedua, ternyata ketika dalam mencari pasangan itu eee apa yaa,

oke aku tidak pacaran, tapi aku dikenalkan misalnya sama orang,

sama siapa begitu kan ya. Eee tapi ya ternyata gak mudah begitu.

Karena kalo misalnya mungkin ya, model ta’aruf begitu kan, kitaa...,

aku banyak skeptisnya, begitu. Kalo misalnya kita ta’aruf itukan kita

di...sudah ada orang kepercayaan gitukan sebagai penengah. Itu ya.

Kalo misalnya kita coba berprinsip tidak mau berpacaran tapi kita

mengenal, gimana caranya coba? Begitu kan. Kecuali kita punya

seorang yang bisa kita eee bisa kita apa namanya, bisa kita percayai.

Tapi kalo diserahin ke kita otomatis kita bakalan jalan terus sama dia,

gitukan.

iya, bakalan jalan bareng sama dia, bakal eee berduaan, kayak begitu-

begitu. Nah itu, aku menghindari itu, tapi, ternyata yaa... ya... tidak

tidak tidak mudah. Karena aku nggak berada dalam komunitas yang

mendukung prinsip aku, lingkungan yang islami lah istilahnya. Biasa

saja begitu. Jadi itu, prinsip yang aku punya itu nggak pas di

xix

lingkungan yang tidak pas kayak begitu. mungkin ya, itu salah satu

mungkin selain itu mungkin Allah memang tidak, belum

menghendaki. Maksudnya menghendaki mungkin belum

menghendaki di usia aku segini atau mungkin dengan orang yang ini,

begitu. (Indah)

2. eee ini agak-agak gimana ya. Aku punya beberapa, bukan problem,

sih. Jadi, ada beberapa faktor. Beberapa faktor tuh, gapapa aku urain

saja (tertawa). Jadi misalnya kayak, kalau kenapa belum mau nikah,

kalo dari aku pribadi emang belum mau nikah. Soalnya eee apa ya,

mungkin karena aku kelamaan pendidikan kali, ya. Jadi fokus ke

pendidikan saja. terus sekarang sudah selesai tuh, malah, eee pengen

jeda dulu. Maksudnya, kan ini (menikah) bebannya banyak pasti kan

ya. Eee bebannya banyak, tanggung jawabnya banyak. Habis nikah

pasti anak, apa, apa, apa. Aku tuh semacam kayak sedikit nggak siap.

Kalo dari akunya pribadi memang belum, belum kepikiran setahunan

ini pengennya belum. Cuman, karena, kalo dari segi posisi saya

adalah anak pertama. Anak pertama perempuan (tertawa) di keluarga,

usia segini (belum menikah) itu menakutkan bagi semua orang

(tertawa). Jadi, sudah mulai apa, selalu diteror hampir setiap hari

untuk disuruh nikah.

Jadi sebenernya, ada dua pandangan sih. Maksudnya, kalo

memutuskan nggak nikah juga, eee fifty-fifty ya. Aku pribadinya

memang gak mau, belum mau. Cuman keluarga tuh, kalo bisa

secepatnya.

iya. Heeh. Lebih kayak, apa, aku kalo mikir jauhnya, lebih ke habis

nikahnya itu prosesnya itu yang bikin aku jadi agak sedikit males.

Maksudnya masih belum pengen kesitu aku. Itu sih yang

memberatkan. (Ummu)

3. karena faktor keluarga deh kayaknya, faktor orangtua lebih tepatnya.

Mama papa ku kan cerai di umurku 2 tahun, terus menikah lagi sama

orang betawi sana ciledug sana juga, terus punya anak 2 sepasang

cewe cowo, cuman engga nuduh satu etnis ya cuman kebetulan si pas

laki-laki ini , orang betawi itu kan kebanyakan lingkungannya di sana

sana aja ya rumahnya , nah kebetulan dia ini jeger, jeger itu yang

ngambilin pajak-pajak orang di pasar atau yang jual tanah ke dia

gitulah.

nah iya gitu si, itu juga salah satu kerjaannya. Kerjaan yang lainnya,

kek misalnya ada pasar malem tuh di sepanjang jalan kreyo itu nanti

hasilnya buat dia gitu. Cuman karena beliau ini yang preman pasar

kasar maen tangan, aku sma kelas 2 itu mereka cerai si, karena

terakhir kali dia nendang perut mama ku si sampe luka dalem gitu, ya

om aku ga terima dong, kaka-kaka nya ga terima, akhirnya disuruh

cerai, disuruh pulang kekampung mamaku ini. Jadi itu kayak bikin di

xx

bilang trauma bukan si, karena aku juga pacaran kayak engga

kepikiran aja gitu, tapi nanti kalo andaikan gua nikah gua kek gitu ga

ya, katanya kan buah jatuh ga jauh dari pohonnya, aku takut apa yang

dialami semua akan aku alami ketika aku nikah gitu, emang manusia

itu ga sama, cuman gimana si ketakutan anak kalo ngeliat orangtuanya

2 kali gagal, apalagi sampe ada kekerasan kek gitu. Itu si faktor

pertama yang bikin aku takut tuh orang tua, tapi di bilang trauma si

ga trauma.

iyah, terus cuman grgr itu doang si, karena takut itu terulang lagi

makanya aku belum punya komitmen untuk nikah gitu.

dulu aku bahkan dari SMP nih ya gatau aku berpikir, kata orang sih

dewasa sebelum waktunya, dari SMP itu aku udah punya prinsip aku

akan nikah itu di umur 27 atau 28 paling mentok umur 30 tahun.

Untuk anak usia 13 tahun aku udah mikir kek gitu, sampe SMA sampe

kuliah itu tetap tertanam di otak aku jadi prinsip aku, makanya sampe

skrg belom nikah kan, nah karena punya prinsip kek gitu, lepas dari

ortu, jadi kayak lepas dari ortu, aku tuh udah hidup mandiri dari kecil

tanpa kasih sayang dari ayah walaupun di kasih sayang sama nenek,

om, oma, opah, ya cuman kan rasanya pasti beda kan, jadi ya udah

gede sebelum waktunya kayak independen aja aku gitu hidupnya,

secuek itu sampe aku beli makan, bahkan kalo aku masi kerja nih di

jakarta, itu kayak mikir ah udahlah gua gamau nikah toh gua udah

bisa nyari duit sendiri, gua mandiri, kemana-mana tinggal bawa motor

bawa mobil atau kalo gamau cape nyetir pesen ojol atau car,beli apa-

apa, beli perhiasan, beli baju, beli makan, healing cari udara ke bogor

sendiri gua ayo, jadi udah ngapain gua nikah gitu, aku punya prinsip

gitu.

betul, karena kami semua rata-rata yang perempuan ngerantau ke

Jakarta apalagi orang Minang kan ya kata orang “kalo cewe Minang

udah ngerantau mereka ga peduliin nikah, mereka akan jadi wanita

karir”.

itu terbukti, iya bahkan temen-temen aku, kan kita waktu kuliah tuh

ada ber10 orang yah satu tongkrongan, yang 8 udah nikah, mereka

pasti langsung cecer kok lu ga kepikiran nikah sih, atau aku orangnya

secuek itu, misal baru putus nih bahkan udah pacaran nih 5 tahun, tapi

sekalinya putus karena diselingkuhin, cuman nangis 2 minggu 3

minggu abis itu have fun lagi gitu. Mereka kayak lu yakin nih gaada

sedikitpun rasa nangis kesel atau apa gitu? Yaudah berarti bukan

jalannya aku serata itu ngomong, ya kalo udah putus yaudah gitu kan,

udah jalannya putus berati bukan dia orangnya gitu selesai, ya kalo

mau sedih yauda gitu gausa lama aku bilang gitu kan. Sampe prinsip

nikahpun mereka langsung nanya, lu yakin nikah umur segitu nge?

Yaelah orang Padang mah, nikah umur segitu kalo mereka anak

xxi

rantau mah bodoamat aku bilang, akhirnya mereka paham, nah itulah

kenapa selama di Jakarta aku gapunya pikiran untuk nikah, (Unge)

4. kalo mau memutuskan menikah di usia segitu mah enggak ya. Karena

memang eee not mind goals gitukan awalnya. Karena semua orang

akan menikah. Nggak, nggak pasti sih. gimana ya, eee fase ya fase.

Saya sih menganggap semua fase ada yang memang mau, ada yang

memang enggak. Ada yang akan menjalaninya, ada yang nggak.

Cuman, kalo saya, kalo pun, gini sih mindsetnya kalo memang, oh

kalo perempuan nggak punya contoh, expired. Kalo perempuan akan

jadi, apa namanya, kalo nggak segera menikah, tuh, apa sih.. (Scha)

5. mmmm, jadi sebenernya sih sebelum umur 30 tahun, sempet itulah,

pengen – pernah mau menikah, kayak gituu. Sudah pernah deket tapi

nggak deket-deket banget juga sih, sama cowok. Cuma, jadi ini, saya

kan eee pekerjaannya sebagai dosen ya. Jadi pastinya kita dituntut

untuk terus kuliah gituu sampai S3. Dan saya memang kepengen S3

dari pas lulus S2 bakalan mau S3. Cuma memang belum bisa

langsung karena memang saya dapat beasiswa yang memang harus

mengabdi dulu jadi dosen,

jadi, mau nggak mau mengabdi dulu baru bisa apply S3, gitukan. Nah,

ketika sudah selesai mengabdi, berarti saya mau S3 dong. Karena toh

nanti ujung-ujungnya jadi dosen juga diminta untuk S3 kan. Nah, saya

izin. Waktu itukan kita obrolinnya memang sudah mau menikah. Saya

izin sama dia (pasangan saat itu). Kalo misalnya nanti kita jadi,

gitukan, terus abis itu, saat kuliah boleh nggak? Gitukan. Cuma

jawaban dia tidak, dia tidak, gimana ya, nggak ngizinin tapi dia bilang

dia mencarinya seorang pendamping yang eee memperdalam ilmu

agama bukan ilmu dunia (tertawa).

Padahal di awal kita sudah komit. Saya itukan dosen. Saya juga

mencari pendamping yang tidak menghalangi mimpi saya, cita-cita

saya, gitukan. (Intan)

6. wah alasannya panjang kali lebar ini. Alasannya sebelum hijrah atau

sesudah hijrah ini? (tertawa)

ya sebelum hijrah itukan aku sempet eeee ya nggak diperbolehkan lah

ya pacaran. Nah terus itu, berapa ya, kurang lebih, pokoknya adalah

aku niat mau nikah. Sudah pacaran juga. Tetapi ternyata qodarullah

belum jodoh. Sampe akhirnya aku sudah nggak ada orang tua.

Akhirnya aku kan sudah mulai belajar agama lah istilahnya. Dari situ

aku tahu, “oh, ternyata nggak boleh pacaran” gitukan. Sampe

akhirnya aku hijrah, aku mulai taaruf. Akhirnya aku taaruf, qodarullah

belum jodoh lagi. Yaudah sibuklah dengan kegiatan, biasa, ada

dibidang pelayanan, kadang diriset penelitian. Ya sambil ikhtiar dan

cari-cari juga. Mungkin dari teman-teman kajian. Terus dari web-web

taaruf juga pernah. Kadang kan juga mungkin kita sudah niat, sudah

xxii

ngerasa sudah siap, tapi qodarullah Allah belum ngijinin begitu ya.

Giliran kita kejar malah ngga ada ya (tertawa). Giliran nggak kita

kejar ternyata datang, gituu. Datengnya berbarengan lagi. Kadang-

kadang suka kayak gituu diujinya. Sudah akhirnya eee pokoknya

diujinya tu keseringan tu mungkin dari pihak ikhwannya ya.

Ikhwannya kayakknya, ada saja begitu Allah kasih ujiannya. Ya

mungkin juga memang belum jodohnya. Padahal sudah sampe

lamaran. Tapi akhirnya kandas tengah jalan. Yaudah akhirnya nggak

lama, dapet lah ini calon suami. Kita kenal juga taarufan. (Ayu)

7. oke, jadi kalo alasan yang sekarang ya dek, karena satu, yaudah

jalanin dulu. Yang kedua, karena memang mmm kalo apa ya, kalo

soal cowok begitu mmm masalah jodoh begitu memang aku belum

nemu yang pas ya. Bisa dibilang belum berjodoh lah ya. Mungkin

kayak, ada sih (yang ngedeketin), tapi kita kayak, eee mungkin

semakin tua usia kita juga semakin ini ya dek, ya, semakin selektif.

Kayak begitu ya. mungkin, ada beberapa orang juga yang, “yaudah

gue jalanin saja dulu sudah”. Tapi, kalo aku adalah tipe yang mungkin

lebih ke hati-hati ya, terus juga gamau asal saja. Terus eee ya balik

lagi deh, mungkin akunya juga yang masih sibuk kerja juga. Terus

belum nemu yang pas. Jadi yaudah, aku jalanin saja dulu masa-masa

aku sendirinya sambil terus berdoa juga berusaha juga itu pasti.

Cuman, untuk saat ini (menikah) kayaknya belum sih. Maksudnya

tahun ini nih hahaha kan sudah mau abis ya, tapi kayaknya jodohku

belum keliatan begitu hahaha kalo tahun depan gatau deh bagaimana.

Jodoh kan nggak ada yang tahu ya selain Allah. Kalo sekarang sih aku

kayak begitu, dek.

kalo menunda, enggak ya. aku nggak ada niat buat nunda pernikahan,

sih. cuman itu saja sih, kalo sekarang itu kayak masih, yaudah, ngalir

saja kayak air. Tapi akunya juga nggak menutup diri bagi siapapun

yang mau kenal aku. Aku tetap berikhtiar. Dalam artian gini, Gis, kalo

misalnya ada yang deketin, dan, kira-kira kriteria dia masuk nih di

aku, yaudah, coba saja dulu. Tapi kalo sekarang kan belum ada ya.

Maksudnya masih yang begitu lah, kayak, yang antara serius atau

nggak. Ya lebih banyak yang belum serius sih. Maksudnya, dari pihak

sananya. Jadi, yaudah, kita temenan saja dulu. Begitu sih.

Aku nggak nunda sih. Cuma kalo ada, misalnya ada, tadi yang aku

bilang misalnya dalam waktu, bulan depan atau tahun depan ini, tiba-

tiba ada yang ngedeketin dan itu cocok, ya bisa saja kan aku menikah

dalam waktu dekat? Jadi, aku nggak nunda sih sebenernya. Nggak.

Begitu dek. (Nurvita)

8. kalo aku sih ya karena belum ketemu sama seseorang yang pas untuk

dijadikan partner hidup aku. Kan menikah itu untuk jangka waktu

yang lama ya, seumur hidup. Jadi aku masih mencari yang tepat sih

untuk hidup aku.

xxiii

aku pribadi enggak sih, gis (tidak ada niat menunda menikah).

Yaudah, jalanin saja.

sebenernya aku itu nggak ada pikiran untuk nggak nikah sih. Nggak

ada. Sejujurnya, aku juga ingin menikah. Tapi maksudnya karena eee

kadang karena sirkel pertemanan aku juga sempit, aku pulang kerja

balik ke kosan. Kerja kosan kerja kosan saja kayak begitu. Terus

kalopun aku main ya palingan sama teman-teman kantor, yang rata-

rata tuh cewek sebenernya. Aku sempet sih terbesit, “aku harus cari

kemana ya?”, namanya juga jodohkan harus dicari juga kan, harus

dikejar, begitu. Ya tapi, yaudah seiring berjalannya waktu saja sih aku

sekarang. Kalo untuk perasaan mau nikah, aku selalu ada. Aku selalu

berdoa, begitu ya. Tapi kalo misalnya aku yang terlalu fokus kerja

banget sampe lupa menikah itu nggak sih. Karena aku pribadi kan

juga ingin menikah. Sekarang itu aku lebih ke jalanin saja. Kan Allah

yang sudah atur semuanya. (Yuti)

9. mmm apa ya, aku nggak mikirin itu sih sebenernya. Karena menurut

aku itu tuh, belum penting saja sih buat menikah di usia segini. Karena

menurut aku nih ya, umur segini, usia 20an sampe 30an awal itu ya

fokus ngejar karir dulu saja. Nah, tapi kalo usia kamu sudah nginjak

30an dan ngerasa sudah siap menikah dan ngurusin anak segala

macam, ngurusin suami dan segala macam baru deh menikah.

Menurut aku sih gituu ya..jadi ya alasannya kenapa di usia aku yang

31 tahun ini masih gak nikah, karena itu tadi, aku mikirnya masih usia

produktif, mau ngejar karir aku dulu dan nikah menurutku untuk

sekarang bukan yang penting-penting banget. Nanti mungkin kalo

usia ku sudah 33 atau 35an sekian baru aku pikirin hahaha.

Aku masih mau ngejar karir aku.

Tapi palingan aku kayak lebih ke pendidikan aku sih. Jadi, aku

memang ada rencana mau ngelanjutin sekolah lagi, kepengen S2.

Nanti setelah selesai baru deh aku mikirin buat nikah. Begitu.

Palingan kalo dikarir aku itu, aku ngumpulin uang buat ngelanjutin

biaya aku pas S2 nanti.

Dan sekarang pun ada yang ngedeketin aku buat ke arah yang lebih

serius tapi akunya malah yang entar dulu deh hahaha. Mungkin,

karena aku juga ngerasa lebih nyaman sendiri. Jadi aku belum mikir

kesana. (Lena)

10. iya, tapi nggak ada rencana nunda juga. Jadi, kayak, yaudah kalo

memang sudah ada waktunya, ya gue nikah lah. Kalo nunda kan

kesannya kayak gue bener-bener nggak mau nikah. Eee waktu-waktu

dekat inilah.

xxiv

eee simpelnya lebih ke mmm kagak ada lakinya. Tapi eee apa

namanya, gue mikirin karir sih. maksudnya kan gini, sebenernya

orang tua gue nargetin gue nikah maksimal 25. Sedangkan gue baru

punya karir itu di umur 26 27. Itu juga sebenernya belum bisa dibilang

karir sih, karena gue masih jadi staff, belum pegang profesi.

Kepengennya gue sih kalo gue sudah bener-bener punya profesi, gue

baru deh mikirin mau nikah.

Ngestabilkan pekerjaan gue yang baru banget gue mulai. Sama eee

gue lebih ke mentingin, ngenomor satuin keluarga dulu sih.

maksudnya, penghasilan gue saat ini gue alihkan buat keluarga gue

dulu. Kalo misalnya gue nikah kan, gue punya keluarga lain, nah,

otomatis penghasilan gue kebagi lagi tuu. Nah, gue belum sampe

ditahap itu. Belum ready.

Tapi ya itu tadi, gue mau kerja dulu, karir dulu, stabilin pekerjaan gue.

Jadi nggak sekarang nikahnya. Nggak dalam waktu dekat. Begitu.

Kepengennya gue nikah juga bukan yang kepengen banget, sih. masih

bisalah gue tahan entar-entaran. Teman-teman seusia gue juga kan

banyak yang sudah berkeluarga juga tuu. Kadang gue suka ke trigger

juga untuk eee, “ih ingin deh punya anak”. Penasaran begitu, gue

interest buat ngurus anak itu kayak gimanaa sih? terus kepengen juga

punya suami yang bisa nemenin tiap hari. Cuman kan yang jadi

masalah, nikah itu nggak cukup sampai disitu. Kalo ngomongin

faktanya kan, nikah lebih ke ekonomi. Terus dunia lo juga bakalan

kebagi-bagi. Yang kesitunya sih sebenernya yang buat gue belum siap

untuk nikah di umur gue yang sekarang. (Citra)

11. Sebenernya sih nggak. Aku tuh nggak sama sekali niatin untuk

menunda menikah. Dulu malah sebenernya punya rencana menikah

itu usia 23-an, gitu. Kan, aku lulus kuliah itu usia 21 jalan 22, pada

saat itu. Ya, mikirnya pada saat itu kan hanya begini “Gue perempuan,

selesai kuliah mau ngapain lagi sih?”. Okelah kerja. Tapi, perempuan

nggak terlalu dituntut untuk kerjalah, ya. Kayak gitu. Dan orang tua

pun model-model kolot gitu lah yang namanya “Udah lah kamu

ngapain lagi, sih?”. Kayak gitu. Ya, sempet punya target 23 lah.

Kebetulan pada saat itu ada pasangan. Cuman, pasanganku itu

memang belum selesai. Jadi aku duluan yang selesai. Nah, terus, udah

kayak gitu, ya udah. Jadi kan sambil nunggu dia selesai juga. Itu tuh

sebenernya kita juga udah komit (komitmen). Ya udah ngga apa-apa.

Sambil nunggu dia, pasti kan aku karir dulu. Berjalannya waktu,

berfikir juga, iya juga, sih. Masih usia segini masih 22 tahun mah

masih muda banget. Masih banyak yang dicari. Masih pengen

ngerasain cari uang, bisa bantu keluarga, minimal bisa kasih ke adek-

adek. Dari situ, sambil berjalannya waktu, itu sih menikmati aja,

enjoy-enjoy aja. Ya udah. Tapi diperjalanan itu kan, biasalah

omongan-omongan. Makin bertambah, wah udah 23. Oh, ternyata

xxv

meleset. Ternyata pasangannya belum siap juga. 23 berjalan lagi,

sampai akhirnya usia 24 25 sampe 28. Lah, sudah umur segini saja

hahah. Trus mikir “Ah masih 28 lah, ya. Masih muda.”. Nah, ketika

di usia 29, dan ternyata di situ berakhir hubunganku. Sebenarnya udah

berhubungan cukup lama sebelumnya. Pas usia 29 tahun barulah di

situ agak berpikir ternyata, wah, nggak terasa nih waktu. Dari yang

tadinya santai, santai, santai, ini umur 29 masih belum punya yang

pasti juga. Trus, dari situ, ya udah, apa ya, lebih ke lillahi ta’ala aja.

Berjalannya aja, menikmati aja. Aku masih suka main orangnya.

Pengen ke sana, ke sini, masih mau karir yang lebih lagi. Walaupun

memang aku berkecimpung di dunia pendidikan, karena memang aku

memilih udah di dunia pendidikan, udah berfikir untuk totalitaslah di

situ. Dari situ, ya sudah. Sebenernya pas di usia 25, sempet mau

nargetin lagi, tapi di situ agak takut mau nargetin, karena agak trauma

dari yang sebelum-sebelumnya. Punya target dari usia 23, oh ya udah

25 tahun gitu, kan. Ternyata di 25 meleset juga. Sampai akhirnya di

usia sekarang 29 dan baru ketemu lagi. Cukup lama juga sih buat aku

move on dari yang lama. (Ade)

12. sebenernya ada banyak faktor, sebenernya aku itu, ngambil keputusan

itu sudah mikir mateng-mateng dan awalnya orang tua menentang ya.

Tapi karena aku jelasin segala alasannya akhirnya mereka mengerti

dan malah balik dukung aku untuk nggak nikah cepet-cepet. Lagian

jodo juga kan tergantung kapan datengnya kan.

Kenapa aku ambil keputusan untuk menunda menikah itu yang

pertama sebenernya ada alasan pribadi yang gabisa aku ceritain dan

aku bagi-bagi ke orang. Terus, yang kedua, eee tahu kan, sandwhich

generation di Indonesia kayak bagaimana? Ya itu alasannya. Terus,

karena, sandwich generation itu juga aku harus ngebantu adik-adik

aku selanjutnya untuk sekolah lagi ya kan. Sedangkan jarak nanti adik

aku sekolah lagi itu, waktunya orang tua aku pensiun. Aku sebagai

yang tua ngebantu adik-adik aku kan. Kalo aku sudah nikah itu, nggak

akan bisa melakukan kayak begitu karena nanti aku akan punya

keluarga yang bakalan aku prioritaskan.

Terus juga ya, aku itu dari dulu banget, sebelum aku lulus kuliah, aku

itu pengen banget ngejar beasiswa ke luar negeri. nah, kalo aku nikah,

aku nggak mungkin bisa dengan bebasnya ngejar beasiswa yang aku

mau. Aku juga sudah (melakukan) perhitungan, kalo misalnya, aku

ambil beasiswa umur sekian, jarak sekian, belum lagi aku mau ngejar

karir juga. Kemungkinan kan ya, umur 30an lah aku baru kelar itu.

Terus faktor lainnya aku juga, ada trauma sama pasangan waktu

pacaran dulu hahaha. Itu jadi ngebuat aku trauma sama laki-laki.

Kayak aku belum bisa nemuin di mata aku yang bener-bener baik,

begitu loh. Jadi sampe sekarang aku selalu mandang cowok itu

semuanya sama saja, brengsek. Buat apa cari-cari lagi ya kan.

xxvi

Toh, sekarang aku ngerasa aku bisa semuanya, ngapain aku perlu

pendamping hidup gitu? Terus faktor lainnya itu, di lingkungan aku

itu, misalkan, orang tuanya teman aku bahkan teman aku sendiri pun

ngalamin divorce begitu kan. Apalagi macem-macem perceraian kan

banyak ya, itu jadi ngebentuk mindset aku ternyata pernikahan nggak

sebaik itu. Ternyata pernikahan itu buruk banget ya, kok sampe bisa

ngerusak batin. Maksudnya aku trauma pacaran saja sudah nyiksa

batin, aku gak mau saja ngalamin hal yang sama di pernikahan,

trauma lagi aku gak mau. Meskipun Indonesia lagi gencar-gencarnya

kampanye nikah muda, tapi aku kayak, yang, kek, apa sih kok mereka

pada begitu? (nikah muda) nggak mikirin ke depannya nanti kayak

bagaimana. Itu pandangan aku sendiri begitu sih. (Arisa)

13. sebenernya nggak nunda juga sih, dek, gitu, cuma ya... belum ada aja

sih. Kalo aku ya, sih, eee apa ya.. banyak yang deket juga cuma ya

belum ada apa ya eee.. belum ada kecocokan saja sama yang kemarin

itu, begitu. Sebenernya nggak nunda juga. Karena kalo aku sih ya,

namanya sebuah pernikahan kita juga harus pilih untuk apa ya, untuk

pernikahan kita kan. Itu penting. Jadi memang sudah seharusnya apa

namanya, eee,,, apa ya, liat dari segi agamanya juga, begitu, baik

nggak, bertanggung jawab nggak, kayak gitu-begitu sih.

hehe iyaa nggak ada, nggak ada sama sekali. Tapi karena ya memang

belum nemu yang cocok saja. Sekarang mah, tinggal tunggu jodohnya

saja deh hahaha (Fitri)

Apakah Anda sudah mengetahui konsekuensi dari keputusan yang Anda

ambil, dalam hal ini menunda pernikahan?

1. karena sudah aku pikirin mateng mateng ya, jadi menurut ku ini sudah

keputusan yang tepat dan aku bisa terima konsekuensinya nanti ke

depannya kayak apa. Untuk rasa menyesal mungkin nggak ada ya,

tapi palingan cuma kayak ngerasa kesepian saja kali ya, karena ngeliat

angkatan aku seumuran aku sudah pada punya keluarga sendiri. Pasti

ada rasa iri, pasti. Tapi kan balik lagi sekarang, kalo batin kita belum

siapa menikah, jangan dipaksain. Soalnya nanti kalo ada apa-apa,

yang disalahin orang lain kan juga salah, kasihan jadinya. (Arisa)

2. Makanya, kenapa aku yakin, karena aku tau dia bukan orang yang,

maksudnya bertele-tele, nggak punya prinsip, yang nggak pegang

omongan. Karena, sebelumnya aku kan juga udah kenal dia walaupun

beberapa bulanlah, oh cukup tau orangnya seperti apa. Penilaian

orang tuaku terhadap dia pun juga baik. Aku ya lebih ke yang percaya

orang tua aja deh, karena orang tua kan nggak mungkin menyesatkan

juga. (Ade)

3. hoo tahu gue. Gue sudah ngalamin juga kok hahahaha (Citra)

4. tahu, dan aku siap sih. Inikan keputusan yang aku ambil sendiri. Jadi,

apapun nanti kedepannya ya aku tanggung sendiri juga. Ini

keputusannya kan berasal dari aku. Bukan yang eee bukan aku yang

xxvii

kepengen banget nikah, justru terbalik kan, aku malah gamau. Kayak,

aduh ribet deh nanti kalo misalnya nikah. Jadi yaudah jalanin saja aku

bawa enjoy saja. (Lena)

5. sudah, sudah tahu (Unge)

6. sudah siap sih. maksudnya kaya istilah orang yang, aku tuuh sering

dibilang gini, nanti punya anak susah. Punya anak berisiko ya kalo

usia tua katanya. Eeee gatau sih kalo aku untuk urusan itu malah aku

sudah siap saja sih. Yaudah lah, gituu. (Ummu)

Apakah Anda memiliki kebebasan untuk menjalani hubungan

(berpacaran) tanpa mendapat desakan ke jenjang yang lebih serius

(pernikahan) dari orang tua atau lingkungan sekitar?

Apakah Anda memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang akan

menjadi pasangan hidup Anda?

1. bebas. Selagi kamu bertanggung jawab pada keputusan kamu, nggak

memalukan keluarga. (Karina)

2. kalo orang tua...bebas sih. Dari jaman dulu. Malah lucunya gini,

jaman sekolah tuh, bener-bener protektif banget. Jadi, eee saya itu

nggak pernah, enggak pernah pacaran sama sekali. Sampe usia berapa

ya. S2 itu 24 atau 25 ya. 24 mungkin. Baru pertama kali pacaran itu.

Jadi maksudnya, orang tua itu, masuk umur 20 malah, kok kamu

belum ada pacar? Terus aku bilang, dari sekolah lah, dari jaman dulu

sudah terbiasa protektif. Jadi sudah terbiasa fokus ke pelajaran, ke

sekolah. Nggak pernah mikir aneh-aneh gituu. Jadi, makanya

mungkin, karena orang tua khawatir ya. Ayo ayo, jadi malah mereka

yang ayo sama siapa saja, yang penting seiman begitu-begitu saja sih.

Kalo yang persyaratan khusus sih enggak ada. (Ummu)

3. oh engga, paling cuman dibercandain doang mau nikah lo? Ah ga

sekarang ah, ntar aja aku bilang. Waktu aku kerja di Jakarta kan ya,

om aku kan kayak gitu. Lu umur segini ga kepikiran nikah? Etapi abis

itu dibantah lagi sama dia, eh tapi ngapain nikah cepet-cepet ya, tante

lu aja nikahnya umur 30 lebih, haha

jadi kayak udah bukan tuntuntan lagi buat aku, gaada yang harus

menuntut aku buat menikah, jadi yaudah..

kalo deket sama siapa aja sebagai teman ga masalah, cuman kemaren

terakhir aku ada pernah pacaran sama dari etnis Jawa, kebetulan

pendidikannya hanya sebatas SMA, om aku ga setuju, karena

alhamdulillahnya keluarga aku semua berpendidikan, ya yang sukses-

sukses di Jakarta sana semuanya berpendidikan, apalagi aku dari kecil

gaada ayah gaada orang yang ngebimbing aku selain opah aku, jadi

dia mikir lu butuh cowo yang bener-bener bisa ngedidik lu bisa

ngejagain lu sampe mati nanti, jadi dia mintanya yah minimal

pendidikannya setara sama lu, dia s1 lu s1 silahkan, kerjanya apa ya

terserah, kalo di jakarta kan minimal mah kerja tuh ngantongin 5 juta

xxviii

sebulan kan.. kalo masalah mau keturunan darimana si mereka ga

mempermasalahkan, karena kebetulan istrinya dia juga orang Jawa

kan, jadi yaudah kalo masalah suku its okey, cuman pendidikan

nomer 1, akhirnya karena aku juga seorang pemikir, emang nalar aku

akan kayak gitu, beda emang cara didik orang yang berpendidikan

sama yang engga, emang engga semua tapi rata-rata kayak gitu.

(Unge)

4. ayah sama ibu nggak yaa. Palingan yang penting buat mereka itu satu

agama, seiman. Cuma ya, justru saya yang mengkriteriakan ini harus

seperti ini ini ini.

kalo ayah nggak. Tapi kalo ibu kadang suka tanya. Mungkin juga

karena teman-temannya anaknya umur segini segini sudah punya

anak, sudah punya cucu. Ya ibu suka tanya, kamu kapan? Tapi pas

tahu saya mau kuliah, ya sudah. Memang didukung sih. dari keluarga

justru ya sudah kalo emangnya misalnya bisa kuliah dan dapet

beasiswa juga gitukan ya sudah lanjut saja. (Intan)

5. alhamdulillah sih aku welcome saja ya. Tapi kadang-kadang kan kalo

ada yang mau ngenalin, suka dikasih gambaran kan tu. Orangnya gini

gini gini kerjanya gini gini gini. Maksudnya, kalo misalnya dari

akunya sudah ngerasa, “duh, kayaknya enggak, deh.” soalnya aku

juga punya kriteria tersendiri gituloh. Misalnya orangnya perokok.

“ah, mending nggak usah ngenalin” karena kan aku memang sudah

saklek sama orang yang perokok, sudah nggak cocok duluan. Karena

aku maunya calonku nggak ngerokok gituu. (Ayu)

6. alhamdulillah enggak ada sih, Gis. Jadi, orang tua aku itu bisa

dibilang sangat moderat ya. mungkin setiap orang tua beda-beda ya.

karena aku juga pernah denger cerita dari adik aku itu, dia kelahiran

tahun 94 kan, teman-temennya dia itu banyak yang orang tuanya itu

kayak didesak buat cepet-cepet married kan. Ada yang dijodohin juga.

Bahkan mama nya itu sampe rela nyari-nyariin jodoh buat anaknya,

kayak begitu. Terus adik aku ini, dia compare ke keluarga kita kan,

“alhamdulillah ya kak, kita nggak terlalu di push banget”. Ya aku tahu

sih, setiap orang beda-beda. Kan ada yang keluarga besar, anaknya

banyak, segala macam. Nah, mungkin, kalo kita karena cuman

berdua, kakak adik, jadi orang tua serahin semua keputusan itu ke kita

sih. yang terbaik buat kita. Tapi, alhamdulillah sih, so far kayak dari

mama pribadi begitu nggak pernah sih, yang kayak nuntut, “harus

sekarang juga nikahnya atau kalo nggak mau, mama cariin!”, enggak

yang kayak begitu mama ku, kita bebas banget alhamdulillah.

oke, dari orang tua ya, kalo dari keluarga sih terutama mungkin karena

kita anak perempuan jadi lebih ke mama kali ya kalo cerita-cerita

begitu. Kalo ke papa iya juga sih, cuman kalo ke papa itu lebih ke

nasihat dan segala macam, begitu. Kalo orang tua aku itu yang penting

itu lebih ke, satu, iman dulu. Jadi yang paling ditekankan mereka ke

xxix

aku dan adik aku, itu, iman. Mereka nggak melarang aku deket sama

siapa saja. cuman, kalo buat yang serius begitu, yang buat ke rumah

tangga itu harus banget ya seiman. Itu dulu sih, imannya dulu yang

paling penting. Mereka nggak ngasih larang-larangan atau kriteria

yang bagaimana-bagaimana sih, Gis. Kalo imannya sudah sama,

yaudah, begitu. (Nurvita)

7. kalo dulu, kalo dulu nih aku waktu masih tinggal bareng sama orang

tua. Sebenernya orang tua aku itu tipe yang eee sangat ketat begitu,

gis. Karena kan anaknya 4 perempuan semua. Jadi, kalo ada laki-laki

yang mendekati, Bapak ku itu yang tegas begitu. Dan bikin aku takut

untuk bawa laki-laki ke rumah untuk dikenalkan. Jadi, selama aku di

rumah itu dulu, sebelum aku kuliah. Aku sama sekali memang gak

pacaran dan nggak pernah ngenalin laki-laki ke orang tua. Terus kalo

sekarang, karena aku sudah misah kan sama mereka, aku tinggal

sendiri sekarang. Orang tua ku malah yang ngasih kebebasan sih ke

aku. Bebas untuk aku memilih pasangan. Yang penting ya anaknya

sopan dan baik. Begitu sih. (Yuti)

8. iya ada.. bahkan pernah aku sampe mau dijodohin hahaha. Tapi kayak

apa ya, kan kita yang punya hidup ya. Kita yang bakalan ngejalanin

ya. Kita yang pilih orangnya. Dan itu yang bakalan kita jalanin. Ya

kalo misalnya pilihan dari orang tua, terus kita iyain dengan terpaksa

kan jadinya bakal ini terus eeee susah sendiri. Jadi, aku sudah pernah

bilang juga ke orang tua aku, kayak, “boleh mungkin kalo ibu sama

ayah punya kriteria sendiri tapi kan yang ngejalanin aku, yang dari

bangun tidur sampe tidur lagi ya aku. Aku ngejalanin hidupku sama

dia. Hari-hariku sama dia. kalo misalnya pilihan kalian nggak terbaik

buat aku, bagaimana nanti aku bisa ngejalanin semuanya tiap hari?”.

Maksud aku itu ya, jadi kalopun misalnya orang tua aku punya kriteria

pasangan yang seperti ini itu, itu tuh mesti sejalan dengan aku juga.

(Lena)

9. sejujurnya mereka, kayak yang gimana ya, eeee ya sama saja kayak

orang tua yang kolot pada umumnya. Punya pekerjaan yang stabil,

terus, agamanya bagus, terus juga attitudenya juga bagus, asal usul

keluarganya jelas dari mana, gituu. Lebih kesitu saja sih. sebenernya

aturan ini lebih ke nyokap ya karena kalo bokap nggak gini. Dan

intinya sebenernnya kalo dari nyokap itu, pasangan gue nggak

ngelarang apapun yang gue mau. Itu sih. kalo di luar itu, kriteria yang

detail sih nggak ada ya. ganteng atau harus berseragam gituu nggak

ada.

enggak. Santai saja gue kalo ada yang mau kenalan, mah. tapi dulu

sempet sih, jadi, dikenalinnya itu pas gue sudah mau lulus. Itu pas

pertama kali dikenalin gue rada-rada nggak seneng. Karena kayak,

eee, ya, walaupun tanpa gue melihat background si cowok ini kayak

gimanaa ya. tapi gue tuu ngerasa kesannya dikenalin itu jadi eee

“apaan sih kok gue kayak nggak laku banget” gituu, “nggak mau ah,

xxx

nggak mau dikenalin” awal-awalnya begitu. Cuma ya, lama kelamaan

sekarang kalo mau kenalan yaudah, kenalan saja sini. (Citra)

10. Sebelumnya iya, seperti itu. Sebelumnya sangat seperti itu, karena

kebetulan aku anak pertama. Aku anak pertama, adekku 3, dan

kebetulan perempuan semua juga. Adekku yang kedua, eh adekku

yang paling gede maksudnya kan kembar kebetulan. Dan memang

seusia sih sebenernya. Jadi yang dipikirkan sama orang tuaku adalah

kamu tuh cepetan! Kamu punya adek gadis juga. Jangan sampe yang

namanya, ya janganlah, kalau bisa dibilang, janganlah sampe

dilangkahin adek, kayak gitu, kan. Kamu harus lebih dulu! Mama juga

nggak mau kalau kamu misalnya dilewatin sama adekmu. Tapi

alhamdulillah-nya adekku sih lebih kayak pengertian. Dia juga kayak

mengikuti jejakku, ya, kalau bisa dibilang. Dia tuh nggak mau juga

“Nggak, ah. Mba Ayu, aku juga nggak mau nikah muda. Masih

pengen main, masih pengen karir dulu. Nanti lah usia 25 26 aja.”. Eh,

jangan ngomong gitu aku bilang. Kalau jodohnya udah dateng

gimana? Hahaha... ya udahlah. Tapi, ya udah, sampai sekarang

dibawa enjoy aja. (Ade)

Bagaimana respon keluarga khususnya orang tua terhadap keputusan yang

Anda ambil, dalam hal ini menunda pernikahan?

1. eee orang tua itu melihat aku itu orang yang akhirnya menutup diri.

Jadi orang tua aku itu tipikalnya apa ya, orang tua tuh, dari awal

mereka itu tadi kan aku bilang kan mereka tidak mendesak. Kalo

mendesak kan berarti mereka ngomong secara langsung sama aku.

Tapi karena mereka, kenapa aku tipikal orang yang berdiskusi, karena

orang tua aku tipikalnya diskusi. Begitu. Jadi, mereka tipikalnya

diskusi. Jadi mereka tidak mendesak aku dalam kondisi yang nyuruh

gituloh. Itu enggak. Tapi mereka yang ngajak ngobrol. Ketika mereka

melihat aku masih yang dalam kondisi yang dalam tanda kutip ya,

NORMAL lah istilahnya, jadi mereka ya membiarkan saja gitu tapi

mereka di sisi lain aktif mencari kan. Dalam artian, yang tadi aku

bilang, ada nggak sih calon buat anak aku. Eee suatu saat ya misalnya

contohnya ya, aku dipanggilnya, eee karena aku orang padang ya,

dipanggilnya uni di rumah. Uni, boleh ya ibu kasih ini ada teman ibu

gini gini gini punya bla bla bla segala macem, boleh ga ibu kasih

nomor telfon uni? Boleh. Begitu. Jadi, mereka tuh begitu caranya.

Jadi karena mereka melihat aku bukan yang menutup diri atau malah

menghindar-menghindar. Nah, mereka boleh dibilang ya mereka

mengikuti alurnya aku. Jadi aku nggak ada, kalo menjelaskan secara

secara spesifik menjelaskan gitu nggak pernah sih cuman dalam

tersirat dalam diskusi-diskusi kita. Obrolan antara aku dengan orang

tua, obrolan aku dengan adik-adik aku, begitu ya. Disitu,

tersampaikannya disitu. Tanpa aku harus menjelaskannya secara

gamblang. “aku gak mau pacaran ya!” Gini gini gini, enggak, aku

nggak kayak begitu caranya. Apa namanya, lebih kebanyak

musyawarah, banyak diskusi, banyak ngobrol. Itu sih. (Indah)

xxxi

2. kontra sih, pasti. Kontra. Cuman, aku tipe kalau ngomong sama

Mama aku tuhh, kalo kata mama aku apa ya, aku nggak pernah serius.

Jadi, ketika aku ngomel, eee bukan ngomel sih, ngomong “nggak usah

peduli pandangan orang kayak gini gini” mama aku tuh nggak

nganggap serius, begitu. Dikira aku bercanda. (Ummu)

3. balik lagi, karena kemarin aku tinggal di Jakarta, kan masyarakatnya

bodo amat, apalagi aku posisinya ngekost, siapa yang peduli, iya ga?

Jadi kenapa aku selama di jakarta, sebodoamat, karena ya itu, karena

keluarga akupun ga nuntut, karena keluarga aku yang cewe nikahnya

rata-rata di atas 27. (Unge)

4. Kalo mama papa sih nggak yang terlalu menuntut. Kalo ibu saya sih,

kebetulan pendidikan nomor satu. Jadi, yaudah lah ya, kejarlah cita-

citamu setinggi langit. Nggak papa, begitu. Jodoh mah entar ada saja.

(Scha)

5. Tapi pas tahu saya mau kuliah, ya sudah. Memang didukung sih. dari

keluarga justru ya sudah kalo emangnya misalnya bisa kuliah dan

dapet beasiswa juga gitukan ya sudah lanjut saja. (Intan)

6. Karena mungkin orang tua sudah ngeliat, dan mungkin mereka juga

lebih tahu kita dari pada diri kita sendiri ya, jadi kayak watak kita,

terus kayak, “oh, dia ini kayak gini orangnya”. Terus jelek baiknya

kita itu kadang kan orang tua lebih tahu ya. mungkin ada suatu

kejadian di keluarga ku yang maaf nggak bisa aku ceritakan disini..

Dan itu memang, bagaimana ya, jadi dari situ orang tua aku itu kayak

lebih mmm “im proud to having you”, aku sama adik aku. Berdua.

Tapi mungkin juga bisa jadi gini, “mama seneng ini salah satu dari

kalian ada yang nikah, tapi mama juga sedih di sisi lain karena nanti

pasti kalian ikut suaminya apa segala macam”. Dan, sebelum itu

terjadi, mungkin mama lebih seneng kita bareng-bareng dulu sama

aku dan adik. Begitu sih, Gis.

iya, tapi bukan berarti mama nggak pengen kita nikah ya..pasti diem-

diem mama ngedoain kita dapet yang terbaik. Cuman, untuk saat ini

seperti apa yang tadi aku bilang, di keluarga ada moment yang kita

diuji banget. Aku tahu, setiap orang pasti punya ujian hidup masing-

masing. Dan sampe sekarang pun aku mikirnya, “aduh, kayaknya

Allah sayang banget deh sama gue” sampe saking sayangnya itu kita

dikasih ujian yang besar banget hahaha. (Nurvita)

7. Ya pada awalnya orang tua ku itu kayak...eee.... jangan deh, jangan

targetin segitu bla bla bla buat nikah itu terlalu tua segala macam. Ya

biasalah ya kalo orang kita itu mikirnya kalo nikah diusia 30an itu

sudah tua bangetlah. Jadi ya gituu deh. “ibu dulu nikah nggak umur

segini”. Tapi ya menurut aku, prinsip orang kan beda-beda ya.

Kematangan pribadi orang juga beda-beda. Dan menurut aku, diusia

aku yang sekarang aku belum dewasa dan belum bisa menilai mana

yang harus aku prioritaskan atau ngga. Aku takutnya, kalo aku

xxxii

menikah sekarang, diusia sekarang, terus harus cerai sama suami

karena pemikiran aku yang kayak begini ini, kan nggak enak juga.

Aku mikirnya adalah menikah itu untuk satu kali seumur hidup. Jadi,

memang harus bener-bener mateng buat cari seseorang yang bisa

dibilang, kita punya tujuan yang sama dan jalan dan pemikiran yang

sama juga, begitu. Jadi ya, itu, aku ngasih tahu alasan aku nggak mau

nikah ke orang tua aku kayak begitu. Dan syukurnya mereka nerima.

Tapi syukurnya orang tua aku nggak papa. Mungkin juga karena aku

kasih penjelasan yang masuk akal hahaha (Lena)

8. Nyokap gue nargetinnya kayak, “ya lo jangan sampe lebih tua lah

nikahnya dari pada kakak lo”. Ini kalo ngomongin target awalnya.

Lebih kesitu. Gue ngasih pengertiannya itu lebih ke, ya yang pertama-

pertama kali sih gue ngediemin gitukan, nggak gue hiraukan

omongan-omongan nyokap gue yang kayak gituu. Terus juga, apa,

lebih dibawa bercanda. Nah, yang terakhir, kalo misalnya makin

kenceng nii, sampe dikenalin ke anaknya teman nyokap gue lah segala

macem atau yang kayak gituu gituu lah, gue ngasih pengertiannya,

“pasti semua ada waktunya” kayak begitu sih. maksudnya, kan,

nyokap yang nyaksiin sendiri hidup gue gimanaa. Pas kuliah itu gue

ada waktunya, gue dapet kuliah dimana. Terus juga pas dapet kerja.

Gue kan pas abis lulus nggak langsung dapet kerja. Ada waktunya

juga. Pasti semua itu ada waktunya. Jadi ngasih pengertiannya lebih

ke situ saja, sih. lebih ke, namanya takdir mah pasti ada saja

tanggalnya, begitu.

Karena alhamdulillah nya juga mereka pada tahu gue kerjanya kayak

gimana, terus juga gue tinggal sendiri. Maksudnya, kayak mereka

percayalah sama gue dan keputusan gue sendiri. (Citra)

9. Nah, itu. Bener. Tapi, ternyata orang tuaku tanggapannya positif. Itu

yang aku heran juga. Padahal awalnya sempet menentang. Menentang

dalam arti, sebelum tau sama dia, menentang untuk yang “Kamu tuh

bukan lagi yang pacar-pacaran. Kamu cari yang serius, gini, gini,

gini!”, dan aku berusaha buat jujur itu cuma buat mereka tau, tapi aku

tidak berharap seperti apa. Aku lebih berharap yang legowo, ya udah

terserah Ayah dan Mama aja. Aku hanya mengutarakan aku tertarik

sama siapa. Tapi, andai kata Ayah sama Mama nggak ridha, kalau

aku misalnya sama dia, ya udah aku yang lebih ke silahkan Ayah dan

Mama carikan. Aku udah seperti itu aja pada saat itu. Udah ikhlas aja.

Eh, ternyata orang tuaku nggak mempermasalahkan, dan mereka pun

tau kamu harus menunggu, ya udah. Tapi dengan catatan si pihak laki-

laki ini bisa komit (komitmen), bisa konsekuen, dan bisa istiqomah,

maksudnya dia pegang amanat sama Ayahku seperti ini. Udah

ngomong juga kan sama Ayahku. Ternyata dia juga menyanggupi,

meyakinkan, walaupun memang masih ada kendala. (Ade)

10. Kalo untuk nunda nikah mereka bisa ngerti, bahkan mereka nggak

menuntut di umur sekian harus sudah nikah atau bagaimana-

xxxiii

bagaimana begitu ya, karena di keluarga ku juga banyak yang nikah

telat ya, mama aku saja nikah umur 27 tahun. Tapi kalo nggak nikah

sama sekali kayaknya nggak mungkin dibolehin sih.

Dari keluarga ayah juga sama, mereka lebih mengutamakan

pendidikan, karena sepupu aku saja yang paling tua baru nikah umur

30an, dan yang tertua kedua itu baru nikah umur 35.

Akhirnya ya aku bilang, aku gamau nikah. Terus mama aku ya tanya,

loh kenapa gak mau nikah, kalo kalian gak nikah nanti keturunan

mama siapa lagi kalo bukan dari kalian, begitu kan. Yauda kalo gak

boleh gak nikah, kasih kita jangka waktu buat nikah nggak cepet-

cepet. Mama malah kayak ngasih kebebesan buat anak-anaknya mau

umur berapa kita nikah nanti. Tapi tetap yang penting nikah. Begitu

sih. (Arisa)

11. nggak ada, nggak ada yang mempermasalahkan sih. Kebetulan orang

tua ku juga sudah nggak ada dek, jadi ya, aku juga ngerasa bebas

untuk menentukan pilihan hidupku. Palingan ya, disupport juga sama

keluarga besar yang lain, kayak saudara-saudara kan ya, itu doang sih,

begitu. (Fitri)

Bagaimana Anda menyikapi penilaian orang lain (orang tua,

kerabata, lingkungan sekitar) terhadap keputusan yang Anda ambil?

1. ada sih, palingan dari orang-orang sekitar gitu suka tanya kenapa sih

belum nikah sudah umur segini? Ya aku kan juga gatau ya kenapa

belum nikah juga padahal gak ada niat nunda hahaha gatau jodohnya

dateng kapan kan haha. Tapi yaudalah, biarin saja mau bagaimana

lagi. Kita mau maksain lagi juga bagaimana? Sudah ikhtiar, sudah

usaha, sudah doa tapi kalau Allah belum ngasih ya bagaimana...

yaudalah, aku kan nggak diem-diem saja tunggu jodoh, tapi juga

ikhtiar, usaha, juga doa. (Fitri)

2. ummm, teman-teman aku sihi tahu ya kalo aku mau nunda nikah

begitu, mereka selalu bilang kalo aku nunda nikah, nanti jarak aku

dan anak aku itu jauh. Terus ya aku bilang saja, ya gapapa kok aku

sama orang tua ku juga jaraknya jauh kok hahaha tapi ngerasa teman

deket kok. Terus juga banyak sih yang bilang, nanti kamu keburu tua

loh nanti gak bisa liat cucu-cucu kamu kalo kamu nikahnya ditelatin.

Aku tuuh kayak, yang, loh sudah cucu-cucu saja sih hahaha. Ya

sejauh ini sih ya negatif itu datengnya dari orang-orang sekitar sih

karena omongan orang-orang itu yang ngebuat suasana jadi negatif.

Tapi kalo aku pribadi nggak merasakan dampak negatifnya sih.

(Arisa)

3. iya ada. mungkin ada aja omongan “Kok lu mau sih sama yang muda?

Kok lu sama yang muda?”. Kayak gitu. Sempet juga, ya kan kita

nggak tau, kalau bisa milih gue cari yang lebih tua lah. Tapi kita kan

nggak taunya, namanya jalan. Tapi aku mikir, ah nggak tua nggak

muda, yang tua juga belum tentu bisa mengayomi.

xxxiv

Kalau itu kayaknya Agis udah paling paham, nih. Pastilah. Kalau

masalah kayak gitu mah ada pasti. Apalagi usia se-aku ini bahkan

anaknya udah hampir dua. Jadi ada perasaan, aduh... jangankan

temen, saudara aja, sepupu sepantaran. Aku tuh udah nggak punya

sepupu sepantaran lagi loh bahasanya, karena sepantaran-sepantaran

udah pada berkeluarga semua. Tinggal yang di bawah aku, adek-adek

sepupu. Walaupun, aku tetep sih, maksudnya aku merasa aku belum

menikah, gabung sama mereka masih yang enjoy-enjoy aja. Mereka

juga welcome-welcome aja. Bahkan mereka merasa jadi sepantaran,

nih. Tapi tetep sih ketika sama yang sepantaran merasa ih udah nggak

asik, nih. Biasanya sama dia apa-apa, sekarang lebih sama suaminya.

Ya, kadang ada-lah perasaan iri. (Ade)

4. eee yang nyinyir lebih ke keluarga besar gue sih. terutama keluarga

nyokap ya. karena dia keluarga jawa. Kalo keluarga bokap kan

keluarga sunda, yang eee sodara bokap gue nggak terlalu banyak dan

sepupu gue juga nggak terlalu banyak juga kalo dari bokap. Jadi,

nggak banyak yang neken. Tapi kalo dari nyokap itu lumayan banyak

yang neken, karena, ibaratnya itu disana ada urutan sepupu yang

nikah, gituloh. Dan, ini tuu sudah masuk ke giliran gue. Dan itu

lumayan berat. Dan kalo lagi ada acara besar nih, “iya, Citra kapan

nikah?, “kapan menyusul?”, “ini sudah giliran kamu loh” kayak

begitu lah. Tapi gue bawa bercanda mulu sih, kalo lagi ditanyain

hahaha. Ya maksudnya, yaudah sih, tenang saja. ya alhamdulillahnya

sih, ya, nggak pernah yang diteken banget gituu ya, “kapan kamu

nikah?!!” kayak yang disidang begitu, nggak. Cuma ditanyain gituu-

gituu doang, bercanda lah.

risiiiihhhhh. Risih banget. Karena itukan kehidupan pribadi gue ya.

walaupun itu keluarga gue sendiri, gue tetap ngerasa itu kan

keputusan gue untuk nikah atau nggak. Itu privasi gue. (Citra)

5. pertama, karena aku jauh dari orang tua, aku nggak tahu sih ada yang

ngomongin aku apa nggak hahaha. Tapi, kalo di lingkungan aku

sendiri nih, engga ada sih. Karena aku juga kan orangnya santai ya.

Jadi, ketika ada yang tanya. “umur berapa?”, “sudah nikah apa

belum?” yaudah jawab saja seadanya, “umur aku 29”, “aku belum

menikah”. Ya adalah nanti aku nikah tapi nggak sekarang hahaha.

Lagian juga aku sekarang nggak punya pacar juga kan. Sekalipun

nanti ada yang nyinyirin aku yaudah gapapa, hak mereka sih itu. Aku

mah santai. Diemin saja. Aku nggak ambil pusing. Gapapa. (Lena)

6. eee sebenernya adek aku kan sudah menikah duluan ya, gis. Adek aku

sudah menikah satu tahun yang lalu. Sebenernya ya pastilah ya,

orang-orang sekitar pasti yang mikir, “adiknya duluan, kenapa?”

begitu. Tapi kalo misalnya, omongan negatif ya ada saja sih, gis. Ya

mungkin saja mereka berfikirnya aku terlalu pemilih, terus dikiranya

xxxv

juga aku terlalu fokus bekerja dan mecari uang. Paling begitu sih.

Lebih ke dikira terlalu pemilih sih.

Tapi yang pasti, aku pasti ada perasaan sedih ya, gis. Dari hati kecilku,

aku juga sedih. Lebih ke sedihnya tuh, memandang orang lain sih.

Nanti orang lain anggap aku itu gimana. Atau misalnya orang tua.

Pasti yang namanya orang tua kan berharapnya kan aku duluan nih

yang menikah, tapi ternyata malah adek ku duluan. Lebih ke kayak

begitu sih. Aku lebih khawatir sama pandangan orang lain ke aku.

iya lebih kesitu, gis. Pastikan nanti mereka kayak banyak tanya “ini

kenapa aku dilangkah?”, “adeknya kenapa nikah duluan” kayak

begitu kayak begitu yang sebenernya bikin aku sedih pas tahu adek

ku mau menikah. Tapi ya, aku bahagia juga dia menikah. (Yuti)

7. kalo kayak begitu pasti ada ya, Gis. Dari tetangga begitu palingan kalo

kita ketemu papasan saja. Cuma ya itu tadi kan, aku kerja dari pagi

sampe sore atau bahkan malam banget baru pulang terus besoknya

lagi harus berangkat kerja lagi pagi-pagi. Palingan kalo tetangga ya

tanya-tanya ke mama aku sih, “si Yuni kapan nikah?” begitu sih

palingan yang aku tahu. Dan aku juga nanggepinnya biasa sih, “iya

bu masih mau kerja dulu”, “belum ada bu, kalopun ada juga nanti kita

undang” begitu hahaha.

Tapi kalo teman, mmm, ada juga sih ya temenku yang seumuran sama

aku, bahkan lebih tua dari aku, mmm ya orang-orang generasi aku lah

ya, yang kelahiran 88 87 89. Bahkan ada juga itu kemarin yang di

kantor lama, kakak senior aku, kayaknya umurnya pas 39 deh, itu baru

married juga. Jadi kayak, eee aku sih jujur ya, gak mau juga nikah

setua itu, cuman, kalo ada yang tanya yaudah kita bilang saja, “masih

sibuk kerja”, “belum ada yang sesuai”. Tapi, kalopun nanti sudah ada

dan pas, insya Allah kita bakalan langsung itu (menikah).

Terus juga ini ya aku itu orangnya cuek banget. Ya kalo ditanyain ya

tinggal bilang saja, “memang belum ada” begitu, kalo misalnya ada

yang tanya. Atau bahkan dari sodara tanya begitu kan, yaudah aku

bercandain saja hahaha. Kan abis itu yaudah lewat.

Kalo teman, aku balik lagi sih, karena beberapa temenku juga ada

yang belum married juga, jadi, kita nggak pernah tanyain status.

Palingan kayak, “eeyy lagi deket sama siapa tuu?” begitu-begitu

doang. Semuanya aku bawa enjoy, santai saja. alhamdulillah nya juga

nggak ada yang terlalu iseng banget juga ya. sejail-jailnya kalo

ngomongin aku di belakang ya, yaudah, biarin saja, toh itu kan urusan

mereka, bukan urusan aku.

xxxvi

Pernah (tersinggung). Cuman ya itu biasanya terjadi di tempat-tempat

yang banyak orang ngumpul ya. Misalkan kayak reunian atau lainnya.

Cuman karena beberapa tahun terakhir nggak pernah ada yang kayak

begitu ke aku ya, Gis. Ada sih, tapi palingan personal begitu. Kayak

misalnya tiba-tiba di ig (instagram) nihh teman lama, nanyain “eh lo

sudah married belum?” ya jawab saja, “iya ini belum, doain ya”

sudah. Nggak pernah sampe yang gimanaa-gimanaa begitu.

(Nurvita)

8. mmmm nggak ada sih. malah kalo aku sudah ada calon begitu ya.

Sebenernya ya mereka ingin memilihkan. Cuma ya aku memang lebih

banyak mmilih/cari sendiri sih. giliran sudah ada juga, mereka suka

dapetnya ya menurutku nggak baik, begitu ya. Jadi mungkin kadang-

kadang suka bersebrangan penilaian keluarga sama aku, gitusih (Ayu)

9. kalo omongan perawan tua dan nggak laku itu nggak. Tapi palingan

gini sih, ayo kapan nikah kapan nikah. Begitu-begitu saja sih. jadi, ya

sudah.

ya disenyumin saja, ya doain ya. Begitu-begitu saja sih. nggak yang

terlalu gimanaa-gimanaa juga akunya. Ya memang mulutnya lagi

mmm ingin basa-basi saja. Cuma ya sebenernya basi basinya

pertanyaannya nggak enak. Tapi ya sudah. Kalo mungkin mood saya

lagi enak sih palingan ya sudah disenyumin tapi sih memang kadang

kalo lagi moodnya nggak bagus, aku suka baper juga sih (tertawa).

mmmm tersinggung ya, cuman dulu sih. sebenernya ketika di umur

30 ya, karena sebelum di umur 30 itu saya memang kepengen

menikah. Jadi, kayak ada target begitu. Kayaknya pengen deh

sebelum 30 ini gue nikah. Nah, ternyata gak sesuai target. Dan

kemudian ada yang nanyain kayak gituu, aku sempet tersinggung.

Tapi semenjak kejadian yang itu, yang aku ketemu cowok kayak

gituu, terus abis itu saya juga harus kuliah, terus ada yang dikerjain

juga kan. Jadi, mulai rasa tersinggungnya justru makin kesini makin

kecil. Sudah jadi biasa saja. dan orang-orang kayak gituu yang tanya-

tanya kayak begitu sudah sangat jarang untuk sekarang. Justru

banyakan dulu pas sebelum 30. Tapi kesini-kesini, mereka ngeliat aku

toh happy. Dia (Aku) kuliah. Saya juga sering travelling juga kan.

Dengan umur-umur teman-teman saya yang seumur saya sudah ribet

sama anak, sama suaminya. Saya masih bisa traveling sendiri atau

sama teman saya. Jadi mereka ngeliatnya, oh mungkin ini anak

walaupun belum nikah, dia happy. Jadi, ya sudah gak akan diusik

gituu dengan pertanyaan kapan kapan kapan, gituu. (Intan)

10. Tapi pasti ada omonganlah dari bude. Apa sih, ya omongan dari luar.

Cuman, enggak terlalu jadi pikiran sih kalo saya. Malah kayak yaudah

lah. Ya namanya orang pasti ada saja yang komen. Pasti ada saja yang

bilang, iii sekolah tinggi-tinggi belum nikah, eh nanti susah loh punya

anak, ngapain pacraan lama-lama nggak nikah-nikah, dan pasti ada

xxxvii

saja yang komen kayak begitu. Cuman, ya kalo kita fokusnya sama

yang itu, ntar lama-lama capek. (Scha)

11. tetangga yang ngomong ih kok si Unge pulang kok ga nikah-nikah

atau si Unge pulang kok ga kerja-kerja? Aslinya bodo amat si atau

aku bales omongan mereka, cuman kan gaenak karena mereka disini

masih keluarga lah ibaratnya, nanti hubungannya malah jadi cekcok

kan.

Jadi yaudah, dan aku orangnya kalo udah tau sifat orang gitu tuh

yaudah, berarti aku akan memaklumi, selama mereka ga mencari

perkara yang bener-bener berkoar ini itu sampe bikin nama nenek aku

jelek. Kalo aku ga masalah di omongin, cuman nenek aku nih yang

jadinya kepikiran. Aku bisa ngebalikin kata-kata mereka, maaf maaaf

bukannya menjelekkan satu keluarga ya. Mereka dia anak-anaknya

itu yang kerja cuman 2, yang 2 nya ga kerja. Aku kalo mereka mau

baik, yauda ayo aku bakal jadi malaikat tapi kalo mancing jahatnya

aku, aku akan lebih parah dari setan, aku gituin kan. Jadi, aku bisa sih

balikin kata-kata dia, kalo gue kerja di Jakarta, gaji anak lo berdua itu

gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen gitu tapi kalo mancing

jahatnya aku, aku akan lebih parah dari setan, aku gituin kan. Jadi,

aku bisa sih balikin kata-kata dia, kalo gue kerja di Jakarta, gaji anak

lo berdua itu gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen gitu ya ngomong

gitu ke dia, tapi lu mau ga ngerawat nenek gua selama gua di Jakarta,

gua gaji deh lo, aku bisa aja ngomong kek gitu, cuman yaudah

makanya karena aku tau orangnya kayak gitu, aku tau keluarganya

kayak gitu, yaudah aku bodoamat, maksudnya yaudah biarin gausah

dipikirin ke nenek gitu. Lagian juga kalo bunga kerja di jakarta,

gajinya gedean bunga dibanding gaji keluarga anak-anak mereka, aku

gituin aja ke nenek aku. (Unge)

12. aku risih banget! Risih banget ya ampun. Aku jadi kayak males banget

ya Allah. malesss. Bener-bener males banget.

nah ini, ini karena, karena saya hidupnya ngerantau ya. Jadi, jauh dari

keluarga saya, tinggalnya disini. Kebetulan di lingkungan sekitarku

itu, aku tumbuh sama orang-orang yang memang bahkan lebih tua

dari aku pun belum nikah. Jadi, temanku S1 S2 itu rata-rata belum

nikah, sih. Cewek cowoknya tuh masih slow saja, masih terpaut sama

karir. Usia mereka malah 31 32. Jadi akunya slow. Nah, kalo

keluarga, kalo yang disana, yang di Sulawesi kan nggak gituu. Se aku

gituu anaknya sudah masuk SD mungkin atau apa. Nah, itu yang

membedakan. Jadi kalau akunya santai orang tua grusak-grusuk tuh,

karena itu. Kalo dari akunya sih biasa saja (tertawa).

heeh. Soalnya karena mungkin memang perbandingan lingkungan

mereka itukan lingkungan rumah. Rumah disana itukan ya, eee

stigmanya usia 30 itu usia tua. Usia yang sudah harus apa, eee

xxxviii

anaknya sudah harus segini, apa gituu. Sementara lingkungan saya di

sini itu, enggak gituu, beda banget.

kalo pandanganku sih ya, maksudnya kalo urusan kayak gini mestinya

nggak usah terlalu, dengerin kata orang, gituu. Iya ikut campur.

Apalagi meminta gini. Karena perbandingan dengan keluarga orang,

dengan ini, gituu. “ini sudah nikah, anaknya gini” naah!! Itu tuh,

malah aku nggak suka. (tertawa) itu sih menurutku.

kalo mereka enggak gimana-gimana, sih, biasa saja. cuman, kan pasti

sering tuh, ada acara keluarga. Aaa itu baru. Mungkin karena akunya

nggak di sana jadi pasti, “oh gimana??”, “jadi kapan nikah?”. Aaaa

ituuu. Kayak gituu-gituu saja sih. Tapi kalo hubungan sih, so far so

good ya. Kalo saya yang nggak gimana-gimana. Biasa, normal-

normal saja. cuman, suka gangguin mamaku dengan berakhir

mamaku nelfon. “aaa gimana ini?” (Ummu)

13. sempet ada rasa sedih juga. Karena mungkin nih, karena perasaan

saja. karena memang aku kan itu tadi, aku kepenginan itu (menikah)

juga gituloh. Tapi kan memang belum, ya mungkin memang belum

jodohnya saat itu dateng, kaya gitukan ya. Aku sih melihatnya, kok

kayaknnya mereka mengkasihani aku ya, gituu. Itu yang, yang

prasangka buruknya. Jadi kayaknya orang-orang itu mengkasihani

aku. Itu kali mungkin. Mungkin kata-katanya seperti itu ya. Padahal

sebenernya (mereka) biasa saja sih. Eeee Cuma ya mereka ya

bukannya mengkasihani lebih kepada eee yaudahlah kita cariin sama

siapa yaa... kayak begitu (tertawa). Cuma aku di sisi lain juga ada rasa,

ih, kok mereka kayaknya gimana begitu ya, mandang aku, jadi

kayak... kadang-kadang juga jadi sering menghindar untuk pertemuan

keluarga, misalnya begitu ya. Kayak begitu-begitu ada juga sempet.

Cuma ya akhirnya aku berintropeksi diri. Kalo misalnya begini terus

kapan aku mau majunya. Yaudah santai aja sih. Akhirnya lambat laun,

akhirnya eee yaudah, akhirnya bisa, bisa ini sendiri (menerima

keadaan), maksudnya yang enggak terlalu baper-baper banget.

akhirnya biasa saja. dengan tahap biasa, yang awalnya baper ya

istilahnya begitu ya kalau anak sekarang sampe akhirnya biasa saja

sekarang. Begitu sih. Sampe nggak kepikiran. (Indah)

14. aku tipe orang yang tidak pernah memperdulikan omongan tetangga,

satu itu. Aku orangnya cuek banget, bodo amat tetangga mau

ngomong apa, orang gua gak bisa makan saja tetangga gak ada yang

nolongin, ya kan? Aku gak (perduli). Aku juga kayak begitu, apa

nikah dipaksa-paksa? Orang jodohnya saja gak ada masa mau

dipaksa-paksa nikah sama siapa coba, ya gak? Nanti juga akan ada

waktunya. (Yuniarti)

Apa yang Anda rasakan dari menunda pernikahan?

1. iya kebebasan. Kebebasan saja. karena yang lainnya ya sama saja ya.

Apa namanya, misalnya kita dulu lagi suntuk atau lagi ada film baru

xxxix

ini, pengen nonton. Kalo dulu kan okelah cabutlah jalan nonton. Kita

mau nonton sama siapa gitukan bisa pilih, sama kakak, sama adek,

atau sama siapa gtu atau sa, temen-teman, cari saja. bisa. Kapan pun,

anytime. Pulang malam-malam boleh. Kalo sekarang kan nggak bisa

hahaha. Kadang ihhh bete deh pengen nonton tapi ya enggak bisa saat

itu juga hahaha. Jadi ya itu saja sih kebebasan. Freedom ya. Eee tapi,

mungkin kebebasan itu akan lebih didapatkan kalo kita

memperbanyak komunikasi. Karena memang kan di awal itu pasti,

penyatuan persepsi, komunikasiitu tidak tidak mulus, pasti. Akau bisa

jamin itu hahaha. Nah, maka disitu, patokan kebebasan itu sebenarnya

tuh apa namanya, setiap orang itu berbeda-beda. Seperti apa yang

dimaksudkan. Kalo aku saat ini sih, lebih kepada itu ya (kebebasan).

(Indah)

2. mmmm keuntungan belum menikah di usia sekarang ya..kalo aku

ngeliatin teman-teman yang mungkin sudah nikah tuh, memang

akunya lebih mikirin, masih fokus ke diri sendiri. Terus lebih banyak

waktu luang kali ya. Maksudnya, bener-bener eemmm apa ya, masih

bisa santai-santailah istilahnya. Leha-leha. Kalo aku bandinginkan,

orang-orang yang sudah nikah kan kayaknya, harus kemana-mana

harus anaknya, ada suaminya. Aku belum siap untuk itu (tertawa).

(Ummu)

3. keuntungan kita bekerja sendiri, duit masih duit kita, masih bisa

nyenengin diri sendiri, beda kalo udah nikah, ya walopun orang duit

suami duit istri, duit istri ya duit istri, tapi ga bisa gitu mau gimanapun

kalo lagi ada di suatu sikon yang mendesak duit suami kurang dan lu

harus nambahin, ya mau gamau lu harus turun tangan, kalo misal

orangnya kerja ya. Kalo ga kerja itu bisa jadi salah satu hal yang

memicu suami istri berantem tapi kalo suami punya tempramen gitu

“lu sih ga kerja makanya kan giliran gaada duit ga bisa bantu gua”.

Nah itu banyak disekeliling aku yang kayak gitu, entah orang tuanya

yang kayak gitu, entah temen pribadi aku kayak gitu ya cerita rumah

tangganya itu banyak. Makanya keuntungan sebelum bersuami pas

kerja ya itu duitnya bisa aku gunain semua aku sebebas aku suka-suka

aku, aku mau beli apa aja dengan belum nikahpun aku bisa bebas,

enjoy kemana aja, lu mau make baju apa aja okey mau nyeleweng

sana sini okey, mau pergi kesana sini okey, ya bener kata orang yang

nikah muda, “lo mending jangan nikah muda deh, nikmatin masa

remaja lu dulu have fun aja dulu sendiri selama lu masih sendiri”.

(Unge)

4. Saya juga sering travelling juga kan. Dengan umur-umur teman-

teman saya yang seumur saya sudah ribet sama anak, sama suaminya.

Saya masih bisa traveling sendiri atau sama teman saya. Jadi mereka

ngeliatnya, oh mungkin ini anak walaupun belum nikah, dia happy.

Jadi, ya sudah gak akan diusik gituu dengan pertanyaan kapan kapan

kapan, gituu.

xl

mmmm ya kan kalo sudah nikah, kalo saya itu prinsipnya, kalo saya

sudah nikah ya apa-apa harus izin suami. Jadi saya tidak perlu

melakukan apa yang saya mau kayak harus izin dulu mau kemana

mau kemana, gitusih. Sebenernya lebih kearah kebebasan sih. (Intan)

5. kalo sekarang malah ngerasanya kayak nggak gimanaa-gimanaa ya,

Gis hahaha. Maksudnya, mungkin ada beberapa orang yang sedih,

karena putus nyambung sama pasangannya yang berujung nggak jadi

married atau sudah tunangan tapi nggak jadi nikah. Kalo aku kan

belum ada tahap itu sekarang jadi kayak, yang dirasain biasa saja

hahaha. Malah jujur, aku jadi merasa lebih bersyukur sih, nggak ada

yang perlu juga untuk disedihkan. Jadi lebih ke apa ya, “oh, aku nihh

belum married sampe sekarang mungkin Allah mau kasih aku waktu

biar aku lebih deket dulu sama Dia” begitu. Aku nggak ada feeling

yang gimanaa-gimanaa sih selain aku jadi makin bersyukur saja.

(Nurvita)

6. eee aku jadi punya siklus pertemanan sih. Aku ada kesempatan untuk

lebih banyak mengenal orang.. aku jadi ngerasa bebas nggak ada

tuntutan ini itu dari pasangan. Karena selama ini juga kan aku apa-

apa sendiri. Aku jadi bebas mau apa saja, main sama siapa saja.

begitu, gis. (Yuti)

7. justru diumur sekarang aku itu nggak ngerasa bebas ya. kan, kalo

orang sudah berkeluarga, waktu libur mereka buat keluarga ya. kalo

aku, kalo libur ya aku di rumah saja nggak ngapa-ngapain. Palingan

ya aku ngerasa hidupku nggak diatur-atur sih. Aku juga orangnya

nggak suka diatur ya. jadi, mungkin ngerasa aku bebas disitu ya.

nggak ada yang nge bla bla bla in aku begitu. Jadi, buat sekarang itu

ya sudah semuanya semaunya aku saja nggak perlu izin sana sini. Jadi

lebih leluasa saja hidupku. (Lena)

8. Mungkin aku masih bisa lebih menikmati waktuku sih, ya.

Maksudnya menikmati hal-hal yang mungkin aku masih belum bisa

lakuin, misalkan kayak karir. Mungkin aku harus lebih lagi. Trus,

karena aku sebenernya hobi jalan juga ya, jadi masih pengen sana-

sini, gabung sama temen, kumpul, dan lain sebagainya. Karena aku

berfikir, kayaknya ya Allah baik aja, masih memberikan aku

kesempatan menikmati masa-masa sebelum aku nikah. Nanti kalau

udah nikah kan bedalah. Kalau udah nikah, kita lebih terikat. Apalagi

kalau udah punya anak. Kadang temenku sendiri, temenku sendiri aja

udah banyak yang berkeluarga ya, banyak yang punya anak, mereka

suka ngeluh aduh enak banget jadi lu bisa kumpul, masih bisa

nongkrong sana-sini. Kalau ini udah mikirin duh gue punya buntut,

nih. Ya udahlah, yuk nikmatin aja, ntar kalau lu udah nikah lu bakal

kangen masa-masa kayak gini. Nah, itu sih yang bikin aku kayak ya

udah nikmatin saja. (Ade)

9. yang pertama nih, pasti kamu kalo misalkan daftar pegawai negri,

terus pelatihan-pelatihan, maksudnya kayak mau masuk kerja tapi ada

pelatihan-pelatihan dulu begitu, kan pasti disitu statusnya tidak

xli

menikah atau belum menikah ya kan? Nah, kalo kita sudah terlanjur

nikah tapi umur kita mencukupi untuk masuk kerja disitu tapi status

kita sudah menikah, terus juga kemampuan kita juga mencukupi, jadi

sayang kan gak bisa ikutan (daftar kerja) karena status menikah yang

kita miliki. Terus juga pengembangan diri kita tuh, seberapa mandiri

kita tanpa orang lain di samping kita, kita bisa lebih mengembangkan

karir sendiri dan bangga sama diri sendiri. Di keluarga ku juga kan

mengutamakan pendidikan nomor satu, jadi ya kita itu ambisius

banget buat ngejar pendidikan setinggi-tingginya, dan karir sebagus

mungkin.

Pasti, cewek-cewek kan kalo sudah nikah pasti urusannya nggak jauh

dari dapur, sumur, dan kamar. Apalagi kalo misalnya nanti sudah

punya anak, bakalan susah buat ngembangin diri (karir) lebih luas

lagi. Karena nanti (kalo sudah nikah) dunia kita nggak jauh-jauh dari

suami anak suami anak, begitu. (Arisa)

10. yaa,, lebih apa ya,, um, bisa lebih mengeksplor diri sih yang pasti.

Maksudnya masih bebas untuk apa ya, mungkin coba-coba buka

usaha, kayak begitu, terus, bisa lebih banyak lagi cari ilmunya. Kalo

dari aku sih begitu ya, dek. (Fitri)

Apa alasan Anda memutuskan untuk bekerja dan menjadi

perempuan karir?

1. ya kalo misalnya nggak dihubungin sama uang, ya minimal

kehidupan gue stabil saja sih. gini, kerjaan sekarang gue bukan PNS,

gue juga belum punya investasi apa-apa. Maksudnya, gue belum

punya hal-hal jangka panjang begitu lah. Apa yang gue lakuin

sekarang itu pikirannya buat apa yang gue dapet besok. Masih yang

bener-bener kejadian saat ini, belum buat yang jangka panjang. Belum

ada rencana jangka panjang. Asuransi pun gue masih nempel sama

kantor. Jadi ya, gue kerja buat itu sih palingan. Dan gue itu tipikal

orang yang gak bisa hidup kalo nggak ngelakuin sesuatu. Maksudnya,

gue pernah ada ditahap, gue lulus kuliah, terus kosong gitukan nggak

kerjaan. Selama itu gue bingung mau ngapain kan. Dan itu gak enak

banget lah. Lo hidup nggak punya tujuan. Misalkan juga lo mau beli

apa-apa juga nggak ada uang. Gue ngerasa ngaruh juga ke kehidupan

sosial soalnya, karena ketika lo ngobrol sama orang itu jadi kayak

nggak ada topik pembicaraannya, “apasih yang mau lo omongin?”.

Kalo punya kerjaan kan ada saja lah yang kita obrolin, gituu. Terus

juga di luar itu, gue ngejadiin kerja itu kayak belajar saja sih... kita

belajar di level yang lebih atas saja selain dari sekolah, gituu. “Gue

sudah belajar di SMA, kuliah, terus gue belajar dimana lagi nih?”

Nyokap gue selalu bilang, “jangan sampe lo lulus kuliah, terus nikah,

nah itu lo harus punya prinsip kalo lo harus punya penghasilan even

sekecil apapun, lo mau jadi apapun, yang penting lo punya kerjaan”.

xlii

Karena pada dasarnya, kalo lo nanti nikah, punya suami, dibiayain

sama suami, lo harus tetap punya identitas sendiri, sih. (Citra)

2. mmm ya itu tadi sih, aku punya target buat aku sekolah lagi S2. Aku

juga lagi berusaha cari-cari beasiswa buat S2 ku. Jadi, selagi aku

belum memutuskan untuk menikah, aku bakalan terus kejar

pendidikan aku sih. (Lena)

3. kemandirian sih kalo aku. Aku itu dulu sama orang tua tuh dijaga

banget. Nggak pernah pergi-pergi begitu. Terus, aku kuliah. Aku

mulai hidup sendiri. Aku ngekos. Jadi lebih tahu arti susahnya hidup,

pengalaman hidup dan kemandirian. Jadi aku banyak belajar sih.

Makanya aku memutuskan untuk merantau. Terlebih lagi, di

Indramayu kan nggak banyak lowongan pekerjaan begitu kan.

Akhirnya aku merantau ke Jakarta sambil mencari uang sekalian

belajar tentang kehidupan yang lebih eee lebih itu deh pokoknya.

iya bener. Aku juga kan anak pertama. Jadi ngerasa juga punya

tanggung jawab sama orang tua dan adik-adik ku. Mereka nggak

nuntut sih sebenernya, tapi sebagai anak adalah pasti perasaan kayak

begitu. Apalagi aku anak pertama. (Yuti)

4. hahaha iya duit mah nomor satu, Gis. Cuman ya itu tadi aku balik lagi

sih, aku kerja itu ingin cari tahu bagaimana caranya kita bisa mandiri

dan nggak bergantungan sama orang lain. Dan, ya, kalo dari keluarga

sih, biar aku bisa lebih bersyukur juga. Karena kita kan nggak pernah

tahu ya, kayak misalnya, ayah kita sakit, terus tiba-tiba nggak bisa

cari duit. Itu kan sudah pincang sebelah. Nah, dari sisi itu aku bisa

eeee jadi kita disini itu sama-sama jadi tulang punggung. Tidak

mengandalkan satu orang saja sebagai pencari nafkah. Jadi, mau

nggak mau kita harus tetap bekerja. Bahkan kalo memungkinkan kita

bisa jadi enterpreneur sendiri itu lebih baik lagi. Cuman, karena

waktunya belum kesitu ya jadi aku tetap kerja saja.

ho oh..bener.. apalagi kan aku anak pertama, jadi, naturally nya kayak

begitu kali ya. Karena anak pertama jadi ngerasa kayak bukan beban

sih sebenernya, jadi kayak lebih harus bertanggung jawab saja sama

orang tua dan adik, begitu. “gue sudah gede, gantian dong.. kemarin

orang tua gue sudah ngebiayain gue sama adik gini-gini” perasaan

kayak begitu ada banget di aku, sih, Gis. Dari sisi itu juga aku mikir

ya, “nanti kalo aku married gimanaa orang tua gue?”, mungkin kalo

aku sudah sukses banget, sambil married sambil ngebiayain orang tua

kayaknya semua itu bisa bikin aku lebih happy sih. (Nurvita)

5. saya senang ya ketika melihat orang lain berkembang, gituu kan.

Ketika klien akhirnya bisa dari titik yang minus akhirnya sekarang

bisa berkembang di +1 +2, kayak gituu. Dan recognize semua orang

punya potensi dan nggak semua bisa melihat potensi itu sesuatu yang

menyenangkan bisa helping people melalui ilmu yang saya pelajari,

xliii

kayak gituu. Kalo dukanya, apa ya dukanya, so far sih seneng-seneng

saja. (Scha)

6. karena emang aku kerja pengen dapet duit pengen nyenengin diri

sendiri, pengen bisa beli apapun tanpa nyusahin, ibaratnya kalo dari

aku umur 2 tahun sampe kuliah kan secara kasarnya udah nyusahin

orang, duit keluarga udah keluar buat aku tapi kan aku ada rasa ga

enaknya kan. Jadi semejak aku kerja di kuliah pun, aku udah kayak

“wah gua harus prepare diri sendiri gamau nyusahin orang, duitnya

buat gua sendiri, gua mau beli apapun yaudah gitu”. (Unge)

7. oh enggak, kalo aku orangnya nothing to lose sih mbak. Satu itu.

Kedua, aku cuman pengen belajar saja. Waktu itu tuh, aku cita-citanya

Cuma 2 doang loh mbak. Aku cuman pengen ke tanah arab sama ke

belanda (tertawa).

aku kerja itu, satu, karena ingin aktualisasi diri. Aku gak kepengen

kayak kakak-kakak aku. Intinya, di rumah itu, kakakku laki-laki tiga,

tapi tuh, mboen, tahu mboen nggak mbak? Maksudnya, anak mami

gitulah hahahaha. Aku gamau jauh-jauh kerja dari ibu, kayak begitu

hahahaha. (Yuniarti)

OTONOMI NILAI

Kemampuan individu dalam memaknai seperangkat prinsip yang diyakini

dalam hidup

Bagaimana pandangan Anda tentang pernikahan?

1. pernikahan itu komitmen. komitmen terhadap pasangan sendiri,

komitmen terhadap pilihan, eee komitmen terhadap rasa sakit, yang

akan diterima, ya ditelen, kayak begitu. Ya intinya itu, komitmen saja.

pernikahan buat saya adalah komitmen. Misalnya sudah milih dia, ya

sudah setia sama dia. (Karina)

2. pernikahan itu, pernikahan itu yang aku...eee just information saja ya,

aku jadi kemarin itu apa namanya sebelum menikah itu sempet

banyak ikut workshop. Aku tipikalnya serius ya. Jadi aku ikut

workshop menikah. Aku ikut seminar. Yang kayak begitu-begitu tuh.

Workshop ini seminar ini bener-bener private ya. Workshopnya itu 2

hari dan pesertanya itu hanya 5. Dan disitu aku satu-satunya

perempuan. Dan di situ aku banyak banget dapet ilmu lah ya tentang

pernikahan itu seperti apa. Karena itu tadi, aku banyak, banyak apa

namanya itu, banyak berpikir bahwa pernikahan itu apa apa apa. Aku

harus bertemu dengan orang seperti apa, begitu-begitu. Nah itu yang

mungkin bikin aku rada lama (menikah) juga, seperti itu. Eee cara

bertemunya juga bagaimana itu juga aku pikirin semuanya. Sampe

kayaknya otakku tuh mau meledak, begitu. Harusnya nggak usah

dipikirin banget. Harusnya kita ngalir saja begitu. Mungkin dengan

rambu-rambu yang harus ditaati. Seperti itu sih. Dari situ aku melihat,

karena sebelumnya aku melihat pernikahan itu ya menikah, ibadah,

itu. Tapi, ketika aku sudah mengikuti workshop itu, dan beberapa

kelas menikah lagi yang aku ikuti secara terpisah, oh ternyata,

xliv

pernikahan itu, tuh, sebagai sebuah lembaga seumur hidup, ya. Kalo

kantor kan ada pensiunnya, ya. Terus kan kalau sekolah ada

selesainya gitu kan. Tapi kalo pernikaha kan kan nggak, lifetime ya.

Jadi aku menganggap sebuah pernikahan itu adalah lembaga di mana

yang nanti akan dihasilkan dari lembaga ini anak-anak yang hebat.

Dan itukan nggak mudah. Kalo mencetak anak-anak yang hebat

gitukan ya. Karena orang tuanya juga harus hebat juga. Menjadi orang

yang biasa juga hebat saja susah. Hebat disini itu dalam arti banyak

ya. Itu, bisa jadi, generasi-generasi yang baik, orang yang bermanfaat.

jadi bukan orang yang bukan orangnya nggak jadi seseorang tapi

orang yang bisa kasih manfaat banyak banget. Dan itu melalui

lembaga pernikahan yang baik. Lembaga pernikahan yang sehat. Jadi

sekarang aku menganggap pernikah itu ya seperti itu. dan itu tidak

mudah ternyata membuat lembaga itu karena bisa jadi kan, suami

belum doong (mengerti) dengan apa yang kita maksudkan. Dan kita

tidak bisa memaksakan. Walaupun suami aku bisa diajak diskusi, tapi

dia punya pendapat sendiri. Yang bisa jadi menurut dia aneh. Begitu

kan ya. Yang segala sesuatunya itu dikonstruksikan, dibikin

sistematis. Kalo bisa dibikin rancangan pembelajaran. Kan gabisa

kayak begitu. Dia bukan tipikal orang yang begitu. Dia itu tipikal

orang yang lebih lebih spontan. Dan ini yang menjadi tantangan. Aku

gabisa plek-plekan kasih tahu bla bla bla segala macem gitukan

sementara apa namanya ya proses itu, ya lifetime, seumur hiduplah

dalam kita mengkomunikasikan.

Tapi, bedanya yang aku rasain ya, dengan kita, eee karena gini mau

punya ilmu atau nggak punya ilmu pasti ketemu masalah dalam nikah.

Ketika kita udah punya, maksudnya, oh kita sudah pernah dikasih,

sudah pernah belajar lah. Bagaimana cara berkomunikasi misalnya.

Bagaimana cara kita berpikir kayak gitu gitu ya. Karena pemikiran

laki-laki dan perempuan kan berbeda. Nah itu (kalo sudah punya

ilmu) kita akan lebih mudah. Perempuan itukan baperan. Nah, jadi,

aku melihat bahwa lembaga pernikahan itu sebagai suatu lembaga

yang luar biasa banget ya serunya. Tapi ya itu ujungnya, harus

menghasilkan generasi yang hebat. Itu sih. (Indah)

3. aaa kalo aku ya, itu kalo aku mandang nikah itu sebagai eee

komitmen, sih. Jadi, di mataku tuuh ketika orang sudah mutusin

nikah, menurutku tuh, dia sudah bener-bener enggak bisa apa ya,

istilahnya, gabisa selfish. Jadi gabisa egois. Jadi gabisa kayak aku

sekarang gituu masih mikir aku mau makan apa? Aku apa, aku apa.

Kalo nikah tuh nggak bisa. Kita harus mengutamakan orang lain dulu.

Terus apa ya, relasi ke keluarga lain itu juga menurut aku

berhubungan gituu. Maksudnya sama mertua atau apa. Jadi,

pernikahan tuuh lebih mengembangkan. Relationship tuuh bukan kita

dan pacar lagi. Tapi jauh lebih luas dari itu dan menurutku itu

kompleks sih. (Ummu)

xlv

4. pandangan aku terhadap pernikahan, kalo dasarnya si itu sebuah

kewajiban ya kalo mau ngomongin agama, tapi kalo naluri aku

sebagai manusia selama aku bisa mandiri kayaknya ga nikah tuh ga

masalah deh, aku mikirnya gitu. Sebenernya kalo aku gak nikah pun

gapapa, aku masih bisa hidup. Terus kalo ada orang yang ngomong,

tapi kan lu butuh pendamping, butuh yang ngajarin kamu, butuh kamu

berbagi kasih sayang dalam macam hal ini itu, terus selama ini gua

hidup 26 tahun gua ngeluh ga ngeluh-ngeluh banget, gua bisa

nikmatin hidup gua sendiri, ya walaupun ngeluh paling ngeluhnya ke

ade, dan ngeluhnya itu paling cuman “ih gua cape kerja deh dek,

liburan yuk”. Tapi untuk segala persoalan aku akan nyelesainnya

sendiri. Tapi kalo ditanya mau nikah ga? Mauu, siapa si yang gamau.

Ibaratnya kamu juga kan udah gede kan, siapa si yang gamau dipenuhi

kebutuhan batinnya. Aku normal, aku bukan seorang yang peduli

tentang hubungan badan, enggak, aku normal, aku ngeliat orang

pacaran gandengan, pelukan, ciuman ya aku pengen, siapa yang

gamau, untuk orang normal ya. Manja-manja sama suami, pengen

punya anak ya pengen, cuman disatu sisi masih banyak belenggu yang

aku pikirin, ini gimana ya gua nikah dia kasar ga ya sama gua kayak

nyokap gua dulu, nerima ga ya dengan gua dan keluarga gua yang kek

gini, mau bertahan ga ya sampe gua mati nanti. Dan pemikiran-

pemikiran lain yang overthinking itu gabisa diilangin, walopun

nyatanya pengen tapi lebih banyak ke gak pengennya. (Unge)

5. kalo saya menganggap nikah itu maraton ya. Jadi, kita harus pinter-

pinter eee bukan maraton sih, eh iya maraton, tapi itu dengan kita

yang gatau tracknya akan kayak gimana. Kadang ada yang terjal, ada

yang becek, ada yang luwes saja. ada yang di aspal. Yang jelas kalo

yang namanya maraton kita kan kudu pinter-pinter untuk mengatur

tempo ya kapan harus cepet kapan harus pelan, kapan harus istirahat

dan kapan harus berjalan lagi. Kayak begitu sih. dan maratonnya

maraton beregu ya bukan maraton sendirian. Yang namanya beregu

kan kita harus mikirin, oh, partner kita masih kuat nggak jalannya,

masih bisa nggak ini larinya. gimana kalo dia kesulitan, kita perlu

bantuin. Kayak begitu. Seperti yang aku bilang, ketika kita bener-

bener siap untuk menikah, itu semua nggak akan terlalu kaget begitu

loh, before dan afternya nikah. Cuman kan ya orang macem-macem.

(Scha)

6. mmmm sebenernya ya, ya itu kita kayak harus berkomitmen, sih. dan

memang harus apa ya, komunikasi harus baik sama pasangan. Nah itu

banyak yang gak bisa dijaga. Dan saya punya beberapa teman yang

(sudah) menikah justru tidak terlihat bahagia dalam pernikahannya.

Nah itu tuh yang salah satu juga membuat saya, ah yaudah begitu

(belum menikah), maksudnya, saya ngeliat si ini eee dikekang sama

suaminya, terus apa lagi eee gak boleh kerja setelah menikah. Terus

ada yang pihak mertuanya rese gitukan. Terus ada yang, yang dia

stress biasanya. Karena pada awalnya dia berkarir, kantoran terus

xlvi

tiba-tiba jadi ibu rumah tangga. Dia stress malah jadi ngomel-ngomel

terus di rumah. Jadi saya mikir, kalo kayak gitukan jadi nggak ada

nilai ibadahnya. Kan menikah adalah ibadah katanya. Yang kayak

begitu-begitu jadi membuat saya juga agak sedikit bersyukur karena

belum menikah. Mungkin kalo saya sudah menikah yaa mungkin

tidak bisa sebebas ini. (Intan)

7. pernikahan itu ya menyatukan satu pasangan eee dua orang yang

berbeda. Berbeda juga karakternya eee yang dimana terikat dengan

hak dan kewajiban masing-masing, begitu. Itu yang aku liat ya dari

aku sebelum menikah. Dan semuanya juga masing-masing harus

menyesuaikan juga. Tapi setelah menikah ternyata, yang kita

pikirkan, yang kita lihat dulu kan keluarga kita, teman-teman kita

yang menikah lebih dulu, begitu. Tapi setelah kita menyelami lebih

dalam dan menjalani sendiri bersama pasangan ternyata nikah itu,

mmm ya apa ya... nano-nano lah (tertawa) ternyata itu banyak banget

masalahnya ya. memang sih kita itu gak boleh berandai-andai ya,

karena takutnya syaiton juga. Cuman aku ngerasanya, mungkin Allah

memberikan aku pernikahan di umurku yang sudah semakin matang

ini, itu karena supaya aku lebih siap menjalaninya. Kan karena, orang

berfikirnya menikah itu hanya indahnya doang kan. Ternyata banyak

disitu (nikah) tanggung jawab dan kita juga harus bisa beradaptasi.

Tidak hanya kepada pasangan tapi juga mesti menyesuaikan dengan

keluarga suami, keluarga kita juga. Harus bisa menjembatani kalo ada

sesuatu yang mungkin nggak nyaman. Bisa berbagi suka dan duka.

Ya mungkin eee lebih ringan ya. nikah itu buat kita lebih ringan kalo

misalnya ada masalah. Ngejalaninnya itu lebih ringan dibandingkan

dengan sebelumnya. Ya nikah itu ladang pahalanya banyaklah

pokoknya. Pokoknya yang belum nikah harus segera menikah

(tertawa). Harus ikhtiar lah. Niatnya karena Allah. Sudah itu saja. dan

tidak memperberat, terutama tidak memperberat laki-laki untuk

maharnya. (Ayu)

8. eeee pernikahan buat aku itu sekufu ya. kalo dalam Islam itu, sekufu

itu setara. Jadi, kalo bisa kita cari pasangan yang setara. Mungkin bisa

dari umur yang nggak jauh beda, tapi kalo lebih muda juga aku nggak

masalah sih, lebih tua juga aku nggak masalah. Cuman, yang penting

sekufu. Dalam artian, kita sepemikiran. Jangan sampe dia maunya ke

kiri aku maunya ke kanan. Kalo kayak gitukan nggak nemu titiknya

kan. Jadi nikah itu bener-bener untuk lahir batin dan bener-bener

tujuannya kepada Allah. Jadi, bukan buat status atau pamer doang,

“nii gue sudah nikah nii”. Dan aku bukan yang kayak begitu. Aku

pribadi nikah karena ingin lebih bahagia dan tujuan akhirnya Jannah.

(Nurvita)

9. pernikahan itu menyatukan dua keluarga menjadi satu. Dimana kita

hidup bersama dan berdampingan. Terus juga, jadi teman hidup yang

menemani kita suka dan duka. Ibadah bersama juga karena

xlvii

menyempurnakan agama juga kan. Jadi ya pernikahan menurutku

baik ya dan diinginkan semua orang. (Yuti)

10. duh, apa ya, aku juga bingung hahahaha. Mmm orang kalo menuju

pernikahan itu kan suatu yang baik ya. dianjurkan juga kan karena

melengkapi sunnahnya Rasul. Itu sih yang aku tahu. Ya menurutku

bagus sih kalo ada orang yang punya niat menyegerakan menikah.

Dan yang paling penting dia harus bertanggung jawab sama

pilihannya sih. itu saja sih menurutku. (Lena)

11. pandangan gue...eee pernikahan itu bukan hal yang eee gue

sebenernya rada nggak setuju sama yang, gini gini, di lingkungan gue

itu ada teman-teman perempuan gue yang ngerasa kalo pernikahan itu

bisa menyelesaikan masalah-masalah hidup lo karena lo punya

pendamping. Justru, klao menurut gue malah pernikahan itu, ya

mungkin iya bisa ngebawa kebahagiaan ke lo, tapi depends on kalo

misalnya lo mau bahagia ya lo harusnya bisa menyelesaikan masalah-

masalah yang terjadi di dalam rumah tangga. Karena ya bagaimana

ya, karena kan dari kecil manusia itu tinggal sama orang tua nya,

dibesarin sama orang tua nya, rata-rata dibesarin sama orang tua

sendiri ya. terus juga, mungkin orang-orang kayak gue lebih yang

punya ruang privasinya lebih gede dan segala macam. Terus tiba-tiba

harus nikah dan ngebagi dunia sama orang lain yang bahkan bukan

sedarah. Cuma based on feeling saja lo ngerasa ini orang cocok, gituu.

Menurut gue itu hal yang krusial dan berat ya. makanya perlu

pemikiran yang mateng banget, “ini orang pas nggak sih buat jadi

suami?”, “buat jadi imam lo?”.

Pernikahan itu lebih ke apa ya, menuju tingkatan kehidupan

berikutnya, gituu ya. jadi maksudnya, lo sudah masuk ke pintu

pernikahan ini bukan berarti hidup lo sudah tenang. Tapi lebih ke, ya,

lo akan mendapatkan masalah baru dan which is lo level up.

Sebenernya orang-orang rada keliru juga ya. eee sebenernya gue

nggak nyalahin perempuan-perempuan yang ngerasa eee apa

namanya, ngerasain bebannya makin banyak ketika dia sudah nikah.

Karena menurut gue, ya itu kan keputusan lo untuk nikah. Kalo lo

ngerasa beban abis nikah itu berat, artinya yang salah itu ada di lo.

Artinya, lo itu belum bisa menyelesaikan itu, gituu. Kalo lo mau

pernikahan lo bahagia, ya lo harus bisa neken diri lo untuk grow up

lagi buat selesain semua masalah-masalah rumah tangga.

Dan buat gue ya, nggak ada kata terlambat sih buat nikah. Even lo

sudah cinta banget nihh tapi ternyata pasangan lo, cowok lo punya

penyakit seksual dan lo gak bisa terima itu, menurut gue, lo berhak

buat nggak nikah sama dia. tapi kalo misalnya lo bisa nerima itu,

yaudah. (Citra)

xlviii

Menurut Anda, apakah pernikahan menjadi keharusan bagi

perempuan?

1. nggak sih. nikah nggak harus menurutku. Kalo misalnya perempuan

itu sudah mampu bertanggung jawab sama diri dia sendiri dan mandiri

terutama secara keuangan, menurutku nggak harus deh dibebankan

nikah buat mereka. Ya mungkin iya dia butuh perlindungan dari

seseorang, dari laki-laki. Tapi menurut aku, kalo dia ngerasa diri dia

mampu untuk menghidupi diri dia sendiri dan tidak membutuhkan

orang lain ya nggak haruslah nikah. (Lena)

2. kalo aku sih, nggak sih ya. Karena menurutku itu menikah bukan

suatu hal yang wajib. Semua wanita juga punya prioritas hidupnya

masing-masing. Ada mungkin sebagian orang yang berfikiran mereka

mau hidup sendiri saja, mungkin karena dia sudah mandiri secara

finansial juga sudah cukup. Atau mungkin karena faktor lain juga sih,

mungkin pernah trauma sama laki-laki sampe akhirnnya mikir “aku

lebih baik sendiri” begitu. Jadi ya menikah kalo menurut aku bukan

suatu hal yang wajib. Target orang kan beda-beda. Pilihan orang juga

beda-beda. Jadi kita gabisa ngejudge orang juga kalo misalnya dia

memutuskan nggak menikah. Nggak salah juga sih. Kan yang penting

menurut dia baik buat hidup dia. (Yuti)

3. kalo sunnah nya sih sebaiknya menikah yaa. Tapi kalo ada orang yang

tidak menikah, itu balik ke dirinya ya. Dalam sejarah aku baca ya,

kebetulan aku juga suka baca. Di sejarah Islam menceritakan, ada

sahabat Rasul, entah sahabat atau keturunan sahabat aku lupa, dia

perempuan, seorang pejuang dan beliau tidak menikah. Jadi beliau

bener-bener membaktikan dirinya buat dakwah. Kita sebagai manusia

kan nggak bisa sembarang ngejudge ya, “ih kok dia nggak married sih

padahal dia kan beriman?” atau, “kenapa nggak nikah kan padahal

sudah sukses” begitu-begitu lah ya. kkita nggak boleh kayak begitu.

Aku sih balik lagi, kalo aku pribadi ya kepengennya aku menikah.

Kalo ada yang nggak mau nikah, yauda biarin saja, itu kan sudah jadi

pilihan dia dan mereka sudah memutuskan itu ya kita hargai saja. kalo

aku sih begitu ya. (Nurvita)

4. ya kalo ngikutin sunnahnya Rasulullah SAW sih harusnya iya. Nggak

hanya perempuan tapi berlaku juga buat laki-laki. Harus sama-sama

berusaha. Ya selebihnya kita harus tawakal kan. Karena selebihnya

hanya Allah yang tahu yang terbaik untuk kita. Yang penting kitanya

jangan putus asa. Tetap berikhtiar, tawakal. Itu saja sih. (Ayu)

5. enggak sih. tergantung kalo misalnya dia.... eee jadi gini, ada yang

pernah bilang sebenernya menikah itukan sunah ya. Tapi akan

menjadi wajib kalo misalnya ternyata dia tidak bisa menahan hawa

nafsunya. Kalo kayak begitu dia wajib nikah. Tapi, kalo dia masih

bisa (menahan hawa nafsu) kayaknya tidak akan menjadi wajib ya.

Terus, kalo misalnya dia menikah tapi tidak bisa atau tidak mampu

bahagia, maka jadinya jatuhnya makruh atau haram kali ya. Malah

jadi menyakiti pasangan. Mengekang. Untuk cowok nih, menikah

xlix

dengan alasan biar bisa makan masakan pasangan, nyuruh-nyuruh

pasangan. Kan jadinya jatuhnya haram, menyakiti sesama manusia.

Jadi ya tergantung kita posisinya saat itu dimana. Kalo saya misalnya,

jatuhnya sunnah. Tapi kalo misalnya ada teman saya (tertawa) tidak

bisa menahan hawa nafsu ya mungkin buat dia jadi wajib. Dari pada

membahayakan yang lain (tertawa). (Intan)

6. kalo saya, kalo personal view saya sih nggak. Kayak banyak hal yang

bisa didapat. Kalo menikah boleh, nggak menikah juga boleh. Karena

setiap orang itu cita-citanya beda. Ada memang yang cita-citanya mau

jadi ibu. pengen jadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Itu boleh

banget. Tapi kalo memang nggak mau nikah, ribet gitukan. Nikah

ribet, nanti begini begini, aku harus ini bla bla bla, ya nggak papa

(nggak nikah). Ada orang yang nggak mau nikah, terus dipaksa,

dituntut nikah karena tuntutan usia lah, tuntutan keluarga tapi malah

dia ngga bisa all out. Dia akan merasa terbebani, karena merasa dia

melakukan hal yang nggak dia sukai. Dia harus melakukan sesuatu

yang dia gamau. Malah nanti nggak bahagia. Malah jadi beban yang

kemudian, takutnya ya takutnya, malah bikin unhealthy relationship

sama pasangan. Terus malah nanti tgraumanya diteruskan, kalo punya

anak. Kayak begitu. Takutnya kayak begitu. Jadi, menurutku nikah

itu bukan keharusan. Tapi, itu cuman masalah timing saja. ada orang

yang timingnya memang nggak nikah. Ada yang memang nikah tapi

timingnya telat. (Scha)

7. bagi perempuan ya, aku pribadi engga. Karena kita gabisa

memaksakan semua perempuan harus menikah, karena banyak yang

masalahnya kayak aku atau mungkin lebih, misal dulunya maaf dia

dilecehkan oleh laki-laki, dia punya trauma sama laki-laki dan gamau

punya hubungan sama laki-laki tuh kayaknya wajar, karena ga semua

trauma tuh bisa dihilangin dengan gampang. Kalo untuk sebuah

keharusan sih kalo menurut aku engga, karena kita gatau

problematika yang dialami oleh seseorang itu seperti apa. Kita gabisa

menuntut elo cewe, elo harus nikah. Di luar konteks agama yang

mewajibkan ya, kalo cuman dari persepsi manusia lo harus nikah lo

cewe lo ga boleh nikah umur segini, engga, itu ga mengharuskan.

(Unge)

8. kalo aku sih mandangnya gini, enggak cuman buat wanita atau pun

laki-laki juga menurutku sama, gituu dalam pandanganku tuuh sama.

Mmm apa ya, lebih ke karena kita manusia, terus sudah usia segini,

usia dewasa lah ya. Kita tuhh tahu, kita mau milih apa, kita tahu yang

mau kita capai itu apa. Ketika ada orang, cewek misalnya usia berapa,

mungkin lebih tua dari aku misalnya. dia milih untuk nggak nikah,

nggak masalah. Orang misalnya, mungkin dia pernah punya trauma,

atau mungkin tanpa background dia sudah sukses dan dia nggak

butuh, merasa nggak butuh apa-apa ya its okey. Yang penting di

audah tahu, apa ya, intinya buat dia yang terbaik apa, rencana dia ke

depannya apa. Nggak masalah kalo emangnya dia gak mau nikah.

l

Kalo menurutku nggak masalah, gituu. Its okay saja. intinya tuuh

nggak ada yang salah, gitusih. (Ummu)

9. kalo ya eee pernikahan itu sunah begitu ya, kalau kita ngomongin sisi

agama. Rasulullah itu sangat menganjurkan untuk menikah. Eee itu

sunahnya. Dan Allah itu sudah ya apa ya, jadi kalo di Quran itu kan

ada, Menikahlah, gitu kan ya. Ya itu merupakan suatu perintah dari

Allah kasih tahu seperti itu. Karena apa? Karena Allah tahu kebutuhan

manusia. Allah tahu, ini banyak ini, kayak gini dari dari dari segi

apapun Ini ini semuanya ada ada fungsinya, gitukan ya. Dari segi

untuk jiwa. Perempuan itu nggak bisa berdiri sendiri. Tetap harus ada

orang kalau ketika ayahnya, ketika dia kecil ya, dengan ayahnya dia

sebagai mahromnya ya, yang menjaga izzahnya dia, menjaga

kehormatannya dia. Eee itu tuh, perempuan itu seperti itu. Tidak tidak

bisa dan tidak mudah dilecehkan oleh laki-laki lain. Karena laki-laki

itu kan dia kalau dia tidak dibekali dengan ilmu agama apa namanya

atau etika lah ya, itu dia mungkin bisa jadi binal laki-laki itu. Binal itu

dalam arti eee apa namanya eee itu kita nggak bisa nggak bisa kalau

misalnya, ah seseorang yang terpelajar, orang yang ini bakal dia

terhormat. Mannernya dia. Itu nggak. Aku juga pernah menemukan

dia terpelajar, dia ini laki-laki ya, itu tetap saja ketika sama

perempuan, dia bisa, bisa, bisa apa namanya ya, bisa ya mungkin

melecehkan lah ya, kayak begitu. Jadi, perempuan itu terjaga

izzahnya dengan sisi laki-laki di sampingnya. Yang pertama dengan

oleh ayahnya, yang kedua dengan suaminya. makanya Allah itu kasih

perintah seperti itu (untuk menikah). Itu baru satu sisi ya. Banyak sisi-

sisi yang lain. Eee jiwanya lebih tenang. Itu yang didapatkan (dari

menikah) jiwanya tenang. Terus juga dia eee apa namanya eee apa

lagi ya, ya yang pasti ada manfaatnya juga untuk laki-laki. Karena

laki-laki kan harus menyalurkan hasrat seksualnya. Ketika ada istri di

sampingnya, sehat pertama iya. Yang kedua tenang juga jiwanya.

Karena ketenangan jiwa ini nggak Allah kasih ke sembarangan orang.

Allah kasih ketenangan jiwa itu sama orang yang dipilihNya saja

begitu. Jadi, pernikahan itu merupakan salah satu jalan yang Allah

berikan kepada kita untuk meraih ketenangan jiwa. Kalo sepinter

apapun orang, kalo jiwanya nggak tenang jadinya grasak-grusuk.

Nanti kalopun dia jadi inventor sesuatu, malahan jadi perusak, gitukan

ya. Kayak bikin bom segala macem. Karena jiwanya gak tenang. Dia

malah bikin rusak bumi, begitu.

Itu salah satu, salah satu kan Allah bilang juga kan apa namanya

dengan ketenangan jiwa itu yang dicari manusia. Kayak yang di AR-

Rum itu kan, ada kan. Coba deh kamu pikir deh, orang nyari duit

banyak-banyak buat apa kalau dia bukan buat kepuasan dia.

Iya kan. Ketenangan jiwa. Apa dia jalan-jalan, refreshing lah. Itu

semua ketenangan jiwa. Nah, lembaga pernikahan ini, itu tuh, bikin

li

ketenangan jiwa kalo memang kitanya, secara sadar tidak sadar ya,

kayak begitu. Kalo kita sadar, itu akan kita pakai cara bersyukur. Tapi

kalo nggak sadar, kita bakalan cari-cari lagi, ish kok begini sih, aku

belum punya ini, nah yang kayak begitu yang akhirnya bikin kita

nggak tenang sendiri. Ngerti nggak? Kayak aku ini misalnya kan

masih tinggal sama mertua. Adalah keinginan aku untuk mempunyai

rumah sendiri. Nah, ketika aku mengingat bahwa aku apa eee dengan

pernikahan ini sendiri pun aku sudah Allah cukupkan sebenernya

tanpa aku mengharap lebih lagi gitukan ya, sudah cukup tenang. Jadi

intinya adalah, kalau misalnya seseorang yang menikah dan ternyata

itu membuat jiwa-jiwanya tenang itu nggak apa ya keinginan-

keinginan yang itu tuh akan bisa teredam sendiri. Dan akan lebih

mensyukuri dengan apa yang dimiliki saat ini. (Indah)

10. kalo saya mau melanjutkan ego saya sebagai alfa women, yang bisa

menghiduoi diri sendiri ya gak perlu laki-laki. Saya bisa sendiri. Tapi

ketika saya memikirkan, eee saya punya kebutuhan seksual, saya

butuh, butuh teman yang memang bisa diajak ngobrol sehari-hari

secara intim, ya saya memikirkan, ya eee saya butuh untuk menikah.

Lebih ke ini saja sih, saya alfa women, lebih banyak punya teman

cowok, saya tipe cewek bebas yang friends with benefit kemana-

mana, dan saya melakukan seks bebas secara eee apa namanya, secara

sehat, ya mungkin saja seperti itu. Bisa saja saya gak nikah. Cuma

kayaknya kalo memikirkan lagi, eee mungkin saya pikiran seksnya

itu yang komitmen dengan satu pasangan. Ya menikah. Kayak begitu.

Untuk masalah risiko kesehatan, kemudian masalah, mungkin kita

mempertimbangkan juga masalah eee ya itu tadi, teman sehidup

semati, klise sih, tapi sehidup sematinya tuh bener dan buat diskusi

bareng, ngomong intim, kayak gitusih. Saya butuh itu. Karena

memang kalo dengan teman-teman biasa atau teman-teman laki –

saya lebih deket ke teman laki-laki dari pada perempuan dalam

pertemanan, itu eee tetap ada batasan. Kita bisa dengan bebas itu ya

sama suami. (Karina)

Bagaimana Anda menyikapi perbedaan pandangan yang terjadi di antara

Anda dan orang tua?

1. Cuman mungkin aku melihatnya, rata-rata karena eee orang tua jaman

dulu, jaman mereka mungkin jaman dulu itu eee emang begitu

kebudayaannya kali ya. Eee kalo mama ku tuuh cerita, dia tamat SD

itu, dia kan tinggal di Pulau dulu. Jaman SMA itu udah lulus itu udah

termasuk sudah usia yang tua banget buat nikah. Jadi dia disuruh

nenek kakek saya itu buat langsung nikah dan dia kabur dari pulau

itu. Aku mikirnya mungkin memang orang-orang dulu itu, orang tua

kita, melalui masa seperti itu. Jadinya sekarang yang mereka

ngomongin ke anaknya adalah masa mereka dulu. Bahwa usia kamu

itu tua buat nikah. Tua banget malah. Mama dulu nikah usia segini.

Terus, apa kamu nggak mau nikah? Siapa nanti yang ngubur kamu?

Siapa nanti yang usia kamu 80 kamu mau ngapain? Kayak begitu-

lii

begitu. Mungkin apa, mungkin karena mereka melihat masa-masa

mereka. Padahal kan jaman sekarang eee media berkembang,

teknologi-teknologi berkembang, beda (dengan jaman dulu). Kita

tidak bisa menyamakan itu. Tapi mereka masih hidup disitu dan

membawa itu ke generasi anak-anaknya. Itu sih menurutku. (Ummu)

liii

Koding Matriks 2

STATUS: BELUM MENIKAH

Apakah Anda memiliki pasangan?

1. aku punya cowok soalnya (Ummu)

2. temen deket, kalo pacar engga. (Unge)

3. kalo yang deket banget sih nggak ada ya. Cuma ya memang kalo

teman-teman cowok aku itu banyak. Yang mau ngedeketin aku juga

ada. Cuma ya itu tadi, palingan ya yaudah berteman saja. teman haha

hihi saja begitu belum yang ke arah sana, yang serius banget belum

ada sih. (Nurvita)

4. enggak ada sih, gis.. (Yuti)

5. adaa... (Ade)

6. tapi ada yang lagi deket sih, dek (Fitri)

Bagaimana kriteria Anda dalam memilih pasangan?

1. kalo dari gue ya, yang jelas dia bisa jadi imam buat gue. Gue sih

kepengennya orang yang lebih dari gue. Artinya, bukan yang lebih

kaya dari gue, atau lebih ganteng gituu, bukan. Tapi lebih dalam

artian, apa yang gue nggak punya, ini orang punya. Misalnya, gue

minus dibidang apa, nah dia bisa disitu. Gue lebih cari orang yang

bisa ngelengkapin sih dibandingkan orang yang sama persis. Palingan

sama, oh! Komunikasi juga sih. kalo kriteria fisik sebenernya gue

nggak terlalu matter sih, walaupun pada akhirnya gue mikirin itu juga

ya. Cuma yang nggak terlalu ini banget gituu lah. Lebih ke personality

nya kalo gue. (Citra)

2. Tapi yang jelas, aku cuman pengennya suamiku itu punya pekerjaan,

pekerjaannya tetap lah jangan sampe masih kontrak atau apa. Karena

kita gatau kan di masa pandemi gini banyak pekerja kontrak yang

diputus, dan aku gamau itu kejadian di aku dan calon suamiku nanti.

Itu yang pertama. Yang kedua, bertanggung jawab. Sudah sih, segitu

saja. Pekerjaan tetap dan bertanggung jawab. (Lena)

3. kalo kriteria sih ya, yang pertama, seiman itu penting. Terus bisa

membimbing aku ke hal yang lebih baik, dalam segi agamanya juga.

Pedoman agamanya...eee maksudnya mengerti lah, maksudnya juga

bukan yang paham agama banget sih, nggak juga. Cuma maksudnya

mengerti dan paham dasar-dasar menikah itu seperti apa. Biar nanti

eee menikah itu kan ibadah seumur hidup aku. Aku juga ingin sosok

laki-laki yang mampu menghargai wanita, yang mengerti aku. Terus

juga jadi teman hidup aku, apapun. Jadi aku pengennya punya

pasangan yang bisa mengerti, bisa menerima segala kekurangan aku,

bisa selalu sama-sama sama aku apapun kondisinya. Ya memang

punya satu tujuan yang sama lah untuk hidup yang lebih baik. karena

ya kenyamanan itu penting menurutku dan saling mendukung

nantinya..(Yuti)

4. eee sebenernya kalo ngomongin yang dulu gituu ya. Ya saya maunya

yang pekerja keras, ya standar lah. Pekerja keras, terus bertanggung

jawab. Dan dari awal itu saya bilang, nggak suka cowok yang

liv

mengekang. Karena saya bukan tipe orang yang suka dikekang. Saya

akan nurut kalo misalnya itu menurut saya harus dituruti. Tapi kalo

misalnya kayak disuruh begitu kayak jadi males duluan. Makanya

ketika ketemu yang itu, yang sudah jelas-jelas dari awal nggak boleh

(lanjut S3). Dan sebenernya omongan saya izin sekolah itu,

setelah...mmmm gimana ya. Jadi sebelum-sebelumnya itu, kita

memang sudah sempet kayak berbeda pendapat gituu. Kayak dia itu

nyuruh aku kayak gini gini gini. Nah, itukan saya kan nggak seneng

ya. Sebenernya saya itu sudah tahan-tahan itu pas itu. Tapi, oh ya

sudah lah mungkin itu nanti bisa menyesuaikan. Tapi ketika dia sudah

bilang gak mau yang melanjutkan kuliah mmm apa (tertawa)

menuntut ilmu dunia lebih tinggi dari pada menuntut ilmu agama.

Saya ok, yaudah. Dari pada diterusin dan akhirnya saya gabisa kuliah,

gitukan. Toh kan apa-apa nanti harus izin suami kalo sudah menikah

kan. (Intan)

5. jadi dia mintanya yah minimal pendidikannya setara sama lu, dia s1

lu s1 silahkan, kerjanya apa ya terserah, kalo di jakarta kan minimal

mah kerja tuh ngantongin 5 juta sebulan kan.. kalo masalah mau

keturunan darimana si mereka ga mempermasalahkan, karena

kebetulan istrinya dia juga orang Jawa kan, jadi yaudah kalo masalah

suku its okey, cuman pendidikan nomer 1, akhirnya karena aku juga

seorang pemikir, emang nalar aku akan kayak gitu, beda emang cara

didik orang yang berpendidikan sama yang engga, emang engga

semua tapi rata-rata kayak gitu. (Unge)

6. eeeemm sebentar. Kalo aku sih dulu, menarget, bukan menarget juga

bukan cari orang yang kayak, setipikal saja kayaknya diobrolan

bakalan nyambung. Bukan yang apa ya, eee tahu nggak sih, istilahnya

matiin suasana. Kayak begitu saja sih. Yang nyambung obrolannya.

Jadi kayak teman, kayak sahabat begitu. (Ummu)

Bagaimana peran orang tua dalam menentukan pasangan Anda?

1. kalo deket sama siapa aja sebagai teman ga masalah, cuman kemaren

terakhir aku ada pernah pacaran sama dari etnis Jawa, kebetulan

pendidikannya hanya sebatas SMA, om aku ga setuju, karena

alhamdulillahnya keluarga aku semua berpendidikan, ya yang sukses-

sukses di Jakarta sana semuanya berpendidikan, apalagi aku dari kecil

gaada ayah gaada orang yang ngebimbing aku selain opah aku, jadi

dia mikir lu butuh cowo yang bener-bener bisa ngedidik lu bisa

ngejagain lu sampe mati nanti, jadi dia mintanya yah minimal

pendidikannya setara sama lu, dia s1 lu s1 silahkan, kerjanya apa ya

terserah, kalo di jakarta kan minimal mah kerja tuh ngantongin 5 juta

sebulan kan.. kalo masalah mau keturunan darimana si mereka ga

mempermasalahkan, karena kebetulan istrinya dia juga orang Jawa

kan, jadi yaudah kalo masalah suku its okey, cuman pendidikan

nomer 1, akhirnya karena aku juga seorang pemikir, emang nalar aku

akan kayak gitu, beda emang cara didik orang yang berpendidikan

lv

sama yang engga, emang engga semua tapi rata-rata kayak gitu.

(Unge)

2. Kan ada tu orang tua yang anaknya belum nikah terus dicari-cariin.

Nah orang tua saya justru nggak. Soalnya takutnya kalo dicariin

kitanya nggak cocok nanti kesalahan jadi dari orang tua. Jadi,

mendingan kamu yang tahu yang bikin kamu nyaman itu bagaimana

begitu kan. Yaudah carilah sendiri. Nanti kalo misalnya sudah yakin.

Kayaknya sudah ini ini, sudah pas begitu ya. Baru deh minta pendapat

orang tua. Orang tua saya begitu sih tipenya.

Aku itu dulu pernah begitu minta dicariin terus mama ku malah

bilang, “ah nanti kamu malah nggak sreg lagi”. Karena ibu saya itu

tahu saya itu gimanaa ya, sebenernya dibilang pemilih banget itu

nggak cuman ya itu pilihannya suka aneh-aneh. Kayaknya gituu ya

dari pada nggak sreg gitukan terus uring-uringan, yaudah ibu nggak

pernah (cariin) sih. lagian sudah besar ini. (Intan)

3. Terus ada juga sih beberapa orang juga yang jadinya mau ngenalin

aku, begitu sih gis. (Yuti)

4. perrrnaaahh!!! Dan itu 2 kali. (Citra)

Apakah Anda mendapat desakan dari orang tua untuk segera menikah?

1. Cuman, karena, kalo dari segi posisi saya adalah anak pertama. Anak

pertama perempuan (tertawa) di keluarga, usia segini (belum

menikah) itu menakutkan bagi semua orang (tertawa). Jadi, sudah

mulai apa, selalu diteror hampir setiap hari untuk disuruh nikah. Aku

pribadinya memang gak mau, belum mau. Cuman keluarga tuh, kalo

bisa secepatnya. (Ummu)

2. oh engga, paling cuman dibercandain doang mau nikah lo? Ah ga

sekarang ah, ntar aja aku bilang. Waktu aku kerja di Jakarta kan ya,

om aku kan kayak gitu. Lu umur segini ga kepikiran nikah? Etapi abis

itu dibantah lagi sama dia, eh tapi ngapain nikah cepet-cepet ya, tante

lu aja nikahnya umur 30 lebih, haha. (Unge)

3. nggak ada sih, nggak ada. Alhamdulillah kalo dari keluarga saya,

kayak keluarga papa mama itu nggak ada. (Intan)

4. alhamdulillah enggak ada sih, Gis. (Nurvita)

5. sebenernya kalo mama ku sih eee kalo suruh cepet-cepet sih nggak

ya. palingan apa ya...nggak sih nggak disuruh cepet-cepet nikah.

Paling kalo misalnya ada yang tanya (kapan nikah) ya doain, minta

doanya. Begitu sih. Tapi kalo misalnya ngobrol secara langsung

berdua, terus tanya “kapan?”, “kapan kamu mau nikah?” itu nggak sih

kalo orang tua ku. (Yuti)

6. kalo dari orang tua aku sih waktu dulu iya (ada desakan). Waktu aku

umur berapa ya...mmm aku kan sudah satu tahun ini nggak ada pacar.

Sebelumnya aku ada (pacar). Jadi, satu tahun yang lalu itu kita sudah

break up, nggak pacaran lagi. Dulu waktu masih pacaran itu ya

didesak buat cepet-cepet nikah. “ngapain sih pacaran lama-lama, kan

sudah punya pacar ini sudah buruan nikah” kayak begitu sih. Tapi

lvi

setelah putus, sekarang sih nggak (tidak didesak). Jadi yaudah jalanin

saja, begitu. (Lena)

7. sebenernya orang tua gue nargetin gue nikah maksimal 25. (Citra)

8. Sebelumnya iya, seperti itu. Sebelumnya sangat seperti itu, karena

kebetulan aku anak pertama. Aku anak pertama, adekku 3, dan

kebetulan perempuan semua juga. Adekku yang kedua, eh adekku

yang paling gede maksudnya kan kembar kebetulan. Dan memang

seusia sih sebenernya. Jadi yang dipikirkan sama orang tuaku adalah

kamu tuh cepetan! Kamu punya adek gadis juga. Jangan sampe yang

namanya, ya janganlah, kalau bisa dibilang, janganlah sampe

dilangkahin adek, kayak gitu, kan. Kamu harus lebih dulu! Mama juga

nggak mau kalau kamu misalnya dilewatin sama adekmu. (Ade)

Apakah Anda pernah merasa khawatir dengan status Anda saat ini?

1. buat sekarang engga sih. Tapi aku pernah baca artikel, katanya, di usia

35 tahun kalo perempuan belum menikah itu kamu sudah harus

khawatir. Dan buat aku jadi mikir, “iya juga ya, kalo usia aku 35 dan

aku belum menikah, kayaknya aku mesti khawatir sih”. Di negara-

negara lain juga begitu kan, kayak di Korea, di Barat juga begitu kalo

usianya 35 terus belum menikah, mereka juga khawatir. Tapi kalo

misalnya di bawah itu, mereka belum khawatir, santai saja. kan juga

mikirnya usia 20an sampe 30an 33 34 lah masih usia produktif begitu.

Nah, kalo sudah 35 atau di atasnya gituu kan kita sudah cukup berusia

ya dan produktifitas kita sudah menurun eee berkurang lah semuanya

begitu. Mulai dari kesehatan dan segala macamnya berkurang lah

makanya kita perlu seseorang buat ngejagain kita. Jadi aku mikirnya,

“ah, iya, nanti kalo usiaku sudah 35 aku sudah harus khawatir”. Aku

juga sudah mikirin kan, aku mau S2 dulu dan itu dibutuhkan waktu

kurang lebih 2 tahun. Abis itu aku mau kerja lagi.. jadi ya, menikah

itu masih panjang banget deh buat aku kesananya. (Lena)

2. (khawatir karena omongan tetangga) iya lebih kesitu, gis. Pastikan

nanti mereka kayak banyak tanya “ini kenapa aku dilangkah?”,

“adeknya kenapa nikah duluan” kayak begitu kayak begitu yang

sebenernya bikin aku sedih pas tahu adek ku mau menikah. Tapi ya,

aku bahagia juga dia menikah. (Yuti)

3. iya pasti. Pasti sih, khawatir banget hahaha. Apalagi kalo teman-

teman yang nikah memang yang seumuran aku ya. kayak teman-

teman dulu yang satu SMP SMA. Pasti adalah rasa kahwatir aku,

“aduh dia sudah married, sudah punya anak dua” gitukan. Teman-

teman aku itu ya, yang rata-rata seumuran aku itu minimal banget

anaknya rata-rata sudah dua hahaha. Ada juga sih yang sudah married

tapi belum punya anak, ada. Bahkan ada sepupu aku yang di bawah

aku, anaknya sudah tiga. Ya seneng saja sih, ngeliat sudah pada punya

anak, “oh, iya, dia sudah punya anak”. Cuman, kalo ke diri sendiri

antara pengen tapi juga sama belum ready begitu hahaha. (Nurvita)

4. mmm pernah sih. sempet kepikiran begitu. Cuma ya buru-buru

langsung dialihin lah. Saya juga kan pekerjaannya banyak. Lagi

lvii

kuliah juga. Dan kerja juga kan. Jadi, kayak ketutup (lupa). Dan

kebetulan juga ada teman deket yang memang dia juga belum nikah.

Jadi kita kayak sama-sama mensupport gitulah. (Intan)

Apa saja yang akan Anda bicarakan pada pasangan sebelum

memutuskan untuk menikah?

1. mmmm keuangan sih. nanti gimana, kalo misalnya sudah menikah

apakah...eee jadikan ada yang uang suami jadi uang istri atau mungkin

sendiri-sendiri. Atau bisa juga uang istri jadi uang bersama. Itu

menurutku penting dan harus dibahas sih. terus nanti setelah menikah

itu istri boleh kerja atau nggak. Terus kayak kesepakatan-kesepakatan

misalnya nanti pembagian kerja rumah tangga kayak gimana. Itu

penting juga loh dibahas, karena ada yang dulu mungkin singlenya

dia biasa nggak megang pekerjaan rumah. Bisa jadi di rumahnya ada

ART. terus ketika menikah, si suaminya bukan tipe yang

mengandalkan ART, gitukan. Nah, itu harus dibahas. Terus mau

tinggal dimana. Apakah di rumah mertua atau di rumah sendiri. Terus

eee ada hutang atau tidak sebelum menikah. Jadi maksudnya jangan

sampe kita baru tahu kalo suami kita ternyata banyak hutang sebelum

menikahnya, atau kebalikannya. Terus ya ntar gimanaa nanti

kehidupan setelah pernikahan. (Intan)

2. yang penting itu kan validasi buat aku ya. dia orangnya gimanaa,

seperti apa. Selain itu, agama penting banget juga buat aku. Seiman.

Kedua, kalo dari perilaku dan lain-lain kita bisa liat attitude dan

manner dia. yang kecil-kecil dulu deh, kayak misalnya orangnya

sopan apa nggak, terus dari cara dia ngomong itu juga gimanaa. Kalo

buat yang tanya dia langsung, palingan kayak, kasarnya ya, “lo sudah

siap belum hidup susah dan seneng sama gue?” jadi bukan senengnya

doang. Dia sudah siap apa belum. Sama, “yaudah kalo sudah sama

gue, lo jangan lagi tengok kanan kiri”. Jangan sampe menduakan lah.

(Nurvita)

3. keterbukaan sih. menurutku kepercayaan itu penting. Banyak sih ya.

kan, kalo pacaran kan belum tentu kita tahu semuanya tentang dia.

palingan sih, kayak, “kamu punya tanggungan nggak ini saat ini?”,

kalo misalnya ada, dibicarakan dulu tanggungannya apa. Terus,

“finansial kamu bagaimana, sudah cukup atau belum?”, kita kan

bakalan ngejalanin berdua. Terus “kita tinggal dimana?”, mau tinggak

ngontrak kah, tinggal sama orang tua kah. Terus juga obrolin tentang

kerjaan, “kamu ini mau nya aku full jadi ibu rumah tangga atau boleh

bekerja?” (Yuti)

4. yang pertama itu, kita harus jujur ya. sebelum menikah kita punya

apa, dia punya apa. Terus beban dan tanggung jawab kita sebagai

anak. Nggak mungkin kita gapunya beban dan tanggung jawab sama

orang tua kan. Apalagi kalo calon pasangan kita punya adik. Atau kalo

misalnya dia gak punya orang tua, dia punya beban dan tanggung

jawab apa selain itu. Jadi kan, kita harus tahu itu dari situ. Ya intinya,

dia bisa bertanggung jawab atas tanggung jawab yang dia punya, tidak

lviii

melepaskan tanggung jawabnya dia sebagai anak, ya ayok nikah. Tapi

kalo misalnya dia nikah tapi harus melepaskan tanggung jawabnya

sebagai anak, ya aku mikir 2 kali. Karena aku punya orang tua kan,

punya adik-adik juga yang sebagai uangku juga aku kasih ke mereka.

Jadi ya itu, ketika dia harus memberikan uangnya ke orang tua, aku

harus tahu dan sebaliknya. Transparan ajalah kita sebagai pasangan.

Gitusih. (Lena)

5. eee lebih ke ini sih nanti, yang biasa kita obrolin kayaknya, apa ya,

eee mau – emm enggak, mau tinggal dimana, atau ke depannya

rencananya seperti apa? Begitu-begitu aj asih. Yang apa yang umum

dibicarakan. Berat ya. Itu saja sih. Nggak ada yang terlalu gimanaa-

gimanaa. Mungkin karena kaunya santai atau gimanaa. (Ummu)

Setelah menikah, apakah Anda masih berkeinginan untuk bekerja dan

berkarir seperti saat ini?

1. gue masih kepengen tetap kerja. (Citra)

2. sebenernya aku sih fleksibel ya. sedapetnya saja nanti. Kalo misalnya

dari pasangan aku dia mau aku tetap bekerja, ya aku kerja. Tapi kalo

nggak dikasih kerja, ya nggak papa aku nggak kerja juga. Tapi

sebenernya kalo dari aku pribadi sih aku maunya fokus ke keluarga.

Jadi kepengennya aku nggak kerja lagi kalo misalnya nanti aku sudah

punya suami. (Lena)

3. kayaknya sih aku kalo sudah punya anak pengennya full jadi ibu

rumah tangga saja deh, gis. Ingin lebih fokus ngurus anak dan

keluarga saja sih sebenernya. (Yuti)

4. insya Allah kalo masih ada kesempatan dan masih kuat secara fisik

juga, aku sih kepengennya masih tetap kerja. Ada sih ya beberapa tipe

suami yang ngizinin istrinya kerja ada juga yang nggak. Tapi kalo

misalnya aku dapet suami yang ngizinin aku tetap boleh kerja, ya

Alhamdulillah, aku bakalan kerja. Sambil membangun yang sudah

ada. Aku kan berkarir, ya aku lanjutin karir aku. Bukan berarti

menikah malah buat aku tinggalin karir, begitu sih, Gis. (Nurvita)

5. kalo dosen, iya. Mungkin, saya akan mohon gituu ya sama calon saya,

tolong jangan halangi saya untuk menjadi dosen. Dosen disini, di

kampus tempat saya sekarang ngajar kebetulan nggak terlalu padet

sebetulnya. Jadi, dosen bisa dateng pas jam ngajar saja atau kalo pun

memang harus dari pagi sampai sore tapikan nggak full (tiap hari)

begitu. Sebenernya pekerjaan rumah tangga pun mungkin masih bisa

ke handle walaupun sudah menikah. Jadi, ya kalo bisa sih jangan lah

di stop (pekerjaan dosennya). Karena maksudnya eee saya itu tipe

yang kalo misalnya di rumah terus itu mumet. Yaa dari pada saya

mood-mood-an, moodnya nggak bagus, ya mendingan akunya

dibebaskan lah. (Intan)

Apakah Anda sudah menentukan di usia berapa Anda akan

menikah?

1. enggak sih, semenjak kejadian yang itu saya sudah nggak pernah ada

target-target mau nikah usia berapa-berapanya. Kalo misalnya

lix

ketemu, pas, cocok, ya ayok. Tapi sih memang sebenernya karena

kuliah ini saya agak khawatir justru kalo menikah. Karena, jurusan

saya kan ke arah science ya yang harus ngelab penelitiannya. Nah, itu

saya takut lebih ke anak begitu kan. Kan kita kalo punya anak kecil

itu pengennya harus selalu ketemu. Sebenernya saya agak khawatir

kalo misalnya saya ketemu jodohnya sekarang karena saya masih

harus ngelab. Maksudnya gini, kalo menikahnya nggak (khawatir)

tapi kalo punya anak itu saya maunya sudah dalam keadaan selesai

kuliah. Mungkin kalo kerja sambil punya anak masih bisa. Karena kan

tadi ya, saya kerjanya dosen, dan dosen kerjanya nggak terlalu sibuk.

Kalopun sibuk sebenernya bisa kita kerjakan di rumah. Misalnya

kayak buat paper atau apa begitu sebenernya itu bisa dikerjakan di

rumah sambil ketemu anak. Tapi, kalo penelitian di lab itukan nggak

mungkin bawa anak kecil kan. Ya itu sih sebenernya. Makanya saya

nggak terlalu buru-buru ya karena itu. Saya masih harus kuliah, masih

penelitian, yang kayaknya kalo saya punya anak justru saya khawatir

anak saya nggak keurus. (Intan)

2. Nah, kalo sudah 35 atau di atasnya gituu kan kita sudah cukup berusia

ya dan produktifitas kita sudah menurun eee berkurang lah semuanya

begitu. Mulai dari kesehatan dan segala macamnya berkurang lah

makanya kita perlu seseorang buat ngejagain kita. Jadi aku mikirnya,

“ah, iya, nanti kalo usiaku sudah 35 aku sudah harus khawatir”. Aku

juga sudah mikirin kan, aku mau S2 dulu dan itu dibutuhkan waktu

kurang lebih 2 tahun. Abis itu aku mau kerja lagi.. jadi ya, menikah

itu masih panjang banget deh buat aku kesananya. (Lena)

STATUS: SUDAH MENIKAH

Bagaimana proses bertemu dengan pasangan?

1. heeh dikenalin sama orang tua. (Indah)

2. karena kebetulan eee saya ketemu suami saya umur 26. Sebenernya

suami saya itu teman saya, lama banget, gitukan. s1 nya kita

berbarengan emangnya. Dan dia memang sahabat saya sih, jadi, satu

circle, gituu. (Scha)

3. oh dia, dia fans radionya aku waktu masih kuliah waktu itu.

(Yuniarti)

4. .. aku nikah sama anaknya Bu Eri. Mantan dosen di BK juga. Suamiku

anaknya beliau. Nah, akhirnya aku taarufan diakhir Desember 2019.

Ya istikharah lah aku. 2019 Desember aku kenalan, Februari kita

nazhar, terus Maretnya kalo nggak salah kita lamaran deh. terus April

aku nikah. (Ayu)

Bagaimana kriteria Anda dalam memilih pasangan?

1. eee yang jelas nggak ngerokok yaa. Terus eee solatnya di masjid. Ya

sayang keluarga eee maksudnya sayang sama aku sama sayang sama

keluargaku juga. Terima semua kekurangan dan kelebihan aku. Sudah

lx

sih palingan itu saja. oh, terus... harus sevisi ya. Dalam agama juga.

Bisa saling melengkapilah begitu. Terus sama-sama suka ke kajian.

Sama-sama mau belajar agama. (Ayu)

2. ya kalo aku kliknya adalah sama orang yang eee aku bisa ajak diskusi.

Jadi kalau nyambung tektokan aja sih sebenernya. Karena dengan

orang yang bisa diajak diskusi, segala sesuatu bisa dibicarakan.

Misalnya ada masalah kah atau apakah. Jadi nggak Cuma sekedar

pinter, nggak Cuma sekedar wawasan luas, nggak sekedar Cuma ini.

Kalo misalnya dia pinter, wawasannya luas, tapi dia gabisa diajak

ngobrol begitu, gabisa diajak berunding istilahnya. Oh, itu jadi...kalo

aku nggak cocok. Nah, Ini aku temui dalam diri suami aku sekarang.

(Indah)

Bagaimana peran orang tua dalam menentukan pasangan Anda?

1. ya tipikal orang tua juga sih sebenernya. karena orang tua pasti selalu

mencarikan. Coba kenalin sama si A, oh belum cocok, yaudah

enggak. Terus kenalin sama si B. Aku juga bukan tipikal yang nyerah

juga. Oh nggak cocok, yaudah kita coba lagi sama yang lain. Nggak

cocok lagi, coba sama yang lain lagi (tertawa). Itu, jadi saling-saling

antara orang tua dengan aku. Jadi orang tua juga aktif dan akunya juga

nggak, nggak, nggak menolak untuk dicarikan, gitusih kalo istilahnya.

(Indah)

Apakah Anda mendapat desakan dari orang tua untuk segera

menikah?

1. enggak ada sih. Soalnya saya menikah juga di umur yang memang

sesuai sama rencana hidup saya. Dan orang tua saya masih

menganggap itu normal lah, begitu. Kalo saya, belum nikah-nikah

umur 31 32 baru deh kayaknya orang tua saya mulai, mulai agak ribut

mempertanyakan. (Karina)

2. ada. Ada...ada dong. (Indah)

3. tidak, tidak ada. (Yuniarti)

4. nggak ada sih, nggak ada. Alhamdulillah kalo dari keluarga saya,

kayak keluarga papa mama itu nggak ada.. Karena orang tua juga

nggak menuntut ya. Alhamdulillah orang tua nggak menuntut. (Scha)

5. iya ada. Dulu, mamaku tu dulu waktu mau detik-detik sakit itu sampe

mengkhawatirkan aku juga. Aku belum menikah. “Takutnya mama

sudah nggak ada gini gini segala macam”. Ya adalah pasti desakan

mah. karena menurutku setiap orang tua ngerasa (khawatir) kayak

begitu juga sama anaknya. (Ayu)

Saai itu, apakah Anda merasa khawatir dengan status Anda yang

belum menikah?

1. mmm awalnya, sebelum hijrah iya, ya (khawatir dan takut). Sebelum

hijrah tu kita ngeliat teman-teman, satu-satu di Budi (RS. Budi

Kemuliaan) sudah pada nikah. Palingan sudah 3 orang waktu itu yang

belum menikah. 3 4 orang lah. Terus lama-lama, yang misalnya

menurut kita, “ih,” ternyata dia sudah duluan. Padahal kita mikirnya,

“kayaknya dia bakal belakangan, deh” eh ternyata dia duluan dong

lxi

(tertawa). Kan kita mikirnya, kita nggak pernah ngeliat dia pacaran,

nggak pernah cerita-cerita. Orangnya tomboy lah, gituu. Tahu-tahu

sudah duluan kan. Nah dari situ ada perasaan khawatir juga. “waduh,

kalo sudah kayak gini kan bingung mau main kemana juga. Kalo mau

ngubungin juga takut ngeganggu gitukan”. Ya terus, lama-lama kita

belajar agama kan, yaudah akhirnya perbaiki diri saja terus. Kan kalo

kita perbaiki diri, Allah kan juga pasti akan kasih (jodoh) gituu.

Pikirku kalo nggak dikasih di dunia ya di akhirat dikasih. Selama kita

berusaha, ikhtiar, tawakal, yaudah perasaan itu ilang. Jadi nggak

panik lagi kalo ditanya orang-orang kapan nikah kapan ini ini ini.

“Makanya jangan terlalu punya kriteria pasangan yang terlalu

tinggi.”, “cari apalagi sih” dan segala macemnya. Yaudah, kalo ada

yang kayak begitu sekarang disenyumin saja sama ya minta doanya

saja deh. kadang ada yang ngenalin gitukan. Tapi ya memang belum

cocok kan. (Ayu)

2. oh pasti. Pasti. Pasti ada kekhawatiran. Karena aku bukan orang yang

eee aku bukan orang yang tipikal eee apa namanya, kalo sekarang kan

perempuan banyak yang dia lebih ke karir, begitu. Itu mungkin

pengalihan begitu ya, dengan karir. Kalo aku sih enggak begitu

malahan biasa saja orangnya (tertawa). Jadinya aku juga bukannya

yang eee apa namanya, (aku) orangnya biasa-biasa saja. jadi nggak,

nggak, akhirnya aku, menekuni sesuatu yang akhirnya aku jadinya tuh

sampe melupakan ini gitukan. Dalam tanda kutip ya, menikah. Aku

itu enggak (tidak tenggelam dalam karir). Justru aku takut (untuk)

menekuni sesuatu begitu. Aku punya temen-temen gitu kan di

komunitas, bukan komunitas sih, ya komunitas semacam itulah ya

untuk untuk bisa, mungkin ya, kalau aku mau itu aku akan nyemplung

disitu total dan mungkin juga aku akan, akan apa, akhirnya akan

terlupakan begitu segala kegelisahan, segala ke apa namanya

kepikiran itu kan ya. Tapi justru aku gamau itu aku nyemplung ke

kegiatan yang memang bikin aku lupa untuk menikah. Ngerti gak?

(Indah)

Apa alasan Anda memutuskan untuk menikah?

1. Karena teman-temennya sudah pada nikah semua. (Yuniarti)

2. eee kalo strategi ngomong-ngomong sama orang tua yaaa, kan sudah

tahu saya pacaran nih, kemudian eee seperti, eee aku serius, ya

nyampein ke orang tuanya ya, sepertinya aku serius sama anak ini nih,

atau sama cowok ini, kayak begitu. Kan pasti (tanggapan orang tua)

oh ya, memang sudah serius? Memang sudah dipikirin? Pasti akan

ada pertanyaan dari orang tua, emang sudah dipikirkan? Rencana

kedepannya bagaimana, akan tinggal dimana? Finansialnya seperti

apa. Ketika kita bisa menyajikan jawaban-jawaban tersebut secara

pasti, ya lolos lolos saja, kayak begitu. Apakah kamu yakin dengan

sifat-sifatnya? Ketika kamu bisa menjelaskan bahwa kamu yakin

dengan sifat calon suami kamu, ya orang tua saya sih, eee lolos lolos

saja. (Karina)

lxii

3. kalo mau memutuskan menikah di usia segitu mah enggak ya. Karena

memang eee not mind goals gitukan awalnya. Karena semua orang

akan menikah. Nggak, nggak pasti sih. gimana ya, eee fase ya fase.

Saya sih menganggap semua fase ada yang memang mau, ada yang

memang enggak. Ada yang akan menjalaninya, ada yang nggak.

Cuman, kalo saya, kalo pun, gini sih mindsetnya kalo memang, oh

kalo perempuan nggak punya contoh, expired. Kalo perempuan akan

jadi, apa namanya, kalo nggak segera menikah, tuh, apa sih.. Jadi,

akhirnya memutuskan menikah umur 30an karena kebetulan eee saya

ketemu suami saya umur 26. Sebenernya suami saya itu teman saya,

lama banget, gitukan. Cuman akhirnya kita memutuskan pacaran itu

umur 26 terus, oh yauda deh, serius saja yuk. Terus tahu-tahu eh

nikah. Sudah deh (tertawa). Terjadi begitu saja dengan lancar. (Scha)

Bagaimana Anda dan pasangan mendiskusikan tentang pernikahan?

1. pertama sih, visi misi pernikahan ya. Terutama dalam hal agama ya.

misalkan agamanya sudah sejalan eee terus untuk menuju pencapaian

apa yang kita tuju selama menikah ke depannya juga. Kalo misalnya

sudah sama, ya sudah menurutku lanjut (menikah). (Ayu)

2. banyak ya sebenernya (tertawa). Jadi itu memang, memang yang isu-

isu sensitif itu harus dibahas diawal dulu. Kayak finansial, atau kayak,

nanti kita kalo nikah siapa yang mau nanggung hidup. Apakah pure

yang cowok saja, atau yang cewek boleh ngebantuin. Atau, ya sudah

sendiri-sendiri atau gimanaa itu harus diobrolin. Terus kayak

misalnya mau punya anak apa nggak. Mau langsung punya anak apa

nggak, itu juga (diobrolin). Mau punya anak berapa. Terus misalnya

nanti kalo menikah, mau tinggal dimana. Eee mau tinggal di orang tua

atau mandiri. Atau misalnya mau ngontrak atau gimanaa. Itu harus

diomongin. Jadi memang, kalo mau nikah itu kita gabisa cuman aku

cocok, kamu cocok, oke, kita nikah. Nggak bisa begitu. Jadi, memang

bekalnya, awlanya harus diomongin dulu yang isu-isu sensitif. Terus

juga misalnya kayak value, apa ya, value itu semacam nilai-nilai yang

dianut. Kayak misalnya nanti mau membesarkan anak dengan cara

seperti apa, bukan metode atau secara teknis ya, tapi kayak, gimana

ini kita mau membesarkan anak, dengan apa. Value apa yang mau kita

berikan. Apakah dengan dikasih sayang atau ada juga kan yang kita

harus keras sama anak, nggak boleh begitu-begitu. Kan ada yang

seperti itu. Nah itu tuuh harus diomongin. Sebenernya banyak banget

sih. oh, terus, masalah preferensi seks juga penting itu. Karena, orang

kan kesannya kadang tabu, ya, takut untuk diomongin. Nanti takut

kalo begini-begini. Ada juga mungkin yang eee biasanya tuuh yang

minder cewek-cewek. Kayak, eee kita nggak menutup bahwa

fenomena sekarang perilaku seksual sebelum menikah itu sudah

banyak. Ya itu banyak cewek-cewek yang minder, kayak, aduh, nanti

kalo misalnya suami ku tahu aku nggak perawan gimanaa ya? Jadi

tuuh takut diomongin. Terus akhirnya nanti ketika sudah menikah,

baru tahu, akhirnya malah bikin marah. Padahal kan sebenernya

lxiii

masalah perawan nggak perawan kan bukan sesuatu – kalo saya ya,

bukan sesuatu yang harusnya jadi masalah dalam pernikahan. Ketika

kita sayang – aku sih, menerima secara utuh maupun dia kondisinya

kayak begitu. Nah, laki-laki yang sayang kan juga nggak akan

mempermasalahkan hal itu. Masalahnya kan bukan cewek doang

yang melakukan perbuatan seksual di luar nikah. Kan yang cowok

juga. Cuman nggak ada bekasnya saja istilahnya begitu. Itu juga perlu

diomongin. Ya hal-hal yang sensitif-sensitif kayak begitu harus

diomongin. Terus juga kayak misalnya agama. Apakah nanti kalo

misalnya – karena kita misalnya agama sudah sama saja kadang tuuh

tetap ada perbedaan ya. Misalnya islam begitu, kan ada yang

mahzabnya beda. Itu harus make sure dulu itu. Kalo nggak nanti yang

satu NU, yang satu Muhamadiyyah. Ada saja yang bikin beda. Itu tuu

bisa jadi berantem. Karena orang tuu kalo sudah nikah, sumber

peliknya itu bukan sesuatu yang besar. Dan sumber perceraian itu

justru bukan sesuatu yang besar, loh. Bukan kayak masalah warisan,

masalah pelakor, begitu-begitu, bukan. Nggak tahu sih, ya, taoi

menurut saya fenomenanya, base on science nya itu kayak, justru

lebih sering orang memutuskan bercerai karena hal-hal kecil yang

nggak diomongin. Misalnya, perbedaan perilaku, perbedaan habit.

Dia (suami) tidurnya ngorok, nggak suka suami tidur ngorok. Yang

kayak begitu-begitu lah. Hal-hal kecil tapi nggak diobrolin. (Scha)

3. Untuk ngomongin pekerjaan sendiri di awal sih enggak. Karena

memang dia tahu dari awal kalo aku ini sekarang eee ya seorang aku

yang ini saja (dosen). Jadi, dia sih, tahu ya profesi seorang dosen itu

tuh, apa namanya nggak mudah gituu ya. Jadi sudah tahu dari awal.

Dan nggak ada pembicaraan. mungkin ada (pembicaraan) kalau bisa

sih pekerjaannya deket dari rumah itu saja. cari kampus yang dekat

rumah yang ditempatin gitukan ya. Kalo sekarang kan kita di rumah

mertua di Depok. Berarti cari kampus yang dekat-dekat sini. Biar

lebih deket ke rumah. Biar nggak capek. kan ada anak yang diurus

dan segala macam itu kan. Itu saja sih. Jadi enggak ada pembicaraan

secara khusus di awal, nggak ada. Karena memang taunya dari awal

akunya pekerja, tapi bukan pekerjaan yang di kantoran. Maksudnya

yang biasa gituu ya. Kan heeh, rintisan awalnya itukan pelan-pelan

gitukan. Dan itu sama suami sih diterima. Cuma masalah tempatnya

saja palingan. Suami maunya kalo bisa kerja yang deket-deket rumah

saja. (Indah)

Apa perbedaan yang Anda rasakan sebelum dan sesudah menikah?

1. ya apa ya, kalo sebelum nikah ya mikirin diri sendiri. Kalo misalnya,

sebagai perempuan ya kalo sudah menikah, sebagai perempuan ada

pikiran tambahan. Pikiran tambahan melayani suami, eee dalam

bentuk entah itu seksual atau entah itu untuk makanan, entah itu

dalam hal eee apa ya namanya, kewajiban, kayak pekerjaan rumah

tangga, kayak begitu. Which is, bebannya jadi bertambah. Kalo dulu

kan mikirin diri sendiri, semua dipenuhi orang tua. Kalo yang

lxiv

sekarang ya beban itu sudah di diri sendiri akibat konsekuensi

menikah. (Karina)

2. eeee apa ya, bedanya itu tadi, yang hingar bingar kehidupan

(misalnya) party, begitu-begitu itu enggak. Jadi, hidup sebelum

menikah dan setelah menikah itu rasanya nggak jauh berbeda karena

saya juga merasa nggak terlalu banyak part of my life yang berubah

setelah menikah. Paling, tentu saja ada penyesuaian ya. Namanya juga

menikah, beda status. Jadi semakin ada peran istri. Sekarang sudah

punya suami, sudah punya tanggung jawab lebih. Punya jawab-

tanggung jawab yang memang harus ditunaikan, kayak begitu.

Cuman kalo yang habis nikah itu gabisa pergi kemana-mana, gabisa

main sama teman, kehilangan kehidupan itu nggak sih kalo saya.

Cuma kalo saya tipenya kebetulan yang eee sukanya itu, me timenya

itu sendirian, begitu kan ya. Jadi itu, sometimes kalo misalnya sudah

capek banget sama kerjaan, lagi banyak, entah lagi banyak presure,

atua kayak apa-apa. Jadi, sometimes itu, eee jadi ketika suami saya

pergi, gitukan, pergi main atau kemana, saya malah (itu waktunya)

saya me time, saya bisa di rumah sendirian nggak ngapa-ngapain atau

bersih-bersih rumah. Itu kerasa banget sih. jadi kayak butuh lebih

banyak space untuk diri sendiri. Kan kalo masih hidup sendiri, ya

bebas. Tapikan kalo menikah, kita gabisa kayak begitu. Aduh, aku

mau sendiri ini, jangan ganggu ya. Kan gabisa kayak begitu. Bisa sih,

cuman kan harus disampaikan dengan cara yang tidak menyinggung

pasangan. (Scha)

3. mmm banyak yaa. Yang pasti, mungkin dulu sifat keibuannya kurang

sekarang jadi belajar ya ternyata punya anak sendiri itu mesti begini

begini begini. Sama halnya juga jadi istri. Harus bisa membagi waktu

lah. Jadi istri, jadi ibu, jadi mantu, jadi adik ipar. Terus eee apa ya,

lebih bisa mengendalikan emosi dan lebih bersabar, gitusih. Dan bisa

apa ya, eee cari banyak pahala ya setelah menikah. Dan itu sih, lebih

memanfaatkan waktu saja. beda sama waktu masih sendiri.

oh me time. Menurutku ya, mungkin semua orang akan mengalami

hal itu ya. waktu untuk mereka sendiri akan berkurang. Pasti ada.

Tapikan di balik itu semua, sebelum kita menikah, ya secara ininya

ya, seharusnya buat kita yang sudah siap menikah ya harusnya sudah

siap nerima risiko dan harus bertanggung jawab. Tapi, kalopun

memang butuh, ya mungkin me time nya bisa, ya menurut aku sih

mungkin bisa dengan bermain sama anak atau ngobrol dengan suami.

Atua mungkin kemana kemana begitu. Ya mungkin itu bisa sedikit

ngurangin rasa sedihnya kita lah. Dulu kan bisa begini begini begini.

Terus sekarang sudah nggak bisa lagi. Bukan nggak bisa sih, tapi agak

susah saja sebenernya. Ya itu tadi kata aku, mungkin rasa sedihnya

bisa hilang dengan cara kita main sama anak atau banyak ngobrol

sama suami. (Ayu)

lxv

Bagaimana Anda mendiskusikan dengan pasangan terkait Anda

yang tetap berkarir setelah menikah?

1. eee ini nggak terlalu sulit sebenernya dilakukan kalau di rumah tangga

aku ya. karena suami itu tipikal keluarganya bekerja semua. Jadi,

justru mereka akan aneh kalo nggak bekerja (tertawa). Perempuan-

perempuannya begitu ya, kebetulan juga pekerja. Ibu mertuaku juga

pekerja tpi sudah pensiun. Aku juga punya ipar perempuan, pekerja.

Jadi lingkungan sekitar itu bekerja semua. Justru dipihak keluarga aku

ini (yang tidak bekerja) ya, adekku udah menikah justru enggak kerja,

begitu. Jadi enggak terlalu sulit sih. (Indah)

2. oke, sejak sebelum menikah kita sudah ngobrol soalnya. Jadi, ini

bekal buat cewek-cewek ya, kalo memang seandainya mau menikah,

eee dan mau bekerja setelah menikah, baiknya diomongin. Jadi, kalo

mau apa-apa itu sebelum menikah itu diomongin semua sama

calonnya. Jadi, biar nggak kaget pas nikah. Saya dulu pas punya

pacar, eee pas dulu sebelum nikah sama suami, saya bilang, aku nanti

pokoknya kalo nikah aku tetap pengen bekerja. Tapi atas keinginanku

sendiri. Bukan karena dipaksa atau apa. Ntar kalo aku pengen kerja

boleh ya kerja. Tapi kalo aku capek, aku berhenti juga gapapa ya. Dan

suami (tanggapannya) yauda terserah kamu saja. yang penting kamu

seneng, kayak begitu. Jadi ya diomongin saja sih. dan kebetulan,

valuenya kita nggak terlalu bertabrakan. Jadi, suami oke-oke saja.

mungkin kan ada, kalo suami-suami lain, mungkin kan nggak

ngebolehin gitukan. Itu akan susah sih cara ngomongnya. Nah, dan

saya sendiri kebetulan eee nggak mau yang – karena kan psikolog ya,

jadi, jadwalnya toh lebih fleksibel. Jadi, nggak yang dari pagi sampe

sore gituu nggak. (Scha)

3. jadi aku, mmm kita, sebelum menikah itu kan tukeran proposal ya.

Proposal taaruf, gituu. Dan disitu ada point-point, baik secara dunia

maupun secara agama begitu. Terus, eee jadi disitu ada komitmennya

juga dimana aku masih ada keinginan untuk tetap bekerja dan lain-

lain. Aku juga kasih alasan kenapa aku masih kepengen kerja. Ya

Alhamdulillahnya, sebelum menikah memang sudah ada komitmen.

Dan dia (suamiku) juga mengerti kali ya profesiku kan sama kayak

ibunya dulu. Dan, aku kerja juga nggak setiap hari juga. Aku disini

seminggu 2 kali atau 3 kali palingan.

Alhamdulillahnya enggak sih. dan suamiku juga ngedukung, support

aku juga. Karena mungkin juga dia ngerasa profesiku ini banyak

maslahatnya (manfaat) lah buat orang. Dan pekerjaan ini nggak bisa

digantikan dengan laki-laki juga. (Ayu)

lxvi

Transkrips Wawancara

1. Informan Yuniarti

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Jumat, 29 Oktober 2021

Nama : Yuniarti

Usia : 48 Tahun

Status Perkawinan : Sudah menikah

Usia Menikah : 30 Tahun

Pendidikan : S-2 Hukum

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga, Sekretaris DPRD Purbalingga

Domisili : Purbalingga, Jawa Tengah

P : Halo, Assalamu’alaikum

I : Ya, halo selamat pagi. Mbak siapa ini?

P : Dengan Agis, Bu.

I : oh, iya. Mbak Agis. gimana mbak Agis ada yang bisa saya bantu?

P : Ibu, sebelumnya terima kasih sudah mau jadi narasumber Agis

I : ya, oke..

P : iya tadi..

I : jangan grogi mbak, santai saja hahaha jangan gemetar-gemeteran gitu

(tertawa)

P : (tertawa) iya bentar ini, Bu. Saya gemeter banget hahaha

I : santai aja lagi, biasa aja (tertawa) kita ngobrol-ngobrol aja santai, enak

P : sebentar, Bu. saya ambil nafas dulu biar rileks hahaha

I : iya iya, tarik nafas, buang, tarik nafas lagi, buang lagi.. santai saja aku

nggak gigit kok (tertawa) santai saja mbak

P : (inhale exhale) oke, kita mulai ya, Bu.

P : dengan Ibu siapa?

I : Yuniarti

P : usia saat ini berapa, Bu?

I : aku berarti..aku kelahiran 73

P : 73... berarti sekarang 48 ya

I : 48 iya bener. 48 lebih lah. 48 setengah.

P : oh iya iya, 48 setengah. Saat ini domisilinya dimana, Bu?

I : saya domisilinya di Purbalingga, Jawa Tengah, mbak.

P : oh, memang dari lahir sampai sekarang disana atau gimana, Bu?

I : aku lahir aku numpang lahir di Jakarta. kebetulan ibuku asli Jakarta kalau

bapakku aslinya daerah Jawa Tengah. Asli Banyumas. Jadi, aku sama kakak-

kakakku berlima lahir di Jakarta semua. Tapi kebetulan ketika aku kecil, SD, kita

pindah ke Purwekerto tadinya mbak. Purwekerto inikan sebelahan dengan

Purbalingga, masih satu residence-an lah kalo jaman dulu. Jadi, aku SD SMA di

Purwekerto. Kalo tiga kakakku ada yang SMA disana (Jakarta) ada yang SMP

disana (Jakarta). kan kita berenam bersaudara. Terus adikku lahir di Purwekerto

tuh, jadi oleh-oleh (tertawa) kepindahan itu. Bapakku masih kerja di Jakarta, pulang

bolak-balik aja kayak gitu. Jadi kita sama Ibu di rumah, di Purwekerto, begitu.

lxvii

P : kalo boleh tahu Jakartanya dimana, Bu?

I : oh kalo Jakartanya rumahnya bapak sama ibuku itu di Kemayoran.

P : oh pusat ya

I : iya Jakarta Pusat, bener

P : ibu sendiri anak keberapa?

I : anak kelima dari enam bersaudara

P : wah sama kayak saya, Bu (tertawa)

I : sama ya mbak?

P : iya saya juga enam bersaudara dan saya anak kelima.

I : anak kelima iya iya

P : untuk saat ini ibu bekerja atau jadi ibu rumah tangga full time?

I : eeee... dulu iya, kayak gini. Aku dulu waktu jaman bujang eee kerja terus

ketika aku menikah eee lahir anak kesatu itu tahun 2000an terus anakku setahun

dua tahun, selama dua tahun itu aku titipin ke ibu sama kakakku kan. Kakakku

kebetulan anaknya cuma satu, kayak begitu, dan sudah gede. Karena kita belum

mapan lah, waktu itu suamiku masih baru lulus kuliah dan belum punya pekerjaan,

kayak gitu. Aku ya sudah kerja duluan kan. Terus akhirnya sama suami disuruh

resign. Kebetulan aku kerjanya di Semarang waktu itu. Jadi ketemuannya sama

suami 2 minggu sekali, sebulan sekali, kayak gitu. LDR lah kalo kata anak jaman

sekarang mah (tertawa) kalo dulu kan belum ada LDR istilahnya. Jadi, anak aku di

Purwekerto, aku di Semarang. Suamiku orang Solo kebetulan. Kita ketemu di

Semarang lah. Jadi ya itu, ketika suami sudah bisa ngontrak sendiri, dulu kan,

ngontraknya bareng-bareng sama teman-teman, terus bisa ngontrak sendiri, “mah,

kamu resign saja” kayak gitu. Yaudah, aku resign dan ngurusin anak full sampe

anakku TK. Ya ini saja, ngurus anak-anak (di rumah). Kemudian anak kesatu

keluar, kedua ketiga keluar. Kayak gitu.

P : sekarang berarti ini rumah sendiri ya, Bu? sudah rumah sendiri.

I : alhamdulillah sudah rumah sendiri.

P : ibu anaknya berapa?

I : 4. Anak saya ada 4.

P : usia paling tua dan mudanya berapa?

I : paling tua ini (tertawa) si Sasa, usianya sekarang 20, terus 15 mau ke 16

besok Januari baru 16 terus 14 sama 12.

P : 20, 16, 14, 12. Oke

P : kan, denger-denger dari Sasa nih, Sasa ya. Katanya Ibu nikah itu usia 30

tahun, bener, Bu?

I : iya heeh bener, bener.

P : alasannya kenapa, Bu?

I : alesannya? Karena teman-temennya sudah pada nikah semua (tertawa)

P : teman-teman ibu sudah pada nikah semua..(tertawa)

I : (tertawa) iyaa, jadi gini, ceritanya gini,

P : gimana-gimana tuh, Bu?

I : iyaa, jadi aku pas pulang kampung itu kan, ketika aku umur 29an mau ke

eehh 28an mau ke 29. Kayak gini, aku kan gak di rumah. Jadi, setelah aku lulus

SMA itu 6 bulan aku nganggur terus aku eee waktu itu kebetulan aku dapet, kalo

sekarang dapet undangan ya, kalo dulu PMDK waktu itu. Kebetulan bapakku kan

lxviii

pensiunan. Nah ketikaa aku dapet PMDK kayak begitu, di Jogja. Nah, bapakku

bilang, bapak adil sama semua anak-anak bapak, kayak begitu. Adil dalam maksud

artian bapak tuh, bapak gabisa sekolahin salah satu lebih tinggi dari yang lain, kayak

begitu. Jadi semua SMA semua. Kalo kamu mau kuliah, kamu pake uang kamu

sendiri, kayak begitu. Wah padahal tinggal cari kos-kosan doang kan, sekolah gak

bayar waktu itu kan. Jujur, waktu itu aku rada-rada, orang tua gue gimana sih, kayak

begitu. Aku jujur marah ya. Ketika aku bisa kayak begitu (ada kesempatan kuliah)

orang tua gak mendukung. Tapi ada alasan orang tua yang kemudian aku maklumin.

Yasudah, kalo memang orang tua ku adil menurut orang tua ku seperti itu, yasudah.

Waktu itu aku keluar dari rumah, terus aku itu kerja. Cuma ibuku bilang, kamu,

kalo mau kuliah, kamu bisa kuliah dengan uang kamu sendiri. Jadi aku keluar dari

rumah, terus aku jadi pelayan toko, pelayan restoran. Pokoknya semua pekerjaan

yang bisa...aku tipenya pembosan. Tapi bukan pembosan dalam artian apa-apa, aku

gak betah kerja. Bukan itu. Kalo aku kerja di suatu tempat, ketika aku ada prestasi

dan aku gak dikasih reward, kayak begitu kan, sama majikan atau sama si owner

kayak begitu sudah tahunan (kerja) aku langsung keluar. Aku nggak apply dulu,

enggak. Aku langsung saja keluar. Aku orangnya tipe gambling. Yasudah, hadapi

saja yang di depan. Ada apa, apa, apa langsung hajar saja. Tipenya aku seperti itu.

Aku pernah bekerja di Perhotelan. Jadi suatu saat, aku apply di lowongan pekerjaan.

Jam setengah 12 malem aku denger ada lowongan pekerjaan seperti itu, aku

masukin. Dan aku betah sampe 5 setengah tahun. itu di dunia perhotelan ya. Jadi

aku memang tidak pernah, gara-garanya aku tidak pernah di rumah. Bekerja terus.

Kepengen aktualisasi diri. Jati diri jaman dulu kan kayak begitu lah ya. Anak-anak

umur segitu kayak begitu kan. Aktualisasi dirinya seperti apa, jati diriku seperti apa,

apa. Aku ingin meraih cita-cita. Anak lain masih bisa dibiayain orang tua, aku

enggak. Dan aku nggak menyesali itu. Karena memang, yasudah, keterbatasan

orang tua. Aku cuma bisa diwarisin cuma bisa sekolah sampe SMA, yasudah. Nah,

supaya sukses gimana? Aku mengusahakan apa yang sudah aku raih itu, ilmu-ilmu

itu, ya aku jalanin, kayak begitu. Nah, disetiap kesempatan aku kerja itu, aku juga

masih penasaran kuliah kayak apasih...? dan aku mencoba kuliah. Nah, ternyata,

kita kan gabisa manajemen waktu. Aku minta ganti shift, aku jadinya shift siang-

malem. Karena pagi aku kuliah dari jam 7 sampe jam 4. Ternyata itu gabisa. Aku

cuma kuliah satu setengah tahun saja waktu itu. Satu, karena eee salary aku cuma

buat bayar semesteran, bayar angkot, kayak begitu-begitu kan, terus bayar makan,

bayar kos. Itukan aku manage sendiri semuanya. Jadi, ah, mendingan enak kerja

deh dari pada kuliah. Yang penting aku sudah merasakan kuliah itu kayak apa. Oh

kuliah kayak gini, oh ngerjain tugas kayak gini. Sudah, itu doang sih. Aku enggak

ngejar title sih sama sekali. Cuma penasaran saja. Oh, aku sudah merasakan kuliah

nih, sudah.

Nah, itu kan aku kerja 5 setengah tahun di dunia perhotelan kan. Aku sama sekali

0 di dunia perhotelan. Tapi aku terus belajar, belajar, belajar sambil jalan kan. Learn

by working kayak begitu kalo orang sekarang bilang (tertawa). Sampe akhirnya aku

merasa kok stuck ya, kayak begitu, tidak ada perkembangan, tidak ada yang bisa

memacu diriku untuk lebih baik, kayak begitu. Cuma kayak begitu-begitu saja. Yaa,

ada ilmu yang bertambah, aku bisa les bahasa belanda lah. Kebetulan kan tamu-

tamunya bule. Aku bisa conversation misalnya inggrisnya lebih bagus, aku bisa ada

lxix

pengetahuan dibahasa belanda. Aku les sendiri, kayak gitukan. Ada sih nilai sisi

positifnya, aku juga bisa ngerti table manner, aku bisa ngerti planner misalnya

kayak wedding organizer kayak begitu. Kan kita harus bisa seperti itu ya. Ada ilmu-

ilmu yang memang aku pelajari ketika bekerja dan aku ambil itu sebagai

pembelajaran buat aku kedepannya. Aku cuma kayak begitu. Aku curi ilmunya deh.

nah, setelah itu, karena stuck dan tidak ada masa depan yang... aku keluar. Aku

sengaja keluar dan belum apply kemanapun. Di rumah satu minggu, duit

tabunganku habis. Akhirnya aku apply terus aku diterima di sebuah networking

broadcast. Nah, kebetulan, aku suaraku gak bagus sebenernnya waktu itu tapi aku

3 bulan training itu cuma bikin drama-drama saja. Ini aku cerita saja ya, biar paham.

Aku (buat) drama-drama radio, terus aku belajar bagaimana program radio itu

seperti apa, kayak begitu. Aku senengnya di belakang layar, aku gak demen show

off gituloh. Oh, ini si Yuni, enggak. Aku demennya eee apa yang aku kerjakan di

belakang layar bisa berhasil dibawakan sama teman-teman, kita kan team work.

Jadi aku mensupport yang di depan layar. Tapi, ternyata ada bosku eee program

directorku minta aku ke level yang, tadinya aku di radio AM dipindah ke radio FM.

aku ditawari mau pindah ga, pindah kemana mas?, pindah ke yang lebih

menjanjikan buat kamu. Ya aku okedeh. Aku gatau dimana tempatnya. Pokoknya

aku itu tipe orang yang disuruh pindah ya hayuk saja, disuruh perang juga ya hayuk

(tertawa). Dimana juga gue kagak tahu. Hajar saja yang penting mah. jadi aku

dipindahin ke tempat radio yang memang ternyata masih baru, bener-bener baru.

Jadi dari 0 aku belajar itu. Nah, aku liat ternyata eeee broadcast itu itu

networkingnya luar biasa, seJawa Tengah, dia punya 61 station radio. Jadi aku wah,

ini kesempatan buat aku belajar. Jadi aku itu disuruh apaaa saja, demen saja. Jadi,

selama 7 tahun lebih aku di broadcast. Saking asiknya kalo di dunia broadcast inilah

yang membuat aku gak kepikiran buat pacaran, enggak. Apalagi menikah juga

enggak. Saking asiknya. Kita kumpul sama teman-teman eee di dunia broadcast

kayak begitu jadi reporter, pencari berita. Aku juga pernah ikut pelatihan jadi

jurnalistik. Selama satu tahun aku ambil kursus itu terus cari-cari berita kaya begitu

seneng saja. Oh, ternyata aku bisa liat dunia luar. Terus eee musik-musik terbaru,

ketemu artis-artis juga. Yasudah aku gausah kemana-mana deh. gausah ikut konser,

aku bisa ketemu artisnya langsung. Ketemu yovie nuno, iis dahlia, semuanya juga

ada (tertawa) sudah di radio itu saja. Terus aku bisa di program itu, orang-orang,

fans-fans aku, pendengar-pendengar aku. Terus aku punya jatah eee siaran sendiri

yang disitu tempatnya curhatnya anak abg. Sebenernya aku bukan psikolog ya,

cuma mungkin aku jadi pendengar yang baik pada waktu itu kali ya. Jadi banyak

orang yang curhat di acara aku, acara aku jadi booming waktu itu. Ya sekarang jadi

apa eee apa sih kalo dulu jadi prime time. Acaranya aku jadi prime time dan itu

mendatangkan iklan-iklan yang banyak. Tapi aku sebel juga, karena aku jadi gada

kesempatan ngomong disitu, cuma muter iklaaan terus ntar lagu, kepotong terus

kayak begitu. Aku gak seneng juga (tertawa) aku jadi gabisa menjual apa yang aku

punya kan. Gabisa ngomong banyak. Jadi, akhirnya aku memutuskan

mengundurkan diri jadi announcer, jadi reporter juga aku mengundurkan diri. Tapi

sama ownerku yang di pusat, aku ditolak. (dan ditawari) sudah kamu pindah saja

ke marketing. Jadi aku pindah ke marketing area, di dua station di Semarang. Kalo

dulu aku jadi program director, aku melalui proses juga, 11 bulan aku jadi penyiar

lxx

di radio FM, 3 bulan di radio AM kan pertama, di desa terus pindah ke FM yang

ada di kota. Terus, 11 bulan berikutnya aku di pindah lagi di kota besar, ya itu

Semarang. Terus aku mengikuti pelatihan, pelatihan, pelatihan, setelah itu satu

setengah tahun berikutnya aku diangkat sebagai program director. Jadi aku bisa

keliling dari satu radio ke radio yang lain ketika ada radio yang memang sdm nya

perlu diperbaharui atau perlu dijinakkan biasanya aku diturunkan disitu, di daerah-

daerah sangarlah. Daerah-daerah keras. Kalo radionya dirasa sudah lumayan bisa

berjalan dan suasana kondusif, aku dipindahin lagi ke daerah yang enggak kondusif.

Aku juga dari dulu gatau kenapa aku begitu. Aku selalu dipindahin ke daerah-

daerah yang penuh apa eee konflik. Jadi aku itu kerjanya jadi ngadem-ngademin

orang, terus kalo iklan radionya gak banyak aku diturunin (dipindah) ke daerah situ

supaya ada iklan yang masuk. Ini salah dimana, jadi, aku itu menguuuulik ini radio

kenapa nggak laku ya padahal acaranya bagus, kayak begitu. Itu yang ditugasin

manajemen sama aku seperti itu selama 11 tahun di radio. Asyik sih. Jadi saking

asiknya bekerja. Kalo salary kayak begitu kecillah dulu di radio. Cuma karena aku

ketemu dengan orang-orang yang baru, orang-orang yang punya masalah, orang-

orang yang percaya sama aku jadi buat aku enjoy di dunia broadcast, di dunia

marketing juga. Di radio, periklanan, dulu kan booming. Kalo sekarang duh, susah

deh iklannya, kasian teman-temenku yang masih ada di sana. Jadi sekarang ya

karena nyaman bekerja, enjoy, yasudah aku gak kepikiran untuk cari-cari pasangan.

Semua bertemen enak saja, orang aku bertemen sama siapa saja enak. Kayak begitu

loh. Jadi yasudah.

Nah, akhirnya timbul ketika mau menikah itu ketika pulang ke rumah, mudikkan.

Ternyata teman-temenku itu, sudah pada menikah (tertawa). Ternyata di kampung

tinggal aku doang yang seangkatan aku belum (menikah). (di kampung) aku ketemu

teman geh, loh, sudah nikah, sudah bawa anak, malah ada temenku yang sudah bisa

nyunatin anaknya, aku diundang buset anaknya sudah gede banget (tertawa). Aku

itung-itung kan geh, oh, dia kawin ketika misalnya SMP apa lulus SMA, kayak

gituloh. Tapi aku sih nggak ngaruh kayak gitumah. Jujur saja, kalo mungkin aku di

rumah ibuku saja, di desa kayak begitu, mungkin persepsi orang aku ini perawan

tua dan lain-lain ya. Tapi ketika kita hidup di kota, ketemu dengan teman-teman

yang sefrekuensi sama kita, aaa bodo amat kita mau punya cowok kek enggak kek

emang gue pikirin. Yaudahlah itu urusannya masing-masing, ngapain kek, kayak

begitu. Untungnya aku nggak di rumah ibukku. Palingan yang disasarin ibuku, loh

itu loh kok anaknya belum menikah, kayak gitukan palingan (tertawa). Aku kan

punya kakak cowok tiga, belum menikah juga (pada saat itu) mereka kan. Jadi, satu,

aku nungguin eee di atas aku kan 4. Kakak aku yang perama sudah menikah, terus,

3 cowok nih, belum menikah juga. Mereka belum pada bisa berkomitmen lah

intinya, karena pekerjaan juga belum mapan apalagi cowokkan. Nah, aku kan

tunggu kakakku kan, eee istilahnya sopan santunya kayak begitu. Loh, kakakku saja

belum menikah, alesan yang klise sebenernya, mereka saja belum, masa aku mau

nyalip. Meskipun kakakku bilang, sudah lo nyalip gue saja gapapa. Mbok ya masa

aku nyalip tiga orang hahaha enggak enak bener. Selain itu juga karena memang

belum ada pasangannya jadi yasudah (tertawa). Kakakku juga yang tiga ini kayak

yang terserah mau kawin mau enggak ya silahkan, namanya juga anak laki. Tapikan

kalo perempuan mereka juga mikirin juga, kasian akunya kali ya. Mereka juga

lxxi

gapapa aku nyalip gausah dikasih apa-apa begitu. Kan kalo di Jawa ada pelangkah,

nah, mereka gak minta itu sih. Terus aku mikir ya gak masalah (tidak menikah)

nanti kalo tiba saatnya aku nikah ya bakalan nikah juga kok. Kalo aku ketemu jodoh

yang satu frekuensi ya menikah. Tapi terlepas dari itu semua karena kita enjoy

bekerja, karena kita punya tujuan-tujuan prioritas sukses itu seperti apasih. Aku

belum bisa, sebenernya belum bisa beli apa-apa cuman kenyamanan hati

kenyamanan hidup ketika aku enjoy dengan pekerjaanku, ketemu dengan orang-

orang yang baru, itulah yang kadang melupakan kebutuhan aku untuk menikah,

kayak begitu. Nggak kepikiran saja. Kerjaanku banyak. Besok ketemu lagi harus

tanggung jawab atas ini atas itu. Seperti itu mbak.

P : kalo dihitung-hitung berarti ya, Ibu itu bekerja hampir 17 tahun lebih ya

I : ya 17 18 lah mbak. Aku lulus sekolah 17 tahun.

P : iya perhotelan 5 setengah tahun, dan broadcast 11 tahun. apasih bu, yang

Ibu cari dari bekerja sepanjang rentang waktu tersebut? Apalagi ibu juga single,

tidak ada pasangan dan ibu bekerja, yang ibu cari itu apa?

I : yang aku cari? Duitlah (tertawa)

P : aduh iya sih bener ya duit (tertawa) maksudnya, selain duit begitu bu ada

ga selain kenyamanan juga. Kayak misalnya ibu punya tujuan, oh gue harus

menduduki posisi ini posisi itu.

I : oh enggak, kalo aku orangnya nothing to lose sih mbak. Satu itu. Kedua,

aku cuman pengen belajar saja. Waktu itu tuh, aku cita-citanya Cuma 2 doang loh

mbak. Aku cuman pengen ke tanah arab sama ke belanda (tertawa).

P : apatuh, dorongan untuk pergi ke belanda itu apa?

I : ya itu, ke arab karena orang muslim. Kalo ke belandanya karena aku pas

di hotel ketemu sama orang belanda (tertawa),kebetulan mereka dua hari stay kan,

nginep, staynya di hotelku. Terus ada orang belanda yang seneng sama aku

(tertawa) dia dateng lagi terus bilang aku jauh dari belanda buat temuin kamu disini,

cielah (tertawa). Hahaha itu jamannya aku muda ya. Jadi, cita-citanya cuman 2 saja,

jalan hidup aku ingin ke tanah arab entah umroh atau haji smaa ke belanda. Ke

belandanya juga gatau mau kemana, tujuannya gak jelas. Apa gara-gara belanda itu

nenek moyangnya aku, kayak begitu sebagai penjajah, atau gara-gara tamuku itu

(tertawa). Ini cita-cita absurd ya, maksudnya, aku kerja itu, satu, karena ingin

aktualisasi diri. Aku gak kepengen kayak kakak-kakak aku. Intinya, di rumah itu,

kakakku laki-laki tiga, tapi tuh, mboen, tahu mboen nggak mbak? Maksudnya, anak

mami gitulah hahahaha. Aku gamau jauh-jauh kerja dari ibu, kayak begitu

hahahaha. Jadi aku mikir ih ngapain sih anak laki, anak laki kan langkahnya

panjang. Kalo perempuan kan enggak. Waktu itu loh ya. Aku nggak berpikir

kesetaraan gender ya. Belum ada istilah itu ya. Adanya paling emansipasi kartini,

kayak gitukan semua bisa diiniin sama perempuan sama laki sama. Cuman karena

aku liat keluargaku saja, ih aku sebel sama kakakku deh, masa kok anak laki mbok

mboken. Gak bisa lepas dari pantat mamaknya masak kayak begitu. Kalo tiduran

mesti bareng sama ibuku. Aku jadi jijik kayak gtiuloh. Maksudnya kayak, ih

ngapain gituloh, sudah jauh-jauh kerja, malah hiks aku gabisa kerja disini bu, aku

kerja disini saja ya bu (yang dekat dengan rumah ibu). Aku jadi kayak, idih? Ilfeel

banget. Salah satu alasanku keluar dari rumah ya karena itu. Males saja di rumah,

aku gabisa berkembang kalo aku di rumah saja. udah, aku keluar rumah. Aktualisasi

lxxii

diri sih, sebenernya. Kalo aku kayak gini, gimana aku bisa berkembang? Secara,

satu, pikirannya pasti njedel – bulet disitu saja, lagian juga aku gak kuliah, gak

ketemu orang-orang. coba aku kuliah, keluar.

Ketika aku keluar, segala permasalahan hidup aku hadapi sendiri. Aku tipe orang

yang tidak mengeluh sama orang tua. Aku punya duit apa nggak punya duit, aku

diem. Kalo aku punya duit lebih, aku kirimin ke bapak sama ibu. Terus aku juga

gak mau ngomongin kesusahannya aku. Aku taunya itu, kalo bapak ibuku bahagia.

Aku hidup baik-baik saja. bapakku juga kayak gini, bapakku pernah ngomong,

“ketika kamu sudah keluar dari rumah ini, kamu balik kesini, apa kamu balik lagi

ke kosan kamu, berarti kamu cukup uang.” Itu bapak aku, keras kan. Tapi, ketika

sekarang, aku liat di luar negeri, umur 18 kayak gitukan sudah keluar dari rumah

ya. Mereka pendidikannya kayak gitukan. Aku baca, suka juga liat-liat film kayak

begitu, oh, ternyata tuh, bapakku nggak keras-keras amat kok kayak tipe orang-

orang luar negeri begitu (tertawa). Pikiranku ya kayak begitu saja. sudah, aku 18

tahun itu ya, mengembara kemana pun, kaki aku melangkah dimana ada rejeki ya

itu. Jadi konsekuensinya aku ya tetap aku tanggung sendiri. Bertanggung jawab

sama diri kamu sendiri.

P : ketika Ibu memutuskan untuk keluar dari rumah, berarti Ibu memang

sudah tahu konsekuensi atau bahaya di luar dan Ibu siap menghadapinya?

I : betul, betul. Oh, iya, iya. Harus siap. Siap nggak siap harus siap.

P : ada pikiran ini nggak sih, Bu. pas Ibu milih keluar dari rumah tuh, Ibu

berpikir eee ih, gue perempuan, gitu, gimana ya nanti nasib ke depannya, karena

kan Ibu jauh dari keluarga, orang tua, kakak dan adik?

I : oh, aku enggak pernah pikirin. ngapain, kakak gue saja nggak mikirin gue

(tertawa). Kayak gini, aku cuman pesen sama ibuku, “Bu, jangan pernah mikirin

aku, Ibu doa saja”. kalo bapakku sudah ngelepasin aku, sudah. Bapakku cuman

pesen, “kamu, tanggung jawab sama dirimu sendiri. Yang nyatet Gusti Allah”

kayak begitu, “di pundakmu ada ayah sama ibumu”, sudah begitu doang. Jadi ketika

aku melakukan kesalahan atau apa, gue inget muka mak bapak gue lah, mbak.

Ketika aku ingin pacaran pun, temenku, di kota besar otomatis kan sudah aneh-aneh

ya jaman dulu ya. Kalo dulu ada istilah ayam kampus, apa apa apa kayak begitu.

Radioku kan radio terkenal banyak mahasiswa juga kayak begitu, rata-rata anak

fakultas undip lah, stikuba, kalo di Semarang kayak begitu, anak-anak kuliahanlah

intinya. Jadi, pergaulan bebas kayak begitu sudah ada dari jaman dulu. Teman kos

ku juga, ada yang pergaulan bebas kayak begitu. Aku yaudah masing-masing saja.

kita tahu ya lo seperti itu, ya monggo. Saya juga gak tertarik untuk mencampuri

urusan orang lain. Aku biasanya yang sering dicurhatin, dia abis melakukan apa,

kayak gitukan. Kan biasa tuh, kalo sudah kayak begitu galau-galau,”mbak aku mau

curhat~”, dikira gue paling tua sendiri kaleee ya (tertawa). Yaudah aku dengerin.

Ternyata, ketika, kan cewek-cewek tuh, ada yang beda agama, ada yang beda

seperti ini, seperti itu, ada yang ayam kampus, kayak gitukan. Terselip-terselip

kayak gitukan.

Aku jadinya kan gini, oh, ya, ya, cari pasangan itu tidak semudah apa yang menjadi

impian kita. Kayak misalnya, aku nih, kepengen cowok yang jadi suamiku tuh,

begini begini begini. Itu gabisa. Bagus-bagusnya ya pas lagi pacaran saja, tapi

ketika menikah, semua ininya, semuaaaa eeee semuanya keliatam semuanya kan

lxxiii

jelek-jelenya. Akhirnya aku, ketika ada cowok yang seneng sama aku, malah aku

yang diputusin, 2 minggu doang pacaran aku diputusin (tertawa). Aku pernah,

pernah beneran, pacraan 2 minggu doang. Pdktnya 2 bulan,

P : pacarannya 2 minggu, putus (tertawa)

I : 2 minggunya, cukup sampai disini, ini apaan? Buset gue diputusin.

Sumpah beneran, anakku juga suka ketawa ngekek, mama masa pacaran cuma 2

minggu doang diputusin lagi (tetawa). Iye emang dikasih jam terus gue diputusin

(tertawa). Jadi ya mengalir saja, ketika jodoh, rejeki, maut itu yang ngatur Tuhan.

Ya aku sudah slow saja begitu. Terus misalnya ada yang seneng sama aku, aku

langsung bilang, “mau kawin sama gua nggak?” kayak begitu saja mbak.

P : tapi dari pengalaman ibu pacaran yang 2 minggu itu bikin ibu itu gak sih,

bu, trauma untuk kedepannya lagi buat deket sama cowok lagi?

I : oh! Kaga! Saya mah diputusin cari lagi (tertawa)

P : iya berarti nggak ambil pusing ya bu hahaha

I : kayak gini ajadeh, kalo aku kayak gini, eee diputusin yaudahlah. ngapain?

Berartikan memang dia bukan buat kita. Kita obral saja, misalnya lagi siaran nih,

ada bapak-bapak ibu-ibu nih ya minta lagu-lagu lama, iya nih bu, saya jomblo

tolongin dong, ada anaknya nggak (tertawa) sudah diobral tuh sampe segitunya di

radio, mbak, tetap saja nggak dateng-dateng tuh jodoh saya. Coba, iyakan, kalo

belum waktunya kan susah,

P : iya susah ya, bener-bener

I : makanya kan. Mungkin, menurut Tuhan ada orang yang terbaik yang akan

dateng, kayak begitu ajasih, mbak.

P : sebenernya dari dalam diri ibu sendiri, untuk memutuskan menikah di usia

30an itu, sebenernya nggak direncanakan ya bu?

I : ya kagak lah

P : itu karena pengaruh lingkungan kerja saja yang emnag bikin ibu nyaman..

I : iya, kebetulan teman-teman saya itu ya semuanya cewek-cewek kan, juga

orangnya asyik-asyik, nggak punya pasangan, kalo sekarang (istilah) jomblo ya,

kalo dulu enggak, enggak ini, dulu apaan sih ya, eee ya nggak punya pacar lah ya,

ya asyik-asyik saja. karena kita sudah, eee, sama tugas-tugas kantor tuh, lumayan

berat. Bagaimana kita naikin rating radio kita, bagaimana ada kegiatan off air sama

artis-artis. Ya sudah padet, mbak, kegiatannya.

P: iya kayak istilahnya tuh, pekerjaan gue sudah ribet ngapain mikirin hal-hal kayak

begitu (romansa)

I : ribet!! ngapain amat ngurusin cowok yang ribet-ribet. “say, sudah solat,

sudah makan?” itu kayak, ih, lima kali sehari. Gue bilang gini, buset gue bangun

saja ditelfonin, “sudah solah subuh sayang?” gue bilang, “buset sudah gue baru

bangun, baru selesai siaran jam 2 pagi. Masih ngantuklah, solat entar dulu”.

P : tapi ibu sendiri pernah gak sih tiba-tiba lagi ngerjain sesuatu, terus

kepikiran, kayak ada rasa khawatir, gue nanti bakal nikah gak ya? Jodoh gue seperti

apa? Pernah mnegalami kayak begitu gak bu?

I : bakalan nggak ada jodoh? Nggak sih. Aku nggak khawatir (tertawa)

P : dan dari orang tua ibu sendiri pun nggak ada dorongan, maksudnya

pembicaraan, kamu kapan nikah dan sebagainya?

I : oh tidak, tidak ada.

lxxiv

P : kakak pertama ibu berarti perempuan ya, bu?

I : iya perempuan

P : menikah usia berapa kakaknya?

I : mmmm 29an kayaknya

P : kalo orang tua ibu menikah usia berapa?

I : ooo, kalo ibuku umur 19 tahun, jaman dulu tuh, terus bapakku umur... beda

11 tahun lah sama ibuku. Bapakku beda 11 tahun sama ibu

P : oo okay, berarti bapak menikah usia 30 ya

I : iya bener bapakku menikah usia 30. Orang beda 11 tahun sama ibu.

P : kalo bisa disimpulin memang orang tua ibu sendiri pun pada jaman itu

menikah pada usia yang sudah cukup matang. Jaman dulu ya. Jaman dulu kan

kebanyakan orang menikah pada usia 12 tahun, 13 tahun, 9 tahun pun bahkan ada.

I: heeh, ibuku umur 19 tahun menikah. Ibuku anak pertama kebetulana, terus

bapakku anak kelima dari 11 bersaudara. Nah, bapakku kan dari dulu itu ikut eee

ikut tentara PETA. Yang pas jaman jepang-jepang itu, bapakku tuh mengalami itu.

Kayak begitu. Jalan kaki sampe Jakarta. jadi yaudah, pas mapan, ya baru menikah

sama ibuku dan bisa punya kontrakan, bapak baru menikah.

P : aku mau tahu itu dong bu, pola asuh orang tua ibu sama anak-anaknya

kayak gimana di rumah?

I : ooo itu

P : iya cara mereka mengasuh anak-anaknya bagaimana?

I : weeeeee keras banget! (tertawa) keras banget mbak. Jaman dulu, tahu

gesper nggak mbak? Sabuk yee. Ya itulah, sering disabet pake itu. Pokoknya mah

kalo sekarang mah kayaknya banyak deh orangtua masuk penjara.

P : pembagian kerja di rumah bagaimana bu? apakah sesuai dengan jenis

kelaminnya, misalnya si anak perempuan membantu urusan ibu, dan laki-laki

yaudah. Ada pembedaan ngga sih bu?

I : aaa betul. Kakak saya tuh, yang laki-laki. Semua sih, kalo ibu sama bapak

sih, kalo dulu kebetulan bapak kan di Jakarta dan kita hidup sama ibu nih, juah di

kampung. Kampunya masih kampung banget lah. Air sumur saja kita kuning, ya.

Gabisa buat makan minum kayak begitu lah ya. Jadi kita kan, ngambil tuh (Air)

yang jauh. Nah, itu semua kan dijadwal sama ibuku, hari ini si ini, hari itu si itu,

kayak gitukan. Tapi kadang, kakakku yang laki-laki ngaburkan, main kagak inget

waktu, maghrib baru pulang. Akhirnya gue juga yang kena. Perkara makan juga

adil, tempe 2 iris 2 iris semua kayak begitu. Semua sama. Tapi yang kerja aku

doang. Ya kalo aku sih gini, memang ada pembeda, anak kesayangan sama nggak.

Dulu aku sempet tanya sama ibuku sama bapakku bilang, “buk, pak, gue anak

pungut apa ya?” kayak begitu pernah. Itu satu, terus muka gue jelek sendiri

(tertawa). Jadi, ibu bapakku itu sayang sama kakakku yang pertama, kalo aku

wajarlah, anak pertama itu biasa luberan kasih sayangnya masih banyak ya kan,

anak pertama. Terus ibuku sayang sama anak laki-laki, karena anak kedua laki-laki,

sudah tuh, terus anak ketiga disayang sama bapak, karena anaknya penyakitan dari

kecil, akhirnya aku yaudaah. Aku juga suka tanya kan, bapakku kan sering

dongeng. Terus anak keempat, paling cakep sendiri tuh, kakakku yang laki

hidungnya mancung, kata ibuku pas ngidam, ibu ngidam Vanderbough,

tetangganya yang bule, kalo pagi ibu suka liatin idungnya mancung kayak

lxxv

perosotan. Ternyata kakakku hidungnya persis sama (mancung) putih, kayak

gitukan, kaya Vanderbough itu. Lah pas giliran gue, item mbak.

P : aduh, ibu maaf saya ketawa

I : ya gapapa mbak memang bener saya item. Aku kan sampe tanya sama

bapakku, “pak gue anak pungut ya pak?” gada yang sayang sama aku, beneran.

Orang ini ya, kakakku nilai rapotnya 5 4 kayak begitu gak dimarahin sama bapakku.

Tapi kalo aku rankingnya turun dari 3, aku di itu, disabetin pakai gesper. Aku juga

kan sering dikencingin sama bapakku. Bukan sering sih, tapi baru 3 kali, eh, 2 kali

dikencingin sama bapakku karena nilai raporku jelek. Aku juga diempos (dicubit).

Aku kan tomboy ya, jadi karena aku punya kakak laki-laki 3, otomatis aku mainnya

sama mereka. Main gundu lah main apalah kayak gitukan. Kakak aku nyolong

singkongnya orang, kakak aku gak ngaku, mana ibuku sudah rebus, ternyata

tetanggaku kehilangan singkong (tertawa). Hayo ini siapa yang nyuri, ibuku marah.

Kakakku 3 ngumpet di kamar terus aku dikunciin pintu. Akhirnya kakak aku ngaku,

buk, aku buk yang ngambil (singkong). Ibuku juga galak. Diempos kita biru-biru.

Wah, kalo bapakku lebih galak lagi, lebih galak sama aku sih.

Dulu kan rapor warnanya biru sama merah, nah kalo kakakku tuh warnanya merah-

merah semua. Birunya jarang. Jarang banget. Nah kalo aku itu enggak, enggak ada

merahnya sama sekali. Jadi ketika aku misalnya, bapak aku itu keras sama aku itu

kalo secara akademik.

P : hmmm

I : kalau aku nilaiku turun, biasanya bapakku langsung ngomel bla bla bla

kayak gitu, aku sering digebukin, ya dalam taraf, ya kalau dulu dalam wajar lah,

ibuku udah kecapekan ngurus anak-anak kan, bapakku kan gak seneng anak-

anaknya jajan, ibu setiap hari masak, gak ada pembantu kan, masak bikin cemilan

khusus kayak gitu, jadi kita gak pernah makan makanan dari luar, ibuku selalu

bilang cemilan apapun bentuknya kayak gitu kita buat sendiri kayak gitu. Terus

kalau masalah tugas-tugas memang sih kadang anak cowo suka-suka menghindar

dari tugas kayak gitu

P : suka di special kan gitu ya Bu?

I : bagian nyuci aku yang beresin sama (tidak terdengar jelas) bukan di

specialkan sih cuma mereka aja yang ngabur dari tanggung jawab

P : jadi itu dateng dari anaknya, sementara

I : dateng dari anaknya iya tapi kalau udah kepepet, misalnya kalau gak

dikasih makan sama ibuku mau aja dia ngaku lo gak dikasih makan ye dibilang gitu

sama ibu ku, yaudah baru deh dia ngaku apa dia iniin mau nyuci-nyuci gitu kan,

kalau dulu sih kalau makan misalnya kita yang udah bantuin ibu masak, misalnya

yang laki-laki nyuci piring gitu udah terorganisir gitu

P : berarti termasuk pembagian perannya di keluarga ibu itu adil?

I : adil-adil anaknya aja

P : anaknya aja yang kurang bertanggung jawab gitu ya bu?

I : betul eh iya hahaha

P : bagus bagus aku kira sebagian banyaknya keluarga itu kan mereka selalu

banyaknya menspesialkan laki-laki bu, jadinya asumsiku gini oh mungkin ibu itu

memutuskan kuliah itu juga memutuskan keluar dari rumah karna alasan di rumah

lxxvi

terkekang maksudnya ngeliat pola asuh keluarga yang mungkin kurang cocok

ternyata saya salah haha adil adil

I : aku keluar rumah karena memang aku tu kepengen, gua pengen sukses

dibanding kakak-kakak gua

P : pengen mengaktualisasikan

I : kakak-kakak gua kan anak mami semua, jadi aktualisasi diri itu aja

kepengen temenku kan abis kuliah nih dibiyain orang tua nih, ibuku kadang suka

"Yun, uang semester (kata selanjutnya tidak jelas menit 43.51)" "ibu gak usah

mikirin uang semester kuliah" ibu arisan suka pamer (gak ada suaranya lagi menit

44.01)

P : ibu waktu itu kuliah jurusannya apa bu (menyambungkan menit 44.08)

maaf bu reconecting nih putus-putus lagi

I : (kresek-kresek gak jelas menit 44.24) hallo mbak iya denger gak

P : iya denger, maaf ni kayaknya daritadi reconecting terus, ibu kalau boleh

tau jurusan kuliahnya waktu itu apa bu?

I : aku ambil pas aku kerja ya, aku kerja sekitar tahun 90an, berarti aku 95,

berarti 93an, 93an kira kira gitu duit udah ada lah ya aku ambil management

perkantoran, udah kan cuma 1.5 tahunan itu, udah terus aku, ketika aku menikah

aku kuliah lagi

P : oh iya kuliah lagi?

I : iya ketika aku udah menikah aku kuliah lagi dibayarin laki gua dah

P : jurusannya masih sama? Management perkantoran?

I : gak gak

P : apa?

I : aku ambil hukum

P : ih ibu positif vibe sekali

I : ambil hukum terus aku kerja kan itu dulu, terus aku kerja aku bisa, aku

disuruh kerja sama suamiku, terus aku ambil S2 magister ambilnya hukum bisnis,

kalau hukum yang pertama hukum perdata, yang itu hukum bisnis karena aku dan

suami kan buka usaha sendiri gitu tapi waktu itu aku cuma sampe proposal tesis

deh, aku gak lanjutin sampe ditelfon-telfon sama dosen besarnya, karena ada

permasalahan pribadi lah waktu itu ayahku meninggal sakit sebulan terus aku ada

permasalahan sendiri terus aku udah deh capek gitu loh aku capek mikir, gak taunya

temenku pada beli itu tesis, gilaaaa hahaha ya kabar-kabar aku kerja sendiri, bikin

tesis sendiri, jurnal pusing loh baca jurnal jurnal sama ngurus anak kan, anaknya

waktu itu udah 4 kan berarti, jadi waktu itu aku sempet sakit sampe opname

seminggu lah gara gara di depan laptop gak bisa satu hari satu malam aku gak tidur

kan, depan laptop terus gitu kan buat jurnal makalah gitu cari cari itu, aku bukan

tipikal idealis sih, apa yang aku bisa lakuin sendiri aku lakuin sendiri, sebaik

mungkin sebagus mungkin, gak perlu bantuin orang, kalau memang belum aku

kesusahan kayak gitu aku lakuin sendiri

P : bu, apa nih dorongan atau motivasi ibu yang memutuskan ibu kuliah

sesudah menikah?

I : karna kebetulan suamiku waktu itu ada permasalahan hukum, terus aku

nyewa pengacara kan, lah nyewa pengacara buat bohongan doang, habis semua lah

harta benda, aku sama suamiku akhirnya gini, sebenarnya akhir cerita kayak gitu,

lxxvii

kan kita abis tu uangnya tu, sebenarnya kasus apa sih, cuman hukuman percobaan

buat suami waktu itu tapi kita bahas tapi kita habis kita gak tau hukum apalagi

pekerjaan suamiku itu sedikit banyak harus ada kan janjian kontrak kan, harus tau

tentang hukum kan, kebetulan kita berdua ambil hukum, jadi suamiku juga kuliah

lagi karena ada satu permasalahan yang pekerjaan yang mengakibatkan kita

berhubungan dengan lawyer dan lawyer ini itu tidak bisa membantu kita padahal

udah dalam posisi kita gak bersalah loh sebenarnya tapi duit kita tu abis abis abis

kayak gitu loh, buat kerja hari lah, buat ke pengadilan lah, buat ini lah, buat itu lah,

buat nyogok polisinya lah, kita kan orang bego iya iya aja padahal kita duit gak ada,

kita abis semua, tabungan kita jadi kita langsung punya tekad gini, ayok kita sekolah

hukum supaya kita tau, gua ambil hukum pidana, lo ambil hukum perdata, kayak

gitu gua mengantisipasi atau kelak di kemudian hari ada hal-hal tidak terduga

dengan apa yang menjadi lahan rezeki kita, seperti itu

P : lalu struggleya ibu ketika kuliah juga dan mengurus anak juga pasti kan bu

I : Gini mbak, anakku masih bayi waktu itu, setahunan baru lah yang keempat

tapi ya, dulu aku titipin sama orang tua lah, sama kakak, karna hidupnya sama ibuku

sama ayahku kan masih ada tu, udah sepi kan rumah sana kan gak ada orang, udah

pada gede-gede, udah nikah kan yang laki laki waktu itu kan, jadi ibuku sendiri

yang biasanya, aku titipin kesana, mau berangkat kuliah titipin ntar malem aku

ambil kayak gitu, karna diliat kok rempong banget gitu kan akhirnya "eh anak lu

disini aje gimane? Ntar kalo lu kangen bisa kesini kan deket cuma 25 menit lah"

kayak gitu, terus aku bilang sama suamiku, suamiku ACC ya udah gak masalah jadi

anakku sampe SD eh TK aku sekolahin disana karna kakak-kakakku juga peduli

sama keponakan gitu kan, anaknya udah SMA juga udah gak ini kan, gak masalah

gak ada beban sama suaminya kan kayak gitu, jadi dia ngurusin ibu sama bapak aku

sama ngurusin anak kakak ku, semua kebutuhan apa susu apa bla bla bla ya kita gak

usah dibilangin lah, kita support kayak gitu, kalau gua kangen siang hari, malam

hari, tengah malam aku kesana suami kayak gitu, dia disini sama aku waktu itu

belom punya rumah ya maksudnya ya, punya rumah kontrakan gitu, yaudah disini

aja anak-anak lu daripada dan satu kenapa aku titipin sama orang tua sama kakakku

karna waktu itu aku ambil ART ternyata anak aku yang bayi itu digebukin dilaporin

sama tetangga aku ketika aku kuliah katanya gini "ibu ibu pulangnya cepet jangan

lama lama dong" "emang kenapa?" "bu itu aku liat di hordeng" depan rumahku kan,

aku kan di perumahan gitu "aku liat itu mbaknya gebukin si ini" masih 6 bulan

waktu itu, itu kurang ajar tapi aku gak punya bukti waktu itu jadi pas pulang kuliah

aku naik becak kan, gak dianterin suamiku, kebetulan pas jam kosong aku naik

becak berhenti jauh jalan kaki ternyata bener aku liat dengan kepala mataku sendiri

anakku lagi digebukin padahal masih bayi, dia gak ngapa-ngapain sebenarnya

anakku itu diem gak taunya ya udah "mbak langsung beres-beres, aku gak terima

nih" aku langsung telfon suamiku "pulang ke rumah, anterin mbaknya pulangin ke

rumah" "ada apa sih ma?" "udah pokoknya pulang" akhirnya aku cerita lah sama

ibuku sama kakakku, "udeh anak lu sini aja daripada lu bayar mahal-mahal malah

kayak gitu, itu baru ketauan sehari" ya kebetulan baru 2 bulan, "coba kemaren-

kemaren kalau gak dilapori tetangga aje", yaudah intinya tu, kenapa kesana aku

titipin karna satu perlakuan ART yang gak pada tempatnya udah itu

P : terus kayak ngerasa lebih aman gitu ya sama orang tua?

lxxviii

I : iya sama orang tua lebih aman lebih ini lah, aku balik kapan-kapan juga

bisa, begitu mbak

P : bu, ibu ketemu sama suami pas di Semarang saat ibu broadcast kah?

I : oh dia, dia fans radionya aku, waktu masih kuliah waktu itu, ini anakku

ketawa lagi

P : ibu kalau boleh tau, usianya sama kah sama suami?

I : beda 1.5 tahun

P : tua suami ya berarti?

I : iya he'eh

P : tuaan suami berarti, ok ok. Gimana tu bu ketika memutuskan untuk

menikah?

I : kalau suamiku itu pacarnya banyak, jadi kalau kan kayak gini, dia kan fans

aku gitu kan, dia dulu manggil dek minta lagu, ketemu temen-temen, di tempatku

kan ada kuis-kuis gitu kan, dia ikut itu kan terus "ih aku rak punya duit Iki, tolonglah

ikut kuisnya, siapa pake nama siapa" biasa kong kalikong gitu kan terus ntar telfon

tapi harus standby di kontrak di asrama kos-kosan dia gitu, udah gitu aja tapi kalau

aku sih aku kan lingkunganku lingkungan bapakku kan lingkungan klenik,

maksudnya bapakku dulu pernah jadi kesepuhan, mbah-mbahku pernah jadi

kesepuhan, jadi aku terbiasa di lingkungan kejawen ya makanya aku cerita di

lingkungan kejawen itu untuk puasa gitu, aku udah terbiasa liat primbon gitu gitu

aku udah terbiasa ya, nah ketika aku biasanya ketemu sama orang, aku tu ada seneng

sama orang tapi orangnya begini begini kayak gak gak bisa ngebaca orang tapi bisa

liat dari body language nya gitu, aku gak bisa baca pikiran kecuali kakakku kan dia

bisa baca kan dia udah di buka sih ituannya bukan indigo juga sih cuma karna

keseringan puasa, ikhtiar kayak gitu sebenernya latihannya kita bisa lebih peka

kayak gitu, tapi kejadian kayak gitu pekanya lebih ke perasaan bukan ke makhluk

astral hahaha jadi aku belajar liat orang ini pelit, orang ini baik kayak gitu, ni orang

kayak gini kayak gitu jadi ketika aku kenalan sama cowo misalnya gitu dia ada

flirting apa naksir naksir kayak gitu aku paham oh ini naksir aku tapi aku kalau klop

sama dia, jujur aku suka cowo yang cerdas yang smart, aku gak mau cowo yang

anak mami, pernah ada sih yang demen tapi anak mami banget, aku gak demen, dia

gak bisa memutuskan apalagi cowok yang terserah kamu, terus semua kemauan

cewe itu diturutin aku bukan tipe yang kayak gitu juga, aku senengnya yang ada

debat-debatnya gitu kan, aku mau tau alasannya apa, pokoknya ada yang debat,

entah itu debat table atau debat kusir yaudah asik aja kalau ada yang bisa buka

wawasan, dari cara bicaranya orang, cowo itu aku tau kayak gitu loh mbak, oh ini

cuma sebates seneng doang oh ini bucin banget kalau sekarang ya gak demen

dibucinin tersiksa kalau bucin jadi pas sekarang suami ini aku kayak wah playboy

kalau sekarang fuckboy nih kayak gitu aja udah, dia ngasih tanda tanda saya biasa

aja terus dia eee santai aku kan biasanya sampe jam 9 malam tu aku siaran sampe

jam 12 malam dia dateng tu, aku tau dia misalnya ini dia pagi sama si A si B si C

kayak gitu biasa aja kadang aku mengungkapkan ke orang yang suka

mengungkapkan secara gamblang, dia misal punya pacar 3, punya pacar 4, aku ya

ngomong aja dan suamiku yang ini ni yaudah kayak gitu resikonya lu yang no 4

yaudah aku juga gak cinta-cinta banget yaudah biasa aja karna aku pernah mencintai

seseorang terlalu banget kalau putus sakit banget, ada orang lain lagi, aku

lxxix

menghindari itu, ketika ada orang seneng sama aku ya aku biasa aja lah, sebelum

lu bilang sama bapak gua, gua gak akan terlalu menggantungkan harapan sama

kamu, gitu aja

P : iya bener

I : Ketika sama dia aku berapa tahun putus nyambung putus nyambung sih,

aku sih santai aja kalau diputusin, yaudah cari yang lain, aku tu gak pernah terlalu

terpuruk ketika diputusin sama cowo, pasti Allah sudah memberikan seseorang

yang sesuai dengan kita kayak gitu, aku putus sambung sama suamiku,

perbedaannya dia gak suka dengan kinerjanya aku kerja kayak gitu loh, aku kerja

di dunia broadcast terus aku pindah ke marketing ketemu orang-orang bla bla bla

gitu kan, dulu kan masih pake rok mini ya ceritanya ya kayak gitu kan hahaha dia

itu orangnya kayak gitu, dia itu kalo gitu, sebisa mungkin aku gak usah kerja loh

padahal itu aku lagi pada zaman-zaman keemasan waktu itu aku memimpin

(broadcastion? menit 59.42) kalau aku pribadi aku loh ya, di zaman keemasan aku

memimpin (broadcastion? menit 59.52) aku sebagai program director, aku megang

2 radio sekaligus, jadi aku 2 minggu di Semarang, 2 minggu di Banyumas, 2 minggu

di Semarang, 2 minggu di Banyumas, itu adalah suatu award melihat kinerja aku

dan gak ada orang menurut pikiran aku ya gak ada orang yang bisa seperti aku, aku

di pojokin terjepit di radio radio yang anarkis, kalau suasana gak kondusif "ayo

kamu turun ke acara A buat suasananya kondusif, kamu cari permasalahan disana

lapor ke kita" jadi aku cepet gitu mbak jadi kalau ada permasalahan hidup aku yang

sangat sangat keras gitu aku ya biasa aja ini juga bukan masalah kok, aku juga tapi

kalau pasangan aku gini gini aku yaudah gak gak gak sakit hati, terpuruk ah cari aja

lagi banyak cowok di dunia ini ya kan

P : iya bener, ibu tepatnya menika usia berapa bu?

I : berarti 29 lah, 29 lebih 3 bulan 4 bulanan lah, ya itu juga aku tanya dulu

sama laki gua "eh kita kawinnya kapan?" "aku cuma punya duit 2 juta" cuma punya

duit 2 juta, terus aku tanya ibu beneran ini aku tanya pacar ku kan, jadi aku sama

suami tu sama-sama tipe orang yang dia juga ke keluarga sama kayak aku mirip

jadi kakak-kakaknya juga gak ada yang tombokan, dia anak bontot kebetulan juga

dia mau berhasil juga cuma dia juga kuliah cuma dikasih 3 juta sama ibunya, 3 juta

di semester kedua, dia cukupin le, cukup, makanya laki gua jadi joki, pembalap

gelap gitu kan , kehidupannya fuckboy banget kayak gitu, maunya judi balapan

untuk menyambung hidup, kenapa dia kalau aku kenapa dia punya pacar banyak

yang ada di kota itu karna buat makan siang makan malam, ntar makan siang di

tempat A makan malam di tempat B kayak gitu hidupnya dia hahaha

P : oh ya ampun cerdas beneran cerdas

I : iya kalau aku melihat seperti itu, ya aku sih positif thinking

P : iya iya bener ibu positif thinking sekali

I : kalau kan punya pemikiran kayak gitu, aku ceplosin gini, aku bilang kayak

gini anak kosan miskin lu cuma numpang makan doang gua tau, lu kalau kesini gak

punya rokok. kebetulan gua punya rokok Sampoerna Mild waktu itu, kan ada tu kan

not for sale lumayan kan tu kecil kecil kan, yaudah gua bagiin aja waktu itu punya

kekuasaan hahaha lu butuh support yang kayak gini kan gua kasih sabun So Klin

dulu aku punya kerjasama sama So Klin kayak gitu sama Mayora sama apa itu kan

makanan banyak, di marketing kita ada sampel sampel yang not for sale kayak gitu

lxxx

kan, banyak sih jadi yaudah dibagiin namanya gua anak kos kaum dhuafa, sama

sama kaum dhuafa gua bilang gitu, jadi aku sama suamiku gak ada mengikat

pacaran gitu, kalau lu serius sama gua ya lu ijab aja ngapain main main kayak

begitu.

P : iya bener

I : tapi kita kan punya pemikiran terbuka maksudnya kita sama-sama dari

keluarga yang biasa-biasa aja gitu lah yang cukup, gak berlimpah materi, buat

makan cukup makan tempe doang, kita kan beranjak dari situ, aku kan punya

prinsip aku bilang kalau lu seneng sama gua satu gua gak mau ngeributin warisan

orang tua, kedua gua gak mau hidup sama mertua atau orang tua, aku bilang berarti

lu sama gua harus punya rumah sendiri, aku bilang kayak gitu, terus ketiga aku gak

mau ikut campur atau direpotin sama saudara ipar , aku bilangnya waktu itu kayak

gitu, kalau mau nolong ok tapi kalau mau hidup bareng gak, aku bilang kayak gitu,

kita hidup berdua dengan keluarga kita susah seneng kita diem aku bilang gitu, gak

usah minta apapun sama orang tua, kita bisa usaha sendiri, akhirnya 2 juta itu aku

kasihin ke ibu aku terus aku bilang "bu, gua mau kawin tapi ini cuma punya 2 juta,

pokoknya ijab aja deh" udah aku bilang kayak gitu ibu cuma melongo "emang lu

bunting?" "ya gak lah" akhirnya dateng kan tu perwakilan ditentuin besok sebulan

berikutnya, udah. Tau gak seserahannya gak kayak sekarang sekarang, "aku udah

gak punya duit" "udah diem aja lu, gua punya tu selimut, lu buntel aja tu selimut,

besok bawa itu emak gua gak bakal tau, gua punya bahan lebaran belom gua pake,

lu buntel aja sendiri ntar kasih ke cowo gua, ntar lu bawa kasih seserahan itu" gua

bilang gitu "gak usah bilang aku punya nya ini, gak usah kagak ada yang tau" orang

ngasih seserahan segitu mahalnya segitu bagusnya kan satu buat nutup mata saudara

saudara, buat update status status doang kan sekarang, buat foto kayak gitu kan,

padahal duit sendiri, kalau aku yaudah apa yang aku beli, kagak ada orang orang

yang tau. Lu punya duit lu bayar utang ke gua, ibuku sedih mbak kok seserahannya

segini doang "bu, ini bukan apa-apa, doain yang akan jadi perjalanan berikutnya itu

setelah pernikahan gua bener gak sama pilihan gua itu" laki gua kan kayak preman

mukanya mbak, jelek, gantengan sekarang maksudnya

P : ya Allah ini nyablak banget, Betawi banget, Jakartanya keluar

I : beneran anakku juga bilang, ih ayah kok jelek banget, aku bilang biasa aja

gak seneng gua bilang, beneran suamiku cuma cengar cengir, suamiku tu sama-

sama, kita sama-sama orang limited edition ya, gak ada disenengin diputisin siapa

siapa jadi kita sama-sama orang terbuang ya kan jadi yaudah lah kita ngeklop aja.

Yaudah kita biasa aja bareng, caci maki ya biasa, ya itu makanya masih satu level

usianya, aku lahir tahun 73 jadi ya masih kayak berteman aja, berteman aja sama

anak-anakku ini anakku yang cowok udah 16 tahun udah puber kayak gitu kan suka

curhat sama aku, bapaknya dulu cewenya banyak, kamu dapet satu doing.

Managemen waktunya kayak gimana yah? buset genetiknya turun dari lu tuh, kalau

mama mah gak kalau mama satu aja gak abis abis, aku sih bilang kayak gitu, ya kita

terbuka aja, kita sama anak-anak berteman aja gitu, gak kayak aku sama mak bapak

diem aja nunduk, sekarang aja mataku melotot "ma matanya melotot melotot takut

keluar tau ma" kayak gitu sama aku, susah kan? Gak bisa zaman sekarang didik

anak kaku kayak gitu gak bisa, kita harus mengikuti alamnya dia aja, dia lagi

kepengen apa, dia lagi galau, dia misal kuliah ketemu temen terus dia terjebak si

lxxxi

pertemanan yang gak baik gitu, dia sempet marah juga, dia diemin aku seminggu

aku nanti bilang "temen kamu gini gini kak, pertemanan itu gini gini" terus dia

"untung aku dulu dengerin mama ya" yaudah nurutin saja.

P : berarti emang ibu dan suami tu bukan orang tua yang strict parents gitu ya

berarti?

I : kagak kagak, berteman aja sama anak, aku dulu pernah ngerasain itu kan

strict, sampe aku dikencingin sama bapakku kan, digebukin kan, aku ngerasa ada

kebencian yang tertanam, benci kayak gitu loh, aku benci banget ngerasa ada rasa

benci tapi setelah aku besar setelah aku keluar dari rumah aku pikir apa yang

dilakukan bapak aku benar tapi salah dalam mengimplementasinkannya, mau

mendidik secara disiplin bla bla bla tapi ada kesenioritasan, mungkin bapakku dulu

diperlakukan keras, gak mau puasa lah atau berendam di sungai apa lah kayak gitu

kan jadinya dihukum kayak gitu tapi yaudah lah kita kan gak bisa langsung

mewariskan kayak ospek gitu kan junioritas senioritas gitu kan, yaudah sekarang

kalau anakku lagi mengungkapkan ngambeknya dia, gak setuju sama aku kayak

gitu kadang ada yang lewat WA "aku marah sama mama" "yowes marah gak usah

makan, gak usah mandi" aku bilang kayak gitu aja

P : ibu mau tanya lagi, ibu selama kerja di kota itu apa yaaa presentasi ibu

pulang itu setahun bisa banyak atau ibu pulang ketika ya ibu pengen pulang aja gitu

ketemu orang tua

I : ketika aku masih bujang? Apa ketika eee oh masih bujang? Ketika masih

bujang itu Kalau pas ada duit hahaha

P : iya aku penasaran ketika orang tua ibu di desa ya di rumah lama, ibu di

kota dan ketika ibu balik itu ibu menyadari loh tinggal saya nih yang belum

menikah, padahal temen-temen saya udah punya anak, bahkan udah mau nyunatin

anaknya, nah dari keluarga ibu sendiri emang gak ada dorongan untuk ibu segera

menikah kan, tapi gimana sih bu pandangan-pandangan tetangga, maksudnya ada

gak yang ngomong?

I : aku tipe orang yang tidak pernah mempedulikan omongan tetangga, satu

itu, aku orangnya cuek banget, bodo amat tetangga mau ngomong apa, orang gua

gak bisa makan aja tetangga gak ada yang nolongin, ya kan? Aku gak, sampe

sekarang pun rumahku jelek digosipin macam-macam, rumah kayak kandang sapi

gitu lah, aku cuma kayak gini ya masa orang bangun rumah bareng-bareng? Orang

rezeki beda-beda, nanti suatu saat kita akan mengalami menuju kesitu, aku juga

kayak gitu, ngapain nikah dipaksa-paksa, orang jodohnya aja gak ada masa mau

dipaksa-paksa nikah sama siapa coba, ya gak? Nanti juga akan ada waktunya,

kebetulan kalau untuk pulang ke rumah itu aku sesuai dengan kondisi tapi untuk

telfon aku biasanya seminggu sekali telfon "ibu baik gak? Bapak baik gak?" Kalau

ayahku surat-suratan, dia curhat banyak sih soalnya

P : seru banget surat-suratan

I : iya surat-suratan, ntar dia cerita anaknya si A si B si C kayak gitu karna

ayahku tipe orang curhat dan sementara anaknya yang dengerin curhatannya

bapakku perang, bapakku apa itu cuma aku doang, jadi di pandangan kakak-

kakakku yang lain ya aku tu anak kesayangan bapak, mereka mandangnya kayak

gitu, eh anak kesayangan padahal bapakku itu ya namanya orang tua, padahal aku

tu seneng baca buku motivasi-motivasi, aku kan senengnya baca ya, buku-buku

lxxxii

motivasi, buku-buku inter apa lah apa lah jadi ada buku psikolog buku-buku filsuf-

filsuf gitu, jadi aku ingin memahami orang oh bapakku seperti ini, aku melihat dari

mata beliau ya, sebenernya bukan materi, beliau ingin perhatian, ingin didengerin

ngomong, namanya orang tua pasti ngelantur lah kepengen menunjukkan

kebanggaan di zaman dulu tapi anaknya gak bisa liat akhirnya cerita tapi pasti cerita

bolak-balik bolak-balik kayak gitu, tapi kalau aku dengerin sampe titik komanya

aku masih inget, nanti bapak bilang belok kanan nah bener kan belok kanan, terus

nanti belok kiri, aku tu sampe hapal, aku biarin aja, "ya pak" dengan kalimat yang

sama aku bolak-balik dengerin, bapakku seneng aja, ya namanya orang tua, berlaku

seperti itu dengan suamiku yang sekarang, aku jadi pendengar yang baik, padahal

suamiku udah bilang 3 kali nih ntar belok kanan belok kiri nih sama persis seperti

itu, jadi ya aku dengerin aja dengerin, setiap orang kan punya permasalahan unek-

unek gak cuma butuh duit doang kan solusinya, didengerin dikasih solusi kalau

butuh solusinya, kalau butuh didengerin ya dengerin aja sampe aku hapal tu cerita

kayak gitu.

Jadi kalau sama bapak, bapak sering curhat lewat surat bisa berapa lembar gitu, tapi

kalau ibu aku telfon, aku pulangnya paling banter 6 bulan sekali, kalau gak setahun

sekali, lebaran aku gak pernah pulang tapi aku telfon aku kirim makan aku kirim

duit, seperti misalnya kayak gitu lah kalau ada rezeki aku kasih ibu, aku kasih

bapak, bapak beda kasih ibu beda, jangan sampe bapak tau, jangan sampe ibu tau,

kalau bapak aku transferin, kalau ibu lewat barang, beli panci ntar aku bilang "bu

di bawah ada amplop, awas nanti ketauan bapak hahaha" udah kan gitu, kalau aku

pulang, bapak masih tidur aku selipin di bawah bantal, aku selip di bantal kalau ibu

ntar ibu lagi apa di kamar aku taro di lemari kayak gitu

P : kenapa bu kayak gitu? Maksudnya kenapa ibu bisa kepikiran kalo kasih

ibu bapak gak boleh tau, kasih bapak ibu gak boleh tau?

I : karna bapakku tipe orang suka kayak gini, bapakku suka bersedekah tapi

gak ngomong-ngomong gitu tapi ibuku ngartiinnya bapakku itu ngasih saudara, kan

gini saudara gak punya kan lebih deket, bapakku kasih itu sambil bersedekah jadi

bapak kan komunikasinya sama aku "kamu mau gak titip buat anak yatim? Kamu

mau titip gak?" Jadi aku kasih bapak lebih, bapakku ada rencana mau ke panti ini

kan, aku titip tapi nanti bapak aku yang mengalokasikan tapi ibuku taunya itu bagi-

bagi, dikasih-kasih ke saudara, buat sendiri gak ada, ibuku tu sering negatif thinking

sama bapakku sampe tua, sampe bapak mau meninggal, aku bilang "ibu jangan

negatif thinking terus sama bapak, bapak udah gak lama lagi mau ninggalin kita"

aku bilang kayak gitu kan, terus ibuku aku kasih biar ibuku bisa beli makanan

sendiri, beli sesuatu sendiri deh, mau beli cincin apa beli baju apa beli apa, karna

kalau bapakku tau nanti "mana duit yang dikasih Yuni sini, kan duitnya buat beli

beras" hahaha padahal bapakku udah dikasih, nanti ibuku jajan "ibumu gak kasih-

kasih, ibumu makan dewek" kayak gitu, jadi aku coba mengerti jalan pikiran orang

tuaku, ibuku kurang memahami bapakku, bapakku juga kurang memahami

keinginan ibu, misal ibu pengen beli dawet di pasar minum disana tapi bapakku

kurang ngerti malah dibawa pulang gitu, kurang romantis gitu, jadi aku sebagai

anak mencoba memahami keduanya, oh bapakku seperti ini ibuku seperti ini, jadi

aku ketika ngasih bapak jangan sampe tau ibu, kalau ngasih ibu jangan sampe tau

bapak, kalau duanya tau pernah waktu itu ngasih ada beliau duduk berdua ini buat

lxxxiii

bapak ini buat ibu, punya ibu diambil samua sama bapak, kan kasian aku bilang iya

bu nanti aku ganti, jadi aku memperlakukan kayak gitu, aku ngasih kakakku yang

lain juga kayak gitu, nanti misalnya ngasih kakakku yang cowok aku kasih sama

istrinya atau kasih sama anak-anaknya, udah kayak gitu aja, aku mencoba ya aku

bisa liat orang itu kayak gini, kayak gini, kelebihan aku itu aku terapkan di

kehidupanku sehari-hari, ini orang tipenya pengen diginiin nih, pengen disanjung,

ada yang gak, ada yang biasa-biasa aja kayak gitu, ya jadilah begitu mbak.

P : tadi kan ibu bilang, ibu suka telfon dan surat-suratan sama ayah sama ibu,

semenjak ibu diluar gitu di perantauan, apapun itu ibu bicarakan sama orang tua?

Ibu punya masalah atau mau ambil keputusan ini itu?

I : kagak kagak, tidak pernah sama sekali, aku mau nyunatin anakku aku gak

cerita ke ibuku, anakku sunat aja

P : jadi setelah ibu memutuskan keluar dari rumah pergi ke perantauan itu

memang sudah ditanamkan di dalam hati apapun keputusan yang ibu ambil ibu pilih

sendiri, tidak di kompromikan lagi dengan orang tua?

I : iya iya, jadi segala suatu hal yang membutuhkan keputusan yang berkaitan

dengan kebutuhan aku waktu aku bujang ya, yang berkaitan dengan hidupku, aku

putuskan sendiri, entah itu beraspek negatif atau beraspek positif, konsekuensinya

aku terima sendiri, aku gak mau orang tuaku tau aku menghadapi masalah, kan

pernah di kantor aku di skors karna aku kesalahan fatal, aku diem aja gak pernah

curhat, gak pernah ini, aku kan curhatnya muterin lagu, buat drama sesuai dengan

cerita aku, itu aja biasanya kayak gitu, aku tinggal bikin cerita udah kayak gitu aja

cukup ya satu lagi paling nangis-nangis pas lagi shalat gitu doang, soalnya ketika

cerita ke temen pun nanti ketika temannya lagi benci sama gua nih ya, nanti gua

diceritain ke orang lain makanya aku gak percaya sama temen apalagi yang

namanya temen sejati, bullshit gak ada, temen buat jalan gitu aja udah sekedar jalan,

daripada di traktir lu, aku lebih suka traktir orang, aku tipenya kayak gitu kalau gak

punya duit yaudah gak usah jalan-jalan di rumah aja, bikin makanan sendiri udah

gitu

P : ok Bu, sekarang aku mau nanya itu dong bu , pendapat ibu tentang

pernikahan, gimana menurut ibu pernikahan itu? Pemikiran ibu pas masih muda ya

sama pemikiran ibu sesudah menikah

I : kalau pendapat pernikahan pas masih bujang, pendapatnya gua rasa 100%

berbunga-bunga deh ya kalau bahas pernikahan, pikirannya positif, ah punya suami

yang sayang terus mapan, ya kan?

P : iya bener

I : mapan terus sefrekuensi sama kita, dia romantis banget kayak gitu, telfon

saban hari kadang "udah makan? Udah pret?" Kayak gitu kan kayak pacaran-

pacaran gitu kan nanti ketika pernikahan gua bangun tidur ada laki gua, terlepas

dari hubungan suami istri lah ya ada kenyamanan dalam hati, ada ntar ada teman

curhat yang bener-bener ngertiin kita sebagai pasangan, tapi ternyata ketika

menikah, KETIKA MENIKAH, saya garis bawahi, betul-betul ketika pemerintah

memerintahkan menikahlah di usia yang tepat, kan ada peraturannya tu menikah di

usia berapa tu 18 tahun buat perempuan, laki-laki 20. Kenapa dalam usia itu, harus

siap mental, siap mentalnya, siap jiwanya, rohaninya, kalau bisa kalau lagi udah

mapan kayak gitu kan, dijelaskan disitu kan kalau bisa mapan, nah kebetulan kalau

lxxxiv

aku menikah dalam situasi suamiku belom mapan ya, pas lulus kuliah cari-cari,

kalau aku kebetulan sudah bekerja, ada penghasilan lah ya, kalau aku dan suami

kebetulan sefrekuensi, satu sebisa mungkin gak nyusahin orang tua, apa yang bisa

dikerjain sendiri sebisa mungkin kita lakuin sendiri, terus aku juga tipenya ayok

kita mulai dari nol nol nol, jujur aku sama suami mulai dari nol kan, kita masih

dalam perembukan nih belom ke perkawinan, yaudah jebret kita menikah, dia

melamar, ketika dalam keadaan halal, pernikahan kan halalnya, kita melakukan ---

P : hal yang dilarang? Omg reconecting

I : (putus-putus menit 01.23.45 - 01.24.04) di kasur, baju kotor terus makan

taro di wastafel, ya kalau tugas kita kalau kotor taro di belakang, ya hanya sebatas

istri nyambut suami bisa tapi permasalahannya ketika (putus-putus menit 01.24.20

- 01.24.55) sifat mertua seperti apa, keadaan banget banget banget, memahami

kedua orang tua itu luar biasa perjuangannya itu, ya ketika itu suamiku kan anak

bontot ya cowok, jadi ada sister complex atau brother complex gitu jadi sampe

sekarang anak-anakku sampe paham kakaknya perempuan itu merasa adiknya

kebanggaan keluarga, aku gak masalah dia mau menolong, dia mau membawa

anaknya, itu tugas anak laki-laki kok, gak usah ngomong ke aku, aku juga paham,

itu kenapa kita harus punya pasangan yang seiman karna dalam agama kita masing-

masing disampaikan bagaimana memperlakukan mertua, bagaimana

memperlakukan saudara ipar, bagaimana memperlakukan kamu, kamu juga kan

memilih sampai akhir muliakan lah, muliakan bla bla bla, kayak gitu kan, itu udah

diatur dalam agama kita masing-masing, ada adabnya tapi kembali ke masalah

analogisnya itu perjuangan berat, aku sampe jujur jujur jujur ya aku sampe setengah

tahun pernikahanku aku pisah loh sama suamiku, kenap jarak anakku yang pertama

jaraknya 5 tahun sama anak yang kedua karna aku pisah

P : oh gitu

I : pisah bukan karna cinta kita yang udah abis, gak, karna pihak eee aku gak

menyalahkan pihak mana karna satu kita masih muda kita sama-sama satu ukuran

satu level, emosi kita masih tinggi, egois kita masih tinggi, suamiku juga gak mau

suamiku dengan pikirannya bahwa dia benar dan aku yang merasa aku sudah

mengerti perasaan, menyabarkan diri egoisnya situ, lu gak mau ngertiin gua, ketika

aku menikah aku dititipin saudaranya dari laki-laki tu, aku bilang gini, aku kan

punya kelebihan di satu sisi bisa melihat orang kan, aku bilang sama suamiku "aku

gak mau ditititpin si cewe ini deh" aku bilang kayak gitu, aku gak bisa sama dia, ini

nakal, aku sampe bilang kayak gitu, dia bilang kamu masa gitu sama keponakan,

bilangnya gitu, sampe suatu saat kejadian beneran aku bilang sama pak RT

"silahkan pak tapi jangan bilang kalau saya tau" karna suamiku gak percaya kan,

aku diem pura-pura gak ngerti padahal aku udah bilang sama pak RT sama temen-

temen karang taruna kalau aku tau ya, mau jaga perasaan suami saya, aku bilang

kayak gitu, nah kejadian-kejadian ada lagi terjadi di pihak keluarganya dia, yang

recokin rumah tangganya aku biarpun aku udah pisah rumah tapi tetep suamiku

masih diniin sama keluarganya dia gitu loh, aku akhirnya bilang gini deh, aku hamil

luar biasa perjuangannya, aku sampe aku memilih memutuskan semuanya sendiri

ya, aku pulang ke rumah, aku bawa surat nikah, 40 hari aku melahirkan di

Semarang, aku mau gugat cerai, ibuku gak tau aku mau gugat cerai, aku udah pisah

dari rumah, kan katanya kalau udah 40 hari udah boleh jalan-jalan lah ya bagi orang

lxxxv

jawa, jadi keluar rumah aku ke rumah ibuku aku di Semarang, aku kirab lah "ayuk

bu aku kirab" aku bawa anakku lah ke Purwokerto, aku kan di Semarang, besok

paginya aku ke pengadilan agama masukin surat, aku gugat cerai, sebulan

berikutnya suamiku dapet panggilan, dia dateng ke rumah gak bisa gak boleh, aku

tetep maju, 7 bulan lah proses perjalanan perceraian itu, akhirnya aku bilang gini

"tolong bahagiakan ibumu dulu, bahagiakan keluargamu dulu, kalau memang kita

masih ada jodoh, kalau kita memang ditakdirkan, kita akan ketemu pada masanya",

aku bilang kayak gitu ke suamiku, 3,5 tahun aku menjanda, aku hilang dari

peredaran, aku pindah kerja gak di Semarang lagi, aku tutup kontak sama suami,

keluarga, suamiku juga ketemu sama anaknya cuma 10 menit kayak gitu, di tahun

pertama di bulan-bulan pertama ketemu sekali sebulan, setelahnya biasalah laki-

laki cari lagi, aku yaudah lah aku juga bodo amat "oh yaudah jodoh cuma sampe

disini" yaudah aku gak menyesali cuman 3 tahun anakku tanya "ayah dimana?",

kan tetangga gak ada yang tau sih, karna dari bujang kan gak pernah di rumah ya,

anakku juga dititipkan disitu gak pernah nanya mantunya dimana, ini anaknya gak

ada yang ngurus, ibuku sih nutupinnya begitu, udah kalau begitu gak ada yang

cerita, aku pulang sesekali juga ketemu anakku sampe 3,5 tahun berjalan lah. Aku

cuma sebagai pribadi yang mengenal Tuhan, waktu itu aku cuma minta kayak gini

untuk diriku sendiri "ya Allah kalau memang ini kesalahannya aku, tunjukkan

kesalahan itu sama aku tapi kalau aku benar, tolong tunjukkan kebenaran itu kepada

suamiku" nah akhirnya kebenaran itu terungkap setelah 3,5 tahun lebih berjalan,

suamiku hubungin aku minta maaf "ma, maaf ya" kayak gitu doang "kamu bener"

udah oh yaudah kayak gitu udah, berarti Tuhan kan sudah memberikan jawaban

sekian lama kan, yasudah aku biasa lagi terus aku longgarin dia mau ketemu

anaknya, dia juga udah punya pacar, aku juga dikasih tau sama temen-temen "oh

mas mu sudah punya pacar" "oh yaudah gapapa" aku bilang kayak gitu "kita udah

lost contact kok" aku bilang "bu, kalau si itu mau ketemu anaknya gapapa, mau ajak

ke mall gapapa" aku bilang gitu, dia udah gak ngirimin nafkah kan, cuma 3 bulan

pertama lah, aku sih gak mempermasalahkan kayak gitu, gak penting-penting

amatlah gitu, aku cuma eee aku tipenya kayak gini siapa orang yang menzolimi aku,

lu bakal kena bukan karma sih ya, balasan yang setimpal kayak gitu aja, aku balikin

aja sama Allah, dan rata-rata orang yang suka ngomongin gua gak jelas, kalau gua

salah jelas gua minta maaf di depan dia, kalau ada orang yang gak jelas apalagi

saudara gua sendiri gitu lo bakal kena gitu aja, cuma gitu aja sih Allah maha tau

sih, aku seringnya ngomong kayak gitu, bukan apa-apa, Allah gak tidur pasti nanti

dikembalikan, jadi aku lebih sabar lagi dan suamiku ngajakin rujuk lagi setelah 6

bulan kan di ngajakin rujuk, anak dia udah gede sih, aku perlu 6 bulan aku tanya-

tanya setujua apa gak, ibuku gak setuju, ibuku sakit hati gitu ya kan, kalau bapakku

"terserah kamu yang menjalani" aku selalu di support sama bapakku, sumpah suer

jadi aku nikah kedua kalinya itu cuma bawa bapak doang, bawa anakku, bawa

suami gua, yang jadi wali yang jadi saksi orang KUA

P : ibunya ibu gak hadir?

I : gak hadir, ibu cuma mau ketemu empat mata sama laki aku, aku ijab itu

dia minta ketemu empat mata sama suamiku, mereka buat perjanjian, aku gak tau

perjanjiannya apa, nanya ibuku tapi ibuku gak mau kasih tau ke aku, suamiku juga

gak mau kasih tau ke aku. Jadi ibuku cuma bicara berdua doang tuh mau minta

lxxxvi

perjanjian apa lah, gak tau gua juga sampe sekarang terus yaudah ibuku gak ini,

bapakku juga, aku cuma ijab di KUA doang terus aku saat itu pindah kontrakan

lagi, aku resign juga dari kerjaan, tadinya aku maiah kerja juga terus aku disuruh

resign, ternyata disitu gua disuruh ngurus mertua gua lah, ngurusin ponakan-

ponakan dia lah, ngurusin saudara ipar dia lah, serumah bareng, gua bilang "buset

keulang lagi ni cerita hahaha" wah ada Tersanjung bagian dua ni, bagian 2 sampe 7

hahaha, yaudah aku cuma bilang gini "mungkin Allah menilai aku orang yang

paling kuat paling sabar ketika menghadapi persoalan ini" yaudah gua jabanin deh

sampe berapa ujian gua, gitu aja. Udah aku sakit-sakit, tetangga yang gak tau cerita

orang baru kebetulan "ibu kasian ya baru ini terus ini" kan sangar-sangar semua

kakak-kakaknya dia, prilakunya juga rada-rada absurd gak benar kayak gitu jadi

aku yang biasanya kakak-kakak aku yang bandel masih ada sopan masih ada aturan

liat saudaranya luar biasa, yang perempuan juga julid netizennya luar biasa, cari

mukanya bener-bener, kalau di depanku bisa benci bengis bengis bengis tapi kalau

ada suamiku "hai apa kabar?" anakku sampe tau loh "mama, itu bude kalau ada

aman di depannya ada ayah baik ya tapi kalau ayah gak ada jahat langsung deh"

anakku sampe tau loh, jadi aku pembelajaran saja sama anakku "ya kayak gitu kak,

ketika kita menikah, bukan hanya kita berdua tapi kita ada 2 keluarga yang

dikawinkan, terus harus kita pahami kalau suamiku gak mau memahami keluargaku

gak masalah, aku yang memahami mereka, kalau aku harus memahami keluarga

mereka ya ok, gitu aja, jadi memang ada dua sisi yang gak sesuai nih di laki gua,

timbal baliknya gak ada, ya ada sih namanya kekurangan dan kelebihan ada di

setiap pasangan, ya aku memahami itu tapi kelebihan pasangan aku satu sefrekuensi

sama aku, tipenya boros dia lebih boros dari aku, dia suka ngasih-ngasih orang, gua

juga suka ngasih-ngasih orang, yaudah kayak gitu loh, aku ditipu orang "yaudah

kalau di tipu nanti ada rezeki lagi untuk kita" laki gua "yaudeh" jadinya bukan

menggampangkan orang, laki aku tu positif thinking banget orangnya, anakku

sampe heran "ayah ketipu malah bolak-balik bukannya nasib itu mah, ayahnya

doyan ketipu" "ayahmu itu berpikir positif ke orang yang punya hutang ya harus

dibayar" kayak gitu, saya sama suami selagi masih bisa bantu ya bantu, ya

perjanjiannya hutang ya hutang harus dibayar, kalau gak bayar sekali dua kali kita

tagih, udah kewajiban kita kan udah nanti kita balikin sama Tuhan, "ya Allah yang

akan nagih hutang mama ke dia" udah gitu aja, jadi gak kepikiran, kebetulan aku

sama suami satu frekuensi kalau bahas yang kayak gini, ya kebetulan banyak

frekuensi yang sama, aku sama suami ada keputusan apa, suamiku kadang udah

mutusin dulu nih, aku belom yakin belom diajak rembukan, diomongin, lu gak usah

ngomong kalo udah mutusin, misal beli mobil, rumah, lu ngapain nyuruh gua milih

warna item atau putih taunya lu beli warna merah, iya kan?

P : iya bener

I : Iya itu laki-laki kayak gitu, jadi perjalanan perkawinan aku tu selam 21

tahun ini sih banyak suka dan dukanya rata-rata persamaan mempersamakan

persepsi dan cara pandang kita ke depannya kayak apa, mendidik anak seperti apa,

kadang aku suka sebel misalnya aku lagi ngasih notis nih ngasih warning sama

anak-anak harus gini bla bla bla kayak gitu, suami ku gak kayak kaleng rombeng

kayak radio rusak, kayak gitu siapa yang gak sakit hati coba

P : bener itu bikin kesel

lxxxvii

I : kesel kan, ketika gua ngomong kayak gini diem lah, kalau gua comel gua

cerewet ya lu pergi aja ngapain disuruh dengerin, iye kan tapi kalau gua marah, gua

ngabur "gak duduk dulu sekalian" dia kesakitan gitu kan, sama anak gua disuruh

dengeriiiiinnnnnn kayak gitu, ya biasa laki-laki ego nya kan kayak gitu, tapi kalau

perempuan lagi ngomong dikira kaleng rombeng, dikira radio bodol lah, rusak lah,

itu pernikahan ya kayak gitu

P : terus bu sampai saat ini berarti masih ada hal-hal yang ibu kompromi kan

lagi, maksudnya kedepannya pernikahan ibu mau seperti apa karna tadi di awal

perjalanannya maaf sempet ada kegagalan ya kan bu, nah pas mulai lagi ibu

membicarakannya seperti apa? Terus nanti harapan ibu ke depannya mau seperti

apa? Ibu mau bicarakan itu gak sama suami?

I : ya ya namanya pernikahan pasti ada pasang surutnya, ujian datengnya

bukan cuma dari suami istri itu sendiri, bisa dateng dari orang tua, dari saudara,

lingkungan sekitar ya tetangga atau dari selingkuhan, itu bisa didatangkan dari

siapapun, dari anak pun ada, bisa bikin kita marah-marahan, dia bela dia terus gua

marahin, dia bisa marah sama emaknya juga kan, sama aja semua permasalahan itu

bisa membuka peluang, siapapun bisa disitu, permasalahan keluarga bisa timbul,

bagaimana cara kita mengatasinya? (01.40.55 - 01.41.18 narsum ngobrol sama

orang lain di telfon) kan sampe mana aku tadi lupa

P : awal pernikahan memang banyak cobaannya

I : banyak cobaannya bisa membuka peluang buat siapa aja deh bisa ngambil

jadi setan disitu kan, jadi ketika saat itu suamiku sudah rada bagus

perekonomiannya, aku sadar banget nih ya, aku bisa bangun rumah, lagi proses

waktu itu, jadi aku sudah dibilangin sama ibuku sama bapakku tentang berumah

tangga, karna aku pernah gagal juga karna ya hasil pemikiran aku sendiri kan, karna

egoisme dari kedua belah pihak, orang tuaku juga gak mencampuri banget, gak

"yaudah kamu ambil keputusan itu ya konsekuensi kamu yang tanggung" aku juga

"yaudah pak biarin aja, orang gua yang pisah sendiri, bapak gak usah bingung, aku

juga kerja aku cari duit sendiri, yang penting anakku selamat bisa nyusu" gitu kan.

Udah jadi waktu itu aku dibilangin, aku belajar dari sekeliling, biasanya kehidupan

rumah tangga sudah mulai membaik, meningkat, ada rezeki ada salah satunya yang

tergelincir, aku paham banget ya kan, ya aku mulai mempelajari, ya pernah suami

ku itu tergelincir lah kayak gitu, dia ada sama perempuan lain, ya aku santai aja lah,

aku bisa liat kok ini suamiku beda, berarti kaniat hp nya buka, biasanya hp tu

digeletakin, sekarang dibawa tidur kan, sekarang di password, biasanya gak pake

minyak wangi sekarang pake minyak wangi, itu kan udah keliatan, memang bener

kan jadinya aku kepo kan dan aku baru main Facebook kan, dia menyalahkan apa

yang aku lakukan, sama dia aku salah, ini jadi ada apakah terus ada satu nama yang

aneh, tipe suamiku adalah tidak pernah menghapus SMS dari zaman apa lah itu gak

pernah dihapus sampe ribuan SMS, sampe hp nya ngehang gak pernah dihapus, itu

kelebihannya suami aku, jadi aku bisa langsung melacak jebret ada satu nama terus

aku liat chattingnya itu buset buset buset, tadinya suamiku biasa aja nanggepinnya

kan, sebagai rekan kerja aja, partner bisnis kan jebret jebret lah kok berakhir udah

ada rasa ada kata-kata sayang muncul, aku yaudah aku pindah no nya ke hp aku kan

jebret, besok paginya aku belanja menuhin kulkas, anakku kan senengnya ayam,

aku ungkep ayam, aku penuhin telur Indomie, pokoknya kulkas penuh full dulu

lxxxviii

terus aku berangkat kerja, aku bilang sama kakak laki-lakinya dia, biasanya ikut

sama aku "mas tolong ditelfon ini no ini, yang nerima cewe apa cowo" "loh

kenapa?" "adikmu selingkuh" aku bilang gitu kan, wah kakaknya marah kan "mana

mungkin anak baik bla bla bla" suamiku kan terkenalnya anak baik kan di

keluarganya, kalau aku kan tau di luarnya "mana mungkin ini bla bla bla" "aku kan

cuma nyuruh nelfon doang mas, ntar kalau yang angkat cewe tanya namanya siapa,

bener gak kenal sama ini, gua gak bilang adek lu jelek ya". itu pagi tu, nah akhirnya

kakaknya (suamiku) telfon kan. Dan bener (yang angkat) cewek. Ditanyain

namanya pas sama sama nama yang dinamain di kontaknya suamiku. Kan ada aku

itu pas dia (kakaknya suami) telfon dan itu di loudspeaker. Yaudah jeberet langsung

aku matiin. “wis, toh, bener mbok” aku bilang begitu kan. Kakaknya tu diem saja

kan. Dia mikir mungkin, “masa adikku yang lurus kayak gini” kayak begitu

mungkin di dalam pikirannya. Terus, aku berangkat kerja. “sudah, aku berangkat

kerja ya.” pamit sama kakak iparku itu. Sudah, aku berangkat kerja mbak. Sudah

mateng masak dari jam 9. Terus jam 11 atau 12 begitu suamiku wa, katanya ada

orang yang mau ketemu sama aku, katanya begitu. Aku ditungguin sama orang

pusat, begitu. “aku kayaknya gabisa, deh” aku bilang kayak begitu. Terus aku itu

sebenernya sudah eee jaman itu BBM ya. dan aku sudah BBM si cewek itu

panjaaaaang kali lebar aku memperkenalkan diri kalo aku istrinya si ini dengan anak

sekian bla bla bla. Aku baik-baik kok ngomongnya sama perempuan itu. Nah jebret

jebret jebret pesan itu aku forward ke suamiku siangnya. Aku bilang ke suamiku,

“eh sorry beb tadi aku BBM-an sama pacarmu” aku bilang kayak begitu saja

(tertawa), “maaf ya aku lancang”. Sudah, abis itu suamiku nggak bales. Sudah

dibaca sih tapi memang nggak dibales (tertawa).

Terus seharusnya aku pulang ke rumah. Eee waktu itu aku sudah S2 kan, kebetulan

kuliah hari Sabtu. “aku berangkat kuliah ya” aku izin sama suammiku kayak begitu.

Padahal sebenernya nggak ada pelajaran, jam kosong. Jadi, aku numpang tidur di

tempat teman ku yang seorang dosen di Manado yang kebetulan dapet tugas belajar

tempat aku S2. “wee aku ikut dong, numpang tidur di tempatmu”, “memang ada

apa kau bu?” kayak begitu (tertawa) “tumben-tumbenan kau tidur di kos” gituu,

“gue ada masalah sama laki gue”, “gue tidur ya sambil ngerjain tugas”, “oh iya, iya

gapapa bu. bawa baju ga?”, “nggak” gue bilang, “yaudah pakai baju kita”. Nah jadi

aku tidur di asrama anak-anak Manado itu. Aku bilang, aku pergi yaa. Dan disitu

aku Cuma bawa duit 200rb doang. Memang bawa motor juga. Aku berangkat

kuliah, aku ngomongnya berangkat kuliah. Tapi ada jam kosong. Aku juga bilang,

“jagain anak-anak. Itu ada ayam ungkep, telor, bla bla bla”. Sudah deh, sehari itu

aku putus kontak sama suamiku.

Yaudah, aku cuman intropeksi apasih yang kurang sama diri aku. Terus aku juga

sambil ngerjain tugaslah dan temenku nggak ada yang gangguin. Karena aku bilang

lagi ada permasalahan keluarga dan mereka juga kan dosen-dosen yang yaa sudah

paham juga lah. Jadi, mereka kasih aku kamar satu biar aku menyelesaikan

masalahnya sendiri. Sudah ini, besoknya Minggunya aku balik malem. Aku bilang

ke suamiku, “aku balik, sudah sampe rumah”. Suamiku kan pergi sama anak-anak

kan nyariina aku. Pas aku nyalain hp isinya spam dari suamiku semua. “mah,

dimana dimana dimana” kayak begitu. Telfon dan miscall ada ratusan itu kayaknya.

Tapi aku juga sudah telfon ke kakak aku, “nanti kalo suami gue ke situ bawa anak-

lxxxix

anak jangan ditanyain ya gue dimana. Soalnya gue lagi kabur.” Aku bilang kayak

giut ke kakakku. Terus aku juga bilang ke dia, “lagi gue lagi pacaran niih, terus

ketahuan sama gue tapi belum ngomong” kayak bilang kayak begitu. Terus aku

juga bilang juga, “gausah tanya-tanya. Bilangin Bapak juga jangan tanya macem-

macem. Biasa aja”. Karena aku mengkondisikan yang di rumah sana (keluargaku)

biar suamiku juga nyaman main ke rumah ibuku disana.

Yaudah, sampe rumah, suamiku malah yang sudah pasang surut duluan. Biasalah

laki-laki kan kayak begitu ya. pulang ke rumah bukannya memperjelas persoalan

malah dia yang marah-marah ke aku. Ya aku diemin saja. aku nggak tanya-tanya

juga ada kali semingguan. Terus dia kayak yang capek sendiri soalnya kalo marah-

marah gue diemin saja. nggak gue kasih makan juga. Gue sih masak ya buat makan

sendiri saja. aku kayak begitu karena suamiku nggak memperjelas masalahnya. Dia

cuman maaf doang di chat. Akhirnya dia ngajakin aku ngomong. Ya biasalah dia

marah-marah dulu. “kamu maunya gimana sih mah?!! nyenyenye” kayak begitu.

Terus akhirnya aku, “loh ya, maunya gimana?” “lo ada sayang-sayangan sama

cewek lain. Gue salahnya dimana coba?” aku bilang begitu tu ke suamiku. “gue

mau intropeksi deh, gue kurangnya dimana? Gue kurang hot apa gimanaa?”, “gue

kurang cakep?!”, “tolong dong 3,5 juta setiap bulan buat gue suntik putih” kan gue

bilang begitu tu mbak. Gue aslinya itu item, mbak. Terus suamiku malah nyengir

doang, “yo mending buat tuku susu” (ya mendingan buat beli susu). Dulu waktu itu

gue anak 4 buat susu itu habis sekitar 7jt lah buat susu doang. Terus ya, “kalo emnag

kurang tinggi, ya gue cuman bisa sampe segini doang” ya gue bilang begitu. “Kalo

kurang putih ya sini 3,5 juta perbulan. Modalin lah”. “lo mau apa dari gue, mau gue

nungging atau segala macem ayo gue jabanin. Tinggal ngomong! Dikomunikasiin

semuanya!” yaudah aku omongin juga semuanya ke suamiku kayak begitu. Sudah,

abis itu dia ngaku salah, “iya aku salah”. Dan ternyata itu masalah pekerjaan. Jadi,

ya suamiku ceritalah kalo pekerjaan harus ini ini ini. “kan ini mah, namnaya

entertain ya harus gini gini gini”, “yo ora mesti lah! Melu melu kayak ngono!” (ya

nggak harus lah. Ikut-ikut kayak begitu). Ya nggak masalah sebenernya kalo kayak

traktir makan atau apalah begitu karena gue juga dulu di marketing tahu kok. Tapi

kan salahnya dia bermain perasaan. Sampe aku tanya ke suamiku, “jadi lo mau nya

gimanaa? Ini kita mau bubar lagi apa gimanaa?” aku bilang kayak begitu saja.

P : terus respon suami bagaimana bu?

I : ya suamiku diem saja. terus akhirnya dia diem 3 hari sama aku nggak

ngomong. Kita diem-dieman begitu ya. terus akhirnya malem-malem – kan kita

juga berhubungan seks kan. Lah tapi kan aku jijik kayak begitu kan (tertawa).

Dalem hatiku tu jijik, “aduh bekas cipokannya siapa itu bibir” misalnya kayak

begitu ya. aku orangnya jijik-an ya mbak. Jujur ya pas suami ketahuan selingkuh

itu, aku itu mikir, “aduh itu bekasnya dia” ada orang lain yang pernah menjamah

selain aku. begitu begitu lah. Ih malesin amat, idih. Belum bisa lupa. Ada saatnya

kita memaafkan ya ada. Tapikan kalo lupa nggak bisa. Saya butuh waktu buat

ngelupain semuanya.

Oh, ya, terus suamiku kasih tahu aku kalo dia sudah putusin kontrak kerja. Padahal

waktu itu nilainya sekian M. Padahal kalo dipikir-pikir ya.. eee sekian M tapi

dengan taruhan keuntungan yang nggak seberapa dan rumah tangga hancur, yaa

nggak worth menurutku. Nah, yang kayak gini yang harus dibicarakan dengan jelas.

xc

Aku juga bukan tipe orang yang nggak mau diajak susah kok. Aku nggak pernah

ngeluh dan saya juga mau diajak susah. Ya ayok, kita mulai sama-sama dari 0. Aku

juga pernah kan ngelahirin anak kedua itu ngutang dulu sama dokternya. Aku

bayarnya 2 bulan kemudian. Pernah saya ngalamin itu. Kita juga pernah merasakan

masa-masa sulit. Di usir dari kontrakan juga pernah. Aku juga pernah ngalamin

tidur di rumah kontrakan yang nggak ada jendela nggak ada pintu. “Apa aku pernah

ngeluh?” aku bilang begitu. “Terus ini, masa sih baru dikasih rejeki sedikit kayak

gini kamu sudah lupa sama perjalanan hidup kita yang panjang” aku bilang kayak

begitu. Jangan mikirinnya lo kepengen cewek yang cakep. “Tapi harusnya lo itu

mikir gimana caranya bikin bini lo cakep. Makanya sini duit buat gue suntik putih.

Kalo mau bubar ya ayok bubar” bilang begitu dah gue sama laki gue.

Abis itu ya dia mikir mungkin. Apa gimanaa. Dia mencoba berubah. Tadinya aku

masih yang gimanaa begitu ya. masih sakit hati sih, terus geli juga, ih. Tapi ngeliat

suami itu ngebaik-baikin, terus ngelucu juga akhirnya aku ngerasa kasian juga sama

dia masa orang ngelucu nggak ada yang ketawa. Aku juga keinget masa susah kita

lagi. Oh, iya, aku pernah susah sama dia. Perjalanan aku bisa balik lagi sama suami,

mulai dari dia yang digaplokin sama kakak-kakakku, diomelin sama ibuku, terus

aku juga yang dicemesin sama keluarganya suamiku, sama ipar-iparku disuruh

sujud-sujudlah, aku sampe yang nurunin egoku sampe ke dasar banget aku lakuin

demi suamiku dan segala macem yang pernah kita lewatin bareng-bareng. Jadi

yaudah lah, kita kosong-kosong lagi. Kita mulai dari awal lagi. Batasan-batasan

dalam berteman dengan lawan jenis mulai diperjelas lagi. Tapi sih, lebih banyak

suamiku yang ngasih larangan-larangan ke aku. Nggak boleh ini nggak boleh itu.

xci

2. Informan K

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Minggu, 01 November 2021

Nama : K

Usia : 32 tahun

Status Perkawinan : Sudah menikah

Usia Menikah : 30 Tahun

Pendidikan : S-2

Pekerjaan : CEO PT. X

Domisili : Jakarta Selatan

P : halo, selamat pagi.

I : selamat pagi.

P : dengan kak karina ya?

I : iya betul.

P : iya ini aku agis, kak.

I : iya silahkan.

P : iya, gimana kak kabarnya hari ini?

I : baik.

P : baik, alhamdulillah. Kak makasih ya. Sebelumnya makasih sudah bersedia

jadi narasumber aku.

I : heem.

P : iya. Oke,

I : dimana deh kamu kuliahnya aku lupa?

P : apa kak?

I : kuliahnya dimana?

P : oh, aku kuliahnya di UIN Jakarta, kak.

I : oww oke iya iya.

P : kakak sendiri dimana tinggalnya sekarang?

I : Jakarta.

P : Jakartaaa mana kak? Ehehe

I : eee Jakarta selatan

P : ooo Jakarta selatan. Oke. Nama lengkap kakak?

I : karina

P : oke. Usia saat ini kak kalo boleh tau?

I : eee 32 sekarang.

P : oke. Kakak pekerjaan saat ini apa?

I : eee direktur utama atau ceo.

P : iya...di?

I : PT. X

P : oh, itu bergerak dibidang apa kak?

I : dibidang teknologi, IT.

P : ooo sudah lama menjabat jadi dirut dan gimana?

I : sudah lama.

P : ooo oke oke. Pendidikan terakhirnya kak?

I : S2.

xcii

P : S2 ya oke oke. Sekarang di Jakarta Selatan tinggal sama keluarga atau

tinggal sendiri kayak ngekos atau rumah sendiri begitu kak?

I : rumah sendiri.

P : alhamdulillah. Oke, kak, aku langsung masuk ke pertanyaan inti saja ya.

Eee apa alasan kakak sampe saat ini melajang itu sebenernya apa? Yang paling

mendasari.

I : enggak melajang sih, sudah menikah.

P : oooh sudah menikah??? Kakak menikah usia berapa?

I : 30.

P : oh, 30. Oke. Berarti saat ini sudah berkeluarga...

I : iya sudah.

P : oke. Aku mau tahu dong kak, gimana kakak berdiskusi sama pasangan

setelah menikah, sampe akhirnya, eee maksudnya, sampe akhirnya kakak itu setelah

menikah tetap bekerja? Bagaimana kakak mendiskusikan itu sama suami.

I : mendiskusikannya ya sebelum nikah.

P : iya, bagaimana kak?

I : eee ya pada saat yang namanya berpacaran atau berkenalan yaa dibahas

semuanya eee kalo apa, kalo memang dia, kalo memang visinya sama untuk menuju

pernikahan. Atau dari aku sebagai diri perempuan, aku akan melakukan semacam

testing atau pertanyaan-pertanyaan yang menurutku, oke ini lolos persyaratanku

untuk menjadi suamiku, gituloh.

P : oo oke. Lalu dari suami pun nggak keberatan ya kak, maksudnya, yaudah

dia dari awal pembicaraan juga sudah setuju.

I : kan saya S2 itu sebelum nikah ya.

P : iya..

I : jadi memang eee dan saya tipikal alfa women yang eee tahu maunya apa,

saya mau, saya mau kerja, tidak mau menyia-nyiakan pendidikan saya. Jadi saya

mencari laki-laki yang memang menghargai pendidikan, yang menghargai

perempuan, yang bisa tahu dan yang, dan yang eee bangga terhadap perempuan

yang berpendidikan tinggi, begitu. Dan keputusan kerja atau tidak diomongin, ya.

Kalo memang laki-laki itu bilang eee sanggup, supaya saya jadi ibu rumah tangga.

Saya akan tanyakan, memang kamu perencanaannya seperti apa, eee karir kamu,

kayak begitu. Jangan sampe dimasa ekonomi yang sekarang eee bukannya malah

double, eee apa ya, bukannya malah pendapatannya tandem atau dua pendapatan,

maksain satu pendapatan malah jadinya menyusahkan diri sendiri, kayak begitu.

Atau menyusahkan keluarga nantinya. Kalo jawabannya memuaskan, maka ya,

saya oke saja jadi ibu rumah tangga. Tapi kalo jawabannya tidak memuaskan, saya

tidak akan (tidak menjadi ibu rumah tangga dan tetap bekerja).

P : oo ooke. Kakak mulai bekerja dari usia berapa?

I : umur 20 tahun.

P : 20 tahun. dan itu, setelah bekerja masih tinggal sama orang tua atau

memang sudah mutusin keluar dari rumah kak?

I : kalo ngekost itu keluar dari rumah? Atau gimana?

P : iya ngekost juga keluar dari rumah. Maksudnya jauh dari orang tua gitu.

I : jauh dari rumah ya sejak umur 16 tahun. lulus SMA langsung kuliah di

luar kota.

xciii

P : kakak di usia pas keluar dari rumah, ketika umur 16 tahun, sudah ngerasa

ini belum sih, sudah bisa bertanggung jawab atas diri sendiri..

I : belum. Kan, masih dapet uang saku dari orang tua.

P : tapi keputusan-keputusan hidup kakak semasa kuliah itu, kakak sudah

ngerasa, oh saya sudah pantas untuk memutuskan jalan hidup saya.

I : ketika kamu memilih kuliah di luar kota, itu sudah harus masuk itungan

siap. Kalo nggak siap ya jangan pilih kuliah di luar kota. Kamu harus mengambil

semua konsekuensi atas semua pilihan kamu.

P : oo oke. Saat ini juga suami bekerja kak?

I : suami bekerja di perusahaan saya.

P : berarti kakak itu menikah di usia 30,

I : ya.

P : bagaiamana tuh, kak, kakak membicarakan eee keputusan kakak untuk

menikah sama orang tua kakak?

I : eee kalo strategi ngomong-ngomong sama orang tua yaaa, kan sudah tahu

saya pacaran nih, kemudian eee seperti, eee aku serius, ya nyampein ke orang

tuanya ya, sepertinya aku serius sama anak ini nih, atau sama cowok ini, kayak

begitu. Kan pasti (tanggapan orang tua) oh ya, memang sudah serius? Memang

sudah dipikirin? Pasti akan ada pertanyaan dari orang tua, emang sudah dipikirkan?

Rencana kedepannya bagaimana, akan tinggal dimana? Finansialnya seperti apa.

Ketika kita bisa menyajikan jawaban-jawaban tersebut secara pasti, ya lolos lolos

saja, kayak begitu. Apakah kamu yakin dengan sifat-sifatnya? Ketika kamu bisa

menjelaskan bahwa kamu yakin dengan sifat calon suami kamu, ya orang tua saya

sih, eee lolos lolos saja.

P : oke. Dari orang tua sendiri sebenarnya eee ada desakan gak sih, kak, atau

dorongan ketika kakak sampe di usia 23 atau 24, ditanya kamu mau menikah, ada

rencana menikah usia berapa. Dari orang tua kakak ada desakan seperti itu ga?

I : enggak ada sih. Soalnya saya menikah juga di umur yang memang sesuai

sama rencana hidup saya. Dan orang tua saya masih menganggap itu normal lah,

begitu. Kalo saya, belum nikah-nikah umur 31 32 baru deh kayaknya orang tua saya

mulai, mulai agak ribut mempertanyakan.

P : kalo begitu, kakak juga memiliki kebebesan gak, untuk kakak mau pacaran

sama siapa saja atau kakak mau kenal deket sama cowok mana saja, orang tua ya,

silahkan.

I : bebas. Selagi kamu bertanggung jawab pada keputusan kamu, nggak

memalukan keluarga.

P : oh oke. Kalo boleh tahu kakak sendiri berapa bersaudara?

I : 3 bersaudara.

P : kakak anak ke?

I : pertama.

P : aku mau tanya, kalo boleh tahu usia orang tua kakak menikah itu usia

berapa ya?

I : umur 28.

P : ibu dan ayah sama-sama 28 kak?

I : ya, sama-sama 28.

xciv

P : kak, ketika kakak menikah nih, apa sih hal-hal yang selama ini, maksudnya

apa perbedaan yang kakak rasakah setelah menikah dan sebelum menikah?

I : ya apa ya, kalo sebelum nikah ya mikirin diri sendiri. Kalo misalnya,

sebagai perempuan ya kalo sudah menikah, sebagai perempuan ada pikiran

tambahan. Pikiran tambahan melayani suami, eee dalam bentuk entah itu seksual

atau entah itu untuk makanan, entah itu dalam hal eee apa ya namanya, kewajiban,

kayak pekerjaan rumah tangga, kayak begitu. Which is, bebannya jadi bertambah.

Kalo dulu kan mikirin diri sendiri, semua dipenuhi orang tua. Kalo yang sekarang

ya beban itu sudah di diri sendiri akibat konsekuensi menikah.

P : ooo oke. Kalo menurut kakak sendiri, eee pernikahan itu apa sih kak?

I : pernikahan itu komitmen.

P : ya...?

I : komitmen terhadap pasangan sendiri, komitmen terhadap pilihan, eee

komitmen terhadap rasa sakit, yang akan diterima, ya ditelen, kayak begitu. Ya

intinya itu, komitmen saja. pernikahan buat saya adalah komitmen. Misalnya sudah

milih dia, ya sudah setia sama dia.

P : lalu menurut kakak seberapa penting siap menikah secara mental, finansial

dan emosi?

I : ya penting.

P : seperti apa kak?

I : ya sudah itu jawabannya penting.

P : kakak bilang kalo pernikahan itu komitmen. Kalo kita sebagai perempuan,

menurut kakak pernikahan itu suatu keharusan gak sih?

I : eee tergantung cara pikirnya seperti apa ya.

P : iyaa...

I : kalo saya mau melanjutkan ego saya sebagai alfa women, yang bisa

menghiduoi diri sendiri ya gak perlu laki-laki. Saya bisa sendiri. Tapi ketika saya

memikirkan, eee saya punya kebutuhan seksual, saya butuh, butuh teman yang

memang bisa diajak ngobrol sehari-hari secara intim, ya saya memikirkan, ya eee

saya butuh untuk menikah. Lebih ke ini saja sih, saya alfa women, lebih banyak

punya teman cowok, saya tipe cewek bebas yang friends with benefit kemana-

mana, dan saya melakukan seks bebas secara eee apa namanya, secara sehat, ya

mungkin saja seperti itu. Bisa saja saya gak nikah. Cuma kayaknya kalo

memikirkan lagi, eee mungkin saya pikiran seksnya itu yang komitmen dengan satu

pasangan. Ya menikah. Kayak begitu. Untuk masalah risiko kesehatan, kemudian

masalah, mungkin kita mempertimbangkan juga masalah eee ya itu tadi, teman

sehidup semati, klise sih, tapi sehidup sematinya tuh bener dan buat diskusi bareng,

ngomong intim, kayak gitusih. Saya butuh itu. Karena memang kalo dengan teman-

teman biasa atau teman-teman laki – saya lebih deket ke teman laki-laki dari pada

perempuan dalam pertemanan, itu eee tetap ada batasan. Kita bisa dengan bebas itu

ya sama suami.

P : kak, aku punya satu pertanyaan terakhir. Menurut kakak, perempuan

dikatakan telat menikah itu saat usia berapa?

I : apa? Perempuan apa?

P : perempuan dikatakan telat menikah itu di usia berapa menurut kak karina?

xcv

I : telat menikah...eee di atas 30. Kenapa di atas 30? Pertama adalah karena

pertimbangan kesehatan. Ketika seorang perempuan itu eee semakin tua, maka dia

akan semakin berisiko untuk mempunyai anak. Jadi menurut saya, masalah tua

menikah itu sebenarnya bukan masalah kamu dirong-rong atau segala macem. Tapi

visi kamu melihat diri kamu sebagai perempuan untuk bereproduksi, memiliki anak

itu bagaimana, kayak begitu. Ketika kamu hamil umur 35, maka kamu akan

semakin meningkatkan risiko anak kamu meninggal, kayak begitu. Atau berisiko

terhadap hidup kamu. Kayak begitu. Saya lebih ke kesehatan saja sih. Bukan

masalah, apa namanya, masalah susah cari pasangan lah, masih enak hidup sendiri

lah, bukan, bukan itu. Lebih kepada pertimbangan kesehatan.

xcvi

3. Informan Indah

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Minggu, 01 November 2021

Nama : Indah

Usia : 36 tahun

Status Perkawinan : Sudah menikah

Usia Menikah : 34 Tahun

Pendidikan : S-2 Kebidanan

Pekerjaan : Dosen dan Bidan

Domisili : Depok

P : Halo assalamualaikum

I : walaykumsalam

P : iya Bu gimana Ibu? Ibu lagi dimana ini?

I : Saya lagi di rumah tapi sambil ada rapat, sih.

P : oh iya iya,

P : nih, aku ganggu enggak nih?

I : eeee enggak sih, kayaknya ya (tertawa) ya, ya, gimana syifa?

P : aku panggil kakak aja ya biar lebih enak hehe

I : oh iya, baik.

P : aku tahu dari kak nana... eeh sebelumnya Kak indah makasih banget sudah

mau jadi narasumber aku.

I : oh iya gak papa. Hahaha gapapa sayang

P : dari kak nana ngasih tahu kalo kak Indah nikah di usia di atas 30, ya?

Tepatnya usia berapa kak?

I : eee usia berapa ya...tunggu...3...3...34 lewat, ya 34 setengah lah. Aku

Januari 34. Aku nikahnya agustus.

P : alasannya apa kak?

I : kenapa? Kalo pertanyaannya kenapa, kalo alasan secara pribadi sih eee

enggak ada ya. Maksudnya ya memang mengalir begitu saja. karena, aku pribadi

sih maunya nikah cepet-cepet ya (tertawa) tapi ternyata tidak semudah itu dalam

menemukan pasangan. pasangan ya. Apa namanya, menemukan pasangan yang eee

pas begitu. Terus habis itu dalam menemukan... karena aku punya prinsip nggak

mau pacaran. Sementara lingkungan aku itu eee lingkungan yang orang biasa saja.

jadi, boleh dibilang aku bukan berenang di kolam yang tepat sebenernya. Ngerti

gak? Jadi, aku punya prinsip enggak mau pacaran. Tapi, aku nggak masuk dalam

komunitas itu, begitu.

P : ooo oke...

I : komunitas dimana orang tidak pacaran. Lalu, mungkin dia berta’aruf

seperti apa begitu ya. seperti itu jadi, yang pertama itu. Kemudian, yang kedua,

ternyata ketika dalam mencari pasangan itu eee apa yaa, oke aku tidak pacaran, tapi

aku dikenalkan misalnya sama orang, sama siapa begitu kan ya. Eee tapi ya ternyata

gak mudah begitu. Karena kalo misalnya mungkin ya, model ta’aruf begitu kan,

kitaa..., aku banyak skeptisnya, begitu. Kalo misalnya kita ta’aruf itukan kita

di...sudah ada orang kepercayaan gitukan sebagai penengah. Itu ya. Kalo misalnya

kita coba berprinsip tidak mau berpacaran tapi kita mengenal, gimana caranya

xcvii

coba? Begitu kan. Kecuali kita punya seorang yang bisa kita eee bisa kita apa

namanya, bisa kita percayai. Tapi kalo diserahin ke kita otomatis kita bakalan jalan

terus sama dia, gitukan.

P : iya..iya..

I : iya, bakalan jalan bareng sama dia, bakal eee berduaan, kayak begitu-

begitu. Nah itu, aku menghindari itu, tapi, ternyata yaa... ya... tidak tidak tidak

mudah. Karena aku nggak berada dalam komunitas yang mendukung prinsip aku,

lingkungan yang islami lah istilahnya. Biasa saja begitu. Jadi itu, prinsip yang aku

punya itu nggak pas di lingkungan yang tidak pas kayak begitu. mungkin ya, itu

salah satu mungkin selain itu mungkin Allah memang tidak, belum menghendaki.

Maksudnya menghendaki mungkin belum menghendaki di usia aku segini atau

mungkin dengan orang yang ini, begitu.

P : tapi ada kekhawatiran nggak sih, kak Indah sendiri (yang belum menikah

di usia 34)?

I : oh pasti. Pasti. Pasti ada kekhawatiran. Karena aku bukan orang yang eee

aku bukan orang yang tipikal eee apa namanya, kalo sekarang kan perempuan

banyak yang dia lebih ke karir, begitu. Itu mungkin pengalihan begitu ya, dengan

karir. Kalo aku sih enggak begitu malahan biasa saja orangnya (tertawa). Jadinya

aku juga bukannya yang eee apa namanya, (aku) orangnya biasa-biasa saja. jadi

nggak, nggak, akhirnya aku, menekuni sesuatu yang akhirnya aku jadinya tuh

sampe melupakan ini gitukan. Dalam tanda kutip ya, menikah. Aku itu enggak

(tidak tenggelam dalam karir). Justru aku takut (untuk) menekuni sesuatu begitu.

Aku punya temen-temen gitu kan di komunitas, bukan komunitas sih, ya komunitas

semacam itulah ya untuk untuk bisa, mungkin ya, kalau aku mau itu aku akan

nyemplung disitu total dan mungkin juga aku akan, akan apa, akhirnya akan

terlupakan begitu segala kegelisahan, segala ke apa namanya kepikiran itu kan ya.

Tapi justru aku gamau itu aku nyemplung ke kegiatan yang memang bikin aku lupa

untuk menikah. Ngerti gak?

P : Kenapa Kak alasannya?

I : alasannya ya karena aku takut. Ya karena aku takut malah nati aku nggak

nikah-nikah (tertawa). Karena banyak itu beberapa orang yang aku temuin,

mungkin entahlah apa-apa, aku nggak terlalu ngorek-ngorek. Orang-orang yang aku

temui mereka sampai dengan usia 40 begitu-begitu kan belum menikah juga. Kalo

aku perhatiin ternyata dia tuh, akhirnya nyemplung disesuatu. Entah itu komunitas

apa, misalnya ada yang dia itu buka klinik, misalnya, sebenernya sih nggak

menutup kemungkinan sih ya, ya mungkin dia menyibukkan dirinya. Ada yang

berkecimpung dibidang apa...penelitian. ya mungkin itu hanya sekedar aktifitas

sehari-hari dia saja ya. Tapi, yang kita liat dari sisi luar itu liatnya, akhirnya dia

menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatannya yang seperti itu. Misalnya

kegiatan-kegiatan lain yang mungkin bikin dia sibuk. Nah, kalo aku nggak mau

menyibukkan diri aku tuh sampe aku lupa untuk aku menikah. Ngerti gak?

P : iya...

I : jadi aku beberapa kali diajak, ayolah, ayolah kita tekuni (kegiatan

penelitian) yang dimana mengharuskan aku pergi ke luar dari eee ke luar

jabodetabek. Itu, pergi kemana gitukan untuk, untuk melakukan sesuatu. Yang

xcviii

kayak begitu justru aku takut, begitu. Ah entar malah, malah lupa lagi (menikah).

Begitu. Justru itu malah kepikiran hal-hal kayak begitu.

P : aaa oke. Kak, kalo misalnya dari orang tua sendiri ada desakan (untuk

segera menikah) begitu gak ketika sudah di usia 30an tapi belum menikah?

I : ada. Ada...ada dong.

P : gimana tuh kak? Bisa diceritain?

I : ya tipikal orang tua juga sih sebenernya. Orang tua yang eee seperti biasa.

Maksudnya eee bukan orang tua yang akhirnya eee yasudahlah eee sekarang belum

nikah yaudah kamu kejar karir kamu dulu saja atau kejar ini dulu saja. jadi, tetap

orang tua tuh, tetap selalu mengingatkan. Itu justru, itu mungkin yang buat aku

selalu tetap pikirin (untuk menikah) karena orang tua pasti selalu mencarikan. Coba

kenalin sama si A, oh belum cocok, yaudah enggak. Terus kenalin sama si B. Aku

juga bukan tipikal yang nyerah juga. Oh nggak cocok, yaudah kita coba lagi sama

yang lain. Nggak cocok lagi, coba sama yang lain lagi (tertawa). Itu, jadi saling-

saling antara orang tua dengan aku. Jadi orang tua juga aktif dan akunya juga nggak,

nggak, nggak menolak untuk dicarikan, gitusih kalo istilahnya.

P : oooke. Jadi orang tua memang bantu untuk cari juga ya kak.

I : heeh

P : kalo...gini gini, kakak sering mikir gini nggak sih, dengan orang-orang

sekitar, sama gue yang sudah usia segini nih, belum menikah, gitu? Kakak

memikirkan stigma dari masyarakat nggak sih?

I : ya kepikiran lah.

P : tanggapan kakak seperti apa?

I : sempet ada rasa sedih juga. Karena mungkin nih, karena perasaan saja.

karena memang aku kan itu tadi, aku kepenginan itu (menikah) juga gituloh. Tapi

kan memang belum, ya mungkin memang belum jodohnya saat itu dateng, kaya

gitukan ya. Aku sih melihatnya, kok kayaknnya mereka mengkasihani aku ya,

gituu. Itu yang, yang prasangka buruknya. Jadi kayaknya orang-orang itu

mengkasihani aku. Itu kali mungkin. Mungkin kata-katanya seperti itu ya. Padahal

sebenernya (mereka) biasa saja sih. Eeee Cuma ya mereka ya bukannya

mengkasihani lebih kepada eee yaudahlah kita cariin sama siapa yaa... kayak begitu

(tertawa). Cuma aku di sisi lain juga ada rasa, ih, kok mereka kayaknya gimana

begitu ya, mandang aku, jadi kayak... kadang-kadang juga jadi sering menghindar

untuk pertemuan keluarga, misalnya begitu ya. Kayak begitu-begitu ada juga

sempet. Cuma ya akhirnya aku berintropeksi diri. Kalo misalnya begini terus kapan

aku mau majunya. Yaudah santai aja sih. Akhirnya lambat laun, akhirnya eee

yaudah, akhirnya bisa, bisa ini sendiri (menerima keadaan), maksudnya yang

enggak terlalu baper-baper banget. akhirnya biasa saja. dengan tahap biasa, yang

awalnya baper ya istilahnya begitu ya kalau anak sekarang sampe akhirnya biasa

saja sekarang. Begitu sih. Sampe nggak kepikiran.

P : kalo, apa ya kak, kak Indah sendiri nih. Ketemu suami itu juga, memang

dikenalin sama orangtua kah?

I : heeh dikenalin sama orang tua.

P : ada ini nggak sih kak, kalo boleh tahu, ada kriteria khusus nggak untuk

calon suami kakak seperti apa?

xcix

I : ya kalo aku kliknya adalah sama orang yang eee aku bisa ajak diskusi. Jadi

kalau nyambung tektokan aja sih sebenernya. Dulu sih sempet sih, bikin kriteria ini

itu karena aku kan tipe orangnya pemikir. Eee bikin kriteria kayak gini gini gini

pokoknya aku pikirin semua lah aku rencanakan seperti apa yang aku inginkan.

Begitu ya. Eee tapi ternyata diketemuin sama orang-orang yang seperti kriteria aku

kenapa kok aku menolak, begitu ya. Ternyata di sisi yang lain, aaaa aku itu

sebenernya klikan di awal dulu, baru ngebuka jalan yang lain. Klikan aku di awal

itu apa? kalau anak orang itu yang bisa diajak diskusi, diajak ngobrol lah ya. Dalam

artian setara, bukan oranag yang apa namanya yang kepintaran istilahnya atau

mungkin yang terlalu dibawah aku begitu. Ini kalau alhamdulillah sih sama suami

ini seperti itu yang aku bikin klik sama dia. Karena dia eee bisa ngikutin.

Maksudnya gini, aku bisa ngikutin dia, dia juga bisa ngikutin aku. Eee pendapat

aku bisa di eee apa namanya dihargain sama dia, begitu. Jadi, itu ternyata yang bikin

aku begitu ya, setelah aku membuat kriteria, akhirnya kriteria itu mental (tertawa),

banyak yang mentalnya gitukan ya. Mungkin kita hanya butuh satu, satu penguat

sih. Karena enggak ada orang yang bener-bener sesuai dengan kriteria yang kita

tulis atau yang kita impikan sebenernya. Tapi ternyata ujungnya tuh Cuma ada satu

yang bener-bener jadi penguat atau yang jadi eee iya atau hal yang paling kuatlah

di antara semuanya. Dan itu yang aku sadari setelah bertemu dengan 1 2 3 4 5 orang

gitukan ya. Mereka tuh, rata-rata eee ada kriterianya di aku tapi kok adalagi yang

bikin aku, aku ilfeel deh bagian ininya dan itu aku tinggalin. Aku ilfeel deh dibagian

ininya. Mungkin pemilih kali ya. Seperti itu. Jadi, eee itu yang akhirnya aku

mencoba untuk apa namanya, ayolah. Maksudnya apa sih sebenernya point utama

deh, gitukan ya, yang bisa bikin, oh, ternyata orang yang bisa diajak diskusi. Karena

dengan orang yang bisa diajak diskusi, segala sesuatu bisa dibicarakan. Misalnya

ada masalah kah atau apakah. Jadi nggak Cuma sekedar pinter, nggak Cuma sekedar

wawasan luas, nggak sekedar Cuma ini. Kalo misalnya dia pinter, wawasannya

luas, tapi dia gabisa diajak ngobrol begitu, gabisa diajak berunding istilahnya. Oh,

itu jadi...kalo aku nggak cocok. Nah, Ini aku temui dalam diri suami aku sekarang.

P : kak, aku mau make sure lagi ya. berarti sebenarnya keluarga kakak itu tahu

kalau misalkan emang kakak mau menikah tapi tidak mau pacaran gitu ya. Makanya

mereka tidak terlalu buru-buru banget atau mendesak kakak untuk segera menikah.

gitu ya.

I : eee kalo mendesak sih, gimana ya definisi mendesak itu. Mereka itu tidak

menunjukkan ke aku tapi mereka meminta bantuan misalnya ke sepupu atau ke

siapakah begitu. Ada gak sih calon buat anak aku. Boleh lah kenalin. cuman nggak,

nggak ke aku langsung. Jadi mereka aktif mencarikan (pasangan) buat aku.

P : kakak ngasih pengertian-pengertian ke orang tuanya seperti apa sih? kayak

pengertian kalo kamu emang nggak mau pacaran dulu. Dan yang kamu tahu kan,

orang tua kakak memang nggak ngedesak dan mereka juga nggak ngomong

langsung ya melainkan lewat sepupu-sepupu kamu.

I : bentar-bentar aku dipanggil kayaknya. Bisa diulang nggak pertanyaannya?

P : iya, jadi, kakak berusaha nggak sih untuk ngasih pengertian ke orang tua

untuk kakak yang belum menikah dan tidak juga mau berpacaran?

I : eee orang tua itu melihat aku itu orang yang akhirnya menutup diri. Jadi

orang tua aku itu tipikalnya apa ya, orang tua tuh, dari awal mereka itu tadi kan aku

c

bilang kan mereka tidak mendesak. Kalo mendesak kan berarti mereka ngomong

secara langsung sama aku. Tapi karena mereka, kenapa aku tipikal orang yang

berdiskusi, karena orang tua aku tipikalnya diskusi. Begitu. Jadi, mereka tipikalnya

diskusi. Jadi mereka tidak mendesak aku dalam kondisi yang nyuruh gituloh. Itu

enggak. Tapi mereka yang ngajak ngobrol. Ketika mereka melihat aku masih yang

dalam kondisi yang dalam tanda kutip ya, NORMAL lah istilahnya, jadi mereka ya

membiarkan saja gitu tapi mereka di sisi lain aktif mencari kan. Dalam artian, yang

tadi aku bilang, ada nggak sih calon buat anak aku. Eee suatu saat ya misalnya

contohnya ya, aku dipanggilnya, eee karena aku orang padang ya, dipanggilnya uni

di rumah. Uni, boleh ya ibu kasih ini ada teman ibu gini gini gini punya bla bla bla

segala macem, boleh ga ibu kasih nomor telfon uni? Boleh. Begitu. Jadi, mereka

tuh begitu caranya. Jadi karena mereka melihat aku bukan yang menutup diri atau

malah menghindar-menghindar. Nah, mereka boleh dibilang ya mereka mengikuti

alurnya aku. Jadi aku nggak ada, kalo menjelaskan secara secara spesifik

menjelaskan gitu nggak pernah sih cuman dalam tersirat dalam diskusi-diskusi kita.

Obrolan antara aku dengan orang tua, obrolan aku dengan adik-adik aku, begitu ya.

Disitu, tersampaikannya disitu. Tanpa aku harus menjelaskannya secara gamblang.

“aku gak mau pacaran ya!” Gini gini gini, enggak, aku nggak kayak begitu caranya.

Apa namanya, lebih kebanyak musyawarah, banyak diskusi, banyak ngobrol. Itu

sih.

P : kalau kak Indah sekarang udah di rumah sendiri? Maksudnya udah udah

misah (dari orang tua)

I : belum (masih tinggal sama mertua)

P : oh, nggak, maksudku kemarin pas sebelum menikah, masih satu atap

dengan orang tua ya?

I : oh, iya, masih tinggal sama orang tua terus.

P : eee kalo menurut kakak nih selama Kakak itu sudah menikah sekarang pun

masih ada enggak sih beberapa hal yang perlu kakak diskusikan sama keluarga kak

Indah sendiri? orang tua kak indah ya, misalnya untuk keputusan,

I : terkait?

P : yang terkait apapun. mungkin kak indah berpikir kayaknya perlu deh yang

ini dibicarakan ke mama atau papa gitu.

I : saat ini ya, tergantung masalahnya sih. Kalo memang masalah itu

diperlukan pendapat orang tua ya tanya sama orang tua. Tapi kalo memang tidak

diperlukan atau dalam arti itu tidak diperlukan dalam hal yang sama orang tua

memang sebaiknya nggak usah taulah. Mungkin malah akan tidak baik hasilnya itu

yang enggak. jadi sekarang ya tergantung kondisinya atau tergantung

permasalahannya. Jadi, itu, nggak nggak selalu semuanya dibicarain ke orang tua.

gitu kadang mungkin ke suami atau mungkin kalau mungkin namanya kita berumah

tangga itu kan pasti ada permasalahan-permasalahan ya. Nah, itu permasalahan-

permasalahan tersebut eee jika masalah itu akan bisa besar bisa kecil. Kita bisa

besar-besarin masalah atau kita mau memperkecil masalah tersebut begitu. Nah,

kalau misalnya dengan ngomong sama orang tua akan menjadi melebar gitukan,

apalagi permasalah rumah tangga, ya, janganlah disampaikan. Mungkin kita bisa

cari teman yang nggak ember, nggak bocor gitukan. Misalnya kita dalam kondisi

ci

rumah tangga yang itu sih. Sejauh itu diusahakan seperti itu walaupun sulit ya

(tertawa).

P : kak aku mau nanya lagi, suami kakak sekarang bekerja kah?

I : bekerja.

P : kak Indah juga sekarang kerja gimana sih kakak tuh sama suami

mendiskusikan tentang kakak yang tetap bekerja setelah menikah.

I : eee ini nggak terlalu sulit sebenernya dilakukan kalau di rumah tangga aku

ya. karena suami itu tipikal keluarganya bekerja semua.

P : ooo oke

I : begitu. Jadi, justru mereka akan aneh kalo nggak bekerja (tertawa).

Perempuan-perempuannya begitu ya, kebetulan juga pekerja. Ibu mertuaku juga

pekerja tpi sudah pensiun. Aku juga punya ipar perempuan, pekerja. Jadi

lingkungan sekitar itu bekerja semua. Justru dipihak keluarga aku ini (yang tidak

bekerja) ya, adekku udah menikah justru enggak kerja, begitu. Jadi enggak terlalu

sulit sih.

P : Itu bukan jadi suatu masalah gitu ya. malah itu itu pembicaraan kayak gitu

pasti diomongin di awal dong Kak sebelum ke jenjang yang lebih serius.

I : eee iya, karena kalo...aku sama suami ini kan, eee kita, maksudnya tuh kan,

memang dikenalin ya, tapi akhirnnya kan keputusan ada di tangan kita berdua

sendiri, kita mau maju atau tidak. Untuk ngomongin pekerjaan sendiri di awal sih

enggak. Karena memang dia tahu dari awal kalo aku ini sekarang eee ya seorang

aku yang ini saja (dosen). Jadi, dia sih, tahu ya profesi seorang dosen itu tuh, apa

namanya nggak mudah gituu ya. Jadi sudah tahu dari awal. Dan nggak ada

pembicaraan. mungkin ada (pembicaraan) kalau bisa sih pekerjaannya deket dari

rumah itu saja. cari kampus yang dekat rumah yang ditempatin gitukan ya. Kalo

sekarang kan kita di rumah mertua di Depok. Berarti cari kampus yang dekat-dekat

sini. Biar lebih deket ke rumah. Biar nggak capek. kan ada anak yang diurus dan

segala macam itu kan. Itu saja sih. Jadi enggak ada pembicaraan secara khusus di

awal, nggak ada. Karena memang taunya dari awal akunya pekerja, tapi bukan

pekerjaan yang di kantoran. Maksudnya yang biasa gituu ya. Kan heeh, rintisan

awalnya itukan pelan-pelan gitukan. Dan itu sama suami sih diterima. Cuma

masalah tempatnya saja palingan. Suami maunya kalo bisa kerja yang deket-deket

rumah saja.

P : kak, aku ada dua pertanyaan terakhir. mau nanya pendapat kak Indah

tentang pernikahan itu seperti apa?

I : pernikahan itu, pernikahan itu yang aku...eee just information saja ya, aku

jadi kemarin itu apa namanya sebelum menikah itu sempet banyak ikut workshop.

Aku tipikalnya serius ya. Jadi aku ikut workshop menikah. Aku ikut seminar. Yang

kayak begitu-begitu tuh. Workshop ini seminar ini bener-bener private ya.

Workshopnya itu 2 hari dan pesertanya itu hanya 5. Dan disitu aku satu-satunya

perempuan. Dan di situ aku banyak banget dapet ilmu lah ya tentang pernikahan itu

seperti apa. Karena itu tadi, aku banyak, banyak apa namanya itu, banyak berpikir

bahwa pernikahan itu apa apa apa. Aku harus bertemu dengan orang seperti apa,

begitu-begitu. Nah itu yang mungkin bikin aku rada lama (menikah) juga, seperti

itu. Eee cara bertemunya juga bagaimana itu juga aku pikirin semuanya. Sampe

kayaknya otakku tuh mau meledak, begitu. Harusnya nggak usah dipikirin banget.

cii

Harusnya kita ngalir saja begitu. Mungkin dengan rambu-rambu yang harus ditaati.

Seperti itu sih. Dari situ aku melihat, karena sebelumnya aku melihat pernikahan

itu ya menikah, ibadah, itu. Tapi, ketika aku sudah mengikuti workshop itu, dan

beberapa kelas menikah lagi yang aku ikuti secara terpisah, oh ternyata, pernikahan

itu, tuh, sebagai sebuah lembaga seumur hidup, ya. Kalo kantor kan ada pensiunnya,

ya. Terus kan kalau sekolah ada selesainya gitu kan. Tapi kalo pernikaha kan kan

nggak, lifetime ya. Jadi aku menganggap sebuah pernikahan itu adalah lembaga di

mana yang nanti akan dihasilkan dari lembaga ini anak-anak yang hebat. Dan itukan

nggak mudah. Kalo mencetak anak-anak yang hebat gitukan ya. Karena orang

tuanya juga harus hebat juga. Menjadi orang yang biasa juga hebat saja susah. Hebat

disini itu dalam arti banyak ya. Itu, bisa jadi, generasi-generasi yang baik, orang

yang bermanfaat. jadi bukan orang yang bukan orangnya nggak jadi seseorang tapi

orang yang bisa kasih manfaat banyak banget. Dan itu melalui lembaga pernikahan

yang baik. Lembaga pernikahan yang sehat. Jadi sekarang aku menganggap

pernikah itu ya seperti itu. dan itu tidak mudah ternyata membuat lembaga itu

karena bisa jadi kan, suami belum doong (mengerti) dengan apa yang kita

maksudkan. Dan kita tidak bisa memaksakan. Walaupun suami aku bisa diajak

diskusi, tapi dia punya pendapat sendiri. Yang bisa jadi menurut dia aneh. Begitu

kan ya. Yang segala sesuatunya itu dikonstruksikan, dibikin sistematis. Kalo bisa

dibikin rancangan pembelajaran. Kan gabisa kayak begitu. Dia bukan tipikal orang

yang begitu. Dia itu tipikal orang yang lebih lebih spontan. Dan ini yang menjadi

tantangan. Aku gabisa plek-plekan kasih tahu bla bla bla segala macem gitukan

sementara apa namanya ya proses itu, ya lifetime, seumur hiduplah dalam kita

mengkomunikasikan.

Tapi, bedanya yang aku rasain ya, dengan kita, eee karena gini mau punya ilmu atau

nggak punya ilmu pasti ketemu masalah dalam nikah. Ketika kita udah punya,

maksudnya, oh kita sudah pernah dikasih, sudah pernah belajar lah. Bagaimana cara

berkomunikasi misalnya. Bagaimana cara kita berpikir kayak gitu gitu ya. Karena

pemikiran laki-laki dan perempuan kan berbeda. Nah itu (kalo sudah punya ilmu)

kita akan lebih mudah. Perempuan itukan baperan. Nah, jadi, aku melihat bahwa

lembaga pernikahan itu sebagai suatu lembaga yang luar biasa banget ya serunya.

Tapi ya itu ujungnya, harus menghasilkan generasi yang hebat. Itu sih.

P : nah, sekarang, gimana pendapat kakak, apakah pernikahan suatu

keharusan bagi perempuan?

I : kalo ini aku jawab dari sisi agama ya.

P : oke boleh silahkan

I : kalo ya eee pernikahan itu sunah begitu ya, kalau kita ngomongin sisi

agama. Rasulullah itu sangat menganjurkan untuk menikah. Eee itu sunahnya. Dan

Allah itu sudah ya apa ya, jadi kalo di Quran itu kan ada, Menikahlah, gitu kan ya.

Ya itu merupakan suatu perintah dari Allah kasih tahu seperti itu. Karena apa?

Karena Allah tahu kebutuhan manusia. Allah tahu, ini banyak ini, kayak gini dari

dari dari segi apapun Ini ini semuanya ada ada fungsinya, gitukan ya. Dari segi

untuk jiwa. Perempuan itu nggak bisa berdiri sendiri. Tetap harus ada orang kalau

ketika ayahnya, ketika dia kecil ya, dengan ayahnya dia sebagai mahromnya ya,

yang menjaga izzahnya dia, menjaga kehormatannya dia. Eee itu tuh, perempuan

itu seperti itu. Tidak tidak bisa dan tidak mudah dilecehkan oleh laki-laki lain.

ciii

Karena laki-laki itu kan dia kalau dia tidak dibekali dengan ilmu agama apa

namanya atau etika lah ya, itu dia mungkin bisa jadi binal laki-laki itu. Binal itu

dalam arti eee apa namanya eee itu kita nggak bisa nggak bisa kalau misalnya, ah

seseorang yang terpelajar, orang yang ini bakal dia terhormat. Mannernya dia. Itu

nggak. Aku juga pernah menemukan dia terpelajar, dia ini laki-laki ya, itu tetap saja

ketika sama perempuan, dia bisa, bisa, bisa apa namanya ya, bisa ya mungkin

melecehkan lah ya, kayak begitu. Jadi, perempuan itu terjaga izzahnya dengan sisi

laki-laki di sampingnya. Yang pertama dengan oleh ayahnya, yang kedua dengan

suaminya. makanya Allah itu kasih perintah seperti itu (untuk menikah). Itu baru

satu sisi ya. Banyak sisi-sisi yang lain. Eee jiwanya lebih tenang. Itu yang

didapatkan (dari menikah) jiwanya tenang. Terus juga dia eee apa namanya eee apa

lagi ya, ya yang pasti ada manfaatnya juga untuk laki-laki. Karena laki-laki kan

harus menyalurkan hasrat seksualnya. Ketika ada istri di sampingnya, sehat pertama

iya. Yang kedua tenang juga jiwanya. Karena ketenangan jiwa ini nggak Allah

kasih ke sembarangan orang. Allah kasih ketenangan jiwa itu sama orang yang

dipilihNya saja begitu. Jadi, pernikahan itu merupakan salah satu jalan yang Allah

berikan kepada kita untuk meraih ketenangan jiwa. Kalo sepinter apapun orang,

kalo jiwanya nggak tenang jadinya grasak-grusuk. Nanti kalopun dia jadi inventor

sesuatu, malahan jadi perusak, gitukan ya. Kayak bikin bom segala macem. Karena

jiwanya gak tenang. Dia malah bikin rusak bumi, begitu.

Itu salah satu, salah satu kan Allah bilang juga kan apa namanya dengan ketenangan

jiwa itu yang dicari manusia. Kayak yang di AR-Rum itu kan, ada kan. Coba deh

kamu pikir deh, orang nyari duit banyak-banyak buat apa kalau dia bukan buat

kepuasan dia.

P : iya bener

I : iya kan. Ketenangan jiwa. Apa dia jalan-jalan, refreshing lah. Itu semua

ketenangan jiwa. Nah, lembaga pernikahan ini, itu tuh, bikin ketenangan jiwa kalo

memang kitanya, secara sadar tidak sadar ya, kayak begitu. Kalo kita sadar, itu akan

kita pakai cara bersyukur. Tapi kalo nggak sadar, kita bakalan cari-cari lagi, ish kok

begini sih, aku belum punya ini, nah yang kayak begitu yang akhirnya bikin kita

nggak tenang sendiri. Ngerti nggak? Kayak aku ini misalnya kan masih tinggal

sama mertua. Adalah keinginan aku untuk mempunyai rumah sendiri. Nah, ketika

aku mengingat bahwa aku apa eee dengan pernikahan ini sendiri pun aku sudah

Allah cukupkan sebenernya tanpa aku mengharap lebih lagi gitukan ya, sudah

cukup tenang. Jadi intinya adalah, kalau misalnya seseorang yang menikah dan

ternyata itu membuat jiwa-jiwanya tenang itu nggak apa ya keinginan-keinginan

yang itu tuh akan bisa teredam sendiri. Dan akan lebih mensyukuri dengan apa yang

dimiliki saat ini.

P : kak, satuu lagi, satu lagi. Sebelum menikah, keuntungan apa sih yang kak

indah dapatkan?

I : kebebasan.

P : selain kebebesan?

I : iya kebebasan. Kebebasan saja. karena yang lainnya ya sama saja ya. Apa

namanya, misalnya kita dulu lagi suntuk atau lagi ada film baru ini, pengen nonton.

Kalo dulu kan okelah cabutlah jalan nonton. Kita mau nonton sama siapa gitukan

bisa pilih, sama kakak, sama adek, atau sama siapa gtu atau sa, temen-teman, cari

civ

saja. bisa. Kapan pun, anytime. Pulang malam-malam boleh. Kalo sekarang kan

nggak bisa hahaha. Kadang ihhh bete deh pengen nonton tapi ya enggak bisa saat

itu juga hahaha. Jadi ya itu saja sih kebebasan. Freedom ya. Eee tapi, mungkin

kebebasan itu akan lebih didapatkan kalo kita memperbanyak komunikasi. Karena

memang kan di awal itu pasti, penyatuan persepsi, komunikasiitu tidak tidak mulus,

pasti. Akau bisa jamin itu hahaha. Nah, maka disitu, patokan kebebasan itu

sebenarnya tuh apa namanya, setiap orang itu berbeda-beda. Seperti apa yang

dimaksudkan. Kalo aku saat ini sih, lebih kepada itu ya (kebebasan).

P : okay kak. Sekarang usia kakak berapa ya?

I : aku kelahiran 85. Berarti usia ku 36 ya.

P : pendidikan terakhirnya kak?

I : S-2

cv

4. Informan Ummu

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Selasa, 02 November 2021

Nama : Ummu

Usia : 30 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-2

Pekerjaan : Freelancer

Domisili : Malang, Jawa Timur

P : halo assalamualaikum, kak ummu

I : walaykumsalam, iya, halooo.

P : sudah, sudah free ya kak ini?

I : ya insyaAllah sudah free

I : siapa, siapa aku panggil siapa namanya?

P : eee panggil Agis saja kak.

I : Agis...

P : iya, Agis

I : ooo ya ya oke oke. gimana gimana, Gis?

P : iya kak sebelumnya makasih banyak ya udah bersedia jadi narasumber

aku. Terus aku juga mau ngucapin selamat atas wisudanya.

I : (tertawa) makasih, makasih. Semoga kamu cepet ini ya, cepet selesai juga

P : iya aamiin. Aamiin ya Allah, aamiin.

P : wisuda itu ya kak eee S-2?

I : iya wisuda S-2

P : aaa Masya Allah hebat, kak. Dimana kak?

I : di UB. Brawijaya. Di Malang.

P : oalah, Brawijaya. Keren kak. Jurusan apa kak?

I : (tertawa) iya S-1 S-2 nya Alhamdulillah disitu (UB)

P : jurusan apa kak?

I : aku ini, tata kota. Teknik tata kota.

P : kakak memang asli Malang? Eh apa asli Surabaya ya?

I : enggak. Aku aslinya Sulawesi. Cuman sudah lama di Malangnya.

P : eee oh itu ya, dari S1 sudah di Malang ya kak.

I : heeh, bener (tertawa)

P : aku dulu waktu pemilihan kampus pilih UB, tapi ketendang, bukan jodoh

(tertawa)

I : hooo iyaa??

P : heeh aduh, ngebet banget pengen dulu UB, tapi nggak jadi nggak keterima.

I : ooo (antusias) terus kamu sekarang dimana jadinya?

P : aku jadinya di UIN Jakarta.

I : hooo heeh heeh. Aslinya Jakarta tapi ya?

P : iya asli Jakarta. Tangerang sih, Betawi Tangerang kalo aku.

I : hoo Tangerang

P : iya kak.

cvi

P : oh iya kak, ini kamu ada rencana untuk balik kesana ga? Balik ke

Sulawesi?

I : untuk saat ini sih, belum, sih. Masih mau disini dulu (Malang).

P : okay. Memang kerjanya juga di daerah situ ya kak (Malang)?

I : iya, jadi, karena aku freelance jadi kadang di Malang, di Sidoarjo atau di

Surabaya. Jadi puter-puter daerah situ saja.

P : kak, eee, berarti selama kuliah kakak ngekos?

I : eee selama kuliah S1 ngekos. Cuman pas mulai masuk S2 aku sudah mulai

apa namanya, eee mulai ngontrak. Sampe sekarang. Sampe selesai S2 aku masih

ngontrak. Enggak, gak tertarik balik kosan lagi, sih.

P : kenapa kak?

I : memang dari kuliah sih aku memang orangnya enggak suka rame-rame

gitu ya.

P : ooo iya pas ngekos itu rame-rame ya

I : heeh kalo ngekos kan kamarnya banyak, anak-anaknya banyak, jadi aku

nggak begitu cocok.

P : berarti ini kakak ngontrak di satu rumah, gituu?

I : hmm, satu rumah. Bener-bener.

I : terus terus gimana gimana?

P : Iya nih aku mau tanya-tanya, sih. Maksudnya memang topik ku agak-agak

menyinggung,,

I : enggk papa..santai

P : Jadi kalau misal ada pertanyaannya sekiranya mungkin Kakak nggak mau

jawab bisa di skip saja, sih.

I : hooo okay fine its okay.

P : aku kepo dong Ini kak, kakak dari S1 ke S2 itu ada jeda berapa tahun?

I : hmmm bentar. Aku lulus (S1) tuh 2015 akhir. S1 itu (maksud disini adalah

S2) masuk 2016. Berarti ada jeda 6 bulanan 7 bulan.

P : asatagaa. Jadi dari lulus S1 jeda 6 bulan langsung S2??

I : heeh. Cuman dua-duanya tuh nggak tepat waktu. Jadi, S1 itu aku 5 tahun.

nah, S2 ini yang agak parah. Soalnya memang barengan kerja kan. S1 S2 sama-

sama barengan kerja, sih. Proyekan. Jadi aku nggak begitu fokus sama kuliah

(tertawa).

P : kak, itu berarti S1 Kakak udah mulai cari cari pekerjaan di semester

berapa?

I : kayaknya di semester berapa ya..aku masih aktif kuliah, berarti skripsi

itukan semester 8 ya. Semester... antara semester 6 atau semester 5 begitu ya aku

juga sudah lupa. Sudah lama banget, sih. Kalo yang pertama kali proyekan itu, heeh,

sudah lumayan lama.

P : itu memang awalnya diajak-ajak gitu kah? atau memang Kakak cari ya cari

lowongan gitu-begitu?

I : kalo di kita karena tata kota, ya. Jadi, di sekitar kita, senior kita biasa itu

yang nawarin. Mereka biasanya cari mahasiswa memang. Jadi, bayaran lebih murah

(tertawa) terus, eee masih perlu dibimbing gitukan. Terus kita mulai ikut-ikut

survei. Abis itu dari kebiasaan survei ningkat ke garap dokumen-dokumen.

cvii

Memulai dari sini ya. Ya biasa ditawarin, kalo enggak ya kita biasa cari sendiri juga

sih kadang-kadang.

P : emang nggak ngerasa pusing apa kak, dari S-1 cuma jeda 6 bulan langsung

pilih S-2?

I : sebenernya pusing banget, sih. Itu makanya S-2 nya aku lama banget

(tertawa). Cuman S-2 itu karena diminta orang tua,

P : ooo begitu

I : jadi istilahnya tuh, biar sekalian begitu. Soalnya memang basic keluarga

itu akademis semua. Dosen guru. Jadi, eee harusss pendidikan lebih dari S-1.

P : ooo ya ya pengaruh dari lingkungan keluarga juga ya.

I : iya, aslinya sih gak mau.

P : oh iya, kak, aku langsung ke ini saja deh, aku mau tanya, alasan mendasar

kakak di umur sekarang masih melajang itu sebenarnya apa?

I : sebenernya lajang itu...masuk nggak sih, aku punya cowok soalnya

(tertawa) aslinya.

P :boleh boleh, bisa kok. aku ganti deh, kenapa di umur sekarang belum

memutuskan untuk menikah?

I : eee ini agak-agak gimana ya. Aku punya beberapa, bukan problem, sih.

Jadi, ada beberapa faktor. Beberapa faktor tuh, gapapa aku urain saja (tertawa). Jadi

misalnya kayak, kalau kenapa belum mau nikah, kalo dari aku pribadi emang belum

mau nikah. Soalnya eee apa ya, mungkin karena aku kelamaan pendidikan kali, ya.

Jadi fokus ke pendidikan saja. terus sekarang sudah selesai tuh, malah, eee pengen

jeda dulu. Maksudnya, kan ini (menikah) bebannya banyak pasti kan ya. Eee

bebannya banyak, tanggung jawabnya banyak. Habis nikah pasti anak, apa, apa,

apa. Aku tuh semacam kayak sedikit nggak siap. Kalo dari akunya pribadi memang

belum, belum kepikiran setahunan ini pengennya belum. Cuman, karena, kalo dari

segi posisi saya adalah anak pertama. Anak pertama perempuan (tertawa) di

keluarga, usia segini (belum menikah) itu menakutkan bagi semua orang (tertawa).

Jadi, sudah mulai apa, selalu diteror hampir setiap hari untuk disuruh nikah.

Jadi sebenernya, ada dua pandangan sih. Maksudnya, kalo memutuskan nggak

nikah juga, eee fifty-fifty ya. Aku pribadinya memang gak mau, belum mau. Cuman

keluarga tuh, kalo bisa secepatnya.

P : jadi, saat ini kakak sudah punya pacar gitu ya, pasangan?

I : hoo ya sudah sudah. Sudah berapa ya,

P : sudah berapa lama kak?

I : 4 tahun, mau masuk 5 tahun.

P : dari kalian berdua itu memang, yaa eee sudah masuk ke tahap serius gak

sih? walaupun Kakak kan nggak mau menikah tapi dari diri Kakak sendiri tuh ada

keseriusan nggak sih menjalin hubungan ini, sama pasangan kakak saat ini?

I : kalau serius sudah sih, ya. Soalnya dari kita berdua sudah ngerencanain,

maksudnya persiapannya apa saja, sudah ngebahas apa saja. eee apa, pacarku juga

sudah pernah ketemu mama papa, begitu. Semuanya, insyaAllah sih, kalo sudah

serius, sudah serius sih, dari kita berduanya. Tapi ya memang masih slow saja.

orang tua saja yang rada ini.

P : tapi dari pasangan kakak sendiri enggak mendesak (untuk menikah) kah?

Mengerti, dan tidak mendesak kita harus menikah umur sekian, begitu.

cviii

I : enggak sih. Karena kalo dari dianya engga. Kalo dari dianya, dia kebalikan

aku. Dia anak bungsu di antara semua cowok. Jadi slow saja keluarganya.

P : berarti karena sudah memasuki usia 30 juga, berarti kakak itu dong, itu

pasti ada obrolan sama pasangan kakak karena eee apa belum, persiapan Kakak itu

belum ada untuk menikah Kakak obrolin dan tanggapan dari si pasangan kakak

sendiri pun ya ya oke. enggak mempermasalahkan itu. Keluarganya pun juga kah?

I : enggak mempermasalahkan juga sih.

P : kalo dari segi..sorry aku tanya, kalo dari segi finansial, apakah kakak dan

pasangan sudah merasa stabil untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih itu.

I : iya sudah..

P : cuman ke masalah ini saja ya kak, ke kesiapan mentalnya aja kali ya buat

kakaknya.

I : iya. Heeh. Lebih kayak, apa, aku kalo mikir jauhnya, lebih ke habis

nikahnya itu prosesnya itu yang bikin aku jadi agak sedikit males. Maksudnya

masih belum pengen kesitu aku. Itu sih yang memberatkan.

P : Berarti nih, dari orang tua itu kan udah ada desakan untuk kakak segera

menikah ya,

I : heeh betul.

P : karena khawatir kakak anak pertama, udah kepala 3,

I : yaa betul.

P : Nah, aku kepo gimana sih, kakak itu membicarakan hal ini? Maksudnya

ketidaksiapan kakak untuk menikah sama orang tua tuh kayak gimana? Ngasih

pengertian sama mereka.

I : jadi dulu kalau masih awal-awal itu. Kalo saya sih, kalo ditanya tuh,

gimana ya aku ngomongnya bentar. Aku tuh bilang, masih pengen ini mah,

tanggung lah begitu, masih. Aku langsung ngomongin saja, masih belum pengen,

begitu. Karena apa, ya slow saja. maksudnya ya memang belum mau, gituu. Terus

pasti alasannya (orang tua mendesak), pandangan orang, semua anak tetangga

sudah nikah, itu tuh, yang lebih muda dari kamu sudah ankanya dua. Gituuu.

Perbandingannya pasti ke orang lain. Aku pasti, langsung nge-cut, ya jangan

dibandingin ke orang lain. Jangan, jangan dengerin orang lain. Aku pasti ngomong

begitu. Cuman ya, ya memang orang tua agak, agak apa, maksudnya pandangan

orang-orang lain terhadap keluarga kita menurut saya penting jadinya, dibantah lagi

sama orang tua. Lama kelamaan ya, aku iya-iyain saja. aku bilang iya nanti iya

nanti. Cuman, sekarang tuh, enggak pernah lagi saya ngomong eee apa ya,

ngomongin langsung kalo aku nggak begitu siap, atau masih ntar-ntar saja padahal.

Aku cuman iya-iyain saja gituu. Jadi enggak, kalo sekang tuh, nggak begitu jujur

ke orang tua.

P : eee tadi memang sempet disinggung kan, orang tua kakak khawatir sama

pandangan orang-orang gitu ya,

I : heeh betul

P : khawatir mungkin anak perempuannya gini-gini diomongin orang gini-

gini. Kakak sendiri sebenernya nanggepin pandangan, stigma dari masyarakat

kayak bagaimana, sih?

I : nah ini, ini karena, karena saya hidupnya ngerantau ya. Jadi, jauh dari

keluarga saya, tinggalnya disini. Kebetulan di lingkungan sekitarku itu, aku tumbuh

cix

sama orang-orang yang memang bahkan lebih tua dari aku pun belum nikah. Jadi,

temanku S1 S2 itu rata-rata belum nikah, sih. Cewek cowoknya tuh masih slow

saja, masih terpaut sama karir. Usia mereka malah 31 32. Jadi akunya slow. Nah,

kalo keluarga, kalo yang disana, yang di Sulawesi kan nggak gituu. Se aku gituu

anaknya sudah masuk SD mungkin atau apa. Nah, itu yang membedakan. Jadi kalau

akunya santai orang tua grusak-grusuk tuh, karena itu. Kalo dari akunya sih biasa

saja (tertawa).

P : iya.. orang tua malah yang lebih khawatir ya.

I : heeh. Soalnya karena mungkin memang perbandingan lingkungan mereka

itukan lingkungan rumah. Rumah disana itukan ya, eee stigmanya usia 30 itu usia

tua. Usia yang sudah harus apa, eee anaknya sudah harus segini, apa gituu.

Sementara lingkungan saya di sini itu, enggak gituu, beda banget.

P : tapi dari orang tua sendiri itu dari orang tua kakak sendiri itu ngasih

kebebasan gak sih, untuk kakak deket sama lelaki manapun begitu? Maksudnya, ya

terserah selagi, biasanya kan ada orang tua yang kamu harusnya deket sama lelaki

yang seperti ini,

I : sesuku.. kayak begitu ya

P : ada nggak sih? orang tua memberi kebebasan

I : kalo orang tua...bebas sih. Dari jaman dulu. Malah lucunya gini, jaman

sekolah tuh, bener-bener protektif banget. Jadi, eee saya itu nggak pernah, enggak

pernah pacaran sama sekali. Sampe usia berapa ya. S2 itu 24 atau 25 ya. 24

mungkin. Baru pertama kali pacaran itu. Jadi maksudnya, orang tua itu, masuk

umur 20 malah, kok kamu belum ada pacar? Terus aku bilang, dari sekolah lah, dari

jaman dulu sudah terbiasa protektif. Jadi sudah terbiasa fokus ke pelajaran, ke

sekolah. Nggak pernah mikir aneh-aneh gituu. Jadi, makanya mungkin, karena

orang tua khawatir ya. Ayo ayo, jadi malah mereka yang ayo sama siapa saja, yang

penting seiman begitu-begitu saja sih. Kalo yang persyaratan khusus sih enggak

ada.

P : kak aku mau make sure lagi, sebenernya tanggapan atau respon orang tua

kakak sama pilihan kakak ini yang nggak mau menikah di usia segini, maksudnya

yang belum siap untuk menikah di usia sekarang tuu, pro atau kontra, sih?

P : (menghela nafas) kontra sih, pasti.

P : okee

I : kontra. Cuman, aku tipe kalau ngomong sama Mama aku tuhh, kalo kata

mama aku apa ya, aku nggak pernah serius. Jadi, ketika aku ngomel, eee bukan

ngomel sih, ngomong “nggak usah peduli pandangan orang kayak gini gini” mama

aku tuh nggak nganggap serius, begitu.

P : okeee

I : dikira aku bercanda.

P : Kakak berarti udah bekerja tuh eee berapa tahun ya?

I : haduh, dari kapan ya. (tertawa) anggaplah dari 2013 pas pertama kali

proyekan.

P : berarti 8 tahun mau ke 9 tahun lah ya.

I : iya, sekitar itu kali.

P : kak, inikan kakak sekarang posisinya jauh nih di Malang, orang tua di

Sulawesi dan umur Kakak udah kepala 3. Kakak masih ngerasa nggak sih apapun

cx

keputusan kakak harus didiskusikan sama orang tua Kakak di sana? atau yaudah ini

hidupku jadi aku ambil pilihanku sendiri, begitu.

I : kalo keputusan tetap di aku. Cuman, aku tetap sharing jadi, dari apapun

yang aku ambil mereka pasti oke. jadi, eee kalo maksudnya terkait persetujuan,

enggak sih, semuanya alhamdulillahnya masih di aku.

P : kakak dari kakaknya sendiri, Kakak punya kriteria pasangan atau calon

suami itu harus seperti apa begitu?

I : eeeemm sebentar. Kalo aku sih dulu, menarget, bukan menarget juga

bukan cari orang yang kayak, setipikal saja kayaknya diobrolan bakalan nyambung.

Bukan yang apa ya, eee tahu nggak sih, istilahnya matiin suasana. Kayak begitu

saja sih. Yang nyambung obrolannya. Jadi kayak teman, kayak sahabat begitu.

P : kakak sama pasangan sepantaran kah?

I : beda. Lebih tua setahun.

P : pasangan juga saat ini bekerja ya kak?

I : heeeh (bekerja)

P : kak, mau tanya lagi dari keputusan kakak nih untuk menunda menikah,

kakak sebenernya udah siap belum sama konsekuensi yang ke depannya bakal

kakak terima?

I : sudah siap sih. maksudnya kaya istilah orang yang, aku tuuh sering

dibilang gini, nanti punya anak susah. Punya anak berisiko ya kalo usia tua katanya.

Eeee gatau sih kalo aku untuk urusan itu malah aku sudah siap saja sih. Yaudah lah,

gituu.

P : terus nih, kak, eee keluarga, ini keluarga besar pun pasti udah mengetahui

kan kakak ya, umur sekian belum menikah itu,

I : oh ya ya, jelas tahu

P : hubungan sama keluarga termasuk keluarga besar itu kayak bagaimana?

Pas mereka tahu kakak umur segini maksudnya belum siap juga untuk menikah.

I : kalo mereka enggak gimana-gimana, sih, biasa saja. cuman, kan pasti

sering tuh, ada acara keluarga. Aaa itu baru. Mungkin karena akunya nggak di sana

jadi pasti, “oh gimana??”, “jadi kapan nikah?”. Aaaa ituuu. Kayak gituu-gituu saja

sih. Tapi kalo hubungan sih, so far so good ya. Kalo saya yang nggak gimana-

gimana. Biasa, normal-normal saja. cuman, suka gangguin mamaku dengan

berakhir mamaku nelfon. “aaa gimana ini?”

P : risih nggak sih, kak?

I : aku risih banget! Risih banget ya ampun. Aku jadi kayak males banget ya

Allah.

P : iya jadi, kayak mungkin dari kakak ada perasaan kayak males gitu untuk

ketemu sama keluarga besar begitu,

I : malesss. Bener-bener males banget.

P : karena ditanyain pertanyaan yang sama gitu ya.

I : iyaa. Sama mungkin karena, kalo pandanganku sih ya, maksudnya kalo

urusan kayak gini mestinya nggak usah terlalu,

P : ikut campur...

I : dengerin kata orang, gituu. Iya ikut campur. Apalagi meminta gini. Karena

perbandingan dengan keluarga orang, dengan ini, gituu. “ini sudah nikah, anaknya

gini” naah!! Itu tuh, malah aku nggak suka. (tertawa) itu sih menurutku.

cxi

P : okeee. Kak, kakak ini kan udah ada di tahap serius sama pasangan. Apa

saja sih, yang kakak obrolin atau diskusikan kedepannya? mungkin ada harapan-

harapan di pernikahan kalau memang Alhamdulillah sampai ke sana, jenjang

pernikahan, apa aja yang perlu dibicarakan dan disiapkan.

I : sama maksudnya bicarakan sama orang tua atau sama pasangan?

P : eee sama pasangan kakak sendiri.

I : eee lebih ke ini sih nanti, yang biasa kita obrolin kayaknya, apa ya, eee

mau – emm enggak, mau tinggal dimana, atau ke depannya rencananya seperti apa?

Begitu-begitu aj asih. Yang apa yang umum dibicarakan. Berat ya. Itu saja sih.

Nggak ada yang terlalu gimanaa-gimanaa. Mungkin karena kaunya santai atau

gimanaa.

P : karena ini juga ya kan kita tuh ngerasa santai karena memang lingkungan,

lingkungan kita pun, di tempat kakak tinggal sekarang ya udah gapapa umur segini

mereka tuh nggak belum menikah juga gitu kan.

I : iya bener. Malah sahabatku, sahabat deket saya tuh malah dia pindah ke

Jerman dan sekarang pacaran sama orang Jerman yang jelas dia nggak bakal nikah.

Tapi tetap biasa saja, santai. Dia selalu bilang, di Jerman tuh, usia kita tuh usia

produktif, usia muda, gituu. Jadi, iya, orang malah masih santai. Jadi istilahnya

gituu. Lingkunganku rata-rata gituu sih (tertawa).

P : sama lingkungan di sini, di tempat kakak sekarang

I : iyaa...lingkungan sekarang. Bener-bener.

P : kalo di Sulawesi, bukan (tertawa)

I : heeeh enggak. Big No.

P : (tertawa) pulang ke Sulawesi berapa tahun sekali kak? atau mungkin

berapa bulan sekali?

I : sebenernya, biasa tiap tahun. cuman, ini semenjak pandemi enggak balik.

P : ooo 2 tahun berarti ini ya

I : iya 2 tahunan, bener.

P : ini wisuda,

I : Januari tahun depan balik paling.

P : ini wisuda berarti kakak sendiri kah?

I : sendirian. Heeh.

P : ya ampun. Hebat-hebat.

I : (tertawa) gapapa, karena wisuda daring juga kali ya jadi lebih slow.

Untungnya S1 nya wisuda offline sih, jadi aku nggak begitu ini (tertawa)

P : (tertawa) iii enak merasakan wisuda offline

I : iya makanya (tertawa) yang kasian tuh S1 tapi online, haduh.

P : iya aduh, bener sih. Semoga pandemi cepat berakhir.

I : iya amin, amin.

P : kak, aku mau tanya lagi nih, dari usia kakaknya sekarang dan belum

menikah apa sih apa aja keuntungan yang kita dapatkan?

I : mmmm keuntungan belum menikah di usia sekarang ya..kalo aku ngeliatin

teman-teman yang mungkin sudah nikah tuh, memang akunya lebih mikirin, masih

fokus ke diri sendiri. Terus lebih banyak waktu luang kali ya. Maksudnya, bener-

bener eemmm apa ya, masih bisa santai-santailah istilahnya. Leha-leha. Kalo aku

cxii

bandinginkan, orang-orang yang sudah nikah kan kayaknya, harus kemana-mana

harus anaknya, ada suaminya. Aku belum siap untuk itu (tertawa).

P : ooww oke. lebih ini nggak sih, eee atau mungkin karena kakak juga sudah

punya pasangan sih, ya. Tapi, kakak lebih, lari untuk menyibukkan diri dengan

bekerja nggak? Kakak sendiri tipe orang yang mungkin ambisius kah atau yang

yaudah jalanin saja?

I : mmm kalo aku yang jalanin saja sih. Ambisius juga nggak, nggak begitu.

Jadi ya nyantai saja sih kalo aku. Apalagi aku punya kucing. Jadi, memelihara

kucing juga membantu (tertawa)

P : iiii seru banget!! punya berapa kucing kak?

I : ooo banyak (tertawa) berapa ya, banyaak. Jadi ya nggak sepi-sepi banget.

P : kucing tuh penyelamat kita kalo lagi bosen sendirian. Walaupun dia cuman

meong-meong tuh kita ngomong dia bales cuman ngeong-ngeong itu kayak dibales

gitu ya omongannya.

I : iya bener. Kita duduk di rumah seharian gak ngapa-ngapain sama kucing

tuuh, enak saja (tertawa).

P : kak, aku mau ini lagi ada 3 pertanyaan terakhir deh. Aku mau nanya

pendapat kakak dong tentang pernikahan itu seperti apa?

I : gimanaa-gimanaa?

P : pandangan kakak tentang pernikahan itu seperti apa?

I : pandanganku tentang pernikahan...sebenernya kalo aku...pandangan apa

nih, maksudnya pengertian atau hubungan didalamnya

P : boleh bebas pengertiannya atau hubungannya di dalamnya. Pokoknya

kakak melihat pernikahan itu sebagai sebuah apa?

I : aaa kalo aku ya, itu kalo aku mandang nikah itu sebagai eee komitmen,

sih. Jadi, di mataku tuuh ketika orang sudah mutusin nikah, menurutku tuh, dia

sudah bener-bener enggak bisa apa ya, istilahnya, gabisa selfish. Jadi gabisa egois.

Jadi gabisa kayak aku sekarang gituu masih mikir aku mau makan apa? Aku apa,

aku apa. Kalo nikah tuh nggak bisa. Kita harus mengutamakan orang lain dulu.

Terus apa ya, relasi ke keluarga lain itu juga menurut aku berhubungan gituu.

Maksudnya sama mertua atau apa. Jadi, pernikahan tuuh lebih mengembangkan.

Relationship tuuh bukan kita dan pacar lagi. Tapi jauh lebih luas dari itu dan

menurutku itu kompleks sih.

P : jadi dibutuhkan banget sebenarnya kesiapan mental itu utama,

I : benerrrr

P : psikis

I : bener, benerr

P : emosi

I : haduh, nikah ya nikah saja. dalam hatiku, cuman nggak berani aku

omongin ya, takutnya dikira menggurui. Jadi, kalo di kepalaku tuuh nggak cuman

asal nikah saja, sah-sah saja. habis itu pulang, tidur. Nggak gituu. Kalo di aku malah

lebih menakutkan. Soalnya, pasti ada tanggung jawab lagi. Apalagi, kalo orang tua

ku tuh mikir, kalo nikah itu wajib punya anak. Sementara aku tuh enggak. Kalo

menurutku dikasih ya dikasih. Kalo memang pasangan yang milih nggak punya

anak juga gak masalah. Soalnya komunikasi di dalamnya itu sama pasangan yang

menurtuku penting banget.

cxiii

P : berarti memang Kakak itu tipe yang apa ya maksudnya, iya sih benar aku

setuju karena biasanya pandangan orang tua atau orang-orang masyarakat sekitar

yang , maksudnya yang sudah sepuh gitu ya kak, yang sudah jadi orang tua, mereka

akan menganggap ya orang menikah ya harusnya anak. Pasti nanti setelah menikah

itu pasti ada pertanyaan selanjutnya Kapan punya anak? Kapan mau punya anak

kedua? kapan punya anak ketiga? dan seterusnya sedangkan,

I : kalo kata ibuku malah gini, wanita itu kan diciptakan karena wajib untuk

memiliki keturunan. Mau ku bantah loh, enggak begitu ya konsepnya. Terus orang

yang nggak dikasih keturunan, gimanaa? Masa mau ngomong kayak gituu di depan

muka mereka, kan enggak lucu, gituu.

P : setuju sih aku.

I : karena menurutku pertanyaan tentang anak itu agak sedikit, sedikit nggak

sopan sih. Kalo misalnya tanya ke orang yang baru nikah, yang nikah belum punya

anak karena ini ini, gituu.

P : karena memang kebanyakan dari kita kan dari orang-orang kita itu ya

mencampuri hal-hal privasi orang banget gitu ya.

I : iya, bener, bener, bener sekali. Dan itu shshhshs menggelikan. Aku

sebenernya pengen jauh dari lingkungan kayak begitu, cuman, ya gimanaa, kita di

Indonesia.

P : jadi kayak, orang itu dengan pertanyaan kapan nikah, kapan punya anak,

dan urusan pribadi lainnya tuuh, berlindung dibalik kata kita kan perhatian, kita kan

peduli, gitu loh.

I : iya. Mesti kayak begitu. Nggak bisa lepas.

P : seluruh kayaknya seluruh Indonesia kayak begitu gak sih (tertawa).

I : iya memang kayak begitu. Nanti kalo misalnya ini, pasti omongannya gini,

kalo meninggal siapa yang nguburin,

P : heeh bener.. nanti hari tuanya siapa yang ngurusin kalo enggak punya anak

I : pasti kayak begitu. Hhhh yaudah lah.

P : yaudah kita sebagai anak ya udah diem aja deh walaupun enggak setuju.

Dari pada orang tua nyap-nyap gitu ya.

I : iya bener. Aku cuma bisa menggerutu saja dalam hati. Cuman kalo

ngomong langsung nggak, nggak bisa (tertawa).

P : nah kak, menurut kakak juga ini, sebagai perempuan itu menikah itu

sebagai sebuah keharusan nggak sih?

I : enggak (tertawa)

P : enggak...alasannya donggg

I : kalo aku sih mandangnya gini, enggak cuman buat wanita atau pun laki-

laki juga menurutku sama, gituu dalam pandanganku tuuh sama. Mmm apa ya, lebih

ke karena kita manusia, terus sudah usia segini, usia dewasa lah ya. Kita tuhh tahu,

kita mau milih apa, kita tahu yang mau kita capai itu apa. Ketika ada orang, cewek

misalnya usia berapa, mungkin lebih tua dari aku misalnya. dia milih untuk nggak

nikah, nggak masalah. Orang misalnya, mungkin dia pernah punya trauma, atau

mungkin tanpa background dia sudah sukses dan dia nggak butuh, merasa nggak

butuh apa-apa ya its okey. Yang penting di audah tahu, apa ya, intinya buat dia yang

terbaik apa, rencana dia ke depannya apa. Nggak masalah kalo emangnya dia gak

cxiv

mau nikah. Kalo menurutku nggak masalah, gituu. Its okay saja. intinya tuuh nggak

ada yang salah, gitusih.

P : iya ya bener. Karena memang, enggak soalnya kan kita orang itu masih

berpandangan kalau perempuan itu yang ngapain sih kuliah tinggi-tinggi, sekolah

tinggi-tinggi, toh, ujung-ujungnya pun kalian bakalan di sumur, dapur, dan kamar.

I : iyaaa. Dih, aku, kalo ada orang yang ngomong itu di depan ku, tak keplak

mulutnya.

P : hahaha iya bener kak. Iya, makanya makannya banyak banget kan

orangnya masih beranggapan ya nikah lah masa perempuan nggak nikah, gituu.

Mau dikata apa (kalo nggak nikah) begitu. sedangkan untuk sekarang, seorang laki-

laki berusia diatas 30 gitu ya , belum menikah tuh orang kek, ya wajar dia laki-laki,

I : ya wajar dia laki-laki...iya, bener begitu..

P : tapi perempuan umur 23 aja jangankan 23 deh, dia udah ketahuan lagi

nyusun skripsi aja tuh bakalan keluarga deket itu bakalan nanya ih berarti habis

lulus nikah ya. Padahal nggak semua orang butuh nikah.

I : iya betul. Betul itu.

I : sayangnya memang, aku ggak tahu sih karena aku bukan ahlinya. Cuman

mungkin aku melihatnya, rata-rata karena eee orang tua jaman dulu, jaman mereka

mungkin jaman dulu itu eee emang begitu kebudayaannya kali ya. Eee kalo mama

ku tuuh cerita, dia tamat SD itu, dia kan tinggal di Pulau dulu. Jaman SMA itu udah

lulus itu udah termasuk sudah usia yang tua banget buat nikah. Jadi dia disuruh

nenek kakek saya itu buat langsung nikah dan dia kabur dari pulau itu. Aku

mikirnya mungkin memang orang-orang dulu itu, orang tua kita, melalui masa

seperti itu. Jadinya sekarang yang mereka ngomongin ke anaknya adalah masa

mereka dulu. Bahwa usia kamu itu tua buat nikah. Tua banget malah. Mama dulu

nikah usia segini. Terus, apa kamu nggak mau nikah? Siapa nanti yang ngubur

kamu? Siapa nanti yang usia kamu 80 kamu mau ngapain? Kayak begitu-begitu.

Mungkin apa, mungkin karena mereka melihat masa-masa mereka. Padahal kan

jaman sekarang eee media berkembang, teknologi-teknologi berkembang, beda

(dengan jaman dulu). Kita tidak bisa menyamakan itu. Tapi mereka masih hidup

disitu dan membawa itu ke generasi anak-anaknya. Itu sih menurutku.

P : kak, kalau kira-kira kalau boleh di kira-kira, di umur berapa sih sekiranya

kakak tuuh sudah merasa sudah waktunya saya untuk menikah?

I : eeee sebenarnya ya, kalo aku kepengennya usia 32.

P : oh 32. Kalo boleh tahu kakak saat ini usianya berapa?

I : 30 pas.

P : kakak ngerasa di waktu 2 tahun itu, sudah cukup begitu ya untuk

menstabilkan emosi kakak.

I : heeh betul-betul. Lebih ke kesiapan. Kesiapan mental. Lebih ke apa ya,

pengen puasin diri sendiri dulu baru – rasa-rasanya sih kalo ngeliat sekarang

mungkin 2 tahun lagi sudah bisa kali ya.

P : terus nih kak, kalo misalnya sudah menikah kakak bakalan terus bekerja

dan berkarir kah? atau stop

I : kalau saya, iya pasti. Soalnya kebetulan keluarga saya yang tadi aku bilang

kan, keluarga saya basicnya akademis. Jadi, dari SMP itu ibu saya sudah narik saya

dan ngomong kayak gini, “kamu nanti kalo besar, harus bekerja. Biar uang kamu

cxv

mau beli kalung, mau beli emas, nggak minta sama suamimu”. Itu aku sudah dari

SMP dicatet kayak begitu. Jadi, sudah pasti literally pasti bekerja. Aku tumbuh di

sebuah keluarga yang semua wanitanya, semua perempuannya meskipun nikah

muda, nikah apa, pasti kerja. Alhamdulillahnya sih gituu.

P : dan pasangan pun enggak masalah gitu ya Kak? Kakak sudah

membicarakan hal ini belum?

I : nggak masalah sih. Iya memang kan kita ketemunya pas S2. Maksudnya

orang S2 itukan rata-rata pandangannya eee tujuannya kerja, gituu.

P : aku kepo dong kak, Itu orang tua kakak sendiri menikah usia berapa tadi?

I : kata mama ku sih, 20...23 atau 24 gituu. Beda sama papaku dia lebih tua 5

tahun. jadi, papaku itu dosen S1 nya ibuku (tertawa). Jadi, nikah sama dosennya.

P : oalah, jadi dosen dan mahasiswa

I : heeh (tertawa)

P : iii sweet banget. Cintanya bersemi di kampus.

P : kakak berapa bersaudara?

I : aku 4. Satu cowok. Anak ketiganya cowok. Dan itu, nah, ini lucu.

P : kenapa tuhh kak?

I : jarak usia kita itu deket-deketan. Sama adikku yang kedua juga, sama yang

cewek ini bedanya 2 tahun. adikku yang ketiga sama aku bedanya 3 tahun. yang

bungsu itu kelahiran 99, jadi lumayan jauh sih kalo yang bungsunya. Masalahnya

adalah ketika, si cowok ini, adikku yang ketiga ini kelahiran 93 itu mau nikah, eh

94, dia mau nikah. Ini sudah ancang-ancang mau nikah. Mama aku tuuh gamau.

Jadi, meskipun adikku sudah siap secara finansial, dan lain-lain sebagainya. Bahkan

ceweknya juga sudah siap, eee sudah mau dilamar. Mama ku tuuh gamau, soalnya

alasannya harus aku dulu. Ini lucu sih. Maksudku, entah ini mamaku membuat-buat

alasan biar aku mau cepet-cepet atau gimanaa. Aku juga gatau sih, nggak pernah

aku tanyain. Cuman, aku nangkepnya agak disengaja sih biar aku nya duluan,

akunya buru-buru gituloh.

P : dan, kakak pun sebenernya nggak masalah ya kalau misalnya adik kakak

nikah duluan.

I : ya nggak masalah. Aku setiap mamaku telfon begitu, pasti aku suruh,

“yaudah nikah saja, kasian itu mau ibadah dihalang-halangi”. Terus nanti

kesalahannya dijatuhin lagi ke aku, “makanya kamu dulu nyenyenye” (tertawa)

P : (tertawa)

I : nggak bisa dibantah

P : dan adik perempuan Kakak sendiri, adik perempuan kakak ni yang kedua

gimanaa? udah punya pasangan juga?

I : belumm. Dia agak beda. Ansos banget. Jadi, mungkin orang tua aku juga

gabisa ngomongin ya. Jadi, masalah pasanga, dia juga sama nggak pernah pacaran

sama sekali sampe sekarang. Dan dia nggak tertarik untu berpasangan. Entah orang

tua ku yang terlalu fookus ke aku atau gimanaa. Tapi mereka itu membiarkan dan

nggak mengkhawatirkan (adik kedua) kayak aku.

P : mungkin karena kakak juga anak pertama kali ya

I : iyaaa

P : kakak umurnya 28 ya

cxvi

I : iya 28. Mungkin karena aku sih menduganya karena, mungkin satu, yang

punya pasangan itu cuman aku doang. Terus yang kedua, karena memang dari kecil,

gimanaa ya orang tua aku ngomonginnya, gambaran adikku yang kedua lebih, dia

itu kayak, tahu gak sih, anak cewek yang di kamar terus, yang suka sama korea-

korea gituu. Dia korea banget. Eee jadi apa ya, dia punya dunianya sendiri. Bahkan

di usia dia sekarang. Nah, orang tua saya agak sedikit menyerah juga sih. Misalnya

ketika ngomong tentang cowok tuuh, di iyuh-iyuh gituu. Nggak dipaksa dia

meskipun usia 28. Nggak ada itu dia kayak aku, aku tuuh sudah tua, kamu itu ini,

nggak ada tuuh. Orang tua ku ngomong nikah ke dia, agak gimana begitu.

P : mungkin ini tanpa sepengetahuan kakak sebenernya adik kakak tuuh di

rong-rong (tertawa)

I : (tertawa) mungkin ya. Atau gini, aku sih nangkepnya karena memang, itu

tadi, pandangan orang jadi karena aku anak pertama terus orang disana kan

manggilnya, “bapaknya umi, bapaknya umi”. Jadi, istilahnya namaku yang paling

besar. Nah, setiap arisan atau apa setiap keluarga tuuh pasti tanya, “umi tuu sudah

nikah?”. Nah, untuk meredakan itu, mungkin, karena di anatar 4 saudaraku itukan

belum ada yang nikah. Jadi, harus ada satu yang nikah. Dan, mungkin iyasih, karena

aku paling tua dan aku yang paling terkenal istilahnya, jadi harus aku (tertawa).

Mungkin, misalnya aku sudah nikah pun, mereka mungkin nggak sebegitu

mengkhawatirkan adikku yang kedua ini kemungkinan.

cxvii

5. Informan Unge

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Rabu, 03 November 2021

Nama : Unge

Usia : 30 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-1 Sastra dan Bahasa Indonesia

Pekerjaan : Freelancer

Domisili : Padang, Sumatera Barat

I : Hallo..

P : Hallo pagi kak Unge, ini Agis

I : Hallo Agis, beneran jam 10 dong yaa..

P : Iyaaah hahah, kak Unge lagi apa?

I : Aku abis nyapu, beberes rumah..

P : Ohh okey.. kesibukannya lagi ngapain aja kak? Maksudnya akhir-akhir

ini lagi sibuk apa?

I : Akhir-akhir ini lagi di rumah aja sih, pengen nikmatin waktu luang

P : Emm,, okey. Emang tinggal dimana? Maksudnya domisilinya dimana?

I : Aku di Padang,

P : Ohmygod, jauh banget. Asli Padang kak?

I : Iyah asli Padang, baru balik sebelumnya di Jakarta, ngerantau di Jakarta

P : Ouu, di Jakarta kuliah, kerja?

I : Kerja, dari SMA sampai kerja.

P : Dari SMA sampai kerja kaka di Jakarta?

I : Iyah, dari 13 tahun

P : Ohmygod, 13 tahun sekarang umur ka Unge 30 ya?

I : Iyah.

P : Kak itu 14 tahun udah ngerantau ke Jakarta?

I : iyah hehe

P : Kok berani?

I : Iyah itu udah 16 tahun kan yah..

P : Iyah, kok berani sih kak?

I : emm, apa yah, karena emang aku anaknya dari kecil udah gak tinggal

sama orangtua, jadi kayak ayo aja gitu.

P : Oh okey, kenapa mutusin buat ke jakarta? Diajak atau emang yaudah

emang mau?

I : Oh ituu, Omaa, ingat gak yang aku bilang dichat abang sepupu aku itu

dia. Nah dia itu kan tunggal, sebenarnya dia itu jatohnya Om aku, nah dia anak

tunggal, nah dia mau punya adik, nah oma sama opa aku juga pengen punya anak

cewe, jadi ibaratnya aku kayak mau dijadiin anak cewenya gitu loh. Cuman karena

aku itu dari kecil gak sama mama papah jadi aku tinggal sama nenek aku, kakaknya

si Oma ini di kampung, aku mah gamau pisah sama neneknya, aku si anak neneklah

ibaratnya. Jadi sampe SMP aku di Padang, nah pas SMA kejadian gempa yang 2009

itu loh yang tsunami di Mentawai, itu kan rumah aku sebagian hancur, nah jadi

akhirnya itu alasan aku di bawa ke Jakarta sama Oma aku.

cxviii

P : Oh okey, Jakartanya di mana ka?

I : di Tangerang, di Ciledug.

P : Ih deket, deket aku berarti.

I : Dimana?

P : Aku mah Cipondoh, kakak ciledug mananya?

I : Astaga

P : Astaga deket bangeet.

I : Aku di Kreyo.

P : Oh tau tau aku, Kreyo.

I : di komplek taman astri..

P : Oh tau tau, ih deket banget berati yah, beda kecamatan doang gak sih?

I : iyah, orang tangerang juga ternyata

P : Asli aku orang tangerang.

I : oh orang tua kamu asli jakarta yah?

P : Iyah, asli sini

I : Tapi papa kamu kayak orang Padang tau mukanya

P : iyah apa? Hahaha

I : di liat fotonya

P : Tapi ini baru pertama kali sih papah ku di bilang orang Padang, biasanya

justru akunya yang di bilang kayak orang Medan.

I : Oh iya, muka kamu juga kayak orang Medan

P : kayak orang medan apa orang jawa gitu, mereka tuh gaada yang percaya

kalo aku orang betawi soalnya mukanya gak kek orang betawi, terus ngomongku

juga gak kayak yang betawi-betawi banget gitu loh ka, jadi kayak agak-agak medok

dikit dikit gitu.

I : haha, kamu kuliah dimana?

P : di UIN, kak Unge kuliah di UIN juga?

I : di UIN juga tau haha

P : hah? Haha jurusan apa kak?

I : UIN ciputat kan, padahal aku kemaren ngekostnya pas banget di belakang

kampus, aku tarbiyah .

P : ohh tarbiyah, aku fisip .

I : emm, fisip, kampus 2 yah berarti?

P : iyah kampus 2, ih astaga katingku haha

I : kating udah jauh banget jaraknya, kamu berapa sih umurnya 21 eh 20 ya?

P : aku 23 .

I : oh iya udah semester 7 ya sekarang?

P : ihh semester 9 hehe

I : gapapa, aku juga lulusnya semester 11 hahaha

P : aduh kalo bisa tahun ini aku terakhir

I : haha tenang masih semester 9, aku mah semester 11 ..

P : jurusan apa kak tarbiyahnya?

I : Pendidikan dan Sastra Bahasa Indonesia.

P : Oh anak sastra, kok ngekost sih kak?

I : jadi kan pas selesai SMA itu oma aku meninggal karena kanker payudara,

berarti kan kalo di Minang itu garis keturunan ibu yah, .

cxix

P : kak maap aku potong, jadi Oma itu berati sebagai orang tua angkat kaka

ya di Jakarta?

I : iyah, nah jadi kan Opa ku PNS , jadi aku dimasukin gaji, diangkat sebagai

anak, jadi segala apapun, yang ngebiayain aku dari sekolah makan baju dan segala

macamnya lah, aku aja manggilnya udah bukan oma opah tapi mama papah. Jadi

beliau meninggal, karena oma aku itu kan udah gaada, berarti garisnya udah putus

gitu dong karena beliau udah gaada, jadi aku kuliah ya em apa yah, aku sejak dari

kecil kan udah ga tinggal sama orangtua karena nyokap bokap cerai pas aku umur

2 tahun, terus aku dirawat nenek terus sampe aku gede, nah kan bingung nih, karena

aku orang tua aku gapunya penghasilan tetap buat nyekolahin aku setelah oma

meninggal nih gimana nih. Terus kakanya mamah aku, om aku, dialah yang

ngusulin dirinya buat biayain aku kuliah sampe lulus. Cuman syarat kalo aku ga

lulus sampe semester 8, semester 9 selanjutnya kamu bayar kuliah sendiri, trus aku

okeey kan gitu. Cuman karena rumah om aku itu jauh di regency, pasar bengkok

itu kan jauh banget yah kalo mau ke UIN, jadi aku tinggal sama Angah aku, angah

aku ini ade nenek aku yang nomer 2, oma aku itu yang paling bontot di komplek

depag ciputat, cuman karena semester 6 aku ada matkul teater kajian drama, dimana

2 semester, semester 5 sama semester 6 itu diwajibkan untuk ikut tampil acara

drama buat dapet nilai, kebetulan aku ketua pelaksananya dimana yang kalo pulang

itu pasti pagi, entah rapat lah atau latihan terus menerus setiap hari jadi karena aku

tinggalnya sama orang kan gaenak yah kalo pulang malem terus, apalagi kalo

dianterin cowo, jadi om aku ini buat keputusan, kamu mau ngekos ga, om bayarin

kosan kamu jangan di rumah Angah lagi gaenak sama tetangga Anggah, yaudah

akhirnya aku ngekos dibelakang kampus deket SMP itu,

P : oh iyah, berarti mulai ngekos itu semester 6 yah ka

I : semester 5 deh kayaknya. Yaudah akhirnya aku ngekos aja terus sampai

kerja terakhir kemarin.

P : hmm, berarti kak unge itu di jakarta awalnya tinggal sama omah, pas

kuliah tinggal di ciputat di adeknya nenek juga, trus semester 5 mulai ngekos di

bawa sama Om.

I : Iyah, om itu kakanya mamah.

P : Oh iyah, jadi yang bawa kaka ke jakarta itu Om?

I :Omahh, om aku itu cuman ngebiayain aku pas kuliah doang, pas omah aku

udah meninggal pas aku lulus SMA, jadi kan aku udah ga tinggal di rumah itu

karena omah aku gaada. Jadi setelah aku lulus SMA ya, aku ditanggung biayanya

sama Om aku ini, kakanya mamah,

P : berati lulus tahun berapa kak?

I : 2018,

P : berarti masuk kuliah itu 2011 ya?

I : 2012.

P : kayaknya sepupuku juga ada deh ka yang anak UIN juga, jurusan kaka,

angkatan kakak bukan yah? Namanya kak bobi.

I : oh mygod kenal, yang gondrong kan?

P : hah kaka kenal?

I : iyah.

P : 1 angkatan ga itu?

cxx

I : emm, 2 tahun di atas aku itu.

P : dia juga kayaknya baru lulusnya agak lama tuh kak bobi.

I : iya emang, makanya jangan ngira sastra itu gampang, sastra itu justru

paling banyak lulusnya lama selain anak informatika itu juga lulusnya banyak yang

lama.

P : iyah bener tuh kak bobi ampe gondrong-gondrong rambutnya..

I : aku sama bobi itu satu hari sama sidangnya, kalo ga salah ya.

P : iya terus tanteku alumni uin juga, jurusannya sama juga, tante Amaliyah,

kayaknya jauh di atas ka Unge sih, soalnya sekarang usianya mungkin udah 32 apa

33 gitu.

I : aku aja 30 loh,

P : mungkin, bisa jadi sepantaran kak bobi malah kayaknya atau lebih tua ya.

Aslinya tuh orang jawa, istrinya om aku.

I : pake kacamata ga dia?

P : engga dia gamake kacamata.

I : bukan berarti,

P : ih sempit ya.

I : ternyata sepupunya bobi kamu..

P : iya deket banget soalnya orangtua nya mamanya ka bobi itu adiknya

papaku. Rumahnya tinggal nyebrang doang, depan gang udah lurus nyampe.

I : oalah, hahahaa

P : kak berarti saat ini kaka di Padang, tinggal sama siapa?

I : sama neneku, balik lagi sama nenek.

P : kenapa memutuskan balik lagi ke Padang?

I : nenek aku udah sakit udah ga bisa jalan tuh, jadi karena anak beliau udah

yang di jakarta semua udah berkeluarga kan ga mungkin mereka yang pulang, jadi

ya aku, mau gamau.

P : oh okey, jadi kakak berdua aja sama nenek?

I : ada nyokap si sama ade yang paling kecil.

P : okey, nenek ka unge gamau dibawa ke jakarta kah?

I : engga mau, karena emang udah lama gede di kampung tua di kampung,

masa si mau, kalo di kampung kan halaman rumah luas terus kalo pagi nyabut

rumput, ngobrol sama tetangga di depan ke sawah, kalo di jakarta udah di suruh

gamau beliau, misal liburan di jakarta juga baru seminggu udah cape di jakarta, mau

pulang aja, mau ngapain si di jakarta cuman tidur makan nonton doang.

P : oh iya si bener, karena udah lama juga di Padang disana, punya temen,

kalo di jakarta mungkin gaada yang bisa diajak ngobrol atau gimana.

I : punya rumah sendiri juga, ngapain di jakarta.

P : oh iya bener, kak ini aku mau tau kaka sekarang umurnya 30 tahun, kak

unge udah punya pasangan belum? Maksudnya pacar atau temen deket.

I : temen deket, kalo pacar engga.

P : oh okey, umur saat ini kaka kan bilang di DM kalo aku ga salah yah kaka

bilang memang ada rencana untuk menikah tapi nanti, kenapa kak?

I : karena faktor keluarga deh kayaknya, faktor orangtua lebih tepatnya.

Mama papa ku kan cerai di umurku 2 tahun, terus menikah lagi sama orang betawi

sana ciledug sana juga, terus punya anak 2 sepasang cewe cowo, cuman engga

cxxi

nuduh satu etnis ya cuman kebetulan si pas laki-laki ini , orang betawi itu kan

kebanyakan lingkungannya di sana sana aja ya rumahnya , nah kebetulan dia ini

jeger, jeger itu yang ngambilin pajak-pajak orang di pasar atau yang jual tanah ke

dia gitulah.

P : oh kayak makelar gitu yah?

I : ah itu mah kekerenan bahasanya,

P : oh okey, bisa jadi calo. Kalo di betawi pun sebenernya banyak calo tanah,

maksudnya yang nawar-nawarin tanah terus nanti dapet komisi.

I : nah iya gitu si, itu juga salah satu kerjaannya. Kerjaan yang lainnya, kek

misalnya ada pasar malem tuh di sepanjang jalan kreyo itu nanti hasilnya buat dia

gitu. Cuman karena beliau ini yang preman pasar kasar maen tangan, aku sma kelas

2 itu mereka cerai si, karena terakhir kali dia nendang perut mama ku si sampe luka

dalem gitu, ya om aku ga terima dong, kaka-kaka nya ga terima, akhirnya disuruh

cerai, disuruh pulang kekampung mamaku ini. Jadi itu kayak bikin di bilang trauma

bukan si, karena aku juga pacaran kayak engga kepikiran aja gitu, tapi nanti kalo

andaikan gua nikah gua kek gitu ga ya, katanya kan buah jatuh ga jauh dari

pohonnya, aku takut apa yang dialami semua akan aku alami ketika aku nikah gitu,

emang manusia itu ga sama, cuman gimana si ketakutan anak kalo ngeliat

orangtuanya 2 kali gagal, apalagi sampe ada kekerasan kek gitu. Itu si faktor

pertama yang bikin aku takut tuh orang tua, tapi di bilang trauma si ga trauma.

P : okey, karena kak unge sendiri masih bisa untuk berkomunikasi dengan

lawan jenis dengan baik yah

I : iyah, terus cuman grgr itu doang si, karena takut itu terulang lagi makanya

aku belum punya komitmen untuk nikah gitu.

P : em okey, kaka ni kalo aku boleh bilang ada rencana untuk menunda

menikahkan berati?

I : dulu aku bahkan dari SMP nih ya gatau aku berpikir, kata orang sih

dewasa sebelum waktunya, dari SMP itu aku udah punya prinsip aku akan nikah itu

di umur 27 atau 28 paling mentok umur 30 tahun. Untuk anak usia 13 tahun aku

udah mikir kek gitu, sampe SMA sampe kuliah itu tetap tertanam di otak aku jadi

prinsip aku, makanya sampe skrg belom nikah kan, nah karena punya prinsip kek

gitu, lepas dari ortu, jadi kayak lepas dari ortu, aku tuh udah hidup mandiri dari

kecil tanpa kasih sayang dari ayah walaupun di kasih sayang sama nenek, om, oma,

opah, ya cuman kan rasanya pasti beda kan, jadi ya udah gede sebelum waktunya

kayak independen aja aku gitu hidupnya, secuek itu sampe aku beli makan, bahkan

kalo aku masi kerja nih di jakarta, itu kayak mikir ah udahlah gua gamau nikah toh

gua udah bisa nyari duit sendiri, gua mandiri, kemana-mana tinggal bawa motor

bawa mobil atau kalo gamau cape nyetir pesen ojol atau car,beli apa-apa, beli

perhiasan, beli baju, beli makan, healing cari udara ke bogor sendiri gua ayo, jadi

udah ngapain gua nikah gitu, aku punya prinsip gitu.

P : Jadi selama ini keputusan-keputusan yang ada di hidup ka unge pun, kamu

ambil/kamu putusin sendiri ka?

I : Iyah betul, aku bukan tipikal orang, karena dari kecil udah terbiasa hidup

sama orang (bukan orang tua kandung), jadi aku punya keinginan gamau nyusahin

orang lain, selama aku bisa sendiri, aku selesain sendiri.

cxxii

P : okey, kamu udah siap atau udahh tau belum dan siap untuk konsekuensi

dari pilihan kak Unge saat ini untuk menunda menikah?

I : udah, udah tau.

P : udah? Udah siap untuk nerima semuanya, mungkin bisa jadi kan ya

pandangan masyarakat tuh ngeliat cewe di atas 25 belum menikah kayaknya udah

di bilang ih nanti , gimana, perawan tua, nanti gimana nikah? Punya anaknya nanti

susah loh , segala macem. Tanggapan kak unge sendiri kayak gimana?

I : balik lagi, karena kemarin aku tinggal di Jakarta, kan masyarakatnya bodo

amat, apalagi aku posisinya ngekost, siapa yang peduli, iya ga? Jadi kenapa aku

selama di jakarta, sebodoamat, karena ya itu, karena keluarga akupun ga nuntut,

karena keluarga aku yang cewe nikahnya rata-rata di atas 27.

P : ohh, memang dari lingkungan keluarganya pun, perempuannya menikah

rata-rata di usia yang matang ya ka?

I : betul, karena kami semua rata-rata yang perempuan ngerantau ke Jakarta

apalagi orang Minang kan ya kata orang “kalo cewe Minang udah ngerantau mereka

ga peduliin nikah, mereka akan jadi wanita karir”.

P : dan itu terbukti ga di kaka?

I : itu terbukti, iya bahkan temen-temen aku, kan kita waktu kuliah tuh ada

ber10 orang yah satu tongkrongan, yang 8 udah nikah, mereka pasti langsung cecer

kok lu ga kepikiran nikah sih, atau aku orangnya secuek itu, misal baru putus nih

bahkan udah pacaran nih 5 tahun, tapi sekalinya putus karena diselingkuhin, cuman

nangis 2 minggu 3 minggu abis itu have fun lagi gitu. Mereka kayak lu yakin nih

gaada sedikitpun rasa nangis kesel atau apa gitu? Yaudah berarti bukan jalannya

aku serata itu ngomong, ya kalo udah putus yaudah gitu kan, udah jalannya putus

berati bukan dia orangnya gitu selesai, ya kalo mau sedih yauda gitu gausa lama

aku bilang gitu kan. Sampe prinsip nikahpun mereka langsung nanya, lu yakin

nikah umur segitu nge? Yaelah orang Padang mah, nikah umur segitu kalo mereka

anak rantau mah bodoamat aku bilang, akhirnya mereka paham, nah itulah kenapa

selama di Jakarta aku gapunya pikiran untuk nikah, beda lagi konteksnya sekarang

kalo aku udah pulang yah.

P : iyah oke, gimana perbedaannya kak?

I : ini sih faktor tetangga deket, kek kamu bilang tadi. Faktor tetangga yang

ngomong ih kok si Unge pulang kok ga nikah-nikah atau si Unge pulang kok ga

kerja-kerja? Aslinya bodo amat si atau aku bales omongan mereka, cuman kan

gaenak karena mereka disini masih keluarga lah ibaratnya, nanti hubungannya

malah jadi cekcok kan.

P : berarti dari keluarga sendiri, memang gaada desakkan buat kaka untuk

segera menikah ya?

I : oh engga, paling cuman dibercandain doang mau nikah lo? Ah ga

sekarang ah, ntar aja aku bilang. Waktu aku kerja di Jakarta kan ya, om aku kan

kayak gitu. Lu umur segini ga kepikiran nikah? Etapi abis itu dibantah lagi sama

dia, eh tapi ngapain nikah cepet-cepet ya, tante lu aja nikahnya umur 30 lebih, haha

P : Karena bercermin dari keluarga sendiri sih ya..

I : jadi kayak udah bukan tuntuntan lagi buat aku, gaada yang harus menuntut

aku buat menikah, jadi yaudah..

cxxiii

P : tapi kalo dari pihak keluarga pun memberi kebebasan gak ke ka unge

untuk dekat sama siapa aja gitu?

I : kalo deket sama siapa aja sebagai teman ga masalah, cuman kemaren

terakhir aku ada pernah pacaran sama dari etnis Jawa, kebetulan pendidikannya

hanya sebatas SMA, om aku ga setuju, karena alhamdulillahnya keluarga aku

semua berpendidikan, ya yang sukses-sukses di Jakarta sana semuanya

berpendidikan, apalagi aku dari kecil gaada ayah gaada orang yang ngebimbing aku

selain opah aku, jadi dia mikir lu butuh cowo yang bener-bener bisa ngedidik lu

bisa ngejagain lu sampe mati nanti, jadi dia mintanya yah minimal pendidikannya

setara sama lu, dia s1 lu s1 silahkan, kerjanya apa ya terserah, kalo di jakarta kan

minimal mah kerja tuh ngantongin 5 juta sebulan kan.. kalo masalah mau keturunan

darimana si mereka ga mempermasalahkan, karena kebetulan istrinya dia juga

orang Jawa kan, jadi yaudah kalo masalah suku its okey, cuman pendidikan nomer

1, akhirnya karena aku juga seorang pemikir, emang nalar aku akan kayak gitu,

beda emang cara didik orang yang berpendidikan sama yang engga, emang engga

semua tapi rata-rata kayak gitu.

P : berarti memang syarat dari keluarga tuh, ya minimal pendidikannya setara

sama ka unge. Kak ini deh hubungan kak unge sama keluarga unge baik, karena

mereka ga menuntut kaka untuk segera menikah, tapi kaka nih sekarang kaka di

Padang, tadi kan kaka bilang pas udah di Padang ini kaka tuh udah ngedenger lah

omongan-omongan tetangga tentang kak unge yang umur sekarang belum menikah

dan ga kerja. Gimana sih kaka hubungannya sama mereka gitu? Maksudnya kaka

masih mau nyapa ga si ke mereka kek say hello sekedar nyapa silaturahmi.

I : masih, masih. Mereka ibaratnya masih 1 rumpun keluarga aku, masih

garis keluarga aku. Jadi yaudah, dan aku orangnya kalo udah tau sifat orang gitu

tuh yaudah, berarti aku akan memaklumi, selama mereka ga mencari perkara yang

bener-bener berkoar ini itu sampe bikin nama nenek aku jelek. Kalo aku ga masalah

di omongin, cuman nenek aku nih yang jadinya kepikiran. Aku bisa ngebalikin

kata-kata mereka, maaf maaaf bukannya menjelekkan satu keluarga ya. Mereka dia

anak-anaknya itu yang kerja cuman 2, yang 2 nya ga kerja. Aku kalo mereka mau

baik, yauda ayo aku bakal jadi malaikat tapi kalo mancing jahatnya aku, aku akan

lebih parah dari setan, aku gituin kan. Jadi, aku bisa sih balikin kata-kata dia, kalo

gue kerja di Jakarta, gaji anak lo berdua itu gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen

gitu tapi kalo mancing jahatnya aku, aku akan lebih parah dari setan, aku gituin kan.

Jadi, aku bisa sih balikin kata-kata dia, kalo gue kerja di Jakarta, gaji anak lo berdua

itu gabakal nyampe 1 gaji gua, aku pengen gitu ya ngomong gitu ke dia, tapi lu mau

ga ngerawat nenek gua selama gua di Jakarta, gua gaji deh lo, aku bisa aja ngomong

kek gitu, cuman yaudah makanya karena aku tau orangnya kayak gitu, aku tau

keluarganya kayak gitu, yaudah aku bodoamat, maksudnya yaudah biarin gausah

dipikirin ke nenek gitu. Lagian juga kalo bunga kerja di jakarta, gajinya gedean

bunga dibanding gaji keluarga anak-anak mereka, aku gituin aja ke nenek aku.

P : kalo boleh tau, dulunya kak unge bekerja sebagai apa?

I : di Astra.

P : Astra tuh mobil bukan sih ka kalo aku ga salah?

I : Astra itu asuransi, cuman asuransinya semua, asuransi jiwa, asuransi

pekerjaan, kendaraan properti, jadi aku di Astra pusatnya.

cxxiv

P : ohh daerah mana?

I : daerah simatupang.

P : Oh tb simatupang?

I : Kamu kalo dari arah kp. Rambutan mau balik ke arah ciputat, ada gedung

yang dari jauh udah keliatan jam digitalnya.

P : ih iya iya kayaknya engeh deh aku.

I : nah itu kantor aku.

P : oalah okey, berarti keputusan kak unge untuk tdk bekerja memang semata-

mata karena nenek yang di Padang itu ya?

I : iyah, jadi kemarin aku baru pulang itu dari bulan puasa sih, 2 bulan

sebelum waktu kontrak aku abis itu, sebenernya nenek aku udah sering ngeluh sakit

kaki, sakit kepala, sakit pinggang ke om sama tante aku yang di jakarta yah. Terus

ada omongan lah ya dari om aku, kamu mau pulang ga kata dia, nemenin nenek di

rumah kasian, karena mau jujur pun, hubungan nyokap aku sama nenek aku engga

baik, mamahku itu orangnya pembangkang lah ya kalo di bilang ibaratnya gitu, dia

nikah sama papahku aja itu udah membangkang gitu, jadi ga terlalu baik gitu, jadi

mau ga mau ya harus aku yang ibaratnya dari kecil di rawat nenek aku untuk pulang,

terus aku bilang tanggung sih tinggal 2 bulan, aku juga belum tau si keputusannya

mau diperpanjang atau engga karena sekarang lagi pandemi, karena kebanyakan

temen-temen aku yang harusnya kontrak di perpanjang malah dicut sama kantor

karena pandemi ini. Ini kayaknya bakal ada pengcutan deh aku, jadi tunggu 2 bulan

lagi yah aku bilang. Alhasil setelah 2 bulan kontrak aku udah abis, betul kontrak

aku gak di perpanjang, karena pandemi ini.

Nah yaudah bilang ke om, nah sekarang kan kamu udah ga kerja di Astra, mau

lanjut kerja di tempat lain atau mau pulang. Di diri aku pribadi masi mau tetap di

jakarta, cuman fikiran aku itu berfikir “lo dirawat nenek lo dari kecil, tanggung

jawab lo sekarang mana ke nenek lu?” jadi yaudah deh akhirnya aku pulang

kemarin pas bulan puasa sampe sekarang.

Kalo di kampung kan, kalo gaada orang dalem mah susah yah nyari kerja, wadah

kerja disini juga sedikit, lapangan kerjanya juga ga banyak. Ga dikota-kota banget,

ga di padang kota, ga di bukit tinggi, ya bisa dibilang kampung, ya cuman bank

masi bisa diitung jari lah, akhirnya ga kerja-kerja kan, nah makanya orang banyak

ngomong begitu karena kalo kayak gini kan bingung yah, udah ga kerja, kita pun

ga nikah, jadi kayak yang biasanya kerja dari subuh sampe maghrib, dapet

penghasilan tetap, terus ga nikah, terus tiba-tiba pulang, udah 6 bulan, tabungan

abis dong, tabungan udah mulai menyusut jadi balik lagi kayak aku masih kuliah

dulu dikasih sama Om kan.

Terus akhirnya yaudah sampai sini, keputusan aku sama nenek aku, baru ngobrol

sama nenek aku sih, nikah deh akhirnya tercetus deh kata aku nikah, pilihannya,

karena aku ke Jakarta nenek gamau dibawa, kalo aku ke jakarta kasian nenek sama

siapa, di kampung gaada kerjaan, kecuali kalo aku udah punya suami dan aku udah

ditanggung, aduh duit gua mana ya, beli ini beli itu kan ga akan dipikirin lagi kalo

aku punya suami, tapi kan ini aku belum nikah jadi udah ngomong sama nenek, ini

baiknya gimana, aku ke jakarta dan nenek mau ikut? Ya enggalah.. terus kamu mau

ke jakarta? Yaudah silahkan. Terus nenek gimana? Yang ke pasar beli lauk siapa,

yang bersih-bersih rumah siapa, yang jagain nenek nanti siapa. Diem gabisa

cxxv

jawabkan, karena sebenernya akuu udah punya planning dulu, aku udah ngomong

untuk kos sama ade aku, ade aku kos di uin juga sekarang udah semester 5.

Aku sebelum pulang pesen “dek, gue pait-paitnya kalo gua pulang gua gaakan dapet

kerja, lu tau itu kan.” Tau kata diaa, kalo gua ga dapat kerja otomatis gua akan cari

suami yang nanggung gua, nanggung tanggung jawab gua dan dia gitu kan. Kalo

gua dibawa suami gua, entah itu ke padang atau dia dinas kemana atau tinggal d

rumah yang udah dia beli, lu mau ga pulang setelah lulus kuliah buat nemenin

nenek, ntar gua cariin kerja walopun susah, seenggaknya nenek ada yang jaga. Kata

dia oke gitu kan.cuman sekarang karena dia masih smt 5 dan aku juga udah ga kerja,

aku bingung nih harus ngapain.

P : kak tapi kan bukannya masih online yah?

I : apanya?

P : kuliah.

I : iyasih, masih online, cuman kan kalo andaikan nanti mendadak tibatiba

dia disuruh dosen, nih kemarin aja dia sekali-kali ketemu dosen kalo ujian, ujiannya

di rumah dosennya. Dan aku yakin sama papahnya dia, dia kan tinggal sama

papahnya nih, engga akan dibolehin, kecuali kalo emang dia udah lulus dan dia mau

pulang ke kampung lagi gak masalah, ini kan dia kuliah masih dibiayain papahnya,

jadi dia masih nurut sama papahnya di jakarta sana, dia ga berani pulang dulu, kata

dia gitu.

P : okey, tapi kayaknya beneran kak unge ada diposisi yang sulit sih?

I : sangat, sangat sangat banget agis sumpah, ini aja aku sampe ngadu ke

sepupu aku, ini gua harus gimana ya sumpah, dia cuman beda 2 tahun doang kan

sama aku dan di jakarta, gua harus gimana ya gua bingung tau, yaudah lu cari laki

sana, lu kata cari laki dikampung gampang, kalo di jakarta orang kerja dengan gaji

umr 4,5 jt sebenernya itu udah cukup untuk sewa rumah yang biasa aja, dia bilang

gini yaelah lu cari laki engga harus nyari istri yang udah kerja, ya kalo di jakarta

mah iya, kalo di kampung mah kan beda, kalo di kampung mah justru yang gajinya

cuman segitu doang emang cukup, aku gituin kan. Jadi beban sekarang beneran,

pertama selain karena udah gaada pemasukan terus ga ngapa-ngapain, biasanya

kerja di depan komputer ketemu client, meeting segala macem kan, sekarang gaada

kerjaan terus gaada pemasukan stress aku harus ngapain, kalo aku mutusin buat

nikah, nikah itu ga gampang, karena aku orangnya tinggal nerima si cowo asal

cowonya berpendidikan dan kerja kan aku tinggal oke doang kan, tapi dari pihak

cowo, mau ga orangtuanya punya mantunya ga kerja, okelah aku lulusan s1, tapi

aku kan ga kerja.

P : apalagi memang kan ga mungkin baru kenal sebulan dua bulan tiga bulan

memutuskan untuk menikah, mungkin untuk sebagian orang itu udah cukup tapi

kan buat ka unge pribadi..

I : iyah itu untuk aku sih, memang betul aku gaakan sebulan duabulan

mengenal orang memutuskan pacaran engga, pacar lamapun butuh pdkt, makanya

aku menolak keras kalo ada orang yang mau taarufin aku, aku gamau.

P : iyasih bener, karena kayaknya buat mengenal calon pasangan hidup tuh

ga cukup mengenal sebulan duabulan tiga bulan ga sih ka.

I : iya betul, kalo aku sih prinsipnya kayak gitu.

cxxvi

P : iyasih bener sama aku juga. Susah ka, kalo misal ka unge pun akhirnya di

keadaan kek gini memutuskan untuk menikah kan kita ga sekali ngedip itu langsung

ada calon suaminya.

I : betul, makanya aku sekarang lagi dramatik, berpikir keras aku harus

ngapain yah di kampung ini, usaha apa di kampung, cafe udah banyak mau ternak

sebernya ya semua usaha butuh modal yah buat aku yang hidup sendiri biaya apa

apa sama sendiri kan aku gapunya tabungan sampai 100jt, paling tabungan ya yang

disisihin dari kerja itupun karena aku 6 bulan d rumah ya udah abis dong, udah

makin kekikis dong tabungan aku, ga bakal cukup gitu. Ini aja aku mau nikah mikir

keras, ini kalo nanti nikah gimana ya resepsinya, aku cucu kesayangan nenek, kalo

cuman sekedar nikah di KUA apa mereka mau atau pihak si laki-laki mau, aku sih

terserah ayo ke KUA doang cuman bayar 300rb modal foto latar biru juga aku ayo

aja gitu kan cuman keluarga mau ga? Mau sekeras apapun aku punya prinsip,

yaudah si kan yang nikah lu, ga bisa, kita hidup masih di dalam rumah keluarga

kecuali aku tinggal sendiri only just me yauda cuman ke KUA doang hayu, tapi kan

ini kita punya tante kita punya om kita punya nenek, kan gabisa kayak gitu.

P : iyah betul banget, tapi dari diri kaka sebenernya udah ada kesiapan belum

si buat menikah?

I : kalo siap mah, siap batinnya siap, lahirnya aku belum siap berdebat sama

suami aku, karena aku ga kerja nanti, pengeluaran gimana, ya walopun kita belom

ngomongin masalah ini ya, cuman untuk berfikir hidup itu sekarang ga cuman

sekedar sejuta dua juta sebulan, untuk beli cabe aja sekilo 36ribu di pasar, lu mau

makan paan nanti, kalo cuman gaji sejuta sejuta dengan gua yang kerja, aku lebih

mikirin lahirnya dibanding batinnya.

P : okeyy, aku ada 3 pertanyaan terakhir nih kak. Pandangan ka unge tentang

pernikahan itu seperti apa?

I : pandangan aku terhadap pernikahan, kalo dasarnya si itu sebuah

kewajiban ya kalo mau ngomongin agama, tapi kalo naluri aku sebagai manusia

selama aku bisa mandiri kayaknya ga nikah tuh ga masalah deh, aku mikirnya gitu.

Sebenernya kalo aku gak nikah pun gapapa, aku masih bisa hidup. Terus kalo ada

orang yang ngomong, tapi kan lu butuh pendamping, butuh yang ngajarin kamu,

butuh kamu berbagi kasih sayang dalam macam hal ini itu, terus selama ini gua

hidup 26 tahun gua ngeluh ga ngeluh-ngeluh banget, gua bisa nikmatin hidup gua

sendiri, ya walaupun ngeluh paling ngeluhnya ke ade, dan ngeluhnya itu paling

cuman “ih gua cape kerja deh dek, liburan yuk”. Tapi untuk segala persoalan aku

akan nyelesainnya sendiri. Tapi kalo ditanya mau nikah ga? Mauu, siapa si yang

gamau. Ibaratnya kamu juga kan udah gede kan, siapa si yang gamau dipenuhi

kebutuhan batinnya. Aku normal, aku bukan seorang yang peduli tentang hubungan

badan, enggak, aku normal, aku ngeliat orang pacaran gandengan, pelukan, ciuman

ya aku pengen, siapa yang gamau, untuk orang normal ya. Manja-manja sama

suami, pengen punya anak ya pengen, cuman disatu sisi masih banyak belenggu

yang aku pikirin, ini gimana ya gua nikah dia kasar ga ya sama gua kayak nyokap

gua dulu, nerima ga ya dengan gua dan keluarga gua yang kek gini, mau bertahan

ga ya sampe gua mati nanti. Dan pemikiran-pemikiran lain yang overthinking itu

gabisa diilangin, walopun nyatanya pengen tapi lebih banyak ke gak pengennya.

P : berapa persen tuh ka pengen dan ga pengennya?

cxxvii

I : 75% ga pengen, 25% pengen .

P : emang sih, orang tuh berpikir nikah kan gampang tinggal lo ijab qabul

selesai, tapi kan buat orang yang ngejalaninnya kayaknya justru yang sulit itu

setelah pernikahannya itu kan.

I : kalo orang yang dari kecil keluarganya harmonis, kaya terus dapet

jodohnya juga yang kaya harmonis, terus ketemu 2 keluarga yang klop ya enak,

coba kalo orang yang dari kecil udah punya masalah hidup yang menjadikan

dewasa sebelum waktunya, emang enak, ya enggalah, banyak pikiran yang

dipikirinkan.

P : banyak ketakutan-ketakutan yang jadi bayang-bayang dia itu loh.

I : iyah, makanya dibilang mau ya mau tapi mau banget ya engga, kalo bisa

si sebenernya mending gua ke jakarta lagi deh kerja dari pagi ketemu sore, tidur

terus besok gitu lagi terus gua dapet duit gua kasih duit gua ke nenek gua, itu

pencapaian yang lebih baik menurut aku, cuman yah kalo keadaannya udah kayak

gini kan aku bingung, stuck. Nurutin ego aku buat aku jadi wanita karir tapi nenek

ku sakit, tapi kalo aku ikut ke kampung jagain nenek aku harus gimana, kerja engga

punya suami juga engga, tapi kalo nikah takut, serba jadi kayak bingung deh. Jadi

sekarang oh yaudahlah, gimana nanti maunya gimana, mungkin untuk beberapa

bulan kemudian kayaknya si bakal ada omongan sama om om aku, kayak ketakutan

nenek aku kalo nanti lu nikah biayanya darimana atau lu nikah mau sama siapa,

nanti akan diomongin si setelah ku berfikir sekarang, setelah aku buka pikiran,

malah ngobrol sama kamu ini jadinya malah kayak kepikiran tau oh iya gua harus

nikah tau. Dari pas ku nanya, emang penelitian kamu tentang apa sih dek? Terus

kamu bilang tentang nunda nikah, wah pas banget nih. Jadi kayak udah sedikit demi

sedikit buka jalan pikiran aku lah, walopun ada yang dikorbanin.

P : karena kayaknya emang dari yang aku denger cerita ka unge tuh, ka unge

bener-bener ada diposisi yang terjepit, di satu sisi tuh pasti yah kamu tuh ngerasa

punya potensi kalo gua tuh bisa bekerja lebih dari yang kemarin punya penghasilan

lagii, tapi di satu sisi lagi di Padang ada nenek ka unge, yang memang butuh ka

unge juga, jadi memang kayaknya salah satu harus ada yang dikorbankan.

I : emang makanya kemarin aku milih mengorbankan karir aku kan,

P : kak tapi kamu tuh ini gak sih, dulu pas masi di jakarta tuh menjadi kan

karir mu itu sebagai pengalihan dari menikah?

I : emm, disebut pengalihan si engga, karena emang aku kerja pengen dapet

duit pengen nyenengin diri sendiri, pengen bisa beli apapun tanpa nyusahin,

ibaratnya kalo dari aku umur 2 tahun sampe kuliah kan secara kasarnya udah

nyusahin orang, duit keluarga udah keluar buat aku tapi kan aku ada rasa ga enaknya

kan. Jadi semejak aku kerja di kuliah pun, aku udah kayak “wah gua harus prepare

diri sendiri gamau nyusahin orang, duitnya buat gua sendiri, gua mau beli apapun

yaudah gitu”.

P : oiya 1 lagi nih kak, menurut kak unge sendiri pernikahan itu jadi sebuah

keharusan gak sih bagi perempuan?

I : bagi perempuan ya, aku pribadi engga. Karena kita gabisa memaksakan

semua perempuan harus menikah, karena banyak yang masalahnya kayak aku atau

mungkin lebih, misal dulunya maaf dia dilecehkan oleh laki-laki, dia punya trauma

sama laki-laki dan gamau punya hubungan sama laki-laki tuh kayaknya wajar,

cxxviii

karena ga semua trauma tuh bisa dihilangin dengan gampang. Kalo untuk sebuah

keharusan sih kalo menurut aku engga, karena kita gatau problematika yang dialami

oleh seseorang itu seperti apa. Kita gabisa menuntut elo cewe, elo harus nikah. Di

luar konteks agama yang mewajibkan ya, kalo cuman dari persepsi manusia lo harus

nikah lo cewe lo ga boleh nikah umur segini, engga, itu ga mengharuskan.

P : jadi malah sekarang berfikirnya pernikahan itu malah jadi sebuah pilihan

ga si? Jadi orang boleh nikah boleh engga gitu.

I : entah itu dia gamau nikah, tapi dia ngelakuin seks diluar nikah ya terserah

dia, itu hidup dia, jangan maksakan kehendak lo harus nikah, kecuali keluarga yang

menghendaki harus nikah itu gapapa yah. Kalo urusan sama keluarga si itu kayak

keluarga inti itu seperti mama papa ade, karena mereka itu punya ikatan batin. Tapi

kalo cuman dari omongan orang itu bukan sesuatu hal yang harus lo iyain, oh si ini

ngomong ini jadi gua harus nikah, engga, menurut gua engga.

P : okey, dari yang kak unge rasakan sampai umur sekarang nih waktu masih

bekerja, apasih keuntungan yang di dapat?

I : keuntungan kita bekerja sendiri, duit masih duit kita, masih bisa nyenengin

diri sendiri, beda kalo udah nikah, ya walopun orang duit suami duit istri, duit istri

ya duit istri, tapi ga bisa gitu mau gimanapun kalo lagi ada di suatu sikon yang

mendesak duit suami kurang dan lu harus nambahin, ya mau gamau lu harus turun

tangan, kalo misal orangnya kerja ya. Kalo ga kerja itu bisa jadi salah satu hal yang

memicu suami istri berantem tapi kalo suami punya tempramen gitu “lu sih ga kerja

makanya kan giliran gaada duit ga bisa bantu gua”. Nah itu banyak disekeliling aku

yang kayak gitu, entah orang tuanya yang kayak gitu, entah temen pribadi aku

kayak gitu ya cerita rumah tangganya itu banyak. Makanya keuntungan sebelum

bersuami pas kerja ya itu duitnya bisa aku gunain semua aku sebebas aku suka-suka

aku, aku mau beli apa aja dengan belum nikahpun aku bisa bebas, enjoy kemana

aja, lu mau make baju apa aja okey mau nyeleweng sana sini okey, mau pergi

kesana sini okey, ya bener kata orang yang nikah muda, “lo mending jangan nikah

muda deh, nikmatin masa remaja lu dulu have fun aja dulu sendiri selama lu masih

sendiri”.

P : okey, yaampun aku udah selesai ka, pertanyaannya udah abis. Jadi udah

nih ya, karena ka unge ada di kondisi yang sekarang, jadi sudah mulai terpikirkan

untuk okey gua harus menikah., kemudian memutuskan untuk akhirnya berkorban.

I : iyaah, ya mau gimana pilihannya gaada, pilihannya cuman itu yang bisa

aku lakuin.

P : tapi kalo misalnya ternyata nenek kak unge berubah pikiran dan

memutuskan untuk ke jakarta, kak unge gas dong untuk mencari kerja lagi dan

menunda menikah lagi?

I : iyah bener wkwk tapi itu kayaknya sih bukan hal yang mungkin terjadi.

P : iyasih tapi semoga aja neneknya berubah pikiran atau ga ada yang mau

gantiin ngurus nenek. Hehehe oiya adenya kak unge di uin juga? Perempuan?

I : iyaa, jurusan FIKOM. Ngambil broadcast, perempuan juga.

cxxix

6. Informan Scha

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Kamis, 04 November 2021

Nama : Scha

Usia : 31 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Usia Menikah : 30 Tahun

Pendidikan : S-2 Psikologi

Pekerjaan : Psikolog

Domisili : Malang, Jawa Timur / Batam

P : halo, selamat sore,

I : halo, selamat sore. Halo agisss!!

P : halo kak!! Aku panggilnya siapa ini? Kak Scha?

I : iya boleh boleh

P : oke kak Scha. Sudah free ini, kak?

I : (tertawa) sudah, sudah free kok.

P : oke, Alhamdulillah.

I : maaf ya mundur (tertawa) ini aku baru selesai kegiatan.

P : oh iya gapapa. Padet banget ya hari ini, kak?

I : iyaa, lumayan.

I : iya gimana Agis? aku bisa bantu apa ini?

P : makasih ya kak sudah luangin waktunya buat aku. Buat kita ngobrol-

ngobrol.

I : iya silahkan, mangga.

P : sekarang ini kak Scha kesibukannya apa?

I : kesibukannya ya.. karena saya psikolog paling handle klien. Terus

kesibukannya sih paling ya menjalankan peran sebagai istri saja. jadi ngurus rumah,

ngurus kucing. Eee paling ya karena psikolog jadi punya klien.

P : oh, kak Scha tuh psikolog?? Buka praktik juga kah?

I : eee iya kayak begitu. Tapi karena sekarang saya kan posisi habis pindah,

jadi kayak ribet begitu dan praktek antar propinsi. Jadi sekarang paling terima

kliennya masih online.

P : ooo jadi memang karena kepindahan ini jadinya konsultasinya online gitu

ya, memang biasanya tatap muka langsung kah kak?

I : iya kalo dulu. Dulu kan saya di Malang. Di Malang tatap muka langsung.

Tapi karena memang pandemi juga, sejak pandemi tuh jadi lebih banyak, lebih

banyak apa sih tuh, kayak sesi zoom, begitu-begitu sih. Sesi call. Tatap mukanya

memang dikurangin.

P : oke oke

I : jadi sekarang pas pindahan nggak terlalu sulit ya. Seperti itu.

P : kenapa pindah ke Batam Kak?

I : karena ikut suami bekerja (tertawa)

P : ooo suami bekerjanya di Batam.

P : awalnya di Malang juga memang asli sana kah atau gimana?

cxxx

I : saya asli Malang, suami Mojokerto. Suami kan kebetulan karyawan

swasta. Jadi, eee kan Mojokerto-Malang tuh kan deket. Enggak deket juga sih. 3

jam. Jadi kan, eee kadang wekeend dimana, di Malang. Atau nggak, kita 2 minggu

di Malang, 2 minggu lagi di Mojokerto. Kayak begitu-begitu. Jadi, masih fleksibel.

P : kalo di Malang sendiri sama di Mojokerto gitu rumah sendiri atau maaf

bareng sama orang tua kak?

I : eee kalo yang di Mojokerto saya sama eee sama siapa sih, sama mertua.

Cuman, kalo yang di Malang, memang rumahnya keluarga, rumah saya. Tapi

enggak bareng orang tua,gituu. Orang tua saya di Jakarta soalnya.

P : ooo begitu okay. Kalo boleh tahu, sudah berapa tahun kak jadi psikolog?

I : berapa ya (tertawa) eeee 4 tahun 5 tahun sekarang, insya Allah.

P : ii asyik banget. Jadi psikolog asyik ya kak (tertawa)

I : kamu jurusan apa sih Agis?

P : aku sosiologi

I : ooo sosiologi. (jadi psikolog) asyik saja. karena memang sudah, sudah

suka kan. Ya senang-senang saja dijalaninya.

P : suka dukanya dong kak jadi psikolog..

I : saya senang ya ketika melihat orang lain berkembang, gituu kan. Ketika

klien akhirnya bisa dari titik yang minus akhirnya sekarang bisa berkembang di +1

+2, kayak gituu. Dan recognize semua orang punya potensi dan nggak semua bisa

melihat potensi itu sesuatu yang menyenangkan bisa helping people melalui ilmu

yang saya pelajari, kayak gituu. Kalo dukanya, apa ya dukanya, so far sih seneng-

seneng saja. dukanya mungkin hampir nggak ada (tertawa)

P : karena menikmati berprofesi sebagai psikolog

I : ah ini, kalo dukanya palingan masalah administrasi kayak begitu-begitu

deh yang harus bikin laporan, begitu-begitu. Harus setor status, harus memperbaiki

eh apa sih, harus update praktek. Kayak begitu-begitu saja, sih.

P : Berarti sekarang di Batam ini ngontrak atau gimana kak?

I : Alhamdulillah aku ada rumah juga, sih, disini. Rumah keluarga. Jadi kita

disuruh tempatin. Oh yaudah deh, kayak gituu.

P : aku boleh tahu nggak, usia kak Scha saat ini umur berapa?

I : 31 (tertawa)

P : 31...terus menikah usia?

I : 29. Eee mau ke 30 sih tapi

P : 29 mau ke 30 ya...

P : aku mau tahu alasan kak Scha memutuskan menikah di usia segitu itu

karena apa?

I : kalo mau memutuskan menikah di usia segitu mah enggak ya. Karena

memang eee not mind goals gitukan awalnya. Karena semua orang akan menikah.

Nggak, nggak pasti sih. gimana ya, eee fase ya fase. Saya sih menganggap semua

fase ada yang memang mau, ada yang memang enggak. Ada yang akan

menjalaninya, ada yang nggak. Cuman, kalo saya, kalo pun, gini sih mindsetnya

kalo memang, oh kalo perempuan nggak punya contoh, expired. Kalo perempuan

akan jadi, apa namanya, kalo nggak segera menikah, tuh, apa sih..

P : eee perawan tua begitu kak

cxxxi

I : enggak ada pikiran kayak begitu sama sekali soalnya. Karena orang tua

juga nggak menuntut ya. Alhamdulillah orang tua nggak menuntut. Jadi, akhirnya

memutuskan menikah umur 30an karena kebetulan eee saya ketemu suami saya

umur 26. Sebenernya suami saya itu teman saya, lama banget, gitukan. Cuman

akhirnya kita memutuskan pacaran itu umur 26 terus, oh yauda deh, serius saja yuk.

Terus tahu-tahu eh nikah. Sudah deh (tertawa). Terjadi begitu saja dengan lancar.

P : berarti kak Scha dengan suaminya itu sepantaran ya?

I : s1 nya kita berbarengan emangnya. Dan dia memang sahabat saya sih, jadi,

satu circle, gituu.

P : oke berarti keputusan untuk menikah itu memang datang dari diri kak Scha

sendiri ya.

I : iya sih, memang, memang, iya memang kepengen saya sendiri dan

memang dia juga eee nggak ada tuntutan. Ya memang ngalir saja gituu. Kayaknya

sudah waktunya nikah deh, nikah saja yuk. Biar goalsnya itu punya kehidupan yang

lebih baik, atau apa-apa itu mindsetnya bareng gitukan. Jadi, nggak, nggak, belum

nikah, kalo saya sih ya, kalo belum nikah itu kayak apa-apa itu ditanggung sendiri.

Tapi kalo sudah nikah kan sekarang jadi ada temennya.

P : eee waktu sebelum menikah dan setelah menikah apa perbedaan yang

kakak rasakan?

I : eeee apa ya, bedanya itu tadi, yang hingar bingar kehidupan (misalnya)

party, begitu-begitu itu enggak. Jadi, hidup sebelum menikah dan setelah menikah

itu rasanya nggak jauh berbeda karena saya juga merasa nggak terlalu banyak part

of my life yang berubah setelah menikah. Paling, tentu saja ada penyesuaian ya.

Namanya juga menikah, beda status. Jadi semakin ada peran istri. Sekarang sudah

punya suami, sudah punya tanggung jawab lebih. Punya jawab-tanggung jawab

yang memang harus ditunaikan, kayak begitu. Cuman kalo yang habis nikah itu

gabisa pergi kemana-mana, gabisa main sama teman, kehilangan kehidupan itu

nggak sih kalo saya. Cuma kalo saya tipenya kebetulan yang eee sukanya itu, me

timenya itu sendirian, begitu kan ya. Jadi itu, sometimes kalo misalnya sudah capek

banget sama kerjaan, lagi banyak, entah lagi banyak presure, atua kayak apa-apa.

Jadi, sometimes itu, eee jadi ketika suami saya pergi, gitukan, pergi main atau

kemana, saya malah (itu waktunya) saya me time, saya bisa di rumah sendirian

nggak ngapa-ngapain atau bersih-bersih rumah. Itu kerasa banget sih. jadi kayak

butuh lebih banyak space untuk diri sendiri. Kan kalo masih hidup sendiri, ya bebas.

Tapikan kalo menikah, kita gabisa kayak begitu. Aduh, aku mau sendiri ini, jangan

ganggu ya. Kan gabisa kayak begitu. Bisa sih, cuman kan harus disampaikan

dengan cara yang tidak menyinggung pasangan.

P : setuju sih, kalo lagi butuh waktu sendiri itu bersih-bersih jadi healing

banget gak sih, kak..

I : aaaa benerrr (tertawa)

I : jadi tuuh, kalo di psikologi itu, bersih-bersih bisa jadi coping skill. Jadi

tuuh bikin kita preleasestantion, jadi bikin kita mindfull, lebih fokus sama apa yang

dikerjakan dan memang bonusnya kan rumah jadi lebih rapi kan, jadi lebih enak.

P : kak, diawal pertama kali kita dm-an itu kan kak Scha bilang, kalo saat ini

kak Scha bekerjadan suami mengizinkan. Aku kepo dong kak, gimana cara kalian

cxxxii

berdua itu mendiskusikan hal ini? Untuk kak Scha yang sudah menikah tapi tetap

bekerja.

I : oke, sejak sebelum menikah kita sudah ngobrol soalnya. Jadi, ini bekal

buat cewek-cewek ya, kalo memang seandainya mau menikah, eee dan mau bekerja

setelah menikah, baiknya diomongin. Jadi, kalo mau apa-apa itu sebelum menikah

itu diomongin semua sama calonnya. Jadi, biar nggak kaget pas nikah. Saya dulu

pas punya pacar, eee pas dulu sebelum nikah sama suami, saya bilang, aku nanti

pokoknya kalo nikah aku tetap pengen bekerja. Tapi atas keinginanku sendiri.

Bukan karena dipaksa atau apa. Ntar kalo aku pengen kerja boleh ya kerja. Tapi

kalo aku capek, aku berhenti juga gapapa ya. Dan suami (tanggapannya) yauda

terserah kamu saja. yang penting kamu seneng, kayak begitu. Jadi ya diomongin

saja sih. dan kebetulan, valuenya kita nggak terlalu bertabrakan. Jadi, suami oke-

oke saja. mungkin kan ada, kalo suami-suami lain, mungkin kan nggak ngebolehin

gitukan. Itu akan susah sih cara ngomongnya. Nah, dan saya sendiri kebetulan eee

nggak mau yang – karena kan psikolog ya, jadi, jadwalnya toh lebih fleksibel. Jadi,

nggak yang dari pagi sampe sore gituu nggak.

P : jadi memang itu suatu apa ya, suatu hal yang enggak sulit untuk

dibicarakan dan diambil ya, untuk kak Scha yang pasti tetap bekerja setelah

menikah itu.

I : heeh karena kan saya S1 psikologi ya, S2 magister profesi psikologi. Ya

emang goalsnya dari dulu, aku memang mau jadi psikolog, gitukan. Aku pengen

gini-gini-gini. Jadi, ketika akhirnya memutuskan untuk tetap punya pasangan yang

serius, ya ayok obrolin. Bahwa, nanti kalo aku menikah jangan menuntut eee jangan

mengira aku akan mengurung mimpi-mimpiku dalam kotak. Nggak. Dan saya juga

percaya pasangan yang suportif akan menyuport pasangannya mencapai mimpi.

Mau laki-laki ataupun perempuan. Harusnya idealnya seperti itu.

P : selain karir atau pekerjaan apa aja sih yang perlu diobrolin sama pasangan

ketika kita memutuskan untuk lanjut ke tahap yang lebih serius.

I : banyak ya sebenernya (tertawa). Jadi itu memang, memang yang isu-isu

sensitif itu harus dibahas diawal dulu. Kayak finansial, atau kayak, nanti kita kalo

nikah siapa yang mau nanggung hidup. Apakah pure yang cowok saja, atau yang

cewek boleh ngebantuin. Atau, ya sudah sendiri-sendiri atau gimanaa itu harus

diobrolin. Terus kayak misalnya mau punya anak apa nggak. Mau langsung punya

anak apa nggak, itu juga (diobrolin). Mau punya anak berapa. Terus misalnya nanti

kalo menikah, mau tinggal dimana. Eee mau tinggal di orang tua atau mandiri. Atau

misalnya mau ngontrak atau gimanaa. Itu harus diomongin. Jadi memang, kalo mau

nikah itu kita gabisa cuman aku cocok, kamu cocok, oke, kita nikah. Nggak bisa

begitu. Jadi, memang bekalnya, awlanya harus diomongin dulu yang isu-isu

sensitif. Terus juga misalnya kayak value, apa ya, value itu semacam nilai-nilai

yang dianut. Kayak misalnya nanti mau membesarkan anak dengan cara seperti apa,

bukan metode atau secara teknis ya, tapi kayak, gimana ini kita mau membesarkan

anak, dengan apa. Value apa yang mau kita berikan. Apakah dengan dikasih sayang

atau ada juga kan yang kita harus keras sama anak, nggak boleh begitu-begitu. Kan

ada yang seperti itu. Nah itu tuuh harus diomongin. Sebenernya banyak banget sih.

oh, terus, masalah preferensi seks juga penting itu. Karena, orang kan kesannya

kadang tabu, ya, takut untuk diomongin. Nanti takut kalo begini-begini. Ada juga

cxxxiii

mungkin yang eee biasanya tuuh yang minder cewek-cewek. Kayak, eee kita nggak

menutup bahwa fenomena sekarang perilaku seksual sebelum menikah itu sudah

banyak. Ya itu banyak cewek-cewek yang minder, kayak, aduh, nanti kalo misalnya

suami ku tahu aku nggak perawan gimanaa ya? Jadi tuuh takut diomongin. Terus

akhirnya nanti ketika sudah menikah, baru tahu, akhirnya malah bikin marah.

Padahal kan sebenernya masalah perawan nggak perawan kan bukan sesuatu – kalo

saya ya, bukan sesuatu yang harusnya jadi masalah dalam pernikahan. Ketika kita

sayang – aku sih, menerima secara utuh maupun dia kondisinya kayak begitu. Nah,

laki-laki yang sayang kan juga nggak akan mempermasalahkan hal itu. Masalahnya

kan bukan cewek doang yang melakukan perbuatan seksual di luar nikah. Kan yang

cowok juga. Cuman nggak ada bekasnya saja istilahnya begitu. Itu juga perlu

diomongin. Ya hal-hal yang sensitif-sensitif kayak begitu harus diomongin. Terus

juga kayak misalnya agama. Apakah nanti kalo misalnya – karena kita misalnya

agama sudah sama saja kadang tuuh tetap ada perbedaan ya. Misalnya islam begitu,

kan ada yang mahzabnya beda. Itu harus make sure dulu itu. Kalo nggak nanti yang

satu NU, yang satu Muhamadiyyah. Ada saja yang bikin beda. Itu tuu bisa jadi

berantem. Karena orang tuu kalo sudah nikah, sumber peliknya itu bukan sesuatu

yang besar. Dan sumber perceraian itu justru bukan sesuatu yang besar, loh. Bukan

kayak masalah warisan, masalah pelakor, begitu-begitu, bukan. Nggak tahu sih, ya,

taoi menurut saya fenomenanya, base on science nya itu kayak, justru lebih sering

orang memutuskan bercerai karena hal-hal kecil yang nggak diomongin. Misalnya,

perbedaan perilaku, perbedaan habit. Dia (suami) tidurnya ngorok, nggak suka

suami tidur ngorok. Yang kayak begitu-begitu lah. Hal-hal kecil tapi nggak

diobrolin.

P : dan itu malah jadi pemicu konflik di rumah tangga itu ya

I : hooo benar.. yang misalnya sekarang tuuh, paling sering dipasangan-

pasangan muda itu, suaminya suka nge-game. Jadi, sukanya mabar. Syaa nggak

ngerti juga ya istilahnya, tapi kayak, suka nge-game sampe larut. Jadi, pulang kerja,

makan. Abis itu di kamar tapi nge-game. Mereka lupa quality time sama istrinya.

Itu sering jadi keluhan belakangan ini dipasangan-pasangan muda. Misalnya nggak

tahu waktu. Kalo suaminya, sering bilang kayak, eee, tapi kan ini aku ngilangin

stress. Kayak begitu-begitu loh. Tapi nggak ketemu di tengah.

P : dari keluarga kakak sendiri tuh sebenernya ada desakan nggak sih untuk

kakak harus menikah di usia sekian?

I : nggak ada sih, nggak ada. Alhamdulillah kalo dari keluarga saya, kayak

keluarga papa mama itu nggak ada. Tapi pasti ada omonganlah dari bude. Apa sih,

ya omongan dari luar. Cuman, enggak terlalu jadi pikiran sih kalo saya. Malah

kayak yaudah lah. Ya namanya orang pasti ada saja yang komen. Pasti ada saja

yang bilang, iii sekolah tinggi-tinggi belum nikah, eh nanti susah loh punya anak,

ngapain pacraan lama-lama nggak nikah-nikah, dan pasti ada saja yang komen

kayak begitu. Cuman, ya kalo kita fokusnya sama yang itu, ntar lama-lama capek.

P : heeh.. biasanya malah dari pihak luar itu yang lebih rese ya kak

I : iyaa bener. Kalo mama papa sih nggak yang terlalu menuntut. Kalo ibu

saya sih, kebetulan pendidikan nomor satu. Jadi, yaudah lah ya, kejarlah cita-citamu

setinggi langit. Nggak papa, begitu. Jodoh mah entar ada saja.

P : kak Scha berapa bersaudara?

cxxxiv

I : eee 3. Saya anak pertama.

P : adik-adik kakak sudah menikah semua?

I : belum. Masih jauh sih umurnya. Kebetulan adikku yang cowok, (umur) 25

dan adik saya yang cewek masih semester 3. Baru kuliah.

P : aku mau tahu pendapat kak Scha tentang pernikahan itu seperti apa?

I : kalo saya menganggap nikah itu maraton ya. Jadi, kita harus pinter-pinter

eee bukan maraton sih, eh iya maraton, tapi itu dengan kita yang gatau tracknya

akan kayak gimana. Kadang ada yang terjal, ada yang becek, ada yang luwes saja.

ada yang di aspal. Yang jelas kalo yang namanya maraton kita kan kudu pinter-

pinter untuk mengatur tempo ya kapan harus cepet kapan harus pelan, kapan harus

istirahat dan kapan harus berjalan lagi. Kayak begitu sih. dan maratonnya maraton

beregu ya bukan maraton sendirian. Yang namanya beregu kan kita harus mikirin,

oh, partner kita masih kuat nggak jalannya, masih bisa nggak ini larinya. gimana

kalo dia kesulitan, kita perlu bantuin. Kayak begitu. Seperti yang aku bilang, ketika

kita bener-bener siap untuk menikah, itu semua nggak akan terlalu kaget begitu loh,

before dan afternya nikah. Cuman kan ya orang macem-macem.

P : dan menurut Kak Scha, sebenernya pernikahan itu suatu keharusan nggak

bagi perempuan?

I : kalo saya, kalo personal view saya sih nggak. Kayak banyak hal yang bisa

didapat. Kalo menikah boleh, nggak menikah juga boleh. Karena setiap orang itu

cita-citanya beda. Ada memang yang cita-citanya mau jadi ibu. pengen jadi

madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Itu boleh banget. Tapi kalo memang nggak

mau nikah, ribet gitukan. Nikah ribet, nanti begini begini, aku harus ini bla bla bla,

ya nggak papa (nggak nikah). Ada orang yang nggak mau nikah, terus dipaksa,

dituntut nikah karena tuntutan usia lah, tuntutan keluarga tapi malah dia ngga bisa

all out. Dia akan merasa terbebani, karena merasa dia melakukan hal yang nggak

dia sukai. Dia harus melakukan sesuatu yang dia gamau. Malah nanti nggak

bahagia. Malah jadi beban yang kemudian, takutnya ya takutnya, malah bikin

unhealthy relationship sama pasangan. Terus malah nanti tgraumanya diteruskan,

kalo punya anak. Kayak begitu. Takutnya kayak begitu. Jadi, menurutku nikah itu

bukan keharusan. Tapi, itu cuman masalah timing saja. ada orang yang timingnya

memang nggak nikah. Ada yang memang nikah tapi timingnya telat.

P : jadi sebenernya nggak masalah ya dia menikah tapi di usia di atas 30

I : nggak papa.... kan tolak ukur bahagianya orang macem-macem. Yang

bikin kadang sumpek itu kan, bikin manusia sumpek itukan karena omongan orang.

Karena tuntutan sosial, gitukan. Karena standar masyarakat tuu harusnya

perempuan menikah itu di usia gini gini gini. Sebenenrnya kalo kita nggak terlalu

mikirin, bukan nggak terlalu mikirin sih. sebenernya kalo kita bisa memfilter kapan

harus dengerin kata orang, kapan harus mendengarkan kebutuhan kita sendiri. Kita

akan lebih bisa tahu, oh, ini loh yang kita mau. Kayak begitu sih.

cxxxv

7. Informan Intan

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Sabtu, 06 November 2021

Nama : Intan

Usia : 33 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-3

Pekerjaan : Dosen

Domisili : Jakarta Timur

P : namanya kak Intan?

I : ya, Intan Nurulazmi

P : sekarang kalo boleh tahu usianya berapa kak?

I : sekarang 33

P : status saat ini kak?

I : saat ini single.

P : oke. aku langsung ke inti pertanyaan saja deh. apa sebenernya yang

mendasari kak Intan di usia 33 tahun ini, sampai saat ini belum menikah?

I : mmmm, jadi sebenernya sih sebelum umur 30 tahun, sempet itulah, pengen

– pernah mau menikah, kayak gituu. Sudah pernah deket tapi nggak deket-deket

banget juga sih, sama cowok. Cuma, jadi ini, saya kan eee pekerjaannya sebagai

dosen ya. Jadi pastinya kita dituntut untuk terus kuliah gituu sampai S3. Dan saya

memang kepengen S3 dari pas lulus S2 bakalan mau S3. Cuma memang belum bisa

langsung karena memang saya dapat beasiswa yang memang harus mengabdi dulu

jadi dosen,

P : okay...

I : jadi, mau nggak mau mengabdi dulu baru bisa apply S3, gitukan. Nah,

ketika sudah selesai mengabdi, berarti saya mau S3 dong. Karena toh nanti ujung-

ujungnya jadi dosen juga diminta untuk S3 kan. Nah, saya izin. Waktu itukan kita

obrolinnya memang sudah mau menikah. Saya izin sama dia (pasangan saat itu).

Kalo misalnya nanti kita jadi, gitukan, terus abis itu, saat kuliah boleh nggak?

Gitukan. Cuma jawaban dia tidak, dia tidak, gimana ya, nggak ngizinin tapi dia

bilang dia mencarinya seorang pendamping yang eee memperdalam ilmu agama

bukan ilmu dunia (tertawa).

Padahal di awal kita sudah komit. Saya itukan dosen. Saya juga mencari

pendamping yang tidak menghalangi mimpi saya, cita-cita saya, gitukan.

P : pasangan yang suportif gituu lah ya kak...

I : iya sepertu itu gis. Tapi ketika sudah kesini-sini tuuh, dia malah bilangnya

gituu. Yaudah, abis itu putus. Maksudnya sudah nggak lanjut.

P : hubungannya berjalan berapa lama kak?

I : sebentar sih. jadi itu kayak apa yaa, dikenalin gituu. Jadi kayak baru

sebulan dua bulan gituu. Tapi memang sudah intens.

P : jadi memang awalnya tuu cowok sudah tahu kan ya kakak pekerjaannya

sebagai dosen?

I : ya sudah tahu. Jadikan pas awal-awal dikenalin kan dia, mungkin teman

saya bilang, dia (saya) itu dosen. Terus pas obrolan kita awal-awal juga eee apa

cxxxvi

namanya, kerjanya dimana begitu-begitu kan. Ya ngobrolah. Ya sudah tahu sih.

Cuma itu...ya...

P : sebenernya apa sih yang mendorong kakak untuk meneruskan pendidikan

sampai S3? Selain tuntutan menjadi dosen

I : mmmm karena apa ya, ketika apply S3 itu belum ada sedikit kendala.

Cuma maksudnya kayak dilancarkan saja begitu. Jadi ya sudah, kayaknya mending

saya kuliah saja dulu. Siapa tahu mungkin ketemunya (jodoh) pas lagi kuliah

(tertawa). Kan kita gatau ya ketemu jodohnya dimana. Dan sebenernya setelah sama

si cowok itu pernah juga dikenalin lagi. Cuma pas dikenalin, temenku ini bilang (ke

si cowok) kalo aku sudah S2 yang nanti ada kemungkinan mau lanjut S3. Nah,

cowok itu mundur. Jadi, saya mikir, oh ya sudah memang berarti bukan jodohnya.

P : kakak saat ini tinggal sendiri atau sama orang tua?

I : sama orang tua. Tapi sekarang ngekos di Bogor juga karena kan lagi kuliah

ini, jadi saya ngekost di Bogor. Tapi kalo weekend pulang.

P : oh, jadi kalo setiap weekend itu pulang ke Bogor?

I : oh, enggak, ke Jakarta.

P : oh iya iya.. kalo boleh tahu kakak S3 nya dimana?

I : di IPB.

P : aaa sudah aku duga

I : iya tadinya itu kepengen apa Agis ketemu di Bogor saja. tapi, oh yaudah

lah, di Jakarta saja. lebih deket.

P : jurusannya apa kak?

I : ilmu pangan

P : kakak dosen dimana?

I : saya dosen di Syahid.

P : kalo dari kakak sendiri, ada nggak sih tipe atau kriteria khusus untuk

pasangan?

I : eee sebenernya kalo ngomongin yang dulu gituu ya. Ya saya maunya yang

pekerja keras, ya standar lah. Pekerja keras, terus bertanggung jawab. Dan dari awal

itu saya bilang, nggak suka cowok yang mengekang. Karena saya bukan tipe orang

yang suka dikekang. Saya akan nurut kalo misalnya itu menurut saya harus dituruti.

Tapi kalo misalnya kayak disuruh begitu kayak jadi males duluan. Makanya ketika

ketemu yang itu, yang sudah jelas-jelas dari awal nggak boleh (lanjut S3). Dan

sebenernya omongan saya izin sekolah itu, setelah...mmmm gimana ya. Jadi

sebelum-sebelumnya itu, kita memang sudah sempet kayak berbeda pendapat gituu.

Kayak dia itu nyuruh aku kayak gini gini gini. Nah, itukan saya kan nggak seneng

ya. Sebenernya saya itu sudah tahan-tahan itu pas itu. Tapi, oh ya sudah lah

mungkin itu nanti bisa menyesuaikan. Tapi ketika dia sudah bilang gak mau yang

melanjutkan kuliah mmm apa (tertawa) menuntut ilmu dunia lebih tinggi dari pada

menuntut ilmu agama. Saya ok, yaudah. Dari pada diterusin dan akhirnya saya

gabisa kuliah, gitukan. Toh kan apa-apa nanti harus izin suami kalo sudah menikah

kan.

P : kalo dari orang tua kakak sebenernya ada desakan nggak untuk segera

menikah?

I : kalo ayah nggak. Tapi kalo ibu kadang suka tanya. Mungkin juga karena

teman-temannya anaknya umur segini segini sudah punya anak, sudah punya cucu.

cxxxvii

Ya ibu suka tanya, kamu kapan? Tapi pas tahu saya mau kuliah, ya sudah. Memang

didukung sih. dari keluarga justru ya sudah kalo emangnya misalnya bisa kuliah

dan dapet beasiswa juga gitukan ya sudah lanjut saja.

P : kalo omongan-omongan dari luar begitu ada nggak kak?

I : omongan yang seperti apa?

P : iya kayak misalnya dengan usia kakak yang sudah matang dan masih

belum menikah, apakah pernah dapat omongan negatif, sorry kayak misalnya

perawan tua dan semacamnya.

I : kalo omongan perawan tua dan nggak laku itu nggak. Tapi palingan gini

sih, ayo kapan nikah kapan nikah. Begitu-begitu saja sih. jadi, ya sudah.

P : tanggapan kakak sendiri kayak gimanaa sama orang-orang yang

berkomentar seperti itu?

I : ya disenyumin saja, ya doain ya. Begitu-begitu saja sih. nggak yang terlalu

gimanaa-gimanaa juga akunya. Ya memang mulutnya lagi mmm ingin basa-basi

saja. Cuma ya sebenernya basi basinya pertanyaannya nggak enak. Tapi ya sudah.

Kalo mungkin mood saya lagi enak sih palingan ya sudah disenyumin tapi sih

memang kadang kalo lagi moodnya nggak bagus, aku suka baper juga sih (tertawa)

P : kakak pernah ngerasa khawatir nggak, kayak misalnya, nanti gue bakalan

nikah nggak ya.

I : mmm pernah sih. sempet kepikiran begitu. Cuma ya buru-buru langsung

dialihin lah. Saya juga kan pekerjaannya banyak. Lagi kuliah juga. Dan kerja juga

kan. Jadi, kayak ketutup (lupa). Dan kebetulan juga ada teman deket yang memang

dia juga belum nikah. Jadi kita kayak sama-sama mensupport gitulah.

P : iya ya, lingkungan itu kayaknya membantu kita banget untuk nggak terlalu

mikirin hal itu. Dan kak Intan juga pun berada di lingkungan yang memang

mendukung kakak untuk tidak buru-buru menikah.

I : alhamdulillahnya seperti itu. Pertolongan Allah juga kali ya. Punya teman

punya keluarga dan rekan kerja yang mensupport. Ya memang kadang suka ditanya,

tapi, mungkin karena sayanya juga nggak terlalu mmm apa ya. Sebenernya kan kalo

menikah itu kan, maksudnya dari pada kita menikah sama orang yang gak tepat

gitukan, nanti malah lebih ribet. ya sudah mendingan sambil menjalani mimpi,

siapa tahu kayak misalnya lagi kuliah terus ketemu jodoh. Saya selalu posiitif sih

kalo misalnya lagi pergi kemana begitu, siapa tahu ketemu jodoh disitu.

P : aku mau make sure yang tadi kan, pertanyaan sebelumnya. Sebenernya

kakak ada perasaan tersinggung nggak sama orang-orang yang nanyain kapan nikah

kapan nikah, gituu?

I : mmmm tersinggung ya, cuman dulu sih. sebenernya ketika di umur 30 ya,

karena sebelum di umur 30 itu saya memang kepengen menikah. Jadi, kayak ada

target begitu. Kayaknya pengen deh sebelum 30 ini gue nikah. Nah, ternyata gak

sesuai target. Dan kemudian ada yang nanyain kayak gituu, aku sempet

tersinggung. Tapi semenjak kejadian yang itu, yang aku ketemu cowok kayak gituu,

terus abis itu saya juga harus kuliah, terus ada yang dikerjain juga kan. Jadi, mulai

rasa tersinggungnya justru makin kesini makin kecil. Sudah jadi biasa saja. dan

orang-orang kayak gituu yang tanya-tanya kayak begitu sudah sangat jarang untuk

sekarang. Justru banyakan dulu pas sebelum 30. Tapi kesini-kesini, mereka ngeliat

aku toh happy. Dia (Aku) kuliah. Saya juga sering travelling juga kan. Dengan

cxxxviii

umur-umur teman-teman saya yang seumur saya sudah ribet sama anak, sama

suaminya. Saya masih bisa traveling sendiri atau sama teman saya. Jadi mereka

ngeliatnya, oh mungkin ini anak walaupun belum nikah, dia happy. Jadi, ya sudah

gak akan diusik gituu dengan pertanyaan kapan kapan kapan, gituu.

P : selain kakak bisa travelling secara bebas, sebenernya keuntungan apa saja

yang kakak dapetin dari belum menikah?

I : mmmm ya kan kalo sudah nikah, kalo saya itu prinsipnya, kalo saya sudah

nikah ya apa-apa harus izin suami. Jadi saya tidak perlu melakukan apa yang saya

mau kayak harus izin dulu mau kemana mau kemana, gitusih. Sebenernya lebih

kearah kebebasan sih.

P : kalo misalnya, misalnya suatu saat kakak menikah, kakak masih akan tetap

bekerja dan berkarir kah?

I : kalo dosen, iya. Mungkin, saya akan mohon gituu ya sama calon saya,

tolong jangan halangi saya untuk menjadi dosen. Dosen disini, di kampus tempat

saya sekarang ngajar kebetulan nggak terlalu padet sebetulnya. Jadi, dosen bisa

dateng pas jam ngajar saja atau kalo pun memang harus dari pagi sampai sore

tapikan nggak full (tiap hari) begitu. Sebenernya pekerjaan rumah tangga pun

mungkin masih bisa ke handle walaupun sudah menikah. Jadi, ya kalo bisa sih

jangan lah di stop (pekerjaan dosennya). Karena maksudnya eee saya itu tipe yang

kalo misalnya di rumah terus itu mumet. Yaa dari pada saya mood-mood-an,

moodnya nggak bagus, ya mendingan akunya dibebaskan lah.

P : kakak ada target lagi nggak, kira-kira di usia kapan akan menikah?

I : enggak sih, semenjak kejadian yang itu saya sudah nggak pernah ada

target-target mau nikah usia berapa-berapanya. Kalo misalnya ketemu, pas, cocok,

ya ayok. Tapi sih memang sebenernya karena kuliah ini saya agak khawatir justru

kalo menikah. Karena, jurusan saya kan ke arah science ya yang harus ngelab

penelitiannya. Nah, itu saya takut lebih ke anak begitu kan. Kan kita kalo punya

anak kecil itu pengennya harus selalu ketemu. Sebenernya saya agak khawatir kalo

misalnya saya ketemu jodohnya sekarang karena saya masih harus ngelab.

Maksudnya gini, kalo menikahnya nggak (khawatir) tapi kalo punya anak itu saya

maunya sudah dalam keadaan selesai kuliah. Mungkin kalo kerja sambil punya

anak masih bisa. Karena kan tadi ya, saya kerjanya dosen, dan dosen kerjanya nggak

terlalu sibuk. Kalopun sibuk sebenernya bisa kita kerjakan di rumah. Misalnya

kayak buat paper atau apa begitu sebenernya itu bisa dikerjakan di rumah sambil

ketemu anak. Tapi, kalo penelitian di lab itukan nggak mungkin bawa anak kecil

kan. Ya itu sih sebenernya. Makanya saya nggak terlalu buru-buru ya karena itu.

Saya masih harus kuliah, masih penelitian, yang kayaknya kalo saya punya anak

justru saya khawatir anak saya nggak keurus.

P : orang tua kak Intan ngasih kebebasan nggak buat kakak kenal dan dekat

dengan cowok mana saja?

I : ayah sama ibu nggak yaa. Palingan yang penting buat mereka itu satu

agama, seiman. Cuma ya, justru saya yang mengkriteriakan ini harus seperti ini ini

ini.

P : kalo pandangan kak Intan tentang pernikahan itu seperti apa?

I : mmmm sebenernya ya, ya itu kita kayak harus berkomitmen, sih. dan

memang harus apa ya, komunikasi harus baik sama pasangan. Nah itu banyak yang

cxxxix

gak bisa dijaga. Dan saya punya beberapa teman yang (sudah) menikah justru tidak

terlihat bahagia dalam pernikahannya. Nah itu tuh yang salah satu juga membuat

saya, ah yaudah begitu (belum menikah), maksudnya, saya ngeliat si ini eee

dikekang sama suaminya, terus apa lagi eee gak boleh kerja setelah menikah. Terus

ada yang pihak mertuanya rese gitukan. Terus ada yang, yang dia stress biasanya.

Karena pada awalnya dia berkarir, kantoran terus tiba-tiba jadi ibu rumah tangga.

Dia stress malah jadi ngomel-ngomel terus di rumah. Jadi saya mikir, kalo kayak

gitukan jadi nggak ada nilai ibadahnya. Kan menikah adalah ibadah katanya. Yang

kayak begitu-begitu jadi membuat saya juga agak sedikit bersyukur karena belum

menikah. Mungkin kalo saya sudah menikah yaa mungkin tidak bisa sebebas ini.

P : kak, kalo diliat dari faktor finansial dan emosi dan kesepian kakak sendiri,

sebenernya kakak sudah memenuhi kriteria itu nggak sih untuk menikah?

I : mmmm emosi kadang saya suka drop juga sih (tertawa). Terutama kayak

mau dapet (menstruasi) itu, memang suka down. Jadi sebenernya, gimana ya, kalo

dibilang siap (menikah) ya siap sih. tapi memang ada satu, satu, eee beberapa

moment yang mungkin saya down. Dan mungkin, dan saya kalo down itu suka

kepengennya nggak mau ketemu orang yang membuat saya down, satu. Ya saya

keluar rumah gitukan, kayak pergi, kayak ini nih, ke Mall atau kemana gituu sendiri

saja.

P : oh... me time...

I : yuppp me time. Abis itu saya pulang dan happy. Ketika saya sudah

menikah kan (tertawa) nggak mungkin kayak gitukan. Lagi mood down terus

keluaar rumah sendirian. Nggak mungkin. Kita nggak bisa egois pergi sendiri. Jadi

saya itu bingung itu termasuk sudah siap (menikah) atau belum. Tapi saya pikir,

belum yaa (belum siap menikah). Kalo finansial, ya ada sih tabungan. Tapi

kayaknya kalo untuk pesta yang besar sih, belum ya.

P : aku ada satu atau dua pertanyaan lagi ini kak.

I : yup yup apa itu.

P : menurut kakak menikah bagi perempuan itu sebuah keharusan nggak?

I : enggak sih. tergantung kalo misalnya dia.... eee jadi gini, ada yang pernah

bilang sebenernya menikah itukan sunah ya. Tapi akan menjadi wajib kalo misalnya

ternyata dia tidak bisa menahan hawa nafsunya. Kalo kayak begitu dia wajib nikah.

Tapi, kalo dia masih bisa (menahan hawa nafsu) kayaknya tidak akan menjadi wajib

ya. Terus, kalo misalnya dia menikah tapi tidak bisa atau tidak mampu bahagia,

maka jadinya jatuhnya makruh atau haram kali ya. Malah jadi menyakiti pasangan.

Mengekang. Untuk cowok nih, menikah dengan alasan biar bisa makan masakan

pasangan, nyuruh-nyuruh pasangan. Kan jadinya jatuhnya haram, menyakiti

sesama manusia. Jadi ya tergantung kita posisinya saat itu dimana. Kalo saya

misalnya, jatuhnya sunnah. Tapi kalo misalnya ada teman saya (tertawa) tidak bisa

menahan hawa nafsu ya mungkin buat dia jadi wajib. Dari pada membahayakan

yang lain (tertawa).

P : apa saja sih kak yang menurut kakak itu penting banget untuk diobrolin

diawal sebelum kita memutuskan untuk menikah?

I : mmmm keuangan sih. nanti gimana, kalo misalnya sudah menikah

apakah...eee jadikan ada yang uang suami jadi uang istri atau mungkin sendiri-

sendiri. Atau bisa juga uang istri jadi uang bersama. Itu menurutku penting dan

cxl

harus dibahas sih. terus nanti setelah menikah itu istri boleh kerja atau nggak. Terus

kayak kesepakatan-kesepakatan misalnya nanti pembagian kerja rumah tangga

kayak gimana. Itu penting juga loh dibahas, karena ada yang dulu mungkin

singlenya dia biasa nggak megang pekerjaan rumah. Bisa jadi di rumahnya ada

ART. terus ketika menikah, si suaminya bukan tipe yang mengandalkan ART,

gitukan. Nah, itu harus dibahas. Terus mau tinggal dimana. Apakah di rumah

mertua atau di rumah sendiri. Terus eee ada hutang atau tidak sebelum menikah.

Jadi maksudnya jangan sampe kita baru tahu kalo suami kita ternyata banyak

hutang sebelum menikahnya, atau kebalikannya.

P : transparan sama keuangan ya kak...

I : iya itu penting. Terus ya ntar gimanaa nanti kehidupan setelah pernikahan..

P : satu lagi kak, satu lagi..

I : iyaa boleh

P : kak Intan inikan masih tinggal sama orang tua ya. Apakah kak intan masih

sering mendiskusikan dengan orang tua dari setiap keputusan yang akan kak intan

ambil?

I : iya. Terutama yang menyangkut pendidikan. Kayak ini, saya mau kuliah.

Saya bilang. Saya mau ngekos pun saya bilang. Kan awalnya, saya itu angkatan

2020 S3 nya, cuman baru ngekos baru bulan ini. Nah itu saya bilang sama mama

saya kalo saya mau ngekos. Terus misalnya lagi saya mau pergi gitukan, travelling

lah saya tetap bilang. Pokoknya ya eee saya sih tipe yang terbuka sih sama orang

tua. Kecuali, kalo cowok. Sebenernya kalo cowok saya gak terbuka kecuali

memang saya sudah yakin begitu. Kalo misalnya baru kenalan begitu-begitu, ya

sudah, simpen sendiri dulu. Aku takutnya kalo aku kenalin, orang tua terlalu ngarep

kan. Jadi nanti disuruh ajak ke rumah lah apalah. Padahal kita belum sreg gituloh.

Kitanya masih mau cari tahu dan ngetes ini cowok. Makanya kalo yang masalah itu

ya aku sendiri dulu. Jadi keputusan yang kayaknya sudah hampir fix ya saya obrolin

ke orang tua. Tapi kalo yang masih, yang sayanya juga masih ragu untuk ngelakuin

apa nggak eee di keep dulu saja. biar nggak kepikiran juga kan.

P : kak Intan berapa bersaudara?

I : aku 2. Aku anak pertama

P : adik kak intan perempuan juga kah? usia berapa?

I : perempuan. Eee usia 29

P : sudah menikah?

I : belum

P : oh belum juga...berarti orang tua kak intan tipe yang slow saja begitu ya?

Yang kayaknya nggak terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya menikah di usia

berapa saja.

I : iyaa bener. Kan ada tu orang tua yang anaknya belum nikah terus dicari-

cariin. Nah orang tua saya justru nggak. Soalnya takutnya kalo dicariin kitanya

nggak cocok nanti kesalahan jadi dari orang tua. Jadi, mendingan kamu yang tahu

yang bikin kamu nyaman itu bagaimana begitu kan. Yaudah carilah sendiri. Nanti

kalo misalnya sudah yakin. Kayaknya sudah ini ini, sudah pas begitu ya. Baru deh

minta pendapat orang tua. Orang tua saya begitu sih tipenya.

Aku itu dulu pernah begitu minta dicariin terus mama ku malah bilang, “ah nanti

kamu malah nggak sreg lagi”. Karena ibu saya itu tahu saya itu gimanaa ya,

cxli

sebenernya dibilang pemilih banget itu nggak cuman ya itu pilihannya suka aneh-

aneh. Kayaknya gituu ya dari pada nggak sreg gitukan terus uring-uringan, yaudah

ibu nggak pernah (cariin) sih. lagian sudah besar ini.

P : kalo boleh tahu, orang tua kak intan menikah di usia berapa?

I : ibu 24, ayah 27.

P : jadi memang mereka menikah di usia yang sudah matang juga ya kak

I : setelah kejadian itu sebenernya ada beberapa kali yang coba buat

menjodohkan. Cuman apa ya, kalo dijodohin itu kayak sudah males begitu. Jadi ya

mendingan kayak deket sendiri saja.

P : ada perasaan traumatik nggak kak?

I : sejujurnya, karena yang itu, karena si cowok itu, sempet kayak takut

jadinya. Nanti kalo aku nikah malah dikekang lagi. Karena beneran, dia dari awal

kita chattingan itu sudah tipe yang ngekang. Kayak misalnya, “lagi apa?”, “lagi

ngecek instagram”, “kok main instagram mulu sih? itulah bersih-bersih rumahlah”.

Kayak gituu. Cuman ya pas saat itu, saya yang oh iya yaudah deh disabar-sabarin

saja dulu. Terus cowok ini juga kan yang ngenalin teman saya. Jadi yaa...terus,

sebenernya sudah nggak yakin. Cuman saya bingung gimana ya bilang mau

mundurnya itu gimanaa begitu.

Terus konsul lah aku sama teman yang lain, curhat begitu. Aku lagi deket sama ini,

dia orangnya gini gini gini. Terus temenku kasih saran, “coba kamu tanya tentang

poligami sama S3 boleh ga?” jawab si cowok itu dari 2 pertanyaan itu tidak

memuaskan. Jadi, dia sebenernya bukan yang pro poligami cuman dia kayak nggak

eee jadi kayak di tengah-tengah arah ke pro gituu. Dan aku jadi kayak, wah calon-

calon dipoligami lagi nanti aku (tertawa). Jadi ketika dia ngelarang aku untuk kuliah

lagi, aku jadi takut sih. apalagi kemarin sebelum S3 ya. Takut. Takut yang kalo

nikah nanti sebelum S3, gue dikekang (tertawa). Kalo sekarang, eee ketakutannya

bukan lagi dikekang. Karena kan aku udh lagi menempuh S3. Kan gak mungkin

masa lagi S3 terus nikah, terus S3 nya disuruh resign. Kayaknya itu kemungkinan

kecil. Kalo sekarang cuman takut anak. Kalo misalnya aku nikah sekarang terus

punya anak. Nanti anaknya bagaimana ya. Aku lagi penelitian di lab nanti anak aku

gimanaa. Mmm jadi agak-agak khawatir juga sih sama cowok-cowok yang

mengekang setelah percakapan itu terjadi.

Kan kalo kita sudah nikah apa-apa harus izin suami. Saya menghindari itu. Dari

pada saya jadi istri yang durhaka (tertawa). Jadi ya pekerjaan yang bisa dikerjakan

sebelum nikah, ya kerjakanlah. Puas-puasin. Ya setiap orang kan beda ya. Mungkin

dia prioritasnya nikah sebelum umur 30, kayak saya dulu. Saya sih tidak menjudge

juga orang yang mau menikah muda. Ya silahkan. Yang penting kamu setelah

menikah bertanggung jawab. Jangan jadi malah nyesel. Kan ada yang gini, dia

menjudge kita-kita yang belum menikah di usia segini lah, belum nikah gituu, dan

dia menikah muda tapi dia ngeluh anaknya gini, suaminya gini. Lah, itukan

ibaratnya kamu nikah nggak ada yang maksa, terus kenapa ngeluh? Ketika saya

kuliah pun, banyak tugas banyak apa apa begitu yaudah jangan ngeluh. Itukan

pilihan kamu sendiri. Nggak ada yang maksa kan.

Jadi, apapun yang kalian pilih dalam hidup, yaudah jalanin dengan baik. Terus

kalopun ada masalah ya jangan menyesal begitu. Jangan kayak begitu.

cxlii

Ketika saya sibuk pun, saya akan meluangkan waktu untuk me time. Me time itu

nggak harus jalan-jalan, traveliing. Walaupun kadang iya saya kayak begitu. Tapi

saya juga sering me time ke mall, window shopping saja. terus kayak jajan-jajan

yang Cuma ke kafe atau kadang joging. Pokoknya yang beneran sendiri tapi kita

ngerasa puas begitu. Atau ke Mcd begitu cuman beli McCoffe nya. Ya kayak

begitu-begitu saja sih. sesibuk apapun saya, saya masih bisa meluangkan waktu

untuk itu. Kan ada ya orang yang saking sibuknya sampe me time saja nggak bisa.

Dan alhamdulillahnya selama bekerja sih, saya belum pernah kejadian kayak

begitu. Ada sih sibuk yang sibuk bnaget, misalnya kalo lagi mau ada acara apa apa

begitu. Tapikan nggak yang sibuk setiap hari begitu nggak.

cxliii

8. Informan Ayu

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Senin, 08 November 2021

Nama : Ayu

Usia : 35 Tahun

Status Perkawinan : Sudah menikah

Usia Menikah : 34 Tahun

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : Bidan

Domisili : Jakarta Selatan

P : halo Assalamu’alaikum.

I : walaykumsalam. Maaf ya fa tadi lagi ada pasien.

P : iya gapapa kak Ayu. Maaf juga ya aku gak tahu kalo kamu lagi ada pasien.

I : sorry ya nanti kalo ntar kepotong-potong ya.

P : iya gapapa kok kak.

P : yaudah ini aku coba langsung saja ya kak.

I : iya boleh-boleh.

P : kak Ayu nama lengkapnya boleh disebutkan?

I : memang gak dapet bocoran dari kak Nana? (tertawa)

P : yah engga kak...

I : (tertawa) namanya panjang... Ayu Indah Sari Prihatinningsih.

P : usia saat ini berapa kak?

I : eee 35

P : pekerjaannya?

I : bu bidan...(tertawa)

P : oh... bidan...

P : status saat ini sudah menikah ya kak.

I : sudah Alhamdulillah.

P : Alhamdulillah.

P : domisilinya dimana kak Ayu?

I : eee di Jakarta Selatan.

P : ooo Jakarta Selatan. Aku kira di luar Jabodetabek kak.

P : tempat tinggal saat ini, rumah sendiri kak?

I : eeee di PIM. Di pondok indah mertua (tertawa)

P : (tertawa) bisa saja ngelucunya kak.

P : kalo boleh tahu, usia kak Ayu pertama kali menikah itu pada usia berapa?

I : eee usianya itung sendiri ya (tertawa). Aku nikah tanggal 5 April 2020.

P : oke. berarti nikah usia 34 ya kak.

I : iyaa betul.

P : apasih kak, alasan yang mendasari kakak menikah di usia yang cukup

matang tersebut?

I : wah alasannya panjang kali lebar ini. Alasannya sebelum hijrah atau

sesudah hijrah ini? (tertawa)

P : boleh diceritakan senyamannya kak Ayu, deh. dari yang sebelum boleh,

yang sesudah juga boleh. Tapi enaknya mah semuanya diceritain sih kak (tertawa).

cxliv

I : oke, oke. nanti kamu rangkum sendiri ya.

P : iyaa

I : ya sebelum hijrah itukan aku sempet eeee ya nggak diperbolehkan lah ya

pacaran. Nah terus itu, berapa ya, kurang lebih, pokoknya adalah aku niat mau

nikah. Sudah pacaran juga. Tetapi ternyata qodarullah belum jodoh. Sampe

akhirnya aku sudah nggak ada orang tua. Akhirnya aku kan sudah mulai belajar

agama lah istilahnya. Dari situ aku tahu, “oh, ternyata nggak boleh pacaran”

gitukan. Sampe akhirnya aku hijrah, aku mulai taaruf. Akhirnya aku taaruf,

qodarullah belum jodoh lagi. Yaudah sibuklah dengan kegiatan, biasa, ada dibidang

pelayanan, kadang diriset penelitian. Ya sambil ikhtiar dan cari-cari juga. Mungkin

dari teman-teman kajian. Terus dari web-web taaruf juga pernah. Kadang kan juga

mungkin kita sudah niat, sudah ngerasa sudah siap, tapi qodarullah Allah belum

ngijinin begitu ya. Giliran kita kejar malah ngga ada ya (tertawa). Giliran nggak

kita kejar ternyata datang, gituu. Datengnya berbarengan lagi. Kadang-kadang suka

kayak gituu diujinya. Sudah akhirnya eee pokoknya diujinya tu keseringan tu

mungkin dari pihak ikhwannya ya. Ikhwannya kayakknya, ada saja begitu Allah

kasih ujiannya. Ya mungkin juga memang belum jodohnya. Padahal sudah sampe

lamaran. Tapi akhirnya kandas tengah jalan. Yaudah akhirnya nggak lama, dapet

lah ini calon suami. Kita kenal juga taarufan. Ya mungkin juga sudah tahu kali dari

kak Nana?

P : eee belum sih kak

I : oh belum ya.. aku nikah sama anaknya Bu Eri. Mantan dosen di BK juga.

Suamiku anaknya beliau. Nah, akhirnya aku taarufan diakhir Desember 2019. Ya

istikharah lah aku. 2019 Desember aku kenalan, Februari kita nazhar, terus

Maretnya kalo nggak salah kita lamaran deh. terus April aku nikah. Jadi sebenernya

banyak faktor itu dari pihak keluarga ada, dari ikhwannya juga ada. Itu sih

kebanyakan, sih.

P : sebenenrya menikah di usia 34 itu atas keputusan kakak sendiri nggak?

I : mmmm sebenernya aku, waktu aku masih ada ibuku. Eee ibuku kan juga

satu profesi (bidan) kayak aku kan. Jadi waktu itu, waktu ibuku masih ada itu, aku

sudah niat. Sudah mau nikah. Qodarullah, sudah lamaran tu, ternyata bukan jodoh.

Itu dari tahun 2014. Ya pokoknya jatuh bangun lah aku sampe akhirnya Allah

kasihnya di 2020 baru menikah.

P : ada perasaan ini nggak kak, kan, dulu sempet merasakan gagal menikah

eeee

I : wah sangat, kacau waktu itu.

P : kakak ada perasaan khawatir dan takut begitu nggak siih?

I : mmm awalnya, sebelum hijrah iya, ya (khawatir dan takut). Sebelum hijrah

tu kita ngeliat teman-teman, satu-satu di Budi (RS. Budi Kemuliaan) sudah pada

nikah. Palingan sudah 3 orang waktu itu yang belum menikah. 3 4 orang lah. Terus

lama-lama, yang misalnya menurut kita, “ih,” ternyata dia sudah duluan. Padahal

kita mikirnya, “kayaknya dia bakal belakangan, deh” eh ternyata dia duluan dong

(tertawa). Kan kita mikirnya, kita nggak pernah ngeliat dia pacaran, nggak pernah

cerita-cerita. Orangnya tomboy lah, gituu. Tahu-tahu sudah duluan kan. Nah dari

situ ada perasaan khawatir juga. “waduh, kalo sudah kayak gini kan bingung mau

main kemana juga. Kalo mau ngubungin juga takut ngeganggu gitukan”. Ya terus,

cxlv

lama-lama kita belajar agama kan, yaudah akhirnya perbaiki diri saja terus. Kan

kalo kita perbaiki diri, Allah kan juga pasti akan kasih (jodoh) gituu. Pikirku kalo

nggak dikasih di dunia ya di akhirat dikasih. Selama kita berusaha, ikhtiar, tawakal,

yaudah perasaan itu ilang. Jadi nggak panik lagi kalo ditanya orang-orang kapan

nikah kapan ini ini ini. “Makanya jangan terlalu punya kriteria pasangan yang

terlalu tinggi.”, “cari apalagi sih” dan segala macemnya. Yaudah, kalo ada yang

kayak begitu sekarang disenyumin saja sama ya minta doanya saja deh. kadang ada

yang ngenalin gitukan. Tapi ya memang belum cocok kan.

P : kamu tipe yang terbuka atau welcome saja ya kak untuk cowok-cowok

yang mau kenal sama kamu atau ada yang mau ngenalin kamu begitu kak.

I : alhamdulillah sih aku welcome saja ya. Tapi kadang-kadang kan kalo ada

yang mau ngenalin, suka dikasih gambaran kan tu. Orangnya gini gini gini kerjanya

gini gini gini. Maksudnya, kalo misalnya dari akunya sudah ngerasa, “duh,

kayaknya enggak, deh.” soalnya aku juga punya kriteria tersendiri gituloh.

Misalnya orangnya perokok. “ah, mending nggak usah ngenalin” karena kan aku

memang sudah saklek sama orang yang perokok, sudah nggak cocok duluan.

Karena aku maunya calonku nggak ngerokok gituu.

P : memangnya kriteria pasangan kak Ayu itu seperti apa?

I : eee yang jelas nggak ngerokok yaa. Terus eee solatnya di masjid. Ya

sayang keluarga eee maksudnya sayang sama aku sama sayang sama keluargaku

juga. Terima semua kekurangan dan kelebihan aku. Sudah sih palingan itu saja. oh,

terus... harus sevisi ya. Dalam agama juga. Bisa saling melengkapilah begitu. Terus

sama-sama suka ke kajian. Sama-sama mau belajar agama.

P : dari pihak keluarga kakak ada desakan nggak untuk kakak segera

menikah?

I : iya ada. Dulu, mamaku tu dulu waktu mau detik-detik sakit itu sampe

mengkhawatirkan aku juga. Aku belum menikah. “Takutnya mama sudah nggak

ada gini gini segala macam”. Ya adalah pasti desakan mah. karena menurutku setiap

orang tua ngerasa (khawatir) kayak begitu juga sama anaknya.

P : dulu, sebelum kakak menikah, ada nggak mungkin dari keluarga atau

orang-orang sekitar yang memandang kakak sebelah mata karena belum menikah?

I : mmmm nggak ada sih. malah kalo aku sudah ada calon begitu ya.

Sebenernya ya mereka ingin memilihkan. Cuma ya aku memang lebih banyak

mmilih/cari sendiri sih. giliran sudah ada juga, mereka suka dapetnya ya menurutku

nggak baik, begitu ya. Jadi mungkin kadang-kadang suka bersebrangan penilaian

keluarga sama aku, gitusih.

P : nah, ini kan kak Ayu sudah menikah dan masih tetap bekerja juga sebagai

bidan. Bagaimana sih kak Ayu mengkomunikasikan ke suami untuk kak Ayu yang

tetap bekerja setelah menikah?

I : jadi aku, mmm kita, sebelum menikah itu kan tukeran proposal ya.

Proposal taaruf, gituu. Dan disitu ada point-point, baik secara dunia maupun secara

agama begitu. Terus, eee jadi disitu ada komitmennya juga dimana aku masih ada

keinginan untuk tetap bekerja dan lain-lain. Aku juga kasih alasan kenapa aku

masih kepengen kerja. Ya Alhamdulillahnya, sebelum menikah memang sudah ada

komitmen. Dan dia (suamiku) juga mengerti kali ya profesiku kan sama kayak

cxlvi

ibunya dulu. Dan, aku kerja juga nggak setiap hari juga. Aku disini seminggu 2 kali

atau 3 kali palingan.

P : jadi itu sebenernya bukan sesuatu yang sulit untuk dibicarakan ya kak.

I : Alhamdulillahnya enggak sih. dan suamiku juga ngedukung, support aku

juga. Karena mungkin juga dia ngerasa profesiku ini banyak maslahatnya (manfaat)

lah buat orang. Dan pekerjaan ini nggak bisa digantikan dengan laki-laki juga.

P : menurut kak Ayu, sebelum memutuskan untuk menikah, apasih yang

sekiranya penting untuk dibicrakan?

I : pertama sih, visi misi pernikahan ya. Terutama dalam hal agama ya.

misalkan agamanya sudah sejalan eee terus untuk menuju pencapaian apa yang kita

tuju selama menikah ke depannya juga. Kalo misalnya sudah sama, ya sudah

menurutku lanjut (menikah).

P : aku mau tanya kak, pendapat kak Ayu tentang pernikahan itu seperti apa?

I : eee sebelum itu aku menganggap pernikahan itu eeee aduh susah banget

sih fa pertanyaannya (tertawa). Eeee pernikahan itu, ini aku jawab nggak secara

teori ya fa. Boleh kan?

P : iya boleh kak. Ini sebenernya gimanaa cara kakak ngeliat pernikahan itu

sebagai apa sih.

I : pernikahan itu ya menyatukan satu pasangan eee dua orang yang berbeda.

Berbeda juga karakternya eee yang dimana terikat dengan hak dan kewajiban

masing-masing, begitu. Itu yang aku liat ya dari aku sebelum menikah. Dan

semuanya juga masing-masing harus menyesuaikan juga. Tapi setelah menikah

ternyata, yang kita pikirkan, yang kita lihat dulu kan keluarga kita, teman-teman

kita yang menikah lebih dulu, begitu. Tapi setelah kita menyelami lebih dalam dan

menjalani sendiri bersama pasangan ternyata nikah itu, mmm ya apa ya... nano-

nano lah (tertawa) ternyata itu banyak banget masalahnya ya. memang sih kita itu

gak boleh berandai-andai ya, karena takutnya syaiton juga. Cuman aku ngerasanya,

mungkin Allah memberikan aku pernikahan di umurku yang sudah semakin matang

ini, itu karena supaya aku lebih siap menjalaninya. Kan karena, orang berfikirnya

menikah itu hanya indahnya doang kan. Ternyata banyak disitu (nikah) tanggung

jawab dan kita juga harus bisa beradaptasi. Tidak hanya kepada pasangan tapi juga

mesti menyesuaikan dengan keluarga suami, keluarga kita juga. Harus bisa

menjembatani kalo ada sesuatu yang mungkin nggak nyaman. Bisa berbagi suka

dan duka. Ya mungkin eee lebih ringan ya. nikah itu buat kita lebih ringan kalo

misalnya ada masalah. Ngejalaninnya itu lebih ringan dibandingkan dengan

sebelumnya. Ya nikah itu ladang pahalanya banyaklah pokoknya. Pokoknya yang

belum nikah harus segera menikah (tertawa). Harus ikhtiar lah. Niatnya karena

Allah. Sudah itu saja. dan tidak memperberat, terutama tidak memperberat laki-laki

untuk maharnya.

P : menurut kak Ayu, nikah itu jadi keharusan nggak buat perempuan?

I : ya kalo ngikutin sunnahnya Rasulullah SAW sih harusnya iya. Nggak

hanya perempuan tapi berlaku juga buat laki-laki. Harus sama-sama berusaha. Ya

selebihnya kita harus tawakal kan. Karena selebihnya hanya Allah yang tahu yang

terbaik untuk kita. Yang penting kitanya jangan putus asa. Tetap berikhtiar,

tawakal. Itu saja sih.

P : perbedaan apa yang kak Ayu rasakan sebelum dan sesudah menikah?

cxlvii

I : mmm banyak yaa. Yang pasti, mungkin dulu sifat keibuannya kurang

sekarang jadi belajar ya ternyata punya anak sendiri itu mesti begini begini begini.

Sama halnya juga jadi istri. Harus bisa membagi waktu lah. Jadi istri, jadi ibu, jadi

mantu, jadi adik ipar. Terus eee apa ya, lebih bisa mengendalikan emosi dan lebih

bersabar, gitusih. Dan bisa apa ya, eee cari banyak pahala ya setelah menikah. Dan

itu sih, lebih memanfaatkan waktu saja. beda sama waktu masih sendiri.

P : kak Ayu pernah ngerasa waktu untuk kak Ayu sendirian itu berkurang

nggak?

I : oh me time. Menurutku ya, mungkin semua orang akan mengalami hal itu

ya. waktu untuk mereka sendiri akan berkurang. Pasti ada. Tapikan di balik itu

semua, sebelum kita menikah, ya secara ininya ya, seharusnya buat kita yang sudah

siap menikah ya harusnya sudah siap nerima risiko dan harus bertanggung jawab.

Tapi, kalopun memang butuh, ya mungkin me time nya bisa, ya menurut aku sih

mungkin bisa dengan bermain sama anak atau ngobrol dengan suami. Atua

mungkin kemana kemana begitu. Ya mungkin itu bisa sedikit ngurangin rasa

sedihnya kita lah. Dulu kan bisa begini begini begini. Terus sekarang sudah nggak

bisa lagi. Bukan nggak bisa sih, tapi agak susah saja sebenernya. Ya itu tadi kata

aku, mungkin rasa sedihnya bisa hilang dengan cara kita main sama anak atau

banyak ngobrol sama suami.

I : aku kan juga dulunya ngekos ya. ya sebenenrya juga sudah biasa sendirian

juga.

P : oh ngekos... sejak tahun berapa kak mulai ngekos?

I : mmm yang beneran ngekosnya itu sejak 2017. Sebelum-sebelumnya aku

tinggal di asrama kebidanan. Jadi aku lebih banyak pulang pergi itu ke asrama.

P : nah kak, selama kak Ayu ngekos atau jauh dari keluarga ini, setiap

keputusan yang akan kak Ayu ambil, kakak ngerasa itu perlu nggak untuk

dibicarakan dulu sama keluarga?

I : eee pas ngekos terakhir ini kebetulan ibuku sudah meninggal ya. jadi aku

memang lebih banyak untuk urusan keputusan menikah dan lainnya itu lebih

banyak aku biasanya eee mungkin aku untuk taaruf aku berjalan dulu sendiri tapi

nanti di pertengahan aku akan sampaikan ke kakak-kakak ku. Nanti kalo misalnya

sudah mau nazor, aku sudah ngasih gambaran ini sebelumnya jadi nanti entar kakak

ku nggak kaget-kaget banget. Maksudnya juga biar dia nggak ngerasa ter, ter apa

ya, mungkin merasa kayak nggak dianggap lah.

P : jadi memang tunggu kak Ayu fix dulu begitu ya baru kemudian

dibicarakan dengan pihak keluarga..

I : iya betul. Takutnya kan kita sudah ngobrol ternyata akunya nggak sreg

gitukan, ya nggak enak juga kan.

P : kak satu lagi hehe. Tadi kan kak Ayu sempet bilang adalah ya desakan dari

orang tua, dari ibu untuk kakak segera menikah. Nah, bagaimana sih cara kak Ayu

ngasih pengertian kalo kak Ayu gini gini gini?

I : kan ibuku meninggal itu desember ya. 31 desember 2016. Jadi sebelum itu

tu mama memang sudah sakit kan. Jadi, ya palingan kita nyampein kalo kita eeee

insyaAllah bakalan ada jodohnya. Yang penting kan aku terus berusaha begitu. Dan

kakak-kakak aku juga menyampaikan hal yang sama. “insyaAllah mama dikasih

cxlviii

umur yang panjang, bisa ngeliat Ayu menikah” kayak begitu. Maksudnya “doain

saja mah” kayak begitu. Ya palingan aku ngomong kayak begitu saja sih, fa.

cxlix

9. Informan Nurvita

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Senin, 22 November 2021

Nama : Nurvita

Usia : 32 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : D-3

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Domisili : Depok

P : halo, Assalamu’alaikum

I : walaykumsalam. Ini Agis ya?

P : iya kak hehe

I : (tertawa) halo, halo, gimana, Gis?

P : iya kak, ini aku persingkat saja ya.. bisa tolong disebutin nama lengkap

kamu siapa kak?

I : oke. Nama lengkap aku Yuni Nurvita Sari. Tapi gini dek, di KTP aku itu

salah ketik (tertawa)

P : oalah, kok bisa kak?

I : ya begitu sudah gegara salah tulis juga di akte lahir. Seharusnya kan nama

aku yang bener itu pake V viktor tapi ditulisnya pake P hahaha

P : salah satu huruf juga agak sebel ya kak

I : ho oh

P : usia kakak saat ini berapa kak?

I : aku sekarang 32

P : kalo pendidikan terakhirnya kak?

I : aku D3 ya, Gis. Kampusnya perlu nggak ini? Hahaha

P : boleh boleh kalo nggak keberatan mah kak

I : aku D3 PNJ. Pernah denger nggak, Gis?

P : oh, iya. Tahu aku kak. Yang barengan sama UI kan?

I : hahaha iya disitu, Gis. Poltek UI. Satu kampus sama UI, di dalemnya.

P : oh, iyaa iyaa kak tahu aku

I : hooo kebetulan di belakang rumah kan. Aku juga rumahnya deket daerah-

daerah sini

P : depok kan kak...

I : iya depok hahaha

P : almetnya jakun ye kak hahaha

I : hahahaha sudah lama banget itu dek. Mungkin Agis masih SMP kali ya

aku sudah lulus kuliah.

P : ambil jurusan apa kak?

I : kamu kelahiran tahun berapa, Gis?

P : ah, aku 98 kak

I : wuuuuuu jauh sekali ya hahaha aku juga punya adik cewek disini, tapi dia

94 sih..oiya, aku jurusannya Teknik Grafika

P : Teknik Grafika sama kayak desain grafis nggak sih kak? Haha

cl

I : mmm jadi itu sebenernya kalo jurusan aku itu di Indonesia cuma ada 2.

Jadi, satu ada disini (Poltek UI) sama di eeee politeknik ini loh yang di Srengseng

ini aduh aku lupa namanya, pokoknya ada disitu. Jadi, memang dosennya kan dari

situ. Jurusan aku itu waktu pertama kali aku masuk juga gini, “apaan sih teknik

grafika?” gitukan. Terus waktu itu juga kan masih cukup baru juga. Jadi kayak anak

paling bontot lah di PNJ itu. Kalo kayak yang sudah lama-lama itukan kayak teknik

sipil, teknik mesin. Nah ini itu teknik grafika...pas awal aku masuk itu ya neng,

tahun 2010 aku lulus itu memang masih cukup baru, jadi paling muda. Jadi,

literaturenya juga nggak banyak, dosennya pun orang industri. Jadi, aku sebenernya

pas kuliah itu bener-bener ngawang banget hahahaha

P : astaga kak, ih.. terus masuk situ memang kemauan sendiri apa gimana?

I : kemauan sendiri sih. cuma kan memang awalnya itu aku kecebur ya

hahaha dulu kan namanya PMB tu dek. Kalo sekarang aku nggak tahu deh, mungkin

sudah berubah-ubah ya, SNMPTN, SPMB. Nah, aku ikut kan PMB itu mau ke UI

yang S1 cuman nggak masuk, aku nggak lolos. Terus yaudah lah yang ini saja, yang

teknik begitu. Sudah mana kecebur, eh malah dapetnya teknik. Dulu itu aku

kepengennya yang kayak UI yang FKM (Fak. KesMas). Terus ini yang PNJ coba-

coba iseng eh malahan masuk. Yaudah, mau nggak mau harus dijalanin kan

P : iyalah, harus dijalanin kak, keren kak, sampe lulus kan itu haha

I : hahaha iya sampe lulus

P : sudah kecebur, teknik lagi ya dapetnya.. mau nggak mau deh ikutin alurnya

saja

I : sudah nasib aku sudah, Gis hahaha.. walaupun susah ya. beneran susah loh.

Kan kalo kerja gampang ya, ngga cocok, kita tinggal keluar saja begitu. Tapi kalo

kuliah itu enggak, mau keluar pasti butuh biaya lagi sedangkan kita juga belum ada

penghasilan, belum kerja lah istilahnya.

P : ah iya itu kak bener.. jadi mau nggak mau harus bertahan disitu ya

I : iyaa, kasian juga kan orang tua. Dulu waktu aku kuliah ya dek, mmm 10

tahun yang lalu, itu semesteran aku sudah 2 juta dan aku rasa itu lumayan gede ya

pada saat itu. Mungkin kalo buat sekarang semesteran 2 juta itu biasa saja. Pasti

sekarang kan ada yang 4 juta 5 juta per semester. Kalo jaman aku itu waktu itu D3

per semester 2 juta itu sudah lumayan mehong loh. Aku juga heran sih, padalah PNJ

negeri ya, tapi mmm kayak yang aku bilang tadi, mungkin karena banyak jurusan

baru jadi harga per semesternya naik hahaha

P : kak, status kamu saat ini menikah atau belum menikah?

I : mmm kalo saat ini belum. Aku belum menikah. Masih single, Gis. Aku

masih menikmati kerja

P : kamu tinggal sama orang tua atau sendiri kak, ngekos atau ngontrak

begitu?

I : aku masih tinggal sama orang tua, Gis, disini, di Depok. Kebetulan dari

kecil, terus aku kuliah juga nggak pernah ngekos-ngekos sih

P : kak, aku mau tahu alasan kamu dong, kenapa di umur 32 tahun ini masih

memilih melajang karena apa?

I : oke, jadi kalo alasan yang sekarang ya dek, karena satu, yaudah jalanin

dulu. Yang kedua, karena memang mmm kalo apa ya, kalo soal cowok begitu mmm

masalah jodoh begitu memang aku belum nemu yang pas ya. Bisa dibilang belum

cli

berjodoh lah ya. Mungkin kayak, ada sih (yang ngedeketin), tapi kita kayak, eee

mungkin semakin tua usia kita juga semakin ini ya dek, ya, semakin selektif. Kayak

begitu ya. mungkin, ada beberapa orang juga yang, “yaudah gue jalanin saja dulu

sudah”. Tapi, kalo aku adalah tipe yang mungkin lebih ke hati-hati ya, terus juga

gamau asal saja. Terus eee ya balik lagi deh, mungkin akunya juga yang masih

sibuk kerja juga. Terus belum nemu yang pas. Jadi yaudah, aku jalanin saja dulu

masa-masa aku sendirinya sambil terus berdoa juga berusaha juga itu pasti. Cuman,

untuk saat ini (menikah) kayaknya belum sih. Maksudnya tahun ini nih hahaha kan

sudah mau abis ya, tapi kayaknya jodohku belum keliatan begitu hahaha kalo tahun

depan gatau deh bagaimana. Jodoh kan nggak ada yang tahu ya selain Allah. Kalo

sekarang sih aku kayak begitu, dek

P : tapi sekarang kamu lagi ada deket sama cowok nggak kak?

I : kalo yang deket banget sih nggak ada ya. Cuma ya memang kalo teman-

teman cowok aku itu banyak. Yang mau ngedeketin aku juga ada. Cuma ya itu tadi,

palingan ya yaudah berteman saja. teman haha hihi saja begitu belum yang ke arah

sana, yang serius banget belum ada sih

P : cuman sekedar yaudah teman saja, gausah dibawa perasaan begitu ya..

I : he he, benerrr... jadi, kayak, bisa dibilang ya dek, karena di umur sekarang,

di umur yang sudah dewasa juga itu tuh, berasa sih, semakin kita sibuk kerja jadi

teman-teman kita jga makin sedikit. Maksudnya, teman yang deket banget itu bisa

dihitung dengan jari, yang bener-bener tahu personal kita kayak gimana. Dan

teman-teman aku yang cowok tadi itu, teman gang-an itu banyak sebenernya, kalo

mau kopdar ya ayok kopdar. Cuman kan balik lagi tadi, merekanya juga kan sibuk

sama dunianya masing-masing. Itu sih. jadi ya itu, aku juga kurang bergaul juga

hahaha karena sudah sibuk

P : iya sih bener kak, kita belum punya pacar terus teman-teman juga sibuk

sama dunia masing-masing... yaudah dari pada bingung mending ikutan sibukkin

diri sama kerjaan nggak sih kak...

I : ah, iya, bener.. fokus bekerja. Tapi tidak menutup diri ya. Maksudnya ini,

misalnya ini kita ngobrol kayak gini kan dek, “iya kak Yuni belum ada bla bla bla”,

tapi besok? Kan kita nggak pernah tahu ya. misalnya besok ada yang tiba-tiba aku

cocok, begitu, dan di hati sudah bener-bener sreg, memang dia orang yang aku

sukain, ya bisa saja, gitukan..

P : tapi dari diri kamu sendiri kak, ada planing untuk menunda menikah

nggak?

I : kalo menunda, enggak ya. aku nggak ada niat buat nunda pernikahan, sih.

cuman itu saja sih, kalo sekarang itu kayak masih, yaudah, ngalir saja kayak air.

Tapi akunya juga nggak menutup diri bagi siapapun yang mau kenal aku. Aku tetap

berikhtiar. Dalam artian gini, Gis, kalo misalnya ada yang deketin, dan, kira-kira

kriteria dia masuk nih di aku, yaudah, coba saja dulu. Tapi kalo sekarang kan belum

ada ya. Maksudnya masih yang begitu lah, kayak, yang antara serius atau nggak.

Ya lebih banyak yang belum serius sih. Maksudnya, dari pihak sananya. Jadi,

yaudah, kita temenan saja dulu. Begitu sih.

Aku nggak nunda sih. Cuma kalo ada, misalnya ada, tadi yang aku bilang misalnya

dalam waktu, bulan depan atau tahun depan ini, tiba-tiba ada yang ngedeketin dan

clii

itu cocok, ya bisa saja kan aku menikah dalam waktu dekat? Jadi, aku nggak nunda

sih sebenernya. Nggak. Begitu dek

P : kalo dari orang tua kamu kak, mereka ngasih kebebesan nggak buat kamu

deket sama cowok mana saja? maksudnya, mungkin mereka punya kriteria calon

mantu tertentu begitu kak

I : oke, dari orang tua ya, kalo dari keluarga sih terutama mungkin karena kita

anak perempuan jadi lebih ke mama kali ya kalo cerita-cerita begitu. Kalo ke papa

iya juga sih, cuman kalo ke papa itu lebih ke nasihat dan segala macam, begitu.

Kalo orang tua aku itu yang penting itu lebih ke, satu, iman dulu. Jadi yang paling

ditekankan mereka ke aku dan adik aku, itu, iman. Mereka nggak melarang aku

deket sama siapa saja. cuman, kalo buat yang serius begitu, yang buat ke rumah

tangga itu harus banget ya seiman. Itu dulu sih, imannya dulu yang paling penting.

Mereka nggak ngasih larang-larangan atau kriteria yang bagaimana-bagaimana sih,

Gis. Kalo imannya sudah sama, yaudah, begitu.

P : kamu termasuk orang yang suka cerita sama orang tua ya kak?

I : iyaaa!!! Hahaha aku sama adik aku itu termasuk orang yang eee apa ya,

kita itu nggak bisa nyembunyiin sesuatu dari orang tua. Jadi apapun itu kita cerita

ke mereka sih. walaupun yang receh-receh doang ini, tetap kita ceritain, kayak, “iya

ini mah di kantor ada yang lucu gini gini”, pasti cerita.

P : terbuka sama orang tua ya

I : iya, betul.. aku dan adik itu anak-anak yang terbuka, nggak bisa

nyembunyiin sesuatu deh. misalkan nih ya, itu kan tadi cuma bercandaan doang nih,

“iya nih tadi aku ada liat teman aku ada yang lucu nih” aku ngetawain itu sama

mama. Terus misalnya tiba-tiba yang aku ketawain tadi jadi jodoh aku, ya gapapa.

Yang penting kan nanti mama ku, “oh, ya, sudah pernah diceritain yang ini mah”,

begitu.

P : tapi kalo misalnya kamu lagi curhat tentang cowok, cerita misalnya lagi

deket sama si ini si ini, begitu, kak, orang tua ada nggak sih yang ngedesak-desak

buat buruan nikah?

I : alhamdulillah enggak ada sih, Gis. Jadi, orang tua aku itu bisa dibilang

sangat moderat ya. mungkin setiap orang tua beda-beda ya. karena aku juga pernah

denger cerita dari adik aku itu, dia kelahiran tahun 94 kan, teman-temennya dia itu

banyak yang orang tuanya itu kayak didesak buat cepet-cepet married kan. Ada

yang dijodohin juga. Bahkan mama nya itu sampe rela nyari-nyariin jodoh buat

anaknya, kayak begitu. Terus adik aku ini, dia compare ke keluarga kita kan,

“alhamdulillah ya kak, kita nggak terlalu di push banget”. Ya aku tahu sih, setiap

orang beda-beda. Kan ada yang keluarga besar, anaknya banyak, segala macam.

Nah, mungkin, kalo kita karena cuman berdua, kakak adik, jadi orang tua serahin

semua keputusan itu ke kita sih. yang terbaik buat kita. Tapi, alhamdulillah sih, so

far kayak dari mama pribadi begitu nggak pernah sih, yang kayak nuntut, “harus

sekarang juga nikahnya atau kalo nggak mau, mama cariin!”, enggak yang kayak

begitu mama ku, kita bebas banget alhamdulillah.

P : dari tetangga atau keluarga atau mungkin juga dari orang-orang sekitar nih

kak, pernah ada yang mandang kamu sebelah mata nggak sih karena status kamu

saat ini yang masih melajang di usia 32 tahun? dan tanggepan kamu buat orang-

orang seperti itu bagaimana?

cliii

I : kalo kayak begitu pasti ada ya, Gis. Dari tetangga begitu palingan kalo kita

ketemu papasan saja. Cuma ya itu tadi kan, aku kerja dari pagi sampe sore atau

bahkan malam banget baru pulang terus besoknya lagi harus berangkat kerja lagi

pagi-pagi. Palingan kalo tetangga ya tanya-tanya ke mama aku sih, “si Yuni kapan

nikah?” begitu sih palingan yang aku tahu. Dan aku juga nanggepinnya biasa sih,

“iya bu masih mau kerja dulu”, “belum ada bu, kalopun ada juga nanti kita undang”

begitu hahaha.

Tapi kalo teman, mmm, ada juga sih ya temenku yang seumuran sama aku, bahkan

lebih tua dari aku, mmm ya orang-orang generasi aku lah ya, yang kelahiran 88 87

89. Bahkan ada juga itu kemarin yang di kantor lama, kakak senior aku, kayaknya

umurnya pas 39 deh, itu baru married juga. Jadi kayak, eee aku sih jujur ya, gak

mau juga nikah setua itu, cuman, kalo ada yang tanya yaudah kita bilang saja,

“masih sibuk kerja”, “belum ada yang sesuai”. Tapi, kalopun nanti sudah ada dan

pas, insya Allah kita bakalan langsung itu (menikah).

Terus juga ini ya aku itu orangnya cuek banget. Ya kalo ditanyain ya tinggal bilang

saja, “memang belum ada” begitu, kalo misalnya ada yang tanya. Atau bahkan dari

sodara tanya begitu kan, yaudah aku bercandain saja hahaha. Kan abis itu yaudah

lewat.

Kalo teman, aku balik lagi sih, karena beberapa temenku juga ada yang belum

married juga, jadi, kita nggak pernah tanyain status. Palingan kayak, “eeyy lagi

deket sama siapa tuu?” begitu-begitu doang. Semuanya aku bawa enjoy, santai saja.

alhamdulillah nya juga nggak ada yang terlalu iseng banget juga ya. sejail-jailnya

kalo ngomongin aku di belakang ya, yaudah, biarin saja, toh itu kan urusan mereka,

bukan urusan aku.

P : pernah tersinggung nggak kak kalo ada orang yang tanya-tanya nikah sama

kamu?

I : pernah. Cuman ya itu biasanya terjadi di tempat-tempat yang banyak orang

ngumpul ya. Misalkan kayak reunian atau lainnya. Cuman karena beberapa tahun

terakhir nggak pernah ada yang kayak begitu ke aku ya, Gis. Ada sih, tapi palingan

personal begitu. Kayak misalnya tiba-tiba di ig (instagram) nihh teman lama,

nanyain “eh lo sudah married belum?” ya jawab saja, “iya ini belum, doain ya”

sudah. Nggak pernah sampe yang gimanaa-gimanaa begitu.

P : pernah khawatir nggak sih kak, kira-kira di umur berapa kamu akan nikah?

Secara kan ngeliat teman pasti sudah banyak juga yang nikah..

I : iya pasti. Pasti sih, khawatir banget hahaha. Apalagi kalo teman-teman

yang nikah memang yang seumuran aku ya. kayak teman-teman dulu yang satu

SMP SMA. Pasti adalah rasa kahwatir aku, “aduh dia sudah married, sudah punya

anak dua” gitukan. Teman-teman aku itu ya, yang rata-rata seumuran aku itu

minimal banget anaknya rata-rata sudah dua hahaha. Ada juga sih yang sudah

married tapi belum punya anak, ada. Bahkan ada sepupu aku yang di bawah aku,

anaknya sudah tiga. Ya seneng saja sih, ngeliat sudah pada punya anak, “oh, iya,

dia sudah punya anak”. Cuman, kalo ke diri sendiri antara pengen tapi juga sama

belum ready begitu hahaha.

P : kamu belum siapnya itu sebenernya secara apa sih kak? Belum siap secara

mental kah, finansial kah...

cliv

I : eee sebenernya kalo sudah ada jodohnya mah ya, aku yaudah jalanin saja

ya, Gis. Cuman ya itu sih kalo ngeliat kasus-kasus yang ada di sekeliling aku ya

kebetulan ada beberapa yang broken. Banyak dari mereka yang nikah muda tapi

broken. Dari situ aku mengambil suatu pelajaran juga, sih, “oh, gue gak boleh buru-

buru juga tapi nggak yang terlalu lama juga” begitu, Gis.

Jadi, disini kenapa aku belum menikah sampe sekarang itu sebenernya masalahnya

bukan di usia sih. tapi bagaimana kita validasi calon pasangan kita nanti. Jadi bukan

masalah kalo misalnya memang mau nikah muda dan pasangannya beneran baik,

kan, nanti pernikahannya juga bakalan langgeng kan, Gis. Kita akan bahagia,

begitu. Tapi kan disini, kadang, kebetulan ya, yang terjadi disini, yang terjadi sama

eee bahkan ada beberapa keluarga aku juga yang mmm, kayaknya kemarin ada deh,

keponakan aku di kampung, usianya 15 tahun sudah nikah, dan sekarang anaknya

sudah dua. Dan ya, itu gagal kan. Nah, dari situ mikir, “aduh, masih kecil-kecil”

begitu ya, bayangin 15 tahun janda anak dua. Mmm cowoknya itu nggak dewasa.

Ujung-ujungnya broken lagi. “apa sih yang salah sebenernya?”, “kan nikahnya

sudah bener segala macam kok bisa terjadi kayak begitu?”. Disitu aku sedikit bisa

merasakan, “wah itu (nikah) bukan main-main. Mendingan gue bener-bener

validasi dan gue bisa bener-bener sampe mati sama dia” begitu. Kayak begitu sih

mungkin prinsipku sekarang.

P : yaappp, harapan semua orang kan menikah inginnya sekali seumur hidup

dan sehidup semati ya.. jadi memang perlu banget kita selektif buat milih calon

pasangan

I : iya, jujur, Gis, aku takut banget salah pilih orang

P : aaaah iya bener banget kak! Banyak kan ya pas masih pdkt pacaran begitu

baik taunya pas nikah keluar semua taringnya huhu

I : iyaaa, Gis. Aku kalo dapet yang sholeh mah ya gapapa Alhamdulillah

banget. Aku itu gamau karena misalnya kita diburu-buruin buat nikah jadi kita asal

pilih, kayak, “yaudah deh gue sama dia saja”, eh ternyata malah salah orang. Nah,

aku gamau kayak begitu.

P : aku pernah baca, denger juga sih, ada yang bilang sebenernya mereka

nggak nikah itu bukan takut sama pernikahannya, tapi mereka takut menikah

dengan orang yang salah.

I : iya!! Bisa dibilang prinsip aku kayak begitu, Gis. Jadi sampe sekarang aku

belum nikah itu bukan karena gimanaa-gimanaa ya, bukan takut sama finansial atau

apalah itu. Nggak. Karena aku yakin, kalo kita sudah nikah itu, rejeki bakalan Allah

bukain dari pintu mana saja. Walaupun pas kita nikah itu, kita nggak ada uang sama

sekali. Tapi pasti deh, ada jalan Allah kasih kita. Cuman, masalah aku bukan disitu

ya. Tapi, gimanaa aku pilih orangnya. “ya Allah bener nggak sih dia orang yang

bener?”. Dulu aku pernah pacaran ya, Gis, dan kita break up, yaa dia orang yang

salah, nggak baik buat aku. Alhamdulillah Allah tunjukin ternyata memang

orangnya nggak bener. Dan aku bersyukur nggak jadi sama dia.

P : pengalaman kayak begitu jadi bikin kita lebih selektif lagi nggak sih kak

buat kenal orang baru...maksudnya buat orang-orang yang ingin serius sama kita

gituu

I : iya bener..dan itu jadi pelajaran banget buat aku. Dan aku harus berterima

kasih sama Allah sudah nunjukkin dia orang yang seperti apa. Jadi kita nggak lanjut

clv

sama dia. Coba kalo beneran aku nikah sama dia, dan kebongkar pas sudah jadi, di

belakang begitu, kan malah nyesel ya. dan buat kita gak bahagia ngejanin hidup.

P : tapi dari kejadian itu, buat kamu trauma nggak kak?

I : alhamdulillahnya nggak sih hahaha aku orangnya gampangan buat move

on, Gis. Kalo ada orang kayak begitu, yaudah aku mah. Dan aku bukan tipe orang

yang menyamakan, maksudnya kayak, “ih gue nggak mau deket-deket sama cowok

dulu deh, soalnya semua cowok begini-beguni” aku nggak kayak begitu. Aku malah

kayak, “oh, ternyata ada lagi ini yang baik, yang lebih baik”. Cuman kadang-kadang

itu yaa karena memang belum cocok saja kali yaa. Belum berjodoh. Misalnya kayak

akunya sudah sreg sama dia, tapi dianya belum. Atau kebalikannya, misalnya

dianya yang sudah sreg, eh malah akunya yang belum. Jadi tarik ulur saja terus

hahaha

P : tadi kan kamu bilang ya kak, kamu sama adik kamu itu nggak didesak buat

nikah cepet-cepet sama orang tua. Aku sebenernya kepo deh kak, bagaimana cara

kalian ngasih pengertian ke orang tua atas keputusan kalian ini eeee yang belum

mau menikah sampe sekarang?

I : sebenernya kita nggak ngejelasin apa-apa sih, dek, ke mereka. Karena

mungkin orang tua sudah ngeliat, dan mungkin mereka juga lebih tahu kita dari

pada diri kita sendiri ya, jadi kayak watak kita, terus kayak, “oh, dia ini kayak gini

orangnya”. Terus jelek baiknya kita itu kadang kan orang tua lebih tahu ya.

mungkin ada suatu kejadian di keluarga ku yang maaf nggak bisa aku ceritakan

disini..

P : iya kak gapapa..

I : iya, jadi memang disini hidup kita itu diuji banget sama Allah. Jadi karena

sudah melewati yaaa beberapa belas tahun yang lalu kita selalu diuji Allah, jadi ya

sekarang itu kita syukuri saja hidup kita, semuanya. Banyak-banyak bersyukur

sama Allah. Lebih ke situ sih, Gis. Karena ada moment di keluarga yang nggak bisa

aku ceritain. Dan itu memang, bagaimana ya, jadi dari situ orang tua aku itu kayak

lebih mmm “im proud to having you”, aku sama adik aku. Berdua. Tapi mungkin

juga bisa jadi gini, “mama seneng ini salah satu dari kalian ada yang nikah, tapi

mama juga sedih di sisi lain karena nanti pasti kalian ikut suaminya apa segala

macam”. Dan, sebelum itu terjadi, mungkin mama lebih seneng kita bareng-bareng

dulu sama aku dan adik. Begitu sih, Gis.

P : menikmati waktu bersama anak-anaknya dulu yaa...

I : iya, tapi bukan berarti mama nggak pengen kita nikah ya..pasti diem-diem

mama ngedoain kita dapet yang terbaik. Cuman, untuk saat ini seperti apa yang tadi

aku bilang, di keluarga ada moment yang kita diuji banget. Aku tahu, setiap orang

pasti punya ujian hidup masing-masing. Dan sampe sekarang pun aku mikirnya,

“aduh, kayaknya Allah sayang banget deh sama gue” sampe saking sayangnya itu

kita dikasih ujian yang besar banget hahaha.

P : kalo boleh tahu kak, kamu sudah kerja berapa lama ya?

I : kalo dihitung dari pertama kali aku kerja itu kan aku lulus 2010 akhir ya

waktu itu, September deh kalo nggak salah. Nah, terus, 2011 itu aku mulai kerja

sampe sekarang nih 2021.

P : 10 tahun ya

I : iya sekitar 10 tahun berarti

clvi

P : sebenernya apa kak alasan kamu bekerja dan menjadi perempuan karir?

Selain uang ya.. hahaha.

I : hahaha iya duit mah nomor satu, Gis. Cuman ya itu tadi aku balik lagi sih,

aku kerja itu ingin cari tahu bagaimana caranya kita bisa mandiri dan nggak

bergantungan sama orang lain. Dan, ya, kalo dari keluarga sih, biar aku bisa lebih

bersyukur juga. Karena kita kan nggak pernah tahu ya, kayak misalnya, ayah kita

sakit, terus tiba-tiba nggak bisa cari duit. Itu kan sudah pincang sebelah. Nah, dari

sisi itu aku bisa eeee jadi kita disini itu sama-sama jadi tulang punggung. Tidak

mengandalkan satu orang saja sebagai pencari nafkah. Jadi, mau nggak mau kita

harus tetap bekerja. Bahkan kalo memungkinkan kita bisa jadi enterpreneur sendiri

itu lebih baik lagi. Cuman, karena waktunya belum kesitu ya jadi aku tetap kerja

saja.

P : jadi lebih mempersiapkan diri kalo misalnya suatu saat keadaan terburuk

terjadi di keluarga ya kak, kayak yang tadi kamu bilang, jadi pincang sebelah karena

ngandelin satu orang saja.

I : ho oh..bener.. apalagi kan aku anak pertama, jadi, naturally nya kayak

begitu kali ya. Karena anak pertama jadi ngerasa kayak bukan beban sih

sebenernya, jadi kayak lebih harus bertanggung jawab saja sama orang tua dan adik,

begitu. “gue sudah gede, gantian dong.. kemarin orang tua gue sudah ngebiayain

gue sama adik gini-gini” perasaan kayak begitu ada banget di aku, sih, Gis. Dari

sisi itu juga aku mikir ya, “nanti kalo aku married gimanaa orang tua gue?”,

mungkin kalo aku sudah sukses banget, sambil married sambil ngebiayain orang

tua kayaknya semua itu bisa bikin aku lebih happy sih.

Kadang dari keadaan juga yang melatih kita buat tanggung jawab hahaha. Allah itu

kan kalo melatih kita pasti sedikit demi sedikit ya. “ini, lo biar belajar nii”. Aku

dulu itu nggak setegar ini dan nggak semandiri ini. Dulu aku tetap masih

bergantungan sama orang tua. Cuman pas kesini-sini, “gue anak pertama, orang tua

gue sudah makin tua, bagaimana caranya ini biar orang tua gue sehat terus dan gue

bisa kerja terus?” dan “kalo pun gue dapet jodoh, gue mau jodoh gue bisa

membiayai hidup gue”. Ya paling enggak, kita sama-sama pekerja keras lah. Jangan

sampe, amit-amit ya, ada kan cowok yang cuman numpang hidup doang. Kerja

ngandelin istrinya. Ada yang kayak begitu, Gis. Itu kenyataan. Dan kebetulan di

keluarga aku ada yang kayak begitu juga. Jadi kayak, “wow kok kayak begitu ya?

dulu nggak kayak begitu padahal, dulu keliatannya bagus, tapi kesini malah malas

terus bininya juga ngomel-ngomel mulu”. Dan itu ada di keluarga ku seperti itu.

P : kak, kamu pernah sengaja menenggelamkan diri di pekerjaan kamu nggak

kak? Menyibukkan diri begitu biar nggak terlalu mikirin banget atau lupa buat

nikah..

I : dalam 10 tahun aku kerja, pasti pernah yaa mengalihkan ke kerjaan begitu,

pernah. Tapi kalo yang mengalihkan banget sih enggak. Tapi dalam 10 tahun aku

pernah mengalami hal itu. Pernah ada dititik itu. Cuma makin kesini, aku lebih open

minded saja sih, nggak menjadikan pekerjaan aku sebagai alasan. Dalam artian

gini, aku sibuk nih sekarang, tapi kalo misalnya tiba-tiba aku ketemu jodohku dan

sudah sreg padahal lagi sibuk-sibuknya kerja, ya gapapa. Bisa kok. Dan kalo

memang berjodoh dan mau married, gapapa.

clvii

P : sampe sekarang kamu belum menikah kak, apa yang kamu rasain kak atau

kamu dapetin?

I : kalo sekarang malah ngerasanya kayak nggak gimanaa-gimanaa ya, Gis

hahaha. Maksudnya, mungkin ada beberapa orang yang sedih, karena putus

nyambung sama pasangannya yang berujung nggak jadi married atau sudah

tunangan tapi nggak jadi nikah. Kalo aku kan belum ada tahap itu sekarang jadi

kayak, yang dirasain biasa saja hahaha. Malah jujur, aku jadi merasa lebih bersykur

sih, nggak ada yang perlu juga untuk disedihkan. Jadi lebih ke apa ya, “oh, aku nihh

belum married sampe sekarang mungkin Allah mau kasih aku waktu biar aku lebih

deket dulu sama Dia” begitu. Aku nggak ada feeling yang gimanaa-gimanaa sih

selain aku jadi makin bersyukur saja.

P : sekarang kan kamu masih tinggal sama orang tua ya kak. Kamu sudah

merasa mampu mencari solusi dan menyelesaikan masalah sendirian nggak kak

tanpa harus melibatkan orang tua?

I : eee iya dan tidak sih. jadi, ada yang mungkin hal-hal sepele lah ya. Tapi

sometimes kita pasti punya yang namanya bad day ya. kadang ada “aduh, gue lagi

bete banget nii” dari mulai urusan kerjaan. Kan tidak menutup ya, Gis, karena kita

bekerja dengan banyak orang. Pasti ada kayak begitu, dari atasan lah atau segala

macam. Atau “aduh, lagi nggak enak nii kliennya” hahaha “aduh, boss nya lagi gini-

gini nyenyenye”. Hal-hal kayak begitu palingan lebih ke curhat saja sih, kelar.

Cuma kalo untuk solusinya tetap balik ke aku sendiri. Aku yang ambil

keputusannya. Nggak disetir siapa-siapa.

P : terbuka saran dari mana saja tapi keputusan tetap kita yang ambil

I : ho oh bener-bener.. yang penting kita dengerin dulu saran dari orang-orang

kayak gini kayak gini. Nanti kita pikirkan lagi untuk mencari solusinya yang

terbaik. Kayak begitu sih aku palingan

P : kak, aku mau tanya pandangan kamu tentang pernikahan itu seperti apa?

I : eeee pernikahan buat aku itu sekufu ya. kalo dalam Islam itu, sekufu itu

setara. Jadi, kalo bisa kita cari pasangan yang setara. Mungkin bisa dari umur yang

nggak jauh beda, tapi kalo lebih muda juga aku nggak masalah sih, lebih tua juga

aku nggak masalah. Cuman, yang penting sekufu. Dalam artian, kita sepemikiran.

Jangan sampe dia maunya ke kiri aku maunya ke kanan. Kalo kayak gitukan nggak

nemu titiknya kan. Jadi nikah itu bener-bener untuk lahir batin dan bener-bener

tujuannya kepada Allah. Jadi, bukan buat status atau pamer doang, “nii gue sudah

nikah nii”. Dan aku bukan yang kayak begitu. Aku pribadi nikah karena ingin lebih

bahagia dan tujuan akhirnya Jannah.

P : kamu setuju nggak kalo nikah itu wajib bagi perempuan?

I : kalo sunnah nya sih sebaiknya menikah yaa. Tapi kalo ada orang yang

tidak menikah, itu balik ke dirinya ya. Dalam sejarah aku baca ya, kebetulan aku

juga suka baca. Di sejarah Islam menceritakan, ada sahabat Rasul, entah sahabat

atau keturunan sahabat aku lupa, dia perempuan, seorang pejuang dan beliau tidak

menikah. Jadi beliau bener-bener membaktikan dirinya buat dakwah. Kita sebagai

manusia kan nggak bisa sembarang ngejudge ya, “ih kok dia nggak married sih

padahal dia kan beriman?” atau, “kenapa nggak nikah kan padahal sudah sukses”

begitu-begitu lah ya. kkita nggak boleh kayak begitu. Aku sih balik lagi, kalo aku

pribadi ya kepengennya aku menikah. Kalo ada yang nggak mau nikah, yauda

clviii

biarin saja, itu kan sudah jadi pilihan dia dan mereka sudah memutuskan itu ya kita

hargai saja. kalo aku sih begitu ya.

P : jika suatu saat kamu menikah kak, apa saja sih kira-kira yang bakal kamu

bicarakan sama pasangan sebelum akhirnya mantep buat mutusin nikah?

I : yang penting itu kan validasi buat aku ya. dia orangnya gimanaa, seperti

apa. Selain itu, agama penting banget juga buat aku. Seiman. Kedua, kalo dari

perilaku dan lain-lain kita bisa liat attitude dan manner dia. yang kecil-kecil dulu

deh, kayak misalnya orangnya sopan apa nggak, terus dari cara dia ngomong itu

juga gimanaa. Kalo buat yang tanya dia langsung, palingan kayak, kasarnya ya, “lo

sudah siap belum hidup susah dan seneng sama gue?” jadi bukan senengnya doang.

Dia sudah siap apa belum. Sama, “yaudah kalo sudah sama gue, lo jangan lagi

tengok kanan kiri”. Jangan sampe menduakan lah.

P : aduh iya dah kalo selingkuh mah sudah nggak ada obatnya lagi, penyakit

itu heuuu

I : hahahahaha iya aduh sudah canceled banget deh orang kayak begitu. Aku

sih nggak trauma ya, kan setiap orang beda-beda. Tapi kan sering itu diberitakan

pasangan yang selingkuh. Kalo aku sih, dijadikan pelajaran saja, “aduh, salah pilih

orang ini”. Ya ke depannya jangan lagi milih orang yang kayak begitu hahaha.

palingan cuma bisa bilang, “aduh, sayang banget kenapa harus gini” hahaha. Doain

saja.

P : kalo sudah nikah nanti, kamu bakalan terus kerja atau berhenti kak?

I : insya Allah kalo masih ada kesempatan dan masih kuat secara fisik juga,

aku sih kepengennya masih tetap kerja. Ada sih ya beberapa tipe suami yang

ngizinin istrinya kerja ada juga yang nggak. Tapi kalo misalnya aku dapet suami

yang ngizinin aku tetap boleh kerja, ya Alhamdulillah, aku bakalan kerja. Sambil

membangun yang sudah ada. Aku kan berkarir, ya aku lanjutin karir aku. Bukan

berarti menikah malah buat aku tinggalin karir, begitu sih, Gis.

P : nah, kalo dapet suami yang ternyata nggak izinin kamu kerja, bagaimana

kak?

I : yaaa mau nggak mau sih ya. nurut apa kata suami. Tapi ya itu tadi, karena

aku sebelum nikah sudah punya karir, pekerjaan begitu.. aku mau kita itu ada deal-

deal-an di awal.. okelah aku nggak boleh kerja lagi, tapi nggak menutup

kemungkinan dong aku bisa cari uang dengan cara lain? Online shop atau buka

usaha di rumah atau apalah itu.

Aku tipe orang yang lebih mengutamakan komunikasi sih, aku akan tanya dengen

sejelas-jelasnya alasan kenapa aku nggak boleh kerja, kenapa aku harus berhenti

kerja, begitu. “oh, nggak boleh ketemu yang bukan muhrim” misalkan kayak begitu

alasannya. Oh, yaudah, berarti aku bisa pakai opsi lain dong cari rejekinya.

Walaupun aku sudah jadi istri, aku kepengen lah tetap punya penghasilan sendiri.

Seneng saja begitu bisa beli ini itu pakai duit sendiri

P : bisa bantu ekonomi keluarga juga kan ya kak, masih bisa bantu biayain

orang tua juga. Jadi nggak sepenuhnya ngandelin uang suami

I : iyaa aku kepengen bisa terus kayak gini. Di keluarga aku juga ada kan tuh,

tanteku, anaknya sudah 3 tapi masih tetap kerja sana sini, jadi agen asuransi. Jago

deh dia itu kalo marketing. Padahal suaminya sudah kerja kantoran, tapi tante aku

masih saja kerja juga. Kebutulan juga suaminya ngizinin dan dianya juga memang

clix

seneng kerja. Dan aku melihat, walaupun mereka dari keluarga berada, tanteku ini

memang jiwanya pekerja keras hahaha. Sekarang mungkin usianya sudah 40an

lebih mau ke 50 kali ya. Dari situ aku akan ambil yang baik-baik dari pernikahan

dan dari sisi buruknya aku akan ambil pelajarannya.

P : ketika memutuskan menikah, keputusan itu datang dari kamu sendiri ya

kak? Bukan karena paksaan dan lain sebagainya?

I : iyaa!!! 100% dari aku. Tapi tetap perlu didiskusikan dengan orang tua dan

keluarga. Cuman keputusan ada di aku karena aku yang bakalan ngejalanin ini.

clx

10. Informan Yuti

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Selasa, 23 November 2021

Nama : Yuti

Usia : 30 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : D-3

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Domisili : Jakarta Selatan

P : halo, selamat sore kak Yuti.

I : iya, sore Agis

P : maaf ya kak, mengganggu waktunya

I : iya gapapa Agis..

P : oke kak, ini aku langsung mulai saja ya pertanyaannya.

I : iya boleh..

I : Agis sebelumnya kuliah jurusan apa?

P : oh, aku sosiologi kak

I : oh sosiologi..

P : hehe iyaa (tertawa)

P : mmm kak, boleh tahu nama lengkapnya gak?

I : nama aku Yutiana Ratna Sari

P : usia saat ini berapa kak?

I : aku 30

P : pendidikan terakhirnya kak Yuti apa?

I : D3 Jurusan Managemen Industri Jasa Makanan dan Gizi IPB

P : kalo status sekarang saat ini apa, menikah atau belum menikah?

I : belum menikah.

P : oh, iya, kakak domisilinya dimana kak?

I : di Jakarta Selatan

P : saat ini tinggalnya ngekos atau di rumah sendiri kak sama orang tua?

I : aku ngekos gis. Aku aslinya dari Indramayu

P : oalah, asli orang indramayu toh kak.

I : iya gis. Aku kebetulan ngekos di daerah kebayoran lama

P : pilih ngekos di daerah situ memang biar deket dari kantor ya kak?

I : iya, eh, enggak juga sih sebenernya jaraknya lumayan jauh juga dari kantor

P : haha iya tadi sebenernya sempet mikir ya, setahu aku kan kantor kakak

sama kayak kak Hilda, di Kuningan. Jauh juga kalo ngekos di Kebayoran Lama.

Nggak jauh banget sih, tapi lumayan lah ya.

I : iya kantor aku di Aryo Bimo daerah setiabudi sana gis bareng Hilda

P : kenapa pilih di Kebayoran kak?

I : mmm dapet yang harganya lumayan murah disana (tertawa)

P : iyasih ya, ngekos kan juga pilih-pilih harga juga ya kak

I : nah iyaa itu. Terus aku juga cocok sama tempatnya. Jauh sih ke kantor tapi

yang nggak jauh banget begitu lagian transportasi juga sudah banyak, masih bisa

kejaungkau juga

clxi

P : iya bener itu kak. Tinggal naik busway saja ya atau krl sabi haha atau naik

gojek ada

I : iyaa yang namanya capek mah pasti adalah gis

P : hahaha iya kak Yuti...

P : kak, aku mau tanya ya..

I : iya gis boleh

P : sebenernya apasih yang mendasari kakak di usia kakak sekarang, kakak

masih melajang?

I : kalo aku sih ya karena belum ketemu sama seseorang yang pas untuk

dijadikan partner hidup aku. Kan menikah itu untuk jangka waktu yang lama ya,

seumur hidup. Jadi aku masih mencari yang tepat sih untuk hidup aku.

P : tapi kak, saat ini kakak lagi deket sama seseorang nggak?

I : enggak ada sih, gis..

P : ooo, memang, yaudah lagi pengen sendiri dulu kali ya kak..

I : iya gis..

P : kak, dari kakak sendiri ada rencana untuk menunda menikah nggak?

I : aku pribadi enggak sih, gis. Yaudah, jalanin saja.

P : mmm jalanin saja sembari cari-cari pasangan yang cocok dan tepat ya kak

I : iya bener begitu (tertawa)

P : eeee kak Yuti kan jauh nih dari keluarga, mereka di Indramayu, kamu

disini. Dan usia kakak juga sudah dapat dikatakan sebagai usia dewasa. Kamu

ngerasa nggak sih kak, mampu mencari solusi dan menyelesaikan masalah kakak

sendiri tanpa melibatkan pihak lain, orang tua dalam hal ini?

I : masalah apa nih? Berkaitan sama masalah..mmm kalo aku sih gini ya gis,

kalo pendapat orang tua sih pasti tetap ya, tetap aku butuh. Apalagi kalo keputusan

itu besar, berkaitan dengan kehidupan aku ke depannya. Pasti aku minta izin sama

orang tua. Tapi kalo untuk masalah sehari-hari ya aku selesaiin sendiri sih.

P : jadi memang ada beberapa keputusan yang akan kakak bicarakan ke orang

tua tergantung besar atau kecilnya keputusan tersebut ya kak.

I : iyaa begitu gis

P : berarti untuk hal-hal kecil, kakak berani untuk mengambil keputusannya

secara mandiri ya kak. Oke oke

I : iya gis

P : dari orang tua kakak nih, ada desakan nggak sih kak untuk kamu segera

menikah?

I : sebenernya kalo mama ku sih eee kalo suruh cepet-cepet sih nggak ya.

palingan apa ya...nggak sih nggak disuruh cepet-cepet nikah. Paling kalo misalnya

ada yang tanya (kapan nikah) ya doain, minta doanya. Begitu sih. Tapi kalo

misalnya ngobrol secara langsung berdua, terus tanya “kapan?”, “kapan kamu mau

nikah?” itu nggak sih kalo orang tua ku.

P : oke, berarti memang dari orang tua tidak terlalu ada desakan ya kak

I : iya.. palingan orang-orang di sekitar sih yang kayak sodara begitu-begitu

sih. Tapi ya paling tanyain “kapan nikah?”. Terus ada juga sih beberapa orang

(sodara) juga yang jadinya mau ngenalin aku, begitu sih gis. Tapi kalo ke mama ku,

dia nggak memaksakan aku untuk cepat nikah.

clxii

P : nah, cara kakak nanggepin orang-orang atau sodara-sodara kakak, yang

mau ngenalin kamu atau nyariin kamu itu bagaimana?

I : sebenernya aku gapapa juga sih kalo ada yang mau dikenalin yaa. Terus

ya, kalo aku sih, misalnya diomongin ya nggak ada kata lain sih selain “ya doian

saja”. Kalo misalnya ada yang terbaik menurut sodara aku, maksudnya itu misalnya

“orang ini baik loh”, “orang ini gini-gini-gini”, aku nggak menolak juga sih untuk

didekatkan.

P : terus kak, kalo dari orang tua kakak ngasih kebebesan nggak untuk kamu

dekat sama laki-laki yang seperti ini seperti itu?

I : kalo dulu, kalo dulu nih aku waktu masih tinggal bareng sama orang tua.

Sebenernya orang tua aku itu tipe yang eee sangat ketat begitu, gis. Karena kan

anaknya 4 perempuan semua. Jadi, kalo ada laki-laki yang mendekati, Bapak ku itu

yang tegas begitu. Dan bikin aku takut untuk bawa laki-laki ke rumah untuk

dikenalkan. Jadi, selama aku di rumah itu dulu, sebelum aku kuliah. Aku sama

sekali memang gak pacaran dan nggak pernah ngenalin laki-laki ke orang tua. Terus

kalo sekarang, karena aku sudah misah kan sama mereka, aku tinggal sendiri

sekarang. Orang tua ku malah yang ngasih kebebasan sih ke aku. Bebas untuk aku

memilih pasangan. Yang penting ya anaknya sopan dan baik. Begitu sih.

P : kamu pernah mengalami gak kak, mungkin dari tetangga, saudara atau

orang sekitar yang mandang kamu sebelah mata karena status kamu yang masih

lajang sampe saat ini?

I : eee sebenernya adek aku kan sudah menikah duluan ya, gis. Adek aku

sudah menikah satu tahun yang lalu. Sebenernya ya pastilah ya, orang-orang sekitar

pasti yang mikir, “adiknya duluan, kenapa?” begitu. Tapi kalo misalnya, omongan

negatif ya ada saja sih, gis. Ya mungkin saja mereka berfikirnya aku terlalu pemilih,

terus dikiranya juga aku terlalu fokus bekerja dan mecari uang. Paling begitu sih.

Lebih ke dikira terlalu pemilih sih.

P : adek kamu kan sudah menikah ya kak. Bagaimana perasaan kamu kak pas

tahu adek mau ngelangkahin kamu?

I : pastinya aku sedih sih ya pas awal aku tahu adek ku mau menikah itu. Tapi

aku juga gamau menghalangiku untuk menikah juga kan. Ditambah aku sama adek

ku ini bedanya cuma satu tahun setengah. Jadi memang jarak kita nggak terlalu

jauh, begitu gis. Terus waktu itu juga dia sudah ada pasangannya kan yang mau

serius sama dia. Dan pada saat itu kebetulan aku juga lagi nggak ada pasangan juga.

Jadi aku tuh gamau...eee (menikah) itu kan hal yang baik ya. Gak baik juga kalo

ditunda apalagi kalo memang sudah ada pasangan yang mau serius gitukan ya. Jadi,

ya, aku mendukung keputusan adek ku. Tapi yang pasti, aku pasti ada perasaan

sedih ya, gis. Dari hati kecilku, aku juga sedih. Lebih ke sedihnya tuh, memandang

orang lain sih. Nanti orang lain anggap aku itu gimana. Atau misalnya orang tua.

Pasti yang namanya orang tua kan berharapnya kan aku duluan nih yang menikah,

tapi ternyata malah adek ku duluan. Lebih ke kayak begitu sih. Aku lebih khawatir

sama pandangan orang lain ke aku.

P : kamu sedih karena mengkhawatirkan omongan-omongan dari luar ya

I : iya lebih kesitu, gis. Pastikan nanti mereka kayak banyak tanya “ini kenapa

aku dilangkah?”, “adeknya kenapa nikah duluan” kayak begitu kayak begitu yang

clxiii

sebenernya bikin aku sedih pas tahu adek ku mau menikah. Tapi ya, aku bahagia

juga dia menikah.

P : kamu menjadikan pekerjaan kamu sebagai pengalihan dari kesedihan

kamu nggak kak? Jadi kayak, eee lebih menyibukkan diri dengan terus bekerja

sampe kamu lupa sama sedih kamu dan mungkin, buat kamu lupa juga sama

menikah. Pernah seperti itu nggak kak?

I : sebenernya aku itu nggak ada pikiran untuk nggak nikah sih. Nggak ada.

Sejujurnya, aku juga ingin menikah. Tapi maksudnya karena eee kadang karena

sirkel pertemanan aku juga sempit, aku pulang kerja balik ke kosan. Kerja kosan

kerja kosan saja kayak begitu. Terus kalopun aku main ya palingan sama teman-

teman kantor, yang rata-rata tuh cewek sebenernya. Aku sempet sih terbesit, “aku

harus cari kemana ya?”, namanya juga jodohkan harus dicari juga kan, harus

dikejar, begitu. Ya tapi, yaudah seiring berjalannya waktu saja sih aku sekarang.

Kalo untuk perasaan mau nikah, aku selalu ada. Aku selalu berdoa, begitu ya. Tapi

kalo misalnya aku yang terlalu fokus kerja banget sampe lupa menikah itu nggak

sih. Karena aku pribadi kan juga ingin menikah. Sekarang itu aku lebih ke jalanin

saja.

P : tunggu waktu yang tepat dan jodoh terbaik dateng dari Tuhan ya kak

I : nah iya itu bener. Kan Allah yang sudah atur semuanya.

P : nggak munafik ya kak, hidup sekarang butuh uang nggak ada uang kita

nggak hidup

I : (tertawa) iya bener

P : nah, selain uang, sebenernya apa sih yang jadi alasan kakak untuk tetap

bekerja dan berkarir?

I : kemandirian sih kalo aku. Aku itu dulu sama orang tua tuh dijaga banget.

Nggak pernah pergi-pergi begitu. Terus, aku kuliah. Aku mulai hidup sendiri. Aku

ngekos. Jadi lebih tahu arti susahnya hidup, pengalaman hidup dan kemandirian.

Jadi aku banyak belajar sih. Makanya aku memutuskan untuk merantau. Terlebih

lagi, di Indramayu kan nggak banyak lowongan pekerjaan begitu kan. Akhirnya aku

merantau ke Jakarta sambil mencari uang sekalian belajar tentang kehidupan yang

lebih eee lebih itu deh pokoknya.

P : selain mandiri secara finansial, kamu juga belajar jadi lebih dewasa dan

memaknai hidup ya kan karena tinggal jauh juga sama orang tua

I : iya bener. Aku juga kan anak pertama. Jadi ngerasa juga punya tanggung

jawab sama orang tua dan adik-adik ku. Mereka nggak nuntut sih sebenernya, tapi

sebagai anak adalah pasti perasaan kayak begitu. Apalagi aku anak pertama

P : iya bener itu kak

P : hubungan kamu sama keluarga di Indramayu baik kah kak? Sering

berkomunikasi juga nggak?

I : baik Alhamdulillah, baik. Kalo komunikasi ya nggak setiap hari sih, kalo

sama mama ku ya. Tapi kalo sama adik-adik ku, kita hampir tiap hari chattingan

gituu sih.

P : dari kamu kak, kamu ada kriteria pasangan yang diinginkan gak?

I : kalo kriteria sih ya, yang pertama, seiman itu penting. Terus bisa

membimbing aku ke hal yang lebih baik, dalam segi agamanya juga. Pedoman

agamanya...eee maksudnya mengerti lah, maksudnya juga bukan yang paham

clxiv

agama banget sih, nggak juga. Cuma maksudnya mengerti dan paham dasar-dasar

menikah itu seperti apa. Biar nanti eee menikah itu kan ibadah seumur hidup aku.

Aku juga ingin sosok laki-laki yang mampu menghargai wanita, yang mengerti aku.

Terus juga jadi teman hidup aku, apapun. Jadi aku pengennya punya pasangan yang

bisa mengerti, bisa menerima segala kekurangan aku, bisa selalu sama-sama sama

aku apapun kondisinya. Ya memang punya satu tujuan yang sama lah untuk hidup

yang lebih baik.

P : pasangan yang satu frekuensi dan punya visi misi hidup yang sama ya kak

I : iya seperti itu.. karena ya kenyamanan itu penting menurutku dan saling

mendukung nantinya..

P : iya itu betul banget. Penting deh buat dapet pasangan yang selalu support

kita itu huhu

P : kak, suatu saat nanti misalnya kakak sudah ketemu dengan orang yang

tepat, hal apa saja sih yang bakalan kakak omongin ke pasangan sebelum

memutuskan untuk menikah?

I : keterbukaan sih. menurutku kepercayaan itu penting. Banyak sih ya. kan,

kalo pacaran kan belum tentu kita tahu semuanya tentang dia. palingan sih, kayak,

“kamu punya tanggungan nggak ini saat ini?”, kalo misalnya ada, dibicarakan dulu

tanggungannya apa. Terus, “finansial kamu bagaimana, sudah cukup atau belum?”,

kita kan bakalan ngejalanin berdua. Terus “kita tinggal dimana?”, mau tinggak

ngontrak kah, tinggal sama orang tua kah. Terus juga obrolin tentang kerjaan,

“kamu ini mau nya aku full jadi ibu rumah tangga atau boleh bekerja?”

P : kalo dari hati kamu kak, pengennya nanti setelah menikah tetap bekerja

atau berhenti bekerja?

I : kayaknya sih aku kalo sudah punya anak pengennya full jadi ibu rumah

tangga saja deh, gis. Ingin lebih fokus ngurus anak dan keluarga saja sih sebenernya.

P : kak, menurut kamu, pernikahan itu seperti apa sih?

I : pernikahan itu menyatukan dua keluarga menjadi satu. Dimana kita hidup

bersama dan berdampingan. Terus juga, jadi teman hidup yang menemani kita suka

dan duka. Ibadah bersama juga karena menyempurnakan agama juga kan. Jadi ya

pernikahan menurutku baik ya dan diinginkan semua orang.

P : kamu setuju gak kak, kalo menikah itu sebagai suatu kewajiban bagi

perempuan?

I : kalo aku sih, nggak sih ya. Karena menurutku itu menikah bukan suatu hal

yang wajib. Semua wanita juga punya prioritas hidupnya masing-masing. Ada

mungkin sebagian orang yang berfikiran mereka mau hidup sendiri saja, mungkin

karena dia sudah mandiri secara finansial juga sudah cukup. Atau mungkin karena

faktor lain juga sih, mungkin pernah trauma sama laki-laki sampe akhirnnya mikir

“aku lebih baik sendiri” begitu. Jadi ya menikah kalo menurut aku bukan suatu hal

yang wajib. Target orang kan beda-beda. Pilihan orang juga beda-beda. Jadi kita

gabisa ngejudge orang juga kalo misalnya dia memutuskan nggak menikah. Nggak

salah juga sih. Kan yang penting menurut dia baik buat hidup dia.

P : dia mau nikah silahkan, nggak mau juga silahkan..

P : kak, di usia kakak saat ini, melajang dan juga bekerja, keuntungan apa

yang kakak dapatkan?

clxv

I : eee aku jadi punya siklus pertemanan sih. Aku ada kesempatan untuk lebih

banyak mengenal orang..

P : jadi lebih banyak bergaul ya kak..dan punya kebebasan buat berteman

sama siapa saja nggak sih kak?

I : iya betul, iya bener.. aku jadi ngerasa bebas nggak ada tuntutan ini itu dari

pasangan. Karena selama ini juga kan aku apa-apa sendiri. Aku jadi bebas mau apa

saja, main sama siapa saja. begitu, Gis.

clxvi

11. Informan Lena

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Sabtu, 27 November 2021

Nama : Lena

Usia : 31 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Domisili : Jakarta Timur

P : halo, selamat siang

I : halo, siang Agis!

P : kalo boleh tahu saat ini kamu usianya berapa kak?

I : aku 31

P : saat ini kamu tinggal dimana kak?

I : aku di Klender

P : Jakarta Timur ya... ngekos atau tinggal sama orang tua kak?

I : sendiri. Aku ngontrak

P : aslinya memang orang sini kak (Jakarta)?

I : oh enggaaa..aku aslinya dari Bengkulu..

P : oh woow jauh ya hahaha... sudah berapa tahun kak di Jakarta?

I : kalo gak salah dari 2014 deh...

P : karena kuliah kak?

I : iya...aku kuliahnya iya disini.

P : dimana kak?

I : di Raspati Indonesia. Purindo. Tahu nggak?

P : huhu baru denger aku kak, maaf ya

I : oh iya gapapa sih haha..kebetulan aku kuliah disana juga baru lulus kan,

2019.

P : oh, jadi masuk 2014 lulus 2019 ya kak begitu?

I : oh nggak. Itu aku kuliah lagi, Gis. Aku awalnya D3 di Bengkulu lulus

tahun 2013. Terus 2014 ke Jakarta, kerja. Yaudah, kepengen nerusin sekolah lagi

kan aku, yaudah terus 2017 S1 lulus 2019. Begitu.

P : kak, apasih yang menjadi alasan kamu tetap melajang dan belum menikah

di usia sekarang?

I : mmm apa ya, aku nggak mikirin itu sih sebenernya. Karena menurut aku

itu tuh, belum penting saja sih buat menikah di usia segini. Karena menurut aku nih

ya, umur segini, usia 20an sampe 30an awal itu ya fokus ngejar karir dulu saja. Nah,

tapi kalo usia kamu sudah nginjak 30an dan ngerasa sudah siap menikah dan

ngurusin anak segala macam, ngurusin suami dan segala macam baru deh menikah.

Menurut aku sih gituu ya..jadi ya alasannya kenapa di usia aku yang 31 tahun ini

masih gak nikah, karena itu tadi, aku mikirnya masih usia produktif, mau ngejar

karir aku dulu dan nikah menurutku untuk sekarang bukan yang penting-penting

banget. Nanti mungkin kalo usia ku sudah 33 atau 35an sekian baru aku pikirin

hahaha.

P : jadi memang menikah bukan prioritas kamu saat ini ya kak

clxvii

I : iya. Bukan, bukan. Aku masih mau ngejar karir aku

P : kak, mengejar karir itu kamu ada target nggak kepengen posisi atau jabatan

tertentu yang ingin kamu raih?

I : kalo posisi sih nggak ya. Tapi palingan aku kayak lebih ke pendidikan aku

sih. Jadi, aku memang ada rencana mau ngelanjutin sekolah lagi, kepengen S2.

Nanti setelah selesai baru deh aku mikirin buat nikah. Begitu. Palingan kalo dikarir

aku itu, aku ngumpulin uang buat ngelanjutin biaya aku pas S-2 nanti.

P : oke. jadi, kamu bekerja untuk ngumpulin uang buat lanjut S-2 ya.. begitu...

I : iya begitu, Gis..

P : kalo dari orang tua kamu bagaimana kak? Ada desakan nggak sih buat

segera menikah?

I : kalo dari orang tua aku sih waktu dulu iya (ada desakan). Waktu aku umur

berapa ya...mmm aku kan sudah satu tahun ini nggak ada pacar. Sebelumnya aku

ada (pacar). Jadi, satu tahun yang lalu itu kita sudah break up, nggak pacaran lagi.

Dulu waktu masih pacaran itu ya didesak buat cepet-cepet nikah. “ngapain sih

pacaran lama-lama, kan sudah punya pacar ini sudah buruan nikah” kayak begitu

sih. Tapi setelah putus, sekarang sih nggak (tidak didesak). Jadi yaudah jalanin saja,

begitu.

P : berarti dari kamu pribadi memang sudah memutuskan untuk menunda

menikah ya kak..

I : hahaha iya benerrr

P : nah, itu bagaimana itu kamu membicarakan hal tersebut sama orang tua

kamu kak?

I : eee sebenernya biasa saja sih. kayak, aku ngasih tahu biasa, begitu.

“Kayaknya kalo aku misalnya langsung nikah gini gini gini deh” begitu sih. Jadi

eee buat ngasih pengertian ke orang tua eee akunya sendiri belum siap kalo buat

menikah diusia segini. Ya pada awalnya orang tua ku itu kayak...eee.... jangan deh,

jangan targetin segitu bla bla bla buat nikah itu terlalu tua segala macam. Ya

biasalah ya kalo orang kita itu mikirnya kalo nikah diusia 30an itu sudah tua

bangetlah. Jadi ya gituu deh. “ibu dulu nikah nggak umur segini”. Tapi ya menurut

aku, prinsip orang kan beda-beda ya. Kematangan pribadi orang juga beda-beda.

Dan menurut aku, diusia aku yang sekarang aku belum dewasa dan belum bisa

menilai mana yang harus aku prioritaskan atau ngga. Aku takutnya, kalo aku

menikah sekarang, diusia sekarang, terus harus cerai sama suami karena pemikiran

aku yang kayak begini ini, kan nggak enak juga. Aku mikirnya adalah menikah itu

untuk satu kali seumur hidup. Jadi, memang harus bener-bener mateng buat cari

seseorang yang bisa dibilang, kita punya tujuan yang sama dan jalan dan pemikiran

yang sama juga, begitu. Jadi ya, itu, aku ngasih tahu alasan aku nggak mau nikah

ke orang tua aku kayak begitu. Dan syukurnya mereka nerima.

P : syukurlah. Karena kan nggak jarang juga ya orang tua itu kontra dengan

keputusan anaknya yang mau menunda nikah..

I : iya. Banyak kayak begitu. Tapi syukurnya orang tua aku nggak papa.

Mungkin juga karena aku kasih penjelasan yang masuk akal hahaha

P : hahaha iya sangat jelas dan meyakinkan sih..

P : oiya kak, kamu ini kan sekarang posisinya jauh dari keluarga, orang tua

I : he eh...

clxviii

P : terus juga tadi kamu bilang, diusia sekarang kamu masih merasa belum

dewasa dan masih takut dalam menilai begitu lah ya..

I : iya..iyaa

P : nah tapi, kamu ngerasa nggak sih sudah mampu mencari solusi dan

menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain?

I : iya!! Karena kadang kalo aku punya masalah itu aku nggak ceritakan.

Yauda aku selesaikan sendirian saja. tapi kalo sudah berat banget nih ya masalahnya

mau nggak mau orang tua harus tahu, aku ceritain aku lagi punya masalah apa.

P : buat hal-hal kecil kamu mampu selesaikan sendiri ya

I : iyaa... selagi masalahnya nggak ngeganggu aku banget, aku selesain

sendiri sih. kecuali itu tadi, kalo sudah sampe bikin pusing dan bagaimana ya eeee

pasti aku ceritain ke mereka.

P : dari orang tua kamu ngasih kebebasan nggak kak buat kamu dekat dengan

cowok mana saja? atau mungkin orang tua punya kriteria khusus untuk pasangan

kamu?

I : iya ada.. bahkan pernah aku sampe mau dijodohin hahaha. Tapi kayak apa

ya, kan kita yang punya hidup ya. Kita yang bakalan ngejalanin ya. Kita yang pilih

orangnya. Dan itu yang bakalan kita jalanin. Ya kalo misalnya pilihan dari orang

tua, terus kita iyain dengan terpaksa kan jadinya bakal ini terus eeee susah sendiri.

Jadi, aku sudah pernah bilang juga ke orang tua aku, kayak, “boleh mungkin kalo

ibu sama ayah punya kriteria sendiri tapi kan yang ngejalanin aku, yang dari bangun

tidur sampe tidur lagi ya aku. Aku ngejalanin hidupku sama dia. Hari-hariku sama

dia. kalo misalnya pilihan kalian nggak terbaik buat aku, bagaimana nanti aku bisa

ngejalanin semuanya tiap hari?”. Maksud aku itu ya, jadi kalopun misalnya orang

tua aku punya kriteria pasangan yang seperti ini itu, itu tuh mesti sejalan dengan

aku juga.

P : kita juga perlu ngerasa cocok sama dia gituu

I : nah iya!! Kalo nggak cocok tapi dicocok-cocokin kan sama saja maksa.

Aku gamau. Kalo ujung-ujungnya cere ya apa kan prinsipku menikah buat sekali

seumur hidup.

P : iya bener kak

P : kak, dari keputusan kamu yang mau menunda menikah ini, kamu sudah

tahu konsekuensi ke depannya seperti apa kah? Sudah siap dengan semuanya?

I : tahu, dan aku siap sih. Inikan keputusan yang aku ambil sendiri. Jadi,

apapun nanti kedepannya ya aku tanggung sendiri juga. Ini keputusannya kan

berasal dari aku. Bukan yang eee bukan aku yang kepengen banget nikah, justru

terbalik kan, aku malah gamau. Kayak, aduh ribet deh nanti kalo misalnya nikah.

Jadi yaudah jalanin saja aku bawa enjoy saja.

P : pernah dapet pandangan negatif nggak kak baik dari keluarga, kerabat,

teman kerja tentang status kamu saat ini?

I : pertama, karena aku jauh dari orang tua, aku nggak tahu sih ada yang

ngomongin aku apa nggak hahaha. Tapi, kalo di lingkungan aku sendiri nih, engga

ada sih. Karena aku juga kan orangnya santai ya. Jadi, ketika ada yang tanya. “umur

berapa?”, “sudah nikah apa belum?” yaudah jawab saja seadanya, “umur aku 29”,

“aku belum menikah”. Ya adalah nanti aku nikah tapi nggak sekarang hahaha.

Lagian juga aku sekarang nggak punya pacar juga kan. Sekalipun nanti ada yang

clxix

nyinyirin aku yaudah gapapa, hak mereka sih itu. Aku mah santai. Diemin saja. Aku

nggak ambil pusing. Gapapa.

P : kalo lingkungan kerja kamu bagaimana kak? Rata-rata single atau sudah

menikah?

I : yang single masih ada juga. Malahan rata-rata yang sudah menikah itu

yang usianya di bawah aku. Usia 24 25 26 lah yang sudah menikah itu. Aku belum

hahaha masih santai saja, gak mikirin. Karena aku belum mau mikirin serius buat

rumah tangga. Just for information ya, aku juga kan break up nya gara-gara

cowokku tuh terus ngedesak aku buat nikah, “ayo nikah, ayo nikah” kayak begitu

kan. “yaudah kalo kamu nggak siap nungguin aku, kamu bisa cari perempuan lagi

yang siap sama kamu” aku bilang kayak begitu. Jadi yaudah, kita putus. Dan

sekarang pun ada yang ngedeketin aku buat ke arah yang lebih serius tapi akunya

malah yang entar dulu deh hahaha. Mungkin, karena aku juga ngerasa lebih nyaman

sendiri. Jadi aku belum mikir kesana.

P : sebenernya apa sih kak, yang bikin kamu ngerasa belum siap buat

menikah? Sebagian orang kan misalnya belum siap menikah karena takut menikah

dengan orang yang salah, atau takut dengan kehidupan setelah berumah tangganya,

misalnya juga dia takut buat punya anak dan segala macam. Kalo kamu apa kak?

Apa yang membuat kamu belum siap menikah dan akhirnya memutuskan untuk

menunda menikah?

I : mmmm jujur, aku ada traumatik, ya. karena pertama, lingkungan ku yang

dari keluarga itu banyak juga yang menikah muda ya. adik-adik dari ibuku dan

kakak-kakaknya juga pada nikah muda. Terus cerai. Jadi, kayak nikah lagi, dan

begitu terus. Jadi, kayak, ada anak pertama dari istri pertama, anak kedua dari istri

kedua, dan seterusnya. Mereka itu jadi nikah cerai nikah cerai bahkan sampe tiga

kali. Aku jadi bertanya-tanya kan, ini mereka kenapa sih? mereka memutuskan

menikah sampe 3 kali itu kenapaaa?. Jadi kayak, keputusan menikah di awal itu

kenapa? Kenapa bisa jadi cerai terus menikah lagi terus cerai lagi itu kenapa?.

Maksudku, kenapa harus mengulangi kesalahan yang sama bahkan sampe 3 kali itu

kenapa. Terus, di lingkungan aku juga punya teman-teman kuliah yang abis kuliah

mereka menikah tapi bercerai. Jadi menurut aku itu kayak, ngeliat mereka bercerai

itu kayak, aduh, “apakah nanti kalo aku memutuskan untuk menikah, aku akan

bernasib sama kayak mereka kah?”. Salah satunya itu yang jadi ketakutan aku

sampe sekarang nggak mau nikah. Kayak yang di awal aku bilang, aku maunya

nikah satu kali seumur hidup. Dan orang itu yang mampu ngebimbing aku sampe

aku tua. Kita jalanin hidup sama-sama. Aku nggak mau salah pilih orang.

P : ada pengaruh keluarga yang buat kamu trauma ya kak. Sampe akhirnya

mutusin buat nunda nikah..

I : iya. Dan itu bukan satu dua orang, Gis. Itu banyaaaakk bangettt. Kayak

teman-teman kuliah ku juga begitu kan. “kok ini orang sudah ganti suami lagi ya”

“sudah ganti pasangan lagi ya” “loh kok sudah nikah lagi ya, kemarin kayaknya

bukan ini orangnya deh” hahaha kayak begitu sih. Jadi mungkin kayak, “oh, ya,

divorce, mungkin”. Tapi kayak, gampang banget gituloh buat menikah lagi tuhh??

Itu keputusannya bagaimana??? Hahaha aku sendiri saja pusing mikirnya. Ngeliat

orang banyak yang nikah cerai nikah cerai jadi buat aku mikir berkali-kali lipat lagi

buat nikah deh.

clxx

P : iya sih bener kak karena nikah kan bukan buat main-main ya.. dan

ngejalanin hidup setelah menikah itu juga kan gak gampang

I : nah iya ituu.. mmm aku juga nggak maksud eee apa ya...ya terserah begitu

sebenernya dia mau nikah muda atau tua, terserah. Itu hak mereka. Cuma yang aku

nggak habis pikir, menikah diusia muda tapi bercerai sampe 3 kali itu bagaimana???

Sampe-sampe mengulangi kesalahan yang sama lagi dipernikahan sebelumnya.

Keputusan dia mau menikah itu bagaimana awalnya, itu sih sebenernya yang eee

buat aku jadi mikir lagi.

P : bener sih ini. Mereka sampe ngelakuin kesalahan 3 kali berturut-turut itu

bagaimana hahaha apa nggak belajar dari yang kemarin-kemarin ya...

I : kan...

P : kak, selain untuk mencari uang, alasan kamu bekerja dan berkarir itu apa?

I : mmm ya itu tadi sih, aku punya target buat aku sekolah lagi S2. Aku juga

lagi berusaha cari-cari beasiswa buat S2 ku. Jadi, selagi aku belum memutuskan

untuk menikah, aku bakalan terus kejar pendidikan aku sih.

P : kalo dari kamu sendiri nih kak, ada kriteria pasangan tertentu gak?

I : enggak ada sih. Tapi yang jelas, aku cuman pengennya suamiku itu punya

pekerjaan, pekerjaannya tetap lah jangan sampe masih kontrak atau apa. Karena

kita gatau kan di masa pandemi gini banyak pekerja kontrak yang diputus, dan aku

gamau itu kejadian di aku dan calon suamiku nanti. Itu yang pertama. Yang kedua,

bertanggung jawab. Sudah sih, segitu saja. Pekerjaan tetap dan bertanggung jawab.

P : kalo misalnya nanti dari calon suami kamu nggak izinin kamu untuk kerja

lagi, bagaimana kak?

I : ya gapapa. Kan tadi dia karyawan tetap hahaha berarti dia ngerasa sudah

mampu memenuhi semua kebutuhan aku. Ya aku nggak masalah sih.

P : tapi sebenernya kamu pribadi masih mau bekerja atau nggak?

I : sebenernya aku sih fleksibel ya. sedapetnya saja nanti. Kalo misalnya dari

pasangan aku dia mau aku tetap bekerja, ya aku kerja. Tapi kalo nggak dikasih

kerja, ya nggak papa aku nggak kerja juga. Tapi sebenernya kalo dari aku pribadi

sih aku maunya fokus ke keluarga. Jadi kepengennya aku nggak kerja lagi kalo

misalnya nanti aku sudah punya suami.

P : menurut kamu, hal apa saja yang penting buat diobrolin sama pasangan

sebelum memutuskan untuk menikah?

I : yang pertama itu, kita harus jujur ya. sebelum menikah kita punya apa, dia

punya apa. Terus beban dan tanggung jawab kita sebagai anak. Nggak mungkin kita

gapunya beban dan tanggung jawab sama orang tua kan. Apalagi kalo calon

pasangan kita punya adik. Atau kalo misalnya dia gak punya orang tua, dia punya

beban dan tanggung jawab apa selain itu. Jadi kan, kita harus tahu itu dari situ. Ya

intinya, dia bisa bertanggung jawab atas tanggung jawab yang dia punya, tidak

melepaskan tanggung jawabnya dia sebagai anak, ya ayok nikah. Tapi kalo

misalnya dia nikah tapi harus melepaskan tanggung jawabnya sebagai anak, ya aku

mikir 2 kali. Karena aku punya orang tua kan, punya adik-adik juga yang sebagai

uangku juga aku kasih ke mereka. Jadi ya itu, ketika dia harus memberikan uangnya

ke orang tua, aku harus tahu dan sebaliknya. Transparan ajalah kita sebagai

pasangan. Gitusih.

P : pandangan kamu tentang pernikahan itu seperti apa kak?

clxxi

I : duh, apa ya, aku juga bingung hahahaha. Mmm orang kalo menuju

pernikahan itu kan suatu yang baik ya. dianjurkan juga kan karena melengkapi

sunnahnya Rasul. Itu sih yang aku tahu. Ya menurutku bagus sih kalo ada orang

yang punya niat menyegerakan menikah. Dan yang paling penting dia harus

bertanggung jawab sama pilihannya sih. itu saja sih menurutku.

P : oke. Kamu setuju nggak kak, kalo menikah sebagai sebuah keharusan bagi

perempuan?

I : nggak sih. nikah nggak harus menurutku. Kalo misalnya perempuan itu

sudah mampu bertanggung jawab sama diri dia sendiri dan mandiri terutama secara

keuangan, menurutku nggak harus deh dibebankan nikah buat mereka. Ya mungkin

iya dia butuh perlindungan dari seseorang, dari laki-laki. Tapi menurut aku, kalo

dia ngerasa diri dia mampu untuk menghidupi diri dia sendiri dan tidak

membutuhkan orang lain ya nggak haruslah nikah.

P : apasih kak yang kamu rasain diusia sekarang belum menikah dan fokus

bekerja? Mungkin kamu ngerasa lebih bebas kah?

I : justru diumur sekarang aku itu nggak ngerasa bebas ya. kan, kalo orang

sudah berkeluarga, waktu libur mereka buat keluarga ya. kalo aku, kalo libur ya aku

di rumah saja nggak ngapa-ngapain. Palingan ya aku ngerasa hidupku nggak diatur-

atur sih. Aku juga orangnya nggak suka diatur ya. jadi, mungkin ngerasa aku bebas

disitu ya. nggak ada yang nge bla bla bla in aku begitu. Jadi, buat sekarang itu ya

sudah semuanya semaunya aku saja nggak perlu izin sana sini. Jadi lebih leluasa

saja hidupku.

P : kamu pernah ngerasa khawatir nggak sih kak sama status kamu sekarang

ini?

I : buat sekarang engga sih. Tapi aku pernah baca artikel, katanya, di usia 35

tahun kalo perempuan belum menikah itu kamu sudah harus khawatir. Dan buat

aku jadi mikir, “iya juga ya, kalo usia aku 35 dan aku belum menikah, kayaknya

aku mesti khawatir sih”. Di negara-negara lain juga begitu kan, kayak di Korea, di

Barat juga begitu kalo usianya 35 terus belum menikah, mereka juga khawatir. Tapi

kalo misalnya di bawah itu, mereka belum khawatir, santai saja. kan juga mikirnya

usia 20an sampe 30an 33 34 lah masih usia produktif begitu. Nah, kalo sudah 35

atau di atasnya gituu kan kita sudah cukup berusia ya dan produktifitas kita sudah

menurun eee berkurang lah semuanya begitu. Mulai dari kesehatan dan segala

macamnya berkurang lah makanya kita perlu seseorang buat ngejagain kita. Jadi

aku mikirnya, “ah, iya, nanti kalo usiaku sudah 35 aku sudah harus khawatir”. Aku

juga sudah mikirin kan, aku mau S2 dulu dan itu dibutuhkan waktu kurang lebih 2

tahun. Abis itu aku mau kerja lagi.. jadi ya, menikah itu masih panjang banget deh

buat aku kesananya.

clxxii

12. Informan Arisa

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Sabtu, 27 November 2021

Nama : Arisa

Usia : 29 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Domisili : Jakarta Selatan

P : halo Arisa!

I : halo gis! Hahaha

P : kak, ini kita ngobrol-ngobrol santai saja ya.

I : iya boleh, santai

P : kemarin kan waktu di dm kamu bilang kamu ada rencana untuk menunda

menikah ya kak, aku boleh tahu nggak alasannya kenapa?

I : sebenernya ada banyak faktor, sebenernya aku itu, ngambil keputusan itu

sudah mikir mateng-mateng dan awalnya orang tua menentang ya. Tapi karena aku

jelasin segala alasannya akhirnya mereka mengerti dan malah balik dukung aku

untuk nggak nikah cepet-cepet. Lagian jodo juga kan tergantung kapan datengnya

kan.

Kenapa aku ambil keputusan untuk menunda menikah itu yang pertama sebenernya

ada alasan pribadi yang gabisa aku ceritain dan aku bagi-bagi ke orang. Terus, yang

kedua, eee tahu kan, sandwhich generation di Indonesia kayak bagaimana? Ya itu

alasannya. Terus, karena, sandwich generation itu juga aku harus ngebantu adik-

adik aku selanjutnya untuk sekolah lagi ya kan. Sedangkan jarak nanti adik aku

sekolah lagi itu, waktunya orang tua aku pensiun. Aku sebagai yang tua ngebantu

adik-adik aku kan. Kalo aku sudah nikah itu, nggak akan bisa melakukan kayak

begitu karena nanti aku akan punya keluarga yang bakalan aku prioritaskan.

Terus juga ya, aku itu dari dulu banget, sebelum aku lulus kuliah, aku itu pengen

banget ngejar beasiswa ke luar negeri. nah, kalo aku nikah, aku nggak mungkin bisa

dengan bebasnya ngejar beasiswa yang aku mau. Aku juga sudah (melakukan)

perhitungan, kalo misalnya, aku ambil beasiswa umur sekian, jarak sekian, belum

lagi aku mau ngejar karir juga. Kemungkinan kan ya, umur 30an lah aku baru kelar

itu. Terus faktor lainnya aku juga, ada trauma sama pasangan waktu pacaran dulu

hahaha. Itu jadi ngebuat aku trauma sama laki-laki. Kayak aku belum bisa nemuin

di mata aku yang bener-bener baik, begitu loh. Jadi sampe sekarang aku selalu

mandang cowok itu semuanya sama saja, brengsek. Buat apa cari-cari lagi ya kan.

Toh, sekarang aku ngerasa aku bisa semuanya, ngapain aku perlu pendamping

hidup gitu? Terus faktor lainnya itu, di lingkungan aku itu, misalkan, orang tuanya

teman aku bahkan teman aku sendiri pun ngalamin divorce begitu kan. Apalagi

macem-macem perceraian kan banyak ya, itu jadi ngebentuk mindset aku ternyata

pernikahan nggak sebaik itu. Ternyata pernikahan itu buruk banget ya, kok sampe

bisa ngerusak batin. Maksudnya aku trauma pacaran saja sudah nyiksa batin, aku

gak mau saja ngalamin hal yang sama di pernikahan, trauma lagi aku gak mau.

Meskipun Indonesia lagi gencar-gencarnya kampanye nikah muda, tapi aku kayak,

clxxiii

yang, kek, apa sih kok mereka pada begitu? (nikah muda) nggak mikirin ke

depannya nanti kayak bagaimana. Itu pandangan aku sendiri begitu sih.

Maaf ya suara aku gemeteran hehehe

P : its okay kak, rilex saja. Oiya, jadi menurut kamu tuh, ya, nikah itu nggak

terlalu penting buat kamu?

I : di mata orang tua ku penting, tapi di mata aku nggak penting hahaha. Aku

maunya freedom sih, hidup tanpa pernikahan. Kalo saja Indonesia kayak negara

Barat, aku bakalan milih untuk nggak nikah deh, sayangnya kita bukan negara barat

ya hahaha. Aku masih mikirin orang tua juga soalnya kan. Keluarga ku menganut

nilai-nilai yang bisa dibilang tinggi juga untuk urusan menikah sih. Kalo untuk

nunda nikah mereka bisa ngerti, bahkan mereka nggak menuntut di umur sekian

harus sudah nikah atau bagaimana-bagaimana begitu ya, karena di keluarga ku juga

banyak yang nikah telat ya, mama aku saja nikah umur 27 tahun. Tapi kalo nggak

nikah sama sekali kayaknya nggak mungkin dibolehin sih.

Dari keluarga ayah juga sama, mereka lebih mengutamakan pendidikan, karena

sepupu aku saja yang paling tua baru nikah umur 30an, dan yang tertua kedua itu

baru nikah umur 35.

P : Jadi, menurut kamu ini, keputusan kamu untuk menunda menikah itu

sudah keputusan yang tepat untuk kamu ambil dan terima resikonya tanpa ada rasa

penyesalan?

I : karena sudah aku pikirin mateng mateng ya, jadi menurut ku ini sudah

keputusan yang tepat dan aku bisa terima konsekuensinya nanti ke depannya kayak

apa. Untuk rasa menyesal mungkin nggak ada ya, tapi palingan cuma kayak ngerasa

kesepian saja kali ya, karena ngeliat angkatan aku seumuran aku sudah pada punya

keluarga sendiri. Pasti ada rasa iri, pasti. Tapi kan balik lagi sekarang, kalo batin

kita belum siapa menikah, jangan dipaksain. Soalnya nanti kalo ada apa-apa, yang

disalahin orang lain kan juga salah, kasihan jadinya.

P : aku penasaran deh kak, keputusan ini kamu ambil sendiri dengan berpikir

secara matang. Bagaimana sih caranya kamu melakukan pendekatan ke orangtua

untuk membicarakan hal ini? Apalagi tadi kamu bilang orang tua kamu termasuk

menganut nilai-nilai budaya yang terbilang tinggi tentang pernikahan?

I : pertama sih ya aku jujur sama alasan aku kenapa gamau nikah cepet-cepet.

Kebetulan juga adik-adik aku berfikiran hal yang sama, apa sih pentingnya nikah.

Karena dari drama-drama di tv juga kan ngajarin kita bagaimana kehidupan

pernikahan kan. Akhirnya ya aku bilang, aku gamau nikah. Terus mama aku ya

tanya, loh kenapa gak mau nikah, kalo kalian gak nikah nanti keturunan mama siapa

lagi kalo bukan dari kalian, begitu kan. Yauda kalo gak boleh gak nikah, kasih kita

jangka waktu buat nikah nggak cepet-cepet.

Terus ada juga tetangga, dia nikah muda, terus rumah tangganya nggak bahagia

karena ada campur tangan mertua kan. Terus mama ku kayak yang kasian begitu,

masih muda tapi pernikahannya ya gak bahagia. Makanya mama ku juga yang

nggak dukung nikah muda dan malah kayak ngasih kebebesan buat anak-anaknya

mau umur berapa kita nikah nanti. Tapi tetap yang penting nikah. Begitu sih.

Keluarga ku sih, ya, dibilang bebas banget ya nggak juga, tapi nggak yang ngekang

banget juga. Kayak waktu itu aku pacaran kan umur 18 tahun ya, itu saja mama ku

kayak yang nggak suka begitu, makanya kayak di bawah kendali mama ku juga

clxxiv

(pacarannya). Nah waktu aku putus pun sampe nangis-nangis mama ku tuh merasa

sakit hati juga soalnya sudah ngerasa ngerelain aku sama dia tapi aku kayak digituin

(perlakuan buruk) sama dia jadi mama ku juga trauma juga kan.

P : keuntungan atau dampak positif apa sih yang kamu dapetin dari menunda

menikah?

I : yang pertama nih, pasti kamu kalo misalkan daftar pegawai negri, terus

pelatihan-pelatihan, maksudnya kayak mau masuk kerja tapi ada pelatihan-

pelatihan dulu begitu, kan pasti disitu statusnya tidak menikah atau belum menikah

ya kan? Nah, kalo kita sudah terlanjur nikah tapi umur kita mencukupi untuk masuk

kerja disitu tapi status kita sudah menikah, terus juga kemampuan kita juga

mencukupi, jadi sayang kan gak bisa ikutan (daftar kerja) karena status menikah

yang kita miliki. Terus juga pengembangan diri kita tuh, seberapa mandiri kita

tanpa orang lain di samping kita, kita bisa lebih mengembangkan karir sendiri dan

bangga sama diri sendiri. Di keluarga ku juga kan mengutamakan pendidikan

nomor satu, jadi ya kita itu ambisius banget buat ngejar pendidikan setinggi-

tingginya, dan karir sebagus mungkin.

Pasti, cewek-cewek kan kalo sudah nikah pasti urusannya nggak jauh dari dapur,

sumur, dan kamar. Apalagi kalo misalnya nanti sudah punya anak, bakalan susah

buat ngembangin diri (karir) lebih luas lagi. Karena nanti (kalo sudah nikah) dunia

kita nggak jauh-jauh dari suami anak suami anak, begitu.

P : untuk teman-teman seangkatan kamu sudah banyak yang nikah belum

kak?

I : eeee kebetulan waktu aku kuliah, di prodi aku cuma satu kelas kan, nah

kebetulan ada 2 orang yang sudah nikah tapi yang satu sudah cerai. Nah yang itu

yang bikin aku mikir mateng-mateng, kasian juga kehidupannya dia, kasian karena

jadi janda di usia yang masih muda banget gituu loh. Kalo yang satunya lagi kan

baik-baik saja ya hidupnya, bahagia begitu lah beda sama yang ini, baru 6 bulan

nikah sudah diceraikan begitu sama suaminya. Kasian kan, mental masih muda,

masih mau senen-seneng terus diajak nikah pas nikah tiba-tiba diceraikan di depan

orang tuanya terus kekerasan pula. Yaallah kasian banget.

P : untuk dampak negatifnya ada nggak yang kamu rasain dari menunda

menikah?

I : ummm, teman-teman aku sihi tahu ya kalo aku mau nunda nikah begitu,

mereka selalu bilang kalo aku nunda nikah, nanti jarak aku dan anak aku itu jauh.

Terus ya aku bilang saja, ya gapapa kok aku sama orang tua ku juga jaraknya jauh

kok hahaha tapi ngerasa teman deket kok. Terus juga banyak sih yang bilang, nanti

kamu keburu tua loh nanti gak bisa liat cucu-cucu kamu kalo kamu nikahnya

ditelatin. Aku tuuh kayak, yang, loh sudah cucu-cucu saja sih hahaha. Ya sejauh ini

sih ya negatif itu datengnya dari orang-orang sekitar sih karena omongan orang-

orang itu yang ngebuat suasana jadi negatif. Tapi kalo aku pribadi nggak merasakan

dampak negatifnya sih.

P : haha iya bener banget sih. Sebenernya memang selagi kita enjoy dan fine-

fine saja dengan keputusan yang diambil, nggak bakalan ada negatifnya sih ya.

Dampak negatif ya tercipta ya dari lingkungan luar bukan dari diri kita sendiri

hahaha

clxxv

I : iya kan bener banget, karena aku milih nunda nikah ya sejauh ini nggak

ngerasain negatifnya juga. Masyarakatnya saja yang sering julid-julid begitu.

Ngeliat perempuan 26 27 belum nikah sudah di cap perawan tua lah, nggak laku

lah. Padahal kita kan berhak nentuin pilihan hidup kita sendiri, bukan masyarakat

P : menurut kamu kak, usia ideal untuk menikah itu usia berapa sih?

I : kalo menurut aku sih ya, perempuan ideal menikah itu biar nggak sampe

30 banget begitu terus juga yang nggak terlalu muda banget juga, 27 kali ya

idealnya buat nikah hehehe

P : tanggapan kamu tentang telat menikah bagaimana kak?

I : itu kan keputusan dia sendiri, jadi ya biarin saja. Ya balik lagi juga, segala

keputusan apapun yang diambil pasti ada alasannya. Apalagi ini pernikahan ya,

sekali seumur hidup. Makanya perlu dipikirin mateng-mateng. Terus juga kan

berhubungan sama batiniah juga, sudah siap belum batinnya.

Pernikahan kan nggak cuma menyatukan dua kepala, tapi dua keluarga. Bagaimana

nantinya kita ketemu sama orang-orang yang berbeda pemikiran dan lain-lainnya,

sudah siap belum. Ada juga kan orang yang telat nikah karena memang belum nemu

yang cocok, atau, memang dia betah sendiri nyaman sendiri dan nggak mau nikah

sama sekali, ya terserah juga, ya itu sih, balik ke pilihan dan alasan masing-masing

orang saja bagaimana.

P : kalo usia telat menikah untuk perempuan berapa kak?

I : 40 tahun kali yaa, itu sudah telat banget menurutku.

P : oiya, terakhir ini, menurut kamu, menikah itu butuh kesiapan 100 persen

nggak sih? Dan tipe ideal pasangan kamu yang seperti apa?

I : eeeee yang pertama itu yang pasti yang menerima kita apa adanya,

tanggung jawab, nerima segala kekurangan yang ada di diri kita, terus juga

menerima keluarga kita yang seperti ini seperti itu karena kita bakalan hidup lama

sama dia, jadi ya pengennya yang kayak begitu. Terus juga harus sayang sama diri

dia sendiri dulu, kalo dia sayang diri dia, berarti dia sayang orang lain. Menghormati

keputusan orang lain.

Aku itu waktu itu pernah bilang sih, aku mau nikah ketika hidup aku sudah mapan

dan hidup pasanganku juga mapan. Terus kata teman-teman aku bilang, ah kamu

kalo sudah nikah juga bakalan mapan kan rejeki orang nikah kan ada saja. Terus ya

aku bilang, ya itu kan pandangan aku kayak begitu. Terus temenku juga bilang lagi,

kalo mau tunggu mapan, mau sampe kapan yang ada kamu nggak nikah-nikah. Ada

benernya juga sih, tapi ya kan namanya tipe sewaktu-waktu bisa berubah ya. Begitu

sih yaa

P : makasih ya kak atas waktunya!

clxxvi

13. Informan Citra

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Rabu, 01 Desember 2021

Nama : Citra

Usia : 30 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Domisili : Jakarta Selatan

P : halo

I : halo. Aduh, sorry ya suara gue nggak terlalu (tertawa) rada abis suaranya

P : iya gapapa, masih kedengeran. Kak, ini gue langsung saja ya

I : iya langsung-langsung. Btw tentang apa sih?

P : tentang ini sih, menunda menikah pada perempuan. Lo ada rencana mau

nunda niikah nggak kak?

I : enggak ada sih. gue itu nggak ada rencana mau nikah, nggak ada rencana

juga buat nunda nikah.

P : gimanaa-gimanaa??? Lo nggak ada rencana mau nikah...terus?

I : iya, tapi nggak ada rencana nunda juga. Jadi, kayak, yaudah kalo memang

sudah ada waktunya, ya gue nikah lah. Kalo nunda kan kesannya kayak gue bener-

bener nggak mau nikah. Eee waktu-waktu dekat inilah.

P : kok lo bisa ada pikiran nggak mau nikah, awalnya gimanaa deh?

I : eee simpelnya lebih ke mmm kagak ada lakinya. Tapi eee apa namanya,

gue mikirin karir sih. maksudnya kan gini, sebenernya orang tua gue nargetin gue

nikah maksimal 25. Sedangkan gue baru punya karir itu di umur 26 27. Itu juga

sebenernya belum bisa dibilang karir sih, karena gue masih jadi staff, belum pegang

profesi. Kepengennya gue sih kalo gue sudah bener-bener punya profesi, gue baru

deh mikirin mau nikah.

P : jadi memang boleh dibilang fokus lo sekarang ngestabilin pekerjaan lo

dulu ya kak

I : betul. Ngestabilkan pekerjaan gue yang baru banget gue mulai. Sama eee

gue lebih ke mentingin, ngenomor satuin keluarga dulu sih. maksudnya,

penghasilan gue saat ini gue alihkan buat keluarga gue dulu. Kalo misalnya gue

nikah kan, gue punya keluarga lain, nah, otomatis penghasilan gue kebagi lagi tuu.

Nah, gue belum sampe ditahap itu. Belum ready.

P : sorry sorry, gue salah tangkep kayaknya sama maksud lo di awal tadi yang

bilang nggak ada niat buat nikah hahaha itu maksudnya lo nggak ada niat nikah

dalam waktu deket ya kak?

I : ehh hahaha iyaa memang tadi gue bilangnya gimanaa?

P : lo bilang nggak ada rencana mau nikah...

I : anjir hahaha nggak, maksud gue itu, adalah gue kepengen lah nikah. Tapi

ya itu tadi, gue mau kerja dulu, karir dulu, stabilin pekerjaan gue. Jadi nggak

sekarang nikahnya. Nggak dalam waktu dekat. Begitu. Kepengennya gue nikah

juga bukan yang kepengen banget, sih. masih bisalah gue tahan entar-entaran.

Teman-teman seusia gue juga kan banyak yang sudah berkeluarga juga tuu. Kadang

clxxvii

gue suka ke trigger juga untuk eee, “ih ingin deh punya anak”. Penasaran begitu,

gue interest buat ngurus anak itu kayak gimanaa sih? terus kepengen juga punya

suami yang bisa nemenin tiap hari. Cuman kan yang jadi masalah, nikah itu nggak

cukup sampai disitu. Kalo ngomongin faktanya kan, nikah lebih ke ekonomi. Terus

dunia lo juga bakalan kebagi-bagi. Yang kesitunya sih sebenernya yang buat gue

belum siap untuk nikah di umur gue yang sekarang.

P : kak, tadi kan lo bilang kalo orang tua lo nargetin lo nikah itu 25 ya.

sedangkan lo pribadi nggak mau nikah di umur segitu dan ini mungkin sudah lewat

dari target yang orang tua lo kasih. Sebenernya gue kepengen tahu gimanaa lo

ngasih pengertian ke orang tua atas keputusan lo ini?

I : sebenernya nyokap gue nargetin gue 25 karena ngeliat kakak gue kan. Dia

itu lulus kuliah 23, 24 sudah punya calon, yaudah, nikah sudah itu dia di umur 24.

Nyokap gue nargetinnya kayak, “ya lo jangan sampe lebih tua lah nikahnya dari

pada kakak lo”. Ini kalo ngomongin target awalnya. Lebih kesitu. Gue ngasih

pengertiannya itu lebih ke, ya yang pertama-pertama kali sih gue ngediemin

gitukan, nggak gue hiraukan omongan-omongan nyokap gue yang kayak gituu.

Terus juga, apa, lebih dibawa bercanda. Nah, yang terakhir, kalo misalnya makin

kenceng nii, sampe dikenalin ke anaknya teman nyokap gue lah segala macem atau

yang kayak gituu gituu lah, gue ngasih pengertiannya, “pasti semua ada waktunya”

kayak begitu sih. maksudnya, kan, nyokap yang nyaksiin sendiri hidup gue

gimanaa. Pas kuliah itu gue ada waktunya, gue dapet kuliah dimana. Terus juga pas

dapet kerja. Gue kan pas abis lulus nggak langsung dapet kerja. Ada waktunya juga.

Pasti semua itu ada waktunya. Jadi ngasih pengertiannya lebih ke situ saja, sih. lebih

ke, namanya takdir mah pasti ada saja tanggalnya, begitu.

P : berarti orang tua lo sudah sempet mau ngenalin lo sama anak temennya

begitu kak..

I : perrrnaaahh!!! Dan itu 2 kali.

P : terus respon lo gimana kak?

I : yaaa, apa ya, dua orang itu sebenernya cuman omongan nyokap doang. Itu

juga omongan nyokap sama temennya, kan. Bukan yang orangnya sendiri –

anaknya teman nyokap yang nyamperin gue. Lebih ke, yaudah, kalo mau kenalan,

kenalan saja. kalo nggak, ya nggak. Itu cuman sebatas omongan-omongan orang

tua yang ya akhirnya nggak terlaksana juga, sih. kenalannya juga nggak yang

ketemu berdua, gituu. Karena kan rata-rata teman nyokap gue ada di luar kota kan.

Jadi, ya jauh juga, begitu.

P : tapi lo bukan pribadi yang menutup diri buat kenalan sama cowok kan kak?

I : enggak. Santai saja gue kalo ada yang mau kenalan, mah. tapi dulu sempet

sih, jadi, dikenalinnya itu pas gue sudah mau lulus. Itu pas pertama kali dikenalin

gue rada-rada nggak seneng. Karena kayak, eee, ya, walaupun tanpa gue melihat

background si cowok ini kayak gimanaa ya. tapi gue tuu ngerasa kesannya

dikenalin itu jadi eee “apaan sih kok gue kayak nggak laku banget” gituu, “nggak

mau ah, nggak mau dikenalin” awal-awalnya begitu. Cuma ya, lama kelamaan

sekarang kalo mau kenalan yaudah, kenalan saja sini.

P : oke kak.. oiya, sekarang ini lo tinggal sama orang tua atau ngekos?

I : enggak. Gue tinggal sendiri, ngekos di Jakarta Selatan

P : kenapa mutusin buat pisah rumah sama orang tua, dan ngekos?

clxxviii

I : sebenernya ini bukan keputusan gue pribadi ya. gue kan sempet ngekos

itu, eee, sudah terbiasa ngekos itu dari kuliah. Sudah mulai jauh dari orang tua sejak

itu. Karena jarak dari rumah ke kampus itu jauh banget, jadi harus ngekos. Nah, pas

gue kerja pun, itu pas banget sama keputusan nyokap buat tinggal di Sumedang,

terus gue keterima kerja di Jakarta, yaudah, mau nggak mau gue ngekos. Jadi bukan

hal yang baru juga buat ngekos dan hidup sendiri.

P : nah, sekarang kan lo hidup sendiri nii kak, jauh dari orang tua. Lo sudah

ngerasa mampu mencari solusi dan selesaikan masalah lo sendiri nggak tanpa

bantuan dari orang lain?

I : sejauh ini sih, iyaa. Karena terbiasa hidup sendiri. Sesimpel gue besok

makan apa, itu kan termasuk cari solusi sendiri gitukan. Punya penghasilan sendiri,

mau dipake buat apa saja itu juga kna termasuk keputusan sendiri. Jadi, menurut

gue sih ya, sejauh yang gue tahu, gue sudah bisa mutusin apa-apa sendiri.

P : kalo buat masalah-masalah pribadi lo, lo tipe anak yang suka cerita sama

orang tua nggak kak?

I : enggak semuanya sih. gue sama orang tua itu nggak terlalu terbuka. Nggak

semua hal yang gue alamin tiap hari, terus gue ceritain gue orang tua. Itu nggak. Ya

banyak juga hal yang gue sembunyiin dari nyokap. Palingan masalah kerjaan,

masalah pasangan, yang kayak gituu sih yang gue omongin ke nyokap. Tapi kalo

masalah teman, masalah kegiatan gue, nggak terlalu gue buka ke nyokap sih.

P : dengan lo jauh dari orang tua, ngerasa ada kebebasan nggak kak atas

keputusan lo yang nggak mau nikah buru-buru ini? Maksudnya itu kayak, eee, lo

jadi lebih jarang ditanyain atau dipush tentang nikah gituu. Kita jadi lebih gampang

buat menghindar, gituu

I : bisa dibilang iya sih. tapi bisa juga dibilang nggak. gue bisa jauh dari

pertanyaan-pertanyaan “kapan nikah?”. Tapi kan, sekalinya gue ketemu itu gue

pasti ditanyain tuh, “pacarnya siapa sekarang?” terus, “rencananya mau nikah

kapan?” nyenyenye gue palingan yang kayak, “sudah, tenang dulu saja, mah” kayak

gituu.

P : aslinya lo risih nggak sih kak kalo ditanyain kayak begitu?

I : risiiiihhhhh. Risih banget. Karena itukan kehidupan pribadi gue ya.

walaupun itu keluarga gue sendiri, gue tetap ngerasa itu kan keputusan gue untuk

nikah atau nggak. Itu privasi gue

P : lo ambil keputusan ini kak, berarti lo sudah tahu dan siap sama konsekuensi

ke depannya kan?

I : hoo tahu gue. Gue sudah ngalamin juga kok hahahaha

P : oh, lo sudah sering juga dinyinyirin orang kak?

I : eee yang nyinyir lebih ke keluarga besar gue sih. terutama keluarga nyokap

ya. karena dia keluarga jawa. Kalo keluarga bokap kan keluarga sunda, yang eee

sodara bokap gue nggak terlalu banyak dan sepupu gue juga nggak terlalu banyak

juga kalo dari bokap. Jadi, nggak banyak yang neken. Tapi kalo dari nyokap itu

lumayan banyak yang neken, karena, ibaratnya itu disana ada urutan sepupu yang

nikah, gituloh. Dan, ini tuu sudah masuk ke giliran gue. Dan itu lumayan berat. Dan

kalo lagi ada acara besar nih, “iya, Citra kapan nikah?, “kapan menyusul?”, “ini

sudah giliran kamu loh” kayak begitu lah. Tapi gue bawa bercanda mulu sih, kalo

lagi ditanyain hahaha. Ya maksudnya, yaudah sih, tenang saja. ya alhamdulillahnya

clxxix

sih, ya, nggak pernah yang diteken banget gituu ya, “kapan kamu nikah?!!” kayak

yang disidang begitu, nggak. Cuma ditanyain gituu-gituu doang, bercanda lah.

Karena alhamdulillah nya juga mereka pada tahu gue kerjanya kayak gimana, terus

juga gue tinggal sendiri. Maksudnya, kayak mereka percayalah sama gue dan

keputusan gue sendiri.

P : kak, selaian alasan karena memang lo mau ngejar karir, ada nggak sih

alasan lain yang akhirnya mempengaruhi lo juga buat nikah nanti-nanti dulu, gituu?

Mungkin gak lo ada trauma pacaran atau apa gituu kak?

I : sebenernya gue nggak totally nggak kepengen nikah ya. pasti adalah gue

mau nikah, cuma yang entar saja gituu, nggak sekarang. Bahkan sebenernya gue

sempet ada pikiran, kalo nikah bukan ibadah, kayaknya gue bakalan milih nggak

nikah deh seumur hidup. Cuma masalahnya kan, nikah itu ibadah ya, jadi, ya, gue

juga mau (nikah). Karena dari yang gue tahu juga nih, dari menikah itu kita bisa

dapetin banyak hal. Tapi kalo dibilang trauma... eee gue nggak punya trauma

tersendiri. Keluarga gue juga baik-baik saja. tapi ya, seiring berjalannya waktu itu

gue dapet informasi soal permasalahan suami-istri kayak gimanaa. Atau misalkan

teman gue, ada yang sudah nikah, terus punya masalah sama keluarganya. Terus

gimanaa gue tahu informasi tentang gimanaa ribetnya punya keluarga, gimanaa

ribetnya lo harus bagi waktu sama suami, sama anak-anak, sampe gue pernah

denger teman gue yang sama sekali nggak punya waktu buat me time sendiri, itu

susah banget gituu untuk kesana. Dan gue ngerasa kayaknya gue masih belum siap

sama semua itu deh. gue belum siap sampe situ. Karena gue mau nya itu, gue sudah

bener-bener stabil semuanya baru deh mungkin gue putusin buat gue punya pacar

kepengennya langsung serius deh, gituu, yang bisa langsung nikah. Sudah dia saja.

P : tujuan lo milih kerja dan mengejar karir apa kak?

I : ya kalo misalnya nggak dihubungin sama uang, ya minimal kehidupan gue

stabil saja sih. gini, kerjaan sekarang gue bukan PNS, gue juga belum punya

investasi apa-apa. Maksudnya, gue belum punya hal-hal jangka panjang begitu lah.

Apa yang gue lakuin sekarang itu pikirannya buat apa yang gue dapet besok. Masih

yang bener-bener kejadian saat ini, belum buat yang jangka panjang. Belum ada

rencana jangka panjang. Asuransi pun gue masih nempel sama kantor. Jadi ya, gue

kerja buat itu sih palingan. Dan gue itu tipikal orang yang gak bisa hidup kalo nggak

ngelakuin sesuatu. Maksudnya, gue pernah ada ditahap, gue lulus kuliah, terus

kosong gitukan nggak kerjaan. Selama itu gue bingung mau ngapain kan. Dan itu

gak enak banget lah. Lo hidup nggak punya tujuan. Misalkan juga lo mau beli apa-

apa juga nggak ada uang. Gue ngerasa ngaruh juga ke kehidupan sosial soalnya,

karena ketika lo ngobrol sama orang itu jadi kayak nggak ada topik

pembicaraannya, “apasih yang mau lo omongin?”. Kalo punya kerjaan kan ada saja

lah yang kita obrolin, gituu. Terus juga di luar itu, gue ngejadiin kerja itu kayak

belajar saja sih... kita belajar di level yang lebih atas saja selain dari sekolah, gituu.

“Gue sudah belajar di SMA, kuliah, terus gue belajar dimana lagi nih?”

Nyokap gue selalu bilang, “jangan sampe lo lulus kuliah, terus nikah, nah itu lo

harus punya prinsip kalo lo harus punya penghasilan even sekecil apapun, lo mau

jadi apapun, yang penting lo punya kerjaan”. Karena pada dasarnya, kalo lo nanti

nikah, punya suami, dibiayain sama suami, lo harus tetap punya identitas sendiri,

sih.

clxxx

P : dari orang tua ngasih kriteria khusus nggak kak buat pasangan lo harus

seperti apa?

I : sejujurnya mereka, kayak yang gimana ya, eeee ya sama saja kayak orang

tua yang kolot pada umumnya. Punya pekerjaan yang stabil, terus, agamanya bagus,

terus juga attitudenya juga bagus, asal usul keluarganya jelas dari mana, gituu.

Lebih kesitu saja sih. sebenernya aturan ini lebih ke nyokap ya karena kalo bokap

nggak gini. Dan intinya sebenernnya kalo dari nyokap itu, pasangan gue nggak

ngelarang apapun yang gue mau. Itu sih. kalo di luar itu, kriteria yang detail sih

nggak ada ya. ganteng atau harus berseragam gituu nggak ada.

P : kalo dari lo sendiri, kriteria pasangan kayak gimanaa yang lo mau?

I : kalo dari gue ya, yang jelas dia bisa jadi imam buat gue. Gue sih

kepengennya orang yang lebih dari gue. Artinya, bukan yang lebih kaya dari gue,

atau lebih ganteng gituu, bukan. Tapi lebih dalam artian, apa yang gue nggak punya,

ini orang punya. Misalnya, gue minus dibidang apa, nah dia bisa disitu. Gue lebih

cari orang yang bisa ngelengkapin sih dibandingkan orang yang sama persis.

Palingan sama, oh! Komunikasi juga sih. kalo kriteria fisik sebenernya gue nggak

terlalu matter sih, walaupun pada akhirnya gue mikirin itu juga ya. Cuma yang

nggak terlalu ini banget gituu lah. Lebih ke personality nya kalo gue.

P : gue mau tahu dong pandangan lo tentang pernikahan kayak gimanaa?

I : pandangan gue...eee pernikahan itu bukan hal yang eee gue sebenernya

rada nggak setuju sama yang, gini gini, di lingkungan gue itu ada teman-teman

perempuan gue yang ngerasa kalo pernikahan itu bisa menyelesaikan masalah-

masalah hidup lo karena lo punya pendamping. Justru, kalo menurut gue malah

pernikahan itu, ya mungkin iya bisa ngebawa kebahagiaan ke lo, tapi depends on

kalo misalnya lo mau bahagia ya lo harusnya bisa menyelesaikan masalah-masalah

yang terjadi di dalam rumah tangga. Karena ya bagaimana ya, karena kan dari kecil

manusia itu tinggal sama orang tua nya, dibesarin sama orang tua nya, rata-rata

dibesarin sama orang tua sendiri ya. terus juga, mungkin orang-orang kayak gue

lebih yang punya ruang privasinya lebih gede dan segala macam. Terus tiba-tiba

harus nikah dan ngebagi dunia sama orang lain yang bahkan bukan sedarah. Cuma

based on feeling saja lo ngerasa ini orang cocok, gituu. Menurut gue itu hal yang

krusial dan berat ya. makanya perlu pemikiran yang mateng banget, “ini orang pas

nggak sih buat jadi suami?”, “buat jadi imam lo?”.

Pernikahan itu lebih ke apa ya, menuju tingkatan kehidupan berikutnya, gituu ya.

jadi maksudnya, lo sudah masuk ke pintu pernikahan ini bukan berarti hidup lo

sudah tenang. Tapi lebih ke, ya, lo akan mendapatkan masalah baru dan which is lo

level up.

Sebenernya orang-orang rada keliru juga ya. eee sebenernya gue nggak nyalahin

perempuan-perempuan yang ngerasa eee apa namanya, ngerasain bebannya makin

banyak ketika dia sudah nikah. Karena menurut gue, ya itu kan keputusan lo untuk

nikah. Kalo lo ngerasa beban abis nikah itu berat, artinya yang salah itu ada di lo.

Artinya, lo itu belum bisa menyelesaikan itu, gituu. Kalo lo mau pernikahan lo

bahagia, ya lo harus bisa neken diri lo untuk grow up lagi buat selesain semua

masalah-masalah rumah tangga.

clxxxi

P : ya karena banyak juga sih ya kasus yang sudah ngerasa cocok ini sama

pasangan, ya sudah nikah. Tanpa mikir ulang lagi sebenernya diri ini sudah siap

belum secara keseluruhannya...

I : iya banyak kejadian kayak begitu. Ya itu tadi, Cuma gara-gara cinta, mau

nikah. Cuma gara-gara dia sudah cinta terus kaya, mau nikah. Tapi lo lupa sama

soal, yang menurut gue rada-rada sering dilupain sama orang-orang yang mau nikah

diseumuran gue itu adalah soal sex life. Even lo nggak pernah berhubungan seksual

sebelumnya, tapi bukan berarti lo nggak punya pengetahuan tentang seksual. Kayak

orang-orang itu banyak banget yang skip tentang soal tes kesehatan. Dan gue itu

rada-rada sensitif kalo misalnya ada orang yang, “lo nikah, yaudah, nikah saja”. tapi

mereka lupa sama hal-hal yang menurut gue sensitif kayak begitu, termasuk buat

tes kepribadian pasangan kita juga. Makanya banyak orang yang kaget kan setelah

nikah, “oh ternyata dia orangnya kayak gini”, “oh, ternyata dia sex life nya kayak

gini”. Kayak, lo itu nggak tahu kalo misalnya cowok lo pernah “jajan” dimana atau

nggak. Kalo lo tes kan, lo akhirnya tahu kan.

Dan buat gue ya, nggak ada kata terlambat sih buat nikah. Even lo sudah cinta

banget nihh tapi ternyata pasangan lo, cowok lo punya penyakit seksual dan lo gak

bisa terima itu, menurut gue, lo berhak buat nggak nikah sama dia. tapi kalo

misalnya lo bisa nerima itu, yaudah.

P : kak, kalo nanti lo nikah nihh, terus suami lo nggak ngizinin lo kerja lagi,

lo gimanaa kak?

I : gue masih kepengen tetap kerja. Mmm tapi sebenernya ini tergantung ya,

karena kan gue punya informasi tentang kakak gue. Sebenernya kakak gue juga kan

kuliah juga kan, terus kerja, dia itu keja cuma 3 tahun, terus dia nikah, dia sempet

punya posisi dimana dia kerja, dia nikah, dan dia punya baby. Nah, kakak gue itu

tipikal orang yang nggak bisa eee ibaratnya nggak bisa ngasih anaknya ke

pengasuh, begitu. Walaupun ke nyokap sendiri. Padahal nyokap sudah sering

bilang, “sudah anak kamu sama mama saja” gituu. Nah, tetap saja dia ngurus

sendiri. Nah disini, gue itu nggak tahu gue nanti kayak gimanaa. Karena kakak gue

itu kayak begitu setelah dia nikah. Dia baru sadar pentingnya ngasih full time ke

anak itu setelah dia nikah.

Cuma sejauh ini ya, karena gue belum nikah apalagi punya anak ya, jadi gue

ngerasanya gue kayaknya bisa deh kerja sambil punya anak dan gue tetap ngedidik

anak gue pakai tangan gue sendiri.

I : gue kan kerja disalah satu portal berita ya, tapi bagian videografernya.

Disana juga banyak yang usianya di atas gue, bahkan jauh masih belum pada nikah.

Malah ada yang nggak mau nikah juga.

P : aaaagituu.. sempet juga ada narsum gue yang pengalaman kerja di radio,

entertaint begitu, banyak juga yang belum nikah karena teman-temannya pada

enjoy dan lingkungan kerjanya enak, jadi nggak kepikiran buat nikah begitu kak

I : nah iya, teman-teman kerja gue juga termasuk yang enak begitu. Terus

juga ya, kebanyakan orang-orang yang nikah itu ya orang-orang yang memang

hidupnya sudah punya jaminan masa tua sih kalo kata gue. PNS lah, BUMN, begitu-

begitu, yang sudah ada jaminan hidup lah. Jadinya mikir, “gue apa lagi ya, kerja

sudah stabil, gaji sudah ada, jaminan hari tua ada, yaudah, nikah saja” begitu

hahaha. Sedangkan gue masih kepengen eksplor banyak lagi bidang. Pada akhirnya

clxxxii

gue punya persepsi kalo nikah itu bukan sebuah keharusan lah. Nggak ada tuntutan

perempuan umur segini segitu harus nikah. Karena yang gue paham ya, di agama

gue pun nggak ada angka yang tertulis umatnya harus menikah diumur berapa.

clxxxiii

14. Informan Ade

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Minggu, 05 Desember 2021

Nama : Ade

Usia : 29 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : Guru

Domisili : Jakarta Timur

P : ...sebagian orang tua atau orang-orang yang berpikiran kayak gitu kan udah

usia yang mateng buat nikah, ya. Apalagi untuk perempuan. Kalau Kakak sendiri,

niat, emang ada… maksudnya menunda menikah itu emang Kakak niatin atau

nggak, sih?

I : Sebenernya sih nggak. Aku tuh nggak sama sekali niatin untuk menunda

menikah. Dulu malah sebenernya punya rencana menikah itu usia 23-an, gitu. Kan,

aku lulus kuliah itu usia 21 jalan 22, pada saat itu. Ya, mikirnya pada saat itu kan

hanya begini “Gue perempuan, selesai kuliah mau ngapain lagi sih?”. Okelah kerja.

Tapi, perempuan nggak terlalu dituntut untuk kerjalah, ya. Kayak gitu. Dan orang

tua pun model-model kolot gitu lah yang namanya “Udah lah kamu ngapain lagi,

sih?”. Kayak gitu. Ya, sempet punya target 23 lah. Kebetulan pada saat itu ada

pasangan. Cuman, pasanganku itu memang belum selesai. Jadi aku duluan yang

selesai. Nah, terus, udah kayak gitu, ya udah. Jadi kan sambil nunggu dia selesai

juga. Itu tuh sebenernya kita juga udah komit (komitmen). Ya udah ngga apa-apa.

Sambil nunggu dia, pasti kan aku karir dulu. Berjalannya waktu, berfikir juga, iya

juga, sih. Masih usia segini masih 22 tahun mah masih muda banget. Masih banyak

yang dicari. Masih pengen ngerasain cari uang, bisa bantu keluarga, minimal bisa

kasih ke adek-adek. Dari situ, sambil berjalannya waktu, itu sih menikmati aja,

enjoy-enjoy aja. Ya udah. Tapi diperjalanan itu kan, biasalah omongan-omongan.

Makin bertambah, wah udah 23. Oh, ternyata meleset. Ternyata pasangannya belum

siap juga. 23 berjalan lagi, sampai akhirnya usia 24 25 sampe 28. Lah, sudah umur

segini saja hahah. Trus mikir “Ah masih 28 lah, ya. Masih muda.”. Nah, ketika di

usia 29, dan ternyata di situ berakhir hubunganku. Sebenarnya udah berhubungan

cukup lama sebelumnya. Pas usia 29 tahun barulah di situ agak berpikir ternyata,

wah, nggak terasa nih waktu. Dari yang tadinya santai, santai, santai, ini umur 29

masih belum punya yang pasti juga. Trus, dari situ, ya udah, apa ya, lebih ke lillahi

ta’ala aja. Berjalannya aja, menikmati aja. Aku masih suka main orangnya. Pengen

ke sana, ke sini, masih mau karir yang lebih lagi. Walaupun memang aku

berkecimpung di dunia pendidikan, karena memang aku memilih udah di dunia

pendidikan, udah berfikir untuk totalitaslah di situ. Dari situ, ya sudah. Sebenernya

pas di usia 25, sempet mau nargetin lagi, tapi di situ agak takut mau nargetin, karena

agak trauma dari yang sebelum-sebelumnya. Punya target dari usia 23, oh ya udah

25 tahun gitu, kan. Ternyata di 25 meleset juga. Sampai akhirnya di usia sekarang

29 dan baru ketemu lagi. Cukup lama juga sih buat aku move on dari yang lama.

P : Tapi dari orang tua sendiri menuntut Kakak buat, udah lah cepetan nikah,

gitu?

clxxxiv

I : Sebelumnya iya, seperti itu. Sebelumnya sangat seperti itu, karena

kebetulan aku anak pertama. Aku anak pertama, adekku 3, dan kebetulan

perempuan semua juga. Adekku yang kedua, eh adekku yang paling gede

maksudnya kan kembar kebetulan. Dan memang seusia sih sebenernya. Jadi yang

dipikirkan sama orang tuaku adalah kamu tuh cepetan! Kamu punya adek gadis

juga. Jangan sampe yang namanya, ya janganlah, kalau bisa dibilang, janganlah

sampe dilangkahin adek, kayak gitu, kan. Kamu harus lebih dulu! Mama juga nggak

mau kalau kamu misalnya dilewatin sama adekmu. Tapi alhamdulillah-nya adekku

sih lebih kayak pengertian. Dia juga kayak mengikuti jejakku, ya, kalau bisa

dibilang. Dia tuh nggak mau juga “Nggak, ah. Mba Ayu, aku juga nggak mau nikah

muda. Masih pengen main, masih pengen karir dulu. Nanti lah usia 25 26 aja.”. Eh,

jangan ngomong gitu aku bilang. Kalau jodohnya udah dateng gimana? Hahaha...

ya udahlah. Tapi, ya udah, sampai sekarang dibawa enjoy aja.

P : Tapi kalau misalnya, ini, apa namanya, kalau suatu saat tiba-tiba adik

Kakak yang dapet jodoh duluan, trus Kakak dilangkah, tanggepan Kakak gimana?

I : Kalau aku pribadi? Kalau aku pribadi sebenernya nggak masalah. Jujur,

nggak masalah. Kalau misalkan memang... aku nggak mau sampai ada kesan kayak

gini loh, gara-gara aku, adekku terhambat. Nah, aku nggak mau seperti itu. Karena,

yang namanya jalan takdir, namanya jodoh kita nggak ada tau. Kalau andai kata

adekku dapet duluan juga aku ikut senenglah. Cuman, permasalahannya di sini itu

adalah orang tua, karena orang tua masih berpikiran kolot, ya. Masih berfikiran eh

jaman dulu gimana, sih? Katanya pamali lah kalau misalnya, apalagi anak pertama

perempuan. Kecuali aku laki-laki. Tapi, kalau aku sih nggak berfikir kayak gitu.

Cuman ya udahlah lebih ke manut apa kata orang tua dan emang, kebetulan yang

tadi aku bilang, adekku sih lebih yang nggak terlalu berfikiran untuk nikah cepet

juga. Bahkan kalau misalnya aku tanya sekarang juga “Lu siap nggak gini, gini?”,

nggak sama sekali. Dia sama sekali nggak siap untuk menikah. Mikirin soal nikah

juga belum, kata dia. Padahal juga sama, dia juga lagi skripsian. Yang satu sih udah

sidang, tinggal yang satunya lagi belum sidang.

P : Berarti kalau disimpulin sebenernya nggak ada rencana untuk menunda

nikah, ya? Cuman emang belum nemu orang yang tepat, ya.

I : Tepat, betul!

P : Tapi, karena di sini Kakak posisinya udah punya pasangan, ya. Trus, dari

pasangannya sendiri belum pasti kan, maksudnya dalam artian dia lulus koas juga

belum. Gimana, ya? Ini sebuah pilihan yang tepat nggak, sih buat Kakak? Menjalin

hubungan dengan si dia hahaha... maksudnya kan jaraknya jauh, beda 5 tahun, ya?

Maksudnya sebuah keputusan yang tepat nggak sih bagi Kakak, umurnya 29,

pasangan kamu usianya 24, mungkin nungguin dia selesai dapet gelar dokternya, 2

atau 3 tahun lagi, kan? Itu sebuah pilihan yang tepat nggak? Berarti Kakak ngambil

risiko lagi, loh.

I : Hahaha... jadi sebenernya, ini ceritanya sangat panjang ya kalau diceritain.

Awalnya aku juga berfikirnya seperti itu. Apalagi aku kan juga lelah namanya

menunggu lagi. Dari yang sebelumnya aku nunggu dari aku... aku dulu waktu sama

mantanku juga aku berhubungan udah dari semester 5, aku kuliah semester 5. Tanpa

dirasa 8 9 tahun berlalu, tapi dengan sia-sia, tanpa kejelasan. Sebenernya sempet

ada rasa trauma di situ, agak takut kembali terulang yang seperti itu. Bahasanya

clxxxv

PHP lah gitu. Kita udah berharap lebih, udah komitmen, tapi nyatanya ya memang

mungkin bukan jalannya, seperti itu. Memang waktu itu juga tuh ya gimana, ya?

Berfikir. Aku memang cukup memiliki pertimbangan cukup besar. Malah tadinya

dia ini aku mau ke adekku, awalnya. Karena aku berfikir nggak mungkinlah kalau

aku, karena dia seusia adekku. Seusia adek gue. Sempet gue comblangin ke adek

gue aja, deh. Awalnya juga memang temen aja, karena dia juga enak dibuat sharing.

Akhirnya sempet deket sama adekku, walaupun aku cuman bilang pada saat itu

kenal aja, bertemen aja dulu, siapa tau cocok. Kalau misalnya cocok, ya monggo,

kalau nggak ya kembali lagi ke masing-masing. Aku kan nggak maksain. Dan

nyatanya ternyata adekku nggak merespon yang gimana-gimana, biasa aja. Ya udah

temen aja. Dan sebaliknya, Ikram sendiri sempet ya, kamu sempet ada feel,

maksudnya sempet ada usaha untuk mendekati. Karena pada saat itu aku sempet

menggojlok “Ya udah coba dulu, coba dulu!”. Tapi berjalannya waktu, bukannya

dia deket ke adekku, malah deketnya ke aku, karena komunikasinya antara aku

sama dia. Dan sebenernya kedekatan aku sama dia itu udah dari yang Jogja itu, kita

udah banyak ngobrol, banyak cerita. Dan setelahnya pun juga seperti itu, kita sering

ketemu, sering ngobrollah, sharing, dan sebagainya. Aku ngerasa kok nyambung.

Aku salutnya sama dia, walaupun dia muda tapi pemikirannya itu cukup ke depan,

gitu loh. Itu yang aku salutin. Tua banget dia, tuh. Hahaha... makanya dia tuh salah

banget kalau dibilang baby face, salah banget. Hahaha... karena sifatnya tua,

jiwanya tuh tua. Itu sih yang bikin aku awalnya tuh kagum sama dia, karena aku

tertarik dengan planning jangka panjangnya, yang aku berfikir “Gue nyari yang

kayak gini sih sebenernya.”. Tapi sempet berfikir “Aduh tapi ini nggak mungkin.”.

Pada saat akhirnya, udah berjalannya waktu, berfikir orang tua juga sempet yang

udahlah siapa ajalah gini, gini. Aku belum berani terus terang sama orang tua,

walaupun sebenernya Ikram sendiri udah sering main ke rumah. Tapi, pada saat itu,

orang tua taunya deket sama adekku tapi melalui perantara aku. Orang tuaku

berharap, kamu tuh bukan saatnya nunggu, kamu tuh udah yang harusnya besok

udah siap nikah. Aku cuma yang, ya gimana, ya. Tapi, hati nggak bisa boong juga,

ada pergolakan batinnya juga. Jadi butuh istikharah, sekali dua kali. Dan finalnya,

ngerasa, dianya juga berusaha untuk meyakinkan. Aku juga akhirnya ngerasa kayak

Allah kasih jalan juga. Nggak taulah ya ini petunjuk atau gimana. Tapi, aku

ngerasanya memang ya udah dia memang sosok yang aku cari. Kebetulan orang

tuaku juga memang begitu suka, kagum juga sama anak ini. Tadinya udah sempet

yang pasrah lillahi ta’alah, apapun keputusan orang tuaku, aku jujur di situ sama

orang tua aku. Ternyata aku seperti ini sama dia. Dia sama adekku ternyata nggak

gimana-gimana. Adekku pun nggak yang merasa seperti gimana-gimana. Di situ

orang tuaku lebih yang ya udah kalau kamu yakin, silahkan. Tapi kamu tau

risikonya, kayak gitu. Ya, aku tau risikonya. Dan aku ngomong, sebelum

pengutaraan itu sama orang tuaku, aku bilang sama dia, kita punya konsekuensi

masing-masing. Aku punya, dia punya. Mungkin, kalau aku ke dia, risiko aku harus

nunggu kembali. Tadinya aku sempet yang bimbang juga yang aduh gila ya apa gue

harus menunggu sampai usia 31, 32 tahun. Sempet di situ yang gue siap nggak ya,

dengan waktu yang nggak sebentar. Sebenernya hati udah pengen berkeluargalah.

P : Dengan waktu yang nggak sebentar dan umur terus bertambah ya, Kak.

Tuntutan keluarga pasti pressure-nya lebih gede banget.

clxxxvi

I : Nah, itu. Bener. Tapi, ternyata orang tuaku tanggapannya positif. Itu yang

aku heran juga. Padahal awalnya sempet menentang. Menentang dalam arti,

sebelum tau sama dia, menentang untuk yang “Kamu tuh bukan lagi yang pacar-

pacaran. Kamu cari yang serius, gini, gini, gini!”, dan aku berusaha buat jujur itu

cuma buat mereka tau, tapi aku tidak berharap seperti apa. Aku lebih berharap yang

legowo, ya udah terserah Ayah dan Mama aja. Aku hanya mengutarakan aku

tertarik sama siapa. Tapi, andai kata Ayah sama Mama nggak ridha, kalau aku

misalnya sama dia, ya udah aku yang lebih ke silahkan Ayah dan Mama carikan.

Aku udah seperti itu aja pada saat itu. Udah ikhlas aja. Eh, ternyata orang tuaku

nggak mempermasalahkan, dan mereka pun tau kamu harus menunggu, ya udah.

Tapi dengan catatan si pihak laki-laki ini bisa komit (komitmen), bisa konsekuen,

dan bisa istiqomah, maksudnya dia pegang amanat sama Ayahku seperti ini. Udah

ngomong juga kan sama Ayahku. Ternyata dia juga menyanggupi, meyakinkan,

walaupun memang masih ada kendala. Kendalanya adalah di keluarga Ikram. Kalau

dikeluarganya, pengen dia selesai dulu, dan memang belum bisa terang-terangan

untuk saat ini, karena dia dianggap masih studi. Pengennya fokus. Di situ aku

berusaha buat ya udah aku mengerti, aku mencoba mengerti itu. Tapi, dia bilang,

insya Allah nanti aku bisa bantu untuk meyakinkan. Kamu tenang aja. Aku akhirnya

lebih ke yang lega, yang penting omongan kamu bisa dipegang. Jangan sampai,

amit-amit gitu ya, nanti di tengah jalan, aku udah menanti, menunggu, nyatanya

kamu nggak berusaha. Aku kan juga punya trauma kayak gitu sebelumnya.

P : Jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama.

I : Mungkin Agis mengerti perasaan seperti itu. Perasaan seperti apa, karena

kita perempuan, ya.

P : Karena 2 tahun, 3 tahun itu bukan waktu yang sebentar, ya. Kalau emang

pihak pasangannya bisa kasih kepastian mah, kitanya santai. Kalau dianya masih a-

i-u, gitu-gitu kan...

I : Makanya, kenapa aku yakin, karena aku tau dia bukan orang yang,

maksudnya bertele-tele, nggak punya prinsip, yang nggak pegang omongan.

Karena, sebelumnya aku kan juga udah kenal dia walaupun beberapa bulanlah, oh

cukup tau orangnya seperti apa. Penilaian orang tuaku terhadap dia pun juga baik.

Aku ya lebih ke yang percaya orang tua aja deh, karena orang tua kan nggak

mungkin menyesatkan juga.

P : Tapi kalau dari Kakak sendiri, keuntungannya atau dampak positif Kakak

di umur yang sekarang belum menikah apa?

I : Mungkin aku masih bisa lebih menikmati waktuku sih, ya. Maksudnya

menikmati hal-hal yang mungkin aku masih belum bisa lakuin, misalkan kayak

karir. Mungkin aku harus lebih lagi. Trus, karena aku sebenernya hobi jalan juga

ya, jadi masih pengen sana-sini, gabung sama temen, kumpul, dan lain sebagainya.

Karena aku berfikir, kayaknya ya Allah baik aja, masih memberikan aku

kesempatan menikmati masa-masa sebelum aku nikah. Nanti kalau udah nikah kan

bedalah. Kalau udah nikah, kita lebih terikat. Apalagi kalau udah punya anak.

Kadang temenku sendiri, temenku sendiri aja udah banyak yang berkeluarga ya,

banyak yang punya anak, mereka suka ngeluh aduh enak banget jadi lu bisa kumpul,

masih bisa nongkrong sana-sini. Kalau ini udah mikirin duh gue punya buntut, nih.

clxxxvii

Ya udahlah, yuk nikmatin aja, ntar kalau lu udah nikah lu bakal kangen masa-masa

kayak gini. Nah, itu sih yang bikin aku kayak ya udah nikmatin aja.

P : Berarti nggak terbebani kan ya, walaupun umurnya udah segitu tapi belum

menikah.

I : Kalau sebelumnya sih emang sempet terbebani karena belum punya yang

pasti.

P : Sama mungkin melenceng dari target.

I : nah! Betul.

P : Makanya sekarang untuk yang kedua kalinya tidak menargetkan umur

berapa untuk menikah.

I : Karena aku lebih percaya gini aja, Allah itu kasih di waktu yang tepatlah

gitu. Apalagi aku mikirnya juga gini, ya sekarang kan lagi corona ya. Mungkin itu

positifnya juga, mungkin juga ini hikmahnya. Tadinya orang tuaku nargetin aku

nikah 2020. Kamu 2020 udah harus nikah, kayak gitu. Karena kalau bisa sebelum

Ayahku pensiun. Tapi, ternyata Ayahku juga meleset. Dia berharap sebelum

pensiun anaknya, minimal aku, udah menteslah, udah nikah, tapi ternyata belum.

Karena kan beliau masih punya tanggungan, masih aku, adek-adekku 3, kita 4

anaknya perempuan semua, jadi ya udah.

P : Tapi kalau dampak negatifnya, Kakak sendiri ngerasain nggak? Omongan

orang-orang sekitar mungkin?

I : iya ada. mungkin ada aja omongan “Kok lu mau sih sama yang muda? Kok

lu sama yang muda?”. Kayak gitu. Sempet juga, ya kan kita nggak tau, kalau bisa

milih gue cari yang lebih tua lah. Tapi kita kan nggak taunya, namanya jalan. Tapi

aku mikir, ah nggak tua nggak muda, yang tua juga belum tentu bisa mengayomi.

P : Berarti sebenernya nggak ada niatan untuk menunda menikah ya dari

Kakak. Karena memang belum nemu yang tepat, dan bisa dibilang ada trauma, ya.

Melenceng dari target soalnya. Menyesal nggak sih menargetkan umur buat

menikah?

I : Dibilang menyesal, nggak terlalu juga, karena kalau kita pikirin menyesal

yang ada aku nggak bisa maju ke depan, ya. Yang ada bakalan kayak merasa

menyesali masa lalu terus gitu. Tapi, ya udahlah aku mikirnya life must go on. Gue

nggak mungkin gitu terus. Jadi ya udah sekarang lebih nikmati aja, enjoy aja, yang

penting ya bismillah, dan aku juga pesen satu sama dia tolong kamu punya amanah,

aku juga posisinya juga udah coba yakin sama dia juga. Harapanku dia bener-bener

megang omongan, karena ya gitulah.

P : Jadi orang itu bisa dikatakan siap menikah ketika? Menurut Kakak ketika

apa?

I : Ketika dia siap menerima tanggung jawab. Karena kalau menurut aku,

menikah itu bukan buat sehari dua hari, sebulan dua bulan. Dan aku berfikir,

sekarang kan lagi jamannya nikah muda, ya? Bahkan yang cowok aja usia 21, 22

lah banyak yang udah memutuskan menikah. Aku kadang berfikirnya begini, aku

tidak menyalahkan, itu kembali lagi mungkin jodohnya udah dateng. Cuman

mungkin aku berfikir apakah dia benar-benar sudah siap dengan segala konsekuensi

kehidupan rumah tangga, ya? Karena bisa kita bilang rumah itu bukan ajang cari

bahagia, loh. Kalau bahagia, jomblo juga bisa bahagia hahaha... jadi malah justru

rumah tangga itu malah ajang ujian dimulai. Dia harus bertanggung jawab kalau

clxxxviii

nanti punya anak seperti apa? Apakah nanti dia juga bisa amanah terhadap anaknya?

Terhadap istrinya juga. Untuk perempuan juga apakah secara bekal ilmu sudah

cukup, sudah mampu untuk nanti membekali anaknya? Karena perempuan kan

nanti jadi madrasah pertama buat anak. Aku berfikir di situ. Memang aku berusaha

untuk memanfaatkan waktu aku ini untuk banyak belajar sebenarnya. Dan salah

satunya juga aku banyak belajar dari dia. Mungkin dari hal-hal agama yang aku

mah ya pengetahuan agama secara umum aja, ya. Ternyata memang tidak semudah

itu. Aku juga banyak sharing sama temen-temen guru juga, temen-temenku dulu

yang udah pada berkeluarga. Mereka bilang kalau mencari pasangan itu bukan lagi,

yang kalau udah seusia kita, cari yang gantenglah, cari yang begini begitu. Duh, itu

katanya di rumah tangga udah nggak kepake. Yang kepake itu apa? Tanggung

jawabnya, terus juga agama, pegangan agamanya. Selama dia punya pegangan

agama yang baik, insya Allah lah dia bisa bimbing keluarganya. Nah, itu sih yang

aku percaya dari dia. Karena aku kayaknya nggak pernah meragukan. Insya Allah.

Kalau misalnya udah nikah gitu. Karena banyak juga kasus yang temenku juga baru

menikah, baru 2 tahun lah, pisah atau cerai. Gara-gara apa? Ya itu gara-gara

suaminya itu, mungkin bisa dibilang, pemahaman agamanya minim, terus yang

kedua juga dari awal juga nggak jujur, banyak kebohongan. Jadi awal terlalu manis,

jadi ketika berumah tangga ketahuan deh itu borok-boroknya, bahasanya kayak

gitu. Padahal pacaran udah lama. Jadi aku berfikir, ya memang pacaran juga tidak

menjamin lu tau dia sepenuhnya.

P : Karena sifat aslinya bakal keluar pas kita udah nikah, ya.

I : Masya Allah, aku sampe yang serem juga. Dia di usia segini udah jadi

janda, dan anaknya masih kecil. Aku belajar juga dari situ. Wah, bener banget nih

ternyata. Memang pegangannya cuma 2 itu. Kalau kita pengen nyari yang A sampai

Z, nggak bakal nemu kayaknya. Nggak ada yang sempurna. Toh manusia punya

kekurangan. Dia punya kekurangan, kita punya kekurangan. Tapi, gimana caranya

kita punya kelebihan, nah kelebihan itu yang saling menutupi, gitu aja.

P : Tanggepan Kakak untuk perempuan-perempuan yang menunda nikah tuh

gimana?

I : Mungkin, kebetulan aku juga ada temen, sebenernya ada temen juga 2

orang, sepantaran aku. Bahkan yang satunya udah 30 lebih-an lah. Dia bekerja,

wanita karir, terlalu mandiri. Kalau yang kasus temenku yang satunya ini, yang 30

ke atas-an, dia ini terlalu mandiri orangnya. Memang udah ditinggal orang tua, udah

lama, dia tinggal hanya bertiga, adeknya dua, adeknya cowok dua. Tapi adeknya

yang paling gede udah meninggal, jadi tinggal berdua. Cuman, agak kurang sedikit

harmonis, kurang begitu deketlah hubungan antara kakak sama adek ini, jadi

adeknya lebih kayak ngerasa ya udah gue merasa bisa hidupin diri sendiri. Jadi, dia

kayak tinggal sendiri aja di rumah. Emang terlalu mandiri, cewek ini terlalu

mandiri, terlalu yang apa-apa selalu sendiri, merasa bisa sendiri. Akhirnya ya

terlena aja, nggak terlalu memikirkan masalah pasangan akhirnya. Kalau dibilang

agak tomboy, agak tomboy memang. Tapi bukan berarti dia nggak suka laki-laki.

Mungkin dalam hatinya, namanya perempuan, tetep aja ya mendambakan sosok

pendamping. Hanya saja, itu tadi karena dia disibukkan dengan kerjanya, terus ya

udah gue udah terbiasa melakukan sendiri, lebih happy begitu. Ya, akhirnya sampai

seusia segitu dia belum menikah.

clxxxix

P : Karena mungkin akhirnya ngerasa udah mampu, mungkin, secara

finansial. Jadi dia tidak terlalu memikirkan pasangan, untuk berbagi kehidupan.

Tapi, sebenarnya, pentingnya memiliki pasangan tuh buat support psikologis kita

juga, gitu.

I : Betul. Menentramkan hati lah, ya. Haha...

P : Seenggaknya tuh punya tempat untuk mengeluh gitu. Selain keluarga.

P : Tapi kalau menurut kamu, usia ideal untuk menikah buat perempuan umur

berapa, sih?

I : Menurut aku, ya... menurut aku minimal 25. Minimal. Itu sih menurutku.

Kalo maksimalnya mmmm berapa ya... Tapi hahaha aku saja tunggu dia

(pasangannya) itu juga kalo jadi ya, aku sudah 31 hahaha. Kalo begitu, nggak ada

lah maksimalnya usia perempuan itu menikah usia berapa, nggak ada. Ya selagi dia

siap dan bisa bertanggung jawab sama pilihannya. Tapi sih perlu juga buat ngeliat

dari segi kesehatannya. Aku pribadi kayaknya perempuan telat menikah itu kalo

usianya sudah 35an kali ya, soalnya kalo dari segi kesehatan kayak apa itu, takut

kenapa-napa saja nanti kalo mereka mau punya keturunannya. Begitu sih.

Karena perempuan itu kan punya masa suburnya, apa kalimatnya? Lebih ke

kehamilan risiko, kalau udah usia 35-an ke atas. Walaupun sebenernya ada juga

orang, perempuan, yang baru menikah usia 35, 36, ada. Kebetulan ada temen guru

juga di Harja, ada juga perempuan belum menikah, udah usia 36-an malah sekarang.

P : Pernah punya perasaan iri nggak sih, Kak? Kayak iri gitu loh liat temen-

temen ih mereka udah gendong anak, mereka udah punya pasangan. Kalau

pasangan kan ada, tapi kan yang secara sah... perempuan itu setiap usia 26, 25, 24

itu tuh kebanyakkan temen-temen udah pada nikah. Aku aja yang 22, temen SD-ku

udah pada nikah. Aku kayak ih cepet banget sih nikah. Buru-buru banget, ngapain

gitu, loh? Dia udah, gue kapan, ya?

I : Kalau itu kayaknya Agis udah paling paham, nih. Pastilah. Kalau masalah

kayak gitu mah ada pasti. Apalagi usia se-aku ini bahkan anaknya udah hampir dua.

Jadi ada perasaan, aduh... jangankan temen, saudara aja, sepupu sepantaran. Aku

tuh udah nggak punya sepupu sepantaran lagi loh bahasanya, karena sepantaran-

sepantaran udah pada berkeluarga semua. Tinggal yang di bawah aku, adek-adek

sepupu. Walaupun, aku tetep sih, maksudnya aku merasa aku belum menikah,

gabung sama mereka masih yang enjoy-enjoy aja. Mereka juga welcome-welcome

aja. Bahkan mereka merasa jadi sepantaran, nih. Tapi tetep sih ketika sama yang

sepantaran merasa ih udah nggak asik, nih. Biasanya sama dia apa-apa, sekarang

lebih sama suaminya. Ya kadang adalah perasaan iri.

cxc

15. Informan Fitri

P : Pewawancara

I : Informan

Tanggal wawancara : Sabtu, 04 Desember 2021

Nama : Fitri

Usia : 30 Tahun

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : PNS

Domisili : Jakarta Timur

P : halo selamat siang kak

I : selamat siang

P : iya, ini dengan kak Fitri ya?

I : iya he’eh Fitri, bener

P : baik kak, perkenalkan saya Agis mahasiswa semester 9 jurusan sosiologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebelumnya makasih banget nih kak udah

bersedia ngeluangin waktu untuk Agis tanya-tanya ya kak.

I : iya gak apa apa, nggak masalah

P : Nah, Agis mau tanya eee kalo boleh tahu kakak nama lengkapnya siapa

ya?

I : namaku... Fitria Yesicha.

P : usianya berapa kak kalau boleh tau?

I : 30 sekarang

P : Pendidikan terakhirnya kak?

I : S1

P : untuk sekarang kakak bekerja kah? Kalo iya, bekerja di bidang apa?

I : Di pemerintahan, di dinas perumahan pemukiman cipta karya tata ruang

sidoarjo

P : (maaf) untuk status kakak saat ini apa?

I : Belum menikah, tapi ada yang lagi deket sih, dek

P : aku mau nanya ini kak, faktor apa sih kak yang sebenarnya mempengaruhi

kakak untuk menunda menikah?

I : sebenernya nggak nunda juga sih, dek, gitu, cuma ya... belum ada aja sih.

Kalo aku ya, sih, eee apa ya.. banyak yang deket juga cuma ya belum ada apa ya

eee.. belum ada kecocokan saja sama yang kemarin itu, begitu. Sebenernya nggak

nunda juga.

Karena kalo aku sih ya, namanya sebuah pernikahan kita juga harus pilih untuk apa

ya, untuk pernikahan kita kan. Itu penting. Jadi memang sudah seharusnya apa

namanya, eee,,, apa ya, liat dari segi agamanya juga, begitu, baik nggak,

bertanggung jawab nggak, kayak gitu-begitu sih.

P : untuk dipekerjaan kakak sendiri, ada larangan tertulis untuk pegawai

nggak untuk tidak menikah selama masa kerja beberapa tahun misalnya?

I : oh, nggak ada. Nggak ada kok larangan seperti itu.

P : jadi sebenernya kakak itu tidak bermaksud untuk menunda menikah ya

sebenernya.

cxci

I : hehe iyaa nggak ada, nggak ada sama sekali. Tapi karena ya memang

belum nemu yang cocok saja. Sekarang mah, tinggal tunggu jodohnya saja deh

hahaha

P : untuk keluarga sendiri bagaimana kak tanggapannya melihat di umur

segini kakak belum juga menikah?

I : nggak ada, nggak ada yang mempermasalahkan sih. Kebetulan orang tua

ku juga sudah nggak ada dek, jadi ya, aku juga ngerasa bebas untuk menentukan

pilihan hidupku. Palingan ya, disupport juga sama keluarga besar yang lain, kayak

saudara-saudara kan ya, itu doang sih, begitu.

P : lanjut nih kak, keuntungan atau dampak positif apa sih kak yang kakak

dapetin dari... usia segini kakak belum juga menikah?

I : yaa,, lebih apa ya,, um, bisa lebih mengeksplor diri sih yang pasti.

Maksudnya masih bebas untuk apa ya, mungkin coba-coba buka usaha, kayak

begitu, terus, bisa lebih banyak lagi cari ilmunya. Kalo dari aku sih begitu ya, dek.

P : tadi dampak positifnya sudah ya kak, kalo dampak negatifnya ada nggak

sih kak dari kakak pribadi?

I : ada sih, palingan dari orang-orang sekitar gitu suka tanya kenapa sih belum

nikah sudah umur segini? Ya aku kan juga gatau ya kenapa belum nikah juga

padahal gak ada niat nunda hahaha gatau jodohnya dateng kapan kan haha. Tapi

yaudalah, biarin saja mau bagaimana lagi. Kita mau maksain lagi juga bagaimana?

Sudah ikhtiar, sudah usaha, sudah doa tapi kalau Allah belum ngasih ya

bagaimana... yaudalah, aku kan nggak diem-diem saja tunggu jodoh, tapi juga

ikhtiar, usaha, juga doa.

P : um, menurut kakak, berapa sih usia yang ideal untuk perempuan menikah?

I : kalo menurut aku sih ya 24 sampe 30 sih ya kayaknya ya.

P : tanggapan kakak untuk orang-orang yang menunda atau telat menikah

bagaimana?

I : kalo aku sih ya, itukan masalah pribadi masing-masing ya, eee telat

menikah itu dalam hal apa dulu, misalnya kayak aku, belum nemu jodohnya hahaha,

atau ada juga kan , yang apa ya kasarnya, memang dia bener-bener gamau menikah.

Ada juga yang kayak begitu. Nah, kalo yang buat gamau nikah dulu ini ya, itu

pilihannya dia tapi juga um, apa ya, mungkin tugas kita sebagai temannya, dikasih

tahu, jangan kayak begitu, soalnya nanti di masa tuanya sendirian kan gaenak.

P : pertanyaan terakhir nih kak, apakah menurut kakak, penting untuk

menikah sampai siap 100%?

I : kalo menunggu kesiapan 100% juga kayaknya lama ya kalo nunggu siap

nggak siapnya, begitu kan. Siap nggak siap sebenernya kita yang penting harus

mempersiapkan diri, sih. Misalnya kayak aku umur 30 tapi belum ada jodohnya kan

bagaimana caranya kita tetap memperbaiki diri. Nanti kalo seandainya sudah ada

jodohnya ya, insyaAllah sudah siap lah begitu istilahnya. Sedangkan kalo tunggu

100% juga kayaknya nggak mungkin ya. Kalo menurutku sih ya mendingan sambil

belajar sih ya, memantaskan diri juga buat pasangan.

Kalo aku sih, kalo sudah nemu pasangan yang baik agamanya, bertanggung jawab,

ya yaudah nikah saja. Nikah juga kan ibadah ya.