pendidikan perempuan kepala keluarga

of 10 /10
Nama : Frisca Anindhita NPM : 1206298336 Mata Kuliah : Etika Pembangunan Dosen : Prof. Dr. Mudji Sutrisno SJ Pendidikan Bagi Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia Pendidikan Bagi Perempuan Sebagai kaum yang mengisi setengah dari jumlah penduduk di Indonesia, perempuan memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam keluarga dan masyarakat. Akan tetapi, kondisi kemiskinan yang ada di Indonesia membuat perempuan tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal. Selain itu, terdapat permasalahan budaya yang mendahulukan laki-laki dibandingkan perempuan. Sehingga di dalam kondisi kemiskinan yang ada di suatu keluarga, biasanya anak laki-laki yang akan diutamakan untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumberdaya, salah satunya pendidikan. 1

Upload: independent

Post on 09-Jan-2023

2 views

Category:

Documents


0 download

Embed Size (px)

TRANSCRIPT

Nama : Frisca Anindhita

NPM : 1206298336

Mata Kuliah : Etika Pembangunan

Dosen : Prof. Dr. Mudji Sutrisno SJ

Pendidikan Bagi Perempuan Kepala Keluarga di

Indonesia

Pendidikan Bagi Perempuan

Sebagai kaum yang mengisi setengah

dari jumlah penduduk di Indonesia,

perempuan memiliki peran dan

fungsi yang strategis dalam

keluarga dan masyarakat. Akan

tetapi, kondisi kemiskinan yang

ada di Indonesia membuat perempuan tidak bisa menjalankan

peran dan fungsinya secara maksimal. Selain itu, terdapat

permasalahan budaya yang mendahulukan laki-laki dibandingkan

perempuan. Sehingga di dalam kondisi kemiskinan yang ada di

suatu keluarga, biasanya anak laki-laki yang akan diutamakan

untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumberdaya, salah

satunya pendidikan.

1

Perempuan dalam hal ini menjadi teralienasi. Mereka punya

mulut, mereka ada, tapi mereka tidak memiliki hak yang sama

dengan laki-laki, khususnya dalam hal pendidikan.1 Padahal,

salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan

memberikan investasi pendidikan kepada anak-anak calon

pemimpin bangsa. Perempuan yang memiliki pendidikan yang cukup

akan memiliki keahlian dan keterampilan yang dapat digunakan

untuk membiayai dirinya dan keluarganya.

Walaupun pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia,

nyatanya tidak semua orang bisa mendapatkan hak tersebut.

Berdasarkan Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan anak yang bekerja sama dengan Badan Pusat

Statistik2 menyatakan bahwa masih banyak perempuan yang

berusia 10 tahun ke atas yang masih belum memiliki ijazah.

Fakta ini ditemukan baik di desa maupun di kota, seperti yang

ada di dalam gambar berikut:

1 Sutrisno, Mudji. 1995, Halaman 13 dan 16

2 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012, Halaman 18 – 19.

2

Hal tersebut semakin mendukung argumen bahwa karena kemiskinan

dan budaya lah maka perempuan menjadi korban dalam memperoleh

akses pendidikan. Perempuan teralienasi dari haknya sebagai

warga negara Indonesia. Nilai ekonomi anak laki-laki lebih

tinggi dari perempuan karena dianggap dapat melakukan kerja-

kerja yang menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi daripada

perempuan. Argumen tersebut juga didukung oleh data yang

menyajikan bahwa upah tenaga kerja perempuan lebih kecil

daripada upah tenaga kerja laki-laki.

Padahal di Indonesia sendiri sejak kemerdekaannya di tahun

1945 telah dengan dengan mantap mengembangkan sistem

pendidikannya dan juga wajib belajar 9 tahun pendidikan dasar

yang dideklarasikan dalam peraturan pemerintah tahun 1994.

Kebijakan ini pun berkembang hingga usulan program Pendidikan

Menengah Universal (PMU) pada tahun 2013 ini meningkatkan

menjadi wajib belajar 12 tahun. Walaupun pada kenyataannya

terdapat gap di angka partisipasi sekolah anak laki-laki dan

anak perempuan pada pendidikan dasar. Perbedaan ini terlihat

ketika membagi wilayah menjadi desa dan kota, Papua menjadi

3

provinsi dengan gap terbesar dan Aceh menjadi provinsi dengan

gap terkecil.3

Betapa pentingnya melakukan investasi terhadap perempuan

karena perempuan yang terpelajar tentunya akan memberikan

multiplier effect kepada institusi terkecil (keluarga) hingga

terbesar (komunitas/lingkungan). Raden Ajeng Kartini dan

Roehana Koedoes adalah pahlawan perempuan yang memperjuangkan

pentingnya pendidikan perempuan di jamannya. Seperti dalam

salah satu kutipan suratnya kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer, 2

November 19904:

… Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan karena

perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri

juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul

pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan:

bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar

kesusilaan manusia…

Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima belajar merasa,

berfikir, dan berkata-kata… Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputra dapat

mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?

Roehana Koedoes sebagai tokoh pendidik yang juga muncul dari

Minangkabau pada masa yang sama dengan Raden Ajeng Kartini

mengemukakan bahwa untuk menemukan kemerdekaannya, syarat bagi

perempuan adalah sebagai orang yang pandai. Inilah kemudian

3UNICEF, http://www.unicef.org/indonesia/children_2833.html, diakses 2 Juni2013

4 Sutrisno, Sulastin. 1977. Halaman 764

yang membuat Roehana mendirikan Sekolah Perempuan di teras

rumahnya sendiri dan mendidik perempuan-perempuan di

kampungnya untuk belajar membaca dan menulis serta membuat

kerajinan tangan untuk dijual dan pemberdayaan ekonomi mereka.

Salah satu pernyataannya yang dikenang ialah5:

“Perempuan kalau bukan sebagai pemimpin, sebagai orang yang pandai”.

Perempuan Kepala Keluarga di

Indonesia

Setelah tersaji pentingnya

pendidikan pada perempuan, kita

akan masuk kepada bahasan pentingnya penguatan terhadap

perempuan sebagai kepala keluarga. Pada akhir tahun 2000

ketika Indonesia sedang berada pada masa awal reformasi dan

masa-masa pemulihan paska situasi chaos dan konflik, Komisi

Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

bergerak untuk mendokumentasikan kehidupan perempuan janda di

wilayah-wilayah rentan tersebut.6 Dalam kondisi Indonesia yang

seperti itu, perempuan memiliki ketergantungan terhadap laki-

laki yang menjadi suaminya sebagai pencari nafkah utama.

Perempuan janda disini menghadapi alienasi negatif ketika

tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya

5 Jurnal Perempuan. 2010.

6 PEKKA, http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_content&view=article&id=19&Itemid=27&lang=in, diakses 2 Juni 2013

5

untuk menghidupi keluarga setelah ditinggal oleh kepala

keluarga utama. Sekiranya perempuan dibatasi ketika mereka

ingin mendapatkan akses-akses tersebut karena dianggap tidak

memiliki kapasitas untuk mengelola sumber daya.

Kemudian pada tahun 2001 terbentuk PEKKA (Pemberdayaan

Perempuan Kepala Keluarga) yang dipimpin oleh Nani Zulminarni

sebagai usaha untuk pendokumentasian para janda tersebut.

Awalnya namanya merupakan proyek janda atau widow project, akan

tetapi berkat proses refleksi dan diskusi intensif dengan

berbagai pihak, kemudian judul proyek ini diubah menjadi

Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Program

PEKKA).

Sebuah kesadaran kritis yang dibangkitkan dari proses refleksi

membuat manusia menyadari bahwa manusia memiliki kreativitas

yang tadinya terbelenggu, menjadi tercerahkan dan

mengeksplorasi kreavititasnya. Kesadaran bahwa adanya

perempuan yang menjadi kepala keluarga merupakan bukti

eksistensi yang mengarahkan para penggagas PEKKA untuk

mengubah nama proyeknya menjadi lebih reflektif.

Kemudian PEKKA mulai melakukan pendataan dan pemetaan mengenai

perempuan kepala keluarga di Indonesia. Berdasarkan data

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2007,

rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan mencapai 13,60%

atau sekitar 6 juta rumah tangga dari 30 juta rumah tangga.

Hal ini meningkat 0,1% per tahun sejak tahun 2001 (pada saat

itu kurang dari 13%) dimana PEKKA pertama kali terbentuk.

6

Kondisi tersebut juga diperparah dengan adanya Undang Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa

dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di

Indonesia, kepala keluarga adalah suami atau laki-laki. Hal

ini berdampak pada timbulnya diskriminasi terhadap perempuan

sebagai kepala keluarga. Perempuan kepala keluarga kesulitan

untuk memperoleh akses-akses permodalan bagi mereka yang ingin

membuka usaha karena diperlukan izin dari pihak suami.

Sementara itu, untuk menghidupi dan membiayai pendidikan anak-

anaknya, mereka harus bekerja dan dibayar dengan upah yang

rendah. Berbagai kondisi memprihatikan tersebut membuat PEKKA

harus bertindak melalukan penyadaran/konsientisasi terhadap

perempuan kepala keluarga sendiri maupun lingkungan, sebagai

support system mereka.

Pendidikan bagi Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia

Walaupun PEKKA memulai dengan penguatan dan pemberdayaan

ekonomi, para pengurus PEKKA menyadari bahwa harus juga

mengimbangi dengan pemberian pendidikan kepada para perempuan

kepala keluarga tersebut. Dengan judul program Pendidikan

Sepanjang Hayat7, menandakan adanya kesalingan dan

ketersinambungan proses ajar yang saling memberdayakan dan

menguatkan. Program ini tidak hanya menyasar kepada perempuan

kepala keluarga tapi juga difokuskan kepada anak-anak mereka

7 PEKKA, http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=37&Itemid=29&lang=in, diakses 2 Juni 2013

7

yang tidak mampu mendapatkan hak pendidikannya, dengan judul

Pendidikan Untuk Semua8.

Kegiatan Pendidikan Untuk Semua difokuskan pada pemberian

beasiswa dan perlengkapan sekolah bagi anak-anak perempuan

kepala keluarga yang tidak mampu, pelatihan tentang

penyelenggaraan pendidikan alternatif bagi masyarakat miskin

serta pengembangan kegiatan-kegiatan pendidikan. Selain

berbagai kegiatan praktis tersebut, kegiatan juga dilakukan

dalam rangka upaya advokasi kelompok Pekka untuk mendapatkan

akses pendidikan yang bermutu dan murah.  Penyelenggaraan

kegiatan pendidikan ditingkat lapangan di koordinasikan oleh

komite pendidikan desa (KPD) yang dibentuk dari unsur

perwakilan kelompok Pekka dan perwakilan masyarakat sekitar. 

Bagaimana proses kesadaran transitif kritis yang ditularkan

oleh para pengurus PEKKA kepada perempuan kepala keluarga

menunjukkan bahwa tesis tulisan ini di awal yaitu pentingnya

berinvestasi terhadap pendidikan perempuan. Proses-proses

8 PEKKA, http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_content&view=article&id=22%3Apendidikan-untuk-semua&catid=37%3Apendidikan-sepanjang-hayat&Itemid=29&lang=in, diakses 2 Juni 2013

8

pendidikan yang memerdekakan para perempuan yang tadinya

teralienasi karena kemiskinan dan budaya membuat mereka

menjadi berdaya, merdeka dan menularkan kesadaran transitif

kritis terhadap para calon pemimpin bangsa dan juga lingkungan

sekitarnya.

Referensi

Sutrisno, Mudji. Pendidikan Pemerdekaan. Jakarta: Penerbit Obor,

1995.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan

Badan Pusat Statistik. Pembangunan Manusia Berbasis Gender.

Jakarta: CV Permata Andhika, 2012.

Sutrisno, Sulastin. Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk

Bangsanya. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1977.

UNICEF. The Children – The School Years.

http://www.unicef.org/indonesia/children_2833.html,

diakses 2 Juni 2013.

Jurnal Perempuan Volume 66: Pendidikan Untuk Semua. Jakarta:

Yayasan Jurnal Perempuan, 2010.

PEKKA. Tentang Kami. http://www.pekka.or.id/8/index.php?

option=com_content&view=article&id=19&Itemid=27&lang=in,

diakses 2 Juni 2013.

PEKKA. Pendidikan Sepanjang Hayat.

http://www.pekka.or.id/8/index.php?

9