makalah pemberdayaan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip
bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.
Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak
menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi
menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk
mengemukakan pendapatnya. Hal ini didasarkan pada pengertian
demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham
Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.
Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia
adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun
2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya
tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah
memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya.
Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era
reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde
baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada
1
pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan adanya
otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi.
Tujuan diberlakukannya otonomi daerah secara umum yakni agar
pembangunan dan pembagian kekayaan alam di setiap daerah
merata,kesenjangan sosial antar daerah tidak mencolok, dan tidak
adanya ketimpangan sosial.
Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi
perkembangan keadaan, baik dalam dan luar negeri, serta tantangan
persaingan global. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas
dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional,
yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan
sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Itu semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi
dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia
keterlibatan peran perempuan dalam pembangunan dan sektor politik
menjadi sebuah hal yang sangat menarik mengingat sejarah
kesuksesan keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan
bangsa dan pembangunan daerah. Perempuan Indonesia sudah terlibat
dalam perjalanan bangsa sejak revolusi fisik sampai sekarang
adalah modal sejarah yang bisa dipakai perempuan Indonesia dalam
era reformasi yang sudah megakui peran perempuan memalui
legitimasi Undnag –undang partai maupun dalam bentuk intruksi
presiden. Perempuan perempuan hebat seperti Kartini, Cut Nyak
2
Dien, Dewi Sartika yang menjadi figur nyata bagi perempuan
Indonesia untuk mengisi pembangunan bangsa ini. Dengan terjun
pada wilayah politik ungensi perempuan Indonesia akan satu kelas
lebih maju dari sebelumnya denngan memanfaatkan keterbukaan dan
globalisasi dalam emansipasi yang lebih besar untuk membawa
bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Perempuan harus
lebih aktif mulai dari perlibatan dalam APB Nagari sampai pada
kebijakan yang lebih tinggi, karena ia sebagai kekuatan perubahan
dalam masyarakat, mengingat jumlah perempuan di Indonesia lebih
besar dari pada laki laki.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, meliputi
beberapa hal:
1. Penyebab timbulnya otonomi daerah ?
2. Bagaimanakah pemberdayaan politikbagi perempuan dalam
konteks Otonomi daerah ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu
autos yang berarti berdiri sendiri, dan nomos yang berarti
peraturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti
peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya
berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah
suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan
secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan
MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian
dari pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses
mensejahterakan rakyat”, Menurut UU No. 32/2004 Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu
pertama komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan
4
sebagai komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang
terdapat dalam pengertian otonomi.
2.2 Latar belakang dan Sejarah Otonomi daerah di Indonesia
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap
sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun
sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam
pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada
kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde
baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta
uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan
tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional
Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini
dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah
secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan
perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada
ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang
kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan
proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi
penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk
mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk
5
aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20
sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah
kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah
adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat
di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke
daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada
sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu
bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI
berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu
ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi
kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah
pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak
ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan
otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.
Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah
desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden
Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974
yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan dan perkembangan keadaan.Kedua Undang-Undang
tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai
tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola
hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus,
6
pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk
untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya kewenangan
di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan,
pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan
kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk
mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat
tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar
pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami,
merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
darinya.
2.3. Permasalahan-permasalahan Yang Muncul Setelah Pemberlakuan
Otonomi Daerah
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia
melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan.
Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi
kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu
dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai.
Beberapa persoalan itu adalah:
7
1. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh
kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan
dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih
tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan
juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini.
Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan
pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia
kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada
aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup
terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga
menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah
dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang
lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi
dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan
rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah
bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran
partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat
akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga
dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung
mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan
masyarakat.
8
3. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini
disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak
jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi
rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan
tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami
kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan
PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak
sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk
menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas
jabatan.
4. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi
daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri
dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah
dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang
bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya
egiosemtrisme ditiap daerah.
5. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di
kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara
lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit
lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai
9
momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara
memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan
seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan
terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan
rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota
DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan
perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak
berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan
publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur
tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
7. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak
dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat.
Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna
menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi
prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang
terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal
dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab
pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan
tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara
keseluruhan.
10
8. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata
menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya
tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan
langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan
besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan
sukses kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat
masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung
juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat
akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada
langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang
lebih bagus dari sebelumnya.
2.4 Pemberdayaan Politik Bagi Perempuan Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah
Kontruksi budaya dan sosial yang awalnya memasung perempuan
dan menempatkan perempuan pada wilayah privat (urusan rumah
tangga), macak, manak dan masak, telah membuka jalan pada perempuan
untuk berkiprah pada wilayah publik dengan kebijakan pemerintah
yang lahir pada tahun 2003 tersebut. Seiring dengan perkembangan
dan beragamnya persoalan perempuan yang haknya sering dirampas
dan belum diletakkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat,
misalnya tingginya tingkat kekerasan perempuan secara psikologis
dan fisik menggugah pola pikir dibeberapa kalangan aktivis
perempuan maupaun politisi yang dekat dengan produk kebijakan
untuk mengkaji masalah ini secara serius, tidak hanya menjadikan
11
bagian objek kajian saja. Legitimasi Negara tersebut harus
dimanfaatkan sebagai moment politik bagi kuam perempuan. Tidak
hanya hiasan formalitas yang hanya untuk memenuhi jumlah undang–
undang saja .
Secara umum, hak –hak perempuan dianggap telah memiliki
signifikansi yang kuat di masa modern. Namun secara Historis
perempuan masih juga telah tersubordinasi oleh laki –laki.
Perempuan dianggap sebagi jenis kelamin ke dua, sebagaimana Simon
de Behavoir menggambarkan perempuan. Kita mendengar gerakan
pembebasan perempuan di Eropa di amerika di awal tahun 60-an.
dinamika ini terjadi juga di negara–negara berkembang atau negara
dunia ketiga. Hanya saja realisasi keadilan gender bukanlah
perkara mudah. Bahkan di Barat yang sangat maju di bidang
industri, ilmu pengetahuan dan teknologi yang rata rat melek
hurufnya 100% dan tingkat pendidikan tinggi kaum perempuan jauh
lebih besar dan potensi lapangan pekerjaan dan gender yang lebih
besar, kaum perempuan masih menempati pada posisi subordinat.
Pemukulan istri (wife- battering ) juga masih merajalela. Namun
demikian kita tidak menafikan bahwa di wilayah dunia ketiga
kesadaran tentang keadilan gender juga meningkat tajam. Kaum elit
pada kalangan perempuan kota memimpin gerakan perempuan itu,
karena mereka sangat terdidik dan memiliki kesadaran tinggi
terhadap isu gender bahkan hak asasi manusia menjadi isu sentral.
Menginjak era orde baru, kekuasaan yang cenderung militer
mengubah tatanan kesetaraan yang telah terbentuk sejak era
kemerdekaan menjadi pemerintahan yang berbau male oriented,
12
berbau kekerasan dan pemaksaan ideologi. Pada ujungnya
pemerintahan orde baru menempatkan peran perempuan sebatas
sebagai pendamping, dan hal ini semakin memojokkan perempuan pada
posisi yang semakin termarginalkan, terlebih lagi dengan
dibentuknya wadah Dharma Wanita.
Kebijakan ini menjadi sangat menyesakkan bagi para aktifis
perempuan yang tergabung dalam Kowani (Kongres Wanita Indonesia)
Organisasi ini bertahan secara konsisten mewarisi sikap dan
kepribadian para perempuan diawal kemerdekaan. Gerakan ini
akhirnya tenggelam dengan mainstream yang menempatkan perempuan
hanya sebatas pendamping, terlebih dengan maraknya istilah “ibu-
ibu arisan” dan “ibu-ibu pejabat”, yang berkonotasi pada
kehidupan hedonis dan kumpulan wanita-wanita ‘kelas atas’. Arus
mainstream ini berjalan puluhan tahun, sepanjang kekuatan
penanaman ideoogi oleh pemerintahan orde baru, sehingga hanya
sedikit muncul perempuan-perempuan yang gigih dengan semangat
juang Kowani dan memperjuangkan cita-cita Kartini ditengah-tengah
arus yang menempatkan perempuan pada posisi yang sangat
termarginalkan.
Era reformasi sedikitnya telah mengubah wacana yang ada.
Peran perempuan menjadi semakin tersalurkan, akan tetapi
perempuan yang mempunyai integritas tinggi lebih cenderung
memilih untuk bergabung pada LSM yang sifatnya non-govermental.
Kaum perempuan cenderung skeptis untuk bergabung dengan partai
politik yang ada, karena partai-partai tersebut kurang
memperhatikan aspirasi kaum perempuan.
13
Undang Undang menjamin hak keterwakilan perempuan untuk
berkarya di berbagai jabatan publik. Misalnya, pasal 46 UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sitem
pengangkatan di bidang eksekutif dan judikatif harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Demikan
pula, pasal 49 ayat 1 UU tersebut menyebutkan bahwa wanita berhak
untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang
undangan.
Secara normatif, tidak peraturan perundang-undangan dalam
bidang politik yang mendiskriminasi perempuan. Namun, dalam
kenyataan tingkat representasi wanita di badan legislatif pada
berbagai tingkatan, termasuk DPRD Tingkat II (kabupaten), DPRD
Tingkat I (propinsi) dan DPR RI (nasional), masih sangat rendah.
Secara umum, perempuan kurang terwakili baik dalam arena politik
maupun bidang lainnya.
Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara
lain disebabkan oleh kondisi budaya yang patriakal yang tidak
diimbangi kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi
perempuan, seperti pemberian kuota. GBHN, dan berbagai instrumen
politik dan hukum tidak secara eksplisit menunjukkan diskriminasi
terhadap perempuan namun tidak pula memberikan pembelaan dan
kemudahan bagi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik.
Undang-Undang Dasar 1945, Bab X, Ayat 27 menyatakan bahwa “Semua
warganegara adalah sama di hadapan hukum dan pemerintah,”
14
sedangkan Ayat 28 menjamin “Kebebasan berkumpul dan berserikat,
dan kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun
tertulis.” Sekalipun demikian, dalam kondisi yang patriakhal
perempuan menghadapi beberapa kendala untuk mensejajarkan diri
dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
Mengenai kesejajaran perempuan dalam politik, terdapat
Deklarasi Meksiko 1975 tentang Kesetaraan Perempuan (Equality of
Women). Deklarasi ini menyebutkan bahwa perempuan adalah aktor
vital dalam upaya mempromosikan kedamaian dunia dalam berbagai
sektor, mulai dari keluarga, komunitas masyarakat dan partisipasi
dalam politik. Indonesia menjadi salah satu dari 101 negara yang
turut meratifikasi ICCPR yang menjadi landasan legal dalam
pelaksanaan hak-hak perempuan di negara yang bersangkutan dalam
rangka pemenuhan standar hak asasi manusia yang didalamnya
termasuk hak perempuan.
Dalam rangka memberdayakan perempuan dan hak untuk turut
serta dalam aktivitas politik, PBB mengeluarkan resolusi
pemenuhan 30% kuota perempuan di lembaga legislatif, sebagai
suatu upaya bahwa kuota tersebut sebagai jaminan atas hak
perempuan untuk turut aktif dalam perpolitikan nasional. Dalam
kaitannya dengan pemenuhan kuota 30% ini, dunia perpolitikan kita
dipenuhi isu maraknya partai-partai politik yang ingin menjaring
calon anggota legislatif perempuan. Pemaksaan para pemimpin
partai untuk memenuhi kuota 30% ini seringkali menjadi tanda
tanya besar bagi berbagai kalangan pemerhati politik. Masalah
yang sering diperdebatkan adalah adanya kesan pemaksaan, yaitu
15
partai-partai memaksakan kuota 30% agar dapat lolos mengikuti
pemilu legislatif.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan
untuk dapat berunjuk gigi sebagai wakil rakyat yang betul-betul
dapat mewakili aspirasi rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah di daerahnya
masing-masing.
2.5 Hambatan Terhadap Partisipasi Politik perempuan di Indonesia
a. Budaya Patriarkhi masih mengakar kuat di Indonesia
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kebudayaan patriarkhi
sudah mengakar kuat di Indonesia. Sebagian besar penduduk
Indonesia adalah pemeluk agama Islam, sedangkan agama Islam
mengajarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS
4:34). Saat Megawati mencalonkan diri sebagai calon presiden pada
pemilu tahun 2004 lalu, beberapa kalangan terutama yang
berlatarbelakang agama Islam menyinggung hukum Islam ini, dan
beberapa kalangan berpendapat Megawati tidak layak untuk
mencalonkan diri sebagai presiden. Megawati dianggap melanggar
kodrat sebagai perempuan, yang seharusnya adalah kaum yang
dipimpin oleh laki-laki.
Masyarakat Indonesia, yang terdiri dari ± 400 etnis tidak
dapat dilepaskan dari adat istiadat dan pola-pola kebiasaan
masyarakat yang telah lama berjalan. Demikian pula dalam hal
kepemimpinan di tampuk pemerintahan. Posisi sebagai kepala adat,
kepala suku, atau kepala daerah selalu didominasi oleh laki-laki.
16
Demikian pula dalam sistem pemerintahan feodalistik di beberapa
suku bangsa di Indonesia. Raja-raja dan sultan adalah laki-laki,
yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai putra mahkota, dan
kedudukan ini tidak dapat diwariskan pada anak perempuan apapun
alasannya. Bahkan, gelar kebangsawanan pada kerajaan dan
kasultanan seperti ini juga diwariskan melalui garis keturunan
ayah. Karakteristik masyarakat Indonesia yang memahami ajaran
agama serta tidak terlepas dari adat istiadat dan budayanya
merupakan hambatan bagi perempuan Indonesia untuk dapat bangkit
dan berpartisipasi aktif dan nyata dalam dunia politik. Ini
adalah hambatan yang sifatnya kultural.
b. Stereotip yang melekat pada perempuan
Stereotip (citra baku) terhadap gender tertentu kadang
bersifat positif dan bisa juga bersifat negatif. Terdapat
stereotip yang memandang perempuan sebagai makhluk yang
bertanggung jawab menjaga nilai-nilai adiluhung di rumah,
penyambung keturunan, lemah, lembut, lebih emosional, kurang
rasional, manja, bergantung, fisik kurang kuat, pasif, lemah,
penakut, menjadi obyek seksual dari laki-laki, inferior dan
cenderung mengalah. Bahkan, wanita distereotipkan sebagai makhluk
untuk dilihat, bukan untuk didengar. Wanita lebih dianggap
sebagai sebuah obyek dan ditempatkan dalam posisi sub-ordinasi di
bawah laki-laki. Dengan stereotip bahwa wanita adalah makhluk
yang emosional, kurang rasional, pasif dan lemah, wanita
dideskreditkan dalam kiprah di wilayah publik. Wanita dianggap
17
tidak pantas memegang peranan sebagai pemimpin dan penentu
kebijakan. Wanita juga cenderung dipandang sebelah mata dalam
berargumentasi. Oleh karena itu, wanita cenderung menemui
hambatan apabila berargumen, terutama di ruang publik. Dalam
kampanye politik, selain harus berusaha menciptakan reputasi yang
baik seorang politisi wanita harus bekerja lebih keras untuk
dapat mempersuasi masyarakat.
c. Sebagian besar perempuan memiliki ketergantungan ekonomi
terhadap laki-laki
Faktor penghambat yang lain adalah ketergantungan ekonomi
wanita terhadap laki-laki. Ketergantungan ekonomi membuat wanita
lemah dalam aspek yang lain, termasuk kemandirian dalam mengambil
keputusan, akses sosial, politik dan kesempatan untuk
mengembangkan diri. Sebagian besar politisi wanita juga terbentur
masalah ketergantungan ekonomi. Kampanye politik membutuhkan dana
yang tidak sedikit, di tingkat yang paling rendah (pemilihan
ketua desa) sekalipun. Wanita yang secara ekonomi sangat
tergantung pada laki-laki tentu saja akan menemui hambatan besar
masalah pendanaan kampanye ini. Meskipun ia memiliki kualifikasi
sebagai tokoh politik yang potensial, wanita yang tidak mandiri
secara ekonomi tidak dapat berbuat banyak. Cita-cita dan karir
politiknya akan sangat tergantung pada suaminya, apakah suaminya
mau dan mampu mendanai kampanye politiknya atau tidak.
Lantas, apakah wanita yang memiliki pekerjaan dan bahkan
memiliki pendapatan lebih tinggi daripada suaminya tidak menemui
18
hambatan ekonomi untuk berpartisipasi aktif di dunia politik? Hal
tersebut tergantung pada pola hubungan interpersonal keduanya
dalam rumah tangga. Pada umumnya, di keluarga dimana peran suami
sangat dominan, wanita dengan kondisi finansial lebih mapan tetap
akan mematuhi suaminya dalam pengelolaan keuangannya.
d. Kurangnya keinginan perempuan
Secara umum, keinginan atau kemauan politik perempuan untuk
dapat memperjuangkan dirinya setara dengan laki-laki masih
rendah. Padahal, saat ini kebebasan perempuan untuk terjun ke
dunia politik sudah dijamin secara tegas dalam perubahan
peraturan perundang-undangan politik.
e. Masih sedikit partai politik yang memiliki kader perempuan
Pada umumnya, partai politik peserta pemilu belum memiliki
kader perempuan yang mempunyai potensi yang cukup besar dan
memadai untuk dapat diandalkan sebagai kader guna menunjang
struktur organisasi kelembagaan politik yang berkualitas. Secara
tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa partai politik
belum yakin menggunakan kader perempuan untuk meningkatkan
kualitas partai dalam meraih simpatisan yang cukup besar dari
masyarakat atau pemilih, yang pada akhirnya bagi kemenangan
partai politik pada setiap pemilu.
f. Koordinasi yang masih lemah.
19
Masih lemahnya kinerja dan jalinan jaringan kerja
(networking) antara institusi politik perempuan yang telah ada
dalam mengupayakan peningkatan peran politik perempuan, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif, di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah menyebabkan upaya perempuan untuk mendapatkan
peran politik kurang terakomodasi.
g. Kurangnya komunikasi politik
Jalinan mata rantai yang komunikatif dalam bentuk jaringan
kerja (net working) antar institusi politik perempuan baik antar
pemerintah, pusat, daerah dan masyarakat serta pers atau media
untuk menghimpun kekuatan politik perempuan belum terbangun.
Perjuangan perempuan untuk mendapatkan peran politik masih
dilakukan sendiri-sendiri tanpa dukungan yang terintegrasi
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia
keterlibatan peran perempuan dalam bidang politik menjadi sebuah
hal yang sangat menarik dan penting mengingat sejarah kesuksesan
keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan
pembangunan daerah. Pada penyelenggaraan otonomi daerah di
Indonesia yaitu penyelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
21
terhadap pemerintahan daerah agar dapat mengatur wilayahnya
sendiri untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,
mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Undang Undang menjamin hak keterwakilan perempuan untuk
berkarya di berbagai jabatan publik. Misalnya, pasal 46 UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sitem
pengangkatan di bidang eksekutif dan judikatif harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Demikan
pula, pasal 49 ayat 1 UU tersebut menyebutkan bahwa wanita berhak
untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang
undangan apalagi setelah PBB mengeluarkan resolusi pemenuhan 30%
kuota perempuan di lembaga legislatif, sebagai suatu upaya bahwa
kuota tersebut sebagai jaminan atas hak perempuan untuk turut
aktif dalam perpolitikan nasional. Hal ini menjadi salah satu
upaya pemberdayaan politik bagi kaum perempuan di Indonesia untuk
membangun daerahnya masing-masing.
3.2 Kritik dan Saran
· Demikian yang dapat pemakalah paparkan mengenai
“Pemberdayaan Politik Terhadap Perempuan Dalam Konsep Otonomi
Daerah”, diharapkan kepada pembaca agar sudikiranya memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi
kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga makalah ini berguna
22
bagi penulis dan khususnya juga para pembaca dan mahasiswa-
mahasiswi yang sedang mempelajari Mata Kuliah Pemberdayaan
Masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/.html
http://www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-politik/45-
politika/11479-otonomi-daerah-mengecewakan.html
23