makalah pemberdayaan

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada 1

Upload: independent

Post on 31-Mar-2023

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip

bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya.

Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak

menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi

menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk

mengemukakan pendapatnya. Hal ini didasarkan pada pengertian

demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham

Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat.

Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia

adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun

2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya

tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah

memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya.

Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era

reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde

baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada

1

pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan adanya

otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi.

Tujuan diberlakukannya otonomi daerah secara umum yakni agar

pembangunan dan pembagian kekayaan alam di setiap daerah

merata,kesenjangan sosial antar daerah tidak mencolok, dan tidak

adanya ketimpangan sosial. 

Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi

perkembangan keadaan, baik dalam dan luar negeri, serta tantangan

persaingan global. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas

dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional,

yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan

sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan

daerah. Itu semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi

dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

keterlibatan peran perempuan dalam pembangunan dan sektor politik

menjadi sebuah hal yang sangat menarik mengingat sejarah

kesuksesan keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan

bangsa dan pembangunan daerah. Perempuan Indonesia sudah terlibat

dalam perjalanan bangsa sejak revolusi fisik sampai sekarang

adalah modal sejarah yang bisa dipakai perempuan Indonesia dalam

era reformasi yang sudah megakui peran perempuan memalui

legitimasi Undnag –undang partai maupun dalam bentuk intruksi

presiden. Perempuan perempuan hebat seperti Kartini, Cut Nyak

2

Dien, Dewi Sartika yang menjadi figur nyata bagi perempuan

Indonesia untuk mengisi pembangunan bangsa ini. Dengan terjun

pada wilayah politik ungensi perempuan Indonesia akan satu kelas

lebih maju dari sebelumnya denngan memanfaatkan keterbukaan dan

globalisasi dalam emansipasi yang lebih besar untuk membawa

bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Perempuan harus

lebih aktif mulai dari perlibatan dalam APB Nagari sampai pada

kebijakan yang lebih tinggi, karena ia sebagai kekuatan perubahan

dalam masyarakat, mengingat jumlah perempuan di Indonesia lebih

besar dari pada laki laki.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, meliputi

beberapa hal:

1. Penyebab timbulnya otonomi daerah ?

2. Bagaimanakah pemberdayaan politikbagi perempuan dalam

konteks Otonomi daerah ?

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu

autos yang berarti berdiri sendiri, dan nomos yang berarti

peraturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti

peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya

berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah

suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan

secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,

dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan

MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.  

Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian

dari pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses

mensejahterakan rakyat”, Menurut UU No. 32/2004 Otonomi daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu

pertama komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan

4

sebagai komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang

terdapat dalam pengertian otonomi.

2.2 Latar belakang dan Sejarah Otonomi daerah di Indonesia

Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap

sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun

sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam

pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun

masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada

pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada

kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde

baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta

uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena

Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.

Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan

tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional

Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini

dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah

secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan

perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada

ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang

kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan

proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi

penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk

mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk

5

aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20

sampai 30 persen dari APBN.

Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah

kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah

adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat

di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke

daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada

sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu

bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI

berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu

ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi

kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah

pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak

ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan

otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.

Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah

desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden

Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat

hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974

yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan

pemerintahan dan perkembangan keadaan.Kedua Undang-Undang

tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai

tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola

hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus,

6

pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999

tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai

lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan

penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk

untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati

Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya kewenangan

di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan,

pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan

kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk

mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat

tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar

pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro

strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami,

merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat

darinya.

   

2.3. Permasalahan-permasalahan Yang Muncul Setelah Pemberlakuan

Otonomi Daerah  

Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia

melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan.

Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi

kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu

dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai.

Beberapa persoalan itu adalah:

7

1. Kewenangan yang tumpang tindih

Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh

kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan

dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih

tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan

juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini.

Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.

Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan

pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia

kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada

aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup

terhadap hakekat otonomi itu sendiri.

2. Anggaran

Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga

menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah

dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang

lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi

dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan

rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah

bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran

partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat

akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga

dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung

mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan

masyarakat.

8

3. Pelayanan Publik

Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini

disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak

jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi

rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan

tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami

kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan

PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak

sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk

menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas

jabatan.

4. Politik Identitas Diri

Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi

daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri

dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah

dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang

bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya

egiosemtrisme ditiap daerah.

5. Orientasi Kekuasaan

Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di

kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara

lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit

lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai

9

momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara

memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan

seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.

6. Lembaga Perwakilan

Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan

terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan

rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota

DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan

perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak

berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan

publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur

tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.

7. Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak

dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat.

Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna

menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi

prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang

terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal

dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab

pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan

tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara

keseluruhan.

10

8. Pilkada Langsung

Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata

menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya

tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan

langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan

besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan

sukses kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat

masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung

juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat

akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada

langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang

lebih bagus dari sebelumnya.

2.4 Pemberdayaan Politik Bagi Perempuan Dalam Penyelenggaraan

Otonomi Daerah

Kontruksi budaya dan sosial yang awalnya memasung perempuan

dan menempatkan perempuan pada wilayah privat (urusan rumah

tangga), macak, manak dan masak, telah membuka jalan pada perempuan

untuk berkiprah pada wilayah publik dengan kebijakan pemerintah

yang lahir pada tahun 2003 tersebut. Seiring dengan perkembangan

dan beragamnya persoalan perempuan yang haknya sering dirampas

dan belum diletakkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat,

misalnya tingginya tingkat kekerasan perempuan secara psikologis

dan fisik menggugah pola pikir dibeberapa kalangan aktivis

perempuan maupaun politisi yang dekat dengan produk kebijakan

untuk mengkaji masalah ini secara serius, tidak hanya menjadikan

11

bagian objek kajian saja. Legitimasi Negara tersebut harus

dimanfaatkan sebagai moment politik bagi kuam perempuan. Tidak

hanya hiasan formalitas yang hanya untuk memenuhi jumlah undang–

undang saja .

Secara umum, hak –hak perempuan dianggap telah memiliki

signifikansi yang kuat di masa modern. Namun secara Historis

perempuan masih juga telah tersubordinasi oleh laki –laki.

Perempuan dianggap sebagi jenis kelamin ke dua, sebagaimana Simon

de Behavoir menggambarkan perempuan. Kita mendengar gerakan

pembebasan perempuan di Eropa di amerika di awal tahun 60-an.

dinamika ini terjadi juga di negara–negara berkembang atau negara

dunia ketiga. Hanya saja realisasi keadilan gender bukanlah

perkara mudah. Bahkan di Barat yang sangat maju di bidang

industri, ilmu pengetahuan dan teknologi yang rata rat melek

hurufnya 100% dan tingkat pendidikan tinggi kaum perempuan jauh

lebih besar dan potensi lapangan pekerjaan dan gender yang lebih

besar, kaum perempuan masih menempati pada posisi subordinat.

Pemukulan istri (wife- battering ) juga masih merajalela. Namun

demikian kita tidak menafikan bahwa di wilayah dunia ketiga

kesadaran tentang keadilan gender juga meningkat tajam. Kaum elit

pada kalangan perempuan kota memimpin gerakan perempuan itu,

karena mereka sangat terdidik dan memiliki kesadaran tinggi

terhadap isu gender bahkan hak asasi manusia menjadi isu sentral.

Menginjak era orde baru, kekuasaan yang cenderung militer

mengubah tatanan kesetaraan yang telah terbentuk sejak era

kemerdekaan menjadi pemerintahan yang berbau male oriented,

12

berbau kekerasan dan pemaksaan ideologi. Pada ujungnya

pemerintahan orde baru menempatkan peran perempuan sebatas

sebagai pendamping, dan hal ini semakin memojokkan perempuan pada

posisi yang semakin termarginalkan, terlebih lagi dengan

dibentuknya wadah Dharma Wanita.

Kebijakan ini menjadi sangat menyesakkan bagi para aktifis

perempuan yang tergabung dalam Kowani (Kongres Wanita Indonesia)

Organisasi ini bertahan secara konsisten mewarisi sikap dan

kepribadian para perempuan diawal kemerdekaan. Gerakan ini

akhirnya tenggelam dengan mainstream yang menempatkan perempuan

hanya sebatas pendamping, terlebih dengan maraknya istilah “ibu-

ibu arisan” dan “ibu-ibu pejabat”, yang berkonotasi pada

kehidupan hedonis dan kumpulan wanita-wanita ‘kelas atas’. Arus

mainstream ini berjalan puluhan tahun, sepanjang kekuatan

penanaman ideoogi oleh pemerintahan orde baru, sehingga hanya

sedikit muncul perempuan-perempuan yang gigih dengan semangat

juang Kowani dan memperjuangkan cita-cita Kartini ditengah-tengah

arus yang menempatkan perempuan pada posisi yang sangat

termarginalkan.

Era reformasi sedikitnya telah mengubah wacana yang ada.

Peran perempuan menjadi semakin tersalurkan, akan tetapi

perempuan yang mempunyai integritas tinggi lebih cenderung

memilih untuk bergabung pada LSM yang sifatnya non-govermental.

Kaum perempuan cenderung skeptis untuk bergabung dengan partai

politik yang ada, karena partai-partai tersebut kurang

memperhatikan aspirasi kaum perempuan.

13

Undang Undang menjamin hak keterwakilan perempuan untuk

berkarya di berbagai jabatan publik. Misalnya, pasal 46 UU No. 39

tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum,

kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sitem

pengangkatan di bidang eksekutif dan judikatif harus menjamin

keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Demikan

pula, pasal 49 ayat 1 UU tersebut menyebutkan bahwa wanita berhak

untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan

profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang

undangan.

Secara normatif, tidak peraturan perundang-undangan dalam

bidang politik yang mendiskriminasi perempuan. Namun, dalam

kenyataan tingkat representasi wanita di badan legislatif pada

berbagai tingkatan, termasuk DPRD Tingkat II (kabupaten), DPRD

Tingkat I (propinsi) dan DPR RI (nasional), masih sangat rendah.

Secara umum, perempuan kurang terwakili baik dalam arena politik

maupun bidang lainnya.

Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara

lain disebabkan oleh kondisi budaya yang patriakal yang tidak

diimbangi kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi

perempuan, seperti pemberian kuota. GBHN, dan berbagai instrumen

politik dan hukum tidak secara eksplisit menunjukkan diskriminasi

terhadap perempuan namun tidak pula memberikan pembelaan dan

kemudahan bagi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik.

Undang-Undang Dasar 1945, Bab X, Ayat 27 menyatakan bahwa “Semua

warganegara adalah sama di hadapan hukum dan pemerintah,”

14

sedangkan Ayat 28 menjamin “Kebebasan berkumpul dan berserikat,

dan kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun

tertulis.” Sekalipun demikian, dalam kondisi yang patriakhal

perempuan menghadapi beberapa kendala untuk mensejajarkan diri

dengan laki-laki dalam berbagai bidang.

Mengenai kesejajaran perempuan dalam politik, terdapat

Deklarasi Meksiko 1975 tentang Kesetaraan Perempuan (Equality of

Women). Deklarasi ini menyebutkan bahwa perempuan adalah aktor

vital dalam upaya mempromosikan kedamaian dunia dalam berbagai

sektor, mulai dari keluarga, komunitas masyarakat dan partisipasi

dalam politik. Indonesia menjadi salah satu dari 101 negara yang

turut meratifikasi ICCPR yang menjadi landasan legal dalam

pelaksanaan hak-hak perempuan di negara yang bersangkutan dalam

rangka pemenuhan standar hak asasi manusia yang didalamnya

termasuk hak perempuan.

Dalam rangka memberdayakan perempuan dan hak untuk turut

serta dalam aktivitas politik, PBB mengeluarkan resolusi

pemenuhan 30% kuota perempuan di lembaga legislatif, sebagai

suatu upaya bahwa kuota tersebut sebagai jaminan atas hak

perempuan untuk turut aktif dalam perpolitikan nasional. Dalam

kaitannya dengan pemenuhan kuota 30% ini, dunia perpolitikan kita

dipenuhi isu maraknya partai-partai politik yang ingin menjaring

calon anggota legislatif perempuan. Pemaksaan para pemimpin

partai untuk memenuhi kuota 30% ini seringkali menjadi tanda

tanya besar bagi berbagai kalangan pemerhati politik. Masalah

yang sering diperdebatkan adalah adanya kesan pemaksaan, yaitu

15

partai-partai memaksakan kuota 30% agar dapat lolos mengikuti

pemilu legislatif.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan

untuk dapat berunjuk gigi sebagai wakil rakyat yang betul-betul

dapat mewakili aspirasi rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah di daerahnya

masing-masing.

2.5 Hambatan Terhadap Partisipasi Politik perempuan di Indonesia

a. Budaya Patriarkhi masih mengakar kuat di Indonesia

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kebudayaan patriarkhi

sudah mengakar kuat di Indonesia. Sebagian besar penduduk

Indonesia adalah pemeluk agama Islam, sedangkan agama Islam

mengajarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS

4:34). Saat Megawati mencalonkan diri sebagai calon presiden pada

pemilu tahun 2004 lalu, beberapa kalangan terutama yang

berlatarbelakang agama Islam menyinggung hukum Islam ini, dan

beberapa kalangan berpendapat Megawati tidak layak untuk

mencalonkan diri sebagai presiden. Megawati dianggap melanggar

kodrat sebagai perempuan, yang seharusnya adalah kaum yang

dipimpin oleh laki-laki.

Masyarakat Indonesia, yang terdiri dari ± 400 etnis tidak

dapat dilepaskan dari adat istiadat dan pola-pola kebiasaan

masyarakat yang telah lama berjalan. Demikian pula dalam hal

kepemimpinan di tampuk pemerintahan. Posisi sebagai kepala adat,

kepala suku, atau kepala daerah selalu didominasi oleh laki-laki.

16

Demikian pula dalam sistem pemerintahan feodalistik di beberapa

suku bangsa di Indonesia. Raja-raja dan sultan adalah laki-laki,

yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai putra mahkota, dan

kedudukan ini tidak dapat diwariskan pada anak perempuan apapun

alasannya. Bahkan, gelar kebangsawanan pada kerajaan dan

kasultanan seperti ini juga diwariskan melalui garis keturunan

ayah. Karakteristik masyarakat Indonesia yang memahami ajaran

agama serta tidak terlepas dari adat istiadat dan budayanya

merupakan hambatan bagi perempuan Indonesia untuk dapat bangkit

dan berpartisipasi aktif dan nyata dalam dunia politik. Ini

adalah hambatan yang sifatnya kultural.

b.  Stereotip yang melekat pada perempuan

Stereotip (citra baku) terhadap gender tertentu kadang

bersifat positif dan bisa juga bersifat negatif. Terdapat

stereotip yang memandang perempuan sebagai makhluk yang

bertanggung jawab menjaga nilai-nilai adiluhung di rumah,

penyambung keturunan, lemah, lembut, lebih emosional, kurang

rasional, manja, bergantung, fisik kurang kuat, pasif, lemah,

penakut, menjadi obyek seksual dari laki-laki, inferior dan

cenderung mengalah. Bahkan, wanita distereotipkan sebagai makhluk

untuk dilihat, bukan untuk didengar. Wanita lebih dianggap

sebagai sebuah obyek dan ditempatkan dalam posisi sub-ordinasi di

bawah laki-laki. Dengan stereotip bahwa wanita adalah makhluk

yang emosional, kurang rasional, pasif dan lemah, wanita

dideskreditkan dalam kiprah di wilayah publik. Wanita dianggap

17

tidak pantas memegang peranan sebagai pemimpin dan penentu

kebijakan. Wanita juga cenderung dipandang sebelah mata dalam

berargumentasi. Oleh karena itu, wanita cenderung menemui

hambatan apabila berargumen, terutama di ruang publik. Dalam

kampanye politik, selain harus berusaha menciptakan reputasi yang

baik seorang politisi wanita harus bekerja lebih keras untuk

dapat mempersuasi masyarakat.

c. Sebagian besar perempuan memiliki ketergantungan ekonomi

terhadap laki-laki

Faktor penghambat yang lain adalah ketergantungan ekonomi

wanita terhadap laki-laki. Ketergantungan ekonomi membuat wanita

lemah dalam aspek yang lain, termasuk kemandirian dalam mengambil

keputusan, akses sosial, politik dan kesempatan untuk

mengembangkan diri. Sebagian besar politisi wanita juga terbentur

masalah ketergantungan ekonomi. Kampanye politik membutuhkan dana

yang tidak sedikit, di tingkat yang paling rendah (pemilihan

ketua desa) sekalipun. Wanita yang secara ekonomi sangat

tergantung pada laki-laki tentu saja akan menemui hambatan besar

masalah pendanaan kampanye ini. Meskipun ia memiliki kualifikasi

sebagai tokoh politik yang potensial, wanita yang tidak mandiri

secara ekonomi tidak dapat berbuat banyak. Cita-cita dan karir

politiknya akan sangat tergantung pada suaminya, apakah suaminya

mau dan mampu mendanai kampanye politiknya atau tidak.

Lantas, apakah wanita yang memiliki pekerjaan dan bahkan

memiliki pendapatan lebih tinggi daripada suaminya tidak menemui

18

hambatan ekonomi untuk berpartisipasi aktif di dunia politik? Hal

tersebut tergantung pada pola hubungan interpersonal keduanya

dalam rumah tangga. Pada umumnya, di keluarga dimana peran suami

sangat dominan, wanita dengan kondisi finansial lebih mapan tetap

akan mematuhi suaminya dalam pengelolaan keuangannya.

d.  Kurangnya keinginan perempuan

Secara umum, keinginan atau kemauan politik perempuan untuk

dapat memperjuangkan dirinya setara dengan laki-laki masih

rendah. Padahal, saat ini kebebasan perempuan untuk terjun ke

dunia politik sudah dijamin secara tegas dalam perubahan

peraturan perundang-undangan politik.

e.  Masih sedikit partai politik yang memiliki kader perempuan

Pada umumnya, partai politik peserta pemilu belum memiliki

kader perempuan yang mempunyai potensi yang cukup besar dan

memadai untuk dapat diandalkan sebagai kader guna menunjang

struktur organisasi kelembagaan politik yang berkualitas. Secara

tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa partai politik

belum yakin menggunakan kader perempuan untuk meningkatkan

kualitas partai dalam meraih simpatisan yang cukup besar dari

masyarakat atau pemilih, yang pada akhirnya bagi kemenangan

partai politik pada setiap pemilu.

f. Koordinasi yang masih lemah.

19

Masih lemahnya kinerja dan jalinan jaringan kerja

(networking) antara institusi politik perempuan yang telah ada

dalam mengupayakan peningkatan peran politik perempuan, baik

secara kualitatif maupun kuantitatif, di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah menyebabkan upaya perempuan untuk mendapatkan

peran politik kurang terakomodasi.

g. Kurangnya komunikasi politik

Jalinan mata rantai yang komunikatif dalam bentuk jaringan

kerja (net working) antar institusi politik perempuan baik antar

pemerintah, pusat, daerah dan masyarakat serta pers atau media

untuk menghimpun kekuatan politik perempuan belum terbangun.

Perjuangan perempuan untuk mendapatkan peran politik masih

dilakukan sendiri-sendiri tanpa dukungan yang terintegrasi

20

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

keterlibatan peran perempuan dalam bidang politik menjadi sebuah

hal yang sangat menarik dan penting mengingat sejarah kesuksesan

keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan

pembangunan daerah. Pada penyelenggaraan otonomi daerah di

Indonesia yaitu penyelimpahan wewenang dari pemerintah pusat

21

terhadap pemerintahan daerah agar dapat mengatur wilayahnya

sendiri untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,

mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses

pemerintahan dan pembangunan.

Undang Undang menjamin hak keterwakilan perempuan untuk

berkarya di berbagai jabatan publik. Misalnya, pasal 46 UU No. 39

tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa sistem pemilihan umum,

kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sitem

pengangkatan di bidang eksekutif dan judikatif harus menjamin

keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Demikan

pula, pasal 49 ayat 1 UU tersebut menyebutkan bahwa wanita berhak

untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan

profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang

undangan apalagi setelah PBB mengeluarkan resolusi pemenuhan 30%

kuota perempuan di lembaga legislatif, sebagai suatu upaya bahwa

kuota tersebut sebagai jaminan atas hak perempuan untuk turut

aktif dalam perpolitikan nasional. Hal ini menjadi salah satu

upaya pemberdayaan politik bagi kaum perempuan di Indonesia untuk

membangun daerahnya masing-masing.

3.2 Kritik dan Saran

·         Demikian yang dapat pemakalah paparkan mengenai

“Pemberdayaan Politik Terhadap Perempuan Dalam Konsep Otonomi

Daerah”, diharapkan kepada pembaca agar sudikiranya memberikan

kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi

kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga makalah ini berguna

22

bagi penulis dan khususnya juga para pembaca dan mahasiswa-

mahasiswi yang sedang mempelajari Mata Kuliah Pemberdayaan

Masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/.html

http://www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-politik/45-

politika/11479-otonomi-daerah-mengecewakan.html

23