bab i - lapsus

37
1 LAPORAN KASUS KARDIOMIOPATI PERIPARTUM PREEKLAMSIA BERAT Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Bagian Obstetri dan Ginekologi Disusun oleh : Rusthavia Afrilianti FAA 110 001 Pembimbing : dr. Rully P. Adhie, M.Si.Med, Sp.OG KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD dr. DORIS SYLVANUS/PSPD UNPAR PALANGKARAYA AGUSTUS 2014

Upload: meryco

Post on 21-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

lapsus

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i - Lapsus

1

LAPORAN KASUS

KARDIOMIOPATI PERIPARTUM

PREEKLAMSIA BERAT

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti

Program Pendidikan Profesi Bagian Obstetri dan Ginekologi

Disusun oleh :

Rusthavia Afrilianti

FAA 110 001

Pembimbing :

dr. Rully P. Adhie, M.Si.Med, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD dr. DORIS SYLVANUS/PSPD UNPAR

PALANGKARAYA

AGUSTUS

2014

Page 2: Bab i - Lapsus

2

BAB I

PENDAHULUAN

Kejadian gagal jantung pada kehamilan telah dikenal sejak pertengahan abad ke-19,

tetapi istilah kardiomiopati disebut-sebut mulai sekitar tahun 1930-an. Pada tahun 1971,

Demakis dan kawan-kawan menemukan pada 27 pasien yang pada masa nifas yang

menunjukkan gejala kardiomegali, gambaran elektrokardiografi yang abnormal dan gagal

jantung kongesti, kemudian disebut sebagai kardiomiopati peripartum.1,2

Sekitar 0,2-4% kehamilan di negara maju disertai komplikasi penyakit kardiovaskular.

Spektrum kejadian penyakit kardiovaskular selama kehamilan berubah sepanjang waktu dan

berbeda antara masing-masing negara.3 Risiko seorang wanita untuk mengalami gangguan

jantung pada masa kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni usia ibu saat pertama kali

mengandung,gangguan metabolik seperti diabetes mellitus, hipertensi dan obesitas. Penyakit

kardiovaskular ini merupakan penyebab tingginya angka kematian maternal selama masa

kehamilan terutama di negara maju. Salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat terjadi pada

periode kehamilan adalah kardiomiopati peripartum. Walaupun kejadiannya di masyarakat

jarang, gangguan ini memiliki komplikasi kardiovaskular yang berat baik terhadap ibu maupun

janin yang dikandung.4,5

Penyakit kardiomiopati merupakan kelompok gangguan organ jantung akibat

abnormalitas struktur anatomis yang terbatas hanya pada miokardium dengan penyebab utama

yang masih belum diketahui pasti. Kelainan struktur otot jantung yang disebabkan oleh kondisi

patologis lain seperti penyakit arteri koroner, gangguan katup, penyakit jantung kongenital,

kelainan pericardium dan hipertensi tidak termasuk dalam definisi inklusi kelompok penyakit

kardiomiopati ini. Kardiomiopati dapat diklasifi kasikan menjadi tiga tipe utama berdasarkan

penampakan anatomis, presentasi klinis dan abnormalitas fisiologis ventrikel kiri, yakni

kardiomiopati dilatasi, hipertrofik dan restriktif.1

Page 3: Bab i - Lapsus

3

Pada beberapa pasien, tipe-tipe ini dapat terjadi bersamaan atau berurutan secara

sekuensial. Terdapat dua bentuk dasar kardiomiopati yang telah dikenali, yakni bentuk primer,

jika terjadi dominansi gangguan otot jantung yang melibatkan miokardium dengan penyebab

tidak diketahui pasti dan bentuk sekunder yang melibatkan gangguan otot jantung dengan

penyakit sistemik yang sudah ada sebelumnya, misalnya konsumsi alkohol kronis dan

amiloidosis.2,3

Kardiomiopati peripartum merupakan salah satu bentuk kardiomiopati dilatasi yang

menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri, terutama muncul pada periode kehamilan

akhir dan masa puerperium (nifas). Di lain pihak perubahan fisiologis dan hemodinamik

mencapai puncaknya saat masuk trimester ke-2 yaitu volume intravaskular meningkat cukup

bermakna, sehingga kadang muncul gejala dan tanda klinis mirip kondisi gagal jantung ringan.

Keadaan ini akan mempersulit diagnosis tepat gangguan jantung yang terjadi selama periode

kehamilan, sehingga diperlukan kerjasama yang baik antar tenaga kesehatan yakni dokter umum,

dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis jantung serta perawat medis untuk

dapat mendeteksi dan menangani penyakit jantung selama kehamilan secara holistik.3

Page 4: Bab i - Lapsus

4

BAB II

RESUME PASIEN

II.1 IDENTITAS PASIEN

Data Ibu Data Suami

Nama : Nn. N Nama :

Umur : 19 tahun Umur :

Pendidikan : Belum tamat SD Pendidikan :

Agama : Hindu Agama :

Pekerjaan : - Pekerjaan :

Suku/bangsa : Dayak Suku/bangsa :

Alamat : Kuala Kurun Alamat :

II.2 ANAMNESIS

a. Keluhan utama: Sesak nafas

b. Riwayat penyakit sekarang: pasien datang rujukan dari RSUD Kuala Kurun dengan

G1P0A0 hamil 35 – 36 minggu janin tunggal hidup presentasi kepala + PEB + edema

paru pro terminasi kehamilan dan perlu perawatan intensif. Sesak nafas (+) mules (-)

keluar lendir darah (-) gerakan janin (+) pusing (+) nyeri ulu hati (-) pandangan mata

kabur (-) batuk (+) sejak awal kehamilan, kelopak mata, tungkai dan daerah kemaluan

bengkak sejak ± 1 bulan yang lalu. ANC (-). Pasien merupakan korban pelecehan

seksual dan memiliki riwayat keterbelakangan mental.

c. Riwayat menstruasi :

Menarche : 12 tahun

Siklus : 28 hari

Lamanya : 4-6 hari

Banyaknya : 2 kali ganti pembalut dalam sehari

Dismenorhoe : Terkadang dapat dirasakan oleh os, tetapi tidak pernah sampai

mengganggu aktivitas.

HPHT : pasien mengaku lupa

TP :

Page 5: Bab i - Lapsus

5

d. Riwayat perkawinan

Status perkawinan : belum menikah

Perkawinan ke :

Usia saat menikah :

Lamanya menikah :

Usia suami saat menikah:

Jumlah anak hidup :

Jumlah anak meninggal:

e. Riwayat kehamilan dan persalinan

No. Kehamilan Tempat persalinan Usia Penolong Penyulit JK BBL Keterangan

1 Hamil ini

f. Riwayat KB : belum pernah menggunakan KB

g. Riwayat kesehatan ibu : HT (-) DM (-) Asma (-)

h. Riwayat kesehatan keluarga: riwayat penyakit kronik/menahun (-)

II.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

o TD : 170/130 mmHg suhu : 35,8 0C

o Nadi : 126 x/mnt RR : 38 x/mnt

Cephal : CA -/- SI -/- edema palpebra +/+

Collum : pembesaran KGB (-)

Pulmo : SDV +/ + Rh +/+ Wh -/-

Cor : S1-S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Supel, BU (+) normal, tymphani

Ekstremitas atas : akral hangat

Ekstremitas bawah : akral hangat, pitting oedema +/+

Page 6: Bab i - Lapsus

6

Status obstetrik

o Leopold : TFU ½ pusat – px (MD. 31 cm), pu – ki, preskep, belum masuk

PAP

o DJJ : 128 x/menit

o VT : Tidak dilakukan

II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah lengkap tertanggal 17 Agustus 2014

Hb : 12,3 gr%

Leukosit : 13,62 x 103 / mm

3

Trombosit : 496 x 103 / mm

3

Kreatinin : 1,52 mg/dL

GDS : 86 mg/dL

HbsAg : (-)

Protein urine: +2

II.5 DIAGNOSA KERJA :

G1P0A0 HAMIL 35 – 36 MINGGU

PEB

KARDIOMIOPATI PERIPARTUM

II.6 PENATALAKSANAAN :

Obsgyn:

- IVFD RL 500 cc + 2 flash MgSO4 20% 20 tpm

- Inj. Dexametasone 2 x 1 amp

- Konsultasi Penyakit Dalam

- Pro rawat ICU

- Observasi DDJ /4 jam

IPD:

- Ro thorax jika memungkinkan

- Konsultasi Jantung

Page 7: Bab i - Lapsus

7

Jantung:

- Inj. Furosemid 2 amp

Selanjutnya 3 x 1 amp

- p.o Amlodipin 2 x 5 mg

- Betanoe 2,5 1 – 1 – 0

Anastesi:

- ACC rawat ICU ICU penuh HCU ruang C

- O2 NRM 10 – 12 lpm

\

Gambar 2.1 Hasil foto Ro Nn. N

Page 8: Bab i - Lapsus

8

II.7 EVALUASI HARIAN

Tanggal S O A P

18/08/14 Pusing (+) , sesak ↓ TD: 140/90

N: 96 x/m

RR: 26 x/m

t: 36,3 oC

Kepala: CA (-) SI (-)

Thorax: Vesikuler, Rh +/+ Wh -/-

S1S2 tunggal, bising (-)

Abdomen: TFU ½ pusat – px,

DJJ: 126x/m

Ektremitas: edema +/+

G1P0A0 UK 35 – 36

minggu

PEB

Kardiomiopati

peripartum

IPD:

Inj. Furosemid 1 Amp/24

jam

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Nebulizer combivent/8 jam

Obsgyn:

Pro terminasi kehamilan

Konsultasi jantung

Jantung:

Diperbolehkan induksi

persalinan

Terapi lanjut

19/08/14 Sesak (-) TD: 160/100

N: 88 x/m

RR: 20x/m

t: 36,3 oC

Kepala: CA (-) SI (-)

Thorax: Vesikuler, Rh -/- Wh -/-

S1S2 tunggal, bising (-)

Abdomen: TFU ½ pusat – px,

DJJ: 140-142 x/m

Ektremitas: edema +/+

G1P0A0 UK 35 – 36

minggu

PEB

Kardiomiopati

peripartum

Obsgyn:

Coba persalinan

pervaginam

Jantung:

Bila KRS, konsul poli

jantung

Furosemid tab 100 mg

Amlodipin 5 mg 1-0-1

Betanoe 20 mg 1-0-0

IPD:

Terapi lanjut

Nebulizer combivent/12

jam

Pukul 08.00 wib VT pembukaan

lengkap, presentasi kepala, HII+

ketuban (-)

Pasien dipimpin mengedan oleh

dokter spesialis, pukul 08.15 wib

bayi lahir tidak segera menangis,

bayi laki-laki, isap slem (+),

rangsang taktil (+), merintih (+)

langsung dialih rawat ke ruang

perinatologi.

Pukul 08.25 wib management

kala aktif III, plasenta lahir

lengkap, perdarahan ± 200 cc, TD

PP 120/70

Page 9: Bab i - Lapsus

9

20/08/14 Sesak (-)

Nyeri ulu hati (-)

Pusing (-)

TD: 140/90

N: 82 x/m

RR: 22 x/m

t: 36,8 oC

Kepala: CA (-) SI (-)

Thorax: Vesikuler, Rh -/- Wh -/-

S1S2 tunggal, bising (-)

Abdomen: TFU 1 jari ↓ pusat

Ektremitas: edema +/+

Laboratorium

Protein urine: +3

P1A0 PP spontan

PEB

Kardiomiopati

peripartum

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1

p.o Furosemid 1x1 tab

Betanoe 1x1 tab

Amlodipin 2x1 tab

SF 1x1 tab

nebulizer combivent/12 jam

21/08/14 Sesak (-)

Nyeri ulu hati (-)

Pusing (-)

TD: 130/90

N: 80 x/m

RR: 18 x/m

t: 36,5 oC

Kepala: CA (-) SI (-)

Thorax: Vesikuler, Rh -/- Wh -/-

S1S2 tunggal, bising (-)

Abdomen: TFU 2 jari ↓ pusat

Ektremitas: edema +/+

P1A0 PP spontan

PEB

Kardiomiopati

peripartum

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1

p.o Furosemid 1x1 tab

Betanoe 1x1 tab

Amlodipin 2x1 tab

SF 1x1 tab

nebulizer combivent/12 jam

II.8 DIAGNOSIS AKHIR:

- P1A0 Post Partum Spontan

- PEB

- Kardiomiopati Peripartum

Page 10: Bab i - Lapsus

10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. KARDIOMIOPATI PERIPARTUM

A. DEFINISI

Definisi terkini kardiomiopati peripartum dapat merujuk pada grup studi dari the

European Society of Cardiology (ESC) yang mendefinisikan kardiomiopati sebagai salah

satu bentuk kardiomiopati dilatasi dengan tanda-tanda gagal jantung pada bulan terakhir

kehamilan atau dalam 5 bulan pasca melahirkan. Kelainan miokardium yang dicirikan

oleh abnormalitas otot jantung secara struktural dan fungsional, yang bukan disebabkan

oleh penyakit koroner, hipertensi, gangguan katup jantung, maupun penyakit jantung

kongenital yang bermakna.1

Kardiomiopati peripartum merupakan penyakit miokardium idiopatik yang terjadi

pertama kali pada trimester III kehamilan atau 5 bulan setelah melahirkan.

Kriteria kardiomiopati peripartum adalah:1

a) terjadi pertama kali antara trimester III kehamilan sampai 5 bulan pertama setelah

melahirkan

b) etiologi tidak dapat ditemukan

c) tidak pernah menderita penyakit jantung sebelumnya.

B. EPIDEMIOLOGI

Penyakit kardiovaskuler menyebabkan sekitar 1/3 kasus kematian, menjadi penyebab

utama kematian pada wanita di seluruh dunia. Kardiomiopati relatif jarang tetapi dapat

mengancam jiwa. Gagal jantung mempengaruhi perempuan pada bulan-bulan terakhir

kehamilan atau puerperium dini. Ini tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan

mortalitas ibu. 75% kardiomiopati periparum didiagnosis pada bulan pertama postpartum

dan 45% pada minggu pertama. Ketika dicurigai, harus segera menetapkan diagnosis.

Insiden kardiomiopati peripartum bervariasi di seluruh dunia.6

Wanita keturunan Afrika-Amerika memiliki risiko yang lebih tinggi, terutama disebabkan

oleh tingginya prevalensi hipertensi pada populasi ini. Wanita keturunan Afrika-Amerika

memiliki angka kejadian kardiomiopati peripartum 15,7 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita bukan keturunan Afrika-Amerika.13 Dilaporkan prevalensi kardiomiopati

Page 11: Bab i - Lapsus

11

peripartum di negara-negara non Afrika berkisar antara 1 : 3.000 – 1 : 15.000 kelahiran

hidup.4,5

Dalam sebuah penelitian 68.75% dari pasien kardiomiopati peripartum mengalami

persalinan pervaginam dan 31% diperlukan operasi Caesar terutama karena alasan

obstetrik. Pendekatan multi disiplin melibatkan ahli kandungan, ahli jantung, ahli anestesi

dan ahli anak. Sekitar 43.75% pasien membutuhkan perawatan ICU dibawah pengawasan

ahli jantung dan anestesi. Komplikasi pada ibu terutama edema paru dan CCF pada

62.5% penderita dan aritmia pada 12.5% penderita.3 kematian ibu terjadi karena alasan

tromboemboli. Mengenai hasil neonatal, pada 27 bayi lahir hidup, 5 kematian perinatal

terjadi. Penyebab utama kematian perinatal adalah premature dan IUGR dan terkait gagal

jantung kongestif pada ibu.5

Gambar 3.1 Akibat Kehamilan dengan Kardiomiopati Peripartum dan Komplikasi pada Fetus

Page 12: Bab i - Lapsus

12

C. ETIOLOGI

Penyebab pasti kardiomiopati peripartum masih belum diketahui, beberapa faktor etiologi

yang potensial adalah infeksi virus (coxsackievirus, parvovirus B19, adenovirus dan

herpesvirus), proses inflamasi, miokarditis, peristiwa autoimun akibat kehamilan,

peningkatan apoptosis miokardium, efek hormonal, toksemia, abnormalitas respons

hemodinamik terhadap kehamilan, predisposisi genetik dan pemotongan enzimatik

protein prolaktin selama peristiwa stres oksidatif. Biopsi jantung pada tahap awal

rumatan penyakit dapat menemukan tanda miokarditis, mungkin disebabkan oleh reaksi

autoimun terhadap antigen asing janin yang sedang dikandung.7

Kardiomiopati peripartum dicurigai terjadi sebagai konsekuensi ketidakseimbangan

proses stres oksidatif, menyebabkan pemotongan enzimatik hormon laktasi prolaktin

sehingga berubah menjadi faktor angiostatik yang bersifat poten dan fragmen pro-

apoptotik.15 Selain itu, peristiwa microchimerism fetal, terdapatnya sel fetal yang lolos

masuk ke dalam sirkulasi maternal dan menginduksi terjadinya miokarditis autoimun

serta abnormalitas kejadian stress oksidatif juga berperan cukup signifikan.8

D. PERUBAHAN FUNGSI KARDIOVASKULAR SELAMA KEHAMILAN

Perubahan adaptasi fisiologis selama kehamilandan peripartum penting diketahui untuk

evaluasi status klinis pasien dan interpretasi parameter fungsi jantung. Perubahan

fisiologis ini biasanya dimulai pada trimester awal kehamilan (usia kehamilan 5 hingga 8

minggu), mengalami puncaknya pada saat trimester kedua akhir, dan cenderung dalam

kondisi plateau setelahnya hingga periode pasca melahirkan. Pada periode kehamilan

akan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan energi akibat peningkatan kadar

katekolamin plasma dan sensitivitas reseptor adrenergik.9

Kehamilan merupakan proses fisiologis, akan terjadi beberapa adaptasi perubahan sistem

kardiovaskuler untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolisme maternal dan fetus

selama periode gestasi. Adaptasi ini meliputi peningkatan volume darah dan curah

jantung serta penurunan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah. Pada periode

kehamilan akan terjadi ekspansi volume plasma darah mencapai 40% lebih tinggi

dibanding kondisi sebelum hamil yang dimulai pada usia kehamilan 5-6 minggu dan

mencapai puncaknya pada usia kehamilan 24 minggu, menyebabkan peningkatan curah

jantung sebesar 30-50% selama periode kehamilan normal. Hal ini disebabkan oleh

Page 13: Bab i - Lapsus

13

stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron oleh estrogen, menyebabkan retensi cairan

dan garam melalui ginjal. Selama trimester ke-3 kehamilan, curah jantung dapat

mencapai angka 7 liter/menit dan mengalami peningkatan lebih lanjut hingga mencapai

10-11 liter/menit selama proses melahirkan.10

Pada trimester awal kehamilan, peningkatan curah jantung terutama disebabkan oleh

peningkatan volume sekuncup akibat besarnya volume darah maternal (preload), namun

pada kehamilan tahap akhir, peningkatan ini terjadi akibat meningkatnya laju denyut nadi

dan berkurangnya resistensi vaskuler sistemik (afterload). Peningkatan laju denyut nadi

terjadi mulai 20 minggu hingga mencapai puncaknya pada usia kehamilan 32 minggu dan

bertahan tinggi sampai 2-5 hari setelah melahirkan. Selain itu sejak awal trimester

kehamilan terjadi penurunan tekanan darah sistolik akibat penurunan resistensi pembuluh

darah perifer dan tekanan darah diastolic akan mencapai 10 mmHg lebih rendah dari

kondisi sebelum kehamilan pada trimester ke-2. Hal ini terjadi karena vasorelaksasi yang

dicetuskan oleh sekresi meditor vasomotor lokal prostasiklin dan nitric oxide. Sedangkan

pada trimester akhir kehamilan, tekanan darah diastolik akan meningkat hingga mencapai

nilai yang sama dengan kondisi sebelum hamil untuk mempersiapkan proses melahirkan

secara fi siologis. Hal yang perlu diketahui selama periode trimester ke-3 kehamilan

adalah bahwa curah jantung dan volume sekuncup sangat dipengaruhi oleh posisi tubuh,

yang akan meningkat saat berbaring posisi lateral dan berkurang saat berbaring terlentang

akibat kompresi vena cava inferior oleh uterus yang telah membesar (sindrom

uterocaval). Pada periode ini organ jantung dapat mengalami peningkatan ukuran sebesar

kurang lebih 30% dibandingkan dengan ukuran asal sebelum kehamilan, sebagian akibat

dilatasi ruang jantung.11

Wanita yang sedang hamil akan mengalami perubahan hemostasis bermakna, terjadi

peningkatan kadar faktor koagulasi, fibrinogen, agregasi trombosit, berkurangnya kadar

protein S plasma darah, penurunan aktivitas fi brinolisis, hipertensi vena serta obstruksi

aliran vena cava inferior akibat uterus yang membesar. Semua faktor ini akan

menyebabkan kondisi stasis aliran darah serta hiperkoagulabilitas yang meningkatkan

risiko tromboemboli. Selain itu melemahnya struktur dinding pembuluh darah arteri

ukuran sedang dan besar selama kehamilan disebabkan oleh berkurangnya deposisi

serabut kolagen akibat pelepasan estrogen, elastase dan relaksin ke dalam sirkulasi

Page 14: Bab i - Lapsus

14

maternal. Hal ini membuat wanita hamil terutama pada trimester akhir menjadi lebih

rentan mengalami diseksi pembuluh darah, yakni diseksi aorta atau arteri koroner.4,5

Perubahan fi siologis selama periode kehamilan dapat mengubah profil farmakokinetik

obat yang diberikan pada masa ini. Hal ini terjadi karena ekspansi volume plasma darah,

volume distribusi, penurunan kadar protein serum, perubahan afinitas pengikatan

terhadap protein plasma, peningkatan akitivitas metabolisme oleh enzim hepatik serta

peningkatan aliran darah ke ginjal menyebabkan peningkatan klirens obat-obatan yang

terutama diekskresi melalui organ ini. Pada periode kehamilan penting dilakukan

penyesuaian dosis dan monitoring kadar obat dalam darah secara ketat akibat beberapa

perubahan adaptasi ini.12

Proses melahirkan akan meningkatkan curah jantung dan tekanan darah lebih lanjut

akibat kontraksi uterus serta peningkatan kebutuhan oksigen, perubahan hemodinamik ini

sangat dipengaruhi oleh pilihan metode melahirkan.13

Curah jantung juga akan tetap

meningkat sesaat setelah melahirkan pada periode nifas akibat bertambahnya volume

darah sirkulasi maternal yang berasal dari pergeseran aliran darah uterus dan plasenta

sehingga menyebabkan peningkatan preload. Hal ini menyebabkan pasien rentan

mengalami edema pulmoner pada periode pasca melahirkan. Pada kebanyakan kasus,

perubahan hemodinamik ini akan berangsur-angsur kembali normal seperti keadaan

sebelum hamil dalam 1-3 hari, namun pada beberapa wanita dapat bertahan hingga

beberapa minggu.14

E. PATOFISIOLOGI

Stres oksidatif selama periode peripartum memiliki peran cukup penting dalam

menyebabkan kerusakan ventrikel kiri. Senyawa proinfl amatorik dan peristiwa stres

oksidatif akan makin meningkat selama proses kehamilan normal dan mencapai

puncaknya pada trimester terakhir kehamilan. Ketidakseimbangan proses stres oksidatif

selama periode kehamilan dan pasca melahirkan dapat menyebabkan terjadinya

pemotongan enzimatik hormone prolaktin oleh cathepsin-D menjadi fragmen prolaktin

dengan berat molekul 16-KDa. Fragmen prolaktin dengan berat molekul 16-KDa ini

dapat menginduksi apoptosis sel endotelial pembuluh darah, penghambatan proliferasi sel

endotel yang diinduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dan mengganggu

mekanisme vasodilatasi vaskuler yang diperantarai nitric oxide. Fragmen ini dapat

Page 15: Bab i - Lapsus

15

merusak struktur mikrovaskuler jantung yang pada akhirnya akan menyebabkan dilatasi

ruang jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri.6 Secara molekuler, beberapa jalur

transduksi sinyal telah terbukti memiliki peran penting dalam melindungi organ jantung

maternal dari kerusakan selama proses kehamilan, termasuk jalur STAT3 (Signal

Transducer and Activator of Transcription Factor-3). Pada model binatang percobaan,

delesi gen yang mengkode jalur STAT3 akan menyebabkan terjadinya pemotongan

proteolitik secara enzimatik hormon prolaktin menjadi faktor antiangiogenik,

proapoptotik dan proinflamatorik poten sehingga berhubungan dengan terbentuknya serta

progresivitas kardiomiopati dilatasi.15

Pada pasien dengan predisposisi genetik terdapat

setidaknya 6 gen yang berperan dalam pathogenesis kardiomiopati dilatasi, mutasi pada

gen-gen ini dapat menimbulkan gangguan produksi protein mutan sel otot jantung yang

tidak sensitif terhadap ion kalsium sehingga terjadi gangguan kontraksi miokardium.16

Gagal jantung akibat kardiomiopati peripartum disebabkan oleh gagalnya adaptasi tubuh

untuk mempertahankan tekanan perfusi ke jaringan perifer. Hal ini disebabkan oleh

aktivasi sistem neurohormonal yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Aktivasi

kronik berlebihan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatik

(adrenergik atau katekolaminergik) menyebabkan remodeling ventrikel kiri yang

progresif hingga tingkat seluler menyebabkan bertambah buruknya gejala klinis. Selain

itu kontribusi aktivasi sitokin proinfl amasi pada gagal jantung kronikdapat menyebabkan

fi brosis, hipertrofi dan gangguan fungsi pompa ventrikel kiri.17

Gangguan fungsi pompa akan menyebabkan turunnya stroke volume dan cardiac output

sehingga menyebabkan hipoperfusi jaringan perifer. Hal ini akan mengaktifkan sistem

adaptasi atau kompensasi berupa peningkatan fungsi kontraktil melalui mekanisme

Frank-Starling (akibat peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri yang

meregangkan serabut otot ventrikel kiri) dan aktivasi sistem neurohumoral (saraf simpatis

dan sistem renin-angiotensin-aldosteron). Pada awal terjadinya disfungsi, pasien jarang

mengeluh karena adanya mekanisme adaptasi, namun seiring perjalanan waktu ketika

terjadi progresi degenerasi sel otot jantung dan remodelling yang menyebabkan overload

volume, pasien akan mulai mengeluhkan gejala gagal jantung. Dimensi ruang ventrikel

yang melebar akan menyebabkan pelebaran annulus katup atrioventrikular menyebabkan

Page 16: Bab i - Lapsus

16

regurgitasi katup fungsional. Regurgitasi bersamaan dengan disfungsi sistolik memiliki

beberapa konsekuensi, yakni terjadi overload volume dan tekanan pada atrium serta

ventrikel sehingga menyebabkan pembesaran atrium serta fibrilasi atrium, dan penurunan

stroke volume menuju sirkulasi sistemik. Pada pemeriksaan patologi makroskopis dapat

ditemui dilatasi semua ruang jantung dengan sedikit hipertrofi dinding. Secara

mikroskopis ditemukan tanda degenerasi miosit dengan hipertrofi serta atrofi ireguler

serabut otot jantung disertai fibrosis interstitial dan perivaskular yang ekstensif.

Pertumbuhan fetal yang baik sangat ditentukan oleh aliran darah maternal yang baik

menuju uterus plasenta, gangguan fungsi pompa jantung harus mulai dicurigai serta

dievaluasi jika ditemukan tanda gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan akibat

terganggunya aliran darah dan oksigenasi.3

Gambar 3.2 Perbandingan jantung normal (kiri), kardiomiopati hipertrofik (tengah) dan

kardiomiopati dilatasi (kanan).

F. MANIFESTASI KLINIS

Spektrum tanda dan gejala gagal jantung yang disebabkan oleh kardiomiopati peripartum

sangat bervariasi. Sekitar 50% pasien gagal jantung sistolik bahkan tidak bergejala sama

sekali. Pada pasien asimptomatik, salah satu indikasi awal diagnosis ini hanya pada saat

evaluasi kondisi janin menggunakan monitor dan teknik ultrasonografi fetal. Presentasi

klinis dan ciri hemodinamik pasien kardiomiopati peripartum tidak bisa dibedakan dari

kondisikardiomiopati dilatasi dan gagal jantung sistolik yang disebabkan etiologi lain.

Page 17: Bab i - Lapsus

17

Diagnosis gagal jantung pada kardiomiopati peripartum dibuat berdasarkan anamnesis

dan pemeriksaan fi sik yang terarah. Pasien akan mengalami penurunan kapasitas latihan,

takipnea, palpitasi/takikardia, tekanan nadi yang sempit dan merasa mudah lelah.

Gangguan perfusi jaringan otak akibat kurangnya cardiac output akan bermanifestasi

sebagai rasa pusing dan melayang, bahkan kadang berupa penurunan kesadaran

(syncope), terutama pada aktivitas fisik berlebihan. Pada gagal jantung tingkat lanjut

dengan gejala kongesti berat dapat ditemukan nyeri perut, anorexia, batuk, susah tidur

dan gangguan mood.18,19

Pasien kardiomiopati peripartum akan mengalami tanda dan

gejala khas gagal jantung kronik. Namun perlu diingat bahwa fatigue, gejala sesak nafas

saat beraktivitas dan edema kaki wajar ditemukan pada wanita hamil mulai trimester ke-2

hingga tahap akhir, sehingga kondisi kardiomiopati dilatasi akan lebih sulit dideteksi

hanya melalui gejala klinis. Gejala klinis lain yang merupakan tanda peringatan pada

pasien kardiomiopati peripartum antara lain nyeri dada tidak spesifi k, rasa tidak nyaman

abdomen, distensi perut, batuk, hemoptisis, tanda edema paru, orthopnea dan paroxysmal

nocturnal dyspnea yang biasanya terjadi pada wanita yang mungkin telah memiliki

kelainan jantung sebelumnya. Sebagian besar kardiomiopati peripartum berada pada

kondisi NYHA (New York Heart Association) kelas fungsional III-IV saat pertama kali

datang ke tenaga kesehatan.5

Tanda fisik pasien gagal jantung akibat kardiomiopati dilatasi pada masa peripartum

bervariasi tergantung derajat kompensasi, tingkat kronisitas (gagal jantung akut

dibandingkan dengan gagal jantung kronik), dan keterlibatan ruang jantung (jantung

sebelah kiri atau kanan). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konfi gurasi jantung

dan hepar yang membesar dengan tingginya tekanan vena sistemik. Tanda fisik overload

cairan atau kongesti yang dapat ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik

antara lain ronkhi basah pada auskultasi paru, tanda efusi pleura, distensi/peningkatan

tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali, edema perifer, bising sistolik sebagai tanda

adanya regurgitasi mitral akibat dilatasi masif lumen ventrikel dan atrium kiri, serta

gallop S3 pada auskultasi akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri pada

penurunan fungsi ventrikel kiri akibat dilatasi. Gangguan perfusi perifer terutama pada

pasien gagal jantung tingkat lanjut dengan penyakit penyerta anemia, dapat dilihat

Page 18: Bab i - Lapsus

18

melalui pemeriksaan ekstremitas yang teraba dingin, pucat, sianosis, dan pemanjangan

waktu pengisian kapiler.20

Khusus pada pasien kardiomiopati peripartum, dapat ditemukan tanda bergesernya

perabaan ictus cordis ke arah lateral dan bising ejeksi sistolik di tepi kiri sternum akibat

regurgitasi mitral. Selain itu tanda embolisasi organ perifer tubuh misalnya ekstremitas

bawah, usus dan otak dapat terjadi akibat trombus yang terbentuk di ventrikel kiri yang

berdilatasi. Pada kasus jarang dapat pula terjadi emboli paru akibat terlepasnya trombus

yang terbentuk di ventrikel kanan yang berdilatasi.9

Kriteria Framingham (gambar 1) dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal

jantung menggunakan kriteria klinis (anamnesis dan pemeriksaan fi sik). Diagnosis

ditegakkan jika didapatkan 2 gejala mayor pada pemeriksaan klinis atau minimal terdapat

1 gejala mayor dengan 2 gejala minor yang terpenuhi.21

Gambar 3.3 Kriteria Framingham untuk Diagnosis Gagal Jantung

Page 19: Bab i - Lapsus

19

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Perlu diingat bahwa kardiomiopati peripartum merupakan diagnosis eksklusi hanya jika

seluruh kemungkinan mekanisme dasar penyakit jantung lain sebagai faktor etiologi telah

disingkirkan dengan analisis riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik yang terarah

dan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.22

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat

digunakan antara lain elektrokardiografi, ekokardiografi, dan pemeriksaan darah.

Elektrokardiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai dan memantau aktivitas kelistrikan otot jantung

secara non-invasif dengan tingkat akurasi cukup tinggi. Dengan pemeriksaan EKG dapat

dideteksi tanda adanya gagal jantung dan faktor pencetus lain misalnya gangguan irama

jantung (takikarida ventrikular, takikardia supraventrikular dan sindroma preeksitasi)

serta abnormalitas segmen ST dan gelombang T.4 Hipertrofi ventrikel kiri akibat

gangguan fungsi sistolik dan diastolik jantung ditandai dengan gambaran gelombang R di

aVL >11 mm; atau R di V5-V6 >27 mm; atau S di V1+ R di V5/V6 >35 mm dengan

depresi segmen ST dan inversi gelombang T pada sadapan prekordial kiri dan lateral (LV

Strain pattern). Kasus gagal jantung kanan akibat berbagai sebab dapat disertai dengan

hipertrofi ventrikel kanan yang ditandai dengan gambaran EKG deviasi aksis ke kanan

(aksis > +110o), tidak ditemukan adanya penyebab deviasi sumbu jantung yang lain

(misalnya defek konduksi interventrikular, left posterior hemiblock), rasio gelombang R:

S >1 pada sadapan prekordial kanan (V1/V2) dan masih ditemukannya gelombang S

dalam pada lead prekordial kiri (V5/V6).31 Pemeriksaan Holter kadang diperlukan untuk

pasien gagal jantung pada kardiomiopati peripartum dengan aritmia transien misalnya fi

brilasi atrial atau takikardi ventrikel.22

Foto rontgen toraks

Pemeriksaan radiologi dapat menilai ukuran jantung (kardiomegali), kondisi parenkim

paru, derajat kongesti, edema alveoli, edema interstitial, efusi pleura dan dilatasi

pembuluh darah lobus superior paru/sefalisasi. Perlu diingat pemeriksaan rontgen toraks

memberikan risiko cukup signifikan terhadap janin dalam kandungan. Penggunaan teknik

diagnostik ini sedapat mungkin dihindari dan dalam keadaan terpaksa dapat dilakukan

dengan menggunakan alat pelindung region abdomen ibu selama proses pengambilan

gambar.19

Page 20: Bab i - Lapsus

20

Ekokardiografi

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik pasien

kardiomiopati peripartum dengan kondisi gagal jantung kronik. Selain itu pemeriksaan

ekokardiografi dapat digunakan untuk mencari kemungkinan penyebab utama gagal

jantung lain, misalnya iskemia, kardiomiopati, gangguan katup jantung dan sebagainya.

Pada pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan bukti disfungsi sistolik ventrikel kiri

dengan fraksi ejeksi <45%, fraksi pemendekan (fractional shortening) <30% dan dilatasi

seluruh ruangan jantung. Pada sekitar 43% kasus kardiomiopati peripartum dapat

ditemukan tanda adanya regurgitas mitral dan trombus intramural ventrikel kiri terutama

pada pasien dengan fraksi ejeksi dibawah 35%.9

Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan darah rutin, kimia darah dan kadar elektrolit (natrium, kalium) sangat

penting dilakukan terutama untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya aritmia.

Pemeriksaan laboratorium lain dapat ditambahkan sesuai kondisi klinis masing-masing

pasien. Pemeriksaan biomarker jantung, seperti BNP (brain natriuretic peptide) dan NT

Pro-BNP (N-terminal pro-brain natriuretic peptide), selain untuk kepentingan diagnosis,

dapat juga digunakan untuk pemantauan hasil terapi dan menilai prognosis.21

H. PENATALAKSANAAN

Penanganan pasien kardiomiopati peripartum dengan tanda dan gejala gagal jantung

kronik dapat menggunakan dua pendekatan klinis, yakni terapi non-medikamentosa

(mekanik) dan terapi medikamentosa. Terapi non-medikamentosa yang dapat dilakukan

antara lain edukasi pasien, melakukan aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi klinis,

intervensi diet dengan pembatasan konsumsi garam, mencegah asupan cairan berlebih,

menghindari penggunaan obat golongan NSAID tanpa indikasi mutlak, dan vaksinasi

terhadap agen penyebab infeksi saluran pernafasan yang dapat memperburuk status klinis

pasien, misalnya vaksinasi pneumococcus dan influenza.4 Terapi mekanik dapat

dilakukan dengan pertimbangan khusus dan harus melibatkan tenaga ahli dalam

pengambilan keputusan. Terapi ini melibatkan pembedahan, terapi mekanik dan

intervensi invasif minimal misalnya pemasangan IABP (Intra Aortic Baloon

Counterpulsation) dan LVAD (Left Ventricular Assisst Device) terutama pada pasien

dengan kondisi hemodinamik tidak stabil.23

Mengingat prognosis kardiomiopati

Page 21: Bab i - Lapsus

21

peripartum berbeda dengan kondisi kardiomiopati dilatasi lainnya, karena pada sekitar

50% pasien mengalami perbaikan fungsi ventrikel kiri dalam waktu 6 bulan setelah

diagnosis, maka pengambilan keputusan untuk menggunakan terapi mekanik harus benar-

benar dievaluasi dengan baik.24

Pada pasien hamil dengan kondisi gagal jantung berat

disertai status hemodinamik yang tidak stabil, terminasi kehamilan tanpa memandang

usia gestasi harus segera dilakukan melalui tindakan operasi menggunakan kombinasi

teknik anestesi spinal dan epidural.25

Kelahiran prematur dialami oleh sekitar 17% pasien

tanpa efek negatif terhadap bayi. Sedangkan pada pasien dengan kondisi hemodinamik

stabil tanpa komplikasi obstetrik, metode melahirkan per vaginam lebih disukai

menggunakan teknik anestesi epidural dan monitoring hemodinamik secara ketat. Setelah

melahirkan, sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan status hemodinamik,

sehingga terapi standar gagal jantung dapat segera dimulai.26

Untuk wanita dengan gejala

dan tanda disfungsi ventrikel kiri berat dengan durasi QRS >120 ms setelah 6 bulan

diagnosis awal ditegakkan walaupun sudah diterapi optimal menggunakan pendekatan

farmakologis, disarankan terapi teknik cardiac resynchronization therapy (CRT) dan

pemasangan implantable cardioverter defi brillator (ICD). Transplantasi jantung

merupakan pilihan terakhir pada pasien dengan disfungsi berat ventrikel kiri, yang tidak

mungkin menggunakan, tidak menginginkan alat bantu sirkulasi mekanik untuk alasan

tertentu atau tidak memberikan respons klinis yang positif setelah 6-12 bulan terapi

dengan menggunakan modalitas terapi mekanik ini.27

Tujuan utama terapi pasien

kardiomiopati peripartum dengan gagal jantung kronik adalah memperbaiki gejala,

memperpanjang angka harapan hidup, meningkatkan status fungsional, mempertahankan

kualitas hidup, mencegah progresivitas penyakit, mencegah rekurensi, dan menurunkan

angka rehospitalisasi.28

Kendali faktor pencetus, pemberian terapi optimal, tata laksana

yang adekuat saat terjadi dekompensasi akut, serta kepatuhan pada terapi obat jangka

panjang mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan terapi pada penderita gagal jantung

kronik yang berlanjut pasca melahirkan. Secara umum, penanganan medikamentosa pada

pasien kardiomiopati peripartum dengan gejala gagal jantung meliputi kontrol kadar

garam dan cairan dalam sirkulasi untuk mencegah retensi cairan menggunakan diuretik

dan meminimalisir progresivitas penyakit melalui inhibisi remodeling otot jantung

menggunakan agen modulator sistem neurohormonal.19

Page 22: Bab i - Lapsus

22

Tujuan ini kadang memiliki pendekatan berbeda tergantung kapasitas fungsional pasien.

Pasien dengan NYHA kelas fungsional I dapat diberi modulator sistem neurohumoral

untuk mencegah progresivitas penyakit dan remodeling otot jantung. Bagi pasien gagal

jantung kronik kelas fungsional lebih tinggi (NYHA II-IV) terapi ditujukan untuk

meminimalisir retensi cairan dengan pembatasan asupan garam dan penggunaan diuretik,

meningkatkan kapasitas aktivitas pasien, mengendalikan risiko progresivitas penyakit dan

mencegah kematian.27

Sindrom gagal jantung pada pasien kardiomiopati peripartum

ditatalaksana sesuai panduan terapi gagal jantung akut maupun kronis dengan beberapa

pengecualian.28

Tata laksana medikamentosa yang dapat diberikan adalah sebagai

berikut:

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)

Penggunaan obat golongan ACE-I dikontraindikasikan secara absolut pada pasien hamil.

Obat golongan ini telah terbukti memiliki efek teratogenik dan berbahaya bagi

pertumbuhan serta perkembangan janin dalam kandungan.27

Terapi menggunakan obat

golongan ACE-I dapat mulai dilakukan pasca melahirkan dengan perhatian terhadap

beberapa agen yang juga disekresikan melalui air susu ibu (ASI) selama periode laktasi;

benazepril, captopril, dan enalapril cukup aman.28

Obat golongan ini terbukti dapat

menurunkan angka morbiditas, mortalitas dan angka hospitalisasi pada pasien dengan

gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri. Obat ini bekerja melalui modulasi sistem

neurohumoral dengan cara menurunkan kadar angiotensin II, norepinefrin dan aldosteron

sehingga mencegah progresivitas remodeling otot jantung. Golongan ACE-I juga

memiliki efek menaikkan kadar bradikinin sehigga memperbaiki fungsi vaskular dan

hemodinamik pasien dengan gagal jantung kronik.12

Efek samping yang sering terjadi

pada penggunaan ACE-I antara lain hipotensi, insufisiensi ginjal dan hiperkalemia

sehingga monitoring tekanan darah, kadar elektrolit dan fungsi ginjal (BUN dan kreatinin

serum) harus sering dilakukan dalam terapi jangka panjang khususnya pada pasien

dengan penyakit penyerta. Efek samping lain berupa batuk kering (akibat efek bradikinin)

dan pada kasus jarang dapat menyebabkan angioedema. Dosis ACE-I dimulai dari dosis

kecil kemudian dinaikkan bertahap hingga mencapai target dosis optimal terapi.13

Page 23: Bab i - Lapsus

23

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Sama seperti ACE-I, obat golongan ini juga dikontraindikasikan secara absolut pada

wanita hamil karena bersifat teratogen dan fetotoksik.44 Obat ini merupakan antagonis

spesifik reseptor angiotensin II tipe 1. Obat golongan ini biasa digunakan sebagai obat

antihipertensi, namun penggunaan pada gagal jantung kronik makin meningkat karena

sama seperti golongan ACE-I, obat golongan ini dapat menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas.28

Penggunaan dan pemantauan obat golongan ARB sama dengan golongan

ACE-I, pemeriksaan kadar kalium dan kreatinin serum harus dilakukan secara berkala

pada terapi jangka panjang. ARB digunakan apabila pasien intoleran terhadap efek

samping ACE-I, namun secara klinis obat golongan ini lebih sering dipakai karena dapat

ditoleransi dengan baik. Efek samping obat golongan ARB sebagian besar sama dengan

yang ditimbulkan oleh golongan ACE-I (hipotensi, insufi siensi ginjal dan hiperkalemia)

dengan insidensi lebih rendah. Kombinasi ACE-I dan ARB dapat memberikan

keuntungan pada pasien gangguan ginjal dengan proteinuria masif, namun terapi

kombinasi ini masih bersifat kontroversial karena dapat memperberat kemungkinan efek

samping.23

Kombinasi Hidralazin dan Isosorbid Dinitrat

Obat golongan ini merupakan terapi lini pertama pasien kardiomiopati peripartum dengan

gejala gagal jantung untuk mengurangi afterload. Kombinasi obat ini sekarang sudah

tersedia dalam fixed dose combination (FDC) dan menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas, khususnya pada pasien gagal jantung (terutama NYHA kelas fungsional III-

IV) keturunan Afrika-Amerika.4 Kedua obat ini merupakan golongan vasodilator,

isosorbid dinitrat bekerja sebagai venodilator, sedangkan hidralazin sebagai arteriodilator.

Selain itu, pada pasien yang mengalami angioedema, gagal ginjal berat atau kehamilan

yang tidak mungkin diberi obat golongan ACE-I atau ARB, dapat digunakan kombinasi

hidralazine dan isosorbid dinitrat. Efek samping yang mungkin timbul oleh penggunaan

hidralazine antara lain takikardia refleks dan sindrom mirip-lupus, sedangkan

penggunaan nitrat jangka panjang dapat menimbulkan toleransi serta menyebabkan sakit

kepala dan flushing wajah.25

Page 24: Bab i - Lapsus

24

Beta-Blocker

Obat golongan ini awalnya dikontraindikasikan pada pasien gagal jantung karena dapat

menurunkan fungsi miokardium akibat sifat inotropik dan kronotropik negatif terutama

pada fase akut.27

Namun, berdasarkan penelitian klinis baru-baru ini, penggunaan beta-

blocker pada gagal jantung fase kronik terbukti dapat memberikan keuntungan pada

angka mortalitas, sehingga obat ini sekaran menjadi lini pertama terapi jangka panjang

pasien gagal jantung (NYHA kelas fungsional II atau III) yang memiliki gejala.18

Mekanisme kerja golongan obat ini dalam menurunkan angka mortalitas pasien gagal

jantung tidak diketahui pasti, namun diyakini memberikan efek positif terhadap modulasi

sistem aksis neurohumoral. Obat golongan BB disarankan untuk pasien yang

hemodinamik sudah stabil dan tidak ada kontraindikasi (misalnya, asma bronkial atau

gangguan konduksi jantung) dengan dosis awal kecil, dititrasi perlahan dalam 2-4 minggu

selama 3-4 bulan hingga mencapai dosis target. Obat golongan ini baru memberikan efek

positif setelah terapi 2-3 bulan. Beta-blocker juga dapat dikombinasikan dengan obat-

obatan jangka panjang lain untuk terapi gagal jantung. Obat golongan BB tidak boleh

dihentikan mendadak walau pasien sudah tidak ada gejala karena dapat menimbulkan

perburukan status klinis tiba-tiba. Efek samping yang mungkin timbul pada pengunaan

obat golongan BB antara lain nyeri kepala, dizziness, bradikardia, blok konduksi jantung,

hipotensi, dan perburukan klinis gagal jantung pada pasien dengan profil hemodinamik

buruk.18

Beta-blocker yang disarankan untuk pasien gagal jantung adalah yang bersifat

kardioselektif, antara lain carvedilol, metoprolol suksinat, bisoprolol dan atenolol.26

Sedangkan beta bloker lain yang bersifat tidak kardioselektif (asebutolol, propanolol,

pindolol, nebivolol), tidak boleh digunakan untuk pasien gagal jantung yang sedang

hamil karena dapat mengganggu sirkulasi uteroplasental. Pada wanita yang mendapatkan

terapi menggunakan obat golongan penyekat beta selama kehamilan, maka bayi yang

baru dilahirkan harus diawasi selama 24-48 jam untuk menyingkirkan adanya tanda

hipoglikemia, gangguan depresi pernafasan dan bradikardia.27

Page 25: Bab i - Lapsus

25

Diuretik

Obat golongan ini hanya digunakan jika terdapat gejala kongesti, karena jika

penggunaannya tidak tepat, dapat menimbulkan kondisi hipovolemia yang berbahaya

terhadap aliran darah menuju plasenta dan janin.10

Penggunaan diuretic bertujuan

mengurangi kelebihan cairan dan garam agar dapat mempertahankan status euvolemia.

Pasien dengan status cairan dan preload yang baik akan mengalami perbaikan gejala

klinis sehingga dapat meningkatkan kapasitas latihan dan kualitas hidup. Penggunaan

diuretik berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia (berkurangnya perfusi organ perifer

akibat gagal ginjal) dan gangguan kadar elektrolit darah yang dapat menimbulkan

aritmia. Pasien gagal jantungn yang tidak mengeluhkan gejala dan tidak terbukti ada

tanda overload cairan dapat tanpa diuretik. Resistensi diuretik merupakan suatu kondisi

pasien masih mengalami retensi cairan walaupun sudah mendapatkan terapi restriksi

cairan, garam dan terapi diuretik dosis optimal. Pada kasus ini sebaiknya digunakan

terapi kombinasi diuretik dari beberapa golongan dan menggunakan regimen infus

intravena secara berkesinambungan untuk memperbaiki gejala overload cairan. Apabila

dengan metode ini masih tidak berhasil mengurangi gejala kongesti, dapat digunakan

teknik ultrafi ltrasi yang hanya bisa dilakukan di pusat rujukan.28

Furosemid dan

hidroklorotiazid merupakan obat golongan diuretik yang terbukti cukup aman karena

tidak bersifat teratogenik dan paling sering digunakan pada kondisi kehamilan.29

Antagonis Reseptor Aldosteron (spironolakton dan eplerenon)

Termasuk ke dalam golongan diuretik potensi lemah hemat kalium. Penggunaan obat

golongan ini sebaiknya dihindari selama periode kehamilan karena memiliki sifat

antiandrogen terhadap janin jika digunakan pada trimester pertama.20,24

Aldosteron

antagonis digunakan untuk pasien gagal jantung tahap lanjut pasca melahirkan jika obat

golongan ACE-I/ARB dan diuretic loop tidak memberikan respons adekuat.

Spironolakton diindikasikan pada pasien gagal jantung sistolik tingkat lanjut (NYHA

kelas fungsional III-IV dan fraksi ejeksi <35%) yang sudah diterapi optimal

menggunakan ACE-I dan BB serta tanpa disfungsi ginjal signifi kan (kreatinin serum

<2,5 mg/dL) atau hiperkalemia (kadar potassium serum >5 mEq/L). Sedangkan

eplerenon diindikasikan pada pasien gagal jantung (fraksi ejeksi ≤45%) akibat infark

miokard. Penggunaan eplerenon lebih baik ditoleransi. Jika menggunakan diuretik hemat

Page 26: Bab i - Lapsus

26

kalium, suplementasi kalium sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan

hiperkalemia. Pemantauan kadar kreatinin dan kalium sebaiknya rutin setiap 1-2 minggu

setelah terapi dimulai. Efek samping spironolakton terutama adalah hiperkalemia

(terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan diabetes mellitus),

ginekomastia, dan galaktorea.23

Inotropik

Dopamin, dobutamin dan levosimendan merupakan obat golongan inotropik yang dapat

digunakan dengan aman pada pasien hamil dengan kondisi hemodinamik tidak stabil

misalnya gagal jantung akut. Dopamin dan dobutamin diberikan dengan dosis 2-20

μg/kgBB/menit secara intravena dosis titrasi sedangkan levosimendan diberikan dengan

dosis awal 24 μg/kgBB bolus intravena selama 10 menit serta dosis rumatan 0,1

μg/kgBB/menit secara infus intravena selama 24 jam pertama.22

Selain itu, digitalis yang

merupakan obat inotropik positif dan kronotropik negative juga dapat digunakan secara

aman pada pasien hamil untuk meningkatkan kualitas profi l hemodinamik dan

memperbaiki gejala klinis, baik pada saat istirahat atau saat beraktivitas. Digitalis

diindikasikan pada pasien gagal jantung yang disertai fibrilasi atrium dan aman

digunakan untuk menurunkan angka hospitalisasi secara signifi kan. Obat golongan

digitalis di Indonesia adalah digoksin dengan dosis 0,125 mg/hari pada pasien gagal

jantung dengan fungsi ginjal normal. Efek samping digoksin berhubungan dengan fungsi

ginjal yang buruk dan hipokalemia.25

Suplementasi kalium

Pasien gagal jantung yang diberi terapi diuretik loop sering mengalami hipokalemia,

hipomagnesemia, hipokalsemia dan defisiensi tiamin. Secara umum suplementasi kalium

dapat diberikan pada pasien untuk mempertahankan kadar kalium darah berkisar antara

4,0-5,0 mEq/L. Suplementasi kalium harus lebih hati-hati pada pasien yang mendapat

terapi ACE-I, antagonis aldosteron dan insufi siensi ginjal karena sering mengalami

hiperkalemia yang dapat menyebabkan aritmia.4

Page 27: Bab i - Lapsus

27

Antikoagulan

Periode peripartum merupakan suatu kondisi peningkatan aktivitas prokoagulan,

sehingga obat golongan antikoagulan harus digunakan secara hati-hati sesaat setelah

melahirkan, namun dapat segera diberikan setelah perdarahan dapat ditangani.5

Antikoagulan harus diberikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi sangat

rendah karena trombus intramural ventrikel kiri dan embolisme perifer terutama emboli

otak sering terjadi pada kardiomiopati dilatasi.6 Selain itu, pasien gagal jantung dengan

fibrilasi atrial baik paroksismal maupun persisten harus diberi antikoagulan secara

adekuat untuk mencegah stroke emboli.7 Obat golongan antikoagulan yang sering dipakai

pada kondisi ini antara lain LMWH (low molecular weight heparin) atau antagonis

vitamin K oral (warfarin), tergantung tahapan periode kehamilan pasien. LMWH

direkomendasikan digunakan pada trimester pertama dan periode akhir kehamilan (usia

kehamilan >36 minggu), sedangkan warfarin digunakan mulai awal trimester ke-2

kehamilan hingga usia kehamilan mencapai 36 minggu. LMWH diberikan secara injeksi

subkutan dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 12 jam dengan evaluasi kadar faktor anti-Xa,

sedangkan warfarin diberikan secara oral dengan target INR berkisar antara 2,0-3,0.8

Agen Pengobatan Terbaru

Pada penelitian kecil, pentoksifi lin dapat digunakan untuk memperbaiki hasil keluaran,

fungsi sistolik ventrikel kiri dan memperbaiki gejala klinis jika ditambahkan pada

pengobatan gagal jantung konvensional karena bersifat menghambat agen proinfl

amatorik TNF-α (Tumor Necrosis Factor-alpha).5 Di samping itu, pada beberapa

penelitian, penggunaan imunoglobulin intravena dapat memperbaiki fungsi ejeksi sistolik

ventrikel kiri karena menurunkan kadar sitokin proinfl amatorik tioredoksin dalam

sirkulasi secara signifi kan.9,10

Terapi immunosupresif belum memiliki peranan jelas dalam terapi pasien dengan

kardiomiopati peripartum, namun dapat dipertimbangkan pada pasien dengan bukti

adanya miokarditis pada pemeriksaan biopsi histopatologis.8

Bromokriptin yang merupakan antagonis hormon prolaktin dapat ditambahkan pada

pengobatan gagal jantung konvensional lain. Terapi ini dapat meningkatkan fungsi

sistolik ventrikel kiri dan memperbaiki hasil luaran klinis pada kardiomiopati peripartum

akut dengan gangguan fungsi hemodinamik berat.6

Page 28: Bab i - Lapsus

28

I. PROGNOSIS

Prognosis pasien setelah mengalami kardiomiopati peripartum adalah bervariasi

tergantung dari derajat disfungsi sistolik ventrikel kiri saat diagnosis awal ditegakkan.

Secara umum prognosis lebih baik dibandingkan dengan kardiomiopati noniskemik

akibat penyebab lain. Sekitar 50-60% wanita akan mengalami perbaikan fungsi kontraktil

ventrikel kiri serta ukuran dimensi ruang jantung dalam 6 bulan setelah melahirkan dan

berlanjut 2 hingga 3 tahun berikutnya.17

Sisanya akan mengalami disfungsi ventrikel kiri

menetap atau mengalami perburukan kondisi klinis walaupun sudah diterapi optimal

dengan perkiraan tingkat kematian maternal berkisar antara 10-50% terutama dalam

periode 3 bulan pasca melahirkan jika tidak dilakukan transplantasi jantung. Pasien

dengan kondisi kardiomegali persisten setelah 6 bulan diagnosis memiliki angka

kematian sekitar 85% dalam 5 tahun.

Pasien dengan dimensi sistolik akhir ventrikel kiri kurang dari 5,5 cm, fraksi ejeksi

ventrikel kiri lebih dari 30% dan kadar troponin jantung rendah pada saat pemeriksaan

awal, memiliki prognosis lebih baik.7

Wanita yang telah terdiagnosis kardiomiopati peripartum dan mengalami disfungsi

sistolik ventrikel kiri menetap setelah melahirkan akan menghadapi risiko tinggi

komplikasi kardiovaskular jika kembali hamil, sehingga sebaiknya menghindari

kehamilan berikutnya.8 Selain itu, wanita yang pernah terdiagnosis dengan kardiomiopati

peripartum tetap memiliki risiko rekurensi dengan insidensi 30-50%, walaupun fungsi

ejeksi sistolik ventrikel kiri sudah kembali normal.3

Page 29: Bab i - Lapsus

29

III.2 PRE-EKLAMSIA

A. DEFINISI

Preeklamsia adalah kelainan multiorgan spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan

timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu kehamilan dengan atau tanpa

adanya gejala penyerta, hasil laboratorium maternal abnormal, pertumbuhan janin

terhambat atau penurunan volume cairan ketuban.29,30

B. EPIDEMIOLOGI

Preeclampsia adalah salah satu dari penyakit hipertensi dalam kehamilan, yang mana

mempersulit 5-15% kehamilan dan bersama perdarahan dan infeksi membentuk trias

mematikan bagi ibu hamil.3 Insidensinya berkisar antara 0,6-1,2% kehamilan di negara

Barat. Preeklamsi <37 minggu dan preeklamsi berat <34 minggu menjadi komplikasi

pada 0,6-1,5% dan 0,3% kehamilan.29,32

C. FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko preeklamsia antara lain:30

a. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan

- Abnormalitas kromosom

- Mola hidatidosa

- Hidrops fetalis

- Kehamilan multipel

- Donor oosit atau donor inseminasi

- Anomali struktur kongenital

- Infeksi saluran kemih

b. Faktor spesifik maternal

- Usia lebih dari 35 tahun

- Usia kurang dari 20 tahun

- Ras hitam

- Riwayat preeklamsia dalam keluarga

- Nulliparitas

- Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya

- Kondisi medis spesifik : diabetes gestasional, diabetes tipe I, obesitas, hipertensi

kronik, penyakit ginjal, trombofilia

Page 30: Bab i - Lapsus

30

- Stress

c. Faktor spesifik paternal

- Menjadi ibu untuk pertama kalinya

D. ETIOLOGI

Preeklamsia bukanlah penyakit yang sederhana, melainkan merupakan hasil akhir dari

berbagai faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin.

Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting mencakup:31

1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.

2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diantara jaringan maternal, paternal

(plasental), dan fetal.

3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang

terjadi pada kehamilan normal.

4. Faktor-faktor genetik termasuk gen predisposisi yang diwariskan serta pengaruh

epigenetik.

E. DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis untuk Preklamsia, Preeklamsia Berat adalah:29,31,33

Tabel 3.1 Kriteria diagnosis preeklamsia, preeklamsia berat dan superimposed preeklamsia

Preeklamsia

o Tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg yang terjadi

pada usia kehamilan ≥ 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki

tekanan darah normal ditambah proteinuria yang didefinisikan sebagai

protein urin 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ pada carik celup

Preeklamsia Berat (1 dari kriteria dibawah terpenuhi)

o Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg pada

pengukuran minimal 2 kali selang 6 jam pada pasien yang tirah baring

o Proteinurin 5g/24 jam atau +3 pada dua sampel urin random yang

dikumpulkan dengan jarak minimal 4 jam

o Oliguria <500ml dalam 24 jam

o Gejala serebral atau visual

o Edem pulmonal atau sianosis

o Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrik

Page 31: Bab i - Lapsus

31

o Fungsi liver terganggu

o Trombositopenia

o Pertumbuhan janin terhambat

Superimposed preeclampsia (1 dari kriteria dibawah terpenuhi)

o Proteinuria awitan baru ≥0,3g pada wanita dengan hipertensi sejak

kehamilan < 20 minggu

o Jika hipertensi dan proteinuria timbul pada kehamilan < 20 minggu

- Peningkatan mendadak proteinuria jika hipertensi dan proteinuria

timbul pada kehamilan < 20 minggu

- Peningkatan mendadak hipertensi pada wanita yang hipertensi

sebelumnya terkontrol

- Peningkatan SGOT dan SGPT ke kadar abnormal

Wanita hamil dengan hipertensi kronik yang mederita sakit kepala, skotoma, atau

nyeri epigastrik juga meungkin menderita superimposed preeclampsia.

Gambar 3.4 Algoritma untuk membedakan hipertensi dalam kehamilan

Sesuai gejala penyertanya preeklamsia berat dibagi menjadi dua yaitu :31

a. Tanpa impending eklamsia

b. Dengan impending eklamsia (Preeklamsi berat disertai gejala subyektif nyeri kepala

hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif

tekanan darah).

Page 32: Bab i - Lapsus

32

F. TATALAKSANA

Tatalaksana preeklamsia berat terbagi menjadi dua yaitu tatalaksana aktif dan

konservatif.

a. Tatalaksana Aktif

1. Indikasi

a. UK ≥37 minggu

b. gejala impending eklamsia

c. tanda gawat janin

d. tanda PJT disertai hipoksia

e. HELLP syndrome

2. Pengobatan

a. Infus RL

b. MgSO4 untuk cegah kejang

Cara pemberian MgSO4

1. Intravena kontinyu

Dosis MgSO4 Cairan RL Lama

Dosis awal 4 gr (20 cc MgSO4 20%) 100 cc 15 – 20 menit

Dosis pemeliharaan 10 gr (50 cc MgSO4 20%) 500 cc 20 – 30 tpm

2. Intramuskular

Dosis MgSO4 Lama

Dosis awal (IV) 4 gr (20 cc MgSO4 20%) 1 gram/menit

Dosis pemeliharaan 4 gr (20 cc MgSO4 20%) Per 4 jam + lidokain 2%

Syarat pemberian MgSO4:

1. Harus tersedia antidot kalsium glukonas 10%, IV 3-5 menit

2. Refleks patella + kuat

3. RR ≥ 16 x/mnt

4. Produksi urin ≥ 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kgbb/jam)

MgSO4 dihentikan bila:

1. Ada tanda intoksikasi

2. Setelah 24 jam pascasalin

3. Dalam 6 jam pascasalin sudah normotensif

Page 33: Bab i - Lapsus

33

Mekanisme kerja MgSO4 dalam mencegah kejang tidak sepenuhnya dimengerti.

Diduga dengan menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga

menurunkan iskemia serebral. Juga diduga bahwa magnesium akan memblok

reseptor kalsium dengan menghambat reseptor N-methyl-D aspartat di otak.

Magnesium juga memproduksi vasodilatasi perifer (terutama arteriolar),

sehingga membantu menurunka tekanan darah. Magnesium juga bekerja

kompetitif dalam menghambat masuknya kalsium ke dalam ujung sinaps

sehingga merubah transmisi neuromuskular. Mekanisme pasti MgSO4 sebagai

tokolitik belum dipahami namun mungkin berhubungan dengan kerja

magnesium sebagai penghambat kalsium sehingga menghambat kontraksi otot.32

c. Diuretikum tidak diberikan kecuali ada:

- Edem paru

- Payah jantung kongestif

- Edem anasarka

d. Antihipertensi diberikan bila :

- Tekanan darah ≥180/120 mmHg

- Pilihan utama adalah hidralazin, dosis inisial 5 mg IV atau 10 mg IM.

Jika tekanan darah telah terkontrol, ulangi dosis inisial seperlunya

(biasanya tiap 3 jam, maksimal 400 mg per hari). Jika tekanan darah

belum turun dalam 20 menit, ulangi dosis inisial tiap 20 menit smapai

dosis maksimum tercapai. Jika tekanan darah tidak turun dengan total 20

mg IV atau 30 mg IM, gunakan obat antihipertensi lain (labetolol,

nifedipine, natrium nitroprusid)

3. Penanganan obstetrik

Indikasi dilakukannya persalinan pada preeklamsia adalah:30

a. Indikasi fetal : PJT berat, Oligohidramnion

b. Indikasi maternal : UK ≥38 minggu, trombosit <100.000/µL, penurunan

progresif fungsi hepatik, penurunan progresif fungsi ginjal, curiga solusio

plasenta, perubahan visual atau nyeri kepala hebat yang persisten, nyeri

epigastrium hebat yang persisten, mual atau muntah, eklamsia

Page 34: Bab i - Lapsus

34

Cara terminasi kehamilan

Belum inpartu

1. Induksi persalinan (amniotomi + tetes oksi (Bishop score ≥6))

2. SC bila ada kontraindikasi tetes oksi, 8 jam sejak tetes oksi belum fase aktif

Inpartu

a. Kala I fase laten : amniotomi + tetes oksi (Bishop≥6))

b. Kala I fase aktif : amniotomi, HIS inadekuat tetes oksitosin, 6 jam belum

bukaan lengkap SC

c. Kala II persalinan pervaginam dengan partus buatan

b.Tatalaksana Konservatif

1. Indikasi : hamil preterm tanpa tanda impending eklamsi, janin baik

2. Pengobatan medisinal sama dengan pengelolaan aktif, dosis MgSO4 IM

3. Pengelolaan obstetrik

- sama seperti perawatan aktif

- bila setelah 2x24 jam tidak ada perbaikan : terminasi

G. KOMPLIKASI

Komplikasi preeklamsia dapat mengenai baik ibu maupun janin, yaitu:

a. Pada Ibu:

Solusio plasenta, hipofibrinogemia, DIC, hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata,

edema paru, nekrosis hati, sindroma HELLP, kelainan hati, gagal ginjal, risiko

hipertensi dan penyakit kardiovaskular di masa yang akan datang

b. Pada Janin:

Lahir prematur, Small gestational age (SGA), IUGR, kematian perinatal

Page 35: Bab i - Lapsus

35

BAB IV

PEMBAHASAN

Dilaporkan Nn. N, 19 tahun, G1P0A0 hamil 35 – 36 minggu rujukan dari RSUD Kuala

Kurun dengan PEB pro terminasi kehamilan dan perlu perawatan intensif. Pasien masuk IGD

RSUD dr. Doris Sylvanus pada tanggal 17 agustus pukul 18.50 wib diantar oleh Bidan. Pasien

masuk tampak sesak kemudian diberikan O2 nasal 4 lpm dan kemudian dilakukan anamnesis

dan pemeriksaan fisik serta obstetrik. Didapatkan pasien tampak sesak nafas, mules (-), keluar

lendir darah (-), gerakan janin (+), pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan, ANC

(-). Dari pemeriksaan fisik tekanan darah saat itu adalah 170/130 mmHg, nadi 128 kali/menit,

RR tampak edema anasarka dan pada auskultasi paru terdapat ronkhi pada kedua lapang paru.

Pada pemeriksaan obstetric didapatkan TFU ½ pusat – px (MD: 31 cm), punggung kiri,

presentasi kepala dan kepala belum masuk pintu panggul. DJJ 128 kali/menit. Pemeriksaan

dalam (VT) tidak dilakukan. Terapi lanjutan dari RSUD Kuala Kurun sudah terpasang infus RL

500 cc dengan 2 flash MgSO4 20% sebanyak 20 tpm untuk mencegah terjadinya kejang. Terapi

dari IGD setelah dikonsulkan ke bagian Obsgyn, Penyakit Dalam dan Jantung, dilakukan foto

rontgen dan tampak perbesaran jantung. Diberikan injeksi furosemid 2 ampul untuk mengurangi

edema anasarka yang terdapat pada pasien serta amlodipin 5 mg dan betanoe sebagai terapi

antihipertensi yang diberikan. Pasien diusulkan dirawat di ICU.

Pasien dirawat di ruang observasi ruang C (HCU), terpasang O2 NRM 10 – 12 lpm.

Diberikan injeksi dexametasone per 12 jam untuk pematangan paru janin. Hari pertama

perawatan (18/08/2014) keadaan umum pasien tampak perbaikan dan sesak tampak berkurang.

Terapi dari penyakit dalam dilakukan nebulizer dengan combivent per 12 jam sebagai

bronkodilator untuk mengurangi sesak pada pasien. Injeksi furosemid tetap diberikan untuk

mengurangi edema dengan pemberian 1 ampul/24 jam. Diberikan juga injeksi ceftriaxone

sebagai terapi infeksi pada pasien karena dari hasil laboratorium didapatkan WBC yang sedikit

meningkat yaitu 13,62 x 103. Pasien dianjurkan untuk terminasi kehamilan, setelah

dikonsultasikan ke bagian jantung, direncanakan observasi persalinan pervaginam dengan

induksi, namun pada malam harinya sebelum dilakukan induksi, pasien mengeluhkan mules dan

dilakukan observasi persalinan pervaginam tanpa induksi.

Page 36: Bab i - Lapsus

36

Pada tanggal 19/08/2014 pukul 06.25 wib ketuban pecah spontan, pasien dialih rawat ke

ruang VK. Pada pukul 08.00 di lakukan VT dan didapatkan pembukaan lengkap. Pasien

dipimpin mengedan oleh dokter spesialis dan pada pukul 08.15 wib bayi laki-laki lahir tidak

segera menangis dan langsung dialih rawat ke bagian perinatologi. Perdarahan post partum ± 200

cc, tekanan darah PP 120/70 mmHg, keadaan umum pasien tampak baik dan setelah observasi 2

jam post partum, pasien kembali di rawat di ruang HCU dan malam harinya alih rawat keruang

perawatan biasa (pemulihan).

Perawatan hari ketiga (21/08/2014) pasien mengatakan sesak sudah berkurang. Pemeriksaan

fisik didapatkan edema anasarka sudah tampak berkurang. Terapi dilanjutkan dengan pemberian

furosemid per oral dan pemberian obat antihipertensi yaitu amlodipin dan betanoe. Diberikan

penambah darah SF serta dilakukan nebulizer dengan combivent secara continue per 12 jam.

Penatalaksanaan terapi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Pada pasien ini

didapatkan klinis dan laboratories yang menunjang kearah preeklamsia berat (PEB) yaitu

tekanan diastole ≥ 110 mmHg dan proteinuria +3. Pemberian diuretik yaitu furosemid dianjurkan

pada pasien PEB dengan tanda-tanda edema paru dan gagal jantung sebagai komplikasi dari PEB

dan kardiomiopati peripartum pada pasien ini. Persalinan pervaginam merupakan pilihan utama

untuk terminasi kehamilan pasien dengan kardiomiopati peripartum dan PEB. Hingga sampai

laporan kasus ini dibuat, pasien masih dirawat di ruang pemulihan ruang C.

Page 37: Bab i - Lapsus

37

BAB V

KESIMPULAN

Kardiomiopati peripartum merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang sering timbul

pada wanita hamil dengan tanda-tanda gagal jantung yang pada pemeriksaan fisik pada pasien

tampak sesak dan foto rontgen berupa kardiomegali. Kardiomiopati peripartum pada pasien

laporan kasus kali ini terjadi pada masa kehamilan trimester III yang disertai dengan preeklamsia

berat. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan perawatan secara multidisipliner oleh dokter

spesialis bagian Obsgyn dan Penyakit Dalam.