bab ii lapsus struma
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada
yang menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak
mempengaruhi fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-
hari, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa
kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat.
Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di
daerah pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah
pegunungan lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada
wanita dibanding pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita,
sedangkan pria 1-5 dari 1.000 pria.
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang
secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Berdasarkan patologinya,
pembesaran tiroid umumnya disebut struma.
Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan
mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan
vena kolateral.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan
bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan
oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan
memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan
bernapas dan disfagia.
Berdasarkan klasifikasi struma menurut klinisnya dibagi menjadi struma toksik
dan non toksik, yang dimana pada pembahan ini akan dijelaskan mengenai struma
toksik serta anastesi pada kasus struma toksik khususnya pada pasien hypertiroid
2.2 Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki
dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong
berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram.
Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab
atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah.
Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul
T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH (thyroid
2
stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium
adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan
minuman yang mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah
ini.
Gambar Kelenjar Tiroid
2.3 Fisiologi Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan
reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah produksi
panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan
berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-
hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada saat
lahir dan bayi.
2.4 Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang
secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
3
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap
selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam
sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid
hiperaktif
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil
pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik.
2.5 Patogenesis
Hipothalamus melepaskan suatu hormon yang disebut thyrotropin releasing
hormone (TRH), yang mengirim sebuah sinyal ke pituitari untuk melepaskan thyroid
stimulating hormone (TSH). Pada gilirannya, TSH mengirim sebuah signal ke tiroid
untuk melepas hormon-hormon tiroid. Jika aktivitas yang berlebihan dari yang mana
saja dari tiga kelenjar-kelenjar ini terjadi, suatu jumlah hormon-hormon tiroid yang
berlebihan dapat dihasilkan, dengan demikian berakibat pada hipertiroid.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga
diluar batas, sehingga untuk memenuhi “pesanan” tersebut, sel-sel sekretoris kelenjar
tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin
termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju
metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan, akibat proses metabolisme yang
“keluar jalur” ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek
pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari
hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi
10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal.
Nadi yang takikardi, atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid
pada sistem kardiovaskuler. Exopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi
4
autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular,
akibatnya bola mata terdesak keluar.
Pasien juga akan mengeluhkan perasaan seperti palpitasi. Hal ini merupakan
manifestasi gangguan pada system kardiovaskuler atas akibat sinus takikardi
(supraventrikular takikaria). Cardiac output yang meningkat mengakibatkan terjadinya
nadi yang kuat, memanjang, dan aortic murmur dan dapat mengakibatkan angina
maupun gagal jantung yang sudah terdeteksi sebelumnya menjadi lebih parah. Pada
pasien ini didapatkan perasaan sentiasa berdebar-debar tanpa didahului perasaan yang
tidak enak atau lainnya.
Kadar hormone tiroid dapat meningkat apabila kadar TBG meningkat terutama
dalam kondisi kadar estrogen yang meningkat (kehamilan, kontraseptif oral, terapi
hormone replacement, tamoxifen). Juga, dapat berkurang dalam kondisi seperti
androgen tinggi dan sindroma nefrotik. Masalah genetic dan acute illness juga dapat
mempengaruhi kadar hormone tiroid yang berikatan dengan protein dalam darah. Oleh
karena hanya hormone tiroid yang bebas berikatan terdeteksi normal dalam kondisi-
kondisi seperti diatas, adalah disarankan untuk melakukan pemeriksaan hormone
tiroid bebas berikatan dalam rangka menilai kadar hormone tiroid. Pada pasien ini,
didapatkan peningkatan Total T3(ng/mL2.56), Free T4 (5.00ng/dL) dan penurunan
hasil TSH (0.018µIU/mL).
2.6 Gejala
Gejala klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin,
pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks Wayne atau indeks Newcastle yaitu sebagai
berikut :
5
6
2.7 Pemeriksaan Laboratorium
Tes fungsi tiroid
– Pasien dengan struma ndular toksik akan didapatkan TSH yang rendah.
– Free T4 akan meningkat atau dalam range referensi
– Beberapa pasien memiliki T4 yang normal dengan peningkatan T3 terjadi
pada 5-46% pasien dengan nodul toksik.
Hipertiroid subkinik – Beberapa pasien memiliki TSH rendah dengan T4 bebas dan
total T3 yang normal.
2.8 Pemeriksaan Pencitraan
Nuclear scintigraphy
– Menggunakan radioactive iodine-123 (123 I) atau dengan technetium-99m
(99m Tc).
– Dapat mengetahui nodulnya berupa hot, cold atau warm.
– Pasien grave uptake nya biasanya banyak dan difus, sedangakn tiroiditis
sedikit.
– Pada pasien dengan struma nodulat toksik hasil scan biasanya berupa
uptake yang tidak sempurna, dengan area uptake yang banyak dan sedikit.
– Scanning tiroid berguna untuk mengetahui ekstensi tirois substernum yang
mengandung nodul toksik.
Ultrasonografi
– Ultrasonografi merupakan prosedur sensitive untuk nodul yang tidak teraba
selama pemeriksaan. Berguna ketika digabungkan dengan hasil
pemeriksaan nuklir untuk mengetahui fungsionalitas nodul.
– Nodul yang cold cenderung untuk dilakukan biopsy jarum halus daripada
pengobatan definitive pada struma nodular toksik.
7
Pemeriksaan pencitraan lain
– CT scan berguna pada pasien yang memiliki gejala obstruktif, dapat melihat
kondisi leher, melihat trakea masih paten atau tidak, dan apa terjadi deviasi
trakea karena nodul tiroid.
2.9 Pengobatan dan Tindakan
Medikamentosa
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormone, menghambat pelepasan hormone dan
menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid penyekat beta dan
plasmaferesis),dan normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan,
elektrolit dan kalori) dan mengatasi factor pemicu. Pengobatan harus segera
diberikan rawat diruangan dengan control yang baik
Pengobatan yang diberikan antara lain adalah membaiki keadaaan umum
dengan memberikan cairan NaCl 0.9% utuk koreksi elektrolit. Mengoreksi
hipertiroidisme dengan cepat yaitu dengan :
a. Memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (600-1000 mg) diikuti dosis
200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg;
b. Memblok keluarnya bakal hormone dengan solusio lugol (10 tetes setiap 6-8
jam) atau larutan kalium iodide jenuh 5 tetes setiap 6 jam. Jika ada, berikan
endoyodin (nai) IV, kalau tidak ada solusio Lugol/ larutan kalium iodide jenuh
tidak memadai;
c. Menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat,
penghambat beta dan/atau kortikosteroid. Pemberian hidrokortison dosis stess
(100mg tiap 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannya
adalah karena defisiensi steroid relative akibat hipermetabolisme dan
menghambat konversi perifer T4. Untuk antipiretik digunakan asetaminofen,
jangan aspirin karena akan melepas ikatan protein-hormon tiroid sehingga
freehormon meningkat. Propanolol dapat mengurangi takikardia dan
meghambart konversi T4 menjadi T3 di perifer dengan dosis 20-40 mg tiap 6
jam
8
Pengobatan dengan Yodium Radioaktif
Indikasi pengobatan dengan yodium radiaktif diberikan pada :
a. Pasien umur 35 tahun atau lebih
b. Hipertiroid yang kambuh sesudah di operasi
c. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
d. Tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat antitiroid
e. Adenoma toksik, goiter multinodular toksik
Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroid. Indikasi operasi
adalah :
a. Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid
b. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis
besar
c. Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif.
d. Adenoma toksik atau strauma multinodular toksik
e. Pada penyakit graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Sebelum operasi biasanya pasien diberi obat antitiroid sampai eutitiroid sampai
eutiroid kemudian diberi cairan kalium yodida 100-200 mg/hari atau cairan lugol
10-14 tetes/ hari selama 10 hari sebelum dioperasi untuk mengurangi vaskularisasi
pada kelenjar tiroid.
9
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Pemeriksaan Subjektif
1. Identitas Pasien
Nama Pasien : Iq. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 47 tahun
Alamat : Masbagik, Lombok Timur
No. RM :
Tanggal Masuk : 18 Desember 2013
Tanggal operasi : 20 Desember 2013
2. Anamnesis Pasien
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh terdapat benjolan di leher depan, dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD DR. R. SOEDJONO SELONG dengan keluhan
terdapat benjolan di leher bagian tengah sejak 1 (satu) bulan yang lalu. Benjolan
berbentuk lonjong, kira-kira sebesar telur ayam, tidak terasa nyeri, lunak dan
dirasakan tidak semakin membesar. Tidak terdapat perubahan warna kulit di
atasnya dan benjolan ikut bergerak saat menelan.
Keluhan benjolan di tempat lain, suara serak, sulit menelan serta sulit
bernafas disangkal. Penderita sering merasa jantungnya berdebar-debar dan
tangannya bergetar. Penderita juga mengeluh sering merasa kegerahan dan lebih
senang di tempat yang dingin Penderita mengeluh mudah gugup, mudah gelisah
dan cepat emosi serta sulit tidur. Nafsu makan penderita meningkat tetapi dalam
satu tahun ini, berat badan dirasakan menurun.
Penderita juga merasakan perubahan pada kedua matanya, yaitu tampak
lebih menonjol dari sebelumnya. Penderita juga merasa kelopak matanya terasa
berat, namun penurunan fungsi penglihatan disangkal.
10
Keluhan demam, berkeringat banyak disangkal penderita. Haid tidak lancar,
rambut rontok disangkal oleh pasien. Tidak terdapat keluhan pada buang air
besar maupun buang air kecil. Satu hari sebelumnya, penderita berobat ke dokter
bedah dan mendapatkan obat (pasien tidak tahu jenis obatnya).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami sakit serupa sebelumnya, Tidak terdapat
riwayat penggunaan obat-obatan tertentu sebelumnya. Riwayat penyakit dahulu
seperti hipertensi, diabetes, alergi disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ditemukan keluhan yang sama baik di antara anggota keluarga dan
tetangga.
3.2 Pemeriksaan Objektif
1. Keadaan Umum :
– Kesan sakit : tampak sakit ringan
– Kesadaran : Composmentis
– Berat badan : 50 kg
– Tinggi badan : 152 cm
– BMI : 21,6 Gizi: baik
2. Tanda Vital:
– Tekanan Darah : 120/80 mmHg
– Nadi : 116 x/menit
– RR : 20 x /menit
– Suhu : 36,2o C
3. Status Generalis
Kepala :
o Rambut : tidak kusam, tidak mudah rontok.
o Tengkorak : tidak ada kelainan
o Mata : eksoftalmus (+)
Letak : Simetris
Pergerakan : Dalam batas normal
Palpebrae : Edema (-)
Kornea : Jernih
11
Pupil : Bulat, isokor
Sklera : tidak ikterik
Konjunctiva : tidak anemis
o Telinga : simetris, tidak terdapat serumen
o Hidung : pernafasan cuping hidung : (-)
o Bibir : sianosis perioral (-)
o Mulut : gusi tidak hiperemis
Lidah bersih
Tes mallampati grade 1
Faring tidak hiperemis
Leher :
Inspeksi : Kelenjar tiroid tampak membesar (status lokalis)
Palpasi : Kelenjar tiroid teraba membesar (status lokalis)
JVP : tidak meningkat, 5-2 cmH2O
KGB : tidak teraba membesar
Deviasi trakea : -
Axilla : tidak teraba KGB
Thoraks :
Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk gerak simetris
Palpasi : Vokal Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi :
Paru kanan : sonor
Paru kiri : sonor
Auskultasi : suara nafas vesicular +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : pulsai ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicularis
sinistra
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS V linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas atas : ICS II linea sternalis sinistra
12
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II tunggal reguler dengan frekuensi
denyut
jantung : gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding abdomen datar simetris, distensi (-)
Auskultasi : peristaltic usus (+) normal
Perkusi : tympani pada 4 regio abdomen
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Oedem --/--, deformitas (-), akral hangat ++/++
Status Lokalis
Massa colli anterior : batas tidak jelas
Ukuran : ±7 x 4 cm
Konsistensi : lunak
Rubor : (-)
Kalor : (-)
Nyeri tekan : (-)
ikut pergerakan menelan : (+)
Auskultasi : bruit (-)
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Kimia klinik
Fungsi Hati
- SGOT : 41 U/L 0 - 38
- SGPT : 45 U/L 0 - 42
Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu : 193 mg/dl 80 – 140
Pemeriksaan Endokrinologi
- FT4 : > 7.770 mg/dl 0.930 – 1.710
- TSHs : < 0.005 µIU/mL 0.270 – 4.200
3.4 Laporan Anestesi
13
Status Anestesi
1. Persiapan anestesi :
a. Informed consent
b. Pasien puasa 8 jam pre-operatif
c. Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah :120/80 mmHg
Nadi : 106x/menit
d. Pemasangan kateter urin untuk pemantauan produksi urin
e. Infuse RL dengan ukuran 18
f. Sebelumnya pasien dan keluarga mendapat penjelasan tentang rencana
tindakanyang akan dilakukan dan telah menandatangani inform consent.
g. Membina hubungan baik dengan pasien membangun kepercayaan dan
menemtramkan hati pasien mengurangi kecemasan pasien menjelang
operasi.
2. Status pasien :
a. Diagnosa pre operatif : struma difusa toksik (grave’s disease)
b. Diagnosa post operatif : struma difusa toksik (grave’s disease)
c. Jenis pembedahan : thyroidektomi
d. Status operasi : status fisik ASA I
e. Jenis anestesi : general anestesi
f. Tekhnik anestesi : respirasi terkontrol dengan Endotraceal tube
g. Persiapan di ruang operasi :
Mempersiapkan pasien
Nyalakan monitor
Pasang manset tensimeter
Pasang pulse oksimeter dengan lengan yang berlawanan dengan
tensimeter
Penatalaksanaan anestesi
h. Penatalaksanaan anestesi :
1. Pre-medikasi :
14
- Midazolam 2 mg
- fentanyl 50 mcg (1 cc) atau pethidin 2 ml
- Ondancentron 4mg / 2 ml
2. Induksi :
- Propofol 100 mg (10 cc)
- Atracurium 30 mg
3. Pemeliharaan (maintenance) :
- O2 2 L/mnt
- N2O
- Sevoflurane 2%
4. Intubasi :
- Laringoskopy
- Endotrakeal tube
- Mayo
- Plester
- Spuit 10cc
5. Obat lainnya :
- Neostigmine 0,5 mg/ml (2 ampul)
- Atropin sulfat 0,25 mg/ml (2 ampul)
- Tranexamid acid 50 mg/ml (2 ampul)
- Tramadol 100mg/2ml
6. Balance cairan intra-operatif :
- BB : 50 kg
- Perkiraan perdarahan : 100cc
- Perkiraan operasi : 1 jam
- Jenis cairan : kristaloid
- Pengganti puasa = 2 ml/kgBB/jam
= 2 ml x 50 x 8
= 800 ml
Infus RL selama puasa = 500 ml
Jadi, pengganti puasa = 800 – 500 = 300 ml
- EBV = 70 ml/kgBB
15
= 70 x 50 = 3500 ml
- Maintenance : 2 ml/ kgBB/ jam
: 2 x 50/jam = 100cc
- Stress operasi sedang = 6 ml/kgBB/jam = 6 ml x 50 kg = 300
ml/jam
- Karena Perdarahan intra-operatif < 10% dari jumlah darah→diganti
cairan kristaloid →tidak perlu dilakukan transfusi. Maka, rumus
yang digunakan adalah : 3 x volume darah yang hilang
: 3 x 100 = 300 cc
- Urin output : 1 ml/kgBB/jam = 1 x 50 = 50 ml/jam
- Perhitungan pemberian cairan kristaloid :
M + PP + SO + perdarahan + pengganti urin
=100 + 300 + 300 + 300 +50 = 1050 cc = ± 2 flash RL
BAB IV
16
PEMBAHASAN
A. Penilaian Pra Operasi
1. Anamnesis
Penting untuk melakukan anamnesis pre operasi untuk memastikan kondisi
pasien benar-benar siap untuk di operasi. Lakukan pendekatan psikologis sehingga
dapat menurunkan tingkat kegelisahan pasien. Berdasarkan anamnesis kita dapat
mengetahui apakah pasien dalam kondisi hiper/hipotyroid atau eutyroid. Sebelum
operasi pastikan kondisi pasien dalam keadaan eutyroid, hal ini penting untuk
menghindari komplikasi yang terjadi akibat operasi.
Pada anamnesis juga kita cari gejala disfagia, sesak napas, perubahan suara
atau stridor yang dapat menjadi tanda bagi ahli anestesi akan adanya kemungkinan
kesulitan dengan jalan napas yang membahayakan saat induksi. Selain itu juga
harus kita cari riwayat alergi pasien, dan penyakit-penyakit sistemik lainnya
misalnya penyakit kardiorespirasi, diabetes militus.
Dari anamnesa, pada pasien ini didapatkan keluhan berupa satu benjolan
pada leher bagian tengah yang berbentuk lonjong, tidak terasa nyeri, lunak dan ikut
bergerak saat menelan. Ditemukan pula gejala jantung berdebar-debar, tangan
bergetar,intolerasi panas, mudah gugup, dan penurunan berat badan walaupun
nafsu makan meningkat. Penderita juga merasa kedua matanya tampak lebih
menonjol dari sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan status lokalis struma seperti telah disebutkan diatas,
dibedakan dalam hal :
Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras.
Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multipel namun
pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multipel biasanya tidak ganas kecuali apabila
17
salah satu dari nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras daripada yang
lainnya.
Apabila suatu nodul nyeri pada penekanan dan mudah digerakkan,
kemungkinannya ialah suatu perdarahan dalam kista, adenoma atau tiroiditis.
Tetapi kalau nyeri dan sukar digerakkan kemungkinan besar suatu
karsinoma.Nodul yang tidak nyeri apabila multipel dan bebas digerakkan mungkin
ini merupakan komponen struma difus atau hiperplasia tiroid. Namun apabila nodul
multipel tidak nyeri dan tidak mudah digerakkan ada kemungkinan itu suatu
keganasan. Adanya limfadenopati kemungkinan suatu keganasan dengan anak
sebar.
Dari pemeriksaan fisik pasien ini, didapatkan takikardi, eksoftalmus, tremor
dan hiperkinesis. Pada pemeriksaan leher didapatkan pembesaran tiroid difusa,
yaitu benjolan pada anterior coli, tidak berbatas tegas, lunak, ikut pergerakan
menelan dan tidak ditemukan tanda-tanda peradangan.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Rekomendasi pada persiapan pemeriksaan laboratorium sebelum operasi
anatara lain (Hb, Ht, leukosit, trombosit). Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan biasanya mencakup pemeriksaan darah rutin, kimia darah, dan masa
pembekuan. Pemeriksaan spesifik untuk opesai-operasi tertentu juga dapat
dilakukan.
Pada pasien ini dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium T3, T4, TSH.
Dimana hasil laboratorium pasien ini adalah FT4: > 7.770 mg/dl dan TSHs: <
0.005 µIU/mL.
4. Prognosis Anestesi
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik peda pasien, maka kita
dapat menggolongkan pasien kedalam 5 kategori, yaitu :
ASA I : pasien dalam kondisi sehat sec organic, fisik, mental yang
memerlukan operasi
ASA II : pasien dengan kelainan sistemik ringan-sedang yang terkontrol, misal
: hipertensi terkontrol
ASA III : pasein dengan penyakit berat yang diakibatkan berbagai penyakit,
misal: AMI.
18
ASA IV : pasien denga penyakit sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya, mis: pasien dengan Angina pectoris unsatble.
ASA V : pasien yang baik dengan operasi atau tidak, dalam waktu 24 jam
akan meninggal.
Pada pasien ini termasuk dalam kategori status fisik ASA I.
B. Tekhnik Anestesi
Teknik anestesi yang dipilih adalah general anestesidengan respirasi terkontrol
menggunakan endotracheal tube nomor 6,5 atau 7.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Komponen dalam anestesi umum antara lain hipnotik,
analgesi dan relaksasi Otot. Indikasi anestesi umum adalah :
a. Infant dan anak-anak
b. Operasi yang luas
c. Bila pasien menolak anestesi lokal
d. Operasi yang lama
e. Pasien alergi terhadap obat anestesi lokal
19
Gambar : alur anestesi
C. Premedikasi
.Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah midazolam 2 mg, fentanyl
50 mcg (1 cc), Ondancentron 4 mg / 2 ml.
Premedikasi adalah obat-obatan yang diberikan sebelum induksi anestesi, yang
bertujuan untuk :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
20
Obat-obat premedikasi yang sering digunakan antara lain :
1. Obat golongan sedatif / transkuilizer, misal :derivate benzodiazepine
(diazepam, midazolam). Obat golongan sedative berkhasiat untuk
menimbulkan rasa kantuk dan anti cemas :
Midazolam
- Farmakokinetik : midazolam adalah obat induksi tidur jangka
pendek untuk premedikasi, induksi, dan pemeliharaan anestesi.
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat
melalui sawar darah otak. Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4
jam. Selain itu menimbulkan amnesia retrograd.
- Penggunaan klinik :
a. Premedikasi Pemberian 0,05 mg/kgBB IV 10 menit sebelum
operasi akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
b. Sedasi intravena Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60
detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80 menit) efektif
sebagai sedasi selama regional anestesi.
c. Induksi Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2
mg/kg IV selama 30-60 detik.
2. Obat golongan narkotik-analgetik, misal : fentanyl, petidin
Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik turunan fenilpiperidine yang secara
struktur mirip dengan meperidine. Sebagai analgesik, fentanyl lebih
kuat 100 kali morfin.
- Farmakokinetik : Dosis tunggal fentanyl secara IV memiliki
onset yang lebih cepat dan durasi yang lebih pendek daripada
morfin. Onset fentanyl yang cepat menunjukkan kelarutan lemak
yang lebih tinggi dan durasi yang pendek menunjukkan distribusi
yang cepat ke jaringan yang tidak aktif dibandingkan dengan
morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding pethidin dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek yang tidak
disukai adalah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat
dicegah dengan pelumpuh otot.
- Penggunaan klinik :
21
a. Dosis penggunaan klinis fentanil cukup lebar. Dosis kecil
fentanil, 1-2 µg/kg IV menyebabkan analgesia, dosis 2-20
µg/kg IV sebagai tambahan anestesi inhalasi. Penggunaan
fentanil sebagai analgesik sebelum operasi membantu
pengurangan dosis opioid yang digunakan sebagai anlgesik
post operasi. Penggunaan fentanil dosis 1,5-3 µg/kg IV 5
menit sebelum induksi akan mengurangi dosis isoflurane atau
desflurane dengan hanya 60% N2O yang dibutuhkan untuk
memblok respon saraf simpatis.
b. Dosis besar 50-150 ul/kgBB digunakan untuk induksi
anesthesia dan pemeliaharaan anesthesia dengan kombinasi
benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah.
3. Obat 5-HT antagonis
Antagonis 5-HT3yang diindikasikan sebagai antiemetik dengan lama
aksi selama 6 jam, misal : ondancentron
Ondansentron
- Farmakodinamik : Mekanisme Kerja: memblokade area
posterma (CTZ) dan nukleus solitarius melalui kompetitif
selektif di reseptor 5-HT3 memblok reseptor perifer ujung
nervus vagus dengan menghambat ikatan serotonin dengan
reseptor ujung saraf vagus.
- Farmakokinetik : Pada pemberian oral, ondansetron diabsorbsi
secara cepat. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh.
Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan
konjugasi dengan glukoronida atau sulfat di hati.
- Penggunaan klinik : Ondansetron bisa diberikan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara
perlahan melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum
tindakan operasi
D. Induksi Anestesi
22
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya pembedahan Induksi anestesi yang
diberikan pada pasien ini adalah Propofol 100 mg (10 cc) dan Atracurium 30 mg.
Propofol (recovol, diprivan)
- Farmakokinetik :
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein
plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak
aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Propofol
menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah
obat anestesi yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu
cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk
pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml.
Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi
otot.
- Penggunaan klinik :
a. Dosis induksi : 1-2 mg/kgBB
b. Dosis sedasi : 25 – 100 µg/kg/min dengan I.V infuse
c. Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 – 150 µg/kg/min IV.
Atracurium (notrixum)
Atrakurium merupakan relaksan otot skelet nondepolarisasi (long acting),
diberikan sebagai obat relaksasi otot dengan mula kerja yang cepat. Pemberian
antracurium 30 mg i.v bertujun sebagai relaksasi otot, sehingga lebih mudah dalam
pemasangan endotraceal tube, serta mempermudah pembedahan.Relaksasi otot ini
dimaksudkan untuk :
a. Membuat relaksasi otot selama berlangsungnya operasi.
b. Menghilangkan spasme laring dan refleks jalan napas atas selama operasi.
c. Memudahkan pernapasan terkendali selama anestesi.
- Farmakodinamik :
Atracurium merupakan neuromuscular blocking agent yang sangat selektif
dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang. Non-depolarising
agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui ikatan
reseptor site pada motor-end-plate.
- Farmakokinetik :
23
Waktu paruh eliminasi kira-kira 20 menit. Atracurium diinaktivasi melalui
eliminasi Hoffman, suatu proses non enzimatik yang terjadi pada pH dan suhu
fisiologis, dan melalui hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase non-
spesifik..
- Penggunaan klinik :
Dosis yang dianjurkan : 0,3-0,6 mg/kg (tergantung durasi blokade penuh
yang dibutuhkan) dan akan memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35
menit. Intubasi endotrakea biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik
setelah injeksi intravena 0,5-0,6 mg/kg.
E. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi dapat dilakukan secara intravena, atau inhalasi, atau campuran
antara inhalsi dan intavena.Rumatan anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah
rumatan inhalasi. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan O2+N2O (3:1) dan tambahan
sevoflurance 2-4 %vol. Penggunaan O2 bertujuan untuk mencukupi oksigenasi jaringan,
sedangkan N2O digunakan sebagai analgesik, sedangkan sevoflurance merupakan
halogenasi eter memiliki efek hypnosis.
N2O (nitrous oksida)
- Farmakodinamik :
a. Terhadap sistem saraf pusat : berkhasiat analgesia dan tidak
mempunyai khasiat hipnotik. Pada konsentrasi 25% N2O
menyebabkan sedasi ringan.
b. Terhadap sitem kardiovaskuler : depresi ringan kontraktilitas
miokard terjadi pada rasio N2O : O2 = 80% : 20%. N2O
tidak menyebabkan perubahan laju jantung dan curah
jantung secara langsung.
c. Terhadap sistem gastrointestinal : Distensi dapat terjadi
akibat masuknya N2O ke dalam lumen usus
- Penggunaan klinik :
Dalam praktik anestesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari
anestesia umum inhalasi dan selalu dikombinasikan dengan
oksigen dengan perbandingan :
N2O : O2 =
70 : 30 (untuk pasien normal)
24
60 : 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan oksigen
yang lebih banyak)
50 : 50 (untuk pasien yangberesiko tinggi).
Sevoflurane
- Farmakodinamik : Sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menjadi
pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus
untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8%
sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit.Obat ini tidak bersifat iritatif terhadap
jalan nafas sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses induksi
dan pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan obat-obat
anestesi inhalasi yangada pada saat ini.
- Penggunaan klinik :
a. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara
inspirasi adalah 3,0-5,0% bersama-sama dengan N2O.
b. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 2,0-3,0%
c. Untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
Gambar : Alur intra-operatif
F. Post Operasi
25
Selama Operasi pada pasien ini diberikan Obat anti emetic dan antrain
secara intravena. Pemberian anti emetic (ondansetron), bertujuan untuk
mengurangi rasa mual dan muntah selama post operasi, sedangkan antrain
bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri selama masa post operasi.
Selain itu selama post operasi, pasien harus diwaspadai adanya :
Perdarahan
Perdarahan pascaoperasi dapat menyebabkan kompresi dan obstruksi
saluran napas yang cepat.
Edema Laryngeal
merupakan penyebab umum dari obstruksi pernapasan pasca
operasi. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi trakea
traumatik. Hal ini biasanya dapat dikelola dengan steroid dan oksigen yang
dilembabkan.
Kelumpuhan Nervus Laryngeal Berulang
Trauma pada saraf laring yang berulang dapat disebabkan oleh iskemia,
traksi, nervus yang terperangkap atau melintang selama operasi dan dapat
unilateral atau bilateral.
Hipocalcemia
Trauma tidak disengaja ke kelenjar paratiroid dapat menyebabkan
hipokalsemia sementara.. Tanda-tanda hipokalsemia ialah kebingungan,
berkedut dan tetany. Penggantian kalsium harus segera digantikan karena
hipokalsemia dapat memicu layngospasm, iritabilitas jantung, dan aritmia.
Badai Tiroid
Hal ini disebabakan karena terjadi hipermetabolisme selama
pembedahan, sehingga terjadi hipertyroidisme sehingga menyebabkan badai
tyroid. Karakteristik gejalanya ialah hiperpireksia, takikardia, kesadaran
berubah dan hipotensi ini adalah keadaan darurat medis. Manajemen
mendukung dengan pendinginan aktif, hidrasi, beta bloker dan obat-obatan
antitiroid.
26
27