penegakan hukum
DESCRIPTION
penegakan hukumTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitaskehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antaraberbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan –kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telahdisepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapatsemata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukumsebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakanhukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapattersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensiperilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapatmengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalumenonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in thebooks”.Pada saat ini dapat mengamati, melihat dan merasakanbahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidakmenggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparatpenegak hukm dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafiaperadilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD dikalangan birokrasi. Dafatar ketidakpuasan masyarakat dalampenegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membukakembali lembaran – lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret diPapua dan lain-lainnya.Pengadilan yang merupakan representasi utama wajahpenegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanyakepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial danpemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya.Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukumdiatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaanmasyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakatterhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir.Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporanatau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukumkita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kitasemua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadapwibawa hukum.Bagaimana juga masih banyak warga masyarakat yang tetapmenghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan.Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakatmempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya
penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum /pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosialmasyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosiallingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakatmempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yangdipandang bertentangan dengan nilai – nilai keadilan hidup dantumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnyaopini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnyacitra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakatakan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakatkebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.
SUMBER WIBAWA HUKUM
Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanyaditerjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadilisecara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata.Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran parapenegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang,itulah yang akan menjadi hukumnya.Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakanhukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasakeadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum.Proses mengadili – dalam kenyataannya bukanlah proses yuridissemata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang – undang, melainkan proses yangmelibatkan perilaku –perilaku masyarakat dan berlangsung dalamstruktur sosial tertentu. Penelitian yang telah dilakukan oleh MarcGalanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatuputusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja darikesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektifsosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk ”record keeping”, ”site ofadministrative processing”, ”ceremonial changes of status”,”settlement negotiation”, ”mediations and arbitration”, dan warfare. Produk dari pengadilan adalah putusan hakim. Dari sinilahawal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam putusan hakim,wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perluberteriak-teriak minta kepada masyarakat agar menghormatipengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupunMA membuat putusan yang bermutu tinggi, maka rasa hormat ituakan datang dengan sendirinya.Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiriterhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwamenegakkan wibawa pengadilan tidakkah semudah membaliktelapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakanwarisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalamprakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masihtampak di kalangan para hakim. Sebagai contoh, sampai saat inikita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest dari HogeRaad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum(PMH). Dari sisi ini setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal,yaitu : pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diriuntuk mengutip yuriprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia.Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yangdapat dianggap berkualitas kasus itu. Ketiga, menganggapyuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya kritik-kritik terhadap keberadaan lembagaperadilan tidak lain karena peradilan kita tidak dapat memberikanpengayoman kepada warg masyarakat. Putusan pengadilan yangdiharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yangterganggu tidak dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan,keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang),KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara,tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan ”produksampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilanmasyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukumyang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilanyang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis.Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengembantujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dankemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untukmenuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat,maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuanhukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalandengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu ”hukumuntuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demiian, pada akhirnyatidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum danKetertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice(Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilandan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembagapengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilansebagai pengayom masyarakat.
MEMBUDAYAKAN PERILAKU ANTIKORUPSI
Dalam 10 tahun terakhir, gelombang perubahan yangmenakjubkan telah terjadi di Indonesia. Pemerintah telah memilihjalan untuk melaksanakan program desentralisasi secara besar-besaran dan telah melaksanakan pemilihan umum secara langsunguntuk memilih presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Hal iniharuslah dilihat sebagai proses transisi secara damai dari rezimotoriter kepada rezim demokrasi yang diikuti pula dneganperubahan – perubahan kelembagaan dan transformasi regulasi.Dalam konteks inilah masalah korupsi di Indonesia perlu untukdikaji. Korupsi bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Hampir dikebanyakan negara korupsi selalu terjadi. Korupsi merebak hampirdi semua negara di dunia baik negara industri maupun negaraberkembang. Survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasionalmenunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara korupdi dunia. Dalam bidang pemberantasan korupsi, skor Indonesiahanya sejajar dengan Nigeria dan Bangladesh dan tertinggal jauhapabila dibandingkan dengan Philipina maupun Malaysia.Hasil survei ini mencerminkan transparansi yang lebih besarmengenai korupsi di Indonesia dan menunjukkan bahwamasyarakat Indonesia menjadi salah satu masyarakat yang terbuka.Masyarakat mengakui bahwa korupsi secara objektif terjadi diberbagai sektor dan masyarakat juga berpendapat bahwa korupsimerupakan kejahatan yang harus dibasmi. Korupsi merupakanancaman yang besar bagi transmisi politik dan ekonomi di Indonesiakarena korupsi melemahkan kemampuan negara untukmenyediakan barang – barang publik dan mengurani kredibilitas negara di mata rakyat. Dalam jangka panjang korupsi merupakanancaman bagi keberlangsungan demokrasi.Survei nasional yang dilaksanakan oleh Partnerhip forGovernance Rerofm in Indonesia menyajikan sumber informasiyang kaya tentang persepsi 2.300 rumah tangga, pejabat publik danpengusaha. Hasil survei mengungkapkan bahwa 75 % respondenberpendapat bahwa korupsi sangat lazim di sektor publik. Disamping itu, 65 % rumah tangga melaporkan telah mengalamisecara langsung dan 70 % responden melihat korupsi sebagai“penyakit yang harus diberantas”. Survei juga mengungkapkantingkat kemarahan publik dan kemuakan terhadap korupsi. 80 %responden menghendaki agar pejabat-pejabat yang korupdipenjarakan dan disita kekayaannya. Sebagian kecil respondenmenghendaki pejabat tersebut dipermalukan di depan umum. Nyaristidak ada dukungan untuk memberikan amnesti atau tumpangan
bagi pelaku korupsi di masa lalu.Survei tersebut menawarkan tiga temuan yang signifikan.Pertama, orang tidak terlalu percaya pada lembaga – lembaganegara. Lembaga-lembaga yang dianggap paling paling koruptermasuk di sektor peradilan (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaandan Departemen Kehakiman), instansi – instansi pendapatan (DinasPabean dan Instansi perpajakan), Departemen Pekerjaan Umumdan Bank Indonesia. Kedua, lembaga – lembaga yang dirankingpaling korup juga dianggap kurang efisien dalam penyampaian jasa.Ketiga, survei tersebut memberi wawasan terhadap penyebab-penyebab aktual di Indonesia. Walaupun hasil survei menunjukkakepercayaan yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gajipegawai yang rendah, rendahnya moral perorangan, serta tidak adanya pengendali – pengendali dan akuntabilitas, namun analisisdata yang cermat menunjukkan bahwa empat variabel tersebutberkorelasi dengan manajemen bermutu tinggi, nilai – nilaiorganisasi yang anti korupsi, manajemen kepegawaian bermututinggi dan manajemen pengadaan barang bermutu tinggi.Sebagai warisan yang sudah berkembang sejak jaman VOC,pemberantasan korupsi diyakini akan sulit dilakukan karena akanmenentang kepentingan – kepentingan kelompok yang kuat,terorganisasi secara rapi dalam kelompok – kelompok yang salingmenguntungkan. Terjadinya distorsi – distorsi secara sistematisdalam struktur yang menghalalkan sistem insentif sehingga mampumengubah cara pengambilan keputusan masyarakat sehinggamengubah pula perilaku masyarakat yang bebas korupsi akantergambar suasana sebagai berikut : (1) Birokrasi sebagai pelayanpublik merasa bertanggung jawab atas pelayanan mereka, merasatakut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkantakut untuk memungut biaya tidak resmi dan akan mendapatkaninsentif resmi karena bertindak jujur. (2) Masyarakat menganggapaturan – aturan akan ditaati sehingga masyarakat memposisikanperilakunya dalam kerangka peraturan tersebut. (3) Masyarakattidak perlu membayar insentif tidak resmi (komisi, suap, uangpelicin) karena mengetahui bahwa tanpa membayar pun akandilindungi hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yangberkualitas.
Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa upaya untukmembangun perilaku anti korupsi memerlukan waktu yang lama dankomitmen yang kuat dari para pemimpinnya serta pengawasan terusmenerus dari masyarakat dan media massa. Oleh karena itumengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi danmembudayakan perilaku antikorupsi dalam waktu singkat, adalahharapan yang berlebihan. Dibutuhkan waktu yang lama melaluiproses yang disebut oleh Peter L Berger sebagai proses
internalisasi yang dimulai dari bangku-bangku sekolah dasar.Indonesia menemukan momentum untuk memulai perangmelawan korupsi dengan dilakukan perubahan mendasar dalambidang ketatanegaraan yang memungkinkan dilaksanakannyapemilihan umum yang jujur, bebas, adil dan pemilihan langsungpresiden pada tahun 2004. Hal ini membuat presiden dan anggotaparlemen lebih bertanggung jawab kepada rakyat. Pemilihan kepaladaerah secara langsung sebagai amanat UU Nomor 32 tahun 2004tentang pemerintahan daerah akan meningkat akuntabilitas ditingkat lokal. Pergeseran ini diyakini akan membuat para pemegangkekuasaan publik lebih berhati – hati karena masyarakat menuntutakuntabilitas yang lebih besar sebagai imbalan dari suara yangdiberikan pada saat pemlilihan kepala negara dan kepala daerah.Pergeseran dalam pemilihan kepala daerah di Indonesiaharuslah dilihat sebagai peluang untuk membangun perilaku barudalam penciptaan sebagai peluang untuk membangun perilaku barudalam penciptaan keadilan dan pemberantasan korupsi melaluikontrak politik antara calon kepala daerah dan konstituennya. Daritahun 2005 sampai dengan tahun 2009 akan terjadi pemilihan 33Gubernur, 349 Bupati dan 91 Walikota. Oleh karena itu perubahan sistem ketatanegaraan ini haruslah dijadikan sebagai momentumuntuk membangun peningkatan akuntabilitas publik.Perubahan dalam kerangka akuntabilitas juga tercermin dalamkelengkapan pranata hukum yang disiapkan oleh pemerintah untukmemerangi korupsi dan membangun perilaku antikorupsi. Pranatahukum ini bersumber dari Ketetapan MPR bulan Oktober 1999 yangmenetapkan sebagai tujuan reformasi yaitu suatu aparat negarayang berfungsi dalam penyelenggaraan jasa kepada rakyat yangprofesional, efisien, produktif, transparan, dan bebas dari kolusi,knrupsi dan nepotisme. Pranata hukum lainnya adalah UU Nomor.28 tahun 1999 tentang pemerintah yang bersih dan bebas KKNyang mengharuskan pejabat-pejabat publik mengumumkan hartakekayaannya dan menyetujui audit secara berkala, UU Nomor 31tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yangmendefinisikan secara lebih luas tentang pidana korupsi danmenetapkan gugatan dan prosedur penuntutan, dan amandemenUU tersebut melalui UU Nomor 2 tahun 2001 yang meletakkanbeban pembuktian kepada terdakwa. Selain itu juga sudahdiundang-undangan UU tentang Pencucian Uang dan UU Nomor 30tahun 2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Dari segi pengelolaankeuangan negara telah pula diundangkan UU Nomor 17 tahun 2003tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentangPerbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentangTatacara Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban KeuanganNegara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pranata hukum diIndonesia sudah cukup memadai untuk melakukan pemberantasan
korupsi di Indonesia sudah cukup memadai untuk melakukanpemerantas-an korupsi dan membangun perilaku anti korupsi. Dari segi kelembagaan, selain lembaga-lembaga konvensionaldalam penegakan hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, telahpula dibentuk komisi ombudsman nasional yang bertugasmenangani pengaduan-pengaduan, Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) yang bertugas secara khusus untuk menangkap danmemeriksa pelaku korupsi dan pusat pelaporan dan analisistransaksi keuangan (PPATK) yang bertugas untuk memantautransaksi yang mencurigakan dan melaporkan transaksi tersebutkepada Jaksa Agung.
PENUTUP
Haruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan hukumtidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yangsekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untukmenuju terciptanya wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakanlangkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upayayang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulaikejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penasehathukum. Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukummelakukan : Pertama, evaluasi berkesinambungan atas semuaprogram dan kebijaksanaan yang sudah dicanangkan, agar dapatmengurangi kendala yang dihadapi ; Kedua, klarifikasi kasus-kasusbesar yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga masyarakatmengetahui secara jelas pertimbangan hukum dan dasar-dasarhukum yang digunakan. Ketiga, adalah reorientasi visi dan misilembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan substansial.Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang hukum mutlak perlu. Di dalam era global seperti sekarang ini, dengan perubahan sosial yang begitu cepat, aparat penegakhukum harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri denganmeningkatkan kemampuan. Adanya perbedaan penafsiran bunyisuatu pasal, seharusnya tidak perlu terjadi. Pemahaman yang samaterhadap suatu konstruksi hukum akan sangat mendukungkeberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaanpersepsi antar aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, danPengacara) harus dikembangkan sejak dini. Pembenahan palingdini dapat dimulai dari sistem rekrutmennya. Seperti yang kitaketahui, rekrutmen untuk jabatan-jabatan inti dalam hukum sepertihakim, Jaksa, maupun advokat berasal dari populasi sarjana hukumyang sangat bervariasi mutunya. Pada umumnya dapat dikatakanbahwa mereka yang melainkan untuk jabatan hakim, maupun jaksabukanlah lulusan yang terbaik. Seleksi pelamar terutama yangmenyangkut tentang kemahiran, pengetahuan, dan kemampuanhukum tidaklah ketat.Di negara maju, untuk seleksi jabatan hakim, jaksa, danadvokat benar-benar memperhatikan mutu pengetahuan,kemahiran, dan kemampuan hukum. Seleksi untuk memperolehjabatan inti ini sangat ketat. Di Jepang, hakim, jaksa, dan advokatharus mengikuti pendidikan khusus setelah mereka lulus darifakultas hukum. Sementara itu, Malaysia, dan Singapura melaku-kan seleksi untuk jabatan inti dengan cara kerjasama yang eratantara pendidikan tinggi hukum dengan institusi hukum. Institusi
hukum ini hanya mau menerima lulusan-lulusan terbaik saja.Kiranya kita dapat belajar dari negara-negara tetangga yang telahmemelopori peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidanghukum. Selain melakukan pembenahan sumber daya manusiasebagai bagian dari brainware system, penting pula kiranya untukmembenahi perangkat hukum sebagai bagian dari software system.Oleh karena itu diperlukan pergeseran paradigma dari hukum yangteknokratis struktural menuju hukum humams partisipatoris yangdimulai dari proses hukum yang paling awal karena terdapathubungan yang erat antara perencanaan hukum, pembentukanhukum, penegskan huknm dan pendayagunaan hukum. Dalamkonteks penegakan hukum itu sendiri perlu dilakukan redefinisibahwa penegakan hukum tidak lain adalah mewujudkan isi, jiwa,dan semangat undang-undang/peraturan ke dalam kehidupansehari-hari. Oleh karena itu, siapapun yang telah mewujudkan isi,jiwa dan semangat undang-undang dalam kehidupan sehari-hari,dirinya adalah penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1989, Perkembangan Pemikiran tentang PembinaanHukum Nasional, Jakarta, Akademika Presindo.
Adamson, Walter L., 1980 Hegemony and Revolution : A Study ofAntonio Gramsci’s Political and Culture Theory. Berkeley,University of California Press.
Darmaputera, Eka, 1997, Pancasila, Identitas dan Modernitas,Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Glenn, H Patrick, 2000. Legal Traditions of The World, OxfordUniversity Press.
Hatta, Moh, 1975, Menuju Negara Hukum, Jakarta, Yayasan Idayu.
Jawamaku, Anton, 1993, Cita-cita Hukum dan Langkah StrategisPembangunan Hukum, Analisis CSIS No. 1 Bulan Januari-Februari l993.
Jeremy, Pope, 2002, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen SistemIntegritas Nasional, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Malleson, Kate, 2003, The Legal System, United Kingdom, LexisNexis.
Milner, Andrew dan JeffBrowit, 2002, Contemporary Cultural Theory,Third Edition, Australia, Allen Ulwin,
Osman Samsudin, Zulkarnam Hj Awang, Sarojini Naidu, 2000, GoodGovemance Issues and Challengers, INTAN Malaysia.
Persahi, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Jakarta,Pustaka Sinar Harapan.
Peters, AAG, dan Koesnani Siswosoebroto, 1990, Hukum danPerkembangan Sosial Buku III, Jakarta, Sinar Harapan.Prawiro, Wahono, 1977, Utilitarianisme dan Masalah Keadilan,Majalah Driyarkara VI Nomor 2 Tahun 1977.
Priyono, Herry, 1984, Teori Keadilan John Rawls, Majalah DryarkaraXI Nomor 4 November 1984
Makna etika dan moral
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. K. Berten dalam bukunya Etka (Seri Filsafat Atmajaya: 15/1997: 6) mempertajam rumusan makna dalam kamus tersebut di atas, menyatakan: pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara “etika suku-suku Indian”, “etika agama Buddha”, “etika Protestan”, maka tidak dimaksudkan sebagai “ilmu”, melainkan arti pertama tadi. Secara singkat arti ini bisa juga dirumuskan sebagai “sitem nilai”, dan boleh dicatat lagi, sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik, seperti “Etika Rumah Sakit Indonesia (1986). Ketiga, etika mempunyai arti “ilmu tentang yang baik atau buruk”.
Kata etika sangat dekat maknanya dengan kata moral. Kata moral yang berasal dari kosa kata bahasa Latin (berasal dari kata mos bentuk singular, mores bentuk jamak) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) disamakan maknanya dengan kata etika. Jika sekarang kita memandang arti kata moral, perlu kita simpulkan bahwa artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kita mengatakan, misalnya bahwa perbuatan seseorang tidak bermoral. Dengan itu dimaksudkan bahwa kita menganggap orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau kita mengatakan bahwa kelompok pemakai narkotika mempunyai moral yang bejat, artinya mereka berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, hanya terdapat nada yang lebih abstrak. Kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik buruk (Berten, 1997:7). Di samping kata moral seperti tersebut di atas, kita masih mendengar atau membaca istilah amoral dan immoral. Menurut K. Berten, kata amoral diartikan sebagai netral dari sudut moral atau tidak mempunyai relevansi etis, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik. Masih terkait dengan moral dan etika dan etiket. Etiket lebih menekankan pada sopan santun, di samping berarti label.
Pengungkapan korupsi sebagai salah satu wujud perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas bangsa, karena hal ini yang paling berdampak, yakni kerugian dan penderitaan masyarakat luas atas perilaku segelintir dari para koruptor, di samping itu perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moralitas lainnya adalah pelacuran dengan adanya beberapa lokasi PSK yang sangat besar di beberapa kota di Indonesia, pelanggaran hak azasi manusia (HAM), terorisme yang mengguncangkan bangsa Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu, yang memberi citra negatif kepada bangsa ini sebagai bangsa yang belum mampu mengatasi teroris dan menjadikan warga negara asing (khususnya wisatawan) membatalkan keinginannya untuk berlibur di Indonesia. Permasalah korupsi dan berbagai bentuk pelanggaran etika dan moralitas bangsa ini merupakan sebuah ancaman yang besar yang dapat menghancurkan sendi-sendi
kebangsaan (integritas bangsa) Indonesia yang mesti disadari oleh seluruh bangsa Indonesia untuk dicarikan solusi guna memecahkan dan mengatasinya.