penegakan hukum 09

43
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak . Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seri ngkali bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak 1

Upload: arian-azhari

Post on 25-Jun-2015

305 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: penegakan hukum 09

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik,

disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa

sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik

antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam

hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik

yang bersifat netral dan tidak memihak .

Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh

masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan

hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya

bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang

mengalami konflik, seri ngkali bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat

dan berkuasa.

Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang

tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh

sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum.

Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah

yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik,

dan sebagainya Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai

alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban

masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak

terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.

1

Page 2: penegakan hukum 09

B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberi Hukum sebagai dewa

penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka

yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari

keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, sering kali

bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa. penjelasan

mengenai Permasalahan yang timbul berkaitan dengan tatanan praktik penegakan

hukum di indonesia dalam mengungkap kasus yang terjadi dipengadilan atau

masyarakat. memberikan suatu pembelajaran bagi kita semua dalam penegakan

hukum.

2

Page 3: penegakan hukum 09

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori

Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa

yg berdasarkan hukum (Rechtstaat), tugas dan tanggung jawab masyarakat,

lembaga kepolisian, kejaksaan, peradilan dan lembaga-lembaga advokasi.

Harapan seluruh masyarakat yang mendambakan keadilan terwujud di Indonesia

maka penegakan hukum yg adil dan menjamin kepastian hukum harus tidak boleh

tidak untuk diwujudkan oleh lembaga-lembaga / instansi yang berkaitan dengan

penegakan hukum agar berperan aktif dengan menjunjung tinggi keadilan

masyarakat (Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia, Prestasi Pustaka,

2006, Cet I, hal 133).

Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan institusi penegak hukum lainnya yang

disertai semangat untuk tetap menjaga kejujuran dan keadilan dalam

pelaksanaannya. Didalam membicarakan peradilan senantiasa berada pada domain

aturan perundangundangan, sehingga peradilan dilihat sebagai komunitas yang

tampak tertib dan teratur karena hanya menampilkan bagian depannya (Frontside).

Sedangkan bagian belakang Peradilan maupun lembaga penegak hukum lainnya

tidak diamati. Artinya apa yang terjadi dibalik proses pemeriksaan di kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan tidak terjangkau oleh pengamatan (Ibid, hal. 134).

Bagian penting dalam penegakan hukum adalah peranan dari penegak hukum

untuk mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk juga pihak-

pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait

dengan perundangundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu. Dalam

melaksanakan itu perlu penafsiran (interpretasi) yang mendalam maka perlu

dedikasi, kejujuran dan kinerja yangtinggi. Penafsiran yang mendukung terwujud

3

Page 4: penegakan hukum 09

keadilan masyarakat yaitu : Gramatikal, Historis, Filosofis dll. Dalam

pelaksanaannya aparatur penegak hukum lebih bertumpu pada penafsiran

gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundang-undangan.Padahal

dengan penafsiran gramatikal itu saja, tidak cukup mendukung terwujud

keadilandan penegakan hukum yang proporsional serta adil, tetapi harus didukung

penafsiranyang lainnya misal penafsiran filosofis, mengapa seseorang melakukan/

tidak melakukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Tetapi dengan penafsiran filosofis

misalnya, mengapa mengambil sesuatu mungkin karena kelaparan, sangat

terpaksa dan yang diambil nilainya kecil sekali, sehingga dengan penafsiran

filosofis tersebut mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan

hukum.

4

Page 5: penegakan hukum 09

BAB III

ISI

A. Pembahasan

Permasalahan Hukum

Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem

peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi

kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan

tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah

adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan

hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun

lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun

inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media

elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat,

orang kaya, dan sebagainya).

Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam

peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat

berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan

lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak

berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu

saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang

dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan

penumpangnya berpangkat lebih tinggi.

5

Page 6: penegakan hukum 09

Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor

kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri

ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.

Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi

di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa

keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.

Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia

Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa

hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak

ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu

sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan

elektronik.1. Tingkat Kekayaan Seseorang Salah satu keputusan kontroversial

yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan

pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama,

Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara

potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah.

Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus

korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah

berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan

pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank

Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-

kasus korupsi milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus pencurian

kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian

puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding.

Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob

Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh

dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki

oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi. Kita bisa membandingkan

dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 .

6

Page 7: penegakan hukum 09

Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter

persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa

percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli

tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran

kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara,

Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta

lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri,

Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan

sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang

mengalahkan dirinya.

2. Tingkat Jabatan Seseorang

Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia,

Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD

DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat

memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari

anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT

Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini,

sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif,

semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota

DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.Dalam kasus ini, terlihat

penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik

menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.

Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah

tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat

terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak

kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke

pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT

Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat,

janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.

7

Page 8: penegakan hukum 09

3. Nepotisme

Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat

(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah

militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu,

terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil

menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini

terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang

terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.

Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum

militer yang diterapkan pada kasus narkoba.

Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan

penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan

merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil

ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah

permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak

pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan

elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih

berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi

hukum bagi keluarga bekas pejabat.

4. Tekanan Internasional

Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September

2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian

internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur

Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan

permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik

kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia),

sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini

8

Page 9: penegakan hukum 09

mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti

persenjataan milisi

Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang

dianggap bertanggung jawab.

Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di

Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh,

Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian

secara cepat dan tanggap dari aparat.

Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi

berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian

internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang

terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat

tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum

dalam mengatasi kasus kekerasan.Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan

Hukum di Indonesia Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus

menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law

in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka

tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat

penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau

melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam

suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan

hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku

masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di

Indonesia.

1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum

Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat

mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka

9

Page 10: penegakan hukum 09

sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan

agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata,

dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur

pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya

dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di

Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar

pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam

lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara,

jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu

dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-

asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak

kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan

rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih

banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus

menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang

bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan

terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk

mudah dipatahkan. Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa

kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden

Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang

lemah.

2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan

Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat

di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat

hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses

pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok,

penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh.

Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan

(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan

10

Page 11: penegakan hukum 09

rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu,

melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang

menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan

juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak

melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Pada beberapa kasus yang lain,

masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang

terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga

Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar

seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya,

konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi

tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan

diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut

hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma

dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang

melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya

argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan

keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.

3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi

Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya

kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim

dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi

perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang

seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah

menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara

bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub

yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa.

Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut,

kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau

memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui

11

Page 12: penegakan hukum 09

kesepakatan tertentu. Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan

yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu

pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena

menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan

inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif

lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.

4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan

Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing

dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan

dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif

melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus

pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainyaNamun di lain

pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat.

Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan

tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang

menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan

terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan

kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara

mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan

penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya

untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau

akan dijalaninya.

Prioritas Penegakan Hukum

Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera

ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa

dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat

yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola

kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian

konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar

12

Page 13: penegakan hukum 09

jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.Pemanfaatan

inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya

sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan

yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di

masyarakat Indonesia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan

untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas

perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun

pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan.

Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi,

dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam

proses penegakan hukum di Indonesia.Selain perbaikan kinerja aparat, materi

hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya

perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak

akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain

mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam

memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan

perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui

perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan

kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum

secara konsisten.

Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan

sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut

masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi

tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya

reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang

berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu

atap (Beny K. Harman).

13

Page 14: penegakan hukum 09

Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa

menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum

Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong

kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak

lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja

misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian,

dan Timtastipikor.

Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan

baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat

seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak

tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan

akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-

tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan

pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi

hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik

semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi -

adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.

Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam

menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu

menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana

seharusnya agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi

dilakukan?

Seorang tokoh reformis China yang hidup sekitar abad 11 mengemukakan, ada

dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi yaitu hukum

yang lemah dan manusia yang tidak benar. Tidak mungkin menciptakan aparat

yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan

pengontrol (social control). Ia berkesimpulan dalam memberantas korupsi

14

Page 15: penegakan hukum 09

dibutuhkan penguasa yang punya moral tinggi dan hukum yang rasional serta

efisien (Mujahid:2000)

Dalam sejarahnya "upaya" pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak tahun

1958, yakni dengan lahirnya berbagai institusi dan peraturan perundang-undangan

yang ditujukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi korupsi di Indonesia

selalu saja menempati urutan yang tinggi .

Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi

dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi,

kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak

dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas

korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara

Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR

tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada

dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang

diarahkan untuk penegakan hukum. Harus diakui kenyataannya sampai saat ini

berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal

dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara

semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan

ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar

biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang

luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara

konvensional. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan

instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang

kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif).

Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan

kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton

power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely. Dengan

adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan

KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada

15

Page 16: penegakan hukum 09

political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan

politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan

keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas

ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan

masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen

yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang

aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan

netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk

memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh

kepastian dan keadilan bagi masyarakat.

Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi

bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul

perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan

keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam

dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya

hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial.

Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran

hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan

untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto

Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa

manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap

sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam

masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini

terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak

hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir

jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan

didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di

Indonesia.

Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari

mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam

16

Page 17: penegakan hukum 09

posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan

persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum

memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para

ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika

hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja

berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif),

barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama

ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor

utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum

peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh

dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif

berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung

eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.

Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti,

oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan

demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by

law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif

yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan

kehidupan hukum yang berada.

Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan seharusnya menjadi momok

yang menakutkan bagi seseorang untuk atau yang akan melakukan tindak

kejahatan. Rumah tahanan atau Lembaga Permasyarakatan memliki andil yang

besar bagi terwujudnya perdamaian dan ketentraman bagi rakyat dimana

seseorang yang melakukan tindak kejahatan diharapkan jera dan sadar akan

kesalahannya dan tidak akan melakukan tindakan tersebut. Namun yang terjadi

justru sebaliknya, temuan Satgas pada Rumah Tahanan Pondok Bambu tersebut

membuktikan semua yang dituduhkan selama ini kepada Lembaga

Permasyarakatan kita. Dimana penjara yang identik dengan kengerian berubah

menjadi tempat hunian eksklusif sekelas hotel berbintang 5. Mengapa demikian?

17

Page 18: penegakan hukum 09

Apa yang terjadi dengan penegak hukum kita? Dimana moral mereka sebagai

penegak hukum?

Dalam kacamata hukum, penegakan hukum itu melandaskan pada prinsip-prinsip

The Rule of Law, yaitu menempatkan semua orang/ tersangka/ terdakwa sama

sederajat di depan hukum (Equal Before the Law), menempatkan semua orang

memiliki perlindungan yang sama di depan hukum (Equal Protection On the

Law), dan menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah

hukum (Equal Justice Under the Law). Prinsip-prinsip tersebut nampaknya belum

berjalan dengan baik di negara kita. Apabila dihubungkan dengan kasus

ditemukannya ruangan super mewah untuk sekelas Lembaga Permasyarakatan

atau rumah Tahanan, hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip The

Rule of Law. Seorang artalita yang notabene seorang terpidana seharusnya

diperlakukan sama derajatnya dengan terpidana yang lain sesuai pinsip Equal

Before the Law. Penegak hukum kita dalam hal ini Kepala LP/ Rumah Tahanan,

seharusnya tahu akan hal itu. Lagi-lagi sepertinya masalah uanglah yang

menjadikan gelap mata dan gelap hati para penegak hukum kita. Kemudian kita

lihat bahwa prinsip Equal Protection On the Law tidak berjalan dalam penegakan

hukum kita. Diberikannya ruangan super mewah menjadikan perlindungan hukum

yang semua orang seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama menjadi

timpang dimana uang dan kekuasaan masih menjadi kekuatan utama dalam

melemahkan penegakan hukum kita. Kemudian yang terakhir adalah sesuai

prinsip Equal Justice Under the Law, dimana semua orang memiliki keadilan yang

sama di bawah hukum. Namun, dengan adanya kasus tersebut artinya tidak semua

orang diberikan keadilan yang sama di depan hukum. Artinya selama penegak

hukum kita masih kalah dengan kekuatan politik yang kotor, uang dan kekuasaan

maka cita-cita negara Indonesia tidak akan tercapai. Perlu dipertanyakan kembali

bagaimana komitmen dan integritas penegak hukum kita sebagai ujung tombak

penegakan hukum di IndonesiaSecara konsepsional, maka inti dan arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

18

Page 19: penegakan hukum 09

di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga

dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan

esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas

lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan

masyarakat Indonesia.

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum

dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka &

Soerjono Soekanto, 1979).

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang

tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.

Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):

1. Undang-undang tidak berlaku surut.

2. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

3. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

19

Page 20: penegakan hukum 09

4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum, apabila pembuatnya sama.

5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan

berlaku terdahulu.

6. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

7. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun

pembaharuan (inovasi).

2. Penegak Hukum

penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya

mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan

sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat

diterima oleh mereka.

Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang

seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan

tersebut, adalah:

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain

dengan siapa dia berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit

sekali untuk membuat proyeksi.

4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,

terutama kebutuhan material.

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-

sikap, sebagai berikut:

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang

ada pada saat itu.

3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

20

Page 21: penegakan hukum 09

4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai

pendiriannya.

5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu

urutan.

6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.8. Percaya pada

kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan

kesejahteraan umat manusia.

9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri

dan ihak lain.

10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran

dan perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan

hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,

peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.Sarana atau

fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa

adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum

menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya

untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut

(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):

1. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

2. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.

3. Yang kurang-ditambah.

4. Yang macet-dilancarkan.

5. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,

21

Page 22: penegakan hukum 09

maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat

Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan

bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum

sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum

senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari

hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa

yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut

( Purbacaraka & Soerjono soekantu):

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai

suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan

kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian

hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan

hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak

dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat

diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang

harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang

menuju pada tegaknya kepastian hukum.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat

memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk

terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana

mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya,

apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau

melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar

22

Page 23: penegakan hukum 09

masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang

berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan

salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri ini.

Sekalipun tidak komprehensif perlu ada angkah-langkah untuk membangun

sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain : 1). Perlunya

penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan

perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan

mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang

mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya

bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan

hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan

sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak

sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum

yang sedang ditegakkannya ;

3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para

anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim

aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan

hukum ( law enforcemen’ ) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang

merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang

melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum

[ vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo. Psl.18 ayat (1) dan (4) UU

No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ] ; 4) Perlu dilakukannya

standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya

bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat )

agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia

dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu

sendiri ;.

23

Page 24: penegakan hukum 09

5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif

kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa

; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut

baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara.

Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau

lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi”

agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar

disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi

tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;.

6). Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang

konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan

diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim,

Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan

diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum

yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari

Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law

enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan

negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi

penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan

“Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum

merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi

tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel

merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (

‘rechtsstaat’ ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang

dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari

masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di

Republik Mimpi

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

24

Page 25: penegakan hukum 09

Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan

memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari

hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan

faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat

berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja. Orang

mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri

masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.

Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat

memberikan rasa puas bagi masyaralat bawah. Buktinya para koruptor milyaran

bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas, bolak-balik keluar negeri,

hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup uang

negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa

melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri,

jambret, perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi

kebutuhan dan mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam

proses penyidikan dikepolisian. Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan

melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan dengan para koruptor (penjahat kera

putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu saja lepas dari jeratan

hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum mampu

menegakan supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat yang berhubungan

langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas sebagai pelindung dan

pengayom, menjadi tugas yang disampingkannya. Polisi ditingkat sektor terutama,

dengan uang tebusan dari keluarga seorang penjahat atau yang sudah mempunyai

status tersangka bisa keluar dan tidak diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,

padahal sebenarnya sudah sangat jalas didalam KUHAP, yang nota bene hukum

produk manusia ini menekankan bahwa perkara pidana adalah perkara yang tidak

mengenal Winwin solution , seperti dalam perkara perdata. Dalam contoh di atas

membuktikan ketidak profesional atau polisi yang hanya mencari duit lewat

pemerasan saja. Bukti tersebut banyak sekali penulis dapat memberikan fakta.

Kasus serupa tidak hanya dilakukan oleh pihak kepolisian saja tetapi di tingkat

pengadilan pun ada, seperti dalam kasus asuransi jiwa manulaif, ketidak

25

Page 26: penegakan hukum 09

profesionalan polisi dan hakim ini disebabkan karena moral dan pendidikannya

yang tidak baik. Kesalahan moral tidak seperti kesalahan seperti salah tendang

dalam permainan sepak bola atau salah tamplek dalam bulu tangkis tetapi

kesalahan moral adalah kesalahan dari hati yang paling dalam/luhur dan di

pertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memanglah sulit untuk

mencari orang yang mempunyai moral yang baik sekarang ini, mungkin

disebabkan kerena keadaan ekonominya. tetapi penulis mempunyai gagasan

bahwa moral akan terbentuk dengan berdasarkan Agama sebagi keyakinan bukan

Ilmu, jadi berprilaku secara agama dan berfikir secara ilmu, dari segi pendidikan

para aparat penegak hukum sekarang ini juga belum menunjukkan kepintarannya,

penulis mempunyai gagasan bahwa untuk memperbaiki aparat penegak hukum di

Indonesia khususnya hakin dan jaksa, perlulah bangsa ini mempunyai lembaga/

konstitusi yang jelas berdasarkan aturan yang jelas pula. Kekecewaan atau ketidak

puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan

diproses didalam pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang

berperkara di pengadilan yang setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat

pertama, melakukan upaya hukum, (banding, kasasi, peninjauan kembali) ini

membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat memberikan

rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan

upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.

26

Page 27: penegakan hukum 09

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi, Kesimpulannya, pertanggungjawaban penegakan hukum di indonesia

ditentukan berdasarkan pada asas keadilan dan manfaat. Penegakan hukum

menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa yg berdasarkan

hukum (Rechtstaat), tugas dan tanggung jawab masyarakat, lembaga kepolisian,

kejaksaan, peradilan dan lembaga-lembaga advokasi. peranan dari penegak

hukum untuk mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk juga

pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait

dengan perundangundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu

B. Saran

Harapan penulis adalah mendambakan keadilan terwujud di Indonesia maka

penegakan hukum yg adil dan menjamin kepastian hukum harus tidak boleh tidak

untuk diwujudkan oleh lembaga-lembaga / instansi yang berkaitan dengan

penegakan hukum agar berperan aktif dengan menjunjung tinggi keadilan

27

Page 28: penegakan hukum 09

masyarakat Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan institusi penegak hukum

lainnya yang disertai semangat untuk tetap menjaga kejujuran dan keadilan dalam

pelaksanaannya

28