lapkas fix

50
LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN Pembimbing : dr. S. Windayati, H. Sp.KK Oleh: Novita Triliyanty Magdalena 109170050 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI 1

Upload: novita-trilianty-magdalena

Post on 15-Apr-2016

25 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

koass kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Lapkas Fix

LAPORAN KASUSILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing :

dr. S. Windayati, H. Sp.KK

Oleh:

Novita Triliyanty Magdalena

109170050

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2015

1

Page 2: Lapkas Fix

BAB I

KASUS

I. IDENTITAS A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. N

Usia : 37 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Bobongan Bojo 6/v Kendal

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk RS : 19-09-2015

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 19 September 2015

pukul 10.20 WIB

A. Keluhan utama : Benjol-benjol kemerahan yang disertai rasa

gatal dan panas sejak ± 3 bulan yang lalu.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Penderita datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal-gatal. Gatal-

gatal disertai rasa panas dan timbul benjol-benjol kemerahan sudah sejak ± 3

bulan yang lalu. Keluhan gatal-gatal dirasakan pasien berawal dari kaki lalu

menyebar ke bagian lain yaitu badan, tangan dan muka. Benjol-benjol di

tempat gatal juga terasa kaku. Pasien sebelumnya sudah berobat ke

Puskesmas setempat dan gatal-gatal hilang setelah minum obat namun

beberapa jam kemudian gatal-gatal timbul kembali. Pasien mengaku memiliki

gigi yang berlubang dan belum diobati.

Riwayat Pengobatan : Pasien sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas,

namun tidak kunjung sembuh. Nama obat lupa ditanyakan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

2

Page 3: Lapkas Fix

Keluhan serupa : Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya

Alergi : Disangkal

Asma : Disangkal

Diabetes Melitus : Disangkal

Jantung : Disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan serupa : Disangkal

Alergi : Disangkal

Asma : Disangkal

Diabetes mellitus : Disangkal

Hipertensi : Disangkal

Jantung : Disangkal

E. Riwayat Pribadi dan Sosial

Anggota keluarga yang sakit serupa di sangkal.

Pemakaian handuk atau pakaian secara bersamaan (-)

Pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga

Pasien tidak memelihara hewan di rumahnya

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 September 2015 pukul 10.35

WIB

STATUS GENERALIS

a. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

b. Kesadaran : Komposmentis

GCS : 15 (E4, V5, M6)

c. Vital Sign : TD : 120/80 mmHg

N : 88 x/m, irama reguler, isi cukup

R : 20 x/m

S : 36,70C (aksila)

d. Status gizi : Kesan gizi cukup

e. Kulit

3

Page 4: Lapkas Fix

Warna : Sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Ptekie : ada

f. Kepala : bentuk normocepal, rambut warna hitam, lebat, distribusi

merata, tidak mudah dicabut.

g. Mata : CA -/-, SI -/-, Rc (+/+) (+/+) isokor 3mm/3mm

h. Telinga : Bentuk normal, simetris, inflamasi (-), sekret minimal.

i. Hidung : Simetris, PCH (-), sekret (-)

j. Mulut : Bentuk normal, mukosa tidak hiperemis

k. Lidah : Tidak pucat, tidak kotor, warna merah muda

l. Tonsil : Tidak ada pembesaran

m. Faring : Tidak hiperemis

n. Leher : Tidak ada pembesaran KGB

o. Thorak

Paru-paru :

Inspeksi : Bentuk : Simetris

Retraksi : tidak ada

Gerakan napas: Simetris

Palpasi : Ekspansi napas: Simetris

Fremitus taktil : simetris

Perkusi : Sonor disemua lapang paru

Batas paru-hepar : ICS 5 linea midclavicula dextra

Peranjakan hepar : ICS 6 linea midclavicula dextra

Auskultasi : Vesikuler kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/-

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicula sinistra

Palpasi : Nyeri tekan (-), Thrill (-)

Perkusi : Batas jantung kanan : ICS 4 linea midclavicula dextra

Batas jantung kiri : ICS 5 linea midclavicula sinistra

Batas pinggang jantung : ICS 3 linea parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

4

Page 5: Lapkas Fix

p. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : Datar

Umbilicus : Ditengah, inflamasi (-)

Massa (-),

Auskultasi : Bising usus (+) 15x/m

Perkusi : Timpani seluruh lapang perut

Hepar: 1 jari bawah arcus costa

Lien : tidak ada pembesaran

Palpasi : Nyeri tekan (-), distensi (-), masa tidak teraba,

Hepar : teraba 1 jari bac,

Lien : tidak ada pembesaran,

Ginjal : tidak teraba.

q. Ekstremitas

Akral : hangat

CRT : <2 dtk

Sianosis : tidak ada

Edema : (-/-)

STATUS VENEROLOGI :Tidak dilakukan

5

Page 6: Lapkas Fix

STATUS DERMATOLOGI

6

Page 7: Lapkas Fix

Inspeksi :

a. Lokasi : Kening, wajah, lipatan siku kanan dan kiri, lengan dan di

badan

b. Efloresensi : urtikaria (plak, papul eritem, edema setempat berbatas

tegas)

c. Diameter : papul eritem ± 1 cm, plak ± 3 cm.

Palpasi :

a. Suhu : sama dengan kulit sekitar

b. Permukaan : tidak rata

c. Nyeri (-)

IV. RESUME

ANAMNESIS

Penderita datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal-gatal. Gatal-

gatal disertai rasa panas dan timbul benjol-benjol kemerahan sudah sejak ± 3

bulan yang lalu. Keluhan gatal-gatal dirasakan pasien berawal dari kaki lalu

menyebar ke bagian lain yaitu badan, tangan dan muka. Benjol-benjol di

tempat gatal juga terasa kaku. Pasien sebelumnya sudah berobat ke

Puskesmas setempat dan gatal-gatal hilang setelah minum obat namun

7

Page 8: Lapkas Fix

beberapa jam kemudian gatal-gatal timbul kembali. Pasien mengaku memiliki

gigi yang berlubang dan belum diobati.

Riwayat Pengobatan: Pasien sebelumnya sudah berobat ke Puskesmas, namun

tidak kunjung sembuh. Nama obat lupa ditanyakan.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Keluhan serupa : Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya

• Alergi : Disangkal

STATUS DERMATOLOGI

Inspeksi :

d. Lokasi : Kening, wajah, lipatan siku kanan dan kiri, lengan dan di

badan

e. Efloresensi : urtikaria (plak, papul eritem, edema setempat berbatas

tegas)

f. Diameter : papul eritem ± 1 cm, plak ± 3 cm.

Palpasi :

d. Suhu : sama dengan kulit sekitar

e. Permukaan : tidak rata

f. Nyeri (-)

V. DIAGNOSIS BANDING

- Urtikaria kronis

- Dermatitis kontak alergi

- Dermatitis Atopik

- Purpura anafilaktoid

VI. USULAN PEMERIKSAAN

- Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin

- Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorokan

- Pemeriksaan kadar IgE dan Eosinofil

- Tes eliminasi makanan

-

8

Page 9: Lapkas Fix

VII. DIAGNOSIS KERJA

Urtikaria Kronis

VIII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy dan

second-line therapy.

First-line therapy

First-line therapy terdiri dari:

a. Edukasi kepada pasien:

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan

menggunakan bahasa verbal atau tertulis.

Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria.

Me

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat untuk terjadinya infeksi

seperti sering membersihkan gigi

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan

urtikaria.

c. Antagonis reseptor histamin

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah loratadin.

Loratadin dosis 10 mg tab, diminum 1 kali sehari.

d. Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau

2%. Digunakan jika perlu/gatal.

Second-line therapy

Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, maka

diberikan:

a. Kortikosteroid

Methylprednisolone 8 mg tab, diminum 1 kali sehari

9

Page 10: Lapkas Fix

IX. PROGNOSIS

Umumnya baik jika faktor pencetus dihindari

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

BAB II

10

Page 11: Lapkas Fix

PEMBAHASAN

A. Definisi

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab,

biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang

perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit,

sekitarnya dapat dikelilingi halo.2

B. Epidemiologi

Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria

(kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu

dalam hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5%

populasi semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan

atopi. Insiden urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data

epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling

sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi

pada dewasa dan wanita setengah baya.4

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan

(0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi,

lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut

pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi

urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah

penduduk kurang dari 500.000.5

C. Etiologi

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga

penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2

1. Obat

Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik

maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)

menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang

11

Page 12: Lapkas Fix

secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan

histamin, misalnya opium dan zat kontras.2

2. Makanan

Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat

reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur,

ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2

3. Gigitan atau sengatan serangga

Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini

lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).2

4. Bahan fotosenzitiser

Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan

kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2

5. Inhalan

Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu

binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe

I).2

6. Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk

tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya

insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2

7. Trauma Fisik

Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor

tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun

non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul

beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut

dermografisme atau fenomena Darier.2

8. Infeksi dan infestasi

Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi

bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.2

9. Psikis

Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan

peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2

12

Page 13: Lapkas Fix

10. Genetik

Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang

menunjukkan penurunan autosomal dominant.2

11. Penyakit sistemik

Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria,

reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2

D. Klasifikasi

Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada

etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis

urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat bermacam-macam

klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan

urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang lain tampak pada tabel 1.3,6

Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria

Ordinary urticarias Acute urticarial Chronic urticaria Contact urticarialPhysical urticarias Dermatographism Delayed dermatographism Pressure urticarial Cholinergic urticarial Vibratory angioedema Exercise-induced urticarial Adrenergic urticarial Delayed-pressure urticarial Solar urticarial Aquagenic urticarial Cold urticarialSpecial syndromes Schnitzler syndrome Muckle-Wells syndrome Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy Urticarial vasculitis

13

Page 14: Lapkas Fix

1. Urtikaria Akut

Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau

berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya

hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan

dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi

kronis atau rekuren.3

2. Urtikaria Kronik

Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,

pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih

dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah

dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3

3. Urtikaria Kontak

Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di

tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa.

Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau

non-alergi (IgE-independen).3

4. Urtikaria Fisik

a. Dermographism

Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan

merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier

yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.6,10

Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal

atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam

30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan

dapat muncul.6

b. Delayed dermographism

Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau

tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari

nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure

urticaria.6

c. Delayed pressure urticaria

14

Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9

Page 15: Lapkas Fix

Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal,

sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap

kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah

sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan

pekerjaan dengan tangan.6

d. Vibratory angioedema

Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat

berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena

paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam

karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal

dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai

dengan flushing pada wajah. 6,10

e. Cold urticaria

Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan

(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi

perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek

dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang

lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.6

15

Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.8

Gambar 5. Cold Urticaria. 6

Page 16: Lapkas Fix

f. Cholinergic urticaria

Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic

urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan

biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh

flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.6,10

g. Local heat urticaria

Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam

beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5

menit setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi

seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10

h. Solar urticaria

Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-

kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan

sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk

eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar

ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9

16

Gambar 6. Cold Urticaria. 6

Gambar 7. Local Heat Urticaria. 9

Page 17: Lapkas Fix

i. Exercise-induced anaphylaxis

Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari

pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop

yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis

memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9

j. Adrenergic urticaria

Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo

yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran

norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus

seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.6,7

k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus

Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan

urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai

pembawa antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-

biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria.6,7

4. Sindrom Khusus

a. Schnitzler syndrome

17

Gambar 8. Solar Urticaria. 10

Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.11

Page 18: Lapkas Fix

Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh

pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias,

atau radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan

monoclonal IgM gammopathy. 3,12

b. Muckle-Wells syndrome

Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan

autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian

sensorineural yang progresif, dan amiloidosis.3,13

c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy

Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai

gatal yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy

(PUPP). Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam

beberapa hari dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.6

d. Urticarial vasculitis

Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis.

Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan

lebih lama dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi

ini juga digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena

garukan.3

E. Patogenesis

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang

meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan

cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai

kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi

akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow

reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan

atau basofil.2

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast

atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang

nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate)

memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia

18

Page 19: Lapkas Fix

seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,

polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik

misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya

belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan

mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan

pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya

demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh

darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.2

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang

kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena

adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi

degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak

pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen

juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif

menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel

mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik

dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria

akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis

serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor

secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

19

Aktivasi komplemen

Pengaruh komplemen

Reaksi tipe IV (kontaktan)

Reaksi tipe I (IgE)

(inhalan, obat, makanan, infeksi)

Bahan kimia pelepas mediator

(morfin,kodein)

Faktor fisik

(panas, dingin, trauma,

sinar X, cahaya)

FAKTOR IMUNOLOGIKFAKTOR NON IMUNOLOGIK

Page 20: Lapkas Fix

F. Gejala dan Tanda

1. Gejala

Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4

a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.

b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.

c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul

seterusnya.

20

Aktivasi komplemen

Page 21: Lapkas Fix

d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare,

muntah dan nyeri kepala.

2. Tanda

Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4

a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-

kadang bagian tengah tampak lebih pucat.

b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.

c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi,

respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.

d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika

ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat

meninggalkan perubahan pigmentasi.

e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan

objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15

menit.

f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.

G. Diagnosis Banding

1. Angioedema

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan

submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat

disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada

angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.

Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke

jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan

yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari

saluran nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri

abdomen berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema

laring.6

2. Pitiriasis rosea

21

Page 22: Lapkas Fix

Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.

Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang

sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat

tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi

berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi

hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu

panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai

gambaran pohon cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya

solitary, bentuk oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1

herald patch.14

3. Urtikaria pigmentosa

Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi

yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa

gatal. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada

badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa

makula coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh

tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.17

4. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat

atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial,

rhinitis alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab

yang pasti belum diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk

timbulnya penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang

timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya

penderita akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi,

ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga

kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2

5. Dermatitis kontak alergi

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh

bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami

sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua

22

Page 23: Lapkas Fix

bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa

yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula.

Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada

yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga

fisur, batasnya tidak jelas.2,14

H. Diagnosis

1. Anamnesis

Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal

dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau

kronik. 6

Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi

adalah sebagai berikut: 4

a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan

baru yang ditambahkan dalam menu makanan?

b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat

baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?

c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?

d. Apakah pasien sedang hamil?

e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin,

tekanan, vibrasi?

f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak

dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?

g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan serangga?

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 6,15

Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.

Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi

kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.

Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.

Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.

23

Page 24: Lapkas Fix

Dermographism.

b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan

menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa,

diantaranya adalah: 6

Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.

Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.

Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan

adanya hepatitis atau penyakit kolestatik hati.

Pembesaran kelenjar tiroid.

Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.

Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan

penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus

(SLE).

Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm

(asthma).

Ekstremitas untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya

infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan

darah rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya

penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen,

autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan

urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1

inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema

berulang tanpa urtikaria.16 Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu

diperiksa pada urtikaria dingin.2

24

Page 25: Lapkas Fix

b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2

c. Tes Alergi

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan

melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik

(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan

serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai

sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya

faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 17

d. Tes Provokasi

Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-

tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian,

tes provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin

keamanannya.15

e. Tes eleminasi makanan

Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang

dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2

f. Tes foto tempel

Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.15

g. Suntikan mecholyl intradermal

Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa

urtikaria kolinergik.2

h. Tes fisik

Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila

dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu. 2

i. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu

diagnosis.2 Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis.

Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan

peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh

edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di

papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu

25

Page 26: Lapkas Fix

terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah

eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.7

Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan

kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu

campuran limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel

inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan

histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan

urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada

biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan

penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-

line therapy, dan third-line therapy.3

1. First-line therapy

First-line therapy terdiri dari: 3,4

a. Edukasi kepada pasien:

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan

menggunakan bahasa verbal atau tertulis.

Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang

tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang

adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat

ditemukan.

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas,

stres, alcohol, dan agen fisik.

Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE

inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan

urtikaria.

Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1%

atau 2%.

26

Page 27: Lapkas Fix

c. Antagonis reseptor histamin

Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya

menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat

bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu

menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar

pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek

antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut

acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam

perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang

berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut

sebagai antihistamin nonklasik.2

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah

terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini

diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam.

Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam

(misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah

pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan

dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah

pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari

sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik

adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar

darah otak.2

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada

beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah

tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena

efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2

adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3

2. Second-line therapy

Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line

therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-

farmakologi.

a. Photochemotherapy

27

Page 28: Lapkas Fix

Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen

plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian

menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola

urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.

b. Antidepresan

Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis

reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai

efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.

Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang

bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat

bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang

dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang

menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas

antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus

urtikaria fisik dan delayed-pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3

c. Kortikosteroid

Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin

mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping

bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon

dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka

pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan,

mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam

urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin.

Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari

selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi

steroid dapat membantu ketika digunakan untuk episode urtikaria akut

yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari

pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek

samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus

peptikum, dan hipertensi.3,4

28

Page 29: Lapkas Fix

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi

prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis

dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak

0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat

mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60

mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis

anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).

Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas

kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-

anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4

d. Leukotriene Receptor Antagonist

Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan

mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria

kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist

seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan

yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan

urtikaria kronik.3

e. Antagonis saluran kalsium

Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan

whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau

dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan

dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.3

3. Third-line therapy

Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak

berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy

menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus,

methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous

immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali

mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya

meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol), asam

tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan warfarin.3

29

Page 30: Lapkas Fix

a. Immunomudulatory Agents

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam

mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine

dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga

pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin.

Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien

dengan corticosteroid-dependent urticaria.3

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen

pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme

yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi

anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor

H1 dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG

endogen.3

b. Plasmapheresis

Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan

urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup

untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan

histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan

immunosuppressant pharmacotherapy.3

c. Obat lainnya

Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam

mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi

mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine

juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria

kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan respon yang baik pada

hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor

agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik,

penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti

30

Page 31: Lapkas Fix

takikardia dan insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh

banyak pasien.3

31

Bagan 02. Alur Penatalaksanaan Urtikaria.

URTIKARIA

Third-line Therapy

Immunomodulatory agent

Cyclosporine TacrolimusPlasmapheresis

Obat lain:

Colchicine Dapsone Hydroxychloroquine Terbutaline

Second-line Therapy

Farmakologi

Non-farmakologi

PUVA Antidepresan Kortikosteroid Leukotriene receptor

antagonist CCB

First-line Therapy

Edukasi Langkah non-medis ↓

Antihistamin

Epinefrin subkutan

Kortikosteroid sistemik

(oral atau IV)

Antihistamin H1 (IM)

Antihistamin H1 non sedatif

+

Kortikosteroid oral

Antihistamin H1 non sedatifAntihistamin H1 non sedatif

Berat

(Distress pernapasan, asma, edema laring)

Sedang-BeratRingan

Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit

(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)

Identifikasi dan menghilangkan penyebab.

NAC selama 3 minggu NAC

Page 32: Lapkas Fix

Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal,

namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus.

Meskipun demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau

dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan

seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien

dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga

menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara

adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan.

Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress

pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa

epinefrin subkutan, kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin

H1 intramuskuler.17

32

NAC selama 3 minggu NAC

Antihistamin H1 non sedatif

+

Tambahan obat:

antihistamin H1 pada malam hari, antidepresan trisiklik, antihistamin H2.

NAC

Antihistamin H1 non sedatif

NAC

Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit

(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)

Identifikasi dan menghilangkan penyebab.

Page 33: Lapkas Fix

Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya

selalu dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan.

Strategi penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non

sedatif. Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif

menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan

antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid

jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.17

J. Prognosis

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat

diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit

dicari.2

33

Page 34: Lapkas Fix

DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 05 Oktober 2015, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print

2. Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.

4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 05 Oktober 2015, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print

5. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220

6. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 04 Oktober 2015, dari http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc

34

Page 35: Lapkas Fix

7. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 05 Oktober 2015,dari http://jeksonsiahaansked. blogspot. com/2009/05/urtikariabiduran. html

8. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 02 Oktober 2015, dari http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg

9. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 01 Oktober 2015, dari http://www.steadyhealth. com/ articles/ user_files/4542/ Image/687_urticaria. jpg

10. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 01 Oktober 2015, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg

11. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 03 Oktober 2015, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg

12. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 29 September 2015, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf

13. Grateau, G. (2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 20 September 2015, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf

14. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.

15. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 02 Oktober 2015, dari http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html

16. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

17. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UMY.

35