perang ambarawa

51
PERTEMPURAN AMBARAWA Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran itu terjadi antara pasukan TKR bersama rakyat Indonesia melawan pasukkan sekutu Inggris. Peristiwa itu berlatar belakang insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari divisi India ke-23 di Semarang pada atanggal 20 Oktober 1945. Pihak Republik Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk mengurus masalah tawanan perang bangsa Belanda yang berada di penjara Ambarwa dan Magelang. Akan tetapi kedatangan pasukan sekutu Inggris diikuti oleh orang- orang NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di kota Magelang yang berkembang menjadi pertempuran pasukan TKR dengan pasukan gabungan sekutu Inggris dan NICA. Insiden itu berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethell datang ke Magelang tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan gencatan senjata dan memperoleh

Upload: independent

Post on 20-Feb-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERTEMPURAN AMBARAWA

Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20

November 1945 dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945.

Pertempuran itu terjadi antara pasukan TKR bersama rakyat

Indonesia melawan pasukkan sekutu Inggris.

Peristiwa itu berlatar belakang insiden di Magelang

sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari divisi India

ke-23 di Semarang pada atanggal 20 Oktober 1945. Pihak

Republik Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah

RI untuk mengurus masalah tawanan perang bangsa Belanda

yang berada di penjara Ambarwa dan Magelang. Akan tetapi

kedatangan pasukan sekutu Inggris diikuti oleh orang-

orang NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan

itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di kota

Magelang yang berkembang menjadi pertempuran pasukan TKR

dengan pasukan gabungan sekutu Inggris dan NICA. Insiden

itu berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir

Jendral Bethell datang ke Magelang tanggal 2 November

1945. Mereka mengadakan gencatan senjata dan memperoleh

kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah

persetujuan itu diantaranya berisi:

1. Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya

di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi

APWI (Allied Prisoners War And Interneers atau

tawanan perang dan interniran sekutu). Jumlah

pasukan sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan

itu.

2. Jalan Ambarawa – Magelang terbuka sebagai jalur

lalu lintas Indonesia – Sekutu

3. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam

badan-badan yang berada di bawahnya.

Pihak sekutu ternyata mengingkari janjinya. Pada

tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran

antara pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto dan

tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan

sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa.

Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar

didalam kota dan pasukan sekutu melakukan pengeboman

terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.

Pasukan TKR bersama dengan pasukan pemuda dari

Boyolali, Salatiga, Kartsura bertahan di kuburan Belanda,

sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api

dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah

Magelang pasukan TKR dari divisi V/Purwokerto dibawah

pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada

tanggal 21 November 1945 dan berhasil menduduki desa

Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya yang sebelumnya

diduduki sekutu.

Batalyon Imam Androngi meneruskan gerakan

pengejarannya disusul 3 batalyon dari Yogyakarta, yaitu

Batalyon 10 Divisi III dibawah pimpinan mayor Soeharto,

Batalyon 8 dibawah pimpinan Mayor Sardjono dan Batalyon

Sugeng. Musuh akhirnya terkepung. Walaupun demikian,

pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan dengan

mengancam kedudukan pasukan dari belakang dengan tank-

tanknya. Untuk menghindari jatuhnya korban, pasukan

mundur ke Bendano. Dengan bantuan resimen kedua yang

dipimpin oleh M Sarbini, Batalyon dari Yogyakarta,

gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu.

Para komandan pasukan kemudian mengadakan rapat

koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.

Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut

Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di Magelang.

Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu

sektor utara, sektor selatan, sektor barat, dan sektor

timur. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan

TKR dari Purwokerto yaitu Letnan Kolonel Isdimin gugur

dan digantikan oleh Kolonel Soedirman. Situasi

pertempuran menguntungkan pasukan TKR. Pasukan sekutu

Inggris terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember

1945, yang merupakan garis pertahanan terdepan. 

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman

mengambil prakarsa untuk mengumpulkan masing-masing

komandan sektor. Akhirnya colonel Soedirman mengambil

suatu kesimpulan bahwa pasukan musuh telah terjepit dan

untuk itu perlu dilaksanakan serangan terakhir. Serangan

direncanakan pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.30

dipimpin oleh masing-masing komandan yang akan melakukan

serangan secara mendadak dari semua sektor. Adapun

keberadaan badan-badan perjuangan dapat menjadi tenaga

cadangan.

Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR

bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu

setngah jam pasukan TKR berhasil mengepung musuh didalam

kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada

di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota

Ambawara. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat

malam. Pada tanggal 15 Desember 1945, musuh meninggalkan

Ambarawa dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa

ini mempunyai arti penting karena letaknya yang sangat

strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa mereka dapat

mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah yaitu Surakarta,

Magelang, dan terutama Yogyakarta yang menjadi pusat

kedudukan markas tertinggi TKR.

''SEJARAH PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945''

Latar Belakang :

Peristiwa 10 November, Peristiwa Heroik Arek Suroboyo

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah

perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan

Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10

November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran

ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan

pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah

Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional

atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Kronologi Penyebab Peristiwa

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau

Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945,

pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada

Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah

penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi

diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada

sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika

Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi

pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing

tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan

Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang

Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang.

Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan

korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti

pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September

1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian

mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara

Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied

Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas

nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara

Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan

Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya.

Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa

misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi

pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia

Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration)

ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk

tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia

dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di

mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal

31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September

1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan

terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran

bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota

Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya

terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru /

Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada

zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl.

Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr.

W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945,

tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-

Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah

Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato,

sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya

melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap

Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak

mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan

melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang

sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato,

Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu

menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan)

yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,

sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI,

datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel

Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI

dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan

meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari

gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman

menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak

untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan

berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan

terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman

tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh

tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan

pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono

melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda

berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera

Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke

dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera

dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera

Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke

puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27

Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara

Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan

kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan

umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak

Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C.

Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan

situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan

pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober

1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu

tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara

rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-

bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan

terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara

Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar

pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir

Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi

Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak

yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby

oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai

sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya

mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan

jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini

menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia

dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor

Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10

November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan

persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara

AFNEI dan administrasi NICA.

Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari

Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari

1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of

Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh

pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa

baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena

kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby

yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa

gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus

dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom

Driberg:

“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di

sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus

dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang

gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada

massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi

(gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan,

dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu

India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh

kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-

alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik

tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk

menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua

senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung;

kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar.

Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah

untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata

sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua

puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)

sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak

benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia

yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan

serangan terhadap dirinya (Mallaby).

Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan

licik… karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi

mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada

di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya

tak punya alasan untuk pertanyakan “

Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby,

penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan

ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang

Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan

senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri

dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah

jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan

bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak

badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut

ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik

Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan

Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang

telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,

mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali

pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara  

Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai

melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan

bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan

kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah

pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan

ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan

pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh

kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan

ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan

tersebut, baik meninggal mupun terluka.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa

perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga

hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung

Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus

menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya

sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan

skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari

kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH.

Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai

pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka

dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada

waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada

pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada

para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia

berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu

ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya

dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin

hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai

waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya

akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas

dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban

dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600.

Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan

korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat

di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan

mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur

dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10

November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh

Republik Indonesia hingga sekarang.

PEMBANTAIAN WESTERLING

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk

peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi

Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot

Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling.

Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari

1947 selama operasi militer Counter Insurgency

(penumpasan pemberontakan).

Latar belakang

Sementara Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, di

daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, tetap terjadi

perlawanan sengit dari rakyat setempat. Walaupun banyak

pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh,

perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung

padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan

penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda.

Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena

tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara

Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-

serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada

pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila

perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat

diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.

Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon Hendrik

Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis

Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan

pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar

tentara di Jakarta. Diputuskan untuk mengirim pasukan

khusus dari DST pimpinan Raymond Westerling untuk

menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta

mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik

Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk

melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang

dipandang perlu.

Pada tanggal 15 November 1946, Letnan I Vermeulen

memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan

dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar.

Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar.

Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan

KNIL yang telah terbentuk sejak bulan Oktober 1945.

Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak

keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para

pendukung mereka.

Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada tanggal 5

Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari

DST. Dia mendirikan markasnya di Mattoangin. Di sini dia

menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan

pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak

berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele

Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara

untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana

telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta

perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku

pedoman resmi untuk Counter Insurgency.

Pemberlakuan keadaan darurat

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada

6 Januari 1947 Jenderal Simon Spoor memberlakukan

noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi

Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang

telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan

di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin

operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh

sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di

Parepare dan dilanjutkan di Madello, Abbokongeng,

Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talabangi,

Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang

menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada

tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, pada tanggal

16 dan 17 Februari di desa Taraweang dan Bornong-Bornong.

Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas

dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di

Kulo, Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh

tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau

alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya

"teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai

berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel,

melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya

ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa

ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk

kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi

mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar

10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana

Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan

pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST

dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang

yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu

oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi

di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa,

Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.

Peristiwa Galung Lombok

Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2

Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian

Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di

antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya.

Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota

Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam

Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri,

H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang,

Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung

bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah

menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang

yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di

tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi

Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara

Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI,

Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI),

Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI),

dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi

Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu

diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim

disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan

terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra

(Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis

Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik

PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI),

Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala

Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan

Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula

Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah

Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis

Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan

Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke

tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh

lima orang NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di

bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

Pasca operasi militer

Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi

Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21

Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de

uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL

(Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang

Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali

ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan

Belanda baik militer mau pun sipil reputasi Pasukan

Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi.

Media massa Belanda memberitakan secara superlatif.

Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23

Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad

menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali."

Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai

pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama

kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah

itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya

dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Pada bulan Oktober

1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi

Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira

dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24

bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59

serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah

menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan

Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis.

Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan

lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban

Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban

keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun

1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada

Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk,

yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan

Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan

sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan

Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri

mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh

pasukannya "hanya" 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat

lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda

karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-

guerilla, memperoleh ijin dari Letnan Jenderal Spoor dan

Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook.

Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian

rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan

Perang Belanda.

Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat

dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan

(crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat

dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk

pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity,

tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa

pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court

(ICC) di Den Haag, Belanda.

PERJANJIAN RENVILLE (ADVERSE AGREEMENTS)

Latar belakang

Setelah jepang menyerah terhadap sekutu bangsa

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 agustus. Namun

kabar yang terdengar kemerdekaan Indonesia tidak begitu

saja diakui. Belanda datang kembali untuk menduduki

Indonesia dengan menumpang kapal inggris, yang seharusnya

bertujuan mengakui kemerdekaan Indonesia. Momentum itu

lebih kita kenal dengan Agresi Militer Belanda I. Agresi

Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa

dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang

dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.

Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan

Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product". Namun

agresi militer itu di tentang oleh dunia internasional

melalui dewan keamanan PBB yang di usulkan India,

Australia dan Negara-negara Liga Arab. Pada 25 Agustus

1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite untuk

menengahi konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite

ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices

for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan

lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). KTN

beranggotangan Australia yang dipilih oleh Indonesia,

Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat

sebagai pihak yang netral.

Perjanjian Renville

Ketiga negara tersebut menyelesaikan masalah

Indonesia dengan cara diplomasi. Atas kesepakatan bersama

maka diadakan perjanjian renville. Perundingan dimulai

pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi

Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for

Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia,

dan Belgia. Perjanjian renville ditandatangani pada

tanggal 17 Februari 1948 di atas geladak kapal perang

Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang

berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Delegasi

Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin

Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel

KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Disaksikan Komisi Tiga

Negara, Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia

diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat

menunjuk Dr. Frank Graham.

Apa yang membuat perundingan Renville tampak timpang dan

menyesakkan dada? Tak lain adalah isi dari perjanjian

tersebut.

1. Penghentian tembak-menembak.

2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia

samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik

Indonesia Serikat yang segera terbentuk.

3. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang

sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-

Belanda.

4. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS

5. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan

sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal

sementara.

6. Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong

harus ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah

kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis

Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah

terdepan yang diduduki Belanda.

Dampak Bagi Indonesia

1. Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Republik

Indonesia Serikat (RIS) melalui masa peralihan.

Sebelum Republik Indonesia Serikat terbentuk, Belanda

berdaulat penuh atas seluruh wilayah Indonesia

2. Indonesia kehilangan sebagian besar daerah

kekuasaannya. Selain itu, Wilayah RI makin sempit dan

dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda

3. Pihak RI harus mengambil pasukannya yang berada di

daerah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya

masuk ke daerah RI

4. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan pemimpin RI yang

mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin karena

dianggap menjual negara ke Belanda

5. Perekonomian Indonesia diblokade oleh Belanda.

Kejadian pra dan pasca Perjanjian Renville

Saya akan menuliskan kembali tentang kronik revolusi

Indonesia selama bulan Januari tahun 1948. Sumber dari

buku, Kronik revolusi Indonesia: 1948 - Oleh Pramoedya

Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil. Semoga

bermanfaat.

Pada awal Januari 1948, Bung Tomo ikut menentang

Pemerintah Hatta yang dianggapnya lemah menghadapi

Belanda. Bung Tomo pun mengadakan rapat-rapat raksasa.

Ucapannya yang terkenal waktu itu: “Sekali berontak,

tetap berontak!”

2 Januari 1948, pihak Belanda di Surabaya membentuk

panitia untuk menentukan status Jawa Timur.

3 Januari 1948, utusan “daerah-daerah” dan “negara-

negara” berkumpul di Jakarta untuk membicarakan

kemungkinan membentuk pemerintah interim.

6 Januari 1948, para menteri Belanda - L.J.M. Beel, W.

Drees, dan J.A. Jonkman meninggalkan Jakarta menuju

negeri Belanda.

8 Januari 1948, Republik Indonesia (RI) mengundang

Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) untuk

berkunjung ke Yogyakarta

9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada

Republik Indonesia agar segera mengosongkan sejumlah

daerah yang luas, dan menarik TNI dari daerah-daerah

gerilya ke Yogyakarta.

11 Januari 1948, Komisi Tiga Negara (KTN) datang di

Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengan para pemimpin

Republik, a.l. tentang kemungkinan menghentikan

permusuhan Indonesia-Belanda.

13 Januari 1948:

o Perundingan di Kaliurang antara KTN dan Pemerintah

Republik Indonesia menghasilkan ‘Notulen Kaliurang’

yang menyatakan bahwa Republik Indonesia tetap

memegang kekuasaan atas daerah yang dikuasai

padawaktu itu.

o Pada waktu menyerahkan pokok-pokok prinsip,

tambahan dari konsepsi dan penjelasan KTN mengenai

Notulen Kaliurang, anggota KTN dari Amerika, Dr.

Frank Graham, mengatakan: “You re what you are.”

o Delegasi Indonesia terdiri dari a.l. dari Presiden

Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana

Menteri Sutan Sjahrir, dan Jenderal Sudirman.

o Sepulang menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar

Sedunia, Suripno yang mendapat instruksi dari

Presiden Sukarno melakukan perundingan-perundingan

di Praha mengenai pengakuan atas Republik

Indonesia, a.l. dengan wakil Pemerintah URSS.

Tercapai persetujuan, bahwa URSS mengakui RI dan

akan membuka hubungan konsuler. Instruksi tersebut

bertanggal 25 Desember 1947. (Antara, 13 Agustus

1948)

15 Januari 1948, Masyumi menarik menteri-menterinya

dari Kabinet Amir Sjarifuddin karena tidak setuju

dengan “gencatan dan prinsip-prinsip politik yang

diterima oleh Pemerintah Amir.” Mundurnya Masyumi dari

Kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII

di Yogyakarta, yang menuntut pengunduran Amir

Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri, menuntut

pembentukan kabinet presidentil, dan menolak Amir

menjadi Perdana Menteri.

17 Januari 1948, Persetujuan Renville antara Belanda

dan Indonesia ditandatangani di atas kapal Amerika

“Renville” yang berlabuh di Teluk jakarta. Penanda-

tangan dari pihak Indonesia adalah Perdana Menteri

AmirSjarifuddin disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.

Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo dan anggota delegasi

lainnya. Setelah penandatanganan ini

dilakukanperundingan politik yang teratursecara

bergiliran di Kaliurang dan jakarta. Waktu itu

jenderal S.H. Spoor sudah mendesak kepada

pemerintahnya untuk melancarkan aksi militer kedua

terhadap Republik. Sekali ini kekuasaan Republik harus

dihancurkan secara definitif melalui serangan

langsungterhadap Yogyakarta, demikian Spoor dalam

notanya. Persetujuan Renville terdiri atas:

- 10 pasal persetujuan gencatan senjata

- 12 pasal prinsip politik, dan

- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN

Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia

dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati, dan

menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang

bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit,

dikurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan

ditambah dengan blokade ekonomi yang dilakukan Belanda

dengan ketat.Persetujuan menimbulkan reaksi keras di

kalangan Republik Indonesia, dan kemudian mengakibatkan

jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.

19 Januari 1948, Instruksi penghentian tembak

menembak dikeluarkan oleh pihak Indonesia maupun

Belanda.

22 Januari 1948, Republik Indonesia mengakui Negara

Indonesia Timur (NIT) sebagai Negara Bagian dari

Negara Indonesia Serikat (NIS) yang akan dibentuk

nanti.

23 Januari 1948, Amir Sjarifuddin menyerahkan mandat

kepadaPresiden Sukarno, dan Presiden menugaskan

kepadaWakil Presiden Mohammad Hatta untuk membentuk

Kabinet.

Negara Madura terbentuk, dengan Wali Negara terpilih

R.A.A Tjakraningrat. Negara boneka ini kemudian

diresmikan pada tanggal 20 Februari 1948 berdasarkan

dekrit Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. H.J.

van Mook. Dalam rangkaian peresmian tersebut,

Tjakraningrat berpidato dengan hadirnya mantan Gubernur

Jawa Timur Van der Plas dan Jenderal Mayor Baay, dan

memeriksa barisan kehormatan.

24 Januari 1948, Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) dan

Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI) berfusi menjadi

Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

26 Januari 1948, Front Demokrasi Rakyat (FDR)

terbentuk, terdiri dari PKI, Partai Sosialis, PBI,

Pesindo, dan SOBSI. Salah seorang pemimpinnya adalah

Amir Sjarifuddin.

29 Januari 1948, Mohammad Hatta menjadi Perdana

Menteri Kabinet ke-VII RI dengan program:

1. menyelenggarakan Persetujuan Renville

2. mempercepat terbentuknya RIS

3. rasionalisasi

4. pembangunan

Untuk program nomor 3,4, dan hal-hal yang menyangkut

pemuda dan masyarakat pemuda dibentuk kementerian

baru: Kementerian Pembangunan dan Pemuda.

31 Januari 1948, menurut rencana, pada hari ini

dilangsungkan Kongres Pemuda ke-III (sesudah

Proklamasi) di Yogyakarta, tapi dengan keputusan

sidang Presidium Badan Kongres Pemuda Republik

Indonesia (BKPRI) tanggal 17 Desember 1947, Kongres

ditunda sampai keadaan memungkinkan.

PERJANJIAN RENVILLE

Perjanjian Renville

            Perjanjian Renville merupakan perjanjian yang

terjadi guna untuk menghentikan Agresi Militer Belanda I.

Perjanjian ini terjadi di sebuah kapal Amerika yang

bernama Renville yang perundingannya dimulai pada tanggal

8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948. Perjanjian

ini juga terjadi atas desakan dari dewan keamanan PBB

yang mendesak agar dihentikannya konflik tembak menembak

antara Indonesia dan Belanda. Untuk hal ini kemudian

Dewan keamanan PBB membentuk komisi yang dinamakan Komisi

Tiga Negara. (KTN) sejak agustus 1947. Komisi ini

bertugas untuk mencari dan meminta pendapat dari

Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketanya.

(Soetanto, 2006:101)

            Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih

setiap perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia

meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,

sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN

ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili

oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan

Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham. (Poesponegoro,

2008:220)

            Perjanjian Renville ini terjadi di atas kapal

Amerika yang berlabuh di Teluk Jakarta. Tempat ini

dipilih oleh Indonesia dan Belanda karena dianggap

sebagai tempat yang netral. Delegasi yang dikirim

Indonesia untuk perjanjian ini adalah, Mr. Amir

Sjarifuddin, Ai Sastroamidjojo, dr Tjoa Siek len, Sutan

Sjahrir, H.A. Salim, Mr. Nasrun, dan dua anggota cadangan

yaitu Ir. Djuanda dan Setiadjit yang disertakan dengan 32

penasihat. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R.

Abdul Kadir Widjojoatmojo, Mr. H.A.L. van Vredenburgh,

Dr. P.J. Koets, Mr. Dr. Ch. R. Soumokil, Tengku

Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangeran Kartanegara, Mr. Masjarie,

Thio Tjiong, Mr. A.H. Ophuyzen, dan A. Th. Baud.

(2008:221)

            Dengan melalui proses yang sangat panjang

akhirnya perjanjian pun ditetapkan pada tanggal 17

Januari 1948. Adapun isi dari perjanjian itu adalah:

1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia

samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik

Indonesia Serikat yang segera terbentuk.

2. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang

sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-

Belanda.

3. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS

4. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan

sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal

sementara.

5. Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan

politik rakyat Indonesia dalam RIS dan Pemilu untuk

membentuk dewan konstituante RIS. (Pakan, 2002:262)

Dari kelima butir isi peresetujuan Renvile, maka

sangat jelas, bahwa perjanjian Renville itu jauh lebih

buruk bagi Republik Indonesia dibandingkan dengan

perjanjian Linggarjati yang sudah buruk dan melecahkan

kemerdekaan Indonesia.

Dampak politik Perjanjian Renville

            Setelah kabinet amir Sjarifuddin menerima

persetujuan Renville, kembali parta-partai politik

menentangnya. Masyumi yang merupakan pendukung utama

kabinet, menaarik kembali menteri-menterinya. Tindakan

ini diambil karena masyumi berpendapat bahwa Amir

Sjarifuddin menerima begitu saja persetujuan tersebut

atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari KTN.

Tindakan Masyumi ini diikuti oleh PNI. Sebagai

hasilsidang Dewan partai tanggal 18 januari 1948, PNI

menuntut supaya kabinet Amir mengembalikan mandatnya

kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville karena

persetujuan itu tidak menjamin dengan tegas kelanjutan

dan kedudukan Republik. Kabinet Amir yang hanya didukung

oleh Syap Kiri tidak berhasil dipertahankan, dan pada

tanggal 29 Januari 1948 Amir Sjarifuddin menyerahkan

kembali mandatnya  kepada Presiden. (Pakan, 2002:263)

Setela kabinet Amir Sjarifuddin jatuh, presiden

menunjuk wakil Presiden Moh. Hatta untuk membentuk

kabinet baru. Hatta berusaha membentuk kabinet dengan

mengikutsetakan semua partai dalam kabinet untuk

menggalang persatuan Nasional. Pada sayap kiri

ditawarkannya tiga kursi tanpa portofolio. Akan tetapi

sayap kiri menuntut empat kursi, termasuk jabatan menteri

pertahanan. Namun hatta tidak bisa mengabulkannya sebab

akan ditentang oleh masyumi. Sehingga pada akhirnya pada

tanggal 31 Januari 1948 kabinet Hatta diumumkan dengan

Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri

Pertahanan. (Poeponegoro, 2008:232)

Amir Sjarifuddin yang tersingkir dari pemerintahan

melancarkan oposisi terhadap kabinet Hatta. Ia membentuk

Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan gabungan

partai dan organisasi kiri, yaitu partai Sosialis (PS),

Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis Indonesia

(Persindo), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia

(SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). FDR menuntut

kabinet Hatta dibubarkan dan diganti dengan Kabinet

Parlementer. Mereka juga menuntut persetujuan Renville

yang di arsiteki oleh Amir Sjarifuddin untuk dibatalkan,

perundingan dengan Belanda dihentikan, dan seluruh milik

asing di nasionalisasikan tanpa ganti rugi. (2008:233)

Sejarah Konferensi Meja Bundar (KMB)

Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan sebuah perundingan

tindak lanjut dari semuaperundingan yang telah ada. KMB

dilaksanakan pada 23 Agustus 1949 sampai 2November 1949

di Den Haag, Belanda. Perundingan ini dilakukan untuk

meredam segalabentuk kekerasan yang dilakukan oleh

Belanda yang berujung kegagalan pada pihakBelanda. KMB

adalah sebuah titik terang bagi bangsa Indonesia untuk

memperolehpengakuan kedaulatan dari Belanda,

menyelesaikan sengketa antara Indonesia-Belanda,dan

berusaha menjadi negara yang merdeka dari para penjajah.

Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari

Indonesia, Belanda, danperwakilan badan yang mengurusi

sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini

paradelegasi yang hadir dalam KMB:

a. Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem,

Prof.Dr. Mr. Soepomo.

b. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.

c. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.

d. UNCI diwakili oleh Chritchley.

Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh

hasil dari konferensi

tersebut. Berikut merupakan hasil KMB:

a. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan

berdaulat.

b. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya

tanggal 30 Desember 1949.

c. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi

dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.

d. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan

Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.

e. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia

dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada

RIS.

f. Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik

mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan

dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang

diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.

Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup

menggembirakan bagibangsa Indonesia. Karena sebagian

besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa

Indonesia,sehingga dampak positif pun diperoleh

Indonesia. Berikut merupakan dampak dari Konferensi Meja

Bundar bagi Indonesia:

a. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

b. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan

segera dapat dimulai.

c. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik

Indonesia Serikat.

d. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita

Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak

negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai bagian

dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk

memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian

dari NKRI.

KONFERENSI MEJA BUNDAR

Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan sebuah

perundingan tindak lanjut dari semuaperundingan yang

telah ada. KMB dilaksanakan pada 23 Agustus 1949 sampai

2November 1949 di Den Haag, Belanda. Perundingan ini

dilakukan untuk meredam segalabentuk kekerasan yang

dilakukan oleh Belanda yang berujung kegagalan pada

pihakBelanda. KMB adalah sebuah titik terang bagi bangsa

Indonesia untuk memperolehpengakuan kedaulatan dari

Belanda, menyelesaikan sengketa antara Indonesia-

Belanda,dan berusaha menjadi negara yang merdeka dari

para penjajah.

Tokoh yang terlibat

Delegasi Indonesia : Drs.Moh Hatta

Delegasi Beland : Mr.Van Maarseveen

Delegasi BFO : Sultan Hamid II

Hasil konferensi

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial

Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali

Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas

daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia,

sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat

negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi

ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu

pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan

bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan

diselesaikan dalam waktu satu tahun

Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia,

dengan monarch Belanda sebagai kepala Negara

Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik

Indonesia Serikat

1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas

Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia

Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat

ditjabut, dan karena itu mengakui Republik

Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan

berdaulat.

2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu

atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja;

rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada

Keradjaan Nederland.

3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada

tanggal 30 Desember 1949 Rancangan Piagam

Penyerahan Kedaulatan.

Pengakuan Kedaulatan

Pada tanggal 16 Desember 1949 terpilih sebagai

presiden RIS yang dilantik pada tanggal 17 Desember 1949

di bangsal SitiHinggil,Keraton Yogyakarta.sedangkan

Drs.Moh Hatta dilantik sebagai Wakil Prsiden RIS pada

taggal 20 Desember 1949 Sesuai hasil KMB, pada tanggal 27

Desember 1949 di Indonesia dan Negeri Belanda diadakan

upacara pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda

kepada Pemerintah RIS.

Upacara di Negeri Belanda dilaksanakan serta

ditandatangani oleh Ratu Yuliana dari pihak Belanda dan

Drs.Moh Hatta dari Indonesia. Begitu juga di Indonesia

diadakan pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada

Indonesia.Pihak Belanda diwakili oleh Mr.Lovink(Wakil

Tinggi Pemerintah Belanda) dan dari pihak Indonesia

diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Dengan pengakuan kedaulatan itu berakhirlah kekuasaan

Belanda atas Indonesia dan brdirilah negara Republik

Indonesia Serikat.Sehari setelah pengakuan

kedaulatan ,ibu kota negara pindah dari Yogyakarta ke

Jakarta.Kemudian dilangsungkan upacara penurunan bendera

Belanda, Merah-Putih-Biru dan dilanjutkan pengibarab

bendera Indonesia, Merah-Putih

Berdasarkan keputusan pada perundingan KMB atau

konfrensi meja bundar antara Moh. Hatta, Moh. Roem dengan

Van Maarseven di Den Haag Belanda memutuskan bahwa bentuk

negara Indonesia adalah negara RIS / Republik Indonesia

Serikat. Negara republik indonesia serikat memiliki total

16 negara bagian dan 3 daerah kekuasaan ditetapkan

tanggal 27 desember 1949. Tujuan dibentuknya negara RIS

tidak lain adalah untuk memecah belah rakyat Indonesia

dan melemahkan pertahanan Indonesia.

1. Daerah Kekuasaan RIS 1 mencakup :

- Negara Pasundan

- Republik Indonesia

- Negara Jawa Timur

- Negara Indonesia Timur

- Negara Madura

- Negara Sumatera

Selatan

- Negara Sumatera Timur

2. Daerah Kekuasaan RIS 2 meliputi :

- Negara Riau

- Negara Jawa Tengah

- Negara Dayak Besar

- Negara Bangka

- Negara Belitung

- Negara Kalimantan

Timur

- Negara Kalimantan

Barat

- Negara Kalimantan

Tenggara

- Negara Banjar

- Negara Dayak Besar

Pembentukan RIS

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara

dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta

sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik

Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk

seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16

negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan

Kerajaan Belanda

PERISTIWA MEDAN AREA

A. Latar Belakang Pertempuran Medan Area

Pada tanggal 9 november 1945, pasukan Sekutu

dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly

mendarat di Sumatera Utara yang dikuti oleh pasukan

NICA. Brigadir ini menyatakan kepada pemerintah RI akan

melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan

dari beberapa kamp di luar Kota Medan. Dengah dalih

menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan kembali

dan dipersenjatai.

Latar belakang pertempuran Medan Area, antara

lain:

1. Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-

wenang.

2.Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan

menginjak-injak lencana merah putih.

3.Ultimatum agar pemuda Medan menyerahkan senjata

kepada Sekutu.

4.Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh

Sekutu dengan memasang papan pembatas yang

bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas

Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota

Medan.

B. Proses Terjadinya Pertempuran Medan Area

Karena sulitnya komunikasi, proklamasi kemerdekaan

baru diumumkan secara resmi di Medan pada tanggal 27

Agustus 1945 oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku

Gubernur Sumatera. Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan

AFNEI dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di

Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh

pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih

pemerintahan.

Kedatangan pasukan AFNEI disambut baik oleh

pemerintah RI karena pemerintah RI menghormati tugas

AFNEI di Indonesia.

Namun dibalik itu, sehari setelah AFNEI mendarat di

Belawan, pasukan AFNEI mendatangi kamp-kamp tawanan

untuk membebaskan tawanan perang yang kebanyakan orang

Belanda. Tawanan yang dibebaskan itu, kemudian

dipersenjatai dan dibentuk menjadi Batalyon KNIL di

Medan.

Operasi-operasi militer Inggris semakin intensif

dilaksanakan dan kantor gubernur terpaksa dipindahkan

ke kantor walikota. Markas Divisi II TKR dipindahkan

pula ke Pematang Siantar. Demikian pula laskar-laskar

pemuda memindahkan markasnya masing-masing ke luar Kota

Medan untuk mengadakan konsolidasi. Pasukan laskar

masih bertempur tanpa adanya kesatuan komando, maupun

koordinasi. Lambat laun mereka menyadari kelemahan ini

setelah beberapa kali menderita kerugian.

Atas perakasa dewan pertahanan daerah, maka

diundang para komandan laskar untuk berunding di Tebing

Tinggi selama 2 hari pada tanggal 8-10 Agustus 1946

untuk membahas masalah perjuangan. Akhirnya mereka

sepakat membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan

Area (KRLMA). Konsekuensinya dari pembentukan komando

ini, laskar-laskar dibebaskan dari organisasi induknya

masing-masing. Kapten Nip Karim dipilih sebagai

Komandan dan Marzuki Lubis sebagai Kepala Staf. Markas

Komando berada di Two Rivers. KRLMA terdiri dari 5

batalyon dan 1 kompi istimewa dengan pembagian wilayah

dan tanggung jawab pasti.

Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada

10 Oktober 1941 disetujui untuk mengadakan serangan

bersama. Sasaran yang akan direbut di Medan Timur

adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat

ialah Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan

di Medan selatan adalah kota Matsum yang akan jadi

sasarannya. Rencana gerakan ditentukan, pasukan akan

bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan.

Hari "H" ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada

jam 20.00 WIB, sasaran pertama Medan Timur dan Medan

Selatan. Tepat pada hari "H", batalyon A resimen laskar

rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga

bagian Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke

Kota Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan

Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen laskar rakyat

dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan

Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.

Patut diketahui, bahwa beberapa waktu yang lalu,

pihak Inggris telah menyerahkan sebagian kekuasaannya

kepada Belanda. Pada saat sebagian pasukan Inggris

bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan

Belanda, pasukan kita menyerang mereka. Gerakan-gerakan

batalyon-batalyon resimen Laskar Rakyat Medan Area

rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah

Medan Selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan

kita membalas tembakan dan berhasil menghentikannya.

Sementara itu Inggris menyerang seluruh Medan

Selatan. Pertempuran jarak dekat berkobar di dalam

kota. Pada keesokan harinya Kota Matsum bagian timur

diserang kembali. Pasukan Inggris yang berada di Jalan

Ismailiah berhasil dipukul mundur.

Sementara pertempuran berlangsung, keluar perintah

pada 3 November 1946, gencatan senjata diadakan dalam

rangka penarikan pasukan Inggris dan pada gencatan

senjata itu dilakukan, digunakan untuk berunding

menentukan garis demarkasi. Pendudukan Inggris secara

resmi diserahkan kepada Belanda pada tanggal 15

November 1946.

Tiga hari setelah Inggris meninggalkan Kota Medan,

Belanda mulai melanggar gencatan senjata. Di Pulau

Brayan pada tanggal 21 November, Belanda merampas harta

benda penduduk dan pada hari berikutnya Belanda membuat

persoalan lagi dengan menembaki pos-pos pasukan laskar

di Stasiun Mabar, juga Padang Bulan ditembaki.

Pihak laskar membalas. Kolonel Schalten ditembak

ketika lewat di depan pos Laskar. Belanda membalas

dengan serangan besar-besaran di pelosok kota. Angkatan

Udara Belanda melakukan pengeboman, sementara itu di

front Medan Selatan di Jalan Mahkamah kita mendapat

tekanan berat, tapi di Sukarame gerakan pasukan Belanda

dapat dihentikan.

Pada tanggal 1 Desember 1946, pasukan kita mulai

menembakkan mortir ke sasaran Pangkalan Udara Polonia

dan Sungai Mati. Keesokan harinya Belanda menyerang

kembali daerah belakang kota. Kampung Besar, Mabar,

Deli Tua, Pancur Bata dan Padang Bulan ditembaki dan

dibom. Tentu tujuannya adalah memotong bantuan logistik

bagi pasukan yang berada di kota. Tapi walaupun

demikian, moral pasukan kita makin tinggi berkat

kemenangan yang dicapai.

Karena merasa terdesak, Belanda meminta kepada

pimpinan RI agar tembak-menembak dihentikan dengan

dalih untuk memastikan garis demarkasi yang membatasi

wilayah kekuasaan masing-masing. Dengan adanya

demarkasi baru, pasukan-pasukan yang berhasil merebut

tempat-tempat di dalam kota, terpaksa ditarik mundur.

Selagi kita akan mengadakan konsolidasi di Two

Rivers, Tanjung Morawa, Binjai dan Tembung, mereka

diserang oleh Belanda. Pertempuran berjalan sepanjang

malam. Serangan Belanda pada tanggal 30 Desember 1946

ini benar-benar melumpuhkan kekuatan laskar kita.

Daerah kedudukan laskar satu demi satu jatuh ke tangan

Belanda. Dalam serangan Belanda berhasil menguasai

Sungai Sikambing, sehingga dapat menerobos ke segala

arah.

Perkembangan perjuangan di Medan menarik perhatian

Panglima Komandemen Sumatera. Ia menilai bahwa

perjuangan yang dilakukan oleh Resimen Laskar Rakyat

Medan Area ialah karena kebijakan sendiri. Komandemen

memutuskan membentuk komando baru, yang dipimpin oleh

Letkol Sucipto. Serah terima komando dilakukan pada

tanggal 24 Januari 1947 di Tanjung Morawa. Sejak itu

pasukan-pasukan TRI memasuki Front Medan Area, termasuk

bantuan dari Aceh yang bergabung dalam Resimen Istimewa

Medan Area

Dalam waktu 3 minggu Komando Medan Area (KMA)

mengadakan konsolidasi, disusun rencana serangan baru

terhadap Kota Medan. Kekuatannya sekitar 5 batalyon

dengan pembagian sasaran yang tepat. Hari "H"

ditentukan 15 Februari 1947 pukul 06.00 WIB. Sayang

karena kesalahan komunikasi serangan ini tidak

dilakukan secara serentak, tapi walaupun demikian

serangan umum ini berhasil membuat Belanda kalang kabut

sepanjang malam. Karena tidak memiliki senjata berat,

jalannya pertempuran tidak berubah. Menjelang Subuh,

pasukan kita mundur ke Mariendal. Serangan umum 15

Februari 1947 ini adalah serangan besar terakhir yang

dilancarkan oleh pejuang-pejuang di Medan Area.

Sampai menjelang Agresi Militer ke I Belanda, yang

mana pasukan RI di Medan Area berjumlah 7 batalyon dan

tetap pada kedudukan semula yang membagi Front Medan

Area atas beberapa sektor, ialah Medan Timur, Medan

Selatan, Medan Barat dan Medan Utara. Begitu pula

membagi Medan atas 4 sektor yang sama, dan dengan

demikian mereka langsung berhadapan dengan pasukan

kita.

Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda ke I,

Belanda melancarkan serangannya terhadap pasukan RI ke

semua sektor. Perlawanan terhadap Belanda hampir 1

minggu dan setelah itu pasukan-pasukan RI mengundurkan

diri dari Medan Area.

PERJANJIAN ROEM-ROYEN

Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa

penting dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh

pemerintah Indonesia menuju pengakuan kedaulatan dalam

Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949.

Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara

Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14

April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei

1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia di Hotel

Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin

delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud

pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah

mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja

Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini

sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari

pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX

dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX

terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta,

dimana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de

Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan Mr.

Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua. Anggota-

anggotanya, yaitu dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Mr.

Supomo, Mr. Latuharhary, dan disertai oleh lima orang

penasihat. Sedangkan Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr.

J.H. van Royen dengan anggota-anggota: Mr. N.S. Blom, Mr.

A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang

penasihat.

Negosiasi kesepakatan berjalan lambat, Indonesia menuntut

pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta disertai dengan

pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari pihak

Belanda. Sedangkan belanda menuntut perang grilya di

hentikan dan segera dilaksanakan KMP (Konfrensi Meja

Bundar)

Hasil pertemuan ini adalah:

1. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan

semua aktivitas gerilya

2. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri

Konferensi Meja Bundar

3. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke

Yogyakarta

4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua

operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan

menghasilkan keputusan:

1. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara

utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville

pada 1948

2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah

persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak

3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak,

kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

4. Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud

untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang

sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia

Serikat dengan tidak bersyarat.

Pasca perjanjian

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan

ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada

13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van

Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat

presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali

mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri

keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan

Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15

Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan

tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali

masalah Papua Belanda.