perang petani, tiga: cina

59
TIGA: CINA T’i t’ien hsing hao! Mempersiapkan Jalan ke Surga! Slogan pemberontakan dari Semua Orang Bersaudara, Novel populer abad tiga belas dan merupakan Favorit Mao Tse-tung Meksiko pada tahun 1910 memiliki pupulasi 16,5 juta, Rusia di sekitar pergantian abad terhitung 129 juta. Cina – masyarakat yang akan kita diskusikan berikutnya – bagaimanapun, haruslah digambarkan pada suatu skala yang sangat besar. Dari Peking ke perbatasan barat Cina kira-kira sejauh dari New York ke Oregon. Bahkan pada tahun 1725 terhitung sekitar 265 juta orang; 430 juta di tahun 1850; sekitar 600 juta di tahun 1950. Lebih jauh, ini merupakan peradaban utama tertua: hanya satu dari masyarakat-masyarakat besar yang masih ada melintasi permulaan antara adat-istiadat neolitik dan peradaban. Metode budidayanya yang intensif, aliran air irigasinya yang besar dan kontrol banjirnya, birokrasi terdidiknya dipilih oleh suatu rangkaian ujian terbuka, keadaan kemajuan teknologinya, tradisi filsafatnya, dan kesenian bersarnya mengundang kekaguman banyak pengunjung yang datang ke sana sari mana-mana. Bagi orang- orang Cina sendiri, adalah Kerajaan Tengah, pusat alam semesta, pemerintahannya ditopang oleh Amanat Surga. Diserbu berulangkali oleh para barbarian di utara, menahan mereka selalu dan mengembalikan mereka ke orang- orang Cina. Sebuan besar terakhir ke Cina dari utara datang dari Manchu, anggota suku Sinified Tungus dari perbatasan timur laut. Pada tahun 1644 mereka memenangkan kontrol sepenuhnya atas Cina untuk dinasti mereka, Ch’ing. Dinasti dan pasukannya menduduki posisi-posisi puncak dalam urusan politik, dan memelihara suatu kekuasaan militer dan kediaman yang terpisah. Tetapi mereka terlalu sedikit jumlahnya untuk mengatur suatu kerajaan birokratik besar, dan karena itu dipaksa untuk mengandalkan – sebagaimana banyak dinasti sebelumnya melakukan – pada administratur sekolahan yang telah 164

Upload: isif

Post on 10-Dec-2023

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TIGA: CINA

T’i t’ien hsing hao!Mempersiapkan Jalan ke Surga!

Slogan pemberontakan dari Semua Orang Bersaudara,Novel populer abad tiga belas dan merupakanFavorit Mao Tse-tung

Meksiko pada tahun 1910 memiliki pupulasi 16,5 juta, Rusia di sekitar

pergantian abad terhitung 129 juta. Cina – masyarakat yang akan kita diskusikan

berikutnya – bagaimanapun, haruslah digambarkan pada suatu skala yang sangat

besar. Dari Peking ke perbatasan barat Cina kira-kira sejauh dari New York ke

Oregon. Bahkan pada tahun 1725 terhitung sekitar 265 juta orang; 430 juta di

tahun 1850; sekitar 600 juta di tahun 1950. Lebih jauh, ini merupakan peradaban

utama tertua: hanya satu dari masyarakat-masyarakat besar yang masih ada

melintasi permulaan antara adat-istiadat neolitik dan peradaban. Metode

budidayanya yang intensif, aliran air irigasinya yang besar dan kontrol banjirnya,

birokrasi terdidiknya dipilih oleh suatu rangkaian ujian terbuka, keadaan

kemajuan teknologinya, tradisi filsafatnya, dan kesenian bersarnya mengundang

kekaguman banyak pengunjung yang datang ke sana sari mana-mana. Bagi orang-

orang Cina sendiri, adalah Kerajaan Tengah, pusat alam semesta,

pemerintahannya ditopang oleh Amanat Surga. Diserbu berulangkali oleh para

barbarian di utara, menahan mereka selalu dan mengembalikan mereka ke orang-

orang Cina.

Sebuan besar terakhir ke Cina dari utara datang dari Manchu, anggota suku

Sinified Tungus dari perbatasan timur laut.

Pada tahun 1644 mereka memenangkan kontrol sepenuhnya atas Cina untuk

dinasti mereka, Ch’ing. Dinasti dan pasukannya menduduki posisi-posisi puncak

dalam urusan politik, dan memelihara suatu kekuasaan militer dan kediaman yang

terpisah. Tetapi mereka terlalu sedikit jumlahnya untuk mengatur suatu kerajaan

birokratik besar, dan karena itu dipaksa untuk mengandalkan – sebagaimana

banyak dinasti sebelumnya melakukan – pada administratur sekolahan yang telah

164

mengatur Cina sejak masa yang tak lagi diingat. Kelompok administratur

sekolahan ini merupakan pusat yang sangat diperlukan dari roda administrasi.

Mereka terdidik karena mereka memperoleh posisinya melalui partisipasi dalam

ujian-ujian yang berhasil dan mencapai derajat akademik. Mereka kaum gentry

(golongan kelas baik-baik) karena – seperti golongan sejenis di Inggris – mereka

merupakan suatu kelas sekitar satu juta orang yang dilengkapi kepemilikan

kantor-kantor politik formal dan banyak yang merupakan pemilik kekuasaan

sosial informal atas tanah. Negara Cina perlu mengisi sekitar 40.000 posisi

perkantoran, dari poros pusat negara sampai tingkat hakim distrik, dalam sekali.

Penghuni 40.000 posisi ini diambil dari sekelompok 125.000 orang yang sungguh-

sungguh tersedia atau yang masih calon pegawai kantoran. Namun jelas bahwa

suatu negeri yang sangat besar seperti Cina tak dapat diperintah dengan jumlah

pegawai yang sangat kecil: seorang hakim distrik melayani rata-rata sejumlah

200.000 orang. Di antara masa petani dan pegawai kantoran formal ada kelompok

gentry terdidik, pemilik kantor tak formal tapi diberkahi dengan kekuasaan sosial

yang besar. Mereka mengorganisir dan melayani pekerjaan umum yang

diperlukan untuk memelihara dan memperbaiki sistem-sistem irigasi dan kontrol

banjir yang diperlukan untuk menopang pertanian dan transportasi. Mereka

memelihara kanal-kanal dan jalan-jalan. Mereka melayani penyimpanan kelebihan

beras dan distribusinya di waktu yang diperlukan. Mereka menengahi perselisihan

lokal. Mereka memiliki suatu bagian terkemuka dalam pengorbanan keagamaan

lokal dan, melalui kontribusi mereka, memelihara kuil-kuil dan sekolah-sekolah

Konfusian lokal. Sebaliknya, mereka menerima privilege khusus. Mereka dapat

dibebaskan dari tobang; mereka dapat mengenakan akaian khusus; mereka diberi

hak untuk pergi disertai oleh para pembantu ketika mereka muncul di depan

umum; mereka memiliki hak istimewa yang khusus jika mereka muncul di

pengadilan. Untuk pelayanan mereka, lebih lanjut, mereka dapat menerima

kompensasi dari negara. Mereka mungkin tak memiliki salah satu dari 40.000

kantor; tetapi mereka akan menerima dana negara dalam semacam dasar

subkontrak informal. Dana negara, sebaliknya,masuk ke dalam pembayaran tanah,

yang disewakan pada paea petani. Sebagai tambahan dana negara dan penyewaan

165

pertanian, kelompok gentry ini juga menarik pemasukannya dari perdagangan dan

bisnis. Di atas semuanya, strata orang berstatus tinggi ini berjumlah, ada awal

abad kesembilan belas, sekitar satu juta individu; pada akhir abad mereka

berjumlah 1,5 juta. Bersama-sama dengan keluarganya, mereka barangkali terdiri

dari 7,5 juta atau 2 persen dari penduduk negeri (Michael, 194, 60).

Meskipun kepentingan gentry terdidik ini secara tegas dihubungkan pada

keberadaan negara, dan negara bersandar padanya untuk menyediakan anggota-

anggota suatu birokrasi yang dapat dipercaya, pertarungan kekuasaan dan posisi di

antara beberapa segmen gentry dapat memancing pertikaian atau ketidakpuasan

individu atau wilayah setempat dari kekuasaan yang ada. Anggota-anggota gentry

yang lebih rendah tentu dalam suatu keadaan yang dirugikan dalam perebutan

kantor-kantor dan keuntungan jabatan. Banyak di antara mereka tak pernah

memperoleh akses ke dana negara yang dapat dipergunakan untuk menambah

penghasilan mereka. Yang lainnya tak pernah menerima kemewahan khusus dan

privilege legal. Beberapa bagian gentry terdidik ini melayani dinasti sebelumnya

dan juga tak akan atau tak dapat melayani tuan-tuan baru mereka.Pertambahan

populasi juga secara cepat memunculkan sejumlah calon, diambil dari keluarga-

keluarga golongan gentry yang tumbuh cepat, sementara jumlah perkantoran tetap

tak berubah. Akhirnya, di akhir abad kedelapan belas, negara ternyata secara

bertambah mau menjual gelar sekolahan pada orang-orang yang ingin membuat

suatu kontribusi pada peti simpanan negara; suatu gentry terdidik yang berbudi

tinggi yang telah memperoleh gelarnya melalui keberhasilan ujian yang bisa

mendapatkan diri sendiri melesat sebagai orang kaya baru. Dengan demikian di

sana ada, di bawah banyak dinasti, suatu populasi yang sangat besar gentry

terdidik yang secara potensial bermusuhan pada suatu pemerintah yang menolak

menjaminkan mereka dan akan, di bawah keadaan yang terjadi, mendukung suatu

reaksi lokal atau regional melawan kekuasan pusat. Dalam suatu usaha yang

demikian mereka mungkin digabung oleh tuan tanah lokal ke dalam kekuasaan

pemilik lain yang tak termasuk gentry terdidik ini, tetapi yang memiliki kekuasaan

ekonomi dan sosial di desa. Hal ini dengan baik mungkin menjadi bahwa, pada

suatu waktu, lebih dari setengah dari seluruh kelompok gentry ini tak dihargai

166

oleh negara dan merupakan suatu potensi kuat untuk ketidakpuasan dan

kegelisahan. Pada saat yang sama, potensi ketidakpuasan demikian selalu lebih

memperhatikan distribusi tanah di dalam sistem negara, daripada ke arah usaha

merestrukturisasi negara yang demikian. Hanya ketika keadaan orang Cina

menjadi lemah secara serius oleh gangguan luar negeri di sebagian abad

kesembilan belas ketidaksepakatan mulai disebut dalam pertanyaan yang sangat

alami mengenai negara dan masyarakat Cina.

Seluruh jalan hidupnya, harapan dan sikapnya, ideologinya menempatkan

gentry dari sisa populasi yang lain, banyak merupakan kaum petani. Para petani

Cina, bagaimanapun, dibedakan secara signifikan dari para petani lain di dunia.

Pertama, aksesnya pada tanah diatur secara luas melalui konsep-konsep hak

pribadi atas kekayaan tanah yang dinyatakan dalam ungkapan moneter. Kedua, ia

secara potensial bergerak: memperoleh akses pada latihan menulis yang tepat, ia

atau anak laki-lakinya dapat terangkat ke dalam strata gentry terdidik melalui

sistem ujian. Ketiga, gentry dan petani secara terus-menerus terhubunga melalui

persaudaraan yang disebut klan atau tsu.

Sejak zaman Sung (1114-1234) kepemilikan pribadi atas tanah telah

menjadi bentuk dominan dalam masa tersebut di Cina. Negara, pada satu waktu

atau lainnya, menyediakan untuk kegunaannya sendiri tanah-tanah kerajaan untuk

menopang istana, tanah-tanah kaya untuk mendukung aristokrasi militer, tanah-

tanah untuk tujuan kolonisasi militer, tanah untuk mendukung kuil-kuil yang

melayani persembahan negara, dan tanah-tanah di tangan pemerintah provinsi dan

distrik. Pada awal abad kedelapan belas, tanah kerajaan dan pemerintah terhitung

27 persen dari jumlah keseluruhan, tanah kuil sampai 14 persen, tanah kolonisasi

militer 9 persen, sementara sisanya di tangan pemilik-pemilik ribadi, baik individu

atau korporasi klan (Institute of Pacific Relations, 1939, 2). Selama tahap akhir

pmerintahan Manchu, bagaimanapun, sektor pribadi tumbuh lebih besar sampai

terdiri sekitar 93 persen keseluruhan tanah (Buck, 1937, 193). Hak-hak atas tanah

pribadi bisa dijual atau dibeli; hak-hak untuk tanah bagian bawah dan permukaan

tanah dapat dipindahkan secara sendiri-sendiri. Hasilnya menjadikan banyak

petani Cina memiliki akses ada tanah melalui warisan atau melalui suatu gadai

167

dan sewa yang kompleks. Para tuan tanah dan pengelola dihubungkan, tidak

melalui serangkaian privilege dan ketidakmampuan turun-temurun, tetapi sebagai

“pesta-pesta untuk suatu kontrak bisnis” (Tawney, 1932, 63). Akhirnya, seorang

petani dapat, ditopang keuntungan finansial dan keadaan birokratik, memasukkan

anak-anak laki-lakinya ke dalam ujian-ujian kerajaan dan melihat mereka masuk

ke tingkat gentry terdidik.

Ketika seorang petani naik ke dalam gentry, bagaimanapun, ia telah

meninggalkan di belakangnya cara-cara petani dan mengambil gaya kehidupan

kelompok berstatus lebih tinggi. Di mana petani buta huruf dan bicara dalam

dialek lokal atau regional, gentry melek huruf, dihargai atau latihannya dalam

kaligrafi dan gara klasik (wen-hua) pengungkapan sastranya. Di mana petani

melihat nasi dan daging dengan jarang, dan menjalani kehidupan dalam gaya diet

jagung manis di selatan serta padi kasar di uatara, gentry makan nasi, ikan dan

unggas, sering dilayani menurut cara-cara makanan yang berpangalaman. Kaum

gentry mengenakan pakaian rumit, petani mengenakan suatu jaket berlapis dan

pantalon sederhana, seni grafis gentry yang khas diilhami kemampuan

kaligrafinya dengan semua pengekangan formal mereka; seni perani, di sisi lain,

“lebih memperhatikan orang-orang dan simbol-simbol, mendekati supernaturan

secara langsung dan tanpa kesadaran, serta menitikberatkan warna kasar dan tak

teratur” (Fried, 1952, 33). Dalam upacara leluhur, kaum petani terutama

memperhatikan pemujaan leluhur yang dekat dalam generasi ayah atau kakek;

dewa-dewa petani yang penting terdiri dari dewa-dewa yang mengontrol panen,

air, kesehatan dan penyakit. Gentry menjunjung tinggi norma-norma Konfusian

mengenai anak dalam mengadakan dan memberikan perhatian khusus untuk

menguraikan pemujaan leluhur, berhubungan dengan keturunan yang masih hidup

serta cabang-cabang klan. Keluarga gentry luas dan panjang, dengan banyak

keturunan dan keluarga mereka tinggal di bawah atap yang sama; keluarga petani

kecil dan jarang, termasuk lebih dari satu anggota hidup generasi orang tua.

Perkawinan, untuk gentry, merupakan suatu mekanisme utama untuk mobilisasi

sosial: perkawinan diatur secara hati-hati di antara keluarga; para peremuan

merupakan subjek untuk memutuskan wali laki-laki mereka; status tinggi

168

diperlihatkan oleh para wanita yang menundukkan kecacatan khusus, seperti

mengikat kaki, yang membatasi gerakan mereka diluar rumah. Perkawinan petani

untuk memperoleh pekerja yang kuat dan berkeinginan. Perkawinan ulang petani

mudah; gentry menghormati kesucian janda. Gentry terdidik memandang rendah

pada pengejaran status militer sebagai inferior bagi aktivitas mereka sendiri

sebagai orang yang bisa menulis. Kaum petani menyembah banyak dewa dengan

gelar militer dan tampak senang pada orang-orang keras, dengan pengetahuan

bahwa aktivitas militer eringkali merupakan kunci keberhasilan. Kenyataannya

bahwa petani Cina, jauh dari keberadaan anak pasifik Timur yang biasanya

digambarkan, memiliki suatu ketertarikan pada pahlawan-pahlawan militer,

khususnya yang berasal dari strata sosialnya sendiri. Pusat perhatian petani adalah

bandit sosial yang mengambil dari orang kaya untuk diberikan pada orang miskin.

Kecenderungan ini telah menemukan ekspresi sastranya dalam sebuah novel

populer yang secara luas dikenal di seluruh Cina, Shui Hu Chuan, atau Tepi Air,

yang diterjemahkan Pearl S. Buck ke dalam bahasa Inggris di bawah judul All

Men Are Brothers dan yang berisi 108 pahlawan buronan hukum yang dipegang

oleh pejabat-pejabat tak adil. Peristiwa perbanditan dan kekerasan petani secara

erat dihubungkan ke dalam keadaan masyarakat secara menyeluruh. Mereka

biasanya terjadi selama masa perpecahan ketika suatu dinasti kuat melemah dan

tak mampu mengatur urusan negara, dan rakyat mencari jalan keluar alternatif

pada kerusuhan umum. Selama periode disintegrasi demikian, seorang bandit

yang berhasil mengkonsolidasi kekuatannya mungkin menjadi seorang pesaing

bagi kekuasaan dinasti, kadang-kadang bahkan mendirikan suatu dinasti baru.

Raja Han pertama dan pendiri dinasti Han yang besar (202 SM-221 M) sendiri

merupakan seorang bandit demikian yang menjadi, dalam suatu peristiwa, kaisar

Cina dan memperoleh Amanat Surga.

Sementara gentry dan petani secara kultur berbeda, namun mereka berbagi

suatu bentuk organisasi sosial, kelompok persaudaraan korporat atau tsu, terdiri

dari anggota-anggota kedua kelas dalam satu unit sosial. Unit-unit persaudaraan

ini biasanya disebut klan dalam sastra. Anggota-anggota klan ini dihubungnkan

satu sama lain oleh garis keturunan ayah dari seorang nenek moyang umum;

169

wanita-wanita yang menikah menjadi anggota klan suami mereka. Di mana suatu

klan atau suatu bagian klan menjadi makmur, ia akan merayakan garis keturunan

dan keanggotaan umumnya dengan mendirikan sebuah kuil klan, di mana silsilah

klan disiman dan tablet-tablet nenek moyang dijaga. Di mana sebuah klan menjadi

besar, ia mungkin dipecah dalam bagian-bagian, masing-masing dengan kuil dan

perlengkapan keagamaannya sendiri. Bagaimanapun, ritual-ritual klan yang

diperlukan hanya dapat diadakan oleh seorang anggota gentry terdidik, dan kuil-

kuil demikian seringkali berlokasi di kota-kota di mana gentry yang lebih tinggi

menempati tempat tinggalnya. Banyak desa, didiami oleh bagian-bagian yang

lebih miskin dari klan demikian, kekurangan kuil-kuil klan mereka sendiri. Klan-

klan dapat juga sangat besar dalam ukuran. Beberapa mungkin terdiri hanya

empat keluarga, yang lain lebih dari seribu; kebanyakan terdiri dari dari empat

puluh dan tujuh puluh keluarga. Klan-klan di Cina selatan lebih besar dan lebih

penting dari wilayah utara, dan memenuhi fungsi-fungsi ekonomi penting, untuk

melayani tujuan seremonial dan sosial; mereka sering memiliki tanah dan

kekayaan lain serta satu desa keseluruhan mungkin masuk dalam satu klan. Di

utara, sebuah desa mungkin berisi beberapa klan yang lebih kecil, dan fungsi

mereka terutama lebih sosial dan seremonial daripada ke arah ekonomi. Kita akan

segera melihat beberapa alasan keragaman ini.

Semua anggota klanmenganggap dirinya sendiri terhubung sebagai

keturunan dari seorang nenek moyang umum, tetapi tak semua anggota memiliki

suara yang sama dalam urusan-urusan klan. Biasanya aktivitas-aktivitas klan

dikemudian oleh anggota-anggota dengan kekayaan terbesar, berpendidikan,

berpengaruh, dan berstatus. Sementara kelompok ini mungkin termasuk para

petani kaya, tugas-tugas membuat keputusan untuk kepentingan klan biasanya di

tangan gentry. Hal ini khususnya relevan di mana klan memiliki tanah. Tanah

tidak dikelola secara kolektif, tetapi diserahkan pada penyewa individual.

Sementara orang asing – bukan anggota suatu klan – mungkin dianggap sebagai

penyewa, anggota-anggota memiliki suatu klaim terlebih dahulu untuk alokasi

tanah, suatu privilege penting di wilayah-wilayah di mana suatu populasi yang

padat bersaing untuk sejumlah tanah yang ada. Anggota dan non anggota,

170

bagaimanapun, membayar jumlah yang sama yang diterima penyewa. Pemasukan

dari penyewaan tanah digunakan untuk membiayai ongkos pemeliharaan kuil-kuil

klan dan pekuburan, menanggung pesta makan tahunan klan, menyediakan biaya

sekolah untuk anak-anak klan yang berbakat, atau untuk pertahanan melawan para

bandit. Adakalanya, uang yang masuk dibagikan di antara seluruh anggota klan;

lebih sering, bagaimanapun, diinvestasikan kembali dalam tanah atau bisnis lain

yang dijalankan oleh eksekutif-eksekutif klan. Klan juga bertindak sebagai suatu

organisasi dalam mempertahankan anggota, sebuah instrumen dalam mendukung

klaim melawan klan-klan saingan atau pejabat-pejabat pemerintah. Kepentingan

anggota-anggota klan dengan demikian dapat berbeda secara mencolok. Anggota-

anggota gentry suatu klan terutama berkepentingan dalam mempergunakan

struktur klan untuk membangun dan menambah kekuasaan mereka; mereka

merupakan agen-agen utama dalam menegakkan institusi. Ini menjamin mereka

suatu pelayanan efekti atas anggota lain kelas mereka dan dengan pemerintah.

Anggota-anggota petani, di sisi lain, berkepentingan terutama memperoleh akses

pada tanah yang jarang dan kemampuan mereka untuk meminta solidaritas klan

ketika mereka memerlukan solidaritas dan pengaruh. Pertemuan kepentingan ini

mungkin membawa gentry dan petani bersama-sama dalam melawan pemerasan

pemerintahan pusat atau kompetisi dari klan-klan saingan. Di waktu lain,

bagaimanapun, eksekutif gentry akan memperlakukan anggota-anggota petani

klan secarasederhana seperti para tuan tanah selalu memperlakukan para penyewa

mereka. Sering, lebih lanjut, aturan-aturan klan berisi ketetapan-ketetapan yang

membolehkan eksekutif klan untuk mengeluarkan anggota-anggota yang

dipertimbangkan tak diinginkan. Aturan ini akan menetapkan bahwa

kesinambungan keanggotaan klan membutuhkan kontribusi finansial tertentu atau

kepemilikan pakaian seremonial tertentu. Mereka juga dapat menuntut pengusiran

anggota yang memberikan anak-anaknya untuk diadopsi atau menjual anak

perempuannya ke dalam kerja prostitusi. Ketentuan demikian, dengan asal-

usulnya, sangat diskriminatif melawan anggota-anggota klan yang lebih miskin

yang kekurangan kebutuhan alat untuk menjalankan pengeluaran seremonial atau

171

dipaksa untuk mendorong pembatasan jumlah keluarga mereka di waktu yang

dibutuhkan.

Kita telah mengatakan bahwa klan merupakan suatu institusi yang lebih

penting di selatan Cina daripada di utara Cina. Ini disokong, sebagian, oleh

alasan-alasan sejarah: orang-orang cina menempati wilayah selatan pada periode

waktu yang lama: ini dimungkinkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh kelompok-

kelompok klan yang mendirikan desa-desa klan mereka sendiri. Di sini, juga,

Sung wilayah selatan mendukung suatu kebangkitan kembali Konfusian melawan

pengembara pastoral Ch’itan dan Jurchen, suatu usaha yang memasukkan

dukungan negara bagi pengembangan sejumlah cabang-cabang klan besar.

Kemudian, pertimbangan regional mulai berperan. Wilayah selatan sangat jauh

dari kursi kekuasaan pusat di Peking yang terdapat di utara: karena itu dasar

kekuasaan regional dan lokal kaum gentry, sebagaimana ditunjukkan oleh klan,

cenderung lebih kuat di sini daripada di utara. Akhirnya, harus diingat bahwa

kontak komersial dan masuknya pihak asing dimulai di selatan dan bahwa

terbukanya kesempatan untuk migrasi luar negeri membawa ratusan dari ribuan

orang Cina mencari masa depan mereka di Asia Tenggara dan menyeberangi

Pasifik. Kontak dengan perusahaan-perusahaan dan pemerintahan-pemerintahan

asing merangsang perkembangan klan-klan menjadi organisasi-organisasi

setengah bisnis, sementara pembayaran masif oleh Cina perantauan yang berharap

diakui dan diperingati di tanah kelahiran mereka menyediakan suatu sumbangan

besar kekayaan untuk dukungan seremonial dan pertunjukan klan. Sebagai

penerima pemasukan modal ini, banyak klan menjadi, sebagaimana Chen Han-

seng mengatakan, seperti keperluan umum dengan sejumlah pemegang saham

tetapi dikontrol oleh sedikit orang yang menyediakan dan mengatur keuntungan

(dikutip dari Lang, 1946, 177). Seperti penyewaan tanah menjadi suatu sumber

yang penting bagi modal, dan modal terus secara bertambah ditanamkan dalam

suatu pelebaran pasar nasional dan internasional, defisit diciptakan oleh

pemerasan dari anggota klan yang lebih miskin yang mulai lebih banyak

menguntungkan dihubungkan dengan ketaatan berkelanjutan pada klan. Dengan

demikian tendensi atas konsolidasi tanah di tangan klan-klan juga menonjolkan

172

konflik internal di dalam klan antara yang kaya dan yang miskin. Demikianlah,

pada tahun 1924 sampai 1927, Kwangtung,

provinsi di mana sistem klan sangat lengkap, merupakan tempat

pemberontakan petani paling keras dan tempat persatuan-persatuan petani

terkuat, di mana penyatuan petani miskin dan menengak sebaik buruh-buruh

perkebunan klan yang berbeda dalam pertempuran umum melawan saudara

klan mereka dan musuh-musuh klan – tuan tanah kaya dan para pedagang

(Lang, 1946, 178).

Masih sosok lain masyarakat Cina di mana petani dan gentry berpartisipasi

adalah kelompok rahasia. Di pertengahan abad keempat belas masehi satu

organisasi jenis ini, Lotus Putih, mengangkat bendera pemberontakan melawan

dinasti Yüan yang didirikan oleh para penyerbu Mongol, Lotus Putih

mengawinkan seruan nasionalisnya dengan harapan-harapan mesianis suatu

Budha-Matreya baru, seorang juru selamat yang akan melayani dalam suatu

pemerintahan baru yang adil. Lotus Putih, sebaliknya, mendorong kemunculan

sejumlah kelompok lain yang serupa seperti Trigram Delapan, Nien, Pisau Besar,

Petinju, Masyarakat Kepercayaan, dan Lembing Merah. Kelompok besar lainnya,

Triad – terlibat dalam Pemberontakan Taiping pada pertengahan abad kesembilan

belas di mana kita akan lebih banyak bicarakan di bawah ini – menelurkan

organisasi serupa seperti Ko-lao-hui (Kelompok Tetua dan Leluhur), Pita Hijau,

Pisau Kecil. Semua kelompok ini – dan banyak yang lainnya – menarik anggota

mereka dari gentry yang tak puas, dari petani, khususnya dari petani yang dicabut

hak tinggalnya serta petani marginal, dan dari para pengrajin, pedagang kecil,

penyelundu, tentara yang didemobilisasi, serta para bandit. Diorganisasi secara

internal sepanjang garis hirarki yang keras, diperlengkapi dengan kode-kode dan

simbol-simbol rahasia yang dipelajari dalam prosedur-prosedur kompleks pada

permulaan, kelompok ini jadi merupakan “pembangkang” sesungguhnya dari

kekuasaan yang ada, dengan tatanan norma-norma dan sangsi-sangsi sosial

mereka sendiri. Secara politik mereka mengarahkan usaha mereka melawan

173

pemerintah pusat, terutama ketika pemerintahan di tangan penyerbu asing,

sebagaimana terjadi pada dinasti Mongol (1280-1368) dan terjadi lagi dengan

Manchu yang menggoyang dari tahun 1644 sampai 1712. Secara ideologis,

mereka cenderung anti-Konfusian dan mempergunakan elemen-elemen Taois dan

Budhis dalam simbol-simbol mereka. Beberapa kelompol, misalnya, menjalankan

suatu kepercayaan pada seorang Ibu Tua atau Bapak-Ibu Tua Yang Tak Pernah

Diciptakan, suatu supernatural penyatuan, menurut konsep Taois mengenai suatu

Langit Terdahulu, dalam eksistensi sebelum dunia menjadi terbagi ke dalam

elemen-elemen berlawanan yin dan yang. Orientasi Taois menganut bahwa suatu

masa keemasan di masa lalu memberi jalan kekacauan di masa sekarang.

Orientasi Budhis meramalkan kedatangan Budha-Budha mesianis. Apa yang

kedua orientasi ini miliki dalam wilayah umum adalah pertemuan tendensi mereka

untuk menganggap masa sekarang adalah suatu periode kerusuhan yang harus

dilalui. Ini membawa kelompok rahasia ke dalam oposisi langsung dengan

Konfusianisme yang disokong oleh negara yang berusaha menciptakan suatu

tatanan hirarki dunia hubungan sosial yang patut, dibangun di sekeliling poros

kesalehan anak. Banyak kelompok rahasia lebih lanjut merunjukkan tendensi-

tendensi murtadz. Banyak dari mereka lebih kuat feminis-nya, berbeda dengan

pemikiran Konfusian yang menegaskan dominasi laki-laki yang di atas wanita yin:

kelompok rahasia cenderung setuju penyamaan status wanita. Mereka juga

mempergunakan bahawa percakapan, pai-hua, sebagai perlawanan pada bentuk-

bentuk bahasa klasik wen-yen kaum gentry Konfusian. Banyak dari mereka juga

secara kuat, berpegang teguh pada tata susila; Lotus Putih, sebagai contoh,

melarang penggunaan alkohol, tembakau, dan opium. Kontribusi khusus

kelompok rahasia pada kehidupan politik di Cina, dikatakan Franz Michael,

adalah organisasi politik militan mereka. Mereka dibentuk seperti

persaudaraan kaum tersiksa dan yang tak memiliki suara atau kekuasaan

dalam struktur politik dan sosial yang ada. Mereka membentuk organisasi-

organisasi politik bawah tanah, bersaing dan secara potensial bermusuhan

terhadap organisasi negara yang ada. Anggota mereka bersumpah saling

174

membantu dalam kesusahan, memberi perlindungan pada para anggota yang

bersembunyi dari para pejabat, dan saling mendukung dalam konflik dengan

orang asing sebaik dengan pemerintah. Loyal terhadap persaudaraan

kelompok merupakan kewajiban pertama, tetapi di atas persaudaraan

anggota yang sama ada suatu hirarki pejabat kelompok yang akan

menjalankan otoritas dan disiplin mutlak. Kelompok-kelompok ini

merupakan perangkat rahasia dari semua cara untuk mempertahankan diri

mereka melawan tekanan negara dan pemimpin-pemimpin sosial yang

memiliki privilege. Mereka berkibar khususnya di desa-desa pedalaman dan

di antara petani tetapi seringkali termasuk di dalam keanggotaan mereka

juga gentry terdidik kelas rendah (1966, 13).

Kelompok-kelompok ini “oleh karena itu memberi suatu model di belakang suatu

organisasi pemberontakan yang akan disusun”. Dari sudut pandang ini, partai

Komunis dari abad kedua puluh tidak melanggar perngharapan tradisional, tetapi

tersambung rapi dengan suatu pola pendirian tuntutan ekonomi dan penyungkilan

politik. Lebih jauh, beberapa pemimpin Komunis – seperti Chu Teh, Ho Lung,

Liu Chih-tan –merupakan anggota kelompok rahasia demikian seperti Ko-lao dan

mempergunakan koneksi-koneksi kelompok rahasia dalam memajukan kaum

Komunis.

Statis dan dangkal, masyarakat Cina sungguh-sungguh tunduk untuk

mengulang pemberontakan dan mengakhiri disintegrasi yang diselesaikan oleh

lingkaran baru konsolidasi integrasi. Banyak dari pemberontakan yang terulang

meliputi pemberontakan petani. Seolah ia menyesuaikan diri pada suatu rangkaian

pola (Eberhard, 1965, 102-104). Selama tahap pertama suatu pemberontakan

demikian, sejumlah petani, dipaksa keluar rumah dan tempat tinggal untuk

sejumlah asalasan, akan mencari perlindungan di dalam hutan belantara. Menjadi

bandit-bandit, mereka akan merampok para pejalan dan tuan tanah kaya. Biasanya

mereka mengadakan kontak dengan desa tempat tinggal mereka dan menarik

pasokan berkelanjutan dari sana, sementara pada saat yang sama melindungi

penduduk desa melawan serbuan kelompok saingan.

175

Selama tahap kedua, kelompok ini akan memperpanjang radius kegiatannya,

dengan demikian melanggar batas wilayah operasi kelompok-kelompok lain.

Hasil konflik akan mengarah pada penghapusan unit-unit yang kurang terlihat,

dan mendirikan dominasi kelompok yang lebih kuat dan terorganisir lebih baik.

Ketika ini terjadi, para saingan tak akan lagi mengancam basis desa kelompok

bandit; ini membebaskan kelompok untuk aktivitas yang lebih lanjut.

Selama tahap ketiga, kelompok ini mulai menghadapi perlawanan dari para

tuan tanah yang dipaksa membayar tambahan upeti. Berusaha melawan, para tuan

tanah memanggil pemerintah dari kota terdekat. Para bandit karena itu menyerang

kota, mencoba memotong sumber bantuan kelompok tuan tanah. Jika pasukan

pemerintah berhasil mengendalikan para penyerang, kelompok bandit melarikan

diri ke daerah pedalaman, hanya untuk memecah di bawah pengaruh kekalahan.

Kemudian lingkaran akan mulai diperbaharui. Bagaimanapun pasukan pemerintah

dapat mencari alasan umum untuk menghadapi pemberontakan, sementara gentry

lokal yang tidak puas akan mencari kerjasama dengan pemberontak dalam

kepentingan terbaiknya sendiri melawan kekuasaan pusat negara. Sebagai sebuah

hasil, kota dikelilingi tekanan bandit, memberi para bandit suatu poros urban

untuk aktivitas-aktivitas lebih lanjut.

Selama tahap keempat, kelompok pemenang memperluas goncangannya

atas kota-kota, dan bersiap mempertahankan barang rampasan mereka melawan

pasukan pemerintah. Mencapai sukses selanjutnya, mereka memasuki aliansi-

aliansi yang lebih erat dengan gentry terdidik daerah, karena ia memiliki

monopoli birokrasi dan kemampuan sosial yang diperlukan untuk adminstrasi

yang efisien. Para bandit pertama-tama mengambil bagi diri mereka sendiri

norma-norma gentry; kemudian mereka mengambil gentry sebagai diri mereka

sendiri. Dengan demikian pemimpin bandit pemenang menjadi seorang jenderal,

seorang adipati, atau seorang kaisar. Menyandarkan diri pada gentry terdidik

untuk dukungan berkelanjutan, ia menjadi, sebaliknya, sebuah pilar pemerintah

yang kokoh.

Sebuah contoh yang baik mengenai seorang bandit yang lolos melalui

lingkaran tahap keempat ini ialah pendiri dinasti Ming, Chu Yüan-chang. Cina

176

saat itu di tangan suatu dinasti Mongol, Yüan. Di akhir pertengahan abad empat

belas serangkaian bencana alam dan kegagalan politik menyebabkan kerusakan

irigasi dan fasilitas transportasi; pajak naik dengan cepat, sementara cadangan

makanan menjadi habis. Sederet kelompok dibentuk terutama di wilayah-wilayah

Honan, Anhwei utara, Kiangsu utara; mereka terasosiasi dengan kelompok Lotus

Putih, suatu organisasi rahasia yang mengumumkan bahwa “kekaisaran dalam

pemberontakan, Budha-Matreya dilahirkan kembali, suatu pemerintahan

pencerahan akan muncul.” Kelompok-kelompok ini memperbesar goyangan

mereka melawan suatu pemerintahan yang tak menyatu, yang tak sanggup

membawa semua kekuasaannya untuk bertahan pada titik yang menentukan. Salah

satu dari rekruit bandit ini merupakan seorang anak yatim dari satu keluarga

petani yang menghabiskan sebagian hidupnya sebagai seorang biarawan

pengemis. Ia membawa sebuah kelomok pendukung daridesa tempat tinggalnya;

banyak dari mereka sanak famili atau anak adopsi (i-erh). Secara perlahan-lahan

ia menyisihkan kompetisi kelompok saingan: satu sumber kekuatannya terletak

dalam kemampuannya untuk mengkombinasi suatu seruan kuat anti-asing,

ditujukan melawan pemerintahan Mongol, dengan keluhan sosial dan motivasi-

motivasi religius yang telah mengembangkan pemberontakan. Ketika ia

menambah kekuasaannya melewati Anhwei dan Kiangsu, dengan Nankin sebagai

pusat kekuasaannya, ia secara terus bertambah menggunakan para penulis yang

diambil dari gentry terdidik wilayah. Pada tahun 1367, ia mengendalikan pewaris

terakhir dinasti Mongol kembali ke padang rumput utara dan menjadi kaisar Cina.

Keluarga-keluarga gentry yang mendukung dalam perjuangannya memperoleh

posisi gentry sebelumnya yang melayani penyerbu asing. Personel elit pemerintah

dengan demikian menjalani perubahan menyeluruh, sementara struktur sistem

sebagian besar tetap sama.

Gerakan dengan demikian dimulai sebagai pemberontakan petani yang

seringkali datang, jika berhasil, dimaksudkan untuk suatu konsentrasi kekuasaan

yang diperbaharui atas kemudi negara, mengijinkan masyarakat Cina untuk

menyatu kembali dan mengkonsolidasi diri sendiri. Pemerintah baru akan

menyokong gentry yang merupakan pengikutnya dengan mengakatnya ke posisi-

177

posisi pejabat, sementara itu mencabut gentry oposisi dari jabatan dan

kepemilikan tanah. Seringkali suatu periode penggulingan demikian disertai oleh

distibusi tanah yang luas diambil dari musuh-musuh rejim – distibursi

mengumpulkan kemenangan dukungan segmen luas para petani dan gentry lokal

untuk pemerintah baru. Dengan sntralisasi baru birokrasi pemerintah dan efisiensi

yang lebih besar dalam perpajakan, juga menjadi mungkin untuk mengkonsolidasi

dan memerluas sistem hidrolis besar di mana pertanian Cina menggantungkan diri

untuk pasokannya, dngan demikian juga menambah kualitas produksi dan

produktivitas tanah teririgasi. Namun ekspansi sistem cenderung menghasilkan

kekuatan berlawanan. Pemilik kekuasaan lokal bertambah dan memperbesar

kekuasaan mereka: pajak yang membiayai pemerinthan pusat dialihkan sekali lagi

ke dalam tangan-tangan perorangan; sistem hidrolis menderita dan jatuh ke dalam

keruntuhan yang terus bertambah, pemilikan tanah menjadi semakin memusat.

Pemerasan semakin berat pada petani lokal. Gentry yang tak puas dan tak lagi

dipercaya menjadi lebih vokal dalam ketidakpuasan mereka. Pemberontakan

sporadis akan menjadi endemis sampai sebuah pemberontak utama menghasilkan

seorang pemimpin baru yang akan muncul di atas dukungan petani untuk

memimpin suatu pengembalian pemerintahan dan sentralisasi. Dalam sejarah Cina

sejumlah dinasti muncul dan jatuh, di mana kemunculan dan kejatuhan mereka

didorong oleh penyebab internal. Pada abad kesembilan belas, bagaimanapun, ada

dutambahkan penyebab internal ini dengan tekanan berat pengaruh luar negeri

yang secara serempak melemahkan kemampuan dinasti terakhir untuk melawan

disintegrasi dan membuatnya lebih sulit bagi negara untuk berhasil

mengembalikan kekuasaan sosial dan kepaduan pernyataan-pernyataannya

sendiri.

Para pedagang Eropa dan para misionaris – Portugis, Spanyol, Belanda dan

Inggris – telah lama ke Timur berdagang mencari sutera, rempah-rempah, teh, dan

porselin, serta telah mencoba memperkenalkan beberapa varian agama Kristen

mereka. Namun, sebelum kemunculan abad kesembilan belas, mereka telah

menerima struktur politik dan agama Kekaisaran Cina, dan bahkan memandang

budaya Cina dalam suatu rasa kekaguman dan harapan. Setelah pergantian abad,

178

bagaimanapun, perdagangan Inggris berkeentingan untuk mulai menggunakan

desakan yang lebih besar pada pemerintah Cina untuk melepaskan monopolinya

atas perdagangan dan mengijinkan impor opium serta tekstil secara bebas.

Demikianlah yang disebut Perang Candu (1839-1842) pecah di mana Cina

melawan impor luar negeri. Perjanjian yang berhasil menurunkan rintangan

pengenalan opium dalam skala yang luas, mengurangi tarif impor barang-barang,

dan membuka sejumlah perjanjian pelabuhan-pelabuhan untuk orang asing. Ini

juga mendesak pemerintah untuk membayar kerugian pada Inggris karena

peperangan, yang pertama dari serangkaian pembayaran demikian akhirnya

menjatuhkan kekayaan Cina. Suatu konsekuensi terdekat pembukaan Cina pada

perdagangan asing adalah aliran yang sangat deras dari perak Cina yang

dibutuhkan untuk membayar impor. Sebagai suatu hasil pengeluaran perak,

keseimbangan internal perak atas tembaga – mata uang yang dipergunakan untuk

transaksi lokal – berubah dari 1:2 menjadi 1:3. Ini merugikan petani yang

pembayaran pajak dan sewanya dilakukan dengan perak, tetapi hanya menerima

tembaga untuk produk mereka yang laku.

Pembukaan perjanjian pelabuhan membuat Cina sebagai sebuah satelit

dunia industri. Apakah perkembangan industri mengambil tempat setelahnya

merupakan pemusatan yang luad di dalam atau di sekitar perjanjian pelabuhan,

disokong oleh investasi asing dan dilindungi orang tentara asing. Perjanjian

pelabuhan menjadi benteng yang sebenarnya dari kepentingan asing di dalam

Cina. Tidak hanya apakah orang-orang asing subjek atas hukum mereka sendiri,

dan karena itu bebas dari pelarangan hukum Cina, tetapi orang Cina yang

memiliki perjanjian legal dengan orang asing diadili di bawah undang-undang

asing juga. Kekalahan dan akibat gangguan orang-orang asing melukai prestis

dinasti Manchu dan kapasitasnya untuk mempertahankan genggaman di dalam

negeri. Ketika ia dilemahkan secara internal, ia juga didorong untuk

menyandarkan diri lebih jauh pada kekuasaan luar yang sekarang memiliki suatu

kepentingan menentukan dalam menggalang pertahanan internalnya sebagai suatu

instrumen yang dapat diandalkan untuk bekerja di pedalaman. Mereka mencari

suatu pemerintah “yang cukup lemah untuk menerima perintah dan kontrol dari

179

luar negeri, tetapi cukup kuat menerima perintah dan menjalankan kontrol secara

domestik” (Lattimore dan Lattimore, 1944, 104).

Pada saat yang sama, sikap misionaris pada orang-orang Cina mulai berubah

juga, khususnya dengan kemunculan misionaris Inggris non-kompromi pertama di

Cina, Robert Morrison. Di mana utusan Kristen awal melihat orang Cina dengan

suatu rasa kekeluargaan dan kekaguman, ada satu tendensi sekarang melihat

mereka sebagai kafir yang akan menghentikan suatu budaya kurang sempurna dan

inferior alam menyokong suatu konstruksi pola Barat Protestan. Perjanjian-

perjanjian yang melegalkan impor opium juga memberi hak bebas bagi misionaris

Eropa untuk melaksanakan pengajarannya. Dalam kata-kata ahlis sejarah Inggris

Joshua Rowntree (905, 242), opium dan Gospel “datang bersama, menyebar

bersama, berperang bersama, dan akhirnya dilegalisasi bersama-sama”. Kadang-

kadang dikatakan bahwa agama Kristen memiliki pengaruh kecil dalam

masyarakat Cina karena norma-normanya ternyata bertentangan dengan pola

keluarga Cinda dan bentuk-bentuk perayaan leluhurnya. Namun ia memiliki

pengaruh jangka pendek dan jangka panjang. Pengaruh jangka pendek jelas dalam

sinkretisme agama dalam Pemberontakan Taiping, di mana akan kita bicarakan

lebih lanjut kemudian. Pemimpin Taiping menganggap dirinya sendiri sebagai

seorang adik Yesus Kristus dan mempergunakan injil sebagai sebuah kitab suci.

Gerakan ini cukup Kristen menyebabkan gereja-gereja mengirim para investigator

untuk mengetahui apakah pendapat ini cukup serupa dengan Kristen ortodoks

untuk disetujui memperoleh bantuan Barat. Laporan investigasi adalah negatif –

ada desakan untuk berspekulasi apa yang terjadi jika para misionaris terlibat telah

menjadi kurang fundamental atau apakah ini merupakan keputusan gereja secara

umum. Memang pada tahun 1937 ada sekitar tiga juta Cina Katolik, direktur

terutama dari kelas bawah, dan setengah juta beralih ke Protestan, terutama yang

berasal-usul kelas menengah dan atas. Namun benar bahwa pengaruh usaha

Kristen kurang mengubah daripada transformasi gagasan-gagasan dan teknik-

teknik Barat. Robert Elegant mengatakan mengenai hal ini (1963, 86):

180

Pendirian misi Kristen yang luas di Cina merupakan satu usaha yang sangat

berhasil di mana satu budaya mempengaruhi budaya lainnya. Jika beberapa

misionaris menghasilkan beberapa orang Kristen, mereka memberi harapan

banyak orang skeptis; jika mereka tidak menegakkan moralitas Kristen,

menimbulkan ketidakpuasan; jika mereka tidak mengubah pikiran orang

berkontemplasi mengenai kekekalan atau membangunkan hasrat pencerahan

spiritual, mereka menciptakan pengetahuan tentang keuntungan material

yang dinikmati bangsa-bangsa Kristen.

Struktur masyarakat Cina terus diperlemah oleh serangkaian perang yang

dibawa oleh kekuatan besar: perang Anglo-Prancis melawan Cina pada tahun

1860-1861; aneksasi daerah yang sekarang disebut Vietnam oleh Prancis; perang

Jepang melawan Cina tahun 1894-1895; dan perang Rusia-Jepang tahun 1904-

1905 yang berperang di atas bumi Cina. Tetapi juga ada dua pemberontakan

internal utama – di antara sejumlah pemberontakan yang lebih kecil – yang

merusak dan mengkoyak struktur dari dalam: Pemberontakan Taiping (1850-

1865) dan Pemberontakan Nien (1852-1868). Pemberontakan-pemberontakan ini

penting tak hanya di dalam konteks sejarah mereka, tetapi karena mereka ternyata

menjadi pengulangan-pengulangan peristiwa yang lebih besar, revolusi Komunis

berbasis petani di abad kedua puluh. Mereka memperlihatkan beberapa tema

organisasional dan ideologikal yang datang pada diri mereka satu abad kemudian.

Bagaimanapun, banyak pemimpin Komunis muncul di waktu ketika kenangan

atas gerakan-gerakan ini masih hijau. Chu Teh, misalnya, di masa mudanya

mendengar cerita mengenai Taiping dari seorang penenun pengembara yang ambil

bagian dalam gerakan (Smedley, 1956, 22-29).

Pemberontakan Taiping dimulai di selatan, di provinsi Kwangtung dan

Kwangsi, suatu unit alami yang ditandai dari Cina yang lain oleh sebuah rantai

pegunungan dan menghadap ke arah kota pelabuhan Canton. Di Canton lah para

pedagang asing menjejakkan kaki pertama kali di bumi Cina, dan melalui Canton

lah para pengaruh asing mendorong tujuannya mendesak masuk setelah

pembukaan Cina bagi pedagang asing. Wilayah ini secara etnik dan pekerjaan

181

sangat heterogen. Ditinggali -–terpisah dari Cina – sejumlah kelompok minoritas

Cina dan afiliasi non-Cina. Minoritas terbesar adalah Hakka yang dipandang

rendah, bangsa Cina yang datang belakangan ke wilayah itu dibedakan dengan

Cina Han yang telah ada sejak lama. Adat istiadat dan dialek mereka berbeda dari

Han sampai hari ini, ketika jumlah mereka sekitar dua puluh juta. Mereka juga

terdiri dari tiga wilayah suku – Miao, Yao dan Lolo – yang pernah banyak

menempati bagian Cina bagian utara dan didorong kembali ke tanah marginal

serta pegunungan oleh orang-orang Cina yang kemudian. Mereka juga mendirikan

kelompok-kelompok pekerjaan dengan karakteristik khusus dan organisasi

profesional di bawah para pemimpin mereka sendiri, yang melayani keluhan-

keluhan umum. Di antara mereka ada manusia perahu yang melayani pelayaran

kanal, merugi karena transportasi asing di sepanjang pantai; para bajak yang

memiliki aktivitas menguntungkan di lautan dalam telah dikurangi oleh angkatan

laut asing; penyelundup garam yang sibuk mengelak monopoli garam pemerintah

dengan menyadap wilayah produksi garam Kwangtung dan Kwangsi bagi mereka

sendiri; para penambang; dan pembakar arang. Wilayah ini mempersiapkan

pasukan untuk tentara-tentara Taiping. Pemimpin Taiing, Hung Hsiu-ch’üan

(1814-1864) merupakan seorang petani Hakka miskin Kwangtung. Keluarganya

telah mengorbankan diri untuk membayar studinya yang membuatnya menjadi

seorang guru sekolah, tetapi ia gagal pada ujian yang akan membawa dia

memasuki birokrasi. Sebuah brosur misionaris Protestan membantunya sebagai

katalis dalam merancang dirinya di atas sebuah karir alternatif sebagai pemimpin

religius. Dalam pandangannya, ia kemudian melihat dirinya sebagai adil laki-laki

Yesus Kristus dan karena itu menjadi anak Tuhan yang kedua, dipilih untuk

menghancurkan iblis di bumi dalam rangka menciptakan sebuah Kerajaan Tuhan

baru. Ia juga menerima dua bulan latihan dalam suatu misi Amerika di Canton di

bawah perwalian fundamentalis Pendeta Issachar Roberts dari Sumner County,

Tennesse. Injil memperoleh tempatnya di antara kitab-kitab suci agama baru.

Gerakan menyebar dengan cepat meliputi delapan provinsi selatan Sungai

Yangtze; distribusi geografinya ditandai serupa dengan wilayah di mana para

Komunis pertama kali memantapkan diri mereka setalah Perang Dunia I (McColl,

182

1964; Laai Yi-faai, Franz Michael dan John Sherman, 1962). Sebelum akhirnya ia

dilumpuhkan oleh pasukan pemerintah dengan kekalahan diperkirakan mencapai

dua puluh juta orang, membentuk gerakan dalam tatanan yang menyeluruh yang

terus berproses membentuk disintegrasi negara Cina dari dalam, sebagaimana

pelanggaran negeri asing menyebabkan disintegrasi negara dari luar.

Pemberontakan Taiping berakhir dalam kekalahan, namun ia menciptakan

suatu kesan kuat di benak rakyat Cina. Tujuan gerakan yang diumumkan memiliki

suatu lingkaran modern yang kuat sampai seratus tahun setelah peristiwa berdarah

pemberontakan. Mereka yang pertama, sejak pembukaan Cina oleh Barat, yang

mengumumkan beberapa tema yang kemudian diambil dan dikembangkan oleh

para Komunis Cina. Ini seharusnya tidak mengejutkan, karena itu, para Komunis

yang sekarang menulis Taiping nampak sebagai nenek moyang dan pelopor

gerakan sekarang.

Apa yang dimaksud sosok “modern” Taiping ini? Pertama, mereka

memimpikan suatu tatanan sosial yang berjalan dalam aturan gentry Cina. Para

kaum Taiping, kata Franz Michael, “mencoba memerkenalkan suatu tatanan

monis di mana negara akan menjadi seperti itu seluruhnya” (966, 7). Mengganti

pembagian masyarakat tradisional ke dalam gentry terdidik, petani, dan militer,

petani, prajurit, dan administrator. Setelah masyarakat diorganisir ke dalam sel-sel

petani-prajurit yang terdiri dari dua puluh lima keluarga, kemudian mereka

dikomandani seorang sersan. Setiap keluarga akan menerima tanah untuk bekerja

tetapi bukan untuk dimiliki. Setiap hasil lebih di atas hitungan keperluan keluarga

akan dibawa ke suatu lumbung umum yang diawasi oleh si sersan. Empat sel, atau

seratus keluarga, dikomandani oleh seorang letnan; lima keletnanan atak

berbentuk sebuah kekaptenan, lima kekaptenan merupakan satu kekolonelan, dan

lima kolonel adalah satu kejenderalan. Setiap jabatan militer pada orang dan saat

yang sama merupakan jabatan administrasi, hakim, dan pengendali keamanan.

Seorang sersan, misalnya, tak hanya kepala sebuah unit militer terdiri dari dua

puluh lima keluarga prajurit-petani dan administrator lumbung mereka; ia juga

akan memimpin pada pelayanan akhir minggu dan seremoni sehari-hari. Setiap

masalah yang tak dapat ia selesaikan akan disampaikan pada rantai komando

183

untuk jawaban penyelesaian di tingkat yang lebih tinggi. Hasil yang baik akan

dibalas dengan promosi, hasil yang buruk dibalas oleh demosi atau hukuman

kapital. Lebih jauh, para Taiping mengarahkan serangan mereka tak hanya

melawan gentry terdidik tetapi juga pada ideologi mereka, Konfusianisme,

sebagai agama suatu kelas para musuh; di tempatnya mereka akan melembagakan

visi mereka sendiri mengenai Kerajaan Langit sebagai agama seluruh Cina. Untuk

monisme yang mengilhami visi mereka mengenai suatu masyarakat politik bari,

mereka bersekutu dengan monisme ideologikal. “Hal ini membuat para Taiping

tak hanya melawan pemerintah tetapi melawan pembela keberadaan tatanan sosial

itu sendiri, gentry, dan semua yang percaya pada sistem Konfusian” (Michael,

1966, 7).

Ini sangat mirip bahwa Taiping tak menciptakan suatu masyarakat monis

ideal dan kebijakan seluruh cita-cita, tetapi membawa dari sumber inspirasi lama

untuk konsep-konsep mereka apa yang merupakan tatanan sosial yang disukai. Ini

sepenuhnya disepakati (Shih, 1967, 253-268) bahwa mereka menggunakan Chou-

li, suatu dokumen kuno yang diakui ditulis oleh Pangeran Chou, perdana menteri

Wu Wang, yang menaklukan dinasti Shang pada abad kedua belas SM. Pangeran

Chou menggambarkan suatu negara feodal yang terorganisir ketat di mana para

baron akan bersetia pada para viscount, para viscount bersetia pada para earl, para

earl bersetia pada para marquis, para marquis bersetia pada para pangeran, dan

para pangeran bersetia pada Anak Langit. Lima kelas pengikut ini berhubungan

dengan lima kelas pejabat yang diimpikan Taiping. Di dasar piramida ini adalah

kaum petani, mengorganisir di sekitar unit-unit pertanian sebanyak sembilan

perkebunan, salah satunya merupakan milik umum, sementara delapan

sekelilingnya milik pribadi. Para petani mengerjakan kebun umum tersebut,

sebaik di tanah mereka sendiri. Kemiripan rencana Taiping menggugah rasa ingin

tahu. Meskipun begitu, harus diperhatikan bahwa Pangeran Chou juga mengakui

bahwa lima macam kelas ini masing-masing akan dilayani oleh lima macam

gentry: menteri, pejabat tinggi, orang terdidik tinggi, terdidik menengah, dan

terdidik rendah. lebih jauh, semua posisi bersifat turun-temurun. Sebagai

tambahan, akan tampak bahwa para petani tidak memikul senjata. Namun ini

184

mungkin diduga bahwa ada suatu tradisi emikiran politik yang mengambil

kebiasaannya dari prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip yang dengan jelas berbeda

dan berlawanan dengan konsep-konsep kemudian dari suatu masyarakat Oriental

yang diatur oleh suatu gentry terdidik yang tidak turun-temurun. Tentunya benar

bahwa dalam suatu tradisi sastra yang bersandar dengan berat pada naskah-naskah

klasik, setiap orang berharap mencapai suatu titik intelektual yang harus

memperkuatnya dengan naskah-naskah demikian. Juga mengangumkan

sebagaimana ditulis bahwa Chou-li juga dibantu oleh Wang An-Shih (1021-1086

SM), pembentuk “Perjanjian Baru” dinasti Sing. Wang An-Shih seorang yang

percaya pada sistem ladang delapan perkebunan pribadi dan satu perkebunan

umum. Namun ketika ia menghadapi oposisi restorasinya, ia kurang

memfokuskan diri pada reformasi agraria lebih daripada suatu pengembangan

institusi lumbung umum yang akan disuplai dari kaum petani dan, sebaliknya,

memberi pinjaman pasokan pada mereka di saat yang dibutuhkan. Pada saat yang

sama, ia juga memprakarsai rencana-rencana militer yang membuat setiap petani

secara berkesinambungan menjadi seorang prajurit. Dalam perlawanan pengunaan

prajurit bayaran, ang An-Shih “akan mencoba melatih prajurit sipil demikian,

secara perlahan-lahan menempatkan tentara kerajaan dengan mereka, dan

mengembalikan cara lama suatu pasukan petani” (Miyazaki, 1963, 87). Ia lebih

lanjut menyerang tradisi-tradisi sastra gentry, dan membela suatu sitem

spesialisasi teknik, dan dengan demikian menyelrang justifikasi ideologikal

gentru terdidik itu sendiri. Reformasi ini gagal, tetapi tak tampak berbeda bahwa

konsep-konsep sistem perladangan, lumbung umum, petani-prajurit, dan hirarki

kelas-kelas para pemimpin yang secara berkelanjutan mengisi fungsi-fungsi yang

tetap hidup dalam tradisi ideologikal Cina secara lebih luas.

Taiping memiliki sejumlah sosok lain yang membuat mereka menjadi para

elopor kaum revolusioner abad kedua puluh. Mereka mengakui persamaan wanita,

termasuk akses pada tingkat-tingkat kepemimpinan: ada prajurit-prajurit wanita

dalam pasukan Taiping. Ada dektrit melarang pengikatan kaki, prostitusi, dan

penjualan kaum wanita. Perkawinan didasari pada acara bersama di antara

pasangan, tidak atas arahan keuangan antara keluarga sebagaimana di masa lalu;

185

ikatan jadi monogami. Semua ukuran ini diarahkan melawan gentry dengan aturan

perkawinan sebagai tujuan mobilitas sosial, menggunakan ikatan kaki wanita

sebagai sebuah tanda status sosial, penjualan gundik, pernyataan tegas dominasi

laki-laki atas wanita. Taiping juga mendukung penggunaan bahasa populer

sebagai perlawanan bentuk bahasa sastra. Mereka membela pengenalan suatu

kalender bergaya Barat modern. Opium, tembakau, dan alkohol dilarang.

Akhirnya, gerakan merupakan ikonoklastik yang teguh, tak hanya menghancurkan

tablet-tablet leluhur – yang membentur kelanjutan garis keturunan dan klan-klan,

salah satu mekanisme dominasi gentry – tetapi juga bermaksud mengeliminasi

citra-citra Budhis, Taois dan Konfusian.

Banyak dari program hanya khayalan kosong dan tidak dilaksanakan dalam

praksis; seorang penulis Komunis, Fei Min, mengatakan program Taiping sebagai

suatu “sosialisme utopian” (dikutip dari Levenson, 1964, 181, catatan kaki 14).

Namun ada beberapa kerguan jika hal itu gigambarkan sebagai “sosialisme”. Cita-

cita Taiping tak banyak menguntungkan kaum petani dan hanya

mengorganisirnya menurut suatu rencana sosial baru, di mana kakuatan politik

akan dialokasikan secara berbeda, tetapi petani akan tetap menjadi penangging-

beban masyarakt baru. Visi reformasi agraria yang dirancang, dalam

kenyataannya, tak terealisasi; bahkan penambahan pajak di akhir waktu

membalikkan petani melawan Taiping. Keadaan yang terbalik ini dengan cerdik

dimanfaatkan oleh pasukan pemerintah untuk melawan mereka. Taiping di akhir

waktu tak dapat mengikutkan kaum petani karena mereka telah gagal

menggenggam loyalitas mereka (Michael, 1966, 195).

Pemberontakan utama yang kedua adalah Nien, yang muncul di wilayah

pertumbuhan padi dan koaliang utara. Nien merupakan kelompok anti-Manchu

yang teguh; pemimpin umum mereka menyatakan dirinya Pangeran Han Besar

dengan Amanat Surga. Simbol-simbol dan seremonial mereka diambil dari

kelompok Lotus Putih Budhis yang anti-Manchu. Para pemimpin menengah

mereka diambil terutama dari pemilik gentry tingkat rendah dan dari klan mereka

yang kuat. Kurang ideologikal daripada Taiping, bagaimanapun merela lebih

mahir mengorganisir dukungan massa untuk usaha mereka. Pola mereka adalah

186

dengan cara menjadi anggota seluruh komunitas dan mengorganisir mereka ke

dalam kesatuan pertahanan sendiri di belakang dinding tanah besar yang

dikelilingi oleh suatu zona tanah yang membakar untuk memfasilitasi serangan

dan pertahanan. Mereka mengorganisir produksi dan membawa distribusi padi.

Mereka secara luas mempergunakan kavaleri, memakai ribuan kuda. Pola

organisasi mereka, bagaimanapun, memperlihatkan tiga kelemahan yang

mencolok, secara cerdik dimanfaatkan pasukan pemerintah yang melawannya.

Mereka secara utama berada di pedalaman, tak ingin dan tak dapat menguasai

serta meramas kota-kota. Usaha-usaha mereka secara luas desentralisasi, setiap

komunitas secara luas memperhatikan keuntungan segera dan pertahanan diri

sendiri; dan akhirnya mereka mengasingkan petani bertanah sedikit dengan

kebijakan tanah dibakar mereka. Pemimpin pemerintah yang cakap Tseng Kuo-

Fan memandaatkan kelemahan ini dengan mengisolasi satu komunitas dengan

komuntas lainnya, memotong pengendara kavaleri dari basis tempat tinggal

mereka, dan menarik banyak petani yang dirugikan oleh kebijakan pertahanan

Nien ke sisi pemerintah.

Dalam persprektif sejarah pemberontakan-pemberontakan abad kesembilan

belas memiliki suatu pengaruh paradoksal dalam perkembangan Cina di abad

kedua puluh. Pemberontakan mengalami kekalahan, tetapi hanya menghasilkan

kemunculan pasukan-pasukan bersenjata regional yang luas di bawah para

pemimpin regionalnya. Mereka, biasanya anggota puncak gentry dan pejabat

terhormat negara, menemukan diri mereka dalam posisi memiliki kekuasaan

independen yang semakin bertambah. Negara telah mendelegasikan pada mereka

tugas menghancurkan para pemberontaj; namun dalam kenyataannya ini

menggadaikan masa depan Cina pada para pejabat yang padaa saat yang sama

merupakan pemilik kekuasaan regional. Lebih jauh, jumlah pejabat militer telah

bertambah dengan mencolok sejak pemberontakan-pemberontakan. Beberapa dari

orang kuat baru ini disiapkan menjadi pengusaha industrial pertama-tama di Cina.

Mereka menyokong perkembangan industri untuk memperkuat kekuasaan mereka

sendiri yang berlawanan dengan pemerintah pusat; mereka juga mencoba

menciptakan industri yang adekuat dan instrumen komersial yang mampu

187

melawan pengaruh pertumbuhan luar negeri. Namun sebagai anggota gentry

terdidik tradisional mereka juga terus melihat instrumen-instrumen ini terutama

sebagai cara memelihara esensi (t’i), Konfusian, Cina pertanian tradisional

(Feuerwerker, 1958, 245). Mereka kekurangan pengalaman teknik dalam

manajemen usaha modern, dan visi sosial yang akan membolehkan mereka

mengerjakan tanah sebagai sebuah tambahan untuk industri dan perdagangan,

lebih dari sekedar membuat industri dan perdagangan tunduk patuh pada tanah

tradisional. Dengan demikian, bahkan sementara mereka bergerak ke arah

keterlibatan dengan kapitalisme Barat, mereka juga tetap pertama sebagai gentry

dan kedua sebagai pengusaha.

Sementara para pejabat besar ini tetap bertahan dalam dilema antara nilai-

nilai Konfusian dan usaha mandiri modern, mereka segera dilewati oleh

sekelompok besar pengusaha yang kurang tergantung pada tatanan lama dan lebih

menjalankan cara baru menjalankan bisnis. Mereka ini adalah para pedagang

perjanjian-pelabuhan atau compradores, sebagaimana mereka disebut di Portugis,

agen-agen perusahaan bisnis asing di Cina. Menurut nilai-nilai Kondusian

tradisional aktivitas komersial mereka dipandang rendah; para edagang memiliki

status rendah dalam masyarakat Cina, yang memberi prioritas sosial pada petani

dan kaum terdidik. Para pedagang,

mengalirkan hasil lebih di atas kebutuhan minimum untuk hidup dari petani.

Pada saat yang sama, para pedagnag berlomba untuk hasil lebih itu dengan

tuan-tuan gentry, dan dengan seluruh struktur birokratik perkantoran yang

pada akhirnya didukung oleh pajak dan pemerasan berlipat yang biasa pada

produk agrikultural keseluruhan. Mengikuti hal tersebut dalam ideologi

dominan pedagang dilihat secara esensial sebagai parasit di atas dua kelas

yang diakui posisi-posisi tertinggi dalam tatanan derajat tradisional gentry –

prajurit, petani, pengrajin, pedangan (Feuerwerker, 1958, 50).

Masuk ke dalam dunia bisnis luar negeri memberi mereka suatu posisi dan

penghargaan yang tidak mereka terima melalui kerajaan. Peran mereka dalam

188

lingkaran industri-komersial baru, bagaimanapun, tetap sebagai tambahan; di

dalam aktivitasnya mereka menghadapi tekanan persaingan yang berat dari bisnis

asing dan pemerintah. Banyak dari mereka tetap lemah dalam keuangan dan

terbuka pada pergantian perubahan dalam harga internal dan eksternal. Pada tahun

1918, dari 956 perusahaan Cina, 653, atau 69 persen, memiliki modal kurang dari

lima puluh ribu yuan; hanya 33, atau 4 persen dari seluruh perusahaan, beroperasi

dengan modal lebih dari sejuta yuan (Chesneaux, 1962, 30, catatan kaki 2). Atau

kekayaan ini juga tidak mudah dirubah dari satu usaha bisnis ke usaha yang

lainnya, sementara perusahaan Eropa mencampur operasi perbankan, invstasi

industri, dan manajemen dalam simbiosis yang lancar. Sebuah perusahaan asing

seperti Jardine & Matheson, terikat dengan bank di Hongkong dan Shanghai,

secara berkesinambungan memiliki usaha dalam galangan kapal, transportasi

umum, perusahaan asuransi dan pertambangan batu bara. Perusahaan-perusahaan

Cina juga tergantung pada perusahaan asing terutama untuk bahan bakar dan

tenaga yang diperlukan untuk menjalankan permesinan baru, setergantung pada

impor mesin itu sendiri. Mereka dirintangi oleh pajal lokal yang tak terkira

banyaknya dibayar melawan sirkulasi barang di dalam Cina, sementara ia tak

dapat mempertahankan diri mereka melawan kompetisi barang-barang luar negeri

yang dilindungi oleh suatu pembatasan yang dibebankan pada pihak asing atas

tarif Cina sebesar 5 persen. Sebagai tambahan, banyak barang mereka berkeliling

turun-naik Sungai Yangtze dan keluar negeri dalam pengangkutan asing. Sumber

mereka sendiri tak cukup menanggung suatu dasar kekuasaan yang independen.

Mereka tak memperhatikan cara-cara jahat luar negeri, tetapi mereka merupakan

korban gerombolan yang mereka tandai dengannya. Aktivitas mereka

mempengaruhi seluruh struktur kehidupan Cina, tetapi mereka sendiri bukan wasit

ungkapan perubahan yang mereka bawa sendiri. Mereka mungkin menyebabkan

tawar-menawar untuk kontrak-kontrak untuk peningkatan hasil, tetapi konsisi

dasar keberadaannya membuat mereka tak lebih dari tambahan dari kekuasaan

asing di tanah Cina. Mereka tak mampu membebaskan diri mereka dari rantai

yang mengikat mereka pada pola-pola birokrasi masa lalu Cina, dan impoten

189

untuk menegaskan kemandirian mereka dalam berhadapan dengan kekuatan di

mana mereka berhutang budi pada status baru mereka.

Namun tatanan lama telah berhenti, dan mewarisi birokrasi Konfusian di

dalamnya. Dilemahkan oleh pemerasan luar negeri dan oleh pemberontakan

internal, terus-menerus pecah ke dalam blok-blok kekuasaan regional para pejabat

dan prajurit yang mulai mengadakan hubungan dengan perusahaan dan kekuasaan

asing yang berbeda atas diri mereka, Kekaisaran Cina jatuh pada 1911 membuat

jalan untuk suatu kerusuhan dan pembagian republik. Para pemberontak

nasionalis, memimpikan sebuah Cina yang kuat dan bersatu, mampu menegakkan

pemerintahan di dalam negeri dan melawan tekanan asing yang mengikat

pemerintah. Namun kejatuhan otoritas pusat meninggalkan jalan yang terbuka

lebar untuk penerimaan kekuatan lokal dan regional oleh para panglima perang.

Hal ini, dalam ungkapan Lattimore, “politikus dengan pasukan bersenjata

sendiri.” Politikus-prajurit demikian dapat ditemukan di semua level, melatih

kekuasaan mereka di kota-kota, wilayah, sebuah provinsi, atau beberapa provinsi.

Mereka mengumpulkan pajak dan upeti, merampas barang dari lawan politik, dan

dalam suatu posisi ideal mendukung penyelundupan, perjudian, atau produksi dan

distribusi opium (untuk kasus sejarah, lihat Chow, 1966). Seringkali mereka

bekerja bersama dengan gentry lokal, sekarang terbebaskan dari kontrol pusat, dan

keduanya menemukan aliansi mereka untuk manfaat yang saling menguntungkan.

Mereka juga masuk ke dalam koalisi dengan yang lainnya atau bertarung melawan

satu sama lain, seringkali dalam merespok pengaruh kelompok bisnis asing atau

domestik yang hadir menyokong konsolidasi, kadang menimbulkan konflik.

Mereka merekrut pasukan bersenjatanya terutama dari kaum petani yang

dimiskinkan, tak mampu memenangkan pertandingan. Mereka disewa sebagai

prajurit upahan; untuk beberapa alasan seorang bocah petani yang berbakat

mungkin menjadi seorang pejabat bergelar tinggi atau panglima perang itu sendiri.

Proses-proses ini, tentu saja, berjalan dalam suatu lingkaran yang ganas; lebih

besar dalam jumlah panglima-panglima perang dan prajurit upahan, lebih besar

dalam kesempatan melanjutkan genggaman di seluruh negeri, lebih besar jugha

dalam tendensi para petani dan anak-anak gentry untuk masuk ke suatu karir

190

militer. Garis antara aktivitas militer yang diakui dan perbanditan yang

sesungguhnya merupakan suatu hal yang sama, dan dengan mudah dihapus dalam

proses.

Pada saat yang sama, dengan kelahiran abad kedua puluh, pertanian Cina

memasuki suatu negeri ketidakseimbangan yang terbuka. Keahlian memberikan

perbedaan penting untuk satu atau lain faktor, tapi tak meragukan bahwa beberapa

kekuatan ini, nekerja bersama, memperbesar bobot beban petani Cina. Pertama,

dan barangkali terutama, merupakan masalah masa lampau mengenai bagaimana

memenuhi kebutuhan suatu kelompok populasi yang terus bertambah pada tanah

yang terbatas; populasi bertambah dari 430 sampai 600 juta antara tahun 1850 dan

1950. Tingkat pertambahan populasi ini akan membawa tekanan yang sungguh-

sungguh bagi mereka. Selama beberapa dekade, pertanian Cina ternyata mampu

memenuhi peningkatan jumlah penduduk ini; namun pada tahun 1900 tekanan

demografik dalam sumber pangan mulai melebihi batas yang ditolerir. Tekanan

ini diintensifkan lebih lanjut oleh pola masa lalu warisan Cina yang mendesak

pembagian tanah yang rata antara ahli waris. Pertumbuhan populasi terus

memadat di bidang-bidang tanah yang lebih kecil. Hal penting kedua adalah

kemunduran dalam kontrol banjir dan manajemen air yang efektif, dan

ketidakmampuan menjalankan ekspansi dan pembangunan pekerjaan baru.

Ketidakmampuan mengatur pekerjaan ini di mana banyak pertanian Cina

tergantung telah selalu menyertai keruntuhan dinasti; kekuasaan pusat menjadi

semakin tak mampu menyusun orang dan barang yang dibutuhkan untuk

memelihara tanggul dan kanal-kanal. Ketiga, ketika kekuasaan lokal runtuh, tuan-

panglima perang lokal dan regional mulai menguasai pajak yang sebelum itu

masuk ke peti simpanan kerajaan dan memeras retribusi baru dan tak diperkirakan

untuk mengisi lemari harta mereka sendiri, serta untuk membiayai usaha-usaha

mereka (lihat Gamble, 1963, 139-141). Lebih lanjut, retribusi diperas oleh

perbuatan pasukan yang menagih di seluruh negeri atau oleh para bandit yang

seringkali mengalahkan para prajurit militer yang gagal. Keempat, keruntuhan

Manchu dan kemunculan republik mengakhiri institusi lumbung umum di mana

kelebihan bahan makanan pokok dikumpulkan di bawah pemerintah untuk

191

membantu di waktu yang diperlukan. Sisa-sisa persediaan yang ada dijual pada

tahun 1912 untuk membiayai Revolusi dan tak pernah dikembalikan.

Kelima, hasil lebih yang dihasilkan oleh pola sewa-menyewa dan riba masa

lalu terus dirubah ke dalam instrumen-instrumen ekspansi komersial. Untuk

beberapa tingkat, semua faktor yang disebut terdahulu – tekanan populasi,

kegagalan kontrol air, fragmentasi politik, penipisan cadangan makanan – telah

terlihat sebelum bagian sejarah Cina yang ini. Abad kedua puluh, bagaimanapun,

ternyata berbeda dalam memfasilitasi penyebaran kapitalisme wirausaha pribadi

ke dalam wilayah pedalaman Cina dan dalam membangkitkan reaksi orang Cina

secara spesifik untuk penyebaran ini.

Pernyataan ini tak mesti harus diinterpretasikan dengan maksud bahwa tidak

ada satu tradisi wirausaha pribadi Cina sebelum kedatangan orang Eropa. Kita

telah melihat bahwa Cina telah lama mengijinkan tanah dijual dan dibeli.

Masyarakat Cina juga membolehkan kaun gentry untuk mengumpulkan hasil

lebih petani sebagai bagian hubungan subkontark informal mereka dengan negara,

dan mempergunakan kredit pada bunga yang tinggi yang berlaku biasa dan di

mana-mana. Negara juga mengijinkan suatu jumlah kecil pengambilan

keuntungan dalam menjalankan usaha komersial, dan kita mendengar para

pedagang di Peking yang mengambil lebih banyak pemasukan dari pegadaian,

rentenir dan menjaga toko daripada dari penyewaan tanah. Tetapi di mana dalam

sejarah kekuasaan politik Eropa Barat sering membuat konsesi pada kelompok-

kelompok pedagang independen di kota-kota, di Cina negara kuat begitu rupa. Hal

ini dapat bersandar pada suatu populasi petani yang sangat besar untuk

melengkapinya dengan bahan pangan yang dibutuhkan dan untuk

menyelesaikannya tanpa mesin kerja; di dalam gentry terdidik dapat ditemukan

suatu instrumen politik dan kontrol sosial yang dapat dipercaya. Dengan demikian

negara Cina tak pernah memiliki suatu kebutuhan untuk suatu aliansi politik

dengan kelompok-kelompok perorangan penguasa perdagangan. Hal ini

membatasi aktivitas mereka melalui operasi monopoli-monopoli negara yang

besar dan tetap mempertahankan kekayaan mereka “lemah” serta bersikap patuh

pada negara. Lebih jauh, kekuasaan dan prestise sosial diperoleh dari kepemilikan

192

tanah dan dari kepemilikan gelar pendidikan; jika mereka berharap memperoleh

hal lainnya, karena itu, para pedagang mengeruk kembali keuntungan mereka ke

dalam pembelian tanah dan ke dalam karir pendidikan anak-anak mereka (Balazs,

1964; Murphey, 1962; Wittfogel, 1957).

Tetapi gangguan kekuatan luar negeri atas Cina dan hasil kombinasi

kebijakan “buka pintu” secara serempak menghasilkan disintegrasi negara dan

liberasi komrsial serta aktivitas industri dari politik tradisional dan kontrol sosial.

Industri tumbuh, meskipun dalam semua kemungkinan tak cukup cepat memberi

suatu sumber investasi alternatif yang dapat dipercaya untuk mayoritas di mana

memiliki modal untuk diinvestasikan. Ada suatu penambahan besar dalam

produksi hasil panen bernilai pasar tinggi, seperti tembakau dan opium. Hasil

panen bahan makanan, bagaimanapun, juga meliputi perkembangan ini. Di Chu

Hsien, di provinsi Anhwei, sebagai contoh,

perkiraan informal mengindikasikan bahwa dalam panen setahun yang baik

lebih dari dua puluh persen padi yang dipanen di Ch’uhsien ditujukan untuk

suatu pasar luar ... Dengan demikian nilai padi sebagai suatu cara untuk

memperoleh uang tunai, di mana banyak petani memakan padi mereka

hanya pada waktu-waktu khusus tahun tersebut. Mereka lebih suka di dalam

banyak kasus untuk menjual seluruh hasil panen mereka dengan

perkecualian bagian bibit dan penanaman untuk ditukar dengan bahak

makanan yang lebih murah untuk konsumsi mereka sendiri. Dengan

demikian banyak penanam padi Ch’uhsien makan kanji sebagai bahan

makanan pokok mereka ... seringkali petani penggarap tak punya kebun

sendiri. Karena sayur-sayuran segar merupakan suatu unsur penting dalam

makanan orang Cina, para petani yang kekurangan bahan tersebut harus

memperolehnya melalui perdagangan atau pembelian. Di bawah kondisi

normal produksi, karena itu, sungguh-sungguh jelas bahwa keluarga petani

Cina jauh dari mencukupi diri sendiri (Fried, 1953, 129).

Di beberapa wilayah, hal ini menghasilkan,

193

kemunculan tuan-tuan tanah kecil yang tinggal di desa-desa di mana-mana

dan para partner dengan penyewa mereka di dalam bisnis pertanian dari

suatu kelas para pemilik yang tak tampak yang terhubung dengan pertanian

hanya secara finansial. Perkembangan biasanya diteruskan dengan sangat

cepat di sekeliling kota-kota besar, di distrik-distrik di mana kondisi statis

kehidupan pedalaman dipecahkan oleh ekspansi komersial dan industrial,

dan di wilayah-wilayah seperti bagian Manchuria, yang sekarang ini telah

ditata oleh suatu populasi imigran. Gejala ini disertai spekulasi tanah, dan

gangguan antara tuan tanah dan penyewa serta kelas menengah. Di

Kwangtung, hal ini menjadi praktek terus-menerus untuk blok-blok tanah

yang luas disewakan pada para pedagang, atau bahkan oleh perusahaan-

perusahaan khususnya yang dibentuk untuk maksud itu, dan kemudian

disewakan kembali sedikit demi sedikit pada suatu penyewaan yang

menyiksa terhadap petani penggarap. Di mana-mana, hasil pertumbuhan

pemilik yang tak tampak ini mempekerjakan agen-agen, yang menggantikan

tuan tanah dengan bisnis dirinya sendiri untuk memeras para penyewa,

menakut-nakuti para petani melalui ancaman pengusiran dengan membayar

lebih banyak sebagai hutang budi mereka, serta mengeluarkan uang dengan

pertama-tama tipuan dan intimidasi kemudian (Tawney, 1932, 68).

Pengenalan panen komersial dan komersialisasi tanah mempengaruhi harga tanah,

kondisi-kondisi dan harga sewa. Harga tanah berlipat dua dan tiga di beberapa

wilayah, dan jaminan kepemilikan diganti dengan kontrak-kontrak jangka pendek.

Pada saat yang sama sewa-menyewa bertambah sekaligus atau timbul melalui

penggunaan mekanisme demikian sebagai pertumbuhan pungutan atau

pembayaran setoran sewa untuk menjamin hak kepemilikan permanen.

Di mana-mana pertumbuhan pasar membawa pengrajin pedalaman yang

biasa ke dalam kompetisi dengan produk-produk industri, luar negeri maupun

domestik. Akan tampak bahwa kompetisi ini tidak dibawa ke suatu kemunduran

mutlak hasil kerajinan (Feuerwerker, 1968, 11); suatu industri kerajinan seperti

194

pabrik pakaian bahkan dihasilkan dari pengenalan benang buatan mesin.

Pertumbuhan dikonversi ke penggunaan produk-produk buatan mesin,

bagaimanapun, sungguh-sungguh merupakan ancaman untuk banyak kepala

rumah tangga petani yang menambah pemasukan kecil mereka dari pertanian

dengan produksi kerajinan marjinal. Untuk alasan ini antropologis Cina Fei

Hsiao-Thung dan Chang Chih-I menyimpulkan studi mereka mengenai tiga

komunitas di Yunnan dengan menyimpulkan bahwa pertanian sendiri tak lagi

dapat memenuhi kebutuhan penduduk Cina.

Revolusi industri di Barat akhirnya mengancam para petani di desa-desa

Cina dalam kapasitas mereka sebagai industrialis. Bagaimanapun,

seberbakat apapun mereka, mereka berperang untuk kalah melawan mesin.

Tetapi mereka harus tetap berjuang, karena jika tidak mereka tak dapat

hidup. Hasilnya adalah bahwa Cina perlahan-lahan menjadi berkurang

sebagai negara agraris, jelas dan sederhana; dan suatu Cina agraris

merupakan suatu Cina yang kelaparan tanpa bisa dielakkan (1945, 305).

Kita tak harus membayangkan bahwa proses ini maju di setiap tempat pada

tingkat yang sama dan dengan intensitas yang sama. Tergantung pada keadaan

lokal, pengenalan panen komersial mungkin menyokong petani bertanah atau tuan

tanah atau asosiasi komersial yang tak tampak ikut serta dalam pertanian. Di

dalam satu lokalitas atau satu wilayah pola penyewaan dapat berlanjut di atas

suatu dasar tradisional, dengan harapan tuan tanah tradisional; di lain pihak,

penyebaran sewa-menyewa mungkin dihubungkan dengan pertanian komersial.

Barang kerajinan dari satu jenis mungkin merugi, tetapi barang kerajinan di

cabang lain, dibawa ke mana-mana, mungkin menemukan outlet yang

menguntungkan. Beberapa area memiliki beberapa bank, yang lainnya –

barangkali secara politik terlalu tak menentu – kekurangan. Beberapa tuan tanah

akan menginvestasikan uang mereka dalam perusahaan komersial, yang lain –

dalam sebuah desa yang berdekatan – akan memendam emas mereka di dalam

tanah. Perbedaan ini menghasilkan variasi-variasi lokal yang besar dan

195

pertanggungan hubungan sosial yang berbeda di satu lokalitas ketika berhadapan

dengan lokalitas lainnya, di satu wilayah ketika menghadapi wilayah lain.

Hubungan kekuasaan juga secara bersamaan berbeda. Namun dinamika yang

sama di mana-mana nampak, mengambil sumber penghasilan struktur mikro yang

berbeda k dalam suatu pusaran yang semakin membesar. Kontrol-kontrol

struktural dilatih oleh disintegrasi negara; prestise dihubungkan dengan

keemilikan tanah dan pemilikan gelar pendidikan dikurangi. Membicarakan

mengenai kemungkinan baru untuk investasi kekayaan di dalam perdagangan dan

industri tumbuh dengan cepat dan memberikan kesempatan baru untuk para

pedagang sebagai jabatan dan panglima-panglima perang yang mewarisi fragmen-

fragmen aparatur negara yang dihancurkan. Hal ini melalui suatu sinbiosis baru di

antara tuan tanah, pejabat-pejabat, prajurit, dan para pedagang – mencapai level

lokal atau regional dalam kelompok dua puluh atau tiga puluh – yang berpotensi

mengkapitalisasi kekayaan yang digerakkan di seluruh negeri dan dikombinasi

dengan modal yang diimpor dari perbatasan laut timur. Di dalam simbiosis ini

muncul apa yang disebut Chen Han-seng sebagai “sesuatu yang berisi empat”:

Mereka adalah para kolektor sewa, para pedagang, para lintah darat dan

pejabat administrasi, Banyak tuan tanah-lintah darat menjadi tuan tanah-

pedagang; banyak tuan tanah-pedagang merubah diri mereka menjadi tuan

tanah-pedagang-politikus. Pada saat yang sama banyak pedagang dan

politikus menjadi tuan tanah. Para tuan tanah seringkali memiliki tempat-

tempat pembuatan bir, tambang minyak dan gudang beras. Di sisi lain, para

pemilik tempat gudag dan toko penjual bahan pangan menggadaikan tanah,

dan akhirnya juga tuan-tuannya. Ini suatu fakta yang cukup dikenali bahwa

rumah gadai dan toko bisnis para tuan tanah dalam satu cara atau lainnya

berafiliasi dengan kelompok militer dan otoritas sipil ... Sementara beberapa

tuan tanah besar menjalankan riba sebagai profesi utama mereka, hampir

seluruh dari mereka memikili sesuatu untuk dilakukan dengannya. Lagi,

banyak tuan tanah adalah pejabat militer dan sipil (dikutip dari Isaacs, 1966,

32).

196

Namun tanah dan penyewaan tanah tetap merupakan suatu perhatian utama

meskipun aktivitas formal utama dikerjakan dengan cara-cara lain dalam

memperoleh penghidupan. Bahkan ketika orang pindah ke kota-kota, investasi

atas tanah tetap merupakan suatu sumber pemasukan yang penting.

Dari 391 orang kelas menengah di Peiping, dari informasi yang terpercaya

[pada tahun 1936-1937], 191 atau 48 persen memiliki tanah; dari 21

informan kami (juru tulis, pedagang dan pemilik bengkel kerja) di Shanghai,

11 atau 52 persen memiliki tanah ...

Sember penghasilan tambahan telah dimainkan bahkan dalam suatu

kegiatan yang besar dalam kehidupan ekonomi kelas atas daripada di kelas

menengah. Seorang pejabat dengan gaji $200 sebulan dan pemasukan $100-

150 sebulan dari tanah bukan merupakan hal yang tidak biasa. Para

informan di antara pedagang sering tak dapat mengatakan apakah sumber

pemasukan utama mereka bisnis atau tanah ... Dari 231 keluarga kelas atas

di Cina utara yang memberi informasi, 126 atau 54 persen (tidak termasuk

tuan tanah) memiliki tanah; banyak yang memiliki rumah. Investasi di toko-

toko, pabrik, dan pinjaman memainkan suatu bagian yang penting (Lang,

1946, 94, 98).

Untuk para petani yang bahkan sangat terpencil dan desa-desa yang

terisolasi ini berarti bahwa hasil lebih mereka dibawa melalui suatu hirarki yang

luas pemilik kuat yang menguasai pegadaian untuk sumber penghidupan mereka.

Di Ten Mile Inn, Wu An County, dari aa yang menjadi wilayah batas Komunis

melawan Jepang di utara, sebagai contoh, satu tuan tanah besar mempunyai suatu

bisnis di mana ia memberi kain di musim semu untuk ditukar dengan pasokan

kapas di musim gugur ketika harga rendah; memiliki seratus mou tanah yang

subur; dan telah membeli hak mengumpulkan hutang pada seorang tuan tanah di

dekat Stone Cave Village. Yang lain bertani dan lari ke sebuah toko di mana

197

barang paling menguntungkan adalah menjual heroin secara kredit, dengan tanah

sebagai jaminan, dan meminjami kembali uang, yang dipinjamkan dari tuan tanah

terdekat (Crook dan Crook, 1959, 18-20).

Demikianlah gambaran menyeluruh merupakan satu piramida di dalam

piramida, satu dalam piramida yang lebih kecil terdiri dari tuan tanah-tuan

tanah yang lebih kecil itu sendiri. Dengan demikian tuan tanah besar adalah

bekas tuan tanah yang lebih kecil, dan tuan tanah yang lebih kecil bekas

tuan tanah yang lebih kecil lagi – atau mereka bekas petani kaya. Sebaliknya

bekas kelas menengah atau bahkan petani miskin sebagai agen mereka.

Uang dipinjamkan oleh Hsin Hsung Shop di Ten Mile Inn, sebagai contoh,

pada tingkat bunga 100 persen setiap dua puluh hari pinjaman biasanya –

tak berarti bebas bunga – dari tuan tanah Chang “Lao-wantze” West

Harmony (Crook dan Crook, 1959, 28).

Tuan Chang, yang nama kecilnya berarti Bola Daging Tua, menggantikan pata

tuan tanah yang lebih kuat dari dirinya. Pada puncak piramida di Wu An County

ada Chang Hsin-hai. Ia memiliki empat puluh ribu mou tanah garapan, empat

ratus kali banyaknya tuan tanah terkaya di Ten Mile Inn, sebagai tambahan ia

mengontrol penyewaan dari delapan puluh desa dan memiliki empat puluh taman

di kota (Crook dan Crook, 1959, 11).

Namun selama periode penambahan komersialisasi agrikultur ini, Cina

terutama tetap saja, sebagaimana di mana lalu, sebuah tanah para petani dengan

akses ke tanah melalui kepemilikan dan penyewaan. Pada tahun 1930

diperkirakan sekitar setengah petani memiliki tanah mereka, seperempat yang lain

memiliki tanah dan menyewa, seperempatnya lagi merupakan para penyewa tanah

(Tawney, 1932, 34). Kepemilikan, bagaimanapun didistribusikan tidak sama rata.

Studi-studi mengenai empat hsien atau distrik di Cina utara pada tahun 1936

memperlihatkan bahwa para tuan tanah yang merupakan 3 atau 4 persen dari

populasi memiliki 20 sampai 30 persen tanah; petani miskin yang merupakan

antara 60 sampai 70 persen populasi tetapi hanya mengontrol kurang dari 20

198

sampai 30 persen tanah. Di bagian selatan, sebagaimana digambarkan oleh empat

hsien selatan, para tuan tanah yang terdiri dari 2 sampai 4 persen populasi

memiliki 30 sampai 50 persen tanah (Institute of Pacific Relations, 1939, 3).

Tawney memperkirakan pada tahun 1932 bahwa “antara 40 dan 50 persen

keluarga petani tak cukup memiliki tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan

mereka” (Tawney, 1932, 71). Perkiraan-perkiraan orang tak bertanah secara

keseluruhan sangatlah sulit dilakukan. Sebuah penelitian atas 3.552 keluarga di

tahun 1920-an (Tayler, 1028, 106) hanya memperlihatkan 16 persen dari tanah

keseluruhan. Mao Tse-tung memberi sebuah gambaran 20 persen populasi petani

Changsha County, Hunan, pada tahun 1927 sebagai “miskin sama sekali”:

bahwa rakyat yang tak memiliki tanah atau uang, tanpa cara lain untuk

mencari penghidupan, dan dipaksa meninggalkan rumah dan menjadi

prajurit atau pekerja upahan atau pengemis pengembara (Mao, 1965, 32).

Banyak pekerjaan pertanian tetap dikerjakan petani sendiri atau oleh keluarga

mereka, hanya sekitar satu per lima pekerjaan pertanian dikerjakan oleh buruh

sewaan (Buck, 1930, 231-237). Suatu diskusi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan

pertanian di Cina menghasilkan derajat di mana pekerja pertanian tidak ditetapkan

sebagai satu kelas tersendiri.

Dalam studi bentuk pekerjaan pertanian di Cina, hal itu sangat

penting untuk diingat bahwa secara umum pekerja pertanian upahan di Cina

pada saat yang sama merupakan petani-petani miskin di mana mereka

mengelola tanah yang dimiliki atau disewa, dan dalam interval waktu juga

diupahkan pada para kuli. Sementara fenomena umum di antara orang kaya

pedesaan adalah trinitas tuan tanah, pedagang dan lintah darat, dan di antara

orang miskin pedesaan adalah trinitas yang lain penyewa miskin, pekerja

pertanian upahan dan kuli. Menurut seorang investigator lapangan, yang

pada tahun 1937 bekerja di seluruh provinsi Honan, petani tak bertanah dan

yang tanahnya tak cukup bergerak cepat dari satu pertanian ke pertanian

199

yang lainnya. Satu hari mereka mengerjakan lahan di tanah mereka sendiri

atau di tanah yang mereka sewa; hari berikutnya mereka bekerja sebagai

buruh upahan di lahan orang lain; dan hari berikutnya lagi mereka bekerja

sebagai kuli yang mengangkut barang dari toko-toko ke kota. Buruh upahan

tanggung ini di Honan jauh melebihi jumlah buruh upah penuh waktu, dan

situasi yang sama juga ditemukan di provinsi-provinsi yang lain (Indtitute of

Pacific Relations, 1936, 71).

Profil sosial yang dihasilkan adalah suatu masyarakat pedesaan yang tidak

dinominasi “oleh buruh upahan, tetapi petani bertanah” (Tawney, 1932, 34).

Namun petani bertanah ini pada saat yang sama bertarung dengan ganas

mempertahankan diri di atas tanah, diancam ganda oleh tekanan komersialisasi

dari atas dan praktek kemiskinan dari bawah.

Semua perkembangan ini – gangguan luar negeri yang berkelanjutan,

pertarungan pasukan-pasukan para panglima perang, meluasnya industri dan

perdagangan, serta ketidakpuasan pertanian yang mendalam – tak dapat dicegah

menciptakan suatu kemunculan keadaan meragi di antara suatu populasi yang

dilempar terus ke dalam kerusuhan dan semakin putus asa pada harapan untuk

dapat diperbaiki dalam Kerajaan Surga. Ragi ini secara khusus ditandai dari tiga

segmen baru populasi, di antara perkembangan kelas pekerja Cina, dihasilkan oleh

pertumbuhan industri dan perdagangan; di antara mahasiswa, yang menangkap

kontradiksi-kontradiksi di antara pertentangan norma-norma masa lalu dan

sekarang; dan di antara petani, dipengaruhi secara mendalam oleh perubahan

pertanian. Ketika abad kedua puluh datang, juga muncul suatu bentuk politik baru,

kelompok-kelompok baru, dan tipe-tipe baru institusi politik, yang akan mencoba

menggabungkan dan mengarahkan unsur-unsur baru ini pada tingkat politis.

Pada tahun 1919 jumlah pekerja industrial telah mencapai 1.500.000. Tiga

perempatnya dipergunakan dalam transportasi atau industri ringan, khususnya

dalam produksi tekstil. Tiga perlima bekerja di perusahaan-perusahaan milik

orang Cina, dua perlima bekerja di perusahaan milik orang asing. Banyak dari

mereka dipusatkan di Cina timur: Shanghai sendiri memiliki 300.000 pekerja

200

industrial; wilayah Hongkong sekitar 50.000; provinsi kembar Hupeh dan Hunan,

100.000. Mayoritas terbesar adalah bekas petani yang baru-baru ini direkrut ke

dalam pekerjaan industrial dan ditempatkan di kota (Cesneaux, 1962, 85; Lang,

1946, 87). Mereka seringkali meninggalkan keluarga mereka di desa. Sering

bertempat tinggal di dalam asrama atau di bengkel kerja di mana mereka bekerja.

Seringkali mereka kembali ke desa selama waktu panen, menybabkan

kemungkinan industri tingkat tinggi. Mereka sering mengunjungi desa: biaya

transportasi untuk kunjungan demikian merupakan item terbesar ketiga anggaran

mereka, mengikuti dengan dekat setelah pengeluaran untuk makanan dan pakaian.

Ikatan lokal dan regional mereka berlanjut dengan kuat. Sering mereka diupah

dari wilayah yang sama oleh bos kerja yang sama pula; beberapa dari mereka

meneruskan spesialisasi lokal atau regional mereka, seperti pembuat tinta atau

tukang kayu, di bawah kondisi industrial. Mereka juga memperlihatkan suatu

tendensi membentuk asosiasi regional atau cabang persatuan dagang regional.

Beberapa dari mereka merupakan pekerja terampil; banyak posisi membutuhkan

kemampuan industrial diisi oleh pekerja asing. Pada saat yang sama, tenaga kerja

indutrial permanen bergabung tanpa terasa dengan suatu massa pekerja urban

yang sangat besar yang berupa pemilik toko kerajinan tradisional, para kuli,

pedagang keliling, dan urban karakteristik menengah lainnya. Masa urban ini

mungkin berjumlah sekitar sepuluh kali jumlah pekerja industrial sendiri. Banyak

dari orang-orang ini mengadakan aktivitas-aktivitas yang mendekati sesuatu yang

ilegal atau pada kenyataannya melawan hukum, didukung oleh suatu

perkembangbiakan organisasi orang miskin klandestin yang teroganisir.

Organisasi-organisasi ini bergabung, sebaliknya, dengan banyak kelompok

rahasia tradisional di mana juga merekrut anggota-anggotanya dari kelas pekerja

baru. Mereka mengadakan, karena itu, suatu jaringan relasi, mengikat pekerja

baru dengan petani di desa dan bercabang melalui massa urban, di luar tenaga

kerja industrial itu sendiri. Namun pada tahun 1918 persatuan industri pertama

menampakkan diri – sebagai perlawanan atas asosiasi pengrajin atau regional

yang dibuat dari atas – dan hanya setahun kemudian telah mogok dengan

dukungan mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Pada tahun 1925 satu juta pekerja

201

mogok mendukung maksud-maksud politik. Pada tahun 1927 keanggotaan

persatuan berjumlah tiga juta, dan suatu usaha pada pemberontakan urban dengan

berat mengandalkan dukungan pekerja yang erat untuk berhasil dalam perebutan

kekuasaan pada bulan Mei tahun tersebut.

Satu unsur kedua adalah gerakan mahasiswa nasionalis. Sistem ujian

Konfusian masa lalu telah dihapus pada tahun 1905: pendidikan Konfusian

tradisional telah dengan cepat kehilangan prestise tradisionalnya. Sebaliknya,

suatu populasi mahasiswa baru dengan tak sabar mencoba memperoleh

penguasaan teknik dan adat istiadat baru dalam karir pendidikan berorientasi

Barat. pada tahun 1915 telah ada empat juta mahasiswa Cina mengikuti studi di

atas level sekolah dasar, diajar oleh lebih dari 200.000 guru. Lebih dari seratus

ribu pergi belajar ke luar negeri antara tahun 1872 dan 1949.

mereka diambail dari suatu elit ekonomi. Meskipun secara relatif uang

kuliah, kamar dan perjalanan tahunan universitas pemerintah rendah atau

barangkali sama dengan lima bulan upah seorang pekerja tekstil Shanghai.

Pekerja yang sama akan menghabiskan lima setengah tahun penghasilan

untuk memasukkan anaknya melalui empat tahun di sekolah nasionalis.

Pendeknya, sebuah keluarga telah memiliki pemasukan kelas-menengah-

atas untuk mengirim anak mereka ke sebuah college umum dan pemasukan

kelas-atas untuk mebirimnya ke institusi misionaris (Israel, 1966, 5).

Sementara pada tingkat pertama nilai-nilai kelompok ini tetap terbelenggu secara

kuat pada norma-norma tradisional gentry terdidik, keterlibatan mereka dengan

masalah-masalah yang diajukan oleh pendidikan baru dan keberadaan mereka

membuatnya terus melawan pengaruh otoritas parental, dan terus membuka

pengaruh nilai-nilai baru. Mereka terus bereaksi melawan kekeluargaan sempit

orang tua mereka dan setuju dengan cita-cita sosial yang lebih lebar. Pada tahun

1915, Ch’en Tu-hsiu, profesor di Universitas Peking dan kemudian seorang

pendiri partai Komunis Cina, bicara mengenai sentimen mereka dalam Panggilan

untuk Pemuda-nya:

202

Mandirilah, jangan memperbudak diri!

Progresiflah, jangan konservatif!

Agresiflah, jangan segan!

Kosmopolitanlah, jangan mengisolasi!

Bermanfaatlah, jangan formalistik!

Ilmiahlah, jangan mengkhayal!

Terperangkap di antara pertentangan norma lama dan baru; di antara Timur dan

Barat; antara dunia orang tua mereka dengan loyalitas mereka yang lebih utama,

dan keterlibatan mereka sendiri dengan teman-teman mahasiswa yang datang dari

seluruh Cina; berhadapan dengan kondisi ekonomi yang tak menentu dan diancam

oleh ketiadaan pekerjaan; dan lebih sadar mengenai pentingnya Cina dalam

menghadapi ancaman asing yang terus tumbuh, para mahasiswa bereaksi pada

situasi mereka dengan menonjolkan suatu nasionalisme. Mereka muncul pertama

kali pada 4 Mei 1919, ketika mahasiswa-mahasiswa di Peking memprotes

pelanggaran batas oleh Jepang dan ketiadaan harapan politikus Cina menanggapi

tuntutan Jepang. Protes meluas dengan cepat ke kota-kota dengan populasi

mahasiswa, dan pekerja mulai mendukung gerakan mahasiswa dengan

pemogokan. Memenangkan dukungan publik yang luas untuk aksi mereka, usaha

4 Mei membentuk pola keterlibatan mahasiswa masa depan dalam politik.

Dengan berlalunya waktu, generasi tua mahasiswa, terutama yang belajar di

luar negeri, terus mengakomodasi diri dengan keadaan ini, banyak dari mereka

memasuki pekerjaan dengan perusahaan Barat dan yang di-Barat-kan. Namun

sebuah minoritas aktif dari generasi lama dan sejumlah mahasiswa baru yang

tumbuh akan memainkan suatu bagian penting dalam perang anti-Jepang dan

beralih ke Kiri yang diakhiri dengan mendirikan partai Komunis pada tahun 1949.

Keterlibatan politik yang tumbuh pada tenaga kerja yang berlokasi di pusat-

pusat industri dan komersial, untuk suatu waktu yang lama mengaburkan gerakan

utama dan mobilisasi politik – formasi liga petani yang berorientasi politik.

Gerakan petani pada abad kedua puluh memiliki asal-usulnya di tahun 1921 ketika

203

P’eng Pai, anak seorang tuan tanah kaya yang menjadi guru sekolah di desa

kelahirannya Haifeng dan satu dari para pendiri partai Komunis di Canton,

mengorganisir Asosiasi Petani Haifeng. Haifeng berlokasi di distrik-distrik Sungai

Timur Provinsi Kwangtung: sekali lagi Cina selatan mulai memainkan peranan

strategisnya dalam mengangkat bendera pemberontakan di Cina. Di sinilah di

mana Taiping dilahirkan, dan dari selatanlah mereka melancarkan usaha untuk

merebut kontrol Cina dari dinasti Manchu. Dari selatanlah, Sun Yat-sen

menantang pemerintahan kerajaan di Peking untuk mendirikan republik pada

tahun 1911, dan adalah di Canton di wilayah selatan di mana ia telah mundur

mempertahankan konstitusi republik melawan para panglima perang. Di sinilah ia

dan pengikutnya memperoleh dukungan ribuan orang Cina perantauan yang

mencoba kesempatan baru di luar negeri dan telah datang mewujudkan alternatif

atas pemerintahan masa lalu. Sekarang selatan sekali lagi menetaskan suatu

gerakan petani yang selama tiga puluh tahun menghabiskan energinya dalam

suatu usaha merubah masyarakat Cina sepanjang garis baru. Pada bulan Mei 1925

asosiasi-asosiasi petani di Kwangtung berjumlah sekitar 180.000 unit petani

(Isaacs, 1906, 69).

Namun tugas mengorganisir petani tidak berhasil secara keseluruhan, dan

beberapa masalah selama usaha organisasional berulang – dalam satu dan lain

bentuk – dalam semua usaha kemudian untuk mengorganisasi petani Cina. Roy

M. Hofheinz, yang telah mendiskusikan proses organisasi Kwangtung secara detil,

mencatat dua sumber utama kesulitan. Pertama, tidak semua petani meluangkan

diri mereka secara sama untuk tugas organisasi. Berbeda dengan kepercayaan

umum bahwa,

ada satu korelasi tinggi antara tingkat penyewaan yang tinggi dan timbulnya

kegelisahan di pedalaman ... fakta-fakta tampak menampilkan perlawanan.

Dengan tepat di area-area tersebut di mana persewaan merupakan yang

tertinggi – delta hsien ke dekat selatan Canton – di mana gerakan petani

memiliki kesulitan terbesar (1966, 191).

204

Di sini pertaniannya produktif, dan di sekitar Canton – dengan tuntutan

produksinya yang luas – membuatnya menguntungkan. Para penyewa dapat

berpartisipasi dalam keuntungan yang tak terduga selama tahun-tahun yang baik

atau ketika tingkat air adekuat. Sebagai tambahan, meratanya perbanditan di

wilayah ini sering membuat para tuan tanah enggan mengumpulkan uang sewa.

Karena itu, mereka melihat sedikit alasan untuk membahayakan posisi mereka

untuk bergabung dengan gerakan petani. Tetapi ada satu aspek kedua keengganan

mereka. Revolusi republik tahun 1911 tak banyak mengubah struktur kekuasaan

lokal. Kontrol secara kuat di tangan-tangan gentry lokal, seringkali disokong

pasukan pribadi (min t’ran). Banyak anggota gentry bekerja diam-diam dengan

para bandit lokal – “ini sering terjadi di mana seluruh desa menjadi dunia

penjahat” (Hofheinz, 1966, 199). Ikatan klan juga kuat; sering seluruh desa masuk

ke dalam klan yang sama. Pada saat yang sama, desa-desa dihubungkan satu sama

lain melalui kelompok rahasia triad. Di sini para pembaharu menghadapi seluruh

kekuatan lokal di mana mereka harus menembusnya dulu sebelum para petani

dapat memainkan suatu tatanan politik yang independen. Hofheinz mengatakan

bahwa asosiasi-asosiasi petani:

berusaha tumbuh di suatu rimba kelompok sosial lain yang sesungguhnya.

Begitu lama ketika struktur-struktur tradisional tetap lengkap di mana

mereka telah bersaing dengannya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa di

banyak kasus pertumbuhan gerakan petani dengan berat dibatasi oleh

kompetisi demikian (1966, 220).

Di mana mereka lebih berhasil adalah di Haifeng batas laut timur dan di distrik

Kwangning di wilayah Sungai Barat di mana tanah bergunung dan kurang

produktif; di sini lebih dari 20 persen populasi petani menjawab panggilan mereka

untuk pengurangan harga sewa.

Namun bahkan di sini dengan cepat menjadi jelas bahwa gerakan petani tak

akan mampu memperoleh tuntutan mereka sendiri. Sepanjang ia mengadopsi tak

lebih dari apa yang disebut Hofheinz suatu “pendekatan aksi sosial Kristen”

205

(1966, 209), ia tak dapat melebihi rintangan politik yang muncul melawannya.

Sedikit keberhasilan hanya datang ketika gerakan petani bersekutu dengan

kekuatan militer Kuo Min Tang yang beroperasi dari Canton, dan mampu tumbuh

memperoleh dukungan militer dalam melaksanakan reformasi dan mengurangi

kekuasaan gentry. Pada tahun 1925 gerakan demikian mulai memperluas,

menciptakan “transisi dan reformasi moderat ke subversi lokal yang independen

menjepit menyerang mengkombinasikan kekuatan internal dan eksternal” (1966,

211). Mobilisasi dekimian ternyata mungkin tanpa pengaruh politik dan militer.

Para pekerja, mahasiswa, dan petani diorganisasikan ke dalam liga-liga

petani yang menetapkan beberapa unsur baru utama di mana – di tahun dua

puluhan – bekerja sama ke dalam kelompok-kelompok massa skala luas suatu tipe

yang sampai saat itu tak dikenal di Cina. Yang pertama dari kelompok ini adalah

Kuo Min Tang atau partai Nasionalis, berbasis organisasi revolusioner yang telah

berhasil menjatuhkan kerajaan dan menciptakan republik tahun 1911. Partai yang

lain adalah Kung Ch’ang Tang, “partai Produksi Bersama atau partai Komunis”,

didirikan pada tahun 1921. Membuat persekutuan asing di mana bisa membantu

dalam perjuangan untuk integritas nasional melawan kekuasaan asing yang telah

ada di bumi Cina, Kuo Min Tang pada tahun 1923 mendirikan persekutuan

demikian dengan Uni Sovyet, yang pada tahun 1920 telah meninggalkan semua

teritoerial dan ekstrateritorial di Cina. Pada tahun 1923 hubungan formal

ditetapkan antara KMT dan partai Komunis Uni Sovyet. Di bawah perjanjian ini

Uni Sovyet mengirim penasehat untuk membetuk KMT menjadi suatu organisasi

partai yang disiplin dengan suatu massa pengikut yang terorganisir. Pada saat

yang sama, kelahiran partai Komunis Cina ditekan untuk memberikan otonominya

dan menggabungkan kekuatannya dengan KMT. Tujuannya adalah menciptakan

suatu organisasi yang mampu menyusun suatu perjuangan anti-imperialis yang

efektif dan memperkenalkan reformasi liberal di dalam negeri Cina, menciptakan

suatu negara demokratik nasional, tetapi mengelak dari revolusi. Hasilnya

merubah Kuo Min Tang

206

ke dalam suatu jiplakan kasar Partai Bolshevik Rusia. Metode-metode

agitasi dan propaganda Bolshevik diperkenalkan. Menciptakan dasar-dasar

suatu pasukan yang diilhami gagasan-gagasan Kuomintang dan mengakhiri

kemerdekaan sebelumnya di atas militaris gaya lama, orang-orang Rusia

pada bulan Mei 1924 mendirikan Akademi Militer Whampoa. Akademi ini

dipasok dan dioperasikan dengan dana Rusia, staffnya oleh penasihat-

penasihat Rusia. Di belakang muatan panjang pasukan Rusia yang datang ke

pelabuhan Canton untuk memasok pasukan di mana dengan segera

dikerahkan satu bendera baru, Kuomintang mulai memperlihatkan kekuatan

baru dengan seluruh aktivitasnya yang diberkahi itu. Partai Komunis Cina,

pemimpin organisasi gerakan baru, menahan diri dengan setia membangun

Kuomintang dan mempropagandakan programnya. Anggotanya merupakan

pekerja-pekerja partai yang tak kenal lelah, namun mereka tak pernah

muncul sebagai komunis atau juga memperkenalkan program mereka

sendiri. Partai Komunis, kenyataannya dan secara esensial, dalam kerja dan

caranya mendidik anggota-anggotanya, sebagai anggota Sayap-Kiri

Kuomintang (Isaacs, 1966, 64).

Dua institusi utama yang berkembang selama aliansi KMT-PK adalah

Akademi Militer Whampoa dan Istitut Pelatihan Petani. Akademi Whampoa,

diorganisir tahun 1924, menyediakan staff militer untuk usaha menghancurkan

kemandirian pemerintahan panglima perang di Cina, dan untuk menyediakan

suatu basis militer bagi suatu pemerintahan tersentralisir yang efektif. Lulusannya

bertanggung jawab untuk ekspedisi ke utara selama tiga kali untuk membawa

pemerintahan Kuo Min Tang dan Canton ke Nankin. Personelnya terutama

diambil dari hsien pedesaan provinsi-provinsi selatan, dengan suatu persentase tak

seimbang daru Hunan, Kwangtung dan Chekiang. Partisipasi kuat dari Hunan

ternyata penting dalam keberhasilan gerakan militer ke arah utara. Akhirnya

akademi akan menyediakan pemimpin-pemimpin Kuo Min Tang dan partai

Komunis setelah periode awal kolaborasi mereka berakhir.

207

Institut Pelatihan Petani juga didirikan tahun 1924, dan beroperasi dari 1924

sampai 1926. Tujuannya adalah melatih pemimpin-pemimpin pedesaan yang akan

kembali ke wilayah tempat tinggalnya dan mengorganisir petani lokal. Banyak

dari wilayah-wilayah ini berlokasi di dekat pusat-pusat ekonomi dan transportasi,

khususnya sepanjang jalan raya utama yang dipakai serangan yang membawa

ekspedisi-ekspedisi ke utara dari selatan di Lembah Yangtze pada tahun 1926-

1927. Organisasi politik para petani di wilayah ini dan pemberontakan bersenjata

oleh petani terorganisir menyediakan basis logistik perjalanan ke utara (McColl,

1967, 41-44).

Penting khususnya dalam ekspansi ke utara usaha memobilisasi petani ini

adalah menjadi usaha Komunis membentuk organisasi-organisasi petani di

Hunan. Sejak pertengahan abad kesembilan belas Hunan “telah merupakan suatu

pusat reaksi kreatif dan kadang-kadang agresif terhadap pengaruh Barat” (Landis,

1964, 158). Tseng Kuo-fan telah berhasil membawa Pasukan Hunan melawan

pemberontakan Taiping dan mengorganisir mereka ke dalam pasukan yang

menjadi suatu prototipe untuk pasukan panglima perang regional dan provinsi di

akhir pertengahan abad kesembilan belas. Dengan demikian, orang-orang Hunan

telah masuk di awal dalam fragmentasi politik Cina dan mengembangkan

kebiasaan reaksi secara regional pada sentralisme Peking. Di awal abad kedua

puluh Hunan menjalani beberapa industrialisasi dan komersialisasi sendiri, dan

pada awal abad kedua puluh orang-orang kaya Hunan mulai mengemukakan

perlawanan terhadap pengaruh asing (Landis, 1964, 159-160). Di sanalah suatu

dasar asli untuk suatu kelahiran nasionalisme anti-asing. Nasionalisme juga suatu

isu di awal mobilisasi masa di wilayah tersebut. Pada tahun 1923, partai komunis

mulai berhasil mengorganisir pekerja kereta api dan pertambangan di Hunan serta

memperluas jangkauannya untuk mengorganisir ke dalam desa-desa dengan

slogan “jatuhkan kantung uang orang asing”. Mobilisasi massa di sini dipusatkan,

pada mulanya, dengan isu yang kurang spesifik menyangkut hubungan antara tuan

tanah dan penyewa serta lebih banyak pada perjuangan menghalangi naiknya

harga padi disebabkan ekspor beras dari provinsi (Hofheinz, 1966, 225, 233).

Dorongan lebih lanjut untuk organisasi petani datang dengan kunjungan tentara

208

selatan digambarkan secara lokal oleh Divisi Independen Pasukan Keempat, di

bawah arahan kepeminpinan Komunis. Berbeda dengan Kwangtung di wilayah

komersialisasi dekat canton yang memberi banyak penghalang untuk

mengorganisir petani, di Hunan kaum Komunis mencatat keberhasilan besar

mereka di wilayah-wilayah komersialisasi, khusunya timur Changsha. Di sini

kontrol gentry tampak melemah, dan tuan tanah lebih baik tinggal di kota daripada

di tanahnya sendiri. Tak ada bandit-bandit, dan organisasi pertahanan gentry juga

lemah. Kaum Komunis, di sisi lain, mendirikan hubungan-hubungan yang baik

engan kelompok-kelompok rahasia yang dominan secara lokal, dalam kasus ini

Ko-lao-hui. Slogan utama yang dipergunakan bukan pengurangan harga sewa,

sebagaimana di selatan, tetapi usaha menjamin “pangan rakyat” melalui

perampasan gudang dan penurunan harga (Hofjeinz, 1966, 242-257). Kontrol

keseluruhan tampak lemah, memberi ruang gerak yang lebih besar untuk gerakan

mobilisasi petani.

Pemimpin militer yang muncul melalui ekspedisi utara dan merebut buah

koalisi Kuo Min Tang-Komunis dari Komunis adalah Chiang Kai-shek. Dalam

posisinya yang istimewa ia dapat mengambil secara bebas dukungan dan pasukan

Rusia sebaik kekuatan organisasi pekerja dan petani yang dicetuskan oleh kaum

Komunis. Sebagai direktur Akademi Whampoa, ia mengomandani kadet-kadet

Whampoa dan tahu bagaimana menyokong orang Kiri ke dalam suatu kekuatan

perang yang efektif. Pada saat yang sama ia mulai membangun mesin politiknya

sendiri, dibiayai oleh kontribusi dari para komprador Shanghai yang mengharap

garansi pengaruhnya atas kaum Komunis, dan juga untuk membeli keselamatan

mereka sendiri. Ekspedisi ke utara ternyata merupakan suatu keberhasilan militer

dan politik yang berhasil; dalam kemunculannya Chiang memungkinkan merebut

kontrol Canton dan meminggirkan pengaruh Komunis pada dirinya, dan

membentuk suatu kampanye yang berhasil untuk pengusiran partai Komunis dari

Kuo Min Tang dan likuidasi sesungguhnya di kota-kota utama. Mengharapkan

masuknya pasukan yang menang dari selatan, pekerja di Shanghai memulai

serangkaian pemogokan yang berakhir pada 21 Maret 1927, dengan

pengambilalihan kota. Pada puncak pemberontakan lebih dari setengah juta

209

pekerja terlibat dalam pemogokan, sementara tugas merebut kota didelegasikan

pada milisi pekerja berjumlah lima ribu orang. Pada tanggal 26 Maret, Chiang

memasuki kota. Menulis dari Moskow, Leon Trotsky – kemudian berlawanan

dengan garis utama Komunis – dengan tepat meramalkan tahapan peristiwa-

peristiwa yang datang ketika ia menulis bahwa:

kebijakan suatu Partai Komunis yang dijalankan secaramembelenggu

sebagai suatu agen perekrutan untuk membawa para pekerja ke dalam

Kuomintang merupakan persiapan untuk keberhasilan pendirian suatu

kediktatoran Fasis di Cina.

Pemogokan baru saja menempatkan Chiang sebagai komandan kota ketika ia

memperoleh kerja sama elit finansial dan organisasi gangster bernama Gang Hijau

untuk menjadikan perebutan kekuasaan sebagai keuntungannya sendiri. Pada

tanggal 2 April 1927, pukulan jatuh. Hasil pembunuhan besar-besaran lima ribu

Komunis kehilangan nyawa, dan Kuo Min Tang di bawah Chiang mencapai

dominasi yang kokoh.

Perampasan Shanghai menandai akhir partisipasi pekerja dalam gerakan

politik dan kaum Komunis berharap bahwa revolusi dapat dimenangkan oleh

kelas pekerja Cina yang mulai muncul. harapan tersebut timbul-tenggelam sampai

tahun 1930 ketika kaum Komunis berusaha tetap melakukan pemberontakan lain,

didasari pemberontakan urban yang dirangkai dengan dukungan pedesaan, hanya

untuk turun dalam suatu kekalahan akhir di kota-kota. Sejak saat itu partai

kemudian berganti dengan tegas menjadi gerakan petani sebagai dasar terakhir

serta satu-satunya untuk meraih kemenangan.

Dari kegagalan tahun 1927 muncul suatu strategi Komunis baru. Saat ini

sungguh-sungguh didasarkan pada mobilisasi petani. Selalu ada ketidakpuasan

petani, tetapi untuk pertama kali dipergunakan suatu usaha masif menciptakan

sebuah struktur kekuatan baru yang akan mengisi kekosongan politik yang

ditinggalkan oleh keusuhan internal dan intervensi luar negeri. Protagonis

perdebatan baru ini adalah Mao Tse-tung – anak seorang petani kaya dari Hunan,

210

kemudian menjadi seorang mahasiswa dan salah satu pendiri partai Komunis.

Seawal tanggal 20 Desember 1926, Mao menyatakan bahwa masalah petani

merupakan isu sentral revolusi di Cina dan memulai penyitaan dan redistribusi

tanah oleh asosiasi-asosiasi petani di Hunan (Rue, 1966, 53). Ia muncul dari

penghancuran partai Komunis di Shanghai untuk menjadi pembicara utama bagi

suatu kebijakan aksi Komunis yang independen, lebih ditopang oleh dukungan

petani daripada bergantung pada para pekerja di kota-kota. Pada tahun 1938, ia

menulis bahwa negeri-negeri kapitalis, dikarakterisasi oleh rejim demokratik

borjuis, ini tepat untuk mempergunakan suatu perjuangan lehal yang panjang

untuk mobilisasi proletariat. Pemberontakan tak seharusnya dimulai sampai

kemungkinan-kemungkinan perjuangan legal kehabisan tenaga. Karena itu,

bagaimanapun, waktu untuk pemberontakan telah datang, “kota-kota seharusnya

diambil lebih dulu, dan kemudian desa-desa, bukan sebaliknya.” Tetapi,

di Cina, itu berbeda. Cina bukan sebuah negara demokratik independen,

tetapi sebuah negeri semi kolonial dan semi feodal ... tak ada majelis

legislatif diciptakan, tak ada hak legal untuk mengorganisir para buruh

mogok. Di sini tugas fundamental Partai Komunis tidak untuk bekerja

melalui suatu periode lama perjuangan legal sebelum melancarkan suatu

pemberontakan atau perang saudara. Tugas ini bukan untuk merebut kota-

kota besar pertama kali dan kemudian pedesaan, tetapi untuk mengambil

cara yang sebaliknya (Rue, 1966, 283).

Ada tiga kebutuhan untuk strategi baru ini. Pertama, revolusi tak dapat terus

bersandar pada aliansi dengan Kuo Min Tang; harus menciptakan dasar politik

sendiri di pedesaan, independen dari birokrasi Kuo Min Tang. Kedua, harus

memenangkan dukungan petani. Ketiga, harus menciptakan Tentara Merah

sendiri. Tugas ini, menurut Mao, dibuat mungkin

211

perekrutan pasukan baru, Sovyetisasi wilayah-wilayah pedesaan baru dan di

atas semuanya, konsolidasi di bawah kekuasaan Sovyet yang tak sama atas

wilayah-wilayah demikian siap jatuh ke Tentara Merah (Snow, 1938, 180).

Setting geografis untuk strategi baru ini pertama kali di Cina tengah-selatan,

khususnya wilayah-wilayah Kiangsi-Fukien dan Oyüwan (Hupeh-Honan-

Anhwei). Dikendalikan dari wilayah-wilayah ini pada tahun 1934, pasukan Merah

berbaris ke arah utara melintas sejauh enam ribu mil untuk menjejakkan diri

mereka pertama kali di Shensi, dan kemudian meluas ke Shansi dan Hopeh di

mana kedatangan mereka di Shensi telah disiapkan oleh para komandan tentara

dengan simpati Komunis yang kuat di mana mendukung pemberontakan besar di

bukit-bukit pemberontakan tradisional wilayah utara Shensei sejak tahun 1925.

Dengan memenangkan dukungan petani, strategi Komunis berjalan melalui

beberapa tahap yang berbeda. Selama enam bulan pertama mundur ke wilayah

pedalaman banyak diungkapkan dan beberapa aksi dimaksudkan pada reformasi

tanah radikal yang akan menyita seluruh tanah dan menyatukannya dalam

kolektivitas yang didirikan baru. Tahap awal ini, bagaimanapun, segera memberi

jalan untuk suatu strategi yang sudah matang dipertimbangkan, mengharapkan

memperoleh simpati petani menengah dan kaya di sisi para revolusioner. Mao

percaya bahwa partai telah

membuat suatu perkiraan tepat mengenai karakter kelas-kelas menengah

yang terombang-ambing, dan ... merencanakan kebijakan-kebijakan

mengambil keuntungan penuh kontradiksi-kontradiksi yang ada di

kelompok reaksioner (Rue, 1966, 105).

Penyitaan yang lengkap hanya akan mengasingkan kategori-kategori petani

menangah, dan membantu mengisolasi petani-petani miskin (1966, 115). Dalam

pendapat Mao

212

kebijakan-kebijakan agrarian pada tahun pertama terlalu radikal. Karena

partai menyerang para tuan tanah kecil dan petani-petani kaya tanpa

berkurang, kelas-kelas ini “menghasut pasukan-pasukan reaksioner

membakar sejumlah besar rumah-rumah para petani revolusioner.” Dalam

pendapat Mao para petani miskin diisolasi di wilayah Merah oleh kebijakan

CCP (Komite Sentral Partai). Mao percaya jalan keluar dari masalah ini

terdapat pada suatu kebijakan yang lebih toleran terhadap kelas-kelas

menengah, yang di desa-desa ia dikenali sebagai tuan tanah kecil dan para

petani kaya. Tugas politik partai yang utama, sepanjang ia hanya

mengontrol suatu dasar yang kecil dan lemah, adalah memenangkan

dukungan kelas-kelas ini. Di sini kita memiliki kemunculan “garis petani

kaya” Mao (1966, 110).

“Garis petani kaya” ini, jika tidak sama sekali, terlalu sukses. Pada tahun

1933 Lo Fu, sekretaris Komite Sentral Partai, menulis dari Juichin, kota besar

Sovyet, bahwa

tanah dibagi-bagikan, tetapi tuan tanah dan petani kaya juga menerima tanah

dan tanah yang lebih baik. Sejumlah unsur-unsur tuan tanah dan petani kaya

tetap menguasai otoritas dan posisi di desa-desa ... Beberapa dari mereka

tidak di bawah kontrol partai dan institusi-institusi pemerintah dan

menggunakan diri mereka untuk menanggung kepentingan-kepentingan

kelas mereka sendiri ... di banyak tempat masalah tanah tampak

terpecahkan, tetapi jika dilihat dari dekat tampak bahwa para tuan tanah

ditemukan menerima tanah dan petani-petani kaya tetap memiliki tanah

mereka yang luas (Isaacs, 1966, 344).

Mao Tse-tung sendiri menulis dalam nada yang sama bahwa

Fakta-fakta dari tempat-tempat yang tak terkira banyaknya ternyata bahwa

mereka telah merebut kekuasaan sementara, disaring ke dalam kekuatan

213

bersenjata, mengontrol organisasi-organisasi revolusioner, dan menerima

tanah lebih banyak dan lebih baik daripada petani-petani miskin (ibid.).

Ini membawa kaum Komunis untuk menyadari bahwa distribusi tanah,

sebagaimana terjadi, tidak cukup untuk membangun dukungan kokoh di antara

petani. Dalam rangka memenangkan dukungan petani yang memadai untuk cita-

citanya, mereka mulai memperoleh suatu tumpuan di dalam unit sosial di mana

perjuangan untuk sumber penghasilan menjadi perang pertama. Unit sosial ini

adalah desa. Pada tahun 1930-an mereka bereksperimen dengan koperasi-koperasi

desa sebagai satu cara menembus desa tetapi menemukan bahwa organisasi “dari

atas ke bawah” yang demikian tidak memberi suatu jawaban atas masalah-

masalah mereka. Jawaban ini mereka temukan setelah Long March mereka ke

barat laut. Jawaban itu bukan di dalam redistribusi tanah, tetapi dalam pendirian

kontrol politik di desa-desa. Tugas ini difasilitasi dalam rumah baru mereka oleh

kenyataan bahwa banjir dan bencana alam biasanya sering menghasilkan dislokasi

dan relokasi penduduk dalam skala besar, maka hubungan desa-desa memiliki

kekuatan dan resistensi yang lebih kurang dari tempat lainnya. Memberontak

melawan para tuan tanah dan pergolakan lainnya telah menyebabkan banyak tuan

tanah pergi, bahkan sebelum kedatangan kaum Komunis. Yang lainnya segera

pergi sebelum ancaman invasi Jepang. Kepergian mereka meninggalkan suatu

kekosongan politik di desa-desa di mana kamu Komunis dapat dan berharap

mengisinya.

Di wilayah barat laut, kenyataannya, mereka menjadi lebih liberal dalam

menangani reformasi tanah daripada pada masa awal pada garis petani kaya-nya

Mao. Mereka mengambil alih beberapa lahan tuan tanah, khususnya para tuan

tanah yang tetap dalam oposisi politik, sebaik tanah yang dimiliki para pejabat.

Dengan tanah ini serta tanah yang diperoleh kembali dari tanah tak bertuan

mereka membalas para petani miskin, hal ini menciptakan

suatu kelas baru secara menyeluruh. Ini adalah laki-laki dan perempuan

yang terangkat dari derajat miskin dengan beban-hutang menjadi pemilik

214

tanah dan suatu kekuatan di desanya. Mereka dikenali sebagai “petani

menengah baru” (Crook dan Crook, 1959, 73).

Namun mereka tidak menghapus semua tuan tanah, dan mereka dengan hati-hati

menjaga tanah para petani kaya yang bekerja di tanah mereka sendiri, meskipun

dengan buruh-buruh pertanian. Malahan, mereka mengandalkan suatu pajak tanah

yang progresif untuk memperkenalkan persamaan sosial yang lebih besar, dan

mereka dengan tajam membatasi kemampuan lapisan atas desa untuk memeras

hasil lebih petani melalui pinjaman dan hutang. Mereka membatalkan semua

hutang petanis elama satu tahun dan kemudian mulai memberikan pinjaman

pemerintah pada bunga 5 persen, sementara pinjaman pribadi dibuat pada tingkat

bunga 10 persen. Program reformasi yang relatif ringan ini mungkin terfasilitasi

karena banyak tuan tanah telah pergi, dan juga oleh fakta bahwa kekuasaan tuan

tanah di wilayah utara secara umum telah lemah daripada di wilayah selatan.

Sementara jumlah tanah yang disewakan pada para penyewa di selatan berjumlah

antara 42 dan 47 persen area di tanah pertanian, di utara area pertumbuhan

gandum pesentasenya jatuh antara 12 dan 17 (Buck, 1937, 195). Empat puluh

enam persen dari seluruh petani adalah penyewa di wilayah padi selatan; di utara

wilayah gandum hanya 17 persen merupakan penyewa (1937, 196). Reformasi di

sini dapat juga menguntungkan para petani menengah dan mengangkat banyak

petani miskin ke petani menengah (misalnya, Crook dan Crook, 1959, 121).

Tiga sosok kemenangan Komunis di utara adalah ikatan yang erat dengan

area di mana mereka membangun perkubuan baru mereka. Pertama, mereka

membangun bangunan kekuasaan besar di antara petani yang demikian tetapi

memiliki tanah. “Pada tahun 1934 data yang ada mengindikasikan bahwa kaum

Komunis dikonsentrasikan di area-area itu di mana reformasi tanah tak begitu

diperlukan. Pada tahun 1945 mereka dikonsentrasikan di wilayah-wilayah di mana

reformasi tanah akhirnya diperlukan” (Moise, 1967, 12). Mereka diletakkan di

suatu area marjinal, di mana telah memiliki signiikansi strategis yang besar sejak

awal sejarah Cina. Dan, akhirnya, mereka bergerak ke suatu wilayah yang relatif

215

bebas dari dominasi kekuasaan superior para pemilik tanah. Reformasi mereka

tetap terus kehilangan pegangan beberapa tuan tanah yang tersisa.

Reformasi juga memperkenalkan bentuk-bentuk organisasi baru – dewan-

dewan desa, tim-tim kerja, persatuan-persatuan petani – yang memberi petani

yang lebih miskin dan tak bertanah pengaruh politik dalam pengambilan

keputusan desa. Kedua Crook, menggambarkan proses ini untuk desa Ten Mile

Inn di pegunungan T’aihang, memperlihatkan bagaimana organisasi-organisasi ini

menjadi

suatu dasar pelatihan untuk pengembangan suatu kapasitas kepemimpinan

dan untuk aksi terorganisir yang independen di dalam bagian massa sendiri.

Sedikit demi sedikit suatu kekuatan ganda berdiri di desa. Dan meskipun

pada permulaan persatuan petani hanya menjadi bayangan atau organisasi

sekunder, secara objektif menghasilkan para pemimpin yang akan

mengambil alih pemerintah desa (1959, 52).

Organisasi-organisasi baru sering menggunakan mekanisme-mekanisme

yang sungguh tradisional untuk saling membantu dan bekerja sama, biasanya

didasarkan pada kerja sama kekeluargaan atau persahabatan; tetapi mereka

membantu tujuan baru organisasi desa dan bertahan di bawah kepemimpinan

petani. Ketika para pemimpin muda yang baru membuktikan keberaniannya,

mereka dimasukkan ke dalam partai atau ke dalam organisasi-organisasi massa

yang dikontrol partai.

“penetrasi desa alami” ini, secara esensial merupakan keberhasilan besar

periode Yenan. Tim-tim kerja dan perang telah muncul di atas suatu dasar

kerja sama tradisional, tetapi, melalui para pemimpin kader Partai mereka,

telah ditransformasikan ke dalam suatu tipe organisasi yang membantu cita-

cita politik-militer dan sosio-ekonomi Partai Komunis Cina. Tim ini

merupakan bagian desa yang tak dapat dipisahkan, namun pada saat yang

sama melebihi desa itu sendiri (Schurmann, 1966, 427).

216

Dengan demikian, jika organisasi-organisasi desa memberikan suatu dasar

dukungan di antara petani, cara lain memperoleh dukungan adalah menjadi partai

Komunis itu sendiri. Orientasi pertama-tama diarahkan pada pekerjaan di kota-

kota, memperoleh dukungan petani kaya dengan perlahan-lahan. Keanggotaannya

mulai dari 57 di tahun 1921 sampai mendekati 58.000 di tahun 1927; telah

berkurang menjadi 10.000 di akhir tahun 1927 – setelah perpecahan dengan Kuo

Min Tang. Beberapa seumber mengklaim bahwa ia telah mencapai 300.000 di

tahun 193-1934, tetapi setelah Long March ke barat laut kembali hanya berjumlah

40.000. Ketika perang berakhir dan kaum Komunis berdiri seimbang di seluruh

Cina, keanggotaannya telah mencapai lebih dari 1.000.000 anggota (Schurmann,

1966, 129). Secara sosial, puncak kepemimpinan komunis menyerupai

kepemimpinan Kuo Min Tang.

Di kedua partai, para pemimpin diambil seringkali dari suatu lapisan atas

yang sedikit dari populasi Cina. Di kedua partai orang-orang ini seringkali

merupakan anak-anak tuan tanah, pedagang, orang berpendidikan, atau para

pejabat, dan mereka biasanya datang dari bagian Cina di mana pengaruh

Barat pertama kali menembus dan penembusan itu sendiri sangat hebat.

Banyak dari mereka memiliki pendidikan tinggi, dan banyak dari mereka

belajar di luar negeri. Para pemimpin kedua partai, meskipun secara relatif

berstatus tinggi dalam kehidupan pribadi, memperlihatkan suatu

keengganan atau barangkali suatu ketidakmampuan memantapkan karir

pribadi. Mayoritas merupakan intelektual-intelektual yang teralienasi, laki-

laki dan perempuan di mana pendidikan Barat mengisolasi mereka dari arus

utama masyarakat Cina ... partai manapun yang mereka masuki, Komunis

atau Kuomintang, mereka berbeda dari elit kerajaan ... dalam hal itu mereka

diambil dari suatu lingkaran yang lebih besar ... revolusi yang baru terjadi di

Cina telah membawa anak-anak komprador orang kaya baru, kelas-kelas

bisnis lain kota-kota pesisir, anak-anak tuan tanah, dan baru-baru ini,

bahkan, anak-anak petani kaya (North, 1965, 376-377).

217

Bagaimanapun, ada juga perbedaan karakteristik:

Pemimpin Komunis karakteristik adalah anak seorang tuan tanah atau petani

kaya, sementara pemimpin Kuomintang yang karakteristik adalah anak dari

seorang pedagang atau kaum urban lainnya (1965, 395) ...

Elit Kuomintang lebih banyak dari wilayah pesisir, biasanya di sekitar

Shanghai dan Hongkong, sementara konsentrasi terbesar para pemimpin

Komunis dari Cina Tengah – lembah Yangtze (1965, 402).

Lebih jauh, pertarungan antara Kiri dan Kanan menonjolkan profil ini:

“kemunduran Kiri dan kenaikan Kanan merupakan salah satu faktor yang

membuat Kuo Min Tang semakin menjadi partai pedagang dan kurang

berorientasi pada tuan tanah atau pedesaan” (1965, 409). Sebaliknya, mirgrasi

partai Kimunis ke daerah pedalaman untuk terus menempatkan personil

intelektual kelas menengah dan kelas tinggi partai dilatarbelakangi oleh anak-anak

petani. Tentara Merah khususnya menjadi satu saluran untuk mobilisasi petani.

Dengan demikian tidak mengejutkan bahwa pada tahun 1949, ketika kaum

Komunis tetap siap mengambil seluruh Cina, sekitar 80 persen anggota partai

adalah petani. Pada tahun 1956 para petani tetap terhitung mendekari 70 persen

keanggotaan; tiga perempatnya petani-petani miskin, seperempat petani menengah

(Lindbeck, 1967, 89; Schirmann, 1966, 132).

Unsur ketiga dalam jajaran kekuatan baru ditakdirkan muncul dari tahun-

tahun di pedalaman adalah Tentara Merah. Ia, juga, berjalan melalui sejumlah

tahapan berbeda perkembangannya. Tahap pertama ditandai oleh pemberontakan

beberapa pecahan resimen Tentara Revolusioner Nasional Kuo Min Tang yang

melaksanakan eksperimen ke utara, disebut “ujung besi”. Mereka – 20.000

pasukan – memberontak di Nanchang pada tanggal 1 Agustus 1927. Mereka

digabung oleh 3000 kadet militer, penambang, dan kaum pekerja lainnya. Pada

saat yang sama Mao Tse-tung sedang mengorganisir sebuah pasukan partisan di

218

Hunan dari para penambang, penjaga petani, dan prajurit Kuo Min Tang yang

memberontak. Berbeda dengan pola-pola rekruitmen kemudian, para pekerja

sangat merepresentasikan Tentara Merah pertama. Tercatat khususnya partisipasi

penambang dari pertambangan besi terbesar di Cina, pertambangan Hanyehping

dekat Wuhan, yang ditutup pada tahun 1925 dan memaksa seratus ribu

penambang keluar kerja. Para penambang juga merepresentasikan pasukan

Hunan-nya Mao (Wales, 1939, 244). Namun Tentara Merah awal ini dibinasakan

pada tahap perkembangan pertama yang gagal ketika partai Komunis masih

berharap merebut kota-kota dan belum memutuskan mundur ke daerah

pedalaman. Dari 25.000 partisipan pada pemberontakan Nanchang, hanya 1.700

tersisa (1939, 244). Mao berlindung hanya dengan seribu yang selamat dari

tentara Hunan-nya (Snow, 1938, 164). Namun dengan merekrut petani – satu

kebijakan yang diputuskan di daerah pedalaman – pasukan sekali lagi bertambah

kuat di kubunya di pedalaman sampai ia sekali lagi berjumlah 200.000 pada tahun

1934. Mereka juga didukung oleh Penjaga Merah dan para gerilya dalam jumlah

yang sama. Direkrut dari sejumlah besar petani, tetapi juga menerima penguatan

dari pemberontak pasukan Kuo Min Tang. Sekitar 600 sampai 700 min t’uan,

bertindak sebagai alat bantu Kuo Min Tang, membelot ke pasukan Merah di Kian

pada tahun 1929, dan 20.000 pasukan KMT menyeberang di Ningtu pada tahun

1931 (Wales, 1939, 129-130, catatan kaki 55). Pasukan-pasukan ini bertahan di

area Sovyet Pusat sampai tahun 1934 ketika tekanan militer yang melimpah

mendorong mereka untuk mengungsi dan melakukan Long March sejauh enam

ribu mil ke utara. Dari 310.00 hanya sekitar 100.000 orang bertahan dari

kekerasan Long March (Wales, 1939, 61). Namun ada tahun 1945, pasukan lebih

besar dari sebelumnya, berjumlah mendekati 500.000 (Johnson, 1962, 74). Selama

lingkaran penipisan dan pemberontakan ini, partisipasi petani di dalam tentara

bertambah semakin besar. Nym Wales memberikan gambaran persentase untuk

Tentara Merah Front Pertama dari Sovyet Pusat di Kiangsi:

58 persen laki-laki dari pasukan ini datang dari petani; 38 persen datang dari

“proletariat pedesaan”, termasuk pekerja ertanian, para magang, dan

219

pengrajin di industri desa, pekerja transportasi dan sejenisnya, sementara

bagian 38 persen dibangun dari pekerja industrial pabrik-pabrik kota,

pertambangan, pekerja barang tembikar, dan lain-lain. Sisa 4 persen datang

dari borjuasi kecil dan biasanya anak-anak tuan tanah kecil yang lebih

muda, pedagang, intelektual dan sejenisnya (Wales, 1939, 56-57).

Mobilisasi desa untuk partai dan pasukan serta pendudukan oleh kaum

Komunis atas komunikasi dan kontrol penting secara besar-besaran diintensifkan

dan dipercepat oleh invasi Jepang tahun 1937. Sebaliknya Kuo Min Tang, yang

mencoba membeli waktu untuk suatu pembangunan militer melalui ruang yang

diberikan para agresor, Long March telah menempatkan Tentara Merah dengan

tepat dalam tekanan Jepang. Gerakan inimembuat kesadaran melepaskan

pengepungan Kuo Min Tang, tetapi juga memperlihatkan bahwa Tentara Meah

disiapkan untuk mempertahankan Cina melawan musuh-musuh luar negerinya,

sementara Kuo Min Tang membuang-buang sumber penghidupan dan orang-

orang di dalam suatu perjuangan internal melawan sesama Cina. Chalmers

Johnson berpendapat bahwa invasi Jepang terbukti katalis utama dalam

pengerahan petani ke Komunis menyebabkan:

ini berhasil menyebabkan penduduk menjadi mau menerima satu jenis

seruan politik yang khusus; dan Partai Komunis – dalam salah satu

penyamaran – adalah tepat untuk seruan tersebut: ia memberikan pertemuan

harapan rakyat akan kepemimpinan dalam perlawanan terorganisir dan

dalam meredakan anarki akibat perang di wilayah pedesaan (1962, 7).

Dalam proses perang hubungan antara desa, partai dan pasukan dikonsolidasikan,

Tentara Merah membesar mencakup setengah juta orang, dan kaum Komunis

mengakhiri perang dengan kontrol atas suatu populasi sepuluh kali lebih besar

dari sembilan juta orang yang mereka kontrol di provinsi-provinsi barat laut pada

tahun 1938. Pendirian kubu utara di wilayah petani bertanah mengijinkan

pembanguan suatu aparatur kekuasaan revolusioner di seluruh Cina pada tahun

220

1949. Kita mungkin memberi keberhasilan kaum Komunis dalam membangun

dasar kekuasaan ini pada kberhasilan mereka dalam mengerahkan petani yang

secara taktis bergerak di pihak mereka di bawah kondisi peperangan, pertama

melawan Kuo Min Tang, kemudian melawan Jepang. Tanpa perang sebagai

sebuah katalis, koalisi pemimpin Komunis dengan petani tak akan mencatat

sukses yang sama. Keberhasilan ini, lebih jauh, berbeda tajam dengan kegagalan

bagian Cina yang tetap di bawah kontrol Kuo Min Tang. Penjelasan yang

beragam dan berbeda tampak untuk kegagalan Kuo Min Tang (Loh, 1865).

Pasukan Kuo Min Tang gagal di mana pasukan Komunis berhasil; usaha

reformasi tanah oleh rejim Kuo Min Tang tak terwujud; di mana reformasi di

wilayah Komunis ternyata memunculkan keberhasilan di mana perang dan inflasi

secara fatal melemahkan rejim Chiang Kai-shek, ia menguatkan kapasitas kaum

Komunis untuk bertahan di setiap level. Keberhasilan ini dimungkinkan karena ia

memperoleh partisipasi suatu tipe petani yang khusus di zona marjinal Cina. Pada

saat yang sama, Komunis tidak menjadi sebuah :partai petani”, bahkan meskipun

mereka merekrut petani ke dalam organisasi mereka sampai hal ini ternyata

merupakan mayoritas yang sangat banyak dari keanggotaannya. Mereka mampu

mempergunakan energi petani, tetapi untuk akhir yang tak pernah diimpikan oleh

petani.

Revolusi telah membalik struktur masyarakat Cina, dan menciptakan

mimpi-mimpi millenarian pemberontakan realitas sosial petani masa lalu. Negara

Cina yang baru mengklaim menjasi suatu keturunan Taiping, lebih daripada

sebagai keturunan kaum terdidik Konfusian. Namun ada juga yang terus berlanjut.

Konsep tradisional elit pengatur sebagai suatu yang tidak turun-temurun dan

rekruitmen kelas terbuka dengan ujian sangat sejajar dengan konsep Komunis

mengenai suatu rekruitmen partai dari populasi yang luas. Sejenis dengan tradisi

yang biasanya mengenai manajemen hidrolik dan kerja publik, negara selalu

melihat diri sendiri sebagai sumber utama pokok keputusan. Akhirnya, negara

tidak hanya merupakan suatu kestuan politik, tetapi pembawa suatu tatanan moral,

diekspresikan dalam ritual dan seremoni. “Seremoni adalah ikatan yang

menggenggam keberagaman bersama-sama,” kata Buku Upacara kuno, “dan jika

221

ikatan ditiadakan, keberagaman itu jatuh ke dalam kekacauan.” Di dalam Cina

Komunis, ideologi memberi suatu peran penting yang krusial, sungguh-sungguh

berbeda dengan tradisi Marxis (lihat Fried, 1964).

Mao bergandengan tangan dengan kawan-kawannya berhasil menanamkan

diri mereka dalam satu wilayah yang terus diberkahi di Cina, secara

tradisional dalam cengkraman kelaparan, dengan menunjukan pada para

petani yang sedikit melek huruf bahwa mereka adalah yang melakukan

suatu ritual baru bernama Kolektivitas dan keuntungan untuk semua (Karol,

1967, 25).

Masa lalu ditandai oleh definisi-definisi Konusian mengenai pentingnya

hubungan-hubungan sosial. Tugas ini jatuh di masa sekarang pada Pemikiran

Mao, dengan desakannya bahwa sangsi-sangsi pokok dalam masyarakat baru

kurang menghasilkan paksaan daripada ajaran moral.

222