47 bab iii kebijakan moneter di indonesia
TRANSCRIPT
47
BAB III
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
III.1 Historikal Kebijakan Moneter Indonesia
Sejarah kebijakan moneter di Indonesia diawali dari didirikannya Bank Indonesia
yang merupakan bank sentral hasil nasionalisasi De Javasche Bank NV21 pada 1 Juli 1953
melalui Undang-undang No.11 Tahun 1953. Kelahiran Bank Indonesia adalah “a symbol of
sovereignity in monetary and economic affairs,” meskipun baru berdiri setelah delapan
tahun kemerdekaan.22
Dalam pengertian umum, bank sentral adalah lembaga yang bertugas untuk
mengontrol sistem keuangan dan perbankan dengan wewenang mengeluarkan dan
mengatur jumlah uang beredar23 Sedangkan menurut RG. Hawtrey (The Art of Central
Banking, 1932), ciri khas bank sentral adalah pada peranannya sebagai sumber pinjaman
terakhir bagi perbankan (lender of the last resort), dan memiliki hak untuk menerbitkan
uang kertas, yang tentu bermanfaat dan mendukung fuungsi bank sentral sebagai sumber
pinjaman terakhir bagi bank-bank itu.
Namun, hal yang lebih ditekankan dari pencapaian tujuan tersebut adalah bahwa
kebijakan bank sentral diarahkan untuk menciptakan dan menjaga faktor yang
mempengaruhi seluruh aspek tujuan pembangunan ekonomi, yaitu stabilitas harga dan
stabilitas nilai tukar sebagai dasar bagi pengembangan tabungan, penanaman modal,
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan.
21 Bank Belanda yang diberi tugas sebagai bank sirkulasi Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial sejak
1828 22 Oey, 1991, hal. 244 23 Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa hal. 20
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
48
III.1.1 Kebijakan Moneter sebelum Penerapan Inflation Targeting (1953-1999)
III.1.1.1 Periode 1953 - 1965
Dalam Undang-undang Pokok Bank Indonesia Tahun 1953 Bank Indonesia
memiliki tugas utama untuk menjaga stabilitas moneter, terutama memelihara nilai kurs
rupiah.
Sebelum tahun 1957, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter dan
kreditnya dengan cara:24
Mengubah suku bunga yang dikenakan pada debitur, meski fasilitas diskonto ulang
terhadap surat-surat hutang masih jarang dilakukan
Melakukan Operasi Pasar Terbuka, meski kondisi pasar uang masih sederhana
Pemberian kredit pada bank-bank komersil dengan ketentuan pagu kredit langsung
Pengendalian kredit kuantitatif dengan menentukan sektor aktivitas ekonomi yang
boleh diberi kredit, dan
Menetapkan tingkat suku bunga maksimum.
Pada tahun 1957, terdapat usaha untuk mengatur perkembangan perbankan swasta oleh
bank sentral dengan menentukan suku bunga minimum yang bisa ditawarkan kepada
masyarakat. Akibat pogram ini, terjadi kenaikan pengeluaran negara secara terus
menerus sehingga berpengaruh terhadap volume uang beredar dan mendorong
terjadinya inflasi serta kebijakan sanering pada 1959.
III.1.1.2 Periode 1966 – 1983
Masalah yang dihadapi di awal periode ini terkait dengan penanggulangan
kesulitan ekonomi yang diwarisi dari pemerintah sebelumnya, yaitu rendahnya daya beli
masyarakat akibat hiper-inflasi (635.3%). Di bidang moneter, kebijakan diarahkan untuk
menekan inflasi, peningkatan nilai tukar rupiah, rehabilitasi sistem perbankan, dan
24 Charlesworth, 1959 hal 28-39
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
49
rekonstruksi sistem ekonomi. Sedangkan di sisi fiskal, kebijakan ditujukan untuk mencapai
lima sasaran, yaitu: (i) pengendalian inflasi, (ii) pencukupan kebutuhan pangan, (iii)
rehabilitasi prasarana ekonomi, (iv) peningkatan kegiatan ekspor, dan (v) pencukupan
kebutuhan sandang.
Pada periode rehabilitasi dan stabilisasi ini juga mulai diperkenalkan prinsip
anggaran berimbang (balanced budget) melalui Undang-undang No.13 Tahun 1967 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN tersebut, diambil
kebijakan bahwa pembelanjaan rutin akan dibiayai oleh penerimaan dalam negeri,
sedangkan untuk anggaran pembangunan pembiayaannya dilakukan melalui bantuan
(hutang) luar negeri. Kredit luar negeri untuk pembiayaan pembangunan ini ditujukan
untuk mengurangi inflasi yang bersumber dari defisit anggaran akibat pencetakan uang.
Dari sisi perbankan, melalui Undang-undang No.14 Tahun 1967, perbankan
di Indonesia (bank umum, bank tabungan, bank pembangunan, bank sekunder lain) diatur
sedemikian rupa sehingga bank sentral menjadi pembimbing, koordinator, pembina, dan
pengawas dalam pelaksanaan kebijaksanaan moneter pemerintah. Di tahun 1967,
diberlakukan pula penggolongan tingkat suku bunga kredit secara sektoral.25
Pada saat oil boom tahun 1973, anggaran belanja menjadi surplus untuk
pertama kalinya, sedangkan NFA (net foreign assets) naik drastis, dan mendorong
terjadinya kenaikan uang primer. Dengan latar belakang tersebut, pada 15 November 1978,
pemerintah mengambil dua kebijakan penting. Pertama, menyesuaikan nilai tukar rupiah
terhadap mata uang dolar US dari Rp.415,- menjadi Rp.625,- per USD (devaluasi sebesar
33.6%). Kedua, mengambangkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, namun tetap
dikendalikan dengan memperhitungkan kaitannya dengan beberapa mata uang asing yang
25 Golongan I (kelompok produksi, distribusi sembako, bahan ekspor, industri kerajinan) berbunga 3%
perbulan. Golongan II (perdagangan dan jasa) berbunga 3% perbulan. Golongan III (usaha lain yang tak masuk golongan I dan II) berbunga 5% perbulan.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
50
menjadi mitra dagang. Sejak saat itu, berlaku ‘Sistem Nilai Tukar Mengambang
Terkendali’ sebagai era baru kebijakan nilai tukar Indonesia.
Kebijakan yang terkenal dengan istilah KNOP-15 dimaksudkan untuk
meningkatkan daya saing produk dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk impor
dan merangsang produksi berorientasi ekspor. Akibat devaluasi ini, inflasi melonjak dari
6.7% tahun 1978 menjadi 21.8% di tahun 1979 dan 16% tahun1980. Pertumbuhan PDB riil
meningkat dari 6.3% tahun 1979 menjadi 9.9% tahun 1980. Pada oil shock-2 tahun 1979,
neraca perdagangan tahun 1980/1981 mencapai surplus USD 2,736 juta dan menambah
cadangan devisa bersih pada Maret 1981 sebesar USD 7,342 juta.
Tahun anggaran 1982/1983, nilai ekspor migas dan nonmigas merosot
masing-masing sebesar 19% dan 7% akibat resesi perekonomian dunia. Cadangan devisa
merosot menjadi hanya USD 3,074 juta. Transaksi berjalan juga mengalami defisit sebesar
USD 7,073 juta karena tidak diimbangi dengan kelebihan neraca modal.di luar sektor
moneter. Pertumbuhan ekonomi sendiri, turun menjadi 2.1% pada tahun 1982..
Dengan kebijakan ini, kini pemerintah lebih mengutamakan penggunaan
instrumen tidak langsung seperti: penentuan cadangan wajib, operasi pasar terbuka,
fasilitas diskonto, dan himbauan moral.
III.1.1.3 Periode 1984 – 1998
Sebagai tindak lanjut, sejak Februari 1984 Bank Indonesia menerbitkan
fasilitas Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto. SBI yang baru
ini berbeda dengan yang ada tahun 1970, dan kemudian digantikan dengan Sertifikat
Deposito. SBI ini adalah instrumen kontraksi moneter yang dapat dipergunakan BI jika
situasi moneter dinilai terlalu ekspansif. Untuk menambah likuiditas perekonomian, BI
juga memperkenalkan instrumen ekspansi moneter untuk mengatur likuiditas perbankan
dan mengembangkan pasar uang berupa Surat Berharga Pasar Uang sejak 1 Februari 1985.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
51
Kemudian pada 12 September 1986 pemerintah memutuskan lagi untuk
melakukan devaluasi nilai tukar dari Rp.1,134,- menjadi Rp.1,644,- per USD. Dari laju
pertumbuhan, ternyata pertumbuhan ekonomi tahun 1987 turun dari 5.9% menjadi 4.9%
dengan laju inflasi sebesar 8.9%. Kenaikan inflasi ini disebabkan karena adanya spekulasi
di pasar valuta asing sebagai akibat dari ketidakpastian harga migas di pasar internasional
(saat itu harga migas turun hingga USD 10 perbarel). Untuk mencegah spekulasi yang
menimbulkan pembelian valuta asing secara besar-besaran (rush), otoritas melakukan
beberapa langkah yang dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I, antara lain:
Menaikkan suku bunga SBI, fasilitas diskonto, dan tingkat rediskonto (gadai uang)
SBPU
Menurunkan pagu SBPU secara bertahap
Mengupayakan pengalihan dana milik beberapa BUMN yang ada dalam perbankan
untuk ditanam dalam SBI
Di tahun 1994, tingkat suku bunga yang rendah mengakibatkan pelarian
modal ke luar negeri (capital outflow) sehingga otoritas kembali menerapkan kebijakan
moneter ketat dengan menaikan suku bunga SBI. Selanjutnya, ditahun 1995-1996, terjadi
permintaan yang kuat akan investasi domestik yang memerlukan tambahan likuiditas.
Keadaan ini berlangsung terus dan ditambah pengelolaan pinjaman luar negeri yang tidak
sehat, hal tersebut menjadi penyebab terjadinya krisis keuangan dan perbankan tahun 1997.
Akhir periode ini masih diliputi oleh krisis nilai tukar yang terjadi sejak
semester dua tahun 1997. Krisis yang terjadi merupakan akibat dari semakin cepatnya
proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global tanpa diikuti
perangkat kelembagaan yang belum tertata dengan baik. Ini mengakibatkan kegiatan
ekonomi mengalami kontraksi yang tajam sehingga secara keseluruhan pertumbuhan
Produk Domestik Bruto merosot menjadi –13.7% tahun 1998 dibandingkan dengan 4.9%
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
52
di tahun sebelumnya. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 4.9% pada
tahun 1996 menjadi 5.1% di tahun 1998, dan laju inflasi melonjak dari 34.22% menjadi
45.44% di tahun 1998. Bahkan nilai tukar rupiah sempat menyentuh level Rp.16,500,- per
USD pada Juni 1998
Pada masa krisis ini, kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia
adalah dengan menggunakan instrumen-instrumen kontraksi. Yang utama digunakan
adalah OPT dan Intervensi Rupiah (IR), GWM, Fasilitas Diskonto, dan Intervensi Valuta
Asing.26
Intervensi rupiah adalah salah satu instrumen tidak langsung yang memiliki
peran sejajar dengan instrumen OPT dengan tujuan memberi sinyal arah pergerakan suku
bunga melalui kegiatan pinjam-meminjam dana yang dilakukan Bank Indonesia secara
langsung di pasar uang antar bank (ON) dengan jangka waktu overnight hingga tujuh hari.
Akibat kebijakan moneter yang ketat, tingkat diskonto SBI, suku bunga ON,
deposito, dan kredit mengalami kenaikan (tabel 3.1). Peningkatan tertinggi terjadi pada
bulan Agustus 1998 (gambar 3.1) setelah Bank Indonesia mengubah sistem lelang SBI
pada akhir Juli 1998.
Tabel 3.1 Suku Bunga
1996//97 1997/98 1998/99 Rincian Persen
SBI 1 bulan 13.16 17.4 52.82 PUAB O/N 13.7 47.02 64.67 Keseluruhan 10.72 51.42 41.79 Deposito 1 bulan 16.67 28.34 49.14 3 bulan 17.09 22.15 42.19 6 bulan 16.79 16.31 30.17 12 bulan 16.66 16.79 24.31 24 bulan 15.79 15.68 16.16 Kredit
26 Ascarya, op.cit., hal. 42
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
53
Modal Kerja 17.67 22.16 31.77 Investasi 15.2 17.34 23.1
III.1.2 Kebijakan Moneter setelah Penerapan Inflation Targeting (1999 – sekarang)
Di tahun 1999, dikeluarkan Undang-undang No.23 tentang Bank Indonesia.
Dalam landasan hukum yang baru ini, Bank Indonesia mempunyai tujuan yang lebih fokus,
yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut,
otoritas melakukan tiga tugas pokok, yaitu: (i) menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, (ii) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta (iii) mengatur
dan mengawasi sistem perbankan27
Gambar 3.1 Posisi SBI
10
20
30
40
50
60
70
80
98:01 98:03 98:05 98:07 98:09 98:11
SBI_1BLN
Tahun 2001, kondisi nilai tukar yang melemah hingga Rp.12,000,- per USD di
bulan April turut mendorong laju inflasi hingga 3.73% pada lima bulan pertama tahun ini,
lebih tinggi dari periode yang sama di tahun 2000 yaitu 2.35%. Sementara suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan di akhir triwulan kedua meningkat menjadi 16.7%
dari 15.8% di akhir triwulan pertama. Dari sisi fiskal, perekonomian tumbuh sekitar 3.5%
pada triwulan ketiga, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2000 yang
mencapai 4.4%.
Lebih lanjut, pada triwulan ketiga 2004, otoritas mengeluarkan tiga ketentuan
berkaitan dengan perbankan konvensional, yaitu: (i) ketentuan yang mengatur kembali
sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum khusus untuk bank yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, (ii) ketentuan yang mengatur Giro Wajib Minimum
27 Warjiyp, Perry,. Solikin, op.cit., hal. 42
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
54
(GWM) dalam rupiah dan valas sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan stabilitas
moneter, dan (iii) ketentuan yang mengatur bahwa bank yang menyelenggarakan internet
banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara
efektif.
Pada tahun ini juga terjadi amandemen Undang-undang No.23 Tahun 1999,
menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2004 dimana pemerintah setelah berkoordinasi
dengan Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi untuk jangka
pendek dan menengah yang mencerminkan proses penurunan inflasi secara bertahap
(gradual disinflation) dan mengarah pada sasaran inflasi jangka menengah-panjang yang
kompetitif dengan negara sekitar.
Penerapan Inflation Targeting melalui penggunaan suku bunga BI Rate sebagai
sasaran operasional kebijakan moneter dimulai sejak Juli 2005. BI Rate adalah suku bunga
dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk
jangka waktu tertentu dan berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter. BI Rate
yang menunjukkan penilaian Bank Indonesia terhadap prakiraan inflasi ke depan
dibandingkan dengan sasaran inflasi bertujuan agar pelaku pasar dan masyarakat dapat
mengamati penilaian Bank Indonesia dimaksud melalui penguatan transparansi yang akan
dilakukan, antara lain dalam Laporan Kebijakan Moneter
Perkembangan BI Rate sejak Juli 2005 hingga Oktober 2006 dapat dilihat dari
gambar 3.2. Dari grafik bisa dilihat kecenderungan BI Rate adalah meningkat hingga
periode Maret 2006, yaitu sebesar 12.75%. Namun sejak Mei 2006, BI Rate mulai
mengalami penurunan menjadi 12.5%. Hal ini diakibatkan beberapa hal, antara lain: (i)
kestabilan makroekonomi masih terus berlanjut hingga bulan April 2006, yang tercermin
pada perkembangan nilai tukar, inflasi, dan kondisi moneter. (ii) perbedaan dengan suku
bunga luar negeri khususnya Fed Funds dinilai masih dapat untuk diperkecil tanpa
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
55
mengurangi minat aliran modal masuk ke Indonesia. Penurunan suku bunga tersebut
diharapkan mampu memberikan sinyal positif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan dapat menjaga kestabilan kondisi pasar keuangan serta tingkat suku bunga riil.
Inflasi pada Mei 2006 tercatat 0.37% (mtm) atau 15.6% (yoy), meningkat
dibanding bulan sebelumnya yang hanya 0.05% (mtm) dan 15.4% (yoy), dan secara
kumulatif Januari sampai dengan Mei 2006 mencapai 2.41%. Dari sisi nilai tukar, rupiah
mengalami depresiasi menjadi Rp.9,245 per USD dibandingkan posisi April yang
Rp.8,722,- per USD. Volatilitas rupiah juga mengalami peningkatan dibanding bulan
sebelumnya, dari 1.31% menjadi 2.54%.
Gambar 3.2 Posisi BI Rate
8
9
10
11
12
13
05:07 05:09 05:11 06:01 06:03 06:05 06:07 06:09
BI_RATE
III.2 Inflation Targeting Framework di Indonesia28
Sesuai dengan Undang-undang No.23 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen
menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2004, tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Penugasan ini memberikan kejelasan peran
otoritas moneter sehingga dapat lebih fokus dalam pencapaian "single objective"-nya.
Kestabilan nilai rupiah dimaksud, tergambar melalui tingkat inflasi yang dibedakan
menjadi dua hal, yaitu: inflasi yang berasal dari sisi permintaan (demand pull inflation) dan
inflasi dari sisi penawaran (cost push inflation). Untuk selanjutnya, nilai tukar rupiah
sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar, dan
BI hanya menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu fluktuatif.
28 www.bi.go.id
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
56
Di Indonesia, ada tiga indikator yang menggambarkan tingkat inflasi, yaitu: (i)
Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan
jasa yang dikonsumsi masyarakat atas dasar survei bulanan di 45 kota terhadap 283 – 397
jenis barang dan jasa, (ii) Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) yang menggambarkan
pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah, dan (iii)
PDB deflator
Penerapan Inflation Targeting Framework di Indonesia memiliki beberapa desain,
yaitu:
Sasaran Inflasi
Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh pemerintah
setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-
masing sebesar 8% ± 1%, 6% ± 1%, dan 5,0% ± 1%.29
Indikator Kebijakan Moneter
Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis
dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi,
pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan
keuangan secara keseluruhan, serta memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi
yang ditempuh Pemerintah.
Respon Kebijakan Moneter
Respon (stance) kebijakan moneter yang dinyatakan melalui kenaikan, penurunan, atau
tidak berubahnya BI Rate, dilakukan secara konsisten dan bertahap untuk menjamin
pergerakan inflasi dan ekonomi tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang
telah ditetapkan.
29 Siaran pers: Rapat Koordinasi Bidang Makroekonomi tanggal 17 Maret 2006
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
57
Operasi Pengendalian Moneter
Pengendalian moneter ini diarahkan agar perkembangan suku bunga ON berada pada
koridor suku bunga yang ditetapkan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian
likuiditas dan memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
Koordinasi dengan Pemerintah
Koordinasi dengan pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter Bank Indonesia
sejalan dengan kebijakan umum pemerintah dibidang perekonomian dengan tetap menjaga
tugas dan wewenang masing-masing, dan dilakukan sesuai dengan MoU yang telah
disepakati.
Transparansi
Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada masyarakat
untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam membentuk ekspektasi dan
pencapaian sasaran inflasi. Komunikasi ini mencakup pengumuman dan penjelasan
pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah kebijakan moneter yang
telah dan akan ditempuh.
Akuntabilitas
Pertanggungjawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk meningkatkan
kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah
ditetapkan dalam UU secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan
Moneter (Monetary Policy Report atau Inflation Report) secara triwulanan dan aspek-aspek
tertentu kebijakan moneter yang dipandang perlu.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
68
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diperlihatkan hasil dan pembahasan pengujian antara berbagai
macam suku bunga, yaitu suku bunga Overnight, SBI (BI-rate), deposito 3 bulan, kredit
investasi, kredit modal kerja, nilai tukar nominal, indeks produksi, dan inflasi mencakup
periode observasi bulanan sejak 2000:1 hingga 2007:2 (n = 86).
V.1 Hasil Uji Stasioneritas
Tahap awal untuk melihat hubungan antara variabel-variabel tersebut adalah
dengan menentukan apakah variabel yang akan diuji tersebut stasioner atau tidak. Regresi
yang dilakukan pada variabel yang tidak stasioner akan menimbulkan regresi palsu
(sprurious regression), yang berarti hasil regresi tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Pada penelitian ini, uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey-
Fuller (ADF) unit root test dan Philips-Perron (PP) unit root test. Hasil yang diperoleh
pada berbagai tingkat (level dan difference) adalah sebagai berikut.
Tabel 5.1 Hasil Uji Stasioneritas, ADF test
Variabel dlon dlsbi dldep,2 dlki dlkmk,2 dler lip linf
Test Value -5.487 -4.101 -7.4905 -4.476 -14.455 -8.0378 -7.3536 -11.96 1% McKinnon -4.072 -4.071 -4.0724 -4.072 -4.0724 -4.071 -4.0696 -4.074 5% McKinnon -3.465 -3.464 -3.4649 -3.465 -3.4649 -3.4642 -3.4635 -3.466
10% McKinnon -3.159 -3.159 -3.159 -3.159 -3.159 -3.1586 -3.1582 -3.159
Tabel 5.2 Hasil Uji Stasioneritas, PP test
Variabel dlon dlsbi,2 dldep,2 dlki dlkmk dler lip linf
Test Value -13.65 -14.78 -7.4224 -4.964 -4.1387 -8.0126 -7.3717 -8.444 1% McKinnon -4.071 -4.072 -4.0724 -4.071 -4.071 -4.071 -4.0696 -4.074 5% McKinnon -3.464 -3.465 -3.4649 -3.464 -3.4642 -3.4642 -3.4635 -3.466
10% McKinnon -3.159 -3.159 -3.159 -3.159 -3.1586 -3.1586 -3.1582 -3.159
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
69
Berdasarkan hasil uji unit root di atas, terlihat bahwa semua variabel stasioner
dengan ADF tes dan PP tes pada level, 1st difference, ataupun 2st difference dengan
menggunakan trend and intercept pada persamaan tes.
V.2 Hasil Penentuan Lag Optimal
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan pemilihan panjang selang yang
tepat. Hal ini penting dilakukan karena jika selang terlalu pendek, model dapat
terspesifikasi dengan kurang tepat, sedangkan jika terlalu panjang akan mengakibatkan
banyak derajat kebebasan terbuang. Hasil yang diperoleh dengan sistem VAR tipe
unrestricted, maka VAR stabil ditemukan pada lag interval keenam (lampiran).
Kemudian dilakukan dengan pemilihan kandidat lag yang optimal dengan
menggunakan informasi yang diberikan oleh AIC dan SC. Lag waktu yang memberikan
nilai terkecil (atau terdapat bintang pada hasil E-Views) dari kriteria informasi yang
diberikan adalah lag waktu yang optimal. Terlihat dari Lag Order Selection Criteria table
di bawah, maka kandidat lag optimal adalah lag 1, 2, dan 6.
Tabel 5.3 Penentuan Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LON LSBI LDEP LKI LKMK LER LIP LINF Exogenous variables: C Date: 06/28/07 Time: 01:47 Sample: 2000:01 2007:02 Included observations: 77
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 763.9946 NA 4.10E-19 -19.63622 -19.39271 -19.53882 1 1322.071 985.6940 1.10E-24 -32.46938 -30.27777* -31.59276 2 1442.944 188.3729* 2.65E-25* -33.94659 -29.80689 -32.29075* 3 1491.225 65.21094 4.56E-25 -33.53831 -27.45051 -31.10324 4 1539.934 55.66695 8.97E-25 -33.14113 -25.10523 -29.92684 5 1622.450 77.15797 9.18E-25 -33.62207 -23.63807 -29.62856 6 1729.883 78.13292 7.12E-25 -34.75020* -22.81810 -29.97746
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
70
Hal selanjutnya adalah dengan membandingkan Adj R-square dari masing-
masing kandidat lag yang memungkinkan tersebut. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa lag
optimal yang digunakan adalah lag dua.
Table 5.4 Adj R-square kandidat lag optimal
Lag on sbi dep3 ki kmk er ip inflasi 1 0.893531 0.99021 0.99367 0.983913 0.99199 0.72312 0.38769 0.85661
Adj. R-squared 2 0.913612 0.99139 0.99802 0.988244 0.99556 0.75218 0.39186 0.89941
6 0.901815 0.99397 0.99792 0.994569 0.99672 0.84021 0.29047 0.91518
V.3 Hasil Pembentukan sistem SVAR
Seperti yang sudah digambarkan pada bab metodologi, permodelan SVAR yang
akan digunakan pada skripsi ini adalah sebagai berikut.
KI
PUAB/ ON SBI Deposito
KMK
IP
Nilai Tukar Nominal
Inflasi
Permodelan tersebut, kemudian di spesifikasikan ke dalam sistem menggunakan
E-Views, akan dihasilkan estimasi SVAR berikut.
Tabel 5.5 Estimasi Sistem SVAR
Structural VAR Estimates Date: 06/28/07 Time: 01:55 Sample(adjusted): 2000:06 2007:02 Included observations: 81 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Maximum iterations reached at 500 iterations Structural VAR is over-identified (4 degrees of freedom)
Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
71
@e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@u5 @e6 = C(15)*@e1 + C(16)*@e2 + C(17)*@u6 @e7 = C(18)*@e1 + C(19)*@e2 + C(20)*@e3 + C(21)*@e4 + C(22)*@e5 + C(23)*@e6 + C(24)*@u7 @e8 = C(25)*@e1 + C(26)*@e2 + C(27)*@e3 + C(28)*@e4 + C(29)*@e5 + C(30)*@e6 + C(31)*@e7 + C(32)*@u8 where @e1 represents LON residuals @e2 represents LSBI residuals @e3 represents LDEP residuals @e4 represents LKI residuals @e5 represents LKMK residuals @e6 represents LER residuals @e7 represents LIP residuals @e8 represents LINF residuals
Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
C(2) 0.116174 0.026022 4.464445 0.0000 C(4) -0.011180 0.017404 -0.642399 0.5206 C(5) 0.107205 0.066574 1.610318 0.1073 C(7) -0.003279 0.010770 -0.304445 0.7608 C(8) -0.044501 0.041744 -1.066046 0.2864 C(9) 0.219089 0.068582 3.194573 0.0014 C(11) -0.004132 0.008901 -0.464284 0.6424 C(12) 0.024592 0.034499 0.712831 0.4760 C(13) 0.234152 0.056679 4.131156 0.0000 C(15) 0.007371 0.040363 0.182605 0.8551 C(16) 0.385037 0.154395 2.493836 0.0126 C(18) 0.085522 0.075013 1.140086 0.2543 C(19) -0.744411 0.303570 -2.452185 0.0142 C(20) -0.339664 0.551112 -0.616326 0.5377 C(21) -1.359246 0.772278 -1.760049 0.0784 C(22) 3.104805 0.934451 3.322599 0.0009 C(23) -0.049676 0.205538 -0.241686 0.8090 C(25) 0.238583 0.146441 1.629208 0.1033 C(26) 0.762879 0.609365 1.251924 0.2106 C(27) 0.667542 1.069852 0.623957 0.5327 C(28) -0.669552 1.524023 -0.439332 0.6604 C(29) 0.260503 1.929166 0.135034 0.8926 C(30) -0.108386 0.398214 -0.272180 0.7855 C(31) 0.434752 0.215192 2.020302 0.0434 C(1) 0.104400 0.008202 12.72792 0.0000 C(3) 0.024450 0.001921 12.72792 0.0000 C(6) 0.014650 0.001151 12.72792 0.0000 C(10) 0.009042 0.000710 12.72792 0.0000 C(14) 0.007473 0.000587 12.72792 0.0000 C(17) 0.033975 0.002669 12.72792 0.0000 C(24) 0.062849 0.004938 12.72792 0.0000 C(32) 0.121721 0.009563 12.72792 0.0000
Dengan estimasi matriks A dan B di atas, maka dapat dibentuk matriks dengan
Aet = Bµt sebagai berikut.
A = 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
-0.116174 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.011180 -0.107205 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.003279 0.044501 -0.219089 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.004132 -0.024592 -0.234152 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.007371 -0.385037 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -0.085522 0.744411 0.339664 1.359246 -3.104805 0.049676 1.000000 0.000000
-0.238583 -0.762879 -0.667542 0.669552 -0.260503 0.108386 -0.434752 1.000000
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
72
eON uON eSBI uSBI
eDEP uDEP
et = eKI µt = uKI
eKMK uKMK
eER uER
eIP uIP
eINF uINF
B = 0.104400 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.024450 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.014650 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.009042 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.007473 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.033975 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.062849 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.121721
V.4 Hasil Uji Stabilitas SVAR
Variance Decomposition Inflasi
Tabel 5.6 Variance Decomposition Inflasi
Period
S.E. Shock1 Shock2 Shock3 Shock4 Shock5 Shock6 Shock7 Shock8
1 0.131544 6.834792 1.050568 0.477946 0.750746 0.836906 0.112706 4.314516 85.62182 2 0.170040 7.013576 2.913553 1.736214 0.928946 8.971968 0.074013 3.277243 75.08449 3 0.195135 12.02596 6.472002 2.887706 1.264980 11.13306 0.057328 2.509143 63.64982 4 0.211768 13.56035 11.47380 3.994876 1.419214 10.88707 0.166063 2.130993 56.36764 5 0.226209 15.11387 16.10129 4.799221 1.277002 9.970536 0.973418 1.965819 49.79884 6 0.238894 15.92065 19.95657 5.344734 1.153208 8.961139 2.214423 1.791956 44.65731 7 0.251105 16.44965 22.97259 5.488687 1.187174 8.151614 3.563736 1.676545 40.51001 8 0.262691 16.85598 25.24187 5.312277 1.461197 7.647110 4.663234 1.569068 37.24926 9 0.273642 17.14852 26.86253 4.962401 2.023604 7.359509 5.523414 1.492551 34.62747 10 0.283942 17.38118 27.87225 4.609097 2.856267 7.195582 6.187040 1.446831 32.45176 11 0.293501 17.49527 28.36364 4.375392 3.889335 7.104612 6.714945 1.442946 30.61386 12 0.302304 17.48003 28.43043 4.314504 5.034433 7.064150 7.143525 1.492204 29.04073
Keterangan:
Shock 1 : variabel suku bunga overnight
Shock 2 : variabel suku bunga SBI
Shock 3 : variabel suku bunga deposito 3 bulan
Shock 4 : variabel suku bunga kredit investasi
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
73
Shock 5 : variabel suku bunga kredit modal kerja
Shock 6 : variabel nilai tukar
Shock 7 : variabel indeks produksi
Shock 8 : variabel inflasi
Tabel Variance Decomposition di atas menunjukkan bahwa kontribusi yang
dominan dalam mempengaruhi inflasi adalah shock dari inflasi itu sendiri yang kemudian
makin berkurang pengaruhnya. Hal sebaliknya terjadi pada variabel suku bunga overnight
dan SBI. Pada periode kedua dan selanjutnya, kedua suku bunga ini cukup besar
mempengaruhi pergerakan inflasi dengan tren yang makin tinggi.
Respon inflasi akibat pergerakan variabel suku bunga overnight dan SBI dapat
dilihat pada hasil Impulse Response Function (IRF) berikut.
Gambar 5.1 IRF inflasi terhadap suku bunga ON dan SBI
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
5 10 15 20 25 30 35 40 45
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock1
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
5 10 15 20 25 30 35 40 45
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock2
Pada gambar di atas diperlihatkan pergerakan inflasi akibat pengaruh
pergerakan suku bunga overnight dan SBI. Dalam jangka pendek hubungan tersebut benilai
positif, namun makin bergerak negatif seiring berjalannya waktu. Hubungan positif ini
lebih dikarenakan beberapa alasan; pertama, suku bunga overnight sangat rentan terhadap
technical shocks—berasal dari perubahan GWM, faktor musiman, dan ketidakakuratan
proyeksi pergerakan faktor otonomus. Kedua, sistem keuangan di suatu negara mempunyai
struktur dan karakteristik berbeda, sehingga kadang ada variabel suku bunga yang tidak
mempunyai peran signifikan dalam transmisi moneter. Dan ketiga, tingkat bunga nominal
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
74
yang mengandung ekspektasi inflasi (Fisher’s Equation) memungkinkan bahwa terdapat
hubungan positif antara inflasi dan suku bunga.
Sebab lain adalah penggunaan IHK sebagai indikator dalam menentukan tingkat
inflasi. Penggunaan IHK ternyata mengandung kelemahan yaitu noise yang dapat
mengganggu penentuan kebijakan moneter. Unsur noise tersebut antara lain kenaikan biaya
input produksi (akibat depresiasi sehingga harga input komoditi meningkat), kenaikan
biaya energi dan transportasi (kenaikan harga BBM, TDL), kenaikan biaya distribusi lokal
(akibat lanjutan dari depresiasi nilai tukar), kebijakan fiskal (ekspansi fiskal dan kebijakan
perpajakan), kelangkaan barang pasokan (supply shortage), serta faktor non-ekonomi
(gempa bumi, tsunami, banjir, dan kerusuhan sosial). Faktor-faktor tersebut tidaklah
memiliki relevansi dengan kebijakan moneter secara langsung. Dampak dari noise adalah
ketidakakuratan perubahan jangka pendek inflasi dalam mencerminkan perilaku
kecenderungan jangka panjangnya. 36
Dalam jangka panjang, hubungan respon inflasi terhadap pergerakan suku
bunga, bernilai negatuf. Hal ini sesuai dengan teori dan membenarkan hipotesis pada
bagian sebelumnya. Di samping itu, tingginya pengaruh suku bunga SBI dalam
mempengaruhi inflasi membuktikan bahwa penerapan SBI (BI rate) sebagai suku bunga
kebijakan terbukti cukup efektif. Hal tersebut ditunjukan dengan besarnya koefisien
variance decomposition yang menggambarkan seberapa besar variabel SBI mempengaruhi
inflasi.
Gambar 5.2 IRF inflasi terhadap suku bunga deposito, KI, dan KMK
-1.2
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock3
-1.6
-1.2
-0.8
-0.4
0.0
0.4
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock4
-.8
-.6
-.4
-.2
.0
.2
.4
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock5
36 Wijoyo Santoso dan Reza Anglingkusumo, Underlying Inflation sebaga indicator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Bank Indonesia.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
75
Secara akumulatif pergerakan inflasi memiliki hubungan negatif dengan ketiga
variabel suku bunga. Hal ini sesuai dengan teori dan membenarkan hipotesis pada bagian
sebelumnya.
Gambar 5.3 IRF inflasi terhadap nilai tukar dan indeks produksi
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock6
-.8
-.6
-.4
-.2
.0
.2
.4
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LINF to StructuralOne S.D. Shock7
Terkait dengan hubungan positif inflasi terhadap nilai tukar nominal yang bisa
dilihat pada grafik IRF di atas, hal ini sesuai dengan teori bahwa jika tingkat inflasi
meningkat, dengan asumsi PPP berlaku, maka akan mengakibatkan nilai tukar melemah
(depresiasi). Selanjutnya, depresiasi ini juga akan mendorong inflasi karena pass through
effect dari barang-barang dan bahan baku impor, sehingga biaya produksi juga akan
mengalami peningkatan. Lebih lanjut, hal ini akan mengakibatkan kenaikan sangat besar
pada harga barang tradable dan nontradable, sehingga akan makin meningkatkan inflasi.
Hubungan akumulatif yang bersifat negatif antara inflasi dengan indeks
produksi yang merupakan proksi dari pendapatan nasional, sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Keynes. Naiknya tingkat harga (inflasi) akan menurunkan daya saing
produk lokal karena memiliki harga yang relatif lebih mahal dibanding produk asing. Hal
ini akan memperkecil tingkat ekspor, dan masyarakat akan cenderung melakukan impor.
Akibatnya, net ekspor akan menurun. Penurunan ini melalui proses multiplier akan
menurunkan pula pendapatan nasional (indeks produksi).
Sedangkan hubungan jangka pendek yang bernilai positif bisa disebabkan
karena, kenaikan harga akan meningkatkan money demand. Dengan asumsi keseimbangan
pasar uang, kenaikan money demand akan diikuti pula dengan kenaikan money supply.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
76
Kenaikan money supply berarti pula kenaikan cadangan luar negeri (asumsi kredit dalam
negeri konstan). Perubahan cadangan ini bisa diakibatkan kenaikan ekspor, penurunan
impor, ataupun kenaikan capital inflow. Hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan nasional.
Pergerakan suku bunga overnight, selain dipengaruhi oleh shock dirinya sendiri,
ternyata seiring berjalannya waktu cukup banyak dipengaruhi oleh suku bunga SBI.
Mengenai hubungan antar suku bunga jangka pendek dalam mempengaruhi suku bunga
jangka lebih panjang, hal ini bisa dilihat dari grafik IRF pada gambar 5.4. Dari grafik
tersebut dapat dilihat bahwa suku bunga ON secara positif mempengaruhi pergerakan suku
bunga jangka lebih panjang, yaitu SBI, deposito, KI, dan KMK. Hal ini sesuai dengan
hipotesis, bahwa suku bunga jangka pendek berhubungan positif dengan suku bunga
jangka lebih panjang. Hal lain adalah bahwa suku bunga kebijakan SBI ternyata cukup
berpengaruh dalam pergerakan suku bunga overnight.
Gambar 5.4 IRF suku bunga SBI, deposito, KI, KMK terhadap suku bunga ON
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LSBI to StructuralOne S.D. Shock1
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
2.4
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LDEP to StructuralOne S.D. Shock1
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
.5
.6
.7
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LKI to StructuralOne S.D. Shock1
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LKMK to StructuralOne S.D. Shock1
Untuk suku bunga SBI, pergerakannya banyak dipengaruhi oleh suku bunga
overnight (ON). Korelasi antara SBI dan suku bunga jangka lebih panjang dapat dilihat
dari grafik IRF pada gambar 5.5. Korelasi tersebut, kesemuanya bernilai positif.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
77
Gambar 5.5 IRF suku bunga deposito, KI, dan KMK terhadap suku bunga SBI
-0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LDEP to StructuralOne S.D. Shock2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
.5
.6
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LKI to StructuralOne S.D. Shock2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
.5
.6
.7
.8
5 10 15 20 25 30
Accumulated Response of LKMK to StructuralOne S.D. Shock2
Suku bunga deposito 3 bulan banyak dipengaruhi oleh pergerakan diri sendiri,
yang makin menurun seiring waktu dan digantikan pengaruhnya oleh suku bunga jangka
pendek, ON dan SBI. Untuk hubungan dengan suku bunga jangka lebih panjang, dapat
dilihat dari grafik IRF pada gambar 5.6. korelasi tersebut bernilai positif dan sesuai dengan
hipotesis.
Gambar 5.6 IRF suku bunga KI, KMK terhadap suku bunga deposito
-.08
-.04
.00
.04
.08
.12
.16
.20
2 4 6 8 10 12 14 16 18
Accumulated Response of LKI to StructuralOne S.D. Shock3
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
2 4 6 8 10 12 14 16 18
Accumulated Response of LKMK to StructuralOne S.D. Shock3
Suku bunga kredit investasi banyak dipengaruhi pergerakan suku bunga itu
sendiri dan suku bunga jangka pendek lain, yaitu ON, SBI, dan deposito 3 bulan.
Hubungan (korelasi) antara suku bunga SBI, deposito, KI, dan KMK dapat dijelaskan
melalui tabel 5.8. Tabel tersebut menjelaskan bahwa hubungan antara ketiga suku bunga
tersebut sangat signifikan satu sama lain. Ini berarti bahwa pergerakan mereka erat
dipengaruhi satu sama lain.
Tabel 5.7 Korelasi antara SBI, deposito, KI, dan KMK
sbi dep3 ki kmk sbi Pearson
Correlation 1 .960(**) .747(**) .834(**)
Sig. (2-tailed) . .000 .000 .000 N 86 86 86 86
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
78
dep3 Pearson Correlation .960(**) 1 .867(**) .922(**)
Sig. (2-tailed) .000 . .000 .000 N 86 86 86 86 ki Pearson
Correlation .747(**) .867(**) 1 .935(**)
Sig. (2-tailed) .000 .000 . .000 N 86 86 86 86 kmk Pearson
Correlation .834(**) .922(**) .935(**) 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 . N 86 86 86 86
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sama dengan suku bunga kredit investasi, pergerakan suku bunga kredit modal
kerja juga banyak dipengaruhi pergerakan suku bunga jangka lebih pendek. Hal ini
kembali membenarkan bahwa suku bunga jangka pendek mempengaruhi cukup besar
bunga jangka panjang. Hasil dari variance decomposition kredit investasi dan kredit modal
kerja dapat dilihat dari tabel 5.8 dan 5.9.
Tabel 5.8 Variance Decomposition suku bunga Kredit Investasi
Period
S.E. Shock1 Shock2 Shock3 Shock4 Shock5 Shock6 Shock7 Shock8
1 0.009647 0.781732 0.283682 11.07016 87.86443 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.015223 2.282715 0.114452 15.84271 78.17219 0.887526 0.937169 1.239442 0.523802 3 0.019575 3.549707 1.320594 18.95531 68.74893 2.752878 1.475106 2.792466 0.405003 4 0.023660 7.386919 4.192659 19.99849 58.21281 5.279477 1.200403 3.363546 0.365701 5 0.027786 11.43603 7.896716 19.87379 48.94212 6.837328 0.870418 3.735285 0.408312 6 0.031901 15.58835 11.80228 19.15279 41.25086 7.267645 0.820908 3.518303 0.598860 7 0.035992 19.39258 15.53310 18.13104 34.96138 6.859861 1.088588 3.144912 0.888527 8 0.040047 22.69190 18.97840 16.90828 29.74761 6.108042 1.625262 2.709306 1.231193 9 0.044090 25.54472 22.04833 15.53465 25.36931 5.288283 2.333829 2.301705 1.579173
10 0.048112 27.94355 24.73440 14.08683 21.70877 4.536182 3.138905 1.950557 1.900810 11 0.052109 29.94676 27.02462 12.63628 18.66702 3.894617 3.985174 1.663460 2.182077 12 0.056059 31.57715 28.93225 11.25521 16.17113 3.368510 4.836809 1.441568 2.417379
Tabel 5.9 Variance Decomposition suku bunga Kredit Modal Kerja
Period
S.E. Shock1 Shock2 Shock3 Shock4 Shock5 Shock6 Shock7 Shock8
1 0.008313 0.015063 2.136531 17.02851 0.000000 80.81990 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.014956 12.91035 11.99859 16.86445 3.240758 52.19978 0.245168 1.483412 1.057496 3 0.021263 14.99710 21.70561 16.93390 6.441627 36.10935 0.131839 1.832020 1.848549 4 0.027815 19.30600 27.11126 16.18037 6.975461 25.48233 0.591756 1.523707 2.829129 5 0.034154 22.04478 30.73514 15.57981 6.621313 18.66007 1.405546 1.449959 3.503382 6 0.040456 24.68017 33.27970 14.64380 5.717375 14.02318 2.397623 1.220369 4.037787 7 0.046684 27.02960 35.26388 13.46844 4.743174 10.78944 3.314457 1.025756 4.365256 8 0.052853 29.08174 36.87826 12.11582 3.849804 8.503524 4.187023 0.836308 4.547515
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
79
9 0.058963 30.87288 38.13146 10.70698 3.117008 6.852784 5.016633 0.678149 4.624099 10 0.064972 32.33547 39.07536 9.353134 2.568254 5.644568 5.828477 0.559340 4.635393 11 0.070856 33.48755 39.72558 8.121951 2.194430 4.749645 6.624401 0.486627 4.609818 12 0.076568 34.33081 40.13115 7.053226 1.973944 4.085948 7.398363 0.462352 4.564210
Selain hal tersebut di atas, dari tabel variance decomposition juga bisa dilihat
bahwa pada suku bunga kredit investasi, suku bunga kebijakan SBI (BI Rate) memiliki
pengaruh yang relatif kecil di awal forecast penelitian.
Dari definisi yang dikemukakan Bredin (et all: 2001) tingkat bunga kredit bank
disebut rigid (kaku) jika respon suku bunga kredit terhadap suku bunga pasar sangat kecil.
Dari sisi yang berbeda, efektivitas kebijakan yang ditentukan oleh tingkat bunga kebijakan
ditunjukan oleh respon suku bunga kredit terhadap suku bunga kebijakan, SBI. Dari
definisi dan persepsi tersebut, maka bisa diambil keputusan bahwa suku bunga kredit,
khususnya kredit investasi, tidak sempurna dipengaruhi suku bunga kebijakan SBI.
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan hal seperti tersebut. Pertama, Adverse
selection. Ini terkait dengan informasi yang tidak sempurna di pasar antara debitur dan
kreditur. Debitur menginginkan tingkat bunga tinggi agar pendapatan operasional dari sisi
kredit menjadi besar. Sedangkan kreditur sebaliknya, dengan harapan agar kredit yang
mereka ajukan tidak membebankan dari sisi bunga. Akibatnya, masing-masing pihak akan
melindungi diri dengan tidak memberikan apa yang seharusnya diketahui pihak lain secara
sempurna. Dampak lain dari hal ini adalah bahwa kebijakan yang dibuat otoritas melalui
suku bunga kebijakan tidak akan terserap sempurna hingga sektor riil.
Kedua, adjusment cost. Perbankan hanya akan mengubah suku bunga jika biaya
penyesuaian lebih rendah dari biaya dalam mempertahankan suku bunga tersebut. Biaya
dalam mempertahankan ketidakseimbangan suku bunga itu, secara positif berhubungan
dengan elastisitas permintaan kredit (Cottareli and Kourelis, 1994). Artinya, transmisi
koefisien yang rendah menggambarkan indikasi rendahnya elastisitas permintaan kredit
perbankan Indonesia.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
80
Ketiga, consumer irrationality. Konsumen yang tidak realistis dalam melakukan
transaksi kredit akan lamban merespon tingginya suku bunga kredit, meskipun suku bunga
kebijakan saat ini cenderung mengalami penurunan.
Keempat, risk sharing. Di paska penerapan nilai tukar bebas mengambang saat
ini, perbankan cenderung melakukan perilaku risk averse dengan membatasi penyaluran
kredit yang memiliki resiko relatif besar dan kemudian ditempatkan ke dalam instrumen
seperti SBI dan obligasi rekap yang nyaris tanpa resiko. Perilaku ini, ditambah dengan
adanya masalah asymmetric information telah menyebabkan downward rigidity pada
tingkat bunga kredit (Alamsyah, 2004)
Pergerakan nilai tukar lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar itu
sendiri, diikuti dengan suku bunga overnight dan SBI. Korelasi antara nilai tukar dengan
suku bunga jangka pendek dapat dilihat pada gambar 5.7.
Gambar 5.7 IRF nilai tukar terhadap suku bunga ON dan SBI
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
2 4 6 8 10 12 14 16 18
Accumulated Response of LER to StructuralOne S.D. Shock1
-.04
.00
.04
.08
.12
.16
.20
.24
2 4 6 8 10 12 14 16 18
Accumulated Response of LER to StructuralOne S.D. Shock2
Korelasi positif antara suku bunga ON dan SBI terhadap nilai tukar dapat
dijelaskan melalui sistematika Monetary Approach Balace of Payment (MABOP). Akibat
naiknya suku bunga tersebut, akan membuat permintaan uang menurun. Hal ini akan
berakibat pada terjadinya excess supply di pasar uang. Agar tercapai keseimbangan
permintaan dan penawaran uang, masyarakat akan melakukan ekspor uang seperti
membayar utang lebih cepat dan menaikkan impor. Akibatnya, akan terjadi capital outflow,
sehingga nilai tukar akan mengalami depresiasi.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007
81
Untuk indeks produksi, pergerakan variabel ini dipengaruhi oleh variabel suku
bunga SBI, KI dan KMK. Korelasi yang terjadi antara variabel yang mempengaruhi indeks
produksi dapat dilihat pada gambar 5.8. Secara akumulatif, hubungan tersebut adalah
negatif. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat bunga,
maka akan mempertinggi opportunity cost memegang uang. Masyarakat akan cenderung
menabung sehingga investasi relatif lebih kecil. Kecilnya investasi akan mengakibatkan
indeks produksi yang merupakan proksi pendapatan nasional menjadi semakin kecil pula.
Gambar 5.8 IRF indeks produksi terhadap suku bunga ON, SBI, deposito,
KI, KMK, dan nilai tukar
-.20
-.15
-.10
-.05
.00
.05
.10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Accumulated Response of LIP to StructuralOne S.D. Shock1
-.20
-.16
-.12
-.08
-.04
.00
.04
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Accumulated Response of LIP to StructuralOne S.D. Shock2
-.08
-.04
.00
.04
.08
.12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Accumulated Response of LIP to StructuralOne S.D. Shock3
-.15
-.10
-.05
.00
.05
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Accumulated Response of LIP to StructuralOne S.D. Shock4
-.04
-.02
.00
.02
.04
.06
.08
.10
.12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Accumulated Response of LIP to StructuralOne S.D. Shock5
-.16
-.12
-.08
-.04
.00
.04
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Accumulated Response of LIP to StructuralOne S.D. Shock6
Hubungan negatif antara indeks produksi dan nilai tukar sesuai dengan
hipotesis. Nilai tukar yang meningkat (depresiasi) akibat terjadinya capital outflow, akan
berdampak pada turunnya cadangan dalam negeri. Penurunan ini, apabila tidak diimbangi
dengan peningkatan ekspor akibat daya saing produk dalam negeri yang meningkat (akibat
depresiasi) maka akan menurunkan pula pendapatan nasional.
Analisis mekanisme ..., Ari Hidayat, FE UI, 2007